studi kasus komunitas usaha bordir keluarga di Kecamatan Gebog

advertisement
BAB SEMBILAN
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan runtutan pengkajian dan pemaknaan serta
memahami pelaku komunitas pengusaha bordir di Desa Padurenan
Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus, dapat disimpulan sebagai berikut:
Pertama,
Gus-ji-gang
merupakan pengalaman spiritual
keagamaan (Islam) sebagai objektivitas atau konkretisasi cara bersikap
etis pada tata krama Jawa bermakna spiritual internal yang menjadikan
seseorang merasa dalam suatu tatanan keyakinan sebagai dasar cara
bersikap etik baik dalam hidup beragama (Islam) maupun sosial-budaya
yang mampu memtransformasi spiritualnya secara kompatibel dengan
dunia usaha, sehingga pengusaha akan mencapai kesuksesan sebagai
etika berbisnis baik bersifat individual (mempribadi) maupun komunal
(memasyarakat).
Hal itu menunjukkan pengejawantahan akulturasi antara
budaya Arab (agama Islam) dengan budaya Jawa (kearifan lokal) yang
dilakukan oleh Sunan Kudus sebagai “waliyyul ilmi” dan “wali
saudagar” dalam melaksanakan dakwah ajaran agama Islam yang
terkristalisasi sebagai nilai-nilai perilaku Gus-ji-gang. Penilaian
terhadap perilaku Gus-ji-gang memiliki makna dua sisi, yaitu di satu
sisi pandangan internal komunitas IKBK bordir Kudus sebagai ciri khas
serta pandangan ekternal untuk membedakan dengan komunitas lain.
Pemaknaan “gus”, “ji” dan “gang” adalah holistik dan koherensi,
sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya perilaku
masyarakat Kudus (khususnya komunitas usaha bordir) dalam
pengejawantahan perilaku nilai-nilai Gus-ji-gang bisa dimulai dari
kegiatan ”gang” pintar dagang supaya dapat memenuhi kebutuhan fisik
(sandang, pangan dan papan), kemudian baru kehidupan “gus’ dan “ji”.
325
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Artinya melakukan kegiatan dagang untuk memenuhi kebutuhan fisik
(sandang, pangan dan papan), kemudian baru memenuhi kebutuhan
aktualisasi diri dengan menunaikan ibadah haji/kaji. Namun dapat juga
sebaliknya yaitu melaksanakan nilai-nilai perilaku “gus” dan “ji’
barulah “gang” yaitu dengan menumbuhkan kesadaran diri dengan
berperilaku “bagus” dan “menunaikan ibadah haji” agar terbangun
kekuatan spiritualitas yang tinggi, justru memegang peranan penting
dalam memenuhi seluruh kebutuhan melalui kegiatan ekonomi
misalnya berdagang, membutuhkan sikap jujur, dipercaya, hubungan
timbal balik yang baik, dan bersyukur.
Komunitas pengusaha kecil bordir berbasis keluarga di Kudus di
dalam melakukan kegiatan ekonomi selalu didasarkan pada nilai-nilai
“gus” yang menekankan nilai-nilai hubungan sosial yang bagus dan
nilai “ji” didasarkan pada nilai-nilai spiritual atau nilai-nilai Ketuhanan
sebagai pengejawantahan ngaji dan haji/kaji. Sehingga dalam
melakukan kegiatan ekonomi pengusaha bordir Kudus selalu
mendasarkan nilai-nilai “Sak titahe (sesuai jalannya/kodratnya), pasrah
(berserah diri) ,rila (iklas), mati ora gowo bondo (meninggal tidak
membawa harta), sepi ing pamrih (tanpa minta imbalan), tuna sathak
bati sanak (rugi sedikit tetapi tambah saudara), rejeki soko sangkan
paran (rejeki berasal dari Allah), aja mitunani wong liya (jangan
merugikan orang lain).” Artinya etika Gus-ji-gang yang mewarnai
perilaku pengusaha Kudus dalam berdagang, bila mendapatkan
keuntungan yang berlebih dari hasil usaha, penggunaannya tidak
seluruhnya diinvestasikan dalam usaha tetapi justru sebagian dari
keuntungan akan digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan
sosial sebagai sarana untuk mencapai kebahagian spiritual misalnya
naik haji, sedekah, zakat, membantu saudara yang tertimpa musibah
atau kegiatan-kegiatan lain yang dapat menaikkan status sosialnya
seperti berhaji supaya nanti kalau meninggal masuk surga atau
berpenampilan maliter yang identik dengan berpakaian yang bagus,
rumah yang baik, kendaraan bagus atau sesuatu yang dapat menaikan
penampilan. Gus-ji-gang sebagai model yang ditawarkan peneliti
sebagai pola jiwa entrepreneurship yang mampu untuk mengatasi sikap
326
Penutup
kapitalisme yang menghalalkan segala cara mengejar keuntungankeuntungan individu dengan mengorbankan kepentingan sosial.
Kedua, menjadi kebiasaan atau habitus komunitas pengusaha
bordir di Kudus memiliki nilai-nilai sosial yang dihayati, dan tercipta
melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga
mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di
dalam diri manusia tersebut. Keyakinan dan sikap budaya Jawa dan
budaya Islam terakulturasi menjadikan komunitas pengusaha bordir
Kudus sangat kental dengan keyakinan tentang asal mula kehidupan
yang disebut sebagai sangkan atau “asal atau kelahiran” dan paran
dumadi (tujuan hidup).
Di samping memiliki sikap perilaku yang sangat kental dengan
keyakinan yang dianutnya, komunitas pengusaha bordir Kudus juga
memiliki etos kerja yang kuat dan disiplin tinggi. Etos kerja ini
diajarkan pertama kali oleh para orang tua kepada anaknya ketika
mereka sudah berumur akil baligh (menginjak dewasa). Nilai-nilai
yang ditanamkan orang tua secara terus-menerus kepada anaknya
terkait dengan kewajiban dalam mencari kehidupan (memenuhi
kebutuhan sehari-hari). Akhirnya menjadi habitus (kebiasaan). Orang
tua terus mendorong anaknya dengan memberikan nilai-nilai yang arif
serta memberikan contoh. Seperti ungkapan Gusti ora sare (Tuhan
tidak tidur artinya segala perilaku manusia diawasi Tuhan). Demikian
pula nilai-nilai keagamaan (Islam) diberikan orang tua kepada anakanaknya sejak kecil, misalnya anak-anak disamping mengikuti belajar
di sekolah formal (SD,SMP,SMA) tetapi setiap sore diwajibkan
mengikuti kegiatan keagamaan melalui pengajian yang diselengarakan
di masjid atau Taman Baca Al Qur’an. Demikian pula bagi orang
dewasa atau orang tua dalam masyarakat Kudus melakukan kegiatan
keagamaan Islam seperti pengajian, sholat berjamaah di masjid, ziarah
kubur, khaul, manaqiban. burdahan, terbangan dan lain-lain
merupakan ciri khas masyarakat Kudus dalam meningkatkan
internalisasi kehidupan keagamaannya yang dilakukan pada hari Selasa
kliwon, malam Jumat, atau hari Jumat siang maupun hari-hari lain,
327
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
sehingga bisa dikatakan di Kudus setiap hari pasti ada kegiatan
keagamaan (Islam).
Gus-ji-gang bagi komunitas pengusaha bordir Kudus yang
beragama Non Muslim telah dimengerti, dipahami dan pada gilirannya
mampu meningkatkan kehidupan spiritual yang baik sesuai dengan
agama yang dipeluknya dengan menumbuhkan toleransi yang tinggi.
Buktinya, kegiatan bisnis bordir yang dijalankan pengusaha non
Muslim di Kudus selalu memberikan kesempatan bagi karyawannya
untuk melakukan kegiatan ibadah pada setiap jam-jam melaksanakan
sholat dengan menghentikan kegiatan bisnis untuk sementara atau
setiap hari Jumat kegiatan bisnis ditutup.
Ketiga, Gus-ji-gang sebagai identitas karakter dan kepribadian
yang unggul masyarakat Kudus merupakan satu kesatuan kata “gus
(bagus rupa dan bagus akhlak)”, “ji (kaji atau pinter ngaji)” dan “gang
(pintar dagang) yang memiliki sifat holistik dan koherensi.” Konsep
”gus” dan “ji” yaitu beraklak baik dan melakukan pembelajaran dengan
mengaji atau pergi kaji/haji itu merupakan kekuatan membangun
“spiritualitas” yang memiliki nilai-nilai yang mempunyai keterhubungan hati dan pikiran seseorang dengan Tuhan, atau transenden.
Sebaliknya di sisi lain kata “gang” yaitu dagang yang identik dengan
rasionalitas yang memiliki parameter yang terukur berbicara
keuntungan, kerugian, transaksi.
Kekuatan spiritualitas yang dimiliki komunitas usaha bordir
Kudus dengan melakukan “gus” dan “ji” tersebut sebagai dasar
kekuatan-kekuatan transendensi untuk membentuk spirit dagang yang
tidak hanya mengekpresikan dalam keuntungan, transaksi, manajemen
tetapi juga mempersoalkan pelayanan, tanggung jawab sosial,
pengembangan, maupun keadilan . Ketiga karakter yaitu “gus”, “ji”, dan
“gang” secara harmonis melekat pada diri komunitas pengusaha bordir
Kudus, yaitu relegius yang memiliki etos kerja yang ulet dan kuat di
dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu dagang ala Kudus yang tidak
lepas dengan penempatan Sunan Kudus sebagai ”wali saudagar” dengan
kearifan lokalnya sebagai suatu rujukan dalam berperilaku dan
328
Penutup
berusaha, dalam batas-batas tertentu, merupakan sumber nilai bagi
masyarakat di Kudus yang umumnya Muslim yang taat dalam
beribadah dan ulet dalam berdagang memiliki status yang tinggi di
masyarakat. Hal ini bisa dimengerti jika pada masa lalu di Kudus
berkembang mitos larangan menikahkan anak gadis dengan pegawai
negeri karena pengusaha yang memiliki status sosial apalagi kalau
sudah berhaji. Namun sebaliknya sekarang, dengan adanya
perkembangan jaman, pilihan pekerjaan masyarakat Kudus lebih pada
pegawai negeri.
Pentingnya social capital dalam suatu komunitas pengusaha
bordir adalah kebaikan publik atau kebaikan bersama, yang berarti
keadaan ini tergantung pada good will (niat baik), sedangkan niat baik
tersebut dibangun masyarakat Kudus melalui beraklak baik (bagus) dan
kemampuan ngaji (pintar ngaji) yang mampu membangun spiritualitas
yang tinggi sebagai dasar berniat baik para pengusaha bordir dalam
melakukan perdagangan, sangat dibutuhkan untuk membentuk fungsi
struktural menjadi nilai dan norma kejujuran, saling mempercayai,
hubungan timbal balik kepada konsumen maupun sesama pengusaha
bordir, dan membangun jejaring menjadi hal yang penting dalam
menopang social capital di bisnis IKBK bordir sehingga terbangun
kinerja ekonomi yang unggul.
Keempat, kemajuan dan keterampilan teknis berbisnis yang
dimiliki komunitas pengusaha bordir tidak muncul secara tiba-tiba,
tetapi sangat tergantung pada proses perubahan dalam jangka panjang
dan bertahap dari perjalanan usaha yang dijalani secara tekun dari
waktu ke waktu. Penghayatan berusaha bordir tentu tidak akan sama
dengan yang dialami oleh anak sebagai penerus usaha, dengan ini maka
akan membawa konsekuensi bila dilakukan dengan inovasi,
mengembangkan daya kreativitas yang baik dan benar dapat
memajukan usaha tetapi bila tidak akan terancam kelangsungan
usahanya, karena anak memiliki nilai penghayatan yang berbeda dan
sistem orientasi nilai (usaha) yang tidak sama serta belum tentu sesuai
dengan orang tuanya.
329
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Melalui nilai-nilai etika berdagang yang baik yaitu
mengimplementasikan “gus” dan “Ji” dalam Gus-ji-gang merupakan
akulturasi budaya Jawa dan budaya Islam dalam berdagang pasti akan
memperoleh keuntungan yang berlimpah, meskipun tidak mesti kaya
harta (sugih bondo), yang pasti akan memperoleh kekayaan hati telah
menjalankan laku hidup yang luhur dan benar dan para pengusaha
IKBK bordir akan dapat memelihara keberlangsungan (sustainability)
usaha IKBK bordir karena dengan itu pengusaha bordir akan memiliki
jejaring usaha yang luas dan meningkatkan kepercayaan yang kuat dari
konsumen pelanggannya maupun konsumen baru serta agen-agen
pemasok bahan baku. Mengharapkan kinerja IKBK bordir tetap
berlangsung tidak cukup hanya dari pengusaha saja, tetapi peran
pemerintah sebagai institusi negara sebagai kendali utama dalam
penentuan berbagai kebijakan ekonomi masyarakat khususnya public
goods, seperti menyediakan modal dengan bunga murah maupun
pembinaan dari institusi yang terkait sehingga dapat memperbaiki
kinerja pengusaha IKBK bordir secara proporsional, memfasilitasi dan
memberikan pelayanan secara semestinya sehingga mendukung kinerja
pengusaha IKBK bordir, bahkan dukungan regulasi untuk melindungi
produk-produk kreatif yang dimiliki masing-masing daerah, seperti
Surat Edaran Gubenur Jawa Tengah No.065.5/001068 tanggal 27
Januari 2015 tentang penggunaan pakaian adat Jawa Tengah yang
isinya mewajibkan menggunakan Pakaian Adat Jawa Tengah pada hari
kerja/jam Dinas setiap tanggal 15 untuk setiap bulannya (lengkap
dengan atribut) mampu mendorong dan membangkitkan usaha bordir.
Berdasarkan kondisi empiris komunitas pengusaha bordir dapat
diketahui bahwa dengan perubahan jaman, perkembangan teknologi
dan informasi serta tekanan kapitalis global telah mengubah perilaku
konsumen maupun para pengusaha dalam menjalankan kegiatannya,
bahkan semakin nampak perilaku manusia dalam tata cara hidup yang
cenderung mengukur kebahagiaan masyarakat dari sudut materi
belaka. Peran kehidupan yang berlandasan pada kearifan lokal Gus-jigang, keselarasan sosial dan social capital mulai dipandang sebelah
mata belaka, sehingga pengaruhnya salah satunya pada kehidupan
330
Penutup
komunitas pengusaha bordir yang mulai meninggalkan produk bordir
yang memiliki keunggulan dan memiliki ciri khas Kudus serta
memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu “bordir Icik” mulai ditingggalkan
karena semakin kurangnya tenaga kerja yang memproduksi “bordir
icik”.
Penelitian tentang Gus-ji-gang dalam praktik bisnis akan dapat
memberikan kontribusi nyata guna ikut memecahkan berbagai
permasalahan pembangunan ekonomi, yang saat ini semakin kompleks
dan serius serta dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan
untuk mengembangkan IKBK bordir agar dapat memiliki daya saing
dan tetap mempertahankan kearifan lokal sebagai ciri khas bordir
Kudus, yaitu melalui: (a) Diperlukan dukungan dari Pemerintah
Propinsi/Daerah (Dinas Terkait) dalam menyediakan infrastruktur fisik
(sarana dan prasarana fisik) yang memadai dengan tuntutan
perkembangan fasilitas pelayanan, maupun dukungan infrastruktur
kelembagaan seperti pemberdayaan SDM melalui pendidikan formal
dan informal khususnya dalam bidang “bordir Icik”, peraturan daerah
yang secara proporsional memiliki keberpihakan pada term of trade
pengusaha IKBK bordir dan peningkatan daya kemampuan dalam
permodalan serta pemasaran. (b) Memahami Gus-ji-gang sebagai
habitus dasar kekuatan dagang Jawa di Kudus terhadap nilai-nilai
moral budaya Jawa tentang Gus-ji-gang dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari dengan melaksanakan: (1) Kebaikan tingkah laku sama
dengan kebagusan moral mengacu pada kata “gus” dikembangkan
pemahamannya melalui internalisasi sebagai proses pembelajaran
(learning)
lebih
konkritnya
Gus-ji-gang
sebagai
konsep
entrepreneurship model Kudus perlu dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan formal dan non formal. (2)Proses pembelajaran seperti
dimaksud pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan
menentukan ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifkan
melalui cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan
rukun kepada sesamanya baik bagi pandangan dunia atau sebagai
pendapat umum. Proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan
rukun ini searah maksudnya pada habitus sebagai penghimpunan
331
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kekuatan social capital perlu diterapkan secara nyata dalam kehidupan
sehari-hari yang dimulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan
tempat tinggal (3) Gus-ji-gang sebagai budaya kearifan yang bersifat
lokal sesuai dengan daerahnya merupakan salah satu warisan budaya
yang ada di masyarakat Kudus dan mutlak perlu diimplementasikan ke
dalam realitas kehidupan masyarakat Kudus baik masyarakat umum
maupun masyarakat birokrasi atau kekuasaan. Konsekuensinya seluruh
elemen masyarakat perlu melakukan berbagai langkah untuk
memasyarakatkan budaya tersebut agar masyarakat Kudus benar-benar
sesuai dengan nilai-nilai atau pesan-pesan budaya Gus-ji-gang.Maka
tindakan pemerintah Kabupaten Kudus dalam mengimplementasikan
pelaksanaan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang bertujuan
untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat Kudus, harus
mempertimbangkan etika, moral dan kemanusiaan dimasukkan dalam
berbagai kebijakan pembangunan dalam bentuk yang lebih konkrit
seperti dalam bentuk peraturan-peraturan atau Perda.
332
Download