Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Potensi Pinang (Areca catechu) sebagai Antelmintik untuk Ternak The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an anthelmintic for Livestock Aulia Evi Susanti*), Agung Prabowo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol.H. Burlian No.83 Km.6 Palembang *) Penulis untuk korespondensi: 081315265391 email: [email protected] ABSTRACT Internal parasit infestation is one of the things that hamper the productivity of livestock. The use of plants and plant products as medicine has long been practiced. Betel nut (Areca catechu) has an anthelmintic effect, in particular from the class Nematode. The main content of betel nut are carbohydrates, fats, fiber, polyphenols including flavonoids and tannins, alkaloids and minerals. Dominant alkaloid present in betel nut and are likely to have the effect of anthelmintic is arecoline and tannin. Some studies use betel nut to prove the content of anthelmintic has been done on Haemonchus contortus and Ascaridia galli. The results showed that betel nut contains an anthelmintic and can be used as an anthelmintic for livestock. Keywords: Anthelmintic, Betel nut, Livestock ABSTRAK Infestasi parasit internal merupakan salah satu hal yang menghambat produktivitas ternak. Penggunaan tanaman dan produk tanaman sebagai obat telah lama dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Pinang, yang dalam bahasa latin dikenal dengan nama Areca catechu L ini memiliki efek antelmintik, khususnya cacing dari golongan Nematoda. Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral. Jenis alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin dan senyawa tanin. Beberapa penelitian penggunaan biji pinang untuk membuktikan adanya kandungan antelmintik telah dilakukan pada cacing Haemonchus contortus dan Ascaridia galli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang mengandung antelmintik dan dapat digunakan sebagai obat cacing untuk ternak. Kata kunci: Antemintik, Biji pinang, Ternak PENDAHULUAN Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak adalah adanya berbagai penyakit yang merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Salah satu penyakit yang dapat 404 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 menghambat produktivitas ternak, yaitu penyakit parasit cacing. Menurut Ronohardjo dan Nari (1977), peternakan di Indonesia tidak dapat membebaskan diri dari parasit karena kondisi lingkungan Indonesia yang memang menguntungkan bagi parasit. Iklim tropis yang hangat dan basah memberikan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur dan ketahanan hidup larva dan telur infektif di alam (Satrija et al. 2003). Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing, antara lain: penurunan bobot badan, penurunan kualitas daging, penurunan produktivitas sebagai ternak potong dan bahaya penularan pada manusia. Penyakit cacingan merupakan salah satu pola penyakit hewan endemik. Penyakit ini walaupun normal, tapi pada aras yang tinggi akan mulai timbul suatu masalah. Pencegahan dan pengobatan cacingan ternak dapat dilakukan dengan beberapa aplikasi obat komersial yang beredar di pasaran, Akan tetapi obat-obatan komersial sulit didapatkan di derah terpencil. Obat-obatan tradisional bisa menjadi alternatif untuk obat-obat yang mahal. Cara pengobatan tradisional untuk penanganan berbagai penyakit ternak tersebut telah berkembang luas di masyarakat, baik pengobatan secara ilmiah dapat diterima ataupun pengobatan di luar keilmiahan. Praktek-praktek pengobatan tersebut sangat membantu dalam penanganan sementara petugas kesehatan hewan tidak ada. Saat ini sudah banyak ditemukan khasiat farmakoseutika dari berbagai tanaman, yang dapat dimanfaatkan untuk penanganan masalah kesehatan ternak, sehingga produktivitas ternak tetap terjaga atau diperbaiki. Pinang merupakan salah satu tanaman herba potensial, yaitu tanaman atau bahan alami yang memiliki kandungan kimia yang bersifat farmakoseutika atau berkhasiat sebagai obat maupun memberikan efek sinergi dalam pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan biji pinang dan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan biji pinang sebagai antelmintik ternak. PINANG (Areca catechu) Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan (Depkes RI, 1989). Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah 405 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony, 1993;Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara (Firgorita, 1991). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel didalam telur tiadak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji pinang digunakan untuk pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012). PARASIT INTERNAL PADA TERNAK Menurut morfologinya cacing parasitik pada dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: trematoda, cestoda dan nematoda. Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing nematoda atau cacing gilig. Di dalam saluran pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini menghisap sari makanan yang dibutuhkan. Nematoda dapat hidup bebas dalam air dan tanah tetapi sebagian besar spesies hidup berparasit pada tumbuh-tumbuhan dan hewan (Noble dan Noble, 1989). Cara nematoda menyerap makanan untuk bertahan hidup dalam hospesnya antara lain dengan menggunakan cavum bucalis dengan melisiskan jaringan atau menusuk jaringan tersebut, sedang nematoda yang hidup di dalam cairan tubuh dan jaringan akan menusuk jaringan untuk mengambil darah. Darah tersebut diambil oksigennya dengan cara difusi di dalam tubuh (Lee, 1965). Cacing Haemonchus contortus. Haemonchosis merupakan penyakit cacing nematoda saluran pencernaan yang disebabkan oleh Haemonchus sp pada domba dan kambing yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan meliputi kerugian penurunan produksi daging, susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta kematian ternak. Patogenitas haemonchosis tergantung jumlah larva yang menginfeksi, hal tersebut tampak pada domba muda yang terinfeksi sebanyak 1500 sampai 2500 larva infektif akan terjadi kematian, sedangkan pada domba dewasa jika terinfeksi 3000 sampai 6000 larva cacing H.contortus.Telah dilaporkan bahwa infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba dan ditemukan sebanyak 20.000 sampai 50.000 cacing di dalam abomasum (Colin, 1999). Cacing Ascaridia galli. Cacing Ascaridia galli merupakan nematoda parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam petelur (Zalizar et. al. 2006). Parasit tersebut menyebabkan kerugian kepada peternak berupa 406 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan (Ikeme, 1971, Zalizar & Rahayu, 2001; Zalizar et al., 2006), penurunan produksi telur (Tiuria, 1991) serta penurunan kualitas telur (Zalizar et al., 2007). Hal tersebut karena cacing selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar, et al. 2006). Penanggulangan terhadap infeksi parasit cacing yang sering dilakukan pada saat ini adalah dengan memberi obat cacing (antelmintik). Pemberian antelmintik yang berulang menimbulkan galur cacing yang resisten (Waller, 1994). BEBERAPA PENELITIAN PENGGUNAAN BIJI PINANG SEBAGAI ANTELMINTIK Ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus. Penelitian yang dilakukan oleh Beriajaya et al. 1998, bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. Penelitian ini dilakukan terhadap cacing dewasa dan larva cacing. Dalam penelitian ini digunakan biji pinang muda dan tua, yang setelah dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40oC selama 4 hari. Potongan-potongan biji pinang kemudian dibuat serbuk dan dibuat larutan biji pinang dalam 6 konsentrasi, yaitu 0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang muda dan tua mempunyai pengaruh yang sama baik terhadap cacing H. Contortus maupun larvanya. Pada cacing dewasa terlihat bahwa pada konsentrasi 0,1 g/ml cukup memberi pengaruh sehingga sebagian cacing kedapatan mati. Pada larva cacing terlihat bahwa makin tinggi konsentrasi biji pinang maka perkembangan larva makin dihambat dimana tidak terdapat larva yang hidup pada konsentrasi 0,5 g/ml biji pinang tua. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa biji pinang yang mengandung alkaloid arekolin mungkin berfungsi sebagai antelmintik (Beriajaya et al., 1998). Ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli. Penelitian penggunaan ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli telah dilakukan oleh Tiwow et al., 2013 secara in vitro. Pengujian menggunakan ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Biji pinang sebanyak 2 kg (berat basah) dikeringkan dalam oven suhu 50oC sampai kering, Tahap selanjutnya simplisia kering digrinder sehingga menjadi simplisia serbuk dan diayak, kemudian disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat. Selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Kemudian A.galli dimasukkan kedalam ke tiga konsentrasi ekstrak etanol biji pinang tersebut. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak etanol biji pinang konsentrasi 20% mampu membuat cacing Ascaridia galli menjadi lisis/mati. Ekstrak biji etanol pinang pada konsentrasi 30% lebih efektif daya antelmintiknya terhadap cacing cacing Ascaridia galli. 407 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin dan tanin yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik. Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing dan menyebabkan paralisis. Senyawa tanin memiliki kemampuan menghambat enzim dan merusak membran. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Penelitian efek antelmintik biji pinang telah dilakukan pada cacing H. Contortus dan Ascaridia galli. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak biji etanol pinang memiliki daya antelmintik . DAFTAR PUSTAKA Beriajaya, T.B. Murdiati, Suhardono dan C.F. Pantouw. 1998. Pengaruh ekstrak biji pinang (Areca cathecu) terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19 Februari 1998. Bogor: Balitvet. pp: 154-160 Colin, J. 1999. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animals. University of Pensylvania. Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. p. 55-58. Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu) dosisi efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam buras [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and analgesic activity of methanolic axtract of Areca seed collected from Areca cathecu plant grown in Assm. International journal of pharmeceutical and chemical sciences 1(2): 2277-5005 Harborne. 1987. Metode fitokomia, penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Bandung : Institut Teknologi Bandung. IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on Cancer, Part I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192 Ikeme MM. 1971. Weight changes in chickens placed on different levels of nutrition and variying degrees of repeated dosage with Ascaridia galli eggs. Parasitology 63: 251-260. Lee, D.L.1965. The physiologi of nematoda. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Lutony, T.L. 1993. Pinang sirih komoditi ekspor dan serbaguna. Jakarta: Kanisius. 408 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Noble, E.R and Noble, G. A.,1989. Parasiologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke 5. terjemahan dari Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl. Chem, 61 (3): 357-360. Ronohardjo P, Nari J. 1977. Beberapa Masalah Penyakit Unggas di Indonesia. Didalam: Ilmu dan Industri Perunggasan. Seminar Pertama, 30-31 Mei 1977. Bogor. Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB, Tiuria R. 2003. Penggunaan antelmintika untuk pengendalian kecacingan pada ternak, di dalam: strategi pemanfaatan anthelmintika untuk pengendalian kecacingan pada ternak. Seminar Sehari, 11 Feb 2003.Bogor : FKH IPB dan PT Capsulgell Indonesia.p 1-7. Shahidi, F and M. Naczk. 1995. Food phenolics. Technomic Inc, Basel. Suharsono, S.K.H. 1994. Pengobatan tradisional penyakit cacing ayam buras. Poultry Indonesia. 173: 14. Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi 6:50 Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80 Waller, P.J. 1994. The development of anthelmintic resistance in ruminant livestock. Acta Tropica 56:233-243 Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological activities on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8):2014 2019. Zalizar L, Rahayu ID. 2001. Pengaruh penggunaan larutan bawang putih terhadap penampilan produksi ayam lurik penderita parasit cacing. Jurnal Agritek Vol. 9 No. 2. Zalizar L, Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2006. Dampak infeksi Ascaridia galli terhadap gambaran histopatologi dan luas permukaan vili usus serta penurunan bobot hidup starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3): 215-222. Zalizar L, Fadjar. S, Risa. T, Dewi AA. 2007. Respon ayam yang mempunyai pengalaman infeksi ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan implikasinya terhadap produktivitas dan kualitas telur. Animal Production. Jurnal Produksi Ternak 9(2): 92-98. 409 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Keragaan Inpari 13 dengan Berbagai Sistem Tanam Jajar Legowo di Lahan Sawah Irigasi Dataran Tinggi di Sumatera Selatan (Studi Kasus Desa Talang Darat Kota Pagaralam) The Performance Inpari 13 With Various Legowo Row Planting System Irrigated Land In Plateau In South Sumatra ( Case Study Of Village Talang Darat Pagaralam District) Johanes Amirullah dan NP. Sri Ratmini Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Palembang 30153 e-mail: [email protected] ABSTRACT VUB Inpari 13 is not so much known to the public due to newly released in late 2013 , this variety has the advantage of early maturity of up to ( 105-124 days ) , with a short life ( very early maturing ) about 103 days , the plants can be harvested already Inpari 13 , but it is also the high productivity of rice plants with an average yield of 6.59 t / ha . Along with the development of production technology of crop management is required a system -specific crop management such as integrated crop management (PTT) is an innovative and dynamic approach in an effort to increase production and income of farmers through participatory component assembly technology with farmers . Field trials conducted with legowo cropping systems . The purpose of this study to test the VUB Inpari 13 on dry land plateau , while the location of the assessment carried out in the Village Talang Darat Kota Pagaralam North Dempo . The results obtained at the time of harvest production obtained at 2:1 legowo production system 6,0 ton / ha , 3:1 production of 5.5 tons / ha , 4:1 production of 4,8 tons / ha . Keywords : Inpari 13 , dryland , highland ABSTRAK VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59 t/ha. Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui 410 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Tujuan dari pengkajian ini untuk melakukan uji coba VUB Inpari 13 di lahan kering dataran tinggi, sedangkan lokasi pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo Utara Kota Pagaralam. Hasil yang didapat pada saat panen produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1 produksi 6 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4.8 ton/ha. Kata Kunci : Inpari 13, lahan kering, dataran tinggi PENDAHULUAN Sektor pertanain komoditas padi sampai saat ini masih merupakan komoditas yang sangat strategis. Untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat indonesia masih penuhi dari komoditas padi, karena bahan pangan khususnya beras memberikan sumber energi dan protein cukup tinggi. Varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya pertumbuhan tanamanan menjadi seragam, sehingga panen menjadi serempak, rendemen dan mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. Selain itu varietas unggul mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Sehingga dapat memperkecil biaya penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan (Suryana dan Prajog, 1997). VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59 t/ha (Sinar Tani, 2011). Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Sitem tanam legowo muerupakan cara tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman yang kemudian diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya ditanam pada barisan yang kosong dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan. Diharapkan dari hasil percobaan ini, petani dapat mengadopsi teknologi yang diterapkan. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Pada dasarnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metode/strategi, bahkan filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, dan 411 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 efisiensi produksi dengan memperhatikan sumber daya yang ada, kemampuan dan kemauan petani. BAHAN DAN METODE Adapun teknologi yang diterapkan pada pada percobaan ini adalah penggunaan VUB, pengendalian hama dan penyakit serta penggunaan pupuk yang berimbang. Sedangkan bahan yang digunakan Inpari 13, pupuk organik dan anorganik, kegiatan ini dilakukan dengan membuat unit percontohan demplot budidaya padi Inpari 13 seluas 1 ha, sedangkan perlakuan yang diterapkan dengan pendekatan PTT dengan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1, untuk penentuan dosis pupuk dengan menggunakan alat PUTS, dari hasil analisis didapat kebutuhan pupuk adalah sebagai berikut : pupuk kandang 1000 kg, pupuk ZA 100 kg, phonska 100 kg, SP-36 100 kg dan KCl 75 kg. Lokasi pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo Utara Kota Pagaralam, pada musi tanam April-Juli 2013. Data yang diambil tinggi tanaman dan produksi hasil panen ubinan 2,5 x 2,5 m, kemudian data dianalisis secara deskriftip. Untuk melihat respon petani terhadap penerapan teknologi diambil data primer dengan mengadakan wawancara langsung pada petani dengan menggunakan daftar pertanyaan berstruktur atau kuisioner. HASIL DAN PEMBAHASAN Inpari 13 nama varietas unggul terbaru BB Padi, varietas ini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas karena baru dilepas akhir tahun 2009. Dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen. Varietas yang sangat genjah ini didukung juga dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59 t/ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Inpari 13 Eskripsi Varietas Bentuk beras Bentuk tanaman Tekstur nasi Kadar amilosa Rata-rata hasil Potensi hasil Umur tanaman Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif Ketahanan terhadap hama wereng Tahun dilepas Sumber : Deskripsi varietas padi, 2010 Inpari 13 Panjang dan ramping Tegak Pulen 22,40 % 6,59 t/ha 8,0 t/ha 103 hari 101 cm 17 batang Tahan hama wereng biotipe 1, 2 dan 3 2009 Pertumbuhan Tinggi Tanaman. Dari hasil pengamatan didapat rerata tinggi tanaman pada saat dilakukan panen dapat dilihat pada Tabel 1. 412 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Tinggi Tanaman Tinggi Tanaman Varietas 2:1 3:1 Inpari 13 74,80 71,93 4:1 74,33 Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian pupuk dengan dosis yang tepat dan menerapkan sistem jajar legowo akan memberikan pengaruh pada pertumbuhan tinggi tanaman, dari hasil pengamatan sebelum dilakukan panen, tinggi tanaman dengan menggunakan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1 pertumbuhan tinggi tanaman tidak terlalu meberikan pengaruh yang signifikan, dimana pertumbuha tinggi tanam tertingi rerata pada sistem 2:1 dan terendah pada sistem 3:1. Merata nya tingi tanaman, diduga pupuk N,P, dan K yang diberikan telah terserap bagai tanaman, dan sudah optimal untuk menyediakan N dalam meningkatkan tinggi tanaman. Produktivitas. Berdasarkan hasil pengkajian rata-rata produksi dengan menggunakan sistem jajar legowo dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3. Rerata Produktivitas Inpari 13 Sistem Jajar Legowo Varietas Inpari 13 2:1 6,0 Hasil gkp ton/ha 3:1 5,5 4:1 4,8 Dapat dilihat pada Tabel 2 produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1 produksi 6,0 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4,8 ton/ha. Dari hasil panen yang dilakukan produksi tertinggi pada jajar legowo 2:1 hal ini diduga pada sistem 2:1 ini sudah sesuai dan cukup mendapatkan sinar matahari dengan mengatur sistem jarak tanamnya. Menurut sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah apabila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut terdapat ruang terbuka yang lebih besar diatara dua kelompok barisan tanaman yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman, mempermudah petani dalam pengelolaan usahataninya, meningkatkan jumlah tanam pada kedua bagian pinggir untuk setiap set legowo, sistem tanam berbaris ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan, dan meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%. Respon Inovasi Teknologi. Dari hasil pengkajian adaptasi VUB Inpari 13 didapat respon petani terhadap kegiatan yang telah dilakukan dengan percontohan melalui demplot, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. 413 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 3. Rerata Penerapan Teknologi Penerapan Teknologi Varietas unggul Pupuk (Urea, SP-36 dan KCl) Pemberantasan hama penyakit Penyiangan Sistem legowo 1.00-1.67 (kurang baik) - Nilai Interval 1.68-2.35 (cukup baik) 2.30 2.36-3.03 (baik) 2.90 - - 1.75 - - 2.50 2.85 - Dapat dilihat pada tabel diatas rata-rata petani dalam penggunaan varietas unggul (2.90) dan penyiangan (2.85) sudah termasuk dalam kriteria baik, hal ini sudah menunjukan respon yang baik dari petani dalam memperkenalkan VUB baru, dan sistem penyiangan gulma sudah sesuai dengan anjuran. Sedangkan pemupukan berimbang sesuai dengan dosisi anjuran (2.30), pemberantasan hama penyakit (1.75) dan sistem legowo (2.50) termasuk dalam kriteria cukup baik. Dari hasil wawancara dengan petani, rendah nya teknologi yang diterapkan petani dikarenakan dengan modal yang terbatas. Sedangkan sistem tanam jajar legowo belum terbiasa bagi petani untuk menerapkannya, anggapan dengan menggunakan sistem legowo selain populasi rumpun tanaman sedikit, juga sistem kerja padaa saat tanam perlu tenaga kerja orang banyak. Menurut Sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu keuntugan adalah memberikan kemudahan petani dalam pengelolaan usahatani dalam pemupukan susulan, pemberantasan hama dan penyakit serta lebih memudahkan dalam mengendalikan tikus serta meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%. KESIMPULAN Dari hasil pengkajian mengenai uji VUB Inpari 13 dilahan kering dataran tinggi diperoleh kesimpulan : 1. Rata-rata tinggi tanaman dan produktivitas Inpari 13 yang didapat pada sistem jajar legowo pertumbuhan tertinggi pada legowo 2:1 dengan tinggi 74,80 cm dan produksi 6 ton gkp t/ha 2. Penerapan respon teknologi yang diterapkan petani VUB Inpari 13, untuk varietas dan penyiangan termasuk dalam kriteriacukup baik, sedangkan pemupukan, pemberantasan hama penyakit dan sistem jajar legowo termasuk kriteria baik. DAFTAR PUSTAKA Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan 414 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pertanian, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT Departemen Pertanian. Jakarta. Sembiring H. 2001. Komoditas Unggulan Pertanian Provinsi Sumatera Utara. Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. Suamtera Utara. 58 p. Sinar Tani. 2011. Edisi 5-11 Januari 2011 N0.3387 Tahun XLI Sudharto, T., J. Triastono, E. Sudjitno, A. Syam dan Z. Zaini. 1995. Laporan Tahunan Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering (UFDP) TA.1994/1995. Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suryana dan U.H. Prajogo. 1997. Subsidi Benih dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Produksi Pangan. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Antisipatif dan Respontif. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Peranian. 415 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pengaruh Penggunaan Ekstrak Kompos Kulit Udang (EKKU) Terhadap Pertumbuhan dan Serangan OPT Terung The Effect of Shrimp Skin Compost Extract to Plant Growth and Pest of Eggplant Syahri1*), Renny Utami Somantri1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62711410155/+62711411845 email: [email protected] ABTSRACT The assessment was carried out at Senabing village, Lahat District from July until December 2013. In each selected village each of 10 farmers as implementing activities. Assessment prepared using randomized block design (RBD) with 4 treatments and 5 replication. The treatment was a combination of inorganic fertilizers and EKKU consisting of: A: Inorganic Fertilizers full dose (= 2 g Urea, NPK = 20 g), B: ½ dose of inorganic fertilizers (urea = 1 g, NPK = 10 g) + 40 mL EKKU/L of water, C: 3/4 dose of inorganic fertilizers (urea = 1.5 g, NPK = 15 g) + EKKU 20 mL EKKU/L of water, and D: 3/4 dose of inorganic fertilizers (Urea = 1.5 g, NPK = 15 g) + 40 mL EKKU/L of water. Planting were done by the following procedures: first eggplant seeds sown in a plastic tray measuring 30 x 40 cm for 30 days, then transferred seedlings in polybags measuring 10 kg medium containing a mixture of soil and manure. Fertilization was done 2 times in 2 adn 10 weeks after planting. Spraying EKKU (dose treatment) was carried out every week until harvest. The study showed that a dose reduction of 50% inorganic fertilizer combined with the application EKKU much as 40 mL/L of water is able to suppress the leaf-eating caterpillars attack, where the attack rate is only 19.2%. Giving EKKU much as 40 mL/L of water at various doses of inorganic fertilizer can improve plant growth eggplant, where the highest plant growth occurs in inorganic fertilizer reduction by 25% which is 87.0 cm. Keywords: biopesticide, EKKU, fertilizer, plant growth. ABSTRAK Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Di setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik dan EKKU yang terdiri atas: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK = 20 g), B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40 mL/L air, C: Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 20 mL/L air, dan D: Pupuk 416 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air. Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen. Hasil pengkajian menunjukkan pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm. Kata kunci: biopestisida EKKU, dosis pemupukan, OPT, terung. PENDAHULUAN Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang ditanam di Sumatera Selatan. Hampir sebagian besar wilayah di Sumatera Selatan bisa ditanami dengan komoditas ini. Terung juga merupakan jenis sayuran yang sangat populer dan disukai oleh banyak orang, sehingga komoditas itu sangat potensial untuk dikembangkan secara intensif dalam skala agribisnis. Selama ini pembudidayaan terung umumnya masih bersifat sampingan di lahan pekarangan, tegalan, ataupun lahan sawah di musim kemarau. Tidak heran bila hasil rata-rata terung di Indonesia masih rendah yaitu antara 32,64-34,11kuintal per hektar (Rukmana, 1994). Untuk meningkatkan produksi terung maka perbaikan teknik budidaya perlu dilakukan. Tingginya input bahan agrokimia berupa pupuk dan pestisida menjadi permasalahan dalam budidaya terung. Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat, tercatat ada sebanyak 2.810 di tahun 2013 (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2013). Penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan ini dapat berdampak buruk bagi ekosistem pertanian. Menurut Wiratno et al. (2013), penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga menguragi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi, resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama. Hal ini diperparah lagi dengan adanya input berupa pupuk anorganik yang bisa menyebabkan rusaknya tekstur dan struktur tanah. Utami dan Handayani (2003) menyatakan sistem pertanian yang berbasis bahan fosil (high input energy) seperti pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan akhirnya menurunkan produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan perbaikan terhadap cara budidaya yang dilakukan sehingga lebih aman terhadap lingkungan sehingga akan tercapai keseimbangan ekosistem. Penggunaan biopestisida sekaligus juga biofertilizer merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi 417 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 risiko ketergantungan terhadap input bahan kimiawi sintetik. Salah satu bahan yang efektif dan ramah lingkungan adalah ekstrak kompos kulit udang (EKKU). EKKU diketahui efektif mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis (Suwandi, 2004), ketimun dan oyong (Syahri et al., 2014), dan virus kuning pada cabai (Syahri dan Somantri, 2014). EKKU juga diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, penggunaan EKKU pada tanaman terung belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui efektivitas EKKU dalam menekan penyakit dan meningkatkan pertumbuhan pada tanaman terung. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu. Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah ekstrak kompos kulit udang-EKKU (Bio-Fitalik) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, benih terung (Matahari), pupuk kandang (kotoran sapi dan kambing), pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl dan NPK Pelangi 20:10:10), polybag ukuran 10 kg. Alat yang digunakan adalah sprayer 1 L, gelas ukur, mikroskop, timbangan, alat tulis, dan gunting. Rancangan Pengkajian. Pengkajian dilaksanakan di 2 desa yakni Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang, di setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik dan EKKU yang terdiri dari: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK = 20 g) B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40 mL/L air. C : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 20 mL/L air. D : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air. Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen. Jenis Hama dan Penyakit yang Menyerang. Pengamatan hama penyakit yang menyerang pada masing-masing tanaman dilakukan mulai dari satu minggu setelah tanam hingga delapan minggu setelah tanam. Penentuan penyakit didasarkan pada gejala yang muncul pada tanaman. Identifikasi penyakit dilakukan dengan mengambil daun tanaman sakit di lapangan dan dibawa ke 418 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 laboratorium untuk diidentifikasi penyebabnya dengan menggunakan mikroskop yang mengacu pada prosedur diagnosis penyakit tanaman. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Keparahan Hama/Penyakit. Keparahan hama/penyakit dihitung dengan menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009): I (n v) 100% NZ Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi. Skala kerusakan daun didasarkan pada kriteria: 0 = tanaman sehat/tidak ada serangan; 1 = >0-20% tanaman terserang; 2 = >20-40% tanaman terserang; 3 = >4060% tanaman terserang; 4 = >60-80% tanaman terserang dan 5 = >80-100% tanaman terserangData yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Pertumbuhan Tanaman. Data pertumbuhan tanaman yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang yang diamati saat pertumbuhan tanaman maksimum. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasikan untuk dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam menggunakan program SPSS versi 11.0. HASIL Jenis Hama Penyakit yang Menyerang. pengamatan jenis hama dan penyakit yang muncul pada terung disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hama penyakit tanaman terung yang menyerang selama kegiatan pengkajian. Jenis OPT Ulat pemakan daun Kutu kebul Bercak daun Keterangan: - = tidak ada serangan A + + B + - Perlakuan C + - + = serangan ringan D ++ - ++ = serangan berat Intensitas Serangan Hama Hasil pengkajian terhadap serangan ulat pemakan daun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Intensitas serangan ulat pemakan daun Intensitas penyakit pada petani ke- (%) Perlakuan Rerata (%) I II III IV V A 4 16 32 40 12 20,8a B 16 16 28 20 16 19,2a C 40 24 24 20 40 29,6a D 48 4 20 12 44 25,6a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05 419 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pertumbuhan Tanaman Terung. Pertumbuhan tanaman terung pada kajian ini diamati dari dua parameter pertumbuhan tanaman yakni tinggi dan jumlah cabang tanaman terung. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 3). Tabel 3. Pertumbuhan tanaman terung yang diaplikas EKKU pada berbagai dosis pemupukan anorganik Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang A 57,4a 2,6a B 62,9ab 3,4a C 81,4ab 3,0a D 87,0b 2,5a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05 PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap jenis OPT yang menyerang pada pertanaman terung selama pengkajian menunjukkan bahwa serangan OPT didominasi oleh serangan serangga hama, sedangkan serangan patogen sangat rendah. Bahkan, serangga penghisap. Penggunaan EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan dengan pengurangan dosis pemupukan hingga 50% (pelakuan B) dapat menekan intensitas serangan ulat pemakan daun terung. Hal ini terlihat dari serangan yang paling rendah yakni 19,2%. Namun, pemberian EKKU dengan berbagai dosis yang dikombinasikan dengan pengurangan pupuk anorganik sebanyak 25% (perlakuan C dan D) ternyata memberikan penekanan serangan hama yang lebih rendah dibandingkan tanpa penggunaan EKKU (perlakuan A). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan bahan hara yang terkandung dalam EKKU sehingga menyebabkan tanaman lebih tumbuh subur sehingga rentan terhadap serangan hama. Kandungan EKKU yang terdapat dalam Bio-Fitalik yakni glukosamin (minimal 1.000 mg/l), mikrobia khitinolitik (minimal 3 x 106/L), bakteri pelarut phospat (minimal 1 x 106/L), mikrobia selulotik (minimal 1 x 107/L), dan beberapa unsur hara (total N 850 ppm, P2O5 150 ppm, K2O 50 ppm, nitrat 350 ppm, Ca 450 ppm). Penekanan hama maupun penyakit tanaman disebabkan karena ekstrak kompos dapat memacu terjadinya induksi resistensi, antagonisme, dan peningkatan toleransi tanaman. Menurut Suwandi (2004), efektifitas pengendalian penyakit menggunakan EKKU pada tanaman sayuran telah dilaporkan terhadap penyakit daun pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis. Adanya kandungan kulit udang pada kompos ini, memungkinkan bahan ini lebih efektif dari ekstrak kompos biasa. Peningkatan aktifitas pengendalian ini dapat terjadi akibat meningkatnya aktifitas mikroorganisme kitinolitik yang diinduksi oleh kitin yang terdapat pada kulit udang. Menurut Yurnaliza (2002), kitin merupakan homopolimer dari -1,4 Nsetil-D-glukosamin dan merupakan polimer ke dua terbanyak di alam setelah selulosa. Enzim kitinase dapat digunakan sebagai biokontrol terhadap serangga dan jamur penyakit tanaman dan produksi protein 420 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sel tunggal (single cell protein) yaitu dengan menggunakan kitinase untuk menghidrolisis material kitin dan khamir sumber protein sel tunggal sehingga diperoleh protein sel tunggal dengan kadar protein dan asam nukleat yang sesuai. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena bahan organik EKKU juga berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah (Hastuti, 2000). Hasil kajian menunjukkan bahwa aplikasi EKKU dengan dosis 40 mL/L air (perlakuan D) memberikan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya yakni 87,0 cm, sedangkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada perlakuan B yakni aplikas EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan dengan pengurangan dosis pupuk anorganik sebesar 25%. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian EKKU dengan dosis 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Suwandi (2004) menambahkan produksi tanaman juga mengalami peningkatan dengan pemberian kompos dikarenakan bahan organik juga berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan EKKU bahkan dapat meningkatkan produksi tanaman oyong dan kacang panjang masing-masing sebesar 17,40% dan 246,67% (Syahri et al., 2014). KESIMPULAN 1. Pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. 2. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Kurniawati, S. dan Hersanti. 2009. Pengaruh Inokulasi MVA dan Pemberian Abu Kelapa Sawit terhadap Perkembangan Penyakit Bercak Coklat (Alternaria solani Sor.) pada Tanaman Tomat. Widyariset 12(2): 63-69. Rukmana, R. 1994. Bertanam Terung. Kanisius, Yogyakarta. Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian Penyakit pada Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest Tropical 1(2):18-24. Syahri dan R.U. Somantri. 2014. Kajian aplikasi biopestisida berbahan ekstrak kompos kulit udang (EKKU) pada berbagai dosis pemupukan terhadap pertumbuhan dan serangan penyakit cabai. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014. 421 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan ekstrak kompos kulit udang (EKKU) dalam pengendalian penyakit dan peningkatan produksi tanaman sayuran. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014. Utami, S.N.H. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem Pertanian Organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2): 63-69. Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian, formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32(2): 150-155. Yurnaliza. 2002. Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial Pendegradasinya. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/826/1/ Biologi-Yurnaliza2.pdf, diakses 1 Juni 2012). 422 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman Padi Akibat Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Lahan Rawa Lebak The Effect of Integrated Plant Management (IPM) to Rice Pests and Diseases on Freshwater Land 1 Syahri1*), Renny Utami Somantri1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62711410155/+62711411845 email: [email protected] ABSTRACT Pest attack was causing up to 20% yield losses of rice. Integrated Plant Management can be used to suppress the yield losses due to pest attack. The research was conducted on farmers' fields with freshwater land typology. The treatments consisted of the use of new high yield variety (Inpari 10, Inpari 12, and Inpari 14), fertilization recomendation based on PUTS dan KATAM, Legowo 4: 1 with 2-3 seeds/hole, and pest control with the principles of integrated pest management, whereas for comparison is cultivation by farmers. Observations were made on the intensity of pest attacks such as blast disease, injury lever for leaf folder and mole-cricket. The monitoring of organisms using pitfall traps and light traps. The study showed that the application of ICM on rice crops give effect to the pest attack. In the IPM-application, the intensity of leaf folder attacks only <16%, mole cricket <1% and blast <7%. These are lower than farmer technology. PTT also gives effect to an increase in the population of natural enemies of pests such as spiders and bees. Keywords: integrated plant managemend, pest and diseases, yield losses. ABSTRAK Serangan organisme pengganggu tanaman dapat menyebabkan kehilangan hasil padi hingga 20%. Penerapan PTT dengan konsep PHT di dalamnya menjadi bagian penting yang bisa digunakan untuk menekan kehilangan hasil akibat serangan OPT. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani dengan tipologi lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Petak perlakuan terdiri dari penggunaan VUB (Inpari 10, Inpari 12, dan Inpari 14), pemupukan berdasarkan KATAM dan PUTS, sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jumlah bibit 2-3 bibit/lubang, dan pengendalian OPT dengan prinsip pengelolaan hama terpadu, sedangkan sebagai pembanding adalah sistem budidaya yang biasa dilakukan petani (cara petani). Pengamatan dilakukan pada intensitas serangan OPT penting seperti penyakit blas, hama putih palsu, orong-orong serta dilakukan juga pengamatan populasi organisme yang ada pada petak pengkajian dengan menggunakan pitfall trap dan light trap. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada pertanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan PTT, intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%, 423 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah. Kata kunci: organisme pengganggu tumbuhan, pengelolaan tanaman terpadu, padi PENDAHULUAN Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor penghambat dalam upaya meningkatkan produktivitas padi. Direktorat Perlindungan Tanaman (2010) melaporkan bahwa kekeringan, kebanjiran, dan OPT telah menyebabkan sekitar 380 ribu ha sawah terganggu, dan 48 ribu ha di antaranya gagal panen. Menurut Balitpa (2004), hama dan penyakit tanaman menyebabkan kehilangan hasil mencapai kira-kira 20%, yang merupakan angka yang tinggi dalam mengurangi produktivitas tanaman. Berbagai jenis hama dapat menyerang tanaman padi mulai dari persemaian hingga proses pemanenan. Selain itu kendala penyakit penting seperti blas (Pyricularia oryzae), hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae), hawar pelepah, tungro juga menjadi ancaman dalam budidaya padi di Indonesia. Pada bulan Januari sampai Juni 2007, di wilayah Sumatera, wereng coklat menyebabkan kerusakan padi sekitar 95 ha dan menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 250 ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007). Selain itu masih banyaknya serangan hama tikus, tungro dan wereng mempengaruhi penurunan produksi (www.sripoku.com, 2011). Berdasarkan laporan Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan, beberapa OPT penting yang menyerang padi di antaranya hama putih palsu, penyakit blas, orong-orong, kresek, tungro. Tahun 2013 misalnya, serangan penyakit kresek hampir menyebar di seluruh sentra pertanaman padi di Sumatera Selatan. Permasalahan OPT ini berpotensi menimbulkan gangguan produksi padi nasional. Karena itu, upaya untuk mencapai target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014, tentunya memerlukan dukungan teknologi yang komprehensif. Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan dan terus-menerus di tingkat petani semakin memperparah tingkat serangan maupun kerusakan akibat OPT. Menurut Laba dan Trisawa (2008) dalam Syahri et al. (2011), penggunaan insektisida dapat menimbulkan dampak terhadap hama utama serta organisme bukan sasaran. Dampak tersebut di antaranya adalah resistensi dan resurjensi serangga hama serta terancamnya populasi musuh alami dan organisme bukan sasaran. Menurutnya, beberapa jenis insektisida menimbulkan resurjensi wereng coklat, dapat meningkatkan jumlah telur, reproduktivitas/keperidian, stadia nimfa dan lama hidup serangga dewasa. Tercatat 23 jenis insektisida menimbulkan resurjensi terhadap wereng coklat. Menurut Villareal (1999), ketika terjadi epidemi tungro di Filipina tahun 1998, petani melakukan penyemprotan pestisida sipermetrin setiap minggu. Ternyata pengendalian ini tidak efektif mengurangi insidensi penyakit tungro dan justru menyebabkan resurjensi populasi wereng coklat. 424 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Untuk mencapai sasaran tersebut, maka dilaksanakanlah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Menurut Jamal (2009), penerapan PTT berpedoman kepada pemahaman petani terhadap masalah yang dihadapi serta identifikasi peluang pengembangan yang mungkin dilakukan. Adapun komponen teknologi PTT terdiri dari komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar untuk padi rawa lebak di antaranya varietas modern (VUB, PTB), bibit bermutu dan sehat, pemupukan N granul, P dan K berdasarkan PUTS, serta PHT sesuai OPT sasaran. Sedangkan komponen teknologi pilihan di rawa lebak d antaranya pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (legowo, larikan, dll), umur bibit, pengelolaan air, pembuatan saluran/caren keliling, pengendalian gulma terpadu, penanganan panen dan pasca panen (Ditjen Tanaman Pangan, 2013). Menurut Fagi dan Kartaatmaja (2004), komponen teknologi untuk mengoreksi deteriorasi kesuburan tanah telah diteliti dan hasilnya telah dirakit dapat paket teknologi pada strategi PTT yang meliputi: (1) pengelolaan unsur hara spesifik lokasi, (2) pengaturan rejim air yang sesuai dengan fisiko-kimia tanah, dan (3) penyeimbangan komponen hasil tanaman padi. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai pengaruh PTT terhadap perkembangan OPT padi khususnya di lahan rawa lebak. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani dengan tipologi lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas unggul baru (VUB) Inpari 10, Inpari 12, Inpari 14, biopestisida Bio-Fitalik (ekstrak kompos kulit udang-EKKU) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, pupuk anorganik (Urea, SP-36, NPK Phonska dan KCl), Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Musim Tanam I 2012/2013, dan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Alat yang digunakan adalah pitfall trap, light trap modifikasi, knapsack sprayer, gelas ukur, arit, meteran, timbangan, alat tulis, bambu, dan gunting. Prosedur Pengumpulan Data. Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu dengan menentukan lahan masing-masing seluas 1.430 m2 untuk rekomendasi pemupukan KATAM, PUTS dan perlakuan petani (luas lahan disesuaikan dengan ketersediaan lahan petani). Pengolahan tanah dilakukan dengan cara olah tanah sempurna yakni dengan cara dibajak. Dosis pemupukan KATAM dilakukan dengan menggunakan rekomendasi pemupukan yang tercantum dalam KATAM MT I (dosis NPK Phonska (15-15-15) sebanyak 225 kg/ha dan 175 kg Urea/ha) dan dengan sistem tanam jajar legowo 4:1, rekomendasi pemupukan berdasarkan PUTS yakni 150 kg NPK Phonska (15:15:15)/ha; 200 kg Urea/ha; 10 kg KCl/ha, sedangkan cara petani dengan dosis pemupukan NPK kebiasaan petani yakni sebesar 300 kg/ha dan Urea sebanyak 150 kg/ha dengan sistem tanam tegel (20 x 20 cm). Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali yakni pemupukan I pada umur 0-1 425 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 minggu setelah tanam (mst), pemupukan II umur 3-4 mst, dan pemupukan III pada umur 7-8 mst. Pemupukan dilakukan dengan cara ditebar/dihambur di seluruh permukaan lahan. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu benih direndam dalam larutan 20 ml Bio-Fitalik/L air selama 24 jam selanjutnya diperam selama 2 hari. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit berumur + 30 hari. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara diterbas dan menggunakan herbisida, sedangkan pengendalian OPT dilakukan dengan menggunakan perangkap cahaya dan pestisida kimiawi yang diaplikasikan sesuai dengan tingkat serangan OPT dengan mengikuti prinsip PHT. Paramater Pengamatan. Pengamatan tingkat serangan OPT dilakukan seminggu sekali sejak awal penanaman hingga menjelang panen. Sampel tanaman untuk pengamatan OPT dipilih secara diagonal dengan jumlah sampel tanaman yakni 10 tanaman. Intensitas serangan OPT dihitung dengan menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009): I (n v) 100% NZ Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi. Untuk mengetahui populasi OPT terutama serangga pada petak pertanaman juga dilakukan penangkapan dengan menggunakan pitfall trap dan light trap. Serangga yang diperoleh selanjutnya dihitung dan diidentifikasi jenisnya. HASIL Intensitas Serangan Hama. Pengaruh pemupukan yang tidak tepat dan penggunaan varietas rentan dapat berakibat pada kerentanan tanaman terhadap serangan OPT. Menurut Baehaki (2009), pemberian pupuk yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman merupakan salah satu cara dalam menekan perkembangan hama penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa OPT yang banyak menyerang di antaranya hama putih palsu (HPP) yang menyerang pada stadia vegetatif awal, orong-orong terutama pada lokasi yang tidak tergenang. Tingkat serangan HPP ditampilkan pada Gambar 1. 426 Prosiding Seminnar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Gambar 1. Pengaruh penerapan PTT pada berbagai varietas padi terhadap serangan hama putih palsu. Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan HPP terutama terjadi pada stadia vegetatif (umur 0-5 mst). Penerapan PTT pada semua varietas padi ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan seranngan HPP dibandingkan dengan cara petani, namun secara umum serangannya masih cukup rendah. Hasil pengamatan tingkat serangan orong-orong pada padi disaajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat seranggan orong-orong pada padi Jumlah tanaman mati pada minggu ke- (mst) Varietas I II III Inpari 10 (PUTS) 10 0 0 Inpari 10 (KATAM) 0 0 0 Inpari 12 (PUTS) 15 4 0 Inpari 12 (KATAM) 19 1 0 Inpari 14 (PUTS) 23 0 0 Inpari 14 (KATAM) 15 1 0 Inpari 12 (CARA PETANI) 30 3 0 Hasil tangkapan light trap dan pitfall trap selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Beberapa organisme yang tertangkap pada pitfall trap dan lighht trap Jenis Perangkap Jenis Organisme Jumlah (ekor) Pitfall trap Hymenoptera 26 Arachnida 3 Coleoptera 2 Light trap Hymenoptera 99 Lepidoptera 1 Coleoptera 2 Homoptera 31 427 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Intensitas Serangan Penyakit. Tingkat serangan penyakit blas ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Intensitas serangan penyakit blas pada padi Perlakuan Intensitas Serangan (%) Inpari 10 (PUTS) 0 Inpari 10 (KATAM) 1,1 Inpari 12 (PUTS) 0 Inpari 12 (KATAM) 1,1 Inpari 14 (PUTS) 6,7 Inpari 14 (KATAM) Inpari 12 (CARA PETANI) 4,4 0,9 Tabel 3 memperlihatkan bahwa serangan penyakit blas relatif rendah yakni masih <7%. Serangan penyakit blas tertinggi terjadi pada varietas Inpari 14 dengan berbagai metode pemupukan. Sedangkan pada varietas Inpari 10 dan Inpari 12 serangan penyakit relatif rendah <2%. Varietas Inpari 12 merupakan varietas padi yang tahan terhadap penyakit blas ras 033 dan agak tahan terhadap ras 133 dan 073 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012). Menurut Sutami et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan. PEMBAHASAN Beberapa OPT penting yang umum menyerang pertanaman padi di rawa lebak antara lain: 1. Penyakit Blas/Busuk Leher Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae. Penyakit ini umumnya terdapat di pertanaman yang subur. Pada masa batang padi tumbuh memanjang (+ umur 55 hari) tanaman sangat rentan terinfeksi daun. Penyakit ini dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit dan biji dalam bentuk miselia dan konidia. Tingkat keparahan penyakit blas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kelebihan nitrogen dan kekurangan air menambah kerentanan tanaman. Diduga bahwa kedua faktor tersebut menyebabkan kadar silikon tanaman rendah. Kandungan silikon dalam jaringan tanaman menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang berkadar silikon rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Pupuk nitrogen berkorelasi positif terhadap keparahan penyakit blas. Artinya makin tinggi pupuk nitrogen keparahan penyakit makin tinggi. Penyakit dapat timbul pada daun, batang, bunga, malai dan biji dan sangat jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan 428 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 biasanya mempunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala khasnya adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai menjadi mudah patah. Pengendalian yang dapat dilakukan di antaranya: menggunakan varietas tahan secara bergantian untuk mengantisipasi perubahan ras cendawan yang relatif cepat, pemupukan nitrogen sesuai anjuran, mengatur waktu tanam yang tepat, agar waktu awal pembungaan (heading) tidak banyak embun dan hujan terus-menerus, pengendalian secara kimiawi dengan gunakan fungisida (bila diperlukan) yang berbahan aktif metil tiofanat atau fosdifen dan kasugamisin. 2. Walang sangit Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase pemasakan. Serangga ini akan mempertahankan diri dengan mengeluarkan bau apabila diganggu. Selain sebagai mekanisme pertahanan diri, bau yang dikeluarkan juga digunakan untuk menarik walang sangit lain dari spesies yang sama. Fase pertumbuhan tanaman padi yang rentan terhadap serangan walang sangit adalah dari keluarnya malai sampai matang susu. Kerusakan yang ditimbulkannya menyebabkan beras berubah warna dan mengapur, serta hampa. Ambang ekonomi walang sangit adalah lebih dari 1 ekor walang sangit per dua rumpun pada masa keluar malai sampai fase pembungaan. Mekanisme merusaknya yaitu menghisap butiran gabah yang sedang mengisi. Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktuwaktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu minggu dapat menurunkan hasil 27%. Kualitas gabah (beras) sangat dipengaruhi serangan walang sangit. Diantaranya menyebabkan meningkatnya grain discoloration. Sehingga serangan walang sangit disamping secara langsung menurunkan hasil, secara tidak langsung juga sangat menurunkan kualitas gabah. 3. Penggerek batang padi (stem borer) Penggerek batang padi merupakan hama yang sangat penting pada padi dan sering menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil panen secara nyata. Terdapatnya penggerek di lapang dapat dilihat dari adanya ngengat di pertanaman dan larva di dalam batang. Mekanisme kerusakan disebabkan larva merusak sistem pembuluh tanaman di dalam batang. Stadia tanaman yang rentan terhadap serangan penggerek adalah dari pembibitan sampai pembentukan malai. Gejala kerusakan yang ditimbulkannya mengakibatkan anakan mati yang disebut sundep pada tanaman stadia vegetatif dan beluk (malai hampa) pada tanaman stadia generatif. Siklus hidupnya 40-70 hari tergantung pada spesiesnya. Ambang ekonomi penggerek batang adalah 10% anakan terserang; 4 kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Perlu diketahui bahwa kerusakan pada stadia generatif maka tindakan pengendalian sudah terlambat atau tidak efektif lagi. Penggerek batang padi terdapat sepanjang tahun dan menyebar di seluruh Indonesia pada ekosistem padi yang beragam. Intensitas serangan penggerek batang padi pada tahun 1998 mencapai 20,5% dan luas daerah yang terserang 429 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 mencapai 151.577 ha. Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang padi pada stadia vegetatif tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat mengkompensasi dengan membentuk anakan baru. 4. Keong mas (golden apple snail) Keong mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman dan memakannya, menyebabkan adanya bibit yang hilang di per-tanaman. Bekas potongan daun dan batang yang diserangnya terlihat mengambang. Waktu kritis untuk mengendalikan keong mas adalah pada saat 10 hari setelah tanam pindah, atau 21 hari setelah sebar benih (benih basah). Setelah itu laju pertumbuhan tanaman lebih besar daripada laju kerusakan oleh keong mas. Bila di sawah diketahui ada keong mas, perlu dilakukan pengaturan air karena keong mas menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Jika petani menanam dengan sistem tanam pindah maka pada 15 hari setelah tanam pindah, sawah perlu dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian (flash flood = intermitten irrigation). Bila petani menanam dengan sistem tabela (tanam benih secara langsung), selama 21 hari setelah sebar benih sawah perlu dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian. Selain itu perlu dibuat caren di dalam dan di sekeliling petakan sawah sebelum tanam, baik di musim hujan maupun kemarau. Ini dimaksudkan agar pada saat dilakukan pengeringan, keong mas akan menuju caren sehingga memudahkan pengambilan keong mas dan sebagai salah satu cara pengendaliannya. Keberadaannya di lapang ditandai oleh adanya telur berwarna merah muda dan keong mas dengan berbagai ukuran dan warna. Keong mas merupakan salah satu hama penting yang menyerang padi muda terutama di sawah yang ditanam dengan sistem tabela. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan diantaranya: secara fisik, menggunakan saringan berukuran 5 mm mesh yang dipasang pada tempat air masuk di pematang untuk meminimalkan masuknya keong mas ke sawah dan memudahkan pemungutan dengan tangan, secara mekanis dengan memungut keong dan menghancurkannya, bila di suatu lokasi sudah diketahui bahwa keong mas adalah hama utama, sebaiknya tanam bibit yang tua dan tanam lebih dari satu bibit per rumpun; buat caren di dalam dan di sekeliling petakan sawah, mengaplikasikan pestisida yang berbahan aktif niclosamida dan pestisida botani seperti lerak, deris, dan saponin. Serangan HPP pada lokasi pengkajian cenderung meningkat pada minggu ke-2 setelah tanam, dan menurun kembali pada periode selanjutnya. Hal ini disebabkan karena pada minggu ke-3 setelah tanam dilakukan penyemprotan insektisida berbahan aktif deltametrin sehingga terjadi penurunan persentase serangan pada 4-5 mst. Serangan HPP terendah terjadi pada varietas Inpari 12 yang diberi pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTS (intensitas serangan <2%). Sedangkan, tingkat serangan tertinggi terjadi pada padi varietas Inpari 12 dengan perlakuan tanam mengikuti cara petani. Selain serangan HPP, pada petak pertanaman juga terdapat serangan orongorong (Gryllotalpa sp.). Orong-orong merupakan salah satu hama penting yang menyerang perakaran tanaman padi, gejala yang ditimbulkannya yakni rusaknya bagian perakaran padi sehingga menyebabkan padi menguning dan mati. 430 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Serangan orong-orong terutama pada padi yang tumbuh pada lokasi yang tidak tergenang (kering). Serangan orong-orong pada semua petak perlakuan relatif rendah (<1% dari populasi tanaman), hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan dalam kondisi tergenang air. Bahkan, pada minggu ke-3 tidak terdapat lagi tanaman yang mati karena orong-orong (Tabel 1). Hal ini dikarenakan telah dilakukan aplikasi insektisida karbofuran pada lokasi pertanaman terutama pada pinggir petak perlakuan yang kondisinya tidak tergenang. Selanjutnya, untuk menekan serangan OPT yang aktif pada malam hari (nocturnal pest) dilakukanlah penangkapan dengan menggunakan perangkap cahaya yang dimodifikasi (light trap), perangkap ini dibuat dengan menggunakan corong air berukuran besar dengan diameter + 30 cm, dengan cahaya bersumber dari lampu senter (Gambar 2). Sedangkan, untuk mengidentifikasi jenis serangga yang ada pada tanah dilakukan dengan menggunakan perangkap sumuran (pitfall trap) yang dipasang di setiap petak perlakuan. Gambar 2. Perangkap cahaya yang telah dimodifikasi Hasil tangkapan dengan menggunakan pitfall trap maupun light trap menunjukkan bahwa organisme yang tertangkap terdiri dari berbagai jenis organisme. Tabel 2 menunjukkan bahwa populasi organisme pada petakan penerapan PTT didominasi oleh organisme yang bermanfaat sebagai musuh alami seperti dari ordo Hymenoptera (lebah) dan Arachnida (laba-laba). Hymenoptera merupakan kelompok serangga yang didominasi oleh parasitoid, sedangkan arachnida berperan sebagai predator serangga hama. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama yang tertangkap relatif rendah karena kemungkinan disebabkan adanya penekanan populasi oleh musuh alami tersebut. Menurut Baehaki (2009), teknologi yang dikembangkan untuk mengendalikan hama pada pertanaman padi didasarkan kepada konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan mempertimbangkan ekosistem, stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai dengan tuntutan praktek pertanian yang baik (Good Agricultural Practices). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan PTT yang di dalamnya menggunakan taktik pengendalian OPT berdasarkan prinsip PHT ternyata mampu menekan serangan berbagai jenis hama padi. 431 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Hasil penelitian pengaruh PTT terhadap serangan penyakit padi menunjukkan bahwa penyakit yang menyerang pada setiap perlakuan didominasi oleh serangan penyakit blas yang disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzae. Menurut Semangun (2004), penyakit blas dapat menyerang daun, batang, bunga, malai dan biji dan sangat jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan biasanya mempunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala khasnya adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai menjadi mudah patah. Menurut Sutami et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan. Untuk menekan berkembangnya penyakit blas selama penelitian, maka pemupukan ke-3 (susulan II) tidak dilakukan serta dilakukan juga pengendalian dengan menyemprotkan fungisida. Tindakan ini dilakukan karena penyakit blas akan semakin bertambah parah jika dosis pemupukan N tinggi (Semangun, 2004). Selain itu, kondisi cuaca saat penelitian dengan intensitas hujan yang tinggi yang justru akan membantu. Menurut Roja (2009), kondisi seperti ini menyebabkan spora jamur penyebab blas (Pyricularia grisea) banyak dilepaskan ke udara, dan spora-spora ini akan menginfeksi tanaman padi sehingga menimbulkan kerusakan tanaman. Perbedaan dosis pemupukan, jenis varietas maupun tindakan pengendalian akan sangat mempengaruhi serangan penyakit tanaman. Serangan penyakit seperti blas daun cenderung lebih rendah pada varietas Inpari 10 dan Inpari 12 yang diberi pupuk berdasarkan rekomendasi PUTS. Menurut Wood (1974) dalam Supriatna (2003), pemupukan dengan Kalium dan Fosfat dapat menurunkan insidensi serangan hama penyakit. Kekurangan Kalium akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dan vigor tanaman, penurunan ketahanan tanaman, dan menyebabkan akar tanaman berkembang lambat sehingga mudah diinfeksi penyakit akar (Anonim, 1988 dalam Supriatna, 2003). Berdasarkan hasil penelitian, teknologi PTT yang terdiri dari penggunaan varietas unggul baru tahan OPT, pemupukan berdasarkan rekomendasi (KATAM maupun PUTS) serta taktik pengendalian OPT menggunakan prinsip PHT memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan OPT pada pertanaman padi. Dengan adanya penurunan serangan OPT ini diharapkan tanaman padi akan tumbuh dengan baik dan memberikan produktivitas yang baik pula sehingga target produksi yang diharapkan petani maupun pemerintah dapat tercapai. KESIMPULAN Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada pertanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan PTT, intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%, orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah. 432 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 433 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kalender Tanam Terpadu. http://katam.litbang.deptan.go.id.[12 Januari]2013. Baehaki, SE. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam Perspektif Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices). Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 65-78. Balai Penelitian Tanaman Padi. 2004. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Sukamandi. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Kementerian Pertanian. Fagi, AM dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan dan Peluang. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting: Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Roja, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT) Padi Sawah. BPTP Sumatera Barat. Santos, A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabhu. 2003. Rice ratooning management practices for higher yields. Communication Soil Science. J. Plant Anal 34: 881-918. Semangun, H. 2004. Hama dan Penyakit Penting Tanaman Pangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sriwijaya Post Online (http://www.sripoku.com, Edisi Tanggal 20 Juni 2010 dan 11 Januari 2011) Supriatna, A. 2003. Integration pest management and its implementation by rice farmer in Java. Jurnal Litbang Pertanian 22(3): 109-115. Sutami, B. Prayudi, dan S. Sulaiman. 2001. Reaksi Ketahanan Galur-galur Padi Rawa Pasang Surut terhadap Penyakit Blas Leher. Di dalam: Prayudi B, et al. (eds), Pegelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Prosiding Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Lahan Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan Konsumen; Banjarbaru, 4-5 Juli 2000. p 127-137. 434 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Kedelai Melalui Pendekatan PTT Mendukung SL-PTT Kedelai Di Sulawesi Tengah Adaptation Some New Varieties of Soybean Through Supports PTT approach SLPTT Soybean In Central Sulawesi Ruslan Boy*), Yakob Langsa1, Saidah2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 081354259888/0451482549 email: [email protected] 1 ABSTRACT This study aims to obtain new varieties soybeans adaptive and has a high yield potential through the approach of Integrated Crop Management (ICM) supports soybeans in Central Sulawesi. Location studies on dry land Luwuk District of East Village Lauwon Banggai and Wood Village District Court District of Mepanga Moutong Parigi. Using Split plot design consisting of a main plot and subplot. The main plot is the location/village activities. The subplots were soybean varieties consisting of varieties Tanggamus, Argomulyo, Willis and Kaba. Each treatment was repeated 3 times. Broad swath of assessment 5 mx 5 m using a spacing of 40 cm x 15 cm at planting 2 seeds planting hole. The results of the study show that the introduced varieties 4 shows the different productivity of the development site. Banggai varieties Tanggamus obtain the highest yield of 3.16 t/ha followed by Kaba 3.00 t/ha, Willis 2.40 t/ha, and Argomulyo 2.20 t/ha, while in the District Parigi Moutong Willis varieties 2.20 t/ha Tanggamus ha followed by 2.08 t/ha and Argomulyo and Kaba obtain the same result of 1.60 t/ha. Conclusion that the varieties Tanggamus and adaptive willis to be developed at each study site because it gives results in higher soybeans seed, which Tanggamus varieties of 3.16 t/ha and Willis 2,40 t/ha as compared to other varieties. Keywords : Adaptation , yielding varieties , soybeans , Results ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru (VUB) kedelai yang adaptif dan memiliki potensi hasil tinggi melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi Tengah. Lokasi kajian di lahan kering Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong. Menggunakan rancangan Split Plot yang terdiri dari petak utama dan anak petak. Petak utama adalah lokasi/desa tempat kegiatan. Anak petak 435 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 adalah varietas kedelai yang terdiri dari varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Luas petak pengkajian 5 m x 5 m dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm ditanam 2 biji per lubang tanam. Hasil kajian menunjukkan dari 4 varietas yang diintroduksi memperlihatkan produktivitas yang berbeda terhadap lokasi pengembangannya. Kabupaten Banggai varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi 3,16 t/ha disusul Kaba 3,00 t/ha, Willis 2,40 t/ha, serta Argomulyo 2,20 t/ha sedangkan di Kabupaten Parigi Moutong varietas Willis 2,20 t/ha disusul Tanggamus 2,08 t/ha serta Argomulyo dan Kaba memperoleh hasil yang sama 1,60 t/ha. Kesimpulan bahwa varietas Tanggamus dan willis adaptif untuk dikembangkan di masing-masing lokasi penelitian karena memberikan hasil biji kedelai yang lebih tinggi, yaitu varietas Tanggamus 3,16 t/ha dan Willis 2,40 t/ha dibandingkan dengan varietas lainnya. Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul, kedelai, hasil PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi, jagung dan umbi-umbian yang meiliki gizi tinggi. Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat dan ini belum bisa diimbangi oleh produksi nasional sehingga impor kedelai masih terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi permintaan nasional yang cenderung terus meningkat, produksi kedelai perlu terus diupayakan peningkatannya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin bertambah dan sekaligus penyediaan pangan yang bergizi bagi masyarakat luas. Perkembangan produktivitas tanaman kedelai di Sulawesi Tengah periode 2010-2012 menunjukkan adanya peningkatan. Produktivitas kedelai Tahun 2010 mencapai 1,31 t/ha, Tahun 2011 mencapai 1,28 t/ha dan Tahun 2012 mencapai 1,46 t/ha (BPS Sulteng, 2013). Namun demikian, produktivitas yang dicapai masih tergolong rendah dan fluktuatif. Peluang peningkatan produksi melalui perbaikan teknologi masih terbuka lebar, mengingat produktivitas pertanaman kedelai di tingkat petani masih rendah (1,3 t/ha) dengan kisaran 0,6-2,0 t/ha (Hermanto dan kasim, 2008), padahal teknologi produksi yang tersedia mampu menghasilkan produktivitas kedelai antara 1,7- 3,2 t/ha (Marwoto et al. 2009). Rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,42 t/ha (BPS Pusat, 2013). Varietas unggul merupakan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan produksi. Perakitan varietas kedelai di Indonesia telah berhasil mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan mulai diarahkan pada perbaikan ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Namun rata-rata hasil kedelai nasional masih relatif rendah. Penyebabnya karena budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi, namun juga antar musim, faktor lain hingga saat ini belum semua petani kedelai menggunakan benih varietas unggul yang berlabel (Thamrin et al. 2012). Pengembangan varietas kedelai berdaya hasil tinggi pada cakupan lingkungan yang luas merupakan salah satu faktor kunci dalam peningkatan 436 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 produksi. Besarnya ragam lingkungan budidaya kedelai di Indonesia mengakibatkan rentang hasilnya sangat besar, yaitu 0,50-2,50 t/ha (Subandi et al. 2008). Hasil biji merupakan karakter kompleks yang terkait dengan beberapa komponen hasil dan dipengaruhi oleh fluktuasi lingkungan. Selah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menyediakan varietas yang berdaya hasil relatif sama pada lingkungan yang berbeda. Upaya mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan terobosan dalam memproduksi kedelai yang mampu memberikan produktivitas tinggi dengan proses produksi yang efisien dan berkelanjutan. Guna mencapai hal tersebut, diperlukan rakitan teknologi spesifik lokasi dengan memperhatikan kesesuaian terhadap kondisi biofisik lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kelembagaan petani. Proses produksi yang demikian pada hakekatnya merupakan konsep pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang sangat berperan dalam mendukung SL-PTT kedelai untuk peningkatan produksi kedelai di Sulawesi Tengah. Hasil penelitian Suryana (2008) komponen teknologi produksi yang dikemas dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada tanaman kedelai mampu meningkatkan produksi hingga lebih dari 2 t/ha. PTT kedelai perlu diterapkan di sentra-sentra produksi kedelai di Sulawesi Tengah, baik di lahan sawah maupun di lahan kering (Ruslan Boy dan Mardiana, 2012). Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dilakukan kajian tentang adaptasi beberapa varietas unggul baru kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) mendukung sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) kedelai di Sulawesi Tengah yang bertujuan untuk mendapatkan varietas-varietas kedelai yang adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik dan memiliki potensi hasil tinggi. BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai di lahan kering pada ketinggian tempat 181 mdpl dan berada pada posisi geografi 00050’35.7’’ LS dan 122057’41.8’’ BT dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2012. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (RPT) yang terdiri atas petak utama (PU) yaitu lokasi penelitian dan anak petak (AP) yaitu varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit perlakuan dan satuan percobaan berupa petak berukuran 5 m x 5 m. Kajian ini menggunakan pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang dilakukan di lahan petani. Persiapan lahan dengan cara Tanpa Olah Tanah (TOT), seed treatment dengan carbosulfan 25,53% (dosis formulasi 20 gr Insektisida Marshal 25ST/kg benih kedelai). Menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm (2 biji/lubang tanam). Pupuk yang diberikan untuk lokasi di Kabupaten Banggai dengan takaran NPK Phonska 200 kg/ha, SP36 37,3 kg/ha dan KCl 62,5 kg/ha dan Parigi Moutong dengan takaran NPK Phonska 150 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 12,5 kg/ha. Pengendalian hama dan penyakit serta 437 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 gulma dilakukan secara optimal. Panen dilakukan saat masak fisiologis ditandai dengan 95% polong telah berwarna coklat dan daun berwarna kuning. Pengamatan kajian ini meliputi data keragaan komponen pertumbuhan dan hasil. Data komponen pertumbuhan terdiri dari: persentase tanaman tumbuh, umur 50% pembungaan, tinggi tanaman, dan umur panen. Data komponen hasil terdiri dari: jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji dan hasil biji per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (Uji F), apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. HASIL Tabel 1. Persentase Tanaman Tumbuh (%) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL- PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 97,44 92,25 95,65 94,53 94,97a Parigi Moutong 86,70 63,33 83,30 70,00 75,83b Rata-rata 92,07a 77,79c 89,47a 82,26b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda Tabel 2. Umur berbunga (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SLPTT kedelai, Sulawesi Tengah, MH 2012 Varietas Lokasi Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 35,25 35,00 37,87 34,75 35,72a Parigi Moutong 31,00 33,00 38,00 40,00 35,50a Rata-rata 33,12a 34,00a 37,93b 37,37b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SLPTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012. Varietas Lokasi Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 92,00 69,00 72,70 82,60 79,10a Parigi Moutong 74,80 55,80 66,60 74,40 67,90b Rata-rata 83,40a 64,25c 67,80c 78,50b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda 438 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 4. Umur Panen (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012 Varietas Lokasi Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 88,34 80,00 88,57 84,25 85,29a Parigi Moutong 86,00 76,00 90,00 86,00 84,50a Rata-rata 87,17c 78,00a 89,28d 85,12c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda Tabel 5. Jumlah Cabang Produktif beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Varietas Lokasi Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 5,20 4,90 5,00 4,80 4,97a Parigi Moutong 5,30 5,50 4,00 4,00 4,70a Rata-rata 5,25a 5,20a 4,50a 4,40a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda Tabel 6. Jumlah Polong Pertanaman beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Varietas Lokasi Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 109,1 52,30 87,40 79,80 82,15a Parigi Moutong 75,00 56,70 104,70 75,50 77,97b Rata-rata 92,05a 54,50d 96,05a 77,65c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda Tabel 7. Bobot 100 biji (gr) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Varietas Lokasi Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 12,26 17,18 12,57 13,13 13,78a Parigi Moutong 11,53 17,01 13,12 12,90 13,64a Rata-rata 11,89b 17,10a 12,84b 13,01b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda Tabel 8. Hasil Biji (t/ha) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Varietas Lokasi Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 3,16 2,20 2,40 3,00 2,69 Parigi Moutong 2,08 1,60 2,20 1,60 1,87 Rata-rata 2,62 1,90 2,30 2,30 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak nyata pada taraf 5% uji BNJ berbeda 439 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 PEMBAHASAN Persentase Tanaman Tumbuh. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata persentase tanaman tumbuh pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai memberikan pengaruh nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai persentase tanaman tumbuh yang lebih tinggi yaitu 94,97% dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 75,83%. Sedangkan untuk 4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata persentase tumbuh tanaman yang lebih tinggi yaitu 92,07% dan berbeda nyata dengan varietas Argomulyo dan Kaba, tetapi tidak berbeda dengan varietas Willis. Umur berbunga. Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat 50% keluarnya bunga kedelai di pertanaman. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur berbunga, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur berbunga kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih cepat yaitu 35,25 hari dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 35,72 hari. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata umur berbunga lebih cepat yaitu 33,12 hari dan berbeda nyata dengan varietas Willis dan Kaba tetapi tidak berebeda dengan varietas Argomulyo. Arsyad et al. (2007) dalam Djufry (2012) Tipe tanaman ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik pada lahan yang suboptimal seperti lahan kering masam yang memiliki umur berbunga 40-45 hst. Tinggi Tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat tanaman menjelang panen karena pada umur tersebut, pertumbuhan vegetatif terutama tinggi tanaman telah mencapai ukuran yang optimal. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata tinggi tanaman pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 79,10 cm dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 67,90 cm. Sedangkan untuk varietas, dari 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 83,40 cm dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Tinggi tanaman merupakan karakter penting yang dapat mempengaruhi komponen tanaman kedelai lainnya seperti jumlah cabang produktif dan jumlah buku produktif. Tinggi tanaman yang ideal menurut Somaatmadja (1985) dalam Djufry (2012) adalah 75 cm. Umur Panen. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur panen, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur panen kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih capat yaitu 84,50 hari dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 85,29 hari. Hasil uji BNJ 5% 440 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo menunjukkan rata-rata umur panen lebih cepat yaitu 78,00 hari dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Jumlah Cabang Produktif. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap jumlah cabang produktif tidak memberikan pengaruh nyata. Walaupun dapat dilihat jumlah cabang produktif di lokasi penelitian Kabupaten Banggai lebih banyak yaitu 4,97 cbg dibanding Kabupaten Parigi Moutong 4,70 cbg. Varietas yang diuji, rata-rata jumlah cabang produktif varietas Tanggamus lebih banyak yaitu 5,25 cbg dibandingkan dengan varietas kedelai lainnya. Hal ini mengindikasikan varietas Tanggamus memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi agroekologi setempat. Penelitian Djufry (2012) tipe tanaman ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik mampu membentuk percabangan antara 5-6 cabang. Jumlah Polong Pertanaman. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata jumlah polong pertanaman pada lokasi penelitian dan penggunaan varietas kedelai memberikan pengaruh nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai menghasilkan jumlah polong pertanaman yang lebih banyak yaitu 82,15 plg dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yang menghasilkan 77,97 plg. Sedangkan untuk 4 varietas kedelai yang diuji, varietas Willis memperoleh jumlah polong generatif yang tertinggi yaitu 96,05 plg dan tidak berbeda dengan varietas Tanggamus tetapi berbeda nyata dengan varietas Kaba dan Argomulyo. Bobot 1000 Biji. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap bobot 100 biji kedelai, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Bobot 100 biji kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai 13,78 gr, sedangkan Kabupaten Parigi Moutong mencapai 13,64 gr. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo menunjukkan bobot 100 biji yang lebih berat yaitu 17,10 gr dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Djufry (2012), mengelompokkan genotype kedelai yang tergolong berbiji kecil memiliki bobot kurang atau sama dengan 7,5 gr, berbiji sedang memiliki bobot antara 7,6-12,5 gr, dan berbiji besar memiliki bobot lebih dari 12,5 gr. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka varietas-varietas kedelai yang diujikan termasuk dalam kelompok kedelai yang berbiji besar karena memiliki kisaran rata-rata bobot 100 biji antara 12,26 gr-25, 56 gr dan rata-rata bobot 100 biji pada varietas pembanding mencapai 14,85 gr. Hasil Biji Perhektar. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap hasil biji perhektar tidak berpengaruh nyata. Walaupun hasil biji perhektar tertinggi dicapai pada lokasi penelitian di Kabupaten Banggai yaitu 2,69 t/ha dan Kabupaten Parigi Moutong mencapai 1,87 t/ha. Demikian pula, 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus menunjukkan hasil biji perhektar yang lebih tinggi yaitu 2,62 t/ha 441 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 disusul Willis dan Kaba memperoleh hasil yang sama 2,30 t/ha dan Argomulyo 1,90 t/ha. Setelah melihat beberapa data komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang ditunjukkan 4 varietas kedelai yang diuji pada 2 lokasi yang berbeda menunjukkan keragaman antar varietas tersebut. Hasil penelitian Adie dan Arifin (2008), salah satu penyebab terjadinya fluktuasi hasil kedelai karena budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam, sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi namun juga antar musim. Disinyalir juga bahwa besarnya ragam hasil antara lokasi lebih disebabkan oleh penerapan perbedaan budidaya. Selain dari itu, faktor determinan budidaya kedelai antar musim di Indonesia adalah mutu draenase dan ketersediaan air. Ayda Krisnawati dan Adie (2008), menyatakan sulitnya mendapatkan kedelai berdaya hasil di atas 2,5 t/ha dengan umur masak di bawah 75 hari berkaitan dengan masalah proses fisiologi tanaman. Hal ini diduga bahwa varietas kedelai yang berumur dalam akan memiliki fase vegetatif lebih panjang dibandingkan dengan kedelai berumur genjah, sehingga cabang, jumlah buku dan jumlah polong semakin banyak. Selain itu periodisitas kedelai berumur dalam juga lebih panjang akan menjadi modal penting dalam menghasilkan fotosintesis bersih bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji kedelai. Karakter morfologi tanaman, seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat produktivitas karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Laju pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya, bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah mengakibatkan kehampaan biji (Sutoro et al. 2008). Besarnya ragam lingkungan untuk budidaya kedelai di Indonesia memang menuntut tersedianya varietas kedelai yang memiliki keragaman hasil relatif kecil pada sembarang lokasi, sehingga daya hasil yang diperoleh akan paralel dengan mutu lingkungan lokasi yang bersangkutan. KESIMPULAN Adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru kedelai melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi Tengah menunjukkan kemampuan adaptasi yang berbeda antar lokasi penelitian. Varietas Tanggamus adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Banggai, sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha, sedangkan varietas Willis adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Parigi Moutong, sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha dibanding varietas lainnya. 442 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 DAFTAR PUSTAKA Adie,M.M. dan Arifin, 2008. Hasil Biji Galur-Galur Harapan Kedelai. Inovasi teknologi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. BPS, 2013. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. Hermanto dan Kasim, H., 2008. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian. Iriani, E., dan Jauhari, S., 2012. Uji Adaptasi beberapa Varietas Kedelai pada Lahan dengan pH < 5,5 di Spesifik Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Semarang. DJufry Fadjry, 2012. Pengujian Galur-Galur Harapan Kedelai Produktivitas Tinggi di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor. Krisnawati, A.,dan Adie,M.M., 2012. Stabilitas Hasil Galur Harapan Kedelai di Lintas Lokasi. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan. Bogor. Marwoto, Subandi, T.Adisarwanto, Sudaryono, Astanto K, Sri H, Diah S dan M.M.Adie, 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Ruslan Boy dan Mardiana, 2013. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Kedelai. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Palu. Statistik Tanaman Pangan, 2013. Perkembangan Produktivitas Palawija. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. Palu. Subandi, Marwoto dan H.Kuntyastuti, 2008. Kesiapan Teknologi Mendukung Peningkatan Produksi Menuju Swasembada Kedelai. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sukarman, Las, I., dan Hidayat, A., 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan Pertanian untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Suryana, A., 2008. Kebijakan dan Program Penelitian Mendukung Tercapainya Swasembada Kedelai dan Ubi Kayu. Inovasi Teknologi KacangKacangan dan Umbi-Umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 443 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Sutoro, Dewi,N., dan Setyowati,M., 2008. Hubungan Sifat Morfologis Tanaman dan Hasil Kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 27 No.3 2008. Thamrin,T.,Soehendi,R.,Syahri dan Kuswantoro,H., 2012. Uji Adaptasi GalurGalur Harapan Kedelai Toleran Kemasaman di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor. 444 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Keragaan Galur dan Varietas Padi di Lahan Rawa Lebak Provinsi Sumatera Selatan Performance of Lines and Rice Varieties in Lowland Swamp South Sumatra Province Suparwoto *), Rajulis dan Waluyo1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: 082175323647 email: [email protected] ABSTRACT This research was conducted at the experimental Kayuagung, Sidakersa village, Ogan Komering Ilir District, South Sumatra Province, started in the dry season of 2011. The goal of gaining some rice strains that have high yield potential and can adapt well the lowland swamp. Varieties / lines were examined as many as 11 lines and 3 varieties for comparison, namely: Ciherang, Inpara 3 and Inpara 5. The study is based on randomized complete block design (RBD) with three replications, broad swath of 4 m x 5 m, a spacing of 25 cm x 25 cm , age 30 day after seedlings, planted 2-3 seeds / hole. Fertilization is done 3 times that at the time of planting 0 day after planting (DAP) 300 kg / ha ponska, 4 weeks after planting (WAP) 100 kg / ha of urea and 7 (WAP) 100 kg / ha of urea given spread. The variables measured were: plant height, number of productive tillers, harvesting, number of grains per panicle, percentage of filled grains per panicle, weight of 1000 grains and dry milled grain yield / plot after removed the line edge. Analysis of data using analysis of variance, followed by Duncan test at 5% level. The results showed that the strains that were tested had high ideal plant for shallow and mid swampy areas, and early duration. Selected strains are strains B 13134-5-MR-1-KA-1 (3.3 tons/ ha), B 10 891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR1 (3.25 tons / ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3.0 tons / ha), B 115 867 F-MR-112-2 (3.0 ton/ ha) significantly different from Ciherang, Inpara 3 and Inpara 5. Keywords: lines and varieties, the performance, rice, lowland swamp ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Kayuagung, Desa Sidakersa, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada lebak tengahan, dimulai pada musim kemarau tahun 2011. Adapun tujuannya untuk memperoleh beberapa galur-galur padi yang mempunyai potensi hasil tinggi dan dapat beradaptasi baik di lahan rawa lebak. Galur/varietas yang diteliti sebanyak 11 galur dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu : Ciherang, Inpara 3 dan Inpara 5. Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) 445 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dengan 3 ulangan, luas petak 4 m x 5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm, umur bibit 30 HSS, ditanam 2-3 bibit/rumpun. Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pada saat tanam (0 HST) 300 kg/ha ponska, 4 MST 100 kg/ha urea dan 7 MST 100 kg/ha urea diberikan secara disebar. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai, bobot 1000 butir gabah dan hasil gabah kering giling/petak setelah dihilangkan satu baris pinggir. Analisis data menggunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%. Hasil menunjukkan bahwa galurgalur yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk daerah lebak dangkal dan tengahan, dan berumur genjah. Galur-galur yang terpilih yaitu galur B 13134-5-MR-1-KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3,25 ton gkg/ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR11-2-2 (3,0 ton gkg/ha) berbeda nyata dengan Ciherang, inpara 3 dan inpara 5. Kata kunci : Galur dan varietas, keragaan, padi, rawa lebak PENDAHULUAN Lahan rawa khususnya lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan pertanian tanaman pangan khususnya beras. Lahan rawa lebak salah satu penyumbangan produksi beras khususnya untuk Provinsi Sumatera Selatan bahkan secara nasional. Oleh karena itu peningkatan kebutuhan pangan secara ekstensifikasi maupun intensifikasi diarahkan di luar pulau Jawa diantaranya Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2011 luas panen padi di Sumatera Selatan mencapai 784.820 ha dengan rata-rata produktivitas 4.3 ton/ha dan secara nasional sudah mencapai 4.98 ton/ha (Badan Pusat statistik Indonesia, 2012). Sedangkan produktivitas padi di lahan lebak rata-rata 3 ton/ha, bila dibandingkan dengan rata-rata produktivitas padi secara nasional masih tergolong rendah, karena petani di lahan lebak menanam padi pada musim kemarau. Sehingga kadangkala terjadi kekeringan dan bila turun hujan terjadi kebanjiran. Selain itu varietas yang digunakan tidak berlabel atau benih hasil seleksi sendiri dan penggunaan varietas yang sama dalam jangka waktu yang lama. Kemudian pada lahan rawa lebak dalam yang airnya lambat surut maka petani menggunakan varietas lokal dan tidak dipupuk sehingga hasil yang dicapai kurang memuaskan. Maka banjir, kekeringan dan tinggi genangan air merupakan faktor penghambat dan bahaya bagi pertumbuhan tanaman padi. Selain itu, kesuburan tanah yang rendah, kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara juga merupakan masalah yang penting di lahan rawa lebak. Permasalahan yang sering dialami petani adalah kebanjiran pada saat padi masih dipersemaian sehingga petani kekurangan bibit dan bibit yang ditanam sudah berumur tua akibat air belum surut dalam melakukan usahataninya. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut maka Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi menyediakan galur-galur padi untuk lahan rawa lebak. Dikemukakan oleh Zen (2007) dalam Jonharnas et al. (2009), galur yang memiliki keunggulan yang baik dari varietas yang berkembang di petani akan dapat diterima lebih cepat oleh konsumen bila sesuai dengan preferensi konsumen. Hasil penelitian sebelumnya, varietas unggul padi yang ditanam di lahan rawa lebak Kabupaten Banyuasin Sumsel seperti Ciherang, INPARA 2 dan INPARA 1 dapat tumbuh 446 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 baik dengan produksi 6,5-7,4 ton gkp/ha pada MK 2009 (Suparwoto, et al, 2011). Adapun tujuannya untuk memperoleh beberapa galur-galur padi yang mempunyai potensi hasil tinggi dan dapat beradaptasi baik di lahan rawa lebak. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Kayuagung, Desa Sidakersa, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada lebak tengahan, dimulai pada musim kemarau (Maret-Oktober) 2011. Galur/varietas yang diteliti sebanyak 11 galur dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu : No Galur/varietas No Galur/varietas 1 Ciherang-sub-1 8 B 13135-1-MR-2-KA-1 2 PSBRC82-sub-1 9 B 13135-1-MR-2-KA-2 3 B 115867-MR-11-2-2 10 B 13138-7-MR-2-KA-1 4 B 10891 B-MR-3-KN-4-1-111 B 13138-7-MR-2-KA-2 MR-1 5 B 13132-8-MR-1-KA-1 12 Ciherang 6 B 13134-4-MR-1-KA-1 13 Inpara 3 7 B 13134-5-MR-1-KA-1 14 Inpara 5 Persemaian dilakukan pada kondisi tanah yang tidak tergenang air di pematang sawah pada bulan April 2011. Persemaian dilakukan dua kali pindah. Persemian pertama tanah dibersihkan dan digemburkan dengan cangkul. Benih direndam dalam air selama 24 jam. Benih disebar 50 g per m2, lalu ditutup dengan rumput/alang-alang. Untuk mencegah hama orong-orong diberikan Dharmafur sebanyak 10 gr/m2. Setelah berumur 21 hari, bibit dipindahkan kepersemaian ke-2 pada bulan Mai 2011 karena air belum juga surut. Bibit ditanam pada bulan Juni 2011 dengan umur bibit 30 hari setelah semai (HSS). Luas plot 4 m x 5 m. Persiapan lahan dimulai pada bulan Maret untuk rawa lebak tengahan. Persiapan tanah pertama kali dengan menebas/memancah gulma dengan menggunakan parang kemudian sisa tanaman dikumpulkan dibuat galengan di sekeliling petak sawah. Pengolahan tanah tidak dilakukan pada lahan rawa lebak tengahan, setelah pengolahan lahan selesai dilakukan penanaman. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit dari persemaian ke-2 umur bibit 30 HSS. Jarak tanam 25 cm x 25 cm dan jumlah bibit 2-3 bibit/rumpun. Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pada saat tanam (0 HST) 300 kg/ha ponska, 4 minggu setelah tanam (MST) 100 kg/ha urea dan 7 MST 100 kg/ha urea diberikan secara disebar. Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan apabila diperlukan sesuai keadaan di lapang. Penyulaman dilakukan seminggu setelah tanam, sedangkan penyiangan pertama dan kedua dilakukan masing-masing pada 30 hari dan 60 hari setelah tanam. Bila perlu dilakukan penyiangan ketiga, tergantung keadaan di lapangan. Panen dilakukan apabila padi sudah menguning lebih 80% matang pada waktu kadar air 20-25%. Tanaman padi dipanen dengan menggunakan sabit gergaji kemudian dirontokan, selanjutnya dijemur sampai kadar air 14%. 447 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Penentuan sampel dilakukan secara acak, masing-masing varietas sebanyak 10 tanaman. Data yang dikumpulkan meliputi : tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen (80% tanaman menguning), Jumlah gabah per malai, Jumlah gabah isi per malai, Bobot 1000 butir, Hasil gabah kering per plot. Hasil gabah diambil dengan membuat petak contoh bersih dengan memisahkan satu baris rumpun tanaman di sekeliling petak percobaan. Metoda yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Analisis data menggunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji duncan pada taraf 5%. HASIL Pada Tabel 1, secara statistik galur-galur yang diuji menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan Inpara 5 terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen. Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen dari galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011 No Galur/varietas 1 2 3 4 Ciherang-sub-1 PSBRC82-sub-1 B 115867 F-MR-11-2-2 B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1MR-1 B 13132-8-MR-1-KA-1 B 13134-4-MR-1-KA-1 B 13134-5-MR-1-KA-2 B 13135-1-MR-2-KA-1 B 13135-1-MR-2-KA-2 B 13138-7-MR-2-KA-1 B 13138-7-MR-2-KA-2 Ciherang Inpara 3 Inpara 5 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Tinggi tanaman (cm) 91,7 c 78,7 b 103,1 d 100,5 d Jumlah anakan produktif (btg) 13,4 a 15,2 b 14,5 b 16,0 bc Umur panen (80%)(HST) 92,3 b 93,0 b 98,3 c 101,3 d 85,1 79,5 81,5 98,2 93,3 87,2 93,3 84,6 89,2 76,9 16,1 c 13,8 b 13,5 ab 13,1 a 13,5 a 13,1 a 14,0 b 13,9 b 14,3 b 14,3 b 91,3 b 97,7 c 99,7 c 100,3 d 101,3 d 95,3 c 96,0 c 87,0 a 89.7 a 94,7 b b b b d c c c b c a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. Pada Tabel 2, secara statistik parameter yang diamati yaitu jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai dan bobot 1000 butir gabah dari galur yang diuji berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan Inpara 5 (Tabel 2). 448 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Rata-rata jumlah gabah/malai, persentase gabah isi/malai dan berat 1000 butir gabah dari galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011 No Galur/varietas 1 2 3 4 Ciherang-sub-1 PSBRC82-sub-1 B 115867 F-MR-11-2-2 B 10891 B-MR-3-KN-4-11-MR-1 B 13132-8-MR-1-KA-1 B 13134-4-MR-1-KA-1 B 13134-5-MR-1-KA-2 B 13135-1-MR-2-KA-1 B 13135-1-MR-2-KA-2 B 13138-7-MR-2-KA-1 B 13138-7-MR-2-KA-2 Ciherang Inpara 3 Inpara 5 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Jlh gabah/malai (btr) 90,3 c 70,1 b 88,1 c 92,9 c Persentase gabah isi/malai (btr) 66,9 a 78,6 b 81,1 c 81,6 c Bobot 1000 butir gabah (gr) 27,5 a 28,5 b 29,1 c 29,8 d 93,0 81,2 87.2 79,9 83,5 85,8 80,2 71,4 70,3 68,9 80,5 73,4 82,6 79,1 80,3 78,7 78,5 77,7 74,5 73,5 29,8 28,1 29,5 27,8 29,1 29,0 28,8 28,7 26,8 28,3 c b c b b b b b b a c b c b c b b b b b d b c b c c c c a b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. Secara statistik hasil gabah dari galur dan varietas yang diuji menunjukan perbedaan yang nyata (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata hasil gabah (ton gkg/ha) dari galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Galur/varietas Ciherang-sub-1 PSBRC82-sub-1 B 115867 F-MR-11-2-2 B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 B 13132-8-MR-1-KA-1 B 13134-4-MR-1-KA-1 B 13134-5-MR-1-KA-1 B 13135-1-MR-2-KA-1 B 13135-1-MR-2-KA-2 B 13138-7-MR-2-KA-1 B 13138-7-MR-2-KA-2 Ciherang Inpara 3 Inpara 5 Konversi hasil gabah kering per ha (ton gkg/ha) 2,25 a 3,0 c 3,0 c 3,25 c 3,0 c 2,9 b 3,3 c 3.1 c 2,8 b 2,25 a 2,8 b 2,7 b 2,35 b 2,3 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. 449 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 PEMBAHASAN Tinggi tanaman. Tinggi tanaman dari galur yang diuji dan varietas Inpara 3, Inpara 5, Ciherang bervariasi (Tabel 1). Galur B 115867 F-MR-11-2-2, B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1-MR-1 dan B 13135-1-MR-2-KA-1 memiliki tinggi tanaman tidak berbeda nyata dengan varietas Ciherang, Inpara 3 dan inpara 5 sebagai pembanding dengan rata-rata tinggi tanaman 103,1 cm, 100,5 cm dan 98,2 cm. Berdasarkan deskripsi Inpara 3 yang merupakan padi rawa tinggi tanamannya bisa mencapai 108 cm dan Inpara 5 lebih pendek dari inpara 3 hanya 92 cm (Balai Besar Penelitian Padi, 2011). Menurut IRRI (1996), kriteria tinggi tanaman tergolong rendah, sedang dan tinggi apabila tingginya masingmasing adalah < 110 cm, 110-130 cm dan > 130 cm. Galur-galur yang dikaji semuanya bisa ditanam di lahan rawa lebak karena tidak menunjukkan kerebahan, baik untuk ditanam di lebak dangkal dan tengahan dan galur tersebut termasuk tanaman yang rendah < 110 cm. Bervariasinya tinggi tanaman dari varietas yang dikaji disebabkan oleh faktor genetik dari masing-masing galur dan faktor lingkungan. Tinggi pendeknya tananam berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap kerebahan. Karakter tinggi tanaman merupakan salah satu karakter agronomi yang harus diperhatikan, karena jika tanaman terlalu tinggi maka tanaman akan mudah rebah. Tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah pada saat panen, karena rendahnya daya topang tanah. Tanaman padi yang mengalami kerebahan di lahan rawa lebak akan mengalami permasalahan apabila terlambat panen bulir padi akan tumbuh maka kualitas padi akan turun. Menurut Waluyo (2004) dalam Bakri et al. (2006), lahan rawa lebak mempunyai struktur tanah amorf dan terdapat lumpur yang dalam, akibatnya daya topang tanah rendah, tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah. Disisi lain jika tanaman terlalu pendek maka tanaman akan rentan terhadap rendaman yang sering terjadi di lahan rawa lebak. Galur-galur yang diuji tergolong mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk lahan lebak. Jumlah anakan produktif. Galur-galur yang diuji mempunyai anakan produktif rata-rata 13-16 batang/rumpun. Galur B 13132-8-MR-1-KA-1 dan B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 memiliki anakan produktif rata-rata 16 batang/rumpun lebih banyak dari varietas pembanding Ciherang, inpara 3 dan inpara 5. Berdasarkan deskripsi inpara 3 dan inpara 5 bisa mencapai 17-18 batang/rumpun. Menurut IRRI (1996), kriteria jumlah anakan produktif tergolong rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi masing-masing berjumlah 59, 10-19, 20-25 dan > 25 batang. Maka galur yang diuji tergolong sedang. Bervariasinya jumlah anakan produktif yang dimiliki oleh masing-masing galur dan varietas, akibat faktor genetik dan juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya, diantaranya pada saat pembentukan anakan produktif atau pengisian bulir kekurangan air karena curah hujan berkurang. Kendala ini merupakan salah satu kendala alami budidaya tanaman padi di lahan lebak. Menurut Lesmana et al. (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi produksi tanaman padi tinggi adalah kondisi anakan produktif yang banyak. Umur panen. Umur panen galur-galur yang diuji dan varietas pembanding tergolong genjah berkisar 87,0-101,3 HST (Tabel 1). Bervariasinya 450 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 umur panen dari 11 galur dan 3 varietas pembanding disebabkan adanya perbedaan dari masing-masing genetik dan juga faktor lingkungan. Menurut Utami (2009) dalam Purnamaningsih et al., (2010), perbedaan genotip yang ditunjukkan oleh karakter umur panen berhubungan erat dengan masa berbunga dari masing-masing galur, di mana semakin cepat umur berbunga maka semakin cepat tanaman dapat dipanen. Umur padi yang genjah sangat diharapkan oleh petani karena di lahan rawa lebak mempunyai masalah diantaranya banjir dan kekeringan yang mengakibatkan gagal panen. Jumlah gabah per malai. Galur Ciherang-sub-1, B 115867 F-Mr-11-22, B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1-Mr-1, B 13132-8-MR-1-KA-1 dan B 13134-5MR-1-KA-2 tidak berbeda nyata terhadap jumlah gabah per malai tetapi berbeda nyata dengan varietas pembanding.(Tabel 2). Jumlah gabah per malai merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan komponen hasil. Faktor lingkungan seperti kekeringan merupakan kendala alami di lahan rawa lebak di mana penanaman dilakukan pada musim kemarau. Sehingga sangat berpengaruh terhadap pengisian gabah. Persentase gabah isi/malai. Persentase gabah isi per malai dari galurgalur yang diuji tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan Inpara 5 yaitu galur B 115867 F-Mr-11-2-2, B 10891 B-Mr-3-KN4-1-1-Mr-1, B 13132-8-MR-1-KA-1, B 13134-5-MR-1-KA-2 dan B 13135-1MR-2-KA-2 berkisar 80,3%-82,6%. Tinggi rendahnya persentase gabah isi per malai disebabkan oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur/varietas terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama pada fase reproduktif dan pemasakan. Dikemukakan oleh Simanulang (2001) bahwa jumlah gabah isi per malai berhubungan nyata dengan hasil tanaman tetapi sangat dipengaruhi oleh gabah hampa. Berat 1000 butir gabah. Bobot 1000 butir gabah dari galur yang diuji berbeda nyata dengan varietas pembanding yaitu galur B 10891 B-MR-3-KN-41-1-MR-1 dan B 13132-8-MR-1-KA-1 rata-rata 29,8 gram, sedangkan Ciherang rata-rata 28,7 gram, Inpara 3 rata-rata 26,8 gram dan inpara 5 rata-rata 28,3 gram (Tabel 2). Komponen bobot 1000 butir gabah merupakan suatu komponen yang harus diperhatikan untuk memprediksi potensi hasil tanaman. Semakin tinggi bobot 1000 butir gabah menggambarkan semakin bernas gabah tersebut. Hasil gabah. Hasil gabah tertinggi dicapai oleh galur B 13134-5-MR-1KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3,25 ton gkg/ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR-11-2-2 (3,0 ton gkg/ha), B 13135-1-MR-2-KA-1 (3,1 ton gkg/ha), PSBRC82-sub-1 (3,0 ton gkg/ha) (Tabel 3). Galur-galur tersebut didukung oleh komponen hasil persentase gabah isi per malai rata-rata 81,1-82,6%, bobot 1000 butir gabah rata-rata 29,1-29,8 gram dan jumlah gabah per malai rata-rata 87,2-93,0 butir. Hasil yang dicapai oleh galurgalur/varietas yang diuji tergolong rendah. Rendahnya hasil gabah tersebut diakibatkan penggunaan bibit tergolong tua 30 HSS dimana persemaiannya dilakukan 2 kali karena air belum surut, selain itu pada saat pengisian bulir terjadi 451 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 kekurangan air karena curah hujan sedikit hanya 40,5 mm dengan satu hari hujan pada bulan Juli 2011 bahkan sampai bulan Agustus tidak ada curah hujan. (Gambar 1). 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 curah hujan hari hujan Nopember Desember Oktober September Agustus Juli Juni Mei April Maret Februari Januari (mm) Gambar 1. Grafik curah hujan di lokasi penelitian KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk daerah lebak dangkal dan tengahan, dan berumur genjah 2. Galur-galur yang terpilih yaitu galur B 13134-5-MR-1-KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3,25 ton gkg/ha), B 13132-8MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR-11-2-2 (3,0 ton gkg/ha) berbeda nyata dengan Ciherang, Inpara 3 dan Inpara 5. 3. Penampilan dari galur-galur dan varietas yang diuji terhadap pertumbuhan maupun hasil gabah sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dari masingmasing galur dan lingkungan dimana galur tersebut ditanam. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. Bakri dan R.H. Susanto. 2006. Keragaan produksi beberapa varietas padi hasil mutasi radiasi di daerah rawa lebak di Kecamatan Rambutan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Jurnal Tanaman Tropika 9 (1) : 24-29. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2011. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal. 452 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Internasional Rice Research Institute. Los philippines. Jonharnas, Novia, C, Syahrul, Z. 2009. Penampilan beberapa galur harapan padi sawah di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam : Bambang Suprihatno, Aan Andang Daradjat, Satoto, Baehaki, dan Sudir (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Litbang Pertanian Sukamandi. Hal :115-122. Lesmana, O.S, H.M. Toha, I.Las dan B. Suprihanto. 2004. Varietas unggul baru padi. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Purnamaningsih, L.S; Arifin,K dan Utami, M.D. 2010. Adaptasi enam genotip padi lokal pada lingkungan pemupukan organik dan anorganik. Prosiding Seminar Nasional Balai Besar penelitian Padi, Badan Litbang Pertanian. Sukamandi. Hal. 89-101. Simanulang, Z.A. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat agronomis dan mutu. Dalam Bambang Prayudi dkk (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil penelitian/pengkajian Spesifik lokasi. BPTP Jambi. Suparwoto dan Waluyo. 2011. Pertumbuhan dan daya hasil padi varietas INPARA 1, INPARA 2 dan Ciherang di lahan lebak tengahan Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Dalam : Bambang Suprihatno, Aan Andang Daradjat, Satoto, Baehaki, dan Sudir (Ed). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Buku 1. Badan Litbang Pertanian Sukamandi. Hal :161-168. 453 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Varietas Unggul Padi Tahan terhadap Penyakit Blas Mendukung Bio-Industri di Lahan Sub-Optimal Rice Varieties Resistant to Blast Disease Supports Bio-Industry in Sub-Optimal Land Dini Yuliani1*), Sudir1, dan Tumarlan Thamrin2 1 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan *)Penulis untuk korespondensi: Jl. Raya Sukamandi IX Ciasem Subang, HP. 081221480099 Email: [email protected] ABSTRACT Blast disease in rice was caused by fungus Pyricularia grisea. At the beginning, this disease was one of the major obstacles in sub-optimal land on upland rice cultivation and rice swamp. But lately had spread in irrigated land. P. grisea pathogen attack all phases of the growth of rice plants from seedlings to harvest. Based on the symptoms, Blast was differentiated into leaf blast and neck blast. In a conducive environment, leaf blast can cause the death of the rice plant. While blas neck can reduce rice yields due to rot and panicle neck fracture that plagued grain filling even empty. Pathogenic races of P. grisea had highly variations and was very dynamic so it was difficult to control blast disease. Rice varieties that have durable resistance and polygenic nature is one way to control pathogens blast which multiraces. Some rice varieties resistant to several pathogenic races of blast disease including Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, and Inpara 6. Other actions that need to be considered in the use of resistant varieties i.e. do not grow rice in widely monoculture and continuously. Rice plants at sub-optimal land must performed rotation varieties or rotation genes. The existence of several varieties with different of resistance in a rice planting area can reduce the selection pressure on the pathogen P. grisea that can delay the occurrence of a new blast races and fracture resistance of rice varieties. Key Words: Rice Varieties, Blast Disease, Sub-Optimal Land ABSTRAK Penyakit blas pada tanaman padi disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Pada awalnya, penyakit ini salah satu kendala utama di lahan sub optimal pada budidaya padi gogo dan padi rawa. Namun akhir-akhir ini sudah menyebar di lahan sawah irigasi. Patogen P. grisea menyerang semua fase pertumbuhan tanaman padi mulai dari persemaian hingga menjelang panen. Berdasarkan gejala, Blas dibedakan menjadi blas daun dan blas leher. Pada lingkungan kondusif, blas daun dapat menyebabkan kematian tanaman padi. Sedangkan blas leher dapat menurunkan hasil padi karena leher malai busuk dan patah sehingga pengisian gabah terganggu bahkan hampa. Penyakit blas sulit dikendalikan karena patogen 454 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 P. grisea memiliki banyak ras yang bersifat sangat dinamik. Perakitan varietas padi yang memiliki ketahanan durable dan bersifat poligenik merupakan salah satu cara menghadapi patogen blas yang bersifat multiraces. Beberapa varietas padi yang tahan terhadap beberapa ras patogen blas diantaranya Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara 6. Usaha lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan vareitas tahan yaitu tidak menanam padi secara monokultur dengan terus menerus. Tanaman padi di lahan sub optimal perlu dilakukan pergiliran varietas atau rotasi gen. Adanya beberapa varietas yang berbeda tingkat ketahanannya pada suatu areal pertanaman padi dapat mengurangi tekanan seleksi terhadap patogen P. grisea sehingga dapat memperlambat terjadinya ras blas yang baru dan patahnya ketahanan varietas padi. Kata kunci: Varietas Unggul, Penyakit Blas, Lahan Sub-Optimal PENDAHULUAN Penyakit blas merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Blas merupakan penyakit utama padi gogo dan menginfeksi tanaman padi pada semua fase pertumbuhan (Ou, 1979). Penyebaran penyakit blas sangat luas dan bersifat destrukif jika kondisi lingkungan menguntungkan (Scardaci et al., 1997). Daerah endemis blas tersebar di beberapa provinsi di Indonesia terutama di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Potensi penyakit blas yang besar ditemukan juga di lahan pasang surut seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Mukhlis, 1997). Hasil monitoring perkembangan penyakit blas yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah meluas dari padi gogo ke padi sawah, sehingga varietas IR64 telah terserang penyakit blas (Orbach et al., 2000). Serangan blas meluas ke areal sawah antara lain di Bali, Banyuwangi, Sukabumi, dan Sumatera Selatan (Amir 1995). Sudir et al. (2013), melaporkan bahwa penyakit blas ditemukan menyerang tanaman padi sawah irigasi di Kabupaten Subang, Karawang, dan Indramayu (Jawa Barat); Pemalang, Pekalongan, Batang, Demak, Jepara, dan Blora (Jawa Tengah); serta Lamongan, Jombang, Pasuruan, Mojokerto, Probolinggo, dan Lumajang (Jawa Timur). Penyakit ini dibedakan berdasarkan organ tanaman yang terserang, apabila terjadi infeksi pada daun menyebabkan blas daun dan apabila infeksi pada malai menyebabkan blas leher (Syam dan Hermanto, 1995). Blas leher dinilai lebih berbahaya karena dapat menyebabkan kehampaan gabah sebesar 90% (Amir dan Kardin, 1991). Tingkat kehilangan hasil akibat serangan penyakit blas di daerah endemik mencapai 11-50% (Baker et al., 1997; Scardaci et al., 1997). Di Indonesia, serangan penyakit blas pada tahun 2007 mencapai 1.285 juta ha atau 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia dan bahkan diramalkan serangan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang (Ditjen Tanaman Pangan, 2008). Ledakan penyakit blas pada tahun 2007 merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim yang terjadi. Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, 455 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit (Balitklimat, 2011). Perkembangan penyakit dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Fenomena banjir dan kekeringan, perubahan pola curah hujan yang berdampak terhadap pergeseran musim dan pola tanam, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat akan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan penyakit tanaman merupakan dampak dari perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan usaha pertanian. Untuk mengantisipasi terjadinya ledakan penyakit blas akibat pemanasan global antara lain dapat diupayakan dengan pengendalian penyakit secara terpadu, yaitu memadukan waktu tanam yang tepat dan pergiliran varietas unggul baru tahan penyakit blas. Tulisan ini membahas penggolongan varietas tahan penyakit blas berdasarkan agroekosistem dan manajemen pengelolaan ketahanannya terhadap penyakit blas. Selain itu, pemahaman mengenai epidemi penyakit blas berguna dalam pengendalian penyakit blas secara efektif dan efisien mendukung bio-industri pertanaman padi di lahan sub-optimal. PEMBAHASAN Epidemi Penyakit Blas. Cendawan P. grisea termasuk dalam kelompok scomycetes dan bersifat heterotalik (Zeigler, 1998). Jamur ini ditemukan di alam dalam bentuk aseksualnya saja sedangkan bentuk seksualnya, yaitu Magnaporthe grisea (Herbert) Barr, hanya dihasilkan dengan pengkulturan di laboratorium (Valent, 1990). Secara morfologi, jamur P. grisea mempunyai konidia berbentuk bulat, lonjong, tembus cahaya, dan bersekat dua (3 ruangan) (Ou, 1985). Konidia jamur P. grisea akan berkecambah pada kondisi optimum dengan cara membentuk buluh-buluh perkecambahan yang selanjutnya menjadi appresoria (Bourett dan Howard, 1990). Appresoria akan menembus kutikula daun dengan bantuan melanin yang ada pada dinding appresoria. Proses penetrasi appresoria pada kondisi optimum berlangsung 8–10 jam (Chumley dan Valent, 1990). P. grisea dapat menjadi patogen pada beberapa tanaman penting lainnya, seperti gandum, sorghum dan serealia lainnya (Kahmann dan Basse 1997), lebih dari 40 spesies gulma rumput-rumputan dan gulma lainnya (Ou, 1985). Cendawan P. grisea penyebab penyakit blas merusak hampir semua bagian tanaman padi yaitu daun, kolar daun, buku, leher malai, dan bulir padi (Chen, 1993). Gejala tanaman yang terserang blas relatif mudah dikenali secara kasat mata. Bentuk khas dari bercak blas adalah elips dan runcing pada kedua ujungnya. Bentuk dan warna bercak bergantung pada keadaan lingkungan, kepekaan varietas, dan umur bercak itu sendiri. Ukuran bercak sebesar 1-1,5 cm x 0,3-0,5 cm. Bercak bermula kecil berwarna hijau gelap, lalu menjadi abu-abu agak kebiruan. Pada varietas peka dan dalam keadaan lembap, bercak terus membesar. Bercak yang telah berkembang berwarna coklat pada bagian tepi dan bagian tengah berwarna putih keabuan (Ou 1979). P. oryzae juga dapat menyebabkan tangkai malai membusuk dan patah, penyakit ini biasa kita sebut busuk leher. Jika infeksi terjadi sebelum pengisian bulir dapat menyebabkan kehampaan bulir padi. Tidak hanya daun dan malai batang juga dapat terinfeksi sehingga batang padi membusuk dan rebah. 456 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Epidemik hanya berkembang apabila kombinasi dan perkembangan yang baik dari banyak faktor lingkungan seperti: kelembaban, suhu dan angin yang bertepatan dengan tingkat kerentanan tanaman dengan produksi, penyebaran, inokulasi, penetrasi, infeksi dan reproduksi patogen (Agrios, 1996). Menurut Ou (1979), penyebaran spora blas dapat terjadi oleh angin atau melalui benih dan jerami tanaman sakit. Cendawan P. grisea mampu bertahan dalam sisa gabah dan jerami tanaman sakit. Pada daerah tropik, sumber inokulum selalu ada sepanjang tahun, karena adanya spora di udara dan tanaman inang selain padi (Santoso dan Nasution, 2009). Pada umumnya kombinasi suhu air rendah (17 °C) dan suhu udara sedang (32 °C) menyebabkan infeksi blas meningkat (Tasugi dan Yoshida, 1959). Varietas dari daerah sub-tropis lebih rentan pada suhu rendah daripada varietas dari daerah tropis (Hashioka, 1944). Kelembapan udara dan kelembapan tanah mempengaruhi patogenisitas dan pertumbuhan cendawan. Pada lahan kering, serangan penyakit blas lebih berat daripada lahan sawah. Namun tergantung pada varietas padi yang digunakan oleh petani. Kelembaban udara memengaruhi perkembangan bercak. Peran kelembapan udara, baik iklim makro maupun mikro, dan pembentukan embun sangat menentukan perkembangan penyakit blas (Ou, 1985). Di pesemaian, misalnya, infeksi di bagian tengah lebih berat di bagian pinggir. Naungan juga berpengaruh pada perkembangan bercak. Pesemaian dalam rumah kaca akan lebih rentan apabila terdapat naungan sehingga sedikit teduh. Ras cendawan P. grisea dapat berubah dan mudah terbentuk ras baru dengan cepat apabila populasi tanaman atau sifat ketahanan tanaman berubah (Ou, 1985). Mutasi, seleksi, aliran gen di antara populasi dan rekombinasi genetik merupakan faktor utama yang menentukan struktur genetik dan dinamika populasi patogen P. grisea (Zeigler, 1998). Patogen P. grisea mempunyai siklus ganda (polisiklik) dengan kemampuan membentuk ras baru dalam waktu singkat. Varietas yang dinyatakan tahan harus mampu menghadapi banyak ras. Ketahanan tanaman padi terhadap penyakit blas dipengaruhi oleh adanya gen ketahanan pada tanaman inang, patogenisitas cendawan P. grisea dan faktor lingkungan (Ou, 1985). Ketahanan ini dapat dikendalikan oleh satu, beberapa dan banyak gen. satu gen dapat mengendalikan ketahanan terhadap ras tertentu, beberapa gen dapat mengendalikan beberapa ras dan banyak gen mengendalikan banyak ras (Takahashi, 1963). VARIETAS TAHAN PENYAKIT BLAS Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan seperti teknik budidaya, pengolahan tanah, dan pestisida sintetik. Namun hasilnya belum memuaskan, karena pemakaian pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang kurang bijaksana mengakibatkan rusaknya lingkungan serta keseimbangan ekosistem terganggu misalnya, musuh alami dan agen antagonis dari patogen menjadi mati sehingga hama dan penyakit tanaman berkembang dengan cepat di pertanaman padi. Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu komponen utama dalam pengendalian penyakit blas secara terpadu, karena cara ini merupakan yang paling murah, mudah, dan efektif dilakukan oleh petani. Ketahanan suatu varietas terhadap penyakit merupakan sifat genetik yang dapat diwariskan. Perbedaan 457 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 ketahanan adakalanya karena sifat morfologis tanaman yang menentukan kuat tidaknya jaringan tanaman yaitu jumlah kutikula yang menutupi sel-esel epidermis, susunan dinding epidermis, ukuran, lokasi dan bentuk stomata serta lenti sel (Agrios, 1996). Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) sebagai instansi pemerintah memiliki tupoksi khusus meneliti tanaman padi telah melepas varietas unggul tahan penyakit blas berdasarkan agroekosistem lahan kering dan lahan rawa, yaitu padi gogo dan padi rawa (Tabel 1 dan 2). Baik padi gogo maupun padi rawa memiliki keunggulan spesifik berupa umur tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, bobot 1000 butir, potensi hasil, tekstur nasi, dan ketahanan varietas terhadap penyakit blas. Petani dapat memilih varietas sesuai preferensi berdasarkan keunggulannya tersebut. Varietas unggul tahan penyakit blas diharapkan dapat menekan kehilangan hasil akibat serangan patogen P. grisea di lapangan. Tabel 1. Deskripsi varietas unggul tahan penyakit blas untuk agroekosistem lahan kering (padi gogo) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Nama Varietas Gajah Mungkur Jatiluhur Cirata Towuti Limboto Danau Gaung Batutugi Situ Patenggang Situ Bagendit Inpago 4 Inpago 5 Umur Tanaman (Hari) 90-95 110-115 115-125 105-115 115-125 110-116 116 110-120 110-120 124 118 12 Inpago 6 113 13 Inpago 7 111 14 Inpago 8 119 15 Inpago 9 109 Sumber: Suprihatno et al. 2011 Tinggi Tanaman (cm) 95-100 95-100 100-110 95-100 110-132 130-140 124 100-110 99-105 134 132 117 107 122 115 Anakan Produktif 6-8 13-15 10-13 13-15 12-18 14-18 sedikit 10-13 12-13 11 14 11 - Tekstur Nasi Pulen Pera Pulen Pulen Sedang Sedang Pulen Sedang Pulen Pulen Sangat Pulen Sedang Pulen Pulen Sedang Bobot 1000 Butir (gr) 36 27 28,5 26 28 27 25 26,5-27,5 27-28 25 26 Potensi Hasil (ton/ha) 2,5 3,5 6,5 7 6 5,5 6 6 6 6,1 6,2 25 - 5,8 7,4 8,1 8,4 Ketahanan terhadap Blas Agak Tahan Tahan Agak Tahan Agak Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan Agak Tahan Tahan Tahan Tahan Agak Tahan Tahan Agak Tahan Tabel 2. Deskripsi varietas unggul tahan penyakit blas untuk agroekosistem lahan rawa (padi rawa) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Nama Varietas Banyuasin Batanghari Dendang Indragiri Punggur Martapura Margasari Siak Raya Air Tenggulang Lambur Mendawak Umur Tanaman (Hari) 118-122 122-128 123-127 117 117 120-125 120-125 115-124 123-127 115 115 Tinggi Tanaman (cm) 98-105 105-112 90-100 100 100 120-130 120-130 118-122 118-122 100 89 Anakan Produktif 10-15 10-15 15-20 15-20 15-20 10-19 10-19 15-20 15-20 14 13 Tekstur Nasi Pulen Pera Pulen Sedang Sedang Pera Pera Pera Pera Pulen Pulen Bobot 1000 Butir (gr) 26 24 24 24-25 27 21 21 26 27 28 27 Potensi Hasil (ton/ha) 6 6,5 5 6 5,5 5 4,5 6 6 5 5 458 Ketahanan terhadap Blas Tahan Tahan Agak Tahan Tahan Tahan Agak Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan Agak Tahan Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Umur Tanaman (Hari) 12 Inpara 1 131 13 Inpara 2 128 14 Inpara 3 127 17 Inpara 6 117 18 Inpara 7 114 Sumber: Suprihatno et al. 2011 No. Nama Varietas Tinggi Tanaman (cm) 111 103 108 99 88 Anakan Produktif 18 16 17 13 - Tekstur Nasi Pera Pulen Pera Sedang Pulen Bobot 1000 Butir (gr) 23,25 25,66 25,7 26 - Potensi Hasil (ton/ha) 6,47 6,08 5,6 6 5,1 Selain varietas unggul tahan penyakit blas yang telah dilepas oleh BB Padi, terdapat galur-galur padi yang dirakit berasal dari koleksi plasma nutfah terdiri atas varietas lokal, varietas unggul, dan padi liar yang telah diuji ketahanannya terhadap penyakit blas. Adanya keragaman genetik yang luas di dalam plasma nutfah memberikan peluang yang besar untuk perbaikan genotipe tanaman (Sumarno, 2002). Varietas lokal yang tahan lima ras dominan (033, 041, 073, 133, dan 173) yaitu varietas Sibau dan P. Pulut Longbanga (Nasution et al. 2011). Respon beragam dari 465 galur padi hasil pemuliaan terhadap lima ras P. grisea. Sebagian besar galur menunjukkan reaksi tahan terhadap satu dan dua ras blas masing-masing sebanyak 32,04 dan 30,32% (Santoso dan Nasution, 2011). Spesies padi liar merupakan sumber daya genetik yang cukup penting untuk program perakitan varietas unggul tahan hama, penyakit, dan toleran cekaman abiotik. Sumber keragaman genetik lainnya dapat diperoleh dari spesies padi liar. Spesies padi liar merupakan kerabat jauh dari padi budidaya (Oryza sativa). Spesies padi liar Oryza officinalis bereaksi tahan terhadap blas, sedangkan Oryza rutifogon, Oryza punctata, Oryza alta bereaksi agak tahan terhadap blas (Nasution et al. 2012). Untuk menekan serangan penyakit blas, disarankan untuk melakukan pengendalian secara terpadu, antara lain menanam varietas tahan sesuai cekaman lingkungan setempat, menggunakan pupuk urea sesuai dosis rekomendasi, melakukan pola pergiliran varietas sehingga siklus hidup cendawan P. grisea dapat terputus, menanam padi secara serempak, melakukan sanitasi lingkungan secara intensif, dan khusus pada daerah endemis blas dapat dilakukan penyemprotan fungisida sistemik (Santika dan Sunaryo, 2008). PENGELOLAAN KETAHANAN VARIETAS Pergiliran Varietas. Ketahanan varietas padi terhadap penyakit blas umumnya mudah patah. Hal ini disebabkan varietas unggul yang dilepas menjadi patah ketahanannya setelah beberapa musim tanam. Penggunaan varietas tersebut harus disesuaikan dengan sebaran blas yang dominan di suatu daerah. Apabila tanaman padi ditanam berturut-turut sepanjang tahun maka harus dilakukan pergiliran varietas atau rotasi gen. Kondisi pertanaman padi gogo dan padi rawa secara umum masih terlihat sangat tradisional, masih menggunakan varietas lokal yang tidak seragam sehingga dalam suatu areal pertanaman dapat dijumpai beberapa macam varietas. Meskipun hasilnya rendah, pertanaman padi seperti ini tidak pernah terserang berat oleh penyakit blas karena mempunyai ketahanan blas yang stabil. Faktor 459 Ketahanan terhadap Blas Tahan Tahan Tahan Tahan Agak Tahan Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 utama yang diduga sebagai pendukung stabilitas ketahanan terhadap penyakit blas pada pertanaman padi tradisional adalah keragaman genetik dari varietas tersebut. Seleksi individu yang diikuti dengan pembentukan galur dari varietas lokal maupun antar galur di dalam varietas, dengan demikian varietas lokal tersebut berupa campuran. Penggunaan varietas campuran dilaporkan menghambat perubahan virulensi patogen yang berakibat meningkatkan stabilitas hasil (Santoso dan Nasution, 2011). Penanaman varietas campuran membuat kondisi lingkungan menjadi tidak homogen atau adanya keragaman pada populasi inang (Garret and Mundt, 1999). Penanaman bermacam-macam varietas yang memiliki ketahanan terhadap penyakit blas berbeda pada suatu hamparan diharapkan dapat diperoleh ketahanan tanaman padi yang stabil. Namun untuk menerapkan paket teknologi berupa penggunaan varietas unggul baru tahan penyakit blas disertai pergiliran varietas bukan suatu hal yang mudah dilakukan karena petani tidak akan menggunakan varietas baru sebelum mereka yakin akan keunggulannya. Oleh karena itu, perlu digiatkan penyuluhan, demonstrasi varietas, atau promosi lain agar informasi varietas unggul baru tahan penyakit blas dapat segera diadopsi oleh petani. Identifikasi Kesesuaian varietas di Daerah Endemis Blas. Cendawan P. grisea mudah membentuk ras baru. Hal ini menyebabkan penggunaan varietas tahan sangat dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya varietas yang semula tahan akan menjadi rentan setelah ditanam beberapa musim tanam. Varietas yang tahan di suatu tempat mungkin rentan di tempat lain (Amir dan Nasution, 1993). Tingkat mutasi pada cendawan blas yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya segregasi dan rekombinasi antar ras blas (Kiyosawa, 1976). Pemantauan populasi ras blas sejak tahun 1970 sampai sekarang masih menggunakan cara konvensional yaitu dengan menggunakan satu set varietas differensial yang masing-masing varietas mampu membedakan patogenisitas isolat yang akan dideteksi. Semula Indonesia menggunakan varietas diferensial Internasional dan Jepang untuk penetapan ras P. grisea dan untuk studi perbandingan dengan negara lain. Varietas differensial ini kurang sesuai untuk wilayah Indonesia karena sebagian besar merupakan varietas Japonika sehingga sulit dalam perbanyakan benihnya. Tujuh varietas differensial asal Indonesia yang digunakan untuk keperluan identifikasi ras blas yaitu: Asahan, Cisokan, IR64, Krueng Aceh, Cisadane, Cisanggarung, dan Kencana Bali (Mogi et al. 1991). Perbedaan reaksi suatu varietas terhadap blas disebabkan oleh adanya perbedaan dan perubahan ras antar lokasi dan adanya perubahan komposisi ras yang dominan di suatu wilayah sebaran. Hingga saat ini telah terdeteksi 64 ras blas, beberapa diantaranya terdapat di Sitiung (Sumatera Barat). Ras baru ini terutama ditemukan di Karang Agung (Sumatera Selatan) dan Jawa Barat. Rasras blas tersebut dapat menyerang varietas Lematang, Kapuas, Krueng Aceh, IR64, Cisokan dan Cisadane. Di Sitiung, ras-ras blas dapat menyerang padi gogo varietas Sentani, Tondano, Maninjau, Ranau, Arias, Bicol, dan C-22. Sedangkan varietas Semariti dan Sirendah masih mampu bertahan (Nasution et al. 1992). Hasil monitoring terhadap perkembangan populasi patogen blas yang dilakukan di Lampung dari tahun 2000 hingga 2004 menunjukkan bahwa di wilayah tersebut setiap musim tanam dapat diidentifikasi 13-17 ras yang berbeda dengan proporsi yang beragam. Selama lima tahun monitoring tersebut diperoleh 460 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 total 26 ras yang berbeda di antaranya terdapat 7 ras yang selalu muncul di setiap tahun yaitu ras 001, 023, 033, 073, 101, 133, dan 173. Hasil monitoring 2007 hingga 2008 dari beberapa lokasi di Indonesia seperti Sumatera (Kayu Agung, Lampung), Kalimantan Tengah (Dadahup), Bali (Tabanan) dan Jawa Barat (Kuningan) terindentifikasi sebanyak 18 ras seperti ras 001, 021, 040, 041, 051, 061, 071, 073, 100, 101, 121, 201, 203, 241, 301, 333, 341, dan 343 (Santoso dan Nasution, 2009). Sampel daun sakit di Propinsi D.I. Yogyakarta menunjukkan bahwa penyakit blas yang berkembang adalah ras 033, 133, dan 173. Di Propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi telah diketahui sebagai daerah endemik penyakit blas. Data monitoring menunjukkan bahwa tingkat keragaman populasi patogen blas di Sukabumi cukup tinggi. Beberapa ras yang ditemukan di Kab. Sukabumi yaitu Ras 001, 123, 133, 173, dan 243 (Santoso et al. 2007). Populasi P. grisea sangat beragam dan terdiri dari individu-individu ras yang mempunyai sifat virulensi yang berbeda (Zeigler et al. 1994). Dominasi ras P. grisea di suatu wilayah dengan wilayah lain yang berbeda memungkinkan varietas padi di suatu wilayah tahan tetapi rentan di wilayah lain. Informasi sebaran ras P. grisea sangat diperlukan untuk memprediksi kesesuaian varietas yang akan dilepas (spesifik lokasi). Hal ini sangat penting untuk regionalisasi varietas sesuai dengan sebaran ras P. grisea di wilayah tersebut. Dengan diketahuinya sebaran ras P. grisea yang dominan di suatu wilayah endemik blas maka pengendalian penyakit blas akan lebih efektif dengan menggunakan varietas tahan yang disesuaikan dengan ras P. grisea di wilayah tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan varietas tahan memiliki kontribusi yang besar terhadap penekanan dan penyebaran dan pengendalian penyakit blas. Terdapat beberapa pilihan varietas unggul baru tahan penyakit blas sesuai agroekosistem lahan kering yaitu Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, dan Inpago 9, sedangkan untuk agroekosistem lahan rawa tersedia varietas Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 6, dan Inpara 7. Untuk mengatasi ledakan penyakit blas sebagai dampak perubahan iklim seiring dengan perubahan ras blas perlu terus dirakit varietas tahan dengan keragaman sumber gen yang luas dan sesuai dengan preferensi konsumen. Rekomendasi penanaman varietas dilakukan berdasarkan ras blas dominan di daerah endemis masing-masing sehingga ketahanan varietas dapat bertahan lama. Agar rekomendasi dapat diterapkan perlu dikembangkan sistem penyediaan logistik benih yang dapat merespon permintaan petani untuk varietas yang direkomendasikan. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1996. Ilmu penyakit tumbuhan. Edisi Ketiga. Busnia, M., dan T. Martoredjo (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Amir, M., dan M.K. Kardin. 1991. Pengendalian penyakit jamur. Dalam Padi Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p. 825-844. 461 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Amir, M. dan A. Nasution. 1993. Status dan pengendalian blas di Indonesia. Risalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, 23-25 Agustus 1993. hlm. 583601. Amir, M. 1995. Petunjuk teknis pengendalian penyakit blas (Pyricularia grisea) pada padi gogo di Indonesia. Pelatihan Teknis PGUVB bagi Kepala UPP-BLN dan Asisten PTP pada Proyek-proyek Direktorat Jenderal Perkebunan, Cipayung, Bogor, 23-24 Maret 1995. 14 hlm. Baker, B., P. Zambryski, B. Staskawicz, and S.P. Dinesh Kumar. 1997. Signaling in plant microbe interactions. J. Science 276:726-733. Balitklimat. 2011. Dampak perubahan iklim terhadap serangan organism pengganggu tanaman. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/idex2.php?.&do_pdf=1&id=168 diakses tanggal 25 Mei 2011 pukul 14:11 WIB. Bourett, T.M. and R.J. Howard. 1990. In vitro development of penetration structure in the rice blast fungus Magnaporthe grisea. Can. J. Bot. 68: 329–342. Chen, D. 1993. Population structure of Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. In two screening site and quantitative characterization of major and minor resistance genes. A thesis doctor of philosophy. University of the Philippines at Los Banos. p.161. Chumley, F.G., and B. Valent. 1990. Genetic analysis of melanin deficient, non pathogenic mutants of Magnaporthe grisea. Mol. Plant-Microbe Interact. 3:135–143. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2008. Pengalaman dari 2007 dan mensukseskan MT 2007/2008. http://ditjentan.deptan.go.id/index.php. option. Diakses tanggal 25 Agustus 2014 pukul 8:12 WIB. Garret, K.A., and C.C. Mundt. 1999. Epidemiology in mixed host population. Phytopathology 89: 984-990. Hashioka, Y. 1944. Studies on the rice blast disease in the tropics. VIII: Relation of Suhue to Leaf Blast Resistance of the Different Varieties of Rice Plant Collected from District in Various Latitudes. J. Soc. Trop. Agric. 16: 196– 204 (Jap. Engl. Summ.). Kahmann, R. and C. Basse. 1997. Signaling and development in pathogenic funginew strategies for plant protection. Trends in Plant Sci. 2: 366–367. Kiyosawa, S. 1976. Pathogenic variation of Pyricularia oryzae and their use in genetic and breeding studies. Sabrao J. 8: 53–67. Mogi, S., Z. Sugandhi, S.W. Baskoro, R. Edwinia, dan I. Cahyadi. 1991. Establishment of the differential variety series for pathogenic race identification of rice blast fungus and the distribution of race based on the new differential Indonesia. Karawang. Jatisari. Indonesia: Rice Disease Study Group. Mukhlis. 1997. Ketahanan beberapa varietas dan galur padi terhadap blas leher di lahan pasang surut. Prosiding Kongres XIV dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Volume II. Palembang, 27-19 Oktober 1997. p. 236-239. Nasution, A., Santoso, dan I. Hanarida. 2011. Sumbangan varietas lokal sebagai sumber ketahanan terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Prosiding 462 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p. 547-556. Nasution, A., E. Lubis, dan Sudir. 2012. Pemetaan ras blas (Pyricularia grisea) yang menyerang padi sawah di Jawa Barat. Laporan Akhir Tahun ROPP 2012. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. Nasution, A., Santoso, dan S. Silitonga. 2012. Pengujian ketahanan 74 spesies padi liar terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p. 275-283. Orbach, M.J., L. Farrall, J.A. Sweigard, F.G. Chumley, and Valent. 2000. A telomeric avirulence gene determines efficacy for the rice blast resistance gene Pita. Plant Cell 12:2019-2032. Ou, S.H. 1979. A Handbook of rice diseases in the tropics. 3rd ed. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p. 17-25. Ou, S.H. 1985. Rice disease. 2nd ed. Commonwealth Mycological Institute Kew, Surrey. England. 380p. Santika, A., dan Sunaryo. 2008. Teknik pengujian galur padi gogo terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Buletin Teknik Pertanian 13 (1): 5-8. Santoso, A. Nasution, D.W. Utami, I. Hanarida, A.D. Ambarwati, S. Moeljopawiro, dan D. Tharreau. 2007. Variasi genetik dan spektrum virulensi patogen blas pada padi asal Jawa Barat dan Sumatera. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(3):150-155. Santoso, dan A. Nasution. 2011. Seleksi galur-galur hasil pemuliaan untuk ketahanan blas berbeda. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p. 557-563. Santoso, dan A. Nasution. 2009. Pengendalian penyakit blas dan penyakit cendawan lainnya. Dalam Inovasi Teknologi Produksi Padi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p: 531-563. Scardaci, S.C., R.K. Webster, C.A. Greer, J.E. Hill, J.F. William, D.M. Mutters, R.G. Brandon, K.S. McKenzie, and J.J. Oster. 1997. Rice blast: A new disease in California. J. Agr. Fact. Sheet Ser. 1:2-5. Sudir, D. Yuliani, A. Nasution, B. Nuryanto. 2013. Pemantauan penyakit utama padi sebagai dasar skrining ketahanan varietas dan rekomendasi pengendalian di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2013. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 33p. Sumarno. 2002. Menuju sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman nasional secara adil dan bermanfaat. Prosiding Konggres IV dan Simposium Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. PERIPI. Komisariat Daerah Istimewa Yogyakarta dan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E. Lubis, S.E. Baehaki, Sudir, S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi varietas 463 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. Syam, M. dan Hermanto. 1995. Teknologi produksi padi mendukung swasembada beras. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 62 hlm. Takahashi, Y. 1963. Genetic of resistance to the rice blast disease. In Proceeding of symposium of IRRI. July 1963. The Jhon Hopkins Press. Baltimore, Maryland. p: 303-329. Tasugi, H. and L. Yoshida. 1959. Relation between rice blast resistance and suhue environment. Ann. Phytopath. Soc. Japan. Valent, B. 1990. APS planary session lecture: Rice blast as a model system for plant pathology. Phytopathology 80: 33–36. Zeigler, RS, J. Tohme, R. Nelson, M. Levy and FJ Correa-Victoria. 1994. Lineage exclusion : A proposal for linking blast population analysis to resistance breeding. Rice Blast Disease. CAB International IRRI 267292. Zeigler, R.S. 1998. Recombination in Magnaporthe grisea. Annu. Rev. Phytopathology 36: 249–275. 464 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Kelimpahan Artropoda Predator di Tajuk Tanaman Padi yang di Aplikasikan Bioinsektisida Cair di Rawa Lebak The Abundance Of Predatory Arthropods In Applied Aqueous Bioinsecticide Paddy Canopy At fresh swamp Khodijah1,2) 1) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Palembang, Jl. Darmapala No. I A, Bukit Besar, Palembang 30139 2)Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya Corresponding author: Telp. +081271349520 +62711357270 [email protected] : [email protected] ABSTRACT The negative impact from the usage of synthetic insecticide has an alternative way to be overcame, that is by using the bioinsecticide. The research was conducted in the central of paddy rice crops in the Pelabuhan Dalam village of Pemulutan subdistrict in Ogan Ilir regency of South Sumatera. Insect identification was done at the Laboratory of Entomology Department of Plant Pests and Diseases, Faculty of Agriculture, Sriwijaya University, in Indralaya. The study took place from May 2012 to August 2012. This research aims to determine the effect of liquid formulated biopesticide application against arthropod Predatory in the rice plant canopy fresh swamp area of South Sumatra. Observations of insect Predatory in rice plant canopy were using nets. The results showed that the type of Arthropods found both types of insects and spiders which are consist of spiders group such as Lycosidae, Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae and insect group such as Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae, Tettigonidae, and Gryllidae. Application of entomopathogenic with fungal active ingredients bioinsecticide affect the relative abundance in the rice plant canopy ranging from age 10 hst to 80 hst. Relative abundance of centipede found in the age group 10-40 hst from spiders with Tetragnathidae family by 42.74% at 30 hst and the insect group of Coenagrionidae 25.89% at the age of 10 hst. At the age of 50-80 hst the highest relative abundance of the highest class of the spider with Tetragnathidae family by 38.26% and the class of insect families of Coenagrionidae by 13:48%. Keywords: bioinsecticide, arthropods predatory, fresh swamp ABSTRAK Dampak negatif penggunaan insektisida sintetik yang ditimbulkan salah satu alternatif untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan bioinsektisida. Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman padi sawah lebak Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. 465 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, di Indralaya. Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Agustus 2012. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh aplikasi bioinsektisida formulasi cair terhadap artropoda predator di tajuk tanaman padi daerah rawa lebak Sumatera Selatan. Pengamatan serangga predator di tajuk tanaman padi menggunakan jaring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan jenis artropoda predator baik jenis serangga dan laba-laba yaitu golongan laba-laba Lycosidae, Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae dan golongan serangga Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae, Tettigonidae, dan Gryllidae. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur 10 hst sampai 80 hst. Kelimpahan relatif tetinggi ditemukan pada umur 10-40 hst dari golongan laba-laba dari famili Tetragnathidae sebesar 42,74% pada umur 30 hst dan pada golongan serangga Coenagrionidae 25.89% pada umur 10 hst. Pada umur 50-80 hst kelimpahan relatif tertinggi tertinggi dari golongan laba-laba famili Tetragnathidae sebesar 38.26% dan golongan serangga famili Coenagrionidae 13.48%. Kata kunci: Bioinsektisida, artropoda predator, rawa lebak PENDAHULUAN Luas rawa di Indonesia mencapai 34,4 juta ha yang terdiri dari 20,2 juta ha rawa pasang surut dan 13,3 juta ha rawa lebak (Nugroho et al. 1996). Salah satu sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas pertanian adalah lahan rawa yang luasnya mencapai 33,40−39,40 juta ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Menurut Subagjo & Widjaja (1998), lahan rawa di Indonesia terdiri dari lahan rawa pasang surut yang diperkirakan luasnya mencapai 23,10 juta ha dan lahan rawa lebak (non pasang surut) dengan luas mencapai 13,30 juta ha. Budidaya tanaman padi merupakan hal yang paling pokok dalam pengembangan produksi tanaman pangan. Padi merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia, kebutuhan pangan padi sampai saat ini masih sangat tinggi (Triwidiyati 2008). Berbagai kendala terjadi dipertanaman padi yang mengakibatkan produksi padi menurun diantaranya hama dan penyakit tumbuhan penyakit (Effendy et al. 2008; Widiarta et al. 2004; Syam et al. 2007; Bahagiawati, 2001). Pengendalian hama pada tanaman padi, umumnya masih sangat tergantung pada pestisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetik yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif, berupa pencemaran lingkungan, resistensi hama sasaran dan terjadinya resurgensi. Penggunaan agens hayati berupa jamur entomopatogen (Herlinda et al. 2008), merupakan suatu upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik. Diharapkan jamur entomopatogen tersebut dapat menjadi solusi menekan populasi hama yang bersumber dari potensi sumber daya hayati lokal yang diperkirakan 466 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 keberadaannya berlimpah di Indonesia. Asikin et al. (2008), melaporkan bahwa di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah ada 62 spesies serangga musuh alami (parasitoid dan predator). Musuh alami tersebut ditemukan di pertanaman padi dan tumbuhan liar lahan pasang surut. Musuh alami itu tergolong ke dalam dari ordo Arachnida, Odonata, Orthoptera, Coleptera, Diptera Dermaptera dan Hymenoptera. Musuh alami penghuni tajuk padi dapat dikelompokkan sebagai parasitoid maupun predator. Namun, predator lebih dominan dibanding dengan parasitoid (Herlinda et al. 2004). Di persawahan di wilayah Cianjur, Jawa Barat ditemukan predator penghuni tajuk dari kelompok laba-laba pemburu dan labalaba pembuat jaring, kumbang famili Staphylinidae dan kepik famili Reduviidae. Predator tersebut umumnya merupakan musuh alami wereng dan penggerek batang padi (Settle et al. 1996: Santiago et al. 2001; Prayogo et al. 2005). Jamur entomopatogenik Beauveria bassiana (Bals.) Vuill telah terbukti cukup efektif membunuh serangga hama dari ordo Lepidoptera (Herlinda et al. 2006b;Prayogo et al. 2005; Suharto et al. 1998; Soetopo. 2004), Coleoptera (Wraight & Ramos 2002), Hemiptera (Herlinda et al. 2006a), dan Homoptera (Wraight et al. 1998; Baehaki & Noviyanti 1993; Prayogo & Tengkano 2002), dan Coleoptera (Murad et al. 2006). Kedua spesies jamur entomopatogen tersebut sampai saat ini belum dilaporkan resisten terhadap serangga hama. Dalam proses pembuatan bioinsektisida cair berbasis jamur entomopatogen, perlu dikaji faktor yang mempengaruhi virulensi jamurnya melalui pengamatan tersebut akan didapat produk yang efektif dalam membunuh serangga hama. Pembuatan bioinsektisida formulasi cair, berbasis jamur entomopatogen dengan bahan pembawa Ekstraks Kompos Kulit Udang (EKKU) dan berbagai jenis kompos, diduga dapat mempengaruhi keefektipan bioinsektisida. Selain itu aplikasi bioinsektisida cair berpengaruh terhadap kelimpahan relatif atropoda predator (Serangga dan laba-laba) yang aktif di tajuk tanaman. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman padi sawah rawa lebak di Desa Pelabuhan Dalam, Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan ilir, Sumatera Selatan. Identifikasi artropoda predator dilakukan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, di Indralaya. Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Agustus 2012. Penelitian ini menggunakan varietas padi Mikonga. Pertanaman padi yang dijadikan lokasi penelitian luasnya 1 ha. Untuk keperluan penelitian tersebut dibuatlah bioinsektisida dengan formulasi cair. Pembuatan formulasi bioinsektisida cair mengikuti metode Herlinda et al. (2008). Pada saat penelitian berlangsung suhu lahan dipertanaman padi berkisar antara 26-27oC dan kelembaban nisbi udara berkisar 69-85%. Aplikasi bioinsektisida cair diberikan dengan dosis 4 L per ha setiap aplikasi. Aplikasi bioinsektisida cair dilakukan dengan cara menyemprotkan di tajuk tanaman padi dengan menggunakan alat knapsack spayer (bervolume 15 L). Aplikasi mikoinsektisida cair diaplikasikan 8 kali. Aplikasi pertama dilakukan pada saat tanaman padi berumur 10 hst (hari 467 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 setelah tanam). Dua hari setelah aplikasi dilakukan pengamatan terhadap keanekaragaman spesies dan kelimpahan artropoda predator. Pengamatan Artropoda Predator di Tajuk Tanaman Padi. Artropoda predator yang diamati di tajuk tanaman padi dikoleksi menggunakan jaring serangga. Jaring diayunkan 20 kali pada tanaman padi 10 ayunan kekiri dan 10 ayunan kekanan secara kontinyu. Setiap 1 ha petak sawah dijaring sebanyak 80 ayunan. artropoda predator yang terjaring diambil dan dimasukkan dalam plastik berisi formalin 4%. Selanjutnya, laba-laba predator yang terperangkap dipindahkan ke dalam botol vial berisi alkohol 70% untuk disimpan di laboratorium. Artropoda predator di identifikasi didasarkan pada ciri morfologinya. Identifikasi artropoda predator dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Kelimpahan Relatif Artropoda Predator Tajuk Tanaman Padi. Artopoda predator di tajuk tanaman akan diamati sesuai metode Herlinda & Effendy (2003). Pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair akan dibandingkan umur 10 hari setelah tanam (hst) sampai umur 80 hari setelah tanam (hst) akan dibandingkan kelimpahannya dengan kelompok artropoda predator pada lahan insektisida sintetik. Kelimpahan relatif artropoda predator yang didapat kemudian didentifikasi artropoda predator dan dikelompokkan menurut jenisnya lalu dihitung jumlahnya. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya dengan menggunakan Kalshoven (1981), Barrion & Litsinger (1999). Data jumlah spesies dan jumlah individu masingmasing spesies digunakan untuk menentukan nilai kelimpahan relatif artropoda predator di tajuk tanaman baik pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair menurut umur hari setelah tanam. Kelimpahan relatif artropoda predator dapat dihitung dengan menggunakan rumus Error! Reference source not found. x 100% Analisis Data. Analisis menggunakan program SPSS 16 versi 2.13.1. Data komposisi spesies dan jumlah individu laba-laba predator digunakan untuk menganalisis kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba. Data ditampilkan dalam bentuk Tabel. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan jenis artropoda predator baik jenis serangga dan laba-laba yaitu golongan laba-laba Lycosidae, Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae dan golongan serangga Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae, Tettigonidae, dan Gryllidae. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur 10 hst sampai 80 hst. Kelimpahan relatif tertinggi ditemukan pada umur 10-40 hst dari 468 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 golongan laba-laba dari famili Tetragnathidae sebesar 42,74% pada umur 30 hst dan pada golongan serangga Coenagrionidae 25.89% pada umur 10 hst. Pada umur 50-80 hst kelimpahan relatif tertinggi tertinggi dari golongan laba-laba famili Tetragnathidae sebesar 38.26% dan golongan serangga famili Coenagrionidae 13.48%. Hasil penelitian di daerah rawa lebak ditemukan artropoda predator di tajuk ada 23 famili, terdiri dari 5 famili dari golongan labalaba dan 18 famili dari golongan serangga predator. Jumlah artropoda predator ditemukan di tajuk tanaman padi di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair pada umur 10-40 hari setelah tanam terdiri dari 11 famili dan 23 spesies dan pada umur 50-80 hari setelah tanam (hst) di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair ditemukan 15 famili dan 25 spesies. Tabel 1. Famili, spesies, jumlah individu, dan kelimpahan relatif artropoda predator di tajuktanaman padi di lahan rawa lebak yang diaplikasikan bioinsektisida cair di Desa PelabuhanDalam Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir. Kelas, Ordo, Famili Arachnida Lycosidae Araneidae Tetragnathidae Linyphiidae Oxyopidae Salticidae Insecta Hemiptera Staphylinidae Coccinelidae Odonata Coenagrionidae Lubellulidae Orthoptera Tettigonidae Gryllidae Total Waktu pengamatan pada umur tanam 10-40 hari setelah tanam (hst) 10 20 30 40 JS JI KR JS JI KR JS JI KR JS JI KR 0 0 4 0 2 0 0 0 35 0 27 0 0.00 0.00 31.25 0.00 24.11 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00 4 41 37.96 0 0 0.00 2 23 21.30 1 2 1.85 0 1 3 3 2 2 1 2 4.63 2.78 1 2 3 20 18.52 1 1 0.93 3 0 1 0 10 0 8.93 0.00 3 0 29 0 25.89 0.00 1 2 13 5 3 0 0.00 0 0 0.00 2 1.71 0 0 0.00 50 42.74 3 53 35.33 7 5.98 2 9 6.00 8 6.84 2 26 17.33 11 9.40 3 18 12.00 5 8 4.27 1 3 6.84 1 13 2.00 8.67 17 14.53 3 21 14.00 0 0.00 0 0 0.00 2 1.79 1 1 0.85 1 1 0.85 1 4 2.67 9 8.04 2 11 10.19 2 8 6.84 1 3 2.00 112 100.00 17 108 100.00 20 117 100.00 17 150 100.00 JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu, KR= Kelimpahan relatif Kelimpahan artropoda predator di tajuk di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair pada umur 10-40 hst yang tertinggi pada umur 40 hst 150 individu dan yang terendah pada umur 20 hst 108 individu. Jumlah spesies yang ditemukan pada umur 10.40 hst tertinggi pada umur 30 hst 20 spesies dan yang terendah umur 10 hst 13 spesies. Pada umur 50-80 hst kelimpahan artropoda predator tertinggi pada umur 50 hst 149 individu dan yang terendah pada umur 80 hst 114 individu. Jumlah spesies yang ditemukan tertinggi pada umur 40 hst 21 spesies dan yang terendah pada umur 70 hst 14 spesise (Tabel 1 dan 2). 469 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Famili, spesies, jumlah individu, dan kelimpahan relatif artropoda predator di tajuk tanaman padi di lahan rawa lebak yang diaplikasikan bioinsektisida cair di Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir. Waktu pengamatan pada umur tanam 10-80 hari setelah tanam (hst) Kelas, Ordo, Famili 50 60 70 80 JS J1 KR JS J1 KR JS J1 KR JS J1 KR Araneidae Arachnida Lycosidae 0 0 0.00 0 0 0.00 1 1 0.71 0 0 0.00 Araneidae 0 0 0.00 1 1 0.73 0 0 0.00 0 0 0.00 Tetragnathidae 3 57 38.26 3 45 32.85 3 50 35.46 4 37 32.46 Linyphiidae 2 4 2.68 1 2 1.46 0 0 0.00 3 6 5.26 Oxyopidae 2 21 14.09 2 29 21.17 2 26 18.44 3 17 14.91 Salticidae 2 21 14.09 2 18 13.14 2 20 14.18 2 18 15.79 Insecta Coleoptera Staphylinidae 1 3 2.01 1 3 2.19 1 4 2.84 1 2 1.75 Coccinelidae 0 0 0.00 1 16 11.68 1 16 11.35 1 19 16.67 Bostrychidae 1 2 1.34 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00 Chrysomelidae 1 2 1.34 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00 Melyridae 1 1 0.67 1 3 2.19 0 0 0.00 0 0 0.00 Odonata Coenagrionidae 3 17 11.41 3 10 7.30 2 19 13.48 3 12 10.53 Orthoptera Tettigonidae 1 5 3.36 1 6 4.38 0 0 0.00 0 0 0.00 Gryllidae 2 3 2.01 2 4 2.92 2 5 3.55 2 3 2.63 Total 21 149 100.00 18 137 100.00 14 141 100.00 19 114 100.00 JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu (ekor), KR = Kelimpahan relatif Hal ini disebabkan pada umur 40 hst dan 50 hst dilihat dari morfologi tanaman padi sudah besar dan sudah mulai masuk pada fase generatif. Pada umur tanaman seperti ini sangat disukai oleh serangga fitopag dimana inang menyediakan tempat dan makanan yang berlimpah. PEMBAHASAN Sejalan dengan hasil penelitian Khodijah et al. (2012) artropoda predator penghuni ekosistem persawahan rawa lebak dan pasang surut Sumatera Selatan ditemukan serangga predator Coenagrionida, Coleoptera, Lubellulidae, Tettigonidae. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh terhadap keanekaragaman keanekaragamaman spesies dan kelimpahan populasi artropoda predator (serangga dan laba-laba) baik di tajuk maupun di permukaan tanah (Khodijah, 2013). Di ekosistem persawahan, artropoda predator (serangga 470 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dan laba- laba) merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama padi (wereng coklat dan penggerek batang) (Thalib et al. 2002). Jumlah individu atau kelimpahan artropoda predator dengan bertambahnya umur tanaman bertambah pulah jumlah kelimpahannya. Rendahnya jumlah individu artropoda predator pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida dan insektisida sintetik hal ini menunjukan bahwa aplikasi tersebut dapat mempengaruhi populasi artropoda predator yang aktif di tajuk maupun di permukaan tanah (Herlinda et al. 2008). Dengan banyaknya serangga fitopag akan banyak pula serangga dan laba-laba predator yang memangsa serangga fitopag tersebut. Keanekaragaman spesies serangga yang aktif di tajuk dan permukaan tanah pada sawah tanpa aplikasi insektisida lebih tinggi dibandingkan dengan keanekaragaman spesies serangga pada sawah yang diaplikasi insektisida sintetik maupun bioinsektisida (Herlindah et al. 2008). KESIMPULAN Aplikasi bioinsektisida cair berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur 10 hst sampai 80 hst. SANWACANA Penelitian ini dibiayai oleh Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional, Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia Tahun Anggaran 2012 dengan kontrak nomor: 1.55/SEK/IRS/PPK/I/2012, tanggal 16 Januari 2012. Promotor Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda,M.Si, Copromotor 1 Dr. Ir. Chandra Irsan., M.Si, Copromotor 2 Dr. Ir. Yulia Pujiastuti., M.P. DAFTAR PUSTAKA Asikin S, Wahyuni S dan Ardiwinata A.N. 2008. Keanekaragaman Serangga Musuh Alami di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA). Banjar Baru Kalimantan Selatan. Barrion AT, Litsinger JA. 1999. Taxonomy of Rice Insect Pest and Their Arthropod Parasites and Predators, p.13-362. In E.A. Heinrichs (ed.). Biology and Management of Catindig, J.L.A & Heong, K.L. 2003. Stem borers. Rice Doctor. International Rice Research Institute, Philippines (Web site). Bahagiawati. 2001. Manajemen Resistensi Serangga Hama pada Pertanaman Tanaman Transgenik Bt. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor. Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian Volume 4 Nomor I. Baehaki SE, Noviyanti. 1993. Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat, hlm. 113- 471 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 124. Dalam Martono E, Mahrub E, Putra NS, Trisetyawati Y (eds.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993. Effendy , Herlinda S, Irsan S, Salim A, Erni. 2008. Seleksi Substrat Jamur Metarhizium sp. Untuk Mengendalikan Wereng Coklat Nilaparvata lugens (Stal.) (HOMOPTERA:DELPHACIDAE) di Tanaman Padi. h. 125-101. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Kerjasama PEI Cabang Palembang dan PFI Komda SumSel., Palembang 18 Oktober 2008 Herlinda S, Hamdiyah, Adam T, Thalib. 2006a. Toksisitas isolat-isolat Beauveria bassiana (Bals.)Vuill.Terhadap nimfa Eurydema pulchrum (Westw.) (Hemimoptera:Pentatomidae ). Agritrop 2;34-37. Herlinda S, Utama MD, Pujiastuti Y, Suwandi. 2006b. Kerapatan dan viabilitas spora Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. akibat subkultur dan pengayaan media, serta virulensinya terhadap larva Plutella xylostella (Linn.). J HPTT 6:70-78. Herlinda S, Hartono, Irsan C. 2008. Efikasi Bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif Beauveria bassiana (BALS.) VUILL. DAN Metarhizium sp. Pada wereng punggung putih (Sogatella f urcifera HORV.). Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008. Herlinda S, Waluyo, Estuningsih, Irsan C. 2008. Perbandingan keanekaragaman spesies dan kelimpahan arthropoda predator penghuni tanah di sawah lebak yang diaplikasikan dan tanpa aplikasi insektisida. J. Entomol.Indon. 2:96-107. Khodijah, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y & Thalib R. 2012. Artropoda predator penghuni ekosistem persawahan lebak dan pasang surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal 1(1):57-63. Kalshoven LGE, van der Laan PA. 1981. The pest of crops in Indonesia. P.T. Ichtiar Baru. Van Hoeve, Jakarta. Nugroho, K., S. Suping, dan M. Sarwani. 1993. Karakteristik Lahan dalam Penelitian Reklamasi dan Pengolahan Tanah Sulfat Masam. Kerja Sama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan Proyek P3N, Jakarta. hlm. 1−15. Nunilahwati H, Khodijah. 2008. Keanakaragaman dan Kelimpahan artropoda predator hama padi penghuni permukaan tanah sawah lebak di tepi sungai musi. Prosiding Seminar Nasional Kerjasama PEI Cabang Palembang dan PFI Komda SumSel., Palembang 18 Oktober 2008. Prayogo Y, Tengkano W. 2002. Pengaruh media tumbuh terhadap daya kecambah, sporulasi dan virulensi Metarhizium anisopliae (Metchnikoff) 472 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Sorokin isolat kendal payak pada larva Spodoptera litura (L.). SAINTEKS. (9)4:233-242. Prayogo Y, Tengkano W, Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura Pada Kedelai. J Litbang Pertanian 24;19-26. Thalib R, Effendy TA, Herlinda S. 2002. Struktur komunitas dan potensi artropoda predator hama padi penghuni ekosistem sawah dataran tinggi di daerah Lahat, Sumatera Selatan, Makalah Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari Pangan Sedunia, Palembang, 7-8 Oktober 2002. Santiago DR, Castillo AG, Arapan RS, Navasero MV, Eusebio JE. 2001. Efficacy of Metarhium anasopliae (Metsch.) Sor. againts the oriental migratoria locust, Locusta migratoria manilensis Meyen. The Philippine Agric. Scientist 84:26-34. Settle WH, Ariawan H, Astuti ET, Cahyana W, Hakim AL, Hindayana D, Lestari AS, Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pest through conservation of generalist natural enemies and alternative prey. Ecology. 77:1975-1988. Subagyo H, Wijaya.1998. Potenssi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. Dalam Inovasi Teknologi Pertanian: Buku 1. September Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.p. 95-119. Suharto, Trisusilowati EB, Purnomo H. 1998. Study on physiological aspects of Beauveria bassiana and Their virulence to Helicoverpa armigera . Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 4(2):112-118. Soetopo D. 2007. Efficacy of selected Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Isolated in combination with a resistant cotton variety (psb-ct9) against the cotton bolworm, Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) (Disertasi Universitas of Philippines Los Banos). Syam M, Suparyono, Hermanto, Wuryandari DS. 2007. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara pada Padi. Ed. 3. Puslitbangtan. Bogor. 78 hal. Widiarta IN, Kusdiaman D, Siwi SS, Hasanuddin A. 2004. Variasi efikasi penularan tungro oleh koloni-koloni wereng hijau Nephotettix virescens Distant. J. Entomol Ind 1:50-56. Wraight SP, Carruthers RI, Bradley CA, Jaronski ST, Lacey LA, Wood P, Wraight SG.1998. Pathogenicity of the entomopathogenic fungi Paecilomyces spp. and Beauveria bassiana against the silverleaf whitefly, Bemisia argentifolii. J Invertebr Pathol 71:217-22. 473 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Wraight SP, Ramos ME. 2002. Application parameter affecting field efficacy of Beauveria bassiana foliar treatments againts Colorado potato beetle, Leptinonarsa decemlineata. Biol Control 23:164-178. 474 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pengaruh Amelioran Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jeruk Siam Banjar di Lahan Rawa Pasang Surut The Effect of Ameliorant on Growth of Banjar Tangerine at Tidal Swamp Land Yenni1*), Otto E1, Oka A.B1, dan Agus S2 1Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan * Penulis untuk korespondensi : Telp/Fax : 0341-592683/593047 email : [email protected] ABSTRACT Citrus cultivation in tidal swamp land is very promising because it can afford a considerable profit. However, this still has disadvantages because tidal swamp land have acid soil pH which can affect the growth and production of citrus plants. The purpose of this research was to determine the effect of ameliorant on growth of Banjar tangerine at tidal swamp land. The research was conducted in Barito Kuala South Kalimantan on January-December 2013. The variety of citrus, which was used, was Banjar tangerine that has grown for 6 years, and ameliorant material which was used was dolomite. The research was arranged in randomized block design (RBD) with 4 treatments of dolomite and repeated three times, e.g. 0,1,2,3 tons /ha. The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA). The results showed that the addition of dolomite 3 tons/ha can increase soil pH from 3,72 to 4,45 and decrease the content of Al-dd from 13.99 to 8.15. The highest scale of P-available was obtained from use of dolomite 1 ton / ha (26,39 me/100g). The highest scale of fruit weight and diameter was obtained on 1 ton/ha (106,55 g / fruit and 5,85 cm). The lowest scale of fruit weight and diameter was obtained in the treatment without dolomite (89.3 g/fruit and 5,46 cm). The results of research indicated that the addition of ameliorant can affect the pH and nutrient availability in the soil, and increase the diameter, weight, number of flowers and fruits, fruit skin thickness and fruit weight of Banjar tangerine. Keywords: Ameliorant, Tangerine, Growth, Tidal Swamp Land ABSTRAK Budidaya tanaman jeruk di lahan rawa pasang surut sangat menjanjikan karena dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Namun, hal ini masih memiliki kendala karena lahan rawa pasang surut memiliki pH tanah yang masam yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jeruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan tanaman jeruk siam Banjar di lahan rawa pasang surut. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan pada bulan Januari-Desember 2013. Varietas jeruk yang digunakan adalah jeruk siam Banjar berumur 6 tahun dan bahan amelioran yang digunakan adalah dolomit. Penelitian disusun dengan 475 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dolomit masing-masing diulang 3 kali yaitu 0,1,2,3 ton/ha. Data dianalisa dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dolomit 3 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah yaitu 4,45 dari 3,72 dan menurunkan kandungan Al-dd 8,15 dari 13,99. P-tersedia tertinggi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha (26,39 me/100g). Berat dan diameter buah tertinggi didapat pada dolomit 1 ton/ha (106,55 g/buah dan 5,85 cm). Berat buah dan diameter buah terkecil didapat pada perlakuan tanpa dolomit (89,3 g/buah dan 5,46 cm). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian dolomit dapat mempengaruhi pH dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah dan meningkatkan diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal kulit dan berat kulit buah jeruk siam Banjar. Kata Kunci : Amelioran, Jeruk, Pertumbuhan, Rawa Pasang Surut PENDAHULUAN Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian menjadi salah satu kendala dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha pengembangan pertanian di arahkan pada pemanfaatan lahan marginal seperti lahan pasang surut. Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dijadikan lahan pertanian karena sebarannya sangat luas, yaitu diperkirakan sekitar 20,1 juta hektar yang terbentang di sepanjang pantai Sumatera, Kalimantan dan Papua. (Widjaja-Adhi et al., 1992). Salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan di lahan rawa pasang surut adalah tanaman jeruk. Budidaya jeruk di lahan rawa sudah lama dikenal masyarakat setempat, khususnya di Kalimantan Selatan sejak ratusan tahun silam. Budidaya jeruk siam di lahan rawa dapat dilakukan dengan sistem hamparan (sawah), tetapi umumnya dengan sistem tukungan (gundukan) atau surjan bertahap (sistem baluran). Secara bertahap petani membuat tukungan di lahan sawahnya. Sistem tukungan ini dianjurkan hanya untuk lahan rawa dengan jenis tanah mineral atau bergambut, tetapi juga mulai merambat ke lahan gambut dengan berbagai ketebalan dari dangkal sampai sedang. Bentuk tukungan umumnya persegi empat dengan tinggi 60-75 cm dan lebar sisi antara 2-3 meter. Jarak tanam antar tanaman dalam baris 4-6 meter. Jarak antar baris 10-14 meter tergantung luas lahan dan kemampuan operasional traktor dalam pengolahan tanah untuk tanaman padinya. Apabila pilihan penataan lahan dengan sistem surjan maka diperlukan saluran pengatusan di salah satu sisi dengan lebar 1,0 meter dan dalam 0,6 meter agar mudah pengaliran air keluar dan juga dlengkapi dengan pintu air sistem tabat (dam overflow). Saluran ini juga dapat dimanfaatkan sebagai perangkap ikan alamiah (Noor dan Nursyamsi, 2012). Budidaya tanaman jeruk sangat menjanjikan karena dapat memberikan keuntungan yang cukup tinggi dibandingkan usahatani lainnya. Menurut Zuraida (2012), usahatani jeruk dapat mendukung rumah tangga petani dengan penerimaan sebesar Rp 21.150.000,- dan biaya produksi Rp 6.630.000, maka nilai R/C Ratio: 3,1(R/C Ratio >1). Pendapatan petani sebesar Rp 14.520.000,- dan ini memberikan kontribusi sebesar 70,70 %. Dari hasil tersebut terlihat jelas bahwa usahatani jeruk sangat mendukung terhadap pendapatan rumah tangga petani. 476 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Namun, budidaya jeruk di lahan rawa surut masih memiliki kendala karena lahan rawa pasang surut memiliki pH tanah yang masam yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jeruk. Penggunaan bahan amelioran dapat dijadikan alternatif yang ditempuh. Pemberian amelioran bertujuan untuk meningkatkan pH sehingga kelarutan Al dan konsentrasi ion H menjadi rendah dan juga dapat memberikan tambahan unsur hara berupa Ca dan Mg pada tanah gambut dan sulfat masam. Bahan amelioran dapat berupa kapur tanah (dolomit). Beberapa hasil penelitian menunjukan pemakaian kapur antara 1-3 ton/ha telah menunjukkan peningkatan hasil yang nyata di tanah rawa (Alihamsyah, 2004; Widjaya-Adhi, 1987; Sudana, 2005). Oleh karena itu, menarik untuk diteliti mengenai pengaruh pemberian amelioran terhadap pertumbuhan tanaman jeruk siam Banjar di lahan pasang surut. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan rawa pasang surut tipe luapan C desa Karang Indah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian bulan Januari - Desember 2013. Bahan dan Alat. Bahan dan alat yang digunakan adalah tanaman jeruk siam Banjar berumur 6 tahun, hand counter, plastik, thermohygrometer, hand refractometer, jangka sorong, ring sampel, ATK dan komputer supplies dan bahan/alat pendukung lainnya. Prosedur Penelitian. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dolomit masing-masing diulang 3 kali yaitu 0 ton/ha (D0), 1 ton/ha (D1), 2 ton/ha (D2), dan 3 ton/ha (D3). Analisa Tanah. Analisa karakteristik kimia tanah dilakukan dengan pengambilan sampel tanah sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Sampel tanah komposit ini diambil dari lapisan 0-20 cm dan 20-40 cm. Tiap sampel tanah komposit diaduk merata kemudian diambil kurang lebih 1 kg untuk dianalisis di laboratorium tanah. Pengumpulan dan Analisis Data. Data yang dikumpulkan meliputi pertumbuhan tanaman jeruk siam Banjar (tunas daun, bunga, diameter buah, berat buah, tebal kulit buah, berat kulit buah, jumlah juring dan jumlah buah jeruk siam Banjar) dan analisa kimia tanah (pH, P, Al, Mg, Ca). Data yang didapat dianalisa dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), apabila berbeda nyata dilanjutkan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%. 477 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 HASIL Karakteristik Lokasi Penelitian. Jeruk dan padi merupakan komoditas yang dominan ditanaman di lahan petani di desa Karang Indah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Jenis tanaman jeruk yang biasa ditanam adalah jeruk Siam Banjar. (a) (b) Gambar 1. (a). Lokasi penelitian yang berada di lahan rawa pasang surut dengan sistem surjan; (b). Bagian tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi tanaman purun tikus. Budidaya jeruk di wilayah ini berbeda dengan yang biasa dilakukan di lahan kering karena di wilayah kalimantan selatan merupakan lahan rawa yang memerlukan penataan yang khusus supaya tanaman jeruk dapat hidup dan berkembang. Usahatani tanaman jeruk di lahan pasang surut Kalimantan Selatan ditanam dengan cara meninggikan sebagian tanah di sekitarnya secara memanjang sehingga terbentuk surjan. Bagian lahan yang ditinggikan disebut tembokan, sedang wilayah yang digali atau di bawah disebut tabukan. Lebar tembokan sekitar 2,5-4 m, sedangkan tabukan dengan lebar 6-7 m. Bagian tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi oleh tanaman purun tikus. Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan gulma yang tumbuh dan berkembang di lahan rawa pasang surut yang berlumpur. Tumbuhan ini mempunyai rimpang pendek dengan stolon memanjang berujung bulat gepeng, berwarna kecoklatan sampai hitam. Batang tegak, tidak bercabang, berwarna keabuan hingga hijau mengilap dengan panjang 50−200 cm dan tebal 2−8 mm. Analisis Tanah. Lokasi kegiatan penelitian yang digunakan adalah lahan petani pada daerah pasang surut dengan tipe luapan C yang menerapkan budidaya tanaman jeruk saja dengan sistem surjan (monokultur). Secara umum jenis tanah di lokasi tersebut adalah tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam umumnya memiliki sifat-sifat khas yang dicirikan oleh bahan-bahan sulfida atau horison sulfurik pada solum tanah dan pH tanah (pH < 3,5-4,0). 478 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Gambar 2. Perlakuan Pemberian Amelioran di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan pada Bulan Mei 2013. Dari hasil analisa awal diketahui bahwa karakteristik kimia tanah mempunyai sifat bereaksi sangat masam, P-tersedia rendah dan basa-basa tukar sangat rendah hingga rendah (Tabel 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dolomit 3 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah tertinggi yaitu 4,45 dari 3,72 dan menurunkan kandungan Al-dd 8,15 dari 13,99. Kandungan p-tersedia tertinggi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha yaitu 26,39 me/100g. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan pemberian dolomit 2 dan 3 ton/ha berpengaruh nyata dalam meningkatkan pH tanah terhadap kontrol/tanpa dolomit. Namun perlakuan pemberikan dolomit 1 ton/ha tidak berpengaruh nyata. Tabel 1. Karakteristik Kimia Tanah Sulfat Masam Awal Sebelum dan Sesudah Perlakuan di Desa Karang Indah Kec. Mandastana, Kab. Barito Kuala, Kalimantan Selatan K-dd Ca-dd Mg-dd Al-dd P-tersedia (me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g) (ppm) 0 ton/ha (D0) 3.72 a 0.71 a 1.21 a 1.37 a 13.99 a 22.36 ab 1 ton/ha (D1) 3.96 ab 0.96 a 2.74 ab 2.19 ab 10.71 a 26.39 b 2 ton/ha (D2) 4.19 bc 0.60 a 2.06 ab 1.80 a 8.82 a 21.22 ab 3 ton/ha (D3) 4.45 c 0.72 a 5.17 b 4.04 b 8.15 a 18.81 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Dosis Dolomit pH Peningkatan pH pada tanah juga dapat menurunkan kelarutan Al pada tanah. Semakin tinggi pH, maka Al yang terlarut juga akan semakin rendah. Pemberian kapur juga dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah, salah satu unsur hara yang meningkat ketersediaannya adalah unsur hara Ca dan Mg. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jeruk Siam Banjar. Pertumbuhan tunas tanaman jeruk siam Banjar hampir terjadi sepanjang tahun. Pertumbuhan tunas yang terus menerus disebabkan karena kondisi cuaca di Kalimantan Selatan yang setiap bulan masih terjadi hujan sehingga tanaman tersedia air untuk pertumbuhan tunasnya. Demikian halnya dengan bunga, tanaman jeruk siam Banjar juga dapat berbunga ≥ 4 kali setahun tetapi dengan jumlah bunga yang bervariasi setiap periode berbunganya. Puncak pembungaan terjadi sekitar bulan Maret 2013. Pada bulan Oktober 2013, setelah panen jeruk 479 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 siam Banjar berbunga kembali. Pada bulan Oktober 2013 jumlah bunga tertinggi terjadi pada perlakuan kapur 1 ton/ha sebanyak 127 bunga/pohon. Karena pembungaan tanaman jeruk siam Banjar terjadi ≥ 4 kali setahun, terdapat beberapa cluster buah berdasarkan diameter buah dalam satu tanaman, sehingga musim panen jeruk siam Banjar juga terjadi lebih dari ≥ 3 kali per tahun. Pengamatan terhadap buah jeruk siam Banjar pada bulan Mei 2013, tanaman jeruk didominasi oleh buah yang berdiameter rata-rata 34,49 mm dengan jumlah buah + 363 buah per pohon. Pada bulan Juli dan September 2013, jumlah jeruk sudah mulai menurun karena sebagian dari jeruk tersebut telah dipanen. Puncak waktu panen dilakukan pada bulan September 2013. Warna buah jeruk siam Banjar pada saat panen hijau kekuningan. Namun pada pengamatan bulan Nopember 2013, jeruk siam Banjar telah berbuah kembali, dengan diameter buah rata-rata 4,81 mm dan jumlah buah tertinggi terjadi terjadi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha rata-rata 111 buah/pohon dan jumlah buah terendah pada perlakuan dolomit 0 ton/ha rata-rata 96 buah/pohon. Hasil pengamatan terhadap diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring pada buah jeruk siam Banjar saat panen disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring buah jeruk siam Banjar pada saat panen Dosis Dolomit 0 ton/ha (D0) 1 ton/ha (D1) 2 ton/ha (D2) Diameter Buah (mm) 54.69 a 58.52 b 57.61 b Berat Buah (g) 89.3 a 106.55 b 101.70 ab 3 ton/ha (D3) 56.52 ab 100.90 ab Tebal Kulit Buah (mm) 1,92 a 2,13 a Berat Kulit Buah (g) 10,00 a 16,00 ab 2,14 a 20,50 b Jumlah Juring (bh) 13.00 a 12.25 a 11.75 a 1,87 a 18,75 b 12.25 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Hasil pengamatan terhadap diameter, berat, berat kulit buah jeruk siam Banjar pada perlakuan dolomit memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan tanpa diberikan dolomit. Semakin tinggi pH tanah, komponen hasil jeruk siam Banjar akan semakin tinggi. Diameter dan buah tertinggi pada perlakuan D1 (1 ton/ha) masing-masing sebesar 58,52 mm dan 106,55 g. Untuk tebal dan berat kulit buah tertinggi pada perlakuan D2 (2 ton/ha) masing-masing sebesar 2,14 mm dan 20,50 g. Tetapi hal ini tidak terjadi pada pengamatan jumlah juring buah jeruk, penambahan dolomit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dan jumlah juring tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian dolomit sebanyak 13 buah juring. 480 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 (d) Gambar 3. (a) bunga jeruk siam Banjar (b) fruit set jeruk siam Banjar; (c) buah siam Banjar berumur 8 msb; (d) buah siam Banjar pada saat panen Analisa Buah Jeruk Siam Banjar. Jeruk siam merupakan salah satu bebuahan yang cukup digemari karena memiliki rasa yang manis dan daging buah yang halus. Namun cita rasa jeruk siam dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh. Kondisi tanah adalah salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas buah jeruk siam. pH tanah yang rendah dapat mempengaruhi ketersediaan unsuk makro di dalam tanah. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa penambahan dolomit menurunkan total padatan terlarut jeruk siam Banjar. Total padatan terlarut tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian dolomit yaitu 11,95obrix dan terendah pada perlakuan dengan pemberian dolomit 1 ton/ha sebesar 10,57 o brix. Sedangkan untuk total asam dan jus buah, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata. Total asam dan jus buah tertinggi pada perlakuan pemberian dolomit 2 ton/ha masing-masing sebesar 33,30% dan 2,13%. Hasil pengamatan terhadap total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk siam Banjar saat panen disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk siam Banjar pada saat panen Dosis Dolomit 0 ton/ha (D0) Total Padatan Terlarut (oBrix) 11.95 a Jus (%) 32.87 a Total Asam (%) 1.23 a 1 ton/ha (D1) 10.57 b 33.07 a 1.09 a 2 ton/ha (D2) 10.75 b 33.30 a 2.13 a 3 ton/ha (D3) 10.62 b 33.25 a 1.51 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% 481 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 PEMBAHASAN Pertumbuhan dan perkembangan buah jeruk dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara dan pH di dalam tanah. Apabila pH tanah rendah maka satu atau lebih faktor tanah yang tidak menguntungkan muncul dan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Salah satu permasalahan yang dijumpai pada tanah masam adalah konsentrasi unsur seperti Al dapat mencapai taraf racun (Winarso, 2005). Pada kondisi yang sangat masam (pH < 4), kelarutan aluminium meningkat drastis. Dari hasil analisis kimia tanah, perlakuan D0 memiliki pH tanah 3,72 dan kandungan ion Al3+ lebih tinggi yaitu 13,99 ppm dibandingkan dengan perlakuan D3 hanya 8,15 ppm. Menurut Radjagukguk (1983), efek meracun Al adalah pada pertumbuhan dan perkembangan akar sehingga akar tanaman tidak dapat menyerap hara dan air yang dibutuhkan tanaman. Apabila hal ini terjadi pertumbuhan tanaman akan terhambat. Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan tanpa dolomit, diameter dan berat buah jeruk siam Banjar terkecil dibandingkan dengan perlakuan dolomit. Hal ini mungkin disebabkan pada tanaman tanpa pemberian dolomit terjadi penghambatan pertumbuhan karena pengaruh Al yang tentunya hal ini akan mempengaruhi penyerapan hara dan aktivitas fotosintesis tanaman. Buah jeruk merupakan hasil fotosintesis bersih, apabila fotosintesis terhambat maka hasil bersihnya berupa buah juga mejadi kecil. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan dolomit dapat meningkatkan diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal kulit dan berat kulit buah jeruk siam Banjar. Menurut Winarso, (2005); Hakim et al., (1986); Mengel dan Kirby, (1987), pemberian kapur dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara tertentu dan dapat mensuplai unsur Ca dan Mg untuk tanaman, meningkatkan kemampuan residual dan aplikasi fosfor, meningkatkan fiksasi nitrogen pada tanah dan tumbuhan, meningkatkan hasil panen tanaman budidaya, dan mengurangi zat yang merugikan di dalam tanah. Unsur Ca dapat membantu mengaktifkan enzim tanaman, membentuk senyawa-senyawa yang merupakan bagian dari dinding sel yang akan membantu memperkuat struktur tanaman, merangsang perkembangan akar dan daun, mempengaruhi hasil secara tidak langsung melalui penurunan kemasaman tanah. Sedangkan unsur Mg mempunyai fungsi yang khas, yaitu sebagai inti dari molekul klorofil sehingga berperan dalam proses fotosintesis, membantu peranan hara S, demikian pula sebaliknya. Selain itu Mg juga berfungsi membantu translokasi fosfor dalam tanaman, aktivator enzim tertentu dalam biji, memacu daur asam sitrat dalam respirasi KESIMPULAN Pemberian dolomit dapat mempengaruhi pH dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah dan meningkatkan diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal kulit dan berat kulit buah jeruk siam Banjar. Diameter dan berat buah terkecil dihasilkan pada perlakuan tanpa pemberian dolomit. Perlakuan pemberian dolomit menurunkan total padatan terlarut jeruk siam Banjar. Sedangkan untuk total asam dan jus buah, perlakuan pemberian dolomit tidak berpengaruh nyata. 482 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan bapak Qomarudin selaku teknisi (Balittra) dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penelitian atau penulisan makalah. DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah. T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan produksi padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Di dalam: F.Karino, et al. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Hakim, N., Nyakpa Y.M., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A., Hong G.B., Bailey, H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampurng:Penerbit Universitas Lampung. Mengel, K and E.A. Kirkby. 1987. Principles of Plant Nutrition. Switzerland:International Potash Institute. Noor, M dan Nursyamsi, D. 2012. Jeruk Siam Banjar:Andalan Pendapatan bagi Petani Lahan Rawa Pasang Surut. http://muhammadnoor20. blogspot.com/2012/ 12/jeruk-siam-banjar.html. [diakses 24 Agustus 2014]. Radjagukguk, B. 1983. Masalah Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia. Makalah Seminar Alternatif-Alternatif Pelaksanaan Program Pengapuran Tanah-Tanah Mineral Masam di Indonesia. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Sudana, W. 2005. Potensi dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber Produksi Pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan. 3:141-151 Widjaja-Adhi, IPG. 1987. Pengelolaan Lahan Rawa di Daerah Transmigrasi. unpublished. Bogor. Widjaya-Adhi, IPG., K Nugroho., Ardi D., Karama A.S., 1992. Sumber Daya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai. Potensi Keterbatasan dan Pemanfaatan. Di dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa; Cisarua, 3-4 Maret 1992. Cisarua. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Yogyakarta: Gava Media. Zuraida, R. 2012. Usahatani Jeruk Mendukung Pendapatan Petani pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan. Jurnal Sepa 9:19-24. 483 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Optimalisasi Lahan Rawa Lebak di Kebun Percobaan Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dengan Budidaya Karet Kgs. A. Kodir Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Selatan Jl. Kol. H.Barlian No.83. Km 6 Palembang E-mail :[email protected] ABSTRAK Sumatera Selatan memiliki lahan rawa lebak cukup luas yaitu sekitar 2,98 juta hektar namun hingga kini pemanfaatannya untuk budidaya pertanian baru mencapai sekitar 12,7%. Upaya optimalisasi lahan rawa lebak telah dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dengan penanaman karet klon unggul. Percobaan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran adaptasi tanaman karet pada lahan rawa lebak dangkal seluas ± 1 ha (550 batang). Penanaman dilakukan sejak bulan Mei Tahun 2007 menggunakan bibit polibeg satu payung dengan jarak tanam 6 x 3,3 m. Pengamatan dilakukan terhadap persentase tanaman hidup dan pertumbuhan tinggi tanaman serta panjang lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah. Hasil percobaan menunjukan bahwa hingga tahun ke 7 tanaman tetap bertahan hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%) dan seluruhnya menunjukan penampilan yang baik (tidak ada gejala serangan hama dan penyakit serta pertumbuhan normal). Hasil pengukuran panjang lilit batang menunjukkan bahwa pertumbuhan lilit batang maksimum hingga tahun ke 7 (2014) mencapai 75 cm. Panjang lilit batang rata-rata populasi pohon karet tersebut mencapai 54,5 cm. Matang sadap 50% dicapai pada umur 5 tahun. Pada saat ini tinggi tanaman rata-rata mencapai 8,4 meter. PENDAHULUAN Dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia, optimalisasi sumber daya lahan menjadi pilihan yang tak terelakkan karena dengan itu dapat meningkatkan produksi pertanian dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam usaha peningkatan produksi pertanian, diperlukan teknologi sistem usahatani yang rasional sesuai kondisi agro-ekosistem. Lahan rawa lebak termasuk salah satu ekosistem hayati yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Indonesia mempunyai areal lahan rawa lebak seluas 13,4 juta hektar (Bappenas, 2007) yang terdiri dari 4,2 juta hektar rawa lebak dangkal, 6,07 juta hektar lahan rawa lebak tengahan, dan 3,0 juta hektar lahan rawa lebak dalam. Lahan tersebut tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Wijaya-Adhi et al, 1992, Dinas PU Pengairan, 2010). Sumatera Selatan memiliki lahan rawa lebak cukup luas yaitu sekitar 2,98 juta hektar namun yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman pangan baru seluas 379.450 hektar yang terdiri dari 70.908 ha lebak dangkal; 129.103 ha lebak tengahan dan 168.670 ha lebak dalam tersebar di Kabupaten 484 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Muara Enim (Puslitbangtanak, 2002, Dinas PU Pengairan, 2010). Secara agronomis lahan rawa lebak selain dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan seperti padi dan palawija juga dapat dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan. Tanaman karet telah banyak dibudidayakan di lahan kering di Sumatera Selatan namun untuk rawa lebak nampaknya belum lazim dilakukan karena kondisi lahan yang selalu terendam air terus menerus atau pada musim tertentu. Akan tetapi pada akhir-akhir ini mengingat perkembangan tanaman karet sudah cukup pesat dan kebutuhan pemenuhan produksi makin meningkat maka tidak menutup kemungkinan tanaman karet juga dapat dibudidayakan di lahan rawa lebak. Beberapa petani ada yang mencoba menanam karet di lahan rawa lebak dangkal, namun demikian hasilnya belum memuaskan sebab masalah biofisik lahan dan tata kelola lahan serta teknik budidaya. Dengan penerapan teknologi pengelolaan lahan yang merupakan kunci keberhasilan usahatani karet di lahan rawa lebak, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dengan Metode Deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan fakta sebagian dari data pertumbuhan populasi tanaman karet yang ditanam pada lahan rawa lebak dangkal seluas ± 1 ha (550 batang) di Kebun Percobaan Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan sejak Tahun 2007. Prosedur penelitian dilakukan secara observasi lapangan dengan mencatat jumlah tanaman yang hidup dan menunujukkan pertumbuhan yang optimal. Selanjutnya dilakukan pengamatan secara visual mengenai pertumbuhan tanaman dan ada tidaknya gangguan fisiologis atau hama dan penyakit. Untuk memperoleh data pertumbuhan tanaman dilakukan pengukuran panjang lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah. Sebagai data pendukung, dilakukan pencatatan tentang pelaksanaan teknis budidaya tanaman karet di lahan rawa lebak dan dilakukan pengukuran tinggi genangan air pada saat luapan tingi maksimal dan dalam masa waktu tertentu. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lahan Rawa Lebak di KP. Kayu Agung. Berdasarkan letak geografis KP Kayu Agung berada pada 03 023,8’ Bujur Timur dan 104049,4’ Lintang Selatan dengan ketinggian tempat 31 m di atas permukaan laut. Dari keseluruhan hamparan lahan KP Kayu Agung yang luasnya ± 27,3 ha, hampir 90% berupa dataran rendah spesifik lahan rawa lebak, yang terdiri dari lahan rawa lebak dangkal (± 6,5 ha), lebak tengahan (± 5,3 ha) dan lebak dalam (± 13,5 ha) dengan tipe iklim tropik basah, kelembaban ratarata 71% dan suhu rata-rata harian 29 – 310 C. Domisili KP Kayu Agung adalah di Kota Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir, ± 67 km dari sisi timur Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Jenis / tipe tanah yang dimiliki KP Kayu Agung adalah Inceptisol dan organosol (pada bagian rawa) serta kambisol ( pada bagian darat). 485 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Menurut Noor (2007) lahan rawa lebak memiliki banyak potensi yang dapat digali dan memberikan keunggulan-keunggulan komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan lahan-lahan yang lain. Salah satu potensi lahan rawa lebak adalah pemanfaatannya sebagai lahan pertanian. Secara umum, pertanian yang dapat dilakukan di lahan rawa lebak adalah pertanian sawah, palawija, dan beberapa komoditas buah-buahan dan perkebunan. Pola tanam dan jenis komoditas yang dapat dikembangkan di lahan rawa lebak sangat tergantung kepada tipologi lahan rawa lebak, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak dalam. Pada musim hujan, lahan rawa lebak tengahan sampai lebak dalam akan tergenang lebih dari 100 cm sehingga disebut dengan sawah barat. Sawah barat harus ditanami padi surung (deep water rice) pada akhir musim kemarau dan dipanen pada saat musim hujan (genangan 100-150 cm). Padi yang termasuk jenis padi surung adalah alabio, tepus, nagara, termasuk padi yang di kenal dengan nama hiyang. Banyak juga padi irigasi yang dapat di tanam di lahan rawa lebak pada musim hujan. Pada musim kemarau, lebak dangkal dan lebak tengahan menjadi kering sehingga bisa ditanami sayuran, palawija, dan buahbuahan. Buah yang ditanam pada ledokan ini adalah jenis buah yang semusim seperti semangka, ataupun melon. Pada lebak dalam hanya ditanamai pada saat musim kemarau panjang (4-5 bulan kering), selebihnya dibiarkan dengan genangan yang tetap tinggi. Guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak di KP Kayu Agung, untuk pertama kali mulai dicoba memanfaatkan tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman di lahan rawa lebak sangat tergantung pada jenis tanah dan juga masalah air. Jika mampu mengatasi kedua masalah tersebut, pertanian di lahan rawa lebak akan memberikan hasil yang mungkin sama baiknya dengan di lahan pertanian yang tidak marginal (Noor, 2007). Untuk itu dalam pelaksanaan pengembangan tanaman perkebunan di lahan rawa lebak ini telah dilakukan pembuatan saluran-saluran drainase untuk mengendalikan muka air tanah dan dilakukan pemberian kapur dan pemupukan pada saat pengolahan tanah/penanaman. TEKNOLOGI BUDIDAYA KARET DI LAHAN RAWA LEBAK 1. Persiapan bahan tanam. Secara umum ada dua macam bibit sebagai bahan tanam karet, yaitu bibit stum dan bibit polybeg. Bibit stum adalah bahan tanam karet yang diperoleh hasil okulasi batang bawah dengan mata entres dari batang tas yang sudah hidup tetapi belum tumbuh tunas. Ada dua macam stum yaitu stum mata tidur dan stum tinggi. Stum mata tidur adalah bahan tanam karet berupa stum yang sudah dipotong akar batang bawah dan batang bagian atas ± 10-15 cm dari atas mata entres, sedangkan stum tinggi adalah bahan tanam berupa stum yang tingginya mencapai 1,2 – 2 m. Bibit polybeg adalah bahan tanam karet yang berasal dari stum mata tidur yang ditanam dalam polybeg atau berasal dari biji sebagai batang bawah yang ditanam dalam polybeg kemudian setelah memenuhi syarat diokulasi ditumbuhkan tunas okulasinya dalam polybeg hingga 1-2 payung. Dalam kegiatan ini penanaman tanaman karet di 486 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 lahan rawa lebak KP Kayuagung dilakukan dengan menggunakan bibit karet polybeg yang berasal dari bibit stum mata tidur yang ditanam dalam polybeg yang telah berumur satu payung dan tinggi bibit antara 50-75 cm, . 2. Pengelolaan lahan dan Pola Tanam Dalam pelaksanaan penerapan teknologi budidaya karet di lahan rawa lebak di KP Kayu Agung ini dilakukan pengelolaan lahan secara hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang perlu diperhatikan guna mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa lebak. Untuk itu teknologi pengelolaan lahan rawa lebak di KP Kayu Agung ini menerapkan prinsipprinsip yang meliputi : (1) pengelolaan air; (2) pengolahan tanah; (3) pemupukan ; (4) pola tanam. Untuk itu telah dibuat saluran pembuangan air utama dan saluran sekunder serta tersier. Dalam hal menerapkan prinsip pengolahan tanah, lahan penanaman dipersiapkan sejak 3-4 bulan sebelum penanaman yaitu dimulai sejak lahan sudah tidak tergenang air pasang lagi (bulan Maret). Mula-mula lahan dibersihkan dari gulma dan sisa-sisa tanaman pasca genangan. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara dibajak rata dengan hand traktor, selanjutnya di lakukan pengajiran jarak tanam, yaitu 6 x 3,3 m. Mengenai pola tanam di lahan rawa lebak ada beberapa pola tanam yang dapat dilakukan dalam pengelolaan tanah rawa diantaranya adalah; 1). Pengelolaan dengan sistem sorjan, yaitu pembuatan bedenganbedengan yang diantara bedengan itu adalah air. Tanaman ditanam diatas bedengan tersebut. 2). Pembuatan Tapak Timbun (tanaman ditanam diatas tapak tanam yang dibuat secara individu untuk setiap titik tanam. Dalam kegiatan budidaya karet di lahan rawa lebak ini, setelah dilakukan pengolahan tanah dan pengajiran jarak tanam maka selanjutnya dilakukan pembuatan tapak timbun setinggi ± 75 cm dengan luas 1-1,5 m2 pada setiap ajir untuk lubang tanam yang akan dibuat. Kira-kira 1 bulan setelah itu barulah dilakukan pembuatan lubang tanam ditengah tapak timbun yang sudah dibuat, ukuran lubang tanam 40 x 40 x 30 cm selanjutnya dilakukan pengapuran dengan dolomite sebanyak 250 g setiap lubang setelah itu lubang dibiarkan terbuka selama ± 2 minggu. 3. Penanaman. Penanaman dilakukan setelah bibit dan lubang tanam siap. Sebelum penanaman, setiap lubang tanam diberi pupuk NPK 100 g diaduk dengan tanah dalam lubang kemudian baru dimasukkan bibit karet polibeg ke dalam lubang. Bibit karet dimasukan beserta kantong plastik polybegnya kemudian dilepas dalam lubang dengan cara menyayat bagian dasar polybeg setelah itu dibelah separuh lalu ditarik ke atas, hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar media dalam polybeg tidak hancur dan akar tanaman tidak terganggu. 4. Pemeliharaan. 31. Penyulaman Penyulaman dilakukan setelah umur 1 tahun sejak penanaman, yaitu 487 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dengan mengganti semua tanaman yang mati dengan menggunakan bibit karet polybeg yang sudah dua payung. b. Pemupukan Dalam hal menerapkan prinsip pemupukan di lahan rawa lebak maka yang utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pemupukan adalah menetralkan unsur besi (Fe) dan Alumunium (Al), dengan cara pemberian zat kapur. Apa bila tidak dinetralkan kedua zat logam berat diatas dapat mengikat ion-ion pupuk yang diberikan sehingga menjadi “tidak tersedia” bagi tanaman atau dengan kata lain pupuknya tidak hilang namun tidak juga dapat bermanfat bagi tanaman. Untuk itulah maka kapur diberikan ke lobang tanam setelah pembuatan lobang tanam. Sesuai dengan sifat agrofisik dan kondisi tanah, untuk memperoleh hasil pertumbuhan yang baik maka sebelum penanaman karet, pada lobang tanam diberikan masukan berupa kapur sebanyak 250 g dan pupuk majemuk NPK Phonska sebanyak 100 g per lobang tanam. Pemupukan pada TBM 1 (umur satu tahun) dan TBM 2 (umur dua tahun) diberikan Urea, SP36, dan KCl dua kali setahun pada akhir musim kemarau dan akhir musim hujan saat lahan tidak tergenang air. Pemupukan selanjutnya pada tahun ke 3, 4, 5, 6, dan 7 hanya satu kali setahun. Adapun dosis pemupukan dilakukan sesuai anjuran dan kondisi lahan rawa lebak sebagai berikut (Tabel 1.) Tabel 1. Dosis Pemupukan Karet di Lahan Rawa Lebak KP Kayu Agung Dosis pupuk (g per tanaman) UMUR ( bulan ) Urea SP36 KCl (g) (g) (g) 0 0 100 0 3 50 50 20 8 50 50 20 12 75 100 50 18 75 100 50 24 100 150 75 36 150 200 100 48 200 300 150 dst 200 300 150 0 – 36 > 36 200 200 300 300 150 150 c. Pemeliharaan saluran drainse Pengaturan saluran drainase air, yaitu dengan cara mendalami saluran air dipinggir lahan guna menampung luapan air yang berlebihan. Hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi genangan air yang berlebihan pada saat musim hujan. Selanjutnya juga dilakukan pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. d. Pengendalian Hama dan Penyakit 488 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Beberapa hama dan penyakit yang menyerang pertanaman karet di lahan rawa lebak antara lain : 1). Hama a. Kutu tanaman (Planococcus citri) Gejala: merusak tanaman dengan mengisap cairan dari pucuk batang dan daun muda. Bagian tanaman yang diisap menjadi kuning dan kering. Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona. b. Tungau (Hemitarsonemus , Paratetranychus) Gejala; mengisap cairan daun muda, daun tua, pucuk, sehingga tidak normal dan kerdil, daun berguguran. Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona 2). Penyakit a. Penyakit pada akar : Akar putih (Jamur Rigidoporus lignosus), Akar merah (Jamur Ganoderma pseudoferrum), Jamur upas (Jamur Corticium salmonicolor), b. Penyakit pada batang : Kanker bercak (Jamur Phytophthora palmivora), Busuk pangkal batang (Jamur Botrydiplodia theobromae), c. Penyakit pada Daun : Embun tepung (jamur Oidium heveae), Penyakit colletorichum (Jamur Coletotrichum gloeosporoides), Penyakit Phytophthora (Jamur Phytophthora botriosa) Berdasarkan pengamatan visual dilapangan hingga saat ini gejala serangan hama dan penyakit seperti tersebut di atas tidak berpengaruh pada pertumbuhan, artinya walaupun ada gejala serangan hama dan penyakit tetapi tidak significant berpengaruh pada pertumbuhan tanaman karet yang ada. 5. Penyadapan Pohon karet dinyatakan matang sadap apabila lilit batangnya pada ketinggian 100 cm dari kaki gajah telah mencapai ≥ 45 cm. Penyadapan dapat dimulai apabila kebun karet telah matang sadap. Suatu kebun telah memenuhi kriteria matang sadap apabila jumlah pohon yang matang sadap sudah 60% atau lebih (Dirjendbun, 2009). Ditinjau dari kenampakan fisik pertumbuhan tanaman pada saat ini dan berdasarkan hasil pengukuran lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah maka dapat diketahui bahwa sudah lebih 60% tanaman telah mencapai lilit batang ≥ 45 cm. Ini berarti kebun karet tersebut telah matang sadap. Namun hingga saat ini tanaman belum dilakukan penyadapan karena masih menunggu persiapan alat dan bahan untuk pengelolaan lateks pasca penyadapan. Dengan pertumbuhan normal, tanaman karet dapat mulai disadap pada umur 5 tahun, sehingga usia produktifnya dapat dipertahankan hingga mencapai 25-35 tahun (Damanik, S.,et al.,2010). Hasil Pengamatan Penampilan Tanaman Dari pengamatan yang telah dilakukan hingga tahun ke 7 tanaman karet yang ditanam di lahan rawa lebak KP Kayuagung tetap bertahan hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%) dan seluruhnya menunjukan penampilan yang baik, tidak ada gejala serangan hama dan penyakit serta pertumbuhan normal (Gambar 1dan 2). 489 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Gambar 1. Pertanaman Karet Di Lebak Gambar 2. Pertanaman Karet Di Lebak Dangkal (Umur 7 tahun) Dangkal (Umur 1 tahun) Hasil pengkajian budidaya tanaman karet di lahan rawa lebak dangkal Desa Buntut Bali Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah melaporkan bahwa tanaman karet klon PB 260 dan IRR39 dapat tumbuh dengan baik (Firmansyah et al., 2012). Hasil pengukuran panjang lilit batang tanaman karet yang ditanam di lahan rawa lebak dangkal di KP Kayu Agung menunjukkan bahwa pertumbuhan lilit batang maksimum hingga tahun ke 7 (2014) mencapai 76 cm. Pada saat ini panjang lilit batang rata-rata populasi pohon karet tersebut mencapai 54,5 cm dan yang matang sadap (lilit batang ≥ 45 cm) mencapai 63,9%. Matang sadap 50% dicapai pada umur 5 tahun. Secara umum umur matang sadap karet bervariasi antara 5-7 tahun, tergantung dari beberapa faktor, antara lain klon, iklim, tindakan budidaya (Boerhendy,2010). KESIMPULAN Tanaman karet dapat dikembangkan di daerah lahan rawa lebak sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak. Ternyata tanaman karet mampu memberikan nilai tambah yang cukup baik bagi petani di lahan rawa lebak, terutama petani yang biasanya hanya menanam padi atau palawija. Hal ini menunjukkan bahwa lahan rawa lebak mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan, dan akan memberikan sumbangan besar terhadap pembangunan daerah terutama dalam meningkatkan taraf hidup dan pendapatan petani, serta secara bertahap menghilangkan kantong-kantong kemiskinan. 490 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 DAFTAR PUSTAKA Damanik, S., M. Syakir, Made Tasma, dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet.. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 86 h. Diretktorat Jenderal Perkebunan, 2009. Teknis Budidaya Tanaman Karet. file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/pedoman_umum_karet_2009.pd f. Firmansyah, M.A., Suparman, W.A. Nugroho, Harmini dan Umi Pudji Astuti (2012). Kajian Perbaikan Usaha Tani Lahan Lebak Dangkal di SP1 Desa Buntut Bali, Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan. Provinsi Kalimantan Tengah. http://bengkulu.litbangpertanian.go.id/ind/images/dokumen/tanaman-pangan/firmansyah.pdf. Island Boerhendy. 2010. Manajemen dan Teknologi Budidaya Tanaman Karet, Balai Penelitian Karet Sembawa. Noor Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Teknologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Prajnanta, F. 1996. Agribisnis karet non biji. Penerbit Swadaya. Jakarta. Puslitbangtanak. 2002. Anomali iklim. Evaluasi dampak, peramalan dan teknologi antisipasinya. Untuk menekan resiko penurunan produksi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Widjaja-Ahdi, IPG., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A. Syariffudin Karama. 1992. Sumber Daya Lahan Rawa : Potensi, Keterbatasan, dan Pemanfaatan. Pp. 19-38. Dalam pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian . 491 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tampilan Empat Varietas Unggul Baru Jagung Hibrida Berbasis Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sumatera Barat Performance of Four Superior New Variety Hybrid Maize Based on Approach Integrated Crop Management in West Sumatra Nurnayetti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat ABSTRAK Sampai saat ini, Indonesia belum mampu untuk berswasembada jagung. Salah satu upaya untuk mencapai swasembada adalah dengan meningkatkan produktivitas melalui pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan tampilan empat VUB jagung hibrida di Sumatera Barat. Penelitian telah dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dari bulan Agustus sampai Desember 2012. Percobaan ditata menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuannya adalah empat macam VUB jagung hibrida yang dilepas oleh Balitbangtan, yaitu: Bima-2, Bima-3, Bima-4, dan Bima-5. Teknologi yang diterapkan adalah komponen dasar dan pilihan yang terdapat dalam model pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan VUB berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali tinggi letak tongkol. Didapatkan dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha). VUB jagung hibrida Bima-5 sangat berpotensi untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di kawasan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Kata kunci : adaptasi, jagung, hibrida, pengelolaan tanaman terpadu, varietas unggul baru. PENDAHULUAN Sampai saat ini, Indonesia belum mampu untuk berswasembada jagung. Berdasarkan data statistik tiga tahun terakhir, volume impor jagung mencapai 2,858 juta ton (setelah dikurangi ekspor yang hanya sebesar 30.787 ton) pada tahun 2011 (Kementan, 2014). Volume impor ini menurun pada tahun 2012 menjadi 1,848 juta ton. Namun, meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 3,272 juta ton. Diperkirakan pada tahun 2014 mencapai 3,6 juta ton, akibat makin berkembangnya industri pakan ternak dan kurangnya pasokan jagung di lapangan. Diduga, kebutuhan jagung untuk makanan ternak mencapai 15,5 juta ton dan kebutuhan jagung lainnya sebesar 7,7 juta ton. Lima tahun mendatang, 492 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 diperkirakan kebutuhan industri pakan sudah mencapai 20 juta ton dan diiringi kebutuhan jagung lainnya sebesar 10 juta ton. Produksi jagung nasional ditentukan dua sumber pertumbuhan utama, salah satunya adalah produktivitas. Produktivitas jagung nasional masih rendah (4,90 t/ha) dibanding potensinya yang mencapai 14,1 t/ha dan produktivitas hasil penelitian (mencapai 7,90 t/ha di lahan sawah, 8,06 t/ha di lahan kering terbuka, dan 6,20 t/ha di lahan kering di bawah pohon kelapa) (Atman, 2015). Produktivitas jagung masih sangat beragam antar provinsi, berkisar 1,710-7,206 t/ha. Produktivitas jagung tertinggi ditemui di Provinsi Jawa Barat (7,206 t/ha), diikuti Sumatera Barat (6,703 t/ha). Sedangkan Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai daerah sentra utama jagung di Indonesia memberikan sumbangan produktivitas berturut-turut 4,803 t/ha dan 5,509 t/ha. Sementara itu, produktivitas terendah ditemui di Provinsi Papua Barat (1,710 t/ha) (BPS, 2014). Bila kesemua wilayah ini, utamanya Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dapat ditingkatkan produktivitasnya, diperkirakan akan mampu mempercepat pencapaian swasembada jagung di Indonesia, yang telah dicanangkan oleh pemerintah untuk dicapai dalam tiga tahun ke depan. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah melalui pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida (Hosen, dkk., 2013). Sejak tahun 1956 sampai 2013, telah ditemukan sebanyak 159 varietas jagung yang terdiri dari 38 varietas komposit dan 121 varietas hibrida. Varietas hibrida yang telah dilepas berasal dari Balitbangtan dan swasta. Diantara VUB hibrida yang dilepas oleh Balitbangtan adalah Bima-1, Bima-2, Bima-3, Bima-4, Bima-5, sampai dan yang terbaru (Bima-19 URI dan Bima-20 URI). Dari deskripsinya, rata-rata hasil Bima-2 (8,5 t/ha), Bima-3 (8,3 t/ha), Bima-4 (9,6 t/ha), dan Bima-5 (9,3 t/ha) (Puslitbangtan, 2013). VUB jagung hibrida ini sangat prospek untuk dikembangkan pada daerah sentra produksi jagung yang ada di Indonesia. Namun, daya adaptasinya pada masing-masing agroekosistem masih belum banyak diketahui. Untuk itu dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui keragaan tampilan empat VUB jagung hibrida di Sumatera Barat. Diharapkan hasil penelitian ini mendapatkan rekomendasi VUB jagung hibrida yang adaptif di Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Tanah Datar. BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat pada bulan Agustus-Desember 2012. Percobaan ditata menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuan yang di uji adalah empat macam VUB jagung hibrida yaitu: Bima-2, Bima-3, Bima-4, dan Bima-5. Ada empat komponen teknologi dasar PTT jagung yang diterapkan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Varietas unggul baru (VUB) hibrida; (2) Benih bermutu dan berlabel; (3) Populasi 66.000-75.000 tanaman/ha; dan (4) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Sedangkan komponen teknologi pilihan adalah: (1) Penyiapan lahan (tanpa olah tanah); (2) Pembuatan saluran drainase saluran irigasi di lahan sawah; (3) Pemberian bahan organik; (4) Pembumbunan; (5) Pengendalian gulma secara mekanis atau dengan herbisida 493 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 kontak; (6) Pengendalian hama dan penyakit; dan (7) Panen tepat waktu dan pengeringan segera. Komponen teknologi sebagai penciri PTT disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan petani sebagai penciri model PTT jagung Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Komponen Teknologi Varietas unggul Asal benih Daya kecambah benih Perlakuan benih Pengolahan tanah Jarak tanam Pupuk Urea Keterangan Bima 2, Bima 3, Bima 4, Bima 5 (hibrida) BPTP Sumbar >95% 2 g Saromil/kg benih Olahtanah sempurna 70 x 40 cm (2 biji per lubang) Berdasarkan BWD (350 kg/ha, diberikan 3 kali, umur 10, 30, dan 45 HST) Pupuk SP-36 100 kg/ha (berdasarkan PUTK, diberikan umur 10 HST) Pupuk KCl 50 kg/ha (berdasarkan PUTK, diberikan umur 10 HST) Pupuk kandang Kotoran sapi 1,5 t/ha diberikan saat tanam sebagai penutup benih Penyiangan Penyiangan manual umur 30 dan 60 HST Pengendalian OPT Menerapkan konsep PHT Panen dan prosesing hasil Panen dilakukan setelah jagung masak fisiologis, dan prosesing hasil menggunakan alat pemukul Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah tinggi tanaman (cm), tinggi letak tongkol (cm), panjang tongkol (cm), lingkaran tongkol (cm), jumlah baris/tongkol, jumlah biji/baris, berat 1.000 biji (g), dan hasil pipilan kering (t/ha). Data dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (Uji F) sesuai dengan rancangan yang digunakan. Bila uji F menunjukkan pengaruh nyata maka untuk membandingkan nilai antar perlakuan digunakan uji beda rata-rata Duncan (UBD) pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan VUB jagung hibrida memberikan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman saat panen dan tidak berbeda nyata terhadap tinggi letak tongkol (Tabel 2). Terlihat, tinggi tanaman berkisar 208,4-239,0 cm. Tanaman tertinggi didapatkan pada VUB Bima-5 (239,0 cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-4 dan Bima-3. Sedangkan tanaman terendah didapatkan pada VUB Bima-2 (208,4 cm). Selanjutnya, tinggi letak tongkol berkisar 98-116 cm. Dibanding deskripsinya, ternyata keseluruhan VUB memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi, berturut-turut 200 cm, 200 cm, 212 cm, dan 204 cm. Sebaliknya, tinggi letak tongkol keseluruhan VUB cenderung lebih rendah dibanding deskripsinya, berturut-turut 100 cm, 98 cm, 116 cm, dan 494 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 115 cm untuk Bima-2, Bima-3, Bima-4, dan Bima-5 (Puslitbangtan, 2013). Artinya, berdasarkan tinggi tanaman, keempat VUB jagung hibrida yang diuji sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar. Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman (cm) dan tinggi letak tongkol empat VUB jagung hibrida. Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012. VUB Jagung Tinggi Tanaman Tinggi Letak Tongkol No Hibrida (cm) (cm) 1 Bima-2 208,4 b 97,5 a 2 Bima-3 231,1 a 97,1 a 3 Bima-4 238,8 a 102,6 a 4 Bima-5 239,0 a 110,6 a KK (%) 4,51 6,77 Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%. Perlakuan VUB jagung hibrida juga menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris/tongkol, dan jumlah biji/baris (Tabel 3). Terlihat, panjang tongkol berkisar 17,2-19,9 cm, dengan tongkol terpanjang didapatkan pada Bima-4 (19,9 cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-5 (19,4 cm). Sedangkan tongkol terpendek didapatkan pada Bima-2 (17,2 cm) yang berbeda nyata dengan VUB lainnya. Lingkaran tongkol berkisar 15,2-16,4 cm, dengan lingkaran tongkol terpanjang didapatkan pada Bima-4 (16,4 cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-5 (16,3 cm). Sedangkan lingkaran tongkol terpendek didapatkan pada Bima-2 (15,2 cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 (15,6 cm). Jumlah baris/tongkol berkisar 12,7-13,7 cm. Jumlah baris/tongkol terbanyak didapatkan pada Bima-2 (13,7 baris) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-5 (13,5 baris). Sedangkan jumlah baris/tongkol tersedikit didapatkan pada Bima-4 (12,7 baris) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 (12,9 baris). Selanjutnya, jumlah biji/baris berkisar 33,6-38,1 butir, dengan jumlah biji/baris terbanyak didapatkan pada Bima-4 (38,1 butir) yang berbeda nyata dengan VUB lainnya. Sedangkan jumlah biji/baris tersedikit didapatkan pada Bima-2 (33,6 butir) yang berbeda nyata dengan VUB lainnya. Tabel 3. Keragaan panjang tongkol (cm), lingkaran tongkol (cm), jumlah baris/tongkol. Dan jumlah biji/baris empat VUB jagung hibrida. Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012. No 1 2 3 4 VUB Jagung Hibrida Bima-2 Bima-3 Bima-4 Bima-5 KK (%) Panjang Tongkol (cm) 17,2 c 17,9 b 19,9 a 19,4 a 1,49 Lingkaran Tongkol (cm) 15,2 b 15,6 b 16,4 a 16,3 a 1,22 Jumlah Baris/Tongkol 13,7 a 12,9 b 12,7 b 13,5 a 1,91 Jumlah Biji/Baris (butir) 33,6 d 35,2 c 38,1 a 36,0 b 0,93 Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%. 495 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Dibanding deskripsinya, ternyata hanya Bima-5 yang memiliki panjang tongkol melebihi deskripsinya (18,2 cm) dan Bima-4 menyamai deskripsinya (20 cm) serta Bima-2 dan Bima-3 masih rendah dibawah deskripsinya, masingmasing 21 cm. Sementara itu, keseluruhan VUB yang diuji menunjukkan jumlah baris/tongkol yang sama dengan deskripsi, yaitu berkisar 12-14 baris (Puslitbangtan, 2013). Artinya, berdasarkan panjang tongkol, hanya Bima-5 dan Bima-4 yang sesuai untuk dikembangkan. Namun, berdasarkan jumlah biji/baris, keempat VUB jagung hibrida yang diuji sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar. Selanjutnya, perlakuan VUB jagung hibrida juga menunjukkan pengaruh nyata terhadap berat 1.000 biji dan hasil pipilan kering (Tabel 4). Terlihat, berat 1.000 biji berkisar 260,6-370,5 g. Biji terberat didapatkan pada Bima-2 (370,5 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan VUB lainnya, sedangkan biji teringan didapatkan pada Bima-4 (260,6 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Dibanding deskripsinya, ternyata keempat VUB menunjukkan berat 1.000 biji mendekati deskripsinya, berturut-turut 378 g, 359 g, 267 g, dan 270 g (Puslitbangtan, 2013). Artinya, dilihat dari berat 1.000 biji, keempat VUB yang diuji sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar. Tabel 4. Keragaan berat 1.000 biji (g) dan hasil pipilan kering (t/ha) empat VUB jagung hibrida. Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012. No 1 2 3 4 VUB Jagung Hibrida Bima-2 Bima-3 Bima-4 Bima-5 KK (%) Berat 1.000 Biji (g) 370,5 a 358,4 b 260,6 d 268,9 c 0,17 Hasil Pipilan Kering (t/ha) 7,92 b 8,13 ab 8,50 ab 9,17 a 6,65 Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%. Pada Tabel 4 terlihat bahwa hasil pipilan kering berkisar 7,92-9,17 t/ha. Hasil pipilan kering tertinggi didapatkan pada Bima-5 (9,17 t/ha) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Sedangkan terendah pada Bima-2 (7,92 t/ha) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Dibandingkan dengan deskripsinya, ternyata dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha) (Puslitbangtan, 2013). Artinya, ditinjau dari tampilan hasil pipilan kering, VUB Bima-5 berpeluang untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar. 496 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Didapatkan dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati ratarata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha). 2. Untuk meningkatkan produktivitas jagung, maka VUB jagung hibrida Bima-5 sangat berpotensi untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di kawasan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dengan menerapkan teknologi PTT jagung. DAFTAR PUSTAKA Atman. 2015. Produksi Jagung; Strategi Meningkatkan Produksi Jagung. Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta (dalam proses pencetakan). BPS. 2014. Statistics Indonesia. https://www.bps.go.id. Diunduh 22 November 2014, jam 14.00 WIB. Hosen, N., Hardiyanto, M. Daniel, E. Mawardi, I. Manti, Atman, dan Harmaini. 2013. Model Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani Jagung Ramah Lingkungan dengan Pendekatan Dinamik Sistem di Sumatera Barat. Laporan akhir BPTP Sumatera Barat (unpublished); 55 hlm. Kementan. 2014. Portal ekspor impor. http://eksim.pertanian. go.id/. Diunduh 7 Agustus 2014. Jam 12.00 WIB. Puslitbangtan. 2013. Deskripsi Varietas Jagung Edisi 2013. PuslitbangtanBalitbangtan; 151 hlm. 497 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Profil Usahatani Terpadu Sayuran-Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau Profile of Integrated Farming between Livestock Beef Cattle and Vegetable in Bintan Regency, Riau Islands Salfina Nurdin Ahmad1 dan Yayu Zurriyati1 1 Loka Pegkajian Teknologi PertanianKepulauan Riau Jalan Pelabuhan Sungai Jang No 38 Tanjung Pinang Korespondensi: [email protected] ABSTRACT The research was conducted in February 2014 - December 2014, this research was done in Malang Village Meeting (District of Mount Deer), anculai Ekang Village and Village North Toapaya (Subdistrict Toapaya), Bintan regency. Intake of secondary data and primary data in the form of direct interviews sebanak 25 people then the data generated descriptive ditabulase later. The results showed age of childbearing age with a breeder is still under the age of 50 years, whereas the average farmer's main job is nearly 52%, using waste vegetable culled cows about 24% and 8% use kosentrat rice and composted sewage treatment by means fermentase only 16%, in the event almost all look dull hair and knowledge about worming approximately 52% and approximately 42% bloating disease .. the use of dung as fertilizer generally almost 80% is used to own the remaining approximately 20% sold. State of almost 100% cow disease Anaplasma. Sp.dan after the cows examined terrhadap terlur worm turns cows infected with worms with worm eggs 679-4.600 epg. Keywords: Medicinal herbs, beef, performance, area vegetables. ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Febuari 2014 - Desember 2014, penelitian ini dilaksananakan di Desa Malang Rapat (Kecamatan Gunung Kijang), Desa Ekang anculai dan Desa Toapaya Utara (Kecamatan Toapaya) , Kabupaten Bintan. Pengambilan data secara skunder dan data primer berupa wawncara langsung sebanak 25 orang kemudian data ditabulase kemudian dibuat secara deskriptip. Hasil penelitian menunjukkan umur peternak adalah usia produktif dengan umur masih dibawah 50 tahun , sedangkan rata-rata pekerjaan utamanya adalah petani hampir 52%, sapi menggunakan limbah sayuran afkir sekitar 24% dan penggnaan kosentrat padi 8% dan pengolahan kotoran dibuat kompos dengan cara fermentase hanya 16%, pada kegiatan ini i hampir semua terlihat bulu kusam dan pengetahuan tentang penyakit cacingan sekitar 52% dan penyakit kembung sekitar 42%.. Penggunaan kotoran sebagai pupuk ummnya hamper 80% digunakan untuk sendiri selebihnya sekitar 20% dijual. Keadaan sapinya hampir 100% menderita penyakit Anaplasma. Sp.dan setelah diperiksa terrhadap terlur cacing sapi-sapi terinfeksi cacing dengan telur cacing 679 epg – 4.600 epg. Kata kunci: Obat herbal, sapi potong, performans, kawasan sayuran. 498 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 PENDAHULUAN Berdasarkan laporan dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau (2009), rata-rata terjadi peningkatan permintaan dan konsumsi daging sapi di Provinsi Kepulauan Riau sekitar 9,31%/tahun yang sebagian besar disuplai dari impor. Sementara populasi ternak sapi potong di Propinsi Kepulauan Riau pada tahun 2011 hanya 8.323 ekor (BPS, 2011). Salah satu kendala dalam usaha pengembangan peternakan sapi potong di Kepulauan Riau adalah penyakit parasit terutama parasit interna yaitu helminthiasis (penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing). Peyakit yang cukup sering menyerang ternak sapi ini umumnya disebabkan oleh cara pemeliharaan yang kurang diperhatikan sehingga infeksi yang parah dapat menyebabkan tingkat kematian yang cukup tinggi. Penyakit cacing yang sering menyerang sapi sebagian besar disebabkan oleh jenis cacing yaitu Bunostomum sp., Oesophagustomum sp,. Trychostrongylus sp., Trichuris sp., Haemonhus contortus., Taenia sp.. Rendahnya populasi ternak sapi dipengaruhi oleh tingkat produktivitas ternak sapi yang juga rendah. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengatasinya, salah satunya dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan ternak sapi ditingkat petani. Pengembangan areal untuk tanaman sayuran di Provinsi Kepulauan Riau yang cukup pesat saat ini juga merupakan salah satu potensi untuk mendukung pengembangan ternak sapi, karena ternak dapat dapat memanfaatkan sayuran afkir sebagai sumber pakan. Saat ini produksi sayuran di provinsi ini tercatat 63.369 ton (BPS KEPRI, 2012). Jika diasumsikan 5% dari hasil panen tersebut merupakan sayuran afkir, maka akan tersedia 3.168 ton sayuran afkir sebagai sumber pakan hijauan ternak, yang berarti dapat menampung sekitar 300 ekor ternak sapi/thn, disamping itu keberadaan ternak sapi dilokasi areal tanaman sayur juga amat penting, karena ternak sebagai penghasil pupuk organik untuk tanaman. Produktivitas ternak sapi selain dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya, juga sangat dipengaruhi dengan kesehatan ternak tersebut. Salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas sapi adalah penyakit cacing.Penyakit ini dapat menurunkan bobot badan dan menggangu reproduksi ternak. Berdasarkan laporan dari instansi terkait di Kabupaten Bintan, kejadian penyakit cacing terutama cacing hati pada ternak sapi di kabupten ini adalah sekitar 45% dari populasi yang ada dengan derajat infestasi sedang sampai dengan berat dan dilaporkan pula banyak kegagalan reproduksipada ternak sapi akibat kejadian tersebut (DINAS PERTANIAN, PETERNAKAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BINTAN , 2012). Pemeliharaan ternak sapi umumnya dengan cara ekstensif hingga semi intensif. Pohon pinang (Areca catecu) banyak ditemukan di Kepulauan Kepri khususnya Kabupaten Bintan.Keampuhan obat untuk pengobatan penyakit cacing dapat diketahui dari hilangnya gejala klinis akibat penyakit tersebut pada ternak dan penampilan fisik ternak menjadi lebih baik. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas biji pinang untuk penyakit cacing dibandingkan pengobatan menggunakan obat buatan pabrik, perlu dilakukan pengkajianperbaikan manajemen pemeliharaan ternak sapi untuk peningkatan produktivitasnya dikawasan tanaman sayuran di Provinsi Kepulauan Riau. 499 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui profil peternak sapi potong di kawasan tanaman sayuran dan kejadian penyakit cacing di Kepulauan Riau. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau. Pengambilan sampel darah ternak di Kecamatan Gunung Kijang yakni Desa Malang Rapat pada kelompok Tunas Jaya, Kelompok Agri Bangun Jaya di Desa Toapaya Utara, kelompok Tunas Muda di desa Malang Rapat dan kelompok Margatani di desa Ekang Anculai bulan Febuari 2014 sampai dengan Desember 2014. Peternaknya memiliki lahan sayuran pada umumnya merupakan petani sayuran yang sudah lama menjadi petani sayuran di Kabupaten Bintan. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan skunder. Sumber data primer dari wawancara dengan responden kelompok petani sayuran dan ternak yang ditentukan secara sengaja (purpussive sampling). Selanjutnya Metode penarikan sampel dari penelitian ini adalah dilakukan Pengambilan sampel kelompok tersebut dari populasi sapi yang terbanyak berdasarkan kelompok dengan cara Fokus Discussion Group (FGD) yang dikumpulkan di tempat Balai Pertemuan . Penelitian ini dilakukan dengan metode partisipatory Rural Apprasial (PRA) yaitu proses pengumpulan data yang melibatkan kerjasama aktif antara pengumpul data dengan responden (Singarimbun dan effendi, 1995). Selanjutnya dilakukan pertanyaan pada petani peternak dengan melalui kuisioner yang dibuat sebanyak 25 orang , data di Tabulase dan dianalisa secara deskriptif. Selanjutnya data primer lainnya dengan pengambilan sampel feses diambil secara acak pada tiap kelompok dengan cara diambil dari anus sapi sekitar 5 gram kemudian dimasukkan ke dalam plastic diberi tanda kemudian diperiksa di Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi Kepulauan Riau. diperiksa Selanjutnya data ditabulasi kemudian dilaporkan secara deskriptif. Dalam pengambilan data kuisioner diamati sapi-sapi yang berada dalam kandang kemudian dicatat dan ditabulase. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengkajian produktivitas sapi potong basis kawasan sayuran di Kepulauan Riau dilakukan pada kelompok ternak dengan kawasan tanaman sayuran . Profil peternak dan ternaknya dimana pada ternaknya memperlihatkan sapi yang kurus, bulu kusam dan mucosa mata terlihat pucat . Karakterisitik kelompok peternakan sapi di kelompok Tunas Jaya, kelompok Agri Bangun Jaya dan kelompok Margatani dapat diperlihatkan pada Tabel 1. 500 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 1. Karakteristik petani , sistem Integrasi tanaman sayuran dan ternak No 1 2 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Uraian Umur 20 – 40 tahun 41 – 50 tahun >50 tahun Pendidikan SD SLTP SLTA Mata Pencaharian Buruh Petani Wiraswasta Pengalaman Usahatani tanaman < 1 tahun 2-5 tahun 6-10 tahun >10 tahun Pengalaman beternak sapi < 1 tahun >1-4 tahun >10 th Kepemilikan ternak sapi 1-5 ekor 6-10 ekor >10 ekor Sistem Pemeliharaan ternak sapi Ektensif Semi intensif Pakan yang diberikan pada ternak sapi Rumput alam Rumput +kosentrat (tongkol jagung ) Limbah pertanian Sayuran afkir Dedak padi Tongkol Jagung Jumlah limbah pertanian (sayuran) 5-10 kg /ekor/hari Persentase (%) 24 52 24 24 12 64 24 52 24 16 40 44 4 16 68 16 60 24 16 100 88 12 24 8 8 100 10-12kg/ekor/hari >15 kg/ekor/hari 11. 12. 13. 14 Penyakit yang sering menyerang ternak Cacingan Perut kembung Mengetahui manfaat kotoran ternak dari Baca buku Penyuluhan Pelatihan Jenis teknologi pengolahan kotoran ternak yang diterapkan atau pernah diterapkan Amoniasi Fermentase Tanpa olahan Pupuk organic dan kotoran ternak yang dihasilkan digunakan untuk Kebutuhan sendiri Dipasarkan /dijual 52 48 16 60 24 16 84 80 20 501 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pada Tabel 1 berdasarkan hasil wawancara dengan petani kelompok ternak diperlihatkan bahwa mata pencaharian paling banyak adalah petani sayur sekitar 52%, , dan pengalaman beternak sapi ada yang kurang dari 1 tahun sekitar 16 %, dan paling banyak yang memelihara ternak sekitar 56%. Pemberian kosentrat pada ternak sapi di tiga kelompok ternak hanya 12%. Limbah sayuran atau limbah pertanian yang diberika pada ternak sapinya hanya 6 orang sekitar 24% dan tongkol jagung hana 8% dan pemberian dedak padi hanya 8% yaitu hanya 2 orang. Jenis kotoran yang diterapkan dan yang pernah diterapkan oleh ketiga kelompok ternak adalah diolah dengan fermentase sekitar 16% dan tanpa olahan sekitar 84% hal ini dikarenakan petani atau kelompok ternak tersebut umumnya dijemur beberapa hari langsung dipakai oleh peternak. Pupuk organik atau kompos umunya digunakan sendiri hampir 8% dan dijual sekitar 80% . Hal ini bahwa ketiga kelompok ternak merupakan Kawasan kawasan tanaman sayur maka penggunaan feses sapi sebagai pupuk dengan olahan atau kompos dan tanpa olahan , dengan demikian peternak menggunakan kotoran sapi sebagai pupuk di lahan peternak itu sendiri. Tabel 2. Karakteristik kondisi ternak ternak sapi No 1 Uraian 7 Kurus (terlihat tulang rusuk) Skor 3 Skor 2 Skor 1 Bulu Kusam Pucat dilihat dari mukosa Feses Encer dan bau amis Bulu Berdiri Tidak pakai air minum dalam Kandang Kandang 8 9 10 Dekat kandang ada saluran Basis sayuran Feses dibuat kompos 2 3 4 5 6 Kelompok Tunas Jaya Kelompok 1 4 11 16 12 11 8 √ 1 2 2 5 4 3 4 √ 6 2 3 10 8 8 9 X Gelap Agak terang Ada Ya Ya Agak terang Tdk ada Tdk Tdk Ada Ya Ya Agri Bangun Jaya Kelompok Margatani Hasil penelitian dan waktu pengamatan di kandang dapat dilihat pada (Tabel 2) dan Gambar 1, terlihat bahwa pada kelompok tani Tunas Jaya keadan sapi kurus dengan skor hanya 1 sampai dengan 2 sehingga tulang rusuk yang kelihatan tiga dan empat. Hasil pengamatan dilapangan peternak tersebut agak mengerti dengan penyakit cacingan pada sapi. Pada Tabel 1, terlihat karakteristik ternak sapi dalam kandang seperti feses encer berbau amis, bulu kusam dan pucan serta bulu berdiri. Hal ini menunjukkan gejala klinis cacingan sehingga diperlukan uji laboratoriun dengan pemeriksaan feses terhadap telur cacing dapat dilihat pada Tabel 2. 502 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Eksisting peternak di tiga kelompok ternak tersebut waktu wawancara dengan peternak dimana ternaknya sangat menyedihkan dan kedaan lingkungan kandang gelap dan becek sehingga kotoran sapi encer didalam kandang menimbulkan bau yang tidak sedap. Hasil pemeriksaan sampel pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa sampel darah positif terhadap Theleria dan Anaplasma masing –masing …. % dan …. % hanya di tempat kelompok Tunas Jaya negative 2 ekor, dalam pemeriksaan ini terlihat hasil karateristik hewannya pucat dan ada tidak mau birahi. Pemeriksaan terhadap sapi-sapi tersebut negatif Bakteri Brucella, hal ini sapi yan tidak birahi bukan disebabkan oleh bakteri ini tetapi oleh sebab lain dalam hal ini adalah penyakit cacing (MERCK, 1982). Penyakit cacingan disebabkan oleh lingkungan yang kurang bersih dan keadaan gelap tempatnya sehingga kalau gelap tempat sarang nyamuk, nyamuk juga sebagai vector penyakit parasit darah dalam hal ini parasit Anaplasma sp. Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian obat herbal ekstrak pinang, obat herbal ekstrak papaya dan obat pabrik pada 2 minggu setelah pemberian tidak ada perubahan derajat infeksinya tetap ada yang sedang dan berat. Tabel 4. Hasil pemeriksaan telur cacing pada sapi yang diberikan obat cacing herbal serbuk biji pinang dan biji pada pepaya Rata-rata Epg 2 Rata-rata Epg setelah 2 mg No Kelompok Ternak mg sebelumm pengobatan (e.p.g) diobati (e.p.g) 1 Tunas Jaya 769 769 2. Agri Bangun Jaya 679 679 3. Margatani 4.300 4.397 Keterangan: SBPep=Serbuk Buah Pinang Pepaya,SBPin=Serbuk Buah Pinang, OB.P=Obat Pabrik,infeksi ringan epg<500, Infeksi sedang 5005.000,infeksi berat >5.000 Gambar 1. Sapi awal pengkajian kelihatan kurus waktu wawancara 503 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN 1. Hasil dari wawancara peternak , peternaknya memiliki usaha yang utama adalah petani 52% dan wiraswasta sekitar 24% selebihnya adalah buruh. 2. Pemanfaatan kotoran membuat kompos untuk pupuk tanaman berasal dari membaca buku dan latihan serta penuluhan. 3. Peternak sudah mengetahui gejala klinis penyakit cacing (52%) dan penyakit kembung (48%). 4. Peternak sudah mngetahui obat penyakit cacing dengan obat dari Pabrik dari Dinas Peternakan berupa Ivomec dan tradisional dengan obat pinang. 5. Hasil pemmeriksaan laboratorium sapi-sapi di kelompok Agri bangun, Margatani dan Tunas Jaya terimfeksi penyakit parasit darah Anaplasma sp., Theleria sp., dan Babesiosis dan Penyakit cacing dengan terinfeksi telur dari sedang sampai berat 679 epg-4.300 epg. DAFTAR PUSTAKA Agoes, Azwar. 1992. Antropologi Kesehatan Indonesia, Pengobatan Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Beriajaya and P. Stevensen. 1986. Reduced Productivity in Smalll Ruminant in Indonesian as a result of Gastrointestinal Nematoda infection In Livesstock Production .Dinas Peternakan Pertanian dan Kehutanan. 2011. Laporan Tahunan. BPS. 2012. Kepulauan Riau dalam Angka. Ditjennak. 2010b. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Kementan RI Kartono, J. Abas Basuni Jahari, Ahmad Sulaeman, Hardinsyah, Mary Astuti, Moesijanti Soekatri. 2012. Angka Kecukupan Gizi (Akg) 2012 Untuk Orang Indonesia. Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi http://www.majalahinfovet.com/2007/10/berbagai-metode-pengobatanpenyakit.html Komisarek, J. and Dorynek, Z., 2002. “Genetic aspects of twinning in cattle” Journal of Applied Geneticts”. 43 (1): 55-68. Manti, I., F. Nurdin, S. Abdullah, I. Rusli, E. Afdi dan Syafril. 2006. Review Teknologi Pertanian Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. MC Kay and Gandolfo,D. 2007. Phytophagous insects associated with reproductive structures of mesquite (Propsopis spp) in Argentina and potential as biocontrol agents in South Africa. African Entomology. 15: 121- 131. Meiyanto, E., Sugiyanto, dan Sudarto, B., 1997, Uji Antikarsinogenik dan Antimutagenik Preparat Tradisional Daun Gynura procumbens (Lour.) Merr., Fakultas Farmasi UGM, Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XII, 32. Mujiono. 2009. Keburuhan dan ketersediaan SDM Peternakan dalam Mewujudkan Kecukupan daging . 2010. Buku Panduan Seminar Nasional Pengembangan Usaha Pembibitan Ternak sapi Pola Integrasi Tanaman 504 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 ternak Dalam rangka Mendukung kecukupan daging 2010, Senin 14 Agustus 2006. Riady, M. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong menuju 2020. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta 8-9 Oktober 2004. P. 3-6. Waller, P.J. 1987. Anthelmintic resistance and future for roundwrm control. Veterinary Parasitology 15(2):177- 191. Waller, PJ and M. Larsen. 1996. Workshop summary Biological control of nematode parasites of livestock Veterinary Parasitology. 64: 135. 505 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Perlakuan Kombinasi Pakan pada Usaha Penggemukan Sapi Bali Jantan di Lahan Pekarangan Application of Feed Combinations Treatment on Fattening Bali Beef Cattle in Back Yard Salfina Nurdin Ahmad1, dan Twenty Liana2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, E-mail Penulis: [email protected] 1 ABSTRACT To support PSDSK 2014 and MP3EI in tidal swamp, beef cattle production using local feed resources had been encouraged. Utilization fermented of palm midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed has been used to increase of productivity and alleviate feed in the dry season. The experiment was conducted to identify prospect and production response beef cattle to feed treatment introduction as feed in beef cattle fattening systems at Tidal Swamp Lamunti A2 Village, Kapuas Regency. Fifteen cattles were used in this experiment during the period of September to December, 2005. Feed given consistsed of P I (grass + Bio cass probiotic + fermented of palm midrib + husk); PII (husk + Bio cass probiotic + grass); PIII (fermented of plam midrib + Bio cass probiotic + grass); PIV (grass + Bio cass probiotic); dan PV (control = grass that used as animal feed). The results showed that liveweight gain of P I, PII, PIII, PIV and PV treatment respectively were 0.67 kg; 0.58 kg; 0.56 kg; 0.56 kg; dan 0.33 kg respectively . P I treatment is significantly different to the others (control and three combinations feed), while for three combinations are not significantly different, but among three combinations, but significantly with control. It was concluded that the use of fermented of palm midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed gives different response from grass used as animal feed. Keywords: feed combinations, cattle, live weight gain ABSTRAK Untuk mendukung PSDSK 2014 dan MP3EI di rawa pasang surut, produksi sapi potong menggunakan sumber daya lokal pakan telah didorong. Pemanfaatan fermentasi dari pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak telah digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi pakan pada musim kemarau. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi prospek dan daging sapi respon produksi ternak untuk memberi makan pengenalan pengobatan sebagai pakan sapi potong sistem penggemukan di Tidal Swamp Lamunti A2 Village, Kabupaten Kapuas. Lima belas ekor sapi yang digunakan dalam penelitian ini selama periode September-Desember 2005. Pakan yang diberikan terdiri dari PI (rumput + Bio cass probiotik + fermentasi dari pelepah sawit + sekam); PII (sekam + Bio cass probiotik + rumput); PIII (fermentasi plam pelepah + Bio cass + rumput probiotik); PIV (rumput + Bio cass probiotik); Dan PV (kontrol = rumput yang digunakan sebagai pakan ternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan liveweight PI, PII, PIII, PIV dan 506 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pengobatan PV masing-masing adalah 0,67 kg; 0.58 kg; 0,56 kg; 0,56 kg; dan 0,33 kg masing-masing. Pengobatan PI secara signifikan berbeda dengan yang lain (kontrol dan tiga kombinasi pakan), sedangkan untuk tiga kombinasi yang tidak berbeda secara signifikan, tapi di antara tiga kombinasi, tetapi secara signifikan dengan kontrol. Disimpulkan bahwa penggunaan fermentasi dari pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak memberikan respon yang berbeda dari rumput yang digunakan sebagai pakan ternak. Kata kunci: kombinasi pakan, sapi, pertambahan bobot badan PENDAHULUAN Kalimantan Tengah dengan areal perkebunan kelapa sawit seluas 709.200 ha berpotensi untuk pengembangan sapi potong secara terintegrasi. Pada saat ini populasi sapi potong di Kalimantan Tengah adalah 63.300 ekor, atau ratio antara populasi sapi dan luas areal sawit sebesar 0,09, yang berarti peluang pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan kelapa sawit sampai dengan tingkat kepadatan maksimum 1 ekor/ha masih terbuka lebar (BPS, 2010). Pada setiap perkebunan kelapa sawit di Indonesia, limbah kebun kelapa sawit tersedia dalam jumlah yang cukup banyak dan mudah diperoleh. Ternak sapi potong pada umumnya dipelihara oleh peternak di perdesaan (99%) dengan permasalahan yang dihadapi terutama rendahnya produktivitas/reproduktivitas ternak, yaitu pertambahan bobot badan harian (PBBH) antara 0,2-0,3 kg/ekor/hari (potensi ≥ 0,5 kg/ekor/hari), angka kelahiran ternak 21% (potensi 30%) dari populasi, jarak beranak sekitar 18-21 bulan (potensi 15 bulan) (BPS, 2010). Oleh karena itu perlu adanya terobosan dalam pengembangan peternakan sapi, mengingat pemerintah mempunyai program swasembada daging sapi untuk mencukupi kebutuhan daging domestik (Mahendri et al., 2006). Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah memiliki perkebunan kelapa sawit cukup luas, yaitu 125.642,32 ha dengan populasi ternak sapi 4.741 ekor (ratio = 0,04). Produk samping yang dihasilkan dari industri kelapa sawit, baik yang berasal dari kebun maupun pabrik pengolahan jumlahnya cukup banyak, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal (BPS, 2010). Produk samping dapat diperoleh dari tanaman utama seperti pelepah (fronds), daun (leaves), dan batang (trunk), produk ikutan hasil pengolahan buah kelapa sawit seperti lumpur sawit (palm oil sludge), dan dari pengolahan inti sawit seperti bungkil inti sawit (palm kernel cake) (Prayitno dan Darmoko, 1994). Menurut hasil penelitian Jalaludin et al., (1991) jumlah pohon kelapa sawit untuk setiap hektar areal perkebunan rata-rata 130 pohon, dan setiap pohon kelapa sawit (TM) dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun dengan rata-rata bobot pelepah per batang 7 kg, atau sekitar 20 ton pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap hektar dalam setahun. Dengan persen bahan kering pelepah 26,07%, maka bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap hektar adalah 5.214 kg. Pemberian pakan tambahan yang bersumber dari produk samping kebun kelapa sawit, seperti pelepah masih belum mampu memenuhi kebutuhan sapi potong akan nutrien, sehingga perlu pemberian pakan tabahan yang bersumber dari hasil ikutan pengolahan buah sawit, seperti Bungkil Inti Sawit (BIS). 507 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Kandungan nutrien dan nilai biologis BIS cukup tinggi. BIS segar yang dihasilkan dari setiap hektar areal perkebunan setahun adalah rata-rata 560 kg. Dengan persen bahan kering 91,83%, maka bahan kering BIS yang dihasilkan adalah 514 kg/ha/tahun (Elisabeth & Ginting, 2003; Ginting & Elisabeth, 2003) Salah satu strategi pengembangan ternak sapi di Indonesia pada subsistem usahatani on farm adalah mempercepat pertambahan bobot hidup ternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari limbah perkebunan berupa silase yang diolah dari pelepah sawit, limbah pertanian berupa dedak dan probiotik bio-cass. Untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan palabilitas pelepah sawit dilakukan perlakuan fisik (dicacah/dipotong-potong), kemudian untuk mempertahankan/meningkatkan kualitas nutrien pelepah dilakukan melalui pembuatan silase. Upaya memperkaya kandungan nutrien BIS dilakukan melalui proses fermentasi yang dilengkapi dengan pakan imbuhan sebagai sumber vitamin dan mineral. Jumlah pelepah yang diberikan pada sapi adalah 30% dari bahan kering yang dikonsumsi, dengan patokan konsumsi bahan kering = 4% dari bobot hidup. Setiap ternak pengkajian diberi probiotik “bio-cas” produk BPTP Bali, yang mengandung mikroorganisme yang berfungsi untuk efisiensi pencernaan serat kasar. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana respon penggunaan kombinasi pakan pada ternak sapi terhadap Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dan konversi pakan serta prospek kedepannya. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan secara on farm reseach di Desa Lamunti A2, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, pelepah sawit diperoleh dari PT. Gelobal Agung Lestari dengan agroekosistem lahan pasang surut. Kegaitan dilaksanakan selama empat bulan dimulai bulan Mei sampai dengan September 2012. Ternak yang digunakan adalah sapi bali jantan sebanyak 15 ekor, sedang kombinasi pakan yang diberikan adalah sebagai berikut (kg/ekor/hari) (Gambar 1.): 1. PI = rumput + probiotik bio-cas + silase pelepah sawit + dedak 2. PII = dedak + probiotik bio-cass + rumput 3. PIII = silase pelepah sawit + probiotik Bio-cass + rumput 4. PIV = rumput + probiotik bio-cass 5. PV = kontrol (rumput yang biasa diberi petani). Rumput yang diberikan 25 kg/ekor/hari, probiotik 5 cc/ekor/hari, silase 2,5 kg/ekor/hari dan dedak 2 kg/ekor/hari. Probiotik Bio-cass adalah produk dari BPTP Bali, berasal dari isi rumen, mengandung mikrobial yang dapat menghancurkan serat kasar menjadi protein. Ternak diberi pakan 2 kali sehari yaitu pagi hari dan siang hari. Nilai gizi rumput yang digunakan peternak, silase hasil fermentasi, dan dedak yang diberikan pada ternak sapi ditunjukkan pada Tabel 1. 508 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 1. Komposisi Nutrient Rumput Pakan, Silase Dan Dedak Uraian Kadar air 60 °C Protein kasar (% BK) Lemak kasar (% BK) Serat kasar (% BK) Kadar abu (% BK) Bahan Ektra Tanpa N TDN Energi total (Kcal/Kg) Komposisi Rumput Silase Pelepah Pakan Sawit 65,300 34,210 10,064 8,376 0,969 96,869 5,838 11,733 41,136 50,902 56,687 19,170 3767,044 3031,044 Dedak 16,200 9,500 3,300 16,400 10,800 43,800 53,000 Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Balitnak (2012) PBBH dihitung dengan mengurangi bobot akhir dengan bobot awal dibagi jumlah hari antara kedua bobot tersebut. Dari parameter teknis tersebut selanjutnya dilakukan estimasi ekonomi untuk mengetahui kelayakan dari introduksi teknologi pakan yang diberikan serta tambahan penghasilan yang diperoleh pada masing-masing pola pemeliharaan. Pendekatan ekonomi yang digunakan adalah analisis usahatani parsial yang meliputi analisis gross margin dan biaya produksi umum sesuai dengan petunjuk Amir & Knipscheer (1989). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Pelaksana Sebagian besar petani dilokasi adalah transmigran berasal dari Pulau Jawa yang didatangkan saat proyek PLG dimulai pada tahun 1998. Setelah proyek PLG selesai banyak petani setempat meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan lain sebagai buruh. Pada tahun 2006 di desa tersebut berdiri perkebunan kepala sawit PT. Gelobal Agung Lestari, yang melibatkan petani sebagai plasma dan pekerja di perkebunan. Selanjutnya, petani yang dilibatkan pada penelitian ini adalah petani yang memiliki ternak dan bekerja di perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan pekerjaannya, petani pelaksana merupakan pekerja yang bekerja penuh diperkebunan, setengah penuh dan tidak bekerja. Pekerjaan ini menentukan petani pelaksanan dalam menyiapkan/mengumpukan hijauan berupa rumput bagi ternaknya. Petani yang tidak bekerja penuh sampai tidak bekerja di perkebunan akan memiliki waktu yang banyak dalam mengumpulkan hijauan bagi ternaknya. Usia petani pelaksana antara 27-50 tahun, usia ini termasuk dalam usia produktif yang akanlebih mendukung keberhasilan dalam usaha peternakan, namun disisi lain pendidikan petani pelaksana sebagian besar masih rendah, yaitu 45 % tamat SD, sehingga diseminasi adopsi teknologi perlu dibantu dengan metode yang sederhana. Hernanto (1989) dalam Budiharjo (2004), menyatakan bahwa kemampuan kerja seseorang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, kesehatan dan factor alam. Usia produktif sangat penting bagi pelaksanaan usaha karena pada usia ini peternak mampu mengkoordinasi dan mengambil langkah yang efektif. Tingkat pendidikan yang dimiliki peternak mempunyai kecenderungan menentukan dalam penerapan teknologi pertanian. Usahatani lain yang diusahakan selain beternak adalah dari usaha tanaman 509 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pangan (padi, jagung, ubi kayu, dan lain-lain), tanaman perkebunan (karet), dan ternak (kambing, ayam). Usaha tani lain ini diusahakan petani pelaksana bersamaan dengan usaha ternak sapi. Dari aspek perkandangan, petani pelaksana merupakan suatu kelompok tani yang telah memiliki kandang kelompok. Sistem perkandangan dalam penggemukkan sapi sebagian besar menggunakan sistem kandang terbuka dengan lantai tanah. Kandang sistem ini bertujuan agar memudahkan sirkulasi atau pertukaran udara. Menurut Marhijanto (1993) dalam Budiharjo (2004), kandang sistem lantai mempunyai keuntungan yaitu dapat menghemat biaya. Pakan ternak sapi yang digunakan petani sebagian besar adalah rumput alam, sedangkan pakan tambahan yang diberikan berupa umbi singkong dan ampas tahu. Sistem pemeliharaan yang dilakukan petani pelaksana ini adalah semi intensif yaitu dilakukan dengan cara digembalakan pada daerah yang banyak rumputnya, pada saat yang sama petani mencari rumput untuk pakan sore harinya, selanjutnya pada sore hari sapi dikandangkan. Penggembalaan dilakukan agar sapi sehat karena dapat memperoleh cahaya matahari yang cukup, selain itu dapat menekan biaya pakan, karena sapi memperoleh hijauan pada saat digembalakan. Pengenalan teknologi penggunaan silase dari pelepah sawit belum pernah dilakukan kepada petani pelaksana. Pelepah sawit yang banyak tersedia di sekitarnya biasanya dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga secara teknis teknologi tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan oleh peternak, sehingga potensi adopsi teknologinya cukup tinggi. Karakteristik petani pelaksana secara lengkap dapat dilihat pada (Tabel 2). Tabel 2. Karakteristik Petani Pelaksanan Penelitian Uraian Keterangan Pekerjaan di pekerbunan Bekerja penuh, setengah penuh dan tidak bekerja Usia 27 – 50 tahun Usahatani lainnya Tanaman pangan, tanaman perkebunan, serta ternak Tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA Kandang Kandang kelompok Pakan ternak sapi Rumput alam dan HMT Pakan tambahan Umbi singkong, ampas tahu Adopsi teknologi pakan Belum ada Penggunaan silase dari pelepah sawit Belum diketahui Gudang pakan Ada Pencacah Ada Kemudahan mendapatkan pelepah Tersedia sawit, dan dedak Kemudahan mengaplikasikan teknologi Bisa Keragaan Pertumbuhan Ternak Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot awal ternak sapi jantan bervariasi dari 212,71 – 217,85 kg dan bobot akhir dari 247,55 – 297,45 kg dengan rata-rata PBBH berkisar antara 0,33 – 0,67 kg/ekor/hari selama masa penelitian. Data keragaan produksi ternak meliputi bobot awal, bobot perbulan, selisih bobot awal dan akhir, dan rerata PBBH disajikan pada (Tabel 3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan PI dan PIII pada bulan kedua dan ketiga sudah menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bobot badan sapi 510 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dibandingkan perlakuan PII, PIV dan kontrol (Tabel 3). Pakan PI semakin terlihat pengaruhnya pada bulan keempat, karena pertambahan bobot badannya berbeda nyata dibandingkan PII, PIII, PIV dan kontrol, namun demikian perlakuan PII, PIII dan PIV juga berpengaruh nyata dibandingkan kontrol. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan imbangan silase, dedak dan probiotik bio-cass cukup efisien dicerna oleh sapi. PBBH yang dicapai pada perlakuan PI yaitu 0,67 kg/ekor/hari sudah cukup baik untuk kegiatan di tingkat lapang. Hasil ini mendekati PBBH yang dicapai pada sapi Ongole yang diberi pakan jerami padi fermentasi yaitu 0,75 kg/ekor dengan total konsumsi pakan yang diberi jauh lebih besar yaitu 13,00 kg/hari (Kostaman et al., 1999). Ditinjau dari aspek konsumsi pakan dimana PI mengkonsumsi kombinasi pakan lebih lengkap daripada ternak pada kempat perlakuan lainnya, maka semakin tinggi total konsumsi pakan akan mempengaruhi besarnya PBBH. Nilai PBHH ini masih lebih tinggi dari yang dilaporkan Boer et al. (2003) pada ternak sapi yang diberi pakan tambahan 15% onggok yaitu 0,503 kg. Begitu juga dengan yang dilaporkan oleh Prayogo et al. (2003), bahwa PBBH ternak sapi PO yang diberi pakan rumput gajah serta campuran konsentrat dan ampas kecap adalah 0,33 kg/hari dengan nilai konversi pakan 8,53. Nilai ini masih jauh lebih rendah daripada nilai PBHH penelitian ini. Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Uraian Perlakuan PI PII Bobot awal/bulan I (kg) 216,810a 215,710a PIII 212,850a Bobot bulan II (kg) Bobot bulan III (kg) Bobot akhir/bulan IV (kg) Selisih bobot awal dan akhir (kg) Rerata PBBH (kg/ekor/hari) 241,610b 260,650b 297,450c 89,640c 0,670c 233,110a 250,510a 267,910b 52,200b 0,580b 246,510b 252,740b 263,250b 50,400b 0,560b P PIV V 212,710a 217,850a 229,510a 244,450a 272,210b 49,500b 0,550b 227,900a 232,210a 247,550a 29,700a 0,330a Menurut Ishida dan Hassan (1992) dan Purba et al. (1997) dalam Simanihuruk dkk., (2008), bahwa nilai kecernaan bahan kering pelepah kelapa sawit adalah 51%, relatif sama dengan rumput alam yang mencapai 50 – 54%. Dengan kandungan zat nutrisi dan nilai kecernaan pelepah kelapa sawit tersebut, maka energi pelepah kelapa sawit diperkirakan hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga untuk pertumbuhan, bunting dan laktasi diperlukan pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi. Penambahan Probiotics bio-cass pada pakan juga membantu penyerapan pakan oleh ternak. Berdasarkan data pada Tabel 3, penambahan bobot ternak pada kombinasi pakan yang ditambah probiotik menunjukkan adanya penambahan bobot yang nyata dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Adeniji & Zubairu (2013) pada kelinci dengan penambahan suplementasi probiotik pada pakan dengan perlakuan penggunaan probiotik (Probiotik A dan Probiotik B) dan tanpa probiotik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada semua parameter pengamatan pertumbuhan kelinci dan penyerapan pakan. Pada unggas, seperti ayam petelur, pemberian probiotics juga meningkatkan produksi telur dan menurunkan tingkat kematian anakan (Yoruk et al. 2004 Cit Ezema 2013), pada ayam boiler/pedaging pemberian probiotik dengan berbegai level pada pakan meningkatkan penambahan bobot badan (Bozkurt et al. 2011 Cit Ezema 2013) dan pada sapi perahproduksi susu meningkat setelah aplikasi probiotik dibandingkan tanpa probiotik (Sretenovic et 511 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 al. 2008 Cit Ezema 2013). Menurut Fuller (1989, 1992) dan Ezema 2013, salah satu ciri dari probiotik yang bagus adalah peningkatan pertumbuhan pada ternak yang dikenakan probiotik. Sehingga pemberian probiotik pada pakan ternak harus juga memperhatikan strain bakteri yang digunakan, tingkat konsumsi ternak dan kondisi ternak sendiri (Koop-Hoolihan, 2001). Pemberian pakan tambahan 2 kg komplit feed dan 5 cc probiotik pada sapi Bali jantan mampu menambah bobot badan harian 0,63 kg/ekor/hari (Suyasa dkk, 1999). Penggunaan probiotik lokal (Jamu EKD) dengan tambahan 1% dedak menambah bobot badan harian 0,533 Kg/ekor/hari (Utomo dkk, 2009). Analisis Ekonomi Analisis ekonomi yang dilakukan adalah model input-output, yang memberikan gambaran jelas terhadap suatu proses produksi, disamping memudahkan evaluasi di masa yang akan datang. Estimasi gross margin atau keuntungan merupakan salah satu metode/teknik dari model input output yang diperoleh dari perbedaan atas total penerimaan dengan total biaya produksi (Amir & Knipscheer, 1989). Total penerimaan terdiri atas penjualan ternak hidup, sedangkan total biaya produksi terdiri dari komponen biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap meliputi biaya penyusutan kandang, sedangkan biaya tidak tetap terdiri dari biaya pembelian pakan dan konsentrat, pembelian alat (habis pakai), pembelian obat-obatan, tenaga kerja, transportasi dan lain-lain. Selain menghitung estimasi keuntungan, analisis ini juga meliputi nilai investasi pada masing-masing periode produksi dan nisbah R/C. Tentunya, pada periode produksi yang berbeda akan menghasilkan nilai investasi dan estimasi keuntungan yang berbeda pula. 1. Investasi - Harga dari ternak sapi jantan adalah Rp. 28.000/kg bobot hidup. 2. Biaya produksi - Harga pelepah sawit segar, dedak, dan probiotik bio-cass Rp. 500/pelepah; Rp. 5000/kg dan Rp. 15,625/5cc. Tenaga kerja diperhitungkan dengan upah pokok sebesar Rp. 300.000/bulan. Komponen obat-obatan diperlukan pada saat ternak masuk dalam kandang dengan perkiraan harga obatobatan tersebut adalah Rp. 1600/ekor/hari. - Alat habis pakai yang diperlukan seperti terpal, kayu untuk kandang, ember dan alat-alat pembersih diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor/periode. - Transportasi dan lain-lain diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor per periode 3. Penerimaan Total penerimaan diperoleh hanya dari penjualan ternak setelah periode penggemukan, dengan nilai yang berlaku saat itu adalah Rp. 30.000/kg berat hidup. Nilai gross margin per hari yang diperoleh masing-masing untuk perlakuan PI, PII, PIII, PIV dan PV adalah Rp. 8.244,54; Rp. 2.366,20; Rp.10.618,54; Rp. 13.891,21; dan Rp. 6.792,50, dengan nilai R/C masing-masing perlakuan 1,12; 1,04; 1,19; 1,26; dan 1,12. Perhitungan estimasi keuntungan atas biaya tidak tetap dari usaha penggemukan sapi selama penelitian berdasarkan perlakuan pakan yang diberikan berturut-turut dapat dilihat pada (Tabel 4). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa estimasi keuntungan atas biaya variabel tertinggi dicapai oleh ternak sapi dengan pemberian perlakuan pakan PIV yaitu perlakuan probiotik biocass dan rumput yaitu Rp. 13.891,21 dengan nisbah R/C 1,26. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan ini biaya produksi pakan kombinasi berupa dedak dan silase tidak diikutkan sehingga pengeluaran bagi peternak sangat 512 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sedikit. Sedangkan perlakuan lain bila dilihat dari nilai R/C Perlakuan pakan lainnya (PI, PII dan PIII) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata bagi nisbah R/C, karena biaya produksi diperoleh dari silase dan dedak, sehingga akan memberikan respon ekonomi yang sama. Introduksi teknologi pakan kombinasi pada ternak sapi tidak memberikan nilai ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian rumput segar. Respon produksi yang relatif tidak memberikan nilai tambah secara ekonomi ini, perlu mendapat perhatian lebih lanjut dalam hal inovasi pembuatan pakan, misalnya dengan menghindari penggunaan bahan-bahan pakan yang berharga tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada usahaternak sapi, setiap penambahan satu unit input akan diperoleh tambahan pendapatan yang bervariasi antara 4 sampai 26 unit output. Nisbah R/C ini akan sangat berkaitan dengan estimasi keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi keuntungan yang didapat, akan semakin besar pula nisbah R/C. Semakin tinggi nisbah R/C menunjukkan bahwa usaha tersebut semakin menguntungkan. Nilai ini masih lebih tinggi dari angka yang dilaporkan oleh Boer et al. (2003) pada ternak sapi PO yang diberi tambahan pakan 15% onggok dengan PBBH 0,503 kg menghasilkan nisbah R/C sebesar 1,09. Tabel 4. Estimasi Ekonomi Usahaternak Penggemukan Sapi (Rp) Uraian Investasi Pembelian ternak Biaya Variabel Silase Dedak Probiotik Bio-cass Obatobatan Peralatan Tenaga kerja Total biaya produkai Penerimaan Penjualan ternak Total Penerimaan Keuntungan R/C Harga satuan (Rp.) Perlakuan PI P II P III P IV PV 28.000,00 6.070.680,00 6.039.880,00 5.959.800,00 5.955.880,00 6.009.800,00 500,00 5.000,00 15,63 150.000,00 1.200.000,00 1875,60 1.200.000,00 1875,60 150.000,00 1875,60 1875,60 - 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00 250.000,00 10.000,00 250.000,00 10.000,00 250.000,00 10.000,00 250.000,00 10.000,00 250.000,00 10.000,00 250.000,00 10.000,00 7.934.155,60 7.753.355,60 6.623.275,60 6.469.355,00 6.611.400,00 8.923.500,00 8.037.300,00 7.897.500,00 8.166.300,00 7.426.500,00 8.923.500,00 8.037.300,00 7.897.500,00 8.166.300,00 7.426.500,00 989.344,40 1.12 283.944,40 1.04 1.294,224,40 1.19 1.666.945,00 1.26 815.100,50 1.12 30.000,00 513 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan silase pelepah sawit, dedak hasil pertanian dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak sapi mampu meningkatkan PBHH sapi jantan antara 0,33 – 0.67 kg/ekor/hari, dimana PBHH tertinggi berasal dari perlakuan PI. Bila dilihat berdasarkan respon produksi dan ekonomi, perlakuan PI, PII dan PIII tidak memberikan respon produksi dan ekonomi yang bagus. Hal ini terlihat dari PBHH nilai gross margin atas biaya variable tertinggi dicapai oleh ternak yang diberi pakan kombinasi perlakuan PIV Rp. 13.891,21 dengan nisbah R/C 1,26. SARAN Usaha ternak penggemukkan akan lebih efektif jika ditunjang dengan pakan tambahan yang diperoleh dari usaha tani lainnya, sehingga biaya variable dapat diturunkan. DAFTAR PUSTAKA Adenjil, A.A. and Zubairu, N., 2013, Nutrition Value of Palm Kernel Cake Supplemented with or Without Probioticts to Replece Groundnut Cake in the Diets of Weaner Rabbits, Journal of Animal Science Advances, 3(10) : 517 – 523. Amir, P. and Knipscheer, H.C., 1989, Conducting On-Farm Animal Research: Procedures and Economic Analysis, Winrock International Institute for Agricultural Development and International Development Research Center, Morrilton, Arkansas, USA. Badan Litbang Pertanian, 2005, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Sapi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Boer, M., Azizal, P.B., Hendri, Y. dan Ermidas, 2003, Tingkat Penggunaan Onggok Sebagai Bahan Pakan Penggemukan Sapi Bakalan, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peteranakan, Bogor, hal. 99 – 102. BPS. 2010, Kalimantan Tengah Dalam Angka 2010, Palangkaraya. Budiharjo, K., 2004, Analisis Profitabilitas Pengembangan Usaha Ternak Itik di Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004, Buku Statistik Peternakan Tahun 2004, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2005, Buku Statistik Peternakan Tahun 2005, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Elisabeth, Y, dan Ginting, S.P., 2003, Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong, Prosiding Lokakarya Nasional, Bengkulu, 9-10 September 2003. Ezema, C., 2013, Probiotics in Animal Production: A Review, Journal of Veterinary Medicine and Animal Health, 5(11): 308 – 316 Fuller, R., 1989, Probiotics in man and animals, Journal appl. Bacteriol, 66: 365514 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 378 Fuller, R., 2004, What is probiotics? Biologist, 5: 232 Ginting, P.S, dan Elisbeth, Y., 2003, Teknologi Pakan Berbahan Dasar Hasil Sampingan Perkebunan Kelapa Sawit, Prosiding Lokakarya Nasional Bengkulu, 9-10 Sepetember 2003. Jalaludin, S., Jelan, Z.A., Abdullah N., and Haq, Y.W.,1991, Recent Development in the Oil Palm By-Product base Ruminant Feeding System, Proc. MSAP, Penang, Malaysia pp 35-44 Koop-Hoolihan, L., 2001, Prophylactic and Therapeutic Uses of Probiotic: A Review of Jounal of The American Dietic Association. 147: 747 - 748 Kostaman, T., Handiwirawan, E., Haryanto, B., dan Diwyanto, K., 1999, Respon Bangsa Sapi Potong Terhadap Pemberian Jerami Padi. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 Oktober 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 299 – 303. Mahendri, I.G.A.P., Haryanto, B., dan Priyanti, A., 2006, Respon Jerami Padi Fermentasi Sebagai Pakan Usaha Penggemukkan Ternak Sapi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Prayitno dan Darmoko, 1994, Prospek Industri Bahan Baku Limbah Padat Kelapa Sawit di Indonesia. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Sumut. Prayogo, S., Purbowati, E. dan Dartosukarno, S., 2003, Penampilan Sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang Dipelihara Secara Intensif. Pros. SemNas Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 – 30 September 2003. hlm. 240 – 24. Rasyaf, M., 2002, Beternak Itik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Simanihuruk, K., Junjungan dan Ginting, S,P., 2008, Pemanfaatan Silase Pelepah Sawit Sebagai Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Suyasa, Guntora, S., Purwati, Suprapto dan Widyazid, S., 1999, Pemanfaatan probiotik dalam pengembangan sapi potong berwawasan agribisnis di Bali, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2(1): Utomo, Widjaya, N.E., dan Dara, E.K., 2009. Pengaruh pemberian probiotik lokal (Jamu EKD) terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi Bali jantan di Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 12(1): 11 – 20. 515 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Kearifan Lokal dalam Mengendalikan Hama untuk Menunjang Pertanian Organik S.Asikin1 dan Tumarlan Thamrin2 1) Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa 2) BPTP Sumatera Selatan ABSTRAK Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit. Di lahan rawa ditemukan lebih dari 1000 jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pengendali hama seperti bahan biopestisida. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa yang dapat dijadikan biopestisida seperti tumbuhan jenis pohon adalah pulai dan buta-buta, jenis herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman). Jenis tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama ulat grayak dengan persentase kematian larva masing-masing sebesar untuk tumbuhan pohon pulai (80-95 %), Buta-buta (80-95%), tumbuhan herbal Tawar (80-92,5%), Kakambat (75-80%) dan gulinggang (70-80%9 dan jenis gulma usar (85-95%), dan Tapak liman (70-75%). Kata kunci : Biopestisida, Kearifan lokal dan Pertanian organik. PENDAHULUAN Pertanian organik merupakan jawaban atas revolusi hijau yang digalakkan pada tahun 1960-an yang menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan kerusakan lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida kimia yang tidak terkendali. Sistem pertanian berbasis high input energy seperti pupuk kimia dan pestisida dapat merusak tanah yang akhirnya dapat menurunkan produktifitas tanah, sehingga berkembang pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya sudah sejak lama dikenal, sejak ilmu bercocok tanam dikenal manusia, semuanya dilakukan secara tradisional dan menggunakan bahan-bahan alamiah. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit. Di lahan rawa ditemukan lebih dari 1000 jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pengendali hama seperti bahan biopestisida. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa yang dapat dijadikan 516 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 biopestisida seperti tumbuhan jenis pohon adalah pulai dan buta-buta, jenis herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman) (Asikin, 2012) . Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit. Sampai saat ini dalam mengendalikan hama dan penyakit selalu bermitra dengan bahan kimia beracun atau pestisida kimiawi. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pengendalian dengan pestisida kimiawi merupakan alternatif terakhir apabila komponen tersebut tidak mampu lagi. Di lain pihak penggunaan bahan kimia beracun atau pestisida kimiawi tersebut sangat berpengaruh bunuk terhadap lingkungan terutama terbunuhnya jasad bukan sasaran terjadinya resurgensi dan resistensi terhadap hama dan terbunuhnya musuh alami (predator, parasitoid dan pathogen). Tanaman atau tumbuhan yang berasal dari alam dan potensial sebagai pestisida nabati umumnya mempunyai karakteristik rasa pahit (mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas. Tanaman atau tumbuhan ini jarang diserang oleh hama sehingga banyak digunakan sebagai ekstrak pestisida nabati dalam pertanian organik (Hasyim. 2010). Di Indonesia, sejak tahun 2001 Pemerintah telah mencanangkan gerakan “Go Organik 2010” dengan harapan Indonesia sebagai salah satu produsen utama pangan organik di dunia. Oleh karena itu dalam SNI 01-6729-2002 yang mengatur sistem pangan organik telah melarang penggunaan pestisida kimia dan dianjurkan menggunakan pestisida alami ( termasuk pestisida nabati) dan pengendalian secara mekanis ( Rizal, 2009). Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan jenis tumbuhan yang efektif untuk digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama dalam menunjang pertanian organik. Teknologi Kearifan Lokal Dalam Mengendalikan Hama Tanaman Nenek moyang kita telah mengembangkan pestisida nabati yang ada di lingkungan pemukimannya untuk melindungi tanaman dari serangan pengganggunya secara alamiah. Mereka memakai pestisida nabati atas dasar kebutuhan praktis dan disiapkan secara tradisional. Tradisi ini akhirnya hilang karena desakan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Kearifan nenek moyang kita bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu (empon-empon = Jawa), tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung, jenu = Jawa), tumbuhan berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak disukai hewan/serangga, seperti awarawar, rawe, senthe), atau tumbuhan lain berkemampuan khusus terhadap hama/penyakit (biji srikaya, biji sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak). Akhir-akhir ini banyak dilakukan ekspolorasi terhadap bahan tanaman yang mengandung bahan bioaktif dan bermanfaat sebagai pengendali hama yang ramah lingkungan, seperti penggunaan tanaman perangkap dan pestisida/insektisida nabati. Cara terbaik untuk mengatasi atau mengurangi dampak bahaya penggunaan insektisida organik sintetik terhadap manusia 517 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 maupun lingkungan perlu dicari alternatif pengendalian dengan menggunakan bahan alam yang bersifat racun bagi hama tanaman atau yang disebut dengan insektisida nabati. Misalnya untuk mengendalikan hama tikus menggunakan tumbuhan jengkol dapat digunakan sebagai pengusir tikustumbuhan tegari dan gadung dapat digunakan sebagai umpan beracun nabati dalam mengendalikan tikus (Asikin et al., 2013). Prinsip Pertanian Organik Prinsip-prinsip pertanian organik menjadi dasar dalam penumbuhan dan pengembangan pertanian organik. Menurut IFOAM (2008) prinsip-prinsip pertanian organik adalah : (1) Prinsip kesehatan : pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan; (2) Prinsip ekologi: Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan, yang bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Siklussiklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal; (3) Prinsip keadilan: Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama; dan (4) Prinsip perlindungan: Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. ( Henny. M., 2012). Hasil-Hasil Penelitian Sebelum ditemukannya pestisida kimia seperti sekarang ini petani-petani kita dulu atk moyang kita dulu dalam mengatasi atau mengendalikan hama dan penyakit tanaman, salah satunya menggunakan bahan tanaman yang diolah dengan cara ditumbuk dan disebarkan pada tanaman yang dikendalikan. Adapun jenis tanaman yang digunakan seperti: Tumbuhan Pulai (Alstonia sp) Pulai merupakan tumbuhan berbentuk pohon, tinggi mencapai 40 - 50 m, diameter batang mencapai 1 m, batang bergalur, dan berwarna abu-abu sampai putih. Permukaan batang halus sampai bersisik, kulit bagian dalam batang sangat tebal dan halus, berwarna jingga sampai kecoklatan, dan bergetah. Daun tunggal yang tersusun secara vertikal di ujung ranting, berbentuk oval atau ellips, pangkal agak lancip, ujung bundar, permukaan licin atau tidak berbulu, tulang daun sejajar, daun bagian bawah berwarna keputihan, panjang 8 – 12 cm, dan lebar 3 – 5 cm. Bunga berwarna putih dan kecil di ujung. Buah berbentuk kapsul, berpasangan, panjang 25 – 30 cm, dan permukaan licin sampai kasar (Gambar 1). Pohon pulai mengandung getah berwarna putih yang sangat pahit. Kulit batang mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol. Sedangkan daun mengandung pikrinin dan bunganya mengandung asam ursolat dan lupeol. Asikin 518 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 (2011) melaporkan bahwa ekstrak tumbuhan pulai efektif mengendalikan hama ulat garyak dengan mortalitas larva mencapai 80-95 % dan 90,0-92,5%. Gambar 1. Tumbuhan Pulai Buta-Buta (Excoecaria agalocha) Buta-buta merupakan pohon meranggas yang tumbuhnya mencapai 15 meter dan memiliki daun berwarna hijau tua yang akan berubah menjadi merah bata sebelum rontok. Bunganya berwarna kuning yang kemudian berubah menjadi bulat-bola-hijau dengan tiga tonjolan. Tumbuhan ini memiliki kayu yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat kertas yang bermutu baik. Getahnya berwarna putih pekat yang sering digunakan nelayan untuk membuat ikan pingsan sehingga mudah menangkapnya (Gambar 2). Buta-buta mengandung eksokarol, agalokol, isoagalokol, amirin dan manit. Senyawa yang berhasil diisolasi adalah tarakseron, sitosterol dan 3-O-glukopiranosil; sitosterol. Menurut Asikin dan Thamrin (2010c), bahwa ekstrak tumbuhan butabuta berpotensi sebagai pestisida nabati dengan mortalitas larva antara 75- 85%. Gambar 2. Pohon Buta-Buta Kakambat/Gandarusa (Justicia sp) Tumbuhan gandarusa (Gambar 3) merupakan tanaman obat-obatan terutama untuk penyakit ginjal dan disamping itu pula tumbuhan gandarusa dapat digunakan sebagai perawatan wajah dari jerawat dan pelik-pelik hitan. Menurut Asikin (2011), ekstrak tumbuhan gandarusa efektif dalam mengendalikan hama ulat grayak dengan mortalitas berkisar antara 75-80%. Gambar 3. Tumbuhan Gandarusa/Kakambat Gulinggang (Cassia alata) 519 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tumbuhan Gulinggang (Gambar 4) ini sering digunakan untuk pengobatan penyakit kulit seperti panu. Dan disamping itu ekstrak tumbuhan gulinggang tersebut dapat juga digunakan sebagai insektisida dan fungisida nabati untuk ulat grayak dan penyakit busuk buah yang disebabkan cendawan/fungi Coletutricum sp. Untuk insektisida nabati dapat mematian ulat grayak berkisar antara 70-80% (Asikin, 2011) Gambar 4. Tumbuhan Gulinggang Usar/Tegari (Dianella sp.) Masalah yang muncul akibat penggunaan rodentisida sintetik yang tidak bijaksana tersebut menyebabkan meningkatnya kembali perhatian sejumlah peneliti dalam memanfaatkan potensi tumbuhan seperti akar tegari (Dianella sp.) (Gambar 5) untuk mengendalikan tikus sawah (Jumar dan Helda, 2003 dalam http://wiraagungdinata.wordpress.com). Oleh karena itu, elative ve menggunakan perangkap merupakan pengendalian yang elative aman terhadap hewan sekitar dan lingkungan, pengendalian hama ini dilakukan dengan mengacu pada konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dan tepat sasaran. Berdasarkan penelitian Fauzi (1997 dalam http://wiraagungdinata. wordpress.com) memperlihatkan bahwa campuran akar tegari sebanyak 30 gram dapat mematikan 26 ekor tikus putih (Musmusculus), dari 30 ekor yang diuji atau 86,66%. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Balantek (1999 dalam http://wiraagungdinata.wordpress.com) memperlihatkan hasil bahwa larutan 30 gram akar Tegari dan dicampur dengan 150 gram beras ketan efektif membunuh tikus sawah. Jumar (1999 dalam http://wiraagungdinata.wordpress.com) menyatakan bahwa beras ketan yang direndam dalam larutan akar Tegari dan disimpan sampai 5 hari masih efektif untuk mematikan tikus sawah. Pengendalian dengan cara ini memerlukan tenaga dan biaya yang cukup besar, tidak dilakukan secara teratur dan tidak berkelanjutan sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian umpan beracun dari bahan-bahan kimia sintetis maupun bahan-bahan alami beracun seperti akar tegari (Dianella sp). Asikin (2011), melaporkan bahwa ekstrak tumbuhan tegari efektif mengendalikan ulat grayak dengan mortalitas sebesar antara 85-95%. 520 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Gambar 5. Tumbuhan Usar/Tegari Tumbuhan Tawar (Costus spect) Tumbuhan Tawar (Gambar 6) ini banyak tumbuh di lahan rawa dibagian atasnya, tanaman ini dapat digunakan sebagai penghalau hama wereng hijau. Kalau tanaman padi terserang penyakit kuning atau tungro biasanya menggunakan tanaman tawar untuk menghindari meluasnya penyebaran dari penyakit tungro tersebut. Secara manual tanaman tawar ini mengeluarkan bau yang dapat mempengaruhi aktifitas dari serangga vektor dari penyakit tungro ini yaitu jenis wereng hijau. Sehingga dengan adanya tanaman tawar ini dipertanaman padi dapat menghentikan penyebaran penyakit tunggo. Menurut Asikin (2007), ekstrak tanaman tawar ini juga efektif dalam mengendalikan hama ulat grayak. Gambar 6.Tumbuhan Tawar Tapak Liman (Elephantopus scaber) Tumbuhan tapak liman (Gambar 7) merupakan tumbuhan herbal yang banyak tumbuhan di lahan kering pada wilayah rawa lebak. Kebiasaannya tumbuhan tapak liman digunakan sebagai bahan pengobatan untuk sakit pinggang. Ekstrak tumbuhan tapak liman efektif dalam mengendalikan ulat grayak dengan mortalitas larva berkisar antara 70-75% (Asikin., 2011). Gambar 7. Tumbuhan Tapak Liman 521 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tumbuhan Liar rawa ribu-ribu dan tumbuhan mercon Menurut Asikin (2005), melaporkan bahwa kebiasaan petani dalam mengendalian hama tanaman padi pada fase generatif salah satunya adalah menggunakan tumbuhan liar jenis ribu-ribu (Lyqodium flexuosum) (Gambar 8), terutama untuk mengendalikan hama penggerek batang dan walang sangit. Adapun aplikasinya yaitu dengan cara adalah dengan menaburkan daun ribu-ribu tersebut pada lahan pertanaman padi yang masih ada airnya. Dengan perlakuan tersebut serangan penggerek batang (beluk) dan walang sangit dapat dihindari. Tumbuhan mercon ini digunakan petani pada saat tanaman padi pada fase generatif yaitu dengan cara dibakar digalangan disamping sawah. Dengan cara pembakaran ini dapat mengekluarkan asap. Taktik pengandalian dengan menggunaan asap sudah seringkali dilakukan oleh petani rawa lebak maupun tadah hujan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Tetapi dengan mengganti bahan pengasapan tersebut dengan menggunaan tumbuhan mercon hasil yang cukup memuaskan, karena bahan tumbuhan tersebut kalau dibakar dapat mengeluarkan bau yang menusuk sehingga dapat mempengaruhi kunjungan dari imago penggerek batang. Hal ini sudah dilakukan petani dalam mengendalikan hama padi pada fase generatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengasapan dengan menggunakan bahan tumbuhan mercon intensitas kerusakan dari serangan penggerek batang dapat ditekan yaitu berkisar antara 5-10%. Adapun waktu pengasapan kebiasaanya dilakukan pada sore hari menjelang malam. Menurut Sanjaya (1970), mengemukkan banyak diantara jenis-jenis serangga tertarik atau menolak oleh bau-bauan dipancarkan oleh bagian tanaman yaitu bunga ataupun buah atau benda lainnya. Zat yang berbau tersebut pada hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti pada pengasapan bahan mercon tersebut. Gambar 8. Tumbuhan Ribu-Ribu KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa seperti tumbuhan jenis pohon pulai dan buta-buta, jenis herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman), dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama ulat grayak dengan persentase kematian larva masing-masing sebesar untuk tumbuhan pohon pulai (80-95 %), Buta-buta (80-95%), tumbuhan herbal Tawar (80-92,5%), Kakambat (75-80%) dan gulinggang (70-80%) dan jenis gulma usar (85-95%), 522 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dan Tapak liman (70-75%). Semua jenis tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan yang pernah digunakan nenek moyang kita dalam mengatasi hama/mengendalikan hama tanaman. DAFTAR PUSTAKA Asikin, S. 2007. Mempelajari Tumbuhan Tawar Dalam Mengusir Vektor Penyakit Tungro. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra Banjarbaru. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2010. Pengendalian Ulat Grayak Spodoptera litura dengan Menggunakan Ekstrak Bahan Tumbuhan Liar Rawa. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Bogor 5 - 6 Agustus 2009. Strategi perlindungan tanaman menghadapi perubahan iklim global dan sistem perdagangan bebas. Hal. 180 - 192. Asikin. S. 2011. Flora Rawa Sebagai Pengendali OPT dan Penyakit Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung. Bandung 16 - 17 Pebruari 2011. Hal 83 - 96. Asikin, S. 2012. Fungsi Flora Rawa Dalam Peretanian Organik. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian (Buku III). Banjarbaru 13 - 14 Juli 2011. Hal 361 - 378 Asikin, S., dan Khairuddin. 2013. Pengenalan Kearifan Lokal Dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman Ramah Lingkungan. Dalam Sulaeman. Y., Ladiyani, R.W., Edi Husen, C. Tafakresnanto, Woro. E., S. Wahyuni, E.Maftu’ah dan Erna. S. (Ed). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan. Bogor, 29 Mei 2013. Hal. 465-474. Hasyim, A. 2010. Efikasi dan Persistensi Minyak Serehwangi sebagai Biopestisida terhadap Helicoverpa aemigera . Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lemba IFOAM. 2008. The World of Organic Agriculture -Statistics & Emerging Trends 2008. http://www.soel.de/fachtheraaii downloads/s_74_l O.pdf. Nenny. M. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. J Forum Penelitian Agro Ekonomi 30(2), Desember 2012. Hal. 91-108. Rizal, M. 2009. Pemenfaatan Tanaman Arsiri sebagai Pestisida Nabati, Balitro. Bogor. 523 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Flora Rawa Sebagai Komponen Pengendali Hama Terpadu Tumarlan Thamrin1) dan Syaiful Asikin2) 1) BPTP Sumatera Selatan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa 2) ABSTRAK Di lahan rawa ditemukan flora rawa yang sangat bervasiasi jenisnya, dari jenis flora tersebut ada yang berfungsi sebagai bahan pengendali hama, pupuk, bahan penyerap unur beracun, biofilter dan bahan obat-obatan. Dalam mengendalikan hama pada umumnya selalu bertumpu dengan menggunakan insektisida sintetik. Sulitnya mengurangi penggunaan insektisida kimia atau yang disebut insektisida sintetik disebabkan belum adanya cara pengendalan lain yang efektif. Insektisisa sintetik mudah aplikasinya karena siap pakai dan hasilnya lebih cepat terlihat. Padahal telah banyak dilaporkan bahwa insektisida sintetik bukan saja berdampak negatif bagi lingkungan, namun juga terhadap kesehatan manusia. Untuk mengatasi hal tersebut di atas perlu dicari alternatif pengendalian hama yang ramah lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan beberapa jenis flora seperti tumbuhan purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap hama penggerek batang padi putih dan sebagai bahan attraktannya. Beberapa jenis flora rawa dapat digunakan sebagai bahan pembuatan insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah, Pegagang, Cambai karuk dalam mengendalikan hama ulat grayak,ulat jengkal,ulat buah, ulat kubis/plutella dan wereng coklat. Untuk tumbuhan Kirinyu atau rumput minjangan berperan sebagai biopestisida dan bahan pupuk organik atau Biopertilezer. Kata kunci: Flora rawa, pengendali hama, ramah lingkungan PENDAHULUAN Di lahan rawa ditemukan tumbuhan yang sangat bervasiasi jenisnya, dari jenis-jenis tumbuhan tersebut ada yang berfungsi sebagai bahan pengendali hama, pupuk, bahan penyerap unur beracun, biofilter dan bahan obat-obatan. Dalam mengendalikan hama tanaman pada umumnya selalu bermitra dengan bahan kimia beracun atau isektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik yang kurang bijaksana berpengaruh negatif terhadap lingkungan seperti terbunuhnya jasad bukan sasaran, terbunuhnya jenis musuh alami, berpengaruh buruk terhadap kesehatan manusia dan hewan peliharaan. Peran flora rawa di dalam ekosistem pertanian dapat dipandang sebagai organisme pengganggu tanaman, karena memiliki daya kompetisi yang tinggi, dapat tumbuh secara cepat, dan daya serap yang tinggi terhadap unsur-unsur yang tersedia di tanah (Ross dan Lembi, 1988). Namun tidak semua gulma menjadi musuh bagi petani. Interaksi antara gulma dan tanaman produksi menyebabkan berkurangnya hasil tanaman produksi. Sinyalemen ini berhubungan erat dengaan arah dan strategi pengelolaan gulma/flora yang bertujuan untuk mengendalikannya seoptimal mungkin. Di sisi lain, penggunaan gulma secara 524 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 langsung maupun tidak langsung, sangat bermanfaat untuk bahan baku pupuk, industri, obat-obatan, sayuran, biofilter, makanan ternak, makanan ikan, inang hama, dan alat penjernih limbah cair rumah tangga. Penggalian berbagai potensi flora rawa itu, telah banyak yang melaporkan (Everaats, 1981), dilakukan melalui pengetahuan kearifan lokal, inventarisasi, koleksi dan pelestarian plasma nuftahnya. Untuk pelestarian gulma yang bermanfaat masih ditemui banyak permasalahan, terutama mengenai budidaya gulma, karena pada saat ini gulma masih dikategorikan sebagai tumbuhan liar. Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan manfaat dari beberapa jenis flora rawa pasang surut yang dapat digunakan sebagai komponen pengendali hama ramah lingkungan. Flora Rawa Sebagai Komponen Pengendalian Hama Purun Tikus (Eleocharis dulcis) Sebagai Tanaman Perangkap Purun tikus (E.dulcis) adalah jenis tumbuhan liar yang paling banyak ditemukan tumbuh di lahan pasang surut sulfat masam termasuk kedalam famili Cyperaceae. Hasil penelitian sejak tahun 1995 - 2008, diketahui bahwa tumbuhan purun tikus sangat disenangi oleh hama penggerek batang padi putih sebagai tempat meletakkan telurnya. Jumlah telur yang diletakkannya > 6000 kelompok telur setiap hektarnya, lebih banyak daripada jumlah telur yang diletakkan pada gulma lainnya pada padi (Gambar 1). Kelompok Telur Peng.Batang 8000 7000 6000 5000 2005 Kel.Telur 4000 2006 3000 2007 2000 2008 1000 2009 0 E.dulcis P.karka S.grossus Padi Jenis Tumbuhan Liar Gambar 1. Kelompok Telur Peng Batang Padi pada Beberapa Tumbuhan liar dan padi di Lahan Pasang Surut. Sumber : Asikin dan Thamrin (2009) Jumlah kelompok telur yang diletakkan pada purun tikus lebih banyak daripada tumbuhan lainnya, hal ini disebabkan tumbuhan lainnya mempunyai batang yang lebih keras, selain itu bagian permukaan batang purun tikus lebih licin sehingga memudahkan bagi penggerek batang untuk meletakkan telurnya. Menurut Asikin et al. (2001) bahwa penggerek batang padi putih lebih tertarik meletakkan telurnya pada purun tikus dibandingkan dengan padi yang permukaan daunnya kasar. Hasil penelitian yang menggunakan purun tikus sebagai tanaman perangkap ternyata yang diletakkan di tepi sawah lebih banyak memerangkap penggerek batang padi untuk meletakkan telurnya dengan tingkat kerusakan 525 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 paling rendah dan yang tertinggi adalah areal pertanaman padi tanpa tanaman perangkap (Gambar 2). 16 intensitas kerusakan (%) 14 12 10 tanaman perangkap (tepi sawah) 8 6 tanaman perangkap (tengah sawah) 4 2 tanpa tanaman perangkap 0 1998/1999 1999/2000 musim hujan Gambar 2. Pengaruh letak tanaman perangkap (purun tikus) terhadap intensitas kerusakan padi oleh batang putih, Kabupaten Banjar, Kalsel Purun Tikus Sebagai Bahan Attraktan Ada lima jenis rumputan yang disenangi oleh penggerek batang padi putih meletakkan telurnya yaitu rumput purun tikus (Eleocharis dulcis), kelakai (Stenochlaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput bundung (Scirpus grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata). Tetapi dari kelima jenis rumputan tersebut yang paling disenangi dan paling banyak ditemukan kelompok telurnya hanya pada E. dulcis. (Gambar 3 dan 4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak purun tikus (Eleocharis dulcis), dan kemudian diikuti prupuk (Phragmites karka) mempunyai potensi sebagai attraktan bagi penggerek batang padi putih. Pengaruh Ekstrak Tum.Rawa Terhadap Peng.Batang 60 JJlh.Kel.Telu 50 40 30 20 10 0 E.dul cis S.grosus L.articulata S.palutris P.karka Kontrol Jenis Ekstrak Gambar 3. Jumlah Kelompok Telur Penggerek Batang yang Terperangka Inlitra Banjarbaru MT.2001 (Sumber : Asikin, 2002). Menurut Asikin dan Thamrin (2003), melaporkan bahwa ekstrak purun tikus murni yang dicairkan dan diaplikasikan pada tanaman padi ternyata paling banyak memerangkap kelompok telur penggerek batang dibandingkan dengan perlakuan lainnya, kem udian solvent purun tikus yang juga disemprotkan pada tanaman padi, ternyata solvent dari bahan segar yang langsung diaplikasikan paling banyak menarik penggerek batang padi putih untuk meletakkan telurnya. 526 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pengaruh Ekstrak E.dulcis Terhadap Peng.Batang 35 Jlh.Kel.Telu 30 25 20 Langsung 15 Simp 1 hari 10 Kontrol 5 0 Bhn Segar Bhn Kering E.ducis Gambar 4. Pengaruh solvent purun tikus (E.dulcis) terhadap penggerek batang pada MK. 2003 (Sumber : Asikin dan Thamrin, 2003) Flora Rawa Sebagai Pestisida Nabati Beberapa jenis flora rawa yang berpotensi sebagai pestisida nabati dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman (Tabel 2). Tabel 2. Manfaat Flora/Tumbuhan Liar Rawa Nama Ilmiah Pangium edule Cassia sp Canavalis sp Centella asiatica Lasia spinosa Piper sarmentosum Erythrina subumbrans Leea indica Urtika dioica Hedychium sp Barringtonia spicata Glutha rengas Dillenia suffruticosa Justicia sp Maleleoca cajuputi Patycerium bifurcatum Ficus glomerata Croton tiglium Amorphophallus Campanulatus Annona muricata Nyctanthes abortritis) Melastoma affene Eleocharis dulcis) Phragmites karka Scirpus grosus Psidium guajava Alpinia galangal Cerbera odollam Diocorea composite Derris eliptica) Jenis Flora Rawa Nama Daerah Bag.Tanaman Kapayang Kulit Batang, daun, buah Gulinggang Daun Kac.parang Biji Jalukap Daun Gagali Daun Cambai karuk Daun Dadap Daun Mamali habang Daun Jalatang tulang Daun Suli tulang Daun Putat Daun Jingah Daun Simpur Daun Patah kajang Daun Kakambat Daun Tanaman mercon Daun Gelam Daun Lukut Daun Luwa Daun Kumandrah Daun Maya Daun,Umbi Sersak Sarigading Karamunting Purun tikus Prupuk Bundung Jambu biji Lengkuas Kelampan Kelabuau Gadung Tuba Daun Daun Daun Daun Daun,umbi Daun,buah Daun Umbi Daun,akar Ket/Kegunaan Insektisida Insektisida/Fungisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Tan.perangkap Tan.perangkap Tan.perangkap Fungisida Fungisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida 527 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Nama Ilmiah Vitex trifolia Phitecellobium lobatum) Spondias pinnata) Peronema canescen) Morinda citrifolia Stenochiaena palutris) Datura fastuosa L. Lycodium flexuosum Blumea balsamifera Acorus calamus L.) Orthosiphon stamineus Benth.) Uncaria gambir) Acanthus ebracteatus Elephantophus scaber Averrhoa bilimbi L Dianella montana bl Chromolaena odorata Flacourtia rukam Mangifera caesia Alstonia sp Crinum asiaticum Jenis Flora Rawa Nama Daerah Bag.Tanaman Langgundi Daun Jengkol Daun Ket/Kegunaan Insektisida Insektisida Kedondong Sungkai Mengkudu Kalakai Kacubung Raja bangun Pisang bangkui Mantawingan Miratan Kanidai Panahan banyu Pilancau/Mamali Kayu Mandau Akar arau Kalindayu Pidampul Racun ayam Mantawingan kulit Ribu-ribu Sasambung Dringo Kumis kucing Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun,kulit Daun Daun Daun Daun Insektisida Insektisida Insektisida Tan.perangkap Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Gambir Talang hujan Sambung Asam Bati-Bati Putih Hambat Lalat Jeruju Tapak gajah Sawi Laut Serunai Belimbing tunjuk Kayu miskin Usar Rumput minjangan Rukam Binjai Pulantan Bakung Rawa Getah Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Batang Daun,akar Daun Daun Daun Daun Daun Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida/Rodentisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Insektisida Sumber: Asikin dan Thamrin (2010) Tanaman Jingah (Glutha rengas) Ekstrak tanaman Jingah (Glutha rengas) termasuk tumbuhan famili Anacardiaceae, yang sering dimanfaatkan kayunya, ini terkenal karena getahnya amat beracun. Bila terkena kulit, getah rengas bisa menyebabkan iritasi berat, bahkan bisa melumpuhkan manusia. Racun dari getah ini juga kerap digunakan untuk berburu binatang. Meski bersifat iritan, getah rengas punya khasiat untuk membasmi jamur. Beberapa penelitian menyebutkan rengas mengandung senyawa ursiol, rengol, 528 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 glutarengol, laccol, dan thitsiol. Sedangkan kayunya punya senyawa golongan steroid, lipid, benzenoid dan flavonaloid. Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia sentitik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang menimbulkan dampak negatif antara lain risidu yang terjadi melalui rantai makanan yang membahayakan manusia dan lingkungan (http://www.tempo.co.id/hg/iptek/2007). Asikin dan Thamrin (2010), melaporkan bahwa tanaman jingah ini cukup efektif dalam mengendalikan hama penggerek batang padi yaitu mencapai 75%. Tumbuhan Bintaro dan Simpur Selain tumbuhan liar tersebut diatas ditemukan juga tumbuhan Simpur (Dillenia suffruticosa) dan Bintaro (Cerbera odollam) kedua jenis tumbuhan ini berupa pohon berkayu. Menurut Asikin dan Thamrin (2007), bahwa ekstrak tumbuhan simpur dan bintaro efektif dalam mengendalikan hama perusak daun seperti ulat grayak (Spodoptera litura) dan ulat jengkal (Plusia sp) dengan persentase mortalitas larva antara 75-95% (Gambar 4). Kedua jenis tumbuhan tersebut berkayu tersebut mengandung saponin. Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang telah terdeteksi lebih dari 90 jenis suku tumbuhan. Saponin senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah. Saponin merupakan bahan yang beracun terhadap serangga. Adapun kandungan bahan aktif dari tumbuhan kelampan (Cerbera odollam) tersebut adalah daun, buah dan kulit batang bintaro/kelampan mengandung saponin, daun dan buahnya juga mengandung polifenol, disamping itu kulit batangnya mengandung tanin (http://am3green.wordpress.com). Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang telah terdeteksi lebih dari 90 jenis suku tumbuhan. Saponin senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah. Saponin mempunyai kegunaan sebagai racun dan antimikroba (jamur, bakteri, virus), bersifat antioksidan dan antikarsinogenik. Adanya kandungan saponin ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dalam air aglikonnya. Saponin ini memiliki berat molekul yang besar, larut dalam air, alkohol dan etanol. Salah satu senyawa saponin yang terkandung dalam binahong adalah ancordin. Ancordin merupakan sejenis protein yang memiliki berat molekul tinggi. Ancordin ini berfungsi sebagai antibodi stimulan pencegahan penyakit sehingga meningkatkan daya tahan tanaman. Senyawa ancordin ini dapat memacu terbentuknya nitrit oksida. (http://dinicanidria.blogspot.com). Austin (1984) dalam (http://dinicanidria.blogspot.com) menyebutkan bahwa peran nitrit oksida pada tanaman dapat digunakan sebagai bahan penambah katalis dalam pembuatan herbisida. Saponin ini berkaitan erat dengan reaksi penyabunan, sehingga diprediksikan binahong dapat melisiskan dinding sel serangga yang sulit dibasmi karena mempunyai zat lilin, contohnya kutu putih Tanin tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam angoespermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dengan protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan dirusak misalnya bila hewan memakannya maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini protein 529 Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014 lebih sukar dicapai ole h cairan pencernaan hewan. Sebahagian besar tumbuhan yang banyak mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepet (Rus taman et.al 2007). Utami (2010), melaporkan bahwa seperti biji bintar o/kelampan mengandung alkaloid, steroid, triterpenoid dan saponin. Da ging buah mengandung flavonoid, steroid, dan saponin. Daun mengandung flavo noid, tanin, saponin dan steroid. Ranting mengandung flavonoid dan steroid. Sedangkan kulit batang mengandung fvonoid dan steroid. Senyawa golon gan alkaloid bersifat toksik, repellent, dan mempunyai aktivitas penghambat makan terhadap serangga (antifeedant). Prosea (2002) melaporkan bahwa adan ya kandungan cerberin pada biji bintaro/kelampan diduga memberikan efek mematikan pada tikus. Cerberin merupakan golongan alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap mortalitas serangga. Saponin dan plifenol dikenal sebagai senyawa yang sangat toksik terhadap serangga. Sedangkan flavonoid m empunyai efek antimikroba/sesebagai pelindun g tanaman dari patogen dan antife edant (Dadang dan Prijono, 2008). Adanya kandungan bahan kimia yang terda pat pada bagian-bagian tanaman bintaro/kelampan tersebut maka potensi tanaman bintaro/kelampan sebagai pengendali seran gga hama termasuk rayap kayu kering sangat besar. Tumbuhan Simp ur (Dellinia suffruticosa), merupakan salah satu tumbuhan asli Asia yang menga ndung antioksidan. Adapun senyawa antiok sidan yang terindentifikasi dalam t anaman simpur (Dillenia suffruticosa) adalah B HT dan 1-doctriacontanol (Prames ti, 2005). Gambar 4. Efikasi ekstrak flora rawa Bintaro dan Simpur terhadap ham a perusak daun Pegagan (Centela asiatica [L.] Urban) Pegagan dapat diperbanyak dengan pemisahan stolon dan biji. Menurut Asikin dan Thamrin (20 05), tanaman ini cukup efektif untuk mengendalikan ulat jengkal dan ulat grayak . Herba rasanya manis, sifatnya sejuk, berkhasiat tonik, antiinfeksi, antitoksik, antirematik, penghenti pendarahan (hemostatis), peluruh kencing (diuerik ringan), pembersih darah, memperbanyak pengeluara n empedu, pereda demam (antipiretik), penenang (sedatif), mempercepat penyemb uhan luka, dan melebarkan pembu luh darah tepi (vasodilator perifer). Khasiat sed atif terjadi melalui mekanisme kolinergik di susunan syaraf pusat Pegagan mengandung asiaticoside, thankuni side, isothankuniside, madecassoside, brahmoisde, brahminoside, brahmi c acid, madasitic acid, hydrocotyline, m esoinositol, centellose, caretenoid s, garam mineral (seperi garam kalium, natrium, magnesium, kalsium, besi) zat pahit vellarine dan zat samak. Didug a senyawa 530 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 glikosida triterpenoida yang disebut asiaticoside berperan dalam berbagai aktivitas penyembuhan penyakit. Asiaticoside berperan dan senyawaan sejenis juga berkhasiat anti lepra (kusta). Secara umum, pegagan berkasiat sebagai hepatoprotektor yaitu melindungi sel hati dari berbagai kerusakan akibat racun dan zat berbahaya (http://drliza.wordpress.com). Jengkol (Phitecellobium lobatum) Menurut Asikin dan Thamrin (2005), tanaman jengkol selain efektif untuk ulat grayak juga efektif untuk mengendalikan ulat kubis atau ulat tritip. Menurut Setianingsih (1994), jengkol mengandung alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin dan saponin. Daun jengkol mengandung saponin, flavonoida dan tanin (htt://waristek.ristek.go.id). Smith (1989) dalam Nursal (2003), melaporkan bahwa alkaloid, terpenoid dan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nunik et al (2001), melaporkan bahwa buah lerak yang mengandung golongan senyawa saponin, daun kecubung yang mengandung alkaloid dan antrakoinon serta daun orang-aring yang mengandung minyak atsiri, tanin dan steroid terbukti berkhasiat sebagai insektisida. Hal ini mengindikasikan bahwa tanin, saponin dan flavonoid mempunyai daya toksik terhadap hama. Zat toksik tanin, saponin dan flavonoid yang terdapat pada daun jengkol inilah yang menyebabkan ulat grayak mati. Daun jengkol diduga lebih banyak mengandung tanin hal ni nampak pada saat pembuatan larutan pasta, dimana larutan pasta tidak adanya busa yang terbentuk, sedangkan zat aktif saponin mempunyai kemampuan membentuk busa (Widodo, 2005). Cambai karuk (Piper caninum) Tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional sebagai obat dan berkhasiat untuk penyakit maag dan ginjal. Tumbuhan cambai karuk (Piper sarmentosum Roxb.Ex Hunter) mengandung saponin, polifenol, fvanoid dan minyak atsiri (Permadi 2005). Menurut Pittaya (2006), tumbuhan cambai karuk juga mengandung berbagai kandungan senyawa seperti pyrrolidinel amide, betasitosterol, methylenedioxybencena, guineensine, alkene, sarmintine, pellitorine, sarmentosine dan polifenol. Suli Tulang (Hedychium sp) Tanaman tersebut kebanyakan ditemukan tumbuh pada habitat lahan pasang surut sulfat masam dan tergenang air. Bentuk dari tanaman ini sepeti tanaman kunyit. Adapun tanaman ini digunakan masyarakat dayak sebagai bahan pengobatan terhadap penyakit dalam dan tulang patah. Tanaman ini cukup beracun terhadap ulat jengkal, ulat grayak dan ulat buah (Asikin dan Thamrin, 2005). 531 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Rumput minjangan/Kirinyu Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia sentetik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang menimbulkan dampak negatif antara lain risidu yang terjadi melalui tantai makanan yang membahayakan manusia dan lingkungan. Menurut Campbell, (1933) dan Burkill, (1935) jenis tumbuhan telah diketahui berfungsi sebagai insektisidal dan repelen atau attraktan mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin. Pada pestisida nabati tersebut diduga bersifat racun perut, karena pada hari pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi setelah larvalarva tersebut makan sehingga mengakibatkan gejala keracunan bagi larva tersebut. Daya toksisitas/racun tertinggi yaitu pada bahan tumbuhan Pangium edule, Palatycerium bifurcatum dan Eriglossum rubiginosum dan Chromolaena odorata yaitu daya racunnya berkisar antara 70-85% (Asikin dan Thamrin, 2002). Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat luka tanpa menimbulkan bengkak, tumbuhan ini berfungsi juga sebagai bahan insektisida nabati untuk mengendalikan beberapa jenis hama sayuran. Biller et al. (1994), melaporkan tumbuhan rumput minjangan juga dapat digunakan sebagai pakan ternak, namun harus melalui proses pengolahan seperti pengeringan dan penumbukan. Rumput minjangan mengandung Pas (Pryrrolizidine Alkaloids) sebagai racun, dan kandungan ini menyebabkan tanaman ini berbau menusuk, rasa pahit, sehingga bersifat repellent dan juga mengandung allelopati. Rumput minjangan/Kirinyu ini cukup efektif dalam mengendalikan hama perusak tanaman sepeti ulat grayak, ulat jengkaldan ulat buah (Asikin dan Thamrin 2005). Kirinyu (Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid, tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009). Menurut Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi. Kandungan antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut: Haemagglutinnin 9.72 mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin 0.50 Chromolaena odorata Sebagai Bahan Pupuk Organik Kualitas Biomasa Gulma Chromolaena odorata Kualitas bahan organik ditentukan oleh komposisi kimia dan sifat fisik bahan. Komposisi kimia yang paling menentukan kualitas bahan organik yaitu kandungan C-organik, N-total, P-total, rasio C/N kandungan lignin dan polifenol (Swift dan Woomer, 1993). Bahan organik dikatakan mempunyai kualitas tinggi jika mengandung lignin kurang dari 15 %, kandungan polifenol kurang 4 %, Nitrogen lebih besar dari 2,5 %, kandungan P-total lebih besar dari 2,5 % dan rasio C/N kurang dari 2 % (Hairiah, 2000). Bahan organik kualitas tinggi mempunyai kemampuan menyediakan unsur hara dalam waktu yang relatif cepat, sehingga sesuai sebagai sumber unsur hara bagi tanaman. Sebaliknya bahan organik yang mempunyai kualitas rendah dengan rasio C/N > 20, kandungan lignin lebih besar dari 15 %, polifenol lebih besar 4 %, hanya baik digunakan 532 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sebagai sumber bahan organic tanah. Bahan organic tanah penting peranannya dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia maupun biologi tanah. Hasil penelitian Pratikno (2002) menunjukkan bahwa biomasa Cromolaena odorata dan Agerathum conyzoides merupakan bahan organic kualitas tinggi dengan komposisi kimia bahan seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia biomasa Cromolaena odorata dan Agerathum conyzoides Komposisi C – organic (%) N – total (%) Rasio C/N P total (%) Rasio C/P Lignin (%) Polifenol (%) Chromolaena odorata 49,97 3,04 16,44 0,29 173,86 9.00 4,62 Agerathum conyzoides 34,56 2,31 14,96 0,58 60,135 11,44 0,82 Sumber: Pratikno, 2002 Rasio C/N bahan menunjukkan mudah tidaknya bahan organik tersebut terdekomposisi. Rasio C/N tinggi menunjukkan bahan organik yang sukar terdekomposisi karena adanya fraksi tahan lapuk dalam jumlah yang besar. Fraksi tahan lapuk tersebut terdiri dari lilin, lemak dan selulosa (Kanmegne et al., 1995). Sebaliknya bahan organik dengan rasio C/N rendah merupakan bahan organik yang mudah terdekomposisi. Akan tetapi rasio C/N saja tidak cukup untuk digunakan sebagai acuan kualitas bahan organik. Hal tersebut dinyatakan oleh Handayanto et al., 1994, selain rasio C/N bahan organik, dekomposisi dan mineralisasi bahan organik ditentukan oleh kandungan lignin dan polifenol. Tingginya kandungan lignin bahan organik mengakibatkan dekomposisi yang terjadi lambat akibat terhambatnya aktivitas mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi tersebut. Lignin merupakan senyawa tahan lapuk karena lignin mempunyai struktur yang mengandung OCH3 yaitu senyawa yang dapat menghambat proses dekomposisi (Stevenson, 1982). Selain lignin, polifenol sangat mempengaruhi dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Polifenol dapat melindungi protein dari dekomposisi yang cepat, karena polifenol mampu mengikat protein dalam bahan organik. KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa jenis flora rawa dapat digunakan sebagai komponen pengendalikan hama ramah lingkungan misalnya seperti flora rawa purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap hama penggerek batang padi putih dan sebagai bahan attraktannya. Beberapa jenis flora rawa dapat digunakan sebagai bahan pembuatan insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah, 533 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pegagang, Cambai karuk dalam mengendalikan hama ulat grayak,ulat jengkal,ulat buah, ulat kubis/plutella dan wereng coklat. DAFTAR PUSTAKA Asikin, S., M.Thamrin dan A. Budiman. 2001. Purun Tikus (Eleocharis dulcis) (Burm.F.) Henschell Sebagai Agensia Pengendali Hama Penggerek Batang Padi dan Konservasi Musuh Alami di Lahan Rawa Pasang Surut. Prosiding Simposium Keanekagaragam Hayati dan Sistem Produksi Pertanian Cipayung, 16-18 Nopember 2000. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2002. Bahan Tumbuhan Sebagai Pengendali Hama Ramah Lingkungan. Disampai pada Seminar Nasional Lahan Kering dan Lahan Rawa 18-19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan Balittra. Banjarbaru. Asikin. S., M.Thamrin dan M.Willis. 2002. Iventarisasi Tumbuhan Sebagai Bahan Pestisida Nabti. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru Asikin, S., dan M.Thamrin. 2005. Bahan Tumbuhan Rawa Yang Berpotensi Sebagai Insektisida Nabati. Disampaikan pada Seminar Nasional Pestisida Nabati III, 21 Juli 2005. Asikin., S. 2005. Manfaat Beberapa Bagian Tumbuhan Kapayang Terhadap Hama Sayuran. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin., S. 2006. Penggunaan Tumbuhan Kapayang Terhadap Hama Perusak Daun Sawi dan Bayam. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2007. Koleksi Bahan Tumbuhan Yang Berpotensi Mengandung Bahan Bioaktif Untuk Pengendalian Hama. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Budiman., A., M.Thamrin dan S.Asikin. 1988. Beberapa Jenis Gulma di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan dan Tengah Dengan Tingkat Kemasaman Tanah Yang Berbeda. Prosiding Konperensi KeIX HIGI. Bogor 22-24 Maret 1988. Biller, A., M. Boppre, L. Witte and T. Hertman. 1994. Pyrrolizidine alkaloids in Chromolaena odorata. Phytochemistry. http//www.ens.cau.au//Chromolaena/o/o mod.html. Diakses 26 Agustus 2005 Dadang dan D.Prijono. 2008. Insektisida Nabati :Prinsip, Pemanfaatan dan Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian IPB. Bogor Everaats, A.P. 1981. Weeds of vegetables in the highlands of Java. Horticultural Research Institute. Jakarta. Hairiah, K. 2000. Biologi Tanah. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya.Malang http:/waristek.ristek.go.id/pertanian. Jengkol, diakses tanggal 4 Desember 2008. 534 Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 http://www.tempo.co.id. Getah Anti Jamur di akses tanggal 10 Desember 2008. http://drliza.wordpress.com. Pegagan untuk awet muda di akses tanggal 10 Desember 2008. PROSEA. 2002. Plant Resources of South-East Asia 12 : Medicinal and Poisonous Plant 2 PROSEA Bogor, Indonesia Ross, M.A. dan C.A. Lembi. 1985. Applied Weed Science. Burgess Publ. Co. Minneapolis. Rustaman, M.Abdurrahman dan Ace Tatang, H. 2007. Skrining Fitokimia Tumbuhan di Kawasan Bukit Tunggul Kabupaten Bandung. Laporan Penelitian Peneliti Muda UNPAD Bandung. Fak.Matematika dan Pengetahuan Alam. Unpad. Bandung. http://laporan_akhir_litmud. Diakses 5 Nop 2009. Wijaya Kusuma, H.M., H. Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1995. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Pustaka Kartini. Jakarta. Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kapayang (Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Plutella xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru. Widodo, W., 2005. Tanaman Beracun Dalam Jehidupan Ternak. UMM Press, Jakarta Setianingsih, E. 1994. Petai dan Jengkol. Penebar Swadaya. Jakarta. Utami, S. 2010. Bioaktivitas Insektisida Nabati Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) sebagai Pengedali Hama Spodoptera litura dan Pteroma plagiophleps. Manuskrip. 535