Infeksi Bakteri Leptospira Penyebab Leptospirosis pada Manusia Egidius Ian Andrian 102012346 Kelompok : B8 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2012 Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510 Telp : 021-56942061 Fax : 021-5631731 E-mail : [email protected] Pendahuluan Kasus serta insiden infeksi merupakan pola yang selalu berubah sehingga menjadi salah satu alasan mengapa studi tentang penyakit infeksi sangat menarik. Di negara berkembang yang miskin sumber daya, penyakit infeksi terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Infeksi disebarkan melalui cara-cara: melalui udara (airborne), usus (intestinal), kontak langsung, jalur kelamin, gigitan serangga atau hewan, melalui darah (blood-borne). Ada pula cara penyebaran penyakit lewat air dan tanah yang terkontaminasi hewan tertentu. Sebagai contoh, pada kasus Leptospirosis yang disebabkan karena kuman bakteri (leptospira) yang diekskresikan dalam urin tikus dapat terkontaminasi dengan air yang tergenang dan selanjutnya menembus kulit yang intak saat manusia berendam dalam air.1 Makalah ini dibuat bertujuan untuk menjelaskan secara rinci mengenai penyakit infeksi yang secara khusus adalah leptospirosis, dimulai dari bakteri penyebab, gejala klinis yang ditimbulkan, pecengahan dan pengobatan, sampai dengan diagnosis banding. Sehingga penegakan serta pencegahan dapat dilakukan dengan baik. Pembahasan Anamnesis Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan diagnosis kemungkinan sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai.2 Anamnesis yang baik akan terdiri dari:2 1. Identitas 2. Keluhan utama 3. Riwayat penyakit sekarang 4. Riwayat penyakit dahulu 5. Riwayat penyakit dalam keluarga 6. Riwayat pribadi 1 Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsam dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter. Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui kemungkinankemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.2 Sehingga pada penanganan dari pasien yang menderita leptospirosis harus dimulai dengan anamnesis yang meliputi riwayat secara menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Perhatian terutama harus ditujukan pada segala kondisi yang berkaitan dengan infeksi penyakit. Walaupun gejala yang ditimbulkan bervariasi, tetapi secara garis besar sama. Anamnesis sebagai berikut : Seorang laki-laki berusia 40 tahun demam tinggi sampai menggigil sejak 5 hari yang lalu, panas terus menerus terutama siang dan malam hari. Demam juga disertai nyeri kepala, mual dan muntah 2-3x/sehari pasien juga merasa nyeri bila betisnya di tekan. Anamnesis yang dilakukan dengan baik dan lengkap oleh seorang dokter bertujuan sebagai data yang diperlukan seorang dokter dalam menduga serta memperkirakan suatu penyakit yang dialami oleh pasien yang datang, sehingga dapat diambil langkah selanjutnya dalam pemeriksaan klinis atau pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan suhu tubuh, RR 18x/menit, nadi 100x/menit, TD= 100/70 mmHg. Melalui inspeksi dapat terlihat conjungtiva anemis dan sclera ikterik. Palpasi dapat dilakukan pada daerah abdomen untuk mengetahui adanya hepatomegali dan splenomegali.3 Palpasi dilakukan bimanual oleh pemeriksa yang duduk atau berdiri di sebelah kanan penderita. Tangan kiri ditekan pada daerah paralumbal kanan dengan jari agak melengkung ke ventral. Tangan kanan diletakkan datar pada abdomen dibawah lengkung iga kanan dengan ujung jari mengarah ke cranial. Kemudian, penderita diminta untuk menarik nafas dalam dan mengeluarkannya lagi. Bersama – sama dengan gerakan menarik nafas beberapa kali jari tangan kanan digerakkan makin dekat kearah lengkung iga. Dengan cara ini tepi hati dapat diraba oleh jari tangan kanan sebagai benda yang menekan dan meluncur dibawah jari tersebut. Jika hati membesar, tepi ini teraba jauh dari lengkung iga. Pembesaran hati dinyatakan ukurannya dalam sentimeter terhadap tepi bawah lengkung iga. Juga dapat dicatat apakah tepi hati tajam atau tumpul dan apakah permukaan hati licin atau berbenjol – benjol. Selain itu dapat dilakukan palpasi melalui garis schuffner untuk melihat adanya perbesaran lien. Garis schuffner adalah garis dari arcus costae ke SIAS, garis ini dibagi menjadi 8 bagian. Umumnya limpa yang membesar mudah teraba. 3 Perkusi untuk mengetahui adanya splenomegali dapat dilakukan di daerah aksial anterior bawah. Daerah ini biasanya timpani,pada splenomegali bunyi timpani dari lambung ke kolon akan berubah menadi bunyi dull yang berasal dari organ padat. Sedangkan untuk mengetahui apakah ada pembesaran hati pemeriksaan perkusi dapat dilakukan di garis midclavicula kanan untuk mengetahui batas-batas hati. 3 2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:4 Pemeriksaan Rutin: Pada pemeriksaan darah perifer bisa didapati leukopenia, leukosit atau leukositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi pada urin dijumpai protein uria, leukosituria dan toraks(cast). Apabila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, kreatinin dan ureum bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Kultur Darah: Merupakan tes untuk mengetahui adanya infeksi bakteri atau yeast dengan mengambil spesimen dari darah atau CSS segara pada awal gejala dengan tujuan membiakan darah pasien. Dianjurkan melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urine diambil 2-4 minggu onset penyakit. Pada specimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan. Uji serologi : Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), Silver stain atau fluroscent antibodystain dan mikroskop lapangan gelap. Working Diagnosis Pada anamnesis didapatkan berbagai ciri-ciri klinik penyakit. Gejala atau keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala, terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual dan muntah. Pada pemerikaan fisik dijumpai demam, brakikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain. Ciri-ciri tersebut lalu dibandingkan satu sama lain dan kemudian dicocokan dengan kasus yang ada pada skenario. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada kasus dalam skenario ialah Leptospirosis. Kasus leptospirosis ini kemudian ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosis pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.2 Differential Diagnosis Berikut ini merupakan diagnosis banding dari leptospirosis: 1. Malaria Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali.2 Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa keluhan kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan, dan kadang-kadang dingin.2 Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan. Periode dingin (15-60 menit): mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur. Selanjutnya periode panas: penderita muka merah, nadi cepat, dan 3 panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan berkeringat. Dilanjutkan dengan periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita merasa sehat.2 2. Demam Dengue (DD) Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan atau manifestasi klisis sebagai berikut: 4 lebih Nyeri kepala Nyeri retro-orbital Mialgia/artaglia Ruam kulit Manifestasi pendarahan (petekie atau uji bending positif) Leukopenia. Dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama 3. Demam tipoid Demam tipoid ialah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tipoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti penyakit menular lainnya, tipoid banyak di temukan di Negara berkembang yang sanitasi linkungannya kurang baik. Meskipun demam tipoid menyerang semua umur, namun golongan terbesar tetap usia kurang dari 20 tahun. Penularan penyakit ini ialah melalui air dan makanan. Kuman salmonela dapat bertahan lama dalam makanan. Serangga sebagai vector juga berperan dalam penularan penyakit.5,6 Salmonella ialah bakteri gram negatife, tidak berkapsul, menpunyai flagella dan tidak membentuk spora. Kuman ini mempunyai antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium yaitu antigen O, H, dan K. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57○C selama beberapa menit. Masa inkubasinya adalah 10-20 hari. 6 Kuman Salmonela typhi masuk dalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi. Sebagian kuman mati di lambung dan sebagian lagi bertahan dan sampai diusus. Kuman kemudian masuk ke lamina propria dan difagositosis oleh makrofag. Kuman berkembang biak didalam makrofag yang selanjutnya dibawa ke plaque penyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterium lalu melalui ductus torasikus masuk ke peredaran darah (bakterimia asimptomatik). Kuman lalu masuk ke oragan retikuloendotelial sel, terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman keluar dari makrofag masuk ke sinusoidnya lalu masuk kembali ke dalam darah ( bacteremia simptomatik). Dalam hati kuman masuk ke empedu dan masuk ke usus, sebagian dikeluarkan dengen feses sebagian lagi melalui siklus dari awal lagi. Makrofag yang memfagositosis kuman kemudian mengeluarkan mediator inflamasi yang menyebabkan gejala.5 Demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam ini sifatnya ialah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore dan malam hari. Demam ini bias diikuti oleh gejala khas lainnya yaitu diare, anoreksia, mual, muntah, batuk dan epiktasis. Pada kondisi yang parah dapat terjadi gangguan kesadaran. Komplikasi yang bias terjadi ialah perforasi usus, pendarahan usus dan koma. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 4 salmonella dalam dalam melalui kultur. Pemeriksaan serologi widal untuk mendekteksi antigen O dan H. Titer lebih besar atau sama dengan 1/40 maka dianggap positif demam tifoid.5,6 Etiologi Gambar 1. Leptospira.2 Leptospirosis disebabkan oleh spiroketa genus leptospira. Leptospira bentuknya bergelung, tipis, dan fleksibel dengan panjang 5ujung sel kuman seringkali bengkok yang membentuk seperti pancingan. Kuman ini bergerak sangat aktif, yang paling baik dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Mikrograf elektron menunjukkan filamen alsial yang tipis dan membran yang lembut. Spiroketa bentuknya juga halus sehingga pada pandangan lapangan gelap tampak hanya sebagai rantai kokus kecil. Leptospira tidak dapat diwarnai dengan mudah tetapi dapat diwarnai dengan impregnasi perak. Leptospira tumbuh baik di lingkungan aerob pada suhu 28-30oC dalam mediumsemisolid yang berisi serum (medium Fletch, Stuart, dan lain-lain).7 Sistem klasifikasi tradisional leptospira dibuat berdasarkan pada spesifitas biokimia dan serologi untuk membedakan antara spesies yang patogen (Leptospira interrogans) dan spesies tidak patogen yang hidup bebas (Leptospira biflexa). Spesies ini kemudian dibagi lagi menjadi lebih dari 200 servoar Leptospira interrogans dan lebih dari 60 servoar Leptospira biflexa. Servoar tersebut kemudian disusun ke dalam serogrup Leptospira interrogans dan serogrup Leptospira biflexa yang didasarkan pada antigenisitas yang dibagi dan terutama untuk penggunaan laboratorium.7 Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah Leptospira icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, Leptospira canicola dengan reservoar anjing, dan Leptospira pomona dengan reservoar sapi dan babi.2 Epidemiologi Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua Antartika namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelalawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal / air kemihnya. Tikus yang merupakan vektor utama dari Leptospira icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus ikut mengalir dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi 5 kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insiden tertinggi terjadi selama musim hujan.2 Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai jenis pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia berukuran kecil dimana manusia dapat kontak dengannya, misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil (berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing, dan anjing. Binatang pengerat terutama tikus merupakan reservoir paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.2 International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di Indonesia, leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian.2 Penularan Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terjadi luka/erosi pada kulit maupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang deraspun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang mempunyai risiko tinggi mendapatkan penyakit ini adalah pekerjapekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan, orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan.2 Patogenesis Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebarkan secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian, beberapa organisme ini masuh bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira banyak dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.2 Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenesis leptospirosis: invasi bakteri langsung, faktor inflamasi nonspesifiik, dan reaksi imunologi.2 Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena 6 kerusakan pada lapiran endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologik yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal leptospirs juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke cairan serebrospinalis pada fase leptospiremua. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplilasi leptospirosis. Organorgan yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah. Berikut kelainan spesifik pada organ:2 1. Ginjal: Interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya pernan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis, dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal. 2. Hati: Menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosir fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim. 3. Jantung: epikardium, endokardium, dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa interstisial edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi pendarahan fokal pada miokardium dan endokarditis. 4. Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis, vakuolisasi, dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat jiga ditemukan antigen leptospira pada otot. 5. Mata: Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis. 6. Pembuluh darah: terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vakulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan pada mukosa, permukaan serosa, dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit. 7. Susunan saraf pusat: Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh Leptospira canicola. 8. Weil Disease: Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotipe 7 copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatik, atau disfungsi vaskular. Manifestasi Klinik Masa inkubasi leptospirosis adalah 2-26 hari, biasanya 7-13 hari, dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis sendiri mempunyai dua fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.2 Fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyer tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesu kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaaan sakit berat, brakikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffision dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 13 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.2 Fase imun ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40oC disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat pendarahan berupa epistaksis, gjala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Pendarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering. Conjunctiva infection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis.2 Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai di urin.2 Pengobatan Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksu dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisis temporer.2 Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penisilin G, amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisilin, ampisilin, amoksisilin, maupun sefalosporin.2 8 Tabel 1. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis.2 Indikasi Regimen Dosis Leptospirosis ringan Doksisilin 2 x 100 mg Ampisilin 4 x 500-750 mg Amoksisilin 4 x 500 mg Leptospirosis sedang dan Penisilin G 1.5 juta unit / 6 jam (iv) berat Ampisilin 1 gram / 6 jam (iv) Amoksisilin 1 gram / 6 jam (iv) Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu Pada absorbsi penisilin G, bila dibandingkan dengan dosis oral terhadap intramuskular, maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral haruslah 4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis intramuskular. Oleh karena itu penisilin G tidak dianjurkan diberikan secara oral. Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang diabsorbsi relatif besar. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin, dengan dosis yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada yang dicapai ampisilin. Penyerapan amoksisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin tidak.8 Distribusi penisilin G, ampisilin, dan amoksisilin luas dalam tubuh. Pada penisilin G, kadar obat yang memadai dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe, dan semen tetapi dalam cairan serebrospinal sukar dicapai. Ampisilin yang masuk ke dalam empedu mengalamu sirkulasi enterohepatik, tetapi yang diekskresi di tinja cukup tinggi. Penetrasi ke cairan serebrospinalis dapat mencapai kadar efektif pada keadaan peradangan meningen. Distribusi amoksisilin kurang lebih sama dengan ampisilin. Efek dari penisilin adalah terjadi pemecahan cincin beta laktam dengan kehilangan seluruh aktivitas mikroba. 8 Pemberian penisilin G, ampisilin, dan amoksisilin memiliki efek samping. Penisilin G akan menimbulkan reaksi alergi Pemberian ampisilin memberikan sebagian kecil kemerahan kulit berdasarkan reaksi alergi, dan saat itu terjadi pemberian ampisilin harus dihentikan.8 Sefalosporin diberikan secara suntikan intramuskular atau intravena. Beberapa sefalosporin generasi ketiga mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Sefalosporin melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli. Efek samping dari sefalosporin adalah reaksi alergi, mirip dengan yang ditimbulkan oleh penisilin.8 Doksisiklin merupakan salah satu golongan tetrasiklin menurut struktur kimia. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum anibakteri yang luas. Absorbsinya sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Faktor penghambatnya adalah pH tinggi. Distribusinya adalah dalam plasma, semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan cukup baik, ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di hati, limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum erupsi. Tetrasiklin golongan doksisiklin mengalami 9 metabolisme yang berarti di hati sehingga aman untuk penderita gagal ginjal. Golongan tetraiklin diekskresi di urin berdasarkan filtrasi glomerulus.8 Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intravena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.2 Prognosis Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal, Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.2 Pencegahan Pencegahan leptospirosis pada manusia sangat sulit karena tidak mungkin menghilangkan reservoir inveksi yang besar pada hewan. Vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan dilakukan secara lias di Amerika Serikat dan telah banyak mengurangi insidensi infeksi pada beberapa spesies. Infeksi pada ginjal masih tetap dapat terjadi pada anjing yang divaksinasi, dan manusia dapat terinfeksi dengan anjing yang telah diimunisasi secara adekuat. Pada daerah tertentu, pengendalian tikus, disinfeksi daerah kerja yang tercemar, dan larangan berenang pada perairan tercemar, telah mengurangi insidensi penyakit secara efektif.9 Pemberian doksisiklin 200 mg per minggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat.2 Kesimpulan Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme leptospira interogans yang menimbulakan gejala klinis yaitu disertai ikterus. Pada dasarnya gejala leptospirosis mirip dengan beberapa Penyakit infeksi lainya, seperti : Demam Dengue, demam typhoid dan malaria. Sehingga acapkali luput dari diagnosis karena gejala klinis yang tidak spesifik. leptospirosis banyak ditemukan didaerah banjir sebab perantara penyakit ini di dapat dari hewanhewan di sekitar kita misalnya anjing, kucing, tikus, dan lainnya. Bila air yang tercemar oleh urin dari perantara berkontak dengan kulit memungkinkan untuk manusia terkena leptospirosis. Dengan demikian penularan penyakit ini sangat beresiko bagi manusia khususnya yang tinggal didaerah banjir, petani, peternak serta orang-orang yang mengadakan perkemahan dihutan. Daftar Pustaka 1. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture notes: penyakit infeksi. Jakarta: Erlangga; 2008. h.3-6 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. 10 3. Nah YK, Santoso M, Wati WW, Sumadikarya IK. Buku Panduan Keterampilan Medik Semester 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UKRIDA: 2010. 4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 – 9. 5. Widodo D. Demam tifoid. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2797-9. 6. Widoyo. Penyakit tropis : epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2008.h. 34-70. 7. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, dan adelberg. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2008.h.346-8, 478-85. 8. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar HA, Arif A, Bahry B, et al. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. 9. Muliawan SY. Bakteri spiral patogen. Jakarta: Erlangga; 2008.h.78-9. 11