6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Wilayah Pesisir 1. Batasan

advertisement
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Deskripsi Wilayah Pesisir
1.
Batasan dan Sifat-Sifat Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas
kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang
masih mendapat pengaruh sifat - sifat laut seperti angin laut, pasang surut,
perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah
pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai
(longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Batas
wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan
benua (continental shelf), dengan ciri - ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh
proses alami yang terjadi di darat, seperti: sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat
percampuran pengaruh iklim antara darat, laut dan udara .
7
Pada umumnya wilayah pesisir dan khususnya perairan estuaria mempunyai
tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan menjadi sumber zat
organik yang penting dalam rantai makanan di laut. Namun demikian, perlu
dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir
ditandai oleh adanya gradien perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya
merupakan wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan
lingkungan dengan fluktuasi di luar normal. Dari segi fungsinya, wilayah pesisir
merupakan zona penyangga (buffer zone) bagi hewan-hewan migrasi. Akibat
pengaruh aktivitas manusia yang meningkat seperti pencemaran minyak hasil
kegiatan eksploitasi tambang minyak di lepas pantai serta transportasi minyak,
buangan limbah pemukiman dan industri, perairan pesisir akan mengalami
tekanan (stress), yang cenderung mengarah pada menurunnya kualitas lingkungan
wilayah pesisir karena terganggu keseimbangan alami. Apalagi ditambah dengan
penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) dan pengrusakan ekosistem
koral secara fisik.
2.
Klasifikasi Wilayah Pesisir
Bila diperhatikan batasan wilayah pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu
daratan pesisir (shoreland), dan perairan pesisir (coastal water), keduanya
berbeda tetapi saling berinteraksi. Secara ekologis daratan pesisir sangat
kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya yang tinggi. Namun demikian yang
perlu diperhatikan adalah sistem perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap daya
dukung (carrying capacity) ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir
terhadap perairan pesisir terutama terjadi melalui aliran air (runoff).
8
Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria (estuaria regime),
perairan pantai (nearshore regime), dan perairan samudera (oceanic regime).
Perairan estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup, yang
berhubungan bebas dengan laut, sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi
oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara
air laut dengan air tawar yang bersal dari drainase daratan (Odum, 1971).
Perairan pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria ke arah laut sampai batas
paparan benua atau batas teritorial. Sedangkan perairan samudera, semua
perairan ke arah laut terbuka dari batas paparan benua atau batas teritorial.
Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati yaitu (1) ekosistem litoral
yang terdiri dari pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, pantai lumpur,
(2) hutan payau, (3) vegetasi tanaman rawa payau, (4) hutan rawa air tawar, dan
(5) hutan rawa gambut (Pagoray, 2003).
3.
Zona Pesisir
Berdasarkan kedalamannya zona pesisir dapat dibedakan menjadi 4 wilayah
(zona) yaitu :

Zona lithoral, adalah wilayah pantai atau pesisir. Di wilayah ini pada
saat pasang, air tergenang dan pada saat air laut surut berubah menjadi
daratan. Berdasarkan hal itu wilayah ini sering disebut juga wilayah
pasang surut.
9

Zona meritic (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang
surut hingga kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh
sinar matahari sehingga wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jenis
kehidupan baik hewan maupun tumbuhan - tumbuhan, contoh Laut Jawa,
Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut disekitar kepulauan Riau.

Zona bathyal (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki
kedalaman antara 150 hingga 1800 meter. Wilayah ini tidak dapat
ditembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak
sebanyak yang terdapat di zona meritic.

Zona abysal (wilayah laut sangat dalam), yaitu wilayah laut yang
memiliki kedalaman lebih dari 1800 m. Di wilayah ini suhunya sangat
dingin dan tidak ada tumbuh - tumbuhan, jenis hewan yang hidup di
wilayah ini sangat terbatas (Beer T., 1997).
4.
Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Wilayah Pesisir.
Di wilayah pesisir terdapat beraneka ragam sumberdaya yang memungkinkan
pemanfaatan secara berganda. Pengelolaan harus diarahkan kepada pemanfaatan
sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu dan berkesinambungan
(sustainable).
Setiap pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dapat menyebabkan terjadinya
perubahan ekosistem dengan skala tertentu. Pemanfaatan dengan tidak
10
mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan
dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir yang
bersangkutan. Dengan demikian masalah utama dalam pengelolaan dan
pengembangan sumberdaya wilayah pesisir adalah pemanfaatan ganda daripada
sumberdaya tanpa adanya koordinasi.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya di
Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh
kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah pesisir.
a.
Pemanfaatan Ganda
Konsep pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan keserasian
berbagai macam kegiatan. Sementara itu batas kegiatan perlu ditentukan.
Dengan demikian pertentangan antar kegiatan dalam jangka panjang dapat
dihindari atau diperkecil. Salah satu contoh penggunaan wilayah untuk
pertanian, kehutanan, perikanan, alur pelayaran, rekreasi, pemukiman, lokasi
industri dan juga sebagai tempat pembuangan sampah dan air limbah.
Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi dapat berjalan untuk jangka
waktu tertentu, kemudian persaingan dan pertentangan mulai timbul dengan
berjalannya waktu. Pemanfaatan telah melampaui daya dukung lingkungan.
Untuk beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi dengan teknologi
mutakhir. Akan tetapi perlu dijaga agar cara pemecahan itu tidak
mengakibatkan timbulnya dampak negatif atau pertentangan baru.
11
b. Pemanfaatan Tak Seimbang
Masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di
Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumberdaya tersebut, ditinjau
dari sudut penyebarannya dalam tata ruang nasional. Hal ini merupakan akibat
dari ketimpangan pola penyebaran penduduk semula disebabkan oleh perbedaan
keunggulan komparatif (comparative advantages) keaadaan sumberdaya
wilayah pesisir Indonesia.
Pengembangan wilayah dalam rangka pembangunan nasional harus juga
memperhatikan kondisi ekologis setempat dan faktor - faktor pembatas. Melalui
perencanaan yang baik dan cermat, serta dengan kebijaksanaan yang serasi,
perubahan tata ruang tentunya akan menjurus kearah yang lebih baik.
c.
Pengaruh Kegiatan Manusia
Pemukiman disekitar pesisir menghasilkan pola - pola penggunaan lahan dan air
yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan,
sesuai dengan keaadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu. Usaha - usaha
budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam, eksploitasi hutan rawa,
pembuatan perahu, perdagangan dan industri, merupakan dasar bagi tata
ekonomi masyarakat pedesaan wilayah pesisir.
Tekanan penduduk yang besar sering mengakibatkan rusaknya lingkungan,
pencemaran perairan oleh sisa-sisa rumah tangga, meluasnya proses erosi,
kesehatan masyarakat yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan
keamanan umum. Oleh karena itu perlu diperoleh pengertian dasar tentang
12
proses perubahan yang terjadi di wilayah pesisir. Dengan demikian pemanfaatan
sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dikelola dengan baik. Perlu
dihayati pula bahwa sekali habitat atau suatu ekosistem rusak maka sukar untuk
diperbaiki kembali.
5.
Pencemaran Wilayah Pesisir
Perairan wilayah pesisir umumnya merupakan perangkap zat - zat hara maupun
bahan - bahan buangan. Oleh karena itu pemanfaatan ganda yang tidak
direncanakan dengan cermat akan menimbulkan masalah lingkungan yang
berhubungan dengan bahan buangan. Sampah organik dari kota, sisa - sisa
pestisida dan pupuk pertanian, bahan buangan industri dan sebagainya, akan
terbawa aliran air sungai dan pada akhirnya akan mencapai perairan wilayah
pesisir.
Jika dilihat dari sumber (asal) kejadiaanya, jenis kerusakan lingkungan ada yang
dari luar sistem wilayah pesisir dan juga dari dalam wilayah pesisir itu sendiri.
Pencemaran berasal dari limbah yang dibuang oleh berbagai kegiatan
pembangunan (seperti tambak, perhotelan, pemukiman dan industri) yang
terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga berupa kiriman dari berbagai
kegiatan pembangunan di daerah lahan atas.
Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian
sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia yaitu pencemaran, degradasi fisik
13
habitat, eksploitasi berlebihan sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi
kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam.
Sumber pencemaran perairan pesisir biasa terdiri dari limbah industri, limbah
cair pemukinan (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran
(shipping), pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan pencemar utama yang
terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa: sedimen, unsur hara
(nutriens), logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme eksotik,
organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substances (bahan-bahan
yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut berkurang).
Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah
tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada
perairan sungai tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Dampak yang terjadi
adalah kerusakan ekosistem bakau, terumbu karang, kehidupan dari jenis-jenis
biota (ikan, kerang, keong), terjadi abrasi, hilangnya benih banding dan udang.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap bahan - bahan yang akan dibuang
ke perairan, termasuk perairan wilayah pesisir yaitu :
1.
Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan;
2.
Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan
kondisi oseanografi setempat;
3.
Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi bahan buangan
dengan lingkungan perairan.
4.
Pengaruh bahan buangan terhadap kehidupan dan rantai makanan;
5.
Proses degradasi dan perubahan biogeokimia;
14
6.
Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di hari
depan;
7.
Faktor - faktor lain yang khas.
Perlu juga diperhatikan kemungkinan terjadinya proses saling menunjang atau
proses saling menetralkan antara dampak bahan pencemar yang telah ada dengan
bahan pencemar yang masuk kemudian. Oleh karena itu penting diketahui sifat
fisik kimia bahan pencemar maupun perairan, dan kemungkinan terjadinya
peningkatan pencemaran serta perusakan lingkungan.
Untuk mempertahankan kelestarian daya guna perairan wilayah pesisir,
kebiasaan menggunakan perairan sebagai tempat pembuangan sampah dan
bahan buangan industri perlu diatur berdasarkan peraturan perundangan. Bahan
buangan yang beracun perlu diberi perlakuan (treatment) terlebih dahulu
sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus
mempunyai kondisi oseanografi yang memadai,. Industri-industri yang mutlak
harus didirikan di wilayah pesisir wajib memproses bahan-bahan buangan untuk
keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap liingkungan dapat
dibatasi (Dahuri R., dkk., 1996).
B. Sedimen
Sedimentologi adalah ilmu yang mempelajari sedimen atau endapan. Endapan
sedimen (sedimentary deposit) merupakan tubuh material padat yang terakumulasi
di permukaan bumi atau di dekat permukaan bumi, pada kondisi tekanan dan
temperatur yang rendah. Pola-pola sedimentasi tergantung pada pola pergerakan
15
air, apabila gerakan air horizontal tinggi, sedimen akan tetap dalam bentuk
larutan. Namun bila gerakan air perlahan sehingga tidak cukup energi untuk
menjaga agar sedimen tetap larut maka akan terjadi proses pengendapan bahan bahan sedimen. Selain itu energi gerakan air juga berpengaruh terhadap ukuran
bahan - bahan sedimentasi yang akan diendapkan.
Sedimentasi merupakan suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh
media air, angin, es atau gletser di suatu cekungan. Batuan sedimen adalah suatu
batuan yang terbentuk dari hasil proses sedimentasi, baik secara mekanik maupun
secara kimia dan organik.
Batuan sedimen secara mekanik terbentuk dari akumulasi mineral - mineral dan
fragmen - fragmen batuan. Faktor-faktor penting mengenai batuan sedimen ini
antara lain :
1.
Sumber material batuan sedimen :
Sifat dan komposisi batuan sedimen sangat dipengaruhi oleh material material asalnya. Komposisi mineral - mineral batuan sedimen dapat
menentukan waktu dan jarak transportasi, tergantung dari prosentasi mineralmineral stabil dan nonstabil.
2.
Lingkungan pengendapan :
Secara umum lingkungan pengendapan dibedakan kedalam tiga bagian yaitu:
lingkungan pengendapan darat, transisi dan laut. Ketiga lingkungan
pengendapan ini, dimana batuan yang dibedakannya masing-masing
mempunyai sifat dan ciri - ciri tertentu.
16
3.
Pengangkutan (transportasi)
Media transportasi dapat berupa air, angin maupun es, namun yang memiliki
peranan yang paling besar dalam sedimentasi adalah media air. Selama
transportasi berlangsung, terjadi perubahan terutama sifat fisik materialmaterial sedimen seperti ukuran dan bentuknya. Dengan adanya pemilahan
dan pengikisan terhadap butir-butir sedimen akan memberi berbagai macam
bentuk dan sifat terhadap batuan sedimen.
4.
Pengendapan
Pengendapan terjadi bilamana arus/gaya mulai menurun hingga berada di
bawah titik daya angkutnya. Ini biasa terjadi pada cekungan-cekungan, laut,
muara sungai, dll.
5.
Kompaksi
Kompaksi terjadi karena adanya gaya berat/gravitasi dari material-material
sedimen sendiri, sehingga volume menjadi berkurang dan cairan yang
mengisi pori-pori akan bermigrasi ke atas.
6.
Lithifikasi dan Sedimentasi
Bila kompaksi meningkat terus menerus akan terjadi pengerasan terhadap
material - material sedimen. Sehingga meningkat ke proses pembatuan
(lithifikasi), yang disertai dengan sementasi dimana material-material semen
terikat oleh unsur - unsur/mineral yang mengisi pori-pori antara butir
sedimen.
17
7.
Replacement dan Rekristalisasi
Proses replacement adalah proses penggantian mineral oleh pelarutanpelarutan kimia hingga terjadi mineral baru. Rekristalisasi adalah perubahan
atau pengkristalan kembali mineral-mineral dalam batuan sedimen akibat
pengaruh temperatur dan tekanan yang relatif rendah.
8.
Diagenesis
Diagenesis adalah perubahan yang terjadi setelah pengendapan berlangsung,
baik tekstur maupun komposisi mineral sedimen yang disebabkan oleh kimia
dan fisika.
Secara kimia dan organik, batuan sedimen terbentuk oleh proses-proses kimia dan
kegiatan organisme atau akumulasi dari sisa skeleton organisme. Sedimen kimia
dan organik dapat terjadi pada kondisi darat, transisi, dan lautan, seperti halnya
dengan sedimen mekanik (Simalango A., 2010).
Berdasarkan asal dan sumbernya, sedimen yang dijumpai di dasar lautan
dibedakan menjadi empat yaitu :
1.
Lithougenus sedimen yaitu sedimen yang berasal dari erosi pantai dan
material hasil erosi daerah dataran tinggi. Material ini dapat sampai ke dasar
laut melalui proses mekanik, yaitu tertransport oleh arus sungai dan arus laut
kemudian akan terendapkan jika energi yang mengalir telah melemah.
2.
Biogeneuos sedimen yaitu sedimen yang bersumber dari sisa - sisa organisme
yang hidup seperti cangkang dan rangka biota laut serta bahan-bahan organik
yang mengalami dekomposisi.
18
3.
Hidreogenous sedimen yaitu sedimen yang terbentuk karena adanya reaksi
kimia di dalam air laut dan membentuk partikel yang tidak larut dalam air laut
sehingga akan tenggelam ke dasar laut, sebagai contoh dari sedimen jenis ini
adalah magnetit, phosphorit dan glaukonit.
4.
Cosmogerous sedimen yaitu sedimen yang berasal dari berbagai sumber dan
masuk ke laut melalui jalur media udara/angin. Sedimen jenis ini dapat
bersumber dari luar angkasa, aktifitas gunung api atau berbagai partikel darat
yang terbawa angin. Material yang berasal dari luar angkasa merupakan sisasisa meteorik yang meledak di atmosfir dan jatuh di laut. Sedimen yang
berasal dari letusan gunung berapi dapat berukuran halus berupa debu
vulkanik, atau berupa fragmen-fragmen aglomerat. Sedangkan sedimen yang
berasal dari partikel di darat dan terbawa angin banyak terjadi pada daerah
kering dimana proses tersebut dominan namun demikian dapat juga terjadi
pada daerah subtropis saat musim kering dan angin bertiup kuat. Dalam hal
ini umumnya sedimen tidak dalam jumlah yang dominan dibandingkan
sumber-sumber yang lain. (Widada S., 2002).
Dalam suatu proses sedimentasi, zat - zat yang masuk ke laut berakhir menjadi
sedimen. Dalam hal ini zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi
sepanjang kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen,
zat tersebut melayang - layang di dalam laut. Setelah mencapai dasar lautpun,
sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut dalam
mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh
arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia
antara butir - butir mineral dan air laut sepanjang perjalannya ke dasar laut dan
19
reaksi tetap berlangsung penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara
butiran mineral (Supangat dan Muawanah, 1998).
Distribusi Sedimen Laut
Sedimen yang masuk ke dalam laut dapat terdistribusi pada :
1.
Daerah perairan dangkal, seperti endapan yang terjadi pada paparan benua
(Continental Shelf) dan lereng benua (Continental Slope).
Dijelaskan oleh Hutabarat (1985) dan Bhatt (1978) bahwa Continental Shelf
adalah suatu daerah yang mempunyai lereng landai kurang lebih 0,4% dan
berbatasan langsung dengan daerah daratan, lebar dari pantai 50 – 70 km,
kedalaman maksimum dari lautan yang ada di atasnya di antara 100 – 200
meter. Continental Slope adalah daerah yang mempunyai lereng lebih terjal
dari continental shelf, kemiringannya antara 3 – 6 %.
2.
Daerah perairan dalam, seperti endapan yang terjadi pada laut dalam.
Endapan Sedimen pada Perairan Dangkal. Pada umumnya Glacial
Continental Shelf dicirikan dengan susunan utamanya campuran antara
pasir, kerikil, dan batu kerikil.Sedangkan Non Glacial Continental
Shelf’endapannya biasanya mengandung lumpur yang berasal dari sungai.
Di tempat lain (continental shelf) dimana pada dasar laut gelombang dan
arus cukup kuat, sehingga material batuan kasar dan kerikil biasanya akan
diendapkan. Sebagian besar pada Continental slope kemiringannya lebih
terjal sehingga sedimen tidak akan terendapkan dengan ketebalan yang
cukup tebal. Daerah yang miring pada permukaannya dicirikan berupa
20
batuan dasar (bedrock) dan dilapisi dengan lapisan tanah halus dan lumpur.
Kadang permukaan batuan dasarnya tertutupi juga oleh kerikil dan pasir
( Febri U, 2009).
Batuan sedimen dapat dikelompokkan pada beberapa jenis berdasarkan cara dan
proses pembentukannya yaitu (Prothero et al., 1999) :
1. Terrigenous (Detrital atau Klastik).
Batuan sedimen klastik merupakan batuan yang berasal dari suatu tempat
yang kemudian diangkut dan diendapkan pada suatu cekungan. Contoh
batuan Terrigenous adalah konglomerat atau breksi, batu pasir, batu lanau
dan lempung.
2. Sedimen kimiawi/biokimia (Chemical/Biochemical).
Batuan sedimen kimiawi atau biokimia adalah batuan hasil pengendapan dari
proses kimiawi suatu larutan dan organisme bercangkang yang mengandung
mineral silika atau fosfat. Contoh batuan sedimen komiawi adalah evaporit,
batuan sedimen karbonat (batu gamping dan dolomit), batuan sedimen
bersilika (rijang) dan endapan organik (batubara).
3. Batuan volkanoklastik (Volcanoclastic Rocks).
Batuan volkanoklastik berasal dari aktivitas gunung berapi. Debu dari
aktivitas gunung berapi akan mengendap seperti sedimen. Adapun kelompok
batuan volkanoklastik adalah batu pasir tufa dan aglomerat.
Logam berat dapat terakumulasi dalam lingkungan terutama dalam sedimen
karena dapat terikat dengan senyawa organik dan anorganik melalui proses
adsorpsi dan pembentukan senyawa kompleks (Forstner and Prosi, 1987).
21
Akumulasi logam berat ke dalam sedimen dipengaruhi oleh jenis sedimen, dimana
kandungan logam berat pada lumpur > lumpur berpasir > berpasir
(Korzeniewski and Neugebauer, 1991).
Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah tergantung
pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan oksigen,
misalnya akibat kontaminasi bahan - bahan organik, daya larut logam berat akan
menjadi lebih rendah dan mudah mengendap. Logam berat seperti Zn, Cu, Cd, Pb,
Hg dan Ag akan sulit terlarut dalam kondisi perairan yang anoksik. Logam berat
yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan
materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan
penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen.
Kandungan logam berat pada sedimen umumnya rendah pada musim kemarau dan
tinggi pada musim penghujan. Penyebab tingginya kadar logam berat dalam
sedimen pada musim penghujan kemungkinan disebabkan oleh tingginya laju
erosi pada permukaan tanah yang terbawa ke dalam badan sungai, sehingga
sedimen dalam sungai yang diduga mengandung logam berat akan terbawa oleh
arus sungai menuju muara dan pada akhirnya terjadi proses sedimentasi
(Bryan, 1976).
Mengendapnya logam berat bersama-sama dengan padatan tersuspensi akan
mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan juga perairan sekitarnya
Jika kapasitas angkut sedimen cukup besar, maka sedimen di dasar perairan akan
terangkat dan terpindahkan. Sesuai teori gravitasi, apabila partikulat memiliki
22
massa jenis lebih besar dari massa jenis air maka partikulat akan mengendap di
dasar atau terjadi proses sedimentasi.
Menurut Bernhard (1981) konsentrasi logam berat tertinggi terdapat dalam
sedimen yang berupa lumpur, tanah liat, pasir berlumpur dan campuran dari
ketiganya dibandingkan dengan yang berupa pasir murni. Hal ini sebagai akibat
dari adanya gaya tarik elektro kimia partikel sedimen dengan partikel mineral,
pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme.
Darmono (2001) logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup
melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi
melalui kulit. Di dalam tubuh hewan logam diabsorpsi darah, berikatan dengan
protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.
Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan ekskresi
(ginjal). Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada
konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas
fisiologis (Connel dan Miller, 1995).
C. Logam Berat
Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai densitas > 5 g/cm3
(Hutagalung dan Setiapermana,1994). Namun pada kenyataannya dalam
pengertian logam berat ini, dimasukkan pula unsur-unsur metaloid yang
mempunyai sifat berbahaya seperti logam berat sehingga jumal seluruhnya
mencapai 40 jenis. Selain itu logam berat ini mempunyai respon biokimia khas
pada organisme hidup (Kusnoputranto, 1996).
23
Karakteristik lainnya dari kelompok logam berat adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki spesifikasi gravitasi yang sangat besar (lebih dari 4).
2.
Mempunyai nomor atom 22 - 23 dan 40 - 50 serta unsur laktanida dan
aktinida.
3.
Mempunyai respon biokimia yang khas (spesifik) pada organisme hidup.
Semua logam berat dapat dikatakan sebagai bahan beracun yang akan meracuni
makhluk hidup. Sebagai contoh logam berat air raksa (Hg), kadmium (Cd), timbal
(Pb), dan krom (Cr). Namun demikian, meskipun semua logam berat dapat
mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari logam - logam berat
tersebut dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam jumlah yang sangat kecil/sedikit.
Tetapi apabila kebutuhan yang sangat kecil tersebut tidak terpenuhi dapat
berakibat fatal terhadap kelangsungan makhluk hidup. Karena tingkat
kebutuhan yang sangat dipentingkan, maka logam - logam tersebut juga
dinamakan sebagai logam - logam esensial tubuh. Bila logam - logam esensial
yang masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan, maka berubah fungsi
menjadi racun. Contoh dari logam berat esensial ini adalah tembaga (Cu), seng
(Zn), dan nikel (Ni) (Pusarpedal-Bapedal, 1998).
1) Logam berat Pb dan Co dalam perairan
Keberadaan logam - logam dalam badan perairan dapat berasal dari sumber
alamiah dan dari aktifitas manusia. Sumber alamiah masuk ke dalam perairan bisa
dari pengikisan batuan mineral. Di samping itu partikel logam yang ada di udara,
karena adanya hujan dapat menjadi sumber logam dalam perairan. Adapun logam
24
yang berasal dari aktifitas manusia dapat berupa buangan industri ataupun
buangan dari rumah tangga.
Kelarutan dari unsur - unsur logam dan logam berat dalam badan perairan
dikontrol oleh derajat keasaman air, jenis dan konsentrasi logam dan khelat serta
keadaan komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks.
Logam - logam di perairan akan bereaksi dengan ligan - ligan. Ligan ini biasanya
mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi logam.
Sehingga biasanya terjadi kompetensi diantara ligan - ligan tersebut untuk
membentuk senyawa kompleks. Sementara untuk logam - logam seperti Pb (II),
Zn(II), Cd (II) dan Hg (II), mempunyai kemampuan untuk membentuk kompleks
sendiri. Logam-logam tersebut akan mudah membentuk kompleks dengan ion –
ion klorida dan atau sulfat, pada konsentrasi yang sama dengan yang ada di air
laut.
Keadaan logam di perairan juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara air
dengan sedimen. Keadaan ini terutama sekali terjadi pada bagian dasar perairan.
Pada dasar sungai ion - ion logam dan kompleksnya yang terlarut dengan cepat
akan membentuk partikel - partikel yang lebih besar apabila terjadi kontak dengan
partikulat yang ada dalam badan perairan. Umumnya logam - logam yang
terdapat dalam tanah dan perairan dalam bentuk persenyawaan, seperti senyawa
hidroksida, oksida, karbonat dan sulfida. Senyawa - senyawa ini sangat mudah
larut dalam air. Namun pada perairan yang mempunyai derajat keasaman
mendekati normal atau pada kisaran pH 7 - 8, kelarutan dari senyawa ini
cenderung stabil. Kenaikan derajat asam pada badan perairan biasanya diikuti
25
dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa - senyawa logam tersebut.
Perubahan tingkat kestabilan dari larutan tersebut biasanya terlihat dalam bentuk
pergeseran senyawa. Umumnya pada derajat keasaman yang semakin tinggi,
maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida ini mudah
sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel yang berada pada badan
perairan. Selanjutnya persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan
partikel yang berada dalam badan perairan akan mengendap dan membentuk
lumpur.
2) Toksisitas Logam Pb dan Co
Berdasarkan toksisitasnya, Darmono (1995) menggolongkan logam berat ke
dalam tiga golongan, yaitu :
1. Hg, Cd, Pb, As, Cu dan Zn yang mempunyai sifat toksik yang tinggi,
2. Cr, Ni dan Co yang mempunyai sifat toksik menengah
3. Mn dan Fe yang mempunyai sifat toksik rendah
(Connel dan Miller, 1995; Siaka, 1998).
Toksisitas logam berat sangat dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi
lingkungan. Beberapa kasus kondisi lingkungan tersebut dapat mengubah laju
absorbsi logam dan mengubah kondisi fisiologis yang mengakibatkan
berbahayanya pengaruh logam. Manusia sebagai makhluk hidup memerlukan
beberapa logam seperti mangan, besi, tembaga dan seng dalam jumlah yang
sangat kecil. Logam - logam ini sering juga disebut logam esensial.
26
Pada umumnya logam berat yang terakumulasi pada sedimen tidak terlalu
berbahaya bagi makhluk hidup di perairan, tetapi oleh adanya pengaruh kondisi
yang akuatik yang bersifat dinamis seperti perubahan pH akan menyebabkan
logam yang terendapkan dalam sedimen terionisasi ke perairan. Hal inilah yang
merupakan bahan pencemar dana akan memberikan sifat toksik terhadap
organisme yang hidup bila ada dalam jumlah berlebih dan akan membahayakan
kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut.
Pallar (1994) mengungkapkan bahwa akumulasi logam berat Pb pada tubuh
manusia yang terus menerus dapat mengakibatkan anemia, kemandulan, penyakit
ginjal, kerusakan syaraf dan kematian. Sedangkan toksisitas akut Co dapat
menyebabkan iritasi paru-paru (pneumonia), asma dan sesak nafas. Gejala yang
ditimbulkan dari keracunan oleh logam kobalt (Co) antara lain mual, muntah, dan
efek serius pada jantung.
Timbal dalam bentuk anorganik dan organik memiliki toksitas yang sama pada
manusia. Misalnya pada bentuk organik seperti tetraetil-timbal dan tetrametiltimbal (TEL dan TML). Timbal dalam tubuh dapat menghambat aktivitas kerja
enzim. Namun yang paling berbahaya adalah toksitas timbal yang disebabkan
oleh gangguan absorbsi kalsium Ca). Hal ini menyebabkan terjadinya penarikan
deposit timbal dari tulang tersebut (Darmono, 2001).
Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun
dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing
alloys. Kadang - kadang terdapat dalam bentuk kompleks dengan zat organik
seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil timbal (TAL) (Iqbal dan Qadir, 1990).
27
Timbal adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme
toksitasnya dibedakan menurut beberapa organ yang dipengaruhinya, yaitu
sebagai berikut :
a. Sistem hemopoeitik : timbal akan mengahambat sistem pembentukan
hemoglobin sehinggamenyebabkan anemia,
b. Sistem saraf pusat dan tepi : dapat menyebabkan gangguan enselfalopati
dan gejala gangguan syarap perifer,
c. Sistem ginjal : dapat menyebabkan aminoasiduria, fostfaturia, gluksoria,
nefropati, fibrosis dan atrofi glomerular,
d. Sistem gastro-intestinal : dapat menyebabkan kolik dan konstipasi,
e. Sistem kardiovaskular : menyebabkan peningkatan permeabelitas kapiler
pembuluh darah,
f. Sistem reproduksi : dapat menyebabkan kematian janin pada wanita dan
hipospermi dan teratospermia,
g. Sistem endokrin : mengakibatkan gangguan fungsi t bagi keberadaan
timbal tiroid dan fungsi adrenal (Darmono, 2001).
Di perairan, timbal ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan
timbal cukup rendah sehingga kadar timbal dalam air relatif sedikit. Bahan bakar
yang mengandung timbal juga memberikan kontribusi yang berarti bagi
keberadaan timbal dalam air (Effendi, 2003).
Kobalt termasuk unsur renik yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan reproduksi
tumbuhan dan hewan. Bersama dengan ion logam lainnya, misalnya tembaga,
seng, besi dan magnesium, kobalt dibutuhkan oleh enzim sebagai koenzim yang
28
berfungsi untuk mengikat molekul substrat (Effendi, 2003). Akan tetapi ion
logam ini dapat menggantikan ion logam tertentu yang berfungsi sebagai kofaktor
dari suatu enzim, sehingga dapat menurunkan fungsi enzim tersebut bagi tubuh
(Darmono, 2001).
Unsur radioaktif kobal secara komersial digunakan dalam terapi pengobatan dan
industri plastik serta makanan. 60Co digunakan untuk radioterapi pada pasien
penderita kanker, pembuatan plastik dalam proses polimerisasi, dan iradiasi
makanan (ATSDR, 2004). Dalam ATSDR (Agency for Toxic Substances and
Disease Registry) (2004) batas-batas konsentrasi kobal yang membahayakan bagi
kesehatan manusia telah ditetapkan oleh beberapa lembaga antara lain :
1. USEPA (Environmental Protection Agency) menetapkan batas maksimal
konsentrasi kobal dalam air minum adalah 0,5 mg/L.
2. OSHA (The Occupational Health and Safety Administration) menetapkan batas
maksimal bagi pekerja yang terpapar dengan kobalt secara langsung adalah 0,1
mg/m3 selama 8 jam kerja sehari dan 40 jam kerja selama 1 minggu.
3. The Nuclear Regulatory Commission menetapkan batas maksimal konsentrasi
kobal radioaktif di ruang kerja adalah 7 x 10-8 μCi/mL untuk 60Co.
3) Karakteristik logam Pb dan Co
a. Timbal (Pb)
Pb merupakan salah satu logam yang termasuk dalam unsur golongan utama,
yaitu golongan IV A. Timbal murni adalah logam yang berwarna abu-abu, mudah
ditempa dan berat (BA=207,2). Dikenal tiga buah isotop dari Pb yaitu unsur
29
radioaktif Uranium (BA=206), Thromium (BA=208) dan Actinium (BA=207).
Pb dapat larut dalam asam nitrat encer, tidak dapat larut dalam air, dapat melarut
dalam secara perlahan dalam air dengan penambahan asam lemah. Pb merupakan
salah satu unsur yang tahan terhadap korosi, relatif tidak dapat tembus oleh
cahaya radiasi serta tidak mudah menyala (Svehla, 1985)
Beberapa sifat fisika Pb dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat-sifat fisika Timbal (Pb) (Anonim 1, 2010).
Nomor atom
Densitas (g/cm3)
Titik lebur (0C)
Titik didih (0C)
Kalor difusi (kJ/mol)
Kalor penguapan (kJ/mol)
Kapasitas pada 250C (J/mol.K)
Konduktivitas termal pada 300K (W/m K)
Ekspansi termal
250C (µm/ m K)
Kekerasan (skala Brinell=Mpa)
82
11,34
327,46
1,749
4,77
179,5
26,65
35,5
28,9
38,6
b. Kobalt (Co)
Co merupakan salah satu unsur logam transisi golongan VIIB yang berwarna
putih perak dan memiliki massa jenis 8,90 g/cm3 (Sunardi, 2006). Co merupakan
logam berat yang memiliki karakteristik kimia sama dengan nikel, tetapi lebih
mudah larut, kobal terdapat dalam bentuk bivalen atau trivalen. Ion kobalt (Co2+)
lebih stabil, sedangkan ion kobaltik (Co3+) bersifat tidak stabil dan merupakan
oksidator kuat (Effendi, 2003).
30
Beberapa sifat fisika dari kobalt dapat dilihat pada Tabel 2
Tebel 2. Sifat Fisik Logam kobalt (Co) (Anonim 2, 2010)
Nomor atom
Densitas (g/cm3)
Titik lebur (0C)
Titik didih (0C)
Kalor fusi (kJ/mol)
Kalor penguapan (kJ/mol)
Kapasitas panas pada 25 0C (J/mol.K)
Konduktivitas termal pada 300 K (W/m K)
Ekspansi termal pada 25 0C (µm/m K)
27
15,14
1490
1,349
4,77
179,5
26,650
35,5
28,9
4) Kandungan logam berat dalam sedimen
Sedimen terdiri dari beberapa komponen bahkan tidak sedikit sedimen yang
merupakan pencampuran dari komponen-komponen tersebut. Adapun komponen
itu bervariasi, tergantung dari lokasi, kedalaman dan geologi dasar (Korzeniewski
et al., 1991). Pada saat buangan limbah industri masuk ke dalam suatu perairan
maka akan terjadi proses pengendapan dalam sedimen. Hal ini menyebabkan
konsentrasi bahan pencemar dalam sedimen meningkat. Berdasarkan The Ontario
Ministry of The Environment baku mutu logam berat dalam sedimen adalah
sebagai berikut :
Tabel 3. Baku mutu kandungan logam berat dalam sedimen
No.
1.
2.
3.
Parameter Logam
Pb
Co
Cr
Baku Mutu (ppm)
47,82 – 161,06
50
460 - 1110
31
Tabel 4. Klasifikasi partikel sedimen menurut skala wenworth(Buchanan,
1984)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Partikel
Boulder (batuan)
Cobble (batuan bulat)
Pebble (batu kerikil)
Granule (butiran)
Very coarse sand (pasir sangat kasar)
Coarse sand (pasir kasar)
Medium sand (pasir sedang)
Fine sand (pasir halus)
Very fine sand (pasir sangat halus)
Silt (Lumpur)
Clay (liat)
Ukuran Partikel
mm
µm
> 256
> 256x103
64-256
64x103--256x10
4,0-64
4000-64000
2,0-4,0
2000-4000
1,0-2,0
1000-2000
0,5-1,0
500-1000
0,25-0,5
250-500
0,125-0,25
125-250
0,0625-0,125
62,5-125
0,0039-0,0625 3,9-62,5
< 0,0039
< 3,9
Secara alamiah, kandungan logam berat dalam air adalah kurang dari 1 g/L.
Menurut Pallar (1994) faktor - faktor yang mempengaruhi kelarutan logam berat
dalam suatu badan air antara lain :
1. pH badan air
Dalam lingkungan perairan, bentuk logam antara lain berupa ion bebas,
pasangan ion organik, dan ion kompleks. Kelarutan logam dalam air
dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air,
karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi
hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga
akan mengendap membentuk lumpur.
2. Suhu air
Kenaikan suhu air dan penurunan pH akan mengurangi adsorpsi senyawa
logam berat pada partikulat. Suhu air yang lebih dingin akan meningkatkan
adsorpsi logam berat ke partikulat untuk mengendap di dasar. Sementara saat
suhu air naik, senyawa logam berat akan melarut di air karena penurunan laju
32
adsorpsi ke dalam partikulat. Logam yang memiliki kelarutan yang kecil
akan ditemukan di permukaan air selanjutnya dengan perpindahan dan waktu
tertentu akan mengendap hingga ke dasar, artinya logam tersebut hanya akan
berada di dekat permukaan air dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian
mengendap lagi. Hal ini ditentukan antara lain oleh massa jenis air,
viskositas (kekentalan) air, temperatur air, arus air serta faktor lainnya.
3. Konsentrasi oksigen dalam badan air
Pada daerah yang kekurangan oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahanbahan organik, daya larut logam berat akan menjadi lebih rendah dan mudah
mengendap. Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam
sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang
melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan
partikel sedimen.
Beberapa material yang terkonsentrasi di udara dan permukaan air mengalami
oksidasi, radiasi ultraviolet, evaporasi dan polimerisasi. Jika tidak mengalami
proses pelarutan, material ini akan saling berikatan dan bertambah berat sehingga
tenggelam dan menyatu dalam sedimen. Logam berat yang diadsorpsi oleh
partikel tersuspensi akan menuju dasar perairan, menyebabkan kandungan logam
di air menjadi lebih rendah. Hal ini tidak menguntungkan bagi organisme yang
hidup di dasar seperti kerang dan kepiting, partikel sedimen ini akan masuk ke
dalam sistem pencernaannya (Ford, 1999).
33
D. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
1) Prinsip Dasar
Analisis Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) berprinsip pada absorbsi cahaya
oleh atom. Atom - atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang,
bergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai
cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik
suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, berarti memperoleh lebih
banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke
tingkat energi eksitasi.
Keberhasilan analisis ini bergantung pada proses eksitasi dan cara memperoleh
garis resonansi yang tepat. Temperatur nyala harus sangat tinggi. Ini dapat
diterangkan dalam persamaan Boltzman :
=
[̵
]
Keterangan :
Nj
No
K
T
Ej
Pj dan Po
:
:
:
:
:
:
Jumlah atom tereksitasi
Jumlah atom pada keadaan dasar
Tetapan Boltzman
Temperatur absolute (K)
Perbedaan energi tingkat eksitasi dan tingkat dasar
Faktor satatik yang ditentukan oleh banyaknya tingkat
yang mempunyai energi setara pada masing-masing
kuantum.
Ditinjau dari hubungan antara konsentrasi dan absorbansi, maka Hukum Lambert
Beer dapat digunakan jika sumbernya adalah monokromatis. Pada SSA panjang
gelombang absorbansi resonansi identik dengan garis - garis emisi yang
34
disebabkan keserasian transisinya. Untuk bekerja pada panjang gelombang ini
diperlukan suatu monokromator celah yang menghasilkan lebar puncak sekitar
0.002 – 0,005 nm. Pada teknik SSA, diperlukan sumber radiasi yang
mengemisikan sinar pada panjang gelombang yang tepat sama pada proses
absorbsinya. Dengan cara ini efek pelebaran puncak dapat dihindarkan. Sumber
radiasi tersebut dikenal sebagai hollow cathode lamp.
2) Analisis Kuantitatif
Pada dasarnya hubungan antara absorpsi atom dengan konsentrasi di dalam
metode SSA dapat dinyatakan dengan hukum Lambert-Beer, yaitu secara
matematik persamaannya adalah sebagai berikut:
I= I e
log
Keterangan :
I
I
= a. b. c
A = a. b. c
I
: Interaksi cahaya yang datang (mula-mula)
I
: Interaksi cahaya yang ditransmisikan
a
: Absorpsotivitas, yang besarnya sama untuk sistem atau larutan yang
sama (g/L)
b
: Panjang jalan cahaya atau tebalnya medium penyerap yang besarnya
tetap untuk alat yang sama (cm)
c
: Konsentrasi atom yang mengabsorpsi
A
: Absorbansi = log Io/I
35
Dari persamaan di atas, nilai absorbansi sebanding dengan konsentrasi untuk
panjang jalan penyerapan dan panjang gelombang tertentu. Ada dua cara untuk
mengetahui konsentrasi cuplikan yang telah diketahui nilai absorbansinya yaitu:
1.
Cara deret waktu dengan membandingkan nilai absorbansi terhadap Kurva
kalibrasi dari standar - standar yang diketahui,
2.
Cara penambahan standar dengan membandingkan konsentrasi dengan
perpotongan grafik terhadap sumbu dengan konsentrasi dari data absorbansi.
3) Gangguan-gangguan pada Spektofotometer Serapan Atom (SSA)
Menurut Ismono (1984) beberapa gangguan yang sering terjadi pada SSA adalah
sebagai berikut :
1.
Gangguan yang berasal dari matriks cuplikan, gangguan ini mengakibatkan
mengendapnya unsur - unsur yang dianalisis sehingga jumlah atom yang
mencapai nyala lebih sedikit dari pada yang sesuai dengan konsentrasi unsur
yang bersangkutan dalam cuplikan. Jumlah atom yang mencapai nyala
dipengaruhi oleh berbagai sifat fisik larutan, antara lain adalah tegangan
permukaan, berat jenis, tekanan uap pelarut. Untuk mengatasi gangguan ini
maka perlu diusahakan agar sifat fisik larutan cuplikan sama dengan larutan
standar.
2.
Gangguan kimia
Gangguan ion disebabkan karena terhambatnya pembentukan atom-atom
netral dari unsur yang analisis pada tingkat energi dasar, hal ini terjadi karena:
1.
Pembentukan senyawa - senyawa yang yang bersifat refraktori seperti
36
Ca-fosfat, fosfat, sillikat, alumunat dan oksida dari logam alkali tanah dan
Mg.untuk mengatasi gangguan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain:
a. Menggunakan nyala yang lebih tinggi suhunya, karena senyawa yang
refraktori dapat terurai pada suhu yang tinggi.
b. Penambahan unsur penyangga kepada cuplikan yang akan dianalisis.
Unsur penyangga ini misalnya Sr atau La yang akan mengikat gugus yang
mengganggu (aluminat, fosfat, silikat dan sebagainya). Sehingga unsur
yang akan dianalisis tidak akan diikat oleh gugus ini. Dengan demikian
unsur yang dianalisa dapat teratomisasi dengan sempurna meskipun di
dalam nyala yang suhunya lebih rendah.
c. Mengekstraksi unsur yang akan dianalisis, terutama cuplikan - cuplikan
yang sangat kompleks.
3. Ionisasi atom pada tingkat dasar
Ionisasi yang terjadi di dalam nyala ini akan menggangu pengukuran
absorbansi atom - atom netral unsur yang akan dianalisis, karena ion suatu
unsur mempunyai suatu spektrum serapan atom netral. Untuk mengurangi
gangguan ini, suhu nyala yang digunakan harus serendah mungkin dimana
atomisasi masih dapat berlangsung secara sempurna. Disamping itu juga
ditambahkan unsur lain yang mempunyai potensial lebih rendah daripada
unsur yang dianalisis. Contoh unsur penyangga adalah Sr dan La pada
penempatan kalsium itu juga terdapat fosfat.
37
4. Gangguan oleh serapan bukan atom
Gangguan ini berarti bahwa penyerapan cahaya dari lampu katoda berongga
dan berukuran oleh atom - atom netral melainkan oleh molekul - molekul, hal
ini terutama akan terjadi apabila konsentrasi cuplikan tinggi dan juga bila
suhu nyala kurang tinggi. Cara mengatasi gaguan ini yaitu dengan
menggunakan nyala api yang suhunya lebih tinggi dan mempercepat
konsentrasi molekuler dari larutan cuplikan.
4) Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Berikut ini adalah gambar Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom
Gambar 1. Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom
Spektrofotometer Serapan atom memiliki komponen-komponen sebagai berikut
(Slavin, 1987)
a.
Sumber Sinar
Sumber radiasi Spektofotometer Serapan Atom (SSA) adalah Hallow Cathode
Lamp (HCL). Setiap pengukuran dengan SSA harus menggunakan Hallow
Cathode Lamp khusus misalnya untuk menentukan konsentrasi tembaga dari
38
suatu cuplikan, maka digunakan Hallow Cathode khusus untuk tembaga. Hallow
Cathode akan memancarkan energi radiasi yang sesuai dengan energi yang
diperlukan untuk transisi elektron atom. Hallow Cathode Lamp terdiri dari katoda
cekung yang silindris yang terbuat dari unsur yang sama dengan yang akan
dianalisis dan anoda yang terbuat dari tungsten. Dengan pemberian tegangan
pada arus tertentu, logam mulai memijar dan atom - atom logam katodanya akan
teruapkan dengan pemercikan. Atom akan tereksitasi kemudian mengemisikan
radiasi pada panjang gelombang tertentu. Diagram lampu katoda cekung dapat
dilihat pada Gambar 2.
Anode
Fill Gas Ne or Ar (1-5 torr)
Socket
Hollow Cathode Lamp
Glass Envelope
Gambar 2. Diagram Lampu Katoda Cekung (Khopkar, 1990)
Sumber radiasi lain yang sering dipakai adalah ”Electrodless Dischcarge Lamp”
lampu ini mempunyai prinsip kerja hampir sama dengan Hallow Cathode Lamp
(lampu katoda cekung), tetapi mempunyai output radiasi lebih tinggi dan biasanya
digunakan untuk analisis unsur - unsur As dan Se, karena lampu HCL untuk
unsur-unsur ini mempunyai signal yang lemah dan tidak stabil yang bentuknya
dapat dilihat pada Gambar 3.
39
Gambar 3. Electrodless Dischcarge Lamp (Anonim 3, 2003)
b.
Sumber atomisasi
Sumber atomisasi dibagi menjadi dua yaitu sistem nyala dan sistem tanpa nyala.
Kebanyakan instrumen sumber atomisasinya adalah nyala dan sampel
diintroduksikan dalam bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk
aerosol. Aerosol biasa dihasilkan oleh nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke
nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray). Jenis nyala yang digunakan
secara luas untuk pengukuran analitik adalah udara-asetilen dan nitrous oksidaasetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis yang sesuai untuk
kebanyakan analit dapat ditentukan dengan menggunakan metode emisi, absorbsi
dan juga fluorosensi. Diagram sumber atomisasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Sumber Atomisasi (Slavin, 1978)
40
1. Nyala udara asetilen.
Biasanya menjadi pilihan untuk analisis mengunakan SSA (Spektrofotometer
Serapan Atom). Temperatur nyalanya yang lebih rendah mendorong
terbentuknya atom netral dan dengan nyala yang kaya bahan bakar
pembentukan oksida dari banyak unsur dapat diminimalkan.
2. Nitrous oksida-asetilen.
Biasanya digunakan untuk penentuan unsur-unsur yang mudah membentuk
oksida dan sulit terurai. Hal ini disebabkan karena temperatur nyala yang
dihasilkan relatif tinggi. Unsur-unsur tersebut adalah: Al, B, Mo, Si, So, Ti
dan V.
c.
Monokromator
Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang
tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh Hallow Cathode
Lamp.
d.
Detektor
Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik,
yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi yang
diserap oleh permukaan yang peka.
41
e.
Sistem pengolah
Sistem pengolah berfungsi untuk mengolah kuat arus dari detektor menjadi
besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi data dalam
sistem pembacaan.
f.
Sistem pembacaan
Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau
gambar yang dapat dibaca oleh mata. Adapun skema instrumentasi AAS dapat
dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Skema Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom
(Syahputra, 2004; Azis, 2007)
Keterangan : 1. Sumber sinar
2. Pemilah (Chopper)
3. Nyala
4. Monokromator
5. Detektor
6. Amplifier
7. Meter atau recorder
42
E.
Validasi Metode
Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter
tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa
parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Parameter
validasi metode antara lain :
a.
Presisi (ketelitian)
Presisi merupakan ukuran drajat keterulangan dari metode analisis yang
memberikan hasil yang sama pada beberapa perulangan, dinyatakan sebagai
koefisien variasi (RSD) dan simpangan baku (SD). Metode dengan presisi yang
baik ditunjukan dengan perolehan koefisien variasi (RSD) < 2 %. Simpangan
baku (SD) dan koefisien variasi (RSD) dapat ditentukan dengan persamaan
berikut:
SD =
Keterangan :
SD
x
n
x
(∑(x − x) )
n−1
: Standar Deviasi (simpangan baku)
: Konsentrasi hasil analisis
: Jumlah pengulangan analisis
∶ konsntrasi rata − rata hasil analisis
RSD =
x
x 100 %
43
Keterangan :
KV (RSD) : koefisien Variasi
x
: konsentrasi hasil analisis
SD
: Standar Deviasi
b.
Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang
secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas biasanya
dinyatakan dalam istilah varian sekitar arah garis regresi yang dihitung
berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam
sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Perlakuan matematik dalam pengujian
linearitas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil
antara hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Dalam beberapa kasus, untuk
memperoleh hubungan proporsional antara hasil pengukuran dengan konsentrasi
analit, data yang diperoleh diolah melalui transformasi matematik terlebih dahulu
sebelum dibuat analisis regresinya. Dalam praktek, digunakan satu seri larutan
yang berbeda konsentrasinya antara 50 – 150% kadar analit dalam sampel. Di
dalam pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0 –
200%. Jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel
blanko. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien
korelasi r pada analisis regresi linier : Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal
dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau –1 bergantung pada arah garis. Sedangkan
nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan.
Download