BAB II PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

advertisement
BAB II
PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEDAULATAN
TERITORIAL NEGARA
A. Kedaulatan Teritorial Negara
1.
Pengertian
Salah satu dari unsur pokok status kenegaraan suatu negara adalah penguasaan
suatu wilayah teritorial, atau yang lebih dikenal sebagai kedaulatan teritorial dari
negara tersebut. Kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
sovereignity berasal dari kata Latin superanus berarti ‘yang teratas’. 17 Yang
berarti bahwa terhadap suatu wilayah tertentu otoritas tertinggi berada pada
negara terkait. Oleh karena itu, muncullah konsep “Kedaulatan Teritorial” yang
menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini yurisdiksi dilaksanakan oleh
negara terhadap orang-orang dan harta benda yang menyampingkan negaranegara lain 18. Starke mengatakan kedaulatan sering dianalogikan dengan
kemerdekaan yang sekaligus merupakan fungsi dari suatu negara.
Kedaulatan atau soverainete dalam bahasa Perancis, sering diartikan sebagai The
Pride of Nations atau harga diri suatu bangsa. Dalam pernyataan ini terkandung
suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu Negara yang merdeka memiliki
kewenangan atau kekuasaan untuk secara eksklusif dan bebas melakukan berbagai
kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan kegiatan / kebijakan tersebut
17
18
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit, hal. 16
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 210
Universitas Sumatera Utara
tidak bertentangan dengan kepentingan negara lain dan hukum internasional 19.
Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa konsep dasar dari ruang berlakunya
kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi negara dibatasi oleh wilayah Negara itu,
sehingga negara memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.
Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu darat, udara dan
laut. Kedaulatan atas wilayah darat meliputi permukaaan tanah daratan dan juga
tanah di bawah daratan sampai pada kedalaman yang tidak terbatas. Kedaulatan
atas ruang udara meliputi ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah
daratan dan yang terletak di atas wilayah perairan suatu negara. Sedangkan pada
wilayah laut, kedaulatan teritorial suatu negara meliputi zona perairan pedalaman,
perairan kepulauan dan laut teritorial. Kedaulatan teritorial suatu negara tersebut
juga diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 2 20.
Hakim Huber dalam kasus Island of Palma yang dikutip oleh Kusumaatmadja 21
menyatakan :
“Soverignity in relation to a portion of the surface of the globe isthe legal
condition necessary for the inclusion of such portion inthe territory of any
particular state”.
Menurut pernyataan tersebut, kedaulatan negara atas wilayahnya mempunyai dua
aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Aspek positifnya adalah bahwa
kekuasaan tertinggi atau kewenangan eksklusif dari suatu negara berlaku di dalam
19
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional : Teori dan Praktek, Jakarta : Rajawali Press, 2011,
hal. 32
20
Eka Christiningsih Tanlain, op.cit, hal. 26
21
Hakim Huber dalam Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, op.cit. hal. 163
Universitas Sumatera Utara
wilayahnya, sedangkan di luar wilayah negaranya suatu negara tidak memiliki
kekuasaan demikian karena kekuasan tersebut berakhir ketika kekuasaan suatu
negara lain dimulai. Aspek negatifnya ditunjukkan dengan adanya kewajiban
negara untuk melindungi hak-hak negara lain di wilayahnya. 22
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa suatu akibat paham kedaulatan
dalam arti yang terbatas ini, selain kemerdekaan (independence) juga paham
persamaan derajat (equality). 23 Artinya, negara-negara yang berdaulat itu selain
masing-masing merdeka, mereka juga sama derajatnya dengan yang lainnya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kemerdekaan dan persamaan derajat
merupakan bentuk perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti
yang wajar. 24
Dari penjelasan-penjelasan mengenai kedaulatan tersebut, jelas terlihat bahwa
wilayah memegang peranan yang penting dalam konsep kedaulatan negara.
Kedaulatan berlaku atas suatu wilayah negara tertentu dimana keberlakuannya
tersebut akan berakhir ketika wilayah negara lain muncul. Oleh karena itu sangat
penting bagi suatu negara untuk menentukan batas kedaulatan teritorialnya untuk
mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayah
teritorialnya, baik wilayah darat, laut, maupun udara.
2.
Macam-macam Kedaulatan Negara
22
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, loc.cit, hal.163
Ibid, hal. 19
24
Ibid.
23
Universitas Sumatera Utara
Kedaulatan teritorial suatu negara sering dikaitkan dengan permasalahan sejauh
mana negara tersebut memiliki kewenangan dalam menjalankan kebijakan atau
kegiatan kenegaraannya serta melaksanakan hukum nasionalnya. Dalam hal ini,
kedaulatan terbagi atas dua konsep utama, yaitu: Kedaulatan Negara berdasarkan
atas jangkauan (scope)dan berdasarkan atas konsep wilayah (territorial) suatu
negara 25. Secara garis besar, kedua konsep ini dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga)
konsep kedaulatan, yakni:
a. Kedaulatan Eksternal (Independensi)
Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara
untuk secara bebas menentukan hubungan internasionalnya dengan berbagai
negara / kelompok lain tanpa ada halangan, rintangan, kekangan, dan tekanan dari
pihak manapun juga (a freedom in international relationship). Kedaulatan
eksternal suatu negara sering juga disebut dengan sitilah “independensi negara”. 26
b. Kedaulatan Internal (Supremacy)
Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk
menentukan bentuk lembaga-lembaga negaranya, cara kerja lembaga negara, hak
untuk membuat undang-undang (konstitusi) tanpa ada campur tangan atau
intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan dari rakyatnya (obedience in
social society), dan memiliki kewenangan sendiri untuk memutus persoalan-
25
26
Ibid, hal. 34
Ibid, hal.34-35
Universitas Sumatera Utara
persoalan yang timbul di dalam jurisdiksinya. 27 Kedaulatan internal sering juga
disebut dengan istilah “supremasi negara” 28.
c. Kedaulatan Teritorial
Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki oleh suatu Negara
dalam hal melaksanakan jurisdiksi (kewenangan) secara eksklusif di wilayah
negaranya, yang mana di wilayah Negara tersebut Negara memiliki wewenang
penuh untuk melaksanakan dan menegakkan hukum nasionalnya (exercise and
enforce law). 29 Hal ini berarti setiap orang yang menempati suatu wilayah tertentu
atas suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada kekuasaan hukum dari Negara
yang berdaulat atas wilayah tersebut.
B. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat
Wilayah merupakan atribut yang sangat penting bagi eksistensi suatu negara. Di
atas wilayahnya negara memiliki hak-hak untuk melaksanakan kedaulatan atas
orang, benda juga peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi di wilayahnya 30.
Sejarah dunia telah mencatat beberapa peristiwa terpenting dalam sejarah hukum
internasional, seperti berdirinya suatu negara, dan juga peristiwa lenyapnya
kedaulatan suatu negara 31.
Isu kedaulatan wilayah menjadi sorotan utama publik internasional, karena hal
tersebut
berkenaan
dengan
permasalahan
kemampuan
negara
tersebut
27
Ibid, hal.36
Ibid, hal. 37
29
Ibid, hal. 38
30
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 203-204
31
Mirza Satria Buana, loc.cit.
28
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan kedaulatan negaranya. Permasalahan yang banyak diangkat
sebagai wacana adalah bagaimana suatu negara memperoleh kemerdekaannya
(kedaulatannya) dan bagaimana persyaratan atau kriteria-kriteria hukum
internasional supaya suatu kesatuan masyarakat menjadi negara dan subjek
hukum internasional dan diakui oleh publik internasional. 32
Masalah bagaimana suatu negara mendapatkan wilayahnya dalam hukum
internasional merupakan masalah yang cukup sulit karena pembahasan mengenai
pesoalan ini relatif sedikit sekali. Yang banyak didiskusikan adalah bagaimana
suatu negara memperoleh kemerdekaannya dan bagaimana suatu masyarakat
memenuhi unsur-unsur atau kriteria hukum internasional agar menjadi suatu
Negara atau subjek hukum internasional dan diakui oleh negara-negara lainnya.
Daratan suatu negara terdiri dari darat (bagian wilayah yang kering) serta perairan
daratan yang terdiri dari sungai dan danau. Daratan suatu negara dapat merupakan
daratan awal atau wilayah tambahan negara tersebut. 33
Berdasarkan teori-teori hukum internasional klasik, wilayah tambahan dapat
diperoleh oleh suatu negara dengan cara-cara sebagai berikut 34:
a.
Okupasi atau Pendudukan
Okupasi (occupation) adalah suatu cara untuk memperoleh wilayah melalui
pendudukan. Hal mana pendudukan disini dilakukan terhadap suatu wilayah, yang
sebelum terjadinya pendudukan di wilayah tersebut tidak terdapat kekuasaan atau
disebut wilayah tak bertuan, terra nullius. Dalam memperoleh proses wilayah
melalui proses pendudukan, terdapat dua unsur pokok yaitu penemuan dan
32
Ibid, hal. 40-41
Sefriani, op.cit, hal. 205
34
Ibid.
33
Universitas Sumatera Utara
pengawasan yang efektif. Penemuan saja tidak memberikan alas hak kepada pihak
yang
menemukan
wilayah
tersebut
sebagai
pemilik.
Penemuan
harus
ditindaklanjuti dengan mengadakan pengawasan yang efektif (effective control) di
wilayah tersebut. Pendudukan harus dilakukan oleh suatu negara dan bukan
orang-perorangan. Selain itu harus dapat ditunjukkan bahwa kedaulatan suatu
negara memang ada dan berlaku di wilayah yang diduduki tersebut. 35 Namun saat
ini sudah tidak ada wilayah seperti yang dimaksud, walaupun saat ini sangat
banyak sengketa yang berdasarkan klaim atas wilayah terra nullius misalnya
dalam Eastern Greendland Case.
b.
Aneksasi atau Penaklukan
Istilah penaklukan atau conquest memiliki padanan dengan aneksasi atau
annexation. Penaklukan atau aneksasi adalah suatu cara memperoleh kedaulatan
atas wilayah tertentu dengan menggunakan kekerasan. Aneksasi terjadi dengan
dua bentuk keadaan, yaitu: 36
1) Dimana wilayah yang dianeksasi itu telah ditaklukkan oleh negara
yang menganeksasi.
2) Dimana wilayah yang dianeksasi itu benar-benar berada dalam posisi
lebih rendah daripada negara penganeksasi pada waktu pengumuman
maksud negara penganeksasi.
Penaklukan sebagai suatu tindakan yang mengalahkan negara lain dengan
menduduki sebagian atau seluruh wilayah, belum menjadi dasar untuk
memperoleh kedaulatan atas wilayah tersebut. Perolehan kedaulatan dengan
35
36
J.G. Starke, op.cit, hal. 119
Ibid, hal. 220
Universitas Sumatera Utara
aneksasi harus diikuti oleh dengan pernyataan resmi dan pernyataan demikian
yang biasanya diungkapkan dalam suatu nota yang dikirimkan kepada semua
negara lain yang berkepentingan.
Penggunaan teknik ini pada saat ini sudah ditinggalkan mengingat hal ini dapat
merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip fundamental dalam hubungan
internasional sebagaimana yang tercantum dalam piagam PBB. Bahkan secara
eksplisit terdapat dalam The Stimson Doctrine of Non Recognition (1932) yang
menyatakan apabila dalam upaya untuk perolehan suatu wilayah dengan
menggunakan kekerasan maka perolehan tersebut tidak akan diakui. Oleh karena
itu, pada saat ini teknik penaklukan hanya menjadi kajian akademik. 37
c. Akresi atau Pertambahan
Akresi (accretion)adalah suatu nama yang ditujukan pada suatu proses untuk
mendapatkan wilayah baru melui proses alamiah, yakni tanpa campur tangan
manusia. Hal ini dapat kita temukan padanannya dalam pembentukan suatu
daratan baru yang terhubung dengan wilayah daratan yang telah ada. Dalam hal
kemunculan suatu wilayah baru tersebut dalam wilayah suatu negara maka
wilayah tersebut secara otomatis menjadi bagian dari wilayah negara tersebut.
Contohnya terjadinya letusan volkano di bawah laut pada Januari 1986 di
kawasan Pasifik, hingga memunculkan pulau baru yang masuk wilayah teritorial
Jepang, dimana daratan tersebut disebut sebagai Pulau Iwo Jima.
d. Preskripsi
37
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika
Aditama, 2006:179-182
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum intrnasional, yang dimaksud dengan preskripsi adalah cara
memperoleh kedaulatan atas wilayah yang bukan terra nullius, dengan cara
menduduki wilayah tersebut dalam jangka waktu lama dengan sepengetahuan dan
tanpa protes keberatan dari pemiliknya. Hukum internasional tidak mengatur
berapa lama jangka waktu yang dibutuhkan agar wilayah yang diduduki tersebut
dapat diklaim sebagai bagian dari wilayah suatu negara. Suatu preskripsi adalah
sah apabila telah memenuhi syarat berikut ini: 38
1) Kepemilikan itu harus memperlihatkan kewenangan dan tidak ada
negara yang mengklaimnya.
2) Berlangsungnya secara damai, dan tidak ada gangguan atau protes dari
pihak lain.
3) Harus bersifat publik, yaitu diumumkan dan diketahi oleh pihak lain.
4) Harus berlangsung secara terus-menerus dan ada pengawasan efektif.
Misalnya dalam dua kasus The Island of Palmas Case dan Eastern Greenland
case.
Untuk kasus pertama, dimana kedaulatan Pulau Palmas disebelah selatan Pulau
Mindan Filipina, dimana AS mengklaim berdasar atas Traktat Paris 1898, dan
memahaminya sebagai pewaris Spanyol. Disamping itu Belanda memiliki
pemahaman lain berdasarkan aspek historis negara yang bersebelahan dimana
pulau tersebut adalah bagiannya, sehingga dalam putusannya pengadilan
memenangkan Belanda.
38
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Grafindo Persada,
2002, hal. 128
Universitas Sumatera Utara
Kemudian kasus yang kedua, terkait klaim atas Greenland yang dilakuakan oleh
Norwegia yang menyatakan wilayah tersebut adalah terra nullius. Sedangkan
Denmark menyatakan klaim telah menguasai Greenland sejak tahun 1721 dimana
saat itu Denmark dan Norwegia adalah satu negara. Sehingga pengadilan
memutuskan bahwa Denmark yang menjadi pemilik sah wilayah yang disebut
Greenland.
e. Cesi atau Penyerahan
Cesi (cession) adalah suatu transfer kekuasaan dari satu kedaulatan ke kedaulatan
lainnya, pada umumnya melalui sebuah perjanjian. Ditambahkan oleh Malcolm
N.Shaw yang pada umumnya terjadi setelah peperangan. Bahkan menurutnya
pengalihan kekuasaan dari penguasa kolonial terhadap koloninya bisa dikatakan
sebagai quasy cession. Proses cession merupakan pengalihan kedaulatan yang satu
ke yang lainya, maka negara penerima akan memperoleh hak dan kewajiban
seperti negara yang memiliki sebelumnya.
Semisal dalam kasus pengalihan (cession) atas Pulau Palmas yang diserahkan
Spanyol kepada AS melalui perjanjian Paris 1898, dimana dijelaskan bahwa
Palmas adalah bagian dari Filipina. Namun saat pengambilan Pulau tersebut
berada pada kekuasaan Belanda, sehingga putusan dari Arbitrator Max Huber
memenangkan Belanda karena telah menerapkan kedaulatannya sejak awal abad
18, walaupun awalnya Spanyol telah menguasainya dan kemudian menyerahkan
pada AS.
f. Referendum
Universitas Sumatera Utara
Apabila lima cara yang telah dibahas sebelumnya sering dikatakan sebagai cara
yang klasik maka cara perolehan tambahan wilayah yang keenam ini dikatakan
sebagai cara yang modern. Referendum atau pemungutan suara merupakan
implementasi atau tindak lanjut dari keberadaan hak menentukan nasib sendiri
(self determination right) dalam hukum internasional.
C. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut
Ahli-ahli hukum Romawi memandang laut sebagai milik bersama umat manusia.
Secara umum, arti penting dari laut semakin penting, karena sebagian besar dari
bumi yang kita huni sekarang ini terdiri dari hamparan laut yang sangat luas dan
menyimpan berbagai sumber daya yang efektif maupun potensial. Secara lebih
khusus, menurut pengertian hukum, laut sering disebut sebagai keseluruhan
wilayah air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi. 39
Laut sekililing pantai sejak dahulu dipergunakan oleh setiap negara untuk lalulintas antara kota dengan kota, untuk menangkap ikan, dan juga sebagai tempat
menyerang sebelum musuh mendarat.
1.
Sejarah Hukum Laut Internasional
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan
secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu
dekade terakhir, selain daripada hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritim
39
Victor Situmorang, Sketsa Asas Hukum Laut, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
highways) 40. Hukum laut telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam
sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan sumber kekayaan
mineral yang terkandung di dasar laut itu sendiri, merupakan penghubung bangsabangsa dari segala sektor kegiatan manusia, dan kekayaan sumber hayati serta
karena 70% dari permukaan bumi terdiri dari laut 41.
Sejarah hukum laut ditandai oleh pertarungan antara konsepsi Mare Liberum oleh
Hugo Grotius (Belanda) dan Mare Clausum oleh John Seldon (Inggris), antara
kebebasan di laut lepas di satu pihak, dan klaim negara pantai atas berbagai zona
maritim di pihak lain 42. Pihak Belanda dan Inggris sama-sama tidak menghendaki
monopoli yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugis atas lautan kala itu.
Kebutuhan suatu bangsa untuk memperoleh hak atas perairan di sepanjang pantai
dengan suatu jarak tertentu, rupanya dapat diterima oleh masyarakat internasional
atas dasar untuk keamanan negaranya 43.
Pada abad ke-20 telah dilakukan empat kali upaya-upaya untuk memperolehsuatu
kodifikasi hukum laut secara menyeluruh, yaitu Konferensi Kodifikasi DenHaag
1930 yang diadakan oleh LBB, Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun1958,
Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1960, dan Konferensi PBBtentang
Hukum Laut tahun 1982. Konferensi Kodifikasi Den Haag gagalmenghasilkan
konvensi namun hanya menghasilkan beberapa buah pasal yangdisetujui
40
J.G. Starke, op.cit, hal. 322
Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Edisi II, Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 304
42
Chairul Anwar, Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi
Hukum Laut, Jakarta: Sinar Grafika, 1982, hal 50
43
Adi Sumardiman, Seri Hukum Internasional: Wilayah Indonesia dan Dasar Hukumnya, Jakarta
: Padnya Paramita, 1992, hal. 58-59
41
Universitas Sumatera Utara
sementara. Hingga tahun 1958, ketentuan-ketentuan hukum laut tetap mengacu
pada hukum kebiasaan, dimana hukum kebiasaan sendiri lahir dari suatu
perbuatan yang sama yang dilakukan secara terus-menerus atas dasar kebutuhan
di laut sepanjang zaman.
Berikut ini akan dibahas beberapa diantara Konferensi tentang Hukum Laut yang
diselenggarakan di bawah naungan PBB.
a. Konvensi Hukum Laut 1958
Pada tanggal 29 April 1958 diselenggarakan suatu Konferensi PBB I tentang
Hukum Laut di Jenewa yang dihadiri oleh 86 negara. Konvensi ini merupakan
tahap
yang
penting
dan
bersejarah
bagi
perkembangan Hukum Laut
Kontemporer 44, karena berhasil mencetuskan 4 konvensi, yaitu:
1) Convention on the Territorial Sea and Contigiuos Zone (Konvensi
tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku 10
September 1964.
2) Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas),
mulai berlaku 30 September 1962.
3) Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of the
High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati Laut Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret
1966.
44
Mirza Satria Buana, op.cit, hal. 69
Universitas Sumatera Utara
4) Convention on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas
Kontinen), mulai berlaku 10 Juli 1864 45.
Walaupun konvesi ini dinilai sukses, namun tidak lepas dari kegagalan
menentukan
lebar laut teritorial negara-negara pantai sehingga belum ada
keseragaman pendapat tentang itu 46.
Perdebatan tentang penetapan lebar dari laut territorial suatu negara menjadi isu
yang sangat penting dan tidak terpecahkan dalam Konvensi Hukum Laut 1958.
Hal tersebut merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya rezim kekuatan kebebasan
dalam pengelolaan wilayah laut (mare liberum)dengan sebagian negara yang
menghendaki pembatasan yang lebih tegas dan jelas dalam rangka memberikan
keleluasaan kepada negara pantai untuk melakukan pengawasan atas wilayah
perairannya (mare clausum) 47.
Hal ini pun mendatangkan ketidakpuasan masyarakat internasional sehingga
melakukan klaim laut teritorial secara ekstrim hingga mencapai 200 mil laut.
Klaim ini dipelopori oleh negara-negara di Amerika Selatan. Tindakan ini
kemudian mendorong dilaksanakannya konferensi kedua tentang Hukum Laut
pada tahun 1960 untuk membahas permasalahan penetapan lebar laut teritorial.
Namun karena kurang 1 suara dalam proses pemungutan suara (voting) konvensi
ini gagal menghasilkan konvensi tentang Laut Teritorial 48.
45
Boer Mauna, op.cit, hal. 308
Mirza Satria Buana, op.cit. hal. 70
47
Rivai Sihaloho, “Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Essklusif Indonesia dan India dalam
Penegakan Kedaulatan Teritorial Ditinjau dari Hukum Internasional”, Skripsi S1 Hukum
Internasional Fakultas Hukum, USU, 2013, hal. 45
48
Mirza Satria Buana, loc.cit.
46
Universitas Sumatera Utara
b. Konvensi Hukum Laut 1982
Puncak
dari berbagai perundingan
mengenai masalah kelautan adalah
diadakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut
(United Nations Conference on the Law of the Sea/UNCLOS) yang ketiga pada
tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Konvensi ini dianggap sebagai karya
hukum masyarakat internasional yang terbesar di abad ke-20. Selain yang
terbesar, konvensi ini dianggap sebagai konvensi yang terpanjang, dan juga yang
terpenting dalam sejarah Hukum Internasional 49.
Dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade setelah mulai berlakunya, UNCLOS
1982, yang juga sering disebut sebagai ”Constitution of the Oceans”, telah
menjadi dasar dalam berbagai upaya untuk mencapai perdamaian dan ketertiban
di laut, serta penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk
kepentingan umat manusia 50. UNCLOS 1982 mengatur tentang rezim-rezim
hukum hukum laut.
Berdasarkan UNCLOS 1982, wilayah laut terbagi atas beberapa zona maritim,
antara lain:
a. Perairan Pedalaman (Internal Waters);
b. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters);
c. Laut Teritorial (Territorial Sea);
d. Zona Tambahan (Contiguous Zone);
e. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone);
49
Ibid.
Etty R. Agoes,” Penguatan Hukum Internasional Kelautan”, Makalah Workshop tentang
Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi Lingkungan, Hukum, Budaya dan Keamanan untuk
Meneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat di Universitas Sumatera Utara, Medan, 5-6 Maret
2015, hal. 1.
50
Universitas Sumatera Utara
f. Landas Kontinen (Continental Shelf);
g. Laut Bebas (High Seas);
h. Kawasan (The Areas).
Dari kedelapan zona maritim tersebut, wilayah-wilayah di mana suatu negara
pantai bisa memiliki jurisdiksi, baik kedaulatan maupun hak berdaulat, adalah di
perairan pedalaman, perairan kepulauan (bagi negara kepulauan), laut teritorial,
zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen.
Dengan telah disahkannya Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, tidaklah
berarti bahwa konvensi tersebut telah dapat menampung segala kepentingan
negara-negara. Justru pada masa sekarang, masalah-masalah yang nyata mulai
timbul. Diantara kedelapan zona maritim yang telah diatur dalam UNCLOS 1982,
salah satu zona maritim yang sering diperebutkan antara sesama negara pantai
yang bertetangga adalah laut teritorial. Dalam wilayah laut teritorial, negara pantai
memiliki kedaulatan penuh pada wilayah udara di atasnya, kolom air, dasar laut,
dan tanah di dalamnya. Implikasinya, negara tersebut memiliki kewenangan untuk
menetapkan ketentuan di bidang apapun 51.
Berkaitan dengan masalah perbatasan antar negara, salah satu hal menarik adalah
adanya suatu rezim yang baru diatur dalam UNCLOS 1982 yang tidak diatur
dalam
konvensi-konvensi
sebelumnya,
yaitu
rezim
Negara
Kepulauan
(Archipelagic State). Rezim ini mempunyai arti dan peranan penting bagi
Indonesia dalam rangka implementasi wawasan nusantara sesuai amanat MPR
51
Adiwerti Sarahayu Lestari, “Implikasi Perjanjian Tentang Penetapan Garis Batas Laut territorial
Antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura”, Skripsi S1 Hukum Transnasional Fakultas
Hukum, UI, 2011, hal.42
Universitas Sumatera Utara
RI. 52 Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982 pada 31
Desember 1982. Maka sejak itu Indonesia terikat dalam Konvensi Hukum Laut
PBB III Tahun 1982, dan hasil dari konvensi ini harus menjadi pedoman dalam
pembuatan hukum laut nasional selanjutnya.
2.
Konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State)
Salah satu yang memberikan kesan mendalam terhadap Konvensi UNCLOS 1982
ini adalah dengan diterimanya konsep negara kepulauan (archipelagic state) yang
selama konvensi berjalan, sering diperjuangkan oleh negara-negara kepulauan
seperti Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritus, dan Kepulauan Solomon yang
menginginkan adanya suatu peraturan khusus untuk menjaga kedaulatan eksternal
negara-negara kedaulatan tersebut. 53
Konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah hasil keputusan dari
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 yang diatur
dalam Bagian IV Konvensi (Pasal 46-54) untuk negara-negara kepulauan
(archipelagic states) dan perairan negara-negara kepulauan. Menurut Pasal 46
ayat 1 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982:
“Archipelagic State means a State constituted wholly by one or more archipelagos
and may include other islands. (Negara Kepulauan berarti suatu Negara yang
52
53
Rivai Sihaloho,op.cit, hal. 47
Mirza Satria Buana, op.cit, hal. 80-81
Universitas Sumatera Utara
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain).” 54
Maksudnya adalah secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda
artinya dengan defenisi negara-negara yang secara geografis wilayahnya
berbentuk kepulauan. 55 Hal ini disebabkan dalam Pasal 46 ayat 2 Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982 disebutkan:
“archipelago means a group of islands, including parts of islands, interconnecting
waters and other natural features which are so closely interrelated that such
islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical,
economic and political entity, or which historically have been regarded as such.
(kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di
antaranya dan wujud-wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lainnya
demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu
merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang
secara historis dianggap sebagai demikian).” 56
Dengan kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara negara
kepulauan (archipelagic state) dan kepulauan (archipelago).
Perbedaan yang diuraikan dalam Pasal 46 UNCLOS 1982 diatas menimbulkan
konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline)
tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai
54
UNCLOS 1982 Pasal 46 ayat 1
Mirza Satria Buana, op.cit, hal. 81
56
UNCLOS 1982 Pasal 46 ayat 2
55
Universitas Sumatera Utara
negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
bila ingin melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan. 57
Metode garis pangkal lurus dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan
kepulauan yang dimuat dalam Pasal 47 dan 49 Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982. Suatu negara kepulauan yang menarik garis pangkal lurus
kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau dan karang kering dari
kepulauan itu, dengan akibat bahwa kedaulatan negara kepulauan meluas hingga
yang tertutup karena penarikan garis pangkal lurus demikian, sampai ke ruang
udara yang ada di atasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
Dalam Pasal 51-54 UNCLOS 1982 ditentukan mengenai dihormatinya oleh
negara kepulauan perjanjian-perjanjian yang ada, hak-hak perikanan tradisional
dan kabel-kabel bawah laut, mengenai hak lintas damai, mengenai penetapanpenetapan secara tepat alur-alur laut dan rute-rute udara oleh negara kepulaua, dan
mengenai kewajiban-kewajiban yang sama yang harus diperhatikan oleh kapal
dan pesawat udara asing, dan oleh negara kepulauan, sebagaimana yang secara
mutatis mutandis dalam hal lintas transit melalui selat-selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional menurut ketentuan Pasal 39, 40, 42 dan 44 UNCLOS
1982.
D. Kedaulatan Indonesia Berdasarkan UNCLOS
57
Mirza Satria Buana,op.cit, hal. 81-82
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Hukum Internasional, Indonesia mempunyai beberapa macam
perbatasan nasional, yaitu perbatasan di wilayah udara, wilayah darat, dan wilayah
laut. Pengaturan hukum internasional tentang wilayah laut secara komprehensif
mulai dilakukan pada Konferensi PBB I tentang Hukum Laut 1985 di Jenewa.
Pada Konferensi ini dihasilkan beberapa Konvensi, yaitu; Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan (Convention on the Territorial Seas and
Continguous Zone), Konvensi Tentang Laut Lepas (Convention on the High
Seas), Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di
Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of
the High Seas), dan Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention on
Continental Shelf).
Tanggal 17 Maret-26 April 1960 kembali dilaksanakan Konferensi PBB II tentang
Hukum Laut yang membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan.
Sampai dengan tahun 1970-an konvensi-konvensi tersebut masih dianggap
memadai. Tuntutan untuk mengadakan peninjauan kembali terhadap konvensikonvensi tersebut muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan
teknologi penambangan dasar laut, semakin berkurangnya cadangan sumber daya
hayati di lautan, serta pesatnya teknologi perkapalan menyebabkan konvensikonvensi terdahulu tidak memadai 58. Setelah melalui perundingan yang panjang
akhirnya pada tahun 1982 dilaksanakan Konferensi PBB III tentang Hukum Laut
yang menghasilkan kesepakatan konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United
Nation Convention on the Law of the Sea) yang terdiri dari 320 pasal dan 9
58
Chairul Anwar, op.cit, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
lampiran. Konvensi ini diterima sebagai ketentuan hukum internasional yang
mengatur tentang wilayah laut, perlindungan lingkungan laut, penyelesaian
sengketa kelautan dan sebagainya.
Konvensi PBB III mengenai Hukum Laut, telah mengelompokkan sebagian besar
Negara di dunia ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu, kelompok Negara-negara
pantai (the coastal states group), kelompok Negara-negara tidak memiliki pantai
(the land-locked states group), dan kelompok Negara-negara yang secara
geografis tidak menguntungkan (the geographically disadvantage states group).
Untuk negara pantai, Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur zona wilayah laut
beserta pengaturan tentang kedaulatan teritorial negara pantai dan hak negara lain
yang berlaku di masing-masing zona maritim, tiap negara pantai dan hak negara
lain yang berlaku di masing-masing zona maritim, tiap negara pantai mempunyai
batas atau delimitasi zona maritimnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka bagi
Indonesia sebagai negara kepulauan, batas-batas wilayah negara sebagian diatur
dalam UNCLOS 1982 yang kemudian diratifikasi melalui Undang-undang No. 17
Tahun 1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982, sebagian lagi diatur melalui
perjanjian-perjanjian atau treaty antara Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Perjanjian itulah yang menjadi dasar penetapan batas wilayah negara Indonesia 59.
Setelah Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1985, maka pada tahun
1996 keluar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Hal ini merupakan langkah awal yang diambil oleh Indonesia sebagai tindak
lanjut dari konvensi.
59
Suryo S. Hadiwidjoyo, op.cit, hal. 63
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 dikatakan bahwa kedaulatan
Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi Laut Teritorial,
Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman, serta dasar laut dan tanah
dibawahnya termasuk sumber kekayaan yang ada di dalamnya. 60
Untuk lebih jelasnya lagi jurisdiksi perairan Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia akan diuraikan sebagai
berikut:
1.
Laut Teritorial
Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa “Laut
Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur
dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”. Pasal 5
yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis pangkal
kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang tercantum
dalam UNCLOS 1982.
Dalam ketentuan UNCLOS 1982, batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil
laut diukur dari garis pangkal normal. Yang berarti bisa kurang dari 12 mil laut
diukur dari garis garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang
mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang
surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan
kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut
60
UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Universitas Sumatera Utara
teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
serta lintas damai.
2.
Perairan Kepulauan
Dalam pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Perairan Indonesia disebutkan bahwa,
“Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau
jaraknya dari pantai.” Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS
1982) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka
perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut
internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya. 61
3.
Perairan pedalaman
Dalam pasal 8 ayat (1) UNCLOS 1982 disebutkan bahwa yang dinamakan
Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut
territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan
dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya
semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
61
Andreas Gayus Sinulingga, “Keduduan Pulau Nipa Sebagai Pulau Terluar untuk Penarikan
Garis Pangkal Laut Terluar Indonesia yang Berbatasan dengan Singapura”, Skripsi S1 Hukum
Internasional Fakultas Hukum, USU, 2014, hal. 65
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, menurut pengertian undang-undang ini Laut Pedalaman adalah
bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan garis
air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada
sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah
segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Indonesia membedakan perairan pedalaman atas dua golongan, yaitu:
a. Perairan pedalaman yang sebelumnya berlaku Undang-Undang No.
4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman dan internal seas.
b. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No.
4/Prp Tahun 1960 merupakan laut pedalaman yang dahulu,
selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
Tindakan-tindakan implementasi Konvensi Hukum laut 1982 yang telah
dilakukan pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Di Bidang Penentuan Garis Pangkal
Menurut Pasal 5 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996, garis pangkal lurus kepulauan
adalah garis-garis lurus menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah
pulau-pulau dan karang-karang yang terluar dari kepulauan Indonesia. Di samping
itu, sesuai Pasal 5 ayat (7), juga ada garis pangkal pantai yang menjorok jauh dan
menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
Sesuai UU No. 6 Tahun 1996 jo. UU No. 4 Prp Tahun 1960 dan sebagai
implementasi Deklarasi Djuanda, Indonesia menatapkan sebanyak 200 titik terluar
dengan 196 garis pangkal lurus. Tentu saja titik terluar dan garis-garis pangkal
Universitas Sumatera Utara
tersebut yang belum mendapat pengakuan Internasional disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi agar terdapatnya jaminan hukum. Selanjutnya,
dalam Pasal 6 UU No. 6 Tahun 1996 haruslah dibuat daftar titik-titik terluar dan
garis-garis pangkal tersebut serta mencantumkannya dalam peta dengan skalaskala yang memadai dan mendepositkannya pada Sekretariat Jenderal PBB. Pada
hakikatnya penyesuaian garis pangkal sudah dilakukan secara bertahap. Untuk
perairan Natuna, pemerintah RI telah mengeluarkan PP No. 61 Tahun 1998 yang
menetapkan garis-garis pangkal baru. Secara teknis, pemerintah telah melakukan
survei guna menetapkan titik-titik dasar baru, tetapi belum dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut, pemerintah mengeluarkan PP No. 38
Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia yang kemudian diubah dengan PP No. 37 Tahun 2008.
2.
Mengenai Hak Lintas Batas
Pasal 17-19 Konvensi Hukum Laut 1982 menjelaskan hak lintas damai (right of
innocent passage). Pasal 17 Konvensi mengatur bahwa kapal dari semua negara
baik negara pantai maupun negara tidak berpantai mempunyai hak lintas damai
melalui laut teritorial. Pasal 18 Konvensi memberikan pengertian lintas (passage),
yaitu berlayar atau navigasi melalui laut teritorial untuk tujuan melintasi laut
tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah
laut (roadsteads) atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman atau berlalu
ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut
atau fasilitas pelabuhan tersebut. Lintas harus terus-menerus, langsung serta
secepat mungkin (continuous and expeditious), dan lintas mencakup berhenti dan
Universitas Sumatera Utara
buang jangkar secara normal atau karena force majeure. Pasal 19 UNCLOS 1982
menyebutkan bahwa lintas adalah damai selama tidak menggangu kedamaian,
ketertiban atau keamanan negara pantai.
Konvensi 1982 yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai
telah dituangkan ke dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang diatur dalam Bab III Pasal
11-17 62. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 21 UNCLOS 1982 bertujuan untuk
mengatur keselamatan pelayaran, pelestarian kekayaan hayati laut, pemeliharaan
lingkungan dan pencegahan polusi, penyidikan ilmiah dan pencegahan terhadap
pelanggaran-pelanggaran aturan kepabeanan, keuangan, imigrasi, dll. Pemerintah
juga telah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 2002 yang mengatur hak lintas damai
di perairan Indonesia.
3.
Mengenai Hak Lintas Transit
Hak lintas transit (right of transit passage) diatur oleh Pasal 37-44 Konvensi
Hukum Laut 1982. Pasal 37 menyatakan bahwa lintas transit (transit passage)
berlaku pada selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu
bagian laut lepas (high seas) atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas
atau zona ekonomi eksklusif lainnya, sedangkan hak lintas transit itu sendiri
terdapat dalam Pasal 38 Konvensi yang mengatakan bahwa semua kapal (ships)
dan pesawat udara (aircraft) mempunyai hak lintas transit yang tidak boleh
dihalangi. Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran (freedom of
navigation) dan penerbangan (overflight) semata-mata untuk tujuan transit terus-
62
UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Universitas Sumatera Utara
menerus langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya.
Pengaturan hak lintas damai bagi kapal asing telah diatur dalam UU No. 6 Tahun
1996 yang diatur dalam Bab III Pasal 20 dan 21 mengenai hak lintas transit
mengizinkan negara-negara yang dipisahkan selat untuk membuat peraturan
perundang-undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat berkaitan dengan
keselamatan pelayaran, pencegahan polusi, pengaturan penangkapan ikan, dll.
4.
Penentuan Batas Perairan Pedalaman
Pasal 8 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa : “… waters on the landward side of
the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the State”,
yaitu bahwa perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut
teritorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut.
Perairan pedalaman Indonesia adalah sepenuhnya berada di bawah kedaulatan
Negara Indonesia, sampai saat ini Indonesia belum menetapkan wilayah perairan
pedalaman, dengan identifikasinya. Selain itu di perairan pedalaman tersebut
terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang ekspor-impor dari dan ke
Indonesia. Dalam konteks pembangunan ekonomi nasional Indonesia, pelabuhanpelabuhan yang ada di Indonesia sudah seharusnya mempunyai standar
internasional dan mampu bersaing secara global dengan pelabuhan-pelabuhan luar
negeri. Indonesia wajib memberikan keamanan dan keselamatan pelayaran
internasional sejalan dengan International Ship and Port Facility Security (ISPS)
Code yang diadopsi oleh International Maritime Organization (IMO) tanggal 12
Universitas Sumatera Utara
Desember 2002. Di samping itu, perairan pedalaman Indonesia sering dijadikan
tempat pembuangan limbah sehingga perairan pedalaman di beberapa tempat di
Indonesia sering tampak kotor, dan mungkin terjadi pencemaran lingkungan laut
dan perusakan habitatnya. Apabila pemerintah membiarkan keadaan tersebut di
perairan pedalaman, maka dapat dianggap telah melanggar kewajiban negara
untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh
Pasal 192 UNCLOS 1982 yang berbunyi : “States have the obligation to protect
and preserve the marine environment”. Kewajiban Indonesia di perairan
pedalaman adalah untuk kepentingan Indonesia, yaitu berupa kewajiban menjaga
dan melestarikan lingkungan hidup secara keseluruhan, walapun dalam konteks
lingkungan laut sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Laut yang merupakan peraturan pelaksana dari
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Indonesia yang memiliki laut sangat luas itu tampaknya tidak diimbangi dengan
kesungguhan menjaga dan memanfaatkannya, sehingga di perairan pedalaman
saja terjadi penangkapan ikan ilegal, pencemaran laut, dan perusakan terumbu
karang yang dapat merugikan masyarakat luas dan laut sendiri. Oleh karena itu
Indonesia perlu menetapkan batas wilayah perairan pedalaman di dalam perairan
nusantara (penetapan closing lines), serta peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh setiap sektor harus dilaksanakan dengan koordinasi yang baik,
sehingga laut di perairan pedalaman tidak rusak, apalagi pada era otonomi daerah
sekarang ini jangan sampai menambah kerusakan wilayah laut.
5.
Zona Ekonomi Eksklusif
Universitas Sumatera Utara
Indonesia mempunyai hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban di zona ekonomi
eksklusif karena sudah terikat oleh UNCLOS 1982 dengan UU No. 17 Tahun
1985. Hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban Indonesia pada Konvensi tersebut sudah
ditentukan oleh Pasal 56 yang berbunyi sebagai berikut :
a. In the exclusive economic zone, the coastal State has:
1)
sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting,
conserving and managing the natural resources, whether living or
non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the
seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the
economic exploitation and exploration of the zone, such as the
production of energy from the water, currents and winds;
2)
jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this
Convention with regard to:
b. In exercising its rights and performing its duties under this Convention in
the exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard to
the rights and duties of other States and shall act in a manner compatible
with the provisions of this Convention.
Di zona ekonomi eksklusif setiap negara pantai seperti Indonesia ini mempunyai
hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola
sumber daya alam baik hayati maupun non hayati di perairannya, dasar laut dan
tanah di bawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti
produksi energi dari air, arus, dan angin. Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona
itu adalah jurisdiksi membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan
Universitas Sumatera Utara
bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Dalam melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif
itu, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain.
Indonesia sudah dilengkapi dengan UU No. 5 Tahun 1983 dan PP No. 15 Tahun
1984 tentang Pengelolaan Sumber Hayati Laut di ZEE Indonesia. Sehubungan
dengan zona ini banyak kegiatan tindak lanjut yang harus dilakukan Indonesia
seperti penetapan batas terluar ZEE Indonesia dan menyimpankan copy peta-peta
atau daftar koordinat-koordinatnya kepada Sekretariat Jenderal PBB. Sesuai Pasal
62 UNCLOS 1982, Indonesia harus memberitahukan mengenai pembangunan dan
letak pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya di
ZEE.
Menurut Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia yang menyatakan bahwa “dalam rangka melaksanakan hak
berdaulat dan jurisdiksinya itu, aparatur penegak hukum dapat mengambil
tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Oleh karena itu, untuk
menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di ZEE Indonesia itu,
Indonesia harus mempunyai kekuatan armada laut yang dapat diandalkan,
sehingga kekayaan di zona itu tidak diambil oleh kapal-kapal asing.
6.
Landas Kontinen
Indonesia mempunyai hak eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumber daya alam
di landas kontinen sebagaimana diatur oleh Pasal 77 UNCLOS 1982, tetapi di
Universitas Sumatera Utara
samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas terluar
landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi Landas
Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya
diatur oleh Lampiran (Annex) II UNCLOS 1982. Penentapan batas-batas landas
kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan
salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi
yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya. Indonesia juga harus
melakukan negosiasi penetapan batas-batas landas kontinen dengan negara
tetangga dan jangan sampai terulang kasus Sipadan-Ligitan yang semula tentang
perundingan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia tersebut.
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang
Landas Kontinen yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 yang sudah
barang tentu sudah tidak relevan lagi, Landas kontinen menurut Pasal UndangUndang No. 1 Tahun 1973 tersebut adalah sampai kedalaman 200 meter yang
berarti tidak sesuai dengan Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982. Oleh karena itu,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 harus diamandemen dengan sesuai dengan
materi muatan UNCLOS 1982, dan mengumumkan dan mendepositkan batas
landas kontinen tersebut pada sekjen PBB pada tahun 2009.
7.
Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia
Negara pantai dengan memperhatikan keselamatan pelayaran dapat mewajibkan
kapal asing melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial dengan
menggunakanalur laut (sea lanes) dan skema pemisah lalu lintas (traffic
separation schemes) sebagaimana diatur oleh Pasal 22 UNCLOS 1982. Demikian
Universitas Sumatera Utara
juga pelayaran dengan menggunakan hak lintas transit karena ketentuan Pasal 41
UNCLOS 1982 yang mengatur alur laut dan skema pemisah lintas transit, yaitu
bahwa negara-negara yang berbatasan dengan selat (states bordering straits)
dapat menentukan alur laut (sea lanes) dan skema pemisah pelayaran di selat-selat
apabila diperlukan untuk meningkatkan lintas transit yang aman sesuai dengan
peraturan internasional yang dibuat oleh organisasi internasional yang
berkompeten, yaitu dalam hal ini IMO (Internattional Maritime Organizations).
Indonesia telah memilki UU No. 6 Tahun 1996 yang juga berisikan ketentuan
penetapan lintas alur laut kepulaun seperti yang terdapat dalam Pasal 18 dan 19.
Pada tahun 1996 Indonesia telah mengusulkan kepada IMO penetapan tiga ALKI
beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia. 63
Menurut kesepakatan dengan IMO, ALKI-ALKI itu akan mulai berlaku minimum
enam bulan sejak diundangkannnya oleh Indonesia. Pemerintah mengeluarkan PP
No. 37 Tahun 2002 tentang 3 alur laut kepulauan di perairan kepulauan Indonesia.
8.
Pertambangan Dasar Laut
Kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya yang diatur oleh Bab XI UNCLOS
1982 tersebut tunduk pada rejim internasional, yaitu common heritage of mankind,
yaitu warisan bersama umat manusia. Di Kawasan tidak boleh ada negara yang
mengklaim kedaulatan karena semua kekayaannya hanya untuk kepentingan
seluruh umat manusia yang dikelola oleh suatu badan internasional, yaitu Badan
Otorita Dasar Laut Internasional (International Sea-Bed Authority-ISBA),
63
http://www.dekin.kkp.go.id/yopi/index.php, diakses pada tanggal 12 April 2016
Universitas Sumatera Utara
sehingga pertambangan di Kawasan terutama yang dilakukan oleh negara-negara
maju yang mempunyai teknologi dan sumber daya manusia harus berdasarkan
persetujuan ISBA.
Kawasan yang berada di luar jurisdiksi nasional dan berada di bawah pengelolaan
Badan Otorita Dasar Laut Internasional atau ISBA itu mempunyai status common
heritage of mankind, yaitu semua kekayaan di Kawasan adalah warisan bersama
umat manusia. Oleh karena itu tidak ada kewajiban khusus yang dimiliki oleh
setiap negara termasuk Indonesia. Kewajiban Indonesia adalah berpartisipasi
dalam eksplorasi dan eksploitasi bekerja sama dengan negara, organisasi
internasional, atau perusahaan dalam negeri atau asing.
Indonesia seharusnya konsentrasi menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber
daya alam di laut baik hayati maupun nonhayati yang berada di bawah kedaulatan
dan jurisdiksi Indonesia, seperti di perairan kepulauan, laut teritorial, zona
ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Pemerintah Indonesia harus aktif
mengikuti sidang ISBA yang dilakukan setiap tahun, untuk mengikuti
perkembangan-perkembangan mengenai potensi pertambangan di dasar laut.
Universitas Sumatera Utara
Download