TRAINING PENGARUSUTAMAAN PENDEKATAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA BAGI HAKIM SELURUH INDONESIA Santika Premiere Jogja, 18 – 21 November 2013 MAKALAH PENGUATAN PEMBERANTASAN KORUPSI: PUTUSAN HAKIM BERBASIS HAM & PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL Oleh: Dr. Bambang Widjojanto, S.H., M.H. Pimpinan KPK PENGUATAN PEMBERANTASAN KORUPSI: PUTUSAN HAKIM BERBASIS HAM & PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL Bambang Widjojanto Pengarusutamaan Pendekatan HAM dalam Memberantas Korupsi, Yogyakarta, 21 November 2013 PENDAHULUAN • Kosa kata “korupsi” menjadi frasa yang paling banyak disebut di dalam seluruh pemberitaan media; bahkan cendrung inflasif & noising; • Pemberantasan korupsi menjadi “spirit & moral dasar” Orde Reformasi karena karena menjadi salah satu tuntutan Publik yg lalu diakomodasi oleh TAP MPR/XI/1998 & TAP MPR VIII/2001; • Di setiap korupsi ada dampak yg luar biasa dahsyatnya bagi kemaslahatan publik dari sekedar soal “kerugian negara” sehingga dapat dikualifikasi sebagai kejahatan berat HAM; • Tujuan pemidanaan dan sanksi atas tindak pidana korupsi yg berdimensi kejahatan HAM belum sepenuhnya mengakomodasi rasa keadilan dari publik sebagai penerima dampak kejahatan; PEMBERANTASAN KORUPSI • Korupsi menimbulkan dampak yang luar biasa dahsyatnya World Bank membuat estimasi the money around $1 trillion and $1.6 trillion dollars are lost globally each year to illegal or corruption activities; • Pada konteks Indonesia Data BPK Semester II tahun TA 2012 menyatakan: – ada sekitar 127.310 rekomendasi (58.91%) senilai Rp. 51,53 triliun telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. – Sebanyak 47.094 rekomendasi (21.79%) senilai Rp. 45.43 triliun ditindaklanjuti belum sesuai dengan rekomendasi. – sisanya 341.718 rekomendasi (19.30%) senilai Rp. 24.37 triliun belum ditindaklanjuti • Transparency International menyatakan – “…Corruption continues to threaten development... Corruption is rampant in 60 countries, and the public sector is plagued by bribery...”. • Peter Eigen, Chairman dari Transparansi Internasional lebih jauh mengemukakan, ada sekitar US $ 400 Miliar dolar yang hilang pertahun akibat korupsi karena: – “…Corruption in large-scale public projects is a daunting obstacle to sustainable development, and results in a major loss of public funds needed for education, healthcare and poverty alleviation, both in developed and developing countries… • Adapun dampak korupsi dapat berupa “ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilainilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum”. • Akibat lanjutannya bila hendak dilakukan restorasi akibat runtuhnya tatanan kehidupan bernegara dan penghidupan rakyat diperlukan biaya sosial-politik yang tinggi dan ongkos ekonomi yang mahal. • Ada berbagai kesalahan paradigmatik dalam pemberantasan korupsi, yaitu antara lain: – Kesalahan pertama pemberantasan korupsi, koruptor hanya diminta bertanggungjawab pada kerugian negara bukan pd nilai kerugian berupa dampak dari tindak kejahatannya; – Kesalahan kedua, kejahatan korupsi adalah well organized crime tetapi penanganan kasus tidak membongkar “jaringan & kartel” kejahatan korupsi; – Kesalahan ketiga, sistem yg mereproduksi kejahatan tidak ditangani secara sistemik dan utuh shg penanganan kasus hanya bersifat karitatif dan tidak akan pernah bisa menyelesaikan akar masalah korupsi yg menjadi penyebab korupsi. POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI • Kontekstualisasi politik hukum pemberantasan korupsi dpt ditelisik pada sipiritualitas dari proses reformasi. • Pasal 4 Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 menyatakan: – “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto…” • Pasal 3 Ketatapan MPR No. XI Tahun 1998, yaitu: – “… Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undangundang tindak pidana korupsi”. • Pasal 2 angka 2 Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001, menyatakan: – “Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus … bagi … yang telah terbukti bersalah agar diberikan hukuman yang seberat-beratnya”. • Berdasarkan ketetapan MPR dimaksud maka politik dan filosofi hukum rumusan pasal dan penjelasan dalam UU Tpikor bersifat retributif, yaitu antara lain memuat: – Adanya 2 hukuman pokok dalam rumusan pasal, selain adanya pidana tambahan; – Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang; – Ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana; – Pemberantasan Tpikor sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus KONTEKSTUALISASI SISTEM KEADILAN • Ada kontekstualisasi dan perkembangan sistem dan politik hukum keadilan sistem keadilan retributif dengan perspektif restoratif; • Pemidanaan sesuai spritualitas yg termaktub dalam politik hukum reformasi yg tersebut di Ketetapan MPR mengalami sentuhan perspektif keadilan restoratif; • Kini pemidanaan sebagai retribusi atas kerugian yg ditimbulkan dari suatu kejahatan tidak hanya ditujukan pada pelaku saja tetapi juga penyitaan pada seluruh hasil kejahatannya; dan/atau seluruh aset dan kekayaan lain yang tidak dibuktikan kejelasan asal usulnya; • Keadilan restoratif murni berpijak pada prinsip transitional justice yg berpihak pada korban atau masyarakat yg terkena dampak yang harus direstorasi. • Pada kenyataannya perampasan aset tidak karena pelaku sukarela menyerahkannya; di sisi lainnya pihak penerima dampak (dhi. masyarakat) justru tidak mendapatkan kompensasi langsung sebagai konsekwensi dari kehendak restorasi. • Pendekatan follow the money adalah strategi mengungkap kejahatan dan tidak dapat ditafsirkan sbg bagian atau implikasi atas sistem keadilan restoratif KORUPSI & HAK ASASI MANUSIA • Kontekstualisasi kajian atas korupsi dan hak asasi manusia dapat dilihat dalam 2 (dua) perspektif, yaitu: – Spirit dan value yg berkembang dalam era reformasi; – Exercising dan dinamika yg terjadi dalam pergaulan antar bangsa ; • Pada Era Reformasi tidak hanya ada TAP MPR yg merespon tuntutan publik tetapi juga terjadi amandemen konstitusi; • Ada kaitan yang erat antara reformasi, korupsi, konstitusi dan hak asasi dan kelak dengan tugas dan tanggungjawab pengadilan. • Pada Konstitusi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: – Preambul menyebutkan setidaknya ada 5 (lima) kosakata “rakyat” disebutkan secara eksplisit; – Batang Tubuh merumuskan bahwa: • Indonesia adalah Negara Hukum dan Kedaulatan berada ditangan rakyat (Lihat Pasal 1 UUD); • Hak Asasi diatur secara komprehensif pada Bab XA yang terdiri dari 10 pasal dan 24 ayat; • Apakah ada konvergensi antara “Daulat Rakyat, Daulat Hukum dan Daulat Kemanusian”; • Apa filsafat dasar Negara Hukum RI? • Apakah “Daulat Hukum yang berpijak pada Daulat Rakyat yang memiliki spiritualitas Daulat Kemanusian”?; • Konperensi Internasional di Seoul secara tegas dikemukakan bahwa korupsi dalam skala yang sangat besar dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat kemanusiaan. • The Seoul Conference mendeklarasikan bahwa – “the large scale corruption should be designated a crime against humanity, as for many around the world it falls into the same category as torture, genocide and other crimes against humanity that rob humans of human dignity”. • Julio Bacio-Terracino menjelaskan adanya hubungan antara korupsi dengan pelanggaran hak asasi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. • Lebih lanjut dikemukakan: – “Corruption is directly in connection to a violation of human rights when the corrupt act is deliberately used as a means to violate the right. Corruption in this case affects the enjoyment of the right”. – In other cases, corruption directly violates a human right by preventing individuals from having access to such right. Conditionality of access to human rights produces the violation. – When an individual in order to have access to health or education needs to bribe a doctor to obtain medical treatment or a teacher to be allowed to attend a class his right to health and education is infringed by corruption. • Dalam kajian lainnya ada kesimpulan yang sudah menjadi kesepakatan. – “…corruption creates fundamental inequalities in the poor’s access to justice and to development services …”. • Lebih jauh dari itu, ada hasil studi yang menyatakan – “… the negative impact of corruption on development is no longer questioned. Corruption hinders economic development, reduces social services, and diverts investments in infrastructure, institutions and social services …”. Kajian yang dilakukan oleh UNDP menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dan kemampuan mengontrol korupsi • Figure 1.7: Control of Corruption Index and GDP Growth • Sources: World Bank Figure 1.7: Control of Corruption Index and GDP Growth Sources: World Bank • Penelitian UNDP terhadapm sekitar 100 negara “developing countries” tahun 1996-2001 menyatakan antara lain sebagai berikut – “… korupsi terjadi pada sektor “the allocation of public expenditure”, khususnya di sektor “education, health and social protection” dan mengakibatkan kian rendahnya kualitas pelayanan publik pada bidang itu …”. • Kajian tersebut menjelaskan 2 (dua) hal, yaitu: – kesatu, fakta kemisikinan, ternyata, mempunyai pengaruh terhadap Human Development Indexs (HDI). Indonesia kini berada pada ranking 124 dari 145 yang diukur HDI nya; – kedua, pada negara yg dilakukan survei korupsi dan terbukti dikualifikasi sebagai negera korup ternyata berakibat pada kualitas human development, seperti kesehatan dan pendidikan. • Oleh karena itu, dinyatakan, korupsi pada sektor tertentu juga dapat mengakibatkan meningkatnya angka infant mortality and school drop-out dan juga mereduksi “life expectancy and literacy”. • Pada konteks itu, dapat ditarik suatu kenyataan bahwa ada hubungan erat yang langsung antara Human Development Index dengan Corruption Perception Index; Grafik yang menggambarkan hubungan antara Human Development Index dengan Corruption Perception Index. • Berdasarkan grafik di atas dapat dikemukakan beberapa hal, yaitu: – kesatu, adanya hubungan yang erat antara pembangunan kelayakan hidup, korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia; serta – kedua, bila dikaitkan dengan konteks negara hukum maka akan ada relasi yang kuat sistem kekuasaan yang tidak berpijak pada ”daulat hukum dan daulat rakyat” ketika menjalankan misi utama dalam pembangunan potensial menjadi salah satu penyebab utama terjadinya masifitas korupsi. – Ketiga kesemua itu pada gilirannya mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Gagasan yang tersebut dalam The Social Cost of Corruption bisa dipakan sebagai suatu “tools” untuk menghitung kerugian sosial dari suatu dampak korupsi yang pd akhirnya harus ditanggung masyarakat PUTUSAN HAKIM, KORUPSI & MASYARAKAT • Esensi konstitusi yang menegaskan adanya daulat rakyat, daulat hukum dan daulat kemanusian perlu diaktyualkan dalam suatu negara hukum Indonesia. • Salah satu prasyarat utama dari suatu Negara Hukum adanya Kekuasaan Kehakiman yang independen dan akuntabel atau amanah; • Konstitusi yg tersebut dalam UUD 1945 yg mengatur kekuasaan kehakiman dirumuskan dalam Pasal 24 ayat UUD 1945. • Ada beberapa hal penting dalam pasal dimaksud, yaitu: – Kekuasaan Kehakiman berpucuk pada MA dan MK; – Kekiuasdaan Kehakiman menjadi satu-satunya lembaga negara yang diberikan predikat kosakata “Merdeka” sehingga Menjadi kekuasaan kehakiman yg Merdeka; • Kemerdekaan”di dalam suatu kekuasaan kehakiman ditujukan guna Menegakkan Hukum dan Keadilan; • Hukum dan keadilan dimaksud seyogianya juga berpijak pada 3 (ketiga) daulat yg secara esensial tersebut dalam konstitusi. • Hakim sebagai salah satu unsur utama dalam suatu kekuasaan kehakiman yg akan membuat putusan seyogianya juga berpijak dan berpucuk pd substansi esensial “daulat” yg tersebut dalam konstitusi. • Ada beberapa alasan lain yang dapat dijadikan dasar justifikasi bahwa suatu putusan dalam konteks tindak pidana korupsi haruslah merujuk pada: – Spirit dan nilai yang tersebut dalam TAP MPR yang merespon tuntutan, harapan dan kehendak kuat masyarakat yg melahirkan Orde Refeormasi; – Dasar sipiritualitas yang tersebut dalam hal menimbang dan penjelasan UU Tipikor korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas; – Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. • – Pada keseluruhan konteks korupsi rakyat adalah pihak yang paling dirugikan karena menerima dampak utama dari tindak korupsi yang bersifat masif, sistematik dan terstruktur. – Tindakan korupsi yang mengakibatkan dampak luar biasa pd masyarakat itu adalh suatu tindakan yg dapat dikaulifikasi sebagai kejahatan hak asasi. KESIMPULAN • Hakim melalui putusannya adalah otoritas yang menjalankan kekuasaan kehakiman di sebuah negara hukum Indonesia; • Putusannya tersebut ditujukan untuk menegakan hukum dan keadilan serta harus berpijak dan berpucuk pada esensi nilai konstitusionalitas yg berisikan daulat, rakyat, daulat hukum dan daulat kemanusian. • Kejahatan korupsi adalah kejahatan hak asasi karena dampaknya mendegradasikan prinsip utama human dignity dari sang pemilik kedaulatan; • Putusan dalam kejahatan korupsi harus berbasis hak asasi mempunyai dasar legalitas dan karenanya harus senantiasa mempertimbangkan dampak kerugian yg diakibatkan oleh perbuatan tipikor. Dr. Bambang Widjojanto, SH. MH Tempat/TanggalLahir: Jakarta, 18 Oktober 1959 (54 Tahun) Pendidikan • Sastra Belanda di Universitas Indonesia (UI), tidak selesai. • S1 Sarjana Hukum dariFakultas Hukum Universitas Jayabaya, 1984. • Program Postgraduate, Law & Development, SOAS- London University (2000-2001) • S2 Magister Hukum (HukumBisnis) Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, 2006. • S3 Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, 2009. Karier • Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia, 1995-2000. • Ketua dewan pengurus LBH Jakarta • DirekturLBH Jayapura, 1986-1993 • Dewan Pengurus Forum Kerja Sama LSM di Irian Jaya, 1990-1993 • Panitia seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi. • Anggota Gerakan Anti Korupsi (Garansi). • Anggota Koalisi untuk Pembentukan UU Mahkamah Konstitusi (MK). • Anggota Tim Gugatan Judicial Review untuk kasus Release and Discharge. • Anggota Tim Pembentukan Regulasi Panitia Pengawas Pemilu. • Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). • Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras). • Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1999 • Pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW). • Penasihat di bidang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Sipil dan Demokrasi • Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Pelatihan • Internship Training 1993-1994 • International Human Rights Course tahun 1995 Penghargaan • Kennedy Human Rights Award (1993)