6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Wilayah Pesisir 1. Batasan dan Sifat-Sifat Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat - sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua (continental shelf), dengan ciri - ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti: sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran pengaruh iklim antara darat, laut dan udara . 7 Pada umumnya wilayah pesisir dan khususnya perairan estuaria mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh adanya gradien perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar normal. Dari segi fungsinya, wilayah pesisir merupakan zona penyangga (buffer zone) bagi hewan-hewan migrasi. Akibat pengaruh aktivitas manusia yang meningkat seperti pencemaran minyak hasil kegiatan eksploitasi tambang minyak di lepas pantai serta transportasi minyak, buangan limbah pemukiman dan industri, perairan pesisir akan mengalami tekanan (stress), yang cenderung mengarah pada menurunnya kualitas lingkungan wilayah pesisir karena terganggu keseimbangan alami. Apalagi ditambah dengan penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) dan pengrusakan ekosistem koral secara fisik. 2. Klasifikasi Wilayah Pesisir Bila diperhatikan batasan wilayah pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu daratan pesisir (shoreland), dan perairan pesisir (coastal water), keduanya berbeda tetapi saling berinteraksi. Secara ekologis daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya yang tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap daya dukung (carrying capacity) ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir terhadap perairan pesisir terutama terjadi melalui aliran air (runoff). 8 Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria (estuaria regime), perairan pantai (nearshore regime), dan perairan samudera (oceanic regime). Perairan estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup, yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara air laut dengan air tawar yang bersal dari drainase daratan (Odum, 1971). Perairan pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria ke arah laut sampai batas paparan benua atau batas teritorial. Sedangkan perairan samudera, semua perairan ke arah laut terbuka dari batas paparan benua atau batas teritorial. Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati yaitu (1) ekosistem litoral yang terdiri dari pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, pantai lumpur, (2) hutan payau, (3) vegetasi tanaman rawa payau, (4) hutan rawa air tawar, dan (5) hutan rawa gambut (Pagoray, 2003). 3. Zona Pesisir Berdasarkan kedalamannya zona pesisir dapat dibedakan menjadi 4 wilayah (zona) yaitu : Zona lithoral, adalah wilayah pantai atau pesisir. Di wilayah ini pada saat pasang, air tergenang dan pada saat air laut surut berubah menjadi daratan. Berdasarkan hal itu wilayah ini sering disebut juga wilayah pasang surut. 9 Zona meritic (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang surut hingga kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh sinar matahari sehingga wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuhan - tumbuhan, contoh Laut Jawa, Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut disekitar kepulauan Riau. Zona bathyal (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki kedalaman antara 150 hingga 1800 meter. Wilayah ini tidak dapat ditembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak sebanyak yang terdapat di zona meritic. Zona abysal (wilayah laut sangat dalam), yaitu wilayah laut yang memiliki kedalaman lebih dari 1800 m. Di wilayah ini suhunya sangat dingin dan tidak ada tumbuh - tumbuhan, jenis hewan yang hidup di wilayah ini sangat terbatas (Beer T., 1997). 4. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Wilayah Pesisir. Di wilayah pesisir terdapat beraneka ragam sumberdaya yang memungkinkan pemanfaatan secara berganda. Pengelolaan harus diarahkan kepada pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu dan berkesinambungan (sustainable). Setiap pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dapat menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem dengan skala tertentu. Pemanfaatan dengan tidak 10 mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir yang bersangkutan. Dengan demikian masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya wilayah pesisir adalah pemanfaatan ganda daripada sumberdaya tanpa adanya koordinasi. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya di Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah pesisir. a. Pemanfaatan Ganda Konsep pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan keserasian berbagai macam kegiatan. Sementara itu batas kegiatan perlu ditentukan. Dengan demikian pertentangan antar kegiatan dalam jangka panjang dapat dihindari atau diperkecil. Salah satu contoh penggunaan wilayah untuk pertanian, kehutanan, perikanan, alur pelayaran, rekreasi, pemukiman, lokasi industri dan juga sebagai tempat pembuangan sampah dan air limbah. Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi dapat berjalan untuk jangka waktu tertentu, kemudian persaingan dan pertentangan mulai timbul dengan berjalannya waktu. Pemanfaatan telah melampaui daya dukung lingkungan. Untuk beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi dengan teknologi mutakhir. Akan tetapi perlu dijaga agar cara pemecahan itu tidak mengakibatkan timbulnya dampak negatif atau pertentangan baru. 11 b. Pemanfaatan Tak Seimbang Masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumberdaya tersebut, ditinjau dari sudut penyebarannya dalam tata ruang nasional. Hal ini merupakan akibat dari ketimpangan pola penyebaran penduduk semula disebabkan oleh perbedaan keunggulan komparatif (comparative advantages) keaadaan sumberdaya wilayah pesisir Indonesia. Pengembangan wilayah dalam rangka pembangunan nasional harus juga memperhatikan kondisi ekologis setempat dan faktor - faktor pembatas. Melalui perencanaan yang baik dan cermat, serta dengan kebijaksanaan yang serasi, perubahan tata ruang tentunya akan menjurus kearah yang lebih baik. c. Pengaruh Kegiatan Manusia Pemukiman disekitar pesisir menghasilkan pola - pola penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan, sesuai dengan keaadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu. Usaha - usaha budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam, eksploitasi hutan rawa, pembuatan perahu, perdagangan dan industri, merupakan dasar bagi tata ekonomi masyarakat pedesaan wilayah pesisir. Tekanan penduduk yang besar sering mengakibatkan rusaknya lingkungan, pencemaran perairan oleh sisa-sisa rumah tangga, meluasnya proses erosi, kesehatan masyarakat yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan keamanan umum. Oleh karena itu perlu diperoleh pengertian dasar tentang 12 proses perubahan yang terjadi di wilayah pesisir. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dikelola dengan baik. Perlu dihayati pula bahwa sekali habitat atau suatu ekosistem rusak maka sukar untuk diperbaiki kembali. 5. Pencemaran Wilayah Pesisir Perairan wilayah pesisir umumnya merupakan perangkap zat - zat hara maupun bahan - bahan buangan. Oleh karena itu pemanfaatan ganda yang tidak direncanakan dengan cermat akan menimbulkan masalah lingkungan yang berhubungan dengan bahan buangan. Sampah organik dari kota, sisa - sisa pestisida dan pupuk pertanian, bahan buangan industri dan sebagainya, akan terbawa aliran air sungai dan pada akhirnya akan mencapai perairan wilayah pesisir. Jika dilihat dari sumber (asal) kejadiaanya, jenis kerusakan lingkungan ada yang dari luar sistem wilayah pesisir dan juga dari dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran berasal dari limbah yang dibuang oleh berbagai kegiatan pembangunan (seperti tambak, perhotelan, pemukiman dan industri) yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga berupa kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas. Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia yaitu pencemaran, degradasi fisik 13 habitat, eksploitasi berlebihan sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam. Sumber pencemaran perairan pesisir biasa terdiri dari limbah industri, limbah cair pemukinan (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa: sedimen, unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut berkurang). Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Dampak yang terjadi adalah kerusakan ekosistem bakau, terumbu karang, kehidupan dari jenis-jenis biota (ikan, kerang, keong), terjadi abrasi, hilangnya benih banding dan udang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap bahan - bahan yang akan dibuang ke perairan, termasuk perairan wilayah pesisir yaitu : 1. Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan; 2. Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan kondisi oseanografi setempat; 3. Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi bahan buangan dengan lingkungan perairan. 4. Pengaruh bahan buangan terhadap kehidupan dan rantai makanan; 5. Proses degradasi dan perubahan biogeokimia; 14 6. Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di hari depan; 7. Faktor - faktor lain yang khas. Perlu juga diperhatikan kemungkinan terjadinya proses saling menunjang atau proses saling menetralkan antara dampak bahan pencemar yang telah ada dengan bahan pencemar yang masuk kemudian. Oleh karena itu penting diketahui sifat fisik kimia bahan pencemar maupun perairan, dan kemungkinan terjadinya peningkatan pencemaran serta perusakan lingkungan. Untuk mempertahankan kelestarian daya guna perairan wilayah pesisir, kebiasaan menggunakan perairan sebagai tempat pembuangan sampah dan bahan buangan industri perlu diatur berdasarkan peraturan perundangan. Bahan buangan yang beracun perlu diberi perlakuan (treatment) terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai,. Industri-industri yang mutlak harus didirikan di wilayah pesisir wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap liingkungan dapat dibatasi (Dahuri R., dkk., 1996). B. Sedimen Sedimentologi adalah ilmu yang mempelajari sedimen atau endapan. Endapan sedimen (sedimentary deposit) merupakan tubuh material padat yang terakumulasi di permukaan bumi atau di dekat permukaan bumi, pada kondisi tekanan dan temperatur yang rendah. Pola-pola sedimentasi tergantung pada pola pergerakan 15 air, apabila gerakan air horizontal tinggi, sedimen akan tetap dalam bentuk larutan. Namun bila gerakan air perlahan sehingga tidak cukup energi untuk menjaga agar sedimen tetap larut maka akan terjadi proses pengendapan bahan bahan sedimen. Selain itu energi gerakan air juga berpengaruh terhadap ukuran bahan - bahan sedimentasi yang akan diendapkan. Sedimentasi merupakan suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es atau gletser di suatu cekungan. Batuan sedimen adalah suatu batuan yang terbentuk dari hasil proses sedimentasi, baik secara mekanik maupun secara kimia dan organik. Batuan sedimen secara mekanik terbentuk dari akumulasi mineral - mineral dan fragmen - fragmen batuan. Faktor-faktor penting mengenai batuan sedimen ini antara lain : 1. Sumber material batuan sedimen : Sifat dan komposisi batuan sedimen sangat dipengaruhi oleh material material asalnya. Komposisi mineral - mineral batuan sedimen dapat menentukan waktu dan jarak transportasi, tergantung dari prosentasi mineralmineral stabil dan nonstabil. 2. Lingkungan pengendapan : Secara umum lingkungan pengendapan dibedakan kedalam tiga bagian yaitu: lingkungan pengendapan darat, transisi dan laut. Ketiga lingkungan pengendapan ini, dimana batuan yang dibedakannya masing-masing mempunyai sifat dan ciri - ciri tertentu. 16 3. Pengangkutan (transportasi) Media transportasi dapat berupa air, angin maupun es, namun yang memiliki peranan yang paling besar dalam sedimentasi adalah media air. Selama transportasi berlangsung, terjadi perubahan terutama sifat fisik materialmaterial sedimen seperti ukuran dan bentuknya. Dengan adanya pemilahan dan pengikisan terhadap butir-butir sedimen akan memberi berbagai macam bentuk dan sifat terhadap batuan sedimen. 4. Pengendapan Pengendapan terjadi bilamana arus/gaya mulai menurun hingga berada di bawah titik daya angkutnya. Ini biasa terjadi pada cekungan-cekungan, laut, muara sungai, dll. 5. Kompaksi Kompaksi terjadi karena adanya gaya berat/gravitasi dari material-material sedimen sendiri, sehingga volume menjadi berkurang dan cairan yang mengisi pori-pori akan bermigrasi ke atas. 6. Lithifikasi dan Sedimentasi Bila kompaksi meningkat terus menerus akan terjadi pengerasan terhadap material - material sedimen. Sehingga meningkat ke proses pembatuan (lithifikasi), yang disertai dengan sementasi dimana material-material semen terikat oleh unsur - unsur/mineral yang mengisi pori-pori antara butir sedimen. 17 7. Replacement dan Rekristalisasi Proses replacement adalah proses penggantian mineral oleh pelarutanpelarutan kimia hingga terjadi mineral baru. Rekristalisasi adalah perubahan atau pengkristalan kembali mineral-mineral dalam batuan sedimen akibat pengaruh temperatur dan tekanan yang relatif rendah. 8. Diagenesis Diagenesis adalah perubahan yang terjadi setelah pengendapan berlangsung, baik tekstur maupun komposisi mineral sedimen yang disebabkan oleh kimia dan fisika. Secara kimia dan organik, batuan sedimen terbentuk oleh proses-proses kimia dan kegiatan organisme atau akumulasi dari sisa skeleton organisme. Sedimen kimia dan organik dapat terjadi pada kondisi darat, transisi, dan lautan, seperti halnya dengan sedimen mekanik (Simalango A., 2010). Berdasarkan asal dan sumbernya, sedimen yang dijumpai di dasar lautan dibedakan menjadi empat yaitu : 1. Lithougenus sedimen yaitu sedimen yang berasal dari erosi pantai dan material hasil erosi daerah dataran tinggi. Material ini dapat sampai ke dasar laut melalui proses mekanik, yaitu tertransport oleh arus sungai dan arus laut kemudian akan terendapkan jika energi yang mengalir telah melemah. 2. Biogeneuos sedimen yaitu sedimen yang bersumber dari sisa - sisa organisme yang hidup seperti cangkang dan rangka biota laut serta bahan-bahan organik yang mengalami dekomposisi. 18 3. Hidreogenous sedimen yaitu sedimen yang terbentuk karena adanya reaksi kimia di dalam air laut dan membentuk partikel yang tidak larut dalam air laut sehingga akan tenggelam ke dasar laut, sebagai contoh dari sedimen jenis ini adalah magnetit, phosphorit dan glaukonit. 4. Cosmogerous sedimen yaitu sedimen yang berasal dari berbagai sumber dan masuk ke laut melalui jalur media udara/angin. Sedimen jenis ini dapat bersumber dari luar angkasa, aktifitas gunung api atau berbagai partikel darat yang terbawa angin. Material yang berasal dari luar angkasa merupakan sisasisa meteorik yang meledak di atmosfir dan jatuh di laut. Sedimen yang berasal dari letusan gunung berapi dapat berukuran halus berupa debu vulkanik, atau berupa fragmen-fragmen aglomerat. Sedangkan sedimen yang berasal dari partikel di darat dan terbawa angin banyak terjadi pada daerah kering dimana proses tersebut dominan namun demikian dapat juga terjadi pada daerah subtropis saat musim kering dan angin bertiup kuat. Dalam hal ini umumnya sedimen tidak dalam jumlah yang dominan dibandingkan sumber-sumber yang lain. (Widada S., 2002). Dalam suatu proses sedimentasi, zat - zat yang masuk ke laut berakhir menjadi sedimen. Dalam hal ini zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi sepanjang kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat tersebut melayang - layang di dalam laut. Setelah mencapai dasar lautpun, sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut dalam mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia antara butir - butir mineral dan air laut sepanjang perjalannya ke dasar laut dan 19 reaksi tetap berlangsung penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara butiran mineral (Supangat dan Muawanah, 1998). Distribusi Sedimen Laut Sedimen yang masuk ke dalam laut dapat terdistribusi pada : 1. Daerah perairan dangkal, seperti endapan yang terjadi pada paparan benua (Continental Shelf) dan lereng benua (Continental Slope). Dijelaskan oleh Hutabarat (1985) dan Bhatt (1978) bahwa Continental Shelf adalah suatu daerah yang mempunyai lereng landai kurang lebih 0,4% dan berbatasan langsung dengan daerah daratan, lebar dari pantai 50 – 70 km, kedalaman maksimum dari lautan yang ada di atasnya di antara 100 – 200 meter. Continental Slope adalah daerah yang mempunyai lereng lebih terjal dari continental shelf, kemiringannya antara 3 – 6 %. 2. Daerah perairan dalam, seperti endapan yang terjadi pada laut dalam. Endapan Sedimen pada Perairan Dangkal. Pada umumnya Glacial Continental Shelf dicirikan dengan susunan utamanya campuran antara pasir, kerikil, dan batu kerikil.Sedangkan Non Glacial Continental Shelf’endapannya biasanya mengandung lumpur yang berasal dari sungai. Di tempat lain (continental shelf) dimana pada dasar laut gelombang dan arus cukup kuat, sehingga material batuan kasar dan kerikil biasanya akan diendapkan. Sebagian besar pada Continental slope kemiringannya lebih terjal sehingga sedimen tidak akan terendapkan dengan ketebalan yang cukup tebal. Daerah yang miring pada permukaannya dicirikan berupa 20 batuan dasar (bedrock) dan dilapisi dengan lapisan tanah halus dan lumpur. Kadang permukaan batuan dasarnya tertutupi juga oleh kerikil dan pasir ( Febri U, 2009). Batuan sedimen dapat dikelompokkan pada beberapa jenis berdasarkan cara dan proses pembentukannya yaitu (Prothero et al., 1999) : 1. Terrigenous (Detrital atau Klastik). Batuan sedimen klastik merupakan batuan yang berasal dari suatu tempat yang kemudian diangkut dan diendapkan pada suatu cekungan. Contoh batuan Terrigenous adalah konglomerat atau breksi, batu pasir, batu lanau dan lempung. 2. Sedimen kimiawi/biokimia (Chemical/Biochemical). Batuan sedimen kimiawi atau biokimia adalah batuan hasil pengendapan dari proses kimiawi suatu larutan dan organisme bercangkang yang mengandung mineral silika atau fosfat. Contoh batuan sedimen komiawi adalah evaporit, batuan sedimen karbonat (batu gamping dan dolomit), batuan sedimen bersilika (rijang) dan endapan organik (batubara). 3. Batuan volkanoklastik (Volcanoclastic Rocks). Batuan volkanoklastik berasal dari aktivitas gunung berapi. Debu dari aktivitas gunung berapi akan mengendap seperti sedimen. Adapun kelompok batuan volkanoklastik adalah batu pasir tufa dan aglomerat. Logam berat dapat terakumulasi dalam lingkungan terutama dalam sedimen karena dapat terikat dengan senyawa organik dan anorganik melalui proses adsorpsi dan pembentukan senyawa kompleks (Forstner and Prosi, 1987). 21 Akumulasi logam berat ke dalam sedimen dipengaruhi oleh jenis sedimen, dimana kandungan logam berat pada lumpur > lumpur berpasir > berpasir (Korzeniewski and Neugebauer, 1991). Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahan - bahan organik, daya larut logam berat akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap. Logam berat seperti Zn, Cu, Cd, Pb, Hg dan Ag akan sulit terlarut dalam kondisi perairan yang anoksik. Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Kandungan logam berat pada sedimen umumnya rendah pada musim kemarau dan tinggi pada musim penghujan. Penyebab tingginya kadar logam berat dalam sedimen pada musim penghujan kemungkinan disebabkan oleh tingginya laju erosi pada permukaan tanah yang terbawa ke dalam badan sungai, sehingga sedimen dalam sungai yang diduga mengandung logam berat akan terbawa oleh arus sungai menuju muara dan pada akhirnya terjadi proses sedimentasi (Bryan, 1976). Mengendapnya logam berat bersama-sama dengan padatan tersuspensi akan mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan juga perairan sekitarnya Jika kapasitas angkut sedimen cukup besar, maka sedimen di dasar perairan akan terangkat dan terpindahkan. Sesuai teori gravitasi, apabila partikulat memiliki 22 massa jenis lebih besar dari massa jenis air maka partikulat akan mengendap di dasar atau terjadi proses sedimentasi. Menurut Bernhard (1981) konsentrasi logam berat tertinggi terdapat dalam sedimen yang berupa lumpur, tanah liat, pasir berlumpur dan campuran dari ketiganya dibandingkan dengan yang berupa pasir murni. Hal ini sebagai akibat dari adanya gaya tarik elektro kimia partikel sedimen dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme. Darmono (2001) logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan logam diabsorpsi darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas fisiologis (Connel dan Miller, 1995). C. Logam Berat Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai densitas > 5 g/cm3 (Hutagalung dan Setiapermana,1994). Namun pada kenyataannya dalam pengertian logam berat ini, dimasukkan pula unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat berbahaya seperti logam berat sehingga jumal seluruhnya mencapai 40 jenis. Selain itu logam berat ini mempunyai respon biokimia khas pada organisme hidup (Kusnoputranto, 1996). 23 Karakteristik lainnya dari kelompok logam berat adalah sebagai berikut: 1. Memiliki spesifikasi gravitasi yang sangat besar (lebih dari 4). 2. Mempunyai nomor atom 22 - 23 dan 40 - 50 serta unsur laktanida dan aktinida. 3. Mempunyai respon biokimia yang khas (spesifik) pada organisme hidup. Semua logam berat dapat dikatakan sebagai bahan beracun yang akan meracuni makhluk hidup. Sebagai contoh logam berat air raksa (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), dan krom (Cr). Namun demikian, meskipun semua logam berat dapat mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari logam - logam berat tersebut dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam jumlah yang sangat kecil/sedikit. Tetapi apabila kebutuhan yang sangat kecil tersebut tidak terpenuhi dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan makhluk hidup. Karena tingkat kebutuhan yang sangat dipentingkan, maka logam - logam tersebut juga dinamakan sebagai logam - logam esensial tubuh. Bila logam - logam esensial yang masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan, maka berubah fungsi menjadi racun. Contoh dari logam berat esensial ini adalah tembaga (Cu), seng (Zn), dan nikel (Ni) (Pusarpedal-Bapedal, 1998). 1) Logam berat Pb dan Co dalam perairan Keberadaan logam - logam dalam badan perairan dapat berasal dari sumber alamiah dan dari aktifitas manusia. Sumber alamiah masuk ke dalam perairan bisa dari pengikisan batuan mineral. Di samping itu partikel logam yang ada di udara, karena adanya hujan dapat menjadi sumber logam dalam perairan. Adapun logam 24 yang berasal dari aktifitas manusia dapat berupa buangan industri ataupun buangan dari rumah tangga. Kelarutan dari unsur - unsur logam dan logam berat dalam badan perairan dikontrol oleh derajat keasaman air, jenis dan konsentrasi logam dan khelat serta keadaan komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks. Logam - logam di perairan akan bereaksi dengan ligan - ligan. Ligan ini biasanya mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi logam. Sehingga biasanya terjadi kompetensi diantara ligan - ligan tersebut untuk membentuk senyawa kompleks. Sementara untuk logam - logam seperti Pb (II), Zn(II), Cd (II) dan Hg (II), mempunyai kemampuan untuk membentuk kompleks sendiri. Logam-logam tersebut akan mudah membentuk kompleks dengan ion – ion klorida dan atau sulfat, pada konsentrasi yang sama dengan yang ada di air laut. Keadaan logam di perairan juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara air dengan sedimen. Keadaan ini terutama sekali terjadi pada bagian dasar perairan. Pada dasar sungai ion - ion logam dan kompleksnya yang terlarut dengan cepat akan membentuk partikel - partikel yang lebih besar apabila terjadi kontak dengan partikulat yang ada dalam badan perairan. Umumnya logam - logam yang terdapat dalam tanah dan perairan dalam bentuk persenyawaan, seperti senyawa hidroksida, oksida, karbonat dan sulfida. Senyawa - senyawa ini sangat mudah larut dalam air. Namun pada perairan yang mempunyai derajat keasaman mendekati normal atau pada kisaran pH 7 - 8, kelarutan dari senyawa ini cenderung stabil. Kenaikan derajat asam pada badan perairan biasanya diikuti 25 dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa - senyawa logam tersebut. Perubahan tingkat kestabilan dari larutan tersebut biasanya terlihat dalam bentuk pergeseran senyawa. Umumnya pada derajat keasaman yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel yang berada pada badan perairan. Selanjutnya persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel yang berada dalam badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur. 2) Toksisitas Logam Pb dan Co Berdasarkan toksisitasnya, Darmono (1995) menggolongkan logam berat ke dalam tiga golongan, yaitu : 1. Hg, Cd, Pb, As, Cu dan Zn yang mempunyai sifat toksik yang tinggi, 2. Cr, Ni dan Co yang mempunyai sifat toksik menengah 3. Mn dan Fe yang mempunyai sifat toksik rendah (Connel dan Miller, 1995; Siaka, 1998). Toksisitas logam berat sangat dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi lingkungan. Beberapa kasus kondisi lingkungan tersebut dapat mengubah laju absorbsi logam dan mengubah kondisi fisiologis yang mengakibatkan berbahayanya pengaruh logam. Manusia sebagai makhluk hidup memerlukan beberapa logam seperti mangan, besi, tembaga dan seng dalam jumlah yang sangat kecil. Logam - logam ini sering juga disebut logam esensial. 26 Pada umumnya logam berat yang terakumulasi pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi makhluk hidup di perairan, tetapi oleh adanya pengaruh kondisi yang akuatik yang bersifat dinamis seperti perubahan pH akan menyebabkan logam yang terendapkan dalam sedimen terionisasi ke perairan. Hal inilah yang merupakan bahan pencemar dana akan memberikan sifat toksik terhadap organisme yang hidup bila ada dalam jumlah berlebih dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut. Pallar (1994) mengungkapkan bahwa akumulasi logam berat Pb pada tubuh manusia yang terus menerus dapat mengakibatkan anemia, kemandulan, penyakit ginjal, kerusakan syaraf dan kematian. Sedangkan toksisitas akut Co dapat menyebabkan iritasi paru-paru (pneumonia), asma dan sesak nafas. Gejala yang ditimbulkan dari keracunan oleh logam kobalt (Co) antara lain mual, muntah, dan efek serius pada jantung. Timbal dalam bentuk anorganik dan organik memiliki toksitas yang sama pada manusia. Misalnya pada bentuk organik seperti tetraetil-timbal dan tetrametiltimbal (TEL dan TML). Timbal dalam tubuh dapat menghambat aktivitas kerja enzim. Namun yang paling berbahaya adalah toksitas timbal yang disebabkan oleh gangguan absorbsi kalsium Ca). Hal ini menyebabkan terjadinya penarikan deposit timbal dari tulang tersebut (Darmono, 2001). Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing alloys. Kadang - kadang terdapat dalam bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil timbal (TAL) (Iqbal dan Qadir, 1990). 27 Timbal adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme toksitasnya dibedakan menurut beberapa organ yang dipengaruhinya, yaitu sebagai berikut : a. Sistem hemopoeitik : timbal akan mengahambat sistem pembentukan hemoglobin sehinggamenyebabkan anemia, b. Sistem saraf pusat dan tepi : dapat menyebabkan gangguan enselfalopati dan gejala gangguan syarap perifer, c. Sistem ginjal : dapat menyebabkan aminoasiduria, fostfaturia, gluksoria, nefropati, fibrosis dan atrofi glomerular, d. Sistem gastro-intestinal : dapat menyebabkan kolik dan konstipasi, e. Sistem kardiovaskular : menyebabkan peningkatan permeabelitas kapiler pembuluh darah, f. Sistem reproduksi : dapat menyebabkan kematian janin pada wanita dan hipospermi dan teratospermia, g. Sistem endokrin : mengakibatkan gangguan fungsi t bagi keberadaan timbal tiroid dan fungsi adrenal (Darmono, 2001). Di perairan, timbal ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kadar timbal dalam air relatif sedikit. Bahan bakar yang mengandung timbal juga memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal dalam air (Effendi, 2003). Kobalt termasuk unsur renik yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan reproduksi tumbuhan dan hewan. Bersama dengan ion logam lainnya, misalnya tembaga, seng, besi dan magnesium, kobalt dibutuhkan oleh enzim sebagai koenzim yang 28 berfungsi untuk mengikat molekul substrat (Effendi, 2003). Akan tetapi ion logam ini dapat menggantikan ion logam tertentu yang berfungsi sebagai kofaktor dari suatu enzim, sehingga dapat menurunkan fungsi enzim tersebut bagi tubuh (Darmono, 2001). Unsur radioaktif kobal secara komersial digunakan dalam terapi pengobatan dan industri plastik serta makanan. 60Co digunakan untuk radioterapi pada pasien penderita kanker, pembuatan plastik dalam proses polimerisasi, dan iradiasi makanan (ATSDR, 2004). Dalam ATSDR (Agency for Toxic Substances and Disease Registry) (2004) batas-batas konsentrasi kobal yang membahayakan bagi kesehatan manusia telah ditetapkan oleh beberapa lembaga antara lain : 1. USEPA (Environmental Protection Agency) menetapkan batas maksimal konsentrasi kobal dalam air minum adalah 0,5 mg/L. 2. OSHA (The Occupational Health and Safety Administration) menetapkan batas maksimal bagi pekerja yang terpapar dengan kobalt secara langsung adalah 0,1 mg/m3 selama 8 jam kerja sehari dan 40 jam kerja selama 1 minggu. 3. The Nuclear Regulatory Commission menetapkan batas maksimal konsentrasi kobal radioaktif di ruang kerja adalah 7 x 10-8 μCi/mL untuk 60Co. 3) Karakteristik logam Pb dan Co a. Timbal (Pb) Pb merupakan salah satu logam yang termasuk dalam unsur golongan utama, yaitu golongan IV A. Timbal murni adalah logam yang berwarna abu-abu, mudah ditempa dan berat (BA=207,2). Dikenal tiga buah isotop dari Pb yaitu unsur 29 radioaktif Uranium (BA=206), Thromium (BA=208) dan Actinium (BA=207). Pb dapat larut dalam asam nitrat encer, tidak dapat larut dalam air, dapat melarut dalam secara perlahan dalam air dengan penambahan asam lemah. Pb merupakan salah satu unsur yang tahan terhadap korosi, relatif tidak dapat tembus oleh cahaya radiasi serta tidak mudah menyala (Svehla, 1985) Beberapa sifat fisika Pb dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat-sifat fisika Timbal (Pb) (Anonim 1, 2010). Nomor atom Densitas (g/cm3) Titik lebur (0C) Titik didih (0C) Kalor difusi (kJ/mol) Kalor penguapan (kJ/mol) Kapasitas pada 250C (J/mol.K) Konduktivitas termal pada 300K (W/m K) Ekspansi termal 250C (µm/ m K) Kekerasan (skala Brinell=Mpa) 82 11,34 327,46 1,749 4,77 179,5 26,65 35,5 28,9 38,6 b. Kobalt (Co) Co merupakan salah satu unsur logam transisi golongan VIIB yang berwarna putih perak dan memiliki massa jenis 8,90 g/cm3 (Sunardi, 2006). Co merupakan logam berat yang memiliki karakteristik kimia sama dengan nikel, tetapi lebih mudah larut, kobal terdapat dalam bentuk bivalen atau trivalen. Ion kobalt (Co2+) lebih stabil, sedangkan ion kobaltik (Co3+) bersifat tidak stabil dan merupakan oksidator kuat (Effendi, 2003). 30 Beberapa sifat fisika dari kobalt dapat dilihat pada Tabel 2 Tebel 2. Sifat Fisik Logam kobalt (Co) (Anonim 2, 2010) Nomor atom Densitas (g/cm3) Titik lebur (0C) Titik didih (0C) Kalor fusi (kJ/mol) Kalor penguapan (kJ/mol) Kapasitas panas pada 25 0C (J/mol.K) Konduktivitas termal pada 300 K (W/m K) Ekspansi termal pada 25 0C (µm/m K) 27 15,14 1490 1,349 4,77 179,5 26,650 35,5 28,9 4) Kandungan logam berat dalam sedimen Sedimen terdiri dari beberapa komponen bahkan tidak sedikit sedimen yang merupakan pencampuran dari komponen-komponen tersebut. Adapun komponen itu bervariasi, tergantung dari lokasi, kedalaman dan geologi dasar (Korzeniewski et al., 1991). Pada saat buangan limbah industri masuk ke dalam suatu perairan maka akan terjadi proses pengendapan dalam sedimen. Hal ini menyebabkan konsentrasi bahan pencemar dalam sedimen meningkat. Berdasarkan The Ontario Ministry of The Environment baku mutu logam berat dalam sedimen adalah sebagai berikut : Tabel 3. Baku mutu kandungan logam berat dalam sedimen No. 1. 2. 3. Parameter Logam Pb Co Cr Baku Mutu (ppm) 47,82 – 161,06 50 460 - 1110 31 Tabel 4. Klasifikasi partikel sedimen menurut skala wenworth(Buchanan, 1984) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Partikel Boulder (batuan) Cobble (batuan bulat) Pebble (batu kerikil) Granule (butiran) Very coarse sand (pasir sangat kasar) Coarse sand (pasir kasar) Medium sand (pasir sedang) Fine sand (pasir halus) Very fine sand (pasir sangat halus) Silt (Lumpur) Clay (liat) Ukuran Partikel mm µm > 256 > 256x103 64-256 64x103--256x10 4,0-64 4000-64000 2,0-4,0 2000-4000 1,0-2,0 1000-2000 0,5-1,0 500-1000 0,25-0,5 250-500 0,125-0,25 125-250 0,0625-0,125 62,5-125 0,0039-0,0625 3,9-62,5 < 0,0039 < 3,9 Secara alamiah, kandungan logam berat dalam air adalah kurang dari 1 g/L. Menurut Pallar (1994) faktor - faktor yang mempengaruhi kelarutan logam berat dalam suatu badan air antara lain : 1. pH badan air Dalam lingkungan perairan, bentuk logam antara lain berupa ion bebas, pasangan ion organik, dan ion kompleks. Kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur. 2. Suhu air Kenaikan suhu air dan penurunan pH akan mengurangi adsorpsi senyawa logam berat pada partikulat. Suhu air yang lebih dingin akan meningkatkan adsorpsi logam berat ke partikulat untuk mengendap di dasar. Sementara saat suhu air naik, senyawa logam berat akan melarut di air karena penurunan laju 32 adsorpsi ke dalam partikulat. Logam yang memiliki kelarutan yang kecil akan ditemukan di permukaan air selanjutnya dengan perpindahan dan waktu tertentu akan mengendap hingga ke dasar, artinya logam tersebut hanya akan berada di dekat permukaan air dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian mengendap lagi. Hal ini ditentukan antara lain oleh massa jenis air, viskositas (kekentalan) air, temperatur air, arus air serta faktor lainnya. 3. Konsentrasi oksigen dalam badan air Pada daerah yang kekurangan oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahanbahan organik, daya larut logam berat akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap. Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Beberapa material yang terkonsentrasi di udara dan permukaan air mengalami oksidasi, radiasi ultraviolet, evaporasi dan polimerisasi. Jika tidak mengalami proses pelarutan, material ini akan saling berikatan dan bertambah berat sehingga tenggelam dan menyatu dalam sedimen. Logam berat yang diadsorpsi oleh partikel tersuspensi akan menuju dasar perairan, menyebabkan kandungan logam di air menjadi lebih rendah. Hal ini tidak menguntungkan bagi organisme yang hidup di dasar seperti kerang dan kepiting, partikel sedimen ini akan masuk ke dalam sistem pencernaannya (Ford, 1999). 33 D. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) 1) Prinsip Dasar Analisis Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom - atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang, bergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat energi eksitasi. Keberhasilan analisis ini bergantung pada proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonansi yang tepat. Temperatur nyala harus sangat tinggi. Ini dapat diterangkan dalam persamaan Boltzman : = [̵ ] Keterangan : Nj No K T Ej Pj dan Po : : : : : : Jumlah atom tereksitasi Jumlah atom pada keadaan dasar Tetapan Boltzman Temperatur absolute (K) Perbedaan energi tingkat eksitasi dan tingkat dasar Faktor satatik yang ditentukan oleh banyaknya tingkat yang mempunyai energi setara pada masing-masing kuantum. Ditinjau dari hubungan antara konsentrasi dan absorbansi, maka Hukum Lambert Beer dapat digunakan jika sumbernya adalah monokromatis. Pada SSA panjang gelombang absorbansi resonansi identik dengan garis - garis emisi yang 34 disebabkan keserasian transisinya. Untuk bekerja pada panjang gelombang ini diperlukan suatu monokromator celah yang menghasilkan lebar puncak sekitar 0.002 – 0,005 nm. Pada teknik SSA, diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang yang tepat sama pada proses absorbsinya. Dengan cara ini efek pelebaran puncak dapat dihindarkan. Sumber radiasi tersebut dikenal sebagai hollow cathode lamp. 2) Analisis Kuantitatif Pada dasarnya hubungan antara absorpsi atom dengan konsentrasi di dalam metode SSA dapat dinyatakan dengan hukum Lambert-Beer, yaitu secara matematik persamaannya adalah sebagai berikut: I= I e log Keterangan : I I = a. b. c A = a. b. c I : Interaksi cahaya yang datang (mula-mula) I : Interaksi cahaya yang ditransmisikan a : Absorpsotivitas, yang besarnya sama untuk sistem atau larutan yang sama (g/L) b : Panjang jalan cahaya atau tebalnya medium penyerap yang besarnya tetap untuk alat yang sama (cm) c : Konsentrasi atom yang mengabsorpsi A : Absorbansi = log Io/I 35 Dari persamaan di atas, nilai absorbansi sebanding dengan konsentrasi untuk panjang jalan penyerapan dan panjang gelombang tertentu. Ada dua cara untuk mengetahui konsentrasi cuplikan yang telah diketahui nilai absorbansinya yaitu: 1. Cara deret waktu dengan membandingkan nilai absorbansi terhadap Kurva kalibrasi dari standar - standar yang diketahui, 2. Cara penambahan standar dengan membandingkan konsentrasi dengan perpotongan grafik terhadap sumbu dengan konsentrasi dari data absorbansi. 3) Gangguan-gangguan pada Spektofotometer Serapan Atom (SSA) Menurut Ismono (1984) beberapa gangguan yang sering terjadi pada SSA adalah sebagai berikut : 1. Gangguan yang berasal dari matriks cuplikan, gangguan ini mengakibatkan mengendapnya unsur - unsur yang dianalisis sehingga jumlah atom yang mencapai nyala lebih sedikit dari pada yang sesuai dengan konsentrasi unsur yang bersangkutan dalam cuplikan. Jumlah atom yang mencapai nyala dipengaruhi oleh berbagai sifat fisik larutan, antara lain adalah tegangan permukaan, berat jenis, tekanan uap pelarut. Untuk mengatasi gangguan ini maka perlu diusahakan agar sifat fisik larutan cuplikan sama dengan larutan standar. 2. Gangguan kimia Gangguan ion disebabkan karena terhambatnya pembentukan atom-atom netral dari unsur yang analisis pada tingkat energi dasar, hal ini terjadi karena: 1. Pembentukan senyawa - senyawa yang yang bersifat refraktori seperti 36 Ca-fosfat, fosfat, sillikat, alumunat dan oksida dari logam alkali tanah dan Mg.untuk mengatasi gangguan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: a. Menggunakan nyala yang lebih tinggi suhunya, karena senyawa yang refraktori dapat terurai pada suhu yang tinggi. b. Penambahan unsur penyangga kepada cuplikan yang akan dianalisis. Unsur penyangga ini misalnya Sr atau La yang akan mengikat gugus yang mengganggu (aluminat, fosfat, silikat dan sebagainya). Sehingga unsur yang akan dianalisis tidak akan diikat oleh gugus ini. Dengan demikian unsur yang dianalisa dapat teratomisasi dengan sempurna meskipun di dalam nyala yang suhunya lebih rendah. c. Mengekstraksi unsur yang akan dianalisis, terutama cuplikan - cuplikan yang sangat kompleks. 3. Ionisasi atom pada tingkat dasar Ionisasi yang terjadi di dalam nyala ini akan menggangu pengukuran absorbansi atom - atom netral unsur yang akan dianalisis, karena ion suatu unsur mempunyai suatu spektrum serapan atom netral. Untuk mengurangi gangguan ini, suhu nyala yang digunakan harus serendah mungkin dimana atomisasi masih dapat berlangsung secara sempurna. Disamping itu juga ditambahkan unsur lain yang mempunyai potensial lebih rendah daripada unsur yang dianalisis. Contoh unsur penyangga adalah Sr dan La pada penempatan kalsium itu juga terdapat fosfat. 37 4. Gangguan oleh serapan bukan atom Gangguan ini berarti bahwa penyerapan cahaya dari lampu katoda berongga dan berukuran oleh atom - atom netral melainkan oleh molekul - molekul, hal ini terutama akan terjadi apabila konsentrasi cuplikan tinggi dan juga bila suhu nyala kurang tinggi. Cara mengatasi gaguan ini yaitu dengan menggunakan nyala api yang suhunya lebih tinggi dan mempercepat konsentrasi molekuler dari larutan cuplikan. 4) Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Berikut ini adalah gambar Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom Gambar 1. Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom Spektrofotometer Serapan atom memiliki komponen-komponen sebagai berikut (Slavin, 1987) a. Sumber Sinar Sumber radiasi Spektofotometer Serapan Atom (SSA) adalah Hallow Cathode Lamp (HCL). Setiap pengukuran dengan SSA harus menggunakan Hallow Cathode Lamp khusus misalnya untuk menentukan konsentrasi tembaga dari 38 suatu cuplikan, maka digunakan Hallow Cathode khusus untuk tembaga. Hallow Cathode akan memancarkan energi radiasi yang sesuai dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom. Hallow Cathode Lamp terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari unsur yang sama dengan yang akan dianalisis dan anoda yang terbuat dari tungsten. Dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan atom - atom logam katodanya akan teruapkan dengan pemercikan. Atom akan tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang tertentu. Diagram lampu katoda cekung dapat dilihat pada Gambar 2. Anode Fill Gas Ne or Ar (1-5 torr) Socket Hollow Cathode Lamp Glass Envelope Gambar 2. Diagram Lampu Katoda Cekung (Khopkar, 1990) Sumber radiasi lain yang sering dipakai adalah ”Electrodless Dischcarge Lamp” lampu ini mempunyai prinsip kerja hampir sama dengan Hallow Cathode Lamp (lampu katoda cekung), tetapi mempunyai output radiasi lebih tinggi dan biasanya digunakan untuk analisis unsur - unsur As dan Se, karena lampu HCL untuk unsur-unsur ini mempunyai signal yang lemah dan tidak stabil yang bentuknya dapat dilihat pada Gambar 3. 39 Gambar 3. Electrodless Dischcarge Lamp (Anonim 3, 2003) b. Sumber atomisasi Sumber atomisasi dibagi menjadi dua yaitu sistem nyala dan sistem tanpa nyala. Kebanyakan instrumen sumber atomisasinya adalah nyala dan sampel diintroduksikan dalam bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk aerosol. Aerosol biasa dihasilkan oleh nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray). Jenis nyala yang digunakan secara luas untuk pengukuran analitik adalah udara-asetilen dan nitrous oksidaasetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis yang sesuai untuk kebanyakan analit dapat ditentukan dengan menggunakan metode emisi, absorbsi dan juga fluorosensi. Diagram sumber atomisasi dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Sumber Atomisasi (Slavin, 1978) 40 1. Nyala udara asetilen. Biasanya menjadi pilihan untuk analisis mengunakan SSA (Spektrofotometer Serapan Atom). Temperatur nyalanya yang lebih rendah mendorong terbentuknya atom netral dan dengan nyala yang kaya bahan bakar pembentukan oksida dari banyak unsur dapat diminimalkan. 2. Nitrous oksida-asetilen. Biasanya digunakan untuk penentuan unsur-unsur yang mudah membentuk oksida dan sulit terurai. Hal ini disebabkan karena temperatur nyala yang dihasilkan relatif tinggi. Unsur-unsur tersebut adalah: Al, B, Mo, Si, So, Ti dan V. c. Monokromator Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh Hallow Cathode Lamp. d. Detektor Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka. 41 e. Sistem pengolah Sistem pengolah berfungsi untuk mengolah kuat arus dari detektor menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi data dalam sistem pembacaan. f. Sistem pembacaan Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau gambar yang dapat dibaca oleh mata. Adapun skema instrumentasi AAS dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5. Skema Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom (Syahputra, 2004; Azis, 2007) Keterangan : 1. Sumber sinar 2. Pemilah (Chopper) 3. Nyala 4. Monokromator 5. Detektor 6. Amplifier 7. Meter atau recorder 42 E. Validasi Metode Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Parameter validasi metode antara lain : a. Presisi (ketelitian) Presisi merupakan ukuran drajat keterulangan dari metode analisis yang memberikan hasil yang sama pada beberapa perulangan, dinyatakan sebagai koefisien variasi (RSD) dan simpangan baku (SD). Metode dengan presisi yang baik ditunjukan dengan perolehan koefisien variasi (RSD) < 2 %. Simpangan baku (SD) dan koefisien variasi (RSD) dapat ditentukan dengan persamaan berikut: SD = Keterangan : SD x n x (∑(x − x) ) n−1 : Standar Deviasi (simpangan baku) : Konsentrasi hasil analisis : Jumlah pengulangan analisis ∶ konsntrasi rata − rata hasil analisis RSD = x x 100 % 43 Keterangan : KV (RSD) : koefisien Variasi x : konsentrasi hasil analisis SD : Standar Deviasi b. Linearitas Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah varian sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Perlakuan matematik dalam pengujian linearitas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antara hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Dalam beberapa kasus, untuk memperoleh hubungan proporsional antara hasil pengukuran dengan konsentrasi analit, data yang diperoleh diolah melalui transformasi matematik terlebih dahulu sebelum dibuat analisis regresinya. Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang berbeda konsentrasinya antara 50 – 150% kadar analit dalam sampel. Di dalam pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0 – 200%. Jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel blanko. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linier : Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau –1 bergantung pada arah garis. Sedangkan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan.