47 mutu pelayanan rumahsakit mengatakan: adakan on the job training yang modern, hilangkan hambatan yang mencegah karyawan untuk menjadi bangga dengan pekerjaannya, adakan program-program pendidikan dan pelatihan yang intensif dan berkesinambungan. Pelatihan bagi pelayanan kesehatan di rumahsakit adalah alat untuk mengubah maka perubahan yang dapat dilakukan oleh perorangan, group dan organisasi dalam rangka meningkatkan effektivitas. Jadi pelatihan sangat penting dalam rangka mengubah dari tak terlatih menjadi terlatih (Sabarguna & Sumarni, 2004). Jadi dalam hal ini pihak manajemen rumah sakit harus merencanakan pelatihan bagi tenaga perawat dan bidan yang ada dibagian kebidanan dan di IGD. 2. Dukungan Peralatan dan Material Jumlah dan kualitas peralatan yang masih sangat terbatas menjadi masalah bagi petugas dalam memberikan pelayanan pasien dengan kasus maternal terutama di bagian IGD yang sama sekali belum tersedia alat tsb. Di IGD peralatan dan material belum tersedia sehingga semua pasien kasus maternal baik yang dirujuk atau datang sendiri semuanya langsung diarahkan ke bagian kebidanan. Sebagai rumah sakit rujukan dan sebagai rumah sakit PONEK yang menurut KepMenKes RI No 1051/MENKES/SK/XI/2008 bahwa di IGD harus mempunyai termpat atau area melakukan penanganan kasus maternal. Peralatan dan material hanya ada dibagian kebidanan saja tapi sering terbatas bahkan ada alat tapi mudah rusak atau sparepart tidak tersedia dan belum ada jadwal untuk dilakukan kalibrasi. Pengadaan peralatan dalam programnya setiap tahun selalu diusulkan tapi hanya sebagian yang terpenuhi, atau tidak sesuai dengan apa yang diusulkan seperti jumlah dan spesifikasinya. Menurut Panaijan dan Bagdasarova (2009), pengkalibrasian alat dan menyediakan alat yang baru di fasilitas rujukan adalah intervensi penting untuk meningkatkan sisterm rujukan. Sebagai rumah sakit PONEK sesuai standar dari Depkes peralatan dan material harus tersedia di IGD sehingga dapat menangani kasus gawat darurat maternal untuk stabilisasi dan persiapan pengobatan definitif. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Ritonga (2007), fasilitas dan peralatan masih sangat kurang dan ada beberapa alat yang tidak layak dipakai lagi 48 akibat usia tua, sementara untuk pengadaan alat baru harus menunggu dana, belum ada jadwal dilakukan kalibrasi. Kamar operasi dibagian kebidanan yang sudah sekian lama ada dan beroperasi, terletak disebelah kamar bersalin ini sangat membantu dalam hal waktu, tenaga dari petugas/ tim untuk penanganan pasien gawat darurat yang segera mendapat tindakan operasi seperti: Seksio Sesarea, laparatomi ditutup hanya dengan alasan tenaga anaestesi yang terbatas. Dari salah satu kriteria dari rumah sakit PONEK adalah tersedia kamar bersalin yang mampu menyiapkan operasi dalam waktu kurang dari 30 menit. Obat-obatan, cairan khusus pasien askes disiapkan oleh PT ASKES. Pasien Jamkesmas sudah disiapkan oleh pengelola jamkesmas demikian juga pasien masyarakat Papua yang tidak mampu. Untuk pasien swasta obat, cairan dll diresepkan oleh dokter dan ditebus oleh pasien. Disini dibutuhkan manajemen logistik yang memiliki fungsi perencanaan, penganggaran, pengadaan, penympanan, pemeliharaan, penghapusan dan pengendalian. Hal ini menurut Aditama (2007), manajemen logistik dalam lingkungan rumah sakit sebagai suatu proses pengolahan secara strategis terhadap pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pemantauan persediaan yang diperlukan bagi produksi jasa pelayanan rumah sakit. Menurut Deming (1991) bahwa jika membeli material atau jasa, janganlah karena harga yang ditawarkan yang murah atau paling murah, tapi hendaknya mutu material yang dijadikan patokan. Dengan adanya ruang tunggu untu keluarga pasien tidak dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan wc, padahal ini sangat penting dan mendasar sebagai kebutuhan dasar dari manusia, sudah seharusnya ruang tunggu yang ada dilengkapi dengan kamar mandi dan wc untuk keluarga yang menunggu, karena menurut informasi bahwa ruang tunggu itu dibangun tanpa melibatkan petugas di bagian kebidanan. 3. Budaya Tim Multiprofesional Rumah Sakit Penanganan kasus maternal tidak terlepas dari suatu kerja tim yang meliputi tenaga dokter spesialis kebidanan, spesialis anaestesi, bidan, perawat petugas kamar bedah, petugas IGD, radiologi, laboratorium dan petugas administrasi sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya sehingga dapat meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan terhadap kasus darurat maternal di rumah sakit. Dalam 49 rangka perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dalam penanganan kasus kedaruratan obstetri di rumah sakit, telah dilakukan penelitian di rumah sakit pendidikan Universitas Athmadu Belo Zaria, Nigeria (Ande, 1997) Hasil penelitian menunjukan bahwa penundaan dalam penanganan ibu dengan kasus komplikasi akan menyebabkan terjadinya beberapa masalah yang lebih rumit, Intervensi yang dilakukan mengantisipasi hal tersebut adalah memperbaiki ruang bedah, perbaikan ruang perawatan, melatih dokter umum untuk dapat menangani kasus-kasus kegawatdaruratan obstetri, mengadakan pengepakan obat-obatan, dan meningkatkan kerjasama dengan sesama petugas kesehatan, juga diperkenalkan sistem donor darah dari keluarga yang mengalami kasus kegawatdaruratan obstetri dan meningkatkan kepedulian terhadap ibu (Okluya, 1997). 4. System Thinking: Komunikasi, Koordinasi dan Kerjasama Kasus rujukan memerlukan penanganan yang cepat. Karena itu harus ada koordinasi sebelum kasus datang di rumah sakit. Rumah sakit harus melakukan pendekatan dan kerjasama dengan pihak dinas kesehatan. Hal ini sangat perlu dan sangat penting untuk mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan. Pihak rumah sakit bekerjasama dengan dinas kesehatan provinsi dalam hal pelaporan hal yang dijumpai saat pasien dirujuk, sehingga dari dinas kesehatan yang membawahi puskesmas dapat memberikan penyuluhan bagi ibu usia subur tentang resiko kehamilan dan tindakan apa yang harus dilakukan dan harus melahirkan ditempat dengan fasilitas yang lebih memadai dan tidak terjadi keterlambatan pertolongan bagi ibu yang bermasalah. Juga keluarga ikut ambil bagian mendapatkan penyuluhan dan mereka akan tahu resiko yang akan terjadi dapat dicegah karena budaya juga sangat berpengaruh dengan terjadi keterlambatan rujukan dimana keluarga isteri yang sangat berperan untuk mengambil keputusan apabila dari pihak suami belum melunasi mas kawin kepihak perempuan, sebaliknya apabila pihak suami sudah melunasi mas kawin maka dari pihak suami semua yang berperan untuk membuat keputusan. Seringkali kasus rujukan tiba di rumah sakit sangat terlambat, hal ini disebabkan oleh keterlambatan mengetahui keadaan patologis pasien. Beberapa penelitian menyatakan bahwa keterlambatan kasus rujukan disebabkan oleh pasien atau keluarga pasien tidak segera menyetujui 50 untuk dirujuk, keterlambatan mengambil keputusan oleh pihak keluarga, kendala biaya, faktor geografi, dan kesulitan transportasi (Soedigdomarto, 1990). Hal serupa juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gufria. (2008) bahwa salah satu keterlambatan rujukan maternal adalah terlambat mengambil keputusan oleh pihak keluarga juga keterbatasan kemampuan petugas kesehatan. Ada beberapa hal yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan mutu sistem rujukan maternal antara lain: rujukan pengetahuan, keterampilan dan pembinaan kepada semua tenaga obstetri secara berjenjang yang dilkutkan secara berkesinambungan: meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya kaum ibu dalam masa reproduksi untuk mengenal tanda-tanda resiko tinggi dalam kehamilan dan persalinan. (Soedigdomarto, 1990) Komunikasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena tidak tersedianya alat komunikasi yang memadai dimana suatu rumah sakit rujukan pasti sangat membutuhkan komunikasi antara yang merujuk dan yang menerima rujukan. Hal ini menyebabkan tidak adanya informasi yang bisa didapatkan dari kedua belah pihak tersebut. Saat peneliti melakukan pengamatan dan wawancara, bahwa sarana komunikasi antara rumah sakit dan yang merujuk tidak berjalan dengan baik dikarenakan alat komunikasi yang ada tapi operatornya tidak ada, jadi petugas yang kerja rangkap sebagai operator pada saat tidak sedang menangani pasien. Ditemukan bahwa dalam beberapa tahun ini belum pernah dilakukan pertemuan atau koordinasi antara pihak rumah sakit dengan pihak yang menggunakan rumah sakit sebagai tempat rujukan atau yang terkait langsung dengan kebutuhan rumah sakit. Dari hasil penelitian ini dari pihak unit transfusi darah ingin sekali supaya diadakan pertemuan atau rapat untuk membicarakan masalah yang terjadi atau meninjau kembali kesepakatan yang telah dibuat, karena dengan diadakan pertemuan akan dapat melihat kekurangan keterbatasan dari masing-masing yang terkait. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Meskipun sebagian besar kasus dapat diatasi, penelitian ini mendokumentasi beberapa kegagalan penanganan. Penelitian menunjukkan adanya persoalan manajerial yang berdampak pada penanganan pasien kasus maternal di rumah sakit. 1. Belum adanya pemisahan antara manajemen klinis kasus dan manajemen fasilitas layanan. 2. SDM di IGD dan bagian kebidanan terutama tenaga bidan masih terbatas, dan tidak ada perawat dan dokter di IGD yang dilatih khusus pelatihan penanganan kasus maternal. Hanya sebagian dari tenaga bidan dibagian kebidanan yang sudah dilatih: APN PONED, PONEK dan CTU, DMT 3. IGD dan bagian kebidanan belum mempunyai SOP penerimaan dan penanganan pasien dan respon time kasus maternal 4. Peralatan dan material untuk penanganan kasus kebidanan di IGD belum tersedia, hanya tersedia di bagian kebidanan dengan jumlah terbatas. 5. Kamar operasi di bagian kebidanan tidak difungsikan karena keterbatasan tenaga 6. Tidak ada kerjasama yang resmi antara rumahsakit dan lembaga mitra rumahsakit 7. Alat komunikasi yang dalam keadaan tidak berfungsi, telepon ada tapi tidak ada operator khusus 8. Pertemuan koordinasi dengan lembaga mitra rumahsakit jarang dilakukan B. Saran Rumah sakit perlu melakukan pemisahan antara manajemen fasilitas layanan dengan manajemen klinis kasus. Spesialis obsgin harus berperan sebagai manajer klinis kasus yang bertanggung jawab terhadap persoalan medis. Sebaliknya bidan senior dan berpengalaman dapat menjadi manajer pelaksana fasilitas layanan yang bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan non medis 51