Penyuntingan Bahasa: sampai halaman 223 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PKN UNTUK PERGURUAN TINGGI SUNARSO, M.Si. KUS EDDY SARTONO, M.Si. SIGIT DWIKUSRAHMADI, M.Si. Y. CH. NANY SUTARINI, M.Si UNIT MATA KULIAH UMUM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2008 1 Kata Pengantar Perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar terutama berkaitan dengan gerakan reformasi 1998. Oleh karena itu, materi perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan tidak mungkin dilepaskan dari perkembangan kenegaraan tersebut agar kadar keilmiahan serta obyektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Banyak tuduhan dialamatan kepada sosok Pendidikan Kewarganegaraan dan tuduhan itu barangkali juga ada benarnya. Beberapa tuduhan itu antara lain (i) Pendidikan Kewarganegaraan sering bersifat politis daripada akademis, lemah landasan keilmuannya, (ii) tidak tampak sosok keilmiahannya, dan (iii) sering dititipi kepentingan politik penguasa. Berdasarkan kenyataan tersebut sudah merupakan keharusan untuk menata ulang materi kuliah Pendidikan Kewarganegaraan agar sesuai dengan perkembangan zaman, terutama tuntutan reformasi. Dalam proses penyusunan ulang materi Pendidikan Kewarganegaraan penulis berupaya untuk mengumpulkan buku-buku referensi yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan. Buku ini disusun dengan mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/U/2002 yang menetapkan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu Matakuliah Pengembangan Kepribadian yang harus ada dalam kurikulum inti bagi setiap program studi dan dirancang berbasis kompetensi. Selain itu juga berpedoman pada keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 38/Dikti/Kep/2002 tanggal 18 Juli 2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Matakuliah Pengembangan Kepribadian, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada 1. Rektor dan Pembantu Rektor I UNY, 2. rekan-rekan sesama pengampu Pendidikan Kewarganegaraan di UNY, 3. rekan-rekan sejawat di UPT MKU UNY, 4. para mahasiswa yang telah dan sedang menempuh Pendidikan Kewarganegaraan di UNY, dan 5. semua pihak yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah membantu terwujudnya naskah ini. Penulis senantiasa terbuka menerima masukan untuk perbaikan naskah buku ini. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat membantu kelancaran perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta, 28 April 2008 Tim Penulis. 2 DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................................. Bab I Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan ............................................ Bab II Hakikat Bangsa, Negara, dan Warga Negara....................................... Bab III Persamaan Kedudukan Warga Negara dalam Berbagai Bidang Kehidupan ................................................................................... Bab IV Budaya Demokrasi menuju Masyarakat Madani ................................ Bab V Perlindungan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia ........................... bab VI Konstitusi Negara ..................................................................................... Bab VII Sistem Pemerintahan Indonesia dan Beberapa Negara Tetangga .................................................................................................... Bab VIII Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia ............................ Bab IX Ketahanan Nasional Indonesia sebagai Geostrategi Indonesia ......... Bab X Dampak Globalisasi dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara ....................................................................... Daftar Pustaka .............................................................................................................. 1 17 44 75 117 155 166 203 238 275 322 3 BAB I PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai akhlak yang mulia dan apabila akhlak telah hilang dari kehidupan suatu bangsa, hancur binasalah bangsa itu (Syauqi Bek). Negara yang tidak mempunyai moral berarti keruntuhan dan sebaliknya moral yang tidak sejalan dengan negara adalah kelumpuhan (Al-Gazali). Yang saya dengar, saya lupa. Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat. Yang saya dengar, lihat, dan diskusikan dengan orang lain, mulai saya pahami. Dari yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai (Melvin L Silberman). A. Pendahuluan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor ―value-based education‖. Konfigurasi atau kerangka sistemik PKN dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut. Pertama, PKN secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKN secara teoritik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, PKN secara pragramatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Sejak diimplementasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan (persekolahan maupun perguruan tinggi), PKN menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru/dosen serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar dan (2) masukan lingkungan (environmental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis. Dengan demikian, pelaksanaan PKN tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya. Beberapa indikasi empirik yang menunjukkan salah arah tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKN lebih ditekankan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya ditekankan pada dimensi kognitif saja. Pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai ―hidden curriculum‖ belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Kedua, pengelolaan kelas belum 4 mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui pelibatannya secara proaktif dan interaktif, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa/mahasiswa. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sisio-pedagogis untuk mendapatkan ―hands-on experience‖ juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktik pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum. Indikasi-indikasi tersebut melukiskan begitu banyaknya kendala kurikuler dan sosial-kultural bagi PKN untuk menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang mencerminkan pencapaian secara komprehensif (menyeluruh) dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang koheren dan konfluen. Hasil belajar PKN yang belum mencapai keseluruhan dimensi secara optimal seperti digagaskan itu berarti menunjukkan bahwa tujuan kurikuler PKN belum dapat dicapai sepenuhnya. Menyadari hal tersebut di atas, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional antara lain adalah sebagai berikut. 1) Penyelenggaraan pelatihan secara berkala untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajar guru dan dosen PKN. Sampai saat ini, pelatihan tersebut masih perlu terus ditingkatkan kualitasnya agar mampu menunjukkan hasil yang optimal. 2) Penataan kembali materi PKN agar lebih sesuai dengan tuntutan kebutuhan bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Sampai saat ini, upaya penataan tersebut dirasakan belum menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pembelajaran PKN seperti yang diharapkan. 3) Perubahan sistem belajar di sekolah, dari catur wulan ke semester, dan di perguruan tinggi menjadi sistem kredit semester (SKS), yang diyakini akan lebih memungkinkan guru/dosen untuk dapat merancang alokasi waktu dan strategi pembelajaran secara fleksibel dalam rangka upaya peningkatan kualitas pembelajarannya, belum memperlihatkan hasil yang memadai. Selain menghadapi kendala internal sebagaimana diuraikan di atas, PKN juga menghadapi kendala eksternal, yaitu kritikan dan tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat yang berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkat dengan segala eksesnya. PKN yang secara paradigmatik sarat dengan muatan afektif dilaksanakan secara kognitif dan telah disikapi secara keliru sebagai satu-satunya obat mujarab (panacea) untuk mengatasi persoalan kehidupan para siswa khususnya yang menyangkut perilaku dan moral. Kritikan dan tuntutan tersebut sudah seharusnya direspons dan diakomodasikan secara proporsional karena pendidikan secara umum dan PKN secara khusus bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Tanggung jawab bersama untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas pada hakikatnya merupakan perwujudan dari amanat nasional. 5 Kendala eksternal lainnya, pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang bermuatan positif maupun yang bermuatan negatif atau bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang program pendidikan yang dapat mengakomodasikan kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap dapat menyejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikan. Di lain pihak, terdapat pula beberapa permasalahan kurikuler yang mendasar dan menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas PKN. Di antaranya, permasalahan itu adalah sebagai berikut. 1. Penggunaan alokasi waktu yang tercantum dalam Struktur Kurikulum Pendidikan dijabarkan secara kaku dan konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka terjadwal sehingga kegiatan pembelajaran PKN dengan cara tatap muka di kelas menjadi sangat dominan. Hal itu mengakibatkan guru atau dosen tidak dapat berimprovisasi secara kreatif untuk melakukan aktivitas lainnya selain dari pembelajaran rutin tatap muka yang terjadwal dengan ketat. 2. Pelaksanaan pembelajaran PKN yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkelai. Di samping itu, pelaksanaan pembelajaran diperparah lagi dengan keterbatasan fasilitas media pembelajaran. 3. Pembelajaran yang terlalu menekankan pada dimensi kognitif itu berimplikasi pada penilaian yang juga menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja sehingga mengakibatkan guru/dosen harus selalu mengejar target pencapaian materi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap masalah-masalah mendasar sehingga PKN dapat diberdayakan menjadi ―subjek pembelajaran yang kuat‖ (powerful learning area) yang secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual dengan ciri-ciri sebagai berikut: bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value-based), menantang (challenging), dan mengaktifkan (activating). Melalui pengalaman belajar semacam itu para siswa difasilitasi untuk dapat membangun pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang demokratis dalam koridor psiko-pedagogis-konstruktif. B. Alasan Perlunya Pendidikan Kewarganegaraan Dalam sejarah panjang dunia ini, Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah dan di perguruan tinggi merupakan fenomena yang relatif baru. Ada dua faktor yang mengarahkan hal ini, yaitu faktor pertumbuhan negara-bangsa dan faktor diperkenalkannya pendidikan untuk massa. Negara-bangsa muncul di seluruh dunia dalam jumlah yang besar setelah akhir perang dunia kedua, pada peretengahan abad dua puluh. Kekuasaan kolonial telah ditentang dan pergerakan kemerdekaan dilakukan atau mencapai kemerdekaan. Di Afrika, Amerika Latin, dan Asia ada peningkatan di sejumlah negara merdeka. Sebagian terbesar menjalankan bentuk pemerintahan demokratis. Mereka melaksanakan pemilu dan memiliki badan perwakilan. Semuanya 6 memperkenalkan beberapa bentuk persekolahan bagi kebanyakan penduduk (Barbara Leigh, dalam Civics and Citizenship Education Historical and Comparative Reflections, Jurnal Civics volume 1, Nomor 1, Juni 2004). Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta: Sek. Neg. RI, 1998). Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi negara Indonesia perlu ditularkan secara terus-menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai negara kesatuan dengan bentuk republik. negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pembukaan UUD 1945). Dalam perkembangannya, sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang mengancam persatuannya. Untuk itulah pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi negara Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa. Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan mengulang lagi sistem pemerintahan otoriter yang membungkam hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi nonpemerintahan perlu dikenal, dimulai, diinternalisasi, dan diterapkan demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia. Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warga negara yang demokratis. Warga negara yang demokratis bukan hanya dapat menikmati hak kebebasan individu, tetapi juga harus memikul tanggung jawab secara bersama-sama dengan orang lain untuk membentuk masa depan yang cerah. Sesungguhnya, kehidupan yang demokratis adalah cita-cita yang dicerminkan dan diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ketika mereka pertama kali membahas dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945. 7 Berkenaan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, pendidikan memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat penting dalam mempersiapkan warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship). Keluarga, tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan, media masa, dan lembaga-lembaga lainnya dapat bekerja sama dan memberikan kontribusi yang kondusif terhadap tanggung jawab pendidikan tersebut. Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata kuliah yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosiokultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945. C. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia Paradigma pendidikan yang dianut pada masa Orde Baru adalah ―pendidikan untuk pembangunan‖, sehingga pendidikan telah diposisikan sedemikian rupa sebagai instrumen pembangunan ( Muchson, 2004). Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang menjadi jargon Orde Baru dalam kebijakan dan operasionalnya ternyata lebih banyak berpihak dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Ironisnya pembangunan yang telah berlangsung selama lebih 30 tahun dan telah ―dibayar dengan mahal‖, lebih-lebih menyangkut social cost yang sifatnya uncalculated, ternyata justru menghasilkan keterpurukan dalam berbagai bidang. Pengalaman pada masa Orde Baru itu telah memberikan pelajaran ―berharga‖ tentang betapa rapuhnya suatu pembangunan yang hanya menekankan pada aspek fisik-materiil dan kepentingan-kepentingan ekonomi belaka. Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai misi yang lebih khas. Mata pelajaran ini menonjol dengan misinya untuk mewujudkan sikap toleransi, tenggang rasa, memelihara persatuan dan kesatuan, tidak memaksakan pendapat dan lain-lain, yang dirasionalkan demi terciptanya stabilitas nasional sebagai prasyarat bagi kelangsungan pembangunan. Di balik semua itu, Pendidikan Kewarganegaraan sesungguhnya telah berfungsi sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Sosok Pendidikan Kewarganegaraan (Civic atau Citizenship) yang demikian memang sering muncul di sejumlah negara, khususnya negara-negara berkembang. Hal itu sesuai dengan laporan penelitian Cogan (1998) yang dikutip oleh Ace Suryadi dan Somardi (200:1) yang mengatakan bahwa “Citizenship education has often reflected the interest of those in power in particular society and thus has been a matter of indoctrination and the establishment of ideological hegemony rather than of education”. Berdasar kenyataan tersebut tidak aneh jika kemudian muncul penilaian bahwa mata pelajaran ini lebih bersifat politis daripada akademis, lemah landasan keilmuannya, tidak tampak sosok keilmiahannya, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut, mata pelajaran ini kurang menantang dan kurang diminati oleh siswa. 8 Kepentingan politik penguasa terhadap Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat dirunut dalam sejarah perkembangan mata pelajaran ini, sejak munculnya dalam sistem pendidikan nasional. Mata pelajaran ini muncul pertama kali tahun 1957 dengan nama ―Kewarganegaraan‖, yang isinya sebatas hak dan kewajiban warga negara serta cara-cara memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Menteri PP dan K mengeluarkan Surat Keputusan No. 122274/S tanggal 10 Desember 1959 tentang pembentukan panitia penyusunan buku pedoman mengenai kewajibankewajiban dan hak-hak warga negara Indonesia dan hal-hal yang menginsyafkan warga negara tentang sebab-sebab sejarah dan tujuan revolusi Indonesia. Panitia tersebut berhasil menyusun buku Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia pada tahun 1962 yang menjadi acuan mata pelajaran civic yang telah muncul pada tahun 1961. Buku tersebut berisi Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia Afrika, Hak dan Kewajiban Warga negara, Manifesto Politik, Laksana Malaikat dan lampiranlampiran Dekrit Presiden, Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration of Human Rights, serta pidato-pidato Presiden lainnya yang dipaketkan dalam tujuh bahan pokok indoktrinasi (Tubapi). Sejak munculnya Orde Baru pada tahun 1966, isi mata pelajaran civic versi Orde Lama hampir seluruhnya dibuang karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan yang sedang berkembang. Pada Kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama ―Kewargaan negara‖, yang isinya, di samping Pancasila dan UUD1945, adalah Ketetapan-Ketetapan MPRS 1966, 1967, dan 1968, termasuk GBHN, Hak Asasi Manusia, serta beberapa materi yang beraspek sejarah, geografi, dan ekonomi. Sesuai dengan Ketetapan MPR No. IV/MP/1973, mata pelajaran ini berubah nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada Kurikulum 1975. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, terjadilah perkembangan yang cukup substantif mengenai materi mata pelajaran ini, yakni sangat dominannya materi P-4 dalam PMP. Dalam penjelasan ringkas tentang PMP oleh Depdikbud (1982) dinyatakan bahwa hakikat PMP tidak lain adalah pelaksanaan P-4 melalui jalur pendidikan formal. Hal ini tetap berlangsung hingga berlakunya Kurikulum 1984 maupun Kurikulum 1994, di mana ―Pendidikan Moral Pancasila‖ (PMP) telah berubah nama menjadi ―Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan‖ (PPKn). Dalam perkembangan terakhir, materi P-4 secara resmi tidak lagi dipakai dalam Kurikulum Suplemen 1999 karena Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tersebut telah dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998. Pada era reformasi ini pendidikan kewarganegaraan juga sedang dalam proses reformasi ke arah pendidikan kewarganegaraan dengan paradigma baru (New Indonesian Civic Education). Reformasi itu mulai dari aspek yang mendasar, yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi atau peranan, sampai restrukturisasi isi kurikulum dan materi pembelajaran. Seiring dengan itu, dalam sistem pendidikan nasional juga sedang disosialisasikan pembaruan kurikulum dengan konsep yang disebut kurikulum berbasis kompetensi. D. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Secara klasik sering dikemukakan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah untuk membentuk warga negara yang baik 9 (a good citizen). Akan tetapi, pengertian warga negara yang baik itu pada masamasa yang lalu lebih diartikan sesuai dengan tafsir penguasa. Pada masa Orde Lama, warga negara yang baik adalah warga negara yang berjiwa revolusioner, anti imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Pada masa Orde Baru, warga negara yang baik adalah warga negara yang Pancasilais, manusia pembangunan, dan sebagainya. Sejalan dengan visi pendidikan kewarganegaraan era reformasi, misi mata kuliah ini adalah meningkatkan kompetensi mahasiswa agar mampu menjadi warga negara yang berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang demokratis. Sehubungan dengan itu, Ace Suryadi dan Somardi (2000:5) mengemukakan bahwa pendidikan kewarganegaraan difokuskan pada tiga komponen pengembangan, yaitu (1) civic knowledge, (2) civic skill, dan (3) civic disposition. Inilah pengertian warga negara yang baik yang diharapkan oleh pendidikan kewarganegaraan di era reformasi. Pendidikan kewarganegaraan di era reformasi dituntut merevitalisasi diri agar mampu melaksanakan misi sesuai dengan visinya itu. Hingga saat ini mata pelajaran tersebut seakan tidak memiliki vitalitas, tidak berdaya, dan tidak dapat berfungsi secara baik dalam meningkatkan kompetensi kewarganegaraan. Dalam penataannya di dalam struktur kurikulum, Belinda Charles dalam Print (1999:133-135), merekomendasikan isi pendidikan kewarganegaraan dapat ditata dalam tiga model, yaitu formal curriculum, informal curriculum, hidden curriculum. Dengan model formal curriculum, implementasi pembelajarannya dapat menembus berbagai mata pelajaran (cross-curriculum). Dengan model informal curriculum dapat diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, seperti kepanduan, klub-klub remaja, PMR, kegiatan rekreasi, dan olah raga. Model ini justru efektif dalam pembentukan karakter remaja. Dengan model hidden curriculum, seperti misalnya etika, dapat dikembangkan dalam tingkah laku sehari-hari. Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk memberikan kompetensi sebagai berikut. 1. Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2. Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsabangsa lain. 4. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Pusat Kurikulum, 2003:3). E. Substansi Materi Pendidikan Kewarganegaraan Berdasar hasil studi di berbagai negara, Print (1999:12) berpendapat bahwa isi pendidikan kewarganegaraan yang prinsip adalah (i) hak dan tanggung jawab warga negara, (ii) pemerintahan dan lembaga-lembaga, (iii) sejarah dan konstitusi, (iv) identitas nasional, (v) sistem hukum dan rule of law, (vi) hak asasi manusia, hak-hak politik, ekonomi dan sosial, (vii) proses dan prinsip-prinsip demokrasi, 10 (viii) partisipasi aktif warga negara dalam wacana kewarganegaraan, (ix) wawasan internasional, serta (x) nilai-nilai kewarganegaraan yang demokratis. Waterwoth (1998:3) mengemukakan butir-butir concept of citizenship dan warga negara yang baik sebagai berikut: (i) menghargai warisan budaya masyarakatnya, (ii) menggunakan hak pilih, (iii) menghormati hukum dan norma-norma masyarakat, (iv) memahami berbagai proses politik dan ekonomi, (v) menggunakan hak berbicara, (vi) memberikan sumbangan bagi kebaikan keluarga dan masyarakat, serta (vii) peduli terhadap lingkungan lokalnya. Di samping itu, Abdul Azis Wahab (2000:5) mengemukakan sepuluh pilar demokrasi Indonesia yang harus menjadi prinsip utama pengembangan pendidikan kewarganegaraan, yaitu (i) konstitusionalisme, (ii) keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, (iii) kewarganegaraan cerdas, (iv) kedaulatan rakyat, (v) kekuasaan hukum, (vi) hak asasi manusia, (vii) pembagian kekuasaan, (viii) sistem peradilan yang bebas, (ix) pemerintahan daerah, dan (x) kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Berdasarkan uraian dimuka diperoleh gambaran keragaman luasnya cakupan materi dan penataan pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum. Hal ini bukan sesuatu yang harus dianggap aneh karena kurikulum pada dasarnya merupakan suatu pilihan. Dilihat dari sudut keilmuan, standar materi mata pelajaan ini tidak sedemikian ketat, cukup fleksibel, dan mudah berubah. Indonesia mempunyai pengalaman mengenai sering diubahnya isi materi mata kuliah ini seiring dengan pergantian rezim sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari sekian banyak mata kuliah/mata pelajaran, tidak ada yang perubahan materinya sedinamis mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun demikian, pendidikan kewaganegaraan paradigma baru harus didasarkan pada standar kelayakan materi dengan tetap mengacu kepada Pancasila sebagai dasar negara (Muchson, 2003). Pusat kurikulum Diknas lewat konsep KBK Kewarganegaraan di SD dan MI, SMP dan MTs., serta SMA dan MA tahun 2003, mengajukan civic knowledge berupa aspek berbangsa dan bernegara yang terdiri dari subaspek (i) persatuan bangsa (ii) norma, hukum, dan peraturan, (iii) hak asasi manusia, (iv) kebutuhan hidup warga negara, (v) kekuasaan dan politik, (vi) masyarakat demokratis, (vii) Pancasila dan konstitusi negara, serta (viii) globalisasi (Cholisin, 2004:18). Aspek-aspek pengetahuan kewarganegaraan itu pada dasarnya merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan peran warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Di pihak lain, substansi kajian pendidikan kewarganegaraan, yang dikenal juga dengan istilah Civic Education, Citizenship Education, Democracy Education, yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi adalah (i) filsafat Pancasila, (ii) identitas nasional, (iii) hak dan kewajiban warga negara, (iv) demokrasi dan hak asasi manusia, (v) rule of law, (vi) geopolitik Indonesia (wawasan nusantara), dan (vi) geostrategi Indonesia (ketahanan nasional) (Petunjuk Pelatihan Dosen MPK, PKN, Dikti. 2005). E. Metodologi Pembelajaran PKN 1. Pendekatan; menempatkan mahasiswa sebagai subyek serta mitra dalam PBM. 2. Proses Pembelajaran; pembahasan secara kritis analisis, induktif, deduktif serta reflektif melalui dialog kreatif. 11 3. Bentuk Aktivitas Proses Pembelajaran; kuliah tatap muka secara bervariasi, ceramah, dialog, inquiry, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil dan berbagai kegiatan akademik lainnya yang lebih ditekankan pada pemupukan pengalaman belajar perserta didik. 4. Motivasi; menumbuhkan kesadaran bahwa pembelajaran pengembangan kepribadian merupakan kebutuhan hidup. F. Kompetensi yang Diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab, yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melakukan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi yang diharapkan setelah menempuh pendidikan kewarganegaraan adalah dimilikinya seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara serta mampu turut serta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan profesi dan kapasitas masing-masing. Sifat cerdas yang dimaksud tampak dalam kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dalam bertindak, sedangkan sifat tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditinjau dari nilai agama, moral, etika, dan budaya. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (2) ditetapkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat (i) pendidikan agama, (ii) pendidikan kewarganegaraan, dan (iii) bahasa. Di samping itu, pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD negara Republik Indonesia. Pada Pasal 3 dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan menumbuhkan sikap mental yang bersifat cerdas dan penuh tanggungjawab pada perserta didik dengan perilaku yang (a) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa, (b) berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (c) bersikap rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, (d) bersikap profesional yang dijiwai oleh kesadaran belanegara, serta (e) aktif memanfaatkan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara. Melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan warganegara mampu memahami, menganalisis, serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara secara tepat, rasional, konsisten, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan nasional; menjadi warga negara yang tahu hak dan kewajibannya, menguasai ilmu dan teknologi serta seni namun tidak kehilangan jati diri. G. Tiga Aspek Pendidikan Kewarganegaraan 12 Pendidikan Kewarganegaraan harus memenuhi tiga aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan (skill), dan pembentukan karakter. Menurut Center for Civic Education pada tahun 1994 dalam National Standards for Civics and Government, ketiga komponen pokok tersebut ialah civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions (Margaret S. Bronson, dkk., 1999:8-25). Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga negara. Pada prinsipnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara, pengetahuan tentang struktur dan sistem poitik dan pemerintahan, nilainilai universal dalam masyarakat demokratis, cara-cara kerja sama untuk mewujudkan kemajuan bersama, serta hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat internasional. Keterampilan kewarganegaraan (civic skills) merupakan keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Civic skills mencakup intellectual skills (keterampilan intelektual) dan participation skills (keterampilan partisipasi). Karakter kewarganegaraan (civic dispositions) merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya martabat dan harga diri serta kepentingan umum. 13 BAB II HAKIKAT BANGSA , negara, DAN WARGA negara A. Pengertian Bangsa Menurut antropologi, pengertian bangsa adalah pengelompokan manusia yang keterikatannya dikarenakan adanya kesamaan fisik, bahasa, dan keyakinan. Jika ditinjau secara politis, bangsa adalah pengelompokan manusia yang keterikatannya dikarenakan adanya kesamaan nasib dan tujuan. Di samping itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa serta wilayah tertentu di muka bumi. Sejarah timbulnya bangsa-bangsa di dunia berawal dari benua Eropa. Pada akhir abad XIX, di benua Eropa timbul berbagai gerakan kebangsaan. Gerakan tersebut mengakibatkan kerajaan-kerajaan besar di Eropa seperti Kerajaan AustriaHongaria, Turki, dan Prancis terpecah menjadi negara-negara kecil. Banyaknya gerakan kebangsaan di Eropa saat itu dan keberhasilan mereka menjadi bangsa yang merdeka, mempunyai pengaruh yang besar pada kehidupan wilayah lain. Di Asia, banyak negara jajahan memberontak untuk memerdekakan diri dari kekangan penjajahnya. Ernest Renan menyatakan bahwa bangsa adalah kesatuan solidaritas yang terdiri dari orang-orang yang saling merasa setia satu sama lain. Bangsa adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu kesatuan solidaritas yang besar yang tercipta oleh suatu perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan oleh orang-orang yang bersedia berbuat untuk masa depan. Bangsa memiliki masa lampau, tetapi ia melanjutkan diri pada masa kini, melalui suatu kenyataan yang jelas, yaitu kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama . Oleh karena itu, suatu bangsa tidak bergantung pada persamaan asal ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, atau hal-hal lain yang sejenis. Akan tetapi, kehadiran suatu bangsa seolah-olah merupakan suatu kesepakatan bersama yang terjadi setiap hari (Bachtiar, 1987: 23). Benedict Anderson mendefinisikan bangsa agak berbeda jika dibandingkan dengan pendapat pakar yang lain. Menurut Anderson, bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan (imagined political community) yang artinya tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Komunitas politik yang dibayangkan ini terdapat dalam suatu wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. Dikatakan sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sekalipun para anggotanya tidak saling mengenal. Dibayangkan secara terbatas karena, bangsa yang paling besar sekalipun yang penduduknya bisa lebih dari satu milyard seperti RRC, tetap memiliki batas wilayah yang jelas. Dibayangkan berdaulat karena bangsa ini berada di bawah kekuasaan suatu negara yang memiliki kekuasaan atas suatu wilayah dan bangsa tersebut. Akhirnya, bangsa tersebut sebagai komunitas 14 yang dibayangkan karena terlepas dari kesenjangan dan para anggota bangsa itu selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Perasaan sebangsa inilah yang menyebabkan berjuta-juta orang bersedia mati bagi komunitas yang dibayangkan itu (Surbakti, 1992:42). Dalam pandangan Otto Bauer, bangsa adalah suatu persatuan perangai yang timbul karena persamaan nasib. Soekarno, dengan berbasis geopolitiknya, menekankan persatuan antara orang dengan tanah airnya sebagai syarat bangsa. Menurut Mohammad Hatta, bangsa adalah suatu persatuan yang ditentukan oleh keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan bertambah besar karena seperuntungan, malang sama diderita, mujur sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak (Sutrisno, 1983: 38). Dari uraian di atas dapat dipetik intisari bahwa pengertian bangsa lebih mengandung corak kerohanian dari pada corak lahiriah, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai keinginan, kehendak, perasaan, pikiran, jiwa, semangat untuk bersatu. Faktor yang mendorong mereka bersatu karena adanya kesamaan yang di antaranya dalam hal cita-cita/tujuan/kepentingan, fisik biologis (ras), wilayah (tanah air), sejarah (masa lalu), nasib, agama, bahasa, budaya, dan sebagainya. Tiap-tiap bangsa tentunya mempunyai corak tersendiri yang melatar belakangi mereka untuk bersatu. Berkaitan dengan faktor penyatu, Noor M. Bakry (1994:109) berpendapat bahwa bangsa dapat dikelompokan jadi dua, yaitu (i) bangsa alami atau bangsa yang disatukan karena faktor darah atau keturunan dan (ii) bangsa negara atau bangsa yang disatukan karena kesamaan cita-cita atau kepentingan yang natinya terwujud sebagai nasionalisme. B. Pengertian negara Dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila (1983: 224) dijelaskan secara etimologis bahwa istilah negara berasal dari kata nagari atau nagara (Sansekerta) yang berarti kota, desa, daerah, wilayah, atau tempat tinggal seorang pangeran. negara dalam bahasa Inggris disebut state, atau staat dalam bahasa Belanda, dan e“tat dalam bahasa Prancis. Kata state berasal dari bahasa Latin stato. Istilah stato digunakan pertama kali oleh Machiaveli untuk menyebut wilayah negara atau pemerintahan yang dikuasai. Seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa tokoh ilmu negara, terdapat pengertian negara yang beraneka ragam. Di bawah ini disajikan beberapa perumusan mengenai negara sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo (2007:3940) sebagai berikut. (1) Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat. (2) Harold J.Laski menyatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah kelompok yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati oleh individu maupun 15 oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat. (3) Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. (4) Robert M. MacIver berpendapat bahwa negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasar sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. (5) Kranenburg menyebutkan bahwa negara pada hakikatnya adalah sebuah organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Menurut Kranenburg sebelum terbentuknya negara terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi untuk menjamin dan memelihara kepentingan mereka. (6) Logemann juga menyatakan bahwa negara itu pada hakikatnya adalah organisasi kekuasaan yang meliputi atau mencakup kelompok manusia yang disebut bangsa. Pertama-tama negara adalah organisasi kekuasaan yang memiliki kewibawaan yang terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya pada semua orang yang diliputi oleh organisasi kekuasaan tersebut. Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik intisarinya bahwa negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. negara adalah organisasi yang memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat serta mempunyai hak istimewa, seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencakup semua, yang bertujuan untuk menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta tercapainya tujuan bersama. C. Tujuan, Sifat, dan Fungsi negara Negara, sebagai wadah masyarakat, mempunyai tujuan untuk mewujudkan keamanan dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Roger H. Saltou berpendapat bahwa negara mempunyai tujuan untuk memungkinkan rakyatnya (warganya) mengembangkan daya ciptanya secara bebas. Sehubungan dengan hal itu, cara negara yang satu dan negara yang lain dalam mewujudkan tujuannya tidak sama. Hal itu tergantung pada ideologi yang dianutnya. Tujuan negara Republik Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang mencakup tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan bagi bangsa di dunia dan tujuan khusus berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan bangsa Indonesia, yaitu ...untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidpan bangsa, dan ikut melaksnakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan berdasar kepada KeTuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam 16 permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Pada umumnya terdapat anggapan bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa, sifat monopoli, dan sifat mencakup semua (Miriam Budiardjo, 2007: 40). 1. Sifat Memaksa Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya. Unsur memaksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini akan dikenakan denda atau disita miliknya; bahkan beberapa negara menerapkan hukuman kurungan. 2. Sifat Monopoli Negara mempunyai hak monopoli atas penetapan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan, suatu ideologi , ataupun aliran politik tertentu dilarang berkembang atau disebarluaskan karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat. Sifat monopoli dari negar disebut hak superior, yaitu hak yang hanya dimiliki oleh negara dan tidak boleh dimiliki oleh organisasi atau asosiasi masyarakat dari suatu negara. 3. Sifat mencakup semua Semua peraturan perundang-undangan, misalnya keharusan membayar pajak, berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu sebab kalau seseorang dibiarkan berada diluar ruang lingkup aktivitas negara, usaha negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal. Menurut Miriam Budiardjo (2007: 46), terlepas dari ideologinya, negara menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu (i) melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, (ii) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, (iii) menyelenggarakan pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar dengan alat pertahanan, serta (iv) menegakkan keadilan. Charles E.Mirriam (dalam Miriam Budiardjo: 2007: 46) menyatakan bahwa fungsi negara ada lima, yaitu (i) keamanan eksternal, yaitu untuk mencegah ancaman dari luar, (ii) ketertiban internal, yaitu untuk ketertiban dalam negeri, (iii) keadilan bagi seluruh warga negara, dan (iv) menjamin kebebasan tiap warga negara berdasar hak asasi manusia. D. Bentuk dan Susunan negara Mengacu pada literatur hukum dan politik, pengertian bentuk negara itu berkaitan dengan dua pilihan, yaitu bentuk negara kerajaan (monarki) dan republik. Dalam negara monarki pengangkatan kepala negara dilakukan melalui 17 garis keturunan atau hubungan darah, sedangkan dalam negara republik tidak didasarkan atas pertalian atau hubungan darah. Di berbagai kerajaan, kepala negara disebut dengan berbagai macam sebutan dan mekanisme pergantian kepala negara berdasarkan keturunan itu juga dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Di Inggris dan di Belanda, yang diangkat sebagai kepala negara adalah anak tertua Raja/Ratu. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pewaris tahta kerajaan, sehingga jabatan kepala negara dapat dipegang oleh raja (King) atau ratu (Queen). Sekarang kepala negara Inggris adalah Ratu Elisabeth, sedangkan Putera Mahkotanya adalah Pangeran Charles, yang kelak akan menjadi raja pengganti Ratu Elisabeth. Kerajaan Belanda juga demikian. Kepala negaranya adalah raja, sedangkan kepala pemerintahannya perdana menteri. Keduanya tunduk pada aturan Undang-Undang Dasar. Di Jepang lain lagi. Kepala negara biasanya disebut raja atau kaisar dan selalu laki-laki. Yang dapat diangkat menjadi kaisar adalah putera laki-laki tertua. Hal ini tegas diatur dalam UUD Jepang bahwa yang berhak mewarisi tahta kaisar hanya putera laki-laki. Oleh karena itu sekarang timbul masalah besar. Kaisar Akihito yang berkuasa sekarang ini tidak memiliki anak lakilaki, sehingga pernah timbul keinginan untuk mengadakan perubahan atas ketentuan Undang-Undang Dasar untuk memungkinkan anak perempuan dapat menerima warisan tahta kerajaan. Thailand juga dipimpin oleh raja yang diangkat secara turun temurun. Kepala negara Brunai Darussalam yang disebut sultan juga diangkat secara turun temurun. Sementara itu, Kerajaan Malaysia yang berbentuk federal menerapkan variasi yang agak berbeda dalam cara pergantian raja. Kepala negara disebut yang dipertuan agong yang berasal dari antara para raja atau sultan dari negara-negara bagian yang membentuk dewan raja-raja. Yang Dipertuan Agong ditentukan secara bergiliran di antara anggota para raja atau sultan dalam Dewan Raja-Raja itu. Berbeda dari negara kerajaan, kepala negara republik biasanya disebut presiden, atau ketua seperti di Republik Rakyat Cina, atau dengan istilah lain sesuai dengan bahasa setempat yang berlaku. Kepala negara republik tidak ditentukan berdasar keturunan. Di negara yang demokratis pergantian kepala negara dilakukan secara demokratis, yaitu melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui pemilihan tidak langsung oleh wakil-wakil rakyat. Di negara-negara yang tidak demokratis, pengangkatan kepala negara dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya kudeta atau penunjukkan langsung oleh kepala negara republik dan tidak ditentukan berdasar garis keturunan darah atau pewarisan (Jimly Assiddiqie,2007: 282) Bangunan atau susunan negara dapat ditinjau dari susunan unsur-unsur yang ada dalam negara yang mencakup susunan masyarakatnya, susunan wilayahnya, dan susunan pemerintahannya. Dengan demikian bangunan atau susunan negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu negara kesatuan dan negara federal atau negara serikat (Krisni dkk. 2004: 12-13). 1. Negara Kesatuan Negara Kesatuan adalah negara yang berstatus tunggal, baik dilihat dari segi penduduknya, wilayahnya, maupun pemerintahannya. Kekuasaannya menunjukkan adanya kesatuan (unity). Hal itu dapat diartikan sebagai kesatuan penduduk yang terdiri atas berbagai suku yang berada dalam satu wilayah dan 18 berada di bawah satu pemerintahan pusat. negara kesatuan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i) adanya kesatuan wilayah yang utuh meskipun terdiri atas berbagai pulau dan adanya kekuasaan pemerintahan, (ii) adanya satu pemerintahan pusat yang dijalankan baik secara sentralisasi maupun desentralisasi, dan (iii) adanya kedaulatan eksternal dan internal yang berada pada satu kendali, yaitu pemerintah pusat. Dalam pada itu, sistem yang dijalankan oleh negara kesatuan dalam menjalankan pemerintahannya adalah sentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Sistem sentralisasi berarti terpusatnya semua urusan negara pada pemerintah pusat, sehingga memperkecil peran pemerintah daerah, sedangkan sistem desentralisasi berarti penyerahan sebagian urusan rumah tangga pemerintah pusat kepada daerah. Pemerintahan daerah diberi hak untuk mengatur daerahnya, namun masih dalam ikatan satu kesatuan. Hak untuk mengatur daerah ini disebut otonomi daerah. Sistem dekonsentrasi terkait dengan pemberian hak kepada daerah untuk mengatur wilayahnya, namun tetap di bawah kontrol pemerintah pusat agar tidak terjadi pemisahan wilayah (separatis), yaitu dengan memberikan tugas pada daerah sebagai pembantu pemerintah pusat. 2. Negara Serikat (Federal) Negara serikat atau negara federal oleh Wheare diartikan sebagai pembagian kekuasaan negara antara pemerintah federal atau pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian. Kekuasan yang menyangkut hubungan luar negeri dan pencetakan uang serta perjanjian internasional dipegang pemerintah federal, sedangkan hal-hal yang tidak menyangkut urusan nasional, misalnya masalah kebudayaan atau kesehatan, pengurusannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Menurut Srong, negara federal mencoba menyesuaikan dua hal yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara dalam arti keseluruhan dengan kedaulatan negara bagian. Di samping itu, penyelenggaraan kedaulatan ke luar pada negara federal diserahkan kepada pemerintah federal, sebaliknya kedaulatan ke dalam dibatasi. Terkait dengan cara pembagian kekuasaan, negara federal yang merinci dan menyebut satu per satu kekuasaan pemerintah federal (enumerated powers) dan menyerahkan sisa kekuasaannya kepada negara bagian (reserve of power)disebut negara federal sempurna, seperti Amerika Serikat dan Australia. Di samping itu, ada pula negara federal yang merinci kekuasaan pada pemerintah negara bagian dan menyerahkan sisa kekuasaannya kepada pemerintah federal. Dengan kata lain, enumered powers dipegang negara bagian sedangkan reserve of power dipegang oleh pemerintah federal. negara yang menggunakan bentuk ini ialah Canada dan India. Terkait dengan susunan organisasi negara, disamping negara kesatuan dan negara serikat atau federal, Jimly Assiddiqie (2007: 282-284) menambah lagi adanya negara konfederasi (statenbond) dan negara superstruktural (Superstate). negara konfederasi merupakan persekutuan antarnegara yang berdaulat dan independen yang karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam organisasi kerja sama yang longgar. Sebagai contoh, negara-negara merdeka bekas Uni Soviet, setelah Uni Soviet bubar, bersama-sama membentuk Confederasion of Independen State (CIS). Sifat persekutuannya sangat longgar, sehingga menyerupai organisasi kerja sama antarnegara yang biasanya, seperti ASEAN, Arab League, dan 19 sebagainya. Lebih lanjut, negara superstate adalah fenomena baru sejak terbentuk dan berkembangnya Uni Eropa yang tidak dapat disebut confederasion karena sifatnya sangat kuat dan di dalamnya terdapat fungsi-fungsi kenegaraan yang lazim, seperti fungsi legislasi, fungsi administrasi, dan bahkan peradilan Eropa. Untuk disebut sebagai negara yang tersendiri, bentuk dan susunannya tidak dapat dibandingkan dengan organisasi negara kesatuan ataupun negara serikat; bahkan jika kelak konstitusi Eropa dapat disepakati dan akhirnya diratifikasi oleh negaranegara anggotanya, uni Eropa itu dapat dikatakan menjadi negara tersendiri. Sekarang ini sudah banyak orang yang menyebut organisasi Uni Eropa sebagai superstate atau negara super yang merupakan superstruktur dari negara-negara Eropa yang menjadi anggotanya. E. Unsur-Unsur negara 1. Wilayah Setiap negara menduduki wilayah tertentu di muka bumi dan memiliki batas-batas wilayah yang jelas pula. Kekuasaan negara mencakup seluruh wilayah, tidak hanya tanah, tetapi laut di sekelilingnya dan angkasa di atasnya. Karena adanya kemajuan teknologi dewasa ini, masalah wilayah menjadi lebih rumit dibandingkan masa lampau. Sebagai contoh, pada masa lampau wilayah laut cukup sejauh 3 mil dari pantai sesuai dengan jarak tembak meriam. Pada saat ini hal itu menjadi kurang relevan lagi sebab jarak tembak peluru kendali bisa ratusan mil. Oleh karena itu, beberapa negara termasuk Indonesia telah mengusulkan wilayah laut 12 mil diukur dari titik terluar, serta menuntut adanya zone ekonomi eksklusif 200 mil. Kemajuan teknologi telah memungkinkan pengeboran minyak dan gas di lepas pantai mendorong sejumlah negara besar untuk menuntut penguasaan wilayah yang lebih luas. Menurut hukum internasional, semua negara sama martabatnya, tetapi dalam kenyataannya sering negara kecil mengalami kesulitan untuk mepertahankan kedaulatannya, apalagi jika negara tetangganya adalah negara besar. Di lain pihak, negara yang memiliki wilayah yang sangat luas juga menghadapi berbagai permasalahan, antara lain keanekaragaman suku, budaya, dan agama, serta masalah perbatasan dan sebagainya. 2. Penduduk Setiap negara pasti memiliki penduduk dan kekuasaan negara menjangkau seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Penduduk dalam suatu negara biasanya menunjukkan beberapa ciri khas yang membedakannya dari bangsa lain. Perbedaan ini tampak, misalnya, dalam kebudayaan dan dalam identitas nasionalnya. Kesamaan dalam sejarah, kesamaan bahasa, kesamaan kebudayaan, kesamaan suku bangsa, dan kesamaan agama merupakan faktor yang mendorong ke arah terbentuknya persatuan nasional dan identitas nasional yang kuat. Persamaan dan homogenitas tidak menjamin kokohnya persatuan. Sebaliknya, keanekaragaman juga tidak menutup kemungkinan untuk berkembangnya persatuan yang kokoh. Sebagai contoh, negara Swiss yang mempunyai empat bahasa dan India yang mempunyai 16 bahasa resmi. Walaupun demikian, kedua negara itu sampai sekarang masih tetap bersatu. Indonesia dengan puluhan bahasa daerah, suku bangsa, dan terdiri berbagai agama hingga saat ini juga masih 20 bersatu. Sebaliknya, Inggris dan Amerika Serikat memiliki bahasa yang sama, tetapi merupakan dua bangsa dan negara terpisah. Pakistan yang didirikan dengan alasan untuk mempersatukan wilayah India yang beragama Islam akhirnya pecah menjadi dua, yaitu Pakistan dan Banglades. Oleh karena itu, bagus untuk direnungkan apa yang dikatakan oleh filsuf Prancis Ernest Renan bahwa pemersatu bangsa bukanlah kesamaan bahasa, kesamaan agama, kesamaan suku ataupun kesamaan ras, akan tetapi tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk mencapai tujuan bersama di masa depan. 3. Pemerintahan Setiap negara memiliki organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputusan-keputusan ini antara lain berbentuk undang-undang dan berbagai peraturan lainnya. Dalam hal ini organisasi yang dimakud ialah pemerintah yang bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara. Dengan demikian, negara itu bersifat lebih permanen, sedangkan pemerintah biasanya silih berganti. Kekuasaan pemerintah biasanya dibagi menjadi tiga, yaitu legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undangundang), dan yudikatif (yang mengawasi pelaksanaan undang-undang). Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga model, yaitu (i) sistem pemerintahan presidensiil, misalnya Inggris, Malaysia, Indonesia, Philipina, (ii) sistem pemerintahan parlementer, seperti Inggris, Malaysia, Singapura, India, dan (iii) sistem pemerintahan campuran, misalnya Prancis. Sistem pemerintahan presidensiil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Dalam sistem parlementer jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Jabatan kepala negara untuk negara republik dipegang oleh presiden, untuk negara kerajaan dipegang raja atau ratu, sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. 4. Kedaulatan Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undangundang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia. Negara mempunyai kekuasaan tertinggi ini untuk memaksa semua penduduknya agar menaati undang-undang serta peraturan–peraturannya. Di samping itu, negara mempertahankan kemerdekaannya terhadap seranganserangan dari negara lain dan mempertahankan kedaulatannya ke luar. Untuk itu, negara menuntut loyalitas yang mutlak dari warga negaranya. Kedaulatan merupakan suatu konsep yuridis yang tidak selalu sama dengan komposisi dan letak kekuasaan politik. Kedaulatan yang bersifat mutlak sebenarnya tidak ada sebab pimpinan kenegaraan (raja atau diktator) selalu terpengaruh oleh tekanantekanan dan faktor-faktor yang membatasi penyelenggaraan kekuasaan mutlak; apalagi kalau menghadapi masalah dalam hubungan internasional. Perjanjian internasional pada dasarnya membatasi kedaulatan suatu negara. Kedaulatan umumnya diangap tidak dapat dibagi-bagi, tetapi di dalam negara federal sebenarnya kekuasaan dibagi antara negara dan negara-negara bagian. 21 F. Warga negara Pembicaraan tentang warga negara tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang penduduk. Penduduk adalah orang yang dengan sah bertempat tinggal dalam suatu negara. Sah berarti tidak bertentangan dengan ketentuan dan tata cara masuk dan bertempat tinggal dalam wilayah suatu negara. Istilah penduduk mencakup warga negara dan orang asing (orang di luar warga negara). Orang asing yang tinggal di suatu negara dilindungi oleh hukum internasional. Jadi, di mana saja ia berada berhak mendapat perlindungan dari negara yang bersangkutan; pada dasarnya mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara. Perbedaan keduanya terletak pada beberapa hak seperti hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang hanya dimiliki warga negara, begitu juga hak untuk diangkat menjadi pejabat negara. Warga negara adalah pengertian yuridis yang menyangkut keanggotaan dari suatu negara tertentu. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Penduduk, sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat 2, ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang (ayat 3). Lebih lanjut, status kewarganegaraan dalam suatu negara biasanya terkait dengan dua asas: (i) Ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan dan Ius Soli, yaitu asas yang menetukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran. Lazimnya kedua asas itu dipakai bersama-sama dalam penentuan kewarganegaraan suatu negara. 1. UU Kewarganegaraan Pasal 26 ayat (3) UUD 1945 berbunyi Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. Saat ini undang-undang yang mengatur tentang kewarganegaraan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini kata warga negara didefinisikan secara sederhana sebagai Warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang kemudian dirinci dalam pasal 4 sebagai berikut. (1) Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia. (2) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia (3) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing. (4) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia. (5) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum 22 negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut. (6) Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia. (7) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia. (8) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin. (9) Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak jelas kewarganegaraan ayah dan ibunya. (10) Anak yang baru lahir ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui. (11) Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. (12) Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan. (13) Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya kemudian ayah dan ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau janji setia. Sehubungan dengan hal di atas, asas yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 adalah sebagai berikut. (1) Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat lahir. (2) Asas ius soli (law of the soli) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasar tempat lahir, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini (3) Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. (4) Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-undang ini tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) atau pun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Kewarganegaran ganda dan tanpa kewarganegaraan menurut Krisni (2004: 32) timbul sebagai akibat penerapan asas kewarganegaraan yang tidak seragam. Kewarganegaraan ganda timbul ketika sepasang orang tua berasal dari negara yang berasas ius sanguinis (berdasar keturunan) bertempat tinggal dan melahirkan di negara yang menganut asas ius soli (berdasar kelahiran). Akibatnya, anak yang dilahirkan akan diakui sebagai warga negara dari negara orang tua yang berasas ius sanguinis dan warga negara dari tempat lahir yang menganut asas ius soli. 23 Karena kedua negara tersebut mengakui kewarganegaraan anak tersebut, anak yang bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda (bipatride). Di sisi lain, tanpa kewarganegaraan (apatride) timbul karena sepasang orang tua yang berasal dari negara yang menganut asas ius soli tinggal dan melahirkan di negara yang berasas ius sanguinis. Akibatnya, anak tidak memiliki kewarganegaraan karena lahir di negara yang berasas keturunan sementara orang tuanya berasal dari negara yang berasas tempat kelahiran. Untuk mengatasi terjadinya bipatride dan apatride ini Indonesia dengan undang-undang kewarganegaraan yang baru menganut asas ius soli, namun tanpa mengabaikan ius sanguinis. Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia: (1) Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri. (2) Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apa pun, baik di dalam maupun di luar negeri. (3) Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. (4) Asas kebenaran substantif adalah prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (5) Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender. (6) Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan mempermuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya. (7) Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka. (8) Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya. Pokok Materi yang diatur dalam Undang–Undang Kewarganegaraan Tahun 2006 ini meliputi (i) siapa yang menjadi warga negara, (ii) syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, (iii) kehilangan kewarganegaraan Indonesia, (iv) syarat-syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia, dan (v) ketentuan pidana. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UndangUndang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur mengenai kewarganegaraan dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. 2. Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan Pada mulanya hukum yang berkenaan dengan kewarganegaraan masih terkait dengan peraturan-peraturan yang berlaku di zaman Hindia Belanda. Atas dasar itu menurut Soepomo, orang yang bertempat tinggal di Indonesia di bagi dalam golongan-golongan, yaitu (i) kawulanegara Belanda dan orang asing, (ii) penduduk negara dan bukan penduduk negara, (iii) orang Eropa, bumiputera dan orang Timur Asing, serta (iv) orang Belanda, kawulanegara pribumi bukan orang Belanda dan kawulanegara mancanegara bukan orang Belanda. Sebagai ukuran untuk menentukan kewarganegaraan dipakai Undang-Undang Tahun 28 Juni 1850 yang diubah dengan Undang-Undang 3 Mei 1851 dan Pasal 5 BW Belanda tahun 1838. Asas yang dianut oleh kedua peraturan ini adalah asas ius soli, yaitu kewarganegaraan berdasarkan tanah kelahiran yang terus berlaku sampai ditetapkannya Undang-Undang 12 Desember 1892 yang menerapkan prinsip ius sanguinis, yaitu kewargenagaraan berdasarkan garis keturunan darah. Pengaturan hukum kewarganegaraan ini terus mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan, yaitu dengan terbitnya Undang-Undang 10 Februari 1910 dan UndangUndang 10 Juni 1927. Berdasar Undang-Undang Kewarganegaraan Hindia Belanda 10 Juni 1927, penduduk Indonesia dibedakan menjadi golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putera. Golongan Eropa meliputi bangsa Belanda, bukan bangsa Belanda namun berasal dari Eropa, orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum kewarganegaraannya sama dengan hukum kewarganegaraan Belanda (seperti Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan), bangsa Jepang dan keturunan bangsa-bangsa tersebut di atas. Adapun golongan Timur Asing meliputi orang-orang Cina dan orang-orang bukan Cina seperti orang India, Pakistan, Arab atau Mesir. Golongan yang ketiga adalah golongan Bumi Putera, meliputi orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan rakyat lain dan orang-orang yang mula-mula termasuk golongan rakyat lain, kemudian hidup menyesuaikan diri dengan orang Indonesia (Krisni, 2004: 29-30). Di samping itu, banyak lagi peraturan lain yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan persoalan kewarganegaraan ini sampai menjelang kemerdekaan. Namun, sejak kemerdekaan semua peraturan tersebut berubah karena sejak Indonesia merdeka dan berdaulat pengertian tentang warga negara dan kewarganegaraan Indonesia harus disesuaikan dengan rezim hukum baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi proklamasi. a. Masa Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1946 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 adalah UU yang mengatur kewarganegaraan Indonesia yang diberlakukan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 merupakan wujud 25 pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud dengan warga negara adalah sebagai berikut. (1) Penduduk asli dalam daerah Republik Indonesia termasuk anak-anak dari penduduk itu (2) Istri seorang warga negara Republik Indonesia (3) Keturunan dari warga negara Republik Indonesia yang kawin dengan warga negara asing (4) Anak-anak yang lahir dalam daerah wilayah Republik Indonesia yang tidak diketahui siapa orang tuanya (5) Anak-anak yang lahir dalam jangka waktu 300 hari, setelah ayahnya yang berkewarganegaraan Republik Indonesia meninggal dunia (6) Orang yang bukan penduduk asli yang telah bertempat tinggal selama lima tahun berturut-turut dan telah berumur 21 tahun atau telah kawin. Apabila yang bersangkutan berkeberatan menjadi warga negara Republik Indonesia, ia boleh menolak dengan alasan ia adalah warga negara lain. Proses masuknya seseorang menjadi warga negara Republik Indonesia dapat dilakukan dengan naturalisasi. b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) Republik Indonesia Serikat merupakan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Akibatnya, pengaturan tentang kewarganegaraan belum sempat diundangkan. Untuk mengatasinya, digunakan pasal 194 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang dinyatakan bahwa mereka yang sudah warga negara Indonesia Serikat ialah mereka yang mempunyai kewarganegaraan menurut persetujuan penentuan kewarganegaraan yang dilampirkan pada pemulihan kedaulatan. Dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang yang mengatur Kekaulanegaraan Belanda dalam UndangUndang Nomor 3 tahun 1946 tidak berlaku lagi. Akibatnya, bagi keturanan Cina dan Arab yang tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia, apabila dalam waktu dua tahun sesudah tangal 27 Desember 1949 tidak menolak kewarganegaraan Republik Indonesia, mereka dianggap warga negara Indonesia. Demikian pula orang Belanda yang dilahirkan di wilayah Republik Indonesia dan bertempat tinggal di wilayah Indonesia selama enam bulan dan dalam waktu dua tahun setelah 27 Desember 1949 menyatakan memilih warga negara Republik Indonesia, yang bersangkutan dianggap sebagai warga negara Republik Indonesia. Orangorang kaulanegara bukan orang Belanda yang lahir di Indonesia yang dalam waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 tidak menolak kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi warga negara Republik Indonesia. c. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Sejak tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlakulah UndangUndang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan Undang-Undang yang mengatur kewarganegaraan Indonesia, sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. Berdasarkan UndangUndang Nomor 62 tahun 1958, yang dimaksud dengan warga negara Indonesia adalah 26 (1) mereka yang telah menjadi warga negara berdasarkan undang-undang, peraturan, atau perjanjian yang pernah berlaku sebelumnya, (2) mereka yang memenuhi syarat tertentu yang ditetapkan dalam undangundang yang pernah ada, (3) mereka yang pada waktu lahir mempunyai hubungan kekeluargaan dengan seorang warga negara Republik Indonesia, misalnya ayah, (4) mereka yang waktu lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayahnya tersebut berkewarganegaraan Indonesia, serta (5) mereka yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. Kewarganegaraan Indonesia dapat hilang, menurut Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958, karena hal-hal sebagai berikut: (i) dengan sengaja atau sadar menolak kewarganegaraan Indonesia, (ii) menolak kewarganegaraan Indonesia dikarenakan khilaf atau ikut-ikutan saja, serta (iii) ditolak oleh orang lain, misalnya, seorang anak yang mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya menolak sebagai warga negara Indonesia. Apabila timbul keragu-raguan terhadap kewarganegaraan Republik Indonesia dari seseorang, dibutuhkan Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh di pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal. Undang–Undang Nomor 62 tahun 1958 diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 dengan perubahan yang terdapat pada ketentuan pasal 18. UndangUndang Nomor 62 tahun 1958 itu sendiri menurut Jimly Assidddiqie (2007: 666667) tidak sesuai secara filosofis, sosiologis, dan bahkan yuridis-konstitusional; dapat dikatakan tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia sejak lama. Landasan pembentukan Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 itu adalah UUDS tahun 1950 yang tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apalagi setekah reformasi dengan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 telah pula mengalami perubahan paradigma hukum kewarganegaraan Indonesia secara mendasar. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan pasal 26 ayat 3 UUD 1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang, pada tahun 2006 telah disahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yang mengubah hukum kewarganegaraan kita secara mendasar. Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Tahun 2006 disusun atas dasar pertimbangan-pertimbangan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjamin potensi, harkat, dan martabat setiap orang sesuai dengan hak asasi manusia. Warga negara itu sendiri merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok dari suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 tentang perubahan pasal 18-nya, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru. Atas dasar pertimbangan itulah dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang kewarganegaraan yang baru dengan berbasis pada ketentuan ketentuan pasal 20, Pasal 21, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 B ayat 2, Pasal 28 D ayat 1 dan ayat 4, Pasal 28 E ayat 1, pasal 28 L ayat 2, dan pasal 28 J UUD 1945. 27 G. Nasionalisme 1. Pengertian Nasionalisme Nasionalisme jika ditinjau secara etimologis berasal dari bahasa Latin nation (kata benda natio, dari kata kerja nasci yang berarti dilahirkan) yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Namun, arti dan hakikat yang melekat pada kata tersebut sudah berubah menurut ruang dan waktu serta disesuaikan dengan ideologi penafsirnya. Secara fundamental nasionalisme timbul dari adanya national consciousness. Dengan istilah lain, nasionalisme adalah formalisasi dan rasionalisasi dari kesadaran nasional. Kesadaran nasional inilah yang membentuk nation dalam arti politik, yakni negara nasional (Ismaun dalam Noor M.Bakry, 1994: 172). Nasionalisme merupakan gejala sosio-politik yang berkembang secara dialektik, berakar di masa silam serta tumbuh dan berkembang yang akhirnya terwujud semangat persatuan dengan dasar cita-cita hidup bersama dalam satu negara nasional. Dengan demikian, nasionalisme yang merupakan faham kebangsaan ini memiliki dua hal pokok sebagai perwujudannya, yaitu kenangan masa lampau dalam hidup berbangsa dan kehendak untuk bersatu dalam hidup bernegara. Dengan dua dasar tersebut nasionalisme sebagai gejala sosio-politik berhubungan erat dengan organisasi negara, sebagai organisasi politik, kekuasaan serta alat perjuangan (Noor M Bakry,1994: 172). Oleh karena itu, pembahasan mengenai pemahaman tentang nasionalisme selalu terkait dengan bangsa dan negara. Ketigatiganya termasuk ke dalam gagasan hegemonik. Dalam arti yang paling sederhana Gooch menegaskan bahwa nasionalisme merupakan kesadaran diri suatu bangsa. Ia telah menjadi doktrin utama sejak akhir abad ke-18. Dalam arti yang umum dan netral, menurut Greenfeld dan Chirot, istilah nasionalisme mengacu pada seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai identitas lain seperti okupasi, agama, suku, bahasa, wilayah, kelas, gender dan lain-lain (Rusli Karim,1996: 95). Nasionalisme adalah semacam etnosentrisme atau pandangan yang berpusat pada bangsanya, yaitu gejala seperti semangat nasional dan kebanggaan nasional sebagai gejala umum untuk mensolidarisasikan diri dengan suatu kelompok yang senasib (ensiklopedi Politik dan Pembangunan, 1988: 219). Nasionalisme dalam arti negatif adalah suatu sikap yang keterlaluan, sempit, dan sombong terhadap bangsanya. Apa yang menguntungkan bangsanya sendiri begitu saja dianggap benar, sampai kepentingan dan hak bangsa lain diinjak-injak. Nasionalisme semacam ini mencerai-beraikan bangsa satu dengan bangsa yang lain. Nasionalisme dalam arti positif adalah sikap nasional untuk mempertahankan kemerdekaan dan harga diri bangsa dan sekaligus menghormati bangsa lain. Nasionalisme dalam pengertian ini sangat berguna untuk membina rasa persatuan antara penduduk negara yang heterogen karena perbedaan suku, agama, ras, dan golongan, serta berfungsi untuk membina rasa identitas dan kebersamaan dalam negara dan sangat bermanfaat untuk mengisi kemerdekaan yang sudah diperoleh. Nasionalisme merupakan ekspresi hubungan antara darah dan tanah. Nasionalisme adalah sebuah ideologi dalam pengertian seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tingkah laku dan perbuatan. Nasionalisme mengalami 28 dinamika. Oleh karena itu, dalam setiap kurun waktu, setiap generasi muncul dalam dimensi yang khas. Pada masa penjajahan, nasionalisme tampil sebagai ideologi untuk mengusir penjajah. Pada masa kemerdekan, nasionalisme mewujudkan dirinya dalam usaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman ekonomi kolonial. Ancaman nasionalisme dalam kurun waktu pascakemerdekaan ini adalah gurita ekonomi yang melilit kehidupan bangsa-bangsa di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Tudingan yang sering terlontar ialah semakin pudarnya semangat nasionalisme di kalangan generasi muda. Tudingan itu belum tentu benar, tetapi sudah mulai membentuk sigma ditengah masyarakat. Bila ukurannya semangat patriotisme dan perjuangan fisik seperti perang kemerdekaan dulu, tentu ada benarnya. Generasi sekarang tidak mungkin lagi melakukan perjuangan fisik penuh heroisme seperti masa lalu. Akan tetapi, nasionalisme bukanlah sesuatu yang kaku. Ini tidak aneh karena sebagai konsep sosial, nasionalisme muncul, berkembang, dan mengalami evolusi yang sangat panjang hingga mengalami bentuk seperti sekarang. Paham nasionalisme mengajarkan bahwa suatu bangsa bernegara dapat dibangun dari masyarakat yang majemuk, jika warga masyarakat tersebut benar-benar bertekad kuat untuk membangun masa depan bersama, terlepas perbedaan agama, ras, etnik atau ikatan primordial lainnya. Nasionalisme adalah suatu visi atau suatu persepsi dan bangsa yang dibangun berdasarkan visi ini adalah suatu imagined community atau sebuah komunitas yang dibayangkan. 2. Sejarah Nasionalisme Bermula pada masa Kekaisaran Romawi sekitar 400 tahun Sebelum Masehi istilah nasionalisme muncul dengan makna negatif. Baru pada abad 18 pada masa revolusi Prancis nasionalisme memiliki makna positif. Namun dalam perkembangannya, nasionalisme yang fanatik menimbulkan fasisme seperti yang terjadi di sejumlah negara Eropa, sedangkan di sisi lain menumbuhkan semangat pembebasan bangsa-bangsa Asia Afrika dari belenggu kolonialisme. Nasionalisme yang muncul pada akhir abad 18 dalam suasana liberalisme di antar bangsa-bangsa Eropa yang merasa perlu menekankan identitas dan kesamaan derajatnya dengan Inggris dan Prancis yang pada waktu itu paling maju. Walaupun bangsa-bangsa lain, seperti Jerman dan Italia khususnya, merasa sama dalam hal budaya, namun secara politis mereka kurang berarti karena terpecah belah. Oleh karena itu, rasa nasionalisme pada waktu itu berkobar-kobar bahkan sengaja dikobarkan sampai negara-negara bersatu dan merdeka dicapai pada akhir abad 19. Bangsa-bangsa Eropa Timur, Asia, dan Afrika pada abad 20 dengan gigih berjuang untuk membangun identitas nasional sebagai suatu hal yang baru karena warisan yang lama yaitu kebudayaan suku yang seringkali tanpa daya tidak memadai untuk membangun suatu negara nasional, bahkan kadang-kadang menghalangi. Dalam usaha menciptakan basis ideologis untuk perjuangan nasional tidak jarang perlu dikembangkan bahasa nasional dan diambil ide-ide dan cara hidup yang baru dari bangsa yang sudah membentuk negara nasional. Dalam praktiknya, banyak mengambil ide-ide dari barat yang kadang-kadang menjadi lawan utama dari para nasionalis. Oleh karena itu, timbullah paham yang setengah baru setengah lama sebagai bangsa. Nasionalisme baik yang ada di Eropa Timur, 29 Balkan, Asia maupun Afrika sangat tertarik, tetapi juga sekaligus menolak apa yang terpaksa dicontoh dari barat tersebut. Tidaklah mengherankan jika banyak nasionalis abad ini yang merupakan tokoh-tokoh peralihan dari era tradisional dan modern seperti Sun Yat Sen, Kemal Atratruk, Nehru, Soekarno, dan Nasser. Sesudah nasionalis mencapai tujuannya, yaitu negara bersatu dan merdeka serta tidak perlu terancam lagi, tidak jarang nasionalisme menjadi melemah, berubah bentuknya. Kadang-kadang daya yang menimbulkan nasionalisme berhasil juga diubah untuk mewujudkan negara yang demokratis dan maju. Dalam kenyataannya bahwa nasionalisme sejak lahir pada abad 18, telah berkembang cepat ke seluruh Eropa sepanjang abad ke 19, dan dalam abad ke-20 menjadi suatu gerakan sedunia, yang bersifat universal. Akan tetapi, kata nasionalisme memiliki arti positif hanya di Amerika Latin, Afrika, Timur-Tengah, dan Asia sebagai kata yang menyarankan pembebasan dari tekanan kolonial. Sebaliknya, di Barat kata nasionalisme jarang dipergunakan untuk menggambarkan masyarakat barat sendiri. Mereka lebih cocok dengan istilah patriotist karena nasionalisme secara umum di bayangkan sebagai sesuatu yang jelek dan patriotisme sebagai sesuatu yang baik. Orang Amerika yang baik disebut patriotis dan bukan nasionalis. Hal ini dapat dipahami mengingat bagi negara-negara penjajah rasa nasionalisme dianggap gangguan, tetapi di lihat dari kacamata negara-negara yang dijajah nasionalisme dijadikan modal untuk dapat mengusir penjajah. 3. Nasionalisme Indonesia Nasionalisme bagi bangsa Indonesia merupakan suatu faham yang menyatukan pelbagai suku bangsa dan pelbagai keturunan bangsa asing dalam wadah kesatuan negara Republik Indonesia. Dalam konsep ini berarti tinjauannya bersifat formal, yaitu kesatuan dalam arti kesatuan rakyat yang menjadi warga negara Indonesia, yang disebut dengan nasionalisme Indonesia. Karena rakyat Indonesia ber-Pancasila, nasionalisme Indonesia disebut juga dengan nasionalisme Pancasila, yaitu faham kebangsaan yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila (Noor Ms Bakry, 1994: 173). Untuk memahami pengertian nasionalisme Indonesia, Noor Ms. Bakry (1994: 109) secara sistemik menjelaskan dengan mengacu pada sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Istilah persatuan berasal dari kata satu, yang berarti utuh tidak terpecah belah. Persatuan berarti sifat-sifat dan keadaan yang sesuai dengan hakikat satu. Dalam hal itu, terkandung pengertian disatukannya bermacam-macam bentuk menjadi satu kebulatan atau dengan kata lain diartikan juga usaha untuk menjadikan keseluruhan ke arah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dari dua pengertian itu dapat dikatakan bahwa persatuan adalah proses ke arah bersatu. Di dalam persatuan ini harus ada sesuatu hal sebagai ciri pembeda yang dapat menghimpun bermacam-macam hal menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh, di dalam persatuan sepak bola, sesuatu hal yang dapat menghimpunnya adalah keahlian dalam hal bermain bola. Karena adanya keahlian inilah, mereka yang dari bermacam-macam anggota dapat dihimpun menjadi satu kesatuan yang erat hubungannya antara yang satu dan yang lain. Demikian pula dalam hal kenegaraan. Yang dapat menghimpunnya menjadi satu kesatuan adalah adanya keinginan hidup bersama dalam satu negara. Persatuan merupakan suatu proses atau usaha, sedangkan tujuannya adalah kesatuan. Sila persatuan ini sering disebut 30 juga dengan kebangsaan sebagaimana termuat dalam Mukadimah Konstitusi RIS 1949 maupun Mukadimah UUDS 1950. Dua istilah ini berbeda walaupun dengan inti yang sama. Istilah kebangsaan jika dianalisis mempunyai dua pengertian, yaitu kebangsaan alami dan kebangsaan negara. Kebangsaan alami ialah rasa solidaritas atau rasa kesatuan atas dasar persamaan darah dan kesatuan asal turunan. Kebangsaan negara ialah rasa solidaritas atau rasa kesatuan atas dasar cita-cita bersama yang mendorong untuk hidup bersama dalam satu negara. Konsep kebangsaan apabila di bawa ke masalah kenegaraan bukanlah kebangsaan atas dasar asal keturunan, yaitu kebangsaan yang didasarkan atas sejarah yang sama, nasib yang sama, dan kehendak yang sama karena hal yang demikian ini tidak dapat diterapkan dalam negara-negara sekarang. Negara-negara sekarang memasukkan juga kelompok manusia lain yang tidak sama sejarahnya dan tidak sama nasibnya. Sebagai contoh, rakyat Timor-Timur tidak sama sejarah dan sama nasibnya, tetapi mereka pernah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebangsaan hanya diartikan sebagai mempunyai cita-cita yang sama untuk menjadi satu kesatuan sebagai warga negara. Kesatuan dalam satu negara ini tidak terjadi secara alami, tetapi satu kesatuan yang dibentuk. Jadi, kebangsaannya secara buatan atau kebangsaan negara yang lebih populer dengan sebutan istilah nasionalisme, untuk membedakan kebangsaan secara alami. Nasionalisme inilah yang dituju oleh persatuan. Jadi, persatuan merupakan proses, sedangkan tujuannya adalah nasionalisme (kesatuan dalam negara). Bagaimana nasionalisme Indonesia? Noor M Bakry menjelaskan bahwa istilah Indonesia ditinjau secara politis dapat diartikan sebagai bangsa Indonesia dan dapat juga diartikan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia juga memiliki dua makna, yaitu bangsa alami dan bangsa dalam pengertian negara. Bangsa alami ialah sekelompok manusia yang bertabiat sama dan berketurunan sama yang berasal dari wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia dalam makna negara ialah sekelompok manusia yang mempunyai cita-cita hidup bersama dalam satu ikatan politis kenegaraan Indonesia. Rakyat Indonesia ialah sekelompok manusia yang menjadi warga negara Indonesia dan ada pertautan hukum yang berlaku di Indonesia, baik yang berdiam di dalam maupun luar negeri. Jadi, hal itu ditinjau secara formal atas dasar kewarganegaraan. Berdasarkan uraian di atas dapat dibedakan antara bangsa Indonesia dengan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia dalam pengertian umum belum tentu rakyat Indonesia, sebagaimana orang-orang Maluku yang berdiam di negara Belanda, bagaimana pun mereka tetap bangsa Indonesia yang lambat laun berdasarkan kelamaan waktu kemungkinan keturunannya tidak memakai istilah bangsa Indonesia, tetapi keturunan Indonesia, yaitu keturunan bangsa yang berasal dari Indonesia. Contoh lain, orang-orang Jawa yang berada di Suriname disebut juga keturunan Indonesia, tetapi bukan rakyat Indonesia. Demikian juga rakyat Indonesia belum tentu bangsa Indonesia, sebagaimana warga negara Indonesia keturunan asing, misalnya orang-orang Cina yang menjadi warga negara Indonesia, mereka bukan bangsa Indonesia asli, tetapi bangsa Cina yang menjadi rakyat Indonesia. Selanjutnya yang dimaksud dengan kata Indonesia dalam rumusan Persatuan Indonesia adalah arti politik karena yang menyesuaikan dengan hakikat satu atau yang dapat menjadikan dirinya ke arah satu kesatuan adalah manusia, 31 yaitu rakyat Indonesia. Dengan demikian, dapat dirumuskan secara jelas bahwa persatuan rakyat Indonesia ialah persatuan sekelompok manusia yang menjadi warga negara Indonesia. Kelompok rakyat Indonesia, baik yang berkebangsaan Indonesia asli maupun yang keturunan asing, dengan adanya perjalanan waktu, dapat juga mempunyai cita-cita yang sama, sehingga akhirnya membentuk suatu kesatuan karena kesatuan dalam satu negara merupakan dasar negara Indonesia. Jadi, nasionalisme Indonesia berarti rasa kesatuan yang tumbuh dalam hati sekelompok manusia berdasarkan cita-cita yang sama dalam satu ikatan organisasi kenegaraan Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa nasionalisme Indonesia adalah kebangsaan Indonesia yang dibentuk, bukan secara alami. Persatuan Indonesia dalam Pancasila dapat diuraikan secara singkat sebagai usaha ke arah bersatu dalam kebulatan satu kesatuan rakyat untuk membina nasionalisme dalam negara. Persatuan Indonesia adalah proses untuk menuju terwujudnya nasionalisme Indonesia. H. Partisipasi dalam Pembelaan Negara Bila belajar dari sejarah, kita sering mendapatkan fakta yang di luar dugaan. Tidak seorang pun menyangka super-power Uni Soviet yang demikian perkasa, memiliki senjata super canggih yang ditakuti dunia, tiba-tiba ambruk sebagai suatu negara dan hancur berantakan menjadi 15 negara merdeka. Tidak seorang pun menduga Yugoslavia bubar dan pecah menjadi 6 (enam) negara merdeka. Demikian pula, tidak seorang pun mengira negeri sekecil Cekoslovakia cerai berai menjadi dua (dua) negara merdeka, yaitu Ceko dan Slovakia. Sebagai negara yang berasal dari kumpulan etnis, kemampuan bertahan dalam satu bangsa rata-rata cuma selama 70 tahun. Bangsa Indonesia merupakan negara yang memiliki kumpulan suku paling heterogen sedunia. Memiliki sekitar 300 suku, 300 bahasa daerah, punya pulau sekitar 17.508 pulau. Jika sedikit salah urus, Indonesia akan pecah berkeping-keping. Tentunya hal ini tidak kita kehendaki. Untuk itu perlu adanya usaha yang serius dan sungguh-sungguh dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Usaha untuk menyelamatkan bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan bagian dari hak dan kewajiban seluruh masyarakat Indonesia yang dikenal dengan istilah bela negara. 1. Pengertian Bela negara UU nomor 20 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pertahanan Keamanan negara RI dalam Bab I Pasal 1 Ayat (2) mengatakan bahwa bela negara adalah tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa, dan bernegara Indonesia serta keyakinan akan kesaktian Pancasila sebagai ideologi negara dan kerelaan untuk berkorban guna meniadakan setiap ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan dan persatuan bangsa, keutuhan wilayah dan yuridiksi nasional, serta nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian bela negara ini mengandung arti bahwa ada empat hal esensial yang harus dibela, yaitu (i) kemerdekaan dan kedaulatan negara, (ii) kesatuan dan 32 persatuan bangsa, (iii) keutuhan wilayah dan yuridiksi nasional, dan (iv) nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. UU RI nomor 56 tahun1999 tentang Rakyat Terlatih mengatakan bahwa bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sikap dan tindakan warga negara yang dimaksud di atas mengandung butir-butir menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesi dan kemampuan masing-masing. Kecintaan terhadap tanah air Indonesia mengandung butir-butir (i) sadar berbangsa dan bernegara Indonesia, (ii) kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara, (iii) memahami akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang hidup dalam kebhinekaan yang berkesatuan. Menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara mengandung butir-butir (i) mengenal segala ancaman baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri, (ii) menjamin kelangsungan identitas (ciri kehidupan nusantara yang berpancasila) dan integritas (persatuan dan kesatuan) bangsa, (iii) terselenggaranya perkembangan kehidupan/kesejahteraan seluruh rakyat, bernuansa proaktif, aktif dan responsive serta (iv) menjamin tetap tegaknya NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945. Bela negara merupakan upaya penyadaran bahwa setiap warga negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membela kepentingan nasional demi tetap menjaga keutuhan negara. Sebagai upaya penyadaran maka cara indoktrinasi penyampaian materi merupakan cara yang tidak benar. Persoalan bela negara perlu dikaji secara sistematis, metodis, dan obyektif agar masyarakat dapat menerima dengan sepenuh hati. Bela negara tidak harus diartikan semangat buta untuk memperjuangkan kepentingan negara, tetapi dengan pemikiran yang jernih dan pertimbangan rasional yang matang untuk membela negara dalam rangka mencapai tujuan negara. 2. Peraturan Perundang-Undangan RI tentang Hak dan Kewajiban Bela negara a. UUD 1945 UUD 1945 hanya memuat dua pasal mengenai angkatan perang dan pembelaan negara. Pasal 10 menetapkan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Pasal 30 menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Syarat tentang pembelaan negara diatur dengan undangundang. Yang dimaksud dengan warga negara, ialah orang-orang Indonesia baik asli maupun keturunan yang tunduk pada hukum dasar Indonesia dan hukumhukum lain yang mengikutinya, baik tinggal di wilayah NKRI, maupun yang berada di luar wilayah Indonesia. Dengan demikian, yang berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara itu, tidak hanya terbatas pada kalangan angkatan bersenjata melainkan seluruh warga negara, baik pedagang, petani, pegawai karyawan perusahaan, abang becak, ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar semua wajib ikut membela negara. b. UUD 1945 Setelah Amandemen (1) Pasal 27 ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. 33 (2) (3) (4) (5) (6) Pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam uasaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat 2 menyatakan bahwa usaha pertahanan dan keamanan dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta oleh TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara) dan Polri sebagai kekuatan utama serta rakyat sebagai pendukung. Pasal 30 ayat 3 menyatakan bahwa TNI terdiri dari angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Pasal 30 ayat 4 menyatakan bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan bertugas melindungi, mengayomo, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Pasal 30 ayat 5 menyatakan bahwa Susunan Kedudukan TNI, Kepolisian negara RI, hubungan kewenangan TNI dan Kepolisian negara RI didalam menjalankan tugas, syarat-syarat keikutsertan warga negara didalam usaha pertahanan dan keamanan serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan kemanan negara diatur dengan undang-undang. c. Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 68 menyatakan bahwa setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Undang-Undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan negara (1) Pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. (2) Pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa keikutsertaan warga negara upaya bela negara, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1, diselenggarakan melalui a) pendidikan kewarganegaraan, b) pelatihan dasar kemiliteran wajib, c) pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib, serta d) pengabdian sesuai profesi. (3) Pasal 9 ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi di atur dengan undang-undang. (4) Pasal 2 menyatakan bahwa hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. (5) Pasal 4 menyatakan bahwa pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Dari peraturan perundangan-undangan tentang hak dan kewjiban bela negara sebagaimana terurai di atas dapat ditarik intisari bahwa bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada Negara Kesatuan 34 Rebulik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jwab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Warga negara dapat mengambil peran dalam hal melakukan usaha bela negara sesuai dengan profesinya masing-masing. Usaha pembelaan negara sesungguhnya sudah menyatu dalam budaya dan sepanjang keberadaan bangsa Indonesia. Sebagai bukti, perlawanan terhadap penjajah dilakukan rakyat Indonesia sejak pertama kali datangnya penjajah di bumi Nusantara ini, seperti Perang Bali (1814-1849), Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Batak (1870-1907), dan Perang Aceh (1870-1904). Hal itu dibuktikan oleh adanya perlawanan rakyat Indonesia terhadap Belanda pada masa revolusi fisik. Semua orang yang masih kuat, para pemuda serta pemudi, baik pegawai negeri maupun pegawai swasta, para petani dan pedagang, bahkan tuna karya semua terjun dalam kancah perlawanan terhadap Inggris dan Belanda. Ada yang berjuang di garis depan, ada yang bekerja di dapur umum, para petani menyediakan beras dan lauk pauknya, penduduk menyediakan rumah-rumah untuk pejuang. Para pedagang menyediakan barang-barang untuk kebutuhan prajurit. Tidak jarang mereka juga mengusahakan persenjataan untuk kepentingan perlawanan, yang semuanya dilakukan atas dasar kesadaran tanpa pamrih, tanpa memikirkan balas jasa dan kedudukan. Bela negara bukanlah semata-mata kita semua harus menyandang senjata, melainkan mempunyai arti luas, yaitu pembelaan dalam segala segi kehidupan, baik perekonomian, politik, ideologi, sosial budaya dan kemiliteran. 3. Sikap Apabila ada pihak yang ingin menghancurkan negara a. Paham Bangsa Indonesia terhadap Perang Berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945 baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam pembukaannya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang cintai damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia ingin hidup bersahabat dengan semua bangsa di dunia dan tidak menghendaki peperangan. Bangsa Indonesia memahami sepenuhnya bahwa penggunaan kekerasan senjata dalam usaha menyelesaikan persengketaan akan menimbulkan kesengsaraan bagi umat manusia, baik bagi si pemenang, apalagi yang kalah. Oleh sebab itu, dalam usaha memelihara perdamaian dunia serta mewujudkan aspirasi dan cita-cita kemerdekaannya, bangsa Indonesia ingin menyelesaikan setiap persengketaan secara damai, atas dasar saling menghormati dan saling pengertian akan martabat kemerdekaan dan kedaulatan masing-masing. Bagi bangsa Indonesia perang merupakan jalan terakhir yang terpaksa ditempuh, setelah sejauh mungkin ditempuh jalan damai, dalam usaha mempertahankan falsafah Pancasila, kemerdekaan dan kedaulatan negara serta keutuhan martabat bangsa Indonesia. b.Perlunya setiap Negara Memiliki Angkatan Perang Mengapa setiap bangsa perlu membentuk angkatan perang (Angkatan Bersenjata)? Sejarah menunjukkan bahwa apabila negara ingin damai, negara itu harus mempersiapkan diri untuk perang. Apabila suatu negara hanya memperhatikan kesejahteraan saja tetapi mengabaikan kepentingan pertahanan 35 keamanannya, negara tersebut mudah ditekan atau dikalahkan oleh suatu negara kecil lainnya, yang sudah siap mengadakan perang. Kesiapan untuk berperang dapat merupakan faktor pencegah terhadap usaha perang dari musuh, yang berkeinginan untuk menyerang suatu negara. Berakhirnya perang dingin telah mengubah secara dramatis kondisi lingkungan strategis regional dan global. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai kecenderungan baru di berbagai belahan dunia, termasuk dikawasan Asia Pasifik. Salah satu wujud perubahan tersebut adalah terjadinya pergeseran pertimbangan kekuatan berbagai kawasan di dunia yang dipacu oleh meningkatnya perlombaan persenjataan serta melemahnya beberapa kekuatan negara sebagai akibat dari arus globalisasi. Salah satu karekteristik penting yang menyertai perubahan tersebut adalah bahwa berakhirnya perang dingin ternyata tidak serta merta diikuti oleh berakhirnya ancaman bersenjata terhadap negara-negara di dunia. Walaupun dalam skala yang kecil, di berbagai kawasan dunia perang terus terjadi, dan bahkan menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Dengan demikian, mudah dipahami jika mayoritas negara-negara di kawasan ini terus berusaha untuk memiliki kekuatan militer yang tangguh. Dalam pandangan negara-negara tersebut, memiliki kekuatan militer yang tangguh merupakan hal yang esensial karena kekuatan militer sampai saat ini masih tetap merupakan faktor penting dalam hubungan internasional. Mereka tetap percaya bahwa kekuatan militer masih terus menjadi salah satu faktor penting dalam usaha perwujudan kepentingan nasional mereka di dunia. Realisasi politik internasional menunjukkan bahwa ancaman kekuatan militer hanya dapat diselesaikan dengan cepat melalui kekuatan militer pula. Akibatnya, berbagai belahan dunia perlombaan senjata juga terus berlangsung, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Keseluruhan kecenderungan tersebut, langsung maupun tidak langsung, pasti akan dan telah mentransformasikan lingkungan strategis Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Keamanan masa depan Indonesia, sebagaimana kesejahteraan ekonomi, akan sangat ditentukan oleh kondisi strategis kawasan Asia Pasifik. Kawasan Asia Pasifik adalah kawasan yang paling dinamis, secara ekonomi maupun strategis. Dalam dua atau tiga dekade ke depan diperkirakan kawasan ini akan mengalami perubahan strategis yang esensial. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan perlombaan senjata yang paling intens dan memiliki potensi konflik yang terbesar di dunia. Misalnya, konflik antara Korea Utara dengan Korea Selatan, RRC dengan Taiwan, konflik beberapa negara di kepulauan Sprately, India dan Pakistan, dan sebagainya. Cukup masuk akal jika banyak yang berpendapat bahwa berakhirnya perang dingin ternyata telah menimbulkan ketidakmenentuan baru dikawasan ini. Dalam keadaan tidak menentu tersebut, untuk menjaga keamanan Indonesia diperlukan antisipasi yang memadai. Dalam hal ini, di samping hubungan ekonomi, politik, dan kebudayaan dengan negara-negara di kawasan, kemampuan militer yang efektif tetap penting bagi keamanan Indonesia. Sebagaimana di sebut dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, salah satu bentuk kongkritisasi upaya tersebut adalah jaminan bahwa pemerintah harus dapat mencegah atau menghancurkan setiap ancaman militer terhadap Indonesia. Untuk itu, Indonesia harus memiliki kekuatan militer yang memadai serta kebijaksanaan 36 yang mendukung usaha pertahanan dan keamanan tersebut. Untuk memiliki kekuatan yang tangguh sesuai dengan tuntutan lingkungan strategis, Indonesia harus memiliki dan memahami gambaran yang jelas, obyektif, dan komprehensif mengenai peta kekuatan militer negara-negara Asia Pasifik beserta kecenderungannya pascaperang dingin. Gambaran tersebut selanjutnya dapat menjadi bahan acuan untuk merumuskan kebijaksanaan pertahanan dan keamanan nasional Indonesia di masa yang akan datang. c. Sejarah Singkat Pembentukan Angkatan Perang RI Pada Sidang PPKI ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk tentara, tetapi keputusan ini kemudian diubah dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 22 Agustus 1945. Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Penggunaan nama tentara dihindari untuk menunjukkan politik damai Republik Indonesia terhadap pihak sekutu yang menang parang. BKR bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban di daerah-daerah. BKR tumbuh secara spontan di daerah-daerah didorong oleh panggilan jiwa para pemuda, banyak di antaranya bekas Peta, Heiho, KNIL dan lain-lain. Mereka terdorong untuk mengabdi dan berbakti pada bangsa dan negara yang kedaulatannya mengahadapi ancaman pihak penjajah. BKR mempersenjatai, melengkapi, dan membekali diri sendiri serta disusun secara kedaerahan dan sedikit banyak dikendalikan oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah. Pada tanggal 5 Oktober dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan bahwa untuk memperkuat peranan keamanan umum, diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Bekas Mayor KNIL Urip Sumohardjo diserahi tugas untuk membentuknya dan diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Pada tanggal 1 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), yang dapat diartikan memperluas dan memperdalam tugas tentara dari keamanan menjadi keselamatan dalam arti yang lebih luas. Selanjutnya dalam rangka menjadikan Tentara Keselamatan Rakyat sebagai alat negara yang patuh kepada pemerintah, pada tanggal 25 Januari 1946 dikeluarkanlah maklumat yang mengubah nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di negara Kesatuan Republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional. Adanya dua macam tentara, yaitu TRI sebagai tentara resmi di bawah Panglima Besar dan brigade-brigade kelaskaran di bawah Biro Perjuangan sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia menghadapi ancaman Belanda. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkan Dekrit Presiden agar dalam waktu sesingkat-singkatnya mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Selanjutnya pada tanggal 17 Juni 1947 dikeluarkan Penetapan Presiden yang antara lain menetapkan bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia( TNI). Dalam hal ini TNI ini tergabung TRI, kesatuankesatuan dan Biro Perjuangan serta pasukan-pasukan bersenjata. 37 BAB III PERSAMAAN KEDUDUKAN WARGA NEGARA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN Standar Kompetensi: Menganalisis dan menunjukkan sikap positif terhadap persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Kompetensi Dasar: 1. Mendeskripsikan hakikat warga negara dan pewarganegaraan di Indonesia. 2. Menganalisis persamaan kedudukan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara. 3. Menerapkan prinsip persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. A. Hakikat Warga Negara dan Pewarganegaraan di Indonesia 1. Penduduk dan Warga negara Menurut pasal 26 ayat (2) UUD 1945, penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Menurut pasal 26 ayat (1) warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Menurut UndangUndang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia, Warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia. Warga negara dari suatu negara berarti anggota dari negara itu yang merupakan pendukung dan penanggung jawab terhadap kemajuan dan kemunduran suatu negara. Oleh sebab itu, seseorang menjadi anggota atau warga suatu negara haruslah ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh negara tersebut. Sebelum negara menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negara terlebih dahulu negara harus mengakui bahwa setiap orang berhak memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya serta berhak kembali sebagaimana dinyatakan oleh pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Pernyataan ini mengandung makna bahwa orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dapat diklasifikasikan menjadi (i) penduduk, yaitu yang memiliki domisili atau tempat tinggal tetap di wilayah negara itu, yang dapat dibedakan warga negara dengan Warga negara Asing (WNA) dan (ii) bukan penduduk, yaitu orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa yang diberikan oleh negara (Kantor Imigrasi) yang bersangkutan, seperti turis. 2. Asas Kewarganegaraan Setiap negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan. Dalam asas kewarganegaraan dikenal dua pedoman yaitu asas kelahiran (ius soli) dan asas keturunan (ius sanguinis). a. Asas kelahiran (Ius soli) 38 Asas kelahiran (Ius soli) adalah penentuan status kewarganegaraan berdasarkan tempat atau daerah kelahiran seseorang. Pada awalnya asas kewarganegaraan hanyalah ius soli saja. Hal itu didasarkan pada suatu anggapan bahwa seseorang yang lahir di suatu wilayah negara otomatis dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Lebih lanjut, dengan tingginya mobilitas manusia, diperlukan asas lain yang tidak hanya berpatokan pada kelahiran sebagai realitas bahwa orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda akan menjadi bermasalah jika kemudian orang tua tersebut melahirkan di tempat salah satu orang tuanya (misalnya di tempat ibunya). Jika asas ius soli ini tetap dipertahankan, si anak tidak berhak untuk mendapatkan status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah kemudian muncul asas ius sanguinis. b. Asas keturunan (Ius sanguinis) Asas keturunan (Ius sanguinis) adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah atau keturunan. Jika suatu negara menganut asas ius sanguinis, seorang anak yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara seperti Indonesia, anak tersebut berhak mendapat status kewarganegaraan orang tuanya, yaitu warga negara Indonesia. c. Asas perkawinan Status kewarganegaraan dapat dilihat dari sisi perkawinan yang memiliki asas kesatuan hukum, yaitu paradigma suami isteri atau ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang mendambakan suasana sejahtera, sehat, dan bersatu. Di samping itu, asas perkawinan mengandung asas persamaan derajat karena suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masingmasing pihak. Asas ini menghindari penyelundupan hukum, misalnya seorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan cara berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan di negara tersebut, setelah mendapat kewarganegaraan itu ia menceraikan isterinya. 3. Pewarganegaraan (Naturalisasi) Dalam naturalisasi ada yang bersifat aktif dan ada pula yang bersifat pasif. Dalam naturalisasi aktif seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak untuk menjadi warga negara dari suatu negara, sedangkan dalam naturalisasi pasif seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh suatu negara atau tidak mau diberi status warga negara suatu negara dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut. Sehubungan dengan problem status kewarganegaraan seseorang, apabila asas kewarganegaraan di atas diterapkan secara tegas dalam sebuah negara, akan mengakibatkan status kewarganegaraan seseorang mengalami hal sebagai berikut. (1) Apatride, yaitu seseorang tidak mendapat kewarganegaraan disebabkan oleh orang tersebut lahir di sebuah negara yang menganut asas ius sanguinis. (2) Bipatride, yaitu seseorang akan mendapatkan dua kewarganegaraan apabila orang tersebut berasal dari orang tua yang mana negaranya menganut ius sanguinis sedangkan dia lahir di suatu negara yang menganut asas ius soli. 39 (3) Multipatride, yaitu seseorang (penduduk) yang tinggal di perbatasan antara dua negara. Dalam rangka memecahkan problem kewarganegaraan di atas setiap negara memiliki peraturan sendiri-sendiri yang prinsipnya bersifat universal sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 28D ayat (4) bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Oleh sebab itu, negara Indonesia melalui UU No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Indonesia menyatakan bahwa cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia adalah sebagai berikut: (i) karena kelahiran, (ii) karena pengangkatan, (iii) karena dikabulkan permohonan, (iv) karena pewarganegaraan, (v) karena perkawinan, (vi) karena turut ayah dan ibu, serta (vii) karena pernyataan. Sebaiknya Anda Tahu Hakikat Warga negara Pembicaraan tentang warga negara tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang penduduk. Penduduk adalah orang yang dengan sah bertempat tinggal dalam suatu negara. Sah berarti tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dan tata cara masuk dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah negara yang bersangkutan. Di dalam suatu negara, biasanya dibedakan antara orang asing dan warga negara. Orang asing adalah orang di luar warga negara. Orang asing yang berada di wilayah suatu negara dilindungi oleh hukum internasional. Jadi di mana pun ia berada berhak mendapatkan perlindungan dari negara yang bersangkutan. Pada dasarnya orang asing mendapat perlakuan yang sama. Perbedaan keduanya terletak pada perbedaan beberapa hak seperti hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang hanya dimiliki oleh warga negara, tidak oleh orang asing, begitu juga hak untuk diangkat menjadi pejabat negara. Status kewarganegaraan dalam suatu negara biasanya terkait dengan dua asas, yaitu “ius sanguinis” (asas keturunan) dan asas “ius soli” (asas tempat kelahiran). Lazimnya kedua asas tersebut sama-sama dipakai dalam kewarganegaraan suatu negara. Secara khusus, di Indonesia, menurut UU No. 62 tahun 1958 disebutkan bahwa:”warga negara Republik Indonesia adalah orang yang berdasarkan perundang-undangan dan atau perjanjian atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia “. 4. Hak dan Kewajiban Warga negara Pemahaman tentang hak dan kewajiban terlebih dahulu harus didasari oleh pemahaman tentang pengertian hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang sebagai ciptaan Tuhan agar mampu menjaga harkat, martabat, dan keharmonisan lingkungan. Hak asasi merupakan hak dasar yang melekat secara kodrati pada diri manusia dengan sifatnya yang universal dan abadi. Oleh karena itu, hak asasi manusia harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi dan dirampas oleh siapapun. Hak asasi manusia perlu mendapat jaminan atas perlindungannya oleh negara melalui pernyataan tertulis yang harus dimuat dalam UUD negara. Peranan negara sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 39/1999 40 tentang HAM menyatakan bahwa negara, hukum, dan pemerintah, serta setiap orang wajib menghormati, menjunjung tinggi, dan melindungi hak asasi manusia. a. Hak Warga negara Menurut UUD 1945 Dalam UUD 1945 telah dinyatakan hak warga negara yang meliputi lebih kurang 25 hak sebagai berikut. (1) Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. (2) Berhak berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pikiran (3) Berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan. (4) Berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan. (5) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan kekerasan dan diskriminasi. (6) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya. (7) Berhak mendapatkan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (8) Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. (9) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. (10) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (11) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (12) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. (13) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. (14) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (15) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. (16) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. (17) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (18) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlaskuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik negara lain. 41 (19) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (20) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai guna mencapai persamaan dan keadilan. (21) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. (22) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. (23) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (24) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (25) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. b. Kewajiban Warga negara Menurut UUD 1945 Menurut UUD 1945, setiap warga negara Indonesia memiliki kewajiban untuk (i) menjunjung hukum dan pemerintah, (ii) ikut serta dalam upaya pembelaan negara, (iii) ikut serta dalam pembelaan negara, (iv) menghormati hak asasi manusia orang lain, (v) tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, (vi) ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta (vii) mengikuti pendidikan dasar. 5. Tugas dan Tanggung Jawab negara Dalam rangka terpeliharanya hak dan kewajiban warga negara, negara memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut : (1) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya. (2) Negara atau pemerintah wajib membiayai pendidikan khususnya pendidikan dasar. (3) Pemerintah berkewajiban mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran belanja negara dan belanja daerah. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. (6) Negara memajukan kebudayaan manusia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dengan memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. 42 (7) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. (8) Negara menguasai cabang-cabang produksi terpenting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak. (9) Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam demi kemakmuran rakyat. (10) Negara berkewajiban memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. (11) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (12) Negara bertanggung jawab atas persediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. 6. Hubungan Negara dengan Warganegara Hubungan antara warga negara dengan negara, menurut Kuncoro Purbopranoto (Cholisin, 1999:21) dapat dilihat dari perspektif hukum, politik, kebudayaan, dan kesusilaan. Namun perspektif yang aktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perspektif hukum dan politik. Pertama, pandangan dari perspektif hukum didasarkan pada konsepsi bahwa warga negara adalah seluruh individu yang mempunyai ikatan hukum dengan suatu negara (Isjwara, 1980:99). Hubungan hukum antara warga negara dan negara dibedakan atas (i) hubungan sederajat dan tidak sederajat dan (ii) hubungan timbal balik dan timbang timpang. Hubungan hukum yang cocok, antara warga negara dengan negara yang berasaskan kekeluargaan adalah sederajat dan timbal balik. Pendapat ini didasarkan pada pendapat Kuncoro Purbopranoto (Cholisin,1999:22) tentang governants dan governies atau yang memerintah dan yang diperintah. Dalam konteks pemerintahan seperti ini, tidak lagi dikenal perbedaan sifat atau hakikat, tetapi yang ada adalah perbedaan fungsi, yang pada hakikatnya merupakan kesatuan. Governants dan governies merupakan komponen yang hakikatnya sama-sama berwujud manusia. Oleh karena itu, keduanya sudah seharusnya merupakan satu kesatuan di dalam mewujudkan kehidupan negara yang manusiawi atau berpihak pada manusia. Perbedaan fungsi keduanya adalah perbedaan fungsi yang berimplikasi pada perbedaan tugas. Dalam konteks hubungan yang timbal balik, warga negara dan negara memiliki kedudukan yang tidak sederajat, dapat berakibat pada sulitnya penciptaan hubungan yang harmonis antara keduanya. Pihak yang diletakkan pada kedudukan yang lebih tinggi cenderung akan melakukan tindakan yang berbau dominasi dan hegemoni terhadap pihak yang diletakkan pada kedudukan yang lebih rendah. Hubungan hukum yang sederajat dan timbal balik, sesuai dengan ciri negara hukum Pancasila, meliputi (a) keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan, (b) hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan lembaga negara, (c) prinsip penyelesaian masalah secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir, (d) keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sifat hubungan hukum antara warga negara dengan pemerintah Indonesia dapat diformulasikan sebagai hubungan hukum yang bersifat sederajat dan timbal balik antara hak dan kewajiban. Di dalam pelaksanaan hukum tersebut harus disesuaikan juga dengan tujuan hukum di negara Pancasila, 43 yaitu memelihara dan mengembangkan budi pekerti, kemanusiaan, serta cita-cita moral rakyat yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, dari perspektif politik seorang warga negara adalah seorang individu yang bebas serta merupakan anggota suatu masyarakat politik jika bentuk pemerintahan menganut sistem demokrasi. Isjwara (1980:43) memberikan batasan politik sebagai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan, serta pembentukan dan penggunaan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya (Miriam Budihardjo, 1999:10). Hakikat politik adalah kekuasaan atau power, tetapi tidak semua kekuasaan adalah kekuasaan politik. Ossip K. Flechteim membedakan kekuasaan politik menjadi dua macam, yaitu: (a) kekuasaan sosial yang terwujud dalam kekuasaan negara (state power) seperti lembaga pemerintah, parlemen (DPR), presiden; dan (b) kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara. Berdasarkan klasifikasi itu dinyatakan bahwa kekuasaan politik warga negara termasuk jenis kekuasaan yang kedua dan kekuasaan politik pemerintah merupakan kekuasaan yang pertama. Kegiatan yang dilakukan oleh warga negara terhadap pemerintah atau negara pada dasarnya adalah dalam rangka mempengaruhi pemerintah agar kepentingan-kepentingannya yang berupa nilai politik dapat direalisasikan oleh pemerintah. Bentuk kegiatan politik warga negara untuk memperoleh nilai-nilai politik tersebut bisa dalam bentuk partisipasi (mempengaruhi pembuatan kebijakan) dan dalam bentuk subyek (terlibat dalam pelaksanaan kebijakan). Bentuk hubungan politik antara warga negara dengan pemerintah bisa berbentuk kooperatif, yaitu kerja sama saling menguntungkan dan kedudukan mereka masing-masing adalah sejajar, bisa juga kooptatif ataupun dalam bentuk paternalistik (negara sebagai patron dan kelompok sosial tertentu sebagai klien). Bentuk hubungan politik yang berasaskan kekeluargaan yang paling baik adalah bentuk kooperatif karena akan menunjang terciptanya hubungan politik yang harmonis antara warga negara dengan pemerintah. Konteks ini memberikan gambaran bahwa hubungan antara pemimpin dengan rakyat atau lebih khusus lagi antara pamong dan penduduk adalah hubungan timbal balik yang bersifat konstruktif atau hubungan yang saling membantu dan mengawasi, atau yang dapat diistilahkan hubungan yang “mong-kinemong”. Berdasarkan beberapa pendapat tentang hubungan warga negara dengan negara (pemerintah), dapat disimpulkan bahwa sifat hubungan politik kooperatif, saling membantu dan mengawasi, adalah yang paling tepat. Sebaiknya Anda Tahu Tiga Bentuk Hubungan antara Negara dan Warga negara (1) Bentuk hubungan dimana negara sangat kuat (dominan) sementara warga negara sangat lemah menghasilkan “negara yang otoriter”. (2) Bentuk hubungan dimana negara sangat lemah sementara warga negara sangat kuat (dominan) menghasilkan “negara yang anarkhis”. (3) Bentuk hubungan dimana negara dan warga negara dalam posisi setara menghasilkan “negara yang madani”, inilah bentuk paling ideal yang dicita-citakan banyak bangsa. Soal-Soal Latihan 44 A. Soal Uraian 1. Jelaskan perbedaan pengertian penduduk dan warganegara! 2. Apa yang dimaksud dengan ius soli itu? 3. Apa pula yang dimaksud dengan ius sanguinis itu? 4. Jelaskan perbedaan naturalisasi aktif dengan naturalisasi pasif! 5. Terangkan perbedaan antara apatride dan bipatride! 6. Sebutkan cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia menurut UU No.62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan! 7. Sebutkan minimal 10 macam hak warga negara menurut UUD 1945! 8. Sebutkan minimal 5 macam kewajiban warga negara menurut UUD 1945! 9. Sebutkan minimal 5 macam tugas dan kewajiban negara! 10. Terangkan 3 bentuk hubungan negara dan warga negara! B. Tugas Diskusi Bentuklah 4 kelompok di kelasmu, masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dengan topik di bawah ini. Selanjutnya presentasikan makalah kelompok tersebut di depan kelas untuk didiskusikan. (1) (2) (3) (4) Pemenuhan hak- hak warga negara menurut UUD 1945 oleh negara Kesadaran warga negara untuk menunaikan kewajibannya Pelayanan negara terhadap rakyat setelah reformasi Hubungan negara dan warga negara setelah reformasi B. Persamaan Kedudukan Warga negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara 1. Persamaan Kedudukan Warga negara (Menurut Pembukaan UUD 1945) Hak-hak asasi yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 ini sangat dipengaruhi oleh hak-hak asasi yang dimuat dalam Pembukaan Konstitusi Prancis yang dikenal dengan nama “La Declaration des Droits del‟homme et du Citoyen” (Hak Asasi Manusia dan Warga negara). Atas dasar pemikiran ini pandangan bangsa Indonesia tentang hak-hak asasi manusia berpangkal pada titik keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pengakuan akan hak asasi manusia dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 yang berbunyi Kemerdekaan ialah hak segala bangsa….. Alinea ini menunjukkan pengakuan hak asasi manusia berupa hak kebebasan atau hak kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan atau penindasan oleh bangsa lain. Pandangan ini menitikberatkan pada hak kemerdekaan bangsa dari pada kebebasan individu. Kebebasan individu diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara. Selanjutnya, pada alinea 2 dinyatakan bahwa ….mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas hak asasi di bidang politik yang berupa kedaulatan dan ekonomi. Pada alinea 3 dinyatakan bahwa …atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas ….. Alinea ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa kemerdekaan itu berkat anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada alinea 4 dinyatakan bahwa … melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia ….. Alinea ini 45 merumuskan juga dasar filsafat negara (Pancasila) yang maknanya mengandung pengakuan akan hak-hak asasi manusia. 2. Persamaan Kedudukan Warga negara (dalam Pasal-Pasal UUD 1945) Di dalam Batang Tubuh UUD 1945 termuat hak-hak asasi manusia/warga negara. Hal ini diatur di dalam pasal-pasalnya, di antaranya sebagai berikut. Pasal 27 : Pasal ini berkenaan dengan hak jaminan dalam bidang hukum dan ekonomi. Pasal 28 : Pasal ini memberikan jaminan dalam bidang politik berupa hak untuk mengadakan perserikatan, berkumpul dan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan. Pasal 28 A : Pasal ini memberikan jaminan akan hak hidup dan mempertahankan kehidupan. Pasal 28 B : Pasal ini memberikan jaminan untuk membentuk keluarga, melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, jaminan atas hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28 C : Pasal ini memberikan jaminan setiap orang untuk mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat dari iptek, seni dan budaya, hak kolektif dalam bermasyarakat. Pasal 28 D : Pasal ini mengakui jaminan, perlindungan, perlakuan dan kepastian hukum yang adil, hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak, kesempatan dalam pemerintahan dan hak atas kewarganegaraan. Pasal 28 E : Pasal ini mengakui kebebasan memeluk agama, memilih pendidikan, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaran, memilih tempat tinggal. Juga mengakui kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 F : Pasal ini mengakui hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan melalui segala jenis saluran yang ada. Pasal 28 G : Pasal ini mengakui hak perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda, rasa aman serta perlindungan dari ancaman. Juga mengakui hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, serta suaka politik dari negara lain. Pasal 28 H : Pasal ini mengakui hak hidup sejahtera lahir batin, hak bertempat tinggal dan hak akan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak pelayanan kesehatan, hak jaminan sosial, hak milik pribadi. Pasal 28 I : Pasal ini mengakui hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun yaitu; hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi di depan hukum, hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Pasal ini juga mengkaui hak masyarakat tradisional dan identitas budaya. Perlindungan, pemajuan dan penegakan hak asasi adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 46 Pasal 28 J Pasal 29 Pasal 31 Pasal 32 Pasal 33 Pasal 34 : Pasal ini menegaskan perlunya setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Juga penegasan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada pembatasan-pembatasanya sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam negara demokratis. : Pasal ini mengakui kebebasan dalam menjalankan perintah agama sesuai kepercayaan masing-masing. : Pasal ini mengakui hak setiap warga negara akan pengajaran. : Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya. : Pasal ini mengandung pengakuan hak-hak ekonomi berupa hak memiliki dan menikmati hasil kekayaan alam Indonesia. : Pasal ini mengatur hak-hak asasi di bidang kesejahteraan sosial. negara berkewajiban menjamin dan melindungi fakir miskin, anak-anak yatim, orang telantar dan jompo untuk dapat hidup secara manusiawi. 3. Persamaan Kedudukan Warga negara (UUD 1945, DHR, dan Covenant PBB) Sebagai ilustrasi berikut ini akan diberikan contoh sekaligus perbandingan berbagai hak, menurut UUD 1945, Declaration of Human Rights dan Covenant on Civil and Political Rights. a. Hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat Di dalam UUD 1945 pasal 28 dinyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Di dalam Declaration of Human Rights (DHR), pasal 19, dinyatakan bahwa setiap orang berhak kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dan tidak memandang batas-batas. Di samping itu, di dalam Covenant on Civil and Political Rights (CCPR), pasal 19, dinyatakan bahwa (1) setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan; (2) setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan segala macam penerangan dan gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya. b. Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum Di dalam UUD 1945, pasal 27(1), dinyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Di dalam DHR, pasal 7 dinyatakan bahwa sekalian orang adalah sama terhadap UU dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada perbedaan. Di dalam CCPR, pasal 26 dinyatakan bahwa semua orang adalah sama terhadap hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Dalam hubungan ini, hukum melarang setiap diskriminasi serta menjamin semua orang akan perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau 47 pendapat lain, bangsa asal atau kedudukan sosial-asal, milik,kelahiran atau kedudukan lainnya. c. Hak atas kebebasan berkumpul Di dalam UUD 1945, pasal 28 dinyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Di dalam DHR, pasal 20 dinyatakan bahwa (1) setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat; (2) tiada seorang jua pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan. Di dalam CCPR, pasal 21 dinyatakan bahwa hak berkumpul secara bebas diakui. Tiada satu pembatasan pun dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis, demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan dan moral umum atau perlindungan terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain. d. Hak atas kebebasan beragama Di dalam UUD 1945, pasal 29, dinyatakan bahwa (1) negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Mahaesa; (2) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Di dalam DHR, pasal 18, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri. Di dalam CCPR, pasal 18, dinyatakan bahwa (1) setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama. Hak ini mencakup kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya, serta kebebasan untuk baik secara pribadi atau pun bersama anggota masyarakat lingkungannya serta secara terbuka ataupun tertutup, menyatakan agama atau kepercayaannya melalui ibadah, ketaatan, tindakan dan ajaran. Di samping itu dinyatakan pula bahwa (2) tak seorangpun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa (3) kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya hanya dapat dikenakan pembatasan menurut ketentuan ketentuan hukum dan yang perlu untuk menjaga keselamatan umum, ketertiban, kesehatan atau moral dan hak-hak dasar serta kebebasan orang lain. Lebih lanjut dinyatakan lagi bahwa (4) negara-negara peserta dalam Perjanjian ini mengikat diri untuk menghormati kebebasan orang tua dan di mana berlaku, wali hukum, untuk menjamin pendidikan agama dan moral anaknya menurut keyakinannya masingmsing. e. Hak atas penghidupan yang layak Di dalam UUD 1945, pasal 27 (2) dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di dalam DHR, pasal 25 dinyatakan bahwa (1) setiap orang berhak atas tingkat hidup yang 48 menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usahausaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah lain-lain karena keadaan yang di luar kekuasaannya. (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama. Di samping itu, di dalam Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR), pasal 11 dinyatakan bahwa (1) negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui setiap orang atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk sandang, pangan, dan perumahan yang layak, dan perbaikan secara terus menerus dari lingkungan hidupnya. negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menjamin terlaksananya hak tersebut, agar diakui kepentingan hakiki dari kerja sama internasional yang didasarkan atas persetujuan yang bebas. f. Hak atas kebebasan berserikat Di dalam UUD 1945, pasal 28 dinyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Di dalam DHR, pasal 23, (4) dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja untuk melindungi kepentingannya. Di dalam CESCR, pasal 8 dinyatakan bahwa (1) negara-negara peserta perjanjian ini mengikat diri untuk menjamin; (a) hak setiap oang untuk membentuk serikat sekerja dan menjadi anggota serikat sekerja pilihannya, sesuai dengan peraturan organisasi yang bersangkutan, guna meningkatkan serta melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dan sialnya. Tiada suatu pembatasan pun dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketetiban umum atau untuk melindungi hakhak serta kebebasan-kebebasan orang lain. (b) Hak bagi serikat sekerja untuk mendirikan federasi atau konfederasi nasional serta hak bagi yang tersebut belakangan untuk membentuk atau menjadi anggota organisasi serikat sekerja internasional. (c) Hak bagi serikat sekerja untuk bertindak secara bebas dan hanya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau untuk melindungi hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain. (d) Hak untuk melancarkan pemogokan, asalkan dijalankan menurut ketentuan-ketntuan hukum negara yang bersangkutan. Lebih lanjut, di dalam CCPR, pasal 22 dinyatakan bahwa (1) setiap orang berhak atas untuk berserikat, termasuk hak untuk membentuk dan ikut serta dalam serikat-serikat sekerja guna melindungi kepentingan-kepentingannya. g. Hak atas pengajaran Di dalam UUD 1945, pasal 31 dinyatakan bahwa (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Di samping itu dinyatakan pula bahwa (2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan UU. Di dalam DHR, pasal 26 dinyatakan bahwa (1) 49 setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya dalam tingkat sekolah dasar. Pengajaran sekolah rendah harus diwajibkan.Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan pelajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kecerdasan. Di samping itu, di dalam pasal yang sama dinyatakan bahwa (2) pengajaran harus ditujukan kearah perkembangan pribadi yang seluasluasnya serta untuk memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima serta rasa saling persahabatan antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian. Selanjutnya dinyatakan bahwa (3) ibu-bapak mempunyai hak utama untuk memilih macam pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Di dalam CESCR, pasal 13 dinyatakan bahwa (1) negara-negara perserta dalam perjanjian ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka sepakat bahwa pendidikan akan mengarah pada pengembangan penuh dari kepribadian orang serta kesadaran akan harga dirinya, serta memperkuat rasa hormat terhadap hak-hak manusia serta kebebasankebebasan dasar. Di samping itu dinyatakan pula bahwa (2) negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui bahwa dalam usaha melaksanakan hak ini secara penuh: (a) Pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua orang. (b) Pendidikan menengah dalam segala bentuknya termasuk pendidikan teknik dan kejuruan menengah, akan diselenggarakan dan terbuka bagi semua melalui caracara yang layak, serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma serta bertahap. (c) Pendidikan tinggi akan diusahakan terbuka bagi semua berdasarkan kesanggupan, melalui cara-cara yang layak, serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma secara bertahap. (d)Pendidikan masyarakat dianjurkan atau ditingkatkan sejauh mungkin bagi mereka yang belum pernah atau belum menyelesaikan pendidikan dasar secara penuh. (e) Pengembangan sistem sekolah pada setiap tingkat digiatkan secara kuat, sistem beasiswa yang layak diadakan dan syarat-syaat materiil dari staf pengajar ditingkatkan secara terus menerus. 4. Persamaan Kedudukan Umat Manusia (Menurut UDHR PBB) Secara garis besar macam-macam hak asasi manusia yang disinggung di dalam UDHR, di dalam kurang lebih 30 pasal, dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu (i) hak-hak politik dan yuridis, (ii) hak-hak atas martabat dan integritas manusia, dan (iii) hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya. Apa perbedaan antara hak politik dan hak sipil? Di satu sisi, hak politik merupakan hak yang didapat oleh seseorang dalam hubungan sebagai seorang anggota di dalam lembaga politik, seperti hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan-jabatan politik, hak memegang jabatan-jabatan umum dalam negara atau hak yang menjadikan seseorang ikut serta di dalam mengatur kepentingan negara atau pemerintahan. Dengan kata lain lapangan hak-hak politik sangat luas, mencakup asas-asas masyarakat, dasar-dasar negara, tata hukum, partisipasi rakyat di dalamnya, pembagian kekuasaan, dan batas-batas kewenangan penguasa terhadap warga negaranya. Di sisi lain, hak-hak sipil dalam pengertian yang luas mencakup hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan; merupakan hak yang dinikmati oleh manusia dalam hubungannya 50 dengan warga negara yang lainnya dan tidak ada hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, salah satu jabatan, dan kegiatannya. Menurut perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang termasuk hak-hak sipil dan politik antara lain ialah (i) hak atas hidup, (ii) hak atas kebebasan dan keamanan dirinya, (iii) hak atas keamanan di muka badan-badan peradilan, (iv) hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan (conscience), beragama, (v) hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan, (vi) hak atas kebebasan berkumpul secara damai, dan (vii) hak untuk berserikat. Lebih lanjut, yang termasuk hak asasi manusia ialah (i) hak atas pekerjaan, (ii) hak untuk membentuk serikat kerja, (iii) hak atas pensiun, (iv) hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan yang layak, dan (v) hak atas pendidikan. Pembagian hak asasi manusia yang agak mirip dengan kedua covenant tersebut di atas, adalah yang mengikuti pembedaan sebagai berikut. (1) Hak-hak asasi pribadi atau “personal rights”, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya. (2) Hak-hak asasi ekonomi atau “property rights”, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjualnya serta memanfaatkannya. (3) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau yang biasa disebut “rights of legal equality”. (4) Hak-hak asasi politik atau “political rights”, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik, dan sebagainya. (5) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “social and culture rights”, misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya. (6) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau “procedural rights”, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan, dan sebagainya. 5. Persamaan Kedudukan Warga negara ( DalamUU No. 39/1999 Tentang HAM) Dalam amandemen kedua UUD 1945, ada ketentuan yang secara eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia, yaitu pada Bab XA yang berisikan pasal 28A s.d. 28 J (penyempurnaan pasal 28). Dalam UU No. 39 Tahun 1999 jaminan hak asasi manusia tampak lebih rinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan pasalpasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas 11 bab dan 106 pasal. Apabila dicermati, jaminan tentang hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999, secara garis besar meliputi hal-hal berikut ini. (1) Hak untuk hidup (misalnya hak mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan lahir batin, dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat). (2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. (3) Hak mengembangkan diri (misalnya hak pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan kualitas hidup, memperoleh manfaat dari Iptek, memperoleh informasi, dan melakukan pekerjaan sosial). 51 (4) Hak memperoleh keadilan (misalnya hak kepastian hukum dan persamaan di depan hukum). (5) Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak memeluk agama, keyakinan politik, memilih status kewarganegaraan, berpendapat dan menyebarluaskannya, mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak, dan bertempat tinggal). (6) Hak atas rasa aman (misalnya hak memperoleh suaka politik, perlindungan terhadap ancaman ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan terhadap penyiksaan, dan penghilangan nyawa). (7) Hak atas kesejahteraan (misalnya hak milik pribadi dan kolektif, memperoleh pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak, kehidupan yang layak, dan jaminan sosial). (8) Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak memilih dan dipilih dalam pemilu, partisipasi langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah, dan mengajukan usulan kepada pemerintah). (9) Hak wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, dan keluarga/perkawinan). (10) Hak anak (misalnya hak perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan seksual, perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya). Soal-Soal Latihan A. Soal Uraian 1. Jelaskan bahwa pembukaan UUD 1945 juga mengamanatkan persamaan kedudukan manusia dan persamaan kedudukan warga negara! 2. Sebutkan beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengatur persamaan kedudukan setiap warga negara! 3. Jelaskan ketentuan dalam UUD 1945 dan UDHR yang menyatakan persamaan kedudukan manusia dan warga negara untuk menyatakan pendapat! 4. Jelaskan ketentuan dalam UUD 1945 dan UDHR yang menyatakan persamaan kedudukan manusia dan warga negara dalam hukum! 5. Jelaskan ketentuan dalam UUD 1945 dan UDHR yang menyatakan persamaan kedudukan manusia dan warga negara untuk berserikat dan berkumpul! 6. Jelaskan ketentuan dalam UUD 1945 dan UDHR yang menyatakan persamaan kedudukan manusia dan warga negara untuk beragama! 7. Jelaskan ketentuan dalam UUD 1945 dan UDHR yang menyatakan persamaan kedudukan manusia dan warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak! 8. Jelaskan ketentuan dalam UUD 1945 dan UDHR yang menyatakan persamaan kedudukan manusia dan warga negara untuk mendapatkan pengajaran! B. Tugas Diskusi 52 Bentuklah 6 kelompok di kelasmu, masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dengan topik di bawah ini. Selanjutnya, presentasikan makalah kelompok tersebut di depan kelas secara bergantian. 1. Persamaan kedudukan warga negara untuk menyatakan pendapat! 2. Persamaan kedudukan warga negara dalam hukum! 3. Persamaan kedudukan warga negara untuk berserikat dan berkumpul! 4. Persamaan kedudukan warga negara untuk beragama! 5. Persamaan kedudukan warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak! 6. Persamaan kedudukan warga negara untuk mendapatkan pengajaran! C. Menerapkan Prinsip Persamaan Warga negara dalam Berbagai Bidang Kehidupan 1. Persamaan Hak untuk Mengemukakan Pendapat Reformasi telah memberikan perubahan hampir di semua sektor. Perubahan itu tidak hanya di dunia politik tetapi juga menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) telah memberi warna baru bagi dunia pers yang berbeda dari era orde baru. Pers lebih memiliki peluang untuk berpendapat secara terbuka dan ini merupakan suasana yang mendukung bagi industri pers nasional. Kebebasan Pers telah ikut memberikan pencerahan dalam perubahan-perubahan sosial yang penting di masyarakat. Ini berarti Pers memiliki kebebasan dalam peranannya sebagai jembatan informasi kepada khalayak. Pers menyuguhkan berita disamping aktual juga faktual, sementara masyarakat sendiri juga memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan menitipkan pesan, pendangan, kritik, protes, tentang realitas persoalan yang mereka hadapi baik yang terkait dengan kepentingan bangsa dan negara tanpa keraguan kepada Pers. Untuk membuat pers Indonesia lebih profesional, bertanggung jawab, dan menghormati hak asasi manusia sesuai dengan peranan pers sebagai media informasi, ada beberapa ketentuan yang harus di taati. Sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UU, pers diwajibkan untuk (i) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (ii) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan, (iii) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (iv) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta (v) memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Di sisi lain, penegasan kemerdekaan pers yang tertuang dalam Pasal 4, UU No 40 Tahun 1999 berupa pernyatakan bahwa (i) kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, (ii) terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran, (iii) untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan, dan informasi, serta (iv) dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Sebaiknya Anda Tahu Hakikat Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat 53 Secara kodrati setiap individu manusia memiliki kehendak untuk menyampaikan atau tidak menyampaikan dan menerima atau menolak suatu hal yang menjadi buah pikirannya kepada orang lain. Jika kehendak ini tidak bisa diwujudkan, hak-hak orang untuk mengemukakan pendapat telah dirampas dan dikekang. Mengkomunikasikan sesuatu yang ada pada akal manusia merupakan kebutuhan fundamental dalam nilai kehidupan manusia. Sejak terbentuknya masyarakat dengan kehidupan yang sederhana sampai dengan kehidupan yang modern hak kemerdekaan berpendapat sangat menetukan perkembangan masyarakat tersebut. Jaminan perlindungan hak kemerdekaan mengemukakan pendapat ini tertuang dalam peraturan nasional maupun internasional sebagai berikut. (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 19 Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batasbatasnya. (2) Kovenan hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 19 Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan. Selain itu, setiap orang berhak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan segala macam penerangan dan gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya. Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat-ayat dari Pasal ini membawakan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab yang khusus. Oleh sebab itu, dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan-pembatasan ini terbatas pada yang sesuai dengan ketentuan hukum dan yang perlu, yaitu dalam hal untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang lain, dan untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan dan moral umum. 3. Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisandan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang. Selanjutnya dalam Pasal 28 E ayat (3) disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Lebih jauh lagi amandeman UUD 1945 dalam Pasal 28 F menyatakan bahwa setiap orang yang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenia saluran yang tersedia. Undang-Undang Dasar 1945 menjadi faktor penting yang selama perjalanan bangsa ini telah berhasil mengikat bangsa Indonesia yang berbhinneka dalam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat istiadat. Oleh karena itu penyempurnaan dalam amandemen dirasakan perlu dan tentunya dengan menyesuaikan keadaan di masyarakat agar UUD 1945 dapat terus menerus menjadi konsitusi yang efektif, mengikat dan memberikan semangat bagi bangsa Indonesia. 2. Persamaan Hak untuk Berunjuk Rasa (UU No.9/1998) Melalui Undang-Undang No 9 tahun 1998 tata cara penyampaian pendapat di muka umum diatur sebagai berikut. 54 (1) Unjuk rasa atau demonstrasi sebagai bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya secara demonstratif. Demonstrasi diartikan sebagai unjuk rasa; tindakan bersama untuk menyatakan protes. Pendapat yang disampaikan dalam unjuk rasa bisa juga berupa kritik konstruktif atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam berdemontrasi para demonstran harus tetap menjaga ketertiban, kedamaian, keamanan, dan tidak bertindak anarkis dengan secara sewenang-wenang merusak fasilitas umum seperti rambu-rambu lalu lintas, telpon umum, dan sebagainya. Demontrasi yang dilakukan secara anarkis hanya akan menimbulkan kerusuhan dan kerugian. Berunjuk rasa bisa menggunakan media seperti poster, spandukspanduk yang bertuliskan pesan, pendapat, protes, atau kritik. (2) Pawai sebagai cara penyampaian pendapat di muka umum dengan arakarakan di jalan umum. (3) Rapat umum sebagai cara mengemukakan pendapat dengan pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu. (4) Mimbar bebas sebagai cara penyampaian pendapat di muka umum dengan mengadakan pertemuan yang dilakukan secara bebas tanpa tema tertentu. Cara mengemukakan pendapat apapun yang digunakan, setiap orang harus menjunjung tinggi keutuhan, persatuan, dan kesatuan bangsa, menjauhkan diri dari permusuhan, kebencian dengan sesama, dan jangan sampai melakukan penghinaan, pelecehan terhadap suku, agama, ras, antargolongan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaiknya Anda Tahu Unjuk Rasa Tuntut Pendidikan Murah Samarinda, Kompas - Puluhan aktivis mahasiswa dari organisasi massa yang mengatasnamakan Forum Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Peduli Pendidikan Kalimantan Timur melakukan unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Selasa (4/5). Pengunjuk rasa menuntut agar Pemerintah Provinsi Kaltim memberikan pendidikan yang murah bagi rakyat. Pengunjuk rasa juga meminta kesejahteraan guru lebih diperhatikan dan guru diperlakukan secara adil seperti pegawai di sektor lain. Elemen mahasiswa yang berunjuk rasa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mulawarman, BEM Politeknik Negeri Samarinda, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Kaltim, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Samarinda, Gempar Samarinda, dan HMI Kaltim. "Anggaran pendidikan masih sangat kurang, kami menuntut adanya pendidikan murah dan kesejahteraan para tenaga pendidik ditingkatkan," ujar Adi Supriyadi, aktivis dari BEM Universitas Mulawarman. Diungkapkan Adi, Kaltim merupakan daerah yang kaya terbukti dengan jumlah APBD sangat besar, yakni sekitar Rp 3 triliun. Akan tetapi, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sekitar Rp 85 miliar. Angka itu mencerminkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur tidak peduli pada pendidikan. Ditambahkan, kondisi yang lebih memprihatinkan, dari jumlah penduduk Kalimantan Timur sebanyak 2,7 juta, 40 persennya atau 1,08 juta tidak mendapatkan pendidikan yang layak. "Akibat yang paling dirasakan adalah masyarakat Kaltim kembali terbelakang (dikutip dari Kompas, Rabu, 5 Mei 2004) 55 3. Persamaan Hak Bela negara (UUD 1945 Sebelum Amandemen) Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 tidak segera dibentuk tentara kebangsaan. UUD 1945 sendiri hanya memuat dua pasal mengenai angkatan perang dan pembelaan negara. Di dalam Pasal 10 ditetapkan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Pada Pasal 30 ditentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Syarat-syarat tentang pembelaan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila perkembangan tentara Indonesia dalam negara Kesatuan Republik Indonesia lebih banyak ditentukan oleh dinamika jalannya revolusi perjuangan bangsa daripada oleh ketentuan UUD. Yang dimaksud warga negara ialah orang-orang Indonesia baik asli maupun keturunan yang tunduk kepada hukum dasar Indonesia dan hukum-hukum lain yang mengikutinya, baik bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maupun yang berada di luar wilayah itu. Dengan demikian, yang berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara itu tidak terbatas pada kalangan angkatan bersenjata tetapi seluruh warga negara, baik pedagang, petani, pegawai, karyawan perusahaan, abang becak, para ibu rumah tangga, mahasiswa serta pelajar semua wajib ikut membela negaranya. Sejarah membuktikan jauh sebelum Indonesia merdeka bahwa kesadaran bela negara di kalangan rakyat sudah ada. Sebagai bukti, perlawanan terhadap penjajah dilakukan oleh rakyat bangsa ini sejak pertama kali datangnya penjajah di bumi Nusantara ini. Sebagai contoh, di antaranya ialah Perang Bali (1814-1849), Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro atau disebut juga Perang Jawa (18251830), Perang Batak (1870-1907), dan Perang Aceh (1870-1904). Di samping itu, perlawanan rakyat Indonesia terhadap Belanda pada masa revolusi fisik dapat ditunjukkan pula sebagai bukti. Semua orang yang masih kuat, para pemuda serta pemudi, baik pegawai negeri maupun swasta, para petani dan pedagang, bahkan tuna karya semua terjun dalam kancah perlawanan terhadap Inggris dan Belanda. Dalam mendukung perlawanan itu, ada yang berjuang di garis depan, ada yang bekerja di dapur umum, para petani menyediakan beras dan lauk pauknya, penduduk menyediakan rumah-rumahnya untuk para pejuang, para pedagang menyediakan barang-barang kebutuhan untuk para prajurit serta rakyat umum yang sedang ikut revolusi. Tidak jarang mereka juga mengusahakan persenjataan untuk kepentingan perlawanan, yang semuanya dilakukan atas dasar kesadaran tanpa pamrih, tanpa memikirkan balas jasa dan kedudukan. Keterangan di atas menjelaskan bahwa pembelaan negara bukanlah hanya berarti kita semua harus menyandang senjata, melainkan mempunyai arti luas, yaitu pembelaan dalam segala bidang kehidupan, baik perekonoman, politik, ideologi, sosial, budaya dan kemiliteran. 4. Persamaan Hak Bela negara (UUD 1945 Setelah Amandemen) Sehubungan dengan hak bela negara, sesuai dengan UUD 1945 setelah Amandemen, perlu diperhatikan ketentuan yang tercantum di dalam beberapa pasal berikut ini. Pasal 27 Ayat 3 : Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. 56 Pasal 30 Ayat 1 Pasal 30 Ayat 2 Pasal 30 Ayat 3 Pasal 30 Ayat 4 Pasal 30 Ayat 5 : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. : Usaha pertahanan dan keamanan dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta oleh TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara), dan Polri sebagai kekuatan utama serta rakyat sebagai kekuatan pendukung. : TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. : Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. : Susunan dan kedudukan TNI, Kepolisian negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan TNI dan Kepolisian negara Republik Indonesia didalam menjalankan tugas, syarat-syarat keikut sertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan negara diatur dengan undang-undang. 5. Persamaan Hak Bela negara (UU No. 3/ 2002 Tentang Pertahanan negara) Sehubungan dengan hak bela negara, sesuai dengan UU No. 3/2002 tentang pertahanan negara, perlu diperhatikan ketentuan yang tercantum di dalam beberapa pasal berikut ini. Pasal 9 ayat (1) Pasal 9 ayat (2) Pasal 9 ayat (3) Pasal 2 Pasal 4 : Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. : Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), diselenggarakan melalui pendidikan kewargangaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasioal Indonesia secara sukarela atau secara wajib, serta pengabdian sesuai profesi . : Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang. : Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. : Pertahanan negara bertujan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. 6. Persamaan Hak Warga negara dalam Hukum a. Hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Saksi 57 Sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHAP Pasal 1 butir ke 14, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Terhadap tersangka harus tetap diberlakukan asas praduga tak bersalah. Seorang tersangka memang bisa ditangkap dan ditahan, tetapi tata cara penangkapan dan penahanannya harus sesuai dengan undang-undang. Di dalam KUHAP Pasal 1 butir ke 5 disebutkan bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. Begitu juga terhadap terdakwa, dia harus tetap diperlakukan secara adil, hak-haknya harus tetap dihormati sesuai ketentuan undang-undang. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri. Setiap warga negara seharusnya mau menjadi saksi apabila ia mengetahui sebuah perkara pidana. Fungsi saksi ini sangat penting dalam menegakkan kebenaran. Indonesia sudah waktunya untuk memiliki undang-undang tentang perlindungan saksi mengingat banyak saksi yang terancam ketenteraman dan keselamatan hidupnya karena dituduh mencemarkan nama baik tersangka atau terdakwa. Akibatnya, banyak orang menghindar untuk menjadi saksi. Sebaiknya Anda Tahu Setiap Warga negara Harus Diperlakukan Adil di Depan Peradilan. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. b. Menghormati Asas Praduga Tak Bersalah Dalam pasal 8 UU No. 14 tahun 1970 dinyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Berdasarkan asas ini, bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim pengadilan, masih memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara. Dengan hak-hak individu tersebut, seseorang dapat mengajukan dirinya kepada yang berwenang untuk segera mendapat permohonan oleh penyidik (tidak dibiarkan sampai berlarut-larut dengan alasan banyak tugas), hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat putusan yang seadil-adilnya, hak untuk memperoleh pemberitahuan tentang hal yang disangkakan dan didakwakan, hak untuk mempersiapkan pembela, hak untuk memperoleh juru bahasa kalau dirinya kurang paham menggunakan bahasa Indonesia, hak untuk 58 mendapat bantuan hukum dan selama berada di tahanan berhak untuk mendapat kunjungan dari keluarga. Sebaiknya Anda Tahu Setiap Warga negara Harus Diperlakukan Sama di Depan Hukum Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud di atas dipidana. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang. c. Hak Tersangka dalam Proses Penyidikan dan Pemeriksaan Sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 KUHAP, tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum serta segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, hal mana mencegah terkatung-katungnya suatu perkara sehingga tidak bisa segera mengetahui bagaimana nasibnya. Dalam pemeriksaan, polisi dapat melakukan penangkapan seseorang yang dicurigai melakukan suatu tindak pidana. Penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan oleh penyidik atas perintah penyidik dan penyidik (penuntut umum) pembantu. Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat ditangkap atau bahkan dapat dilakukan penahanan kalau diperlukan. Suatu penahanan dapat dilakukan berdasarkan dugaan dan bukti yang cukup bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana tertentu dan dikhawatirkan melarikan diri yang dapat menghilangkan bukti-bukti atau mengulang tindak pidana lagi. 59 Sebaiknya Anda Tahu Hak Warga negara untuk Banding Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihakpihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undangundang. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. d. Hak-Hak Tersangka untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Menurut ketentuan hukum, seorang yang menjadi tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum tersebut diberikan agar tersangka tetap terlindungi hak asasinya. Sejak proses pemeriksaan oleh penyidik polisi/jaksa, seorang tersangka sudah berhak didampingi oleh penasihat hukum (advokat). Kehadiran penasihat hukum dalam penyidikan ini akan sangat bermanfaat bagi tersangka agar ia tidak diperlakukan sewenang-wenang. Tersangka pun akan lebih berani untuk mengemukakan kebenaran sesuai dengan kenyataan. Dalam tahap pemeriksaan peranan penasihat hukum lebih bersifat pasif, yaitu melihat dan mendengar saja, tetapi dalam proses persidangan peranan penasihat hukum akan lebih aktif. Sejak persidangan dimulai penasihat hukum dapat terus mengikuti jalannya persidangan, mendampingi, memberi nasihat, bertanya, menyanggah, melakukan pembelaan, dan melakukan upaya hukum seperti banding. Semua itu dimaksudkan untuk melindungi hak-hak tersangka. Hal-hal yang berkaitan dengan bantuan hukum ini dalam HIR diatur melalui pasal-pasal berikut. (i) Pasal 83h ayat (1), yang menyatakan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, maka jaksa 60 hendaklah menanyakan kepadanya apakah ia mau dibantu di pengadilan oleh seorang penasihat hukum/sarjana hukum (ii) Pasal 25A ayat (1), yang menyatakan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya. Sebaiknya Anda tahu Ketentuan Tentang Pemberian Bantuan Hukum Berkaitan dengan pemberian bantuan hukum, ada beberapa peraturan yang mengaturnya. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut. (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Di dalam UU tersebut diatur suatu ketentuan mengenai bantuan hukum. Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas adanya suatu jaminan bagi seseorang untuk memperoleh bantuan hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana. Beberapa pasal yang secara khusus mengatur bantuan hukum adalah Pasal 35 yang menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, Pasal 36 yang menyatakan bahwa dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum, Pasal 37 yang menyatakan bahwa dalam memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 di atas penasihat hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum, dan keadilan, serta Pasal 38 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam pasal 35, 36, dan 37 tersebut diatur lebih lanjut dengan Undang-undang. (2) Pernyataan bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakimam, Jaksa Agung, Wakil Pangab, Pangkokamtib, Kepala Staf Kopkamtib, dan Kapolri pada tanggal 10 November 1978. Salah satu isi pernyataan bersama tersebut adalah bahwa pada tingkat pemeriksaan pendahuluan maka seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan dapat memperoleh bantuan hukum dan mengadakan hubungan dengan keluarga atau penasihat hukum. (3) Instruksi Pangkopkamtib tanggal 27 November 1978 No. Ins. 03/Kopkam/XI/178 tentang pedoman sementara untuk melaksanakan bersama sebagai pokok-pokok petunjuk berkenaan dengan bantuan hukum. Dalam instruksi ini disebutkan bahwa bantuan hukum pada tingkat pemeriksaan pendahuluan maka seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan dapat memperoleh bantuan hukum dan mengadakan hubungan dengan keluarga atau penasihat hukum. (4) Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 02. UM. 0908 tahun 1980. Dalam pasal 1 disebutkan tentang pemberian bantuan hukum sebagai berikut. Pemberian bantuan hukum dalam pasal ini diselenggarakan melalui badan peradilan umum. Bantuan hukum diberikan kepada tersangka yang kurang mampu dalam perkara pidana yang diancam dengan pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati atau yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat. 7. Persamaan Hak-Hak Warga negara Menurut PBB Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum PBB mengesahkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang memungkinkan HAM bersifat universal, yang tidak lagi lokal atau merupakan kepentingan suatu negara melainkan hak 61 asasi untuk seluruh umat manusia di dunia. Sebenarnya UDHR tersebut disebut sebagai tonggak perjuangan HAM yang kedua setelah Bill of Rights. UDHR terdiri dari 30 pasal dengan satu pembukaan (Mukadimah) yang terdiri dari 6 alinea. Dilihat dari isinya UDHR terdiri dari tiga kategori. Pertama, hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang diatur dalam Pasal 3-21. Kedua, hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang diatur dalam Pasal 22-27. Ketiga, merupakan pasal-pasal penutup, yaitu Pasal 28-30. Lebih rinci, substansi yang diatur sebagai hak-hak sipil dan politik meliputi hak untuk bebas dari diskriminasi, untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan, untuk bebas beragama, untuk bebas berpikir dan berekspresi, untuk bebas berkumpul dan berserikat, untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam, untuk menikmati kesamaan dihadapan hukum, untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang, untuk memperoleh peradilan yang adil, untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi), dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam deklarasi itu mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapat pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat atau tua. HAM sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen HAM yang muncul pada abad ke-20 seperti UDHR, mempunyai beberapa ciri yang menonjol. Pertama, HAM adalah hak, yang menunjuk pada norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib. Kedua, hakhak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM. Hal ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri HAM yang berlaku sekarang adalah HAM itu merupakan isu internasional. Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya, tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis dan sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya. Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang lain. 62 8. Beberapa Peraturan Lain yang Menunjukkan Persamaan Kedudukan Warga Negara a. Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak (Kepres N. 36 Tahun 1990) Majelis Umum PBB dalam sidangnya yang ke-44 pada bulan Desember 1989 telah berhasil menyepakati sebuah resolusi, yaitu Resolusi PBB No. 44/25 tanggal 5 Desember 1989 tentang Convention on the Rights of the Child. Sehubungan dengan pengertian anak, konvensi menekankan pada faktor umur, yakni setiap orang yang masih berumur di bawah 18 tahun, kecuali jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak ketentuan batas umur lebih rendah dari 18 tahun. Situasi dan kondisi anak-anak di berbagai belahan bumi yang digambarkan oleh resolusi tersebut sangat memprihatinkan, seperti karena kondisi sosial yang di bawah standar, kelaparan, bencana alam, eksploitasi, konflik bersenjata, buta huruf, dan lain sebagainya yang mengakibatkan anak-anak tidak hidup dan berkembang dengan layak. Konvensi ini sebenarnya merupakan lanjutan atau salah satu mata rantai dari usaha-usaha masyarakat internasional yang telah dilakukan jauh sebelumnya. Konvensi itu sudah ada sejak Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Anak tahun 1959 (Declaration on the Rights of the Child of 1959) dan Deklarasi PBB Tahun 1979 tentang Anak-Anak Internasional (Declaration on the International Year of the Child of 1979). Jauh sebelumnya, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) juga telah menaruh perhatian yang serius tentang masalah anak-anak, yang terbukti dengan dikeluarkannya Deklarasi Jenewa 1924 (Geneve Declaration of 1924) tentang pembentukan Uni Internasional Dana dan Keselamatan Anak-Anak (Save the Children Fund International Union). Demikian pula PBB secara khusus memiliki salah satu organ khusus yang berkenaan dengan anak-anak, yaitu UNICEF (United Nations Children's Fund/Dana PBB untuk Anak-Anak). b. Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (UU No. 8 Tahun 1998) Ketentuan pokok konvensi ini mengatur tentang pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara Republik Indonesia yang telah meratifikasi wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah yuridiksinya. Misalnya, langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara introgasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. c. Pembentukan Komisi Nasional HAM di Indonesia Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 sebagai respon (jawaban) terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional mengenai perlunya penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM yang terbentuk dengan Keppres tersebut harus menyesuaikan dengan Undang-undang No.39 Tahun 1999. Komnas 63 HAM bertujuan untuk (i) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan (ii) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. d. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres No. 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional ini bersifat independen dan bertujuan untuk (i) menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan, (ii) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan (iii) meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi Nasional ini memiliki kegiatan sebagai berikut: (i) penyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, (ii) pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan, (iii) pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan kepada pemerintah, (iv) penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat, dan (v) pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan. Soal-Soal Latihan A. Soal Uraian 1. Diskripsikan dengan singkat persamaan hak warga negara untuk berunjuk rasa berdasar UU No.9/1998! 2. Jelaskan Persamaan hak warga negara untuk bela negara berdasar UUD 1945 sebelum amandeman! 3. Terangkan secara singkat hak warga negara untuk bela negara berdasar UUD 1945 setelah amandemen! 4. Uraikan secara singkat hak warga negara untuk bela negara menurut UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan! 5. Jelaskan hak-hak warga negara yang sedang menjadi tersangka, terdakwa, dan saksi! 6. Uraikan hak-hak warga negara yang tengah diadili di depan peradilan! 7. Apa yang dimaksud setiap warga negara harus diperlakukan sama di depan hokum? 8. Jelaskan hak warga negara untuk banding ! 9. Terangkan yang dimaksud hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum! 10. Uraikan ketentuan tentang pemberian bantuan hukum bagi warga negara yang sedang menjadi terdakwa. 64 11. Jelaskan garis besar isi Konvensi Hak-Hak Anak (Kepres No. 36 Tahun 1990)! 12. Jelaskan garis besar isi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (UU No. 8 Tahun 1998)! B. Tugas Diskusi Bentuklah 4 kelompok di kelasmu, masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dengan topik di bawah ini. Selanjutnya presentasikan makalah kelompok tersebut di depan kelas secara bergantian. 1. Persamaan hak warga negara untuk berunjuk rasa berdasar UU No.9/1998. 2. Konvensi Hak-Hak Anak (Kepres No. 36 Tahun 1990). 3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (UU No. 8 Tahun 1998). 4. Persamaan hak warga negara untuk bela negara menurut UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan. 65 BAB IV BUDAYA DEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI Standar Kompetensi Kemampuan menganalisis dan mengaplikasikan budaya demokrasi menuju masyarakat madani (civil society). Kompetensi Dasar 1. Mendiskripsikan pengertian dan prinsip-prinsip budaya demokrasi 2. Mengidentifikasikan ciri masyarakat madani (civil society) 3. Menganalisis pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak orde lama, orde baru, dan orde reformasi 4. Menunjukkan sikap positif terhadap pengembangan demokrasi di Indonesia melalui pelaksanaan pemilihan umum 5. Menerapkan budaya demokrasi dalam berbagai bidang kehidupan. A. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi 1. Pengertian Demokrasi Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Secara sederhana demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi telah dikenal sejak abad 5 sebelum Masehi, awalnya sebagai reaksi terhadap pengalaman buruk yang diakibatkan oleh monarki dan kediktatoran di Yunani. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih dalam sistem pemilihan yang bebas. Demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi sebetulnya telah diterima hampir semua pemerintahan di dunia. Pemerintah-pemerintah otoriter sekalipun ikut-ikutan menggunakan atribut demokrasi untuk menggambarkan rezim mereka. Demokrasi pada dasarnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan kadang berliku-liku. Literatur ilmu politik, pada umumnya, memberikan label demokrasi dengan merujuk pada pemerintahan oleh rakyat. Implementasi konsep demokrasi pada tingkat nasional di dalam negara kebangsaan yang berskala besar pada umumnya tidak dilakukan secara langsung oleh warga negara, tetapi secara tidak langsung melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih berdasarkan prinsip kebebasan dan kesamaan. Dalam telaah umum politik, praktik demokrasi semacam ini tergolong dalam demokrsi tidak langsung. Ada dua tataran berpikir mengenai demokrasi yang harus dipisahkan antara satu dengan lainnya, yaitu demokrasi sebagai ide atau konsep dan demokrasi sebagai praksis. Sebagai ide atau konsep, siapapun akan dapat menyusun suatu daftar sangat panjang mengenai arti, makna, sikap, dan perilaku yang tergolong demokratis. Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Kedaulatan itu berkenaan dengan (i) kebebasan berbicara, berkumpul, dan berserikat serta (ii) 66 kebebasan memilih. Keduanya merupakan contoh ide demokrasi yang dapat diberikan. Sebagai praksis, demokrasi sesungguhnya sudah menjelma menjadi sistem. Sebagai sebuah sistem, kinerja demokrasi terikat oleh seperangkat aturan main tertentu. Apabila dalam sistem demokrasi ini ada orang yang tidak menaati aturan main yang berlaku, aktivitas itu akan merusak demokrasi. Dengan kata lain, aktivitas ini dalam konteks sistem demokrasi yang berlaku menjadi tidak demokratis atau antidemokrasi. Demokrasi tidak cukup hanya diwujudkan dengan penyelenggaraan pemilu setiap periode tertentu serta adanya lembaga perwakilan rakyat. Sebab selain hal-hal tersebut negara yang demokratis memerlukan perlindungan hak asasi manusia serta adanya supremasi hukum. Demokrasi terbagi menjadi dua kategori dasar, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung, memungkinkan semua warga tanpa melalui pejabat yang dipilih atau diangkat dapat ikut dalam pembuatan keputusan negara, sedangkan dalam demokrasi tidak langsung digunakan sistem perwakilan. Setiap partai politik yang memenuhi syarat untuk mendapat kursi, menempatkan wakilnya dalam badan legislatif yang jumlahnya bergantung pada persentase perolehan suara tingkat nasional. Pejabat pemerintahan dalam sistem demokrasi perwakilan memangku jabatan atas nama rakyat dan tetap bertanggungjawab kepada rakyat, atas semua tindakan yang mereka lakukan. Menurut Meriam Budiharjo, ada banyak jenis demokrasi yang dipraktikkan oleh berbagai negara. Di antaranya ialah demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, dan demokrasi nasional. Semua jenis yang disebutkan itu memakai istilah demokrasi yang menurut asal katanya berarti rakyatlah yang berkuasa atau government or rule by the people. Sesudah perang dunia ke-2 kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1949 disimpulkan bahwa untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh. Di antara sekian banyak aliran pikiran yang disebut demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu (i) demokrasi konstitusional dan (ii) satu kelompok aliran yang menamakan dirinya demokrasi akan tetapi mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran tersebut mula-mula berasal dari Eropa, tetapi sesudah Perang Dunia II nampaknya juga didukung oleh beberapa negara baru di Asia. India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun menggunakan bermacam-macam bentuk pemerintahan dan gaya hidup. Di lain pihak ada negara-negara baru di Asia yang mendasarkan diri atas komunisme, yaitu RRC, Korea Utara, dan sebagainya. Sebaiknya Anda Tahu Beberapa Nilai Positif dari Demokrasi (1) Keputusan diambil berdasarkan suara rakyat atau kehendak rakyat. (2) Kebebasan individu dibatasi oleh kepentingan bersama, kepentingan bersama lebih penting daripada kepentingan individu tau golongan. (3) Kekuasaan merupakan amanat rakyat, segala sesuatu yang dijalankan pemerintah adalah untuk kepentingan rakyat. 67 (4) Kedaulatan ada ditangan rakyat, lembaga perwakilan rakyat mempunyai kedudukan penting dalam sistem kekuasaan negara. Setelah Anda menyimak ciri demokrasi dan nilai-nilai demokrasi sebagaimana telah diuraikan, coba bandingkan dengan bentuk pemerintahan berikut. (1) Oligarki adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh segelintir orang untuk kepentingan orang banyak. Partisipasi rakyat dalam pemerintahan dibatasi atau bahkan ditiadakan dengan dihapusnya lembaga perwakilan rakyat dan keputusan tertinggi ada pada tangan segelintir orang tersebut. (2) Anarki adalah pemerintahan yang kekuasaannya tidak jelas dan tidak ada peraturan yang benar-benar dapat dipatuhi. Setiap individu bebas menentukan kehendaknya sendiri-sendiri tanpa aturan yang jelas. (3) Mobokrasi adalah pemerintahan yang dikuasai oleh kelompok orang untuk kepentingan kelompok yang berkuasa, bukan untuk kepentingan rakyat. Biasanya mobokrasi dipimpin oleh sekelompok orang yang mempunyai motivasi yang sama. (4) Diktator ialah kekuasaan yang terpusat pada seseorang yang berkuasa mutlak (otoriter). 2. Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi Seorang ilmuan politik terkenal yang secara mendalam mengkaji demokrasi, Robert A. Dahl, mengemukakan bahwa dalam budaya demokrasi terdapat tiga prinsip utama. a. Kompetisi Budaya demokrasi memberikan peluang yang sama untuk bersaing bagi setiap individu, kelompok, dan organisasi (khususnya partai politik) untuk menduduki posisi kekuasaan dalam pemerintah. Kompetisi tentunya berlangsung dalam jangka waktu yang teratur yang tertib dan damai. Dengan kata lain, kompetisi itu berlangsung melalui pemilihan umum (untuk Indonesia 5 tahun sekali, di Amerika Serikat 4 tahun sekali) dan dilakukan tanpa adanya tindakan kekerasan. b. Partisipasi Budaya demokrasi memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk terlibat dalam pemilihan pemimpin melalui pemilihan yang bebas secara teratur dan terlibat dalam pembuatan dan pelaksanakan kebijakan publik. c. Kebebasan Budaya demokrasi memberikan jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikan dan menjadi anggota organisasi yang dijamin dapat menjadi saluran partisipasi dan berkompetisi. Demokrasi yang digambarkan oleh Robert A. Dahl tersebut tampak terbatas sebagai sistem politik. Bapak pendiri negara kita atau proklamator Bung Karno dan Bung Hatta tidak membatasi makna demokrasi terbatas sebagai sistem politik, tetapi juga sebagai sistem ekonomi dan sistem sosial. Bung Karno memberikan istilah demokrasi yang demikian sebagai socio democratie, sedangkan Bung Hatta menamakannya sebagai demokrasi sosial. Dengan demikian, di Indonesia demokrasi tidak hanya diterapkan dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial. Dalam demokrasi 68 ekonomi atau ekonomi kerakyatan semua anggota masyarakat tidak hanya turut serta dalam proses produksi dan dalam menikmati hasil-hasil produksi, tetapi juga dalam mengawasi berlangsungnya proses produksi dan distribusi tersebut. Kemudian, demokrasi sebagai sistem sosial berarti dalam kehidupan bermasyarakat diakui adanya persamaan kedudukan. Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, antara kelompok mayoritas dan minoritas. Ini berarti dalam masyarakat perlu dihindari sikap dan perilaku yang dapat membentuk hubungan yang berpola tuan–hamba (feodalisme), maupun sikap dan perilaku yang membeda-bedakan (diskriminatif) atas dasar perbedaan status sosial, jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Di samping itu, perlu diingat bahwa negara Indonesia tercinta memiliki dasar negara Pancasila. Pancasila yang telah dikembangkan dalam aturan dasar kehidupan bernegara, yaitu UUD 1945. Oleh karena itu, pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Yang termasuk pelaksanaan demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, misalnya, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa/relegius, kemanusiaan/ hak asasi manusia, persatuan/ pluralisme, perwakilan/langsung, keadilan dan kesejahteraan, dan negara hukum. Ini berarti dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas. Contohnya, ketika melakukan kompetisi, partisipasi dan aktivitas yang mengekspresikan kebebasan tidak dibenarkan apabila menimbulkan perpecahan atau disintegrasi bangsa karena hal itu bertentangan dengan dasar persatuan; tidak dibenarkan pula apabila melanggar peraturan yang berlaku karena bertentangan dengan dasar negara hukum. Sebaiknya Anda Tahu Jenis-Jenis Demokrasi a. Berdasarkan cara menyampaikan pendapat, demokrasi terbagi atas tiga jenis berikut ini. (1) Demokrasi langsung. Dalam demokrasi langsung rakyat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan untuk menjalankan kebijakan pemerintahan. (2) Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi ini dijalankan oleh rakyat melalui wakil rakyat yang dipilihnya melalui Pemilu. Rakyat memilih wakilnya untuk membuat keputusan politik Aspirasi rakyat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. (3) Demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung dari rakyat. Demokrasi ini merupakan campuran anatara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan. Rakyat memilih wakilnya untuk duduk didalam lembaga perwakilan rakyat, tetapi wakil rakyat dalam menjalankan tugasnya diawasi rakyat melalui referendum dan inisiatif rakyat. Demokrasi ini antara lain dijalankan di Swiss. Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan referendum?Referendum adalah pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara langsung. Referendum dibagi menjadi tiga macam. Pertama, disebut referendum wajib, yang dilakukan ketika ada perubahan atau pembentukan norma penting dan mendasar dalam UUD (Konstitusi) atau UU yang sangat politis. UUD atau UU tersebut yang telah dibuat oleh lembaga perwakilan rakyat dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan rakyat melalui pemungutan suara terbanyak. Jadi, referendum ini dilaksanakan untuk meminta persetujuan rakyat terhadap hal yang dianggap sangat penting atau mendasar. Kedua, disebut referendum tidak wajib. Referendum ini dilaksanakan jika dalam waktu tertentu setelah rancangan undang69 undang diumumkan, sejumlah rakyat mengusulkan diadakan referendum. Jika dalam waktu tertentu tidak ada permintaan dari rakyat, Rancangan Undangundang itu dapat menjadi undang-undang yang bersifat tetap. Ketiga, disebut referendum konsultatif. Referendum ini hanya sebatas meminta persetujuan saja karena rakyat tidak mengerti permasalahannya, pemerintah meminta pertimbangan pada ahli bidang tertentu yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. b. Berdasarkan titik perhatian atau prioritasnya, demokrasi dibedakan sebagai berikut. (1) Demokrasi formal. Demokrasi ini secara hukum menempatkan semua orang dalam kedudukan yang sama dalam bidang politik, tanpa mengurangi kesenjangan ekonomi. Individu diberi kebebasan yang luas, sehingga demokrasi ini disebut juga demokrasi liberal. (2) Demokrasi Material. Demokrasi material memandang manusia mempunyai kesamaan dalam bidang sosial-ekonomi, sehingga persamaan bidang politik tidak menjadi prioritas. Demokrasi semacam ini dikembangkan di negara sosialiskomunis. (3) Demokrasi Campuran. Demokrasi ini merupakan campuran dari kedua demokrasi tersebut di atas. Di dalam sistem demokrasi ini diupayakan untuk menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat dengan menempatkan persamaan derajat dan hak setiap orang. c. Berdasarkan prinsip idiologi, demokrasi dibedakan sebagai berikut. 1. Demokrasi liberal. Demokrasi ini memberikan kebebasan yang luas pada individu. Campur tangan pemerintah diminimalkan bahkan ditolak. Tindakan sewenangwenang pemerintah terhadap warganya dihindari. Pemerintah bertindak atas dasar konstitusi (hukum dasar). 2. Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar. Demokrasi ini bertujuan menyejahterakan rakyat. Negara yang dibentuk tidak mengenal perebedaan kelas. Semua warga negara mempunyai persamaan dalam hukum dan politik. d. Berdasarkan wewenang dan hubungan antar alat kelengkapan negara, demokrasi dibedakan sebagai berikut. (1) Demokrasi Parlementer. Sistem demokrasi ini memiliki ciri sebagai berikut: (a) DPR lebih kuat dari pemerintah, (b) menteri bertanggung jawab pada DPR, (c) program kebijaksanaan kabinet disesuaikan dengan tujuan politik anggota parlemen, dan (d) kedudukan kepala negara sebagai simbol tidak dapat diganggu gugat. (2) Demokrasi Presidensial. Sistem demokrasi ini memiliki ciri sebagai berikut: (a) negara dikepalai presiden, (b) kekuasaan eksekutif presiden dijalankan berdasarkan kedaulatan yang dipilih dari dan oleh rakyat melalui badan perwakilan, (c) presiden mempunyai kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri, (d) menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR melainkan kepada presiden, (e) presiden dan DPR mempunyai kedudukan yang sama sebagai lembaga negara dan tidak dapat saling membubarkan. 3. Prinsip-Prinsip Demokrasi Konstitusional Ciri khas demokrasi konstitusional ditunjukkan oleh adanya pemerintah yang demokratis, yang terbatas kekuasaannya, dan tidak bertindak sewenangwenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah itu tercantum dalam konstitusi (pemerintahan berdasarkan konstitusi). Gagasan bahwa kekuasaan itu perlu dibatasi dicetuskan oleh Lord Acton (ahli 70 sejarah Inggris) dengan menyatakan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan manusia itu penuh kelemahan. Dalilnya, yang kemudian menjadi terkenal, adalah Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Artinya, manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas, pasti akan menyalahgunakannya. Pada waktu demokrasi konstitusional muncul sebagai suatu sisem politik yang konkrit, pada akhir abad 19, muncul pula anggapan bahwa pembatasan terhadap kekuasaan negara sebaiknya diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis yang dengan tegas menjamin hak-hak asasi warga negaranya. Kekuasaan harus dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan dapat diperkecil. Pembagian itu dilaksanakan dengan cara menyerahkan kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam tangan satu orang atau satu badan. Perumusan yuridis yang terkait dengan prinsip-prinsip ini dikenal dengan istilah rule of law atau rechtsstaat (negara hukum). Sebaiknya Anda Tahu Perkembangan Demokrasi Sejak Abad 15 sampai Abad 20 Meskipun baru pada akhir abad ke-19 mencapai wujud yang konkrit, demokrasi sebenarnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad ke-15 dan ke-16. Wajah demokrasi abad ke-19 menonjolkan beberapa asas yang dengan susah payah telah dimenangkannya, seperti kebebasan dari segala bentuk kesewenang-wenangan baik di bidang agama, politik maupun pemikiran. Jaminan hak asasi manusia dianggap sangat penting. Dalam rangka ini negara hanya dapat dilihat manfaatnya sebagai penjaga malam, yang hanya dibenarkan campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batas-batas yang sangat sempit. Dalam perkembangannya, pada abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II, banyak negara demokratis telah melepaskan pandangan bahwa peranan negara hanya terbatas pada mengurus kepentingan bersama. Sekarang dianggap bahwa negara turut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan oleh karena itu harus aktif berusaha menaikkan taraf hidup warga negaranya. Gagasan ini dituangkan dalam konsep Welfare State (Negara Kesejahteraan) atau Social Service State. Demokrasi dalam abad ke-20 tidak lagi membatasi diri pada aspek politik saja seperti dalam abad ke-19, tetapi meluas mencakup juga segi-segi ekonomi sehingga muncul konsep demokrasi ekonomi. 4. Prinsip-Prinsip Demokrasi Konstitusional Klasik (Abad 19) Cita-cita untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif, mengakibatkan munculnya gagasan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan dengan suatu konstitusi, baik dengan naskah konstitusi yang tertulis (written constitution) maupun dengan konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution). Di dalam konstitusi biasanya ditulis hak-hak warga negara dan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen (legislatif) dan lembaga-lembaga hukum lain, sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan. Demokrasi konstitusional adalah sebuah gagasan bahwa pemerintah merupakan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat dan tunduk pada pembatasan konstitusi agar kekuasaan tidak disalahgunakan oleh pemegang kekuasaan. Konstitusi tidak hanya merupakan suatu dokumen yang 71 mencerminkan pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga kenegaraan (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi dipandang sebagai suatu lembaga yang memiliki fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintahan di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak-hak asasi dari warga negaranya. Konstitusi dianggap sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sesuai dengan dalil government by laws, not by men yang artinya ‗pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kemauan penguasa‘. Pada abad 19 dan permulaan abad 20 gagasan mengenai perlunya pembatasan kekuasaan mendapat landasan yuridis sejak ahli hukum Eropa Barat Kontinental, seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl, memakai istilah rechsstaat dan ahli Anglo Saxon seperti AV Dicey memakai istilah rule of law. Sebaiknya Anda Tahu Pilar-Pilar Demokrasi Menurut Rule of Law Menurut rule of law klasik, pilar-pilar demokrasi meliputi (1) hak-hak manusia, (2) pemisahan dan pembagian kekuasaan yang populer dengan “trias politica”, (3) pemerintah berdasarkan undang-undang, dan (4) peradilan (Miriam Budiardjo, 1983:57). Pilar-pilar demokrasi yang didasarkan konsep rule of law menurut AV Dicey adalah (1) tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, (2) kedudukan yang sama dalam hukum (dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat) dan, (3) terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang. Konsep demokrasi berdasarkan rule of law lahir dari paham liberalisme yang menganut dalil bahwa negara sebagai penjaga malam. Pemerintahan hendaknya tidak terlalu banyak mencampuri urusan warga negaranya kecuali dalam hal yang menyangkut kepentingan umum seperti bencana alam, hubungan luar negeri, dan pertahanan serta keamanan. 5. Prinsip-Prinsip Demokrasi Konstitusional Modern (Abad 20) Dalam abad ke-20, terutama sesudah Perang Dunia II, telah terjadi perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahanperubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain oleh banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis dan oleh tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa. Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara, baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi, lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan oleh karena itu harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Dewasa ini, muncul anggap bahwa demokrasi harus mencakup dimensi ekonomi dengan suatu sistem yang menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state 72 (negara kesejahteraan) atau social service state (negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat). Negara-negara modern dewasa ini pada umumnya giat mengatur dan menangani berbagai hal seperti pajak, upah minimum, pensiun, pendidikan umum, asuransi, pengangguran, kemelaratan, timbulnya perusahaan-perusahaan raksasa (anti trust), dan ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak diganggu oleh depresi dan krisis ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah dewasa ini mempunyai kecenderungan untuk memperluas aktivitasnya. Sesuai perkembangan zaman, konsep rule of law (negara hukum) dirumuskan kembali, terutama setelah Perang Dunia II, sehingga muncul konsep versi abad 20. International Commission of Jurists, sebagai komisi hukum internasional, dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965 merumuskan pemerintah yang demokratis sebagai pemerintahan yang diwarnai oleh hal-hal sebagai berikut. (1) Sehubungan dengan perlindungan konstitusional, selain menjamin hak-hak individu, pemerintah harus menentukan pula prosedur untuk perlindungan hak-hak yang dijamin. (2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. (3) Pemilihan umum yang bebas. (4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat. (5) Kebebasan untuk berserikat, berorganisasi, dan beroposisi. (6) Pendidikan kewarganegaraan (Miriam Budiardjo, 1983:61). Henri B. Mayo memberikan batasan terhadap sistem politik demokratis sebagai kebijaksanaan umum yang ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakilwakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas kesamaan dan kebebasan politik. Selanjutnya Mayo mengemukakan bahwa nilai-nilai demokrasi itu menyangkut hal-hal berikut: (1) menyelesaikan perselisihan dengan damai dan melembaga, (2) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang berubah, (3) menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur, (4) membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum, (5) mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, dan (6) menjamin tegaknya keadilan. Sebaiknya Anda Tahu Pilar-Pilar Demokrasi Modern (menurut Amin Rais): (1) Partisipasi rakyat dalam pembuatan keputusan. Di dalam demokrasi perwakilan partisipasi rakyat untuk untuk membuat keputusan diwakili oleh wakil-wakil rakyat. Oleh karena itu diperlukan pemilu yang Luber dan Jurdil, agar wakil-wakil rakyat representatif. (2) Persamaan kedudukan di depan hukum. Hukum diperlakukan sama bagi seluruh warga negara, baik pejabat, rakyat dan penjahat terlepas dari kalibernya masingmasing harus berada dibawah jangkauan hukum positif yang berlaku. (3) Distribusi pendapatan secara adil. Keadilan ekonomi yang diwujudkan dalam upaya pembagian pendapatan secara adil. (4) Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan merupakan faktor penentu bagi seseorang untuk memperoleh pelayanan dan penghasilan yang 73 layak. Kesempatan umtuk memperoleh pendidikan secara sama antar sesama warga negara harus dijadikan salah satu perhatian utama oleh penyelenggara negara. (5) Kebebasan. Kebebasan yang sangat penting yang dapat menunjukkan derajat demokrasi suatu negara ada empat yaitu kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan kebebasann beragama. Empat kebebasan tersebut dianggap sebagai hak-hak terpenting dari hak asasi manusia. (6) Keterbukaan informasi. Informasi harus disediakan secara terbuka bagi rakyat agar selain mengetahui kualitas pemimpinnya, rakyat mengetahui perkembangan situasi yang mempengaruhi kehidupannya, termasuk kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahnya. (7) Tata krama (etika) politik. Maksudnya adalah tata krama politik yang mungkin tidak tertulis tetapi jelas dirasakan baik buruknya oleh hati nurani. Kesediaan mengundurkan diri harus dianggap sebagai hal yang wajar oleh pejabat yang mengotori jabatannya dengan tindakan-tindakan korup. (8) Kebebasan individu. Setiap individu supaya diberi hak untuk hidup secara bebas dan memiliki privacy seperti diinginkan. Sejauh tidak merugikan orang lain, setiap individu dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri. (9) Semangat kerja sama. Untuk mempertahankan eksistensi masyarakat berdasarkan jiwa kemasyarakatan yang mendorong saling menghargai antar sesama warga, maka semangat kerja sama perlu ditumbuh kembangkan. (10) Hak untuk protes. Demokrasi harus membuka pintu bagi koreksi atas terjadinya penyelewengan yang untuk keadaan tertentu, meskipun pendekatan institusional dan legalistik tidak lagi memadai, tindakan protes harus ditolerir agar jalannya pemerintahan yang menyimpang dapat diluruskan lagi (dalam Udin Saparudin Winataputra, 2002). Dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan berbagai lembaga menurut ketentuan sebagai berikut: (1) pemerintah yang bertanggungjawab, (2) dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingankepentingan dalam masyarakat dan dipilih dalam pemilu yang bebas, (3) perlu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik, (4) pers yang bebas dalam menyatakan pendapat, dan (5) sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan keadilan. 6. Prinsip-Prinsip Demokrasi Pancasila Menurut Prof. Dardji Darmodihardjo, demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan pembukaan UUD 1945. Adapun prinsip-prinsipnya menyangkut (1) persamaan bagi seluruh rakyat indonesia, (2) keseimbangan antara hak dan kewajiban, (3) pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain, (4) mewujudkan rasa keadilan sosial, (5) pengambilan keputusan dengan musyawarah, (6) mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan, dan (7) menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional. 74 Menurut Prof. S. Pamuji, demokrasi Pancasila mengandung enam aspek berikut. (1) Aspek formal, yang mempersoalkan proses dan cara rakyat menunjuk wakilwakilnya dalam badan-badan perwakilan dan pemerintahan serta bagaimana mengatur permusyawaratan wakil-wakil rakyat secara bebas, terbuka, jujur untuk mencapai konsensus. (2) Aspek material, untuk mengemukakan gambaran manusia dan mengakui terwujudnya masyarakat manusia Indonesia sesuai dengan gambaran, harkat dan martabat tersebut. (3) Aspek normatif, yang mengungkapkan seperangkat norma atau kaidah yang membimbing dan menjadi kriteria pencapaian tujuan. (4) Aspek optatif, yang mengetengahkan tujuan dan keinginan yang hendak dicapai. (5) Aspek organisasi, untuk mempersoalkan organisasi sebagai wadah pelaksanaan Demokrasi Pancasila dimana wadah tersebut harus cocok dengan tujuan yang hendak dicapai. (6) Aspek kejiwaan, yang menjadi semangat para penyelenggara negara dan semangat para pemimpin pemerintahan. Sebaiknya Anda Tahu Pilar-Pilar Demokrasi Pancasila (menurut Udin Saripudin Winataputra) (1) demokrasi yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. (2) demokrasi dengan kecerdasan. (3) demokrasi yang berkedaulatan rakyat. (4) demokrasi dengan rule of law. (5) demokrasi dengan pembagian kekuasaan negara. (6) demokrasi dengan hak asasi manusia. (7) demokrasi dengan pengadilan yang merdeka. (8) demokrasi dengan otonomi daerah. (9) demokrasi dengan kemakmuran. (10) demokrasi yang berkeadilan sosial (Udin Saparudin Winataputra, 2002). Bila dibandingkan sesungguhnya secara esensial terdapat kesesuaian antara pilar-pilar demokrasi universal dan demokrasi Pancasila yang berdasarkan UUD 1945. Yang tidak terdapat dalam pilar demokrasi universal tetapi merupakan salah satu pilar demokrasi Pancasila ialah demokrasi berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Inilah yang merupakan ciri khasnya demokrasi Indonesia yang sering disebut dengan istilah teodemokrasi, yakni demokrasi dalam konteks kekuasaan Tuhan Yang maha Esa. Dengan kata lain, demokrasi universal adalah demokrasi yang bernuansa sekuler, sedangkan demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa (Udin Saripudin Winataputra, 2002:120). Latihan A. Soal Uraian 1. Jelaskan pengertian demokrasi menurut para ahli (minimal 3 ahli)! 2. Jelaskan pengertian demokrasi dengan kalimatmu sendiri! 3. Sebutkan nilai-nilai positif dari demokrasi! 4. Jelaskan prinsip-prinsip budaya demokrasi menurut Robert Dahl! 75 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Apa yang dimaksud demokrasi langsung? Apa yang dimaksud demokrasi perwakilan? Jelaskan perbedaan antara demokrasi formal, material, dan campuran! Terangkan perbedaan antara demokrasi liberal dan demokrasi rakyat (proletar)! Uraikan perbedaan demokrasi parlementer dengan presidensial! Apa yang dimaksud demokrasi konstitusional itu? Apa perbedaan antara Demokrasi Konstitusional Klasik (abad 19) dengan Demokrasi Konstitusional Modern (abad 20)? Diskripsikan dengan singkat perkembangan demokrasi di dunia sejak abad 15 hingga saat ini! Jelaskan prinsip-prinsip demokrasi menurut negara yang berdasar rule of law! Sebutkan pilar-pilar demokrasi menurut Amin Rais! Jelaskan pilar-pilar demokrasi Pancasila! B. Tugas Diskusi Bentuklah empat kelompok dan masing-masing kelompok membuat makalah sederhana untuk dipresentasikan di depan kelas. Adapun topik-topiknya adalah sebagai berikut. 1. Perbandingan Demokrasi Pancasila, Demokrasi Liberal, dan Demokrasi Proletar. 2. Demokrasi Langsung dan Demokrasi Tidak Langsung (ditinjau kelebihan dan kekurangannya). 3. Perkembangan demokrasi di dunia sejak kelahirannya hingga saat ini. 4. Perkembangan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. B. Masyarakat Madani (Civil Society) 1. Pengertian dan Ciri-Cirinya Istilah civil society yang kini sering diterjemahkan dengan istilah masyarakat madani tampaknya semakin mendapat tempat di dalam wacana politik di Indonesia. Sebagai sebuah konsep, masyarakat madani berasal dari proses sejarah Barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero dan bahkan sejak zaman Aristoteles. Yang jelas, Cicero yang mulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafatnya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara, yakni suatu kelompok yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Diskusi-diskusi mutakhir tentang civil society pada umumnya berporos pada pemahaman de Tocqueville. Civil society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan di antaranya bercirikan (i) kesukarelaan (voluntary), (ii) keswasembadaan (self generating), (iii) keswadayaan (self supporting), (iv) kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan (v) keterkaiatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Dari pengertian tersebut civil society berwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok-kelompok kepentingan merupakan wujud dari kelembagaan civil society. 76 2. Perkembangan Masyarakat Madani (Civil Society)di Indonesia Secara historis civil society di Indonesia telah muncul ketika proses transformasi akibat modernisasi terjadi yang menghasilkan pembentukan masyarakat baru yang berbeda dengan masyarakat tradisional. Dengan demikian, akar civil society di Indonesia bisa dirunut secara historis semenjak terjadinya perubahan sosial ekonomi pada masa kolonial Belanda. Hal tersebut mendorong terjadinya pembentukan masyarakat baru lewat proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern. Hasilnya antara lain adalah munculnya kesadaran baru di kalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasiorganisasi sosial modern di awal abad 20. Dalam perjalanannya, pertumbuhan civil society di Indonesia pernah mengalami suatu masa yang cukup menjanjikan bagi pertumbuhannya. Hal ini terjadi sejak kemerdekaan sampai dengan 1950-an, yaitu pada saat organisasiorganisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga masyarakat yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, terciptalah kekuatan masyarakat yang mampu menjadi penyeimbang dan pengawas terhadap kekuatan negara. Sayang sekali iklim demikian itu tidak berlangsung lama karena ormas-ormas dan lembaga-lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya aliran politik dan pertarungan berbagai ideologi. Pada awal 1960-an, akhirnya mengalami kemunduran yang nyata. Demokrasi terpimpin maupun orde baru membuat posisi negara semakin kuat sedangkan posisi rakyat lemah. Pada masa itu terjadi paradok, yaitu semakin berkembangnya kelas menengah pada masa orde baru ternyata tidak mampu mengontrol hegemoni negara karena ternyata kelas menengah di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara dan penguasa. Kelas menengah di negeri ini juga masih punya problem kultural dan primordial, yaitu ada kelas menengah pribumi dan nonpribumi, muslim dan nonmuslim, Jawa dan non-Jawa. Hal ini berpengaruh terhadap munculnya solidaritas di kalangan para anggotanya. Akibatnya, negara mudah melakukan tekanan dan pencegahan bagi timbulnya solidaritas kelas menengah untuk memperluas kemandirinnya. 3. Asal Usul Istilah Masyarakat Madani (Civil Society) Pada dasawarsa terakhir abad ke-20, telah lahir kembali dalam wacana dan gerakan politik global sebuah istilah yang telah lama dilupakan, yaitu istilah civil society (masyarakat madani). Istilah tersebut secara konseptual dikembangkan dari pengalaman era pencerahan Eropa Barat abad ke-1, yaitu pada masa munculnya kembali di Eropa Timur pada dasawarsa 1980-an sebagai jawaban terhadap negara dengan sistem partai sosialis (tunggal) yang otoriter yang kemudian dapat dijatuhkan. Dari Eropa Timur, gemanya kemudian menjalar dan menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Di Eropa Barat, gema tersebut mengambil bentuk tumbuhnya kritik sayap kanan terhadap negara kesejahteraan, sementara di Amerika Latin diartikulasikan dengan keinginan untuk bebas dari pemerintahan militer. Di sisi lain, di Afrika, Asia Timur, dan Timur Tengah, civil society digunakan untuk mengekpresikan keanekaragaman perjuangan untuk demokratisasi dan perubahan politik (Amin Abdullah, 2003:1). Gema civil society (masyarakat madani) pada perkembangan berikutnya ternyata masuk ke dalam wacana lembaga-lembaga multilateral. Sebagai contoh, 77 The Inter-American Development Bank (Bank Pembangunan Antar-Amerika) merintis sebuah proyek penguatan civil society di Amerika Latin pada dasawarsa 1990-an. Di samping itu, IDB (Bank Pembangunan Internasional), Bank Dunia, UNDP (Program Pembangunan PBB), Yayasan Soros, dan Pemerintahan Denmark, semuanya mulai membiayai program-program pengembangan civil society di Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin. Dari fakta ini, istilah civil society telah berkembang dari sekedar konsep menjadi sebuah gerakan (Amin Abdullah, 2003:3). 4. Runtuhnya Orde Baru dan Bangkitnya Masyarakat Madani (Civil Society) di Indonesia Wacana civil society telah menjadi salah satu cara untuk melepaskan kekecewaan atau ketidakpuasan sebagian warga masyarakat terhadap praktikpraktik politik Orde Baru yang sangat hegemonik dalam pengelolaan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Dalam penataan politik, misalnya, rezim Orde Baru melakukan hal-hal berikut ini. (1) Reformasi pada tingkat elite dengan membentuk korporasi negara di mana militer, teknokrat, dan birokrat menjadi sendi-sendi utamanya. (2) Depolitisasi arus bawah melalui kebijakan massa mengambang dan di kalangan mahasiswa melalui kebijakan normalisasi kehidupan kampus. (3) Institusionalisasi politik dalam masyarakat dengan berbagai cara: (i) penyederhanaan sistem kepartaian dan penyatuan ideologi politik formal melalui asas tunggal Pancasila, (ii) dalam penataan kebudayaan, terutama yang terkait dengan ideologi bangsa, selain pengasastunggalan ideologi organisasi politik (dan organisasi masyarakat), juga dilakukan program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dengan memonopoli interpretasi Pancasila oleh negara, dan (iii) penerapan pendekatan keamanan kepada para pembangkang. Dalam penataan ekonomi, rezim Orde Baru melakukan akumulasi modal melalui (i) mobilisasi kekuatan kelas borjuis nasional sebagai motornya, walaupun masih dimonopoli kelompok non-pribumi dan (ii) pelibatan diri secara aktif dalam sistem kapitalis dunia sehingga diperoleh dukungan, baik finansial, teknik, keahlian maupun politik dari lembaga-lembaga internasional yang berkepentingan dengan ekspansi sistem kapitalisme global. Dalam penataan sosial, rezim Orde Baru melakukan proses produksi dan reproduksi sosial melalui (i) penguasaan wacana yang menyangkut tema modernisasi, terutama pembangunan ekonomi dan (ii) penciptaan legalisme-konstitusionalisme atau pembuatan sub-wacana dan subpraksis politik dengan acuan konstitusional. Di tengah hegemoni negara era Orde Baru yang melakukan pembatasan dan penutupan ruang kebebasan itu, masyarakat madani (civil society) memperoleh momentumnya sebagai obyek wacana. Ketika bangsa Indonesia memasuki era reformasi sebagai koreksi terhadap era sebelumnya, wacana masyarakat madani (civil society) terakumulasi menjadi cita-cita ideal untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru. Pada awal era reformasi banyak seminar, diskusi, dan talkshow yang digelar dan artikel yang ditulis tentang membangun masyarakat Indonesia baru yang terkait dengan wacana masyarakat madani (civil society), baik secara eksplisit maupun implisit. Lebih dari itu, di era Habibie yang sangat singkat, 78 masyarakat madani (civil society) telah dijadikan pemerintah sebagai acuan reformasi dan pembentukan masyarakat Indonesia baru melalui pendirian Tim Nasional Reformasi menuju Masyarakat Madani. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa sebagian besar dari fenomena komunalisme dan radikalisme massa itu menggunakan instrumen agama (bahasa, organisasi, simbol, dan sentimen) dalam ideologi dan gerakannya. Dalam perkembangan selanjutnya terlihat ada kesenjangan antara harapan membangun masyarakat Indonesia baru yang menjadikan masyarakat madani (civil society), baik sebagai basis maupun cita-cita idealnya, dan kenyataan sosial yang menampilkan radikalisme massa, seperti terlihat pada amuk massa (main hakim sendiri) terhadap pelanggaran tindak pidana (mencuri, mencopet, menodong), tawuran dan/atau kerusuhan (baik antar dan intra-etnis maupun antar dan intra-agama), atau sekedar mobilisasi massa sebagai dampak dari konflik antarelite politik; bahkan juga terjadi baku hantam di forum sidang tahunan MPR November 2001. Contoh-contoh radikalisme massa ini, bagaimanapun, mengimplisitkan tampilan sifat komunal masyarakat Indonesia ketika memasuki ruang publik. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa sebagian besar dari fenomena komunalisme dan radikalisme massa itu menggunakan instrumen agama dalam ideologi dan gerakannya. Sebaiknya Anda Tahu Negara Hukum (Kesenjangan antara Harapan dan Kenyataan) Presiden susilo Bambang Yuhoyono mengakui, dalam memenuhi prinsip negara hukum, jaminan hak asasi manusia, dan hak warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945, ada kesenjangan antara apa yang diharapkan dan kenyataannya. Meskipun sejak dulu bangsa Indonesia telah berjuang dan berusaha mengatasi kesenjangan yang terjadi, tetapi hasilnya dirasakan belum memuaskan semua pihak. Demikian Presiden dalam sambutannya ketika membuka acara Pertemuan Puncak Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinal dalam Konteks HAM, Senin 24 April 2006 di Jakarta. Acara dihadiri Ketua Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Adnan Buyung Nasution dan sejumlah menteri. Presiden Yudhoyono adalah presiden pertama yang hadir dalam acara LBH sepanjang sejarah LBH. Hal itu juga diakui Ketua Dewan Pengurus YLBHI Munarman. Dalam lanjutan sambutannya, Presiden mengatakan, “Saya berharap kenyataan ini tidak membuat kita kehilangan energi, semangat, menyerah, dan berputus asa. Perjuangan mewujudkan sesuatu yang ideal memang memerlukan waktu panjang. Simaklah pengalaman negara maju. Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan lainnya, betapa panjangsebuah tatanan dan sistem nilai diwujudkan”. Pemerintah, ujar presiden, sejak awal telah menegaskan sikap memberikan perhatian lebih besar bagi penegak hukum dan perlindungan HAM. “Selain MPR merampungkan tugas menyelesaikan amandemen UUD 1945, saya mewarisi berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan penegakkan hukum dan perlindungan HAM yang lebih baik”, kata Presiden seraya menambahkan pemerintah telah meratifikasi berbagai instrumen hokum internasional, seperti Kovenan Hak sipil dan Politik, Kovenan Sosial dan ekonomi, beserta protokolnya. 79 Menurut Munarman, kehadiran Presiden setidaknya harus dapat memenuhi dua hal yang menjadi keinginan YLBHI, yaitu harus segera membentuk RUU Bantuan Hukum dan mengalokasikan kembali dana bantuan hokum dari APBN 2007. “Terakhir tahun 1997, LBH pernah mendapat dana bantuan hokum yang nilainya per perkara Rp 25.000. Namun bantuan itu terhenti. Kami meminta pemerintah mengalokasikan kembali pada APBN 2007,” katanya. Menurut Munarman bila bantuan itu dulu diberikan orde baru untuk mengontrol LBH, sekarang merupakan pemenuhan hak warga negara. Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan, menilai langkah LBH kali ini bisa dibaca sebagai kegenitan politik yang bisa mendegradasi LBH. Soal dana bantuan hokum, Trimedya mengingatkan politik dana bisa dipakai pemerintah mengontrol LBH. Secara terpisah, Ketua Mahkamah agung Bagir Manan menyerukan agar pembuat anggaran bersedia menyisihkan anggaran bagi pos bantuan hukum. Itu perlu dilakukan mengingat kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran rakyat merupakan tanggung jawab negara. (Kompas 25 April 2006) a. Soal Uraian (1) Jelaskan pengertian masyarakat madani dengan kalimatmu sendiri! (2) Terangkan asal-usul istilah masyarakat madani! (3) Sebutkan ciri-ciri masyarakat madani! (4) Mengapa selama pemerintahan orde baru tidak terwujud masyarakat madani di Indonesia? (5) Sejak kapan masyarakat madani mulai tumbuh di Indonesia? (6) Apakah negara hukum di Indonesia telah berjalan sebagaimana mestinya? (7) Uraikan perkembangan masyarakat madani di Indonesia! (8) Apakah masyarakat madani telah terbentuk di Indonesia saat ini, berikan alasnmu! b. Tugas Diskusi Bentuklah tiga kelompok, masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dan dipresentasikan di depan kelas. Adapun topik-topiknya sebagai berikut. (1) Pengertian, asal-usul serta ciri-ciri masyarakat madani. (2) Masyarakat madani di Indonesia antara harapan dan kenyataan. (3) Masyarakat madani, masyaraat ideal yang didambakan banyak bangsa. C. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi) 1. Perkembangan Demokrasi di Indonesia Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu (i) masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi konstitusional, yang menonjolkan peran parlemen, serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer, (ii) masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat, dan (iii) masa Republik Indonesia III, yaitu masa Demokrasi Pancasila, yang merupakan Demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil (lembaga kepresidenan sangat dominan, parlemen dibuat tidak berdaya) kekuasaan presiden menjadi tidak terkontrol. 80 Kebanyakan pakar menyatakan matinya demokrasi di Indonesia dimulai sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno sampai dengan runtuhnya Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Dengan kata lain demokrasi terpimpin pada masa Soekarno dan demokrasi Pancasila pada masa Soeharto sesungguhnya tidak ada demokrasi. Demokrasi baru mulai hidup kembali sejak era reformasi setelah lengsernya Soeharto pada tahun 1998, akibat reformasi yang diprakarsai oleh mahasiswa. Sejak itu, bangsa Indonesia mulai belajar demokrasi kembali setelah tenggelam lebih kurang 40 tahun. Sistem Kenegaraan Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, berdasar UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, dan kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga sebagai berikut. (1) Kekuasaan tertinggi diberikan oleh rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berfungsi sebagai lembaga konstitutif (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat UndangUndang, sebagai lembaga legislatif. (3) Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan disebut lembaga eksekutif. (4) Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai pemberi saran kepada penyelenggara pemerintahan disebut lembaga konsultatif. (5) Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan dan penguji aturan dibawah undang-undang disebut lembaga yudikatif. (6) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang mengaudit keuangan negara, disebut lembaga auditatif. Setelah dilakukan amandemen UUD 1945, baik kesatu, kedua, ketiga maupun keempat, terjadi pergeseran sebagai berikut. (1) MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. (2) Komposisi MPR terdiri dari seluruh anggota DPR ditambah DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang seluruhnya dipilih oleh rakyat. (3) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang berhak menguji undang-undang terhadap UUD. (4) Terbentuknya Komisi Yudisial yang mengusulkan pengangkatan hakim agung. (5) Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. (6) Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR. (7) Hak prerogatif presiden banyak yang dipangkas. (8) Kekuasaan legislatif semakin dominan. (9) Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dilikuidasi. Sebaiknya Anda Tahu Prinsip-Prinsip Rule of Law di Indonesia Di Indonesia, prinsip-prinsip Rule of Law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan: (i) bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, …..karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “peri keadilan”, (ii) ……. kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur; (iii) …….. untuk memajukan “kesejahteraan umum”, ……. dan “keadilan sosial”; (iv) …….. disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-undang Dasar negara Indonesia”; (v) ……..”kemanusiaan yang adil dan beradab”; dan (vi) …….. serta dengan mewujudkan suatu “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat 81 Indonesia dan juga “keadilan sosial”, sehingga Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan terutama keadilan sosial. Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu: (i) negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3); (ii) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1); (iii) segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1); (iv) dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1); (v) setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2). 2. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia Antara Tahun 1945-1950 Sebulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku di Indonesia walaupun UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman pemerintah yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik yang mendapat sambutan antusias dari rakyat. Secara politis lembaga legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia Pusat. Dilihat dari segi historis, kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, tampaknya konsentrasi seluruh masyarakat dihadapkan sepenuhnya terhadap aksi-aksi militer dan politik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga segenap potensi rakyat dikerahkan untuk mensukseskan revolusi bersenjata ini. Sistem parlementer ini merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 yang menyatakan bahwa tanggung jawab politik terletak di tangan menteri. Hal ini dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mencabut UUDS 1950 dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara. Pada saat bangsa Indonesia sedang menghadapi aksi-aksi Belanda, PKI melancarkan penikaman dari belakang kepada pemerintah RI yang sah. Akibatnya, beribu-ribu orang yang tidak berdosa menjadi korban keganasan politik dan ambisi golongan yang tidak bertanggung jawab. Untunglah hal itu dapat segera dikendalikan oleh kesigapan pemimpin ABRI. 3. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) Sejak tanggal 17 Agustus 1950, dengan kembalinya RI ke dalam bentuk negara kesatuan, berlakulah UUD Sementara 1950 sebagai pengganti UUD RIS 1949. Negara menganut sistem pemerintahan parlementer, di mana para menteri bertanggung jawab kepada badan legislatif (parlemen). Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang 82 tegas dan nyata untuk melakukan kegiatan politik, sehingga berakibat semakin banyak partai-partai politik yang bermunculan. Persaingan secara terbuka antarpartai sangat kentara dalam panggung politik nasional. Masing-masing partai berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya. Akibatnya, pada penyelenggaraan pemilu yang pertama, sejak Indonesia diproklamirkan, sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat pada kabinet baru yang akan berjalan, yaitu akan mantap apabila di dalamnya terdapat koalisi (Ukasah Martadisastra, 1987:144). Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satu pun partai yang menang secara mayoritas mutlak. Efek negatifnya terhadap kabinet adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo singkat karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen. Akibat selanjutnya, program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan. Menurut Prof. Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata negara, dasardasarnya, memang sudah menjadi pandapat umum di dunia sampai sekarang ini bahwa adanya partai politik dalam negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun, dengan partai yang begitu banyak, tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas terhadap jalannya pemerintahan. Kenyataan itu mengakibatkan terjadinya sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik, di mana di dalamnya memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan sosial serta hak-hak asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan atau partai. Demokrasi politik dipakai sebagai alasan akan tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsurunsur feodalisme, malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan. Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidak mampuan Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antarpartai politik dari golongannya, sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, Presiden Soekarno selaku kepala negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan dan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula dimulainya babak baru pelaksanaan demokrasi. 4. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) Istilah demokrasi terpimpin telah dikemukakan oleh Presiden Soekarno sewaktu membuka Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Hal ini 83 menunjukkan tata kehidupan politik baru yang mengubah segi-segi negatif demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal tidak cocok diterapkan di Indonesia. Kesempatan yang sama pada semua orang harus disertai pula dengan kemampuan yang kuat. Apabila tidak, warganegara yang lemah akan tertindas oleh yang kuat. Kemudian Presiden Soekarno mengemukakan pokok-pokok demokrasi terpimpin, antara lain bahwa (1) Demokrasi terpimpin bukan diktator. (2) Demokrasi terpimpin sesuai dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia. (3) Dalam hal kenegaraan dan kemasyarakatan meliputi bidang politik dan kemasyarakatan. (4) Inti pimpinan adalah permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra. (5) Oposisi yang melahirkan pendapat yang sehat dan membangun, diharuskan dalam demokrasi terpimpin. (6) Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan. (7) Tujuan melaksanakan demokrasi terpimpin adalah mencapai masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual. (8) Sebagai alat maka demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berserikat dan berkumpul dan berbicara dalam batas-batas tertentu yaitu batas keselamatan negara, batas kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan dan batas pertanggungjawaban kepada Tuhan dan seterusnya (Ukasah Martadisastra, 1987:147). Atas dasar pernyataan tersebut jelaslah bahwa struktur demokrasi terpimpin bertujuan untuk menstabilkan kondisi negara baik kestabilan politik, ekonomi maupun bidang-bidang lainnya. Walaupun demikian maksud Presiden tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari konstituante. Sementara itu konstituante tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Konstituante terlibat dalam perdebatan yang berkepanjangan di mana di satu pihak terdapat partai yang menghendaki sosial ekonomi. Hal ini mengakibatkan golongan terbesar tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang konstitusional, sehingga kegiatannya kemudian mengalami kevakuman. Di berbagai wilayah timbul pemberontakan seperti DI/TII, PRRI, Permesta dan sebagainya yang melancarkan perlawanan bersenjata kepada pemerintah pusat. Kondisi ini sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga pemerintah perlu menghadapi situasi politik dan keamanan ini melalui jalan tercepat yaitu dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian lahirlah periode demokrasi terpimpin di Indonesia. Dalam kenyataannya kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berpikir dibatasi dalam tingkat-tingkat tertentu. Beberapa ketentuan dan peraturan tentang penyederhanaan partai, pengakuan dan pengawasan serta pembubaran partai menunjukkan bahwa presiden mempunyai peranan dan kekuasaan terhadap kehidupan suatu partai. Hal ini berarti presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan yang menghalanginya. Dengan demikian, jelas sekali bahwa nasib partai politik ditentukan presiden. 84 (1) (2) (3) (4) Gambaran kehidupan politik masa itu dapat dikemukakan sebagai berikut. Ditetapkannya 10 partai politik yang masih diakui yaitu PNI, NU, PKI, Partindo PSII Arudji, dan Partai Katolik, Murba, IPKI, Perti dan parkindo. Tanggal 17 Agustus 1960 Presiden membubarkan dua partai yaitu Masyumi dan PSI, dan apabila pernyataan ini tidak juga diacuhkan maka pembubaran partai akan lebih luas lagi. Tanggal 30 Desember 1959 terbentuk Front Nasional yang kemudian akhirnya membentuk kekuasaan yang sangat besar dan bahkan secara riil bertindak sebagai parpol. Dengan tidak adanya pemilu, maka kebebasan mengeluarkan pendapat pada hakikatnya sudah tidak ada lagi. 5. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila pada Era Orde Baru Orde baru dibawah pimpinan Soeharto pada awalnya dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan Indonesia yang kacau balau setelah pemberontakan PKI September 1965. Orde baru lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan dan kebobrokan demokrasi terpimpin pada masa orde lama. Pada awalnya, orde baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik dibuatlah UU No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum, UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Atas dasar UU tersebut orde baru mengadakan pemilihan umum pertama. Pada awalnya rakyat memang merasakan peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan, melalui serangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan Repelita. Setelah mengalami penderitaan sejak penjajahan, awal kemerdekaan hingga berakhirnya orde lama. Namun demikian, lama-kelamaan program-program pemerintah orde baru bukannya diperuntukkan bagi kepentingan penguasa. Ambisi penguasa orde baru mulai merambah ke seluruh sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan orde baru menjadi otoriter, namun seolah-olah dilaksanakan secara demokratis. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan penguasa. Pancasila pun diperalat demi legitimasi kekuasaan. Hal itu terbukti dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan orde baru (Andriani Purwastuti, 2002:45). Realisasi UUD 1945 praktis lebih banyak memberikan porsi pada presiden, walaupun sesungguhnya UUD 1945 memang memberi wewenang yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Presiden hanyalah mandataris MPR serta dalam menjalankan pemerintahan diawasi oleh DPR. Dalam kenyataan di lapangan posisi legislatif berada di bawah presiden. Seperti tampak dalam UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU Tentang Partai Politik dan Golongan Karya, serta UU Tentang Pemilihan Umum, posisi presiden terlihat sangat dominan. Dengan paket UU politik tersebut praktis secara politis kekuasaan legislatif berada dibawah presiden. Selanjutnya hak asasi rakyat juga sangat dibatasi serta dikekang demi kekuasaan, sehingga amanat pasal 28 UUD 1945 jauh dari kenyataan. Akibat kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol tersebut akhirnya penguasa orde baru cenderung melakukan penyimpangan hampir di semua sendi kehidupan bernegara. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela dan 85 membudaya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan penguasa, kesenjangan semakin melebar, utang luar negeri menjadi menggunung. Akhirnya, badai krisis ekonomi menjalar menjadi krisis multi dimensi. Rakyat yang dipelopori mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang. Akhirnya, runtuhlah orde baru bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Pelaksanaan demokrasi Pancasila masih belum sesuai dengan jiwa, semangat, dan ciri-ciri umumnya. Hal itu terjadi karena presiden begitu dominan baik dalam suprastruktur maupun dalam infrastuktur politik. Akibatnya, banyak terjadi manipulasi politik dan KKN menjadi membudaya, sehingga negara Indonesia terjerumus dalam berbagai krisis yang berkepanjangan. Sebaiknya Anda Tahu DPR di Mata Publik, Masih Mengedepankan Kepentingan Partai dan Pribadi Sungguh besar harapan rakyat terhadap DPR hasil Pemilihan Umum 1999. Di samping terpilih melalui pemilu yang dianggap paling demokratis sejak rezim orde baru berkuasa, anggota DPR kali ini mempunyai latar belakang kualitas yang dipandang lebih baik dari pada yang pernah ada sebelumnya. Dari segi pendidikan formal 83 % adalah lulusan perguruan tinggi. Proporsi mereka yang berusia muda , berumur di bawah 50 tahun, juga cukup besar mencapai 43 % dari seluruh anggota. Dengan kondisi demikian, wajar jika rakyat menggantungkan harapan besar agar DPR lebih banyak berperan dan berpihak kepada rakyat. Paling tidak, dengan fungsinya membuat undang-undang, mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah, serta menampung dan menindaklanjuti berbagai aspirasi dan pengaduan masyarakat, seyogyanya lembaga ini lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Menjelang tiga tahun masa jabatannya, pada 1 oktober 2002, DPR secara akumulatif telah menetapkan sekurangnya 60 UU, tetapi jumlah tersebut masih jauh dari target. Mengacu pada Repeta 2001, misalnya, DPR hanya mampu memproduksi 22 UU, atau hanya 25 % dari target sebanyak 70 UU di tahun itu. DPR juga masih miskin inisiatif dalam menjalankan fungsi legislatif sebab hanya sedikit RUU yang lahir dari tangan lembaga ini; padahal mengacu pada Perubahan Pertama UUD 1945 Pasal 20, kekuasaan membuat UU sudah bergeser dari pemerintah kepada DPR. Tugas yang termasuk cukup berhasil DPR periode ini tampaknya adalah mengawasi jalannya roda pemerintahan. Pada awal tugasnya, mereka aktif menyoroti sepak terjang pemerintah dan tak segan mengunakan hak-haknya, terutama hak interpelasi, hak angket, dan hak pernyataan pendapat. Sepanjang pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, DPR menggunakan hak interpelasi sebanyak dua kali, yaitu terhadap pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, serta pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari jabatan menteri. Hak lain yang pernah difungsikan adalah hak angket dalam kasus pengucuran dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 milyar dan dana pemberian Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah sebesar 2 juta dollar AS. DPR juga menggunakan hak pernyataan pendapat sebanyak dua kali, yaitu atas jawaban Presiden Abdurrahman Wahid terhadap pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi yang dinilai tidak memuaskan dan ketika Presiden Abdurrahman Wahid dianggap telah melanggar Pasal 35 UUD 1945, empat Ketetapan MPR, dan dua UU. DPR terhitung rajin membentuk berbagai panitia khusus di luar panitia kerja. Umumnya panitia yang dibentuk berhubungan dengan pengungkapan kasus tertentu, seperti pengucuran BLBI, penyaluran dana Bulog, dan yang berkaitan dengan rekrutmen opada lembaga negara tertentu, seperti rekrutmen hakim agung dan anggota KPKPN. 86 Namun, serangkaian prestasi yang telah dicapai DPR belum mampu membuat kinerja lembaga ini mendapat pujian berarti, setidaknya di mata sebagian publik. Hasil jajak pendapat berseri menunjukkan semakin lama persentase ketidakpuasan terhadap kinerja DPR berangsur meningkat dari waktu ke waktu. Sehubungan dengan fungsi legislatif DPR, misalnya, lebih dari separuh responden menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kerja anggota dewan dalam membuat undang-undang. Demikian pula dalam mengontrol kerja pemerintah. Meskipun telah terjadi pergantian presiden dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati Soekarno Putri, persentase ketidakpuasan responden dari waktu ke waktu kian besar. DPR dinilai semakin tidak berdaya mengawasi jalannya pemerintahan. Sebenarnya rasa ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap kinerja DPR sudah dapat diprediksi sebelumnya. Maskipun DPR periode 1999-2004 ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, lembaga ini tak pernah sepi dari berbagai persoalan internal. Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme serta perpecahan internal partai-partai yang ada di dalamnya turut pula mewarnai kinerja para wakil rakyat. Puncaknya, Ketua DPR Akbar Tandjung terkait dengan kasus pidana pengucuran dana nonbujeter Bulog. Tak heran bila kinerja DPR selama ini masih belum memuaskan publik. Sepak terjang para wakil rakyat ini diyakini oleh mayoritas responden lebih menitik beratkan kepentingan partai masing-masing dan pribadi daripada kepentingan rakyat banyak. 6. Pelaksanaan Demokrasi pada Era Reformasi Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme UUD 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Penyelenggaraan negara semakin jauh dari citacita demokrasi dan kemerdekaan. Semua itu ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan presiden berlebihan yang melahirkan budaya kurupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan. Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakil presiden Prof. Dr. BJ. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan membawa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD 1945 agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Lemahnya pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru terjadi selain karena moral penguasanya juga memang terdapat berbagai kelemahan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, selain melakukan reformasi dalam bidang politik untuk tegaknya demokrasi melalui perubahan perundang-undangan, juga diperlukan amandemen UUD 1945. Lima paket UU politik telah diperbarui pada tahun 1999, yaitu sebagai berikut. (1) UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, yang kemudian diubah lagi menjadi UU No. 31 Tahun 2002. (2) UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, yang kemudian juga diperbarui dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Selanjutnya juga keluar UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 87 (3) UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, yang akhirnya diganti dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. (4) UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, yang akhirnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang di dalamnya mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. (5) UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila pada era reformasi ini telah banyak memberikan ruang gerak kepada partai politik maupun lembaga negara (DPR) untuk mengawasi pemerintahan secara kritis, pemberian peluang untuk berunjuk rasa dan beroposisi, dan optimalisasi hak-hak DPR seperti hak bertanya, interpelasi, inisiatif, dan amandemen. Sebaiknya Anda Tahu Konflik Internal Partai Konflik internal partai bukan hal yang baru dalam sejarah partai politik di Indonesia. Hal itu sudah terjadi sejak zaman pemerintahan Soekarno. Begitu rezim orde baru runtuh, penyakit ini menular pada partai-partai yang baru lahir. Partaipartai besar semacam Golkar, PDI Perjuangan, dan PPP yang sudah malang melintang pada rezim itu masih saja belum mampu membiakkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit ini. Partai-partai yang pada kelahirannya menimbulkan harapan baru, seperti PKB dan PAN, tak terhindar dari perseteruan internal. PBB dan partai-partai kecil lainnya juga sama saja. Yang paling menonjol adalah rebutan kedudukan atau kekuasaan di dalam partai. Tak mengherankan bila konflik-konflik itu berujung pada kepengurusan kembar. Penyebabnya antara lain konsolidasi partai yang rapuh dan perbedaan kepentingan antarkader yang amat beragam. a. Konflik Internal Partai Golkar (1) Setelah pemilu 1997, terjadi perbedaan pendapat di antara dua kubu mengenai calon wakil presiden yang akan mendampingi Presiden Soeharto (14 Januari 1998), yaitu antara Ketua umum DPP Golkar Harmoko dan BJ Habibie. Akhirnya, Harmoko mengundurkan diri dan Habibie yang menjadi wakil presiden. (2) Setelah Soeharto lengser, konflik dalam tubuh partai semakin menguat, yaitu persaingan antara kubu Akbar Tanjung dan kubu Edi Sudradjat dalam pemilihan ketua umum. Terpilihnya Akbar Tanjung membuat Edi Sudradjat mendirikan partai baru, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan (15 Januari 1999). (3) Setelah beberapa kadernya masuk dalam jajaran pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid konflik internal partai masih sering terjadi. Antara kelompok yang tetap mendukung pemerintah Presiden Wahid dan kelompok yang menginginkan presiden mundur. b. Konflik Internal Partai PDI Perjuangan (1) Pada akhir pemerintahan Soeharto, PDI terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Megawati dan kubu Soerjadi. 88 (2) Di kota Medan massa PDI kubu Megawati (9 Juli 1998) mengambil alih kantor DPD PDI dari tangan PDI kubu Soerjadi. Menjelang Pemilu 1999, kubu Megawati akhirnya mendeklarasikan nama baru PDI Perjuangan, yang akhirnya meraih suara terbanyak dalam pemilu. (3) Pada 27 Maret 2000, muncul dua kelompok yang bersaing untuk memperebutkan posisi ketua umum. Kelompok pertama menginginkan Megawati tetap memimpin partai, sedangkan kelompok kedua menginginkan Megawati lebih berkonsentrasi sebagai wakil presiden saja. c. Konflik Internal Partai PPP (1) Menjelang pemilu 1997 perebutan kursi calon legislatif yang menjurus ke saling pecat di berbagai daerah terjadi di Riau dan Sulawesi Selatan. (2) Semasa Habibie menjabat presiden banyak kader PPP yang keluar dan mendirikan partai baru, seperti PKB, PAN, Partai Keadilan, dan PBB. (3) Januari 2002 PPP pecah, Zainuddin MZ mendirikan Partai Persatuan Pembangunan Reformasi. d. Konflik Internal PKB (1) Perseteruan antara Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil dan Alwi Shihab mengenai sikap partai berhubungan dengan akan dilengserkannya Presiden Wahid, yang juga ketua Dewan Syuro PKB. Akhirnya Matori tetap hadir dalam sidang istimewa MPR, padahal DPP sudah memutuskan untuk memboikot sidang itu. Akhirnya Matori dipecat dari ketua umum PKB. (2) Setelah Matori menjadi menteri, ia menyatakan diri sebagai ketua umum PKB yang syah (30 juli 2001). (3) Dalam muktamar luar biasa yang digelar di Yogyakarta, 20 Januari 2002, akhirnya Alwi Shihab terpilih sebagai ketua umum PKB. e. Konflik Internal PAN Sebanyak 16 anggota PAN, antara lain Faisal Basri dan Bara Hasibuan, pada 21 Januari 2001, mundur dari partai karena merasa PAN tidak lagi sesuai dengan platform partai. f. Konflik Internal Partai Keadilan (1) Presiden PK Nurmahmudi Ismail 3 Mei 1999 mundur dari PK karena hendak bekerja sepenuhnya sebagai pegawai negeri. Namun Mahmudi menolak bila dikatakan mundur karena hendak bergabung dengan PKB. (2) Masa PK 10 November 2000 berunjuk rasa meminta pengembalian dana sebesar Rp 2,8 milyar yang disimpan di Baitul Malwat Tamwil. (Sumber: Litbang Komas, 2002) Latihan a. Soal Uraian (1) Uraikan periode perkembangan demokrasi di Indonesia! (2) Diskripsikan garis besar sistem tata negara RI sebelum amandemen! (3) Jelaskan garis besar sistem tata negara RI setelah amandemen! (4) Uraikan pelaksanaan demokrasi di Indonesia antara tahun 1945-1950! (5) Jelaskan pelaksanaan demokrasi liberal (1950-1959)! (6) Jelaskan pelaksanaan demokrasi terpimpin (1959-1966)! (7) Diskripsikan pelaksanaan demokrasi Pancasila pada era Orde Baru! (8) Diskripsikan pelaksanaan demokrasi pada era reformasi!. (9) Bagimana menurut kamu citra DPR di mata rakyat? 89 (10) Berikan beberapa contoh konflik internal partai politik di era reformasi ini! b. Tugas Diskusi Bentuklah empat kelompok, masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dan dipresentasikan di depan kelas. Adapun topik-topiknya sebagai berikut. (1) Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada era orde lama. (2) Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada era orde baru. (3) Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada era orde reformasi. (4) Konflik internal partai politik di era orde reformasi. D. Pengembangan Demokrasi di Indonesia Melalui Pelaksanaan Pemilu 1. Pemilu di Indonesia dari Waktu ke Waktu Penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak pemilu nasional pertama pada tahun 1955 sampai dengan pemilu 1999 telah menandai suatu tahapan penting dalam sejarah demokratisasi di tanah air ini. Ada pasang surut pelibatan warga negara dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu 1955 yang didasarkan pada UU No.7 Tahun 1953 berjalan demokratis serta relatif aman dan damai. Salah satu kuncinya adalah diwakilinya semua partai di dalam badan penyelenggara pemilu. Walaupun secara formal, UU No. 7/1953 sama sekali tidak menyebut secara spesifik keterlibatan warga negara dalam badan penyelenggara dan pengawas pemilu, tetapi warga negara lewat partai politik dapat mengimbangi pemaksaan kehendak oleh pejabat lokal, dengan usaha partai-partai lain yang melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi atau kepada wartawan (Sunarso, 2003:3). Pemilu selama rezim Soeharto, yang dikenal dengan istilah Pemerintahan Orde Baru, jauh sekali dari sistem politik yang dianggap demokratis. Selama enam kali (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) diselenggarakan pemilu oleh rezim Soeharto, peluang untuk memberdayakan rakyat terbelenggu oleh perangkat perundang-undangan bidang politik. Lima paket UU bidang politik seperti UU Pemilu, UU Partai Politik, UU tentang Susunan dan Kedudukan DPR/DPRD dan MPR, UU tentang Referendum serta UU tentang Keormasan, semua disusun untuk mengendalikan hak-hak politik rakyat. Secara eksplisit Penjelasan UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu menyebutkan bahwa, sampai dengan tiga kali perubahan UU No. 15 Tahun 1969 "….pada hakikatnya tidak mengubah dasar pikiran, tujuan, asas, dan sistem pemilihan umum dalam UU tersebut, tetapi bertujuan untuk menyempurnakannya sesuai dengan perkembangan keadaan‖ (Padmosugondo, 1988:27-28). Menurut Indria Samego, keberhasilan Pemerintah Orde Baru sebagian besar disebabkan oleh begitu efektifnya ketentuan perundangan tersebut, sehingga baik kebebasan sipil dan politik rakyat secara individual maupun partai politik tidak memiliki kemerdekaan untuk mengembangkan fungsinya. Pemilu selama periode 1971 hingga 1997 telah menjadi sarana pelanggengan kekuasaan dan legitimasi Pemerintah Orde Baru (Indria Samego: 1998:5). Pemilu 1999 yang diselenggarakan setelah mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998 membawa sejumlah harapan baru demokratisasi politik. Hanya dalam waktu kurang dari lima bulan sejak 21 Mei 1998, telah lahir lebih dari 80 partai politik besar dan kecil. Selain itu, rakyat pun seolah-olah mendapatkan kebebasan untuk mengekpresikan kehendaknya yang 90 selama lebih tiga dasa warsa terjengkang di dalam rezim otoriter. Karena kebebasan tersebut, hampir setiap hari berbagai berita unjuk rasa disuguhkan media massa. Tidak hanya di Jakarta, masyarakat di daerah-daerah mulai menunjukkan keberaniannya terhadap praktik politik aparat negara yang menurut mereka diwarnai oleh fenomena kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pemilu 1999 yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1999 telah menandai babak baru perubahan dalam mesin pemilu di Indonesia, yang berbeda dengan pemilu masa orde baru. Pemilu 1999 telah menggeser dominasi pemerintah sebagai aparatur negara ke dalam bentuk pemerataan partisipasi partai politik dan rakyat di dalam penyelenggaraan pemilu. Berbeda dengan sistem pemilu selama orde baru, di dalam sistem pemilu 1999 partai politik mempunyai hak terlibat secara intensif dalam proses pemilu sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk, sehingga diharapkan mampu berfungsi sebagai otoritas pengatur pemilu yang independen. Sebagai perbandingan, Lembaga Pemilihan Umum (LPU) adalah sebuah tim yang terdiri dari para menteri, yang selalu terbentur hambatan etis saat berusaha memperlihatkan prinsip-prinsip independensi dan keadilan. LPU tidak pernah mampu sebagai sebuah otoritas pemilu yang independen, mengingat anggotanya semua adalah pegawai negeri yang selalu dibebani kewajiban untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar). Pemilu 2004, yang ditetapkan pelaksanaannya pada 5 April 2004, diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 3). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu 2004 diberikan peluang amat besar. Hal ini ditandai dengan semakin terbukanya masyarakat untuk menjadi penyelenggara pemilu di dalam KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 18). Cerminan bahwa KPU tidak boleh berasal dari unsur pemerintah atau partai politik antara lain tampak pada persyaratan bahwa seorang anggota KPU adalah orang yang tidak sedang menjadi anggota atau pengurus partai politik dan tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri (Pasal 18 butir i dan k). Jika dicermati dari pemilu 1955, pemilu 1999, dan pemilu 2004 yang diselenggarakan 5 April 2004, tampak ada pergeseran pembangunan politik dan proses pelembagaan politik. Pada pemilu 1955 partai politik bersama-sama pemerintah menjadi badan penyelengara pemilu. Partai politik cukup kuat melakukan kontrol atas penyelenggaraan pemilu. Pada pemilu sepanjang era orde baru, keterlibatan masyarakat atau partai politik dalam penyelenggaraan pemilu sangat terbatas, bahkan hampir sama sekali tidak ada ruang untuk mengawasi jalannya pemilu. Pemilu menjadi alat legitimasi kekuasaan, melalui Golkar. Barulah pada pemilu 1999, keterlibatan masyarakat melalui partai politik dan organisasi pemantauan dan pengawas independen pemilu diberikan porsi yang cukup besar dalam aturan main pemilu tersebut. Meskipun ada kendala di lapangan, ketika memantau kecurangan perhitungan suara dan pelanggaran lainnya, Pemilu 1999 dianggap lebih baik daripada pemilu selama era orde baru. Penyelenggaraan pemilu 2004 menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat karena baik penyelenggara maupun pengawas pemilu berasal dari masyarakat (bukan dari partai politik maupun bukan dari birokrasi pemerintah). 91 2. Dasar Pemikiran Diadakannya Pemilu Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu dibentuk lembagalembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan (keterbukaan). Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat. Pemerintahan negara yang dibentuk melalui pemilihan umum itu adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan rakyat. Hanya kekuasaan pemerintahan negara yang memancarkan kedaulatan rakyatlah yang memiliki kewibawaan kuat sebagai pemerintah yang amanah. Pemerintahan yang dibentuk melalui suatu pemilihan umum akan memiliki ligitimasi yang kuat. 3. Tujuan Pemilihan Umum Untuk mewujudkan tata kehidupan negara sebagaimana dimaksud oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perlu diselenggarakan pemilihan umum. Pemilihan umum bertujuan untuk memilih wakil rakyat untuk duduk di dalam lembaga permusyawaratan /perwakilan rakyat, membentuk pemerintahan, melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilihan umum yang demokatis merupakan sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk mencapai tujuan negara. Oleh karena itu, pemilihan umum tidak boleh menyebabkan rusaknya sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 4. Asas Pemilihan Umum Pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Asas itu didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XIV/MPR 1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyaaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang pemilihan umum. Masing-masing asas itu dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Jujur Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, penyelenggara/pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta pemilihan umum, pengawas dan pemantau pemilihan umum, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. b. Adil Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. c. Langsung Rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. d. Umum 92 Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga negara yang sudah berumur 21 (duapuluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial. e. Bebas Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. f. Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.pemilih memberikan sarannya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara suka rela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak mana pun. 5. Partisipasi dan Kualitas Pemilu Setelah Reformasi Sebanyak apa pun kritik yang diarahkan pada kurang demokratis dan kurang berkualitasnya pemilu 1999, tidak dapat memungkiri bahwa pemilu 1999 adalah salah satu tonggak sejarah politik Indonesia. Terselenggaranya pemilu 1999 adalah sebuah bukti yang paling nyata atas penolakan bangsa ini terhadap berlakunya sistem lama di bawah kendali Soeharto. Sebab, dengan adanya pemilu 1999 berarti semua hasil proses politik pada tahun 1997, yang seharusnya baru akan berakhir tahun 2002, sama sekali tidak diakui keabsahannya, baik secara legal formal maupun substansi demokrasi. Dengan adanya percepatan pemilu ini berarti bukan hanya ada pergantian total keanggotaan di MPR/DPR, melainkan juga harus segera digantinya pejabat Presiden yang pada masa itu dipegang oleh BJ Habibie. Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draf UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. Setelah disyahkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, mulailah babak baru dalam dunia politik di Indonesia. Pada waktu itu sebanyak 141 partai politik terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM yang akhirnya yang dilegalisasi sebanyak 48 partai. Persiapan pemilu ini relatif sangat singkat, yaitu selama 13 bulan. Singkatnya persiapan ini bukan dilihat dari rentang waktu yang ada melainkan dilihat dari berbagai gejolak sosial politik yang terjadi yang juga menghabiskan konsentrasi seluruh elemen bangsa. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, 93 ternyata pemilu 1999 bisa berjalan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itupun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara (Fadillah Putra, 2003:88). Tidak seperti pada proses pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: PK, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPI, PUMI, PSP, dan PARI (Fadillah Putra, 2003:88). Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan kelompok kerja PPI menunjukkan bahwa partai Islam yang melakukan stembus accoord (penggabungan sisa hasil suara dari beberapa partai yang platfomnya relatif sama) hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11. 329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding pemilu 1997 (Fadillah Putra, 2003:91). 94 Selengkapnya diluar lima partai besar di atas PBB (13 kursi), Partai keadilan (7 kursi), PKP (4 kursi), PNU (5 kursi), PDKB (5 kursi), PBI (1 kursi), PDI (2 kursi), PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Masssa Marhaen, IPKI, PKU, Masyumi, PKD masing-masing satu kursi (Fadillah Putra:91). Sebaiknya Anda Tahu DPR dan Fungsi Legislasinya Kebiasaan titip tanda tangan pertanda hadir bukan monopoli mahasiswa yang sedang malas, tapi juga anggota DPR. Lihatlah daftar hadir rapat paripurna pengesahan UU Ketenaganukliran pada 26 Februari 1997. Tak kurang dari 317 baris nama terbubuh tanda tangan. Namun yang hadir secara fisik dalam rapat itu tak lebih dari 75 anggota. Begitu pula saat UU Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan tanggal 25 maret 2002. Sebanyak 260 dari 309 anggota menyatakan kehadirannya hanya dengan tinta. Tindak kriminal atau perbuatan amoral telah berlangsung di gedung parlemen, yaitu pemalsuan tanda tangan atau berbohong. Perilaku buruk ini sempat menyerap perhatian publik. Tak mengherankan bila DPR dicap tak pernah bisa optimal menyalurkan aspirasi rakyat. Jajak pendapat Kompas 10 juni 2002 mengungkapkan tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR terus menguat. Bila pada Agustus 2000 sekitar 52,5 persen dari 1569 responden menyatakan tidak puas, pada Mei 2002 tingkat ketidakpuasan naik menjadi 81,0 persen dengan 830 responden. Begitu kekuasaan Soeharto berakhir, aktualisasi fungsi DPR bergeser. Bila pada masa orde baru lembaga ini tak lebih dari tukang stempel pemerintah, kini DPR cenderung berkonsentrasi pada fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Hal ini dipertontonkan kepada rakyat, melalui siaran televisi dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Rapat paripurna pengambilan keputusan untuk membentuk Pansus Bulog I pada 5 september 2000, misalnya, dijejali anggota yang antusias maupun yang menentang. Konsentrasi pada fungsi pengawasan ini mengendorkan fungsi lainnya. Salah satu adalah fungsi legislasi, fungsi membuat UU. Fakta ini barangkali bisa menjelaskan. Sejak tahun 1966 hingga 2001 terdapat 493 undang-undang yang dihasilkan pemerintah dan DPR. Rata-rata 13 sampai 14 undang-undang per tahun. Itu masa lalu. Tahun 2001 ditargetkan penetapan 30 undang-undang dan menyusun 40 RUU. Nyatanya hanya 22 UU yang ditetapkan sepanjang tahun 2001. Dalam hal penyusunan RUU, hanya 9 RUU dari 58 buah prioritas yang akhirnya menjadi UU. Indikasi fungsi legislasi yang belum optimal ini diperlihatkan pula oleh minimnya RUU inisiatif DPR. Dari 493 UU yang dihasilkan selama 35 tahun, hanya 8,1 persen yang merupakan inisiatif DPR. Selang waktu 1966-1972 merupakan masa yang menghasilkan usulan terbanyak, tapi 20 RUU inisiatif akhirnya kandas di tengah jalan. Hanya tujuh usulan yang berhasil disyahkan menjadi UU. Fungsi legislasi untuk menciptakan UU yang benar-benar dibutukan rakyat banyak tampaknya jauh dari optimal. DPR hasil lima kali pemilu, sejak tahun 1971 sampai 1992, adalah DPR vakum mutlak dalam urusan ini. Tak satupun usulan inisiatif dalam 25 tahun itu. Sepanjang itu pula hak inisiatif hanya dikenal dalam buku-buku pelajaran sekolah. Ia baru muncul lagi dalam tahun 1997-1999. Lima dari delapan RUU inisiatif disahkan menjadi UU. DPR hasil pemilu demokratis sejak tahun 1955, hingga tahun 2001 telah menghasilkan lima RUU inisiatif. Namun 95 rupanya kepentingan politik sangat mendominasi usulan inisiatif DPR itu. Tujuh dari sepuluh RUU usul inisiatif DPR mengatur politik dan keamanan. Dua tentang ekonomi, keuangan, dan industri. Hanya satu RUU yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Dari substansinya, tak sedikit undang-undang yang setelah disahkan justru menimbulkan kontroversi hingga pelaksanaannya harus ditunda. UU Nomor 14 Tahun1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan dan UU Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih merupakan undang-undang yang menimbulkan polemik. Kewenangan eksekutif mengusulkan RUU bisa jadi alasan mengapa RUU banyak datang dari pemerintah. Namun, amandemen UUD 1945 yang memberi porsi besar pada dewan ternyata juga bukan jaminan membaiknya kinerja DPR dalam fungsi legislasi. 6. Mendukung Terselenggaranya Pemilu yang Berkualitas Penyelenggaraan pemilu yang baik adalah proses di mana semua asas dalam kebijakan pemilu ditegakkan, yakni jurdil dan luber. (1) Jujur, bila dalam penyelenggaraan pemilu, setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Adil, bila dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. (3) Langsung, bila rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. (4) Umum, bila semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. (5) Rahasia, bila didalam memberikan suara, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. (6) Bebas, bila setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Pengalaman pemilu 1999 yang dikenal sebagai pemilu paling demokratis dalam kenyataannya tidak memberikan jaminan bagi proses perbaikan keadaan. Proses pemilu yang luber, tidak dengan sendirinya menghasilkan badan-badan pemerintahan yang baik, yang memiliki kepedulian mendalam dengan persoalan rakyat, bisa menemukan jalan keluar dan mampu merumuskan jalan keluar tersebut dalam kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat. Maraknya masalah KKN, termasuk politik uang dalam pengisian jabatan publik, masalah-masalah dalam penyelesaian krisis ekonomi, dan lain-lain, telah memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa tata baru yang dibentuk melalui pemilu 1999, dalam 96 kenyataan tidak bisa mengatasi krisis yang ada, dan malah sebaliknya ikut memberikan sumbangan buruk pada kondisi yang ada. Pemilu 1999 berkualitas dari sisi penyelenggaraan, namun belum mencerminkan kualitas yang lebih menyeluruh dan mendalam. 7. Turut Serta Meningkatkan Kesadaran Politik bagi Pemilih Yang harus dilakukan oleh elemen gerakan pembaruan tidak sekedar memastikan proses pemilu berjalan dengan jujur dan adil, melainkan menyangkut hal-hal berikut ini. (1) Memastikan bahwa yang bertarung memperebutkan kursi parlemen dan kursi presiden adalah mereka yang memiliki komitmen dengan pembaruan (reformasi). Menjaga agar jangan sampai digunakan politik uang, merupakan salah satu cara agar tidak terjadi manipulasi, yang nantinya memberikan peluang bagi yang tidak tepat masuk arena, bukan satu-satunya cara. Oleh sebab itu, perlu ditemukan strategi dan metode yang lebih baik, agar pintu bagi parlemen hanya terbuka bagi mereka yang memiliki integritas, komitmen dan kapasitas untuk mendorong proses pembaruan. (2) Memastikan bahwa mereka yang sudah duduk di parlemen dan kursi presiden, benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, dan bukan sebaliknya. Secara umum kita hendak mengatakan bahwa diperlukan dua langkah sekaligus, yakni memastikan proses pemilu agar menghasilkan anggota parlemen dan presiden yang benar-benar bisa diandalkan untuk melanjutkan gerak reformasi dan memastikan mereka bisa bekerja dengan baik. Dilihat dari periode kerja, maka pekerjaan dilakukan pada tiga tahap, yakni persiapan, pelaksanaan dan paska pemilu. Bobot masing-masing sama tingginya, atau bisa dikatakan tidak ada satu bagian yang bisa dianggap lebih penting dari bagian yang lain. Dalam kerangka inilah kita melihat pentingnya usaha-usaha berikut ini. (1) Mempersiapkan masyarakat, khususnya yang ada di lapis bawah, seperti masyarakat desa, agar bisa hadir dalam pemilu secara benar. (2) Mempersiapkan keterlibatan rakyat dalam proses penyelengraan pemilu, terutama untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan jujur dan adil. (3) Mempersiapkan keterlibatan rakyat dalam proses monitoring (pemantauan) kinerja dari parlemen (khususnya parlemen daerah) yang terbentuk.. Untuk tercapinya ketiga hal tersebut dibutuhkan kesadaran politik dan keterampilan politik baru, agar rakyat dapat memastikan kualitas pemilu. Apa yang harus dilakukan gerakan prodemokrasi, seperti pers, ormas-ormas, dan organisasi non pemerintah, dalam ikut serta mempersiapkan agar rakyat hadir dalam kualitas baru? (1) Sejak dini kesadaran masyarakat harus benar-benar ditingkatkan, bahwa pemilu pada dasarnya adalah arena perebutan kekuasaan yang sah, demokratis dan legitimit. Banyak cara untuk merebut kekuasaan, namun yang diakui oleh konstitusi adalah pemilu. Pemilu adalah cara untuk menyelesaikan perbedaan dan membangun komitmen masa depan secara demokratis. Kesadaran ini penting agar rakyat sejak awal mengerti bahwa pemilu, bukan sejenis arisan, kumpul-kumpul tanpa konflik, tetapi sebuah arena yang keras, penuh konflik, namun tertata dan tunduk pada aturan main. Dengan kesadaran ini, maka 97 rakyat akan dengan jelas mengetahui, apa implikasi dari dukungan yang diberikan pada peserta pemilu. Sehingga tidak menyesal dikemudian hari. (2) Dengan terbangunnya kesadaran baru, maka rakyat tidak saja berkepentingan pada dirinya sendiri, melainkan juga harus berkepentingan dengan keseluruhan proses pemilu. Oleh karena itu kebersamaan masyarakat harus terbangun, agar kepentingan bersama rakyat tetap terlindungi. Oleh karena itu yang dibutuhkan bukan saja kesadaran, melainkan juga keterampilan. Elemenelemen prodemokrasi, harus mampu mengembangkan keterampilan politik baru, terutama dalam mengangkat kepentingan massa rakyat, agar rakyat tidak hanya pandai dalam merumuskan keluhan, melainkan juga dapat mengubah keluhan menjadi gerakan demokrasi yang dapat mendorong pembaruan. (3) Elemen-elemen pro demokrasi, tidak mungkin lagi hanya menjadi penonton dan menjadikan pemilu sebagai arena pertunjukan (pesta demokrasi), yang kemudian dianalisis paska pemilu. Elemen-elemen pro demokrasi harus merumuskan suatu bentuk keterlibatan baru. Tanpa suatu keterlibatan, maka elemen pro demokrasi, akan kembali menjadi pengamat, yang tidak akan pernah memahami secara persis proses pergulatan kepentingan dan proses perebutan kekuasaan melalui pemilu. Dengan demikian, elemen pro demokrasi dapat memikirkan suatu model baru pengelompokan, atau mendorong proses pengorganisasian kepentingan yang baru, seperti misalnya, membuat kontrak politik dengan para calon anggota DPR, maupun calon presiden. Kontrak politik hanyalah salah satu dari banyak alternatif yang dapat dikembangkan, yang pada intinya merupakan strategi baru untuk terlibat, dan tidak sekedar menjadi penonton. Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dinyatakan beberapa hal berikut ini. (1) Pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara Kersatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. (2) Sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat sebagaimana dituangkan dalam perubahan UUD 1945, pemelihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. (3) Pemilihan umum perlu diselenggarakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (4) Pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi (dikutip dari bagian menimbang huruf a sd d). (5) Pada bagian lain disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pada dasarnya esensi pemilu adalah urusan kekuasaan dan pembentukan suatu pemerintahan baru. Setiap pemilu pada dasarnya adalah proses untuk membentuk suatu pemerintahan baru. Perubahan yang terjadi dalam pemerintah baru itu pada dasarnya berkenaan dengan terjadinya suatu rekonfigurasi kekuatan-kekuatan politik atau penataan ulang kekuatan politik yang ada. Dalam sistem demokrasi, 98 pemilu akan membuka peluang bagi kekuatan politik yang kecil untuk menjadi besar atau sebaliknya. Dengan proses demikian, peluang bagi perubahan konfigurasi kekuatan-kekuatan menjadi terbuka lebar. Sebaiknya Anda Tahu Partai Politik dan Pemilihan Umum Gerakan mahasiswa untuk menuntut adanya reformasi yang diselenggarakan pada awal 1998 mencapai klimaksnya pada bulan Mei, yaitu dengan lahirnya babak baru politik di Indonesia. Rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun pada waktu itu tumbang. Pucuk pimpinan eksekutif dialihkan kepada BJ. Habibie, wakil presiden waktu itu, pada tanggal 21 Mei 1998 dalam sebuah acara darurat di istana negara. Kebijakan pemerintah baru ini adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam waktu secepat-cepatnya, tetapi baru terlaksana pada tanggal 7 Juni 1999. Angin segar reformasi melapangkan ruang gerak politik yang berdampak pada kebebasan rakyat membentuk partai-partai politik baru. Pemilihan 1999 diikuti oleh 48 partai politik yang memenuhi syarat. Empat di antaranya adalah partai lama, yaitu PPP, Golkar, PDI-Perjuangan, dan PDI. Dua partai terakhir berasal dari PDI yang pecah setelah konggres PDI di Medan pada Juni 1996. Meski masih diwarnai kecurangan di mana-mana, Pemilu 1999 dianggap sama demokratisnya dengan Pemilu 1955 sebagai pemilu pertama di bumi Indonesia. Pemilu 1999 yang bersifat multipartai ini merupakan yang pertama setelah Pemilu 1977. Dalam lima kali pemilu sebelumnya, 1977-1997, pesertanya tak pernah lebih dari tiga kontestan karena UU Pemilu No. 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya hanya mengakui dua partai politik, PPP dan PDI, serta satu Golongan Karya. Pembentukan partai di luar ketiga kontestan tidak dibolehkan. Baru pada tahun 1996 sekumpulan anak muda yang sudah gerah melihat tabiat pemerintah Soeharto yang tidak demokratis itu mencoba mengadakan perlawanan dengan mendeklarasikan partai baru secara terbuka, yaitu Partai Rakyat Demokratik yang lebih dikenal sebagai PRD. Partai itu diketuai oleh Budiman Sudjatmiko yang masih berusia 26 tahun, yang gerakannya kurang terpapar di media massa yang waktu itu dicekam ketakutan absolut oleh rezim Soeharto. Menghadapi PRD, pemerintah Soeharto memperlihatkan tabiat konvensionalnya setiap kali menghadapi lawan, yaitu menuduh partai baru ini sebagai komunis. Berbagai muslihat diupayakan untuk mengerdilkannya. Upaya itu menemukan aktualitasnya pada peristiwa perebutan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat tanggal 27 Juli 1996. Budiman dan kawan-kawan dituding sebagai dalang kejadian itu. Ia ditangkap dan resmi dipenjara pada April 1997 dengan tuduhan subversif. Dua tahun kemudian, atau setahun setelah reformasi mulai berjalan, status Budiman sebagai tahanan politik dicabut. Ia dibebaskan dengan amnesti Presiden Abdurrahman Wahid. Budiman Sudjatmiko dengan PRD bukanlan satu-satunya kelompok yang mencoba menentang kekuasaan Soeharto dalam membatasi partai politik. Sri Bintang Pamungkas dari PPP, dikeluarkan dari DPR pada bulan Februari 1995, mendirikan PUDI pada Mei 1996 dan mengakalinya sebagai partai oposisi. Seperti Budiman Sudjatmiko, Sri Bintang juga dipenjarakan sejak Mei 1997 dengan tuduhan subversif. Ia dibebaskan Presiden BJ Habibie empat hari setelah Soeharto lengser. Riwayat pemenjaraan kedua deklarator partai ini sudah cukup meredam keberanian lawan-lawan tangguh Soeharto dalam melakukan eksperimen untuk membentuk partai baru. Itu sebabnya, ketika pemerintah Habibie merencanakan pemilu tanpa membatasi jumlah partai politik, puluhan organisasi, perkumpulan, dan kelompok masyarakat ramai99 ramai bermetamorfosis menjadi partai dengan mendaftarkan diri di Departemen Kehakiman. Tidak kurang dari 141 partai tercatat di sana. Sebanyak 106 di antaranya kemudian mendaftar ke Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum, atau P3KPU, sebagai kontestan Pemilu 1999. Pada tahap berikutnya hanya 60 partai yang memenuhi syarat untuk verifikasi. Setelah proses ini usai, P3KPU memutuskan 48 partai politik yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 1999. Tidak semua calon kontestan itu lolos sebab masih ada syarat yang sulit dipenuhi, seperti keharusan memiliki sedikitnya sembilan DPD. Protes bermunculan dari 12 partai politik yang tidak lolos, tetapi keputusan itu tidak dapat diubah. Pemenang Pemilu 1999 adalah PDI-Perjuangan, partai yang waktu itu dikenal sebagai partainya orang kecil, pimpinan Megawati Soekarnoputri. Partai Golkar, yang di kemudian hari kesertaannya dalam Pemilu 1999 dikaitkan dengan skandal dana nonbudjeter Bulog, berada di peringkat kedua. Berikut ini 10 besar partai pemenang pemilu 1999 (1) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 33,73% (153 kursi). (2) Partai Golongan Karya 22,43% (120 kursi). (3) Partai Kebangkitan Bangsa 12,60% (51 kursi). (4) Partai Persatuan Pembangunan 10,70% (58 kursi). (5) Partai Amanat Nasional 7,11% (34 kursi). (6) Partai Bulan Bintang 1,94% (13 kursi). (7) Partai Keadilan 1,36% (7 kursi). (8) Partai Keadilan dan Persatuan 1,01% (4 kursi). (9) Partai Nahdatul Umat 0,64% (5 kursi). (10) Partai Demokrasi Indonesia 0,62% (2 kursi). (Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2000) Latihan a. Soal Uraian (1) Sebutkan tahun berapa saja pemilu di Indonesia pernah dilaksanakan? (2) Pemilu tahun berapa saja yang dianggap paling demokratis? (3) Bagaimana kualitas pemilu pada era orde baru? (4) Bagaimana kualitas pemilu pada era reformasi? (5) Apa yang dimaksud pemilu legislatif itu? (6) Apa pula yang dimaksud dengan pemilu eksekutif itu? (7) Apa dasar pemikiran diadakannya pemilu? (8) Jelaskan tujuan pemilu! (9) Jelaskan asas-asas pemilu! (10) Apa yang dimaksud pemilu berkualitas itu? (11) Bagaimana menurut pendapatmu kualitas pemilu era reformasi? (12) Bagaimana menurut pendapatmu kesadaran politik rakyat dan pemimpinnya saat ini? b. Tugas Diskusi Bentuklah lima kelompok kemudian masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dan dipresentasikan di depan kelas. Adapun topiktopiknya sebagai berikut. (1) pemilu pada era orde lama (2) pemilu pada era orde baru 100 (3) (4) (5) pemilu pada era reformasi pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat E. Penerapan Budaya Demokrasi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, kegiatan berdemokrasi terutama diterapkan dalam kehidupan politik. Di samping itu, penerapan demokrasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi juga tidak kalah penting. Hal itu disebabkan antara kehidupan politik, sosial, dan ekonomi saling berpengaruh satu sama lain. Sebagai contoh, seseorang yang telah terbiasa bersifat terbuka dalam keluarga dan dalam bertetangga, kebiasaan itu bisa terbawa ketika yang bersangkutan menjadi pemimpin politik/pemerintah atau berdagang. Oleh karena itu, budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari bisa ditemukan dalam aktivitas manusia dalam berbagai ruang lingkup kehidupan. Ruang lingkup kehidupan manusia di mana kita dapat menemukan budaya demokrasi ialah di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintahan. Dalam kehidupan keluarga yang menerapkan budaya demokrasi antara lain tampak adanya sikap dan perilaku sebagai berikut. (1) Saling percaya atau tidak saling curiga antara anggota keluarga yang satu dan yang lain. (2) Melibatkan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan bersama/keluarga. (3) Mematuhi aturan dalam keluarga dan sebagai pimpinan dalam keluarga, orang tua tetap bersikap kritis. (4) Perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap anak, baik atas dasar jenis kelamin maupun atas dasar kondisi anak, misalnya cacat fisik. Mereka diperlakukan secara adil. (5) Toleransi terhadap perbedaan pendapat, sejauh tidak merusak hubungan yang harmonis dalam keluarga. (6) Menghargai kebebasan masing-masing, akan tetapi tidak sampai merusak hubungan yang harmonis atau apa yang menjadi tujuan dalam membangun suatu keluarga. Penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan masyarakat antara lain tampak adanya sikap dan perilaku sebagai berikut. (1) Menghargai pluralisme dengan menyikapi perbedaan/konflik sebagai sesuatu yang wajar dan mengelolanya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. (2) Menentukan pemimpin dengan cara pemilihan yang melibatkan anggota masyarakat (3) Ada kepercayaan akan persamaan hak yang tercermin dengan tidak adanya perlakuan diskriminatif atas dasar kaya-miskin, pangkat-tidak berpangkat, laki-laki dan perempuan. (4) Melibatkan warga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama (termasuk anak-anak pun sebagai bagian dari masyarakat diikut-sertakan/didengarkan aspirasinya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya). 101 (5) Menghargai kreativitas warga untuk mengembangkan potensinya dalam berbagai bidang. (6) Ada kebebasan warga untuk memperoleh informasi yang menyangkut persoalan-persoalan kemasyarakatan. Penerapan budaya demokrasi dalam masyarakat di antaranya juga dilakukan di sekolah. Hal itu tampak pada butir-butir dan landasan penyusunan peraturan sekolah yang di antaranya ialah sebagai berikut. (1) Kepala sekolah dalam membuat peraturan sekolah melibatkan/mendasarkan aspirasi dari kalangan siswa/OSIS, guru, dan karyawan, serta orang tua siswa, bahkan perwakilan masyarakat di lingkungan sekolah/komite sekolah. (2) Setelah peraturan diputuskan, semua pihak harus mematuhi, namun tetap harus kritis (3) Apabila peraturan sekolah tersebut dinilai tidak aspiratif, para siswa atau yang lain bisa memberikan masukan kepada Kepala Sekolah untuk dilakukan perbaikan-perbaikan. Penerapan budaya demokrasi di sekolah di antaranya dapat dilihat pada kasus pembelajaran di kelas seperti dikemukakan berikut ini. (1) Guru terbuka untuk menerima kritikan atau bahkan protes yang membangun dari siswa, sehingga proses belajar melahirkan partisipasi belajar yang tinggi dari siswa. (2) Siswa mematuhi tata tertib di kelas, namun juga tetap kritis. (3) Saling menghargai perbedaan pendapat. (4) Di kelas ada kebebasan menunjukkan identitas budaya masing–masing, untuk mengembangkan saling memahami bahwa kita hidup dalam kemajemukan (misalnya biarkan siswa dari Suku Batak menampakkan logat bicaranya, jangan mengejek mereka apalagi memaksa menyesuaikan dengan logat Suku Jawa karena sekolah di Jawa atau sebaliknya. Begitu pula dalam ekspresi identitas yang lain). (5) Tidak ada perlakuan diskriminatif di kelas karena alasan perbedaan jenis kelamin, kaya-miskin, maupun agama. (6) Ada saling percaya atau tidak saling curiga di antara guru dan siswa atau siswa dan siswa, sehingga setiap terjadi perbedaan atau konflik mudah diselesaikan secara konsensus. Penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari pemerintahan dapat dikemukakan sebagai berikut. (1) Unjuk rasa yang dilakukan rakyat atau masyarakat ditujukan kepada pemerintah. Sebagai contoh, setiap ada keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, akan disambut dengan unjuk rasa karena kenaikan itu akan diikuti oleh kenaikan harga barang yang lain yang berakibat semakin memberatkan beban perekonomi masyarakat. (2) Masyarakat mendatangi DPR/DPRD untuk mengadukan berbagai masalah kebijakan yang merugikan mereka, seperti masalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penggusuran, UMR (Upah Minimum Regional) dibawah standar. (3) Memberikan suara dalam pemilihan anggota BPD, kepala desa; ketua RT/RW. 102 (4) Musyawarah untuk mufakat dalam melakukan kerja bakti, misalnya untuk membersihkan dan memelihara kelestarian lingkungan hidup, menjaga kesehatan, mengurangi bahaya banjir, dan mencegah kerusakan alam. Sebaiknya Anda Tahu Konflik Eksekutif dan Legislatif Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak korup sejadi-jadinya. Komentar Lord Acton (1834-1902), sejarawan Inggris dalam sebuah surat ini memberi peringatan terhadap kekuasaan yang mengatasnamakan negara. Oleh karena itu, kekuasaan harus dikontrol supaya efektif dan efisien. Tentu saja hal itu demi kepentingan orang banyak. Salah satu alat kontrolnya ialah aturan main yang transparan. Pemerintah atau eksekutif berfungsi membuat rencana dan menjalankan pemerintahan. Parlemen atau legislatif berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan, baik dengan memantau langsung maupun dengan membuat rambu-rambu lewat produk perundangundangan. Dalam praktiknya, kedua lembaga ini kerap tergoda untuk gagah-gagahan dengan saling mengecilkan peran satu sama lain. Yang lebih dahsyat lagi ialah memicu konflik antarlembaga. Akibatnya, rakyat banyak yang seharusnya dilayani menjadi korban. Berikut ini dikemukakan contoh terjadinya konflik antara DPR dan Presiden Abdurrahman Wahid. (1) Kasus pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi Roedihardjo dan melantik Jenderal Polisi Bimantoro sebagai pelaksana harian Kapolri yang dilakukan oleh presiden dianggap oleh DPR sebagai melangkahi hak DPR karena tidak pernah meminta persetujuan. (2) Upaya pemberhentian gubernur BI Syahril Sabirin yang dilakukan oleh presiden dengan mengusulkan Anwar Nasution sebagai penggantinya juga merupakan bentuk konflik karena DPR dalam rapatnya 6 Juni 2000 memutuskan bahwa Syajril Sabirin tetap dipercaya menjalankan tugasnya sebagai gubernur BI sampai pengadilan memutuskan kesalahannya secara yuridis. (3) Presiden mengusulkan Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI dan Dinyatakan Terlarang serta Larangan kegiatan untuk Menyebarkan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Sehubungan dengan hal itu, beberapa anggota DPR dari partai Islam menolak keras. Pada 29 Mei 2000, semua fraksi MPR termasuk FKB, menolak usulan pencabutan Tap. MPRS tersebut. (4) Presiden mengusulkan calon Ketua MA, yakni Bagir Manan dan Muladi (1 Januari 2001) untuk mengundurkan diri. Presiden meminta DPR untuk mengajukan calon di luar keduanya. Komisi II DPR tetap pada pendiriannya menetapkan Muladi dan Bagir Manan sebagai calon Ketua MA. Akhirnya presiden mengalah pada 5 Mei 2001 memilih Bagir Manan sebagai Ketua MA. (5) Tanggal 24 April 2000, presiden memberhentikan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari jabatan menteri. Tanggal 29 Juni 2000 DPR menyetujui hak interpelasi berkaitan dengan pemecatan tersebut. Kepercayaan DPR kepada presiden semakin runtuh. Sebanyak 151 anggota DPR mengajukan usul penggunaan hak interpelasi dan menganggap presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD dan ketetapan MPR. (Sumber Libang Kompas 2002) Latihan a. Soal Uraian (1) Jelaskan kaitan antara pemilu dan budaya demokrasi! 103 (2) Menurut kamu apakah pemilu yang luber dan jurdil dapat meningkatkan kualitas budaya demokrasi? (3) Apakah demokrasi di Indonesia semakin baik, jika ya apa alasannya? Jika tidak juga berikan alasanmu? (4) Apakah demokrasi ekonomi, demokrasi dibidang pendidikan semakin baik di Indonesia saat ini, jika ya apa alasannya? Jika tidak berikan juga alasannya? (5) Sebagai warga negara kita harus mampu mengembangkan sikap hidup demokratis. Berilah contoh sikap hidup demokratis dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kamu! (6) Sebutkan prinsip-prinsip pokok Demokrasi Pancasila! (7) Sebutkan tiga perbedaan antara Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal! (8) Berikan contoh penerapan budaya demokrasi dalam keluarga! (9) Berikan contoh penerapan budaya demokrasi di sekolah! (10) Berikan contoh penerapan budaya demokrasi di masyarakat! b. Tugas Diskusi Bentuklah empat kelompok, masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dan dipresentasikan di depan kelas. Adapun topik-topiknya sebagai berikut. (1) budaya demokrasi dalam keluarga (2) budaya demokrasi di kampus (3) budaya demokrasi pada masyarakat (4) budaya demokrasi dalam pemerintahan 104 Bab V PERLINDUNGAN DAN PENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA Tujuan Setelah mempelajari materi dalam bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menampilkan sikap positif terhadap perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Ruang Lingkup Pembahasan (1) Pengertian HAM dan kelembagaan HAM (2) Kasus pelanggaran dan upaya penegakan HAM di Indonesia (3) Perlindungan HAM di Indonesia (4) Penegakan HAM di Indonesia A. Pengertian HAM dan Kelembagaan HAM 1. Pengantar Manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian, manusia hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering kali orang meneriakkan pentingnya perlindungan terhadap HAM, tetapi sering pula orang dalam melindungi haknya justru melanggar hak asasi orang lain. Sebagai contoh, kita mempunyai hak untuk memiliki sesuatu. Hak kepemilikan ini penting karena dengan memiliki sesuatu kita dapat memanfaatkan sesuatu tersebut sebagai sarana untuk mewujudkan keinginan kita. Mewujudkan keinginan agar kita dapat membeli makanan, pakaian, rumah, kendaraan, dan sebagainya diperlukan uang. Untuk memperoleh uang tersebut kita tidak boleh melanggar kepentingan orang lain. Setiap orang juga ingin dihormati haknya dalam melangsungkan kehidupan, hak untuk beragama, hak untuk berpendapat, dan sebagainya. Selain memiliki hak, kita juga memiliki kewajiban, yaitu kewajiban untuk menghargai hak hidup orang lain, kewajiban untuk menghargai agama orang lain, kewajiban untuk menghargai kebebasan berpendapat orang lain. Hak asasi merupakan hak yang paling dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Sebaiknya Kamu Tahu Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak-hak sebagai berikut. (1) hak untuk hidup (2) kemerdekaan dan keamanan badan (3) hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum (4) hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum (5) hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah (6) hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara 105 (7) (8) (9) hak untuk mendapat hak milik atas benda hak untuk bebas untuk mengutarakan pikiran dan perasaan hak untuk bebas memeluk agama serta mempunyai dan mengeluarkan pendapat (10) hak untuk berapat dan berkumpul (11) hak untuk mendapatkan jaminan sosial (12) hak untuk mendapatkan pekerjaan (13) hak untuk berdagang (14) hak untuk mendapatkan pendidikan (15) hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat (16) hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak mana pun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas pada kebebasan berpendapat atau berorganisasi, tetapi juga menyangkut pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain. Kesemuanya itu tidak hanya merupakan tugas pemerintah tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan. Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi upaya-upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, terwujud pula kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun. 2. Pengertian Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya sejak lahir dengan tidak membedakan bangsa, ras, suku, agama, dan jenis kelamin. Hak itu bersifat universal. HAM pada hakikatnya adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak itu disebut asasi karena tanpa hak tersebut seseorang tidak dapat hidup sebagaimana layaknya manusia. Hakikat manusia tidak lain adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi penalaran. Inilah pebedaan esensial antara manusia dengan makhluk lainnya. Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh dunia dan hak-hak asasi diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak asasi itu dalam suatu naskah internasional. Usaha itu pada tahun 1948 telah berhasil, yaitu dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi HAM PBB itu merinci sejumlah cita-cita dan harapan yang digandrungi oleh setiap manusia di muka bumi, seperti hak untuk hidup, hak untuk memeluk agama, hak berserikat, hak untuk menyuarakan pendapat, hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk bebas dari rasa takut serta hak-hak yang lain. Teori HAM versi barat mengatakan bahwa pemerintah di manapun berkewajiban melindungi rakyatnya dari pelanggaran HAM. Dalam Pembukaan UUD 1945, juga ditegaskan bahwa Pemerintahan negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan 106 untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan…. Oleh karena itu, HAM sering dikatakan memiliki dimensi universal. Hal ini mengandung makna pengakuan bahwa HAM harus dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia di muka bumi. Selain dari itu, pemerintah di seluruh dunia memikul kewajiban moral untuk menjamin terlaksananya HAM yang dapat dinikmati oleh rakyatnya masing-masing. Sebaiknya Kamu Tahu Hak Asasi dan Kewajiban Asasi Hak-hak asasi manusia selalu berhubungan dengan kewajiban asasi manusia; bahkan kewajiban asasi tersebut harus terlebih dahulu dilakukan agar hak-hak asasi dapat terpenuhi. G. J. Wolhoff mengatakan hak-hak asasi adalah sejumlah hak dasar yang tidak dapat dicabut oleh siapa saja karena jika dicabut akan hilang kemanusiaannya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini merupakan hak kodrat yang ada pada manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Adapun kewajiban-kewajiban asasi ialah kewajiban-kewajiban dasar yang pokok yang harus dijalankan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat seperti kewajiban taat pada peraturan perundang-undangan dan kewajiban untuk bekerja demi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, apabila orang menuntut agar hak-hak asasinya terpenuhi, pada saat yang sama terdapat keharusan agar orang tersebut melaksanakan kewajiban-kewajiban asasinya. Dengan kata lain, tuntutan atas hak-hak asasi harus disertai pelaksanaan kewajiban-kewajiban asasi. 3. Sejarah Perkembangan Hukum yang Mengatur HAM Sejarah membuktikan bahwa kesadaran manusia terhadap hak-hak asasi akan meningkat bila terjadi pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan seperti adanya perbudakan, penjajahan, dan ketidakadilan. Perjuangan atas pengakuan dan usaha menegakkan hak-hak asasi manusia dari berbagai bangsa banyak dituangkan dalam berbagai konvensi, konstitusi, perundang-undangan, teori, dan hasil-hasil pemikiran yang pernah hadir di muka bumi ini. Sejak zaman Socrates dan Plato, perjuangan terhadap hak asasi manusia selalu dibicarakan. Kedua filsuf tersebut merupakan pelopor dan peletak dasar diakuinya hak-hak asasi manusia. Keduanya mengajarkan untuk melakukan kritik kepada pemerintah yang tidak bijaksana dalam menjalankan pemerintahan. Sejarah hak asasi manusia secara khusus dapat ditelusuri sejak adanya Magna Charta di Inggris (1215), Habeas Corpus Act (1679), Petition of Rights (1689), dan Bill of Rights (1689), La Declaration des Droits de l‟homme et du Citoyen di Prancis (1789). Setelah Perang Dunia II (1939-1945) yang memakan banyak korban dan banyak menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia, Franklin D. Roosevelt (Presiden AS) mencetuskan The Four Freedom, yakni (i) Freedom of Speech and Expression (kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat), (ii) Freedom of Religion (kebebasan untuk beragama), (iii) Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan (iv) Freedom from Want (kebebasan dari kemelaratan). Setelah Universal Declaration of Human Rights diterima PBB pada 10 Desember 1948 di Paris, kemudian diterima pula Covenants of Human Rights pada sidang PBB tangal 16 107 Desember 1966, hingga sekarang masalah hak asasi manusia telah diakui dalam hukum internasional. Sebaiknya Kamu Tahu Hak asasi manusia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi hak akan kebebasan berpendapat, hak akan kebebasan beragama, hak akan kebebasan bergerak, dan sebagainya, (b) hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak memiliki, hak manfaat, hak membeli, hak menjual, dan sebagainya, (c) hak asasi sosial dan kebudayaan (social and cultural rights) yang meliputi hak mendapatkan pendidikan, hak mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya, (d) hak asasi keadilan (procedural rights) yang meliputi hak mendapatkan keadilan, hak mendapatkan peradilan, hak mendapatkan perlindungan, dan sebagainya, serta (e) hak asasi politik (political rights) yang meliputi hak untuk memilih, hak untuk dipilih, hak untuk berorganisasi/berserikat, dan sebagainya. Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian tentang seseorang atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya. Sering perjuangan itu menuntut pengorbanan jiwa dan raga. Di dunia barat telah berulang-ulang ada usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Keinginan itu muncul setiap kali terjadi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat manusia. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah yang secara berangsurangsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal dan asasi. Pengakuan dan penghargaan HAM tidak diperoleh secara tiba-tiba, tetapi melalui sejarah yang panjang. Pertama, pengakuan HAM dimulai dari Inggris dengan dikeluarkanya Magna Charta pada tahun 1215, yaitu suatu dokumen yang mencatat tentang beberapa hak yang diberikan Raja John kepada para bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja. Pada tahun 1689 keluarlah Bill of rights (Undang-Undang Hak), yaitu suatu undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorius Revolution of 1988). Kedua, di Prancis pada tahun 1789 terjadi revolusi untuk menurunkan kekuasaan Raja Louis XVI yang sewenang-wenang. Revolusi ini menghasilkan UUD Prancis yang memuat tentang La Declaration des droits de l‟homme et du citoyen (pernyataan hak manusia dan warga negara). Ketiga, di Amerika Serikat, pada 4 Juli 1776, lahirlah The Declaration of American Independence atau naskah pernyataan kemerdekaan rakyat Amerika Serikat dari koloni Inggris. Keempat, di Rusia pada tahun 1937 mulai mencantumkan hak untuk mendapat pekerjaan, hak untuk beristirahat, serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran bagi warga negara. Hak-hak yang dirumuskan pada abad ke-17 dan ke-18 sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam, seperti yang dirumuskan oleh John Locke (1632-1714) dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778) dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politik saja, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya. Pada abad ke-20 hak-hak politik itu dianggap kurang sempurna dan mulailah dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Yang sangat terkenal adalah empat hak yang dirumuskan Presiden 108 Amerika Franklin D. Roosevelt yang terkenal dengan The Four Freedoms (empat kebebasan), yaitu (a) kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (fredom of speech), (b) kebebasan beragama (freedom of religion), (c) kebebasan dari ketakutan (freedom from fear), (d) kebebasan dari kemelaratan (freedom from want). Hak yang keempat, yaitu kebebasan dari kemelaratan, secara khusus mencerminkan perubahan dalam alam pikiran umat manusia yang menganggap bahwa hak-hak politik pada dirinya tidak cukup untuk menciptakan kebahagiaan baginya. Dianggap bahwa hak politik seperti misalnya hak untuk menyatakan pendapat atau hak untuk memilih dalam pemilihan umum, tidak ada artinya jika kebutuhan manusia yang paling pokok, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan tidak dapat dipenuhi. Menurut pendapat ini hak manusia juga harus mencakup bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Komisi Hak-hak Asasi (Commission on Human Rights) pada tahun 1946 didirikan oleh PBB dengan menetapkan secara rinci beberapa hak ekonomi dan sosial, di samping hak-hak politik. Pada tahun 1948 hasil pekerjaan komisi ini, Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) diterima secara aklamasi oleh negara-negara yang tegabung dalam PBB. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak terlalu sulit untuk mencapai kesepakatan mengenai pernyataan hak asasi, yang memang sejak semula dianggap langkah pertama saja. Ternyata jauh lebih sukar untuk melaksanakan tindak lanjutnya, yaitu menyusun suatu perjanjian (covenant) yang mengikat secara yuridis, sehingga diperlukan waktu 18 tahun sesudah diterimanya pernyataan. Baru pada tahun 1966 Sidang Umum PBB menyetujui secara aklamasi perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) serta Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on Civil and Political Rights). Selanjutnya diperlukan 10 tahun lagi sebelum dua perjanjian itu dinyatakan berlaku. Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya mulai berlaku 1976, setelah diratifikasi oleh 35 negara, sedangkan perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik juga telah diratifikasi. Hak –hak sipil dan politik agak mudah dirumuskan. Sebaliknya hak-hak ekonomi jauh lebih sukar dirinci (misalnya konsep penghidupan yang layak akan berbeda antara negara kaya dan miskin). Sebaiknya Kamu Tahu Hak Politik, Hak Ekonomi, dan Hak Sosial Budaya Hak-hak politik pada hakikatnya memiliki sifat melindungi individu terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Untuk melaksanakan hak-hak politik itu sebenarnya cukup mengatur peranan pemerintah melalui perundang-undangan agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat tidak melampaui batas-batas tertentu. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan hak-hak ekonomi. Untuk melaksanakannya tidak cukup membuat undang-undang, akan tetapi pemerintah harus secara aktif menggali semua sumber kekayaan masyarakat dan mengatur kegiatan ekonomi sedemikian rupa sehingga tercipta iklim di mana hak-hak ekonomi, seperti hak atas pekerjaan, hak atas penghidupan yang layak, betul-betul dapat dilaksanakan. Kegiatan yang menyeluruh itu akan mendorong pemerintah untuk mengatur dan mengadakan campur tangan yang luas dalam banyak aspek kehidupan masyarakat dengan segala konsekuensinya. 109 Harus disadari bahwa pelaksanaan hak-hak ekonomi bagi banyak negara merupakan tugas yang sukar diselenggarakan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam perjanjian kakhak ekonomi ditentukan bahwa setiap negara yang mengikat diri cukup memberi laporan kepada PBB mengenai kemajuan yang telah dicapai. Pada hakikatnya, perjanjian ini hanya menetapkan kewajiban bagi negara-negara yang bersangkutan untuk mengusahakan kemajuan dalam bidang-bidang itu, tetapi tidak bermaksud untuk mengadakan pengawasan secara efektif. Sebaliknya, hak-hak politik harus dapat dilaksanakan secara efektif, pemikiran ini tercermin dalam perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik. Sehubungan dengan hal itu, disepakati berdirinya suatu panitia hak-hak asasi (Human Rights Committee) yang berhak menerima serta menyelidiki pengaduan dari suatu negara terhadap negara lain dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap sesuatu ketentuan dalam perjanjian itu. Disamping perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik juga disusun Optional Protocol yang menetapkan bahwa panitia hak-hak asasi juga dapat menerima pengaduan dari perseorangan terhadap negara yang telah menandatangani Optional Protocol itu jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian hak-hak sipil dan politik. Sebagai ilustrasi berikut ini akan disajikan beberapa contoh hak asasi yang tercantum dalam perjanjian hak-hak sipil dan politik dan perjanjian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kedua naskah tersebut dimulai dengan pasal yang sama bunyinya dan yang mungkin dianggap sebagai dasar dari semua macam hak asasi, yakni “Semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak itu mereka secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar perkembangan mereka di bidang ekonomi, sosial, dan budaya”. Hak-hak sipil dan politik mencakup antara lain hak atas hidup (pasal6), hak atas kebebasan dan keamanan dirinya (pasal 9), hak atas kesamaan di muka badan-badan peradilan (pasal 14), hak atas kebebasan berpikir dan beragama (pasal 18), hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan (pasal 19), hak atas kebebasan berkumpul secara damai (pasal 21), dan hak untuk berserikat (pasal 22). Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya mencakup antara lain hak atas pekerjaan (pasal 6), hak untuk membentuk serikat sekerja (pasal 8), hak atas pensiun (pasal 9), hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, dan perumahan yang layak (pasal 11), dan hak atas pendidikan (pasal 13). 4. Kelembagaan Nasional HAM di Indonesia Dalam upaya perlindungan HAM di Indonesia telah dibentuk lembagalembaga resmi oleh pemerintah, seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan HAM, dan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat, terutama dalam bentuk LSM Prodemokrasi dan HAM. a. Komnas HAM Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 sebagai respon (jawaban) terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional mengenai perlunya penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM yang terbentuk dengan Keppres tersebut harus disesuaikan dengan Undang-undang No.39 Tahun 1999. Komnas HAM bertujuan untuk (a) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan (b) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia 110 Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Sebaiknya Kamu Tahu Beberapa Fungsi dan Wewenang Komnas HAM Pertama, Fungsi pengkajian dan penelitian dengan kewenangan (i) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi, serta (ii) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundangundangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Kedua, fungsi penyuluhan dengan kewenangan (i) menyebarluaskan wawasan mengenai hak-hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia, (ii) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya, dan (iii) kerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak-hak asasi manusia. Ketiga, Fungsi pemantauan dengan kewenangan (i) pengamatan pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut, (ii) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga terdapat pelanggaran hak-hak asasi manusia, (iii) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar keterangannya, (iv) pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya, serta kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan, (v) peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, (vi) pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan, (vii) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan ketua pengadilan, serta (viii) pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan, yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. Keempat, Fungsi mediasi dengan kewenangan melakukan (i) perdamaian kedua belah pihak, (ii) penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, (iii) pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, (iv) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya, serta (v) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti. Bagi setiap orang atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila disertai 111 dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan. b. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres No. 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan komisi nasional ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi nasional ini bersifat independen dan bertujuan untuk (i) menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan, (ii) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta (iii) meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan. Sebaiknya Kamu Tahu Tugas dan Wewenang Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan memiliki wewenang sebagai berikut: (i) penyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, (ii) pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan, (iii) pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan kepada pemerintah, (iv) penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat, serta (v) pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan. c. LSM Prodemokrasi dan HAM Di samping lembaga penegakan hak-hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah, ada juga lembaga sejenis yang dibentuk oleh masyarakat, misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organization (NGO) yang programnya berfokus pada demokratisasi dan pengembangan HAM. LSM seperti itu dikenal sebagai LSM Prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk dalam LSM ini antara lain ialah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI ), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS). Rangkuman Hak asasi merupakan hak yang paling dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya sejak lahir, dengan tidak membedakan bangsa, ras, suku, agama, maupun jenis kelamin serta bersifat universal. Sejarah hak asasi manusia dapat ditelusuri sejak adanya Magna Charta di Inggris (1215), Habeas Corpus Act (1679), Petition of Rights (1689), dan Bill of Rights (1689), La Declaration des Droits de l‟homme et du Citoyen di Prancis (1789), Franklin D. Roosevelt mencetuskan The Four Freedom (1939), dan Universal Declaration of Human Rights PBB (10 Desember 1948). Dalam upaya perlindungan HAM telah dibentuk lembaga-lembaga resmi oleh pemerintah Indonesia seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan 112 HAM, dan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat, terutama dalam bentuk LSM Prodemokrasi dan HAM. Latihan a. Tugas Individual: (1) Sebutkan hak-hak yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights! (2) Jelaskan pengertian HAM dengan kalimatmu sendiri! (3) Uraikan tonggak-tonggak sejarah yang mengatur perkembangan HAM di dunia! (4) Apa perbedaan hak asasi dan kewajiban asasi itu? (5) Berikan contoh hak asasi pribadi! (6) Berikan contoh hak asasi ekonomi! (7) Berika contoh hak asasi sosial budaya! (8) Berikan contoh hak asasi hukum/keadilan! (9) Berikan contoh hak asasi politik! (10) Sebutkan The Four Fredom yang dikemukakan oleh Franklin D. Rosevelt! (11) Jelaskan apa saja fungsi dan wewenang Komnas HAM! (12) Untuk apa dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan? (13) Berikan contoh LSM di Indonesia yang peduli terhadap HAM! (14) Bagaimana perlindungan HAM ketika era orde baru? (15) Bagaimana perlindungan HAM pada era reformasi? b. Tugas Kelompok: Bentuklah 5 kelompok diskusi dalam kelasmu. Setiap kelompok membuat makalah serta mempresentasikannya di depan kelas secara bergantian, dengan topik sebagai berikut. (1) sejarah perlindungan HAM di dunia sejak dulu hingga sekarang (2) perlindungan HAM di Indonesia (3) Komnas HAM (4) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (5) LSM yang peduli HAM di Indonesia B. Kasus Pelanggaran dan Upaya Penegakan HAM 1. Pelanggaran HAM yang Tergolong Berat Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional dan telah dibentuk lembaga untuk penegakannya, belum menjamin bahwa hak-hak asasi manusia telah dilaksanakan dengan baik dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataannya sering kita jumpai pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Pelanggaran itu dilakukan baik oleh negara atau pemerintah maupun oleh masyarakat. Richard Falk, salah seorang pemerhati HAM, mengembangkan suatu standar guna mengukur derajat keseriusan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Hasilnya adalah disusunnya kategori-kategori pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dianggap kejam, yaitu sebagai berikut. (1) pembunuhan besar-besaran (genocide) (2) rasialisme (3) terorisme 113 (4) (5) pemerintahan totaliter penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia (6) perusakan kualitas lingkungan (esocide) (7) kejahatan perang Akhir-akhir ini di dunia internasional maupun di Indonesia dihadapkan banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam wujud teror. Leiden dan Schmit mengartikan teror sebagai tindakan yang berasal dari suatu kekecewaan atau keputusasaan, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman tidak berkemanusiaan dan tidak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan barang-barang, yang dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Teror dapat dalam bentuk pembunuhan, penculikan, sabotase, subversif, penyebaran desas-desus, pelanggaran peraturan hukum, main hakim sendiri, pembajakan, dan penyanderaan. Teror dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Teror merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat karena menimbulkan ketakutan atau tidak lagi dapat dirasakan rasa aman sebagai hak asasi setiap orang. 2. Beberapa Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia Banyak pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah, aparat keamanan, maupun oleh masyarakat. Banyak korban akibat konflik sosial dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia. Misalnya, korban hilang dalam berbagai kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon, dan Papua yang diperkirakan ada 1.148 orang. Tampaknya keprihatinan kita belum berhenti sampai di situ. Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12 November 2002 telah memakan korban meninggal dunia sekitar 181 orang dan ratusan yang luka-luka. Apalagi yang menjadi korban kebanyakan adalah para turis mancanegara yang datang sebagai tamu di negara kita yang mestinya harus dijamin keamanannya. Fenomena lain yang juga mengundang keprihatinan kita dalam kehidupan sehari-hari antara lain kita menyaksikan anak-anak di bawah umur 18 tahun harus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau untuk membantu keluarganya. Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan ada pula yang dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka telah kehilangan kebebasannya sebagai anak untuk menikmati masa kanak-kanak dan remaja. Demikian pula kesempatan untuk mengembangkan potensinya, karena terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah atau aparat keamanan. Pertama, kasus Marsinah. Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT CPS pada tanggal 3 – 4 Mei 1993. Aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa kawan-kawannya. Pada 5 Mei 1993 Marsinah ―menghilang‖, dan akhirnya pada 9 Mei 1993, ia ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di hutan Wilangan, Nganjuk. Kedua, Kasus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ujung Pandang, 26 April 1996. Awal dari kerusuhan tersebut bermula pada aksi unjuk rasa mahasiswa UMI terhadap kenaikan tarif angkutan kota yang memberatkan kalangan pelajar dan mahasiswa yang dikenai aturan lebih dari yang ditetapkan Menteri Perhubungan sebesar Rp100,00. Namun sayangnya, aparat 114 keamanan bersikap berlebihan dan represif dalam menghadapi pengunjuk rasa, sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa di pihak mahasiswa yang menyerbu kampus UMI dan menembak dengan peluru tajam sehingga jatuh korban. Ketiga, kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah, 23 Juli 1999. Tengku Bantaqiah adalah seorang tokoh ulama terkemuka di Aceh. Kasus ini bermula dari informasi adanya sejumlah senjata di salah seorang tokoh Dayah Bale. Untuk mendalami informasi tersebut pada tanggal 23 Juli 1999, Danrem menugaskan Kasi Intelnya untuk melaksanakan penyelidikan. Operasi ini ternyata mengakibatkan pengikut Tengku Bantaqiah ditembaki oleh aparat setempat. Sebanyak 51 orang termasuk Tengku Bantaqiah tewas. Berdasarkan penyelidikan, sebanyak 24 orang anggota TNI dinyatakan sebagai tersangka, termasuk di dalamnya Letkol Inf. Sudjono. Hilangnya Letkol Inf. Sudjono (Kasi Intel Korem 011/Lilawangsa) tentu saja membuat penyelesaian kasus ini menjadi terhambat, karena motivasi pembantaian itu menjadi kabur. Apakah pembantaian itu merupakan kebijakan yang diambil dalam satu kerangka kebijakan mengatasi masalah Aceh ataukah semata-mata karena tindakan yang diambil atas pertimbangan kondisi lapangan. Beberapa pelanggaran HAM yang lain yang sedang dituntut oleh masyarakat untuk diselesaikan melalui Pengadilan HAM antara lain Kasus Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat orang mahasiswa. Kemudian Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timor Timur yang ditandai dengan praktik bumi hangus, pembunuhan massal di Gereja Suai, pembunuhan di Los Palos, Maliana, Liquisa, dan Dili. Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timtim telah disidangkan lewat Peradilan HAM ad hoc. Kemudian contoh-contoh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh masyarakat terutama tampak pada berbagai kasus konflik di berbagai daerah, seperti kasus Sanggauledo, Tasikmalaya, Maluku, dan Ambon. Sedangkan jika diamati dalam kehidupan sehari-hari kasus pelanggaran oleh perorangan atau masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pengeroyokan, pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau tertangkap basah melakukan pencurian. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan para pelajar. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab. Mestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat seperti melakukan perdamaian, mengacu pada aturan main yang berlaku, atau melalui lembaga-lembaga yang ada. Sebaiknya Kamu Tahu Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh TNI Yang dimaksud tentara sebagaimana selalu diamanatkan sejarah kejuangan militer Indonesia adalah tentara rakyat. Filosofi ini diambil dari fakta kiprah TNI di seputar kelahiran republik sekaligus kelahiran TNI. Semangat ini senantisa ditularkan kepada segenap generasi TNI sejak pendidikan sampai pengucapan janji prajurit. Sayangnya, bulan madu hubungan tentara dan rakyat yang dahulu menjadi kenyataan dan merupakan pemandangan sehari-hari makin tergerus usia. Semakin hari, kesan bahwa tentara berasal dari rakyat semakin pudar. Lebih dari 115 itu, antara tentara dan rakyat menganga jurang yang dalam. Tentara dalam beberapa hal tidak lagi membantu rakyat, malah mengorbankan rakyat. Lebih parah lagi, melukai perasaan rakyat seperti sempat tertekan dalam beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia berikut ini. (1) Penculikan aktivis (dari April 1997-April 1999), 13 aktivis hilang. Terjadi kesalahan prosedur, yang bermula dari perintah Pemimpin Kopassus untuk mengungkap sejumlah kegiatan radikal. Namun dalam pelaksanaannya telah terjadi tindakan yang telah melanggar kepatutan dengan menyekap korban. (2) Terjadi penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II, Jakarta 13 November 1998, dan 24 September 1999. Tim Pencari fakta menyimpulkan, ada dua kelompok prajurit yang melakukan penembakan membabi buta di sekitar Jalan Sudirman Jakarta. (3) Pelanggaran HAM Aceh 1996-1999: (a) Kasus penahanan, penganiayaan, dan pembunuhan di Rumah Geudong; (b) Pemerkosaan Sumiati di Pidie; (c) Pembunuhan dan penculikan di Idi Cut; (d) Penembakan di simpang KKA; (d) Pembunuhan Teungku Bantaqiah. TNI menghapus status Daerah Operasi Militer (DOM, 7 Agustus 1998). DPR membentuk Tim Pencari Fakta (21 Juli 1998); Komnas HAM mengirim Tim Penyidik (Agustus 1998) dan kemudian Tim menemukan banyak kerangka manusia korban DOM (Agustus 1998); Komnas HAM membentuk KPP HAM Aceh (10 Januari 2001). (4) Pelanggaran HAM Timtim Tahun 1999: (a) Serangan ke kediaman Uskup Belo dengan korban 25 orang tewas; (b) Serangan ke kediaman Manuel Carascalao menewaskan 12 orang; (c) Bentrokan di Liquica menewaskan 17 orang; (d) Serangan ke dua gereja di Suai menewaskan 3 pastor, 1 wartawan asing, dan sejumlah warga. Komnas HAM membentuk KPF (22 September 1999), dan KPP HAM Timtim (31 Januari 2000). (5) Pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay (10 November 2001). Presiden membentuk KPN (5 Februari 2002) yang diketuai Koesparmono Irsan (Anggota Komnas HAM). Presidium Dewan Papua, Kontras, YLBHI, dan Elsam (30 April 2002) menolak hasil penyelidikan KPN. Mereka menilai ada pembelokan kesimpulan terhadap kasus ini dari pelanggaran HAM berat menjadi kasus kriminal biasa. (Sumber: Litbang Kompas, 2002 Herman Meming dan F Harianto Santoso) 3. Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM di Indonesia Pelanggaran HAM di Indonesia bila dicermati secara saksama ternyata faktor penyebabnya cukup kompleks. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut. (1) Masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep mengenai hak asasi manusia antara paham yang memandang HAM bersifat universal (universalisme) dan paham yang memandang setiap bangsa memiliki paham HAM tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain, terutama dalam pelaksanaannya (partikularisme). (2) Adanya pandangan bahwa HAM bersifat individulistik yang akan mengancam kepentingan umum (dikotomi antara individualisme dan kolektivisme). 116 (3) (4) Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum (polisi, jaksa, dan pengadilan). Pemahaman yang belum merata tentang HAM, baik di kalangan sipil maupun militer. 4. Upaya Penegakkan HAM Kasus-kasus pelanggaran atau kejahatan HAM di Indonesia seperti telah dikemukakan di atas telah membawa masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan yang sangat menderita. Pelanggaran HAM juga dapat mengancam integrasi nasional Indonesia. Untuk mencegah banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk berikut ini. (1) Mengutuk, misalnya dalam bentuk tulisan yang dipublikasikan lewat majalah sekolah, surat kabar, dan dikirim ke lembaga pemerintah atau pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran HAM. Bisa juga kecaman atau kutukan itu dalam bentuk poster dan demonstrasi secara tertib. (2) Mendukung upaya lembaga yang berwenang untuk menindak secara tegas pelaku pelanggaran HAM dengan menggelar peradilan HAM dan atau mendukung upaya penyelesaian melalui lembaga peradilan HAM internasional apabila peradilan HAM yang dilakukan suatu negara mengalami jalan buntu. (3) Mendukung dan berpartisipasi dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan itu bisa berwujud makanan, pakaian, obat-obatan atau tenaga medis. Partisipasi masyarakat bisa berwujud usaha menggalang pengumpulan dan penyaluran berbagai bantuan kemanusiaan. (4) Mendukung upaya terwujudnya jaminan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi para korban. Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan pada para pelaku baik untuk korban maupun keluarganya. Jika restitusi dianggap tidak mencukupi, harus diberikan kompensasi, yaitu kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi pada korban atau keluarganya. Di samping restitusi dan kompensasi, korban juga berhak mendapat rehabilitasi. Rehabilitasi bisa bersifat psikologis, medis, dan fisik. Rehabilitasi psikologis itu di antaranya berupa pembinaan kesehatan mental agar terbebas dari trauma, stres, dan gangguan mental yang lain. Rehabilitasi medis di antaranya berupa jaminan pelayanan kesehatan. Rehabilitasi fisik di antaranya dapat berupa pembangunan kembali sarana dan prasarana seperti perumahan, air minum, perbaikan jalan, dan lain-lain. Sebaiknya Kamu Tahu Program Penegakan Hukum dan HAM (PP No. 7 tahun 2005) Program penegakan hukum dan HAM (PP No. 7 tahun 2005) meliputi pemberantasan korupsi, antiterorisme dan pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif. Kegiatan-kegiatan pokok yang dapat dilakukan meliputi hal-hal berikut ini. (1) Penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009. 117 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dari 2004-2009 sebagai gerakan nasional. Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya. Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi. Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia. Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warganegara di depan hukum melalui keteladanan kepala negara dan pimpinan lainnya untuk mematuhi dan menaati hukum dan hak asasi manusia secara konsisten dan konsekuen. Penyelenggaraan audit reguler atas seluruh kekayaan pejabat pemerintah dan pejabat negara. Peninjauan serta penyempurnaan berbagai konsep dasar dalam rangka mewujudkan proses hukum yang lebih sederhana, cepat, tepat, dan dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam rangka penyelenggaraaan ketertiban sosial agar dinamika masyarakat dapat berjalan sewajarnya. Pembenahan sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses publik, pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel. Pengembangan sistem manajemen kelembagaan hukum yang transparan. Penyelamatan barang bukti akuntabilitas kinerja yang berupa dokumen/arsip lembaga negara dan badan pemerintahan untuk mendukung penegakan hukum dan HAM. Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektivitas penegakan hukum dan HAM. Pembaharuan materi hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melakukan perjalanan baik ke luar maupun masuk ke wilayah Indonesia. Peningkatan fungsi intelejen agar aktivitas terorisme dapat dicegah pada tahap yang sangat dini, serta meningkatkan berbagai operasi keamanan dan ketertiban. Peningkatan penanganan dan tindakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya melalui identifikasi dan memutus jaringan peredarannya, meningkatkan penyidikan, penyelidikan, penuntutan serta menghukum para pengedarnya secara maksimal. Rangkuman Menurut Richard Falk, pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dianggap kejam adalah (i) pembunuhan besar-besaran (genocide), (ii) rasialisme, (iii) terorisme, (iv) pemerintahan totaliter, (v) penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan dasar manusia, (vi) perusakan kualitas lingkungan (esocide), dan (vii) kejahatan perang. Banyak pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah, aparat keamanan, maupun oleh masyarakat. Pelanggaran itu di antaranya berkaitan dengan adanya korban hilang dalam 118 berbagai kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon, dan Papua yang diperkirakan seluruhnya berjumlah 1.148 orang. Beberapa faktor penyebab pelanggaran HAM di Indonesia adalah (i) adanya perbedaan konsep antara paham yang memandang HAM bersifat universal dan paham yang memandang setiap bangsa memiliki paham HAM tersendiri berbeda dengan bangsa lain, (ii) adanya pandangan bahwa HAM bersifat individulistik sehingga akan mengancam kepentingan umum, (iii) kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum (polisi, jaksa, dan pengadilan), dan (iv) pemahaman yang belum merata tentang HAM, baik di kalangan sipil maupun militer. Latihan a. Tugas Individual (1) Sebutkan dua contoh yang termasuk pelanggaran HAM berat! (2) Berikan contoh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia! (3) Sebutkan penyebab terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia! (4) Perlindungan terhadap HAM itu sesungguhnya kewajiban siapa? (5) Mengapa negara harus menjadi pelindung HAM bagi Warganya? (6) Berikan contoh konkrit partisipasi warga negara dalam menegakan HAM! (7) Jelaskan tahap-tahap penegakan HAM melalui Komnas HAM! (8) Jelaskan tahap-tahap penegakan HAM melalui Pengadilan HAM! (9) Jelaskan tahap-tahap penegakan HAM melalui Pengadilan HAM Ad Hoc! (10) Apa yang dimaksud dengan genosida itu? (11) Apa yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan itu? (12) Apa yang dimaksud dengan kejahatan perang? (13) Apa pula yang dimaksud dengan kejahatan perang agresif? (14) Jelaskan yang dimaksud dengan peradilan HAM internasional! (15) Berikon contoh sangsi PBB yang pernah dijatuhkan terhadap negara pelanggar HAM! b. Tugas Kelompok Bentuklah 3 kelompok diskusi. Masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dan dipresentasikan di depan kelas. Adapaun tema-temanya adalah sebagai berikut: (1) Penegakan HAM melalui Komnas HAM, melalui Pengadilan HAM, dan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. (2) Genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. (3) Peradilan HAM internasional. C. Upaya Perlindungan HAM 1. Perlindungan HAM dalam Pembukaan UUD 1945 Hak-hak asasi yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 ini sangat dipengaruhi oleh hak-hak asasi yang dimuat dalam Pembukaan Konstitusi Prancis yang dikenal dengan nama La Declaration des Droits del‟homme et du Citoyen (Hak Asasi Manusia dan Warga negara). Atas dasar pemikiran ini pandangan bangsa Indonesia tentang hak-hak asasi manusia berpangkal pada titik keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pengakuan akan hak asasi manusia 119 dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945, di dalam alinea I, yang menyatakan bahwa ….Kemerdekaan ialah hak segala bangsa…dst. Alinea ini menunjukkan pengakuan hak asasi manusia berupa hak kebebasan atau hak kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan atau penindasan oleh bangsa lain. Pandangan ini dititikberatkan pada hak kemerdekaan bangsa dari pada kebebasan individu. Kebebasan individu diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara. Lebih lanjut, pada alinea II dinyatakan pula bahwa ….mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas hak asasi di bidang politik yang berupa kedaulatan dan ekonomi. Pada alinea III dinyatakan bahwa …atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas …dst. Alinea ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa kemerdekaan itu berkat anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada alinea IV dinyatakan bahwa … melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia …dst. Alinea ini merumuskan juga dasar filsafat negara (Pancasila) yang maknanya mengandung pengakuan akan hak-hak asasi manusia. 2. Perlindungan HAM dalam Batang Tubuh UUD 1945 Di dalam Batang Tubuh UUD 1945 termuat hak-hak asasi manusia/warga negara. Hal ini diatur di dalam beberapa pasal-pasalnya, antara lain sebagai berikut. a. Pasal 27 : Hak jaminan dalam bidang hukum dan ekonomi b. Pasal 28 : Pasal ini memberikan jaminan dalam bidang politik berupa hak untuk mengadakan perserikatan, berkumpul dan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan. Pasal 28 A : Pasal ini memberikan jaminan akan hak hidup dan mempertahankan kehidupan. Pasal 28 B : Pasal ini memberikan jaminan untuk membentuk keluarga, melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, jaminan atas hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28 C : Pasal ini memberikan jaminan setiap orang untuk mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat dari iptek, seni dan budaya, hak kolektif dalam bermasyarakat. Pasal 28 D : Pasal ini mengakui jaminan, perlindungan, perlakuan dan kepastian hukum yang adil, hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak, kesempatan dalam pemerintahan dan hak atas kewarganegaraan. Pasal 28 E : Pasal ini mengakui kebebasan memeluk agama, memilih pendidikan, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaran, memilih tempat tinggal. Juga mengakui kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 120 c). Pasal 29 : d). Pasal 31 : e). Pasal 32 : f). Pasal 33 : g). Pasal 34 : Pasal 28 F : Pasal ini mengakui hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan melalui segala jenis saluran yang ada. Pasal 28 G : Pasal ini mengakui hak perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda, rasa aman serta perlindungan dari ancaman. Juga mengakui hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, serta suaka politik dari negara lain. Pasal 28 H : Pasal ini mengakui hak hidup sejahtera lahir batin, hak bertempat tinggal dan hak akan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak pelayanan kesehatan, hak jaminan sosial, hak milik pribadi. Pasal 28 I : Pasal ini mengakui hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun yaitu; hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi di depan hukum, hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Pasal ini juga mengkaui hak masyarakat tradisional dan identitas budaya. Perlindungan, pemajuan dan penegakan hak asasi adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pasal 28 J : Pasal ini menegaskan perlunya setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Juga penegasan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada pembatasan-pembatasanya sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam negara demokratis. Pasal ini mengakui kebebasan dalam menjalankan perintah agama sesuai kepercayaan masing-masing. Pasal ini mengakui hak setiap warga negara akan pengajaran. Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya. Pasal ini mengandung pengakuan hak-hak ekonomi berupa hak memiliki dan menikmati hasil kekayaan alam Indonesia. Pasal ini mengatur hak-hak asasi di bidang kesejahteraan sosial. negara berkewajiban menjamin dan melindungi fakir miskin, anakanak yatim, orang telantar dan jompo untuk dapat hidup secara manusiawi. 3. Perlindungan HAM dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum PBB mengesahkan UDHR, yang memungkinkan HAM bersifat universal, yang tidak lagi lokal atau merupakan kepentingan suatu negara melainkan hak asasi untuk seluruh umat manusia di dunia. Sebenarnya UDHR tersebut disebut sebagai tonggak perjuangan HAM yang kedua setelah Bill of Rights. UDHR terdiri dari 30 pasal dengan satu pembukaan (Mukadimah) yang terdiri dari 6 alinea. Dilihat dari isinya UDHR terdiri dari tiga kategori. Pertama, hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak sipil 121 dan politik yang menjadi hak semua orang yang diatur dalam Pasal 3-21. Kedua, hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang yang diatur dalam Pasal 22-27. Ketiga, merupakan pasalpasal penutup, yaitu Pasal 28-30. Sebaiknya Kamu Tahu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Lebih rinci, substansi yang diatur sebagai hak-hak sipil dan politik meliputi (i) hak untuk bebas dari diskriminasi, (ii) hak untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan, (iii) hak untuk bebas beragama, (iv) hak untuk bebas berpikir dan berekspresi, (v) hak untuk bebas berkumpul dan berserikat, (vi) hak untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam, (vii) hak untuk menikmati kesamaan dihadapan hukum, (viii) hak untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang, (ix) hak untuk memperoleh peradilan yang adil, (x) hak untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi, dan (xi) dan hak untuk bebas bergerak. Lebih lanjut, hak sosial dan ekonomi di dalam deklarasi itu mencakup (i) hak untuk menikah dan membentuk keluarga, (ii) hak untuk bebas dari perkawinan paksa, (iii) hak untuk memperoleh pendidikan, (iv) hak untuk mendapat pekerjaan, (v) hak untuk menikmati standar kehidupan yang layak, (vi) hak untuk istirahat dan bersenang-senang, dan (vii) hak serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat atau tua. HAM sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen HAM yang muncul pada abad ke-20 seperti UDHR, mempunyai beberapa ciri yang menonjol. Pertama, HAM adalah hak yang menunjuk pada norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib. Kedua, hakhak ini dianggap bersifat universal yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk dipersoalkan sehubungan dengan seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM. Hal ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri HAM yang berlaku sekarang adalah HAM itu merupakan hak internasional. Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis dan sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya. Keempat, HAM dipandang sebagai normanorma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang 122 tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang lain. 4. Perlindungan HAM dalam Konvensi Internasional a. Perlindungan hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat Di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada pasal 19 disebutkan bahwa setiap orang berhak atau memiliki kebebasan untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Di dalam hak ini termasuk pula kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapatpendapat dengan cara apa pun dan tidak memandang batas-batas. Di dalam Covenant on Civil and Political Rights (CCPR), pada pasal 19, disebutkan bahwa (1) setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan; (2) setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan segala macam penerangan dan gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni atau melalui media lain menurut pilihannya. b. Perlindungan hak kedudukan yang sama dalam hukum Di dalam UDHR, pada pasal 7 disebutkan bahwa sekalian orang adalah sama terhadap UU dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada perbedaan. Di dalam CCPR, pada pasal 26 dinyatakan bahwa semua orang adalah sama terhadap hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Dalam hubungan ini, hukum melarang setiap diskriminasi serta menjamin semua orang akan perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, bangsa asal atau kedudukan sosial-asal, milik,kelahiran atau kedudukan lainnya. c. Perlindungan hak kebebasan berkumpul Di dalam UDHR, pada pasal 20 dinyatakan bahwa (1) setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat serta (2) tiada seorang jua pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan. Di dalam CCPR, pada pasal 21 disebutkan bahwa hak berkumpul secara bebas diakui. Tiada satu pembatasan pun dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis, demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan dan moral umum atau perlindungan terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain. d. Perlindungan hak atas kebebasan beragama Di dalam UDHR, pada pasal 18 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama. Dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat, dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri. Di dalam CCPR, pada pasal 18, dinyatakan 123 bahwa (1) setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin, dan agama. Hak ini mencakup kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya, serta kebebasan untuk baik secara pribadi atau pun bersama anggota masyarakat lingkungannya serta secara terbuka ataupun tertutup, menyatakan agama atau kepercayaannya melalui ibadah, ketaatan, tindakan dan ajaran. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa (2) tak seorangpun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya, (3) kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya hanya dapat dikenakan pembatasan menurut ketentuan ketentuan hukum dan yang perlu untuk menjaga keselamatan umum, ketertiban, kesehatan atau moral dan hak-hak dasar serta kebebasan orang lain, (4) negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengikat diri untuk menghormati kebebasan orang tua dan di mana berlaku, wali hukum, untuk menjamin pendidikan agama dan moral anaknya menurut keyakinannya masing-msing. e. Perlindungan hak atas penghidupan yang layak Di dalam UDHR, pada pasal 25, disebutkan bahwa (1) setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya maupun keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah lain-lain karena keadaan yang di luar kekuasaannya, (2) ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama. Di dalam Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR), pada pasal 11, dinyatakan bahwa negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui setiap orang atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk sandang, pangan, dan perumahan yang layak, dan perbaikan secara terus menerus dari lingkungan hidupnya. negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menjamin terlaksananya hak tersebut, agar diakui kepentingan hakiki dari kerja sama internasional yang didasarkan atas persetujuan yang bebas. f. Perlindungan hak atas kebebasan berserikat Di dalam UDHR, pada pasal 23, dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja untuk melindungi kepentingannya. Di dalam CESCR, pada pasal 8, dinyatakan bahwa (1) negaranegara peserta perjanjian ini mengikat diri untuk menjamin (a) hak setiap orang untuk membentuk serikat sekerja dan menjadi anggota serikat sekerja pilihannya, sesuai dengan peraturan organisasi yang bersangkutan, guna meningkatkan serta melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dan sosialnya; Tiada suatu pembatasan pun dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketetiban umum atau untuk melindungi hakhak serta kebebasan-kebebasan orang lain, (b) hak bagi serikat sekerja untuk mendirikan federasi atau konfederasi nasional serta hak bagi yang tersebut belakangan untuk membentuk atau menjadi anggota organisasi serikat sekerja 124 internasional, (c) hak bagi serikat sekerja untuk bertindak secara bebas dan hanya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau untuk melindungi hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, (d) hak untuk melancarkan pemogokan, asalkan dijalankan menurut ketentuan-ketntuan hukum negara yang bersangkutan. Di dalam CCPR, pada pasal 22, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas untuk berserikat, termasuk hak untuk membentuk dan ikut serta dalam serikat-serikat sekerja guna melindungi kepentingan-kepentingannya. g. Perlindungan hak atas pengajaran Di dalam UDHR, pada pasal 26, dinyatakan bahwa (1) setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya dalam tingkat sekolah dasar. Pengajaran sekolah rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan pelajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kecerdasan. Disebutkan pula bahwa (2) pengajaran harus ditujukan kearah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima serta rasa saling persahabatan antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa (3) ibu-bapak mempunyai hak utama untuk memilih macam pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Di dalam CESCR, pada pasal 13, dinyatakan bahwa (1) negara-negara perserta dalam perjanjian ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka sepakat bahwa pendidikan akan mengarah pada pengembangan penuh dari kepribadian orang serta kesadaran akan harga dirinya, serta memperkuat rasa hormat terhadap hak-hak manusia serta kebebasan-kebebasan dasar. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa (2) negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui bahwa dalam usaha melaksanakan hak ini secara penuh (a) pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua orang, (b) pendidikan menengah dalam segala bentuknya termasuk pendidikan teknik dan kejuruan menengah, akan diselenggarakan dan terbuka bagi semua melalui cara-cara yang layak, serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma serta bertahap, (c) pendidikan tinggi akan diusahakan terbuka bagi semua berdasarkan kesanggupan, melalui cara-cara yang layak, serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma secara bertahap, (d) pendidikan masyarakat dianjurkan atau ditingkatkan sejauh mungkin bagi mereka yang belum pernah atau belum menyelesaikan pendidikan dasar secara penuh, (e) pengembangan sistem sekolah pada setiap tingkat digiatkan secara kuat, sistem beasiswa yang layak diadakan dan syarat-syaat materiil dari staf pengajar ditingkatkan secara terus menerus. 5. Perlindungan HAM dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Dalam amandemen kedua UUD 1945 ada ketentuan yang secara eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia, yaitu Bab XA yang berisikan pasal 28A s.d. 28 J (penyempurnaan pasal 28). Dalam UU No.39 Tahun 1999 tampak jaminan hak asasi manusia lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan pasal-pasal 125 yang dikandungnya yang relatif banyak, yaitu terdiri atas 11 bab dan 106 pasal. Apabila dicermati, jaminan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 secara garis besar meliputi hal-hal sebagai berikut. (1) Hak untuk hidup (misalnya hak mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan lahir batin, dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat). (2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. (3) Hak mengembangkan diri (misalnya hak pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan kualitas hidup, memperoleh manfaat dari Iptek, memperoleh informasi, dan melakukan pekerjaan sosial). (4) Hak memperoleh keadilan (misalnya hak kepastian hukum dan persamaan di depan hukum). (5) Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak memeluk agama, keyakinan politik, memilih status kewarganegaraan, berpendapat dan menyebarluaskannya, mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak, dan bertempat tinggal). (6) Hak atas rasa aman (misalnya hak memperoleh suaka politik, perlindungan terhadap ancaman ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan terhadap penyiksaan, dan penghilangan nyawa). (7) Hak atas kesejahteraan (misalnya hak milik pribadi dan kolektif, memperoleh pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak, kehidupan yang layak, dan jaminan sosial). (8) Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak memilih dan dipilih dalam pemilu, partisipasi langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah, dan mengajukan usulan kepada pemerintah). (9) Hak wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, dan keluarga atau perkawinan). (10) Hak anak (misalnya hak perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan seksual, perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya). 6. Perlindungan HAM dalam Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak Majelis Umum PBB dalam sidangnya yang ke-44 pada bulan Desember 1989 telah berhasil menyepakati sebuah resolusi, yaitu Resolusi PBB No. 44/25 tanggal 5 Desember 1989 tentang Convention on the Rights of the Child. Tentang pengertian anak, konvensi menekankan pada faktor umur, yakni setiap orang yang masih berumur di bawah 18 tahun. Kecuali jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak menentukan batas umur yang lebih rendah dari 18 tahun. Situasi dan kondisi anak-anak di berbagai belahan bumi yang digambarkan oleh resolusi tersebut sangat memprihatinkan, seperti karena kondisi sosial yang di bawah standar, kelaparan, bencana alam, eksploitasi, konflik bersenjata, buta huruf, dan lain 126 sebagainya yang mengakibatkan anak-anak tidak hidup dan berkembang dengan layak. Sebaiknya Kamu Tahu Konvensi tentang Hak-hak Anak Konvensi ini sebenarnya merupakan lanjutan atau salah satu mata rantai dari usaha-usaha masyarakat internasional yang telah dilakukan jauh sebelumnya. Mulai dari Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Anak tahun 1959 (Declaration on the Rights of the Child of 1959) dan Deklarasi PBB tentang Tahun Anak-Anak Internasional (Declaration on the International Year of the Child of 1979). Jauh sebelumnya, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) juga telah menaruh perhatian yang serius tentang masalah anak-anak, yang terbukti dengan dikeluarkannya Deklarasi Jenewa 1924 (Geneve Declaration of 1924) tentang pembentukan Uni Internasional Dana dan Keselamatan Anak-Anak (Save the Children Fund International Union). Demikian pula PBB secara khusus memiliki salah satu organ khusus yang berkenaan dengan anak-anak, yaitu UNICEF (United Nations Children's Fund/Dana PBB untuk Anak-Anak). 7. Perlindungan HAM dalam UU No. 8 Tahun 1998 (Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam) Ketentuan pokok konvensi ini mengatur tentang pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara Republik Indonesia yang telah meratifikasi wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah yuridiksinya. Misalnya, langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara introgasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Rangkuman Pengakuan akan hak asasi manusia dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada alinea I dinyatakan bahwa ….Kemerdekaan ialah hak segala bangsa…dst. Pada alinea IV dinyatakan bahwa … melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia …dst. Alinea ini merumuskan juga dasar filsafat negara (Pancasila) yang maknanya mengandung pengakuan akan hak-hak asasi manusia. HAM dalam Batang Tubuh UUD 1945 diatur dalam pasal 27, 28, 28a, 28b, 28c, 28d, 28e, 28f, 28g, 28h, 28i, 28J, 29, 31, 32 dan 33. Perlindungan HAM dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dinyatakan dalam 30 pasal dengan satu pembukaan (Mukadimah) yang terdiri dari 6 alinea. Dilihat dari isinya UDHR terdiri dari tiga kategori. Pertama, hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang yang diatur dalam Pasal 3-21. Kedua, hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak 127 ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang yang diatur dalam Pasal 22-27. Ketiga, merupakan pasal-pasal penutup, yaitu Pasal 28-30. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tampak jaminan hak asasi manusia lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan pasal-pasal yang dikandungnya relatif banyak, yaitu terdiri atas 11 bab dan 106 pasal. Majelis Umum PBB dalam sidangnya yang ke-44 pada bulan Desember 1989 telah berhasil menyepakati sebuah resolusi, yaitu Resolusi PBB No. 44/25 tanggal 5 Desember 1989 tentang Convention on the Rights of the Child. Tentang pengertian anak, konvensi menekankan pada faktor umur, yakni setiap orang yang masih berumur di bawah 18. UU No. 8 Tahun 1998 (Konvensi Anti Penyiksaan dan Penghukuman yang Kejam) mengatur tentang pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Latihan: a. Tugas Individual (1) Tunjukkan bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung pesan HAM Universal! (2) Tunjukkan pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 setelah amandemen! (3) Tunjukkan hak-hak asasi yang diatur dalam UDHR! (4) Berikan contoh perlindungan HAM dalam Konvensi Internasional PBB! (5) Hak asasi apa saja yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM? (6) Hak-hak apa saja yang diatur dalam Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak-hak Anak ? (7) Jelaskan hak-hak apa saja yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1998 ! (8) Selain UUD 1945 sebutkan peraturan lain yang menjadi landasan hukum bagi penegakkan HAM di Indonesia! (9) Jelaskan beberapa instrumen HAM di Indonesia! (10) Sebutkan tujuan dibentuknya Komnas HAM! (11) Bagaimana pendapatmu mengenai perlindungan HAM di Indonesia! (12) Jelaskan hambatan dalam menegakkan HAM di Indonesia! b. Tugas Kelompok Bentuklah 5 kelompok diskusi dalam kelasmu. Setiap kelompok membuat makalah serta mempresentasikannya di depan kelas, dengan topik sebagai berikut. (1) Sejarah perlindungan HAM di dunia sejak dulu hingga sekarang (2) Kepres No. 38 Tahun 1990 Tentang Perlindungan Anak (3) UU No. 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (4) Penegakan HAM melalui Komnas HAM (5) Prosedur penegakan HAM melalui Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM) 128 D. Menghargai Upaya Penegakkan HAM 1. Penegakan HAM melalui Peradilan HAM Agar HAM benar-benar dapat ditegakkan atau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, telah ditetapkan Pengadilan HAM. Pengadilan HAM merupakan peradilan khusus di lingkungan peradilan umum, yaitu kedudukan Pengadilan HAM di daerah Kabupaten/Kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Peradilan HAM memiliki wewenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat, termasuk yang dilakukan di luar teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Sebaiknya Kamu Tahu Kejahatan Genosida Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama yang di antaranya dilakukan dengan cara sebagai berikut. (1) membunuh anggota kelompok (2) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok (3) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan fisik baik seluruh atau sebagian (4) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok (5) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain Kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya. Serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Sebaiknya Kamu Tahu Kejahatan terhadap kemanusiaan berupa dapat berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan seseorang secara paksa, serta kejahatan apartheid. Kewenangan memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi 129 pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UndangUndang No. 26 Tahun 2000. Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang. Lima orang tersebut terdiri atas dua orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). 2. Jaminan terhadap Para Korban dan Saksi Dalam rangka memperoleh kebenaran faktual, para korban dan saksi dijamin perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Untuk memenuhi rasa keadilan, setiap korban pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh ganti rugi oleh negara (kompensasi), ganti rugi oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi), dan pemulihan pada kedudukan semula seperti nama baik, jabatan, kehormatan atau hak-hak lain (rehabilitasi). Sebagai upaya penegakan HAM, hingga dewasa ini telah dilakukan peradilan HAM untuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh, dan Papua, serta kasus Tanjung Priok dan kasus 27 Juli. 3. Diakuinya Pelanggaran HAM Era Orde Baru oleh Pemerintah Reformasi Terdapat bentuk umum pelanggaran HAM pada era orde baru seperti dikemukakan berikut ini. Pertama, masih cukup populernya praktik represi politik oleh aparat negara. Kasus penanganan konflik-konflik politik baik demonstrasi, protes, kerusuhan, serangan bersenjata, maupun pembunuhan dengan alasan politik. Penanganan kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, Santa Cruz, Sampang, Peristiwa 27 Juli 1996, semua itu oleh Komnas HAM dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Penggunaan UU Anti Subversi secara amat longgar, serta tergantung penafsiran penguasa, merupakan contoh dari pelanggaran HAM dalam politik. Kedua, praktik pembatasan partisipasi politik, juga merupakan bentuk pelanggaran HAM. Hal ini mengingkari hak yang dimiliki warga negara untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945. Ketiga, praktik eksploitasi ekonomi juga merupakan salah satu pelanggaran HAM. Eksploitasi ini bisa dilakukan oleh negara, perusahaan nasional, perusahaan multi nasional. Di sektor perburuhan dan ketenagakerjaan misalnya upah buruh yng sangat rendah, dilarangnya serikat pekerja. 4. HAM di Indonesia Setelah Reformasi Sejak bergulirnya reformasi telah terjadi kemajuan peraturan di bidang HAM. Kemajuan yang berkenaan dengan peraturan di bidang HAM itu di antaranya ialah (i) lahirnya Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, (ii) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Mnanusia, (iii) UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, (iv) UUD 1945 hasil amandemen pasal 28A s/d 28J semua memuat tentang HAM, dan (v) Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 130 Tahun 2004-2009, penegakan HAM merupakan salah satu dari sasaran strategis yang diatur. Munculnya berbagai peraturan itu menunjukkan bahwa prospek perlindungan HAM secara normatif di Indonesia cukup baik walaupun belum tentu mencerminkan keberadaan HAM secara riil dalam praktik penyelenggaraan negara. Kondisi Indonesia saat ini bisa digambarkan memiliki peraturan HAM tetapi tidak menikmati HAM karena lemahnya rasa hormat terhadap HAM. Hal ini bisa dilihat masih banyaknya pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan negara pada era reformasi, yaitu (i) perlindungan HAM di bidang penegakan hukum masih diskriminatif, sehingga prinsip persamaam di depan hukum tidak dipenuhi baik dalam penyidikan, penuntutan, peradilan, maupn pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, (ii) perlindungan HAM di bidang sosial ekonomi belum sesuai dengan harapan masyarakat karena masih adanya korupsi yang dilakukan aparat pemerintah maupun anggota dewan, baik di pusat maupun di daerah, dan adanya berbagai protes buruh dan petani atas ketidakberpihakan kepada upaya perbaikan kesejahteraan yang menunjukkan belum terakomodasinya kepentingan ekonomi mereka, serta (iii) praktik represi atau penyiksaan oleh aparat negara, misalnya penyikapan dan perlakuan terhadap berbagai unjuk rasa selama ini menunjukkan belum dihormatinya hak kebebasan menyampaikan pendapat yang diatur oleh UUD 1945. 5. Proses Penegakan HAM Proses penegakan HAM di Indonesia dilakukan melalui lembaga Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Pengadilan HAM ad hoc. Hal-hal yang berkenaan dengan proses penegakan HAM yang dilakukan oleh masing-masing lembaga itu dapat dikemukakan sebagai berikut. a. Proses penegakan HAM melalui Komnas HAM Proses itu dimulai dari menerima pengaduan dari setiap orang atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar. Pengaduan dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Selanjutnya, Komnas HAM melakukan pemeriksaan dengan memanggil pengadu, korban, saksi atau pihak lain yang terkait. Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat ditentukan apakah penuntutan bisa dilanjutkan atau dihentikan. Dihentikan apabila tidak memiliki bukti awal yang kuat sehingga tidak termasuk masalah pelanggran HAM. Langkah berikutnya ialah menyelesaikan pengaduan setelah melalui tahap pemeriksaan. Kewenangan ini bisa berupa (i) perdamaian kedua belah pihak, (ii) penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, (iii) pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, (iv) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya, atau (v) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR untuk ditindaklanjuti. b. Proses penegakan HAM melalui Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM) Proses ini berawal dengan penangkapan. Jaksa Agung melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan, dengan memperlihatkan surat tugas. Surat tugas atau surat perintah tidak diperlukan apabila yang bersangkutan tertangkap tangan. Untuk itu cukup dengan penyerahan barang bukti. Langkah 131 berikutnya ialah penahanan. Jaksa Agung berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari. Penahanan untuk kepentingan penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 20 hari. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Penahanan untuk banding di Pengadilan Tinggi paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Penahanan untuk kepentingan kasasai di Mahkamah Agung lamanya sama dengan untuk kepentingan banding di Pengadilan Tinggi. Berikutnya ialah penyelidikan. Penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM. Untuk kepentingan penyelidikan Komnas HAM dapat membentuk Tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Proses selanjutnya ialah penyidikan. Penyidikan dilakukan oleh Jaksa agung. Jaksa agung dapat mengangkat penyidik ad hoc. Apabila tidak diperoleh bukti yang cukup, dikeluarkan surat penghentian penyidikan oleh Jaksa agung. Tahap berikutnya ialah penuntutan. Dalam hal ini, Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc. Tahap selanjutnya ialah pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh 5 orang hakim yang terdiri dari 2 orang hakim HAM dan 3 orang hakim ad hoc. Pemeriksaan sidang pengadilan paling lama 180 hari. Untuk banding ke Pengadilan Tinggi paling lama 90 hari, sedangkan untuk kasasi paling lama 90 hari. c. Proses Pengadilan HAM Ad Hoc Proses pengadilam HAM ad hoc pada dasarnya sama dengan pengadilan HAM. Perbedaannya pada kasus pelanggaran HAM yang diperiksa, yakni khusus menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Jadi sifatnya tidak permanen, sedangkan Pengadilan HAM bersifat permanen. 4. Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia Penegakan HAM di Indonesia masih menemui berbagai hambatan dan tantangan. Adanya hambatan dapat dilihat masih banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia, terutama pelanggaran HAM yang dilakukan pemeritah, seperti pelanggaran hukum oleh aparat, penculikan dan penyiksaan, penyadapan telepon dan lain-lain. Ataupun pelanggaran HAM yang berupa demonstrasi illegal, terorisme, subversi dan sebagainya. Penyalahgunaan kekuasaan dengan melakukan penculikan terhadap aktivis yang kristis yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah adalah juga merupakan pelanggaran HAM. Perlakukan diskriminatif terhadap kelompok lain yang tidak sejalan dengan penguasa adalah bentuk pelanggaran HAM juga. Karena pemerintah seharusnya memberikan perlakukan dan pelayanan yang sama terhadap semua warga negara. Hukum yang dibuat oleh penguasa kadang-kadang juga tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat karena di dalam merumuskannya tidak melibatkan masyarakat. Indonesia dianggap telah banyak melakukan pelanggaran HAM berat terhadap rakyatnya, seperti kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Tanjung Priok dan sebagainya. Sorotan dunia terjadi karena upaya penegakan HAM melalui pengadilan HAM ad hoc dinilai belum mampu mengadili penanggung jawab 132 utama kasus-kasus di atas, sehingga ada kesan bahwa yang dikorbankan adalah bawahan. Sebaiknya Kamu Tahu Potret Konflik dan Pelanggaran HAM di Indonesia Konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia sejak tahun 1997 barangkali dapat dijelaskan dengan teori chaos yang mulai dikenal di kalangan sains pada penghujung abad 20. Secara sederhana fenomena chaos dapat digambarkan dengan ungkapan terkenal Kepak sayap seekor kupu-kupu di pelabuhan Sydney sudah cukup menimbulkan angin topan dua minggu kemudian di Jamaica. Artinya, soal-soal kecil bisa menimbulkan kekacauan besar. Dengan menelaah sifat-sifat variabel suatu sistem yang mengalami kekacauan, ilmuwan yang meneliti fenomena ini menemukan suatu kurva yang menghubungkan variable-variabel itu dengan bentuk khusus. Kurva itu kemudian disebut sebagai atraktor aneh yang menjadi biang keladi kekacauan. Kalimantan Barat memang provinsi yang rentan dengan konflik. Setidaknya sudah 11 konflik besar yang melibatkan suku-suku tertentu di daerah itu sejak tahun 1950 sampai tahun 1999. Penyebabnya hampir sama, yaitu soal-soal kecil. Konflik yang terjadi di Sambas pada tahun 1999, misalnya, dimulai dengan terbunuhnya seorang pencuri dari salah satu etnik yang bertikai. Kepak sayap kupu-kupu ini kemudian berkembang dalam waktu relatif singkat menjadi perseteruan antarsuku yang dahsyat. Tak kurang dari 3.000 orang warga Desa Paritsetia yang tidak tahu-menahu dengan persoalan itu terpaksa mengungsi. Manakala derajat konflik membesar, 68.000 orang dari suku Madura terpaksa mengungsi. Pola kepak sayap kupu-kupu itu pula yang terjadi di Maluku dan Poso. Samasama dimulai dengan perkelahian atau bentrok antarwarga. Bila faktor pemicu di Kalimantan Barat adalah etnik, di Indonesia Timur ini faktor pemicunya adalah agama. Kerusuhan di Kabupaten Poso berawal dari konflik antaragama di penghujung tahun 1998. Berlangsung selama seminggu, lalu reda, tapi kambuh lagi pada pertengahan April 1999. Bentrokan susul-menyusul sampai membuat Poso lumpuh. Tidak hanya aktivitas masyarakat yang terhenti, kantor-kantor pemerintah terpaksa ditutup untuk sementara. Kerusuhan di Maluku diawali dengan bentrokan antara seorang warga dan seorang sopir angkutan di Ambon pada pertengahan Januari 1999. Bentrok itu berkembang menjadi konflik antaragama dan menjalar ke Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Konflik kian meruncing setelah aparat keamanan menentang keras warga Maluku yang tergabung dalam Front Kedaulatan Maluku untuk mengibarkan bendera RMS. Upaya pemerintah meredam konflik sebenarnya cukup signifikan. Berakhirnya konflik di Kalimantan Barat tak lepas dari keseriusan pemerintah membentuk tim peneliti beranggotakan pakar berbagai kajian. Pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat oleh keempat etnik—Dayak, Melayu, Tionghoa, dan Madura—turut menghentikan konflik dengan menempatkan perselisihan antarwarga sebagai perselisihan perseorangan, bukan sebagai pertikaian antaretnik. Pola yang mirip diterapkan untuk meredam konflik Poso. Kedua kelompok yang bertikai dipertemukan untuk rekonsiliasi. Keempat gubernur yang terdapat di Sulawesi bersama-sama membahas persoalan 133 ini. Ketegasan dan keseriusan pemerintah menghentikan konflik di sini diperlihatkan dengan vonis mati tiga terdakwa utama yang menyulut konflik Poso. Hasilnya setelah tiga tahun konflik berjalan, konflik berhenti seiring dengan sosialisasi perjanjian damai. (Dikutip dari Buku Indonesia dalam Krisis oleh Tweki Triardianto) 6. Partisipasi dalam Penegakan HAM Penegakam HAM pertama-tama merupakan tanggungjawab negara dan pemerintah karena keberadaan negara pada hakikatnya adalah untuk melindungi warga negara. Hal itu sesuai dengan tujuan negara seperti yang dikemukakan oleh John Locke, yaitu untuk melindungi hak asasi manusia. Apabila penegakkan HAM itu semata-mata diberikan kepada pemerintah hampir dapat dipastikan sulit untuk bisa berjalan efektif. Oleh karena itu, partisipasi secara individual, kelompok, dan kelembagaan dari masyarakat mutlak diperlukan. Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, LSM dan lembaga kemasyarakatan lainnya berhak berpartisipasi dalam perjuangan dan perlindungan HAM. Sasaran partisipasi dapat diarahkan pada kebijakan pemerintah sebagai berikut. (1) Mendukung pemerintah dalam menegakkan HAM melalui pengadilan HAM. (2) Mendukung pemerintah dalam menegakkan HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (3) Memberikan masukan agar setiap kebijakan publik selalu bernuansa HAM. (4) Melakukan kontrol pada pemerintah agar berbagai kebijakannya sejalan dengan HAM. (5) Melaporkan setiap pelanggaran HAM kepada aparat yang berwenang. (6) Mendesak DPR untuk mencabut UU yang praktiknya melanggar HAM. (7) Mengkritisi kinerja Komnas HAM. (8) Memberdayakan masyarakat lemah, akan kesadaran tentang HAM. Rangkuman Agar HAM benar-benar dapat ditegakkan atau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, telah ditetapkan adanya Pengadilan HAM. Pengadilan HAM merupakan peradilan khusus di lingkungan peradilan umum. Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Peradilan HAM memiliki wewenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat, termasuk yang dilakukan di luar teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang. Lima orang tersebut terdiri atas dua orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). Dalam rangka memperoleh kebenaran faktual, para korban dan saksi dijamin perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan 134 kekerasan dari pihak manapun. Untuk memenuhi rasa keadilan, setiap korban pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh ganti rugi oleh negara (kompensasi), ganti rugi oleh pelaku atau oleh pihak ketiga. Sejak reformasi sampai sekarang telah terjadi kemajuan peraturan di bidang HAM. Kemajuan itu di antaranya ditunjukkan (i) lahirnya Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, (ii) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (iii) UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan (iv) UUD 1945 hasil amandemen pasal 28A s/d 28J yang semuanya memuat tentang HAM. Indonesia dianggap telah banyak melakukan pelanggaran HAM berat terhadap rakyatnya, seperti kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Tanjung Priok dan sebagainya. Sorotan dunia terjadi karena upaya penegakan HAM melalui pengadilan HAM ad hoc dinilai belum mampu mengadili penanggung jawab utama kasus-kasus di atas, sehingga ada kesan yang dikorbankan adalah bawahan. Beberapa bentuk partisipasi dalam penegakkan HAM di antaranya ialah sebagai berikut. (1) Mendukung pemerintah dalam menegakkan HAM melalui pengadilan HAM. (2) Mendukung pemerintah dalam menegakkan HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (3) Memberikan masukan agar setiap kebijakan publik selalu bernuansa HAM. (4) Melakukan kontrol pada pemerintah agar berbagai kebijakannya sejalan dengan HAM. (5) Melaporkan setiap pelanggaran HAM kepada aparat yang berwenang. (6) Mendesak DPR untuk mencabut UU yang praktiknya melanggar HAM. (7) Mengkritisi kinerja Komnas HAM. Latihan a. Tugas Individual (1) Uraikan prosedur penegakan HAM melalui Peradilan HAM! (2) Jelasan bentuk jaminan terhadap para korban dan saksi! (3) Diskripsikan proses penegakan HAM melalui Komnas HAM! (4) Jelaskan proses Pengadilan HAM Ad Hoc! (5) Uraikan hambatan dan tantangan dalam penegakan HAM di Indonesia! (6) Jelaskan partisipasi warga negara dalam Penegakan HAM di Indonesia! b. Tugas Kelompok Bentuklah 5 kelompok di kelasmu, masing-masing kelompok membuat makalah untuk dipresentasikan di depan kelas dengan topik sebagai berikut. (1) Penegakan HAM melalui Peradilan HAM (2) HAM di Indonesia Setelah Reformasi (3) Jaminan terhadap Para Korban dan Saksi (4) Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia (5) Berpartisipasi dalam Penegakan HAM Sebaiknya Kamu Tahu Covenants of Human Rights : konvensi HAM PBB, disetujui pada sidang PBB tangal 16 Desember 1966 135 CCPR Declaration on the Rights of the Child of 1959 Declaration on the International Year of the Child of 1979 : Covenant on Civil and Political Rights (konvensi hak sipil dan politik PBB) : Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Anak tahun 1959 : deklarasi PBB tentang Tahun anak-Anak Internasional. Freedom of Speech : kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat Freedom of Religion : kebebasan untuk beragama Freedom from Fear : kebebasan dari ketakutan Freedom from Want : kebebasan dari kemelaratan Habeas Corpus Act (1679) : salah satu tonggak HAM Kompensasi : ganti rugi atas pelanggaran HAM yang berat oleh negara. Kejahatan genosida : perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu. La Declaration des Droits de l‟homme et du Citoyen di Prancis (1789). The Four Freedom : empat hak asasi manusia menurut Franklin D. Roosevelt ( mantan Presiden AS) Universal Declaration of Human Rights : deklarasi HAM PBB pada 10 Desember 1948 di Paris. Magna Charta : tonggak pertama HAM di Inggris (1215) Personal rights : hak asasi pribadi meliputi (i) hak akan kebebasan berpendapat, (ii) hak akan kebebasan beragama, (iii) hak akan kebebasan bergerak, dan sebagainya. Property rights : hak asasi ekonomi meliputi (i) hak memiliki, (ii) hak manfaat, (iii) hak membeli, (iv) hak menjual, dan sebagainya Procedural rights : hak asasi keadilan meliputi (i) hak mendapatkan keadilan, (ii) hak mendapatkan peradilan, (iii) hak mendapatkan perlindungan, dan sebagainya Political rights : hak asasi politik meliputi (i) hak untuk memilih dan (ii) hak untuk dipilih, Pengadilan HAM ad hoc : Pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Restitusi : ganti rugi atas pelanggaran HAM oleh pelaku atau pihak ketiga. Rehabilitasi : pemulihan pada kedudukan semula, seperti: nama baik, jabatan, kehormatan atau hak-hak lain. Social and cultural rights : hak asasi sosial dan kebudayaan meliputi (i) hak mendapatkan pendidikan dan (ii) hak mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya Save the Children Fund 136 International Union UNICEF UU No. 8 Tahun 1998 : Deklarasi Jenewa 1924 tentang pembentukan Uni Internasional Dana dan Keselamatan Anak-Anak : United Nations Children's Fund/Dana PBB untuk Anak-Anak. : Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam 137 BAB VI KONSTITUSI NEGARA A. Pengertian dan Konsep Dasar Konstitusi Istilah dalam bahasa Inggris constitution atau dalam bahasa Belanda constitutie secara harafiah sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia UndangUndang Dasar. Permasalahannya penggunaan istilah undang-undang dasar adalah bahwa kita langsung membayangkan sesuatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan–peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Kebiasaan menerjemahkan istilah constitution menjadi undang-undang dasar, hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet (grond = dasar; wet = undang-undang) dan grundgesetz (grund = dasar; gesetz = undang-undang ) yang keduanya menunjukkan naskah tertulis (Miriam Budiardjo, 2007: 95). Pengertian konstitusi itu dalam praktik ketatanegaraan pada umumnya dipahami secara (i) lebih luas daripada undang-undang dasar atau (ii) sama dengan pengertian undang-undang dasar. Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas daripada pengertian undang-undang dasar karena pengertian undang-undang dasar hanya meliputi naskah tertulis saja dan di samping itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam undang-undang dasar (Kaelan, 2004:180). Para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut arti konstitusi lebih luas daripada undang-undang dasar karena dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar berlaku juga Hukum Dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis. Namun, dalam masa Republik Indonesia Serikat, yaitu antara 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, penyusun Konstitusi RIS menerjemahkan secara sempit istilah konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi UndangUndang Dasar Republik Indonesia Serikat ( Totopandoyo, 1981: 25-26). Menurut E.C.S Wade dalam bukunya Constitutional Law (Miriam Budiardjo, 2007, 96) undang-undang dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokokpokok cara kerja badan-badan tersebut. Ditinjau dari segi kekuasaan undang-undang dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas-asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan itu dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan. Mengacu konsep trias politika, kekuasaan dibagi antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Undang-undang dasar menentukan bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-undang dasar merekam hubunganhubungan kekuasaan dalam suatu negara. 138 Dalam negara yang menganut asas demokrasi konstitusional undangundang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga negara diharapkan terlindungi. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar. Jadi, dalam anggapan ini undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati, tidak hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun. Setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai soalsoal sebagai berikut: (i) organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; dalam negara federal pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian; prosedur penyelesaian masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya, (ii) hak-hak asasi manusia, (iii) prosedur mengubah undangundang dasar, (iv) ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar untuk menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, dan (v) memuat cita-cita rakyat dan asas asas ideologi negara (Miriam Budiardjo, 2007: 101). Undang-Undang Dasar 1945 mengandung semangat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Di dalamnya, menurut Noor MS Bakry (1994: 120), berisi materi yang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat hal, yaitu (i) pengaturan tentang fungsi sistem pemerintahan negara, (ii) ketentuan fungsi dan kedudukan lembaga negara, (iii) hubungan antara negara dengan warga negaranya, dan (iv) ketentuan hal-hal lain sebagai pelengkap. b. Konstitusi-Konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia Suatu undang-undang dasar jika tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak memenuhi harapan aspirasi rakyat dapat dibatalkan dan diganti dengan undang-undang dasar baru. Sebagai contoh, sesudah dibebaskan dari pendudukan tentara Jerman, Prancis menganggap perlu untuk mengadakan undang-undang dasar baru yang mencerminkan lahirnya negara Prancis baru. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Miriam Budiardjo (2007: 104), sehubungan dengan undang-undang dasar yang digunakan di Indonesia, mengemukakan tahap-tahap sebagai berikut: (i) tahun 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia secara defacto hanya berlaku di Jawa, Madura, dan Sumatra, (ii) tahun 1949, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia secara defacto berlaku di seluruh Indonesia, kecuali Irian Barat, dan (iii) tahun 1959, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dengan demokrasi terpimpin, disusul Demokrasi Pancasila, mulai 1963 berlaku di seluruh Indonesia termasuk Irian Barat. Apabila ditinjau dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Republik Indonesia, Miriam Budiardjo (2007:105) membagi dalam tiga tahap, yaitu (i) masa 1945-1959 sebagai Republik Indonesia ke-I (Demokrasi Parlementer) yang didasari tiga Undang-Undang Dasar, yaitu UUD 1945, 1949 dan 1950, (ii) masa 1959-1965 sebagai Republik ke-II (demokrasi Terpimpin) yang 139 didasari Undang-Undang Dasar 1945, dan (iii) masa 1965 sampai sekarang sebagai Republik Indonesia ke-III (Demokrasi Pancasila yang didasari oleh UndangUndang Dasar 1945. Pemikiran ini disampaikan pada tahun 1970-an jauh hari sebelum jatuhnya rezim Suharto, sehingga jika kita tinjau saat ini dapat ditambahkan masa Republik ke-III yaitu periode antara tahun 1965 dan 1998. Kemudian tahun 1998 sampai saat ini dapat ditambahkan masa Republik ke-IV dengan menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 pascaamandemem (Demokrasi masa transisi). Menurut Jimly Assidiqie (2007: 73), jika ditinjau dari sudut perkembangan naskah undang-undang dasar, sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang tahap-tahap sejarah konstitusi Indonesia dapat dikatakan telah melewati enam tahap perkembangan, yaitu (i) periode tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, (ii) periode tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, (iii) periode tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959, (iv) periode tanggal 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999, (v) periode tanggal 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002, dan (vi) periode tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan sekarang. Pada periode pertama berlaku UUD 1945, pada periode kedua berlaku Konstitusi RIS 1949, pada periode ketiga berlaku Undang-Undang Dasar Sementara 1950, pada periode keempat berlaku kembali UUD 1945 beserta penjelasannya. Setelah itu UUD 1945 diubah berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dengan menggunakan naskah yang berlaku mulai 5 Juli 1959 sebagai standar dalam melakukan perubahan di luar teks yang kemudian dijadikan lampiran yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945. Dengan demikian, menurut Jimly Assidiqie (2007: 74), kurun waktu selama terjadi perubahan UUD 1945 dalam satu rangkaian kegiatan itu, dapat disebut sebagai satu kesatuan periode tersendiri, yaitu periode konstitusi transisional. Republik Pertama : UUD 1945 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang pertama adalah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, berlaku secara nasional sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Naskah undang undang dasar pertama tersebut disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penyusunan naskah Rancangan Undang-Undang Dasar 1945 dimulai dari pembentukan BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Pembentukan badan ini merupakan realisasi janji Pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia kelak kemudian hari. BPUPKI mengadakan sidang-sidang yang dapat dikelompokkan menjadi dua masa persidangan, yaitu sidang pertama mulai dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 dan masa persidangan kedua mulai tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Dari persidangan-persidangan BPUPKI tersebut berhasil menyusun naskah komplit Rancangan Undang-Undang Dasar yang meliputi (i) pernyataan Indonesia merdeka, (ii) pembukaan UndangUndang Dasar, dan (iii) Undang-Undang Dasar yang terdiri atas pasal-pasal (Noor Ms Bakry, 1994: 23). Dengan selesainya tugas BPUPKI, pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemerdekaan Indonesia. Pada sidang tanggal 18 Agustus PPKI berhasil mengesahkan naskah Undang-Undang Dasar 1945 dari naskah Rancangan Undang-Undang Dasar hasil kerja BPUPKI dengan beberapa perubahan di sana sini. Perubahan itu terutama 140 tentang dasar negara yang semula berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya sebagai mana termuat dalam Piagam Jakarta diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 berlakulah UndangUndang Dasar 1945. Menurut ketentuan undang-undang dasar ini sistem pemerintahan Indonesia bersifat presidensiil. Artinya, para menteri tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif, tetapi hanya bertindak sebagai pembantu presiden. Lebih lanjut, mulai bulan November 1945, berdasarkan maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, Pengumuman Badan Pekerja 11 November 1945, dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, tanggung jawab politik terletak di tangan para menteri. Keadaan ini merupakan awal dari suatu sistem pemerintahan parlementer yang praktis dipertahankan sampai tahun 1959 pada masa Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali, melalui Dekrit Presiden. Jadi, mulai 14 November 1945 sampai 27 Desember 1949 sistem pemerintahan yang diselenggarakan berlainan dengan sistem pemerintahan sebagaimana diatur dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 (Miriam Budiardjo, 2007: 115-116). Republik Kedua : Konstitusi RIS (27 Desember 1945-17 Agustus 1950) Dalam kondisi Indonesia baru saja menyatakan kemerdekaan, Belanda berkeinginan untuk berkuasa lagi di Indonesia, yaitu melalui Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Karena mendapat perlawanan sengit bangsa Indonesia, Belanda gagal menguasai Indonesia. Pada tahun 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Salah satu hasil KMB itu ialah pendirian negara Republik Indonesia Serikat. Rancangan naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat juga diputuskan dalam KMB dan disepakati mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat (RIS), negara Republik Indonesia (RI) secara hukum masih tetap ada. Negara RI berubah status menjadi salah satu negara bagian dari negara RIS. Undang-Undang Dasar 1945 yang semula berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 27 Desember 1949 hanya berlaku dalam wilayah Negara Bagian Republik Indonesia saja. Negara RIS dengan Konstitusi RIS-nya berlangsung sangat pendek karena memang tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan yang menghendaki negara kesatuan, tidak menginginkan negara dalam negara, sehingga beberapa negara bagian meleburkan diri lagi dengan Republik Indonesia. Semangat kebersamaan ini nampak dengan adanya ketetapan Presiden RIS tentang penggabungan negara-negara bagian ke dalam Republik Indonesia sebagai berikut. (1) Tanggal 9 Maret negara bagian dan daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, Subang, dan Padang masuk ke dalam Republik Indonesia. (2) Tanggal 11 Maret 1950, memasukkan negara Pasundan menjadi daerah Republik Indonesia. (3) Tanggal 24 Maret 1950, memasukkan Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan menjadi daerah Republik Indonesia. (4) Tanggal 4 April 1950, Bangka , Belitung, Riau, Banjar, Dayak Besar, Kota Waringin, Kalimantan Tenggara masuk dalam daerah Republik Indonesia. 141 Dengan demikian, hanya negara bagian Indonesia Timur dan negara bagian Sumatera Timur saja yang belum masuk ke dalam Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Pada tanggal 19 Mei 1950 disusunlah Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS yang sekaligus mewakili negara bagian Indonesia Timur menyatakan menyetujui membentuk negara kesatuan. Tindak lanjut dari Piagam Persetujuan tersebut terbentuklah negara Kesatuan dengan berdasar UndangUndang Dasar Sementara 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Noor Ms Bakry, 2001: 34). Republik Indonesia Ketiga: UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959) Negara kesatuan yang merupakan perubahan ketatanegaraan dari negara serikat itu menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang di dalam pembukaannya memuat dasar negara Pancasila, tetapi pelaksanaan sistem pemerintahannya menggunakan sistem kabinet parlementer. Dengan demikian, sistem kabinet parlementer itu tidak cocok dengan jiwa Pancasila. Akibatnya, kabinet terjadi jatuh bangun; bahkan rata-rata umur tiap-tiap kabinet itu kurang dari satu tahun. Noor Ms Bakry (2001:36) memaparkan bahwa dari tahun 1950 sampai tahun 1959 telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 7 kali, sehingga stabilitas nasional menjadi sangat terganggu. Pergantian kabinet itu dapat dikemukakan berikut ini. (1) Kabinet Natsir (6 September 1950 sampai dengan 27 April 1951) (2) Kabinet Sukiman (27 April 1951 sampai dengan 3 April 1952) (3) Kabinet Wilopo (3 April 1952 sampai dengan 1 Agustus 1953) (4) Kabinet Alisastroamidjojo I (1 Agustus 1953 sampai dengan 12 Agustus 1955) (5) Kabinet Burhannudin Harahap (12 Agustus 1955 sampai dengan 24 Maret 1956) (6) Kabinet Alisastroamidjojo II (24 Maret 1956 sampai dengan 9 April 1957) (7) Kabinet Djuanda (9 April 1957 sampai dengan 10 Juli 1959). Seperti halnya dengan Konstitusi RIS tahun 1949, Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun1950 juga bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini disebutkan dalam Pasal 134, di mana diharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar yang berlaku saat itu, yaitu UUDS 1950. Berbeda dengan pada masa berlakunya Konstitusi RIS tahun 1949 yang tidak sempat merealisasikan pembentukan konstituante atau lembaga pembentuk undang-undang dasar, di bawah UUDS 1950 sebagai realisasi dari Pasal 134, pemilihan umum berhasil dilaksanakan. Pemilihan umum pertama di Indonesia diadakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam Dewan Konstituante yang akan membentuk Undang-Undang Dasar baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstituante sebagi Dewan Penyusun Undang-Undang dasar dalam sidangnya sejak tahun 1956 sampai tahun 1959 belum berhasil membuat undang-undang dasar baru karena selalu mengalami kesulitan, yaitu tidak pernah tercapai kesepakatan. Pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah mencapai suara dari jumlah anggota Konstituante. Keadaan ini jika diteruskan akan menemui jalan buntu dan membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, Presiden Soekarno mencari jalan 142 keluarnya dengan mengekuarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisikan pernyataan sebagai berikut: (i) menetapkan pembubaran Konstituante, (ii) menetapkan UUD 1945 berlaku lagi terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit, dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, serta (iii) menetapkan dalam waktu sesingkatsingkatnya pembentukan MPRS dan DPAS. Dekrit ini mendapat dukungan sebagian besar rakyat Indonesia. Yang lebih penting lagi, melalui Dekrit ini terjadi perubahan ketatanegaraan Indonesia, yaitu naskah Undang-Undang Dasar 1945 menjadi berlaku kembali sebagai hukum tetinggi dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Republik Indonesia Keempat: UUD 1945 Orde Lama (1959-1965) Ciri-ciri periode ini ialah adanya dominasi yang sangat kuat dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Undang-Undang Dasar 1945 memberi kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurangkurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang menggantikan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum ditonjolkan peranannya sebagai pembantu presiden, sedangkan fungsi kontrolnya ditiadakan. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri sehingga fungsi mereka lebih sebagai pembantu presiden dari pada wakil rakyat. Kuatnya posisi presiden juga merambah dalam bidang-bidang lain di luar bidang eksekutif. Berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1964 presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif. Di samping itu, masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dibeberkan oleh Miriam Budiardjo (2007: 71). Puncaknya pecahnya peristiwa G 30 S/PKI telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka jalan untuk di mulainya masa demokrasi Pancasila. Republik Kelima : UUD 1945 Orde Baru (1966-1998) Pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Suharto menimbulkan perubahan orde dari orde lama ke orde baru. Implementasi Undang-Undang Dasar 1945 mengalami beberapa koreksi. Orde baru mempunyai tekad untuk melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada masa orde lama. Pada mulanya orde baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Rakyat pun dapat merasakan adanya peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan melalui serangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan repelita. Namun dalam perjalanannya, orde baru berubah wajah menjadi kekuasaan yang otoriter. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 dimanipulasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. UndangUndang Dasar 1945 yang singkat dan fleksibel mudah disalahtafsirkan dan menguntungkan penguasa, disakralkan untuk tidak diamandemen bukan demi kebaikan rakyat, tetapi demi kekuasaan itu sendiri. Pengalaman pada masa orde 143 lama, dengan Undang-Undang Dasar 1945 posisi presiden yang sangat kuat, terulang lagi pada masa orde baru. Posisi legislatif berada di bawah presiden. Hak asasi rakyat juga dibatasi. Kekuasaan tanpa kontrol akibatnya pemerintahan orde baru cenderung melakukan penyimpangan di berbagai aspek kehidupan. Korupsi kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Akibatnya, terjadi ketidakmerataan hasil pembangunan, melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin, utang semakin membengkak, dan akhirnya menumpuk menjadi krisis multidimensi. Dengan dipelopori oleh mahasiswa, rakyat menuntut reformasi di segala bidang. Akhirnya rezim orde baru tumbang dengan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Republik Keenam : UUD 1945 Diamandemen (1998-sekarang) Pengalaman sejarah pada masa lalu, baik masa orde lama maupun masa orde baru, menunjukkan bahwa penerapan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki sifat multiinterpretable atau dengan kata lain ber-wayuh arti mengakibatkan terjadinya sentralisasi kekuasaan di tangan presiden. Hal ini yang melatarbelakangi perlunya dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen merupakan keharusan karena hal itu akan mengantar bangsa Indonesia kearah tahapan baru penataan terhadap ketatanegaraan (Kaelan, 2004: 177). Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak tahun 1999, di mana amandemen yang pertama dilakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap 9 pasal Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000, amandemen ketiga dilakukan tahun 2001, dan amandemen terakhir dilakukan tahun 2002 dan disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Oleh karena itu, naskah resmi Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 menurut Jimly Assiddiqie (2007: 98) terdiri atas lima naskah, yaitu (i) naskah Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, (ii) naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang disahkan pada tahun 1999, (iii) naskah Perubahan Kedua UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2000, (iv) naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001, dan (v) naskah Perubahan Keempat UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2002. Kajian Hasil Amandemen UUD 1945 Meskipun tuntutan amandemen terhadap UUD 1945 semakin menguat, MPR sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 tidak gegabah dalam melaksanakannya demi menjaga kelangsungan hidup negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melakukan amandemen ada kesepakatan bersama anggota MPR yang dituangkan dalam kesepakatan dasar anggota Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR dalam menyusun rancangan naskah perubahan UUD 1945, yaitu (i) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, (ii) tetap mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia, (iii) mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial, (iv) penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal, dan (v) perubahan dilakukan dengan cara adendum ( Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2003: 25). 144 Proses amandemen UUD 1945 terjadi secara bertahap selama empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Amandemen pertama yang disahkan pada 19 Agustus 1999, berisi sembilan pasal. Ketentuan yang diubah dalam kesembilan pasal tersebut berkenaan dengan 16 butir. Amandemen kedua UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000 berkenaan dengan 59 butir ketentuan yang diatur dalam 25 pasal. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada 9 November 2001 menyangkut 23 pasal yang berkaitan dengan 68 butir ketentuan. Amandemen keempat UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002 menyangkut 18 pasal yang berkenaan dengan 31 butir ketentuan (Jimly Assidiqie, 2007: 101). Keseluruhan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 itu pada dasarnya meliputi (i) ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, serta mekanisme hubungannya dengan negara dan prosedur untuk mempertahankannya apabila hak-hak itu dilanggar, (ii) prinsipprinsip dasar tentang demokrasi dan rule of law serta mekanisme perwujudannya dan pelaksanaannya, seperti melalui pemilihan umum, dan lain-lain, serta (iii) format kelembagaan negara dan mekanisme hubungan antar organ negara serta sistem pertanggungjawaban para pejabatnya. Dengan perkataan lain, menurut Jimly Assidiqie (2007:115), apa yang diatur dalam amandemen pertama sampai dengan amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 mencakup semua hal yang menjadi pokok materi semua undang-undang dasar negara modern di dunia. Dengan amandemen UUD 1945, lembaga MPR mengalami transformasi kedudukan dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga permusyawaratan rakyat yang lebih lemah kedudukannya. MPR menjadi salah satu organ negara yang menjalankan tugas-tugas konstitusional yang kedudukannya sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. MPR secara sukarela mengurangi kekuasaannya sendiri berdasarkan Undang-Undang Dasar, misalnya, Presiden dan Wakil Presiden yang semula dipilih oleh MPR diubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat. MPR mengurangi lagi kewenangannya sendiri dengan menegaskan status hukum dan materi ketetapan MPR/S yang pernah ditetapkan dan sekaligus mengakhiri kewenangannya sendiri untuk menetapkan ketetapan MPR yang bersifat mengatur di masa-masa selanjutnya. Setelah amandemen MPR hanya memiliki kekuasaan melakukan perubahan undang-undang dasar, melantik presdien dan wakil presiden, dan memberhentikan presiden/wakil presiden seusai masa jabatannya atau jikalau melanggar konstitusi. Oleh karena itu, presiden bersifat Neben bukan Untergeornet dengan MPR karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. Susunan keanggotaan MPR mengalami perubahan dari yang semula terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan, menjadi anggota DPR ditambah dengan DPD. Pengurangan wewenang MPR merupakan konsekuensi logis dari perubahan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut UndangUndang Dasar. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam negara Republik Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah ditangan rakyat dan realisasinya diatur dalam undang-undang dasar negara. Sebelum dilakukan amandemen kekuasaan tertinggi dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pembagian kekuasaan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut: (i) kekuasaan eksekutif didelegasikan kepada presiden (Pasal 4 ayat (1) 145 UUD 1945), (ii) kekuasaan legislatif didelegasikan kepada presiden, DPR dan DPD (Pasal 5 ayat (1), pasal 19 dan pasal 22C UUD 1945), (iii) kekuasaan yudikatif didelegasikan kepada Mahkamah Agung (pasal 24 ayat (1) UUD 1945), (iv) kekuasaan inspektif atau pengawasan didelegasikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat (UUD 1945 pasal 20 A ayat (1) yang menyatakan bahwa …. DPR juga memiliki fungsi pengawasan, yang artinya DPR melakukan pengawasan terhadap Presiden selaku eksekutif), serta (v) UUD 1945 hasil amandemen tidak ada kekuasaan konsultatif, yang sebelum diamandemen didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung karena berdasarkan kenyataan pelaksanaan kekuasaan konsultatif tidak jelas fungsinya. Menurut Kaelan (2004:184), mekanisme pendelegasian yang demikian ini dalam khasanah ilmu hukum tatanegara dan ilmu politik dikenal dengan istilah distribution of power yang merupakan salah satu unsur mutlak dari negara demokrasi. Dalam kaitan dengan kekuasaan kehakiman ada dua lembaga baru setelah amandemen UUD 1945, yaitu Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial ialah suatu komisi yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Keanggotaan Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi merupakan langkah maju dalam lembaga peradilan di Indonesia (Kaelan, 2004: 205). Kekurangcermatan para perumus amandemen UUD 1945 adalah mengenai Pasal 28 yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Menurut latarbelakang perumusannya pada tahun 1945 dulu, pasal ini dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi dengan modifikasi sedemikian rupa sehingga tidak langsung selesai dengan pemuatannya dalam UUD 1945. Menurut Jimly Assidiqie (2007: 135) jaminan hak asasi manusia dimaksud masih digantungkan kepada pengaturannya lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan amandemen UUD 1945, substansi ketentuan pasal 28 dimuat secara tegas dalam pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Seharusnya rumusan Pasal 28 tersebut dihilangkan karena telah digantikan oleh Pasal 28E ayat (3). Kekurangan yang lain adalah mengenai susunan dan sistematika UUD 1945 setelah diamandemen menjadi rancu dan tidak proporsional (Jimly Assidiqie, 2007: 134). Bab III berjudul Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan tentang Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Bab VII, dan untuk Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga baru diciptakan bab baru, yaitu Bab VIIA. Hal itu rancu dan tidak proposional karena DPR, DPD dan MPR itu sama-sama merupakan lembaga negara dalam ranah kekuasaan legislatif. Sementara itu, Bab IV, yang sebelumnya berjudul Dewan Pertimbangan Agung, dihapus sama sekali dari naskah UUD 1945, sehingga susunan UUD 1945 meloncat dari Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara langsung ke Bab V tentang Kementerian Negara. 146 Adanya kekurangan dalam amandemen UUD 1945 adalah merupakan hal yang manusiawi karena banyaknya materi yang diubah, dikurangi, atau ditambah dengan amandemen pertama sampai keempat. Bertolak dari kekurangan inilah, kemudian dibentuk Komisi Konstitusi yang akan membantu melakukan koreksi dan mengatasi kekuarangan-kekurangan itu untuk amandemen mendatang. 147 BAB VII SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DAN BEBERAPA negara TETANGGA Standar Kompetensi: Mengevaluasi berbagai sistem pemerintahan Kompetensi Dasar: (1) Menganalisis sistem pemerintahan di berbagai negara. (2) Menganalisis pelaksanaan sistem pemerintahan negara Indonesia. (3) Mampu menunjukkan sikap kritis terhadap pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia. A. Sistem Pemerintahan 1. Pengertian Sistem Pemerintahan a. Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan (Menurut HukumTata negara) (1) Sistem pemerintahan dalam arti sempit, yakni sebuah kajian yang melihat hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam sebuah negara. Berdasar kajian ini dibedakan dua model pemerintahan yakni, sistem parlementer dan sistem presidensial. (2) Sistem pemerintahan dalam arti luas, yakni suatu kajian pemerintahan negara yang betolak dari hubungan antara semua organ negara, termasuk hubungan antara pemerintah pusat dengan bagian-bagian yang ada di dalam negara. Bertitik tolak dari pandangan ini sistem pemerintahan negara dibedakan menjadi negara kesatuan, negara serikat (federal), dan negara konfederasi. (3) Sistem pemerintahan dalam arti sangat luas, yakni kajian yang menitik beratkan hubungan antara negara dan rakyat. Berdasar kajian ini dapat dibedakan sistem pemerintahan monarki, pemerintahan aristokrasi dan pemerintahan demokrasi. b. Sistem Pemerintahan Menurut Para Ahli (1) Aristoteles membagi bentuk pemerintahan menurut jumlah orang yang memerintah dan sifat pemerintahannya menjadi enam, yakni monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, republik (politea), dan demokrasi. (2) Polybius membagi bentuk pemerintahan menurut jumlah orang yang memerintah serta sifat pemerintahannya. Berdasar sudut pandang ini dapat dibedakan enam jenis pemerintahan, yakni monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan anarki (oklokrasi). (3) Kranenburg menyatakan adanya ketidakpastian penggunaan istilah monarki dan republik untuk menyebut bentuk negara atau bentuk pemerintahan. (4) Leon Duguit membagi bentuk pemerintahan berdasarkan cara penunjukan kepala negaranya, yakni sistem republik yang kepala negaranya diangkat lewat pemilihan dan sistem monarki yang kepala negaranya diangkat secara turun temurun. 148 (5) Jellinec membagi bentuk pemerintahan menjadi dua, yakni republik dan monarki. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Leon Duguit. 2. Perbandingan SistemPemerintahan a. Perbedaan Parlementer dan Presidensial Sistem pemerintahan palementer adalah sistem pemerintahan yang badan eksekutif dan legislatif (pemerintah dan parlemen/DPR) memiliki hubungan yang bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang badan legislatif dan badan eksekutif boleh dikatakan tidak terdapat hubungan seperti pada sistem pemerintahan parlementer. Sistem Pemerintahan Presidensial pada umumnya memiliki ciri sebagai berikut: (i) kekuasaan pemerintahan terpusat pada satu orang, yaitu presiden, sehingga presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, (ii) presiden dibantu oleh menteri-menteri yang diangkat dan bertanggung jawab kepadanya, (iii) masa jabatan presiden ditetapkan dalam jangka waktu tertentu, serta (iv) presiden dan para menteri tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR. Sistem pemerintahan presidesial diterapkan di Amerika Serikat, Filipina, dan Indonesia pada saat ini. Sistem Pemerintahan Parlementer memiliki ciri sebagai berikut: (i) kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat, (ii) kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen, (iii) susunan anggota dan program kabinet didasarkan atas suara terbanyak dalam parlemen, (iv) kabinet dapat dijatuhkan atau dibubarkan setiap waktu oleh parlemen, dan (v) kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak terletak dalam satu tangan atau satu orang. Sistem pemerintahan parlementer diterapkan di negara Inggris, Eropa Barat, dan Indonesia ketika berlaku UUD RIS dan UUDS 1950. Menurut S.L. Witman, seperti dikutip Inu Kencana Syafi‘i (2001), terdapat empat ciri yang membedakan sistem pemerintahan parlementer dan presidensial. Sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri sebagai berikut: (i) didasarkan pada prinsip kekuasaan yang menyebar (diffusion of power), (ii) terdapat saling bertanggung jawab antara eksekutif dengan parlemen atau legislatif, sehingga eksekutif (perdana menteri) dapat membubarkan parlemen, begitu pula parlemen dapat memberhentikan kabinet (dewan menteri) ketika kebijakannya tidak diterima oleh mayoritas anggota parlemen, (iii) juga terdapat saling bertanggung jawab secara terpisah antara eksekutif dengan parlemen dan antara kabinet dengan parlemen, serta (iv) eksekutif (perdana menteri, kanselir) dipilih oleh kepala negara (raja/ratu/presiden) yang telah memperoleh persetujuan dan dukungan mayoritas di parlemen. Sistem pemerintahan presidensial memiliki ciri sebagai berikut: (i) didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), (ii) eksekutif tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan parlemen maupun ia (eksekutif) harus berhenti ketika kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen, (iii) tidak ada hubungan saling bertanggung jawab antara presiden dan kabinetnya kepada parlemen; kabinet secara keseluruhan bertanggung jawab kepada presiden (chief executive), (iv) eksekutif dipilih oleh para pemilih (para pemilih dimaksudkan adalah rakyat yang melakukan pemilihan secara langsung atau pemilihan secara tidak langsung melalui dewan pemilih (electoral college). 149 Penyebaran kekuasaan (diffusion of power) sebagai salah satu ciri sistem pemerintahan parlementer tampak pada pemerintahan koalisi multipartai. Apabila koalisi terjadi karena proses negoisasi yang intensif, hal itu akan melahirkan konsensus yang kuat dan akan memberikan sumbangan terwujudnya kehidupan politik yang stabil. Di dalam sistem kekuasaan yang menyebar, di samping memperlihatkan dinamika politik yang tinggi karena berpotensi untuk melahirkan veto, apabila masing-masing kekuatan politik tidak bijaksana dapat saja melahirkan jalan buntu yang menimbulkan ketidakstabilan politik. Sebaliknya, pemisahan kekuasaan (separation of power) pada sistem pemerintahan presidensial cenderung meminimalkan veto dan jalan buntu karena adanya check and balance (saling kontrol dan saling imbang) antarlembaga tinggi negara sehingga dapat dicegah diktatorisme. Sebaiknya Anda Tahu Negara-Negara dengan sistem Parlementer 1. Inggris (1) Kepala negara dipegang oleh Ratu yang bersifat simbolis dan tidak dapat diganggu gugat. (2) Peranan perundang-undangan dalam penyelenggaraan negara lebih banyak bersifat konvensi (peraturan tidak tertulis). (3) Kekuasaan pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri yang memimpin menteri atau sering disebut Cabinet Government (pemerintahan kabinet). Perdana menteri mempunyai kekuasaan cukup besar, antara lain: (a) memimpin kabinet yang anggotanya telah dipilihnya sendiri; (b) membimbing Majelis Rendah; (c) menjadi penghubung dengan Ratu; (d) memimpin partai mayoritas. (4) Kabinet yang tidak memperoleh kepercayaan dari badan legislative harus segera meletakkan jabatan. (5) Perdana Menteri sewaktu-waktu dapat mengadakan pemilihan umum sebelum masa jabatan Parlemen yang lamanya lima tahun berakhir. (6) Hanya ada dua partai besar (Partai konservatif dan Partai Buruh), sehingga partai yang memenangkan pemilu di beri hak untuk memerintah, partai yang kalah sebagai oposisi. 2. Prancis (1) Kedudukan presiden kuat, karena dipilih langung oleh rakyat. (2) Kepala negara dipegang Presiden dengan masa jabatan selama tujuh tahun. (3) Presiden diberi wewenang untuk bertindak pada masa darurat dalam menyelesaikan krisis. (4) Jika terjadi pertentangan antara kabinet dengan legislative, presiden boleh membubarkan legislative. (5) Jika ada suatu UU yang telah disetujui legislative, namun tidak disetujui presiden, maka dapat diajukan langsung kepada rakyat melalui referendum atau diminta pertimbangan dari Majelis Konstitusional. (6) Penerimaan mosi dan interpelasi dipersukar, misalnya sebelum sebuah mosi boleh diajukan dalam sidang badan legislative, harus didukung oleh 10% dari jumlah anggota badan itu. (7) Sistem pemerintahan Prancis ini sebenarnya bukan parlementer murni. Tetapi pemisahan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan memang menunjukkan cirri parlementer. 150 3. India (1) Badan eksekutif terdiri dari seorang presiden sebagai kepala negara dan menterimenteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. (2) Presiden dipilih untuk masa jabatan lima tahun oleh anggota-anggota badan legislative baik di pusat maupun di negara-negara bagian. (3) Penyelenggaraan pemerintahannya sangat mirip dengan Inggris dengan model Cabinet Government. (4) Pemerintah dapat menyatakan keadaan darurat dan pembatasan-pembatasan kegiatan bagi para pelaku politik dan kegiatan media massa agar tidak mengganggu usaha pembangunan. b. Sistem Presidensial Menurut UUD 1945 Di dunia ini tidak ada sistem pemerintahan kembar. Meskipun suatu negara menggunakan sistem presidensial, antara negara yang satu dan yang lainnya pasti terjadi variasi dan modifikasi sesuai kondisi setempat serta konstitusinya. Jika kita perhatikan lebih lanjut, ternyata dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia juga sedikit berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial Filipina dan Amerika Serikat misalnya. Sebagai contoh, Presiden Republik Indonesia memiliki fungsi yang begitu banyak dan penting. Fungsi Presiden menurut UUD 1945, meliputi (i) sebagai kepala negara, presiden melakukan fungsi simbolis dan seremonial mewakili bangsa dan negara, (ii) sebagai kepala eksekutif, memimpin kabinet dan birokrasi dalam melaksanakan kebijakan umum, (iii) sebagai kepala eksekutif, mengajukan rancangan undang-undang kepada legislatif, (iv) sebagai panglima tertinggi angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara, dan (v) sebagai pemimpin dalam perumusan kebijakan luar negeri. Apabila kita cermati Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selain sebagai presiden dan wakil presiden beliau masih memiliki fungsi tambahan, yakni sebagai pemimpin partai politik. Megawati saat itu sebagai ketua umum PDIP dan Jusuf Kalla sebagai ketua umum Partai Golkar. Meskipun tidak dalam konstitusi (UUD 1945) tidak ada diktum yang melarang seorang presiden dan wapres sebagai pemimpin partai politik, seharusnya dalam kepemimpinannya lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan partainya. Dengan kata lain, ketika seseorang telah menjabat sebagai presiden atau jabatan publik yang lain, ia telah menjadi pemimpin dan sekaligus menyediakan dirinya untuk mengabdi kepada publik (rakyat). Karena kekuasaan presiden sebagaimana tercermin dalam sistem pemerintahan presidensial begitu besar dan menentukan, banyak pemikiran yang berkembang sebaiknya jabatan sebagai pemimpin partai (ketua partai politik) ditinggalkan agar dapat sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara. Jika seorang presiden dan wapres masih tetap menjabat juga sebagai ketua partai politik, dikhawatirkan akan memanipulasi jabatannya untuk kepentingan partai politiknya. Contoh negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial tetapi presidennya tidak sekaligus menjadi ketua partai politik adalah Amerika Serikat. Menurut Maurice Duverger, dalam praktik pemerintahan dapat terjadi dua kemungkinan, yaitu presiden kuat atau sebaliknya lemah. Sebagai contoh, Presiden Austria, Islandia, dan Irlandia itu lemah meskipun mereka dipilih oleh rakyat karena dalam praktiknya pemerintahan-pemerintahan demokrasi ini bersifat parlementer. Prancis dengan kedudukan presidennya yang kuat memiliki 151 pemerintahan presidensial (sebelum tahun 1980). Kemudian, Prancis memasuki periode pemerintahan gabungan (1986 – 1988) ketika Presiden Francois Mitterand kehilangan suara mayoritasnya di majelis nasional dan terpaksa mengangkat lawan politiknya yang utama, Jacques Chirac untuk jabatan perdana menteri. Chirac menjadi kepala pemerintahan sehingga kekuasaan Mitterand berkurang dan hanya memegang peranan khusus dalam politik luar negeri. Dengan demikian, demokrasi Prancis telah bergeser ke pola parlementer; setidaknya untuk sementara waktu. Dari kasus ini kemudian melahirkan sistem pemerintahan semi presidensial. c. Perbedaan Pemerintahan Monarki dan Republik Bentuk pemerintahan modern menurut Jelinec dan Leon Duguit dibagi menjadi dua, yakni kerajaan atau monarki dan republik. Monarki adalah negara yang dikepalai oleh seorang raja secara turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Selain raja, kepala negara monarki dapat dipimpin oleh kaisar (Jepang), syah (Iran), ratu (Inggris, Belanda), Emir (Kuwait), atau Sultan (Brunai Darussalam). Contoh negara monarki adalah Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, Jepang, Inggris, Belanda, Swedia, Norwegia, Monako, Maroko, Arab Saudi, Kuwait, Jordania, Belgia, Denmark dan sebagainya. Pemerintahan monarki dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (i) monarki absolut, (ii) monarki konstitusional, dan (iii) monarki parlementer. Monarki absolut ialah sistem pemerintahan yang wewenang dan kekuasaan raja tidak terbatas. Perintah raja merupakan UU yang harus dilaksanakan. Sistem ini dilaksanakan di Eropa sebelum Revolusi Prancis, maupun kerajaan di Nusantara pada masa lalu. Monarki konstitusional ialah sistem pemerintahan yang kekuasaan rajanya dibatasi oleh konstitusi (UUD). Tindakan raja harus sesuai dan berdasar pada konstitusi, misalnya Saudi Arabia dan Denmark. Monarki parlementer ialah pemerintahan yang dikepalai oleh raja dan disamping raja ada parlemen. Kekuasaan raja sangat terbatas karena dibatasi oleh konstitusi. Parlemen ini juga sebagai wadah para menteri, baik sendiri maupun bersama-sama bertanggungjawab. Raja hanya sebagai lambang kesatuan negara. Contohnya adalah Inggris, Belanda, Jepang dan Thailand. Istilah republik berasal dari bahasa Latin res publica yang berarti ‗kepentingan umum‘. Negara republik ialah negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang presiden yang dipilih dari rakyat, oleh rakyat, untuk masa jabatan tertentu. Contoh negara yang menerapkan sistem ini adalah Indonesia, Filipina, Amerika Serikat, dan Jerman. Sistem pemerintahan republik dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu (i) republik presidensial, (ii) republik parlementer, dan (iii) republik absolut. Republik presidensial memiliki ciri utama sebagai berikut. Kepala negara dan kepala pemerintahannya dipegang oleh satu orang, yakni presiden. Para menteri bertanggung jawab kepada presiden. Biasanya presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tertentu dan menjalankan pemerintahan berdasar UUD dan UU. Contohnya Indonesia, Amerika Serikat, dan Filipina. Republik parlementer memiliki ciri utama sebagai berikut. Presiden sebagai kepala negara, sedangkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Para menteri di bawah komando perdana menteri dan bertanggungjawab kepada parlemen. Contohnya adalah Italia dan India serta Pakistan. Republik absolut merupakan sistem pemerintahan yang sudah banyak 152 ditinggalkan. Contohnya adalah Republik Jerman semasa pemerintahan Hitler ataupun Republik Italia dibawah Musolini. 3. Parlementer dan Presidensial Model Pemerintahan Paling Populer Seperti telah diuraikan di muka, ada dua tipe sistem pemerintahan yang berkembang dalam zaman modern, yaitu parlementer dan presidensial. Inggris dikenal paling berpengalaman mengembangkan sistem pemerintahan parlementer, sedangkan Amerika Serikat dikenal paling berpengalaman dalam mengembangkan sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sering dijadikan acuan oleh berbagai negara berkembang dalam mengembangkan kedua sistem pemerintahan tersebut. Kedua sistem atau bentuk pemerintahan tersebut merupakan perwujudan trias politica. Dalam trias politica kekuasaan pemerintah dibagi menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Masing-masing kekuasaan diserahkan kepada sebuah badan yang terpisah satu sama lain sehingga dapat saling mengawasi dan mengimbangi untuk mencegah pemerintahan yang otoriter. Oleh karena itu, pemerintahan, baik dengan sistem parlementer maupun sistem presidensial, termasuk dalam kategori pemerintahan yang menganut sistem politik demokrasi. Dalam sistem parlementer di Inggris, yang memegang kekuasaan eksekutif adalah perdana menteri. Perdana menteri merupakan ketua partai mayoritas dalam parlemen (badan legislatif). Partai minoritas menjadi partai oposisi. Perdana menteri beserta para menteri, baik bersama-sama maupun masing-masing, bertanggung jawab kepada parlemen. Kalau terjadi konflik antara kabinet dan parlemen, yang memutuskan adalah rakyat lewat pemilihan umum yang dapat diadakan sewaktu-waktu. Parlemen Inggris terdiri atas perwakilan kaum bangsawan (House of Lords) dan rakyat biasa (House of Commons). Karena fungsi House of Lords dan House of Commons merupakan pengejawantahan dari fungsi parlemen, parlemen seperti itu dikenal sebagai parlemen yang menganut sistem dua kamar. Di sisi lain, dalam tipe Amerika Serikat, kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden yang dipilih oleh rakyat. Para menteri diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada presiden. Pemegang kekuasaan eksekutif adalah kongres (conggres). Kongres terdiri atas senat (perwakilan negara bagian) dan perwakilan rakyat atau DPR (House of Representatives). Senat dan House of Representatives melakukan fungsi kongres. Oleh karena itu, Amerika Serikat menganut sistem dua kamar, seperti Inggris. Di Amerika, pemegang kekuasaan yudikatif adalah mahkamah agung. Ketiga lembaga negara tersebut di atas, memegang kekuasaan yang berbeda-beda dan terpisah satu sama lain. Conggres membuat undang-undang, presiden melaksanakan undang-undang, mahkamah agung mengadili pelanggaran undang-undang. Masing-masing lembaga merupakan lembaga tertinggi di bidang masing-masing. Dalam model sistem presidensial Amerika Serikat, fungsi-fungsi kelembagaan negara mempergunakan sistem saling kontrol dan saling imbang (check and balance). Check and balance dirancang untuk memperbolehkan tiap lembaga negara membatasi kekuasaan yang lain. Misalnya, presiden bisa memveto langkah-langkah kongres, baik pada tataran konstitusional maupun kebijakan. Veto presiden tidak dapat diruntuhkan oleh 2/3 tanpa suara di Dewan Perwakilan 153 Rakyat (House of Representatives) dan senat. Hal ini tidak hanya memberi kesempatan untuk mengawasi kongres, namun juga memungkinkannya untuk lebih dulu mengimbangi kepentingan legislatif; terutama jika kongres dikuasai partai oposisi. Dengan begitu, kongres akan memasukkan keberatan dalam pertimbangan sebelum peraturan tersebut diloloskan, untuk menghindari veto keluar. Pengawasan presiden pada pengadilan federal dilakukan melalui kekuasaannya untuk mengangkat hakim-hakim federal baru dan hakim mahkamah agung. Efek pengangkatan ini adalah untuk menyingkirkan rintangan federal yang ditujukan pada penafsirannya atas undang-undang dan konstitusi saat hakim agung yang diangkatnya makin banyak jumlahnya. Penerapan sistem check and balance juga membatasi prerogatif kepresidenan. Perintah eksekutif kepresidenan, misalnya saja, harus sesuai dengan undangundang atau ia tidak akan bisa diperlakukan oleh pengadilan federal. Penunjukan yang dilakukan presiden untuk jabatan tinggi harus disetujui mayoritas suara senat. Begitu pula ketika presiden membuat traktat harus memperoleh persetujuan 2/3 anggota senat. Pengadilan federal juga bisa menyatakan tidak sah atas kesepakatan eksekutif dengan alasan perintah itu tidak konstitusional. Presiden juga bisa dipecat (impeachment) jika melakukan kejahatan dan pelanggaran berat lainnya (high crimines and misdemeanors). Kejahatan berat yaitu kejahatan melawan negara, seperti pengkhianatan, sedangkan perbuatan tercela yang berat adalah korupsi besar dan pemerintahan yang salah urus. Dalam pemerintahan Amerika Serikat, tidak ada pemecatan karena mendapat mosi tak percaya dari legislatif (seperti halnya yang tersirat dalam kehilangan suara kepercayaan dalam seluruh sistem parlementer). Impeachment bukan forum pertanggungjawaban politik mengenai kebijakan pemerintah, tetapi merupakan pertanggungjawaban hukum, yakni pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum. Proses impeachment (pemecatan dalam masa jabatan) diawali dengan dakwaan oleh suara mayoritas Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya disidangkan di senat, dengan pimpinan sidang kepala Mahkamah Agung Amerika Serikat. Jika terbukti bersalah, presiden dikenai hukuman berupa pemecatan dari jabatannya. Dalam sejarah Amerika Serikat hanya ada tiga presiden yang menghadapi impeachment, yaitu Andrew Johnson pada tahun 1968 yang dibebaskan atas tuduhan melanggar Undang-Undang Masa Jabatan di Kantor Pemerintahan (Tenure of Office Act) yang disusun untuk mencegah presiden memecat sekretaris kabinet sampai senat menyetujui penggantinya. Richard Nixon mengundurkan diri pada tahun 1974 setelah Dewan Komisi Pengadilan menyetujui impeachment karena kasus menutupi kejahatan dan pencurian di Watergate. Bill Clinton dibebaskan dari tuduhan oleh senat di tahun 1999 setelah di-impeach oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk sumpah palsu dan penghalangan proses keadilan dalam kesaksiannya dalam kasus gugatan di pengadilan sipil. Sistem pemerintahan parlementer dan presidensial tersebar ke dunia ketiga setelah Perang Dunia II. Negara-negara baru yang semula sebagai negara jajahan banyak terpengaruh oleh tipe sistem pemerintahan Inggris atau Amerika Serikat, meskipun bentuknya tidak selalu sama karena telah dipengaruhi oleh unsur-unsur setempat. Unsur setempat yang terutama adalah latar belakang budaya suatu bangsa. Budaya melatarbelakangi dan menentukan dominasi konstitusi, yaitu pada eksekutif (presiden) atau legislatif (DPR). Jika menurut latar belakang budaya, 154 eksekutif yang dominan, negara yang bersangkutan cenderung akan menganut sistem presidensial, misalnya Filipina. Sebaliknya, jika legislatif yang dominan, cenderung akan mengembangkan sistem parlementer seperti yang berlaku di Australia, Srilanka, India, dan Selandia Baru. Negara-negara di dunia yang menganut sistem presidensial jumlahnya lebih kecil dibandingkan yang menganut sistem parlementer. Hal ini dikarenakan sistem parlementer lebih mampu menjamin stabilitas politik; terutama di negara-negara yang tingkat partisipasi politiknya tinggi, meskipun perkembangan ekonominya masih belum begitu maju. Sistem presidensial tampak akan lebih efektif ketika ada kekuatan mayoritas. Namun bagi bangsa-bangsa yang terpecah oleh berbagai konflik dan menganut sistem multipartai dengan perwakilan proporsional yang dapat memungkinkan pembentukan koalisi-koalisi akan mengundang sistem presidensial yang kurang efektif. 4. Sistem Pemerintahan di Berbagai negara a. Sistem Pemerintahan Amerika Serikat Amerika Serikat adalah negara yang berbentuk federasi dan pemerintahannya berbentuk republik. Setiap warga negara Amerika Serikat memiliki hak yang sama untuk menjadi presiden. Sebagai negara federasi, Amerika Serikat terdiri dari lebih kurang 50 negara bagian dan masing-masing negara bagian dikepalai seorang gubernur. Garis besar sistem pemerintahan Amerika Serikat adalah sebagai berikut. (1) Kekuasaan eksekutif di Amerika Serikat di pegang oleh presiden. Amerika Serikat menganut sistem presidensial, sehingga kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan menjalankan pemerintahan berpedoman kepada UUD dan UU serta bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam menjalankan roda pemerintahan presiden Amerika Serikat diawasi oleh Congress. Kabinet (para menteri) ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan senat dan bertanggung jawab kepada presiden. (2) Kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Congress (parlemen) yang terdiri dari dua kamar (bicameral), yaitu terdiri dari Senat (utusan negara-negara bagian), dan dewan perwakilan rakyat (House of Representative). Anggota dewan perwakilan rakyat dipilih setiap empat tahun dan mewakili seluruh rakyat Amerika Serikat; bukan mewakili rakyat negara bagian. Senat terdiri dari 100 orang sebagai utusan negara bagian. Setiap negara bagian diwakili oleh 2 orang senator. Masa jabatan senator enam tahun. (3) Kekuasaan yudikatif di Amerika serikat dijalankan oleh Mahkamah Agung (Supreme of Court) terhadap semua perkara kecuali soal impeachment (proses pemecatan presiden). Asas yang diterapkan adalah persamaan. Selama berkelakuan baik, masa jabatan anggota Supreme of Court adalah seumur hidup. (4) Amerika Serikat adalah penganut asas pemisahan kekuasaan antara legislatif ( congress) yang menjalankan fungsi pembuatan undang-undang dan eksekutif (presiden dan menterinya) yang menjalankan fungsi pemerintahan serta yudikatif (Supreme of Court atau Mahkamah Agung) yang menjalankan fungsi peradilan. Masing-masing lembaga merupakan lembaga tertinggi dalam bidangnya masing-masing. Apabila terjadi konflik antara 155 lembaga legislatif dan lembaga eksekutif, yang harus menjadi penengah adalah lembaga yudikatif. (5) Ketiga lembaga tersebut di atas saling menguji atau membatasi dan mengontrol (check and balance), sehingga tidak ada yang lebih dominan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, legislatif mengawasi tindakan pemerintah dan membuat public policy. Dua kamar yang ada di congress memiliki kedudukan yang sama, sehingga tidak ada putusan yang hanya disetujui oleh salah satu kamar. Undang-undang yang dibuat congress harus mendapat persetujuan presiden. Presiden dalam mengangkat jaksa agung harus mendapat persetujuan 2/3 anggota senat. Presiden dapat dipecat oleh congress. Dalam mengangkat menteri, presiden harus mendapat persetujuan 2/3 anggota senat. b. Sistem Pemerintahan Inggris Inggris dikenal sebagai Mother of Parliements. Setelah runtuhnya Romawi, Inggris merupakan negara yang pertama kali menciptakan parlemen, yaitu sebuah dewan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dengan kekuasaan untuk memecahkan problem sosial ekonomi melalui perdebatan yang bebas dan mengarah pada pembuatan undang-undang. Inggris adalah negara kesatuan yang bentuk pemerintahannya monarki. Hanya keturunan raja dan ratu yang dapat menjadi kepala negara. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah parlementer, sehingga di samping raja atau ratu, ada perdana menteri. Ketua partai yang memenangkan pemilu sekaligus ditunjuk sebagai perdana menteri dan sekaligus sebagai formatur penyusun kabinet. Kabinet yang dibentuk lazim disebut kabinet parlementer karena partai politik yang menguasai kabinet sama dengan partai politik yang memegang mayoritas parlemen (House of Commons). Kedudukan kabinet kuat dan jarang dijatuhkan oleh parlemen sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum berikutnya. Adapun ciri-ciri pemerintahan Inggris adalah sebagai berikut. (1) Konstitusi Inggris tidak tertulis dan terus menerus berevolusi. (2) Bentuk negaranya kesatuan, dengan sebutan United Kingdom, terdiri dari England, Irlandia, Scotlandia, dan Wales. (3) Parlemen terdiri atas dua kamar (bicameral), terdiri dari House of Commons (House of Representative) dan Hause of Lords. (4) Tidak ada yudikatif yang sejajar seperti Amerika Serikat, karena badan peradilan ditunjuk oleh kabinet, tetapi menjalankan tugas dengan bebas dan tidak memihak. Bila terjadi sengketa antara kepala negara dan pemerintah harus diselesaikan lewat parlemen yang terdiri dari dua kamar. (5) Kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak terpisah. Parlemen adalah badan legislatif, serta menjadi bos dari eksekutif. (6) Inggris sangat menghormat prinsip supremasi hukum, dan lembaga oposisi (partai oposisi). (7) Kabinet terdiri dari sekelompok yang dikepalai oleh perdana menteri. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (House of Commons). (8) Mahkota (kekuasaan raja/ratu) hanya sebagai simbol persatuan dan kesatuan nasional, oleh karena itu tidak memiliki kekuasaan politik. 156 (9) Hak-hak sipil yang sangat asasi sangat dilindungi dan dihormati (Habeas Corpus Act). (10) Perdana menteri adalah ketua partai yang memenangkan pemilu dan sekaligus sebagai ketua House of Commons. c. Sistem Pemerintahan Rusia Pemerintahan Rusia sekarang ini mewarisi sistem pemerintahan Uni Soviet yang telah runtuh pada tahun 1990-an. Pemerintahan Rusia saat ini lahir sebagai hasil revolusi pada Oktober 1917: (1) revolusi itu meruntuhkan dan mengganti kekaisaran yang berusia lima abad, (2) revolusi tersebut menghancurkan suatu sistem klas sosial yang sangat pincang dan merombak hubungan antara klas-klas sosial yang ada, (3) revolusi membongkar dominasi gereja Khatolik Ortodok dan menggantinya dengan filosofi materialisme Karl Marx. Beberapa ciri pemerintahan Rusia adalah sebagai berikut. (1) Diktator (Otoriter). Pemerintah menciptakan hukum dan melaksanakannya tanpa partisipasi rakyat. Hanya mengenal satu partai, yakni partai komunis, yang mendominasi semua kegiatan dan keputusan, serta melarang adanya partai lain. (2) Totaliter. Kekuasaan pemerintah meliputi semua bidang kehidupan seperti ekonomi, budaya, sosial, pertahanan, keamanan, seni, dan sastra, sehingga kebebasan individu sangat dibatasi. (3) Sosialis sepenuhnya. Pemerintah menguasai hampir semua faktor produksi dan distribusi. (4) Ideologi. Rusia memegang teguh ideologi Marxisme dan Leninisme. (5) Pemerintah partai komunis biasanya mengumumkan keputusankeputusannya, tetapi merahasiakan langkah-langkah pengambilan keputusan tersebut. Konstitusi Rusia berasal dari tahun 1936 yang menggantikan beberapa konstitusi semenjak tahun 1917. Konstitusi itu tidak dibentuk oleh rakyat Rusia dengan pemungutan suara yang bebas dan juga tidak dimintakan persetujuan rakyat untuk meratifikasinya, tetapi disusun oleh sekelompok kecil pemimpin yang melanggengkan kekuasaannya melalui angkatan bersenjata. Sehubungan dengan hal itu, beberapa ciri pemerintahan Rusia dapat dikemukakan sebagai beeikut. (1) Supreme Rusia. Merupakan organ kekuasaan negara tertinggi dan merupakan badan legislatif negara Rusia yang terdiri dari dua kamar. (2) Presidium. Supreme Rusia memilih sebuah presidium yang merupakan sebuah lembaga kepresidenan kolektif yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Supreme Rusia juga memilih dewan menteri yang menjalankan kekuasaan eksekutif sehari-hari. Presidium dan dewan menteri bekerja bersama-sama. Baik presidium maupun dewan menteri bertanggung jawab pada Rusia Tertinggi (Supreme Rusia). (3) Perdana menteri atau ketua dewan menteri biasanya seorang tokoh partai komunis dan lazimnya dirangkap oleh sekjen partai komunis. (4) Badan kehakiman. Hakim-hakim dari badan kehakiman tinggi (superior court) Rusia dipilih oleh Supreme Rusia dan dapat pula diberhentikan dari jabatannya setiap saat. 157 (5) Jaksa Agung diangkat oleh Supreme Rusia. Jaksa agung sekaligus menjabat kepala penuntut umum Rusia. Jabatan jaksa memiliki kewenangan besar untuk membawahi polisi dan pegawai-pegawai peradilan serta menguasai prosedur dalam peradilan. (6) Pemerintah didominasi partai komunis yang merupakan otak dari negara. Pemerintah merupakan tubuh dari negara, dengan demikian kediktatoran proletariat yang dicita-citakan oleh Marx diganti dengan kediktatoran partai. d. Sistem Pemerintahan Prancis Prancis adalah negara kesatuan dengan bentuk negara republik. Negara Prancis yang sekarang ini merupakan kelanjutan dari negara yang lahir melalui Revolusi Prancis pada tahun 1789 dengan semboyannya yang terkenal liberte (kemerdekaan), egalite (kesetaraan), dan fraternite (persaudaraan). Revolusi besar tersebut telah menumbangkan kekuasaan mutlak raja sehingga pemerintahan negara diserahkan kepada sebuah Assemblee Nationale yang berkuasa penuh dan yang mula-mula tersusun secara unicameral. Sistem parlementer di Prancis menjadikan pemerintahan tidak stabil dan kabinet memiliki umur yang pendek. Berbeda dengan di Inggris dan Belanda yang juga menganut parlementer, tetapi konstitusinya memungkinkan raja membubarkan parlemen jika terjadi perselisihan pemerintah dan parlemen. Prancis memiliki aturan yang sama, tetapi kemungkinan pembubaran parlemen sulit karena harus meminta persetujuan senat. Akhirnya peraturan tertulis itu tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah hukum kebiasaan yang memaksa kabinet mundur bila terjadi perselisihan pemerintah dan parlemen. Karena Prancis memiliki sistem administrasi yang baik serta berpengalaman, pergantian kabinet tidak banyak pengaruhnya bagi stabilitas pemerintahan, meskipun frekuensi perubahan kabinet cukup tinggi. Pemerintahan Prancis memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (1) Prancis adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik. (2) Sistem pemerintahan yang diterapkan parlementer, tetapi tidak murni. (3) Presiden bertanggung jawab kepada parlemen dan ia dipilih oleh rakyat; bukan oleh parlemen. Masa jabatannya tujuh tahun dengan kekuasaan yang sangat besar karena presiden dapat membubarkan parlemen, tetapi parlemen tidak dapat memecat presiden. (4) Di bawah presiden ada dewan menteri yang disebut kabinet yang berfungsi sebagai pelaksana operasional pemerintahan. Menteri diangkat dan berada di bawah pimpinan presiden, tetapi dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi. (5) Perdana menteri yang memimpin kabinet diangkat oleh presiden dari partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu. (6) Adanya pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). (7) Parlemen dua kamar (bicameral), yang terdiri dari sidang nasional dan senat. Parlemen dapat menjatuhkan mosi terhadap menteri. (8) Ketua Mahkamah Agung merupakan pemimpin badan peradilan, sedangkan presiden sebagai ketua kedua dan menteri kehakiman sebagai wakil ketua. 158 (9) Terdapat dewan konstitusi yang beranggotakan sembilan orang (tiga orang diangkat presiden, tiga orang diangkat ketua dewan nasional, tiga orang lainnya diangkat senat). Tugas dewan konstitusi adalah mengawasi ketertiban dalam proses pemilihan presiden dan parlemen, mengawasi pelaksanaan referendum, serta mengawasi agar tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. (10) Pemerintah daerah dilaksanakan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi. (11) Kekuasaan kehakiman berada di tangan para hakim yang diangkat oleh eksekutif. e. Sistem Pemerintahan Thailand Thailand adalah negara yang berbentuk kesatuan dan pemerintahannya berbentuk monarki. Berdasar konstitusi 1974, Thailand menerapkan sistem pemerintahan parlementer dengan ciri sebagai berikut. (1) Kepala negara Thailand adalah raja, yang merupakan lambang kesatuan identitas nasional. Sedang kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri dengan kekuasaan yang cukup besar. Perdana menteri diangkat oleh raja. Dewan menteri harus mendapat dukungan dari parlemen. Apabila parlemen tidak mempercayainya lagi maka kabinet harus meletakkan jabatan. (2) Badan legislatif dipegang oleh “sidang nasional‖ yang bersifat bicameral, terdiri dari senat dan badan perwakilan. Masa jabatan enam tahun dan separuh dari jumlah anggota senat diganti atau diangkat kembali setiap tiga tahun. Parlemen dipilih langsung dalam pemilihan umum untuk masa jabatan empat tahun. (3) Badan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung yang beranggotakan hakim-hakim yang diangkat oleh raja. Mahkamah tersebut merupakan mahkamah tertinggi baik untuk perkara perdata maupun pidana. f. Sistem Pemerintahan Malaysia Federasi Malaysia dibentuk 16 September 1963 yang terdiri dari federasi Malaya, Serawak, Sabah, dan Singapura (Singapura berdiri sendiri Agustus 1965). Saat ini federasi Malaysia terdiri dari 13 negara bagian. Konstitusi Malaysia menetapkan sistem pemerintahan federal di bawah monarki konstitusional. Kepala negara Malaysia adalah raja yang dipilih di antara raja-raja yang menjadi anggota federasi. Kepala negara Malaysia disebut Yang di Pertuan Agung, yang dipilih oleh dan di antara majelis raja-raja yang terdiri dari sembilan raja yang turun-temurun di Semenanjung Malaya, yaitu Sultan Johor, Kedah, Kelantan, Penang, Perak, Selangor, Trengganu, Raja Perlis, dan Negeri Sembilan. Masa jabatan Yang di Pertuan Agung adalah 5 tahun. Kekuasaan eksekutif berada di tangan perdana menteri. Kabinet bertanggung jawab kepada Badan Legislatif yang bersifat bicameral (terdiri dari dewan negara dan dewan rakyat). Perdana menteri ditunjuk oleh Yang di Pertuan Agung. Menteri ditunjuk oleh Yang di Pertuan Agung atas rekomendasi perdana menteri. Kekuasaan pemerintah federal meliputi urusan luar negeri, pertahanan, keamanan dalam negeri, kehakiman, keuangan, industri, perdagangan, komunikasi, transportasi. Kekuasaan kehakiman diserahkan kepada Mahkamah Federal yang mempunyai yurisdiksi 159 memeriksa perkara banding. Di bawah Mahkamah Federal terdapat Mahkamah tinggi. Di bawah Mahkamah Tinggi terdapat Session Court dan Magistrate. g. Republik Singapura Tahun 1959 dengan suatu konstitusi tersendiri Singapura memperoleh status internal self rule dalam ikatan persemakmuran. Tahun 1963 bergabung ke dalam federasi Malaysia. Tanggal 9 Agustus 1965 keluar dari federasi Malaysia. Konstitusi Singapura yang sekarang berasal dari konstitusi 1959 dengan beberapa kali amandemen. Badan legislatif Singapura adalah parlemen yang monokameral yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun. Parlemen dapat dibubarkan. Partai terbesar yang menguasai parlemen adalah Partai Aksi Rakyat. Kepala negara Singapura adalah presiden yang dipilih oleh parlemen untuk masa jabatan empat tahun. Presiden memiliki fungsi sebagai lambang nasional dan tugas-tugas seremonial. Presiden juga berhak menunjuk dan mengangkat perdana menteri serta dapat juga menolak memberikan persetujuan atas suatu permohonan untuk membubarkan parlemen. Kekuasaan pemerintahan ada ditangan perdana menteri yang ditunjuk oleh presiden. Perdana menteri memimpin para menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Perdana menteri diangkat dari ketua partai mayoritas dalam parlemen. Jika ada mosi tidak percaya dari parlemen kepada kabinet (1) kabinet bubar atau menyerahkan mandat kepada presiden, (2) perdana menteri dapat juga meminta presiden untuk membubarkan parlemen dan memerintahkan mengadakan pemilihan baru, dan (3) jika permohonan untuk membubarkan parlemen ditolak maka kabinet harus menyerahkan mandat. Badan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Tinggi yang mencakup Pengadilan Banding, Magistrate Distrik, dan Pengadilan Khusus. Latihan a. Soal Uraian (1) Jelaskan pengertian sistem pemerintahan dalam arti sempit, luas, dan sangat luas! (2) Uraikan pembagian bentuk pemerintahan menurut Aristoteles, Polybius, dan Leon Duguit! (3) Terangkan perbedaan sistem pemerintahan parlementer dengan sistem pemerintahan presidensial! (4) Diskripsikan sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945! (5) Jelaskan perbedaan sistem pemerintahan republik dan sistem pemerintahan kerajaan (monarki)! (6) Uraikan sistem pemerintahan Amerika Serikat ! (7) Diskripsikan sistem pemerintahan Inggris! (8) Jelaskan sistem pemerintahan Rusia! (9) Terangkan sistem pemerintahan Prancis! (10) Uraikan sistem pemerintahan Thailand! (11) Diskripsikan sistem pemerintahan Malaysia! (12) Jelaskan sistem pemerintahan Singapura! b. Tugas Diskusi 160 (1) (2) (3) Diskusikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Diskusikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan republik dan monarki (kerajaaan ). Diskusikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Rusia, Prancis, Inggris dan Amerika serikat. B. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Garis Besar Isi Amandemen UUD 1945 (1) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD (Pasal1). (2) MPR merupakan lembaga bikameral yang terdiri dari DPR dan DPD (Pasal 2) (3) Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A) (4) Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7) (5) Pencantuman hak asasi manusia ( Pasal 28 A sampai 28 J) (6) Penghapusan DPA sebagai lembaga tinggi negara, Presiden dapat membentuk suatu dewan pertimbangan (Pasal 16) (7) Presiden bukan mandataris MPR, dengan demikian MPR tidak lagi menyusun GBHN (8) Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) tercantum dalam Pasal 24 B dan 24 C (9) Anggaran Pendidikan minimal 20% (Pasal 31) (10) Negara Kesatuan tidak boleh diubah (Pasal 37) (11) Penjelasan UUD 1945 dihapus (12) Penegasan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33) Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak kemerdekaannya memilih sistem politik demokrasi. Hal ini terlihat dengan jelas pada ideologi ketatanegaraan, yaitu Pancasila. Demokrasi Pancasila memiliki watak demokrasi secara umum atau universal. Watak universal demokrasi Pancasila seperti tampak pada pengakuan atas prinsip kedaulatan di tangan rakyat, kebebasan, persamaan, kemajemukan, dan pentingnya kesejahteraan bagi rakyat. Karakteristik demokrasi Pancasila terletak pada dianutnya prinsip harmoni atau keselarasan; terutama keselarasan dengan Tuhan dan sesama manusia. Keselarasan dengan Tuhan memberikan warna religius dalam demokrasi. Warna religius ini merupakan pembeda dengan demokrasi Barat yang sekuler (memisahkan urusan agama dengan negara). Keselarasan sesama manusia menghasilkan prinsip keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif. Di sini tampak ideologi Pancasila sebagai ideologi alternatif. Dikatakan sebagai ideologi alternatif karena selama ini ada dua ideologi yang sangat berpengaruh di dunia, yaitu liberal dan sosialis/komunis. Ideologi liberal mengutamakan kepentingan individu yang melahirkan demokrasi liberal (western democracy). Ideologi sosialis mengutamakan kepentingan kolektif. Ideologi sosialis (komunis) kemudian melahirkan demokrasi timur (eastern democracy), seperti 161 demokrasi sentralisme (di Uni Soviet) dan demokrasi rakyat (di RRC). Negara eastern democracy menganggap demokrasi mereka lebih murni dari western democracy yang dipandang semu karena ada unsur-unsur penindasan kapitalistik. Dalam kenyataan hidup sehari-hari kedua kepentingan itu (individu dan kolektif) merupakan hal yang sama-sama penting dan bersifat komplementer tidak perlu dipertentangkan, tetapi perlu diakomodasi. Ideologi Pancasila mengakomodasi kedua kepentingan tersebut. Di samping itu, demokrasi yang berdasarkan pada ideologi Pancasila mencakup demokrasi politik dan ekonomi. Bung Karno memberikan istilah sebagai sociodemocratie dan Bung Hatta menamakannya demokrasi sosial. Dalam demokrasi sosial, kesejahteraan rakyat menjadi prioritas. Dalam demokrasi politik terdapat perpaduan kelembagaan politik modern, seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, pemilu dengan mekanisme pranata sosial budaya seperti permusyawaratan dalam pengambilan keputusan. Ini berarti perbedaan pendapat tetap dijamin, maka oposisi diakui dalam arti oposisi yang dinamis (berubahberubah). Maksudnya, adalah oposisi yang tidak melembaga (permanen) yaitu menentang kebijakan tertentu yang dipandang tidak sejalan, tetapi pada sisi lain akan mendukung atau loyal ketika kebijakan itu sejalan. Seharusnya dengan karakteristik demokrasi Pancasila yang demikian, apabila diterjemahkan secara tepat dalam konstitusi dan dioperasionalkan dalam sistem pemerintahan dan politik akan menghasilkan sistem pemerintahan dan politik yang demokratis dan stabil. Namun, dalam kenyataan masih jauh dari harapan karena mengakomodasi suara rakyat pun masih merupakan barang yang langka. Hal ini dapat disimak dari perjalanan sistem pemerintahan dan politik di negara tercinta dari era demokrasi parlementer sampai era transisi demokrasi atau reformasi. Gambaran pelaksanaan pada masing-masing periode itu adalah sebagai berikut. Sebaiknya Anda Tahu Prinsip-Prinsip Pemerintahan yang Baik United Nations Development Program mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah sebagai berikut. (1) Partisipasi Setiap warga negara punya hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. (2) Penegakan hukum Hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia. (3) Trasparansi Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi dan harus dapat juga diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya. Informasi harus disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat pengawasan. (4) Bersikap Melayani Setiap instansi harus beusaha sebagai pelayan publik yang baik. (5) Konsensus 162 Pemerintah harus bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak. (6) Berkeadilan Memberikan kesempatan yang sama baik kepada semua orang untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya. (7) Efektif dan Efisien Semua instansi pemerintah harus menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dengan memanfaatkan yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia. (8) Akuntabel Para pengambil kebijakan publik harus bertanggung jawab atas keputusannya kepada publik. Penggunaan dana sekecil apapun harus dapat dipertanggung jawabkan pada publik. (9) Memiliki Visi Strategis Para pemimpin publik harus memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Mereka harus paham aspek sejarah, budaya, kemajemukan, dan sebagainya. (10) Bersifat Sistemik Keseluruhan komponen atau unsur dalam pemerintahan harus saling memperkuat dan saling terkait; tidak berjalan sendiri-sendiri. Sebagai contoh, informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat parstisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. 1. Sistem Pemerintahan Indonesia Periode 18 Agustus 1945 sd 27 Desember 1949 Dasar hukum sistem pemerintahan pada periode itu adalah UUD 1945, tetapi belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen karena bangsa Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Walaupun UUD 1945 telah diberlakukan, yang dapat dibentuk baru presiden, wakil presiden, serta menteri, dan para gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Jadi, tidaklah menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan kerena pemilihan umum belum diselenggarakan. Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam UUD 1945 belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat tersebut di atas. Jadi sebelum MPR, DPR, DPA, BPK, dan MA terbentuk segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan dibantu oleh Komite Nasional. Hanya saja waktu itu aparat pemerintah penuh dengan jiwa pengabdian. Pada 5 Oktober 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang menyatakan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat. Sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi, yaitu seorang tokoh tentara Pembela Tanah air. Karena Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Blitar, diadakan musyawarah TKR yang dihadiri oleh para Panglima Divisi dan Residen yang pada akhirnya terpilihlah Soedirman menjadi Panglima Besar. Beliau dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945 dan pada tanggal 3 Juni 1947, TKR resmi menjadi TNI. Dalam Konggres Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 16 Oktober 1945 di Malang, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan apa yang disebut 163 Maklumat X (baca eks). Sejak keluarnya maklumat ini KNIP diberi wewenang untuk turut membuat UU dan menetapkan GBHN. Jadi, KNIP memegang sebagaian kekuasaan MPR, di samping memiliki juga kekuasaan atas DPA dan DPR. Selanjutnya dikeluarkan lagi Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yakni dilaksanakan Sistem Pemerintahan Parlementer dan dibentuk kabinet parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri. Kabinet bertanggung jawab pada KNIP sebagai pengganti MPR/DPR. Sejak saat itulah, sistem presidensial beralih menjadi sistem parlementer walaupun tidak dikenal dalam UUD 1945. Selama system ini berjalan, sampai dengan 27 Desember 1949, UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual. Oleh karena itu, sebagian orang berpendapat bahwa perubahan dalam sistem pemerintahan ini melanggar UUD 1945. Pada tanggal 3 November 1945, dikeluarkan maklumat pemerintah tentang keinginan untuk membentuk partaipartai politik, sehingga berlakulah sistem multi partai. 2. Sistem Pemerintahan Indonesia pada Saat Konstitusi RIS Sejak 27 Desember 1949 sampai 17 aguastus 1950 berlaku Konstitusi RIS. Pada periode ini, Indonesia menjadi negara serikat. Sebenarnya bukan kehendak seluruh rakyat Indonesia untuk memakai bentuk negara serikat ini. Hal itu terjadi karena keadaan yang memaksa demikian. Sistem pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi RIS adalah sistem parlementer. Dalam Konstitusi RIS dikenal adanya senat. Senat tersebut mewakili negara-negara bagian dan setiap negara bagian diwakili 2 orang anggota senat. Sistem pemerintahan yang dianut Konstitusi RIS ialah sistem Kabinet Parlementer Semu (Quasi Parlementer) dengan ciri-ciri sebagai berikut. (1) Perdana menteri diangkat oleh presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya. (2) Kekuasaan perdana menteri masih dikendalikan oleh presiden. (3) Kabinet dibentuk oleh presiden bukan oleh parlemen. (4) Pertanggungjawaban kabinet pada parlemen. (5) Parlemen tidak dapat menggunakan mosi tidak percaya kepada kabinet. (6) Presiden RIS menduduki jabatan rangkap sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. 3. Sistem Pemerintahan Saat Demokrasi Parlementer (UUDS 1950) Pada masa itu, digunakan sistem demokrasi parlementer atau demokrasi liberal secara penuh. Artinya, berlaku bukan hanya dalam praktik tetapi juga diberi landasan konstitusionalnya. Menurut Wilopo, sejak berlakunya UUDS 1950, yakni 17 Agustus 1950, sistem demokrasi parlementer dengan sistem pemerintahan parlementer berlaku dari tahun 1950–1959. Demokrasi liberal yang berkembang ketika itu ditandai dengan pemerintahan oleh partai-partai politik. Pendapat lain dikemukakan Nugroho Notosoesanto yang menyatakan bahwa dalam praktik ketatanegaraan, tanpa perubahan UUD, demokrasi liberal sebenarnya sudah dimulai sejak awal kemerdekaan yang didahului Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Sebelum maklumat tersebut, kabinet yang pertama kali kita miliki adalah sistem pemerintahan presidensial (19 Agustus–14 November 1945) yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Setelah itu sistem 164 pemerintahan parlementer yang dikembangkan. Perdana Menteri yang pertama adalah Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia (14 November 1945–27 Juni 1947). Alasan Sjahrir dengan memberlakukan sistem parlementer untuk menghilangkan kesan presiden bertindak diktator, tidak demokratis, dan menjadi boneka Jepang. Sjahrir kemudian digulingkan oleh Amir Sjarifuddin, yang juga berhaluan kiri. Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II berusia tidak lama (3 Juli 1947–29 Januari 1948). Di bawah Amir Sjarifuddin, wilayah RI makin menyempit dan dikelilingi oleh daerah pendudukan Belanda, sebagai akibat Perjanjian Renville. Mohammad Hatta sebagai penggantinya (29 Januari–20 Desember 1949) melakukan pembersihan terhadap sayap kiri (aliran komunis) karena sayap kiri ternyata telah ―terbeli‖ oleh Belanda. Setelah ini tercatat ada 6 kabinet dengan sistem parlementer. Yang mengawali Natsir dari Masyumi dengan program penyelenggaraan pemilu dan penyelesaian Irian Barat. Dua program ini juga yang mewarnai program kabinet berikutnya. Dalam periode ini pertama kali terlaksananya pemilu sejak Indonesia merdeka. Itu terjadi pada tahun 1955, saat terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu pertama 29 September 1955 dikuti oleh 118 kontestan, yang memperebutkan 272 kursi DPR. Warga negara juga berbondong-bondong untuk memberikan suara dalam pemilu untuk memilih anggota Konstituante (badan pembentuk UUD) pada 15 Desember 1955. Pemilu tahun 1955 di kenal dalam sejarah di Indonesia sebagai pemilu yang paling demokratis karena kompetisi antara partai berjalan sangat intensif. Kampanye dilakukan penuh tanggung jawab dan setiap pemilih memberikan hak pilihnya secara bebas tanpa rasa takut atau adanya tekanan. Undang-undang Pemilu No. 7 Tahun 1953 tidak memberikan peluang Panitia Pemilih Indonesia untuk mengatur lebih lanjut. Dengan demikian, pemilu berjalan sangat kompetitif dan menghasilkan pemerintahan demokratis, sekalipun tidak menghasilkan partai politik yang kuat yang mampu membentuk eksekutif. Meskipun pada sistem pemerintahan parlementer atau demokrasi parlementer dikenal gagal, demokrasi di Indonesia dinyatakan mengalami kejayaan pada masa ini. Hampir semua elemen atau unsur demokrasi dapat ditemukan perwujudannya dalam kehidupan politik Indonesia. Elemen atau unsur demokrasi itu terwujud dalam bentuk sebagai berikut. (1) Parlemen memainkan peranan sangat tinggi dalam proses politik. Hal ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya. (2) Pertanggungjawaban (akuntabilitas) pemegang jabatan dan politisi sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan jatuhnya kabinet dalam periode ini sebagai contoh konkrit akuntabilitas. (3) Pemilu 1955 dilaksanakan sangat demokratis. Mengapa demokrasi parlementer tidak dapat diperta-hankan? Demokrasi parlementer tidak berumur panjang, yaitu antara 1950–1959; ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, membubarkan Konstituante, dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Pendapat tentang faktor penyebab demokrasi parlementer tidak dapat dipertahankan banyak dilontarkan yang di antaranya ialah sebagai berikut. Pertama, faktor dominannya politik aliran; 165 yaitu politik berdasarkan pemilahan sosial yang bersumber dari agama, etnisitas, dan kedaerahan. Herbert Feith dan Lance Castles menggambarkan kepartaian di Indonesia pascakemerdekaan dikelompokkan ke dalam lima aliran besar, yaitu Islam, Jawa Tradisional, Sosialis Demokrasi, Nasionalis Radikal, dan Komunis. Pemilahan itu sangat tajam, sehingga menyulitkan dalam mengelola konflik. Koalisi tidak mudah terbentuk karena harus memenuhi syarat adanya kedekatan ideologi dan kompatibilitas antara pemimpin partai. Kedua, faktor basis sosial– ekonomi yang sangat lemah. Ketiga, faktor struktur sosial yang masih sangat hierarkhis, yang bersumber pada nilai-nilai feodal. Hal ini terlihat kehadiran elit pemecah masalah (problem solver) yang mendominasi sistem pemerintahan parlementer belum sepenuhnya diterima. Ada kecenderungan elit pembentuk solidaritas (solidarity makers) seperti Presiden Soekarno yang pada awal kemerdekaan sangat dominan merasa tersingkir karena posisi hanya sebatas sebagai kepala negara tidak dapat menentukan kebijakan strategis. Begitu pula kepentingan politik dari kalangan Angkatan Darat tidak memperoleh tempat yang sewajarnya. 4. Pelaksananaan Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Terpimpin Demokrasi Terpimpin tampak merupakan alat untuk mengatasi pertentangan parlementer di antara partai-partai politik ketika berlaku demokrasi liberal. Cara yang dilakukan adalah dengan memberlakukan kembali UUD 1945. UUD 1945 dikenal cenderung menganut sistem campuran atau sering disebut juga sebagai sistem quasi presidentil. Alasannya, karena sistem presidensial juga memasukkan unsur parlementer, yakni berupa pertanggungjawaban presiden kepada MPR; tidak langsung kepada rakyat sebagaimana umumnya pada sistem presidensial. Bagi Soekarno, demokrasi parlementer dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Soekarno juga menekankan pentingnya peranan pemimpin dalam proses politik dalam masyarakat Indonesia. Sebagai presiden Soekarno membentuk kabinet yang erdana menterinya adalah presiden sendiri. Soekarno kemudian juga membentuk DPR–GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai lembaga perwakilan rakyat yang menggantikan Dewan Konstituante. Bagaimana hubungan presiden dengan DPR–GR? Meskipun DPR–GR periode demokrasi terpimpin telah berhasil menghasilkan 124 produk undang-undang dan pernyataan pendapat namun kedudukannya tetap lemah. Alasannya adalah sebagai berikut. Pertama, anggota DPR–GR dipilih dan ditunjuk Soekarno dari mereka yang dipercaya loyal kepadanya. Kedua, Presiden Soekarno masih suka membuat Penpres, suatu produk peraturan yang sederajat dengan undang-undang. Dengan perkataan lain telah terjadi pergeseran hubungan parlemen dengan pemerintah. Jika pada berlakunya demokrasi liberal parlemen menekan pemerintah, ketika demokrasi terpimpin parlemen memberikan kelonggaran begitu besar bagi pemerintah. Pada masa pemerintahan Soekarno ini dikenal dengan demokrasi terpimpin. Soekarno mengemukakan demokrasi terpimpin sebagai demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki liberalisme dan tanpa otokrasi diktator. Demokrasi kekeluargaan yang dimaksud oleh Soekarno adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan 166 pimpinan serta kekuasaan sentral di tangan seorang ‗sesepuh‘, seorang tetua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin dan mengayomi. Yang dimaksud dengan tema-tema ‗sesepuh‘ atau ‗tetua‘ pada waktu itu tidak lain adalah dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia. Seperti telah disinggung di atas, di bawah demokrasi terpimpin yang kekuasaannya terhimpun pada Soekarno, ada dua kekuatan lain, yaitu Angkatan Darat dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Gambaran hubungan antara ketiganya dapat dikemukakan sebagai berikut. Soekarno dibutuhkan oleh PKI untuk menjadi pelindung melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk memberi legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik. Soekarno sendiri membutuhkan PKI dan Angkatan Darat. Angkatan Darat dibutuhkan untuk dihadapkan dengan PKI untuk menghambat agar tidak menjadi terlalu kuat. PKI dibutuhkan untuk menggerakkan dukungan rakyat dan mendapatkan massa yang besar untuk mendengarkan pidato Soekarno. Dalam pola hubungan yang demikian, Soekarno menjadi penyeimbang antara PKI dan Angkatan Darat. Atau semacam pola hubungan ―tarik tambang‖. Pola hubungan itu dapat dilihat seperti yang dipaparankan oleh ahli politik Afan Gaffar (2002) berikut ini. Perbedaan yang sangat mencolok antara Angkatan Darat dan Presiden Soekarno adalah menyangkut hubungan dengan PKI dan hal itu sesungguhnya bersifat ideologis. Angkatan Darat yang sangat banyak dipengaruhi oleh Hatta dan sejumlah partai Masyumi memiliki posisi antikomunis yang sangat kental, sementara Soekarno dapat menerima komunis karena ia menganggapnya bukan sebagai ancaman. Tambahan pula, Soekarno sangat membutuhkan kaum komunis agar agenda politiknya dapat diwujudkan. Sementara itu, Soekarno tidak memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan Angkatan Darat dibandingkan dengan Angkatan Udara. Oleh karena itu, Soekarno tidak pernah merasa aman terhadap Angkatan Darat. Peristiwa G–30 S/PKI tahun 1965 mengubah perjalanan politik bangsa Indonesia dan menyingkirkan Soekarno dari puncak kekuasaan, kemudian mengantar Soeharto menjadi seseorang yang sangat berkuasa dengan memanfaatkan secara maksimal UUD 1945 untuk kepentingan politiknya selama 32 tahun. 5. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan dalam Pemerintahan Orde Baru Dari 1.000 orang anggota MPR pada rekruitmen tahun 1997, sebanyak 575 orang yang berasal dari partai politik, utusan daerah, dan golongan diangkat oleh presiden. Rekruitmen untuk ketua MA (Mahkamah Agung), misalnya DPR mengajukan dua calon. Calon yang diajukan terlebih dulu mendapat isyarat persetujuan presiden dan kemudian salah satu orang dari calon tersebut diangkat oleh presiden. Demikian pula, untuk jabatan wakil ketua MA dan sejumlah Hakim Agung. Hal yang sama terjadi pula pada rekruitmen pimpinan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Begitu pula dengan rekruitmen di luar lembaga negara/pemerintah, seperti partai politik. Ketua partai politik direkrut atas dasar prinsip akomodatif. Artinya, mereka yang menunjukkan sikap kritis apalagi menentang pemerintah tidak akan dapat memimpin partai politik. 167 Dalam hal APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja negara) presiden sangat menentukan. Dalam hal ini DPR tidak mampu mengubah secara substantif apapun yang diajukan oleh Presiden. Anggaran tersebut kemudian didistribusikan ke daerah-daerah dalam bentuk DIP (Daftar Isian Proyek), inpres, dan banpres. Mekanisme anggaran seperti ini merupakan proses distribusi kekayaan negara yang membawa implikasi mobilisasi politik bagi kepentingan dukungan terhadap Presiden. Hal tersebut masih ditambah dengan atribut yang sifatnya personal yang disandang oleh presiden, seperti pengemban supersemar, mandataris MPR, dan bapak pembangunan. Dilihat dari pembagian kekuasaan sebagai alternatif pemisahan kekuasaan, tampak ketidakjelasan hubungan di antara lembaga tinggi negara. Misalnya, kalau MPR sebagai lembaga legislatif, seharusnya anggotanya tidak boleh merangkap sebagai pejabat eksekutif. Kenyataannya, sejumlah anggota MPR adalah para menteri, gubernur, dan pangdam. Artiya, mereka adalah pejabat eksekutif, bukan rakyat, sehingga makna perwakilan rakyat menjadi dipertanyakan. Kemudian kalau kita memperhatikan birokrasi pemerintahan orde baru memiliki karakteristkik umum, yakni ketatnya hierarkhi dan legalistik. Coba kamu simak pendapat William Liddle (ahli politik tentang Indonesia dari Amerika Serikat) dalam memberikan gambaran karakteristik khusus tentang birokrasi era orde baru. Liddle menggambarkan sebagai berikut. Karakteristik khusus birokrasi Indonesia memiliki citra diri yang baik hati (benevolence). Dalam citra seperti ini, birokrasi di Indonesia mempunyai persepsi diri sebagai pelindung atau pengayom, pemurah, dan baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, mereka (birokrasi) juga mempunyai persepsi bahwa rakyat itu tidak tahu apa-apa alias bodoh dan oleh karena itu mereka (rakyat) masih perlu dididik. Karena birokrasi sudah benevolence, seharusnya rakyat harus patuh, taat, dan setia (obidience) kepada pemerintahnya. Pola hubungan yang bersifat benevolence–obidience inilah yang mewarnai secara dominan interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat pola hubungan yang bersifat baik hati dan kepatuhan dalam interaksi pemerintah dengan rakyat diterapkan kebijakan depolitisasi (rakyat dijauhkan dari pemahaman yang kritis dan dibatasi partisipasi dalam bidang politik). Kebijakan depolitisasi dilakukan dengan cara menerapkan konsep ―massa mengambang‖ (floating mass). Konsep massa mengambang ini memudahkan kontrol pemerintah terhadap partai politik nonpemerintah dan memudahkan pemerintah mewujudkan prinsip monoloyalitas bagi semua pegawai negeri. Begitu pula memudahkan upaya pengebirian (emaskulasi) bagi partai politik. Pengebirian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan melakukan penyederhanaan sistem kepartaian (regrouping) dari 10 partai politik dikelompokkan menjadi 3 partai politik (Golkar, PPP dan PDI). Kedua, dengan cara melakukan kontrol terhadap rekruitmen pimpinan utama partai politik, sehingga dihasilkan pimpinan partai politik yang akomodatif terhadap pemerintah. Dengan perkataan lain interaksi pemerintah dengan rakyat yang bersifat baik hati dan kepatuhan, mengharuskan DPR, partai politik, organisasi massa, dan media pers harus menempatkan diri untuk menopang pemerintah. Anggota DPR yang vokal terhadap pemerintah dikenai recall. Partai politik yang mengembangkan sikap sebagai oposisi ditekan. Begitu pula pers yang kritis terhadap pemerintah dibredel. Pilar-pilar demokrasi seperti DPR, partai politik, 168 dan media pers dalam kondisi sangat lemah. Namun angkatan bersenjata dalam kehidupan politik orde baru, terutama Angkatan Darat sebagai alat negara yang seharusnya memfokuskan diri pada fungsi pertahanan, justru memiliki peran politik sangat penting. Peranan politik sangat penting itu, terutama sebagai stabilisator dan dinamisator. Peranan politik Angkatan Darat terutama tampak melalui keterlibatannya di MPR, DPR, jabatan menteri, gubernur, dan bupati. Juga tampak melalui keterlibatannya dalam organisasi sosial dan politik, terutama di Golkar (Golongan Karya). Bahkan dari peranan politik kemudian merambah ke bidang ekonomi, olahraga, kesenian, dan bidang sosial kemasyarakatan yang lain. Peran dalam berbagai bidang tersebut dikenal sebagai ―Dwi Fungsi ABRI‖. Dengan peran sebagai stabilisator dan dinamisator, militer tampak sebagai pembentuk suasana agar semua kebijakan pemerintah Orde Baru dapat diimplementasikan dengan baik. Kemudian yang dirasakan dalam pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Sehingga pemerintahan Orde Baru dikenal mengembangkan sistem politik otoriter, bukan sistem politik demokrasi. Meskipun pemerintahan Orde Baru ketika itu menyebut dirinya mengembangkan demokrasi Pancasila. 6. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan pada Era Reformasi Pelaksanaan sistem pemerintahan dan politik pada era reformasi merupakan transisi dari sistem politik otoriter ke demokrasi. Samuel Huntington mengajukan empat model transisi atau perubahan politik. Pertama, model transformasi yaitu demokratisasi datang dari atas (pemerintah). Transisi ini terjadi ketika negara kuat dan masyarakat sipil (civil society) lemah. negara yang mengalami transisi melalui model ini contohnya adalah Taiwan. Pemerintahan Kuomintang di Taiwan di awal 1990-an menyelenggarakan pemilu demokratis untuk menghadirkan demokrasi di negara tersebut. Kedua, model penggantian (transplacement) yaitu pemerintah menyerahkan kekuasaannya dan digantikan oleh kekuatan-kekuatan oposisi. Demokratisasi muncul dari bawah. Transisi model ini terjadi ketika negara lemah dan masyarakat sipil kuat. Contoh transisi model ini adalah di Filipina ketika Presiden Marcos dipaksa meninggalkan negerinya dan digantikan Corry Aquino. Ketiga, model campuran antara transformasi dan penggantian yang disebut transplasi. Transisi terjadi sebagai hasil negoisasi antara elit pemerintah dengan elit masyarakat sipil untuk melakukan perubahan politik kearah yang lebih demokratis. Transisi ini terjadi karena pemerintah masih kuat dan kekuatan-kekuatan oposisi tidak cukup kuat untuk menggulingkan penguasa yang ada. Contohnya adalah Polandia, di mana Serikat Buruh Solidaritas yang dipimpin Lech Walesa berunding dengan militer untuk mencapai demokrasi. Keempat, model intervensi. Transisi menurut model ini terjadi karena dipaksakan oleh kekuatan luar. Contohnya, adalah Panama, di mana tentara Amerika Serikat menahan presiden dari pemerintahan militer dengan tuduhan terlibat dalam perdagangan obat terlarang. Selanjutnya sebuah pemilu demokratis diselenggarakan untuk memilih pemerintahan baru. Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto yang kuat tiba-tiba secara resmi menyatakan diri berhenti sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998 di tengah krisis ekonomi Asia. Soeharto sebagai mandataris MPR, meletakkan jabatannya 169 tanpa melalui pertanggungjawaban kepada MPR. Mundurnya Soeharto diawali oleh serentetan kerusuhan sosial sepekan sebelumnya dan gelombang demonstrasi mahasiswa yang memuncak dengan menduduki gedung MPR/DPR. Soeharto kemudian digantikan oleh BJ. Habibie yang menjabat wakil presiden. Habibie diambil sumpah sebagai presiden di Istana negara di hadapan Mahkamah Agung, dengan dihadiri oleh pimpinan MPR. Hal ini dikarenakan gedung DPR dan MPR diduduki oleh para pendemo khususnya mahasiswa yang menuntut Soeharto lengser. Hal ini sempat mengundang pro dan kontra mengenai sah tidaknya suksesi tersebut secara konstitusional. Ketetapan MPR No. 3 Tahun 1999 memperjelas bahwa BJ. Habibie dinyatakan telah menjabat Presiden sejak mengucapkan sumpah jabatan pada tanggal 21 Mei 1998. Namun melalui ketetapan tersebut juga BJ. Habibie ditolak pertanggungjawabannya, yang mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada 19 Oktober 1999 atau menjabat presiden selama kurun waktu 17 bulan (21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999). Pada tanggal 20 Oktober 1999 BJ. Habibie kemudian digantikan oleh KH. Abdurrahman Wahid, sebagai presiden terpilih melalui Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999. Presiden Abdurrahman Wahid dipilih melalui proses pemungutan suara (voting). Ia memperoleh 373 suara dari 691 anggota MPR yang menggunakan hak pilih. Terpilihnya Abdurrahman Wahid ini menunjukkan bahwa partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu tidak serta merta menduduki kursi presiden. Karena wewenang untuk memilih presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945 sebelum amandemen berada di tangan MPR. Sehingga yang menentukan bagaimana melakukan upaya mendapat dukungan partai lain untuk memperoleh suara mayoritas di MPR. Melihat kelemahan ini, maka UUD 1945 setelah amandemen, menetapkan pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan paket dalam suatu pemilihan langsung oleh rakyat. Pada masa Abdurrahman Wahid terjadi konflik yang tajam antara presiden dengan DPR, MPR, dan Kepala Polri. Konflik dengan DPR, tampak ketika Abdurrahman Wahid menolak panggilan Pansus Bulog yang melaksanakan hak angket atas kasus Bulog. Konflik dengan MPR diawali ketika MPR menganggap Abdurrahman Wahid melalukan pelanggaran dalam menetapkan Pejabat Kapolri dengan mempercepat SI MPR. Abdurrahman Wahid menolak hadir dalam Sidang Istimewa MPR karena Sidang Istimewa dianggap melanggar tata tertib. Dua hari kemudian presiden mengeluarkan Dekrit Maklumat Presiden antara lain pembekuan MPR. MPR menolak dekrit dan mencabut Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 tentang pengangkatan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Dengan Ketetapan MPR di atas, Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Juli 2001 (menjabat selama 20 bulan). Kemudian tanpa melalui pemungutan suara dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ditetapkan dan dilantik sebagai presiden ketiga sejak masa transisi atau merupakan presiden kelima, sejak Indonesia merdeka. Pengangkatan Megawati sebagai presiden disahkan dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tanggal 23 Juli 2001. Kemudian keesokan harinya Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden melalui pemungutan suara. Pada Pemilu 2004 pemilihan paket presiden dan wakil presiden tidak lagi oleh MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan perubahan yang akan memperkuat posisi jabatan presiden. Karena 170 presiden akan bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada MPR. Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Susduk (MPR, DPR dan DPD), tampak DPR posisinya semakin menguat. Menguatnya posisi DPR, karena kewenangan membuat undang-undang ada pada DPR. Sedangkan pihak pemerintah (eksekutif) hanya memiliki hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Namun penguatan DPR juga dibarengi dengan penguatan partai politik dengan diberlakukan kembali kewenangan penarikan (recalling) anggota DPR oleh partai politik. Sedangkan anggota DPD yang proses pemilihannya lebih berat daripada anggota DPR, tampak hanya sebagai pelengkap. Karena kewenangan DPD terbatas pada pengajuan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah. Dengan demikian tampak ada tiga lembaga perwakilan rakyat yang fungsinya tampak lebih saling melengkapi daripada pengejawantahan dari suatu badan perwakilan ke yang lainnya. Oleh karena itu, pemerintahan di era reformasi ini tampak tidak menganut sistem satu atau dua kamar, tetapi tiga kamar. Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat dan sistem pemerintahan parlementer di Inggris telah menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan stabil. Di negara kita pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer (1950 – 1959) yang menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil. Begitu pula ketika kembali ke UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensial ketika penerapannya pada era Soekarno (demokrasi terpimpin) dan era Soeharto (demokrasi Pancasila) menghasilkan pemerintahan yang otoriter. Ketiga era tersebut juga memperlihatkan setiap terjadi pergantian kekuasaan (suksesi) berjalan tidak normal. Maksudnya peralihan dari sistem parlementer ke sistem presidensial era Soekarno, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kemudian peralihan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, lewat peristiwa tragedi nasional G–30 S/PKI tahun 1965. Transisi demokrasi dari pemerintahan Soeharto (Orde Baru) ke BJ. Habibie karena desakan massa yang kuat terpaksa Soeharto menyatakan berhenti tanpa mempertang-gungjawabkannya kepada MPR yang telah memilih dan sebagai konsekuensi Presiden sebagai mandataris MPR. Peralihan Soeharto ke Habibie dilakukan di Istana negara dan pelatikan dan sumpah jabatannya di depan Mahkamah Agung, bukan di MPR. Peristiwa peralihan ini menimbulkan permasalahan konstitusional atau bersifat inkonstitusional. Peralihan BJ. Habibie ke Abdurrahman Wahid, juga mengandung kontroversi, karena ternyata partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu tidak memperoleh dukungan mayoritas di MPR jadi partai pemenang pemilu harus rela peluangnya diisi oleh koalisi partai. Belum masa jabatannya habis Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR, karena dianggap melanggar ketika mengangkat Kepala Polri juga karena menolak menghadiri Sidang Tahunan MPR serta hendak membekukan parlemen yang nyata-nyata telah bergeser dari sistem presidensial ke parlementer. Latihan a. Soal Uraian 171 (1) Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―awal kemerdekaan‖ (18 Agustus 1945 sampai dengan 12 Desember 1949)! (2) Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949! (3) Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode berlakunya UUD Sementara 1950! (4) Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―demokrasi terpimpin‖ (setelah dekrit presiden 5 Juli 1959)! (5) Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode orde baru (19661998)! (6) Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode Habibie dan Gus Dur! (7) Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode setelah amandemen UUD 1945 ! b. Tugas Diskusi (1) Diskusikan perbedaan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―awal kemerdekaan‖ (18 Agustus 1945 sampai dengan 12 Desember 1949) dengan sistem pemerintahan Indonesia pada periode saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, serta sistem pemerintahan Indonesia pada periode berlakunya UUD Sementara 1950! (2) Diskusikan perbedaan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―demokrasi terpimpin‖ (orde lama), dengan sistem pemerintahan Indonesia pada periode orde baru (1966-1998)! (3) Diskusikan perbedaan sistem pemerintahan Indonesia pada era orde baru, dengan sistem pemerintahan Indonesia pada era reformasi (setelah amandemen UUD 1945) ! C. Sikap Kritis terhadap Pelaksanaan Sistem Pemerintahan yang Berlaku di Indonesia Sebaiknya Anda Tahu Tiga Aktor Penting Penentu Pemerintahan yang Baik Pertama, ialah negara. Pengertian negara atau pemerintahan adalah keseluruhan lembaga politik dan publik. Peranan negara meliputi (a) menyelenggarakan pelayanan publik, (b) menyelenggarakan kekuasaan untuk memerintah, (c) membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada tingkat local, nasional, maupun internasional. Kedua, ialah sSektor swasta. Pelaku sektor swasta mencakup berbagai pihak seperti industri pengolahan, perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk juga kegiatan sektor informal. Sektor swasta punya peran penting dalam meningkatkan produktivitas, penyediaan lapangan kerja, memasukkan penerimaan negara, investasi, pengembangan usaha, pertumbuhan ekonomi. Ketiga, ialah civil cociety (Masyarakat Madani). Kelompok masyarakat madani pada dasarnya berada di tengah-tengah antara pemerintah dan individu. Kelompok masyarakat ini terlibat aktif berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi. Peran nyatanya antara lain terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat yang berkekurangan, memberikan fasilitas untuk mengembangkan komunikasi dengan pihak lain, serta akses untuk 172 menyuarakan kepentingan. Bentuk konkrit dari masyarakat madani ini adalah LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di berbagai sektor dan bidang. 1. Mengkritisi Perkembangan Pemerintahan di Indonesia Perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia. dapat dibagi dalam empat masa, yaitu: (a) Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi konstitusional, yang menonjolkan peran parlemen, serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer. (b) Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat. (c) Masa Republik Indonesia III, yaitu masa Demokrasi Pancasila, yang merupakan Demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil (lembaga kepresidenan sangat dominan, parlemen dibuat tidak berdaya) kekuasaan presiden menjadi tidak terkontrol. (d) Masa Republik Indonesia IV, yaitu masa Demokrasi Pancasila setelah reformasi (lembaga kepresidenan dikurangi wewenangnya, DPR menjadi lebih diberdayakan) semua itu dilakukan dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Kebanyakan pakar menyatakan matinya sistem pemerintahan yang demokratis di Indonesia dimulai sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno sampai dengan runtuhnya Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Dengan kata lain Demokrasi terpimpin pada masa Soekarno dan Demokrasi Pancasila pada Soeharto sesungguhnya tidak ada demokrasi. Demokrasi baru mulai hidup kembali sejak era reformasi setelah lengsernya Soeharto pada tahun 1998, akibat reformasi yang diprakarsai oleh mahasiswa. Sehingga sejak itulah, bangsa Indonesia mulai belajar demokrasi kembali setelah tenggelam lebih kurang 40 tahun. Sistem Kenegaraan Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, berdasar UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga sebagai berikut: (a) Kekuasaan tertinggi diberikan oleh rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berfungsi sebagai lembaga konstitutif (b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat UndangUndang, sebagai lembaga legislatif. (c) Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan disebut lembaga eksekutif. (d) Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai pemberi saran kepada penyelenggara pemerintahan disebut lembaga konsultatif. (e) Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan dan penguji aturan dibawah undang-undang disebut lembaga yudikatif. (f) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang mengaudit keuangan negara, disebut lembaga auditatif. Setelah dilakukan amandemen UUD 1945 baik kesatu, kedua, ketiga serta keempat terjadi pergeseran sebagai berikut: (a) MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. 173 (b) Komposisi MPR terdiri dari seluruh anggota DPR ditambah DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang seluruhnya dipilih oleh rakyat. (c) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang berhak menguji undang-undang terhadap UUD. (d) Terbentuknya Komisi Yudisial yang mengusulkan pengangkatan hakim agung. (e) Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. (f) Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR. (g) Hak prerogatif presiden banyak yang dipangkas. (h) Kekuasaan legislatif semakin dominan. (i) Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dilikuidasi. Sebaiknya Anda Tahu Tujuh Kunci Pokok Pemerintahan Indonesia (Berdasar UUD 1945 Setelah Amandemen) UUD 1945 berdasarkan Pasal 11 Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasalpasal. Tentang sistem pemerintahan negara Republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasalpasal sebagai berikut. a. Negara Indonesia adalah negara hukum , Pasal 1 ayat (3), tanpa penjelasan. b. Sistem Konstitusional. Seacara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut, Pasal 2 ayat (1); Pasal 3 ayat (3); Pasal 4 ayat (1); Pasal 5 ayat (1) dan (2). c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut: (a) Mengubah dan menetapkan UUD; (b) Melantik Presiden dan Wakil Presiden; (c) Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. d. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi menurut UUD. Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 sampai dengan 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 sampai dengan 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menempatkan sistem presidensial. f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden dibantu menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam UU (Pasal 17). g. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Presiden sebagai kepala negara, kekuasaannya dibatasi oleh UUD. MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 3 ayat3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila presiden dianggap 174 sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. 2. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Antara Tahun 1945-1950 Sebulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku di Indonesia, padahal UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman pemerintah yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik yang mendapat sambutan antusias dari rakyat. Secara politis lembaga legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia Pusat. Dilihat dari segi historis, kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, tampaknya konsentrasi seluruh masyarakat dihadapkan sepenuhnya terhadap aksi-aksi militer dan politik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga segenap potensi rakyat dikerahkan untuk mensukseskan revolusi bersenjata ini. Sistem parlementer ini merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 menyatakan bahwa tanggung jawab politik terletak ditangan menteri. Hal ini dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mencabut UUDS 1950 dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara. Pada saat bangsa Indonesia sedang menghadapi aksi-aksi Belanda, PKI melancarkan penikaman dari belakang kepada pemerintah RI yang sah. Akibatnya, beribu-ribu orang yang tidak berdosa menjadi korban keganasan politik dan ambisi golongan yang tidak bertanggung jawab. Untunglah hal itu dapat segera dikendalikan dengan kesigapan pemimpin ABRI. 3. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) Sejak tanggal 17 Agustus 1950, dengan kembalinya RI ke dalam bentuk negara kesatuan, berlakulah UUD Sementara 1950 sebagai pengganti UUD RIS 1949. Negara menganut sistem pemerintahan parlementer, di mana para menteri bertanggung jawab kepada badan legislatif (parlemen). Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang tegas dan nyata untuk melakukan kegiatan politik, sehingga berakibat semakin banyaknya bermunculan partai-partai politik. Persaingan secara terbuka antarpartai sangat kentara dalam panggung politik nasional. Masing-masing partai berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya, sehingga dalam pemilu yang pertama sejak Indonesia diproklamirkan sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat kabinet baru yang akan berjalan akan mantap bila di dalamnya terdapat koalisi (Ukasah Martadisastra, 1987:144). Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satu pun partai yang menang secara mayoritas atau mutlak. Efek negatifnya dalam kabinet adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo waktu sesingkatnya karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen, sehingga bubarlah 175 kabinet. Akibat selanjutnya program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan. Menurut Prof. Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata Negara, dasardasarnya, memang sudah menjadi pandapat umum di dunia sampai sekarang ini bahwa adanya partai politik dalam negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun, dengan partai yang begitu banyak tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas dalam jalannya pemerintahan. Kenyataan itu mengakibatkan terjadinya sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik, di mana di dalamnya memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan sosial, serta hak-hak asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan atau partai. Demokrasi politik dipakai sebagai alasan untuk tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsurunsur feodalisme, malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan. Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidakmampuan Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antarpartai politik dari golongannya, sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Presiden Soekarno selaku Kepala negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan, serta kembalinya ke UUD 1945, yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula dimulainya babak baru pelaksanaan demokrasi. 4. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) Istilah demokrasi terpimpin telah dikemukakan oleh Presiden Soekarno sewaktu membuka Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Hal ini menunjukkan tata kehidupan politik baru yang mengubah segi-segi negatif demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal tidak cocok diterapkan di Indonesia. Kesempatan yang sama pada semua orang harus disertai pula dengan kemampuan yang kuat. Apabila tidak, warganegara yang lemah akan tertindas oleh yang kuat. Atas dasar pernyataan tersebut jelaslah bahwa struktur demokrasi terpimpin bertujuan untuk menstabilkan kondisi negara baik kestabilan politik, ekonomi maupun bidang-bidang lainnya. Walaupun demikian maksud presiden tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari konstituante. 176 Sementara itu konstituante tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Konstituante terlibat dalam perdebatan yang berkepanjangan di mana di satu pihak terdapat partai yang menghendaki sosial ekonomi. Hal ini mengakibatkan golongan terbesar tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang konstitusional, sehingga kegiatannya kemudian mengalami kevakuman. Di berbagai wilayah timbul pemberontakan, seperti DI/TII, PRRI, Permesta dan sebagainya yang melancarkan perlawanan bersenjata kepada pemerintah pusat. Kondisi ini sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga pemerintah perlu menghadapi situasi politik dan keamanan ini melalui jalan tercepat, yaitu dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian, lahirlah periode demokrasi terpimpin di Indonesia. Dalam kenyataannya kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berpikir dibatasi dalam tingkat-tingkat tertentu. Beberapa ketentuan dan peraturan tentang penyederhanaan partai, pengakuan dan pengawasan serta pembubaran partai menunjukkan bahwa Presiden mempunyai peranan dan kekuasaan terhadap kehidupan suatu partai. Hal ini berarti presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan yang menghalanginya, sehingga jelas sekali bahwa nasib partai politik ditentukan presiden. 5. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan pada Era Orde Baru Orde baru dibawah pimpinan Soeharto pada awalnya dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan Indonesia yang kacau balau setelah pemberontakan PKI September 1965. Orde baru lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan dan kebobrokan demokrasi terpimpin pada masa orde lama. Pada awalnya, orde baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik dibuatlah UU No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum, UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Atas dasar UU tersebut orde baru mengadakan pemilihan umum pertama. Pada awalnya rakyat memang merasakan peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan, melalui serangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan repelita, setelah mengalami penderitaan sejak penjajahan, awal kemerdekaan hingga berakhirnya orde lama. Namun demikian, lama-kelamaan program-program pemerintah orde baru diperuntukkan bagi kepentingan penguasa. Ambisi penguasa orde baru mulai merambah ke seluruh sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan orde baru menjadi otoriter, namun seolah-olah dilaksanakan secara demokratis. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan sang penguasa. Pancasila-pun diperalat demi legitimasi kekuasaan. Hal itu terbukti dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan orde baru (Andriani Purwastuti, 2002:45). Realisasi UUD 1945 praktis lebih banyak memberikan porsi pada presiden. Walaupun sesungguhnya UUD 1945 memang memberi wewenang yang amat besar pada lembaga kepresidenan, presiden hanyalah mandataris MPR serta dalam menjalankan pemerintahan diawasi oleh DPR. Dalam kenyataan di lapangan posisi 177 legislatif berada di bawah presiden. Seperti tampak dalam UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU Tentang Partai Politik dan Golongan Karya, serta UU Tentang Pemilihan Umum, posisi presiden terlihat sangat dominan. Dengan paket UU politik tersebut praktis secara politis kekuasaan legislatif berada di bawah presiden. Selanjutnya hak asasi rakyat juga sangat dibatasi serta dikekang demi kekuasaan, sehingga amanat pasal 28 UUD 1945 jauh dari kenyataan. Akibat kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol tersebut akhirnya penguasa orde baru cenderung melakukan penyimpangan hampir di semua sendi kehidupan bernegara. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela dan membudaya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan penguasa, kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin melebar, utang luar negeri menjadi menggunung, akhirnya badai krisis ekonomi menjalar menjadi krisis multidimensi. Rakyat yang dipelopori mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang. Akhirnya, runtuhlah orde baru bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Pelaksanaan demokrasi Pancasila masih belum sesuai dengan jiwa, semangat, dan ciri-ciri umumnya. Hal itu terjadi karena presiden begitu dominan baik dalam suprastruktur maupun dalam infrastuktur politik. Akibatnya, banyak terjadi manipulasi politik dan membudaya KKN, sehingga negara Indonesia terjerumus dalam berbagai krisis yang berkepanjangan. 6. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan pada Era Reformasi Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme UUD 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Penyelenggaraan negara semakin jauh dari citacita demokrasi dan kemerdekaan. Semua itu ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan presiden berlebihan, sehingga melahirkan budaya kurupsi, kolusi, dan nepotisme. Akibatnya, terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan. Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakil presiden Prof. Dr. BJ. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan membawa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD 1945 agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru terjadi selain karena moral penguasanya, juga memang terdapat berbagai kelemahan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, selain melakukan reformasi dalam bidang politik untuk tegaknya demokrasi melalui perubahan perundang-undangan, juga diperlukan amandemen UUD 1945. Sejumlah UU politik telah diperbarui pada tahun 1999 dan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya untuk mengawal jalannya reformasi yakni: (1) UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, yang kemudian diubah lagi menjadi UU No. 31 Tahun 2002. (2) UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, yang kemudian juga diperbarui dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan 178 DPRD. Selanjutnya juga hadir UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. (3) UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, selanjutnya diganti dengan UU No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. (4) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan telah diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2004 yang didalamnya mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada era reformasi ini telah banyak memberikan ruang gerak kepada partai politik dan lembaga negara (DPR) untuk mengawasi pemerintahan secara kritis, serta dibenarkan untuk berunjuk rasa, beroposisi maupun optimalisasi hak-hak DPR seperti hak bertanya, interpelasi, inisiatif dan amandemen. Latihan a. Soal Uraian (1) Jelaskan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―awal kemerdekaan‖ (18 Agustus 1945 sampai dengan 12 Desember 1949)! (2) Uraikan kelebihan dan kekuarangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949! (3) Terangkan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode berlakunya UUD Sementara 1950! (4) Diskripsikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―demokrasi terpimpin‖ (setelah dekrit presiden 5 Juli 1959)! (5) Jelaskan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode orde baru (1966-1998)! (6) Uraikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode Habibie dan Gus Dur! (7) Terangkan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (setelah amandemen UUD 1945) ! (8) Diantara sistem pemerintahan yang pernah diterapkan di Indonesia, menurut anda sistem mana yang paling baik? Berikan alasannya? b. Tugas Diskusi (1) Diskusikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―awal kemerdekaan‖ (18 Agustus 1945 sampai dengan 12 Desember 1949) dengan sistem pemerintahan Indonesia pada periode saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, serta sistem pemerintahan Indonesia pada periode berlakunya UUD Sementara 1950! (2) Diskusikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada periode ―demokrasi terpimpin‖ (orde lama), serta sistem pemerintahan Indonesia pada periode orde baru (1966-1998)! (3) Diskusikan kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Indonesia pada era orde baru, serta sistem pemerintahan Indonesia pada era reformasi (setelah amandemen UUD 1945) ! 179 BAB VIII WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA A. Pengantar Setiap bangsa mempunyi cita-cita baik tertulis atau tidak. Cita-cita tersebut sangat penting perannya bagi sutu bangsa karena dapat memberi gairah hidup serta memberi arah dalam penentuan tujuan nasional. Cita-cita bangsa Indonesia tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke dua sebagai dikutip berikut ini. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentaaosa menghantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur‖. Bangsa Indonesia sadar bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan dalam perjuangan bangsa, melainkan merupakan alat untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Berdasarkan citacita tersebut ditentukan tujuan nasional bangsa Indonesia yang rumusannya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat yaitu (1) membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) untuk memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi dan keadilan sosial. Dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional tersebut, ada tiga faktor penentu yang harus diperhatikan, yaitu faktor geografi, manusia, dan lingkungan. Tewujudnya cita-cita dan tujuan nasional tersebut bergantung bagaimana bangsa Indonesia memanfaatkan lingkungan geografis, sejarah, dan kondisi sosial budaya, serta bagaimana bangsa Indonesia memandang diri dan lingkungannya. Wawasan Nusantaralah yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya. B. Pengertian Wawasan Nusantara Wawasan artinya pandangan, tinjauan, penglihatan atau tanggap indrawi. Selain menunjukkan kegiatan untuk mengetahui arti pengaruh-pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, wawasan juga mempunyai pengertian menggabarkan cara pandang, cara tinjau, cara melihat atau cara tanggap indrawi. Kata nasional menunjukkan kata sifat atau ruang lingkup. Bentuk kata yang berasal dari istilah nation itu berarti bangsa yang telah mengidentifikasikan diri ke dalam kehidupan bernegara atau secara singkat dapat dikatakan sebagai bangsa yang telah menegara. Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau yang terletak di atara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia, serta di antara Benua Asia Benua Australia. Wawasan nasional merupakan ―cara pandang‖ suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya. Wawasan merupakan penjabaran dari falsafat bangsa Indonesia sesaui dengan keadaan geografis suatu bangsa, serta sejarah yang pernah 180 dialaminya. Esensinya, ialah bagaimana bangsa itu memanfaatkan kondisi geografis, sejarahnya, serta kondisi sosial budayanya dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Dengan demikian wawasan nusantara dapat diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan aspirasi bangsa yang merdeka, berdaulat, bermartabat, serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam mencapai tujuan nasional. Wawasan nusantara adalah cara pandang, cara memahami, cara menghayati, cara bersikap, cara berpikir, cara bertindak, cara bertingkah laku bangsa Indonesia sebagai interaksi proses psikologis, sosiokultural, dengan aspek astagatra (kondisi geografis, kekayaan alam, dan kemampuan penduduk serta ipoleksosbud hankam). C. Wawasan Nusantara Sebagai Wawasan Pembangunan Nasional Secara konstitusional, wawasan nusantara dikukuhkan dengan Kepres MPR No. IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E. Pokok-pokok wawasan nusantara dinyatakan sebagai wawasan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional adalah wawasan nusantara mencakup hal-hal berikut ini. Pertama, perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik memiliki arti bahwa (i) kebutuhan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa, (ii) bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti seluas-luasnya, (iii) secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad di dalam mencapai cita-cita bangsa, (iv) Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara, yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya, dan (v) seluruh kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Kedua, perwujudan kepulaun nusantara sebagai kesatuan sosial dan budaya memiliki arti bahwa (i) masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kahidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata, dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan bangsa dan (ii) budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia. Ketiga, perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi memiliki arti bahwa (i) kekayaan wilayah nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air serta (ii) tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan cirri khas yang dimiliki oleh daerah-daerah dalam mengembangkan ekonominya. 181 Keempat, perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan memiliki arti bahwa (i) ancaman terhadap satu daerah pada hakikatnya merupakan ancaman bagi seluruh bangsa dan negara serta (ii) tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam pembelaan negara. Dengan ditetapkannya rumusan wawasan nusantara sebagai ketetapan MPR, wawasan nusantara memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua penyelenggara negara, semua lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, serta semua warga negara Indonesia. Hal ini berarti bahwa setiap rumusan kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan nasional harus mencerminkan hakikat rumusan wawasasn nusantara. D. Dasar Pemikiran Wawasan Nusantara Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran wawasan nusantara. Beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pembenaran adanya konsep wawasan nusantara antara lain sebagai berikut. 1. Faktor Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil. Di antaranya, sejumlah 6.044 pulau sudah diberi nama. Hanya kurang lebih 3.000 pulau yang dihuni penduduk. Indonesia dikenal subur dengan flora dan faunanya. Di bumi Indonesia terdapat kekayaan alam yang melimpah terutama bahan-bahan vital dan strategis seperti minyak bumi, timah, besi, bauksit, mangaan, batubara. GBHN menggariskan bahwa jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Apabila dapat dibina dan dikembangkan sebagai tenaga kerja yang efekstif akan merupakan modal pembangunan yang besar. Sebaliknya, apabila tidak dibina dengan baik akan menjadi beban negara. Indonesia sebagai suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau-pulau besar dan kecil, dan mempunyai wilayah perairan yang dikelilingi oleh samudera-samudera yang luas, yaitu Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Juga diapit dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia. Dengan demikian, kedudukan negara Indonesia yang berada pada posisi silang dunia dan oleh karena itu dinamakan nusantara. Kepulauan Indonesia dengan seluruh perairannya dipandang oleh bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan utuh, tidak terpisah-pisah satu pulau dengan pulau lainnya. Cara pandang bangsa tersebut telah lama dipahami dan dihayati, sehingga dalam menyebut tempat hidupnya atau tumpah darahnya pun digunakan istilah tanah air. Istilah ini mempunyai pengertian bahwa bangsa Indonesia tidak pernah memisahkan antara tanah dan air, atau tidak memisahkan antara daratan dan lautan. Daratan dan lautan merupakan satu kesatuan yang utuh. Laut dianggap sebagai pemersatu bukan pemisah antara pulau satu dengan lainnya. 2. Faktor Geopolitik Istilah Geo memiliki arti ‗bumi‘. Jadi, geopolitik adalah politik yang tidak terlepas dari penggaruh kondisi geografis dari bumi yang menjadi wilayah hidupnya. Istilah Geopolitik (geopolitics) adalah singkatan dari geographical politics, 182 yang dicetuskan oleh Rudolf Kjellen. Kjellen mencetuskan istilah tersebut dalam rangka mengemukakan suatu sistem politk yang menyeluruh, yang terdiri atas geopolitik, demopolitik (penduduk untuk kepentingan politik), ekonomipolitik, sosiopolitik dan kratopoliti (kekuasaan untuk kepentingan politik). Bermula seorang ahli geografi bernama Frederich Ratzel mendalami biologi untuk memperluas cakrawala wawasannya, yang kemudian dia berpendapat bahwa pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup sebagai tempat naungannya, sehingga organisme dapat tumbuh dengan subur. Teorinya dikenal dengan teori organisme atau teori biologis (teori organisme biologis). Pendapat Ratzel mendapat perhatian Rudolf Kjellen yang menyatakan dengan tegas bahwa negara adalah suatu organisme, bukan hanya mirip pendapat Rastzel. Pandangan Ratzel dan Kjellen kemudian dikembangkan oleh Karl Haushofer. Houshofer melihat bahwa geopolitik-lah yang mencakup seluruh sistem politik Kjellen. Houshofer memberi arti geopolitik sebagai (i) doktrin negara di bumi , (ii) doktrin perkembangan politik di dasarkan pada hubungannya dengan bumi, dan (iii) landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan kelangsungan hidup suatu organisme negara untuk mendapatkan ruang hidupnya. Karl Houshofer mengembangkan geopolitik tersebut dan diwujudkannya dalam beberapa istilah dan pandangan berikut ini. (1) Lebensraum (ruang hidup), dengan mengambil istilah dari Ratzel, yang berarti bahwa manusia sama dengan orgnasisme yang memerlukan ruang hidup. Jika jumlah penduduk suatu negara lebih banyak dibandingkan luas wilayahnya, negara tersebut harus memperluas ruang hidupnya agar segala kebutuhannya tercukupi. Oleh karena itu, negara harus mengusahakan kebutuhan hidup bagi penduduknya. (2) Auatarki, yaitu cita-cita untuk memenuhi kebutuhan negara sendiri tanpa menggantungkan diri pada negara lain. Hal ini mungkin bisa dilakukan jika wilayah negara itu cukup luas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan pemikiran inilah lahirlah konsep Pan-region (suatu wilayah) yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam teori Lebensraum dan Autarki. Dalam menyusun konsepsinya, Haushofer memandang dunia cukup dibagi menjadi 4 pan-region, yaitu sebagai berikut. (a) Pan-Amerika, yaitu ―suatu perserikatan wilayah‖ yang paling alami karena terpisah dengan negara lain oleh samudera dan Amerika Serikat ―dianggap‖ sebagai pemimpinnya. (b) Pan-Ero Afrika, yaitu wilayah yang akan ―dikuasai‖oleh Jerman. Wilayahnya bukan hanya negara-negara kecil di Eropa, melainkan negaranegara besar seperti Prancis dan Italia berada dalam jangkauan kekuasaanya. Rusia disarankan untuk membuat pan-region sendiri, sedang Inggris dibiarkan ―mengambang‖. (c) Pan-Rusia, yaitu suatu wilayah yang meliputi Uni Soviet dan India yang dikuasai oleh Rusia. (d) Pan-Asia, yaitu bagian timur Benua Asia, Australia, dan kepulauan di antaranya ―dipimpin‖ oleh Jepang. Pan region ini oleh Jepang dinamakan ―Lingkungan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya‖. 183 Tujuan Karl Houshofer mengemukakan teori geopolitik ini ialah untuk menyiapkan upaya justifikasi atau landasan pembenaran negara Jerman untuk mengembangkan politik eskspansionisme dan rasialisme. Mengenai teori geopolitik, bangsa Indonesia tidak sependapat dengan cara berpikir Karl Hosuhofer yang mengarah ke ekspasionisme dan rasialisme. Namun dalam hal ini bangsa Indonesia berdasarkan pada pertimbangan kondisi dan konstalasi geografi wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan untuk mewujudkan cita-citanya dan tujuan nasionalnya. Landasan pemikiran tentang geopolitik bangsa Indonesia adalah falsafah Pancasila yang penerapannya tidak mengandung ekspansionisme dan kekerasan yang tercantum dalam tujuan nasional bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, yaitu dunia yang tertib, dunia yang damai, dan berkeadilan social. Selain teori geopolitik di atas masih ada beberapa teori yang lain seperti dikemukakan berikut ini. (1) Wawasan Benua Teori ini dikemukakan oleh Sir Halford Me Kender. Isi teorinya mengenai konsep kekuatan di darat atau Wawasan Benua ialah bahwa barang siapa menguasai ―daerah jantung‖ (Eropa Timur dan Rusia atau daerah poros/pivot area), ia akan mengusai pulau dunia (Eropa, Asia dan Afrika), yang pada akhirnya mengusai dunia. (2) Wawasan Bahari Teori ini dikemukakan oleh Sir Walther Releigh dan A.T. Mahan yang mengemukakan Wawasan Bahari atau konsep kekuatan di laut. Mereka mengemukakan bahwa barang siapa mengusai lautan akan menguasai perdagangan dan barang siapa menguasai perdagangan akan menguasai kekayaan dunia, sehingga dunia akan dikuasainya. (3) Wawasan Dirgantara Teori Wawasan Dirgantara atau konsep kekuatan di udara dikemukakan oleh W. Michael, A. Saversky, G. Douchet dan J.F.C. Fuller. Mereka berpendapat bahwa kekuatan di udara merupakan daya tangkal yang paling ampuh tarhadap ancaman dan dapat melumpuhkan musuh di kandangnya sendiri, agar tidak mampu lagi bergerak untuk menyerang. (4) Wawasan Kombinasi Wawasan kombinasi dikemukakan oleh N.J. Spijkman yang menghasilkan teori daerah batas (rimland). Teori ini banyak dipakai oleh negarawan ahli geopolitik dan strategi untuk menyusun kekuatan bagi negaranya. Sejauh mana pengaruh ―Wawasan-wawasan Kekuatan‖ terhadap bangsa Indonesia?. Dalam sejarah Indonesia, Indonesia pernah terpengaruh ―Wawasanwawasan kekuatan‖ tersebut di atas. Sebelum tahun 1966, zaman orde lama angkatan perang RI terpengaruh oleh wawasan-wawasan tersebut sehingga lahirlah (i) Angkatan Darat yang menganut Wawasan Benua, yang dirumuskan dalam doktrin Tri Ubaya Sakati, (ii) Angkatan Laut yang menganut Wawasan Bahari, yang dirumuskan ke dalam doktrin Eka Gasana Jaya, (iii) Angkatan Udara yang menganut wawasan Swa Buana Paksa, dan (iv) POLRI yang menganut doktrin Tata Tentrem Kartaraharja. Adanya wawasan yang berbeda-beda itu membawa persaingan antarangkatan secara tidak sehat, sehingga dapat diadu domba oleh G 30 S/PKI. Untuk mengatasinya diadakan suatu upaya menyusun doktrin yang menyangkut 184 ke empat matra (POLRI termasuk ABRI). Upaya ini dilakukan pada tahun 1966 dalam seminar Hankam yang berhasil menyusun doktrin Catur Dharma Eka Kharma. Pada tahun 1966 pertama kali dikumandangkan istilah wawasan nusantara sebagai wawasan hankamnas. Kemudian wawasan nusantara ditingkatkan menjadi wawasan nasional Indonesia, sehingga wawasan hankamnas menjadi bagian dari wawasan nusantara. 3. Faktor Geostrategi Indonesia berada pada posisi silang dunia yang sangat strategis. Posisi silang demikian membawa pengaruh kehidupan terhadap bangsanya. Pengaruh tersebut dapat merupakan pengaruh yang baik dan buruk. Negara harus lebih mempertimbangkan dan memperhatikan pengaruh-pengaruh yang tidak menguntungkan, lebih-lebih jika posisi silang Indonesia ini dikaitkan dengan sumber-sumber kekayaan alamnya, maka bahaya/ancaman dari luar akan lebih besar lagi. Posisi silang Indonesia jika kita kaji lebih dalam, ternyata tidak hanya bersifat fisik-geografis belaka, tetapi juga bersifat sosial-politik seperti berikut ini. (1) Secara demografis, penduduk di sebelah selatan jarang (Australia), sedang disebelah utara cukup padat (RRC). (2) Secara ideologis, terletak di antara liberalisme di Selatan dan komunisme di utara; antara liberal di Selatan dan sistem diktator proletariat di utara. (3) Secara politis, sistem demokrasi liberal di selatan, dan sistem diktator proletariat di utara. (4) Secara ekonomis, terletak di antara sistem ekonomi kapitalis di selatan dan sistem ekonomi sosialis (terpusat) di utara. (5) Secara sosial, terletak di antara individualisme di selatan dan sosialisme di utara. (6) Secara budaya, terletak di antara kebudayaan barat di selatan dan kebudayaan timur di utara. (7) Secara hankam, terletak di antara pertahanan maritim di selatan dan pertahanan kontinental di utara. Keberadaan Indonesia pada posisi silang menimbulkan proses akulturasi yang menjadikan bangsa Indonesia seperti sekarang ini, baik kehidupan sosial, religi, bahasa, maupun budayanya. Di pihak lain pada posisi tersebut memberikan dua alternatif yang harus diambil oleh bangsa Indonesia yaitu (i) terus menerus menjadi obyek lalulintas kekuatan dan (ii) ikut serta mengatur ―lalu-lintas‘ kekuatan dalam arti berperan sebagai subyek. Hal ini bila dihubungkan dalam bercaturan politik luar negeri yang bebas aktif. Pengaruh-pengaruh buruk dari posisi silang harus dihadapi dan diatasi, untuk itu diperlukan suatu konsep ketahanan nasional yang dilandasi wawasan nusantara. 4. Historis dan Yuridis Formal Wawasan Nusantara Untuk memahami proses pemikiran tentang wawasan nusantara perlu diadakan pendekatan secara historis dan yuridis. UUD 1945 tidak menentukan secara tegas mengenai batas-batas wilayah RI. Oleh karena itu, kita mengacu pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Segala badan negara dan Peraturan yang ada masih berlangsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. 185 Pada zaman Hindia Belanda, pada Tahun 1939, keluarlah Ordenanzie (setingkat UU) tentang Teritoriale Zee en Maritieme Krengen Ordenantie (Ordenansi tentang lautan teritorial dan wilayah maritim). Dengan ordenansi itu ditentukan bahwa setiap pulau mempunyai batas wilayah sendiri-sendiri dengan lebar 3 mil laut. Hal ini berarti bahwa di antara pulau-pulau terdapat rongga pemisah oleh ―air lautan‖ sehingga air merupakan pemisah. Dengan begitu di antara pulaupulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Kepulauan Maluku dan Papua terdapat lautan bebas yang dikenal dengan lautan internasional, sehingga kapal-kapal asing dapat bergerak bebas di lautan tersebut. Hal demikian tentu tidak menguntungkan bagi negara kepulaun yang berdaulat seperti Indonesia. Berarti kapal-kapal perang asing (termasuk Belanda) dapat berkalayar bebas dari Belanda menuju Papua (Irian Jaya) yang pada waktu itu masih dijajahnya, sehingga sangat merugikan dari aspek keamanan nasional. a. Deklarasi Juanda Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan ―Deklarasi Juanda‖ yang digunakan untuk menggantikan Ordenasi wilayah teritorial laut produk Pemerintah Penjajahan Belanda. Pada hakikatya Deklarasi Juanda menerapkan ―asas kepulauan‖ yang memandang kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan utuh tidak terpisahkan, yang mengganti ―asas pulau‖ yang dianut pada zaman Hindia Belanda. Kemudian deklarasi tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 4/PRP/1960 yang isinya sebagai berikut. (1) Perairan Indonesia adalah lautan wilayah beserta perairan pedalaman (perairan Wilayah Nusantara). (2) Laut wilayah teritorial Indonesia selebar 12 mil laut dari pulau-pulau terluar yang dihubungkan dengan garis lurus antara pulau satu dengan pulau lainnya. (3) Apabila ada selat yang lebarnya kurang dari 24 mil laut dan NKRI tidak merupakan satu-satunya negara tepi (disebelah wilayah RI ada negara tetangga), maka batas wilayah laut RI ditarik pada tengah selat. (4) Perairan pedalaman (perairan Nusantara) adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis dasar. (5) Hak lintas laut damai kapal perang asing diakui dan dijamin sepanjang tidak mengganggu keamanan dan keselamatan negara/bangsa Indonsia. Implikasi positif (klaim) Wawasan Nusantara yang tercantum dalam UU No. 4/PRP/ 1960 ialah sesuai dengan Ordenansi 1939 wilayah Hindia Belanda hanya seluas 2.027.087 Km2 berdasarkan ―asas pulau‖, maka berdasarkan ―asas kepulauan‖ wilayah RI menjadi bertambah 3.166.163 Km2 wilayah perairan pedalaman/perairan wilayah nusantara, hingga berdasarkan klaim tersebut luas wilayah RI menjadi 5.193.250 Km2 (terdiri dari lautan dan daratan). Meskipun pertambahan wilayah berwujud perairan, namun mengandung kekayaan alam. Ketentuan yang ada pada undang-undang tersebut merupakan perwujudan makna dari alinea 4 Pembukaan UUD 1945 apabila dihubungkan dengan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ―Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik‖. Lebih penting dari itu adalah bahwa Deklarasi Juanda 1957 merupakan titik pangkal lahirnya klaim wawasan nusantara yang merupakan konsepsi kewilayahan. 186 Penentuan garis batas Indonesia dengan menggunakan jalan menghubungkan pulau-pulau terluar dengan garis lurus antara pulau satu dengan pulau lainnya adalah mengikuti jurisprodensi yang dikeluarkan Mahkamah Internasional di Den Haag tahun 1951, yaitu tentang putusan sengketa perairan antara Norwegia dan Inggris tahun 1939 (Anglo-Norwegian Fisheries Case), putusannya dikenal dengan istilah (sebutan) ―point to point theori‟ Mengenal ―lalu-lintas damai‖ diatur dalam PP Nomor 8.1962 dan dijabarkan dalam Kepres Nomor 16/1971 tentang izin berlayar bagi kapal asing sipil oleh Menteri Perhubungan dan bagi kapal asing militer harus mendapatkan izin dari Menteri Pertahanan Keamanan. b. Konsep Landas Kontinen Indonesia dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, baik di daratan, di bawah tanah, maupun yang berada di lautan perairan Indonesia. Untuk merealisir pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat telah dikeluarkan UU No. 44/1960 tentang ―Pertambangan Minyak dan Gas Bumi‖ serta UU No. 11/1967 tentang ―Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan‖. Meskipun telah dikeluarkan perundang-undangan tersebut di atas, untuk lebih memperluas ruang lingkup dan lebih berhasil guna Pemerintah RI pada tanggal 17 Februari 1969 mengeluarkan pengumuman tentang ―Deklarasi Landas Kontinen Indonesia‖. Deklarasi tersebut kemudian dikukuhkan dengan UU No. 1/1973 tentang ―Landas Kontinen Indonesia‖, yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sudah menjadi pendapat banyak negara bahwa landas kontinen merupakan suatu kelanjutan dari daratan, sehingga wajar sumber kekayaan alam yang terdapat di bawah landas kontinen tersebut merupakan hak eksklusif negara yang bersangkutan. Deklarasi tersebut sesuai dengan kebiasaan praktik negara yang dibenarkan pula oleh Hukum Internasional, yaitu bahwa suatu negara pantai mempunyai penguasaan dan yurisdiksi yang eksklusif atas kekayaan mineral dan kekayaan lainnya dalam dasar laut dan tanah di bawahnya pada landas kontinen sampai kedalaman 200 meter. Untuk mencapai tujuan yang terkandung dalam Deklarasi Juanda tersebut, Pemerintah RI telah menyelesaikan soal-soal tentang garis landas kontinen dengan negara-negara tetangga dan berdasarkan persetujuan batas kontinen tadi RI mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen seluas lebih kurang 800.000 mil persegi. c. Konsepsi Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil Didorong oleh kemajun ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang penambangan dan kekayaan alam hayati, serta adanya peningkatan jumlah penduduk dunia maka negara berusaha memenuhi kebutuhan manusia demi kelestarian hidup bangsa. Tanpa mengadakan ekspansi kewilayahan terhadap wilayah daratan negara lain, negara-negara pantai memanfaatkan perairan/lautan seluas mungkin, yaitu 200 mil laut apabila tidak berhadapan dengan negara lain. Saat ini telah ada lebih kurang 90 negara yang mengeluarkan pernyaataan tentang ZEE, yang sering disebut ―Zone Perikanan‖. Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar berbatasan dengan lautan sering dihadapkan pada 187 tindakan sepihak oleh negara-negara asing yang kapal-kapalnya masuk perairan wilayah Indonesia untuk ―menguras‖ ikan. Oleh karenanya, seperti negara-negara pantai lainnya yang telah mengumumkan ZEE, Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 mengumumkan tentang ―Deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia‖, yang dikukuhkan dengan UU No. 5 Tahun 1983. Di dalam ZEEI kebebasan pelayaran dan penerbangan internaional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa di bawah permukaan laut dijamin sesuai dengan hukum internasional. d. Ruang Angkasa Kalau kita membagi secara horizontal maka kita akan menghadapi batas wilayah di darat dan di laut, tetapi kalau kita membagi secara vertikal kita akan menghadapi ―batas‖ di ruang angkasa, di dasar laut, dan tanah di bawahnya. Apabila kita sebelumnya telah membicarakan tentang matra daratan dan matra lautan, sekarang akan dibahas matra udaranya. Membicarakan matra udara terasa penting terutama setelah ditemukannya pesawat terbang dan ditambah lagi dengan kemajuan IPTEK yang lain. Dalam menerapkan Hukum Angkasa terdapat juga beberapa aliran yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ialah Teori Udara Bebas yang meliputi (i) kebebasan ruang tanpa batas yang artinya dapat dipergunakan oleh siapa pun, sehingga tidak ada negara yang mempunyai hak dan kedaulatan di ruang udara dan (ii) kebebasan ruang terbatas yang terdiri atas dua ketentuan berikut: (a) negara kolong berhak mengambil tindakan tertentu untuk memelihara keamanan dan keselamatan dan (b) negara kolong hanya mempunyai hak terhadap wilayah tertentu. Teori yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara haruslah terbatas adalah sebagai berikut. Teori Keamanan Fauchille menyatakan bahwa negara mempunyai kedaulatan wilayah udara dibatasi dengan kebutuhan untuk menjaga keamanan. Pada Tahun 1901 batas keamanan ditentukan dengan ketinggian 1.500 m, tetapi pada tahun 1910 diubah menjadi 500 m. Teori Penguasaan Cooper Pada tahun 1950 Cooper menyatakan bahwa kedaulatan udara detentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan dalam menguasai ruang udara di atas wilayahnya secara fisik dan ilmiah. Teori ini menguntungkan bagi negaranegara yang memiliki teknologi tinggi (canggih), sebaliknya merugikan bagi negara-negara berkembang. Teori Udara Schachter Schachter menyatakan bahwa wilayah udara hendaknya sampai suatu ketinggian di mana udara masih cukup mampu mengangkat atau mengapungkan balon/pesawat udara. Pada saat ini ketinggian tersebut lebih kurang 30 mil dari muka bumi. Kedua, ialah Teori Negara Berdaulat di Udara. Belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai teori ini. Mengenai airspace (ruang angkasa) masih sering menimbulkan salah pengertian batas jarak ketinggian di ruang udara, yaitu dari mana awal mengukurnya; apakah diukur dari permukaan laut atau titik tertinggi (puncak gunung) negara tersebut. Bagi Indonesia wilayah dirgantara 188 (ruang angkasa dan antariksa) termasuk orbit geostasioner adalah dengan jarak lebih kurang 36.000 km diukur dari titik gunung tertinggi di Indonesia. E. Unsur Dasar Wawasan Nusantara Wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya merupakan fenomena (gejala) sosial yang dinamis yang memiliki tiga unsur dasar, yaitu wadah, isi, dan tata laku. a. Wadah Untuk memahami konsep wadah kita perlu meninjau arti Asas Archipelago, yaitu kumpulan pulau-pulau dan lautan sebagai kesatuan wilayah (kesatuan Archipelago). Artinya, antara kepulauan dan wilayah perairan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang batas-batasnya ditentukan oleh wilayah laut. Dalam lingkungan tersebut terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau yang menjadi satu kesatuan wilayah. 1) Bentuk Wujud Bentuk wujudnya berupa kepulauan nusantara yang mempunyai kedudukan geografis yang khas, yaitu yang berada diposisi silang dunia serta mempunyai pengaruh besar dalam tata kehidupan dan sifat perikehidupan nasional. Adapun pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya (i) menjadi lalu lintas aspek-aspek kehidupan sosial dunia, (ii) hubungan antarbangsa akan lancar apabila kepentingan nasionalnya terpenuhi atau minimal tidak dirugikan, (iii) wilayah nusantara mempunyai kekayaan alam yang melimpah, sumber daya manusia yang melimpah dan murah yang merupakan daya tarik tersendiri bagi negara-negara yang tidak memilikinya, sehingga merupakan sumber yang tidak menguntungkan bagi nusantara. Bentuk wujud nusantara memiliki sifat yang manunggal, utuh, dan menyeluruh yang meliputi manunggal dalam bidang (i) wilayah, (ii) bangsa, (iii) ideologi, (iv) politik, (v) ekonomi, (vi) sosial budaya, (vii) hankam, (viii) psikologi, dan (ix) kehidupan. 2) Tatanan Susunan Pokok/Tata Inti Organisasi Sarana untuk mengetahui organisasi suatu negara ialah dengan mempelajari UUD-nya. Demikian halnya untuk Indonesia harus dilihat pada UUD 1945. Tata inti organisasi yang dimaksud menyangkut hal-hal berikut ini. Pertama, bentuk kedaulatan (Bab I Pasal 1) yang meliputi (i) negara kesatuan yang berbentuk Republik dan (ii) kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Kedua, kekuasaan pemerintah negara (Bab III Pasal 4 s/d 15) yang berkenaan dengan ketentuan bahwa Persiden RI memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD. Ketiga, sistem pemerintah negara (Penjelasan UUD 1945) yang berkenaan dengan ketentuan bahwa (i) Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasan belaka, (ii) pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi dan tidak berdasarkan absolutisme (Kekuasaan tidak tak terbatas), (iii) kekuasaan tertinggi ada di tangan MPR, (iv) Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di samping (di bawah) MPR, (v) Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR, (vi) menteri negara adalah pembatu presiden; menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, dan (vii) 189 kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Keempat, sistem perwakilan (Bab VII pasal 19) yang berkenaan dengan ketentuan bahwa (i) kedudukan DPR kuat, tidak dapat dibubarkan oleh Presiden dan (ii) anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR, sehingga dapat senantiasa mengawasi tindakan presiden sebagai mandataris MPR. 3) Tata susunan Pelengkap/Kelengkapan organisasi Agar tujuan nasional dapat tercapai dengan tertib dan mantap diperlukan suatu tata kelengkapan organisasi, antara lain (i) aparatur negara harus mampu mendorong, menggerakkan, dan mengerahkan usaha-usaha pembangunan ke sasaran yang telah ditetapkan untuk kepentingan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan (ii) kesadaran politik dan kesadaran bernegara dari masyarakat, organisasi negara harus mampu untuk meningkatkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara dari masyarakat, serta menampung aspirasi politik masyarakat baik sebagai perorangan atau orsospol/ormas dalam rangka meningkatkan stabilitas politik. b. Isi Aspirasi bangsa Indonesia sebagai ―isi‖ dari wawasan nusantara dapat dirinci menjadi cita-cita proklamasi, asas/sifat dan ciri-ciri, dan cara kerja. Cita-cita yang terkandung dalam wawasan nusantara adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil dan makmur‖. Cita-cita wawasan nusantara itu ke dalam bertujuan untuk (i) melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah air, (ii) mewujudkan kesejahteraan umum, dan (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa. Aspirasi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai kesatuan yang utuh menyeluruh memiliki ciri-ciri atau sifat sebagai berikut. (1) Manunggal, yaitu keserasian dan keseimbangan yang dinamis dalam segenap aspek kehidupan, baik aspek alamiah maupun aspek sosial, sesuai makna sesanti ―Bhineka Tunggal Ika‖. (2) Utuh-menyeluruh, yaitu bahwa aspirasi bangsa dalam mewujudkan Wawasan Nusantara yang utuh menyeluruh (komprehensif dan integral) dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga akan menghasilkan nusantara dan rakyyat Indonesia yang utuh, bulat dan tidak terpecah-pecah oleh kekuatan apapun, sesuai dengan Sumpah Pemuda ―Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa‖. (3) Cara kerja bangsa Indonesia untuk mewujudkan Wawasan Nusantara berpedoman kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan UUD 1945 yang memberikan arah mengenai pengendalian hidup bermasyarakat serta penetapan hak asasi dan kewajiban bangsa Indonesia. Untuk dapat mencapai kebahagian lahir dan batin serta untuk dapat mencapai tujuan dari Wawasan Nusantara (identik dengan wawasan nasional atau tujuan nasional), maka dipersyaratkan agar semua WNI dapat mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik secara obyektif dan subyektif. Secara objektif, Pancasila yang berfungsi sebagai falsafah negara dijadikan sumber hukum dan mendasari segenap penyelenggara negara. Secara subjektif, pengamalan Pancasila oleh individu bangsa Indonesia sendiri dalam tindakan dan kegiatan sehari-hari (hal ini dilakukan secara menyeluruh dalam cipta, karsa, dan karya). 190 C. Tata laku Tata laku sebagai unsur dari wawasan nusantara adalah tindakan perilaku bangsa Indonesia dalam melaksanakan aspirasinya guna mewujudkan Indonesia sebagai kesatuan yang utuh menyeluruh dalam mencapai tujuan nasional. Tata laku itu meliputi tata laku batiniah dan tata laku lahiriah. Tata laku batiniah berwujud pengamalan falsafah Pancasila yang melahirkan sikap mental sesuai kondisi lingkungan hidupnya dalam mewujudkan wawasan nusantara. Tata laku batiniah terbentuk karena kondisi dalam proses pertumbuhan hidupnya yang merupakan produk dari kebiasaan yang membudaya. Tata laku batiniah dipergunanakan oleh keyakinan akan agama suatu kepercayaan dan tuntutan budi pekerti. Tata laku lahiriah dituangkan dalam suatu pola tata laku yang dapat dirinci dalam (i) tata–perencanaan, (ii) tata–pelaksanaan, dan (iii) tata– pengendalian atau pengawasan. Berdasarkan uraian di atas, unsur wawasan nusantara dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Wadah dari wawasan nusantara adalah wilayah negara kesatuan RI yang berupa nusantara dan organisasi negara RI sebagai kesatuan utuh. (2) Isi wawasan nusantara adalah aspirasi Bangsa Indonesia berupa cita-cita nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (3) Tatalaku dari wawasan nusantara adalah kegiatan atau tindakan/perilaku bangsa Indonsesia untuk melaksanakan falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang apabila dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dapat menghasilkan wawasan nusantara. F. Wawasan Nusantara dan Integrasi Wilayah Wawasan nusantara sebagai ―cara pandang‖ bangsa Indonesia yang melihat Indonesia sebagai kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam merupakan landasan dan dasar bagi bangsa Indonesia dalam menyelesaikan segala masalah dan hekikat ancaman yang timbul baik dari luar maupun dari dalam segala aspek kehidupan bangsa. Sebagai landasan kerja bagi penyelenggaraan dan pembinaaan hidup kebangsaan serta hidup kenegaraan perlu didasari oleh GBHN sebagai produk MPR (pasal 3 UUD 1945) dan APBN sebagai produk legeslatif dan eksekutif (pasal 23 ayat 1 UUD 1945). Salah satu manfaat yang paling nyata dari penerapan wawasan nusantara adalah di bidang politik, khususnya di bidang wilayah. Dengan diterimanya konsepsi wawasan nusantara (Konsepsi Deklarasi Juanda) di forum internasional terjaminlah integrasi teritorial kita, yaitu ―Laut Nusantara, yang semula dianggap laut bebas‖ menjadi bagian integral wilayah Indosia. Di samping itu pengakuan landas kontinen Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) menghasilkan pertumbuhan wilayah Indonesia yang cukup besar, sehingga menghasilkan luas wilayah Indonesia yang semula nomor 17 di dunia menjadi nomor 17 di dunia. Pertambahan luas ruang hidup tersebut di atas menghasilkan sumber daya alam yang cukup besar bagi kesejahteraan bangsa, mengingat bahwa minyak, gas bumi, dan mineral lainnya banyak yang berada di dasar laut, baik di lepas pantai (off shore) maupun di laut dalam. Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional, termasuk tentangga dekat kita, yaitu Malaysia, 191 Singapura, Thailand, Filipina, India, Australia, dan Papua Nugini yang dinyatakan dengan persetujuan yang menyangkut laut teritorial maupun landas kontinen. Persetujuan tersebut dapat dicapai karena Indonesia dapat memberikan akomodasi kepada kepentingan negara-negara tetangga antara lain bidang perikanan (traditional fishing right) dan hak lintas dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur atau sebaliknya. Penerapan wawasan nusantara di bidang komunikasi dan transportasi dapat dilihat dengan adanya satelit Palapa dan Microwave System serta adanya lapangan terbang perintis dan pelayaran perintis. Dengan adanya proyek tersebut laut dan hutan tidak lagi menjadi hambatan yang besar sehingga lalu lintas perdagangan dan integrasi budaya dapat lancar jalannya. Penerapan wawasan nusantara di bidang ekonomi juga lebih dapat dijamin mengingat kekayaan alam yang ada lebih bisa dieksploitasi dan dinikmati serta pemerataannya dapat dilakukan karena sarana dan prasarana menjadi lebih baik. Penerapan di bidang sosial budaya terlihat dari dilanjutkannya kebijakan menjadikan bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika, sebangsa, setanah air, senasib sepenanggung, dan berasaskan Pancasila. Tingkat kemajuan yang sama merata dan seimbang terlihat dari tersedianya sekolah di seluruh tanah air dan adanya universitas negeri di setiap provinsi. G. Wawasan Nusantara dan Integrasi Nasional Dalam usaha mencapai tujuan nasional masih banyak yang mempunyai pandangan berbeda atau persepsi berbeda. Untuk itu pemerintah Indonesia telah mempunyai rumusan dalam konsep pandangan nasional yang komprehensif dan integral dalam bentuk wawasan nusantara. Wawasan ini akan memberikan konsepsi yang sama pada peserta didik tentang visi ke depan bangsa Indonesia untuk menciptakan kesatuan dan persatuan, sehingga akan menghasilkan integrasi nasional. Secara teoretis integrasi dapat dilukiskan sebagai pemilikan perasaan keterikatan pada suatu pranata dalam suatu lingkup teritorial guna memenuhi harapan-harapan yang bergantung secara damai di antara penduduk. Secara etimologis, integrasi berasal dari kata integrate, yang artinya memberi tempat bagi suatu unsur demi suatu keseluruhan. Kata bendanya integritas berarti utuh. Oleh karena itu, pengertian integrasi adalah membuat unsur-unsurnya menjadi satu kesatuan dan utuh. Integrasi berarti menggabungkan seluruh bagian menjadi sebuah keseluruhan dan tiap-tiap bagian diberi tempat, sehingga membentuk kesatuan yang harmonis dalam kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI) yang bersemboyankan ―Bhineka Tunggal Ika‖. Integrasi nasional merupakan hal yang didambakan yang dapat mengatasi perbedaan suku, antargolongan, ras, dan agama (SARA). Kebhinekaan ini merupakan aset bangsa Indonesia jika diterima secara ikhlas untuk saling menerima dan menghormati dalam wadah NKRI. Menurut Sartono Kartodirdjo, integrasi nasional berawal dari integrasi teritorial dan merupakan integrasi geopolitik yang dibentuk oleh transportasi, navigasi, dan perdagangan, sehingga tercipta komunikasi ekonomi, sosial, politik, kultural yang semakin luas dan intensif. Pada masa prasejarah telah terbentuk jaringan navigasi yang kemudian berkembang dan sampai puncaknya pada masa Sriwijaya dan Majapahit serta yang pada zaman Hindia Belanda diintesifkan 192 melalui ekspedisi militer. Pada masa NKRI diperkokoh dengan adanya sistem administrasi yang sentralistik melalui sistem idukasi, militer, dan komunikasi (Sartono Kartodirdjo, 1993: 85). Menurut Drake integrasi nasional adalah suatu konsep yang multidimensional, kompleks, dan dinamis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam integrasi nasional antara lain sebagai berikut. Pertama, pengalaman historis yang tampil sebagai kekuasaan yang kohesif, berawal dari penderitaan yang menjadi bagian warisan bersama sebuah negara. Kedua, atribut sosio-kultural bersama seperti bahasa, bendera, bangsa yang membedakan dengan bangsa lain dan yang memungkinkan WNI memiliki rasa persatuan. Ketiga, interaksi berbagai pihak di dalam negara kebangsaan dan adanya interdependensi ekonomi regional (Flip Litay, 1997; 10). Masyarakat Indonesia sangat heterogin dan pluralistis. Oleh karena itu, bagi integrasi sosial budaya unsur-unsurnya memerlukan nilai-nilai sebagai orientasi tujuan kolektif bagi interaksi antarunsur. Dalam hubungan ini ideologi bangsa, nilai nasionalisme, kebudayaan nasional mempunyai fungsi strategis. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisonal dan primodial yang tidak relevan dengan masyarakat baru. Dengan demikian nilai nasionalisme memiliki nilai ganda, yaitu selain meningkatkan integrasi nasional, juga berfungsi menanggulangi dampak kapitalisme dan globalisasi serta dapat mengatasi segala hambatan ikatan primordial. Apabila dipikirkan antara integrasi dan nasionalisme saling terkait. Integrasi memberi sumbangan terhadap nasionalisme dan nasionalisme mendukung integrasi nasional. Oleh karena itu, integrasi nasional harus terus dibina dan diperkuat dari waktu ke waktu. Kelalaian terhadap pembinaan integrasi dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi bangsa. Sebagai contoh, keinginan berpisah dari NKRI oleh sebagian masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku karena selama puluhan tahun mereka hanya sebagai objek dan bukan subjek. Mereka hanya mendapat janji-janji kesejahteraan tanpa bukti dan menentang ketidakadilan di segala bidang. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah pusat dapat mengakomodasikan setiap isu yang timbul di daerah. Integrasi nasional biasanya dikaitkan dengan pembangunan nasional karena masyarakat Indonesia yang majemuk sangat diperlukan untuk memupuk rasa kesatuan dan persatuan agar pembangunan nasional tidak terkendala. Dalam hal ini kata-kata kunci yang harus diperhatikan adalah mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis dan saling membantu atau dalam koridor lintas SARA. Integrasi mengingatkan adanya kekuatan yang menggerakkan setiap individu untuk hidup bersama sebagai bangsa. Dengan integrasi yang tangguh yang tercermin dari rasa cinta, bangga, hormat, dan loyal kepada negara, cita-cita nasionalisme dapat terwujud. Dalam integrasi nasional masyarakat termotivasi untuk loyal kepada negara dan bangsa. Dalam integrasi terkandung cita-cita untuk menyatukan rakyat mengatasi SARA melalui pembangunan integral. Integrasi nasional yang solid akan memperlancar pembangunan nasional dan pembangunan yang berhasil akan memberikan dampak positip terhadap negara dan bangsa sebagai perwujudan nasionalisme. Dengan berhasilnya pembangunan sebagai wujud nasionalisme, konflik-konflik yang mengarah kepada perpecahan atau disintegrasi dapat diatasi 193 karena integrasi nasional memerlukan kesadaran untuk hidup bersama dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis. Negara dan bangsa sebagai institusi yang diakui, didukung, dan dibela oleh rakyat diharapkan mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat dan memperjuangkan nasip seluruh warga bangsa. Dalam mengatasi isu-isu disintegrasi, pemerintah perlu melegalkan tuntutan mereka sejauh masih dalam koridor NKRI. Selruh warga bangsa perlu berempati pada masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku. Perlu dimengerti bahwa masyarakat Papua adalah Indonesia yang di dalamnya terdiri dari banyak etnis, sebab tanpa Aceh dan Papua Indonesia bukan ―Indonesia Raya‖ lagi. Dengan menaruh rasa empati kepada mereka, serta disertai tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat yang menginginkan untuk berpisah tersebut dapat menyadari bahwa mereka dan ―kita‖ adalah satu untuk mewujudkan kepentingan bersama, kemakmuran bersama, rasa keadilan bersama, dalam wadah NKRI. Namun bila isu-isu tidak pernah ditanggapi dan justru dengan pendekatan keamanan (militer), hal ini akan menimbulkan kesulitan di masa yang akan datang. Tututan yang wajar perlu diakomodasikan sehingga mungkin dapat meredakan keinginan berpisah dari NKRI. Perlu dicatat bahwa pemerintah RI harus meningkatkan kesejahteraan seluruh warga bangsa karena hal ini merupakan kunci terciptanya integrasi nasional demi terwujudnya cia-cita nasionalisme. Dalam usaha mencapai tujuan nasional, masih banyak yang memiliki pandangan berbeda. Untuk itu pemerintah telah merumuskan pandangan nasional yang komperhensif dan integral yang dikenal dengan wawasan nusantara. Wawasan ini akan memberikan konsepsi yang sama kepada peserta didik tentang visi ke depan bangsa Indonesia untuk menciptakan kesatuan dan persatuan secara utuh, sehingga dapat mewujudkan integrasi nasional. Adanya nilai-nilai nasionalisme, khususnya nilai kesatuan, sangat mendukung terwujudnya integrasi nasional. Dengan demikian nilai-nilai wawasan nusantara, kususnya nilai kesatuan, yaitu kesatuan IPOLEKSOSBUD-HANKAM sangat mendukung adanya integrasi nasional. H. Wawasan Nusantara dan Kerukunan Umat Beragama Agama di satu sisi dapat meningkatkan integrasi nasional, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan konflik SARA, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di Sampit, Pangkalanbun Kalimantan, Poso, Tantena di Sulawesi, Ambon, dan Papua. Konflik berbau SARA bisa terjadi karena adanya monopoli kebenaran ajaran agama dan menganggap agama lain tidak benar. Umat beragama sering bersifat konservatif, menganggap agamanya secara dogmatik paling benar, sehingga tidak membuka peluang untuk berdialog dengan agama lain dan tertutuplah toleransi antarumat beragama. Sikap semacam ini akan menimbulkan keretakan hubungan antarumat beragama. Membicarakan agama dalam kohesi sosial atau kajian fungsional atas agama sebagai penerapan wawasan nusantara perlu kajian hubungan antara agama dan subsistem yang lain. Ada beberapa hal yang disebut oleh O‘Dea mengenai fungsi agama (Kuntowijoyo, 1997: 7), yaitu sebagai berikut. Pertama, agama merujuk suatu apa yang ada di luar. Agama dapat menjadi semangat atau suport, memberi hiburan (pengharapan), dan rekonsiliasi. Manusia memerlukan suport dalam 194 menghadapi masa depan yang tidak pasti, memberikan pengharapan untuk berjalan dengan iman, atau hiburan ketika menghadapi kekecewaan, dan rekonsiliasi dengan masyarakat bila mengalami keterpencilan dari tujuan dan norma sosial. Kedua, agama memberikan hubungan transendental melalui upacaraupacara persembayangan sehingga memberikan rasa aman dan identitas yang kokoh dalam menghadapi perubahan. Ketiga, agama mensakralkan norma dan nilai dalam masyarakat, menjaga kelestarian dominasi tujuan dan disiplin kelompok atas keinginan dan dorongan-dorongan individual (sebagai sosial kontrol). Keempat, agama sebagai kritik sosial, di mana norma-norma yang sudah melembaga ditinjau ulang sesuai dengan fungsi kenabiannya (prophetic agama). Kelima, agama memberikan identitas dan menyadarkan tentang ―siapa‖ mereka dan ―apa‖ mereka. Keenam, agama berfungsi dalam hubungannya dengan kematangan seseorang individu dalam masyarakat. Ketujuh, agama berfungsi dalam membentuk social solidarity (solidaritas sosial). Kedelapan, agama dapat berperan dalam pemerataan pendapatan (Kuntowijoyo, 1997: 7). Jadi kajian fungsi agama sangat berperan dalam membentuk solidaritas sosial untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Nilai-nilai agama bisa memberi semangat bagi individu dan kelompok masyarakat dalam menghadapi krisis multidimensional yang tidak kunjung selesai dan menghadapi disintegrasi bangsa seperti kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggurita. Nilai agama dapat mendorong antarumat untuk bersinergi dan kerja sama untuk membentuk kerukunan antarumat beragama. Nilai-nilai agama memberi penghiburan dan harapan untuk menghadapi ketidakpastian dan meyakini ada saatnya krisis total akan berakhir dan bangsa bisa bersatu mewujudkan tujuan nasionalnya. Para pakar agama, dalam konflik SARA menyerankan mengendepankan dialog antaragama dengan mendatangkan tokoh-tokoh agama dengan tujuan agar terjadi sinergis kerja sama antarpemimpin agama dan umatnya, sehingga terjadi harmonisasi umat beragama (kompas, 27 April 2006, hal. 16). Namun yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Hak hidup dan kebebasan beragama diwarnai konflik-konflik seperti yang terjadi di berbagai daerah. Hal ini bukan merupakan kebijaksanaan pemerintah, seolah-olah peristiwa di atas merupakan postulat P Huntington bahwa tantangan dunia modern adalah benturan peradaban budaya barat dan timur (Kompas, 27 April 2006: 13). 1. Pentingnya Kerukunan Umat Definisi kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam negara Kesatuan Repblik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006, Nomot 8 Tahun 2006, Bab I pasal 1). Kerukunan antarumat beragama ini bisa terwujud jika ada toleransi saling memahami, menghormati, menghargai, kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing dan membangun kerja sama yang positif dan produktif. Maria Van Der Hoeven, Mentri Pendidikan Belanda, dalam lawatannya ke Indonesia 195 mengemukakan bahwa kerukunan antarumat beragama merupakan kunci dalam mewujudkan Civil Society. Pengembangan kehidupan agama, pendidikan, dan pemerintahan yang demokratis adalah kunci pengembangan masyarakat sipil. Agama perlu diajarkan di lembaga pendidikan secara terbuka dan tidak dogmatis demi penanaman pemahaman antarumat beragama. Penguatan kehidupan keagamaan masyarakat dengan memberi kebebasan penuh dalam hidup beragama justru akan mensuport masyarakat yang lebih demokratis. Peran pendidikan agama diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya dan dapat menjadi dasar bagi peserta didik agar hidup berguna dalam mengembangkan IPTEKS (ilmu pengetahuan teknologi dan seni) dan mampu memgantisipasi perubahan zaman, perubahan sosial, dan globalisasi. Nilai-nilai agama dijadikan panduan, keyakinan yang membimbing, mengarahkan bagi setiap individu dan kelompok masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan agama juga diharapkan sebagai moral force (kekuatan moral) bagi bangsa untuk menghadapi segala permasalahan yang ada dan mewujudkan integrasi nasional atau pun tujuan nasional. Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan antarumat beragama dalam masyarakat dan mewujudkan persatuan nasional (Sunarso, 2000: 12). Pendidikan kerukunan antarumat beragama diharapkan dapat terintegrasi seperti di Belanda yang terdapat agama Katolik, Kristen, Yahudi, dan Islam. Untuk membangun kehidupan sipil yang baik pemerintah memfasilitasi pendidikan agama yang diajarkan secara terbuka dan tidak dogmatik. Siswa yang beragama Kristen (sebagai agama mayoritas) mempelajari agama lain atau sebaliknya dan selain itu diadakan dialog antaragama secara ilmiah. Rektor UMY Yogyakarta Dr. Khoirudin Bashori sependapat untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama perlu diadakan pendidikan agama dengan pendekatan demokratis, dengan sendirinya pengembangan kurikulum bisa mengarah pada pengembangan masyarakat demokratis. Pembelajaran pendidikan agama seharusnya tidak dilakukan secara dogmatik dan eksklusif. Pengembangan pendidikan, pemerintahan yang demokratis, dan pendidikan agama seharusnya terintegrasi, sehingga terjadi hubungan yang harmonis dalam upaya pembangunan masyarakat sipil. Pendidikan agama harus ditanamkan pemahaman tentang karakteristik dan kultur agama yang berbedabeda. Cara ini dapat meminimalkan munculnya kesalahpahaman antarumat beragama. Pendidikan agama yang terbuka di Belanda dapat ditiru dan diterapkan di Indonesia sehingga bisa meminimalkan konflik SARA dan tercapai kerukunan antarumat beragama (Kompas, 6 Mei 2006, hal G). Kerukunan antarumat beragama akan memberikan konstribusi terhadap ketahanan nasional yang didasari wawasan nusantara. Gagasan kerukunan umat beragama didasari kasus kerusuhan Bondowoso, Rengasdenglok, Tasikmalaya, dan Ketapang. Oleh karena itu, perlu pemecahan melalui dialog antarumat beragama agar menghasilkan kerukunan antarumat beragama. Dialog antarumat beragama pada hakikatnya adalah percakapan terus terang dan bertanggung jawab yang didasari saling pengertian dalam menanggulangi kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, perlu adanya ―agree 196 in disagreement‖ atau setuju dalam perbedaan dan setiap peserta diharapkan berlapang dada dalam sikap dan perbuatan (Ajat Sudrajad, 2001: 2). Agar pembinaan umat beragama dapat memperkokoh integrasi nasional maka perlu prinsip-prinsip, meningkatkan kualitas iman bagi umat, dan mengimplikasikan iman dalam kepekaan moral, kepekaan sosial, sehingga menghasilkan sikap toleransi dan terbuka. Kebebasan kehidupan beragama bagi setiap warga bangsa, tanpa monopoli kehidupan beragama, dan setiap umat diberi kebebasan beribadah dan menjalankan agamanya. Pemerintah sangat berperan dalam kerukunan umat beragama melalui dialog antarpemimpin umat untuk menciptakan inter dan antarumat beragama. Pola pembinaan pemerintah melalui tiga bentuk, yaitu kerukunan intern umat, kerukunan antarumat, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah atau ―Tri kerukunan umat‖. Untuk menciptakan kondisi harmonis kerukunan antarumat beragama, para pemimpin umat perlu menanamkan nilai-nilai kemajemukan agama dan pluralisme agama sebagai kenyataan yang ada dalam diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsekwensinya setiap umat harus mengakui dan menghormati agama lain. Pluralitas agama merupakan realitas sosial. Oleh karena itu, perlu dibangun prinsip kebebasan dalam memeluk agama, sikap toleran, dan menghormati agama lain. Kerukunan antarumat adalah kondisi sosial di mana semua agama dan kepercayaan bisa hidup berdampingan tanpa mengurangi hak masing-masing untuk melaksanakan kewajibannya dan masing-masisng hidup rukun dan damai. Kerukunan ini hanya bisa dicapai apabila masing-masing pemeluk agama berlapang dada dalam kehidupan beragama serta saling menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki masyarakat yang plural. 2. Membentuk Kerukunan Umat Menurut rohaniawan Hartoyo nilai-nilai subtansial sebagai akar budaya dalam hidup bersama di Amerika dan Eropa Barat adalah nilai kasih yang diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan manusia. Sebagai contoh, orang Barat sangat patuh sekali dalam tatatertib berlalu lintas karena pada prinsipnya jika melanggar berarti akan menyusahkan orang lain. Di negeri Barat juga dijunjung tinggi nilai-nilai kehidupan orang lain atau sangat menghargai perbedaan dan pendapat orang lain sebagai wujud dari masyarakat sipil (Wawancara Jum‘at 19 Agustus 2005). Menurut Sangadi Mulya, peran orang beragama dalam kehidupan bersama adalah sebagai garam dan terang yang menggarami dalam segenap hidup manusia. Prinsip nilai keagamaan adalah ibadah yang holistik tidak hanya ibadah ritual tetapi diterapkan dalam segenap aspek kehidupan manusia sehingga menghasilkan buah yang nyata yang menjadi berkat bagi orang lain (Wawancara, 19 Agustus 2005). Contoh kongkrit, ―Pelayanan keagamaan‖ telah dilakukan oleh Almarhum Ibu Theresia dari India, Almarhum Dr. Yohanes Lemena, Yos Sudarso, Romo YB Mangun Wijoyo yang memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungannya dengan memberikan hidupnya untuk masyarakat marginal (Indra Trenggono, Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; hal 12). Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar kerukunan antarumat beragama akan terwujud jika bangsa Indonesia mengedepankan pendidikan formal bagi seluruh warga bangsa. Jika terjadi kesenjangan pendidikan dan kesenjangan sosial-ekonomi maka bangsa ini mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap sesama warga bangsa 197 Dalam sosialisasi pendidikan nilai agama secara universal dan holistik, perlu dipahami pendidikan formal. Oleh karena kesuksesan pendidikan formal dalam mewujudkan kerukunan antarumat diukur dengan penguasaan nilai-nilai IPTEKS dan soft skils. Nilai-nilai itu ialah kemampuan untuk (i) bekerja antarkelompok keagamaan, (ii) bekerja dalam tekanan, (iii) memimpin, (iv) berkoordinasi, (v) berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan asing, (vii) tabah dan gigih, (viii) percaya diri, (ix) memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk mendapatkan dan memanfaatkan informasi, dan (x) memiliki nasionalisme tinggi serta tidak banyak tuntutan (Sofian, Kedaulatan Rakyat, 19 Agustus 2005: 5). Nilai-nilai kebersamaan perlu dijunjung tinggi seperti kosep manunggaling kawulo gusti yang menekankan kebersamaan dan keteladanan pemimpin terhadap rakyatnya seperti Almarhum Sultan HB IX yang mengorbankan tahta untuk rakyatnya (Riswanda, Radar Yogya, 29 Oktober 2005). Dalam mewujudkan peradaban yang baik perlu strategi perjuangan kultural dan struktural secara bersama, struktural dalam arti politik, perbaikan struktural ini sarana yang paling efektif adalah melalui parpol . Sementara kultural itu merupakan perjuangan panjang. Perjuangan membangun mentalitas melalui nilai-nilai keadilan dan demokrasi yang berorientasi pada nilai-nilai agama (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; 5). Nilai-nilai di atas dapat diwujudkan karena nilai-nilai agama yang dihayati dan diamalkan dapat memberi kekuatan, memberikan kemampuan, kesanggupan, dan kedamaian bagi penganutnya. Dalam usaha untuk mengerti agama orang lain perlu mencari informasi agama orang lain, memiliki perhatian dan keterikatan empati, memiliki kemauan untuk melakukan yang konstsruktif. Hal penting bagi umat ialah memperoleh informasi mengenai pluralitas agama yang dapat menjangkau praktik ajarannya. Dengan demikian umat menyadari keberadaanya, sehingga akan mendukung integrasi nasional. Model ini perlu dipahami dan diaktualisasikan oleh seluruh umat beragama dan warga bangsa, sehingga tercipta kerukunan hidup beragama, saling menghormati dan mewujudkan keharmonisan. Dengan demikian fungsi agama dapat mewujudkan perdamaian dan kerukunan agama dapat menjadi perekat integrasi nasional melalui pandangan, visi ideal sebagaimana yang terdapat dalam wawasan nusantara (Ajat Sudrajad, 2001: 6). 3. Kerukunan dalam Perbedaan Terjadinya konflik di Poso yang menelan banyak korban, dan terakhir lebih dari 12 orang meninggal. Menurut Yusuf Kala Wakil Presiden RI, hal ini disebabkan karena akumulasi peristiwa dengan motif dendam, ditambah masuknya ajaran radikalisme dan belum efektifnya penegakkan hukum, kepastian hukum, dan jaminan keamanan secara maksimal (Kompas Minggu, 28 Januari 2007). Peristiwa di atas bisa terjadi karena setiap warga bangsa kurang menyadari adanya keanekaragaman ras, suku, adat istiadat, golongan dan agama yang telah disepakati dalam “Bhinekatunggalika‖. Atau sudah mengetahui bahwa keberagaman SARA (suku, ras antar golongan dan agama), namun adanya kelompok kepenting yang ingin mencari keuntungan dalam bidang politik telah menutup nuraninya melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM dengan menggunakan isu agama, ajaran agama sebagai kendaraanya politiknya. 198 Negara Indonesia adalah negara yang bersifat plural dalam berbagai hal baik ras, suku, bahasa daerah, adat istiadat, dan agama. Keberagamaman ini bisa merupakan kekayaan bagaikan mosaik yang sangat indah dan berharga jika bisa dekelola dengan baik seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Namun kekayaan ini jika tidak dapat dekelola dengan cerdas akan menjadi ancaman seperti yang terjadi di Balkan, Irak, Srilangka, atau di Libanon. Oleh karena itu kelangsungan hidup bangsa tergantung bagaimana mengelola keberagaman SARA (suku antar golongan ras dan agama) menjadi kekuatan sinergis untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa yang majemuk. Dengan lain perkataan keberagamaan SARA dapat berbanding terbalik, menjadi amunisi disintegrasi atau sebaliknya perbedaan keragaman justru saling melengkapi untuk bekerja sama mewujudkan integrasi nasional demi kepentingan bersama. Apabila dicermati peristiwa-peristiwa SARA yang terjadi di Indonesia sangat kompleks, namun dapat diindentivikasikan biasanya bersumber pada permasalahan perebutan sumber daya ekonomi, alam, perebutan kekuasaan antara elit, ketidak adilan, kemiskinan, ketidak berdayaan masyarakat bawah, tekanan ekonomi, kelompok yang terpinggirkan, radikalisme agama, kepentingan pemerintah pusat, yang semua saling terkait saling berbenturan. Dalam terori sejarah terjadinya konflik diawali oleh penyebab umum yang kondusif seperti masalah-masalah di atas, maka jika terjadi terjadi peristiwa kecil dapat menyebabkan pemicu terjadinya konflik masal. Pada umunya perbedaan agama paling mudah digunakan untuk mencari simpati, empati dan menggalang masa demi kepentingan kelompok tertentu. Negara Indonesai bukan negara agama, namun nilai-nilai agama dijunjung tinggi, dalam arti bahwa negara Indosia berdasarkan Pancasila yang menghargai norma-norma keagamaan secara universal. Nilai-nilai kemanusiaan sangat dihargai seperti rasa toleransi dalam “teposliro”, berimpati dan “bergotong royong”, bekerja sama dalam hal kebaikan. Oleh karena itu segala bentuk kekerasan, tindak kriminal, orogansi yang selama ini terjadi di wilayah Indosnesia perlu dipertanyakan hal ini bertentangan dengan budaya bangsa (Baskoro, 2005: 2). Analisis kami peristiwa-peristiwa konflik di Indonesia ada beberara kemungkinan penyebabnya; selain tekanan ekonomi, perubahan sosial politik karena globalisasi, ada indikasi ajaran radikalisme agama yang secara subtansial ingin mengubah tatanan masyarakat yang sudah mapan dengan ideologi agama dan bekerja sama dengan elit lokal untuk kepentingan politiknya. Oleh karena itu salah satu solusi yang sangat diperlukan adalah mengaktifkan kembali kerukunan antara umat beragama, baik rukun antar agamanya sendiri-sendiri meskipun ini sulit di zaman demokrasi, rukun antar agama yang brbeda, dan rukun dengan pemerintah melalui ajaran agama yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan. Pentingnya pengembangan sikap tolerasi antara umat beragama harus dikedepankan, dan menghindari sikap eksklusif tetapi mengembangkan sikap inklusif keagamaan dalam ajaran masing-masing, selain menghindari sikap fanatisme sempit yang menganggap orang di luar agamanya menjadi musuh yang harus disingkirkan. Definisi kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam 199 kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam negara Kesatuan Repblik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006, Nomot 8 Tahun 2006, Bab I pasal 1). Kerukunan antarumat beragama ini bisa terwujud jika ada toleransi saling memahami, menghormati, menghargai, kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing dan membangun kerja sama yang positif dan produktif. Menurut Maria Van Der Hoeven Mentri Pendidikan Belanda dalam lawatannya ke Indonesia mengemukakan kerukunan antarumat beragama merupakan kunci dalam mewujudkan Civil Society. Pengembangan kehidupan agama, pendidikan dan pemerintahan yang demokratis adalah kunci pengembangan masyarakat sipil. Agama perlu diajarkan di lembaga pendidikan secara terbuka dan tidak dogmatis demi penanaman pemahaman antarumat beragama. Penguatan kehidupan keagamaan masyarakat dengan memberi kebebasan penuh dalam hidup beragama justru akan mensuport masyarakat yang lebih demokratis. Pendidikan kerukunan antarumat beragama diharapkan dapat terintegrasi seperti di Belanda yang terdapat agama Katolik. Kristen, Yahudi dan Islam. Untuk membangun kehidupan sipil yang baik pemerintah memfasilitasi pendidikan agama yang diajarkan secara terbuka dan tidak dogmatik. Siswa yang beragama Kristen (sebagai agama mayoritas) mempelajari agama lain atau sebaliknya dan selain itu diadakan dialog antar agama secara ilmiah. Rektor UMY Yogyakarta Dr. Khoirudin Bashori sependapat untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama perlu diadakan pendidikan agama dengan pendekatan demokratis, dengan sendirinya pengembangan kurikulum bisa mengarah pada pengembangan masyarakat demokratis. Pembelajaran pendidikan agama seharusnya tidak dilakukan secara dogmatik dan eksklusif. Pengembangan pendidikan, pemerintahan yang demokratis, dan pendidikan agama seharusnya terintegrasi, sehingga terjadi hubungan yang harmonis dalam upaya pembangunan masyarakat sipil. Pendidikan agama harus ditanamkan pemahaman tentang karakteristik dan kultur agama yang berbedabeda. Cara ini dapat meminimalkan munculnya kesalah pahaman antarumat beragama. Pendidikan agama yang terbuka di Belanda dapat ditiru dan diterapkan di Indonesia sehingga bisa meminimalkan konflik SARA dan tercapai kerukunan antarumat beragama (Kompas, 6 Mei 2006, hal G). Masyarakat sipil yang demokratis akan kuat jika terdapat sinergi antarumat beragama dalam membangun proyek-proyek yang dihadapi bangsa secara bersama-sama. Misalnya dalam mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, membrantas pornografi – pornoaksi, menangani kekurangan gizi balita masyarakat marginal, menangai kasus perburuhan, membrantas Pekat, dan memajukan pembangunan di segala bidang, Dengan adanya kerja sama yang sinergis baik pemimpin agama, persaudaraan antarumat dan kerja sama dengan pemerintah maka freksi-freksi, kerusahan dan kekerasan agama bisa diminimalisasikan sehingga masyarakat sipil yang diidam-idamkan bisa terwujud. Dalam suatu teori sistem semakin banyak jaringan-jaringan dalam masyarakat maka keadaan masyarakat itu akan kuat. Oleh karena elemen-elemen masyarakat yang ada saling berhubungan dan saling membutuhkan sekaligus membentuk jaringan kuat. Tiap-tiap individu memiliki komunitas-komunitas lebih 200 dari satu organisasi, sehingga jika terjadi konflik dimasyarakat akan memiliki berbagai mediasi untuk menyelesaikan konflik atau freksi-freksi yang terjadi dengan memberdayakan jaringan yang ada. Dalam masyarakat yang heterogin seperti Yogyakarta meskipun terdiri lintas SARA tidak akan terjadi konflik-konflik seperti di Poso, Tantena, Ambon, Sanggoledo atau seperti di Aceh. Oleh karena selain masyarakatnya cukup terpelajar, banyak organisasi-orangasasi sosial kemasyarakatan yang baerwawawasan lintas SARA seperti lembaga kerukunan antara umat Yogyakarta untuk memelihara kerukunan antarumat beragama, 4. Rukun Agawe Santonso, Crah Agawe Bubrah Ungkapan di atas sangat tepat untuk membangun persaudaraan antarumat beragama di tengah-tengah masyarakat majemuk. Sebagaimana diungkapkan mantan Lurah Desa Puwomartani bahwa menyesihkan atau meminggirkan (memarginalkan) kelompok agama yang lain akan memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu persaudaraan antarumat beragama harus dipupuk dan dibina dengan komitmen bersama mewujudkan kehidupan yang lebih harmonis melalui dialog antarumat beragama guna mewujudkan kerukunan anatra umat beragama, Sebagaimana ungkapan jawa ―rukun agawe santosa dan crah agawe bubrah”, artinya kerukunan antarumat itu membuat masyarakat menjadi kuat. Namun jika banyak terjadi konflik-konlik dan freksi yang tidak sehat akan memperlemah bangsa dan negara (Subardi, wawancara, 2002). Menurut KH Husein Mohamad, Islam memiliki ajaran demokratis dan egalitarian dalam kehidupan masyarakat ―perbedaan tetap dihargai tetapi tidak boleh membeda-mbedakan, misalnya hak asasi manusia, hak etnis maupun pluarlisme‖ (Nunuk M. Pambudi, 2006: 12). Secara teologis tidak boleh membedakan manusia dengan latar belakang sosial budaya. Tuhan tempat menjastifikasi atas namaNya, namun demikian Islam sangat membebaskan tidak boleh ada pandangan bahwa dia lebih besar dan lebih benar dari yang lain. Manusia yang memiliki kelebihan dan dekat dengan Tuhan adalah siapa saja yang memiliki komitment pada penegakkan kemanusiaan, yang melihat manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus dihormati sebab Tuhan juga menghormati manusia. Islam sebagai agama perdamaian sangat mengecam radikalisme dan iksklusifisme, justru yang ditekankan Islam adalah spirit pluralisme. Norkalis Masjid yang dikutip Yusrianto mengatakan: bahwa dalam Islam hubungan kerukunan antarumat beragama terletak pada semangat humanitas dan universilatas. Wujud humaitas itu adalah agama kemanusiaan (fitrah) yang sangat peduli terhadap unsur-unsur sosial dan kemansyarakatan. Sedangkan universalitas Islam yang dimaksud adalah secara teologis perkataan Al-Islam adalah sikap pasrah pada Tuhan dan hidup dalam perdamaian. (Yusrianto, 2006: 4). Dengan demikian Islam juga mengakui agama-agama di bumi, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan, perdamaian, persaudaraan dan kerukunan antara umat beragama. Kedudukan Islam sebagai berkat bagi dunia merupakan manifestasi dari rahmatan lil alamin untuk mengadakan perdamaian, mengahruskan umat Islam menjadi penengah dan saksi di antara umat manusia. Hal ini sudah diteladani oleh Mohamad sebagai Nabi Umat Islam ketika di Madinah telah mengeluarkan Piagam 201 yang isinya menghargai keberadaan minoritas non-moslim. Oleh karena itu Islam tidak membeda-mbedakan SARA, semua manusia sebagai ciptaan Allah akan mendapatkan prinsi-prinsip rahmat secara universal. Dengan demikian mempelajari nilai-nilai agama harus secara terbuka atau inklusif dan mengakui adanya kemajemukan. Kemajemukan atau pluralisme merupakan aturan Tuhan yang tidak mungkin berubah, sehingga tidak bisa diingkari. Bahkan dalam Injil Tuhan menghendaki keberagaman umat manusia ketika manusia mendirikan menara Babil dan ingin membuat ―komunitas satu‖ maka terjadilah bahasa yang berbeda-beda dan akhirnya manusia menyebar keseluruh dunia. Tuhan mencitakan manusia beraneka ragam pasti punya maksud untuk saling mengasihi dan bekerja sama sehingga namaNya dipermuliakan. Oleh karena itu pluralisme perlu diterima secara postif sehingga menghasilakan kerukunan umat beragama untuk mewujudkan modal dasar masyarakat sipil (masyarakat madani). Dalam kaitannya dengan keberagaman dan perbedaan pendapat setiap manusia harus mengakui bahwa kebenaran mutlak adalah berada di tangan Tuhan, hendaknya manusia mengakui kenisbian dan kerelatifan manusia dalam menangkap kebenaran hakiki. Dengan menyadari kesadaran ini, maka klaim kebenaran oleh kelompok tertentu diharapkan tidak terjadi lagi. Tindakan pemaksaan kehendak kebenaran kelompok terhadap orang lain atas nama Tuhan merupakan tirani dan mengingkari kenyataan yang telah diciptakan Tuhan sendiri. Jadi kemanjemukan SARA tidak harus dijadikan untuk saling mencari menangnya sendiri melalui kekerasan, tetapi justru sebaliknya perbedaan lintas SARA selalu menanamkan titik temu dalam menilai kesamaan dari semua kelompok yang ada untuk mewujudkan masyarakat sipil (masyarakat madani). Dalam Islam toleransi mendapat posisi yang paling utama untuk menamkan kerukunan antarumat beragama, sebagaimana dikutip oleh Yusrianto Elga: ―Suruhlah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, sesunggunya Tuhan yang mengetahui siapa yang tersesat dijalannya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk‖ dan bagimu agamaku dan bagimu agamamu. (Yusrianato Elga, 2006: 4). Jadi pada dasarnya semua agama mengambil sikap dalam koridor kerukunan antarumat beragama. Oleh karena itu segala ajaran yang bersifat doktrin yang eklusuf dan tidak mempunyai tujuan esensi untuk kehidupan bersama harus dieleminir. Nilai agama atau the heart of religion bersifat ilahi dan abadi yang hidup disetiap agama yang diharapkan dapat menghasilkan kebersaamaan antarumat agama untuk membanun masyarakat sipil. 5. Sosialisasi Nilai-nilai Agama Dalam usaha mensosialisasikan nilai-nilai agama peserta didik sering mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan bagaimana harus berpikir, berkeyakinan dan bertingkah laku sebab apa yang dimengerti belum tentu sama dengan apa yang terjadi dalam masyarakat yang penuh konflik nilai. Televisi dan koran memberikan informasi yang berbeda dengan apa yang ada dalam keluarga maupun yang terjadi di masyarakat, sehingga hal ini sangat membingungkan peserta didik untuk menentukan pilihan nilai. Peserta didik sulit menentukan 202 pilihan nilai yang terbaik, akibat dari tekanan dan propaganda teman sebaya. Dalam hal ini jika pendidikan nilai agama ingin berhasil perlu mengajarkan secara langsung kepada anak didik dengan memberi keteladanan yang nyata. (Parjono, 2005: 1). Transfer nilai kepada generasi muda juga dapat digunakan dengan metode secara moderat karena didunia ini tidak ada sistem yang sempurna, oleh karena itu peserta didik harus mengolah dan memiliki normanya sendiri. Generasi tua hanya memberikan norma-norma yang sudah dibakukan dan mengajarkannya, sehingga peserta didik tidak merasa disitir dan digurui, mereka dibiarkan untuk bareksprimen, berdialog dengan dirinya atau merenungkan ajaran agama, sehingga peserta didik menemukan apa yang dikehendakinya dan tidak bertentangan dengan nilai subtansial. Cara lain untuk memindahkan nilai dengan cara memodelkan, dengan asumsi bahwa guru (panutan) menampilkan diri dengan nilai tertentu sebagai model yang mengesankan, maka harapannya generasi muda akan meniru model yang diideolakan. Namun demikian model-model tingkah laku dan sikap yang berhubungan dengan nilai sering ditampilkan oleh banyak orang yang berbedabeda sehingga anak bisa mengalami kebingungan dalam menentukan nilai. Oleh karena itu orang dewasa harus mengajar nilai-nilai agama atau ajaran agama berulang-ulang kepada anak-anak dan membicarakannya pada waktu dirumah, dalam perjalanan, waktu ditempat tidur dan pada waktu bangun pagi. Firman Tuhan (ajaran agama) harus diikatkan sebagai tanda pada tangan dan dahi, dan meneuliskan pada tiang pintu dan pintu gerbang. Atau seluruh kehidupan dan aktivitas serta lingkungan hidup dijadikan media untuk sosialisasi nilai-nilai agama (LAI, 2003: 200.). Dalam mengemplementasikannya pada kehidupan seharihari di bidang politik, ekonomi, budaya kerja sebetulnya telah dibantu dengan Etika Agama sehingga tidak perlu ragu-ragu untuk bertindak yang benar (J. Verkulyl, 1985.: 23). Dalam usaha transfer nilai juga diperlukan tidak difokuskan pada isi nilai, tetapi lebih dipentingkan dalam proses nilai, maksudnya proses bagaimana seseorang sampai pada suatu pemilihan nilai (Parjono, 2005: 2). Prinsip pembelajaran nilai merupakan pembelajaran yang efektif yang harus menempatkan peserta didik sebagai pelaku firman, mereka harus diberi kesempatan untuk belajar secara aktif baik pisik maupun mental. Aktif secara mental bila peserta didik aktif berpikir dengan menggunakan pengetahuannya untuk mempersepsikan pengalaman yang baru disamping secara fisik dapat diamati keterlibatannya dalam belajar sehingga norma agama menjadi bagian dari hidupnya. Dalam pembelajaran nilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pembelajaran nilai dapat efektif yaitu perbuatan dan pembiasaan. Oleh karena dengan perbuatan siswa dapat secara langsung melakukan pengulangan perbuatan agar menjadi kebiasaan. Atau menjadi nilai budaya mereka. Interaksi antara panutan yang memberi keteladanan pada peserta didik dan kondisi lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran nilai sangat menguntungkan untuk tranfer nilai melalui saling membagi dalam pengalaman. Guru yang baik juga dapat mengerti perasaan, pemahaman, jalan pikiran peserta didik dan mereka diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan sekaligus dapat 203 memberi jalan keluar dalam pergumulan pemilihan nilai yang ada tanpa mengindoktrinasi. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap materi pembelajaran nilai, peserta didik dapat memilih berbagai alternatif nilai yang ada dan mengamalkan sebagai ujud aktualisasi diri. Guru sebagai panutan yang meberi hidupnya bagi peserta didik diharapkan dapat merefleksi diri melalui perasaan dan pikirannya setelah merenung dan mendapat masukan sehingga dapat mngetahui sejauh mana pemahaman dan pengamalan nilai yang telah diterima dan dilakukan siswanya. 6. Aktualisasi Nilai Agama Agama diharapkan mampu untuk mengatasi masalah subtansial meluasnya kemiskinan, busung lapar, pengangguran, wabah penyakit, meningkatnya angka bunuh diri di kdalangan anak-anak, kekerasan terhadap anak dan segala permasalahan yang dihadapi bangsa. Agama juga diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk meredam kebringasan demonstrasi buruh pada tanggal 3 Mei 2006 yang berakhir anarkhis dengan merusak pagar jembatan tol dan pagar Gedung DPR RI yang menyebabkan kerugian Jasa Marga dan Pemerintah lebih dari satu mliyard empat ratus juta rupiah. Agama juga diharapkan bisa meredam kebringasan demonstran yang anarkhis dengan membakar Pendopa Kabupaten Tuban. Namun kenyataannya agama (orang yang beragama) hanya sebagai ageman (pakaian) yang tidak merubah nurani manusia untuk bertingkah laku sesuai dengan nurani dan budi pekerti luhur sehingga manusia beragama tampil arogan distruktif dan anarkhis. Nilai-nilai agama diharapkan mampu memberikan jaminan bagi hak-hak sipil dan seluruh warga bangsa, namun kenyataannya hak untuk menjalankan agama dan kepercayaan tanpa halangan terkendala, banyak tempat ibadah ditutup dengan dikeluarkannya SKB 2 Mentri pada tahun 2006 dengan alasan tidak memenuhi kuota anggotanya dan meresahkan masyarakat. Menurut Dawan Raharjo, negara seharusnya tidak membiarkan teror hidup di Indonesai dan sebaliknya negara harus melindungi hak sipil khususnya dalam menjalankan ibadah agamanya. Pelanggaran terhadap hak sipil yang bersumber pada hak asasi manusia adalah kejahatan. Jika negara membiarkan kelompok tertentu meneror kelompok lain, negara dalam konteks itu juga melakukan kejahatan, terjadinya kekerasan dalam kehidupan beragama karena penyelenggara negara tidak memahami hak-hak sipil. Berbagai kasus penyerangan terhadap kelompok agama tertentu adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak sipil di Indonesia. Hal yang lebih memprehatinkan lagi adalah penyelenggara negara membiarkan aksi tersebut (Kompas, 1 Mei 2006: 5). Ketidak mampuan pemerintah menyikapi berbagai kasus teror terhadap kelompok agama lain, disebabkan karena hegemoni mayoritas terhadap minoritas. Pada hal seharusnya di Indonesia, adalah masyarakat yang pluralistik, setiap golongan agama memiliki hak hidup yang sama. Menurut Dawam tidak ada golongan agama minoritas dan mayoritas di Indonesia, pada dasarnya kelompok mayoritas tidak memiliki hak lebih besar dari pada minoritas. Sedang menurut Supomo negara Indonesia menganut paham integralistik, menurut paham ini yang terpenting adalah penghidupan bangsa seluruhnya. negara tidak memihak 204 golongan yang paling kuat atau mayoritas, tidak juga memandang kepentingan seseorang sebagai pusat tetapi negara menjamin keslamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan (Kaelan, 2002: 39). 7. Pengembangan Nilai-Nilai Egalitarian Dalam mensosialisasikan Pendidikan agama di masyarakat perlu dikembangkan nilai-nilai kebersamaan. Hal yang sangat penting dalam mengembangkan hidup bersama sebagai warga bangsa adalah menanamkan nilainilai toleransi antarumat beragama, bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan heterogin. Sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada harus senantiasa dikembangkan. Oleh karena itu sikap eksklusif dan pemahaman terhadap agama yang sempit harus dihindari, agama sering dijadikan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama lain. Tindakan antagonis ini sangat conter producitive dengan hakikat kemanusiaan universal. Pemahaman agama yang berada dalam tataran institusi, hanya menghasilkan hal yang formalitas, dan belum mengenai makna yang esensi. Sedang pemahaman makna yang esensi, nilai-nilai agama akan dapat dijadikan motivasi kebersamaan, kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sangat penting artinya pendidikan agama bagi generasi muda, nilai agama tidak hanya sebagai ritualitas tetapi diharapkan dapat mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama secara baik akan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, dan dapat dijadikan landasan spiritual, moral, etika bagi pembangunan nasional, sehingga dapat memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa. Peringatan bagi para pakar ilmu agama sebagaimana dengan paradigma modern peradaban saat ini telah mendorong rasionalisasi memasuki primordialistik, tradisi keagamaan dan dalam kehidupan bersama. Sasaran yang semula menjadi akar peradaban mulai bergeser ke arah bangun dasar negara yang menjaga stabilitas bangsa. Kehidupan bersama saat ini bagi generasi muda mempunyai makna berbeda, karena situasi dan tantangan zaman berbeda. Perlu dimengerti bahwa kepribadian generasi muda terbentuk oleh jiwa zaman dan untuk membentuk kepribadian global. Anak-anak zaman dimasa yang akan datang adalah generasi yang memeliki kesadaran kemanusiaan, dan nilai-nilai moral yang terkandung secara intrensik di dalamnya. Oleh karena itu bagi generasi tua perlu mewariskan butirbutir kemanusiaan secara universal dan eqalitarian, bukan hanya format struktur kebangsaan melainkan moralitas dan roh yang dapat membangun hidup bersama. Pentingnya bagi generasi penerus, pewaris cita-cita bangsa agar menumbuhkembangkan komitment kebangsaan dan kemanusiaan dalam sebuah masyarakat modern suatu orde generasi dengan kemampuan kreatif dan tidak terbatas pada logika formal yang dangkal. Kontribusi Nilai agama dalam membentuk kerukunan antarumat Menurut Rohaniawan Hartoyo nilai-nilai subtansial sebagai akar budaya dalam hidup bersama di Amerika dan Eropa Barat adalah nilai kasih yang diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan manusia. Sebagai contoh orang 205 Barat sangat patuh sekali dalam tatatertib berlalu lintas, karena pada prinsipnya jika melanggar berarti akan menyusahkan orang lain, di negeri Barat juga dijunjung tinggi nilai-nilai kehidupan orang lain atau sangat menghargai perbedaan dan pendapat orang lain sebagai ujud dari masyarakat sipil (Wawancara Jum‘at 19 Agustus 2005). Sedang menurut Sangadi Mulya peran orang beragama dalam kehidupan bersama adalah sebagai garam dan terang yang menggarami dalam segenap hidup manusia. Prinsip nilai keagamaan adalah ibadah yang holistik tidak hanya ibadah ritual tetapi diterapkan dalam segenap aspek kehidupan manusia sehingga menghasilkan buah yang nyata menjadi berkat bagi orang lain (Wawancara, 19 Agustus 2005). Contoh kongkrit ―Pelayanan keagamaan‖ telah dilakukan oleh Almarhum Ibu Theresia dari India, Almarhum Dr. Yohanes Lemena, Yos Sudarso, Romo YB Mangun Wijoyo yang memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungannya dengan memberikan hidupnya untuk masayarakat marginal (Indra Trenggono, Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; hal 12). Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar kerukunan antarumat beragama akan terwujud jika bangsa Indonesia mengedepankan pendidikan formal bagi seluruh warga bangsa, jika terjadi kesenjangan pendidikan dan kesenjangan sosial-ekonomi maka bangsa ini mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap sesama warga bangsa (Wawancara, 21 Agustus 2005). Dalam sosialisasi pendidikan nilai agama secara universal dan holistik, perlu dipahami pendidikan formal. Oleh karena kesuksesan pendidikan formal dalam mewujudkan kerukunan antarumat diukur dengan penguasaan nilai-nilai IPTEKS dan soft skils yaitu kemampuan untuk bekerja antar kelompok keagamaan, bekerja dalam tekanan, kemampuan memimpin, kemampuan berkoordinasi, berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan asing, tabah dan gigih, percaya diri, memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk mendapatkan dan memanfaatkan informasi dan memiliki nasionalisme tinggi tidak banyak tuntutan (Sofian, Kedaulatan Rakyat, 19 Agustus 2005: 5). Nilai-nilai kebersamaan perlu dijunjung tinggi seperti kosep “manunggaling kawulo gusti‖ yang menekankan kebersamaan dan keteladanan pemimpin terhadap rakyatnya seperti Almarhum Sultan HB IX mengorbankan tahta untuk rakyatnya (Riswanda, Radar Yogya, 29 Oktober 2005). Dalam mewujudkan peradaban yang baik perlu strategi perjuangan kultural dan struktural secara bersama, struktural dalam arti politik, perbaikan struktural ini sarana yang paling efektif adalah melalui parpol . Semantara kultural itu merupakan perjuangan panjang. Perjuangan membangun mentalitas melalui nilai-nilai keadilan dan demokrasi yang berorientasi pada nilai-nilai agama (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; 5). Sedang Nilai-nilai di atas dapat diujudkan karena nilai-nilai agama yang dihayati dan diamalkan dapat memberi kekuatan, memberikan kemampuan, kesanggupan dan kedamaian bagi penganutnya. 8. Konsep Masyarakat Spil (Civil Sosiety) atau Masyarakat Madani Civil Society atau masyarakat sipil dalam bahasan ilmu sosial dimaknai sebagai konsep yang berkaitan dan dipertentangkan dengan ―masyarakt politik‖ yang secara umum dipahami sebagai negara. Konsep ini pertama kali timbul di Eropa pada zaman Enlightment. Konsep masyarakat sipil dapat dilacak pemikiran tokoh humaniora seperti Hobbes, Locke, Montesquie, Roousseau. Civil Society 206 dipahami sebagai kawasan privat yang dipertentangkan dengan kawasan negara atau publik. Pemikiran ini mengubah wacana civil society sebagai diskurs pemikiran kristis terhadap kapitalisme (Andi Mallarangeng, 200: 14). Sedang di Eropa Timur muncul dasawarsa 1980 an sebagai jawaban terhadap negara dengan sistem partai tungggal, dan kemudian menjalar ke Eropa Barat dengan konsep ―negara kesejahteraan‖ (Welfare State). Amirika Latin, Afrika, Asia dam Timur tengah konsep civil society digunakan untuk mengekspresikan perjuangan untuk demokratisasi dan perubahan politik. Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana hak dan kewajiban dihargai dan dijunjung tinggi, sehingga tercipta masyarakat yang damai, adil, dan berbudaya dan terjadi kerukunan antarumat beragama dengan ciri-cirinya adalah (i) mengakaui keanekaragaman budaya yang merupakan dasar pengembangan identitas bangsa, (ii) pentingnya saling pengertian antar sesama anggota masyarakat dan memiliki toleransi yang tinggi, (iii) perlunya lembaga sosialisasi nilai-nilai demokrasi dan kepastian hukum (Istiqomah, 2003: 10). Dalam perkembangan politik di Indonesia pada masa razim Suharto, wacana civil society telah menjadi suatu cara untuk melepaskan ketidak puasan terhadap pengelolaan praktik-praktik Orba dalam pengelolaan sosial, politik dan budaya. Di tengah hegemoni negara yang melakukan pembatasan kebebasan, civil society memperoleh mementum sebagai obyek wacana bertepatan dengan masa reformasi untuk mengoreksi terhadap era sebelumnya. Akhirnya civil society terakumulasi dijadikan cita-cita yang ideal untuk mewujudkan Indonesia Baru. Pada masa itu diadakan banyak seminar, talkshow, dan banyak artikel yang mengkonsep Indonesia baru yang terkait dengan masyarakat sipil. Pada masa pemerintahan Habibie konsep masyarakat sipil telah dijadikan acuan reformasi dan pembentukan Indonesia Baru melalui pendirian Tim Nasional Reformasi menuju Masyarakat Sipil. Namun yang terjadi justru kontra produktif telah terjadi fenomena radikalisme masa menggunakan isntsrumen agama untuk kepentingan kelompok, terlihat ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan sosial yang menanmpil amuk masa yang distruktif. Hal yang lebih memprehatinkan lagi adalah sebagian besar fenomena komunalisme dan radikalisme masa menggunakan intrumen agama dalam menggunakan ideologi dan gerakannya justru anti demokrasi dan tidak sesuai dengan hakikat msyarkat sipil (Sunarso, 2004: 34). Menurut Denny dalam ―Terancamnya Konsolidasi Demokrasi‖ ada tiga variabel utama dalam mewujudkan kehidupan demokrasi untuk mewujudkan masyarakat sipil adalah (i) Pertumbuhan ekonomi, jika ekonomi suatu negara tidak tumbuh maka negara itu tidak akan mencapai demokrasi, (ii) Variabel kedua yang mempengaruhi konsolidasi adalah kultur liberal; nilai eqalitarian terlepas dari isu SARA dan jender, (iii) Kesepakatan elit, tentang kesepakatan aturan main politik (Denny, 2006: 16). Apa yang terjadi di Indonesia ketiga variabel tersebut sangat buruk, ekonomi mengalami krisis, kultur liberal tidak terjadi tetapi justsru kultur intoleran dan kekerasan. Sementara itu tak ada aturan main bersama yang disepakati. Melalui pendidikan demokrasi diharapkan mengahasilkan fondasi politik yang kokoh dengan menghasilkan ekonomi yang tumbuh, kultur liberal dan kesepakatan elite dalam aturan main politik. 207 Dalam negara demokrasi untuk mewujudkan kerukunan umat beragama dan mewujudkan masarakat sipil perumusannya disesuaikan dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, konsep rule of low (negara hukum) yang direvisi ahli hukum internasional merumuskan pemerintah yang demokratis memiliki kriteria (i) perlindungan konstitusional, (ii) badan kehakiman yang bebas, (iii) pemilu yang bebas, (iv) kebebasan menyatakan pendapat, (v) kebebasan beroposisi, dan (vi) pendidikan kewarganegaraan. Nilai-nilai demokrasi yang harus ada menurut Mayo ialah (i) penyelesaian konflik secara damai dan melembaga, (ii) menjamin perubahan secara damai, (iii) menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, (iv) membatasi pemakaian kekerasan, (v) menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, dan (vi) menjamin tegaknya keadilan (Sunarso, 2004: 37). Nilai-nilai tersebut di atas harus disossialisasikan melalui pendidikan formal di sekolah dasar atau khususnya bagi generasi penerus, dan diimplemtasikan dalam kehidupan nyata dalam berbangsa, bernegara. Pendidikan demokrasi berfungsi membentuk watak bangsa, peradaban bangsa yang bermartabat, dan mencerdasakan kehidupan bangsa. Menjadikan warga negara yang baik bertaqwa terahadan Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandari, bertanggung jawab dan demokratis sehingga tercapai masyarakat sipil (Dr. Udin SW, 2006: 2). Pendidikan Agama diharapkan menghasilkan peserta didik yang menjadi garam dan terang ditengah-tengah masyarakat yang ditekankan dalam bentuk pendidikan nilai (budi pekerti atau value education), memeliki kesadaran berani mengambil sikap positif demi masa depan bangsa yang bertujuan untuk mewujudkan warga negara yang baik (Good Citizen) dengan kriteria bersedia memberikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan profesinya masing-masing. Pendidikan nilai agama yang diberikan, harus diintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran dan melekat pada setiap pendidik maupun pengajar seperti nilai kebebasan, persamaan, persaudaraan, kesatuan (liberty, eqality, franternity, unity), demokrasi-demokratisasi, kebangsaan, kebhinekaan, pluralisme. Seorang pendidik diharapkan pembawa nilai agama tentang kehidupan dalam masyarakat pluralis, meneladani murid-muridnya untuk mengasihi sesama umat, seperti mengasihi dirnya sendiri. Melalui perumpamaan seperti Orang Samaria yang baik hati , seorang guru telah menjelaskan sikapnya bahwa sebagai warga masyrakat pengikutnya harus mengasihi sesama dengan totalitas hidupnya, tidak memandang suku, antar golongan, ras dan agama (lintas SARA). Oleh karena itu pendidikan agama yang terintegratif merupakan tututan yang harus ditindaklanjuti oleh setiap WNI dalam rangka untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Nilai-nilai agama diharapkan dapat mengajarkan kepedulian terhadap manusia, pengikutnya menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dengan mempraktikkan dalam kehidupan nyata, bekerja sama, berdialog, bersinergis antarumat beragama mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, menyantuni anak terlantar dan orang-orang miskin, membangun Indonesia Baru. Nilai-nili keagamaan secara universal pada dasarnya monolak agama verbalistik, formalisme, tetapi mengutamakan keyakinan dan perbuatan terhadap sesama 208 manusia. Ajaran agama memerintahkan agar setiap pemeluknya; mempu mengekspresikan keyakinannya dalam kepedulian terhadap sesama manusia yang paling membutuhkan Dengan demikian setiap pemeluk agama terpanggil untuk mengahdirkan aktualisasi karya dalam kehidupan masyarakat yang merupakan salah satu hakikat keyakinan 209 BAB IX KETAHANAN NASIONAL SEBAGAI GEOSTRATEGI INDONESIA A. Pendahuluan Setiap bangsa mempunyai cita-cita karena cita-cia berfungsi sebagai penentu untuk mencapai tujuan. Tujuan bangsa Indonesia telah dicantumkan dalam Pembukan UUD 1945. Dalam usaha mencapainya banyak mengalami hambatan, tantangan, dan ancaman. Oleh karena itu, perlu kekuatan untuk mewujudkannya. Kekuatan untuk menghadapi masalah tersebut dikenal dengan istilah Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional perlu dibina terus-menerus dan dikembangkan agar kelangsungan hidup bangsa tersebut dapat dijamin. Dalam sejarah perjuangan bangsa, Ketahanan bangsa Indonesia telah teruji, bangsa Indonesia mampu mengusir penjajahan Jepang, Belanda, menghadapi sparatis RMS, PRRI, Permesta, DI TII, PKI, GAM, Papua Merdeka. NKRI tetap tegak berdiri karena memiliki daya tahan dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG). Bangsa Indonesia mengahadapi permasalahan KKN, Krisis moneter, kemiskinan, pengangguran, konflik SARA, pelanggaran HAM, SDM yang rendah, globalisasi, namun hanya dengan ketahanan bangsa saja kelangsungan hidup bisa terjamin. B. Pengertian Ketahanan Nasional Ketahanan berasal dari asal kata ―tahan‖ ; tahan menderita, tabah kuat, dapat menguasai diri, tidak kenal menyerah. Ketahanan berarti berbicara tentang peri hal kuat, keteguhan hati, atau ketabahan. Jadi Ketahanan Nasional adalah peri hal kuat, teguh, dalam rangka kesadaran, sedang pengertian nasional adalah penduduk yang tinggal disuatu wilayah dan berdaulat. Dengan demikian istilah ketahanan nasional adalah peri hal keteguhan hati untuk memperjuangkan kepentingan nasional.Pengertian Ketahanan Nasional dalam bahasa Inggris yang mendekati pengertian aslinya adalah national resilience yang mengandung pengertian dinamis, dibandingkan pengertian resistence dan endurence. Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan baik yang datang dari luar dan dalam yang secara langsung dan tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar Tujuan Nasionalnya. Keadaan atau kondisi selalu berkembang dan keadaan berubah-ubah. Oleh karena itu, ketahanan nasional harus dikembangkan dan dibina agar memadai sesuai dengan perkembangan zaman. Jika kita mengkaji ketahanan nasional secara luas kita akan mendapatkan tiga ―wajah‖ ketahanan nasional, walaupun ada persamaan tetapi ada perbedaan satu sama lain: (1) Ketahanan Nasional sebagai kondisi dinamis mengacu keadaan ―nyata riil‖ yang ada dalam masyarakat, dapat diamati dengan pancaindra manusia. Sebagai kondisi dinamis maka yang menjadi perhatian adalah ATHG di satu 210 pihak dan adanya keuletan, ketangguhan, untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam mengatasi ancaman. (2) Ketahanan nasional sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan negara diperlukan penataan hubungan antara aspek kesejahteraan (IPOLEKSOSBUD) dan keamanan (Hankam). Dalam konsepsi pengaturan ini dirumuskan ciri-ciri dan sifat-sifat ketahanan nasional, serta tujuan ketahanan nasional. (3) Ketahanan Nasional sebagai metode berpikir, ini berarti suatu pendekatan khas yang membedakan dengan metode berpikir lainnya. Dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan metode induktif dan deduktif, hal ini juga dalam ketahanan nasional, dengan suatu tambahan yaitu bahwa seluruh gatra dipandang sebagai satu kesatuan utuh menyeluruh. C. Metode Astagatra Dalam usaha mencapai tujuan nasional senantiasa menghadapi ATHG sehingga diperlukan suatu ketahanan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional yang didasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut. Sebagai makhluk Tuhan pertama-tama berusaha mempertahanakan kelangsungan hidupnya. Secara antropologis budaya manusia merupakan makhluk Tuhan paling sempurna karena mempunyai akal budi sehingga lahir manusia berbudaya. Sebagai manusia berbudaya mengadakan hubungan dengan alam sekitarnya dalam usaha mempertahankan eksistensinya dan kelangsungan hidupnya. Hubungan-hubungan itu adalah (i) hubungan manusia dengan Tuhannya, dinamakan ―agama‖, (ii) hubungan manusia dengan cita-citanya, dinamakan ―ideologi‖, (iii) hubungan manusia dengan kekuasaan, dinamakan ―politik‖, (iv) hubungan manusia dengan pemenuhan kebutuhan, dinamakan ―ekonomi‖, (v) hubungan manusia dengan manusia lainnya, dinamakan ―sosial‖, (vi) hubungan manusia dengan rasa keindahan, dinamakan ―seni/budaya‖, (vii) hubunggan manusia dengan pemanfaatan alam, dinamakan ―IPTEK‘, (viii) hubungan manusia dengan rasa aman, dinamakan ―Hankam‖. Hubungan manusia dengan lingkungannya pada hakikatnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu kesejahteraan dan keamanan. Untuk menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa diperlukan suatu konsep pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan serasi dalam semua aspek kehidupan nasional. Ketahanan Nasional pada hakikatnya merupakan konsepsi dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan dalam kehidupan nasional. Kehidupan nasional dapat dibagi dalam berbagai aspek sebagai berikut: (i) aspek alamiah yang meliputi posisi lokasi geografi, keadaan dan kekayaan alam, serta kemampuan penduduk, (ii) aspek alamiah terdiri dari 3 aspek yang dikenal dengan istilah ―Trigatra‖, (iii) aspek sosial yang meliputi IPOLEKSOSBUD-Hankam, yaitu ideologi, politik, sosial, budaya, dan hankam atau dikenal dengan istilah pancagatra. kehidupan nasional merupakan gabungan antara trigatra dan pancagatra, sehingga disebut juga dengan istilah astagatra. Antara gatra satu dan lainnya terdapat hubungan timbal balik (korelasi) dan saling ketergantungan (interdependensi). (Bandingkan dengan konsep Hans Morgenthau dalam Politic among Nations; unsur-unsur kehidupan nasional terdiri dari geografi, 211 sumber alam, kapasits industri, kesipaan militer, penduduk, karakter nasional, semangat nasional, kualitas diplomasi, dan kualitas pemerintah). D. Aspek Trigatra 1. Posisi dan Lokasi Geografi negara Secara geografis wujud negara dapat berupa (i) negara yang dikelilingi daratan seperti Laos, Swis, Afganistan, (ii) negara daratan dengan sebagian perairan laut, seperti Irak, Brunai Darusalam, (iii) negara pulau, seperti Australia dan Malagasi, dan (iv) negara kepulauan (Archipelagic state), misalnya Indonesia. Bentuk, keadaan, dan lokasi geografi suatu negara sangat mempengaruhi kehidupan bangsa yang mendiaminya dalam penyelenggaraan dan pengaturan kesejahteraan dan keamanan. Negara kepulauan dalam membina ketahanan nasionalnya akan lebih banyak memanfatkan potensi lautnya. Posisi atau letak geografis suatu negara akan sangat menentukan peran negara tersebut dalam percaturan lalu lintas dunia dan akan menghadapi bentuk-bentuk ancaman yang berbeda. Dapat ditarik kesimpulan bahwa letak geografis suatu negara akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional suatu bangsa. Pengaruh letak geografis terhadap politik melahirkan geopolitik dan geostrategi, sehingga dikenal dengan wawasan nasional suatu bangsa yang tumbuh karena pengaruh tersebut. Pengaruh tersebut dikenal dengan istilah wawasan benua, samudera, atau kombinasinya. Bangsa Indonesia berpendapat bahwa wawasan-wawasan tersebut di atas bersifat rawan dan tidak kekal. Namun, justru pemanfaatan tanah, air, dan ruang yang diintegrasikan dengan unsur-unsur sosial secara simultan di dalam suasana yang serasi, seimbang, dan dinamis dapat menunjang penyelenggaraan dan peningkatan ketahanan nasional. Dengan demikian, setiap negara dapat mengembangkan wawasan nasionalnya sendirisendiri sesuai dengan kondisi geografisnya. 2. Keadaan dan Kekayaan Alam Kekayaan alam suatu negara adalah segala sumber dan potensi alam yang didapatkan di bumi, laut, dan udara yang berada di wilayah suatu negara. Kekayaan alam itu meliputi flora, fauna, dan tambang yang keberadaannya bisa di atmosfir, di permukaan bumi, dan di dalam bumi. Kekayaan alam itu ada yang dapat diperbarui dan ada pula yang tidak dapat diperbarui. Kekayaan alam yang ada di bumi didistribusikan secara tidak merata atau tidak teratur, sehingga ada negara yang kaya sumber daya alam dan ada pula negara yang miskin sumber daya alam. Hal itu menyebabkan terjadinya ketergantungan antarnegara yang pada gilirannya dapat menimbulkan problem hubungan internasional yang kompleks. Suatu negara yang kebutuhan sumber daya alamnya tidak terpenuhi pasti akan memenuhinya dengan berbagai upaya. Hal itu tentu akan menimbulkan berbagai masalah, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun Hankam. Oleh karena itu, kekayaan alam sebagai kekuatan nasional harus dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan nasional. Agar dapat mengatasi kerawanan dan ancaman yang mungkin timbul, diperlukan menejemen pengelolaan SDA yang berdasarkan asas maksimal, lestari, dan berdaya saing. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekayaan alam apabila dikelola dengan baik dapat meningkatkan ketahanan nasional. Sebaliknya, jika tidak dapat dikelola dengan baik justru akan mengganggu ketahanan nasional. 212 3. Keadaan dan Kemampuan Penduduk Penduduk adalah manusia yang mendiami suatu wilayah negara. Manusia, melalui tindakannya, merupakan faktor penentu terciptanya ketahanan nasional yang baik. Artinya, penyelenggaraan negara yang dapat menciptakan kesejahteraan dan keamananan rakyatnya tergantung pada faktor manusia. Hal-hal yang terkait dengan keadaan penduduk suatu negara meliputi (i) jumlah penduduk dan perubahan jumlah penduduk yang disebabkan oleh adanya fertilitas, mortalitas dan migrasi, (ii) komposisi penduduk atau susunan penduduk menurut umur dan jenis kelamin, dan (iii) persebaran penduduk. Keadaan penduduk sangat berpengaruh terhadap penyediaan tenaga kerja pengelola kekayaan alam dan berpengaruh pula terhadap personal yang mampu mengelola hankam. Oleh karena itu, agar dapat menyelenggarakan kesejateraan dan keamanan diperlukan keadaan penduduk yang memadai, baik jumlah, komposisi, maupun persebarannya. Segi positif dari pertumbuhan penduduk adalah pertambahan angkatan kerja (man power). Artinya, bertambahnya tenaga kerja (labour force) merupakan potensi terhadap peningkatan kapasitas produksi, tetapi hal itu harus disertai dengan pertambah kesempatan kerja agar tidak timbul persoalan yang lain, yaitu banyaknya pengangguran. Pada umumnya, penduduk Indonesia merupakan tenaga kerja yang kurang berkualitas. Berdasarkan Human Development Index (HDI) pada tahun 2002, Indonesia berada pada ranking 110 dan pada tahun 2003 berada pada posisi 112 di bawah Vietnam (109), Filipina (85), Thailand (74), Brunai Darusalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura (28). Menurut Ibrahim, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh International Institute for Menegement Development (IMD) yang berkedudukan di Lausanne Swiss, Indonesia merupakan negara yang berdaya saing terendah dari 49 negara yang diteliti. Mengingat posisi Indonesia yang seperti itu kita dituntut untuk bekerja keras dalam pengembangan SDM agar mampu bersaing (Noor Fitrihana, 2004: 21). Pengembangan SDM merupakan kunci dalam menghadapi era globalisasi. Beny Sutrisno, Direktur PT. Apac Inti Corpora, menyatakan bahwa SDM merupakan aset penting dalam upaya peningkatan daya saing yang semakin ketat. Kenyataan ini menuntut program pembinaan SDM yang komprehensif dan holistik. Oleh karena itu, pengembangan SDM merupakan prioritas utama dalam menghadapi globalisasi. Dalam era global, terutama sektor ekonomi, akan terjadi perang harga, kualitas, dan pelayanan tanpa batas negara; termasuk bidang tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja akan menjadi faktor penentu nilai kompetitif dan nilai produktivitas. Tenaga kerja yang berkualitas yang dapat menghasilkan barang atau jasa yang berkualitas dan inovatif. Oleh karena itu, SDM harus digarap secara serius agar memiliki daya saing. Pertumbuhan penduduk yang cepat bila tidak disertai dengan pertumbuhan lapangan kerja akan menimbulkan banyaknya penggangguran. Sebagai contoh, peningkatan angka pengangguran yang disebabkan oleh krisis moneter ternyata menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan hankam. Demikian pula, pertumbuhan penduduk yang tidak disertai oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia akan mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi dan akhirnya juga akan melemahkan ketahanan nasional. Oleh karena itu, campur 213 tangan pemerintah dalam meningkatkan keseimbangan pertumbuhan dan penyebaran penduduk sangat diperlukan. Pertumbuhan ekonomi yang seimbang dapat meningkatkan ketahanan nasional. E. Aspek Pancagatra 1. Aspek Ideologi Ideologi suatu negara diartikan sebagai guiding of principles atau prinsip yang dijadikan dasar atau pemberi arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam melangsungkan dan mengembangkan hidup dan kehidupan nasional suatu bangsa (negara). Ideologi adalah pengetahuan dasar atau cita-cita. Dengan kata lain, ideologi merupakan konsep yang mendalam mengenai kehidupan yang dicitacitakan serta yang ingin diperjuangkan dalam kehidupan nyata (Endang Zaelani Sukaya, 200: 105). Sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia, ideologi dapat dijabarkan ke dalam sistem nilai kehidupan, yaitu serangkaian nilai yang tersusun secara sistematis dan merupakan kebulatan ajaran dan doktrin. Faktor yang mempengaruhi ketahanan ideologi adalah nilai dan sistem nilai. Ideologi yang baik harus mampu menampung aspirasi masyarakat, baik secara individu maupun sosial. Agar dapat mencapai ketahanan nasional di bidang ideologi diperlukan penghayatan dan pengamalan ideologi secara sungguh-sungguh. Agar bangsa Indonesia memiliki ketahanan di bidang ideologi, Pancasila harus dijadikan pandangan hidup bangsa dan diperlukan pengamalan secara objektif dan subjektif. Semakin tinggi kesadaran suatu bangsa untuk melaksanakan ideologi akan semakin tinggi ketahanan di bidang ideologi. Dalam strategi pembinaan ideologi ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. (1) Ideologi harus diaktualisasikan dalam bidang kenegaraan dan oleh WNI. (2) Ideologi sebagai perekat pemersatu harus ditanamkan pada seluruh WNI. (3) Ideologi harus dijadikan panglima bukan sebaliknya (Abdulkadir Besar, l988). (4) Akatualisasi ideologi dikembangkan ke arah keterbukaan dan kedinamisan. (5) Ideologi Pancasila mengakui keanekaragaman dalam hidup berbangsa dan dijadikan alat untuk menyejahterakan dan mempersatukan masyarakat. (6) Kalangan elit eksekutif, legeslatif, dan yudikatif harus mewujudkan cita-cita bangsa dengan melaksanakan GBHN dengan mengedepankan kepentingan bangsa. (7) Mensosialisasikan idologi Pancasila sebagai ideologi humanis, religius, demokratis, nasionalis, dan berkeadilan. Proses sosialisasi Pancasila dilakukan secara objektif dan ilmiah (bukan doktriner) dengan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman. (8) Tumbuhkan sikap positif terhadap warga negara dengan meningkatkan motivasi untuk mewujukan cita-cita bangsa. Perlunya perbaikan ekonomi untuk mengakhiri krisis moltidemesional (Endang Zaelani Sukaya, 2000: 109). 2. Politik a. Pengertian Dalam hal ini politik diartikan sebagai asas, haluan, atau kebijaksanaan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan kekuasaan. Oleh karena itu, masalah politik sering dihubungkan dengan masalah kekuasaan dalam suatu negara yang 214 berada ditangan pemerintah. Kehidupan politik dapat dibagi ke dalam dua sektor, yaitu (i) sektor masyarakat yang berfungsi memberikan masukan (input) yang terwujud dalam pernyataan keinginan dan tuntutan kebutuhan serta (ii) sektor pemerintahan yang berfungsi sebagai keluaran (out-put) yang berupa kebijaksanan yang melahirkan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan politik. Sistem politik yang diterapkan dalam suatu negara sangat menentukan kehidupan politik di negara yang bersangkutan. Sistem politik yang dilaksanakan biasanya merupakan pencerminan interaksi antara masukan dan keluaran. Keseimbangan antara masukan dan keluaran itu bersifat dinamis dan atau selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkat stabilitas nasional. Upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan ketahanan di bidang politik adalah upaya mencari keseimbangan dan keserasian antara masukan dan keluaran berdasarkan Pancasila dan merupakan pencerminan dari demokrasi Pancasila. Dalam penyelenggaraannya diatur sebagai berikut: (i) kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus dilaksanakan secara bertanggungjawab, dan harus melekat pada kepentingan bersama dan (ii) tidak akan terjadi dominasi mayoritas sebab tidak selaras dengan semangat kekeluargaan yang mengutamakan musyawarah untuk memperoleh mufakat. b. Ketahanan Politik Dalam Negeri Dalam rangka mewujudkan ketahanan politik, diperlukan kehidupan politik bangsa yang sehat, dinamis, dan mampu memelihara stabilitas politik berdasakan ideologi Pancasila dan UUD l945. Ketahanan politik dalam negeri menyangkut hal-hal berikut ini. (1) Sistem pemerintahan berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan yang bersifat absolut, dan kedaulatan ditangan rakyat. (2) Dalam kehidupan politik dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, namun perbedaan tersebut bukan menyangkut nilai dasar, sehingga tidak antagonis yang menjurus ke arah konflik. (3) Kepemimpinan nasional diharapkan mampu mengakomodasikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat dengan tetap memegang teguh nilai-nilai Pancasila. (4) Terjalin komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat, antara kelompok kepentingan dan golongan-golongan untuk mewujudkan tujuan nasional. c. Ketahanan Aspek Politik Luar Negeri Ketahanan aspek politik luar negeri berkenaan dengan hal-hal berikut ini. (1) Hubungan politik luar negeri ditujukan untuk meningkatkan kerja sama internasional di berbagai bidang atas dasar saling menguntungkan, dan meningkatkan citra politik Indonesia dan memantapkan persatuan dan kesatuan. (2) Politik luar negeri dikembangkan berdasarkan skala prioritas dalam rangka meningkatkan persahabatan dan kerja sama antarnegara berkembang dan negara maju sesuai dengan kepentingan nasional. Kerja sama antara negara ASEAN dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya, Iptek dan kerja sama dengan negara Non-Blok. (3) Citra positif bangsa Indonesia perlu ditingkatkan melalui promosi, diplomasi, lobi internasional, pertukaran pemuda, dan kegiatan olah raga. 215 (4) Perjuangan bangsa Indonesia untuk meningkatkan kepentingan nasional seperti melindungi kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara lain dan hak WNI di luar negeri perlu ditingkatkan (Sumarsono, 2000: 116). 3. Aspek Ekonomi Kegiatan ekonomi adalah seluruh kegiatan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola faktor produksi (SDA, tenaga kerja, modal, teknologi, dan menejemen) dan distribusi barang serta jasa untuk kesejahteraan rakyat. Upaya meningkatkan ketahanan ekonomi adalah upaya meningkatkan kapasitas produksi dan kelancaran barang dan jasa secara merata ke seluruh wilayah negara. Ketahanan di bidang ekonomi sangat erat sekali dengan ketahanan nasional. Tekat bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasional yang termuat dalam Pembukaan UUD l945 dituangkan dalam pembangunan nasional. Karena pembangunan itu tidak dapat dilakukan secara menyeluruh dalam waktu yang bersamaan, diperlukan pembangunan yang menitikberatkan di bidang ekonomi dengan tidak mengabaikan bidang-bidang lainnya. Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Namun demikian, pelaksanaannya harus dapat menjamin aspek pemerataan dan keadilan. Hal ini berarti harus mencegah semakin lebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin. Dampak pelaksanaan pembangunan ekonomi diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan perluasan lapangan kerja. Dalam usaha mewujudkan ketahan ekonomi bangsa diperlukan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis dan mampu menciptakan kemandirian dengan daya saing tinggi serta muaranya untuk kemakmuran rakyat yang adil dan merata. Pembangunan diharapkan dapat memantabkan ketahanan ekonomi, iklim usaha yang sehat, memanfaatkan Iptek, tersedianya barang dan jasa, serta meningkatkan daya saing dalam lingkup perekonomian global. Agar dapat tercipta ketahanan ekonomi yang diinginkan perlu upaya pembinaan terhadap berbagai hal yang menunjang yang antara lain sebagai berikut. (1) Sistem ekonomi diarahkan untuk kemakmuran rakyat melalui ekonomi kerakyatan untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa. (2) Ekonomi kerakyatan harus menghindari (i) free fight lieberalism yang menguntungkan pelaku ekonomi kuat, (ii) sistem etatisme di mana negara berserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara, (iii) tidak dibenarkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang bertentangan dengan cita-cita keadilan. (3) Struktur ekonomi dimantapkan secara seimbang dan saling menguntungkan dalam keselarasan dan keterpaduan antarsektor pertanian, industri, dan jasa. (4) Pembangunan ekonomi dilaksanakan sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan, serta mendorong peran masyarakat secara aktif. Perlu diusahakan kemitraan antarpelaku ekonomi dalam wadah kegiatan antara pemerintah, BUMN, koperasi, badan usaha swasta, dan sektor informal untuk mewujudkan pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi. 216 (5) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya harus senantiasa dilaksanakan melalui keseimbangan dan keselarasan pembangunan antarwilayah dan antarsektor. (6) Kemampuan bersaing harus ditumbuhkan dalam meningkatkan kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya nasional dan memakai sarana ipteks dalam menghadapi setiap permasalahan, serta tetap memperhatikan kesempatan kerja (Sumarsono, 2000: 120). Perlu disadari hubungan antara Utara dan Selatan yang cenderung timpang. Utara diwakili oleh negara-negara maju sedangkan Selatan diwakili oleh negara-negara berkembang. Bahan-bahan baku milik negara Selatan atau negara barkembang cenderung dibeli dengan harga murah dan sesudah diolah menjadi barang jadi dijual ke selatan dengan harga yang mahal. Jadi negara-negara Selatan cenderung dieksploitasi oleh negara maju dan selalu dipihak yang kalah dalam posisi tawar. Perlu diwaspadai adanya New-Neokolonialisme seperti yang diungkapkan oleh Presiden Sukarno dan dikutip oleh Mubyarto berikut: Colonialism has also its modern dress in the form of economic control, intellectual control, (and) actual physical control by a small but alien community with a nation. (Kolonialisme juga mempunyai pakaian yang baru dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, (dan) penguasaan fisik oleh sekolompok kecil masyarakat dalam lingkup bangsa (sendiri) tetapi terasing). Lima puluh tahun kemudian, ramalan Bung Karno itu ternyata terbukti. Pada 26 Februari 2005, 3 hari menjelang pemerintah menaikan harga BBM, 36 cendekiawan yang digiring Freedom Institute memasang iklan satu halaman penuh untuk mendukung kenaikan harga BBM. Cendekiawan itu menggunakan alasan ilmiah, yaitu hasil penelitian, yang segera dibantah oleh penelitian lain sebagai hasil yang keliru. Hal ini berarti bahwa 36 cendekiawan ―Freedom Institute” telah mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan ekonomi asing yang tidak henti-hentinya menguasai ekonomi Indonesia. Inilah kolonialisme dengan baju baru yang justru diwakili oleh cendekiawan bangsa. Dengan demikian, cendekiawan ini telah terasing dari bangsanya sendiri. Kondisi ekonomi dan poliltik sekarang, khususnya Asia dan Afrika, dikuasai oleh paham Corporatocracy, yaitu paham penguasaan dunia melalui kegiatan-kegiatan korporat (usaha-usaha korporat). Dr. Ruslan Abdulgani, Sekjen Konferensi Asia Afrika (AA) waktu itu, mempertanyakan pentingnya peringatan 50 tahun Konferensi AA karena tidak terlalu banyak dapat berharap untuk memperbarui dan meningkatkan solidaritas negara-negara AA. Alasanya, kepentingan negara-negara itu sudah menjadi sangat berbeda-beda, kekuatan negara kapitalis neoliberal sangat kuat, negara AA hampir semua terjebak utang luar negeri yang ―tidak dapat dilunasi‖. Di dalam buku Confessions of an Economic Hit Man (Penggakuan dosa seorang penembak ekonomi) John Parkins menyatakan bahwa agar negara-negara kaya sumber daya alam seperti Indonesdia diberi hutang sebanyak-banyaknya, sampai negara itu tidak dapat membayar utangnya. Negara pertama yang dijerat ekonominya masuk Global empire Amerika yaitu Indonesia pada awal pemerintahan orba 1971. Bahaya neokolonialisme ini tidak diwaspadai bahkan dianggap sebagai ―penyelamat‖ ekonomi kita dari kemiskinan. 217 Tanda-tanda neokolonialisme di Indonesia amat jelas, yaitu muncul ketika orba runtuh dan diganti orde reformasi yang berkembang tidak terkendali. Dalam konstitusi terlihat jelas ketika pasal 33 UUD 1945 diangap perlu untuk diganti karena berbau sosialisme; pada hal paham ini telah bangkrut dengan kemenangan kolonialisme yang dipimpin Amerika. Asas ekonomi kekeluargaan yang jelas-jelas merupakan ideologi nasional diancam digusur dan diganti dengan asas pasar. Meskipun MPR memutuskan mempertahankan asas kekeluargaan, Mahkamah Konstitusi telah berhasil mengobrak-abrik lagi UUD 1945 dengan amandemennya dan bersemangat untuk menghapus asas kekeluargaan itu. Peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) sangat memilukan karena segala bahaya kolonialisme yang waktu itu dianggap musuh telah ―berbaju baru‖. Cendekiawan dan pengusaha saat ini mendukung paham neokolonialisme dan liberalisme dengan keserakahannya yang tidak berubah tanpa disadari intelektual kita tidak membantu menyejahterakan rakyat kecil, tetapi justru menyengsarakannya (Mubyarto, Kedaulatan Rakyat, 20 April 2005: 1 dan 20). Semangat baru dalam memberantas neokolonialisme khusunya di bidang ekonomi dan perdagangan harus degelorakan bagi peserta KAA meskipun mempunyai kepentingan berbeda, tetapi dengan semangat untuk maju bersama dan membangunan networking yang kuat antarnegara peserta KAA. Indonesia sebagai tuan rumah dapat mengambil keuntungan atas berlangsung KAA tersebut dengan mengusung agenda kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan yang saling menguntungkan dengan negara maju dan peserta konferensi. Komoditaskomoditas unggulan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), tembaga, aluminium, batubara, semen, kertas, produk kimia, dan produk hewan dapat dijadikan unggulan untuk masuk dalam perdagangan Asia dan Afrika. Di masa depan ekspor komoditas tersebut seharusnya berkembang tidak hanya di pasar tradisional ekspor ke AS tetapi menyebar ke pasar potensial seperti Malaysia, Thailand, Hongkong, dan Taiwan. Apalagi mulai tahun ini untuk pasar AS, komoditas TPT sudah dihapuskan kuota perdagangannya, sehingga komoditas TPT Indonesia jika hanya mengandalkan pasar AS akan semakin berat untuk diraih. Kemandegan investasi infrastruktur di Indonesia yang selama ini terjadi dan sangat mengganggu sektort riil kita akan dapat dipecahkan jika KAA dapat dijadikan sarana menjual potensi investasi kepada negara investor seperti Jepang, Arab Saudi, dan China. Beberapa sektor ekonomi, khususnya untuk pelayanan publik, yaitu energi dan transpotasi, dapat ditawarkan kepada negara-negara potensial lainnya dalam pertemuan tersebut. Pemerintah dapat mendorong peran swasta lebih tinggi dengan mengajak mereka masuk dalam aktivitas KAA untuk langsung melakukan negosiasi bisnis dengan beberapa negara Asia dan Afrika potensial. Diharapkan pemerintah tidak hanya memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta besar, tetapi juga memberi kesempatan bagi usaha mikro kecil mengah (UMKM). UMKM harus dirangkul dan dibantu untuk dapat menjual produk-produknya ke negara-negara tersebut. Segmen pasar yang berbeda dan saling melengkapi antara pedangan besar, menengah, dan kecil akan menjadi potensi perdagangan yang semakin luas dan besar. Pemerintah juga harus mulai memperhatikan dan menghentikan proses deindustrialisasi yang muncul di negara ini. Majunya perdangangan seharusnya 218 dapat menjadi ujung tombak majunya industri-industri unggulan, bukan sebaliknya. Melalui perdagangan yang maju akan meningkatkan permintaan terhadap produk, yang akhirnya akan mendorong peningkatan volume produksi dan penyerapan tenaga kerja. Jangan sampai terjadi perdagangan yang maju hanya memunculkan pedagang-pedagang sebagai penjual produk import, sedang industri dalam negeri justru mati karena produknya kalah bersaing dengan produk import tersebut. Grand design penataan industri Indonesia harus segera dipikirkan, dirumuskan, dan diimplementasikan oleh pemerintah untuk menyelamatkan industri kita. Industri unggulan yang didukung dari hulu ke hilir harus diprioritaskan agar kemandirian dan daya saing yang kuat dapat tercipta. Melalui 50 tahun KAA tersebut, akses perjanjian kerja sama antarnegara Asia Afrika semakin terbuka dan dapat dimanfaatkan setiap negara peserta untuk saling membangun network yang saling menguntungkan. Bagi Indonesia yang lebih penting dari kesuksesan penyelenggaraan 50 tahun KAA adalah realisasi peningkatan ekonomi perdagangan setelah KAA berakhir harus dapat dirasakan oleh semua stake holder negara kita. Keberhasilan ini bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok saja yang mengatasnamakan wakil Indonesia (Nur Feriyanto, Kedaulatan Rakyat, 23 April 2005: 1 dan 20). Ketahanan di bidang ekonomi dapat ditingkatkan melalui pembangunan nasional yang berhasil, namun tidak dapat dilupakan faktor-faktor non-teknis dapat mempengaruhi karena saling terkait dan berhubungan, misalnya stabilitas ekonomi. Jadi faktor-faktor yang terkait dengan faktor-faktor non-teknis harus diperhatikan. Dengan demikian, ketahanan ekonomi diharapkan mampu memelihara stabilitas ekomomi melalui keberhasilan pembangunan, sehinga menghasilkan kemandirian perekonomian nasional dengan daya saing yang tinggi. 4. Aspek Sosial Budaya Ketahan sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamik budaya bangsa yang berisi keuletan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi ATHG, baik yang datang dari dalam maupun luar, baik yang langsung maupun tidak langsung, yang membahayakan kelangsungan hidup sosial NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD l945. Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kondisi sosial budaya manusia yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila, yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, rukun bersatu, berkualitas, maju dan sejahtera, dalam kehidupan selaras, serasi, seimbang serta kemampuan menangkal budaya asing yang tidak sesuai budaya nasional. Esensi ketahanan budaya adalah pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan sosial budaya. Dengan demikian, ketahanan budaya merupakan pengembangan sosial budaya di mana setiap warga masyarakat dapat mengembangkan kemampuan pribadi dengan segenap potensinya berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Sumarsono, 2000: 124). Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila akan diwujudkan sebagai aturan tuntutan sikap dan tingkah laku bangsa dan akan memberikan landasan, semangat, jiwa secara khas yang merupakan ciri pada elemen-elemen sosial budaya bangsa Indonesia. 219 Dalam negara berkembang, ada fenomena perubahan sosial yang disebabkan adanya faktor-faktor fisik geografis, biologis, teknologis dan kultural, terutama faktor teknologis kultural memegang peranan penting untuk perubahan sosial. Dari faktor di atas yang memegang peranan penting adalah faktor teknologi dan kebudayaan karena perubahan di itu berjalan sangat cepat. Perlu diketahui bahwa perubahan sosial budaya di antaranya disebabkan oleh faktor yang datangnya dari luar dan dari dalam; dan faktor dari luar biasanya jauh lebih dominan. Oleh karena itu, faktor dari luar perlu mendapatkan perhatian khusus. Untuk dapat memahami perubahan sosial perlu dipelajari bagaimana perubahan itu diterima oleh masyarakat. Apabila hal ini dihubungkan dengan ketahanan sosial budaya, pengaruh budaya seperti budaya konsumtif, hedonisme, pornografi, sex bebas, kejahatan dunia maya, dan sindikat narkoba dapat membahayakan kelangsungan hidup dalam bidang budaya nasional. Disadari atau tidak, pengaruh budaya luar pasti sulit ditolak, namun hal yang perlu diwaspadai adalah pengaruh dampak negatif yang mungkin akan terjadi yang dapat membahayakan kepribadian bangsa. Tidak menutup kemungkinan bahwa pihak luar sengaja menyebarkan pengaruhnya melalui sarana teknologi komunikasi yang akan menguntungkan bagi negaranya. Terhadap pengaruh semacam ini bangsa Indonesia harus waspada dan memiliki daya tahan untuk menanggulanginya. Dengan demikian, persoalan yang harus dipecahkan adalah bagaimana caranya mengarahkan perubahan sosial itu, mengingat pengaruh kebudayaan asing tidak dapat dicegah, sehingga tidak merusak kehidupan masyarakat dan kepribadian bangsa Indonesia. Mengenai perubahan sosial Lukman Sutrisno pernah menawarkan adanya Sosial Enggenerin, yaitu konsep mesin sosial yang sangat berguna untuk meminimalisasi akibat terjadinya perubahan sosial karena perubahan sosial pasti terjadi seperti akibat adanya globalisasi, pasar bebas, modernisasi, revolusi transpotasi, revolusi komunikasi. Dalam usaha meningkatkan ketahanan sosial budaya perlu disosialisasikan pengembangan budaya lokal, pengembangan kehidupan beragama yang serasi, peningkatan pendidikan kepramukaan yang mencintai budaya nusantara, dan penolakan budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Di sisi lain, budaya yang harus dipertahanakan adalah menjaga harmoni dalam kehidupan sebagai nilai esensi manusia, menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam, sesama manusia (masyarakat), Tuhan, dan keseimbangan lahir, batin (fisik dan mental spiritual). Faktor di atas apabila dihubungkan dengan ketahanan budaya dapat menunjukkan bahwa pengaruh budaya luar yang negatif dapat membahayakan kelangsungan hidup budaya nasional. Untuk mencegahnya diperlukan ―filter‖ di mana unsur-unsur tradisi bangsa, pendidikan nasional, dan kepribadian nasional memegang peranan penting dalam menepis ancaman tersebut. Dalam pembangunan di bidang ekonomi faktor non-ekonomis dapat mempercepat pembangunan yang harus dikembangkan. Menurut para ahli, faktor non-ekonomis itu mencakup demografis, struktur masyarakat, dan mental. Sehubungan dengan pembahasan sosial-budaya secara sempit, faktor yang relevan adalah struktur masyarakat dan mental. Masyarakat Indonesia dapat dibagi baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal dapat menghasilkan golongan sosial seperti golongan tani, buruh, dan pegawai, sedang secara horisontal disebut 220 stratifikasi sosial yang menghasilkan lapisan bawah (pedesaan), menengah, dan tinggi. Pada masyarakat Eropa Barat ketika terjadi ―revolusi lndustri‖, yang diawali dengan ―revolusi hijau‖ peranan kelas menengah sangat dominan untuk melakukan modernisasi sehingga menghasilkan masyarakat Eropa yang maju. Faktor mental bangsa sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan. Menurut Koentjaraningrat, ciri mental manusia Indonesia dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu (i) ciri mental asli (ciri mental petani), (ii) ciri mental yang berkembang sejak zaman penjajahan ( ciri mental priyayi), dan (iii) ciri mental yang berkembang sejak Perang Dunia II. Menurut sarjana tersebut mentalitas bangsa Indonesia belum memiliki mentalitas yang cocok untuk pembangunan. Oleh karena itu, tiga ciri mentalitas di atas harus ditinggalkan dan diganti ciri mental baru yang dikemukakan oleh J. Tinbergen. Bangsa yang ingin maju harus memiliki sifat (i) menaruh perhatian besar dan menilai tinggi benda materi, (ii) menilai tinggi tekonologi dan berusaha untuk menguasainya, (iii) berorientasi ke masa depan yang lebih cerah, (iv) berani mengambil resiko, (v) mempunyai jiwa yang tabah dalam usaha, dan (vi) mampu bekerja sama dengan sesamanya secara berdisiplin dan bertanggung jawab. Dengan memperhatikan pendapat kedua sarjana tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika bangsa Indonesia ingin maju ciri mental yang lama harus ditinggalkan dan diganti dengan ciri mental yang cocok namun tetap memiliki kepribadian bangsa (Lemhanas, 1988: 101). Sehubungan dengan hakikat hidup, Koetjaraningrat berpendapat bahwa nilai yang paling cocok dalam pembangunan adalah nilai yang memandang aktif terhadap hidup. Sehubungan dengan hakikat karya ada yang bertujuan bahwa karya untuk hidup, karya untuk mencapai kehidupan, dan karya untuk menghasilkan karya yang lebih banyak lagi. Menurut Magnis Suseno (1978) bangsa Indonesia telah memiliki etos kerja yang baik: kerja keras, efisien, mengembangkan prestasi, rajin, rapi, sederhana, jujur, menggunakan rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, bersedia melakukan perubahan, dapat melakukan setiap kesempatan, bekerja mandiri, percaya pada kekuatan sendiri, dan mau bekerja sama yang saling menguntungkan. Namun etos kerja di atas hanya dimiliki oleh kalangan elit saja. Kurang berkembangnya potensi yang sesuai dengan mental pembangunan yang bermuara pada etos kerja itu dikarenakan pekerjaan mereka belum mendapatkan imbalan yang sepantasnya, kurangnya penghargaan dan kesempatan untuk maju. Apabila manusia dihargai semestinya, mereka akan bekerja dengan rajin, teliti, setia, dan inovatif. Dalam usaha mengadakan perombakan mental bangsa, pendidikan memegang peran penting karena pendidikan berfungsi untuk mengubah secara tertib ke arah tujuan yang dikehendaki. Mendidik dalam arti luas adalah mendewasakan manusia agar dapat berpartisipasi penuh dan mengembangkan bakatnya serta menumbuhkan kehidupan sosial sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, diperlukan sistem pendidikan yang mampu membawa masyarakat ke tujuan nasionalnya. Menurut Ahmad Syafii Maarif, Guru Besar Filsafat Sejarah UNY (2004), pendidikan yang diperlukan bangsa Indonesia adalah peningkatan moralitas bangsa. Hal ini diungkapkan karena Indonesia mengalami bencana krisis moral dalam bidang ekonomi yang mengancam kepentingan hidup orang banyak. Krisis ini semakin dahsyat tidak hanya akibat depresi ekonomi. Wabah korupsi yang sudah demikian kronis akan berakibat kehancuran dan 221 kebangkrutan negara. Dengan demikian harus sesegera mungkin mengingatkan dan menyadarkan para pejabat dari budaya korup. Akibat dari krisis moral adalah budaya rakus, yaitu menggunakan dan menghalalkan segala cara untuk mengikuti nafsu hewani, demi tujuan yang diinginkan. Dalam usaha untuk mengatasi budaya KKN diperlukan kesabaran yang tinggi. Tanpa kesabaran tidak mungkin ada penyembuhan. Kombinasi tiga unsur, yaitu ilmu, amal, dan sabar, yang dapat menghapus sifat manusia. Tugas untuk pencerahan dan pencerdasan moral adalah tanggung jawab Depdiknas, Depag, elit politik, dan setip WNI karena pendidikanlah yang langsung ditatap, diserap, ditiru dan selanjutnya kita tidak boleh menyerah pada kepengapan dan keboborokan (A Syafii Maarif, 2004: 3). Pembaruan di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani. Dalam hal ini perlu dikembangkan sistem pendidikan yang cocok untuk keperluan pembangunan. Sistem pendidikan yang dimaksudkan harus dapat menghasilkan tenaga pembangunan yang terampil, menguasai ipteks, sekaligus memiliki pandangan hidup berdasarkan Pancasila serta kuat jasmani dan rohani. Dalam era reformasi, bangsa kita kurang memperhatikan ketahanan di bidang sosial budaya. Hal ini dapat dilihat adanya penafsiran keliru terhadap kebebasan yang justru mengakibatkan konflik yang berbau SARA yang dahulu dikritik oleh orba dan LSM. Dalam ketahanan di bidang budaya harus diingat bahwa demokrasi harus menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, tidak hanya di bidang politik saja, melainkan bidang ekonomi, budaya, dan agama. Oleh karena itu, sudah saatnya kalangan intelektual kampus mengembangkan ketahanan nasional bukan hanya untuk kepentingan kekuasaan sekelompok penguasa, namun untuk kepentingan keamanan dan kesejahteraan seluruh bangsa agar dapat hidup aman dan damai dengan mengedepankan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. 5. Aspek Pertahanan dan Keamanan a. Pegertian Ketahanan pertahanan dan keamanan diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi ATHG yang datang dari luar dan dalam, yang langsung dan tidak langsung membahayakan identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD l945. Wujud ketahanan di bidang keamanan tercermin dalam kondisi daya tangkal bangsa Indonesia yang dilandasi bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan dan keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan menangkal segala bentuk ancaman (Sumarsono, 2000: 125). Dengan demikian, ketahanan di bidang keamanan adalah keuletan dan ketangguhan bangsa dalam mewujudkan kesiapsiagaan serta upaya bela negara atau suatu perjuangan rakyat semesta; di mana seluruh kekuatan IPOLEKSOSBUD-HANKAM disusun, dikerahkan secara terpimpin, terintegrasi, 222 terkoordinasi, untuk menjamin penyelenggaraan Sistem Ketahanan Nasional, menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan kelangsungan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD l945 yang ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut. (1) Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; perang merupakan pilihan terakhir untuk mempertahankan NKRI dan integrasi nasional. (2) Pertahanan keamanan dilandasi dengan landasan ideal Pancasila, landasan konstitusional UUD l945, landasan visional wawasan nusantara. Pertahanan dan keamanan negara merupakan hak dan kewajiban bangsa Indonesia untuk mewujudkannya. (3) Pertahanan keamanan negara merupakan upaya terpadu yang melibatkan segenap potensi dan kekuatan nasional. Setiap WNI wajib ikut bela negara, dilakukan dengan kesadaran dan tanggung jawab rela berkorban, mengabdi kepada bangsa-negara, pantang menyerah. Upaya pertahanan dan keamanan negara yang melibatkan kekuatan nasional dirumuskan dalam doktrin pertahanan dan keamanan NKRI. (4) Pertahanan dan keamanan diselenggarakan dengan Sishankamnas (Sishankamrata). Hal ini bersifat total, kerakyatan, kewilayahan. Pendayagunaan dalam mengelola pertahanan dan keamanan dilakukan secara optimal dan terkoordinasi untuk mewujudkan kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan negara dalam keseimbangan, keserasian, antara kepentingan kesejahteraan dan keamanan. (5) Segenap kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan rakyat semesta, diorganisasikan ke dalam TNI dan Polri. Pembangunan ABRI dilandaskan pada jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, yang perannya tetap diabdikan untuk kepentingan bangsa Indonesia dan keutuhan NKRI (Sumarsono, 2000: 127). b. Postur Kekuatan Pertahanan dan Keamanan Postur kekuatan hankam mencakup struktur kekuatan, tingkat kemampuan, dan gelar kekuatan. Dalam membangun kekuatan hankam terdapat empat pendekatan, yaitu pendekatan ancaman, misi, kewilayahan, dan politik. Pada konteks ini perlu ada pembagian tugas dan fungsi yang jelas antara masalah keamanan dan pertahanan. Pertahanan diserahkan kepada TNI, sedang keamanan dalam negeri diserahkan kepada POLRI. TNI dapat dilibatkan untuk menangani masalah dalam negeri jika POLRI tidak mampu karena eskalasi ancaman yang meningkat ke keadaan darurat. Pembangunan kekuatan hankam harus mengacu kepada konsep wawasan nusantara, di mana hankam diarahkan untuk seluruh wilyah RI di samping kekuatan hankam harus mampu mengantisipasi dan memprediksi ancaman dari luar sejalan dengan kemajuan iptek militer, yang menghasilkan daya gempur jarak jauh. Rumusan hakikat ancaman akan mempengaruhi kebijakan dan stategi kekuatan hankam. Kesalahan dalam merumuskan hakikat ancaman akan mengakibatkan postur kekuatan tidak efektif dalam menghadapi gejolak dalam negeri. Dalam merumuskan hakikat ancaman perlu pertimbangan konstelasi geografi dan kemajuan iptek. Musuh (ancaman) yang datang dari luar akan 223 menggunakan sarana laut, udara, karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu, perlu adanya pembangunan hankam secara proporsional dan seimbang antara AD, AL, dan AU serta keamanan POLRI. Pesatnya kemajuan iptek perlu diantisipasi dan diwaspadai serangan langsung lewat udara oleh kekuatan asing yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Sebagai contoh, isu-isu yang akan dilakukan Australia akan membangun pangkalan peluncuran satelit di Pulau Chrismas sebelah selatan Pulau Jawa yang berjarak kurang 500 km, hal ini merupakan serangan potensial untuk meluncurkan rudal jarak menenggah untuk menghancurkan kota Jakarta. C. Gejolak Dalam Negeri Dalam masa globalisasi saat ini kondisi dalam negeri yang kacau dapat mengundang campur tngan asing. Intervensi pihak asing dapat berdalih untuk menegakkan nilai-nilai HAM, demokratisasi, Penegakaan Hukum, dan Lingkunggan Hidup, namun semuanya itu dilakukan untuk kepentingan nasional mereka. Situasi kacau dapat terjadi jika unsur utama kekuatan Hankam dan kompunen bangsa tidak mampu mengatasi permasalahan dalam negeri. Oleh karena itu, perlu diwaspadai hubungan antara kekuatan dalam negeri dan kemungkinan intervensi asing (Sumarsono, 2000: 129). Dalam era sekarang telah terjadi pergeseran geopolitik ke arah geoekonomi, hal ini akan terjadi perubahan dalam penerapan kebijaksanaan dan strategi negara dalam mewujudkan kepentingan nasional. Penerapan secara baru dalam penerapan kebijakan akan meningkatkan eskalasi konflik regional dan konflik dalam negeri yang akan mendorong keterlibatan super power di dalamnya. Oleh karena itu perlu membangun postur kekuatan Hankam yang memiliki profesionalisme untuk melaksanakan: 1) Kegiatan intel strategis dalam semua aspek kehidupan nasional. 2) Melaksanakan pertahanan udara, darat dan laut. 3) Memelihara dan menegakkan keamanan dalam negeri, 4) Membina potensi kekuatan wilayah dalam semua aspek kehidupan untuk meningkatkan TANNAS. 5) Memelihara stabilititas nasional menyeluruh dan berlanjut. Dalam usaha untuk melindungi diri sendiri dari ancaman luar dan dalam dengan anggaran sangat terbatas maka perlu dikembangkan kekuatan Hankam yang meliputi: 1) Perlawanan bersenjata terdiri dari bala nyata merupakan kekuatan TNI yang selalu siap dan dibina sebagai kekuatan cadangan dan bala potensial yang terdiri atas POLRI dan RATIH sebagai fungsi WANRA. 2) Perlawanan tidak bersenjata yang terdiri dari RATIH dengan fungsi TIBUM, LINRA, KAMRA, dan LINMAS. 3) Kompunen pendukung perlawanan bersenjata dan tidak bersenjata sesuai dengan bidang potensinya dengan pemanfaatan semua sumber daya nasional, sarana dan prasaran serta perlindungan masyarakat terhadap perang dan bencana lainnya. Dengan demikianketahan Pertahanan dan keamnan yang diinginkan adalah kondisi daya tangkal bangsa dilandasi kesadaran bela negara oleh seluruh rakyat yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan dan ketahanan yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya, mengamankan kedaulatan negara, menangkal segala bentuk ancaman. F. Kemanan Dalam Negeri 224 Kebijakan politik untuk mengamankan wilayah perbatasan belum seperti diharapkan, hal ini terbutkti banyak walayah yang tidak dirurus oleh Jakarta sehingga diklaim oleh negara tentangga seperti diungkapkan oleh Siswono (2005: 4) ― Tahun-tahun ini kita dirisaukan oleh berita tentang rapuhnya batas-batas wilayah NKRI. Setelah Pulau Pasir di Wilayah Timor diakui milik Austsralia dan kita menerimanya, Sipadan dan Ligitan diputuskan Mahkamah Internasional menjadi milik Malaysia, tapal batas di Kalimantan digeser hingga 800 meter, pekerja pembuat Mercusuar di Ambalat diintimidasi polisi perairan Malaysia. Lalu lintas batas yang bebas, nelayan-nelayan asing yang mencuri ikan hinggga merapat ke pantai-pantai Sumatra (pulau-pulau Rondo di Aceh dan Sekatung di Riau). Semua itu menunjukkan betapa lemahnya negara kita dalam menjaga batas luar wilayah NKRI‖ (Kompas, 20 April 2005: 4). Pada tahun 2002 terpampang di surat kabar kapal ikan asing yang meledak terbakar ditembak oleh kapal perang kita. Mengingat setiap hari ribuan kapal asing mencuri ikan di wilayah RI ada baiknya jika setiap bulan 10 kapal pencuri ikan ditembak meriam kapal patroli AL, agar jera. Jikalau yang terjadi penyelesaian damai di laut, maka pencurian ikan akan semakin hebat, dan penghormatan bangsa dan negara lain akan merosot. Potensi desharmoni dengan negara tetangga adalah masalah perbatasan, tentu tidak nyaman jika diperbatasan selalu tegang. Oleh karena itu perlu penegasan batas wilayah agar saling menghormati wilayah masing-masing negara. Suasana yang harmonis adalah kebutuhan hidup bertetanngga dengan bangsa lain. Kondisi disepanjang perbatasan Kalimantan dengan kehidupan seberang perbatasan yang lebih makmur dapat mengurangi kebanggaan warga di perbatasan pada negara kita. Pulau-pulau di Kepulauan Riau yang ekonominya lebih berorientasi ke Singapura dengan menerima dolar Singapura sebagai alat pembayaran juga dapat merapuhkan rasa kebangsaan Indonesia pada para penghuni pulau tersebut. Perekonomian di Pulau Mianggas dan Pulau Marampit lebih berorientasi ke Filipina Selatan akan melemahkan semangat kebangsaan warganya. Pengelolaan wilayah perbatasan perlu segera ditingkatkan dengan membentuk ―Kementriaan Perbatasan‖ yang mengelola kehidupan masyarakat perbatasan agar lebih makmur dan mendapat kemudahan agar dapat mengakses ke daerah lain di wilayah NKRI. Wilyan NKRI perlu dijaga dengan penegasan secara defakto dengan menghadirkan penguasa local seperti lurah, camat seperti polisi dan tentara sebagai simbul kedaulatan negara. Meskipun memiliki ribuan pulau tetapi tidak boleh meremehkan eksistensi salah satu pulau atau perairan yang sekecil apapun pulau atau daratan, dan bila itu wilayah NKRI perlu dipertahankan dengan jiwa dan raga seluruh bangsa ini. Masalah keamanan dalam negeri yang cukup pelik adalah menangani Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tidak kunjung selesai karena perbedaan pandangan seperti yang kami kutip dalam kalimat ini: ―Persoalan yang menjadi masalah adalah terminologi self government yang berbeda. Bagi Bangsa Indonesia self government adalah otonomi khusus yang cukup luas, tetapi bagi GAM adalah state. Stete yang dimaksudkan adalah provinsi dengan kewenangan luas, termasuk lagu kebangsaan, bendera, memiliki kewenangan pendidikan, pelabuhan, 225 pariwisata, anggota DPR asal aceh yang memiliki veto masalah Aceh‖ (Kompas, Minggu 17 April 2005). Proposal ini cukup berat, sehingga sejak awal Menkoinfo yang ikut aktif berunding menyatakan ada proposal GAM yang langsung disetujui dan ada yang perlu dirubah dan ada yang tidak bisa diterima karena menyentuh konstitusi negara. Babak pembicraan mengenai self government inilah yang menjadi fokus pembicaraan maraton antara delegasi RI dengan delagasi GAM di Helsinki. Belajar mengenai perundingan di antara dua delegasi yang berunding memang harus bekerja keras, saling memperlihatkan good faith dan mendekatkan proposal masingmasing agar mendapatkan titik temu, sehingga tercipta perdamaian abadi di bumi Aceh. Kasus Ambalat; Bermula dengan lepasnya Timor Timur 1999, kemudian kekalahan diplomasi kita di Mahkamah Internasional dengan kasus Sipadan dan Ligitan , 2002 sehingga kedua pulau tersebut menjadi miliki Malaysia. Lepasnya kedua pulau Sipadan dan Ligitan dengan waktu reltif singkat membuat rakyat Indonesia menjadi trauma akan lepasnya blok Ambalat yang kaya minyak ke tangan Malaysia. (Kompas, Kontruksi bangunan teritorial kita silihat dari kepentingan nasional begitu rapauh dalam beberapa tahun terakhir ini. Sengketa dua blok wilayah Malaysia dan Indonesia kembali memanas. Masing-masing mengklaim sebagai wilayah mereka. Malaysia memberi nama Wilayah ND6 dan ND7 dan Indonesia memberi nama blok Ambalat dan Ambalat Timur (Rusman Ghazali, Kompas, 28 April 2005; 4). Menurut Prof. Azmi Hasan, ahli strategi politik Malaysia, bantahan Indonesia sudah diatisipasi bahkan pemerintah Malaysia sudah menyiapkan segala bantahan sengketa Ambalat. Pemerintahan Malaysia tidak meragukan lagi kesahihan kepemilikan atas klaim ND6 dan ND7 sebagai bagian meilikinya atas dasar peta pantas benua 1979. Malaysia melakukan bantahan atas konsesei ekplorasi minyak yang diberikan kepada perusahaan ENI dan Unicoal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Bukan hanya itu, dalam tulisannya Prof. Azmi membuat kalkulasi atas kekuatan militer Indonesia jika harus berhadapan dengan kekuatan militer Malaysia. Bahwa TNI tidak berada dalam keadaan optimal akibat embargo militer AS sejak beberapa tahun yang lalu. Sebagai contoh hanya 40% Jet tempur yang dimiliki TNI AU dapat digunakan, karena ketiadaan suku cadang untuk mengoperasikan kekuatan secara penuh. Jet Sukoiw yang dimiliki Indonesia hanya mempunyai kemampuam radar, tanpa dibantu kelengkapan persenjataan yang lebih canggih lainnya. Pendek kata bahwa dalam sengketa ini kekuatan militer TNI juga telah diperhitungkan kekuatannya oleh para ahli strategi di Malaysia sebagai refrensi pemerintah Malaysia dalam menentukan sikap terhadap sengketa di wilayah Ambalat (Rusman Gazali, 2005: 4). F. Keberhasilan Ketahanan Nasional Kondisi kehidupan nasional merupakan pencerminan Ketahanan nasional yang mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, sehingga ketahanan nasional adalah kondisi yang harus dimiliki dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, dan bernegara dalam wadah NKRI yang dilandasi Pancasila, UUD l945, dan landasan visional Wawasan 226 Nusantara. Dalam mewujudkan ketahanan nasional diperlukan kesadaran setiap warga Indonesia yaitu: (1) Memiliki semangat perjuangan non fisik berupa keuletan dan ketangguhan yang tidak mengenal menyerah yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam rangka menghadapi segala ATHG baik yang datang dari luar dan dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungagn hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional. (2) Sadar dan peduli terhadap pengaruh yang timbul pada aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan Hankam, sehingga setiap WNI baik individu maupun kelompok dapat mengeliminir pengaruh tersebut. Oleh karena bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Hal tersebut tercermin dalam kesadaran bela negara dan cinta tanah air. Apabila setiap WNI memiliki semangat juang, sadar dan peduli terhadap pemngaruh yang timbul dalam masyarakat berbangsa dan bernegara serta mengeliminir pengaruh-pengaruh tersebut maka akan tercermin keberhasilan Ketahanan Nasional Indonesia. Untuk mewujudkan Ketahanan Nasional diperlukan suatu kebijakan umum dan pengambil kebijakan yang disebut Polstranas (Sumarsono, 2000: 133) G. Fungsi Ketahanan Nasional l. Kedudukan Ketahanan Nasional Konsepsi Ketahanan Nasional merupakan suatu ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia serta merupakan cara terbaik yang perlu diimplementasikan dalam kehidupan nasional yang ingin diwujudkan. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan landasan konseptual yang didasari oleh Pancasila dan UUD l945 sebagai landasan ideal dan konstitusional. 2. Fungsi Ketahanan Nasional Ketahanan Nasional berdasarkan tuntutan penggunaannya berfungsi sebagai Doktrin Dasar Nasional atau sebagai Metode Pembinaan Kehidupan Nasional dan sebagai pola dasar Pembangunan Nasional antara lain: (1) Konsepsi Ketahan Nasional dalam fungsi sebagai doktrin dasar nasional perlu dipahami untuk memimpin tetap terjadinya pola pikir, pola sikap pola tindak dan pola kerja dalam menyatukan langkah bangsa, baik yang bersifat inter regional (wilayah) inter sektoral maupun multi disiplin. Konsep doktriner ini diperlukan supaya tidak ada cara berpikir yang terkotak-kotak. Salah satu alasan yang lain adalah apabila terjadi penyimpangan maka akan terjadi pemborosan waktu, tenaga dan sarana yang berpotensi menjadi hambatan. Hal ini apabila dibiarkan akan dapat menyebabkan penyimpngan dalam mencapai tujuan nasional. (2) Konsepsi Ketahanan Nasional dalam fungsi sebagai pola dasar pembangunan, pada hakikatnya merupakan arah dan pedoman dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional di segala bidang secara terpadu dan dilakukan sesuai rencana program. (3) Konsepsi Ketahan Nasional dalam fungsi sebagai metode pembinaan kehidupan nasional pada hakikatnya merupakan suatu mertode integral yang 227 mencakup seluruh aspek yang terdiri dari aspek alamiah (Sikaya Mampu) dan aspek sosial (IPOLEKSOSBUD-HANKAM) (Endang Zelani Sukaya, 2000: 74-75) H. Hakikat Ketahanan Nasional Pada hakikatnya Ketahanan Nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Penyelenggaraan Ketahanan Nasional dilakukan melalui pendekatan keamanan dan kesejahteraan sebagai berikut. (1) Kesejahteraan digunakan untuk mewujudkan Ketahanan yang berbentuk kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya menjadi kemakmuran yang adil dan merata, baik rohaniah dan jasmaniah. (2) Keamanan adalah kemampuan dalam melindungi keberadaan bangsa, serta melindungi nilai-nilai luhur bangsa terhadap segala ancaman dari dalam maupun dari luar. (3) Kedua Pendekatan keamanan dan kesejateraan telah digunakan bersama-sama. Pendekatan mana yang ditekankan tergantung pada kondisi dan situasi nasional dan internasional. Penyelenggaraan kesejahteraan memerlukan tingkat keamanan tertentu, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian evaluasi penyelenggaraan Ketahanan Nasional sekaligus memberikan gambaran tentang tingkat kesejahteraan dan keamanan suatu bangsa. (4) Konsep Ketahanan dikembangkan berdasarkan konsep Wawasan Nusantara sehingga konsep Ketahanan Nasional dapat dipahami dengan baik apabila telah memhami Wawasan Nusantara. Dengan memiliki konsep Ketahanan Nasional, maka keluaran yang hendak dicapai adalah sebagai berikut. (a) Dari segi ideologi mampu menetralisir pengaruh ideologi yang datang dari luar. (b) Dari segi politik mampu memjabarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD l945, sehingga mewujudkan sistem politik yang mampu menetralisir pengaruh negatif dari pengaruh lingkungan strategis yang dihadapi. (c) Dari segi ekonomi mampu mewujudkan segi ekonomi yang tidak mudah goyah oleh perkembangan-perkembangan lingkungan strategis yang dihadapi. (d) Dari segi sosial budaya, mampu mewujudkan sosial budaya yang tidak mudah terpengaruh budaya negatif yang datang dari luar. (e) Dari segi Pertahanan, keamanan mampu mewujudkan kekuatan pangkal dan penyangga, sehingga mampu mecegah keinginan pihak lain yang secara fisik berusasha menggganggu integrasi nasional bangsa Indonesia. (f) Dengan demikian diharapkan kekuatan nasional mampu melakukan tindakan-tindakan represip terhadap gangguan-gangguan yang terjadi. 1. Ketahanan Nasional dalam Bidang Pendidikan Dalam mengantisipasi kehidupan ke dapan akan terjadi perubahanperubahan, baik keadaan ruang dan waktu. Oleh karena itu bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri melalui dunia pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sosial futuristik, karena itu sistem dan penyelenggara pendidikan harus dapat mempredeksi dengan tepat apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, 228 dan sistem pendidikan harus dapat mempersiapkannya. Sistem pendidikan formal harus dapat menyesuaikan perubahan zaman meskipun terkesan ―berganti mentri, gasnti kurikulum‖. Dalam kurikulum selalu ada yang ditambah atau dikurangi, siklus panjang harus ada perubahan-perubahan besar. Ketahanan nasional merupakan sikap dan ciri untuk dapat bertahan hidup sebagai suatu satua populasi dalam perjuangan hidup di dunia yang makin interakstif dan kompetitif. Perjuangan hidup terdiri atas persaingan dan kerja sama, sedang Ketahanan nasional makin kompleks karena batas-batas negara makin kabur, terkisis oleh kerja sama ekonomi, informasi global dan kemajuan IPTEK. Permasalahan di atas akan mempengaruhi kebijakan pendidikan, dan kebijakan Ketahanan Nasional sehingga bangsa Indonesia dapat aman dan bertahan hidup, Globalisasi akan menyamakan persepsi penduduk di berbagai negara disamping melemahnya peran negara. Pembaharuan meluas dikuatirkan akan merugikan ketahanan nasional suatu bangsa, disamping akan terjadi percepatan arus barang, gagasan, uang, termasuk pendidikan, tenaga pendidikan, dan produk pendidikan yang kometensinya tidak seimbang (T. Jacob, 1998: 221). Pendidikan mempuyai tugas pokok yaitu pertama: mengajar keterampilan bertahan hidup dengan pendidikan pragmatis. Kedua; Mempersiapkan warganegara sesuai dengan kepribadian kelompok, ketiga; Meningkatkan martabat manusia (humanisasi). Dalam aspek pertama, pendidikan mata pencaharian telah berubah terjadi urbanisasi dan industrialiasi, dari sektor agraris ke sektor jasa, hidup lambat diubah ke hidup cepat. Hal ini menutut pengetahuan, keterampilan, kecepatan serta komunikasi baru. Dalam aspek enkulturisasi telah terjadi assosiasi dan dessosiasi baru dalam kelompok-kelompok di dunia dan gangguan terhadap isolasi budaya. Adanya ikatan baru dengan interaksi yang bertambah, mosaik etnik mulai lebur dan pecah, enkulturasi mengalami peristiwa-peristiwa yang kadang kurang nyaman. Pendidikan berperan mencoba maenyesuaikan diri dengan proses ini. Dalam aspek humanisasi; kemajuan teknologi sangat cepat sedang dalam bidang moral, etika, agama lebih lambat. Kedisiplinan tidak bisa ditatarkan, hal ini mermerlukan kondisi yang kondusif. Ketertinggalan tampak jelas terjadinya kekerasan dimana-mana. Aspek-aspek di atas terbengkelai karena secara ekonomis tidak menghasilkan nilai ekonomis dan politis yang dapat dimanfaatkan. Kompetisi dunia pendidikan dalam aspek pertama, pada hal kekurangan aspek moral, etika dan agama sangat menyentuh ketahanan nasional. Kegagalan dalam aspek teknologi membuat bangsa tertinggal dalam hasil bumi dan pengetahuan, kita akan terisolasi, tergusur ke penggiran, dan tidak berperan dalam dunia global. Kontribusi kehidupan dunia hanya memberi sumber daya alam, sumber daya manusia yang murah. Kegagalan dalam aspek nilai kemanusiaan (humanisasi) meyebabkan kehilangan diri sebagai penyumbang kebudayaan manusia, disamping kehilangan saluran ekspresi. Kegagalan dalam aspek moral menyebabkan bangsa Indonesia tidak beranjak dari rasio beradabbiadab. 229 Tampak erat hubungan antara pendidikan dan Ketahanan nasional. Oleh karena pendidikan memang institusi budaya yang menyentuh awal seorang manusia, dan merupakan alat utama ketahanan nasional. Dalam mewujudkan ketahanan nasional membangun warga negara sesuai dengan kepribadian kelompok perlu disosialsiasikan beberapa pendidikan agar menghasilkan ketahanan nasional antara lain (i) pendidikan demokrasi dan (ii) pendidikan multikultural. a. Pendidikan Demokrasi untuk Mewujudkan Civil Society Secara esensial pendidikan demokrasi adalah untuk melahirkan "budaya demokrasi baru " dalam kerangka untuk mewujudkan tatanan demokrasi yang ideal. Demokrasi tidak sekedar dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat atau keterlibatan langsung rakyat dalam mengambil keputusan politik, namun lebih dari itu. Demokrasi di dalamnya menyangkut kondisi yang kondusif untuk mensosialisasikan pendidikan nilai-nilai yang menjadi harapan dan dambaan. Oleh karena itu demokrasi tidak hanya merujuk pada kondisi realitas tatanan atau sistem yang sudah ada, pendidikan demokrasi harus mampu melakukan inovasiinovasi yang baru untuk kemajuan demokrasi. Pendidikan demokrasi dalam arti lebih spesifik dapat diartikan sebagai usaha secara sadar untuk mengubah proses sosialisasi demokrasi dalam masyarakat sehingga mereka betul-betul memahami sistem demokrasi yang ideal dan hendak diwujudkan (Nasiwan, 24: 6). Menurut Sosolog Universitas Erlangga, Hotman M Siahaan kultur demokrasi bagi bangsa Indonesia belum terbangun sehingga pemerintah harus berani mengambil trobosan melalui pendidikan demokrasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya aksi buruh atau protes mahasiswa yang berakhir dengan bentrokan fisik. Sikap dialogis yang diharapkan antara pemerintah dan rakyat belum terjadi. Kekeliruaan dalam proses pembangunan demokrasi memunculkan anomali yang kemudian bermuara pada amuk masa. Diskursus demokrasi tidak muncul, pada hal semestinya demokrasi menciptakan konsensus dialog antara pemerintah dan rakyat. Namun wacana itu tidak muncul meskipun pemerintah telah berusaha mewujudkannya. Kondisi ini diperparah dengan berbagai kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, kasus bantuan korban gempa yang tak kunjung terealisir. Lemahnya lembaga institusional turut memunculkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pemerintah harus membuka ruang dialog antara pengusaha dan rakyat seperti kasus Lapindo Brantas, pemerintah harus memfasilitasi kepentingan rakyat dan berani mengorbankan prosedur konvensional dalam membuat kebijakan yang populis dengan segera dan radikal. Pemerintah harus berani bersikap tegas dan cepat untuk menyelematkan krisis ekonomi serta membangun kebijakan yang komperhensif demi kepentingan pengembangan demokrasi di Indonesia (Kompas, 3 Maret 2006). Dengan lain perkataan bahwa sistem demokrasi yang sudah ada belum sempurna sehingga diperlukan perbaikan-perbaikan melalui pendidikan demokrasi sebagai suatu rekayasa sosial dengan tujuan agar masyarakat mempunyai pemahaman yang baru, kesadaran, sikap dan penghayatan nilai-nilai demokrasi untuk menuju kesempurnaan sebagai mana yang diidealkan dalam kehidupan berdemokrasi. 230 Kebijakan pemerintah tidak demokratis yang berorientasi pada kepentingan penguasa sudah tentu berdampak pada gejala terjadinya konflik, ketidak jujuran, rendahnya budaya malu, KKN, bahkan pada nasionalisme yang rendah. Kebijakan demokrasi harus memiliki nilai manfaat, keadilan dan kebebasan, kemakmuran bagi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu rekayasa sosial dalam bentuk kebijakan dalam membentuk watak bangsa melalui pendidikan demokrasi. Dalam usaha untuk mewujudkannya diperlukan pemikiran yang matang dan melibatkan stake holders dan berdasarkan kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kebijaksanaan demokratis dengan menggunakan medel kebijakan partisipatif yang realisasinya melalui pendidikan demokratis untuk mewujudkan Masyarakat Sipil Indonesia (Sudiyono, 2005: 1). Pengembangan budaya demokrasi tidaklah menghilangkan nilai-nilai demokrasi yang sudah ada sebagaimana dalam musyawarah untuk menemukan mufakat dan telah mengakar dalam masyarakat, namun kultur demokrasi diharapakan terus dikembangkan agar menghasilkan sistem demokrasi yang lebih ideal. Usaha-usaha yang sungguh-sungguh dalam mewujudkan pendidikan demokrasi harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat sehingga dapat melahirkan budaya demokrasi yang semakin dinamis dan mendapatkan porsi perhatian lebih besar. Oleh karena pada masa rajim Sukarno, Suharto tidak memberi tempat dan kesempatan untuk lahirnya kultur demokrasi melalui inovasiinovasi pengembangan demokrasi sehingga melahirkan sikap apatis. Kehidupan demokrasi ke depan harus dapat dirancang atau direkayasa sedemikian rupa sehingga menghasilkan budaya demokrasi yang ideal melalui pendidikan demokrasi. b. Demokrasi dan Pelaksanaannya Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, demokrasi berkaitan dengan pengelolaan kehidupan bersama. Menurut asal usul katanya ―demokrasi‖ berarti rakyatlah yang berkuasa, dalam bahasa Yunani demos artinya rakyat dan kratein pengertiannya berkuasa. Unsur demokrasi modern adalah warisan dari kebudayaan Yunani kono, namun sejak saat itu demokrasi dipersoalkan. Plato seorang filosof pada zamannya menentang demokrasi, karena Pemeritah Athena sangat jelek dalam mempraktikkan berdemokrasi sehingga mengadili Sokrates sebagai gurunya. Dalam demokrasi Athena semua warga negara bergantian memegang kekuasaan, sehingga tidak mengherankan jabatan pemerintahan dipegang oleh orang bodoh (Bertens, 2006: 7). Definsi demokrasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah permerintah oleh rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil mereka yang dipilih melalu pemilihan yang bebas. Demokrasi adalah suatu pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hampir seluruh negara di dunia mengadopsi istilah demokrasi, bahkan penguasa otoriter tetap menggunakan lebel negara demokrasi untuk melegitimasi rezim mereka. Demokrasi pada dasarnya merupakan seperangkat gagasan dan prinsipprinsip tentang kebebasan, tetapi juga merupakan seperangkat praktik dan presedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang dan berliku-liku (Sunarso, 2004: 29). 231 Pada masa modern kehidupan demokrasi berfungsi atas dasar perwakilan, wakil-wakil rakyat yang akan memegang pucuk kepemimpinan negara dipilih melalui pemilihan umum dengan menggunakan kendaraan prtai politik. Sebelum Pemilu dilaksanakan, dipilih terlebih dahulu calon wakil rakyat, supaya pemimpin yang berkuasa nanti sungguh-sungguh melayani rakyat dan mempunyai visi yang benar, namun hal ini belum memberi jaminan menjadikan kehidupan demokratis. Bahkan di Indonesia mengalami hal yang sama, delima antara konstituensi (pemilih atau pendukung) partai politik dan kompetensi wakil rakyat dalam berdemokrasi tidak memberikan zamaninan kehidupan yang demokratis (Ignas Kleden, 2003: 1). Personal yang mengatur kehidupan negara dan masyarakat adalah orang-orang yang didukung konstituensinya, atau orang yang memiliki kemampuan bekerja baik, dengan dukungan integritas yang diandalkan. Kehidupan demokrasi Indonesia pernah mencoba untuk mendapatkan formula yang ideal dan diharapkan dapat mendorong kehidupan demokrasi sehat. Kompunen kualifikasi demokrasi tersebut adalah (i) kemampuan dan keahlian dalam bekerja, yang dinamakan kompetensi, (ii) jumlah orang-orang memilih seseorang untuk mewakili mereka, yang dinamkan konstituensi, dan (iii) kesadaran politikus tentang nilai-nilai dan norma yang tidak boleh dilanggar, karena jika dilanggar ia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri, hal terakhir dinamakan integritas (Ignas Kleden, 200f3: 1). Kompetensi tanpa konstituensi melahirkan teknokrasi, dimana seorang menduduki jabatan politik karena keahliannya tanpa dukungan orang yang memilihnya. Hal ini terjadi pada masa Orde Baru yang menjadikan ekonomi sebagai prioritas utama, karena itu memberikan jabatan politik kepada ekonomekonom sehingga melahirkan Mafia Berkeley. Atau pada masa Sukarno teknokrasi dikenal dengan Zakenkabinet, teknokrasi ini masih bisa diterima masyarakat jika para ahli yang menduduki jabatan politis memperlihatkan integritas yang meyakinkan. Praktik teknokrasi sangat merugikan partisipasi rakyat, karena teknokrat mendapat jabatan politik melalui kemampuannya secara teknik. Oleh karena itu tidak perlu konstituensi pendukungnya sebagai ujud partisipasi masyarakat. Teknokrasi lebih percaya kepada elitisme intelektual yang mengadaikan masalah IPOLEKSOSBUD-Hankam merupkan hal yang kompleks sehinga orang-orang yang ekspert dan kompeten saja yang mampu menanganinya. Partisipasi rakyat dalam hal ini justru dianggap akan memperumit permasalahan yang kompleks seperti kasus-kasus di Indosnesia. Akibatnya kurang baik sering terjadi konflik para mentri dengan anggota DPR tentang kebijakan yang dilakukannya seperti pada masa rajim Suharto. Ekstrim kedua tejadi sebaliknya partisipasi rakyat di kedepankan, wakilwakil rakyat yang dapat dianggap menjadi personifikasi dari kelompok tertentu atau mendapat dukungan dari konstituennya yang memerintah menjadi mentri namun tidak ekspert di bidangnya. Hal ini terjdi pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur (Abdulrahman Wahid), seorang mentri yang tidak memiliki begraund teknik justru dijadikan Menristek kerana kedekatannya dengan elit politik dan mewakili partai untuk memerintah. Akibatnya sudah dapat diduga segala perencanaan sebelumnya mengenai pengiriman Sarjana S-2, S-3 ke luar negeri pada masa Presiden Habibi untuk meningkatkan sumber daya manusia lulusannya 232 diterlantarkan. Melihat pengalaman masa lalu idealnya mengambungkan dua konsep di atas sehingga bisa mengakumodasikan partisipasi rakyat dan memilih mentri yang ekspert di bidangnya, sehingga tujuan nasional bisa dicapai, namun tidak mengganngu kehidupan berdemokrasi. c. Masyarakat Sipil yang Demokratis Dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society) yang demokratis perlu langkah-langkah berdemensi dekonstroksi yang memberikan harapan bagi rekonstruksi dan revitalisasi kehidupan yang demokratis. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih demokratis antara lain: Pertama dekonstruksi kepemimpinan. Pemimpin selalu identik dengan ketokohan dan bersifat perosnal. Dalam imajinasi kehidupan demokrasi, ada kepercayaan bahwa ada seorang pemimpin yang akan muncul dalam kondisi sesulit apapun dipersonifikasikan sebagai tokoh pembebas semacam "afatar" yang akan mampu mengatasi segala keterpurukan bangsa ini. Namun kenyataannya setelah Suharto tumbang terjadi reformasi, Amin Rais dengan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai lokomotif pembaharuan, Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) yang roformis, Golkar baru, Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tak mampu membawa bangsa ini ke dalam kehidupan demokratis yang ideal. Bahkan terjadi hal sebaliknya pemerintah melalui aparat keamanan tidak berani menegakkan kehidupan demokrasi membiarkan ormas-ormas keagamaan Islam melakukan kekerasan, dengan sendirinya kendali atas demokrasi hilang. Jafar Umar sebgai pemimpin Fron Pembela Islam (FPI) mengatakan orang murtad, dan orang kafir yang tidak mentaati Syariat Islam halal darahnya ditumpahkan (Kompas Rabu, 30 Agustus 2006: 6 dan Wawancara TVRI dengan Jafar Umar, 2004). Namun kepemimpinan yang bersumber pada ketokohan personal telah mengalami kegagalan sebagai pemimpin alternatif. Oleh karena itu diperlukan dekonstruksi kepemimpinan atas paradigma kepemimpinan yang telah ada. Bangsa ini harus merekonstruksi ulang dengan menghadirkan kepemimpinan kolektif, yaitu kepemimpinan yang diusung berdasarkan visi kebersamaan untuk kehidupan bangsa yang lebih demokratis. Para pemimpin nasional harus menanggalkan segala atribut ikatan primordial seperti keormasan, keagamaan, kesukuan yang bersifat SARA untuk kepentingan bersama. Kedua, dekonstruksi kelembagaan demokrasi harus diwujudkan. Oleh karena kelembagaan masih merupakan titik lemah dalam membangun masyarakat adil dan makmur. Lembaga-lembaga yang ada belum mempunyai komitmen untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya namun yang terjadi justru sebaliknya untuk melayani diri sendiri dalam bentuk KKN, bukan melayani kepentingan umum (Zuhairi Misrawi, Kompas, 30 Agustus 2006: 7). Ketiga, dekonstruksi kultur demokrasi. Dalam ranah demokrasi budaya yang berkembang masih berlaku sistem feodalis. Elit politik sering bertindak sebagai raja yang ingin dilayani, dihormat, disanjung, ingat imperium Suharto yang menghendaki penguasa tunggal seperti raja-raja Jawa. Kultur semacam ini tidak kondusif untuk kehidupan demokrasi karena kumunikasi hanya satu arah antara atasan dan bawahan. Oleh karena itu ke depan harus dekembangkan kultur demokrasi yang memberi ruang lebih leluasa terutama dalam kultur nilai-nilai 233 egalitarian, demokratis, dan terbuka atau transparan dalam pengelolaan untuk kepentingan publik. Keempat, dekonstruksi masyarakat sipil yang demokratis. Membangun masyarakat sipil sangat penting sekali, karenea meskipun pemerintah bangkrut masih ada masyarakat sipil yang memiliki solidaritas sosial yang kuat. Kedepan masyarakat sipil harus diselamatkan dari kontaminasi kepentingan negara, kooptasi pemerintah maupun ormas-ormas yang cenderung ke arah politik praktis. Ormas agama sudah seharusnya meletakkan nilai-nilai agama sebagai sumber etika untuk mewujudkan civil society, bukan justru untuk kepentingan kekuasaan. Kelima, perlu dekonstruksi mental demokrasi. Mental demokrasi harus dikembangan pada setiap individu melalui diri sendiri dan disebarkan pada setiap pribadi sebagai mana pendekar demokrasi Amerika (Google Refrensi Demokrasi dalam internet), karena bangsa ini telah kehilangan kepercayaan diri terutama tidak adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa. Jalan keluar untuk membangun demokrasi harus ada langkah sinergi seluruh elemen bangsa baik pemerintah, cendekiawan, budayawan, rohaniawan, tokoh masyarakat, media masa bersama-sama mempunyai tekad bulat untuk mewujudkan kehidupan demokrasi ideal yang menjunjung tinggi nilai keadilan, kedamaian, keragaman budaya dan egalitarian. d. Pendidikan Multikultural Bangsa Indonesia memiliki ciri multi etnis dan multikultural namun sudah tidak memiliki lagi norma fondamental dari nilai-nilai kehidupan bersama, sementara pengaruh global semakin kuat menerpa bangsa, akibatnya integrasi antar etnis semakin pudar dan runtuh. Terjadi konflik antar etnis seperti di Sampit antara Suku Dayak dan Madura, Tantena dan Poso antarta Islam dan Kristen, Konflik Ambon, sparatisme Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan (RMS) Baru, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang telah berdamai. Konflik SARA seperti kasus Achmadiah, konflik anti China dan perusakan, pembakaran dan penutupan tempat-tempat ibadah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penerapan ideologi, nasionalisme, wawasan kebangsaan, terlebih lagi perkembangan politik Indonesia yang semakin jauh dari wawasan kebangsaan dan etika politik sebagaimana terkandung dalam filsafat bangsa karena akibat tekanan globalisasi (Kaelan, 2006: 1). Pancasila secara yuridis formal dijadikan dasar negara dan pandangan hidup, namun kenyataannya bangsa Indonesia belum melaksanakan nilai-nilai Pancasila baik secara obyektif dan sobyektif secara konsekwen. Pancasila hanya sebagai wacana; Pancasila mengajarkan nilai persatuan dan kesatuan, namun yang terjadi justru perpecahan. Pancasila menghendaki keadilan dan pemerataan hasil, namun yang terjadi justru mementingkan diri sendiri dan KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) menggurita. Pancasila mengajarkan toleransi antarumat beragama, namun yang terjadi adalah eksklusifisme, dan menguatnya ikatan primordial. Pancasila menghendaki sosialisasi demokrasi, namun yang muncul adalah penindasan orang-orang lemah dan proses marginalisasi. Pancasila menghendaki terjadinya kemanusiaan universal, namun yang terjadi sebaliknya egoisme, vandalisme (Sujati, 2006: 2). 234 Disisi lain terjadinya konflik karena lemahnya atau kurangnya pendidikan multikultural sehingga setiap etnis, setiap kelompok merasa diri memiliki wewenang untuk menghakimi, menghukum kelompok yang berbeda dengan dirinya atau menganggap kelompok lain sebagai musuh yang harus dinihilkan. Keadaan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan demokrasi untuk mewujudkan Masyarakat Sipil (Civil Society) atau dalam Masyarakat Terbuka (“Open Society”) masyarakat dikondisikan untuk membuka diri dengan perubahan sesuai dengan jiwa zaman yang selalu berubah untuk mencari kesempurnaan. Dalam kondisi di atas untuk menghadapi konflik dan perubahan sosial diperlukan pendidikan multikultural agar setiap kelompok etnis, kelompok kepentingan tidak melakukan tindakan distruktif terhadap kelompok lain sehingga diharapkan dapat meredam konflik-konflik yang berbau SARA (Suku antar Golongan Ras dan Agama). Istilah multikultural secara marak digunakan sekitar tahun 1950 di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictonary, istilah multikultural diambil dari surat kabar yang terbit di Kanada yang menggabarkan sebuah masyarakat Montreal Kanada sebagai masyarakat yang multikultural dan multi bahasa. Sedangkan Istilah pendidikan multikultural secara sederhana adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan pendapat Paulo Freire yang dikutip oleh Endah Setiorini: ―bahwa pendidikan bukan merupakan menara gading, yang menjauhi realitas sosialbudaya melainkan harus mampu meciptakan tatanan masyarakat yang berpendidikan, berbudaya dan mengedepankan nilai-nilai eqalitarian, demokrasi, kebebasan dan persaudaraan.‖ (Endah Setiarini, 2006: 2). Pendidikan multikultural merupakan respon dari keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok etnis. Pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan. Sedangkan secara luas pendidikan multicultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok, baik gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama. Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan dan kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural didefinisikan tentang pendidikan keragaman budaya dalam perubahan demografis dan budaya masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru, pendekatan pendidikan multikultural dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogin dan multi etnis. Apalagi pada masa era otonomi daerah dimana konsep sentralisasi bergeser ke desentralisasi dalam kebijakan-kebijakan tertentu. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan perkembagan demokrasi yang sedang dijalankan sekaligus sebagai penyeimbang terhadap kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila kebijakan pendidikan multi kultural dialaksanakan dengan sembrono dan tidak hati-hati justru akan 235 menyebabkan kedalam perecahan nasional dan disintegrasi bangsa (Aprellina Setyawati, 2005: 12). e. Pentingnya Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural sangat penting di Sekolah Dasar (SD) khususnya dalam pengajaran ilmu pengetahuan sosial. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup untuk menghormati secara tulus, dan toleran dalam keberagaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk. Dengan diberikannya pendidikan multikultural diharapkan adanya kelenturan mental bangsa dalam menghadapi konflik-konflik yang berbau suku antar golongan ras dan agama (SARA), sehingga persatuan bangsa tidak mudah retak dan terjadi disintegrasi bangsa. Adapun tujuan pendididikan multikultural adalah: Membantu anak didik dalam mengembangkan pemahaman dan sikap secara memandai terhadap mamasyarakat yang beraneka ragam budaya. Anak didik memiliki budaya sendiri yang hakiki, namun tetap memberi andil terhadap kesejahteraan masyarakat. Mengembangkan pendidikan yang wajar, tanpa memandang perbedaan, membantu peserta pendidik untuk berpartisipasi dalam kultur berbeda. Membantu anak didik dalam memberdayakan potensi yang optimal‖ (Setyo Raharjo, 2002: 27). Oleh karena itu pendidikan multikultural harus memperhatikan beberapa hal antara lain: Pengajaran nilai yang mendukung keberagaman budaya dan keunikan individu. Peningkatan perluasan kualitatif keberadaan budaya etnis dan kerja sama dalam kehidupan sosio ekonomis dan politik, mendukung alternatif pemunculan gaya hidup dan peningkatan pemahaman multikultural, multi bahasa dan multi dialektika. Dalam konteks kehidupan berbangsa yang serat dengan kemajemukan berbagai bidang; suku, ras, golongan, agama, bahasa daerah dan kepentingan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola secara kreatif, sehingga konflik dapat dikelola dengan cerdas. Dengan demikian pendidikan multikultural dapat dijadikan pencerahan dalam kehidupan berbangsa ke masa depan yang lebih baik. Perkembangan sejarah Indonesia, serat diwarani dengan konflik-konfllik sosial dan disertai dengan tindak kekerasan sehingga mengancam kesatuan persatuan bangsa dan negara. Pengalaman masa lalu sering timbul peperangan antar kerajaan dan setelah kemerdekaan serta berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga sering timbul konflik yang membawa fanatisme kedaerahan. Konflik sosial sering bertendensi politik dan ujung-ujungnya ingin melepaskan diri dari NKRI seperti yang terjadi saat ini di Papua. Oleh karena itu dengan diberikannya pendidikan multikultural di tingkat SD diharapkan konflik sosial yang distruktif dapat diredam atau diatasi sehingga disintegrasi bangsa diharapkan tidak terjadi. Pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan yang mempunyai tujuan untuk membentuk warga negara yang baik (Good Cetezen) dengan kriteria beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa belum memberi jaminan untuk terwujudkanya masyarakat yang demokratis, dengan cara hidup yang multikultural (Kaelan, 2003: 15). Pemberian mata kuliah Pemebentuk Kepribadian (MPK) dalam kenyataannya belum mampu mewujudkan demensi multikultural, 236 hal ini karena mata kuliah tersebut di atas rentan intervensi penguasa pada zamannya sehingga mahasiswa skeptis terhadap matakuliah tersebut. Akibatnya mahasiswa kurang berminat mempelajari mata kulaih pembentuk kepribadian, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Pendidikan Kepramukaan yang diharapkan mampu membawa misi kesederhanaan, kesamaan, kegotongroyongan, tolong-menolong, kebersamaan dan kesatuan, sudah tidak populer lagi bagi generasi muda karena sudah terpinggirkan. Oleh karena tidak lagi diaktualisasikan dalam falsafah hidup ditengah-tengah realitas perubahan sosial yang kompleks sekaligus dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik. Peranan Pendidikan agama diharapkan memberikan dasar untuk kesatuan masyarakat dalam pandangan hidup dan sistem nilai yang seragam, memberikan motivasi yang sama untuk kegiatan bersama dan memberikan norma dalam hidup bersama (Haryono, 2004: 5). Namun kenyataannya Pendidikan agama yang ada tidak memberikan nuansa mutltikultural tetapi malah sebaliknya masih menyudutkan hak hidup agama yang lain seakan-akan hanya agamanya sendiri yang berhak hidup dan benar. Semangat pendidikan agama yang sempit tentu berlawanan dengan pendidikan multikultural, dan hal ini akan memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa (Wilys Setyowati, 2005: 7) Dengan melihat kelemahan dan pengalaman pendidikan multikultural masa lalu makan pendidikan tersebut harus direvisi, direvitalisasi, direaktualisasi secara kratif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya. Keluaran yang diharapkan dalam pendidikan multikultural ini adalah setiap peserta didik memiliki sikap dapat menerima, menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar serta memiliki jalan keselamatan. Dalam prespekti multikultural, setiap agama diharapkan terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog dan kerja sama dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengaharapan (Daniel Nuhamera, 2004: 11). f. Pendidikan Multikulurual untuk Pengembangan Nilai Egalitarian Melalui pendidikan multikultural perlu dikembangkan nilai-nilai kebersamaan. Hal yang sangat penting dalam mengembangkan hidup bersama sebagai warga bangsa adalah menanamkan nilai-nilai toleransi lintas SARA (suku antar golongan ras dan agama), dan meyakinkan bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan heterogin. Sikap saling menghormati dan mengharagai perbedaan yang ada harus senantiasa dikembangkan. Oleh karena itu sikap eksklusif dan pemahaman terhadap agama, suku dan kelompok, etnis sering dijadikan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Tindakan antagonis ini sangat conter producitive dengan hakikat kemanusiaan universal. Pemahaman lintas SARA yang berada dalam tataran institusi, hanya menghasilkan hal yang formalitas, dan belum mengenai makna yang esensi. Sedang pemahaman makna yang esensi, nilai-nilai pluralitas akan dapat dijadikan motivasi kebersamaan, kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sangat penting artinya pendidikan multikultural bagi generasi muda, nilai keragaman budaya tidak hanya sebagai hal normatif tetapi diharapkan dapat mengutamakan nilai-nilai dasar keberagaman 237 Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai pluralitas secara baik akan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan, dan dapat dijadikan landasan persatuan dan kesatuan bagi pembangunan nasional, sehingga dapat memperkokoh negara Kestuan Republik Indonesia (NKRI). Peringatan bagi para pakar pluralisme sebagaimana dengan paradigma modern peradaban saat ini telah mendorong rasionalisasi memasuki primordialistik, tradisi keagamaan, kesukuan dan dalam kehidupan bersama. Sasaran yang semula menjadi akar peradaban mulai bergeser ke arah bangun dasar negara yang menjaga stabilitas bangsa. Kehidupan bersama saat ini bagi generasi muda mempunyai makna berbeda, karena situasi dan tantangan zaman berbeda. Perlu dimengerti bahwa kepribadian generasi muda terbentuk oleh jiwa zaman dan untuk membentuk kepribadian global. Anak-anak zaman dimasa yang akan datang adalah generasi yang memeliki kesadaran kemanusiaan, dan nilai-nilai pluralistik yang terkandung secara intrensik di dalamnya. Oleh karena itu bagi generasi tua perlu mewariskan butir-butir kemanusiaan secara universal dan eqalitarian, bukan hanya format struktur kebangsaan melainkan moralitas dan roh yang dapat membangun hidup bersama. Pentingnya bagi generasi penerus, pewaris cita-cita bangsa agar menumbuhkembangkan komitment pluralistik, nilai kebangsaan dan nilai kemanusiaan dalam sebuah masyarakat modern suatu orde generasi dengan kemampuan kreatif dan tidak terbatas pada logika formal yang dangkal. Kontribusi Pendikan Multikulural dalam membentuk Masyarakat Sipil Dalam perkembangan akhir-akhir ini yang sarat dengan konflik kepentingan, kelompok-kelompok banyak berdemonstrasi baik buruh dengan isu revisi UU Ketenaga kerjaan, petani dengan isu kelangkaan pupupuk, di kelas menengah Kades berdemo tentang nasibnya. Disisi lain muncul bentrok antar kampung atau warga desa dan antara rakyat dengan aparat sehingga ke depan diprediksi akan terjadi kekacauan masal ( Riswanda Himawan, Kedaulatan Rakyat, 6 April 2006: 12). Persoalan ini diakibatkan karena gagalnya para elti politik dalam menciptakan dan merekonstruksi political trust dan mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu solusi yang rasional adalah memasyarakatkan pendidikan multi kultural Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar nilai-nilai subtansial dalam pendidikan multikultural sebagai akar budaya masyarakat sipil (masyarakat madani) di Indonesia adalah nilai kebersamaan yang diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam kehidupan masyarakat Islam senantiasa menerapkan konsep hablum minanas dan hablum minanar sebagai aktualisasi diri menjadi menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia dan seluruh isi dunia. Oleh karena itu ajaran Islam senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan orang lain atau sangat menghargai perbedaan pendapat, menghargai suku, agama yang berbeda sebagai ujud dari masyarakat sipil (Wawancara 12 April 2006). Sedang menurut Pdt. Sangadi Mulya peran Ajaran Agama Kristen dalam pendidikan multikultural untuk mewujudkan masyarakat sipil adalah sebagai garam dan terang yang menggarami dalam segenap hidup manusia. Prinsip Kekristenan adalah ibadah yang holistik tidak hanya ibadah ritual tetapi diterapkan dalam segenap aspek kehidupan manusia sehingga menghasilkan buah yang nyata menjadi berkat bagi 238 orang lain (Wawancara, 19 Agustus 2005). Contoh kongkrit ―Pelayanan Kristiani‖ telah dilakukan oleh Almarhum Ibu Theresia dari India, Almarhum Dr. Yohanes Lemena, Yos Sudarso, Romo YB Mangun Wijoyo yang memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungannya dengan memberikan hidupnya untuk masayarakat marginal lintas SARA (Indra Trenggono, Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; hal 12). Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar dalam pendidikan multikultural untuk mewujudkan masyarakat sipil akan terwujud jika bangsa Indonesia mengedepankan pendidikan formal bagi seluruh warga bangsa, jika terjadi kesenjangan pendidikan dan kesenjangan sosial-ekonomi maka bangsa ini mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap sesama warga bangsa (Wawancara, 21 Agustus 2005). Dalam sosialisasi pendidikan multikultural perlu adanya komitmen para elite politik, tokoh masyrakat, guru, stake holder pendidikan multikultural dan selurluh masyarakat. Dengan memperhatikan prinsi-prinsip pendidikan multikultural yang antara lain sebagai berikut. ―Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu proses, pendekatan yang digunakan hendaknya secara komperhensif, pendidikan multikultural hendaknya dillakukan dalam lingkungan yang kondusif, semua partisan dan komunitas hendaknya terlibat di dalamnya, pealtihan bagi kepala sekolah, guru-guru, murid dan orang tua murid dan komunitas pimpinan merupakan hal yang esensial, perhatian terhadap latar belakang murid yang terlibat dalam proses, pendidikan harus berlangsung cukup lama, kompunen pembelajaran harus diintegrasikan dalam kurikulum secara praktis di sekolah‖ (Setyo Raharjo, 2002: 28). Dengan demikian dalam pendidikan multi kultural harus direncanakan secara matang oleh para steke holder baik pakar pendidikan multikultural, keala sekolah, guru-guru, dan murid-murid, orang tua murid serta seluruh masyarakat luas. Pendikan multikultural harus memperhatikan nilai-nilai secara universal dan holistik, perlu dipahami. Oleh karena kesuksesan pendidikan multikultural dalam mewujudkan masyarakat sipil yang modern diukur dengan penguasaan nilai-nilai IPTEKS dan soft skils yaitu kemampuan untuk bekerja dengan kelompok, bekerja dalam tekanan, kemampuan memimpin, kemampuan berkoordinasi, berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan asing, tabah dan gigih, percaya diri, memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk mendapatkan dan memanfaatkan informasi dan memiliki nasionalisme tinggi tidak banyak tuntutan (Sofian, Kedaulatan Rakyat, 19 Agustus 2005: 5). Nilai-nilai kebersamaan perlu dijunjung tinggi seperti kosep “manunggaling kawulo gusti‖ yang menekankan kebersamaan dan keteladanan pemimpin terhadap rakyatnya seperti Almarhum Sultan HB IX mengorbankan tahta untuk rakyatnya (Riswanda, Radar Yogya, 29 Oktober 2005).. Dalam mewujudkan peradaban yang baik dalam masyarakat majemuk perlu strategi perjuangan kultural dan struktural secara bersama, struktural dalam arti politik, perbaikan struktural ini sarana yang paling efektif adalah melalui parpol. Melalui lembaga partai politik aspirasi masyarakat tentang pendidikan multikultural akan diperjuangkan sebagai masukan dari infra struktur politik kepada supra struktur politik. Input dari supra struktur politik akan dijabarkan oleh supra struktur politik dalam bentuk kebijaksanaan atau undang-undang yang 239 mewajibkan dilaksanakannya pendidikan multikultural bagi generasi penerus dan didukung dana dari pemerintah (Kaelan, 2002: 182). Semantara secara kultural hal itu merupakan perjuangan panjang. Perjuangan membangun mentalitas bangsa melalui nilai-nilai keadilan dan demokrasi yang berorientasi pada hidup bersama dalam masyarakat majemuk (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; 5). Sedang Nilai-nilai di atas dapat diujudkan karena sejak dahulu kala bangsa Indonesia telah mengenal hidup bersama dan menghargai nilai-nilai perbedaan seperti ungkapan Empu Tantular dalam bukunya “Sutasoma”, dalam buku tersebut dijumpai sloka “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” yang artinya walaupun berbeda nanum tetap satu jua adanya sebab tidak ada agama yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas keberagaman kehidupan masyarakat yang multi agama pada waktu itu (Kaelan, 2002: 32). Dengan adanya benih-benih yang sudah ada tentang kebaragaman budaya, etnis, agama dan setiap komunitas bisa menerima satu dengan yang lain, modal dasar ini sangat potensial dan merupakan lahan yang subur bagi generasi penerus untuk mewujudkan kehidupan bersama untuk membentuk masyarakat sipil (Civil Society). Terlebih lagi dalam pembelajaran dan sosialsisai nilai-nilai pendidikan multikultural dapat dimanfaatkan konsep learning to do, learning to be, leraning to now, dan learning to live to gether yang artinya dalam pembelajaran nilai-nilai multikultural peserta didik diajak melakukan bersama-sama, pendidikan tersebut merupakan proses menjadi dewasa atau sempurna sesuai dengan tujuannya, pendidikan dilakukan saat ini dan pendidikan multikultural dilakukan bersamasama dalam kehidupan masyarakat sehinga antara pendidikan di sekolah dan di rumah, di masyarakat saling mendukung untuk tujuan pendidikan multi kultural. Apalagi jika para elit politik, para guru, pemuka masyarakat, pemuka agama, pejabat negara memiliki komitment yang tinggi untuk mewujudkan pendidikan multikultural dengan konsep ―Ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Artinya seorang pemimpin yang baik bisa memberikan keteladanan atau panutan bagi yang dipimpinnya, di tengah-tengah lingkungannya menjadi penggerak atau motor untuk mencapai tujuannya dan dibelakang memberi motivasi dan petunjuk agar sasarannya dapat tercapai. 2. Ketahanan Nasional di Bidang Pangan Harga pangan tiga tahun terakhir mengalami peningkatan tiga kali lipat, tidak kecuali bagi bangsa Indonesia. Tiga factor utama yang menyebabkan naiknya harga pangan antara lain; 1. Gejala perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi pangan strategis. 2. Peningkatan permintaan komoditas pangan karena konversi terhadap biofuel, dan 3. Aksi para infistor (spekulan) tingkat global karena kondisi pasar keuangan yang tidak menentu. Meski begitu, eskalasi harga tersebut juga menjadi peluang (dan tantangan) baru untuk merumuskan strategi pembangunan pertanian yang kompateble dengan perubahan zaman. Pembangunan pertanian di Indonesia sebenarnya telah menunjukan kontribusi yang sukar terbantahkan, bahwa peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui varietas unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan pada empat dasa warsa terakhir. 240 Pembangunan perkebunan dan agro Industri juga telah mampu mengntarkan pada kemajan ekonomi bangsa, perbaikan kinerja ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. Singkatnya, kinerja perjalanan pertanian Indonesia jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan angka 3,51% pertahun rata-rata pertumbuhan pada pereode 1960 -2006 – dihitung dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), pada awal atau fase konsolidasi 1967-1978 sektor pertanian hanya tumbuh 3,38%. Angka ini kemudian melonjak sangat tinggi mencapai angka 5,72 persen pada pereode 1978-1986, kemudian kembali melambat menjadi 3,39 pada fase dekonstruksi 1986-1987 dan kemudian turun melambat menjadi 1,57 % sampai pereode krisis ekonomi. Pada masa krisis ekonomi, performa baik yang dicapai sub sektor perkebunan dan peternakan hamper tidak membawa dampak berarti karena daya beli terus menerun. Pada era Refirnasu 2001-2006, pertanian Indonesia telah tumbuh 3,45% per tahun belum dapat dikatakan telah menuju ke arah yang benar (selengkapnya lihat Arifin 2007). a. Tiga Prinsip Penting Selama empat dasa warsa terakhir, strategi pemgangunan pertanian mengikuti tiga prinsip; 1. Broad- based dan terintegrasi dengan ekonomi makro, 2. Pemerataan dan pembrantasa kemiskinan, dan 3. Pelestarian lingkungan hidup. Dua prinsip utama telah menunjukan kinerja yang baik, seperti diuraikan di atas, karena dukungan jaringan irigasi, jalan-jembatan, perubahan teknologi, kebijakan ekonomi makro, dsb. Konsep Revitalisasipertanian yang dicanangkan Presiden Susilo Yudhoyono sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pola pikir dari strategi besar di atas, Oleh karena fenomena Revolusi Hijau serta perspektif konsistensi tersebut, pencapaian swasembada di era 1980 an, juga telah diikuti oleh peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesejahteraan petani beras di Indonesia, pemerataan sektor pedesaan dan perkotaan. Pada waktu itu sentra produksi beras di Jawa, lampung, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusatenggara Barat, dll. Juga identik dengan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan. Prinsip ketiga tentang pelestarian lingkungan hidup memang belum banyak menunjukan hasil krena baru dikembangkan secara serius paska KTT Bumi di Rio de Jeneiro Brasil 1992. b. Strategi Baru Berikut ini adalah strategi baru yang coba ditawarkan sehubungan dengan determinan pola baru pembangunan pertanian dimasa mendatang. Strategi yang telah terbukti dan telah teruji selama ini tidak harus ditinggalkan hanya perlu dilengkapi dengan demensi berikut: Pertama, pembangunan pertanian wajib mengedepankan riset dan pengembangan (R&D) tertuama yang mampu menjawab tantangan adaptasi perubahan iklim. Peneliti ditentang untuk menghasilkan vareitas padi yang mampu bersemi dipagi hari, ketika temperatur udara tidak begitu panas. Kisah pada gogo-rancah keetika era 80 an yang mampu beradaptasi di lahan kering dan tadah hujan, dan kini perlu disempurnakan untuk menghasilkan produktivitas lebih tinggi dari sekitar 2,5 ton per hektar. Bahwa 241 pertanian Indonesia tidak harus bertumpu di Jawa tampaknya telah disepakati, hanya perlu diwujudkan secara sistematis. Misalnya vareitas baru bisa diuji di multi lokasi dan uji adaptasi di semua daerah kering dengan memberdayakan selruh universitas di daerah dan Balai Pengembangan Tekonologi Pertanian yang tersebar di daerah. Kedua, integrasi pembangunan ketahanan pangan dengan strategi pengembangan energi, termasuk energi alternative. Strategi ini baru berada pada tingkat awal sehingga Indonesia tidak boleh salah melangkah, Indonesia memang terlambat sekali dalam menyandingkan ketahanan pangan dengan energi alternafif. Maksudnya Indonesia perlu suatu yang lebih besar dari sekedar kebijakan pada tingkat Instruksi Presiden No.1.2006 tentang Bahan Baker Nabati dan Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang Deversifikasi energi. Ketiga, Pembangunan pertanian perlu inheren perlu melindungi petani produsen (dan konsumen). Komoditas pangan dan pertanian mengandung resiko usaha seperti fakktor musim jeda waktu, perbedaan prodoktivitas dan dan kualitas produk yang cukup mencolok. Mekanisme lindung nilai (hedging) , asuransi tanaman, pasar lelang dan resi gudang adalah sedikit saja dari contoh instrument penting yang mampu mengurangi resiko usaha dan ketidak pastian pasar. Operasional dari strategi ini, perumus dan administrator kebijakan didtingkat daerah wajib mampu mewujudkannya menjadi suatu langkah aksi yang memberi pencerahan kepada petani, pemberdayakan masyarakat, dan memperkuat organisasi kemasyarakatan untuk mampu berperan dalam pasar berjangka komoditas yang lebih menentang. Disinilah pertanian tangguh dan berdaya saing akan dapat terwujud. Akhirnya ketahanan panggan seperti yang diharapkan akan terjadi. (Disadur dari Kompas Senin, 9 April 2008 tulisan Bustanul Arifin) 242 BAB X DAMPAK GLOBALISASI DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA Standar Kompetensi Mampu memahami dampak globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ruang lingkup pembahasan 1. Pengertian dan arti penting globalisasi bagi Indonesia 2. Hubungan internasional dan politik luar negeri Indonesia di era global 3. Dampak globalisasi terhadap masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia 4. Sikap terhadap globalisasi A. Pengertian dan Arti penting Globalisasi bagi Indonesia 1. Pengertian Globalisasi Istilah globlisasi berasal dari kata globe (peta dunia yang berbentuk bola). Dari kata globe selanjutnya lahir istilah global (yang artinya meliputi seluruh dunia). Dari kata global lahirlah istilah globalisasi, yang bermakna sebuah proses mendunia. Globalisasi adalah suatu proses dibentuknya suatu tatanan, aturan, dan sistem yang berlaku bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Globalisasi tidak mengenal adanya batas-batas wilayah; bahkan tidak mengenal aturan lokal, regional, kebijakan negara yang dapat mengurangi ruang gerak masuknya nilai, ide, pikiran atau gagasan yang dianggap sudah merupakan kemauan masyarakat dunia harus dihilangkan. Globalisasi berlaku di semua bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. 2. Proses Globalisasi Gagasan tentang globalisasi di bidang hak asasi manusia telah ada beberapa abad sebelum Masehi, yakni ketika Nabi Musa membebaskan umatnya dari perbudakan di Mesir Kuno yang kemudian diteruskan oleh orang-orang generasi berikutnya, hingga akhirnya berhasil melahirkan apa yang disebut dengan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia Sedunia) oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Gagasan tentang globalisasi dalam bidang demokrasi juga telah ada beberapa abad sebelum Masehi yakni ketika para pemikir di Yunani Kuno, seperti Aristoteles ataupun Polybius memperkenalkan teorinya dan dilaksanakannya dalam pemerintahan di polis-polis (negara kota) Yunani. Dan setelah itu diperjuangkan terus menerus oleh umat manusia hingga sekarang menjadi isu penting dunia. Globalisasi digambarkan sebagai semua proses yang merujuk kepada penyatuan seluruh warga dunia menjadi sebuah kelompok masyarakat global. Merupakan sesuatu yang sangat ideal apabila penyatuan warga dunia menjadi sebuah kelompok masyarakat global tersebut dapat tercapai. Namun globalisasi pada kenyataannya merupakan penyatuan yang bersifat semu, karena nilai-nilai sosial, ekonomi dan budaya didominasi oleh nilai-nilai yang sebenarnya asing bagi 243 mayoritas warga dunia. Persoalan lain yang cukup mendasar apakah globalisasi dimungkinkan, jika secara psikologis mayoritas warga dunia terkucil dari pergaulan internasional dan keterlibatan mereka hanya sebatas menjadi obyek dan bukan sebagai subyek. Dengan didukung teknologi komunikasi yang begitu canggih, dampak globalisasi tentu akan sangat kompleks. Manusia begitu mudah berhubungan dengan manusia lain di manapun di dunia ini. Berbagai barang dan informasi dengan berbagai tingkatan kualitas tersedia untuk dikonsumsi. Akibatnya akan mengubah pola pikir, sikap dan tingkah laku manusia. Hal seperti ini kemungkinan dapat mengakibatkan perubahan aspek kehidupan yang lain seperti hubungan kekeluargaan, kemasyarakatan, kebangsaan, atau secara umum berpengaruh pada sistem budaya bangsa. Di sinilah kembali muncul persoalan, bagaimana lembaga pendidikan mampu membina wawasan budaya sehingga bangsa Indonesia dapat berkembang mengikuti tuntutan budaya zaman, namun tetap mampu menjaga nilai-nilai dasar dan nilai-nilai luhur sebagai kepribadian bangsa. 3. Arti Penting Globalisasi bagi Indonesia Abad 21 dikenal sebagai era globalisasi. Era globalisasi bukan hanya tantangan , tetapi juga sekaligus mempunyai peluang. Tantangan merupakan fenomena yang semakin ekstensif, yang mengakibatkan batas-batas politik, ekonomi antarbangsa menjadi samar dan hubungan antarbangsa menjadi sangat transparan. Globalisasi memiliki implikasi yang luas tehadap penghidupan dan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan Di bidang kebudayaan, bahasa Inggris akan menjadi bahasa dunia yang universal. Tetapi, bersamaan dengan itu, bahasa ibu (bahasa daerah) dan bahasa Indonesia menjadi lebih penting dan perlu dilestarikan sebagai jati diri bangsa. Naisbitt (1994:20) dalam buku Global Paradox menyatakan bahwa semakin kita menjadi universal, semakin tumbuh pula sikap primordialisme (kesukuan). Ditinjau dari perspektif kebangsaan, globalisasi menumbuhkan kesadaran bahwa kita merupakan warga dari suatu masyarakat global dan mengambil manfaat darinya. Namun, di sisi lain, makin tumbuh pula dorongan untuk lebih melestarikan dan memperkuat jati diri atau identitas bangsa. Di era globalisasi, bangsa-bangsa bersatu secara mengglobal, tetapi bersamaan dengan itu muncul pula rasa kebangsaan yang berlebih-lebihan (chauvinisme) pada masing-masing bangsa. Keadaan demikian menurut Naisbitt sebagai global paradoks. Pada abad 21 ini, suka atau tidak suka, mau tidak mau, Indonesia akan terkena arus liberalisasi perdagangan barang dan jasa. Jika tidak mau, Indonesia akan dikucilkan oleh negara-negara lain dan akan mendapat sanksi embargo ekonomi secara internasional. Padahal Indonesia masih sangat tergantung pada barangbarang impor, investasi, dan hutang dari luar negeri. Di samping itu, kita pun (baca: Indonesia) juga masih memerlukan pemasaran produk-produk ke luar negeri. Permasalahannya siapkah kita menghadapi persaingan dengan negara lain yang dalam banyak hal lebih siap, seperti dari sumber daya manusianya, ilmu pengetahuan dan teknologinya, serta modalnya? Jika tidak mampu, maka kita akan kalah dalam persaingan global tersebut. 244 Soedjatmoko (1991:97) menggambarkan sifat-sifat dan kemampuan yang harus dimiliki manusia Indonesia di masa mendatang sebagai berikut. a. Orang harus serba tahu (well informed), dan harus selalu menyadari bahwa proses belajar tidak akan pernah selesai di dalam dunia yang terus berubah secara sangat cepat. Dia harus mampu mencerna informasi yang banyak tapi tuntas, itu artinya harus mempunyai kemampuan analisis yang tajam, mampu berpikir integratif serta dapat bereaksi cepat. b. Orang harus kreatif dalam memberikan jawaban terhadap tantangan baru, serta mempunyai kemampuan mengantisipasi setiap perkembangan. c. Mempunyai kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial. Peka terhadap batas-batas toleransi masyarakat serta terhadap perubahan sosial dan ketidakadilan. d. Memiliki harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri berdasarkan iman yang kuat. e. Sanggup mengidentifikasi dimensi-dimensi moral dan etis dalam perubahan sosial dan pilihan teknologi. Selanjutnya juga sanggup menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkaplah relevansinya dalam pemecahan masalah dan perkembangan-perkembangan baru. Sebagai perbandingan Ulrih Teicher (1997:540 mengemukakan bahwa manusia masa depan harus mempunyai persyaratan kualitas dan kemampuan sebagai berikut. a. Fleksibel. b. Mampu dan bersedia untuk berpartisipasi dalam inovasi serta menjadi kreatif. c. Mampu menguasai hal-hal yang tidak menentu atau seringkali berubah-ubah. d. Tertarik dan siap belajar seumur hidup. e. Memiliki kepekaan sosial dan keterampilan berkomunikasi. f. Mampu bekerja dalam tim. g. Mampu mengambil tanggung jawab yang diserahkan padanya. h. Mampu menyiapkan diri untuk melakukan internasionalisasi pasaran kerja melalui pengertiannya tentang macam-macam budaya. i. Cakap dalam bebagai hal, baik keterampilan umum, maupun keterampilan profesional. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia Indonesia yang ideal adalah manusia yang mampu menghadapi tantangan masa depan yang semakin rumit dan tidak menentu. Mereka itu adalah yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut. 1. Mampu meningkatkan produktivitas kerja. 2. Memiliki kemampuan berpikir kreatif dan analitis. 3. Memiliki ilmu dasar yang luas serta keterampilan kerja yang tinggi. 4. Kesiapan untuk belajar sepanjang hidup agar dapat meningkatkan kemampuannya secara berkelanjutan. 5. Fleksibel dan adaptif, yang keduanya digunakan untuk menghadapi berbagai perubahan yang sangat cepat. 6. Memiliki moralitas yang baik, yang bersumber pada agama yang diyakini. 245 Menghadapi globalisasi yang memiliki dampak positif dan negatif, dibutuhkan komitmen terhadap prinsip-prinsip moral yang semakin kuat. Diyakini pula bahwa pendidikan berada di garis depan untuk mewujudkannya. 4. Beberapa Efek Globalisasi bagi Indonesia Globalisasi bagi bangsa Indonesia dimana masyarakatnya memiliki multi etnis dengan multi budaya, melahirkan tantangan-tantangan yang tidak ringan yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Tantangan pertama, berupa tekanan-tekanan yang datang dari luar baik dalam wujud ekonomi, politik maupun budaya. Ketergantungan atas kekuatan ekonomi internasional menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan dari kekuatan-kekuatan tersebut, meski pada kenyataannya apa yang diperoleh bangsa Indonesia dari ketergantungan tersebut tidaklah selalu manis. Ketergantungan ekonomi akan merembet pada ketergantungan politik. Tekanan tekanan kultural (budaya) dari luar tidak kurang membahayakannya bagi keutuhan bangsa dibandingkan tekanan-tekanan ekonomi dan politik. Kemajuan media massa menjadikan debit arus informasi yang masuk ke dalam masyarakat Indonesia sangat tinggi. Rayuan-rayuan kultural yang dibawa media massa tersebut sulit untuk ditolak dan amat efektif dalam menghancurkan budaya dan nilai-nilai yang telah dipegang oleh warga masyarakat. Tantangan kedua, berupa munculnya kecenderungan menguatnya kelompokkelompok berdasarkan etnis (suku) di masyarakat. Menguatnya kelompokkelompok berdasarkan kesukuan ini tidak mustahil akan menjadikan sumpah pemuda satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa tinggal menjadi dokumen sejarah belaka. Ketidakpuasan kelompok-kelompok masyarakat atas kebijakan pemerintah pusat akan dengan mudah dan segera bermuara pada ancaman tuntutan merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya secara lebih rinci dampak globalisasi bagi Indonesia baik yang bersifat positif ataupun negatif dapat diidentifikasikan sebagai berikut. (1) Indonesia menjadi lebih mudah untuk mendapatkan barang, jasa maupun informasi yang diperlukan, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. (2) Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta menjadi pasar empuk bagi negara lain. Entah itu berupa barang buatan luar negeri, tenaga kerja asing yang mengisi berbagai jenis keahlian dan jabatan, maupun banjir informasi yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia. (3) Globalisasi dengan isu utamanya demokratisasi dan hak asasi manusia, tanpa sikap waspada dan bijaksana masyarakat akan mudah termakan isu-isu yang tidak bertanggung jawab yang berkedok demokrasi, hak asasi dan kebebasan. (4) Globalisasi menjadi media yang praktis bagi menyebarnya nilai-nilai budaya asing ke dalam wilayah Indonesia, yang harus kita waspadai tentu saja yang bersifat negatif Globalisasi memang suatu proses dan bukan sebuah produk akhir. Karena globalisasi merupakan proses, dan posisi masing-masing bangsa dalam proses tersebut sangat berbeda berdasarkan penguasaan teknologi komunikasi, maka globalisasi dalam artian fisik maupun psikologis akan menimbulkan masalahmasalah. Sebagai suatu proses, kehadiran globalisasi tidak terelakkan. Berbagai 246 persoalan mengikuti hadirnya globalisasi, antara lain di bidang informasi. Berikut ini dikemukakan berbagai persoalan khususnya di bidang infomasi. (1) Sejauh mana suatu bangsa dapat tetap mempertahankan jati dirinya, kepribadiannya di tengah-tengah derasnya arus informasi yang dirasa masih asing bagi mayoritas bangsa tersebut. (2) Sejauh mana globalisasi informasi tidak menjadi semacam legitimasi untuk melakukan dominasi informasi oleh bangsa lain dan membentuk publik opinion (opini publik) yang menyesatkan. (3) Sejauh mana globalisasi informasi tidak mematikan nilai-nilai budaya asli. (4) Sejauh mana globalisasi informasi tidak memperlebar kesenjangan informasi antara masyarakat kota dengan desa. Rangkuman Istilah globlisasi berasal dari kata globe (peta dunia yang berbentuk bola). Dari kata globe, lahir istilah global (yang artinya meliputi seluruh dunia). Dari kata global lahirlah istilah globalisasi, yang bermakna sebuah proses mendunia. Globalisasi adalah suatu proses dibentuknya suatu tatanan, aturan, dan sistem yang berlaku bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia Gagasan tentang globalisasi di bidang hak asasi manusia telah ada beberapa abad sebelum Masehi, yakni ketika Nabi Musa membebaskan umatnya dari perbudakan di Mesir Kuno yang kemudian diteruskan oleh orangorang generasi berikutnya, hingga akhirnya berhasil melahirkan apa yang disebut dengan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia Sedunia) oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Gagasan tentang globalisasi dalam bidang demokrasi juga telah ada beberapa abad sebelum Masehi yakni ketika para pemikir di Yunanai Kuno, seperti Aristoteles ataupun Polybius memperkenalkan teorinya dan dilaksanakannya dalam pemerintahan di polis-polis (negara kota) Yunani. Dan setelah itu diperjuangkan terus menerus oleh umat manusia hingga sekarang menjadi isu penting dunia. Abad 21 ditandai sebagai era globalisasi. Era globalisasi bukan hanya tantangan, tetapi juga sekaligus mempunyai peluang. Globalisasi memiliki implikasi yang luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan Menghadapi globalisasi yang memiliki dampak positif dan negatif, dibutuhkan komitmen terhadap prinsip-prinsip moral yang semakin kuat. Diyakini pula bahwa pendidikan berada di garis depan untuk mewujudkannya. Globalisasi bagi bangsa Indonesia di mana masyarakatnya memiliki multietnis dan multibudaya, melahirkan tantangan-tantangan yang tidak ringan yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Latihan a. Tugas Individual (1) Apa yang dimaksud dengan globalisasi ? Jelaskan dengan kalimatmu sendiri! (2) Jelaskan pengaruh globalisasi terhadap kehidupan kita dewasa ini! 247 (3) Kemukakan pendapat Arnold J. Toynbee, sejarawan kondang tentang sumbangan kebudayaan Barat terhadap globalisasi dunia! (4) Jelaskan proses terjadinya globalisasi! (5) Sebutkan faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong terjadinya globalisasi! (6) Carilah beberapa contoh budaya Barat yang telah masuk dan mempengaruhi kebudayaan kita! Apakah konser musik Barat yang ada sekarang ini juga akibat dampak globalisasi? (7) Apa pengaruh globalisasi di bidang sosial budaya terhadap kepribadian Indonesia? (8) Siapa sesungguhnya yang lebih beruntung dengan sistem perdagangan pasar bebas seperti sekarang ini? (9) Jelaskan sisi positif dan negatif dari internet! (10) Jelaskan keuntungan dan kerugian keikutsertaan Indonesia dalam APEC! (11) Jelaskan keuntungan dan kerugian dari privatisasi BUMN! (12) Uraikan keuntungan dan kerugian masuknya investasi asing di Indonesia! b. Tugas Kelompok Diskusikan dengan temanmu beberapa hal berikut! Jika kesulitan bertanyalah pada Bapak/Ibu guru dan presentasikan hasil diskusimu di depan kelas! (1) Dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi bagi Indonesia. (2) Apa saja yang harus dilakukan Indonesia untuk menghadapi globalisasi tersebut. (3) Globalisasi merupakan tantangan sekaligus merupakan peluang bagi bangsa Indonesia. B. Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia 1. Perlunya Hubungan Internasional bagi Suatu negara Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia membentuk kelompok-kelompok sosial karena banyak manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kerja sama dalam kelompok sosial. Didorong oleh keinginan serta kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri, manusia membentuk kelompokkelompok sosial demi kelangsungan hidupnya. Mereka dapat merasakan banyak manfaat serta keuntungan yang dapat diperoleh dari kerja sama dalam kelompok itu. Pengalaman hidup dalam kelompok menumbuhkan berbagai kepentingan kelompok. Berangkat dari kepentingan kelompok inilah yang kemudian mendorong terjadinya hubungan antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan memenuhi kebutuhan kelompok, ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu melakukan kerja sama melalui tukar menukar segala sesuatu yang mereka butuhkan, atau penaklukan dengan cara peperangan. Proses terbentuknya kelompok sosial itu terus berlangsung dan menjadi semakin besar. Proses tersebut sesungguhnya mengarah pada terbentuknya suatu negara. Sama halnya dengan kelompok-kelompok sosial yang ada, negara-negara inipun saling mengadakan hubungan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya. Hubungan yang terjadi antarnegara inilah yang dimaksud dengan hubungan 248 internasional. Adapun alasan perlunya kerja sama internasional adalah sebagai berikut. (1) Setiap bangsa tidak hidup sendiri, tetapi dikelilingi oleh masyarakat bangsabangsa. (2) Pada hakikatnya setiap bangsa ada saling ketergantungan dengan bangsa lain. (3) Di era yang disebut globalisasi ini negara yang tidak menjalin hubungan dengan negara lain akan tertinggal, dan bisa terkucil. (4) Setiap negara memiliki sumber-sumber kekayaan yang berbeda dengan negara lain. (5) Untuk memacu pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. (6) Untuk menciptakan saling pengertian antar bangsa. Sebaiknya Kamu Tahu Soal Papua mengusik Kedaulatan Masalah pemberian visa tinggal sementara terhadap 42 warga Papua yang meminta suaka di Australia tidak bisa dipisahkan dari persoalan kedaulatan RI sehingga persoalan itu bermakna sangat serius. Pemerintah Indonesia menunggu tanggapan Pemerintah Australia atas protes yang telah disampakan. Hal ini disampaikan Menlu Hassan Wirajuda seusai menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana negara, Jakarta 24 Maret 2006. ―Presiden menilai tanggapan yang disampaikan secara resmi melalui Deplu sudah cukup‖, kata Hassan sambil menambahkan, pemerintah masih menunggu tanggapan resmi dari Pemerintah Australia sebagai dasar untuk menentukan sikap selanjutnya. Menko Polhukam Widodo AS seusai rapat koordinasi terbatas bidang Polhukam menyampaikan, Pemerintah Indonesia berharap Australia segera membuat kebijakan yang mencerminkan sikap, posisi dukungan, serta penghormatan mereka terhadap integritas, keutuhan, serta kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, nota diplomatik tersebut menandakan bahwa Indonesia tidak mau melangkah ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia. Menteri luar negeri Australia Alexander Downer menyatakan tidak terkejut dengan adanya kemarahan dari Indonesia, tetapi ia meragukan hal itu akan berlangsung lama. ―Mereka jelas sekali kecewa. Tentu saja akan ada protes. Saya sudah memperkirakan itu dan saya menduga hal tersebut akan berlangsung hanya dalam beberapa minggu‖ ungkap Downer. Tanggapan lain disampaikan pemimpin oposisi Australia Kim Beazley. Dia menilai sikap Indonesia yang memanggil pulang duta besarnya di Australia adalah sikap yang berlebihan. Ia juga menghimbau agar pemerintah RI mempertimbangkan kembali keputusannya itu. Beazley menilai pemanggilan dubes Indonesia itu sangat mengganggu dan harus dipertimbangkan ulang. ―pertama-tama ini adalah langkah yang serius dan sangat mengganggu. Saya kan menghimbau Presiden RI dan pemerintah untuk mempertimbangkannya‖ ungkapnya. Downer menyatakan, Indonesia adalah masyarakat yang bebas dan sehat. ―Orang akan mengatakan apa-apa yang ingin dia katakan, dan Anda akan mendapatkan berbagai macam komentar datang dari Jakarta mengenai masalah ini. Tetapi, bagaimana ini adalah keputusan yang dibuat 249 di Australia, terkait dengan hukum kita,‖ katanya. Downer yang sudah berbicara secara langsung dengan Hassan mengenai keputusan pemberian visa, sementara usulan permintaan suaka ke-43 warga Papua itu diproses, menyampaikan. ―Saya jelaskan kepada Menteri Luar Negeri bahwa ini adalah sesuatu yang berada di luar kontrol pemerintah. Keputusan itu dibuat sesuai dengan hukum Australia. Ganggu Atmosfer Juru Bicara Departemen Luar Negeri Yuri Thamrin mengungkapkan, keputusan Australia itu telah mengganggu atmosfer secara umum dalam hubungan dan kerja sama kedua negara. ―Atmosfer besarnya akan terpengaruh. Ketika suasananya seperti ini, tentu tidak mungkin untuk mendorong lebih jauh hubungan kerja sama yang saling bermanfaat‖, katanya menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta. Tentang pemanggilan pulang Dubes Hamzah Thayeb, Yuri menjelaskan kekecewaan pemerintah itu bisa diekspresikan dalam satu kesatuan langkah, dari mengirim surat, memanggil dubes negara asing, nota protes, hingga memanggil dubes kita untuk konsultasi. Harus lebih tegas Sejumlah anggota DPR meminta pemerintah bersikap lebih tegas terhadap Pemerintah Australia karena tindakannya dianggap melecehkan martabat Indonesia sebagai negara berdaulat. ―Untuk sementara pulangkan saja Dubes Australia di Jakarta,‖ kata Tjahjo Kumolo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan. Ali Mochtar Ngabalin dari Fraksi Bintang Pelopor Indonesia bahkan meminta pemutusan hubungan diplomatik. ―Bukan pertama kalinya Australia mengobok-obok negara kita,‖ ujarnya. Nursyahbani Katjasungkana dari Fraksi Kebangkitan Bangsa meminta DPR membentuk tim investigasi dahulu agar bisa melihat persoalan ini lebih obyektif. DPR perlu terlebih dahulu menyelidiki ada tidaknya ancaman terhadap 43 warga Papua tersebut. Dubes Australia untuk RI Bil Farmer dalam siaran persnya menegaskan, Pemerintah Australia tidak mendukung separatisme dan kemerdekaan bagi Papua. Keputusan Departemen Imigrasi itu juga tidak mengubah kebijakan Pemerintah Australia terhadap kedaulatan Indonesia. Dia menyampaikan, Australia dan RI memiliki hubungan yang sangat baik dan bekerja sama dalam banyak hal menyangkut kepentingan bersama. ―Penting untuk diperhatikan agar tidak ada satu permasalahanpun merusak hubungan tersebut,‖ ungkapnya. (Kompas 25 Maret 2006) 2. Tujuan Kerja Sama Internasional Betapapun majunya suatu negara, pasti tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia tetap memerlukan kerja sama dengan negara lain. Negara-negara yang ada di dunia ini akan saling membutuhkan. Tujuan kerja sama internasional adalah sebagai berikut: (i) memacu pertumbuhan ekonomi dari masing-masing Negara, (ii) menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya, (iii) menciptakan saling pengertian antarbangsa/negara, (iv) mempererat hubungan persahabatan antarbangsa, dan (v) membina dan menegakkan perdamaian dunia. Sebaiknya KamuTahu Membangun Pemahaman Antara Islam dan Barat 250 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair sepakat membangun saling pemahaman antara Islam dan Barat. Untuk itu dibentuk Badan Penasihat Islam Indonesia-Inggris guna menangkal radikalisme dan mempromosikan saling pemahaman dan toleransi. Bersama-sama kita ingin membangun kerja sama untuk mengurangi kesenjangan antara dunia Islam dan non-Islam. Kita sepakat terus mendorong dan kalau perlu mensponsori dialog antariman dan antarbudaya. Mengenai badan yang dibentuk, Blair berharap badan itu membuat dialog kedua negara lebih terstruktur dan membawa pemahaman yang lebih luas, tidak hanya di antara dua negara, tetapi juga di antara dua masyarakat yang berbeda iman. “Saya berharap ini menjadi simbol kepada dunia luar bagaimana kita percaya bahwa masa depan yang didasarkan pada toleransi dan saling hormat akan mengantar pada kemajuan”, ujarnya. Di kantor presiden, Yudhoyono dan Blair berdialog dengan lima tokoh Islam Indonesia yang diundang menteri sekretaris negara sehari sebelumnya. Kelima tokoh itu adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, guru besar Fakultas Usuludin UIN Syarif Hidayatullah, Nazaruddin Umar,Pemimpin Pondok Pesantren Da‟arut Tauqid Abdullah Gymnastiar, dan mantan menteri agama Quraish Shihab. Blair mengatakan, yang lebih perlu dilakukan bersama adalah menciptakan pemahaman yang lebih luas untuk perdamaian berdasarkan keadilan. Keadilan bukan melulu seperti apa yang kita pikirkan, tetapi juga berdasarkan apa yang orang lain pikirkan. „Saya rasa kita sedang menuju ke arah itu”, ujar Blair. (Kompas 8 April 2006) 3. Macam-macam Kerja Sama Internasional Kerja sama antarnegara dapat terjadi antara dua negara atau lebih. Kerja sama yang diadakan hanya oleh dua negara disebut sebagai kerja sama bilateral, sedangkan yang melibatkan lebih dari dua negara disebut kerja sama multilateral. Sebaiknya Kamu Tahu AFTA Kerja sama Ekonomi ASEAN AFTA telah disepakati mulai berjalan sejak tahun 2003. Dengan AFTA ini, negara negara anggota ASEAN akan mempraktikkan perdagangan (pasar bebas) antarsesama anggota. Artinya produk salah satu negara anggota ASEAN bisa dijual dengan leluasa di negara anggota lainnya, tanpa bea masuk sebagaimana yang selama ini terjadi. Tanpa bea masuk merupakan penghematan luar biasa bagi produk luar negeri tersebut. Hal ini akan berbeda dengan praktik selama ini: yaitu sangat banyak baiya dikeluarkan untuk bea masuk. Lebih-lebih untuk barang-barang tertentu, karena ada proteksi dari pemerintah, maka harus dengan bea masuk yang sangat tinggi. Dengan tanpa bea masuk berati bahwa produk luar negeri mampu menekan biaya sampai semurah-murahnya. Akibat dengan harga yang sangat murah, barang impor ini akan mudah bersaing dengan produk dalam negeri. Jika barang impor tersebut sama bahkan lebih bagus kualitasnya dibandingkan dengan produk dalam negeri, maka mau tidak mau konsumen kita akan memilih barang impor. AFTA di satu sisi akan menguntungkan konsumen, karena dapat memperoleh barang bagus dengan harga yang murah. Di sisi lain tidak mustahil AFTA berdampak negatif bagi produsen. Bisa jadi produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri di negeri sendiri. 251 4. Politik Luar Negeri Indonesia Politik luar negeri adalah kumpulan kebijakan atau setiap yang ditetapkan oleh suatu negara untuk mengatur hubungan dengan negara lain yang berpijak kepada kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia, politik luar negeri adalah kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasionalnya guna mencapai tujuan nasional. Jadi politik luar negeri Indonesia tidak lain adalah bagian dari politik nasional yang merupakan penjabaran dari cita-cita nasional dan tujuan nasional negara Indonesia. Sebaiknya Kamu Tahu PM Howard Memahami Kemarahan Jakarta Juru Bicara Perdana Menteri John Howard, seperti dikutip sejumlah media Australia Sabtu 25/3/ 2006, mengatakan dirinya bisa memahami reaksi Indonesia terhadap pemberian visa bagi 42 warga Papua. Disebutkan juga PM Howard mengerti sikap Indonesia yang memanggil pulang duta besarnya di Australia. (Sumber Kompas 26 Maret 2006) Hubungan Jakarta-Canberra memanas setelah Australia memutuskan untuk memberi visa sementara yang berlaku selama tiga tahun bagi 42 warga Papua. Pemerintah Indonesia memprotes keras langkah Australia yang dinilai tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitivitas rakyat Indonesia dan tidak membantu upaya Pemerintah RI menyelesaikan persoalan Papua melalui dialog. Langkah Australia juga dinilai telah mengonfirmasi kecurigaan adanya elemenelemen di Australia yang membantu gerakan separatisme di Papua. Howard, melalui juru bicaranya kemarin menegaskan kembali sikap Australia yang mengakui kedaulatan Indonesia terhadap Papua. Namun, ia membantah berita sejumlah media bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menelepon dirinya hari Kamis lalu menyangkut isu ini. Disebutkan, satusatunya percakapan telepon di antara kedua pemimpin itu terjadi beberapa pekan lalu. ― Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menelepon beberapa pekan lalu, PM Howard mengatakan bahwa status ke-42 warga Papua akan ditentukan menurut hukum Australia‖, demikian pernyataan Juru Bicara Howard. Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwono, Sabtu malam, kepada Kompas mengatakan, persoalan Warga Papua ini hantya dapat diselesaikan dengan pencabutan kembalai visa tinggal sementara. Jika langkah itu belum dilakukan Pemerintah Australia, Indonesia harus membawa masalah ini ke level berikutnya. Namun jangan sampai memutus hubungan diplomatik kedua negara. Menurut Hikmahanto, protes Indonesia dengan memanggil pulang Duta Besar (Dubes) Hamzah Thayeb dapat dilanjutkan selama belum ada penarikan suaka dari 42 warga Papua itu. Langkah yang dapat dilakukan Indonesia, antara lain menghentikan bantuan dari Australia dan kerja sama dalam pemberantasan terorisme atau menutup sementara Kedutaan Besar Indonesia di Canbera. Menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer yang menyatakan bahwa reaksi Indonesia sudah diperkirakan, namun hanya akan berlangsung beberapa saat itu, menurut Hikmahanto, sangat disayangkan. Itu berarti Pemerintah Australia tidak dapat membaca sikap yang ditunjukkan oleh 252 Indonesia. ―Kalau benar Australia mendukung integrasi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), maka pencabutan kembali visa menjadi simbol dukungan tersebut. Seharusnya Australia yang mendukung demokrasi di Indonesia paham betul bahwa hal ini sensitif bagi publik di Indonesia‖, ujar Hikahanto. Secara terpisah, anggota Komisi I DPR Djoko Susilo (Fraksi Partai Amanat Nasional) menilai, langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia sudah benar. Ia juga meminta pihak eksekutif dan legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk sementara menunda rencana kunjungannya ke Australia selama pemasalahan ini belum tuntas. Langkah ini menunjukkan keseriusan Indonesia. ―Setelah reses, kami juga akan mengundang Dubes Indonesia untuk Australia untuk menjelaskan situasi resminya seperti apa. Indonesia harus bersikap tegas. Sikap Australia ini manis di mulut, tapi menusuk dari belakang‖, kata Djoko. Hal senada dikemukakan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Priyo Budi Santoso di Bandung, yang menilai langkah Pemerintah RI yang mengirimkan nota protes belum cukup. Ia menganggap pernyataan Dubes Australia untuk Indonesia Bill Farmer yang menyatakan tetap mendukung NKRI dengan kenyataan di lapangan, berupa pemberian Visa tinggal bagi 42 warga Papua, mencerminkan bentuk kebijakan yang saling bertentangan. ―Sudah beberapa kali Pemerintah Australia membuat kebijakan yang menikam dari belakang pemerintah kita‖, katanya. Dari Papua, Ketua Majelis Pertimbangan Mahasiswa Universitas Cedrawasih Decky Ovide, Sabtu, mengatakn, pemberian visa tinggal sementra bagi 42 warga Papua tidak pantas terjadi karena kondisi keamanan di Papua masih kondusif. ―Realitas yang terjadi di Papua tidak sebagaimana yang digembargemborkan oleh mereka yang pergi ke luar negeri. Kondisi keamanan rakyat Papua masih terjamin‖, katanya. Sedangkan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah Papua Hermann Saud menilai masalah ini tidak perlu dibuat berlarut-larut.‖Rakyat Indonesia jumlahnya 220 juta orang, kenapa kita harus menghabiskan energi untuk 42 orang itu. Lebih penting bagaimana pemerintah menciptakan kondisi untuk membangun persepsi bahwa Papua aman‖, ujarnya. Menurut Saud dan Decky, peristiwa pemberian suaka itu terjadi karena ada orang-orang yang memanfaatkan kasus kerusuhan Abepura. Kelemahan kita adalah banyaknya peristiwa di masa lalu yang dijadikan referensi oleh pihak luar negeri. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara juga berpendapat, tidak ada alas an bagi 43 warga Papua untuk menyeberang ke Australia. Meskipun demikian, lanjutnya yang lebih penting adalah bagaimana Pemerintah Indonesia memberikan gambaran kepada dunia internasional bahwa kondisi di Papua adalah baik, di mana hak asasi manusia dihormati. 5. Landasan Politik Luar Negeri Indonesia Landasan ideal Pancasila (Sila kedua). Landasan konstitusional UUD 1945 (pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, dan batang tubuh UUD 1945 pasal 13 ayat 1, 2 dan 3). Landasan operasional (Tap MPR No. IV/MPR/1999, tentang GBHN Bab IV sub bidang politik). Sebaiknya KamuTahu Landasan Politik Luar Negeri Republik Indonesia Politik luar negeri Indonesia berpijak pada landasan-landasan sebagai berikut. 253 (1) Landasan Idiil Landasan idiil adalah Pancasila, bahwa bangsa Indonesia mengakui semua manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mempunyai martabat yang sama, tanpa memandang asalusul keturunan, menolak penindasan manusia atas manusia atau penghisapan oleh bangsa lain, menempatkan persatuan dan kesatuan, menunjukkan bangsa Indonesia yang memiliki sifat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dan menunjukkan pandangan yang menginginkan terwujudnya keadilan sosial dengan mengembangkan perbuatan yang luhur, mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan. (2) Landasan Konstitusional (UUD 1945) (a) Pembukaan UUD 1945 alinea pertama yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan. (b) Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat yang menyatakan bahwa: “....ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ....” (c) Pasal-pasal UUD 1945: Pasal 11 ayat 1 : Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Pasal 13 ayat 1 : Presiden mengangkat duta dan konsul. Pasal 13 ayat 2 : Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 13 ayat 3 : Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Landasan Operasional (a) Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. (b) Kebijakan presiden dalam bentuk keputusan presiden. (c) Kebijakan menteri luar negeri yang membentuk peraturan yang dibuat oleh menteri luar negeri. 6. Asas Politik Luar Negeri Indonesia Asas politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas artinya tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Aktif artinya tidak pasif atas kejadian-kejadian internasional melainkan aktif menjalankan kebijakan luar negeri. Aktif dalam arti ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebaiknya Kamu tahu Ciri-ciri Politik Bebas Aktif Bebas dan Aktif, hampir dalam semua pernyataan resmi pemerintah kedua-duanya disebut sebagai sifat politik luar negeri RI. Tapi dalam pernyataan resmi lainnya ditambahkan pula sifat-sifat lain seperti antikolonialisme atau antiimperialime, di samping itu ada pula yang mencantumkan mengabdi kepada kepentingan nasional dan sebagainya, sebagai sifat politik bebas aktif. Sebenarnya, jika dokumen-dokumen pemerintah diteliti secara seksama, maka akan dapat disaksikan bahwa hingga kini belum ada keseragaman dalam penentuan sifat politik bebas aktif itu. 254 Sebagai contoh marilah kita lihat Ketetapan MPRS No. XVII/5 Juli 1996, yang di dalamnya disebutkan bahwa sifat politik luar negeri adalah sebagai berikut: (i) Bebas aktif, antiimperialisme dan kolonialisme ... dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia ... dan (ii) mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderita rakyat. Dalam dokumen Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (1984 – 1989) yang telah ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1983, dijelaskan bahwa sifat politik luar negeri adalah sebagi berikut: (i) bebas Aktif ..., (ii) antikolonialisme ...., (iii) mengabdi kepada kepentingan nasional dan ...., (iv) demokratis. Dalam risalah Politik Luar Negeri yang disusun oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri, yang disebut sifat politik luar negeri hanya Bebas Aktif serta Antikolonialisme dan Antiimperialme saja. Dengan demikian, karena Bebas dan Aktif merupakan sifat yang melekat secara permanen pada batang tubuh politik bebas aktif, sehingga dapat dikatakan sebagai ciri-ciri politik bebas aktif, sedangkan Antikolonialisme dan Antiimperioalisme dapat disebut sebagai sifat. 7. Tujuan Politik Luar Negeri Indonesia Ada tiga hal pokok yang menjadi tujuan politik luar negeri Indonesia, yaitu : (i) mempertahankan kemerdekaan dan menghapuskan segala bentuk penjajahan, (ii) memperjuangkan perdamaian yang abadi, (iii) memperjuangkan susunan ekonomi dunia yang berkeadilan. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan antara lain: ―Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, ...‖. Rumusan ini merupakan sumber utama bagi politik luar negeri Republik Indonesia. Sejak bangsa Indonesia berjuang untuk melepaskan belenggu penjajahan dari Belanda, cita-cita Bangsa Indonesia tidak terlepas dari pencapaian kemerdekaan. Pemimpin-pemimpin pergerakan nasional dengan tegas menyatakan bahwa: ―Indonesia merdeka dan berdaulat hanyalah merupakan sarana, suatu alat untuk mencapai susunan kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh Rakyat Indonesia. Untuk mengejar serta melaksanakan cita-cita nasional itu perlu adanya kerja sama dan hubungan yang baik dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Hal-hal inilah yang merupakan titik tolak politik luar negeri Indonesia‖. Sebaiknya KamuTahu Muhammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Dasar Politik Luar Negeri Indonesia menjelaskan tujuan politik luar negeri Republik Indonesia. Pokok-pokok tujuan tersebut adalah sebagai berikut. (1) Mempertahankan, kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan. (2) Memperoleh dari luar negeri barang-barang yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat juka barang-barang tersebut belum dapat dihasilkan sendiri, misalnya: barang-barang kapital, barang-barang industri, obat-obatan dan lain-lain. (3) Perdamaian innternasional dengan suasana damai kita dapat membangun dan mewujudkan kemakmuran rakyat. 255 (4) Persaudaraan segala bangsa sebagai pelaksanaan dari cita-cita yang tersimpulkan dari Pancasila. (5) Untuk tujuan politis, pokok-pokok politik yang diterapkan di Indonesia antara lain: (6) politik damai (tidak suka perang/cara-cara konflik dalam menyelesaikan permasalahan), (7) bersahabat dengan segala bangsa atas dasar harga menghargai tanpa mencampuri soal struktur dan bentuk pemerintahan negara lain, (8) memperkuat sendi-sendi hukum internasional dan organisasi internasional untuk menyusun perdamaian yang kekal, (9) berusaha melalui Persekutuan Bangsa-Bangsa mencapai kemerdekaan bangsa-bangsa lain yang belum merdeka hingga saat ini. (Frans S. Fernandes 1988:100) 8. Perkembangan Politik Luar Negeri Republik Indonesia Perang Dunia II telah membawa perubahan-perubahan yang besar pengaruhnya terdapat politik bebas aktif, antara lain beralihnya pusat kekuasaan dunia dari Eropa di satu pihak ke Amerika Serikat, dan di pihak lain ke Uni Soviet, yang kemudian menjadi dua kekuatan raksasa dunia. Perubahan lain yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap politik bebas aktif adalah meledaknya semangat nasionalisme dan anti penjajahan terutama di Asia Afrika. a. Perang Dingin Berhubung kedua kekuatan raksasa tersebut mempunyai sistem dan kepentingan yang sangat berbeda, maka dengan sendirinya terdapat perselisihan pendapat antara keduanya. Perselisihan itu sebenarnya telah mulai tampak ketika Perang Dunia II memasuki babak terakhir, terutama dalam menentukan nasib negara-negara yang kalah perang. Tetapi perselisihan tersebut baru memuncak dengan hebat setelah berakhirnya perang. Perkembangan hubungan kedua negara raksasa itu dalam massa pasca perang dikenal dengan nama Perang Dingin yang penuh dengan serba aneka ketegangan. Dalam suasana Perang Dingin tersebut kekuatan raksasa itu berlombalomba menyusun dan mengembangkan kemampuannya di semua bidang, baik politik, ekonomi, militer, budaya maupun propaganda. Kedua kekuatan itu membagi dunia dalam dua blok yang bersaingan satu sama lain dalam menanamkan pengaruh masing-masing terhadap negara lain di dunia. Pembagian dunia dalam dua kutub seperti diuraikan di atas dikenal pula dengan sebutan bipolaritas, di mana masing-masing menuntut supaya semua negara di dunia ini menjatuhkan pilihannya kepada salah satu blok. Pilihan itu demikian ketatnya, sehingga sikap tidak ―pro‖ sudah dianggap ―anti‖, sedangkan sikap netral dikutuk. b. Lahirnya Politik Bebas Aktif Perang Dunia II tidak saja menciptakan bipolaritas dalam hubungan internasional tetapi juga membawa perubahan mendasar dalam proses dekolonisasi. Sebagai akibatnya semangat kebangsaan secara merata meluap-luap dan meledak dalam bentuk perjuangan kemerdekaan terhadap penjajahan. Wilayah jajahan Belanda, Hindia Timur, yang diduduki Jepang selama Perang Pasifik tidak terkecuali. Dua hari sesudah Jepang menyerah, pada tanggal 17 Agustus 1945, jajahan Belanda itu menyatakan kemerdekaannya. 256 Dengan proklamasi tersebut muncullah Indonesia sebagai negara merdeka di peta dunia, dan sesuai dengan tuntutan pembukaan UUD 1945 yang disahkan sehari kemudian, yaitu tanggal 18 Agustus 1945, yang dalam pembukaannya disebutkan, bahwa Indonesia, perdamaian abadi dan keadilan sosial‖, maka lahir pulalah politik luar negeri pemerintah RI yang dikenal dengan nama ―Politik Bebas Aktif‖. Sebaiknya Kamu Tahu Keterangan Hatta di depan BP KNIP Tentang Politik Bebas Aktif Wakil presiden Mohammad Hatta yang waktu itu memimpin Kabinet Presidensiil dalam memberikan keterangan di muka Badan Pekerja KNIP (Parlemen), tanggal 2 September 1948, mengemukakan pernyataan yang merupakan penjelasan pertama tentang politik bebas aktif. Dalam keterangannya tersebut PM Hatta bertanya, mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memiliki antara pro Rusia atau pro Amerika? Apakah tidak ada pendirian lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita?” (M. Hatta, 1976:17). M. Hatta menjawab sendiri pertanyaannya dengan menggarisbawahi, Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya (M. Hatta, 1976: 18). Dalam keterangannya tersebut, M. Hatta tidak sekalipun menyebut kata-kata politik bebas aktif, tetapi hal itu tidak usah digunakan, karena dalam keterangan pada kesempatan lain beliau telah berulang kali menyebut istilah politik bebas aktif, apabila menyebut politik luar negeri RI. Lagi pula keterangannya tanggal 2 September 1948 tersebut, berjudul „Mendayung antara Dua Karang” yang artinya tidak lain dari politik bebas aktif. “Mendayung” sama artinya dengan upaya (aktif), dan “antara dua karang” adalah tidak terikat oleh dua kekuatan adikuasa yang ada (bebas). c. Perkembangan Politik Bebas Aktif dari Kabinet ke Kabinet Keterangan Kabinet Natsir kepada Parlemen pada bulan September 1950, juga meninjau politik luar negeri dari segi pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, antara lain disebutkan bahwa: ―Antara dua kekuatan yang timbul, telah muncul persaingan atas dasar pertentangan ideologi dan haluan yang semakin meruncing. Kedua belah pihak sedang mencari dan mendapatkan kawah atau sekutu, membentuk golongan atau blok: Blok Barat dan Blok Timur. Dengan demikian pertentangan paham dan haluan makin merluas dan mendalam, sehingga menimbulkan keadaan perang dingin dan dikuatirkan sewaktu-waktu akan menyebabkan perang di daerah perbatasan antara dua pengaruh kekuasaan itu. Dalam keadaan yang berbahaya itu Indonesia telah memutuskan untuk melaksanakan politik luar negeri yang bebas. Dalam menjalankan politik yang bebas itu kepentingan rakyatlah yang menjadi pedomannya, di samping itu pemerintah akan berusaha membantu tiap-tiap usaha untuk mengembalikan perdamaian dunia, tanpa jadi politik oportunis yang hanya didasarkan perhitungan laba dan rugi dan tidak berdasarkan cita-cita luhur (Muh. Hatta, 1953:17). Keterangan Kabinet Sukiman kepada Parlemen pada bulan Mei 1951 mengatakan antara lain politik luar negeri RI tetap berdasarkan Pancasila, 257 pandangan hidup bangsa yang menghendaki perdamaian dunia. Pemerintah akan memelihara hubungan persahabatan dengan setiap negara dan bangsa yang menganggap Indonesia sebagai negara dan bangsa bersahabat, berdasarkan hargamenghargai, hormat-menghormati. Berhubungan dengan adanya ketegangan politik, yaitu antara Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat, maka pemerintah Indonesia tidak akan menambah ketegangan itu dengan turut campur dalam perang dingin yang merajalela antara dua blok itu. Atas pendirian di atas, maka Republik Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentu menggunakan forum PBB tersebut untuk membela cita-cita perdamaian dunia. Kabinet Wilopo menerangkan kepada Parlemen pada bulan Mei 1952 antara lain: ... asal mulanya pemerintah menyatakan sikap bebas dalam perhubungan luar negeri, ialah untuk menegaskan bahwa berhadapan dengan kenyataan aadanya dua aliran bertentangan dalam kalangan internasional yang mewujudkan dua blok: yaitu Blok Barat dengan Amerika Serikat dari sekutu-sekutunya, dan Blok Timur dengan Soviet dan teman-temannya. Republik Indonesia bersifat bebas artinya: (1) tidak memilih salah satu pihak untuk selamanya dengan mengikat diri kepada salah satu blok dalam pertentangan itu, dan (2) tidak mengikat diri untuk selamanya, tidak akan campur tangan atau akan bersifat netral dalam tiap-tiap peristiwa yang terbit dari pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur. Sebaliknya, oleh karena keterangan sikap yang semata-mata bersifat negatif itu, ternyata menimbulkan salah paham atau sedikit keragu-raguan di kalangan aliran-aliran politik kepartaian dalam negari ataupun pada pihak dua blok yang bertentangan. Dalam hal atau peristiwa yang timbul akibat pertentangan antara dua blok itu Republik Indonesia telah mendasarkan sikapnya kepada politik bebas aktif dengan mengingat: (1) paham tentang niat dan tujuannya sebagai anggota yang ikhlas, setia dan bersungguh-sungguh pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan (2) pandangannya tentang kepentingan negara lain yang berpengaruh besar pada jangka pendek ataupun jangka panjang. Dengan pengecualian politik luar negeri RI di masa antara 1960 sampai 1965, pemerintah berikutnya senantiasa tetap berpegang teguh pada prinsip bebas aktif dalam pelaksanaan polik luar negerinya sesuai dengan keterangan Moh. Hatta tanggal 2 September 1948 tersebut. d. Wujud Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Kebebasan Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri dibuktikan oleh kunjungan Presiden Soeharto ke Uni Soviet 1989. Kunjungan tersebut diikuti pula adanya peningkatan hubungan regional dan internasional sebagai berikut. (1) Keikutsertaan dalam ASEAN Indonesia tidak hanya sebagai anggoat ASEAN, tetapi juga ikut memprakarsai berdirinya ASEAN. Indonesia juga menyediakan tempat dan gedung untuk sekretariat ASEAN di Jakarta. Bahkan Sekjen pertama ASEAN dipercayakan kepada HR. Dharsono dari Indonesia. (2) Peran Kontingen Garuda Indonesia Sumbangan RI dalam mewujudkan perdamaian dunia dengan mengirimkan kontigen Garuda sampai empat belas kali. 258 (3) Peran dalam KTT Non-Blok Republik Indonesia sebagai salah satu negara pendiri Gerakan Non Blok tidak pernah absen pada setiap penyelenggaraan KTT. Indonesia menjadi tuan rumah KTT Non Blok kesepuluh pada tahun 1992. Hingga saat ini telah berlangsung 12 kali penyelenggraan KTT Non Blok. (4) Peranan dalam Organisasi Konferensi Islam Walaupun RI bukan negara Islam tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam hingga dapat diterima sebagai anggota OKI. Melalui OKI, Indonesia banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi kepentingan umat Islam. (5) Peran dalam PBB Aktivitas Indonesia dalam PBB semakin nyata dengan terpilihnya Menlu Indonesia Adam Malik sebagai Ketua Sidang Umum PBB pada tahun 1974. Keberhasilan Indonesia dalam produksi pangan menyebabkan dijadikannya Indonesia sebagai wakil negara berkembang dalam sidang FAO di Roma. Keberhasilan dalam Program Keluarga Berencana menyebabkan Indonesia menjadi contoh negara-negara lain dalam program kependudukan. Rangkuman Hubungan internasional adalah hubungan yang terjadi antarnegara. Adapun alasan perlunya kerja sama internasional adalah sebagai berikut. (1) Setiap bangsa tidak hidup sendiri, tetapi dikelilingi oleh masyarakat bangsabangsa. (2) Pada hakikatnya setiap bangsa ada saling ketergantungan dengan bangsa lain. (3) Di era globalisasi ini negara yang tidak menjalin hubungan dengan negara lain akan tertinggal, dan bisa terkucil. (4) Setiap negara memiliki sumber-sumber kekayaan yang berbeda dengan negara lain. (5) Untuk memacu pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. (6) Untuk menciptakan saling pengertian antarbangsa. Kerja sama antarnegara dapat terjadi antara dua negara atau lebih. Kerja sama yang diadakan hanya oleh dua negara disebut kerja sama bilateral, sedangkan yang melibatkan lebih dari dua negara disebut kerja sama multilateral. Politik luar negeri adalah kumpulan kebijakan atau setiap yang ditetapkan oleh suatu negara untuk mengatur hubungan dengan negara lain yang berpijak kepada kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia, politik luar negeri adalah kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasionalnya guna mencapai tujuan nasional. Jadi politik luar negeri Indonesia tidak lain adalah bagian dari politik nasional yang merupakan penjabaran dari cita-cita nasional dan tujuan nasional negara Indonesia. Wujud Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif (1) Keikutsertaan dalam ASEAN Indonesia tidak hanya sebagai anggoat ASEAN, tetapi juga ikut memprakarsai berdirinya ASEAN. Indonesia juga menyediakan tempat dan gedung untuk 259 (2) (3) (4) (5) sekretariat ASEAN di Jakarta. Bahkan Sekjen pertama ASEAN dipercayakan kepada HR. Dharsono dari Indonesia. Peran Kontingen Garuda Indonesia Sumbangan RI dalam mewujudkan perdamaian dunia dengan mengirimkan kontigen Garuda sampai empat belas kali. Peran dalam KTT Non-Blok Republik Indonesia sebagai salah satu negara pendiri Gerakan Non Blok tidak pernah absen pada setiap penyelenggaraan KTT. Indonesia menjadi tuan rumah KTT Non Blok kesepuluh pada tahun 1992. Hingga saat ini telah berlangsung 12 kali penyelenggraan KTT Non Blok. Peranan dalam Organisasi Konferensi Islam Walaupun RI bukan negara Islam tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam hingga dapat diterima sebagai anggota OKI. Melalui OKI, Indonesia banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi kepentingan umat Islam. Peran dalam PBB Aktivitas Indonesia dalam PBB semakin nyata dengan terpilihnya Menlu Indonesia Adam Malik sebagai Ketua Sidang Umum PBB pada tahun 1974. Keberhasilan Indonesia dalam produksi pangan menyebabkan dijadikannya Indonesia sebagai wakil negara berkembang dalam sidang FAO di Roma. Keberhasilan dalam Program Keluarga Berencana menyebabkan Indonesia menjadi contoh negara-negara lain dalam program kependudukan. Latihan a. Tugas Individual (1) Jelaskan pengertian hubungan internasional dengan kalimatmu sendiri! (2) Mengapa setiap negara perlu menjalin hubungan internasional? (3) Apa tujuan dilakukannya kerja sama internasional? (4) Apa yang kamu ketahui tentang AFTA? (5) Sebutkan 3 macam saja bentuk kerja sama yang telah dilakukan oleh Indonesia! (6) Apa yang dimaksud dengan politik luar negeri? (7) Sebutkan landasan politik luar negeri Indonesia! (8) Jelaskan asas politik luar negeri Indonesia! (9) Uraikan ciri-ciri politik bebas aktif! (10) Terangkan tujuan politik luar negeri Indonesia! (11) Jelaskan perkembangan politik luar negeri Indonesia! (12) Tunjukkan wujud pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif! b. Tugas Kelompok Bentuklah empat kelompok di kelasmu, buatlah makalah sederhana dengan topik di bawah ini, selanjutnya presentasikan di depan kelas. (1) Perlunya setiap negara untuk menjalin hubungan internasional. (2) ASEAN kerja sama internasional di kawasan Asia Tenggara. (3) Perkembangan politik luar negeri Indonesia. (4) Wujud nyata pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. C. Dampak Globalisasi bagi Masyarakat, Bangsa dan negara 260 Selain ditandai oleh berakhirnya perang dingin, pada akhir abad kedua puluh kemarin perkembangan dunia juga ditandai oleh pesatnya kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi elektronik dan teknologi komputer atau informasi. Televisi yang merupakan barang mewah pada tahun 1960-an, kini telah dapat dilihat oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Di negara kita, saat ini banyak terdapat stasiun televisi. Siaran-siaran televisi dari luar negeri juga makin mudah dijangkau. Jaringan telepon tampak mulai masuk ke pelosok-pelosok. Telepon seluler dan faksimile merupakan hal biasa. Begitu pula PC (porsonal computer) pun berkembang dalam format yang semakin kecil dan semakin canggih, hingga dalam waktu dekat akan dapat menjadi bagian sebuah jaringan komunikasi global. Paduan antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi akan semakin terasa dampaknya di seluruh dunia. Kemajuan teknologi ini akan memungkinkan tiap individu memperoleh informasi dari mana pun dalam waktu yang amat singkat. Interaksi antarindividu juga makin meningkat dan melampaui batas-batas negara. Ada dua hal sekaligus yang dihadirkan oleh kemajuan teknologi. Pertama, globalisasi informasi, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya yang diakibatkan oleh luasnya dan cepatnya jaringan komunikasi. Kedua, makin menonjolnya peran satuan-satuan kecil dalam masyarakat, seperti suku, golongan, kelompok, dan bahkan individu yang diakibatkan oleh makin mudahnya individu memperoleh informasi lengkap yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan bagi diri sendiri, kelompok, suku ataupun golongan. Globalisasi informasi di satu pihak memang mempercepat penambahan khasanah pengetahuan sebagai bahan pertimbangan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Akan tetapi, informasi yang tersiar dalam proses globalisasi ini tentu memuat pula kepentingan-kepentingan, nilai-nilai budaya, ataupun ideologi-ideologi, dari sumber-sumber informasi tersebut. Kepentingankepentingan tersebut tentunya tidak seluruhnya sejalan dengan kepentingan nasional, dan nilai-nilai budaya, serta ideologi yang dijunjung tinggi yaitu ideologi Pancasila. Begitu pula, makin besarnya peranan kelompok, golongan, suku, dan bahkan individu mempunyai arti positif dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Akan tetapi hal itu juga meminta kewaspadaan karena dapat menjurus ke arah pengagungan individu, pendewaan kelompok, sukuisme, merosotnya toleransi beragama, nasionalisme sempit, dan sikap-sikap eksklusif lainnya. Di samping itu, perlu diperhatikan bahwa globalisasi pada dasarnya membentuk jaringan ekonomi global, yang mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan kendali yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa. Bangsa-bangsa yang memiliki daya saing mendapatkan peluang yang baik untuk bermain dalam jaringan ekonomi global, sehingga mendapatkan keuntungan dan memainkan peran yang berarti. Namun, bagi bangsa-bangsa yang tidak memiliki daya saing yang memadai, hal itu dapat mendatangkan masalah baru karena dapat menimbulkan titik rawan dan menjadi bangsa yang makin tergantung pada bangsa lain. Agar dapat bertahan hidup, setiap bangsa harus mampu menumbuhkan daya saing yang optimal. 261 Tanpa daya saing, ketergantungan menjadi makin riil, mengingat kekuatan ekonomi yang mengendalikan jaringan global tersebut bukanlah pihak yang ingin mewujudkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan global, melainkan mencari keuntungan di pasar global dan mengambil keuntungan di mana pun mereka berada. Dengan demikian, terbuka kemungkinan terjadinya kesenjangan sosial di antara bangsa-bangsa industri maju yang makin kaya dengan bangsa-bangsa terbelakang yang makin miskin. 1. Pengaruh Globalisasi terhadap Ideologi dan Politik Pengaruh globalisasi terhadap ideologi dan politik adalah semakin kuatnya pengaruh ideologi liberal dalam mewarnai perpolitikan negara- negara berkembang yang ditandai oleh menguatnya kapitalisme. Ciri khas kapitalisme abad 21 ini adalah bersifat sangat pragmatis dan imperialis dalam arti ingin tetap menguasai pihak lain. Implikasi global di bidang politik mau tidak mau harus membuka komunikasi serta sistem politik baru yang terbuka. Tuntutan-tuntutan dari proses globalisasi yaitu adanya gerakan hak-hak asasi manusia, gerakan lingkungan hidup dan gerakan-gerakan politik yang melemahkan paham nasionalisme. Sementara di sisi lain ideologi komunis sebagai legitimasi kekuasaan telah runtuh, sehingga pemasyarakatan ideologi komunis dalam era globalisasi memudar. Di bidang ideologi, globalisasi untuk sementara mampu meyakinkan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia yakin bahwa liberalisme dapat membawa manusia ke arah kemajuan dan kemakmuran. Hal ini akan mempengaruhi pikiran mereka, apalagi ketika mereka menghadapi kesulitan hidup yang berkepanjangan. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka berpaling dari ideologi Pancasila mencari alternatif ideologi yang lain seperti liberalisme Globalisasi dengan jargonnya seperti keterbukaan, kebebasan, dan demokrasi berpengaruh kuat terhadap pikiran maupun kemauan bangsa Indonesia. Apalagi ketika bangsa dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan maka rakyat di mana-mana menuntut diadakannya perbaikan –perbaikan di berbagai bidang kehidupan khususnya di bidang politik. Pemerintahan yang dianggap tertutup supaya diubah menjadi terbuka. Kekuasaan yang terpusat dan otoriter diubah menjadi demokratis dan memberi banyak kebebasan dan lain-lain. Ini akan berjalan terus sesuai dengan perkembangan masyarakat internasional. 2. Pengaruh Globalisasi terhadap Ekonomi Pengaruh globalisasi terhadap ekonomi antara lain dalam bentuk semakin tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional yang beroperasi tanpa mengenal batas-batas negara. Selanjutnya juga semakin ketatnya persaingan dalam menghasilkan barang dan jasa dalam pasar bebas. Menguatnya kapitalisme menuntut adanya ekonomi pasar yang lebih bebas untuk mempertinggi asas manfaat, kewiraswastaan, akumulasi modal, membuat keuntungan, serta manajemen yang rasional. Ini semua menuntut adanya mekanisme global baru berupa struktur kelembagaaan baru yang ditentukan oleh ekonomi raksasa. Pertimbangan biaya dan harga serta kualitas produk menjadi 262 dasar keputusan untuk memproduksi suatu barang di suatu lokasi atau suatu negara tertentu, di sisi lain dituntut pula pertimbangan kemampuan menyalurkan secara cepat barang-barang yang produknya sedang digemari. Sehubungan dengan ini tenaga kerja yang murah, berlimpahnya bahan baku tidak dapat diandalkan lagi. Akan tetapi yang penting ialah kecepatan proses produksi pada kualitas yang prima. Standar internasional serta kemampuan menyalurkan pesanan barang dan jasa (delivery) yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen sangat penting. a. Kapitalisme Global Kapitalisme global adalah upaya meraih keuntungan dan mengakumulasi modal tanpa batas atau sekat yang berupa negara. Dalam perkembangannya, kapitalisme global ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian orang di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, seseorang akan merasa ada sesuatu yang hilang bila dalam satu hari tidak melihat TV, membaca koran, ataupun membaca email. Dengan teknologi informasi dan komunikasi tersebut, seseorang dengan mudah dapat memindahkan ribuan maupun jutaan dollar melintasi batas negara dalam hitungan detik dengan hanya menekan-nekan tombol Personal Computer (PC) di rumah atau menggunakan telepon seluler. Kapitalisme global juga mengubah cara pandang orang terhadap berbagai hal. Cara pandang tentang uang misalnya, bukan lagi hanya sebagai alat tukar melainkan juga sebagai barang dagangan seperti komoditas lainnya. Adanya profesi pedagang valuta asing membuktikan hal tersebut. Lebih lanjut, uang yang biasa terlihat sebagai lembaran-lembaran kertas, di tangan lembaga keuangan saat ini berkembang menjadi bentuk yang lebih canggih seperti bonds, stocks, comercial notes dan sebagainya. Ttransaksi yang dilakukannyapun tidak berdasakan saat ini (sekarang), tetapi dapat pula transaksi untuk masa nanti, sehingga dapat dibayangkan betapa rumitnya perputaran uang di dunia ini. Perkembangan kapitalisme yang semakin mengglobal mendorong terjadinya berbagai kondisi baru sebagai berikut. (1) Terciptanya berbagai inovasi yang memunculkan produk-produk yang ada. Kondisi ini menyebabkan melimpahnya produk dengan harga yang relatif lebih murah, sehingga meningkatkan persaingan. (2) Terjadinya relokasi perusahaan multinasional untuk memanfaatkan keunggulan komparatif suatu negara, agar dapat memenangkan persaingan. Misalnya saja, relokasi atas industri padat karya untuk mendapatkan pekerja dengan upah yang lebih murah. Dalam proses ini muncullah berbagai perusahaan multinasional, yaitu perusahaan yang mempunyai cabang di berbagai negara. (3) Terjadinya arus internasionalisasi dan perputaran modal yang sangat cepat yang menembus batas waktu dan ruang. Modal yang berputar tersebut bergerak tidak hanya di sektor yang produktif tetapi juga di sektor yang spekulatif. (4) Terbentuknya suatu tatanan dunia baru yang dimotori lembaga-lembaga internasional dan forum internasional seperti IMF, World Bank, WTO dan lsebagainya. Secara serentak lembaga dan forum internasional tersebut mengkampanyekan dan mengarahkan dunia ke arah kerangka kebijakan baru 263 yang mendukung rezim liberal dan perdagangan bebas global. Aturan-aturan liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi merebak di segala penjuru dunia. (5) Dari yang berpandangan negatif, menganggap bahwa globalisasi tidak banyak manfaatnya atau bahkan merugikan. Investasi dalam bentuk penanaman modal asing, akan menguras sumber daya yang dimiliki oleh suatu bangsa dengan manfaat paling besar justru tidak dinikmati oleh bangsa tersebut. Contoh lain yang dapat merugikan, adalah liberalisasi arus modal yang memicu krisis ekonomi di berbagai negara Asia. (6) Di samping pandangan yang bersifat negatif dari kapitalisme global, ada pula yang berpandangan positif. Pandangan itu pada intinya menyatakan bahwa penanaman modal asing dianggap dapat memungkinkan akses terhadap teknologi, manajemen dan pemasaran. Di samping itu, arus modal juga memungkinkan untuk menutup kesenjangan antara tabungan dan investasi, sehingga memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. b. Kapitalisme di Indonesia Apakah kapitalisme sesuai untuk diterapkan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu merujuk pada UUD 1945. Meskipun saat ini UUD 1945 sudah diamandemen empat kali, namun 3 butir pertama pada pasal 33 tidak berubah sehingga masih dapat dirujuk, yaitu (i) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (ii) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak dikuasai oleh negara, dan (iii) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam penjelasannya dipertegas dengan kalimat yang antara lain berbunyi: ―Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang". Jadi UUD 1945 mengenal pembedaan antara barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan yang tidak. UUD 1945 juga mengenal perbedaan antara barang yang merupakan "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya", dan yang tidak. Dua kategori ini, yaitu perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam pasal tersebut, kata ―dikuasai‖ dapat berarti dimiliki atau dieksploitasi oleh negara sendiri. Pemahaman lain menyatakan bahwa ―dikuasai‖ dapat diartikan sebagai ―diatur‖. Maka dengan kata ―penguasaan‖ yang ditafsirkan secara operasional menjadi ―diatur‖, setelah melalui pengaturan oleh pemerintah, ―barang dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak‖, dan ―bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya‖ boleh menjadi milik orang seorang, atau eksploitasinya dikuasakan kepada orang seorang dengan perolehan laba buat orang perorang. Seperti yang kita saksikan saat ini perusahaan-perusahaan swasta sudah berusaha dalam bidang-bidang jalan tol, telekomunkasi, listrik, pengelolaan pelabuhan, perusahaan penerbangan dan sebagainya. Adapun dalam bidang bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kita saksikan adanya kayu, emas, dan pulau-pulau yang pengelolaannya atau pemilikannya di tangan swasta. Bahwa kata ―dikuasai‖ tidak 264 mesti berarti ―dimiliki‖, melainkan bisa dijabarkan secara operasional sebagai ―diatur‖, maka pengelolaan atau pemilikan swasta tersebut masuk akal. Apakah pengaturannya in concreto itu lebih dekat dengan semangat UUD 1945 atau sangat jauh, itu yang bisa kita perdebatkan. Paham kapitalisme yang kita harapkan hendaknya disertai persyaratan bahwa semuanya harus berfungsi sosial. Di negara-negara lain yang sangat dan teramat kapitalis, kapital memang selalu dibuat berfungsi sosial melalui perpajakan, instrumen-instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan dan masih banyak lagi perangkat, peraturan, lembaga dan sebagainya, yang membuat kapital berfungsi sosial. Fungsi sosial tidak mengurangi kenyataan bahwa ekonomi kita adalah atas dasar kapitalisme. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga pada akhirnya potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dapat berkembang sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum. c. Kapitalisme Global dan Kemandirian Ekonomi Indonesia Sejauh ini dapat dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki kapitalisme global. Dalam masa sebelum krisis peran penanaman modal asing (PMA) cenderung meningkat. Hal ini diindikasikan oleh nilai persetujuan PMA yang meningkat dari US$8,2 miliar pada tahun 1993 menjadi US$39,9 miliar pada tahun 1995. Meskipun angka itu menurun di tahun 1996, jumlahnya masih lebih besar yaitu US$29,9 miliar di tahun 2002. Demikian pula peran investor asing di pasar modal. Dalam periode 1993-1996 tersebut, di Bursa Efek Jakarta pangsa pasar saham yang dimiliki orang asing berkisar antara 25-30% dari nilai kapitalisasi pasar. Dari angka neraca modal dalam neraca pembayaran, pemasukan modal swasta meningkat dari US$5,2 miliar di tahun 1993 menjadi US$11,5 miliar di tahun 1996. Hal ini berjalan seiring dengan liberalisasi perdagangan dan juga deregulasi di bidang investasi (Kwik Kian Gie, 2003: 9). Persoalan yang lebih besar dari hadirnya modal asing di Indonesia adalah apakah manfaat seluruhnya yang diperoleh pemodal asing di Indonesia dibagi secara adil antara pemodal asing dan bangsa Indonesia. Selalu dikatakan bahwa modal asing membawa masuk modal, transfer teknologi, transfer kemampuan manajemen dan membuka lapangan kerja. Secara teoretis memang benar, tetapi sebenarnya belum pernah ada yang menghitung secara kuantitatif apakah semuanya yang dikemukakan memang menjadi kenyataan dalam praktik hadirnya modal asing yang sudah sekian lama di Indonesia. Sebaliknya, yang kita alami dalam bentuk penderitaan yang cukup dahsyat adalah bahwa keterbukaan dalam arus modal telah membawa konsekuensi Indonesia masuk ke dalam krisis. Aliran masuk modal swasta yang terus meningkat seperti disebutkan tadi, tiba-tiba berbalik menjadi arus keluar scara besar-besaran. Pada triwulan IV tahun 1997, arus modal swasta (bersih) tercatat minus US$8,6 miliar dan menurun lebih jauh menjadi minus US$13,8 miliar pada tahun 1998. Hal ini mengakibatkan merosotnya nilai rupiah dan menyebabkan Indonesia memasuki krisis (Kwik Kian Gie, 2003:11). Berbagai kenyataan di atas memberikan pelajaran pada kita bahwa kapitalisme global membuka peluang untuk mengembangkan perekonomian. 265 Namun demikian, kapitalisme global juga dapat merusak perekonomian Indonesia. Bahkan juga menghilangkan kemandirian kita. Aspek lain dari ciri negatif kapitalisme global adalah masuknya uang dalam bentuk hutang yang diberikan kepada Indonesia, baik kepada pemerintah maupun kepada swasta asing. Mental untuk hutang sebanyak-banyaknya yang sudah lama membudaya di kalangan penguasa Indonesia bukannya mengendur, tetapi bahkan berlangsung terus sampai saat ini. Hutang tanpa kendali yang akhirnya menjadikan bangsa Indonesia tidak lagi mandiri juga salah satu kerugian dari globalisasi modal. Dampak dari kombinasi antara kebijakan hutang, serta perumusan kebijakan yang hanya didasarkan atas untung rugi material belaka dewasa ini telah membuat bangsa Indonesia dalam kondisi sebagai berikut. (1) Indonesia yang kaya akan minyak telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa sendiri. Negara yang dikarunia hutan yang begitu lebat dan luas sehingga menjadikan negara produsen kayu terbesar di dunia, dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang sama sekali tidak mencukupi untuk menghutankan kembali pada taraf yang minimal saja. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan para kroninya yang tidak bertanggung jawab. Rakyat yang merupakan pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal. (2) Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 miliar dollar AS. Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 miliar dollar AS. Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 58 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPn sudah mendekat. (3) Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat ganda. Pembangunan dibiayai dengan hutang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis hutang dari IGGI/CGI, sambil dimintai pertanggungjawaban tentang bagaimana dirinya mengurus Indonesia. Anehnya setiap tahun kita merasa bangga bila hutang yang kita peroleh bertambah. Hutang dipicu terus tanpa kendali, sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan hutang pokok, dengan hutang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah tidak mampu membayar cicilan pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. (4) Bank-bank kita digerogoti oleh pemiliknya sendiri. Bank yang kalah clearing dan harus diskors diselamatkan oleh Bank Indonesia dengan menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto. Uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri oleh para pemilik bank untuk pembentukan konglomerat sambil melakukan mark up. Pelanggaran legal lending 266 limit (batas pemberian pinjaman pada grupnya sendiri) dilanggar selama bertahun-tahun dalam jumlah besar yang menghancurkan bank dengan perlindungan oleh Bank Indonesia sendiri. Maka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa bank sudah hancur lebur. (5) Pada tahun 1998 kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah menurun drastis. Rupiah melemah dari Rp2.400 per dolar AS menjadi Rp16.000 per dolar AS. Dalam kondisi yang seperti ini Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar iurannya menggunakan haknya untuk minta bantuan. Paket bantuan IMF disertai dengan syarat yang isinya demikian tidak masuk akal dan demikian menekan serta merugikan Indonesia. Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga internasional seperti CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia bersatu padu dalam sikap dan persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan bahwa pemerintah harus melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan olehnya, yang dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih memasyarakat dengan nama Letter of Intent atau LOI. (6) Bank dunia setiap tahun juga menyusun apa yang dinamakan Country Strategy Report tentang Indonesia yang harus dilaksanakan kalau tidak mau diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai sekarang setiap tahun memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena jumlah hutang keseluruhannya yang sudah melampaui batas-batas kepantasan dan prinsip kesinambungan, untuk sementara dan entah sampai kapan kita tidak dapat hidup tanpa hutang setiap tahunnya, jika kita tidak mau puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus sekolah. (7) Jika kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap keikutsertaan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri. (8) Bagaimana mengakhiri kondisi kita yang sudah kehilangan kemandirian dan kedaulatan menentukan nasib bangsa kita sendiri. Tidak lain modal utamanya adalah kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai pemahaman yang jelas bahwa kita sudah tidak mandiri, dan mempunyai tekad untuk merebut kembali kemandirian kita (Kwik Kian Gie, 2003:14). Untuk menghadapi kapitalisme global pemerintah perlu mengusahakan hal-hal berikut. (1) Perlunya segera dilakukan pemberantasan KKN secara bersungguh-sungguh. Pengurangan KKN hingga kondisi yang sangat minim merupakan modal yang besar untuk menghadapi era kapitalisme global. Selanjutnya, kita memerlukan langkah yang terencana untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. (2) Pemerintah perlu meletakkan kerangka kebijakan untuk memungkinkan pergerakan sumberdaya ke arah sektor-sektor yang mempunyai prospek yang cerah. Hal ini dilakukan melalui kebijakan yang tidak distortif terhadap keputusan investor, termasuk memungkinkan mereka untuk mengukur tingkat 267 resiko secara akurat. Untuk itu diperlukan good governance (pemerintahan yang baik dan bersih). Pengalaman kita menunjukkan, bahwa ketiadaan good governance menyebabkan pelaku ekonomi melakukan investasi yang sangat beresiko dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien. (3) Mengupayakan agar perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung secara bertahap, sehingga memberikan waktu bagi pelaku ekonomi yang bergerak di bidang industri yang tidak kompetitif beralih ke industri yang lebih kompetitif. (4) Mempersiapkan SDM agar dapat memanfaatkan peluang yang terbuka. Dalam hal ini termasuk misalnya, dengan mengupayakan sertifikasi keahlian yang diakui secara internasional berikut pelatihan untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Tingkat kemajuan dan kemakmuran di negara-negara penggagas globalisasi yang relatif baik, apalagi didukung kemampuannya melakukan lobi-lobi internasional, membuat bangsa-bangsa dunia ketiga tertarik untuk menerima tawarannya. Indonesia tidak lepas dari rangkaian proses tersebut. Itulah sebabnya, maka kita membuka diri bagi produk-produk luar negeri, menerima investasi, dan lain-lain. Sementara itu anak-anak kita menjadi tidak kenal lagi makanan tradisional seperti getuk, tiwul, lentuk, cemplon, dan lain-lain. 3. Pengaruh Globalisasi terhadap Sosial Budaya Indonesia Kini arus globalisasi telah banyak dirasakan terutama di kota-kota seantero Indonesia. Apa yang dilakukan oleh orang-orang di luar negeri cepat sekali masuk atau dilihat oleh masyarakat kita dengan mudah. Anehnya lagi, semua itu berkiblat pada Amerika dan Inggris. Seakan-akan apa yang dilakukan oleh orang Amerika dan Inggris tersebut baik dan pantas diikuti. Kalau tidak, dianggap kuno atau ketinggalan zaman. Karena itulah banyak di kalangan anak muda kita lupa akan jati diri (identitas)nya sebagai bangsa Indonesia. Lihat saja sekarang, di kota-kota kecil saja kita akan melihat remaja-remaja kita mengenakan dandanan ala selebritis. Mereka mengenakan rok atau celana yang tidak sesuai dengan budaya kita dengan membiarkan bagian perut atau pinggang terbuka dipadu dengan atasan super ketat. Rambut asli disembunyikan diganti dengan berbagai rambut palsu atau dicat beraneka warna dan lain-lain. Sementara itu remaja pria juga tidak mau ketinggalan. Mereka mengenakan pakaian yang aneh-aneh. Ada yang bercelana super ketat, namun ada pula yang super longgar, rambut dicat, dibentuk beraneka model, disertai asesoris yang beraneka rupa pula. Pendek kata, kini orang lebih suka menjadi orang lain dengan cara menutupi identitas dirinya yang asli. Konstruksi identitas dalam setiap tahapan sejarah selalu mengikuti posisiposisi kuasa. Kuasa negara-negara totaliter telah membentuk identitas-identitas yang statis dan membentuk manusia dalam logika ― aku sama, maka aku ada‖. Jika orientasi kuasa negara adalah menjaga proses industrialisasi, maka industrialisasi menyerang berbagai ruang dan nilai kehidupan. Dari gaya hidup yang kecil-kecil, misalnya gaya berpakaian hingga narasi-narasi besar, seperti politik atau demokratisasi. Konstruksi kebudayaan masa kini makin ditentukan oleh kapasitas distribusi yang dilakukan media ketimbang otoritas regulasi yang diperankan negara. Otoritas seperti yang dikemukakan oleh Giddens, kini harus bersaing dengan ketidakpastian. Identitas yang dibangun melalui citra-citra media massa 268 yang tidak pasti inilah, yang kemudian memunculkan cunterfiet people, yaitu orangorang yang identitasnya diskenariokan dan dipentaskan untuk menciptakan sejumlah ilusi yang seringkali tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realita asli ( lihat gaya penampilan orang-orang di televisi). Identitas rekaan media menjadi pilihan yang mengasyikkan dan menjadi trendi, meskipun semua itu bersifat foke atau palsu. Di samping itu, dengan adanya globalisasi dapat pula melahirkan pranatapranata (lembaga-lembaga) sosial baru, seperti di bidang ekonomi, timbul mall (supermarket), pasar uang (modal), dan lain-lain. Di bidang sosial timbul lembagalembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi profesi, pesta berdiri, dan lainlain. Di bidang seni budaya, tumbuh pesat cabang-cabang seni modern yang dapat menggeser cabang-cabang seni tradisional seperti band, film, dan lain-lain. Tempat hiburan, seperti sanggar seni modern, diskotik, kafe, galeri. Di samping itu berkembang pula model fashion show, kontes ratu kecantikan dan lain-lain. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, lahir penemuan-penemuan baru yang kemudian dilempar di pasaran yang akibatnya menggeser produk-produk lama atau berpengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, seperti alat-alat rumah tangga dari bambu diganti dari plastik, dari tanah liat diganti dengan aluminium atau stainless. Alat transportasi atau komunikasi seperti gerobag, andong atau dokar diganti bus, pesawat terbang, kentongan diganti handphone, dan lain-lain. 4. Dampak Globalisasi terhadap Pertahanan dan Keamanan Globalisasi yang didasari oleh menguatnya kapitalisme, jelas memberikan dampak juga terhadap pertahanan dan keamanan. Menyebarnya perdagangan dan industri di seluruh dunia akan meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan yang dapat mengganggu keamanan bangsa. Semua negara mau tak mau menghadapi tuntutan-tuntutan akibat dari proses globalisasi, antara lain hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup serta perubahan sistem politik. Ini semua memberikan peluang dan kendala pada aspek pertahanan dan keamanan untuk menjalankan proses transformasi pembangunan. 5. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi Globalisasi dapat dilihat dari dua sisi, pertama sebagai ancaman dan yang kedua sebagai peluang. Sebagai ancaman, globalisasi lebih banyak berdampak negatif seperti merebaknya konsumerisme, materialisme, hedonisme, sekularisme, mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemewahan yang tidak semestinya, foya-foya, pergaulan bebas, budaya kekerasan, pornografi, pornoaksi, dan semacamnya. Pengaruh tersebut bukan saja lewat dunia film, namun juga lewat media cetak dan TV dengan satelitnya, serta yang sekarang sedang menjadi trend adalah internet. Sementara budaya lokal yang negatif juga masih banyak dipertahankan seperti tidak disiplin waktu, malas, kecurangan, monopoli, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di sisi lain globalisasi memberi pengaruh positif. Hal ini hendaknya menjadi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal dan nasional, maupun agama. Hal-hal positif itu misalnya budaya disiplin, kebersihan, tanggung 269 jawab, egalitarianisme, kompetisi, kerja keras, penghargaan terhadap orang lain, demokrasi, jujur, optimis, mandiri, taat aturan dan sebagainya. a. Dampak Positif Globalisasi dalam Bidang Politik bagi Indonesia Dampak positif globalisasi di bidang politik antara lain pemerintahan dijalankan secara transparan, demokratis dan bertanggungjawab. Pemerintahan yang dijalankan secara transparan dapat mencegah terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga terwujud pemerintahan yang bersih. Semakin berkembangnya demokrasi akan membuat partisipasi rakyat dalam politik semakin meningkat. Legitimasi pemerintahan yang sedang berkuasa akan semakin meningkat, sehingga kebijakan yang diambil akan mendapat dukungan dari rakyat. Demokrasi memungkinkan rakyat untuk bisa melakukan kontrol pada pemerintah, sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa diperkecil. Akhirnya pemerintahan yang baik dan bersih dapat diwujudkan. b. Dampak Positif Globalisasi dalam Bidang Ekonomi bagi Indonesia Dampak positif globalisasi di bidang ekonomi antara lain sebagai berikut. (1) Makin terbukanya pasar internasional bagi hasil hasil produksi suatu negara. (2) Mendorong kita untuk memproduksi barang yang berkualitas tinggi. (3) Mendorong para pengusaha untuk meningkatkan efisiensi dan menghilangkan biaya tinggi. (4) Dimungkinkan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan devisa negara. c. Dampak Positif Globalisasi dalam Bidang Sosial Budaya bagi Indonesia Dampak positif globalisasi di bidang sosial budaya antara lain kita dapat mengambil pola pikir yang baik dari ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa lain yang telah maju untuk kemajuan dan kesejahteraan kita. Nilai-nilai yang baik tersebut misalnya, etos kerja yang tinggi, disiplin, memiliki jiwa kemandirian yang kuat, suka membaca, meneliti dan menulis, rasional, sportif, biasa bekerja secara terprogram, dan sebagainya. d. Dampak Negatif Globalisasi dalam Bidang Ekonomi bagi Indonesia Globalisasi dapat menimbulkan dampak negatif sebagai berikut. (1) Dengan adanya keterbukaan, maka kita akan dibanjiri barang-barang produksi luar negeri. Dari perabot rumah tangga sampai dengan persenjataan. Jika produk yang kita hasilkan tidak mampu bersaing dengan produk negara maju maka kita tidak bisa mengekspor ke luar negeri dan bahkan tidak bisa dijual di negeri sendiri karena tidak laku. Jika hal ini terjadi maka ekonomi kita akan terpuruk. (2) Dengan adanya kebebasan masuknya investasi dari luar negeri, bisa jadi suatu saat mereka bisa menguasai perekonomian kita yang pada gilirannya mereka dapat mendikte pemerintah dan bangsa. (3) Dengan adanya persaingan bebas, maka kelak akan ada pelaku ekonomi yang menang dan kalah. Yang menang bisa melakukan monopoli, yang kalah akan tersisih dan hanya akan menjadi penonton. Akibat lebih lanjut yang menang akan melahirkan kelompok masyarakat kaya dan yang kalah menjadi kelompok miskin. Dengan demikian akan terjadi kesenjangan sosial yang semakin tajam. 270 e. Aspek Negatif dalam Bidang Sosial Budaya Aspek negatif globalisasi dalam bidang sosial budaya antara lain sebagi berikut. (1) Semakin ketatnya persaingan antar individu, yang dapat membuat orang semakin individualis. (2) Munculnya sifat hedonisme, yakni ingin menikmati sepuas-puasnya kenikmatan duniawi. Dampaknya akan bekembang pola hidup konsumerisme dan materialisme. (3) Sifat individualisme yang berlebihan berdampak semakin menipisnya sifat kekeluargaan. (4) Kesenjangan yang semakin tajam antara kelompok kaya dan miskin. Langkah-Langkah yang perlu diambil dalam menghadapi dampak globalisasi antara lain sebagai berikut. (1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia. (2) Mengejar ketertinggalan penguasaan Iptek. (3) Membenahi kebijakan ekonomi, termasuk kepastian hukum untuk berusaha, ketenagakerjaan, keamanan, perpajakan, perijinan dan sebagainya. (4) Membangun infrastruktur yang memadai seperti jalan, pelabuhan, bandara, listrik, komunikasi, transportasi dan sebagainya. (5) Menumbuhkan semangat nasionalisme kepada seluruh anak bangsa. (6) Menggunakan nilai-nilai Pancasila sebagai acuan dalam setiap kebijakan. (7) Mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dan memberantas KKN. (8) Mewujudkan supremasi hukum. (9) Memperbaiki moralitas bangsa dengan acuan agama masing-masing. f. Dampak Negatif Globalisasi dalam Bidang Hankam bagi Indonesia Dengan adanya globalisasi, mampu membuka cakrawala berpikir masyarakat secara global. Apa yang terjadi di luar negeri dan dianggap baik bisa memberi aspirasi (mengilhami) kepada sebagian masyarakat kita untuk menerapkannya di negara kita. Bila ini terjadi, maka bisa melahirkan dilematika. Bila dipenuhi konsekuensinya di satu pihak, hal itu belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, di pihak lain, berarti akan selalu mengubah yang sudah ada sehingga bisa menimbulkan ketidakpastian. Sementara itu bila tidak dipenuhi, bisa dianggap tidak aspiratif sehingga mereka bertindak anarkis, dan eksklusif sehingga dapat mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa. f. Dampak Negatif Globalisasi dalam Bidang Sosial Budaya bagi Indonesia Dalam aspek ini, adanya globalisasi dapat melahirkan dampak negatif bagi perilaku masyarakat sebagai berikut. (1) Semakin ketatnya persaingan antarindividu, yang akhirnya dapat mengarahkan perilaku manusia menjadi individualis, (2) Munculnya sifat hedonisme, yaitu kenikmatan pribadi dianggap sebagai suatu nilai hidup tertinggi. Hal ini membuat manusia suka memaksakan diri untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan pribadinya. Hedonisme dapat berkembang pula menjadi sikap materialisme dan konsumerisme. 271 (3) Adanya sikap individualisme menimbulkan pula ketidakpedulian antarperilaku sesama manusia dan akan menghilangkan jiwa kekeluargaan. (4) Bisa mengakibatkan kesenjangan sosial yang semakin tajam antara yang kaya dan yang miskin. Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan globalisasi dengan aspekaspek positif dan negatifnya. Bagaimana sikap Anda? Bagaimana kalian membekali diri agar kelak menjadi subyek, bukan menjadi obyek dalam pembangunan ataupun kegiatan ekonomi nasional maupun global? Silakan rencanakan dengan baik mulai dari sekarang! 6. Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Pers pada Era Globalisasi Kehadiran media massa senantiasa menghadirkan kontradiksi. Di satu sisi menyediakan hal-hal positif seperti hiburan, informasi, dan IPTEK untuk memperluas wawasan. Dengan kata lain media massa baik yang elektronik maupun nonelektronik bisa memberikan informasi yang sehat dan mencerdaskan khalayak serta melakukan kontrol dan kritik yang konstruktif. Di sisi lain media massa elektronik dan nonelektronik dapat menghadirkan hal-hal negatif dengan tayangan yang menjurus pada sadisme, kekerasan, dan pornografi yang sering berdampak negatif pada perilaku pemirsa dan pembacanya. Adanya sifat kontradiksi dari media massa, di satu sisi berita-berita yang ditulis merupakan informasi yang aktual dan sangat diperlukan, bisa dibaca berulang-ulang dan dijadikan sumber tulisan, di sisi lain pemberitaannya sering menimbulkan keresahan dan berbau provokasi. Provokasi itu misalnya berupa penyalahgunaan media massa yang seharusnya independen dijadikan alat bagi kelompok tertentu sebagai ajang untuk menyudutkan kelompok lain sebagai lawan politik atau lawan dalam berkonflik. Dampak penyalahgunaan kebebasan media massa sangat berpengaruh dalam kehidupan kita, karena media massa cetak maupun elektronik senantiasa hadir di hadapan kita dan senantiasa dinantikan kehadirannya oleh pembaca atau pemirsa. Banyak perilaku yang ditampilkan cenderung merupakan hasil peniruan dari media massa, baik perilaku yang positif maupun negatif. Dalam kenyataannya ada kecenderungan perilaku negatif mudah terbentuk dalam diri kita dibandingkan perilaku positif. Misalnya, dorongan menjadi konsumerisme (boros) akibat menonton/membaca iklan di media massa lebih kuat dibandingkan dorongan untuk menjadi produktif. Contoh lain, ketika kita membaca media cetak atau melihat tayangan televisi dorongan untuk menikmati hiburan atau untuk bersantai lebih kuat dibandingkan untuk mencari inspirasi dan mengembangkan kreativitas. Memang itulah potensi media massa atau pers, yang bisa menjadi pedang bermata dua. Hal ini tampak pada pengakuan bahwa pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi, pembentuk opini publik, yang bisa menyuburkan gagasan beragam untuk membentuk masyarakat yang plural dan bersikap toleran, tetapi juga bisa menjadi sarana penyebar kebencian dan mempertajam perbedaan. Sebenarnya potensi pers di atas yang bersifat kontradiktif selalu ada di bidang apa saja. Namun dalam hal ini perlu direnungkan pendapat Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis, bahwa pers bebas bisa baik dan bisa pula buruk, namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka. Dengan demikian yang 272 diperlukan adalah bagaimana kebebasan pers tetap dikembangkan, namun pada saat yang sama mengurangi dampak negatifnya. Dampak positif dari kebebasan media massa melalui para jurnalisnya dapat dirasakan perannya dalam proses demokratisasi melalui laporan-laporannya. Media massa yang tercermin dari para jurnalis, berani melawan ancaman, tekanan dan sensor, meliput demonstrasi anti pemerintah dan mengekspos penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini sangat penting dalam menyebarluaskan gerakan prodemokrasi. Dampak negatif pers, terutama apabila film, pemberitaan/foto/cover dalam media massa menjurus pada pornografi dan jurnalistik premanisme, karena hal tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap pembaca atau pemirsanya, khususnya bagi mereka yang kurang dapat mengendalikan diri. Film, pemberitaan/foto/cover dan bentuk lain yang seperti apa yang digolongkan atau dikategorikan pornografi? Sesuatu dapat digolongkan pornografi jika memenuhi dua unsur. Pertama, penggambaran tingkah laku secara erotis dengan film, lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi. Kedua, bahan yang dibuat dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Adapun yang dapat dikategorikan sebagai "Pers Preman" seperti yang diajukan pengamat pers Zaini Abar atau ada yang memberikan istilah lain sebagai "Jurnalisme Preman" memiliki indikator sebagai berikut. (1) Bahan baku reportase adalah kegiatan preman yang menyimpang dari norma sosial. (2) Nilai berita yang dianut adalah yang mengandung konflik, sadisme, dan seks. (3) Angel dan gaya bahasanya bersifat vulgar, emosional, dan sensasional. (4) Sumber informasinya adalah aparat keamanan. (5) Berita yang disiarkan merangsang preman untuk melakukan kejahatan. Dalam upaya mengurangi dampak penyalahgunaan kebebasan media massa yang bersifat negatif, setiap warga negara perlu mengusulkan kepada pengelola media massa untuk senantiasa menaati etika pemberitaan dan normanorma moral. Misalnya ketika memuat berita tentang perkosaan agar bisa berdampak positif bagi khalayak, menurut Soothil & Walby, bila: (1) tidak terkesan sebagai selingan yang bersifat menghibur; (2) tidak menonjolkan peristiwa yang bersifat sensasional, dan (3) tidak bersifat merendahkan perempuan. Penulisan yang demikian, menunjukkan perhatiannya terhadap nilai-nilai moral. Dengan kata lain ketika media massa menyiarkan berita perkosaan, seharusnya berorientasi pada penyelamatan korban perkosaan, pengurangan kasus perkosaan, dan intimidasi terhadap penjahat seksual sehingga mengurangi frekuensi perkosaan. Penyalahgunaan kebebasan media massa dapat juga berupa pengadilan oleh pers (trial by press). Misalnya dengan memberitakan bahwa terdakwa yang sedang menjalani proses peradilan, benar-benar orang jahat, biadab, sadis, dan tidak berkemanusiaan. Pemberitaan yang demikian akan membentuk opini publik bahwa terdakwa tersebut memang patut mendapat hukuman yang berat. Padahal pengadilan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengadili masih dalam proses pencarian bukti-bukti tentang kebenaran dakwaan. Tetapi karena sudah menjadi opini publik bahwa terdakwa adalah bersalah, maka hal ini dapat menggiring atau mempengaruhi para hakim dalam mengambil keputusan. Kondisi 273 yang demikian akan mengganggu para hakim untuk mengambil keputusan yang independen, karena berada di bawah tekanan opini publik. Contoh kasus trial by press pernah terjadi di Inggris pada pertengahan Oktober 1995. Hakim Roger Sanders menghentikan proses penyidangan Geoffrey Knight, yang didakwa melakukan tindakan kekerasan terhadap Martin Davis. Menurut Sanders, pemberitaan media massa terhadap Knight terlalu berlebihan, sehingga dikhawatirkan bisa mempengaruhi juri. Sanders menganggap media massa Inggris "telah melanggar hukum, menyesatkan, membuat skandal, dan memberitakan dengan penuh dendam". Rangkuman Globalisasi dapat dilihat dari dua sisi, pertama sebagai ancaman dan kedua sebagai peluang. Sebagai ancaman, globalisasi lebih banyak berdampak negatif seperti merebaknya konsumerisme, materialisme, hedonisme, sekularisme, mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemewahan yang tidak semestinya, foya-foya, pergaulan bebas, budaya kekerasan, pornografi, pornoaksi, dan semacamnya. Sebagai peluang, globalisasi berdampak positif, misalnya budaya disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme, kompetisi, kerja keras, penghargaan terhadap orang lain, demokrasi, jujur, optimis, mandiri, taat aturan dan sebagainya. Dampak positif globalisasi di bidang politik antara lain pemerintahan dijalankan secara transparan, demokratis, dan bertanggung jawab. Dampak positif globalisasi di bidang ekonomi antara lain sebagai berikut: (i) makin terbukanya pasar internasional bagi hasil hasil produksi suatu negara, (ii) mendorong kita untuk memproduksi barang yang berkualitas tinggi, (iii) mendorong para pengusaha untuk meningkatkan efisiensi dan menghilangkan biaya tinggi, dan (iv) dimungkinkan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan devisa negara. Dampak positif globalisasi di bidang sosial budaya antara lain kita dapat mengambil pola pikir yang baik dari ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa lain yang telah maju untuk kemajuan dan kesejahteraan kita. Nilai-nilai yang baik tersebut misalnya, etos kerja yang tinggi, disiplin, memiliki jiwa kemandirian yang kuat, suka membaca, meneliti dan menulis, rasional, sportif, biasa bekerja secara terprogram, dan sebagainya. Aspek negatif globalisasi dalam bidang sosial budaya antara lain sebagi berikut: (i) semakin ketatnya persaingan antarindividu, yang dapat membuat orang semakin individualis, (ii) munculnya sifat hedonisme, yakni ingin menikmati sepuas-puasnya kenikmatan duniawi yang dampaknya akan bekembang pola hidup konsumerisme dan materialisme, (iii) sifat individualisme yang berlebihan berdampak semakin menipisnya sifat kekeluargaan, dan (iv) kesenjangan yang semakin tajam antara kelompok kaya dan miskin. Latihan a. Tugas Individual (1) Apa saja dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi di bidang ekonomi bagi Indonesia? (2) Apa saja dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi di bidang politik bagi Indonesia? (3) Apa saja dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi di bidang sosial budaya bagi Indonesia? 274 (4) Apa saja dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi di bidang hankam bagi Indonesia? (5) Jelaskan menurutmu, apa saja yang harus dilakukan Indonesia untuk menghadapi globalisasi tersebut! (6) Apa saja sisi positif dan sisi negatif dari globalisasi bagi bangsa Indonesia? (7) Jelaskan bahwa globalisasi itu merupakan tantangan tetapi sesungguhnya juga merupakan peluang bagi bangsa Indonesia! (8) Jelaskan mengapa kemampuan untuk berkompetisi di segala bidang bagi suatu bangsa sangat penting pada era globalisasi sekarang ini! b. Tugas Kelompok Diskusikan dengan teman dan gurumu tentang bagaimana sebaiknya posisi yang harus diambil bangsa Indonesia agar dapat mengambil keuntungan serta menghindari kerugian yang diakibatkan oleh globalisasi! D. Menyikapi Dampak Globalisasi 1. Menyikapi Derasnya Arus Informasi dari negara Maju Kini dunia ini seolah tanpa memiliki lagi batas-batas wilayah. Di belahan dunia yang satu seseorang dapat dengan mudah dan jelasnya berbicara lewat telepon atau satelit dengan seseorang yang tengah berada di belahan dunia yang lain. Kita bisa menyaksikan Olimpiade Atlanta di kota Atlanta Amerika Serikat dari Indonesia lewat satelit, seperti siaran langsung TV, tanpa ada perbedaan waktu dan wilayah, persis seperti yang bisa disaksikan oleh orang-orang di tempat kejadian. Kita juga bisa berbicara lewat tulisan melalui internet, yang berarti tanpa ada sensor dari tangan siapapun. Dengan alat canggih tersebut, keglamouran dan kebebasan berlebihan yang terjadi di Hollywood Amerika Serikat detik itu juga bisa kita saksikan di Indonesia dalam waktu yang bersamaan. Begitu juga penderitaan yang terjadi di Etiopia detik itu juga bisa kita saksikan di sini, jika kejadian itu disiarkan secara langsung melalui satelit. Dalam era globalisasi terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transportasi dan informasi hasil modernisasi teknologi tersebut. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling dipengaruhi (dicaplok) dan mempengaruhi (mencaplok). Sebagai contoh, dengan antena parabola dan berlangganan Indovision (TV berlangganan), maka kita bisa menghadirkan dunia ke kamar kita melalui TV. Kita akan menerima suguhan berita, adegan, peristiwa, dan semacamnya yang tidak mungkin bisa kita saksikan secara langsung. Dari sekian banyak jenis dan dari sekian banyak negara dan budaya yang bermacam-macam, kita dipaksa menyaksikan hal-hal tersebut. Sudah barang tentu akan terjadi gesekan, tabrakan, dan kompetisi nilai budaya dan semacamnya. Contoh tersebut bisa dipersempit. Bagaimana dan apa yang terjadi jika kita menyaksikan semua acara yang ada di TV (jika perlu seluruh saluran), sejak kita bangun tidur hingga tidur kembali. Itulah contoh kecil globalisasi. Jika kita pergi ke mall atau pusat perbelanjaan, mode pakaian serta makanan, adalah contoh lain dari dampak globalisasi. Kita akan sulit sekali untuk menyaksikan orang Jawa memakai blangkon, dan ibu-ibu memakai kebaya, kecuali mereka sedang menjadi penerima 275 tamu dalam acara perkawinan. Dari sekian contoh tersebut, yang paling menonjol adalah nilai dan peran materialisme. Hampir semuanya akan diukur dengan seberapa tebal kantong kita, ketika kita berada di situasi seperti itu. Masa depan kita ditandai oleh banjir informasi dan perubahan yang amat cepat dikarenakan masyarakat dunia terekpos oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi, sehingga menuntut kesiapan kita untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Kita harus mampu menghadapi masyarakat yang dilandasi oleh banjir informasi. 2. Menyikapi Derasnya Informasi Masuk Indonesia Pada saat Indonesia memutuskan untuk memiliki sistem komunkasi satelit domestik Palapa di tahun 1974, sebenarnya Indonesia telah siap memasuki era globalisasi. Apalagi dengan hadirnya satelit Palapa, Indonesia segera mengadopsi kebijakan angkasa terbuka. Tidaklah mengherankan, apabila kemudian, siaran TV negara Malaysia, Singapura dan Filipina dapat diterima oleh masyarakat di tempat-tempat tertentu di Indonesia. Pada saat itu orang mulai membandingkan antara siaran TVRI dengan TV asing. Apalagi setelah pemilikan parabola diizinkan kesempatan untuk menikmati TV asing menjadi sangat terbuka. Dengan diizinkannya TV swasta nasional beroperasi, maka kemudahan untuk menikmati tayangan asing lewat TV domestik juga menjadi terbuka. Proses globalisasi melalui siaran TV membuka peluang bagi masyarakat Indonesia untuk menyaksikan, mengetahui dan menikmati apa yang disajikan bagi masyarakat dunia oleh pemasok tayangan TV yang terbesar yakni Amerika Serikat. Intensitas dan frekuensi penyaksian tayangan asing yang tinggi memungkinkan terjadinya proses sosialisasi nilai-nilai melalui internalisasi, pemilihan, dan adopsi nilai-nilai tersebut. 1. Menyikapi Globalisasi sebagai Tantangan bagi Indonesia Dengan alat komunikasi seperti TV, parabola, telepon, VCD, DVD dan internet kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan parabola dan internet, kita dapat menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur kita. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Anak-anak kita dapat terpengaruh oleh segala macam film karton dan film-film yang tidak seharusnya dilihat. Kita dapat dengan mudah terpengaruh oleh gaya hidup seperti yang terjadi di sinetron. Kita juga harus mengakui bahwa di TV juga ditayangkan program-program mimbar agama, ceramah, diskusi dan berita yang mengandung nilai-nilai positif, bahkan juga agamis. Namun biasanya hal-hal yang seronok, porno, aneh dan lucu, bandel, justru lebih berkesan dibandingkan dengan hal-hal yang datar, serius, dan penuh nilai etika atau agama. Adegan kekerasan akan lebih berkesan di benak anak-anak dibandingkan dengan petuah agama. Di kalangan tertentu ada anggota masyarakat yang merasa naik gengsinya jika mengikuti gaya hidup global. Untuk kalangan seperti ini, globalisasi merupakan gaya hidup, yang berarti mentalitasnya sudah terasuki oleh gaya hidup global. Sebagai contoh, ada gaya pergaulan kelompok menengah, kelompok ABG gedongan, kelompok eksekutif, kelompok anak muda sukses, kelompok anak orang kaya, dan masih banyak lagi kelompok yang dibangun atas dasar gengsi. Biasanya kelompok ini mempunyai gaya tersendiri dalam mendefinisikan 276 keperluan sehari-hari. Kemana harus menonton, kemana harus jalan-jalan, kemana harus makan dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini , banyak ancaman budaya berupa kebebasan yang datang dari dunia Barat. Ketika kebebasan itu berlebihan, maka nilai-nilai dan norma budaya lokal serta nasional, terlebih lagi nilai agama, akan terancam olehnya. Tentu kebebasan di sini bukan dalam pengertian positif, seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat demi kontrol sosial, dan sejenisnya. Namun, kebebasan yang menjurus pada kepuasan lahiriah, egoisme, dan hedonisme. Akibat negatif dari kebebasan seperti inilah yang kemudian berupa kebebasan penyalahgunaan narkoba, kebebasan seks, kebebasan makan minum barang haram, dan sejenisnya. 2. Menyikapi Globalisasi sebagai Peluang bagi Indonesia Di pihak lain, globalisasi memberi pengaruh yang positif terhadap hal-hal, nilai-nilai, dan praktik kehidupan sehingga menjadi peluang bagi bangsa Indonesia untuk menyerapnya. Hal-hal yang diserap hendaknya yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal atau nasional, terutama sekali nilai-nilai agama. Dengan demikian, bagaimana agar nilai-nilai positif yang ada di Barat atau bahkan di belahan negara lain, dapat masuk ke Indonesia dan dapat dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat kita. Adapun budaya positif tersebut misalnya, budaya disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme, kompetisi, kerja keras, menghargai waktu, menghargai orang lain, terpanggil untuk membantu orang lain yang membutuhkan bantuan, demokrasi, dan sebagainya. Di sinilah seharusnya agama dan Pancasila mampu memberi bimbingan ke arah yang terang. Katakankah meniru Barat dalam hal-hal yang positif, dan membuang budaya Barat maupun budaya sendiri yang negatif. 5. Menyikapi Kerasnya Kompetisi di Era Globalisasi Kompetisi adalah kata kunci dalam globalisasi. Ketika kompetisi berkaitan dengan nilai budaya, maka persiapan mentalitas bangsa menjadi sangat penting. Kompetisi juga akan melanda pada kemampuan dan prestasi sumber daya manusia (SDM). Jika selama ini sebelum globalisasi, tuntutan kompetisi kurang mengemuka, maka kini akan sangat menonjol. Bahkan kompetisi bukan hanya tahap lokal atau negara, akan tetapi akan mengglobal, mendunia. Jika selama ini sebuah negara akan dengan mudah membuat aturan main yang dapat dijadikan sebagai perisai untuk mencegah serangan kompetisi dari luar, maka kini sudah tidak dapat lagi. Kalau dulu para ahli dengan SDM yang hebat dapat dibatasi, kini hal tersebut sudah tidak dapat dilakukan lagi. Oleh karena itu dalam menghadapi kompetisi, yang harus dilakukan adalah persiapan diri, meliputi kesiapan mental untuk berkompetisi dalam hal berprestasi. Dalam waktu bersamaan, juga harus ada persiapan untuk kemampuan, yaitu SDM yang mampu dan sanggup berkompetisi, meliputi segala aspek seperti perdagangan, profesional, pelayanan atau jasa. Perdagangan bebas sudah dicanangkan di Asia Tenggara, kita kenal AFTA, yang mulai tahun 2003 telah berlaku. Dalam hal SDM, termasuk penyediaan tenaga profesional, juga terjadi kompetisi bebas. Kalau dulu Indonesia dapat mencegah 277 tenaga dari luar dan memberi prioritas penuh kepada tenaga dari dalam negeri sendiri, kini hal itu sudah tidak mudah lagi dilakukan. 6. Beberapa Sisi Kelemahan globalisasi Berikut ini dikemukakan beberapa sisi kelemahan globalisasi. (1) Batas-batas politik antarnegara menjadi semakin kabur. (2) Batas-batas ekonomi antarnegara menjadi tidak jelas. (3) Hubungan antarnegara menjadi semakin transparan. (4) Pasar bebas, hanya menguntungkan negara maju, karena telah siap berkompetisi. (5) Jati diri suatu bangsa menjadi terancam. 7. Menyikapi Sisi Positif Globalisasi Berikut ini dikemukakan sisi positif globalisasi. (1) Hubungan antarnegara menjadi sangat lancar karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. (2) Pasar bebas menjadi tak terelakkan. (3) Pertukaran informasi antarnegara sangat lancar. (4) Harga barang menjadi lebih murah karena persaingan yang ketat. (5) Produktivitas barang menjadi tinggi. (6) Efisiensi menjadi tinggi. 8. Menyikapi Globalisasi dengan Filter Pancasila Di era globalisasi ini pergesekan dan saling mempengaruhi antarnilai-nilai budaya tidak bisa dihindarkan. Untuk itu, bangsa Indonesia bukan saja harus mampu bertahan, namun juga harus mampu berperan aktif. Peran bertahan ada kemungkinan akan menimbulkan isolasi, ketertutupan dan inferiority, peran aktif (usaha mempengaruhi) akan menghasilkan keterbukaan dan superiority. Setidaknya kemungkinan ketiga, yaitu akomodatif, yakni penyesuaian dan penerimaan akan hal-hal yang datang dari luar sejauh bisa ditolerir. Oleh karna itu, persiapan intern baik tentang pemahaman maupun sikap dan mentalitas bangsa harus dibenahi terlebih dahulu. Bangsa Indonesia hendaknya mampu menyelamatkan bangsanya dari dampak negatif globalisasi. Lebih lanjut bagaimana Indonesia dengan Pancasilanya tidak saja mampu memberi perisai terhadap manusia Indonesia dalam era globalisasi, namun juga mampu berperan aktif dan mampu pula menciptakan dan mendorong bangsanya untuk berperan aktif, bukan menciptakan bangsa yang mengisolir diri dari era globalisasi. Pergaulan global sudah tidak dapat dihindari lagi oleh seseorang ataupun suatu bangsa, kecuali ia sengaja mengurung diri dengan menjauhi interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Ketika seseorang masih membaca koran, menonton TV, menggunakan alat komunikasi, apalagi internet, ia akan tetap terperangkap dalam proses dan model pergaulan global. Istilah globalisasi yang sangat populer itu, dapat berarti alat dan dapat pula berarti ideologi. Alat merupakan wujud keberhasilan ilmu dan teknologi, terutama sekali di bidang komunikasi. Ketika globalisasi berarti alat, maka globalisasi sangat netral. Artinya, ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal positif, ketika dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Sebaliknya, ia dapat berakibat negatif, 278 ketika hanyut ke dalam hal-hal negatif. Dengan demikian, globalisasi akan tergantung pada siapa yang menggunakannya dan untuk keperluan serta tujuan apa digunakan. Jadi, sebagai alat dapat bermanfaat dan dapat pula mengakibatkan bencana. Terobosan teknologi informasi dapat dijadikan alat untuk hal-hal positif, dalam waktu bersamaan dapat pula menjadi penyebab hal-hal negatif. Ketika globalisasi sebagai ideologi, sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Sebab, tidak sedikit akan terjadi benturan nilai, antara nilai yang dianggap sebagai ideologi globalisasi dan nilai nilai yang dianut oleh suatu bangsa. 9. Kiat Indonesia Menghadapi Globalisasi Pengaruh globalisasi yang semakin kuat perlu disikapi dengan mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan yang diarahkan untuk tetap berada pada koridor pencapaian tujuan nasional sebagai wujud Indonesia baru. Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia mutlak harus dipertahankan dan diimplementasikan secara benar. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai semua aspek kehidupan bangsa, sehingga tetap pada arah yang ditetapkan dalam rangka mencapai tujuan nasional.. Di bidang politik, Indonesia harus melakukan proses demokrasi yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Demokrasi di Indonesia hendaknya diarahkan pada pemerintahan yang dibentuk oleh rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, dan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Di bidang ekonomi, bangsa Indonesia perlu melaksanakan pasal 33 UUD 1945 dengan membangun kerja sama pelaku ekonomi yang terdiri dari badan usaha koperasi, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik swasta. Daerah harus diberdayakan agar mampu menghasilkan produk-produk unggulan daerah yang dapat diangkat menjadi produk unggulan nasional. Dengan demikian daya saing bangsa yang sangat diperlukan dalam era pasar bebas dapat tercipta. Di bidang sosal budaya , bangsa Indonesia harus mampu mempertahankan nilai-nilai dasar budaya bangsa sebagaimana termuat dalam Pancasila. Pengembangan sumber daya manusia berkualitas sangat penting untuk mengejar ketertinggalan dengan negara maju. 10. Sikap Selektif terhadap Pengaruh Globalisasi Bidang Ekonomi a. Dampak Globalisasi Ekonomi Tujuan utama globalisasi ekonomi adalah liberalisasi ekonomi serta perdagangan bebas. Dengan liberalisasi ekonomi, mereka dapat menguasai bahkan menjarah berbagai aset dan sumber daya dunia untuk kepentingan mereka. Alat yang dipergunakan untuk menguasai aset negara berkembang antara lain perusahaan multinasional, lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia), serta berbagai perjanjian multilateral. Dampaknya kebanyakan negara miskin akan menjadi semakin tergantung pada negara maju. Sumber-sumber alam negara miskin semakin jatuh dan dikuasai oleh kapitalis-kapitalis dari negara kaya. Adapun bentuk-bentuk intervensi yang biasa dilakukan negara maju terhadap negara berkembang sebagai berikut: (i) peran pemerintah dalam ekonomi harus diminimalisir, karena dianggap mendistorsi pasar, (ii) privatisasi BUMN, (iii) 279 penghapusan berbagai bentuk proteksi terhadap produksi barang, (iv) mempermudah masuknya investasi asing, dan (v) penghapusan berbagai subsidi. Dalam rangka mengatasi krisis ekonomi dan moneter 1997/1998 Indonesia mengundang IMF sebagai konsultan dan pemberi kredit. Indonesia telah menjalankan semua program yang dibuat oleh IMF bahkan telah menyetujui paket hutang luar negeri yang jumlahnya sangat besar. Akan tetapi apa yang disarankan ternyata tidak terbukti. Bahkan sebaliknya yang terjadi justru pengangguran semakin meningkat, harga-harga naik, pajak naik, BBM naik, subsidi orang miskin dihapus, negara semakin tidak melayani rakyat karena BUMN diswastakan, sementara hutang menumpuk. Pelajaran yang dapat diambil adalah kita harus selektif dalam menaggapi isu dunia. Sebagai bangsa kita harus berani menentukan sikap, dan menjatuhkan pilihan yang cerdas dan tepat dalam menghadapi arus globalisasi ekonomi yang begitu dahsyat. Beberapa kiat dalam menghadapi arus globalisasi ekonomi antara lain sebagai berikut. (1) Industrialisasi harus berdasarkan ketersediaan bahan baku setempat. (2) Pertanian dijadikan prioritas, karena bangsa ini adalah bangsa agraris yang memiliki wilayah luas dan cukup subur. (3) Jangan mengadopsi sistem pasar bebas secara penuh, mengingat kesiapan kita masih minim. (4) Memilih sisitem ekonomi yang mendahulukan sektor domestik. (5) Mengembangkan ekonomi kerakyatan, mengutamakan kesejahteraan rakyat. (6) Tidak boleh terlalu tergantung pada hutang luar negeri. (7) Menjalin kerja sama dengan sesama negara berkembang dengan semangat saling menguntungkan. b. Ekonomi Pancasila Sebagai Solusi Sistem ekonomi Pancasila ditopang oleh lima pilar yang membentuk satu kesatuan sistem yang bersifat holistik. Sila Ketuhanan dan Kemanusiaan adalah dasar (landasan) sistemnya, sila Persatuan dan Kerakyatan merupakan cara (operasionalisasinya), dan sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia merupakan tujuan yang hendak dicapainya. Mengacu pada rumusan ekonomi Pancasila yang dikemukakan Prof. Mubyarto dapat dikemukakan bahwa pilar sistem ekonomi Pancasila meliputi ekonomika etik dan ekonomika humanistic (dasar), nasionalisme ekonomi dan demokrasi ekonomi (cara/metode operasionalisasi), dan ekonomi berkeadilan sosial (sebagai tujuan). Berikut lima pilar ekonomi Pancasila tersebut. (1) Ekonomika Etik (Ketuhanan) Pilar pertama Sistem Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Pada awalnya para pendiri negara kita merumuskan politik kemakmuran , keadilan sosial, dan pembangunan karakter bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu artinya pembangunan ekonomi harus seiring dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antarsesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. (2) Ekonomika Humanistik (Kemanusiaan) 280 Ekonomika humanistik berfungsi sebagai dasar ekonomi yang memperjuangkan pemerataan dan moral kemanusiaan melalui upaya-upaya pemerataan pendapatan, aset, dan kekayaan. Hal ini ditempuh melalui optimalisasi penarikan dan penyaluran zakat dan pajak, serta redistribusi pendapatan lainnya. (3) Nasionalisme Ekonomi Di era globalisasi ini dibutuhkan ekonomi nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk peningkatan martabat dan kemandirian bangsa. Oleh karena itu, perhatian harus dipusatkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. (4) Demokrasi Ekonomi (Kerakyatan) Secara garis besar sasaran pokok demokrasi ekonomi meliputi penciptaan lapangan kerja, terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi penduduk miskin, pemerataan modal, terselenggaranya pendidikan murah (gratis), dan kesempatan mendirikan serikat-serikat ekonomi. (5) Ekonomi Berkeadilan Sosial Tujuan keadilan sosial mencakup keadilan antarwilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Pengalaman pahit sentralisasi politik ekonomi Orde Baru dapat dijadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi negara kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivitas ekonomi oleh pemerintah pusat. 11. Sikap Selektif terhadap Pengaruh Globalisasi Bidang Politik Isu yang menonjol dalam bidang ini adalah hak asasi manusia, demokrasi, dan keterbukaan. Akan tetapi ketiga hal tersebut sebenarnya bersifat relatif serta ukurannya tidak terlalu jelas. Yang ada selama ini adalah ukuran yang dibuat oleh negara maju khususnya Amerika serikat maupun negara-negara Eropa Barat pada umumnya. Oleh karena itu, masalah ini sering dimanipulasi dan dibelokkan menurut kemauan dan kepentingan mereka. Hak asasi manusia sebenarnya punya sifat universal, akan tetapi pengertian, kriteria, maupun implementasinya di lapangan belum ada persamaan dan kesepakatan. Selama ini penafsirannya didominasi oleh Amerika Serikat. Pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh suatu negara bisa dibiarkan saja oleh Amerika Serikat karena kebetulan ia sahabat dan menguntungkan kepentingannya. Akan tetapi kalau dianggap merugikan kepentingannya, negara tersebut akan diberi sanksi yang keras. Indonesia misalnya diembargo senjata akibat kasus Timor Timur. Bahkan lewat resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1316 akan dijatuhi sanksi ekonomi apabila tidak dapat menyelesaikan kasus Atambua dengan baik. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju di dunia ini terlanjur terbentuk opini, bahwa sistem pemerintahan terbaik dan diterima bangsa-bangsa di dunia ini adalah demokrasi. Akan tetapi demokrasi sendiri sebenarnya memiliki banyak ragam. Sebenarnya demokrasi memiliki nilai universal sebagaimana HAM, namun sering disesuaikan dengan nilai-nilai lokal, sehingga ada Demokrasi 281 Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Liberal, Demokrasi Rakyat yang semua itu kadang-kadang menghilangkan nilai dasar demokrasi. Selama ini yang dianggap baik adalah demokrasi ala Amerika Serikat, padahal mereka sering diskriminatif dan subyektif. Irak diserang dengan dalih pemerintahannya tidak demokratis. Kuba dijatuhi sanksi ekonomi karena dituduh tidak demokratis. Keterbukaan adalah salah satu isu internasional yang dihembuskan oleh negara maju. Akan tetapi, sampai saat ini konsep keterbukaan juga tidak jelas. Ukuran yang dipakai selama ini menurut kacamata Amerika Serikat dan para sekutunya. Mereka mengkampanyekan konsep ―keterbukaan‖ ke seluruh penjuru dunia lewat media massa maupun saluran diplomatik. Memang harus diakui isu keterbukaan ini mendorong negara-negara yang dulu pemerintahnya otoriter menjadi semakin demokratis dan terbuka kepada rakyatnya. 12. Sikap Selektif terhadap Pengaruh Globalisasi Bidang Sosial Budaya Gaya hidup yang materialis, hedonis, individualis dan sekuler, yang tidak sesuai dengan norma timur (norma Indonesia) sebaiknya dihindari. Salah satu ciri globalisasi adalah segala sesuatu dengan cepat bisa mendunia. Tentu saja yang baik kita ambil sedangkan yang buruk harus kita hindari. Sayangnya kebanyakan orang menganggap segala sesuatu yang datang dari negara maju dianggap moderen dan baik untuk ditiru. Apalagi begitu gencarnya negara maju mempengaruhi negaranegara berkembang, lewat media seperti televisi, dan internet. Di sinilah perlunya kecerdasan anak bangsa dalam memilih dan memilah mana yang baik dan yang sampah. Tentu saja ukurannya adalah agama masing-masing, Pancasila, budaya, norma masyarakat dan sebagainya. 13. Sikap Selektif terhadap Pengaruh globalisasi Bidang Hankam Isu yang sedang marak yang dikampanyekan negara maju khususnya Amerika Serikat di bidang pertahanan dan keamanan dewasa ini adalah tentang terorisme. Sementara itu belum ada kesamaan persepsi mengenai definisi terorisme, antara negara yang satu dengan negara yang lain. Bahkan ketika sebuah negara menuduh kelompok tertentu sebagai teroris, kelompok itu justru menuduh balik bahwa negara yang menuduh tadi adalah teroris sejati. Oleh karena itu, perlu dirumuskan bersama pengertian terorisme agar ada kesamaan persepsi. Adanya persamaan persepsi akan menghilangkan perasaan saling curiga, saling tuduh dan sejenisnya. Jangan sampai terjadi bila suatu negara ada gerakan yang kebetulan merugikan kepentingan Amerika Serikat, dengan mudahnya gerakan tersebut dituduh sebagai terorisme. Bila pemerintah suatu negara tidak bertindak sesuai dengan keinginannya, maka akan dengan mudah dianggap melindungi terorisme yang akibatnya bisa diberi sanksi atau bahkan dapat diserang. Dalam hal ini kita perlu bertindak cerdas dan bijaksana. Jangan sampai hanya karena ingin menyenangkan mereka, tetapi justru kita korbankan kepentingan rakyat sendiri. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan sesama negara yang selama ini merasa dirugikan dengan isu tersebut, untuk berjuang bersama menyamakan persepsi tentang terorisme, serta langkah-langkah yang harus diambil. 282 Rangkuman Dewasa ini telah terjadi banjir informasi dari negara maju ke negara berkembang, sehingga menuntut kesiapan kita untuk mengambil hal-hal positif dan membuang hal-hal negatif. Melalui siaran TV terbuka peluang bagi masyarakat Indonesia untuk menyaksikan, mengetahui dan menikmati apa yang disajikan bagi masyarakat dunia oleh pemasok tayangan TV terbesar yakni Amerika Serikat. Intensitas dan frekuensi tayangan asing yang tinggi memungkinkan terjadinya proses sosialisasi nilai-nilai asing yang masuk ke Indonesia. Kondisi saat ini, banyak ancaman budaya berupa kebebasan yang datang dari dunia Barat. Ketika kebebasan itu berlebihan, nilai-nilai dan norma budaya lokal serta nasional, terlebih lagi nilai agama, akan terancam olehnya. Tentu kebebasan disini bukan dalam pengertian positif, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat demi kontrol sosial, dan sejenisnya. Namun, kebebasan yang menjurus pada kepuasan lahiriah, egoisme, dan hedonisme. Akibat negatif dari kebebasan seperti inilah yang kemudian berupa kebebasan penyalah gunaan narkoba, kebebasan seks, kebebasan makan minum barang haram, dan sejenisnya. Di pihak lain, globalisasi menjadi peluang bagi bangsa Indonesia untuk menyerapnya jika memberi pengaruh pada hal-hal, nilai-nilai dan praktik kehidupan yang positif. Dengan demikian, bagaimana agar nilai-nilai positif yang ada di Barat atau bahkan di belahan negara lain, dapat masuk ke Indonesia dan dapat dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat kita. Beberapa sisi kelemahan globalisasi sebagai berikut: (i) batas-batas politik antarnegara menjadi semakin kabur, (ii) batas-batas ekonomi antarnegara menjadi tidak jelas, (iii) hubungan antarnegara menjadi semakin transparan, (iv) pasar bebas hanya menguntungkan negara maju karena telah siap berkompetisi, (v) jati diri suatu bangsa menjadi terancam. Beberapa sisi positif globalisasi sebagai berikut: (i) hubungan antarnegara menjadi sangat lancar karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, (ii) pasar bebas menjadi tak terelakkan, (iii) pertukaran informasi antarnegara sangat lancar, (iv) harga barang menjadi lebih murah karena persaingan yang ketat, (v) produktivitas barang menjadi tinggi, dan (vi) efisiensi menjadi tinggi. Di era globalisasi ini pergesekan dan saling mempengaruhi antarnilai-nilai budaya tidak bisa dihindarkan. Untuk itu, bangsa Indonesia bukan saja harus mampu bertahan, namun juga harus mampu berperan aktif. Peran ―bertahan‖ ada kemungkinan akan menimbulkan isolasi, ketertutupan dan inferiority, peran ―aktif‖ (usaha mempengaruhi) akan menghasilkan keterbukaan dan superiority. Setidaknya kemungkinan ketiga, yaitu akomodatif, yakni penyesuaian dan penerimaan akan hal-hal yang datang dari luar. Gaya hidup yang materialis, hedonis, individualis dan sekuler, yang tidak sesuai dengan norma timur (norma Indonesia) sebaiknya dihindari Latihan a. Tugas Individual (1) Mengapa bisa terjadi banjir informasi di tingkat dunia maupun di Indonesia? 283 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) Bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi dahsyatnya banjir informasi tersebut? Apa sesungguhnya peran agama, Pancasila, dan norma-norma ketimuran yang kita anggap baik terhadap globalisasi? Jelaskan yang dimaksud globalisasi sebagai peluang! Jelaskan yang dimaksud globalisasi sebagai tantangan! Menurutmu bagaimana kesiapan Indonesia dalam menghadapi globalisasi bidang ekonomi? Jelaskan apa saja kiat-kiat yang sebaiknya dipersiapkan Indonesia dalam menghadapi globalisasi agar tidak terlalu jauh tertinggal! Mengapa kita harus selektif dalam memilih informasi pada era globalisasi seperti dewasa ini? Dampak apa yang ditimbulkan bila bangsa Indonesia membiarkan begitu saja masuknya semua budaya dan informasi dari mana saja tanpa seleksi? Dalam melakukan seleksi masuknya budaya asing, rambu-rambu apa saja yang harus digunakan bangsa Indonesia? Mengapa negara-negara berkembang tidak berdaya menghadapi dahsyatnya globalisasi? Jelaskan mengapa pendidikan dan peningkatan kualitas SDM sangat penting pada era globalisasi! Globalisasi yang sekarang sedang berproses, dalam perkembangannya kini menimbulkan pro dan kontra di dunia. Jelaskan alasan mereka masing-masing menurut pendapatmu! Mengapa liberalisasi ekonomi sulit berlaku di negara yang berpaham komunis? Apa hubungan revolusi industri dengan globalisasi? b. Tugas Kelompok Diskusikan dengan temanmu jika kesulitan bertanyalah pada Bapak/Ibu guru dan hasilnya presentasikan di depan kelas! (1) Mengapa kita harus selektif dalam memilih informasi pada era globalisasi seperti dewasa ini. (2) Dampak apa yang ditimbulkan bila bangsa Indonesia membiarkan begitu saja masuknya semua budaya dan informasi dari mana saja tanpa seleksi. (3) Dalam melakukan seleksi masuknya budaya asing, rambu-rambu apa saja yang harus digunakan bangsa Indonesia. 284 DAFTAR PUSTAKA Amin Abdullah. 2003. Masyarakat Madani Peran Keulamaan dan Umat Beragama Masa Kini (Makalah Simposium Internasional), UGM, Yogyakarta. Astrid S. Susanto. 1995. Globalisasi dan Komunikasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakkan Hukum. Bandung: Mandar Maju. Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Bahar, Saafroedin. 1996. Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka SinarHarapan. Bahar, Saafroedin. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Bahar, Saafroedin.1997. Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas HAM dan Jajaran Hankam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Bonnie Setiawan. 2001. Menggugat Globalisasi. Jakarta: INFID ( International NGO Forum on Indonesia Development) dan dan IGJ (Intstitut for Global Justice). Branson, Margaret S., dkk. (1999). Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta Kerja sama LKIS dan Asia Foundation. Center for Civic Education (1994). National Standars for Civic and Government. Calabasas USA. Cholisin, 1999, Modul 3: Hubungan Warga Negara dengan Negara, Universitas Terbuka, Jakarta. Cholisin, 2000, Ilmu Kewarganegaraan, Laboratorium PPKN, Fakultas ilmu Sosial UNY, Yogyakarta. Edy Suandi Hamid dkk. 2000. Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium II. Yogyakarta: UII Press. Fakih Mansoer dkk.2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Insist Press. http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_politik http://www.ditjen-otda.go.id/otonomi/detail_berita.php?id=27 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_9.htm http:/id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_daerah Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi. 1996. Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Indria Samego. 1998. Menuju Perubahan UU Politik dan Demokrasi (Sebuah Pengantar). Bandung: Mizan. Ishadi, S.K. 2001. “Sumbangan Media Massa Elektronik Menuju Indonesia Baru‖, dalam P. Swantoro. 2001. Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta: Penerbit Kantaprawira, Rusadi. 2002. Sistem Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Kep. Dirjen, Dikti No.267/Dikti/Kep/2000, Tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Khor, Martin. 2003. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 285 Kuntjoro Purbopranoto. 1982. Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: Pradnya Paramita. Kus Eddy Sartono dkk. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan Buku Pegangan Kuliah. UPT MKU UNY. Kwik Kian Gie. 2003. Membangun Kemandirian Ekonomi Bangsa di Tengah Derasnya Kapitalisme Global. Yogyakarta: Makalah seminar Nasional UPN Veteran. Leac Levin dkk. 1987. Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pradnya Paramita Lubis, T. Mulya. 1987. Hak Asasi Manusia dan Pembangunan. Jakarta: YLBHI. Malian, S. dan S. Marjuki (editor). 2003. Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. UII Press: Yogyakarta. Manan, Bagir. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press. Mansoer, Hamdan (Pnyt). 2002. Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan Bagian I. Jakarta: Depdiknas. Mansyur Effendi. 1997. Membangun Kesadaran HAM dalam Praktik Masyarakat Modern, dalam Jurnal Dinamika HAM. Jakarta: PUSPHAM Universitas Surabaya Bekerja Sama dengan Gramedia Pustaka Utama. Miriam Budiardjo. 2003. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Muchson, (2003). Pendidikan Kewaranegaraan Paradigma Baru. Makalah seminar 29 Maret 2003 UNS Surakarta. Muis, A. 2001. "Perkembangan Kehidupan Pers Era Reformasi", dalam P. Swantoro. Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang:Undip. Mulyana W. Kusuma. 1981. Hukum dan Hak Asasi Manusia: Suatu Pemahaman Kritis. Bandung: Alumni. Mustafa, Bachsan. 1987. Hukum Pers Pancasila. Bandung: Penerbit Alumni. Naisbitt, John dan Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000: Ten New Directions for the 1990‟s. New York: Avon Books. Nickel, James W. 1996. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nurudin. 2003. Pers dalam Lipatan Kekuasaan. Malang: UMM Press. Panuju, Redi. 2002. Relasi Kuasa Negara, Media Massa dan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pasha, Musthafa Kamal. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri. Pigay BIK, Decki Natalis. 2001. Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Poerbopranoto, Koentjoro. 1978. Sistem Pemerintahan Demokrasi. Bandung: Eresco. PPM UII. 1997. Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana bekerja sama dengan PPM UII. Print, Murray et al (1999). Civic Education for Civil Society. London: Asian Academic Press. Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan. Puskur. Balitbang. Diknas. Jakarta. Qodri Azizy. 2003. Melawan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ramlan Surbakti, 1999, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. Romli, Asep Syamsul M. 2001. Jurnalistik Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. 286 Said, Tribuana. 1988. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: Masagung. Sanit, Arbi. 2002. Sistem Politik Indonesia. Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan. Jakarta:Raja Grafindo Persada. Sarwoto Mulyosudarmo (2004). Pembaharuan Ketatanegaraan Indonesia Melalui Perubahan Konstitusi. Siregar, Amir Effendi. 1983. Pers Mahaiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: Karya Unipress. Soegito, A T. 2005. Hak dan Kewajiban Warga negara (Makalah Suscados PKn Desember 2005 di Jakarta). Jakarta: Dikti Soemarsono, S. dan H. Mansyur. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Soemiarno, S. 2005. Hak Asasi Manusia. Makalah yang disampaikan dalam Kursus Calon Dosen Kewarganegaraan Angkatan I , 12 – 23 Desember 2005. Dirjen Dikti Depdiknas, Jakarta. Sukarno. 1990. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Mandar Maju. Surbakti, Ramlan. 1984. Perbadingan Sistem Politik. Surabaya: Mecphiso Grafika. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Syafi‘i, Inu Kencana. 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika. Syarbani, Syahrial. 2002. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi Edisi Revisi, Jakarta: Ghalia Indonesia. Trijono, Lambang. 2001. Keluar dari Kemelut Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Udin Saripudin Winataputra. 2002. Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi. (dalam Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan). Jakarta: Dirjend Dikti Diknas. Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 2003. Bandung: Citra Umbara. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 1999:Harvarindo. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umum. Jakarta:Harvarindo. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta: Media Pressindo, 2000. Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi manusia. Jakarta: Sinar Grafika. Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sinar Grafika. Urofsky, Malvin I., dkk. 2001. Demokrasi. Office of International Information Programs U.S. Departement of State. UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota negara Kesatuan Republik Indonesia. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 287 UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. UUD 1945 UUD 1945 Hasil Amandemen. 2002. Jakarta: Sinar Grafika. Winataputra US. 2002. Membangun Etos Demokrasi melalui Penerapan Proyek Belajar Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas Terbuka. Winataputra, US. 2001. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi. Bandung: UPI (Desertasi). Winataputra, US. 2001. Pendidikan Demokrasi dan Hak Asasi manusia.Jakarta; Konggres Nasional Pendidikan Indonesia. 288