penegakan hukum dan kewibawaan pemerintah

advertisement
PENEGAKAN HUKUM DAN KEWIBAWAAN PEMERINTAH 1
oleh
Drs. Faris Ihsan, M.Si 2
Abstraksi
Inti dari hukum adalah keadilan tetapi yang terjadi di Indonesia adalah
masih lemah dalam penerapan hukum. Terbukti dari banyaknya
ketidakadilan di negeri ini, banyak ketimpangan hukum yang ada diantara
orang berduit dan orang biasa bahkan di Indonesia hukum pun dapat dijual
belikan. Sehingga tak heran banyak masyarakat yang mengatakan
“petinggi itu sekarang terapannya KUHP (Karena Uang Habis Perkara)”,
sehingga yang terjadi adalah banyaknya pejabat pemerintah yang terjerat
kasus hukum. Oleh karena itu penegakan hukum tidak boleh seperti pisau
“tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah.
Kata Kunci : keadilan, ketimpangan, penegakan hukum.
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini tercantum dalam batang tubuh UUD
1945 pasal 1 ayat (3) yang menjadi prinsip dasarnya. Negara hukum yang di maksud
adalah Negara hukum yang demokratis bukanabsolute rechtsstat dan bukan atas dasar
kekuasaan (machsstat). Artinya elemen- elemen yang ada dalam sistem hukum tersusun
dalam jalinan interaksi yang idealnya bermuara pada kesepakatan pencapaian tujuan dan
kepentingan nasional. Meskipun tak dipungkiri peran dari pemegang kekuasaan negara
itupun memiliki andil yang cukup signifikan untuk mempengaruhi sistem hukum yang
ada. Disisi lain peran dari pemegang kekuasaan itupun masih sangat disayangkan
bahwasanya ada pula oknum pemerintahan yang menyalahgunakan kekuasaannya.
Menjadikan gelar yang ia miliki tameng atas perilaku ketidakadilan yang ia lakukan.
Lantas dimanakah arti negara hukum yang dimaksud? Sementara hakikat dari hukum
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB
2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB
1
adalah keadilan. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk membahas hukum dan
penerapannya terkait kewibawaan aparat.
B. Hukum dan Negara Hukum
E.M. Mayers dalam Marwan (2011) mendefinisikan bahwa hukum adalah semua aturan
yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditujukan kepada tingkah laku manusia
dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Sedangkan menurut SM Amin dalam Hambali (2012),
hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi
sedangkan tujuan hukum adalah untuk mengadakan ketertiban pergaulan manusia
sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Dikatakan oleh Marwan Mas (2011)
Hukum atau tata tertib itu dapat berwujud kumpulan kaidah-kaidah, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Dapat pula diartikan bahwa hukum merupakan seperangkat
norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk
ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat menurut Masriani (2011). Dalam buku
Dasar-Dasar Ilmu Sosial (Supardi, 2011) menyebutkan setidaknya ada empat unsur
penting dalam hukum yaitu, 1) peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam
pergaulan masyarakat, 2) peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib,
3) peraturan itu bersifat memaksa dan 4) sanksi terhadap pelanggaran tersebut bersifat
tegas. Kemudian hukum dijadikan alat untuk mencapai tujuan Negara melalui
pemberlakuan atau tidak diberlakukannya hukum sesuai tahap perkembangan yang
dihadapi oleh masyarakat dan Negara kita (Mahfud MD, 2011). Indrayana (2008)
berkesimpulan bahwa secara umum, aturan konstitusi pascaamandemen lebih
menguatkan konsep negara hukum Indonesia. Indonesia dikatakan sebagai Negara
hukum, Pasal 1 ayat (3) berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum.” Tampak
jelas bahwa di dalam kalimat tersebut kata rechtaat tidak lagi digunakan karena
2
sebenarnya Indonesia tidak hanya menganut rechtaat tetapi juga menganut The Rule of
Law dan sistem lainnya dengan inti filosofinya masing-masing yang kemudian
digabungkan sebagai paradigma Negara hukum pancasila. Di dalam prismatika sistem
hukum pancasila, melihat bahwa negara hukum Indonesia memadukan secara harmonis
unsur-unsur baik dari rechtaat(kepastian hukum) dan the Rule of Law (keadilan
substansional). Dalam kaitan Negara hukum yang juga sebagai Negara demokratis ada
empat syaratrechtaat, yaitu Negara yang (1) kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan
undang-undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen. Anggota parlemen
itu dipilih langsung oleh rakyat; (2) mengatur mekanisme pertanggungjawaban bagi atas
setiap kebijakan dan tindakan kenegaraan yang dilakukan oleh elite Negara; (3)
menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan (4) melindungi hak-hak asasi
manusia. Sedangkan rule of law memiliki prinsip utama yaitu: (1) pemerintahan harus
berjalan berdasarkan hokum yang sudah ada sebelumnya; (2) aturan hukum inilah yang
harus dilaksanakan dan berlaku; dan (3) perselisihan atas aturan tersebut harus
diselesaikan melalui mekanisme yang demokratis. Dengan “negara hukum yang modern
dan demokratis”di sini dimaksudkan negara hukum yang diselenggarakan dengan
mengacu kepada prinsip-prinsip akal sehat dan dengan sekaligus melibatkan aspirasi
rakyat (Goesniadhie, 2010). Artinya elemen- elemen yang ada dalam sistem hukum
Indonesia tersusun dalam jalinan interaksi yang idealnya bermuara pada kesepakatan
pencapaian tujuan dan kepentingan nasional sebagai konsepsi yang kumulatif sebagai
satu kesatuan yang saling menguatkan tidak hanya berasal dari satu konsepsi semata.
Sistem hukum pancasila yang seperti itu memasang rambu-rambu dan melahirkan kaidah
penuntun dalam politik hukum nasional kita. Rambu yang paling umum adalah larangan
bagi munculnya hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai pancasila (Mahfud MD,
2011).
3
C. Penerapan Hukum
Sebagai Negara hukum yang menganut sistem hukum pancasila semestinya
apapun yang dilakukan oleh warga negaranya pun harus sesuai dengan aturan yang
bersumber dari nilai-nilai pancasila. Namun secara nyata hal tersebut bisa dikatakan
masih sebagai sebuah idealisme (das sollen) bagi Indonesia. Apabila dikaitkan dengan
hakikat hukum yang disebutkan bahwa inti dari hukum adalah keadilan maka Indonesia
masih lemah dalam penerapan hukum. Terbukti dari banyaknya ketidakadilan di negeri
ini, banyak ketimpangan hukum yang ada diantara orang berduit dan orang biasa bahkan
di Indonesia hukum pun dapat dijual belikan. Sehingga tak heran banyak
celethukan (jawa) masyarakat yang mengatakan “petinggi itu sekarang terapannya
KUHP (Karena Uang Habis Perkara)”. Pernyataan ini pun di perkuat oleh Nuruddin
(2015), yang menyatakan bahwa, Hukum masih dijadikan “pajangan” dengan sanksi
menurut kepentingan kekuasaan dan yang punya uang. Kemudian yang menjadi
pertanyaan mengapa hal demikian bisa terjadi dikalangan masyarakat? Tak lain
jawabannya adalah integritas aparat penegak hukum itulah yang kini dipertanyakan.
Meskipun tanpa campur tangan polisi, maka Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) itu tetap hanya merupakan tulisan di atas kertas (Rahardjo, 2009). Namun tetap
saja kewibawaan aparat menjadi taruhan karena wibawa mereka sudah diujung tombak.
Bahkan cukup tercengang ketika ketua MK dimana ia merupakan penegak keadilan
terakhir dinobatkan menjadi tersangka kasus suap. Penangkapan Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) oleh KPK dalam kasus dugaan gratifikasi merupakan "sejarah baru"
yang sangat mencoreng proses perjalanan penegakan hukum di Indonesia. "Penangkapan
Ketua MK ini adalah sejarah baru bagi perjalanan penegakan hukum kita karena selama
ini publik percaya pada kredibilitas dari Mahkamah Konstitusi," kata Tjatur Wakil Ketua
Komisi III di Gedung Nusantara III DPR RI di Jakarta, Kamis. Ia mengaku terkejut
4
mendengar kejadian penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK sebab ia menilai
Mahkamah Konstitusi selama ini dikenal sebagai lembaga yang cukup kredibel. "Kami
menilai MK itu cukup kredibel maka kami kaget setengah mati dengan kejadian ini,
namun bagaimanapun kita harus fokus mendukung langkah KPK," ujarnya. Menurut dia,
dengan adanya kejadian pelanggaran oleh aparat penegak hukum, Komisi III akan
mendukung penuh langkah KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi pada
lembaga-lembaga penegak hukum, baik disektor peradilan umum maupun disektor
peradilan konstitusi, seperti di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. "Selaku
pimpinan Komisi III saya mendukung penuh langkah KPK yang kini sudah ada di 'road
map' KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi di sektor penegakan hukum," kata
Tjatur. Terkait pengawasan terhadap hakim agung oleh Komisi III, ia mengatakan
pihaknya akan terus meningkatkan upaya pengawasan guna mencegah tindak
pelanggaran hukum oleh para hakim agung dan aparat penegak hukum lainnya. "Kami
setiap masa sidang pasti melakukan konsultasi dengan MA dan MK. Selama ini,
sebenarnya kinerja MK cukup maju dalam hal administrasinya. Oleh karena itu, kami
berharap kejadian buruk yang mencoreng lembaga penegak hukum ini jangan sampai
terulang," ujar Tjatur. Menurut dia, kejadian penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) Akil Mochtar dalam kasus dugaan gratifikasi merupakan suatu tamparan bagi
"wajah" penegakan hukum di Indonesia. "Kejadian ini membalikkan citra bahwa para
hakim MK itu adalah 'orang yang sudah tidak bermasalah dengan dirinya'. Artinya,
beberapa dari mereka (hakim MK) kemungkinan masih bermasalah karena harus
mendapatkan uang dari putusannya atau mendapatkan nama baik dari putusannya,"
ujarnya. Menurut dia, para hakim MK yang bermasalah itu adalah hakim yang masih
lebih mengutamakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti uang, jabatan,
"nama", dalam membuat putusan di MK. "Kalau hakim yang sudah tidak bermasalah
5
akan berpikir putusan yang saya buat ini untuk kepentingan bangsa dan negara. Kalau
tertangkap tangan sedang menerima uang, ini kan bukan untuk kepentingan bangsa dan
negara," ucap Martin. Sebelumnya, KPK menangkap tangan Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar di kediamannya di kompleks perumahan menteri, Jalan
Widya Chandra III No 7, Jakarta Selatan. Penangkapan tersebut diduga terkait suap
untuk kasus Pilkada di Kalimantan. "Ini terkait Pilkada di sebuah kabupaten di
Kalimantan," kata salah seorang penyidik KPK. Selain Akil Mochtar dan seorang
perempuan yang diperkirakan anggota DPR berinisial CN, KPK juga menangkap
seorang panitera pengganti berinisial KH dan dua orang lainnya. Sang Panitera berinisial
KH itu bertugas sebagai perantara penyerahan uang dari CN ke Akil Mochtar. Lima
orang itu ditangkap KPK di dua tempat, yaitu di rumah dinas di kompleks menteri Jl.
Widya Chandra dan sebuah tempat di Jakarta Barat. Hingga saat ini lima orang yang
ditangkap itu masih diperiksa di gedung KPK.
Berita lain lagi yang dapat mencoreng integritas aparat adalah Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Sidoarjo telah memvonis tujuh Anggota Kepolisian Resort Sidoarjo.Mereka
dijatuhi hukuman delapan bulan, enam bulan dan empat bulan penjara karena terbukti
memberikan keterangan palsu atas kasus penembakan yang menyebabkan meninggalnya
Riyadhus Solihin.Riyadus adalah warga Sepande, Candi. Vonis ini jauh lebih ringan
dibandingkan dakwaan jaksa yang meminta penjara dua tahun enam bulan penjara.Jaksa
menjerat dengan pasal 317 dan pasal 318 KUHP tentang rekayasa kasus dan pasal 220
KUHP tentang keterangan palsu.Yang terbukti adalah pasal ketiga tentang keterangan
palsu. Di antara tujuh polisi, Briptu Eko Restanto dan mantan Kasat Reskrim Polres
Sidoarjo AKP Ernesto Saiser dihukum delapan bulan penjara.Sedangkan mantan Kanit
Pidana Umum Reskrim Polres Sidoarjo Iptu Suwidji dan Aiptu Agus Sukwan Handoyo
mendapat hukuman enam bulan penjara. Terakhir, Bripka Dominggus Dacosta, Briptu
6
Iwan Setiawan dan Aiptu Drajad diganjar empat bulan penjara. "Hal yang memberatkan
adalah tindakan tujuh polisi itu meresahkan masyarakat dan mencoreng institusi
kepolisian," kata Ketua Majelis Hakim, Bachtiar Sitompul di PN Sidoarjo pada Senin, 25
Juni 2012. Hal yang meringankan kata dia adalah terdakwa Briptu Eko telah meminta
maaf, AKP Ernesto sebelumnya telah berjasa sebagai anggota Polri dan memberikan
santunan terhadap keluarga korban. Sedangkan terdakwa lain turut membantu karena
pengaruh sungkan atas perintah atasannya. Bachtiar mengatakan polisi telah memberikan
keterangan palsu bahwa korban seolah-olah membawa clurit, mengoleskan darah ke
clurit, membuat visum, melukai diri sendiri dan membuat laporan palsu. Seperti
diberitakan sebelumnya, Riyadhus Solihin ditembak oleh seorang polisi anggota Polres
Sidoarjo, Briptu Eko Restanto pada 28 Oktober 2011.Setelah menembak, Eko bersama
enam polisi lainnya termasuk atasannya, merekayasa kasus penembakan yang
menyebabkan Riyadhus meninggal. Tujuh aparat berseragam coklat tersebut membuat
seolah-olah Riyadhus melawan dengan clurit saat akan ditangkap polisi sebelum
penembakan terjadi. Padahal korban sendiri tidak pernah melakukan perlawanan. Kuasa
hukum Briptu Eko Restanto, Agus Siswinarno dan jaksa penuntut umum Darwati
mengatakan masih fikir-fikir apakah akan mengajukan banding atau tidak.Mendengar
vonis hakim, Maisyaroh, istri almarhum Riyadhus Solihin histeris. "Seharusnya semua
polisi yang merekayasa kasus itu dipecat," ujarnya.
Dari beberapa contoh kasus diatas mungkin dapat mewakili perilaku menyimpang yang
ada di ranah hukum. Sehingga jangan salahkan rakyat jika ada banyak penyimpangan
yang melanggar hukum karena bagaimanapun masyarakat Indonesia masih menganut
contoh secara vertical. Apabila aparat saja tidak taat hukum maka jangan menuntut
rakyat untuk taat. Sementara Ubaidillah mengatakan, Kita tentu belum lupa dengan hasil
survei dua lembaga, yaitu Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indonesia Network
7
Election Survey (INES) beberapa waktu lalu, yang menurunkan laporannya perihal
persepsi atau pandangan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. LSI
menegaskan 46,7% responden tidak percaya hakim bertindak adil dalam penegakan
hukum, sedangkan hasil Ines lebih mengagetkan. Sebanyak 72,3% masyarakat tidak puas
terhadap penegakan hukum yang dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY)-Boediono. Menurut INES, ini dikarenakan penegakan hukum di rezim berkuasa
saat ini lebih banyak diintervensi kepentingan pribadi dan kelompok.Banyaknya
kriminalitas dan main hakim sendiri itu bukan 100% kesalahan rakyat.Sesuai yang
dinyatakan oleh Hambali bahwa kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat
penegak hukum sebenarnya di dasari oleh prilaku para penegak hukum yang terjebak
dalam praktek KKN.Melihat kenyataan yang demikian itu masyarakat menjadi kecewa
terhadap aparat penegak hukum yang berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap hukum yang ada yang di tandai dengan makin banyaknya aksi main hakim
sendiri.
D. Nasib Aparat yang Terjerat
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga saat ini belum banyak berubah
sejak penjajahan Belanda sehingga hukum di Indonesia kurang mampu memberi efek
jera dan menyadarkan masyarakat. Begitu banyak peraturan hukum yang dibuat oleh
para penegak hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, tapi faktanya walaupun
hukum tersebut dibuat beserta sanksinya tapi tetap saja peraturan tersebut dikarenakan
pemerintah dan aparat hukum tidak sungguh-sungguh dalam menegakkannya, setelah
peraturan dibuat praktek dilapangan begitu banyak pelanggaran-pelanggaran yang masih
bisa ditolerir. Pada kasus MK, jika ditelaah sudah jelas kewajiban dalam system
peradilan, adanya mahkamah konstitusi memiliki wewenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD,
8
memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan pemilu. Selain itu
Mahkamah konstitusi berkewajiban memberi putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden/ atau wapres menurut UUD 1945. Bagaimana
akibatnya jika hakim di Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan final masih
bisa dibeli keputusan hukumnya. Lantas bagaimana pula kredibilitas lembaga peradilan
dibawahnya? Tentu hal ini sangat ironis dimana Indonesia sebagai negara hukum
ternyata menjadi sarang mafia berkedok pejabat. Pada kasus yang dipaparkan dalam
berita Tempo diatas, pidana yang dapat dikenakan terhadap orang yang memberikan
keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Bab IX tentang Sumpah Palsu dan
Keterangan Palsu, Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”), barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya
memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan
yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan
lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Namun ketujuh aparat hanya
dipidana beberapa bulan dan hanya pasal ketiga saja yang terbukti sesuai pasal 317 dan
pasal 318 KUHP tentang rekayasa kasus dan pasal 220 KUHP tentang keterangan palsu.
Padahal tindakan yang dilakukan oleh Briptu Eko Restanto dan keenam anggota
kepolisian
tersebut
jelas-jelas
merupakan
contoh
modus
operandi,
perbuatan
melanggar hukumdan mencoreng nama baik aparat. Hukuman atau sanksi yang
diberlakukan untuk menangani kasus pelanggaran antara pejabat dan non pejabat
seharusnya berbeda karena tidak hanya melanggar hukum tapi juga mencoreng nama
baik aparat dan menurunkan kewibawaan serta menurunkan kepercayaan rakyat terhadap
kredibilitas aparat. Sesuai pendapat Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat bahwa
9
dengan maraknya pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum maka sanksi untuk
kasus pelanggaran oleh para aparat penegak hukum harus lebih berat. "Saya kira
hukuman bagi aparat penegak hukum yang melanggar hukum harus lebih berat karena
seharusnya aparat itu menjadi contoh yang baik bagi proses penegakan hukum, bukan
malah menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat," katanya.
E. Pelaksanaan Hukum dan Kewibawaan Aparat
Lemahnya penegakan hukum di negeri ini menjadi persoalan sendiri. Sampai sekarang
KKN masih merajalela, bukan hanya berdasar hasil sigi (survei) berbagai lembaga
internasional dan nasional, tetapi juga berdasar pengalaman dan penglihatan kita secara
benderang. Dunia hukum menjadi pasar bagi oknum dan pelanggar hukum. Korupsi yang
merajalela menyebabkan minimal dua hal: pertama,banyaknya aparat kita yang mudah
dibeli (money politics) untuk membuat kebijakan atau keputusan apa pun yang merusak
ketahanan nasional kita.Kedua, sebagai akibatnya masyarakat menjadi antipati dan tidak
respek lagi terhadap pemerintahnya sendiri yang dianggap mau menjual atau
menggadaikan bangsanya bahkan bisa memancing pembangkangan sipil (ketidaktaatan
terhadap hukum dan pemerintah) menurut Mahfud MD (2011). “Apa gunanya
mendengar aparat sedangkan dia saja terjerat kasus pelanggaran hukum.” Peryataan
itulah yang muncul di masyarakat. Meski ada beberapa aparat yang taat hukum namun
karena adanya beberapa aparat yang tenar melanggar hukum sehingga hal yang negative
inilah yang men-generalisasi di benak masyarakat. Padahal, kepercayaan publik
merupakan modal utama dan penting bagi kelancaran dan keberlanjutan roda
pemerintahan. Kalau orang-orang yang duduk di pemerintahan sudah kehilangan
kepercayaan dari rakyat, mereka akan kehilangan optimisme dalam menjalankan roda
pemerintahan itu sendiri. Akhirnya, pemerintahan yang baik (good government) sangat
sulit terwujud. Disinilah pemerintah sebagai wakil negara dituntut secara bergegas
10
mengembalikan kepercayaan masyarakat. Jadi satu-satunya cara untuk meningkatkan
kewibawaan aparat ialah menempatkan etika dan moral sebagai sumber norma hukum
serta dasar implementasi atau penegakan hukum. Dengan demikian masyarakat dapat
melihat contoh nyata dari atasannya untuk berlaku taat peraturan dan taat hukum.
F. Penutup
1. Kesimpulan
Hukum merupakan kaidah atau aturan yang berwujud tertulis maupun tak tertulis
sebagai norma yang mengandung sanksi keras. Indonesia sebagai negara hukum tidak
hanya menganut rechtaat tetapi juga menganut The Rule of Law dan sistem lainnya
dengan inti filosofinya masing-masing yang kemudian digabungkan sebagai paradigma
negara hukum pancasila. Artinya semua tindakan haruslah bermuara pada nilai luhur
pancasila. Meski Indonesia secara jelas mengatasnamakan dirinya sebagai negara
hukum akan tetapi implementasi dari aturan-aturan yang ada masih jauh dari kata taat
hukum. Banyak pelanggaran dan kriminalitas yang terjadi tak hanya berasal dari
kalangan masyarakat umum tetapi juga dari aparat penegak hukum. Dari banyaknya
pelanggaran inilah muncul ketidakpercayaan rakyat terhadap aparat penegak hukum,
kewibawaan mereka telah di ujung tombak.
2. Saran
Demi tegaknya ketahanan nasional, Indonesia membutuhkan kesadaran hukum dari
semua kalangan masyarakat. Terlebih pada aparat dan pejabat hendaknya memberi
contoh taat hukum dan mampu membuktikan bahwa hukum itu tidak diskriminatif
sehingga diharapkan akan tercipta harmonisasi di antara masyarakat. Selain itu perlu
juga untuk menempatkan etika dan moral sebagai sumber norma hukum serta dasar
implementasi atau penegakan hukum.
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Goesniadhie, Kusnu, 2010, Hukum Konstitusi dan Politik Negara Indonesia, Nasa Media,
Malang.
Hambali, Muhammad, 2012. Pelaksanaan Hukum Dalam Masyarakat.diakses
dari http://marxs83.files.wordpress.com/2008/06 pada tanggal 10 Maret 2015.
Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan,
Kompas, Jakarta
MD.,Moh.Mahfud. 2011. Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
__________. 2010. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta:
Mas, Marwan.2011. Pengantar Ilmu hukum, Ghalia Indonesia, .Jakarta:
Masriani, Yulies Tiena. 2011. Pengantar Hukum Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta:
Nuruddin, 2015, Mengapa Penegak Hukum Melanggar Hukum?.Diakses dari
http://suar.okezone.com/read/2015/03/10/58/886087/large#sthash.c4le5m9k.dpuf p
ada 10 Maret 2015.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum Yang
Baik, Kompas, .Jakarta
Supardi, 2011, Dasar-Dasar Ilmu Sosial, Ombak, Yogyakarta
Ubaidillah, Ahmad, 2013, Sekarat Penegakan Hukum. Email:[email protected] 10
Maret 2015.
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/25/058412836/Rekayasa-Kasus-Tujuh-PolisiSidoarjo-Masuk-Bui
Dokumen :
___________, UUD 1945, 2014, Pelita, Jakarta
___________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2011, Alfabeta, Jakarta
Akses Internet :
Telah diserahkan kepada Tim Website BKD dan
(http://bkddiklat.ntbprov.go.id) pada tanggal 31 Maret 2015
Diklat
Provinsi
NTB
:
12
Download