Pertumbuhan Planet Kantong Semar (Nepenthes

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi
Kantong semar merupakan tanaman pemakan serangga yang banyak
tumbuh di Negara Indonesia. Kantong semar berdasarkan sistem taksonomi
tanaman termasuk dalam kerajaan Plantae, filum Magnoliophyta, kelas
Magnoliopsida, subkelas Dilleniidae, ordo Nepenthales, family Nepenthaceae,
genus Nepenthes, spesies Nepenthes rafflesiana Jack. (Mansur, 2007).
Mansur (2007) menyatakan bahwa kantong semar atau Nepenthes
tergolong ke dalam tumbuhan liana (merambat). Tanaman Nepenthes termasuk
dalam tanaman berumah dua. Bunga biasanya baru muncul pada saat tanaman
telah tumbuh menjalar/merambat dan telah membentuk kantong atas. Pada
tanaman muda, jenis kelamin tanaman tidak dapat dibedakan berdasarkan
morfologi tanaman. Bunga Nepenthes bentuknya sangat sederhana, dengan empat
kelopak tanpa mahkota dan terangkai dalam satu tandan. Ukuran masing-masing
bunga biasanya tidak lebih dari 1 cm diameternya.
Tumbuhan ini umumnya hidup di tanah (terrestrial), tetapi ada juga yang
menempel pada batang atau ranting pohon lain sebagai epifit. Keunikan dari
tumbuhan ini adalah bentuk, ukuran dan corak warna kantongnya. Kantong
Nepenthes merupakan modifikasi ujung daun yang berubah bentuk dan fungsinya
menjadi
perangkap
serangga
atau
binatang kecil lainnya. Berdasarkan
kemampuannya itu maka tumbuhan tersebut digolongkan sebagai carnivorous
plant, namun sebagian peneliti menamakannya insectivorous plant karena
kelompok
serangga
lebih
sering
terperangkap
ke
dalam
kantongnya
(Mansur, 2007).
Menurut Clarke (1997), Jenis Nepenthes rafflesiana Jack. memiliki
struktur batang yang berbentuk silinder, dengan panjang rata-rata 15 cm dan
diameter sekitar 10 mm. Struktur daunnya tebal, berbentuk lanset dengan panjang
rata-rata 20 cm dan lebar 5 cm, jumlah urat daun longitudinal 3 hingga 5 pada
setiap sisi dari urat daun tengah, panjang sulurnya kurang dari 25 cm. Struktur
kantong bawahnya berbentuk oval (Gambar 1 (A)), berwarna merah maron
dengan lurik hijau atau putih, memiliki dua sayap yang berfungsi seperti tangga
6
untuk membantu serangga tanah naik hingga ke mulut kantong, mulut berbentuk
sadak dan memanjang hingga ke leher. Kantong bawah ini keluar dari daun yang
letaknya tidak jauh dari permukaan tanah dan biasanya menyentuh permukaan
tanah. Struktur kantong atas (Gambar 1 (B)) berbentuk corong/terompet, tebal,
berwarna hijau kekuning-kuningan dengan lurik merah di bagian atasnya, tanpa
sayap, mulut oval dengan bibir bagian depan menonjol ke atas, bentuk kantong
meruncing pada bagian ujung sulur. Pada kantong atas bentuk sulurnya
menggulung di sekeliling tanaman dan struktur tanaman yang berdekatan. Sulur
menyokong kantong bawah yang tidak menggulung (James dan Pietropaolo,
1996).
www.pitcherplant.com
jflisek.carniplanta.com
(A)
(B)
Gambar 1. Kantong Nepenthes rafflesiana Jack. (A) Kantong Bawah
(B) Kantong Atas
Bibir lubang kantong Nepenthes dilengkapi dengan alat penipu. Organ itu
berwarna merah serta mampu menebarkan aroma manis. Warna bibir kantong
Nepenthes yang merona serta beraroma manis itu akan memikat dan membuat
lengah calon mangsa. Binatang yang terpikat akan tergelincir masuk ke dalam
kantong yang licin. Semut atau lalat yang sudah terjebak dalam kantong, akan
mencoba naik melalui dinding yang kelihatannya kering, namun setelah mencapai
7
bagian tepi kantong, semut tersebut akan terpeleset kembali ke bawah, karena
bagian tersebut memiliki permukaan yang sangat licin (Slamet, 1998).
Cairan yang berada dalam kantong tengah, akan mencerna tubuh
mangsanya. Cairan asam itu adalah ramuan enzim pemecah protein yang
dikeluarkan oleh deretan kelenjar pada dinding kantong di daerah pencernaan
yang bernama enzim proteolase atau Nepenthesin. Enzim ini berfungsi untuk
menguraikan protein serangga atau binatang lain yang terperangkap di dalam
cairan kantong menjadi zat-zat yang lebih sederhana seperti nitrogen, fosfor,
kalium dan garam-garam mineral. Zat-zat sederhana inilah yang kemudian diserap
oleh tumbuhan untuk kebutuhan hidupnya (Mansur, 2007).
Menurut Witarto (2006), kandungan protein di dalam kantong semar
berpotensi untuk pengembangan produksi protein menggunakan tanaman endemik
Indonesia. Berdasarkan penelitiannya, Witarto berhasil mengisolasi protein dalam
cairan kantong atas dan kantong bawah N. gymnamphora yang berasal dari
Taman Nasional Gunung Halimun. Dia berhasil mendapatkan 1 ml protein murni
dari 800 ml cairan kantong yang dikumpulkan. Hasil uji aktivitas terhadap protein
yang telah dimurnikan menunjukkan bahwa protein itu adalah enzim proteolase
yang kemungkinan besar adalah Nepenthesin I dan Nepenthesin II. Aktivitas
enzim proteolase sangat dipengaruhi oleh pH cairan kantong dan setiap jenis
Nepenthes memiliki pH
cairan kantong yang berbeda, tetapi umumnya
di bawah 4.
Habitat
Carnivorous plants terutama jenis Nepenthes umumnya tumbuh pada
tanah yang miskin unsur hara, seperti batu-batu kapur yang lembab, pada tanah
dengan kadar garam yang tinggi di musim basah maupun kering, pada rawa-rawa
yang tergenang air sepanjang tahun, sebagai tanaman epifit, atau tumbuh menjalar
di atas permukaan tanah (James dan Pietropaolo, 1996). Mansur (2007) lebih
lanjut menegaskan, pada umumnya Nepenthes hidup di habitat yang kekurangan
unsur nitrogen dan fosfor. Kondisi seperti ini, menjadikan tanaman Nepenthes
sebagai indikator bahwa tempat tersebut merupakan tanah marginal. Tanah yang
miskin unsur hara memacu tanaman Nepenthes untuk mengembangkan
8
kantongnya sebagai alat untuk memenuhi kekurangan suplai nutrisi dari tanah.
Sulur Nepenthes dapat mencapai permukaan tanah atau menggantung pada
cabang-cabang ranting pohon sehingga berfungsi sebagai pipa penyalur nutrisi
dan air.
Menurut Azwar et.al. (2006), kantong semar hidup di tempat-tempat
terbuka atau sedikit terlindung di habitat yang miskin unsur hara dan memiliki
kelembaban udara yang cukup tinggi. Tanaman ini bisa hidup di hutan hujan
tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan kerangas, gunung
kapur, dan padang savana. Kantong semar umumnya hidup terestrial di dataran
rendah, tumbuh di tempat-tempat yang berair atau dekat sumber air pada substrat
yang bersifat asam, seperti banyak ditemukan di hutan-hutan rawa gambut.
Berdasarkan ketinggian tempat tumbuhnya, kantong semar dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu kantong semar dataran rendah, menengah, dan dataran tinggi.
Clarke (1997) menyatakan bahwa tanaman Nepenthes rafflesiana Jack.
dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 0 – 1200 m dari permukaan laut. Jenis
kantong semar ini, dapat tumbuh pada habitat tempat-tempat terbuka atau
ternaungi yang basah atau kering seperti hutan rawa gambut dan hutan kerangas.
Menurut Mansur (2007), pada habitat yang memiliki tanah dan air yang bersifat
masam (pH < 4) seperti di hutan gambut, hanya tumbuhan yang toleran terhadap
genangan air asamlah yang dapat hidup di lingkungan yang selalu memiliki
kelembapan udara cukup tinggi ini, seperti Nepenthes rafflesiana, Nepenthes
ampullaria dan Nepenthes gracilis.
Karakter dan sifat kantong semar berbeda pada tiap habitat. Beberapa jenis
kantong semar yang hidup di habitat hutan hujan tropik dataran rendah dan hutan
pegunungan bersifat epifit, yaitu menempel pada batang atau cabang pohon lain.
Pada habitat yang cukup ekstrim seperti di hutan kerangas yang suhunya bisa
mencapai 30º C pada siang hari, kantong semar beradaptasi dengan daun yang
tebal untuk menekan penguapan air dari daun. Tanaman kantong semar yang
hidup di daerah savana, umumnya tanaman hidup menjalar di permukaan tanah
(terrestrial), tumbuh tegak dan memiliki panjang batang kurang dari 2 m.
Besarnya intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman berbeda-beda untuk
setiap jenisnya. Nepenthes hirsua akan tumbuh baik di tempat-tempat yang
9
terlindung, sedangkan N. gracilis, N. mirabilis dan N. reinwardtiana tumbuh baik
di tempat-tempat terbuka dengan sinar matahari penuh. Penggunaan shading net
atau paranet dengan intensitas cahaya 50 % yang diterima tanaman, sangat baik
untuk semua jenis Nepenthes dataran rendah yang ditanam di luar ruangan.
Nepenthes dataran tinggi seperti N. gymnamphora dan N. maxima yang dipelihara
di dataran tinggi ( > 1.000 m dpl) tidak memerlukan naungan (Mansur, 2007).
Suhu udara untuk pertumbuhan Nepenthes dataran rendah berkisar antara
23oC - 31oC dan kelembaban udara berkisar antara 50% sampai 70%
(Mansur 2007). Rice (2009) menegaskan bahwa, Nepenthes dataran rendah akan
tumbuh lebih baik pada suhu 30oC - 34oC (pada siang hari) dan suhu terendah 8oC
pada malam hari sekitar, sedangkan untuk kelembaban udara yang baik berkisar
antara 60% - 80% untuk semua jenis Nepenthes.
Media Tanam
Nepenthes memiliki perakaran lebih sedikit dibandingkan tanaman
lainnya. Pertumbuhan tanaman ini akan baik jika media tanamnya memiliki aerasi
cukup tinggi, tidak padat, ringan, tidak banyak menyimpan air sehingga laju
evaporasi pada media tersebut cukup tinggi dan proses dekomposisinya lambat.
Hampir semua jenis Nepenthes dapat tumbuh pada media tanaman epifit. Air
hujan sangat ideal untuk menyiram tanaman Nepenthes, karena tidak mengandung
larutan garam mineral dan umumnya bersifat asam. Air yang mengandung garam
mineral diketahui dapat menurunkan kualitas media sehingga berpengaruh kurang
baik terhadap pertumbuhan Nepenthes (Mansur, 2007).
Beberapa macam media yang dapat digunakan untuk tanaman Nepenthes,
antara lain lumut sphagnum, moss paku sarang burung, paku resam, kompos
daun, cocopeat, potongan kayu lapuk dan daun cemara. Beberapa komponen
dapat dikombinasikan dengan media tersebut, seperti pasir sungai, pasir zeolit,
sekam bakar dan arang. Kombinasi keempat komponen tersebut akan menjadikan
media tanam tidak mudah padat, tingkat aerasi dan porositas menjadi tinggi
sehingga akar tanaman dapat bernapas dengan baik (Mansur, 2007).
Cocopeat merupakan serabut kelapa yang sudah disterilisasi. Cocopeat
memiliki sifat mudah menyerap dan menyimpan air serta memiliki pori-pori yang
10
memudahkan pertukaran udara dan masuknya sinar matahari. Kandungan
Trichoderma molds-nya, sejenis enzim dari cendawan yang dapat mengurangi
penyakit dalam tanah, sehingga cocopeat dapat menjaga tanah tetap gembur dan
subur (Annisa, 2009). Cocopeat juga mampu mempercepat pertumbuhan akar
karena cocopeat mampu menyimpan oksigen dalam pori-porinya. Akar yang
banyak dan sehat akan mempercepat pertumbuhan tanaman sampai dua kali lipat.
Sifat cocopeat yang ringan (berat kering dari 1 liter cocopeat hanya 90 gram)
menjadikannya sesuai digunakan untuk pot-pot bunga yang banyak terdapat di
rumah tinggal. Cocopeat sangat berguna untuk memperbaiki struktur tanah,
termasuk tanah yang mengeras akibat penggunaan pupuk dari bahan kimia yang
terus-menerus. Media cocopeat bisa bertahan sampai sepuluh tahun dan sesudah
itu akan menjadi yang berguna bagi tanaman, sehingga media tanam cocopeat ini
merupakan media 100% organik.
Arang sekam merupakan kulit biji padi yang diperoleh dari proses
penggilingan bulir padi. Arang sekam memiliki peranan penting sebagai media
tanam pengganti tanah. Arang sekam cukup steril, karena proses pembuatan arang
sekam ini dilakukan dengan cara dibakar. Media arang sekam bersifat porous,
ringan, tidak kotor dan mampu mengikat air pada bagian permukaannya saja.
Penggunaan arang sekam cukup meluas dalam budidaya tanaman hias maupun
sayuran (Wiryanta, 2007).
Menurut Dillon dan Peterson (1986) penggunaan arang sekam sebagai
media tumbuh cukup baik karena mempunyai aerasi dan drainase yang baik.
Arang sekam umumnya terdiri dari unsur karbon, sehingga penggunaannya
sebagai media tanam harus disertai dengan pemberian unsur hara yang cukup,
Keuntungan penggunaan media ini, yaitu dapat mengikat zat yang bersifat racun
dan melepaskannya kembali pada saat drainase sehingga zat tersebut terbawa
keluar dari pot.
Sphagnum moss adalah media tanam yang berasal dari tanaman lumutlumutan. Media sphagnum moss memiliki kelebihan yaitu kemampuannya dalam
mengikat air sampai 80%, mengandung nitrogen sebanyak 2-3% dan sangat baik
untuk perkembangan akar tanaman muda (Wiryanta, 2007).
11
daun bambu adalah yang terbentuk dari daun bambu yang bercampur
dengan kotoran hewan dan daun tanaman lainnya. daun bambu sangat ringan,
mampu menyimpan air dan oksigen, memiliki porositas yang baik serta
mengandung unsur hara P dan K. Kelemahan daun bambu adalah berpotensi
mengundang hama rayap dan umumnya belum steril, sehingga perlu disterilkan
terlebih dahulu sebelum digunakan (Wiryanta, 2007).
Aklimatisasi Planlet
Menurut Deberg dan Maene (1981) dalam Wattimena (1992), aklimatisasi
merupakan tahapan terakhir dalam pelaksanaan kultur jaringan. Aklimatisasi
merupakan proses pemindahan planlet dari lingkungan in vitro yang steril ke
lingkungan semi steril sebelum dipindahkan ke lapang. Planlet ditanam dalam
medium yang porositasnya tinggi dicampur dengan kompos yang telah disterilkan.
Lingkungan tumbuh dijaga kelembabannya untuk mengurangi transpirasi.
Penanganan yang kurang baik pada tahap ini dapat menyebabkan banyak tanaman
mati. Ada dua penyebab kematian planlet pada tahap aklimatisasi yaitu :
1. Kehilangan air yang banyak dalam waktu singkat. Tanaman yang
dihasilkan secara in vitro tumbuh pada lingkungan dengan kelembaban
tinggi dan intensitas cahaya rendah sehingga lapisan lilin pada jaringan
epikutikula daun lebih tipis dibandingkan tanaman yang tumbuh di
lingkungan in vivo.
2. Tanaman belum siap untuk melakukan fotosintesis sendiri. Tanaman
memerlukan suatu periode transisi untuk bisa melakukan proses
fotosintesis guna memenuhi kebutuhan karbohidratnya sendiri (menjadi
tanaman autotropik).
Menurut Gunawan (1992) masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis,
karena planlet in vitro menunjukkan beberapa sifat yang tidak menguntungkan,
seperti lapisan lilin/ kutikula tidak berkembang dengan baik, kurangnya lignifikasi
pada batang dan sel-sel palisade pada batang sedikit. Keadaan seperti ini dapat
menyebabkan pucuk in vitro sangat peka terhadap evapotranspirasi serta
cendawan dan bakteri tanah. Hal ini serupa dengan pernyataan Mii et al. (1990),
bahwa planlet in vitro umumnya mempunyai beberapa kriteria seperti kutikula
12
yang belum berkembang, daun tipis dan lunak, jaringan pembuluh dari akar ke
pucuk kurang berkembang dan stomata belum berkembang dengan baik.
Gunawan (1992) menyatakan bahwa, planlet yang sedang dalam proses
aklimatisasi dapat diperkuat dengan cara menaikkan intensitas cahaya dan
menurunkan kelembaban. Menurut Wetherell (1982) salah satu cara untuk
menjaga kelembaban relatif tetap tinggi selama tahap aklimatisasi adalah dengan
menggunakan sungkup plastik. Kadlecek et al. (2001) menyatakan bahwa
kemampuan tanaman untuk mempertahankan hidupnya pada tahap aklimatisasi
sangat bervariasi. Salah satu contoh hasil penelitian Budi et al. (2000)
menyebutkan bahwa aklimatisasi planlet gerbera yang berumur 6 minggu
menghasilkan persentase hidup sebesar 71 %.
Hasil penelitian Isnaini (2009, data belum dipublikasi) menunjukkan
bahwa, pertumbuhan Nepenthes rafflesiana Jack. selama tahap aklimatisasi di
rumah paranet dan di rumah kaca menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik
terutama pada media sphagnum moss, sedangkan pertumbuhan N. rafflesiana
Jack. di ruangan terbuka tidak begitu baik karena banyak planlet yang layu dan
mati. Selama masa aklimatisasi berlangsung, hampir sebagian planlet Nepenthes
rafflesiana Jack. yang diaklimatisasi ke dalam media cocopeat dan media
kombinasi (cocopeat dan arang sekam) mati karena serangan cendawan dan
mikroorganisme lainnya.
Menurut Susanti (2005), pertumbuhan vegetatif planlet tebu yang
diaklimatisasi sangat dipengaruhi oleh media yang digunakan. Media kompos
merupakan media yang paling sesuai untuk aklimatisasi planlet tebu kultivar PA
117 dan PA 198, karena memberikan viabilitas dan pertumbuhan vegetatif yang
lebih baik dibandingkan media lainnya. Thompson (1975) menyatakan bahwa
kompos memiliki kapasitas menyerap air yang tinggi, kemampuan ini dapat
mencapai 5-6 kali lebih besar dari bobotnya, karena kompos memiliki bobot jenis
yang rendah dan porositas yang tinggi. Penambahan kompos akan meningkatkan
kapasitas menahan air pada tanah.
Download