BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan teori-teori yang diambil dari berbagai sumber pustaka dan penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan efisiensi dan kinerja struktur yang diperkuat dengan Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP). 2.1. Beton Bertulang Material konstruksi beton bertulang mempunyai sifat yang unik dibandingkan dengan material lain seperti kayu, baja, aluminium atau plastik karena beton bertulang adalah material konstruksi yang menggunakan dua jenis bahan yang berbeda secara bersamaan. Beton bertulang adalah merupakan gabungan yang logis dari dua jenis bahan: beton yang memiliki kekuatan tekan yang tinggi akan tetapi mempunyai kekuatan tarik yang rendah, dan batang baja yang ditanamkan di dalam beton dapat memberikan kekuatan tarik yang diperlukan. Dengan demikian prinsip-prinsip yang mengatur perencanaan struktur dari beton bertulang dalam beberapa hal berbeda dengan prinsip-prinsip yang mengatur perencanaan struktur dari bahan yang terdiri dari satu macam saja. Gambar 2.1 memperlihatkan kekuatan balok yang secara nyata dapat ditingkatkan dengan menambahkan batangan-batangan baja di daerah tarik. Baja tulangan yang mampu menerima tekan dan tarik juga dimanfaatkan untuk menyediakan sebagian dari daya dukung kolom beton dan kadang-kadang di dalam daerah tekan balok. 5 Baja dan beton dapat bekerja sama atas beberapa alasan yaitu (1) lekatan (bond atau interaksi antara batangan baja dengan beton keras disekelilingnya) yang mencegah slip relatif antara baja dan beton, (2) campuran beton yang memadai memberikan sifat anti resap yang cukup dari beton untuk mencegah karat baja dan (3) angka kecepatan muai yang hampir serupa yaitu dari 0,0000055 sampai dengan 0,000075 (Nuryadin, 2012) 2.2 FRP Material komposit dibentuk oleh campuran / kombinasi dua atau lebih unsur-unsur utamanya yang secara makro berbeda di dalam bentuk dan atau komposisi material pada dasarnya tidak dapat dipisahkan (Schwartz, 1984). Pada fiber komposit, dua material itu adalah fiber mutu tinggi dan resin. Sifat mekanik komposit adalah yang paling bertanggung jawab pada jenis ini, tergantung dari arah dan jumlah serat. Sedangkan fungsi resin adalah untuk mentransfer tegangan dari dan ke serat fiber. Secara spesifik, fiber sebagai material yang diaplikasikan sebagai perkuatan dapat berupa serat kaca, karbon dan kevlar. Masing-masing mempunyai kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya. Nilai karakteristik masingmasing fiber diberikan pada Tabel 2.1. Pemilihan tipe fiber untuk aplikasi tertentu sangat tergantung pada beberapa faktor seperti: tipe struktur, beban yang direncanakan, kondisi lingkungan, dan lain-lain. Fiber diproduksi berbentuk: 1. Lembaran, pada umumnya mempunyai arah serat sembarang meskipun ada yang mempunyai arah serat biaxial dan triaxial, diatas lapisan bagian belakang yang dapat dilepas atau berbentuk anyaman. 2. Fiber yang sebelumnya dicairkan dengan resin (“pre-preg material”), dimana perawatannya dilakukan di site dengan pemanasan atau dengan cara lain. 6 Fiber produksi pabrik, kemungkinan mempunyai perbandingan kekuatan searah serat 70 % dan ke arah melintang serat sebesar 30 %. Fiber mempunyai ketebalan minimum 0,1 mm dengan lebar 500 mm atau lebih. Carbon Fibre Reinforced Polymer (CFRP) yang merupakan aplikasi lanjutan dari FRP itu sendiri merupakan plastik yang diperkuat serat yang sangat kuat dan ringan yang mengandung serat karbon. CFRP mahal untuk dihasilkan tetapi umum digunakan di mana pun pada rasio kekuatan tinggi-berat dan kekakuan yang diperlukan, seperti aerospace, teknik otomotif dan teknik sipil, barang olahraga dan peningkatan jumlah aplikasi konsumen dan teknis lainnya. 2.3 Perekat (Adhesive) FRP direkatkan pada permukaan elemen struktur secara kimiawi dengan perekat. Perekatan secara kimiawi sangat praktis karena tidak menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan, lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan perekat mekanis dan tidak menyebabkan kerusakan pada material dasar atau material kompositnya. Perekat yang paling cocok digunakan pada material komposit adalah perekat yang mempunyai bahan dasar epoxy resin. Perekat ini dibuat dari campuran dua komponen. Komponen utamanya adalah cairan organik yang diisikan kedalam kelompok epoxy, mengikat susunan satu atom oksigen dan dua atom karbon (Nuryadin, 2012). Reaksi ini ditambahkan pada campuran untuk mendapatkan campuran akhir. Permukaan yang akan dilekatkan harus 7 dipersiapkan untuk mendapatkan lekatan yang efektif. Permukaan harus bersih dan kering, bebas dari kontaminan seperti: oxida, oli, minyak dan debu. 2.4 Model Pengekangan Tegangan tekan triaksial disediakan oleh penundaan ekspansi pengekangan dan kerusakan propagasi dengan membatasi pertumbuhan retak dan penurunan rasio pelebaran beton. dimana tegangan dalam beton mendekati kekuatan unaxial, volume mulai meningkat karena patahan internal yang progresif dan beton memikul tulangan tranversal, yang mana beton menjadi terkekang (Kent and Park 1971). Experimen ini menggunakan model pengekangan beton dengan FRP untuk menentukan kuat tekan beton yang dikekang FRP, yang diusulkan oleh Lam dan Teng (2003) sebagai berikut: f l ,a f cc' 1 3.3 ' ' f co f co (2.1) di mana f'cc dan f'co = masing-masing kuat tekan beton terkekang dan tidak terkekang, dan f1,a = efektif tekanan keliling, yang dapat diperkirakan dengan persamaan berikut: f l ,a k e 2 f frp t (2.2) d di mana ffrp = tegangan putus ,t = ketebalan FRP, d = diameter kolom dan ke = faktor efisiensi FRP yang didefinisikan oleh Harries dan Carey (2003) dan kemudian diambil sebagai 0.586 oleh Lam dan Teng (2003). Model ini digunakan untuk perhitungan kekuatan kolom bulat dibungkus dengan CFRP. Untuk kolom dengan kekangan tali baja, model yang diusulkan oleh Mander et al (1988), digunakan untuk menghitung kekuatan kekangan sebagai berikut: f cc' f co' (1.254 2.254 1 f l ,a 7.94 f l .a 2 ' ' f co f co (2.3) Mirip dengan model kolom dengan kekangan FRP, yang tekanan dari kekangan f1,a, dapat dihitung sebagai berikut: f l ,a k s 2 f st t d (2.4) 8 di mana fst dan t = kuat leleh dan ketebalan tali baja, masing-masing: d = diameter kolom itu, dan ks = faktor efisiensi kurungan untuk tali baja seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.Faktor dimodifikasi sesuai kasus ks Ae A s 2 ) 2d 1 (1 (2.5) Gambar 2.2 Effective core for steel straps-confined columns (Hadi, 2013) di mana ρ = rasio tulangan longitudinal dan s = jarak vertikal antara tali baja. Sebuah kurva kontinu dari model tegangan-regangan yang diusulkan oleh Popovics (1973) digunakan untuk mengekspresikan tegangan tekan beton dalam hal regangan, yaitu : f cc' xr f r 1 xr ' c (2.6) x c cc (2.7) r Ec E c Esec (2.8) 9 Esec f cc' (2.9) cc dimana ԑc = regangan tekan beton sesuai tegangan aksial fc, ԑco = regangan beton terkekang sesuai tegangan maksimum, yang dapat diambil sebagai 0,002, dan ԑcc = regangan tekan beton terkekang pada tegangan puncak, yang dapat dihitung dari ACI 440.2R-08 [ACI 2008] Modulus elastisitas beton terkekang, Ec, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yang diberikan oleh SNI 2847:2002 Wc diantara 1500 kg/m3 dan 2500 kg/m3 Beton Normal 2.5 √ √ MPa Mpa Perilaku Struktur Terhadap Beban Gempa Akibat pengaruh gempa rencana, setiap struktur gedung menurut standar SNI 1726:2012 direncanakan untuk tetap masih berdiri, tetapi sudah mencapai kondisi diambang keruntuhan. Bagaimana riwayat beban – perpindahan suatu struktur gedung sampai mencapai kondisi di ambang keruntuhan ini, bergantung pada tingkat daktilitas struktur gedung tersebut. Faktor daktilitas suatu struktur gedung merupakan dasar bagi penentuan beban gempa yang bekerja pada struktur gedung. Karena itu, tercapainya tingkat daktilitas yang diharapkan harus terjamin dengan baik. Hal ini dapat tercapai dengan menetapkan suatu persyaratan yang disebut “kolom kuat balok lemah”. Hal ini berarti, bahwa akibat pengaruh Gempa Rencana, sendi-sendi plastis di dalam struktur gedung hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan pada kaki kolom dan kaki dinding geser saja (Riza,2014). Secara ideal, mekanisme keruntuhan suatu struktur gedung adalah seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.3. 10 Gambar 2.3 Mekanisme keruntuhan ideal suatu struktur gedung dengan sendi plastis terbentuk pada ujung-ujung balok dan kaki kolom Sumber : SNI 03-1726-2003 Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Faktor daktilitas adalah rasio antara simpangan maksimum struktur gedung pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan dan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama di dalam struktur gedung. 2.6 Pembebanan Gempa Berdasarkan SNI 1726:2012 Gempa Rencana ditetapkan mempunyai perioda ulang 2500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 2% selama umur gedung 50 tahun. Terdapat 2 buah peta Wilayah Gempa, yaitu untuk gempa dengan periode pendek (T=0,2 detik), dan gempa dengan periode 1 detik (T=1 detik), seperti yang terdapat pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Pembebanan gempa pada struktur bisa dilakukan dengan pembebanan statik ekivalen dengan menggunakan parameter-parameter sesuai SNI 1726:2012. Berikut ini adalah langkah-langkah menghitung beban gempa statik ekivalen yang terdapat dalam pasal 6 SNI 1726:2012. a. Menentukan SS (didapat dari peta gempa dengan periode ulang 2500 tahun dan T = 0,2 detik) dan S1 (di dapat dari peta gempa dengan periode ulang 2500 tahun dan T = 1 detik) yang nilainya didapat dari peta Gempa dan tergantung dari lokasi bangunan. 11 12 13 b. Menentukan kelas situs dan koefisien situs Berdasarkan sifat-sifat tanah pada situs, situs diklasifikasikan sebagai kelas situs yaitu SA (batuan keras), SB (batuan), SC (tanah keras, sangat padat dan batuan lunak), SD (tanah sedang), SE (tanah lunak), dan SF (tanah khusus, yang membutuhkan investigasi geoteknik). Setelah kelas situs ditentukan, dengan nilai SS dan S1 yang diperoleh di langkah 1, dan dengan Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 pada SNI 1726:2012 (pasal 6.2), maka di dapat Fa dan Fv . Nilai Fa dan Fv ditampilkan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.2 Koefisien Situs Fa Kelas situs SA SB SC SD SE SF Parameter respons spectral percepatan gempa terpetakan pada perioda pendek, T = 0,2 detik, 0,8 1,0 1,2 1,6 2,5 0,8 1,0 1,2 1,4 1,7 0,8 1,0 1,1 1,2 1,2 0,8 1,0 1,0 1,1 0,9 0,8 1,0 1,0 1,0 0,9 Sumber : SNI 1726:2012 Tabel 2.3 Koefisien Situs Fv Kelas situs SA SB SC SD SE SF Parameter respons spectral percepatan gempa terpetakan pada perioda 1 detik, 0,8 1,0 1,7 2,4 3,5 0,8 1,0 1,6 2 3,2 0,8 1,0 1,5 1,8 2,8 0,8 1,0 1,4 1,6 2,4 0,8 1,0 1,3 1,5 2,4 Sumber : SNI 1726:2012 14 c. Menghitung SMS dan SM1. SMS dan SM1 (parameter spektrum respons percepatan pada periode pendek dan perioda 1 detik) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs, harus ditentukan dengan perumusan berikut ini: d. SMS = Fa SS (2.10) SM1 = Fv S1 (2.11) Menghitung parameter percepatan spektral disain. Parameter percepatan spektral disain untuk perioda pendek, SDS dan perioda 1 detik, SD1, harus ditentukan melalui perumusan berikut ini: SDS = 2/3 SMS (2.12) SD1 = 2/3 SM1 (2.13) Selanjutnya parameter SDS dan SD1 digunakan untuk menghitung koefisien respons seismik dan menetukan gaya geser dasar gempa. 2.6.1 Gaya Geser Dasar Gempa dan Beban Lateral Gempa Sesuai pasal 7.8 SNI 1726:2012, gaya dasar seismik, V, dalam arah yang ditetapkan harus ditentukan sesuai dengan persamaan berikut: V = Cs.W (2.14) Keterangan : Cs : koefisien respons seismik W : berat seismik efektif Koefisien respons seismik, Cs, harus ditentukan sesuai persamaan berikut: ( ) (2.15) Nilai Cs yang dihitung di atas tidak boleh melebihi berikut ini: ( ) (2.16) Cs harus tidak kurang dari : Cs = 0,044 SDSIe ≥ 0,01 Untuk struktur yang berlokasi di S1 sama dengan atau lebih besar dari 0,6g, maka Cs harus tidak kurang dari: 15 ( ) (2.17) Keterangan : T : perioda struktur dasar (detik), dimana T = 0,1 x jumlah tingkat (SNI 1726:2012 Pasal 7.8.2.1), bisa digunakan untuk bangunan dengan jumlah tingkat < 12 R : faktor modifikasi respons Ie : faktor keutamaan hunian Sesuai pasal 7.8.3 SNI 1726:2012, gaya gempa lateral yang timbul di semua tingkat harus ditentukan dari persamaan berikut: (2.18) dan ∑ (2.19) Keterangan : Cvx : faktor distribusi vertikal V : gaya lateral disain total wi dan wx : bagian berat seismik efektif total struktur yang ditempatkan atau dikenakan pada tingkat ke i atau x hi dan hx : tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x k : eksponen yang terkait dengan perioda struktur, untuk struktur dengan T ≤ 0,5 detik, k = 1 untuk struktur dengan T ≥ 2,5 detik, k = 2 untuk struktur dengan 0,5 ≤ T ≤ 2,5 detik, harus ditentukan dengan interpolasi linier antara 1 dan 2 Sesuai pasal 7.8.4, gaya tingkat disain gempa di semua tingkat harus ditentukan dari persamaan berikut: ∑ (2.20) dimana : Fi adalah bagian dari gaya geser dasar seismik (V) yang timbul di tingkat I, dinyatakan dalam kilo Newton (kN) 16 2.7 Analisis Statik Nonlinier Pushover Analisis statik nonlinear Pushover merupakan analisis yang dilakukan untuk menggambarkan perilaku keruntuhan dan kapasitas dari suatu struktur secara keseluruhan, mulai dari kondisi elastis, plastis, hingga elemen-elemen struktur mengalami keruntuhan akibat beban gempa. Analisis ini dilakukan dengan cara memberikan pola beban lateral statik pada struktur yang nilainya terus ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai target perpindahan (displacement) dari suatu titik acuan (titik pada lantai atap). Dalam analisis pushover, struktur dikenai beban lateral statik hingga mengalami leleh di satu atau lebih lokasi pada elemen struktur. Urutan terjadinya leleh ini merupakan urutan terjadinya sendi plastis pada struktur. Dari urutan terjadinya sendi plastis ini dapat diketahui lokasi pada elemen struktur yang mengalami keruntuhan terlebih dahulu. Sendi plastis terus berlangsung dan bermunculan hingga batas deformasi pada struktur tercapai. Tahapan dari analisis beban dorong statik adalah sebagai berikut : a. Menentukan titik kontrol untuk meninjau besarnya perpindahan struktur. Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk menyusun kurva pushover. b. Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola distribusi gaya lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia sehingga diharapkan deformasi yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa. c. Mengestimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan). Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang ditentukan. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target perpindahan (performance point) : merupakan hal utama dari perencanaan barbasis kinerja (performance based design). Analisis beban dorong statik (pushover) akan menghasilkan kurva hubungan antara Perpindahan (displacement) titik kontrol/ (δ) dan gaya geser dasar (V). Kurva hubungan perpindahan dan gaya geser dasar ditampilkan pada Gambar 2.6. 17 Gambar 2.6 Kurva hubungan perpindahan dan gaya geser dasar Sumber : SNI 03-1726-2003 Dari kurva pushover dapat ditentukan parameter daktilitas (μ), kekakuan, dan kekuatan. Parameter-parameter tersebut mencerminkan perilaku struktur akibat beban lateral (gempa) yang terjadi pada struktur. 2.7.1 Mekanisme Sendi Plastis Pada Analisis Pushover, struktur didorong sampai mengalami keruntuhan dengan pola beban lateral yang menyerupai gaya inersia bangunan. Pada FEMA 356, pola distribusi beban lateral yang digunakan harus berjumlah minimal 2 pola, karena gempa rencana yang terjadi bisa berubah dan menyerupai 2 pola tersebut, dan dari 2 pola tersebut diambil kinerja bangunan yang terburuk, yaitu : - Besarnya pola distribusi gaya lateral yang pertama adalah proporsional dengan distribusi gaya geser hasil analisis respon spektrum gempa rencana. Pola ini berbentuk segitiga yang semakin besar sepanjang tinggi lantai. Pola ini digunakan jika periode fundamental struktur melebihi 1 sekon. - Besarnya pola distribusi gaya lateral yang kedua adalah proporsional dengan total massa tiap lantai. Pola ini berbentuk beban merata sepanjang tinggi lantai. 18 Pola keruntuhan menunjukkan tahapan terjadinya sendi plastis pada elemen-elemen struktur, balok, bressing, dan kolom. Secara umum, pada model struktur yang memiliki bressing, harus terhindar dari tekuk inelastis, dan terhindar dari mekanisme kolom (terjadi sendi plastis pada kolom). Sendi plastis hanya diperbolehkan terjadi pada balok (mekanisme balok) dan ujung bawah kolom lantai dasar atau ujung kolom atas lantai teratas. Oleh karena itu, perlu diterapkan konsep “strong column weak beam” agar dipastikan terjadinya sendi plastis hanya pada elemen balok saja (mekanisme balok). Adapun keterangan mengenai karakteristik sendi plastis ditampilkan pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Kurva hubungan gaya – perpindahan serta karakeristik sendi plastis dan informasi level kinerja bangunan Sumber : FEMA 273 Kurva diatas menunjukkan hubungan gaya – perpindahan yang bergerak dari titik A – B – C – D – kemudian E. Titik tersebut merepresentasikan karakteristik sendi plastis yang timbul pada elemen struktur. Titik A adalah titik origin, titik B menandakan leleh pertama, C menandakan kapasitas ultimit, D adalah kekuatan sisa (residual strength), dan E menandakan elemen struktur tersebut telah mengalami keruntuhan (failure). Level kinerja bangunan (IO, LS, dan CP) terletak di antara sendi plastis leleh pertama sampai mencapai batas ultimitnya. Dan warna yang tertera pada huruf-huruf tersebut merupakan indikator karakteristik sendi palstis pada program SAP2000ver15. 19 2.7.2 Idealisasi Kurva Pushover Hubungan nonlinier antara gaya geser dasar dan perpindahan titik kontrol, dapat diidealisasikan agar mendapatkan kekakuan efektif Ke dan gaya geser dasar saat leleh Vy pada bangunan seperti terlihat pada Gambar 2.8. Gambar 2.8 Idealisasi kurva pushover Sumber: FEMA 356 Hubungan ini harus membentuk garis bilinier dengan kemiringan awal Ke dan kemiringan pasca leleh berupa sudut α. Kekakuan lateral Ke merupakan nilai secant stiffness yang dihitung dari gaya geser dasar yang mempunyai nilai sama dengan 60 titik leleh efektif. Nilai kekauan elastic Ki didapatkan dari rumus 20 kesetimbangan statik, dengan mengambil gaya geser dasar gempa yang terjadi dan simpangan pada saat struktur masih berperilaku elastis, bisa juga nilai tersebut diambil melalui kurva pushover yang sudah ada pada tiap-tiap model. Sedangkan kemiringan pasca leleh α, penentuan titk awalnya merupakan perpotongan garis Ke dengan Vy kemudian penentuan titik garis yang melewati kurva pushover aktual dan berhenti pada target perpindahan yang telah ditentukan. 2.8 Target Perpindahan Gaya dan deformasi setiap komponen/elemen dihitung terhadap perpindahan tertentu di titik kontrol yang disebut sebagai target perpindahan (δt) dan dianggap sebagai perpindahan maksimum yang terjadi saat bangunan mengelami gempa rencana. Untuk mendapatkan perilaku struktur pasca keruntuhan maka perlu dibuat analisa pushover untuk membuat kurva hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral titik kontrol sampai minimal 150% dari target perpindahan, δt, agar dapat dilihat perilaku bangunan yang melebihi kondisi rencananya. Perencana harus memahami bahwa target perpindahan hanya merupakan rata-rata nilai dari beban gempa rencana. Adapun cara menentukan target perpindahan yang cukup terkenal yaitu Displacement Coeficient Method atau Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 273/356) secara otomatis sudah builtin pada SAP2000v15. 2.9 Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 273/356) Metode koefisien perpindahan merupakan metode utama yang terdapat dalam FEMA 273/356 untuk prosedur statik nonlinier. Penyelesaian dilakukan dengan memodifikasi respons elastis linier dari sistem SDOF ekivalen dengan faktor koefisien C0, C1, C2, dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global maksimum (elastis dan inelastis) yang disebut “target perpindahan” δt. Proses dimulai dengan menetapkan waktu getar efektif Te, yang memperhitungkan kondisi inelastis bangunan dan mencerminkan kekakuan linier dari sistem SDOF ekivalen. Jika diplotkan pada spektrum respons elastis akan menunjukkan percepatan gerakan tanah pada saat gempa yaitu akselerasi puncak, Sa, versus waktu getar T. Redaman yang digunakan selalu 5% yang mewakili 21 level yang diharapkan terjadi pada struktur yang mempunyai respons pada daerah elastis. Puncak perpindahan spektra elastis Sd, berhubungan langsung dengan akselerasi spektra Sa, dengan hubungan berikut: Te 2 Sd 2 Sa 4 (2.21) Selanjutnya target perpindahan pada titik kontrol δt, ditentukan sebagai berikut (FEMA 273/356): 2 Te t C 0 C1C 2 C3 Sa g 2 (2.22) Dimana: Te : waktu getar alami efektif yang memperhitungkan kondisi inelastic C0 : koefisien faktor bentuk, untuk merubah perpindahan spectral menjadi perpindahan atap, umumnya memakai faktor partisipasi ragam yang pertama (first mode participation factor) C1 : faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastic maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastic linier. = 1.0 untuk Te ≥ Ts = [1.0+(R-1)Ts/Te]/R untuk Te < Ts Ts (2.23) : waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respons spectrum pada titik dimana terdapat transisi bagian akselerasi konstan ke bagian kecepatan konstan. R : rasio “kuat elastik perlu” terhadap “koefisien kuat leleh terhitung” R Sa Sa Cm Vy W (2.24) : akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar alami efektif pada arah yang ditinjau. Vy : gaya geser dasar pada saat leleh, dari idealisasi kurva pushover menjadi bilinier W : total beban mati dan beban hidup yang dapat tereduksi. Cm : faktor massa efektif yang diambil dari tabel 3.1 dari FEMA 356. C2 : koefisien untuk memperhitungkan efek “pinching” dari hubungan beban 22 deformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan, berdasarkan tabel 3-3 dari FEMA 356. C3 : koefisien untuk memperhitungkan pembesaran lateral akibat adanya efek P-delta. Koefisien diperoleh secara empiris dari studi statistik analisa riwayat waktu nonlinier dari SDOF dan diambil berdasarkan pertimbangan engineering judgement, dimana perilaku hubungan gaya gaya dasar – lendutan pada kondisi pasca leleh kekakuannya posistif (kurva meningkat) maka C3=1, sedangkan jika perilaku pasca lelehnya negative (kurva menurun) maka C 3 1.0 α R 13 / 2 Te (2.25) : rasio kekakuan pasca leleh terhadap kekakuan elastis efektif, dimana hubungan gaya-lendutan diidealisasikan sebagai kurva bilinier. g : percepatan gravitasi 9,81 m/det2 2.10 Performance Based Earthquake Engineering (PBEE) ATC 40 dan FEMA 356/440 menawarkan suatu pendekatan baru dalam desain/perencanaan gempa terhadap struktur bangunan tahan gempa yaitu konsep Performance Based Earthquake Engineering (PBEE). PBEE adalah suatu metode untuk mendesain, mengevaluasi, merancang dan memonitor fungsi dan maintenance fasilitas-fasilitas engineering yang kinerjanya di bawah target dan respon bebannya ekstrim untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan owner dan masyarakat sekitar. Metode PBEE memungkinkan seorang engineer untuk dapat lebih dahulu menetapkan sasaran kinerja struktur dari beberapa magnitudo beban gempa. Respon yang terjadi diharapkan tidak melebihi batas ketentuan penerimaan maksimum. Pada PBEE, batas yang dimaksud adalah kategori level kinerja Life Safetty (LS) dimana level kinerja ditentukan berdasarkan kriteria Roof Drift Ratio seperti yang terlihat pada Gambar 2.9 di bawah ini. 23 Gambar 2.9 Roof Drift dan Roof Drift Ratio Sumber: ATC 40 Metode PBEE terdiri atas dua konsep, yaitu konsep Performance Based Seismic Design (PBSD) dan Performance Based Seismic Evaluation (PBSE). Performance based seismic design adalah suatu konsep yang menetapkan level kinerja (performance level) yang diharapkan dapat dicapai saat struktur dilanda gempa dengan intensitas tertentu, sedangkan performance based seismic evaluation adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengevaluasi struktur bangunan yang sudah ada, apakah memenuhi level kinerja yang telah direncanakan pada desain awal sehingga dapat diketahui tindakan apa yang hendaknya dilakukan, seperti perkuatan ataupun rehabilitasi. Konsep Performance Based Earthquake Engineering (PBEE) menggunakan per-bandingan dasar antara kurva pushover dengan kurva demand pada suatu bagian, kelompok atau struktur secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa level kinerja struktur menurut FEMA 356 yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan level kinerja (performance level) yang diharapkan dapat dicapai saat struktur dilanda gempa dengan intensitas tertentu, yang dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini. 24 Tabel 2.4 Level Kinerja Struktur Elements Concrete Frames Structural Performance Levels and Damage - Vertical Elements Structural Performance Levels Type Collapse Prevention Life Safety Immediate Occupancy Primary Ekstensive cracking and hinge Extensive damage to beams. Minor hairline cracking. formation in ductile elements. Spalling of cover and shear Limited yielding possible at a Limited cracking and/or cracking (<1/8" width) for few locations. No crushing splice failure in some ductile columns. Minor spalling (strains below 0.003). nonductile columns. Severe in nonductile columns. Joint damage in short columns. cracks <1/8" wide. Secondary Extensive spalling in columns (limited shortening) and beams. Severe joint damage. Some reinforcing buckled. Drift 4% transient or permanent Extensive cracking and Extensive cracking and hinge formation in ductile elements. Limited cracking and/or splice failure in some nonductile columns. Severe damage in short columns. 2% transient; 1% permanent Minor spalling in a few places in ductile columns and beams. Flexural cracking in beams and columns. Shear cracking in joints <1/16" width. 1% transient; negligible permanent Steel Moment Frames Primary Extensive distortion of beams Hinges form. Local buckling of Minor local yielding at a few and column panels. Many some beam elements. Severe places. No fractures. Minor fractures at moment joint distortion; isolated buckling or observable connections, but shear moment connection fractures, permanent distortion of connections remain intact. but shear connections remain members. intact. A few elements may experience partial fracture. Secondary Same as primary. Extensive distortion of beams Same as primary. and column panels. Many fractures at moment connections, but shear connections remain intact. Drift 5% transient or permanent 2.5% transient; 1% permanent 0.7% transient; negligible permanent Braced Steel Frames Primary Extensive yielding and Many braces yield or buckle Minor yielding or buckling of buckling of braces. Many but do not totally fail. Many braces. braces and their connections connections may fail. may fail. Secondary Same as primary. Same as primary. Same as primary. Drift 2% transient or permanent 1.5% transient; 0.5% 0.5% transient; negligible permanent permanent Sumber : FEMA 356 2.11Kombinasi Pembebanan Untuk pemodelan rangka dengan pembebanan gempa berdasarkan SNI 1726:2012 adalah sebagai berikut: 1) 1,4 D (2.26) 2) 1,2 D + 1,6 L + 0,5 La (2.27) 3) 1,2 D + 1,6 La + L (2.28) 4) 1,2 D + L + 0,5 La (2.29) 5) 1,2 D + 1,0 E + L (2.30) 25 6) 0,9 D + 1,0 E (2.31) Kombinasi beban gempa 7) (1,2 + 0,2 SDS) D + QE + L (2.32) 8) (0,9 – 0,2 SDS) D + QE + 1,6H (2.33) 9) (1,2 + 0,2 SDS) D + QE + L (2.34) 10) (0,9 – 0,2 SDS) D + QE + 1,6H (2.35) Sumber : SNI 1726:2012 Pengaruh beban gempa E = Eh + Ev (2.36) E = Eh - Ev (2.37) Pengaruh beban gempa horizontal Eh = .QE (2.38) Pengaruh beban gempa vertikal Ev = 0,2.SDS.D (2.39) Keterangan: = Beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap. = Beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain. = Beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak. = Beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air. = Beban angin. = Beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 1726:2012 dengan, bila kPa dan bila kPa. 26 2.12 Penelitian yang Berkaitan 1. Hadi dkk (2013), Sebanyak 16 kolom RC persegi, diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yang dicor dan diuji di High Bay Laboratory of the University of Wollongong. Dimensi kolom tersebut adalah 150x150 mm2 untuk penampang dan 800 mm untuk panjangnya. Kelompok pertama (group N) dianggap sebagai kelompok referensi tanpa kekangan eksternal atau modifikasi pada bagian penampangnya. Kelompok kedua (kolom kelompok RF) dicor memiliki 20-mm sudut bulat yang secara horizontal dibungkus dengan tiga lapis CFRP (dengan lebar 75 mm). Kelompok ketiga dan keempat, Grup CF dan CS, yang diikat dengan empat beton melingkar segmental untuk memodifikasi bentuk dari penampang bujursangkar ke lingkaran. Kolom kelompok CF yang horizontal dibungkus dengan tiga lapis CFRP, sementara kolom kelompok CS dikurung dengan tali baja (dengan lebar 19,1 mm) pada jarak 30 mm. Dari masing-masing kelompok kolom pertama dibebani secara konsentris, sedangkan kolom kedua dan ketiga menjadi sasaran beban eksentrik pada 15 dan 25 mm, masing-masing. Keempat benda uji diuji di bawah empat titik pembebanan sebagai balok untuk mengamati perilaku lentur. Semua benda uji diuji dengan menggunakan mesin Denison 5000 KN. Gambar 2.10 Gambar Rencana Benda Uji ( Hadi,2013) 27 Tabel 2.5 Hasil Pengujian Benda Uji dibawah Beban Konsentrik ( Hadi,2013) Benda uji di masing-masing kelompok diuji di bawah empat titik pembebanan sebagai balok. Tabel 2.5 merangkum hasil tes. Benda uji NF gagal oleh debonding beton dan baja memanjang di ujung. Benda uji RF-F dan CF-F gagal oleh defleksi besar, yang dihasilkan dari lebar retak yang sangat besar dan retak panjang di wilayah ketegangan antara cincin CFRP di tengah bentang dan pada ujung balok, masing-masing. Diagram defleksi beban-tengah bentang dari Spesimen RF-F dan CF-F dibagi menjadi dua tahap dengan dua perbedaan kemiringan diagram seperti yang ditunjukan perilaku konsentris. Perilaku yang sama Spesimen CS-F diamati ketika gagal, tapi satu tali baja pecah di celah terbesar di dekat ujung. Semua kekangan benda uji mengambil jalan panjang untuk mencapai beban ultimate, yang menunjukkan bahwa daktilitas mereka sangat tinggi. Tabel 2.6 Hasil Pengujian Lentur Benda Uji ( Hadi,2013) 28 2. Tao dkk (2007), Sebanyak total 30 prisma beton yang diuji untuk kegagalan, di mana enam dari mereka tidak terkekang dan sisanya dibungkus dengan lembar CFRP. Benda uji kemudian dikelompokan lagi berdasarkan kuat tekan (19,;22;dan 49,5), aspek ratio penampang H/B(1;1,5;dan 2), jumlah lapisan CFRP (0,1 dan 2) dan radius sudut (20,35 atau 50). Semua spesimen dites dalam mesin uji universal berkapasitas 5000 kN dilengkapi dengan data sistem akuisisi. Data yang diperoleh meliputi penyusutan aksial dan regangan melintang dari jaket CFRP. Pengamatan uji dan mode kegagalan untuk semua spesimen tak terkekang, mereka dikompresi sampai mencapai kegagalan karena kombinasi geser dan pecah tarik. Sebaliknya, semua spesimen CFRP dibungkus gagal oleh pecahnya FRP yang umumnya terjadi pada dekat pertengahan tinggi (Gambar 2 dan 4) dan pecah itu terjadi di dekat sudut karena konsentrasi tegangan. Berdasarkan penelitian, pengaruh yang tejadi pada kuat tekan beton setelah mendapat perkuatan lapisan CFRP yaitu terjadi peningkatan pada kuat tekan beton untuk beton dengan kuat tekan rendah dan untuk beton dengan kuat tekan normal terjadi penurunan efektivitas dari lapisan CFRP sebagai perkuatannya. Hal ini disebabkan oleh beton berkekuatan rendah dilatasi lebih cepat dibawah pembebanan aksial yang tinggi daripada beton berkekuatan tinggi, sehingga pengekangan lapisan CFRP lebih efektif pada beton berekuatan rendah. Gambar 2.11 Gambar diagram tegangan regangan benda uji ( Tao,2007 ) 29 3. Lin dkk (2001), Penelitian ini menggunakan tiga set percobaan untuk menguji kekuatan silinder beton terkekang. Set pertama uji kekuatan silinder beton bertulang oleh jumlah lapisan yang berbeda dari lapisan komposit glass atau carbon. Fenomena mekanis kegagalan dan hubungan antara kekuatan silinder dan jumlah lapisan komposit merupakan poin yang diperhatikan. Set kedua percobaan berfokus pada kekuatan silinder beton terkekang oleh kedua komposit glass dan carbon bersama-sama. Ini set percobaan meneliti efek dari penumpukan\ urutan pada kekuatan silinder beton terkekang. Set ketiga percobaan diselidiki kekuatan silinder oleh sebagian komposit carbon dan glass membungkus silinder. Dua jenis beton dan dua jenis komposit serat yang digunakan dalam percobaan. Dimensi beton yang digunakan adalah φ 120 × 240 mm. Peningkatan kuat tekan terjadi pada setiap spesimen yang mendapat perkuatan dengan lapisan komposit carbon maupun glass. Besar peningkatan kekuatan beton juga dipengaruhi jumlah lapisan yang dipasang pada spesimen uji , dimana bertambahnya jumlah lapisan yang dipasang mempengaruhi peningkatan kekuatan spesimen uji tersebut. Gambar 2.12 Benda uji yang diperkuat dengan glass dan carbon composite Gambar 2.13 Tipikal diagram tegangan-regangan beton tidak terkekang dan terkekang 30