iklan politik, era image, dan kekuasaan media

advertisement
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA
Bedjo Riyanto
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain - Universitas Kristen Petra
ABSTRACT
The direct election of the president and vice president is succeed democratitation process. People
has their own sovereignity to decide their own choice. Shifting mass mobilitation from political machine
party to the power of mass media machine is the consequences of it. In the age of image recently, press and
television broadcast have become a deciding factor of candidate winning. Who takes the power by force of
this factor, is the winner. The victory of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla to be president and
vice president in general election September 20th 2004 is the evident of the thesis.
Keywords: political ad, the power of mass media, image building, candidate winning.
PENDAHULUAN
Tanggal 9 September 2004, bom kembali meledak mengguncang ibukota Jakarta
meluluhlantakkan gedung-gedung pencakar langit sekitar jalan Kuningan di depan kedutaan
besar Australia. Korban bergelimpangan bersimbah darah. Sembilan orang meninggal dunia
dengan tubuh tercerai berai (mayoritas kaum Muslim seiman dengan para terorisnya) dan ratusan
orang menderita luka-luka berat dan ringan memenuhi ruang-ruang dan selasar rumah sakit
ibukota.
Meledaknya bom Kuningan melengkapi serangkaian teror bom dengan korban jiwa besar
seperti bom di Sari Club Kuta Bali ataupun bom di depan hotel J.W. Marriot Jakarta, yang sangat
merugikan bagi stabilitas keamanan pemerintahan presiden Megawati. Kasus itu merupakan
tamparan keras dan jelas semakin memerosotkan kredibilitas politiknya pada saat menghadapi
pertarungan dalam putaran terakhir pemilihan presiden melawan rival beratnya pasangan Susilo
Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla pada tanggal 20 September 2004.
Di sela-sela gencarnya breaking news beberapa stasiun televisi swasta yang banyak
menampilkan tayangan isak tangis dan erangan kesakitan korban-korban yang luka parah, tampil
dengan gencarnya memenuhi waktu-waktu prime time iklan kampanye sang presiden.
Dalam iklannya Megawati tampil dengan wajah melancholic dan senyum keibuannya
diiringi backsound nyanyian paduan suara puja-puji beraroma kultus anak-anak dari berbagai
suku bangsa yang melengking jernih, dengan lirik sebagai berikut:
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
143
NIRMANA Vol. 6, No. 2, Juli 2004: 143 - 157
“Wahai Ibu kami
Banyak yang telah Ibu lakukan
Harus selalu Ibu jaga dan teruskan
Bagi kami
Putra-putri Negeri”
Pendekatan kampanye ini agak mirip dengan maraknya upacara puja-puji kultus Bapak
Pembangunan yang gencar ditayangkan televisi ketika Suharto terpilih sebagai presiden ketujuh
kalinya pasca pemilu 1997 (rupanya menjadi jabatan terakhirnya).
Lagu Bapak Pembangunan diciptakan dan dinyanyikan oleh komposer sekaligus
penyanyi legendaris Indonesia Titik Puspa yang gencar ditayangkan oleh TVRI dan televisi
swasta, menjadi satu bentuk dari model kebulatan tekat dari setiap elemen organisasi masyarakat
untuk mendukung kultus pembangunan rezim Suharto.
Dampak komunikasi dari iklan Megawati itu terasa paradoksal dengan situasi dan kondisi
psikologis publik yang penuh keterancaman, ketakutan, kesedihan, dan paranoid akibat
serangkaian teror bom yang memakan banyak korban itu. Mungkin timbul persepsi yang negatif
dari publik atas miskinnya kepedulian sang presiden atas bencana yang dialami rakyatnya.
Iklan kampanye politik merupakan media komunikasi politik baru yang muncul akibat
dinamika demokratisasi akibat cepatnya proses reformasi sejak lengsernya presiden Suharto.
Kebutuhan akan bentuk komunikasi politik yang lebih bersifat massal ini telah dimulai dan
dianggap penting oleh partai-partai politik lama maupun baru sebagai sarana memobilisasi
dukungan pemilih ketika bertarung memperebutkan suara pada Pemilu 1999.
Partai-partai besar seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PDIP (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan), PAN (Partai Amanat Nasional), Partai Golkar, dan PPP (Partai Persatuan
Pembangunan) telah banyak membelanjakan anggaran belanja kampanye dengan memasang
iklan-iklan kampanye partai politik baik melalui media cetak maupun media televisi nasional
waktu itu.
Wajah dan sosok Abdurrachman Wahid (Gus Dur), Megawati, Akbar Tanjung, ataupun
Amien Rais menjadi ikon iklan-iklan politik dari partai-partai politik yang bersaing telah
meramaikan dinamika kehidupan dunia periklanan Indonesia pada waktu itu. Berbagai
pendekatan dan strategi kreatif dilancarkan oleh para pengarah dan perancang iklan untuk
mendapatkan simpati publik.
144
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
Dalam kampanye Pemilu 2004 yang menjadi tonggak penting proses demokratisasi
dengan diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh seluruh
rakyat Indonesia, maka bentuk komunikasi persuasif iklan politik semakin mendapatkan lahan
suburnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini, sejauh manakah konsep-konsep
serta strategi kreatif mampu dirancang oleh para desainer ataupun pengarah kreatif periklanan
kita di dalam mengkemas program-program serta pesan-pesan politik menjadi sajian iklan yang
rasional, mendidik, artistik, dan komunikatif sehingga menjadi media penyadaran ataupun
pembelajaran politik bagi warga bangsa? Apakah iklan-iklan-iklan politik itu juga mampu
mempengaruhi publik calon pemilih sehingga memberikan suaranya kepada para kandidat yang
diiklankannya?
KULTUS KEKUASAAN YANG GAGAL
Image kemegahan dan kebesaran kekuasaan tampak menjadi tema sentral dalam eksekusi
kreatif iklan-iklan politik pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi. Sosok Megawati banyak
ditampilkan dalam upacara resmi kenegaraan yang berbau seremonial dalam kapasitasnya
sebagai kepala negara, sehingga mencitrakan kemapanan posisi politiknya.
Sebagai putri proklamator dan presiden pertama RI Bung Karno pewaris darah biru dinasti
politik Indonesia, merupakan faktor genetik yang diangkat sebagai kekuatan positioning dan
selling point untuk mendulang suara para pendukung fanatik yang diasumsikan merupakan
mayoritas rakyat indonesia, oleh tim kampanyenya.
Triawan Munaf dari biro periklanan Adwork Euro sebagai koordinator tim kreatif iklaniklan politik PDI Perjuangan memanfaatkan keunggulan komparatif Megawati sebagai presiden
yang sedang menjabat (incumbent) dengan pendekatan dokumenter dan humanistik yang
diperkirakan mampu menarik simpati publik. Meskipun keterbatasan waktu hanya
memungkinkan tampilan iklan yang cenderung hard sell, namun iklan-iklan politik PDIP baik
sewaktu kampanye pemilihan umum legislatif maupun pemilihan langsung presiden dan
wakilnya dinilai cukup artistik dan memikat dibanding kompetitornya.
Pada satu versi iklan televisi yang ditayangkan pada saat kampanye putaran pertama
pemilihan presiden ditampilkan dalam format medium close up wajah Megawati dengan senyum
keibuannya dikerumuni anak-anak dengan wajah ceria, diiringi narasi sebagai backsound:
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
145
NIRMANA Vol. 6, No. 2, Juli 2004: 143 - 157
“Di balik kelembutan
Tak kenal lelah
Tegas
Selalu Peduli
Demi Ibu Pertiwi”
Dengan editing yang cepat mengalir rancak bak video klip, iklan ini menampilkan
potongan-potongan stock-shoot dokumenter seremoni kenegaraan yang memperlihatkan adeganadegan Megawati sedang bersilaturahmi dengan para santri; mengunjungi korban-korban bom di
Kuta Bali yang mayoritas wisatawan manca negara kulit putih; beraudiensi dengan Sri Paus
Johannes Paulus II; melakukan inspeksi pasukan TNI diatas jeep terbuka pada upacara hari ulang
tahun TNI; bersama para pekerja wanita yang sedang bekerja di pabrik; mengunjungi korban
bencana alam; melakukan ibadah sholat (sebagai counter atas isu melakukan sembahyang secara
Hindu di suatu Pura di Bali); dan ditutup dengan closing adegan melepaskan burung merpati ke
angkasa sebagai simbol perdamaian.
Pada versi-versi iklan yang lain, pendekatan statistikal yang bersifat kuantitatif yang
dikemas untuk menyajikan prestasi pemerintahan Megawati. Konsep perubahan Rekomendasi 5
diusung oleh pasangan kandidat Megawati-Hasyim Muzadi untuk menjanjikan keberhasilan dan
perubahan jika mereka diberi kepercayaan oleh pemilih.
Lewat angka-angka target pembangunan yang justru dinilai publik kelewat optimistik dan
over-convidence (kelewat percaya diri), iklan-iklan politik versi ini justru kontra produktif dan
semakin mendeligitimasikan posisi pasangan ini.
Pada satu versi iklan pemadatan Rekomendasi 5, Megawati sebagai spoke-person
menyampaikan hasil prestasi dan target-target politiknya:
“Setelah 3 tahun berhasil memulihkan dasar-dasar ekonomi bangsa, saya bersama
pak Hasyim Muzadi akan bekerja keras. Melalui Rekomendasi 5 kami akan
pangkas kemiskinan sebanyak 45%”, diikuti dengan teks caption Angka Kemiskinan
Turun 45 % dan backsound narrator, “ Dan akan menciptakan 12.900.000 kesempatan
kerja baru dalam kurun waktu 5 tahun”.
Gambar kembali ke wajah Megawati yang menyatakan:
“Kami akan tanamkan investasi kualitas sumber daya manusia”, disusul suara
narator ”Agar kualitas kehidupan bangsa ini secara keseluruhan dapat
ditingkatkan”. Sebagai closing slogan Pilih Mega – Hasyim.
Janji penciptaan lapangan kerja rata-rata 2.600.000 orang per tahun sungguh bertolak
belakang dengan realitas empirik yang tersaji lewat pemberitaan baik dimedia televisi maupun
146
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
media cetak tentang banyaknya relokasi industri-industri multi nasional meninggalkan Indonesia
(seperti pabrik elektronik Sony, sepatu Nike, dan lain-lainnya), serta PHK masal akibat
bangkrutnya beberapa BUMN dan perusahaan swasta dilanda krisis moneter yang belum pulih
sampai sekarang (contoh kasus PT. Dirgantara Indonesia).
Menurut pengamat komunikasi
politik Universitas Indonesia Effendi Ghazali yang
dimuat pada majalah Cakram edisi bulan November 2004, halaman 44, fakta-fakta empirik yang
disampaikan secara statistik pasangan Mega-Hasyim kurang dapat memenuhi ekspetasi rakyat
pemilih. Fakta bahwa pemerintahan Megawati sudah melakukan perubahan-perubahan nyata
dalam bidang stabilitas keamanan, stabilitas moneter, dan laju perekonomian nasional kurang
dapat terkomunikasikan secara bernas dan efektif dalam media kampanye politiknya.
Menurut hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) yang dikutip majalah
Tempo edisi 21 Maret 2004 (di halaman 24-27), dan majalah Cakram edisi Juni 2004 (di
halaman 20-21), untuk melangsungkan kesinambungan kultus kekuasaan tim kampanye
Megawati membelanjakan sekitar 104, 84 milyar rupiah keseluruhan biaya kampanye dari
pemilu legislatif sampai 2 kali putaran pemihan presiden langsung.
Untuk media televisi saja pada kampanye putaran I menghabiskan belanja iklan sekitar 40
milyar rupiah, sedangkan untuk kampanye putaran ke II menghabiskan dana sekitar 13 milyar
rupiah.
IKON PERUBAHAN: SANG PENANTANG
”Bersama Kita Bisa”
Pesan sederhanan yang sangat kuat dan jelas dalam slogan yang menjadi kata kunci iklaniklan kampanye pasangan SBY-JK itu di tayangkan di media-media televisi nasional sehingga
membentuk kesadaran di benak khalayak calon pemilihnya. Makna yang terkandung dari slogan
ini adalah bersama-sama dengan rakyat apapun kesulitan yang di hadapi bangsa ini akan dapat di
selesaikan. Apapun partai politiknya SBY presidennya.
Menggandeng Subiakto Priosoedarsono presiden direktur Hotline Advertising sebagai
kordinator kampanye politiknya, pasangan SBY-JK tampil dalam strategi komunikasi yang
simple, komunikatif, dan efektif untuk mendongkrak citra dan membentuk opini positif publik
calon pemilihnya.
Subiakto dikenal sangat piawai mengemas keyword (kata kunci) sebagai kekuatan
penyadaran akan keberadaan suatu merk di benak khalayak konsumen yang dibuktikan dengan
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
147
NIRMANA Vol. 6, No. 2, Juli 2004: 143 - 157
sukses penjualan produk-produk yang menjadi client-nya seperti Xon Ce (dengan keyword “Xon
Ce nya Mana?”), dan Sana Flu (dengan keyword “Belum Tau Dia”).
Segmentasi publik calon pemilih dalam pemilihan umum presiden secara langsung yang
bersifat heterogen, mayoritas tinggal di pedesaan, dengan tingkat pendidikan dan intelektualitas
yang masih rendah, terasa cocok dengan gaya iklan-iklan Subiakto yang simple dengan pilihan
bahasa yang sederhana mudah difahami dan bersifat single-minded (tafsir tunggal).
Mengusung konsep komunikasi “brand building”, figur SBY langsung diangkat sebagai
brand name, rational selling point, sekaligus emotional selling point dengan mempertajam
kekuatan personalitasnya. Postur tubuh SBY yang tinggi besar, wajahnya yang ganteng, gesture
tubuhnya yang santun dan mengayomi, tutur kata yang sistematis dan ilmiah, tingkat
intelektualitasnya yang tinggi (meraih doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut
Teknologi Bogor), berpengalaman dalam birokrasi (mantan Menteri Pertambangan dan Energi
serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), dan tidak boleh dilupakan sebagai mantan
militer berpangkat Jenderal ia dianggap publik mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan
keamanan nasional yang sangat labil pada masa reformasi dewasa ini.
Di era image, kepiawaian tim kampanye yang dengan cerdik memanfaatkan kekuatan
media masa sebagai pendukung publisitasnya, semakin memompa tingkat popularistasnya. Figur
SBY merupakan jawaban akan kerinduan hadirnya seorang pemimpin, seorang bintang pujaan,
sekaligus mitos seorang “satrio piningit” dari publik masyarakat penontonnya.
Slogan “Bersama Kita Bisa” yang diangkat pada kampanye putaran I pemilihan presiden
mengesankan bahwa SBY mengajak seluruh rakyat apapun pilihan partai politiknya untuk
bersama bahu membahu mengatasi krisis dan membangun Indonesia. Ini merupakan strategi
yang tepat karena pada riil politiknya sang calon presiden hanya didukung oleh Partai Demokrat
yang meraih suara lebih kurang 8 juta pemilih pada pemilihan legislatif.
Ketika berhadapan langsung dengan Megawati presiden yang masih menjabat pada
pemilihan presiden putaran ke II, tim kampanye SBY-JK mengangkat slogan “Perubahan Kini
Semakin Dekat” sebagai kontras atas posisi Mega yang berada pada status-quo kekuasaan.
Sebagai penantang, konsep perubahan yang dijanjikan lebih relevan dengan harapan masyarakat
luas yang mendambakan perubahan lebih cepat dari kondisi stagnasi reformasi dan krisis multi
dimensi ini. Kondisi psikologis publik pemilih yang mudah berubah (swingers voter), tidak
sabaran, dan mudah kecewa merupakan lahan empuk bagi janji-janji perubahan.
148
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
Lewat kemasan iklan-iklan testimonial dan versi-versi yang menonjolkan pasangan dwitunggal SBY-JK sebagai tali pemersatu perbedaan dari partai-partai yang gagal mengantarkan
calon presidennya pada pemilihan putaran I, pasangan ini mendulang sukses berhasil tampil
sebagai ikon perubahan (Cakram, November 2004: 46-48).
Perubahan menjadi positioning sekaligus brand image pasangan SBY-JK yang kuat
melekat di benak publik calon pemilihnya. Faktor terpenting lainnya adalah kesadaran tim
kampanye untuk mengeksplorasi kegiatan public-relations (kehumasan) sebagai media pengelola
isu (issues management) baik yang berdampak positif maupun negatif (black campaign) agar
menguntungkan bagi pembentukan citra positif dan popularitas pasangan ini. Kegiatan publisitas
(PR), pemanfaatan event-event strategis, dan periklanan merupakan rangkaian dari komunikasi
pemasaran terpadu (integrated marketing communication) yang dilakukan oleh tim kampanye
SBY-JK ternyata terbukti sangat menguntungkan dalam meng-endorce (mendorong) tercapainya
brand awareness pasangan ini.
Televisi sebagai primadona media komunikasi masa dimanfaatkan secara cermat. Hampir
setiap acara yang melibatkan publik yang bernilai rating tinggi apakah itu berbentuk talk show,
debat kandidat, wawancara, panel diskusi, paket acara keagamaan seperti yang diasuh Aa Gym,
bahkan sampai program reality show yang sedang booming digandrungi segenap lapisan
masyarakat seperti Akademi Fantasi (AFI) di stasiun TV Indosiar, dimanfaatkan dengan prima
pasangan ini. Tampilnya SBY (bersama Wiranto kandidat dari partai Golkar) menyanyikan lagu
hit band Jamrud, Pelangi Di Matamu pada malam grand-final AFI 2 berhasil mengundang
simpati kalangan pemilih muda.
Juga lembaga-lembaga penyelenggara jajak pendapat (polling centre) baik di media cetak
maupun televisi mempunyai andil yang sangat penting dalam mendongkrak kemenangan
pasangan SBY-JK. Hampir setiap hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga
penyelenggara dimenangkan oleh pasangan SBY-JK, sehingga memberi kesan seolah-olah
pasangan ini telah menang sebelum bertanding.
Hasil akhirnya lebih kurang 60 % suara kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono- Jusuf Kalla, mengalahkan pasangan Megawati- Hasyim Muzadi pada pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung pada tanggal 20 September 2004. Sejarah telah
ditorehkan.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
149
NIRMANA Vol. 6, No. 2, Juli 2004: 143 - 157
ERA IMAGE DAN TIRANI MEDIA
Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia merupakan
suatu prestasi yang membanggakan dari segala carut marut reformasi dan proses demokratisasi di
negeri ini. Era kedaulatan rakyat benar-benar terwujud menggeser era kedaulatan elit yang hadir
sepanjang sejarah kehidupan politik negeri ini sejak jaman Majapahit sampai Orde Baru.
Dahulu para raja memegang puncak kuasanya secara turun temurun karena dianggap
sebagai titisan para dewa. Pada masa republik modern telah didirikan presiden RI yang pertama
Bung Karno dipilih dan dikukuhkan oleh para tokoh
elit perjuangan kemerdekaan yang
tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Untuk melanggengkan kekuasaannya, Bung Karno diangkat sebagai presiden seumur
hidup Pemimpin Besar Revolusi oleh lembaga MPRS, setelah membubarkan Konstituante
(parlemen yang dipilih secara demokratis pada Pemilu 1955) dengan Dekrit Presiden pada tahun
1959.
Berganti masa kekuasaan Orde baru, siklus teratur lima tahunan penyelenggaraan Pemilu
hanya untuk memilih anggota DPR dan MPR yang berfungsi sebagai stempel pengukuh
pengangkatan Suharto sebagai presiden secara terus menerus selama 7 periode tanpa rival sama
sekali.
Maka lembaga tertinggi negara seperti partai politik, DPR, dan MPR, menjadi lembaga
demokrasi semu (demokrasi seolah-olah menurut istilah Gus Dur) yang hanya berperan sebagai
mesin mobilisasi politik kekuasaan tunggal sang patron.
Proses reformasi yang berujung pada lengser keprabon presiden Suharto 23 Mei 1998,
mengakibatkan wakil presiden Prof.Dr. BJ.Habibie diangkat dan dilantik oleh Suharto sebagai
presiden penggantinya.
Dalam Pemilu pertama pasca Orde Baru tahun 1999 yang dinilai paling demokratis
selama ini, dihasilkan anggota DPR dan MPR yang mengangkat Abdurrachman Wahid sebagai
presiden RI ke 4 (padahal partai pemenang Pemilu adalah PDIP). Akibat krisis Bulog-gate maka
MPR melakukan sidang istimewa dan mencopot jabatan presiden dari Gus Dur dan mengangkat
Megawati (semula wakil presiden) sebagai penggantinya.
Siklus kedaulatan elit baru terputus dengan terpilihnya pasangan SBY-JK sebagai
presiden dan wakil presiden pilihan rakyat secara langsung pada 20 September 2004 yang
menjadi tonggak emas perjalanan kehidupan politik bangsa ini. Kedaulatan elit, kedaulatan
150
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
partai, ataupun kedaulatan birokrasi tidak berjalan efektif dengan gagalnya Koalisi Kebangsaan
yang dimotori partai-partai besar pemenang Pemilu 2004 seperti Golkar, PDIP, PPP, dan PDS
mengusung pasangan Megawati-Hasyim Muzadi.
Pada era kedaulatan rakyat mesin politik yang digerakkan oleh elit partai kurang berjalan
efektif, dan kekuatan pengerahan sumber daya politik lebih banyak di gerakkan oleh mesin
media komunikasi masa industri-industri media seperti televisi, pers, ataupun media cyberinteraktif internet. Sebagai primadona televisi tumbuh sebagai kekuatan raksasa pembangun dan
pembentuk opini publik yang paling berpengaruh dalam kehidupan politik kita. Hegemoni
budaya layar (screen-culture) dalam ruang-ruang publik kita telah memungkinkan televisi
menjadi kekuatan utama media pendidikan politik sampai di ruang-ruang keluarga, terutama
disaat menjelang peristiwa penting politik seperti pemilihan umum. Sementara itu di sisi lain
media televisi juga mampu bermetamorposis sebagai alat penghancur dan pembunuh karakter
seorang aktor politik (carracter assasination) yang ganas tanpa ampun. Televisi bak monster
dengan dua kutub wajah seperti tokoh Dr Jeckyll dan Mr. Hyde yaitu mampu sebagai kekuatan
paedagogis yang positif juga sekaligus dapat sebagai mesin pembunuh dan ajang pengadilan
politik yang tak kenal kompromi. Televisi mampu mengangkat citra dan popularitas seorang
aktor politik akan tetapi sekaligus juga mampu menjungkalkan serta memerosotkan kredibilitas
dan legitimasinya sampai ke titik nadir.
Dunia televisi merupakan dunia citraan, dan realitas yang ditampilkan merupakan realitas
semu hasil proses suntingan (editing) dari realitas kehidupan sesungguhnya. Realitas tiruan ini
mempunyai hukum, logika, dan dunianya sendiri (second reality atau hyper-reality), yang pada
titik ekstrimnya di terima bahkan diyakini sebagai realitas sesungguhnya.
Akhirnya kehidupan politik yang ditampilkan dan dibentuk lewat layar media menjadi
semacam hiperpolitik (hyper-politics) yaitu politik yang hidup dalam wujud simulasinya di
dalam ruang-ruang citraan (terutama televisi), yang tidak lagi merepresentasikan politik
sesungguhnya di dunia nyata (politics of discontinuity)(Garin Nugroho, 2004: 61-67).
Megawati merupakan contoh yang menarik bagaimana nasib seorang aktor politik
dilambungkan dan akhirnya dihempaskan oleh kekuatan media ini. Seperti lika-liku plot cerita
opera sabun, Megawati pernah meroket popularitasnya pada masa Orde Baru sebagai tokoh
protagonis teraniaya oleh rezim kekuasaan yang otoriter Suharto. Sejak dirinya terpilih sebagai
ketua umum PDI pada kongres di Medan yang tidak direstui oleh pemerintah ia diangkat media
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
151
NIRMANA Vol. 6, No. 2, Juli 2004: 143 - 157
sebagai ikon perlawanan Orde Baru yang akhirnya mengantarkan kemenangan PDIP partai yang
dipimpinnya dalam pemilihan umum 1999 dan akhirnya membuahkan kursi kepresidenan bagi
dirinya.
Demikian sebaliknya, pada pemilihan presiden langsung yang baru lalu ia diposisikan dan
dipersepsikan oleh kalangan pers dan media sebagai tokoh antagonis yang mewakili citra statusquo kekuasaan. Di mata pers ia dianggap sulit berkomunikasi, lamban, antikritik, dan kebijakankebijakan politiknya tidak memihak wong cilik sebagai pendukung utamanya (sering diplesetkan
dengan jauh dari wong cilik dekat dengan wong licik). Ia sering menjadi bulan-bulanan media
seperti terlihat pada wawancara khususnya menjelang putaran kedua pemilihan presiden (seperti
ketika tampil pada stasiun TV SCTV dan Metro). Wawancara berubah menjadi arena pengadilan
politik dengan pertanyaan-pertanyaan pemandu acara yang sering memojokkan dan memancing
emosi Megawati sehingga menggerogoti image politiknya. Dalam beberapa pidato kenegaraan
seperti saat menyambut hari ulang tahun Pers Indonesia, presiden Megawati menyindir kalangan
pers yang dianggap kebablasan dan bersikap oposisi terhadap kebijakan dan program-program
pemerintah.
Sebaliknya sang penantang SBY dalam telenovela perpolitikan nasional diposisikan
media sebagai tokoh protagonis baru. Popularitasnya terus meroket secara dramatis berkat
dukungan suku-suku baru kontemporer (neotribal) penggemar opera sabun dan telenovela yang
haus akan cerita-cerita dramatis, bintang-bintang pahlawan baru, pelakon-pelakon yang teraniaya
dan berakhir dengan kemenangan dramatis.
Gencarnya ekspose media masa baik cetak maupun televisi ketika SBY disingkirkan
secara halus sebagai Menkopolkam dalam kabinet Gotong Royong dan menjadi keputusan
pengunduran dirinya merupakan momentum penting. Perseteruannya dengan Taufik Kiemas
suami presiden Megawati, menjadi semacam pertunjukan kesewenang-wenangan kekuasaan.
Ucapan Taufik Kiemas yang menghina pribadi SBY sebagai “Jenderal yang kayak anak kecil”,
menjadi kotak pandora yang semakin melambungkan pamornya sebagai ikon ketertindasan yang
banyak menangguk simpati publik.
Dari analisis yang lebih cermat dapat disimpulkan bahwa kekuatan pencitraan sosok SBY
sebagai ikon perubahan bukanlah semata-mata hanya bertumpu pada pengelolaan strategi
periklanannya, melainkan lebih kepada teks personalnya sendiri yang memenuhi ekspetasi dan
impian masyarakat penggemar yang cenderung eskapis. Popularitasnya dibentuk bersama oleh
152
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
momentum sejarah, media masa, lembaga-lembaga jajak pendapat (polling centre), tim sukses
kampanye, masyarakat penggemar penonton setia televisi, dan kelemahan pemerintahan
Megawati.
Cepatnya perubahan konstelasi politik di Indonesia memaksa para pelaku dan aktor-aktor
politik yang mendambakan kekuasaan untuk merancang strategi komunikasi dan penguasaan
media masa secara tepat, efektif, dan efisien guna menjaring semaksimal mungkin perolehan
suaranya.
Teori-teori pemasaran dan komunikasi modern menjadi pilihan disamping mobilisasi
lewat organisasi partai politik dan ideologi. Mengacu pendapat Bruce I Newman dalam bukunya
Handbook of Political Marketing (1999) yang dikutip oleh Eep Saefulloh Fatah pada esainya
yang berjudul “Dari Supporter ke Voter”{dimuat dalam Tempo 19 September 2004: , pada
zaman cyber-space ini pertarungan politik membutuhkan jurus-jurus pemasaran seperti pemetaan
segmentasi pemilih, demografi pemilih, psikografi pemilih, brand positioning kandidat, brand
personality kandidat, tawar menawar, transaksi, public-relations, media planning, media buying,
media placement, pengelolaan isu dan event-event penting, riset dan seterusnya.
Para pemilih dipandang sebagai sebagai konsumen unsur terpenting dalam siklus kegiatan
pemasaran. Laku dan gagalnya “penjualan” sang kandidat dalam pasar pemilihan umum
tergantung pada kecanggihan dan kreativitas komunikasi pemasaran yang dilakukan. Menurut
Newman, pasar politik dalam lahan demokrasi yang sehat membutuhkan prasyarat kebebasan
berkompetisi, partisipasi, dan rasionalitas dari para pemilih (voters) yang menggantikan
emosionalitas, kultus, fanatisme, dan model mobilisasi dari para pengikut (supporters).
Supporters
Loyalitas
Kultus
Pengabdian
Emosional-irasional
Hierarki
Wali
Dukungan
Mobilisasi
Marah
Voters
Kalkulasi
Pertimbangan
Transaksi
Rasional
Kesetaraan
Mandataris
Pertanggung jawaban
Partisipasi
Melawan
Sumber dari esai Eep Saefulloh Fatah “ Dari Supporter ke Voter”
dalam Tempo 19 September 2004, halaman 116-117.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
153
NIRMANA Vol. 6, No. 2, Juli 2004: 143 - 157
Publik yang dikategorikan sebagai pemilih (voters) menggunakan analisa rasional, dengan
kalkulasi yang cermat berkat pengetahuan yang memadai tentang kelayakan dan kepatutan
kandidatnya. Mereka mau memilih jika merasa yakin bahwa kandidat tersebut mampu
memperjuangkan aspirasinya secara baik.
Pemilih memposisikan kandidat sebagai sosok historis tidak berdasarkan mitos, kultus,
ataupun hubungan hierarki genealogis (hubungan silsilah kekeluargaan dengan para elit politik).
Mereka menyerahkan kepercayaan berdasarkan pertimbangan prestasi, track record, kompetensi,
dan moralitas sang kandidat sebagai pengemban amanat rakyat.
Pemilih akan memposisikan dirinya setara dengan kandidatnya, dan memberikan
pilihannya tidak secara gratis. Ia akan selalu menuntut imbalan yaitu pelaksanaan janji-janji
politik yang diberikan sang kandidat pada saat kampanye.
Tugas pemilih tidak selesai begitu saja sesudah proses pencoblosan dilakukan, melainkan
akan terus mengawal dan menuntut pertanggung jawaban dari pemimpin pilihannya selama masa
jabatan yang ditentukan. Mandat mereka bukanlah cek kosong belaka, dan janji politik harus
diuji kebenaran pelaksanaannya oleh publik.
Pemilih adalah subyek partisipasi bukan obyek mobilisasi, sehingga ia mempunyai
kemandirian dalam membangun kesadaran, merumuskan pilihannya, dan mengekspresikan
pilihannya.
Dalam bahasa yang lain para pemilih merupakan rational voters yang mempunyai
tanggung jawab, kesadaran, kalkulasi, rasionalitas, dan kemampuan kontrol yang kritis terhadap
kandidat pilihannya, yang meninggalkan ciri-ciri traditional voters yang fanatik, primordial, dan
irasional, serta berbeda dari swingers voters yang selalu ragu-ragu dan berpindah-pindah pilihan
politiknya.
Dalam pemasaran politik, pengelolaan dan penguasaan media komunikasi pemasaran
modern merupakan ujung tombak aktivitasnya. Penguasaan media menjadi kunci kemenangan
atas posisi politiknya. Tim pemasar politik harus mampu mengintegrasikan berbagai bentuk
aktivitas komunikasi pemasaran dengan beragam bauran medianya (media mix) yang sering
disebut sebagai Integrated Marketing Communication (IMC) secara kreatif, sinergis, dan efektif
dalam membangun kepercayan di benak calon pemilihnya. Bentuk-bentuk aktivitas IMC seperti,
advertising, direct marketing, sales promotion, publicity/public-relations, personal selling, dan
event atau sponsorship menjadi aneka pilihan untuk dapat dimanfaatkan secara tepat dan akurat
154
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
dengan pertimbangan urgensi dan skala prioritasnya (George E. Belch & Michael A. Belch,
1998: 3-31).
Pemanfaatan berbagai bauran media seperti a bove the line media (ATL), below the line
media (BTL), serta trough the line media (TTL) secara kreatif, unik, strategis, dan akurat
merupakan kunci yang lain dalam memenangkan pertarungan media.
Pada tahap awal perintisan membangun citra positif sang kandidat sebagai kegiatan
brand-building, merupakan tahapan yang paling krusial dan menjadi fondasi yang menentukan
kelangsungan dan keberhasilannya.
Dalam bukunya yang berjudul: The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations
(2003), Al Ries dan Laura Ries memperkenalkan era public relations (The Public Relations
Cometh), yang menggantikan era positioning (The Positioning Cometh)(Al Ries & Laura Ries,
2003: 2-4). Menurutnya periklanan sebagai bentuk puffery communication telah kehilangan
kredibilitasnya. Periklanan dianggap sebagai kebohongan dan suara manipulatif dari perusahaan
atau pihak-pihak yang ingin menjual produk maupun gagasannya.
Melalui serangkaian kasus-kasus penelitiannya dibuktikan bahwa program-program
kampanye periklanan yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa multinasional itu justru
berdampak menjatuhkan angka penjualan produk-produknya seperti: iklan bertema mobil
mainan dari Nissan; iklan bertema “Just Do It” dari Nike; iklan kampanye Energizer Bunny;
iklan Alka Seltzer; dan masih banyak lagi.
Kesimpulan dari pengamatannya periklanan tidak membangun kesadaran terhadap
sebuah merek (brand), melainkan publisitaslah yang membangun keberadaan sebuah merek.
Periklanan hanya bisa memelihara keberlangsungan merek (bersifat remindering) yang telah
diciptakan oleh kegiatan publisitas (PR).
Dari hasil jajak pendapat yang diselenggarakan lembaga riset Gallup terhadap persepsi
publik atas kejujuran dan etika dari 32 macam profesi yang berbeda-beda, periklanan dan praktisi
periklanan menempati peringkat nyaris terbawah persis diantara penjual asuransi dan penjual
mobil.
Resep kunci dari Al Ries janganlah sekali-kali meluncurkan program periklanan sebelum
kemungkinan-kemungkinan publisitas (PR program) dikembangkan dan diseksplorasi. Public
Relations merupakan batu fondasi yang menentukan kokohnya kesadaran mereka ditanamkan di
benak konsumen, baru diikuti aktivitas komunikasi lainnya seperti periklanan.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
155
NIRMANA Vol. 6, No. 2, Juli 2004: 143 - 157
Persepsi Publik Atas Kejujuran (dalam persentase)
Sumber dari Al Ries & Laura Ries, 2003. The Fall of Advertising and The Rise of
Public Relations. Jakarta: Gramedia, halaman 2.
SIMPULAN
Sebagai media komunikasi politik yang baru, iklan-iklan politik kampanye pemilihan
presiden dan wakil presiden baik pada putaran ke I maupun pada putaran ke II masih banyak
yang menggunakan pendekatan emosional dalam mempengaruhi calon pemilih. Penonjolan figur
kandidat dengan segala sentuhan emosionalitasnya seperti eksploitasi kegantengan SBY, serta
kharisma kelembutan keibuan Megawati mendominasi eksekusi iklan-iklan politik yang
ditayangkan di media televisi maupun media pers nasional. Publik kurang mendapatkan
informasi mengenai program-program pembangunan, serta konsep-konsep politik yang bersifat
paradigmatik dan rasional dari setiap kandidat di dalam membangun bangsa Indonesia di masa
depan setelah mereka terpilih.
Kemenangan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla yang berhadapan dengan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam
pemilihan umum presiden secara langsung 20 September 2004 menjadi titik balik akan
kesadaran baru keberadaan mesin media komunikasi masa sebagai kekuatan pembentuk sikap
calon pemilih, disamping tentunya kekuatan mesin politik partai.
156
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA (Bedjo Riyanto)
Acara-acara pembentuk opini publik yang ditayangkan televisi nasional seperti talk show,
debat kandidat, panel diskusi, polling (jajak pendapat), bahkan sampai bentuk-bentuk yang lebih
longgar seperti program reality show yang banyak disukai kaum wanita dan anak muda banyak
dimanfaatkan oleh tim kampanye para kandidat presiden dan wakil presiden.. Pemilu 2004 ini
telah memberikan kesadaran bagi para perancang komunikasi politik untuk menggunakan bauran
berbagai media serta menerapkan komunikasi pemasaran terpadu (tidak hanya memanfaatkan
iklan semata) demi keberhasilan program-program kampanye yang dilakukan untuk mendukung
kandidatnya.
KEPUSTAKAAN
------------ , “Antara Pemilu dan Media” dalam Cakram edisi Juni 2004.
Belch, George E. & Belch, Michael A., Advertising and Promotion: An integrated
Marketing Communications Perspective. Boston: Irwin McGraw-Hill, 1998.
Eep Saefulloh Fatah, kolom “Dari Supporter ke Voter” dalam Tempo, 19 September 2004
Edisi Khusus Pemilihan Presiden.
Garin Nugroho, Opera Sabun SBY: Televisi dan Komunikasi Politik, Jakarta: Nastiti,2004.
------------ , “Iklan Sebagai Mesin Politik Baru” dalam Cakram edisi November 2004.
------------ , “Ingar-bingar Dana Kampanye” dalam Tempo, edisi 21 Maret 2004.
Ries, Al & Ries, Laura, The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta:
Gramedia. 2003.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
157
Download