BAB II LANDASAN TEORI A. Alternatif Pidana Penjara 1. Pidana Kerja Sosial Secara etimologis istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu “pidana” dan “kerja sosial”. Secara sederhana pidana kerja sosial dapat diartikan sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Istilah Pidana kerja sosial lazim diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan istilah “Community Service Order”. 1 Pidana kerja sosial adalah suatu bentuk pidana dimana pidana yang dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Pelaksanaan pidana ini tidak bersifat komersial. 2 Menurut Widodo, Pidana kerja sosial adalah jenis pidana berupa pelaksanaan pekerjaan tertentu oleh terpidana di masyarakat tanpa mendapatkan upah, berdasarkan persyaratan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan . dalam putusan pengadilan tersebut terkandung suatu perintah (orders) terhadap terpidana, yaitu tentang jangka waktu pidana dan tempat pelaksanaan pidana.3 Pengertian pidana kerja sosial menurut Mohd. Al-Adib Samuri yaitu: 4 “community service represents works carried out by the convicted for a public agency or non-profit organization for the purpose of repairing any damage that is a result of the crime in question or to provide compensation to the community for the convicted offender's sanction. as an alternative to imprisonment this sentence possesses some attractive qualities such as requiring the offenders to repay their debt to the aggrieved society in question and that the offenders 1 Tongat, loc. cit Ibid, hlm 7 3 Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009, hlm. 153 4 Mohd. Al-Adib Samuri, “Community Service Order For Juvenile Offenders: Theoretical and Legal Framework”. Medwell Journals. Vol. 7, No.2, 2012, hlm. 126 2 are sentenced fairly, especially in respect of the number of hours required to serve regardless of their status, condition or the apparent difference in costs involved when compared to incarceration”. (Pidana kerja sosial merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh terpidana untuk organisasi instansi publik atau nirlaba untuk tujuan memperbaiki kerusakan, yang merupakan hasil dari kejahatan, atau untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat sebagai sanksi pelaku kejahatan tersebut. Sebagai alternatif hukuman penjara pernyataan ini memiliki beberapa sifat yang menarik seperti mensyaratkan pelaku untuk membayar utang (kompensasi) mereka kepada masyarakat yang dirugikan dan bahwa pelaku dihukum secara wajar, terutama sehubungan dengan jumlah jam yang dibutuhkan untuk melayani tanpa memandang status mereka, kondisi atau perbedaan yang jelas dalam biaya yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan penahanan. Pidana kerja sosial yang akan dijatuhkan memenuhi unsur-unsur pembinaan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Unsur pembinaan yang berorientasi pada individu pelaku tindak pidana. “Pidana Kerja Sosial dapat digunakan sebagai alternatif penjara jangka pendek. Pidana Kerja Sosial ini tidak dibayar karena sifatnya adalah pidana (work as pinalty)”. 5 Secara teoritis Pidana kerja sosial mengandung beberapa dimensi yaitu: 6 1. kerja sosial sebagai alternatif pidana kemerdekaan jangka pendek Sesuai dengan pemikiran yang melatar belakangi lahirnya jenis pidana kerja sosial yaitu upaya untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Sekalipun dengan cara penerapan yang berbeda sebagai pidana mandiri atau sebagai syarat berkaitan dengan penjatuhan pidana bersyarat. Kecenderungan internasional yang terjadi adalah sama yaitu menjadikan pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek; 2. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak dibayar Pidana kerja sosial dapat menggantikan pidana dendanya. Jadi, apabila ada seseorang terdakwa oleh hakim dijatuhi hukuman denda kemudian tidak dapat membayar denda tersebut, maka sebagai ganti tidak terbayarnya denda terpidana harus menjalani pidana penjara pengganti. Dalam pelaksanaannya pidana penjara pengganti (denda) inilah yang diganti dengan pidana kerja sosial; 5 Syaiful Bakhri, op. cit, hlm 203 6 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hl 139 3. Pidana kerja sosial dalam rangka grasi beberapa negara di Eropa pidana kerja sosial ini dapat menjadi syarat diterapkannya grasi. Di negara Belanda misalnya, grasi dapat dijatuhkan atau diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat, bahwa terpidana harus melakukan kerja sosial. Menurut Muladi syarat yang memungkinkan untuk penjatuhan pidana kerja sosial antara lain dikemukakan sebagai berikut: 7 1. Yang berkaitan dengan tindak pidana Secara umum di negara Eropa mempesyaratkan, bahwa pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang tidak terlalu berat. Persyaratan yang mungkin ditetapkan dalam penerapan Pidana Kerja Sosial adalah persyaratan yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, misalnya usia pelaku dan Criminal Record dari si pelaku; 2. Jumlah jam pidana kerja sosial Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan tentang pidana kerja juga menyangkut pengaturan tentang minimum dan maksimum jam kerja pidana kerja sosial yang mana disetiap negara bervariasi; 3. Persetujuan terpidana Penerapan pidana kerja sosial yang berlaku di berbagai negara memiliki penegasan bahwa pidana kerja sosial harus atas persetujuan dari terpidana. Persetujuan terpidana ini dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan atau konflik dengan berbagai konstitusi dan traktat yang melarang kerja paksa (force labour) dan agar hakim dapat menjamin, bahwa terpidana memang mempunyai motivasi untuk melakukan pidana kerja sosial; 4. Isi pidana kerja sosial Hakim yang menjatuhkan pidana kerja sosial di pengadilan hanya menetapkan jumlah jam dan jangka waktu yang harus dipenuhi. Sementara pelaksanaannya secara teknis yang berkaitan dengan tempat di mana pidana kerja sosial harus dijalani, berapa jam pidana kerja sosial harus dijalankan setiap harinya dan sebagainya dilakukan oleh probation service. Waktu pidana kerja sosial dijatuhakan paling lama: 1) 240 jam bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun keatas; 2) 120 jam bagi terpidana yang berusia dibawah 18 tahun; 5. Kegagalan menjalani pidana kerja sosial Seseorang terpidana yang gagal menjalani pidana kerja sosial, akan membawa akibat tertentu bagi terpidana, yang dapat berupa: 1) Apabila pidana kerja sosial tersebut berupa pidana 7 Ibid, hlm 141 yang mandiri maka akibat kegagalan terpidana menjalani pidana kerja sosial dapat berupa dijatuhi denda sampai batas tertentu, mengulangi lagi pelaksanaan pidana kerja sosial atau dikenakan pidana alternatif yang lain; 2) Apabila pidana kerja sosial ditetapkan dalam kaitannya dengan pidana bersyarat (suspended sentence) maka kegagalan terpidana menjalani pidana kerja sosial dapat mengakibatkan diterapkannya pidana penjara yang ditunda. Akibat kegagalan tersebut terpidana juga dapat diharuskan untuk mengulangi pidana kerja sosial tersebut. Pidana kerja sosial dimaksudkan untuk terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Pidana kerja sosial merupakan pidana yang bersifat rehabilitasi kepada terpidana atau bersifat melakukan pendidikan kembali. 2. Alternatif Pidana Penjara Alternatif pidana penjara sering dikenal dengan istilah asing “alternative to imprisonment”. Namun, patut dikemukakan bahwa “alternatif pidana penjara” tidak semata-mata diartikan sebagai alternatif dari “penjara” (imprisonment) sebagai jenis sanksi pidana, tetapi alternatif dari semua bentuk perampasan kemerdekaan yang menempatkan seseorang di dalam suatu lembaga atau institusi atau tempat penahanan atau pengurungan atau terisolasi lainnya. Oleh karena itu, istilah “alternative to imprisonment” sering juga dipadankan dengan istilah “alternative to incarceration” , “alternative to custody”, atau “noncustodial measures”. Jadi, dapat dikatakan “alternatif pidana penjara adalah alternatif bentuk-bentuk sanksi atau tindakan yang noninstitusional (non kelembagaan)”. 8 Berkaitan dengan pengertian diatas, wajarlah Penal Reform International (PRI) mengemukakan bahwa: 9 “Alternative to imprisonment cover a range of sanction that aim to restore the relationship between the offender, the victim and the 8 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2013, hlm 267 9 Ibid, hlm 267-268 wider community by taking into consideration the rehabilitative needs of the offender, the protection of society and the interest of the victim. Specific alternative measures include mediation, diversion, community service and administrative and monetary sanctions”. (“Alternative to imprisonment mencakup sederetan sanksi yang bertujuan memperbaiki kembali hubungan antara pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat luas dengan mempertimbangkan kebutuhan pelaku, perlindungan masyarakat, dan kepentingan korban. Tindakan-tindakan alternatif khusus mencakup mediasi, diversi, kerja atau pelayanan sosial, sanksi administrasi dan sanksi keuangan”). Perkembangan upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan diwarnai dengan munculnya perbedaan konseptual berkaitan dengan makna dan hakikat alternatif pidana perampasan kemerdekaan itu sendiri. Dalam konteks ini muncul dua pemahaman, yaitu: 10 1. Alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan (alternative to custodial sentence) diartikan sebagai alternatif sanksi, yaitu sanksi yang dapat menggantikan pidana kemerdekaan (sanction which can replace custodial sentence). Sanksi ini hanya dapat diterima apabila dapat melayani tujuan dan kegunaan pidana perampasan kemerdekaan; 2. Alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan diartikan sebagai usaha untuk mencapai tujuan alternatif (alternative goals) yang tidak dapat dicapai dengan pidana perampasan kemerdekaan. Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan dengan sistem yang disebut dengan non punitive measure. Dengan demikian dengan demikian alternative sanction diartikan sebagai alternatif obyektif. Seberapa jauh sanksi alternatif dari pidana penjara akan berhasil dengan memuaskan, sedikit banyak akan bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut: 11 1. Sanksi alternatif harus cocok untuk menggantikan pidana kemerdekaan, dalam arti kesanggupan untuk mencapai tujuan dan fungsi yang sama; 10 Tongat, op. Cit, hlm 14-15 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 2002, hlm. 135 11 2. Sanksi alternatif harus dapat diterima sebagai pidana oleh masyarakat; 3. Harus diperhitungkan kemanfaatannya atas dasar analisis biaya dan hasil, sebagaimana keuntungan dan kerugian pidana perampasan kemerdekaan; 4. Penerapan sanksi harus dirasakan sebagai kebutuhan di dalam kerangka sistem peradilan pidana; 5. Kesiapan infrastruktur pendukung yang memadai. B. Ide Dasar Pembaharuan Hukum Pidana Penyusunan konsep KUHP baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan atau penggantian KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman kolonial Belanda. Jadi, berkaitan dengan erat dengan ide “Penal Reform” (Pembaharuan Hukum Pidana). Upaya pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) pada hakikatnya termasuk bidang “penal policy” yang merupakan bagian dan terkait erat”: 12 a. Dengan “Law Enforcement Policy” artinya pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) memperbaharui substansi hukum (Legal Substance) untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum; b. Dengan “Criminal Policy” artinya pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat; c. Dengan “Social Policy” artinya penbaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (yaitu, “social defence” dan “social welfare”). Disamping itu dilihat dari suatu pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosiofilosofis, sosiopolitik dan sosiokultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan 12 Barda Nawawi Arief, op. cit, 2011 hlm 300 (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah suatu pembaharuan (reformasi) hukum pidana, jika orietasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan oerientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP). Dengan demikian pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach). Pembaharuan hukum, khususnya hukum pidana mencakup pembaharuan hukum secara struktural, membangun lembaga-lembaga hukum, dan pembaharuan hukum secara substansial, menghasilkan produk-produk aturan hukum yang bersifat kultural yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta diaplikasikan melalui suatu kebijakan. Apabila hukum diilustrasikan sebagai alat atau sarana berupa mobil untuk mencapai suatu tujuan tertentu, maka menegakkan atau menjalankan hukum pada hakikatnya identik dengan menjalankan mobil. Mobil (identik dengan “legal substance”)hanya dapat berjalan apabila ada “sopir” (identik dengan “legal structure”) dan sopirnya juga harus “menguasai ilmu menjalankan mobil” (mempunyai SIM dan menguasai ilmu hukum yang termasuk “legal culture”). Patut ditegaskan bahwa dengan SIM hukum saja tentunya belum cukup, si pengemudi harus juga mengetahui dan menguasai ilmu ataupun kondisi lingkungan.Kalau tidak tahu, bisa salah arah atau salah jalan. Ini berarti penegakan hukum di Indonesia harus memperhatikan konteks ke-Indonesiaan, khususnya kondisi lingkungan hukum Indonesia yaitu sistem hukum nasional. 13 Menurut Sudarto ada beberapa alasan mengapa KUHP perlu untuk diperbaharui: 14 1. Alasan politik, Negara Republik Indonesia yang merdeka adalah wajar mempunyai KUHP-nya, yang diciptakan sendiri. KUHP yang diciptakan sendiri bisa dipandang sebagai lambang (symbol) dan merupakan suatu kebanggaan dari suatu Negara yang telah merdeka dan melepaskan diri dari kunkungan penjajahan politik. KUHP dari suatu Negara, yang 13 Syamsudin, Budaya Hukum Hakim (Berbasis Hukum Progresif), Kencana, Jakarta, 2012, hlm 50 14 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm 70 “dipaksakan”nuntuk diberlakukan di suatu Negara lain, bisa dipandang sebagai symbol dari penjajahan oleh Negara yang membuat KUHP itu. Demikianlah, dipandang dari sudut politik sudah waktunya bagi Negara kita untuk mempunyai KUHP Nasional, yang sebenarnya sudah diserukan oleh Seminar Hukum Nasional yang pertama tahun 1963. 2. Alasan sosiologis, bahwa pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang. Ini berarti bahwa nilai-nilai sosial dan kebudayaan dari bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan di hukum pidana. Ukuran untuk mengkriminalisasikan sesuatu perbuatan tergantung dari nilai-nilai pandang kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar, yang bermanfaat atau sebaliknya. Jadi pandangan masyarakat tentang kesusilaan dan agama sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum, khususnya hukum pidana. 3. Alasan praktis, alasan yang dipandang dari sudut praktek seharihari. Tidak banyak orang yang menyadari sekarang ini, bahwa teknis resmi dari KUHP kita ini adalah tetap teks yang ditulis dalam bahasa belanda. Sehubungan dengan kenyataan bahwateks resmi KUHP itu masih bahasa belanda, maka sebenarnya apabila kita hendak menerapkan KUHP itu secara tepat, maka orang harus mengerti bahasa belanda. Urgenitas pembaharuan hukum pidana akan lebih tepat apabila didasarkan pada pendapat tersebut diatas. Oleh karena itu, dari sudut pandang yang demikian, KUHP yang sekarang berlaku sudah layaknya diganti dengan KUHP Nasional. Bertolak dari pemikiran diatas, maka penyusunan Konsep KUHP dalam mengatur pidana kerja sosial tidak dapat dilepaskan dari ide atau kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Pembaharuan hukum dimaksudkan untuk membentuk hukum pidana yang didasarkan pada nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia, bahwa hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum itu dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan pancasila. Ini berarti, pembaharuan Hukum Pidana Nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan “berorientasi pada ide dasar (basic ideas) Pancasila yang didalamnya mengandung keseimbangan nilai/ide/paradigma: (a) moral religius (ketuhanan); (b) kemanusiaan (humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi dan (e) keadilan sosial”. 15 C. Teori Kebijakan Kriminal Terkait dengan Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif pidana penjara dalam pembaharuan hukum pidana dibutuhkan adanya suatu alat untuk menuju kepada tujuan yang di inginkan. Tujuan yang yang dimaksud adalah yang terkait dengan Penal Reform atau pembaharuan hukum pidana. Oleh karena itu, di dalam rangka pembaharuan dibutuhkan alat yang berupa kebijakan hukum pidana yang berorientasi kepada sosio-filosofis, sosio-politik, dan sosio-filosofis bangsa Indonesia. 1. Pengertian Kebijakan Hukum Untuk membahas kebijakan hukum pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana terlebih dahulu dibahas tentang pengertian kebijakan. Istilah “Kebijakan diambil dari istilah “Policy” (Inggris) atau “Politiek” (Belanda). Bertolak dari istilah tersebut maka istilah “Kebijakan Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana”. 16 Oleh karena itu diperoleh gambaran bahwa dalam istilah Policy akan ditemukan makna kebijaksanaan, maka kebijakan mempunyai ikatan atau kaitan yang erat dengan kebijaksanaan. Di dalam kebijakan tentu terkandung kebijaksanaan. Politik Hukum Pidana merupakan bagian dari Politik Hukum pada umumnya. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu: 15 16 Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 302 Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 26 1. Perkataan politiek dalam bahasa belanda merupakan suatu yang berhubungan dengan Negara; 2. Berarti membicarakan suatu masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan Negara. Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini dijumpai kata-kata politik kriminil, politik hukum dan politik hukum pidana. 17 Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud MD. menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik untuk itu hukum dipandang sebagai “dependent variable (variable terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variable berpengaruh)”. 18 Asumsi yang demikian itu Mahfud merumuskan politik hukum sebagai: Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak hanya dipandang sebagai Pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusankeharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan Pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. 19 Menurut Solly Lubis, “Politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. tersebut diatas, menurut Sudarto Politik Hukum adalah: 20 Dengan dasar 21 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari Negara dengan perantara badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk 17 Teguh Prasetya, op. cit, hlm 11 18 Ibid, hlm 11-12 Ibid, hlm 11-12 20 Ibid 19 21 Barda Nawawi Arief , op. Cit, 2011, hlm 26 mengekspresikan apa yang dikandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Muhtar Efendi mengartikan “Politik hukum adalah suatu “Legal Policy” atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”. 22 Dari definisi tersebut dapat ditarik dua hal, yaitu pertama, politik hukum berkaitan dengan garis resmi atau kebijakan tentang hukum yang akan diberlakukan; dan kedua, untuk mencapai tujuan Negara. Kebijakan berkenaan dengan arah atau garis yang harus diikuti. Dikatakan garis resmi karena suatu kebijakan dibuat oleh Negara. Tujuan negara kita sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD Negara RI tahun 1945 meliputi integrasi, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum, dan melaksanakan ketertiban dunia. Oleh karena itu perwujudan tujuan suatu Negara tidak pernah akan selesai, maka politik hukum selalu berubah dari waktu ke waktu. Bertolak dari pengertian politik hukum diatas, maka politik hukum mencakup dua hal yaitu: “Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum”. 23 Dengan demikian, terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Menurut G.P. Hoefnagels kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya dikatakan kebijakan penegakan hukum (law 22 Komisi Yudisial, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, KY, Jakarta, 2012 hlm 161 23 Ibid, hlm 162 enforcement policy). Jadi, kebijakan perundang-undangan (legislative policy) dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy). 24 Kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam konteks ke-Indonesiaan, tertuang dalam tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa Iodonesia, yaitu yang telah dirumuskan dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 sebagaimana telah diuraikan di muka yaitu “melindungi segenap bangsa dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum berdasarkan pancasila. Sedangkan kebijakan sosial (social policy) menurut Barda Nawawi Arief, adalah “segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian "social policy" sekaligus tercakup di dalamnya "social welfare policy" dan " social defence policy". 25 Menurut H.P. Hoefnagels, dalam kebijakan hukum atau kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) ini meliputi juga suatu sarana “kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal-criminal policy). Beliau mendefinisikan criminal policy sebagai the rational organization of social reaction to crime (yaitu suatu organisasi rasional dari reaksi sosial terhadap suatu kejahatan)”. 26 Beberapa definisi ilustratif tentang criminal policy juga diberikan oleh Hoefnagels, seperti berikut: 27 1. Criminal policy is the science of responses; (kebijakan kriminal adalah ilmu tentang suatu respon atau tanggapan) 2. Criminal policy is the science of crime prevention; (kebijakan kriminal adalah ilmu tentang pencegahan suatu kejahtan) 3. Criminal policy is a policy of designating human behavior of crime; (kebijakan criminal adalah kebijakan menunjuk suatu perilaku manusia dari kejahatan) 24 Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 5 Ibid, hlm 28 26 Ibid, hlm 3 27 Ibid, hlm 4 25 4. Criminal policy is a rational total of responses to crime. (kebijakan kriminal adalah merupakan suatu rasionalitas dalam merespon atau menanggapi suatu kejahatan. 2. Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan/Policy adalah suatu perencanaan atau program dari pembuatan kebijakan mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi permasalahan tertentu dan bagaimana cara untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah diprogramkan atau direncanakan tersebut. Dilihat dari hakikatnya, Policy merupakan “Plan of Action” atau perencanaan penanggulangan kejahatan. Karena “Policy” itu merupakan rencana penanggulangan kejahatan, maka harus bersifat rasional yang melekat pada planning atau suatu perencanaan dan pelaksanaan yang baik. Jika mengambil dari istilah tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat diartikan juga dengan cara bertindak, atau siasat dari pemerintah (Negara) dengan menggunakan sarana hukum pidana untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu, khususnya dalam menghadapi kejahatan. Istilah “Kebijakan Hukum Pidana ini sering disebut juga dengan “Politik Hukum Pidana” yang dalam bahasa asing disebut dengan “Penal Policy”, “Criminal Policy”, atau “Strafrechtspolitiek”.28 Menurut A.Mulder, Strafrechtspolitiek is de beleidslijn om te bepalen: 29 1. In welk opzicht de bestaande starbepalingen herzien dienen te worden; 2. Wat gedaan kan worden om starfrechtelijk gedrag te voor komen; 3. Hoe de opsporing, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te verlopen. Memiliki arti bahwa“Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan: Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; 28 29 Barda Nawawi Arief, op. cit hlm 26 Ibid, hlm 27 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Marc Ancel menyatakan bahwa Penal Policy atau kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang akan tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya: “Between the study of criminological factors on the one hand, and the legal technique on the other, there is room for a science which observes legislative phenomenon and for a rational art within which scholar and practitioners, criminologist and lawyers can come togather, not as antagonists or in fratricidal strife, but as fellowworkers engaged in a common task, which is first and foremost to bring into effect a realistic, humane, and healthily progressive penal policy”. Yang mempunyai arti sebagai berikut : “Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi, dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat didalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berfikiran maju (progresif) lagi sehat“ 30 Berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Marc Ancel tersebut, ingin ditegaskan bahwa pada hakikatnya permasalahan kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis-normatis dan sistematik-dogmatik. Disamping pendekatan yuridis-normatif kebijakan hukum pidana juga memerlukan “pendekatan yurudis factual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, 30 Ibid, hlm 23 historis dan komparatif. Bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya”. 31 Politik hukum pidana dilihat dari politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan yang baik secara bijaksana. Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro) dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 32 Melaksanakan politik hukum pidana menurut Sudarto berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan daya guna. Menurut Sudarto “melaksanakan “Politik Hukum Pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang”. 33 Lebih lanjut Sudarto mengatakan: “Pembentukan undangundang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberikan suatu bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental”.34. Penal Police atau Politik (Kebijakan) hukum pidana, pada intinya, “bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman untuk pembuatan Undang-undang (Kebijakan legislatif) yang 31 Ibid, hlm 24 Teguh Prasetyo, op. cit, hlm 13 33 Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 26 34 Teguh Prasetyo, op. cit, hlm 14 32 disebut Tahap formulasi, Kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif), dan Pelaksanaan hukum Pidana (Kebijakan eksekutif)”. 35 Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundangundangan pidana.Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundangundangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 36 3. Pendekatan Kebijakan Hukum Pidana Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melaksanakan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofik, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian dalam pembaharuan hukum pidana (termasuk hukum pidana formil). Harus ditempuh dengan pendekatan yang “berorientasi pada kebijakan ("policy-oriented approach"), karena memang pada hakekatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau "policy" (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial), dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value-oriented approach"), karena dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi kepada pendekatan nilai. 37 Berdasarkan uraian diatas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 38 1) Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk 35 Ibid, hlm 18 Ibid, hlm 22 37 Barda Nawawi Arief, hlm 29 38 Ibid, hlm 29-30 36 mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya mempembaharui sistem hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hokum 2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai: Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientrasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofik, dan sosiokultural yang memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah atau kolonial (KUHP lama atau WVS) Pendekatan kebijakan seperti yang telah dikemukakan diatas jelas merupakan suatu pendekatan yang rasional, karena karakteristik dari politik kriminal yang rasional yaitu penerapan metode-metode yang rasional. Menurut G. P. Hoefnagels suatu politik kriminal harus rasional, sesuai dengan definisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat kepada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti yang telah dikatakan oleh Sudarto, dalam melaksanakan Politik (Kebijakan) orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. 39 Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua 39 Ibid, hlm 34 faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula suatu pendekatan yang fungsional pada setiap kebijakan yang rasional. Segi lain yang perlu dikemukakan dari kebijakan hukum pidana, selain berdasarkan kepada pendekatan kebijakan yaitu yang berkaitan dengan pendekatan suatu nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bissiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu untuk dilindungi. Kepentingankepentingan sosial tersebut menurut Bissiouni adalah: 40 (1)Pemeliharaan tertib masyarakat; (2)Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; dan (3)Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum; (4)Memelihara atau mempertahankan integritas pandanganpandangan dasar tertentu mengenai keadilan social, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin ilmu yang berorientasi kepada nilai. Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa menurut Bissouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi kepada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi kepada nilai (value oriented approach) Jadi dalam pengambilan kebijakan hukum pidana, baik kebijakan di bidang hukum pidana materil maupun hukum formil harus dilakukan secara integral atau komprehensif melalui pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai. Karena apabila tidak, maka kebijakan hukum pidana itu tidak akan efektif mencegah kejahatan, dan secara lebih luas melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. 40 Ibid, hlm 36 4. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan diperlukan sanksi jika melakukannya. Penjatuhan sanksi tersebut didasarkan pada suatu alasan bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan dianggap telah mengganggu ketertiban sosial. Oleh karena itu perlu kiranya untuk mencari pemecahan dalam menanggulangi kejahatan yang mengganggu ketertiban sosial ini. Pengertian penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodipuro adalah “suatu usaha untuk mengendalikan suatu kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat”. 41 Banyak cara atau usaha yang dapat digunakan untuk melakukan pemberatasan atau penanggulangan kejahatan. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Sejalan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana)”. 42 Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan suatu peraturan perundang-undangan pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Pada prinsipnya Pembuatan hukum pidana merupakan wujud usaha dalam rangka menanggulangi kejahatan, dengan kata lain setiap perbuatan negatif yang tejadi akan mendapat reaksi dari masyarakat untuk menekan kejahatan tersebut. Masyarakat tentunya tidak membiarkan adanya perbuatan negatif yang terjadi, sehingga dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan itu. 41 Teguh Prasetya, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi). Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2012, hlm 19 42 Ibid Usaha masyarakat untuk menanggulangi kejahatan ini adalah disebut sebagai Politik Kriminal atau Criminal policy. Hoefnagels, mendefinisikan criminal policy sebagai “the rational organization of social reaction to crime (suatu usaha masyarakat yang rasional dari reaksi sosial terhadap suatu kejahatan)”. 43 Beberapa definisi ilustratif tentang criminal policy juga diberikan oleh Hoefnagels, seperti berikut: 44 1. Criminal policy is the science of responses; (kebijakan kriminal adalah ilmu tentang suatu respon atau tanggapan) 2. Criminal policy is the science of crime prevention; (kebijakan kriminal adalah ilmu tentang pencegahan suatu kejahatan) 3. Criminal policy is a policy of designating human behavior of crime; (kebijakan criminal adalah kebijakan menunjuk suatu perilaku manusia dari kejahatan) 4. Criminal policy is a rational total of responses to crime. (kebijakan kriminal adalah merupakan suatu rasionalitas dalam merespon atau menanggapi suatu kejahatan) Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi dalam arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu: 45 1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; 3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sudarto menegaskan bahwa dalam “melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan penilaian dari sekian banyak alternatif mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan tersebut”. 46 Lebih lanjut Barda nawawi arief mengemukakan bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada 43 Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 3 Ibid, hlm 4 45 Ibid, hlm 3 46 Ibid 44 hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “Perlindungan masyarakat untuk mencapai Kesejahteraan masyarakat”. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan kursus latihan ke- 34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut : “Most of group members agreed in some discussion that “protection of the society” could be accepted as the final goal of criminal policy...”. Yang artinya sebagai berikut: Bahwa “sebagian besar anggota kelompok setuju di dalam beberapa diskusi bahwa perlindungan masyarakat bisa diterima sebagai tujuan akhir dari kebijakan kriminal. 47 G.Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu: 48 1. Criminal law application (Penerapan hukum pidana) 2. Prevention without punishment (Pencegahan tanpa pidana) 3. Influencing views of society on crime and punishment / mass media (Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat/melalui mass media). Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur “Penal” (hukum pidana) dan melalui jalur “Nonpenal” (bukan/di luar jalur hukum pidana). Dalam pembagian G. P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam angka (1) merupakan suatu upaya “Penal”, sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam angka (2) dan (3) merupakan kelompok upaya “Nonpenal”. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur “Penal” lebih kepada sifat “Repressive” (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “Nonpenal” lebih menitikberatkan akan sifat “Preventive” (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 47 48 Ibid, hlm 4 Teguh Prasetya, op.cit, hlm 19 Penanggulangan kejahatan melalui jalur “Nonpenal” lebih bersifat mencegah suatu kejahatan, maka sasarannya adalah merupakan penyebab terjadinya suatu kejahatan. Dengan demikian, dilihat secara politik kriminal secara makro dan global, “upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan”. 49 Bila dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari “kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy)”. 50 Dengan demikian politik kriminal Digambarkan sebagai berikut: Bagan Politik Kriminal merupakan bagian dari Politik sosial Bertolak dari skema tersebut, dapat diidentifikasikan hal-hal pokok sebagai berikut: 51 1. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), “kesejahteraan masyarakat/social welfare (SW) dan perlindungan masyarakat/social defense” (SD). Aspek SW 49 Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm 46 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm 77 50 51 Ibid, hlm 78 dan SD yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan atau perlindungan masyarakat yang bersifat immmateriil, terutama nilai kepercayaan, kebenaran atau kejujuran atau keadilan. 2. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “Pendekatan Integral” yaitu ada keseimbangan antara sarana “penal” dengan “non penal”. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis adalah menggunakan sarana non penal karena lebih bersifat preventif dank arena kebijakan penal mempunyai keterbatasan atau kelemahan, yaitu bersifat fragmantaris/ simplitis/ tidak struktral fungsional, simptomatik/ tidak kausatif/ tidak elimitatif, individualistik/ atau „offender oriented/ tidak “victim oriented” , lebih bersifat represif/ tidak preventif, harus didukung dengan infrastruktur dan biaya tinggi. 3. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu: Tahap formulasi (Kebijakan Legislatif), Tahap aplikasi (Kebijakan Yudikatif/ Yudisial), Tahap eksekusi (Kebijakan eksekutif/ administratif). D. Teori Pemidanaan 1. Teori Retributif (Teori Absolut) Teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. “Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan”. 52 M. Sholehuddin mengartikan Teori Retributif (Absolut) sebagai “suatu pemidanaan yang merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi kepada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori Retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang 52 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm 68-69 masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan”.53 Menurut Sahetapy, Teori Absolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan karenanya teori ini disebut juga sebagai teori Proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara moral. 54 Karl O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok dari Teori Retributif (Absolut) yaitu: 55 1. The purpose of punishment is just retribution (Tujuan Pidana hanyalah sebagai Pembalasan); 2. Just retribution is the ultimate aim, and not in itsef a means to any other aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whatsoever (Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat); 3. Moral guilt is the only qualification for punishment (Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan); 4. The pinalty shall be proportional to the moral guilt of the offender (Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku); 5. Punishment into the past, it is pure reproach, and it purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender (Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan tidak bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku). 53 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Impementasinya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 34 54 Ibid, hlm 34-35 55 Ibid 2. Teori Relatif (Teori Tujuan) Teori Relatif atau Teori Tujuan berporos kepada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu: “Preventif, Detterence dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut incapacitation”.56 Tujuan menakuti atau Detterence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam tiga bagian, yaitu: tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat publik, dan tujuan yang bersifat jangka panjang. Tujuan Detterence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan Detterence yang bersifat publik agar anggota masyarakatv lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan Detterence jangka panjang atau Long Term Detterence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana, sedangkan Tujuan Perubahan (Reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. 57 Teori Relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini munculah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku, maupun pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Menurut Leonard Orland, “Teori Relatif dalam pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Oleh karena itu, Teori Relatif lebih melihat ke depan”. 58 Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dalam Teori Relatif atau Teori Tujuan, yaitu: 59 56 Ibid, hlm 40 Ibid, hlm 41 58 Ibid, hlm 41-42 59 Ibid 57 1. The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana adalah Pencegahan); 2. Prevention is not final aim, but a means to a more supremes aim, e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir, akan tetapi hanya merupakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih yaitu, kesejahteraan masyarakat); 3. Only breaches of the law which are inputable to the perpetrator as intent or negligence qualify for punishment (Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana); 4. The penalty shall be determined by is utility as an instrument for the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan); 5. The punishment is prospective, it points into the future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare (Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat). Berdasarkan penjelasan tentang Teori Relatif tersebut, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, akan tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan. Karena teori ini mempunyai tujuantujuan tertentu dalam pemidanaan, maka teori relatif sering juga disebut sebagai Teori Tujuan (Utilitarian Theory). E. Teori Law and Economic Richard A. Posner menjadi motor penggerak Hukum dan Ekonomi sejak buku Economic Analysis of Law yang kali pertama dipublikasikan pada tahun 1973. Dalam hal keterkaitan sisi keilmuan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi, Posner memaparkan bahwa pada dasarnya ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan tentang pilihan rasional di tengah-tengah keterbatasan sumber daya yang diinginkan manusia. Tugas ilmu ekonomi untuk menggali implikasi- implikasi terhadap dasar pemikiran bahwa manusia sebagai mahluk rasional selalu menginginkan perbaikan dikehidupannya, tujuan dan kepuasannya di dalam perbaikannya tersebut dapat dikatakan kepentingan pribadi. 60 Menurut Posner, pendekatan ekonomi terhadap hukum selalu diidentikan dengan pembahasan hukum antitrust, hukum pajak, hukum korporasi dan regulasi kepentingan publik. Bahkan lebih jauh dia menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi terhadap hukum meliputi pembahasan bidang hukum yang berhubungan dengan masalah tort, kontrak, restitusi, properti, praktik penjatuhan hukuman, prosedur perdata, pidana dan administratif, masalah legislasi, penegakkan hukum dan administrasi pengadilan bahkan sampai pada level konstitusi, hukum keluarga dan jurisprudensi.61 “... economics is the science of rational choice in a world-our world-in which resources are limited in relation to human wants. The task of economics is to explore the implications of assuming that man is a rational maximizer of his ends in life, his satisfactions-what we shall call his “self interest. Law is basically a set of rules and sanctions which are attended for the regulation of the bevaviour of persons whose primary insticnt is to maximize the extent of their satisfactions, as measured in economic terms. Law is, therefore, created and applied primarily for the purpose of maximizing overall social utility”.62 Keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan ini, pada dasarnya sebagai perangkat peraturan atau sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengatur perilakuperilaku manusia yang pada hakikatnya berkeinginan untuk peningkatan kepuasannya sebagaimana hal ini menjadi bagian dari ekonomi. Oleh karena itu, hukum dibuat dan digunakan untuk tujuan meningkatkan kepentingan umum seluas-luasnya. 63 Fajar Sugianto, “Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan Perkembangan Akademik Hukum Dan Ekonomi”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 19. 2014, hlm. 16 61 Richard A. Posner, “Economic Analysis of Law”, 5th Edition, Aspen Law & Business, 1997, hlm. 25. 62 Posner, R.A., “Economic Analysis of Law”, 7th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A., 2007, hlm. 3, 249-256. 63 Op Cit, hlm. 16 60 Posner menarik kesimpulan bahwa Economic Analysis of Law merupakan pendekatan yang didasari oleh rasionalitas manusia sebagai mahluk hidup yang secara alamiah mencari kepuasan di dalam kegiatan mereka, di sini melibatkan pilihan. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang dapat memuaskan mereka sehingga mendapatkan keuntungan, baik bersifat moneter dan atau non-moneter ini dikatakan rasional.64 Posner menambahkan bahwa konsepsi Economic Analysis of Law dapat dijadikan suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satifaction) dan peningkatan kebahagiaan (maximization of happiness). Pendekatan ini erat kaitannya dengan keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan economic tools untuk mencapai maximization of happiness. 65 Pendekatan dan penggunaan analisa ini harus disusun dengan pertimbanganpertimbangan ekonomi dengan tidak menghilangkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi economic standard yang didasari oleh tiga elemen dasar, yaitu nilai (value), kegunaan (utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh rasionalitas manusia. 66 Berdasarkan konsep dasar ini, konsepsi yang dikembangkan oleh Posner kemudian dikenal dengan the economic conception of justice, artinya hukum diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama meningkatkan kepentingan umum seluas-luasnya (maximizing overall social utility). The economic conception of justice menjadi acuan untuk menilai sampai sejauh mana dampak pemberlakuan suatu ketentuan hukum/ peraturan perundangundangan kepada masyarakat luas. Dari sini dapat lebih mudah diketahui reaksi masyarakat dan kemanfaatan yang mampu dberikan oleh ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut.67 64 Ibid Bushan J. Komadar, “Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument”, University of Westminster, 2007, hlm. 1. 66 Richard A. Posner, Op cit, hlm. 15. 67 Fajar Sugianto, Op Cit, hlm. 17 65 Kontribusi Posner lebih fokus ke arah efisiensi ekonomi untuk menjelaskan hukum (common law). Sehingga menurutnya, jika hukum itu lebih diketahui maka akan lebih mudah mengkaji implikasi perkembangannya. Untuk mempertahankan inti pendiriannya Posner mengembangkan Hukum dan Ekonomi melalui bukunya The Economics Justice (1981). Posner mendefinisikan efisiensi sebagai “exploiting economic resources in such a way than human satisfaction as measured by aggregate consumer willingness to pay for goods and services is maximized”. Usaha efisiensi yang seperti ini dikatakannya sebagai usaha peningkatan kesejahteraan (wealth maximization). 68 Analisis ekonomi atas hukum pidana adalah prinsip efisiensi yang mengandung makna penghematan, pengiritan, ketepatan, atau pelaksanan sesuai dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Jika sarana yang ingin dicapai membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan tidak efisien. Sebaliknya, jika penggunaan sarana membutuhkan lebih sedikit biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan efisien. 69 F. Penelitian Yang Relevan Beberapa penelitian yang relevan terkait dengan penulisan proposal atau usulan penelitian thesis ini, yakni : 1. Penelitian dari Putu Astrid Yolanda Sari, Universitas Udayana, Program Kekhususan: Hukum Pidana, Thesis dengan Judul Pidana Kerja Sosial Dalam Rangka Mencapai Tujuan Pemidanaan Di Indonesia. Rumusan masalah dari Penelitian ini, adalah: a. Bagaimana keberadaan Pidana Kerja Sosial di Indonesia saat ini ? b. Bagaimana konsep penjatuhan pidana kerja sosial dalam mencapai tujuan pemidanaan di Indonesia kedepannya 68 Ibid, hlm. 18 Mahrus Ali, “Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Prespektif Analisis Ekonomi Atas Hukum)”, Jurnal Hukum, Vol. 15, No. 2, April 2008, hlm. 230 69 Simpulan dari Penelitian ini adalah : a. Munculnya jenis Pidana Kerja Sosial adalah sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dan denda yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa untuk mencapai tujuan pemidanaan. b. Pola dari konsep penjatuhan Pidana Kerja Sosial ini berdasarkan Pasal 86 RUU KUHP 2010, yang dalam hal ini Pidana Kerja Sosial harus mendapatkan persetujuan dari terpidana itu sendiri dan memperhatikan kondisi fisik dan mental dari terpidana. 2. Penelitian dari Sellvy Dwi Ariani, Universitas Negeri Semarang, Skripsi dengan Judul Kebijakan Pidana Kerja Sosial Dalam Rangka Penuangan Ide Individualisasi Pidana. Rumusan masalah dari Penelitian ini adalah : a. Bagaimana Penuangan Ide Individualisasi Pidana tentang Pidana Kerja Sosial dalam Hukum Pidana yang berlaku saat ini ? b. Bagaimana Potensi Ide Individualisasi Pidana tentang Pidana Kerja Sosial diatur di dalam hukum pidana yang akan datang ? Simpulan dari Penelitian ini adalah : a. Pengaturan mengenai jenis sanksi pidana kerja sosial belum diatur dalam Hukum saat ini. Penerapan ide individualisasi pidana tentang pidana kerja sosial dalam hukum pidana positif juga tidak ada namun terdapat hukum positif yang memiliki kemiripan dengan Pidana kerja sosial, terdapat dalam hukum penitensier khususnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintahan Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdapat dalam Pasal 38A ayat (1) dan (3) b. Model pendekatan dalam pembaharuan mengenai formulasi pidana kerja sosial merupakan jenis Integral, dimana telah dituangkan dalam Rancangan KUHP Tahun 2012 jenis pidana terdapat dalam Pasal 65. Kemudian pengaturan mengenai pidana kerja sosial terdapat dalam RKUHP Pasal 86 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2012. G. Kerangka Berpikir Pidana Kerja Sosial merupakan sebuah Ide yang timbul akibat dari tidak efektifnya pidana penjara melalui sarana Lembaga Pemasyarakatan yang kondisinya sudah Over Capacity untuk menyadarkan dan memberikan efek jera bagi narapidana. • Teori Retributif (Pembalasan); • Teori Alternatif (Tujuan); • Teori Criminal Policy (Kebijakan Kriminal). • Teori Law and Economic 1. Pidana Kerja Sosial diperlukan sebagai alternatif pidana pernjara jangka pendek; 2. Langkah yang dapat mendukung model pidana kerja sosial yang ideal di Indonesia. • Undang-Undang No 1 Tahun 1946 Tentang KUHP; • Rancangan KUHP (RKUHP) 2012. Untuk mengetahui perlunya Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek serta langkah yang dapat mendukung terciptanya model pidana kerja sosial yang ideal di Indonesia. Sasaran utama penelitian ini adalah pada masalah Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dalam pembaharuan hukum pidana, maka kajian yang dilakukan yaitu kajian berupa Penelitian Doktrinal/Normatif (penelitian kepustakaan).