sejarah nahwu - IAIN Salatiga

advertisement
SEJARAH NAHWU
Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih
Sri Guno Najiib Chaqoqo, M.A.
SEJARAH NAHWU
Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih
Sri Guno Najiib Chaqoqo, M.A.
Edior: Muhamad Hasbi, M.A.
Cetakan Pertama: Oktober 2015
16 x 23,5 cm; vi+169 hlm.
Penerbit:
LP2M-Press,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga
Email: [email protected]
ISBN 978-602-73757-4-1
All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa
pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR
‫بسماهلل الرحمن الرحيم‬
‫ألحمدهلل الذى أنزل القرأن بعربي مبين والصالة والسالم على سيدنا محمد وعلى أله‬
‫وأصحابه اجمعين‬
S
egala puji bagi Allah yang telah mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya, hingga penulis ber­kesempatan menyelesaikan
tulisan ini. Kasih sayang dan keagungan semoga tetap dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw, yang kepadanya diwahyukan al-Qur’an
men­jadi pe­doman bagi manusia.
Tulisan ini merupakan karya tulis penulis saat me­nyelesaikan
studi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
ber­harap bisa menyum­bang­kan pemikiran dalam sejarah peradaban ke­
ilmuan Islam dalam bidang sejarah kodifikasi nahwu. Tulisan ini me­
motret sejarah nahwu dalam kaitan dengan masuk­nya filsafat Yunani ke
wilayah yang menjadi daerah ke­kuasaan Islam saat itu meliputi Baghdad,
Bashrah, Kufah, Iskandariyah, dan Andalus. Kajian ini dibingkai dalam
masa hidup tokoh nahwu terkenal yaitu Imam Sibawaih. Sidang pem­
baca akan menemukan berbagai hal yang bisa memperkaya infor­masi
mengenai sumbangan dan saling memberikan kontribusi antara per­
kem­bangan pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran Islam yang ber­
kembang pesat, termasuk pemikiran atas nahwu.
iii
Penulis harus berterimakasih kepada Bapak Menteri Agama RI, yang
telah memfasilitasi studi penulis di SPs UIN Syarif Hidyatullah Jakarta,
juga kepada Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A., Prof. Dr. Azyumardi
Azra, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., Dr. Fuad Jabali, M.A., Dr. Yusuf
Rahman, M.A., Dr. Udjang Thalib, M.A..
Tidak lupa kepada Prof. Dr. Muhammad Matsna HS, M.A., yang
telah memberikan masukan bagi kesempurnaan tulisan ini. Juga kepada
Dr. Muhbib Abdul Wahab, yang penulis beberapa kali berdiskusi, telah
memberikan pencerahan dan wawasan bagi penulisan ini. Ayahanda
Nadjmudin dan Ibunda Rumini (Allâhuyarham), yang telah mendidik
penulis dari tidak tahu apa-apa, membesarkan dan semua yang tidak ter­­
hitung. Kasih sayang keduanya adalah energi penulis untuk terus me­
ning­­katkan pengetahuan. Kakanda K. Hamam Suryadin (alm), Jundan
Umarsyah, Hadi Mushthofa, Sholikhan Abadi, dan semua keluarga, yang
semua turut mendidik dan memberikan dorongan.
Juga kepada Istri tercinta, Ukhti Nurfajariyah, S.Pd., yang harus rela
ditinggalkan semenjak awal menikah untuk menyelesaikan studi penulis.
Jazâkum Allah Khairan Katsîran.
Tidak lupa kepada Pusat Penelitian dan Penerbitan (LP2M) IAIN
Salatiga yang sudi menerbitkan karya penulis ini. Semoga dengan di­
terbitkannya karya penulis ini akan lebih memperluas jangkauan hasil
studi ini kepada sidang pembaca di manapun berada.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan
pembaca pada umumnya, serta menjadi bagian dari kajian ilmiah yang
terus bergulir dan menjadi sumbangan bagi khazanah keilmuan di Indo­
nesia. Amin.
Sri Guno Najib Chaqoqo
iv
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
v
BABI Hellenisme dan Nahwu
1
BAB II Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
15
15
19
24
29
BABIII Geneologi Gramatika Bahasa Arab
37
37
41
55
68
A.
B.
A.
B.
C.
D.
E.
Pengaruh Filsafat Yunani Dalam Dunia Islam
1. Hellenisasi Ke Wilayah Persia 2. Hellenisasi Pada Masa Kekuasaan Islam
Transmisi Intelektual Dalam Islam Akar Budaya Bahasa Arab
Motivasi Kodifikasi Nahwu
Pengaruh Filsafat Yunani Pada Masa Sibawaih Pengaruh Filsafat Yunani Pasca-Sibawaih
Perdebatan di Seputar Pengaruh Filsafat Yunani
Terhadap Kodifikasi Nahwu
BABIV Epistemologi Nahwu Sibawaih
A. Lingkungan Sibawaih
B. Perumusan Nahwu Sibawaih C. Argumen (ihtijaj) Nahwu Sibawaih
92
103
103
108
116
v
D. Kajian Bahasa Yunani dan Sibawaih
E. Rekonstruksi Gramatika Arab oleh Sibawaih
126
156
BAB V Penutup
160
Daftar Pustaka
163
Tentang Penulis
169
vi
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
BAB
I
HELLENISME DAN NAHWU
A
ristoteles (384-322 SM) mengkonsepsikan bahwa dalam setiap kata
terdapat sepuluh hal yang menyertainya berdasar beberapa per­
tanyaan, yaitu; what, how large, what sort of thing, related to what, where, when,
in what attitude, how circumstanced, how active, what doing, how passive, dan what
suffering1. Delapan hal ini kemudian dirumuskan dalam istilah; substansi,
kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi atau postur, keadaan, aksi,
dan afeksi atau akibat. Kategorisasi ini kamudian dianggap sebagai cikalbakal munculnya kajian mengenai bahasa. Wacana ini kemudian men­jadi
lebih konkrit oleh analisa Dyonisios Thrax (130 SM), seorang filosof
dari Aleksandria yang menuangkannya dalam Tecne Grammatike dengan
uraian yang, meskipun singkat dianggap sebagai cikal-bakal kajian bahasa
secara teknis2.
Di wilayah kekuasaan Arab, jauh sebelum de Saussure (1857-1913
3
M) mengemukakan teori linguistik modern, al-Khalil bin Ahmad alAristotle, The Categories on Interpretation,(London: William Heinemann Ltd, 1962),
h. 17-18.
2
Soeparno, Dasar-dasar Linguistik, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1993), h.
10.Lihat juga terjemah dalam bahasa Inggrisnya, oleh Thomas Davidson dalam The
Grammar of Dyonisios Thrax, (St. Louis MO, 1874).
3
Nama lengkapnya adalah Mongin- Ferdinand de Saussure, seorang tokoh
linguistic modern kelahiran Jenewa Swiss pada 26 November 1857. Ia adalah pelatak
dasar struktural-isme dan linguistic modern, yang karyanya dibukukan dalam Cours
de Linguistique Général-e.Buku ini ditulis oleh murid-muridnya di Universitas Jenewa.
1
1
Farahidi (w. 175 H) telah mengungkapkan pemikirannya bahwa bahasa
adalah sebuah system. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap se­
buah makna baik yang tampak (eksplisit) maupun yang tersembunyi
(implicit)4. Pemikrian ini kemudian dikembangkan oleh Sibawaih (w. 180
H) yang mencoba menegaskan pemikiran Al-Khalil sebagai gurunya.
Nashr Hamid Abu Zaid menyebut bahwa Sibawaih memakai prosedur
ta’wil untuk menyingkap makna terdalam dari sebuah bahasa dengan
cara memerikan struktur dan mekanisme bahasa untuk sampai pada
makna dan siginifikansinya. Al-Khalil telah memulai kajian fonemis
dan leksikografis dengan kedua karya dalam kamus al-‘Ain5 dan karya
nahwunya dalam kitab al-Jumal-6. Kamus al-‘Ain dinamai demikian konon
karena huruf awal yang dipakai untuk leksikografinya dimulai dengan
huruf ‘ain, sebagai huruf yang dalam pengucapannya (makhraj) muncul
dari pangkal-tenggorokan, dan diakhiri dengan huruf yang peng­ucapan­
nya di bibir. Sedangkan al-Jumal- adalah kumpulan masalah nahwu yang
terbagi dalam beberapa bab7. Dalam metodologi penyusunan kamus,
Lihat Harimurti Kridal-aksana, Mongin- Ferdinand de Saussure, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), dalam prakatanya. Isi buku ini sebelumnya menjadi pengantar dalam
terjemahan buku de Saussure dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh UGM
Press dengan judul Dasar-Dasar Linguistik Umum.
4
Nahsr Hamid Abu Zaid, Hermeunetika Inklusif, terj. Muhammad Mansur dan
Khoiran Nahdliyin. (Jakarta: ICIP, 2004), h. 269-271.
5
Al-Suyuthi menjelaskan panjang lebar mengenai perdebatan apakah benar kitab
Al-‘Ain adalah karya orisinil dari Al- Khalil ataukah karya orang lain atau karya bersama.
Lihat Abdurrahman Jal-al-udin Al-Suyuti, Al-Muzhir fi ‘ulum al-Lughah wa anwa’iha,
(Kairo: Maktabah dar al-Turats, tt), h. 77. Dalam bahasan ini al-Suyuti tidak sampai
pada kesimpulan tentang siapa sebenarnya pengarangnya, namun dua nama banyak
disebut yaitu Al- Khalil dan al- Layts. Sementara dalam banyak bahasan yang lain di
beberapa kitab, kamus al-‘Ain selal-u dinisbatkan kepada AL- Khalil.
6
Banyak kitab dinamakan Al-jumal di antaranya oleh Al-Jurjaniy (w. 474), al- Zujaji
(w. 339), Abi Abdillah bin Hisyam (w. 570), lihat Mushtafa bin Abdullah al-kostantiy
al-Hanfiy, Kasyfu al- Dzunun, (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), vol I. h. 472-474.
7
Pembagian bab dalam kitab ini menggunakan istilah wujuh, jumal dan fasal. Wujuh
lebih banyak membahas tentang I’rab seperti nashab, rafa’, jar dan jazm. Sedangkan
jumal banyak membahas tentang masalah huruf. Dan Fasal- ada dalam bab terakhir
yang membahas dua masalah umum. Dalam muqaddimah atas tahqiq atas kitab ini
Fahruddin Qabawah menjelaskan sekilas (lagi-lagi) tentang apakah kitab ini ditulis oleh
Al- Khal il, atau hanya sebagian saja, atau justru kitab ini merupakan kumpulan dari
beberapa muridnya. Lihat Kitab al- Jumal- Fi al- Nahwi, tanpa data. H. 11.
2
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
selain penelusuran ke daerah atau suku Badui langsung, metode ini me­
rumuskan kata-kata yang lazim dipakai dan tidak lazim atau dengan
istilah musta’mal- dan muhmal. Musta’mal secara leksikal berarti terpakai
dan muhmal berarti sebaliknya yaitu tidak terpakai. Konsep ini berangkat
dari keberlakuan sebuah bahasa yang ditemukan yang dikonfirmasikan
langsung kepada suku pedalaman. Konfirmasi dilakukan dengan asumsi
bahwa masyarakat Badui belum tersentuh oleh peradaban sebagai mana
masyarakat kota yang sudah bercampur dengan berbagai bahasa di luar
bahasa Arab yang berlaku. Dalam terminologi linguistik modern saat ini
mungkin inilah penelitian orisinal bahasa Arab8 paling awal sebagaimana
sosiolinguistik meneliti bahasa oleh bangsa atau suku tertentu dengan
me­milah kadar validasi dan kepunahan bahasa.
Al-Khalil adalah salah satu guru yang paling berpengaruh dalam
pemikiran nahwu Sibawaih, namun Sibawaih lebih banyak disebut se­
bagai tokohnya nahwu daripada Al-Khalil sendiri9. Ini dikarenakan
Sibawaih lebih bisa menjelaskan sistematika gramatika Arab dengan lebih
terperinci dalam Al-Kitab-nya10. Al-Khalil telah bisa menjelaskan tentang
I’rab serta mabna’; atau teori penetapan atau perubahan harakat di akhir
sebuah kata, maka Sibawaih bisa menjelaskan lebih jauh yaitu ke wilayah
penjelasan gramatika bahasa Arab secara komprehensif dengan metode
qiyas (analogi)11. Dalam Kitab al-Jumal, Al-Khalil juga baru menjelaskan
tentang macam-macam huruf beserta fungsinya, kajian yang saat ini men­
jadi pelajaran qawâidul I’rab di pesantren.
Banyak teori yang menjelaskan kenapa Sibawaih bisa menemukan
teorinya sendiri disamping teori yang telah dibangun oleh gurunya. Di
Metode ini sering disebut dengan metode istiqra’.
Lihat misalnya Abdullah Jâd al-Karim, al- Dars al-Nahwiy fi al Qarni al-‘Isyrîn,
(Qahirah: Maktabah al- Adab, 2004).
10
Ignaz Goldziher, A Short History of Classical- Arabic Literature, (Germany: Georg
Olms Verlagsbuchhandlung Gildesheim, 1966), h. 63. ia menjelaskan bahwa ada dua
sumbangan Al- Khalil dan Sibawaih, yaitu; penggalian atas puisi-puisi Arab kuno,
dengan memerinci rima dan sajaknya. Dari sini kemudian ditemukan ilmu tentang
puisi atau syair Arab atau lebih dikenal- dengan ilmu al-‘arudh. Yang kedua adalah ke­
berhasilannya mengkompilasikan kosakata bahasa Arab dalam sebuah kamus al-‘ain.
11
Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al- Arabiyah wa Tharaiq Tadrisiha, (Beirut: Dar
An Nafais, 1998), cet ke-5. h. 177.
8
9
Hellenisme dan Nahwu
3
antaranya adalah bahwa Sibawaih, selain berguru langsung kepada AlKhalil, ia juga berguru kepada ulama nahwu di masanya bahkan juga
menelusuri sendiri otentisitas bahasa Arab ke daerah pedalaman seba­gai­
mana Al-Khalil sendiri. Dalam Al-Kitab-nya Sibawaih, memang dalam
banyak hal ia mengutip langsung dari gurunya, Al-Khalil, namun juga
ia mengembangkannya dalam berbagai istilah yang tidak ditemui dalam
teori nahwunya Al-Khalil. Bahkan dalam satu riwayat diceritakan bahwa
Al-Khalil sendiri kadang-kadang juga berguru kepada Sibawaih. Suatu
hal yang lazim dilakukan oleh para ilmuwan waktu itu, yaitu saling meng­
akui sebagai murid bagi tokoh lainnya.
Nayf Ma’ruf Mahmud membagi periodisasi kodifikasi nahwu men­
jadi empat tahap, yaitu; 1). Masa sebelum Sibawaih, sebagai peletak dasardasar nahwu, 2). Masa Sibawaih dan kawan-kawan semasa di mana
qiyas menjadi argumen nahwu, 3). Masa kodifikasi ilmu I’lal- oleh AlMubarrad (w. 286 H), Tsa’lab (w. 291 H), Abu ‘Al-i al-Farisiy (w. 377 H).
4). Masa perkembangan, dimulai pada masa Ibnu Jinni (w. 392 H), dan
masa selanjutnya oleh Zamakhsyari (w. 538 H), Ibn Anbariy (w. 577),
Ibn Madla al- Qurthubiy (w. 592 H), hingga masa sekarang12. Sehingga
penulis menyimpulkan bahwa masa itu secara garis besar dibagi menjadi
dua, yaitu masa awal dan perkembangan dengan titik masanya dilekatkan
pada Sibawaih.
Sibawaih mengatakan bahwa tujuan menulis al-Kitab adalah untuk
menghidupkan ilmu al-Khlail dalam bidang nahwu. Ibnu Nadim men­
ceritakan bahwa dalam menyusun al-Kitab ini, Sibawaih melibatkan 42
orang, namun secara umum al-Kitab adalah pengembangan dari dasardasar yang telah diletakkan oleh al-Khalil. 13Dalam beberapa hal Sibawaih
justru berbeda dengan al-Khalil, misalnya ketika ia menerangkan tentang
sebuah bab, ada ungkapan bahwa, “al-Khalil mengira bahwa lafal- ini
begini, padahal harusnya begini…”.14
Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al- ‘Arabiyyah Wa Tharaiq Tadrisiha..h. 32.
Dijelaskan dalam muqadimah Al- Kitab Sibawaih, h. 25. Tahqiq Abdussal-am
Muhamad Harun.
14
Muqaddimah Abdul Sal-am Muhamad Harun dalam Sibawaih, Al- Kitab. (Kairo:
Maktabah al-Khanji, 1988).H. 72. Tradisi penjelasan atas suatu kitab dalam dunia
12
13
4
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Keberhasilan keduanya dalam mengkodifikasikan nahwu secara
komprehensif tersebut memang merupakan karya yang sangat monu­
mental dalam keilmuan Islam selanjutnya, sebagaimana telah dibahas
di atas. Kodifikasi nahwu memainkan peran sentral dan berimplikasi
pada tradisi penelitian dan pemikiran yang berkembang pesat pada masa
sesudahnya15. Pemerian kata dalam bahasan nahwu menjadi strukturstruktur sendiri melahirkan pemikiran seperti dalam ilmu tafsir, kalam,
fiqh, filsafat hingga tasawuf16. Pemikiran tafsir diwarnai dengan muncul­
nya tafsir bi al-ra’yi (rasionality) yang mendasarkan penafsirannya pada
makna kata yang dipisah-pisah berdasarkan posisinya (tarkibnya). Penaf­
siran tidak lagi berdasarkan hadits saja akan tetapi meluas ke wilayah
kajian bahasa yang dalam wilayah tertentu berkembang menjadi wilayah
ta’wil, yang bagi golongan tertentu seperti kaum zhahiriy sangat dijauhi.
Dalam wilayah fiqih muncul pemikiran untuk mengkodifikasi­kan
ilmu pokok dari fiqih yaitu ushul fiqih yang pertama kali dicetuskan oleh
Muhamad bin Idris Al-Syafi’i. Ushul fiqh menjadi karya yang monu­
men­tal yang dianggap sebagai dasar bagi seseorang untuk melakukan
ijtihad.
Dari gambaran tersebut maka menjadi wajar jika pengetahuan akan
nahwu memegang peran yang sentral dalam keilmuan Islam. Di sisi lain
dengan ilmu nahwu justru memunculkan efek tersendiri dengan ter­
jauhkannya seseorang dari esensi semula dari untuk mempelajari bahasa
menjadi terjebak pada wilayah tentang bahasa. Mempelajari nahwu se­
harusnya hanyalah alat bantu untuk mengungkap sebuah makna, atau
alat berkomunikasi, baik receptive maupun productive.
Kodifikasi nahwu, oleh Sibawaih ini sebenarnya bisa ditelusuri
dengan teori pemertahanan bahasa. Pemertahanan bahasa Arab dengan
keilmuan Islam (kitab) sering diwarnai dengan perdebatan dalam bingkai syarah atau
hasyiyah. Sehingga meskipun dalam bentuknya menjelaskan namun secara isi sebenarnya
membantah, adalah hal biasa. Lihat juga kompilasi yang khusus membahas perbedaan
pendapat al-Khalil dengan Sibawaih dalam Fakhr Shâlih Sulaima Qadarah, Masâil alKhilafiyah Bayn al-Khalîl wa Sibawaih, (Yordania: Dâr amal, 1990).
15
Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta:
Lemlit UIN Jakarta, 2008), h. 7-8
16
Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al-‘Arabiyyah Wa Tharaiq Tadrisiha..h.177
Hellenisme dan Nahwu
5
sedemikian militant yang dilakukan oleh para ilmuwan bahasa seperti
al-Khalil tersebut kemudian menegaskan factor pemertahanan bahasa
Arab yang orisinal sebagai bahasa al-Qur’an demi menjaga otentisitas alQuran setelahnya. Dengan demikian tradisi riwayat dan dirayah dalam
keilmuan Arab awal memang memainkan peran penting. Setiap hal
yang baru kemudian dikonfirmasikan kepada otoritas tertentu. Dalam
hal bahasa ini pemilik otoritas tersebut adalah suku Badui pedal-aman.
Bahkan konon al-Khalil pernah tinggal sekitar beberapa tahun untuk
memper­dalam bahasa Arab dari suku pedalaman, tepatnya di sebuah
suku yang bernama Hudzail. Dia melibatkan diri secara langsung dalam
kehi­dupan suku pedalaman tersebut sehingga bisa mendalami bahasanya.
Tradisi ini banyak dilakukan oleh linguist Arab untuk mencari otentisitas
sebuah bahasa.
Selain itu teori validitas dan kepunahan bahasa nampaknya juga
sangat memadai untuk menjelaskan kodifikasi bahasa ini. Teori ini banyak
dipakai oleh pakar linguistik untuk merencanakan bahasa demi kepen­
tingan bahasa nasional dan pengembangan bahasa. Bahasa bisa punah
dan bertahan sangat dimungkinkan dengan berkembangnya budaya se­
perti berbaurnya sebuah kelompok pemakai bahasa tertentu dengan pe­
makai bahasa lain sebagaimana pijakan yang digunakan al-Khalil di atas
dalam memilah bahasa terpakai dan yang tak terpakai. Selain itu juga bisa
terjadi karena alih generasi yang secara alami pasti terjadi17. Bahasa pada
generasi satu belum tentu dipakai oleh generasi sesudahnya. Ini terjadi
pada banyak bahasa di Indonesia yang telah punah. Bahkan alih generasi
ini ditengarai sebagai faktor utama pergeseran bahasa.
Indikasi dari validasi ini menemukan relevansinya ketika Sibawaih
berkepentingan untuk memperoleh pengetahuan bahasa setelah ia gagal
menguasainya saat menuntut ilmu kepada seorang pakar hadits ber­
kebangsaan Arab asli18. Dari beberapa kali kegagalannya mengung­
kap­kan kalimat dalam bahasa Arab dari hadits yang dipelajarinya, ia
17
h. 233
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Pada masa ini (Umayyah) bahasa Arab hanya dikuasai kal-angan bangsawan
istana yang memang berasal dari Arab asli. Orang yang tidak berasal dari bangsa Arab
asli menjadi bangsa nomor dua.
18
6
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
ber­keinginan untuk memperdalam ilmu bahasa Arab hingga ia berguru
kepada beberapa pakar waktu itu
Menurut sebagian kalangan, di antaranya adalah Al-bertus Merx
(1889), Rundgren (1976), C. H. MVersteegh 19, yang menjelaskan bahwa
perkembangan bahasa di Bashrah banyak dipengaruhi oleh filsafat
Yunani kuno pada abad 4 SM. Mengutip Lytman, Muhammad Thanthawi
menjelaskan bahwa di Eropa, para pakar berbeda pendapat tentang oten­
tisitas nahwu. Sebagian berpendapat bahwa ilmu nahwu dipengaruhi
oleh filsafat Yunani melalui pemikiran yang telah berkembang di wilayahwilayah sekitar Arab. sedangkan yang lain menyatakan bahwa ilmu
nahwu diibaratkan dengan pertumbuhan pohon yang memiliki akar dan
berkembang sesuai dengan masanya. Artinya ilmu nahwu tumbuh se­
cara alami di tanah Arab20.
Orang yang berpendapat bahwa nahwu dipengaruhi oleh filsafat
Yunani juga mendasarkan pada pendapat Plato yang telah memulai mem­
berikan bahasa dalam bentuk yang umum yaitu onoma dan rhema. Onoma
kata pembuka yang dalam bahasa Arab sejenis dengan istilah musnad dan
rhema adalah kata penjelas semacam musnad ilaih. Dalam hal ini ada
perdebatan, benarkah kodifikasi nahwu telah dipengaruhi oleh filsafat
Yunani sebagaimana tulisan awal dalam bab ini. Ini menimbulkan pro
dan kontra di kalangan para pakar. Sebagian melihat indikator istilahistilah yang digunakan dalam nahwu mirip dengan apa yang digunakan
oleh Plato dan Aristotels tersbut dalam hal maknanya21. Sedangkan
sebagian yang lain tidak mengakui adanya pengaruh filsafat ini.
Pendapat itu kemudian diamini oleh para penulis sejarah misalnya Philp K. Hitti
dalam History Of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: Serambi, 2006), h. 302. Juga Soeparno, Dasar- Dasar Linguistik, (Yogyakarta:
Mitra Gama Widya, 1993). h. 12. Syauqi Dhaif tanpa menyebut tokoh-tokohnya juga
mengemukakan bahwa banyak oriental-is yang berpendapat bahwa kodifikasi nahwu
banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Lihat juga Jonathan Owens, The Foundation
Of Grammar; an Introduction of Medieval-Arabic Grammatical- theory,(Amsterdam: John
Benjamins Publishing Company, 1988), h.7
20
Muhammad Al-Thanthawi, Nasy`at Al--Nawiy, (Mesir: Dar Al--Manar,tt), h.10.
21
Soeparno juga cenderung untuk setuju jika nahwu dipengaruhi oleh filsafat
Yunani.Lihat Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik, h.13.namun pendapat ini nampaknya
hanya melihat kemiripan istilah yang dimaksud dengan menyandingkan istilah itu
dengan bahasa Yunani dan bahasa Indonesia.
19
Hellenisme dan Nahwu
7
Beberapa pakar hanya menyatakan bahwa Bashrah adalah pusat
pemikir (ahl al-ra’y)22, yaitu kelompok yang menerima analogi sebagai
basis pengambilan hukum (istinbath). Seperti yang dilakukan oleh
Muhammad bin Idris Syafi’i (w. 204) yang mengembangkan teori ushul
fiqhnya dalam kitab Al- Risalah .Konon Al-Syafi’I banyak merujuk kepada
teori bahasa yang dikembangkan oleh para pemikir nahwu di Bashrah
ini. Sementara kelompok Kufah banyak disebut sebagai ahli hadits, yang
berseberangan dengan kelompok pertama dalam pengambilan hokum.
Syauqi Dhaif menjelaskan bahwa tokoh-tokoh Bashrah sudah terbiasa
bersinggungan dengan kebudayaan dari luar, sehingga besar kemung­
kinan pemikiran Sibawaih juga telah dipengaruhi oleh filsafat Aristotels
ini23. Menurut penulis, hal ini hanyalah bersifat dugaan belaka dengan
melacak masuknya ilmu filsafat sebalum kodifikasi nahwu. Ini bisa di­
lihat dari tidak diberikannya data yang memadai tentang wilayah mana
dari nahwu yang dipengaruhi filsafat.
Perlu dicatat memang, bahwa proses hellenisasi di wilayah yang
kemudian dikuasai oleh Islam sudah berlangsung sejak Islam belum
masuk. Bahkan di Persia pernah menjadi pusat pengembangan keilmuan
filsafat setelah di barat sendiri terjadi pelarangan untuk mem­pelajari
filsafat24. Pusat-pusat studi filsafat telah berdiri di Balakh sebagai ikon
bagi perkembangan filsafat di Persia25. Sementara di Irak juga berdiri di
kota Jundisapur. Indikasi bahwa kemudian ilmu ini tumbuh dan ter­pelihara
hingga Islam masuk setelah menaklukkan Persia sehingga mem­
pe­
ngaruhi pemikiran nahwu sangat diragukan. Kebanyakan yang menya­
takan bahwa nahwu telah dipengaruhi oleh filsafat hanya didasarkan
pada proses ini, dalam arti bahwa data akurat yang menyatakannya belum
ditemukan. Bahkan secar khusus, filsafat baru menjadi kajian pada abad
ke-2 Hijriah ketika Al-Kindi (180-260 H) menjadi tokohnya.
Seperti De Lacy O’Leary, Arabic Thought And Its Place In History, (London:
Routledge and Kegan Paul, 1963), h. 74.
23
Lihat Syauqi Dhaif, Madaris al- Nahwiyah, h. 21-22.
24
Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000),
cet. Ke-4, h. 220.
25
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Fal-safi Dalam Islam, (Jakarta: Djambatan, 2003), h.4.
22
8
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Mengkorelasikan antara teori bahasa dan filsafat memang wilayah
yang saling berdekatan dan saling membutuhkan. Dari sini maka tidak
heran kalau kemunculan teori nahwu juga menjadi ajang perdebatan
tentang keterlibatan ilmu filsafat Yunani tersebut juga berlangsung.
Kemunculan yang alami dan bersifat sosial dari ilmu nahwu dipandang
sebagai hal yang tidak lazim26. Namun apakah setiap ilmu yang lahir pada
masa itu pasti bersumber dari filsafat Yunani? Filsafat membutuhkan
bahasa untuk mengartikulasikan maksud dan makna yang dituju. Se­
hingga dugaan-dugaan bahwa ilmu bahasa termasuk nahwu sangat di­
pengaruhi oleh filsafat adalah hal yang wajar.
Peran para ahli nawhu pada masa itu adalah peran seorang peneliti
yang mengamati tentang bahasa sebagai sebuah gejala secara apa adanya
(deskriptif). Artinya bahwa, dari pengamatan tersebut kemudian muncul
semacam kesepakatan-kesepakatan antara peneliti tentang objek yang
diamati hingga menjadi sebuah teori atau hukum tersendiri tentang
bahasa. Dari sinilah kemudian memunculkan perdebatan tentang urgensi
nahwu, karena dengan nahwu justru dimungkinkan menjauhkan orang
dari tujuan awal mempelajari bahasa itu sendiri.
Al-Khalil misalnya, dalam menuangkan teori tentang bahasa yang
ditulis dalam kitab Al-jumal, lebih banyak mengungkapkan fenomena
secara deskriptif. Ketika ia mengamati banyak huruf-huruf yang sama
namun dalam penggunaan yang berbeda, maka ia kemudian mencatatnya
sebagai sebuah gejala baru yang penting untuk dicatat. Apa yang ditulis
ini kemudian menjadi informasi penting bagi pengkaji nahwu sesudahnya
termasuk Sibawaih. Diskusi-diskusi selanjutnya berkembang dan meng­
hasilkan teori-teori turunan sebagaimana kemudian dituangkan dalam
al-Kitab Sibawaih tersebut.
Dalam kitab al-Kitab Sibawaih membahas secara panjang lebar dan
lebih rinci daripada apa yang dibahas oleh al-Khalil dalam kitab al-Jumalsebagai gurunya. Sibawaih mampu menjelaskan fenomena sebuah pre­
dikat dalam sebuah kalimat yang bisa muncul dua kali dalam satu kalimat
atau yang lazim disebut sebagai fi’il yang butuh dua maf ’ul. Hal -hal seperti
26
Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeunetika Inklusif, h. 273.
Hellenisme dan Nahwu
9
ini tidak dibahas oleh al- Khalil. Sehingga muncul pertanyaan selanjut­nya,
darimanakah Sibawaih memperoleh orisinalitas istilah ini? Sementara di
sisi lain Sibawaih disebut-sebut sebagai murid al-Khalil. Perangkat apa
saja yang digunakan oleh Sibawaih untuk menterjemahkan pemikiran
gurunya itu? Dari sini muncul dua implikasi. Pertama, mengenai ke­
mungkinan masuknya istilah-istilah dalam ilmu filsafat. Dan kedua
implikasi dari pembahasan yang rinci ini yang justru akan menjauhkan
sebuah kata atau kalimat dari maknanya. Inilah yang menjadi pijakan
kritik para ulama’ nahwu belakangan seperti Ibnu Madla dalam al-Radd
‘ala al-Nuhah. Dari dua implikasi ini perdebatannya belum pernah tuntas,
karena bantahan-bantahan yang muncul terhadap kodifikasi nahwu itu
sendiri tidak mampu memberikan solusi yang relatif lebih baru. Ibnu
Madla sendiri, misalnya, tidak mampu meruntuhkan teori yang telah
dikembangakn oleh para ulama nahwu awal, dan justru menuai banyak
kritik sesudahnya27.
Bahasa merupakan salah satu unsur (terpenting) dari sebuah ke­
budayaan. Dalam definisi mengenai kebudayaan, bahasa memainkan
peranan penting dari dinamika yang mengiringi perubahan kebudayaan28,
penulis cenderung mendukung pendapat mengenai alamiahnya kajian
bahasa ketika dikaitkan dengan bahasan mengenai kebudayaan. Se­
hingga apakah secara langsung filsafat mempengaruhi lahirnya ilmu
bahasa juga sangat diragukan.
Tammam Hasan menjelaskan bahwa teori nahwu pada mulanya
berbasis dari bacaan al-Qur’an yang waktu itu belum berharakat (syakal),
sehingga memunculkan pemikiran agar al-Qur’an bsia dibaca oleh orang
di luar Arab. Dari sini kemudian terrumuskanlah teori perubahan harakat
pada akhir kata atau kalimat. Ia juga meriwayatkan bahwa al-Khalil
dalam mengembangkan teori nahwu awal hanya mengamati bentuk
kata dengan menghitung jumlah huruf dalam sebuah kata menjadi 3, 4
dan 5 huruf dan selebihnya adalah huruf tambahan29. Dari dua contoh
Seperti dikutip oleh Nashr Hamid Abu Zaid dalam Hermeunetika Inklusif, h. 275.
Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawal-i Press, 2002), h.171
29
Tamman Hasan, al- Ushul; Dirasah istimulujiyyah lil Fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab,
(Kairo: Al-im Al-kutub, 2000), h. 22.
27
28
10
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
ini tidak nampak pengaruh filsafat secara langsung terhadap kodifikasi
nahwu pada masa itu.
Asyraf Mahir Mahmud menjelaskan pula tentang awal masa
kodifikasi nahwu tentang perdebatan apakah dibenarkan metode qiyas
oleh Sibawaih ini sebagai pijakan dalam berargumentasi nahwu?30 Per­
debatan inilah yang melahirkan ilmu ushul tentang nahwu (ushul alNahwiy). Asyraf juga menjelaskan bahwa pada awalnya, kebutuhan akan
nahwu berdasarkan pada bacaan dalam al-Qur’an. Ia tidak menjelaskan
tentang campur tangan para ahli filsafat Yunani dalam kodifikasi nahwu
awal. Yang ada justru kodifikasi nahwu telah mempengaruhi pemikiran
filsafat dikemudian hari dengan lahirnya filosof muslim sebagaimana ter­
sebut sebelumnya.
Untuk itulah dalam tulisan ini penulis akan meneliti kebenaran
pengaruh filsafat dalam kodifikasi nahwu awal dengan mengambil pijakan
dari Kitab Sibawaih yang membahas nahwu. Penulis memilih Kitab
Sibawaih sebagai dasar penulisan karena memandang bahwa Kitab
Sibawaih adalah kitab awal tentang nahwu yang sudah paling lengkap
daripada kitab al-Jumal–nya al-Khalil sebagai gurunya. Sehingga penulis
menganggap bahwa Kitab Sibawaih paling representatif daripada yang
lainnya pada masa awal kodifikasinya.
Buku ini ingin menjawab beberapa pertanyaan terkait sejarah
nahwu, di antaranya adalah mengenai epistemologi pemikiran nahwu
Sibawaih. Penulis ingin mengetahui perjalanan intelektual-Sibawaih,
yaitu bagaimana metodologinya dalam merumuskan nahwu dan bagai­
mana Sibawaih menelaah gramatika yang telah ditulis oleh guru-guru­
nya serta sisi mana saja yang kemudian ditambahkan oleh Sibawaih.
Di sinilah pengembangan pemikiran nahwu Siabawaih akan kelihatan
orisinalitasnya.
Dari paparan itu akan didapatkan beberapa manfaat mengenai
perkembangan pemikiran nahwu pada masa awal kodifikasi dan menge­
tahui sejauh mana implikasi pemikiran nahwu terhadap pemikiran lain
dalam keilmuan Islam dan filsafat.
Asyraf Mahir mahmud, Mushtal-ahat ilmu ushul al- Nahwiy, (Kairo: Dar Gharib,
2000), h.13
30
Hellenisme dan Nahwu
11
Kajian secara khusus tentang pengaruh filsafat terhadap kodifikasi
nahwu Sibawaih ini belumlah banyak. Perdebatan mengenai pengaruh
filsafat terhadap nahwu pernah dilakukan oleh antara lain Zamzam
A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam jurnal
Adabiyyat, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol 1, no.
2, Maret 2003. Dalam artikel ini ia cenderung mendukung pendapat
bahwa filsafat sangat mempengaruhi kodifikasi nahwu. Muhbib Abdul
Wahab, Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu, dalam Jurnal Afaq Arabiyyah,
FITK UIN Jakarta, Vol. 3, nomor 1, Juni 2008, yang menolak anggapan
terpengaruhnya kodifikasi nahwu awal oleh filsafat Yunani. Ade Kosasih,
Ilmu-Ilmu Bahasa Arab dan Perkembangannya Pada Masa Abasiyah I, Tesis
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997. Ia menyata­kan bahwa ilmu nahwu
badalah ilmu yang berkembang karena masuknya pengaruh filsafat.
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina,
1996) secara sekilas mengatakan bahwa nahwu Bashrah sangat dipe­
ngaurhi oleh filsafat.Ia tidak memberikan data yang akurat juga.Syauqi
Dhaif, Madaris al- nahwiyah, (Kairo: Dar al- Ma’arif, 1968), ia juga me­
nyinggung sedikit tentang pegaruh filsafat terhadap nahwu dengan
tidak memberikan rincian buktinya. Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik,
(Yogyakarta: Mitra Gama WIdya, 1993), yang memberikan gambaran
akan kesamaan istilah yang ada dalam nahwu dengan kajian Plato.
Tulisan ini akan mengkaji sejarah nahwu hingga munculnya ahli
nahwu di Bashrah menjadi mazhab sendiri terutama pada masa
Sibawaih, dengan menggunakan pendekatan histories dan humanistik.
Dengan demikian, semua pembahasaan mengenai sejarah awal, akan
diakhiri pada masa Sibawaih hidup, yaitu pada tahun 180 H. Pendekatan
histories digunakan untuk mengkaji keseluruhan sejarah yang meling­
kupi lahirnya kedua tokoh ini sebagai ahli nahwu. Sedangkan pende­
katan humanis digunakan untuk mengkaji pribadi tokoh itu sendiri.
Data diperoleh dengan kajian teks sejarah masa itu dan hasil karya ulama
Bashrah31.
Cik Hasan Bisri dan Eva Rufaidah (ed), ModelPenelitian Agama dan Dinamika Sosial,
(Jakarta: Rajawal-i, 2002), h.7
31
12
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Setelah itu kemudian dibandingkan atau dilihat dengan kacamata
linguistik modern, dan dari sini diharapkan bisa diklasifikasikan model
pengembangan nahwu oleh kedua tokoh tersebut.
Dengan perspektif linguistik, selain memperlakukan bahasa secara
apa adanya (deskriptif), juga memperlakukan bahasa sebagai sistem
yang tidak terpisahkan dengan kajian ilmu lain, sesuai dengan gerak laju
zaman.32 Misalnya hubungan perkembangan nahwu dengan per­kem­
bangan keilmuan keislaman yang lain, seperti fiqih, tasawuf, teologi dan
lain-lain. Misalnya hubungan nahwu dengan lahirnya kodifikasi ushul
fiqih oleh Syafi’I dan perkembangan ilmu hadits setelahnya.
Untuk mengkaji materi nahwu itu sendiri, penulis akan meng­
gunakan teori preposisi, yaitu teori tentang makna dari suatu kalimat. Ini
penulis gunakan untuk meneliti mengenai penegembangan teori nahwu
oleh Sibawaih.Teori preposisi menegaskan bahwa satu kata tidak bisa
berdiri sendiri.
Untuk menelusuri lebih jauh, maka penulis menggunakan bebe­
rapa sumber primer dan sekunder. Adapun sumber primer yang penulis
gunakan yaitu Al-Kitab, karya Sibawaih, tulisan Aristotels dalam Organon,
dan The Grammar of Dyonisios Thrax.
Pemilihan al-Kitab karya Sibawaih karena dalam kitab ini dibahas
penjang lebar tentang nahwu. Penulis akan mengambil pembahasan
tentang idiom-idiom atau istilah yang digunakan oleh Sibawaih dalam
al-Kitab-nya. Hal ini penulis lakukan untuk mencocokkan dengan istilah
yang digunakan dalam teori filsafat (bahasa) Yunani yang berkembang
sebelumnya. Buku al-Inshaf Fi Masail al-Khilaf dipilih sebagai bahan untuk
mengetahui pemikiran-pemikiran nahwu yang berkembang pada masa itu.
Sementara pemilihan buku Organon karya Aristoteles digunakan
sebagai sumber kajian bahasa. Buku yang digunakan di sini adalah buku
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagaimana kami
Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Landen ( ed), Pesona Bahasa;
Langkah Awal Memahami Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2007), cet ke-2, h. 13. Ketika bahasa
dikaitkan dengan perkembangan dan proses perubahan masyarakat maka kajian­nya
menjadi meluas pada kajian sosiolinguistik. Lihat Anton M. Moeliono, Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985), h. 4.
32
Hellenisme dan Nahwu
13
kutip di awal tulisan ini. Demikian pula tulisan Dyonisios Thrax dalam
The Grammar yang juga diambil terjemahan dalam bahasa Inggris.Buku
ini juga sebagai pembanding utama terhadap Sibawaih dalam al-Kitab,
karena sudah lebih teknis dalam menjelaskan tata bahasa Yunani.
Untuk data sekundernya penulis menggunakan buku-buku sejarah
filsafat Yunani pada masa Sibawaih hidup serta biografinya yang me­
liputi kehidupan Sibawaih seperti situasi politik serta pergolakan per­
kembangan pemikiran keislaman pada waktu itu. Selain itu juga bukubuku tentang perkembangan pemikiran nahwu di Bashrah, Kufah hingga
sesudahnya, seperti Madaris Nahwiyah oleh Syauqi Dhaif, Al-Wasith fi
Tarikh al-nawhi al-‘Arabiy, oleh Abdul karim Muhamad al-As’ad, AlLughah wa Al-Mujtama’, oleh Zaki Huzam al-Din, Jâmi’ al-Durus al‘Arabiyyah, Mushthafa al-Ghal ayini.
Setelah penulis mengumpulkan dan menelaah materi kitab-kitab
tersebut, penulis akan menganalisis data tersebut dengan mengkaji
sejarah tokoh tersebut terutama mengenai pengembaraan intelektual­
nya hingga bisa merumuskan teori nahwu. Untuk mengkajinya penulis
meng­gunakan teori tentang tradisi isnad. Kemudian mengelompok­
kan pokok-pokok teori nahwu Sibawaih dalam kitabnya dengan cara
mengkaji istilah yang digunakan. Untuk menelaah ini penulis meng­
gunakan teori linguistik terutama dalam kajian morfologi, sintaksis
dan semantics untuk dicari kecenderungan pemikirannya dalam aliran
linguistik serta implikasinya dalam pengembangan ilmu bahasa. Selanjut­
nya mengidentifikasi hal-hal yang menjadi pemikiran original Sibawaih.
Ini dilakukan dengan cara mengkaji apa yang dikemukakan oleh Sibawaih
dalam kitabnya.
Tidak kalah pentingnya adalah mengkorelasikan pemikiran Sibawaih
dengan perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam serta per­kem­bang­
an sosial budaya pada waktu itu.
14
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
BAB
II
FILSAFAT YUNANI DAN
PEMIKIRAN ISLAM
B
ab ini akan memaparkan beberapa hal mengenai pengaruh filsafat
Yunani terhadap pemikiran dunia Islam pada masa awal hingga
masa-masa penaklukan di wilayah luar daerah daratan Arab melalui proses
hellenisasi. Selanjutnya akan dijelaskan pula mengenai tradisi transmisi
intelektual Islam.
A. PENGARUH FILSAFAT YUNANI DALAM DUNIA ISLAM
Pembicaraan mengenai filsafat Yunani dalam banyak hal sebenarnya
hanyalah spekulasi saja. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa sejarah
tentang filsafat Yunani ini tidak lain adalah mitologi. Sebagaimana juga
cerita mengenai sejarah Mesir kuno, Babyolnia, Phoenicia, dan India1.
Ini artinya kebenaran tentang sejarah pemikiran filsafat awal di Yunani
M.M. Saarif, ed. A History of Muslim Philosophy, (India: Low Price Publications,
1995), cet. Ke-4. vol.I, h. 75. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejarah ini sebetulnya sulit
diferivikasi karena hanyalah imajinasi dari para penulis awal mengenai Yunani. Pendapat
ini juga dinyatakan oleh Jerome R. Ravertz yang mengatakan bahwa karya-karya dan
pemikiran mereka sebenarnya tidak terrekam secara tertulis runtut, dan yang ada
adalah cuplikan, dan kutipan singkat yang kemudian dirumuskan oleh para sejarawan
hingga nampak lebih logis sesuai alur berpikirnya. Lihat Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), cet. Ke-3, h.7. Masa ini dalam kategorisasi sejarah
masuk zaman kuno (qadimah). Lihat Syawqy Abu Khalil, Fî Târikh Al-Islamiy, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1991), h.7
1
15
lebih banyak dibumbui dengan rangkaian cerita tanpa data sejarah yang
akurat.
Dalam beberapa literatur selalu dikatakan bahwa filsafat adalah pe­
mikiran yang lahir pertama kali di Yunani. K Bertens dengan tegas me­
ngatakan bahwa filsafat adalah ciptaan asli (genuine) bangsa Yunani2. Ia
menyatakan bahwa Yunani memiliki ciri khas kehidupan yang bisa dibilang
sebagai faktor lahirnya filsafat. Ciri khas ini terutama ditandai oleh tiga
hal; pertama, berkembangnya mitologi di tengah masyarakat. Mitologi
sendiri sebenarnya hidup di belahan dunia lain, tapi ini dianggap sebagai
cikal bakal pemikiran filsafat selanjutnya. Proses dari mitos hingga
meng­hasilkan pemikiran ini oleh Stephen Palmquis disebutnya sebagai
demitologisasi;, sebuah proses dari mitos menjadi bukan mitos.3 Mitologi
di Yunani sudah berlangsung sejak abad-abad sebelumnya hingga filsafat
dinyatakan lahir pada abad ke-6 SM. Yang kedua adalah tumbuh suburnya
tradisi sastra. Sastra dalam hal ini meliputi dongeng, perumpamaanperumpamaan dan sebagainya. Dan ketiga adalah pengaruh luar, di mana
ilmu pengetahuan sudah berkembang di Timur Kuno4. Dari ketiganya
Hal ini sangat berbeda dengan pembahasan oleh Abu Al-Faraj, yang lebih dikenal
dengan Al-Nadim, yang mengatakan bahwa Yunani Kuno tidak mengenal huruf
dan tulis menulis.Orang Yunani mengenal huruf dan tulis menulis dari orang Syria
yang berbahasa Suryani. Lihat dalam Muhammad bin Ishaq Al-Nadim, Al-Fihrisat,
(Teheran, tt), h. 14. Sementara Taufiq al -Thawil mengatakan bahwa pengambilan
sumber filsafat Yunani berasal dari Timur, yang waktu itu diwakili oleh Mesir. Mesir
diceritakan sebagai telah memiliki peradaban yang sangat maju dengan ditandai oleh
berkembangnya ilmu kedokteran, teknik, kimia, astronomi. Lihat Taufiq al Thawil, Usus
al Falsafah, (Kairo: dar al Nahdlah, 1979), h. 34-35. Dalam hal ini nampaknya para penulis
sejarah filsafat tidak bisa terlepas dari subyektifitas asal daerah maupun bangsanya. Ia
dengan tegas menyatakan bahwa pemikiran filsafat sesungguhnya berawal dari Mesir
kuno baru kemudian berpindah ke Yunani. Lihat pada buku yang sama halaman 3942. Lihat juga Abdurrahman ‘Ali al Hajji, Nadzarat fi dirasati tarikh al Islamiy,(Beirut:
Maktabah al Shahwah, 1979), h.14.
3
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat,terj. Muhamad Shodiq,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), set. Ke-2, h. 37.
4
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h.20-21. Hal ini
masih berkaitan dengan lahirnya peradaban yang tercatat dalam sejarah, yang dimulai
pada masa Mesir Kuno sekitar 6000 tahun yang lalu. Batasan sebelum ini dianggap
sebagai zaman pra-sejarah.
2
16
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
sebenarnya bukanlah hal yang khas dalam kehidupan setiap bangsa5.
Mitos, tradisi sastra dan percampuran budaya adalah hal yang banyak ber­
kembang di belahan dunia manapun.
Perbedaan yang menjadi factor kuatnya tradisi berpikir justru adalah
karena suasana kehidupan masyarakatnya yang bebas tidak tertindas
oleh hegemoni raja yang memerintah. Campur tangan penguasa di
wilayah para filsosof ini diceritakan tidak sampai pada wilayah pemikiran.
Baru di abad kemudian, ketika wilayah ini mulai masuk agama Nasrani6
sebagai agama resmi, campur tangan penguasa sudah memasuki wilayah
pemikiran hingga memasuki masa kemundurannya.
Lebih lanjut Stephen Palmquis merumuskan lahirnya filsafat dengan
ketiga hal di atas sekaligus sebagai lahirnya ilmu. Hal itu digambarkan
dengan pola mitos, sastra, filsafat dan ilmu. Hal ini seiring dengan pola
lahir, muda, dewasa dan tua pada manusia. Sehingga ia menyamakan
bahwa mitologi sebagai proses lahir; kelahiran sebagai proses berpikir
awal. Sedangkan dengan sastra digambarkannya sebagai proses muda,
ber­filsafat sebagai proses dewasa dan ilmu sebagai proses tua7.
Al-Syahrastani (w. 469 H/ 1153 M) termasuk sejarawan Islam awal
telah mendeskripsikan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Barat
(Yunani) dan pengaruhnya dalam kajian intelektualisme awal. Ia me­
rekam tujuh fiosof Yunani awal, filosof yang sudah membahas akidah
atau teologi, filsafat, matematika dan linguistics di Yunani8. Sedang­
kan Bertrand Russell membagi periodisasi dari sejarah filsafat Yunani
awal menjadi tiga yaitu, pra-Sokrates, masa Sokrates dan masa setelah
Aristoteles9. Pemikiran genuine awal Pra-Sokrates mengenai filsafat
Proses penyebaran kebudayaan selalu terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa, yang
sering disebut sebagai difusi kebudayaan. Lihat Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung:
Binacipta, 1988), cet.ke-7, h. 161.
6
Penyebutan istilah Nasrani sengaja dipakai agar lebih umum, meliputi pemikiran
dan agama itu sendiri.
7
Lebih lanjut kemudian dijelaskan dengan pendekatan psikologi dengan istilahistilah bawah-sadar, sadar, bawah sadar, sadar diri, super sadar. Masing – masing di­
lekatkan pada lahir, muda, dewasa dan tua. Lihat Stephen Palmquis, Pohon Filsafat, 38.
8
Al Syahrastani, al Milal wa al Nihal,(Baghdad: Maktabah Mutsanna,tt), h.
9
Lihat dalam daftar isinya, Bertrand Russel, History of Western Philosophy, (London:
George Allen and Unwin LTD, 1965), edisi ke -9. Setelah itu berturut-turut adalah
5
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
17
muncul pertama kali pada awal abad ke -6 oleh Thales pada tahun sekitar
585 SM. Tahun ini didapatkan ketika ia memprediksikan akan ada­
nya gerhana matahari pada tahun tersebut10. Thales adalah orang yang
pertama kali mencari prinsip dasar dari kehidupan ini, yang kemudian
disimpulkan bahwa prinsip dasar dari kehidupan adalah air11. Semua
berasal dari air dan akan kembali lagi menjadi air. Dari pengembangan
pemikiran ini maka kemudian disimpulkan bahwa corak awal dari filsafat
Yunani adalah filsafat alam (kosmosentris). Nietzsche, sebagaimana di­
kutip oleh Frederick Copleston, memberi alasan kenapa Thales layak di­
posisikan sebagai fiosof awal, adalah karena dari Dia-lah pencetus pen­
dapat bahwa “semua adalah satu”.12
Dari sini nampak bahwa sumber pemikiran oleh para filosof awal
adalah pengamatannya pada alam hingga muncul berbagai macam per­
tanyaan dan jawabannya. Lebih khusus lagi adalah bahwa sumber awal­
nya adalah rasa heran dengan apa yang ada di sekitarnya13; kenapa ada
siang kemudian berganti malam, apa yang membuat dunia ini terang
kemudian gelap, apakah itu langit, kenapa ada awan, guntur, gunung
dan sebagainya. Semua menginspirasi pertanyaan-pertanyaan yang ber­
implikasi jauh pada kurun sesudahnya. Implikasi tersebut di antara­
nya adalah bahwa dari pertanyaan itu kemudian memunculkan kajian
tentang teologi. Metode-metode ini pun kelak menghasilkan metode ber­
pikir dengan berbagai variasinya, seperti analisis, analogi, sintesis dan
sebagainya.
Dalam catatan al-Syahrastani, pendapat para filosof banyak dikaji dari
sisi teologi, baik dalam pendapat (premis) umum maupun dalam teknisnya.
masa Katolik; ditandai dengan pendiri awalnya dan masa skolastik, dan masa modern;
ditandai oleh masa renaissan hingga Hume dan dari Rousseau hingga abad ini. Russell
nampak tidak memasukkan masa Islam sebagai bagian dari sejarah filsafat, meskipun
beberapa kali menyinggung Averroes (Ibn Rushd), Ibnu Sina, sebagai tokoh penting.
Peridodisasi model ini kemudian diikuti oleh para penulis yang merujuk kepadanya.
10
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, h. 25.
11
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h.35
12
Frederick Coplestoon, A History of Philosophy, (New York: Doubleday, 1993), h.
76-77.
13
Stephen Kờrner, Fundamental Questions of Philosophy, (Sussex: The Harvester Press.
Ltd, ), h. 7
18
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Ia mencatat ada 16 masalah yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang
jika diringkas ada dalam wilayah pembahasan mengenai yang wujud,
tunggal, penyebab kejadian, etika dan psikologi (ilmu jiwa). Pembahas­
an mengenai aspek teologi ini sejalan dengan pandangan Irfan Abdul
Hamid yang membedakan pembahasan ilmu di Barat dan di Timur.
Menurutnya, pembahasan ilmu di Barat tidak dilandasi dengan bahasan
mengenai nilai-nilai keyajinan tertentu atau pengkaitan dengan hal-hal
yang transenden. Ini berbeda dengan di Timur, dalam hal ini Islam, yang
dalam pembahasannya selalu menggunakan standar nilai agama yang
diyakini14. Hal ini nampaknya mempengaruhi arah pembahasan me­
ngenai filsafat antara di Barat dengan di Timur. Metodologi dan nilai yang
dikembangkan nampaknya akan mengalami perbedaan pula.
1. Hellenisasi Ke Wilayah Persia
Titik awal dari hellenisasi adalah masuknya kekuasaan Romawi15 ke Mesir
pasca meninggalnya Cleopatra pada masa-masa sekitar abad ke-4 SM
berbarengan dengan ditaklukkannya wilayah ini oleh bangsa Romawi,
terutama masa Iskandar Agung. Mesir jatuh bersama dengan kota lain­
nya yaitu Syiria (Syam), Persia, Samarkand, Bactria, Punjab dan Anatolia16.
Irfan Abdul Hamid, al-Falsafat fi al-Islam; Dirasah wa al-Naqd, (Baghdad: Dar al
Tarbiyah, tt), h.15.
15
Yunani pada masa ini adalah wilayah yang meliputi Asia kecil (minor), yang
pada masa sekarang kira-kira adalah wilayah Turki hingga ke wilayah Yunani sekarang.
Negara ini bertetangga sangat dekat dengan kekuasaan Mesir Kuno. Lihat W.
Windenband, History of Ancient Philosophy, (New York: Dover Publications, 1956), h.
16. Dalam menjelaskan tersebarnya budaya Yunani, Mehdi Nakosteen menggunakan
tiga istilah, yaitu; ilmu pengetahuan Yunani, Helenisme, dan Helenistik. Lihat Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, terj. (Surabaya: Risalah Gusti,
2003), cet. Ke-2. h. 18.
16
Bertrand Russell, History Of Western Philosophy,..h. 229. Ia membagi sejarah
Yunani menjadi tiga; pertama, negara Kota di bawah kekuasaan Aleksander dan Philip,
kedua adalah dominasi Macedonia ketika menguasai Mesir pasca kematian Cleopatra,
dan ketiga adalah pada masa Imperium Romawi. Dari ketiganya, yang dimaksud dengan
hellenisasi dimulai pada fase yang kedua ketika memulai perluasan wilayah dengan
menaklukkan negara-negara lain. Selanjutnya, ikon Hellenisasi di timur bukanlah
Persia, akan tetapi Syria dan Aleksandria. Lihat De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its
Place in History, (London: Routledge and Kegan Paul. Ltd, 1963), edisi IV.H.1. (terbit
pertama kali pada 1922).hal ini kemudian diikuti para sejarawan berikutnya.
14
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
19
Penaklukan dari keempat kota ini hanya Persia saja yang tidak dibarengi
dengan kristenisasi17. Persia masih mempertahankan kepercayaan se­
belumnya, penyembah bintang dan benda langit, hingga pada abad-abad
ke-6 mereka baru memeluk Kristen. Penyebaran filsafat ke Timur ini
setelah Stoisme menjadi gerakan.18
Secara umum peradaban di timur (selain Yunani) sudah menampak­
kan kemajuan. Bahkan pada 4000 SM di Mesir telah berkembang tradisi
tulis-menulis, juga di Mesopotamia19.Hal ini ditandai dengan adanya ilmu
yang berkembang di wilayah Mesir seperti adanya bangunan pyramide,
ilmu tentang pengawetan mayat, ilmu ukur (geometri)20, dan astronomi.
Filosof awal, Thales dan Phytagoras, ditengarai pernah besinggungan
dengan ilmu-ilmu ini ketika mengadakan perjalanan ke timur di abad ke-8
SM. Ilmu yang berkembang di timur ini lebih banyak dalam wilayah ilmuilmu yang aplikatif; untuk kepentingan hidup sehari-hari21. Seperti ilmu
ukur yang digunakan untuk pembuatan piramida dan untuk mengukur
kembali tanah yang terhempas serta batas tanah yang hanyut oleh banjir
sungai Nil. Hal ini berbeda dengan pengembangan ilmu di Yunani yang
lebih banyak untuk kepentingan ilmu itu sendiri22.
Dalam perkembangan persebaran ilmu dan filsafat Yunani ke timur,
setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi; pertama, pembangunan
kota Alexandria di Mesir yang sudah menjadi wilayah kekuasaannya
dan menjadi kota metropolitan23. Hal ini menyebabkan arus imigrasi
dari Yunani yang besar. Di Alexandria ini dikembangkan ilmu sains.
Ber­beda dengan di Roma, yang sama-sama di bawah kekuasaan Raja
Agustus. Di Roma lebih berkembang ilmu hukum (Jurisprudence). Kedua,
Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet.
Ke-4. h. 204.
18
Bryan Magee, The Story Of Philosophy, terj.(Yogyakarta: Kanisius, 2008), h.46.
19
Tulisan waktu itu masih dalam bentuk-bentuk simbol gambar yang disepakati
bersama seperti tulisan China. Lihat Bertrand Russel, History of Western Philosophy, p. 25.
20
Dari segi namanya, geometri berarti pengukuran bumi.
21
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h.31
22
Umar Farrukh, Tarikh al-Fikri al-‘Arabiy, ( Beirut: Dar al Ilm, 1972), h. 30-31.
23
pendapat ini nampaknya merujuk ke De Lacy O’Leary, lihat dalam Arabic Thought
and Its Place in History, h. 9.
17
20
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
pengambilalihan Konstatinopel (Istanbul) sebagai ibu kota awal oleh pe­
nguasa Nasrani (274 – 306 M) dan menjadikannya sebagai agama resmi
oleh Yunani, hingga penguasa ini melakukan penindasan terhadap para
intelektual dan filosof, karena para cerdik pandai ini dikhawatirkan akan
mengganggu dan menghalangi penyebaran agama Nasrani (Kristen
Ortodok). 24
Dari dua hal ini kemudian pada abad ke-4 M mulai terjadi arus besarbesaran perpindahan filsafat ke timur melalui lima kota utama, yaitu;
Alexandria, Antioch, Ruha, Harran dan Jundisapur25. Kota-kota ini oleh
De Lacy disebut sebagai lingkaran Alexandria; semacam jaringan baru
dengan pusatnya di Alexandria26. Dari Alexandria yang dipimpin oleh
Alexander Agung kemudian dimulai apa yang disebut Hellenisasi di
Timur, meliputi kawasan Arab sekarang dan Asia Minor27.
Di Alexandria tumbuh bermacam-macam mazhab filsafat seperti
mazhab Phytagoras dan Plato. Sebelumnya di kota ini sudah berkem­
bang pula selain ilmu ukur, juga ilmu kedokteran dan sudah mendirikan
pusat studi. Ahli kedokteran di kota ini adalah Inkleus, Istofan, Jasius,
Marinus, Poles dan Maghanis. Dari ahli hitung dan astronomi yang ter­
kenal adalah Batolomius Kludius dan seorang arsiteknya adalah Aklides.
Pada abad ke-4 SM, Demokritos, sebagai salah seorang filosof awal
pernah mengadakan perjalanan ke kota ini, selain ke Babylonia, Persia
dan Athena.
Sedangkan di Antioch terkenal dengan aliran ketuhanan dan me­
sianis­me, yaitu aliran yang meyakini kebangkitan Yesus (Joshua/ Nabi
Isa AS) sebagai juru selamat. Di antara tokohnya adalah Deodorus (w.
394 M). Pengenalan ilmu pengetahuan di Antioch ini melalui manuskrip,
seperti oleh Probos, seorang dokter yang hidup pada pertengahan abad
Umar Farrukh, Tarikh al Fikri al’ Araby, h.30
Aleksandria terletak di pesisir barat Mesir. Antioch terletak di wilayah Syria;
saat itu Syria meliputi negara Syria saat ini, Palestina/ Israel, Lebanon, Jordania. Riha ,
Harran terletak di Irak, sedangkan Jundisapur terletak di Kazakhstan.
26
De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its Place in History, h. 26
27
V. C. H. Becker dalam al-Turats al-Yunaniy fi al-Khadharah al-Islamiyah,terj.
Abdurrahman Badawi, (Kairo: Dar al Nahdhah, 1965), h. 5. Lihat juga Philip K. Hitti,
Syria; A Short History, (New York: The Macmillan Company, 1959, h. 54.
24
25
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
21
ke -5. Kelak pada masa Islam, kota ini menjadi pusat studi filsafat
pada masa Umar bin Abdul Azis, khalifah terakhir Bani Umayah. Di
Syiria ini, selain di Antioch, juga didirikan pusat studi di daerah Nisibis
yang dalam penyampaian ilmu pengetahuan di sekolah-sekolahnya
meng­gunakan bahasa Syria. Sama seperti di Antioch, objek studi yang
dikaji adalah masalah ketuhanan dengan dominasi gerejanya. Namun
dominasi gereja ini illegal, karena seperti dijelaskan sebelumnya, pihak
gereja di Yunani dan di Alexandria selalu menentang pemikiran filsafat.28
Di kota Ruha29 telah berdiri sekitar 50 pusat studi yang mempe­lajari
teologi dan budaya Yunani dengan bahasa Suryani30. Kota ini terletak di
Irak di antara sungai Eufrat dan Tigris. Pada tahun 474 sekolah-sekolah
ini ditutup oleh Raja Zainun dari Romawi karena diduga menyebarkan
paham-paham sesat. Hingga suatu saat tentara mengambil alih kota ini
dan membuka kembali sekolah-sekolah yang pernah tutup. Di sekolahsekolah ini dipelajari ilmu logika, kedokteran, filsafat Aristoteles dan
me­nerjemahkan buku-buku Phytagoras, Plato dan Aristoteles.
Sedangkan di Harran, penduduknya sebagian besar beragama Shabiin,
penyembah bintang31. Ilmu yang berkembang adalah kedokteran, mate­
matika dan astronomi yang dipelajari dari bangsa Kaldan. Dan di
Jundisapur, yang terletak di wilayah Khazastan atau barat daya Persia.
Di kota ini menetap beberapa orang Yunani dan kemudian datanglah
Raja Justiniyus pada tahun 529 yang memberangus filsafat yang telah
berkembang. Para ilmuwan Nestorian ini kemudian pindah ke Persia,
Alexandria, Syria di bawah raja Anusirwan dan diminta mengajar di
De Lacy O’Leary, Arabic Thought an Its Place in History, h.25-26.
Hira pada mulanya adalah kamp militer dan menjadi pusat kekuasaan raja-raja
Lakhmiyyah.
30
Dialek Ruha merupakan dialek terpenting dalam bahasa Aramia di Timur,
sehingga bisa bertahan bahkan ketika bahasa Yunani menjadi bahasa pemerintahan di
Syria. Lihat Ahmad bin Muhammad bin Abdullah al-Dibyân, Hunain bin Ishaq; Dirâsah
Târikhiyyah Lughawiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Mulk al-Fahd al-Wathaniyyah, 1993), h.
20.
31
Kaum Shabiin sering diidentifikasi sebagai penyembah bintang, ada juga
pendapat bahwa mereka penyembah malaikat. Dan terkadang diartika sebagai sebuah
sekte dalam agama Nasrani. Lihat Muhamad al Tahanawi, Kasyf Istilahat al-funun wa al‘ulum, (Libanon: MaktabahLibnan Nasyirun, 1996), h. 1057.
28
29
22
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
sekolah kedokteran32. Kelak dari Harran ini di abad ke-9 dan ke-10 M
menjadi pusat penerjemahan ilmu-ilmu matematika, astronomi, Neo­
platonis, dan Neophytagoras.33
Sebelum pengusiran oleh Raja Justiniyus pada 529 M, kota
Jundisapur pada Abad 6 M merupakan tempat dilestarikannya kegiatan
studi oleh para intelektual Yunani dan Syria. Di sini dikaji pemikiran
Hindu, Yahudi, Persia, terutama aspek filsafat dan kebudayaan klasik34.
Selain itu, penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa
Pahlavi sudah banyak, seperti ilmu kedokteran, musik, dan matematika.
Di kuil-kuil tempat para Zoroastrian telah berdiri perpustakaan yang
menyimpan buku-buku ilmiah dan etika dalam bahasa Pahlavi (Persia
Tengah), yang di kemudian hari juga diterjemahkan sebagiannya ke dalam
Bahasa Arab, bahkan hingga bahasa Latin dan bahasa lainnya di Eropa.
Transmisi ini berlangsung dari generasi ke generasi.
Di kelima kota pusat pengembangan keilmuan ini dikaji beberapa
karya Yunani dalam berbagai bahasan disiplin ilmu, seperti bahasa dan
gramatika Yunani dan teologi. Karya-karya yang diterjemahkan antara
lain adalah disiplin ilmu mengenai logika Aristoteles termasuk Isagogenya Prophyry, Categories, The hermeunetica, dan bab awal mengenai Analytica
Priora35. Buku-buku ini dianggap aman dari kontaminasi buruk yang bisa
merusak keyakinan Kristen36.
Selanjutnya peran yang besar diberikan oleh kaum Nestorian, yang
menerjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Pahlavi, ter­
utama setelah didirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah di Persia.
Salah satu pusat ilmu pengetahuan Nestorian di Persia adalah Rumah
Ardhesir (Beit Ardeshir), yang dijadikan pusat penerjemahan karya-karya
Umar Farrukh, Tarikh al Fikri al’ Araby,..h.31. Lihat juga Mehdi Nakosteen,
Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h. 23.
33
T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publications.
Inc, tt), h.13.
34
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h.27.
35
Semua dikompilasikan dalam satu buku menjadi bernama Organon, dan semua
dinisbatkan sebagai karya Aristoteles.
36
Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology, and Misticism,(Oxford: Oneword, 2000),
h.7.
32
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
23
Aristoteles dan lainnya. Karya-karya yang diterjemahkan adalah ilmuilmu kedokteran, astronomi, dan lainnya. Kelak, kemajuan Eropa juga
ber­awal dari pusat ilmu pengetahuan di Persia ini37.
Dengan demikian, sebelum Islam datang ke wilayah ini, penerjemah­
an ilmu-ilmu pengetahuan, baik langsung dari Yunani maupun melalui
Syria sudah berlangsung pesat. Materi yang diterjemahkan meliputi ilmu
kedokteran, matematika, musik, dan sebagainya. Peran gereja dan kaisar
yang berkuasa sangat besar dalam menumbuhkan iklim ilmu penge­ta­
huan di wilayah ini. Di saat di Yunani sendiri ilmu pengetahuan dan
filsafat muli redup, kegemilangan justru muncul di Timur, baik ketika
masih di Alexandria (Iskandariyah) maupun ketika sudah di Persia. Yang
perlu dicatat juga adalah bahwa, iklim ini saling melengkapi dengan
apa yang telah mereka punyai sebelumnya. Hal ini berlaku, baik di
Iskandariyah, Antioch, maupun di Jundisyapur. Saling melengkapi ini ke­
mudian berkembang dan menyebar hingga keluar wilayahnya masingmasing. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa tradisi pembauran budaya
sangat mewarnai dalam tumbuh kembangnya tradisi pemikiran dan ilmu
pengetahuan.
2. Hellenisasi Pada Masa Kekuasaan Islam
Penggabungan antara masyarakat Persia dan Islam Arab, bagi Bertrand
Russell dianggap sebagai babak baru dari corak agama Islam yang lebih
bernuansa saintist dan filosofis38. Hal ini dipandangnya sebagai lebih me­
narik daripada Islam sebelum berkonversi dengan Persia. Bisa jadi hal ini
dikarenakan kemampuan Islam yang bisa beradaptasi dengan wilayah
dan situasi yang baru, yang telah lama berperadaban ilmu pengetahuan
(civilized). Apalagi etika Islam bisa hidup dan berkembang di Persia,
sebagai pusat peradaban ilmu oriental dan Yunani. Islam kemudian me­
nyatukan daerah-daerah mereka dengan semangat kesatuan agama dan
bahasa39.
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h. 28
Bertrand Russell, history Of Western Philosophy,(London: George Allen & Unwin
Ltd, 1965),h. 414.
39
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam; The Classical Period, (USA:
37
38
24
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Masa kekuasaan Islam yang menonjol dalam hal ini adalah masa
Bani Umayyah, yaitu masa-masa awal setelah adanya perebutan ke­
kuasaan dari tangan Ali ibn Abi Thalib (w. 661 M) oleh Muawiyah ibn
Abi Sufyan (w. 680 M). Masa ini penuh dengan gejolak politik sebagai
hasil dari perebutan klaim yang sah atas jabatan khalifah pengganti
Nabi Muhammad (w. 632 H).Berbagai gejolak mewarnai pemerintahan
Muawiyah seperti perpindahan ibukota sebagai pusat pemerintahan,
pemberontakan-pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap khalifah,
balas dendam dan sebagainya. Hingga pada masa-masa yang dianggap
stabil, mereka bisa melanjutkan penaklukan daerah baru hingga men­
jadi propinsi-propinsi sendiri dengan pusat-pusat kota yang telah ada
sebelumnya. Tercatat bahwa pada tahun–tahun setelah 680 M mereka
mulai bisa memperluas wilayah hingga ke daerah kekuasaan Byzantium,
Afrika Utara, Khurasan (663-671 M), hingga ke Bukhara di Turkistan.
(674 M)40. Penaklukan ini sekaligus menobatkan Muawiyah sebagai ahli
strategi militer yang ulung pada masanya.
Hellenisasi pada masa Islam ditandai dengan masa keterbukaan
terhadap ilmu-ilmu yang sudah berkembang pada masa sebelum pena­
klukan daerah-daerah baru. Sebelumnya, orang Islam tidak bersing­
gungan dalam hal ilmu filsafat dengan orang dari luar Arab, khususnya
dengan orang Yunani maupun didikannya. Hellenisasi ini adalah ke­
niscayaan budaya ketika Islam keluar dari jazirah Arab41. Karena wilayah
Arab diapit oleh dua kekuatan besar, yaitu Bizantium di Barat dan Persia
di timur.Byzantium mewakili kekuatan Kristen dan Persia mewakili ke­
kuatan Majusi.
Babak awal penerjemahan buku dari luar adalah buku berbahasa
Yunani dan Qibty yang diambil dari Alexandria pada masa Khalifah Khalid
bin Yazid al-Umawy (w. 58 H). Penerjemahan besar-besaran bukubuku Yunani, baik yang berbahasa Yunani maupun telah dialihbahasa­
kan ke dalam bahasa Syria dimulai pada abad ke-8 Masehi. Orang
Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1990), h.7.
40
Philip K. Hitti, History of The Arabs, h.239-242.
41
Ahmad Fuad al Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. Ke7. h. 35.
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
25
yang pertama kali membawa buku-buku Aristoteles adalah Yahya bin
Khalid bin Barmak pada tahun antara 180-193 H, atas perintah khalifah
Harun Al Rasyid (W. 193H/ 809 M)42. Kitab-kitab tersebut dikirim ke
Baghdad atas proposal yang diajukan langsung oleh khalifah kepada
raja Yunani saat itu setelah diketahui bahwa kitab-kitab itu tidak dibaca
oleh khalayak, bahkan oleh pejabat kerajaan sendiri, karena tersimpan
rapi di sebuah gudang milik kerajaan. Kitab ini sengaja dijauhkan dari
khalayak umum karena raja khawatir kalau sampai terbaca oleh umum,
maka akan terjadi perpindahan agama dari Nasrani (Kristen Ortodoks)
kepada agama semula43.
Sementara dijelasksan oleh Mehdi Nakosteen bahwa ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya hellenisasi di daerah kekuasaan
Islam, yaitu; pertama, adanya pengusiran sekte-sekte yang mempelajari
filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu sekte Nestorian dan Monophysite
dari Yunani oleh pihak Gereja, karena dianggap bertentangan secara
doktrinal dengan pihak Gereja. Hingga sekte-sekte ini menempati wilayah
baru di daerah Persia dan Arab lainnya, meskipun di daerah baru ini
mereka juga tidak bebas bergerak. Datangnya tentara Islam yang me­
nyerbu dan menaklukkan kekaisaran Romawi dan Persia dianggap
sebagai tentara pembebas bagi mereka. Di samping itu, para tentara
ini membawa sikap yang akomodatif dan toleran terhadap adat-istiadat,
agama dan kebudayaan setempat. Termasuk juga ilmu pengetahuan yang
telah berkembang sebelumnya44.
Kedua, penaklukan oleh Alexander Agung ke daerah Persia, yang
sekaligus juga menyebarkan hellenisasi dengan mengakomodasi ter­
hadap adat istiadat setempat. Sikap akomodatif ini menjadikan ilmu
yang disebarkan lebih kaya dan bervariasi. Faktor yang ketiga adalah pe­
ngem­bangan akademi Jundisapur dengan mengadopsi kurikulum yang
dikembangkan oleh Universitas Alexandria. Pengadopsian yang dimaksud
Yahya bin Khalid sendiri tadinya adalah seorang Zindiq yang kemudian masuk
Islam. Lihat dalam Jalaludin Al Suyuthi, Shaun al-Manthiq wa al-Kalam ‘an Fann al-Manthiq
wa al-Kalam, (Tanpa Data ).h. 13-14
43
Mehdi Nikosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat,…h. 22.
44
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat,…h. 18-19
42
26
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
adalah dengan menerjemahkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani
ke dalam bahasa Pahlavi dan Syiria hingga awal-awal kekuasaan Islam.
Faktor terakhir adalah peran ilmuwan Yahudi yang cukup besar dalam
penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab dan Hebrew45.
Dengan demikian terlihat jelas bagaimana pengaruh pemikiran
Yunani dalam dunia Islam, yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Pengaruh secara langsung terlihat dari eksistensi wilayah yang tadinya
menjadi daerah koloni kerajaan Romawi dan Bizantium di wilayahwilayah yang kemudian dikuasai Islam. Pengaruh ini setidaknya mening­
galkan bekas tradisi pemikiran masyarakat dalam bentuk kebudaya­an
dan pranata sosial yang telah berlangsung berabad-abad di wilayahwilayah itu.
Sedangkan pengaruh secara langsung adalah pengaruh secara
tertulis dari karya-karya yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa
Arab, baik melalui Syria maupun Persia. Karya-karya tersebut adalah
bahan-bahan yang diajarkan pada sekolah-sekolah yang didirikan di pusatpusat kebudayaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pengaruh yang
paling nampak adalah pengaruh pemikiran filsafat di dunia Islam, yang
menjadi kebutuhan mendasar bagi Islam ketika bersinggungan dengan
wilayah tersebut46. Dilihat dari kronologi perkembangannya, sebenarnya
filsafat dalam dunia Islam tumbuh setelah ilmu yang lain seperti ilmu
kalam, fiqh dan tasawuf. Namun dalam perkembangannya kemudian
filsafat mengiringi perkembangan ilmu yang lain dan menjadi icon bagi ke­
majuan dalam dunia Islam.
Dalam pengantar terhadap Arabic Sintax, terjemahan dari Kitab
Mi’at Al-‘Amil karya Al-Jurjani, Abraham Lockett dengan jelas me­
nga­takan bahwa banyak ilmu di Arab setelah mengalami perluasan
ke­mudian bersentuhan dengan budaya Yunani melalui daerah-daerah
bekas kekuasaannya. Bahkan ia menelusuri lebih jauh kepada Zaid bin
Tsabit yang hidup pada zaman Nabi Muhammad dan dianggap sebagai
sekretarisnya, telah berhubungan dan mahir dengan pengetahuan
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat,…h. 20
Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, ( Jakarta: Paamadina, 2000), cet.
Ke-4, h. 220.
45
46
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
27
Yunani47. Ia juga mengatakan bahwa sains Islam tidak lain adalah terje­
mahan dari The Isagoge of Prophiry. Namun demikian, ia tidak menolak
pendapat mengenai orisinalitas beberapa disiplin ilmu seperti aljabar,
trigonometri, dan beberapa hal mengenai astronomi.
Dalam bidang ilmu kalam atau teologi, ada beberapa dogma yang
dianggap juga mirip dengan Kristen Nestorian dan dengan demikian
juga dianggap sebagai inspirasi bagi pemahaman dalam Islam, yaitu
mengenai kesamaan kehendak Tuhan dengan manusia. Dogma ini se­
belumnya telah berkembang di Syria pada abad ke-6. Hal ini juga di­
dukung dengan banyaknya ilmuwan di Harran yang kemudian menjadi
penerjemah pada masa pemerintahan Islam pada abad ke-8 M48.
Melihat bebrbagai komentar seperti itu, maka menjadi relevanlah
apa yang dikatakan oleh Abe al-Jabiri bahwa ketika dikatakan tentnag
sejarah filsafat dalam Islam, maka ia bagaikan anak tiri yang bukan milik
Islam. Teori ini seakan melepaskan secara total keterlibatan Islam dalam
olah pemikiran filsafat waktu itu. Padahal penggunaan logika filsafat
sebenarnya menyimpan berbagai kepentingan untuk pengembangan
Islam itu sendiri terhadap kawasan yang masih dendam dengan keber­
hasilan Islam dalam menguasai wilayahnya, terutama adalah kawasan
Persia. Para pemuka di kawasan tersebut berkepentingan untuk menye­
rang kekuasaan Islam dengan menggunakan ideology setelah pepe­
rangan fisik sudah tidak mungkin dilakukan49. Dan ini menjadi cikal
bakal bagi pergulatan pemikiran dalam Islam setelah dalam lingkungan
Islam sendiri juga kemudian melakukan “saling serang” dengan muncul­
nya paham pemikiran filsafat ini. Dari sinilah sebenarnya kejayaan
pemikiran itu dimulai, yaitu sikap yang sangat moderat untuk menghadapi
serangan dengan pemikiran pula. Dan warisan polemik itulah yang
sampai sekarang masih bisa dibaca.
47
IX.
Abraham Lockett dalam Arabic Sintax, (India: Hindustanee Press, 1814), h. VIII-
T.J. De Boer, History Of Philosophy in Islam,( London: Luzac, 1903), h.12-14.
Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj.
(Yogyakarta: Islamika, 2003),69-70.
48
49
28
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
B. TRANSMISI INTELEKTUAL DALAM ISLAM
Transmisi ilmu pengetahuan memainkan peran penitng dalam trans­
misi intelektual dalam Islam.Islam yang lahir dan tumbuh keluar Arab
mewarisi tradisi transmisi keilmuan orang Arab sebelumnya yang hidup
di gurun, yaitu ketrampilan seperti menunggang kuda, menghafal dan
membuat syair dan sastra50. Adapun tradisi intelektual di sini adalah
tradisi yang berkembang meliputi penerimaan atas hellenisasi dan pe­
ngem­bangan ilmu pengetahuan awal-awal Islam di Persia. Ini untuk
mem­bedakan dengan tradisi hellenisasi yang lebih bernuansa filsafat
Yunani, dan dengan demikian tradisi intelektual yang dimaksudkan
dalam tulisan ini ingin lebih menarik keluar dari pembahasan mengenai
tradisi filsafat Yunani kepada ilmu yang lebih luas. Hal ini mengingat
Islam memiliki karakteristik sendiri dalam keilmuannya, yang berbeda
dengan tradisi sebelumnya. Sementara Islam telah menjadi lembaga
tersendiri dengan hadirnya simbol-simbol yang membedakan dengan
tradisi lain; kalau hellenisme, misalnya, memiliki Plato dan Aristoteles,
Nasrani memiliki Nabi Isa dengan semangat injil, maka Islam kami
letakkan secara ber­beda dengan tradisi sebelumnya; di dalamnya ada
kajian mengenai politik, dakwah, ilmu pengetahuan, kajian tafsir, hadits
dan sebagainya.
Landasan awal dari pemikiran dan tradisi keilmuan dalam Islam,
selain adanya dalil naqli (text), baik dari Al-Qur’an maupun Hadits,
juga berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah
hewan yang berpikir dan bisa berbicara (hayawan al-nâthiq)51. Kesadaran
akan hal ini memicu keinginan untuk menggali potensi yang ada untuk
berpikir, baik dalam skala sempit maupun yang lebih luas. Dalam skala
sempit adalah bagaimana bertahan hidup, sedangkan yang lebih luasnya
adalah bagaimana membuat kemudahan hidup dan kepuasan lain.
Berpikir filsafat dianggap sebagai bagian dari berpikir yang luas ini. Dari
Dalam tradisi kehidupan di gurun (desert), ketrampilan “olah vocal” melalui
kepandaian puisi adalah pendidikan pertama yang diterimanya dalam hal intelektual.
Lihat Charles Michael Stanton, The Higher Learning in Islam, h. 14.
51
Muhammad Abdurrahman Marhaba, Min al-Falsafat al-Yunaniyyah ila al-Falsafat
Al-Islamiyyah, (Beirut: ‘Uwaidat Li Al-Nasyr wa Al-Thibâ’ah, 2000), h.13-15.
50
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
29
pola ini muncul dua bentuk ilmu dalam Islam, yaitu ilmu naqliyah dan
‘aqliyah52.
Sepeninggal Nabi Muhammad, tradisi wahyu dalam Islam dianggap
telah selesai dan kemudian dilanjutkan dengan tradisi penyampaian
kabar dari Nabi (hadits) secara oral yang disebut tradisi riwayat. Tradisi
riwayat ini menempati peran sentral dalam transmisi keilmuan awal
dalam Islam dan kemudian berkembang hingga menjadi tren metodo­logi
pada abad kedua. Abad inilah yang disebut oleh Fazlurrahman sebagai
fenomena metodologi keagamaan53. Tradisi ini kemudian terkodifikasi
pada abad ketiga dalam bentuk enam compendium buku hadits yang ter­
kenal dengan istilah ashhab al-sittah. Fenomena ini dianggap menarik
karena dalam jangka yang begitu lama untuk ukuran berita, hadits bisa
di­saring menjadi sebuah catatan yang diterima dan disahkan sebagai asli
dari Nabi.
Penelusuran mengenai hadits ini diduga tidak terjadi atau muncul
pada satu masa pada abad dua saja tetapi sudah muncul sejak perluasan
dan penyebaran Islam itu sendiri. Hal ini melihat kompleksitas yang
mengitari sebuah hadits, yaitu adanya ketentutan-ketentuan khusus yang
mengaturnya sehingga apa yang disampaikan secara berurutan dari
orang per orang tersebut kemudian menjadi pegangan banyak orang
dan diakui validitasnya. Tradisi penyampaian materi kabar dari Nabi ini
me­ngan­dung dua hal, yaitu materi pokok dari informasi dan siapa yang
menjadi jalur periwayatnya (isnad/ transmiter)54.
Transmisi keilmuan dengan cara oral dan tertulis ini menandai per­
kembangan awal keilmuan Islam. Pada tradisi oral, dilakukan dengan
cara mendengarkan secara langsung ilmu dari seseorang yang memiliki
otoritas terhadap hal itu. Otoritas itu di antaranya ditandai dengan ke­
mampuan seseorang untuk menguasai satu bidang tertentu dengan basis
ingatannya yang kuat. Tradisi mengingat telah menjadi tradisi yang
Lihat Gregor Schoeler, The Oral and The Written In Early Islam,( London: Routledge,
2006), h. 39. Lihat juga Siti Maryam, ed. Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik
Hingga Modern,( Yogyakarta: LESFI, 2003), h.72.
53
Fazlurrahman, Islam,terj. (Jakarta: Penerbit Pustaka, 1984), h. 51-52.
54
Fazlurrahman, Islam,h. 68-69..
52
30
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
sangat mengakar dalam masyarakat Arab hingga masa Islam. Tradisi
oral ini menurut Gregor Schoeler berlangsung hingga abad kedua Hijrah
yang disebutnya dengan masa pembentukan teks, Tradisi oral dengan
mendengar dari guru secara langsung dianggap merupakan metode ter­
baik dalam dunia Islam hingga muncul istilah sanad55.
William C. Chittik mencatat dari para filosof Islam bahwa mereka
membedakan pengetahuan antara yang ditransmisikan dan pengetahu­
an intelektual. Pengetahuan yang ditransmisikan adalah pengetahuan
yang diperoleh secara turun-temurun atau dari orang lain secara lisan,
dalam arti tidak bisa diperoleh dengan cara kerja akal sendiri. Ia men­
contohkan dengan ilmu-ilmu seperti ilmu bahasa, wahyu, kalam dan
fiqih (Islamic Jurisprudence). Sedangkan pengetahuan intelektual adalah
sebaliknya, yaitu ilmu yang dapat diperoleh melalui cara kerja akal secara
sistemik, seperti matematika dan astronomi, termasuk juga meta­
fisika, kosmologi dan psikologi56. Dalam konteks inilah kemudian ia
me­nge­lompokkan para filosof sebagai komunitas yang memperoleh
penge­tahuan intelektual; berdasarkan perenungan dan pemikiran yang
mendalam terhadap realitas. Namun yang membedakan mereka dengan
pemikir Kristen dan Yunani adalah bahwa mereka tetap mendasarkan
pada keyakinan tauhid. Konsep tauhid adalah konsep keesaan Tuhan
dan pembedaannya atas makhluknya57. Dalam kasus ini Fazlurrahman
menyebut dengan tradisi verbal dan praktis. Tradsisi verbal adalah ke­
ingintahuan masyarakat pada awal Islam untuk mengetahui sifat dan
tindakan nabi dengan mencari informasi dari orang-orang yang pernah
menemani atau sekedar dekat dengan nabi. Sedangkan tradisi praktis
Gregor Schoeler, The Oral and The Written In Early Islam, h. 45
Dalam penjelasan selanjutnya ia segera menambahkan bahwa dalam Islam,
antara akal dan wahyu terdapat harmoni keselarasan yang tidak bisa dipisahkan secara
antagonistic. Lihat tulisan William C. Chittick dalam Ted Peters, Muzaffar Iqbal
dan Syed Nomanul Haq (ed), Tuhan, Alam dan Manusia; Perspektif Sains dan Agama,
terj. (Bandung: Mizan, 2006), h. 146-150. Pembedaan ini di barat sebagian dikenal
sengan pengetahuan Athena dan Yerussalem.Athena mewakili penggunaan akal dan
Yerussalem mewakili penggunaan wahyu. Ini nampaknya menggunakan idiom dalam
tradisi Kristen
57
Osman Amir, Islamic Philosophy, (Kairo: Renaissance Bookshop,1958), h.19.
55
56
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
31
adalah praktek yang telah berlangsung secara cultural semenjak nabi
masih hidup hingga setelah meninggal dan berlangsung secara bersama
di beberapa tempat dengan transmisi dari orang yang juga pernah hidup
bersama dan melihat langsung perilaku nabi.
Sementara George Makdisi menceritakan metode pengetahuan
dalam Islam melalui tradisi hapalan. Sebenarnya penyebutan tradisi
hapalan ini hanya untuk menyederhanakan pola tradisi riwayah dan
dirayah. Dalam catatannya, ia menjelaskan bagaimana seseorang pada
masa awal Islam menghapalkan syair-syair Arab kuno untuk mendukung
argumen dan melahirkan ilmu nahwu58. Ini nampaknya menegaskan
pen­dapat William C. Chittick di atas dengan penyebutan metode trans­
misi dalam pengetahuan.
Sedangkan Al Ghazali (W. 1111 M) mengklasifikasikan pemeroleh­
an ilmu berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu insany dan ilmu
rabbany. Ilmu insany adalah ilmu yang diperoleh melalui pembelajaran
biasa, yaitu menggunakan media panca indra, tulisan atau transmisi
melalui guru. Sedangkan rabbany berarti ilmu yang langsung dari Tuhan,
bisa dalam bentuk wahyu yang sudah tertulis maupun dalam bentuk
ilham59.
Dari ketiga penulis di atas, meskipun istilah yang digunakan ber­
beda, namun nampaknya arah dan maksud dari istilah tersebut adalah
sama; yaitu adanya dikotomi antara ilmu yang diperoleh dengan pena­
laran akal secara langsung dan melalui wahyu yang sudah tertulis. Hanya
al Ghazali nampaknya lebih menekankan bahwa istilah wahyu dan
ilham itu sendiri bermakna sebagai ilmu yang bisa diperoleh tanpa me­
lalui transmisi dari orang-perorang, melainkan melalui penalaran dan
pemikiran yang mendalam yang dihasilkan dari bentuk-bentuk ritual pe­
nyucian jiwa; istilah yang bayak dipakai dalam dunia tasawuf.
Dalam konteks penyebaran ilmu pengetahuan dan filsafat dari
Yunani ini, tradisi keilmuan jelas diperoleh melalui adanya transmisi dari
per­orangan ataupun lembaga terutama lewat jalur daerah-daerah yang
George Makdisi, Cita Humanisme Islam,terj. ( Jakarta: Serambi, 2005), h. 316.
Al Ghazaliy, Risalah Laduniyah dalam Majmu’at Rasail, (Kairo: Maktabah Tawfiqiyah,
tt ), h.247
58
59
32
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
tadinya menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani, seperti kota-kota di Syria dan Alexandria (Mesir). Ini artinya
dunia Arab atau dalam hal ini Persia tidak mengembangkan tradisi
pemikiran filsafat sebagaimana Yunani. Dalam arti bahwa apa yang di­
peroleh di dunia Arab adalah hasil dari apa yang diperoleh setelah ilmu
dan filsafat menjadi sebuah disiplin ilmu yang telah dikembangkan ter­
lebih dahulu di Yunani.
Pada masa awal kekuasaan Bani Umayah, ilmu pengetahuan tetap
dibiarkan tumbuh dan berkembang di daerah-daerah yang baru di­
taklukkan seperti; Syria, Jundisyapur, Alexandria, Beirut, Nisibis, Harran
dan Antioch. Lembaga yang ada ini ada di bawah sekolah-sekolah Kristen
dan Sabian60. Ini juga sekaligus menegaskan bagaimana ilmu penge­
tahuan itu dikirim dan diperoleh. Tetapi pada masa Umayyah bukubuku belum begitu muncul, karena pada masa ini kebutuhan akan hal
itu bisa jadi belum begitu mendesak dikarenakan masih dekatnya masa
hidup masyarakat dengan kehidupan Nabi. Para sahabat Nabi yang
me­ne­mani atau hidup sezaman dengannya masih begitu banyak dan
dengan demikian tradisi terhadap peniruan praktek Nabi masih bisa di­
konfirmasi langsung kepada mareka.
Tradisi penulisan awal kemudian muncul dengan hadirnya tulisan
mengenai sejarah hidup Nabi atau sirah nabawiyyah yang ditulis oleh
Muhammad Ibn Ishaq (w. 767 M).Baru pada masa Abbasiyyah penulisanpenulisan itu marak dalam bentuk yang bermacam-macam dan dianggap
matang. Tulisan-tulisan itu didasarkan pada legenda, tradisi, biografi,
genealogi, dan narasi tentnag kehidupan masyarakat awal Islam maupun
di daerah-daerah taklukan61. Ibn Muqaffa (w, 757 M) menuliskan
banyak materi tentang hal tersebut setalah menerjemahkan karya ber­
bahasa Persia dalam bentuk cerita para raja yang pernah berkuasa di­
daerah tersebut dengan judul Siyâr Mulk al-‘Ajam. Tradisi penulisan sejarah
ini konon mengambil konsep dari tradisi Yahudi-Kristen dengan metode
yang diperbarui melalui Islam, yaitu penuturan para saksi dan keterangan
60
61
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h. 15.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 485-487.
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
33
yang jelas dalam setiap narasinya. Model ini dianggap bisa menjamin
akurasi data hingga hari dan tanggal kejadian, dengan catatan mata rantai
cerita itu tersambung secara simultan62.
Namun yang perlu dicatat pula adalah bahwa dalam masa awal
perkembangan keilmuan di dunia Islam, selain perbedaan pemerolehan
sebagaimana di atas, juga adalah bahwa semangat yang dikembangkan
pada awalnya adalah penyebaran agama dan perangkat yang mendukung
dari eksistensi agama itu sendiri. Dalam hal ini perangkat tersebut adalah
semangat keislaman sendiri, meliputi keyakinan terhadap apa yang
dibawa serta ajaran-ajaran Islam. Semangat yang dimaksud adalah apa
yang sering disebut sebagai keimanan terhadap ajaran-ajaran dalam
Islam, seperti ajaran tentang eksistensi Tuhan (Allah) dan sekaligus ke­ya­
kinan, baik epistemologis, ontologis maupun aksiologis terhadap semua
hal yang ada di sekitarnya. Dalam konteks Islam, inilah yang disebut
dengan ajaran Tauhid. Nurcholish Majid menyebut bahwa dasar dari
pengembangan keilmuan ini dengan keimanan, sebuah pengakuan ter­
hadap eksistensi Tuhan63. Namun lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa
momentum tauhid ini juga mendapat tempat di dalam kajian filsafat se­
belumnya dengan apa yang disebut Neoplatonisme, yaitu ajaran filsafat
yang berpangkal dari pemikiran Plotinus (205-270 M) dari Alexandria dan
Aristoteles yang mengandung unsur ajaran tauhid64. Hanya kemudian
dalam Islam tauhid yang dimaksud nampaknya adalah ajaran yang ber­
asal dari wahyu lewat kitab suci yang diyakini oleh Islam.
Transmisi awal selain dari Persia dan Alexandria adalah dari budaya
India via Persia. Pada tahun sekitar 154 H/ 771 M, orang India mem­
bawa naskah buku berisi tentang ilmu astronomi ke Baghdad yang ber­
judul Siddhanta (Arab: Sindhind). Naskah ini kemudian diterjemahkan
oleh Muhamad bin Ibrahim al Fazari (wafat antara 796-806 M). atas
Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 487.
Nurcholish Majid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet.
Ke-4, h. 130.
64
Nurcholish Majid, Islam; Doktrin dan Peradaban…h. 224. Lihat juga Ian Richard
Netton dalam Edward Craig (ed), Routledge’s Ensiklopedia of Islamic Philosophy, (London:
Routledge, 1998), h. 25.
62
63
34
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
perintah Khalifah al Manshur, Muhamad bin Ibrahim al Fazari ini ke­
mudian menjadi astronom pertama dalam Islam65.
Irfan Abdul Hamid menjelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi
karakter penyebaran ilmu dalam dunia islam pasca penaklukan-pe­
naklukan daerah baru, yaitu percampuran dengan budaya daerah takluk­
an dan penerjemahan langsung dari ahli-ahli ilmu tertentu66, meski­pun
bukan berasal dari golongan Islam, untuk mengajari orang-orang Islam
yang berminat atau ditugaskan oleh pejabat negara dalam ilmu tersebut.
Percampuran dengan daerah-daerah taklukan ini kemudian me­
nimbulkan friksi-friksi dalam hal keyakinan wahyu dalam Islam yang
dibawa oleh para pemeluk Islam dengan keyakinan baru di daerah yang
diduduki. Friksi ini pada akhirnya membutuhkan jawaban yang harus
memuaskan kepada para pengkritik ajaran yang dibawa. Isu-isu seperti
kebebasan berkehendak dengan sikap fatalistik adalah sebagai contoh
dari perdebatan awal yang berkembang sebagai hasil dari percampuran
budaya ini.
Pada masa penerjemahan, Jirar Jahamiy mencatat dua masa,
pertama, yaitu masa ketika penerjemahan tidak mengenal adanya pem­
batasan (dikotomi) yang jelas terhadap ilmu-ilmu, sehingga sangat me­
mungkinkan sekali masuknya ilmu-ilmu dengan bebas hingga mewarnai
peradaban selanjutnya. Kedua, adalah masa ketika muncul kesadaran
untuk memulai melakukan islamisasi terhadap penerjemahan. Dalam
arti bagaimana membahasakan karya-karya yang diterjemahkan untuk
menjembatani dengan keyakinan Islam67. Masa ini nampaknya meru­
pakan masa yang sulit, di mana hal ini akan menentukan kompromi Islam
dengan ilmu-ilmu asing dalam Islam.
Dari penuturan ini maka ada perkembangan transmisi dalam dunia
Islam dari transmisi hapalan kepada transmisi model tulisan. Transmisi
model hafalan adalah bawaan tradisi masyarakat Islam semenjak sebelum
Philip K. Hitti, History of The Arab, terj.(Jakarta: Serambi, 2006), cet. Ke-2, h. 382.
Irfan Abdul Hamid, al Falsafah fi al islam; Dirasah wa al Naqd,(Baghdad: Dar al
Tarbiyah, tt), h. 75-76.
67
Jirar Jahami, al-Isykaliyah al-Lughawiyah fi al-falsafah al-‘Arabiyah,(Beirut: Dar al
Masyriq, 1994), h.14-15.
65
66
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam
35
pra-Islam dan berkembang dengan baik ketika banyak dari sahabat
(companion) Nabi yang memanfaatkannya untuk menghapal hadits
dan al-Qur’an. Sedangkan transmisi penulisan berkembang sejak Islam
bersentuhan dengan tradisi di luar Arab. Namun demikian tidak berarti
bahwa tradisi ini tidak ada sama sekali di Arab, karena pada pada masa
awal Islam sudah ada orang-orang yang pandai menulis yang kemudi­
an menjadi juru tulis hadits, hanya saja jumlahnya sangat terbatas jika
disbanding dengan populasi penduduk Makkah yang telah masuk Islam.
36
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
BAB
III
GENEOLOGI GRAMATIKA
BAHASA ARAB
D
alam bab ini akan dibahas mengenai posisi bahasa Arab, motivasi
kodifikasi nahwu (gramatika bahasa Arab), akan dibahas pula
mengenai pro-kontra originalitas ilmu nahwu dan pengaruh filsafat ter­
hadap masa-masa kodifikasi nahwu. Ini merupakan lanjutan dari kajian
di bab dua dalam perjalanan pencapaian keilmuan dalam Islam. Posisi
bahasa Arab ditulis untuk mengetahui akar budaya bahasa Arab sehingga
bisa dipetakan kajian sosiolinguistiknya. Motifasi kodifikasi nahwu di­
jelaskan melalui latar belakang dikodifikasikannya nahwu, sehingga di­
ketahui jalur transmisi awal nahwu.
A. AKAR BUDAYA BAHASA ARAB
Bila melihat pemaparan pada Bab II, dalam catatan sejarah kuno, nampak­
nya bangsa Arab secara umum tidak begitu mendapat tempat sebagai
pusat peradaban besar. Wilayah Arab dalam batasan jazirah Arab saat itu
tidak memiliki pusat-pusat ilmu pengetahuan. Sejarah hanya mencatat
bahwa di Arab pernah ada komunitas besar yang mendiami sebuah
jazirah luas. Pergaulan mereka dengan dunia luar sangat terbatas antar
kelompok kecil1. Bandingkan dengan kelompok yang sering disinggung
dalam sejarah awal, seperti bangsa Mesir, Syria dan Persia. Hal inilah yang
1
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 1998), h. 248.
37
nampaknya membuat dunia tercengang dengan kehadiran Islam di Arab
yang mampu tampil dan merebut perhatian para ahli sejarah, khususnya
pada masa pertengahan dalam babak sejarah2. Kelak semangat keislaman
inilah yang menjadi amunisi besar bagi berkembangnya kekuasaan Islam.
Tidak adanya sumber mengenai sejarah Arab pra-Islam menurut
Ahmad Syalabi dikarenakan tidak adanya bukti-bukti sejarah yang bisa
digunakan untuk bahan kajian oleh para ahli. Ketiadaan benda-benda
pur­bakala yang bisa dikaji ini dikarenakan dua hal; pertama, secara alami
masyarakat Arab di jazirah hidup secara nomaden dan dipenuhi dengan
peperangan untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya dari pen­
dudukan komunitas lain. Mereka juga tidak mengenal tulis-menulis3.
Kedua, semangat Islam yang memerangi bentuk-bentuk penyekutuan dan
penyembahan terhadap benda-benda kuno yang dalam Islam di­anggap
menyimpang4. Penyembahan terhadap berhala dan benda-benda yang
dianggap memiliki kekuatan (animism) sebelum datangnya Islam dianggap
akan membahayakan keyakinan warga muslim. Semangat mono­teis­me
Islam kemudian menggantikan bentuk-bentuk penyem­bahan masya­
rakat pra-Islam.
Bahasa Arab termasuk salah satu dari bahasa Semit di samping
bahasa Suryani, dan Ibrani5. Bahasa Arab menyimpan sejarah6, baik dari
Masa pertengahan diawali pada masa jatuhnya Romawi pada 476 M hingga
runtuhnya kerajaan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Lihat Syauqy Abu Khalil, Fî
Târikh Al-Islamiy, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1991)h.7
3
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam,terj. (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000),
cet-4, h.28
4
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, h.21.
5
Lihat Jurjiy Zaidan, Al-Falsafah Al-Lughawiyyah Wa Alfâz Al-‘Arabiyyah, (Kairo:
Dar Al-hilal, 1886), h. 48. Secara genetis, bahasa Arab masuk dalam rumpun bahasa
Hamito-Semit, di samping sepuluh rumpun yang lain. Yang termasuk rumpun hamito
adalah bahasa Koptik, Berber, Kushid, dan Chad. Sedangkan rumpun Semit-nya
adalah bahasa Arab, Etiopik, Ibrani. Lihat Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2003), cet. Ke-2, h.75. Konstruksi atas eksistensi bangsa Arab teramati
di antaranya oleh penggunaan bahasa Arab, yaitu bahasa yang sekilas menggunakan
kosakata yang sama namun bias berubah-ubah fungsi dan penggunaannya. Konstruksi
ini jika mengikuti Ferdinand de Saussure, dalam Alan Bernard, History And Theory Of
Antropology, (UK: Cambridge University Press, 2004), h. 121.
6
Ada beberapa teori mengenai sejarah berbahasa manusia, pertama yang
2
38
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
asal-usul bahasa lisan maupun tulisannya7. Dari sisi tulisan, menurut
Hisyam Kalbiy, bahwa orang yang pertama kali menuliskan huruf Arab
adalah sebuah komunitas dari kaum ‘Adnan bin ‘Ad yang berjumlah enam
orang yang bernama Abu Jâd, Hâwaz, Hatha, Kalmun, Sha’fadh, dan
Qarîsat. Enam kata dari nama orang ini yang nampaknya kelak dikenal
sebagai huruf Arab di kemudian hari. Sementara Ka’ab berpendapat
bahwa orang yang pertama kali menulis bahasa Arab dan Persia adalah
Nabi Adam. Ibn Abbas berpendapat bahwa yang pertama kali menulis
dalam bahasa Arab adalah tiga orang dari suku Anbar, yang bernama
Marâmar bin Marrah, Aslam bin Sadrah dan ‘Amir bin Jadrah. Tidak
di­jelaskan dari mana suku Anbar tersebut berasal8.
Ibn Nadim mengutip pendapat beberapa pakar ahli bahasa, di
antaranya Muhammad Ibnu Ishaq, yang mengatakan bahwa bahasa Arab
berasal dari keluarga Nabi Isma’il yang menikahi keluarga Jurham9 hingga
menghasilkan keturunan yang banyak di daerah komunitas ‘Adnaniyyah10.
Sementara nama ‘Arab sendiri konon berasal dari perkataan Nabi Ibrahim
menjelaskan bahwa bahasa merupakan produk satu paket dengan penciptaan manusia
ketika pertama kali diciptakan. Teori yang kedua menjelaskan bahwa bahasa muncul
sebagai akibat dari apa yang didengarkan kemudian ditirukan oleh lidah. Dan yang
ketiga adalah bahasa yang muncul sebagai akibat kebutuhan akan pengungkapan
sesuatu dari manusia terhadap orang lain. Lihat Jalaludin al-Suyuthi, al-Muzhir fî ‘ulum
al-Lughah , (Kairo: Shâhib al-Maktabah al-Azhariyyah, tt). h. 5-7. Sementara ada
mencatat ada lima teori sebagaimana al-Suyuthi dengan manambahkan dua teori,
yaitu Abullah Jâd Al-Karim pendapat yang mengatakan bahwa bahasa muncul karena
terdengarnya suara dari sesuatu hingga menusia menirukan sesuatu tersebut dan teori
fitrah, yaitu bahwa bahasa merupakan fitrah manusia sejak lahir. Lihat Abullah Jâd
al-Karim, al-Dars al-Nahwi Fî al-Qarn al-‘Isyrîn, (Kairo: Maktabah Al-Adab, 2004), h.
18-20. Teori fitrah ini nampaknya mempengaruhi pandangan multiple intelegensi di mana
salah satu kecerdasan bawaan manusia adalah kecerdasan bahasa.
7
Ibn Nadim menjelaskan beberapa teori mengenai asal-usul tulisan Arab, lihat Ibn
Nadim, Fihris, (Teheran: 1971), h. 3-5
8
Lihat Ibn Nadim, Fihrits, h.7. Llihat juga Abu Bakar Muhammad Al-Shûliy, Adab
al-Kuttâb, (Kairo: al-Salafiyyah, 1922), h. 29.
9
Sementara Jurham dianggap paling awal menggunakan bahasa di Arab. Lihat AlNadim, Fihrisat, h.8.
10
Suku ‘Adnan sendiri terletak dibentangan daerah Makkah dan sekitarnya.
Termasuk juga daerah Tihamah dan Hijaz. Lihat Muhammad Khudhariy, Muhâdharat
Târikh al-Umam al-Islamiyyah, (Beritu: Dar Al-Ma’rifah, 1996), jilid I, h. 17.
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
39
kepada Nabi Isma’il (putranya) dengan kata-kata: “‫’ء‬rib lah11. Kelak dalam
perkembangan selanjutnya, Bani Adnan ini berkembang pesat hingga
wilayah Mekkah tidak lagi mencukupi untuk tempat tinggal mereka.
Banyak dari mereka yang kemudian bermigrasi ke daerah lain untuk
ber­tempat tinggal dan membentuk koloni baru.12 Dari koloni-koloni ini
kemudian membentuk kabilah-kabilah baru dengan gaya bahasa (lahjah/
dialek) yang berbeda-beda.
Sementara menurut Muhammad Khudhariy, bahasa Arab awal
konon berasal dari pertumbuhan dan perkembangan awal pada masa
Nabi Isma’il. Ia yang berasal dari bangsa Ibrani (‘Ibraniyyah) tinggal di
daerah Makkah, dan bahasa Arabnya didapatkan dari pergaulan seharihari dengan orang-orang di Makkah. Bahasa Arab Hijaz dan ‘Adnan di­
identifikasi berasal dari keturunan Bani Isma’il ini13. Dari sejarah ini
kemudian, kelak dialek-dialek di daerah ini termasuk menjadi dialek yang
asli bagi standardisasi bahasa Arab.
Pada perkembangan selanjutnya, orang Arab mengidentifikasi diri
mereka dengan melihat bahasa yang digunakan. Istilah Arab sendiri
berarti selain berasal dari kata yang berpindah-pindah, adalah orang yang
jelas dan fasih bicaranya. Ini kemudian diperlawankan dengan istilah
orang asing bagi orang Arab. Kalau bangsa Romawi menyebut bangsa
di luar mereka dengan istilah Barbar (orang asing), maka orang Arab
me­­nyebut orang lain dengan istilah ‘Ajam, yang berarti sebagai orang
yang tidak jelas dan fasih bahasanya. Istilah ini sekaligus menunjuk­
kan sifat superioritas bangsa Arab atas orang lain di luar mereka. Sikap
superioritas ini dalam beberapa kasus ditunjukkan dengan tidak mau me­
nikahi atau dinikahkan dengan bangsa lain di luar bangsa Arab14. Bahkan
lebih sinis lagi dinyatakan bahwa istilah ‘ajam diartikan sebagai binatang,
Ibn Nadim, Fihris, h.8.
Syaikh Muhammad Khudhariy, Muhâdharât Târikh al-Umam al-Islamiyyah; alDawlah al-Umawiyyah, h.18.
13
Syaikh Muhammad Khudhariy, Muhâdharât Târikh al-Umam al-Islamiyyah; alDawlah al-Umawiyyah, h.45.
14
Lihat Khalil Abdul Karim, Syariah; Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. (Yogyakarta:
LKiS, 2003), h. 47-48. Hal ini juga nampak pada masa Islam, ketika Salman Al-Farisi
yang bukan orang Arab ditolak lamarannya oleh Umar bin Khtathab.
11
12
40
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
bukan manusia yang dengan demikian kemudian diperlakukan layak­
nya binatang.
Kebanggaan yang tinggi bangsa Arab atas identitas inilah yang kelak
bisa menjadi modal bagi berkembang dan terjaganya bahasa Arab hingga
beberapa masa. Ini juga sekaligus dianggap sebagai pondasi yang kuat
bagi Islam ketika al-Qur’an sebagai kitab suci juga kemudian di­turun­kan
berbahasa Arab dan dijaga oleh para pemeluknya yang me­yakininya.
Ada tiga istilah yang sering muncul dalam ranah kodifikasi bahasa
Arab, yaitu pembakuan, kodifikasi dan standardisasi. Asmah Haji Omar
mencatat bahwa ketiganya bisa bermakna sama. Khusus untuk dua kata
terakhir, yaitu kodifikasi dan standardisasi, ada proses yang runtut, di
mana kodifikasi muncul lebih dulu daripada standardisasi. Kodifikasi
lebih kepada proses setelah munculnya kesadaran tradisi menulis. Se­
dangkan standardisasi lebih bersifat alami oleh masya­rakat15. Dalam
konteks bahasa Arab ini, proses standardisasi dibahas lebih dahulu dari
kodifikasi, karena kenyataannya proses standardisasi terjadi lebih dahulu,
sedangkan kodifikasi dikenal kemudian setelah muncul para ahli bahasa
Arab.
Untuk memudahkan periodisasi kodifikasi nahwu, akan dimulai
dari standardisasi awal untuk mengetahui batasan pada adanya bahasa
yang benar dan bahasa yang salah (lahn/ solecism) pada masa sekitar Islam
awal. Kemudian dilanjutkan pada masa Nabi Muhammad yang mem­
bawa semangat keislaman dengan acuan otentisitas al-Qur’an, dan di­
teruskan pada masa al-khulafa’ al-Rasyidun, masa Muawiyyah hingga pada
masa Abasiyyah awal. Pada masing-masing masa dari pemerintahan
Umayyah dan Abbasiyah, akan terdiri dari beberapa tingkatan generasi
atau thabaqât.
B. MOTIVASI KODIFIKASI NAHWU
Kodifikasi bahasa mengacu pada standardisasi yang nantinya di­se­pa­kati
sebagai bahasa yang digunakan untuk kepentingan tertentu. Standardisasi
Asmah Haji Omar, PELBBA 11, (Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
UNIKA Atmajaya dan Kanisius, 1998), h.96.
15
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
41
bahasa Arab16 mengarah kepada banyaknya kesamaan penggunaan se­
buah kata atau kalimat yang jamak dipahami oleh masing-masing kabilah.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa standardisasi bahasa
merupakan hasil evolusi yang berkembang dalam komunitas peng­
gunaan bahasa17, sehingga ada proses ambil dan buang; bahasa yang
bisa diterima akan diambil dan dipakai sedangkan bahasa yang tidak
layak kemudian tidak terpakai dan akhirnya hilang. Proses inilah yang
dalam bahasa Arab melahirkan adanya bahasa fusha, yang membedakan
dengan bahasa ‘ammiyah. Bahasa Arab fusha adalah bahasa baku dalam
terminology saat ini, yaitu sebagai bahasa standard yang bisa dimengerti
oleh masing-masing bangsa dan sebagai bahasa yang banyak digunakan
dalam forum resmi, baik untuk bahasa lisan maupun tulisan18. Sedangkan
bahasa ‘ammiyah adalah bahasa percakapan sehari-hari antar suku yang
sama, yang dalam terminology saat ini bisa disebut sebagai dialek19.
Namun sebenarnya, ketika bahasa menjadi terkelompokkan dalam
ragam bahasa baku, maka bahasa tersebut secara linguistik telah menjadi
dialek tersendiri dan secara social memiliki kelas yang tinggi. Dalam hal
ini bahasa fusha menjadi baku karena bahasa ini dipakai oleh kelas cerdik
pandai, yang dibuktikan dalam keteraturan dan kemampuannya ber­
bahasa dengan baik20.
Dalam teori standard bahasa, maka yang dimaksud adalah bahasa yang memiliki
standard tinggi atau bermutu, dalam arti bahwa bahasa itu lebih dihargai sebagai bahasa
yang baik dan pantas ketika dibandingkan dengan bahasa lain. Penentuan ukuran
tinggi dan baik inilah kemudian yang menjadi proyek standardisasi bahasa. Ukuran
yang digunakan bisa bermacam-macam, misalnya bahasa baku yang diambil dari dialek
sosial, atau suku tertentu. Lihat Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, h. 27-28.
Lihat juga Anton M. Moeliono, Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1985), h.92.
17
Asmar Haji Omar, PELBBA 11, h. 99.
18
Ada beberapa tingkatan dalam standardisasi ini, yaitu qalil, dha’if, nazar dan Syadz.
Kesemuanya diindikasikan sebagai jarang dipakai. Adpun istilah qalil maka pema­
kaiannya lebih banyak dari dha’if, begitu pula dha’if masih lebih banyak dari nazar.
Begitu seterusnya. Lihat Muhammad Husain ‘Ali Yasin, Al-Dirâsât Al-Lughawiyyah ‘Inda
Al-‘Arab ilâ Nihâyat Al-Qarn Al-Tsâlits, (Beirut: Al-Maktabah Al-hayat, 1980), h. 33.
19
Ferdinand de Saussure membedakan tiga cluster dalam bahasa, yaitu langage (‫)اللغة‬,
langue( ‫) اللغة املعينة‬dan parole(‫)الكالم‬.
20
Lihat Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, h. 29. Sebagai contoh dalam
16
42
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Dalam konteks Arab, bahasa baku ini diambil dari kabilah yang
dianggap steril dari kontaminasi dengan budaya luar. Bahasa baku ini
bisa berasal dari berbagai kabilah yang berbeda-beda. Dalam membuat
standardisasi, para ulama awal mengumpulkan kata-kata yang banyak
dipakai oleh orang Arab, baik melalui transmisi oral maupun melalui
tulisan-tulisan yang berserak21. Adapun suku-suku yang dianggap bisa
digunakan untuk ukuran standard baku adalah Hijaz, Kinânah, Hudzail,
Ghathfân, Hawzân, Salim, Tha`i, Tamim, Asad, dan Qays22. Suku-suku ini
dianggap terletak di pusat jazirah Arab, sehingga dianggap steril dari
kon­taminasi budaya luar23. Berbeda dengan suku di daerah pinggiran
yang berbatasan langsung dengan budaya luar, seperti suku Rabi’ah,
Taghlab yang berdekatan dengan Iraq yang berbahasa Persia. Sedangkan
buku ini diterangkan bahwa bahasa baku di Jawa adalah bahasa yang banyak dipakai
oleh kalangan kraton, sebagai pusat kebudayaan.
21
Abdul Karim Muhammad As’ad, Al-Wasith fî târikh Al-Nahwiy Al-‘Arabiy, h.19
22
Dalam sejarahnya, kelompok di Arab dibagi menjadi dua, yaitu; Qahthâniyyahi
dan ‘Adnâniyyah. Orang-orang Qahthan adalah orang-orang Yaman yang dinasabkan
kepada Ya’rib (atau Ya’rab?) bin Qahthan. Sebagian keturunannya menyebar ke
wilayah timur dan selatan di jazirah Arab. Kemudian suku-suku ini menetap di daerah
Yamamah. Bahrain, Oman, dan Hijaz. Sebagian menetap di Iraq dan Syria (Syam) .
Nama-nama suku yang berasal dari Qahthan ini adalah Humair, Ghassan, Lakhm,
Azad, Kindah, dan Thaiy.
Adapun kelompok ‘Adnan berasal dari Arab Utara, di daerah Tihamah, Najd, dan
Hijaz. Nasab mereka berasal dari ‘Adnan. Suku-suku ini bernama Anmar, Mudhar,
Rubay’ah, dan Iyad. Dari suku Mudhar ini lahir pula suku Kinanah dan kelompok
kecilnya (ras) bernama Quraisy. Suku lain dari ‘Adnan adalah Tamim, Qays, Asad,
Hudzail, Dhabbah dan Mazinah. Lihat Abdul Karim Muhammad Al-As’ad, Al-Washît
fî Târikh al-Nahwy,(Riyadh: Dar Al-Syawaf, 1996), h. 20.
23
Kemudian pada masa Nabi Muhammad, suku yan dianggap sebagai paling fashih
adalah Quraisy. Suku Quraisy bukanlah suku yang menyendiri dari kabilah-kabilah
yang diterangkan di atas, ia merupakan suku yan mendiami tempat kabilah-kabilah
yang fashih bahasanya. Ditambah dengan keterangan bahwa Nabi Muhammad berasal
dari suku Quraisy yang konon termasuk fasih, membuat legitimasi Quraisy sebagai
yang paling fashih menjadi kuta. Hal ini antara lain karena factor; pertama, adanya
bangunan Ka’bah yang dari dahulu telah disucikan sejak sebelum kedatangan Islam.
Banyak kabilah yang menunaikan ibadah haji ke Ka’bah. Kedua, adanya pasar ‘Ukaz
sebagi tempat berkumpulnya para pujangga dari berbagai kabilah untuk memamerkan
karya-karya mereka. Ketiga, tingkat pergaulan antar kabilah yang begitu luas dari suku
Quraisy dengan suku lainnya dari berbagai pusat Jazirah. Lihat Abdullah Jâ Al-Karim,
Al-Dars al-Nahwi Fî al-Qarni al-‘Isyrîn, (Kairo: Maktabah Al-Adab, 2004), h. 40.
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
43
suku-suku yang berada di daerah Syria berbahasa Suryani dan Yunani.
Adapun suku-suku di daerah Yaman masih banyak yang berbahasa
Habsyi. Demikian pula yang wilayahnya makin keluar dari daerah ini.
Bahasa baku atau fusha menjadi bahasa yang dianggap bernilai
tinggi dan luhur, dan banyak digunakan sebagai bahasa sastra dan hikmah,
di antaranya sebagai bahasa-bahasa syair, pidato, puisi, dan sebagai­
nya dalam wilayah sastra24. Sedangkan bahasa percakapan sehari-hari,
baik untuk keperluan sekedar bercakap-cakap biasa maupun transaksitransaksi yang dianggap sebagai bahasa kaum awam atau ‘ammiyah
adalah bahasa rendah, untuk diperlawankan dengan bahasa tinggi ter­
sebut.
Selanjutnya, dalam terminologi yang lain, dari kata fusha ini muncul
istilah fashahah, yang berarti penggunaan bahasa yang mudah di­pahami,
tidak mengandung kata-kata asing, dengan susunan kata yang jelas,
runtut, sesuai aturan, dan mudah diucapkan25. Dengan demikian bahasa
yang fashih adalah bahasa yang tidak mengandung pengertian ganda, ber­
cabang dan sulit dimengerti.
Mengutip Syaikh Bahauddin, secara garis besar Jalaludin Al-Suyuthi
menjelaskan fenomena dalam penggunaan bahasa Arab, yaitu; pertama,
bahasa yang banyak dipakai oleh para sastrawan. Kedua, bahasa yang
jarang dipakai. Ketiga, kata-kata yang ada secara leksikografis dalam
bahasa Arab tetapi jarang digunakan oleh banyak orang. Keempat, katakata yang sering diucapkan banyak orang, tetapi menyalahi makna
semestinya. Dalam bahasa saat ini mungkin semacam bahasa slang. Dalam
kaitannya dengan batasan fusha, hanya yang pertama dan ketiga sajalah
yang bisa dianggap fusha.
Setelah adanya standardisasi ini maka muncul istilah lahn, yaitu
sikap berbahasa yang salah dan tidak sesuai dengan standard baku yang
disepakati. Istilah ini tidak ditemukan pada masa sebelum kadatangan
Islam atau bahkan sebelum kodifikasi26. Pada masa sebelum kodifikasi
Muhammad Husain ‘Ali Yasin, al-Dirâsât al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab ilâ Nihâyat
al-Qarn al-Tsâlits,... h. 31-34.
25
Jalaludin al-Suyuti, al-muzhir fî ‘Ulum al-Lughah, j. 1, h. 112.
26
Lihat George Makdisi, Cita Humanisme Islam, terj. H. 194
24
44
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
yang ada hanyalah istilah bahwa bahasa yang digunakan seseorang itu
masih asing atau sulit dimengerti. Dalam hal ini nampaknya hanya
istilahnya saja yang berbeda, namun perlakuan terhadap kesalahan ter­
sebut sudah muncul sejak awal27.
Dengan demikian, aturan awal dalam penggunaan bahasa baik
untuk keperluan yang resmi maupun transaksional keseharian sudah ada,
namun belum distandardkan dalam bentuk aturan baku sebagaimana
yang kelak terjadi dalam pembakuan bahasa Arab. Aturan baku bisa
bersifat peraturan lisan maupun tulisan. Aturan lisan lebih bersifat aturan
dari para pejabat ketika menegur atau menyikapi kesalahan yang terjadi.
Sedangkan aturan tertulis lebih nampak dalam kodifikasi sesudahnya.
Pertumbuhan dan perkembangan nahwu berlangsung dalam be­
berapa tahap sesuai dengan munculnya beberapa persoalan mengenai
bahasa Arab itu sendiri28. Sedangkan media yang ada adalah transmisi
secara oral, karena belum ada tradisi penulisan secara umum29. Pewarisan
secara oral ini membawa model tersendiri dalam transmisi keilmuan
bahasa kepada generasi-generasi sesudahnya, misalnya tradisi menghafal
yang begitu kuat bagi orang Arab. Berbeda dengan tradisi tulisan yang
kemudian mendasarkan pada apa yang tertulis.
Motivasi awal lahirnya nahwu, menurut Syauqi Dhaif secara garis
besar ada dua hal, yaitu motif agama dan non-agama. Motif agama
adalah motif yang mendorong kodifikasi nahwu untuk kepentingan
men­jaga orisinalitas kitab suci al-Qur’an, baik dari sisi tulisan maupun
bacaannya30. Hal ini didasari oleh adanya kesalahan-kesalahan dalam
bacaan al-Qur’an yang mulai tersebar, baik di kalangan orang Arab
sendiri maupun orang non-Arab. Sedangkan motif di luar agama adalah
motif yang mendorong agar orang Arab sendiri dan orang non-Arab
Muhammad Husain ‘Ali Yasin, Al-Dirâsât Al-Lughawiyyah ‘Inda Al-‘Arab ilâ Nihâyat
Al-Qarn Al-Tsâlits, h. 34-35
28
Lihat Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), cet.
Pertama, h. 23.
29
Abdul Karim Muhammad Al-As’ad, Al-Washît fî Târikh al-Nahwy, h. 17.
30
Clive Hole menyebutnya sebagai fenomena bahasa yang abadi sepanjang zaman.
Lihat Clive Hole, Modern Arabic; Structure, Functions, and Varieties, (London: Longman,
1995), h. 4.
27
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
45
bisa berbahasa Arab dengan aturan yang benar sesuai kesepakatankesepakatan ahli bahasa waktu itu. Hal ini didasari oleh berkembang­
nya kesalahan berbahasa, baik oleh orang Arab sendiri maupun orang
non-Arab31. Orang non-Arab yang dimaksud adalah masyarakat daerahdaerah taklukan yang mulanya tidak berbahasa Arab.
Faktor non-agama ada dalam berbagai bentuknya, seperti faktor
politik, sosial dan ekonomi. Faktor politik didorong oleh kebijakan
penguasa yang menggunakan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai
bahasa nasional yang menyatukan berbagai bahasa yang ada setelah pe­
naklukan (lingua franca). Ira M Lapidus mencatat bahwa kltur bahasa Arab
merupakan produk dari tiga hal, yaitu produk masyarakat intelektual
perkotaan, produk kesukuan bangsa Arab dan produk penguasa yang
dalam hal ini adalah istana32. Faktor ini cukup domianan mengingat
peran penguasa sangat dominan dalam perpolitikan yang penuh gejolak
waktu itu. Sedangkan faktor sosial adalah adanya kenyataan bahwa
bahasa Arab menjadi bahasa tinggi yang banyak dipelajari dan digunakan
oleh kaum intelektual. Hingga anak-anak khalifah sendiri harus mem­
pelajari langsung dari pengguna yang masih asli, yaitu komunitas (kaum)
yang sering disebut kaum badiyah. Selain itu, masyarakat Arab sendiri
sangat menjunjung ketinggian dan membanggakan bahasa Arab atas
bahasa yang lain. Sifat superioritas atas bahasa Arab ini mengkondisi­kan
masyarakat untuk terus-menerus menjaga bahasa Arab dari pengaruh
luar, maupun kekhawatiran tergesernya bahasa Arab oleh bahasa lain33,
selain rusaknya bahasa Arab itu sendiri.
Faktor ekonomi bisa dirunut dari kebisaaan masyarakat Arab dan
sekitarnya dalam menjalankan perekonomian pada saat mereka meng­
adakan perjalanan ke Mekkah, baik saat musim haji maupun hanya
se­kedar berdagang dalam kesehariannya34. Kota Makkah dahulu juga
dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan jauh sebelum Islam datang
dengan Ka’bah sebagai sentralnya, sehingga bisa dimaklumi bahwa
Syawqy Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah,(Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1968), cet.ke-3.h.11.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 138-139.
33
Syauqy Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah, h. 12.
34
Cerita ini diabadikan dalam QS. 16.
31
32
46
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Makkah menjadi salah satu pusat bertemunya berbagai macam bangsa
yang ada di sekitar Makkah35. Bahkan masyarakat dari Yaman dan negeri
Syam banyak yang berkunjung ke negeri Makkah, begitu pula sebalik­
nya.
Akibat dari penaklukan daerah baru juga membawa konsekuensi
lain, yaitu dengan bercampurnya orang-orang Arab dengan daerah
taklukan, maka mendorong juga agar kepentingan ekonomi tetap ber­
langsung. Masyarakat taklukan mau tidak mau harus bisa berkomuni­
kasi dengan pendatang, begitu juga sebaliknya, sementara para pendatang
sangat menjaga komunikasi dengan mereka dengan tetap mengguna­
kan bahasa asal yang mereka bawa. Dengan demikian transaksi bisa
terus berjalan sambil berlahan-lahan para penduduk asli juga belajar
bahasa Arab.
Kalau dilihat, hal ini nampaknya saling berkait antara faktor agama
dan non-agama. Tingkat kebanggaan masyarakat Arab dalam berbahasa
Arab nampaknya juga didorong oleh kenyataan bahwa bahasa Arab juga
digunakan dalam kitab suci Islam36. Hal ini menimbulkan perasaan su­
perioritas bahasa Arab atas bahasa daerah taklukannya.
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya bahwa hal yang mendasari
dari dirumuskannya ilmu nahwu adalah terjadinya kesalahan berbahasa
Arab (lahn)37, yang teridentifikasi menjadi empat hal, yaitu; pertama,
lahn dalam tataran lafal atau kata, seperti kesalahan dalam hal I’rab atau
penentuan huruf akhir dari setiap kata dalam kalimat. Kedua, lahn dalam
tataran frekuensi mematikan (sakinah) huruf akhir sebagai akibat dari
penggunaan bahasa lisan terhadap bahasa baku. Ketiga, lahn dalam hal
Di semenanjung Arab sendiri konon terdapat 21 bangunan Ka’bah, namun
hanya Ka’bah yang terdapat di Makkah saja yang menjadi pusat peribadatan. Lihat khalil
Abdul Karim, Syariah; Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 5-6.
36
Abdullah Jâd AL-Karim, al-Dars al-Nahwi Fî al-Qarn al-‘Isyrîn, h. 23. Lihat juga
‘Abduh Rajihi, Fiqh al-Lugah Fî al-Kutub al-‘Arabiyyah,(Beirut:Dar Al-Ma’rifat, 1998), h.
100-101. Kenyataan ini juga diyakini setelah ada pernyataan tegas dalam kitab suci alQur’an mengenai bahasa Arab ini dalam beberapa ayat.
37
Abduh Rajihi, al-Nahwu al-Arabiy Wa al-Dars al-Hadits,(Beirut: Dar Al-Nahdhah,
1986), h. 10. Lihat juga Thalal ‘Allamah, Tathawwur al-Nahwiy al-‘Araby Fî Madrasay alBashrah wa al-Kufah,(Beirut: Dar al Fikr al Lubnany, 1993), h.29.
35
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
47
keseringan menyingkat perkataan dalam bahasa baku. Dan keempat
adalah karena banyaknya istilah asing yng sulit dimengerti oleh orang
Arab sendiri. Untuk membahas lebih jauh, akan kami tuliskan kronologi
persebaran bahasa Arab semenjak Nabi Muhammad di Arab hingga masa
bani Abbasiyyah awal di Persia sampai terkodifikasikan38.
Pada masa sebelum Islam datang, persoalan mengenai aturan ber­
bahasa tidak begitu menonjol, terutama dalam aturan tertulis, karena
masing-maing kabilah dari orang Arab tidak terikat oleh konsekuensi
tertentu ketika mereka salah dalam berbahasa kecuali tidak dimengertinya
bahasa yang dianggap asing sebagaimana penjelasan di atas. Masyarakat
Arab waktu itu, berbahasa dengan watak dasar orang Arab sendiri se­
cara alami (natural/ salîqah)39. Mereka tidak membutuhkan aturan yang
mengikat secara tertulis sebagaimana masa-masa sesudahnya. Paling jauh
adalah penilaian secara etis dan estetis terhadap sebuah karya sastra yang
dipamerkan dalam festival. Pengertian etis dan estetis hanya berkaitan
dengan layak dan tidaknya sebuah karya dimasukkan dalam kategori
sebagai karya yang baik. Dari sini maka masa yang diambil adalah masa
ketika Islam datang dengan kitab suci al-Qur’an-nya sebagai icon-nya.
Al-Qur’an kelak dianggap menjadi pengikat dan patokan dalam kajian
dan penilaian terhadap bahasa40.
Metodologi ini mengambil modelnya Abdul Karim Muhammad Al-As’ad dalam
Al-Washît fî Târikh al-Nahwy, h.17. Sebenarnya penelususran mengenai bahasa Arab
awal banyak yang merujuk kepada sastra jahili sebagai penelusuran paling jauh, yaitu
pada 2 abad sebelum Islam. Namun dalam tulisan ini diawali dari Nabi Muhammad
saja. Di samping karena hal itu, pada masa jahiliyah belum ditemukan istilah lahn
sebagai kesalahan berbahasa, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
39
Muhammad Al-Thanthawi, Nasy`at Al-Nahwiy, (Kairo: Dar Al Manar, tt), h. 9.
40
Umat Islam meyakini bahwa tidak akan ada yang bisa menandingi atau membuat
karya sebagaimana Al Qur’an. Hal ini dianggap sebagai bentuk mu’jizat (miracle) AlQur’an. Sebagian menganggap bahwa ketidakmampuan manusia membuat karya
semisal Al-Qur’an karena memang kemampuan manusia sudah dilemahkan oleh Tuhan
sehingga meskipun karya ini dibuat oleh tim yang terdiri dari orang pandai, maka tidak
akan pernah menyamainya. Paham inilah yang disebut sebagai paham yang percaya
adanya mu’jizat Al-Sharfah. Pandangan dari paham ini adalah, pertama, semangat untuk
membuat karya semisal Al-Qur’an sudah dilemahkan, dan kedua, bahwa kemampuan
manusia sudah dipalingkan, sebagaimana makna al-Sharfah itu sendiri. Lihat Quraish
Shihab dalam Majalah Mata Air, edisi 25 Tahun 2009, h. 11.
38
48
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Sementara itu kodifikasi nahwu bisa dirunut pada masa Nabi
Muhammad. Ini disampaikan untuk merunut kembali metode dan
jalur transmisi bahasa Arab hingga keluar wilayah Arab, mengingat
pe­
naklukan wilayah keluar wilayah Arab bertonggak dari semangat
misi penyebaran agama Islam. Pada masa menjelang akhir hayat Nabi
Muhammad, pengaruh Islam telah meluas tidak saja di Madinah dan
Mekkah. Masa Nabi Muhammad diambil sebagai titik awal untuk mem­
batasi periodesasi dengan masa sebelumnya hingga masa sesudah Nabi.
Hal ini dipandang sinkron dengan penulisan sejarah Arab sendiri yang
banyak mengambil titik dari Nabi Muhammad sebagai penanda pe­
misahan41, baik pemisah dengan sebelum maupun sesudahnya.
Sebelum Nabi lahir, di jazirah Arab telah berlangsung tradisi unik
mengenai sastra, yaitu ketika diadakannya festival sastra setiap tahun di
dekat Ka’bah yang bernama pasar ‘Ukaz. Bagi pemenangnya, yaitu yang
sastranya mendapat apresiasi karena keindahannya, maka mendapat
kehormatan untuk ditempel di dinding Ka’bah. Sastra yang tertempel
inilah yang disebut dengan al-Sab’at al-mu’allaqât . Sastra pada masa
sebelum Islam telah berkembang sebagai tradisi yang luhur bagi kabilahkabilah yang ada di Arab terutama kalangan Badui sebagai sentralnya.
Sastra jahili berisi mengenai epik, hikmah dan ajaran-ajaran akhlak42.
Salah satu ukuran keindahan bahasa waktu itu adalah manakala bahasa
yang digunakan bisa dipahami oleh semua kabilah dan mengandung isi
Tidak seperti sejarah Yunani dan Mesir ataupun China, sejarah Arab tidak banyak
ditulis sebelum Islam datang. Kalupun kemudian ditulis nampaknya hanya untuk
melengkapi latar belakang budaya yang telah berkembang. Sementara peradabannya
tidak banyak dikenal sebelum Islam datang, bahkan bisa dikatakan sangat diabaikan.
Setidaknya ada lima model periodesasi, yaitu; 1) periodesasi dengan tonggak pada
system politik, 2). Tingkat kemajuan ekonomi, 3).tingkat kemajuan peradaban, 4).
tingkat kemajuan kebudayaan, dan 5). masuk dan berkembangnya sebuah agam. Lihat
Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dan Islam, (Yogyakarta: Ar Ruz, 2002), h..40-41.
42
Lihat Muhammad Husain, al-Dirâsât al-Lughawiyyah ‘inda al-Arab ilâ Nihâyat alQarn al-Tsâlits, h.30. Sastra telah berkembang layaknya essay pada masa sekarang yang
menggambarkan, baik keindahan alam maupun pemujaan terhadap benda atau orang
lain. Selain itu sastra juga berkembang menjadi kritik terhadap sastra yang lain. Lihat
dalam Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab; Pengantar Teori dan Terapan,(Yogyakarta: AlRuz Media, 2006), h. 39-55.
41
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
49
yang berbobot. Kelak bahasa model inilah yang disebut dengan bahasa
fusha (bahasa baku)43.
Pada masa Nabi Muhammad, bahasa Arab mendapat “kehormatan”
sebagai bahasa kitab suci al-Qur’an. Al-Qur’an diyakini sebagai kitab
suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah melalui perantara malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad, yang hingga kini masih dibaca oleh
umat Islam. Banyak pakar yang kemudian merumuskan berbagai disiplin
ilmu berbasis al-Qur’an, seperti ilmu penulisan bahasa Arab, ilmu cara
baca (qiraah), penghafalan kitab suci (tahfidz), ulum al-Qur’an (metode
pe­mahaman al-Qur’an untuk tujuan pengertian makna, struktur dan
pengambilan hukum) hingga tafsir terhadapnya44.
Al-Qur’an juga menandai peradaban baru yang membedakan
per­
adaban sebelumnya. Philip K. Hitti menyebut dengan tahapan
model ungkapan seni dan sastra, yaitu bahwa di kalangan orang-orang
Yunani digunakan seni patung dan arsitektur, orang-orang Arab meng­
ungkapkannya dalam bentuk syair (Qasidah) dan orang-orang Ibrani
dalam bentuk lagu-lagu. Syair atau puisi memiliki akar yang sangat kuat
dalam literatur Arab kuno, yang berisi cerita dan ekspresi kehidupan
masyarakat Arab pada zaman dahulu45.
Kemudian Nasr Hamid Abu Zayd juga menyebut Islam dengan
peradaban teks46. Peradaban yang menjadikan teks kitab suci menjadi
Bahasa baku atau fusha adalah satu bahasa yang paling banyak digunakan, dalam
arti banyak kesamaan di antara para kabilah di Arab. lihat Jalaludin al-Suyuthi, al-muzhir
fî ‘Ulum al-Lughah, j. 1, h. 112.
44
Kelak dari tafsir ini lahir bebebrapa sub disiplin ilmu terutama menyangkut
rumusan hukum agama Islam. Lihat ‘Abduh Al-Rajihi, Fiqh Al-Lughah Fî Al-kutub Al‘Arabbiyyah,(Beirut: Dar Al-Ma’rifat Al-Jami’ah,1998), h. 33.
45
Lihat Pierre Cachia, Arabic Literature; an Overview, (London: Routledge, 2002),
h.17. lihat juga Roger Allen, An Introduction to Arabic Literature,(USA: Cambridge
University Press, 2000), h. 66.
46
Nasr hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik Terhadap Ulum Al-Qur’an,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 1. Nasr Hamid juga dikenal dengan kajian al-Qur’an yang
menempatkan ayat-ayatnya sebagai “Teks” yang menurutnya lebih bisa dikaji secara
structural dari aspek linguistiknya. Beberapa bangunan monumental dalam sejarah
umat manusia lebih banyak berbasiskan kepada keyakinan agama. Hal ini menandakan
bahwa peran agama sangat besar dalam menentukan perubahan peradaban. Lihat
Komarudin Hidayat dalam Jurnal Al-Jami’ah, Ketika Agama Menyejarah, (Yogyakarta:
43
50
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
sentral dari peradaban yang dikembangkan. Hingga muncul sebutansebutan bahwa tradisi Islam adalah tradisi hukum dan mistik sekaligus,
yang semua berpusat pada penerjemahan makna al-Qur’an47.
Nabi Muhammad sendiri diidentifikasi sebagai orang yang lahir di
tengah-tengah masyarakat yang memakai bahasa Arab secara konsisten
dan relatif belum bercampur dengan bangsa lain, yaitu sebagaimana
pengakuannya sendiri dari ras Quraisy, dengan kelompoknya Bani Sa’d
bin Bakr48. Artinya masyarakat tempat hidup Nabi Muhammad belum
terkontaminasi oleh bahasa asing. Sehingga bisa dikatakan beliau hidup di
tengah-tengah masyarakat asli pengguna bahasa Arab murni (badiyah).
Lahirnya kesadaran untuk menjaga al-Qur’an yang diyakini men­
dapat jaminan dari Allah, bahwa Dia sendiri yang akan menjaga alQur’an49, bisa jadi termanifestasikan dalam gerakan-gerakan keilmuan
yang menjadikan al-Qur’an sebagai kajian utamanya. Hanya dengan
meng­
kajinya dan membuat batasan-batasan inilah kemudian keter­
jagaan al-Qur’an itu dianggap akan berhasil. Pendefinisian terhadap ke­
tentuan-ketentuan bahasa, sejak munculnya al-Qur’an menjadi urgen
setelah sekian lama berjalannya tradisi oral. Dari oral ke tradisi literal
inilah signifikansi kajian bahasa menjadi sangat penting50.
Munculnya pembacaan-pembacaan yang berbeda antar kabilah
pada masa Nabi masih ditolelir selama belum menyimpang dan mem­
belokkan maknanya51. Penyimpangan dan pembelokan makna sebagai
IAIN Sunan Kalijaga, Vol. 40, No. 1, 2002), h. 101. Namun bisa jadi apa yang terjadi
pada masa modern ini sudah agak berbeda, di mana peran teknologi lambat laun
seakan merubah peran agama.
47
Mengutip Ziaudin Sardar, Ihsan Ali-Fauzi menyebutkan ada lima konsep dasar
Islam mengenai tradisi ilmu ini, yaitu; ‘adl (Keadilan), ‘ilm (ilmu pengetahuan), ‘ibadah
(Ibadah), waqf (wakaf), dan amanah (amanat).lihat dalam Jurnal Khazanah, vol. II, No.
12, Desember 1194. dari lima hal tersebut kemudian peradaban Islam disebut sebagai
peradaban buku.
48
Dalam sebuah hadits dijelaskan dengan redaksi: “Aku adalah sefasih-fasih orang
Arab, (karena) aku dari Quraisy, dan tumbuh di tengah-tengah Bani Sa’d bin Bakar”
49
QS. Al-hijr; 9.
50
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, (Jakarta: ICIP, 2004), h. 279.
51
Perbedaan bacaan sangat dimungkinkan karena adanya dialek-dialek yang
berbeda antar kabilah. Hal ini dalam suatu bahasa bisa terjadi karena berbagai factor,
seperti factor geografi ataupun kelompok. Sumarsono menyebut dengan perbedaan
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
51
akibat dari bacaan atau ucapan yang salah yang sering disebut lahn sudah
muncul sejak jaman Nabi Muhammad. Beliau dalam satu riwayat sering
mengingatkan agar jika mendengar bacaan yang salah terhadap al-Qur’an
untuk segera membetulkannya52. Tujuan dari ini adalah untuk menjaga
autentisitas al-Qur’an itu sendiri, karena ketika bacaan salah dalam hal
I’rab maka dianggap akan mengubah makna yang terkandung. ‘Abduh
Rajihi menandaskan bahwa pertumbuhan ilmu nahwu pada awalnya,
dalam hal ini penjagaan terhadap otentisitas al-Qur’an senafas dengan
iklim yang berkembang waktu itu, yaitu iklim keilmuan Islam53. AlQur’an dan Hadits menjadi basis pengembangan ilmu-ilmu keislaman
awal yang oleh George Makdisi disebut sebagai lahirnya ilmu-ilmu
humaniora.54
Otentisitas al-Qur’an mendapatkan momentum terbaik berkat usahausaha para sahabat (companion) untuk menjaganya dalam bentuk meng­
hafal. Orang Arab dikenal dengan hafalannya yang kuat, dan belum ada
tradisi tulis-menulis. Hal ini nampaknya saling berkait, karena dengan
hafalan mereka tidak terlalu mengandalkan apa yang tercatat dalam
tulisan. Selain tradisi hafalan, mereka juga memiliki tradisi penghargaan
yang tinggi terhadap sastra55.
Sedangkan pada masa Khulafa al-rasyidun penjagaan bahasa Arab
masih dalam rangka menjaga autentisitas al-Qur’an. Dalam sejarahnya,
geografis dan regional. Namun yang menjadi ciri khas dalam perbedaan dialek bisa anya
adalah bisa dimengertinya dialek lain oleh dialek tertentu, atau kesalingmengertian.Lihat
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Sabda, 2004), cet. Ke-2. h.22.
52
Lihat Ibn Jinni, al-Khashâish, (Kairo: Dar al-Kutun al-Mishriyyah, tt), h. 8. Lihat
juga Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Washît fî Târikh al-Nahwy,..h.23, juga dalam
‘Abduh al-Rajihi, Al-Nahwu al-‘Araby wa al-Dars al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Nahdhah
al-Arabiyyah, 1986),h.11
53 ‘
Abduh al-Rajihi, Al-Nahwu al-‘Araby wa Al-Dars al-Hadits. h.12
54
George A. Makdisi membagi ruang bagi perkembangan ilmu awal dalam
Islam menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu humaniora dan skolastik. Ilmu-ilmu humaniora
berpangkal pada usaha untuk melesatrikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an atau
peribadatan serta bahasa percakapan sehari-hari. Sedangkan ilmu-ilmu skolastik adalah
ilmu yang muncul sebagi akibat dari perdebatan mengenai produk dari ilmu bahasa
Arab, seperti ilmu kalam, fiqh dll. Lihat dalam George A. Makdisi, Cita Humanisme
Islam, h.18.
55
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 23.
52
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
masa ini ditandai dengan kodifikasi al-Qur’an56 menjadi satu kumpulan
tulisan dari berbagai media yang berserak. Masa kodifikasi al-Qur’an
awal dimulai dari Abu Bakar (w. 644 M)57 meskipun masih sebatas hanya
mengumpulkannya. Masa kodifikasi ini mencapai puncaknya pada masa
khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan (644-656 M) ketika kemudian dicapai ke­
sepakatan untuk diseragamkan58. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dari
para penulis al-Qur’an awal dan dari para penghafalnya.
Pada masa ini kesalahan pembacaan terhadap al-Qur’an juga makin
berkembang dengan meluasnya pengaruh Islam daripada sebelumnya59.
Meluasnya wilayah Islam ini membawa konsekuensi yang komplek dalam
hal bahasa, karena secara otomatis orang Islam yang kemudian ber­
mukim di daerah baru harus berinteraksi dengan penduduk setempat.
Sedangkan penduduk asli yang kemudian memeluk Islam juga berusaha
memahami isi al-Qur’an. Selain itu, penaklukan juga selalu diikuti dengan
menyebarnya bahasa Arab di daerah taklukan baru,60 kecuali daerahdaerah tertentu.
Pada masa Nabi Muhammad, pengajaran Al-Qur’an oleh beliau kepada masingmasing orang dengan dialeknya masing-masing, dari mana orang itu berasal. Lihat M.
M. Azami, Sejarah Al-Qur’an; Dari Wahyu sampai Kompilasi, terj.(Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), h.67.
57
Lihat Jalaludin Al-Suyuthi, Tâikh Al-Khulafâ`,(Kairo: Dar Al-Nahdhah, 1975),
h.126-127.Konon usaha ini atas permintaan ‘Umar Ibn Khaththab, karena dia lebih
mengetahui kondisi lapangan, yaitu ketika banyak penghafal Al-Qur’an yang makin
sedikit setelah terjadinya beberapa peperangan yang menewaskan para penghafal AlQur’an ini. lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 154.
58
‘Utsman meneruskan proyek ini setelah Abu Bakar dan ‘Umar, pendahulunya
belum berhasil mengkodifikasikannya. Setelah semua terkumpul, ia kemudian mem_
bakar media yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an yang dianggap sebagai bukan
standar. Sedangkan yang standar berjumlah 4 salinan, kemudian satu salinan disimpan
di Madinah sendiri dan yang tiga disebar ke Damaskus, Bashrah dan Kufah. Lihat
Shubhi Shâlih, Mabâhits fî ulûm Al-Qur’an, (Beirut: Dar al ‘ilmi li al Malayin, 1977), h.120.
59
Seperti diketahui, pada masa Utsman bin ‘Affan, kekhalifahan Islam telah
menaklukkan beberapa wilayah, di antaranya berturut-turut adalah Syuriah, Irak,
Persia, Mesir, Tripoli dan Barkah. Dari Mesir, kelak penaklukan dilanjutkan ke daerah
Cyprus. Ini terjadi antara tahun 633-642 M. lihat Sir John Glubb, The Life and Times Of
Muhammad, (Lanham: Madison Books, 1970), h. 365-367.
60
Hugh Kennedy, The Great Arab Conquest, terj.(Ciputat: Pustaka Alvabet, 2008),
h. 8.
56
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
53
Ada dua orang yang menonjol dalam sejarah kodifikasi nahwu masa
khulafa’ al-Rasyidun, yaitu ‘Umar bin Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Dalam sebuah cerita (riwayat) disampaikan bahwa ‘Umar bin Khtahthab
pernah memarahi seseorang yang salah dalam berbahasa61. Ia dengan
tegas menyatakan bahwa baginya kesalahan dalam memanah masih
lebih baik daripada salah dalam berbahasa. Dari ucapan inilah kemudian
banyak yang menyimpulkan bahwa ‘Umar termasuk peletak dasar ilmu
nahwu62. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib diceritakan memerintahkan
ke­pada seorang penulis yaitu Abu al-Aswad al-Duali (w. 69 H) untuk
menuliskan dasar-dasar dari sebuah kalimat, yang kelak kemudian di­
kembangkan oleh Abu al-Aswad. Sehingga berkembang pula pendapat
bahwa peletak dasar yang sebenarnya dari ilmu nahwu adalah ‘Ali bin
Abu Thalib63. Kemudian selanjutnya rumusan awal nahwu itu disem­
purnakan oleh Abu al-Aswad menjadi risalah kecil.
Dari kedua pendapat mengenai peletak dasar ilmu nahwu, nama
Ali lebih banyak disebut dalam sejarah sebagai peletak yang sebenarnya,
karena Ali juga merumuskannya dalam bentuk tulisan kepada Abu alAswad. Tulisan inilah yang kelak menjadi dasar bagi para pemerhati ilmu
nahwu dalam mengembangkan keilmuannya. Sebagaimana diketahui
bahwa selain merisaukan meluasnya kesalahan berbahasa, Ali meng­
atasinya dengan memberikan catatan ringkas kepada Abu al-Aswad.
Materi yang ditulis itu meliputi definisi kata (kalimat) serta beberapa teori
mengenai I’rab. Menurutnya, kata dibagi menjadi tiga; kata benda (ism),
kata kerja (fi’il), dan preposisi (kata depan).
Dengan demikian, dari kedua masa ini, yaitu masa Nabi Muhammad
dan masa Khulafa’ al Rasyidun, pusat dari pemeliharaan bahasa adalah
pada bagaimana menjaga otentisitas al-Qur’an64. Baru pada akhir-akhir
Ini kemungkinan karena pada masa ‘Umar kesalahan berbahasa makin meluas.
Lihat Sa’id al-Afghaniy, Fî al-Ushûl al-Nahwiy, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1987), h. 7.
62
Sebenarnya Abu Bakar juga bersikap sama ketika ia melihat seseorang di
masanya salam dalam berbahasa. Dalam satu riwayat diterangkan bahwa ia berkata:
‫ألن أقرأ فأسقط أحب إلي من أن أقرأ فأحلن‬. Lihat Sa’id al-Afghaniy, Fî al-Ushûl al-Nahwiy, h. 7.
63
Cerita ini bermula dari ‘Ali bin Abi Thalib yang mendengar ada orang berbicara
bahasa Arab tetapi apa yang ciucapkan tidak lazim atu menyalahi aturan umum.
64
Abduh Rajihi, Al-Nahwu Al-ArabiyWa Al-Dars Al-Hadits, h.10
61
54
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
setelah penaklukan, masalah menjadi lebih kompleks dari masa awal.
Selain itu, penamaan ilmu juga telah bergeser dari ilmu bahasa Arab
menjadi ilmu nahwu pada masa Abu al-Aswad.
C. PENGARUH FILSAFAT YUNANI PADA MASA SIBAWAIH
Masa Sibawaih yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masa hidup
para ulama’ nahwu sebelumnya hingga Sibawaih. Ia diambil sebagai
simpul pembatas untuk memudahkan melihat pengaruh filsafat yang
berkembang, karena ditengarai bahwa pengaruh pada masa ini belum
signifikan mempengaruhi kehidupan intelektual para ahli65. Pengga­
bungan ulama nahwu sebelum Sibawaih hingga masanya ini dimaksudkan
agar lebih praktis mengingat semua ulama nawhu awal hidup pada masa
pemerintahan khalifah Bani Umayah hingga awal dinasti Abbasiyyah.
Dinasti Bani Umayyah berkuasa selama sekitar + 89 tahun, 41 H- 132
H/ 661-750 M. Masa pemerintahan Umayyah dengan khalifah pertama­
nya Muawiyah bin Abu Sufyan (w. 60 H/ 680 M) adalah masa krusial
dari perumusan bahasa resmi dan sekaligus bahasa al-Qur’an itu sendiri.
Masa ini mengantarkan perkembangan awal ilmu-ilmu humaniora,
pengembangan dan pelestarian bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an.
Secara umum, masa ini juga menjadi masa yang sangat berat untuk
konsolidasi keilmuan, karena energinya habis untuk konsolidasi politik,
baik intern maupun ekstern66. Di daerah-daerah baru ini Islam berhadapan
dengan pusat-pusat ilmu pengetahuan yang telah mapan sebelumnya, dan
menjadi bagian dari peradaban dunia, seperti Jundisapur, Ruha, Harran,
Antioch dan Aleksandria. Di wilayah ini juga sebelumnya telah hidup
filosof besar seperti Plotinus, Thrax dsb.
Selain itu pemerintahan Umayah sendiri, karena alasan politik,
tidak memusatkan pemerintahan di jantung bahasa Arab akan tetapi
Lihat kembali bab II.
Philip K. Hitti, History of The Arab, h.300. setidaknya ada tiga factor yang
mempengaruhi masa kritis ini dari pengembangan keilmuan, yaitu; dekatnya dengan
masa jahiliah, banyaknya peperangan yang mereka lakukan, dan kondisi social ekonomi
yang belum stabil.
65
66
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
55
ke wilayah Damaskus (Dimasq)67. Damaskus termasuk wilayah Syria
yang bahasanya adalah bahasa Suryani68. Sebagaimana telah dijelaskan
pada Bab II, bahwa Syria sebelumnya telah menjadi salah satu pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dari Yunani, di samping Jundisyapur,
Persia, dan Aleksandria. Selama berabad-abad, Syria telah menjadi koloni
Kekaisaran Romawi Timur. Adapun suku-suku besar Arab yang ber­
migrasi ke daerah ini adalah Qudha’ah, Shalih, Ghasasinah, Judzam,
Lakhm, Kalb, Tanukh dan Bahra’.
Penaklukan daerah baru dalam berbagai kondisi memaksa pula
pemakaian kebudayaan penakluk terhadap yang ditaklukkan. Dalam hal
ini budaya Arab-Islam menjadi penting perannya dalam persebaran ke­
budayaan tersebut. Akan tetapi pada kasus ini, pemerintahan Islam awal
tidak serta merta memberangus apa yang telah berkembang selama hal
tersebut tidak menghalangi misi awal penyebaran Islam69. Bahkan Philip
K. Hitti mencatat bahwa justru penakluk dari Arab ini tidak mewaris­kan
apa-apa bagi daerah taklukan baru. Mereka justru menjadi murid yang
setia dan rakus ilmu bagi para cendekiawan yang berasal dari daerah
taklukan70.
Masa Muawiyyah, pada Bab II telah dijelaskan sebagian dalam
kiprah­nya menghidupkan ilmu pengetahuan, baik yang murni dari bangsa
Lihat Akbar S. Ahmed, Citra Islam; Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terj.(Jakarta:
Erlangga, 1990), h. 42-44. Muawiyyah sendiri dinobatkan sebagai khalifah di daerah Ilia
atau Yerussalem pada tahun 40 H/ 660 M. Damaskus menjadi Ibukota Negara setelah
sebelumnya menjadi Ibukota Provinsi di Syria dengan Muawiyyah sendiri sebagai
gubernurnya.
68
Syria waktu itu berbatasan dengan Laut Tengah, Tepi Barat sungai Eufrat,
Utara Hijaz dan Romawi Timur kuno. Untuk ukuran saat ini,Syria meliputi Syria sendiri,
Yordania, Lebanon dan Palestina. Lihat Rasul Ja’faran, Sejarah Islam terj.(Jakarta: Lentera,
2003), h. 40.
69
Dalam teori persebaran kebudayaan, penaklukan daerah baru merupakan kondisi
yang paling dominant terjadinya persebaran kebudayaan. Penerimaan kebudayaan baru
tidak mungkin bisa seratus persen. Pada gilirannya pasti ada penyaringan terhadap
kebudayaan baru tersebut, hingga pada seberapa porsi dari masing-masing kebudayaan
yang dominant, maka tergantung pula pada sejauhmana kekuatan pada masing-masing
kebudayaan tersebut dalam mempengaruhi satu sama lain. Lihat Harsojo, Pengantar
Antropologi, h. 162.
70
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, h. 300
67
56
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Arab maupun beberapa penerjemahan awal di Damaskus. Pemerintah­
an Muawiyah di Damaskus diuntungkan oleh telah tumbuh suburnya
pusat-pusat ilmu pengetahuan di sekitarnya yang masih terpelihara. Dari
sekolah-sekolah di pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan ter­
sebut kemudian masyarakat Islam di Damaskus mendapatkan perkenalan
awal mengenai kebudayaan klasik sebelum Islam71. Sementara pengkajian
terhadap bahasa Arab, sebagaimana keterangan sebelumnya, juga terus
berlangsung, bahkan bahasa Arab semakin mengalami internasionalisasi
setelah keluar dari kawasan bangsa Arab72. Masa ini sekaligus menandai
apa yang disebut oleh Akbar S. Ahmed sebagai kosmopolitanisme Islam
awal73. Kosmopolitanisme Islam awal dimungkinkan karena bertemunya
budaya Islam dengan budaya lain di luar Arab yang telah mengalami per­
adaban sebelumnya.
Kalau mengambil titik awal pengembangan ilmu bahasa Arab oleh
Abu al-Aswad al-Duali, maka Damaskus tidak memainkan peran yang
begitu penting. Bahkan Damaskus tidak direkomendasikan menjadi
pusat pembelajaran al-Qur’an karena di daerah ini bahasa Arab telah ter­
campur dengan bahasa Syiria, sehingga dianggap sudah tidak murni lagi74.
Abu al-Aswad hidup di Bashrah75 yang masuk wilayah propinsi Iraq sejak
masa pemerintahan ‘Umar pada 17 H/ 638 M.
Di Bashrah inilah pengkajian keilmuan mengenai Islam berkembang
pesat. Kota ini masuk wilayah Irak yang dalam sejarahnya sangat di_
pengaruhi oleh sejarah Iran (Persia) yang pada masa Islam menjadi salah
satu dari pusat pengembangan ilmu pengetahuan bersama dengan Hijaz
(Makkah dan Madinah), Kufah, Syria dan Mesir76. Pengkajian bahasa di
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h. 27.
Karim Zaki Husam Al-Din, Al-Lughah Wa Al-Tsaqâfah, (Kairo: Dâr Gharib,
2001), h.58.
73
Lihat Akbar S. Ahmed, Citra Islam; Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, h. 44.
74
Rasul Ja’faran, Sejarah Islam, h.40.
75
Bashrah ditaklukkan tentara muslim pada tahun 13 H bersama kota Ma’ab,
bersamaan dengan musim penaklukan Syria yang sepenuhnya takluk pada tahun 14 H.
lihat Rasul Ja’faran, Sejarah Islam, h. 46. Selanjutnya Bashrah menjadi pusat intelektual
bersama dengan kota Kufah pada masa Umayyah. Lihat Philip K. Hitti, History of The
Arabs, h.301.
76
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 1998), H. 78.
71
72
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
57
Bashrah ini berawal dari tulisan al-Qur’an yang tidak bertanda baca,
baik titik sebagai tanda identitas huruf maupun harakat sebagai tanda
bacanya masih belum ditemukan. Kemudian oleh Abu al-Aswad mulai
dilakukan penambahan tanda baca berupa titik untuk harakat-harakat­
nya atas ijin dari khalifah77 yang memerintah waktu itu. Hal ini kemudian
diteruskan oleh murid-muridnya. Kelak dari penandaan ini kemudian
dikembangkan metodologi tersendiri untuk menjadi aturan-aturan pokok
dari cara pembacaan terhadap al-Qur’an78. Masa Abu al-Aswad ini kajian
terhadap bahasa Arab menjadi disiplin ilmu tersendiri menjadi nama
ilmu “nahwu”.79
Menurut Ahmad Rajihi ada beberapa kebijakan oleh pemerintah
pada masa pemerintahan Bani Umayyah, yaitu; pertama, mengko­
difikasi nahwu di Bashrah, karena di kota ini mulai terjadi banyak
penyim­
pang­
an berbahasa setelah bercampurnya masyarakat Arab
dengan masyarakat sekitar. Percampuran ini setelah terjadinya pena­
klukan tentara yang kemudian tentara-tentara tersebut banyak yang
menetap, baik dengan tempat tinggal sementara maupun yang kemudian
permanent hingga menjadi penduduk di tempat itu. Ini sekaligus babak
awal bahwa kodi­fikasi bahasa Arab tidak hanya berpusat pada kajian
mengenai al-Qur’an80.
Penulis menduga bahwa khalifah yang dimaksud bukanlah khalifah Muawiyah,
karena masa itu masih terjadi perpecahan khalifah, sehingga mungkin yang dimaksud
tetaplah khalifah Ali bin Abi Thalib.
78
Selain motif agama ini, juga ditemukan cerita seputar kerancuan bahasa yang
terjadi ketika Abu al-Aswad bertemu dengan Sa’id Al-Farisy. Dalam cerita itu, Sa’id
menuntun kudanya, kemudian ditanya oleh Abu Al-Aswad; ‫(ما لك يا سعيد ال تركب؟‬kenapa
engkau tidak menungganginya). Kemudian Sa’id menjawab: ‫إن‬
‫( فرسي ظالعا‬dengan di-nashab-kan kata ‫)ظالعا‬, kemudian orang-orang Arab di
sekitarnya tertawa. Karena yang dimaksud adalah ‫ظالع‬dengan di-rafa’. Lihat Thalal
‘Allamah, Tathawwur al-Nahwiy al-‘Araby Fî Madrasay al-Bashrah wa al-Kufah,h.29. Dari
peristiwa ini kemudian Abu Al-Aswad merumuskan gramatika untuk posisi fa’il
(subjek) dan maf ’ul (objek).
79
Lihat Muhammad Thanthawi, Nasyat Al-Nahwy wa Târîk Asyhur Al-Nuhat,(Kairo:
Dar Al-manar,tt), h. 17-18. Lihat juga Muhammad Fahmi Hijazy, ‘Ilm al-Lughah al‘Arabiyyah, (Kairo: Dâr Gharib Li al-Tibâ’ah Wa Al-Nasyr Wa Al-Tawzî’, tt), h.60.
80
Ira M. Lapidus, a History of Islamic Society, (USA: Cambridge University Press,
1988), h.90.
77
58
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Kedua, menyalin naskah-naskah sastra penduduk setempat ke
dalam bahasa Arab. Naskah yang ada pada waktu itu berada di beberapa
provinsi, di antaranya naskah berbahasa Persia di Irak, naskah berbahasa
Aramia di Syria, dan berbahasa Koptik (qibty) di Mesir. Penerjemahan ini
terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (w. 705)81. Masa ini
sekaligus menandakan penghargaan yang tinggi kepada para intelektual
dan budayawan yang mahir dalam sastra. Ketiga, para Khalifah dan
gubernur menerapkan kebijakan dengan menetapkan bahasa Arab se­
bagai bahasa administratif negara sebagai bagian untuk melestarikan
bahasa Arab di daerah taklukan baru. Kebijakan ini berimbas pada
sikap para pejabat yang kemudian mengirimkan anak-anak mereka ke­
pada masyarakat berbahasa Arab asli, yaitu masyarakat Badui, untuk
belajar mengenai bahasa Arab baku (fusha) . Suku Badui pedalaman ini
di­anggap masih steril dari kontaminasi dengan masyrakat luar. Selain
dengan mengirimkan anak-anak untuk belajar, mereka juga menjalin
hubungan keluarga dengan cara mengawini penduduk Badui demi agar
kelak anak-anaknya diajari dengan bahasa Arab Badui.
Sebagaimana dibahas di Bab II bahwa tradisi pemikiran di Persia,
termasuk di dalamnya adalah Bashrah, menemunkan momentum­nya
ketika kekuasaan Romawi masuk. Namun perlu ditegaskan pula bahwa
momentum masuknya Kekuasaan Romawi bukanlah faktor utama
perkembangan keilmuan di Persia. Tradisi keilmuan di Persia juga telah
berkembang sebelumnya, sehingga pertemuannya dengan ilmuwan
Romawi hanyalah salah satu perkembangan yang kemudian mendu­
kungnya. Ini hanyalah satu hal di mana Persia mampu beradaptasi dengan
berbagai peradaban besar. Hal ini dibuktikan dengan kemampuannya
untuk beradaptasi dengan kekuasaan baru Islam Arab. Perlahan-lahan
bahasa Persia tergantikan oleh bahasa Arab, meskipun kemudian be­
berapa abad setelahnya, nasionalisme Persia muncul kembali.
Abdul Malik ini disebut oleh Philip K. Hitti sebagai penerus kedua masa
penaklukan besar-besaran.lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 256. Ia juga
terkenal dengan kebijakannya dalam mengganti bahasa administrasi yang tadinya
berbahasa local menjadi berbahasa Arab. Lihat kembali bab II.
81
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
59
Abu al-Aswad yang hidup di Bashrah yang termasuk wilayah Persia,
dalam pengembangan pemikiran nahwu juga diuntungkan dengan
gejolak politik antara Ali dan Muawiyah. Gerakan Muawiyah bin Abi
Sufyan sebagai khalifah, setelah peristiwa tahkim melawan Ali bin Abi
Thalib, lebih dominan dalam hal gerakan politik, terutama bagaimana
memperluas kekuasaan. Sementara di lain pihak, kubu ‘Ali yang kalah,
bisa jadi kemudian justru leluasa mengembangkan gerakan keilmuan
yang dipandang tidak berbahaya untuk eksistensi Muawiyah. Ini bisa di­
lihat dari gerakan keilmuan dalam hal nahwu yang dominan di wilayah
Bashrah dan kelak menyebar ke Kufah, Baghdad hingga ke Alexandria
(Iskandariyah). Sangat sedikit sumber yang mengatakan bahwa Damaskus
menjadi pusat ilmu pengetahuan pada masa kekuasaan Muawiyah, atau
bahkan sesudahnya.
Pada masa Muawiyah ini, semangat kesukuan dan kebangsaan Arab
yang melekat pada diri Muawiyah sangat kuat82. Para pejabat negara,
ahli hukum hingga staf kerajaan diambil dari orang Arab. Para staf dan
pejabat kerajaan diwajibkan menggunakan bahasa Arab yang benar
dalam setiap forum resminya. Bagi yang melakukan kesalahan akan
men­dapatkan teguran keras dari khalifah83. Bahkan konon, orang Arab
meskipun non-muslim, lebih disukai dari pada muslim namun berasal
dari luar Arab84. Namun dalam hal keahlian di bidang keilmuan ter­
tentu, orang Arab yang ada di pemerintahan belum begitu menonjol
saat itu. Para pakar ilmu masih berasal dari orang luar Arab, seperti
pakar kedokteran dan para penulis. Philip K Hitti mencatat bahwa ke­
ahlian dalam bidang ilmu-ilmu, seperti ilmu kedokteran, astronomi, seni,
arsitektur, filsafat, dan pemerintahan, tidak dimiliki oleh orang Arab.
Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 67.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dikisahkan bahwa suatu ketika ia
pernah menerima surat dari salah seorang gubernurnya, dan dalam surat tersebut juru
tulis gubernur membuat kesalahan. Sehingga Khalifah menjadi marah dan membalas
surat tersebut dengan mengatakan agar juru tulis tersebut diberi hukuman dengan cara
dicambuk satu kali hingga dipecat dari jabatannya. Lihat George Makdisi, Cita Humanisme
Islam, h. 194.
84
Abdul Karim Muhammad As’ad, Al-Wasîth Fî Târikh Al-Nahwiy Al-‘Arabiy, h.17.
lihat juga dalam George Makdisi, Cita Humanisme Islam, terj. h. 194.
82
83
60
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Kontribusi orang Arab hanyalah dalam bidang bahasa dan agama
saja85. Pencerahan dalam bidang-bidang itu dilakukan oleh orang-orang
Syria, Persia, Mesir serta orang-orang-orang Yahudi dan Kristen.
Semangat kesukuan pada masa pemerintahan Muawiyah mem­
bawa kosekuensi tersendiri, di mana banyak orang yang kemudian
mem­per­lakukan bahasa Arab sebagai alat untuk mendapatkan akses
pemerintahan. Para orang tua yang memiliki anak berbakat, turut pula
mengirimkan anak-anak mereka ke suku-suku Badui pedalaman, yang
dianggap memiliki dan masih menggunakan bahasa Arab murni atau
fusha. Dengan demikian, bahasa Arab fusha menjadi bahasa yang
sangat bergengsi bagi masyarakat waktu itu. Namun bagi yang jauh
dari pusat-pusat bahasa Arab fusha, pengembangan bahasa Arab di­
laku­kan dalam bentuk keilmuan teoritis, sebagaimana yang dijelaskan
di atas. Para ahli bacaan al-Qur’an menjadi pelopor dari pengembangan
ke­ilmuan bahasa Arab86. Mereka menggunakan otoritas kemampuan­
nya dalam menguasai berbagai macam bacaan al-Qur’an87 untuk turut
menyumbangkan pemikiran dalam bidang bahasa Arab.
Implikasi penaklukan sendiri kemudian menyebabkan beberapa
hal yang menajdi faktor perkembangan bahasa Arab. Di antaranya adalah
semangat pengembangan keagamaan Islam, di mana Islam menjadi
faktor pemersatu antar kabilah dan bangsa yang telah ditaklukkan, ter­
lepas dari gejolak politik yang menyebabkan pemberontakan dan aksi
perebutan kekuasaan antar pihak yang mengklaim sebagai yang paling
berhak atas tahta khalifah. Semangat keislaman ini bisa jadi muncul dalam
hal pendalaman terhadap keilmuan Islam yang terkandung dalam kitab
suci al-Qur’an dan ajaran yang terkandung dalam Islam itu sendiri.
Antara antisipasi terjadinya lahn dan penjagaan terhadap otentisitas
al-Qur’an dan disiplin ilmu lainnya yang berhubungan dengan nahwu,
memunculkan dua pendapat tentang materi awal nahwu yang mendasari
Lihat Philip K. hitti, History of The Arabs, h.217.
Syawqy Dha’if, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 18.
87
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh
huruf. Sebagian memaknai bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
bahasa utama.
85
86
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
61
dilakukannya kodifikasi. Yang pertama adalah hanya mengenai kesalahan
awal yang pernah didengar pada saat dibutuhkannya perangkat ilmu
bahasa. Dalam arti, apa yang perlu ditulis adalah cukup hanya mengenai
pembenahan dari kesalahan yang ada. Dan yang kedua adalah menge­
nai perangkat dasar atau prinsip yang mendasari ilmu nahwu itu sendiri.
Perdebatan inilah yang nampaknya mendasari para orientalis untuk
berkesimpulan bahwa pemikiran nahwu awal sangat dipengaruhi oleh
pemikiran yang berkembang sebelum Islam datang, baik di Syria sen­
diri maupun di Persia88, yaitu filsafat Yunani.
Dua pendapat itu nampaknya berawal dari cerita mengenai lahn
yang sering didengar, baik oleh yang konsen dan commit terhadap bahasa
Arab maupun oleh pejabat negara seperti khalifah ‘Ali. Teguran-teguran
langsung terhadap kesalahan yang didengar sebenarnya belum me­
munculkan pemikiran perumusan secara lebih sistematis terhadap nahwu.
Sedangkan riwayat mengenai titah Ali kepada Abu al-Aswad nampak­
nya lebih bisa menggambarkan secara konkrit mengenai rumusan resmi
awal mengenai nahwu. Dalam riwayat itu diceritakan bahwa, suatu
ketika Abu al-Aswad mendapati ‘Ali bin Abi Thalib nampak sedang
memikirakan sesuatu, hingga Abu al-Aswad menanyakan perihal apa
yag membuat ‘Ali nampak gelisah. Kemudian oleh ‘Ali dijawab bahwa
ia memikirkan suatu hal mengenai terjadinya banyak kesalahan ber­
bahasa oleh rakyatnya, terutama orang-orang non-Arab (mawaliy) yang
berusaha berbahasa Arab. Hingga akhirnya Ali mendiktekan bebe­
rapa kalimat, yang berisi bahwa pengertian “kata” (kalimat) itu dibagi
tiga; Isim, Fi’il dan huruf. Ali kemudian menjelaskan definisi masingmasing dengan mengatakan bahwa, yang disebut Ism adalah kata yang
menunjukkan tentang benda (musamma), dan fi’l adalah kata yang me­
nunjukkan melakukan sebuah pekerjaan dan huruf adalah kata yang bisa
Muhammad al-Thanthawi, Nasy`at al-Nahwiy, h.10. lihat juga Abdul Karim
Muhammad Al-As’ad, al-Wasîth fî Târikh al-Nahwiy al-‘Arabiy, h.28. lahn (solecism)
dianggap sebagai pembangkangan dalam berbahasa pada kelompok tertentu. Ia
menjadi semacam stempel terhadap penggunanya sebagai orang yang tidak cakap
berbicara, jika kesalahan itu disebabkan karena ketidaktahuan bahasa dan dalam
frekuensi yang banyak. Lihat Yasir Suleiman, The Arabic Language and National Identity; a
Study in Ideology, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2003), h. 49-50.
88
62
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
bermakna setelah berkomplemen dengan ism dan fi’l tersebut. Abu alAswad kemudian menambahkan beberapa hal, yaitu mengenai apa yang
belakangan disebut dengan nawâsikh (sesuatu yang merubah keadaan
ism dan fi’l tersebut). ‘Ali sangat mengapresisai hasil kerja Abu al-Aswad
tersebut. Teori-teori yang ditambahkan oleh Abu al-Aswad adalah contohcontoh penggunaan kata atau yang disebut dengan nahwu89. Dari sini­
lah kemudian para ulama menduga penamaan ilmu bahasa Arab ini
men­jadi ilmu nahwu.
Dari dialog dua tokoh inilah para ahli mengklasifikasi peran masingmasing menjadi antara peletak dasar ilmu nahwu dan penulis dan pe­
nerjemah awal ilmu nahwu. ‘Ali ditetapkan sebagai peletak dasarnya
sedangkan Abu al-Aswad sebagai penerjemah dari titah ‘Ali bin Abi
Thalib tersebut90. Peran lain yang penting dicatat pula, sebagaimana di­
singgung sekilas di awal tulisan ini adalah, ketika Abu al-Aswad me­
letakkan dasar pembacaan al-Qur’an yang kelak akan bermanfaat tidak
hanya untuk orang Arab namun juga untuk orang di luar Arab. Peran
tersebut adalah usaha Abu al-Aswad ketika diminta oleh Ziyad bin Abihi
yang waktu itu sebagai penguasa di Iraq. Dengan sebuah tim kecil, Abu AlAswad mulai bekerja dengan cara, ia menyuruh seorang juru tulis untuk
melihat mulut Abu al-Aswad ketika mengucapkan lafal dalam al-Qur’an.
Ketika mulutnya membuka ia memerintahkan untuk meletakkkan titik
di atas huruf yang dibaca terbuka tadi. Ketika mulutnya terlihat meng­
ucapkan huruf yang mengandung vocal “U” maka diperintahkan untuk
meletakkan titik di antara dua huruf dan ketika mulutnya terlihat meng­
ucapkan huruf yang mengandung vocal “I” maka diperintahkan untuk
meletakkan titik di bawah huruf tersebut. Inilah yang kemudian dikenal
dengan “Rasm ‘Arabiyyah”. Peberian titik ini dikenal juga dengan “ Nuqthah
Bashrah”.91
‘Ali mengatakan: ‫ما أحسن هذا النحو الذى نحوتو‬, lihat al-Wasîth fî Târikh al-Nahwiy al‘Arabiy, h.28.
90
Muhammad Al-Thanthawi, Nasy`at al-Nahwiy, h.18.
91
Sebelumnya telah dikenal di kalangan Arab adanya penandaan dengan titik di
Madinah dan Makkah, namun tidak begitu masyhur. Lihat Muhammad Husain ‘Ali
Yasin, al-Dirâsât al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab ilâ Nihâyat al-Qarn Al-Tsâlits, h. 54.
89
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
63
Usaha ini dilanjutkan oleh muridnya Nashr Bin ‘Ashim al-Laytsi
( w. 89 H), yang diminta oleh al Hujjaj untuk menyelesaikan persoalan
baru, yaitu ketika orang di luar Arab kesulitan membedakan antar huruf.
Maka kemudian Nashr bin ‘Ashim al-Laytsi membuat terobosan melalui
penandaan masing-masing huruf dengan cara meletakkan titik-titik yang
berbeda kepada setiap huruf hingga seperti saat ini. Adapun mengenai
harakat, kemudian diubah oleh al-Khalil bin Ahmad al Farahidi (w. 175
H)92. Kelak peran Khalil bin Ahmad al-Farahidi menjadi semakin besar
dalam mengembangkan apa yang telah dikembangkan oleh Abu alAswad.
Murid lain yang dianggap berperan dalam mengembangkannya
adalah ‘Anbasah al-Fayl, Maymun al-Aqran, Nashr bin ‘Ashim, dan Yahya
bin Ya’mar93. Peran besar yang dimainkannya adalah mengajarkan bahasa
Arab kepada generasi selanjutnya. Yahya bin Ya’mar misalnya, adalah
seorang ahli hadits yang turut mengajar bahasa kepada Sibawayh94.
Metode-metode awal dalam penulisan ilmu nahwu telah pula di­
letakkan oleh para pemuka nahwu waktu itu. Metode penelitian kepada
sumber asli dikembangkan sedemikian rupa untuk mendapatkan legi­
timasi terhadap ilmu nahwu hingga didapatkan otoritas terhadap ulamaulama’ tersebut95. Perumusan nahwu secara konseptual oleh ‘Ali nampak­
nya belum cukup untuk dijadikan pijakan yang sebenarnya, karena
realitas yang ada kemudian adalah bahwa ilmu nahwu berkembang tidak
di pusat bahasa Arab itu sendiri, seperti di Madinah ataupun Makkah.
Sehingga para pemuka berusaha memberi jalan bagi terbukanya rumusanrumusan baru dalam ilmu nahwu. Di kemudian hari hal ini kemudian di­
ikuti oleh para peneliti bahasa di Persia.
Babak ini sekligus menandai fase awal dari tumbuh dan berkem­
bangnya ilmu nahwu, baik peletak dasar yang menginspirasi maupun
Lihat Muhammad Husain ‘Ali Yasin, al-Dirâsât al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab ilâ
Nihâyat al-Qarn al-Tsâlits, h.54.
93
Thalal ‘Allâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 44
94
Yahya bin Ya’mar termasuk tokoh yang berperan dalam pengumpulan hadits
dan salah satu mata rantainya setelah Ibn Malik di Madinah dan Ibn Juraij di Makah.
Lihat Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, h.23.
95
Thalal ‘Allâmah, Tathawwur Al-Nahwi Al-‘Arabiy, h. 42.
92
64
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
yang kemudian mengembangkannya. Sebagaimana ilmu pada umum­
nya, termasuk filsafat Yunani yang ditulis dalam bab dua, maka ilmu
selalu mengalami perkembangannya, mulai tumbuh awal, hingga men­
jadi benar-benar “sempurna”. Dalam kasus ilmu nahwu ini, perkem­
bangan setahap demi setahap dengan adanya kasus per kasus, kemudian
menghantarkan beberapa bab nahwu. Ini menegaskan perkembangan
awal yang berdasarkan kebutuhan terhadap kelengkapan untuk kesem­
purnaan nahwu96. Perkembangan ini menandai penerimaan terhadap
ilmu itu, bahkan mungkin juga penolakan hingga ada teori baru dari
ilmu tersebut97. dalam hal ilmu nahwu ini, perkembangan selanjutnya
diwarnai oleh pengembangan oleh murid-murid dari guru awal hingga
polarisasi yang terjadi antar blok kelompok pemikir seperti akan di­
uraikan selanjutnya.
Masa ini ditulis untuk menggambarkan perkembangan keilmuan
nahwu awal hingga masa Harun Al-Rasyid, masa di mana Sibawaih hidup.
Masa Abbasiyyah dikenal dalam sejarah sebagai masa kegemilangan
keilmuan dengan sebutan zaman keemasan dengan berkembangnya ilmuilmu skolastik. Ini ditandai dengan capaian-capaian dalam bidang ilmu
dan pembangunan peradaban yang besar. Secara garis politik, pendiri
Abbasiyyah lebih dekat dengan keluarga Nabi Muhammad, dibanding
dengan Umayyah. Nampaknya hal inilah yang membuat legitimasi ke­
khalifahan Abbasiyyah lebih kuat98. Namun demikian, secara kekuatan
Kasus ini bisa menjelaskan mengapa beberapa ahli bahasa menganggap bahwa
sebenarnya ilmu nahwu “tidak pernah sempurna”, bahkan hingga hari ini. Jika diambil
batasn yang lebih luas, perkembangan tanda baca Al-Qur’an yang hingga sekarang
berlangsung, menjadi indikasi hal itu. Misalnya tanda baca hukum tajwid (cara baca
yang benar) dalam Al-Qur’an terbitan Indonesia yang marak dengan warna tulisan
yang berbeda. Atau juga perkembangan ilmu bahasa dengan berkembangnya alat
elektronik.
97
Belakangan muncul penolakan terhadap sebagian teori nahwu, terutama dalam hal
i’rab atau perubahan akhir kata atau kalimat, oleh Ibnu Madla’. Akan tetapi konteksnya
tidak sepebuhnya menegasikan pentingnya ilmu nahwu, karena banyak bagian lain yang
ia sendiri justru mendukungnya (atau justru tidak menawarkan hal baru).
98
Di samping dukungan politik yang lebih luas, seperti dari kaum yang tadinya
berpihak kepada Khalifah Ali, kaum mawali, dan masyarakat luas yang mulai jenuh
melihat gaya hidup para bangsawan pada masa Umayyah.
96
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
65
politik kenegaraan, justru pada masa inilah terjadi banyak pembe­ron­
takan99.
Dari sisi keilmuan, sebagaimana diterangkan pada Bab II, pener­
jemahan secara besar-besaran karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab
terjadi pada masa Abbasiyyah ini, tepatnya pada masa Harun Al-Rasyid,
oleh Khalid bin Yahya Al-Barmaki (w. 193 H). Dalam catatan sejarah,
Khalid bin Yahya Al-Barmaki memang menjadi seorang yang sangat
peduli kepada ilmu pengetahuan. Ia pernah memberikan penghargaan
kepada Sibawaih sebanyak 100 dirham pada waktu ia dipertemukan
dengan para pemuka Kufah dalam sebuah diskusi panjang.
Kejayaan masa Abbasiyyah sebenarnya merupakan kerja estafet
dari apa yang telah dicapai pada masa sebelumnya, baik pada masa Nabi
Muhammad, Khulafa al-rasyidin, maupun Umayyah. Philip K Hitti
menyebut masa Umayyah dengan sebutan sebagai masa inkubasi bagi
keilmuan Islam, karena pada masa ini apa yang menjadi semangat ke­­ilmuan
memperoleh tempat yang memungkinkan pertumbuhan selanjut­nya.
Pada masa Abbasiyyah, dua khlaifah yang tercatat mendapat
tempat tinggi dalam memori sejarah adalah pada masa Harun al-Rasyid
dan anaknya al-Makmun. Masa-masa ini menjadi masa penting bagi cikal
bakal keilmuan pada masa Abbasiyyah yang berpuncak pada khalifah
kesembilan dari Bani Abbasiyyah100. Masa inilah yang dianggap sebagai
masa penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya dari luar, di
antara­nya dari Indo-Persia, Syria, dan terutama adalah karya Yunani101.
Pada titik ini, tesis bahwa masa intelektual Islam sangat dipengaruhi oleh
budaya luar, khususnya Yunani mendekati kebenaran. Bangsa Persia
yang terkenal sebagai bangsa yang haus ilmu pengetahuan menangkap
momentum ini dengan baik.
Perkembangan keilmuan pada masa Abbasiyyah, terutama pada
masa Harun al-Rasyid menunjukkan peningkatan yang signifikan. Semen­
tara kodifikasi keilmuan masih menemui keraguan yang besar di kalang­
an umat Islam, filsafat sebagai symbol penerimaan terhadap keilmuan
Lihat Jalaludin Al-Suyuthi, Târikh Al-Khulafa`, h.321.
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, h. 370
101
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, h.381
99
100
66
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
di luar ilmu agama mendapatkan tempat yang begitu besar oleh para
ilmuwan. Filsafat mewarnai perkembangan ilmu awal sebagai hasil dari
penerjemahan terhadap apa yang telah berkembang di wilayah Persia
sebelum Islam datang. Pada awal abad ke-3 telah tercatat filosof besar
pada masa ini, yaitu al-Kindi (w. 886 M). Perkembangan selanjutnya me­
ngenai zaman keemasan intelektual lebih merupakan perdebatan antar
filosof muslim yang kelak mempengaruhi berbagai sendi keilmuan
lain seperti ilmu teologi (kalam), jurisprudensi Islam (Fiqh), dan lainlain. Tradisi keilmuan ini melahirkan model transmisi keilmuan sebagai
asal mula model pendidikan dalam Islam. Hal ini terutama perdebatan
seputar bidang keilmuan yang wajib dipelajari dan tidak.
Ilmu bahasa Arab yang merupakan salah satu bidang penting turut
serta dalam pertarungan memperebutkan supremasi keilmuan. Dan
nyatanya ilmu bahasa Arab, dalam hal ini nahwu, telah tercatat menda­
patkan peran penting yang turut mewarnai berkembangnya ilmu dalam
Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hasil karya keilmuan yang
tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu nahwu ini. Kita bisa menyimak
bagaimana ilmu fiqih yang sangat pesat perkembangannya sangat di­
pengaruhi oleh peran ilmu bahasa ini. Begitu juga dengan ilmu tafsir,
hadits dan sebagainya. Tentu saja bahasa tulisan ini tidak akan sampai
ke sana, karena tulisan ini hanya meletakkan posisi peran penting ilmu
nahwu di samping ilmu-ilmu yang lain.
Secara politik, Bani Abbasiyyah tidaklah seketat Bani Umayyah
dalam menerapkan kualifikasi kebangsaan bagi para pejabat. Banyak
pejabat Negara diisi oleh orang-orang non-Arab atau keturunan orang
non-Arab. Bahkan beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyyah ter­
catat berasal dari keturuan yang berbeda-beda. Misalnya al-Manshur yang
keturunan suku Barbar, al-Makmun adalah keturunan Persia, Ibn alMahdi berketurunan Romawi, dan Ibu dari al-Muqtadir, al-Muktafi dan
al-Nashir yang berasal dari Turki102. Sehingga lawan-lawan politiknya
me­nyebut dinasti ini dengan dinasti ‘Ajamiyyah.
102
Khalil Abdul Karim, Syariah; Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, h. 49.
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
67
Dari sisi ini, nampaknya perkembangan ilmu nahwu bahasa Arab
mengalami masa suram. Namun hal ini telah terbayarkan dengan gigih­
nya para ilmuwan untuk tetap mengembangkan ilmu nahwu. Selain itu,
dinasti Abbasiyyah juga menorehkan prestasi yang besar dalam pengem­
bangan ilmu-ilmu skolastik dan humaniora.
D. PENGARUH FILSAFAT YUNANI PASCA-SIBAWAIH
Setelah adanya perkembangan yang pesat maka kemudian kodifikasi
ini mengalami polarisasi pemikiran. Polarisasi nahwu yang terjadi dan
yang dijelaskan di bawah muncul dalam bentuk secara langsung maupun
tidak langsung. Adanya perdebatan secara face to face merupakan bentuk
munculnya polarisasi secara langsung antar tokoh nahwu yang berbeda
pendapat. Hal ini terjadi dalam beberapa generasi oleh para ahlinya, yang
bahkan dilakukan di depan umum dengan disaksikan oleh khalifah
dan pembesar pemerintah103. Sementara bentuk polarisasi yang tidak
langsung berhadapan adalah melalui tulisan-tulisan para ahli nahwu
yang bermunculan dan kemudian di counter dengan tulisan lain.
Kodifikasi awal nahwu disepakti terjadi di Bashrah kemudian di­
susul di Kufah104, karena memang dari keduanyalah kemudian per­
kem­bangan selanjutnya berpijak. Fase ini adalah fase yang penting
dalam kodifikasi nahwu, karena pada tahap ini nahwu menemukan
momen­tum sebagai bahan pembicaraan yang hangat di kalangan para
ilmuwan bahasa Arab. Polemik yang muncul di kalangan ahli nahwu
men­jadikan eksporasi terhadap ilmu ini lebih mendalam105. Perbedaan
pen­dapat yang berujung menjadi apa yang disebut sebagai mazhab di­
mulai pada generasi ketiga di Bashrah, dengan munculnya ahli bahasa
di Kufah. Dilihat dari namanya, maka memang pengelompokan dalam
Lihat misalnya cerita mengenai perdebatan-perdebatannya dalam Muhammad
Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi, h. 28-35.
104
Ada beberapa mazhab yang terkenal dalam nahwu, di antaranya adalah;
mazhab Baghdad, Mazhab Kairo, dan Mazhab Andalusia. Di negerinya sendiri tentu
tidak termasuk karena di sana orang berbahasa sesuai watak alami yang mereka miliki
sebagai penutur aslinya.
105
Thalal ‘Allamah, Tathawwur Al-Nahwi Al-‘Arabiy, h. 47.
103
68
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
perkembangan lebih banyak dipengaruhi oleh letak geografis sebagai
naungan kelompok masing-masing yang kelak kemudian membentuk
menjadi aliran atau mazhab sendiri. Kedua mazhab ini relative berjalan
bersamaan meskipun Bashrah lebih memegang supremasi sebagai
peletak dasar ilmu nahwu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Adapun
bentuk polarisasi selanjutnya akan kami jelaskan di bawah.
Bashrah telah menjadi daerah transit untuk penaklukan-penakluk­an
daerah sebelah timur pada masa awal Islam. Peran penting Bashrah ini
mengantarkan wilayah ini menjadi pusat camp tentara Islam yang kelak
menetap dan membentuk kota baru di Timur106. Dari daerah Bashrah
ini, tentara Islam memperluas wilayahnya hingga ke Khurasan (Iran),
Bukhara dan Kazakhstan. Dalam sejarah penaklukan, Muawiyyah me­
main­
kan peran penting dalam ketangguhan berperangnya yang ke­
mudian dibawa dalam watak kekuasaannya; ekspansi seluas-luasnya107.
Ketangguhan perangnya melebihi apa yang dilakukan pendahulunya,
mengingat dia pernah menjadi panglima perang yang dipercaya.
Dalam perkembangan awal ilmu nahwu, nuansa persaingan antara
ulama Bashrah dan Kufah sangat terasa sekali, meskipun pada awalnya
ulama’ Kufah belajar kepada Bashrah. Hal ini nampaknya disemangati
oleh persaingan keilmuan, selain juga semangat perbedaan berpolitik.
Dari persaingan ini, kelak melebar kepada berbagai polarisasi perbedaan
dalam memandang berbagai hal dalam bidang agama. Namun justru dari
polaritas dalam hal ilmu nahwu ini, maka ilmu ini makin berkembang
dengan pesat dengan saling melengkapi.
Perbedaan dalam hal ilmu nawhu ini, menurut Abdul Karim
Muhammad As’ad dikarenakan empat hal108, yaitu; letak geografis kota
Bashrah dan Kufah, kecenderungan perbedaan watak, tingkat ke­murni­
an bahasanya, dan dalam metode pemikiran dan pembahasan yang
dilakukan. Sedangkan Thalal ‘Allamah lebih melihat pada perbedaan
metodologis dalam pengambilan sampel nahwu. Hal ini berakibat pula
Albert Hourani, A History of The Arabs Peoples, (Harvard: Harvard University,
2002), h. 24.
107
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, h.242-243.
108
Adul Karim Muhammad As’ad, al Washit Fî Târikh al-Nahwiy, h. 34-35.
106
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
69
pada produk dari pendapat yang berbeda dari kedua mazhab.
Dari sisi letak geografis, Bashrah terletak di ujung wilayah Persia
yang lebih dekat dengan wilayah Arab dari sisi kebudayaan. Daerah ini
menjadi daerah koloni tentara-tentara Arab yang melakukan perang
terhadap kawasan lain. Selain itu, Bashrah pernah menjadi pusat kebu­
dayaan sebagaimana pasar ‘Ukaz di Mekah. Di sini merupakan tempat
berkumpulnya para pujangga untuk memamerkan kebolehan mereka
dalam hal sastra109. Dengan demikian, tingkat kefashihan Bashrah di­
anggap lebih tinggi daripada Kufah. Ini membawa konsekuensi tersen­
diri dalam hal standard kebakuan bahasa Arab dalam hal pengambilan
sampel bagi ukuran fusha-nya. Bagi orang Bashrah, standard kebakuan­
nya sangat ketat dan hanya terbatas pada wilayah yang dianggap sangat
murni bahasa Arab-nya, yaitu wilayah tengah. Mereka sangat teliti dalam
menentukan ukuran standard bagi kefashihan suatu bahasa110. Ahli
nahwu di Bashrah sangat banyak dalam menginventaris kosakata dan
kalimat dari orang Arab asli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh masih
dekatnya masa hidup ulama’ Bashrah dengan para penutur Arab asli.
Keaslian penuturan mereka sangat dipengaruhi oleh watak asli dan
alamiah. Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa sifat alami mereka
sangat memungkinkan untuk tidak memerlukan ilmu yang tertulis untuk
mengukur kebenaran ujarannya. Bagi mereka, apa yang diucapkan se­
hari-hari, itulah bahasa Arab yang benar.
Bagi ulama’ Bashrah tidak setiap yang mereka dengar akan diterima
begitu saja. Mereka meneliti terlebih dahulu tingkat kebenaran untuk
dituliskan menjadi bahasa standard. Bagi mereka, apa yang akan ditulis
adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi peletakan dasar ilmu nahwu,
sehingga tidak sembarangan dalam menuliskannya. Ketika mereka me­
rasa menemukan sesuatu yang dalam kaidah dirasa tidak standard atau
ada banyak versi mengenai sebuah kalimat atau kata, maka mereka me­
la­kukan ta’wil; perkiraan terhadap maksud kalimat atau kata tersebut
Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Wahit Fî Târikh al-Nahwi Al-‘Arabiy, h. 36.
Lihat juga dalam Mushthafa ‘Abdul Aziz al-Sarjanjy, al-Mazâhib al-Nahwiyyah, (Jeddah:
al- Fayshaliyyah, 1984), h.18.
110
Mushthafa ‘Abdul Aziz Al-Sarjanjy, al-Mazâhib al-Nahwiyyah, h.17.
109
70
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
dan mentakhrijnya, yaitu memilih satu pendapat yang terkuat111. Untuk
melakukan ini semua, tentu mereka telah mengumpulkan metodologi
sendiri dengan standard yang disepakati para ahli bahasa di Bashrah.
Sedangkan para ahli di Kufah menerapkan standard yang begitu
longgar untuk menetapkan tingkap kefashihan Arab. Kabilah apapun
yang berbahasa Arab sejak dahulu maka dianggap fashih. Bahkan ketika
mendengar sebuah kata yang diucapkan oleh orang Arab, merkipun
kata-kata itu dianggap asing oleh ahli di Bashrah, maka bagi orang Kufah
cukup dijadikan landasan. Metodologi ini berimplikasi pula kelak dalam
penetapan aturan-aturan yang juga berbeda antara keduanya112.
Sedangkan Kufah terletak lebih jauh dari Bashrah ke arah timur.
Di sini juga telah tumbuh peradaban sendiri yang berbeda dengan
Bashrah. Kecenderungan budaya di Kufah lebih kental dengan tradisi
Persia. Kufah menjadi kota penting dalam pengembangan peradaban
Persia sebelumnya. Tingkat resistensi terhadap kehadiran tradisi baru,
dalam hal ini tradisi dan budaya Arab, lebih tinggi dibanding dengan
Bashrah yang nampaknya lebih berada di wilayah pinggiran peradaban
Persia. Dalam hal politik, kecenderungan para pemuka Bashrah ketika
kekuasaan Bani Umayyah makin kuat, penduduk menjadi penyokong
utama kekuasaannya. Sedangkan penduduk Kufah lebih cenderung
kepada Abbasiyyah113. Perkembangan ini sebagaimana diterangkan se­
belumnya sangat mempengaruhi arah pemikiran, termasuk dalam nahwu.
Dari faktor-faktor perbedaan ini, ulama Bashrah terkenal dengan
ketatnya aturan-aturan kaidah nahwu yang diterapkan. Metodologi
mereka dalam membahas kaidah nahwu lebih mendalam dan dianggap
lebih kredibel. Sedangkan ulama Kufah adalah sebaliknya, lebih akomo­
datif dan tidak begitu dipusingkan dengan kaidah yang dibahas oleh
Bashrah. Bagi mereka bahasa adalah apa yang diucapkan dan telah di­
sepakati serta bisa dipahami oleh orang lain meskipun dari kabilah yang
Mushthafa ‘Abdul Aziz Al-Sarjanjy, al-Mazâhib al-Nahwiyyah, h.18.
Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Washit Fî Târikh al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 36.
Perbedaan secara metodologis ini terrekam oleh Al-Anbariy dalam kitab al-Inshaf fî
masâ`il al- Khilaf baina al-Nahwiyyîn.
113
Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Washit Fî Târikh al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 35.
111
112
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
71
berbeda114. Sikap ketat ulama Bashrah dalam pembatasan kaidah nahwu
ini memunculkan anggapan bahwa ulama Bashrah mampu membawa
bahasan nahwu ke dalam bahasan logika. Bisa jadi, hal inilah yang me­
munculkan tuduhan bahwa ulama nahwu awal terpengaruh oleh pe­
mikiran logika filsafat.
Sikap dua kelompok itulah yang dalam linguistik modern sering
disinggung sebagai kajian preskriptif dan deskriptif. Dalam perspektif
preskriptif, bahasa terdiri dari berbagai aturan yang membatasi orang
berbahasa. Ia harus tunduk pada berbagai kaidah yang ditentukan dalam
masyarakat baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan dalam
perspektif deskriptif, orang berbahasa adalah melihat secara apa adanya
dari yang diamati. Apapun yang dituturkan orang dalam berbahasa, itu­
lah yang dianggap berbahasa; tidak peduli apakah itu berlaku secara luas
ataupun hanya terbatas. Dalam hal ini, ulama’ nahwu di Bashrah nampak­
nya lebih mendekatai kepada kelompok yang pertama. Mereka terkenal
dengan gayanya dalam menentukan ketatnya aturan atau kaidah dalam
menentukan keabsahan suatu bahasa. Dalam konteks ilmu bahasa Arab,
ini disebut sebagai berbahasa secara qiyasi. Sebaliknya, ulama’ nahwu
Kufah lebih kepada kelompok kedua, yaitu memperlakukan bahasa se­
bagai apa adanya; apa yang diungkapkan oleh masyarakat, itulah yang
dianggap bahasa, atau disebut sebagai berbahasa secara sima’iy115.
Dengan demikian, setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi
perbedaan nahwu ini, yaitu; pertama, perbedaan letak geografis antara
keduanya. Kedua, perbedaan orientasi politik antara kedua kota, ketiga,
perbedaan metodologi pengambilan dan penerimaan bahasa dari orang
Arab asli. Tumbuhnya generasi awal ulama Kufah setelah di Bashrah
ber­kembang pada generasi kedua ulama’ nahwu. Secara ilmiah, dengan
demikian hanya perbedaan geografis dan metodologis saja yang nampak­
nya bisa diterima. Perbedaan orientasi politik seharusnya tidak menjadi
Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Washit Fî Târikh al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 39.
Kalau kita merujuk pada devinisi bahasa, maka akan kita temukan sifat-sifat
bahasa, yaitu; bahasa merupakan system, lambang, bunyi, konvensional, produktif,
makna, arbitrer, unik, universal, dinamis, bervariasi dana manusiawi. Dari devinisi ini,
nampak di satu sisi ada kelonggaran dan di sisi yang lain ada pembatasan. Lihat Abdul
Khaer, Linguistik Umum, h. 33-56.
114
115
72
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
pemicu perbedaan mazhab keilmuan. Bisa jadi perbedaan politik ber­
implikasi pada fanatisme kelompok yang berlebihan atau bisa jadi pe­
nguasa merasa berkepentingan denan teori yang dikembangkan oleh
ilmuwan yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Para penguasa mem­
butuhkan simbol-simbol untuk meneguhkan eksstensi kekuasaannya
melalui bahasa116. Penguasa Abbasiyyah yang cenderung menjadi basis
bagi penduduk Kufah nampaknya memanfaatkan betul metodologi
ulama nahwu di Kufah. Metodologi ulama’ Kufah yang begitu longgar
dan akomodatif sesuai dengan semangat penguasa Abbasiyyah yang
memang terbuka, tidak dikhususkan bagi keturunan Arab asli. Nampak­
nya hal inilah yang menjadikan ulama’ Kufah mendapatkan tempat
di hati penguasa dan segera menyebar ke seantero negeri daerah ke­
kuasaan­nya.
Masa awal ari polarisasi yang terjadi adalah masa konsolidasi keilmu­
an awal. Di sini digunakan istilah konsolidasi untuk menggambarkan
bahwa ilmu nahwu awal mengalami masa pembentukan awal hingga
menggelinding bagai bola salju, makin lama makin meluas dan membesar
kajiannya. Untuk menyebutkan beberapa tokoh nahwu yang penting,
maka penulis lebih cenderung untuk menggunakan pendekatan yang
di­­guna­kan oleh Muhammad Thanthawi. Hal ini dikarenakan tiga hal,
pertama, periode ini mewakili perkembangan yang komprehensif dari
sejak kelahiran ilmu hingga mencapai kematangannya. Kedua, model
ini lebih mudah untuk diindentifikasi sesuai tingkat kematangan para
tokohnya. Apakah dia sebagai peletak dasar atau pengembangnya. Dan
ketiga adalah bahwa model ini secara metodologis memudahkan para
sejarawan dalam membaca pertumbuhan dan perkembangan awal ilmu
nahwusebagaimana periodisasi dalam ilmu sejarah sebuah bangsa atau
tokoh.
Muhammad Thanthawi membagi periodesasi dalam perkem­
bangan ilmu nahwu awal menjadi empat tahap, yaitu tahap kodifikasi
awal sebagai tahap kelahiran, kedua adalah tahap pertumbuhan dan per­
kembangan, ketiga adalah tahap kematangan dan penyempurnaan dan
Pierre Bourdieou, Language and Symbolic Power, (Cambridge: Harvard University
Press, 1990), h.105.
116
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
73
terakhir adalah tahap tarjih dan penjelasan yang lebih luas117. Tahap
kelahiran ilmu nahwu awal sebagian sudah dijelaskan pada sub sebe­
lumnya. Syauqi Dhaif di sebagian periodisasinya hanya menampilkan
tokoh-tokohnya untuk beberapa generasi, seperti pada generasi kedua
dan ketiga. Pada generasi kedua hanya ditulis al-Khalil dan generasi
ketiga ditulis Sibawaih118. Ini nampaknya untuk menampilkan ikon tokoh
nahwu dengan karya dari kedua tokoh ini, yang menggambarkan adanya
dialog pemikiran dari para ahli nawhu yang kemudian terrekan dalam
kedua buku tokoh tersebut. Pendapat lain dalam perkembangan ilmu
nahwu menurut Thalal ‘Allamah dibagi dalam empat tahap dengan tokoh
Abu al-Aswad sebagai titik permulaannya. Kemudian pada tahap kedua
adalah apa yang dikembangkan oleh murid-muridnya. Ketiga adalah pe­
letakan teori-teori dan kaidah nahwu secara lebih metodologis dan ke­
empat adalah terbentuknya mazhab119.
Sehingga secara garis besar dari kedua pendapat bisa ditarik benang
merah yang sama yaitu garis genealogi keilmuan berdasar pada para
tokoh ‘ulama serta dialektika yang muncul dalam pertumbuhan dan per­
kembangan awal. Kedua model perkembangan ini bisa dijelaskan secara
bersamaan dengan model pendekatan yang berbeda.
Sementara periodisasi menurut yang pertama lebih didasarkan pada
hal-hal yang dianggap penting pada tiap peristiwa itu. Tahap awal di­
lekatkan pada Abu al-Aswad hingga Khalil. Tentu saja peran Khalifah
‘Ali pada masa awal tidak bisa dilupakan. Tahap awal ini seluruhnya sem­
purna pada masa pemerintahan Umayyah. Periode Bashrah secara baik
memainkan peran ini, yaitu peletak dasar-dasar keilmuan nahwu (Arabic
grammatic) bagi generasi sesudahnya120. Abu al-Aswad juga dianggap
se­bagai pembaharu keilmuan nahwu bersamaan dengan tokoh-tokoh
di masanya121. Jasa mereka kemudian banyak dituliskan dalam bentuk
riwayat sebagai mata rantai keabsahan ilmu nahwu ini. Otoritas yang
Lihat Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwiy, h.19.
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 30 dan 57.
119
Thalal ‘Allamah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 46.
120
Lihat Muhammad Thanthawi, Nasy`at Al-Nahwiy, h.20
121
Thalal ‘Allamah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 46.
117
118
74
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
didapatkan ulama awal ini bisa saja dimiliki oleh orang kebanyakan dari
orang Arab asli, namun kepandaian mereka dalam kemampuan baca
tulis dan intelektualitas mengenai keislaman bisa jadi juga menjadi pe­
nentunya. Misalnya keahlian dalam penguasaan macam-macam bacaan
al-Qur’an dalam berbagai dialek (lahjah), selain juga keahlian dalam
ilmu hadits sebagaimana tergambar dari rantai guru Sibawaih (Bab IV).
Penting juga dicatat bahwa, pada saat itu ilmu nahwu belum terpisahkan
dengan ilmu sharaf (morfologi) dan ilmu bahasa seperti leksikografi,
logika (mantiq) dan sastra (arts/ adab).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa peran para ahli nahwu
awal lebih dominan dalam hal menjaga kitab suci al-Qur’an, dari mulai
memberikan harakat (tanda baca vokal), hingga tanda untuk membe­
dakan antara satu huruf dengan yang lain, terutama yang bentuknya
mirip. Yang pertama telah dilakukan oleh Abu al-Aswad dan yang kedua
oleh muridnya; Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar122.
Karakter dari tahap kelahiran nahwu awal di antaranya adalah
bahwa pada masa ini metode qiyas belum berlaku. Metode yang berlaku
pada masa ini lebih didominasi oleh metodologi sima’, yaitu dengan
sistem periwayatan dari apa yang didengar langsung dari orang Arab.
Apa yang belum pernah didengar tidak kemudian dicari persamaannya
dengan apa yang telah ada123. Hal ini sangat memungkinkan karena retang
masa para tokoh yang hidup ini masih sangat dekat dengan masa di mana
banyak sekali orang Arab yang masih hidup di Bashrah. Para tokoh pada
masa ini juga belum mengenal tradisi tulis-menulis sehingga transfer yang
terjadi adalah metode oral dari para guru ke muridnya124. Pengaruh ini
tidak begitu meluas jika dibandingkan dengan transfer melalui tulisan,
seperti yang dilakukan oleh para tokoh di kemudian hari. Karakter lain­
nya adalah bahwa pada masa ini ilmu nahwu masih bercampur dengan
ilmu sharaf dan adab (sastra/ arts). Sehingga ketika disebut ilmu nahwu
maka akan muncul pula keduanya, begitu pula ketika menyebut ilmu
Thalal ‘Allâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 44. Hal ini bisa jadi adalah
proyek lanjutan dari Abu Al-Aswad dan komunitasnya, dan bukan proyek Negara.
123
Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi, h.24.
124
Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi, h. 21.
122
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
75
sharaf atau adab. Hal ini di antaranya disebabkan oleh pendekatan ter­
hadap sumber awal, al-Qur’an dan perkataan orang Arab, yang dikaji dari
ketiga sisi tersebut125.
Selain tokoh yang disebutkan di atas, ada tokoh yang juga penting
yaitu Abdullah Ibn Ishaq Al-Khadhramiy (w. 117 H). Tokoh ini oleh
Syauqy Dha’if diidentifikasi sebagai tokoh yang mandiri dan tidak
berguru kepada Abu al-Aswad. Dia memiliki beberapa murid yang ter­
kenal, yaitu ‘Isa bin ‘Umar (w. 149 H), Abu ‘Amrun bin al-‘Ala’ (w. 154
H), keduanya juga dikenal sebagai ahli qira`ah (ahli bacaan al-Qur’an)126.
Kelak dari murid ‘Isa bin ‘Umar ini adalah al-Khalil bin Ahmad alFarahidi, Yunus bin Habib (w. 186 H) yang keduanya adalah ahli bacaan
al-Qur’an127.
Berdasarkan urutan generasinya, menurut Abu al-Zabidi dalam
Tabaqat-nya, maka pada masa kelahiran ilmu nahwu ini tercatat ada be­
berapa tokoh, yaitu selain Abu al-Aswad sendiri adalah Abdurrahman
bin Hurmuz, yang merupakan generasi awal128. Kemudian pada generasi
kedua adalah Nashir bin ‘Ashim, Yahya bin Ya’mar (w. 129 H), ‘Anbasah
al-Fail, dan Maymun al-Aqran. Generasi ketiga adalah Ibn Abi ‘Aqrab
yang dikenal pula dengan Mu’awiyah bin ‘Umar Al-Daylamiy dan
‘Abdullah bin Abi Ishaq (w. 117 H). Peran dari tokoh yang disebut terakhir
ini, nampak dalam penggunaan perangkat qiyas (analogi) sebagai bagian
dari perumusan nahwu selain apa yang telah berkembang dengan model
deskripsi bahasa. Bahkan ia diriwayatkan hingga menentang bebe­rapa
teori bahasa yang terlalu begitu saja, dengan tanpa argument yang lebih
lanjut.
Masa konsolidasi awal ini sempurna pada generasi keempat, di­
tandai dengan mulai meluasnya kajian nahwu di kalangan para ilmuwan
Islam awal. Masuk pula dalam generasi awal adalah peran yang besar
Abdul Karim Muhammad Al-As’ad, al-Washit Fî Tarikh al-Nahwy al-‘Arabiy, h.45.
Lihat Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, h. 531.
127
Syawqy Dha’if, al-Madaris al-Nahwiyyah, h.18.
128
Dalam hal kodifikasi memang Abu al-Aswad lebih dikenal sebagai peletak dasar
ilmu bahasa Arab. Lihat Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), cet. Ke-2,
h. 434.
125
126
76
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
dari khalifah sebelumnya, seperti ‘Umar bin Khathab dan ‘Ali bin Abi
Thalib129. Sementara kalau periodesasinya menurut pemerintahan, maka
dalam pertumbuhan nahwu awal hanya ada pada dua dinasti, yaitu
Bani Umayyah dan Abbasiyyah. Generasi awal sebenarnya merupakan
lanjutan dari generasi sebelumnya ketika Khalifah Ali masih memerintah,
tetapi yang kami catat adalah tahun meninggalnya yang kemudian di­
cocokkan dengan khalifah yang memerintah waktu itu. Kelak pada
masa Abbasiyyah bisa dibagi dalam dua masa, yaitu masa sebelum dan
sesudah penerjemahan karya-karya berbahasa asing, seperti yang ber­
bahasa Suryani, Persia dan Yunani.
Secara umum, pada masa pemerintahan Umayyah terdapat tiga
genarasi awal tokoh-tokoh nahwu. Generasi pertama adalah Abu alAswad al-Duali dan ‘Abdurrahman bin Hurmuz (w. 117 H). Keduanya
sangat berperan sebagai peletak dasar ilmu nahwu. Dalam keterangan
sebelumnya telah dijelaskan bahwa peran keduanya sebenarnya lebih
sebagai penerjemah dari perintah ‘Ali bin Abi Thalib. Atas kreatifitas
merekalah sehingga bisa ditempatkan sebagai tokoh nahwu generasi awal
dalam beberapa buku. Konsolidasi awal ilmu nahwu ini muncul selain
oleh peran orang Arab asli yang bermigrasi pasca penaklukan, juga karena
masih kentalnya ilmu tentang syair Arab asli dan kajian bacaan al-Qur’an.
Setelah mengalami konsolidasi keilmuan yang pertama, perkem­
bangan selanjutnya dilanjutkan oleh peran yang lebih luas dari ahli
yang tidak saja tinggal di Bashrah tetapi meluas keluar wilayah. Masa
konsolidasi kedua ini adalah masa ketika perkembangan nahwu me­
masuki era munculnya polemik antara beberapa ulama’ nahwu. Dan
sebenarnya di sinilah bisa disebut sebagai munculnya mazhab sebagai
icon kelompok yang sebenarnya. Sehingga generasi sebelum ini bisa di­
sebut sebagai mazhab hanya karena mereka termasuk kelompok yang
lahir di Bashrah pada awalnya, di mana saat itu belum muncul perbedaan,
Dalam beberapa rujukan, kedua tokoh ini tidak ditulis sebagai generasi pertama,
tetapi lebih sebagai peletak pondasi awal dari kelahiran nahwu. Nampaknya hal ini
lebih sebagai upaya untuk tidak mengerdilkan peran mereka hanya dalam wilayah
nahwu, akan tetapi sebagai pencetus wacana awal yang kelak diterjemahkan oleh pakar
di bidang nahwu ini.
129
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
77
bahkan para ahli nahwu di Kufah masih menjadi murid dari para iluwan
di Bashrah ini130.
Konsolidasi ilmu nahwu kedua dimulai pada generasi keempat dan
memuncak pada generasi kelima. Pada masa ini mulai tumbuhlah ke­
mandirian pemikiran di Kufah hingga menempatkan Kufah sebagai
kota kedua sebagai pusat perkembangan ilmu nahwu131. Masa ini sem­
purna pada generasi al-Maziniy di Bashrah dan Ibn al-Sikkît di Kufah.
Konsolidasi kedua ini seakan merupakan kompetisi awal bagi para
ilmuwan di kedua kota ini. Nuansa persaingan ini nampak seiring dengan
polarisasi politik di kedua wilayah yang menunjukkan kecenderungan
untuk berbeda orientasinya. Kompetisi awal dimulai antara al-Khalil
sendiri dengan al-Ru`asiy (w. 187 H) dalam penulisan kompedium nahwu.
Pada tahap kedua dari perkembangan ilmu nahwu adalah periode
pasca al-Khalil sampai Ibn Sikkit (w. 244 H) di Kufah. Kemampuan baik
ulama’ di Kufah telah menjadikan kota ini menjadi kota kedua dalam
pe­ngembangan ilmu nahwu. Mereka banyak yang belajar ke Bashrah
di bawah bimbingan para ahli nahwu. Nuansa persaingan tidak bisa
dihindari dalam perkembangan ini sebagaimana penjelasan di atas.
Meskipun perkembangan di Kufah tertinggal satu fase dengan di
Bashrah, tetapi mereka bisa mendapatkan tempat dalam otoritas ke­
ilmuan nahwu132. Dukungan politik dan independensi dari ulama di
Kufah mendorong hal ini, sehingga mereka segera mendapatkan tempat
di masyarakat. Kemampuan mengolah dan mengkritisi kajian nahwu di
Bashrah adalah prestasi yang besar hingga mendapatkan otoritas ini. Pada
periode ini kajian fleksi dan morfologi juga masih mendominasi kajian
nahwu.
Prestasi besar yang lain yang ditunjukkan pada masa ini adalah apa
yang dicapai oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 175 H). Dari usaha­
nya yang gigih, ia berhasil menyusun kompedium bahasa Arab yang
sangat berharga bagi perkembangan ilmu bahasa Arab berupa kamus
al-‘Ain, yang memuat kompilasi perbendaharaan bahasa dengan sistem
Thalal ‘Allamah, Tathawwur al-Nahwi, h. 47-48.
‘Abdullah Jâda AL-Karim, al-dars al-Nahwi Fî al-Qarn al-‘Isyrîn, h. 44-45.
132
Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi,, h. 22.
130
131
78
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
pengurutan kata dengan berdasar tempat keluar suara huruf di rongga
mulut (makharij al-huruf)133. Tradisi ini segera mendapat sambutan luas
pada masyarakat bahasa134.
Usaha ini dilakukan al-Khalil dengan cara mengumpulkan katakata dan kaidah yang dikumulkan ketika ia mengunjungi suku-suku asli di
Arab, di antaranya adalah suku Tha’iy, Tihamah dan Nejd. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, bahwa suku-suku memegang supremasi dalam
pengakuan kefashihan bahasa. Kefashihan menjadi hal yang sangat di­
tekankan oleh para ulama nahwu sebagai bahan acuan mengenai ke­
layakan kodifikasi. Kajian ini dilakukan dengan berdasar teori yang ia
pelajari dari para guru generasi awal. Ia mulai mengembangkan teori
analogi dan analisis per kata135. Al-Khalil juga mengarang beberapa kitab
selain al-‘Ain, yaitu; kitab ‫ء‬rudh, al-Nagham, dan Syawâhid, al-Naqth wa
al-Syakl, Fâit al-‘Ain dan Iyqa’136. Dengan hasil karyanya ini, kemudian
al-Anbary memberinya gelar Sayyid Ahli al-Adab (Guru Besar Sastra)137.
Sedangkan dalam kajian linguistik, al-Khalil juga orang pertama yang
meletakkan dasar-dasar fonologi dalam bahasa Arab (ilm al-Ashwath)138.
Hadirnya ilmuwan yang khusus menekuni bahasa, dalam hal ini
nahwu, pada masa konsolidasi kedua ini juga menandai terpisahnya
ilmu nahwu dengan fan ilmu yang lain. Selain ilmu bahasa sendiri kelak
terpecah menjadi beberapa bagaian; seperti apa yang dikembangkan alKhalil dengan leksikografinya. Kalau sebelumnya ilmu nahwu ini masih
Kamus ini dimulai dengan kata yang berawalan huruf ‘ain. Secara berturut-turut
( dari kanan) adalah:
133
‫ و‬,‫ ي‬,‫ا‬,‫ م‬,‫ ب‬,‫ ف‬,‫ ن‬,‫ ال‬,‫ ر‬,‫ ث‬,‫ ذ‬,‫ ظ‬,‫ ت‬,‫ د‬,‫ ط‬,‫ ز‬,‫ س‬,‫ ض‬,‫ ص‬,‫ ش‬,‫ ج‬,‫ ك‬,‫ ق‬,‫ غ‬,‫ خ‬,‫ ه‬,‫ح‬,‫ع‬
Ahmad Amin mencatat, bahwa sebenarnya masih diperdebatkan tentang
kebenaran pengarang Kitab ini, apakah al-Khalil yang mengarangnya atau orang lain.
Hal ini melihat dari isi yang ada di dalamnya yang bagi sebagian orang dianggap tidak
mencerminkan mazhab Bashrah sebagai tempat tinggal al-Khalil. Lihat perdebatannya
dalam Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, h. 267-269.
135
Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi, h. 23.
136
Penulis belum menemukan kitab ini, baik dalam format buku maupun e-book.
Kitab-kitab ini disebutkan oleh Ibn Nadim, lihat dalam Fihris, h.49
137
Al-Anbary, Nuzhat al-Alibba`, h. 45.
138
G. Bregstrasser, Al-Tathawwr Nahwi Li Lughat al-‘Araby, (Kairo: Maktabah AlKhanji, 1994). H.11
134
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
79
menjadi bagian dari pembahasan mengenai ilmu-ilmu yang awal, seperti
tafsir dan hadits, maka hadirnya karya-karya brillian dari al-Khalil dan
generasi semasanya, menyumbangkan kontribusi yang besar bagi per­
kembangan ilmu nahwu secara khusus139. Bisa jadi hal ini disemangati
kebutuhan yang mendalam terhadap perangkat untuk pengembangan
dan pendalaman ilmu keagamaan dan kemasyarakatan sehingga nahwu
dipandang sebagai prasyarat bagi kemajuan dan terbukanya ilmu-ilmu ter­
sebut.
Thalal ‘Allamah memberikan argumen bahwa hal itu muncul karena
dua faktor, yaitu faktor pemikiran dan naluri akan kebutuhan itu sendiri.
Faktor pemkiran berangkat dari kebutuhan jembatan yang meng­
hubungkan ilmu-ilmu lain dengan perangkat yang memudahkan pema­
haman dan penjelasan lebih mendalam. Sementara faktor yang kedua
lebih karena perjalanan ilmu itu sendiri yang sebenarnya sudah nampak
dalam pembahasan terhadap ilmu sebelumnya seperti tafasir dan hadits
tersebut140.
Selain itu, penegasan fan dalam nahwu mulai muncul dengan pen­
dalaman yang lebih intens dalam bidang kajian morfologi (ilmu sharf)141.
Metode penelitian langsung juga mulai marak di kalangan ilmuwan. Hal
ini bisa jadi karena berbeda dengan masa-masa awal para ahli nahwu
yang masih mendekati masa dengan hidupnya orang Arab asli di daerah
pendudukan, mereka harus meneliti langsung kepada orang Arab asli
untuk mengetahui dan menyaksikan dengan langsung apa yang diucap­
kan oleh orang Arab. Seperti yang dilakukan oleh al-Khalil dengan
mengunjungi beberapa wilayah di Arab yang dianggap sebagai daerah
yang masih berbahasa Arab asli dan steril dari kontaminasi dengan ko­
munitas lain, yaitu hijaz, Nejd dan Tihamah dan beberapa daerah gurun
yang lain.
Hadirnya kajian Sharaf sebenarnya lebih sebagai peran ulama’ di
Kufah pada generasi awalnya, yaitu al-Ru`asi yang mengamati penting­nya
Thalal ‘Allamah, Tathawwaur al-Nahwi, h. 79.
Thalal ‘Allamah, Tathawwaur al-Nahwi, h. 80.
141
Thalal ‘Allamah, Tathawwaur al-Nahwi, h. 81. Lihat juga Muhammad Thanthawi,
Nasy`at Al-Nahwi, h.23-24.
139
140
80
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
diskursus ini. Ia mengamati bahwa para ulama’ Bashrah nampaknya lalai
dalam memahami bahwa sebuah kata bisa bermakna tidak saja karena
perubahan harakat akhir, akan tetapi juga oleh berubahnya bentuk kata
itu sendiri. Nampaknya hal inilah yang menjadi titik pembeda dengan
ilmuwan di Bashrah dalam perkembangan ilmu nahwu awal142. Mereka
menjadi memiliki icon sendiri dalam kajian bahasa awal. Oleh karena itu
konsolidasi kedua ini mulai menemukan momentum yang bagus bagi
perkembangan nahwu dengan hadirnya polemik yang intens di kedua
kota.
Selain Al-Ru`asi, ulama’ Kufah yang mengkaji apa yang kemudian
disebut ilmu sharaf (kajian morfologi) adalah al-Kisa`I dengan kitab
“al-Mashâdir”, al-Farra’ dengan kitab “fa’ala wa af ’ala”. Kitab-kitab inilah
yang kelak melahirkan kajian sharaf makin menjadi kajian yang terpisah
dari kajian nahwu sebagai ilmu induknya. Perkembangan ini bisa dibaca
sebagai titik awal makin meluasnya kajian nahwu yang kelak menjadi
beberapa fan ilmu yang berbeda namun berada dalam satu tema besar
yaitu ilmu gramatika bahasa Arab dan dalam skala yang lebih luas adalah
ilmu linguistik Arab143. Jika ilmu gramatika hanya membatasi dalam
wilayah sinataksis dan morfologi, maka linguistik meliputi semua aspek
kajian bahasa; sintaksi, semantic, morfologi, fonologi, leksikografi dan
lain-lain.
Kegemilangan ilmu nahwu makin mencapai tingkat yang sem­
purna dengan dedikasi Sibawaih, seorang murid al-Khalil yang di ke­
mudian hari dijadikan guru besar bagi para peminat dan intelektualisme
awal dalam dunia Islam. Sibawaih seakan memecah kebekuan dalam
perumusan nahwu dengan menghadirkan kitab monumental yang belum
sempat diberi nama. Baru belakangan kitab itu populer dengan sebutan
al-Kitab. Sebuah sebutan untuk sebuah karya yang sangat otoritatif dan
dianggap sebagai magnum opus Sibawaih dan ulama’ Bashrah secara
umum. Nama al-Kitab sendiri diberikan oleh para pengkaji belakangan.
Al-Kitab merupakan karya yang pada masanya tidak tertandingi
(unrivalled) hingga beberapa generasi sesudahnya. Kajian sesudahnya
142
143
Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi, h.24
Roger Allen, An Introduction To rabic Literature, h.140.
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
81
bisa dianggap hanyalah catatan kaki bagi Al-Kitab Sibawaih144. Misalnya
saja ulama ‘ Kufah yang sudah menjadi mazhab tersendiri, namun ke­
nyataannya tetaplah menggunakan Al-Kitab sebagai referensi utama.
Ini bisa dipahami, karena perbedaan mazhab kebanyakan hanya dalam
persoalan yang bersifat furu’ (cabang). Dalam tataran ushul, kedua
mazhab ini dianggap tidak terlalu banyak perbedaan145. Hal ini menun­
jukkan kebangkitan yang luar biasa, baik dalam nahwu sendiri maupun
dalam tradisi tulis-menulis di kalangan Islam atau Arab. Sebagaimana
diketahui, bahwa tradisi penulisan di kalangan Arab pada masa awal
masih mengalami kegamangan, maka Sibawaih, karena bangsanya yang
berasal dari Persia, seakan termasuk yang mengawali tradisi penulisan se­
bagaimana gurunya Al-Khalil.
Sementara di belahan kota seberang, ulama’ Kufah juga mulai giat
mengembangkan kajian nahwunya sendiri yang bisa jadi disponsori oleh
penguasa yang telah berpihak kepada kelompok Kufah. Nampaknya
sponsorship ini lebih sebagai usaha untuk mendapatkan legitimasi
yang kuat dari para ulama’ yang ada di Kufah. Al-Kisa`I (w. 189) yang
merupakan representasi dari ‘ulama Kufah146 memainkan peran yang
begitu penting dalam percaturan mendapatkan legitimasi untuk men­
jadi salah satu pionir bagi mazhab Kufah dengan menyusun kitab “AlFaishal”147. Ia merupakan rival berat bagi Sibawaih di Bashrah dan
sekaligus menjadi “teman diskusi “ bagi Sibawaih sebagaimana penye­
butan al-Kisa’I oleh Sibawaih dalam al-Kitab-nya148.
Tokoh lain yang mendorong konsolidasi kedua ini alah al-Akhfasy
al-Kabir (w. 177 H), yang ada di genersi kelima ulama’ Bashrah. Se­
mentara di Kufah generasi setelah al-Kisa’I adalah al-Farra’ (w. 207 H).
Kees Versteegh, Landmarks in Linguistic Tought; The Arabic LinguisticTraditio,
(London: Routledge, 1997), h. 29
145
Thalal ‘Allamah, Tathawwur Al-Nahwi.h. 85.
146
Hidupnya kemudian banyak dihabiskan di Baghdad sebagai pusat pemerintahan.
Sehingga bisa jadi keberadaannya yang dinmasukkan ke dalam ‘ulama’ Kufah melihat
dari asal mula ilmunya diperoleh dan tentu saja kelahirannya. Lihat Musa Muhammada
Hammûd, Al-Nahwu wa Al-Nuhat, …h.74.
147
Muhammad Thanthawi, Nasy’at Al-Nahwi, h. 24.
148
Syawqi Dha’if, al-Madaris nahwiyyah, h. 153.
144
82
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Ia terkenal pula dengan aplikasi nahwunya pada al-Qur’an dalam satu
compendium kitab Ma’aniy al-Qur’an. Tercatat pula pada periode ini
adalah Abu ‘Umar bin al-‘Ula’, Abu Suyfan bin al-‘Ula’, ‘Abdul Hamid
bin ‘Adulmajid yang terkenal dengan Al-Akhfasy Al-Kabir, ‘Isa bin ‘umar
(w. 149 H), Maslamah bin ‘Abdullah, dan Bakar bin Habib al-Sahmiy149.
Sedangkan pada generasi kelima selain al-Khalil adalah Hammad bin
Salmah150 (w.167 H), Yunus bin Habib, Ya’qub bin Ihsan al-Hadhramiy,
Abu ‘Ashim al-Nabil atau juga dikenal dengan al-Dhahhak bin Makhlad.
Dengan demikian, kecemerlangan pada periode ini adalah dengan
hadirnya beberapa kitab yang menjadi rujukan utama bagi ulama’ nahwu
sesudahnya, yaitu al-‘Ain dan al-Jumal oleh al-Khalil dan al-Kitab oleh
Sibawaih.
Fase ketiga yaitu tahap kematangan dan kesempurnaan dimulai
pada masa Abi ‘Utsman al-Maziniy al-Bashriy (w.249 H), seorang ulama
pada tingkatan keenam di Bashrah dan Ya’qub bin al-Sikkît (w. 244 H),
ulama’ generasi keempat di Kufah hingga pada masa Al-Mubarrad (w.
285 H), generasi ke tujuh dan Tsa’lab Al-Kufi (w. 291 H), generasi kelima
di Kufah. Sebagaimana dijelaskan, bahwa polemik ilmu nahwu telah
mewarnai dunia intelektual di kedua kota, Bashrah dan Kufah, hingga
akhirnya muncul dialektika yang cukup seru antara pendapat ulama pada
kedua kota ini. Polemik-polemik inilah yang kelak melahirkan pemikir
nahwu pada generasi selanjutnya di Baghdad sebagai fase keempat dalam
pertumbuhan ilmu nahwu.
Pada fase ini banyak sekali ulama’ nahwu yang tercatat, baik di
Bahsrah maupun di Kufah. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya inilah
puncak dari perkembangan awal ilmu nahwu. Ilmu ini mulai bisa di­
pakai sebagai perangkat untuk keilmuan lainnya, seperti ilmu fiqh dan
ushul fiqh. Selain itu masa-masa perdebatan mengenai teologi juga
marak berbarengan dengan ilmu nahwu ini. Begitu juga penerjemahanpenerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab. Bisa dikatakan bahwa
ilmu nahwu menjadi prasyarat bagi otoritas keilmuan dalam berbagai
Sebagian tahun meninggalnya tidak ditemukan dalam beberapa buku rujukan
penulis, baik dalam al-Nadim, al-Zabidy, maupun al-Anbary.
150
Ia juga dikenal sebagai ahli Hadits. Lihat Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, h. 503.
149
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
83
bidang itu. Munculnya al-Kitab oleh SIbawaih nampaknya juga me­
nyum­bangkan peran yang begitu besar bagi munculnya tradisi keilmuan
yang begitu masif di kalangan ulama’. Fanatisme kedaerahan semakin
memainkan peran yag begitu penting dalam persaingan antar kedua
wilayah151. Bahkan pernah suatu ketika pendapat Sibawayh yang men­
jawab seratus pertanyaan disalahkan semua oleh al-Kisa`I, seorang
ulama nahwu di Kufah. Kejadian ini memperlihatkan beberapa hal,
pertama, fanatisme kedaerahan yang jauh dari sikap obyektif. Kedua,
hal ini menunjukkan mengenai kadar penerimaan nahwu Sibawaih di
kalangan ulama di belahan dunia lain. Ketiga, dengan ujian ini sekaligus
menandai berkembangan kebebasan berpikir di kalangan para ilmuwan.
Kebebasan berpendapat ini memungkinkan berkembangnya keilmuan
dalam berbagai perspektif. Hanya saja memang dalam beberapa fan ilmu
yang dianggap prinsip, perbedaan ini dianggap membahayakan Negara
sehingga kemudian terjadi penangkapan terhadap seorang ilmuwan oleh
para penguasa waktu itu, seperti yang dialami Abu Hanifah, seorang
imam mazhab fiqh, yang mempertahankan pendapat teologisnya.
Kematangan masa ini bisa jadi juga ditandai dengan makin dalam
dan meluasnya kajian terhadap nahwu di kedua wilayah dengan makin
banyaknya guru besar yang menjadi ahli di bidangnya masing-masing.
Selain ditunjang dengan sudah tersebarnya guru besar, kehadiran catatancatatan tertulis juga menyumbangkan peran yang besar. Melihat metode
yang makin berkembang, dari pengajaran oral menjadi transmisi tulisan,
kajian bsa makin leluasa. Mereka mendapatkan justifikasi pendapat
berdasar apa yang tertulis dari guru-guru mereka. Generasi ini menjadi
penghantar bagi perkembangan intelektual yang penting dalam kancah
keilmuan di Bashrah dan Kufah, dan umumnya dalam pemerintahan
transisi dari Umayah ke Abbasiyah.
Sebagaimana dicatat, masa Abbasiyah adalah generasi yang tak ter­
lupakan dalam perkembangan intelektualisme dalam Islam dengan ke­
hadiran beberapa pakar dalam berbagai bidang dan hadirnya tradisi
ilmu yang begitu kuat. Penerjemahan buku dari luar bangsa Arab adalah
momentum penting dan nampaknya telah mendapatkan pijakan kuat
151
84
Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi, h. 28.
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
dengan hadirnya ilmu bahasa (nahwu) ini. Para penerjemah bisa mem­
pertanggungjawabkan hasil terjemahan mereka berdasar ilmu bahasa
yang telah menjadi prasyarat penerjemahan. Ini bisa dilihat dari peran
penerjemah besar Yahya al-Barmaki yang bersahabat denan hangat
dengan para ahli nahwu di Kufah. Ia seakan mendapat supervisi dari
para ahli bahasa ini dalam menerjemahkan karya-karya dari luar.
Menurut Muhammad Thanthawi, masa ini diawali dari tokoh alMazini, seorang pakar nahwu pada generasi kelima di Bashrah dan Ya’qub
bin Sikkît al-Kufi, seorang tokohpada generasi keempat di Kufah.
Generasi yang terakhir yang berperan adalah al-Mubarrad dan Tsa’lab,
masing-masing mewakili ulama’ Bashrah dan Kufah. Momentum pema­
tangan dari masa ini dengan mulai munculnya benih-benih koreksi dan
evaluasi dalam bentuk takhrij, meneliti dan mengkaji dari beberapa pen­
dapat yang kemudian dianggap kuat dan bisa dijadikan pedoman152.
Kalau pada masa konsolidasi kedua mulai muncul kajian penembangan
nahwu dalam bidang sharaf menjad kajian tersendiri, maka nampaknya
proses awal dari takhrij ini menjadi penanda untuk periode ini. Tentu
saja nuansa persaingan kedua kelompok antara Bashrah dan Kufah tidak
kian mereda. Kepentingan penguasa untuk memelihara status quo juga
turut menyumbangkan situasi persaingan ini. Ini dibuktikan dengan
dibiarkannya fanatisme kelompok yang kemudian menguntungkan pe­
nguasa dengan mendukung salah satu pihak, paling tidak untuk men­
dapatkan legitimasi intelektual yang berimbas pada politik.
Penyempurnaan dan penjelasan lebih terhadap nahwu menjadi hal
yang penting pada masa ini. Pijakan yang telah diletakkan pada masa se­
belumnya, seperti oleh al-Khalil, SIbawaih, al-Kisa`I menjadi pedoman
dan bahan yang sangat berharga. Kalau pada masa sebelumnya baru ada
benih kajian sharaf, maka pada masa ini ilmu sharaf benar-benar telah
berdiri sendiri, dan tentu saja melengkapi keberadaan ilmu nahwu itu
sendiri sebagai induknya, bersama-sama menjadi bagian tak terpisahkan
dalam kajian linguistik Arab. Peran-peran ini dimainkan oleh al-Mazini
(w. 249 H) dalam kitab al-Tashrîf dan al-Mubarad.
152
Muhammad Thanthawi, Nasy’at al-Nahwi, h. 26.
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
85
Masa ini seakan menahbiskan supremasi kekuatan masing-masing
sebagai departementasi dari universitas nahwu dalam dunia Islam. Kotakota lain adalah mahasiswa mereka yang kemudian mengembangkan
apa yang telah berdiri kokoh di kedua Kota. Masa ini juga merupakan
masa meluasnya kajian nahwu hingga ke Baghdad hingga kelak kota ini
juga memainkan peran yang penting sebagai generasi penerus nahwu
yang menghantarkan gaung nahwu menjadi lebih keras ke penjuru
dunia yang lain, seperti Mesir dan Spanyol (Andalusia). Dan akhir abad
ketiga menandai berpindahnya supremasi kajian nahwu yang tidak saja
dimonopoli oleh Bashrah maupun Kufah.
Dari ketiga masa ini, metode yang berkembang pada awalnya adalah
metode langsung dengan mendengarkan apa yang diucapkan oleh orang
Arab sendiri (al-Talaqqiy al-Syafahi). Metode ini nampak dalam dua
bentuk, pertama, oleh perumus nahwu itu sendiri, dan kedua, oleh para
murid mereka yang kemudian mencoba menelusuri ke pen­duduk asli
di daerah gurun. Para perumus awal yang orang Arab sendiri dengan
demikian, selain orang asli juga merupakan linguist (ahli bahasa) yang
mampu mengaktualisasikan kemampuannya menjadi sebuah ilmu yang
bisa dikaji oleh para ahli sesudahnya. Dan merekalah guru pertama bagi
kelahiran nahwu. Sementara para murid mereka yang selain belajar
kepada para guru pertama yang masih asli orang Arab, mereka mem­per­
dalam kompetensi mereka dengan merujuk langsung kepada para Badui
di pedalaman Arab.
Metode yang kedua adalah dengan metode teks, di mana para pe­
minat bahasa telah menemukan catatan-catatan maupun hasil catatannya
sendiri yang kemudian dipelajari ahli sesudahnya. Dari catatan-catatan
ini mereka kemudian memberikan uraian penjelasan yang panjang ber­
dasaran keterangan yang mereka ketahui tetapi tidak ditemukan pada
catatan sebelumnya.
Dan metode yang ketiga adalah model yang sudah murni hasil
kajian dari para penyusun kitab, dalam arti mereka sudah tidak men­
jumpai langsung orang yang berbicara dalam bahasa Arab. Hal ini bisa
jadi dikarenakan jarak yang jauh, baik secara geografis maupun secara
86
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
rentang waktu generasi di atasnya153.
Dengan demikian, dari ketiga masa ini, sepenuhnya dimainkan oleh
ulama di Bashrah dan Kufah. Dan dari keduanya memilki karakter masingmasing. Beberapa di anataranya adalah bahwa, pertama, kajian nahwu di
Bashrah, dianggap mengandung kajian logika yang mendalam154. Kedua,
mereka tentu saja dikenal sebagai peletak dasar nahwu yang kelak men­
jadi bahan kajian dan dikembangkan oleh ulama, baik di Bashrah sendiri
maupun di luar Bashrah. Dari karakter ini kemudian menjadi­kan
mereka sangat ketat dalam hal aturan-aturan nahwu. Ketiga, aturan
yang ketat dalam pemberlakuan sumber pengambilan (sampel) nahwu.
Dan karakter yang ketat ini bisa jadi disebabkan oleh watak mereka se­
bagai “penjaga gawang” aturan nahwu.
Adapun ulama’ Kufah adalah sebaliknya dalam hal pemberlakuan
pengambilan “sumber hukum” nahwu. Mereka cenderung tidak begitu
terikat dengan apa yang digariskan oleh pendahulu mereka di Bashrah.
Dengan demikian mazhab Kufah lebih leluasa dan lebih luas dalam
mengambil sumber. Mereka juga kemudian berhasil mengembangkan
metodologi qiyas (analogi).
Setalah mengalami kematangan pada masa sebelumnya, maka
muncul fase keempat yaitu fase tarjih, yaitu fase untuk memilih pendapat
yang terkuat dari berbagai pendapat yang berkembang di Bashrah dan
Kufah. Fase ini dimainkan oleh para ilmuwan di Baghdad pada abad 4
dan seterusnya hingga ke Andalusia di Spanyol (Spain). Sebagaimana
diketahui, Baghdad merupakan ibu kota pemerintahan Islam yang di­
bangun oleh al-Manshur (Abu Ja’far, w. 145 H/ 775 M). Kota ini men­
jadi kota metropolitan yang menjadi tempat bertemunya beberapa
kebudayaan dan berkembang sangat cepat. Selain menjadi pusat peme­
rintahan, khalifah yang berkuasa waktu itu juga membangun pusatpusat peradaban, seperti, perpustakaan, museum, pusat penerjemah­
an dan pusat pendidikan155. Dengan hadirnya ilmu nahwu di Baghdad,
maka makin membuka peluang bagi ilmu ini untuk dikembangkan oleh
‘Abdul Karim , al-Washith Fî al-Târikh al-Nahwi, h.45.
Abdul Karim , al-Washith Fî al-Târikh al-Nahwi, h.40.
155
Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 454.
153
154
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
87
intelektual yang banyak bermunculan di Baghdad dalam berbagai disiplin
ilmu156. Apalagi semenjak awal abad ketiga, tradisi penerjemahan dan
kehadiran ilmu asing sudah sangat marak. Kondisi ini memang sangat
ideal untuk pengembangan ilmu nahwu.
Masa ini dikenal dengan masa untuk men-tarjih, namun meskipun
demikian, beberapa tokoh juga menampakkan kecenderungan untuk
mendukung satu pihak, baik terhadap Bashrah maupun Kufah, seperti
yang dilakukan oleh Abu Musa al-Hamidh (w. 305) yang cenderung
memihak kepada ulama’ Kufah. Beberapa juga memihak kepada ulama’
Bahsrah, seperti Ibn Sarraj (w. 312 H), al-Zujajiy (w. 337 H) dan Abu
Bakar Muahammad bin ‘Ali al-‘Askary (w. 345 H), Ibn Darastawaih (w.
347 H). Keadaan ini seakan melupakan situasi politik di Baghdad yang
lebih condong kepada Kufah, di mana Kufah pada mulanya adalah pe­
nyokong utama berdirinya kekhalifahan di Baghdad oleh Abbasiyyah.
Kecondongan mereka bisa dimaklumi karena Kufah adalah pengikut
Ali yang menjadi sekutu bagi al-Manshur dan kelompoknya untuk
meng­­gulingkan dinasti Umayyah. Namun demikian, pada perjalanan se­
lanjutnya, Kufah harus menerima kekecewaan dengan kebijakan khalifah
di Baghdad.
Metodologi mereka tidak saja hanya memilih dari apa yang ber­
kembang, akan tetapi mereka juga mengembangkan metodologi sendiri
hingga mendapat otoritas dari pengembang ilmu nahwu di luar apa
yang dilakukan oleh ulama sebelumnya, baik di Bashrah atau­pun Kufah.
Mereka masih bisa melacak kepada sumber aslinya sehingga sangat
memungkinkan untuk mengetahui mana pendapat yang kuat. Sebagai­
mana diketahui bahwa ukuran yang disepakati untuk menjustifi­kasi ke­
fashihan bahasa untuk para penduduk Badui adalah 4 empat abad dari
penelitian awal mengenai nahwu. Mereka masih dianggap sebagai suku
yang steril dari pengaruh luar. Sedangkan bagi suku yang tinggal di daerah
pinggiran disepakati hanya sampai pada dua abad sesudah penelitian awal
Tradisi baru Daulah Abbasiyah lebih progresif dibanding dengan pendahulunya,
Umayyah, ditandai dengan keterbukaan terhadap hadirnya suku lain di luar bangsa
Arab di dalam pemerintahan, dan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan yang lebih
luas. Lihat Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), h.50.
156
88
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
mengenai nahwu. Dengan demikian yang terjadi adalah percampuran
terhadap kedua mazhab sebelumnya (Mulfiq/ talfiq)157. Hal ini sangat di­­
mungkinkan karena mereka dengan bebas tidak memihak kepada salah
satu mazhab. Mereka tidak terikat, baik secara emosional maupun politis
dengan kedua wilayah ini. Tetapi memang kemudian diakui bahwa dalam
banyak hal, pendapat beberapa ulama’ lebih mirip dengan pendapat
ulama’ Kufah, karena dianggap pendapat ulama’ Kufah lebih kuat dari
Bashrah. Selain itu harus dicatat pula bahwa kelompok pertama yang
berhubungan dengan ulama’ di Baghdad adalah ulama’ dari Kufah. Pada
sisi yang lain kemudian sebagain ulama’ berpegang dengan pendapat
ulama’ Bashrah yang dianggap lebih kuat158, setelah mereka juga merujuk
langsung kepada ulama’ Bashrah159.
Perdebatan dalam pengambilan hukum ini berlangsung lama di
Baghdad dan di kota-kota yang kemudian mengambil ilmu di Baghdad
untuk dikembangkan di daerah masing-masing. Kecenderungan untuk
memihak nampaknya lebih kepada kecocokan metodologi yang bagi
mereka bisa diterima, sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama
tersebut sebelumnya160.
Peran dari perangkat ilmu nahwu ini menjadi salah satu jembatan
bagi bertemunya ilmu agama di satu sisi dan ilmu filsafat Yunani di sisi
lain. Mereka bisa menggunakan perangkat bahasa yang telah mapan
untuk menjelaskan dan mensistematisasikan pemikiran filsafatnya. Peran
bahasa dalam menterjemahkan filsafat sangat penting setelah ilmu bahasa
itu sendiri mapan sebagai hal yang ilmiah. Dan dalam beberapa hal yang
terjadi kemudian adalah bercampurnya ilmu nahwu dan filsafat, setelah
filsafat menjadi arus utama kajian keilmuan di Baghdad dalam beberapa
masa sejak kemunculan awalnya.
Periode perkembangan nahwu ini menandai keterbukaan wilayah
baru ini terhadap perkembangan keilmuan Islam. Nahwu di Baghdad
berkembang pada abad ke-4 Hijrah. Periode ini adalah periode konsoli­
Muhammad Thanthawi, Nasy`at al-Nahwi, h. 112.
Syauqy Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 245.
159
Abdul Karim Muhammad Al-As’ad, al-Washit Fî Tarikh al-Nahwy al-‘Arabiy,h. 113.
160
Syauqy Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 248.
157
158
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
89
dasi untuk menuntaskan perdebatan antara Bashrah dan Kufah hingga
menjadi semacam sintesa dari kedua kecenderungan yang berbeda. Pada
sisi lain mereka sama sekali berbeda dengan pendapat, baik dengan
Bashrah maupun Kufah161. Periode ini juga disebut sebagai periode tarjih,
yaitu pemilihan pendapat terkuat dari beberapa pendapat.
Syauqi Dhaif mencatat bahwa sebenarnya eksistensi Baghdad men­
jadi mazhab sendiri masih diperdebatkan, karena sebagian ulama’ Baghdad
sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari mazhab Bashrah
ataupun Kufah. Seperti yang dilakukan oleh Abu ‘Ali al-Farisiy (w. 377
H/ 987 M) dan Ibnu Jinni (w. 396 H/ 1001 M). Tokoh-tokoh yang
ter­­kenal di Baghdad adalah Ibnu Kaysan, seorang pemuka di Baghdad
dalam bidang nahwu, Abu ‘Ali al-Farisi, Ibnu Jinni, dan Zamakhsyari.
Tokoh-tokoh ini hanya sedikit di antara tokoh di Baghdad162.
Perkembangan nahwu (Arabic Grammar) selanjutnya makin meluas
seiring dengan meluasnya pengaruh Islam keluar kawasan yang meliputi
hingga Afrika dan daratan Eropa melalui Mesir. Pola ini nampaknya
hampir sama dengan perluasan pada masa Romawi yang juga mem­per­
luas wilayah ke Timur melalui Mesir pula (Alexandria). Bahkan prestasi
ini konon lebih besar dari yang diperoleh bangsa Romawi sebe­lum­
nya, hingga hal ini mencengangkan bangsa barat (Romawi) dan timur
(Mongol).
Bahasa Arab masuk ke Andalusia bersamaan dengan ditaklukkan­
nya wilayah ini oleh Abdurrahman al-Dakhil (w. 172 H). Generasi nahwu
di Andalusia waktunya hampir bersamaan dengan generasi Bashrah,
Kufah dan di Baghdad pada akhir abad kedua Hijriyah. Ulama’ di
Andalusia banyak yang belajar nahwu kepada ulama-ulama di Kufah,
seperti al-Kisa’I dan al-Farra’. Namun demikian, sama halnya dengan
ulama’ di Baghdad, para tokoh nahwu di Andalusia juga tidak condong
kepada satu mazhab di Kufah atau Bashrah saja163. Ulama nahwu yang
terkenal di Andalusia di antaranya adalah Abu Musa al-Hawari (w. 199
Lihat Musa Muhammad Hammud, al-Nahwu wa al-Nuhat, h. 114.
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h.245-276. Ia hanya menuliskan beberapa
tokoh dengan dasar karya yang terkenal saja.
163
Syauqi Dhaif, Al-Madaris Al-Nahwiyyah, h. 289.
161
162
90
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
H) yang dianggap pembawa ilmu bahasa Arab pertama di Andalusia,
kemudian Jawdiy bin ‘Utsman (w. 198 H), ‘Abdul Malik bin Habib AlSulmy (w. 239 H), Ibn Madha’, Ibn Malik dan beberapa ulama yang lain.
Penting dicatat bahwa meskipun secara geografis Adalusia ada di
seberang daratan Eropa, namun dalam beberapa catatan Andalusia lebih
dahulu dimasukkan dalam generasi yang lebih dahulu dibanding dengan
Mesir. Generasi di Mesir selalu dicatat paling belakang dalam be­berapa
literatur.
Dari keempat generasi di atas, perkembangan ilmu nahwu seakan
tidak mengalami pergolakan serius dilihat dari sisi perkembangan politik
pemerintahan. Dari masa awal kelahirannya hingga menyebar ke ber­
bagai penjuru wilayah kekuasaan Islam awal, ilmu nahwu seakan tidak
goyah oleh krisis politik yang menyertai perjalanan pemerintahan Islam.
Misalnya ketika pergantian pemerintahan dari ‘Umar bin Khaththab,
Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah di Damaskus dan Andalusia, hingga
Abbasiyyah di Baghdad, tidak ada keterangan mengenai keterlibatan
para ahli nahwu dalam pergolakan politik yang dikarenakan ketekunan­
nya dalam keilmuan. Mereka seolah menjadi personal yang tidak ter­
sentuh oleh pertarungan politik, meskipun keberadaan mereka tidak
lepas dari campur tangan politik sebagaiman diterangkan di atas, khusus­
nya untuk kepentingan mendukung pemerintahan yang sedang berjalan.
Namun bagaimanapun pelibatan mereka oleh pemerintahan tidaklah
mengurangi kedalaman kajian terhadap nahwu hingga menjadi beberapa
cabangnya.
Dan setelah ilmu ini mapan, nahwu menjadi prasyarat keilmuan
bagi para ilmuwan dalam Islam. Para ahli hukum harus mempelajari
kajian linguistik ini secara mendalam sebelum mereka melangkah lebih
jauh terhadap kajian keilmuan lain, seperti fiqh, filsafat, sastra, tasawuf
dan cabang ilmu lainnya. Sertifikat keahlian dalam bidang nahwu harus
didapatkan sebelum mengkaji ilmu yang lain. Dan persoalan serius yang
sering muncul adalah bahwa saat nahwu menjadi bahan perdebatan ketika
sudah inheren dengan kajian ilmu yang lain, misalnya ketika memasuki
wilayah filsafat, tasawuf, dan fiqh.
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
91
E. PERDEBATAN DI SEPUTAR PENGARUH FILSAFAT
YUNANI TERHADAP KODIFIKASI NAHWU
Melihat penjelasan di atas, kita bisa menelusuri orisinalitas pemikiran
nahwu. Masa hidup para tokoh nahwu awal antara 60-180 H, mereka
hidup pada masa pemerintahan khalifah Umayyah hingga Abbasiyyah.
Sementara, ulama terkenal dalam bidang nahwu, Sibawaih, hidup hingga
masa Harun Al-Rasyid (w. 193 H)164. Lingkungan pemikiran dan pen­
didikan di Bashrah waktu itu menunjukkan gairah yang tinggi. Banyak
ilmuwan awal yang bermunculan dengan berbasiskan ilmu bahasa Arab
yang berkembang menjadi ilmu nahwu. Pada masa ini ilmu nahwu masih
mencakup semua keilmuan yang berkaitan dengan bahasa Arab165; nahwu
(sintaksis), sharaf (morfologi), manthiq (logika), balaghah (gaya bahasa),
bâdi’, bayan, ‘arudh, dan leksikografi. Saat ini, masing-masing keilmuan
tersebut telah terpisahkan dalam satu disiplin ilmu tersendiri.
Masa pemerintahan al-Mahdi adalah masa keemasan awal dari
dinasti Abbasiyah. Hingga menjelang wafatnya, Sibawaih mengalami
masa puncak kejayaan pada masa Harun al-Rasyid. Khalifah ini menjadi
salah satu kampium dunia di Timur, dan menjadi pesaing kekuasaan
Barat oleh Charlemagne. Namun kekuasaan Harun lebih luas, dengan
didukung oleh peradaban yang tinggi. Meskipun di Baghdad berdiri
Dinasti Abbasiyah, namun kekuasaan Umayyah masih berlangsung di
Andalusia.
Masa ini adalah masa dimulainya banyak penerjemahan oleh para
ahli bahasa yang dimiliki oleh kerajaan Islam. Penerjemahan dilakukan
secara massif dan kemudian hasilnya disimpan sebelum kemudian di­tulis
kembali oleh para ahli tulis kerajaan166. Dari penerjemahan ini mereka
tidak saja mengasilkan jiplakan, tetapi juga menghasilkan karya-karya yang
original. Karya yang menurut Philip K Hitti tidak original hanya dalam
dua bidang, yaitu filsafat dan kedokteran. Adapun mengenai filologi,
Al-Kisa’I dan Yunus bin Habib juga meninggal pada masa pemerintahan Harun
AL-Rasyid. Lihat Jalaludin AL-Suyuthi, Târikh AL-Khulafa`, h. 276.
165
M.G. Carter, Sibawayhi, (Oslo: I.B. Tauris, 2004), h.4
166
Ini adalah upaya semacam mem-back up dokumen, karena belum ada mesin
cetak apalagi fotocopy.
164
92
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
hukum , teologi, dan bahasa, merupakan karya penelitian yang dianggap
original167. Tentu keterangan ini banyak yang menentang, seperti apa
yang disampaikan Versteegh yang sejak dini sudah menyatakan bahwa
ilmu bahasa Arab awal, dalam hal ini nahwu, adalah ilmu yang banyak
men­jiplak dari Yunani melalui filsafatnya.
Para pakar, baik dari Timur Tengah maupun dari Barat banyak yang
berbeda pandangan dalam otentisitas dan orisinalitas nahwu. Sebagian
mengatakan bahwa nahwu banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani,
dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nahwu sama sekali tidak di­
pengaruhi oleh filsafat Yunani. Masing-masing mendasarkan pada
argumen yang mereka pegangi.
Memang tidak dipungkiri bahwa pemikiran dalam bidang filsafat
berakar kuat pada filsafat Yunani melalui sekolah-sekolah yang telah
berdiri sebelumnya di daerah Persia dan Syuriah. Sekolah-sekolah ini
tidak dihancurkan dan malah dipelihara oleh para penakluk awal Islam.
Pada masa Umayyah, sekolah-sekolah ini tetap berdiri kokoh dan tidak
diganggu sedikitpun168. Namun pemikiran filsafat ini tentu saja tidak
begitu saja diterima oleh masyarakat Islam. Kontribusi filsafat Islam
adalah dalam penggabungan pengalaman agama dalam filsafat yang
meng­hasilkan filsafat yang khas dibanding sebelumnya, hingga dalam
dunia muslim muncul istilah tidak saja mengenai ahli fislafat tetapi juga
hukama’ (ahli hukum) untuk para cerdik pandai dalam filsafat. Selain
sebutan hukama’ juga muncul istilah mutakallimûn, yaitu sebutan untuk
para ahli kalam, yang berhasil menggabungkan ilmu filsafat dengan ilmu
tauhid atau teologi169. Para pakar ini muncul pada awal abad ketiga oleh
Al-Kindi.
Dari sejarah ini maka muncullah pendapat yang banyak dilancar­
kan oleh para ahli sejarah nahwu, bahwa nahwu sangat dipengaruhi oleh
filsafat Yunani. Jalur ini ditelusuri melalui bentuk kata-kata atau istilah
yang digunakan dalam nahwu yang dianggap mirip dengan konsepsi
Phili K. Hitti, History of The Arabs, h. 454. Lihat juga Kees Versteegh, Landmark
In Linguistic thought III, h. 41.
168
Lihat bab II dan III.
169
Phili K. Hitti, History of The Arabs, h. 462.
167
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
93
filsafat dari Yunani. Dan kelompok yang dianggap sangat mendekati
konsepsi filsafat adalah kelompok Bashrah. Pendapat ulama’ di Bashrah
yang banyak menggunakan istilah taqdir dalam mengira-kirakan ‘amil
(faktor/ governance), dianggap terlalu menggunakan logika170.
Konsepsi nahwu dan filsafat memang telah lama menjadi per­
debatan, antara yang mengklaim bahwa bahasan nahwu adalah bahasan
logika dan sebaliknya. Ini misalnya terjadi antara Abu Sa’id Al-Sairafi
(w. 979 M ) dan Abu Bisyr Matta bin Yunus (w. 940 M), di mana yang
pertama mewakili ahli nahwu dan yang kedua mewakili ahli logika Yunani.
Dalam perdebatan tersebut, yang pertama mengatakan tentang perlu­nya
seorang ahli filsafat untuk belajar bahasa lebih dahulu, sementara yang
kedua mengatakan bahwa seorang yang telah belajar logika tidak perlu
belajar bahasa171.
Namun dalam kenyataannya, peran ahli bahasa lebih dominan dalam
penerjemahan ilmu-ilmu Yunani melalui jalur bahasa Syiria. Hal ini
berbeda dengan peran para ahli filsafat awal yang cenderung menter­
jemahkan bahasa Yunani menjadi terjemahan kata per kata. Mereka tidak
mengetahui susunan gramatikal yang benar mengenai objek yang di­
terjemahkan172.
Penjelasan mengenai adanya pengaruh filsafat Yunani dalam teo­
ritisasi nahwu dikemukakan oleh Adalbertus Merx (1889 M) yang
meru­
pakan ahli ketimuran (orientalis) berkebangsaan Jerman, yang
me­ngatakan bahwa aspek keterpengaruhan nahwu ada dalam dua hal,
pertama, dari sisi metodologi dan kedua, dari sisi terminologi. Dari sisi
metodologi, aspek paling pokok yang dianggap sangat terpengaruh adalah
konsep mengenai I’rab (fleksi). Konsep ini sama dengan teori filsafat
Yunani dengan istilah hellenizein atau hellenismos. Selain itu, istilahistilah dalam nahwu yang lain juga sangat terpengaruh dengan beberapa
konsep mengenai kalimat dalam bahasa Yunani, yaitu; 1). Pembagian tiga
jenis kata dalam (kalam) bahasa Arab menjadi tiga; isim, fi’il, hurf, sama
Syauqy Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, h. 20.
Kees Versteegh, Landmark on Languistic Thought, h. 40.
172
Kees Versteegh, Landmark on Languistic Thought, h. 40.
170
171
94
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
dengan konsep anoma, rhema dan sunesmos173.
Pembagian ini pertama kali sebenarnya dilakukan oleh Plato (429
- 348 SM) dengan konsep dasar, bahwa jenis kata dibagi menjadi dua,
yaitu anoma dan rhema. Kemudian oleh muridnya, Aristoteles (384322 SM), konsep ini dikembangkan menjadi tiga, yaitu anoma, rhema,
dan sundesmos174. Inilah yang menjadi bahan perbincangan mengenai
kesamaan konsep pembagian kata yang dikembangkan di Arab.
Selanjutnya pada tahun 130 SM, Dyonisisus Thrax, seorang filusuf dari
Aleksandria, menyusun buku mengenai tata bahasa “techne gramatike”,
yang membagi kategori kata menjadi delapan, yaitu nomina, pronominal,
artikel, verba, adverbial, preposisi, partisipium, dan konjungsi175 .
Selanjutnya Merx, sebagaimana dijelaskan oleh Zamzam Abdillah,
menjelaskan bahwa konsep tentang gender dalam kalimat Arab
juga dipengaruhi oleh teori mengenai genos. Kemudian konsep kata
keterangan atau zharaf sama dengan konsep tentang space and time
atau ruang dan waktu. Istilah mengenai al-hâl dikaitkan dengan dua
istilah dalam Yunani, hexis dan diathesis, dan konsep tentang al-khabar,
terpengaruh dengan kataegoroumenon176.
Hal ini juga dikuatkan oleh Rundgen (1976) yang menyimpulkan
bahwa konsep dalam nahwu banyak dipengaruhi oleh konsep dalam
tata bahasa Yunani. Misalnya istilah al-sharf yang sama dengan konsep
klisis (flection), istilah al-I’rab sama dengan konsep hellenismos (declension),
konsep al-musnad ilaih mirip dengan konsep hupokeimenon (subject), dan
konsep al-khabar, sama dengan konsep kataegoroumenon (Predicate). Bahkan
secara radikal, ia menyatakan bahwa istilah nahwu sama dengan konsep
analogia.
Zamzam A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, (Yogyakarta: BSA Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga,
2003), h. 8.
174
Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1993), h.10.
175
Ia adalah seorah ahli bahasa yang banyak mempelajari mengenai ajaran Aristoteles.
Ia membahas dalam bab mengenai Kalimat (sentence) yang ia definisikan menjadi
kombinasi dari kata, baik dalam bentuk wacana maupun hanya sebuah ayat saja. Lihat
Dyonisius Thrax, Grammer, translate by Thomas Davidson, (Saint Louis, MO: 1874), h.8.
176
Zamzam A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, h. 8.
173
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
95
Nampaknya pendapat kedua ini sangat menguatkan pendapat yang
pertama hingga secara fundamental tidak ada tempat bagi indepen­
densi nahwu. Pengaruh inilah yang disebut oleh C.H.M Versteegh177
sebagai pengaruh langsung. Ia menjelaskan bahwa, pengaruh langsung
itu sangat lemah, karena antara masa kodifikasi nahwu dan penerjemah­
an filsafat di dunia Arab, rentang waktunya tidak bersamaan. C.H.M.
Versteegh mengajukan tesis bahwa keterpengaruhan dalam teoritisasi
nahwu merupakan pengaruh yang tidak langsung (ndirect influence). Pe­
ngaruh yang dimaksud adalah adanya Hellenisasi sebelum Islam datang
menguasai bangsa Persia178. Sementara pengaruh yang terjadi secara
langsung hanya terjadi pada masa setelah adanya penerjemahan besarbesaran di Persia, di mana tempat ini adalah wilayah kekuasaan Bizantium
yang kemudian dikuasai Islam. Pendapat ini mirip dengan penjelasan
Ábduh Râjihi yang mengatakan bahwa keterpengaruhan pemikiran
nahwu oleh filsafat Yunani terjadi tidak secara langsung, yaitu melalui
pengaruh ahli gramatika Suryani dan yang kedua melalui penerjemahan.
Namun ia juga menegaskan bahwa hal itu terjadi karena pada masa awal
perumusan nahwu sangat sulit diverifikasi mengenai keterlibatan filsafat
Yunani di Arab secara langsung179.
Sama dengan kedua ahli sejarah tersebut, C.H.M. Versteegh meng­
ajukan teori mengenai konsep keterpengaruhan dengan mengajukan
be­berapa terminologi gramatika Yunani yang dianggap sama dengan
kategorisasi dalam nahwu, ketika wilayah yang tadinya menjadi kekuasa­
an Bizantium menjadi wilayah kekuasaan Islam, dengan cara meminjam
istilah-istilah yang digunakan oleh bangsa Yunani dalam kategorisasi
tata bahasa sebagaimana tabel berikut:
Huruf singkatan pada awal penulisan namanya perlu ditulis untuk membedakan
dengan linguist lainnya, Kees Versteegh.
178
Zamzam A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, h. 9-10.
179
Abduh Râjihi, al-Nahwu al-‘Arabiy wa al-Dars al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Nahdhah
al-‘Arabiyah, 1986), h. 62.
177
96
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Istilah Nahwu
Al-harf
Al-I’rab
Al-sharf
Al-raf ’
Al-harakah
Al-I’lal
Al-kalam
Al-fâidah
Al-ma’na
Istilah Yunani
Stoicheion
Hellenismos
Klisis
Orthe ( ptosis)
Kinesis
Pathe
Logos/ lexis
Autoleleia
Lekton
Istilah Linguistik Modern
Particle
Declension
Inflection
Nominative
Vowel
Sound changes
Sentence/ utterance
Meaningfullness
Meaning
Melihat penjelasan dari C.H.M Versteegh ini nampaknya lebih opera­
sional daripada yang lain, karena dilengkapi dengan istilah lingusitik
modern dan lebih lengkap dari kedua penjelasan di atas180. Dan secara
umum, ketiganya tetap pada sikapnya bahwa nahwu sangat dipengaruhi
oleh konsep tata bahasa dalam filsafat Yunani, khususnya konsep Aris­
totelian. Yang tidak dijelaskan oleh ketiganya adalah mengenai sejarah
periodisasi perumusan nahwu di Arab. Dengan demikian ketiganya me­
lakukan generalisir terhadap periodisasi nahwu, atau bisa jadi mereka
hanya melihat bentuk jadi dari nahwu seperti sekaran ini. Mereka tidak
menyebutkan alur dari munculnya kodifikasi dalam nahwu, yang di­
anggap hanya terjadi pada masa ketika Islam sudah sampai di Persia.
Pendapat ini mendapat dukungan juga dari beberapa ahli di Timur
Tengah sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Abdurrahman al-Haj
Shâlih, yang berasumsi bahwa konsepsi Sibawaih mengenai harf bisa
jadi merupakan konsepsi yang diambil dari filsafat Yunani, sundesmos.
Ini adalah konsepsi Aristoteles sebagaimana penjelasan sebelumnya.
Jawwad Ali bahkan menelusuri hingga kepada ‘Ali bin Abi Thalib, yang
pertama kali merumuskan pembagian kalam menjadi tiga; al-ism, al-fiil
dan al-hurf. Ia menduga bahwa ‘Ali sudah melakukan kontak lebih dulu
dengan penduduk Hira, sebuah pusat berkembangnya sekolah Yunani.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ishaq Saka yang berkomentar sama
Zamzam A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, h. 10.
180
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
97
dengan kedua tokoh itu. Namun pendapat ketiga tokoh dari Timur
Tengah ini dianggap kurang mendapatkan bukti yang jelas181.
Namun demikian, hal ini tetap perlu ditelaah lebih lanjut dengan
berbagai pendekatan, baik sejarah, humanitas, maupun secara sosiologis.
Komentar yang lebih dalam dan lebih terperinci diberikan oleh Ibrahim
Salamah Madzkur. Ia menjelaskan bahwa definisi Sibawaih mengenai
fi’il sama dengan definisi verb yang digunakan oleh Aristoteles, yaitu; se­
buah kata yang menunjukkan suatu makna dan mengandung unsur waktu
di dalamnya. Sedangkan nomina diartikan sebagai sebuah kata yang me­
ngandung sebuah makna dan tidak mengandung unsur waktu; sekarang,
lampau dan akan datang. Definisi ia dapatkan dalam buku Aristoteles
Organon. Selain argumen ini, ia mengajukan argumen historis di mana
pada tahun-tahun awal dirumuskannya nahwu sudah mulai ada pener­
jemahan karya logika Yunani ke dalam bahasa Arab oleh Ibn Muqaffa
(w. 143 H/757 M). Selain itu juga terpengaruhnya penerjemah awal se­
perti Hunain Ibn Ishaq.
Hal ini juga dikemukakan oleh Syauqy Dhaif dengan mengutip
pendapat beberapa orientalis yang menyatakan bahwa pertumbuhan
nahwu awal di Bashrah sangat berhubungan dengan berkembangnya
tata bahasa Suryani, India dan Yunani182. Hubungan ini dengan demikian
juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibrahim Salamah Madzkur di
atas, yaitu hubungan historis di wilayah tersebut. Keberadaan wilayah
Bashrah yang lebih dekat dengan sekolah Jundisyapur menjadi penguat
akan hubungan ini, di mana di Jundisyapur telah dikembangkan pen­
didikan filsafat Yunani dan India dalam bahasa Persia. Dan dari sinilah
bermunculan para penerjemah awal yang kelak menjadi penerjemah
kerajaan. Tradisi inilah yang dianggap menghantarkan para tokoh di
Bashrah menjadi nampak lebih akrab dengan logika Yunani dan se­
kaligus juga membekali mereka dengan ilmu kalam berbasis logika
Aristoteles183.
Zamzam A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, h. 12.
182
Dalam hal ini, istilah yang disebutkan juga nahwu untuk tata bahasa Suryani,
India dan Yunani. Lihat Syauqy Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, h. 20.
183
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 21.
181
98
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Sementara, merunut sejarah yang dikemukakan oleh Philip K. Hitti,
bahwa masyarakat yang mendiami Kota Kufah adalah masyarakat yang
berasal dari Hira, yaitu daerah yang pernah menjadi ibukota kerajaan
Lakhmi pada masa kekauasaan Babilonia, serta kota Bashrah yang me­
ru­pakan kota satelit dalam pemerintahan Islam, telah menjadi pusat pe­
ngembangan bahasa Arab oleh para muallaf; orang yang telah berhasil
masuk Islam atu setidaknya ditaklukkan oleh Islam. Meskipun motivasi
awalnya adalah untuk mempelajari al-Qur’an, namun perlahan-lahan
dianggap terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang telah lama bersemi
bersama kebudayaan Suryani dan Persia. Ia dengan tegas bahkan me­
ngatakan bahwa keterpengaruhan ini berlangsung semenjak Ali bin Abu
Thalib, Abu Aswad Al-Du’ali, Al-Khalil hingga Sibawaih. Ia tidak men­
jelaskan secara detail dan teknis mengenai kadar keterpengaruhannya
ini184. Dengan demikian ia lebi mengedepankan asumsi berdasar sejarah
yang telah berlangsung lama di daerah Baghdad dan sekitarnya, ter­
masuk Bashrah dan Kufah.
Keterangan yang lain juga diberikan oleh Abdul Karim Muhammad
As’ad ketika ia tidak dengan tegas mengatakan keterpengaruhan rumus­an
nahwu di Bashrah dengan adanya konsepsi logika filsafat. Ia tidak me­
ngatakan bahwa logika filsafat yang dimaksud adalah filsafat Yunani185.
Pengaruh yang dimaksud adalah mengenai banyaknya konsep taqdir
dalam rumusan nahwu ulama Bashrah. Misalnya adanya ‘illah pertama,
kedua dan seterusnya. Ia menyinggung hal ini ketika membedakan corak
nahwu ‘ulama’ Bashrah dan Kufah, di mana nuansa logika begitu kental
di Bashrah. Sementara Jurji Zaydan menelusuri dari aspek kontak ahli
grammatika Suryani dengan para linguist Arab telh terjadi sejak awal,
sehingga sangat mungkin bahwa grammatika bahasa Arab juga di­
pengaruhi oleh bahasa Suryani yang telah lebih dahulu mengadakan
kontak dengan Yunani186.
Supremasi pemikiran filsafat yang selalu diklaim berasal dari Yunani
memang nampak menjadi alasan kuat para komentator mengenai
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, h. 302.
Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Wasîth Fî Târikh al-Nahwi, h. 40.
186
Thalal ‘Allâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 105.
184
185
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
99
nahwu ini. Akar filsafat dan sejarah penaklukan Bizantium ke arah
kawasan teluk bisa menjadi justifikasi dari pendapat ini187. Setidaknya
ada dua alasan dari yang mendukung pendapat ini, yaitu; pertama, alasan
historis. Alasan historis ini dengan menampilkan sejarah penaklukan
wilayah yang di kuasai Islam adalah wilayah yang tadinya menjadi ke­
kuasaan Bizantium dan Romawi, yang keduanya akomodatif bahkan
mengembangkan pemikiran filsafat, dengan cara mendirikan sekolahsekolah yang mengajarkan hasil karya para filosof awal. Yang kedua,
alasan substansi, yaitu melihat istilah yang banyak digunakan oleh para
ahli nahwu awal sangat mirip dengan konsepsi filsafat mengenai tata
bahasa. Hal ini banyak dikaitkan dengan konsepsi yang dikembangkan
oleh Plato, Aristoteles dan Thrax, Sebagaimana penjelasan sebelumnya.
Kedua argumen ini memang sangat logis dan nampaknya sulit dibantah.
Bantahan mengenai ini kemudian datang dengan berbagai argumen
oleh para tokoh baik di Timur maupun di Barat. Seperti Ahmad Amin,
sebagaimana dikutip oleh Thalal ‘Allâmah yang menyebutkan bahwa
sebenarnya pengaruh bahasa lain, baik dari Suryani maupun Yunani
itu, kalaupun ada sangat kecil188. Thalal ‘Allâmah sendiri melemahkan
pendapat para tokoh sejarah yang menyatakan bahwa grammatika
Arab sangat dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani. Ia mengemukakan
bahwa bukti-bukti untuk mendaptkan itu sangat sulit didapatkan, se­
hingga kebanyakan hanya berdasarkan asumsi saja189.
Ibrahim al-Sâmarrâî (1923-2001), sebagaimana dikutip Zamzam
Abdillah dan Muhbib Abdul Wahab, yang mengkritik Ibrahim Salâmah
Madzkur dari aspek historis. Pendapat Ibrahim yang mengatakan bahwa
Ishaq bin Hunain pernah berguru pada Khalil adalah pendapat yang
sangat keliru, karena keduanya hidup dalam rentang waktu yang berbeda.
Menurut Peter burke, pada dasarnya penaklukan wilayah baru juga meliputi
penaklukan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi dasar bagi supremasi penguasa
baru di daerah tersebut. Dengan demikian menjadi wajar jika kemudian penaklukan
Islam juga sekaligus menjadi tanda bagi berpindahnya ilmu pengetahuan ke tangan
Islam. Lihat Peter Burke, A Social history of Knowledge, (Cambridge: Polity Press, 2007),
h. 117.
188
Thalal ‘Allâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 105.
189
Thalal ‘Allâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 104.
187
100
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Al-Khalil meninggal tahun 180 H, sementara Ishaq lahir kira-kira men­
dekati tahun 194 H. Dengan demikian, teori keterpengaruhan dari jalur
Ishaq bin Hunain, yang sekaligus juga terkenal sebagai penerjemah
bahasa Yunani, sangat lemah. Masih dalam bantahan yang sama, disam­
paikan oleh Ahmad Mukhtar yang secara tegas menyatakan bahwa karak­
teristik bahasa antara Arab dan Yunani sangat berbeda. Kemiripan dan
kesamaan dalam konsepsi dan teori ini belum bisa dijadikan bukti ada­
nya keterpengaruhan190.
Dari aspek sosiologi juga diajukan sebagai bantahan terhadap pen­
dapat-pendapat ini, bahwa kajian bahasa, sebagaimana kajian keilmuan
yang lain, memiliki karakteristik sendiri. Kajian bahasa akan muncul
dengan bentuk yang sama ketika dipelajari di berbagai tempat. Hal ini
sangat memungkinkan karena kajian bahasa tidak hanya mengandalkan
rasio saja, sehingga metode kajiannya tidak sama dengan kajian mengenai
logika191. Selain itu, dalam kasus nahwu sebagai kajian lingusitik Arab,
harus pula dilihat bagaimana terisolasinya bangsa Arab dari bangsa lain
yang telah mengembangkan filsafat sebelumnya. Argumen ini juga di­
kemukakan oleh Khair al-Halwani yang menyatakan bahwa fenomena
kajian bahasa berbeda dengan kajian filsafat. Menurutnya, kajian filosofis
yang dilakukan oleh Aristoteles memang membutuhkan perangkat bahasa
untuk menjelaskan konsepsinya. Sementara kajian nahwu hanya mem­
fokuskan pada kajian mengenai apa yang nampak dari sebuah bahasa,
baik lisan maupun tulisan, untuk mengungkap struktur kalimat dan
makna­nya. Jadi kajian mengenai bahasa bertujuan untuk bahasa itu
sendiri, yang berbeda dengan tujuan Arisoteles yang mengkaji bahasa
untuk alat berpikir logika, sehingga yang menjadi obyek kajiannya adalah
makna dan bukan bentuk suatu kalimat atau wacana192.
Zamzam Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, …h. 14. Lihat juga Muhbib Abdul Wahab,
Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu, dalam Jurnal ‫آ‬fâq ‘Arabiyyah, Vol. 3. No. 1. Juni
2008. (Jakarta: PBA FITK UIN Jakarta, 2008), h.85.
191
Zamzam Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, h. 14.
192
Zamzam Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam Jurnal
Adabiyyat, vol. I, No. 2, Maret 2003, h. 15.
190
Geneologi Gramatika Bahasa Arab
101
Kajian atas kalimat atau wacana di Arab memang menempati isu
sentral setelah adanya kitab al-Qur’an sebagai obyek kajian. Al-Qur’an
sebagai media tertulis membutuhkan perangkat pembacaan yang lebih
untuk mengungkap maksud yang terkandung di dalamnya. Nampaknya
hal inilah yang dimaksud oleh Khair al-Halwani sebagai kajian bahasa
di Arab hanyalah untuk tujuan bahasa itu sendiri. Hal ini untuk mem­
bedakan kajian bahasa di Yunani sebelumnya.
Untuk mengungkap adanya keterkaitan atau teori keterpengaruh­
an akan ditulis mengenai beberapa aspek, badik dari sisi kandungan AlKitab kemudian dibandingkan dengan materi kajian bahasa yang telah
berkembang sebelumnya di Yunani dan daerah ekspansinya. Selain dari
aspek materi, juga akan diungkap dari aspek historis. Karena hal ini saling
melengkapi untuk mengungkap aspek, apakah memang ada keter­kaitan
atau tidak.
102
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
BAB
IV
EPISTEMOLOGI NAHWU
SIBAWAIH
P
ada bab ini akan dijelaskan analisis mengenai hubungan filsafat
Yunani dengan orisinalitas nahwu Sibawaih. Untuk menjelaskan itu
semua akan ditulis terlebih dahulu mengenai biografi singkat mengenai
Sibawaih, kandungan materi mengenai al-Kitab Sibawaih, penelaahan
mengenai metodologi penulisan dan pemerolehan dalam kaitannya
dengan epistemologi nahwunya, meliputi; sima’, Ijma’, dan qiyas, ke­
mudian dijelaskan pula tinjauan sosiolinguistik terhadap diskursus nahwu
Sibawaih pada masa itu.
A. LINGKUNGAN SIBAWAIH
Seorang tokoh adalah produk dari kebudayaan atau peradaban pada
masanya. Sibawaih yang nama lengkapnya adalah ‘Amrun bin ‘Utsman
bin Qanbar, lahir pada tahun 147 H dan wafat pada 180 H1/ 793 M2
dalam usia 33 tahun, adalah sosok pemuda yang konon tampan dan
sangat rapi dalam berpenampilan3. Dia asli keturunan orang Persia, yang
Sebagian ada yang mengatakan wafat pada tahun 175 H.
Philp K. Hitti menggunakan kata “kurang lebih”, menunjukkan tidak di­
ketahuinya dengan pasti tahun kematiannya. Lihat Philip K. Hitti, History Of The Arabs,
terj.(Jakarta: Serambi,2006), h. 302.
3
Abi Bakar Muhammad bin Hasan al-Andalusi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa alLughawiyyîn, ( Kairo: Dar Al-Ma’arif, tt), h. 67
1
2
103
mendapat panggilan Sibawaih4. Para ulama berpendapat bahwa nama
julukan (laqab) Sibawaih berasal dari dua akar kata yaitu Si yang berarti
tigapuluh dan waih yang berarti harum, sehingga artinya menjadi orang
yang memiliki tiga puluh macam keharuman. Ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa kata Sibawaih bermakna bau harum buah apel, namun
pendapat ini lemah. Dari julukan ini pula, ia mendapat predikat pemuda
yang memperhatikan penampilan.
Sibawaih lahir di desa Syairaz5, daerah Baidha’, sebuah kota besar
di daerah Persia. Di kota ini pula Sibawaih belajar dasar-dasar agama.
Kemudian ia hijrah ke Bashrah dan tumbuh besar di sana. Kota Bashrah
merupakan salah satu dari tiga kota besar di Irak selain kota Baghdad.
Sibawaih pertama kali belajar fiqh dan hadits dari Hammad Bin Salmah.
Suatu ketika dalam belajar hadits, ia membaca sebuah hadits, kemudian
disalahkan oleh gurunya, sampai diminta untuk mengulanginya, namun
tetap tidak paham kesalahannya di mana. Dari sinilah, konon, ia mulai
tertarik belajar ilmu nahwu6.
Sedangkan guru jalur transmisi pengetahuan Sibawaih dalam men­
dapatkan ilmu mengenai tata bahasa Arab melalui guru-guru tingkat
dasar, yang mengajarkan pengetahuan secara umum dalam bidang ke­
islaman. Guru pertama Sibawaih adalah seorang ahli hadits bernama
Hammad bin Salmah bin Dinar al-Bashry (w. 168 H/ 783 M), yang berasal
dari Bani Tamim7. Ia dikenal sangat mendalam keilmuan dalam bidang
syariat hingga dikenal menjadi mufti dan ahli nahwu generasi kelima
di Bashrah. Dia juga dikenal sebagai guru pertama Sibawaih dalam pe­
ngembangan nahwu karena saat Sibawaih belajar hadits kepadanya,
ia pernah melakukan kesalahan dalam membaca sebuah hadits. Hal
Ibn Nadim mengeja dengan men-dhammah-kan huruf ‫ب‬, sehingga menjadi
Sibuwaih(‫)سي ُبويه‬, lihat dalam Ibn Nadim, Fihris, h. 57.
5
Nama ini banyak dipakai oleh orang Indonesia dengan nisbat kepada desa ini,
menjadi Syairazi. Bisa diduga bahwa orang-orang Indonesia banyak memakai nama
ini setelah mendengar nama seorang ulama timur Tengah, seperti halnya Nawawi,
Dinawari (Danuri), Baidhawi dan lain-lain.
6
Syauqî Dha’if, al-Madaris Al-Nahwiyyah, h. 57.
7
Abi Bakar Muhammad bin Hasan al-Andalusi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa alLughawiyyîn, h. 66.
4
104
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
ini kemudian terulang beberapa kali ketika ia menuliskannya, hingga
Sibawaih menjadi terpacu untuk mempelajari nahwu secara menadalam8.
Hammad juga dikenal sebagai periwayat (râwi) hadits terkenal di Bashrah.
Kedua, al-Akhfasy al-Akbar9 Abdul Hamid bin Abdul Majid, seorang
pemuka dari Bani Qays bin Tsa’labah, seorang ahli nahwu. Sibawaih
mengambil riwayat nahwu dalam al-Kitab-nya sebanyak 47 kali. AlAkhfasy al-Akbar ini menjadi guru pertama dalam bidang nahwu bagi
Sibawaih. Tidak diketahui dengan pasti tahun kematiannya. Ketiga adalah
Ya’qub bin Ishaq bin Zayd bin Abdullah bin Ishaq al-Hadhrami. Ia adalah
ahli dalam bidang bahasa Arab. Meninggal tahun 205 H dalam usia 88
tahun.
Keempat, ‘Isa bin ‘Umar al-Tsaqafy sl-Bashry. Ia termasuk keturunan
kabilah Tsaqif. Dia adalah murid dari Abdullah bin Abi Ishaq Maula
Ali Hadhramî, yaitu orang yang pertama kali memberikan penjelasan
mengenai qiyas, I’lal dan memerinci pembahasan nahwu dalam beberapa
istilah. ‘Isa bin ‘Umar konon memiliki banyak karangan dalam bidang
nahwu. Ia wafat tahun 149 H.
Kelima, Abu Abdurrahman Yunus bin Habib al-Dhabby, seorang
pemuka dari Bani Dhabbah, di wilayah Jabbul, sebuah daerah di antara
Nu’maniyyah dan Wasith. Abu Abdurrahman berguru pada Abi ‘Amrun
bin al-‘Ula’ dan juga kepada Hammad bin Salmah. Abu Abdurrahman
merupakan guru dari al-Kisa`I, Al-Farra’10, dan Abu ‘Ubaidah. Darinya
Sibawaih menukil 200 riwayat, terbanyak kedua dari yang dinukil Sibawaih.
Abu Abdurrahman mengarang beberapa kitab, di antaranya Ma’anî alQur’an, Kitab al-Lughat, Kitab al-Nawadir al-Kabir, Kitab al-Nawadir al-Shaghir,
Kitab al-Amtsal.
Keenam, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy al-Bashry, seorang guru
besar bagi Sibawaih. Konon ia adalah orang pertama yang dinamai
Taqdim Kitab Sibawaih, Tahqiq oleh ‘Abdul Salam Muhammad Harun, h. 8-9.
Syauqî Dha’if menggunakan kata al-Kabir di belakang al-Akhfasy, sementara
‘Abdussalam, editor al-Kitab Sibawaih, menggunakan kata al-Akbar. Penulis lebih
cenderung menggunakan al-Akbar, karena ktika diperlawankan dengan al-Akhfasy pada
masa sesudahnya yang bernama al-Akhfasy al-Ausath. Seperti juga Syauqî Dha’if yang
menggunakan al-Aushath. Lihat Syauqî Dha’if dalam al-Madâris al-Nahwiyyah, h. 94.
10
Seorang tokoh nahwu di Kufah.
8
9
Epistemologi Nahwu Sibawaih
105
Ahmad setelah Nabi Muhammad sendiri. Ketika mengutip dari al-Khalil,
Sibawaih tidak menyebut namanya, sehingga ditafsirkan sebagai sebuah
keakraban antara Sibawaih dan Al-Khlalil11. Al-Khalil sendiri merupakan
murid dari ‘Amrun bin al-‘Ula’. Al-Khalil sering mengistimewakan
Sibawaih dalam forum kajiannya.
Ketujuh, Abu Zayd Sa’id bin Aws al-Ansharî (w. 215), seorang ahli
riwayat hadits terkenal. Ia juga mahir dalam bahasa untuk menjelaskan
hadits yang dihafalnya. Ia banyak mendapatkan hadits dari ayahnya yang
juga seorang tokoh hadits. Kakeknya termasuk salah satu dari orang
yang berperandalam menuliskan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad.
Dalam al-Kitab, ketika dikatakan bahwa ia meriwayatkan sebuah bahasa
dari orang yang sangat “kredibel” (tsiqah), maka yang dimaksud adalah
Abu Zayd ini. Ia meninggal dalam usia yang mendekati 100 tahun.
Kedelapan¸ Hârun. Ada yang meriwayatkan bahwa silsilahnya adalah
Harun bin Musa al-Nahwî. Sebelum masuk Islam adalah seorang Yahudi.
Ia menjadi salah seorang pemuka qira’ah (ahli bacaan yang tujuh) alQur’an. Ia meninggal pada tahun 180 H.
Kesembilan, Abu ‘Amrun bin al-‘Ula, ahli bacaan al-Qur’an dari
Bashrah. Ilmu nahwunya didapatkan dari Nashr bin ‘Ashim, seorang
murid Abu al-Aswad. Ia juga salah seorang guru al-Khalil dan Yunus bin
Habib. Ia meninggal di Kufah pada tahun 154 H.
Kesepuluh, adalah ‘Abdullah bin Zayd Abi Ishaq bin al-Hiarits ( w. 127
H), seorang pemuka keluarga Hadhramî di Bashrah. Sibawaih banyak
merwayatkan nahwunya melalui jalur Yunus bin Habib. Abdullah bin
Zayd ini adalah orang yang pertama kali merumuskan ilmu i’lal, yaitu
ilmu untuk mengurai kata-kata dalam bahasa Arab dari asal kejadian
hingga membentuk pengucapannya. Guru yang terakhir tercatat adalah
al-Ruasî, atau Muhammad bin al-Husain bin Abi Sârah. Ia termasuk
guru dari ulama-ulama di Kufah, seperti Kisa’î dan al- Farra’. Dalam
kitab Sibawaih, ketika ia meriwayatkan dari orang Kufah, maka yang di­
maksud adalah al-Ruasî.
Sibawaih biasanya hanya mengatakan “ia berkata” atau “aku bertanya kepada­
nya”, dengan tanpa menyebut kata ganti yang dimaksud. Lihat dalam Taqdim Kitab
Sibawaih, tahqiq oleh ‘Abdul Salam Muhammad Harun, h. 11.
11
106
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Dengan demikian, guru-guru Sibawaih terdiri dari ulama nahwu
generasi keempat dan kelima di Bashrah. Generasi keempatnya terdiri
dari ‘Isa bin ‘Umar, al-Akhfasy al-Kabir, ‘Isa bin ‘Umar, Bakar bin Habib
al-Sahamî, dan Abi Sufyan bin al-‘Ula’. Sedangkan gurunya dari generasi
kelima adalah Hammad bin Salmah, al-Khalil, Yunus bin Habib, Yunus
bin Ishaq dan Abu ‘Ashim al-Nabil. Dalam belajar, Sibawaih menempuh
dua cara, yaitu menulis apa adanya dari yang didengar, dan bertanya
untuk kemudian ditafsirkan maksudnya12. Catatan-catatannya itulah yang
kemudian ia kembangkan menjadi runtutan buku karya besarnya.
Adapun teman seangkatannya yaitu; Abu Fayd Muarrij bin ‘Amrun
Al-Sadûsi (w. 195 H), ‘Ali bin Nashr bin ‘Ali al-Juhdhamî (w. 187 H), dan
Abu al-Hasan al-Nadhr bin Syumail al-Mazini al-Tamimî (w. 203 H).
Dilihat dari tahun wafatnya, dua orang temannya yang pertama hampir
seumur dengan Sibawaih. Dari teman-temannya tidak didapatkan data
tertulis mengenai karya mereka.
Magnum Opus Sibawaih berupa al-Kitab telah membuktikan ke­
besarannya13. Banyak kitab seseudahnya yang merujuk kepadanya. Namun
dari sisi jumlah murid yang secara langsung bertemu tidak ter­catat banyak,
di antaranya adalah; Abu al-Hasan al-Akhfasy14, Abu Muhammad bin alMustanir al-Bashri, dan al-Nâsyî15. Dari sedikitnya murid Sibawaih yang
tercatat, bisa diduga bahwa sebagian telah cukup dengan mempelajari
dari bukunya langsung. Selain itu, umurnya yang terlalu singkat juga
menjadi faktor sedikitnya murid yang belajar kepadanya.
Syauqî Dha’if, al-Madâris al-Nahwiyyah, h. 57.
Di antara yang bisa membuktikan hal itu adalah, penghargaan ulama’ nahwu
kala itu kepada al-Kitab Sibawaih yang sangat tinggi. Misalnya ketika AL-Jâhiz ingin
memberikan hadiah kepada gurunya, maka dipilihlah Kitab Sibawaih sebagai hadiah,
hingga gurunya sangat bangga sekali dengan hadiah tersebut. Ulama lain, seperti
Muhammad bin Salam, seorang ahli nahwu mengatakan bahwa Kitab Sibawaih
merupakan imam bagi kitab nahwu lainnya. Dan masih banyak lagi komentar para
‘ulama tentang kebesaran nama Kitab Sibawaih. Lihat ‘Abdussalam Muhammad
Harun dalam Taqdim, Al-Kitab , h. 20-23. Lihat juga dalam Muhammad Thanthawi,
Nasy`at al-Nahwi Wa Târikh Asyhur al-Nuhât, h.47.
14
Dikenal juga dengan al-Akhfasy al-Awsath. Lihat Hadhara Musa Muhammad
Hammud, Al-Nahwu wa Al-Nuhat, h. 46
15
‘Abdusalam Muhammad Harun dalam Taqdim Kitab Sibawaih, h.15-16
12
13
Epistemologi Nahwu Sibawaih
107
Dari biografi singkat ini, sebenarnya Sibawaih menjadi ahli dalam
bidang nahwu setelah terjadinya kesadaran akan kebutuhan mendasar
mengenai ilmu ini. Ini terjadi ketika ia belajar ilmu hadits dan yang ber­
kaitan dengan hukum Islam, di mana ia mengalami kesulitan ketika
harus membaca kalimat bahasa Arab secara benar16. Sebagai orang yang
lahir dan dibesarkan di Persia, yaitu daerah yang tidak berbahasa Arab
asli, ia sangat menyadari kebutuhan kaidah-kaidah dasar nahwu ini.
Bisa jadi peran superioritas bangsa Arab atas bangsa di luar Arab juga
mendorong motivasinya untuk menggiati bahasa Arab. Sementara di sisi
lain, bangsa Persia juga memiliki watak superioritas tersendiri. Dan pada
waktu yang sama semangat keislamannya sudah muncul, mau tidak mau
ia harus mendahulukan untuk mempelajari ilmu nahwu sebagai basis
awal untuk mendalami hukum-hukum Islam. Dengan demikian, dari
sejarah singkat ini bisa dilihat bagaimana iklim ilmu pengetahuan yang
melingkupinya, dalam kebudayaan dan peradaban yang telah maju, yang
kemudian melahirkan tokoh besar seperti Sibawaih.
B. PERUMUSAN NAHWU SIBAWAIH
Dalam beberapa ulasannya, ia seakan mengajak pembacanya untuk
berdiskusi dengan ungkapannya: ‫ إعلم أ ّن‬,‫( أال ترى‬ketahuilah dan bukan­
kah kamu tahu). Al-Kitab karya Sibawaih sebenarnya adalah semacam
catatan kuliahnya dengan para gurunya, terutama dengan al-Khalil bin
Ahmad17. Apa yang ia dengar itu kemudian dianalisis satu persatu se­
suai kasusnya. Ini terlihat dari belum tersistimatisasinya pembahasan
tiap tema sebagaimana kitab-kitab nahwu saat ini. Dalam membahas
satu masalah, ia kadang melompat dari satu bab kemudian membahas
bab lain kemudian membahas bab yang pernah dibahas dengan kasus
berbeda. Tidak jarang ia memberikan komentarnya sendiri yang berbeda
M.G. Carter, Sibawayh, h. 10
Selain al-Khalil, guru yang berpengaruh berikutnya adalah Yunus bin Habib
(w. 182 H). Gregor Schoeler munduga bahwa metode dalam pembelajaran antara
Sibawaih dan gurunya yang terrangkum dalam al-Kitab menunjukkan bahwa Sibawaih
terlibat diskusi dengan mereka. Lihat Gregor Schoeler, The Oral and The Written in Early
Islam, (New York: Routledge, 2006), h. 50.
16
17
108
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
dengan gurunya, al-Khalil, sehingga ditemukan beberapa perbedaan
dengan gurunya itu. Namun demikian, secara umum Nashr Hamid
Abu Zaid memberikan apresiasi kepada Sibawaih, bahwa ia dianggap
telah memberikan pandangan umum yang luas dan holistik mengenai
linguistik Arab melalui perangkat analisis sekaligus sarana interpretasi
dalam mengungkap seluk-beluk bahasa18. Nashr Hamid bahkan tidak
setuju dengan pandangan tokoh linguistik Arab modern yang ingin me­
ngesampingkan pandangan preskriptif terhadap bahasa dengan meng­
ajukan metode diskriptif yang dianggap objektif dan netral. Justru dengan
pandangan linguistik yang canggih seperti yang diulas oleh Sibawaih inilah
makna sebuah teks bisa terungkap dengan jelas19.
Usaha Sibawaih ini telah melengkapi rasionalisasi bahasa Arab
dalam sebuah analisis yang kemudian menjadikan bahasa Arab sebagai
ilmu dengan perangkat-perangkatnya yang relatif lengkap. Karena tanpa
rasionalisasi dari bahasa, maka apa yang diucapkan dan diketahui belum
disebut sebagai ilmu pengetahuan20. Dengan demikian, bisa disebut di
sini bahwa usaha Sibawaih ini merupakan upaya membentuk category of
causality.
Untuk melihat orisinalitas keilmuan yang dikembangkan oleh
Sibawaih dalam bidang nahwu maka perlu dilihat karyanya dalam bidang
ini yaitu al-Kitab. Sudah masyhur dikalangan ahli bahasa Arab awal hingga
modern21, bahwa Al-Kitab merupakan terobosan dalam linguitik bahasa
Arab awal. Ia mampu menembus ruang dan waktu dalam khazanah pe­
nulisan kaidah nahwu. Metodologi dan penjelasan materi nahwunya
bisa melampaui zamannya22. Ia mengungkap mekanisme pembentuk
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 269.
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 270.
20
Max Muller, Science of Thought, (Chicago: The Open Court Publishing Company,
1909), h. 44.
21
Banyak ulama’ yang menyebut al-Kitab sebagai Qur’annya nahwu. Lihat Ibn
Nadim, al-Fihris, h. 57. Lihat jugaSyauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, h. 59.
22
Dalam menamai babnya, ia menggunakan judul bab dengan kalimat yang akan
dibahasnya, sehingga nampak judulnya sangat panjang-panjang. Lihat komentar
Syauqy Dhaif, al -Madâris al-Nahwiyyah, h. 60. Dikatakan melampaui zamannya karena
hingga saat ini, pemikiran mengenai tidak lebih hanyalah catatan kaki dari Kitab-nya.
Tidak ada sesuatu yang baru dalam bidang nahwu hingga saat ini. Inilah mengapa ilmu
18
19
Epistemologi Nahwu Sibawaih
109
bahasa hingga bisa menguraikan struktur bahasa dalam rangka mencari
detail makna semiotisnya. Dari sinilah klaim melampaui zamannya
sangat relevan ketika hal yang sama juga dilakukan oleh Ferdinand de
Saussure (1857-1913) yang juga menggunakan metode struktural untuk
“mempreteli” satu-persatu penyusun bahasa guna mengungkap makna.
Maka sangat tepat ketika dikatakan bahwa kajian linguistik yang meng­
ungkap sistem bahasa tidak berawal dari de Saussure, melainkan dari
Sibawaih yang menterjemahkan apa yang ia pelajari dari gurunya, alKhalil23.
Dalam usia yang sangat singkat, bahkan untuk ukuran saat ini,
Sibawaih bisa menelorkan karya besarnya. Ia seakan merekam dengan
cermat dan teliti dari apa yang dipelajarinya dan apa yang menjadi ke­
butuhan orang akan kaidah bahasa Arab. Sehingga bisa dibaca secara
luas dan menjadi rujukan otoritatif hingga saat ini.
Al-Kitab bukanlah satu-satunya kitab yang diwariskan oleh tokoh
nahwu. Banyak sekali kitab yang telah disusun, misalnya oleh ‘Isa bin
‘Umar yang konon menyusun 70 kitab. Juga al-Ru`asî, al-Kisa`I, alFarra’, al-Akhfasy, tetapi kitab yang mereka susun tidak sampai ke
masa sekarang. Sehingga hanya al-Kitab yang berhasil mewakili warisan
ulama nahwu hingga sekarang24. Nampaknya hal inilah yang menjadi­
kan supremasi Kitab Sibawaih menjadi paling tinggi di antara kitab
nahwu yang ada sebagai warisan abad pertengahan. Al-Kitab juga ke­
mudian menjadi ikon bagi transmisi keilmuan secara tertulis bagi para
pengkaji gramatika bahasa Arab sesudahnya, karena ia dianggap tidak
mengajarkan secara langsung kepada murid-murid yang mengkajinya,
justru melalui pengkaji al-Kitab inilah kemudian para peminat menda­
patkan penjelasannya25.
ini dianggap sudah matang bahkan gosong ditangan Sibawaih dan gurunya, al-Khalil.
Lihat Sulaiman al-Attar, Dirasah Manhajiyyah Li Dirâsat Târikh al-Adab al-‘Araby,( Kairo:
Dâr al-Tsaqafah wa al-Taqzi’, 1991), h. 18.
23
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, (Jakarta: ICIP, 2004), h. 271.
24
Mâzin Al-Mubârak, al-Rummaniy al-Nahwî, ( Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), h.
133.
25
Gregor Schoeler, The Oral and The Written in Early Islam, (New York: Routledge,
2006), h. 50.
110
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Meskipun menghadapi tantangan yang besar dalam pengembang­
an ilmunya26, nyatanya justru al-Kitab bisa survive hingga sekarang. Pada
mulanya, nama untuk kitab Sibawaih ini bukanlah al-Kitab. Penamaan
ini justru muncul dari kebiasaan masyarakat untuk menyebut kitab
Sibawaih. Ketika dikatakan bahwa seseorang telah atau sedang mem­
pelajari sebuah kitab, maka yang dimaksud adalah kitab Sibawaih27.
Penyebutan yang alami inilah yang membuat al-Kitab menjadi sebutan
yang populer di kalangan masyarakat. Al-Kitab telah menjadi icon bagi
keilmuan seseorang yang mempelajari bahasa Arab28.
Al-Kitab ditulis setelah meninggalnya al-Khalil, guru yang paling
berpengaruh terhadap Sibawaih. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
penyebutan do’a bagi gurunya dengan kalimat ‫رحمكم اهلل‬yang berarti
“semoga Allah memberikan kasih sayangnya di alam akhirat”29. Kitab
ini merupakan kitab terbesar pada awal-awal masa pertumbuhan ilmu
nahwu. Bisa jadi kitab ini merupakan kompilasi terbesar pengarangnya
setelah mengalami pengembaraan ilmu dari satu guru kepada guru lain
dalam bidangnya hingga pengarangnya mengalami langsung untuk
berinteraksi dengan penutur aslinya (native speaker). Guru selain al-Khalil
yang turut menyumbangkan pengaruh bagi Sibawaih adalah ‘Isa bin
‘Umar dan Yunus bin Ya’mar.
Kitab ini terdiri dari 601 bab, dan sampai sekarang telah dicetak
di berbagai tempat. Al-Kitab dicetak pertama kali di Paris oleh seorang
Lihat dalam catatan perdebatan Sibawaih dengan para ahli nawhu di Kufah.
Sibawaih yang datang sendirian ke “kandang” ulama nahwu di Kufah harus menghadpi
lawannya yang mengeroyoknya sendirian. Dalam perdebatan dengan lawannya
tersebut, dari seratus jawaban atas pertanyaan ujian yang diajukan kepada Sibawaih
disalahkan semua. Hal ini nampaknya sangat “melecehkan” bagi ulama’ Bashrah yang
menjadi guru bagi ulama’ Kufah. Lihat dalam Abu Bakar Muhammad Bin al-Hasan
al –Andalusi, Thabaqât al-Nahwiyyin wa al-Lughawiyyîn, h.68-69.
27
‘Abdusalam Muhammad Harun dalam Taqdim Kitab Sibawaih, h.24. lihat juga
Mâzin al-Mubârak, al-Rummaniy al-Nahwî, h. 115.
28
‘Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Washît Fî Târikh al-Nahwî, h.248
29
Dalam dunia Islam, kalimat ini hanya disebutkan setelah yang di doakan
meninggal. Kalimat do’a ini bisa anya diucapkan sebagai penghormatan kepada
orang yang khusus atau agung. Di Indoneisa juga sering diucapkan kata ‫( املغفرله‬semoga
termasuk orang yang diampuni dosanya oleh Allah), untuk menghormati seorang yang sangat
khusus di kalangan masyarakat, terutama masyarakat tradisional.
26
Epistemologi Nahwu Sibawaih
111
orientalis bernama Hartuig Derenbough pada tahun 1881 M, seorang
profesor dalam bidang bahasa Arab di Paris. Pada cetakan yang pertama
ini, al-Kitab dicetak dalam volume 2 jilid, terdiri masing masing-masing
461 halaman dan 470 halaman.
Cetakan kedua dicetak di Kalkuta, India pada tahun 1887 M. pada
tahun ini India masih dibawah kekuasaan Kerajaan Inggris (UK), oleh
Kabiruddîn Ahmad. Pada cetakan ini ada bagian yan merupakan cetakan
Mesir, namun tidak diketahui tahunnya. Menurut sebuah keterangan,
pada satu lembar cetakan Mesir ini, berbeda dengan cetakan Paris, namun
tidak begitu berbeda jauh dengan apa yang dimaksud dari al-Kitab ini.
Bisa jadi perbedaan ini karena perbedaan dalam membaca al-Kitab yang
masih dalam bentuk manuskrip, antara orang Mesir dan Prancis30.
Buku ketiga dari al-Kitab dicetak di Jerman yang diedit oleh
Dirnburgh, sekaligus dierjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh D.
Gustav Jahn. Proyek ini dilaksanakan pada tahun 1890 hingga 1900 dan
berhasil dicetak dalam lima jilid. Sedangkan cetakan keempat dicetak di
Bulaq, Iran pada tahun 1898-1900 dengan editor Mahmud Mushthafa
dengan dana bantuan Kabsyani. Dalam cetakan ini ada beberapa komentar
atas cetakan sebelumnya di Paris. Dan cetakan kelima merupakan
lanjutan dari proyek cetakan keempat yang dilakasanakan di Iraq dengan
bantuan Qasim Rajab. Secara umum, komentar dari cetakan di Iran dan
Iraq ini dilancarkan terhadap cetakan Eropa31.
Edisi yang beredar sekarang adalah edisi cetakan dari Mesir se­
telah melalui proses editing oleh Abdussalam Muhammad Harun.
Editing meliputi koreksi dan rujukan dari al-Kitab terhadap data yang
ditemukannya pada kitab lain. Komentar editor ditulis dalam bentuk
footnote (catatan kaki).
Al-Kitab pada mulanya terkenal setelah dipopulerkan oleh murid
Sibawaih yang bernama al-Akhfasy al-Awsath (w. 215 H). Konon al-Kitab
adalah catatan harian Sibawaih dalam belajar nahwu kepada guru-gurunya.
Ia mengumpulkan catatan-catatan itu hingga menjelang ajalnya, catatan
Mesir bersama negara-negara Afrika dan sebagian Asia, saat itu adalah daerah
jajahan Prancis.
31
Lihat ‘Abdusalam Muhammad Harun dalam Taqdim Kitab Sibawaih, h. 56-57.
30
112
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
itu diberikan kepada al-Akhfasy dan kemudian dibaca banyak orang32.
Bisa jadi, hal inilah yang menyebabkan adanya persepsi bahwa, konon
dalam menulis ini melibatkan 42 orang sebagai teman diskusinya. Ia
mencatat setiap hasil dari perdebatan antara dirinya dan teman-teman­
nya. Diskusi yang dilakukannya adalah mengenai apa yang disampai­
kan oleh al-Khalil kepada para muridnya33. Ia sendiri mengembangkan
apa yang telah disampaikan oleh gurunya dan kemudian menggunakan
metode qiyas ia memberikan contoh-contoh sendiri. Selain itu, Sibawaih
juga melakukan penelusuran ke pedalaman. Selain pengaruh yang besar
dari al-Khalil, Sibawaih juga mencatat pendapat dari beberapa gurunya,
seperti al-Akhfasy al-Kabir, Yunus, Abi Zaid al-Anshari, ‘Isa bin ‘Umar,
Abi ‘Amrun al-‘Ula. Sebagian dari gurunya disebut dengan beberapa
sebutan yang tidak menunjukkan namanya (idhmar/ anonim), tetapi me­
nunjukkan salah satu gurunya34.
Adapun kandungan dalam al-Kitab, selain teori mengenai nahwu
itu sendiri juga memuat beberapa contoh yang diambil dari beberapa
sumber sebagaimana metodologi para ahli nahwu saat itu, yaitu al-Qur’an,
Hadits dan Syair-syair Arab, yang masing-masing berjumlah 409 ayat alQur’an, 8 al-Hadits, dan 1050 syair Arab.
Melihat komposisi dari pengambilan sampel dalam menjelaskan
metodologi nahwunya, maka Sibawaih cenderung menggunakan syairsyair. Syair Jahilî dianggap sebagai rujukan yang otoritaif karena mengan­
dung kata-kata yang jelas dan hikmah yang diakui orisinalitasnya dari
para pujangga Arab sebagai bahasa yang tinggi35. Selain itu, syair-syair
ini diriwayatkan oleh banyak orang. Menurut sebagian komentar, bebe­
rapa syair itu sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya, tetapi jumlahnya
hanya sedikit, yaitu sekitar 50 syair saja. Sementara penggunaan ayat alQur’an hanya setengahnya saja. Apalagi untuk penggunaan hadits sangat
minim sekali. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hal ini disebabkan
‘Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Wasîth Fî Târikh al-Nahwi, h. 251.
Hadhar Mûsa Muhammad Hammûd, al-Nahwu wa al-Nuhât, h. 258.
34
‘Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Wasîth Fî Târikh al-Nahwi, h. 252.
35
Abi Bakar Muhammad bin Hasan al-Andalusi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa alLughawiyyîn, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, tt), h. 12.
32
33
Epistemologi Nahwu Sibawaih
113
karena belum terkodifikasikannya hadits pada masa Sibawaih. Selain itu,
periwayatan hadits cenderung lebih banyak dengan riwayat makna.36
Sibawaih memang dikenal dengan metode qiyas dan sima’nya, yaitu dengan mengambil beberapa sampel kemudian diterapkan
kepada kasus yang lain dalam hal kata dan kalimat. Metode qiyas ini di­
anggap sebagai pondasi dasar dalam penjelsan mengenai nahwu.37 Juga
menelusuri langsung kepada suku-suku pedalaman di Arab. Letak geo­
grafis Bashrah yang lebih dekat memang memungkinkan untuk hal ini
dilakukan lebih intens38.
Al-Kitab telah menjadi bahan penting bagi pendalaman nahwu
di berbagai kota, baik Kufah, Andalusia, Mesir dan negeri lain yang
kemudian menjadi wilayah kekuasaan Islam. Banyak juga yang memberi
penjelasan, baik dalam bentuk syarah, hasyiah maupun kitab yang ber­
beda namun menggunakan rujukan dari al-Kitab39. Tercatat lebih dari 50
tokoh telah memberikan penjelasan dalam bentuk kitab yang tersebar di
berbagai kota tersebut hingga abad ke-6 Hijriyah40.
Secara metodologis, penulisan al-Kitab sudah dianggap runtut
dan teratur. Hal ini bisa dilihat dalam pembahasannya, yang dimulai dari
latar belakang penulisannya41. Dalam penukilan terhadap suatu pen­
dapat, Sibawaih juga selalu menjelaskan alasannya dan dari siapa di­
ambil. Secara garis besar al-Kitab dibagi dalam dua hal pokok, yaitu
yang pertama mengenai tema-tema nahwu, seperti pengertian kalam,
fi’l (verb/ kata kerja), ism (noun/ kata benda), dan hal-hal mengenai I’rab,
perubahan harakat akhir dari sebuah kata. Yang kedua mengenai mor­
fologi kata (sharf), termasuk bentuk tashghir (merubah kata menjadi
‘Abdul Karim Muhammad As’ad, al-Wasîth Fî Târikh al-Nahwi, h. 253
Lihat ‘Abdullah Jâd Al-Karim, al-Dars al-Nahwi Fî al-Qarn al-‘Isyrîn, h . 65.
38
Lihat bab III.
39
Hadhar Musa Muhammad Hammud, al-Nahwu wa al-Nuhat, h. 258
40
Namun perlu dicatat bahwa dalam tradisi penjelasan ini, adakalanya orang yang
menjelaskan juga mengkritik dalam bentuk koreksi atau dengan penjelasan yang lebih
mudah dipahami. Koreksi ini sekaligus sebagai upaya untuk mentakhrij pendapat yang
muncul di dalamnya.
41
Namun menurut Syauqy Dhaif, Siabwaih tidak sempat membuat kata pengantar
untuk kitab ini karena ia meninggal adalam usia muda (33 tahun). Lihat Syauqy Dhaif,
al-Madâris al-Nahwiyyah, h. 60.
36
37
114
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
bermakna kecil atau sedikit), jama’ (Plural nouns), nasab (nationality),
idgham (penggabungan suara atau huruf), ibdâl (penggantian huruf),
dan waqf (cara memotong kalimat atau berhenti).
Secara lebih terperinci, ‘Abdul Karim Muhammad al-As’ad dengan
mengikuti pola dari al-zamakhsyari (w. 538 H) yang menjelaskan me­
ngenai al-Kitab, membagi pembahasan dalam al-Kitab menjadi empat
bagian pokok, yiatu; pertama, penjelasan mengenai isim atau kata benda
(noun), pembahasan tentang fi’l (verb/ kata kerja), penjelasan mengenai
huruf (letter), dan terakhir mengenai berbagai hal mengenai fonologi
dan perubahan bunyinya. Dari ketiga bagian yang awal didominasi oleh
pembahasan mengenai perubahan harakat di akhir huruf (case inflection).
Melihat metodologi penjelasan dalam al-Kitab, kita bisa menelusuri
orisinalitas pemikiran nahwu Sibawaih. Hal ini bisa dijelaskan dengan
penelusuran guru-guru, lingkungan Sibawaih hidup atau perkembangan
intelektualitas pada masanya. Perkembangan politik juga penting untuk
ditelusuri karena hal ini bisa menjelaskan sejauh mana kebijakan pe­
nguasa mempengaruhi perkemangan keilmuan pada masa itu.
Dilihat dari masa hidupnya antara 147-180, Sibawaih hidup pada
masa pemerintahan khalifah al-Hadi Abu Muhammad Musa bin al-Mahdi
(w. 170 H/ 775-785 M), seorang khalifah ketiga dari Bani Abbasiyah.
Dan menjelang meninggalnya, ia hidup pada masa Harun al-Rasyid (w.
193 H)42. Lingkungan pemikiran dan pendidikan di Bashrah waktu itu
menunjukkan gairah yang tinggi. Banyak ilmuwan awal yang bermun­
culan dengan berbasiskan ilmu bahasa Arab yang berkembang menjadi
ilmu nahwu. Pada masa ini ilmu nahwu masih mencakup semua ke­
ilmuan yang berkaitan dengan bahasa Arab43; nahwu (sintaksis), sharf
(morfologi), manthiq (logika), balaghah (gaya bahasa), bâdi’, bayan, ‘arudh,
dan leksikografi. Saat ini, masing-masing keilmuan tersebut telah terpisah­
kan dalam satu disiplin ilmu tersendiri.
Masa pemerintahan al-Mahdi adalah masa keemasan awal dari
dinasti Abbasiyah. Hingga menjelang wafatnya, Sibawaih mengalami
Al-Kisa’I dan Yunus bin Habib juga meninggal pada masa pemerintahan Harun
al-Rasyid.
43
M.G. Carter, Sibawayhi, (Oslo: I.B. Tauris, 2004), h.4
42
Epistemologi Nahwu Sibawaih
115
masa puncak kejayaan pada masa Harun al-Rasyid. Khalifah ini menjadi
salah satu kampium dunia di Timur, dan menjadi pesaing kekuasaan
Barat oleh Charlemagne. Namun kekuasaan Harun lebih luas, dengan
didukung oleh peradaban yang tinggi. Meskipun di Baghdad berdiri
Dinasti Abbasiyah, namun kekuasaan Umayyah masih berlangsung di
Andalusia.
Masa ini adalah masa dimulainya banyak penerjemahan oleh para
ahli bahasa yang dimiliki oleh kerajaan Islam. Penerjemahan dilakukan
secara massif dan kemudian hasilnya disimpan sebelum kemudian ditulis
kembali oleh para ahli tulis kerajaan44. Dari penerjemahan ini mereka
tidak saja mengasilkan jiplakan, tetapi juga menghasilkan karya-karya
yang original. Karya yang menurut Philip K Hitti tidak original hanya
dalam dua bidang, yaitu filsafat dan kedokteran. Adapun mengenai
filologi, hukum , teologi, dan bahasa, merupakan karya penelitian yang di­
anggap original45. Tentu keterangan ini banyak yang menentang, seperti
apa yang disamapikan C.H.M. Versteegh yang sejak dini sudah menya­
takan bahwa ilmu bahasa Arab awal, dalam hal ini nahwu, adalah ilmu
yang banyak menjiplak dari Yunani melalui filsafatnya.
C. ARGUMEN (IHTIJAJ) NAHWU SIBAWAIH
Melihat pada penggunaan sumber-sumber yang digunakan oleh Sibawaih
dalam al-Kitab, maka bisa dikatakan bahwa Sibawaih mencoba mem­
bangun argumen untuk memperkuat pendapatnya. Sebagaimana yang
terlihat adalam penggunaan ayat-ayat sebagai contoh, al-hadits dan
perkataan orang Arab seperti juga syair-syairnya, maka nampaknya hal
itu bisa dijadikan pijakan yang kuat untuk dikatakan sebagai rasionalisasi
nahwu oleh Sibawaih.
Para ahli nahwu membangun dasar-dasar keilmuan tidak lepas dari
argumen yang mendasarinya. Hal inilah yang melegitimasi lahirnya nahwu
Ini adalah upaya semacam mem-back up dokumen, karena belum ada mesin
cetak apalagi fotocopy
45
Phili K. Hitti, History of The Arabs, h. 454. Lihat juga Kees Versteegh, Landmark
In Linguistik thought III, h. 41.
44
116
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
sebagai disiplin ilmu awal dan menginspirasi keilmuan lainnya. Hal ini
sangat memungkinkan karena ilmu membutuhkan batasan yang jelas
tentang apa yang akan dibahasnya, misalnya ilmu fiqh yang mendasar­
kan pada teks al-Qur’an, hadits dan pemikiran di luar itu. Nahwu ber­
hasil memberi perangkat lunak yang dapat digunakan baik untuk me­
rumus­kan teori awal maupun penjelasan berikutnya46.
Sibawaih menulis metodologi yang digunakan dalam perumusan
ilmu nahwu dengan mendasarkan pada rujukan-rujukan yang dianggap
otoritatif. Ada dua hal yang digunakan sebagai rujukan olehnya, yaitu
rujukan langsung dan tidak langsung. Rujukan langsung adalah dengan
cara mendengarkan langsung kepada para penutur asli (native speaker) di
daerah Arab yang dianggap masih murni. Selain merujuk kepada penutur
asli dalam bentuk mendatanginya, para ahli juga merujuk kepada kitab
suci al-Qur’an berdasarkan cara baca yang terkenal, serta kepada teksteks hadits. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan rujukan naqli
(textual).47
Perkataan orang-orang Arab yang dianggap otoritatif untuk dijadi­
kan rujukan oleh para ahli nahwu adalah perkataan yang fasih. Selain alQur’an itu sendiri, syair dan prosa yang berkembang juga bisa dijadikan
argumen bagi mereka. Syair dan prosa adalah sastra yang telah lama ber­
kembang di Arab. Sebelum syair menjadi karya sastra, prosa telah ber­
kembang terlebih dahulu, namun yang terbukukan di Arab adalah syair48.
Sedangkan rujukan tidak langsung adalah dengan menggunakan
penalaran akal dalam bentuk mencari kesamaan kasus untuk kemudian
diambil kesimpulan atau yang sering disebut dengan qiyas (analogy). Selain
analogi, bentuk penalaran yang lainnya adalah dalam bentuk analisa
terhadap sebuah kasus, yang pada gilirannya menghasilkan penalaran
bahasa dalam bentuk ta’lil dan analisa I’rab. Ta’lil lebih dikenal sebagai
46
47
h.11
Al-Suyuthi, al-Iqtirah Fî ‘Ilm Ushûl al-Nahwy, (Kairo: Jarus Brs, 1988), h.70
Lihat ‘Affaf Hasanayn, Fî Adillat al-Nahwi, (Kairo: Maktabah Al-Akâdimiyyah),
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam,(Kairo: Maktabah al-Usrah, 1998),h. 257. Iihat
juga Yusuf Al-Mahdun dan Bey Arifin, Sejarah Kesusasteraan Arab, (Surabaya: Bina Ilmu,
1983), h.26.
48
Epistemologi Nahwu Sibawaih
117
analisa perubahan kata secara morfologis, sedangkan I’rab menganalisis
perubahan kata dan kalimat secara sintaksis. Keduanya diperlakukan
sebagai syarat untuk mendapatkan makna semantik yang paling bisa
diterima. Ini sama dengan rumusan keilmuan secara aqliyyah (penalaran)
dan naqliyyah (penukilan). Yang ketiga yaitu ijma’, yaitu kesepakatan antar
ahli nahwu terhadap satu persoalan, baik yang menjadi polemik maupun
tidak. Hal ini lebih dikenal dengan sebutan rujukan (dalil) aqli.49
Metodologi itu dirumuskan bukannya tanpa hambatan dalam
penerimaan. Selalu ada kontroversi yang mewarnai penerimaannya.
Sebagaimana semangat awal ketika tujuannya untuk menjaga otentisitas
al-Qur’an, banyak orang yang mengkhawatirkan penggunaan hal-hal
yang dianggap tidak bisa diterima akan berdampak luas terhadap pema­
haman al-Qur’an itu sendiri. Sementara harus disadari bahwa motivasi
perumusan nahwu, selain dari faktor menjaga otentisitas al-Qur’an juga
karena fenomena persoalan bahasa yang makin kompleks. Perumusan
ini selalu menimbulkan resistensi secara bertahap, hingga akhirnya bisa
diterima secara luas. Apapun faktornya, yang jelas kemudian banyak
yang menggunakan perangkat bahasa ini untuk dasar pemaknaan ter­
hadap ilmu lain, seperti penerjemahan, pengembangan sains, penje­lasan
filsafat dan lain-lain.
Dalam pengambilan rujukan nahwu ini, antara kelompok Bashrah
dan Kufah juga menampakkan karakternya sendiri. Ulama’ Bashrah
dalam mengambil rujukan dari al-Qur’an tidak begitu saja melihat yang
tampak dari sebuah kalimat atau kata. Mereka lebih banyak mentakwil­
kan atau mengira-kirakan kemungkinan-kemungkinan dari sebuah
bangunan struktur sebuah kalimat. Bisa jadi di antara perbedaan hukum
yang muncul dalam beberapa hukum Islam (fiqh/ Islamic jurisprudence)
berawal dari perbedaan pemahaman struktur kalimat ini.
Berbeda dengan para ahli nahwu di Kufah yang dalam pengambil­
an pemahaman struktur kalimat lebih melihat aspek lahir dari struktur
kalimat dalam al-Qur’an. Mereka menganggap bahwa susunan kalimat
dalam al-Qur’an harus dipahamai sebagaimana bentuk yang sudah
49
118
Lihat ‘Affaf Hasanayn, Fî Adillat al-Nahwi, h.11.
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
nampak dan tidak perlu ditakwilkan. Pentakwilan ini hanya akan mem­
persulit dan mengaburkan makna itu sendiri. Dari sinilah nampak­nya
adanya kelompok yang literal dalam memahami al-Qur’an. Mereka
mengambil hukum dari bunyi kalimat secara apa adanya.
Dari sini akan dipaparkan secara singkat argumen yang digunakan
para ahli nahwu dalam merumuskannya. Argumen yang dimaksud adalah
mengenai metodologi pengambilan hukum dalam nahwu. Dalam hal ini
yang kami maksud adalah pengambilan sampel hingga kemudian muncul
kesimpulan dalam nahwu menjadi aturan bakunya, yaitu; sima’, ijma’, dan
qiyas. Istilah ini disinyalir meminjam istilah yang sama dalam ilmu ushul
al-fiqh, karena masa Sibawaih hidup adalah semasa dengan beberapa ahli
fiqh seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Abu Yusuf50. Namun
istilah ushul al-nahwi sendiri pada masa Sibawaih belum muncul, dan
baru muncul pada abad keempat oleh Muhammad bin a-Sarâ bin Sahl
al-Saraj (w. 316 H). Dalam hal ini peminjaman istilah tersebut dianggap
relevan untuk menelusuri asal-usul pengambilan sampel dalam nahwu
Sibawaih. Dengan demikian, hal ini sekaligus menegaskan geneologi
nahwu Sibawaih yang menunjukkan watak alami bangsa Arab, dalam
arti orisinalitas pemikirannya tidak merujuk kepada pemikiran Yunani
namun justru kepada ulama fiqh sebagai metodenya.
Dalam hal ini, jika ushul al-fiqh merumuskan sumber pengambil­
an hukum menjadi tiga atau lebih dengan pijakan yaitu al-Qur’an, alHadits dan qiyas, maka dalam rumusan yang dimaksud di sini adalah
cara pengambilan Sibawaih dalam merumuskan nahwunya. Adapun yang
dilakukan Sibawaih adalah, 1) mendengar langsung dari penutur asli
dengan jalan survey ke daerah pedalaman, dan 2) melakukan analogi ter­
hadap apa yang ia dengar.
Sima’ secara literal berarti “mendengar”, dalam arti bahwa mereka
membuat rumusan aturan nahwu dengan argumen dari apa yang mereka
dengar. Tentu saja jika secara leterlek hal ini sangat sempit, karena ke­
nyataannya para ahli nahwu tidak saja mendengar langsung dari orang
Arab tetapi juga melihat langsung terhadap apa yang tercatat atau tertulis.
50
Muhammad Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Arabî, h. 16.
Epistemologi Nahwu Sibawaih
119
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa argumen yang dibangun
tidak saja mendasarkan terhadap apa yang didengar tetapi ini mewakili
pengambilan aturan dari apa yang telah ada.
Sumber aturan nahwu yang dijadikan rujukan adalah percakapan
orang Arab itu sendiri. Percakapan orang Arab di sini adalah apa yang di­
ucapkan langsung dari suku-suku di Arab yang masih dianggap murni
dari kontaminasi pengaruh luar. Batasan ini sebagaimana keterangan
sebelumnya mengalami perbedaan bagi kedua wilayah antara Bashrah dan
Kufah.
Para ahli nahwu dalam mecari sumbernya dengan cara langsung
datang kepada orang Arab badui hingga tinggal bersama mereka dalam
jangka waktu tertentu. Bisa jadi hal ini dilakukan untuk mendapat­kan
“rasa bahasa” atau dzauq, sehingga mereka benar-benar mengerti konteks
bahasa yang digunakan serta cara mengartikulasikannya secara benar.
Rasa bahasa untuk mendapatkan pendalaman bahasa termasuk dalam
gaya bahasa, mimik, dan kosakata yang banyak digunakan maupun yang
jarang (syadz). Sedangkan cara artikulasi di antaranya untuk mendapatkan
cara pengucapan huruf (makhraj) yang benar51. Dan hal ini dianggap
efektif karena mereka mendapatkan langsung dari sumber primernya.
Selain mendengarkan langsung dari orang suku pedalaman (bâdiyah),
mereka juga menggalinya dari para pujangga yang masih dianggap asli
dan memegang kata-kata yang belum tercampur dengan bahasa di luar
Arab52. Kalau yang pertama digunakan oleh para ahli nahwu, maka cara
yang kedua ini banyak digunakan oleh para pengkaji ilmu balaghah (ahli
retorika). Kajian mengenai sastra jahili tidak saja berperan terhadap pe­
rumusan bahasa itu sendiri, namun menurut Adonis, lebih jauh juga
mempengaruhi kajian terhadap agama (Islam). Hal ini terlihat ketika
manafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang banyak merujuk kepada syair-syair
jahili untuk mencari kosakata yang dimaksud53.
‘Abbas Hasan, Al-Lughah Wa al-Nahwu Bayn al-Qadîm Wa al-Hadits, (Kairo: Dar
Al-Ma’rifah, tt), h. 20.
52
Muhammad Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Arabiy, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah,
2002 ), h. 59.
53
Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, terj. (Yogyakarta; LKiS, 2007), h. 234.
51
120
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Batasan waktu menjadi hal yang penting dalam mendefinisikan
otoritatif dan tidaknya suatu bahasa untuk diterima sesaui standardisasi
yang ditetapkan. Batasan waktu yang bisa digunakan untuk diambil se­
bagai argumen dari orang pedalaman adalah 300 tahun dari perumusan
nahwu itu sendiri. Batasan ini dibagi menjadi dua, yaitu 150 tahun
sebelum Islam dan 150 tahun setelah Islam54. Nampaknya hal ini melihat
perkembangan peradaban pada selang waktu tersebut. 150 tahun bisa
jadi dibatasi sebagai masa yang bisa ditelusuri penggunaan bahasa­nya,
dan 150 sesudah Islam datang adalah masa awal dari pergaulan Islam
dengan peradaban luar secara besar-besaran.
Perlu juga dicatat bahwa, sama seperti kajian riwayat dalam ilmu
yang lain, tidak semua syair bisa diterima sebagai dalil argumen bagi para
ahli nahwu. Hal ini didasarkan pada metodologi pengambilan yang
ter­seleksi antara syair atau prosa yang dapat diterima dan tidak dapat
digunakan. Batasan itu di antaranya adalah tertolaknya periwayat dan
tertolaknya materi syair itu sendiri. Selain itu rowayat syair bisa ditolak
kalau mengandung perkataan atau pernyataan yang dianggap menyim­
pang (syadz)55.
Selain penelusuran dan penelitian langsung ke daerah pengguna
asli, para ahli nahwu juga meneliti bahan yang tertulis dalam sastra
jahili (Arab Kuno/ Pra-Islam), yang kebanyakan berupa syair atau puisi
(poets)56. Sastra jahili ini paling jauh terlacak pada abad kedua sebelum
Islam, sebagaimana keterangan sebelumnya. Bagi orang Arab kuno, syair
merupakan hal yang monumental sebagai sebuah karya. Diceritakan
bahwa salah satu hal yang membanggakan bagi orang Arab adalah ke­
mampuan membuat syair yang diakui oleh banyak orang. Syair telah
memegang supremsi tertinggi dalam karya sastra Arab kuno (jahilî). Ia
Muhammad Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Arabiy, h. 60.
‘Affah Hasanayn, Fî Adillat al-Nahwi, h. 111-122.
56
Kalau merujuk pada literature Arab, maka secara normatif yang ditempatkan
pertama kali dalam urutan pengambilan dalil adalah Al-Qur’an, Hadits baru kemudian
syair ini. Penulis merasa perlu mendahulukan syair atau sastra jahili berdasar; 1)
kronologi waktu, 2) pada kenyataannya banyak juga dalam Al-Qur’anyang penafsirannya
menggunakan sastra jahili ini. Lihat misalnya dalam ‘Affah Hasanayn dan Mahmud
Ahmad Nahlah.
54
55
Epistemologi Nahwu Sibawaih
121
menjadi media penting untuk mengungkapkan berbagai kejadian dan
perasaan; kekaguman, kesedihan, cinta dan benci57. Dan dengan syair
seseorang kemudian bisa mengerti perkembangan intelektualitas di
Arab.
Syair bisa dijadikan argumen karena dianggap telah memiliki otoritas
besar setelah melalui proses seleksi oleh pakar sastra Arab. Sehingga syair
memiliki nilai kebenaran yang tinggi (fasihah) untuk dijadikan pijakan58,
di antara sastra yang lain seperti prosa59. Syair juga menjadi pijakan dalam
pengambilan hukum dalam bidang ilmu lain seperti fiqh, tafsir, dan se­
bagainya.
Selain sastra jahili itu sendiri, dasar yang kedua dari metode sima’ ini
adalah pengambilan dari al-Qur’an. Meskipun banyak perdebatan dalam
sebagian kosakata dan cara baca yang ada dalam al-Qur’an, namun
karena sumber ini tertulis, maka memudahkan untuk langsung merujuk
kepada sumber ini secara langsung. Keyakinan bahwa al-Qur’an adalah
perkataan (kalam) langsung dari Allah, nampaknya menjadi penguat bagi
para ahli nahwu untuk berpijak dari sini60. Selain itu, susunan kata yang
ada dalam al-Qur’an yang dianggap sistematis bisa jadi menguatkan hal
ini.
Al-Qur’an juga dianggap sebagai sumber yang sangat penting baik
oleh para tokoh nahwu di Bashrah maupun di Kufah. Perbedaan pada
kedua mazhab hanyalah pada cara penyampaian atau metodologi pem­
bahasannya.’Ulama Bashrah yang terkenal dengan metode logikanya
banyak mentakwilkan penjelasan yang diambil dari al-Qur’an, yaitu me­
nyajikan kemungkinan makna yang ada dalam sebuah kata. Kajian me­
ngenai takwil ini sendiri telah menyita perdebatan yang panjang dan
luas hingga hari ini. Sedangkan ulama’ di Kufah mengambil secara apa
Ada tiga hal yang mendapatkan apresiasi dalam Arab kuno yaitu: kelahiran anak,
kemunculan penyair baru, dan kehadiran kuda betina. Lihat Pierre Cachia, Arabic
Literature; An Introduction, h.1. sebagaimana makna literalnya, syair berarti orang yang
merasakan.
58
Muhammad Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Arabiy, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah,
2002), h. 57.
59
‘Affa Hasanain, Fî Ushul al-Nahwi, h. 86.
60
‘Affah Hasanayn, Fî Adillat al-Nahwi, h. 15
57
122
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
adanya dari al-Qur’an sebagai argumen dengan meonlak adanya takwil
yang terlalu jauh.
Argumen yang dijadikan rujukan selanjutnya adalah hadits, yaitu
riwayat mengenai perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad. Hadits
telah menjadi bagian dari kajian awal dalam keilmuan Islam dan termasuk
menempati posisi sentral. Kajian ini melibatkan penulisan, hapalan dan
metode penyusuan hingga sebuah hadits muncul. Nampaknya dari
transmisi oral dan para tertulis para tokoh nahwu mengambil argumen
nahwunya. Hal ini disebabkan dalam transmisi tersebut memuat per­
kataan Nabi yang diyakini sangat murni sebagai orang Arab. Tentu hal
ini setelah melewati beberapa persyaratan penerimaan hadits itu sendiri,
seperti kadar kredibilitas serta kapabilitas orang yang menyampaikan
hadits serta kualitas dan kuantitas materi hadits.
Namun yang terjadi, meskipun hadits diyakini sebagai argumen
nahwu, banyak dari ulama’ awal di Bashrah dan Kufah yang justru tidak
mendasarkan argumen mereka kepada hadits61. Hal ini terjadi nampak­
nya disebabkan oleh belum terbukukannya hadits secara sempurnya
pada masa-masa awal. Hadits baru tersistimatiasi pada abad ketiga oleh
al-Bukhari (w. 256 H).
Setelah mencatat dan meneliti langsung kepada sumber aslinya,
Sibawaih kemudian melakukan analogi (qiyas) untuk digunakan dalam
contoh-contohnya. Pada dasarnya nahwu adalah qiyas, karena istilah
nahwu adalah proses mencari kesamaan hokum sebuah kalimat atau
kata62. Dengan demikian sebenarnya qiyas menempati posisi sentral
dalam metodologi nahwu. Hanya saja nampaknya qiyas disendirikan
layaknya ushul dalam ilmu lain, seperti fiqh. Bisa juga hal ini disendirikan
karena qiyas sebagai perangkat teknis di luar dari apa yang telah ada pen­
jelasannya melalui al-Qur’an dan al-Hadits ataupun perkataan orang
Arab sendiri.
‘Affah Hasanayn, Fî Adillat al-Nahwi, h. 73.
‘Affah Hasanayn, Fî Ushûl al-Nahwi al-‘Araby, h. 144. Untuk men-qiyas-kan pada
satu contoh tertentu Sibawaih menggunakan istilah misalnya .‫ كما‬,‫ومثل ذالك‬. Lihat
dalam Sibawaih, al-Kitab . (Kairo: Maktaba al-Khanji, 1988) pembahasan yang panjang
tentang pengambilan ayat al-Qur’an sebagai contoh dan ketetapan nahwu lihat dalam
Muhammad Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Araby,(Beirut: Dar al-Ma’rifat, 2002).
61
62
Epistemologi Nahwu Sibawaih
123
Secara sederhana qiyas diartikan dengan membuat kesimpulan atas
suatu hukum dengan cara mencocokkan dengan sebuah hal yang lain
yang dianggap sama atau hampir sama. Hal ini didasarka pada hukum
asal yang sama, sementara kasusnya berbeda63. Setidaknya ada empat
perangkat pokok dalam proses qiyas (analogy) ini, yaitu; pokok masalah,
kasus, illat atau semacam sebab, dan hukum64. Dalam hal nahwu, hal
ini dilakukan karena para tokoh perumus awal tidak membuat hukum
secara lengkap terperinci terhadap sebuah kasus yang belakangan mulai
menjadi persoalan. Konon metodologi qiyas dalam fiqh terinspirasi dari
qiyas dalam nahwu ini65.
‘Abbas Hasan mencatat dua hal dalam metodologi qiyas yang harus
diterapkan dalam nahwu, yaitu; pertama, keniscayaan untuk mengetahui
konteks wilayah Arab dengan bahasa yang digunakan di wilayah mana
tersebut. Kedua, memahami bahasa yang dijadikan sebagai acuan analogi­
nya66. Keniscayaan untuk memahami konteks dan sekaligus teks yang
digunakan adalah dua hal yang kemudian sangat mempengaruhi analisis
terhadap bahasa hingga saat ini.
Qiyas dalam nahwu pertama kali diperkenakan pada akhir abad
pertama hingga permulaan abad kedua. ‘Ulama yang pertama kali mem­
perkenalkan metode qiyas adalah ‘Abdullah bin Abi Ishaq (w. 117 H)
yang kemudian dikembangkan oleh al-Khalil, keduanya dari Bashrah67.
Hal ini dilakukan pula oleh muridnya, Sibawaih (w. 180 H).
Metode selanjutnya yang berkembang adalah ijma’, semacam kese­
pakatan dalam pendapat nahwu. Kesepakatan di sini diambil dengan
acuan pada dua kelompok mazhab pertama, yaitu Bashrah dan Kufah.
Ijma’ diidentifikasi menjadi tiga macam, yaitu kesepakatan dalam hal
materi yang diriwayatkan, kesepakatan dari sumber asalnya atau orang
Arab asli, dan kespakatan para perums nahwu68. Sebenarnya pada prinsip­
‘Affaf Hasanain, Fî Adillat al-Nahwi, h. 143.
Al-Suyuthi, al-Iqtirâh Fi-‘ilm Ushûl al-Nahwi, (Kairo: Jarus Brs, 1988), h.70
65
‘Affaf Hasanain, Fî Adillat al-Nahwi, h. 144. Lihat juga dalam ‘Abdullah Jâd AlKarim, al-Dars al-Nahwi Fî al-Qarn al-‘Isyrîn, h. 64.
66
‘Abbas Hasan, al-Lughah Wa al-Nahwu, h. 23.
67
Thalal ‘Allamah, Tathawwur al-Nahwi, h. 61.
68
Mahmud Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Arabi, h. 79.
63
64
124
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
nya adalah bahwa kesepakatan itu muncul setelah menjadi rumusan
dalam teori nahwu.
Selain ketiga hal di atas, al-Suyuthi sebenarnya memasukkan be­
berapa hal mengenai ushul nahwi ini, seperti al-‘Illat, al-Istishlah, dan
ishtishhab. Namun secara garis besar, para ahli hanya mengelompokkan
dalam tiga hal di atas. Dan bisa jadi, sebagaimana dalam lapangan fiqh,
hal itu bisa diringkas dalam tiga istilah, yaitu bersumber dari al-Qur’an,
Al-Hadits, dan Ijtihad.
Dari ketiganya, kegiatan keilmuan dalam nahwu banyak melibat­
kan logika untuk merumuskannya. Dan pada dasarnya dari ketiganya,
metode­nya bermuara pada qiyas, karena nahwu itu sendiri adalah proses
mencari kesamaan dalil dan hukum dalam sutau kasus bahasa.
Dengan demikian, perkembangan nahwu dari embrio awal meng­
alami perkembangan dari hal yang paling mendasar, yaitu berupa
munculnya istilah lahn, baik pada masa awal sebelum Islam hingga setelah
Islam. Perkembangan selanjutnya adalah terikatnya bahasa Arab oleh
pengaruh keyakinan kepada al-Qur’an, dalam bentuk menjaga otentisitas
al-Qur’an, khususnya mengenai pemeliharaan bacaan. Pemeliharaan baca­
an ini dimulai dari metode menghafal hingga pemberian tanda baca pada
tulisan al-Qur’an.
Selanjutnya, perkembangan meluas karena pengaruh penaklukan
wilayah oleh para penguasa, baik pada masa awal Khulafa’ al-Rasyidun,
maupun sesudahnya, pada masa Umayyah di Damaskus hingga Abbasiyah
di Baghdad dan Umayyah di Andalusia. Perkembangan ini makin
menegaskan, bahwa nahwu menjadi fan ilmu tersendiri dengan ter­rumus­
kannya perangkat ilmu nahwu oleh para tokohnya, terutama mengenai
argumen yang dibangun untuk perumusan nahwu.
Melihat perjalanan nahwu ini, memang nampak bahwa peran para
ahli pada awalnya berasal dari orang Arab sendiri, dan kemudian di­
kembangkan oleh orang dari luar kawasan Arab, seperti Persia, yang
telah lama bergelut dengan pemikiran dari luar.
Epistemologi Nahwu Sibawaih
125
D. KAJIAN BAHASA YUNANI DAN SIBAWAIH
Kajian bahasa Yunani menjadi lebih konkret setelah kajian yang dilaku­
kan oleh Dyonisius Thrax, linguist Alexandria, yang waktu itu sudah
masuk wilayah ekspansi Yunani, sehingga sering langsung dianggap
sebagai mewakili Yunani. Tata bahasa yang dikembangkan oleh Thrax
adalah model bagi pengembangan bahasa di Eropa yang dikenal sebagai
tata bahasa tradisional. Ia termasuk dalam deretan pemikir bahasa ke­
namaan di masa sebelum Masehi, setelah Plato, Aristoteles, dan kaum
Stoik (permulaan abad ke-4). Dilihat dari asalnya, maka kemudian bisa
dikelompokkan kepada Alexandrian69. Kajian mengenai Thrax ini diulas
dalam 25 bab yang membahas mengenai bahasa. Materi nahwu yang
sering dikaitkan dengan kajian bahasa dari Yunani meliputi: kata, dan
kalimat, kata benda, kata kerja, konjugasi (kalimat majemuk), kata sifat,
participle, pronoun, preposition. Dari kata-kata tersebut selanjutnya akan di­
analisa dari dua pengertian yang dimaksud oleh penulis grammar70, baik
oleh Thrax maupun Sibawaih.
1. Kata (words/ ‫ )الكلمة‬dan kalimat (sentence/ ‫)اجلملة‬
Thrax mendefinisikan kata sebagai bagian terkecil dari kalimat, sedang­
kan kalimat diartikan sebagai kumpulan kata-kata, baik dalam prosa
mau­pun dalam ayat (verse) yang mengandung pengertian yang lengkap71.
Ini berarti bahwa sebuah kalimat adalah susunan kata-kata yang bisa di­
mengerti. Kemudian dari pengertian kata dan kalimat itulah muncul
pembagian dalam struktur kalimat yang membentuknya menjadi delapan
sebagaimana penjelasan selanjutnya. Bagi Aristoteles, kalimat adalah kata
yang sudah memiliki makna ketika mengandung keseluruhan hubung­an
dengan kata yang lain. Ia mencontohkan, misalnya kata “orang”, tidak
Lihat Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), cet. Ke-2,
h. 337.
70
Thrax menjelaskan makna grammar sebagai pengetahuan eksperimental dari
pemakaian bahasa secara umum yang digunakan oleh para penyair dan penulis prosa
Dengan mengacu ini nampaknya ia membatasi grammatika sebagai tata bahasa tinggi
yang digunakan oleh kalangan terpelajar. Lihat Dyonisius Thrax, The Grammar, h. 3.
71
Dyonisius Thrax, The Grammar, h.8
69
126
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
memiliki arti apa-apa ketika diucapkan secara mandiri. Ia akan ber­
makna jika memiliki konteks, baik ketika melekat dengan kata lain
ataupun ketika berdiri sendiri72. Aristoteles kemudian membagi kata
menjadi dua, kata yang terucap dengan kata yang tertulis. Kata yang ter­
ucap adalah simbolisasi pengalaman mental. Sedangkan kata yang tertulis
adalah simbolisasi dari kata yang diucapkan73.
Menurut Sibawaih, dalam menjelaskan arti kata, ia langsung mem­
baginya menjadi tiga, yaitu al-isim (noun), al-fi’l (verb), dan al-harf. Sibawaih
tidak mejelaskan makna kata secara definitif. Penjelasan mengenai makna
isim baru disampaikan oleh komentatornya (syarah), al-Syairafy (w. 368
H). Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan isim
adalah setiap kata yang menunjukkan makna sesuatu dengan tidak di­
sertai adanya indikasi waktu74. Penjelasan ini nampaknya sama dengan
konsepsi Aristoteles mengenai kata yang tidak memiliki referensi waktu75.
Kemudian Sibawaih memberikan contoh mengenai isim dengan orang
dan kuda. Bisa jadi ini dimaksudkan untuk menunjuk pada manusia dan
selain manusia yang berujud.
Penjelasan Thrax dan Sibawaih tentang “kata” ini sangat berbeda.
Apabila Thrax lebih melihat kata dalam hubungannya dengan kalimat,
maka SIbawaih hanya menjelaskan makna kata dengan jenisnya yang
nantinya berfungsi berbeda dalam kalimat. Jika Thrax menjelaskan
makna kalimat sebagai kumpulan dari beberapa kata, maka Sibawaih
tidak menjelaskan sama sekali, tetapi langsung membaginya menjadi tiga
jenis. Masing-masing jenis kata akan dijelaskan berikut ini.
2. Kata benda (‫ إسم‬/ noun)
Kata benda didefinisikan oleh Thrax sebagai kata yang dapat diubahubah (tashrif) yang menunjukkan makna konkrit atau abstrak. Makna
Aristoteles, Organon, terj. H. 50.
Aristotle, The Categories on Interpretation, by. Harold P. Cook (London: William
Heinemmann Ltd, 1960), h. 115
74
Abi Sa’id al-Syairafi, Syarh Kitab Sibawaih, (Damaskus: al-Hay’ah al-Shuriyyah,
1986), Jilid 1, h. 53
75
Aristotels, The Categories on Interpretation,h. 115
72
73
Epistemologi Nahwu Sibawaih
127
yang konkrit diberi contoh “batu”, sedangkan yang abstrak dicontoh­kan
“pendidikan”. Selain dua jenis itu, Thrax mengklasifikasikan kata benda
menjadi dua macam yaitu kata benda yang masih umum (common noun)
seperti orang, kuda dan kata benda yang sudah tertentu (proper noun)
seperti nama orang76. Istilah ini nampaknya sama dengan istilah ism aljins untuk common naouns dan ism al-‘alam untuk proper nouns.Ism al-jins
adalah kata benda yang tidak meunjukkan makna tertentu, seperti rajul
(seorang laki-laki), imra’ah (seorang perempuan), dâr (rumah), kitâb (buku)
dan termasuk juga kata ganti (dhamir), ism al-maushul, ism isyârah, ism alsyarath, ism al-istifhâm. Sedangkan ism al-‘alam adalah kata benda yang
sudah menunjukkan makna khusus, seperti Khalid, Fatimah, Damaskus,
dan Jakarta77. Sibawaih nampaknya belum menggunakan istilah ini.
Namun berdasarkan komentatornya, ada pembahasan mengenai ismaljins ini, dalam pembahasan mengenai perbedaan kata benda masculine
dan feminin78.
Dari pembagian kata oleh Thrax ini, kemudian dibagi menjadi
lima kategori, yaitu; gender, spesies, bentuk, bilangan, dan cases (‫)اَلحْ َا ْل‬.
Dari aspek gender ia membagi menjadi tiga kelamin, laki-laki, perempuan
dan netral (neuter). Tidak dijelaskan apa maksudnya netral, bisa jadi
semacam banci (fifty-fifty) dalam bahasa Indonesia79. Hal ini bisa saja
didasarkan pada pengamatan di tengah masyarakat Alexandria waktu
itu. Dalam penjelasan ini selanjutnya hanya menjelaskan mengenai jenisjenis kata benda dengan berbagai varian dalam dunia empiris. Sementara
gender dalam bahasa Arab sangat berperan dalam membentuk struktur
kalimat. Sibawaih menjelaskan mengenai kejadian kata benda mudzakkar
(masculine) dan muannats (feminine) yang terbentuk dari nama asli atau hasil
dari perubahan kalimat. Ia juga menjelaskan bagaimana posisi subyek
laki-laki namun menggunakan kata benda perempuan berdasarkan bentuk
Secara umum diartikan sebagai nama orang, tempat dsb secara partikelir. (the
names of particular individuals, places, etc). lihat Clive Holes, Modern Arabic; Structure,
Function, and Varieties,h. 163.
77
Mushthafa al-Ghalayiniy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, (Beirut: Mansyûrât alMaktabah al-‘Ashriyyah, 1992), h. 108-109.
78
Sibawaih, al-Kitab , j. 4, h. 44.
79
Dyonisius Thrax, The Grammar,h. 8.
76
128
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
kata tersebut, karena dalam bahasa Arab dikenal beberapa asal-usul kata
benda dari sisi gender, apakah ia asli laki-laki atau perempuan, bisa dilihat
dari, 1) hakekat benda tersebut, 2) bentuk tulisan kata tersebut80.
Penjelasan selanjutnya mengenai kata benda, Thrax membagi be­
berapa kategori kata benda lagi. Dari tataran species, ia membagi primitive
dan derivative. Kata benda primitive dijelaskan sebagai kata benda yang
asli, dalam arti bukan merupakan turunan atau bentukan dari kata lain
seperti bumi (earth). Istilah ini tidak ditemukan dalam pembahasan oleh
Aristoteles. Ia hanya membahas mengenai adanya jenis kata mengenai
species yang membawahi pembagian genus. Sedangkan kata benda
derivative adalah kata benda yang berasal dari turunan kata lainnya, seperti
sapu tangan81. Kata ini pada intinya adalah penggabungan kata lain yang
masih berhubungan dengan kata yang digabung, sehingga susunannya
menjadi; satu kata pokok dan satu kata turunan, yang letaknya bisa di
depan atau di belakang. Sedangkan kata benda derivative dibagi lagi men­jadi
tujuh kategori, yaitu patronimics, possesive, comparative, diminutive, nominal,
superlative dan verbal.
Muhammad Pribadi, al-Tadzkîr wa al-Ta’nîts fî Lughat al-‘Arabiyyah wa alIndunisiyyah, dalam Jurnal Al-Jâmi’ah, no. 62/ XII/ 1998. H.200. Pembagian gender
perempuan (feminine) dalam bahasa Arab mengenal empat kejadian. 1) al-mu`annats
al-lafdzi, yaitu kata benda yang menunjukkan perempuan dilihat dari huruf kata
benda tersebut, yaitu kata benda (ism) yang diakhiri dengan huruf ta` marbuthah ( ‫)ة‬,
contohnya adalah ; ‫ طلجة‬,‫فاطمة‬, yaitu yang pertama menunjuk kepada nama laki-laki
namun secara harfiy atau literal menunjukkan perempuan. 2) al-muannats al-haqiqiy,
yaitu kata benda perempuan yang dilihat dari jenis kelamin yang sebenarnya, baik pada
manusia atau hewan (yang berkelamin). 3) al-Mu`annats al-majaziy, yaitu kata benda
tidak bernyawa yang dianggap perempuan dalam bahasa Arab, contohnya ,‫ شمس‬,‫عني‬
4 .‫دار‬,‫ )رجل‬al-Mu`annats al-Ma’nawiy, yaitu kata benda perempuan yang secara makna
sudah menunjukkan perempuan, tetapi secara bentuk kata dalam hurufnya tidak
menunjukkan perempuan, seperti ‫هيد‬. Lihat Mushtafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durus al‘Arabiyyah,h. 80. Ada juga yang menambahnya menajdi al-mu`annats al-ta`wiliy dan almu`annats al-hukmiy, tetapi kurang populer. Lihat Muhammad Pribadi, al-Tadzkîr wa
al-Ta’nîts fî Lughat al-‘Arabiyyah wa al-Indunisiyyah, dalam Jurnal Al-Jâmi’ah, no. 62/ XII/
1998. H.202-203. Sementara Sibawaih menggunakan istilah-istilah washf, `ayn,dan nafs
untuk menunjukkan kata benda di atas. Lihat Sibawaih, al-Kitab , j. 3, h. 237.
81
Ia memberi contoh earth (bumi) untuk imposisi, dan earth-born (bumi-lahir).
Penulis menduga ini adalah ungkapan yang digunakan di Alexandria waktu itu untuk
menunjuk sesuatu, sehingga penulis lebih memaknainya sebagai makna kata benda asli
dan konotasi.
80
Epistemologi Nahwu Sibawaih
129
Patrinimics adalah nama orang yang terbentuk dari nama orang tua
biologisnya, baik pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, yaitu
penyebutan nama orang tua biologis dari jalur bapak selalu menyertai
nama belakang anaknya, atau system matrilineal, menyebut nama ibu di
belakang nama asli82. Dalam bahasa Arab, penyebutan nama asal bapak
sudah lazim, bahkan hingga beberapa generasi di atasnya adalah hal
yang biasa. Penyebutan ini sebagai symbol kelompok dan kebanggaan
bagi orang Arab. Ini sekaligus menjelaskan genealogis biologis seseorang
dalam hal suku mana ia termasuk. Namun nampaknya Sibawaih tidak
membahas secara khusus mengenai aturan ini.
Sedangkan kata benda possessive adalah kata benda yang menunjuk­
kan kepunyaan. Kata ini hanya nampak dalam bahasa inggris (English),
karena dalam Bahasa Indonesia tinggal menambah kata ganti atau
nama pemilik, seperti “bukunya” atau “buku si Budi”. Dalam bahasa
Inggris, untuk menunjukkan kepunyaan, dengan cara menambahkan
huruf “s” dibelakang kata benda baru diikuti nama pemilik jika perlu.
Sedangkan jika menggunakan kata ganti dengan merubahnya, misalnya
untuk you menjadi yours, me menjadi mine dan seterusnya. Dalam pem­
bahasan keterangan milik menurut tata bahasa Arab, adalah dengan
menggabungkan kata benda dengan melekatkan ke kata benda yang
lain, dalam hal ini bisa yang berakal atau yang tidak berakal. Aturan
peng­gabungan ini dibahas dalam bab mengenai idhâfah. Tetapi dalam
pembahasan mengenai idhafah, keterangan makna ini hanyalah salah
satu bagian dari metode penggabungan kata. Adapun makna milik adalah
asumsi makna dari sebuah huruf yang dihilangkan yaitu 83 ‫لِـ‬. Sibawaih
tidak secara khusus membahas mengenai idhâfah yang bermakna milik ini.
Selanjutnya penjelasan mengenai comparative noun, yaitu kata benda
yang digunakan untuk membandingkan. Kata ini tidak dibahas di dalam
bahasa Indonesia. Sibawaih menjelaskan hal ini dengan istilah isim tafdhil,
yaitu kata benda derivative yang berasal dari masdar dengan menambahkan
huruf hamzah di awal kata itu sesuai pola (wazan) af ’ala (‫)أ َ ْف َع َل‬84.
Dyonisis Thrax, The Grammar, h. 9.
Mushthafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, j.3, h. 206
84
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 203.
82
83
130
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Grammar
Bahasa Indonesia
Comparative noun
Lebih indah
Sibawaih
‫أ َ ْج َم َل‬
Thrax
More beautiful
Thrax membagi perbandingan kata (comparative noun) menjadi per­ban­
dingan untuk superlative dan diminutive. Superlative adalah perbandingan
untuk menunjukkan makna “lebih” (super) dalam arti positif, sebaliknya
diminutive untuk menunjukkan makna lebih dalam arti negative (bisa
ber­arti merendahkan). Aristoteles tidak memerinci mengenai hal ini
sebagai bagian dari kata benda (nouns). Ia langsung memberikan contoh
dan tidak membandingkannya dengan diminutive, sebagaimana Thrax85.
Dalam terminologi nahwu, pola superlative bisa dijelaskan sebagaimana
keterangan di atas, namun untuk pola diminutive disamakan dengan pola
tashghir (ْ‫َص ِغ ْير‬
ْ ‫س ُم الْت‬
ْ ِ ‫ )إ‬yang secara leksikal bermakna mengecilkan atau
menyedikitkan. Sibawaih menjelaskan panjang lebar mengenai pola
tashghir ini dalam 86 halaman pada jilid tiga, dan telah menggunakan
istilah ini dalam kitabnya.
Pada permulaan penjelasannya, ia menjelaskan mengenai pola kata
tashghir dalam tiga bentuk: ‫ ُف َع ْي ِع ْي ٌل‬,‫ ُف َع ْي ِع ٌل‬,‫ ُف َع ِْي ٌل‬. Pola ini berdasarkan
pada jumlah huruf yang ada dalam kata tersebut. Pola pertama (dari
kanan) adalah pola untuk kata yang terdiri dari tiga huruf, yang kedua
empat huruf, dan yang ketiga adalah lima huruf86. Makna ini selain ber­
makna mengecilkan secara etimologis, penggunaannya dimaksudkan
untuk merendahkan, baik merendahkan diri maupun orang lain87. Polapola yang rumit kemudian dijelaskan satu-persatu sesuai fenomena
kata yang eksis dalam bahasa Arab yang mengenal beberapa tingkatan
derivasi dari satu kata menjadi kata lain.
Kata benda, sebagaimana penjelasan Thrax yang lain berbentuk
nominal, yaitu kata yang menunjukkan bilangan atau jumlah benda88.
Dalam Bahasa Indonesia, hal ini hanya dengan menunjukkan angka
baru disusul dengan nama benda. Sibawaih juga mmebuat aturanAristotle, Posterior Analitics, h. 649.
Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 415-416.
87
Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 417.
88
Dyonisius Trhax, The Grammar, h. 9.
85
86
Epistemologi Nahwu Sibawaih
131
aturan tersendiri mengenai bilangan dan aturan-aturan yang berhasil
diamatinya. Ia membagi klasifikasi dalam 17 bentuk sebagai berikut:
a) Antara bilangan tiga sampai angka sepuluh
Aturan ini ditetapkan ketika sebuah bilangan melekat dengan kata
benda, yang dalam bahasan ini Sibawaih memasukkannya dalam
bab Shifat al-musyabbah bi al-fâ’il, yaitu kata benda yang ketentuanketentuannya diserupakan dengan ketentuan fâ’il (subject)89. Aturan
tersebut yaitu ketentuan tentang dibaca rafa’ diakhir kata serta
kan­dungan perbuatannya (fi’l). Ketentuan bilangan ini menurut
Sibawaih yaitu kata benda yang mengikuti bilangan disyaratkan harus
berbentuk jamak (plural) untuk bilangan tiga sampai sepuluh90.
Ketentuan yang lain dari bilangan dari dua hingga sepuluh
adalah mengenai cara penggabungan berdasarkan gender, yaitu
antara bentuk bilangan perempuan dan kata benda laki-laki atau
sebaliknya91. Hal-hal tersebut tidak dibahas, baik dalam grammer-nya
Trhax maupun Aritoteles. Antara keduanya hanya menggariskan
bahwa untuk bentuk frasa yang terdiri dari bilangan dan kata benda
hanyalah menggabungkan bilangan itu dengan kata benda92.
b) Penggabungan bilangan dan kata benda yang tidak pantas
Istilah yang digunakan oleh Sibawaih dalam hal ini adalah dengan
kata “tidak pantas”, ‫س ُن‬
ُ ‫لاَ ي َ ْح‬, yaitu ketika kata bilangan (‘adad) ditanwin kepada kata benda jamak93.
c) Bentuk urutan angka (ordinal)
Sibawaih juga menjelaskan aturan urutan angka dengan penekanan
pada bentuk gendernya. Untuk urutan angka ini yang digunakan
hanyalah bentuk male (mudzakkar)94.
ْ ‫ َع‬, yaitu huruf
d) Aturan penulisan harakat‘ain fi’l95 pada kata ‫شرَ َة‬
Sibawaih, al-Kitab ,j 1, h. 206.
Sibawaih, al-Kitab , j.1, h. 206
91
Sibawaih, al-Kitab j 3, h.557
92
Aristoteles, Posterior Analytics ,( London: William Heinemmann Ltd, 1960) h. 207.
93
Sibawaih, al-Kitab , j. 3, h. 566.
94
Sibawaih, al-Kitab ,h. 561
95
Dalam susunan huruf sebuah kata dalam bahasa Arab, dikenal pola ‫فعل‬, yaitu
huruf pertama, kedua, dan kedtiga dikenal dengan istilah fa’ fi’l, ‘ain fi’l dan lam fi’l, sesuai
89
90
132
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
kedua yang berupa huruf ‫ ش‬di sukun.
e) Aturan penambahan huruf ‫أل‬setelah bilangan
Aturan ini sebagaimana aturan adanya ‫ أل‬pada kata benda yang lain,
seperti bentuk kata benda yang bisa di-tanwin (munsharif)96
f) Cara penulisan angka 11 dan 12.
Kedua angka ini berbeda dalam penulisan karena memiliki pola
khusus yang tidak sama dengan pola yang lain. Kalau pada angka
satuan penyebutan angka satu dengan kata ‫ واحد‬maka pada angka
sebelas dengan awalan ‫ أحد‬dan ditambah dengan angka puluhan
‫عشر‬. Begitu pula untuk angka 12 maka tidak ditulis ‫إثنني عشر‬tetapi
dengan kata ‫عشرإثنا‬. kedua pola ini digunakan untuk pola gender
laki-laki. Untuk perempuan ada aturan tersendiri97.
g) Aturan istilah 98‫ض َع‬
ْ ِ‫ب‬
h) Aturan penulisan angka seratus, ratusan dan ribuan
i) Aturan penggunaan jenis kelamin (gender) dalam angka
Aturan-aturan ini oleh Sibawaih dijelaskan berdasarkan fenomena
pengucapan yang ada di Arab. Tentu saja aturan-aturan ini tidak di­
temukan dalam penejelasan grammar oleh Aristoteles maupun Thrax.
Bahkan hingga kini, aturan ini nampaknya hanya ditemukan dalam
bahasa Inggris. Ciri yang khas dari aturan bahasa Arab ini adalah pem­
berlakuan gender dalam bilangan99.
Kategori terakhir dari kata benda derivative menurut Thrax adalah
verbal, yaitu kata yang merupakan turunan dari verb; kata benda100. Nam­
paknya dalam bahasa Arab ini identik dengan isytiqaq, yaitu kata yang berasal
dari bentuk lain dalam kata kerjanya. Kata ini kemudian membentuk
macam-macam kata sesuai posisinya masing-masing. Dalam bahasa
urutan huruf. Pola ini kemudian diterapkan dalam semua kata yang bisa diderivasikan
dari kata kerja tersebut.
96
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h.206.
97
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 558.
98
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 561.
99
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 561-564.
100
Thrax, The Grammar, h. 13. Lihat juga teori derivative dalam Max Muller, Science
of Thought, h. 39
Epistemologi Nahwu Sibawaih
133
Arab bahkan kata kerja bisa sekaligus membentuk kata benda yang
bermacam-macam, seperti bentuk pekerjaan itu sendiri (mashdar), pelaku
(fâ’il), kata keterangan tempat (ism –al makan), keterangan waktu (ism alzaman), dan alat (‘alat). Proses ini dalam bahasa Arab dipelajari dalam ilmu
sharf101. Sibawaih tidak menyebut kata-kata ini, karena diyakini memang
pada masa Sibawaih ini belum terbentuk ilmu tersendiri tentang Sharf102.
Meskipun tidak disinggung secara khusus dalam satu bab, perubahanperubahan itu tetap dibahas dengan istilah lainnya. Seperti kata mashdar
(‫ )املصدر‬yang ia bahas dengan dimulai pada keterangan bentuk kata yang
dibagi dalam tiga macam pola, dengan menyebut bentuk kata tersebut.
Tiga pola kata tersebut adalah ‫ي َ ْف َع ُل‬-‫ َف َع َل‬,‫ي َ ْف ِع ُل‬-‫ َف َع َل‬,‫ي َ ْف ُع ُل‬-‫ َف َع َل‬103. Dari
ketiga bentuk pola tersebut, kesemuanya adalah pola kata yang terdiri
dari tiga huruf pokok (asal). Dari ketiganya, ketika terbentuk menjadi
pola pelaku pekerjaan (fâ’il) maka akan menjadi ‫( َفا ِعل‬fâ’ilan)104.
Aturan mengenai bentuk kata yang lain adalah mengenai frasa,
yang dalam istilah Thrax dibagi menjadi tiga, yaitu; simple, compound, dan
super compound. Sebagaimana penjelasan yang lain, ia juga kadang hanya
menyebutkan contohnya, tanpa menyebut definisnya. Contoh kata yang
simple adalah Memmon, untuk yang compound adalah Agamemmon, dan
untuk super-compound adalah Agamemmonides, philippides105.
Dalam terminolgi ilmu bahasa Arab setelah masa Sibawaih, ada dua bahasan
pokok darinya, yaitu; 1) bahasan mengenai kata, 2) bahasan mengenai struktur kalimat.
Yang pertama dibahas dalam ilmu sharf dan yang kedua dibahas dalam ilmu nahwu. Ilmu
sharf dengan demikian membahas mengenai asal-usul suatu kata dan perubahannya, di
luar perubahan I’rab dan bina`, karena dua perubahan ini dibahas dalam ilmu nahwu.
Dengan demikian yang dibahas dalam ilmu sharf adalah kata-kata yang dapat diturunkan
(derivasi) kepada kata yang lain. Istilah-istilah yang muncul dalam ilmu sharf adalah I’lal,
idghâm, dan ibdâl. Lihat Mushtafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durus al-‘Arabiyyah,(Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2005), h. 8.
102
Lihat kembali bab III.
103
Pola tersebut adalah asal kata yang akan merubah bentuk pola yang lain ketika
berubah dalam beberapa turunan. Perubahan terlhat dari harakat pada huruf ketiga
dari fi’l pasangannya.
104
Lihat Sibawaih, al-Kitab, j. 4, h. 5.
105
Dalam setiap contohnya, tidak dijelaskan arti dari bahasa yang digunakan untuk
contoh tersebut. Bisa jadi hal itu memang tidak diketahui oleh penerjemah bahasa
Inggris-nya
101
134
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Penjelasan ini nampaknya sama dengan istilah kata tunggal dan
frasa. Frasa adalah gabungan kata yang saling terkait dan berposisi se­bagai
fungsi tertentu dalam kalimat, atau suatu bentuk yang secara sintaksis
sama dengan satu kata tunggal, yang dengan demikian dapat diganti
dengan satu kata saja106. Kata tunggal dalam penjelasan Sibawaih sudah
dijelaskan dalam pembagian kata sebagaimana sebelumnya. Sedangkan
frasa (al-Murakkab/ ‫ )املركبات‬oleh Sibawaih dibagi menjadi empat, yaitu
al-murakkab al-isnadî, al-murakkab al-idhafî, al-murakkab al-‘adadî, dan
al-murakkab al- mazjî107. Penjelasan-penjelasan yang ada sebagaimana
penjelasan yang lain mengenai ketentuan-ketentuan, dalam arti bahwa
penjelasan itu tidak mengenai definisi kata melainkan tentang cara peng­
gaungan dan mana dari masing-masing kata. Misalnya ketika sebuah kata
benda digabung dengan nama keluarga, negara, suku atau kelompok,
maka dalam istilah Sibawaih disebut dengan makna nisbat, yaitu makna
sebuah kelompok atau bangsa108. Makna yang kedua bisa juga diartikan
sebagai milik atau komplemen dari sebuah benda.
Untuk penjelasan murakkab isnâdî, Sibawaih tidak secara khusus
menyebut susunan kata tersebut sebagai murakkab isnâdî. Ia membahasnya
dalam bab mengenai hikâyah atau cerita109. Ia menjelaskan bahwa, jika
ada nama orang yang disandarkan kepada sesuatu maka penulisan itu
dalam menyebutkan namanya tetap ditulis sebagaimana penyandaran­
nya (isnad). Begitu juga untuk murakkab idhafî, yang ketentuannya sama
dengan ketentuan murakkab isnâdî. Dalam menjelaskan murakkab ‘adadî
atau bilangan sebelas ke atas, maka ia menghukuminya sebagaimana
murakkab mazjî110, yaitu dua kata yang dijadikan satu dan dianggap satu
kata. Akan tetapi perbedaannya adalah bahwa pada murakkab ‘adady
hukum I’rab-nya berlaku pada kata yang pertama. Kesamaan dengan
murakkab mazjî dengan demikian hanya dalam hal adanya perubahan
Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2004), h.33.
Sebenarnya istilah ini tidak meuncul dari Sibawaih, dalam al-Kitab, nampaknya
istilah ini dimunculkan oleh komentatornya.
108
Sibawaih, al-Kitab, j. 3, h. 335. Arti murakkab secara literal adalah tersusun.
109
Sibawaih, al-Kitab , j. 3, h. 326.
110
Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 296-297. Murakkab mazjiy memiliki cirri khas sebagai
dua kata yang bisa jadi tidak berhubungan dan tidak bermakna tanpa digabung.
106
107
Epistemologi Nahwu Sibawaih
135
kata dari masing-masing kata yang digabung tersebut.
Batasan frasa yang dijelaskan oleh Thrax hanyalah penggabungan
dua kata atau lebih tanpa menjelaskan fungsi masing-masing dalam
posisinya. Begitu pula penjelasan oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa
coumpound noun adalah gabungan dua kata atau lebih111.Hal ini ber­beda
dengan penjelasan Sibawaih yang menjelaskan posisi itu, yang masingmasing memiliki makna yang berbeda.
Dalam hal jumlah sebuah benda, nampaknya antara Sibawaih,
Aristoteles dan Thrax memiliki kesamaan. Menurut ketiganya, cara pe­
nulisan antara satu benda dengan dua dan banyak benda berbeda.
Sehingga, berbeda dengan Bahasa Indonesia, dalam tata bahasa ketiga­
nya nampaknya tidak ada perbedaan. Lagi-lagi, perbedaan hanya dalam
pembedaan gender terhadap sebuah benda. Namun ini sekaligus men­­
jadi varian perbedaan yang mendasar dalam hal gender antara bahasa
Yunani dan bahasa Arab. Thrax menjelaskan bahwa dalam bahasa
Yunani ada tiga varian jumlah kata benda yaitu, singular, dual, dan plural112.
Ini sama dengan dalam bahasa Arab dengan istilah mufrad, tatsniyah, dan
jama113’. Satu hal yang tidak ada dalam definisi jamak (plural) menurut
Thrax adalah apa yang dalam bahasa Arab disebut dengan shighat
muntahâ al-Jumu’, yaitu yang berbeda dengan jama’ biasa. Ia sering di­
artikan sebagai banyak sekali. Dari semua bentuk number dalam bahasa
Arab, aturan-aturan gender masih diberlakukan dengan varian masingmasing. Sementara dalam bahasa Yunani tidak diketahui apakah per­
bedaan gender ini kemudian berpengaruh terhadap bentuk kata kerja
dalam predikat­nya.
Secara umum, pembagian Thrax mengenai adanya kata benda
primitive dan derivative nampaknya sama dengan fenomena ism jâmid dan
ism musytaq (istyitqâq). Dalam bahasa Arab, hampir semua kata kerja bisa
dijadikan kata benda lewat proses derivasi. Bagi Sibawaih, kata kerja
(fi’l) berasal dari kata benda (ism)114. Istilah yang ia pakai memang bukan
Aristotle, The Categories on Interpretation, h. 123.
Thrax, The Grammar, h. 9.
113
Sibawaih, al-Kitab , j.2, h. 48.
114
Sibawaih, al-Kitab ,j. 1, h. 20-21.
111
112
136
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
isytiqaq, tetapi hanya menjelaskan asal kata kerja tersebut. Kata musytaq
dimunculkan oleh komentatornya. Isytiqaq nampaknya muncul dalam
terminologi setelah generasi Sibawaih. Dalam menjelaskan isytiqaq,
Musthafa al-Ghalayini menterjemahkannya sebagai menurunkan kata
dari kata yang lain dengan syarat adanya kesesuaian antara kata yang
diturunkan dengan turunannya, baik dalam hal susunan huruf maupun
maknanya115. Kata turunan atau derivasi dalam pembahasan Aristoteles
cenderung berorientasi pada sebuah kata yang merupakan turunan atas
penamaan sebuah benda116.
Pembahasan Thrax selanjutnya adalah mengenai cases yang dalam
bahasa Arab identik dengan hâl. Aristoteles juga menjelaskan me­
nge­nai contoh kata “of Philo” dan “to Philo” yang disebutnya bukan
sebagai nouns, tetapi cases of nouns. Sedangkan Sibawaih menjelaskan
makna hâl sebagai kata yang mengandung posisi atau keadaan subject
ketika melakukan sesuatu yang digambarkan dalam predikat117. Thrax
kemudian membagi cases menjadi lima bentuk; the right, the generic, the dative,
the accusative, dan the vocative. The right disebut juga dengan the nominative
atau the direct118. Sementara the generic disebut juga the possessive dan the
partial. Sedangkan the dative disebut juga dengan the injunctive. Dan the
accusative berasal dari cause. Sedangkan the vocative disebut juga dengan
allocutive.
Beberapa bagian bisa dijelaskan dalam terminologi nahwu (grama­
tika Arab) yang digunakan Sibawaih. Seperti padanan yang dibuat
Muhammad ‘Ali Khuli, the right case atau the nominative case adalah sama
dengan hâlat al-rafa’119. Sibawaih belum menggunakan istilah hal untuk
menjelaskan hal-hal tersebut. Ia langsung menjelaskan mengenai kaidahkaidah isim yang kelak menyerupai hal tersebut. Ia menjelaskan istilah itu
dengan menyebut adanya sebuah kata dalam posisi yang menjelaskan
Mushtafa al-Ghlayini, Jâmi’ al-Duru al-‘Arabiyyah, j. 1, h. 208.
Aristotle, The Categories on Interpretation, h. 29.
117
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 44.
118
Dyonisius Thrax, The Grammar, h. 10.
119
Muhammad ‘Ali Khuli, A Dictionary of Theoritical Linguistiks,( Beirut: Library Du
Liban, 1982), h. 184. Ia menjelaskan nominative case sebagai keadaan kata benda yang
dalam kalimat diawali dengan subject ‘dia’.
115
116
Epistemologi Nahwu Sibawaih
137
sebuah perbuatan dan kata tersebut berasal dari kata kerja120. Tidak
seperti lazimnya ahli nahwu pada abad tiga hingga sekarang, yang sudah
menggunakan istilah al-hâl, Sibawaih masih menggunakan istilah yang
intinya sama dengan posisi al-hâl. Memang dalam penjelasannya muncul
istilah al-hâl tetapi tidak dalam makna yang generic, sebagaimana posisi
al-hâl dalam struktur sebuah kalimat. Bisa jadi penamaan posisi ini men­
jadi al-hâl terinspirasi oleh kata-kata yng dimunculkan oleh Siawaih ini.
Kategorisasi kata benda oleh Thrax selajutnya dalah mengenai
species. Species dalam terminologi yang dimunculkan oleh Aristoteles
disandingkan dengan istilah genus. Keduanya digunakan dalam kaitan
antara kesetaraan kata satu dengan yang lain yang dapat dinegasikan se­cara
benar. Misalnya antaramanusia hanya bisa dinegasikan dengan manusia
dari sisi genus, tetapi dari sisi spesies, manusia bisa dinegasikan dengan
hewan. Misalnya ketika menyebut nama seorang manusia, maka ia tidak
bisa dibandingkan dengan hewan, tetapi ketika disebut manusia secara
umum, maka bisa saja dibandingkan dengan hewan.
Kata benda menurut Thrax memiliki beberapa hal yang menyertai
perubahannnya (expressive of accidents) yang disebut sebagai species. Thrax
membagi species menjadi; proper, appellative, adjective, relative, quasi-relative,
homonym, synonym, pheronym, dyonym, eponym, national, interrogative, indefinite,
anaphoric (disebut juga assimilative, demonstrative, dan retributive), collective,
distributive, inclusive, onomatopoetic, general, special, ordinal, numeral, participative,
independent121. Penjelasan ini sangat terperinci dibanding Aristoteles yang
nampaknya belum sampai kepada penjelasan ini.
Keterangan mengenai proper naouns telah dijelaskan sebelumnya.
Di sini Thrax menjelaskan artinya menjadi sesuatu yang menunjukkan
makna substansi yang particular, seperti nama orang atau tempat. Ia mem­
beri contoh Homer dan Sokrates. Mungkin bisa juga dimasukkan contoh
Soekarno, Jakarta, Washington dan sebagainya. Adapun makna appellative
maknanya sama dengan common nouns, yaitu kata yang menunjukkan
makna substansi umum, seperti orang, kuda dan sebagainya122. Kedua
Sibawaih, al-Kitab , j.1. h. 340.
Trhax, The Grammar,h. 10.
122
Thrax, The Grammar, h. 10.
120
121
138
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
kata benda itu belum menunjukkan manusia tertentu yang dimaksud,
apakah orang Indonesia, Amerika, atau Arab. Bahkan namanya tidak
disebutkan sehingga tidak diketahui yang dimaksud secara khusus.
Dalam penjelasan sebelumnya, kedua kata ini dalam terminologi nahwu
Sibawaih belum muncul, baik sebagai ism al-jins maupun ism al-‘alam.
Komentatornya menjelaskan bahwa penjelasan mengenai ism al-jins oleh
Sibawaih dalam membedakan penggunaan kata berdasarkan gender.
Adjective nouns dijelaskan sebagai kata yang dilekatkan pada, baik
proper ataupun appellative nouns, yang menunjukkan makna pujian atau
menyalahkan. Kata ini diturunkan dari tiga sumber, yaitu dari dalam diri,
raga dan sesuatu yang datang dari luar123. Ia memberikan contoh untuk
sumber dari diri dengan ‘bijaksana’ dan baik hati (bermoral). Sedangkan
yang berasal dari raga adalah ‘cepat’ dan’lambat’. Dan contoh yang dari
luar diri adalah ‘kaya’ dan ‘miskin’. Dalam terminologi Sibawaih, kata
ini dijelaskan dengan cara peyambungan kata sifat (adjective) terhadap
kata benda sebelumnya, yaitu keharusan adanya kesejajaran, baik dalam
segi jenis, jumlah maupun I’rabnya. Tentu ia tidak menggunakan istilah
itu dalam penjelasannya124. Sibawaih juga tidak membahas dalam bab
khusus sebagaimana penjelasan ulama’ nahwu sesudahnya. Sibawaih tidak
membedakan istilah adjective sebagaimana yang digunakan oleh Thrax,
apakah dari dalam diri atau dari luar.
Species kata benda yang lain menurut Thrax adalah relative noun, yang
diberi contoh ‘bapak’, ‘anak’, ‘teman’, dan ‘tangan kanan’. Selanjutnya di­
jelaskan pula mengenai quasi-relative yang diberi contoh ‘malam’, ‘hari’,
‘mati’, dan ‘hidup’. Dalam pengertian nahwu, kata benda yang per­tama
ini sebenarnya sepadan dengan nisbat atau penyandaran kepada kata benda
lain seperti nama orang tuanya, kelompoknya, atau bangsanya. Seperti
َ ْ‫ اَل‬dengan tanda ya’ nisbat yang berarti bermazhab syafi’i. Sibawaih
‫ش ِف ِعي‬
Penjelasan ini sangat sulit dipahami secara linguistis. Bisa jadi ini adalah pen­
jelasan filosofis.
124
Ia menggunakan penjelasan sebagai berikut:
‫ هذا زيد الطويل‬: ‫ وذلك قولك‬,‫واعلم أن الشئ يوصف بالشئ الذى هو هو وهو من اسمه‬
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j. 2, h. 121.Di sini ia hanya menggunakan kata ganti ‫(هو‬ia;
ind/ it; eng)
123
Epistemologi Nahwu Sibawaih
139
menjelaskan bab ini dalam bab idhafah yang membahas mengenai nisbah.
Dijelaskan di sini bahwa ketika sebuah kata benda (orang) disandarkan
kepada nama keluarga maka orang tersebut berarti keluarganya. Dalam
kasus contoh sebelumnya, orang yang disandarkan kepada nama Syafi’I
berarti ia menjadi keluarga besar dari syafi’I. sedangkan kata benda yang
kedua nampaknya tidak ditemukan dalam terminologi Sibawaih.
Species selanjutnya adalah homonym yang definisi umumnya adalah
dua kata yang berbeda tetapi maknanya sama. Dalam terminologi bahasa
Arab nampaknya sama dengan istilah musytarak. Misalnya kata ‫ب‬
َ
َ َ‫ضر‬
yang maknanya bisa bermacam-macam tergantung konteks. Sibawaih
tidak menyinggung tentang hal ini. Thrax memberi contoh dengan tela­
monion aias, oilean aias. Sedangkan synonym sebagaimana lazimnya juga
dalam bahasa Indonesia, yaitu kata berbeda yang bermakna sama. Kata
yang dalam terminologi bahasa Arab sama dengan muradif ini juga
tidak disinggung oleh Sibawaih. Sedangkan kata benda pheronym dan
dionym, eponym yang dijelaskan oleh Thrax125 juga tidak ada dalam termi­
nologi nahwu Sibawaih. Tetapi nampaknya kata-kata tersebut masih
berhubungan perubahan makna dalam beberapa kata yang mirip. Istilahistilah ini menjadi variable dalam analisa makna (semantik)126. Sibawaih
tidak menyinggung hal-hal tersebut bisa jadi karena ia tidak sedang
mem­bahas makna secara kata per kata, akan tetapi bagaimana kata itu
bermakna setelah terrangkai dengan aturan-aturan tertentu.
Ada satu istilah yang disebut oleh Thrax yang dalam penjelasan
Sibawaih sudah disinggung, yaitu national yang menunjukkan nama
Negara dari orang yang dilekatinya127. Dalam penjelasan Sibawaih sudah
disinggung dalam pembahasan mengenai nisbat. Ini berarti Thrax mem­
bedakan kelompok nama orang dengan komunitas nama tempat, yang
dalam pembahasan Sibawaih disamakan.
Interrogative oleh Thrax juga dimasukkan dalam kaitan dengan
species kata benda. Tentu saja kata ini menjadi pelengkap dan sempurna
makna­nya dengan memunculkan apa sebenarnya dibalik kata itu. Thrax
Thrax, The Grammar, h. 10-11
J.D. Parera, Teori Semantik,(Jakarta: Erlangga, 2004), h. 61.
127
Thrax, The Grammar, h. 11.
125
126
140
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
memberi contoh dengan kata tanya ‘who’, ‘what sort’, ‘how great’ dan ‘how
old’128. Dalam terminologi nahwu kata ini sepadan dengan istilah istifham.
Sementara Sibawaih tidak secara khusus menggunakan istilah istifham
dalam pembahasan mengenai kata tanya ini. Ia memasukkan pembahas­
an mengenai kata tanya justru dalam bahasan mengenai kata sambung ‫او‬
َ ‫ َك ْي‬,‫ َمتَى‬,‫َما‬
(atau)129. Kata tanya yang dicatat Sibawaih di sini adalah,‫م‬
ْ ‫ َك‬, ‫ف‬
‫أَي ْ َن‬. Sebagaimana dalam pembahasan yang lain, Sibawaih menjelaskan
tidak saja kata-kata yang digunakan untuk bertanya tetapi menjelaskan
ketentuan-ketentuan penggunaan kata-kata yang menyertai penggunaan
kata tanya itu, seperti letak kata tanya, apakah harus di depan atau di
belakang. Bentuk kata benda berdasar species yang lain menurut Thrax
adalah indefinite yang menggunakan perangkat kata tanya untuk meng­
ungkapaknnya. Contoh dari penggunaan ini adalah ‘whosoever, of whatever
sort, however great, of whatever great’130. Sibawaih memasukkan kata-kata ini
dalam pembahasan mengenai perangkat kata tanya (istifham).
Species kata benda yang lain menurut Thrax lagi adalah anaphoric
yang disebut juga dengan assimilative, demonstrative131, atau attributive. Kata
ini menunjukkan makna similarity (sebanding). Ia memberikan contoh
dengan penggunaan perangkat dalam bahasa Inggris ‘as’; as great, as old,
such. Perangkat dalam bahasa Arab untuk kata-kata ini menggunakan
perangkat kata penyerupaan, yang dalam pembahasannya masuk pada
tasybih132. Namun Sibawaih tidak memasukkan pembahasan secara
khusus dalam perangkat penyerupaan atau tasybih ini. Ia menjelaskan
ْ ‫ اَلْ َك‬sebagai
dalam pembahasan per huruf seperti penggunaan huruf ‫اف‬
Thrax, The Grammar, h. 11.
Sibawaih, al-Kitab , j. 3, h. 175.
130
Thrax, The Grammar, h. 11.
131
Sementara padanan demonstrative noun menurut Muhammad ‘Ali al-Khuli sama
dengan ism al-isyârah, atau kata tunjuk. Lihat Muhammad ‘Ali al-Khuli, A Dictionary of
Theoritical Linguistiks, h. 68.
132
Tasybih secara leksikal berarti penyerupaan. Dalam terminologi balaghah kajian
ini masuk dalam kajian ilmu bayân, sebuah kajian untuk menyingkap makna sebuah
ungkapan dengan berbagai metode. Secara terminologis tasybih diartikan sebagai
kesesuaian makna sebuah ungkapan dengan ungkapan yang lain dengan menggunakan
perangkat penyerupaan yang telah dikenal. Lihat Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir alBalaghah,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1971), h. 153-157.
128
129
Epistemologi Nahwu Sibawaih
141
harfal-jâr133. Dengan demikian pola yang dikembangkan oleh Thrax dan
Sibawaih berbeda. Hal ini bisa dilihat dalam penggunaan perangkat yang
digunakan dengan pola yang berbeda.
Sedangkan collective noun adalah kata tunggal yang meliputi makna
banyak, seperti orang dan kelompok134. Distributive noun adalah satu kata
yang memiliki hubungan dengan kata yang lain, seperti ‘the other’ (yang
lain), ‘each’ (masing-masing), ‘every one’( setiap orang). Onomatopoetic noun
adalah kata benda yang merupakan hasil dari peniruan bunyi suatu
suara. Ia mencontohkan ‘whistling’ (bunyi siulan), ‘rattle’ (bunyi jendela
yang bergerak-gerak). Klasifikasi ini nampaknya juga tidak ditemukan
dalam terminologi nahwu Sibawaih. Justru sebagian kata-kata tersebut
me­r upakan kajian dalam teori mantiq.
Species selanjutnya adalah inclusive noun yang diartikan sebagai kata
yang menunjukkan apa yang terkandung di dalamnya. Thrax men­
contoh­kan kata ‘virgin’s abode’ (kediaman seorang perawan) dan ‘laurelgrove’ (belukar pohon salam)135. Kata yang pertama menunjukkan bahwa
kediaman itu dihuni seorang perawan, dan yang kedua menunjukkan
bahwa belukar itu terdiri dari pohon salam. Nampakya sulit menentu­
kan padanan untuk kata ini, karena kata ini sama dengan istilah ism alsyâmil dalam bahasa Arab. Sehingga tidak ditemukan dalam terminologi
Sibawaih.
Beberapa hal mengenai kata benda yang dibahas Thrax ini tidak
dibahas secara detail definitive oleh Aristoteles. Bisa jadi memang
Thrax merumuskan sendiri setelah mengembangkan apa yang ia pelajari
sebelumnya. Aristoteles dalam Organon memnag menyinggung sebagai­
Sibawaih, al-Kitab ,j. 4, h. 217. Huruf ‫ الكاف‬sendiri menurut Mushtafa al-Ghalayini
memiliki empat makna; 1) untuk penyerupaan, 2) bermakna seperti huruf ‫ل‬, ‘supaya’,
3) bermakna ‫( على‬atas), 4) fungsi penegas (tawkid). Lihat Mushtafa al-Ghalayini, Jâmi’
al-Durûs al-‘Arabiyyah, j. 3, h. 181.
134
Istilah ini nampaknya identik dengan istilah ism al-jumû’. Berbeda dengan
ism al-Jam’,ism al-Jumû’ semakna dengan istilah ism al-Kul, yaitu sebuah kata benda
tunggal yang di dalamnya termuat banyak makna kata benda yang lain, seperti bangsa,
komunitas, kelompok dan sebagainya. Kata komunitas, misalnya, menunjukkan bahwa
di dalamnya terdapat banyak anggota atau orang. Lihat Muhammad ‘Aqil al-Mahdi,
Tamhîd li Dirâsat al-Manthiq al-Shuwariy, (Malaysia: Dar al-Hadits, 1997), j.1, h. 61.
135
Thrax, The Grammar, h.11.
133
142
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
mana yang ditulis oleh Thrax, tetapi tidaklah spesifik untuk membahas
perincian kata benda. Dengan demikian memang apa yang ditulis oleh
Thrax ini adalah sebuah terobosan yang maju bagi kajian bahasa dalam
tradisi Yunani.
Masih dalam pembahasan kata benda yang disertai dengan accident­
species, Thrax menambahkan bahwa kata benda juga mengandung makna
General noun dan special noun136. Keduanya sangat sederhana penger­tian­
nya, sebagaimana dikenal pula dalam bahasa Indonesia, kata umum
dan khusus. Kata umum adalah kata yang masih bisa diperinci menjadi
bagian-bagian dari kata yang melingkupinya, seperti dicontohkan Thrax
sendiri dengan kata; hewan dan tumbuhan. Dari keduanya masih bisa
diurai menjadi banyak bagian atau anggota yang masuk kepada kata
itu, misalnya ular, harimau, kambing, sapi dan sebagainya yang bisa
dimasukkan dalam kelompok hewan. Bagian-bagian ini jika berdiri
menjadi kata benda khusus atau special noun. Dalam terminologi nahwu
kata ini tidak disinggung, karena dalam tata bahasa Arab lebih ditekan­
kan aspek tata cara peletakan sebuah kata terhadap kata yang lain dan
posisi kata itu sendiri baik susunan ataupun harakat-nya. Ini sama dengan
pembahasan sebelumnya tentang arti collective dalam padanan kata bahasa
Arab.
Berikutnya adalah mengenai ordinal noun dan numeral noun. Keduanya
berkaitan dengan angka atau bilangan. Ordinal adalah kata benda yang
me­nunmukkan urutan. Sedangkan numeral adalah kata benda yang me­
nunjukkan makna angka atau angka itu sendiri137. Keduanya dibahas oleh
Sibawaih sebagaimana penjelasan sebelumnya (lihat hal 27-29 bab ini).
Kemudian Thrax menjelaskan accident selanjutnya mengenai
participative noun yaitu kata benda yang menjadi bagian dari substansi yang
sudah pasti138. Ia memberi contoh emas dan perak. Istilah ini sulit dicari
padanannya dalam bahasa Arab, sehingga nampaknya Sibawaih tidak
mem­bahas dalam kitabnya. Istilah ini mungkin sama dengan pengertian
juz’î dalam terminologi bahasa Arab. Yaitu kata benda yang menjadi
Thrax, The Grammaar, h. 11
Thrax, The Grammar, h. 11.
138
Thrax, The Grammar, h.11.
136
137
Epistemologi Nahwu Sibawaih
143
pembangun dari keseluruhan sebuah benda, baik yang ada dalam dunia
empiris maupun dalam konsepsi. Contoh yang empiris adalah tembok
dan tiang, yang merupakan bagian dari (juz) sebuah keseluruhan (kull)
rumah139.
Ada pula accident species dari noun yang dijelaskan oleh Thrax, yaitu
mengenai independent noun yang diartikan sebagai kata benda yang di­
pikir­kan (thought) sendiri, seperti Tuhan dan Rasio140. Dan terakhir adalah
mengenai dispositions noun yang terdiri dari dua bentuk kata benda, aktifitas
dan pasifitas. Kata benda aktivitas adalah kata benda yang menunjukkan
makna perbuatan dari seseorang atau benda seperti hakim yang berarti
yang memutuskan. Sedangkan kata benda pasifitas adalah kata benda
yang sebaliknya, yaitu yang dikenai aktifitas tersebut, seperti orang yang
dihukum (oleh hakim). Istilah ini dalam Bahasa Arab nampaknya sama
dengan istilah mabni ma’lum dan mabni majhul, yang keduanya dalam
konteks kata benda. Sibawaih tidak secara khusus membahas mengenai
hal ini, ia memasukkan bahasan ini dalam bahasan mengenai mashdar
(gerund) yang mengikuti pola ‫ َفا ِع ٌل‬dan ‫ َم ْف ُع ْو ٌل‬. Yang pertama diartikan
sebagai pelaku (aktif) dan yang kedua sebagai objek (pasif)141.
Dari keseluruhan pembahasan mengenai kata benda antara Aris­
toteles, Dyonisius Thrax, yang mewakili Yunani, dan Sibawaih, yang
mewakili Arab awal, ada perbedaan yang terlihat jelas dalam pola kajian­
nya. Kalau Arstoteles dan Thrax berkutat pada pembagian kata-kata
dengan istilah-istilah yang berbeda maka Sibawaih tidak terlalu me­mun­
culkan istilah dan kemudian didefinisikan. Kalau filosof Yunani tidak
membahas tata cara peletakan posisi kata benda tersebut, maka Sibawaih
sudah dengan terperinci membahas tata cara peletakan posisi kata itu
dalam kalimat. Dan karakter yang paling mendasar adalah adanya per­
ubahan harakat (I’rab/ parsing) pada bahasa Arab. Hal ini yang nampak­
nya membedakan pembahasan antara tokoh linguistik barat dan timur
tersebut. Selain rumitnya bahasan mengenai I’rab juga adanya derivasi
(isytiqaq) kata yang begitu banyak dalam semua kata bahasa Arab, kecuali
Muhammad ‘Aqil, Tamhid li Dirâsat al-Manthiq al-Shuwariy, h. 73.
Thrax, The Grammar, h. 11.
141
Sibawaih, al-Kitab , j. 4, h. 43-44.
139
140
144
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
kata-kata yang diklasifikasikan sebagai kata yang tidak bisa diderivasi­
kan.
Setelah membahas kata benda secara panjang lebar, Thrax kemudian
membahas kata kerja (verb). Kata kerja olehnya didefinisikan sebagai
kata yang tidak dapat diubah-ubah (indeclinable), yang mengindikasikan
waktu kejadian, orang yang melakukan dan jumlahnya, dan memper­
lihatkan aktivitas maupun pasifitas142. Penjelasan ini nampaknya sama
dengan definisi yang diberikan oleh Aristotels mengenai kata kerja (verb).
Baginya, kata kerja adalah kata yang mengandung catatan waktu. Ia me­
nekankan aspek waktu dalam kata tersebut dan tidak menekankan
aspek perbuatan dan oleh siapa perbuatan itu dilakukan. Nampaknya
ia sangat membedakannya dengan kata benda yang sama sekali tidak
mengandung unsure waktu. Misalnya dalam memberikan contoh, ‘health’
adalah noun, tetapi ketika menjadi ‘is healthy’ maka sudah menjadi verb143.
Nampak dalam contoh itu bahwa penggunaan verb tidak hanya diarti­
kan sebagai kata kerja saja, tetapi dalam fungsi ketika muncul di kalimat
sudah berbeda dengan noun, maka baginya sudah bisa dianggap verb. Dari
aspek ini nampaknya penjelasan Thrax sudah lebih maju dibanding
dengan Aristoteles.
Sementara bagi Sibawaih, kata kerja didefinisikan sebagai kata yang
menyatakan kejadian sesuatu, didasarkan pada kejadian yang,
َ ‫)لِ َما َم‬,
1) sudah lampau (‫ضى‬
2) sedang terjadi (‫ )لما يكون‬dan
3) belum terjadi (‫)ْلَ ْم َي َقع‬.
Contoh masing-masing adalah;
َ ‫ َ َم َك‬,‫ َس ِمع‬,‫)َ َذهَ ب‬
1) ,‫ َح ِمد‬,‫ث‬
2) dicontohkan untuk kata perintah ‫ب‬
ْ ِ ‫إ‬,‫ أ َ ْقت ُْل‬,‫إِدُ َه ْب‬,
ْ ِ‫ضر‬
3) 144
ُ ‫ ي َ ْقتُل‬,‫ضرِ ُب‬
ْ َ‫ ي‬.
Penjelasan Sibawaih ini nampaknya hampir sama dengan keterangan
Aristoteles yang tidak memerinci definisinya.
Thrax, The Grammar, h.12
Aristotle, The Categories on Interpretation, h. 119.
144
Masing-masing berarti 1) dulu/ pernah pergi, mendengar, memuji, tinggal. 2)
Pergilah, pukullah, perangilah. 3) sedang memukul dan sedang berperang.
142
143
Epistemologi Nahwu Sibawaih
145
3. Kata kerja (verb/ ‫)الفعل‬
Sebagaimana kata benda yang terdiri dari beberapa pembagian yang
merubah bentuknya, kata kerja menurut Thrax juga kategorisasikan ke
dalam beberapa bagiannya sesuai dengan perubahannya. Perubahan
yang menyertai kata kerja (accident) tersebut ada delapan, yaitu; moods,
dispositions, species, forms, numbers, tenses, persons, dan conjugations.
Kemudian moods dibagi lagi menjadi lima; indicative, imperative, optative,
subjunctive, dan invinitive. Dari masing-masing juga tidak diberi contoh.
Kemudian dispositions dibagi lagi menjadi tiga; activity, passivity, dan mediality.
Untuk activity diberi contoh ‘saya memukul’ (I strike), passivity diberi
contoh ‘saya dipukul’ (I struck), dan untuk mediality dicontohkan ‘saya
percaya’, ‘saya menjadi’, ‘saya terdaftar’. Dari ketiganya, Thrax tidak men­­
definisikan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah itu.
Species dibagi lagi mejadi dua; primitive dan derivative. Kemudian
forms dibagi menjadi tiga; simple, compound, dan super-compound. Numbers
di­bagi menjadi tiga; singular, dual, dan plural. Pembagian waktu atau
tenses dibagi menjadi present, past, dan future. Untuk past memiliki empat
sub-species; imperfect, perfect, pluperfect, and aorist. Keempatnya saling ber­
hubungan; present berhubungan dengan imperfect, perfect dengan pluperfect,
dan aorist dengan future.
Terminologi-terminologi tersebut dalam bahasa Arab beberapa
mangandung padanan. Seperti istilah moods yang semakna dengan shîghat
al-fi’li, yang diartikan sebagai perubahan-perubahan bentuk fi’l (verb).
Dalam pembahasan Sibawaih, moods atau shîghat al-fi’li bisa diubah dalam
bermacam-macam bentuk. Dalam bahasa Arab, satu bentuk kata kerja
bisa menjadi kata benda, kata keterangan tempat, waktu dan alat. Per­
ubahan-perubahan ini menurut polanya masing-masing. Sibawaih men­
jelaskan berbagai pola tersebut, baik dari sisi struktur kalimat (sintaksis)
maupun dalam perubahan-perubahan katanya (morfologi).
Adapun yang dibahas Thrax, kalau yang dimaksud adalah per­
ubahan kata kerja yang bisa menjadi aktif dan pasif, maka dalam pem­
bahasan Sibawaih, kata kerja tersebut dibahas dalam bab mengenai
subjek yang disembunyikan ketika predikatnya diubah dalam posisi
146
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
pasif145. Pada bab lain, ia menyebutnya dengan sebutan sîghat itu sendiri,
yaitu: ‫هذا باب ما جاء ُف ِع َل منه على غير َف َعلْ ُت ُه‬. Di sini lagi-lagi Sibawaih
tidak menyebut dengan istilah mabni li al-majhûl. Untuk kata kerja aktif,
Sibawaih membahasnya dalam berbagai bentuk fi’l (verb) sebagaimana
dijelaskan dalam pembuka mengenai teori kalam. Masing-masing, baik
bentuk aktif maupun pasif, bisa dilekatkan pada kata kerja dengan ke­
terangan waktu saat ini (present) maupun lampau (past). Ia menyebut masa
lampau dengan ‘yang telah terjadi’ (mâ madhâ) dan masa sekarang dengan
istilah mukhbir (inform)146. Masing-masing kemudian mengalami bentuk
yang berubah.
Aktif
Pasif
Past (mâ madhâ) Present (mukhbir) Past (mâ madhâ) Present (mukhbir)
‫َف َع َل‬
‫ي َ ْف َع ُل‬
‫ُف ِع َل‬
‫ي ُ ْف َع ُل‬
Dari keterangan Thrax mengenai mediality, nampaknya sulit dicari pa­
da­nannya dalam bahasa Arab. Sehingga sulit juga mencari dalam pem­
bahasan oleh Sibawaih. Dan jika merujuk pada bentuk tenses yang melekat
pada kata kerja (fi’l/ verb) maka dalam bahasa Arab untuk masa sekarang
dan masa yang akan datang, bentuk kata kerjanya sama. Bisa jadi hal ini­lah
yang menjadikan perbedaan dalam pembahasan Thrax dan Sibawaih.
Bentuk pasif dalam kajian struktur bahasa Arab memiliki bebe­rapa
tujuan, sehingga tidak saja sekedar membalik obyek menjadi subyek.
Struktur pasif dalam bahasa Arab adalah dengan menyembu­nyi­kan
subyek dengan berbagai tujuan. Tujuan-tujuan tersebut antara lain
adalah, 1) dari sisi lawan bicara atau pendengar yang dianggap sudah
tahu, 2) dari aspek subyek yang dibicarakan dalam kalimat; tidak dike­
tahui, sudah sangat diketahui, karena khawatir terhadap penyebutannya,
untuk meren­dahkan atau justru memuliakan147. Hal ini dalam bahasan
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 41-42. Pada bab kalam, Sibawaih justru menjelaskan
bentuk pasif dahulu sebelum menjelaskan bentuk aktifnya. Lihat Sibawaih, al-Kitab ,
j.1, h. 12.
146
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 12. Lihat juga pada halaman 35.
147
Mushthafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah,( Kairo: Dar al-Hadits, 2005),
h. 40-41.
145
Epistemologi Nahwu Sibawaih
147
Thrax tidak ada, sehingga sangat sulit mendefinisikan maksud penjelasan
Thrax.
Species kata kerja yang oleh Thrax dibagi menjadi primitive dan
derivative nampaknya sangat berbeda dengan kata kerja yang ada dalam
pembahasan Sibawaih. Dalam bahasan Sibawaih, kata kerja primitive
adalah bentuk kata kerja lampau (mâdhi), dan kata kerja derivative adalah
kata kerja yang diturunkan dari dengan bentuk lampaunya (mâdhi). Se­
hingga ketika ingin dicari asal kata dari sebuah kata, maka harus diketahui
dahulu bentuk kata kerja lampaunya. Cara ini kemudian dipakai dalam
metodologi pembuatan beberapa kamus bahasa Arab. Banyaknya kata
yang bisa diturunkan dari bentuk aslinya, kosakata bahasa Arab dikenal
sangat flesksibel dalam mengolah kata-kata baru yang muncul.
Bentuk frasa atau gabungan kata untuk kata kerja menurut Thrax
dibagi menjadi tiga, yaitu simple, compound, dan super-compound148. Contoh
yang terbaca hanya yang ketiga, yaitu untuk super-compound, I antagonize,
I philippize. Nampaknya untuk bahasa Yunani bisa terjadi, namun untuk
bahasa Arab sangat sulit dicari padanannya149. Dalam pembahasan
Sibawaih, penjelasan mengenai compound atau murakkab hanya ditemukan
dalam kata kerja dan kalimat seperti murakkab isnadî, idhafî, ‘adadî, mazjy,
murakkab min al-ahwâl, dan murakkab min al-zharaf, sebagaimana telah di­
jelaskan sebelumnya dalam pembahasan kata benda.
Dalam definisi kata kerja oleh Thrax disinggung mengenai ada­nya
unsur pelaku dan jumlah pelaku. Jumlah pelaku inilah yang disebut oleh
Thrax dengan number. Kalau number dalam kata benda adalah jumlah
kata benda itu sendiri, maka yang dimaksud dengan number dalam kata
kerja adalah jumlah orang yang melakukan pekerjaan itu. Contoh untuk
penjelasan ini juga tidak bisa dibaca karena belum diterjemahkan dalam
bahasa Inggris. Sibawaih menjelaskannya dalam aturan perubahan bentuk
fi’l untuk menjelaskan pelakunya, apakah satu (mufrad/ singular), dua
Contoh kata tidak bisa dibaca, karena masih dalam tulisan Yunani dan belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Lihat Thrax, The Grammar, h. 12.
149
Lihat Muhammad Ali al-Khuli, a Dictionary of Theoritical Linguistiks, h. 51. Di
situ untuk compound kata benda dan kalimat bisa ditemukan, tetapi untuk kata kerja
tidak ada.
148
148
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
(tatsniyyah/ dual), banyak (jama’/ plural). Perubahan itu terjadi pada huruf
dan harakat akhir dari kata kerja tersebut150, dengan penambahan huruf
jika pelaku lebih dari satu.
Satu hal yang tidak dibahas oleh Thrax dalam perubahan kata
kerja yang bisa jadi tidak terjadi dalam bahasa Yunani adalah mengenai
gender. Sehingga nampaknya persoalan gender tidak mempengaruhi bentuk
kata kerja dalam bahasa Yunani. Ini sangat berbeda dengan bahasa
Arab sebagaimana yang disinggung oleh Sibawaih. Selain harus mem­
perhatikan jumlah pelakunya, dalam bahasa Arab harus pula diperhatikan
jenis kelamin pelakunya. Dengan demikian tanpa menyebut subyek
secara langsung, kata kerja dalam bahasa Arab sudah bisa menunjukkan
pelaku, apakah laki-laki atau perempuan sekaligus dengan jumlahnya,
apakah pelakunya satu orang, dua orang atau banyak orang (lebih dari
tiga)151. Lihat dalam tabel berikut152:
Satu orang pelaku
Dua orang pelaku
Banyak pelaku
‫ي َ ْف َع ُل‬
‫ي َ ْف َعلاَ ِن‬
‫ي َ ْف َعلُو َن‬
Perubahan-perubahan kata kerja berdasarkan jumlah pelaku dan jenis
kelamin tersebut kemudian juga dipengaruhi oleh kata ganti pelakunya
yang dalam bahasa Arab dibagi menjadi empat belas bentuk, yang dengan
demikian juga mempengaruhi empat belas perubahan kata kerja.
Perubahan kata ganti juga tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah pelaku
ataupun jenis kelamin, tetapi juga oleh faktor lain seperti kata yang dalam
bahasa Arab diklasifikasikan dalam huruf, yang sering disebut sebagai
’amil nawasikh (faktor yang merubah harakat atau huruf akhir pada fi’l).
Kata ganti yang mempengaruhi bentuk kata kerja dijelaskan oleh
Thrax dalam istilah persons yang dibaginya dalam tiga bentuk, yaitu; first
(orang pertama), second (orang kedua), dan third (orang ketiga). Masingmasing tidak dijelaskan contohnya. Namun secara umum dalam ilmu
bahasa, yang dimaksud dengan orang pertama adalah si pembicara sendiri
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.1, h. 19.
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.1, h. 20.
152
Contoh ini dengan mengabaikan apakah pelaku laki-laki atau perempuan.
150
151
Epistemologi Nahwu Sibawaih
149
atau dengan kata ganti ‘aku’ atau ‘saya’. Orang kedua adalah lawan bicara
atau kata ganti ‘kamu atau anda’, dan orang ketiga adalah orang yang di­
bicarakan atau kata ganti ‘dia’. Masing-masing dengan jumlahnya masingmasing. Sibawaih dalam menjelaskan kata ganti ini menggunakan istilah
al-idhmâr153 yang dalam istilah nahwu saat ini dikenal dengan al-dhamîr.
Istilah ini digunakan sebagai salah satu indikator dalam penentuan ism
al-ma’rifat, yaitu kata benda yang sudah tertentu atau diketahui. Kata ganti
yang melekat dalam kata kerja ini bisa diketahui dari bentuk kata kerja
itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan dalam kata benda sebelumnya, kata
ganti ini akan mempengaruhi bentuk kata kerja dalam formasi yang ber­
beda-beda. Sehingga, kalau kata ganti dalam bahasa Arab ditentukan ada
empat belas, maka begitu pula perubahan pada kata kerjanya. Berikut ini
contoh perubahan yang dipengaruhi oleh kata gantinya154:
Kata ganti gender
Orang
ketiga
number Past / ‫ املاضى‬Present/ future/ ‫املضارع‬
Singular
‫يفعل‬
‫َف َع َل‬
Laki-laki
(masculine) Dual
Plural
Perempuan Singular
(feminine) Dual
Plural
Orang
kedua
Laki-laki
Singular
(masculine) Dual
Plural
Perempuan Singular
(feminine) Dual
Plural
Orang
pertama
Singular
plural
‫َف َعل‬
‫َف َعلُوا‬
‫َف َعلَ ْت‬
‫َف َعلَتَا‬
‫َف َعلْ َن‬
‫َف َعلْ َت‬
‫َف َعلْ ُت َما‬
‫َف َعلْت ُْم‬
‫َف َعلْ ِت‬
‫َف َعلْ ُت َما‬
َّ ُ‫َف َعلْ ن‬
‫ت‬
‫َف َعلْ ِت‬
‫َف َعلْنَا‬
‫يفعالن‬
‫يفعلون‬
‫يفعلني‬
‫يفعالن‬
‫يفعلن‬
‫تفعل‬
‫تفعالن‬
‫تفعلون‬
‫تفعلن‬
‫تفعالن‬
‫يفعلن‬
‫أفعل‬
‫نفعل‬
Perubahan kata kerja sebagaimana di tabel, nampaknya tidak terjadi
pada bahasa Yunani. Hal ini tampak pada tidak adanya penjelasan oleh
153
154
150
Sibawaih, al-Kitab , j. 2, h. 5-6.
Ini hanya sebagian contoh dari perubahan kata kerja berdasarkan kata gantinya.
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Thrax secara mendetail sebagaimana dalam bahasa Arab. Perubahan
yang lain adalah kata ganti yang melekat pada akhir kata yang sering
di­maknai sebagai obyek155. Sibawiah menjelaskan mengenai kata ganti
yang melekat dalam fi’l ini dalam beberapa bab yang terpisah.
Setelah mejelaskan mengenai kata ganti, Thrax kemudian menje­las­
kan mengenai bentuk tenses atau waktu. Ia membagi waktu yang melekat
dalam kata kerja menjadi tiga; past (masa lalu), present (saat ini/sedang
berlangsung), future (akan datang). Ia tidak memberikan contoh yang jelas
mengenai penjelasan ini. Tentu saja ini berbeda dengan bahasa Arab,
karena dalam bahasa Arab, peran dari keterangan waktu yang melekat
dalam kata kerja sangat penting sekali. Sibawaih menjelaskan dalam awal
bab mengenai pembagian kata yang diantaranya menyinggung menge­
nai kata kerja ini. Bisa jadi konsepsi waktu yang diletakkan di belakang
pem­bahasan oleh Thrax dikarenakan tidak adanya hal yang merubah
kata kerja tersebut dalam kalimat. Ia hanya menjelaskan mengenai
hubungan tenses ini dengan dengan beberapa sub-species yaitu, imperfect,
perfect, pluperfect, dan aorist. Masing-masing berhubungan dengan; present
dengan imperfect, perfect dengan pluperfect, dan aorist dengan future156. Ia
tidak menjelaskan masing-masing dari hal ini, sehingga sulit diferifi­kasi
maksud dari penjelasan ini.
Dalam penjelasan mengenai konsepsi waktu dalam kata kerja,
Sibawaih membagi menjadi tiga, tetapi dalam bentuknya hanya dua
bentuk kata kerja. Istilah yang digunakan Sibawaih tidak seperti istilah
saat ini dalam bahasa Arab, yaitu mâ madhâ (past), mâ lam yaqa’ (future),
mukhbiran (present)157.
Dari pembahasan mengenai kata kerja ini, pebahasan Thrax tidak
sepanjang kajian yang dilakukan oleh Sibawaih. Masih banyak sekali
aspek yang tidak dibahas oleh Thrax yang nampaknya tidak mencu­kupi
untuk mengkonsepsikan makna dalam bahasa Arab, sehingga Sibawaih
nampak lebih lengkap dalam membahas grammatika. Seperti terlihat
dalam perubahan kata yang dalam bahasa Arab sengat berperan penting
Sibawaih, al-Kitab , j. 2, h. 350.
Thrax, The Grammar, h. 12.
157
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.1, h. 12.
155
156
Epistemologi Nahwu Sibawaih
151
dalam menentukan makna semantic sebuah kalimat. Dalam membahas
mengenai kata ganti misalnya, penjelasan Thrax tidak memadai lagi untuk
mengcover pengertian yang dikandung dalam bahasa Arab. Kalau Thrax
memisahkan pembahasan mengenai number dan person, maka Sibawaih
bisa menjelaskannya dalam satu rangkaian penjelasan mengeani sesuatu
yang langsung melekat dalam kata kerja. Aspek mengenai perubahan
activity menjadi passivity, tidak dijelaskan oleh Thrax. Namun secara
umum, dua penjelasan mengenai kata benda dan kata kerja ini sudah bisa
men­jelaskan aspek semantik dari structur kalimat. Tentu saja secara
semiotik masih butuh banyak perangkat yang bisa menjelaskannya.
Se­
tidaknya dari pembahasan ini, apa yang dimaksud oleh Charles
Carpenter Fries sudah tercover dengan baik. Sebagaimana dikutip
oleh J.D. Parea, ia menjelaskan bahwa ada tiga macam fungsi semantik
gramatikal, yaitu; 1) makna butir-butir gramatikal, seperti kategori jumlah,
genus atau kategori aspek, modus, dan sebagainya, 2) makna fungsi-fungsi
gramatikal, seperti subjek, predikat, objek dan keterangan, 3) makna yang
ber­hubungan dengan nosi-nosi umum, seperti kalimat tanya, kalimat
berita dan kalimat perintah158. Dua hal yang pertama, baik Thrax mau­
pun Sibawaih, sudah memberikan penjelasan yang sangat memadahi
untuk mencapai fungsi-fungsi gramatikal, khususnya untuk poin satu
dan dua. Untuk poin ketiga, Thrax belum mempunyai perangkat untuk
men­ca­painya, sementar Sibawaih lebih maju dalam membahasnya.
Untuk mencapai poin ketiga itu, Thrax baru bisa menggunakan
perangkat berikut, yaitu dalam menjelaskan conjugation159, yang diartikan
sebagai urutan perubahan kata kerja. Yang dimaksud di sini nampaknya
adalah perubahan jumlah huruf pembentuk kata kerja tersbut, yang
dalam bahasa Yunani dibagi hingga enam perubahan. Kalau ini yang di­
maksud dengan perubahan kata kerja, maka dalam bahasa Arab juga ada
beberapa model kata kerja berdasarkan perubahan jumlah hurufnya.
Sibawaih menjelaskannya dalam bentuk penjelasan mengenai shighat
(form). Perubahan-perubahan shighat ini akan berpengaruh terhadap
perubahan arti yang dimaksudkan. Sibawaih menggunakan istilah per­
158
159
152
J.D. Parera, Teori Semantik, h. 92.
Thrax, The Grammar, h. 12.
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
ubahan huruf kata kerja ini dengan istilah tsulatsi, dan ruba’I. tsulatsi
adalah kata kerja yang terdiri dari tiga huruf pada asal kata al-fi’l al-mâdhi
seperti ‫فعل‬. sedangkan yang ruba’I adalah kata kerja dengan huruf dasar
empat pada kata kerja bentuk lampaunya, seperti160‫ فعلى‬, ‫ فعول‬.
Jika melihat perubahan kata kerja dalam bahasa Arab ini, maka
perbedaan nampak kelihatan dengan bahasa Yunani yang dalam per­
ubahannya hingga kepada enam huruf bahkan tujuh huruf. Sedangkan
dalam bahasa Arab oleh Sibawaih, perubahan kata bisa jadi masih dalam
satu akar kata yang sama, kemudian baru ditambah dengan huruf-huruf
tambahan yang terpola. Dalam terminologi saat ini dikenal dengan ada­
nya tashrif lughawî dan tashrif ishtilahî.
Setelah menjelaskan mengenai conjugation Thrax kemudian men­­jelas­
kan tentang circumflexed verbs yang dibaginya menjadi tiga conjugation161.
Istilah ini nampaknya mengacu kepada adanya bunyi diftong sebagai
tanda perubahan kata ganti. Tidak ditemukan contoh yang jelas mengenai
ini oleh Thrax. Perubahan diftong. Hal ini dijelaskan Sibawaih dalam per­
ubahan kata kerja sesuai kata ganti sebagaimana contoh-contoh yang
telah ditulis sebelumnya. dengan demikian terlihat jelas perbedaan ke­
duanya dalam membahas mengenai perubahan kata kerja. Jika Thrax
dalam menjelaskan perubahan hanya berdasarkan tenses, maka dalam
uraian bahasa Arab oleh Sibawaih, perubahan sudah meliputi kata ganti
dan tenses162. Hal ini sekali lagi menegaskan perbedaan pola tata bahasa
Yunani dan Arab.
Penjelasan lain selanjutnya oleh Thrax adalah mengenai the participle,
yang diartikan sebagai perubahan kata kerja menjadi kata benda. Ia men­
jelaskan bahwa kejadian ini terbentuk dari adanya kata kerja yang diubah
menjadi kata benda dengan menghlangkan unsure waktu dari kata kerja­
nya163. Hal ini juga terjadi dalam bahasa Arab. Sibawaih menjelaskan
bahwa perubahan kata kerja menjadi kata benda dalam istilah ism fâ’il
bisa pula disertai makna yang menunjukkan waktu, baik present (‫الفعل‬
Sibawiah, al-Kitab , j. 4, h. 389-390.
Thrax, The Grammar, h. 13.
162
Lihat kembali Table 3.
163
Thrax, The Grammar, h.13.
160
161
Epistemologi Nahwu Sibawaih
153
‫ )املضار ْع‬maupun past (‫)الفعل املا ضى‬164. Selain itu juga dijelaskan oleh
Sibawaih bahwa bentuk isim fâ’il ini bisa terjadi dari derivasi kata kerja
setelah mengalami perubahan dari yang berobjek satu menjadi ber­objek
dua, sehigga ketika menjadi kata benda juga kemudian butuh objek satu
ataupun dua165. Nampaknya Thrax tidak menyinggung mengenai hal
ini dalam pembahasannya, sehingga bisa jadi memang dalam bahasa
Yunani tidak ada aturan ini. Model perubahan kata kerja menjadi kata
benda dalam tata bahasa Arab ini memungkinkan dua bentuk akta yang
dilebur menjadi satu kata dan menjelaskan orang sekaligus kegiatan
sekaligus. Misalnya ‘orang yang menulis itu duduk di kursi’, menjadi
‫الكاتب يجلس على الكرسي‬. Dalam contoh ini, ada kandungan dua kata
kerja, yaitu menulis dan duduk.
Bahasan mengenai kata benda muncul lagi oleh Thrax dalam
menjelaskan mengenai article, yang diartikan sebagai bagian dari sebuah
kata yang dapat diubah berdasarkan penambahan huruf. Penambahan
ini tentu saja kemudian merubah makna. ia menjelaskan ada dua bentuk
perubahan tersebut, yaitu prefix dan subjoined. Yang pertama mengacu
pada penambahan beberapa huruf sebagai awalan, dan yang kedua
berupa penggabungan166.
Kata ganti dalam bahasan Thrax masih dibagi dalam beberapa
perubahan sebagaimana kata benda, yaitu berdasarkan; person, gender,
Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.1, h. 130.
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 175-176. Dalam bahasa Arab dikenal istilah al-fi’l
al-lâzim dan al-fi’l al-muta’addiy. Yang pertama diartikan sebagai kata kerja yang tidak
membutuhkan objek, dan yang kedua diartikan sebagai kata kerja yang membutuhkan
objek. Pada jenis yang kedua, objek bisa berjumlah lebih dari satu dengan merubah
bentuk kata kerjanya. Seperti dari ‫ َف َع َل‬menjadi ‫أ َف َعل‬, dengan tambahan huruf hamzah
di awal kalimat. Dengan perubahan ini, kata kerja bentuk pertama yang tadinya tidak
memiliki objek bisa menjadi memiliki objek, dan jika memiliki satu objek bisa menjadi
memiliki dua objek. Lihat Mushtafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durus al-‘Arabiyyah, h. 171.
166
Thrax, The Grammar, h. 13. Nampaknya ini sama dengan proses dalam bahasa
Indonesia terutama kaitannya dengan adanya perubahan kata berdasarkan awalan yang
mendahuluinya. Artinya dalam beberapa kasus bisa jadi sebuah kata tidak bermakna
apa-apa tanpa ada penambahan awalan ini. Proses ini yang termasuk salah satu bentuk
morfofonemis. Lihat Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), edisi 3, cet. Ke-6, h. 109-110.
164
165
154
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
number, case, from, dan species167. Aspek-aspek yang merubah ini tidak
dibahas lagi oleh Thrax, karena sudah dibahas dalam kaitannya dengan
kata benda sebagaimana keterangan sebelumnya.
Bahasan terakhir oleh Thrax adalah mengenai preposition, adverb,
dan conjunction. Yang pertama diartikan olehnya sebagai kata yang men­
dahului sebuah kata lain atau kalimat. Ia membaginya menjadi delapan
bentuk kata. Kata ini dalam bahasa Arab identik dengan âdat al-jâr (‫أدة‬
‫)اجلار‬. Sibawaih membaginya menjadi tiga kelompok, pertama, kata yang
disebutnya bukan kata benda dan bukan pula kata tempat, seperti ,‫ِب‬
,‫ رُ َّب‬,‫ ُم ْن ُذ‬,‫ ُم ْذ‬,‫ ِفى‬,‫ ِم ْن‬,‫ َك‬,‫لِـ‬. Kelompok kedua adalah kata yang menunjuk
َ َ‫ خَ ل‬,َ ‫ وَرَأ‬,‫أ َ َما َم‬. dan yang
posisi (tmepat), seperti; ,‫ ِق َب َل‬,‫ ِع ْن َد‬,‫ َعلَى‬,‫ حَتْ َت‬,َ‫ َف ْوق‬,‫ف‬
termasuk dari kata benda adalah; ‫ض‬
ٍ ‫ ب َ ْع‬,‫ ُك ٍّل‬,‫ َغ ْي ٍر‬,‫ثل‬
ٍ ‫ ِْم‬.
Sedangkan Adverb adalah kata yang tidak dapat diubah-ubah, yang
ditambahkan pada kata kerja. Ini berbeda dengan padaan adverb dalam
bahasa Arab yang diartikan sebagai zharaf; kata keterangan tempat (zharf
al-makân) atau waktu (zharf al-zamân). Sibawaih mengkonsepsikan zharf
al-zamân sebagai jawaban atas pertanyaan kapan (‫تى‬
َ ‫) َم‬168. Ia menyebut
zharf al-zamân dengan sebutan zharf al-dahr juga169. Tidak seperti zharaf
al- zamân yang dibahas dalam satu tempat, zharf al-makân dibahas dalam
beberapa bab terpisah.
Terakhir adalah kata sambung atau conjunction yang dibahas oleh
Thrax di akhir bahasan. Ia membagi dalam beberapa istilah seperti
copulative, disjunctive, conjunctive, preter-conjunctive, causative, dubitative, conclusive
dan expletive170. Nampaknya ia memberi nama berdasarkan makna kata
sambung tersebut. Dalam terminologi bahasa Arab, kata ini dimasukkan
dalam definisi huruf sebagai kata penghubung. Sibawaih menyinggung
dalam beberapa bab, mengenai bentuk-bentuknya dan ketentuan-ke­
tentuannya. Ketentuan itu di antaranya keharusan adanya kesejajaran
antara kata pertama dengan kata kedua dalam hal jumlah (number), jenis
kelamin (gender), nakirah-ma’rifat-nya (species), I’rab (flexi).
Thrax, The Grammar, h. 14. Lihat pula keterangan mengenai idhmar dalam
penjelasan Sibawaih sebelumnya.
168
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 216.
169
Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 419.
170
Thrax, The Grammar, h. 15.
167
Epistemologi Nahwu Sibawaih
155
E. REKONSTRUKSI GRAMATIKA ARAB OLEH SIBAWAIH
Dari pembahasan itu nampak posisi Sibawaih dalam perumusan nahwu,
apalagi ketika membandingkan pembahasannya dengan rumusan yang
dianggap lengkap, yaitu rumusan gramatika Dyonisios Thrax. Dan dari
pembandingan inilah yang nampaknya membedakan pembahasan Thrax
dengan Sibawaih. Kalau Sibawaih membahas mengenai kata benda
dengan aspek yang merubahnya dalam beberapa tema, maka sebe­narnya
telah terkumpul dalam pembahasan mengenai kata benda itu sendiri,
seperti dalam hal jumlah (number), jenis kelamin (gender), faktor yang
merubah harakat, bentuk-bentuk perubahan berdasar kata dasar; apakah
kata benda itu turunan (isytiqaq) atau asli (jâmid), posisi (tarîb). Sehingga
nampaknya dalam pembahasan bahasa Arab sudah paripurna dalam dua
tema pokok, yaitu kata benda (ism) dan kata kerja (fi’l). selebihnya adalah
catatan mengenai keduanya sebagai penjelasan. Kedua tema pokok itu
kemudian dibahas secara detail dalam bingkai pembahasan I’rab (flexi)
dan tashrif (declination).
Namun melihat pembagian kata oleh Sibawaih yang merupakan
penerjemahan dari apa yang telah digariskan oleh linguist Arab (ahli
nahwu) sebelumnya, memang “tuduhan” bahwa Sibawaih (dan para
linguist Arab lainnya) menjiplak apa yang dirumuskan oleh Aristoteles,
memang mendekati kebenaran. Masalahnya adalah bahwa dalam geneo­
logi perumusan nahwu oleh Sibawaih ini tidak ditemukan adanya jalur
kepada guru atau karya yang sampai ke sana. Sehingga tuduhan ini lebih
bersifat sebagai asumsi belaka.
Dengan demikian bisa diperjelas posisi pembahasan gramatika
bahasa Yunani dan bahasa Arab melalui kedua tokoh ini. Meskipun
Aristoteles telah memberikan dasar-dasar mengenai kajian bahasa, namun
secara operasional sangat sulit diterjemahkan dalam bagian-bagian
yang detail mengenai bahasa. Baru kemudian Thrax secara lebih teknis
memberikan uraian panjang mengenai analisa bahasa. Kajian Thrax
inilah yang banyak menjadi rujukan pendapat bahwa kajian bahasa se­
sudahnya adalah catatan kaki darinya.
Ketika hal ini kemudian dikonfirmasi dengan kajian Sibawaih, se­
benarnya kajian Thrax hanyalah bagian kecil dalam analisanya. Banyak
156
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
sekali hal yang sebenarnya dalam bahasa Yunani tidak tercover dalam
penjelasan Sibawaih. Seperti kajian mengenai harakat dan perubahan­
nya, ‘amil atau faktor perubahnya, dan derivasi yang begitu luas dalam
bahasa Arab. Dan kenyataannya, kajian mengenai ‘amil dalam bahasa
Arab menjadi karakter yang membedakan dengan bahasa Yunani ter­
sebut.
Apa yang dilakukan Sibawaih171, dengan mengumpulkan catatan
atas kajian-kajian kebahasaan dengan para guru dan teman-temannya
ini, menjadi tonggak dalam kajian ilmu bahasa yang lebih luas, meliputi
kajian morfologi hingga semantic. Sehingga apa yang dikatakan oleh
Nashr Hamid Abu Zaid sebagai lompatan dalam kajian takwil yang lebih
luas ada benarnya. Kajian Sibawaih memungkinkan pembacaan terhadap
sebuah wacana, baik dalam ranah al-Qur’an atau tulisan yang lain, dalam
posisi yang sejajar sebagai sebuah teks menjadi sangat relevan. Kajian
atas bahasa menjadi sebuah teks, dengan perangkat yang digariskan
oleh Sibawaih ini memungkinkan untuk lebih menyingkap makna dan
signi­fikansinya172. Ungkapan ini sekaligus sebagai kritik atas sikap para
ahli nahwu kontemporer yang cenderung ingin mengkaji bahasa secara
deskriptif dan menghindari sikap preskriptif dalam kajiannya. Sikap ini
dikhawatirkan akan melemahkan upaya mengungkap makna yang lebih
dalam dari bahasa yang muncul dalam sistim ujarannya, baik lisan mau­
pun tulisan173.
Struktur teoritisasi gramatika bahasa Arab oleh Sibawaih ini,
nampak­nya mengikuti alur alamiah para pengkaji bahasa, sebagaimana
gurunya. Dalam arti bahwa bangunan teori nahwu yang dikembangkan
Dalam hal ini termasuk linguist lainnya, seperti Thrax.
Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif, (Jakarta: ICIP, 2004), h. 269.
Dalam ilustrasinya, ia meminjam istilah metode yang digunakan oleh al-Ghazali dalam
laku suluk menurut pengertian sufi ketika ingi menuju kepada inti dari ma’rifat. Dalam
kaitan ini, aga bisa sampai pada taraf “ma’rifat” terhadap sebuah teks, maka jalan
yang harus ditempuh adalah melalui laku ta’wil. Lihat dalam Nashr Hamid Abu Zaid,
Tekstualitas al-Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2005), cet. Ke-4, h. 340.
173
Dalam ungkapan de Saussure, kajian ini bisa menjawab persoalan “what it is”
dan “what it was”, yaitu antara yang tampak, dengan konteks yang tidak tampak. Lihat
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistiks, Translated into English by Wade
Baskin, (New York: Philosophical Library, 1959), h. 7.
171
172
Epistemologi Nahwu Sibawaih
157
oleh Sibawaih ini hanyalah sebuah pengungkapan secara tekstual dari
apa yang dimiliki bangsa Arab atas bahasanya sendiri. Dalam peng­
amatan Muhbib Abdul Wahab, hal ini dikarenakan kajian atas nahwu
lebih banyak merujuk kepada teks-teks al-Qur’an dan syair jahili yang
dengan demikian cenderung untuk tidak menerima penaruh pemikiran
Yunani. Mengutip Tamam Hasan, ia berkesimpulan bahwa nahwu se­
jalan dengan logika natural, yang juga dimiliki oleh bangsa lain dan
dianggap sebagai anugrah Tuhan174. Nashr Hamid Abu Zaid menyebut
teoritisasi nahwu sebagai bangunan yang kokoh yang benar-benar di­
buat oleh ahli yang mengerti benar tentang bangunan itu. Hal ini di­
tuju­
kan kepada keaslian logika nahwu dari aspek penyusunannya
yang ditunjukkan oleh kekayaan bangsa Arab sendiri175. M.G. Carter
me­nga­takan bahwa, sangat sulit untuk mebuktikan bahwa Sibawaih
berhubungan atau terpengaruh langsung dengan gramatika Yunani
atau bahkan Syria. Tidak ada dokumen yang bisa menjelaskan tentang
itu176. Paling jauh hanya bisa dikatakan bahwa, Sibawayh tentu saja tidak
menuliskan karyanya dalam ruang budaya yang kosong. Penulisan itu
menggambarkan iklim intelektual waktu itu di Bashrah. Aspek tersebut
di antaranya adalah beberapa hal yang tidak dimiliki oleh bangsa Yunani
dalam bangunan teori gramatika, sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan
di atas. Banyak hal yang tidak bisa disejajarkan dengan teori nahwu
yang dikembangkan oleh Thrax tersebut. Di antaranya adalah teori
mengenai sharaf (morfologi) dalam hal ibdâl (mengganti huruf), dan idgam
(menggabungkan atau menyatukan huruf). Kemudian mengenai makna
dari satu huruf yang bisa berarti bermacam-macam, seperti kata hubung
‫ لـ‬,‫ ف‬,‫و‬dan sebagainya177.
Contoh ini hanya untuk menyebut beberapa, karena jika diurai
lebih lanjut, sangat banyak teori nahwu yang dikemukakan oleh Sibawaih
Muhbib Abdul Wahab, Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu, dalam Jurnal
Âfaq ‘Arabiyyah, Vol. 3, No. 1, Juni 2008, h. 81.
175
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 273.
176
M.G. Carter, Sibawayhi, (Oslo: I.B. Tauris, 2004), h.3
177
Penyebutan contoh di sini sebenarnya kurang signifikan karena terlalu banyak
teori yang tidak ter-cover dalam teori gramatika bahasa oleh Thrax.
174
158
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
yang tidak ter-cover dalam teori gramatika Thrax. Merx, yang dianggap
sangat menekankan teori keterpengaruhan hanya bisa memetakan enam
hal yang menjadi ikon kesamaan antara teori gramatika Yunani dengan
Arab, yaitu; 1) konsep I’rab, 2) pembagian kata, 3) pembagian gender, 4)
pembagian tenses, 5) pembagian mengenai zharaf, dan 6) konsep hâl.178
Dengan demikian uraian ini menemukan signifikansinya ketika
dikatakan bahwa nahwu Sibawaih menempati peran yang sentral dalam
menyumbangkan otentisitas atau orisinalitas bangunan pemikiran Arab
(indegeneus) khususnya dalam teori nahwu.
178
M.G. Carter, Sibawayhi, (Oslo: I.B. Tauris, 2004), h. 8.
Epistemologi Nahwu Sibawaih
159
BAB
V
PENUTUP
M
elihat historisitas kehidupan Sibawaih sebagai representasi pe­
mikir Arab, khususnya dalam bidang nahwu maka sangat sulit
mengkonfirmasi keterpengaruhannya oleh filsafat Yunani terutama dari
aspek literal, dalam arti bahwa pengaruh akademik melalui buku-buku
Yunani tidak terbukti. Ini bisa dilihat dari, pertama, masa keemasan
pemikiran Islam yang baru muncul pada akhir abad kedua terutama pada
masa Harun al-Rasyid, yaitu dengan ditandai oleh adanya para filosof
Muslim, Sibawaih dipastikan belum bersentuhan dengan terjemahanterjemahan bahasa Yunani. Kedua, dilihat jalur guru-guru Sibawaih yang
kebanyakan berasal dari Arab sendiri, kecuali al-Khalil. Argumen yang
dibangun oleh ahli nahwu awal, termasuk oleh Sibawaih menunjukkan
bahwa kajian bahasa Arab dibangun berdasarkan kajian atas sumbersumber agama Islam seperti al-Qur’an dan Hadits.
Ketiga, dari kajian yang sering dikaitkan dengan dasar gramatika
bahasa Yunani oleh Thrax yang menunjukkan bahwa perangkat bahasa
Yunani tidak mampu secara lengkap menjelaskan mengenai semantic
bahkan mungkin mengenai semiotika bahasa Arab. Hal ini bisa dime­
ngerti karena karakter bahasa Arab yang sangat kompleks. Keempat,
rentang waktu hidup Sibawaih yang begitu singkat dengan masa ia ber­
guru kepada para ahli tata bahasa, baik tata bahasa Hadits maupun alQur’an, tidak menunjukkan bahwa ia pernah memasuki sekolah-sekolah
160
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
tata bahasa lain. Kelima, kajian dalam al-Kitab sendiri lebih banyak me­
rujuk kepada syair Arab, al-Hadits dan al-Qur’an. Ini menunjukkan
bahwa argumen nahwu yang dibangun oleh Sibawaih bersifat deskriptif,
seperti dalam penjelasannya yang cenderung memberikan contoh ter­
lebih dahulu daripada berkutat pada teori dan definisi, sebagaimana yang
dilakukan oleh Thrax.
Namun demikian, secara sosiologis memang bisa dikatakan bahwa
tempat hidup Sibawaih di Persia yang pernah menjadi daerah kekua­saan
Romawi dan daerah pengembangan peradaban Yunani, sangat mem­
berikan andil dalam pola piker masyarakat Persia termasuk Sibawaih.
Sangat dimungkinkan ia telah lebih dahulu bersentuhan dengan budaya
Yunani yang telah hidup dan berkembang di daerahnya. Karakter masya­
rakat Persia yang dikenal sebagai haus pengetahuan memang menun­
jukkan kondusifitas kebudayaannya untuk menerima pengaruh dari luar,
termasuk dari Yunani.
Kesimpulan ini mengakomodasi para ahli, baik yang menolak mau­
pun mendukung, teori keterpengaruhan nahwu oleh filsafat Yunani.
Namun penelitian ini lebih cenderung untuk mendukung pendapat
ahli yang menolak teori keterpengaruhan tersebut. Akomodasi yang di­
maksud adalah pendapat C.H.M Versteegh yang memberikan teori
keterpengaruhan secara tidak langsung para ahli nahwu karena mereka
hidup di daerah Persia sebagaimana kesimpulan penelitian ini di atas.
Ini sekaligus juga mendukung pendapat Muhbib Abdul Wahab yang
mengatakan bahwa bahasa bersifat natural, yaitu dimanapun bahasa itu
dikaji dan diteliti, maka akan muncul beberapa istilah yang sebe­narnya
sama atau identik dengan istilah pada bahasa lain. Sehingga menjusti­
fikasi keterpengaruhan secara langsung satu bahasa dengan bahasa lain
termasuk Yunani adalah sangat naïf.
Penelitian ini sekaligus menunjukkan bahwa tata bahasa harus dikaji
secara simultan dan tidak dianggap selesai, karena kenyataannya dalam
tata bahasa Arab sendiri terdapat beberapa perbedaan pendapat oleh para
ahli nahwu. Kajian yang terus-menerus ini perlu juga didukung oleh
perangkat lain yang dianggap lebih bisa menjelaskan mengenai inter­
pretasi sebuah bahasa itu sendiri termasuk filsafat.
Penutup
161
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, penelitian mengenai
adanya pengaruh filsafat Yunani dalam pemikiran Islam memang tidak
bisa dihindarkan. Namun harus diperjelas bahwa pengaruh yang di­
maksud belum tentu secara langsung, yang demikian menunjukkan
orisinalitas dan karakteristik pemikiran Islam yang didorong oleh moti­
vasi keagamaan, khususnya pengembangan pemahaman al-Qur’an dan
al-Hadits.
Kepada yang akan meneliti lebih lanjut, hendaknya dalam mem­
berikan kesimpulan dalam hal keterpengaruhan ini tidak lagi didasarkan
pada asumsi yang tidak bisa dibuktikan validitasnya. Harus jelas ditelusuri
pada bagian mana ada kontak secara langsung antara pencetus teori itu
dengan tradisi Yunani, sehingga didapatkan kesimpulan yang jelas.
Sikap Sibawaih yang memperlakukan bahasa sebagai fenomena
yang nyata, dengan kajian deskriptifnya juga perlu dicontoh oleh penulis
yang mengkaji al-Qur’an. Karena hal ini menunjukkan akomodasi­nya
terhadap gejala bahasa yang sangat kompleks yang digunakan untuk
menafsirkan al-Qur’an tidak cukup hanya dengan satu atau dua perangkat
saja. Perlu dicari dan ditelusuri makna-makna dan gaya bahasa yang di­
gunakan oleh orang Arab secara luas sehingga pengertian tentang
sebuah kata tidak diberlakukan secara kaku.
Wallâhua’lam bi al-Shawab.
162
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
DAFTAR PUSTAKA
‘Allamah, Thallal, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabiy fi Madrasay al-Bashrah wa
al-Kufah, (Libanon: Dar al Fikr Al Libnaniy, 1999)
Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, terj. (Yogyakarta; LKiS,
2007)
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 1998)
Alwasilah, Chaedar, Filsafat bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008)
Alwi, Hasan, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,
2003)
Amir, Osman, Islamic Philosophy, (Kairo: Renaissance Bookshop,1958)
Aristotle, The Categories on Interpretation, by. Harold P. Cook, (London:
William Heinemmann Ltd, 1960)
______, Posterior Analytics, by. Hugh Tredennick, (London: William
Heinemmann Ltd, 1960)
Asrori, Imam, Sintaksis Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2004)
Attar, Sulaiman, Dirasah Manhajiyyah Li Dirâsat Târikh al-Adab al-‘Araby,
(Kairo: Dâr al-Tsaqafah wa Al-Taqzi’, 1991)
Becker, V. C. H., al-Turats al-Yunaniy fi al-Khadharah al-Islamiyah,terj.
Abdurrahman Badawi, (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1965)
163
Bernard, Alan, History And Theory Of Antropology, (UK: Cambridge
University Press, 2004)
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Bisri, Cik Hasan dan Eva Rufaidah, Model Penelitian Agama dan Dinamika
Sosial, (Jakarta: Rajawali, 2002)
Burke, Peter, A Social history of Knowledge, (Cambridge: Polity Press, 2007)
Carter, M.G., Sibawayhi, (Oslo: I.B. Tauris, 2004)
Coplestoon, Frederick, A History of Philosophy, (New York: Doubleday,
1993)
Craig, Edward (ed ), Routledge’s Ensiclopedia of Islamic Philosophy, (London:
Routledge, 1998)
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Djambatan,
2003)
De Boer, T.J., The History Of Philosophy in Islam, (London: Luzac, 1903)
de Saussure, Ferdinand, Course in General Linguistics, (New York:
Philosophical Library, 1950)
Dhaif, Syauqi, Madaris al-Nahwiyah, (Kairo: Dar al Ma’arif, 1968)
Al-Dibyân, Ahmad bin Muhammad bin Abdullah, Hunain bin Ishaq;
Dirâsah Târikhiyyah Lughawiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Mulk alFahd al-Wathaniyyah, 1993)
Fakhry, Majid, Islamic Philosophy, Theology, and Misticism, (Oxford: Oneword,
2000)
Al-Farhahidi, Al-Khalil bin Ahmad, Kitab al-Jumal Fi al-Nahwi, (tanpa
data).
Farrukh, Umar, Tarikh al-Fikri al-‘Arabiy, (Beirut: Dar al Ilm, 1972)
Fazlurrahman, Islam,terj. (Jakarta: Penerbit Pustaka, 1984)
Al-Ghalayini, Mushtafa, Jâmi’ al-Durus al-‘Arabiyyah, (Kairo: Dâr al-Hadîts,
2005)
Al-Ghazaliy, Risalah Laduniyah dalam Majmu’at Rasail, (Kairo: Maktabah
Tawfiqiyah, tt)
Goldziher, Ignaz, A Short History of Classical Arabic Literature, (Germany:
Georg Olms Verlagsbuchhandlung Gildesheim, 1966)
Al-Hajji, Abdurrahman ‘Ali, Nadzarat fi dirâsati târikh al-Islamiy, (Beirut:
Maktabah al Shahwah, 1979)
164
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Hamid, Irfan Abdul, al-Falsafat fi al-Islam; Dirasah wa al-Naqd, (Baghdad:
Dar al-Tarbiyah, tt)
Hammud, Hadhara Muhammad, al-Nahwu wa al-Nuhat, (Beirut: ‘Alim
al-Kutub, 2003)
Al-Hanfiy, Mushtafa Abdullah Al-Kostantiy, Kasyfu al- Dzunun, (Beirut:
Dar al -Fikr, 1994)
Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Binacipta, 1988)
Hasan, ‘Abbas, Al-Lughah Wa al-Nahwu Bayn al-Qadîm Wa al-Hadits, (Kairo:
Dar Al-Ma’rifah, tt)
Al-Hasan, Abi Bakar Muhammad bin, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa alLughawiyyîn, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, tt)
Hasan, Tamman, al-Ushul; Dirasah istimulujiyyah lil Fikr al- Lughawi ‘Inda
al-Arab, (Kairo: Alim al-Kutub, 2000)
Hasanayn, ‘Affaf, Fî Adillat al-Nahwi, (Kairo: Maktabah Al-Akâdimiyyah)
Al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balaghah, (Beirut: Dar al-Kutub al‘ilmiyyah, 1971)
___________, History of The Arabs, terj. (Jakarta: Serambi, 2006)
Hitti, Philp K., History Of The Arab, terj. (Jakarta: Serambi, 2006)
___________, Syria; A Short History, (New York: The Macmillan
Company, 1959)
Ibn Jinni, al-Khashâish, (Kairo: Dar al-Kutun al-Mishriyyah, tt)
Ibn Nadim, Fihris, (Teheran: 1971)
Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt)
Al-Jabiri, Mohammed ‘Abed, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam,
terj. (Yogyakarta: Islamika, 2003)
___________, Formasi Nalar Arab, (Yogyakarta: IRCHiSOD, 2003)
Jahami, Jirar, al-Isykaliyah al-Lughawiyah fi al-falsafah al-‘Arabiyah, (Beirut:
Dar al Masyriq, 1994)
Kamal, Zainun, Ibn Taimiyah ersus Para Filosof; Polemik Logika, (Jakarta:
Rajawali Press, 2006)
Al-Karim, Abdullah Jâdal, al-Dars al-Nahwiy fi al-Qarni al-‘Isyrun, (Kairo:
Maktabah al Adab, 2004)
Khalil, Syauqy Abu, Fî Târikh al-Islamiy, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1991)
165
Al-Khuli, Muhammad ‘Ali, A Dictionary of Theoretical Linguistics, (Beirut:
Library Du Liban, 1982)
Kờrner, Stephen, Fundamental Questions of Philosophy, (Sussex: The
Harvester Press.Ltd,)
Kushartanti, dkk (ed), Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Bahasa,
(Jakarta: Gramedia, 2007)
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1999)
Lockett, Abraham, Arabic Sintax, (India: Hindustanee Press, 1814)
M.M. Saarif, ed. A History of Muslim Philosophy, (India: Low Price
Publications, 1995)
Madjid, Nurcholish, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,
2000)
Magee, Bryan, The Story Of Philosophy, terj.(Yogyakarta: Kanisius, 2008)
Al-Mahdi, Muhammad ‘Aqil, Tamhîd li Dirâsat al-Manthiq al-Shuwariy,
(Malaysia: Dar al-Hadits, 1997)
Mahdun, Yusuf dan Bey Arifin, Sejarah Kesusasteraan Arab, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1983)
Mahmud, Asyraf Mahir, Mushtalahat ilmu ushul al-Nahwiy, (Kairo: Dar
Gharib, 2000)
Mahmud, Nayf Ma’ruf, Khashaish al-‘Arabiyyah Wa Tharaiq Tadrisiha,
(Beirut: Dar Al nafais, 1998)
Makdisi, George, Cita Humanisme Islam,terj. (Jakarta: Serambi, 2005)
Marhaba, Muhammad Abdurrahman, Min al-Falsafat al-Yunaniyyah
ila al-Falsafat Al-Islamiyyah, (Beirut: ‘Uwaidat Li Al-Nasyr wa AlThibâ’ah, 2000)
Maryam, Siti, ed. Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik Hingga Modern,
(Yogyakarta: LESFI, 2003)
Moeliono, Anton M., Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1985)
Al-Mubârak, Mâzin, Al-Rummaniy al-Nahwy, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1995)
Muller, Max, Science of Thought, (Chicago: The Open Court Publishing
Company, 1909)
166
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
Al-Nahlah, Muhammad Ahmad, Ushûl al-Nahwi Al-‘Arabiy, (Beirut: Dar
Al-Ma’rifah, 2002)
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, terj.
(Surabaya: Risalah Gusti, 2003)
O’Leary, De Lacy, Arabic Thought And Its Place In History, (London:
Routledge and Kegan Paul, 1963)
Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat, terj. Muhamad Shodiq, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007)
Parera, J.D., Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004)
Peters, Ted, dkk (ed), Tuhan, Alam dan Manusia; Perspektif Sains dan Agama,
terj. (Bandung: Mizan, 2006)
Ravertz, Jerome R., Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, (London: George Allen
and Unwin LTD, 1965)
Schoeler, Gregor, The Oral and The Written In Early Islam, (London:
Routledge, 2006)
Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company,
1989)
Sibawaih, Al-Kitab, (Kairo: Maktabah al Khanji, 1988)
Soeparno, Dasar- Dasar Linguistik, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1993)
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004)
Al-Suyuthi, Jalaludin, Shaun al-Manthiq wa al-Kalam ‘an Fann al-Manthiq wa
al-Kalam, (Tanpa Data)
_________, al-Iqtirah Fî ‘Ilm Ushûl al-Nahwy, (Kairo: Jarus Brs, 1988)
_________, al-Muzhir fi ‘ulum al-Lughah wa-anwa’iha, (Kairo: Maktabah
dar al Turats, tt)
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Baghdad: Maktabah Mutsanna,tt)
Al-Syairafi, Abi Sa’id, Syarh Kitab Sibawaih, (Damaskus: al-Hay’ah alShuriyyah, 1986)
Al-Tahanawi, Muhammad, Kasyf Istilahat al-funun wa al-‘ulum, (Libanon:
MaktabahLibnan Nasyirun, 1996)
Al-Thawil, Taufiq, Usus al-Falsafah, (Kairo: dar al Nahdlah, 1979)
Thrax, Dyonisios, The Grammar, (St. Louis MO, 1874)
167
Wahab, Muhbib Abdul, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahasa
Arab, (Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2008)
Windenband, W., History of Ancient Philosophy, (New York: Dover
Publications, 1956)
Zaid, Nahsr Hamid Abu, Hermeunetika Inklusif, terj. Muhammad Mansur
dan Khoiran Nahdliyin. (Jakarta: ICIP, 2004)
__________________, Tekstualitas al-Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2005)
168
Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.
TENTANG PENULIS
Sri Guno Najib Chaqoqo, dilahirkan di Magelang
pada 19 Mei 1980. Mengenyam pendidikan
dasar di SDN II Jumoyo dan SMPN 2 Muntilan.
Melanjutkan di MAN Magelang Jl. Sunan
Bonang Karet serta di PP Imadutthulabah,
Nepak, Mertoyudan dan melanjutkan studi
strata satu di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
jurusan Pendidikan Bahasa Arab, dan nyantri
di PP Al Luqmaniyah Jl. Babaran Umbulharjo
Jogja, 2005. Pada tahun 2007 melanjutkan studi di jurusan Kajian Islam
konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab pada Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, selesai tahun 2009.
Sebelum menjadi Dosen di IAIN Salatiga, di jurusan Pendidikan
Bahasa Arab (2011), penulis mengawali karir mengajar di MI Muhamadiyah
Jumoyo, kemudian di MTs NU Salam, dan juga mengabdi di PP Nurul
Qur’an Jumoyo Salam Magelang. Ia aktif juga di Badan Koordinasi
Majelis Taklim al-Qur’an (BKMTA) Kabupaten Magelang.
Saat ini tinggal bersama Istri Ukhti Nurfajariyah dan ayahanda
serta tiga anak; Rusdan Habib Aufa, Sakhiyya Putri Kaysa, dan Mumtaz
Muhamad Raghib Fayyadh, di Magelang. Penulis bisa dihubungi di
[email protected].
169
Download