Areca catechu - BPTP Sumsel

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Potensi Pinang (Areca catechu) sebagai Antelmintik untuk Ternak
The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an anthelmintic for
Livestock
Aulia Evi Susanti*), Agung Prabowo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Kol.H. Burlian No.83 Km.6 Palembang
*)
Penulis untuk korespondensi: 081315265391
email: [email protected]
ABSTRACT
Internal parasit infestation is one of the things that hamper the productivity
of livestock. The use of plants and plant products as medicine has long been
practiced. Betel nut (Areca catechu) has an anthelmintic effect, in particular
from the class Nematode. The main content of betel nut are carbohydrates, fats,
fiber, polyphenols including flavonoids and tannins, alkaloids and minerals.
Dominant alkaloid present in betel nut and are likely to have the effect of
anthelmintic is arecoline and tannin. Some studies use betel nut to prove the
content of anthelmintic has been done on Haemonchus contortus and Ascaridia
galli. The results showed that betel nut contains an anthelmintic and can be used
as an anthelmintic for livestock.
Keywords: Anthelmintic, Betel nut, Livestock
ABSTRAK
Infestasi parasit internal merupakan salah satu hal yang menghambat
produktivitas ternak. Penggunaan tanaman dan produk tanaman sebagai obat telah
lama dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Pinang, yang dalam bahasa latin
dikenal dengan nama Areca catechu L ini memiliki efek antelmintik, khususnya
cacing dari golongan Nematoda. Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat,
lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral. Jenis
alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang
kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin dan senyawa tanin.
Beberapa penelitian penggunaan biji pinang untuk membuktikan adanya kandungan
antelmintik telah dilakukan pada cacing Haemonchus contortus dan Ascaridia galli.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang mengandung antelmintik dan dapat
digunakan sebagai obat cacing untuk ternak.
Kata kunci: Antemintik, Biji pinang, Ternak
PENDAHULUAN
Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak
adalah adanya berbagai penyakit yang merupakan faktor yang langsung
berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Salah satu penyakit yang dapat
404
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
menghambat produktivitas ternak, yaitu penyakit parasit cacing. Menurut
Ronohardjo dan Nari (1977), peternakan di Indonesia tidak dapat membebaskan
diri dari parasit karena kondisi lingkungan Indonesia yang memang
menguntungkan bagi parasit. Iklim tropis yang hangat dan basah memberikan
kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur dan ketahanan hidup
larva dan telur infektif di alam (Satrija et al. 2003). Walaupun penyakit cacingan
tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi
dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing disebut sebagai
penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing, antara lain:
penurunan bobot badan, penurunan kualitas daging, penurunan produktivitas
sebagai ternak potong dan bahaya penularan pada manusia.
Penyakit cacingan merupakan salah satu pola penyakit hewan endemik.
Penyakit ini walaupun normal, tapi pada aras yang tinggi akan mulai timbul suatu
masalah. Pencegahan dan pengobatan cacingan ternak dapat dilakukan dengan
beberapa aplikasi obat komersial yang beredar di pasaran, Akan tetapi obat-obatan
komersial sulit didapatkan di derah terpencil. Obat-obatan tradisional bisa menjadi
alternatif untuk obat-obat yang mahal. Cara pengobatan tradisional untuk
penanganan berbagai penyakit ternak tersebut telah berkembang luas di masyarakat,
baik pengobatan secara ilmiah dapat diterima ataupun pengobatan di luar
keilmiahan. Praktek-praktek pengobatan tersebut sangat membantu dalam
penanganan sementara petugas kesehatan hewan tidak ada. Saat ini sudah banyak
ditemukan khasiat farmakoseutika dari berbagai tanaman, yang dapat dimanfaatkan
untuk penanganan masalah kesehatan ternak, sehingga produktivitas ternak tetap
terjaga atau diperbaiki. Pinang merupakan salah satu tanaman herba potensial, yaitu
tanaman atau bahan alami yang memiliki kandungan kimia yang bersifat
farmakoseutika atau berkhasiat sebagai obat maupun memberikan efek sinergi
dalam pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan
biji pinang dan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan
biji pinang sebagai antelmintik ternak.
PINANG (Areca catechu)
Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat
mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya
berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun
kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan
berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada
awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah
berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna
yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua
dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan
(Depkes RI, 1989). Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat,
polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji
buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine,
arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis alkaloid
yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya
mempunyai efek antelmintik adalah
405
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa
jenis cacing (Lutony, 1993;Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis
sementara (Firgorita, 1991). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah
pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang
termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki
kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak
membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat
menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan
kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga.
Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang
akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki
kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang
tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal,
yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein
sehingga pembelahan sel didalam telur tiadak akan berlangsung pada akhirnya
larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji
pinang digunakan untuk pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk
mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012).
PARASIT INTERNAL PADA TERNAK
Menurut morfologinya cacing parasitik pada dibagi menjadi tiga kelas,
yaitu: trematoda, cestoda dan nematoda. Nematodosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh cacing nematoda atau cacing gilig. Di dalam saluran
pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini menghisap sari makanan yang
dibutuhkan. Nematoda dapat hidup bebas dalam air dan tanah tetapi sebagian
besar spesies hidup berparasit pada tumbuh-tumbuhan dan hewan (Noble dan
Noble, 1989). Cara nematoda menyerap makanan untuk bertahan hidup dalam
hospesnya antara lain dengan menggunakan cavum bucalis dengan melisiskan
jaringan atau menusuk jaringan tersebut, sedang nematoda yang hidup di dalam
cairan tubuh dan jaringan akan menusuk jaringan untuk mengambil darah. Darah
tersebut diambil oksigennya dengan cara difusi di dalam tubuh (Lee, 1965).
Cacing Haemonchus contortus. Haemonchosis merupakan penyakit
cacing nematoda saluran pencernaan yang disebabkan oleh Haemonchus sp pada
domba dan kambing yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan meliputi kerugian penurunan produksi
daging, susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta kematian
ternak. Patogenitas haemonchosis tergantung jumlah larva yang menginfeksi,
hal tersebut tampak pada domba muda yang terinfeksi sebanyak 1500 sampai
2500 larva infektif akan terjadi kematian, sedangkan pada domba dewasa jika
terinfeksi 3000 sampai 6000 larva cacing H.contortus.Telah dilaporkan bahwa
infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba dan ditemukan sebanyak 20.000
sampai 50.000 cacing di dalam abomasum (Colin, 1999).
Cacing Ascaridia galli. Cacing Ascaridia galli merupakan nematoda
parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam petelur (Zalizar et.
al. 2006). Parasit tersebut menyebabkan kerugian kepada peternak berupa
406
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan (Ikeme, 1971, Zalizar &
Rahayu, 2001; Zalizar et al., 2006), penurunan produksi telur (Tiuria, 1991)
serta penurunan kualitas telur (Zalizar et al., 2007). Hal tersebut karena cacing
selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses
pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar, et al. 2006). Penanggulangan
terhadap infeksi parasit cacing yang sering dilakukan pada saat ini adalah
dengan memberi obat cacing (antelmintik). Pemberian antelmintik yang
berulang menimbulkan galur cacing yang resisten (Waller, 1994).
BEBERAPA PENELITIAN PENGGUNAAN BIJI PINANG SEBAGAI
ANTELMINTIK
Ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus.
Penelitian yang dilakukan oleh Beriajaya et al. 1998, bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus
secara in vitro. Penelitian ini dilakukan terhadap cacing dewasa dan larva
cacing. Dalam penelitian ini digunakan biji pinang muda dan tua, yang setelah
dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40oC selama 4
hari. Potongan-potongan biji pinang kemudian dibuat serbuk dan dibuat larutan
biji pinang dalam 6 konsentrasi, yaitu 0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa biji pinang muda dan tua mempunyai pengaruh yang sama
baik terhadap cacing H. Contortus maupun larvanya. Pada cacing dewasa
terlihat bahwa pada konsentrasi 0,1 g/ml cukup memberi pengaruh sehingga
sebagian cacing kedapatan mati. Pada larva cacing terlihat bahwa makin tinggi
konsentrasi biji pinang maka perkembangan larva makin dihambat dimana tidak
terdapat larva yang hidup pada konsentrasi 0,5 g/ml biji pinang tua. Hasil dari
penelitian ini menyimpulkan bahwa biji pinang yang mengandung alkaloid
arekolin mungkin berfungsi sebagai antelmintik (Beriajaya et al., 1998).
Ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli. Penelitian
penggunaan ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli telah
dilakukan oleh Tiwow et al., 2013 secara in vitro. Pengujian menggunakan
ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Biji pinang
sebanyak 2 kg (berat basah) dikeringkan dalam oven suhu 50oC sampai kering,
Tahap selanjutnya simplisia kering digrinder sehingga menjadi simplisia serbuk
dan diayak, kemudian disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat.
Selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Kemudian
A.galli dimasukkan kedalam ke tiga konsentrasi ekstrak etanol biji pinang
tersebut. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak etanol biji pinang
konsentrasi 20% mampu membuat cacing Ascaridia galli menjadi lisis/mati.
Ekstrak biji etanol pinang pada konsentrasi 30% lebih efektif daya
antelmintiknya terhadap cacing cacing Ascaridia galli.
407
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin dan tanin yang
kemungkinannya mempunyai efek antelmintik. Arekolin bersifat racun bagi
beberapa jenis cacing dan menyebabkan paralisis. Senyawa tanin memiliki
kemampuan menghambat enzim dan merusak membran. Membran cacing yang
rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Penelitian
efek antelmintik biji pinang telah dilakukan pada cacing H. Contortus dan
Ascaridia galli. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak biji etanol pinang
memiliki daya antelmintik .
DAFTAR PUSTAKA
Beriajaya, T.B. Murdiati, Suhardono dan C.F. Pantouw. 1998. Pengaruh ekstrak
biji pinang (Areca cathecu) terhadap cacing Haemonchus contortus secara
in vitro. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19
Februari 1998. Bogor: Balitvet. pp: 154-160
Colin, J. 1999. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animals. University
of Pensylvania.
Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. p. 55-58.
Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu)
dosisi efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam
buras [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and
analgesic activity of methanolic axtract of Areca seed collected from
Areca cathecu plant grown in Assm. International journal of
pharmeceutical and chemical sciences 1(2): 2277-5005
Harborne. 1987. Metode fitokomia, penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Bandung : Institut
Teknologi Bandung.
IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on
Cancer, Part I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192
Ikeme MM. 1971. Weight changes in chickens placed on different levels of
nutrition and variying degrees of repeated dosage with Ascaridia galli eggs.
Parasitology 63: 251-260.
Lee, D.L.1965. The physiologi of nematoda. W.H. Freeman and Company. San
Fransisco.
Lutony, T.L. 1993. Pinang sirih komoditi ekspor dan serbaguna. Jakarta:
Kanisius.
408
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Noble, E.R and Noble, G. A.,1989. Parasiologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke
5. terjemahan dari Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl.
Chem, 61 (3): 357-360.
Ronohardjo P, Nari J. 1977. Beberapa Masalah Penyakit Unggas di Indonesia.
Didalam: Ilmu dan Industri Perunggasan. Seminar Pertama, 30-31
Mei 1977. Bogor.
Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB, Tiuria R. 2003. Penggunaan antelmintika untuk
pengendalian kecacingan pada ternak, di dalam: strategi pemanfaatan
anthelmintika untuk pengendalian kecacingan pada ternak. Seminar Sehari,
11 Feb 2003.Bogor : FKH IPB dan PT Capsulgell Indonesia.p 1-7.
Shahidi, F and M. Naczk. 1995. Food phenolics. Technomic Inc, Basel.
Suharsono, S.K.H. 1994. Pengobatan tradisional penyakit cacing ayam buras.
Poultry Indonesia. 173: 14.
Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif
piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi
6:50
Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol
biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan
Ascaridia galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80
Waller, P.J. 1994. The development of anthelmintic resistance in ruminant
livestock. Acta Tropica 56:233-243
Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological
activities on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8):2014 2019.
Zalizar L, Rahayu ID. 2001. Pengaruh penggunaan larutan bawang putih
terhadap penampilan produksi ayam lurik penderita parasit cacing. Jurnal
Agritek Vol. 9 No. 2.
Zalizar L, Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2006. Dampak infeksi Ascaridia galli
terhadap gambaran histopatologi dan luas permukaan vili usus serta
penurunan bobot hidup starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3):
215-222.
Zalizar L, Fadjar. S, Risa. T, Dewi AA. 2007. Respon ayam yang mempunyai
pengalaman infeksi ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan
implikasinya terhadap produktivitas dan kualitas telur. Animal Production.
Jurnal Produksi Ternak 9(2): 92-98.
409
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Keragaan Inpari 13 dengan Berbagai Sistem Tanam Jajar
Legowo di Lahan Sawah Irigasi Dataran Tinggi
di Sumatera Selatan
(Studi Kasus Desa Talang Darat Kota Pagaralam)
The Performance Inpari 13 With Various Legowo Row Planting
System Irrigated Land In Plateau In South Sumatra ( Case Study Of
Village Talang Darat Pagaralam District)
Johanes Amirullah dan NP. Sri Ratmini
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera
Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Palembang
30153 e-mail: [email protected]
ABSTRACT
VUB Inpari 13 is not so much known to the public due to newly released
in late 2013 , this variety has the advantage of early maturity of up to ( 105-124
days ) , with a short life ( very early maturing ) about 103 days , the plants can
be harvested already Inpari 13 , but it is also the high productivity of rice plants
with an average yield of 6.59 t / ha . Along with the development of production
technology of crop management is required a system -specific crop management
such as integrated crop management (PTT) is an innovative and dynamic
approach in an effort to increase production and income of farmers through
participatory component assembly technology with farmers . Field trials
conducted with legowo cropping systems . The purpose of this study to test the
VUB Inpari 13 on dry land plateau , while the location of the assessment carried
out in the Village Talang Darat Kota Pagaralam North Dempo . The results
obtained at the time of harvest production obtained at 2:1 legowo production
system 6,0 ton / ha , 3:1 production of 5.5 tons / ha , 4:1 production of 4,8 tons /
ha .
Keywords : Inpari 13 , dryland , highland
ABSTRAK
VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas
dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki
umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat
genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga
dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen
sebesar 6,59 t/ha. Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan
tanaman ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi
seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan
dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui
410
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di
lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Tujuan dari pengkajian ini
untuk melakukan uji coba VUB Inpari 13 di lahan kering dataran tinggi,
sedangkan lokasi pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo
Utara Kota Pagaralam. Hasil yang didapat pada saat panen produksi yang
didapat pada sistem legowo 2:1 produksi 6 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1
produksi 4.8 ton/ha.
Kata Kunci : Inpari 13, lahan kering, dataran tinggi
PENDAHULUAN
Sektor pertanain komoditas padi sampai saat ini masih merupakan
komoditas yang sangat strategis. Untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat indonesia masih penuhi dari
komoditas padi, karena bahan pangan khususnya beras memberikan sumber energi
dan protein cukup tinggi. Varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis
yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya pertumbuhan
tanamanan menjadi seragam, sehingga panen menjadi serempak, rendemen dan
mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. Selain itu varietas
unggul mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap gangguan hama dan
penyakit dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Sehingga
dapat memperkecil biaya penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan (Suryana
dan Prajog, 1997). VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas
dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki
umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat
genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga
dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar
6,59 t/ha (Sinar Tani, 2011).
Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman
ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis
dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan
komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di lapangan
dilakukan dengan sistem tanam legowo. Sitem tanam legowo muerupakan cara
tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman yang kemudian
diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya ditanam pada barisan
yang kosong dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan. Diharapkan
dari hasil percobaan ini, petani dapat mengadopsi teknologi yang diterapkan.
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk
meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan
memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Pada dasarnya
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi
lebih merupakan metode/strategi, bahkan filosofi bagi peningkatan produksi
melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme
pengganggu tanaman secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan dari sistem
ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, dan
411
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
efisiensi produksi dengan memperhatikan sumber daya yang ada, kemampuan
dan kemauan petani.
BAHAN DAN METODE
Adapun teknologi yang diterapkan pada pada percobaan ini adalah
penggunaan VUB, pengendalian hama dan penyakit serta penggunaan pupuk
yang berimbang. Sedangkan bahan yang digunakan Inpari 13, pupuk organik
dan anorganik, kegiatan ini dilakukan dengan membuat unit percontohan
demplot budidaya padi Inpari 13 seluas 1 ha, sedangkan perlakuan yang
diterapkan dengan pendekatan PTT dengan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1,
untuk penentuan dosis pupuk dengan menggunakan alat PUTS, dari hasil
analisis didapat kebutuhan pupuk adalah sebagai berikut : pupuk kandang 1000
kg, pupuk ZA 100 kg, phonska 100 kg, SP-36 100 kg dan KCl 75 kg. Lokasi
pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo Utara Kota
Pagaralam, pada musi tanam April-Juli 2013. Data yang diambil tinggi tanaman
dan produksi hasil panen ubinan 2,5 x 2,5 m, kemudian data dianalisis secara
deskriftip. Untuk melihat respon petani terhadap penerapan teknologi diambil
data primer dengan mengadakan wawancara langsung pada petani dengan
menggunakan daftar pertanyaan berstruktur atau kuisioner.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inpari 13 nama varietas unggul terbaru BB Padi, varietas ini belum
banyak diketahui oleh masyarakat luas karena baru dilepas akhir tahun 2009.
Dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13
sudah dapat dipanen. Varietas yang sangat genjah ini didukung juga dengan
produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59
t/ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi Inpari 13
Eskripsi Varietas
Bentuk beras
Bentuk tanaman
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Umur tanaman
Tinggi tanaman
Jumlah anakan produktif
Ketahanan terhadap hama wereng
Tahun dilepas
Sumber : Deskripsi varietas padi, 2010
Inpari 13
Panjang dan ramping
Tegak
Pulen
22,40 %
6,59 t/ha
8,0 t/ha
103 hari
101 cm
17 batang
Tahan hama wereng biotipe 1, 2 dan 3
2009
Pertumbuhan Tinggi Tanaman. Dari hasil pengamatan didapat rerata
tinggi tanaman pada saat dilakukan panen dapat dilihat pada Tabel 1.
412
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Tinggi Tanaman
Tinggi Tanaman
Varietas
2:1
3:1
Inpari 13
74,80
71,93
4:1
74,33
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian pupuk dengan dosis
yang tepat dan menerapkan sistem jajar legowo akan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan tinggi tanaman, dari hasil pengamatan sebelum dilakukan
panen, tinggi tanaman dengan menggunakan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1
pertumbuhan tinggi tanaman tidak terlalu meberikan pengaruh yang signifikan,
dimana pertumbuha tinggi tanam tertingi rerata pada sistem 2:1 dan terendah
pada sistem 3:1. Merata nya tingi tanaman, diduga pupuk N,P, dan K yang
diberikan telah terserap bagai tanaman, dan sudah optimal untuk menyediakan N
dalam meningkatkan tinggi tanaman.
Produktivitas. Berdasarkan hasil pengkajian rata-rata produksi dengan
menggunakan sistem jajar legowo dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 3. Rerata Produktivitas Inpari 13 Sistem Jajar Legowo
Varietas
Inpari 13
2:1
6,0
Hasil gkp ton/ha
3:1
5,5
4:1
4,8
Dapat dilihat pada Tabel 2 produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1
produksi 6,0 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4,8 ton/ha. Dari hasil
panen yang dilakukan produksi tertinggi pada jajar legowo 2:1 hal ini diduga
pada sistem 2:1 ini sudah sesuai dan cukup mendapatkan sinar matahari dengan
mengatur sistem jarak tanamnya. Menurut sembiring (2001), sistem tanam
legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah apabila
dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut
terdapat ruang terbuka yang lebih besar diatara dua kelompok barisan tanaman
yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman,
mempermudah petani dalam pengelolaan usahataninya, meningkatkan jumlah
tanam pada kedua bagian pinggir untuk setiap set legowo, sistem tanam berbaris
ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan, dan
meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%.
Respon Inovasi Teknologi. Dari hasil pengkajian adaptasi VUB Inpari
13 didapat respon petani terhadap kegiatan yang telah dilakukan dengan
percontohan melalui demplot, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
413
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Rerata Penerapan Teknologi
Penerapan
Teknologi
Varietas unggul
Pupuk (Urea, SP-36
dan KCl)
Pemberantasan
hama penyakit
Penyiangan
Sistem legowo
1.00-1.67
(kurang baik)
-
Nilai Interval
1.68-2.35
(cukup baik)
2.30
2.36-3.03
(baik)
2.90
-
-
1.75
-
-
2.50
2.85
-
Dapat dilihat pada tabel diatas rata-rata petani dalam penggunaan
varietas unggul (2.90) dan penyiangan (2.85) sudah termasuk dalam kriteria
baik, hal ini sudah menunjukan respon yang baik dari petani dalam
memperkenalkan VUB baru, dan sistem penyiangan gulma sudah sesuai dengan
anjuran. Sedangkan pemupukan berimbang sesuai dengan dosisi anjuran (2.30),
pemberantasan hama penyakit (1.75) dan sistem legowo (2.50) termasuk dalam
kriteria cukup baik. Dari hasil wawancara dengan petani, rendah nya teknologi
yang diterapkan petani dikarenakan dengan modal yang terbatas. Sedangkan
sistem tanam jajar legowo belum terbiasa bagi petani untuk menerapkannya,
anggapan dengan menggunakan sistem legowo selain populasi rumpun tanaman
sedikit, juga sistem kerja padaa saat tanam perlu tenaga kerja orang banyak.
Menurut Sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu
keuntugan adalah memberikan kemudahan petani dalam pengelolaan usahatani
dalam pemupukan susulan, pemberantasan hama dan penyakit serta lebih
memudahkan dalam mengendalikan tikus serta meningkatkan produktivitas padi
hingga mencapai 10-15%.
KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian mengenai uji VUB Inpari 13 dilahan kering dataran
tinggi diperoleh kesimpulan :
1. Rata-rata tinggi tanaman dan produktivitas Inpari 13 yang didapat pada
sistem jajar legowo pertumbuhan tertinggi pada legowo 2:1 dengan tinggi
74,80 cm dan produksi 6 ton gkp t/ha
2. Penerapan respon teknologi yang diterapkan petani VUB Inpari 13, untuk
varietas dan penyiangan termasuk dalam kriteriacukup baik, sedangkan
pemupukan, pemberantasan hama penyakit dan sistem jajar legowo
termasuk kriteria baik.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
414
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pertanian, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT
Departemen Pertanian. Jakarta.
Sembiring H. 2001. Komoditas Unggulan Pertanian Provinsi Sumatera Utara.
Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. Suamtera Utara. 58 p.
Sinar Tani. 2011. Edisi 5-11 Januari 2011 N0.3387 Tahun XLI
Sudharto, T., J. Triastono, E. Sudjitno, A. Syam dan Z. Zaini. 1995. Laporan
Tahunan Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering (UFDP)
TA.1994/1995. Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Suryana dan U.H. Prajogo. 1997. Subsidi Benih dan Dampaknya Terhadap
Peningkatan Produksi Pangan. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian.
Analisis Kebijakan Antisipatif dan Respontif. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Peranian.
415
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Kompos Kulit Udang (EKKU)
Terhadap Pertumbuhan dan Serangan OPT Terung
The Effect of Shrimp Skin Compost Extract to Plant Growth
and Pest of Eggplant
Syahri1*), Renny Utami Somantri1
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks.
+62711410155/+62711411845 email: [email protected]
ABTSRACT
The assessment was carried out at Senabing village, Lahat District from July
until December 2013. In each selected village each of 10 farmers as implementing
activities. Assessment prepared using randomized block design (RBD) with 4
treatments and 5 replication. The treatment was a combination of inorganic
fertilizers and EKKU consisting of: A: Inorganic Fertilizers full dose (= 2 g Urea,
NPK = 20 g), B: ½ dose of inorganic fertilizers (urea = 1 g, NPK = 10 g) + 40 mL
EKKU/L of water, C: 3/4 dose of inorganic fertilizers (urea = 1.5 g, NPK = 15 g) +
EKKU 20 mL EKKU/L of water, and D: 3/4 dose of inorganic fertilizers (Urea =
1.5 g, NPK = 15 g) + 40 mL EKKU/L of water. Planting were done by the following
procedures: first eggplant seeds sown in a plastic tray measuring 30 x 40 cm for 30
days, then transferred seedlings in polybags measuring 10 kg medium containing a
mixture of soil and manure. Fertilization was done 2 times in 2 adn 10 weeks after
planting. Spraying EKKU (dose treatment) was carried out every week until harvest.
The study showed that a dose reduction of 50% inorganic fertilizer combined with
the application EKKU much as 40 mL/L of water is able to suppress the leaf-eating
caterpillars attack, where the attack rate is only 19.2%. Giving EKKU much as 40
mL/L of water at various doses of inorganic fertilizer can improve plant growth
eggplant, where the highest plant growth occurs in inorganic fertilizer reduction by
25% which is 87.0 cm.
Keywords: biopesticide, EKKU, fertilizer, plant growth.
ABSTRAK
Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah
Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat
dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi
pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Di
setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian
disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan
diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik
dan EKKU yang terdiri atas: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK =
20 g), B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40
mL/L air, C: Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis
20 mL/L air, dan D: Pupuk
416
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air.
Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu
disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya
bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam
berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing).
Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst)
dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan
setiap minggu hingga menjelang panen. Hasil pengkajian menunjukkan
pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan
dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat
pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. Pemberian EKKU
sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman
tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm.
Kata kunci: biopestisida EKKU, dosis pemupukan, OPT, terung.
PENDAHULUAN
Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang ditanam di Sumatera Selatan. Hampir sebagian besar wilayah
di Sumatera Selatan bisa ditanami dengan komoditas ini. Terung juga
merupakan jenis sayuran yang sangat populer dan disukai oleh banyak orang,
sehingga komoditas itu sangat potensial untuk dikembangkan secara intensif
dalam skala agribisnis. Selama ini pembudidayaan terung umumnya masih
bersifat sampingan di lahan pekarangan, tegalan, ataupun lahan sawah di musim
kemarau. Tidak heran bila hasil rata-rata terung di Indonesia masih rendah yaitu
antara 32,64-34,11kuintal per hektar (Rukmana, 1994). Untuk meningkatkan
produksi terung maka perbaikan teknik budidaya perlu dilakukan.
Tingginya input bahan agrokimia berupa pupuk dan pestisida menjadi
permasalahan dalam budidaya terung. Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia
berkembang sangat pesat, tercatat ada sebanyak 2.810 di tahun 2013 (Direktorat
Pupuk dan Pestisida, 2013). Penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan ini dapat
berdampak buruk bagi ekosistem pertanian. Menurut Wiratno et al. (2013),
penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga
bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga menguragi daya dukung lahan akibat
menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di
dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi,
resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama. Hal ini
diperparah lagi dengan adanya input berupa pupuk anorganik yang bisa
menyebabkan rusaknya tekstur dan struktur tanah. Utami dan Handayani (2003)
menyatakan sistem pertanian yang berbasis bahan fosil (high input energy) seperti
pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan akhirnya menurunkan
produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan perbaikan terhadap
cara budidaya yang dilakukan sehingga lebih aman terhadap lingkungan sehingga
akan tercapai keseimbangan ekosistem. Penggunaan biopestisida sekaligus juga
biofertilizer merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi
417
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
risiko ketergantungan terhadap input bahan kimiawi sintetik. Salah satu bahan
yang efektif dan ramah lingkungan adalah ekstrak kompos kulit udang (EKKU).
EKKU diketahui efektif mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman kacang
panjang, cabai dan kubis (Suwandi, 2004), ketimun dan oyong (Syahri et al.,
2014), dan virus kuning pada cabai (Syahri dan Somantri, 2014). EKKU juga
diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, penggunaan
EKKU pada tanaman terung belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan dalam rangka mengetahui efektivitas EKKU dalam menekan penyakit
dan meningkatkan pertumbuhan pada tanaman terung.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu. Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu
Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang.
Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan BPTP Sumatera Selatan
sejak bulan Juli sampai Desember 2013.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah ekstrak kompos kulit
udang-EKKU (Bio-Fitalik) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya, benih terung (Matahari), pupuk kandang
(kotoran sapi dan kambing), pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl dan NPK
Pelangi 20:10:10), polybag ukuran 10 kg. Alat yang digunakan adalah sprayer 1
L, gelas ukur, mikroskop, timbangan, alat tulis, dan gunting.
Rancangan Pengkajian. Pengkajian dilaksanakan di 2 desa yakni Desa
Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang, di setiap
desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian
disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan
dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk
anorganik dan EKKU yang terdiri dari:
A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK = 20 g)
B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40 mL/L
air.
C : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 20
mL/L air.
D : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40
mL/L air.
Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih
dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari,
selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung
media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak
sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu
setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai
perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen.
Jenis Hama dan Penyakit yang Menyerang. Pengamatan hama penyakit
yang menyerang pada masing-masing tanaman dilakukan mulai dari satu minggu
setelah tanam hingga delapan minggu setelah tanam. Penentuan penyakit didasarkan
pada gejala yang muncul pada tanaman. Identifikasi penyakit dilakukan dengan
mengambil daun tanaman sakit di lapangan dan dibawa ke
418
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
laboratorium untuk diidentifikasi penyebabnya dengan menggunakan mikroskop
yang mengacu pada prosedur diagnosis penyakit tanaman. Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk selanjutnya dianalisis secara
deskriptif.
Keparahan Hama/Penyakit. Keparahan hama/penyakit dihitung dengan
menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009):
I
(n  v)
100%
NZ
Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah
seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi.
Skala kerusakan daun didasarkan pada kriteria: 0 = tanaman sehat/tidak ada
serangan; 1 = >0-20% tanaman terserang; 2 = >20-40% tanaman terserang; 3 = >4060% tanaman terserang; 4 = >60-80% tanaman terserang dan 5 = >80-100%
tanaman terserangData yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif.
Pertumbuhan Tanaman. Data pertumbuhan tanaman yang dikumpulkan
meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang yang diamati saat pertumbuhan
tanaman maksimum. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasikan untuk
dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam menggunakan program
SPSS versi 11.0.
HASIL
Jenis Hama Penyakit yang Menyerang. pengamatan jenis hama dan
penyakit yang muncul pada terung disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hama penyakit tanaman terung yang menyerang selama
kegiatan pengkajian.
Jenis OPT
Ulat pemakan daun
Kutu kebul
Bercak daun
Keterangan:
- = tidak ada serangan
A
+
+
B
+
-
Perlakuan
C
+
-
+ = serangan ringan
D
++
-
++ = serangan berat
Intensitas Serangan Hama
Hasil pengkajian terhadap serangan ulat pemakan daun disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Intensitas serangan ulat pemakan daun
Intensitas penyakit pada petani ke- (%)
Perlakuan
Rerata (%)
I
II
III
IV
V
A
4
16
32
40
12
20,8a
B
16
16
28
20
16
19,2a
C
40
24
24
20
40
29,6a
D
48
4
20
12
44
25,6a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05
419
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pertumbuhan Tanaman Terung. Pertumbuhan tanaman terung pada
kajian ini diamati dari dua parameter pertumbuhan tanaman yakni tinggi dan
jumlah cabang tanaman terung. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata
juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 3).
Tabel 3. Pertumbuhan tanaman terung yang diaplikas EKKU pada berbagai
dosis pemupukan anorganik
Perlakuan
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah cabang
A
57,4a
2,6a
B
62,9ab
3,4a
C
81,4ab
3,0a
D
87,0b
2,5a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05
PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap jenis OPT yang menyerang pada pertanaman
terung selama pengkajian menunjukkan bahwa serangan OPT didominasi oleh
serangan serangga hama, sedangkan serangan patogen sangat rendah. Bahkan,
serangga penghisap. Penggunaan EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang
dikombinasikan dengan pengurangan dosis pemupukan hingga 50% (pelakuan
B) dapat menekan intensitas serangan ulat pemakan daun terung. Hal ini terlihat
dari serangan yang paling rendah yakni 19,2%. Namun, pemberian EKKU
dengan berbagai dosis yang dikombinasikan dengan pengurangan pupuk
anorganik sebanyak 25% (perlakuan C dan D) ternyata memberikan penekanan
serangan hama yang lebih rendah dibandingkan tanpa penggunaan EKKU
(perlakuan A). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan
bahan hara yang terkandung dalam EKKU sehingga menyebabkan tanaman
lebih tumbuh subur sehingga rentan terhadap serangan hama. Kandungan EKKU
yang terdapat dalam Bio-Fitalik yakni glukosamin (minimal 1.000 mg/l),
mikrobia khitinolitik (minimal 3 x 106/L), bakteri pelarut phospat (minimal 1 x
106/L), mikrobia selulotik (minimal 1 x 107/L), dan beberapa unsur hara (total N
850 ppm, P2O5 150 ppm, K2O 50 ppm, nitrat 350 ppm, Ca 450 ppm).
Penekanan hama maupun penyakit tanaman disebabkan karena ekstrak
kompos dapat memacu terjadinya induksi resistensi, antagonisme, dan peningkatan
toleransi tanaman. Menurut Suwandi (2004), efektifitas pengendalian penyakit
menggunakan EKKU pada tanaman sayuran telah dilaporkan terhadap penyakit
daun pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis. Adanya kandungan kulit
udang pada kompos ini, memungkinkan bahan ini lebih efektif dari ekstrak kompos
biasa. Peningkatan aktifitas pengendalian ini dapat terjadi akibat meningkatnya
aktifitas mikroorganisme kitinolitik yang diinduksi oleh kitin yang terdapat pada
kulit udang. Menurut Yurnaliza (2002), kitin merupakan homopolimer dari -1,4 Nsetil-D-glukosamin dan merupakan polimer ke dua terbanyak di alam setelah
selulosa. Enzim kitinase dapat digunakan sebagai biokontrol terhadap serangga dan
jamur penyakit tanaman dan produksi protein
420
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sel tunggal (single cell protein) yaitu dengan menggunakan kitinase untuk
menghidrolisis material kitin dan khamir sumber protein sel tunggal sehingga
diperoleh protein sel tunggal dengan kadar protein dan asam nukleat yang sesuai.
Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena bahan organik EKKU juga
berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan
meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan
tanah (Hastuti, 2000). Hasil kajian menunjukkan bahwa aplikasi EKKU dengan
dosis 40 mL/L air (perlakuan D) memberikan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya yakni 87,0 cm, sedangkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada
perlakuan B yakni aplikas EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan
dengan pengurangan dosis pupuk anorganik sebesar 25%. Hasil ini mengindikasikan
bahwa pemberian EKKU dengan dosis 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan
anorganik ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Suwandi (2004)
menambahkan produksi tanaman juga mengalami peningkatan dengan pemberian
kompos dikarenakan bahan organik juga berperan sebagai sumber hara bagi
tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran
kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan EKKU bahkan dapat
meningkatkan produksi tanaman oyong dan kacang panjang masing-masing sebesar
17,40% dan 246,67% (Syahri et al., 2014).
KESIMPULAN
1. Pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan
dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan
ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%.
2. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan
anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana
pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik
sebesar 25% yakni 87,0 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Kurniawati, S. dan Hersanti. 2009. Pengaruh Inokulasi MVA dan Pemberian
Abu Kelapa Sawit terhadap Perkembangan Penyakit Bercak Coklat
(Alternaria solani Sor.) pada Tanaman Tomat. Widyariset 12(2): 63-69.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Terung. Kanisius, Yogyakarta.
Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian
Penyakit pada Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest
Tropical 1(2):18-24.
Syahri dan R.U. Somantri. 2014. Kajian aplikasi biopestisida berbahan ekstrak
kompos kulit udang (EKKU) pada berbagai dosis pemupukan terhadap
pertumbuhan dan serangan penyakit cabai. Disampaikan pada Seminar
Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014.
421
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan ekstrak kompos kulit udang
(EKKU) dalam pengendalian penyakit dan peningkatan produksi
tanaman sayuran. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian
Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014.
Utami, S.N.H. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem
Pertanian Organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2): 63-69.
Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian,
formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 32(2): 150-155.
Yurnaliza. 2002. Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial
Pendegradasinya. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/826/1/
Biologi-Yurnaliza2.pdf, diakses 1 Juni 2012).
422
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman Padi Akibat
Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
di Lahan Rawa Lebak
The Effect of Integrated Plant Management (IPM) to Rice
Pests and Diseases on Freshwater Land
1
Syahri1*), Renny Utami Somantri1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks.
+62711410155/+62711411845 email: [email protected]
ABSTRACT
Pest attack was causing up to 20% yield losses of rice. Integrated Plant
Management can be used to suppress the yield losses due to pest attack. The
research was conducted on farmers' fields with freshwater land typology. The
treatments consisted of the use of new high yield variety (Inpari 10, Inpari 12,
and Inpari 14), fertilization recomendation based on PUTS dan KATAM,
Legowo 4: 1 with 2-3 seeds/hole, and pest control with the principles of
integrated pest management, whereas for comparison is cultivation by farmers.
Observations were made on the intensity of pest attacks such as blast disease,
injury lever for leaf folder and mole-cricket. The monitoring of organisms using
pitfall traps and light traps. The study showed that the application of ICM on
rice crops give effect to the pest attack. In the IPM-application, the intensity of
leaf folder attacks only <16%, mole cricket <1% and blast <7%. These are lower
than farmer technology. PTT also gives effect to an increase in the population of
natural enemies of pests such as spiders and bees.
Keywords: integrated plant managemend, pest and diseases, yield losses.
ABSTRAK
Serangan organisme pengganggu tanaman dapat menyebabkan kehilangan
hasil padi hingga 20%. Penerapan PTT dengan konsep PHT di dalamnya menjadi
bagian penting yang bisa digunakan untuk menekan kehilangan hasil akibat
serangan OPT. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani dengan tipologi lahan
rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Petak perlakuan terdiri
dari penggunaan VUB (Inpari 10, Inpari 12, dan Inpari 14), pemupukan berdasarkan
KATAM dan PUTS, sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jumlah bibit 2-3
bibit/lubang, dan pengendalian OPT dengan prinsip pengelolaan hama terpadu,
sedangkan sebagai pembanding adalah sistem budidaya yang biasa dilakukan petani
(cara petani). Pengamatan dilakukan pada intensitas serangan OPT penting seperti
penyakit blas, hama putih palsu, orong-orong serta dilakukan juga pengamatan
populasi organisme yang ada pada petak pengkajian dengan menggunakan pitfall
trap dan light trap. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada
pertanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan
PTT, intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%,
423
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini
cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT
dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap
peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah.
Kata kunci: organisme pengganggu tumbuhan, pengelolaan tanaman terpadu,
padi
PENDAHULUAN
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor
penghambat dalam upaya meningkatkan produktivitas padi. Direktorat
Perlindungan Tanaman (2010) melaporkan bahwa kekeringan, kebanjiran, dan
OPT telah menyebabkan sekitar 380 ribu ha sawah terganggu, dan 48 ribu ha di
antaranya gagal panen. Menurut Balitpa (2004), hama dan penyakit tanaman
menyebabkan kehilangan hasil mencapai kira-kira 20%, yang merupakan angka
yang tinggi dalam mengurangi produktivitas tanaman. Berbagai jenis hama
dapat menyerang tanaman padi mulai dari persemaian hingga proses pemanenan.
Selain itu kendala penyakit penting seperti blas (Pyricularia oryzae), hawar
daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae), hawar pelepah, tungro juga
menjadi ancaman dalam budidaya padi di Indonesia. Pada bulan Januari sampai
Juni 2007, di wilayah Sumatera, wereng coklat menyebabkan kerusakan padi
sekitar 95 ha dan menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 250 ton (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007). Selain itu masih banyaknya
serangan hama tikus, tungro dan wereng mempengaruhi penurunan produksi
(www.sripoku.com, 2011). Berdasarkan laporan Balai Perlindungan Tanaman
Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan, beberapa OPT penting yang
menyerang padi di antaranya hama putih palsu, penyakit blas, orong-orong,
kresek, tungro. Tahun 2013 misalnya, serangan penyakit kresek hampir
menyebar di seluruh sentra pertanaman padi di Sumatera Selatan.
Permasalahan OPT ini berpotensi menimbulkan gangguan produksi padi
nasional. Karena itu, upaya untuk mencapai target surplus beras 10 juta ton pada
tahun 2014, tentunya memerlukan dukungan teknologi yang komprehensif.
Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan dan terus-menerus di tingkat
petani semakin memperparah tingkat serangan maupun kerusakan akibat OPT.
Menurut Laba dan Trisawa (2008) dalam Syahri et al. (2011), penggunaan
insektisida dapat menimbulkan dampak terhadap hama utama serta organisme
bukan sasaran. Dampak tersebut di antaranya adalah resistensi dan resurjensi
serangga hama serta terancamnya populasi musuh alami dan organisme bukan
sasaran. Menurutnya, beberapa jenis insektisida menimbulkan resurjensi wereng
coklat, dapat meningkatkan jumlah telur, reproduktivitas/keperidian, stadia
nimfa dan lama hidup serangga dewasa. Tercatat 23 jenis insektisida
menimbulkan resurjensi terhadap wereng coklat. Menurut Villareal (1999),
ketika terjadi epidemi tungro di Filipina tahun 1998, petani melakukan
penyemprotan pestisida sipermetrin setiap minggu. Ternyata pengendalian ini
tidak efektif mengurangi insidensi penyakit tungro dan justru menyebabkan
resurjensi populasi wereng coklat.
424
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka dilaksanakanlah Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi
masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara
bijak. Menurut Jamal (2009), penerapan PTT berpedoman kepada pemahaman
petani terhadap masalah yang dihadapi serta identifikasi peluang pengembangan
yang mungkin dilakukan.
Adapun komponen teknologi PTT terdiri dari komponen teknologi dasar
dan komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar untuk padi rawa
lebak di antaranya varietas modern (VUB, PTB), bibit bermutu dan sehat,
pemupukan N granul, P dan K berdasarkan PUTS, serta PHT sesuai OPT
sasaran. Sedangkan komponen teknologi pilihan di rawa lebak d antaranya
pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (legowo, larikan,
dll), umur bibit, pengelolaan air, pembuatan saluran/caren keliling, pengendalian
gulma terpadu, penanganan panen dan pasca panen (Ditjen Tanaman Pangan,
2013). Menurut Fagi dan Kartaatmaja (2004), komponen teknologi untuk
mengoreksi deteriorasi kesuburan tanah telah diteliti dan hasilnya telah dirakit
dapat paket teknologi pada strategi PTT yang meliputi: (1) pengelolaan unsur
hara spesifik lokasi, (2) pengaturan rejim air yang sesuai dengan fisiko-kimia
tanah, dan (3) penyeimbangan komponen hasil tanaman padi. Oleh karena
itulah, dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai pengaruh PTT terhadap
perkembangan OPT padi khususnya di lahan rawa lebak.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani
dengan tipologi lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas unggul
baru (VUB) Inpari 10, Inpari 12, Inpari 14, biopestisida Bio-Fitalik (ekstrak
kompos kulit udang-EKKU) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya, pupuk anorganik (Urea, SP-36, NPK Phonska
dan KCl), Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Musim Tanam I 2012/2013, dan
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Alat yang digunakan adalah pitfall trap,
light trap modifikasi, knapsack sprayer, gelas ukur, arit, meteran, timbangan,
alat tulis, bambu, dan gunting.
Prosedur Pengumpulan Data. Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu dengan
menentukan lahan masing-masing seluas 1.430 m2 untuk rekomendasi pemupukan
KATAM, PUTS dan perlakuan petani (luas lahan disesuaikan dengan ketersediaan
lahan petani). Pengolahan tanah dilakukan dengan cara olah tanah sempurna yakni
dengan cara dibajak. Dosis pemupukan KATAM dilakukan dengan menggunakan
rekomendasi pemupukan yang tercantum dalam KATAM MT I (dosis NPK
Phonska (15-15-15) sebanyak 225 kg/ha dan 175 kg Urea/ha) dan dengan sistem
tanam jajar legowo 4:1, rekomendasi pemupukan berdasarkan PUTS yakni 150 kg
NPK Phonska (15:15:15)/ha; 200 kg Urea/ha; 10 kg KCl/ha, sedangkan cara petani
dengan dosis pemupukan NPK kebiasaan petani yakni sebesar 300 kg/ha dan Urea
sebanyak 150 kg/ha dengan sistem tanam tegel (20 x 20 cm). Pemupukan dilakukan
sebanyak 3 kali yakni pemupukan I pada umur 0-1
425
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
minggu setelah tanam (mst), pemupukan II umur 3-4 mst, dan pemupukan III
pada umur 7-8 mst. Pemupukan dilakukan dengan cara ditebar/dihambur di
seluruh permukaan lahan. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu benih
direndam dalam larutan 20 ml Bio-Fitalik/L air selama 24 jam selanjutnya
diperam selama 2 hari. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit
berumur + 30 hari. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara diterbas dan
menggunakan herbisida, sedangkan pengendalian OPT dilakukan dengan
menggunakan perangkap cahaya dan pestisida kimiawi yang diaplikasikan
sesuai dengan tingkat serangan OPT dengan mengikuti prinsip PHT.
Paramater Pengamatan. Pengamatan tingkat serangan OPT dilakukan
seminggu sekali sejak awal penanaman hingga menjelang panen. Sampel
tanaman untuk pengamatan OPT dipilih secara diagonal dengan jumlah sampel
tanaman yakni 10 tanaman. Intensitas serangan OPT dihitung dengan
menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009):
I
(n  v)
100%
NZ
Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N =
jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala
tertinggi. Untuk mengetahui populasi OPT terutama serangga pada petak
pertanaman juga dilakukan penangkapan dengan menggunakan pitfall trap dan
light trap. Serangga yang diperoleh selanjutnya dihitung dan diidentifikasi
jenisnya.
HASIL
Intensitas Serangan Hama. Pengaruh pemupukan yang tidak tepat dan
penggunaan varietas rentan dapat berakibat pada kerentanan tanaman terhadap
serangan OPT. Menurut Baehaki (2009), pemberian pupuk yang disesuaikan
dengan kebutuhan tanaman merupakan salah satu cara dalam menekan
perkembangan hama penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa
OPT yang banyak menyerang di antaranya hama putih palsu (HPP) yang
menyerang pada stadia vegetatif awal, orong-orong terutama pada lokasi yang
tidak tergenang. Tingkat serangan HPP ditampilkan pada Gambar 1.
426
Prosiding Seminnar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Gambar 1. Pengaruh penerapan PTT pada berbagai varietas padi
terhadap serangan hama putih palsu.
Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan HPP terutama terjadi pada stadia
vegetatif (umur 0-5 mst). Penerapan PTT pada semua varietas padi ternyata
memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan seranngan HPP
dibandingkan dengan cara petani, namun secara umum serangannya masih
cukup rendah. Hasil pengamatan tingkat serangan orong-orong pada padi
disaajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat seranggan orong-orong pada padi
Jumlah tanaman mati pada minggu ke- (mst)
Varietas
I
II
III
Inpari 10 (PUTS)
10
0
0
Inpari 10 (KATAM)
0
0
0
Inpari 12 (PUTS)
15
4
0
Inpari 12 (KATAM)
19
1
0
Inpari 14 (PUTS)
23
0
0
Inpari 14 (KATAM)
15
1
0
Inpari 12 (CARA PETANI)
30
3
0
Hasil tangkapan light trap dan pitfall trap selama penelitian ditunjukkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa organisme yang tertangkap pada pitfall trap dan lighht trap
Jenis Perangkap
Jenis Organisme
Jumlah (ekor)
Pitfall trap
Hymenoptera
26
Arachnida
3
Coleoptera
2
Light trap
Hymenoptera
99
Lepidoptera
1
Coleoptera
2
Homoptera
31
427
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Intensitas Serangan Penyakit. Tingkat serangan penyakit blas
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Intensitas serangan penyakit blas pada padi
Perlakuan
Intensitas Serangan (%)
Inpari 10 (PUTS)
0
Inpari 10 (KATAM)
1,1
Inpari 12 (PUTS)
0
Inpari 12 (KATAM)
1,1
Inpari 14 (PUTS)
6,7
Inpari 14 (KATAM)
Inpari 12 (CARA PETANI)
4,4
0,9
Tabel 3 memperlihatkan bahwa serangan penyakit blas relatif rendah yakni
masih <7%. Serangan penyakit blas tertinggi terjadi pada varietas Inpari 14
dengan berbagai metode pemupukan. Sedangkan pada varietas Inpari 10 dan
Inpari 12 serangan penyakit relatif rendah <2%. Varietas Inpari 12 merupakan
varietas padi yang tahan terhadap penyakit blas ras 033 dan agak tahan terhadap
ras 133 dan 073 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012). Menurut Sutami
et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis
patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan.
PEMBAHASAN
Beberapa OPT penting yang umum menyerang pertanaman padi di
rawa lebak antara lain:
1. Penyakit Blas/Busuk Leher
Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae. Penyakit ini
umumnya terdapat di pertanaman yang subur. Pada masa batang padi tumbuh
memanjang (+ umur 55 hari) tanaman sangat rentan terinfeksi daun. Penyakit
ini dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit dan biji dalam bentuk miselia
dan konidia. Tingkat keparahan penyakit blas sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Kelebihan nitrogen dan kekurangan air menambah
kerentanan tanaman. Diduga bahwa kedua faktor tersebut menyebabkan kadar
silikon tanaman rendah. Kandungan silikon dalam jaringan tanaman
menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi
terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang
berkadar silikon rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Pupuk
nitrogen berkorelasi positif terhadap keparahan penyakit blas. Artinya makin
tinggi pupuk nitrogen keparahan penyakit makin tinggi.
Penyakit dapat timbul pada daun, batang, bunga, malai dan biji dan sangat
jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong
dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan
428
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
biasanya mempunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala khasnya
adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai
menjadi mudah patah.
Pengendalian yang dapat dilakukan di antaranya: menggunakan varietas
tahan secara bergantian untuk mengantisipasi perubahan ras cendawan yang
relatif cepat, pemupukan nitrogen sesuai anjuran, mengatur waktu tanam yang
tepat, agar waktu awal pembungaan (heading) tidak banyak embun dan hujan
terus-menerus, pengendalian secara kimiawi dengan gunakan fungisida (bila
diperlukan) yang berbahan aktif metil tiofanat atau fosdifen dan kasugamisin.
2. Walang sangit
Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase
pemasakan. Serangga ini akan mempertahankan diri dengan mengeluarkan bau
apabila diganggu. Selain sebagai mekanisme pertahanan diri, bau yang
dikeluarkan juga digunakan untuk menarik walang sangit lain dari spesies yang
sama. Fase pertumbuhan tanaman padi yang rentan terhadap serangan walang
sangit adalah dari keluarnya malai sampai matang susu. Kerusakan yang
ditimbulkannya menyebabkan beras berubah warna dan mengapur, serta hampa.
Ambang ekonomi walang sangit adalah lebih dari 1 ekor walang sangit per dua
rumpun pada masa keluar malai sampai fase pembungaan. Mekanisme
merusaknya yaitu menghisap butiran gabah yang sedang mengisi.
Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktuwaktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil
mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat
menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang
sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara
kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa
serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu minggu dapat
menurunkan hasil 27%. Kualitas gabah (beras) sangat dipengaruhi serangan
walang sangit. Diantaranya menyebabkan meningkatnya grain discoloration.
Sehingga serangan walang sangit disamping secara langsung menurunkan hasil,
secara tidak langsung juga sangat menurunkan kualitas gabah.
3. Penggerek batang padi (stem borer)
Penggerek batang padi merupakan hama yang sangat penting pada padi
dan sering menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil panen secara
nyata. Terdapatnya penggerek di lapang dapat dilihat dari adanya ngengat di
pertanaman dan larva di dalam batang. Mekanisme kerusakan disebabkan
larva merusak sistem pembuluh tanaman di dalam batang. Stadia tanaman
yang rentan terhadap serangan penggerek adalah dari pembibitan sampai
pembentukan malai. Gejala kerusakan yang ditimbulkannya mengakibatkan
anakan mati yang disebut sundep pada tanaman stadia vegetatif dan beluk
(malai hampa) pada tanaman stadia generatif. Siklus hidupnya 40-70 hari
tergantung pada spesiesnya. Ambang ekonomi penggerek batang adalah 10%
anakan terserang; 4 kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Perlu
diketahui bahwa kerusakan pada stadia generatif maka tindakan pengendalian
sudah terlambat atau tidak efektif lagi.
Penggerek batang padi terdapat sepanjang tahun dan menyebar di seluruh
Indonesia pada ekosistem padi yang beragam. Intensitas serangan penggerek
batang padi pada tahun 1998 mencapai 20,5% dan luas daerah yang terserang
429
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mencapai 151.577 ha. Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang
padi pada stadia vegetatif tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat
mengkompensasi dengan membentuk anakan baru.
4. Keong mas (golden apple snail)
Keong mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman dan
memakannya, menyebabkan adanya bibit yang hilang di per-tanaman. Bekas
potongan daun dan batang yang diserangnya terlihat mengambang. Waktu kritis
untuk mengendalikan keong mas adalah pada saat 10 hari setelah tanam pindah,
atau 21 hari setelah sebar benih (benih basah). Setelah itu laju pertumbuhan
tanaman lebih besar daripada laju kerusakan oleh keong mas. Bila di sawah
diketahui ada keong mas, perlu dilakukan pengaturan air karena keong mas
menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Jika petani menanam dengan
sistem tanam pindah maka pada 15 hari setelah tanam pindah, sawah perlu
dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian (flash flood = intermitten
irrigation). Bila petani menanam dengan sistem tabela (tanam benih secara
langsung), selama 21 hari setelah sebar benih sawah perlu dikeringkan kemudian
digenangi lagi secara bergantian. Selain itu perlu dibuat caren di dalam dan di
sekeliling petakan sawah sebelum tanam, baik di musim hujan maupun kemarau.
Ini dimaksudkan agar pada saat dilakukan pengeringan, keong mas akan menuju
caren sehingga memudahkan pengambilan keong mas dan sebagai salah satu cara
pengendaliannya.
Keberadaannya di lapang ditandai oleh adanya telur berwarna merah
muda dan keong mas dengan berbagai ukuran dan warna. Keong mas
merupakan salah satu hama penting yang menyerang padi muda terutama di
sawah yang ditanam dengan sistem tabela.
Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan diantaranya: secara fisik,
menggunakan saringan berukuran 5 mm mesh yang dipasang pada tempat air
masuk di pematang untuk meminimalkan masuknya keong mas ke sawah dan
memudahkan pemungutan dengan tangan, secara mekanis dengan memungut
keong dan menghancurkannya, bila di suatu lokasi sudah diketahui bahwa
keong mas adalah hama utama, sebaiknya tanam bibit yang tua dan tanam
lebih dari satu bibit per rumpun; buat caren di dalam dan di sekeliling petakan
sawah, mengaplikasikan pestisida yang berbahan aktif niclosamida dan
pestisida botani seperti lerak, deris, dan saponin.
Serangan HPP pada lokasi pengkajian cenderung meningkat pada minggu
ke-2 setelah tanam, dan menurun kembali pada periode selanjutnya. Hal ini
disebabkan karena pada minggu ke-3 setelah tanam dilakukan penyemprotan
insektisida berbahan aktif deltametrin sehingga terjadi penurunan persentase
serangan pada 4-5 mst. Serangan HPP terendah terjadi pada varietas Inpari 12
yang diberi pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTS (intensitas serangan
<2%). Sedangkan, tingkat serangan tertinggi terjadi pada padi varietas Inpari 12
dengan perlakuan tanam mengikuti cara petani.
Selain serangan HPP, pada petak pertanaman juga terdapat serangan orongorong (Gryllotalpa sp.). Orong-orong merupakan salah satu hama penting yang
menyerang perakaran tanaman padi, gejala yang ditimbulkannya yakni rusaknya
bagian perakaran padi sehingga menyebabkan padi menguning dan mati.
430
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Serangan orong-orong terutama pada padi yang tumbuh pada lokasi yang tidak
tergenang (kering).
Serangan orong-orong pada semua petak perlakuan relatif rendah (<1%
dari populasi tanaman), hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan dalam
kondisi tergenang air. Bahkan, pada minggu ke-3 tidak terdapat lagi tanaman
yang mati karena orong-orong (Tabel 1). Hal ini dikarenakan telah dilakukan
aplikasi insektisida karbofuran pada lokasi pertanaman terutama pada pinggir
petak perlakuan yang kondisinya tidak tergenang.
Selanjutnya, untuk menekan serangan OPT yang aktif pada malam hari
(nocturnal pest) dilakukanlah penangkapan dengan menggunakan perangkap cahaya
yang dimodifikasi (light trap), perangkap ini dibuat dengan menggunakan corong
air berukuran besar dengan diameter + 30 cm, dengan cahaya bersumber dari lampu
senter (Gambar 2). Sedangkan, untuk mengidentifikasi jenis serangga yang ada pada
tanah dilakukan dengan menggunakan perangkap sumuran (pitfall trap) yang
dipasang di setiap petak perlakuan.
Gambar 2. Perangkap cahaya yang telah dimodifikasi
Hasil tangkapan dengan menggunakan pitfall trap maupun light trap
menunjukkan bahwa organisme yang tertangkap terdiri dari berbagai jenis
organisme. Tabel 2 menunjukkan bahwa populasi organisme pada petakan
penerapan PTT didominasi oleh organisme yang bermanfaat sebagai musuh
alami seperti dari ordo Hymenoptera (lebah) dan Arachnida (laba-laba).
Hymenoptera merupakan kelompok serangga yang didominasi oleh parasitoid,
sedangkan arachnida berperan sebagai predator serangga hama. Oleh karena itu,
hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama yang tertangkap
relatif rendah karena kemungkinan disebabkan adanya penekanan populasi oleh
musuh alami tersebut.
Menurut Baehaki (2009), teknologi yang dikembangkan untuk
mengendalikan hama pada pertanaman padi didasarkan kepada konsep
pengendalian hama terpadu (PHT) dengan mempertimbangkan ekosistem,
stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai dengan tuntutan praktek pertanian
yang baik (Good Agricultural Practices). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan PTT yang di dalamnya menggunakan taktik pengendalian OPT
berdasarkan prinsip PHT ternyata mampu menekan serangan berbagai jenis
hama padi.
431
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Hasil penelitian pengaruh PTT terhadap serangan penyakit padi
menunjukkan bahwa penyakit yang menyerang pada setiap perlakuan
didominasi oleh serangan penyakit blas yang disebabkan oleh jamur Pyricularia
oryzae. Menurut Semangun (2004), penyakit blas dapat menyerang daun,
batang, bunga, malai dan biji dan sangat jarang muncul pada upih daun. Gejala
pada daun, berbentuk bercak jorong dengan ujung runcing. Pusat bercak
berwarna kelabu atau keputih-putihan dan biasanya mempunyai tepi coklat atau
coklat kemerahan. Gejala khasnya adalah membusuknya ujung tangkai malai
(busuk leher) sehingga malai menjadi mudah patah.
Menurut Sutami et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling
sesuai apabila jenis patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan
pergiliran varietas tahan. Untuk menekan berkembangnya penyakit blas selama
penelitian, maka pemupukan ke-3 (susulan II) tidak dilakukan serta dilakukan
juga pengendalian dengan menyemprotkan fungisida. Tindakan ini dilakukan
karena penyakit blas akan semakin bertambah parah jika dosis pemupukan N
tinggi (Semangun, 2004). Selain itu, kondisi cuaca saat penelitian dengan
intensitas hujan yang tinggi yang justru akan membantu. Menurut Roja (2009),
kondisi seperti ini menyebabkan spora jamur penyebab blas (Pyricularia grisea)
banyak dilepaskan ke udara, dan spora-spora ini akan menginfeksi tanaman padi
sehingga menimbulkan kerusakan tanaman.
Perbedaan dosis pemupukan, jenis varietas maupun tindakan pengendalian
akan sangat mempengaruhi serangan penyakit tanaman. Serangan penyakit
seperti blas daun cenderung lebih rendah pada varietas Inpari 10 dan Inpari 12
yang diberi pupuk berdasarkan rekomendasi PUTS. Menurut Wood (1974)
dalam Supriatna (2003), pemupukan dengan Kalium dan Fosfat dapat
menurunkan insidensi serangan hama penyakit. Kekurangan Kalium akan
menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dan vigor tanaman, penurunan
ketahanan tanaman, dan menyebabkan akar tanaman berkembang lambat
sehingga mudah diinfeksi penyakit akar (Anonim, 1988 dalam Supriatna, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian, teknologi PTT yang terdiri dari penggunaan
varietas unggul baru tahan OPT, pemupukan berdasarkan rekomendasi
(KATAM maupun PUTS) serta taktik pengendalian OPT menggunakan prinsip
PHT memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan OPT pada
pertanaman padi. Dengan adanya penurunan serangan OPT ini diharapkan
tanaman padi akan tumbuh dengan baik dan memberikan produktivitas yang
baik pula sehingga target produksi yang diharapkan petani maupun pemerintah
dapat tercapai.
KESIMPULAN
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada pertanaman
padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan PTT,
intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%, orong-orong <1% dan
penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini cenderung lebih rendah
pada padi yang menggunakan teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani.
PTT juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi musuh alami
hama seperti laba-laba maupun lebah.
432
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
433
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Baru
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian
Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kalender Tanam
Terpadu. http://katam.litbang.deptan.go.id.[12 Januari]2013.
Baehaki, SE. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam
Perspektif Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices).
Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 65-78.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2004. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan
Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Sukamandi.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.
Kementerian Pertanian.
Fagi, AM dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan
dan Peluang. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting:
Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Roja, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT) Padi
Sawah. BPTP Sumatera Barat.
Santos, A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabhu. 2003. Rice ratooning management
practices for higher yields. Communication Soil Science. J. Plant Anal 34:
881-918.
Semangun, H. 2004. Hama dan Penyakit Penting Tanaman Pangan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sriwijaya Post Online (http://www.sripoku.com, Edisi Tanggal 20 Juni 2010 dan
11 Januari 2011)
Supriatna, A. 2003. Integration pest management and its implementation by rice
farmer in Java. Jurnal Litbang Pertanian 22(3): 109-115.
Sutami, B. Prayudi, dan S. Sulaiman. 2001. Reaksi Ketahanan Galur-galur Padi
Rawa Pasang Surut terhadap Penyakit Blas Leher. Di dalam: Prayudi B, et
al. (eds), Pegelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Prosiding
Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Lahan
Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan Konsumen;
Banjarbaru, 4-5 Juli 2000. p 127-137.
434
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Kedelai Melalui
Pendekatan PTT Mendukung SL-PTT Kedelai
Di Sulawesi Tengah
Adaptation Some New Varieties of Soybean Through
Supports PTT approach SLPTT Soybean
In Central Sulawesi
Ruslan Boy*), Yakob Langsa1, Saidah2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 081354259888/0451482549
email: [email protected]
1
ABSTRACT
This study aims to obtain new varieties soybeans adaptive and has a high
yield potential through the approach of Integrated Crop Management (ICM)
supports soybeans in Central Sulawesi. Location studies on dry land Luwuk
District of East Village Lauwon Banggai and Wood Village District Court
District of Mepanga Moutong Parigi. Using Split plot design consisting of a
main plot and subplot. The main plot is the location/village activities. The
subplots were soybean varieties consisting of varieties Tanggamus, Argomulyo,
Willis and Kaba. Each treatment was repeated 3 times. Broad swath of
assessment 5 mx 5 m using a spacing of 40 cm x 15 cm at planting 2 seeds
planting hole. The results of the study show that the introduced varieties 4 shows
the different productivity of the development site. Banggai varieties Tanggamus
obtain the highest yield of 3.16 t/ha followed by Kaba 3.00 t/ha, Willis 2.40 t/ha,
and Argomulyo 2.20 t/ha, while in the District Parigi Moutong Willis varieties
2.20 t/ha Tanggamus ha followed by 2.08 t/ha and Argomulyo and Kaba obtain
the same result of 1.60 t/ha. Conclusion that the varieties Tanggamus and
adaptive willis to be developed at each study site because it gives results in
higher soybeans seed, which Tanggamus varieties of 3.16 t/ha and Willis 2,40
t/ha as compared to other varieties.
Keywords : Adaptation , yielding varieties , soybeans , Results
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru (VUB)
kedelai yang adaptif dan memiliki potensi hasil tinggi melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi
Tengah. Lokasi kajian di lahan kering Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur
Kabupaten Banggai dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi
Moutong. Menggunakan rancangan Split Plot yang terdiri dari petak utama dan anak
petak. Petak utama adalah lokasi/desa tempat kegiatan. Anak petak
435
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
adalah varietas kedelai yang terdiri dari varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis
dan Kaba. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Luas petak pengkajian 5 m
x 5 m dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm ditanam 2 biji per
lubang tanam. Hasil kajian menunjukkan dari 4 varietas yang diintroduksi
memperlihatkan produktivitas yang berbeda terhadap lokasi pengembangannya.
Kabupaten Banggai varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi 3,16 t/ha
disusul Kaba 3,00 t/ha, Willis 2,40 t/ha, serta Argomulyo 2,20 t/ha sedangkan di
Kabupaten Parigi Moutong varietas Willis 2,20 t/ha disusul Tanggamus 2,08
t/ha serta Argomulyo dan Kaba memperoleh hasil yang sama 1,60 t/ha.
Kesimpulan bahwa varietas Tanggamus dan willis adaptif untuk dikembangkan
di masing-masing lokasi penelitian karena memberikan hasil biji kedelai yang
lebih tinggi, yaitu varietas Tanggamus 3,16 t/ha dan Willis 2,40 t/ha
dibandingkan dengan varietas lainnya.
Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul, kedelai, hasil
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi,
jagung dan umbi-umbian yang meiliki gizi tinggi. Kebutuhan kedelai di Indonesia
terus meningkat dan ini belum bisa diimbangi oleh produksi nasional sehingga
impor kedelai masih terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi
permintaan nasional yang cenderung terus meningkat, produksi kedelai perlu terus
diupayakan peningkatannya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin bertambah
dan sekaligus penyediaan pangan yang bergizi bagi masyarakat luas.
Perkembangan produktivitas tanaman kedelai di Sulawesi Tengah periode
2010-2012 menunjukkan adanya peningkatan. Produktivitas kedelai Tahun 2010
mencapai 1,31 t/ha, Tahun 2011 mencapai 1,28 t/ha dan Tahun 2012 mencapai
1,46 t/ha (BPS Sulteng, 2013). Namun demikian, produktivitas yang dicapai
masih tergolong rendah dan fluktuatif. Peluang peningkatan produksi melalui
perbaikan teknologi masih terbuka lebar, mengingat produktivitas pertanaman
kedelai di tingkat petani masih rendah (1,3 t/ha) dengan kisaran 0,6-2,0 t/ha
(Hermanto dan kasim, 2008), padahal teknologi produksi yang tersedia mampu
menghasilkan produktivitas kedelai antara 1,7- 3,2 t/ha (Marwoto et al. 2009).
Rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,42 t/ha (BPS Pusat,
2013).
Varietas unggul merupakan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian
yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi signifikan dalam
meningkatkan produksi. Perakitan varietas kedelai di Indonesia telah berhasil
mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan mulai diarahkan pada perbaikan
ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Namun rata-rata hasil
kedelai nasional masih relatif rendah. Penyebabnya karena budidaya kedelai di
Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam sehingga hasil kedelai
tidak hanya berfluktuasi antar lokasi, namun juga antar musim, faktor lain
hingga saat ini belum semua petani kedelai menggunakan benih varietas unggul
yang berlabel (Thamrin et al. 2012).
Pengembangan varietas kedelai berdaya hasil tinggi pada cakupan
lingkungan yang luas merupakan salah satu faktor kunci dalam peningkatan
436
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
produksi. Besarnya ragam lingkungan budidaya kedelai di Indonesia
mengakibatkan rentang hasilnya sangat besar, yaitu 0,50-2,50 t/ha (Subandi et
al. 2008). Hasil biji merupakan karakter kompleks yang terkait dengan beberapa
komponen hasil dan dipengaruhi oleh fluktuasi lingkungan. Selah satu cara
untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menyediakan varietas yang
berdaya hasil relatif sama pada lingkungan yang berbeda.
Upaya mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan terobosan dalam
memproduksi kedelai yang mampu memberikan produktivitas tinggi dengan
proses produksi yang efisien dan berkelanjutan. Guna mencapai hal tersebut,
diperlukan rakitan teknologi spesifik lokasi dengan memperhatikan kesesuaian
terhadap kondisi biofisik lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kelembagaan
petani. Proses produksi yang demikian pada hakekatnya merupakan konsep
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang sangat berperan dalam
mendukung SL-PTT kedelai untuk peningkatan produksi kedelai di Sulawesi
Tengah. Hasil penelitian Suryana (2008) komponen teknologi produksi yang
dikemas dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada tanaman kedelai
mampu meningkatkan produksi hingga lebih dari 2 t/ha. PTT kedelai perlu
diterapkan di sentra-sentra produksi kedelai di Sulawesi Tengah, baik di lahan
sawah maupun di lahan kering (Ruslan Boy dan Mardiana, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dilakukan kajian tentang
adaptasi beberapa varietas unggul baru kedelai melalui pendekatan pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) mendukung sekolah lapang pengelolaan tanaman
terpadu (SL-PTT) kedelai di Sulawesi Tengah yang bertujuan untuk
mendapatkan varietas-varietas kedelai yang adaptif terhadap lingkungan tumbuh
yang spesifik dan memiliki potensi hasil tinggi.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur
Kabupaten Banggai di lahan kering pada ketinggian tempat 181 mdpl dan berada
pada posisi geografi 00050’35.7’’ LS dan 122057’41.8’’ BT dan Desa Kayu
Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi
Tengah. Dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2012.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (RPT) yang
terdiri atas petak utama (PU) yaitu lokasi penelitian dan anak petak (AP) yaitu
varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Setiap perlakuan diulang 3
kali sehingga terdapat 24 unit perlakuan dan satuan percobaan berupa petak
berukuran 5 m x 5 m.
Kajian ini menggunakan pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) yang dilakukan di lahan petani. Persiapan lahan dengan cara
Tanpa Olah Tanah (TOT), seed treatment dengan carbosulfan 25,53% (dosis
formulasi 20 gr Insektisida Marshal 25ST/kg benih kedelai). Menggunakan jarak
tanam 40 cm x 15 cm (2 biji/lubang tanam). Pupuk yang diberikan untuk lokasi di
Kabupaten Banggai dengan takaran NPK Phonska 200 kg/ha, SP36 37,3 kg/ha dan
KCl 62,5 kg/ha dan Parigi Moutong dengan takaran NPK Phonska 150 kg/ha, SP36
100 kg/ha dan KCl 12,5 kg/ha. Pengendalian hama dan penyakit serta
437
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
gulma dilakukan secara optimal. Panen dilakukan saat masak fisiologis ditandai
dengan 95% polong telah berwarna coklat dan daun berwarna kuning.
Pengamatan kajian ini meliputi data keragaan komponen pertumbuhan
dan hasil. Data komponen pertumbuhan terdiri dari: persentase tanaman tumbuh,
umur 50% pembungaan, tinggi tanaman, dan umur panen. Data komponen hasil
terdiri dari: jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji
dan hasil biji per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam
(Uji F), apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan
dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.
HASIL
Tabel 1. Persentase Tanaman Tumbuh (%) beberapa varietas unggul kedelai di 2
lokasi SL- PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
97,44
92,25
95,65
94,53
94,97a
Parigi Moutong
86,70
63,33
83,30
70,00
75,83b
Rata-rata
92,07a
77,79c
89,47a
82,26b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
Tabel 2. Umur berbunga (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SLPTT kedelai, Sulawesi Tengah, MH 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo
Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
35,25
35,00
37,87
34,75
35,72a
Parigi Moutong
31,00
33,00
38,00
40,00
35,50a
Rata-rata
33,12a
34,00a
37,93b
37,37b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SLPTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012.
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
92,00
69,00
72,70
82,60
79,10a
Parigi Moutong
74,80
55,80
66,60
74,40
67,90b
Rata-rata
83,40a
64,25c
67,80c
78,50b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
438
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Umur Panen (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo
Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
88,34
80,00
88,57
84,25
85,29a
Parigi Moutong
86,00
76,00
90,00
86,00
84,50a
Rata-rata
87,17c
78,00a
89,28d
85,12c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
Tabel 5. Jumlah Cabang Produktif beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi
SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus
Argomulyo
Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
5,20
4,90
5,00
4,80
4,97a
Parigi Moutong
5,30
5,50
4,00
4,00
4,70a
Rata-rata
5,25a
5,20a
4,50a
4,40a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
Tabel 6. Jumlah Polong Pertanaman beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi
SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo
Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
109,1
52,30
87,40
79,80
82,15a
Parigi Moutong
75,00
56,70
104,70
75,50
77,97b
Rata-rata
92,05a
54,50d
96,05a
77,65c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
Tabel 7. Bobot 100 biji (gr) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
12,26
17,18
12,57
13,13
13,78a
Parigi Moutong
11,53
17,01
13,12
12,90
13,64a
Rata-rata
11,89b
17,10a
12,84b
13,01b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
Tabel 8. Hasil Biji (t/ha) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo
Willis
Kaba
Rata-rata
Banggai
3,16
2,20
2,40
3,00
2,69
Parigi Moutong
2,08
1,60
2,20
1,60
1,87
Rata-rata
2,62
1,90
2,30
2,30
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
nyata pada taraf 5% uji BNJ
berbeda
439
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
Persentase Tanaman Tumbuh. Hasil analisis keragaman yang
dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata persentase
tanaman tumbuh pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai
memberikan pengaruh nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan
pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai persentase
tanaman tumbuh yang lebih tinggi yaitu 94,97% dan berbeda nyata dengan
lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 75,83%. Sedangkan untuk
4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata persentase
tumbuh tanaman yang lebih tinggi yaitu 92,07% dan berbeda nyata dengan
varietas Argomulyo dan Kaba, tetapi tidak berbeda dengan varietas Willis.
Umur berbunga. Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat 50%
keluarnya bunga kedelai di pertanaman. Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda
terhadap umur berbunga, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur
berbunga kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih
cepat yaitu 35,25 hari dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 35,72 hari.
Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas
Tanggamus menunjukkan rata-rata umur berbunga lebih cepat yaitu 33,12 hari
dan berbeda nyata dengan varietas Willis dan Kaba tetapi tidak berebeda dengan
varietas Argomulyo. Arsyad et al. (2007) dalam Djufry (2012) Tipe tanaman
ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik pada lahan yang suboptimal
seperti lahan kering masam yang memiliki umur berbunga 40-45 hst.
Tinggi Tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat
tanaman menjelang panen karena pada umur tersebut, pertumbuhan vegetatif
terutama tinggi tanaman telah mencapai ukuran yang optimal. Hasil analisis
keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata
tinggi tanaman pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai
memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, sedangkan interaksinya
tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai
memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 79,10 cm dan berbeda
nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 67,90 cm.
Sedangkan untuk varietas, dari 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus
menunjukkan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 83,40 cm dan
berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Tinggi tanaman merupakan
karakter penting yang dapat mempengaruhi komponen tanaman kedelai lainnya
seperti jumlah cabang produktif dan jumlah buku produktif. Tinggi tanaman
yang ideal menurut Somaatmadja (1985) dalam Djufry (2012) adalah 75 cm.
Umur Panen. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi
penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur
panen, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur panen kedelai pada
lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih capat yaitu 84,50 hari
dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 85,29 hari. Hasil uji BNJ 5%
440
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo
menunjukkan rata-rata umur panen lebih cepat yaitu 78,00 hari dan berbeda
nyata dengan varietas kedelai lainnya.
Jumlah Cabang Produktif. Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap
jumlah cabang produktif tidak memberikan pengaruh nyata. Walaupun dapat
dilihat jumlah cabang produktif di lokasi penelitian Kabupaten Banggai lebih
banyak yaitu 4,97 cbg dibanding Kabupaten Parigi Moutong 4,70 cbg. Varietas
yang diuji, rata-rata jumlah cabang produktif varietas Tanggamus lebih banyak
yaitu 5,25 cbg dibandingkan dengan varietas kedelai lainnya. Hal ini
mengindikasikan varietas Tanggamus memiliki adaptasi yang baik terhadap
kondisi agroekologi setempat. Penelitian Djufry (2012) tipe tanaman ideal
berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik mampu membentuk percabangan
antara 5-6 cabang.
Jumlah Polong Pertanaman. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan
dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata jumlah polong pertanaman
pada lokasi penelitian dan penggunaan varietas kedelai memberikan pengaruh
nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi
penelitian di Kabupaten Banggai menghasilkan jumlah polong pertanaman yang
lebih banyak yaitu 82,15 plg dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di
Kabupaten Parigi Moutong yang menghasilkan 77,97 plg. Sedangkan untuk 4
varietas kedelai yang diuji, varietas Willis memperoleh jumlah polong generatif
yang tertinggi yaitu 96,05 plg dan tidak berbeda dengan varietas Tanggamus
tetapi berbeda nyata dengan varietas Kaba dan Argomulyo.
Bobot 1000 Biji. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi
penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap
bobot 100 biji kedelai, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Bobot
100 biji kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai 13,78 gr,
sedangkan Kabupaten Parigi Moutong mencapai 13,64 gr. Hasil uji BNJ 5%
menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo
menunjukkan bobot 100 biji yang lebih berat yaitu 17,10 gr dan berbeda nyata
dengan varietas kedelai lainnya. Djufry (2012), mengelompokkan genotype
kedelai yang tergolong berbiji kecil memiliki bobot kurang atau sama dengan
7,5 gr, berbiji sedang memiliki bobot antara 7,6-12,5 gr, dan berbiji besar
memiliki bobot lebih dari 12,5 gr. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka
varietas-varietas kedelai yang diujikan termasuk dalam kelompok kedelai yang
berbiji besar karena memiliki kisaran rata-rata bobot 100 biji antara 12,26 gr-25,
56 gr dan rata-rata bobot 100 biji pada varietas pembanding mencapai 14,85 gr.
Hasil Biji Perhektar. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi
penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap hasil biji perhektar
tidak berpengaruh nyata. Walaupun hasil biji perhektar tertinggi dicapai pada lokasi
penelitian di Kabupaten Banggai yaitu 2,69 t/ha dan Kabupaten Parigi Moutong
mencapai 1,87 t/ha. Demikian pula, 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus
menunjukkan hasil biji perhektar yang lebih tinggi yaitu 2,62 t/ha
441
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
disusul Willis dan Kaba memperoleh hasil yang sama 2,30 t/ha dan Argomulyo
1,90 t/ha.
Setelah melihat beberapa data komponen pertumbuhan dan komponen
hasil yang ditunjukkan 4 varietas kedelai yang diuji pada 2 lokasi yang berbeda
menunjukkan keragaman antar varietas tersebut. Hasil penelitian Adie dan
Arifin (2008), salah satu penyebab terjadinya fluktuasi hasil kedelai karena
budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam,
sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi namun juga antar
musim. Disinyalir juga bahwa besarnya ragam hasil antara lokasi lebih
disebabkan oleh penerapan perbedaan budidaya. Selain dari itu, faktor
determinan budidaya kedelai antar musim di Indonesia adalah mutu draenase
dan ketersediaan air. Ayda Krisnawati dan Adie (2008), menyatakan sulitnya
mendapatkan kedelai berdaya hasil di atas 2,5 t/ha dengan umur masak di bawah
75 hari berkaitan dengan masalah proses fisiologi tanaman. Hal ini diduga
bahwa varietas kedelai yang berumur dalam akan memiliki fase vegetatif lebih
panjang dibandingkan dengan kedelai berumur genjah, sehingga cabang, jumlah
buku dan jumlah polong semakin banyak. Selain itu periodisitas kedelai berumur
dalam juga lebih panjang akan menjadi modal penting dalam menghasilkan
fotosintesis bersih bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji kedelai.
Karakter morfologi tanaman, seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan
tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat
produktivitas karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Laju
pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji
yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya,
bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah mengakibatkan kehampaan biji
(Sutoro et al. 2008). Besarnya ragam lingkungan untuk budidaya kedelai di
Indonesia memang menuntut tersedianya varietas kedelai yang memiliki keragaman
hasil relatif kecil pada sembarang lokasi, sehingga daya hasil yang diperoleh akan
paralel dengan mutu lingkungan lokasi yang bersangkutan.
KESIMPULAN
Adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru kedelai melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi
Tengah menunjukkan kemampuan adaptasi yang berbeda antar lokasi penelitian.
Varietas Tanggamus adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di
Kabupaten Banggai, sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil
biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha, sedangkan varietas Willis adaptif
terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Parigi Moutong,
sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih
tinggi yaitu 3,16 t/ha dibanding varietas lainnya.
442
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Adie,M.M. dan Arifin, 2008. Hasil Biji Galur-Galur Harapan Kedelai. Inovasi
teknologi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
BPS, 2013. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
Hermanto dan Kasim, H., 2008. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian.
Iriani, E., dan Jauhari, S., 2012. Uji Adaptasi beberapa Varietas Kedelai pada
Lahan dengan pH < 5,5 di Spesifik Jawa Tengah. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Semarang.
DJufry Fadjry, 2012. Pengujian Galur-Galur Harapan Kedelai Produktivitas
Tinggi di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor.
Krisnawati, A.,dan Adie,M.M., 2012. Stabilitas Hasil Galur Harapan Kedelai di
Lintas Lokasi. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan. Bogor.
Marwoto, Subandi, T.Adisarwanto, Sudaryono, Astanto K, Sri H, Diah S dan
M.M.Adie, 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Ruslan Boy dan Mardiana, 2013. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu
Kedelai. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Palu.
Statistik Tanaman Pangan, 2013. Perkembangan Produktivitas Palawija. Badan
Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. Palu.
Subandi, Marwoto dan H.Kuntyastuti, 2008. Kesiapan Teknologi Mendukung
Peningkatan Produksi Menuju Swasembada Kedelai. Prosiding
Simposium V Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
Sukarman, Las, I., dan Hidayat, A., 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan
Pertanian untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan. Prosiding Simposium
V Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.
Suryana, A., 2008. Kebijakan dan Program Penelitian Mendukung Tercapainya
Swasembada Kedelai dan Ubi Kayu. Inovasi Teknologi KacangKacangan dan Umbi-Umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
443
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sutoro, Dewi,N., dan Setyowati,M., 2008. Hubungan Sifat Morfologis Tanaman
dan Hasil Kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 27
No.3 2008.
Thamrin,T.,Soehendi,R.,Syahri dan Kuswantoro,H., 2012. Uji Adaptasi GalurGalur Harapan Kedelai Toleran Kemasaman di Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor.
444
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Keragaan Galur dan Varietas Padi di Lahan Rawa Lebak
Provinsi Sumatera Selatan
Performance of Lines and Rice Varieties in Lowland Swamp
South Sumatra Province
Suparwoto *), Rajulis dan Waluyo1
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan
*)
Penulis untuk korespondensi: 082175323647
email: [email protected]
ABSTRACT
This research was conducted at the experimental Kayuagung, Sidakersa
village, Ogan Komering Ilir District, South Sumatra Province, started in the dry
season of 2011. The goal of gaining some rice strains that have high yield
potential and can adapt well the lowland swamp. Varieties / lines were examined
as many as 11 lines and 3 varieties for comparison, namely: Ciherang, Inpara 3
and Inpara 5. The study is based on randomized complete block design (RBD)
with three replications, broad swath of 4 m x 5 m, a spacing of 25 cm x 25 cm ,
age 30 day after seedlings, planted 2-3 seeds / hole. Fertilization is done 3 times
that at the time of planting 0 day after planting (DAP) 300 kg / ha ponska, 4
weeks after planting (WAP) 100 kg / ha of urea and 7 (WAP) 100 kg / ha of urea
given spread. The variables measured were: plant height, number of productive
tillers, harvesting, number of grains per panicle, percentage of filled grains per
panicle, weight of 1000 grains and dry milled grain yield / plot after removed the
line edge. Analysis of data using analysis of variance, followed by Duncan test
at 5% level. The results showed that the strains that were tested had high ideal
plant for shallow and mid swampy areas, and early duration. Selected strains are
strains B 13134-5-MR-1-KA-1 (3.3 tons/ ha), B 10 891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR1 (3.25 tons / ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3.0 tons / ha), B 115 867 F-MR-112-2 (3.0 ton/ ha) significantly different from
Ciherang, Inpara 3 and Inpara 5.
Keywords: lines and varieties, the performance, rice, lowland swamp
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Kayuagung, Desa
Sidakersa, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada lebak
tengahan, dimulai pada musim kemarau tahun 2011. Adapun tujuannya untuk
memperoleh beberapa galur-galur padi yang mempunyai potensi hasil tinggi dan
dapat beradaptasi baik di lahan rawa lebak. Galur/varietas yang diteliti sebanyak
11 galur dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu : Ciherang, Inpara 3 dan
Inpara 5. Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK)
445
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dengan 3 ulangan, luas petak 4 m x 5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm, umur bibit
30 HSS, ditanam 2-3 bibit/rumpun. Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pada saat
tanam (0 HST) 300 kg/ha ponska, 4 MST 100 kg/ha urea dan 7 MST 100 kg/ha
urea diberikan secara disebar. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman,
jumlah anakan produktif, umur panen, jumlah gabah per malai, persentase gabah
isi per malai, bobot 1000 butir gabah dan hasil gabah kering giling/petak setelah
dihilangkan satu baris pinggir. Analisis data menggunakan analisis varian dan
dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%. Hasil menunjukkan bahwa galurgalur yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk daerah lebak
dangkal dan tengahan, dan berumur genjah. Galur-galur yang terpilih yaitu galur
B 13134-5-MR-1-KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1
(3,25 ton gkg/ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR11-2-2 (3,0 ton gkg/ha) berbeda nyata dengan Ciherang, inpara 3 dan inpara 5.
Kata kunci : Galur dan varietas, keragaan, padi, rawa lebak
PENDAHULUAN
Lahan rawa khususnya lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya
lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan pertanian
tanaman pangan khususnya beras. Lahan rawa lebak salah satu penyumbangan
produksi beras khususnya untuk Provinsi Sumatera Selatan bahkan secara nasional.
Oleh karena itu peningkatan kebutuhan pangan secara ekstensifikasi maupun
intensifikasi diarahkan di luar pulau Jawa diantaranya Provinsi Sumatera Selatan.
Pada tahun 2011 luas panen padi di Sumatera Selatan mencapai 784.820 ha dengan
rata-rata produktivitas 4.3 ton/ha dan secara nasional sudah mencapai 4.98 ton/ha
(Badan Pusat statistik Indonesia, 2012). Sedangkan produktivitas padi di lahan lebak
rata-rata 3 ton/ha, bila dibandingkan dengan rata-rata produktivitas padi secara
nasional masih tergolong rendah, karena petani di lahan lebak menanam padi pada
musim kemarau. Sehingga kadangkala terjadi kekeringan dan bila turun hujan
terjadi kebanjiran. Selain itu varietas yang digunakan tidak berlabel atau benih hasil
seleksi sendiri dan penggunaan varietas yang sama dalam jangka waktu yang lama.
Kemudian pada lahan rawa lebak dalam yang airnya lambat surut maka petani
menggunakan varietas lokal dan tidak dipupuk sehingga hasil yang dicapai kurang
memuaskan. Maka banjir, kekeringan dan tinggi genangan air merupakan faktor
penghambat dan bahaya bagi pertumbuhan tanaman padi. Selain itu, kesuburan
tanah yang rendah, kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara juga
merupakan masalah yang penting di lahan rawa lebak. Permasalahan yang sering
dialami petani adalah kebanjiran pada saat padi masih dipersemaian sehingga petani
kekurangan bibit dan bibit yang ditanam sudah berumur tua akibat air belum surut
dalam melakukan usahataninya. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut maka
Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi menyediakan galur-galur padi untuk lahan
rawa lebak. Dikemukakan oleh Zen (2007) dalam Jonharnas et al. (2009), galur
yang memiliki keunggulan yang baik dari varietas yang berkembang di petani akan
dapat diterima lebih cepat oleh konsumen bila sesuai dengan preferensi konsumen.
Hasil penelitian sebelumnya, varietas unggul padi yang ditanam di lahan rawa lebak
Kabupaten Banyuasin Sumsel seperti Ciherang, INPARA 2 dan INPARA 1 dapat
tumbuh
446
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
baik dengan produksi 6,5-7,4 ton gkp/ha pada MK 2009 (Suparwoto, et al,
2011). Adapun tujuannya untuk memperoleh beberapa galur-galur padi yang
mempunyai potensi hasil tinggi dan dapat beradaptasi baik di lahan rawa lebak.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Kayuagung, Desa
Sidakersa, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada lebak
tengahan, dimulai pada musim kemarau (Maret-Oktober) 2011. Galur/varietas
yang diteliti sebanyak 11 galur dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu :
No
Galur/varietas
No
Galur/varietas
1
Ciherang-sub-1
8
B 13135-1-MR-2-KA-1
2
PSBRC82-sub-1
9
B 13135-1-MR-2-KA-2
3
B 115867-MR-11-2-2
10 B 13138-7-MR-2-KA-1
4
B 10891 B-MR-3-KN-4-1-111 B 13138-7-MR-2-KA-2
MR-1
5
B 13132-8-MR-1-KA-1
12 Ciherang
6
B 13134-4-MR-1-KA-1
13 Inpara 3
7
B 13134-5-MR-1-KA-1
14 Inpara 5
Persemaian dilakukan pada kondisi tanah yang tidak tergenang air di
pematang sawah pada bulan April 2011. Persemaian dilakukan dua kali pindah.
Persemian pertama tanah dibersihkan dan digemburkan dengan cangkul. Benih
direndam dalam air selama 24 jam. Benih disebar 50 g per m2, lalu ditutup
dengan rumput/alang-alang. Untuk mencegah hama orong-orong diberikan
Dharmafur sebanyak 10 gr/m2. Setelah berumur 21 hari, bibit dipindahkan
kepersemaian ke-2 pada bulan Mai 2011 karena air belum juga surut. Bibit
ditanam pada bulan Juni 2011 dengan umur bibit 30 hari setelah semai (HSS).
Luas plot 4 m x 5 m.
Persiapan lahan dimulai pada bulan Maret untuk rawa lebak tengahan.
Persiapan tanah pertama kali dengan menebas/memancah gulma dengan
menggunakan parang kemudian sisa tanaman dikumpulkan dibuat galengan di
sekeliling petak sawah. Pengolahan tanah tidak dilakukan pada lahan rawa lebak
tengahan, setelah pengolahan lahan selesai dilakukan penanaman. Penanaman
dilakukan dengan menggunakan bibit dari persemaian ke-2 umur bibit 30 HSS.
Jarak tanam 25 cm x 25 cm dan jumlah bibit 2-3 bibit/rumpun.
Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pada saat tanam (0 HST) 300 kg/ha ponska, 4
minggu setelah tanam (MST) 100 kg/ha urea dan 7 MST 100 kg/ha urea
diberikan secara disebar.
Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan apabila diperlukan sesuai
keadaan di lapang. Penyulaman dilakukan seminggu setelah tanam, sedangkan
penyiangan pertama dan kedua dilakukan masing-masing pada 30 hari dan 60
hari setelah tanam. Bila perlu dilakukan penyiangan ketiga, tergantung keadaan
di lapangan.
Panen dilakukan apabila padi sudah menguning lebih 80% matang pada
waktu kadar air 20-25%. Tanaman padi dipanen dengan menggunakan sabit
gergaji kemudian dirontokan, selanjutnya dijemur sampai kadar air 14%.
447
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Penentuan sampel dilakukan secara acak, masing-masing varietas sebanyak
10 tanaman. Data yang dikumpulkan meliputi : tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif, umur panen (80% tanaman menguning), Jumlah gabah per malai, Jumlah
gabah isi per malai, Bobot 1000 butir, Hasil gabah kering per plot. Hasil gabah
diambil dengan membuat petak contoh bersih dengan memisahkan satu baris
rumpun tanaman di sekeliling petak percobaan. Metoda yang digunakan adalah
rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Analisis data menggunakan
analisis varian dan dilanjutkan dengan uji duncan pada taraf 5%.
HASIL
Pada Tabel 1, secara statistik galur-galur yang diuji menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan
Inpara 5 terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen.
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen dari
galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011
No
Galur/varietas
1
2
3
4
Ciherang-sub-1
PSBRC82-sub-1
B 115867 F-MR-11-2-2
B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1MR-1
B 13132-8-MR-1-KA-1
B 13134-4-MR-1-KA-1
B 13134-5-MR-1-KA-2
B 13135-1-MR-2-KA-1
B 13135-1-MR-2-KA-2
B 13138-7-MR-2-KA-1
B 13138-7-MR-2-KA-2
Ciherang
Inpara 3
Inpara 5
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Tinggi tanaman
(cm)
91,7 c
78,7 b
103,1 d
100,5 d
Jumlah anakan
produktif (btg)
13,4 a
15,2 b
14,5 b
16,0 bc
Umur panen
(80%)(HST)
92,3 b
93,0 b
98,3 c
101,3 d
85,1
79,5
81,5
98,2
93,3
87,2
93,3
84,6
89,2
76,9
16,1 c
13,8 b
13,5 ab
13,1 a
13,5 a
13,1 a
14,0 b
13,9 b
14,3 b
14,3 b
91,3 b
97,7 c
99,7 c
100,3 d
101,3 d
95,3 c
96,0 c
87,0 a
89.7 a
94,7 b
b
b
b
d
c
c
c
b
c
a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Pada Tabel 2, secara statistik parameter yang diamati yaitu jumlah gabah
per malai, persentase gabah isi per malai dan bobot 1000 butir gabah dari galur
yang diuji berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan
Inpara 5 (Tabel 2).
448
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Rata-rata jumlah gabah/malai, persentase gabah isi/malai dan berat 1000
butir gabah dari galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011
No
Galur/varietas
1
2
3
4
Ciherang-sub-1
PSBRC82-sub-1
B 115867 F-MR-11-2-2
B 10891 B-MR-3-KN-4-11-MR-1
B 13132-8-MR-1-KA-1
B 13134-4-MR-1-KA-1
B 13134-5-MR-1-KA-2
B 13135-1-MR-2-KA-1
B 13135-1-MR-2-KA-2
B 13138-7-MR-2-KA-1
B 13138-7-MR-2-KA-2
Ciherang
Inpara 3
Inpara 5
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Jlh gabah/malai
(btr)
90,3 c
70,1 b
88,1 c
92,9 c
Persentase gabah
isi/malai (btr)
66,9 a
78,6 b
81,1 c
81,6 c
Bobot 1000 butir
gabah (gr)
27,5 a
28,5 b
29,1 c
29,8 d
93,0
81,2
87.2
79,9
83,5
85,8
80,2
71,4
70,3
68,9
80,5
73,4
82,6
79,1
80,3
78,7
78,5
77,7
74,5
73,5
29,8
28,1
29,5
27,8
29,1
29,0
28,8
28,7
26,8
28,3
c
b
c
b
b
b
b
b
b
a
c
b
c
b
c
b
b
b
b
b
d
b
c
b
c
c
c
c
a
b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Secara statistik hasil gabah dari galur dan varietas yang diuji menunjukan perbedaan yang
nyata (Tabel 3).
Tabel 3. Rata-rata hasil gabah (ton gkg/ha) dari galur-galur/varietas yang diuji di
lahan lebak, MK 2011
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Galur/varietas
Ciherang-sub-1
PSBRC82-sub-1
B 115867 F-MR-11-2-2
B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1
B 13132-8-MR-1-KA-1
B 13134-4-MR-1-KA-1
B 13134-5-MR-1-KA-1
B 13135-1-MR-2-KA-1
B 13135-1-MR-2-KA-2
B 13138-7-MR-2-KA-1
B 13138-7-MR-2-KA-2
Ciherang
Inpara 3
Inpara 5
Konversi hasil gabah kering per ha (ton gkg/ha)
2,25 a
3,0 c
3,0 c
3,25 c
3,0 c
2,9 b
3,3 c
3.1 c
2,8 b
2,25 a
2,8 b
2,7 b
2,35 b
2,3 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
449
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
Tinggi tanaman. Tinggi tanaman dari galur yang diuji dan varietas
Inpara 3, Inpara 5, Ciherang bervariasi (Tabel 1). Galur B 115867 F-MR-11-2-2,
B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1-MR-1 dan B 13135-1-MR-2-KA-1 memiliki tinggi
tanaman tidak berbeda nyata dengan varietas Ciherang, Inpara 3 dan inpara 5
sebagai pembanding dengan rata-rata tinggi tanaman 103,1 cm, 100,5 cm dan
98,2 cm. Berdasarkan deskripsi Inpara 3 yang merupakan padi rawa tinggi
tanamannya bisa mencapai 108 cm dan Inpara 5 lebih pendek dari inpara 3
hanya 92 cm (Balai Besar Penelitian Padi, 2011). Menurut IRRI (1996), kriteria
tinggi tanaman tergolong rendah, sedang dan tinggi apabila tingginya masingmasing adalah < 110 cm, 110-130 cm dan > 130 cm. Galur-galur yang dikaji
semuanya bisa ditanam di lahan rawa lebak karena tidak menunjukkan
kerebahan, baik untuk ditanam di lebak dangkal dan tengahan dan galur tersebut
termasuk tanaman yang rendah < 110 cm. Bervariasinya tinggi tanaman dari
varietas yang dikaji disebabkan oleh faktor genetik dari masing-masing galur
dan faktor lingkungan. Tinggi pendeknya tananam berkaitan dengan ketahanan
tanaman terhadap kerebahan. Karakter tinggi tanaman merupakan salah satu
karakter agronomi yang harus diperhatikan, karena jika tanaman terlalu tinggi
maka tanaman akan mudah rebah. Tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah
pada saat panen, karena rendahnya daya topang tanah. Tanaman padi yang
mengalami kerebahan di lahan rawa lebak akan mengalami permasalahan
apabila terlambat panen bulir padi akan tumbuh maka kualitas padi akan turun.
Menurut Waluyo (2004) dalam Bakri et al. (2006), lahan rawa lebak mempunyai
struktur tanah amorf dan terdapat lumpur yang dalam, akibatnya daya topang
tanah rendah, tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah. Disisi lain jika
tanaman terlalu pendek maka tanaman akan rentan terhadap rendaman yang
sering terjadi di lahan rawa lebak. Galur-galur yang diuji tergolong mempunyai
tinggi tanaman yang ideal untuk lahan lebak.
Jumlah anakan produktif. Galur-galur yang diuji mempunyai anakan
produktif rata-rata 13-16 batang/rumpun. Galur B 13132-8-MR-1-KA-1 dan B
10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 memiliki anakan produktif rata-rata 16
batang/rumpun lebih banyak dari varietas pembanding Ciherang, inpara 3 dan
inpara 5. Berdasarkan deskripsi inpara 3 dan inpara 5 bisa mencapai 17-18
batang/rumpun. Menurut IRRI (1996), kriteria jumlah anakan produktif
tergolong rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi masing-masing berjumlah 59, 10-19, 20-25 dan > 25 batang. Maka galur yang diuji tergolong sedang.
Bervariasinya jumlah anakan produktif yang dimiliki oleh masing-masing galur
dan varietas, akibat faktor genetik dan juga faktor lingkungan yang
mempengaruhinya, diantaranya pada saat pembentukan anakan produktif atau
pengisian bulir kekurangan air karena curah hujan berkurang. Kendala ini
merupakan salah satu kendala alami budidaya tanaman padi di lahan lebak.
Menurut Lesmana et al. (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi produksi
tanaman padi tinggi adalah kondisi anakan produktif yang banyak.
Umur panen. Umur panen galur-galur yang diuji dan varietas
pembanding tergolong genjah berkisar 87,0-101,3 HST (Tabel 1). Bervariasinya
450
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
umur panen dari 11 galur dan 3 varietas pembanding disebabkan adanya
perbedaan dari masing-masing genetik dan juga faktor lingkungan. Menurut
Utami (2009) dalam Purnamaningsih et al., (2010), perbedaan genotip yang
ditunjukkan oleh karakter umur panen berhubungan erat dengan masa berbunga
dari masing-masing galur, di mana semakin cepat umur berbunga maka semakin
cepat tanaman dapat dipanen. Umur padi yang genjah sangat diharapkan oleh
petani karena di lahan rawa lebak mempunyai masalah diantaranya banjir dan
kekeringan yang mengakibatkan gagal panen.
Jumlah gabah per malai. Galur Ciherang-sub-1, B 115867 F-Mr-11-22, B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1-Mr-1, B 13132-8-MR-1-KA-1 dan B 13134-5MR-1-KA-2 tidak berbeda nyata terhadap jumlah gabah per malai tetapi berbeda
nyata dengan varietas pembanding.(Tabel 2). Jumlah gabah per malai
merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan komponen hasil.
Faktor lingkungan seperti kekeringan merupakan kendala alami di lahan rawa
lebak di mana penanaman dilakukan pada musim kemarau. Sehingga sangat
berpengaruh terhadap pengisian gabah.
Persentase gabah isi/malai. Persentase gabah isi per malai dari galurgalur yang diuji tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang,
Inpara 3 dan Inpara 5 yaitu galur B 115867 F-Mr-11-2-2, B 10891 B-Mr-3-KN4-1-1-Mr-1, B 13132-8-MR-1-KA-1, B 13134-5-MR-1-KA-2 dan B 13135-1MR-2-KA-2 berkisar 80,3%-82,6%. Tinggi rendahnya persentase gabah isi per
malai disebabkan oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur/varietas
terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama pada fase
reproduktif dan pemasakan. Dikemukakan oleh Simanulang (2001) bahwa
jumlah gabah isi per malai berhubungan nyata dengan hasil tanaman tetapi
sangat dipengaruhi oleh gabah hampa.
Berat 1000 butir gabah. Bobot 1000 butir gabah dari galur yang diuji
berbeda nyata dengan varietas pembanding yaitu galur B 10891 B-MR-3-KN-41-1-MR-1 dan B 13132-8-MR-1-KA-1 rata-rata 29,8 gram, sedangkan Ciherang
rata-rata 28,7 gram, Inpara 3 rata-rata 26,8 gram dan inpara 5 rata-rata 28,3 gram
(Tabel 2). Komponen bobot 1000 butir gabah merupakan suatu komponen yang
harus diperhatikan untuk memprediksi potensi hasil tanaman. Semakin tinggi
bobot 1000 butir gabah menggambarkan semakin bernas gabah tersebut.
Hasil gabah. Hasil gabah tertinggi dicapai oleh galur B 13134-5-MR-1KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3,25 ton gkg/ha), B
13132-8-MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR-11-2-2 (3,0 ton gkg/ha),
B 13135-1-MR-2-KA-1 (3,1 ton gkg/ha), PSBRC82-sub-1 (3,0 ton gkg/ha)
(Tabel 3).
Galur-galur tersebut didukung oleh komponen hasil persentase gabah isi per
malai rata-rata 81,1-82,6%, bobot 1000 butir gabah rata-rata 29,1-29,8 gram dan
jumlah gabah per malai rata-rata 87,2-93,0 butir. Hasil yang dicapai oleh galurgalur/varietas yang diuji tergolong rendah. Rendahnya hasil gabah tersebut
diakibatkan penggunaan bibit tergolong tua 30 HSS dimana persemaiannya
dilakukan 2 kali karena air belum surut, selain itu pada saat pengisian bulir terjadi
451
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kekurangan air karena curah hujan sedikit hanya 40,5 mm dengan satu hari
hujan pada bulan Juli 2011 bahkan sampai bulan Agustus tidak ada curah hujan.
(Gambar 1).
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
curah hujan
hari hujan
Nopember
Desember
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
(mm)
Gambar 1. Grafik curah hujan di lokasi penelitian
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk daerah
lebak dangkal dan tengahan, dan berumur genjah
2. Galur-galur yang terpilih yaitu galur B 13134-5-MR-1-KA-1 (3,3 ton
gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3,25 ton gkg/ha), B 13132-8MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR-11-2-2 (3,0 ton gkg/ha)
berbeda nyata dengan Ciherang, Inpara 3 dan Inpara 5.
3. Penampilan dari galur-galur dan varietas yang diuji terhadap pertumbuhan
maupun hasil gabah sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dari masingmasing galur dan lingkungan dimana galur tersebut ditanam.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik
Indonesia. Jakarta.
Bakri dan R.H. Susanto. 2006. Keragaan produksi beberapa varietas padi hasil
mutasi radiasi di daerah rawa lebak di Kecamatan Rambutan Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan. Jurnal Tanaman Tropika 9 (1) : 24-29.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2011. Deskripsi varietas padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal.
452
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Internasional Rice Research
Institute. Los philippines.
Jonharnas, Novia, C, Syahrul, Z. 2009. Penampilan beberapa galur harapan padi
sawah di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam : Bambang Suprihatno,
Aan Andang Daradjat, Satoto, Baehaki, dan Sudir (Ed). Prosiding
Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi.
Badan Litbang Pertanian Sukamandi. Hal :115-122.
Lesmana, O.S, H.M. Toha, I.Las dan B. Suprihanto. 2004. Varietas unggul baru
padi. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Purnamaningsih, L.S; Arifin,K dan Utami, M.D. 2010. Adaptasi enam genotip
padi lokal pada lingkungan pemupukan organik dan anorganik. Prosiding
Seminar Nasional Balai Besar penelitian Padi, Badan Litbang Pertanian.
Sukamandi. Hal. 89-101.
Simanulang, Z.A. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat agronomis dan mutu. Dalam
Bambang Prayudi dkk (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil
penelitian/pengkajian Spesifik lokasi. BPTP Jambi.
Suparwoto dan Waluyo. 2011. Pertumbuhan dan daya hasil padi varietas INPARA
1, INPARA 2 dan Ciherang di lahan lebak tengahan Kabupaten Banyuasin
Sumatera Selatan. Dalam : Bambang Suprihatno, Aan Andang Daradjat,
Satoto, Baehaki, dan Sudir (Ed). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian
Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Buku 1. Badan
Litbang Pertanian Sukamandi. Hal :161-168.
453
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Varietas Unggul Padi Tahan terhadap Penyakit Blas Mendukung
Bio-Industri di Lahan Sub-Optimal
Rice Varieties Resistant to Blast Disease Supports Bio-Industry in
Sub-Optimal Land
Dini Yuliani1*), Sudir1, dan Tumarlan Thamrin2
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan *)Penulis
untuk korespondensi: Jl. Raya Sukamandi IX Ciasem Subang, HP.
081221480099
Email: [email protected]
ABSTRACT
Blast disease in rice was caused by fungus Pyricularia grisea. At the
beginning, this disease was one of the major obstacles in sub-optimal land on
upland rice cultivation and rice swamp. But lately had spread in irrigated land.
P. grisea pathogen attack all phases of the growth of rice plants from seedlings
to harvest. Based on the symptoms, Blast was differentiated into leaf blast and
neck blast. In a conducive environment, leaf blast can cause the death of the rice
plant. While blas neck can reduce rice yields due to rot and panicle neck fracture
that plagued grain filling even empty. Pathogenic races of P. grisea had highly
variations and was very dynamic so it was difficult to control blast disease. Rice
varieties that have durable resistance and polygenic nature is one way to control
pathogens blast which multiraces. Some rice varieties resistant to several
pathogenic races of blast disease including Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago
7, Inpago 8, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, and Inpara 6. Other actions that need to
be considered in the use of resistant varieties i.e. do not grow rice in widely
monoculture and continuously. Rice plants at sub-optimal land must performed
rotation varieties or rotation genes. The existence of several varieties with
different of resistance in a rice planting area can reduce the selection pressure on
the pathogen P. grisea that can delay the occurrence of a new blast races and
fracture resistance of rice varieties.
Key Words: Rice Varieties, Blast Disease, Sub-Optimal Land
ABSTRAK
Penyakit blas pada tanaman padi disebabkan oleh cendawan Pyricularia
grisea. Pada awalnya, penyakit ini salah satu kendala utama di lahan sub optimal
pada budidaya padi gogo dan padi rawa. Namun akhir-akhir ini sudah menyebar di
lahan sawah irigasi. Patogen P. grisea menyerang semua fase pertumbuhan tanaman
padi mulai dari persemaian hingga menjelang panen. Berdasarkan gejala, Blas
dibedakan menjadi blas daun dan blas leher. Pada lingkungan kondusif, blas daun
dapat menyebabkan kematian tanaman padi. Sedangkan blas leher dapat
menurunkan hasil padi karena leher malai busuk dan patah sehingga pengisian
gabah terganggu bahkan hampa. Penyakit blas sulit dikendalikan karena patogen
454
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
P. grisea memiliki banyak ras yang bersifat sangat dinamik. Perakitan varietas
padi yang memiliki ketahanan durable dan bersifat poligenik merupakan salah
satu cara menghadapi patogen blas yang bersifat multiraces. Beberapa varietas
padi yang tahan terhadap beberapa ras patogen blas diantaranya Inpago 4,
Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara
6. Usaha lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan vareitas tahan yaitu
tidak menanam padi secara monokultur dengan terus menerus. Tanaman padi di
lahan sub optimal perlu dilakukan pergiliran varietas atau rotasi gen. Adanya
beberapa varietas yang berbeda tingkat ketahanannya pada suatu areal
pertanaman padi dapat mengurangi tekanan seleksi terhadap patogen P. grisea
sehingga dapat memperlambat terjadinya ras blas yang baru dan patahnya
ketahanan varietas padi.
Kata kunci: Varietas Unggul, Penyakit Blas, Lahan Sub-Optimal
PENDAHULUAN
Penyakit blas merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi
yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Blas merupakan penyakit
utama padi gogo dan menginfeksi tanaman padi pada semua fase pertumbuhan
(Ou, 1979). Penyebaran penyakit blas sangat luas dan bersifat destrukif jika
kondisi lingkungan menguntungkan (Scardaci et al., 1997). Daerah endemis blas
tersebar di beberapa provinsi di Indonesia terutama di Lampung, Sumatera
Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Potensi penyakit blas yang besar ditemukan juga di lahan pasang surut seperti
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Mukhlis, 1997). Hasil monitoring
perkembangan penyakit blas yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
penyakit tersebut telah meluas dari padi gogo ke padi sawah, sehingga varietas
IR64 telah terserang penyakit blas (Orbach et al., 2000). Serangan blas meluas
ke areal sawah antara lain di Bali, Banyuwangi, Sukabumi, dan Sumatera
Selatan (Amir 1995). Sudir et al. (2013), melaporkan bahwa penyakit blas
ditemukan menyerang tanaman padi sawah irigasi di Kabupaten Subang,
Karawang, dan Indramayu (Jawa Barat); Pemalang, Pekalongan, Batang,
Demak, Jepara, dan Blora (Jawa Tengah); serta Lamongan, Jombang, Pasuruan,
Mojokerto, Probolinggo, dan Lumajang (Jawa Timur).
Penyakit ini dibedakan berdasarkan organ tanaman yang terserang,
apabila terjadi infeksi pada daun menyebabkan blas daun dan apabila infeksi
pada malai menyebabkan blas leher (Syam dan Hermanto, 1995). Blas leher
dinilai lebih berbahaya karena dapat menyebabkan kehampaan gabah sebesar
90% (Amir dan Kardin, 1991). Tingkat kehilangan hasil akibat serangan
penyakit blas di daerah endemik mencapai 11-50% (Baker et al., 1997; Scardaci
et al., 1997). Di Indonesia, serangan penyakit blas pada tahun 2007 mencapai
1.285 juta ha atau 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia dan
bahkan diramalkan serangan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang
(Ditjen Tanaman Pangan, 2008).
Ledakan penyakit blas pada tahun 2007 merupakan salah satu dampak dari
perubahan iklim yang terjadi. Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan
yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai
tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin,
455
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi,
frekuensi serangan hama dan wabah penyakit (Balitklimat, 2011).
Perkembangan penyakit dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Fenomena
banjir dan kekeringan, perubahan pola curah hujan yang berdampak terhadap
pergeseran musim dan pola tanam, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang
semakin meningkat akan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
penyakit tanaman merupakan dampak dari perubahan iklim yang mengancam
keberlanjutan usaha pertanian.
Untuk mengantisipasi terjadinya ledakan penyakit blas akibat pemanasan
global antara lain dapat diupayakan dengan pengendalian penyakit secara
terpadu, yaitu memadukan waktu tanam yang tepat dan pergiliran varietas
unggul baru tahan penyakit blas. Tulisan ini membahas penggolongan varietas
tahan penyakit blas berdasarkan agroekosistem dan manajemen pengelolaan
ketahanannya terhadap penyakit blas. Selain itu, pemahaman mengenai epidemi
penyakit blas berguna dalam pengendalian penyakit blas secara efektif dan
efisien mendukung bio-industri pertanaman padi di lahan sub-optimal.
PEMBAHASAN
Epidemi Penyakit Blas. Cendawan P. grisea termasuk dalam kelompok
scomycetes dan bersifat heterotalik (Zeigler, 1998). Jamur ini ditemukan di alam
dalam bentuk aseksualnya saja sedangkan bentuk seksualnya, yaitu Magnaporthe
grisea (Herbert) Barr, hanya dihasilkan dengan pengkulturan di laboratorium
(Valent, 1990). Secara morfologi, jamur P. grisea mempunyai konidia berbentuk
bulat, lonjong, tembus cahaya, dan bersekat dua (3 ruangan) (Ou, 1985).
Konidia jamur P. grisea akan berkecambah pada kondisi optimum dengan
cara membentuk buluh-buluh perkecambahan yang selanjutnya menjadi appresoria
(Bourett dan Howard, 1990). Appresoria akan menembus kutikula daun dengan
bantuan melanin yang ada pada dinding appresoria. Proses penetrasi appresoria
pada kondisi optimum berlangsung 8–10 jam (Chumley dan Valent, 1990). P. grisea
dapat menjadi patogen pada beberapa tanaman penting lainnya, seperti gandum,
sorghum dan serealia lainnya (Kahmann dan Basse 1997), lebih dari 40 spesies
gulma rumput-rumputan dan gulma lainnya (Ou, 1985).
Cendawan P. grisea penyebab penyakit blas merusak hampir semua
bagian tanaman padi yaitu daun, kolar daun, buku, leher malai, dan bulir padi
(Chen, 1993). Gejala tanaman yang terserang blas relatif mudah dikenali secara
kasat mata. Bentuk khas dari bercak blas adalah elips dan runcing pada kedua
ujungnya. Bentuk dan warna bercak bergantung pada keadaan lingkungan,
kepekaan varietas, dan umur bercak itu sendiri. Ukuran bercak sebesar 1-1,5 cm
x 0,3-0,5 cm. Bercak bermula kecil berwarna hijau gelap, lalu menjadi abu-abu
agak kebiruan. Pada varietas peka dan dalam keadaan lembap, bercak terus
membesar. Bercak yang telah berkembang berwarna coklat pada bagian tepi dan
bagian tengah berwarna putih keabuan (Ou 1979).
P. oryzae juga dapat menyebabkan tangkai malai membusuk dan patah,
penyakit ini biasa kita sebut busuk leher. Jika infeksi terjadi sebelum pengisian
bulir dapat menyebabkan kehampaan bulir padi. Tidak hanya daun dan malai
batang juga dapat terinfeksi sehingga batang padi membusuk dan rebah.
456
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Epidemik hanya berkembang apabila kombinasi dan perkembangan yang
baik dari banyak faktor lingkungan seperti: kelembaban, suhu dan angin yang
bertepatan dengan tingkat kerentanan tanaman dengan produksi, penyebaran,
inokulasi, penetrasi, infeksi dan reproduksi patogen (Agrios, 1996). Menurut Ou
(1979), penyebaran spora blas dapat terjadi oleh angin atau melalui benih dan
jerami tanaman sakit. Cendawan P. grisea mampu bertahan dalam sisa gabah
dan jerami tanaman sakit. Pada daerah tropik, sumber inokulum selalu ada
sepanjang tahun, karena adanya spora di udara dan tanaman inang selain padi
(Santoso dan Nasution, 2009).
Pada umumnya kombinasi suhu air rendah (17 °C) dan suhu udara sedang
(32 °C) menyebabkan infeksi blas meningkat (Tasugi dan Yoshida, 1959). Varietas
dari daerah sub-tropis lebih rentan pada suhu rendah daripada varietas dari daerah
tropis (Hashioka, 1944). Kelembapan udara dan kelembapan tanah mempengaruhi
patogenisitas dan pertumbuhan cendawan. Pada lahan kering, serangan penyakit
blas lebih berat daripada lahan sawah. Namun tergantung pada varietas padi yang
digunakan oleh petani. Kelembaban udara memengaruhi perkembangan bercak.
Peran kelembapan udara, baik iklim makro maupun mikro, dan pembentukan embun
sangat menentukan perkembangan penyakit blas (Ou, 1985). Di pesemaian,
misalnya, infeksi di bagian tengah lebih berat di bagian pinggir. Naungan juga
berpengaruh pada perkembangan bercak. Pesemaian dalam rumah kaca akan lebih
rentan apabila terdapat naungan sehingga sedikit teduh.
Ras cendawan P. grisea dapat berubah dan mudah terbentuk ras baru
dengan cepat apabila populasi tanaman atau sifat ketahanan tanaman berubah
(Ou, 1985). Mutasi, seleksi, aliran gen di antara populasi dan rekombinasi
genetik merupakan faktor utama yang menentukan struktur genetik dan
dinamika populasi patogen P. grisea (Zeigler, 1998).
Patogen P. grisea mempunyai siklus ganda (polisiklik) dengan
kemampuan membentuk ras baru dalam waktu singkat. Varietas yang
dinyatakan tahan harus mampu menghadapi banyak ras. Ketahanan tanaman
padi terhadap penyakit blas dipengaruhi oleh adanya gen ketahanan pada
tanaman inang, patogenisitas cendawan P. grisea dan faktor lingkungan (Ou,
1985). Ketahanan ini dapat dikendalikan oleh satu, beberapa dan banyak gen.
satu gen dapat mengendalikan ketahanan terhadap ras tertentu, beberapa gen
dapat mengendalikan beberapa ras dan banyak gen mengendalikan banyak ras
(Takahashi, 1963).
VARIETAS TAHAN PENYAKIT BLAS
Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan seperti teknik budidaya,
pengolahan tanah, dan pestisida sintetik. Namun hasilnya belum memuaskan,
karena pemakaian pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang kurang bijaksana
mengakibatkan rusaknya lingkungan serta keseimbangan ekosistem terganggu
misalnya, musuh alami dan agen antagonis dari patogen menjadi mati sehingga
hama dan penyakit tanaman berkembang dengan cepat di pertanaman padi.
Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu komponen utama dalam
pengendalian penyakit blas secara terpadu, karena cara ini merupakan yang paling
murah, mudah, dan efektif dilakukan oleh petani. Ketahanan suatu varietas terhadap
penyakit merupakan sifat genetik yang dapat diwariskan. Perbedaan
457
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
ketahanan adakalanya karena sifat morfologis tanaman yang menentukan kuat
tidaknya jaringan tanaman yaitu jumlah kutikula yang menutupi sel-esel
epidermis, susunan dinding epidermis, ukuran, lokasi dan bentuk stomata serta
lenti sel (Agrios, 1996).
Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian melalui Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) sebagai instansi pemerintah memiliki tupoksi
khusus meneliti tanaman padi telah melepas varietas unggul tahan penyakit blas
berdasarkan agroekosistem lahan kering dan lahan rawa, yaitu padi gogo dan padi
rawa (Tabel 1 dan 2). Baik padi gogo maupun padi rawa memiliki keunggulan
spesifik berupa umur tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, bobot 1000
butir, potensi hasil, tekstur nasi, dan ketahanan varietas terhadap penyakit blas.
Petani dapat memilih varietas sesuai preferensi berdasarkan keunggulannya tersebut.
Varietas unggul tahan penyakit blas diharapkan dapat menekan kehilangan hasil
akibat serangan patogen P. grisea di lapangan.
Tabel 1. Deskripsi varietas unggul tahan penyakit blas untuk agroekosistem
lahan kering (padi gogo)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Nama Varietas
Gajah Mungkur
Jatiluhur
Cirata
Towuti
Limboto
Danau Gaung
Batutugi
Situ Patenggang
Situ Bagendit
Inpago 4
Inpago 5
Umur
Tanaman
(Hari)
90-95
110-115
115-125
105-115
115-125
110-116
116
110-120
110-120
124
118
12 Inpago 6
113
13 Inpago 7
111
14 Inpago 8
119
15 Inpago 9
109
Sumber: Suprihatno et al. 2011
Tinggi
Tanaman
(cm)
95-100
95-100
100-110
95-100
110-132
130-140
124
100-110
99-105
134
132
117
107
122
115
Anakan
Produktif
6-8
13-15
10-13
13-15
12-18
14-18
sedikit
10-13
12-13
11
14
11
-
Tekstur
Nasi
Pulen
Pera
Pulen
Pulen
Sedang
Sedang
Pulen
Sedang
Pulen
Pulen
Sangat
Pulen
Sedang
Pulen
Pulen
Sedang
Bobot
1000 Butir
(gr)
36
27
28,5
26
28
27
25
26,5-27,5
27-28
25
26
Potensi
Hasil
(ton/ha)
2,5
3,5
6,5
7
6
5,5
6
6
6
6,1
6,2
25
-
5,8
7,4
8,1
8,4
Ketahanan
terhadap Blas
Agak Tahan
Tahan
Agak Tahan
Agak Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Agak Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Agak Tahan
Tahan
Agak Tahan
Tabel 2. Deskripsi varietas unggul tahan penyakit blas untuk agroekosistem
lahan rawa (padi rawa)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Nama Varietas
Banyuasin
Batanghari
Dendang
Indragiri
Punggur
Martapura
Margasari
Siak Raya
Air Tenggulang
Lambur
Mendawak
Umur
Tanaman
(Hari)
118-122
122-128
123-127
117
117
120-125
120-125
115-124
123-127
115
115
Tinggi
Tanaman
(cm)
98-105
105-112
90-100
100
100
120-130
120-130
118-122
118-122
100
89
Anakan
Produktif
10-15
10-15
15-20
15-20
15-20
10-19
10-19
15-20
15-20
14
13
Tekstur
Nasi
Pulen
Pera
Pulen
Sedang
Sedang
Pera
Pera
Pera
Pera
Pulen
Pulen
Bobot
1000 Butir
(gr)
26
24
24
24-25
27
21
21
26
27
28
27
Potensi
Hasil
(ton/ha)
6
6,5
5
6
5,5
5
4,5
6
6
5
5
458
Ketahanan
terhadap Blas
Tahan
Tahan
Agak Tahan
Tahan
Tahan
Agak Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Agak Tahan
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Umur
Tanaman
(Hari)
12 Inpara 1
131
13 Inpara 2
128
14 Inpara 3
127
17 Inpara 6
117
18 Inpara 7
114
Sumber: Suprihatno et al. 2011
No.
Nama Varietas
Tinggi
Tanaman
(cm)
111
103
108
99
88
Anakan
Produktif
18
16
17
13
-
Tekstur
Nasi
Pera
Pulen
Pera
Sedang
Pulen
Bobot
1000 Butir
(gr)
23,25
25,66
25,7
26
-
Potensi
Hasil
(ton/ha)
6,47
6,08
5,6
6
5,1
Selain varietas unggul tahan penyakit blas yang telah dilepas oleh BB Padi,
terdapat galur-galur padi yang dirakit berasal dari koleksi plasma nutfah terdiri atas
varietas lokal, varietas unggul, dan padi liar yang telah diuji ketahanannya terhadap
penyakit blas. Adanya keragaman genetik yang luas di dalam plasma nutfah
memberikan peluang yang besar untuk perbaikan genotipe tanaman (Sumarno,
2002). Varietas lokal yang tahan lima ras dominan (033, 041, 073, 133, dan 173)
yaitu varietas Sibau dan P. Pulut Longbanga (Nasution et al. 2011). Respon
beragam dari 465 galur padi hasil pemuliaan terhadap lima ras P. grisea. Sebagian
besar galur menunjukkan reaksi tahan terhadap satu dan dua ras blas masing-masing
sebanyak 32,04 dan 30,32% (Santoso dan Nasution, 2011).
Spesies padi liar merupakan sumber daya genetik yang cukup penting untuk
program perakitan varietas unggul tahan hama, penyakit, dan toleran cekaman
abiotik. Sumber keragaman genetik lainnya dapat diperoleh dari spesies padi liar.
Spesies padi liar merupakan kerabat jauh dari padi budidaya (Oryza sativa). Spesies
padi liar Oryza officinalis bereaksi tahan terhadap blas, sedangkan
Oryza rutifogon, Oryza punctata, Oryza alta bereaksi agak tahan terhadap blas
(Nasution et al. 2012).
Untuk menekan serangan penyakit blas, disarankan untuk melakukan
pengendalian secara terpadu, antara lain menanam varietas tahan sesuai cekaman
lingkungan setempat, menggunakan pupuk urea sesuai dosis rekomendasi,
melakukan pola pergiliran varietas sehingga siklus hidup cendawan P. grisea
dapat terputus, menanam padi secara serempak, melakukan sanitasi lingkungan
secara intensif, dan khusus pada daerah endemis blas dapat dilakukan
penyemprotan fungisida sistemik (Santika dan Sunaryo, 2008).
PENGELOLAAN KETAHANAN VARIETAS
Pergiliran Varietas. Ketahanan varietas padi terhadap penyakit blas
umumnya mudah patah. Hal ini disebabkan varietas unggul yang dilepas
menjadi patah ketahanannya setelah beberapa musim tanam. Penggunaan
varietas tersebut harus disesuaikan dengan sebaran blas yang dominan di suatu
daerah. Apabila tanaman padi ditanam berturut-turut sepanjang tahun maka
harus dilakukan pergiliran varietas atau rotasi gen.
Kondisi pertanaman padi gogo dan padi rawa secara umum masih terlihat
sangat tradisional, masih menggunakan varietas lokal yang tidak seragam sehingga
dalam suatu areal pertanaman dapat dijumpai beberapa macam varietas. Meskipun
hasilnya rendah, pertanaman padi seperti ini tidak pernah terserang berat oleh
penyakit blas karena mempunyai ketahanan blas yang stabil. Faktor
459
Ketahanan
terhadap Blas
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Agak Tahan
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
utama yang diduga sebagai pendukung stabilitas ketahanan terhadap penyakit blas
pada pertanaman padi tradisional adalah keragaman genetik dari varietas tersebut.
Seleksi individu yang diikuti dengan pembentukan galur dari varietas
lokal maupun antar galur di dalam varietas, dengan demikian varietas lokal
tersebut berupa campuran. Penggunaan varietas campuran dilaporkan
menghambat perubahan virulensi patogen yang berakibat meningkatkan
stabilitas hasil (Santoso dan Nasution, 2011). Penanaman varietas campuran
membuat kondisi lingkungan menjadi tidak homogen atau adanya keragaman
pada populasi inang (Garret and Mundt, 1999). Penanaman bermacam-macam
varietas yang memiliki ketahanan terhadap penyakit blas berbeda pada suatu
hamparan diharapkan dapat diperoleh ketahanan tanaman padi yang stabil.
Namun untuk menerapkan paket teknologi berupa penggunaan varietas
unggul baru tahan penyakit blas disertai pergiliran varietas bukan suatu hal yang
mudah dilakukan karena petani tidak akan menggunakan varietas baru sebelum
mereka yakin akan keunggulannya. Oleh karena itu, perlu digiatkan penyuluhan,
demonstrasi varietas, atau promosi lain agar informasi varietas unggul baru
tahan penyakit blas dapat segera diadopsi oleh petani.
Identifikasi Kesesuaian varietas di Daerah Endemis Blas. Cendawan P.
grisea mudah membentuk ras baru. Hal ini menyebabkan penggunaan varietas tahan
sangat dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya varietas yang semula tahan akan
menjadi rentan setelah ditanam beberapa musim tanam. Varietas yang tahan di suatu
tempat mungkin rentan di tempat lain (Amir dan Nasution, 1993). Tingkat mutasi
pada cendawan blas yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya
segregasi dan rekombinasi antar ras blas (Kiyosawa, 1976).
Pemantauan populasi ras blas sejak tahun 1970 sampai sekarang masih
menggunakan cara konvensional yaitu dengan menggunakan satu set varietas
differensial yang masing-masing varietas mampu membedakan patogenisitas isolat
yang akan dideteksi. Semula Indonesia menggunakan varietas diferensial
Internasional dan Jepang untuk penetapan ras P. grisea dan untuk studi
perbandingan dengan negara lain. Varietas differensial ini kurang sesuai untuk
wilayah Indonesia karena sebagian besar merupakan varietas Japonika sehingga
sulit dalam perbanyakan benihnya. Tujuh varietas differensial asal Indonesia yang
digunakan untuk keperluan identifikasi ras blas yaitu: Asahan, Cisokan, IR64,
Krueng Aceh, Cisadane, Cisanggarung, dan Kencana Bali (Mogi et al. 1991).
Perbedaan reaksi suatu varietas terhadap blas disebabkan oleh adanya
perbedaan dan perubahan ras antar lokasi dan adanya perubahan komposisi ras
yang dominan di suatu wilayah sebaran. Hingga saat ini telah terdeteksi 64 ras
blas, beberapa diantaranya terdapat di Sitiung (Sumatera Barat). Ras baru ini
terutama ditemukan di Karang Agung (Sumatera Selatan) dan Jawa Barat. Rasras blas tersebut dapat menyerang varietas Lematang, Kapuas, Krueng Aceh,
IR64, Cisokan dan Cisadane. Di Sitiung, ras-ras blas dapat menyerang padi gogo
varietas Sentani, Tondano, Maninjau, Ranau, Arias, Bicol, dan C-22. Sedangkan
varietas Semariti dan Sirendah masih mampu bertahan (Nasution et al. 1992).
Hasil monitoring terhadap perkembangan populasi patogen blas yang
dilakukan di Lampung dari tahun 2000 hingga 2004 menunjukkan bahwa di wilayah
tersebut setiap musim tanam dapat diidentifikasi 13-17 ras yang berbeda dengan
proporsi yang beragam. Selama lima tahun monitoring tersebut diperoleh
460
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
total 26 ras yang berbeda di antaranya terdapat 7 ras yang selalu muncul di
setiap tahun yaitu ras 001, 023, 033, 073, 101, 133, dan 173. Hasil monitoring
2007 hingga 2008 dari beberapa lokasi di Indonesia seperti Sumatera (Kayu
Agung, Lampung), Kalimantan Tengah (Dadahup), Bali (Tabanan) dan Jawa
Barat (Kuningan) terindentifikasi sebanyak 18 ras seperti ras 001, 021, 040, 041,
051, 061, 071, 073, 100, 101, 121, 201, 203, 241, 301, 333, 341, dan 343
(Santoso dan Nasution, 2009).
Sampel daun sakit di Propinsi D.I. Yogyakarta menunjukkan bahwa
penyakit blas yang berkembang adalah ras 033, 133, dan 173. Di Propinsi Jawa
Barat yaitu Kabupaten Sukabumi telah diketahui sebagai daerah endemik
penyakit blas. Data monitoring menunjukkan bahwa tingkat keragaman populasi
patogen blas di Sukabumi cukup tinggi. Beberapa ras yang ditemukan di Kab.
Sukabumi yaitu Ras 001, 123, 133, 173, dan 243 (Santoso et al. 2007).
Populasi P. grisea sangat beragam dan terdiri dari individu-individu ras
yang mempunyai sifat virulensi yang berbeda (Zeigler et al. 1994). Dominasi ras
P. grisea di suatu wilayah dengan wilayah lain yang berbeda memungkinkan
varietas padi di suatu wilayah tahan tetapi rentan di wilayah lain. Informasi
sebaran ras P. grisea sangat diperlukan untuk memprediksi kesesuaian varietas
yang akan dilepas (spesifik lokasi). Hal ini sangat penting untuk regionalisasi
varietas sesuai dengan sebaran ras P. grisea di wilayah tersebut. Dengan
diketahuinya sebaran ras P. grisea yang dominan di suatu wilayah endemik blas
maka pengendalian penyakit blas akan lebih efektif dengan menggunakan
varietas tahan yang disesuaikan dengan ras P. grisea di wilayah tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penggunaan varietas tahan memiliki kontribusi yang besar terhadap
penekanan dan penyebaran dan pengendalian penyakit blas. Terdapat beberapa
pilihan varietas unggul baru tahan penyakit blas sesuai agroekosistem lahan
kering yaitu Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, dan Inpago 9,
sedangkan untuk agroekosistem lahan rawa tersedia varietas Inpara 1, Inpara 2,
Inpara 3, Inpara 6, dan Inpara 7.
Untuk mengatasi ledakan penyakit blas sebagai dampak perubahan iklim
seiring dengan perubahan ras blas perlu terus dirakit varietas tahan dengan
keragaman sumber gen yang luas dan sesuai dengan preferensi konsumen.
Rekomendasi penanaman varietas dilakukan berdasarkan ras blas dominan di
daerah endemis masing-masing sehingga ketahanan varietas dapat bertahan
lama. Agar rekomendasi dapat diterapkan perlu dikembangkan sistem
penyediaan logistik benih yang dapat merespon permintaan petani untuk varietas
yang direkomendasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu penyakit tumbuhan. Edisi Ketiga. Busnia, M., dan T.
Martoredjo (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Amir, M., dan M.K. Kardin. 1991. Pengendalian penyakit jamur. Dalam Padi Buku
3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p. 825-844.
461
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Amir, M. dan A. Nasution. 1993. Status dan pengendalian blas di Indonesia.
Risalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, 23-25 Agustus 1993. hlm. 583601.
Amir, M. 1995. Petunjuk teknis pengendalian penyakit blas (Pyricularia grisea)
pada padi gogo di Indonesia. Pelatihan Teknis PGUVB bagi Kepala
UPP-BLN dan Asisten PTP pada Proyek-proyek Direktorat Jenderal
Perkebunan, Cipayung, Bogor, 23-24 Maret 1995. 14 hlm.
Baker, B., P. Zambryski, B. Staskawicz, and S.P. Dinesh Kumar. 1997.
Signaling in plant microbe interactions. J. Science 276:726-733.
Balitklimat. 2011. Dampak perubahan iklim terhadap serangan organism
pengganggu tanaman.
http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/idex2.php?.&do_pdf=1&id=168
diakses tanggal 25 Mei 2011 pukul 14:11 WIB.
Bourett, T.M. and R.J. Howard. 1990. In vitro development of penetration
structure in the rice blast fungus Magnaporthe grisea. Can. J. Bot. 68:
329–342.
Chen, D. 1993. Population structure of Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. In two
screening site and quantitative characterization of major and minor
resistance genes. A thesis doctor of philosophy. University of the
Philippines at Los Banos. p.161.
Chumley, F.G., and B. Valent. 1990. Genetic analysis of melanin deficient, non
pathogenic mutants of Magnaporthe grisea. Mol. Plant-Microbe Interact.
3:135–143.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2008. Pengalaman dari 2007 dan
mensukseskan MT 2007/2008. http://ditjentan.deptan.go.id/index.php.
option. Diakses tanggal 25 Agustus 2014 pukul 8:12 WIB.
Garret, K.A., and C.C. Mundt. 1999. Epidemiology in mixed host population.
Phytopathology 89: 984-990.
Hashioka, Y. 1944. Studies on the rice blast disease in the tropics. VIII: Relation
of Suhue to Leaf Blast Resistance of the Different Varieties of Rice Plant
Collected from District in Various Latitudes. J. Soc. Trop. Agric. 16:
196– 204 (Jap. Engl. Summ.).
Kahmann, R. and C. Basse. 1997. Signaling and development in pathogenic funginew strategies for plant protection. Trends in Plant Sci. 2: 366–367.
Kiyosawa, S. 1976. Pathogenic variation of Pyricularia oryzae and their use in
genetic and breeding studies. Sabrao J. 8: 53–67.
Mogi, S., Z. Sugandhi, S.W. Baskoro, R. Edwinia, dan I. Cahyadi. 1991.
Establishment of the differential variety series for pathogenic race
identification of rice blast fungus and the distribution of race based on
the new differential Indonesia. Karawang. Jatisari. Indonesia: Rice
Disease Study Group.
Mukhlis. 1997. Ketahanan beberapa varietas dan galur padi terhadap blas leher
di lahan pasang surut. Prosiding Kongres XIV dan Seminar Nasional
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Volume II. Palembang, 27-19
Oktober 1997. p. 236-239.
Nasution, A., Santoso, dan I. Hanarida. 2011. Sumbangan varietas lokal sebagai
sumber ketahanan terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Prosiding
462
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p. 547-556.
Nasution, A., E. Lubis, dan Sudir. 2012. Pemetaan ras blas (Pyricularia grisea)
yang menyerang padi sawah di Jawa Barat. Laporan Akhir Tahun ROPP
2012. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi.
Nasution, A., Santoso, dan S. Silitonga. 2012. Pengujian ketahanan 74 spesies
padi liar terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Prosiding Seminar
Nasional Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Sukamandi. p. 275-283.
Orbach, M.J., L. Farrall, J.A. Sweigard, F.G. Chumley, and Valent. 2000. A
telomeric avirulence gene determines efficacy for the rice blast resistance
gene Pita. Plant Cell 12:2019-2032.
Ou, S.H. 1979. A Handbook of rice diseases in the tropics. 3rd ed. International
Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p. 17-25.
Ou, S.H. 1985. Rice disease. 2nd ed. Commonwealth Mycological Institute
Kew, Surrey. England. 380p.
Santika, A., dan Sunaryo. 2008. Teknik pengujian galur padi gogo terhadap
penyakit blas (Pyricularia grisea). Buletin Teknik Pertanian 13 (1): 5-8.
Santoso, A. Nasution, D.W. Utami, I. Hanarida, A.D. Ambarwati, S.
Moeljopawiro, dan D. Tharreau. 2007. Variasi genetik dan spektrum
virulensi patogen blas pada padi asal Jawa Barat dan Sumatera.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(3):150-155.
Santoso, dan A. Nasution. 2011. Seleksi galur-galur hasil pemuliaan untuk
ketahanan blas berbeda. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi
Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p.
557-563.
Santoso, dan A. Nasution. 2009. Pengendalian penyakit blas dan penyakit
cendawan lainnya. Dalam Inovasi Teknologi Produksi Padi. Buku 2.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. p: 531-563.
Scardaci, S.C., R.K. Webster, C.A. Greer, J.E. Hill, J.F. William, D.M. Mutters,
R.G. Brandon, K.S. McKenzie, and J.J. Oster. 1997. Rice blast: A new
disease in California. J. Agr. Fact. Sheet Ser. 1:2-5.
Sudir, D. Yuliani, A. Nasution, B. Nuryanto. 2013. Pemantauan penyakit utama
padi sebagai dasar skrining ketahanan varietas dan rekomendasi
pengendalian di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa. Laporan
Hasil Penelitian Tahun 2013. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 33p.
Sumarno. 2002. Menuju sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman nasional
secara adil dan bermanfaat. Prosiding Konggres IV dan Simposium
Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. PERIPI. Komisariat
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E. Lubis, S.E. Baehaki, Sudir,
S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi varietas
463
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.
Syam, M. dan Hermanto. 1995. Teknologi produksi padi mendukung swasembada
beras. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 62 hlm.
Takahashi, Y. 1963. Genetic of resistance to the rice blast disease. In Proceeding
of symposium of IRRI. July 1963. The Jhon Hopkins Press. Baltimore,
Maryland. p: 303-329.
Tasugi, H. and L. Yoshida. 1959. Relation between rice blast resistance and
suhue environment. Ann. Phytopath. Soc. Japan.
Valent, B. 1990. APS planary session lecture: Rice blast as a model system for
plant pathology. Phytopathology 80: 33–36.
Zeigler, RS, J. Tohme, R. Nelson, M. Levy and FJ Correa-Victoria. 1994.
Lineage exclusion : A proposal for linking blast population analysis to
resistance breeding. Rice Blast Disease. CAB International IRRI 267292.
Zeigler, R.S. 1998. Recombination in Magnaporthe grisea. Annu. Rev.
Phytopathology 36: 249–275.
464
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kelimpahan Artropoda Predator di Tajuk Tanaman Padi yang di
Aplikasikan Bioinsektisida Cair di Rawa Lebak
The Abundance Of Predatory Arthropods In Applied Aqueous
Bioinsecticide Paddy Canopy At fresh swamp
Khodijah1,2)
1)
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Palembang, Jl. Darmapala No. I A, Bukit Besar,
Palembang 30139 2)Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan
Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya
Corresponding author: Telp. +081271349520 +62711357270
[email protected] : [email protected]
ABSTRACT
The negative impact from the usage of synthetic insecticide has an
alternative way to be overcame, that is by using the bioinsecticide. The research was
conducted in the central of paddy rice crops in the Pelabuhan Dalam village of
Pemulutan subdistrict in Ogan Ilir regency of South Sumatera. Insect identification
was done at the Laboratory of Entomology Department of Plant Pests and Diseases,
Faculty of Agriculture, Sriwijaya University, in Indralaya. The study took place
from May 2012 to August 2012. This research aims to determine the effect of liquid
formulated biopesticide application against arthropod Predatory in the rice plant
canopy fresh swamp area of South Sumatra. Observations of insect Predatory in rice
plant canopy were using nets. The results showed that the type of Arthropods found
both types of insects and spiders which are consist of spiders group such as
Lycosidae, Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae and
insect group such as Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae,
Tettigonidae, and Gryllidae. Application of entomopathogenic with fungal active
ingredients bioinsecticide affect the relative abundance in the rice plant canopy
ranging from age 10 hst to 80 hst. Relative abundance of centipede found in the age
group 10-40 hst from spiders with Tetragnathidae family by 42.74% at 30 hst and
the insect group of Coenagrionidae 25.89% at the age of 10 hst. At the age of 50-80
hst the highest relative abundance of the highest class of the spider with
Tetragnathidae family by 38.26% and the class of insect families of Coenagrionidae
by 13:48%.
Keywords: bioinsecticide, arthropods predatory, fresh swamp
ABSTRAK
Dampak negatif penggunaan insektisida sintetik yang ditimbulkan salah
satu alternatif untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan bioinsektisida.
Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman padi sawah lebak Desa
Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.
465
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, di Indralaya.
Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Agustus 2012. Tujuan
penelitian untuk mengetahui pengaruh aplikasi bioinsektisida formulasi cair
terhadap artropoda predator di tajuk tanaman padi daerah rawa lebak Sumatera
Selatan. Pengamatan serangga predator di tajuk tanaman padi menggunakan
jaring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan jenis artropoda predator
baik jenis serangga dan laba-laba yaitu golongan laba-laba Lycosidae,
Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae dan golongan
serangga Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae,
Tettigonidae, dan Gryllidae. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur
entomopatogen berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi
mulai dari umur 10 hst sampai 80 hst. Kelimpahan relatif tetinggi ditemukan
pada umur 10-40 hst dari golongan laba-laba dari famili Tetragnathidae sebesar
42,74% pada umur 30 hst dan pada golongan serangga Coenagrionidae 25.89%
pada umur 10 hst. Pada umur 50-80 hst kelimpahan relatif tertinggi tertinggi dari
golongan laba-laba famili Tetragnathidae sebesar 38.26% dan golongan
serangga famili Coenagrionidae 13.48%.
Kata kunci: Bioinsektisida, artropoda predator, rawa lebak
PENDAHULUAN
Luas rawa di Indonesia mencapai 34,4 juta ha yang terdiri dari 20,2 juta
ha rawa pasang surut dan 13,3 juta ha rawa lebak (Nugroho et al. 1996). Salah
satu sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
komoditas pertanian adalah lahan rawa yang luasnya mencapai 33,40−39,40 juta
ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Menurut
Subagjo & Widjaja (1998), lahan rawa di Indonesia terdiri dari lahan rawa
pasang surut yang diperkirakan luasnya mencapai 23,10 juta ha dan lahan rawa
lebak (non pasang surut) dengan luas mencapai 13,30 juta ha.
Budidaya tanaman padi merupakan hal yang paling pokok dalam
pengembangan produksi tanaman pangan. Padi merupakan bahan makanan pokok
masyarakat Indonesia, kebutuhan pangan padi sampai saat ini masih sangat tinggi
(Triwidiyati 2008). Berbagai kendala terjadi dipertanaman padi yang mengakibatkan
produksi padi menurun diantaranya hama dan penyakit tumbuhan
penyakit (Effendy et al. 2008; Widiarta
et al. 2004; Syam et al. 2007;
Bahagiawati, 2001).
Pengendalian hama pada tanaman
padi, umumnya masih sangat
tergantung pada pestisida sintetis.
Penggunaan insektisida sintetik yang
berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif, berupa pencemaran lingkungan,
resistensi hama sasaran dan terjadinya resurgensi. Penggunaan agens hayati
berupa jamur entomopatogen (Herlinda et al. 2008), merupakan suatu upaya
untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik. Diharapkan jamur
entomopatogen tersebut dapat menjadi solusi menekan populasi hama yang
bersumber dari potensi sumber daya hayati lokal yang diperkirakan
466
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
keberadaannya berlimpah di Indonesia. Asikin et al. (2008), melaporkan bahwa
di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah ada 62 spesies serangga
musuh alami (parasitoid dan predator). Musuh alami tersebut ditemukan di
pertanaman padi dan tumbuhan liar lahan pasang surut. Musuh alami itu
tergolong ke dalam dari ordo Arachnida, Odonata, Orthoptera, Coleptera,
Diptera Dermaptera dan Hymenoptera.
Musuh alami penghuni tajuk padi dapat dikelompokkan sebagai
parasitoid maupun predator. Namun, predator lebih dominan dibanding dengan
parasitoid (Herlinda et al. 2004). Di persawahan di wilayah Cianjur, Jawa Barat
ditemukan predator penghuni tajuk dari kelompok laba-laba pemburu dan labalaba pembuat jaring, kumbang famili Staphylinidae dan kepik famili Reduviidae.
Predator tersebut umumnya merupakan musuh alami wereng dan penggerek
batang padi (Settle et al. 1996: Santiago et al. 2001; Prayogo et al. 2005).
Jamur entomopatogenik Beauveria bassiana (Bals.) Vuill telah terbukti
cukup efektif membunuh serangga hama dari ordo Lepidoptera (Herlinda et al.
2006b;Prayogo et al. 2005; Suharto et al. 1998; Soetopo. 2004), Coleoptera
(Wraight & Ramos 2002), Hemiptera (Herlinda et al. 2006a), dan Homoptera
(Wraight et al. 1998; Baehaki & Noviyanti 1993; Prayogo & Tengkano 2002),
dan Coleoptera (Murad et al. 2006). Kedua spesies jamur entomopatogen
tersebut sampai saat ini belum dilaporkan resisten terhadap serangga hama.
Dalam proses pembuatan bioinsektisida cair berbasis jamur
entomopatogen, perlu dikaji faktor yang mempengaruhi virulensi jamurnya
melalui pengamatan tersebut akan didapat produk yang efektif dalam membunuh
serangga hama. Pembuatan bioinsektisida formulasi cair, berbasis jamur
entomopatogen dengan bahan pembawa Ekstraks Kompos Kulit Udang (EKKU)
dan berbagai jenis kompos, diduga dapat mempengaruhi keefektipan
bioinsektisida. Selain itu aplikasi bioinsektisida cair berpengaruh terhadap
kelimpahan relatif atropoda predator (Serangga dan laba-laba) yang aktif di tajuk
tanaman.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman padi sawah rawa lebak di
Desa Pelabuhan Dalam, Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan ilir, Sumatera
Selatan. Identifikasi artropoda predator dilakukan di Laboratorium Entomologi
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya,
di Indralaya. Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Agustus 2012.
Penelitian ini menggunakan varietas padi Mikonga. Pertanaman padi yang dijadikan
lokasi penelitian luasnya 1 ha. Untuk keperluan penelitian tersebut dibuatlah
bioinsektisida dengan formulasi cair. Pembuatan formulasi bioinsektisida cair
mengikuti metode Herlinda et al. (2008). Pada saat penelitian berlangsung suhu
lahan dipertanaman padi berkisar antara 26-27oC dan kelembaban nisbi udara
berkisar 69-85%. Aplikasi bioinsektisida cair diberikan dengan dosis 4 L per ha
setiap aplikasi. Aplikasi bioinsektisida cair dilakukan dengan cara menyemprotkan
di tajuk tanaman padi dengan menggunakan alat knapsack spayer (bervolume 15 L).
Aplikasi mikoinsektisida cair diaplikasikan 8 kali. Aplikasi pertama dilakukan pada
saat tanaman padi berumur 10 hst (hari
467
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
setelah tanam). Dua hari setelah aplikasi dilakukan pengamatan terhadap
keanekaragaman spesies dan kelimpahan artropoda predator.
Pengamatan Artropoda Predator di Tajuk Tanaman Padi. Artropoda
predator yang diamati di tajuk tanaman padi dikoleksi menggunakan jaring
serangga. Jaring diayunkan 20 kali pada tanaman padi 10 ayunan kekiri dan 10
ayunan kekanan secara kontinyu. Setiap 1 ha petak sawah dijaring sebanyak 80
ayunan. artropoda predator yang terjaring diambil dan dimasukkan dalam plastik
berisi formalin 4%.
Selanjutnya, laba-laba predator
yang terperangkap
dipindahkan ke dalam botol vial berisi alkohol 70% untuk disimpan di
laboratorium. Artropoda predator di identifikasi didasarkan pada ciri morfologinya.
Identifikasi artropoda predator dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan
Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.
Kelimpahan Relatif Artropoda Predator Tajuk Tanaman Padi.
Artopoda predator di tajuk tanaman akan diamati sesuai metode Herlinda &
Effendy (2003). Pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair akan
dibandingkan umur 10 hari setelah tanam (hst) sampai umur 80 hari setelah
tanam (hst) akan dibandingkan kelimpahannya dengan kelompok artropoda
predator pada lahan insektisida sintetik. Kelimpahan relatif artropoda predator
yang didapat kemudian didentifikasi artropoda predator dan dikelompokkan
menurut jenisnya lalu dihitung jumlahnya. Identifikasi dilakukan di
Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sriwijaya dengan menggunakan Kalshoven (1981),
Barrion & Litsinger (1999). Data jumlah spesies dan jumlah individu masingmasing spesies digunakan untuk menentukan nilai kelimpahan relatif artropoda
predator di tajuk tanaman baik pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair
menurut umur hari setelah tanam. Kelimpahan relatif artropoda predator dapat
dihitung dengan menggunakan rumus
Error! Reference source not found. x 100%
Analisis Data. Analisis menggunakan program SPSS 16 versi 2.13.1. Data
komposisi spesies dan jumlah individu laba-laba predator digunakan untuk
menganalisis kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba. Data
ditampilkan dalam bentuk Tabel.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan jenis artropoda predator
baik jenis serangga dan laba-laba yaitu golongan laba-laba Lycosidae,
Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae dan golongan
serangga Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae,
Tettigonidae, dan Gryllidae.
Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh
terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur 10 hst sampai
80 hst. Kelimpahan relatif tertinggi ditemukan pada umur 10-40 hst dari
468
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
golongan laba-laba dari famili Tetragnathidae sebesar 42,74% pada umur 30 hst
dan pada golongan serangga Coenagrionidae 25.89% pada umur 10 hst.
Pada umur 50-80 hst kelimpahan relatif tertinggi tertinggi dari golongan
laba-laba famili Tetragnathidae sebesar 38.26% dan golongan serangga famili
Coenagrionidae 13.48%. Hasil penelitian di daerah rawa lebak ditemukan
artropoda predator di tajuk ada 23 famili, terdiri dari 5 famili dari golongan labalaba dan 18 famili dari golongan serangga predator. Jumlah artropoda predator
ditemukan di tajuk tanaman padi di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair
pada umur 10-40 hari setelah tanam terdiri dari 11 famili dan 23 spesies dan
pada umur 50-80 hari setelah tanam (hst) di lahan yang diaplikasikan
bioinsektisida cair ditemukan 15 famili dan 25 spesies.
Tabel 1. Famili, spesies, jumlah individu, dan kelimpahan relatif artropoda
predator di tajuktanaman padi di lahan rawa lebak yang diaplikasikan
bioinsektisida cair di Desa PelabuhanDalam Kecamatan Pemulutan
Kabupaten Ogan Ilir.
Kelas, Ordo,
Famili
Arachnida
Lycosidae
Araneidae
Tetragnathidae
Linyphiidae
Oxyopidae
Salticidae
Insecta
Hemiptera
Staphylinidae
Coccinelidae
Odonata
Coenagrionidae
Lubellulidae
Orthoptera
Tettigonidae
Gryllidae
Total
Waktu pengamatan pada umur tanam 10-40 hari setelah tanam (hst)
10
20
30
40
JS JI
KR
JS JI KR JS JI KR JS JI KR
0
0
4
0
2
0
0
0
35
0
27
0
0.00
0.00
31.25
0.00
24.11
0.00
0 0 0.00
0 0 0.00
4 41 37.96
0 0 0.00
2 23 21.30
1 2 1.85
0
1
3
3
2
2
1
2
4.63
2.78
1
2
3 20 18.52
1 1 0.93
3
0
1
0
10
0
8.93
0.00
3
0
29
0
25.89
0.00
1
2
13
5
3
0 0.00 0 0 0.00
2 1.71 0 0 0.00
50 42.74 3 53 35.33
7 5.98 2 9 6.00
8 6.84 2 26 17.33
11 9.40 3 18 12.00
5
8
4.27 1 3
6.84 1 13
2.00
8.67
17 14.53 3 21 14.00
0 0.00 0 0 0.00
2
1.79
1 1 0.85 1
1 0.85 1 4 2.67
9
8.04
2 11 10.19 2
8 6.84 1 3 2.00
112 100.00 17 108 100.00 20 117 100.00 17 150 100.00
JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu, KR= Kelimpahan relatif
Kelimpahan artropoda predator di tajuk di lahan yang diaplikasikan
bioinsektisida cair pada umur 10-40 hst yang tertinggi pada umur 40 hst 150
individu dan yang terendah pada umur 20 hst 108 individu. Jumlah spesies yang
ditemukan pada umur 10.40 hst tertinggi pada umur 30 hst 20 spesies dan yang
terendah umur 10 hst 13 spesies. Pada umur 50-80 hst kelimpahan artropoda
predator tertinggi pada umur 50 hst 149 individu dan yang terendah pada umur
80 hst 114 individu. Jumlah spesies yang ditemukan tertinggi pada umur 40 hst
21 spesies dan yang terendah pada umur 70 hst 14 spesise (Tabel 1 dan 2).
469
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Famili, spesies, jumlah individu, dan kelimpahan relatif artropoda
predator di tajuk tanaman padi di lahan rawa lebak yang diaplikasikan
bioinsektisida cair di Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan
Kabupaten Ogan Ilir.
Waktu pengamatan pada umur tanam 10-80 hari setelah tanam (hst)
Kelas, Ordo, Famili 50
60
70
80
JS J1
KR
JS J1
KR JS J1
KR JS J1 KR
Araneidae
Arachnida
Lycosidae
0
0
0.00
0 0
0.00 1 1 0.71 0 0 0.00
Araneidae
0
0
0.00
1 1
0.73 0 0 0.00 0 0 0.00
Tetragnathidae
3 57 38.26 3 45 32.85 3 50 35.46 4 37 32.46
Linyphiidae
2
4
2.68
1 2
1.46 0 0 0.00 3 6 5.26
Oxyopidae
2 21 14.09 2 29 21.17 2 26 18.44 3 17 14.91
Salticidae
2 21 14.09 2 18 13.14 2 20 14.18 2 18 15.79
Insecta
Coleoptera
Staphylinidae
1
3
2.01
1 3
2.19 1 4 2.84 1 2 1.75
Coccinelidae
0
0
0.00
1 16 11.68 1 16 11.35 1 19 16.67
Bostrychidae
1
2
1.34
0 0
0.00 0 0 0.00 0 0 0.00
Chrysomelidae
1
2
1.34
0 0
0.00 0 0 0.00 0 0 0.00
Melyridae
1
1
0.67
1 3
2.19 0 0 0.00 0 0 0.00
Odonata
Coenagrionidae
3 17 11.41 3 10 7.30 2 19 13.48 3 12 10.53
Orthoptera
Tettigonidae
1
5
3.36
1 6
4.38 0 0 0.00 0 0 0.00
Gryllidae
2
3
2.01
2 4
2.92 2 5 3.55 2 3 2.63
Total
21 149 100.00 18 137 100.00 14 141 100.00 19 114 100.00
JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu (ekor), KR = Kelimpahan relatif
Hal ini disebabkan pada umur 40 hst dan 50 hst dilihat dari morfologi
tanaman padi sudah besar dan sudah mulai masuk pada fase generatif. Pada
umur tanaman seperti ini sangat disukai oleh serangga fitopag dimana inang
menyediakan tempat dan makanan yang berlimpah.
PEMBAHASAN
Sejalan dengan hasil penelitian Khodijah et al. (2012) artropoda predator
penghuni ekosistem persawahan rawa lebak dan pasang surut Sumatera Selatan
ditemukan serangga predator Coenagrionida, Coleoptera, Lubellulidae,
Tettigonidae.
Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh
terhadap keanekaragaman keanekaragamaman spesies dan kelimpahan populasi
artropoda predator (serangga dan laba-laba) baik di tajuk maupun di permukaan
tanah (Khodijah, 2013). Di ekosistem persawahan, artropoda predator (serangga
470
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dan laba- laba) merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan
populasi hama padi (wereng coklat dan penggerek batang) (Thalib et al. 2002).
Jumlah individu atau kelimpahan artropoda predator dengan
bertambahnya umur tanaman bertambah pulah jumlah kelimpahannya.
Rendahnya jumlah individu artropoda predator pada lahan yang diaplikasikan
bioinsektisida dan insektisida sintetik hal ini menunjukan bahwa aplikasi
tersebut dapat mempengaruhi populasi artropoda predator yang aktif di tajuk
maupun di permukaan tanah (Herlinda et al. 2008).
Dengan banyaknya serangga fitopag akan banyak pula serangga dan
laba-laba predator yang memangsa serangga fitopag tersebut. Keanekaragaman
spesies serangga yang aktif di tajuk dan permukaan tanah pada sawah tanpa
aplikasi insektisida lebih tinggi dibandingkan dengan keanekaragaman spesies
serangga pada sawah yang diaplikasi insektisida sintetik maupun bioinsektisida
(Herlindah et al. 2008).
KESIMPULAN
Aplikasi bioinsektisida cair berbahan aktif jamur entomopatogen
berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur
10 hst sampai 80 hst.
SANWACANA
Penelitian ini dibiayai oleh Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional,
Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia Tahun Anggaran 2012
dengan kontrak nomor: 1.55/SEK/IRS/PPK/I/2012, tanggal 16 Januari 2012.
Promotor Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda,M.Si, Copromotor 1 Dr. Ir. Chandra Irsan.,
M.Si, Copromotor 2 Dr. Ir. Yulia Pujiastuti., M.P.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin S, Wahyuni S dan Ardiwinata A.N. 2008. Keanekaragaman Serangga
Musuh Alami di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
(BALITTRA). Banjar Baru Kalimantan Selatan.
Barrion AT, Litsinger JA. 1999. Taxonomy of Rice Insect Pest and Their
Arthropod Parasites and Predators, p.13-362. In E.A. Heinrichs (ed.).
Biology and Management of Catindig, J.L.A & Heong, K.L. 2003. Stem
borers. Rice Doctor. International Rice Research Institute, Philippines
(Web site).
Bahagiawati. 2001. Manajemen Resistensi Serangga Hama pada Pertanaman
Tanaman Transgenik Bt. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan,
Bogor. Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian
Volume 4 Nomor I.
Baehaki SE, Noviyanti. 1993. Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae
strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat, hlm. 113-
471
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
124. Dalam Martono E, Mahrub E, Putra NS, Trisetyawati Y (eds.).
Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
12-13 Oktober 1993.
Effendy , Herlinda S, Irsan S, Salim A, Erni. 2008. Seleksi Substrat Jamur
Metarhizium sp. Untuk Mengendalikan Wereng Coklat Nilaparvata
lugens (Stal.) (HOMOPTERA:DELPHACIDAE) di Tanaman Padi. h.
125-101. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Kerjasama PEI Cabang
Palembang dan PFI Komda SumSel., Palembang 18 Oktober 2008
Herlinda S, Hamdiyah, Adam T, Thalib. 2006a. Toksisitas isolat-isolat
Beauveria bassiana (Bals.)Vuill.Terhadap nimfa Eurydema pulchrum
(Westw.) (Hemimoptera:Pentatomidae ). Agritrop 2;34-37.
Herlinda S, Utama MD, Pujiastuti Y, Suwandi. 2006b. Kerapatan dan viabilitas
spora Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. akibat subkultur dan pengayaan
media, serta virulensinya terhadap larva Plutella xylostella (Linn.). J HPTT
6:70-78.
Herlinda S, Hartono, Irsan C. 2008. Efikasi Bioinsektisida formulasi cair
berbahan aktif Beauveria bassiana (BALS.) VUILL. DAN Metarhizium
sp. Pada wereng punggung putih (Sogatella f urcifera HORV.). Seminar
Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008.
Herlinda S, Waluyo, Estuningsih, Irsan C. 2008. Perbandingan keanekaragaman
spesies dan kelimpahan arthropoda predator penghuni tanah di sawah
lebak yang diaplikasikan dan tanpa aplikasi insektisida. J. Entomol.Indon.
2:96-107.
Khodijah, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y & Thalib R. 2012. Artropoda
predator penghuni ekosistem persawahan lebak dan pasang surut
Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal 1(1):57-63.
Kalshoven LGE, van der Laan PA. 1981. The pest of crops in Indonesia. P.T.
Ichtiar Baru. Van Hoeve, Jakarta.
Nugroho, K., S. Suping, dan M. Sarwani. 1993. Karakteristik Lahan dalam
Penelitian Reklamasi dan Pengolahan Tanah Sulfat Masam. Kerja Sama
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan Proyek P3N, Jakarta.
hlm. 1−15.
Nunilahwati H, Khodijah. 2008. Keanakaragaman dan Kelimpahan artropoda
predator hama padi penghuni permukaan tanah sawah lebak di tepi
sungai musi. Prosiding Seminar Nasional Kerjasama PEI Cabang
Palembang dan PFI Komda SumSel., Palembang 18 Oktober 2008.
Prayogo Y, Tengkano W. 2002. Pengaruh media tumbuh terhadap daya
kecambah, sporulasi dan virulensi Metarhizium anisopliae (Metchnikoff)
472
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sorokin isolat kendal payak pada larva Spodoptera litura (L.).
SAINTEKS. (9)4:233-242.
Prayogo Y, Tengkano W, Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen
Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera
litura Pada Kedelai. J Litbang Pertanian 24;19-26.
Thalib R, Effendy TA, Herlinda S. 2002. Struktur komunitas dan potensi
artropoda predator hama padi penghuni ekosistem sawah dataran tinggi
di daerah Lahat, Sumatera Selatan, Makalah Seminar Nasional Dies
Natalis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari
Pangan Sedunia, Palembang, 7-8 Oktober 2002.
Santiago DR, Castillo AG, Arapan RS, Navasero MV, Eusebio JE. 2001.
Efficacy of Metarhium anasopliae (Metsch.) Sor. againts the oriental
migratoria locust, Locusta migratoria manilensis Meyen. The Philippine
Agric. Scientist 84:26-34.
Settle WH, Ariawan H, Astuti ET, Cahyana W, Hakim AL, Hindayana D, Lestari
AS, Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pest through conservation of
generalist natural enemies and alternative prey. Ecology. 77:1975-1988.
Subagyo H, Wijaya.1998. Potenssi pengembangan dan tata ruang lahan rawa
untuk pertanian. Dalam Inovasi Teknologi Pertanian: Buku 1. September
Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.p. 95-119.
Suharto, Trisusilowati EB, Purnomo H. 1998. Study on physiological aspects of
Beauveria bassiana and Their virulence to Helicoverpa armigera . Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia. 4(2):112-118.
Soetopo D. 2007. Efficacy of selected Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Isolated
in combination with a resistant cotton variety (psb-ct9) against the cotton
bolworm, Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae)
(Disertasi Universitas of Philippines Los Banos).
Syam M, Suparyono, Hermanto, Wuryandari DS. 2007. Masalah Lapang Hama
Penyakit Hara pada Padi. Ed. 3. Puslitbangtan. Bogor. 78 hal.
Widiarta IN, Kusdiaman D, Siwi SS, Hasanuddin A. 2004. Variasi efikasi penularan tungro oleh
koloni-koloni wereng hijau Nephotettix virescens Distant. J. Entomol Ind 1:50-56.
Wraight SP, Carruthers RI, Bradley CA,
Jaronski ST, Lacey LA, Wood P,
Wraight SG.1998.
Pathogenicity
of the entomopathogenic fungi
Paecilomyces spp. and Beauveria bassiana against the silverleaf whitefly,
Bemisia argentifolii. J Invertebr Pathol 71:217-22.
473
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Wraight SP, Ramos ME. 2002. Application parameter affecting field efficacy of
Beauveria bassiana foliar treatments againts Colorado potato beetle,
Leptinonarsa decemlineata. Biol Control 23:164-178.
474
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengaruh Amelioran Terhadap Pertumbuhan
Tanaman Jeruk Siam Banjar di Lahan Rawa Pasang Surut
The Effect of Ameliorant on Growth of Banjar Tangerine
at Tidal Swamp Land
Yenni1*), Otto E1, Oka A.B1, dan Agus S2 1Balai
Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 2Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
*
Penulis untuk korespondensi : Telp/Fax : 0341-592683/593047
email : [email protected]
ABSTRACT
Citrus cultivation in tidal swamp land is very promising because it can
afford a considerable profit. However, this still has disadvantages because tidal
swamp land have acid soil pH which can affect the growth and production of
citrus plants. The purpose of this research was to determine the effect of
ameliorant on growth of Banjar tangerine at tidal swamp land. The research was
conducted in Barito Kuala South Kalimantan on January-December 2013. The
variety of citrus, which was used, was Banjar tangerine that has grown for 6
years, and ameliorant material which was used was dolomite. The research was
arranged in randomized block design (RBD) with 4 treatments of dolomite and
repeated three times, e.g. 0,1,2,3 tons /ha. The data were analyzed using analysis
of variance (ANOVA). The results showed that the addition of dolomite 3
tons/ha can increase soil pH from 3,72 to 4,45 and decrease the content of Al-dd
from 13.99 to 8.15. The highest scale of P-available was obtained from use of
dolomite 1 ton / ha (26,39 me/100g). The highest scale of fruit weight and
diameter was obtained on 1 ton/ha (106,55 g / fruit and 5,85 cm). The lowest
scale of fruit weight and diameter was obtained in the treatment without
dolomite (89.3 g/fruit and 5,46 cm). The results of research indicated that the
addition of ameliorant can affect the pH and nutrient availability in the soil, and
increase the diameter, weight, number of flowers and fruits, fruit skin thickness
and fruit weight of Banjar tangerine.
Keywords: Ameliorant, Tangerine, Growth, Tidal Swamp Land
ABSTRAK
Budidaya tanaman jeruk di lahan rawa pasang surut sangat menjanjikan
karena dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Namun, hal ini masih
memiliki kendala karena lahan rawa pasang surut memiliki pH tanah yang masam
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jeruk. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan tanaman
jeruk siam Banjar di lahan rawa pasang surut. Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan pada bulan Januari-Desember 2013.
Varietas jeruk yang digunakan adalah jeruk siam Banjar berumur 6 tahun dan bahan
amelioran yang digunakan adalah dolomit. Penelitian disusun dengan
475
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dolomit masing-masing
diulang 3 kali yaitu 0,1,2,3 ton/ha. Data dianalisa dengan menggunakan analisis
sidik ragam (ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
penambahan dolomit 3 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah yaitu 4,45 dari 3,72
dan menurunkan kandungan Al-dd 8,15 dari 13,99. P-tersedia tertinggi pada
perlakuan dolomit 1 ton/ha (26,39 me/100g). Berat dan diameter buah tertinggi
didapat pada dolomit 1 ton/ha (106,55 g/buah dan 5,85 cm). Berat buah dan
diameter buah terkecil didapat pada perlakuan tanpa dolomit (89,3 g/buah dan
5,46 cm). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian dolomit
dapat mempengaruhi pH dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah dan
meningkatkan diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal kulit dan berat kulit
buah jeruk siam Banjar.
Kata Kunci : Amelioran, Jeruk, Pertumbuhan, Rawa Pasang Surut
PENDAHULUAN
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian menjadi salah satu
kendala dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha pengembangan
pertanian di arahkan pada pemanfaatan lahan marginal seperti lahan pasang
surut. Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dijadikan lahan
pertanian karena sebarannya sangat luas, yaitu diperkirakan sekitar 20,1 juta
hektar yang terbentang di sepanjang pantai Sumatera, Kalimantan dan Papua.
(Widjaja-Adhi et al., 1992). Salah satu komoditas pertanian yang berpotensi
untuk dikembangkan di lahan rawa pasang surut adalah tanaman jeruk.
Budidaya jeruk di lahan rawa sudah lama dikenal masyarakat setempat,
khususnya di Kalimantan Selatan sejak ratusan tahun silam. Budidaya jeruk
siam di lahan rawa dapat dilakukan dengan sistem hamparan (sawah), tetapi
umumnya dengan sistem tukungan (gundukan) atau surjan bertahap (sistem
baluran). Secara bertahap petani membuat tukungan di lahan sawahnya. Sistem
tukungan ini dianjurkan hanya untuk lahan rawa dengan jenis tanah mineral atau
bergambut, tetapi juga mulai merambat ke lahan gambut dengan berbagai
ketebalan dari dangkal sampai sedang. Bentuk tukungan umumnya persegi
empat dengan tinggi 60-75 cm dan lebar sisi antara 2-3 meter. Jarak tanam antar
tanaman dalam baris 4-6 meter. Jarak antar baris 10-14 meter tergantung luas
lahan dan kemampuan operasional traktor dalam pengolahan tanah untuk
tanaman padinya. Apabila pilihan penataan lahan dengan sistem surjan maka
diperlukan saluran pengatusan di salah satu sisi dengan lebar 1,0 meter dan
dalam 0,6 meter agar mudah pengaliran air keluar dan juga dlengkapi dengan
pintu air sistem tabat (dam overflow). Saluran ini juga dapat dimanfaatkan
sebagai perangkap ikan alamiah (Noor dan Nursyamsi, 2012).
Budidaya tanaman jeruk sangat menjanjikan karena dapat memberikan
keuntungan yang cukup tinggi dibandingkan usahatani lainnya. Menurut Zuraida
(2012), usahatani jeruk dapat mendukung rumah tangga petani dengan penerimaan
sebesar Rp 21.150.000,- dan biaya produksi Rp 6.630.000, maka nilai R/C Ratio:
3,1(R/C Ratio >1). Pendapatan petani sebesar Rp 14.520.000,- dan ini memberikan
kontribusi sebesar 70,70 %. Dari hasil tersebut terlihat jelas bahwa usahatani jeruk
sangat mendukung terhadap pendapatan rumah tangga petani.
476
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Namun, budidaya jeruk di lahan rawa surut masih memiliki kendala
karena lahan rawa pasang surut memiliki pH tanah yang masam yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jeruk. Penggunaan bahan
amelioran dapat dijadikan alternatif yang ditempuh. Pemberian amelioran
bertujuan untuk meningkatkan pH sehingga kelarutan Al dan konsentrasi ion H
menjadi rendah dan juga dapat memberikan tambahan unsur hara berupa Ca dan
Mg pada tanah gambut dan sulfat masam. Bahan amelioran dapat berupa kapur
tanah (dolomit). Beberapa hasil penelitian menunjukan pemakaian kapur antara
1-3 ton/ha telah menunjukkan peningkatan hasil yang nyata di tanah rawa
(Alihamsyah, 2004; Widjaya-Adhi, 1987; Sudana, 2005). Oleh karena itu,
menarik untuk diteliti mengenai pengaruh pemberian amelioran terhadap
pertumbuhan tanaman jeruk siam Banjar di lahan pasang surut.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan rawa
pasang surut tipe luapan C desa Karang Indah Kecamatan Mandastana
Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian
bulan Januari - Desember 2013.
Bahan dan Alat. Bahan dan alat yang digunakan adalah tanaman jeruk
siam Banjar berumur 6 tahun, hand counter, plastik, thermohygrometer, hand
refractometer, jangka sorong, ring sampel, ATK dan komputer supplies dan
bahan/alat pendukung lainnya.
Prosedur Penelitian. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dolomit masing-masing diulang 3
kali yaitu 0 ton/ha (D0), 1 ton/ha (D1), 2 ton/ha (D2), dan 3 ton/ha (D3).
Analisa Tanah. Analisa karakteristik kimia tanah dilakukan dengan
pengambilan sampel tanah sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Sampel
tanah komposit ini diambil dari lapisan 0-20 cm dan 20-40 cm. Tiap sampel
tanah komposit diaduk merata kemudian diambil kurang lebih 1 kg untuk
dianalisis di laboratorium tanah.
Pengumpulan dan Analisis Data. Data yang dikumpulkan meliputi
pertumbuhan tanaman jeruk siam Banjar (tunas daun, bunga, diameter buah, berat
buah, tebal kulit buah, berat kulit buah, jumlah juring dan jumlah buah jeruk siam
Banjar) dan analisa kimia tanah (pH, P, Al, Mg, Ca). Data yang didapat dianalisa
dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), apabila berbeda nyata
dilanjutkan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.
477
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL
Karakteristik Lokasi Penelitian. Jeruk dan padi merupakan komoditas
yang dominan ditanaman di lahan petani di desa Karang Indah Kecamatan
Mandastana Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Jenis tanaman jeruk
yang biasa ditanam adalah jeruk Siam Banjar.
(a)
(b)
Gambar 1. (a). Lokasi penelitian yang berada di lahan rawa pasang surut dengan sistem surjan;
(b). Bagian tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi tanaman purun tikus.
Budidaya jeruk di wilayah ini berbeda dengan yang biasa dilakukan di
lahan kering karena di wilayah kalimantan selatan merupakan lahan rawa yang
memerlukan penataan yang khusus supaya tanaman jeruk dapat hidup dan
berkembang. Usahatani tanaman jeruk di lahan pasang surut Kalimantan Selatan
ditanam dengan cara meninggikan sebagian tanah di sekitarnya secara
memanjang sehingga terbentuk surjan. Bagian lahan yang ditinggikan disebut
tembokan, sedang wilayah yang digali atau di bawah disebut tabukan. Lebar
tembokan sekitar 2,5-4 m, sedangkan tabukan dengan lebar 6-7 m. Bagian
tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi oleh tanaman purun tikus. Purun
tikus (Eleocharis dulcis) merupakan gulma yang tumbuh dan berkembang di
lahan rawa pasang surut yang berlumpur. Tumbuhan ini mempunyai rimpang
pendek dengan stolon memanjang berujung bulat gepeng, berwarna kecoklatan
sampai hitam. Batang tegak, tidak bercabang, berwarna keabuan hingga hijau
mengilap dengan panjang 50−200 cm dan tebal 2−8 mm.
Analisis Tanah. Lokasi kegiatan penelitian yang digunakan adalah lahan petani
pada daerah pasang surut dengan tipe luapan C yang menerapkan budidaya
tanaman jeruk saja dengan sistem surjan (monokultur). Secara umum jenis tanah
di lokasi tersebut adalah tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam umumnya
memiliki sifat-sifat khas yang dicirikan oleh bahan-bahan sulfida atau horison
sulfurik pada solum tanah dan pH tanah (pH < 3,5-4,0).
478
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 2. Perlakuan Pemberian Amelioran di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan pada
Bulan Mei 2013.
Dari hasil analisa awal diketahui bahwa karakteristik kimia tanah
mempunyai sifat bereaksi sangat masam, P-tersedia rendah dan basa-basa tukar
sangat rendah hingga rendah (Tabel 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan penambahan dolomit 3 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah tertinggi
yaitu 4,45 dari 3,72 dan menurunkan kandungan Al-dd 8,15 dari 13,99. Kandungan
p-tersedia tertinggi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha yaitu 26,39 me/100g.
Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan pemberian dolomit 2 dan 3 ton/ha
berpengaruh nyata dalam meningkatkan pH tanah terhadap kontrol/tanpa dolomit.
Namun perlakuan pemberikan dolomit 1 ton/ha tidak berpengaruh nyata.
Tabel 1. Karakteristik Kimia Tanah Sulfat Masam Awal Sebelum dan Sesudah
Perlakuan di Desa Karang Indah Kec. Mandastana, Kab. Barito Kuala,
Kalimantan Selatan
K-dd
Ca-dd
Mg-dd
Al-dd
P-tersedia
(me/100g)
(me/100g)
(me/100g) (me/100g)
(ppm)
0 ton/ha (D0)
3.72 a
0.71 a
1.21 a
1.37 a
13.99 a
22.36 ab
1 ton/ha (D1)
3.96 ab
0.96 a
2.74 ab
2.19 ab
10.71 a
26.39 b
2 ton/ha (D2)
4.19 bc
0.60 a
2.06 ab
1.80 a
8.82 a
21.22 ab
3 ton/ha (D3)
4.45 c
0.72 a
5.17 b
4.04 b
8.15 a
18.81 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Dosis Dolomit
pH
Peningkatan pH pada tanah juga dapat menurunkan kelarutan Al pada
tanah. Semakin tinggi pH, maka Al yang terlarut juga akan semakin rendah.
Pemberian kapur juga dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah, salah
satu unsur hara yang meningkat ketersediaannya adalah unsur hara Ca dan Mg.
Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jeruk Siam Banjar.
Pertumbuhan tunas tanaman jeruk siam Banjar hampir terjadi sepanjang tahun.
Pertumbuhan tunas yang terus menerus disebabkan karena kondisi cuaca di
Kalimantan Selatan yang setiap bulan masih terjadi hujan sehingga tanaman
tersedia air untuk pertumbuhan tunasnya. Demikian halnya dengan bunga,
tanaman jeruk siam Banjar juga dapat berbunga ≥ 4 kali setahun tetapi dengan
jumlah bunga yang bervariasi setiap periode berbunganya. Puncak pembungaan
terjadi sekitar bulan Maret 2013. Pada bulan Oktober 2013, setelah panen jeruk
479
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
siam Banjar berbunga kembali. Pada bulan Oktober 2013 jumlah bunga tertinggi
terjadi pada perlakuan kapur 1 ton/ha sebanyak 127 bunga/pohon.
Karena pembungaan tanaman jeruk siam Banjar terjadi ≥ 4 kali setahun,
terdapat beberapa cluster buah berdasarkan diameter buah dalam satu tanaman,
sehingga musim panen jeruk siam Banjar juga terjadi lebih dari ≥ 3 kali per
tahun. Pengamatan terhadap buah jeruk siam Banjar pada bulan Mei 2013,
tanaman jeruk didominasi oleh buah yang berdiameter rata-rata 34,49 mm
dengan jumlah buah + 363 buah per pohon. Pada bulan Juli dan September
2013, jumlah jeruk sudah mulai menurun karena sebagian dari jeruk tersebut
telah dipanen. Puncak waktu panen dilakukan pada bulan September 2013.
Warna buah jeruk siam Banjar pada saat panen hijau kekuningan. Namun pada
pengamatan bulan Nopember 2013, jeruk siam Banjar telah berbuah kembali,
dengan diameter buah rata-rata 4,81 mm dan jumlah buah tertinggi terjadi terjadi
pada perlakuan dolomit 1 ton/ha rata-rata 111 buah/pohon dan jumlah buah
terendah pada perlakuan dolomit 0 ton/ha rata-rata 96 buah/pohon. Hasil
pengamatan terhadap diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring
pada buah jeruk siam Banjar saat panen disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring buah jeruk
siam Banjar pada saat panen
Dosis Dolomit
0 ton/ha (D0)
1 ton/ha (D1)
2 ton/ha (D2)
Diameter
Buah (mm)
54.69 a
58.52 b
57.61 b
Berat Buah
(g)
89.3 a
106.55 b
101.70 ab
3 ton/ha (D3)
56.52 ab
100.90 ab
Tebal Kulit
Buah (mm)
1,92 a
2,13 a
Berat Kulit
Buah (g)
10,00 a
16,00 ab
2,14 a
20,50 b
Jumlah
Juring (bh)
13.00 a
12.25 a
11.75 a
1,87 a
18,75 b
12.25 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Hasil pengamatan terhadap diameter, berat, berat kulit buah jeruk siam
Banjar pada perlakuan dolomit memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan tanpa
diberikan dolomit. Semakin tinggi pH tanah, komponen hasil jeruk siam Banjar
akan semakin tinggi. Diameter dan buah tertinggi pada perlakuan D1 (1 ton/ha)
masing-masing sebesar 58,52 mm dan 106,55 g. Untuk tebal dan berat kulit buah
tertinggi pada perlakuan D2 (2 ton/ha) masing-masing sebesar 2,14 mm dan 20,50 g.
Tetapi hal ini tidak terjadi pada pengamatan jumlah juring buah jeruk, penambahan
dolomit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dan jumlah juring tertinggi pada
perlakuan tanpa pemberian dolomit sebanyak 13 buah juring.
480
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
(d)
Gambar 3. (a) bunga jeruk siam Banjar (b) fruit set jeruk siam Banjar; (c) buah siam Banjar
berumur 8 msb; (d) buah siam Banjar pada saat panen
Analisa Buah Jeruk Siam Banjar. Jeruk siam merupakan salah satu
bebuahan yang cukup digemari karena memiliki rasa yang manis dan daging buah
yang halus. Namun cita rasa jeruk siam dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat
tumbuh. Kondisi tanah adalah salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi
kualitas buah jeruk siam. pH tanah yang rendah dapat mempengaruhi ketersediaan
unsuk makro di dalam tanah. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa
penambahan dolomit menurunkan total padatan terlarut jeruk siam Banjar. Total
padatan terlarut tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian dolomit yaitu 11,95obrix
dan terendah pada perlakuan dengan pemberian dolomit 1 ton/ha sebesar 10,57
o
brix. Sedangkan untuk total asam dan jus buah, perlakuan yang diberikan tidak
berpengaruh nyata. Total asam dan jus buah tertinggi pada perlakuan pemberian
dolomit 2 ton/ha masing-masing sebesar 33,30% dan 2,13%. Hasil pengamatan
terhadap total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk siam Banjar
saat panen disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk
siam Banjar pada saat panen
Dosis Dolomit
0 ton/ha (D0)
Total Padatan Terlarut
(oBrix)
11.95 a
Jus
(%)
32.87 a
Total Asam
(%)
1.23 a
1 ton/ha (D1)
10.57 b
33.07 a
1.09 a
2 ton/ha (D2)
10.75 b
33.30 a
2.13 a
3 ton/ha (D3)
10.62 b
33.25 a
1.51 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
481
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan perkembangan buah jeruk dipengaruhi oleh
ketersediaan unsur hara dan pH di dalam tanah. Apabila pH tanah rendah maka
satu atau lebih faktor tanah yang tidak menguntungkan muncul dan dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Salah satu permasalahan yang
dijumpai pada tanah masam adalah konsentrasi unsur seperti Al dapat mencapai
taraf racun (Winarso, 2005). Pada kondisi yang sangat masam (pH < 4),
kelarutan aluminium meningkat drastis. Dari hasil analisis kimia tanah,
perlakuan D0 memiliki pH tanah 3,72 dan kandungan ion Al3+ lebih tinggi yaitu
13,99 ppm dibandingkan dengan perlakuan D3 hanya 8,15 ppm. Menurut
Radjagukguk (1983), efek meracun Al adalah pada pertumbuhan dan
perkembangan akar sehingga akar tanaman tidak dapat menyerap hara dan air
yang dibutuhkan tanaman. Apabila hal ini terjadi pertumbuhan tanaman akan
terhambat. Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan tanpa dolomit,
diameter dan berat buah jeruk siam Banjar terkecil dibandingkan dengan
perlakuan dolomit. Hal ini mungkin disebabkan pada tanaman tanpa pemberian
dolomit terjadi penghambatan pertumbuhan karena pengaruh Al yang tentunya
hal ini akan mempengaruhi penyerapan hara dan aktivitas fotosintesis tanaman.
Buah jeruk merupakan hasil fotosintesis bersih, apabila fotosintesis terhambat
maka hasil bersihnya berupa buah juga mejadi kecil.
Berdasarkan hasil penelitian, penambahan dolomit dapat meningkatkan
diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal kulit dan berat kulit buah jeruk siam
Banjar. Menurut Winarso, (2005); Hakim et al., (1986); Mengel dan Kirby, (1987),
pemberian kapur dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara tertentu dan
dapat mensuplai unsur Ca dan Mg untuk tanaman, meningkatkan kemampuan
residual dan aplikasi fosfor, meningkatkan fiksasi nitrogen pada tanah dan
tumbuhan, meningkatkan hasil panen tanaman budidaya, dan mengurangi zat yang
merugikan di dalam tanah. Unsur Ca dapat membantu mengaktifkan enzim
tanaman, membentuk senyawa-senyawa yang merupakan bagian dari dinding sel
yang akan membantu memperkuat struktur tanaman, merangsang perkembangan
akar dan daun, mempengaruhi hasil secara tidak langsung melalui penurunan
kemasaman tanah. Sedangkan unsur Mg mempunyai fungsi yang khas, yaitu sebagai
inti dari molekul klorofil sehingga berperan dalam proses fotosintesis, membantu
peranan hara S, demikian pula sebaliknya. Selain itu Mg juga berfungsi membantu
translokasi fosfor dalam tanaman, aktivator enzim tertentu dalam biji, memacu daur
asam sitrat dalam respirasi
KESIMPULAN
Pemberian dolomit dapat mempengaruhi pH dan ketersediaan unsur hara
di dalam tanah dan meningkatkan diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal
kulit dan berat kulit buah jeruk siam Banjar. Diameter dan berat buah terkecil
dihasilkan pada perlakuan tanpa pemberian dolomit. Perlakuan pemberian
dolomit menurunkan total padatan terlarut jeruk siam Banjar. Sedangkan untuk
total asam dan jus buah, perlakuan pemberian dolomit tidak berpengaruh nyata.
482
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan bapak Qomarudin selaku teknisi
(Balittra) dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan
dalam penelitian atau penulisan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah. T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan
produksi padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Di dalam: F.Karino,
et al. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Hakim, N., Nyakpa Y.M., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A., Hong G.B.,
Bailey, H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampurng:Penerbit
Universitas Lampung.
Mengel, K and E.A. Kirkby. 1987. Principles of Plant
Nutrition. Switzerland:International Potash Institute.
Noor, M dan Nursyamsi, D. 2012. Jeruk Siam Banjar:Andalan Pendapatan bagi
Petani Lahan Rawa Pasang Surut. http://muhammadnoor20.
blogspot.com/2012/ 12/jeruk-siam-banjar.html. [diakses 24 Agustus
2014].
Radjagukguk, B. 1983. Masalah Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia.
Makalah Seminar Alternatif-Alternatif Pelaksanaan Program
Pengapuran Tanah-Tanah Mineral Masam di Indonesia. Fakultas
Pertanian UGM. Yogyakarta.
Sudana, W. 2005. Potensi dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber Produksi
Pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan. 3:141-151
Widjaja-Adhi, IPG. 1987. Pengelolaan Lahan Rawa di Daerah Transmigrasi.
unpublished. Bogor.
Widjaya-Adhi, IPG., K Nugroho., Ardi D., Karama A.S., 1992. Sumber Daya
Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai. Potensi Keterbatasan dan
Pemanfaatan. Di dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian
Lahan Pasang Surut dan Rawa; Cisarua, 3-4 Maret 1992. Cisarua.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.
Yogyakarta: Gava Media.
Zuraida, R. 2012. Usahatani Jeruk Mendukung Pendapatan Petani pada Lahan
Pasang Surut di Kalimantan Selatan. Jurnal Sepa 9:19-24.
483
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Optimalisasi Lahan Rawa Lebak di Kebun Percobaan
Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan
dengan Budidaya Karet
Kgs. A. Kodir
Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Selatan
Jl. Kol. H.Barlian No.83. Km 6 Palembang
E-mail :[email protected]
ABSTRAK
Sumatera Selatan memiliki lahan rawa lebak cukup luas yaitu sekitar 2,98
juta hektar namun hingga kini pemanfaatannya untuk budidaya pertanian baru
mencapai sekitar 12,7%. Upaya optimalisasi lahan rawa lebak telah dilakukan di
Kebun Percobaan (KP) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan dengan penanaman karet klon unggul. Percobaan ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran adaptasi tanaman karet pada lahan rawa lebak dangkal
seluas ± 1 ha (550 batang). Penanaman dilakukan sejak bulan Mei Tahun 2007
menggunakan bibit polibeg satu payung dengan jarak tanam 6 x 3,3 m.
Pengamatan dilakukan terhadap persentase tanaman hidup dan pertumbuhan
tinggi tanaman serta panjang lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah.
Hasil percobaan menunjukan bahwa hingga tahun ke 7 tanaman tetap bertahan
hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%) dan seluruhnya menunjukan
penampilan yang baik (tidak ada gejala serangan hama dan penyakit serta
pertumbuhan normal). Hasil pengukuran panjang lilit batang menunjukkan
bahwa pertumbuhan lilit batang maksimum hingga tahun ke 7 (2014) mencapai
75 cm. Panjang lilit batang rata-rata populasi pohon karet tersebut mencapai
54,5 cm. Matang sadap 50% dicapai pada umur 5 tahun. Pada saat ini tinggi
tanaman rata-rata mencapai 8,4 meter.
PENDAHULUAN
Dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia, optimalisasi
sumber daya lahan menjadi pilihan yang tak terelakkan karena dengan itu dapat
meningkatkan produksi pertanian dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan
masyarakat. Dalam usaha peningkatan produksi pertanian, diperlukan teknologi
sistem usahatani yang rasional sesuai kondisi agro-ekosistem. Lahan rawa lebak
termasuk salah satu ekosistem hayati yang memiliki potensi untuk dikembangkan.
Indonesia mempunyai areal lahan rawa lebak seluas 13,4 juta hektar (Bappenas,
2007) yang terdiri dari 4,2 juta hektar rawa lebak dangkal, 6,07 juta hektar lahan
rawa lebak tengahan, dan 3,0 juta hektar lahan rawa lebak dalam. Lahan tersebut
tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Wijaya-Adhi et al, 1992, Dinas
PU Pengairan, 2010). Sumatera Selatan memiliki lahan rawa lebak cukup luas yaitu
sekitar 2,98 juta hektar namun yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman pangan
baru seluas 379.450 hektar yang terdiri dari 70.908 ha lebak dangkal; 129.103 ha
lebak tengahan dan 168.670 ha lebak dalam tersebar di Kabupaten
484
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten
Muara Enim (Puslitbangtanak, 2002, Dinas PU Pengairan, 2010).
Secara agronomis lahan rawa lebak selain dapat dimanfaatkan untuk
tanaman pangan seperti padi dan palawija juga dapat dimanfaatkan untuk
tanaman perkebunan. Tanaman karet telah banyak dibudidayakan di lahan
kering di Sumatera Selatan namun untuk rawa lebak nampaknya belum lazim
dilakukan karena kondisi lahan yang selalu terendam air terus menerus atau pada
musim tertentu. Akan tetapi pada akhir-akhir ini mengingat perkembangan
tanaman karet sudah cukup pesat dan kebutuhan pemenuhan produksi makin
meningkat maka tidak menutup kemungkinan tanaman karet juga dapat
dibudidayakan di lahan rawa lebak. Beberapa petani ada yang mencoba
menanam karet di lahan rawa lebak dangkal, namun demikian hasilnya belum
memuaskan sebab masalah biofisik lahan dan tata kelola lahan serta teknik
budidaya. Dengan penerapan teknologi pengelolaan lahan yang merupakan
kunci keberhasilan usahatani karet di lahan rawa lebak, diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan Metode Deskriptif, yaitu dengan
mengumpulkan fakta sebagian dari data pertumbuhan populasi tanaman karet
yang ditanam pada lahan rawa lebak dangkal seluas ± 1 ha (550 batang) di
Kebun Percobaan Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan
sejak Tahun 2007. Prosedur penelitian dilakukan secara observasi lapangan
dengan mencatat jumlah tanaman yang hidup dan menunujukkan pertumbuhan
yang optimal. Selanjutnya dilakukan pengamatan secara visual mengenai
pertumbuhan tanaman dan ada tidaknya gangguan fisiologis atau hama dan
penyakit. Untuk memperoleh data pertumbuhan tanaman dilakukan pengukuran
panjang lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah. Sebagai data
pendukung, dilakukan pencatatan tentang pelaksanaan teknis budidaya tanaman
karet di lahan rawa lebak dan dilakukan pengukuran tinggi genangan air pada
saat luapan tingi maksimal dan dalam masa waktu tertentu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lahan Rawa Lebak di KP. Kayu Agung.
Berdasarkan letak geografis KP Kayu Agung berada pada 03 023,8’ Bujur Timur
dan 104049,4’ Lintang Selatan dengan ketinggian tempat 31 m di atas
permukaan laut. Dari keseluruhan hamparan lahan KP Kayu Agung yang
luasnya ± 27,3 ha, hampir 90% berupa dataran rendah spesifik lahan rawa lebak,
yang terdiri dari lahan rawa lebak dangkal (± 6,5 ha), lebak tengahan (± 5,3 ha)
dan lebak dalam (± 13,5 ha) dengan tipe iklim tropik basah, kelembaban ratarata 71% dan suhu rata-rata harian 29 – 310 C. Domisili KP Kayu Agung adalah
di Kota Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir, ± 67 km dari sisi timur Ibu
Kota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Jenis / tipe tanah yang dimiliki KP
Kayu Agung adalah Inceptisol dan organosol (pada bagian rawa) serta kambisol
( pada bagian darat).
485
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Menurut Noor (2007) lahan rawa lebak memiliki banyak potensi yang
dapat digali dan memberikan keunggulan-keunggulan komparatif dan kompetitif
dibandingkan dengan lahan-lahan yang lain. Salah satu potensi lahan rawa lebak
adalah pemanfaatannya sebagai lahan pertanian. Secara umum, pertanian yang
dapat dilakukan di lahan rawa lebak adalah pertanian sawah, palawija, dan
beberapa komoditas buah-buahan dan perkebunan. Pola tanam dan jenis
komoditas yang dapat dikembangkan di lahan rawa lebak sangat tergantung
kepada tipologi lahan rawa lebak, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak
dalam. Pada musim hujan, lahan rawa lebak tengahan sampai lebak dalam akan
tergenang lebih dari 100 cm sehingga disebut dengan sawah barat. Sawah barat
harus ditanami padi surung (deep water rice) pada akhir musim kemarau dan
dipanen pada saat musim hujan (genangan 100-150 cm). Padi yang termasuk
jenis padi surung adalah alabio, tepus, nagara, termasuk padi yang di kenal
dengan nama hiyang. Banyak juga padi irigasi yang dapat di tanam di lahan
rawa lebak pada musim hujan. Pada musim kemarau, lebak dangkal dan lebak
tengahan menjadi kering sehingga bisa ditanami sayuran, palawija, dan buahbuahan. Buah yang ditanam pada ledokan ini adalah jenis buah yang semusim
seperti semangka, ataupun melon. Pada lebak dalam hanya ditanamai pada saat
musim kemarau panjang (4-5 bulan kering), selebihnya dibiarkan dengan
genangan yang tetap tinggi.
Guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak di KP Kayu Agung,
untuk pertama kali mulai dicoba memanfaatkan tanaman perkebunan seperti karet
dan kelapa sawit. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman di lahan
rawa lebak sangat tergantung pada jenis tanah dan juga masalah air. Jika mampu
mengatasi kedua masalah tersebut, pertanian di lahan rawa lebak akan memberikan
hasil yang mungkin sama baiknya dengan di lahan pertanian yang tidak marginal
(Noor, 2007). Untuk itu dalam pelaksanaan pengembangan tanaman perkebunan di
lahan rawa lebak ini telah dilakukan pembuatan saluran-saluran drainase untuk
mengendalikan muka air tanah dan dilakukan pemberian kapur dan pemupukan
pada saat pengolahan tanah/penanaman.
TEKNOLOGI BUDIDAYA KARET DI LAHAN RAWA LEBAK
1. Persiapan bahan tanam.
Secara umum ada dua macam bibit sebagai bahan tanam karet, yaitu bibit
stum dan bibit polybeg. Bibit stum adalah bahan tanam karet yang diperoleh
hasil okulasi batang bawah dengan mata entres dari batang tas yang sudah hidup
tetapi belum tumbuh tunas. Ada dua macam stum yaitu stum mata tidur dan
stum tinggi. Stum mata tidur adalah bahan tanam karet berupa stum yang sudah
dipotong akar batang bawah dan batang bagian atas ± 10-15 cm dari atas mata
entres, sedangkan stum tinggi adalah bahan tanam berupa stum yang tingginya
mencapai 1,2 – 2 m. Bibit polybeg adalah bahan tanam karet yang berasal dari
stum mata tidur yang ditanam dalam polybeg atau berasal dari biji sebagai
batang bawah yang ditanam dalam polybeg kemudian setelah memenuhi syarat
diokulasi ditumbuhkan tunas okulasinya dalam polybeg hingga 1-2 payung.
Dalam kegiatan ini penanaman tanaman karet di
486
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
lahan rawa lebak KP Kayuagung dilakukan dengan menggunakan bibit karet
polybeg yang berasal dari bibit stum mata tidur yang ditanam dalam polybeg
yang telah berumur satu payung dan tinggi bibit antara 50-75 cm, .
2. Pengelolaan lahan dan Pola Tanam
Dalam pelaksanaan penerapan teknologi budidaya karet di lahan rawa
lebak di KP Kayu Agung ini dilakukan pengelolaan lahan secara hati-hati
dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang perlu diperhatikan guna
mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa lebak. Untuk itu teknologi
pengelolaan lahan rawa lebak di KP Kayu Agung ini menerapkan prinsipprinsip yang meliputi : (1) pengelolaan air; (2) pengolahan tanah; (3)
pemupukan ; (4) pola tanam. Untuk itu telah dibuat saluran pembuangan air
utama dan saluran sekunder serta tersier. Dalam hal menerapkan prinsip
pengolahan tanah, lahan penanaman dipersiapkan sejak 3-4 bulan sebelum
penanaman yaitu dimulai sejak lahan sudah tidak tergenang air pasang lagi
(bulan Maret). Mula-mula lahan dibersihkan dari gulma dan sisa-sisa tanaman
pasca genangan. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara dibajak rata dengan
hand traktor, selanjutnya di lakukan pengajiran jarak tanam, yaitu 6 x 3,3 m.
Mengenai pola tanam di lahan rawa lebak ada beberapa pola tanam
yang dapat dilakukan dalam pengelolaan tanah rawa diantaranya adalah;
1). Pengelolaan dengan sistem sorjan, yaitu pembuatan bedenganbedengan yang diantara bedengan itu adalah air. Tanaman ditanam diatas
bedengan tersebut. 2). Pembuatan Tapak Timbun (tanaman ditanam diatas
tapak tanam yang dibuat secara individu untuk setiap titik tanam. Dalam
kegiatan budidaya karet di lahan rawa lebak ini, setelah dilakukan
pengolahan tanah dan pengajiran jarak tanam maka selanjutnya dilakukan
pembuatan tapak timbun setinggi ± 75 cm dengan luas 1-1,5 m2 pada setiap
ajir untuk lubang tanam yang akan dibuat. Kira-kira 1 bulan setelah itu
barulah dilakukan pembuatan lubang tanam ditengah tapak timbun yang
sudah dibuat, ukuran lubang tanam 40 x 40 x 30 cm selanjutnya dilakukan
pengapuran dengan dolomite sebanyak 250 g setiap lubang setelah itu lubang
dibiarkan terbuka selama ± 2 minggu.
3. Penanaman.
Penanaman dilakukan setelah bibit dan lubang tanam siap. Sebelum
penanaman, setiap lubang tanam diberi pupuk NPK 100 g diaduk dengan
tanah dalam lubang kemudian baru dimasukkan bibit karet polibeg ke dalam
lubang. Bibit karet dimasukan beserta kantong plastik polybegnya kemudian
dilepas dalam lubang dengan cara menyayat bagian dasar polybeg setelah itu
dibelah separuh lalu ditarik ke atas, hal ini dimaksudkan untuk mencegah
agar media dalam polybeg tidak hancur dan akar tanaman tidak terganggu.
4. Pemeliharaan.
31.
Penyulaman
Penyulaman dilakukan setelah umur 1 tahun sejak penanaman, yaitu
487
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dengan mengganti semua tanaman yang mati dengan menggunakan bibit
karet polybeg yang sudah dua payung.
b. Pemupukan
Dalam hal menerapkan prinsip pemupukan di lahan rawa lebak maka
yang utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pemupukan adalah
menetralkan unsur besi (Fe) dan Alumunium (Al), dengan cara pemberian
zat kapur. Apa bila tidak dinetralkan kedua zat logam berat diatas dapat
mengikat ion-ion pupuk yang diberikan sehingga menjadi “tidak tersedia”
bagi tanaman atau dengan kata lain pupuknya tidak hilang namun tidak juga
dapat bermanfat bagi tanaman. Untuk itulah maka kapur diberikan ke lobang
tanam setelah pembuatan lobang tanam. Sesuai dengan sifat agrofisik dan
kondisi tanah, untuk memperoleh hasil pertumbuhan yang baik maka
sebelum penanaman karet, pada lobang tanam diberikan masukan berupa
kapur sebanyak 250 g dan pupuk majemuk NPK Phonska sebanyak 100 g
per lobang tanam. Pemupukan pada TBM 1 (umur satu tahun) dan TBM 2
(umur dua tahun) diberikan Urea, SP36, dan KCl dua kali setahun pada
akhir musim kemarau dan akhir musim hujan saat lahan tidak tergenang air.
Pemupukan selanjutnya pada tahun ke 3, 4, 5, 6, dan 7 hanya satu kali
setahun.
Adapun dosis pemupukan dilakukan sesuai anjuran dan kondisi
lahan rawa lebak sebagai berikut (Tabel 1.)
Tabel 1. Dosis Pemupukan Karet di Lahan Rawa Lebak KP Kayu
Agung
Dosis pupuk (g per tanaman)
UMUR ( bulan )
Urea
SP36
KCl (g)
(g)
(g)
0
0
100
0
3
50
50
20
8
50
50
20
12
75
100
50
18
75
100
50
24
100
150
75
36
150
200
100
48
200
300
150
dst
200
300
150
0 – 36
> 36
200
200
300
300
150
150
c. Pemeliharaan saluran drainse
Pengaturan saluran drainase air, yaitu dengan cara mendalami saluran air
dipinggir lahan guna menampung luapan air yang berlebihan. Hal ini penting
dilakukan guna mengantisipasi genangan air yang berlebihan pada saat musim
hujan. Selanjutnya juga dilakukan pemupukan dan pengendalian hama dan
penyakit.
d. Pengendalian Hama dan Penyakit
488
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Beberapa hama dan penyakit yang menyerang pertanaman karet di lahan rawa
lebak antara lain :
1). Hama
a. Kutu tanaman (Planococcus citri)
Gejala: merusak tanaman dengan mengisap cairan dari pucuk batang dan
daun muda. Bagian tanaman yang diisap menjadi kuning dan kering.
Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona.
b. Tungau (Hemitarsonemus , Paratetranychus)
Gejala; mengisap cairan daun muda, daun tua, pucuk, sehingga tidak normal
dan kerdil, daun berguguran. Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona
2). Penyakit
a. Penyakit pada akar : Akar putih (Jamur Rigidoporus lignosus), Akar merah
(Jamur Ganoderma pseudoferrum), Jamur upas (Jamur Corticium
salmonicolor),
b. Penyakit pada batang : Kanker bercak (Jamur Phytophthora palmivora),
Busuk pangkal batang (Jamur Botrydiplodia theobromae),
c. Penyakit pada Daun : Embun tepung (jamur Oidium heveae), Penyakit
colletorichum (Jamur Coletotrichum gloeosporoides), Penyakit Phytophthora
(Jamur Phytophthora botriosa)
Berdasarkan pengamatan visual dilapangan hingga saat ini gejala
serangan hama dan penyakit seperti tersebut di atas tidak berpengaruh pada
pertumbuhan, artinya walaupun ada gejala serangan hama dan penyakit tetapi
tidak significant berpengaruh pada pertumbuhan tanaman karet yang ada.
5. Penyadapan
Pohon karet dinyatakan matang sadap apabila lilit batangnya pada
ketinggian 100 cm dari kaki gajah telah mencapai ≥ 45 cm. Penyadapan
dapat dimulai apabila kebun karet telah matang sadap. Suatu kebun telah
memenuhi kriteria matang sadap apabila jumlah pohon yang matang sadap
sudah 60% atau lebih (Dirjendbun, 2009).
Ditinjau dari kenampakan fisik pertumbuhan tanaman pada saat ini dan
berdasarkan hasil pengukuran lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki
gajah maka dapat diketahui bahwa sudah lebih 60% tanaman telah mencapai
lilit batang ≥ 45 cm. Ini berarti kebun karet tersebut telah matang sadap.
Namun hingga saat ini tanaman belum dilakukan penyadapan karena masih
menunggu persiapan alat dan bahan untuk pengelolaan lateks pasca
penyadapan. Dengan pertumbuhan normal, tanaman karet dapat mulai
disadap pada umur 5 tahun, sehingga usia produktifnya dapat dipertahankan
hingga mencapai 25-35 tahun (Damanik, S.,et al.,2010).
Hasil Pengamatan Penampilan Tanaman Dari pengamatan yang telah
dilakukan hingga tahun ke 7 tanaman karet yang ditanam di lahan rawa lebak
KP Kayuagung tetap bertahan hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%)
dan seluruhnya menunjukan penampilan yang baik, tidak ada gejala serangan
hama dan penyakit serta pertumbuhan normal (Gambar 1dan 2).
489
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 1. Pertanaman Karet Di Lebak
Gambar 2. Pertanaman Karet Di Lebak
Dangkal (Umur 7 tahun)
Dangkal (Umur 1 tahun)
Hasil pengkajian budidaya tanaman karet di lahan rawa lebak dangkal
Desa Buntut Bali Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan, Provinsi
Kalimantan Tengah melaporkan bahwa tanaman karet klon PB 260 dan IRR39
dapat tumbuh dengan baik (Firmansyah et al., 2012).
Hasil pengukuran panjang lilit batang tanaman karet yang ditanam di lahan rawa
lebak dangkal di KP Kayu Agung menunjukkan bahwa pertumbuhan lilit batang
maksimum hingga tahun ke 7 (2014) mencapai 76 cm. Pada saat ini panjang lilit
batang rata-rata populasi pohon karet tersebut mencapai 54,5 cm dan yang
matang sadap (lilit batang ≥ 45 cm) mencapai 63,9%. Matang sadap 50% dicapai
pada umur 5 tahun.
Secara umum umur matang sadap karet bervariasi antara 5-7 tahun, tergantung dari
beberapa faktor, antara lain klon, iklim, tindakan budidaya (Boerhendy,2010).
KESIMPULAN
Tanaman karet dapat dikembangkan di daerah lahan rawa lebak sehingga
dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak. Ternyata tanaman karet
mampu memberikan nilai tambah yang cukup baik bagi petani di lahan rawa
lebak, terutama petani yang biasanya hanya menanam padi atau palawija. Hal ini
menunjukkan bahwa lahan rawa lebak mempunyai potensi yang besar untuk
dikembangkan, dan akan memberikan sumbangan besar terhadap pembangunan
daerah terutama dalam meningkatkan taraf hidup dan pendapatan petani, serta
secara bertahap menghilangkan kantong-kantong kemiskinan.
490
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, S., M. Syakir, Made Tasma, dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca
Panen Karet.. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 86 h.
Diretktorat Jenderal Perkebunan, 2009. Teknis Budidaya Tanaman Karet.
file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/pedoman_umum_karet_2009.pd f.
Firmansyah, M.A., Suparman, W.A. Nugroho, Harmini dan Umi Pudji Astuti
(2012). Kajian Perbaikan Usaha Tani Lahan Lebak Dangkal di SP1 Desa
Buntut Bali, Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan. Provinsi
Kalimantan Tengah. http://bengkulu.litbangpertanian.go.id/ind/images/dokumen/tanaman-pangan/firmansyah.pdf.
Island Boerhendy. 2010. Manajemen dan Teknologi Budidaya Tanaman Karet,
Balai Penelitian Karet Sembawa.
Noor Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Teknologi, Pemanfaatan, dan
Pengembangannya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Prajnanta, F. 1996. Agribisnis karet non biji. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Puslitbangtanak. 2002. Anomali iklim. Evaluasi dampak, peramalan dan teknologi
antisipasinya. Untuk menekan resiko penurunan produksi. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Widjaja-Ahdi, IPG., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A. Syariffudin Karama. 1992.
Sumber Daya Lahan Rawa : Potensi, Keterbatasan, dan Pemanfaatan. Pp.
19-38. Dalam pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut
dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian .
491
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tampilan Empat Varietas Unggul Baru Jagung Hibrida Berbasis
Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sumatera Barat
Performance of Four Superior New Variety Hybrid Maize Based on
Approach Integrated Crop Management in West Sumatra
Nurnayetti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
ABSTRAK
Sampai saat ini, Indonesia belum mampu untuk berswasembada jagung.
Salah satu upaya untuk mencapai swasembada adalah dengan meningkatkan
produktivitas melalui pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan tampilan empat VUB jagung
hibrida di Sumatera Barat. Penelitian telah dilaksanakan pada lahan sawah tadah
hujan di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dari
bulan Agustus sampai Desember 2012. Percobaan ditata menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuannya adalah empat
macam VUB jagung hibrida yang dilepas oleh Balitbangtan, yaitu: Bima-2, Bima-3,
Bima-4, dan Bima-5. Teknologi yang diterapkan adalah komponen dasar dan
pilihan yang terdapat dalam model pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan VUB berpengaruh nyata terhadap
semua peubah yang diamati, kecuali tinggi letak tongkol. Didapatkan dua VUB
jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu:
Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3
t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari
rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4
(8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha). VUB jagung hibrida Bima-5 sangat berpotensi
untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di kawasan Kabupaten Tanah
Datar, Sumatera Barat.
Kata kunci : adaptasi, jagung, hibrida, pengelolaan tanaman terpadu, varietas
unggul baru.
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, Indonesia belum mampu untuk berswasembada jagung.
Berdasarkan data statistik tiga tahun terakhir, volume impor jagung mencapai
2,858 juta ton (setelah dikurangi ekspor yang hanya sebesar 30.787 ton) pada
tahun 2011 (Kementan, 2014). Volume impor ini menurun pada tahun 2012
menjadi 1,848 juta ton. Namun, meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 3,272
juta ton. Diperkirakan pada tahun 2014 mencapai 3,6 juta ton, akibat makin
berkembangnya industri pakan ternak dan kurangnya pasokan jagung di
lapangan. Diduga, kebutuhan jagung untuk makanan ternak mencapai 15,5 juta
ton dan kebutuhan jagung lainnya sebesar 7,7 juta ton. Lima tahun mendatang,
492
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
diperkirakan kebutuhan industri pakan sudah mencapai 20 juta ton dan diiringi
kebutuhan jagung lainnya sebesar 10 juta ton.
Produksi jagung nasional ditentukan dua sumber pertumbuhan utama,
salah satunya adalah produktivitas. Produktivitas jagung nasional masih rendah
(4,90 t/ha) dibanding potensinya yang mencapai 14,1 t/ha dan produktivitas hasil
penelitian (mencapai 7,90 t/ha di lahan sawah, 8,06 t/ha di lahan kering terbuka,
dan 6,20 t/ha di lahan kering di bawah pohon kelapa) (Atman, 2015).
Produktivitas jagung masih sangat beragam antar provinsi, berkisar 1,710-7,206
t/ha. Produktivitas jagung tertinggi ditemui di Provinsi Jawa Barat (7,206 t/ha),
diikuti Sumatera Barat (6,703 t/ha). Sedangkan Jawa Timur dan Jawa Tengah
sebagai daerah sentra utama jagung di Indonesia memberikan sumbangan
produktivitas berturut-turut 4,803 t/ha dan 5,509 t/ha. Sementara itu,
produktivitas terendah ditemui di Provinsi Papua Barat (1,710 t/ha) (BPS, 2014).
Bila kesemua wilayah ini, utamanya Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah
dapat ditingkatkan produktivitasnya, diperkirakan akan mampu mempercepat
pencapaian swasembada jagung di Indonesia, yang telah dicanangkan oleh
pemerintah untuk dicapai dalam tiga tahun ke depan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah melalui
pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida (Hosen, dkk., 2013). Sejak
tahun 1956 sampai 2013, telah ditemukan sebanyak 159 varietas jagung yang terdiri
dari 38 varietas komposit dan 121 varietas hibrida. Varietas hibrida yang telah
dilepas berasal dari Balitbangtan dan swasta. Diantara VUB hibrida yang dilepas
oleh Balitbangtan adalah Bima-1, Bima-2, Bima-3, Bima-4, Bima-5, sampai dan
yang terbaru (Bima-19 URI dan Bima-20 URI). Dari deskripsinya, rata-rata hasil
Bima-2 (8,5 t/ha), Bima-3 (8,3 t/ha), Bima-4 (9,6 t/ha), dan Bima-5 (9,3 t/ha)
(Puslitbangtan, 2013). VUB jagung hibrida ini sangat prospek untuk dikembangkan
pada daerah sentra produksi jagung yang ada di Indonesia. Namun, daya
adaptasinya pada masing-masing agroekosistem masih belum banyak diketahui.
Untuk itu dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui keragaan
tampilan empat VUB jagung hibrida di Sumatera Barat. Diharapkan hasil penelitian
ini mendapatkan rekomendasi VUB jagung hibrida yang adaptif di Sumatera Barat,
khususnya di Kabupaten Tanah Datar.
BAHAN DAN METODE
Penelitian telah dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan di
Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat
pada bulan Agustus-Desember 2012. Percobaan ditata menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuan yang di uji adalah
empat macam VUB jagung hibrida yaitu: Bima-2, Bima-3, Bima-4, dan Bima-5.
Ada empat komponen teknologi dasar PTT jagung yang diterapkan dalam
penelitian ini, yaitu: (1) Varietas unggul baru (VUB) hibrida; (2) Benih bermutu dan
berlabel; (3) Populasi 66.000-75.000 tanaman/ha; dan (4) Pemupukan berdasarkan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Sedangkan komponen teknologi pilihan
adalah: (1) Penyiapan lahan (tanpa olah tanah); (2) Pembuatan saluran drainase
saluran irigasi di lahan sawah; (3) Pemberian bahan organik; (4) Pembumbunan; (5)
Pengendalian gulma secara mekanis atau dengan herbisida
493
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kontak; (6) Pengendalian hama dan penyakit; dan (7) Panen tepat waktu dan
pengeringan segera. Komponen teknologi sebagai penciri PTT disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan petani sebagai penciri model PTT
jagung Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Komponen Teknologi
Varietas unggul
Asal benih
Daya kecambah benih
Perlakuan benih
Pengolahan tanah
Jarak tanam
Pupuk Urea
Keterangan
Bima 2, Bima 3, Bima 4, Bima 5 (hibrida)
BPTP Sumbar
>95%
2 g Saromil/kg benih
Olahtanah sempurna
70 x 40 cm (2 biji per lubang)
Berdasarkan BWD (350 kg/ha, diberikan 3 kali,
umur 10, 30, dan 45 HST)
Pupuk SP-36
100 kg/ha (berdasarkan PUTK, diberikan umur
10 HST)
Pupuk KCl
50 kg/ha (berdasarkan PUTK, diberikan umur 10
HST)
Pupuk kandang
Kotoran sapi 1,5 t/ha diberikan saat tanam
sebagai penutup benih
Penyiangan
Penyiangan manual umur 30 dan 60 HST
Pengendalian OPT
Menerapkan konsep PHT
Panen dan prosesing hasil Panen dilakukan setelah jagung masak fisiologis,
dan prosesing hasil menggunakan alat pemukul
Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah tinggi tanaman (cm),
tinggi letak tongkol (cm), panjang tongkol (cm), lingkaran tongkol (cm), jumlah
baris/tongkol, jumlah biji/baris, berat 1.000 biji (g), dan hasil pipilan kering
(t/ha). Data dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (Uji F) sesuai dengan
rancangan yang digunakan. Bila uji F menunjukkan pengaruh nyata maka untuk
membandingkan nilai antar perlakuan digunakan uji beda rata-rata Duncan
(UBD) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan VUB jagung hibrida
memberikan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman saat panen dan tidak
berbeda nyata terhadap tinggi letak tongkol (Tabel 2). Terlihat, tinggi tanaman
berkisar 208,4-239,0 cm. Tanaman tertinggi didapatkan pada VUB Bima-5 (239,0
cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-4 dan Bima-3. Sedangkan tanaman
terendah didapatkan pada VUB Bima-2 (208,4 cm). Selanjutnya, tinggi letak
tongkol berkisar 98-116 cm. Dibanding deskripsinya, ternyata keseluruhan VUB
memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi, berturut-turut 200 cm, 200 cm, 212 cm,
dan 204 cm. Sebaliknya, tinggi letak tongkol keseluruhan VUB cenderung lebih
rendah dibanding deskripsinya, berturut-turut 100 cm, 98 cm, 116 cm, dan
494
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
115 cm untuk Bima-2, Bima-3, Bima-4, dan Bima-5 (Puslitbangtan, 2013).
Artinya, berdasarkan tinggi tanaman, keempat VUB jagung hibrida yang diuji
sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah
Datar.
Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman (cm) dan tinggi letak tongkol empat VUB
jagung hibrida. Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar,
2012.
VUB Jagung
Tinggi Tanaman
Tinggi Letak Tongkol
No
Hibrida
(cm)
(cm)
1
Bima-2
208,4 b
97,5 a
2
Bima-3
231,1 a
97,1 a
3
Bima-4
238,8 a
102,6 a
4
Bima-5
239,0 a
110,6 a
KK (%)
4,51
6,77
Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
menurut UBD pada taraf nyata 5%.
Perlakuan VUB jagung hibrida juga menunjukkan pengaruh nyata terhadap
peubah panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris/tongkol, dan jumlah
biji/baris (Tabel 3). Terlihat, panjang tongkol berkisar 17,2-19,9 cm, dengan tongkol
terpanjang didapatkan pada Bima-4 (19,9 cm) yang tidak berbeda nyata dengan
Bima-5 (19,4 cm). Sedangkan tongkol terpendek didapatkan pada Bima-2 (17,2 cm)
yang berbeda nyata dengan VUB lainnya. Lingkaran tongkol berkisar 15,2-16,4 cm,
dengan lingkaran tongkol terpanjang didapatkan pada Bima-4 (16,4 cm) yang tidak
berbeda nyata dengan Bima-5 (16,3 cm). Sedangkan lingkaran tongkol terpendek
didapatkan pada Bima-2 (15,2 cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 (15,6
cm). Jumlah baris/tongkol berkisar 12,7-13,7 cm. Jumlah baris/tongkol terbanyak
didapatkan pada Bima-2 (13,7 baris) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-5 (13,5
baris). Sedangkan jumlah baris/tongkol tersedikit didapatkan pada Bima-4 (12,7
baris) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 (12,9 baris). Selanjutnya, jumlah
biji/baris berkisar 33,6-38,1 butir, dengan jumlah biji/baris terbanyak didapatkan
pada Bima-4 (38,1 butir) yang berbeda nyata dengan VUB lainnya. Sedangkan
jumlah biji/baris tersedikit didapatkan pada Bima-2 (33,6 butir) yang berbeda nyata
dengan VUB lainnya.
Tabel 3. Keragaan panjang tongkol (cm), lingkaran tongkol (cm), jumlah
baris/tongkol. Dan jumlah biji/baris empat VUB jagung hibrida.
Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
No
1
2
3
4
VUB
Jagung
Hibrida
Bima-2
Bima-3
Bima-4
Bima-5
KK (%)
Panjang
Tongkol
(cm)
17,2 c
17,9 b
19,9 a
19,4 a
1,49
Lingkaran
Tongkol (cm)
15,2 b
15,6 b
16,4 a
16,3 a
1,22
Jumlah
Baris/Tongkol
13,7 a
12,9 b
12,7 b
13,5 a
1,91
Jumlah
Biji/Baris
(butir)
33,6 d
35,2 c
38,1 a
36,0 b
0,93
Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
menurut UBD pada taraf nyata 5%.
495
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Dibanding deskripsinya, ternyata hanya Bima-5 yang memiliki panjang
tongkol melebihi deskripsinya (18,2 cm) dan Bima-4 menyamai deskripsinya
(20 cm) serta Bima-2 dan Bima-3 masih rendah dibawah deskripsinya, masingmasing 21 cm. Sementara itu, keseluruhan VUB yang diuji menunjukkan jumlah
baris/tongkol yang sama dengan deskripsi, yaitu berkisar 12-14 baris
(Puslitbangtan, 2013). Artinya, berdasarkan panjang tongkol, hanya Bima-5 dan
Bima-4 yang sesuai untuk dikembangkan. Namun, berdasarkan jumlah biji/baris,
keempat VUB jagung hibrida yang diuji sesuai untuk dikembangkan pada lahan
sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar.
Selanjutnya, perlakuan VUB jagung hibrida juga menunjukkan pengaruh
nyata terhadap berat 1.000 biji dan hasil pipilan kering (Tabel 4). Terlihat, berat
1.000 biji berkisar 260,6-370,5 g. Biji terberat didapatkan pada Bima-2 (370,5 g)
yang berbeda nyata dengan perlakuan VUB lainnya, sedangkan biji teringan
didapatkan pada Bima-4 (260,6 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Dibanding deskripsinya, ternyata keempat VUB menunjukkan berat
1.000 biji mendekati deskripsinya, berturut-turut 378 g, 359 g, 267 g, dan 270 g
(Puslitbangtan, 2013). Artinya, dilihat dari berat 1.000 biji, keempat VUB yang
diuji sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten
Tanah Datar.
Tabel 4. Keragaan berat 1.000 biji (g) dan hasil pipilan kering (t/ha) empat VUB
jagung hibrida. Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar,
2012.
No
1
2
3
4
VUB Jagung
Hibrida
Bima-2
Bima-3
Bima-4
Bima-5
KK (%)
Berat 1.000 Biji (g)
370,5 a
358,4 b
260,6
d
268,9 c
0,17
Hasil Pipilan Kering
(t/ha)
7,92 b
8,13 ab
8,50 ab
9,17 a
6,65
Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
menurut UBD pada taraf nyata 5%.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa hasil pipilan kering berkisar 7,92-9,17 t/ha.
Hasil pipilan kering tertinggi didapatkan pada Bima-5 (9,17 t/ha) yang tidak
berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Sedangkan terendah pada Bima-2
(7,92 t/ha) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Dibandingkan
dengan deskripsinya, ternyata dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil
mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27
t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya
memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu:
Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6
t/ha) (Puslitbangtan, 2013). Artinya, ditinjau dari tampilan hasil pipilan kering,
VUB Bima-5 berpeluang untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di
Kabupaten Tanah Datar.
496
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Didapatkan dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati ratarata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5
(9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan
hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92
t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha).
2. Untuk meningkatkan produktivitas jagung, maka VUB jagung hibrida
Bima-5 sangat berpotensi untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah
hujan di kawasan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dengan
menerapkan teknologi PTT jagung.
DAFTAR PUSTAKA
Atman. 2015. Produksi Jagung; Strategi Meningkatkan Produksi Jagung.
Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta (dalam proses pencetakan).
BPS. 2014. Statistics Indonesia. https://www.bps.go.id. Diunduh 22 November
2014, jam 14.00 WIB.
Hosen, N., Hardiyanto, M. Daniel, E. Mawardi, I. Manti, Atman, dan Harmaini.
2013. Model Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani Jagung
Ramah Lingkungan dengan Pendekatan Dinamik Sistem di Sumatera
Barat. Laporan akhir BPTP Sumatera Barat (unpublished); 55 hlm.
Kementan. 2014. Portal ekspor impor. http://eksim.pertanian. go.id/. Diunduh 7
Agustus 2014. Jam 12.00 WIB.
Puslitbangtan. 2013. Deskripsi Varietas Jagung Edisi 2013. PuslitbangtanBalitbangtan; 151 hlm.
497
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Profil Usahatani Terpadu Sayuran-Ternak Sapi Potong
di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau
Profile of Integrated Farming between Livestock Beef Cattle and
Vegetable in Bintan Regency, Riau Islands
Salfina Nurdin Ahmad1 dan Yayu Zurriyati1
1
Loka Pegkajian Teknologi PertanianKepulauan Riau Jalan Pelabuhan
Sungai Jang No 38 Tanjung Pinang
Korespondensi: [email protected]
ABSTRACT
The research was conducted in February 2014 - December 2014, this
research was done in Malang Village Meeting (District of Mount Deer), anculai
Ekang Village and Village North Toapaya (Subdistrict Toapaya), Bintan
regency. Intake of secondary data and primary data in the form of direct
interviews sebanak 25 people then the data generated descriptive ditabulase
later. The results showed age of childbearing age with a breeder is still under the
age of 50 years, whereas the average farmer's main job is nearly 52%, using
waste vegetable culled cows about 24% and 8% use kosentrat rice and
composted sewage treatment by means fermentase only 16%, in the event almost
all look dull hair and knowledge about worming approximately 52% and
approximately 42% bloating disease .. the use of dung as fertilizer generally
almost 80% is used to own the remaining approximately 20% sold. State of
almost 100% cow disease Anaplasma. Sp.dan after the cows examined terrhadap
terlur worm turns cows infected with worms with worm eggs 679-4.600 epg.
Keywords: Medicinal herbs, beef, performance, area vegetables.
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Febuari 2014 - Desember 2014,
penelitian ini dilaksananakan di Desa Malang Rapat (Kecamatan Gunung Kijang),
Desa Ekang anculai dan Desa Toapaya Utara (Kecamatan Toapaya) , Kabupaten
Bintan. Pengambilan data secara skunder dan data primer berupa wawncara
langsung sebanak 25 orang kemudian data ditabulase kemudian dibuat secara
deskriptip. Hasil penelitian menunjukkan umur peternak adalah usia produktif
dengan umur masih dibawah 50 tahun , sedangkan rata-rata pekerjaan utamanya
adalah petani hampir 52%, sapi menggunakan limbah sayuran afkir sekitar 24% dan
penggnaan kosentrat padi 8% dan pengolahan kotoran dibuat kompos dengan cara
fermentase hanya 16%, pada kegiatan ini i hampir semua terlihat bulu kusam dan
pengetahuan tentang penyakit cacingan sekitar 52% dan penyakit kembung sekitar
42%.. Penggunaan kotoran sebagai pupuk ummnya hamper 80% digunakan untuk
sendiri selebihnya sekitar 20% dijual. Keadaan sapinya hampir 100% menderita
penyakit Anaplasma. Sp.dan setelah diperiksa terrhadap terlur cacing sapi-sapi
terinfeksi cacing dengan telur cacing 679 epg – 4.600 epg.
Kata kunci: Obat herbal, sapi potong, performans, kawasan sayuran.
498
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN
Berdasarkan laporan dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan
Provinsi Kepulauan Riau (2009), rata-rata terjadi peningkatan permintaan dan
konsumsi daging sapi di Provinsi Kepulauan Riau sekitar 9,31%/tahun yang
sebagian besar disuplai dari impor. Sementara populasi ternak sapi potong di
Propinsi Kepulauan Riau pada tahun 2011 hanya 8.323 ekor (BPS, 2011).
Salah satu kendala dalam usaha pengembangan peternakan sapi potong
di Kepulauan Riau adalah penyakit parasit terutama parasit interna yaitu
helminthiasis (penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing). Peyakit yang
cukup sering menyerang ternak sapi ini umumnya disebabkan oleh cara
pemeliharaan yang kurang diperhatikan sehingga infeksi yang parah dapat
menyebabkan tingkat kematian yang cukup tinggi. Penyakit cacing yang sering
menyerang sapi sebagian besar disebabkan oleh jenis cacing yaitu Bunostomum
sp., Oesophagustomum sp,. Trychostrongylus sp., Trichuris sp., Haemonhus
contortus., Taenia sp..
Rendahnya populasi ternak sapi dipengaruhi oleh tingkat produktivitas
ternak sapi yang juga rendah. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengatasinya,
salah satunya dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan ternak sapi
ditingkat petani.
Pengembangan areal untuk tanaman sayuran di Provinsi Kepulauan Riau
yang cukup pesat saat ini juga merupakan salah satu potensi untuk mendukung
pengembangan ternak sapi, karena ternak dapat dapat memanfaatkan sayuran afkir
sebagai sumber pakan. Saat ini produksi sayuran di provinsi ini tercatat 63.369 ton
(BPS KEPRI, 2012). Jika diasumsikan 5% dari hasil panen tersebut merupakan
sayuran afkir, maka akan tersedia 3.168 ton sayuran afkir sebagai sumber pakan
hijauan ternak, yang berarti dapat menampung sekitar 300 ekor ternak sapi/thn,
disamping itu keberadaan ternak sapi dilokasi areal tanaman sayur juga amat
penting, karena ternak sebagai penghasil pupuk organik untuk tanaman.
Produktivitas ternak sapi selain dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang
sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya, juga sangat dipengaruhi dengan kesehatan
ternak tersebut. Salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas
sapi adalah penyakit cacing.Penyakit ini dapat menurunkan bobot badan dan
menggangu reproduksi ternak. Berdasarkan laporan dari instansi terkait di
Kabupaten Bintan, kejadian penyakit cacing terutama cacing hati pada ternak sapi di
kabupten ini adalah sekitar 45% dari populasi yang ada dengan derajat infestasi
sedang sampai dengan berat dan dilaporkan pula banyak kegagalan reproduksipada
ternak sapi akibat kejadian tersebut (DINAS PERTANIAN, PETERNAKAN DAN
KEHUTANAN KABUPATEN BINTAN , 2012). Pemeliharaan ternak sapi
umumnya dengan cara ekstensif hingga semi intensif.
Pohon pinang (Areca catecu) banyak ditemukan di Kepulauan Kepri
khususnya Kabupaten Bintan.Keampuhan obat untuk pengobatan penyakit
cacing dapat diketahui dari hilangnya gejala klinis akibat penyakit tersebut pada
ternak dan penampilan fisik ternak menjadi lebih baik. Untuk mengetahui sejauh
mana efektivitas biji pinang untuk penyakit cacing dibandingkan pengobatan
menggunakan obat buatan pabrik, perlu dilakukan pengkajianperbaikan
manajemen pemeliharaan ternak sapi untuk peningkatan produktivitasnya
dikawasan tanaman sayuran di Provinsi Kepulauan Riau.
499
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui profil peternak sapi potong di
kawasan tanaman sayuran dan kejadian penyakit cacing di Kepulauan Riau.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau.
Pengambilan sampel darah ternak di Kecamatan Gunung Kijang yakni Desa Malang
Rapat pada kelompok Tunas Jaya, Kelompok Agri Bangun Jaya di Desa Toapaya
Utara, kelompok Tunas Muda di desa Malang Rapat dan kelompok Margatani di
desa Ekang Anculai bulan Febuari 2014 sampai dengan Desember 2014.
Peternaknya memiliki lahan sayuran pada umumnya merupakan petani sayuran yang
sudah lama menjadi petani sayuran di Kabupaten Bintan.
Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan skunder. Sumber data
primer dari wawancara dengan responden kelompok petani sayuran dan ternak yang
ditentukan secara sengaja (purpussive sampling). Selanjutnya Metode
penarikan sampel dari penelitian ini adalah dilakukan
Pengambilan sampel
kelompok tersebut dari populasi sapi yang terbanyak
berdasarkan kelompok
dengan cara Fokus Discussion Group (FGD) yang dikumpulkan di tempat Balai
Pertemuan . Penelitian ini dilakukan dengan metode partisipatory Rural Apprasial
(PRA) yaitu proses pengumpulan data yang melibatkan kerjasama aktif antara
pengumpul data dengan responden (Singarimbun dan effendi, 1995). Selanjutnya
dilakukan pertanyaan pada petani peternak dengan melalui kuisioner yang dibuat
sebanyak 25 orang , data di Tabulase dan dianalisa secara deskriptif. Selanjutnya
data primer lainnya dengan pengambilan sampel feses diambil secara acak pada tiap
kelompok dengan cara diambil dari anus sapi sekitar 5 gram kemudian dimasukkan
ke dalam plastic diberi tanda kemudian diperiksa di Laboratorium Kesehatan Hewan
Propinsi Kepulauan Riau. diperiksa Selanjutnya data ditabulasi kemudian
dilaporkan secara deskriptif. Dalam pengambilan data kuisioner diamati sapi-sapi
yang berada dalam kandang kemudian dicatat dan ditabulase.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkajian produktivitas sapi potong basis kawasan sayuran di
Kepulauan Riau dilakukan pada kelompok ternak dengan kawasan tanaman
sayuran . Profil peternak dan ternaknya dimana pada ternaknya memperlihatkan
sapi yang kurus, bulu kusam dan mucosa mata terlihat pucat . Karakterisitik
kelompok peternakan sapi di kelompok Tunas Jaya, kelompok Agri Bangun
Jaya dan kelompok Margatani dapat diperlihatkan pada Tabel 1.
500
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Karakteristik petani , sistem Integrasi tanaman sayuran dan ternak
No
1
2
3
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Uraian
Umur
20 – 40 tahun
41 – 50 tahun
>50 tahun
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Mata Pencaharian
Buruh
Petani
Wiraswasta
Pengalaman Usahatani tanaman
< 1 tahun
2-5 tahun
6-10 tahun
>10 tahun
Pengalaman beternak sapi
< 1 tahun
>1-4 tahun
>10 th
Kepemilikan ternak sapi
1-5 ekor
6-10 ekor
>10 ekor
Sistem Pemeliharaan ternak sapi
Ektensif
Semi intensif
Pakan yang diberikan pada ternak sapi
Rumput alam
Rumput +kosentrat (tongkol jagung )
Limbah pertanian
Sayuran afkir
Dedak padi
Tongkol Jagung
Jumlah limbah pertanian (sayuran)
5-10 kg /ekor/hari
Persentase (%)
24
52
24
24
12
64
24
52
24
16
40
44
4
16
68
16
60
24
16
100
88
12
24
8
8
100
10-12kg/ekor/hari
>15 kg/ekor/hari
11.
12.
13.
14
Penyakit yang sering menyerang ternak
Cacingan
Perut kembung
Mengetahui manfaat kotoran ternak dari
Baca buku
Penyuluhan
Pelatihan
Jenis teknologi pengolahan kotoran ternak yang
diterapkan atau pernah diterapkan
Amoniasi
Fermentase
Tanpa olahan
Pupuk organic dan kotoran ternak yang dihasilkan
digunakan untuk
Kebutuhan sendiri
Dipasarkan /dijual
52
48
16
60
24
16
84
80
20
501
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pada Tabel 1 berdasarkan hasil wawancara dengan petani kelompok ternak
diperlihatkan bahwa mata pencaharian paling banyak adalah petani sayur sekitar
52%, , dan pengalaman beternak sapi ada yang kurang dari 1 tahun sekitar 16 %,
dan paling banyak yang memelihara ternak sekitar 56%. Pemberian kosentrat
pada ternak sapi di tiga kelompok ternak hanya 12%.
Limbah sayuran atau limbah pertanian yang diberika pada ternak sapinya
hanya 6 orang sekitar 24% dan tongkol jagung hana 8% dan pemberian dedak
padi hanya 8% yaitu hanya 2 orang. Jenis kotoran yang diterapkan dan yang
pernah diterapkan oleh ketiga kelompok ternak adalah diolah dengan fermentase
sekitar 16% dan tanpa olahan sekitar 84% hal ini dikarenakan petani atau
kelompok ternak tersebut umumnya dijemur beberapa hari langsung dipakai
oleh peternak.
Pupuk organik atau kompos umunya digunakan sendiri hampir 8% dan
dijual sekitar 80% . Hal ini bahwa ketiga kelompok ternak merupakan Kawasan
kawasan tanaman sayur maka penggunaan feses sapi sebagai pupuk dengan
olahan atau kompos dan tanpa olahan , dengan demikian peternak menggunakan
kotoran sapi sebagai pupuk di lahan peternak itu sendiri.
Tabel 2. Karakteristik kondisi ternak ternak sapi
No
1
Uraian
7
Kurus (terlihat tulang rusuk)
Skor 3
Skor 2
Skor 1
Bulu Kusam
Pucat dilihat dari mukosa
Feses Encer dan bau amis
Bulu Berdiri
Tidak pakai air minum dalam
Kandang
Kandang
8
9
10
Dekat kandang ada saluran
Basis sayuran
Feses dibuat kompos
2
3
4
5
6
Kelompok
Tunas
Jaya
Kelompok
1
4
11
16
12
11
8
√
1
2
2
5
4
3
4
√
6
2
3
10
8
8
9
X
Gelap
Agak
terang
Ada
Ya
Ya
Agak
terang
Tdk ada
Tdk
Tdk
Ada
Ya
Ya
Agri
Bangun
Jaya
Kelompok
Margatani
Hasil penelitian dan waktu pengamatan di kandang dapat dilihat pada
(Tabel 2) dan Gambar 1, terlihat bahwa pada kelompok tani Tunas Jaya keadan
sapi kurus dengan skor hanya 1 sampai dengan 2 sehingga tulang rusuk yang
kelihatan tiga dan empat. Hasil pengamatan dilapangan peternak tersebut agak
mengerti dengan penyakit cacingan pada sapi. Pada Tabel 1, terlihat
karakteristik ternak sapi dalam kandang seperti feses encer berbau amis, bulu
kusam dan pucan serta bulu berdiri. Hal ini menunjukkan gejala klinis cacingan
sehingga diperlukan uji laboratoriun dengan pemeriksaan feses terhadap telur
cacing dapat dilihat pada Tabel 2.
502
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Eksisting peternak di tiga kelompok ternak tersebut waktu wawancara
dengan peternak dimana ternaknya sangat menyedihkan dan kedaan lingkungan
kandang gelap dan becek sehingga kotoran sapi encer didalam kandang
menimbulkan bau yang tidak sedap.
Hasil pemeriksaan sampel pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa sampel
darah positif terhadap Theleria dan Anaplasma masing –masing …. % dan ….
% hanya di tempat kelompok Tunas Jaya negative 2 ekor, dalam pemeriksaan ini
terlihat hasil karateristik hewannya pucat dan ada tidak mau birahi. Pemeriksaan
terhadap sapi-sapi tersebut negatif Bakteri Brucella, hal ini sapi yan tidak birahi
bukan disebabkan oleh bakteri ini tetapi oleh sebab lain dalam hal ini adalah
penyakit cacing (MERCK, 1982). Penyakit cacingan disebabkan oleh
lingkungan yang kurang bersih dan keadaan gelap tempatnya sehingga kalau
gelap tempat sarang nyamuk, nyamuk juga sebagai vector penyakit parasit darah
dalam hal ini parasit Anaplasma sp.
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian obat herbal ekstrak pinang,
obat herbal ekstrak papaya dan obat pabrik pada 2 minggu setelah pemberian
tidak ada perubahan derajat infeksinya tetap ada yang sedang dan berat.
Tabel 4. Hasil pemeriksaan telur cacing pada
sapi yang diberikan obat
cacing herbal serbuk biji pinang dan biji pada pepaya
Rata-rata Epg 2
Rata-rata Epg setelah 2 mg
No
Kelompok Ternak
mg sebelumm
pengobatan (e.p.g)
diobati (e.p.g)
1
Tunas Jaya
769
769
2.
Agri Bangun Jaya
679
679
3.
Margatani
4.300
4.397
Keterangan: SBPep=Serbuk Buah Pinang Pepaya,SBPin=Serbuk Buah Pinang,
OB.P=Obat Pabrik,infeksi ringan epg<500, Infeksi sedang 5005.000,infeksi berat >5.000
Gambar 1. Sapi awal pengkajian kelihatan kurus waktu wawancara
503
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
1. Hasil dari wawancara peternak , peternaknya memiliki usaha yang utama
adalah petani 52% dan wiraswasta sekitar 24% selebihnya adalah buruh.
2. Pemanfaatan kotoran membuat kompos untuk pupuk tanaman berasal dari
membaca buku dan latihan serta penuluhan.
3. Peternak sudah mengetahui gejala klinis penyakit cacing (52%) dan
penyakit kembung (48%).
4. Peternak sudah mngetahui obat penyakit cacing dengan obat dari Pabrik dari
Dinas Peternakan berupa Ivomec dan tradisional dengan obat pinang.
5. Hasil pemmeriksaan laboratorium sapi-sapi di kelompok Agri bangun,
Margatani dan Tunas Jaya terimfeksi penyakit parasit darah Anaplasma sp.,
Theleria sp., dan Babesiosis dan Penyakit cacing dengan terinfeksi telur
dari sedang sampai berat 679 epg-4.300 epg.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Azwar. 1992. Antropologi Kesehatan Indonesia, Pengobatan
Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Beriajaya and P. Stevensen. 1986. Reduced Productivity in Smalll Ruminant in
Indonesian as a result of Gastrointestinal Nematoda infection In
Livesstock Production .Dinas Peternakan Pertanian dan Kehutanan.
2011. Laporan Tahunan.
BPS. 2012. Kepulauan Riau dalam Angka.
Ditjennak. 2010b. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta:
Direktorat Jenderal Peternakan, Kementan RI
Kartono, J. Abas Basuni Jahari, Ahmad Sulaeman, Hardinsyah, Mary Astuti,
Moesijanti Soekatri. 2012. Angka Kecukupan Gizi (Akg) 2012 Untuk
Orang Indonesia. Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi
http://www.majalahinfovet.com/2007/10/berbagai-metode-pengobatanpenyakit.html
Komisarek, J. and Dorynek, Z., 2002. “Genetic aspects of twinning in cattle”
Journal of Applied Geneticts”. 43 (1): 55-68.
Manti, I., F. Nurdin, S. Abdullah, I. Rusli, E. Afdi dan Syafril. 2006. Review
Teknologi Pertanian Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.
MC Kay and Gandolfo,D. 2007. Phytophagous insects associated with
reproductive structures of mesquite (Propsopis spp) in Argentina and
potential as biocontrol agents in South Africa. African Entomology. 15:
121- 131.
Meiyanto, E., Sugiyanto, dan Sudarto, B., 1997, Uji Antikarsinogenik dan
Antimutagenik Preparat Tradisional Daun Gynura procumbens (Lour.)
Merr., Fakultas Farmasi UGM, Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan
Obat Indonesia XII, 32.
Mujiono. 2009. Keburuhan dan ketersediaan SDM Peternakan dalam Mewujudkan
Kecukupan daging . 2010. Buku Panduan Seminar Nasional Pengembangan
Usaha Pembibitan Ternak sapi Pola Integrasi Tanaman
504
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ternak Dalam rangka Mendukung kecukupan daging 2010, Senin 14
Agustus 2006.
Riady, M. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong
menuju 2020. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta
8-9 Oktober 2004. P. 3-6.
Waller, P.J. 1987. Anthelmintic resistance and future for roundwrm control.
Veterinary Parasitology 15(2):177- 191.
Waller, PJ and M. Larsen. 1996. Workshop summary Biological control of
nematode parasites of livestock Veterinary Parasitology. 64: 135.
505
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perlakuan Kombinasi Pakan pada Usaha Penggemukan
Sapi Bali Jantan di Lahan Pekarangan
Application of Feed Combinations Treatment on Fattening Bali
Beef Cattle in Back Yard
Salfina Nurdin Ahmad1, dan Twenty Liana2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah,
E-mail Penulis: [email protected]
1
ABSTRACT
To support PSDSK 2014 and MP3EI in tidal swamp, beef cattle production
using local feed resources had been encouraged. Utilization fermented of palm
midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed has been used to increase of
productivity and alleviate feed in the dry season. The experiment was conducted to
identify prospect and production response beef cattle to feed treatment introduction
as feed in beef cattle fattening systems at Tidal Swamp Lamunti A2 Village, Kapuas
Regency. Fifteen cattles were used in this experiment during the period of
September to December, 2005. Feed given consistsed of P I (grass + Bio cass
probiotic + fermented of palm midrib + husk); PII (husk + Bio cass probiotic +
grass); PIII (fermented of plam midrib + Bio cass probiotic + grass); PIV (grass +
Bio cass probiotic); dan PV (control = grass that used as animal feed). The results
showed that liveweight gain of P I, PII, PIII, PIV and PV treatment respectively
were 0.67 kg; 0.58 kg; 0.56 kg; 0.56 kg; dan 0.33 kg respectively . P I treatment is
significantly different to the others (control and three combinations feed), while for
three combinations are not significantly different, but among three combinations,
but significantly with control. It was concluded that the use of fermented of palm
midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed gives different response from
grass used as animal feed.
Keywords: feed combinations, cattle, live weight gain
ABSTRAK
Untuk mendukung PSDSK 2014 dan MP3EI di rawa pasang surut, produksi
sapi potong menggunakan sumber daya lokal pakan telah didorong. Pemanfaatan
fermentasi dari pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak
telah digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi pakan pada
musim kemarau. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi prospek dan
daging sapi respon produksi ternak untuk memberi makan pengenalan pengobatan
sebagai pakan sapi potong sistem penggemukan di Tidal Swamp Lamunti A2
Village, Kabupaten Kapuas. Lima belas ekor sapi yang digunakan dalam penelitian
ini selama periode September-Desember 2005. Pakan yang diberikan terdiri dari PI
(rumput + Bio cass probiotik + fermentasi dari pelepah sawit + sekam); PII (sekam
+ Bio cass probiotik + rumput); PIII (fermentasi plam pelepah + Bio cass + rumput
probiotik); PIV (rumput + Bio cass probiotik); Dan PV (kontrol = rumput yang
digunakan sebagai pakan ternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan
liveweight PI, PII, PIII, PIV dan
506
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pengobatan PV masing-masing adalah 0,67 kg; 0.58 kg; 0,56 kg; 0,56 kg; dan
0,33 kg masing-masing. Pengobatan PI secara signifikan berbeda dengan yang
lain (kontrol dan tiga kombinasi pakan), sedangkan untuk tiga kombinasi yang
tidak berbeda secara signifikan, tapi di antara tiga kombinasi, tetapi secara
signifikan dengan kontrol. Disimpulkan bahwa penggunaan fermentasi dari
pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak memberikan
respon yang berbeda dari rumput yang digunakan sebagai pakan ternak.
Kata kunci: kombinasi pakan, sapi, pertambahan bobot badan
PENDAHULUAN
Kalimantan Tengah dengan areal perkebunan kelapa sawit seluas 709.200
ha berpotensi untuk pengembangan sapi potong secara terintegrasi. Pada saat ini
populasi sapi potong di Kalimantan Tengah adalah 63.300 ekor, atau ratio antara
populasi sapi dan luas areal sawit sebesar 0,09, yang berarti peluang
pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan kelapa sawit sampai dengan
tingkat kepadatan maksimum 1 ekor/ha masih terbuka lebar (BPS, 2010). Pada
setiap perkebunan kelapa sawit di Indonesia, limbah kebun kelapa sawit tersedia
dalam jumlah yang cukup banyak dan mudah diperoleh.
Ternak sapi potong pada umumnya dipelihara oleh peternak di perdesaan
(99%) dengan permasalahan yang dihadapi terutama rendahnya
produktivitas/reproduktivitas ternak, yaitu pertambahan bobot badan harian
(PBBH) antara 0,2-0,3 kg/ekor/hari (potensi ≥ 0,5 kg/ekor/hari), angka kelahiran
ternak 21% (potensi 30%) dari populasi, jarak beranak sekitar 18-21 bulan
(potensi 15 bulan) (BPS, 2010). Oleh karena itu perlu adanya terobosan dalam
pengembangan peternakan sapi, mengingat pemerintah mempunyai program
swasembada daging sapi untuk mencukupi kebutuhan daging domestik
(Mahendri et al., 2006).
Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah memiliki perkebunan
kelapa sawit cukup luas, yaitu 125.642,32 ha dengan populasi ternak sapi 4.741
ekor (ratio = 0,04). Produk samping yang dihasilkan dari industri kelapa sawit,
baik yang berasal dari kebun maupun pabrik pengolahan jumlahnya cukup
banyak, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal (BPS, 2010). Produk samping
dapat diperoleh dari tanaman utama seperti pelepah (fronds), daun (leaves), dan
batang (trunk), produk ikutan hasil pengolahan buah kelapa sawit seperti lumpur
sawit (palm oil sludge), dan dari pengolahan inti sawit seperti bungkil inti sawit
(palm kernel cake) (Prayitno dan Darmoko, 1994).
Menurut hasil penelitian Jalaludin et al., (1991) jumlah pohon kelapa sawit
untuk setiap hektar areal perkebunan rata-rata 130 pohon, dan setiap pohon
kelapa sawit (TM) dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun dengan rata-rata
bobot pelepah per batang 7 kg, atau sekitar 20 ton pelepah segar yang dihasilkan
untuk setiap hektar dalam setahun. Dengan persen bahan kering pelepah
26,07%, maka bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap
hektar adalah 5.214 kg.
Pemberian pakan tambahan yang bersumber dari produk samping kebun
kelapa sawit, seperti pelepah masih belum mampu memenuhi kebutuhan sapi
potong akan nutrien, sehingga perlu pemberian pakan tabahan yang bersumber
dari hasil ikutan pengolahan buah sawit, seperti Bungkil Inti Sawit (BIS).
507
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kandungan nutrien dan nilai biologis BIS cukup tinggi. BIS segar yang
dihasilkan dari setiap hektar areal perkebunan setahun adalah rata-rata 560 kg.
Dengan persen bahan kering 91,83%, maka bahan kering BIS yang dihasilkan
adalah 514 kg/ha/tahun (Elisabeth & Ginting, 2003; Ginting & Elisabeth, 2003)
Salah satu strategi pengembangan ternak sapi di Indonesia pada subsistem
usahatani on farm adalah mempercepat pertambahan bobot hidup ternak dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari limbah perkebunan
berupa silase yang diolah dari pelepah sawit, limbah pertanian berupa dedak dan
probiotik bio-cass. Untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan palabilitas pelepah
sawit dilakukan perlakuan fisik (dicacah/dipotong-potong), kemudian untuk
mempertahankan/meningkatkan kualitas nutrien pelepah dilakukan melalui
pembuatan silase. Upaya memperkaya kandungan nutrien BIS dilakukan melalui
proses fermentasi yang dilengkapi dengan pakan imbuhan sebagai sumber vitamin
dan mineral. Jumlah pelepah yang diberikan pada sapi adalah 30% dari bahan kering
yang dikonsumsi, dengan patokan konsumsi bahan kering = 4% dari bobot hidup.
Setiap ternak pengkajian diberi probiotik “bio-cas” produk BPTP Bali, yang
mengandung mikroorganisme yang berfungsi untuk efisiensi pencernaan serat kasar.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana respon penggunaan
kombinasi pakan pada ternak sapi terhadap Pertambahan Bobot Badan Harian
(PBBH) dan konversi pakan serta prospek kedepannya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan secara on farm reseach di Desa Lamunti A2,
Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, pelepah sawit diperoleh dari
PT. Gelobal Agung Lestari dengan agroekosistem lahan pasang surut. Kegaitan
dilaksanakan selama empat bulan dimulai bulan Mei sampai dengan September
2012. Ternak yang digunakan adalah sapi bali jantan sebanyak 15 ekor, sedang
kombinasi pakan yang diberikan adalah sebagai berikut (kg/ekor/hari) (Gambar
1.):
1. PI = rumput + probiotik bio-cas + silase pelepah sawit + dedak
2. PII = dedak + probiotik bio-cass + rumput
3. PIII = silase pelepah sawit + probiotik Bio-cass + rumput
4. PIV = rumput + probiotik bio-cass
5. PV = kontrol (rumput yang biasa diberi petani).
Rumput yang diberikan 25 kg/ekor/hari, probiotik 5 cc/ekor/hari, silase 2,5
kg/ekor/hari dan dedak 2 kg/ekor/hari. Probiotik Bio-cass adalah produk dari
BPTP Bali, berasal dari isi rumen, mengandung mikrobial yang dapat
menghancurkan serat kasar menjadi protein. Ternak diberi pakan 2 kali sehari
yaitu pagi hari dan siang hari. Nilai gizi rumput yang digunakan peternak, silase
hasil fermentasi, dan dedak yang diberikan pada ternak sapi ditunjukkan pada
Tabel 1.
508
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Komposisi Nutrient Rumput Pakan, Silase Dan Dedak
Uraian
Kadar air 60 °C
Protein kasar (% BK)
Lemak kasar (% BK)
Serat kasar (% BK)
Kadar abu (% BK)
Bahan Ektra Tanpa N
TDN
Energi total (Kcal/Kg)
Komposisi
Rumput
Silase Pelepah
Pakan
Sawit
65,300
34,210
10,064
8,376
0,969
96,869
5,838
11,733
41,136
50,902
56,687
19,170
3767,044
3031,044
Dedak
16,200
9,500
3,300
16,400
10,800
43,800
53,000
Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Balitnak (2012)
PBBH dihitung dengan mengurangi bobot akhir dengan bobot awal dibagi
jumlah hari antara kedua bobot tersebut. Dari parameter teknis tersebut
selanjutnya dilakukan estimasi ekonomi untuk mengetahui kelayakan dari
introduksi teknologi pakan yang diberikan serta tambahan penghasilan yang
diperoleh pada masing-masing pola pemeliharaan. Pendekatan ekonomi yang
digunakan adalah analisis usahatani parsial yang meliputi analisis gross margin
dan biaya produksi umum sesuai dengan petunjuk Amir & Knipscheer (1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani Pelaksana
Sebagian besar petani dilokasi adalah transmigran berasal dari Pulau Jawa
yang didatangkan saat proyek PLG dimulai pada tahun 1998. Setelah proyek PLG
selesai banyak petani setempat meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan lain
sebagai buruh. Pada tahun 2006 di desa tersebut berdiri perkebunan kepala sawit
PT. Gelobal Agung Lestari, yang melibatkan petani sebagai plasma dan pekerja di
perkebunan. Selanjutnya, petani yang dilibatkan pada penelitian ini adalah petani
yang memiliki ternak dan bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan pekerjaannya, petani pelaksana merupakan pekerja yang
bekerja penuh diperkebunan, setengah penuh dan tidak bekerja. Pekerjaan ini
menentukan petani pelaksanan dalam menyiapkan/mengumpukan hijauan
berupa rumput bagi ternaknya. Petani yang tidak bekerja penuh sampai tidak
bekerja di perkebunan akan memiliki waktu yang banyak dalam mengumpulkan
hijauan bagi ternaknya.
Usia petani pelaksana antara 27-50 tahun, usia ini termasuk dalam usia
produktif yang akanlebih mendukung keberhasilan dalam usaha peternakan,
namun disisi lain pendidikan petani pelaksana sebagian besar masih rendah,
yaitu 45 % tamat SD, sehingga diseminasi adopsi teknologi perlu dibantu
dengan metode yang sederhana. Hernanto (1989) dalam Budiharjo (2004),
menyatakan bahwa kemampuan kerja seseorang dipengaruhi oleh umur,
pendidikan, keterampilan, pengalaman, kesehatan dan factor alam. Usia
produktif sangat penting bagi pelaksanaan usaha karena pada usia ini peternak
mampu mengkoordinasi dan mengambil langkah yang efektif. Tingkat
pendidikan yang dimiliki peternak mempunyai kecenderungan menentukan
dalam penerapan teknologi pertanian.
Usahatani lain yang diusahakan selain beternak adalah dari usaha tanaman
509
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pangan (padi, jagung, ubi kayu, dan lain-lain), tanaman perkebunan (karet), dan
ternak (kambing, ayam). Usaha tani lain ini diusahakan petani pelaksana
bersamaan dengan usaha ternak sapi.
Dari aspek perkandangan, petani pelaksana merupakan suatu kelompok tani
yang telah memiliki kandang kelompok. Sistem perkandangan dalam
penggemukkan sapi sebagian besar menggunakan sistem kandang terbuka dengan
lantai tanah. Kandang sistem ini bertujuan agar memudahkan sirkulasi atau
pertukaran udara. Menurut Marhijanto (1993) dalam Budiharjo (2004), kandang
sistem lantai mempunyai keuntungan yaitu dapat menghemat biaya. Pakan ternak
sapi yang digunakan petani sebagian besar adalah rumput alam, sedangkan pakan
tambahan yang diberikan berupa umbi singkong dan ampas tahu. Sistem
pemeliharaan yang dilakukan petani pelaksana ini adalah semi intensif yaitu
dilakukan dengan cara digembalakan pada daerah yang banyak rumputnya, pada
saat yang sama petani mencari rumput untuk pakan sore harinya, selanjutnya pada
sore hari sapi dikandangkan. Penggembalaan dilakukan agar sapi sehat karena dapat
memperoleh cahaya matahari yang cukup, selain itu dapat menekan biaya pakan,
karena sapi memperoleh hijauan pada saat digembalakan.
Pengenalan teknologi penggunaan silase dari pelepah sawit belum pernah
dilakukan kepada petani pelaksana. Pelepah sawit yang banyak tersedia di
sekitarnya biasanya dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga secara teknis
teknologi tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan oleh peternak, sehingga potensi
adopsi teknologinya cukup tinggi. Karakteristik petani pelaksana secara lengkap
dapat dilihat pada (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik Petani Pelaksanan Penelitian
Uraian
Keterangan
Pekerjaan di pekerbunan
Bekerja penuh, setengah penuh dan tidak
bekerja
Usia
27 – 50 tahun
Usahatani lainnya
Tanaman pangan, tanaman perkebunan,
serta ternak
Tingkat pendidikan
SD, SMP, dan SMA
Kandang
Kandang kelompok
Pakan ternak sapi
Rumput alam dan HMT
Pakan tambahan
Umbi singkong, ampas tahu
Adopsi teknologi pakan
Belum ada
Penggunaan silase dari pelepah sawit
Belum diketahui
Gudang pakan
Ada
Pencacah
Ada
Kemudahan mendapatkan pelepah
Tersedia
sawit, dan dedak
Kemudahan mengaplikasikan teknologi
Bisa
Keragaan Pertumbuhan Ternak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot awal ternak sapi jantan bervariasi
dari 212,71 – 217,85 kg dan bobot akhir dari 247,55 – 297,45 kg dengan rata-rata
PBBH berkisar antara 0,33 – 0,67 kg/ekor/hari selama masa penelitian. Data
keragaan produksi ternak meliputi bobot awal, bobot perbulan, selisih bobot awal
dan akhir, dan rerata PBBH disajikan pada (Tabel 3). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan PI dan PIII pada bulan kedua dan ketiga sudah menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bobot badan sapi
510
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dibandingkan perlakuan PII, PIV dan kontrol (Tabel 3). Pakan PI semakin terlihat
pengaruhnya pada bulan keempat, karena pertambahan bobot badannya berbeda
nyata dibandingkan PII, PIII, PIV dan kontrol, namun demikian perlakuan PII,
PIII dan PIV juga berpengaruh nyata dibandingkan kontrol.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan imbangan silase,
dedak dan probiotik bio-cass cukup efisien dicerna oleh sapi. PBBH yang dicapai
pada perlakuan PI yaitu 0,67 kg/ekor/hari sudah cukup baik untuk kegiatan di
tingkat lapang. Hasil ini mendekati PBBH yang dicapai pada sapi Ongole yang
diberi pakan jerami padi fermentasi yaitu 0,75 kg/ekor dengan total konsumsi pakan
yang diberi jauh lebih besar yaitu 13,00 kg/hari (Kostaman et al., 1999).
Ditinjau dari aspek konsumsi pakan dimana PI mengkonsumsi kombinasi
pakan lebih lengkap daripada ternak pada kempat perlakuan lainnya, maka
semakin tinggi total konsumsi pakan akan mempengaruhi besarnya PBBH. Nilai
PBHH ini masih lebih tinggi dari yang dilaporkan Boer et al. (2003) pada ternak
sapi yang diberi pakan tambahan 15% onggok yaitu 0,503 kg. Begitu juga
dengan yang dilaporkan oleh Prayogo et al. (2003), bahwa PBBH ternak sapi
PO yang diberi pakan rumput gajah serta campuran konsentrat dan ampas kecap
adalah 0,33 kg/hari dengan nilai konversi pakan 8,53. Nilai ini masih jauh lebih
rendah daripada nilai PBHH penelitian ini.
Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Uraian
Perlakuan
PI
PII
Bobot awal/bulan I (kg)
216,810a
215,710a
PIII
212,850a
Bobot bulan II (kg)
Bobot bulan III (kg)
Bobot akhir/bulan IV (kg)
Selisih bobot awal dan akhir (kg)
Rerata PBBH (kg/ekor/hari)
241,610b
260,650b
297,450c
89,640c
0,670c
233,110a
250,510a
267,910b
52,200b
0,580b
246,510b
252,740b
263,250b
50,400b
0,560b
P
PIV
V
212,710a
217,850a
229,510a
244,450a
272,210b
49,500b
0,550b
227,900a
232,210a
247,550a
29,700a
0,330a
Menurut Ishida dan Hassan (1992) dan Purba et al. (1997) dalam
Simanihuruk dkk., (2008), bahwa nilai kecernaan bahan kering pelepah kelapa
sawit adalah 51%, relatif sama dengan rumput alam yang mencapai 50 – 54%.
Dengan kandungan zat nutrisi dan nilai kecernaan pelepah kelapa sawit tersebut,
maka energi pelepah kelapa sawit diperkirakan hanya mampu memenuhi
kebutuhan hidup pokok, sehingga untuk pertumbuhan, bunting dan laktasi
diperlukan pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi.
Penambahan Probiotics bio-cass pada pakan juga membantu penyerapan
pakan oleh ternak. Berdasarkan data pada Tabel 3, penambahan bobot ternak
pada kombinasi pakan yang ditambah probiotik menunjukkan adanya
penambahan bobot yang nyata dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian Adeniji & Zubairu (2013) pada kelinci dengan penambahan
suplementasi probiotik pada pakan dengan perlakuan penggunaan probiotik
(Probiotik A dan Probiotik B) dan tanpa probiotik menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata pada semua parameter pengamatan pertumbuhan kelinci
dan penyerapan pakan. Pada unggas, seperti ayam petelur, pemberian probiotics
juga meningkatkan produksi telur dan menurunkan tingkat kematian anakan
(Yoruk et al. 2004 Cit Ezema 2013), pada ayam boiler/pedaging pemberian
probiotik dengan berbegai level pada pakan meningkatkan penambahan bobot
badan (Bozkurt et al. 2011 Cit Ezema 2013) dan pada sapi perahproduksi susu
meningkat setelah aplikasi probiotik dibandingkan tanpa probiotik (Sretenovic et
511
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
al. 2008 Cit Ezema 2013). Menurut Fuller (1989, 1992) dan Ezema 2013, salah
satu ciri dari probiotik yang bagus adalah peningkatan pertumbuhan pada ternak
yang dikenakan probiotik. Sehingga pemberian probiotik pada pakan ternak
harus juga memperhatikan strain bakteri yang digunakan, tingkat konsumsi
ternak dan kondisi ternak sendiri (Koop-Hoolihan, 2001). Pemberian pakan
tambahan 2 kg komplit feed dan 5 cc probiotik pada sapi Bali jantan mampu
menambah bobot badan harian 0,63 kg/ekor/hari (Suyasa dkk, 1999).
Penggunaan probiotik lokal (Jamu EKD) dengan tambahan 1% dedak
menambah bobot badan harian 0,533 Kg/ekor/hari (Utomo dkk, 2009).
Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi yang dilakukan adalah model input-output, yang
memberikan gambaran jelas terhadap suatu proses produksi, disamping
memudahkan evaluasi di masa yang akan datang. Estimasi gross margin atau
keuntungan merupakan salah satu metode/teknik dari model input output yang
diperoleh dari perbedaan atas total penerimaan dengan total biaya produksi (Amir &
Knipscheer, 1989). Total penerimaan terdiri atas penjualan ternak hidup, sedangkan
total biaya produksi terdiri dari komponen biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya
tetap meliputi biaya penyusutan kandang, sedangkan biaya tidak tetap terdiri dari
biaya pembelian pakan dan konsentrat, pembelian alat (habis pakai), pembelian
obat-obatan, tenaga kerja, transportasi dan lain-lain. Selain menghitung estimasi
keuntungan, analisis ini juga meliputi nilai investasi pada masing-masing periode
produksi dan nisbah R/C. Tentunya, pada periode produksi yang berbeda akan
menghasilkan nilai investasi dan estimasi keuntungan yang berbeda pula.
1. Investasi
- Harga dari ternak sapi jantan adalah Rp. 28.000/kg bobot hidup.
2. Biaya produksi
- Harga pelepah sawit segar, dedak, dan probiotik bio-cass Rp. 500/pelepah;
Rp. 5000/kg dan Rp. 15,625/5cc. Tenaga kerja diperhitungkan dengan
upah pokok sebesar Rp. 300.000/bulan. Komponen obat-obatan diperlukan
pada saat ternak masuk dalam kandang dengan perkiraan harga obatobatan tersebut adalah Rp. 1600/ekor/hari.
- Alat habis pakai yang diperlukan seperti terpal, kayu untuk kandang, ember
dan alat-alat pembersih diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor/periode.
- Transportasi dan lain-lain diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor per
periode
3. Penerimaan
Total penerimaan diperoleh hanya dari penjualan ternak setelah periode
penggemukan, dengan nilai yang berlaku saat itu adalah Rp. 30.000/kg berat
hidup.
Nilai gross margin per hari yang diperoleh masing-masing untuk perlakuan PI,
PII, PIII, PIV dan PV adalah Rp. 8.244,54; Rp. 2.366,20; Rp.10.618,54; Rp.
13.891,21; dan Rp. 6.792,50, dengan nilai R/C masing-masing perlakuan 1,12; 1,04;
1,19; 1,26; dan 1,12. Perhitungan estimasi keuntungan atas biaya tidak tetap dari
usaha penggemukan sapi selama penelitian berdasarkan perlakuan pakan yang
diberikan berturut-turut dapat dilihat pada (Tabel 4). Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa estimasi keuntungan atas biaya variabel tertinggi dicapai oleh
ternak sapi dengan pemberian perlakuan pakan PIV yaitu perlakuan probiotik biocass dan rumput yaitu Rp. 13.891,21 dengan nisbah R/C 1,26. Hal ini disebabkan
karena pada perlakuan ini biaya produksi pakan kombinasi berupa dedak dan silase
tidak diikutkan sehingga pengeluaran bagi peternak sangat
512
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sedikit. Sedangkan perlakuan lain bila dilihat dari nilai R/C Perlakuan pakan
lainnya (PI, PII dan PIII) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata bagi
nisbah R/C, karena biaya produksi diperoleh dari silase dan dedak, sehingga
akan memberikan respon ekonomi yang sama.
Introduksi teknologi pakan kombinasi pada ternak sapi tidak memberikan
nilai ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian rumput segar.
Respon produksi yang relatif tidak memberikan nilai tambah secara ekonomi ini,
perlu mendapat perhatian lebih lanjut dalam hal inovasi pembuatan pakan,
misalnya dengan menghindari penggunaan bahan-bahan pakan yang berharga
tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada usahaternak sapi, setiap
penambahan satu unit input akan diperoleh tambahan pendapatan yang
bervariasi antara 4 sampai 26 unit output. Nisbah R/C ini akan sangat berkaitan
dengan estimasi keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi keuntungan yang
didapat, akan semakin besar pula nisbah R/C. Semakin tinggi nisbah R/C
menunjukkan bahwa usaha tersebut semakin menguntungkan. Nilai ini masih
lebih tinggi dari angka yang dilaporkan oleh Boer et al. (2003) pada ternak sapi
PO yang diberi tambahan pakan 15% onggok dengan PBBH 0,503 kg
menghasilkan nisbah R/C sebesar 1,09.
Tabel 4. Estimasi Ekonomi Usahaternak Penggemukan Sapi (Rp)
Uraian
Investasi
Pembelian
ternak
Biaya
Variabel
Silase
Dedak
Probiotik
Bio-cass
Obatobatan
Peralatan
Tenaga
kerja
Total biaya
produkai
Penerimaan
Penjualan
ternak
Total
Penerimaan
Keuntungan
R/C
Harga
satuan
(Rp.)
Perlakuan
PI
P
II
P
III
P
IV
PV
28.000,00
6.070.680,00
6.039.880,00
5.959.800,00
5.955.880,00
6.009.800,00
500,00
5.000,00
15,63
150.000,00
1.200.000,00
1875,60
1.200.000,00
1875,60
150.000,00
1875,60
1875,60
-
1.600,00
1.600,00
1.600,00
1.600,00
1.600,00
1.600,00
250.000,00
10.000,00
250.000,00
10.000,00
250.000,00
10.000,00
250.000,00
10.000,00
250.000,00
10.000,00
250.000,00
10.000,00
7.934.155,60
7.753.355,60
6.623.275,60
6.469.355,00
6.611.400,00
8.923.500,00
8.037.300,00
7.897.500,00
8.166.300,00
7.426.500,00
8.923.500,00
8.037.300,00
7.897.500,00
8.166.300,00
7.426.500,00
989.344,40
1.12
283.944,40
1.04
1.294,224,40
1.19
1.666.945,00
1.26
815.100,50
1.12
30.000,00
513
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan silase
pelepah sawit, dedak hasil pertanian dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak
sapi mampu meningkatkan PBHH sapi jantan antara 0,33 – 0.67 kg/ekor/hari,
dimana PBHH tertinggi berasal dari perlakuan PI. Bila dilihat berdasarkan
respon produksi dan ekonomi, perlakuan PI, PII dan PIII tidak memberikan
respon produksi dan ekonomi yang bagus. Hal ini terlihat dari PBHH nilai gross
margin atas biaya variable tertinggi dicapai oleh ternak yang diberi pakan
kombinasi perlakuan PIV Rp. 13.891,21 dengan nisbah R/C 1,26.
SARAN
Usaha ternak penggemukkan akan lebih efektif jika ditunjang dengan
pakan tambahan yang diperoleh dari usaha tani lainnya, sehingga biaya variable
dapat diturunkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adenjil, A.A. and Zubairu, N., 2013, Nutrition Value of Palm Kernel Cake
Supplemented with or Without Probioticts to Replece Groundnut Cake in
the Diets of Weaner Rabbits, Journal of Animal Science Advances, 3(10) :
517 – 523.
Amir, P. and Knipscheer, H.C., 1989, Conducting On-Farm Animal Research:
Procedures and Economic Analysis, Winrock International Institute for
Agricultural Development
and
International Development Research
Center, Morrilton, Arkansas, USA.
Badan Litbang Pertanian, 2005, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Sapi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Boer, M., Azizal, P.B., Hendri, Y. dan Ermidas, 2003, Tingkat Penggunaan
Onggok Sebagai Bahan Pakan Penggemukan Sapi Bakalan, Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 – 30
September 2003. Puslitbang Peteranakan, Bogor, hal. 99 – 102.
BPS. 2010, Kalimantan Tengah Dalam Angka 2010, Palangkaraya.
Budiharjo, K., 2004, Analisis Profitabilitas Pengembangan Usaha Ternak Itik di
Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal, Fakultas
Peternakan
Universitas Diponegoro Semarang.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004, Buku Statistik Peternakan
Tahun 2004, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2005, Buku Statistik Peternakan
Tahun 2005, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Elisabeth, Y, dan Ginting, S.P., 2003, Pemanfaatan Hasil Samping Industri
Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong, Prosiding
Lokakarya Nasional, Bengkulu, 9-10 September 2003.
Ezema, C., 2013, Probiotics in Animal Production: A Review, Journal of
Veterinary Medicine and Animal Health, 5(11): 308 – 316
Fuller, R., 1989, Probiotics in man and animals, Journal appl. Bacteriol, 66: 365514
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
378
Fuller, R., 2004, What is probiotics? Biologist, 5: 232
Ginting, P.S, dan Elisbeth, Y., 2003, Teknologi Pakan Berbahan Dasar Hasil
Sampingan Perkebunan Kelapa Sawit, Prosiding Lokakarya Nasional
Bengkulu, 9-10 Sepetember 2003.
Jalaludin, S., Jelan, Z.A., Abdullah N., and Haq, Y.W.,1991, Recent
Development in the Oil Palm By-Product base Ruminant Feeding System,
Proc. MSAP, Penang, Malaysia pp 35-44
Koop-Hoolihan, L., 2001, Prophylactic and Therapeutic Uses of Probiotic: A
Review of Jounal of The American Dietic Association. 147: 747 - 748
Kostaman, T., Handiwirawan, E., Haryanto, B., dan Diwyanto, K., 1999, Respon
Bangsa Sapi Potong Terhadap Pemberian Jerami Padi. Pros. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 Oktober
1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 299 – 303.
Mahendri, I.G.A.P., Haryanto, B., dan Priyanti, A., 2006, Respon Jerami Padi
Fermentasi Sebagai Pakan Usaha Penggemukkan Ternak Sapi. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Prayitno dan Darmoko, 1994, Prospek Industri Bahan Baku Limbah Padat
Kelapa Sawit
di Indonesia. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Sumut.
Prayogo, S., Purbowati, E. dan Dartosukarno, S., 2003, Penampilan Sapi
Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang Dipelihara Secara
Intensif. Pros. SemNas Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 –
30 September 2003. hlm. 240 – 24.
Rasyaf, M., 2002, Beternak Itik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Simanihuruk, K., Junjungan dan Ginting, S,P., 2008, Pemanfaatan Silase
Pelepah Sawit Sebagai Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan.
Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner
Suyasa, Guntora, S., Purwati, Suprapto dan Widyazid, S., 1999, Pemanfaatan
probiotik dalam pengembangan sapi potong berwawasan agribisnis di Bali,
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2(1):
Utomo, Widjaya, N.E., dan Dara, E.K., 2009. Pengaruh pemberian probiotik
lokal (Jamu EKD) terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi
Bali jantan di Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 12(1): 11 – 20.
515
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kearifan Lokal dalam Mengendalikan Hama
untuk Menunjang Pertanian Organik
S.Asikin1 dan Tumarlan Thamrin2
1)
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
2)
BPTP Sumatera Selatan
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati
terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai
senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk
metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam
proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses
berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama
maupun penyakit. Di lahan rawa ditemukan lebih dari 1000 jenis tumbuhan yang
dapat digunakan sebagai bahan pengendali hama seperti bahan biopestisida. Dari
beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa yang dapat dijadikan
biopestisida seperti tumbuhan jenis pohon adalah pulai dan buta-buta, jenis
herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman). Jenis
tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan
hama ulat grayak dengan persentase kematian larva masing-masing sebesar
untuk tumbuhan pohon pulai (80-95 %), Buta-buta (80-95%), tumbuhan herbal
Tawar (80-92,5%), Kakambat (75-80%) dan gulinggang (70-80%9 dan jenis
gulma usar (85-95%), dan Tapak liman (70-75%).
Kata kunci : Biopestisida, Kearifan lokal dan Pertanian organik.
PENDAHULUAN
Pertanian organik merupakan jawaban atas revolusi hijau yang digalakkan
pada tahun 1960-an yang menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan
kerusakan lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida kimia yang tidak
terkendali. Sistem pertanian berbasis high input energy seperti pupuk kimia dan
pestisida dapat merusak tanah yang akhirnya dapat menurunkan produktifitas tanah,
sehingga berkembang pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya sudah sejak
lama dikenal, sejak ilmu bercocok tanam dikenal manusia, semuanya dilakukan
secara tradisional dan menggunakan bahan-bahan alamiah.
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati
terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai
senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk
metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam
proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses
berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama
maupun penyakit.
Di lahan rawa ditemukan lebih dari 1000 jenis tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai bahan pengendali hama seperti bahan biopestisida. Dari
beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa yang dapat dijadikan
516
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
biopestisida seperti tumbuhan jenis pohon adalah pulai dan buta-buta, jenis herbal
(tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman) (Asikin, 2012) .
Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan
kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary
metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok
senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi,
termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit. Sampai saat ini
dalam mengendalikan hama dan penyakit selalu bermitra dengan bahan kimia
beracun atau pestisida kimiawi. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu
(PHT), pengendalian dengan pestisida kimiawi merupakan alternatif terakhir
apabila komponen tersebut tidak mampu lagi. Di lain pihak penggunaan bahan
kimia beracun atau pestisida kimiawi tersebut sangat berpengaruh bunuk
terhadap lingkungan terutama terbunuhnya jasad bukan sasaran terjadinya
resurgensi dan resistensi terhadap hama dan terbunuhnya musuh alami (predator,
parasitoid dan pathogen).
Tanaman atau tumbuhan yang berasal dari alam dan potensial sebagai
pestisida nabati umumnya mempunyai karakteristik rasa pahit (mengandung
alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas. Tanaman atau
tumbuhan ini jarang diserang oleh hama sehingga banyak digunakan sebagai
ekstrak pestisida nabati dalam pertanian organik (Hasyim. 2010).
Di Indonesia, sejak tahun 2001 Pemerintah telah mencanangkan gerakan
“Go Organik 2010” dengan harapan Indonesia sebagai salah satu produsen
utama pangan organik di dunia. Oleh karena itu dalam SNI 01-6729-2002 yang
mengatur sistem pangan organik telah melarang penggunaan pestisida kimia dan
dianjurkan menggunakan pestisida alami ( termasuk pestisida nabati) dan
pengendalian secara mekanis ( Rizal, 2009).
Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan jenis tumbuhan yang
efektif untuk digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama dalam
menunjang pertanian organik.
Teknologi Kearifan Lokal Dalam Mengendalikan Hama Tanaman
Nenek moyang kita telah mengembangkan pestisida nabati yang ada di
lingkungan pemukimannya untuk melindungi tanaman dari serangan
pengganggunya secara alamiah. Mereka memakai pestisida nabati atas dasar
kebutuhan praktis dan disiapkan secara tradisional. Tradisi ini akhirnya hilang
karena desakan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Kearifan nenek moyang
kita bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu (empon-empon = Jawa),
tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung, jenu = Jawa), tumbuhan
berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak
disukai hewan/serangga, seperti awarawar, rawe, senthe), atau tumbuhan lain
berkemampuan khusus terhadap hama/penyakit (biji srikaya, biji sirsak, biji
mindi, daun mimba, lerak).
Akhir-akhir ini banyak dilakukan ekspolorasi terhadap bahan tanaman
yang mengandung bahan bioaktif dan bermanfaat sebagai pengendali hama yang
ramah lingkungan, seperti penggunaan tanaman perangkap dan
pestisida/insektisida nabati. Cara terbaik untuk mengatasi atau mengurangi
dampak bahaya penggunaan insektisida organik sintetik terhadap manusia
517
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
maupun lingkungan perlu dicari alternatif pengendalian dengan menggunakan
bahan alam yang bersifat racun bagi hama tanaman atau yang disebut dengan
insektisida nabati.
Misalnya untuk mengendalikan hama tikus menggunakan tumbuhan
jengkol dapat digunakan sebagai pengusir tikustumbuhan tegari dan gadung
dapat digunakan sebagai umpan beracun nabati dalam mengendalikan tikus
(Asikin et al., 2013).
Prinsip Pertanian Organik
Prinsip-prinsip pertanian organik menjadi dasar dalam penumbuhan dan
pengembangan pertanian organik. Menurut IFOAM (2008) prinsip-prinsip
pertanian organik adalah : (1) Prinsip kesehatan : pertanian organik harus
melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan
bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan; (2) Prinsip ekologi: Pertanian
organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja,
meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip
ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan, yang
bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Siklussiklus ini
bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal; (3) Prinsip
keadilan: Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu
menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama;
dan (4) Prinsip perlindungan: Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati
dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi
sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. ( Henny. M., 2012).
Hasil-Hasil Penelitian
Sebelum ditemukannya pestisida kimia seperti sekarang ini petani-petani
kita dulu atk moyang kita dulu dalam mengatasi atau mengendalikan hama dan
penyakit tanaman, salah satunya menggunakan bahan tanaman yang diolah
dengan cara ditumbuk dan disebarkan pada tanaman yang dikendalikan. Adapun
jenis tanaman yang digunakan seperti:
Tumbuhan Pulai (Alstonia sp)
Pulai merupakan tumbuhan berbentuk pohon, tinggi mencapai 40 - 50 m,
diameter batang mencapai 1 m, batang bergalur, dan berwarna abu-abu sampai
putih. Permukaan batang halus sampai bersisik, kulit bagian dalam batang sangat
tebal dan halus, berwarna jingga sampai kecoklatan, dan bergetah. Daun tunggal
yang tersusun secara vertikal di ujung ranting, berbentuk oval atau ellips, pangkal
agak lancip, ujung bundar, permukaan licin atau tidak berbulu, tulang daun sejajar,
daun bagian bawah berwarna keputihan, panjang 8 – 12 cm, dan lebar 3 – 5 cm.
Bunga berwarna putih dan kecil di ujung. Buah berbentuk kapsul, berpasangan,
panjang 25 – 30 cm, dan permukaan licin sampai kasar (Gambar 1).
Pohon pulai mengandung getah berwarna putih yang sangat pahit. Kulit
batang mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol. Sedangkan daun
mengandung pikrinin dan bunganya mengandung asam ursolat dan lupeol. Asikin
518
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
(2011) melaporkan bahwa ekstrak tumbuhan pulai efektif mengendalikan hama
ulat garyak dengan mortalitas larva mencapai 80-95 % dan 90,0-92,5%.
Gambar 1. Tumbuhan Pulai
Buta-Buta (Excoecaria agalocha)
Buta-buta merupakan pohon meranggas yang tumbuhnya mencapai 15
meter dan memiliki daun berwarna hijau tua yang akan berubah menjadi merah
bata sebelum rontok. Bunganya berwarna kuning yang kemudian berubah
menjadi bulat-bola-hijau dengan tiga tonjolan. Tumbuhan ini memiliki kayu
yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat kertas yang bermutu baik.
Getahnya berwarna putih pekat yang sering digunakan nelayan untuk membuat
ikan pingsan sehingga mudah menangkapnya (Gambar 2). Buta-buta
mengandung eksokarol, agalokol, isoagalokol, amirin dan manit. Senyawa yang
berhasil diisolasi adalah tarakseron, sitosterol dan 3-O-glukopiranosil; sitosterol. Menurut Asikin dan Thamrin (2010c), bahwa ekstrak tumbuhan butabuta berpotensi sebagai pestisida nabati dengan mortalitas larva antara 75- 85%.
Gambar 2. Pohon Buta-Buta
Kakambat/Gandarusa (Justicia sp)
Tumbuhan gandarusa (Gambar 3) merupakan tanaman obat-obatan
terutama untuk penyakit ginjal dan disamping itu pula tumbuhan gandarusa
dapat digunakan sebagai perawatan wajah dari jerawat dan pelik-pelik hitan.
Menurut Asikin (2011), ekstrak tumbuhan gandarusa efektif dalam
mengendalikan hama ulat grayak dengan mortalitas berkisar antara 75-80%.
Gambar 3. Tumbuhan
Gandarusa/Kakambat
Gulinggang (Cassia alata)
519
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tumbuhan Gulinggang (Gambar 4) ini sering digunakan untuk
pengobatan penyakit kulit seperti panu. Dan disamping itu ekstrak tumbuhan
gulinggang tersebut dapat juga digunakan sebagai insektisida dan fungisida
nabati untuk ulat grayak dan penyakit busuk buah yang disebabkan
cendawan/fungi Coletutricum sp. Untuk insektisida nabati dapat mematian ulat
grayak berkisar antara 70-80% (Asikin, 2011)
Gambar 4. Tumbuhan Gulinggang
Usar/Tegari (Dianella sp.)
Masalah yang muncul akibat penggunaan rodentisida sintetik yang tidak
bijaksana tersebut menyebabkan meningkatnya kembali perhatian sejumlah peneliti
dalam memanfaatkan potensi tumbuhan seperti akar tegari (Dianella sp.) (Gambar
5) untuk mengendalikan tikus sawah (Jumar dan Helda, 2003 dalam
http://wiraagungdinata.wordpress.com). Oleh karena
itu,
elative ve
menggunakan perangkap merupakan pengendalian yang elative aman terhadap
hewan sekitar dan lingkungan, pengendalian hama ini dilakukan dengan
mengacu pada konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dan tepat sasaran.
Berdasarkan penelitian Fauzi (1997 dalam http://wiraagungdinata.
wordpress.com) memperlihatkan bahwa campuran akar tegari sebanyak 30 gram
dapat mematikan 26 ekor tikus putih (Musmusculus), dari 30 ekor yang diuji
atau 86,66%. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Balantek (1999 dalam
http://wiraagungdinata.wordpress.com) memperlihatkan hasil bahwa larutan 30
gram akar Tegari dan dicampur dengan 150 gram beras ketan efektif membunuh
tikus sawah.
Jumar (1999 dalam http://wiraagungdinata.wordpress.com) menyatakan
bahwa beras ketan yang direndam dalam larutan akar Tegari dan disimpan sampai 5
hari masih efektif untuk mematikan tikus sawah. Pengendalian dengan cara ini
memerlukan tenaga dan biaya yang cukup besar, tidak dilakukan secara teratur dan
tidak berkelanjutan sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Pengendalian secara
kimia dilakukan dengan pemberian umpan beracun dari bahan-bahan kimia sintetis
maupun bahan-bahan alami beracun seperti akar tegari (Dianella sp).
Asikin (2011), melaporkan bahwa ekstrak tumbuhan tegari efektif
mengendalikan ulat grayak dengan mortalitas sebesar antara 85-95%.
520
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 5. Tumbuhan Usar/Tegari
Tumbuhan Tawar (Costus spect)
Tumbuhan Tawar (Gambar 6) ini banyak tumbuh di lahan rawa dibagian
atasnya, tanaman ini dapat digunakan sebagai penghalau hama wereng hijau. Kalau
tanaman padi terserang penyakit kuning atau tungro biasanya menggunakan
tanaman tawar untuk menghindari meluasnya penyebaran dari penyakit tungro
tersebut. Secara manual tanaman tawar ini mengeluarkan bau yang dapat
mempengaruhi aktifitas dari serangga vektor dari penyakit tungro ini yaitu jenis
wereng hijau. Sehingga dengan adanya tanaman tawar ini dipertanaman padi dapat
menghentikan penyebaran penyakit tunggo. Menurut Asikin (2007), ekstrak
tanaman tawar ini juga efektif dalam mengendalikan hama ulat grayak.
Gambar 6.Tumbuhan Tawar
Tapak Liman (Elephantopus scaber)
Tumbuhan tapak liman (Gambar 7) merupakan tumbuhan herbal yang
banyak tumbuhan di lahan kering pada wilayah rawa lebak. Kebiasaannya
tumbuhan tapak liman digunakan sebagai bahan pengobatan untuk sakit
pinggang. Ekstrak tumbuhan tapak liman efektif dalam mengendalikan ulat
grayak dengan mortalitas larva berkisar antara 70-75% (Asikin., 2011).
Gambar 7. Tumbuhan Tapak Liman
521
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tumbuhan Liar rawa ribu-ribu dan tumbuhan mercon
Menurut Asikin (2005), melaporkan bahwa kebiasaan petani dalam
mengendalian hama tanaman padi pada fase generatif salah satunya adalah
menggunakan tumbuhan liar jenis ribu-ribu (Lyqodium flexuosum) (Gambar 8),
terutama untuk mengendalikan hama penggerek batang dan walang sangit. Adapun
aplikasinya yaitu dengan cara adalah dengan menaburkan daun ribu-ribu tersebut
pada lahan pertanaman padi yang masih ada airnya. Dengan perlakuan tersebut
serangan penggerek batang (beluk) dan walang sangit dapat dihindari.
Tumbuhan mercon ini digunakan petani pada saat tanaman padi pada
fase generatif yaitu dengan cara dibakar digalangan disamping sawah. Dengan
cara pembakaran ini dapat mengekluarkan asap. Taktik pengandalian dengan
menggunaan asap sudah seringkali dilakukan oleh petani rawa lebak maupun
tadah hujan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Tetapi dengan mengganti bahan
pengasapan tersebut dengan menggunaan tumbuhan mercon hasil yang cukup
memuaskan, karena bahan tumbuhan tersebut kalau dibakar dapat mengeluarkan
bau yang menusuk sehingga dapat mempengaruhi kunjungan dari imago
penggerek batang. Hal ini sudah dilakukan petani dalam mengendalikan hama
padi pada fase generatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengasapan
dengan menggunakan bahan tumbuhan mercon intensitas kerusakan dari
serangan penggerek batang dapat ditekan yaitu berkisar antara 5-10%. Adapun
waktu pengasapan kebiasaanya dilakukan pada sore hari menjelang malam.
Menurut Sanjaya (1970), mengemukkan banyak diantara jenis-jenis
serangga tertarik atau menolak oleh bau-bauan dipancarkan oleh bagian tanaman
yaitu bunga ataupun buah atau benda lainnya. Zat yang berbau tersebut pada
hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti pada
pengasapan bahan mercon tersebut.
Gambar 8. Tumbuhan Ribu-Ribu
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa hasil
penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa seperti tumbuhan jenis pohon pulai dan
buta-buta, jenis herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak
liman), dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama ulat
grayak dengan persentase kematian larva masing-masing sebesar untuk tumbuhan
pohon pulai (80-95 %), Buta-buta (80-95%), tumbuhan herbal Tawar (80-92,5%),
Kakambat (75-80%) dan gulinggang (70-80%) dan jenis gulma usar (85-95%),
522
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dan Tapak liman (70-75%). Semua jenis tumbuhan tersebut merupakan
tumbuhan yang pernah digunakan nenek moyang kita dalam mengatasi
hama/mengendalikan hama tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S. 2007. Mempelajari Tumbuhan Tawar Dalam Mengusir Vektor
Penyakit Tungro. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra
Banjarbaru.
Asikin. S., dan M.Thamrin. 2010. Pengendalian Ulat Grayak Spodoptera litura
dengan Menggunakan Ekstrak Bahan Tumbuhan Liar Rawa. Prosiding
Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Bogor 5 - 6 Agustus 2009.
Strategi perlindungan tanaman menghadapi perubahan iklim global dan
sistem perdagangan bebas. Hal. 180 - 192.
Asikin. S. 2011. Flora Rawa Sebagai Pengendali OPT dan Penyakit Tanaman.
Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang
Bandung. Bandung 16 - 17 Pebruari 2011. Hal 83 - 96.
Asikin, S. 2012. Fungsi Flora Rawa Dalam Peretanian Organik. Prosiding
Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian (Buku III). Banjarbaru
13 - 14 Juli 2011. Hal 361 - 378
Asikin, S., dan Khairuddin. 2013. Pengenalan Kearifan Lokal Dalam
Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman Ramah Lingkungan. Dalam
Sulaeman. Y., Ladiyani, R.W., Edi Husen, C. Tafakresnanto, Woro. E., S.
Wahyuni, E.Maftu’ah dan Erna. S. (Ed). Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan. Bogor, 29 Mei 2013. Hal. 465-474.
Hasyim, A. 2010. Efikasi dan Persistensi Minyak Serehwangi sebagai
Biopestisida terhadap Helicoverpa aemigera . Balai Penelitian Tanaman
Sayuran Lemba
IFOAM. 2008. The World of Organic Agriculture -Statistics & Emerging
Trends 2008. http://www.soel.de/fachtheraaii downloads/s_74_l O.pdf.
Nenny. M. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. J Forum
Penelitian Agro Ekonomi 30(2), Desember 2012. Hal. 91-108.
Rizal, M. 2009. Pemenfaatan Tanaman Arsiri sebagai Pestisida Nabati, Balitro.
Bogor.
523
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Flora Rawa Sebagai Komponen Pengendali Hama Terpadu
Tumarlan Thamrin1) dan Syaiful Asikin2)
1)
BPTP Sumatera Selatan
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
2)
ABSTRAK
Di lahan rawa ditemukan flora rawa yang sangat bervasiasi jenisnya, dari
jenis flora tersebut ada yang berfungsi sebagai bahan pengendali hama, pupuk,
bahan penyerap unur beracun, biofilter dan bahan obat-obatan. Dalam
mengendalikan hama pada umumnya selalu bertumpu dengan menggunakan
insektisida sintetik. Sulitnya mengurangi penggunaan insektisida kimia atau yang
disebut insektisida sintetik disebabkan belum adanya cara pengendalan lain yang
efektif. Insektisisa sintetik mudah aplikasinya karena siap pakai dan hasilnya lebih
cepat terlihat. Padahal telah banyak dilaporkan bahwa insektisida sintetik bukan saja
berdampak negatif bagi lingkungan, namun juga terhadap kesehatan manusia. Untuk
mengatasi hal tersebut di atas perlu dicari alternatif pengendalian hama yang ramah
lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan beberapa jenis flora seperti tumbuhan
purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap hama penggerek batang
padi putih dan sebagai bahan attraktannya. Beberapa jenis flora rawa dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan
Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah, Pegagang, Cambai karuk dalam mengendalikan
hama ulat grayak,ulat jengkal,ulat buah, ulat kubis/plutella dan wereng coklat.
Untuk tumbuhan Kirinyu atau rumput minjangan berperan sebagai biopestisida dan
bahan pupuk organik atau Biopertilezer.
Kata kunci: Flora rawa, pengendali hama, ramah lingkungan
PENDAHULUAN
Di lahan rawa ditemukan tumbuhan yang sangat bervasiasi jenisnya, dari
jenis-jenis tumbuhan tersebut ada yang berfungsi sebagai bahan pengendali
hama, pupuk, bahan penyerap unur beracun, biofilter dan bahan obat-obatan.
Dalam mengendalikan hama tanaman pada umumnya selalu bermitra
dengan bahan kimia beracun atau isektisida sintetik. Penggunaan insektisida
sintetik yang kurang bijaksana berpengaruh negatif terhadap lingkungan seperti
terbunuhnya jasad bukan sasaran, terbunuhnya jenis musuh alami, berpengaruh
buruk terhadap kesehatan manusia dan hewan peliharaan.
Peran flora rawa di dalam ekosistem pertanian dapat dipandang sebagai
organisme pengganggu tanaman, karena memiliki daya kompetisi yang tinggi, dapat
tumbuh secara cepat, dan daya serap yang tinggi terhadap unsur-unsur yang tersedia
di tanah (Ross dan Lembi, 1988). Namun tidak semua gulma menjadi musuh bagi
petani. Interaksi antara gulma dan tanaman produksi menyebabkan berkurangnya
hasil tanaman produksi. Sinyalemen ini berhubungan erat dengaan arah dan strategi
pengelolaan gulma/flora yang bertujuan untuk mengendalikannya seoptimal
mungkin. Di sisi lain, penggunaan gulma secara
524
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
langsung maupun tidak langsung, sangat bermanfaat untuk bahan baku pupuk,
industri, obat-obatan, sayuran, biofilter, makanan ternak, makanan ikan, inang
hama, dan alat penjernih limbah cair rumah tangga. Penggalian berbagai potensi
flora rawa itu, telah banyak yang melaporkan (Everaats, 1981), dilakukan
melalui pengetahuan kearifan lokal, inventarisasi, koleksi dan pelestarian plasma
nuftahnya. Untuk pelestarian gulma yang bermanfaat masih ditemui banyak
permasalahan, terutama mengenai budidaya gulma, karena pada saat ini gulma
masih dikategorikan sebagai tumbuhan liar.
Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan manfaat dari beberapa
jenis flora rawa pasang surut yang dapat digunakan sebagai komponen
pengendali hama ramah lingkungan.
Flora Rawa Sebagai Komponen Pengendalian Hama
Purun Tikus (Eleocharis dulcis) Sebagai Tanaman Perangkap
Purun tikus (E.dulcis) adalah jenis tumbuhan liar yang paling banyak
ditemukan tumbuh di lahan pasang surut sulfat masam termasuk kedalam famili
Cyperaceae.
Hasil penelitian sejak tahun 1995 - 2008, diketahui bahwa tumbuhan purun
tikus sangat disenangi oleh hama penggerek batang padi putih sebagai tempat
meletakkan telurnya. Jumlah telur yang diletakkannya > 6000 kelompok telur
setiap hektarnya, lebih banyak daripada jumlah telur yang diletakkan pada
gulma lainnya pada padi (Gambar 1).
Kelompok Telur Peng.Batang
8000
7000
6000
5000
2005
Kel.Telur 4000
2006
3000
2007
2000
2008
1000
2009
0
E.dulcis
P.karka
S.grossus
Padi
Jenis Tumbuhan Liar
Gambar 1. Kelompok Telur Peng Batang Padi pada Beberapa Tumbuhan liar
dan padi di Lahan Pasang Surut. Sumber : Asikin dan Thamrin (2009)
Jumlah kelompok telur yang diletakkan pada purun tikus lebih banyak
daripada tumbuhan lainnya, hal ini disebabkan tumbuhan lainnya mempunyai
batang yang lebih keras, selain itu bagian permukaan batang purun tikus lebih
licin sehingga memudahkan bagi penggerek batang untuk meletakkan telurnya.
Menurut Asikin et al. (2001) bahwa penggerek batang padi putih lebih tertarik
meletakkan telurnya pada purun tikus dibandingkan dengan padi yang
permukaan daunnya kasar.
Hasil penelitian yang menggunakan purun tikus sebagai tanaman
perangkap ternyata yang diletakkan di tepi sawah lebih banyak memerangkap
penggerek batang padi untuk meletakkan telurnya dengan tingkat kerusakan
525
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
paling rendah dan yang tertinggi adalah areal pertanaman padi tanpa tanaman
perangkap (Gambar 2).
16
intensitas kerusakan (%)
14
12
10
tanaman perangkap
(tepi sawah)
8
6
tanaman perangkap
(tengah sawah)
4
2
tanpa tanaman
perangkap
0
1998/1999 1999/2000 musim
hujan
Gambar 2. Pengaruh letak tanaman perangkap (purun tikus) terhadap intensitas
kerusakan padi oleh batang putih, Kabupaten Banjar, Kalsel
Purun Tikus Sebagai Bahan Attraktan
Ada lima jenis rumputan yang disenangi oleh penggerek batang padi
putih meletakkan telurnya yaitu rumput purun tikus (Eleocharis dulcis), kelakai
(Stenochlaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput bundung (Scirpus
grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata). Tetapi dari kelima jenis
rumputan tersebut yang paling disenangi dan paling banyak ditemukan
kelompok telurnya hanya pada E. dulcis. (Gambar 3 dan 4).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak purun tikus (Eleocharis
dulcis), dan kemudian diikuti prupuk (Phragmites karka) mempunyai potensi
sebagai attraktan bagi penggerek batang padi putih.
Pengaruh Ekstrak Tum.Rawa Terhadap Peng.Batang
60
JJlh.Kel.Telu
50
40
30
20
10
0
E.dul cis
S.grosus
L.articulata S.palutris
P.karka
Kontrol
Jenis Ekstrak
Gambar 3. Jumlah Kelompok Telur Penggerek Batang yang Terperangka
Inlitra Banjarbaru MT.2001 (Sumber : Asikin, 2002).
Menurut Asikin dan Thamrin (2003), melaporkan bahwa ekstrak purun
tikus murni yang dicairkan dan diaplikasikan pada tanaman padi ternyata paling
banyak memerangkap kelompok telur penggerek batang dibandingkan dengan
perlakuan lainnya, kem udian solvent purun tikus yang juga disemprotkan pada
tanaman padi, ternyata solvent dari bahan segar yang langsung diaplikasikan
paling banyak menarik penggerek batang padi putih untuk meletakkan telurnya.
526
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengaruh Ekstrak E.dulcis Terhadap Peng.Batang
35
Jlh.Kel.Telu
30
25
20
Langsung
15
Simp 1 hari
10
Kontrol
5
0
Bhn Segar
Bhn Kering
E.ducis
Gambar 4. Pengaruh solvent purun tikus (E.dulcis) terhadap penggerek batang
pada MK. 2003 (Sumber : Asikin dan Thamrin, 2003)
Flora Rawa Sebagai Pestisida Nabati
Beberapa jenis flora rawa yang berpotensi sebagai pestisida nabati dalam
pengendalian hama dan penyakit tanaman (Tabel 2).
Tabel 2. Manfaat Flora/Tumbuhan Liar Rawa
Nama Ilmiah
Pangium edule
Cassia sp
Canavalis sp
Centella asiatica
Lasia spinosa
Piper sarmentosum
Erythrina subumbrans
Leea indica
Urtika dioica
Hedychium sp
Barringtonia spicata
Glutha rengas
Dillenia suffruticosa
Justicia sp
Maleleoca cajuputi
Patycerium bifurcatum
Ficus glomerata
Croton tiglium
Amorphophallus
Campanulatus
Annona muricata
Nyctanthes abortritis)
Melastoma affene
Eleocharis dulcis)
Phragmites karka
Scirpus grosus
Psidium guajava
Alpinia galangal
Cerbera odollam
Diocorea composite
Derris eliptica)
Jenis Flora Rawa
Nama Daerah
Bag.Tanaman
Kapayang
Kulit
Batang,
daun, buah
Gulinggang
Daun
Kac.parang
Biji
Jalukap
Daun
Gagali
Daun
Cambai karuk
Daun
Dadap
Daun
Mamali habang
Daun
Jalatang tulang
Daun
Suli tulang
Daun
Putat
Daun
Jingah
Daun
Simpur
Daun
Patah kajang
Daun
Kakambat
Daun
Tanaman mercon
Daun
Gelam
Daun
Lukut
Daun
Luwa
Daun
Kumandrah
Daun
Maya
Daun,Umbi
Sersak
Sarigading
Karamunting
Purun tikus
Prupuk
Bundung
Jambu biji
Lengkuas
Kelampan
Kelabuau
Gadung
Tuba
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun,umbi
Daun,buah
Daun
Umbi
Daun,akar
Ket/Kegunaan
Insektisida
Insektisida/Fungisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Tan.perangkap
Tan.perangkap
Tan.perangkap
Fungisida
Fungisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
527
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Nama Ilmiah
Vitex trifolia
Phitecellobium
lobatum)
Spondias pinnata)
Peronema canescen)
Morinda citrifolia
Stenochiaena palutris)
Datura fastuosa L.
Lycodium flexuosum
Blumea balsamifera
Acorus calamus L.)
Orthosiphon stamineus
Benth.)
Uncaria gambir)
Acanthus ebracteatus
Elephantophus scaber
Averrhoa bilimbi L
Dianella montana bl
Chromolaena odorata
Flacourtia rukam
Mangifera caesia
Alstonia sp
Crinum asiaticum
Jenis Flora Rawa
Nama Daerah
Bag.Tanaman
Langgundi
Daun
Jengkol
Daun
Ket/Kegunaan
Insektisida
Insektisida
Kedondong
Sungkai
Mengkudu
Kalakai
Kacubung
Raja bangun
Pisang bangkui
Mantawingan
Miratan
Kanidai
Panahan banyu
Pilancau/Mamali
Kayu Mandau
Akar arau
Kalindayu
Pidampul
Racun ayam
Mantawingan kulit
Ribu-ribu
Sasambung
Dringo
Kumis kucing
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun,kulit
Daun
Daun
Daun
Daun
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Tan.perangkap
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Gambir
Talang hujan
Sambung Asam
Bati-Bati Putih
Hambat Lalat
Jeruju
Tapak gajah
Sawi Laut
Serunai
Belimbing tunjuk
Kayu miskin
Usar
Rumput minjangan
Rukam
Binjai
Pulantan
Bakung Rawa
Getah
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Batang
Daun,akar
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida/Rodentisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Sumber: Asikin dan Thamrin (2010)
Tanaman Jingah (Glutha rengas)
Ekstrak tanaman Jingah (Glutha rengas) termasuk tumbuhan famili
Anacardiaceae, yang sering dimanfaatkan kayunya, ini terkenal karena getahnya
amat beracun. Bila terkena kulit, getah rengas bisa menyebabkan iritasi berat,
bahkan bisa melumpuhkan manusia. Racun dari getah ini juga kerap digunakan
untuk berburu binatang.
Meski bersifat iritan, getah rengas punya khasiat untuk membasmi jamur.
Beberapa penelitian menyebutkan rengas mengandung senyawa ursiol, rengol,
528
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
glutarengol, laccol, dan thitsiol. Sedangkan kayunya punya senyawa golongan
steroid, lipid, benzenoid dan flavonaloid.
Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia
sentitik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang
menimbulkan dampak negatif antara lain risidu yang terjadi melalui rantai
makanan
yang
membahayakan
manusia
dan
lingkungan
(http://www.tempo.co.id/hg/iptek/2007). Asikin dan Thamrin (2010),
melaporkan bahwa tanaman jingah ini cukup efektif dalam mengendalikan hama
penggerek batang padi yaitu mencapai 75%.
Tumbuhan Bintaro dan Simpur
Selain tumbuhan liar tersebut diatas ditemukan juga tumbuhan Simpur
(Dillenia suffruticosa) dan Bintaro (Cerbera odollam) kedua jenis tumbuhan ini
berupa pohon berkayu.
Menurut Asikin dan Thamrin (2007), bahwa ekstrak tumbuhan simpur
dan bintaro efektif dalam mengendalikan hama perusak daun seperti ulat grayak
(Spodoptera litura) dan ulat jengkal (Plusia sp) dengan persentase mortalitas
larva antara 75-95% (Gambar 4). Kedua jenis tumbuhan tersebut berkayu
tersebut mengandung saponin. Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol
yang telah terdeteksi lebih dari 90 jenis suku tumbuhan. Saponin senyawa aktif
permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah. Saponin
merupakan bahan yang beracun terhadap serangga.
Adapun kandungan bahan aktif dari tumbuhan kelampan (Cerbera
odollam) tersebut adalah daun, buah dan kulit batang bintaro/kelampan
mengandung saponin, daun dan buahnya juga mengandung polifenol, disamping
itu kulit batangnya mengandung tanin (http://am3green.wordpress.com).
Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang telah terdeteksi lebih dari
90 jenis suku tumbuhan. Saponin senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti
sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisa sel darah. Saponin mempunyai kegunaan sebagai racun dan
antimikroba (jamur, bakteri, virus), bersifat antioksidan dan antikarsinogenik.
Adanya kandungan saponin ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dalam air
aglikonnya. Saponin ini memiliki berat molekul yang besar, larut dalam air, alkohol
dan etanol. Salah satu senyawa saponin yang terkandung dalam binahong adalah
ancordin. Ancordin merupakan sejenis protein yang memiliki berat molekul tinggi.
Ancordin ini berfungsi sebagai antibodi stimulan pencegahan penyakit sehingga
meningkatkan daya tahan tanaman. Senyawa ancordin ini dapat memacu
terbentuknya nitrit oksida. (http://dinicanidria.blogspot.com).
Austin (1984) dalam (http://dinicanidria.blogspot.com) menyebutkan
bahwa peran nitrit oksida pada tanaman dapat digunakan sebagai bahan penambah
katalis dalam pembuatan herbisida. Saponin ini berkaitan erat dengan reaksi
penyabunan, sehingga diprediksikan binahong dapat melisiskan dinding sel
serangga yang sulit dibasmi karena mempunyai zat lilin, contohnya kutu putih
Tanin tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam angoespermae
terdapat khusus dalam jaringan kayu. Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah
dengan protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan dirusak misalnya bila
hewan memakannya maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini protein
529
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
lebih sukar dicapai ole h cairan pencernaan hewan. Sebahagian besar tumbuhan
yang banyak mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan
karena rasanya yang sepet (Rus taman et.al 2007).
Utami (2010), melaporkan bahwa seperti biji bintar o/kelampan
mengandung alkaloid, steroid, triterpenoid dan saponin. Da ging buah
mengandung flavonoid, steroid, dan saponin. Daun mengandung flavo noid,
tanin, saponin dan steroid. Ranting mengandung flavonoid dan steroid.
Sedangkan kulit batang mengandung fvonoid dan steroid.
Senyawa golon gan alkaloid bersifat toksik, repellent, dan mempunyai
aktivitas penghambat makan terhadap serangga (antifeedant).
Prosea (2002)
melaporkan bahwa adan ya kandungan cerberin pada biji bintaro/kelampan
diduga memberikan efek mematikan pada tikus. Cerberin merupakan golongan
alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap mortalitas serangga. Saponin
dan plifenol dikenal sebagai senyawa yang sangat toksik terhadap serangga.
Sedangkan flavonoid m empunyai efek antimikroba/sesebagai pelindun g
tanaman dari patogen dan antife edant (Dadang dan Prijono, 2008). Adanya
kandungan bahan kimia yang terda pat pada bagian-bagian tanaman
bintaro/kelampan tersebut maka potensi tanaman bintaro/kelampan sebagai
pengendali seran gga hama termasuk rayap kayu kering sangat besar.
Tumbuhan Simp ur (Dellinia suffruticosa), merupakan salah satu
tumbuhan asli Asia yang menga ndung antioksidan. Adapun senyawa antiok
sidan yang terindentifikasi dalam t anaman simpur (Dillenia suffruticosa) adalah
B HT dan 1-doctriacontanol (Prames ti, 2005).
Gambar 4. Efikasi ekstrak flora rawa Bintaro dan Simpur terhadap ham a
perusak daun Pegagan (Centela asiatica [L.] Urban)
Pegagan dapat diperbanyak dengan pemisahan stolon dan biji. Menurut
Asikin dan Thamrin (20 05), tanaman ini cukup efektif untuk mengendalikan ulat
jengkal dan ulat grayak . Herba rasanya manis, sifatnya sejuk, berkhasiat tonik,
antiinfeksi, antitoksik, antirematik, penghenti pendarahan (hemostatis), peluruh
kencing (diuerik ringan), pembersih darah, memperbanyak pengeluara n empedu,
pereda demam (antipiretik), penenang (sedatif), mempercepat penyemb uhan luka,
dan melebarkan pembu luh darah tepi (vasodilator perifer). Khasiat sed atif terjadi
melalui mekanisme kolinergik di susunan syaraf pusat Pegagan mengandung
asiaticoside, thankuni side, isothankuniside, madecassoside, brahmoisde,
brahminoside, brahmi c acid, madasitic acid, hydrocotyline, m esoinositol,
centellose, caretenoid s, garam mineral (seperi garam kalium, natrium, magnesium,
kalsium, besi) zat pahit vellarine dan zat samak. Didug a senyawa
530
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
glikosida triterpenoida yang disebut asiaticoside berperan dalam berbagai
aktivitas penyembuhan penyakit. Asiaticoside berperan dan senyawaan sejenis
juga berkhasiat anti lepra (kusta). Secara umum, pegagan berkasiat sebagai
hepatoprotektor yaitu melindungi sel hati dari berbagai kerusakan akibat racun
dan zat berbahaya (http://drliza.wordpress.com).
Jengkol (Phitecellobium lobatum)
Menurut Asikin dan Thamrin (2005), tanaman jengkol selain efektif
untuk ulat grayak juga efektif untuk mengendalikan ulat kubis atau ulat tritip.
Menurut Setianingsih (1994), jengkol mengandung alkaloid, minyak atsiri,
steroid, glikosida, tanin dan saponin. Daun jengkol mengandung saponin,
flavonoida dan tanin (htt://waristek.ristek.go.id). Smith (1989) dalam Nursal
(2003), melaporkan bahwa alkaloid, terpenoid dan flavonoid merupakan
senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga
dan juga bersifat toksik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nunik et al
(2001), melaporkan bahwa buah lerak yang mengandung golongan senyawa
saponin, daun kecubung yang mengandung alkaloid dan antrakoinon serta daun
orang-aring yang mengandung minyak atsiri, tanin dan steroid terbukti
berkhasiat sebagai insektisida. Hal ini mengindikasikan bahwa tanin, saponin
dan flavonoid mempunyai daya toksik terhadap hama.
Zat toksik tanin, saponin dan flavonoid yang terdapat pada daun jengkol
inilah yang menyebabkan ulat grayak mati. Daun jengkol diduga lebih banyak
mengandung tanin hal ni nampak pada saat pembuatan larutan pasta, dimana
larutan pasta tidak adanya busa yang terbentuk, sedangkan zat aktif saponin
mempunyai kemampuan membentuk busa (Widodo, 2005).
Cambai karuk (Piper caninum)
Tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional
sebagai obat dan berkhasiat untuk penyakit maag dan ginjal. Tumbuhan cambai
karuk (Piper sarmentosum Roxb.Ex Hunter) mengandung saponin, polifenol,
fvanoid dan minyak atsiri (Permadi 2005). Menurut Pittaya (2006), tumbuhan
cambai karuk juga mengandung berbagai kandungan senyawa seperti
pyrrolidinel amide, betasitosterol, methylenedioxybencena, guineensine, alkene,
sarmintine, pellitorine, sarmentosine dan polifenol.
Suli Tulang (Hedychium sp)
Tanaman tersebut kebanyakan ditemukan tumbuh pada habitat lahan
pasang surut sulfat masam dan tergenang air. Bentuk dari tanaman ini sepeti
tanaman kunyit. Adapun tanaman ini digunakan masyarakat dayak sebagai
bahan pengobatan terhadap penyakit dalam dan tulang patah. Tanaman ini cukup
beracun terhadap ulat jengkal, ulat grayak dan ulat buah (Asikin dan Thamrin,
2005).
531
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Rumput minjangan/Kirinyu
Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia
sentetik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang
menimbulkan dampak negatif antara lain risidu yang terjadi melalui tantai
makanan yang membahayakan manusia dan lingkungan. Menurut Campbell,
(1933) dan Burkill, (1935) jenis tumbuhan telah diketahui berfungsi sebagai
insektisidal dan repelen atau attraktan mengandung senyawa bioaktif seperti
alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin.
Pada pestisida nabati tersebut diduga bersifat racun perut, karena pada hari
pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi setelah larvalarva tersebut makan sehingga mengakibatkan gejala keracunan bagi larva tersebut.
Daya toksisitas/racun tertinggi yaitu pada bahan tumbuhan Pangium edule,
Palatycerium bifurcatum dan Eriglossum rubiginosum dan Chromolaena odorata
yaitu daya racunnya berkisar antara 70-85% (Asikin dan Thamrin, 2002).
Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat luka tanpa menimbulkan
bengkak, tumbuhan ini berfungsi juga sebagai bahan insektisida nabati untuk
mengendalikan beberapa jenis hama sayuran. Biller et al. (1994), melaporkan
tumbuhan rumput minjangan juga dapat digunakan sebagai pakan ternak, namun
harus melalui proses pengolahan seperti pengeringan dan penumbukan. Rumput
minjangan mengandung Pas (Pryrrolizidine Alkaloids) sebagai racun, dan
kandungan ini menyebabkan tanaman ini berbau menusuk, rasa pahit, sehingga
bersifat repellent dan juga mengandung allelopati.
Rumput minjangan/Kirinyu ini cukup efektif dalam mengendalikan hama
perusak tanaman sepeti ulat grayak, ulat jengkaldan ulat buah (Asikin dan
Thamrin 2005).
Kirinyu (Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol,
alkaloid, triterpenoid, tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin
yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
Menurut Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi.
Kandungan antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut:
Haemagglutinnin 9.72 mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin
0.50
Chromolaena odorata Sebagai Bahan Pupuk Organik
Kualitas Biomasa Gulma Chromolaena odorata
Kualitas bahan organik ditentukan oleh komposisi kimia dan sifat fisik
bahan. Komposisi kimia yang paling menentukan kualitas bahan organik yaitu
kandungan C-organik, N-total, P-total, rasio C/N kandungan lignin dan polifenol
(Swift dan Woomer, 1993). Bahan organik dikatakan mempunyai kualitas tinggi
jika mengandung lignin kurang dari 15 %, kandungan polifenol kurang 4 %,
Nitrogen lebih besar dari 2,5 %, kandungan P-total lebih besar dari 2,5 % dan rasio
C/N kurang dari 2 % (Hairiah, 2000). Bahan organik kualitas tinggi mempunyai
kemampuan menyediakan unsur hara dalam waktu yang relatif cepat, sehingga
sesuai sebagai sumber unsur hara bagi tanaman. Sebaliknya bahan organik yang
mempunyai kualitas rendah dengan rasio C/N > 20, kandungan lignin lebih besar
dari 15 %, polifenol lebih besar 4 %, hanya baik digunakan
532
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sebagai sumber bahan organic tanah. Bahan organic tanah penting peranannya
dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia maupun biologi tanah.
Hasil penelitian Pratikno (2002) menunjukkan bahwa biomasa
Cromolaena odorata dan Agerathum conyzoides merupakan bahan organic
kualitas tinggi dengan komposisi kimia bahan seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia biomasa Cromolaena odorata dan
Agerathum conyzoides
Komposisi
C – organic (%)
N – total (%)
Rasio C/N
P total (%)
Rasio C/P
Lignin (%)
Polifenol (%)
Chromolaena odorata
49,97
3,04
16,44
0,29
173,86
9.00
4,62
Agerathum conyzoides
34,56
2,31
14,96
0,58
60,135
11,44
0,82
Sumber: Pratikno, 2002
Rasio C/N bahan menunjukkan mudah tidaknya bahan organik tersebut
terdekomposisi. Rasio C/N tinggi menunjukkan bahan organik yang sukar
terdekomposisi karena adanya fraksi tahan lapuk dalam jumlah yang besar.
Fraksi tahan lapuk tersebut terdiri dari lilin, lemak dan selulosa (Kanmegne et
al., 1995). Sebaliknya bahan organik dengan rasio C/N rendah merupakan bahan
organik yang mudah terdekomposisi. Akan tetapi rasio C/N saja tidak cukup
untuk digunakan sebagai acuan kualitas bahan organik. Hal tersebut dinyatakan
oleh Handayanto et al., 1994, selain rasio C/N bahan organik, dekomposisi dan
mineralisasi bahan organik ditentukan oleh kandungan lignin dan polifenol.
Tingginya kandungan lignin bahan organik mengakibatkan dekomposisi yang
terjadi lambat akibat terhambatnya aktivitas mikroorganisme yang membantu
proses dekomposisi tersebut. Lignin merupakan senyawa tahan lapuk karena
lignin mempunyai struktur yang mengandung OCH3 yaitu senyawa yang dapat
menghambat proses dekomposisi (Stevenson, 1982). Selain lignin, polifenol
sangat mempengaruhi dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Polifenol
dapat melindungi protein dari dekomposisi yang cepat, karena polifenol mampu
mengikat protein dalam bahan organik.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa jenis flora
rawa dapat digunakan sebagai komponen pengendalikan hama ramah lingkungan
misalnya seperti flora rawa purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap
hama penggerek batang padi putih dan sebagai bahan attraktannya.
Beberapa jenis flora rawa dapat digunakan sebagai bahan pembuatan
insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah,
533
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pegagang, Cambai karuk dalam mengendalikan hama ulat grayak,ulat
jengkal,ulat buah, ulat kubis/plutella dan wereng coklat.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S., M.Thamrin dan A. Budiman. 2001. Purun Tikus (Eleocharis dulcis)
(Burm.F.) Henschell Sebagai Agensia Pengendali Hama Penggerek
Batang Padi dan Konservasi Musuh Alami di Lahan Rawa Pasang Surut.
Prosiding Simposium Keanekagaragam Hayati dan Sistem Produksi
Pertanian Cipayung, 16-18 Nopember 2000.
Asikin. S., dan M.Thamrin. 2002. Bahan Tumbuhan Sebagai Pengendali Hama
Ramah Lingkungan. Disampai pada Seminar Nasional Lahan Kering
dan Lahan Rawa 18-19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan
Balittra. Banjarbaru.
Asikin. S., M.Thamrin dan M.Willis. 2002. Iventarisasi Tumbuhan Sebagai
Bahan Pestisida Nabti. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru
Asikin, S., dan M.Thamrin. 2005. Bahan Tumbuhan Rawa Yang Berpotensi
Sebagai Insektisida Nabati. Disampaikan pada Seminar Nasional
Pestisida Nabati III, 21 Juli 2005.
Asikin., S. 2005. Manfaat Beberapa Bagian Tumbuhan Kapayang Terhadap
Hama Sayuran. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru.
Asikin., S. 2006. Penggunaan Tumbuhan Kapayang Terhadap Hama Perusak
Daun Sawi dan Bayam. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru.
Asikin. S., dan M.Thamrin. 2007. Koleksi Bahan Tumbuhan Yang Berpotensi
Mengandung Bahan Bioaktif Untuk Pengendalian Hama. Laporan Hasil
Penelitian Balittra. Banjarbaru.
Budiman., A., M.Thamrin dan S.Asikin. 1988. Beberapa Jenis Gulma di Lahan
Pasang Surut Kalimantan Selatan dan Tengah Dengan Tingkat
Kemasaman Tanah Yang Berbeda. Prosiding Konperensi KeIX HIGI.
Bogor 22-24 Maret 1988.
Biller, A., M. Boppre, L. Witte and T. Hertman. 1994. Pyrrolizidine alkaloids in
Chromolaena odorata. Phytochemistry.
http//www.ens.cau.au//Chromolaena/o/o mod.html. Diakses 26
Agustus 2005
Dadang dan D.Prijono. 2008. Insektisida Nabati :Prinsip, Pemanfaatan dan
Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian IPB.
Bogor
Everaats, A.P. 1981. Weeds of vegetables in the highlands of Java. Horticultural
Research Institute. Jakarta.
Hairiah, K. 2000. Biologi Tanah. Program Pascasarjana. Universitas
Brawijaya.Malang
http:/waristek.ristek.go.id/pertanian. Jengkol, diakses tanggal 4 Desember 2008.
534
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
http://www.tempo.co.id. Getah Anti Jamur di akses tanggal 10 Desember 2008.
http://drliza.wordpress.com. Pegagan untuk awet muda di akses tanggal
10 Desember 2008.
PROSEA. 2002. Plant Resources of South-East Asia 12 : Medicinal and
Poisonous Plant 2 PROSEA Bogor, Indonesia
Ross, M.A. dan C.A. Lembi. 1985. Applied Weed Science. Burgess Publ. Co.
Minneapolis.
Rustaman, M.Abdurrahman dan Ace Tatang, H. 2007. Skrining Fitokimia
Tumbuhan di Kawasan Bukit Tunggul Kabupaten Bandung. Laporan
Penelitian Peneliti Muda UNPAD Bandung. Fak.Matematika dan
Pengetahuan Alam. Unpad. Bandung. http://laporan_akhir_litmud.
Diakses 5 Nop 2009.
Wijaya Kusuma, H.M., H. Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1995. Tanaman
Berkhasiat Obat di Indonesia. Pustaka Kartini. Jakarta.
Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kapayang
(Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Plutella
xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru.
Widodo, W., 2005. Tanaman Beracun Dalam Jehidupan Ternak. UMM Press,
Jakarta
Setianingsih, E. 1994. Petai dan Jengkol. Penebar Swadaya. Jakarta.
Utami, S. 2010. Bioaktivitas Insektisida Nabati Bintaro (Cerbera odollam
Gaertn) sebagai Pengedali Hama Spodoptera litura dan Pteroma
plagiophleps. Manuskrip.
535
Download