“Membali di Lampung” Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa

advertisement
BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN
Dua tema utama yang akan diuraikan dalam bab ini sebagai sebuah
tinjauan literatur adalah diskusi tentang Identitas dan kebalian. Dalam tema
identitas akan didiskusikan berbagai pemikiran, konsep atau pun teori
tentang Identitas. Pendiskusian identitas dimaksudkan untuk memperkaya
pemahaman atas Identitas itu sendiri sebagai sebuah konsep atau teori,
khususnya pembentukan atau konstruksi (bangunan) Identitas.
Diskusi tentang kebalian akan didiskusikan dengan singkat
beberapa literatur yang relevan dengan konteks penelitian – ada banyak
literatur tentang Bali, tidak semua penad untuk didiskusikan, dan beberapa
di antaranya sudah terintegrasi dalam bab-bab selanjutnya.
Tentang Identitas
Diskusi ini akan diawali dengan pemikiran Manuell Castells.
Acuannya pada karya Castells yang berjudul “The Power of Identity4”.
Agar tidak terjadi keserampangan dalam mendiskusikan tentang Identitas,
perlu diketahui secara singkat konteks dari karya Castells tersebut.
Pertama, “The Power Identity” merupakan volume kedua atau merupakan
kelanjutan dari volume pertama. “The Power of Identity” adalah kelanjutan
dari “The Rise of Network Society5” (volume pertama). Sebagai sebuah
rangkaian (serial) ada keterjalinan antara “The Rise of Network Society”
dengan “The Power of Identity”; Kedua, dari kedua volume tersebut dapat
diketahui bahwa yang mendasari “The Power Identity” adalah “The Rise of
Network Society”. Kemudian, dari kedua volume ini Castells
mengakhirinya dengan volume ketiga yang berjudul “End of Millennium”6.
Jadi, uraian tentang Identitas dalam karya Castells lebih terampat pada
4
Manuel, Castells. (2002), The Information Age: Economy, Society and Culture,
Volume II: The Power of Identity, Oxford: Blackwell. Catatan penulis: terbit
pertama kali tahun 1997.
5
Manuel, Castells. (2000), The Information Age: Economy, Society and Culture,
Volume I: The Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell. Catatan penulis:
terbit pertama kali tahun 1996.
6
Manuel, Castells. (2004), The Information Age: Economy, Society and Culture,
Volume III: End of Millennium, Oxford: Blackwell. Catatan penulis: terbit pertama
kali tahun 1998.
15
volume kedua – dan sebenarnya Castells tidak secara total fokus kepada
identitas di volume kedua karena identitas hanya menjadi salah satu bagian
dari Trilogi Castells dalam “The Information Age” (terutama di trilogi yang
kedua, itu pun hanya di bagian awal dari keseluruhan “The Power of
Identity”). Mengapa? Karena yang menjadi perhatian utama Castells dalam
tema besar trilogi “The Information Age” adalah terfokus dengan
restrukturisasi masyarakat kapitalis (capitalist civilization), dengan
globalisasi dan perubahan organisatoris di dalamnya, sejak tahun 1960-an,
yang didukung oleh pembangunan dan penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi, hancurnya komunisme Sovyet, dan klaim representatif
bahwa masyarakat kapitalis yang sudah terrestrukturasi tersebut sebagai
sebuah alternatif bagi masyarakat (sipil) modern (modern civilization)7.
Konteks besar dalam penguraian Castells, terutama tentang
Identitas (dalam The Power of Identity), adalah masyarakat jaringan
(network societies) dalam sebuah era informasi (the information age) –
sebuah era atau masa di mana revolusi teknologi tidak hanya melahirkan
sebuah masyarakat jaringan8, tapi juga menyebabkan berbagai macam
perubahan dalam bidang teknologi informasi, ekonomi, politik,
kemasyarakatan (hubungan sosial), dan kebudayaan. Seperti yang
dikemukakan Castells (2000) mengatakan bahwa: “Our societies are
increasingly structured around a bipolar opposition between the Net and
the self9”, dan Castells (2002) bahwa: “Our world, and our lives, are being
shaped by the conflicting trends of globalization and identity10”. Tanpa
7
Lihat: McGuigan, Jim. (2006), Modernity and Postmodern Culture, New York:
Open University Press. Hlm. 115-136 dalam bab: “The Information Age”.
8
Jaringan atau “The Net” yang dimaksudkan oleh Castells (2000) tidak hanya
secara khusus ditempatkan pada Internet, tapi juga, tercakup model jaringan
(network) masyarakat dan kebudayaan secara umum, di mana menransformasikan
realitas kelembagaan dan kondisi (riil) sehari-hari masyarakat di dunia.
9
Castells (2000), op.cit. hlm.3. Terjemahan dari kalimat ini mengutip Putranto
(2004, hlm.86): “Masyarakat kita semakin terstruktur seputar oposisi dwi-kutub,
yaitu kutub Jaringan dan kutub diri”.
10
Castells (2002), op.cit. hlm.1. Terjemahan mengutip Putranto (2004, loc.cit):
“Dunia dan hidup kita sedang dibentuk oleh tren-tren yang saling bergesekan,
yaitu globalisasi dan identitas.”
16
mengetahui konteksnya – bisa saja – pemahaman identitas atas pemikiran
Castells bisa keluar dari batasan-batasan atau pengkondisian identitas yang
dimaksudkan oleh Castells. Jika konteksnya berada pada sebuah
masyarakat jaringan, maka – tanpa perlu dijelaskan – bahwa masyarakat
yang dimaksudkan lebih tertuju pada masyarakat yang modern. Modern
dalam arti, singkatnya, sudah akrab dengan teknologi informasi –
khususnya internet – yang memintal masyarakat dalam sebuah masyarakat
jaringan. Karenanya, menjadi tidak tepat jika konteks identitas dalam
masyarakat jaringan digunakan dalam sebuah masyarakat yang belum
mendapatkan atau mampu memanfaatkan teknologi informasi.
Apa yang sebenarnya menjadi pokok-pokok untuk diskusi tentang
Identitas berdasarkan karya Castells, The Power of Identity? Dalam subbab “The Construction of Identity” di bab pertama “The Power of Identity”,
Castells mengemukakan bahwa identitas merupakan sumber makna
(pemaknaan) dan pengalaman orang. Proses pengkonstruksian makna
tersebut didasarkan atas sebuah atribut kultural, atau terkait dengan
seperangkat atribut kultural, di mana diprioritaskan di atas sumber-sumber
pemaknaan yang lain. Ini yang menyebabkan identitas bersifat majemuk /
jamak (plurality of identities), karena identitas sebagai sumber pemaknaan
dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan bagi seorang
individu, atau sebuah kumpulan aktor (collective actor). Akibatnya,
kejamakan identitas menjadi sumber tekanan dan kontrakdiksi baik dalam
self-representation maupun social action. Ini yang menyebabkan mengapa
identitas harus dibangun, seperti yang umum disebutkan para sosiolog,
sebagai peran, dan seperangkat peran (roles, and role-sets). Meskipun
demikian, Castells berpendapat bahwa identitas lebih dominan sebagai
sumber pemaknaan daripada peran. Identitas dikonstruksikan oleh aktor
melalui sebuah proses yang disebut individuisasi (individuation), terkait
dengan identitas sebagai sumber makna bagi aktor itu sendiri. Atau,
dalam pandangan Giddens (1991) 11 identitas sebagai sebuah proyek.
Dengan kata lain, aktor atau agen tersebut tidak bisa dilepaskan dari
11
Giddens, Anthony. (1991), Modernity and Self-Identity, Cambridge: Polity
Press.
17
struktur yang ada – yang diperkuat dengan pernyataan Connolly (2000)12
terkait masyarakat jaringan dan struktur bahwa kehidupan politik identitas
dalam masyarakat modern tidak dapat lepas dari struktur politik global.
Lebih lanjut, Castells berpendapat bahwa identitas yang (dapat dikatakan)
berasal dari institusi-institusi dominan dapat menjadi identitas ketika dan
jika ada proses internalisasi oleh aktor sosial, dan mengkonstruksikan
makna yang ada melalui proses internalisasi. Dalam bukunya The Power of
Identity – terkait dengan pumpunan Castells pada masyarakat jaringan –
Castells dengan tegas memfokuskan kajian tentang identitas dalam konteks
masyarakat jaringan pada identitas kolektif (collective identities). Hal ini
dikarenakan bahwa di dalam masyarakat jaringan pemaknaan individu
melewati ruang dan waktu – terpintal dalam sebuah jaringan. Tanpa
mengabaikan fakta bahwa identitas kolektif tersebut – seperti dalam
masyarakat jaringan – merupakan pintalan dari identitas individu. Dengan
kata lain, dilihat dari bentuknya, identitas dapat dipilah menjadi identitas
individu dan identitas kolektif. Castells sependapat, berdasarkan fakta dan
dalam perspektif sosiologi, bahwa semua identitas adalah terkontrusksi
(dikonstruksikan, dibentuk). Bahan-bahan atau material pengkonstruksian
tersebut adalah berasal dari sejarah, letak geografis, biologi, institusiinstitusi produktif dan reproduktif, collective memory dan fantasi personal,
serta dari kekuasaan aparatur-aparatur dan syariah keagamaan (kitab).
Terakhir, Castells merumuskan bangunan identitas berdasarkan bentuk dan
asal usulnya menjadi tiga, yaitu: (1) Legitimizing identity, atau identitas
yang sahih, seperti otoritas (authority) dan dominasi; (2) Resistance
identity, atau identitas perlawanan, sebagai bentuk perlawanan atas
dominasi, contohnya adalah politik identitas; (3) Project Identity, atau
identitas proyek, seperti feminisme – ketika aktor-aktor sosial dengan
sumber daya kulturalnya membangun sebuah identitas baru untuk
mendapatkan kembali posisinya di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, pokok-pokok tentang Identitas dari
pemikiran Castells, di antaranya adalah: (1) identitas sebagai sumber
makna dan pengalaman; (2) atribut kultural sebagai basis konstruksi
12
Connolly, William E. (2000), “Identity and Difference in Global Politics”,
dalam Nash, Kate. (Ed.), Readings in Contemporary Political Sociology, Oxford:
Blackwell. Hlm.346.
18
makna; (3) identitas bersifat jamak; (4) seperangkat peran; (5) proses
individuisasi; (6) internalisasi; (7) bentuk identitas: individu dan kolektif;
(8) material konstruksi identitas; (9) bentuk dan asal usul identitas.
Identitas menjadi sangat kompleks dalam proses pembentukan atau
pengkonstruksiannya, dalam kasus Castells terpumpun pada masyarakat
jaringan. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa masyarakat jaringan
dapat dikatakan sebagai masyarakat modern yang telah memasuki era
informasi – yang juga telah mengalami dan menikmati secara langsung
revolusi teknologi. Tentu, apa yang diuraikan oleh Castells ini cukup
kompleks dan mumpuni untuk konteksnya, dan ini bukan sebuah asas
semesta atas diskusi tentang Identitas. Dengan kata lain, pemikiran
Castells cukup penad untuk dijadikan rambu dalam sebuah kerangka
pemikiran teoritis tentang Identitas. Karena tema identitas menjadi tema
yang menarik perhatian banyak pemikir (akademisi), akan menjadi sempit
jika tidak menyertakan pemikir lainnya dalam diskusi tentang Identitas ini
–bagaimana pun setiap pemikir memiliki perbedaan perspektif tentang
Identitas.
Karya berikutnya yang akan dikaji adalah karya sosiolog
strukturalis bernama Peter J. Burke yang ditulis bersama istrinya, Jan E.
Stets berjudulkan “Identity Theory”13. Agar tidak terpesona dengan grand
title buku tersebut, terlebih dahulu diuraikan sekilas konteks atau latar
belakang buku tersebut. Buku ini – Identity Theory – (tampaknya) dapat
dikatakan seperti buku teks tentang teori identitas. Metode penelitian yang
dikembangkan untuk buku ini adalah kuantitatif dengan survey ke banyak
responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat terukur untuk
membuktikan hipotesa-hipotesa yang diajukan oleh kedua penulis ini
tentang Identitas. Respondennya jelas adalah masyarakat Barat. Displin
ilmu yang digunakan untuk Identity Theory ini adalah sosiologi, sesuai
dengan latar belakang keilmuan kedua penulis, terutama Burke.
Letak perbedaan antara karya Burke dan Stets dengan Castells
sebenarnya terletak pada fokus kajiannya. Jika Castells merampatkan
kajiannya pada identitas kolektif, maka Burke dan Stets merampatkannya
13
Burke, Peter. and Stets, Jan E. (2009), Identity Theory, New York: Oxford
University Press.
19
pada identitas personal. Alasan yang dikemukakan oleh Burke dan Stets
sangat jelas, bahwa esensi atau dasar dari identitas terletak pada identitas
personal – sebuah kenyataan yang diakui oleh Castells, tetapi Castells
memiliki fokus di identitas kolektif karena konteks yang dipilih adalah
masyarakat jaringan. Basis teori yang digunakan oleh Burke dan Stets
untuk membangun Identity Theory adalah interaksionisme simbolik
(symbolic interactionism), agen dan struktur sosial sebagai penyangganya
– terkait bahwa pemfokusannya pada level personal (identitas individu)
tidak bisa dilepaskan dari peran agen (aktor) dan struktur yang
mendominasi si individu. Melalui interaksionisme simbolik, Burke dan
Stets dalam menyentuh kedalaman Identitas yang berasal dari individu,
yaitu dengan menggunakan instrumen utama the self, language, sign, and
symbols, dan interaction yang menjadi fondasi interaksionisme simbolik.
Kemudian, oleh Burke dan Stets interaksionisme simbolik ini ditopang
dengan teori control system, namun basis utamanya tetap interaksionisme
simbolik. Terkait dengan agen atau aktor – yang menjadi fokus kajian –
Burke dan Stets berpendapat bahwa perbedaan antara person dan agent
pusat teori identitas, di mana dalam teori identitas, sebuah identitas adalah
seorang agen, dan setiap orang memiliki banyak identitas (lebih dari satu
identitas)14. Ini yang mempertegas keduanya untuk tetap kukuh pada
perspektif interaksi simbolik struktural untuk membidani dan
mengkonstruksikan teori identitas, dan berpandangan bahwa sebuah
identitas juga merupakan sebuah kontruksi teoritis15. Perbedaan yang
mencolok antara Castells dengan Burke dan Stets adalah pada basis
identitasnya. Castells lebih menyeluruh dalam menyusun dan menguraikan
basis identitas. Burke dan Stets membasiskan identitas pada peran (role),
grup / kelompok (group), dan perorangan / individu (person). Meskipun
terlihat sangat sempit dan kaku, namun basis identitas yang digunakan
Burke dan Stets tidak dapat dilepaskan dari fondasi teori yang
digunakannya, serta metode kuantitatif yang digunakan untuk
mendapatkan validitas data untuk teori identitasnya. Dengan kata lain,
dalam teori identitasnya, Burke dan Stets menjadikan identitas itu benar14
15
Burke dan Stets (2009), op.cit., hlm. 8.
Burke dan Stets (2009), op.cit., hlm. 8-9.
20
benar terstruktur dengan rapi terhadap identitas individu melalui interasi
simbolik struktural-nya, dan dengannya teori identitas dikontruksikan.
Keunggulan dari pendekatan yang digunakan oleh Burke dan Stets adalah
pada ketegasan dan kejelasan tentang Identitas yang dikontruksikan
melalui pendekatan interasionisme simbolik-nya. Sasarannya tepat untuk
membidik identitas itu sendiri yang berhulu pada individu. Ini yang
menyebabkan pengkontruksian teori identitas yang dilakukan keduanya
menjadi tegas dan jelas. Tepat digunakan sebagai buku teks, tetapi dengan
catatan, bahwa teori ini dibangun pada satu perspektif dan satu konteks
yang sangat terbatas pada masyarakat modern yang – menurut mereka –
sudah secara rapi terstruktural.
Studi Burke dan Stets tampaknya terlalu kaku. Keduanya sangat
mengacu pada structural simbolic interaction sebagai dasar atau akar
dalam membangun kerangka teori Identitas dengan metode penelitian yang
sangat terukur (kuantitaf- survey dengan fokus objek personal). Ulasan
yang lebih menyeluruh sebenarnya dilakukan oleh James E. Cote dan
Charles G. Levine tentang Identity Formation, Agency, dan Culture16.
Letak perbedaannya terletak pada aspek culture – tanpa dipungkiri bahwa
Cote dan Levine pun tetap menggunakan teori struktur sosial, agensi,
simbolic interaction dalam bukunya dengan berakarkan psikoanalisa
sebagai pioner teori identitas (seperti yang dikembangkan Erikson17
berangkat dari fondasi self yang dibangun oleh Freud), kemudian
dikembangkan melalui sebuah sintesis psikologi sosial. Hal ini dapat
dilihat dari kerangka kerjanya dalam memahami identity formation,
Agency, dan Culture yang didasarkan pada hubungan yang saling
mempengaruhi antara social structure, interaction, dan personality, yang
di dalam hubungan tersebut terdapat socialization dan social control, dan,
internalization (ego synthesis abilities)18. Sebaliknya, hubungan antara
personality, interaction, dan social structure, yang di dalamnya terdapat
16
Cote, James E. & Levine, Charles G. (2002), Identity Formation, Agency, and
Culture: A Social Psychological Synthesis, London: Lawrence Erlbaum
Associates.
17
Karya terkenal Erikson yang banyak dirujuk untuk studi identitas adalah:
Erikson, Erik H. (1963), Childhood and Society, New York: W.W. Norton & Co.
18
Cote, James E. & Levine, Charles G. (2002). Op.cit., hlm. 6-9.
21
presentation of self (ego executive abilities) dan social construction of
reality (objectivation)19. Hubungan saling mempengaruhi dua arah ini yang
menyebabkan adanya subjektivitas yang bermuara pada objektivitas, dan
terus berulang. Fokus Cote dan Levine sebenarnya sama dengan Burke dan
Stets, yaitu identitas personal – dapat dilihat pada penggunaan interaksi
simbolik yang membentuk (memformasikan) identitas oleh agen yang
terstruktur.
Baik karya Burke dan Stets maupun Cote dan Levine, keduanya
bisa dipadukan sebagai buku teks tentang Identitas, namun dalam posisi
kajian yang merampat pada identitas personal sebagai identitas secara
keseluruhan. Meskipun demikian, kedua karya ini terkait dengan identitas
personal (individu) sebagai cara melihat identitas secara keseluruhan.
Ulasan dalam kedua karya tersebut masih belum menyentuh kedalaman
tentang Identitas itu sendiri. Cara lain melihat Identitas lebih mendalam
adalah dengan perspektif psikologi / psikoanalisa (sosial), yaitu melalui
sebuah cerita atau narasi, seperti yang dikembangkan oleh McAdams, dkk.
(2006)20. Dengan kata lain, mereka ingin melihat identitas dari
kedalamannya sendiri, “self”, yang dapat disampaikan melalui sebuah
cerita atau narasi diri. Melalui sebuah cerita seseorang bisa menarasikan
dirinya (self), atau, mengidentifikasikan dirinya seperti apa. Dengan kata
lain, mengkonstruksikan identitas dirinya (identitas personal) melalui
sebuah cerita. Karenanya, aspek psikologi (khususnya psikoanalisa yang
dikembangkan oleh Freud dan Erikson) menjadi sangat penting. Fokusnya
sama-sama personal, baik Burke & Stets, Cote & Levine maupun
McAdams, dkk. Hanya saja, peran struktur sosial yang sebenarnya sedikit
banyak memiliki dominasi atas individu dalam mengidentifikasikan
dirinya (identitasnya) menjadi terabaikan. Kedalaman atas identitas
personal itu dapat tercapai dengan sebuah narasi melalui pisau psikologi
(dan, atau psikoanalisa). Bagi Chris Barker, keempat karya ini (dari
19
Cote, James E. & Levine, Charles G. (2002). Loc.cit.
McAdams, Dan P., Josselson, Ruthellen., dan Lieblich, Amia. (Ed.). (2006),
Identity and Story: Creating Self in Narrative, Washington, D.C.: American
Psychological Association.
20
22
masyarakat jaringan sampai narasi), dijadikan sebagai sebuah kerangka
pikir tentang Identitas dalam kajian studi kebudayaan21.
Karya lain yang menarik untuk didiskusikan adalah karya Richard
Jenkins yang berjudul “Social Identity”22. Bila dibandingkan dengan karyakarya pemikir sebelumnya yang telah diulas di atas, karya Jenkins tentang
Social Identity atau “Identitas Sosial” adalah karya yang ambigu. Ada
sebuah kesalahan yang dinilai cukup fatal, dan ini diakui oleh Jenkins
disertai alasannya, bahwa Jenkins sebenarnya tidak membahas tentang
“Identitas Sosial”, ia lebih terfokus membahas tentang identitas itu sendiri
atau “identifikasi”. Kata “Sosial” yang diletakkan pada “Identitas” sebagai
sebuah judul besar buku “Identitas Sosial” atau “Social Identity”,
sebenarnya lebih disebabkan (faktor utama) oleh: pertimbangan pemasaran
– agar buku ini memiliki nilai jual dan laku di pasaran. Jadi, Jenkins
sebenarnya tidak membahas tentang “Identitas Sosial”, tetapi “Identitas”
atau “identifikasi”. Tentu, ini akan menjadi masalah jika karya Jenkins ini
digunakan oleh pembacanya sebagai acuan atau kerangka teoritis untuk
membahas “Identitas Sosial”, padahal, Jenkins sendiri dengan tegas
mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak membahas “Identitas Sosial”,
melainkan Identitas atau identifikasi, dan kata “Sosial” yang dimasukkan
dalam judul besar buku digunakan sebagai pertimbangan marketing
(pemasaran) agar karyanya laku di pasaran – mulai dari edisi pertama
sampai edisi ketiga . Seperti yang diutarakan oleh Jenkins dalam edisi
ketiga “Social Identity”-nya:
“Which brings us back to social identity. While this
third edition retains the book‟s original title –
marketing considerations carry some weight, after all –
I prefer, wherever possible, simply to talk about
„identity‟ or „identification‟.” 23
21
Lihat: Barker, Chris. (2009), Cultural Studies: Teori dan Praktek (terj.),
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
22
Jenkins, Richard. (2008), Social Identity: Third Edition, London & New York:
Routledge-Taylor&Francis Group.
23
Jenkins, Richard. (2008), op.cit., hlm.17.
23
Argumen yang dikemukakan oleh Jenkins mengapa sebenarnya ia
berbicara tentang “identitas” atau “identifikasi”, bukan Identitas Sosial,
adalah, pertama, (menurut Jenkins jika argumennya benar) semua identitas
manusia, dilihat dari definisinya, merupakan identitas sosial (social
identity); kedua, bahwa untuk membangun secara analitik antara “sosial”
dan “kultural” merancukan realitas manusia yang sesungguhnya 24. Lalu,
definisi apa yang dimaksukan oleh Jenkins yang mendasari bahwa semua
identitas manusia adalah identitas sosial? Secara sederhana Jenkins
mengambil definisi Identitas (“Identity”) dari The Oxford English
Dictionary, di mana bahasa Latin yang menjadi akar dari “Identity” adalah
“identitas” (sama seperti Bahasa Indonesia: identitas), yang terdiri dari
idem, yang berarti “sama” atau “kesamaan” (the same), dan dua makna
dasar: (1) the sameness of object, as in A1 is identical to A2 but not to B1;
(2) the consitency or continuity over time that is the basis for establishing
and grasping the definiteness and distinctiveness of something. Jadi, tema
utama yang dibahas oleh Jenkins “tentang Identitas” – yang berasal dari
definisi tersebut – adalah “persamaan” dan “perbedaan”. Melalui
“persamaan” dan “perbedaan” ini, Jenkins mengkonstruksikan Identitas
“Sosial”-nya. Sama seperti penulis-penulis sebelumnya, Jenkins pun tidak
dapat lepas dari interaksi simbolik, terutama untuk menggambarkan
persamaan dan perbedaan yang melandasi identitas (level individu), dan
struktur sosial.
24
Tulisan lengkapnya dalam Jenkins, Richard. (2008), op.cit., hlm.17. adalah:
First, if my argument is correct, all human identities
are, by definition, social identities. Identifying
ourselves, or others, is a matter of meaning, and
meaning always involves interaction: agreement and
disagreement,
convention
and
innovation,
communication and negotiation. To add the „social‟ in
this context is somewhat redundant. Second, I have
argued elsewhere that to distinguish analytically
betweeen the „social‟ and the „cultural‟ misrepresents
the observable realities of the human world. Sticking
with the plain „identity‟ prevents me from being seen
to do so.
24
Selain Jenkins, ada beberapa penulis lain yang mencoba
mengkonstruksikan identitas berdasarkan persamaan (yang diartikan oleh
mereka sebagai “identitas”) dan perbedaan – identitas itu menjadi ada
karena adanya persamaan dan perbedaan. Berbeda dengan Jenkins dan
penulis sebelumnya, kerangka pemikiran yang digunakan untuk
mengkontruksikan identitas adalah dengan menggunakan logika (the
Science of Logic) dan filsafat Hegel (the Philosophy of Mind dan the
Philosophy of Right). Bila dibandingkan dengan Jenkins, tentu kajian dari
penulis-penulis ini lebih mendasar (dan tentunya lebih berfilosofi).
Tulisan-tulisan mereka terampai dalam sebuah buku berjudul: “Identity
and Difference: Studies in Hegel’s Logic, Philosophy of Spirit, and
Politic” (editor: Philip T. Grier, 2007)25. Apa yang menarik dari bunga
rampai tulisan mereka? Pertama, dengan menggunakan logika Hegel (the
Science of Logic), para penulis mencoba secara mendasar memahami
Identitas (persamaan) dan perbedaan sebagai landasan yang hakiki tentang
identitas itu sendiri. Kedua, setelah logika identitas tersebut diketahui,
penulis lain mencoba memahami identitas dengan the Philosophy of Mindnya Hegel. Dengan kata lain, melalui Philosophy of Mind-nya Hegel, ingin
dilihat persamaan dan perbedaan tersebut dari aspek psikologisnya –
terampatkan pada si individu. Kurang lebih sama seperti dilakukan oleh
penulis lain yang menggunakan interaksionis simbolik atau pun narasi.
Ketiga, beberapa penulis lain menggunakan Dialektika Hegel untuk
memahami persamaan dan perbedaan untuk menggambarkan masyarakat
(peoples), gender, dan bangsa-bangsa (nations). Keempat, menggunakan
the Philosophy of Right untuk memahami identitas lebih ke aspek
politiknya (politik identitas). Singkatnya, para penulis ingin mempertegas
konsep “perbedaan” untuk mengkonstruksikan identitas dengan
menggunakan logika (dan dialektika) dan filsafat Hegel. Baik Jenkins
maupun Grier, dkk., keduanya sama-sama membangun kerangka identitas
berdasarkan persamaan dan perbedaan yang menjadi esensi atau hakikat
identitas itu sendiri sebagai jati diri – dikatakan sebuah identitas atau jati
diri jika ia “berbeda” dengan yang lain. Perbedaan yang mendasar dari
25
Grier, Philip T. (Ed.). (2007), Identity and Difference: Studies in Hegel’s Logic,
Philosophy of Spirit, and Politics, New York: State University of New York.
25
keduanya terletak pada alat yang digunakan untuk mengontruksikan
identitas, Jenkins lebih menggunakan pendekatan sosiologi, sedangkan
Grier, dkk., lebih menggunakan pendekatan filsafat Hegel.
Menarik juga untuk didiskusikan tentang Identitas dari para
postmodernis dengan pemikiran tentang Identitas yang saling mengisi.
Madan Sarup (1996)26 melihat identitas dari aspek kesejarahan yang
membentuk identitas. Identitas merupakan sesuatu yang bisa diwarisi.
Seperti yang dikemukakan oleh Moya (2000) bahwa: “The difficulty,
critics of identity point out, is that identities are constituted differently in
different historical contexts“27. Tentu, Sarup pun memahami perdebatan
yang ada tentang Identitas, yaitu apakah keterbentukannya melalui sebuah
interaksi atau konstruksi. Dua model identitas menurut Sarup (1996)28,
yaitu: (1) dari sudut pandang tradisional, bahwa keseluruhan dinamika
identitas seperti kelas, gender, dan ras beroperasi secara simultan
menghasilkan identitas yang utuh, kebersatuan dan tetap; (2) sudut
pandang terkini, bahwa identitas difabrikasi, konstruksi, dalam proses, dan
karenanya harus dipertimbangkan aspek psikologi dan faktor sosiologi.
Dengan kata lain, identitas yang ada sekarang – dimiliki oleh orang –
terfragmentasi, penuh dengan kontrakdiksi-kontradiksi dan ambiguitas.
Identitas ras, gender, dan diri (the self) sebagai sesuatu yang utuh,
kemersatuan dan tetap, didukung oleh pendapat Alcoff (2006) yang
berpendapat bahwa identitas seperti ras, gender, dan diri, adalah identitas
yang dapat dilihat atau nyata – kesatuan yang nyata (real entity)29.
Pandangan ini didasari atas kritik terhadap politik identitas yang kerap
dialamatkan sebagai sebuah permasalahan politik, konseling psikologi,
atau kekeliruan metafisik – kritik yang disampaikan oleh akademisi
postmodern, politik liberal dan kiri, politisi konservatif, dan lain-lain.
26
Sarup, Madan. (1996), Identity, Culture and The Postmodern World, USA: The
University of Georgia Press.
27
Moya, Paula M.L. (2000), “Reclaiming Identity”, dalam Moya, Paula M.L. &
Hames-Garcia, Michlael R. (Ed.), Reclaming Identity: Realist Theory and the
Predicament of Postmodernism, London: University of California Press.
28
Sarup, Madan. (1996), op.cit. hlm. 14.
29
Alcoff, Linda Martin. (2006), Visible Identities: Race, Gender, and the Self,
New York: Oxford University Press.
26
Kebernyataan identitas (sering) bermula dari kenyataan bahwa identitas itu
sendiri secara tampak mata dapat dilekatkan (dicapkan, diplotkan) atas diri
seseorang, menuntunnya tidak hanya menentukan bagaimana seseorang
menerima dan menilai liyan, tapi bagaimana seseorang tersebut diterima
dan dinilai oleh mereka (liyan). Kembali ke Sarup (1996)30, terkait dengan
studi identitas, ia berpendapat bahwa: pertama, studi identitas harus
ditempatkan dalam ruang dan waktu tertentu. Identitas tidak ditempatkan
abstrak, tapi selalu dalam relasi pada ruang dan waktu yang telah
diberikan. Kedua, studi identitas harus didasarkan atas sesuatu yang
disebut bukti, dan harus harus berhati-hati atas metode persepsi.
Kemudian, untuk memahami identitas, Sarup (1996)31 menggunakan dua
pendekatan. Pendekatan yang objektif berasal dari luar “It is”, kedua,
berasal dari dalam “I am”. Perspektif pertama, “It is”, melihat individu dari
sudut pandang sosial, sedangkan perspektif kedua, “I am”, individu dalam
masyarakat. Dengan kata lain, ada proses identifikasi di dalamnya.
Pandangan yang tidak kalah kritisnya dari posmodernis “tentang identitas”
adalah seperti yang dikemukakan oleh Haraway (1991)32 bahwa semua
identitas (adalah) terbelah. Tidak ada identitas (yang) esensial dari kelas,
etnisitas, gender atau pun seksualitas: semuanya berpotensi mencair dan
bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk yang lain. Identitas yang tetap
hanya bisa terjadi melalui sistem-sistem yang mendominasi. Lalu, apa
yang menjadi pokok “tentang identitas” dari para postmodernis ini?
Sepertinya, mereka ingin memahami identitas lebih ke esensi identitas itu
sendiri, keluar dari pakem yang selama ini dipakai oleh “modernis”. Atau,
dengan kata lain, mereka ingin keluar dari dominasi “strukturalis” yang
mencoba “menaifkan” identitas ke dalam satu bentuk atau format yang
baku nan terstruktur – yang berakibat pada ke-identitas-an itu sendiri.
Penulis terakhir yang menarik untuk disimak gagasannya tentang
Identitas adalah Kwame Anthony Appiah (2005) dengan bukunya yang
30
Sarup, Madan. (1996), op.cit. hlm. 15.
Sarup, Madan. (1996), op.cit. hlm. 28.
32
Haraway (1991) dalam McGuidan, Jim. (2006), Modernity and Postmodern
Culture: 2nd Edition, London: Open University Press.
31
27
berjudul The Ethics of Identity33. Bila dilihat dari isi atau gagasan dalam
bukunya, judul buku tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai “NilaiNilai Identitas” daripada “Etika Identitas”. Ini berangkat dari argumen
Appiah bahwa di dalam setiap identitas terdapat nilai-nilai, yaitu nilai-nilai
yang bersifat etis atau moral yang mempengaruhi individu atau kelompok
yang menggunakan identitas tersebut. Pandangan atau argumen Appiah ini
berpijak dari sebuah asumsi bahwa konsep religious toleration dan theory
of property-nya Locke, serta slogan human equality dan human right
merupakan sebuah “tradisi” yang (diasumsikan) hampir dimiliki setiap
manusia, Appiah (2005) berpendapat bahwa itu merupakan “tradisi” yang
dapat diasumsikan secara etik individualistik – pada akhirnya, segala suatu
merupakan masalah moral karena imbasan individu-individu – jadi, jika itu
masalah bangsa-bangsa, atau komunitas-komunitas religius, atau pun
keluarga-keluarga, menjadi masalah karena mereka menciptakan sebuah
perbedaan kepada masyarakat yang membentuknya. Ini yang mendasari
Appiah mengapa identitas itu perlu etika. Individualistik yang melekat
pada sebuah identitas – identitas personal maupun sosial – pada akhirnya
bermuara pada individu sebagai aktor atau agen yang mengusung
keindividualistikan tersebut. Kebebasan atau pun hak asasi manusia yang
melekat pada identitas sebagai keindividualistisannya bisa menyebabkan
masalah moral, tetapi itu bukan berarti tidak ada etika dalam identitas.
Tentunya, hal ini tidak dapat dilepaskan dari diri Appiah yang merupakan
seorang Afrika (Ghana), yang pernah melihat bagaimana keindividulistisan
dari identitas menyebabkan permasalahan moral di sana. Appiah
berpendapat bahwa etika itu ada di dalam identitas. Identitas merupakan
sumber nilai yang menjadi etiketnya, dan ada kesamaan nilai dalam
identitas, tetapi bekerja dalam cara yang berbeda dalam masyarakat
berbeda dengan identitas yang berbeda. Bahwa salah satu nilai universal
dari identitas adalah solidaritas (sebagai bagian dari rasa kenyamanan,
kepuasan, atau motivasi dan pemaknaan untuk melakukan kebaikan
internal komunitas identitas tersebut), tapi cara kerjanya berbeda,
dicontohkannya pada masyarakat Yahudi. Identitas kepercayaan, seperti
33
Appiah, Kwame Anthony. (2005), The Ethics of Identity, New Jersey:
Princenton University Press.
28
Yahudi, menjadikan kesolidaritasan (dan kesolidan) kelompok orang
Yahudi – sama seperti identitas kepercayaan masyarakat lainnya yang
membentuk kesolidaritasnya sendiri – tetapi itu hanya berlaku pada orang
Yahudi, tidak bagi masyarakat lain. Orang Yahudi tentu tidak akan
menerima orang non-Yahudi masuk ke dalam komunitasnya. Selain itu,
Appiah berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut menjadi satu dalam
identitas, di mana menjadi bagian dari nilai-nilai seseorang yang
memasukkan identitas tersebut sebagai salah satu identitas dirinya –
berangkat dari kenyataan bahwa seseorang bisa memiliki lebih dari satu
identitas34. Tentu nilai-nilai tersebut tidak dimiliki orang lain yang tidak
memiliki identitas tersebut.
Jika sebuah identitas dikonstruksikan oleh pihak tertentu (otoritas
atau pun sebuah sistem yang mendominasi), bersifat memaksa dan tanpa
adanya pertimbangan nilai-nilai atas identitas tersebut, maka permasalahan
identitas akan muncul di aras akar rumput. Manifestasinya adalah melalui
politik identitas – oleh Castells (2002) disebut sebagai resistance identity
(identitas perlawanan) dan project identity (identitas proyek). Sebenarnya
ini bukan gagasan abstrak bahwa identitas bisa dikonstruksikan oleh
otoritas tertentu secara sewenang-wenang, baik itu akademisi atau pun
penguasa, dan akhirnya menimbulkan aksi politik identitas yang tidak
toleran sebagai sebuah perlawanan yang mengusung identitas asalnya
(melawan identitas yang terkonstruksi). Ini menjadi kritik tajam dari
akademisi (ilmuan) sosial yang berhaluan postkolonial maupun orientalis
yang sesungguhnya, bahwa ilmuan Barat atau pun non-Barat sebagai
sebuah sistem yang mendominasi, dengan power atau legitimasi intelektual
dan kekuatannya, berhasil mengkonstruksikan identitas sebuah bangsa atau
kelompok masyarakat tertentu yang mereka cap sebagai dunia ketiga atas
sebuah identitas yang tunggal dan bersifat absolut – mengabaikan realitas
bahwa di dalam identitas tersebut terdapat nilai-nilai, keragaman (bersifat
plural), aspek sejarah dan kultural, dan lain-lain.
34
Appiah, Kwame Anthony. (2005), op.cit. hlm. 24.
29
Amartya Sen (2007)35 dengan tegas mengkritik tesis yang
disampaikan oleh Samuel Huntington (1996)36 tentang benturan antar
peradaban.
Dua kritik utama Sen (2007)37 atas teori peradabannya
Huntington (1996) – Sen menyebutkan dua kelemahan Teori Peradaban –
yaitu: pertama, satu bentuk yang sangat ambisius dari ilusi tentang
ketunggalan – menurut Sen ini adalah kelemahan yang mendasar. Kedua,
keserampangan karakterisasi yang diberikan pada peradaban-peradaban
dunia – karakterisasi yang mengabaikan bahwa manusia memiliki banyak
dimensi. Ilusi tentang ketunggalan ditarik dari asumsi bahwa seseorang
tidak mungkin dipahami sebagai satu pribadi dengan banyak afiliasi, tidak
pula sebagai orang yang menjadi bagian dari berbagai kelompok yang
berbeda-beda, melainkan semata sebagai bagian dari satu kolektivitas
tertentu yang memberikannya identitas yang unik dan penting38.
Kesempitan cara berpikir – ilusi tentang identitas – yang dikritik oleh Sen
bagaimana intelektual menunggalkan identitas sebagai “Barat” dan
menunggalkan lawan-nya dengan “Timur” – khususnya yang menjadi
perhatian Sen adalah menunggalkan peradaban “Islam” sama halnya
menunggalkan peradaban India sebagai “Hindu”. Keserampangan
karakterisasi peradaban ini dengan angkuhnya menyingkirkan fakta-fakta
sejarah dan fakta nyata bahwa setiap peradaban memiliki banyak
karakterisasi atau multidimensi. Tidak mungkin bisa dikerangkeng pada
satu pengklasifikasian peradaban tertentu. Tesis ini pun, pada akhirnya
menyemai pertikaian global antara peradaban Barat versus peradaban
Islam, meskipun tesis ini dibuat sebelum terjadinya aksi terorisme 11
September 2001, tetapi dengan adanya peristiwa tersebut sepertinya
menjadikan pembenaran tesis atas kategori tunggal atas warga-warga
dunia39. Letak “The Power Identity” – dalam kasus ini kekuatan identitas
tunggal yang dikonstruksikan oleh Powerism – yang bersifat
35
Sen, Amartya. (2007), Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (terj.), Jakarta:
Marjin Kiri (Penerjemah: Arif Susanto).
36
Lihat:Huntington, Samuel P. (1996), The Clash of Civilizations and the
Remaking of th World Order, New York: Simon & Schuster.
37
Sen, Amartya. (2007), op.cit. hlm. 60-62.
38
Sen, Amartya. (2007), op.cit. hlm. 60.
39
Sen, Amartya. (2007), op.cit. hlm. 76.
30
menghancurkan berpotensi terjadi, dan sebenarnya sudah terjadi, di era
masyarakat global dan masyarakat jaringan. Identitas tunggal
menyebabkan “Sang kekuatan tunggal” dipersatukan dengan “satu
identitas” yang menghimpun kekuatannya (sekutu) untuk melawan musuh
yang sudah dikerangkeng dengan satu identitas tunggal pula – bisa jadi,
Sang kekuatan tunggal menciptakan musuh baru setelah kehancuran
komunisme, di mana menggunakan para intelektualnya sebagai
pembenaran atas identitas tunggal tersebut.
Kritik serupa pun dilontarkan dengan tegas oleh Francis Fukuyama
(2006) dalam sebuah jurnal yang berjudul “Identity, Immigration &
Democracy”40. Sama seperti Sen (2007), Fukuyama (2006) sebenarnya
mengkritik keangkuhan Barat terhadap dunia Islam. Fukuyama melihat
bagaimana identitas kaum migran Muslim di Eropa dan Amerika Utara
(Barat) yang memarjinalkan imigran Muslim dengan identitas ke-Islamannya, dan ini sangat bertolak belakang dengan demokrasi atau pun asasasas kemanusiaan yang didengungkan oleh Barat ke seluruh penjuru dunia.
Pemarjinalan ini tidak terlepas dari ketakutan Barat atas potensi
radikalisme dari imigran Muslim di negaranya. Lalu, mengapa mereka
menjadi radikal? Mereka menjadi radikal karena mereka dipinggirkan atas
nama identitas ke-Islam-annya. Fukuyama dengan tegas menyatakan
bahwa modernisasi dan demokratisasi bukan penyelesaian utama atas
radikalisme Islam yang ditakuti oleh dunia Barat41. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa gerakan radikal ini merupakan bentuk dari
identitas perlawanan (resistance identity) dan identitas proyek (project
identity) dalam politik identitas modern. Menurut Fukuyama (2006),
radikalisme ini turut disebabkan oleh adanya kekosongan identitas dari
generasi ketiga imigran Muslim di Barat yang diisi oleh jihadisme
kontemporer. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pengidentitasan tunggal
seperti yang dikemukakan oleh Huntington (1996) menyebabkan
kemarginalan identitas imigran Muslim ini, seolah-olah imigran Muslim
ini adalah musuh nyata yang harus diwaspadai di dalam negara mereka
40
Fukuyama, Francis. (2006), „Identity, Immigration & Democracy‟, Journal of
Democracy, Volume 17, Number 2.
41
Fukuyama, Francis. (2006), op.cit. hlm.12: “… the problem of jihadist terrorism
will not be solved by bringing modernization and democracy to the Middle East.”
31
(Barat) – yang sebenarnya sebagian dari imigran Muslim ini sudah menjadi
bagian dari warga negara di dunia Barat.
Sebenarnya kritik atas Identitas (tunggal) yang dilontarkan oleh
Sen dan Fukuyama merupakan kritik tentang Identitas atas perspektif
Barat. Barat yang memiliki sedikit pengetahuan tentang kebudayaan Timur
– sebuah kebudayaan yang sama adiluhung-nya dengan Barat, dan lebih
tua dari Barat – dengan kekuasaannya yang mendominasi dunia mencoba
menyempitkan kebudayaan Timur ke dalam satu identitas tunggal. Seperti
yang menjadi pemikiran dan keyakinan orientalis Edward Said (1979 &
2005)42 bahwa identitas suatu individu atau suatu bangsa tidak bisa
dimampatkan, digeneralis, atau disimplifikasikan menjadi “satu dan satusatunya Identitas”. Sejarah yang merentang panjang di belakangnya
sesungguhnya mustahil hanya bergerak di satu garis lurus, pasti ada
pelbagai macam pengaruh yang saling bercampur aduk dalam merumuskan
jatidiri yang terbentuk sekarang43. Singkatnya, Said ingin mengatakan
bahwa identitas tidak bisa diabsolutkan secara esensialis – seperti yang
dilakukan oleh Barat terhadap Timur. Baik Edward Said maupun Frantz
Fanon (yang karya-karyanya berpengaruh besar atas studi pascakolonial,
termasuk Edward Said sendiri), sama-sama (bertujuan) menggugat Eropa
yang telah menyekat-nyekat manusia ke dalam hirarki ras yang mereduksi
dan mendehumanisasikan kaum hamba ke bawah cara pandang ilmiah
maupun kehendak kaum penguasa44. Salah satu contohnya adalah
bagaimana Pemerintah Kolonial Inggris mengkonstruksikan masyarakat
India ke dalam satu hirarki masyarakat yang statis berdasarkan sistem
kasta. Sebuah konstruksi identitas yang dilakukan pemerintah kolonial
bersama-sama dengan para orientalis dan Brahmana India yang bisa
menikmati keuntungan dari pengkonstruksian ini oleh pemerintah kolonial.
Ironisnya, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Inggris diadopsi
oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam mengkonstruksikan identitas
masyarakat Bali di tahun 1920-an berdasarkan model kasta yang
42
Said, Edward. (1979), Orientalism, New York: Vintage Books.
Said, Edward. (2005), Bukan Eropa:Freud dan Politik Identitas Timur Tengah
(terj), Jakarta: Marjin Kiri (penerjemah: L.P. Hok).
43
Said, Edward. (2005), op.cit. hlm.vi.
44
Said, Edward. (2005), op.cit. hlm. 16.
32
diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Inggris terhadap masyarakat India
– di Bali, model kasta tersebut menjadi Sistem Wangsa: Triwangsa dan
Jabawangsa. Dengan beranggapan bahwa Hindu di Bali sama dengan
Hindu di India – karena India dianggap sebagai pusat dari perkembangan
dan penyebaran agama Hindu di Nusantara. Akibatnya, seperti yang
dikatakan oleh Said dan Fanon adalah terjadi “pereduksian dan
pendehumanisasikan kaum hamba”. Di India, kaum hambanya adalah
kasta sudra dan paria (out of caste, tidak memiliki kasta), dan di Bali,
adalah Jabawangsa atau sudrawangsa. Ironis, untuk kasus di Indonesia,
gaya kolonial ini masih dipraktekkan oleh pemerintah Republik Indonesia
– yang merupakan pemerintahan di masa pasca kolonial – ketika
mengharuskan kepercayaan masyarakat Bali – Hindu Bali – agar
dikonversikan menjadi Agama Resmi oleh pemerintahan Orde Lama45.
Pemerintah Orde Lama yang diwakili Kementerian Agama dengan
otoritasnya mengklasifikasikan kepercayaan Indonesia menjadi: Orang
yang ber-Agama dan Orang yang belum ber-Agama. Geertz (1974 dan
1992)46 menyebutnya sebagai “Internal Convertion” – masyarakat Bali
terpaksa meng-Hindu-kan kepercayaan Hindu-Bali-nya menjadi “Hindu
resmi” berdasarkan versi pemerintah. Geertz dengan internal convertion –
bisa diterjemahkan sebagai rasionalisasi agama – sebenarnya mengkritik
dominasi Weberian dalam mengklasifikasikan agama-agama. Max Weber
– dengan karya besarnya yang fenomenal The Protestant Ethics and The
Spirit of Capitalism47 – telah menginspirasi para pengikutnya dan para
orientalis untuk merasionalisasikan “agama-agama” lain di dunia – yang
disebutnya sebagai agama tradisional (kurang rasional) – khususnya ketika
Weber (hampir) berhasil merasionalisasikan agama besar dari Timur –
Hindu dan Budha – sama seperti yang dilakukannya pada kaum protestan
45
Ulasan ringkasnya dapat dilihat pada Bab Lima disertasi ini di sub-bab Aktor.
Geertz, Clifford. (1974), The Interpretation of Cultures: Selected Essays,
London: Hutchinson & CO Publisher.
Edisi terjemahan: Geertz, Clifford. (1992), Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
47
Lihat: Weber, Max. (1968), The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
(terj.), New York: Charles Scribner‟s Sons (dialih-bahasakan oleh Talcott Parson
dari Bahasa Jerman ke Inggris).
46
33
di Amerika dalam karya berikutnya yang berjudul “The Religion of India:
The Sociology of Hinduism and Budhism48”. Seperti yang dikritik oleh
Edward Said, Amartya Sen, dan Geertz dengan kasus masyarakat Bali,
cara Barat memandang Timur ini yang menjadi pokok kritik mereka,
bagaimana para orientalis mengklasifikasikan masyarakat di luar Barat,
seolah-olah mereka (Barat) lebih tahu dan pantas mengklasikasikan Timur
berdasarkan pengetahuan rasional yang dimilikinya.
Diskusi singkat tentang Identitas dari beberapa penulis di atas
ditujukan untuk memperkaya pemahaman tentang Identitas, khususnya
bagaimana proses pembentukan atau konstruksi sebuah Identitas. Ada
berbagai sudut pandang (basis teori) yang digunakan para penulis untuk
mengkonstruksikan Identitas. Dari beberapa penulis tersebut, pemikiran
Castells dipilih untuk mengkaji proses pembentukan identitas. Dua poin
utama dari pemikiran Castells yang akan digunakan untuk mengkaji proses
pembentukan identitas adalah tiga bentuk bangunan identitas (legitimizing,
resistance, dan project identity) dan aktor sebagai pengkonstruksi identitas.
Seperti yang telah dijelaskan di Bagian Pendahuluan, pola hubungan pusatsatelit menjadi sebuah kerangka proses pembentukan identitas. Pusat dan
satelit merupakan aktor pengkonstruksi identitas. Tidak hanya pusat yang
menjadi aktor yang melegitimasikan identitas satelit menjadi identitas yang
sahih (legitimizing identity), tetapi juga satelit sebagai aktor yang
mengkonstruksikan identitasnya dengan membentuk resitance dan project
identity.
Kebalian
Jika diskusi di atas – sebagai sebuah tinjauan literatur tentang
Identitas – lebih ke aras abstrak, maka di bagian ini diskusinya lebih
difokuskan atau lebih mengena ke objek penelitian, yaitu Bali. Seperti
yang telah diketahui bahwa kajian atau literatur mengenai Bali telah
banyak ditulis oleh para peneliti asing dan lokal. Namun, literatur
48
Lihat: Weber, Max. (1958), The Religion of India: The Sociology of Hinduism
and Buddhism (terj.), USA (Glencoe, Illinois): The Free Press (dialih-bahasakan
dan dieditori oleh Hans H. Gerth dan Don Martindale).
34
mengenai Bali di luar Bali jumlahnya masih sedikit49, terutama Bali di
Lampung seperti yang menjadi objek penelitian ini. Oleh karena itu, dua
tema yang dirampatkan dalam sub-bab tinjauan literatur ini adalah Bali di
luar Bali dan (sejarah) pengkonstruksian identitas Bali. Pembahasannya
akan disajikan secara singkat, karena selain terlalu jauh dengan konteks
penelitian Bali di Lampung, literatur ini sebenarnya turut disertakan pada
pembahasan isi (bab-bab empirik) dalam disertasi ini (memiliki keterkaitan
dengan data empirik pada konteks tertentu, terutama karena tema ini
terkait dengan sejarah).
Bali di luar Bali. Jika ada Bali di luar Bali, maka ini disebabkan
adanya proses migrasi atau lebih tepatnya disebut transmigrasi. Namun,
pada bagian ini penulis tidak membahas transmigrasi, karena tema
transmigrasi akan dibahas di Bab Tiga (termasuk menggunakan beberapa
literatur penunjang). Tanpa memungkiri kenyataan bahwa literatur Bali di
luar Bali (sangat) terbatas, yang ada dan akan digunakan oleh penulis,
sebenarnya tetap berada pada tema transmigrasi orang Bali yang
menyebabkan mereka berada di luar Bali. Untuk itu ada tiga literatur –
berdasarkan hasil penelitian – yang akan penulis gunakan untuk membahas
secara singkat Bali di luar Bali, yaitu karya Gloria Davis (1976)50, A. A.
Bagus Wirawan (2008)51, dan Brian A. Hoey (2003)52. Meskipun ketiga
49
Seandainya ada, itu pun dalam bentuk tidak dipublikasikan, dan belum
terjangkau oleh penulis karena hambatan teknis, terutama pendanaan dan akses ke
sumber informasi.
50
Davis, Gloria. (1976). “Parigi: A Social History at the Balinese Movement to
Central Sulawesi 1907-1974”, Disertasi Doktor Stanford University. Karya Davis
ini biasanya menjadi rujukan bagi peneliti sejarah bertransmigrasinya orang Bali
dan orang Bali setelah berada di luar Bali, khususnya orang Bali yang berada di
Sulawesi.
51
Wirawan, A. A. Bagus. (2008), „Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di
Sumbawa, 1952-1997‟, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III,
No.6 Desember 2008.
52
Hoey, Brian A., „Nationalism in Indonesia: Building Imagined and Intentional
Communities Through Transmigration‟, Ethonology, Spring 2003, Vol. 42 Issue 2,
P 109, 18 p, 1 bw; (AN 10317586).
35
literatur ini berada pada satu kerangka besar tema “transmigrasi”, namun
ketiganya sama-sama membahas orang Bali yang berada di luar Bali.
Davis (1976) dan Hoey (2003) mengambil kasus orang Bali di Sulawesi
Tengah, sedangkan Wirawan (2008) mengambil kasus orang Bali di
Sumbawa. Uraian yang bersifat sejarah lebih ditonjolkan oleh Davis
(1976) yang menguraikan dengan ringkas dan bernas sejarah perpindahan
(transmigrasi) orang Bali ke Parigi (Sulawesi Tengah) dalam disertasi
doktoralnya dan Wirawan (2008) mengenai sejarah transmigrasi orang Bali
ke Sumbawa dalam sebuah jurnal nasional. Hoey (2003) meskipun
tulisannya dalam tema besar “nasionalisme di Indonesia terkait dengan
bangunan komunitas reka-bayang dan terencana melalui transmigrasi,
objek penelitian yang diambil adalah transmigran Bali di Sulawesi. Apa
yang menarik dari tulisan ketiganya dan relevan dengan penelitian penulis?
Hal yang menarik dari ketiganya adalah bahwa orang Bali yang telah
berada di luar Bali melalui proses transmigrasi berhasil menghadirkan
kosmos Bali – kebudayaan Bali – ke daerah barunya – meskipun harus
melalui waktu dan proses yang panjang agar sebisa mungkin kosmos Bali
tersebut benar-benar sama dengan yang ada di Bali (dan sesungguhnya
tidak bisa menjadi sama seratus persen seperti di Bali). Jadi, orang Bali
yang pindah ke luar Bali – dalam kasus ini di Sulawesi dan Sumbawa –
turut memindahkan (menyertakan) identitas kebalian mereka. Identitas
kebalian sangat melekat pada individu orang Bali – dalam kasus ini
transmigran yang berada di Sulawesi dan Sumbawa – dan mereka wajib
untuk menghadirkan kosmosnya di daerah tersebut meskipun masih dalam
bentuk yang sangat sederhana. Tentu, dalam kasus orang Bali di Sulawesi
(dan Sumbawa), Bali yang dimaksudkan adalah Bali Hindu. Orang Bali
yang beragama nasrani (umumnya berasal dari Bali Utara, Jembarana)
yang turut pindah ke Sulawesi sebenarnya tetap membawa identitas Balinya, tetapi hanya sebagai orang yang lahir di Bali atau ex-Bali (bukan Bali
yang sesungguhnya seperti Bali Hindu), bukan identitas kebalian yang
mencerminkan kebudayaan Bali itu sendiri. Bagi orang Bali yang sudah
menjadi satu dengan Hindu-nya (Bali Hindu), mereka (orang Bali) yang
36
sudah mengonversikan kepercayaan leluhurnya (dari Hindu Bali ke
“agama resmi”), maka mereka dianggap sudah bukan Bali lagi53.
Identitas Bali yang terkonstruksi. Untuk kasus di Indonesia, Bali
merupakan (salah satu) contoh kasus bagaimana identitas suatu masyarakat
dikonstruksikan oleh sebuah otoritas (kekuasaan, power). Bagaimana
tidak? Bali yang di masa kerajaan menjadi sebuah pulau yang terisolir
pasca jatuhnya Kerajaan Hindu di Jawa, dan sebuah pulau yang selalu
dipenuhi dengan peperangan sebelum pemerintah kolonial menginvasi Bali
di akhir abad ke-19 dan berhasil menguasainya di permulaan abad ke-20,
“tiba-tiba” menjadi sebuah pulau yang dicitrakan oleh pemerintah kolonial
sebagai paradise – surga dunia – dan living museum (serta pencitraan
keeksotikan dan keindahaan yang lain untuk Bali). Sebuah pencitraan yang
sebenarnya bertolak-belakang dengan penilaian para pejabat kolonial
(Belanda, dan Inggris untuk waktu yang singkat, serta pendatang /
pedagang asing) sebelum menginvasi dan menguasai Bali atas pulau ini
sebagai sebuah tempat yang penuh kebrutalan. Selain kondisi di pulau ini
yang selalu diwarnai dengan peperangan antar kerajaan, Bali dikenal
sebagai pengekspor budak terbesar di wilayah Nusantara di masa
pemerintahan kolonial Belanda, serta praktek “pembakaran janda” masih
dilakukan. Bagaimana sebuah power – yang dalam kasus ini adalah
pemerintah yang berkuasa dengan dukungan pemikiran dari para
intelektual orientalis Barat – berhasil mendongkrak citra Bali sebagai
paradise (dapat dikatakan, penyitraan tersebut masih melekat sampai saat
ini) yang menjadi perhatian banyak peneliti (asing) atas pencitraan
identitas Bali yang terkonstruksi.
Salah satunya adalah Adrian Vickers (1996) melalui bukunya yang
terkenal “Bali: A Paradise Created”54. Melalui bukunya tersebut, Vickes
53
Mengutip Geertz (1992, edisi terjemahan) dalam Tafsir Kebudayaan, hlm. 137:
“Menjadi entah Kristen atau Muslim, dalam mata
mereka, sama dengan berhenti menjadi orang Bali, dan
memang seseorang individu yang langka yang bertobat
masih dianggap, malah oleh kebanyakan orang yang
toleran dan yang terpelajar, teleh meninggalkan tidak
hanya agama Bali melainkan Bali, dan barangkali
dianggap gila.”
37
mengulas bagaimana penyitraan Bali sebagai paradise dikonstruksikan –
pertama kali – oleh pemerintah kolonial Belanda setelah berhasil
menguasai Bali di awal abad ke-20 (sekitar tahun 1908) melalui sebuah
invasi militer berdarah. Ada kekontrasan yang terjadi ketika pencitraan
tersebut berhasil dikontruksikan seolah-olah adalah Bali yang
sesungguhnya, seperti yang ditulis oleh Vickers (1996):
“The nineteenth-century sailor who was
challenged in th market of north Bali bya kriswielding warriors, and the twenttieth-century
tourist who watched astounding dances in the
Bali Beach Hotel both experienced something
of the real Bali.”
55
Selama tahun 1920-an dan 1930-an penyitraan atas Bali mulai ditancapkan
oleh pemerintah kolonial, dan tahun 1950-an – pasca-kolonial – penyitraan
tersebut sudah menjadi tetap (paten) dan melekat pada masyarakat Bali
sebagai objek dari penyitraan tersebut. Tahun 1920-an adalah permulaan
proyek Balinisasi atau Baliseering oleh pemerintah kolonial, dan
permulaan pengontruksian identitas atas Bali. Melalui proyek Balinisasi
tersebut pemerintah kolonial ingin mengembalikan Bali seperti sedia kala
– menjadi Bali seperti di masa kerajaan sebelum dihancurkan oleh invasi
Belanda. Dengan kata lain, mentradisionalkan Bali seperti aslinya. Melalui
proyek Balinisasi juga, pihak Belanda menginginkan agar masyarakat Bali
secara mandiri dan otonom bisa terus mempertahankan dan melestarikan
identitas kebaliannya – sebuah tindakan yang ceroboh karena di sisi yang
lain Belanda telah menghancurkan tatanan sosial masyarakat Bali pasca
invasi militer bedarahnya dan menunjuk bangsawan-bangsawan yang mau
tunduk kepada Belanda sebagai punggawa kembalinya Bali ke tatanan
aslinya, dan ini telah menimbulkan permasalahan sosial dan politik di
54
Vickers, Adrian. (1996), Bali: A Paradise Created, Singapore: Periplus Edition.
55
Vickers, Adrian. (1996), op.cit. hlm. 4-5. Terjemahan bebasnya oleh penulis:
“Abad ke-19 pelaut (pedagang) dihadang (ditantang) dalam sebuah pasar di Bali
utara oleh pasukan berkeris, dan abad ke-20 wisatawan disuguhkan tarian yang
memukau di Hotel Bali Beach, keduanya menunjukkan (pengalaman) sesuatu
yang riil (nyata) dari Bali.”
38
dalam masyarakat Bali, seperti yang diungkapkan Robinson (1995) 56 dan
Schulte Nordholt (2009) 57. Salah satu pertimbangan utama pihak Belanda
waktu itu adalah fakta Bali sebagai satu-satunya wilayah (pulau) Hindu di
tengah dominasi Islam di kepulauan Nusantara. Bali merupakan satusatunya wilayah Hindu yang masih bertahan, dan ini merupakan warisan
dari Kerajaan Hindu Jawa yang harus dipertahankan dan dilestarikan
eksistensinya dari ancaman (kegiatan misioner) Islam dan Kristen58. Di
samping itu, dengan mentradisionalkan Bali dengan proyek Balinisasi dan
melibatkan orang Bali sendiri (elit-elit, atau bangsawan pilihan Belanda)
maka, selain melindungi Bali dari kedua ancaman tersebut, juga yang
terpenting bagi Belanda adalah melindungi Bali (sebagai bagian dari
wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda) dari gerakan-gerakan
nasionalis yang sudah berkembang luas di Hindia Belanda, khususnya
Jawa yang sangat dekat dengan Bali secara geografis. Pertimbangan utama
berikutnya adalah ekonomi – (hanya) melalui sektor pariwisata Bali bisa
memperkokoh perekonomian, karena pulau yang kecil tidak memiliki
sumber daya yang mumpuni untuk kegiatan perdagangan hasil bumi,
kecuali keeksotisan Bali (di masa kerajaan mengandalkan perdagangan
budak), dan pemerintah kolonial bisa mengambil keuntungan melalui
sektor pariwisata ini. Karenanya, identitas Bali harus dikontruksikan ulang,
dari citra yang “brutal” menjadi “paradise” agar bisa mendongkrak
industri pariwisata di Bali59.
56
Lihat: Robinson, Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political
Violence in Bali, Ithaca and London: Cornell University Press. Edisi terjemahan:
Robinson, Geoffrey. (2006), Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik
(terj.), Yogyakarta: LkiS (dialih-bahasakan oleh Arif B. Prasetyo).
57
Lihat: Schulte Nordholt, Henk. (2009), The Spell of Power: Sejarah Politik Bali
1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta.
58
Lihat: Robinson (1995), op.cit, dan Vickers (1996), op.cit.
59
Tahun 1908 Bali sudah mulai dikuasai utuh oleh Belanda, dan tahun 1914 Bali
sudah dijadikan salah satu daerah tujuan pariwista yang diikuti dengan
pengontrolan keamanan oleh pasukan pemerintah kolonial. Tidak sampai tahun
1924 pariwisata Bali sudah dikembangkan setelah perusahaan pelayaran Belanda
rute Singaraja dengan Batavia dan Makassar. Akhirnya, di tahun 1928 “Bali
Hotel” dibangun di Denpasar untuk menampung wisatawan yang akan berkunjung
ke Bali. Lihat: Picard, Michel. (1997), “Cultural Tourism, Nation-Building, and
39
Berdasarkan Vickers (1996) dan Picard (1997, 1999, 2005,
2008) , penulis mengklasifikasikan setidaknya dua alasan mendasar
mengapa identitas Bali dikatakan sebagai sebuah identitas yang
dikontruksikan, di antaranya: (1) ada aktor atau agen, dalam kasus ini
adalah pihak yang memiliki kekuasaan (power), yang mengontruksikan
identitas Bali dengan otoritasnya. Bila mengacu pada Castells (2002)
pengonstruksian (salah bentuk pengonstruksian identitas) identitas ini
dapat dikategorikan sebagai legitimizing identity61 (identitas yang sahih);
(2) kontradiksi fakta sejarah antara citra paradise yang ditanamkan
(identitas yang dikontruksikan) oleh otoritas dengan realitas yang ada,
seperti: surga dunia versus brutalisme62. Ini yang menjadi pertanyaan
60
Regional Culture: The Making of a Balinese Identity”, dalam Picard, Michel &
Wood, Robert E. (Ed.), Tourism, Ethnicity, and the State in Asian and Pacific
Societies, USA: University of Hawai‟I Press Honolulu.
60
Picard, Michel. (1997), op.cit. .
Picard, Michel. (1999), “The Discourse of Kebalian: Transcultural
Constructions of Balinese Identity”, dalam Rubinstein, Raechelle & Connor,
Linda H. (Ed.), Staying Local in the Global Village: Bali in the Twentieth
Century, Honolulu-USA: University of Hawai‟i Press.
Picard, Michel. (2005), “Otonomi Daerah in Bali: The Call for Special
Outonomy Status in the Name of Kebalian”, dalam Erb, Maribeth; Sulistiyanto,
Priyambudi; & Faucher, Carole. (Ed.), Regionalism in Post-Suharto Indonesia,
USA and Canada: RoutledgeCurzon.
Picard, Michel. (2008), „Balinese Identity as Tourist Attraction: From „Cultural
Tourism‟
(pariwisata
budaya)
to
„Bali
Erect‟
(ajeg
Bali)‟,
SAGE
PUBLICATIONS: Tourist Studies 2008; 8; 155.
61
Mengutip Castells (2002), op.cit., hlm. 8:
“Legitimizing identity: introduced by the dominant institution
of society to extend and rationalize their domination vis a vis
social actors, a theme that is at the heart of Sennett‟s theory of
authority and domination, but also fits with various theories of
nationalism.”
62
Untuk melihat kontradiksi sejarah ini – khususnya tragedi-tragedi sejarah atau
“sisi gelap” Bali – yang kontras dengan citra “paradise” secara detail dan
mendalam baca: Robinson (1995), op.cit. dan Schulte Nordholt (2009), op.cit.
Uraian detail Robinson mengambil waktu sejarah mulai dari masa kolonial sampai
pasca kolonial (berdirinya Orde Baru), sedangkan Schulte Nordholt dari masa
40
mendasar kedua penulis ini, apakah itu paradise yang sesungguhnya.
Kontradiksi ini yang memperkuat tesis mereka bahwa identitas Bali
merupakan identitas yang dikonstruksikan, atau dalam bahasanya Vickers
(1996) a paradise created.
Lalu, identitas apa yang dikontruksikan atas Bali? Identitas yang
dikonstruksikan tersebut adalah identitas kebalian. Atau, oleh Picard
(1997, 1999, 2005, 2008) bisa disebut atau diartikan sebagai kebudayaan
Bali atau gabungan dari elemen penting kebudayaan Bali seperti
kepercayaan, adat atau tradisi dan kesenian. Kebudayaan Bali atau
kebalian ini yang kemudian dijadikan sebagai modal utama bagi industri
pariwisata di Bali, dalam bahasanya Picard disebut pariwisata budaya.
Ironisnya, identitas kebalian tersebut mengalami paradoks yang
menyebabkan menghangatnya wacana Ajeg Bali di Bali saat ini. Identitas
kebalian menjadi modal utama bagi industri pariwisata Bali – yang
menyebabkan mereka harus terbuka karena ketergantungan ekonomi Bali
dari sektor industri pariwisata – diperhadapkan dengan tergerusnya
kebudayaan Bali63. Situasi paradoksal dan dilematis ini yang disebutkan
oleh Schulte Nordholt (2007) bagaimana menjadikan Bali sebagai sebuah
“benteng terbuka” – melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri
terhadap dunia luar.
Untuk konteks Indonesia, mengapa Identitas menjadi penting?
Identitas menjadi penting di Indonesia – terutama pasca Suharto –
dikarenakan berkembangnya fenomena politik identitas – selain masalah
identitas ke-Indonesia-an (kebangsaan, nasionalisme) yang masih
dipertanyakan seperti yang dikritik oleh Benedict Anderson untuk
kerajaan sampai kolonial mulai melakukan ekspansi dan invasi sampai berhasil
menguasai Bali (sebelum Jepang menguasai Bali).
63
Lihat: Picard (2008), op.cit. dan Schulte Nordholt, Henk. (2007), Bali: An Open
Fortress 1995-2005 (Regional Autonomy, Electoral Democracy and Entrenched
Identities, Singapore: NUS Press. Edisi terjemahan: Schulte Nordholt, Henk.
(2007), Bali: Benteng Terbuka 1995-2005 (Otonomi Daerah, Demokrasi
Elektoral, dan Identitas-Identitas Defensif) (terj.), Denpasar: Pustaka Larasan dan
KITLV-Jakarta.
41
Indonesia pasca kolonial64. Identitas bisa menjadi masalah dan sumber
permasalahan dikarenakan adanya kesolidaritasan kelompok berdasarkan
identitasnya. Dengan kata lain, ada penguatan identitas, baik penguatan
identitas berbasiskan agama, etnis, golongan atau pun kepentingan.
Permasalahan ini menjadi pelik dan mengganggu proses pembangunan
ketika ada di antara kelompok yang mengalami penguatan identitas
bertemu dalam satu arena yang sama, konflik atau kekerasan bisa dan
berpotensi terjadi – seperti yang dikemukakan Stuart Hall (2000), dalam
konteks globalisasi, bahwa globalisasi menyebabkan penguatan identitas
lokal atau menciptakan identitas-identitas baru, dan ini disebabkan oleh
keterancaman atas dominasi identitas etnik dominan65. Hal ini dapat
dibuktikan dari hasil penelitian Gerry van Klinken (2007)66 yang
menggambarkan kekerasan yang terjadi di Indonesia (terutama kekerasan
berbasiskan identitas etnis dan agama) di saat Indonesia mulai memasuki
masa demokrasi modern pasca Suharto – Van Klinken menyebutkannya
dengan “small town wars”. Pemaparan contoh kasus seperti perang sipil
yang terjadi pada kasus di Kalimantan dan Ambon, cukup jelas bahwa
konflik tersebut menggunakan Identitas etnis dan agama sebagai akar
konflik. Jika tidak ada kesolidan kelompok berbasiskan identitas etnis dan
agama, maka konflik (hampir) tidak dimungkinkan terjadi. Penguatan
identitas kelompok-kelompok berbasis massa ini yang digunakan sebagai
alat propaganda pihak tertentu untuk mengadu domba, dengan menjadikan
Identitas sebagai masalah utamanya. Pembahasan yang lebih menyeluruh
tentang fenomena politik identitas di Indonesia pasca Suharto juga diulas
secara komprehensif dalam buku “Politik Lokal di Indonesia” yang
64
Anderson, B. R. O. G. (1991), Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism, London: Verso. “Imagined Communities”
dalam Indonesia bisa diartikan sebagai komunitas terbayang atau komunitas rekabayang.
65
Hall, Stuart (2000), “The Question of Cultural Identity”, dalam Nash, Kate.
(Ed.), Readings in Contemporary Political Sociology, Oxford: Blackwell.
Hlm.117.
66
Van Klinken, Gerry. (2007), Communal Violence and Democratization in
Indonesia: Small Town Wars, London and New York: Roudledge.
42
dieditori oleh Gerry van Klinken dan Henk Schulte Nordholt (2007)67.
Dalam buku tersebut, yang diulas secara komprehensif dari berbagai kasus
politik lokal di Indonesia, nuansa atau fenomena politik identitas pasca
Suharto – ketika demokrasi diartikan sebagai kebebasan berpendapat dan
bereskpresi seenaknya – menjadi warna dalam politik lokal di Indonesia.
67
Schulte Nordholt, Henk & Van Klinken, Gerry. (2007), Politik Lokal di
Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV Jakarta.
43
44
Download