BAB II PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEDAULATAN TERITORIAL NEGARA A. Kedaulatan Teritorial Negara 1. Pengertian Salah satu dari unsur pokok status kenegaraan suatu negara adalah penguasaan suatu wilayah teritorial, atau yang lebih dikenal sebagai kedaulatan teritorial dari negara tersebut. Kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah sovereignity berasal dari kata Latin superanus berarti ‘yang teratas’. 17 Yang berarti bahwa terhadap suatu wilayah tertentu otoritas tertinggi berada pada negara terkait. Oleh karena itu, muncullah konsep “Kedaulatan Teritorial” yang menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan harta benda yang menyampingkan negaranegara lain 18. Starke mengatakan kedaulatan sering dianalogikan dengan kemerdekaan yang sekaligus merupakan fungsi dari suatu negara. Kedaulatan atau soverainete dalam bahasa Perancis, sering diartikan sebagai The Pride of Nations atau harga diri suatu bangsa. Dalam pernyataan ini terkandung suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu Negara yang merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk secara eksklusif dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan kegiatan / kebijakan tersebut 17 18 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit, hal. 16 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 210 Universitas Sumatera Utara tidak bertentangan dengan kepentingan negara lain dan hukum internasional 19. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa konsep dasar dari ruang berlakunya kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi negara dibatasi oleh wilayah Negara itu, sehingga negara memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu darat, udara dan laut. Kedaulatan atas wilayah darat meliputi permukaaan tanah daratan dan juga tanah di bawah daratan sampai pada kedalaman yang tidak terbatas. Kedaulatan atas ruang udara meliputi ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan yang terletak di atas wilayah perairan suatu negara. Sedangkan pada wilayah laut, kedaulatan teritorial suatu negara meliputi zona perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Kedaulatan teritorial suatu negara tersebut juga diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 2 20. Hakim Huber dalam kasus Island of Palma yang dikutip oleh Kusumaatmadja 21 menyatakan : “Soverignity in relation to a portion of the surface of the globe isthe legal condition necessary for the inclusion of such portion inthe territory of any particular state”. Menurut pernyataan tersebut, kedaulatan negara atas wilayahnya mempunyai dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Aspek positifnya adalah bahwa kekuasaan tertinggi atau kewenangan eksklusif dari suatu negara berlaku di dalam 19 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional : Teori dan Praktek, Jakarta : Rajawali Press, 2011, hal. 32 20 Eka Christiningsih Tanlain, op.cit, hal. 26 21 Hakim Huber dalam Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, op.cit. hal. 163 Universitas Sumatera Utara wilayahnya, sedangkan di luar wilayah negaranya suatu negara tidak memiliki kekuasaan demikian karena kekuasan tersebut berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain dimulai. Aspek negatifnya ditunjukkan dengan adanya kewajiban negara untuk melindungi hak-hak negara lain di wilayahnya. 22 Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini, selain kemerdekaan (independence) juga paham persamaan derajat (equality). 23 Artinya, negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka, mereka juga sama derajatnya dengan yang lainnya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kemerdekaan dan persamaan derajat merupakan bentuk perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti yang wajar. 24 Dari penjelasan-penjelasan mengenai kedaulatan tersebut, jelas terlihat bahwa wilayah memegang peranan yang penting dalam konsep kedaulatan negara. Kedaulatan berlaku atas suatu wilayah negara tertentu dimana keberlakuannya tersebut akan berakhir ketika wilayah negara lain muncul. Oleh karena itu sangat penting bagi suatu negara untuk menentukan batas kedaulatan teritorialnya untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayah teritorialnya, baik wilayah darat, laut, maupun udara. 2. Macam-macam Kedaulatan Negara 22 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, loc.cit, hal.163 Ibid, hal. 19 24 Ibid. 23 Universitas Sumatera Utara Kedaulatan teritorial suatu negara sering dikaitkan dengan permasalahan sejauh mana negara tersebut memiliki kewenangan dalam menjalankan kebijakan atau kegiatan kenegaraannya serta melaksanakan hukum nasionalnya. Dalam hal ini, kedaulatan terbagi atas dua konsep utama, yaitu: Kedaulatan Negara berdasarkan atas jangkauan (scope)dan berdasarkan atas konsep wilayah (territorial) suatu negara 25. Secara garis besar, kedua konsep ini dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga) konsep kedaulatan, yakni: a. Kedaulatan Eksternal (Independensi) Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan internasionalnya dengan berbagai negara / kelompok lain tanpa ada halangan, rintangan, kekangan, dan tekanan dari pihak manapun juga (a freedom in international relationship). Kedaulatan eksternal suatu negara sering juga disebut dengan sitilah “independensi negara”. 26 b. Kedaulatan Internal (Supremacy) Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga negaranya, cara kerja lembaga negara, hak untuk membuat undang-undang (konstitusi) tanpa ada campur tangan atau intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan dari rakyatnya (obedience in social society), dan memiliki kewenangan sendiri untuk memutus persoalan- 25 26 Ibid, hal. 34 Ibid, hal.34-35 Universitas Sumatera Utara persoalan yang timbul di dalam jurisdiksinya. 27 Kedaulatan internal sering juga disebut dengan istilah “supremasi negara” 28. c. Kedaulatan Teritorial Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki oleh suatu Negara dalam hal melaksanakan jurisdiksi (kewenangan) secara eksklusif di wilayah negaranya, yang mana di wilayah Negara tersebut Negara memiliki wewenang penuh untuk melaksanakan dan menegakkan hukum nasionalnya (exercise and enforce law). 29 Hal ini berarti setiap orang yang menempati suatu wilayah tertentu atas suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada kekuasaan hukum dari Negara yang berdaulat atas wilayah tersebut. B. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat Wilayah merupakan atribut yang sangat penting bagi eksistensi suatu negara. Di atas wilayahnya negara memiliki hak-hak untuk melaksanakan kedaulatan atas orang, benda juga peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi di wilayahnya 30. Sejarah dunia telah mencatat beberapa peristiwa terpenting dalam sejarah hukum internasional, seperti berdirinya suatu negara, dan juga peristiwa lenyapnya kedaulatan suatu negara 31. Isu kedaulatan wilayah menjadi sorotan utama publik internasional, karena hal tersebut berkenaan dengan permasalahan kemampuan negara tersebut 27 Ibid, hal.36 Ibid, hal. 37 29 Ibid, hal. 38 30 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 203-204 31 Mirza Satria Buana, loc.cit. 28 Universitas Sumatera Utara mempertahankan kedaulatan negaranya. Permasalahan yang banyak diangkat sebagai wacana adalah bagaimana suatu negara memperoleh kemerdekaannya (kedaulatannya) dan bagaimana persyaratan atau kriteria-kriteria hukum internasional supaya suatu kesatuan masyarakat menjadi negara dan subjek hukum internasional dan diakui oleh publik internasional. 32 Masalah bagaimana suatu negara mendapatkan wilayahnya dalam hukum internasional merupakan masalah yang cukup sulit karena pembahasan mengenai pesoalan ini relatif sedikit sekali. Yang banyak didiskusikan adalah bagaimana suatu negara memperoleh kemerdekaannya dan bagaimana suatu masyarakat memenuhi unsur-unsur atau kriteria hukum internasional agar menjadi suatu Negara atau subjek hukum internasional dan diakui oleh negara-negara lainnya. Daratan suatu negara terdiri dari darat (bagian wilayah yang kering) serta perairan daratan yang terdiri dari sungai dan danau. Daratan suatu negara dapat merupakan daratan awal atau wilayah tambahan negara tersebut. 33 Berdasarkan teori-teori hukum internasional klasik, wilayah tambahan dapat diperoleh oleh suatu negara dengan cara-cara sebagai berikut 34: a. Okupasi atau Pendudukan Okupasi (occupation) adalah suatu cara untuk memperoleh wilayah melalui pendudukan. Hal mana pendudukan disini dilakukan terhadap suatu wilayah, yang sebelum terjadinya pendudukan di wilayah tersebut tidak terdapat kekuasaan atau disebut wilayah tak bertuan, terra nullius. Dalam memperoleh proses wilayah melalui proses pendudukan, terdapat dua unsur pokok yaitu penemuan dan 32 Ibid, hal. 40-41 Sefriani, op.cit, hal. 205 34 Ibid. 33 Universitas Sumatera Utara pengawasan yang efektif. Penemuan saja tidak memberikan alas hak kepada pihak yang menemukan wilayah tersebut sebagai pemilik. Penemuan harus ditindaklanjuti dengan mengadakan pengawasan yang efektif (effective control) di wilayah tersebut. Pendudukan harus dilakukan oleh suatu negara dan bukan orang-perorangan. Selain itu harus dapat ditunjukkan bahwa kedaulatan suatu negara memang ada dan berlaku di wilayah yang diduduki tersebut. 35 Namun saat ini sudah tidak ada wilayah seperti yang dimaksud, walaupun saat ini sangat banyak sengketa yang berdasarkan klaim atas wilayah terra nullius misalnya dalam Eastern Greendland Case. b. Aneksasi atau Penaklukan Istilah penaklukan atau conquest memiliki padanan dengan aneksasi atau annexation. Penaklukan atau aneksasi adalah suatu cara memperoleh kedaulatan atas wilayah tertentu dengan menggunakan kekerasan. Aneksasi terjadi dengan dua bentuk keadaan, yaitu: 36 1) Dimana wilayah yang dianeksasi itu telah ditaklukkan oleh negara yang menganeksasi. 2) Dimana wilayah yang dianeksasi itu benar-benar berada dalam posisi lebih rendah daripada negara penganeksasi pada waktu pengumuman maksud negara penganeksasi. Penaklukan sebagai suatu tindakan yang mengalahkan negara lain dengan menduduki sebagian atau seluruh wilayah, belum menjadi dasar untuk memperoleh kedaulatan atas wilayah tersebut. Perolehan kedaulatan dengan 35 36 J.G. Starke, op.cit, hal. 119 Ibid, hal. 220 Universitas Sumatera Utara aneksasi harus diikuti oleh dengan pernyataan resmi dan pernyataan demikian yang biasanya diungkapkan dalam suatu nota yang dikirimkan kepada semua negara lain yang berkepentingan. Penggunaan teknik ini pada saat ini sudah ditinggalkan mengingat hal ini dapat merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip fundamental dalam hubungan internasional sebagaimana yang tercantum dalam piagam PBB. Bahkan secara eksplisit terdapat dalam The Stimson Doctrine of Non Recognition (1932) yang menyatakan apabila dalam upaya untuk perolehan suatu wilayah dengan menggunakan kekerasan maka perolehan tersebut tidak akan diakui. Oleh karena itu, pada saat ini teknik penaklukan hanya menjadi kajian akademik. 37 c. Akresi atau Pertambahan Akresi (accretion)adalah suatu nama yang ditujukan pada suatu proses untuk mendapatkan wilayah baru melui proses alamiah, yakni tanpa campur tangan manusia. Hal ini dapat kita temukan padanannya dalam pembentukan suatu daratan baru yang terhubung dengan wilayah daratan yang telah ada. Dalam hal kemunculan suatu wilayah baru tersebut dalam wilayah suatu negara maka wilayah tersebut secara otomatis menjadi bagian dari wilayah negara tersebut. Contohnya terjadinya letusan volkano di bawah laut pada Januari 1986 di kawasan Pasifik, hingga memunculkan pulau baru yang masuk wilayah teritorial Jepang, dimana daratan tersebut disebut sebagai Pulau Iwo Jima. d. Preskripsi 37 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Aditama, 2006:179-182 Universitas Sumatera Utara Dalam hukum intrnasional, yang dimaksud dengan preskripsi adalah cara memperoleh kedaulatan atas wilayah yang bukan terra nullius, dengan cara menduduki wilayah tersebut dalam jangka waktu lama dengan sepengetahuan dan tanpa protes keberatan dari pemiliknya. Hukum internasional tidak mengatur berapa lama jangka waktu yang dibutuhkan agar wilayah yang diduduki tersebut dapat diklaim sebagai bagian dari wilayah suatu negara. Suatu preskripsi adalah sah apabila telah memenuhi syarat berikut ini: 38 1) Kepemilikan itu harus memperlihatkan kewenangan dan tidak ada negara yang mengklaimnya. 2) Berlangsungnya secara damai, dan tidak ada gangguan atau protes dari pihak lain. 3) Harus bersifat publik, yaitu diumumkan dan diketahi oleh pihak lain. 4) Harus berlangsung secara terus-menerus dan ada pengawasan efektif. Misalnya dalam dua kasus The Island of Palmas Case dan Eastern Greenland case. Untuk kasus pertama, dimana kedaulatan Pulau Palmas disebelah selatan Pulau Mindan Filipina, dimana AS mengklaim berdasar atas Traktat Paris 1898, dan memahaminya sebagai pewaris Spanyol. Disamping itu Belanda memiliki pemahaman lain berdasarkan aspek historis negara yang bersebelahan dimana pulau tersebut adalah bagiannya, sehingga dalam putusannya pengadilan memenangkan Belanda. 38 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Grafindo Persada, 2002, hal. 128 Universitas Sumatera Utara Kemudian kasus yang kedua, terkait klaim atas Greenland yang dilakuakan oleh Norwegia yang menyatakan wilayah tersebut adalah terra nullius. Sedangkan Denmark menyatakan klaim telah menguasai Greenland sejak tahun 1721 dimana saat itu Denmark dan Norwegia adalah satu negara. Sehingga pengadilan memutuskan bahwa Denmark yang menjadi pemilik sah wilayah yang disebut Greenland. e. Cesi atau Penyerahan Cesi (cession) adalah suatu transfer kekuasaan dari satu kedaulatan ke kedaulatan lainnya, pada umumnya melalui sebuah perjanjian. Ditambahkan oleh Malcolm N.Shaw yang pada umumnya terjadi setelah peperangan. Bahkan menurutnya pengalihan kekuasaan dari penguasa kolonial terhadap koloninya bisa dikatakan sebagai quasy cession. Proses cession merupakan pengalihan kedaulatan yang satu ke yang lainya, maka negara penerima akan memperoleh hak dan kewajiban seperti negara yang memiliki sebelumnya. Semisal dalam kasus pengalihan (cession) atas Pulau Palmas yang diserahkan Spanyol kepada AS melalui perjanjian Paris 1898, dimana dijelaskan bahwa Palmas adalah bagian dari Filipina. Namun saat pengambilan Pulau tersebut berada pada kekuasaan Belanda, sehingga putusan dari Arbitrator Max Huber memenangkan Belanda karena telah menerapkan kedaulatannya sejak awal abad 18, walaupun awalnya Spanyol telah menguasainya dan kemudian menyerahkan pada AS. f. Referendum Universitas Sumatera Utara Apabila lima cara yang telah dibahas sebelumnya sering dikatakan sebagai cara yang klasik maka cara perolehan tambahan wilayah yang keenam ini dikatakan sebagai cara yang modern. Referendum atau pemungutan suara merupakan implementasi atau tindak lanjut dari keberadaan hak menentukan nasib sendiri (self determination right) dalam hukum internasional. C. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut Ahli-ahli hukum Romawi memandang laut sebagai milik bersama umat manusia. Secara umum, arti penting dari laut semakin penting, karena sebagian besar dari bumi yang kita huni sekarang ini terdiri dari hamparan laut yang sangat luas dan menyimpan berbagai sumber daya yang efektif maupun potensial. Secara lebih khusus, menurut pengertian hukum, laut sering disebut sebagai keseluruhan wilayah air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi. 39 Laut sekililing pantai sejak dahulu dipergunakan oleh setiap negara untuk lalulintas antara kota dengan kota, untuk menangkap ikan, dan juga sebagai tempat menyerang sebelum musuh mendarat. 1. Sejarah Hukum Laut Internasional Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu dekade terakhir, selain daripada hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritim 39 Victor Situmorang, Sketsa Asas Hukum Laut, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 3 Universitas Sumatera Utara highways) 40. Hukum laut telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan sumber kekayaan mineral yang terkandung di dasar laut itu sendiri, merupakan penghubung bangsabangsa dari segala sektor kegiatan manusia, dan kekayaan sumber hayati serta karena 70% dari permukaan bumi terdiri dari laut 41. Sejarah hukum laut ditandai oleh pertarungan antara konsepsi Mare Liberum oleh Hugo Grotius (Belanda) dan Mare Clausum oleh John Seldon (Inggris), antara kebebasan di laut lepas di satu pihak, dan klaim negara pantai atas berbagai zona maritim di pihak lain 42. Pihak Belanda dan Inggris sama-sama tidak menghendaki monopoli yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugis atas lautan kala itu. Kebutuhan suatu bangsa untuk memperoleh hak atas perairan di sepanjang pantai dengan suatu jarak tertentu, rupanya dapat diterima oleh masyarakat internasional atas dasar untuk keamanan negaranya 43. Pada abad ke-20 telah dilakukan empat kali upaya-upaya untuk memperolehsuatu kodifikasi hukum laut secara menyeluruh, yaitu Konferensi Kodifikasi DenHaag 1930 yang diadakan oleh LBB, Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun1958, Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1960, dan Konferensi PBBtentang Hukum Laut tahun 1982. Konferensi Kodifikasi Den Haag gagalmenghasilkan konvensi namun hanya menghasilkan beberapa buah pasal yangdisetujui 40 J.G. Starke, op.cit, hal. 322 Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi II, Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 304 42 Chairul Anwar, Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut, Jakarta: Sinar Grafika, 1982, hal 50 43 Adi Sumardiman, Seri Hukum Internasional: Wilayah Indonesia dan Dasar Hukumnya, Jakarta : Padnya Paramita, 1992, hal. 58-59 41 Universitas Sumatera Utara sementara. Hingga tahun 1958, ketentuan-ketentuan hukum laut tetap mengacu pada hukum kebiasaan, dimana hukum kebiasaan sendiri lahir dari suatu perbuatan yang sama yang dilakukan secara terus-menerus atas dasar kebutuhan di laut sepanjang zaman. Berikut ini akan dibahas beberapa diantara Konferensi tentang Hukum Laut yang diselenggarakan di bawah naungan PBB. a. Konvensi Hukum Laut 1958 Pada tanggal 29 April 1958 diselenggarakan suatu Konferensi PBB I tentang Hukum Laut di Jenewa yang dihadiri oleh 86 negara. Konvensi ini merupakan tahap yang penting dan bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Kontemporer 44, karena berhasil mencetuskan 4 konvensi, yaitu: 1) Convention on the Territorial Sea and Contigiuos Zone (Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku 10 September 1964. 2) Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas), mulai berlaku 30 September 1962. 3) Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966. 44 Mirza Satria Buana, op.cit, hal. 69 Universitas Sumatera Utara 4) Convention on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas Kontinen), mulai berlaku 10 Juli 1864 45. Walaupun konvesi ini dinilai sukses, namun tidak lepas dari kegagalan menentukan lebar laut teritorial negara-negara pantai sehingga belum ada keseragaman pendapat tentang itu 46. Perdebatan tentang penetapan lebar dari laut territorial suatu negara menjadi isu yang sangat penting dan tidak terpecahkan dalam Konvensi Hukum Laut 1958. Hal tersebut merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya rezim kekuatan kebebasan dalam pengelolaan wilayah laut (mare liberum)dengan sebagian negara yang menghendaki pembatasan yang lebih tegas dan jelas dalam rangka memberikan keleluasaan kepada negara pantai untuk melakukan pengawasan atas wilayah perairannya (mare clausum) 47. Hal ini pun mendatangkan ketidakpuasan masyarakat internasional sehingga melakukan klaim laut teritorial secara ekstrim hingga mencapai 200 mil laut. Klaim ini dipelopori oleh negara-negara di Amerika Selatan. Tindakan ini kemudian mendorong dilaksanakannya konferensi kedua tentang Hukum Laut pada tahun 1960 untuk membahas permasalahan penetapan lebar laut teritorial. Namun karena kurang 1 suara dalam proses pemungutan suara (voting) konvensi ini gagal menghasilkan konvensi tentang Laut Teritorial 48. 45 Boer Mauna, op.cit, hal. 308 Mirza Satria Buana, op.cit. hal. 70 47 Rivai Sihaloho, “Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Essklusif Indonesia dan India dalam Penegakan Kedaulatan Teritorial Ditinjau dari Hukum Internasional”, Skripsi S1 Hukum Internasional Fakultas Hukum, USU, 2013, hal. 45 48 Mirza Satria Buana, loc.cit. 46 Universitas Sumatera Utara b. Konvensi Hukum Laut 1982 Puncak dari berbagai perundingan mengenai masalah kelautan adalah diadakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea/UNCLOS) yang ketiga pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Konvensi ini dianggap sebagai karya hukum masyarakat internasional yang terbesar di abad ke-20. Selain yang terbesar, konvensi ini dianggap sebagai konvensi yang terpanjang, dan juga yang terpenting dalam sejarah Hukum Internasional 49. Dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade setelah mulai berlakunya, UNCLOS 1982, yang juga sering disebut sebagai ”Constitution of the Oceans”, telah menjadi dasar dalam berbagai upaya untuk mencapai perdamaian dan ketertiban di laut, serta penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk kepentingan umat manusia 50. UNCLOS 1982 mengatur tentang rezim-rezim hukum hukum laut. Berdasarkan UNCLOS 1982, wilayah laut terbagi atas beberapa zona maritim, antara lain: a. Perairan Pedalaman (Internal Waters); b. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters); c. Laut Teritorial (Territorial Sea); d. Zona Tambahan (Contiguous Zone); e. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone); 49 Ibid. Etty R. Agoes,” Penguatan Hukum Internasional Kelautan”, Makalah Workshop tentang Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi Lingkungan, Hukum, Budaya dan Keamanan untuk Meneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat di Universitas Sumatera Utara, Medan, 5-6 Maret 2015, hal. 1. 50 Universitas Sumatera Utara f. Landas Kontinen (Continental Shelf); g. Laut Bebas (High Seas); h. Kawasan (The Areas). Dari kedelapan zona maritim tersebut, wilayah-wilayah di mana suatu negara pantai bisa memiliki jurisdiksi, baik kedaulatan maupun hak berdaulat, adalah di perairan pedalaman, perairan kepulauan (bagi negara kepulauan), laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen. Dengan telah disahkannya Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, tidaklah berarti bahwa konvensi tersebut telah dapat menampung segala kepentingan negara-negara. Justru pada masa sekarang, masalah-masalah yang nyata mulai timbul. Diantara kedelapan zona maritim yang telah diatur dalam UNCLOS 1982, salah satu zona maritim yang sering diperebutkan antara sesama negara pantai yang bertetangga adalah laut teritorial. Dalam wilayah laut teritorial, negara pantai memiliki kedaulatan penuh pada wilayah udara di atasnya, kolom air, dasar laut, dan tanah di dalamnya. Implikasinya, negara tersebut memiliki kewenangan untuk menetapkan ketentuan di bidang apapun 51. Berkaitan dengan masalah perbatasan antar negara, salah satu hal menarik adalah adanya suatu rezim yang baru diatur dalam UNCLOS 1982 yang tidak diatur dalam konvensi-konvensi sebelumnya, yaitu rezim Negara Kepulauan (Archipelagic State). Rezim ini mempunyai arti dan peranan penting bagi Indonesia dalam rangka implementasi wawasan nusantara sesuai amanat MPR 51 Adiwerti Sarahayu Lestari, “Implikasi Perjanjian Tentang Penetapan Garis Batas Laut territorial Antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura”, Skripsi S1 Hukum Transnasional Fakultas Hukum, UI, 2011, hal.42 Universitas Sumatera Utara RI. 52 Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982 pada 31 Desember 1982. Maka sejak itu Indonesia terikat dalam Konvensi Hukum Laut PBB III Tahun 1982, dan hasil dari konvensi ini harus menjadi pedoman dalam pembuatan hukum laut nasional selanjutnya. 2. Konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State) Salah satu yang memberikan kesan mendalam terhadap Konvensi UNCLOS 1982 ini adalah dengan diterimanya konsep negara kepulauan (archipelagic state) yang selama konvensi berjalan, sering diperjuangkan oleh negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritus, dan Kepulauan Solomon yang menginginkan adanya suatu peraturan khusus untuk menjaga kedaulatan eksternal negara-negara kedaulatan tersebut. 53 Konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah hasil keputusan dari Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 yang diatur dalam Bagian IV Konvensi (Pasal 46-54) untuk negara-negara kepulauan (archipelagic states) dan perairan negara-negara kepulauan. Menurut Pasal 46 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982: “Archipelagic State means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands. (Negara Kepulauan berarti suatu Negara yang 52 53 Rivai Sihaloho,op.cit, hal. 47 Mirza Satria Buana, op.cit, hal. 80-81 Universitas Sumatera Utara seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain).” 54 Maksudnya adalah secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan defenisi negara-negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. 55 Hal ini disebabkan dalam Pasal 46 ayat 2 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 disebutkan: “archipelago means a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such. (kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan wujud-wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian).” 56 Dengan kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state) dan kepulauan (archipelago). Perbedaan yang diuraikan dalam Pasal 46 UNCLOS 1982 diatas menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai 54 UNCLOS 1982 Pasal 46 ayat 1 Mirza Satria Buana, op.cit, hal. 81 56 UNCLOS 1982 Pasal 46 ayat 2 55 Universitas Sumatera Utara negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan. 57 Metode garis pangkal lurus dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan kepulauan yang dimuat dalam Pasal 47 dan 49 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Suatu negara kepulauan yang menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau dan karang kering dari kepulauan itu, dengan akibat bahwa kedaulatan negara kepulauan meluas hingga yang tertutup karena penarikan garis pangkal lurus demikian, sampai ke ruang udara yang ada di atasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam Pasal 51-54 UNCLOS 1982 ditentukan mengenai dihormatinya oleh negara kepulauan perjanjian-perjanjian yang ada, hak-hak perikanan tradisional dan kabel-kabel bawah laut, mengenai hak lintas damai, mengenai penetapanpenetapan secara tepat alur-alur laut dan rute-rute udara oleh negara kepulaua, dan mengenai kewajiban-kewajiban yang sama yang harus diperhatikan oleh kapal dan pesawat udara asing, dan oleh negara kepulauan, sebagaimana yang secara mutatis mutandis dalam hal lintas transit melalui selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional menurut ketentuan Pasal 39, 40, 42 dan 44 UNCLOS 1982. D. Kedaulatan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 57 Mirza Satria Buana,op.cit, hal. 81-82 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Hukum Internasional, Indonesia mempunyai beberapa macam perbatasan nasional, yaitu perbatasan di wilayah udara, wilayah darat, dan wilayah laut. Pengaturan hukum internasional tentang wilayah laut secara komprehensif mulai dilakukan pada Konferensi PBB I tentang Hukum Laut 1985 di Jenewa. Pada Konferensi ini dihasilkan beberapa Konvensi, yaitu; Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Convention on the Territorial Seas and Continguous Zone), Konvensi Tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas), Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas), dan Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention on Continental Shelf). Tanggal 17 Maret-26 April 1960 kembali dilaksanakan Konferensi PBB II tentang Hukum Laut yang membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan. Sampai dengan tahun 1970-an konvensi-konvensi tersebut masih dianggap memadai. Tuntutan untuk mengadakan peninjauan kembali terhadap konvensikonvensi tersebut muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi penambangan dasar laut, semakin berkurangnya cadangan sumber daya hayati di lautan, serta pesatnya teknologi perkapalan menyebabkan konvensikonvensi terdahulu tidak memadai 58. Setelah melalui perundingan yang panjang akhirnya pada tahun 1982 dilaksanakan Konferensi PBB III tentang Hukum Laut yang menghasilkan kesepakatan konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea) yang terdiri dari 320 pasal dan 9 58 Chairul Anwar, op.cit, hal. 10 Universitas Sumatera Utara lampiran. Konvensi ini diterima sebagai ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang wilayah laut, perlindungan lingkungan laut, penyelesaian sengketa kelautan dan sebagainya. Konvensi PBB III mengenai Hukum Laut, telah mengelompokkan sebagian besar Negara di dunia ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu, kelompok Negara-negara pantai (the coastal states group), kelompok Negara-negara tidak memiliki pantai (the land-locked states group), dan kelompok Negara-negara yang secara geografis tidak menguntungkan (the geographically disadvantage states group). Untuk negara pantai, Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur zona wilayah laut beserta pengaturan tentang kedaulatan teritorial negara pantai dan hak negara lain yang berlaku di masing-masing zona maritim, tiap negara pantai dan hak negara lain yang berlaku di masing-masing zona maritim, tiap negara pantai mempunyai batas atau delimitasi zona maritimnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, batas-batas wilayah negara sebagian diatur dalam UNCLOS 1982 yang kemudian diratifikasi melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982, sebagian lagi diatur melalui perjanjian-perjanjian atau treaty antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Perjanjian itulah yang menjadi dasar penetapan batas wilayah negara Indonesia 59. Setelah Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1985, maka pada tahun 1996 keluar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Hal ini merupakan langkah awal yang diambil oleh Indonesia sebagai tindak lanjut dari konvensi. 59 Suryo S. Hadiwidjoyo, op.cit, hal. 63 Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 dikatakan bahwa kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman, serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber kekayaan yang ada di dalamnya. 60 Untuk lebih jelasnya lagi jurisdiksi perairan Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia akan diuraikan sebagai berikut: 1. Laut Teritorial Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa “Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”. Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982. Dalam ketentuan UNCLOS 1982, batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Yang berarti bisa kurang dari 12 mil laut diukur dari garis garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut 60 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Universitas Sumatera Utara teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai. 2. Perairan Kepulauan Dalam pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.” Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya. 61 3. Perairan pedalaman Dalam pasal 8 ayat (1) UNCLOS 1982 disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat. 61 Andreas Gayus Sinulingga, “Keduduan Pulau Nipa Sebagai Pulau Terluar untuk Penarikan Garis Pangkal Laut Terluar Indonesia yang Berbatasan dengan Singapura”, Skripsi S1 Hukum Internasional Fakultas Hukum, USU, 2014, hal. 65 Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, menurut pengertian undang-undang ini Laut Pedalaman adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan garis air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai. Indonesia membedakan perairan pedalaman atas dua golongan, yaitu: a. Perairan pedalaman yang sebelumnya berlaku Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan pedalaman ini disebut laut pedalaman dan internal seas. b. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters. Tindakan-tindakan implementasi Konvensi Hukum laut 1982 yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Di Bidang Penentuan Garis Pangkal Menurut Pasal 5 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996, garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang yang terluar dari kepulauan Indonesia. Di samping itu, sesuai Pasal 5 ayat (7), juga ada garis pangkal pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai. Sesuai UU No. 6 Tahun 1996 jo. UU No. 4 Prp Tahun 1960 dan sebagai implementasi Deklarasi Djuanda, Indonesia menatapkan sebanyak 200 titik terluar dengan 196 garis pangkal lurus. Tentu saja titik terluar dan garis-garis pangkal Universitas Sumatera Utara tersebut yang belum mendapat pengakuan Internasional disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi agar terdapatnya jaminan hukum. Selanjutnya, dalam Pasal 6 UU No. 6 Tahun 1996 haruslah dibuat daftar titik-titik terluar dan garis-garis pangkal tersebut serta mencantumkannya dalam peta dengan skalaskala yang memadai dan mendepositkannya pada Sekretariat Jenderal PBB. Pada hakikatnya penyesuaian garis pangkal sudah dilakukan secara bertahap. Untuk perairan Natuna, pemerintah RI telah mengeluarkan PP No. 61 Tahun 1998 yang menetapkan garis-garis pangkal baru. Secara teknis, pemerintah telah melakukan survei guna menetapkan titik-titik dasar baru, tetapi belum dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut, pemerintah mengeluarkan PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia yang kemudian diubah dengan PP No. 37 Tahun 2008. 2. Mengenai Hak Lintas Batas Pasal 17-19 Konvensi Hukum Laut 1982 menjelaskan hak lintas damai (right of innocent passage). Pasal 17 Konvensi mengatur bahwa kapal dari semua negara baik negara pantai maupun negara tidak berpantai mempunyai hak lintas damai melalui laut teritorial. Pasal 18 Konvensi memberikan pengertian lintas (passage), yaitu berlayar atau navigasi melalui laut teritorial untuk tujuan melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadsteads) atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman atau berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut. Lintas harus terus-menerus, langsung serta secepat mungkin (continuous and expeditious), dan lintas mencakup berhenti dan Universitas Sumatera Utara buang jangkar secara normal atau karena force majeure. Pasal 19 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa lintas adalah damai selama tidak menggangu kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Konvensi 1982 yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai telah dituangkan ke dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang diatur dalam Bab III Pasal 11-17 62. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 21 UNCLOS 1982 bertujuan untuk mengatur keselamatan pelayaran, pelestarian kekayaan hayati laut, pemeliharaan lingkungan dan pencegahan polusi, penyidikan ilmiah dan pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran aturan kepabeanan, keuangan, imigrasi, dll. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 2002 yang mengatur hak lintas damai di perairan Indonesia. 3. Mengenai Hak Lintas Transit Hak lintas transit (right of transit passage) diatur oleh Pasal 37-44 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 37 menyatakan bahwa lintas transit (transit passage) berlaku pada selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas (high seas) atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya, sedangkan hak lintas transit itu sendiri terdapat dalam Pasal 38 Konvensi yang mengatakan bahwa semua kapal (ships) dan pesawat udara (aircraft) mempunyai hak lintas transit yang tidak boleh dihalangi. Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran (freedom of navigation) dan penerbangan (overflight) semata-mata untuk tujuan transit terus- 62 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Universitas Sumatera Utara menerus langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. Pengaturan hak lintas damai bagi kapal asing telah diatur dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang diatur dalam Bab III Pasal 20 dan 21 mengenai hak lintas transit mengizinkan negara-negara yang dipisahkan selat untuk membuat peraturan perundang-undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat berkaitan dengan keselamatan pelayaran, pencegahan polusi, pengaturan penangkapan ikan, dll. 4. Penentuan Batas Perairan Pedalaman Pasal 8 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa : “… waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the State”, yaitu bahwa perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut. Perairan pedalaman Indonesia adalah sepenuhnya berada di bawah kedaulatan Negara Indonesia, sampai saat ini Indonesia belum menetapkan wilayah perairan pedalaman, dengan identifikasinya. Selain itu di perairan pedalaman tersebut terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang ekspor-impor dari dan ke Indonesia. Dalam konteks pembangunan ekonomi nasional Indonesia, pelabuhanpelabuhan yang ada di Indonesia sudah seharusnya mempunyai standar internasional dan mampu bersaing secara global dengan pelabuhan-pelabuhan luar negeri. Indonesia wajib memberikan keamanan dan keselamatan pelayaran internasional sejalan dengan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang diadopsi oleh International Maritime Organization (IMO) tanggal 12 Universitas Sumatera Utara Desember 2002. Di samping itu, perairan pedalaman Indonesia sering dijadikan tempat pembuangan limbah sehingga perairan pedalaman di beberapa tempat di Indonesia sering tampak kotor, dan mungkin terjadi pencemaran lingkungan laut dan perusakan habitatnya. Apabila pemerintah membiarkan keadaan tersebut di perairan pedalaman, maka dapat dianggap telah melanggar kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 192 UNCLOS 1982 yang berbunyi : “States have the obligation to protect and preserve the marine environment”. Kewajiban Indonesia di perairan pedalaman adalah untuk kepentingan Indonesia, yaitu berupa kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan hidup secara keseluruhan, walapun dalam konteks lingkungan laut sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Laut yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Indonesia yang memiliki laut sangat luas itu tampaknya tidak diimbangi dengan kesungguhan menjaga dan memanfaatkannya, sehingga di perairan pedalaman saja terjadi penangkapan ikan ilegal, pencemaran laut, dan perusakan terumbu karang yang dapat merugikan masyarakat luas dan laut sendiri. Oleh karena itu Indonesia perlu menetapkan batas wilayah perairan pedalaman di dalam perairan nusantara (penetapan closing lines), serta peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh setiap sektor harus dilaksanakan dengan koordinasi yang baik, sehingga laut di perairan pedalaman tidak rusak, apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini jangan sampai menambah kerusakan wilayah laut. 5. Zona Ekonomi Eksklusif Universitas Sumatera Utara Indonesia mempunyai hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban di zona ekonomi eksklusif karena sudah terikat oleh UNCLOS 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985. Hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban Indonesia pada Konvensi tersebut sudah ditentukan oleh Pasal 56 yang berbunyi sebagai berikut : a. In the exclusive economic zone, the coastal State has: 1) sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds; 2) jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this Convention with regard to: b. In exercising its rights and performing its duties under this Convention in the exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard to the rights and duties of other States and shall act in a manner compatible with the provisions of this Convention. Di zona ekonomi eksklusif setiap negara pantai seperti Indonesia ini mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola sumber daya alam baik hayati maupun non hayati di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin. Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu adalah jurisdiksi membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan Universitas Sumatera Utara bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif itu, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain. Indonesia sudah dilengkapi dengan UU No. 5 Tahun 1983 dan PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Hayati Laut di ZEE Indonesia. Sehubungan dengan zona ini banyak kegiatan tindak lanjut yang harus dilakukan Indonesia seperti penetapan batas terluar ZEE Indonesia dan menyimpankan copy peta-peta atau daftar koordinat-koordinatnya kepada Sekretariat Jenderal PBB. Sesuai Pasal 62 UNCLOS 1982, Indonesia harus memberitahukan mengenai pembangunan dan letak pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya di ZEE. Menurut Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menyatakan bahwa “dalam rangka melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya itu, aparatur penegak hukum dapat mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Oleh karena itu, untuk menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di ZEE Indonesia itu, Indonesia harus mempunyai kekuatan armada laut yang dapat diandalkan, sehingga kekayaan di zona itu tidak diambil oleh kapal-kapal asing. 6. Landas Kontinen Indonesia mempunyai hak eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumber daya alam di landas kontinen sebagaimana diatur oleh Pasal 77 UNCLOS 1982, tetapi di Universitas Sumatera Utara samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex) II UNCLOS 1982. Penentapan batas-batas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya. Indonesia juga harus melakukan negosiasi penetapan batas-batas landas kontinen dengan negara tetangga dan jangan sampai terulang kasus Sipadan-Ligitan yang semula tentang perundingan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia tersebut. Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 yang sudah barang tentu sudah tidak relevan lagi, Landas kontinen menurut Pasal UndangUndang No. 1 Tahun 1973 tersebut adalah sampai kedalaman 200 meter yang berarti tidak sesuai dengan Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982. Oleh karena itu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 harus diamandemen dengan sesuai dengan materi muatan UNCLOS 1982, dan mengumumkan dan mendepositkan batas landas kontinen tersebut pada sekjen PBB pada tahun 2009. 7. Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia Negara pantai dengan memperhatikan keselamatan pelayaran dapat mewajibkan kapal asing melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial dengan menggunakanalur laut (sea lanes) dan skema pemisah lalu lintas (traffic separation schemes) sebagaimana diatur oleh Pasal 22 UNCLOS 1982. Demikian Universitas Sumatera Utara juga pelayaran dengan menggunakan hak lintas transit karena ketentuan Pasal 41 UNCLOS 1982 yang mengatur alur laut dan skema pemisah lintas transit, yaitu bahwa negara-negara yang berbatasan dengan selat (states bordering straits) dapat menentukan alur laut (sea lanes) dan skema pemisah pelayaran di selat-selat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintas transit yang aman sesuai dengan peraturan internasional yang dibuat oleh organisasi internasional yang berkompeten, yaitu dalam hal ini IMO (Internattional Maritime Organizations). Indonesia telah memilki UU No. 6 Tahun 1996 yang juga berisikan ketentuan penetapan lintas alur laut kepulaun seperti yang terdapat dalam Pasal 18 dan 19. Pada tahun 1996 Indonesia telah mengusulkan kepada IMO penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia. 63 Menurut kesepakatan dengan IMO, ALKI-ALKI itu akan mulai berlaku minimum enam bulan sejak diundangkannnya oleh Indonesia. Pemerintah mengeluarkan PP No. 37 Tahun 2002 tentang 3 alur laut kepulauan di perairan kepulauan Indonesia. 8. Pertambangan Dasar Laut Kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya yang diatur oleh Bab XI UNCLOS 1982 tersebut tunduk pada rejim internasional, yaitu common heritage of mankind, yaitu warisan bersama umat manusia. Di Kawasan tidak boleh ada negara yang mengklaim kedaulatan karena semua kekayaannya hanya untuk kepentingan seluruh umat manusia yang dikelola oleh suatu badan internasional, yaitu Badan Otorita Dasar Laut Internasional (International Sea-Bed Authority-ISBA), 63 http://www.dekin.kkp.go.id/yopi/index.php, diakses pada tanggal 12 April 2016 Universitas Sumatera Utara sehingga pertambangan di Kawasan terutama yang dilakukan oleh negara-negara maju yang mempunyai teknologi dan sumber daya manusia harus berdasarkan persetujuan ISBA. Kawasan yang berada di luar jurisdiksi nasional dan berada di bawah pengelolaan Badan Otorita Dasar Laut Internasional atau ISBA itu mempunyai status common heritage of mankind, yaitu semua kekayaan di Kawasan adalah warisan bersama umat manusia. Oleh karena itu tidak ada kewajiban khusus yang dimiliki oleh setiap negara termasuk Indonesia. Kewajiban Indonesia adalah berpartisipasi dalam eksplorasi dan eksploitasi bekerja sama dengan negara, organisasi internasional, atau perusahaan dalam negeri atau asing. Indonesia seharusnya konsentrasi menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di laut baik hayati maupun nonhayati yang berada di bawah kedaulatan dan jurisdiksi Indonesia, seperti di perairan kepulauan, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Pemerintah Indonesia harus aktif mengikuti sidang ISBA yang dilakukan setiap tahun, untuk mengikuti perkembangan-perkembangan mengenai potensi pertambangan di dasar laut. Universitas Sumatera Utara