BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Alternatif Pidana Penjara
1. Pidana Kerja Sosial
Secara etimologis istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu
“pidana” dan “kerja sosial”. Secara sederhana pidana kerja sosial dapat diartikan
sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk
pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan
pekerjaan sosial yang ditentukan. Istilah Pidana kerja sosial lazim diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris dengan istilah “Community Service Order”.
1
Pidana
kerja sosial adalah suatu bentuk pidana dimana pidana yang dijalani oleh
terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Pelaksanaan
pidana ini tidak bersifat komersial. 2
Menurut Widodo, Pidana kerja sosial adalah jenis pidana berupa
pelaksanaan pekerjaan tertentu oleh terpidana di masyarakat tanpa
mendapatkan upah, berdasarkan persyaratan yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan . dalam
putusan pengadilan tersebut terkandung suatu perintah (orders)
terhadap terpidana, yaitu tentang jangka waktu pidana dan tempat
pelaksanaan pidana.3
Pengertian pidana kerja sosial menurut Mohd. Al-Adib Samuri yaitu: 4
“community service represents works carried out by the convicted
for a public agency or non-profit organization for the purpose of
repairing any damage that is a result of the crime in question or to
provide compensation to the community for the convicted offender's
sanction. as an alternative to imprisonment this sentence possesses
some attractive qualities such as requiring the offenders to repay
their debt to the aggrieved society in question and that the offenders
1
Tongat, loc. cit
Ibid, hlm 7
3
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime: Alternatif Ancaman Pidana
Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Laksbang Mediatama,
Yogyakarta, 2009, hlm. 153
4
Mohd. Al-Adib Samuri, “Community Service Order For Juvenile Offenders:
Theoretical and Legal Framework”. Medwell Journals. Vol. 7, No.2, 2012, hlm. 126
2
are sentenced fairly, especially in respect of the number of hours
required to serve regardless of their status, condition or the
apparent difference in costs involved when compared to
incarceration”. (Pidana kerja sosial merupakan pekerjaan yang
dilakukan oleh terpidana untuk organisasi instansi publik atau
nirlaba untuk tujuan memperbaiki kerusakan, yang merupakan hasil
dari kejahatan, atau untuk memberikan kompensasi kepada
masyarakat sebagai sanksi pelaku kejahatan tersebut. Sebagai
alternatif hukuman penjara pernyataan ini memiliki beberapa sifat
yang menarik seperti mensyaratkan pelaku untuk membayar utang
(kompensasi) mereka kepada masyarakat yang dirugikan dan bahwa
pelaku dihukum secara wajar, terutama sehubungan dengan jumlah
jam yang dibutuhkan untuk melayani tanpa memandang status
mereka, kondisi atau perbedaan yang jelas dalam biaya yang
dibutuhkan bila dibandingkan dengan penahanan.
Pidana kerja sosial yang akan dijatuhkan memenuhi unsur-unsur pembinaan
dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Unsur pembinaan yang
berorientasi pada individu pelaku tindak pidana. “Pidana Kerja Sosial dapat
digunakan sebagai alternatif penjara jangka pendek. Pidana Kerja Sosial ini tidak
dibayar karena sifatnya adalah pidana (work as pinalty)”. 5
Secara teoritis Pidana kerja sosial mengandung beberapa dimensi yaitu: 6
1. kerja sosial sebagai alternatif pidana kemerdekaan jangka
pendek Sesuai dengan pemikiran yang melatar belakangi
lahirnya jenis pidana kerja sosial yaitu upaya untuk mencari
alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek.
Sekalipun dengan cara penerapan yang berbeda sebagai pidana
mandiri atau sebagai syarat berkaitan dengan penjatuhan pidana
bersyarat. Kecenderungan internasional yang terjadi adalah
sama yaitu menjadikan pidana kerja sosial sebagai alternatif
pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek;
2. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak
dibayar Pidana kerja sosial dapat menggantikan pidana
dendanya. Jadi, apabila ada seseorang terdakwa oleh hakim
dijatuhi hukuman denda kemudian tidak dapat membayar denda
tersebut, maka sebagai ganti tidak terbayarnya denda terpidana
harus menjalani pidana penjara pengganti. Dalam
pelaksanaannya pidana penjara pengganti (denda) inilah yang
diganti dengan pidana kerja sosial;
5
Syaiful Bakhri, op. cit, hlm 203
6
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hl 139
3. Pidana kerja sosial dalam rangka grasi beberapa negara di Eropa
pidana kerja sosial ini dapat menjadi syarat diterapkannya grasi.
Di negara Belanda misalnya, grasi dapat dijatuhkan atau
diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat, bahwa
terpidana harus melakukan kerja sosial.
Menurut Muladi syarat yang memungkinkan untuk penjatuhan pidana kerja
sosial antara lain dikemukakan sebagai berikut: 7
1. Yang berkaitan dengan tindak pidana
Secara umum di negara Eropa mempesyaratkan, bahwa pidana
kerja sosial hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang
tidak terlalu berat. Persyaratan yang mungkin ditetapkan dalam
penerapan Pidana Kerja Sosial adalah persyaratan yang
berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, misalnya usia pelaku dan
Criminal Record dari si pelaku;
2. Jumlah jam pidana kerja sosial
Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan
tentang pidana kerja juga menyangkut pengaturan tentang
minimum dan maksimum jam kerja pidana kerja sosial yang
mana disetiap negara bervariasi;
3. Persetujuan terpidana
Penerapan pidana kerja sosial yang berlaku di berbagai negara
memiliki penegasan bahwa pidana kerja sosial harus atas
persetujuan dari terpidana. Persetujuan terpidana ini dibutuhkan
untuk menghindari adanya pertentangan atau konflik dengan
berbagai konstitusi dan traktat yang melarang kerja paksa (force
labour) dan agar hakim dapat menjamin, bahwa terpidana
memang mempunyai motivasi untuk melakukan pidana kerja
sosial;
4. Isi pidana kerja sosial
Hakim yang menjatuhkan pidana kerja sosial di pengadilan
hanya menetapkan jumlah jam dan jangka waktu yang harus
dipenuhi. Sementara pelaksanaannya secara teknis yang
berkaitan dengan tempat di mana pidana kerja sosial harus
dijalani, berapa jam pidana kerja sosial harus dijalankan setiap
harinya dan sebagainya dilakukan oleh probation service.
Waktu pidana kerja sosial dijatuhakan paling lama: 1) 240 jam
bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun keatas; 2) 120 jam
bagi terpidana yang berusia dibawah 18 tahun;
5. Kegagalan menjalani pidana kerja sosial
Seseorang terpidana yang gagal menjalani pidana kerja sosial,
akan membawa akibat tertentu bagi terpidana, yang dapat
berupa: 1) Apabila pidana kerja sosial tersebut berupa pidana
7
Ibid, hlm 141
yang mandiri maka akibat kegagalan terpidana menjalani
pidana kerja sosial dapat berupa dijatuhi denda sampai batas
tertentu, mengulangi lagi pelaksanaan pidana kerja sosial atau
dikenakan pidana alternatif yang lain; 2) Apabila pidana kerja
sosial ditetapkan dalam kaitannya dengan pidana bersyarat
(suspended sentence) maka kegagalan terpidana menjalani
pidana kerja sosial dapat mengakibatkan diterapkannya pidana
penjara yang ditunda. Akibat kegagalan tersebut terpidana juga
dapat diharuskan untuk mengulangi pidana kerja sosial tersebut.
Pidana kerja sosial dimaksudkan untuk terpidana dapat dibebaskan dari rasa
bersalah,
dan
masyarakat
dapat
berperan
serta
secara
aktif
untuk
memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Pidana
kerja sosial merupakan pidana yang bersifat rehabilitasi kepada terpidana atau
bersifat melakukan pendidikan kembali.
2. Alternatif Pidana Penjara
Alternatif pidana penjara sering dikenal dengan istilah asing “alternative to
imprisonment”. Namun, patut dikemukakan bahwa “alternatif pidana penjara”
tidak semata-mata diartikan sebagai alternatif
dari “penjara” (imprisonment)
sebagai jenis sanksi pidana, tetapi alternatif dari semua bentuk perampasan
kemerdekaan yang menempatkan seseorang di dalam suatu lembaga atau institusi
atau tempat penahanan atau pengurungan atau terisolasi lainnya.
Oleh karena itu, istilah “alternative to imprisonment” sering juga
dipadankan dengan istilah “alternative to incarceration” , “alternative to
custody”, atau “noncustodial measures”. Jadi, dapat dikatakan “alternatif pidana
penjara adalah alternatif bentuk-bentuk sanksi atau tindakan yang noninstitusional (non kelembagaan)”. 8
Berkaitan dengan pengertian diatas, wajarlah Penal Reform International
(PRI) mengemukakan bahwa: 9
“Alternative to imprisonment cover a range of sanction that aim to
restore the relationship between the offender, the victim and the
8
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti,
Bandung, 2013, hlm 267
9
Ibid, hlm 267-268
wider community by taking into consideration the rehabilitative
needs of the offender, the protection of society and the interest of
the victim. Specific alternative measures include mediation,
diversion, community service and administrative and monetary
sanctions”. (“Alternative to imprisonment mencakup sederetan
sanksi yang bertujuan memperbaiki kembali hubungan antara
pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat luas dengan
mempertimbangkan kebutuhan pelaku, perlindungan masyarakat,
dan kepentingan korban. Tindakan-tindakan alternatif khusus
mencakup mediasi, diversi, kerja atau pelayanan sosial, sanksi
administrasi dan sanksi keuangan”).
Perkembangan upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan
kemerdekaan diwarnai dengan munculnya perbedaan konseptual berkaitan dengan
makna dan hakikat alternatif pidana perampasan kemerdekaan itu sendiri. Dalam
konteks ini muncul dua pemahaman, yaitu: 10
1. Alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan (alternative to
custodial sentence) diartikan sebagai alternatif sanksi, yaitu sanksi yang
dapat menggantikan pidana kemerdekaan (sanction which can replace
custodial sentence). Sanksi ini hanya dapat diterima apabila dapat
melayani tujuan dan kegunaan pidana perampasan kemerdekaan;
2. Alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan diartikan sebagai
usaha untuk mencapai tujuan alternatif (alternative goals) yang tidak
dapat dicapai dengan pidana perampasan kemerdekaan. Dengan kata lain
dapat dinyatakan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan dengan sistem
yang disebut dengan non punitive measure. Dengan demikian dengan
demikian alternative sanction diartikan sebagai alternatif obyektif.
Seberapa jauh sanksi alternatif dari pidana penjara akan berhasil dengan
memuaskan, sedikit banyak akan bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut: 11
1. Sanksi alternatif harus cocok untuk menggantikan pidana kemerdekaan,
dalam arti kesanggupan untuk mencapai tujuan dan fungsi yang sama;
10
Tongat, op. Cit, hlm 14-15
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, UNDIP,
Semarang, 2002, hlm. 135
11
2. Sanksi alternatif harus dapat diterima sebagai pidana oleh masyarakat;
3. Harus diperhitungkan kemanfaatannya atas dasar analisis biaya dan hasil,
sebagaimana keuntungan dan kerugian pidana perampasan kemerdekaan;
4. Penerapan sanksi harus dirasakan sebagai kebutuhan di dalam kerangka
sistem peradilan pidana;
5. Kesiapan infrastruktur pendukung yang memadai.
B. Ide Dasar Pembaharuan Hukum Pidana
Penyusunan konsep KUHP baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan
tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan atau
penggantian KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman kolonial
Belanda. Jadi, berkaitan dengan erat dengan ide “Penal Reform” (Pembaharuan
Hukum Pidana). Upaya pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) pada
hakikatnya termasuk bidang “penal policy” yang merupakan bagian dan terkait
erat”: 12
a. Dengan “Law Enforcement Policy” artinya pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari
kebijakan (upaya rasional) memperbaharui substansi hukum
(Legal Substance) untuk lebih mengefektifkan penegakan
hukum;
b. Dengan “Criminal Policy” artinya pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya
rasional untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan
dalam rangka perlindungan masyarakat;
c. Dengan “Social Policy” artinya penbaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya
rasional) untuk mengatasi masalah kemanusiaan dalam rangka
mencapai atau menunjang tujuan nasional (yaitu, “social
defence” dan “social welfare”).
Disamping itu dilihat dari suatu pendekatan nilai, pembaharuan hukum
pidana merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan
reevaluasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosiofilosofis,
sosiopolitik dan sosiokultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan
12
Barda Nawawi Arief, op. cit, 2011 hlm 300
(penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah suatu pembaharuan (reformasi)
hukum pidana, jika orietasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja
dengan oerientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP).
Dengan demikian pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus
pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).
Pembaharuan hukum, khususnya hukum pidana mencakup pembaharuan
hukum secara struktural, membangun lembaga-lembaga hukum, dan pembaharuan
hukum secara substansial, menghasilkan produk-produk aturan hukum yang
bersifat kultural yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat serta diaplikasikan melalui suatu kebijakan.
Apabila hukum diilustrasikan sebagai alat atau sarana berupa mobil
untuk mencapai suatu tujuan tertentu, maka menegakkan atau
menjalankan hukum pada hakikatnya identik dengan menjalankan
mobil. Mobil (identik dengan “legal substance”)hanya dapat
berjalan apabila ada “sopir” (identik dengan “legal structure”) dan
sopirnya juga harus “menguasai ilmu menjalankan mobil”
(mempunyai SIM dan menguasai ilmu hukum yang termasuk
“legal culture”). Patut ditegaskan bahwa dengan SIM hukum saja
tentunya belum cukup, si pengemudi harus juga mengetahui dan
menguasai ilmu ataupun kondisi lingkungan.Kalau tidak tahu, bisa
salah arah atau salah jalan. Ini berarti penegakan hukum di
Indonesia harus memperhatikan konteks ke-Indonesiaan,
khususnya kondisi lingkungan hukum Indonesia yaitu sistem
hukum nasional. 13
Menurut Sudarto ada beberapa alasan mengapa KUHP perlu untuk
diperbaharui: 14
1. Alasan politik, Negara Republik Indonesia yang merdeka adalah
wajar mempunyai KUHP-nya, yang diciptakan sendiri. KUHP
yang diciptakan sendiri bisa dipandang sebagai lambang
(symbol) dan merupakan suatu kebanggaan dari suatu Negara
yang telah merdeka dan melepaskan diri dari kunkungan
penjajahan politik. KUHP dari suatu Negara, yang
13
Syamsudin, Budaya Hukum Hakim (Berbasis Hukum Progresif), Kencana,
Jakarta, 2012, hlm 50
14
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm 70
“dipaksakan”nuntuk diberlakukan di suatu Negara lain, bisa
dipandang sebagai symbol dari penjajahan oleh Negara yang
membuat KUHP itu. Demikianlah, dipandang dari sudut politik
sudah waktunya bagi Negara kita untuk mempunyai KUHP
Nasional, yang sebenarnya sudah diserukan oleh Seminar
Hukum Nasional yang pertama tahun 1963.
2. Alasan sosiologis, bahwa pengaturan dalam hukum pidana
merupakan pencerminan ideologi politik suatu bangsa dimana
hukum itu berkembang. Ini berarti bahwa nilai-nilai sosial dan
kebudayaan dari bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan
di hukum pidana. Ukuran untuk mengkriminalisasikan sesuatu
perbuatan tergantung dari nilai-nilai pandang kolektif yang
terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar,
yang bermanfaat atau sebaliknya. Jadi pandangan masyarakat
tentang kesusilaan dan agama sangat berpengaruh dalam
pembentukan hukum, khususnya hukum pidana.
3. Alasan praktis, alasan yang dipandang dari sudut praktek seharihari. Tidak banyak orang yang menyadari sekarang ini, bahwa
teknis resmi dari KUHP kita ini adalah tetap teks yang ditulis
dalam bahasa belanda. Sehubungan dengan kenyataan
bahwateks resmi KUHP itu masih bahasa belanda, maka
sebenarnya apabila kita hendak menerapkan KUHP itu secara
tepat, maka orang harus mengerti bahasa belanda.
Urgenitas pembaharuan hukum pidana akan lebih tepat apabila didasarkan
pada pendapat tersebut diatas. Oleh karena itu, dari sudut pandang yang demikian,
KUHP yang sekarang berlaku sudah layaknya diganti dengan KUHP Nasional.
Bertolak dari pemikiran diatas, maka penyusunan Konsep KUHP dalam mengatur
pidana kerja sosial tidak dapat dilepaskan dari ide atau kebijakan pembangunan
Sistem Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai
berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Pembaharuan hukum dimaksudkan
untuk membentuk hukum pidana yang didasarkan pada nilai-nilai falsafah bangsa
Indonesia, bahwa hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai
tujuan darimana hukum itu berasal.
Jika hukum di Indonesia bersumber pada pancasila maka setiap produk
perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana
hukum itu dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan
dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan pancasila. Ini berarti,
pembaharuan Hukum Pidana Nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan
“berorientasi pada ide dasar (basic ideas) Pancasila yang didalamnya
mengandung keseimbangan nilai/ide/paradigma: (a) moral religius (ketuhanan);
(b) kemanusiaan (humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi dan (e) keadilan
sosial”. 15
C. Teori Kebijakan Kriminal
Terkait dengan Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif pidana penjara dalam
pembaharuan hukum pidana dibutuhkan adanya suatu alat untuk menuju kepada
tujuan yang di inginkan. Tujuan yang yang dimaksud adalah yang terkait dengan
Penal Reform atau pembaharuan hukum pidana. Oleh karena itu, di dalam rangka
pembaharuan dibutuhkan alat yang berupa kebijakan hukum pidana yang
berorientasi kepada sosio-filosofis, sosio-politik, dan sosio-filosofis bangsa
Indonesia.
1. Pengertian Kebijakan Hukum
Untuk
membahas
kebijakan
hukum
pidana
sebagai
upaya
penanggulangan kejahatan atau tindak pidana terlebih dahulu dibahas
tentang pengertian kebijakan. Istilah “Kebijakan diambil dari istilah
“Policy” (Inggris) atau “Politiek” (Belanda). Bertolak dari istilah tersebut
maka istilah “Kebijakan Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah
“Politik Hukum Pidana”. 16
Oleh karena itu diperoleh gambaran bahwa dalam istilah Policy akan
ditemukan makna kebijaksanaan, maka kebijakan mempunyai ikatan atau
kaitan yang erat dengan kebijaksanaan. Di dalam kebijakan tentu
terkandung kebijaksanaan. Politik Hukum Pidana merupakan bagian dari
Politik Hukum pada umumnya. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata
politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai
arti, yaitu:
15
16
Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 302
Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 26
1. Perkataan politiek dalam bahasa belanda merupakan suatu
yang berhubungan dengan Negara;
2. Berarti membicarakan suatu masalah kenegaraan atau yang
berhubungan dengan Negara.
Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah
kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini
dijumpai kata-kata politik kriminil, politik hukum dan politik hukum pidana.
17
Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud MD. menjelaskan bahwa
hukum merupakan produk politik untuk itu hukum dipandang sebagai
“dependent variable (variable terpengaruh) dan politik sebagai independent
variable (variable berpengaruh)”.
18
Asumsi yang demikian itu Mahfud
merumuskan politik hukum sebagai:
Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan
penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak hanya dipandang
sebagai Pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusankeharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang
dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh
politik, baik dalam perumusan materi dan Pasal-pasalnya
maupun dalam implementasi dan penegakannya. 19
Menurut Solly Lubis, “Politik hukum adalah kebijakan politik yang
menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara”.
tersebut diatas, menurut Sudarto Politik Hukum adalah:
20
Dengan dasar
21
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari Negara dengan perantara badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk
17
Teguh Prasetya, op. cit, hlm 11
18
Ibid, hlm 11-12
Ibid, hlm 11-12
20
Ibid
19
21
Barda Nawawi Arief , op. Cit, 2011, hlm 26
mengekspresikan apa yang dikandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Muhtar Efendi mengartikan “Politik hukum adalah suatu “Legal
Policy” atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan
baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum
lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”. 22 Dari definisi tersebut dapat
ditarik dua hal, yaitu pertama, politik hukum berkaitan dengan garis resmi
atau kebijakan tentang hukum yang akan diberlakukan; dan kedua, untuk
mencapai tujuan Negara.
Kebijakan berkenaan dengan arah atau garis yang harus diikuti.
Dikatakan garis resmi karena suatu kebijakan dibuat oleh Negara. Tujuan
negara kita sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD Negara RI
tahun
1945
meliputi
integrasi,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
mewujudkan kesejahteraan umum, dan melaksanakan ketertiban dunia. Oleh
karena itu perwujudan tujuan suatu Negara tidak pernah akan selesai, maka
politik hukum selalu berubah dari waktu ke waktu.
Bertolak dari pengertian politik hukum diatas, maka politik hukum
mencakup dua hal yaitu: “Pertama, pembangunan hukum yang berintikan
pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar sesuai
dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada,
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum”.
23
Dengan demikian, terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan
dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana
hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Menurut G.P. Hoefnagels kebijakan hukum merupakan bagian tidak
terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial (social policy).
Kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang
selengkapnya dikatakan kebijakan penegakan hukum (law
22
Komisi Yudisial, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, KY,
Jakarta, 2012 hlm 161
23
Ibid, hlm 162
enforcement policy). Jadi, kebijakan perundang-undangan
(legislative policy) dan kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy) merupakan bagian dari kebijakan sosial
(social policy). 24
Kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam
konteks ke-Indonesiaan, tertuang dalam tujuan yang hendak dicapai oleh
bangsa Iodonesia, yaitu yang telah dirumuskan dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 sebagaimana telah diuraikan di muka yaitu “melindungi
segenap bangsa dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum berdasarkan
pancasila. Sedangkan kebijakan sosial (social policy) menurut Barda
Nawawi Arief, adalah “segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan
masyarakat
dan
sekaligus
mencakup
perlindungan
masyarakat. Jadi dalam pengertian "social policy" sekaligus tercakup di
dalamnya "social welfare policy" dan " social defence policy". 25
Menurut H.P. Hoefnagels, dalam kebijakan hukum atau kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy) ini meliputi juga suatu sarana
“kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal-criminal policy).
Beliau mendefinisikan criminal policy sebagai the rational organization of
social reaction to crime (yaitu suatu organisasi rasional dari reaksi sosial
terhadap suatu kejahatan)”. 26
Beberapa definisi ilustratif tentang criminal policy juga diberikan oleh
Hoefnagels, seperti berikut: 27
1. Criminal policy is the science of responses; (kebijakan
kriminal adalah ilmu tentang suatu respon atau tanggapan)
2. Criminal policy is the science of crime prevention; (kebijakan
kriminal adalah ilmu tentang pencegahan suatu kejahtan)
3. Criminal policy is a policy of designating human behavior of
crime; (kebijakan criminal adalah kebijakan menunjuk suatu
perilaku manusia dari kejahatan)
24
Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 5
Ibid, hlm 28
26
Ibid, hlm 3
27
Ibid, hlm 4
25
4. Criminal policy is a rational total of responses to crime.
(kebijakan kriminal adalah merupakan suatu rasionalitas
dalam merespon atau menanggapi suatu kejahatan.
2. Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan/Policy adalah suatu perencanaan atau program dari
pembuatan kebijakan mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi
permasalahan tertentu dan bagaimana cara untuk melakukan atau
melaksanakan sesuatu yang telah diprogramkan atau direncanakan tersebut.
Dilihat dari hakikatnya, Policy merupakan “Plan of Action” atau
perencanaan penanggulangan kejahatan. Karena “Policy” itu merupakan
rencana penanggulangan kejahatan, maka harus bersifat rasional yang
melekat pada planning atau suatu perencanaan dan pelaksanaan yang baik.
Jika mengambil dari istilah tersebut, maka kebijakan hukum pidana
dapat diartikan juga dengan cara bertindak, atau siasat dari pemerintah
(Negara) dengan menggunakan sarana hukum pidana untuk mencapai tujuan
atau sasaran tertentu, khususnya dalam menghadapi kejahatan. Istilah
“Kebijakan Hukum Pidana ini sering disebut juga dengan “Politik Hukum
Pidana” yang dalam bahasa asing disebut dengan “Penal Policy”,
“Criminal Policy”, atau “Strafrechtspolitiek”.28 Menurut A.Mulder,
Strafrechtspolitiek is de beleidslijn om te bepalen: 29
1. In welk opzicht de bestaande starbepalingen herzien dienen
te worden;
2. Wat gedaan kan worden om starfrechtelijk gedrag te voor
komen;
3. Hoe
de
opsporing,
vervolging,
berechting
en
tenuitvoerlegging van straffen dient te verlopen.
Memiliki arti bahwa“Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk
menentukan: Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubah atau diperbaharui.
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubah atau diperbaharui;
28
29
Barda Nawawi Arief, op. cit hlm 26
Ibid, hlm 27
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana;
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Marc Ancel menyatakan bahwa Penal Policy atau kebijakan hukum
pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang akan tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.
Selanjutnya dinyatakan olehnya: “Between the study of
criminological factors on the one hand, and the legal technique
on the other, there is room for a science which observes
legislative phenomenon and for a rational art within which
scholar and practitioners, criminologist and lawyers can come
togather, not as antagonists or in fratricidal strife, but as fellowworkers engaged in a common task, which is first and foremost
to bring into effect a realistic, humane, and healthily
progressive penal policy”. Yang mempunyai arti sebagai
berikut : “Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di
satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di
lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang
mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu
seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli
kriminologi, dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak
sebagai pihak yang berlawanan atau saling berselisih, tetapi
sebagai kawan sekerja yang terikat didalam tugas bersama, yaitu
terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang
realistik, humanis dan berfikiran maju (progresif) lagi sehat“ 30
Berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Marc Ancel tersebut, ingin
ditegaskan bahwa pada hakikatnya permasalahan kebijakan hukum pidana
bukanlah semata-mata pekerjaaan teknik perundang-undangan yang dapat
dilakukan secara yuridis-normatis dan sistematik-dogmatik. Disamping
pendekatan yuridis-normatif kebijakan hukum pidana juga memerlukan
“pendekatan yurudis factual yang dapat berupa pendekatan sosiologis,
30
Ibid, hlm 23
historis dan komparatif. Bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif
dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan
kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya”. 31
Politik hukum pidana dilihat dari politik hukum mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan yang baik secara bijaksana.
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari
politik hukum (dalam tataran makro) dalam pembentukan
undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku
dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu
dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan
dapat dihormati. 32
Melaksanakan
politik
hukum
pidana
menurut
Sudarto
berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan daya guna. Menurut
Sudarto “melaksanakan “Politik Hukum Pidana” berarti usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang”. 33
Lebih lanjut Sudarto mengatakan: “Pembentukan undangundang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat
penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan
memberikan suatu bentuk dan mengatur atau mengendalikan
masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu
mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai fungsi untuk
mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental”.34.
Penal Police atau Politik (Kebijakan) hukum pidana, pada intinya,
“bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dan memberikan
pedoman untuk pembuatan Undang-undang (Kebijakan legislatif) yang
31
Ibid, hlm 24
Teguh Prasetyo, op. cit, hlm 13
33
Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 26
34
Teguh Prasetyo, op. cit, hlm 14
32
disebut Tahap formulasi, Kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif), dan
Pelaksanaan hukum Pidana (Kebijakan eksekutif)”. 35
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan
sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundangundangan pidana.Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif
merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundangundangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau
kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan
pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. 36
3. Pendekatan Kebijakan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna,
suatu upaya untuk melaksanakan reorientasi dan reformasi hukum pidana
yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofik, dan
sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dengan
demikian dalam pembaharuan hukum pidana (termasuk hukum pidana
formil).
Harus ditempuh dengan pendekatan yang “berorientasi pada
kebijakan ("policy-oriented approach"), karena memang pada
hakekatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan atau "policy" (yaitu bagian dari politik
hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik
kriminal, dan politik sosial), dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai ("value-oriented approach"), karena
dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan
nilai. Oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula
berorientasi kepada pendekatan nilai. 37
Berdasarkan uraian diatas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 38
1) Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum
pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk
35
Ibid, hlm 18
Ibid, hlm 22
37
Barda Nawawi Arief, hlm 29
38
Ibid, hlm 29-30
36
mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum
pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya
perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan
kejahatan);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,
pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan
bagian dari upaya mempembaharui sistem hukum (legal
substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan
hokum
2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientrasi dan
reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofik, dan
sosiokultural yang memberi isi terhadap muatan normatif dan
substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah
pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai
dari hukum pidana yang dicita-citakan sama dengan orientasi
nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah atau kolonial
(KUHP lama atau WVS)
Pendekatan kebijakan seperti yang telah dikemukakan diatas jelas
merupakan suatu pendekatan yang rasional, karena karakteristik dari politik
kriminal yang rasional yaitu penerapan metode-metode yang rasional.
Menurut G. P. Hoefnagels suatu politik kriminal harus rasional,
sesuai dengan definisinya sebagai “a rational total of the
responses to crime”. Pendekatan yang rasional memang
merupakan pendekatan yang seharusnya melekat kepada setiap
langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena
seperti yang telah dikatakan oleh Sudarto, dalam melaksanakan
Politik (Kebijakan) orang mengadakan penilaian dan melakukan
pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. 39
Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan
hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang
dibuat dengan sengaja dan sadar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
memilih
dan
menetapkan
hukum
pidana
sebagai
sarana
untuk
menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua
39
Ibid, hlm 34
faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana
itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula suatu pendekatan yang
fungsional pada setiap kebijakan yang rasional.
Segi lain yang perlu dikemukakan dari kebijakan hukum pidana, selain
berdasarkan kepada pendekatan kebijakan yaitu yang berkaitan dengan
pendekatan suatu nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum
pidana. Menurut Bissiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana
pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang
mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu untuk dilindungi. Kepentingankepentingan sosial tersebut menurut Bissiouni adalah: 40
(1)Pemeliharaan tertib masyarakat;
(2)Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau
bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan
oleh orang lain; dan
(3)Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para
pelanggar
hukum;
(4)Memelihara atau mempertahankan integritas pandanganpandangan dasar tertentu mengenai keadilan social, martabat
kemanusiaan dan keadilan individu.
Berdasarkan pandangan yang demikian, maka disiplin hukum pidana
bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin ilmu yang berorientasi
kepada nilai. Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa menurut
Bissouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan
yang berorientasi kepada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih
bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi
kepada nilai (value oriented approach) Jadi dalam pengambilan kebijakan
hukum pidana, baik kebijakan di bidang hukum pidana materil maupun
hukum formil harus dilakukan secara integral atau komprehensif melalui
pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai. Karena apabila tidak, maka
kebijakan hukum pidana itu tidak akan efektif mencegah kejahatan, dan
secara lebih luas melindungi masyarakat dari tindak kejahatan.
40
Ibid, hlm 36
4. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)
Kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan diperlukan sanksi jika melakukannya. Penjatuhan sanksi tersebut
didasarkan pada suatu alasan bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan
dianggap telah mengganggu ketertiban sosial. Oleh karena itu perlu kiranya untuk
mencari pemecahan dalam menanggulangi kejahatan yang mengganggu ketertiban
sosial ini. Pengertian penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodipuro
adalah “suatu usaha untuk mengendalikan suatu kejahatan agar berada dalam
batas-batas toleransi masyarakat”. 41
Banyak cara atau usaha yang dapat digunakan untuk melakukan
pemberatasan atau penanggulangan kejahatan. Salah satu usaha penanggulangan
kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang
berupa pidana. Sejalan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief berpendapat
bahwa, “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum
pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum
(khususnya hukum pidana)”.
42
Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan suatu peraturan
perundang-undangan pidana.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan
cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Dilihat sebagai suatu
masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu
ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana.
Pada prinsipnya Pembuatan hukum pidana merupakan wujud usaha dalam rangka
menanggulangi kejahatan, dengan kata lain setiap perbuatan negatif yang tejadi
akan mendapat reaksi dari masyarakat untuk menekan kejahatan tersebut.
Masyarakat tentunya tidak membiarkan adanya perbuatan negatif yang terjadi,
sehingga dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan itu.
41
Teguh Prasetya, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi). Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2012, hlm 19
42
Ibid
Usaha masyarakat untuk menanggulangi kejahatan ini adalah disebut sebagai
Politik Kriminal atau Criminal policy.
Hoefnagels,
mendefinisikan
criminal
policy
sebagai
“the
rational
organization of social reaction to crime (suatu usaha masyarakat yang rasional
dari reaksi sosial terhadap suatu kejahatan)”. 43 Beberapa definisi ilustratif tentang
criminal policy juga diberikan oleh Hoefnagels, seperti berikut: 44
1. Criminal policy is the science of responses; (kebijakan kriminal
adalah ilmu tentang suatu respon atau tanggapan)
2. Criminal policy is the science of crime prevention; (kebijakan
kriminal adalah ilmu tentang pencegahan suatu kejahatan)
3. Criminal policy is a policy of designating human behavior of
crime; (kebijakan criminal adalah kebijakan menunjuk suatu
perilaku manusia dari kejahatan)
4. Criminal policy is a rational total of responses to crime.
(kebijakan kriminal adalah merupakan suatu rasionalitas dalam
merespon atau menanggapi suatu kejahatan)
Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi dalam arti sempit,
lebih luas dan paling luas, yaitu: 45
1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
berupa pidana;
2. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari
pengadilan dan polisi;
3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Sudarto menegaskan bahwa dalam “melaksanakan politik kriminal berarti
mengadakan penilaian dari sekian banyak alternatif mana yang paling efektif
dalam usaha penanggulangan tersebut”.
46
Lebih lanjut Barda nawawi arief
mengemukakan bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada
43
Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 3
Ibid, hlm 4
45
Ibid, hlm 3
46
Ibid
44
hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat
(social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
kriminal ialah “Perlindungan masyarakat untuk mencapai Kesejahteraan
masyarakat”.
Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula
dinyatakan dalam salah satu laporan kursus latihan ke- 34 yang
diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai
berikut : “Most of group members agreed in some discussion that
“protection of the society” could be accepted as the final goal of
criminal policy...”. Yang artinya sebagai berikut: Bahwa “sebagian
besar anggota kelompok setuju di dalam beberapa diskusi bahwa
perlindungan masyarakat bisa diterima sebagai tujuan akhir dari
kebijakan kriminal. 47
G.Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa kebijakan penanggulangan
kejahatan atau tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 cara,
yaitu: 48
1. Criminal law application (Penerapan hukum pidana)
2. Prevention without punishment (Pencegahan tanpa pidana)
3. Influencing views of society on crime and punishment / mass
media (Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan lewat/melalui mass media).
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua, yaitu melalui jalur “Penal” (hukum pidana) dan melalui jalur “Nonpenal”
(bukan/di luar jalur hukum pidana). Dalam pembagian G. P. Hoefnagels di atas,
upaya-upaya yang disebut dalam angka (1) merupakan suatu upaya “Penal”,
sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam angka (2) dan (3) merupakan
kelompok upaya “Nonpenal”. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya
penanggulangan kejahatan melalui jalur “Penal” lebih kepada sifat “Repressive”
(penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur “Nonpenal” lebih menitikberatkan akan sifat “Preventive” (pencegahan/
penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
47
48
Ibid, hlm 4
Teguh Prasetya, op.cit, hlm 19
Penanggulangan kejahatan melalui jalur “Nonpenal” lebih bersifat
mencegah suatu kejahatan, maka sasarannya adalah merupakan penyebab
terjadinya suatu kejahatan. Dengan demikian, dilihat secara politik kriminal secara
makro dan global, “upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis
dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan”.
49
Bila dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana atau politik
kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum
pidana harus diarahkan pada tujuan dari “kebijakan sosial (social policy) yang
terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare
policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social
defence policy)”.
50
Dengan demikian politik kriminal Digambarkan sebagai
berikut:
Bagan Politik Kriminal merupakan bagian dari Politik sosial
Bertolak dari skema tersebut, dapat diidentifikasikan hal-hal pokok sebagai
berikut: 51
1. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang
tujuan (goal), “kesejahteraan masyarakat/social welfare (SW)
dan perlindungan masyarakat/social defense” (SD). Aspek SW
49
Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 46
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm 77
50
51
Ibid, hlm 78
dan SD yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan atau
perlindungan masyarakat yang bersifat immmateriil, terutama
nilai kepercayaan, kebenaran atau kejujuran atau keadilan.
2. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan
dengan “Pendekatan Integral” yaitu ada keseimbangan antara
sarana “penal” dengan “non penal”. Dilihat dari sudut politik
kriminal, kebijakan paling strategis adalah menggunakan sarana
non penal karena lebih bersifat preventif dank arena kebijakan
penal mempunyai keterbatasan atau kelemahan, yaitu bersifat
fragmantaris/ simplitis/ tidak struktral fungsional, simptomatik/
tidak kausatif/ tidak elimitatif, individualistik/ atau „offender
oriented/ tidak “victim oriented” , lebih bersifat represif/ tidak
preventif, harus didukung dengan infrastruktur dan biaya tinggi.
3. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal
merupakan penal policy atau penal law enforcement yang
fungsionalisasi/ operasionalisasinya melalui beberapa tahap,
yaitu: Tahap formulasi (Kebijakan Legislatif), Tahap aplikasi
(Kebijakan Yudikatif/ Yudisial), Tahap eksekusi (Kebijakan
eksekutif/ administratif).
D. Teori Pemidanaan
1. Teori Retributif (Teori Absolut)
Teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas
kejahatan yang telah dilakukan seseorang. “Kejahatan dipandang sebagai
perbuatan yang amoral dan asusila di masyarakat, oleh karena itu pelaku
kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan
dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu
tujuan yaitu pembalasan”. 52
M. Sholehuddin mengartikan Teori Retributif (Absolut) sebagai “suatu
pemidanaan yang merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan.
Jadi berorientasi kepada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu
sendiri. Teori Retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang
52
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non
Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2008, hlm 68-69
masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah
dilakukan”.53
Menurut Sahetapy, Teori Absolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia.
Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan.
Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya
adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut
harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan
karena itu irrasional. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan
karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya.
Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah
diakibatkan karenanya teori ini disebut juga sebagai teori
Proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara
moral. 54
Karl O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok dari Teori Retributif
(Absolut) yaitu: 55
1. The purpose of punishment is just retribution (Tujuan Pidana
hanyalah sebagai Pembalasan);
2. Just retribution is the ultimate aim, and not in itsef a means to
any other aim, as for instance social welfare which from this
point of view is without any significance whatsoever
(Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti
kesejahteraan masyarakat);
3. Moral guilt is the only qualification for punishment (Kesalahan
moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan);
4. The pinalty shall be proportional to the moral guilt of the
offender (Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si
pelaku);
5. Punishment into the past, it is pure reproach, and it purpose is
not to improve, correct, educate or resocialize the offender
(Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni
dan tidak bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan
meresosialisasi pelaku).
53
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track
System dan Impementasinya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 34
54
Ibid, hlm 34-35
55
Ibid
2. Teori Relatif (Teori Tujuan)
Teori Relatif atau Teori Tujuan berporos kepada tiga tujuan utama
pemidanaan, yaitu: “Preventif, Detterence dan reformatif. Tujuan prevention
dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan
pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan, hal
ini disebut incapacitation”.56
Tujuan menakuti atau Detterence dalam pemidanaan adalah untuk
menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini
dibedakan dalam tiga bagian, yaitu: tujuan yang bersifat individual,
tujuan yang bersifat publik, dan tujuan yang bersifat jangka
panjang. Tujuan Detterence yang bersifat individual dimaksudkan
agar pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan.
Sedangkan tujuan Detterence yang bersifat publik agar anggota
masyarakatv lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan
Detterence jangka panjang atau Long Term Detterence adalah agar
dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana,
sedangkan Tujuan Perubahan (Reformation) untuk mengubah sifat
jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan,
sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya
sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada
di masyarakat. 57
Teori Relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan
atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini
munculah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus
yang ditujukan kepada pelaku, maupun pencegahan umum yang ditujukan kepada
masyarakat. Menurut Leonard Orland, “Teori Relatif dalam pemidanaan bertujuan
mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah
tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan
kejahatan. Oleh karena itu, Teori Relatif lebih melihat ke depan”. 58
Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dalam Teori Relatif
atau Teori Tujuan, yaitu: 59
56
Ibid, hlm 40
Ibid, hlm 41
58
Ibid, hlm 41-42
59
Ibid
57
1. The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana
adalah Pencegahan);
2. Prevention is not final aim, but a means to a more supremes
aim, e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir,
akan tetapi hanya merupakan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih yaitu, kesejahteraan masyarakat);
3. Only breaches of the law which are inputable to the
perpetrator as intent or negligence qualify for punishment
(Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat
dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan
atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana);
4. The penalty shall be determined by is utility as an instrument
for the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar
tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan);
5. The punishment is prospective, it points into the future; it
may contain as element of reproach, but neither reproach nor
retributive elements can be accepted if they do not serve the
prevention of crime for the benefit or social welfare (Pidana
melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung
unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat diterima bila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat).
Berdasarkan penjelasan tentang Teori Relatif tersebut, pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan
kejahatan, akan tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang
bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi
agar orang jangan melakukan kejahatan. Karena teori ini mempunyai tujuantujuan tertentu dalam pemidanaan, maka teori relatif sering juga disebut sebagai
Teori Tujuan (Utilitarian Theory).
E. Teori Law and Economic
Richard A. Posner menjadi motor penggerak Hukum dan Ekonomi sejak
buku Economic Analysis of Law yang kali pertama dipublikasikan pada tahun
1973. Dalam hal keterkaitan sisi keilmuan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi,
Posner memaparkan bahwa pada dasarnya ilmu ekonomi merupakan ilmu
pengetahuan tentang pilihan rasional di tengah-tengah keterbatasan sumber daya
yang diinginkan manusia. Tugas ilmu ekonomi untuk menggali implikasi-
implikasi terhadap dasar pemikiran bahwa manusia sebagai mahluk rasional selalu
menginginkan perbaikan dikehidupannya, tujuan dan kepuasannya di dalam
perbaikannya tersebut dapat dikatakan kepentingan pribadi. 60
Menurut Posner, pendekatan ekonomi terhadap hukum selalu diidentikan
dengan pembahasan hukum antitrust, hukum pajak, hukum korporasi dan regulasi
kepentingan publik. Bahkan lebih jauh dia menjelaskan bahwa pendekatan
ekonomi terhadap hukum meliputi pembahasan bidang hukum yang berhubungan
dengan masalah tort, kontrak, restitusi, properti, praktik penjatuhan hukuman,
prosedur perdata, pidana dan administratif, masalah legislasi, penegakkan hukum
dan administrasi pengadilan bahkan sampai pada level konstitusi, hukum keluarga
dan jurisprudensi.61
“... economics is the science of rational choice in a world-our world-in
which resources are limited in relation to human wants. The task of economics is
to explore the implications of assuming that man is a rational maximizer of his
ends in life, his satisfactions-what we shall call his “self interest. Law is basically
a set of rules and sanctions which are attended for the regulation of the bevaviour
of persons whose primary insticnt is to maximize the extent of their satisfactions,
as measured in economic terms. Law is, therefore, created and applied primarily
for the purpose of maximizing overall social utility”.62
Keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan ini, pada dasarnya sebagai
perangkat peraturan atau sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengatur perilakuperilaku manusia yang pada hakikatnya berkeinginan untuk peningkatan
kepuasannya sebagaimana hal ini menjadi bagian dari ekonomi. Oleh karena itu,
hukum dibuat dan digunakan untuk tujuan meningkatkan kepentingan umum
seluas-luasnya. 63
Fajar Sugianto, “Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan
Perkembangan Akademik Hukum Dan Ekonomi”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 19.
2014, hlm. 16
61
Richard A. Posner, “Economic Analysis of Law”, 5th Edition, Aspen Law &
Business, 1997, hlm. 25.
62
Posner, R.A., “Economic Analysis of Law”, 7th ed., Aspern Publishers, New
York, U.S.A., 2007, hlm. 3, 249-256.
63
Op Cit, hlm. 16
60
Posner menarik kesimpulan bahwa Economic Analysis of Law merupakan
pendekatan yang didasari oleh rasionalitas manusia sebagai mahluk hidup yang
secara alamiah mencari kepuasan di dalam kegiatan mereka, di sini melibatkan
pilihan. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang dapat memuaskan mereka
sehingga mendapatkan keuntungan, baik bersifat moneter dan atau non-moneter
ini dikatakan rasional.64
Posner menambahkan bahwa konsepsi Economic Analysis of Law dapat
dijadikan suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan
mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula
untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satifaction) dan peningkatan
kebahagiaan (maximization of happiness). Pendekatan ini erat kaitannya dengan
keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan economic
tools untuk mencapai maximization of happiness. 65
Pendekatan dan penggunaan analisa ini harus disusun dengan pertimbanganpertimbangan ekonomi dengan tidak menghilangkan unsur keadilan, sehingga
keadilan dapat menjadi economic standard yang didasari oleh tiga elemen dasar,
yaitu nilai (value), kegunaan (utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh
rasionalitas manusia.
66
Berdasarkan konsep dasar ini, konsepsi yang
dikembangkan oleh Posner kemudian dikenal dengan the economic conception of
justice, artinya hukum diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama
meningkatkan kepentingan umum seluas-luasnya (maximizing overall social
utility).
The economic conception of justice menjadi acuan untuk menilai sampai
sejauh mana dampak pemberlakuan suatu ketentuan hukum/ peraturan perundangundangan kepada masyarakat luas. Dari sini dapat lebih mudah diketahui reaksi
masyarakat dan kemanfaatan yang mampu dberikan oleh ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan tersebut.67
64
Ibid
Bushan J. Komadar, “Journal: The Raise and Fall of a Major Financial
Instrument”, University of Westminster, 2007, hlm. 1.
66
Richard A. Posner, Op cit, hlm. 15.
67
Fajar Sugianto, Op Cit, hlm. 17
65
Kontribusi Posner lebih fokus ke arah efisiensi ekonomi untuk menjelaskan
hukum (common law). Sehingga menurutnya, jika hukum itu lebih diketahui maka
akan lebih mudah mengkaji implikasi perkembangannya. Untuk mempertahankan
inti pendiriannya Posner mengembangkan Hukum dan Ekonomi melalui bukunya
The Economics Justice (1981). Posner mendefinisikan efisiensi sebagai
“exploiting economic resources in such a way than human satisfaction as
measured by aggregate consumer willingness to pay for goods and services is
maximized”. Usaha efisiensi yang seperti ini dikatakannya sebagai usaha
peningkatan kesejahteraan (wealth maximization). 68
Analisis ekonomi atas hukum pidana adalah prinsip efisiensi yang
mengandung makna penghematan, pengiritan, ketepatan, atau pelaksanan sesuai
dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan sarana yang digunakan
untuk mencapai tujuan. Jika sarana yang ingin dicapai membutuhkan lebih banyak
biaya dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan
tidak efisien. Sebaliknya, jika penggunaan sarana membutuhkan lebih sedikit
biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai,
maka hal itu dikatakan efisien. 69
F. Penelitian Yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan terkait dengan penulisan proposal atau
usulan penelitian thesis ini, yakni :
1. Penelitian dari Putu Astrid Yolanda Sari, Universitas Udayana, Program
Kekhususan: Hukum Pidana, Thesis dengan Judul Pidana Kerja Sosial
Dalam Rangka Mencapai Tujuan Pemidanaan Di Indonesia. Rumusan
masalah dari Penelitian ini, adalah:
a. Bagaimana keberadaan Pidana Kerja Sosial di Indonesia saat ini ?
b. Bagaimana konsep penjatuhan pidana kerja sosial dalam mencapai tujuan
pemidanaan di Indonesia kedepannya
68
Ibid, hlm. 18
Mahrus Ali, “Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Prespektif Analisis
Ekonomi Atas Hukum)”, Jurnal Hukum, Vol. 15, No. 2, April 2008, hlm. 230
69
Simpulan dari Penelitian ini adalah :
a. Munculnya jenis Pidana Kerja Sosial adalah sebagai alternatif pidana
perampasan kemerdekaan jangka pendek dan denda yang dijatuhkan
hakim kepada terdakwa untuk mencapai tujuan pemidanaan.
b. Pola dari konsep penjatuhan Pidana Kerja Sosial ini berdasarkan Pasal 86
RUU KUHP 2010, yang dalam hal ini Pidana Kerja Sosial harus
mendapatkan persetujuan dari terpidana itu sendiri dan memperhatikan
kondisi fisik dan mental dari terpidana.
2. Penelitian dari Sellvy Dwi Ariani, Universitas Negeri Semarang, Skripsi
dengan Judul Kebijakan Pidana Kerja Sosial Dalam Rangka Penuangan Ide
Individualisasi Pidana. Rumusan masalah dari Penelitian ini adalah :
a. Bagaimana Penuangan Ide Individualisasi Pidana tentang Pidana Kerja
Sosial dalam Hukum Pidana yang berlaku saat ini ?
b. Bagaimana Potensi Ide Individualisasi Pidana tentang Pidana Kerja
Sosial diatur di dalam hukum pidana yang akan datang ?
Simpulan dari Penelitian ini adalah :
a. Pengaturan mengenai jenis sanksi pidana kerja sosial belum diatur dalam
Hukum saat ini. Penerapan ide individualisasi pidana tentang pidana kerja
sosial dalam hukum pidana positif juga tidak ada namun terdapat hukum
positif yang memiliki kemiripan dengan Pidana kerja sosial, terdapat
dalam hukum penitensier khususnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintahan Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdapat dalam
Pasal 38A ayat (1) dan (3)
b. Model pendekatan dalam pembaharuan mengenai formulasi pidana kerja
sosial merupakan jenis Integral, dimana telah dituangkan dalam
Rancangan KUHP Tahun 2012 jenis pidana terdapat dalam Pasal 65.
Kemudian pengaturan mengenai pidana kerja sosial terdapat dalam
RKUHP Pasal 86 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2012.
G. Kerangka Berpikir
Pidana Kerja Sosial merupakan sebuah Ide yang
timbul akibat dari tidak efektifnya pidana penjara
melalui sarana Lembaga Pemasyarakatan yang
kondisinya sudah Over Capacity untuk menyadarkan
dan memberikan efek jera bagi narapidana.
• Teori
Retributif
(Pembalasan);
• Teori Alternatif (Tujuan);
• Teori
Criminal
Policy
(Kebijakan Kriminal).
• Teori Law and Economic
1. Pidana Kerja Sosial diperlukan sebagai
alternatif pidana pernjara jangka pendek;
2. Langkah yang dapat mendukung model
pidana kerja sosial yang ideal di Indonesia.
• Undang-Undang No 1
Tahun 1946 Tentang
KUHP;
• Rancangan
KUHP
(RKUHP) 2012.
Untuk mengetahui perlunya Pidana Kerja Sosial
sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek serta
langkah yang dapat mendukung terciptanya model
pidana kerja sosial yang ideal di Indonesia.
Sasaran utama penelitian ini adalah pada masalah
Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif pidana penjara
jangka pendek dalam pembaharuan hukum pidana,
maka kajian yang dilakukan yaitu kajian berupa
Penelitian
Doktrinal/Normatif
(penelitian
kepustakaan).
Download