BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, peneliti akan membahas teori terkait dua variabel penelitian yaitu self-control dan problematic mobile phone use. Kemudian bahasan mengenai definisi dan teori subjek yang akan digunakan dalam penelitian yaitu emerging adult serta kerangka berpikir dari kedua variabel. 2.1 Self-Control 2.1.1 Definisi Menurut Baumeister (2012) self-control merupakan kemampuan untuk menahan keinginan dan dorongan dalam diri sendiri. Self-control mengacu pada kapasitas untuk mengubah tanggapan sendiri, terutama untuk mengarahkan seseorang sesuai dengan standar seperti cita-cita, nilai-nilai, moral, dan harapan sosial, dan untuk mendukung mereka dalam mengejar tujuan jangka panjang (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Menurut Baumeister, Vohs & Tice (2007), selfcontrol dapat memungkinkan seseorang untuk menahan suatu response atau lebih, dengan demikian mereka bisa memunculkan response yang berbeda. Self-control memegang peranan penting dalam memahami sifat dasar dan fungsi dari self control. Biasanya self-control sering dibahas dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menunda kepuasan dan menilai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang perilaku (Mischel, Shoda, & Rodriguez, 1989). Menurut Baumeister et al. (1994) mengidentifikasi empat domain utama diri kontrol mengendalikan pikiran, emosi, impuls, dan kinerja-yang akan menjadi penting untuk disertakan dalam indeks keseluruhan kontrol diri. Tangney dan rekan (2004) menjelaskan bahwa, komponen utama dari self-control adalah suatu kemampuan untuk mengesampingkan atau mengubah respon di dalam diri seseorang, serta menghilangkan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri dari suatu tindakan yang dilakukan. Dengan demikian, pengendalian diri secara garis besar melibatkan suatu kemampuan untuk berubah dan beradaptasi yang baik antara diri sendiri dan dunia (Tangney et al., 2004). Self-control juga 7 8 bermain peran penting dalam aspek lain dari penyesuaian psikologis, seperti kecemasan, depresi, perilaku obsesif-kompulsif, dan keluhan somatik (Tangney et al., 2004). 2.1.2 Aspek-Aspek Self-Control Menurut Tangney, Baumeister, dan Boone (2004), terdapat 5 aspek selfcontrol yang dapat diukur, yaitu: 1. Self-Discipline Menilai tentang kedisiplinan diri dalam individu saat melakukan suatu. Hal ini berarti individu memfokuskan dalam tugas. Individu yang memiliki selfdiscipline mampu menahan dirinya dari hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasinya. 2. Deliberate/Non-Impulsive Menilai kecenderungan individu dalam melakukan suatu tindakan yang impulsive dengan pertimbangan yang baik, bersifat hati-hati, dan tidak tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan atau bertindak. 3. Healthy Habits Mengatur tentang kebiasaan atau pola hidup sehat bagi individu. Individu cenderung dengan healthy habits akan mampu menolak sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi dirinya meskipun hal tersebut menyenangkan bagi dirinya. Individu dengan healthy habits akan mengutamakan hal-hal yang memberikan dampak positif bagi dirinya meski dampak tersebut tidak diterima secara langsung 4. Work Ethic Menilai tentang regulasi diri dari etika individu dalam melakukan suatu aktivitas sehari-hari. Individu yang memili work ethics akan mampu menyelesaikan tugasnya tanpa dipengaruhi hal-hal yang ada diluar tugasnya. 5. Reliability Menilai kemampuan di dalam individu sendiri dalam pelaksanaan rencana jangka panjang dalam pencapaian tertentu. 9 2.1.3 Aspek-Aspek Keberhasilan dalam Self-Control Menurut Baumeister (2002), yang di dalam penjelasannya mengatakan bahwa keberhasilan kontrol diri ditentukan oleh 3 aspek yaitu: 1. Aspek Pertama, menyangkut hal-hal yang sesuai dengan standar, seperti (tujuan, hal ideal, dan norma). 2. Aspek Kedua, adalah memonitoring suatu perilaku dengan memantau perilaku (pemantauan perilaku). 3. Aspek yang Ketiga, adalah kapasitas untuk berubah, kontrol diri akan berjalan lebih baik apabila seseorang memiliki kapasitas untuk melakukan atau mengubah perilaku yang buruk menjadi perilaku yang lebih baik dari sebelumnya. Individu yang memiliki kontrol diri memiliki sudut pandang ideal dan norma dalam dirinya. Norma dan ideal dalam dirinya dijadikan suatu patokan dalam memilih suatu perilaku. Jika dia mempunyai suatu self-conrol yang tinggi, maka dia akan cenderung memonitoring perilaku dengan baik dan mengarahkan pada konsekuensi yang positif. Mereka akan mengarah kepada suatu healthy life, dan kesuksesan dalam hidupnya. Namun jika dia mempunyai suatu kontrol diri yang rendah dalam diri nya, maka dia akan memonitoring perilaku tersebut dengan sudut pandang yang tidak baik dan kearah negatif, seperti agresivitas, perilaku menyimpang, substance disorder dan lain-lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu self control yang tinggi sehingga dapat merubah suatu perilaku yang negatif ke arah yang positif. Self-control yang tinggi dapat merubah perilaku yang menyimpang menjadi perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku dan dapat mengontrol dirinya dalam perilaku yang tidak semestinya dilakukan. 2.1.4 Jenis-Jenis Self-Control Self-control terbagi atas dua yaitu self-control yang tinggi dan self-control yang rendah. Seseorang yang mempunyai self-control yang tinggi berarti memiliki kemampuan lebih baik untuk mengontrol pikiran mereka, pengaturan emosi dan mencegah suatu impuls mereka daripada orang yang memiliki self-control yang rendah (Baumeister, Bratslavsky, Muraven, & Tice, 1998). Mereka mengarah pada psychological well-being, sukses dalam akademik dan hubungan interpersonal yang 10 baik (W. Mischel, Shoda, & Peake, 1988; Shoda, Mischel, & Peake, 1990; Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Self-control yang tinggi berhubungan dekat dengan perilaku kondusif kearah yang sukses dan kehidupan yang sehat. Selain itu, self-control yang rendah biasanya dikaitkan dengan masalah sosial seperti tingkat yang lebih tinggi dari perilaku nakal dan agresif, prokratinasi, pembelian yang berakohol (Tremblay, Boulerice, Arsenault, & Niscale, 1995) serta afiliasi dari hal-hal yang menyimpang (McGloin & Shermer, 2009). Penelitian dari Tangney et al. (2004), membedakan kontrol diri dari dua jenis yaitu keadaan kontrol diri dan kontrol diri disposisional. Keadaan kontrol diri divariasikan dalam situasi dan waktu. Bukti empiris yang ditemukan menegaskan bahwa kemampuan orang untuk mengerahkan pengendalian diri rentan terhadap pengaruh situasional, termasuk usaha-usaha sebelumnya di kontrol diri (Baumeister et al, 1998;. Muraven & Baumeister, 2000), suasana hati (Fishbach & Labroo, 2007; Tice, Baumeister, Shmueli, & Muraven, 2007), kapasitas memori kerja (Hofmann, Gschwendner, Friese, Wiers, & Schmitt, 2008; Schmeichel, 2007), dan motivasi (Muraven, 2007). Kontrol diri disposisional dianggap stabil dalam situasi dan dari waktu ke waktu. Seseorang dengan kontrol diri yang tinggi lebih baik daripada seseorang yang mengontrol impuls mereka (Gottfredson & Hirschi, 1990; W. Mischel et al, 1996; Rothbart, Ellis, Rueda, & Posner, 2003). Perbandingannya seperti seseorang yang memiliki kontrol diri yang tinggi cenderung dapat menahan suatu hal yang negatif sepeerti penyalahgunaan zat kurang, psikopatologi, gangguan makan, fisik dan agresi verbal, menunjukkan penghambatan dari suatu emosi negatif yang besar, relasi yang baik (Kieras, Tobin, Graziano, & Rothbart, 2005, Tangney et al., 2004), serta seseorang dengan kontrol diri yang rendah ditunjukkan dengan kinerja yang buruk dan hal-hal yang negatif seperti, penundaan tugas, memiliki prestasi akademik yang rendah dibandingkan dengan kontrol diri yang tinggi (W. Mischel et al., 1988). Seseorang yang dewasa dengan memiliki kontrol diri yang rendah terlibat lebih sering dalam perilaku menyimpang dan mengarah kearah yang negatif dalam perilaku (Pratt & Cullen, 2000; Vazsonyi, Pickering, Junger, & Hessing, 2001). Pasal ini difokuskan pada implikasi dari perilaku yang dibentuk dispositional kontrol diri 11 2.1.5 Teknik-Teknik dalam Mengontrol Diri Skinner dan Vaughan (1983, dalam Feist dan Feist, 2010), mendiskusikan teknik-teknik yang dapa digunakan individu dalam melakukan self-control yakni: 1. Individu dapat menggunakan alat bantu seperti perkakas, mesin dan sumber finansial mereka untuk mengubah lingkungan mereka. Contohnya adalah ketika mereka berbelanja, mereka mengambil uang lebih untuk berbelanja agar memberikan dirinya pilihan melakukan belanja yang impulsive atau tidak 2. Manusia dapat mengubah lingkungannya sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku yang diiginkan. Contohnya, ketika individu berfokus pada sesuatu hal, misalnya seperti belajar mereka dapat mematikan perangkat teknologi nya seperti handphone, televise dan lain-lain yang dapat mengganggu. 3. Manusia dapat mengatur lingkungannya supaya dapat menghindari suatu stimulus yang tidak menyenangkan, hanya melakukan respon yang tepat. Contohnya, seorang wanita dapat mengatur jam wekernya supaya suaranya yang tidak menyenangkan hanya dapat dihentikan dengan turun dari tempat tidur dan mematikannya. 4. Manusia dapat menggunakan obat-obatan terutama alkohol, sebagai suatu melakukan kontrol diri. Contohnya, ketika mereka merasa tertekan dan mempunyai masalah, mereka bisa mengonsumsi obat penenang untuk membuat perilakunya lebih tenang 5. Manusia dapat melakukan suatu hal lain untuk menghindari berperilaku dengan cara yang tidak diinginkan. Contohnya, seseorang wanita atau laki-laki yang obsesif dapat menghitung pola yang diulang dalam kertas dinding untuk menghindari perilaku dengan cara yang tidak diinginkan. 2.2 Problematic Mobile Phone use 2.2.1 Definisi Menurut Bianchi & Phillips (2005), Problematic mobile phone use merupakan suatu masalah penggunaan mobile phone yang bisa dikaitkan dengan suatu perilaku kecanduan dan masalah penggunaan dari mobile phone dapat diprediksi dari aspek-aspek seperti extraversion, self-esteem, neuroticsm, jenis kelamin dan umur seseorang. Problematic mobile phone use juga dikenal sebagai mobile phone addiction atau compulsive mobile phone use merupakan suatu 12 masalah atau gangguan yang biasanya terdapat pada anak remaja ataupun remaja menuju dewasa di mana ditandai dengan perilaku seperti yang tidak menyenangkan seperti cemas ketika ponsel dalam keadaan mati (baterai habis) atau jaringan berada di luar jangkauan (Campbell, 2005). Istilah dalam problematic mobile phone use (MMPU), problematic cell phone use (PCPU) ataupun mobile phone abuse atau addiction digunakan untuk menggambarkan pola interaksi dengan ponsel yang memiliki karakteristik dengan perilaku kecanduan (Bianchi & Phillips, 2005). Menurut Bianchi & Phillips (2005), perilaku kecanduan menurut konsep terdahulu biasanya perilaku kecanduan identikan dengan obat-obatan atau alkohol dan banyak ilmuwan yang memperdebatkan konsep kecanduan yang menurut mereka pengertian kecanduan dapat dilebarkan lagi dan tidak terpatok dengan alkohol dan obat-obatan. Problematic mobile phone use dicirikan dengan perilaku kecanduan teknologi yang biasanya dapat dilabelisasi dengan behavioral addiction (Bianchi & Phillips, 2005). Menurut Bianchi & Phillips (2005), perilaku dalam penggunaan teknologi secara berlebihan merupakan suatu masalah dan dapat disimpulkan bahwa itu merupakan suatu perilaku kecanduan atau tidak, karena yang namanya suatu masalah penggunaan teknologi yang berlebihan dapat menjadi acuan awal dalam perilaku kecanduan dan dapat menjadi masalah dalam perilaku contohnya seperti problematic mobile phone use. Kecanduan juga diartikan dengan perilaku abnormal yang bergantung pada suatu objek atau aktivitas. Problematic Mobile Phone Use merupakan bentuk dari cyber disorder atau kecanduan cyber yang ditandai dengan perilaku seperti penggunaan ponsel yang terus menerus yang mengakibatkan kontraproduktif bagi kesehatan (LopezFernandez, Honrubia-Serrano, et al, 2014). Problematic mobile phone use telah di asosiasikan dengan perilaku yang termasuk dengan ketidakmampuan meregulasi satu penggunaan dari mobile phone, hasil dari banyaknya kosekuensi negatif dikehidupan sehari-hari dan termasuk symptom yang terikat, contoh dari kejadian sosial, serta masalah-masalah afektif di kehidupan seseorang (Pedrero, Rodr ́ıguez, Ruiz, 2012 dalam Lopez-Fernandez, Honrubia-Serrano, et al, 2014). Problematic mobile phone use melibatkan dari berbagai macam variasi yang diketahui memperkuat suatu mekanisme dari perilaku kecanduan teknologi seperti 13 Online Gaming Disorder (OGD) dan Internet Addiction (IA) (Foerster, et al., 2015). Dalam problematic mobile phone use dapat diukur dari frekuensi dan durasi dari total seseorang bermain ponselnya dan pemakaian mobile phone yang tidak jelas tujuan penggunaannya, telepon, frekuensi dari pengiriman sms ( berbentuk text message atau yang disebut SMS serta text message yang dilengkapi dengan menggunakan internet seperti WhatsApp). Lalu problematic mobile phone use dapat diukur dari pengguna profil dari mobile phone, penggunaan sehari-hari dan masalah penggunaan mobile phone. 2.2.2 Aspek-Aspek Problematic Mobile Phone Use Menurut Bianchi dan Phillip (2005), Problematic mobile phone use mempunyai lima aspek yang akan di ukur yaitu : 1. Tolerance Proses dimana meningkatnya dosis dari sebuah aktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai suatu efek yang sama. Seseorang yang mengalami pemakaian handphone yang berlebihan pastinya tidak akan berhenti menggunakan terus menerus sampai mereka merasa puas dan selalu meningkat terus dalam penggunaanya. 2. Escape from other problems Suatu perasaan dimana seseorang mengalihkan masalah atau kesepian dengan melarikan diri pada sesuatu yang menyenangkan. Seseorang yang mengalami masalah, biasanya akan lari ke suatu hal, contohnya seperti mobile phone. Dari penggunaan mobile phone, dia merasa tenang dengan menggunakan suatu mobile phone untuk lari dari masalahnya. 3. Withdrawal Suatu perasaan yang tidak menyenangkan atau efek fisik yang terjadi ketika aktivitas atau perilaku tertentu diberhentikan atau tiba-tiba dikurangi 4. craving Suatu perasaan dimana seseorang memiliki keinginan dari satu kebutuhan dalam menggunakan mobile phone untuk meringankan perasaan negatif yang dimilikinya. 14 5. negative life consequences Konsekuensi kehidupan negatif disebabkan oleh dampak mobile phone yang disebabkan oleh salah satu faktor secara tidak langsung seperti pengurangan waktu yang dialokasikan untuk kegiatan lain, kehilangan minat mereka, dan mengabaikan gangguan di bidang keuangan, keluarga atau pekerjaan. 6. Social Motivation Social motivation merupakan motivasi seseorang dan merupakan aspek yang berdasarkan literature dari extraversion. Aspek motivasi sosial ini merupakan tambahan dimensi dari problematic mobile phone use. 2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Problematic Mobile Phone Use Menurut penelitian Leung (2007 dalam Yuwanto, 2010), faktor- faktor yang mempengaruhi problematic mobile phone use atau mobil phone addict terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu : 1. Faktor Internal Faktor internal lebih melibatkan karakteristik dari individu, contohnya seperti, tingkat sensation seeking yang tinggi (individu yang memiliki tingkat sensation seeking yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami kebosanan dalam aktivitas sehari-harinya), self-esteem yang rendah, kepribadian ekstraversi yang tinggi, kontrol diri yang rendah, kebiasaan dalam menggunakan mobile phone yang tinggi, expectancy effect yang tinggi, dan kesenangan pribadi yang tinggi pada individu yang menyebabkan terjadi masalah dalam penggunaannya. 2. Faktor Situasional Faktor situasional lebih mengarah kepada penggunaan mobile phone sebagai sarana untuk membuat individu merasa nyaman secara psikologis ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman. Tingkat yang tinggi dalam stress dalam masalah pribadi ataupun akademik, kesedihan, kesepian, kecemasan, kejenuhan belajar, dan leisure boredom (tidak adanya kegiatan saat waktu luang) dapat menjadi penyebab masalah tersebut. 3. Faktor Eksternal Faktor yang berasal dari luar individu, seperti halnya paparan media tentang mobile phone dari segi fitur dan fasilitas serta lingkungan. 15 4. Faktor Sosial Mobile phone digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi dan menjaga kontak dengan orang lain. Faktor ini terdiri atas mandatory behavior dan connected presence yang tinggi. Mandatory behavior lebih mengarah pada perilaku yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan berinteraksi yang distimulasi atau didorong dari orang lain. Connected presence lebih didasarkan pada perilaku berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari dalam diri. 2.3 Emerging Adult 2.3.1 Definisi Emerging adult merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa yang terjadi pada akhir dua puluhan (Arnett, 2004). Transisi dari remaja ke dewasa ditentukan oleh standars budaya dan pengalaman (Santrock, 2006). Rentang usia untuk emerging adult adalah sekitar 18 sampai 25 tahun. Perkembangan emerging adult melibatkan eksperimen dan eksplorasi. Pada titik ini dalam perkembangannya, banyak individu yang masih menjajaki jalur karir mereka ingin mengikuti, apa yang mereka inginkan identitas untuk menjadi apa yang mereka inginkan, gaya hidup yang mereka inginkan (Santrock, 2006). Mengambil tanggung jawab merupakan suatu penanda penting dalam menandakan status dewasa bagi banyak individu. Satu studi yang baru menemukan bahwa peningkatan tanggung jawab adalah penanda status dewasa (Shulman & BenAtrzi, 2003). Pada penelitian lain, lebih dari 70% dari emerging adult mengatakan bahwa menjadi dan dewasa berarti menerima tanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan seseorang, memutuskan keyakinan atas diri sendiri, dan nilai-nilai serta membangun suatu hubungan dengan orang tua sebagai orang dewasa yang sama (Arnett, 1995) . Pada akhir remaja melalui usia awal dua puluhan, individu di usia dua puluhan akan mencapai status dewasa Ketika menjadi orang dewasa, mereka akan menerima tanggung jawab untuk diri mereka sendiri, mampu membuat keputusan independen, dan mendapatkan kemandirian finansial dari orang tua mereka (Arnett, 2000, 2004) . 16 2.3.2 Konsep dari Emerging Adult Menurut Arnet, (2004), emerging adult mempunyai 5 konsep utama yaitu : 1. The Age of Identity Explorations Dalam masa ini, dewasa muda masih mencari indentitas tentang dirinya yang seutuhnya. Fitur yang paling utama dalam pencarian identitas dewasa awal seperti mengeksplorasi kemungkinan kehidupan mereka di berbagai bidang, terutama dalam cinta dan pekerjaan. Dalam perjalanan menjelajahi kemungkinan cinta dan pekerjaan. Dewasa awal mengklarifikasi identitas mereka, yaitu, mereka belajar lebih banyak tentang siapa mereka dan apa yang mereka inginkan dari hidup. Dewasa awal muncul menjadi lebih mandiri daripada ketika mereka sebagai remaja dan sebagian besar dari mereka telah mandiri, tetapi mereka belum memasuki kestabilan. Dewasa awal lebih berfokus dalam menjalani pekerjaan dan cinta dan mereka belajar dari kegagalan dan kekecewaan. 2. The Age of Instability Dewasa muda seringkali tidak stabil dan berubah-ubah dalam pengambilan keputusan. Dewasa awal selalu melakukan perubahan dalam rencana yang dilakukan saat ekplorasi diri. Rencana awal yang dibuat oleh mereka tidak dijalankan dengan baik sehingga mereka membuat rencana baru. Perbaikan ini adalah konsekuensi alami dari eksplorasi mereka. Dengan melakukan perbaikan dalam rencana, mereka belajar sesuatu tentang diri mereka sendiri dan belajar dalam mengambil langkah menuju masa depan yang mereka inginkan. Ketidakstabilan dan eksplorasi berjalan seiring dalam dewasa awal. 3. The Self-Focused Age Dewasa awal memiliki fokus dengan cara mereka sendiri, namun keluarga dan orang lain membimbing mereka dengan baik. Dengan adanya berfokus pada diri mereka sendiri, mereka dapat mengembangkan keterampilan untuk hidup seharihari, mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang siapa mereka dan apa yang mereka inginkan di kehidupan, dan mulai membangun fondasi untuk kehidupan dewasa mereka. Tujuan dari berfokus pada diri sendiri adalah belajar untuk menjadi seseorang yang mandiri dan mereka melihatnya sebagai langkah 17 penting sebelum melakukan suatu komitmen untuk berhubungan dengan orang lain, cinta dan pekerjaan. 4. The Age of Feeling In-Between Saat usia mereka memasuki dewasa awal, kadang mereka masih bingung akan statusnya yang secara mereka sudah bukan lagi remaja namun mereka juga belum memasuki dewasa yang utuh. Di antara pembatasan antara masa remaja dan tanggung jawab dewasa , munculnya ketidakstabilan dalam dewasa. Mereka dikatakan dewasa, mereka harus bertanggung jawab atas diri sendiri, membuat keputusan yang independen serta independen secara finansial. Ketiga kriteria yang bertahap, bukan sekaligus. Konsekuensinya, dalam ketiga tahap ini, mereka masih belum bisa melakukan karena mereka masih di tahap ketidakstabilan status. Namun pada waktu akhir dua puluhan, pada saat itu mereka telah menjadi yakin bahwa mereka telah mencapai titik di mana mereka bisa menerima tanggung jawab, membuat keputusan sendiri, dan mandiri secara finansial. 5. The Age of Possibilities Emerging adult dalam usia ini cenderung memiliki harapan yang tinggi dan yang besar. Emerging adult lebih melihat suatu kearah kedepan dan membayangkan bahwa mereka akan memiliki kehidupan yang baik, pekerjaan yang baik , penikahan yang akan berlangsung seumur hidup dan penuh kasih sayang, dan mempunyai keluarga yang bahagia. Mereka tidak pernah membayangkan suatu masa depan yang buruk bagi mereka. Biasanya dalam emerging adult, mereka memiliki kesempatan untuk mengubah kehidupan mereka tanpa kontrol orang tua. Emerging adult membawa gambaran dari keluarga, seperti keluarga yang baik dan sehat ataupun keluarga yang bermasalah. Bagi mereka yang datang dari keluarga bermasalah, ini adalah kesempatan mereka untuk mencoba untuk meluruskan bagian dari diri mereka sendiri yang telah menjadi tidak baik. Bahkan bagi mereka yang berasal dari keluarga yang mereka anggap sebagai yang relatif bahagia dan sehat, muncul nya dewasa awal adalah kesempatan untuk mengubah diri mereka sendiri tidak hanya dari gambaran orang tua mereka, tetapi mereka membuat suatu keputusan yang mandiri dalam menjalani untuk menjadi seseorang yang mereka inginkan dan bagaimana mereka ingin 18 hidup. Dewasa muda melihat dunia sebagai suatu kemungkinan dalam menjalani kehidupan kedepan. 2.4 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Emerging Adult Pengguna Mobile Phone Self Control Problematic Mobile Phone Use Emerging Adult merupakan masa transisi remaja menuju dewasa dengan range umur 18-25 tahun (Arnett, 2004). Perkembangan emerging adult melibatkan eksperimen dan eksplorasi yang berasal dari masa remaja. Emerging adult berada tahap memasuki masa dewasa yang jauh dari orang tua. Menurut Arnett (2004), saat mereka hidup diluar jauh dari orang tua, mereka memiliki tanggung jawab dan sudah mengembangkan self control diri yang baik agar mereka dapat menghadapi tantangan diluar. Saat memasuki status dewasa biasanya perilaku negatif seseorang mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan seseorang yang sudah memasuki masa dewasa akan menjaga dan menyeimbangkan self-control dalam menahan suatu perilaku. (Hart 1992). Dapat dikatakan dari kesimpulan ini, bahwa emerging adult sudah memiliki kontrol diri yang baik dalam menahan suatu perilaku yang kearah negatif. Namun, masalah yang terjadi dikatakan oleh techniasia.com (2014), bahwa pecandu smartphone terbanyak berada pada rentan usia 18- 24 tahun. Faktanya, emerging adult banyak mengalami masalah dalam penggunaan mobile phone yang berlebihan dan mengarah kepada problematic mobile phone use. 19 Seseorang yang memiliki self control yang rendah dapat diindikasi bahwa seseorang tersebut memiliki kecenderungan problematic mobile phone use yang tinggi. Disini self control merupakan kapasitas dalam mengontrol suatu perilaku dan menahan suatu response serta menilai suatu konsekuensi jangka pendek dan panjang perilaku (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Self-control merupakan suatu kapasitas untuk mengubah tanggapan diri terutama untuk mengarahkan seseorang sesuai dengan standard an tujuan yang berlaku (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Akan tetapi, ketika individu tidak memiliki suatu self control dalam penggunaan mobile phone, dapat dikatakan individu memiliki self-control yang rendah. Self-control yang rendah adalah suatu ketidakmampuan untuk menahan godaan ketika individu memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan atau sesuatu yang menyimpang. Self-control yang rendah biasanya akan mengalami inability to control dalam penggunaan mobile phone mereka yang terus menerus. Setelah seseorang mengalami inability to control akan mudah mengarah pada suatu aspek seperti peningkatan aktivitas dalam penggunaan mobile phone (tolerance), lalu merasa hilang atau perasaan tidak menyenangkan ketika loss atau mengurangi aktivitas mobile phone (withdrawal) sampai mendapatkan suatu efek negatif dalam kehidupan mereka akibat penggunaan mobile phone yang berlebihan. Aspek-aspek merupakan ciri-ciri seseorang yang akan mengarah kepada problematic mobile phone use. Problematic mobile phone use merupakan suatu yang menggambarkan pola interaksi dengan ponsel yang memiliki karakteristik kecanduan dalam penggunaanya. Problematic mobile phone use terdiri dari aspek-aspek yaitu tolerance, withdrawal, escape from other problems, craving dan negatife life consequences. Menurut Billieux (2012), mengatakan bahwa problematic mobile phone use dikaitkan dengan suatu perilaku impulsivity yang digambarkan bahwa individu yang menggunakan telepon seluler terutama didorong oleh kurangnya kontrol diri dan regulasi emosi maladaptif. Perilaku impulsivity mengarah pada perilaku urgency, lack of perseverance dan lack of premeditation yang akan mepengaruhi kurangnya self control dalam pengambilan keputusan yang beresiko. Misalnya, seseorang tidak bisa menunda menggunakan telepon ketika mereka mengalami emosi yang kuat karena mereka tidak memiliki kontrol diri dalam situasi urgensi yang tinggi, sedangkan seseorang yang berlebihan menggunakan ponsel mereka karena mereka tidak memperhitungkan potensi 20 konsekuensi masa depan. Individu mengalami problematic mobile phone use juga ditandai dengan perilaku adiktif yang ditandai dengan inability craving to control (tidak bisa mengotrol suatu penggunaan mobile phone. Jika problematic mobile phone use tinggi dapat dikaitkan dengan self-control yang rendah, karena individu tersebut merasa impusivity dari dalam dirinya sehingga menyebabkan mereka terus menerus menggunakan mobile phone mereka. 2.5 Asumsi Penelitian Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti memiliki asumsi yaitu bila seseorang yang memiliki self-control yang rendah, maka kemungkinan problematic mobile phone use nya tinggi pada emerging adult di Jakarta.