111 BAB IV KEWENANGAN BADAN PERTANAHAN

advertisement
BAB IV
KEWENANGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM
PENERTIBAN TANAH TERLANTAR
4.1. Kewenangan Badan Pertanahan Nasional
4.1.1. Sumber-sumber Kewenangan Pemerintah
Kewenangan
merupakan
suatu
kekuasaan
hukum
penyelenggara
pemerintah dalam melaksanakan tindakan hukum publik. Suwoto Mulyosudarmo
dengan menggunakan istilah kekuasaan mengemukakan ada dua macam
pemberian kekuasaan, yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan
perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif
dibedakan antara delegasi dan mandat.1 Kekuasaan yang diperoleh secara atribusi
(atributie van macht) bersumber pada UUD atau Konstitusi melalui asas-asas
pembagian kekuasaan. Kekuasaan derivatif yang terdiri atas delegasi dan mandat
bersumber dari pelimpahan kekuasaan.
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa kewenangan itu diperoleh melalui
tiga (3) cara yaitu :
a. Atribusi adalah wewenang untuk membuat keputusan yang langsung
bersumber kepada Undang-undang dalam arti materiil. Dari pengertian
tersebut nampaknya kewenangan yang didapat melalui cara atribusi oleh
institusi pemerintah merupakan kewenangan asli.
b. Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh
pejabat pemerintahan kepada pihak lain dalam artian adanya perpindahan
dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegetaris).
c. Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan dalam artian
memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas
1
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.44
111
112
nama pejabat yang memberi mandat dan tanggung jawab ada pada
pemberi mandat, bukan merupakan tanggungjawab mandataris.2
Menurut Rapport sebagaimana yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon, menyatakan
bahwa “Atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit)
yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil”.3 Jadi
wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan suatu pembentukan
wewenang tertentu oleh suatu organ yang berwenang berdasarkan peraturan
Perundang-Undangan yang diberikan kepada organ tertentu. Wewenang yang
diperoleh secara atribusi menyebabkan munculnya suatu wewenang baru, dimana
wewenang tersebut sebelumnya tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang
bersangkutan.
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan bagian yang sangat
penting dalam Hukum Administrasi Negara, karena pemerintah baru dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperoleh. Keabsahan tindakan
pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum
yang berlaku sehingga bersifat sah. Kewenangan dapat dilihat pada konstitusi
negara yang memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga Negara
dalam menjalankan fungsinya.4
2
Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid),
Pro Justitia, Jakarta, h.91
3
Philipus M Hadjon, et al, 2011, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon, et al II), h.
11.
4
Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang
Pertanahan, Cet. Ke-1, Laksbang Justitia, Surabaya, h. 14.
113
Indroharto membedakan wewenang pemerintahan baru (legislator) yang
kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintah itu dibedakan antara
: original legislator dan delegated legislator.5 Original legislator yaitu badan
legislasi yang mempunyai kewenangan membentuk konstitusi dan Undangundang, sedangkan delegated legislator yaitu organ pemerintah yang berdasarkan
pada suatu Undang-undang membentuk suatu peraturan yang menciptakan
wewenang-wewenang pemerintahan tertentu kepada badan atau pejabat Tata
Usaha Negara. Jadi dapat dikatakan bahwa, dalam suatu wewenang yang
diperoleh secara atribusi, pembentukan wewenang atribusi dan penyebaran
wewenang utamanya ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar dan pembentukan
wewenang organ atau Pejabat Tata Usaha Negara didasarkan pada suatu Peraturan
Perundang-undangan.
Dalam artikel 10 : 3 Alegemen Wet Bestuursrecht, delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat
pemerintahan kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab
pihak lain tersebut, yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan
yang menerima wewenang disebut delegataris. Jadi dalam wewenang yang
diperoleh secara delegasi merupakan suatu bentuk pelimpahan wewenang yang
menimbulkan sautu pergeseran kompetensi dari pemberi wewenang (delegans)
kepada penerima delegasi (delegataris), sehingga pemberi wewenang (delegans)
tidak menggunakan lagi wewenang tersebut, sehingga tanggungjawab dan
5
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 65
114
tanggunggugat beralih kepada penerima delegasi (delegataris). Syarat-syarat
delegasi adalah :
1. Harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah diserahkan;
2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya
dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundangundangan;
3. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki
kepegawaian, tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans
berhak meminta penjelasan pelaksanaan wewenang tersebut;
5. Merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya bahwa delegans
memberikan intruksi tentang pengaturan wewenang tersebut.
Menurut Triepel, pengertian delegasi dibedakan dalam echte delegation
dan unechte delegation.6 Unechte delegation atau yang disebut dengan
Konservierende delegation merupakan suatu jenis pendelegasian dengan
menyerahkan suatu kompetensi tetapi pemangku kekuasaan yang asli sama
memperoleh wewenangnya seperti yang memperoleh kompetensi itu. Jadi dalam
pendelegasian jenis ini, bukan merupakan pendelegasian yang membebaskan
secara penuh kewenangan dari pemberi delegasi, melainkan hanya untuk
meringankan beban saja, namun dalam pendelegasian ini, walaupun pemberi
wewenang masih dapat menggunakan kewenangan seperti sediakala, penerima
wewenang dalam bertindak bukan atas nama pemberi wewenang, tetapi dalam
bertindak atas nama penerima delegasi sendiri. Sedangkan echte Delegation
(delegasi sesungguhnya) berarti suatu pelepasan dan suatu penerimaan
kompetensi.7 Ini berarti bahwa pemberi wewenang tidak lagi dapat menggunakan
wewenangnya, karena telah terjadi suatu penyerahan wewenang (pelepasan)
6
Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, et.al, 2004, Mandat, delegasi, Attribusi dan
Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 65.
7
Ibid, h. 67
115
kepada penerima wewenang. Dengan demikian dalam pendelegasian wewenang,
terjadi suatu pelepasan dan penerimaan wewenang yang didasarkan atas kehendak
dari pihak yang menyerahkan wewenang, sehingga pihak yang mendelegasikan
wewenang tidak dapat lagi menggunakan wewenangnya, sedangkan pihak yang
menerima pendelegasian wewenang dapat memperluas wewenang yang telah
didelegasikan tersebut.
Dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi oleh suatu organ atau
pejabat Tata usaha Negara, maka organ atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut
dapat mendelegasikan kembali wewenang tersebut kepada pejabat Tata Usaha
lainnya. Menurut Jum Anggriani, “jika kewenangan yang diperoleh melalui
delegasi dilimpahkan kepada badan/lembaga/pejabat TUN yang lebih rendah
untuk melaksanakan wewenang dan tanggungjawab atas namanya sendiri maka
badan/lembaga/pejabat TUN yang lebih rendah tersebut mendapat kewenagan
subdelegasi.”8 Contohnya : dari Menteri Dalam Negeri dilimpahkan kepada
Gubernur dan dari Gubernur dilimpahkan lagi kepada Kepala Dinas.
Indroharto menjelaskan bahwa : “subdelegasi dapat terjadi apabila
ditentukan
dalam
peraturan
dasarnya
bahwa
sang
delegataris
dapat
mendelegasikan lebih lanjut wewenang pemerintahan yang diperolehnya
berdasarkan delegasi itu kepada pejabat lainnya. Untuk subdelegasi ini secara
mutatis mutandis juga berlaku ketentuan-ketentuan mengenai delegasi pada
umumnya.”9
Sejalan dengan pendapat indorharto, H.D. van Wijk menegaskan bahwa :
8
Jum Anggriani,Op.cit, h.91.
Indroharto, Op.cit, h.67.
9
116
“De gewone vorm van delegatie is die, weararbij een is eerste instantie aan
een bestuursorgaan geattribueerde bestuursbevoegdheid door dit orgaan
wordt overgedragen aan een ander bestuursorgaan. Maar ook de
delegataris kan deze beveogdheid soms weer doorgeven; dan is er sprake
van subdelegatie. Voor subdelegatie gelden, mutatis mutandis, dezelfde
regels als voor delegatie.10 (bentuk delegasi yang biasa adalah bentuk,
dimana di dalam instansi pertama suatu wewenang pemerintah yang
dilambangkan kepada suatu lembaga pemerintahan diserahkan oleh lembaga
ini kepada lembaga pemerintahan yang lainnya. Namun, pihak yang
didelegasikan juga kadang-kadang bisa menyerahkan wewenang ini;
sehingga kita dapat berbicara tentang subdelegasi. Untuk subdelegasi belaku
mutatis mutandis, peraturan yang sama seperti untuk delegasi).
Jadi suatu wewenang pemerintah yang diperoleh secara delegasi dapat dilakukan
suatu pelimpahan kembali yang disebut dengan subdelegasi kepada pejabat
lainnya apabila ditentukan dalam peraturan dasarnya dan penerima subdelegasi
bertindak atas namanya sendiri.
Terkait dengan wewenang yang diperoleh secara mandat, dapat dilihat dari
pendapat Rosjidi Ranggawidjaja, dengan mengikuti pendapat Heinrich Triepel
sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun, yang berpendapat bahwa:
“Mandat merupakan opdracht/suruhan kepada suatu alat perlengkapan
(organ) untuk melaksanakan kompetensi sendiri maupun berupa tindakan
hukum oleh pemegang suatu wewenang dengan diberikan kekuasaan penuh
kepada suatu objek lain untuk melaksanakan kompetensi si pemberi mandat
atas nama si pemberi mandat”.11
Mandat itu dapat berupa opdracht (suruhan) pada suatu alat perlengkapan (organ)
untuk melaksanakan kompetensinya sendiri ataupun untuk melaksanakan
kompetensi yang dimiliki oleh pemberi mandat atas nama si pemberi mandat. Jadi
sumber wewenang yang diperoleh secara mandat, yaitu penerima mandat
(mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, dimana dalam
10
Mustamin Daeng Matutu, Op.cit, h. 80.
SF. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 163
11
117
hal ini penerima mandat bukan merupakan pihak lain dari pemberi mandat,
dengan kata lain biasanya terlihat dalam hubungan antara atasan dan bawahan.
4.1.2. Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Dalam Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Dalam penyelenggaraan negara, setiap tindakan pemerintah atau kebijakan
pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan. Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa “bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut, merupakan landasan konstitusional yang memberikan
kewenangan kepada penyelenggara pemerintahan dalam bidang pertanahan.
Rumusan Pasal tersebut, mengandung arti bahwa kewenangan mengelola dan
mengatur tanah dalam bidang hukum publik dalam hukum pemerintahan
merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana yang dikutip oleh Yudhi
Setiawan menjelaskan “Kekuasaan hukum terkait dengan wewenang dalam
bidang hukum publik terutama dalam hukum administrasi pemerintahan,
kekuasaan hukum menunjuk kepada wewenang Pemerintah Pusat dan diatur
dalam norma pemerintahan”.12 Hal tersebut berarti bahwa tindakan pemerintah
harus didasarkan pada kewenangan yang sah yang memiliki dasar hukum. Oleh
karena itu sebagai konsekuensi logis dan yuridis dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
12
Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan, Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing,
Malang, selanjutnya disebut Yudhi Setiawan (II), h. 10.
118
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka
diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 UUPA mengatur bahwa :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil
dan makmur.
Merujuk Pasal 2 UUPA, dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) fungsi
utama keagrariaan yang harus dijalankan oleh negara dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional, yaitu :
1.
Mengatur dan Menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
119
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.13
Sehingga dengan wewenang yang bersumber pada hak negara untuk menguasai
tanah harus dipergunakan untuk :
a. Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. Membahagiakan dan mensejahterakan rakyat;
c. Memerdekakan rakyat dari berbagai tekanan hidup; dan
d. Memantapkan kedaulatan, keadilan dan kemakmuran di kalangan
masyarakat luas.14
Menurut Sjachran Basah sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun
menyatakan bahwa, “Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan landasan
hukum yang memungkinkan administrasi negara melaksanakan tugas, fungsi dan
wewenang di bidang pertanahan”.15 Hal tersebut berarti bahwa diaturnya hak
menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung makna bahwa negara sebagai
tingkat tertinggi yang memiliki kewenangan dalam bidang pertanahan, dimana
negaralah yang memiliki kewenangan dan berhak mengatur penguasaan,
peruntukan, pemanfaatan dan penguasaan tanah. Kewenangan negara ini
merupakan suatu kewenangan asli atau yang disebut dengan kewenangan yang
diperoleh secara atribusi yang lansung bersumber pada Pasal 33 ayat (3) yaitu
13
Adrian Sutedi, 2006, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan serta berbagai
permasalahan, BP. Cipta Jaya, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), h. 12
14
SF. Marbun, et. al, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII
Press, Yogyakarta, h. 364
15
Ibid, h. 371
120
memberikan kewenangan tersebut kepada penyelenggara pemerintahan untuk
mengatur penguasaan, peruntukkan dan pemanfaatan tanah.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan dalam bidang pertanahan tersebut,
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk suatu Lembaga Pemerintahan
non Departemen yaitu Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga pemerintahan
yang mengurusi dan menangani bidang pertanahan. Dengan kata lain bahwa
segala urusan di bidang pertanahan menjadi wewenang Badan Pertanahan
Nasional yang dipimpin oleh seorang kepala, dan ini berarti adanya suatu
penyerahan wewenang dari Presiden kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional
untuk menangani urusan dalam bidang pertanahan. Sehingga ketentuan Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal
2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tersebut dijadikan landasan bagi
pemerintah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang di bidang
pertanahan, sehingga dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988,
tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 menetapkan bahwa:
Badan Pertanahan bertugas
membantu
Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan baik berdasarkan Undang-Undang
Pokok Agaria maupun peraturan Perundang-Undangan lain yang meliputi
pengaturan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak
tanah pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan
masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden.
Selanjutnya dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional,
121
maka diterbitkanlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2006 yang telah diganti dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63
tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional dengan menciptakan wewenangwewenang pemerintah dalam bidang pertanahan.
Presiden sebagai pemegang dan penyelenggara pemerintahan memiliki
kedudukan sebagai delegated legislator yaitu yang berdasarkan pada Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya Peraturan
Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga
keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013
tentang Badan Pertanahan Nasional, tidak menjelaskan secara tegas tentang
wewenang Badan Pertanahan Nasional, tetapi peraturan tersebut menguraikan halhal yang berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang
Badan Pertanahan Nasional menentukan bahwa : Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
2,
Badan
Pertanahan
Nasional
menyelenggarakan fungsi :
1.
2.
3.
4.
5.
perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan;
6. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7. pengaturan dan penetapan hak -hak atas tanah;
122
8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus;
9. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
12. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;
13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan;
15. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
16. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
17. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
18. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
19. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
20. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;
21. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang–undangan
yang berlaku.
Berdasarkan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional seperti yang diuraikan
di atas, terlihat bahwa Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas dan fungsi yang
bersifat administratif yaitu merumuskan kebijakan pertanahan baik yang
didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, Badan Pertanahan
Nasional merupakan lembaga pemerintah Non Departemen yang bertugas untuk
membantu presiden dalam pengelolaan keadminstrasian di bidang pertanahan
yang meliputi pengaturan penggunaan tanah, penguasaan tanah, pemilikan tanah
dan pemanfaatan tanah, pengukuran tanah, pendaftaran tanah, pegkajian dan
123
penanganan sengketa dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah-masalah
pertanahan.
Dalam rumusan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional tersebut,
secara
tersirat
memuat
wewenang
Badan
Pertanahan
Nasional
untuk
mengeluarkan berbagai peraturan dalam bidang pertanahan yang bersifat
mengatur yang diperoleh secara pendelegasian wewenang. Jadi dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional merupakan badan pemerintah dalam tingkat pusat
yang
diberikan
wewenang,
tugas,
fungsi
dan
tanggungjawab
untuk
menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang pertanahan.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional
di daerah, sebagai instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional membentuk
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013
tentang Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan
dibentuknya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 Tahun 2006 yang menetapkan bahwa “Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional, yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut Kanwil BPN,
adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada
di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan
nasional”. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) menetapkan bahwa “Kanwil BPN
dipimpin oleh seorang Kepala”.
124
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas untuk
melaksanakan fungsi dan tugas Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang
bersangkutan. Dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, menetapkan bahwa : Dalam
menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kanwil BPN
mempunyai fungsi :
1. penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka
pelaksanaan tugas pertanahan;
2. pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan
pemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataan
pertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat; serta
pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;
3. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkungan
Provinsi;
4. pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;
5. pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional
(SIMTANAS) di Provinsi;
6. pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;
7. pengkoordinasian pengembangan sumberdaya manusia pertanahan;
8. pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan
prasarana, perundangundangan serta pelayanan pertanahan;
Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia.
Susunan keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan
instansi terkait yang diatur oleh Kepala (Pasal 5 PP No. 11 Tahun 2010 ). Sebagai
tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No. 11 Tahun 2010 dikeluarkan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar. Panitia yang dimaksud Pasal 5 PP No. 11 Tahun
2010, dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 adalah Panitia C yang
terdiri dari Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi
125
dan penelitian tanah terindakasi terlantar. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Kepala
BPN No. 4 Tahun 2010, Susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :
Ketua
: Kepala Kantor Wilayah
Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan
Masyarakat, merangkap anggota
Anggota
: 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota
2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan
tanahnya
3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya.
4. Kepala Kantor Pertanahan.
Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar
adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah
Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan
berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang
terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan kewenangan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Adapun wewenang yang dimiliki oleh Panitia C, Kepala Kantor Wilayah
BPN, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik indonesia adalah sebagai
berikut :
A). Wewenang Panitia C
Berdasarkan Pasal 7 PP No. 11 Tahun 2010 dan Pasal 11 Peraturan Kepala
BPN No. 4 Tahun 2010 Panitia C memiliki wewenang :
126
1. Untuk melakukan Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi :
a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;
b. Mengecek buku tanah dan / atau warkah dan dokumen lainnya untuk
mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana dan
tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
c. Meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait,
dan Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi
keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan;
d. Melaksanakan pemeriksaan fisik;
e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada
peta pertanahan;
f. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
g. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
h. Melaksanakan sidang Panitia; dan
i. Membuat berita acara.
2. Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan Berita Acara
kepada Kepala Kantor Wilayah.
B). Wewenang Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional :
1. Memberikan peringatan kepada Pemegang Hak yang telah menelantarkan
tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan
oleh Panitia C. Berdasarkan Pasal 8 PP No. 11 Tahun 2010 dan Pasal 14
Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 dinyatakan :
(1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah
terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan
sekaligus
memberikan
peringatan
tertulis
pertama
kepada
Pemegang Hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya
sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya
atau sesuai izin / keputusan / surat sebagai dasar penguasaannya;
127
(2) Apabila
Pemegang
Hak
tidak
melaksanakan
peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah
memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang
sama dengan peringatan pertama;
(3) Apabila
Pemegang
Hak
tidak
melaksanakan
peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
memberikan peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama
dengan peringatan kedua.
2. Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah
terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (6) yang menyatakan
bahwa : Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Kepala Kantor Wilayah
mengusulkan
kepada
Kepala
untuk
menetapkan
tanah
yang
bersangkutan sebagai tanah terlantar.
C). Wewenang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk
membuat keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 PP No. 11
Tahun 2010 dan Pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010.
Dalam Pasal 9 PP No. 11 Tahun 2010 dan Pasal 19 Peraturan Kepala BPN
Tahun 2010 dijelaskan bahwa kepala menetapkan tanah terlantar terhadap tanah
yang diusulkan oleh kepala kantor wilayah. Putusan tersebut selain memuat
128
penetapan hapusnya hak tanah sekaligus memutuskan hubungan hukum serta
ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Dalam hal penertiban tanah terlantar tersebut dapat disimpulkan Badan
Pertanahan Nasional memperoleh kewenangan delegasi dari pemerintah
(Presiden). Ketentuan ini tersurat dalam Pasal 17 PP No. 11 Tahun 2010 yang
menyatakan bahwa : “Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan
tanah terlantar dilakukan oleh Kepala (dalam hal ini adalah Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia) dan hasilnya dilaporkan secara berkala
kepada Presiden”. Sedangkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional,
Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan
peruntukan tanah yang tergabung dalam panitia C adalah memperoleh
kewenangan subdelegasi dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia hal ini tercermin dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan susunan
keanggotaan panitia (dalam hal ini panitia C) terdiri dari unsur Badan Pertanahan
Nasional dan unsur terkait yang diatur oleh kepala (dalam hal ini Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia).
4.2. Mekanisme Dalam Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan
hukum dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah
untuk mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran.
Agar tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami
bahwa setiap hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban
dan atau larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
129
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya
untuk menggunakan tanahnya. Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10
UUPA menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu
hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Pasal 15 menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang,
badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu
dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.” Pemegang hak atas tanah
yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a
angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e yang menentukan semua hak atas
tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut
ditelantarkan.
Tanah hak milik, tanah hak guna usaha, tanah hak guna bangunan, hak
pakai, dan hak pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah tidak diusahakan,
tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan, sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya, atau ditelantarkan maka hak atas
tanahnya tersebut akan hapus dan tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara,
yang artinya tanah tersebut kembali menjadi tanah negara.
Secara yuridis hak atas tanah menjadi hapus jika dibatalkan oleh pejabat
yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya kewajiban tersebut
atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh pemegang hak yang bersangkutan. Lebih
130
lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat tersebut bersifat konstitutif,
dalam arti hak yang bersangkutan baru menjadi hapus dengan dikeluarkannya
surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-hak atas tanah primer, maka tanah
yang bersangkutan menjadi tanah negara.16
Dalam menata kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, pemerintah
diberikan kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap pemegang
hak yang menelantarkan tanahnya. Tindak pemerintahan dalam hukum
administrasi digolongkan menjadi dua golongan yaitu tindak pemerintahan
berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang berdasarkan
fakta (feitelijke handeling).
Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua
macam tindakan yaitu tindakan hukum privat dan tindakan hukum publik.
Tindakan hukum publik dibedakan menjadi dua yaitu tindakan hukum publik
bersegi satu atau sepihak dan tindakan hukum publik bersegi dua atau berbagai
pihak. Tindakan hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat
individual.Tindakan hukum publik sepihak bersifat umum terdapat dalam bentuk
pengaturan umum atau regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak.
Sedangkan tindakan hukum publik sepihak yang bersifat individual terdapat
dalam bentuk keputusan atau beschikking.
Dalam hal terjadinya penelantaran tanah pemerintah dapat mengambil
tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara untuk diterapkan secara nyata dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap
16
Boedi Harsono, Op.Cit, h.339.
131
kewajiban yang lahir dari suatu hubungan Hukum Tata Usaha Negara maupun
pada pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang. Badan atau Pejabat
TUN berwenang untuk bertindak secara nyata tanpa memerlukan adanya putusan
pengadilan lebih dahulu.
Sebelum tindakan penertiban itu dilaksanakan, tentunya pihak yang
bersangkutan harus diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa akan
dilaksanakan suatu tindakan penertiban merupakan penetapan tertulis yang dapat
digugat keabsahannya.17 Pemberitahuan akan dilakukan suatu tindakan penertiban
harus berisi antara lain :
-
Gambaran tentang keadaan atau sikap yang bersifat illegal dari peraturan
yang dilanggar disebutkan.
-
Pemberitahuan harus jelas, sehingga yang diberitahu itu mengerti apa yang
harus dilakukan.
-
Tenggang waktu yang diberikan harus jelas dan tegas.
-
Pemberitahuan itu harus mengandung suatu kepastian, bahwa akan benarbenar dilaksanakan, sebab kalau hanya kira-kira akan dilakukan
penertiban, maka hal itu akan bertentangan dengan asas kepastian.
Berdasarkan
PP
No.
11
Tahun
2010
tentang
Penertiban
dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban
Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
17
Indroharto, Op.Cit. h.239.
132
a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar;
b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
c. Peringatan terhadap pemegang hak;
d. Penetapan tanah terlantar.
Uraian tahapan penertiban tanah terlantar tersebut dapat dipaparkan
sebagaimana uraian di bawah ini :
1). Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar
Informasi tanah terindikasi terlantar diperoleh dari hasil pemantauan
lapangan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan,
atau dari laporan dinas / instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat, atau
pemegang hak. Inventarisasi tanah terindikasi terlantar meliputi Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, serta tanah
yang telah memperoleh dasar penguasaan dari pejabat yang berwenang sejak
diterbitkan izin/keputusan/surat dasar penguasaan tanah tersebut. Kegiatan
inventarisasi ini dilaksanakan melalui:
1. Pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi terlantar meliputi
data tekstual dan data spasial yaitu :
a. Data tekstual meliputi nama dan alamat pemegang hak, nomor dan
tanggal keputusan pemberian hak, nomor, tanggal dan berakhirnya
sertifikat, letak tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah
terindikasi terlantar.
133
b. Data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi
dengan koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar.
2. Pengelompokan data tanah terindikasi terlantar yang telah terhimpun
menurut wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar penguasaan
tanah.
3. Merekapitulasi data hasil inventarsasi menjadi basis data tanah
terindikasi terlantar.
2). Identifikasi dan Penelitian Tanah Terindikasi Terlantar
Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti
dengan identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian dilakukan 3 (tiga)
tahun sejak diterbitkannya sertipikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan,
dan
Hak
Pakai,
serta
tanah
yang
telah
memperoleh
izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang
terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan tersebut. Kakanwil BPN
menetapkan
target
tanah
hak
yang
terindikasi
terlantar,
dengan
mempertimbangkan lamanya tanah tersebut ditelantarkan dan/atau luas tanah yang
terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan penelitian,
Kakanwil BPN menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar yang
meliputi :
1. Verifikasi data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah;
2. Mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk
mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan
penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
3. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait,
apabila pemegang hak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi
atau tidak ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan
penelitian tetap dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh data;
134
4. Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dengan menggunakan tehnologi yang ada;
5. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta
pertanahan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik;
6. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain
menyangkut permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah
terlantar, kesesuaian dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan
tata ruang;
7. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
8. Kakanwil BPN memberitahukan secara tertulis kepada pemegang hak
yang akan dilakukan identifikasi dan penelitian sesuai dengan alamat atau
domisili pemegang hak;
Apabila pemegang hak tidak diketahui alamat atau domisilinya, maka
pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di
lokasi tanah yang bersangkutan, bahwa tanah tersebut sedang dalam tahap
identifikasi dan penelitian oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN.
Setelah data hasil identifikasi dan penelitian dinilai cukup sebagai bahan
pengambilan keputusan upaya penertiban, Kakanwil BPN membentuk Panitia C
yang terdiri dari unsur Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah,
dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan. Panitia
C melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan konsep laporan hasil
identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Kakanwil BPN, dan
apabila diperlukan Panitia C dapat melakukan pengecekan lapangan. Panitia C
menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara
kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.
3). Peringatan Terhadap Pemegang Hak
Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran
pertimbangan Panitia C (Berita Acara Panitia C) disimpulkan terdapat tanah yang
ditelantarkan, Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan kepada pemegang
135
hak dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan tersebut,
pemegang hak mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya. Dalam
surat peringatan pertama, disebutkan hal-hal konkrit yang harus dilakukan
pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang hak tidak
mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tersebut. Tindakan konkrit
yang harus dilakukan pemegang hak antara lain :
1.
Mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya;
2.
Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian haknya, pemegang hak harus mengajukan permohonan
perubahan hak atas tanah kepada Kepala sesuai dengan peraturan yang
berlaku;
3.
Mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan atas tanah
mengusahakan, menggunakan atau memanfaatkan tanahnya sesuai
dengan izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang.
Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah
memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir
peringatan pertama, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis kedua dengan
jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak
melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan
dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kakanwil BPN memberikan
136
peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka
waktu sama dengan peringatan kedua.
Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib
melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala setiap 2
(dua) mingguan kepada Kakanwil BPN dengan tembusan kepada Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan
oleh Kanwil BPN pada setiap akhir peringatan.
4). Penetapan Tanah terlantar
Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan
evaluasi, masih terdapat tanah yang ditelantarkan karena pemegang hak tidak
mematuhi peringatan yang telah diberikan, maka Kepala Kanwil BPN
mengusulkan kepada Kepala BPN RI agar bidang tanah tersebut ditetapkan
sebagai tanah terlantar. Dalam hal ini yang dimaksud tidak mematuhi peringatan,
adalah apabila :
1. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian hak;
2. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan Surat Keputusan hak atau
dasar penguasaan tanah;
3. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan Surat Keputusan hak atau
dasar penguasaan tanah;
4. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan Surat Keputusan
hak atau dasar penguasaan tanah;
5. tidak ada tindak-lanjut penyelesaian pembangunan.
6. tanah dasar panguasaan telah digunakan tetapi belum mengajukan
permohonan hak.
Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam
kondisi status quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar. Artinya terhadap
tanah tersebut tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas tanah. Kepala BPN RI
137
menerbitkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usul Kakanwil BPN,
sekaligus memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukum dan
menegaskan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Tanah yang telah ditetapkan
sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan wajib dikosongkan
oleh bekas pemegang hak.
Apabila tanah terlantar tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak
tanggungan tersebut juga menjadi hapus dengan hapusnya hak atas tanah yang
telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi hapusnya hak tanggungan
tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau utang piutang yang terjadi antara
kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum tersebut bersifat keperdataan.
Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan tanahnya sebagian, dan
pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi atas luas bidang
tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan, maka
setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan
pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah.
Keputusan Penetapan tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI
merupakan tindakan hukum publik sepihak, sehingga agar tidak menimbulkan
kerugian bagi pemegang hak atas tanah maka sebelum keputusan itu ditetapkan
perlu diperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-Asas Umum
Pemerintahan
Yang
Baik
merupakan
norma
bagi
perbuatan-perbuatan
138
Administrasi Negara atau pemerintah, disamping norma-norma di dalam hukum
tertulis dan tidak tertulis.
Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena asas-asas ini
diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya Undang Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Serta terdapat juga dalam Pasal 58 UndangUndang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan
“Penyelenggaraan
pemerintahan
berpedoman
pada
asas-asas
umum
penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, asas
efektivitas dan asas keadilan”.
Dalam melakukan tindakan penertiban tanah terlantar pemerintah harus
memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu asas bertindak
cermat, dan asas keseimbangan. Asas kecermatan berkaitan dengan tindakan
dalam melakukan identifikasi dan penelitian tanah terlantar yang meliputi : nama,
dan alamat pemegang hak; letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah
dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak, dan keadaan yang
menyebabkan tanah terlantar. Asas keseimbangan terkait dengan pemberian
sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.
139
Dalam
mengeluarkan
keputusan penetapan
tanah terlantar
harus
dipertimbangkan berapa luas tanah yang tidak dimanfaatkan, dan berapa luas
tanah yang dimanfaatkan sehingga dalam penetapan sanksinya ada keseimbangan
terhadap kewajiban yang dilanggar. Apabila disimak ketentuan PP No 11 Tahun
2010 tidak mengatur tentang ganti rugi yang diperoleh pemegang hak yang tidak
dapat melaksanakan kewajibannya.
Dalam Pasal 20 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 dinyatakan :
Sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
Penetapan
tanah
terlantar
dengan
memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah hak/dasar penguasaan,
dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai berikut:
1. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100%
ditelantarkan;
2. sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% – < 100%
ditelantarkan, dan
3. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran = 25 % ditelantarkan.
Apabila seluruh hamparan tanah yang ditelantarkan maka keputusan penetapan
Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan hak atas tanah tersebut.
Jika sebagian hamparan yang ditelantarkan maka keputusan penetapan tanah
terlantar diberlakukan terhadap seluruh hak atas tanah tersebut, dan selanjutnya
kepada bekas pemegang hak diberikan kembali sebagian tanah yang benar-benar
diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian
haknya, dengan melalui prosedur permohonan hak atas tanah.
140
Terhadap tanah yang ditelantarkan kurang dari atau sama dengan 25%
(dua puluh lima) persen maka keputusan penetapan tanah terlantar diberlakukan
hanya terhadap tanah yang ditelantarkan dan pemegang hak dapat mengajukan
permohonan revisi luas bidang tanah tersebut. Dengan demikian akibat hukum
dari pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya, hak atas
tanahnya akan hapus dan jatuh kepada negara, dan tanahnya langsung dikuasai
negara.
Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi
tanah negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah- tanah terlantar tersebut akan
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat . Berdasarkan Pasal 15 PP No. 11
Tahun 2010, dinyatakan bahwa Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk
kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan
untuk cadangan Negara lainnya.
1. Reforma Agraria
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) PP No.11 Tahun 2010, Reforma
agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik
dan hukum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan akses masyarakat
terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor IX
/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
dan Pasal 10 UUPA. Pasal 2 Tap MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyatakan bahwa “Pembaharuan
Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan
141
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan
hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengertian pembaharuan agraria tidak hanya terbatas pada aspek
landreform semata, tetapi mencakup juga penataan hubungan-hubungan produksi
(penyakapan, kelembagaan) dan pelayanan pendukung pertanian secara umum.
Dalam tataran implementasi, pembaharuan agraria sering dipadankan dengan
landreform. Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya
kepastian, dan perlindungan hukum serta keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung
di darat, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah
lingkungan. Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah negara bekas
tanah terlantar melalui pendistribusian tanah negara merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan keadilan terhadap tanah untuk semua orang Indonesia. Melalui
reforma
agraria
tanah-tanah
negara
bekas
tanah
terlantar
dalam
pendayagunaannya dapat dibagikan kepada masyarakat. Pendayagunaan tanah
negara bekas tanah terlantar memberikan kesempatan kepada masyarakat
khususnya para petani penggarap untuk memanfaatkan tanah negara bekas tanah
terlantar tersebut.
142
2. Program Strategis Negara
Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2010,
Pendayagunaan tanah terlantar melalui Program Strategis Negara adalah untuk
pengembangan sektor pangan, energi, dan perumahan rakyat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat Pangan merupakan hak yang paling mendasar
dari warganegara serta salah satu unsur dari kekuatan nasional dalam politik antar
bangsa. Untuk itu sangat diperlukan perlindungan negara kepada produksi pangan
bagi rakyat dan kedaulatan negara. Oleh karena itu pemerintah bersama
masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan, energi dan
perumahan rakyat sebagai bagian program strategis negara.
3. Cadangan Negara Lain
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2010 disebutkan
Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar sebagai cadangan negara
diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah,
pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi
dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk
kepentingan umum. Selain itu dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mengganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa mekanisme penertiban
tanah terlantar sebagaimana diatur dalam PP 11 Tahun 2010 dan juga Peraturan
Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 adalah melalui inventarisasi tanah yang
143
teridentifikasi terlantar, identifikasi tanah terindikasi terlantar, peringatan terhadap
pemegang hak dan terakhir adalah penetapan tanah tersebut sebagai tanah
terlantar oleh Kepala BPN RI. Apabila tanah telah ditetapkan sebagai tanah
terlantar, maka tanah tersebut akan kembali kepada negara dan oleh negara akan
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat.
Download