BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Sebagai sebuah genre musik yang muncul dari musik blues dan rock, musik metal mengalami perkembangan yang luar biasa, baik dari segi pengembangan musikalitas maupun peningkatan atensi dari para penggemarnya. Pada era 70’an, periode awal musik metal ditandai dengan kemunculan subgenre heavy metal. Era tersebut memunculkan band-band pionir dari heavy metal seperti Black Sabbath, Led Zeppelin, dan Deep Purple. Hanya membutuhkan kurang lebih satu dekade untuk membuat musik metal menjadi lebih variatif, hal ini ditunjukkan oleh munculnya berbagai jenis subgenre yang baru pada dekade 80’an, antara lain seperti thrash metal, speed metal, black metal dan death metal. Keempat subgenre tersebut muncul dalam satu dekade yang sama, sehingga banyak pihak yang menyebut bahwa dekade 80’an merupakan era keemas-an dari musik metal. Pada dekade tersebut, muncul beberapa band yang dianggap mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan metal pada era berikutnya dan bahkan hingga saat ini, seperti Motorhead, Judas Priest, Iron Maiden dan Venom di Inggris. Metallica, Anthrax, Slayer dan Megadeth dari Amerika. Mercyful Fate dari Denmark. Annihilator, Death dan Voivod dari Canada. Kreator, Destruction, 1 Sodom dan Helloween dari Jerman. Bulldozer dari Italia. Vulcano, Sarcofago dan Sepultura dari Brazil. Mayhem dan Darkthrone dari Norwegia. Bathory, Dismember dan Entombed dari Swedia. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa pada era tersebut musik metal mulai menjalar keluar dari Inggris dan Amerika serta memperoleh penggemarnya di negara lain. Namun tidak hanya melahirkan empat subgenre dan band-band baru, pada era 80’an, musik metal mendapat perhatian yang sangat besar dari kaum muda di Eropa dan Amerika, sehingga musik metal berubah menjadi sebuah musik yang begitu populer di kalangan kaum muda pada saat itu (Dunn, 2005). Pada dasarnya, menjadi kaum muda merupakan proses dalam kehidupan untuk mencari jati diri, sehingga sangat rentan terhadap perubahan (Setyawan, 2001). Sedangkan kemunculan musik metal itu sendiri dinilai dapat memberikan sebuah identitas kultural baru-pada era tersebut-dan memberikan berbagai alternatif pemikiran serta gaya hidup (Hill dan Spracklen, 2010), dan menurut pendapat Bennett (dalam Junaedi, 2011) daya tarik dari musik metal juga didasari oleh tema-tema sosial seperti gambaran kehidupan kelas bawah dan rumah tangga yang tidak harmonis, karena permasalahan-permasalahan inilah yang sering dihadapi oleh kaum muda. Dan hal inilah yang menjadi latar belakang perkembangan musik metal yang begitu pesat pada era 80’an. Sebagai sebuah sub-kultur dalam masyarakat era post-modern, musik metal melahirkan sebuah gerakan perlawanan baru terhadap budaya dominan di 2 barat. Musik itu sendiri, berperan sebagai sebuah kekuatan yang menyatukan berbagai individu yang tergabung dalam sub-kultur tersebut. Dan gerakan perlawanan sub-kultur semacam ini, dinilai menjadi sebuah pengganti dari berbagai gerakan perlawanan dari kelompok proletar dalam pemikiran klasik. Dengan demikian, kemunculan musik metal itu sendiri menjadi sebuah simbol perubahan sosial yang terjadi di budaya barat (Gafarov dalam Hill dan Spracklen, 2012). Sebagai sebuah pergerakan baru dari kalangan kaum muda pada era 80’an, idealisme musik metal yang dianggap menyimpang, memicu kemunculan berbagai protes keras dan penolakan dari masyarakat. Kecaman dan upaya untuk mematikan idealisme musik metal muncul pun secara terus menerus, terlebih lagi dari pihak penganut parent-culture seperti PMRC (Parental Music Resource Center) (Dunn, 2005). Musik metal dicitrakan sebagai musik yang lekat dengan dunia sex, drugs, alkohol, kekerasan dan kematian. Namun tak hanya itu, musik metal juga dinilai mengajarkan nilai-nilai satanisme, anti-ketuhanan dan okultisme (Mangoenkoesoemo, 2012). Sehingga musik metal dianggap sebagai sebuah musik yang memberikan pengaruh buruk terhadap kaum muda, dan sangat kontradiktif dengan musik pop yang dinilai lebih baik karena di dalamnya mengajarkan cinta dan perdamaian (Dunn, 2005). Kontroversi yang melekat pada musik metal, berawal ketika PMRC memberikan sebuah interpretasi yang salah terhadap lirik dari salah satu lagu 3 yang-dinyanyikan oleh Ozzy Osbourne-berjudul “Suicide Solution”. Dalam lagu tersebut, Ozzy bermaksud untuk memberikan pandangannya mengenai hubungan seseorang dengan alkohol yang digambarkan sebagai sebuah proses bunuh diri. Namun, PMRC menginterpretasikan lagu tersebut sebagai sebuah provokasi yang memicu tindakan bunuh diri, karena lagu tersebut menyatakan bahwa bunuh diri merupakan sebuah resolusi. Dan justru kesalahan interpretasi inilah yang berkembang di masyarakat (Weinstein, 2000). Ditambah lagi dengan kasus bunuh diri seorang remaja yang dianggap berkaitan dengan lagu ini, maka lengkaplah fenomena tersebut menjadi sebuah pemicu pembentukan klaim yang dilakukan-dalam hal ini oleh PMRC-terhadap musik metal sebagai musik kontroversi. Meskipun demikian, pihak industri justru melihat musik metal sebagai sebuah komoditas yang akan memberikan keuntungan. Kepopuleran musik metal tersebut di kalangan kaum muda dan kemampuannya untuk tetap bertahan dalam badai kritikan dan kecaman, oleh pihak industri dipandang sebagai bukti dari besarnya loyalitas kaum muda terhadap musik tersebut, dan karena itulah pihak industri berupaya untuk menarik band-band metal menjadi sebuah produk dari industri musik. Upaya dari pihak industri tersebut, dilakukan melalui proses komodifikasi atau sebuah proses yang bertujuan untuk menghasilkan berbagai bentuk komoditas yang terkait dengan musik metal. Keberhasilan komodifikasi yang dilakukan oleh pihak industri tersebut, secara tidak langsung mereduksi makna musik metal yang identik dengan perlawanan 4 terhadap budaya dominan. Seperti yang terjadi pada Metallica dan Megadeth yang terikat dengan label major, padahal keduanya merupakan bagian dari “The Big Four”-selain Slayer dan Anthrax, yakni empat band yang bisa dikatakan sebagai barometer musik thrash metal di Amerika. Atau dari kasus yang lain seperti Ozzy Osbourne (Weinstein, 2000:207) yang menjadi musuh besar bagi orang tua pada dekade 80’an-setelah musik Black Sabbath dianggap memicu dua kasus bunuh diri di Amerika, beberapa era kemudian Ozzy Osbourne justru ditampilkan dalam sebuah reality show sebagai seorang figur ayah (Dunn, 2005). Di Indonesia sendiri, musik metal memiliki konsumen dengan latar belakang ekonomi yang berbeda dengan di Inggris dan Amerika. Mayoritas penggemar musik metal di Indonesia berasal dari kalangan mahasiswa (Mangoenkoesoemo, 2012) dan masyarakat menengah (Baulch, 2003). Berbicara mengenai tema, musik metal atau sering disebut dengan musik underground itu sendiri, lebih dekat dengan isu-isu seputar dunia politik yang ada di Indonesia. Reformasi yang terjadi pada 1998 telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan musik metal yang masuk ke Indonesia pada dekade 90’an (Dunn, 2007). Namun selain menjadi “musik pengiring” pergerakan reformasi pada level nasional di Jakarta, aroma politik juga tampak dari musik dan komunitas metal di Bali yang menanggapi isu politik lokal daerah (Baulch, 2003). Sama seperti yang terjadi di barat, reaksi penolakan terhadap musik metal juga terjadi di Indonesia yang pada era 90’an masih dikuasai oleh rezim 5 Orde Baru. Musik metal diklaim sebagai sebuah ancaman yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kaum muda di Indonesia, dan salah satu alasan yang mendasari klaim tersebut adalah konser Metallica di Jakarta yang berakhir dengan kericuhan, dan semenjak itu Indonesia menutup pintu gerbang bagi band-band metal mancanegara yang akan mengadakan konser di Indonesia (Dunn, 2007). Sedangkan komodifikasi yang terjadi pada musik metal, tampak dari penampilan beberapa band metal dalam festival musik indie-yang diadakan oleh pihak pemilik modal- sebagai band bintang tamu. Fenomena ini menjadi indikasi bahwa pihak industri musik mainstream Indonesia mulai menaruh perhatiannya pada musik metal, dan musik ini dinilai dapat dijadikan sebagai sebuah komoditas baru dalam zona musik industri di Indonesia. Jika hal ini terus berlangsung, maka tidak menutup kemungkinan bahwa musik metal pada akhirnya nanti akan menjadi sebuah produk industri yang baru (Mangoenkoesoemo, 2012). Sedangkan di Yogyakarta, eksistensi musik metal mulaimuncul sejak era 90’an. Tepatnya pada tahun 1995, terbentuklah sebuah komunitas metal yang diberi nama ”Jogjakarta Corpse Grinder” (JCG). Selama lebih dari satu dekade keberadaannya, JCG telah melahirkan band-band metal dalam jumlah yang tidak sedikit. Dari tahun ke tahun selalu ada band baru yang muncul dan ikut meramaikan panggung pertunjukan musik metal di Yogyakarta. Pada era 90’an 6 terbentuklah band-band seperti Death Vomit, Traktor, Brutal Corpse, Devoured, Drosophila, Cranial Incisored, Analic, Drowned Awake, Mortal Scream, Kerkop, Calamity, Cemetary, Defunc to Room, Deviated Symphony, Dyspareunia, Execodeath, Forbidden, Halbonera, Impious, Impurity, Left Hand Path, Obscure of Disfigure, Patrimony, Psycodeath, Putrefaction, Ruction, Sanzia, Scatter All Over, Trasher, Vaginal Discharge, Vexation (Setiawan, 2001 : 95). Sedangkan band-band yang lahir pada era 2000’an antara lain Fallenlight, Nosferatu, Deadly Weapon, Fornicate, Exhumation, Headkrusher, Excausated, Evil Steels, Nocturnal Kudeta, Death Trap, Unveil’s, Metallic Ass, Venomed, Insulting Defamation, Detritivor, Fadhalius, Dissected. Namun tidak semua dari band-band tersebut mampu menjaga eksistensinya, dan saat ini band-band yang masih bertahan antara lain Death Vomit, Devoured, Drosophila, Cranial Incisored, Nosferatu, Fallenlight, Deadly Weapon, Exhumation, Headkrusher, Excausated, Evil Steels, Noctrunal Kudeta, Unveil’s, Metallic Ass, Venomed, Fadhalius, Insulting Defamation, Dissected, Detritivor, dan Warhammer. Narasi yang terjadi pada level nasional, ternyata tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Yogyakarta. Klaim sebagai sebuah ancaman yang memberikan pengaruh buruk terhadap kaum muda juga terjadi pada musik metal di Yogyakarta. Hal ini memicu para pemilik studio musik di Yogyakarta untuk mencantumkan sebuah peringatan dalam studio yang bertuliskan “no 7 punk and underground”. Namun tidak hanya itu, klaim tersebut juga mempersulit komunitas metal di Yogyakarta untuk mengadakan sebuah pertunjukan musik metal. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya musik metal di Yogyakarta, musik metal tidak hanya ditampilkan dalam ruang-ruang pertunjukan musik komunitas saja. Musik metal kemudian masuk dalam ruang pertunjukan musik umum, bahkan menjadi pengisi dalam sebuah event pameran clothing yang diadakan di Yogyakarta. Padahal spirit idealisme yang terkandung dalam musik metal, disebut sebagai wujud dari ekspresi kaum muda yang kemudian menjadi budaya tanding terhadap kemapanan sistem sosial serta budaya musik konvensional (Setyawan, 2001:140-142). Dan secara tidak langsung, identifikasi musik metal sebagai musik underground tersebut merupakan upaya untuk menegaskan bahwa musik metal berada pada sebuah wilayah yang bertentangan dengan musik pop. Dengan adanya kondisi seperti ini, bukan hal yang tidak mungkin jika band-band metal tersebut bergerak ke arah dunia industri musik mainstream atau bahkan sudah menjadi bagian di dalamnya. Bukan hal yang tidak mungkin pula band metal Yogyakarta tidak lagi menjadi agent of change yang menghendaki adanya sebuah perubahan dalam budaya bermusik, namun hanya sebagai komoditas dengan daya magnet besar yang mampu menarik perhatian kaum muda dan mampu memberikan keuntungan bagi pihak pemilik modal. Dan 8 hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengkaji permasalahan tersebut, sehingga peneliti berusaha untuk mengamati setiap fenomena yang terjadi dengan sudut pandang sosiologi dan mencoba mendialog-kan fenomena tersebut dengan berbagai pemikiran yang tertuang dalam cultural studies. II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang ada, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana proses transformasi yang terjadi pada musik metal Yogyakarta? 2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari proses transformasi tersebut? III. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui bagaimana proses transformasi yang terjadi pada musik metal di Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui bagaimana dampak yang ditimbulkan dari proses transformasi tersebut IV. MANFAAT PENELITIAN 1. Teoritis : Untuk memberikan masukan dalam kajian akademik mengenai budaya subkultur, dalam kasus ini memahami proses transformasi yang terjadi 9 pada musik metal di Yogyakarta dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari proses transformasi tersebut. 2. Praktis : Untuk memberikan masukan kepada para penikmat musik metal dan khalayak umum agar dapat memahami dan mengambil sikap secara lebih kritis berkenaan dengan proses transformasi terhadap band metal Yogyakarta dan dampak yang ditimbulkannya. V. KERANGKA TEORI CULTURAL STUDIES Cultural studies memang tidak dapat didefinisikan dengan mudah, walaupun pada dasarnya cultural studies merupakan ilmu yang memfokuskan kajiannya pada bidang kebudayaan, namun ia tidak dapat disamakan dengan ilmu budaya maupun ilmu sosial yang lain dan telah ada sebelumnya. Cultural studies memiliki karakteristiknya sendiri, ia berbeda dengan antropologi, sosiologi, dan psikologi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa cultural studies juga menggunakan atau mengadopsi beberapa perspektif dari disiplin ilmu tersebut untuk membentuk karakteristiknya. Kelebihan cultural studies itu sendiri terletak pada kemampuannya dalam mengatasi pengotakan atau perpecahan dari berbagai ilmu pengetahuan yang ada dan membentuk sebuah pengatahuan yang dapat dikatakan lebih universal, dan ilmu pengetahuan tersebut digunakan untuk mengkaji berbagai praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. 10 KEBUDAYAAN Kebudayaan yang ada pada kehidupan manusia, memang memiliki berbagai macam definisi, tergantung pada sudut pandang subjek yang mendefinisikan. Dari sudut pandang antropologis yang juga mengacu pada kehidupan sehari-hari, kebudayaan dipandang sebagai “...nilai (gagasan abstrak), norma (prinsip atau aturan terbatas) dan benda-benda material/simbolis. Makna dibangun bukan secara individual namun secara kolektif, sehingga gagasan kebudayaan mengacu pada makna yang dimiliki bersama.” (Barker, 2004 : 40) Sedangkan menurut Raymond Williams (dalam Storey, 2009), kebudayaan memiliki tiga definisi. Definisi budaya yang pertama mengacu pada proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Definisi budaya ini, mengarah pada perkembangan budaya di Eropa Barat dengan merujuk perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari para filsuf, seniman dan penyair-penyair besar. Kedua, budaya didefinisikan sebagai pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode atau kelompok tertentu. Apabila definisi yang kedua ini digunakan untuk melakukan pembahasan mengenai pekembangan budaya di Eropa Barat, berarti pembahasan tidak hanya berhenti pada faktor intelektual dan estetis saja, namun juga mencakup perkembangan sastra, hiburan, oleh raga dan berbagai upacara keagamaan. Dan yang ketiga, budaya juga bisa didefinisikan sebagai karya dan praktik-praktik intelektual, terutama kegiatan artistik. Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik memiliki fungsi utama sebagai penanda, memproduksi atau kadang menjadi sebuah peristiwa yang 11 menciptakan makna tertentu. Budaya dalam definisi yang ketiga ini menjadi sebuah sinonim dari apa yang oleh kaum strukturalis dan post-strukturalis sebagai praktik-praktik penandaan. Dengan menggunakan definisi budaya yang ketiga ini, kita dapat memikirkan beberapa contoh budaya pop seperti puisi, novel, balet, opera dan lukisan. Dan biasanya, definisi budaya yang kedua dan ketiga, akan digunakan untuk pembahasan mengenai budaya pop. Dengan makna kedua-pandangan hidup tertentu, memungkinkan pembahasan budaya pop untuk menjangkau berbagai praktik budaya yang hidup seperti liburan ke pantai, perayaan hari besar agama seperti Natal dan Lebaran, serta aktivitas sub-kultur. Sedangkan makna ketiga akan mengantarkan pembahasan pada berbagai contoh budaya pop seperti musik pop dan komik. BUDAYA POP Sedangkan keberadaan budaya pop, yang merupakan perpaduan antara kata “budaya” dan kata “populer” dapat dikatakan menjadi sentral dari cultural studies. Budaya pop memiliki berbagai macam definisi dan makna yang didasari oleh sudut pandang dan pemaknaan terhadap kata “budaya” dan kata “populer”. Kata “pop” itu sendiri-oleh William (ibid)-bermakna (1) banyak disukai orang, (2) jenis kerja rendahan, (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, dan (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Sedangkan sebagai sebuah “kesatuan”, budaya pop memiliki beberapa definisi (ibid), dan 12 pada tahap pertama dan yang paling sederhana, tentu budaya pop merupakan budaya yang disukai oleh banyak orang. Hal ini tercermin dari berbagai penjualan buku, kaset, dan CD serta ramainya sebuah pertunjukan musik dan pertandingan sepak bola. Definisi kedua dari budaya pop, muncul ketika term budaya tinggi telah ditentukan. Dalam definisi ini, budaya pop dianggap sebagai sebuah budaya residual atau sekumpulan teks dan praktik budaya yang tidak memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai bagian dari budaya tinggi. Ketatnya “seleksi” terhadap beragam budaya untuk dikategorikan sebagai budaya tinggi, membuat budaya tinggi memiliki nilai ekslusif dibandingkan dengan budaya pop. Sehinggamengutip Bordieu (ibid)-pengertian budaya pop dalam definisi ini juga berperan sebagai pembeda kelas, dan selera menjadi salah satu faktor ideolodikal yang berfungsi sebagai penanda kelas-baik kelas dari segi ekonomi maupun tingkat kualitas budaya, dan konsumsi budaya-dalam aspek sosial-berfungsi sebagai legitimasi perbedaan sosial tersebut. Perbedaan kelas tersebut juga dipertergas oleh klaim bahwa budaya populer merupakan sebuah produk dari budaya komersil yang dapat dikaji hanya dengan sekilas, dan budaya populer sebagai budaya yang lahir dari proses kreasi individu sehingga layak dikaji dari segi moral dan estetikanya. Dalam definisi yang ketiga, budaya pop didefinisikan sebagai budaya massa. Definisi budaya ini, memposisikan budaya pop sebagai budaya komersil 13 yang tidak dapat diharapkan. Budaya pop dipandang sebagai sebuah budaya yang diformulasikan dan manipulatif, diproduksi secara massal dan untuk konsumsi massal. Dalam beberapa pembahasan mengenai paradigma budaya massa, budaya pop dinilai sebagai budaya yang telah mengadopsi budaya Amerika, karena pada dasarnya budaya pop lebih dulu berkembang di Amerika. Pembahasan mengenai budaya massa tersebut, juga mencakup jatuhnya budaya Eropa di bawah hegemoni budaya Amerika yang dibuktikan dengan adopsi budaya Amerika oleh kaum muda di Inggris sebagai sebuah sarana liberalisasi menentang aturan hidup ala Eropa yang kaku. Sedangkan perpektif budaya massa dalam versi yang sederhana, menggambarkan teks-teks dan praktikpraktik budaya pop sebagai sebuah fantasi publik atau dunia “impian” secara kolektif. Sehingga berbagai aktivitas seperti perayaan hari besar agama dan liburan ke berbagai tempat yang dicita-citakan berubah menjadi layaknya sebuah mimpi. Yang keempat, budaya dinilai sebagai sebuah budaya yang berasal dari rakyat, atau dengan kata lain sebagai sebuah budaya autentik dari rakyat dan bagi rakyat itu sendiri. Namun muncul sebuah persoalan terkait dengan konsep budaya pop ini, yakni pertanyaan mengenai siapa yang termasuk dalam kategori rakyat dan dari mana budaya ini berasal. Berdasarkan fakta, rakyat tidak dapat memproduksi sebuah budaya dari bahan-bahan material yang mereka produksi sendiri, dan apapun bentuknya, budaya populer selalu terbentuk dari bahanbahan material yang telah disediakan secara komersil. 14 Sedangkan definisi budaya pop yang kelima, dikemukakan oleh Gramsci dan terkait dengan konsep hegemoni yang ditemukan olehnya. Dalam analisisnya, Gramsci menggunakan konsep hegemoni sebagai sebuah cara dari pihak dominan untuk memenangi persetujuan atas kelompok sub-ordinat melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral. Dan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gramsci, dalam sebuah buku karya Chris Barker (2004), budaya pop dijabarkan sebagai, “... zona perebutan dimana makna dan versi dunia yang saling bersaing harus bertarung agar dianut dan memperoleh klaim pragmatis atas kebenaran. Secara khusus, makna dan kebenaran dalam domain kebudayaan dibentuk dalam polapola kekuasaan. Dalam hal ini ‘kekuasaan untuk menamai’ dan membakukan deskripsi-deskripsi tertentu adalah satu bentuk politik kultural.” (Barker, 2004:372) Atau dengan kata lain, budaya pop bukanlah sebuah budaya yang muncul dari rakyat atau budaya autentik dari rakyat, namun budaya pop muncul dari negosiasi antara resistensi dari kelompok sub-ordinat dan inkorporasi dari kelompok dominan. Sehingga budaya pop bisa dikatakan sebagai sebuah arena dimana berbagai makna kultural dipertarungkan di dalamnya, dan hal ini serupa dengan pendapat Stuart Hall yang menggambarkan budaya pop sebagai “... arena konsensus dan resistensi. Budaya pop merupakan tempat dimana hegemoni muncul, dan wilayah dimana hegemoni berlangsung.” (Storey, 2006 : 3) Dan sejalan dengan Hall, Gramsci (Storey, 2009) juga memandang budaya pop dari perpektif hegemoni sehingga budaya pop dimaknai 15 sebagai sebuah “medan peperangan” antara ideologi dan budaya dominan dengan ideologi dan budaya sub-ordinat. Gramsci juga menjelaskan bahwa proses perkembangan teks-teks dan praktik-praktik kultural dalam budaya pop berjalan seiring dengan apa yang disebut Gramsci sebagai “compromise equilibrium”. Sebuah pratik maupun teks budaya dalam momen tertentu dapat dikategorikan sebagai sebuah budaya populer, namun dalam momen yang lain dapat diartikan sebagai sebuah budaya sub-ordinat. Definisi budaya pop yang keenam, muncul dari perdebatan postmodernisme yang membahas antara keterkaitan post-modernisme dan budaya populer yang tidak lagi membahas mengenai definisi budaya dalam kacamata golongan elitis yang mengemukakan soal kemenangan budaya tinggi sebagai sebuah produk budaya yang layak untuk diapresiasi. Dan hal ini ditunjukkan dengan kesuksesan berbagai musik pop yang diraih dari berbagai iklan maupun tayangan yang sifatnya komersial. Di satu sisi, musik digunakan untuk menjual produk, namun di sisi yang lain, iklan tersebut digunakan untuk menjual musik. Dan yang ketujuh, budaya pop didefinisikan sebagai sebuah dampak dari industrialisasi dan urbanisasi. Sebagai contohnya adalah budaya di Inggris yang pada masa sebelum era industrialisasi dan urbanisasi hany terbagi menjadi dua kebudayaan, yakni budaya umum yang berlaku bagi seluruh golongan masyarakat dengan berbagai kelas, dan budaya elit yang 16 diproduksi dan dikonsumsi dalam lingkungan kelas dominan saja. Namun setelah industrialisasi dan urbanisasi, beberapa hal berubah. Pertama, industrialisasi merubah hubungan antara majikan dan buruh yang semula bersifat mutualisme, menjadi sebuah ekspolitasi dari majikan terhadap kaum buruh. Kedua, urbanisasi merubah lokasi pemukimam penduduk berdasarkan kelas ekonominya, sehingga muncul kota-kota yang diperuntukkan khusus bagi para pekerja. Dan yang ketiga, kepanikan yang ditimbulkan oleh revolusi Perancis, membuat pemerintah melakukan berbagai tindakan untuk mencegah pembentukan kekuatan politik radikal di kalangan kaum buruh. Namun sebenarnya, upaya dari pemerintah tersebut tidak membuahkan hasil, kekuatan politis radikal tidak hancur, namun hanya bergeser pada ruang underground untuk menghindari pengaruh dari kelas dominan. Ketiga perubahan tersebut, dirangkum dan diformulasikan untuk menciptakan sebuah ruang budaya baru yang tidak didasarkan pada bentuk budaya lama. Dan sebagai hasilnya, muncul sebuah ruang budaya pop yang berada di luar jangkauan dan pengaruh dari pihak-pihak dominan. IDEOLOGI Berkaitan dengan sifat politis dari kebudayaan, ideologi dan hegemoni merupakan salah satu zona yang juga patut untuk dieksplorasi, karena kedua hal tersebut adalah akar dari sifat politis kebudayaan. Dalam pandangan Gramsci, 17 ideologi merupakan “ide, makna dan praktik yang, kendati mengklaim sebagai kebenaran universal, merupakan peta makna yang sebenarnya menopang kekuasaan kelompok tertentu”. “Pandangan-dunia kelompok dominan yang menjustifikasi dan memelihara kekuasaan, yang setara dengan kebenaran; Pandangan-dunia kelompok sosial yang menjustifikasi tindakan mereka, yang setara dengan kebenaran; Pandangan-dunia kelompok dominan yang menjustifikasi dan memelihara kekuasaan mereka tapi tidak dapat disetarakan dengan kebenaran, namun ia dapat dideskripsikan ulang sehingga tidak wajib diterima; Pandangan-dunia kelompok sosial yang menjustifikasi tindakan mereka tapi tidak dapat disetarakan dengan kebenaran, namun ia dapat dideskripsikan ulang sehingga tidak wajib diterima.” (Barker, 2004 : 68) Dari beberapa definisi tersebut, secara singkat, ideologi dapat diartikan sebagai kesatuan ide dan makna yang diklaim sebagai sebuah kebenaran oleh kelompok sosial tertentu, yang yang bersumber pada kehidupan manusia dan dijadikan sebagai pedoman dalam praktik kehidupan. Sedangkan dalam karya John Storey (2009), ideologi didefinisikan melalui lima cara, dan definisi ideologi yang pertama menjabarkan ideologi sebagai sebuah kesatuan ide sistematis yang diartikulasikan oleh kelompok tertentu. Misalnya pembahasan seputar ideologi profesional, dalam definisi ini ideologi tersebut akan merujuk pada ide-ide yang menjadi penjelasan dari praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok profesional. 18 Dalam definisi kedua, ideologi dinyatakan sebagai sebuah proses pendistorsian atau penyembunyian citra yang sebenarnya dari teks-teks dan praktik-praktik dalam sebuah realitas, yang pada akhirnya akan memunculkan apa yang disebut “kesadaran palsu”. Dengan mengambil contoh pada ideologi kapitalis, distorsi dan penyembunyian citra dalam realitas sosial, bertujuan untuk menutupi dominasi dari kelompok dominan dan praktik-praktik eksploitasi yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Serta untuk menyembunyikan ketidakberdayaan kelas sub-ordinat yang dieksploitasi. Definisi ideologi yang ketiga, dalam beberapa hal masih berkaitan dengan definisi yang kedua. Definisi ideologi ini mengacu pada bentuk ideologis dari teks-teks budaya. Dalam paradigma ini, lingkungan sosial masyarakat lebih dinilai sebagai arena konfliktual daripada konsensual, dan teks itu sendiri dinilai memihak serta memiliki sifat politis. Sebagai contoh, citra dunia yang ditampilkan dalam sebuah film, tentu akan berpengaruh terhadap pandangan penontonnya terhadap dunia, dan kemana arah pencitraan itu sendiri akan bergantung kepada siapa ia berpihak. Keempat, ideologi didefinisikan sebagai proses pembentukan konotasi terhadap sebuah objek melalui berbagai pemaknaan yang secara tidak sadar terkandung dalam berbagai teks dan praktik budaya. Hal tersebut, diwujudkan dengan penetapan terhadap suatu hal yang dianggap “normal”-seperti maskulin, heteroseksual, kelas menengah-dan yang lain sebagai variasi sub-level atau 19 penyimpangan dari mereka yang dianggap “normal”. Proses penetapan terhadap apa yang dianggap “normal’ tersebut, berfungsi untuk me-natural-kan apa yang sebenarnya dibudayakan, sehingga kebenaran dapat bersifat universal. Sebagai contohnya adalah penyanyi, dan seorang penyanyi akan dikategorikan normal apabila ia adalah seorang laki-laki dan heteroseksual, sehingga keberadaan penyanyi perempuan atau penyanyi gay, akan menjadi sebuah variasi dengan level yang lebih rendah daripada penyanyi normal. Dan yang terakhir yakni kelima, definisi ideologi mengarah pada praktikpraktik ideologikal berupa aktivitas-aktivitas yang pada akhirnya akan mengikat masyarakat pada tatanan sosial tertentu yang mengandung berbagai bentuk kesenjangan sosial-kesejahteraan, status, kekuasaan. Seperti halnya sebuah hadiah berupa liburan yang diberikan oleh sebuah perusahaan kepada karyawan untuk melepas stres dari berbagai tuntutan perkerjaan sehari-hari. Tentu aktivitas tersebut akan memberikan sebuah kesenangan pada karyawan, namun di satu sisi aktivitas tersebut bertujuan untuk membuat kondisi karyawan lebih fresh dan siap untuk memberikan toleransi terhadap tuntutan pekerjaan dan berbagai eksploitasi dari perusahaan yang akan dihadapinya hingga masa liburan berikutnya. HEGEMONI Sedangkan hegemoni, menurut pendapat Gramsci diartikan sebagai sebuah situasi dimana kelas berkuasa menjalankan otoritas dan kepemimpinan 20 atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan persetujuan, atau sebagai sebuah strategi dimana pandangan-dunia dan kekuasaan kelompok sosial panutan dipelihara. Sedangkan hegemoni yang dikaitkan dengan ideologi dapat dipahami sebagai proses dimana cara pemahaman tertentu tentang dunia menjadi begitu nyata dan alamiah sehingga memandang alternatif sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak dapat dipikirkan (Barker, 2004). Dalam kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan, hegemoni menjadi cara atau metode yang digunakan kelompok sosial tertentu untuk mendistribusikan dan mempertahankan ideologinya agar menjadi sebuah kebenaran. Dengan adanya hegemoni dari pihak budaya dominan, maka akan muncul blok kontra-hegemonik dari kelompok sosial subordinat. Dan hegemoni harus secara terus menerus diciptakan dan dimenangkan di arena kebudayaan, karena hegemoni tersebut bukanlah sesuatu yang statis. Blok yang sedang berkuasa harus selalu mempertahankan kemenangan hegemoninya, sedangkan blok kontra-hegemonik akan selalu berusaha untuk menggulingkan hegemoni dari pihak budaya dominan tersebut (Barker, 2004 :64). SUB-KULTUR Kata sub-kultur pada dasarnya merupakan penggabungan dari kata sub yang berarti sebagian dan kultur yakni budaya, sehingga sub-kultur dapat diartikan sebagai sebuah bagian dalam sebuah budaya induk yang lebih luas. Sedangkan mengenai karakter atau ciri khas yang membedakan sub-kultur 21 dengan budaya induk, terletak pada perbedaan sistem nilai yang dianut, dan bahkan sistem nilai yang dianut oleh sub-kultur biasanya bertentangan dengan sistem nilai dalam budaya dominan (Hebdige, 1979:76). Terkait dengan hal ini, Cohen (ibid, hal. 77) mendefinisikan sub-kultur sebagai, “Compromise solution between two contradictory needs : the need to create and express autonomy and difference from parents... and the need to maintain the parental identifications.” Sehingga-dengan mengacu pada pengertian tersebut-sub-kultur dapat dijelaskan sebagai sebuah pergerakan yang melawan budaya dominan dengan membangun sebuah lingkungan sosial baru dengan sistem nilai atau ideologi yang menyimpang dari budaya dominan. Dan pada perkembangannya, implementasi dari ideologi menyimpang tersebut menciptakan sebuah styleseperti gaya hidup, gaya bermusik, gaya berpakaian-khusus yang menjadi ciri khas dari sub-kultur terkait. Sehingga terciptalah produk-produk sub-kultural yang sifatnya subversif seperti gaya hidup yang dekat dengan alkohol, drugs, dan free sex, musik bising serta gaya berpakaian yang aneh seperti jaket kulit yang dipenuhi dengan paku, dan tentu saja produk-produk sub-kultur tersebut digunakan untuk merepresentasikan identitas kultural individu sebagai penganut ideologi menyimpang ala sub-kultur tertentu. Bahkan Hebdige (1979:80)-dengan menggunakan pendekatan hegemoni ala Gramsci-menyebut style dari sebuah sub-kultur sebagai sebuah simbol resistensi dari kaum muda yang menyerukan sebuah perbedaan pendapat yang sebelumnya terpendam. 22 INKORPORASI Sedangkan berkaitan dengan sejumlah perubahan dalam sub-kultur, Hebdige memberikan penjelasan mengenai konsep inkorporasi yang digunakan untuk melemahkan dan mengeksploitasi style dari sebuah sub-kultur (ibid, hal. 90). Inkorporasi tersebut diwujudkan melalui dua proses, yakni ideologisasi dan komodifikasi. Proses ideologisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses rekonstruksi terhadap citra sebuah sub-kultur. Di satu sisi, sebuah sub-kultur dapat dicitrakan sebagai sebuah ideologi yang kontradiktif dengan ideologi dominan dan dianggap sebagai musuh bersama. Seperti kasus yang terjadi di Jakarta pada 1993 yang berakhir ricuh sehingga musik metal diidentikkan dengan satanisme dan atheisme (Dunn, 2007). Namun di sisi lain sub-kultur dicitrakan sebagai bagian yang integral dalam budaya dominan. Dalam hal ini, idealisme musik metal yang menganut prinsip pada hal-hal yang menyimpang direduksi, dan musik metal ditampilkan hanya sebagai sebuah genre musik saja. Hal ini tampak dari duet yang dilakukan oleh Otong-vokalis dari band metal bernama Koil-dengan Ahmad Dhani dan Charlie dari ST12. Sedangkan proses komodifikasi, pada dasarnya memiliki kedekatan dengan bentuk ideologisasi yang kedua. Setelah ditampilkan sebagai sebuah genre musik yang tidak idealis dan bahkan menjadi bagian dari perkembangan budaya dominan seperti musik pop, musik metal kemudian dijadikan sebuah objek eksploitasi. Komodifikasi itu sendiri, dapat diartikan sebagai sebuah proses 23 pengubahan produk-produk kultural yang dihasilkan sebuah sub-kultur menjadi produk industri (Hebdige, 1979). Dan berkaitan dengan proses komodifikasi tersebut, Hebdige (ibid) berpendapat bahwa di satu sisi, sebuah sub-kultur baru tentu akan membawa trend baru, dan sebuah trend baru tentunya akan menghasilkan keuntungan bagi pihak industri terkait, sehingga pihak industri selalu berupaya untuk melakukan inovasi dan mengganti trend lama dengan trend yang baru. Dalam hal ini, musik metal dipandang sebagai sebuah sub-kultur baru, dan sejarah perkembangan musik metal yang tidak bisa dipisahkan dengan berbagai produk sub-kultur seperti kaos, emblem, konser, serta zine (Mangoenkoesoemo, 2012), dan inilah alasan mengapa musik metal menjadi begitu menarik untuk dijadikan sebagai sebuah komoditas dimata industri. Namun di sisi yang lain, dimensi ekonomi yang terdapat dalam musik metal tampaknya telah mengubah proses komodifikasi tersebut menjadi sebuah ruang bertemunya kepentingan band dan pihak industri. Pihak industri menawarkan sebuah jawaban atas permasalahan ekonomi yang dialami pihak band, sedangkan pihak band memiliki sebuah produk yang diperlukan oleh pihak industri. Dengan paradigma dari cultural studies ini, peneliti berupaya untuk menjelaskan bagaimana kekuasaan-yang menjadi tujuan akhir-diperbutkan oleh berbagai agen budaya, serta bagaimana dinamika peperangan hegemoni untuk memperjuangkan ideologi yang dianut dalam budaya Indonesia atau Yogyakarta. Dengan memahami hal tersebut, niscaya peneliti akan dapat menjelaskan 24 bagaimana transformasi musik metal yang terjadi di Yogyakarta. Dan tidak hanya itu, peneliti juga akan berupaya untuk menjelaskan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari transformasi tersebut. VI. METODE PENELITIAN 1. JENIS PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan jenis deskriptif yang mengedepankan kualitas data daripada jumlah data. Karena sifatnya yang fleksibel, metode ini dirasa tepat untuk memperoleh data yang mendalam, serta berbagai gambaran detail mengenai apapun yang ada di lapangan. Segala kelebihan dari metode ini sangat sesuai dengan data yang dibutuhkan peneliti yaitu berupa data yang mendalam serta berbagai penjelasan terperinci dari informan. Karena data yang dihasilkan dari penelitian kualitatif berasal dari jawaban lisan maupun tertulis dari objek yang diamati, maka seperti yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor, hasil dari penelitian kualitatif ini akan berbentuk deskripsi (Moleong, 2007:3). 2. LOKASI PENELITIAN Pada dasarnya penelitian dilakukan di Yogyakarta, dan untuk dapat menemui informan yang mampu memberikan informasi dengan tingkat validitas tinggi, maka penelitian ini akan dilakukan di tempat para metalhead sering berkumpul seperti distro yang khusus menjual merchandise metal, studio musik, 25 kost dan rumah dari para informan tersebut. Dengan asumsi bahwa tempat tersebut mudah untuk dijangkau peneliti dan di tempat-tempat tersebutlah peneliti dapat lebih mudah menemui informan agar dapat mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. 3. JENIS DAN SUMBER DATA Mengenai data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini, terdapat dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Yang dimaksud dengan data primer adalah data yang didapatkan oleh peneliti dari hasil wawancara secara mendalam kepada informan penelitian. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapatkan peneliti dari berbagai sumber bacaan yang terkait dengan tema penelitian. 4. SUBJEK PENELITIAN Untuk menentukan informan yang sesuai dengan penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik purposif, dengan harapan agar informan yang ditemui dapat sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Informan yang dipilih untuk dimintai gambaran dan penjelasan mengenai berbagai hal yang dibutuhkan oleh peneliti guna melengkapi data penelitian adalah informan yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Berdomisili di Yogyakarta. 2. Aktif menjadi pengamat atau personel dari sebuah band metal di Yogyakarta. 26 3. Mempunyai catatan pribadi baik secara fisik maupun non fisik mengenai perjalanan musik metal di Yogyakarta sejak era 90’an. 5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah tiga metode pokok yang memang melekat dengan penelitian kualitatif yaitu interview atau wawancara dan pengamatan atau observasi, serta studi pustaka atau literatur agar data yang terkumpul dapat lebih valid (Suyanto, dkk. 2007 : 172) Mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Wawancara Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur. Dalam teknik ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan hanya berbentuk pertanyaanpertanyaan secara garis besar mengenai topik permasalahan yang ada dalam penelitian. 2. Oservasi Observasi pada dasarnya merupakan kegiatan pengamatan terhadap obyek penelitian secara akurat dan memperhatikan hubungan antar aspek yang ada dalam sebuah fenomena sosial yang nantinya akan dimasukkan dalam catatan peneliti. 27 3. Studi pustaka Studi pustaka merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan dari berbagai sumber tertulis seperti buku, web, jurnal dan lain sebagainya guna melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 4. Life History Life history merupakan sebuah metode untuk mengumpulkan keterangan atau data berdasarkan pengalaman individu dari informan sebagai pelaku atau objek dalam penelitian. Dalam pendekatan life history, setiap detail dari perjalanan hidup individu dipandang sangat berharga dan memiliki makna, karena setiap pengalaman yang dimiliki oleh individu belum tentu dimiliki oleh individu yang lain. Dengan metode life history ini peneliti berusaha untuk melihat bagaimana reaksi, tanggapan, interpretasi dan pandangan dari dalam atau dapat dikatakan sebagai autocritic, yang tentu saja tidak dapat diperoleh dengan kuesioner. Dalam penelitian ini, penggunaan metode life history dirasa sangat tepat untuk mengumpulkan gambaran perkembangan musik metal di Yogyakarta melalui berbagai peristiwa atau kejadian yang diketahui oleh beberapa individu atau informan. 28 6. TEKNIK ANALISA DATA Analisis data yang dilakukan peneliti akan melalui beberapa tahap, dan tahapan-tahapan dalam analisis data tersebut adalah sebagai berikut: 1. Reduksi Data Reduksi data merupakan sebuah tahapan yang bertujuan untuk mengambil pokok-pokok dari data yang sesuai dengan tema penelitian serta mengesampingkan data-data yang dirasa tidak diperlukan. Dalam penelitian ini, reduksi data yang dilakukan akan mengacu pada konteks transformasi band metal Yogyakarta yang sedang berlangsung dan bagaimana proses transformasi tersebut terjadi. 2. Penyajian Data Setelah melalui proses reduksi, kumpulan data dan informasi yang ada diterjemahkan dan dikaitkan dengan teori yang digunakan peneliti yaitu cultural studies. Dan pada proses selanjutnya, data dan teori yang telah terhubung tersebut disajikan oleh peneliti dalam bentuk deskripsi agar peneliti dapat menarik kesimpulan pada tahap selanjutnya. 3. Penarikan Kesimpulan Dan pada akhirnya, tahapan selanjutnya dalam proses analisis data yang dilakukan oleh peneliti adalah penarikan kesimpulan dari deskripsi data yang ada. Karena penarikan kesimpulan merupakan sebuah tahap penting dan menentukan yang berada pada akhir penelitian, maka tahap ini sudah seharusnya dilakukan dengan cermat. Kesimpulan- 29 kesimpulan yang dihasilkan harus sesuai dengan asumsi awal penelitian agar tidak menghasilkan kesimpulan yang bersifat kabur. 30