KEBERADAAN PURA BEDUGUL DI SUBAK GEBANG GADING ATAS DESA PAKRAMAN TEGALMENGKEB KECAMATAN SELEMADEG TIMUR KABUPATEN TABANAN (Perspektif Teologi Hindu) Oleh NI MADE ERI PARMITA SARI NIM. 09.1.6.8.1.0145 E-mail: [email protected] Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag., M.Par. Pembimbing II I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H. ABSTRAK Pura bedugul adalah tempat suci untuk para krama subak mempersembahkan banten yang berfungsi untuk memuja prawaba Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan pura bedugul dalam wilayah subak selalu berpedoman pada konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Adanya pura bedugul di tengah-tengah masyarakat petani (krama subak) karena adanya kepercayaan/sraddha akan manifestasi Tuhan saktinya Dewa Wisnu (Dewi Danu/Dewi Sri) sebagai penguasa lahan pertanian, pemberi kemakmuran dan kesejahteraan petani yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pura bedugul adalah spirit dari penguasa urip (jiwa) segala makhluk persawahan. Lima tahun terakhir ini lahan subak Gebang Gading Atas Desa Tegalmengkeb, Kecamatan Selemadeng Timur, Kabupaten Tabanan mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan menjadi pembangunan villa. Pada tahun 2008 tercatat luas subak Gebang Gading Atas adalah 135 hektar dan sampai pada tahun 2012 tercatat masih 120 hektar. Alih fungsi lahan sawah pada subak menyebabkan pengurangan pengempon pura bedugul dari 174 menjadi 163 pengempon. Ketika hal ini akan terus berlangsung, pura bedugul akan terancam lenyap. Melihat penjelasan di atas, akibat konversi lahan sawah menjadi sarana akomodasi pariwisata (villa) khususnya melihat sistem perangkat subak dengan konsep Tri Hita Karana, tentu yang sangat relevan adalah persoalan keberadaan pura bedugul sebagai salah satu unsur ketuhanan dalam sistem subak Gebang Gading Atas yang sulit untuk diubah karena menyangkut masalah niskala. Untuk itu diangkat tiga rumusan masalah (1) bagaimana struktur pura bedugul yang dibedah dengan menggunakan teori religi, (2) apa fungsi pura bedugul yang dibedah dengan menggunakan teori fungsional struktural, dan (3) apa makna teologi pura bedugul yang dibedah dan dianalisis menggunakan teori simbol. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yakni data primer yang bersumber dari informan dan data skunder bersumber dari literatur/pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi. Untuk menganalisis data yang didapat menggunakan metode deskriptif kualitatif. Struktur pura bedugul menggunakan konsep dwi mandala di mana Dewa utama yang dipuja adalah Dewi Danu yang diwujudkan berupa palinggih padmasana. Pura bedugul mempunyai fungsi yaitu sebagai fungsi religi, fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi kesuburan dan fungsi estetika. Makna teologi Hindu yang terkandung di dalam Pura Bedugul yaitu makna widhi sraddha, makna simbolis bhuana agung, makna sosial, makna ekonomi, dan makna kesuburan. Dengan adanya pengembangan pariwisata di subak Gebang Gading Atas mampu memberi perubahan fungsi pada pura bedugul, namun makna pura bedugul tetap seperti dulu yaitu sebelum ada pengembangan pariwisata di subak Gebang Gading Atas. Kata kunci: Keberadaan, Pura Bedugul, Subak Gebang Gading Atas I. PENDAHULUAN Pura bedugul adalah tempat suci untuk para krama subak mempersembahkan sesajen/banten/upakara yang berfungsi untuk memuja prawaba Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan pura bedugul dalam wilayah subak selalu berpedoman pada konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Adanya pura bedugul di tengah-tengah masyarakat petani (krama subak) karena adanya kepercayaan/sraddha akan manifestasi Tuhan saktinya Dewa Wisnu (Dewi Danu/Dewi Sri) sebagai penguasa lahan pertanian, pemberi kemakmuran dan kesejahteraan petani yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pura bedugul adalah spirit dari penguasa urip (jiwa) segala makhluk persawahan. Lima tahun terakhir ini lahan subak Gebang Gading Atas Desa Tegalmengkeb, Kecamatan Selemadeng Timur, Kabupaten Tabanan mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan menjadi pembangunan villa. Pada tahun 2008 tercatat luas subak Gebang Gading Atas adalah 135 hektar dan sampai pada tahun 2012 tercatat masih 120 hektar. Alih fungsi lahan sawah pada subak menyebabkan pengurangan pengempon pura bedugul dari 174 menjadi 163 pengempon. Ketika hal ini akan terus berlangsung, pura bedugul akan terancam lenyap. Apakah dengan kehadiran pariwisata dapat mempengaruhi struktur, fungsi, dan makna teologi yang terdapat pada pura bedugul. Mempertahankan keberadaan pura bedugul di tengah pengembangan pariwisata, krama subak harus meningkatkan sraddha dan bhaktinya untuk memahami teologi Hindu yang terdapat di Pura Bedugul Subak Gebang Gading Atas. Dengan demikian, akan tumbuh kesadaran krama subak bahwa keberadaan pura bedugul memiliki peranan penting dan nyata dalam komunitas pertanian. Pura bedugul tersebut selalu diaktifkan, selalu dirasakan ada dan digunakan dalam tatanan kehidupan petani. Melalui peningkatan kesadaran akan keberadaan pura bedugul, kemungkinan lahan sawah pada subak tidak akan terus menyempit. II. METODE Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yakni data primer yang bersumber dari informan dan data skunder bersumber dari literatur/pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, kepustakaan, dan studi dokumen. Teknik penentuan informan dilakukan dengan metode purposive sampling. Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder, camera digital, dan pencatatan. Untuk menganalisis data yang didapat menggunakan metode deskriptif kualitatif. III. HASIL PENELITIAN 3.1 Struktur Pura Bedugul di Subak Gebang Gading Atas Lokasi pura bedugul adalah berada di tengah-tengah areal persawahan Subak Gebang Gading Atas. Tepatnya berada di samping timur jalan raya yang menghubungkan dusun Kelecung dengan dusun Alas. Letak geografis pura bedugul berada pada ketinggian 7 meter di atas permukaan laut, berdiri pada permukaan datar sawah, iklim curah hujan sedang dan dengan luas wilayah pura ± 3,5 are. Pura bedugul berdampingan dengan Villa Sahaja yang berjarak ± 350 M. Sejarah tentang adanya bangunan pura bedugul dilandasai adanya sraddha yang kuat dari krama subak itu sendiri. Mempercayai bahwa pura bedugul harus dibangun pada tempat yang baik untuk para dewa bercengkrama. Menurut Titib (2004:293) bahwa dalam Veda Tantra Sarascamucaya I.1.28 dinyatakan: “Para Dewa tidak hanya berkenaan untuk turun dan tinggal di tirtha (patirthan), tetapi di sungai, dan danau, tetapi juga di tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai, dan kuala (muara sungai), di puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pengunungan, di hutan, di semak belukar dan kebun atau taman-taman, dekat tempattempat di rahkmati atau pertapaan, di desa-desa,kota-kota dan tempattempat lain yang membahagiakan”. Berdasarkan kutipan di atas, bahwa tidak sembarangan umat Hindu dalam membangun tempat suci. Krama subak dalam menentukan tempat untuk membangun pura bedugul di subak Gebang Gading Atas dilandasi akan sraddha yang kuat. Bahwa membangun tempat suci di areal semak-belukar yang berada di tengah-tengah subak sudah pilihan yang tetap sesuai petunjuk ajaran veda. Dalam semak belukar hanya ada satu tumbuhan tinggi yaitu pohon gebang gading. Sarana upakara dalam upacara piodalan (ngusaba) di pura bedugul adalah banten. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dari sarana tertentu, antara lain: bunga, buah-buahan, daun tertentu seperti sirih dan dari makanan seperti nasi dan lauk pauk, jajan, dan sebagainya, disamping sarana yang sangat penting adalah air dan api. Surayin (2002:8) menyatakan banten merupakan perwujudan simbol-simbol dari Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya, karena keterbatasan manusia membutuhkan sarana sebagai alat konsentrasi untuk memuja Tuhan. Jenis banten yang dipergunakan dalam upacara ngusaba di pura bedugul adalah nasi geblog manca warna maulam ayam manca warna mapanggang, banten sorohan genep, peras sesantun, penyeneng, abu tepung tawar, sesarik,segehan cacahan limang tanding. Pura Bedugul di Subak Gebang Gading Atas adalah pura fungsional. Pura bedugul ini menggunakan konsep dwi mandala yaitu; Jeroan dan Jaba pisan Ada pun nama-nama palinggih yang ada di pura ini antara lain; palinggih dewi danuh, palinggih siwa guru, palinggih pasimpangan pura taman sari, palinggih bhatari sri dan bhatara rambut sedana, taksu agung. Pura Bedugul Subak Gebang Gading Atas di bangun oleh krama subak berdasarkan drsta. Adanya drsta itulah yang mempengaruhi adanya perbedaan struktur pura satu dengan struktur pura yang lainnya. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (krama subak Gebang Gading Atas). 3.2 Fungsi Pura Bedugul di Subak Gebang Gading Atas Setiap segala sesuatu tentu memiliki fungsi dan tujuan tersendiri. Fungsi merupakan kegunaan suatu hal bagi hidup suatu mayarakat. Adapun fungsinya pura bedugul adalah sebagai berikut; 3.2.1 Fungsi Religi Religi adalah kepercayaan, sikap yang serius dan sosial dari individu-individu atau komunitas-komunitas kepada satu atau lebih kekuatan yang mereka anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap kepentingan dan nasib mereka (Permata , 2000: 15). Pelaksanaan upacara yadnya (ngusaba) di lingkungan pura bedugul adalah fungsi religi melalui kegiatan persembahan yang tulus ikhlas dengan harapan agar padi dipelihara oleh Tuhan ataupun Dewa penguasa sawah. Ngusaba di pura bedugul karena percaya akan ada kekuatan dari manifstasi Tuhan untuk menjaga padi yang sudah kuning dari segala hama. 3.2.2 Fungsi Sosial Pura bedugul adalah pura subak yang masih berstatus pura swagina. Fokus kegiatannya adalah di bidang pertanian yang meliputi kegiatan ekonomi dan juga kegiatan yang bersifat keagamaan yaitu mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacaraupacara yadnya pada pura subak (Geriya dkk,1981:55). Kehadiran bangunan suci pura bedugul mampu mewujudkan fungsi sosial yaitu mengerjakan sarana dan prasarana upacara ngusaba secara bergotong-royong (ngayah) bahkan digunakan sebagai tempat rapat memecahkan masalah secara bersama yang menyangkut dengan kemajuan subak. Namun untuk sekarang, fungsi sosial telah mengalami penurunan karena hanya dalam memasang wastra dan penjor (menjelang ngusaba) saja ngayah itu pun dikerjakan oleh prajuru saja akibat pengempon pura berkurang dan berasal dari berbagai daerah akibat alih fungsi lahan sawah subak. Fungsi sosial di pura bedugul sudah mengalami perubahan. 3.2.3 Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi pura bedugul artinya keuangan pura bedugul dalam memberikan kehidupan dan kemakmuran bagi krama subak. Seperti di ketahui bahwa setiap krama subak dikenakan dana urunan sebesar Rp. 20.000,00 per ha tiap panen. Biasanya setiap ada upacara ngusaba atau perbaikan fisik pura bedugul mendapatkan dana punia sebesar Rp. 500.000,00 ataupun Rp. 200.000,00 dari pihak villa yang ada di kawasan subak ini. Pemerintah pusat dan daerah juga memberikan bantuan berupa dana hibah. Sehingga dengan adanya wajib iuran krama subak, dana hibah dari pemerintah, dan dana punia dari pemilik villa di subak Gebang Gading Atas, membuat pura bedugul ini memiliki fungsi ekonomi. Kehadiran pariwisata di subak Gebang Gading Atas ternyata menciptakan fungsi ekonomi baru di pura bedugul yaitu adanya sumber dana penunjang upacara ngusaba dari pihak pemilik villa. Pihak subak harus membuat aturan-aturan tertentu agar sawah tidak mudah beralih fungsi yang menyebabkan adanya perubahan akan fungsi dari pura bedugul. 3.2.4 Fungsi Kesuburan Pura bedugul dalam kaitannya dengan hakikat kehiduapan masyarakat Bali sesungguhnya merupakan pemeliharaan dan pemanfaatan bumi (ibu pertiwi) dan air. Dalam cerita lahirnya Sang Boma yang lahir dari Dewa Wisnu (air) dengan Pertiwi (tanah), maka Sang Boma dapat diartikan sebagai hutan atau tumbuhan.Tumbuhantumbuhan lahir dari tanah dan air sehingga dapat tumbuh di atas tanah atau ibu pertiwi (Surpa, 2004:111). Pura bedugul sebagai bagian dari sistem pemujaan dalam konteks Tri Hita Karana merupakan sebuah kesatuan hubungan yakni hubungan krama subak dengan Tuhan (aspek teologis) dan hubungan krama subak dengan lingkungan subaknya. Pura bedugul ini berorientasi pada nilai kesuburan. Dewa Wisnu (air) adalah lambang kesuburan umat manusia, Dewi Danu (air) juga melambangkan kesuburan, kemudian Dewi Sri juga melambangkan kesuburan. Sekarang walaupun adanya pengembangan pariwisata di subak Gebang Gading Atas, masih tetap memiliki fungsi sebagai fungsi kesuburan. 3.2.5 Fungsi Estetika Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran suci veda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan penting dari estetika Hindu. Konsep yang dimaksud antara lain; kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan keseimbangan (sundaram) (Dibia, 2003:96). Satyam, sivam, dan sundaram adalah nilai estetik yang terkandung di dalam pura bedugul. 3.3 Makna Teologi Hindu Pura Bedugul di Subak Gebang Gading Atas Makna adalah suatu nilai yang lebih bersifat trancendent karena ia lebih berada pada ranah konsep dalam pikiran dari pada berwujud konkrit seperti halnya materi (Brahman, 2010: 152). Dalam suatu makna yang sifatnya transcendent yang terkandung dalam pura bedugul, maka makna tersebut dapat digali dengan atau ditelusuri dengan menggunakan teori simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. 3.3.1 Makna Widhi Sradha Susastra Hindu mengungkapkan tentang khayangan atau pura. Adapun kutipan Īśánaśivagurudevapaddhati, III.12.16 adalah sebagai berikut: Prásádam yacchiva śaktyátmakam Tacchaktyantaiĥsyádvisuddhádyaistu tatvaiĥ Śaivì mūrtiĥ khalu deválayákhyetyasmád Dhyeyá prathamam cábhipūjyá Terjemahannya: “Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siva dan Sakti dan kekuatan/prinsip dasar segala manifestasi atau wujud-Nya, dari element hakikat yang pokok, prthivi sampai kepada sakti-Nya.Wujud Konkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan sthana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan perenungan dan memuja-Nya” (Titib, 2003: 90). Pura bedugul adalah kepercayaan akan kehadiran Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa air (Dewa Wisnu) dan Dewi padi (Dewi Sri) sebagai penguasa sawah serta Dewi Danu sebagai Dewi kemakmuran adalah perwujudan dari widhi sraddha. 3.3.2 Makna Simbolis Bhuana Agung Tuhan (Sadasiwa) pada saat menggerakkan hukum kemahakuasaan-Nya atau sakti dan swabhawa-Nya untuk mengatur keharmonisan alam semesta beserta isinya, secara simbolik Beliau dianggap seolah-olah bersinggasana ditengah-tengah kembang teratai yang disebut Padmasana. Padmasana diartikan singgasana kembang teratai (Sumawa dan Krisnu, 1993: 310). Sehubungan dengan hal itu perhatikan sloka berikut ini: Sáwyapayah Bhaţara śadasiwa sira, hana padmásana pinaka palungguhan ira, apáran ikang padmasana ngaranya; saktinira; saktingaranya,wibĥusakti,prabĥusakti,jņanasakti,krìyasakti; nahan yang ćadusakti ngaranya. Terjemahan: Tuhan (Sadasiwa) ialah sawyaparah (bersenyawa dengan hukum kemahakuasaan-Nya). Ada padmasana sebagai singgasana-Nya. Apakah yang dimaksud dengan padmasana. Yaitu saktinya, yakni; wibhusakti, prabhusakti, jnanasakti, dan kriyasakti. Itulah yang disebut cadhusakti ( Sumawa dan Krisnu, 1993: 311). Padmasana pada hakekatnya adalah merupakan simbol dari bumi ini atau Bhuwana Agung (alam semesta) karena alam semestalah merupakan sthana Tuhan di dunia ini. Pura bedugul yang di dalamnya terdapat palinggih padmasana mempunyai makna teologi yaitu simbolis bhuana agung (makrokosmos). 3.3.3 Makna Sosial Antar sesama krama subak harus bertingkah laku seperti dengan saudara sendiri, bersatu demi tercapainya sebuah kemakmuran. Dalam Yajurveda XXXVI.18 dijelaskan sebagai berikut: Mitrayása ma ćaksusa sarwani bhutani sámiksantam Mitrasyáham ćaksusa sarvani bhutani sámikse Mitrasyá ćaksusa samiksamahé. Terjemahan: Semoga semua makhluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat, semoga saya memandang semua mkhluk sebagai seorang sahabat, semoga kami saling berpandangan penuh persahabatan. Upacara ngusaba sebagai wahana interaksi sosial masyarakat mempunyai implikasi yang tinggi untuk memperkuat persahabatan antar saudara atau antar krama subak dalam sistem sosial. 3.3.4 Makna Ekonomi Di dalam veda ada dijelaskan kita sebagai umat manusia diwajibkan untuk mengatur keuangan (ekonomi) dengan sebaik mungkin. Dalam veda Sarasamuccaya sloka 262 dijelaskan sebagai beriku: Ekenámćena dharmártha kartavyo bhūtimicchatá, Ekenámćene kámártha ekamamćam vivirddhayet. Terjemahan: Demikianlah duduknya maka dibagi tiga (hasil usaha itu), yang satu bagian, guna biaya mencapai dharma, bagian yang kedua, adalah biaya untuk memenuhi kama, bagian yang ketiga diuntukkan bagi melakukan kegiatan usaha dalam bidang artha, ekonomi, agar berkembang kembali demikian duduknya, maka dibagi tiga. Oleh orang yang ingin beroleh kebahagiaan (Kadjeng, 1997: 180). Dari sloka di atas bahwa ketika ingin mencapai kebahagiaan, kita harus membagi harta menjadi tiga bagian. Fungsi ekonomi pura bedugul sudah tentu mempunyai makna ekonomi yang tercermin dalam dana iuran (paturunan) krama subak dan dana punia dari pihak pemilik villa. Terkumpulnya uang ini adalah bentuk bagian pertama untuk mencapai dharma. Sumbangan dana yang berdasarkan dharma adalah perwujudan dari sebuah yadnya yang disebut dengan dana punia. 3.3.5 Makna Kesuburan Palinggih Dewi Sri lan Rambut Sedana dan palinggih Bhatari Dewi Danuh yang diyakini sebagai Dewa dan Dewi yang memberkahi perlindungan dan memberi keberuntungan. Karena itu, Dewa Wisnu dan Dewi Sri di pura bedugul memiliki makna keberlimpahan/kesuburan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Dharam Vir Sing, dalam bukunya berjudul, Hinduisme Sebuah Pengantar (2006:71-72) mengatakan bahwa Laksmi atau Dewi Sri atau Dewi Danu adalah pasangan Dewa Wisnu. Dewi Sri/Dewi Danu adalah Dewi kemakmuran dan keberuntungan. Di dalam kitab Atharvaveda VII.89.1 disebutkan: Ápo divyá acayisam Rásena samápraksmaĥi Tám ma sam sŗja várcasa Terjemahan: Kami mengumpulkan air hujan dan berhasil mencampurnya dengan minuman segar soma (minuman Sang Hyang Soma), semoga ia memberikan kemuliaan kepada kami (Suamba, 2011: 226). Secara mitologi tentang kesuburan dapat diceritakan tentang mitos bahwa pertemuan Dewa Wisnu dengan Dewi Wasundari yang mampu menciptakan Sang Boma sebagai simbol kesuburan (Astina, 2008:113). IV. SIMPULAN 1. Struktur pura bedugul Subak Gebang Gading Atas menggunakan konsep dwi mandala yaitu Jeroan dan Jaba pisan. Sturktur bangunan pura bedugul Subak Gebang Gading Atas menggunakan konsep loka dsrta desa Tegalmengkeb yang menunjukkan kearifan lokal subak setempat. Kehadiran pengembangan pariwisata di subak ini menyebabkan pengempon pura bedugul berkurang dan berasal dari berbagai daerah akibat lahan sawah yang banyak menjadi sarana akomodasi pariwisata (villa). 2. Fungsi pura bedugul Subak Gebang Gading Atas adalah sebagai tempat pemujaan kepada Tuhan dan segala manifestasi-Nya (fungsi religi), tempat perekat sosialreligius antar sesama krama subak (fungsi sosial), sumber penghasil dana khas subak (fungsi ekonomi), dan elemen utama sawah adalah tanah (pertivi) dan air yang berperan penting untuk memberi kehidupan (padi bisa tumbuh dengan subur) yang mempercayai Dewa Wisnu dan Dewi Pertivi sebagai lambang kesuburan (fungsi kesuburan), dan adanya ekspresi keindahan yang terkandung baik dari palinggih ataupun sarana upakara (fungsi estetika) . Fungsi pura bedugul ini telah mengalami perubahan. Perubahan fungsi pura bedugul disebabkan karena ada pengembangan pariwisata di subak Gebang Gading Atas. 3. Makna teologi pura bedugul Subak Gebang Gading Atas adalah makna (1) Widdhi sraddha yaitu percaya akan adanya Tuhan yang menguasai persawahan, (2) simbolis bhuana agung yaitu adanya palinggih padmasana sebagai simbol alam semesta, (3) makna sosial yaitu bangunan pura adalah tempat krama subak melakukan persembahyangan bersama dengan tujuan mendapat kemakmuran, (4) makna ekonomi yaitu tindakan dana punia dari sang pemberi dan sang penerima dana punia sebagai simbol dharma, dan (5) makna kesuburan yaitu bangunan pura bedugul adalah simbolis dari sthana atau lingga Tuhan yang diperuntukkan untuk tempat memuja Tuhan pemilik sifat Pemberi Kemakmuran. Adanya lima makna yang terkandung di pura bedugul tidak ada mengalami perubahan walaupun adanya pengembangan pariwisata di subak Gebang Gading Atas. V. SARAN 1. Kepada seluruh prajuru subak Gebang Gading Atas untuk membuat prasasti dan papan peringatan. Membuat sertifikat tanah untuk menghindari terjadinya pengurangan areal pura. 2. Diharapkan kepada desa pakraman menjalankan kewajiban yaitu menerapkan ajaran agama Hindu. Drsta yang diterapkan di desa pakraman harus drsta yang berdasarkan kebenaran suci atau dharma. 3. Kepada pengempon pura bedugul diharapkan agar memikirkan dan merehab struktur pura bedugul sesuai dengan konsep struktur pura yang benar seperti yang tertulis dalam lontar jajar kemiri. 4. Kepada pemerintah daerah atau instansi terkait berupaya untuk mengadakan pembinaan kepada umat Hindu baik melalui dialog interaktif, dharma wacana, dharmatula, seminar, diskusi, dan loka karya. VI. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam penulisan skripsi ini tidak semata-mata usaha sendiri, melainkan juga atas bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu,dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada; 1. Prof. Dr. I Made Titib, Ph. D., Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah menyetujui serta memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian. 2. Drs. I Made Suweta, M. Si., Dekan Fakultas Brahma Widya, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah menyetujui serta memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian. 3. I Made Dwitayasa, S. Ag., M. Ag., Ketua Jurusan Teologi Hindu, Fakultas Brahma Widya, Intitut Hindu Dharma Negeri Denpasar Denpasar yang telah menyetujui sertamemberikan ijinuntuk melaksanakan penelitian. 4. Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag., M.Par., Pembimbing I, yang banyak memberikan bimbingan, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi. 5. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H., Pembimbing II, yang banyak memberikan bimbingan, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi. 6. Para Dewan Penguji yang telah memberikan kritikan, saran, dan masukan dalam penyempurnaan skripsi. 7. Para Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmunya dengan kesungguhan hati. 8. Kepala Perpustakaan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar atas bantuannya dalam peminjaman buku-buku perpustakaan. 9. Kepala Desa Tegalmengkeb, yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di DesaTegalmengkeb. 10. Para informan yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi yang diperlukan dalam penyusunan proposal skripsi. VII. DAFTAR PUSTAKA Astina, I Made Andi. 2008. Upacara Mulang Pakelem di Danau Batur Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli (Analisis, Bentuk, Fungsi, dan Makna). Skripsi Brahma Widya. Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Brhman, Adi I Made. 2010. Persepsi dan Pelaksanaan Ajaran Catur Yoga dalam Memuja Tuhan pada Masyarakat Hindu: Studi Kasus di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Dharma Vir Singh, alih bahasa: I.G.A Dewi Paramitha, S.S. 2006. Hinduisme Sebuah Pengantar. Surabaya: Paramita. Dibia, I Wayan. 2003. Nilai-Nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali, dalam Estetika Hindu dan Pengembangan Bali. Denpasar: Kerja Sama Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI dan Widya Dharma. Donder, I Ketut. 2006. Brahma Widya; Teologi Kasih Semesta. Surabaya: Paramita. Geriya, I Wayan dkk. 1981. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kadjeng, Nyoman dkk. 1997. Sarasamuccaya. Surbaya: Paramita. Permata, Ahmad Norma. 2000. Metodelogi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suamba, I Nyoman. 2011. Pemujaan Arca Ratu Agung dan Dewi Sri di Pura Camara Desa Pakraman Serangan Kota Denpasar. Tesis. Brahma Widya. IHDN Denpasar. Sumawa dan Raka Krisnu. 1993. Materi Pokok DARSANA. Jakarta: Ditjen Bimas Hindu dan Buddha. Surayin, Ida Ayu Putu. 2002: Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upakara Yadnya. Surabaya: paramita. Surpa, I Wayan. 2004. Pura Subak di Masyarakat Perkotaan dalam Perspektif Perubahan Budaya: Kasus di Kota Denpasar. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana. Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Titib, I Made. 2004. Purana Sumber Ajaran Hindu Komprehensip. Surabaya: Paramita.