Terbuka terhadap universalitas Hati Kristus Surat untuk

advertisement
SUPERIOR JENERAL
KONGREGASI IMAM-IMAM
HATI KUDUS YESUS
Dehonian
____________________________________________________________________________
Prot. N. 0123/2012
Terbuka terhadap universalitas Hati Kristus
Surat untuk Pesta Hati Kudus Yesus - 2012
Pengantar
Melanjutkan perjalanan refleksi dari tahun-tahun sebelumnya, Pimpinan Jendral
mengusulkan tema internasionalitas untuk Pesta Hati Kudus tahun ini, suatu dimensi
fundamental dari kehidupan kita sebagai orang Kristen dan sebagai dehonian. Perluasan visi
universalitas dunia dalam keragaman bangsa, ras dan budaya, adalah bagian mendasar dari
menjadi Kristen dari kesetaraan semua orang yang diciptakan sebagai citra Allah dan dari
kepatuhan terhadap panggilan misi yang termuat dalam Injil.
Internasionalitas, sebagai ungkapan dari universalitas rencana Tuhan bagi umat
manusia, muncul dengan urgensi dan kemungkinan baru di dunia saat ini. Kita tidak dapat
tetap acuh tak acuh terhadap globalisasi, arus besar migrasi manusia, multikulturalisme di
kota-kota kita. Itu semua adalah tanda-tanda zaman yang membutuhkan sudut pandang dan
komitmen yang baru.
Kongregasi saat ini menawarkan tantangan yang menuntut perubahan dalam mentalitas
dan sikap, dalam manajemen sumber daya manusia dan material dalam kerjasama
internasional. Termasuk di antaranya penuaan dari mayoritas entitas kita, munculnya
kehadiran baru dan muda di banyak negara, kesatuan kongregasi dalam keragaman budaya
dan formasio untuk hidup dalam dunia yang berubah dengan cepat.
"Kasih Kristus mendorong kita" adalah motto Kapitel Jenderal yang terakhir, yang
harus membimbing kita dalam menemukan jalan kita dalam Gereja dan dunia. Permenungan
tentang Hati Sang Juruselamat yang terbuka, dari mana mengalir Roh kepada seluruh umat
manusia, adalah sumber dan inspirasi dari sikap universal. Dalam terang inilah kami
mengusulkan refleksi ini, sebagai kontribusi untuk mencari kesetiaan kepada warisan
kharisma kita, dalam Gereja dan dunia saat ini.
1
Pengalaman Hidup Menggereja
Dasar dari dimensi universal kehidupan kita sebagai dehonian ditemukan di pusat pesan
Injil dan kehidupan Gereja. Bukan hendak dicari keselarasan dengan arus globalisasi yang
menjadi ciri zaman kita, juga bukan cuma strategi untuk mengatasi masalah Kongregasi.
Faktor-faktor ini, meskipun penting, bukanlah yang menentukan. Mereka harus dilihat
sebagai tanda-tanda zaman yang mengundang kita untuk kembali ke akar kita, untuk
mengejar jalan kesetiaan dan pembaharuan.
Sudah sejak dalam perjanjian pertama, pada masa-masa umat Allah menutup diri –
dalam saat-saat tertentu lantaran merasa kuat dan mandiri, di lain kesempatan karena merasa
takut terhadap kekuatan atau takut ketularan bangsa-bangsa lain – menyebabkan jalan buntu
Via Casale di San Pio V, 20
00165 – Roma
ITALIA
Tel.: (39) 06.660.560 * Fax: (39) 06.660.56.317
E-Mail: [email protected]
www.dehon.it
dari sudut pandang iman dan hidup batin umat, yang tiada henti-hentinya dicela oleh para
nabi. Menariknya, masa-masa paling subur dan kreatif dari sejarah Israel terjadi bersamaan
dengan masa krisis nasional - seperti pembuangan dan masa yunani – yang membawa mereka
berkontak dengan bangsa-bangsa lain. Dan dalam perjumpaan ini lah bangsa berkembang
dalam pemahaman sebagai bangsa terpilih dan fungsinya dalam konteks seluruh umat
manusia. Diaspora orang-orang yahudi, yang hadir di seluruh dunia yang dikenal pada waktu
itu, telah menciptakan sebuah tipe orang beriman yang tidak terikat pada sebuah wilayah
tertentu dan yang dapat menjadi warganegara dari bangsa yang berbeda-beda. Tetapi ada
batas yang tak bergeser, yaitu milik keturunan Abraham. Arus utama dalam yudaisme ialah
melihat orang-orang Israel sebagai penerima eksklusif janji Allah.
Komunitas Kristen lahir dalam tradisi ini dan melepaskan diri dari padanya (tradisi)
terutama karena dua alasan. Pertama, pengakuan akan Yesus sebagai Mesias, Anak Allah,
yang di dalam diriNya dipenuhi janji yang dibuat kepada Abraham. Dan kedua, karena ia
(komunitas Kristen) melihat bahwa janji-janji dibuat untuk Israel dan penebusan yang terjadi
dalam Kristus juga untuk semua bangsa di bumi. Perubahan mentalitas bukanlah hal yang
mudah dan terutama merupakan karya Roh, karunia Tuhan yang Bangkit, yang dinampakkan
dalam Pentakosta (lih. Kis 2), yang akan diulangi sepanjang perjalanan Gereja: di rumah
Kornelius seorang perwira (Kis 10), di perjalanan seorang sida sida Ethiopia (Kis 8,26-40), di
Antiokhia (11,19-26), di komunitas yang didirikan pada perjalanan misi pertama Paulus dan
Barnabas (Kis 15,11 s) dan di sepanjang sejarah.
Bagi Paulus, kesatuan semua bangsa dalam Gereja mengungkap "rahasia" yang
tersembunyi bagi generasi ke generasi di masa lalu (bdk. Kol 1,26-28). Dari pengalaman
ditakhlukkan oleh Kristus ketika ia waktu itu masih jauh dan sebagai seorang penganiaya,
lahirlah di dalam hati nuraninya tawaran bebas dari keselamatan dalam Kristus, dan peran
pendamai dari kasihnya untuk semua orang, baik yang dekat dan maupun yang jauh. Dari sini
lahir juga urgensi misi Paulus di antara semua bangsa dan bahasa: "Karena jika aku
memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah
keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil." (1Kor 9:16). Pelengkap
universalitas adalah penghapusan perbedaan dan pengecualian di antara mereka yang telah
disatukan dalam Kristus: "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada
hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah
satu di dalam Kristus Yesus." (Gal 3:28).
Universalitas dan inklusi tersebut berawal dari dinamika Roh, yang memimpin langkah
Gereja dalam perjalanan kepada segala bangsa, membawa Injil ke dalam lingkungan budaya
yang beragam. Keanekaragaman ini membutuhkan pembandingan dan pembedaan antara apa
yang mendasar dan mempersatukan komunitas baru dengan unsur-unsur khas dari setiap
kebudayaan. Upaya menyamaratakan kiranya akan memperkecil keanekaragaman.
Pertentangan antara Petrus dan Paulus di Antiokhia (Kisah 15,1-4; Gal 2:11-14) menunjukkan
bahwa internasionalitas dan multikulturalitas bukanlah sesuatu yang mudah, meskipun harus
menjadi dasar bagi perjalanan Gereja. Paulus secara khusus, telah berjuang sepanjang
hidupnya untuk membuka hati bagi universalitas kasih Allah dan bagi kesamaan martabat
setiap saudara dan saudari, yang ditebus oleh Kristus dan yang dilahirkan kembali oleh Roh.
Kebebasan dan keragaman tidak bertentangan dengan kesatuan Tubuh Kristus. Semangat
misionaris dan keinginannya untuk senantiasa membawa Injil kepada bangsa-bangsa baru
berasal dari persepsi tentang kasih Allah yang universal yang ingin menawarkan hidup dan
keselamatan-Nya untuk setiap manusia. Kasih Kristus lah yang mendorongnya untuk
melayani rencana-Nya ini (bdk. Gal 2,20; 2 Kor 5,14).
2/8
Pengalaman komunitas-komunitas Kristen yang pertama membuat kita memahami
peran multikulturalitas dalam hakikat Gereja. Kesatuan dengan Kristus bukan hanya
berorientasi kepada persekutuan dengan Dia dalam kepenuhan Kerajaan surgawi.
Transformasi Roh selalu mengarah ke suatu komunitas. Ini adalah lingkungan di mana
mereka belajar untuk mengubah hubungan mereka, untuk membuat cinta persaudaraan
menjadi jalan yang menerima perbedaan, yang mendamaikan perpecahan dan yang
memungkinkan untuk berbagi, berkolaborasi dan saling menghormati. Tetapi rencana Allah di
dalam Kristus tidaklah terbatas untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, seperti pulaupulau perdamaian di dunia rusak. Dia ingin membawa keselamatan bagi semua orang dan
menggabungkan semua bangsa di bumi sebagai satu keluarga. Dengan kurang lebih adanya
sikap penolakan, Roh mendorong-desak Gereja dari Yerusalem ke seluruh Palestina, dari
Antiokhia ke Asia Kecil dan Eropa, menyebar sampai ke seluruh dunia. Hanya dengan
demikian terpenuhilah rencana Allah untuk mendamaikan semua dalam Kristus (lih. Ef 2.16,
Kol 1,20). Inilah perjalanan Gereja sepanjang abad. Oleh karena itu, sebuah komunitas atau
gereja setempat (atau sebuah entitas kongregasi), yang menutup diri, dalam kapasitas dan
kebutuhan mereka sendiri, tanpa melihat di luar batas-batas diri dan kebutuhannya sendiri,
tidaklah setia kepada rencana Allah dan misi yang diharapkan dari mereka.
Dinamika Roh tidak mengabaikan perbedaan, perpecahan dan konflik. Dia bekerja
berangkat dari transformasi individu dan komunitas, sehingga memungkinkan terjadinya
rekonsiliasi, berbagi dan pemberian diri demi orang lain. Untuk ini, setiap komunitas dan
setiap gereja setempat, demikian juga setiap entitas kongregasi, selalu memiliki dimensi
setempat dan universal. Setempat (yang tidak sama dengan nasional) untuk menyebut
lingkungan di mana berkarya, tetapi universal ketika bicara tentang kesatuan seluruh anggota
dan keterbukaannya terhadap seluruh Gereja. Dalam masing-masing komunitas tidak boleh
ada pembedaan antara "pribumi" dan "asing". Setiap orang, terlepas dari asal atau paspor
mereka, adalah anggota Kristus dan satu sama lain adalah saudara dan saudari.
2.
Teladan Kristus
Keterbukaan terhadap yang lain dan terhadap keberbedaan, yang membawa kepada
universalitas, secara mendasar menjadikan Kristus, Anak Allah, yang ambil bagian dalam
kemanusiaan kita, sebagai model. "yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah
mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama
dengan manusia" (Filipi 2,6 s), "... dan diam di antara kita" (Yoh 1,14). Firman Tuhan itu
semula secara radikal asing bagi budaya kita dan keberadaan kita sebagai manusia, tetapi Ia
taat kepada kehendak Bapa - Lihatlah, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu (Ibr 10.7)
– terhapuskanlah jarak dan keterasingan. Dia, namun tetap tanpa noda, mengambil kondisi
kita sendiri, dalam kelemahan dan dosa. Bahkan juga dalam penderitaan dan kematian, Dia
tetap setia berada di pihak kita. Dia yang belajar drama kemanusiaan, bagi mereka yang
mengikutinya, menjadi sumber dan model ketaatan kepada rencana Bapa, dan menjadi yang
pertama dari sebuah kemanusiaan yang diperdamaikan (lih. Ibr 5,7-10). Dengan menjadi
manusia, Kristus "mengosongkan dirinya" (Filipi 2,7), tetapi tidak melepaskan dari kondisi
sebagai Anak Allah. Dalam penjelmaan-Nya, Ia belajar mewujudkan diriNya sebagai anak
dalam sebuah kehidupan sebagai manusia, anggota dari sebuah bangsa dan dari sebuah
budaya manusia. Dengan begitu, Anak Allah dan Anak Manusia, memulai sebuah cara hidup
bersama yang baru antara manusia, membuka jalan kepada kehidupan ilahi.
3/8
Pewahyuan tentang dekatnya penebusan ini adalah darah dan air memancar dari Hati
terbuka Yesus di kayu salib (Yoh 19,31-35), di mana Penginjil Yohanes mengajak kita untuk
merenungkan karunia Roh, yang menciptakan kemanusiaan baru. Hal ini dibangun di bawah
tanda rekonsiliasi antara perjanjian yang pertama - yang diwakili oleh ibunya - dan perjanjian
baru yang terjadi di rumah seorang murid, untuk menerima sang ibu dan seluruh umat
manusia (Yoh 19,26 s).
Dibentuk dalam spiritualitas Hati Kristus, kita menemukan dalam misteri inkarnasi dan
dalam karunia roh dari Dia yang bangkit, akar dan model dari persekutuan dan misi kita,
terbuka untuk seluruh umat manusia, menurut kehendak Allah. Sikap utama misionaris, dalam
lingkungan asli kita atau di tempat misi yang lebih jauh, adalah untuk melampaui hambatan
perbedaan dan keterasingan. Hal ini membuat kita dekat dengan semua orang dan mampu
memahami cara mereka berbicara, berpikir dan bertindak, untuk berbagi kegembiraan dan
kesedihan, sampai mempertaruhkan hidupnya untuk melayani mereka. Sikap ini merupakan
pewartaan pertama dari Injil. Dengan ini juga akan datang saat untuk Sabda Allah, untuk
pengorganisasian komunitas, untuk karya pengembangan. Maka berlangsunglah terus karya
penebusan, dengan melengkapi penderitaan Kristus dalam diri masing-masing, yaitu mereka
yang membiarkan diri mereka dibentuk oleh-Nya, demi umat-Nya (lih. Flp 3:10, Kol 1:24).
3.
Terang dari Spiritualitas dan sejarah kita
Keterbukaan terhadap internasionalitas merupakan sebuah ungkapan dari sifat-sifat
dasar panggilan kita dalam terang Hati Kristus: membentuk sikap "ecce venio” untuk
mewujudkan kehendak Bapa dan menegakkan kerajaan-Nya dalam jiwa-jiwa dan masyarakat;
semangat "sint unum", yang membuat kita bersaudara dalam perbedaan kita, "pemulihan",
yaitu keterlibatan positif untuk mendamaikan umat manusia yang tercerai, dengan
memperbaiki yang rusak dan menciptakan model-model baru kehidupan bersama antara
manusia, bangsa dan budaya.
Sejak awal karyanya, P. Dehon telah menerapkan internasionalitas dalam proyek
Kongregasi. Kesatuan pribadinya dengan Hati Kristus, formasio di Roma, pengalaman
Konsili Vatikan Pertama, serta semua perjalanannya, telah mempersiapkan dirinya untuk
melihat dunia yang melampaui visi nasional yang ada di banyak lingkungan Gereja pada
jamannya. Tak lama setelah berdirinya di Saint Quentin, karena keyakinan pribadinya dan
karena kesulitan di Perancis, ia memindahkan karyanya ke negara-negara tetangga, di mana
telah terbentuk sebagian besar dari para Dehonian pertama di Eropa. Kurang dari dua puluh
tahun setelah berdirinya, telah dimulai misi pertama di luar benua Eropa, pertama-tama di
Amerika Latin, kemudian Afrika, Asia dan Amerika Utara. Pada saat kematian Bapa pendiri,
Kongregasi sudah hadir di lebih dari 20 negara di empat benua. Universalitas sebagai "misi
kepada bangsa-bangsa" telah menjadi obyek dari komitmen yang mendalam, yang menandai
masa depan Kongregasi secara keseluruhan.
Dengan pengorganisasian Kongregasi di provinsi-provinsi, pengembangan misi-misi
baru secara bertahap muncul ke berbagai entitas di Eropa. Komposisi internasional yang kita
miliki pada saat ini dalam Kongregasi dan pelayanan yang kita berikan kepada Gereja dan
masyarakat di banyak negara di dunia adalah buah dari dorongan untuk melewati batasbatas demi misi. Spiritualitas karismatis yang diterima dari Pendiri telah berkembang di
banyak bidang kerasulan, tapi telah diwujudnyatakan, dalam bentuk yang istimewa, yaitu
4/8
dalam misi "ad gentes". Hal ini menandai prioritas formasio dan perencanaan provinsiprovinsi, yang memungkinkan Kongregasi untuk hadir saat ini di 41 negara.
Tetapi saat ini, kita sedang berada dalam masa perubahan besar dibandingkan dengan
masa lalu. Sebagian besar dari provinsi-provinsi yang telah memberi kontribusi besar pada
semangat misi ini berada dalam situasi penuaan dan nampak berkurang vitalitas dan
kemampuan misi mereka. Di sisi lain, entitas-entitas baru, yang memiliki anggota muda lebih
banyak, kurang memiliki sarana dan tradisi misi di luar batas-batas negara mereka. Meskipun
mengalami penurunan tajam dalam angka, namun pada saat ini, lebih dari 80% dari para
misionaris dalam Kongregasi kita berasal dari Eropa. Dapat ditambahkan pada fakta ini
bahwa, pada saat ini, sedikitlah entitas yang dapat mengembangkan sendiri suatu misi baru,
baik dalam hal personalia maupun sarana. Jika kita tidak menemukan bentuk-bentuk motivasi
yang baru, visi dan kerjasama internasional, masa depan Kongregasi kita akan bermasalah
dalam hal vitalitas, karya internal dan misi.
Tidak diragukan lagi bahwa keragaman geografis dan budaya memperkaya kehidupan
Kongregasi dan menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru dari kehadiran dan misi.
Tetapi keragaman itu juga dapat menyebabkan bahaya disintegrasi dan ketertutupan di
tingkat regional dan nasional. Di masa lalu, internasionalitas diwujudkan melalui provinsiprovinsi dengan mengirim para misionaris mereka. Dengan tercapainya otonomi misi-misi
pertama, hubungan ini menjadi lebih longgar. Dalam banyak kasus, ada kecenderungan untuk
isolasi dan menutup diri dalam realitas lokal, dengan menurunnya partisipasi dalam
kehidupan Kongregasi secara keseluruhan. Untuk memanfaatkan kekayaan keragaman dan
pada saat yang sama memperkuat persatuan, dengan menghindari keterpisahan dan
kecenderungan nasionalisme, kita perlu mengembangkan bentuk-bentuk baru komunikasi,
keterbukaan dan kesatuan.
Zaman kita juga menawarkan kemungkinan dan perspektif baru yang dapat membantu
kita dalam perubahan dan pembaharuan ini. Dunia di mana kita hidup, kendati segala
kesulitan dan ketertutupan, lebih dari sebelumnya, terbuka dan terhubungkan, menawarkan
peluang baru bagi komunikasi dan kerjasama pada tingkat global. Gereja, sejak Konsili
Vatikan Kedua, menyediakan kerangka kerja yang menarik bagi keterlibatan di gereja-gereja
setempat dan pembangunan persatuan dalam keragaman budaya. Lembaga hidup bakti, yang
mengetahui tantangan besar beradaptasi dengan masyarakat modern, adalah pelopor di garis
depan evangelisasi, perhatian terhadap mereka yang paling lemah dan lahan perjumpaan yaitu
dialog antarbudaya dan agama.
Kongregasi kita sedang menempuh langkah-langkah penting dalam pemahaman
tentang kharisma dan perannya dalam Gereja dan dunia. Sebuah kesadaran umum
berkembang, serta bentuk-bentuk baru kesatuan dan kerja sama antara entitas. Semangat "Kita
Kongregasi" telah membuka jalan ke arah mentalitas dehonian. Pertama-tama telah
menyumbang pemahaman baru tentang warisan karisma kita, yang merupakan dasar dari
persekutuan kita. Dinamika berbagi dan perencanaan memainkan sebuah peran penting,
seperti pertemuan dua tahunan dari para superior entitas, yang berfungsi sebagai “dewan”
untuk discerment dan pengarahan seluruh Kongregasi; dan koordinasi atas inisiatif-inisiatif di
tingkat benua, formasio bersama di tingkat Kongregasi dan benua, dengan penekanan khusus
pada kursus untuk para formator, ekonom dan superior; koordinasi yang lebih baik dalam
sharing ekonomi, kelompok-kelompok kerja untuk sektor-sektor tertentu, seperti formasio,
pendidikan kaum muda, keluarga dehonian atau sektor yang mengurusi konfrater lanjut usia.
Buah dari proses ini sudah terlihat dan mendorong kita untuk melanjutkannya.
5/8
Untuk mengkonsolidasikan dan mengefektifkan mentalitas ini dan menanggapi
tantangan zaman kita, adalah penting untuk menciptakan kemampuan baru untuk memotivasi
dan mengkoordinasikan mobilitas personalia dalam seluruh Kongregasi. Dalam hal ini,
Konferensi Jendral di Warsawa pada tahun 2006, setelah menegaskan bahwa "misi ke luar
bagi semua merupakan suatu dimensi dasariah dari hidup bakti kita, secara eksplisit
menyatakan: "Setiap konfrater memiliki kesempatan untuk menyediakan diri berpartisipasi
dalam proyek-proyek misi, dengan discernment dan persetujuan dari entitas yang
mengutusnya" (bdk. Dokumen Final dari Konferensi di Warsawa, no. 2 dan 7). Jika kita ingin
menerapkan pengarahan ini, harus diciptakan suatu kondisi yang konkret bagi pelaksanaan
dan koordinasinya, di tingkat personal, tingkat entitas dan Kongregasi. Kita harus menemukan
cara untuk mengusulkan dan memungkinkan partisipasi setiap konfrater dalam misi
internasional, untuk memasukkan karya misi ini dalam proyek kerasulan dari setiap entitas
dan mengkoordinirnya pada tingkat Kongregasi. Tarekat-tarekat religius yang tidak
mengembangkan dimensi internasional ini, sekarang berada dalam kesulitan besar, sementara
mereka yang telah mengintegrasikan internasionalitas ke dalam kehidupan mereka,
tampaknya lebih mampu menjawab tantangan hari ini.
4.
Sebuah perjalanan universalitas
Dalam kesetiaan pada asal usul kita dan dalam menanggapi tanda-tanda zaman kita,
tentu membutuhkan dinamika dan bentuk-bentuk baru organisasi. Tapi sangatlah penting
untuk berangkat dari warisan spiritual kita. Kita harus memberikan ruang untuk Roh yang
sama yang mendorong P. Dehon mendirikan Kongregasi, supaya Ia membimbing kita dalam
menanggapi kebutuhan Gereja dan dunia saat ini. Warisan budaya umum inilah yang akan
memungkinkan kita untuk melakukan inkulturasi spiritualitas kita dalam lingkungan yang
berbeda di mana kita berkarya, tanpa kehilangan identitas dan kekhasan karisma kita. Dengan
cara ini, kita akan dapat memberikan sumbangan yang lebih bagi pengembangan Gereja
setempat dan Kongregasi, dan pada saat yang sama, membuka hati kita terhadap misi di
seluruh dunia.
Misi kita membutuhkan dimensi universal dan interkultural. Hal ini adalah “merek”
penting dari Injil dan dari cara kita berada di dalam Gereja. Selain itu, situasi saat ini meminta
hal itu. Pertukaran personalia memungkinkan entitas yang lebih kecil dalam Kongregasi
untuk berpartisipasi dalam misi bersama, menghindari isolasi mereka dan memungkinkan,
pada saat yang sama, konfrater lainnya datang untuk terlibat dalam kehidupan dan misi
internal mereka. Dalam dunia global di mana kita hidup, terutama di kota besar, pembentukan
komunitas antar budaya dapat menjadi jalan untuk hadir dalam lingkungan multikultural
tersebut. Pada saat yang sama, dapat menawarkan sumbangan penting untuk pembaruan
entitas yang lebih tua dan konsolidasi entitas yang lebih muda. Entitas-entitas yang saat ini
lebih subur, di sisi lain, akan menemukan perspektif yang lebih luas untuk disampaikan
kepada kaum muda mereka, memberikan kontribusi bagi vitalitas mereka sendiri dan tarekat.
Jika kita menutup diri dalam kemampuan dan keterbatasan diri sendiri, menjadikan kita
semua lebih miskin dan akan menyengsarakan kualitas hidup dan misi kita. Hari ini, kita
semua merasa lebih rentan dan ini bisa baik jika kesadaran ini membawa kita untuk
menemukan cara untuk memperluas kerjasama yang lebih besar. Jika kita membuka diri
untuk kesatuan Kongregasi dan Gereja, kita akan mengambil manfaat dan kita akan lebih
mampu untuk menjadi pelayan Injil di dalam dunia.
6/8
Dalam pencarian langkah-langkah baru, tidak pernah mungkin untuk tidak menekankan
pentingnya formasio. Formasio awal dan bina lanjut, seperti studi spesialisasi, menawarkan
kesempatan yang luas untuk bekerjasama dan pertukaran personalia, baik untuk tingkat
formandi, maupun formator dan dosen. Kita memiliki banyak contoh tentang sharing
personalia dan sarana di masa lampau dan saat ini harus dikembangkan lebih lanjut.
Pengurangan jumlah konfrater formandi di beberapa entitas meminta keterbukaan dan
kerjasama internasional. Tapi bahkan ketika kelompok formandi sangat banyak, kita tidak
harus mengabaikan kekayaan yang bisa datang dari karakter interkultural dari suatu
komunitas formasio untuk tingkat formandi maupun formator. Skolastikat internasional di
berbagai benua sedang memainkan peran penting dalam formasio konfrater muda kita, yang
harus didukung dan dikembangkan. Jadi kita akan dapat membangun dengan lebih memadai
misi universal dan multikultural yang berkembang di seluruh dunia. Studi tentang bahasa dan
pengalaman konkret internasionalitas, tentang studi atau pengalaman pastoral, harus serius
diintegrasikan ke dalam program formasio di setiap entitas, untuk lebih mempersiapkan diri
bagi misi kita.
Formasio ini harus memungkinkan kita untuk berbagi hidup dalam konteks
interkultural. Berangkat ke misi atau menerima konfrater yang berasal dari budaya lain
dalam komunitas kita membutuhkan perubahan mentalitas, suatu kemampuan untuk
menghidupi suatu persekutuan yang terbuka terhadap universalitas. Kesulitan yang kadangkadang ditemukan dalam pengembangan komunitas internasional, menunjukkan kepada kita
pentingnya memasukkan secara lebih jelas dimensi internasionalitas ke dalam formasio dan
pentingnya memberikan persiapan khusus bagi mereka yang pergi ke misi dan yang menerima
konfrater dari luar negeri. Kasih universal Allah yang terungkap dalam Kristus mendorong
kita, memungkinkan persaudaraan, melalui karunia Roh-Nya.
Suatu dimensi dasar dari persekutuan dan misi adalah berbagi harta benda, yang
tentangnya telah dibahas dalam surat edaran tahun lalu. Penyatuan harta benda dimulai dari
setiap komunitas dan kemudian meluas ke suatu entitas, tetapi akhirnya harus menjangkau
untuk seluruh Kongregasi. Dimensi internasional dari solidaritas ekonomi menjadi sangat
penting melihat tanda-tanda melemahnya entitas yang sampai saat ini mendanai sebagian
besar kebutuhan hidup dan misi kongregasi. Juga dalam bidang ini perlu secara bertahap
diatasi perbedaan antara pemberi dan penerima, dengan suatu logika tentang partisipasi dari
semua pihak. Semua harus memberikan kontribusi, sedikit ataupun banyak, sesuai
kemampuan masing-masing, sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kita sedang
membuat langkah penting dalam berbagi dan berkoordinasi untuk solidaritas antar entitas.
Namun, kita memiliki jalan panjang untuk sampai ke kemandirian ekonomi dan kita
mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam tingkat Kongregasi untuk mengelola harta
benda yang diperlukan bagi kehidupan kita dan solidaritas dengan mereka yang memerlukan.
Di sepanjang surat ini, telah berulang kali disebutkan perlunya bentuk-bentuk baru dari
sikap berbagi dan berkoordinasi di tingkat Kongregasi. Ini tidak harus diartikan sebagai
suatu pola sentralisasi Kongregasi. Memperhatikan tradisi kita, ini kiranya tidak masuk akal
maupun berguna. Model universalitas yang dianjurkan Injil tidak akan tercapai dengan orangorang yang tercabut dari akarnya dan tanpa identitas budaya tertentu. Sebaliknya, logika
inkarnasi meminta untuk menapakkan kaki di bumi dan untuk menerjemahkan kehadiran
Allah yang menyelamatkan dalam ungkapan dan pengorganisasian di setiap tempat dan
budaya. Logika yang sama inilah yang mendorong kita untuk pergi ke tempat dan budaya lain
untuk melanjutkan proses yang sama. Harus dikembangkan rasa persaudaraan, sikap berbagi
dan pelayanan di setiap entitas kita. Entitas-entitas itu membutuhkan otonominya sendiri dan
7/8
gaya perkembangannya sendiri. Tetapi, otonomi bukan berarti mengisolasi diri kita sendiri
dan membahayakan kemampuan kita untuk memberikan pelayanan kepada Injil, "sampai ke
ujung dunia." Tantangan kita adalah untuk menemukan cara yang sesuai dengan kedua
pendekatan - lokal dan universal - menurut prinsip-prinsip persaudaraan yang saling
melengkapi dan membantu. Sarana-sarana untuk konsultasi dan koordinasi, seperti pertemuan
Superior Mayor, kerjasama tingkat benua di berbagai sektor, kesepakatan dan kerja sama
antar entitas yang berbeda, membangun suatu bentuk yang dinamis dan kreatif yang dapat
membantu mengembangkan kesatuan dan misi bersama. Di sisi lain, juga kemampuan
melakukan koordinasi dari pihak pimpinan jendral perlu dipikirkan kembali untuk
menanggapi situasi Kongregasi saat ini, dalam kesepatakan dan koordinasi dengan peran
entitas. Hanya dengan demikian dapat dimiliki dan disediakan kekayaan dan segala yang
perlu bagi kita untuk mengembangkan hidup dan misi kita.
Dalam beberapa tahun ke depan, selain Konferensi Jendral, telah direncanakan
pertemuan-pertemuan penting dari Superior Mayor, baik tingkat kontinental maupun
Kongregasi, dan terutama Kapitel Jendral. Ini semua mestinya menjadi peluang yang penting
untuk mengumpulkan refleksi semua konfrater di seluruh dunia dan untuk mencari orientasi
bagi koordinasi yang lebih baik di seluruh Kongregasi mengenai kesatuan dan misi dalam
konteks internasional.
Penutup
Pesta Hati Kristus, yang sedang kita rayakan merupakan undangan bagi seluruh Gereja
dan terutama bagi kami, Imam-imam Hati Kudus Yesus, untuk membuka diri terhadap kasih
Allah yang universal yang terungkap dalam Putera-Nya. Dia telah datang untuk berbagi
kemanusiaan kita dan membawa bagi kita karunia Roh yang mengubah kita menjadi citraNya, memungkinkan kita mengambil bagian dalam hidupNya dan menjadikan kita promotor
kemanusiaan baru, menurut rencana Bapa.
Di tengah dunia yang berubah cepat, kita berusaha menghidupi karunia ini dengan
menilai tanda-tanda zaman kita, untuk menemukan langkah-langkah yaitu kesetiaan dan
konsistensi dalam panggilan kita dan untuk menjawab tantangan sejarah. Kita sadar akan
kelemahan dan kemiskinan kita, tetapi juga kekayaan kesatuan dalam keragaman asal usul
dan budaya kita, yang dimungkinkan oleh Roh yang mempersatukan kita dan mengutus kita.
Semoga Tuhan Yesus mendengarkan doa kita, menyertai refleksi kita dan membuka
hati kita terhadap dimensi dari kasihnya, untuk terus membaharui pelayanan kita bagi
Kerajaan-Nya di seluruh dunia.
Dengan semangat persaudaraan, kepada Anda sekalian kami ucapkan selamat Pesta
Hati Kudus yang penuh sukacita dan membawa banyak buah.
Roma, 25 Mei 2012
Rm. José Ornelas Carvalho
Superior Jendral SCJ
Dan Dewan Penasihatnya
8/8
Download