BAB II LANDASAN KONSEPTUAL KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI MENGHADAPI GLOBALISASI A. Teori Landasan Komseptual Hukum Pembangunan. Pembukaan undang-undang dasar 1945, alinea 4, menetapkan tujuan bernegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain : “… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Ikut melaksanakan ketertiban dunia, merupakan ciri dari Indonesia yang telah merdeka, untuk dapat memelihara hubungan-hubungan internasional dengan negara-negara lain secara baik dalam suasana keerdekaan, persamaan derajat dengan keadilan. Secara teoritis, konsep untuk memelihara eksistensi sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tiap negara termasuk Indonesia mempunyai cita-cita yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ini ditempuh melalui pembangunan yang merata di segala bidang. Karena ini menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan kehidupan bernegara itu dapat dicapai melalui pembangunan nasional menuntut pembaharuan dan pembinaan di segala bidang. Dalam keadaan demikian, hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah. 14 14 Mochtar Kusumaatmaadja, Hukum Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional, Bandung, 1976, hlm. 6. Universitas Sumatera Utara Hukum pada hakekatnya merupakan sarana penunjang perkembangan masyarakat dan pembangunan. Hukum sebagai sarana penunjang pembangunan berarti hukum diperlukan sebagai pemberi patokan serta pengarahan hukum haruslah dapat memberikan kebutuhan hukum masyarakat. Tujuan pembangunan hukum ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Agar pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembangunan itu berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya aturan perundangundangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat, jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan (bekerja) dan mendapat tantangan-tantangan. Hal ini cukup beralasan, karena di satu sisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, namun di sisi lain ketentuan-ketentuan dari beberapa Pasal tersebut belum sepenuhnya mendukung bagi terlaksananya otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab. Selain itu, dapat dipelihara pula dari ketentuan Pasal-Pasal yang berkaitan dengan pelaksanaan investigasi di daerah, dimana dalam hal ini daerah “masih dikekang” dan kurang diberikan keterluasan dalam mengeluarkan kebijaksanaan untuk mengeluarkan izin-izin yang berkaitan dengan investigasi. Dengan kata lain Universitas Sumatera Utara Undang-undang tersebut tidak aspiratif dan tidak mencerminkan terhadap nilainilai yang tumbuh di tengah masyarakat dan terkesan cenderung bersifat sentralistik. Begitu pula halnya dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dimana mungkin terdapat ketentuan-ketentuan yang belum mengakomodir kepentingan masyarakat atau daerah dalam melaksanakan kerjasama ekonomi dengan luar negeri secara efektif dan efisien. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik dari pada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata. Karena baik “perubahan” maupun “ketertiban” (keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Dalam hal adanya suatu masyarakat internasional, saling membutuhkan antara bangsa-bangsa di berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus menerus antara bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan yang demikian. Karena kebutuhan antara bangsa-bangsa timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan mengatur hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini dibutuhkan hukum guna menjamin unsure kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang Universitas Sumatera Utara bergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama negara dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antar negara. Disamping hubungan antar negara yang resmi demikian, orang dapat juga mengadakan hubungan langsung secara perseorangan atau gabungan di lapangan perniagaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, ilmu pengetahuan, olah raga atau perburuhan yang melintasi batas negara. Jika direduksi maka tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan objektif bagi setiap manusia. Masyarakat internasional yang anggotanya terdiri dari negara-negara merdeka dan berdaulat, juga membutuhkan hukum untuk mengatur hubunganhubungan di antara mereka. Hukum yang mengatur hubungan-hubungan di antara anggota-anggota masyarakat internasional adalah hukum internasional. Hukum internasional secara langsung mengatur keseluruhan kegiatan hubungan internasional di antara negara-negara sebagai subjek hukum internasional. Hukum internasional secara tidak langsung mempengaruhi jalannya hubungan internasional. Kebutuhan untuk memelihara ketertiban di dalam masyarakat internasional telah melahirkan hukum internasinal, yang secara terus menerus dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan, serta ditaati oleh anggota-anggota Universitas Sumatera Utara masyarakat internasional berupa negara-negara merdeka dan berdaulat. Atas dasar hidup berdampingan secara damai di antara negara-negara serta berlandaskan pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang mewajiibkan Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, maka terbentuklah hubungan-hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia ini. Hubungan-hubungan internasional ini tidak saja dilakukan dalam bentuk hubungan antar negara, tetapi juga telah berkembang dengan pesat hubungan kerjasama antar kota maupun hubungan antar daerah dengan luar negeri. Adanya hukum suatu masyarakat internasional, yang meliiputi seluruh bangsa-bangsa yang ada didunia ini, benarbenar merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Adanya hukum alami yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai, dapat dikembalikan kepada akal sehat manusia (rasio) dan naluri untuk mempertahankan diri dan jenisnya. Kerjasama internasional sebagai akibat adanya saling ketergantungan, diupayakan dengan internasional. menghormati Penghormatan keadilan terhadap keadilan dan kewajiban-kewajiban dan kewajiban-kewajiban internasional diupayakan terutama untuk : a) Memelihara perdamaian dan keamanan internasional; b) Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan prinsip persamaan hak; serta Universitas Sumatera Utara c) Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalanpersoalan internasional di lapangan ekonomi, sosial, kebudayaan atau bersifat kemanusian. 15 Bagi Indonesia, kerjasama antar kota (Sister City) maupun Kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang merupakan salah satu contoh kerjasama ekonomi daerah dengan luar negeri selain bertujuan untuk mempererat persahabatan antara kedua negara, juga dapat memanfaatkan kemajuan dan kemampuan kota di negara yang menjadi pihak dalam kerjasama untuk kepentingan pengembangan dan pembangunan daerah yang berada di Indonesia. Pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri oleh daerah ini dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan sebagai berikut : a) Ketertiban, ketentraman dan kepentingan umum; b) Stabilitas politik dalam negeri; c) Terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kepribandian nasional. Dalam kaitan ini maka kerjasama antar kota/daerah harus bermanfaat untuk : a) Menunjang pelaksanaan program pembangunan nasional di daerah; b) Membantu meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat; 15 Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Universitas Sumatera Utara c) Membantu meningkatkan kemampuan pemerintah dan pembangunan, dan lain sebagainya. Begitu pula halnya dengan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang melibatkan beberapa provinsi di Indonesia dalam meghadapi perkembangan ekonomi dunia yang semakin pesat akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong pihak pemerintah untuk mencari “model” pengembangan ekonominya dalam upaya untuk tetap dapat bersaing dan memanfaatkan peluangpeluang yang ada di daerah dalam rangka mengintensifkan kerjasama antar negara yang telah terjalin. Sementara itu pembentukan kawasan-kawasan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilakukan dalam kekosongan hukum, artinya pembentukan dan mekanisme hubungan antar negara yang merupakan anggota dari kawasan tersebut membutuhkan kehadiran perangkat hukum untuk mengesahkan dan mengaturnya. Dengan kata lain, kerjasama ekonomi internasional antar negara selalu memerlukan pengaturan hukum (perjanjian internasional). Di sinilah kemudian kita akan menemukan peran dan fungsi dari hukum ekonomi nasional dan internasional. Masyarakat, khususnya dunia bisnis sekarang ini sudah merasa yakin bahwa pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana hukum. Supaya pembangunan ekonomi itu benar-benar mencapai tujuan sesuai dengan rencana. Sunaryati Hartono menyatakan : Dalam mencari penyelesaiaan bagi masalahmasalah nasional kita, perlu lebih dikembangkan pendekatan transnasional, yaitu pendekatan yang mengusahakan penyelesaian masalah dengan hanya tidak Universitas Sumatera Utara melihatnya dalam konteks nasional saja, akan tetapi juga dengan menempatkannya ke dalam kehidupan masyarakat dunia. Disinilah diperlukan peraturan-peraturan hukum ekonomi Indonesia yang cukup jeli, untuk disatu pihak mengembangkan kerjasama internasional di bidang ekonomi, tetapi dilain pihak memasang rambu-rambu yang cukup ampuh untuk melindungi hajat hidup maupun kepribadian dan jati diri bangsa di dalam badai globalisasi itu. Di sini pula tampak betapa hukum nasional ikut menentukan ketahanan sosial. 16 B. Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi sebagai isu Global Memahami dinamika globalisasi dengan segala dimensinya, maka globalisasi juga akan memberi pengaruh terhadap hukum. Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negaranegara maju (Convergency). tetapi apapun istilah yang dilekatkan pada globalisasi hukum itu, pada intinya hendak menegaskan bahwa disamping hukum nasional suatu negara bangsa berkembang suatu hukum-hukum yang melampaui batasbatas kedaulatan negara bangsa. Meskipun saat ini pembicaraan terhadap globalisasi hukum lebih cenderung dalam konteksnya dengan globalisasi dibidang lain. Globalisasi hukum kadang kala dipahami pula sebagai penyesuaian hukum-hukum nasional suatu negara bangsa sebagai dampak dari perkembangan perekonomian global misalnya. Penyesuaian hukum nasional bisa juga dilakukan atas adanya tekanan 16 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung, 1991, hlm. 71. Universitas Sumatera Utara organisasi internasional atau badan-badan dunia seperti WTO, IMF, World Bank dan lain sebagainya. Meskipun pengaruh sistem hukum yang datang dari dari luar itu bukan barang baru bagi Indonesia, tetapi yang membedakannya dari suatu waktu adalah kondisi dan situasi serta atas kepentingan apa hukum-hukum nasional Indonesia menyesuaikan diri atau memerlukan penyesuaian. Dalam perspektif perbandingan sistem hukum benar adanya Hari Purwadi, 17 bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang paling execelen di dunia. Karena memang tidak bisa diingkari, bahwa sebagian besar sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum import sejak dari zaman penjajahan sampai saat ini. Oleh karena itu, globalisasi hukum di Indonesia sudah berlansung sejak lama, akan tetapi globalisasi hukum yang terjadi masa lalu itu hanya menjadi sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam suatu negara bangsa yang berdaulat. Globalisasi hukum dalam perkembangannya justeru tumbuh dan berkembang melampau batas-batas kedaulatan negara dan kalau pun ia hidup dalam suatu negara nasional, tetapi perubahan dan penyesuaian sistem hukum itu lahir dari suatu kesepakatan internasional. Dari sudut perkembangan globalisasi hukum yang demikian tentu bisa dipahami apabila pada abad mendatang akan berkembang apa yang disebut dengan “the era of comparative law”, meskipun saat ini geraknya belum tampak terlalu kuat. Namun demikian, yang terpenting sebenarnya dalam kaitan ini memaksa kita untuk mendalami globalisasi hukum pada satu pihak dan sistem hukum global dipihak lain. Apakah kemudian sistem hukum global menjadi 17 Hari Purwadi, Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : “Critical Comparative Law” Dan Transplantasi Hukum Di Indonesia, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi,Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 225. Universitas Sumatera Utara bagian dari globalisasi hukum atau globalisasi hukum melahirkan sistem hukum global, merupakan tema-tema yang menjadi fokus pada bagian ini. Kalau secara nasional sudah jelas bagaimana pengaruh globalisasi itu menjalar dalam kehidupan sistem hukum nasional. Di Indonesia saja saat ini berkembang beberapa sistem hukum: 1. 2. 3. 4. 5. Civil Law System Common Law Sistem Islamic Law Socialisme Law Customary Law atau Sistem Hukum Adat. 18 Oleh karenanya, jika globalisasi hukum bergulir ke ranah publik bersaman dengan pengejewantahan globalisasi, bagi Indonesia tidak sepenuhnya benar, karena jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terjadi impor sistem hukum ke Indonesia. Dengan demikian, pembicaraan terhadap globalisasi hukum di Indonesia beberapa waktu belakangan, tampaknya lebih merupakan suatu pembicaraan berkaitan dengan pergerakkan globalisasi di bidang lain. Dalam banyak pembicaraan dan bahasan sering diutarakan, bahwa globaliasi hukum diberbagai bidang, semisal globalisasi di bidang ekonomi, teknologi harus di ikuti dengan globalisasi hukum. Artinya globalisasi hukum berada dibelakang globalisasi bidang lain. Jika disetujui, bahwa globalisasi ekonomi merupakan manifesitasi baru dari perkembangan kapitalisme sebagai sistem ekonomi sosial, dimana transaksi dan lalu lintas ekonomi dan perdagangan tidak lagi terikat pada asal negara dari berbagai sistem hukum dan tradisi, maka globalisasi ekonomi harus diikuti globalisasi hukum. Meskipun demikian, tetap saja ada keraguan, dimana globaliasi hukum itu tetap diharapkan berlangsung pada sistem hukum 18 J. G Starke, Pengantar Hukum International, Sinar Grafika, 2008, hal 96. Universitas Sumatera Utara yang berbeda. Artinya, model ini tidak menjelaskan apakah globalisasi hukum memiliki sistem sendiri atau sistem hukum yang berbeda menjadi kekayaan dari globalisasi hukum. Terkait dengan globalisasi itu, Soetandyo Wigjosoebroto mengemukakan, bahwa proses nasionalisasi saat ini belum selesai, namun proses baru yang dikenali sebagai proses globalisasi sudah memasuki ambang pintu. Ini suatu proses yang lebih berhakikat sebagai proses ekonomi dan sosial kultural daripada sebatas proses politik, nota bene proses politik yang diilhami oleh semangat dan paham nasionalisme, dengan cita-citanya yang tak mau ditawar untuk mewujudkan kesatuan bangsa di bawah kontrol kepemimpinan yang berlegalitas kuat. Akan tetapi, kini kenyataan telah kian menjadikan cita-cita seperti itu bagaikan ilusi belaka. Kini, perkembangan kehidupan tidak lagi berhenti pada jalannya proses integrasi komunitas-komunitas lokal ke satuan-satuan nasional, melainkan bersiterus ke prosesnya yang kian berlanjut.19 Hal ini memperkuat globalisasi hukum menjadi suatu yang tidak terhindarkan dan akhirnya meminta kita untuk mengamini, bahwa kehidupan nasional di manapun, baik yang menyatukan manusia-manusia yang terbilang ‘bangsa tua’ yang muncul dalam sejarah sebagai bangsa penjajah maupun yang terbilang ‘bangsa muda’ yang terjajah, kini ini telah terkocok ulang dalam suatu kekisruhan yang namun begitu bolehlah tetap direspons secara optimistik sebagai suatu proses yang secara progresif menuju ke bentuk-bentuknya yang baru. 19 Soetandyo Wigjosoebroto, Pluralisme Hukum Dalam Kehidupan Global, Hukum Dalam Masyarakat:Perkembangan dan Masalah (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 237-252 Universitas Sumatera Utara Dalam perpesktif seperti dikemukakan di atas, bagaimana sistem hukum global memainkan peran dan eksistensinya tidaklah mudah, sementara dilain pihak diyakini global society bukanlah suatu global state. Adanya juga yang menyebut Global state lebih tepat kalau dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang boleh juga disebut a global economy. Hal ini tentu menjadi integral dengan global society, dimana masyarakat negara bangsa terbebas dari ikatan-ikatan hukum nasional mereka. Dalam perkembangan saat ini, globalisasi berkembang lebih jauh dari pada global state (masyarakat pasar) atau global state dalam pemahaman yang lebih luas sebagai “negara dunia” yang hadir dalam bentuknya yang nyata, tetapi berkembang dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab global”. Keadaan itu tampak rumit dibanding memahami globalisasi hukum dalam perspektif tuntutan dari globalisasi ekonomi-perdagangan atau bidang lainnya. Jika, global economy bekerja melampui batas-batas nation state yang selama ini dirasakan sebagai hambatan, sekarang Jika terjadi silang sengketa dalam hubungan kontratual yang tidak bersanksi negara itu, maka penyelesaiannya akan dilakukan lewat apa yang disebut ADR (alternative dispute resolution), mulai dari yang bermodel renegosiasi atau mediasi sampai ke yang disebut arbitrasi. Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti ini mulai banyak dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian adjudikatif lewat litigasi-litigasi di badan-badan peradilan nasional. Pada tataran ini tampak globalisasi hukum sebagai dampak dari globalisasi ekonomi melahirkan suatu sistem hukum. Pilihan penyelesaian sengketa dari hubungan perdanganan dalam ranah globalisasi seperti Universitas Sumatera Utara yang terjadi pada bidang ekonomi/perdagangan itu, tentu akan tampak berbeda dalam konteks “global state” yang berwujud dalam tanggung jawab global. Bagi Indonesia sendiri pengaruh globalisasi itu, selain menuntut penyesuaian sistem hukum nasional, globalisasi hukum sekaligus menghadapkan Indonesia pada berbagai penuntasan persoalan hukum yang harus dilesaikan. Tidak saja menyangkut grand desain hukum nasonal yang belum ada, ada sejumlah keadaan hukum Indonesia atau apa yang dinamakan dengan (the existing legal system) 20 yang menunjukkan hal-hal sebagai berikut : 1. Dilihat dari substansi hukum, asas dan kaedah, hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem hukum yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasi untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern. 2. Ditinjau dari segi bentuk, sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan jurisprudensi dalam 20 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional , Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 238 – 245 Universitas Sumatera Utara mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama. 3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat. 4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan ada pula dari badan justisial. 5. Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum- khususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang sebagai urusan departemen yang bersangkutan. 6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan. Keadaan hukum Indonesia sebagaimana digambarkan Bagir Manan di atas, penyesuaian sistem hukum nasional sebagai tuntutan globalisasi, jelaslah merupakan bukan pekerjaan ringan. Disisi lain, arus globalisasi terus mengalir dengan deras. Artinya, beberapa penyesuaian sistem hukum nasional Indonesia saat ini berkenaan dengan tuntutan globalisasi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Universitas Sumatera Utara Bagaimana globalisasi hukum dan perkembangannya merasuki sisten hukum nasional, maka dipihak lain globalisasi hukum pun menampakkan wujudnya sendiri yang tidak sekedar berupa adaptasi yang dilakukan dalam sistem hukum nasional. Bahwa keberadaan ADR sebagai sistem hukum global tentulah tidak akan sama keberadaanya dengan keberadaan Mahkamah Internasional yang mengurusi peradilan atas pelanggaran hak azasi manusia. Globalisasi hukum kemudian memperlihatkan wujudnya yang lain, dimana Mahkamah Internasiona; sebagai sistem hukum global sebagai suatu intrumen negara dunia (global state). Meskipun tidak terang-terangan dimaksudkan demikian, namun pengadilanpengadilan nasional bukan satu-satunya tempat berproses bagi suatu kejahatan yang meskipin masih dibatasai objek dan subjeknya, tetapi ada lagi Mahkamah Internasional sebagai alternative. Mahkamah Internasionan akan bekerja atas suatu pengaduan/tuntutan, sekalipun yang teradukan adalah suatu tindakan dari pejabat pemerintah negara nasional yang sah. Berdasarkan dinamika globalisasi yang mempengaruhi bidang hukum, maka globalisasi hukum sepertinya berakar pada dua hal, Pertama globalisasi hukum yang berakar pada globalsiasi ekonomi dan bidang lainnya yang menempatkan global state sebagai “masyarakat pasar. Kedua globalisasi hukum yang berakar pada global state yang menampakkan wujudnya dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab global”. Hal ini mengindikasikan, globalisasi hukum ternyata lebih rumit dibanding globalisasi ekonomi. Globalisasi hukum dalam artian tanggung jawab global telah menempatkan dirinya sebagai alat bagi Universitas Sumatera Utara global state. Kondisi ini mirip dengan hukum sebagai alat kekuasaan sebagaimana terjadi pada negara-negara bangsa (negara nasional). Dengan demikian. globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan hukum, yang kini ini kian tak lagi gampang dikontrol oleh kekuasaan sentral negara nasional, telah mengundang perhatian yang serius dari berbagai pengkaji dan pembuat kebijakan di manapun, baik yang nasional maupun yang internasional. Hukum berformat macam apakah yang kini ini mesti beroperasi di berbagai kancah, mulai yang transnasional, nasional dan juga subnasional. Tatkala negaranegara nasional terpaksa banyak membuka perbatasan-perbatasannya, dan perubahan-perubahan kehidupan ekonomi – yang berimbas ke kehidupan politik, sosial dan kultural – telah meningkatkan jumlah manusia berikut ide dan ideologinya yang melintasi berbagai sekatan, masalah penataan tertib dan kekuasaan struktural penertibnya akan menjadi pekerjaan rumah para pemimpin masa depan. Walaupun globalisasi hukum merupakan sesuatu yang sukar dihindari negara-negara nasional, namun dalam konteks ini menjadi paradoks, sistem hukum global tumbuh dan berkembang, tapi ia tumbuh dan berkembang tidak dalam ruang apa yang disebut dengan global state. Kalaupun kemudian diproyeksikan akan akan suatu era pasca modern dengan paradigmanya sendiri yang lain, maka sistem hukum global yang sekarang berkembang belum menemukan bentuknya yang ideal. Apakah mungkin mengharapkan globalisasi hukum akan melahirkan suatu sistem hukum global, sementara yang disebut global state itu tidak ada. Suatu kemungkinan yang paling berpeluang untuk terjadi adalah masuknya pengaruh Universitas Sumatera Utara sistem hukum suatu negara nasional yang kemudian bertindak atas nama tanggung jawab internasional atau dengan dalih perdagangan global, memaksanakan sistem hukumnya diterima suatu negara-negara bangsa. Kemungkinan itu bisa terjadi apabila terdapat tergantungan ekonomi, perdagangan, investasi, politik dan pertahanan dari suatu negara bangsa pada negara-negara yang selalu tampil dalam memainkan peran tanggung jawab internasional. Untuk saat ini globalisasi hukum yang berakar pada pengejawantahan tanggung jawab internasional itu, maka yang paling logis bisa terjadi adalah impor sistem hukum. Meskipun kita tidak melupakan adanya beberapa kesepakatan internasional yang melahirkan lembagalembaga hukum lintas batas negara-negara bangsa seperti Mahkamah Internasional, dan lain sebagainya. Terlepas dari bagaimana hubungan yang menyelimuti antara hukum nasional dan globalisasi hukum itu, berkaca pada apa yang mengarus pada globalisasi ekonomi, maka globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian yang menyebar melewati batas-batas negara. Globalisasi hukum dapat terjadi melalui perjanjian dan konvensi internasional, hukum privat, dan institusi ekonomi baru. Globalisasi hukum itu kemudian diikuti dengan praktek hukum, dimana antara lain konsultan hukum suatu negara dan suatu sistem hukum, dapat bekerja dinegara lain yang mempunyai sistem hukum yang berbeda. Akan tetapi dibalik globalisasi hukum ada hukum global. Jika demikian halnya, maka dalam bertumbuhnya globalisasi sedemikian rupa suka atau tidak suka pengaturan-pengaturan hukum kita akan dihadapkan Universitas Sumatera Utara pada apa yang digambarkan Paul Schiff Berman, “we need to realize that normative conflict among multiple, overlapping legal systems is unavoidable and might even sometimes be desirable, both as a source of alternative ideas and as a site for discourse among multiple community affiliations”.21 Persoalannya menjadi tidak hanya sekedar menyangkut pertempuran hukum local (baca hukum nasional) yang dihadapan pada globalisasi hukum, tetapi sekaligus dengan hukum global. Persoalannya kemudian, bagaimana sistem hukum global bekerja dan eksis.. hidup berdampingan dengan hukum nasional. Indnesia memiliki kekayaan sumber daya alam. Kenyataan bahwa sumberdaya yang berlimpah tersebut tidak merata berada di seluruh daerah. Hal yang sama terjadi dengan sebaran sumberdaya manusia yang merupakan “aktor” pembangunan tersebar juga tidak merata. Implikasi dari ketidak-merataan keberadaan kedua sumberdaya tersebut adalah belum baiknya tingkat pelayanan infrastruktur wilayah melayani kebutuhan wilayah dan masyarakat, terutama daerah-daerah terisolir dan tertinggal. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya yang berlimpah tetapi tidak merata tersebut bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan dan menjamin kesejahteraan umum secara luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah yang tertinggal. Hal ini seiring dengan agenda Kabinet Gotong Royong untuk menormalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat melalui upaya pembangunan yang didasarkan atas sumber 21 Peter Roorda, The Internasional Of The Practice Law, “Wake Forest Law Rieview Vol 28 (1993) hal 141-159. Universitas Sumatera Utara daya setempat (resource-based development), dimana baik sumberdaya lautan dan daratan saat ini didorong pemanfaatannya, sebagai salah satu andalan bagi pemulihan perekonomian nasional. Secara sederhana, pembangunan ekonomi dapat dipahami sebagai upaya melakukan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya yang ditandai oleh membaiknya faktor-faktor produksi. Faktor-faktor produksi tersebut adalah kesempatan kerja, investasi, dan teknologi yang dipergunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, wujud dari membaiknya ekonomi suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan oleh suatu negara. Secara mudah, perekonomian wilayah yang meningkat dapat diindikasikan dengan meningkatnya pergerakan barang dan masyarakat antar wilayah. Dalam konteks tersebut, pembangunan ekonomi merupakan pembangunan yang a-spasial, yang berarti bahwa pembangunan ekonomi memandang wilayah nasional tersebut sebagai satu “entity”. Meningkatnya kinerja ekonomi nasional sering diterjemahkan dengan meningkatnya kinerja ekonomi seluruh wilayah/daerah. Hal ini memberikan pengertian yang “bias”, karena hanya beberapa wilayah/daerah yang dapat berkembang seperti nasional dan banyak daerah yang tidak dapat berlaku seperti wilayah nasional. Wilayah Indonesia terdiri sari 33 propinsi dengan 400an kabupaten/kota yang secara sosial ekonomi dan budaya sangat beragam. Keberagaman ini memberikan perbedaan dalam karakteristik faktor-faktor produksi yang dimiliki. Seringkali kebijakan nasional Universitas Sumatera Utara pembangunan ekonomi yang disepakati sulit mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan pada semua daerah-daerah yang memiliki karakteristik sangat berbeda. Pembangunan ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas terhadap keunikan karakteristik wilayah (ruang). Pemahaman terhadap sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur dan kondisi kegiatan usaha dari masing-masing daerah di Indonesia serta interaksi antar daerah (termasuk diantara faktor-faktor produksi yang dimiliki) merupakan acuan dasar bagi perumusan upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan. Tantangan pembangunan Indonesia ke depan sangat berat dan berbeda dengan yang sebelumnya. Paling tidak ada 4 (empat) tantangan yang dihadapi Indonesia, yaitu: 1) Otonomi daerah, 2) Pergeseran orientasi pembangunan sebagai negara maritim, 3) Ancaman dan sekaligus peluang globalisasi, serta 4) Kondisi objektif akibat krisis ekonomi. Pertama, undang-undang otonomi daerah secara tegas meletakkan otonomi daerah di daerah kabupaten/kota. Hal ini berarti telah terjadi penguatan yang nyata dan legal terhadap kabupaten/kota dalam menetapkan arah dan target pembangunannya sendiri. Di satu sisi, penguatan ini sangat penting karena secara langsung permasalahaan yang dirasakan masyarakat di kabupaten/kota langsung diupayakan diselesaikan melalui mekanisme yang ada di kabupaten/kota tersebut. Tetapi, di sisi lain, otonomi ini justru menciptakan ego daerah yang lebih besar Universitas Sumatera Utara dan bahkan telah menciptakan konflik antar daerah yang bertetangga dan ancaman terhadap kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, reorientasi pembangunan Indonesia ke depan adalah keunggulan sebagai negara maritim. Wilayah kelautan dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Ketiga, ancaman dan peluang dari globalisasi ekonomi terhadap Indonesia yang terutama diindikasikan dengan hilangnya batas-batas negara dalam suatu proses ekonomi global. Proses ekonomi global cenderung melibatkan banyak negara sesuai dengan keunggulan kompetitifnya seperti sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur, penguasaan teknologi, inovasi proses produksi dan produk, kebijakan pemerintah, keamanan, ketersediaan modal, jaringan bisnis global, kemampuan dalam pemasaran dan distribusi global. C. Bentuk-Bentuk Internasional Kerjasama antara Daerah dengan Lembaga Perkembangan dunia yang semakin tak berbatas ini, membuat aktivitas aktor-aktor di suatu negara makin berkembang. Negara tak lagi menjadi aktor utama dalam melaksanakan peran-perannya dalam kancah hubungan internasional. Pergeseran kedudukan negara telah digantikan dan diisi oleh aktoraktor lain, mulai dari organisasi internasional sampai ke tingkat individu. 22 22 Dominick Solvatort, Ekonomi Internasional, Erlangga, Jakarta, 1992, hal 245. Universitas Sumatera Utara Salah satu bentuk peningkatan kapasitas diri adalah dengan melalui kerjasama. Keinginan untuk bekerjasama tidak terbatas hanya dengan pemerintah negara saja, tetapi mulai merambah ke pemerintah daerah di negara lain atau denan Lembaga Internasional. Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk lebih mandiri, tidak selalu tergantung pada pemerintah pusat. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya, baik yang berupa potensi alam maupun manusia, untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah agar dapat melaksanakan pembangunan demi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Caranya adalah dengan mengadakan kerjasama dengan daerah otonom lain. Tidak hanya kerjasama antar daerah otonom di Indonesia, tetapi juga kerjasama dengan daerah (propinsi, kabupaten, kota) di luar negeri maupun dengan Lembaga Internasional. Kerjasama ini sangat menarik untuk dibicarakan, karena merupakan suatu bentuk kerjasama internasional yang dapat dirasakan lebih dekat manfaatnya karena bersifat lokal-internasional. Bisa dikatakan bahwa bentuk kerjasama ini adalah praktek dari konsep think globally, act locally. Kerjasama ini bisa juga dikatakan sebagai “pembumian” dari konsep hubungan internasional yang sangat luas dan besar. Kerjasama begitu sangat dibutuhkan, perkembangan dan masa depan negara akan menjadi lebih sulit bila tanpa menutup dirinya untuk tidak mengadakan kontak kerja sama dengan negara lain. Itu sudah kodratnya, tidak ada satu pun negara yang akan sanggup menjamin eksistensinya ke depan bila dalam Universitas Sumatera Utara penyelesaian masalah yang dihadapi dengan sendirian, mereka butuh kerja sama (Co-operate), terutama di bidang Ekonomi. Pada awalnya, kerjasama ekonomi hanya sebatas pada kegiatan ekspor dan impor saja. Tetapi dengan makin luasnya pengaruh globalisasi ekonomi, semakin dirasakan dampaknya terhadap aktivitas pembangunan suatu negara. Bentuk kerja sama antar negara yang akan kita bahas saat ini, tentunya tidak hanya terpaku pada sektor trading (perdagangan) saja, tetapi bisa meluas sampai pada usaha untuk ikut aktif dalam aktivitas pembangunan seperti investasi atau pendirian cabang usaha baru di negara lain. Agar kerja sama tersebut berhasil dan menguntungkan, maka kerja sama antarnegara tersebut diatur dalam suatu bentuk organisasi resmi. 23 Bentuk-bentuk kerjasama antarnegara dapat digolongkan sebagai berikut : 1. Kerja Sama Bilateral Kerja sama bilateral merupakan kerja sama antar dua negara. Misalnya, kerja sama ekonomi yang terjalin antara Indonesia dengan Singapura atau Amerika dengan Arab Saudi. Kerja sama bilateral bertujuan untuk membina hubungan yang telah ada serta menjalin hubungan kerja sama perdagangan dengan negara mitra. Pemerintah Indonesia sendiri telah mentandatangani perjanjian perdagangan dan ekonomi di Kawasan Asia Pasifik dengan 14 negara, di Afrika dan Timur Tengah dengan 10 negara, di Eropa Timur dengan 9 negara, di Eropa Barat dengan 12 negara dan di Amerika Latin dengan 7 negara. 24 23 Sobri, Ekonomi Internasional, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, Jogjakarta, 1999, hal 46. 24 M. Rafiqul Islam, 1999, Internatinal Trade Law, LBC, Sydney, 2003, hal 56. Universitas Sumatera Utara Kerja sama bilateral, yang dikoordinasikan oleh Bagian Kerja Sama Bilateral, lazimnya dapat dilaksanakan antara Indonesia dan suatu negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan keduanya telah menandatangani “Persetujuan” atau Agreement, yang akan menjadi payung bagi semua bentuk kerja sama bilateral. Kerja sama bilateral dalam bidang pendidikan, pemuda dan olahraga dituangkan dalam Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU), yang diikuti dengan kesepakatan pelaksanaannya yang dituangkan dalam “Pengaturan Pelaksanaan” atau Implementational Arrangements bersama Rencana Aksinya ( Action Plan ). 25 2. Kerja Sama Regional Kerja sama regional merupakan kerja sama antara negara-negara sewilayah atau sekawasan. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan perdagangan bebas antara negara di suatu kawasan tertentu. Bentuk kerja sama regional sudah dijajaki oleh PBB melalui pembentukan komisi regional yang dimulai dari Eropa, Asia Timur dan Amerika Latin. Komisi ini mengembangkan kebijakan bersama untuk masalah pembangunan khususnya pada bidang ekonomi. Kerja sama secara regional biasanya lebih pada hubungan dengan lokasi negara serta berdasarkan alasan historis, geografis, teknik, sumber daya alam dan pemasaran. 26 Kerja sama regional pada dasarnya berkenaan dengan kerja sama antarnegara-negara di Asia Tenggara yang dalam bidang pendidikan, ilmu 25 Ibid. hal 27. Mochtar Kusumatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasinal, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 115. 26 Universitas Sumatera Utara pengetahuan dan kebudayaan dimulai pada Tahun 1965 ketika SEAMEO ( SouthEast Asia Ministers of Education Organization ) dibentuk dengan lima negara anggota, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sekarang anggota SEAMEO telah bertambah lima , yaitu Brunei Darussalam, Myanmar , Kamboja, Laos , dan Vietnam . Di samping itu, organisasi ini memiliki enam associate members : Australia , Belanda, Kanada, Jerman, Perancis, dan Selandia Baru. Selain itu, ada satu affiliate member, yaitu Norwegia. Sekretariat SEAMEO, yang disebut SEAMES ( South-East Asia Ministers of Education Secretariat ), yang berkantor di Bangkok , dipimpin oleh seorang Direktur dengan masa bakti 3 (tiga) Tahun, yang direkrut dari negara-negara anggota secara bergiliran. 3. Kerja sama Multilateral Kerja sama multilateral, yang dikoordinasikan oleh Bagian Kerja Sama Multilateral, berurusan dengan kerja sama dengan badan-badan dunia yang melibatkan sejumlah negara. Dalam melaksanakan program-program pendidikan, pemuda dan olahraga yang memerlukan bantuan teknis asing, Depdiknas bekerja sama dengan ADB ( Asian Development Bank ), WB ( World Bank ), dan IDB ( Islamic Development Bank) melalui program kemitraan. Kerja sama dengan badan-badan dunia ini dapat berupa pemberian hibah atau pinjaman, untuk mendukung program-program yang dilaksanakan di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti pelatihan jangka pendek dan pendidikan pascasarjana. Kedua bentuk kerja sama ini memerlukan persiapan yang melibatkan berbagai instansi terkait, terutama BAPPENAS, KEMENKEU, KEMENLU, dan Sekretariat Negara, serta perwakilan badan-badan dunia terkait. Di samping itu, kerja sama Universitas Sumatera Utara multilateral juga dapat dilakukan dengan badan-badan dunia lain, seperti UNICEF dan UNESCO. 27 D. Penyelenggaraan Dan Mekanisme Hubungan Luar Negeri Oleh Daerah Menurut Hukum Nasional Dan Hukum Internasional. Globalisasi akan diwarnai dengan peningkatan hubungan ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOSBUD), dimana peran Pemerintah Pusat akan memudar dan diambil alih oleh Pemerintah Daerah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah bermakna kemandirian, dimana fenomena sistem pemerintahan yang selama ini bersifat sentralistik bergulir ke arah desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat mengelola daerahnya sendiri secara mandiri. 28 Istilah otonomi itu sendiri menurut Sidik Jatmika berasal dari bahasa Yunani yaitu “outonomos” yang berarti keputusan sendiri (self goverment), di mana di dalam istilah tersebut terkandung beberapa pengertian : 1. Otonomi adalah bentuk pemerintahan sendiri yaitu hak untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri (the right of self goverment, self determination). 2. Otonomi adalah pemerintahan sendiri, diakui dan dijamin tidak adanya control oleh pihak lain terhadap fungsi daerah (local internal affairs) atau terhadap minoritas suatu bangsa. 27 Ibid, hal. 115. Barkah Syahroni, “Analisis Jabatan, Implementasi dan Prospek Dalam Era Otonomi Daerah di Llingkungan Pemerintah Provinsi DIY”, Makalah dalam Bimtek Analisis Jabatan Pemerintah Provinsi DIY, 2005, hlm. 4. 28 Universitas Sumatera Utara 3. Pemerintahan otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan hasil sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun mencapai tujuan hidup secara adil. 4. Pemerintahan otonomi memiliki supremasi dominasi kekuasaan (supremacy of authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegang kekuasaan di daerah. 29 Lebih jelas lagi pengertian atau definisi tentang otonomi daerah secara formal ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 1 angka 5 yang menyebutkan : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. 30 Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Negara Kesatuan RI digunakan atau diberlakukan prinsip otonomi daerah yang seluas-luasya serta otonomi nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi seluas-luasnya dimaksudkan bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Sedangkan prinsip otonomi yang nyata yaitu prinsip otonomi dimana untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan 29 Sidik Jatmika, Otonomi Daerah, Perspekti f Hubungan Intenasional, Penerbit Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2001, hlm. 1. 30 Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Penerbit BP Panca Usaha Putra, Jakarta, 2004, hlm. 6. Universitas Sumatera Utara kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. 31 Dapat disimpulkan menurut pengertian prinsip otonomi yang nyata ini, tentunya isi dan jenis otonomi untuk setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya karena masing-masing daerah mempunyai kekhasan kultur dan karakter daerah sendiri sendiri. Melalui prinsip-pinsip otonomi tersebut di atas diharapkan daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keaneka-ragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan suatu daerah di Indonesia secara jelas diatur dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan perhatian hubungan dan kerjasama daerah yang saling menguntungkan. Dalam Pasal 195 ayat 1 dinyatakan bahwa “Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan”. Semangat otonomi daerah menempatkan Pemerintah Daerah sebagai pusat penggerak ekonomi khususnya sektor riil, dan selanjutnya Pemerintah Daerah menjadi koordinator dalam mensinergikan para pelaku EKOSOSBUD di 31 Barkah Syahroni, op cit, hlm. 13. Universitas Sumatera Utara daerahnya dan menerjemahkan potensi daerahnya ke manca negara dalam rangka menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga manca negara. 32 Meski dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut tidak secara tegas mengatur tentang hubungan dan kerjasama pemerintah daerah dengan luar negeri, namun dalam ketentuan Pasal yang lain disebutkan secara jelas aturan mekanismenya, artinya bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada kegiatan hubungan dan kerjasama internasional antara pemerintah daerah dengan pihak luar negeri. Dalam Pasal 42 ayat (1) pada huruf (f) yang antara lain dinyatakan : ”DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana pernjanjian internasional di daerah”, selanjutnya dalam ayat (1) huruf (g) dinyatakan : “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah”. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Hubungan dan Kerjasama Dengan Pihak Luar Negeri di Jajaran Departemen Dalam Negeri. Dalam konsideran Permendagri dimaksud disebutkan bahwa : “Hubungan kerjasama luar negeri yang diselenggarakan oleh jajaran Departemen Dalam Negeri pada dasarnya adalah perwujudan dan penjabaran kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah RI yang bebas dan aktif”. 33 32 Damos Dumoli Agusman, Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Departmen Luar Negeri, Jakarta, 2007, hlm 9 33 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Hubungan dan Kerjasama Dengan Pihak Luar Negeri, Biro Hukum Setjen Depdagri, Jakarta, 2000, hlm. 5 Universitas Sumatera Utara Menurut ketentuan ini kiranya lebih memperjelas peranan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan hubungan kerjasama dengan luar negeri, karena Pemerntah Daerah merupakan lembaga yang berada di bawah jajaran Departemen Dalam Negeri dan merupakan bagian dari Negara Kesatuan RI. Lebih lanjut dalam Bab II Pasal 3 dinyatakan : “Penyelengaraan hubungan dan kerjasama luar negeri ditujukan untuk menunjang pelaksanaan program pembangunan nasional dan daerah, membantu meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat serta membantu meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan”. 34 Jika dikaitkan dengan tujuan penyelenggaraan hubungan dan kerjasama dengan pihak luar negeri, maka ketentuan-ketentuan Permendagri tersebut menjadi instrumen daya dukung pelaksanaan otonomi daerah guna meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Selain itu ditegaskan pula bahwa : “Kerjasama luar negeri merupakan pelengkap dalam melaksanakan pembangunan nasional dan daerah, dan pelaksanaannya harus tetap memperhatikan asas persamaan dan saling memberi manfaat serta tidak boleh merugikan kepentingan ketertiban, ketenteraman dan kepentingan umum, stabilitas politik dalam negeri, persatuan dan kesatuan bangsa serta kepribadian nasional”. 35 34 35 Ibid. Hal 7. Ibid. Hal 8. Universitas Sumatera Utara Konsep otonomi daerah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya serta otonomi yang nyata dan bertanggungjawab menempatkan pemerintah daerah yang merupakan bagian dari perilaku birokrasi dalam tatanan pemerintahan Indonesia untuk dapat lebih mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dalam mencapai tujuan nasional. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut di antaranya melakukan hubungan dan kerjasama dengan daerah lain termasuk juga hubungan dan kerjasama dengan pihak manca negara. Selain itu, pelaksanaan hubungan kerjasama luar negeri harus aman dari berbagai segi, yaitu: 1. Politik (tidak bertentangan dengan politik luar negeri dan kebijakan hubunganluar negeri pemerintah pusat pada umumnya). 2. Keamanan (tidak menggangu dan mengancam stabilitas negara) 3. Yuridis (adannya jaminan kepastian hukum). 4. Teknis (tidak bvertentang dengan kebijakan yang ditetapkan departemen yang terkait). 36 Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, arah kebijakan Propenas dalam Sub Bidang Hubungan Luar Negeri adalah: 1. Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala 36 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6209237254_1693-5594.pdf Universitas Sumatera Utara bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. 2. Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat. 3. Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi pro aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warganegara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional. 4. Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi, regional maupun intternasional dalam rangka stabilitas, kerjasama dan pembangunan kawasan. 5. Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakukan AFTA, APEC dan WTO. 6. Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat serta memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagi penyelesaian perkara pidana. 37 37 Damos Dumoli Agusman, Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Departmen Luar Negeri, Jakarta, 2007, hlm 24. Universitas Sumatera Utara Sejalan dengan hal tersebut terdapat aturan-aturan mengenai hubungan bersahabat antara negara-negara. Beberapa aturan mengenai hubungan bersahabat antara negara-negara terdiri dari: 1. Prinsip yang mungkin sejalan dengan larangan dalam hukum nasional terhadap penyalahgunaan hak (abuse the right) bahwa suatu negara tidak boleh mengizinkan wilayahnya digunakan untuk tujuan-tujuan yang membahayakan kepentingan negara lain. Misalnya kasus Yunani pada Tahun 1946-1949. 2. Dalam Trail Smelter Arbitration Case 1941 diakui prinsip bahwa, suatu negara memikul kewajiban untuk melakukan pencegahan wilayahnya dijadikan sumber kerugian ekonomi dari wilayah tetangganya. Misalnya lewat pembuangan gas beracun (toxius fumes). 3. Dalam Declaration on Human Environment yang dikeluarkan oleh Konfrensi Stockholm tentang Lingkungan Hidup Manusia bulan Juni 1972 (Prinsip 21-22 Deklarasi), dinyatakan bahwa negaranegra bertanggung jawab menjamin bahwa aktivitas-aktivitas dalam yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara-negara lain, atau dikawasan-kawasan di luar batas-batas yuridiksi nasional. misalnya uji coba nuklir yang dilakukan oleh Prancis di wilayah Pasifik. 4. Dalam Corfu Channel Case (Merits) 1949, Internastional Court of Justice menyatakan bahwa telah menjadi “suatu prinsip yang Universitas Sumatera Utara diakui oleh umum” bahwa setiap negara memikul kewajiban untuk tidak memberikan wilayahnya digunakan bagi tindakan-tindakan yang bertentangn dengan hak-hak negara lain. 5. Dalam Pasal 74 Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, prinsip umum mengenai bertetangga baik (Good Neighbourlines) di bidang sosial, ekonomi, dan perdagangan ditetapkan sebagai hal yang harus ditaati negara-negara anggota berkaitan dengan wilayah induk dan wilayah-wilayah bagiannya. 6. Dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 3 November 1947, prinsip tentang kewajiban menjalin persahabatan antara negara-negara yang mengutuk propaganda yang ditunjukan atau kemungkinan untuk provokasi atau mendukung terhadap ancaman-ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan-tindakan Israel. 38 Erat kaitannya dengan prinsip-prinsip kewajiban bersahabat antara negaranegara adalah konsep yang saat ini terus dikembangkan yaitu konsep “hidup berdampingan secara damai” (peacefull co-existence). Lima prinsip tentang hidup berdampingan secara damai ini disepakati secara tegas oleh India dan Republik Rakyat Cina di dalam Mukadimah Traktat mengenai Tibet yang ditandatangani di Beijing tanggal 29 April 1954. Prinsip-prinsip itu adalah: 1. Saling menghormati integritas dan kedaulatan teritorial masingmasing. 38 T. May Rudy. Hukum Internasional 1. PT. Refika Aditama. Bandung. 2002. Hal. 48. Universitas Sumatera Utara 2. Saling tidak melakukan agresi (mutual non-agresional). 3. Saling tidak mencampuri urusan-urusan dalam negeri masingmasing. 4. Persamaan kedudukan dan saling menguntungkan. 5. Hidup berdampingan secara damai. 39 Lebih lanjut doktrin hidup berdampingan secara damai ini disebut dan dinyatakan dalam traktat-traktat lainnya serta sejumlah deklarasi internasional, seperti deklarasi-deklarasi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 14 Desember 1957, dan dalam Komite akhir dari Konfrensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia pada bulan April 1955 yang memuat sepuluh prinsip berkenaan dengan permasalahan yang dibahas ini. Juga bidang literatur secara pesat dikembangkan konsep hidup berdampingan secara damai serta tempatnya secara tepat di dalam hukum internasional. Contohnya: 1. Report of the Forty-ninth Conference at Hamberg of the International Law Association 1960, hal. 368-370. 2. Vallat, Year Book of World Affairs (1964), hal 249-258. 3. Proffesor G.I.Tunkin, Droit Internatinal Public: Problemes Theoriques (terjemahan dari bahasa Rusia,1965) hal 51-55. 4. Rosalyn Higgins, Conflict of Interest (1965) p.3.40 Bebarapa diantaranya membatasi konsep hidup berdampingan secara damai pada kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang menjamin bahwa negara39 40 Ibid. Ibid . hal 49. Universitas Sumatera Utara negara yang menganut sistem politik atau sistem ekonomi yang berbeda harus menghormati kedaultan masing-masing atau pemikiran-pemikiran mereka terhadap negara-negara lain. Bagaimanapun, sebagian besar prinsip yang harus dinyatakan sebagai norma-norma hidup berdampingan secara damai tersebut adalah sama sekali bukan hal yang baru dan telah ada baik secara tegas ataupun tersirat dalam isi Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa serta dalam konstitusi-konstitusi organisasi internasional lainnya. Barangkali, nilai sebenarnya dari konsep hidup berdampingan secara damai terketak dalam penekanannya pada konstitusi tersebut diatas terhadap masyrakat internasional yang pada saat ini terbagi dalam blokblok yang saling bermusuhan, dan andai kata mungkin perumusan serta pengkodifikasian kaidah-kaidah yang bersangkutan dapat mengurangi ketegangan-ketegangan, seklipun tidak banyak yang dapat disumbangkan kepada ketentuan-ketentuan charter. Semua uraian diatas pada dasarnya hendak memperlihatkan atau menegaskan fakta bahwa negara menjadi pelaku utama yang penting dalam hubungan internasional maupun dalam kerangka hukum internasional. Tentu saja hal itu bermaksud untuk mengeyampingkan keberadaan dair non state actors. Jika kenyataan diatas dikaitkan dengan persoalan menyangkut hubungan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah maka jelaslah bahwa hubungan luar negeri hanya itu berada sepenuhnya dibawah kewenangan pemerintah pusat (negara). Menurut hukum internasional yang berlaku seperti Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986 tentang “hukum perjanjian” Universitas Sumatera Utara bahwa subjek-subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional hanyalah “negara” dan organisasi internasional”. Selain itu subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional adalah Tahta suci Vatikan, kaum Belligrent, dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. 41 Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun negara-negara bagian dapat dilakukan sepanjang masih berada dalam kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah federal. Pembuatan perjanjian internasional sebagai tindak lanjut dari hubungan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah atau negara bagian dilakukan atas nama pemerintah pusat atau atas nama pemerintah federalseperti yang dimaksud dalam Konvensi Wina 1961 tentang “Hubungan Diplomatik”, Konvensi Wina Tahun 1963 tentang “Hubungan Konsuler” dan Konvensi Wina Tahun 1969 tentang “Perjanjian Internasional”. Sebagai konsekuensinya, apapbila pemerintah daerah atau negara bagian melakukan perbuatan yang melanggar kewajibankewajiban internasional maka pemerintah pusat atau pemerintah federal yang harus mengambil tanggung jawab internasionalnya dengan mengatasnamakan negara. 41 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6209237254_1693-5594.pdf Universitas Sumatera Utara