2 dan makna (form-meaning pairing) oleh Langacker (2008:161) via (Wijaya R, 2011:1) disebut struktur simbolis (symbolic structure). Bentuk bahasa terdiri atas dua unsur, yakni unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental dapat berupa fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana. Unsur suprasegmental berwujud intonasi yang menyertai bentuk tersebut, terdiri atas tekanan, nada, tempo, dan jeda, sedangkan makna adalah isi yang terkandung di dalam bentuk-bentuk tersebut yang dapat menimbulkan reaksi tertentu dalam pikiran pendengar atau pembaca (Wijana, 2008: 9-11). Reaksi yang timbul dapat berupa pengertian, tindakan, atau kedua-duanya karena dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan kata, tetapi dengan suatu serangkaian kata yang mendukung suatu “amanat”. Memahami hal itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi seseorang dapat mengungkapkan sebuah perihal atau keadaan dengan peribahasa dalam bahasa ibunya dengan baik. Akan tetapi, tidak berarti bahwa orang tersebut dapat menerjemahkannya ke dalam bahasa asing, hal ini karena peribahasa merupakan refleksi kenyataan yang digunakan untuk berinteraksi oleh dan atau kepada masyarakat pemakai bahasa itu sendiri. Di samping itu, penggunaan peribahasa juga dikatakan sebagai potret kehidupan sosial budaya suatu masyarakat bahasa yang telah baku bentuknya dan dipakai dari generasi ke generasi (Kridalaksana, 2008:189). Brunvand memasukkan peribahasa sebagai salah satu bentuk folklor yaitu ungkapan tradisional (Danandjaja, 1994:21). Cervantes mendefinisikan peribahasa sebagai kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang (Danandjaja, 1994:28). 3 Definisi ini menunjukkan bahwa peribahasa memiliki bentuk kalimat yang singkat tetapi padat dan merupakan cerminan pengalaman hidup yang lama terhadap gejala-gejala kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Oleh karena itu, peribahasa dapat merefleksikan nilai-nilai sosial budaya masyarakat penuturnya. Gambaran sifat, sikap, keadaan, dan tingkah laku banyak tercermin dalam peribahasa. Peribahasa bersifat metaforis dan makna yang ada dalam peribahasa tersebut telah baku dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan oleh pemakai bahasa tersebut (Arimi, 2000:50). Contoh peribahasa Jerman; (1) “Es fliegt einem kein gebratenes Huhn ins Maul“ Pron. terbang sebuah (negasi) goreng ayam ke dalam mulut “Tidak ada ayam goreng yang terbang ke mulut” Peribahasa Jerman (1) di atas tentu tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan “tidak ada ayam goreng yang terbang ke mulut“, makna dari ungkapan ini tidak bisa dipahami oleh penutur bahasa Indonesia, karena dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan peribahasa “tidak ada ayam goreng yang terbang ke mulut“. Peribahasa dalam bahasa Jerman (1) di atas merupakan ungkapan metaforis yang memiliki makna; suatu keberuntungan ataupun kesuksesan, yang dipetakan oleh „ayam goreng‟, tidak ada yang datang dengan sendirinya, keberuntungan ataupun kesuksesan akan datang setelah adanya upaya untuk mendapatkannya. Dari makna yang terdapat dalam peribahasa bahasa Jerman di atas, penutur bahasa Indonesia mampu menemukan peribahasa Indonesia yang memiliki kemiripan atau padanan makna semantisnya, yaitu peribahasa: “Berakit-rakit ke hulu, bereneng-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian“. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan 4 adanya padanan mutlak dari peribahasa Jerman ke dalam peribahasa Indonesia atau sebaliknnya. Sebagaimana contoh berikut: (2) Bellende Hunde beißen nicht. Menyalak anjing(PL) menggigit tidak “Anjing menyalak tidaklah menggigit” Peribahasa Jerman di atas memiliki makna bahwa orang yang suka mengancam dengan kata-kata (menyalak) biasanya tidak berani mewujudkan ancaman tersebut kedalam tindakan fisik, memukul misalnya (menggigit). Bila dicermati peribahasa Jerman (2) di atas maka dalam bahasa Indonesia akan ditemukan peribahasa Indonesia yang memiliki padanan mutlak dengan peribahasa Jerman (2) di atas, yaitu: Anjing menyalak takkan menggigit. Peribahasa syarat dengan pesan-pesan moral dan pedagogis di dalamnya, oleh karena itu, tidak heran jika White (1987:152) memandang peribahasa sebagai gudang tempat penyimpanan kebijaksanaan masyarakat penuturnya (repositories of folk wisdom). Ambillah satu contoh peribahasa Indonesia “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Apabila dicermati peribahasa Indonesia tersebut memiliki pesan moral bahwa setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda-beda sehingga mampu beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat pada suatu daerah. Pesan moral yang sama dapat dilihat pada peribahasa Jerman berikut: (3) Mit den Wölfen muss man heulen Dengan art. serigala harus orang melolong “Berbicara dengan serigala orang haruslah melolong” 5 Peribahasa Jerman (3) di atas menjelaskna bahwa jika seseorang berhadapan dengan serigala, orang tersebut hendaknya tidak berbicara sebagaimana manusia, akan tetapi hendaknya ia „melolong‟ sebagaimana serigala. Peribahasa tersebut memiliki pesan moral, bahwa hendaknya seseorang mampu beradaptasi dengan masyarakat dimana dia tinggal bersama. Dari uraian di atas, dalam menyampaikan pesan moral yang berkaitan dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, baik peribahasa Jerman maupun peribahasa Indonesia sama-sama menggunakan istilah hewan, namun hewan yang digunakan berbeda. Perbedaan ini dikarenakan latar belakang budaya dan geografis penutur bahasa Jerman dan bahasa Indonesia yang berbeda. Pandangan yang mencoba menggambarkan bagaimana hubungan bahasa dengan kebudayaan adalah padangan yang menganggap bahwa struktur bahasa, berdasarkan konsep dan kategori kebudayaan yang terpadu dalam bahasa, menentukan cara penuturnya berpikir, melihat dunia, dan menetukan perilakunya. Pandangan yang juga menggambarkan hubungan satu arah antara bahasa dengan kebudayaan ini disebut dengan pandangan deterministik, relativitas linguistik, atau yang lebih dikenal lagi dengan hipotesis Sapir-Whorf. Pandangan ini disebut relativitas linguistik karena beranggapan bahwa bahasa membentuk kebudayaan. Versi lunak pandangan ini adalah menganggap bahwa bahasa sebagian memengaruhi pikiran penuturnya, sehingga untuk memahami sekelompok masyarakat bahasa dapat dilakukan dengan mempelajari pikiran-pikiran kolektif (collective mind) dalam peribahasa mereka. Lebih lanjut Arimi (2000:1) menjelaskan bahwa peribahasa merupakan salah satu domain untuk meneliti 6 pikiran-pikiran kolektif dari sekelompok masyarakat penutur suatu bahasa, karena peribahasa merupakan refleksi kenyataan yang digunakan untuk berinteraksi oleh dan atau kepada masyarakat pemakai bahasa. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Kridalaksana (2008:189), bahwa penggunaan peribahasa merupakan potret kehidupan sosial budaya suatu masyarakat bahasa yang telah baku bentuknya dan dipakai dari generasi ke generasi. Dilihat dari kedudukannya dalam genre percakapan sehari-hari peribahasa termasuk dalam salah satu genre tradisi lisan, bersama yang lain seperti mitos, legenda atau cerita rakyat, dan epik (Finnegan: 1992) via (Arimi: 2000:3). Peribahasa merupakan karya anonim seperti legenda asal-usul kota Banyuwangi (di Jawa Timur) dan cerita rakyat Malin Kundang (di Minangkabau). Tidak seorang pun dapat menjelaskan siapa yang menciptakan pertama kali karya-karya itu, termasuk penciptaan karya peribahasa ini, atau peribahasa itu. Yang dapat dijelaskan antara lain adalah apa yang terkandung di dalam peribahasa dan di balik pemakaian peribahasa tersebut. Peribahasa yang menggunakan nama-nama hewan sangatlah banyak, baik dalam peribahasa Jerman maupun peribahasa Indonesia. Seiring dengan gambaran di atas, inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia dengan fokus penelitian perbandingan peribahasa yang menggunakan kata anjing dan berusaha untuk mengungkapkan interpretasi dari peribahasa-peribahasa tersebut serta menemukan pesan-pesan moral yang tersimpan dalam peribahasa dari masyarakat penutur bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. 7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab rumusan-rumusan masalah berikut ini: 1. Bagaimanakah interpretasi peribahasa yang menggunakan kata anjing dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia? 2. Pesan-pesan moral apa sajakah yang dapat ditemukan dari peribahasa yang menggunakan kata anjing dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia? 3. Bagaimanakah kesepadanan peribahasa Jerman yang menggunakan kata anjing yang memiliki kemiripan konsep semantik dalam peribahasa Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan interpretasi peribahasa yang menggunakan kata anjing dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia. 2. Mendeskripsikan pesan-pesan moral yang dapat ditemukan dalam peribahasa yang menggunakan kata anjing dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia. 3. Menemukan padanan manakah yang cocok bagi peribahasa Jerman yang menggunakan kata anjing yang memiliki kemiripan konsep semantik dalam peribahasa Indonesia. 8 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan konsep teoritis pada ilmu linguistik (terutama semantik kognitif). Pendekatan semantik kognitif yang mempertimbangkan aspek sosio-budaya diharapkan mampu menguraikan prinsip universal yang mendasari cara manusia memahami dan memberikan arti kepada peribahasa. Pendekatan ini juga memperluas penelitian semantik peribahasa mencakup tidak hanya unsur dan struktur linguistik, tetapi memperhitungkan juga pengetahuan latar (background knowledge), keyakinan budaya (cultural beliefs) serta budaya rakyat (folklore) yang terkandung dalam suatu peribahas sehingga mampu membantu masyarakat dalam melakukan investigasi pesan-pesan moral dalam masyarakat penutur bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Penelitian ini secara signifikan juga diharapkan mampu meletakkan dasar kerangka analisis bahasa yang berorientasi sosial budaya yang prinsipnya akan dapat memberi kontribusi pada pemahaman ilmu humaniora. Peribahasa merupakan salah satu fakta kebahasaan yang banyak mengandung kearifan lokal seperti kedermawanan, keberanian, kebaikan, persaudaraan dan sebagainya. Melalui kajian peribahasa ini diharapkan kearifan lokal yang terkandung dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia bisa menjadi pegangan hidup baik sebagai pengontrol sikap atau perilaku sehari-hari, sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang banyak terkandung dalam peribahasa tersebut senantiasa terlestarikan dengan baik dari generasi ke generasi sesuai perputaran zaman. Manfaat praktis lain yang bisa diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pembelajar bahasa Jerman dalam memahami dan 9 mengerti budaya kebahasaan yang diwakili oleh ungkapan-ungkapan khas (peribahasa) yang berlaku dalam bahasa Jerman. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian-penelitian yang bersentuhan dengan objek kajian yang mirip dalam penelitian ini antara lain adalah Salmah (1984). Tulisan Salmah merupakan kajian awal tentang peribahasa air, yaitu bentuk-bentuk peribahasa yang di dalamnya terdapat kata air. Arimi (2000) dalam laporan penelitiannya ”PikiranPikiran Kolektif dalam Peribahasa Indonesia”. Arimi dalam laporan penelitiannya ini, membahas peribahasa Indonesia yang secara khusus menjelaskan fungsi peribahasa dalam masyarakat bahasa Indonesia dan mengklasifikasikan pikiranpikiran kolektif yang terkandung dalam peribahasa secara umum. Penelitian lain yang obyek kajiannya berupa peribahasa Indonesia adalah Santoso (1988) dalam tesis yang berjudul “Peribahasa Indonesia dalam Sastra Indonesia Sebelum Perang, Sebuah Tinjauan Resepsi Sastra”. Tesis ini menganalisis jenis makna dalam peribahasa, menganalisis makna peribahasa Indonesia secara interpretatif, menganalisis pola perbandingan dalam peribahasa Indonesia dan menunjukkan resepsi pengarang pada masa awal periode sebelum perang dan akhir periode sebelum perang. Penelitian peribahasa dalam bahasa Arab pernah dilakukan oleh Marfu‟ah (2006) dengan judul “Penerjemahan Peribahasa Aarab ke dalam Bahasa Indonesia Serta Implikasinya Bagi Pembelajaran (Studi Analitis Buku Peribahasa Arab Terjemahan Muh.Abdai Rathomy)”. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui 10 karakteristik bagaimana sang penerjemah (Rathomy) menerjemahkan peribahasaperibahasa tersebut ke dalam bahasa Indonesia, khususnya teknik yang digunakan. Karena dengan begitu bisa mengetahui prosedur maupun metode yang digunakan; (2) mengetahui tema yang terkandung dalam peribahasa tersebut (sehingga bisa lebih memahami apa yang dimaksud oleh peribahasa-peribahasa tersebut); (3) mengetahui bagaimana mencari padanan peribahasa bahasa Arab tersebut di dalam bahasa Indonesia; (4) mengetahui bagaimana implikasinya bagi pembelajaran, khususnya pembelajaran terjemah. Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan makna metaforis dan pesan-pesan moral dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia yang hanya dibatasi pada peribahasa-peribahasa yang menggunakan istilah kata anjing (Canis Familiaris) di dalamnya, serta mencari padanan semantik dari peribahasa Jerman tersebut di dalam peribahasa Indonesia secara umum. 1.6 Landasan Teori Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini yang akan digunakan dalam menganalisis data. Penjelasan lebih lanjut tersaji di bawah ini: 1.6.1 Konsep Peribahasa Ada cukup banyak konsep yang diberikan oleh para ahli bahasa mengenai peribahasa. Kridalaksana (2008:189) misalnya, dalam kamus linguistiknya mengemukakan bahwa peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun 11 temurun; dipergunakan untuk penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup; mencakup bidal, pepatah, perumpamaan, ibarat, pameo. Pengertian yang diberikan oleh Kridalaksana tersebut bersifat teoritis dan praktis. Dikatakan bersifat teoritis karena menurut pendapat Kridalaksana bentuk peribahasa adalah berupa kalimat atau penggalan kalimat dengan ciri-ciri memiliki bentuk, makna dan fungsi yang membeku. Kata ‟membeku‟ mengandung pengertian bahwa bentuk peribahasa memang sudah tercipta sedemikian rupa, sehingga secara struktur tidak dapat diubah atau dibolak-balik karena kalau dibolak-balik atau diubah akan memberikan arti yang berbeda dan mungkin bukan lagi dinamakan peribahasa. Demikian pula, makna dan fungsinya dalam masyarakat juga sudah ‟membeku‟, dalam arti makna dan fungsi peribahasa dapat dipahami sesuai latar belakang masyarakat di mana peribahasa itu tercipta dan digunakan. Sementara itu, pengertian peribahasa yang diberikan Kridalaksana juga bersifat praktis. Dikatakan demikian karena dalam pengertian tersebut tersirat dengan jelas apa yang menjadi tujuan dan fungsi peribahasa, yaitu jika diterapkan dalam dunia seni tulis maupun seni lisan, peribahasa dapat berfungsi sebagai penghias atau penguat karangan atau percakapan, bahkan peribahasa dapat berfungsi sebagai nasehat dan pedoman hidup bagi anggota masyarakat pengguna peribahasa. Badudu, pada kata pengantar dalam kamusnya yang berjudul “Kamus Peribahasa Indonesia” menyatakan bahwa peribahasa adalah semua bahasa, baik kata atau frasa yang mengandung arti kiasan (Badudu, 2008:xi). Dengan demikian, maka pepatah, ungkapan, perumpamaan, tamsil atau ibarat dapat 12 dikategorikan dalam bentuk peribahasa asalkan mengandung makna kias. Badudu, dalam bukunya yang lain yang berjudul “Peribahasa Salah Satu Segi Bahasa yang Masih Perlu Diberi Perhatian”, juga mempertegas kembali mengenai peribahasa yang kemudian dibagi dalam beberapa ketegori seperti: ungkapan, perumpamaan, tamsil atau ibarat, pepatah dan petitih. Menurut Badudu, (1983:1-3) pribahasa adalah: Semua bentuk yang mengandung arti kiasan, di dalamnya termasuk ungkapan berupa kata atau frasa, perumpamaan, tamsil atau ibarat, pepatah dan petitih. Jadi ke dalam peribahasa itu termasuk pula pepatah, yaitu klausa atau kalimat yang mengandung makna kiasan. Penjelasan Badudu di atas menjadikan perbedaan idiom dengan peribahasa tidak jelas, karena keduanya mengandung arti kiasan. Poerwadarminta, dalam kamus Bahasa Indonesia, yang dikutip oleh Arimi (2000:12), disamping memberikan batasan mengenai konsep peribahasa, yaitu bahwa bentuk peribahasa adalah berupa kalimat atau kelompok kata yang susunannya tetap dan biasanya mengiaskan maksud tertentu, ia juga membagi peribahasa ke dalam bentuk ungkapan, bidal, dan perumpamaan. Meskipun Poerwadarminta- dalam memberikan pengertian peribahasa- tidak menampakkan tujuan dan fungsi peribahasa sejelas apa yang dikemukakan oleh Kridalaksana, akan tetapi pengertian yang dikemukakan oleh Poerwadarminta memiliki kesamaan dengan apa yang dikatakan oleh Kridalaksana, yaitu kedua ahli bahasa tersebut telah memberikan gambaran mengenai bentuk peribahasa dan bahkan telah membagi jenis-jenis peribahasa menjadi ungkapan, pepatah, bidal dan juga perumpamaan. Bidal merupakan jenis peribahasa yang memiliki arti lugas, 13 memiliki irama dan rima, sehingga sering digolongkan ke dalam bentuk puisi. Dalam kesusasteraan Melayu, bidal yang mengandung kiasan, sindiran atau pengertian tertentu termasuk salah satu bentuk sastra yang tertua. Dalam kehidupan sehari-hari, peribahasa jenis bidal ini cukup banyak jumlahnya. Dalam tataran teori, makna bidal ini seringkali disamakan dengan pepatah atau ungkapan (http://melayuonline.com/ind/literature/dig/611/peribahasa). Pembagian peribahasa menjadi beberapa kategori tersebut sejalan juga dengan apa yang dilakukan oleh Tarigan. Tarigan, sebagaimana yang dikutip oleh Santoso dalam tesisnya, (1988:33) membagi peribahasa menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Ungkapan, yaitu perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan sesuatu maksud dengan arti kiasan (2). Pepatah, yaitu sejenis peribahasa yang mengandung nasehat/ajaran yang berasal dari orang tua-tua, dan (3). Perumpamaan, yaitu ibarat, amsal, persamaan (perbandingan) atau peribahasa berupa perbandingan. Meskipun sama-sama masuk dalam kategori peribahasa, namun antara pepatah dan perumpamaan memiliki perbedaan. Perbedaan utama antara pepatah dan perumpamaan terlihat jelas pada adanya pemakaian kata-kata pembanding. Pada perumpamaan kata-kata pembanding dipakai secara eksplisit, sedangkan pada pepatah tidak terdapat kata-kata pembanding, seperti: macam, sebagai, bagaikan, laksana, bak, ibarat, seumpama, dan umpama (Santoso,1988:33). Di samping pengertian mengenai peribahasa di atas, ada pula yang mendefinisikan peribahasa secara fungsional, yaitu peribahasa sebagai kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan 14 maksud tertentu; ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas padat yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Selanjutnya, berkaitan dengan isi peribahasa dan sifat khas peribahasa yang metaforis, Mieder (2004:4) menjelaskan: Proverbs [are] concise traditional statements of apparent truths with currency among the folk. More elaborately stated, proverbs are short, generally known sentences of the folk that contain wisdom, truths, morals, and traditional views in a metaphorical, fixed, and memorizable form and that are handed down from generation to generation . Gayut dengan keterangan Mieder di atas, Arimi (2000:17-18) menjelaskan bahwa untuk memahami perbedaan konsep peribahasa dengan konsep idiom, dan adagium, dapat dilakukan dengan cara melihat perbedaan dari ketiganya, misalnya dari segi formal perbedaan idiom terletak pada sifat frasalnya, sedangkan peribahasa pada sifat klausal atau sentensialnya. Oleh karena itu menurutnya, peribahasa dapat berupa kalimat atau penggalan kalimat, hanya perlu diberi tambahan harus memiliki verba atau kata yang difungsikan sebagai verba (yang menduduki fungsi predikat). Sementara itu, untuk membedakan peribahasa dengan adagium adalah dengan melihat maknanya yaitu adagium maknanya tidak metaforis, sedangkan peribahasa bermakna metaforis, di samping itu adagium dapat diartikan secara leksikal, sedangkan peribahasa bermakna kias (metaforis). Adapun perbedaan antara peribahasa dengan idiom, menurut Chaer, (1994:296) yang dikutip oleh Mastoyo dalam laporan penelitiannya (2002:4), mengungkapkan bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat di ”ramalkan”, baik secara leksikal maupun secara gramatikal, sedangkan yang disebut peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari 15 makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Dalam penelitian ini, peribahasa yang diteliti oleh penulis mengacu pada devinisi yang dibuat oleh Wolgang Mieder dan Sailal Arimi. 1.6.2 Linguistik Kognitif Linguistik Kognitif (LK) adalah pendekatan kajian bahasa alamiah. Munculnya paham LK di akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an merupakan hasil dari ketidakpuasan para ahli bahasa dengan pendekatan formal terhadap bahasa. Studi LK berangkat dari asumsi bahwa bahasa merupakan pola pemikiran manusia. Fokus kajian LK pada fungsi bahasa sebagai piranti untuk menata, mengolah, dan menyampaikan informasi (Geeraerts & Cuyckens, 2007:3). Dalam pandangan linguis kognitivisme bahasa merupakan “jendela” untuk melihat fungsi-fungsi kognitif, menyediakan wawasan tentang alam, struktur dan pengorganisasian pikiran serta ide-ide. LK berkutat pada kerangka kerja konseptual pada otak manusia, serta bagaimana bahasa merefleksikan kerangka kerja konseptual tersebut (Saeed, 1997:344). Linguistik kognitif memandang bahwa semua struktur bahasa merupakan suatu lambang, sehingga pada setiap bentuk bahasa dianggap mempunyai makna, dan tidak ada bentuk tanpa makna. Sumbangan linguistik kognitif terhadap penelitian kata sangat besar terutama dalam mendeskripsikan makna kata dalam semantik kognitifnya. Manusia dalam memahami sesuatu yang baru yang belum diketahui, biasanya dilakukan melalui berbagai pengasosiasian dengan hal-hal telah diketahuinya. Asosiasi dilakukan untuk lebih mempermudah pemahaman dan penguatan dalam ingatan. Misalnya, dengan cara membandingkan kesamaan 16 atau kemiripan antara sesuatu hal dengan hal yang lain yang sudah diketahui; atau melalui pengkategorian, menghubungkan kedekatan, baik secara ruang maupun waktu antara satu hal dengan yang lainnya. Linguistik kognitif memandang bahwa, makna suatu kata tidak muncul begitu saja, melainkan pasti ada yang memotivasi dan melatar belakanginya. Apakah muncul karena pengaruh perkembangan jaman, perubahan baru dalam suatu kata pasti ada pendorongnya. Misalnya, kata memikul mulai dari memikul kayu, memikul beban, sampai pada memikul tanggung jawab pasti ada sesuatu yang memotivasinya, dan bentuk hubungan makna-makna tersebut bisa dideskripsikan. 1.6.3 Peribahasa Dari Sudut Pandang Semantik Kognitif Dari sudut kognitif, peribahasa sangat erat kaitannya dengan proses mental. Mengacu pada satu fakta atau situasi khusus, kita dapat memahami berbagai fakta atau situasi lain. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan satu adegan (scene) tentang satu peristiwa dalam pikiran kita dengan hanya merujuk secara tidak langsung kepada satu peristiwa atau fakta lain. Misalnya, dalam peribahasa “Serigala berbulu domba”, dalam kognisi masyarakat penutur bahasa Indonesia serigala adalah hewan yang kejam dan pembunuh, sedangkan domba adalah hewan yang jinak dan biasa berinteraksi dengan manusia. “Serigala berbulu domba” adalah serigala yang berpenampilan selayaknya domba. Selanjutnya, fakta ini „ditransfer‟ pada sifat seseorang yang dalam sisi „luar‟ ia tampak baik (seperti domba) padahal dalam sisi „dalam‟ ia adalah orang yang jahat (seperti serigala). Peribahasa ini menggambarkan bagaimana orang yang jahat namun berpenampilan atau bersikap seperti orang yang baik. Dari sini 17 tampak bagaimana masyarakat penutur bahasa Indonesia mengkonseptualisasikan orang yang jahat namun tampak baik. Fokus utama semantik kognitif adalah kajian terhadap struktur konseptual dan proses konseptualisasi. Ini berarti bahwa pakar semantik kognitif tidak mengkaji makna linguistik semata, tetapi lebih kepada apa yang diungkap terkait dengan hakitat sistem penataan konseptual manusia melalui bantuan bahasa (Evans & Green, 2006:170). Beberapa pertanyaan muncul apakah kebiasaan dan karakteristik hewan yang digunakan untuk mengkonseptualisasikan manusia dalam peribahasa adalah universal atau khusus kepada budaya tertentu. Misalnya, apakah semua peribahasa dalam bahasa-bahasa dunia mengaitkan singa atau harimau dengan „keberanian‟? Atau mungkinkah sifat „berani‟ dikaitkan dengan hewan selain singa atau harimau dalam budaya dan bahasa yang berbeda. Secara umum telah diketahui ada perbedaan dalam pandangan serta penilaian masyarakat terhadap hewan tertentu. Misalnya, anjing menjadi hewan peliharaan favorit dalam budaya barat, tetapi tidak (jarang) menjadi hewan peliharaan dalam masyarakat timur. Dalam hal ini, Lakoff & Turner (1989: 193-194) menjelaskan beberapa proposisi umum tentang bagaimana kita melihat dan memikirkan hewan tertentu dan bagaimana kita menggunakan pengetahuan berbasis budaya rakyat dalam pembangunan skema metaforikal untuk hewan tersebut. Proposisi umum tentang hewan yang diusulkan mereka yaitu: singa adalah hewan yang berani dan mulia; rubah adalah hewan yang cerdik; anjing adalah hewan yang setia dan dapat diharapkan; kucing adalah hewan yang mudah berubah hati dan mandiri; serigala adalah hewan yang kejam 18 dan pembunuh; gorila adalah hewan cenderung bergaduh dan buas; dan babi adalah hewan yang kotor dan tidak teratur. Pertanyaannya apakah proposisi umum ini merupakan sesuatu yang bersifat universal? Semantik kognitif bisa dikaji dari dua pendekatan, pendekatan diakronis maupun pendekatan sinkronis. Dalam perspektif diakronis, semantik kognitif erat kaitannya dengan historis-filologis semantik (historical-philological semantics). Dalam perspektif sinkronis mekanisme kognitif berkutat dalam kajian metafora dan metonimia (Geeraerts, 2010: 203). Peribahasa yang menggunakan kata anjing khususnya akan diteliti dengan menguraikan mekanisme kognitif serta peran mekanisme-mekanisme ini dalam pembentukan maksud sesuatu peribahasa. Pendekatan kognitif semantik yang mempertimbangkan aspek sosio-budaya mampu untuk menguraikan prinsip universal yang mendasari cara manusia memahami dan memberikan arti kepada peribahasa. 1.6.4 Makna Figuratif (Makna Kiasan) Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa peribahasa tidak dapat terlepas dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan makna. Lapisan makna adalah lapisan isi yang terkandung dalam bentuk-bentuk bahasa tersebut yang dapat menimbulkan reaksi tertentu dalam pikiran pendengar atau pembaca. Mengenai lapisan yang kedua ini, Keraf (2007:25-26), memberikan pengertian makna sebagai hubungan antara bentuk dan hal atau barang yang diwakili (referen). Hubungan antara bentuk-bentuk dan referenya itulah yang dinamakan makna. Jadi untuk mengetahui makna sebuah kata atau kalimat –berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Keraf–, seseorang harus mengetahui aspek 19 bentuk referennya, meskipun pada kenyataanya, tidak semua kata mesti mempunyai referen. Keharusan untuk mengetahui bentuk referan kata (dalam usaha untuk mengungkap makna sebuah kata), yaitu dikarenakan bahwa referensi (acuan) itu dipakai untuk menyatakan relasi antara bahasa dengan dunia pengalaman. Makna merupakan unsur yang bersifat internal. Dikatakan internal karena makna merupakan unsur yang ada di dalam bahasa. Makna berbeda dengan maksud. Maksud merupakan unsur eksternal atau unsur yang berada di luar bahasa. Maksud berhubungan dengan penutur dan bersifat subyektif (Wijana dan Rohmadi, 2008:19). Salah satu jenis makna adalah makna figuratif (kiasan) (Chaer, 2009: 77). Makna kiasan (figurative meaning, transferred meaning) adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh kalimat „Tim SAR menyusuri kaki gunung selamet untuk mencari pendaki yang tersesat tiga hari yang lalu‟, frasa „kaki gunung‟ tidak dimaknai kaki dari sebuah gunung sebagaimana kaki manusia, namun bermakna bagian bawah atau lereng dari sebuah gunung. Selain itu, makna kiasan terdapat pula pada peribahasa atau perumpamaan. Misalnya, walau seribu anjing menyalak, gunung takkan runtuh. Makna figuratif muncul dari bahasa figurative (figurative language) atau bahasa kiasan. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus (Abrams, 1981:63) 20 Bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan. Altenbernd yang dikutip oleh Pradopo (1994:93) membedakan bahasa kiasan dan sarana retoris (rethorical device). Sejalan dengan pendapat Altenbernd, Abrams (1981:63) mengelompokkan gaya bahasa kiasan dan sarana retoris ke dalam bahasa figuratif. Menurutnya, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bahasa penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa standar untuk memperoleh efek tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abrams (1981:63). Figurative language is a deviation from what speakers of a language apprehends as the ordinary, or standard, significance or sequence of words, in order to achieve some special meaning or effect. Bahasa kiasan atau figure of speech atau oleh Kridalaksana disebut sebagai figure of rhetoric atau rhetorical figure yaitu alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau membagi serta mengasosiasikan dua hal. Menurut Abrams (1981:63) bahasa figuratif (figuratif language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari (ordinary), penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus. Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (1981:63-65) terdiri atas simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke, dan personifikasi. Sementara itu Pradopo (1994:62) membagi bahasa kias ke dalam tujuh jenis, yaitu perbandingan, metafora, perumpamaan, epos, personifikasi, metonimi, dan alegori. 21 1.6.5 Metafora Verhaar (1996) via (Wijana, 2008:48) mengungkapkan bahwa metafora terbentuk karena adanya penyimpangan makna kepada sesuatu referen yang lain. Penyimpangan makna tersebut tidak bersifat semena-mena (arbitrer), tetapi berdasarkan atas kesamaan tertentu, seperti kesamaan sifat, bentuk, fungsi, tempat atau kombinasi di antaranya. Wijana (2008:50) mengatakan; bila kata-kata nonfiguratif dengan referennya secara langsung (konjungtif), metafora berhubungan dengan referennya secara tidak langsung (disjungtif). Sehubungan dengan ini, Wahab (1990:142) mendefinisikan metafora sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai, karena makna yang dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan itu. Dengan kata lain, metafora ialah pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal yang lain. Senada dengan pemikiran Wahab, dalam kamus linguistik, Kridalaksana (2008:152) mengemukakan; bahwa metafora (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan; misalnya: kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia. Pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk obyek atau konsep lain ini mengandung arti bahwa suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna literal atau harfiah dialihkan kepada makna lain, yaitu makna kias. Menurut Wijana (2008:49), bahwa dalam metafora sekurang-kurangnya terdapat tiga hal, yaitu ada yang dibandingkan (pebanding), ada yang digunakan 22 untuk membandingkan (pembanding), dan ada kesamaan atau kesesuaian antara pembanding dengan pembandingnya (persamaan). Paparan di atas merupakan teori mengenai komponen metafora yang dilahirkan dari pandangan metafora linguistik. Pada metafora linguistik komponen metafora terdiri dari tenor (pebanding), vehicle (pembanding), dan ground (persamaan). Misalnya dalam contoh berikut: Dia memang benar-benar serigala berbulu domba. Dalam serigala berbulu domba pebandingnya adalah orang yang antara penampilan fisik dan hakekat dirinya sangat bertolak belakang. Pada penampilan fisiknya, orang tersebut tampak baik, namun pada hakekatnya orang tersebut sangatlah jahat. Pembandingnya adalah binatang serigala yang merupakan hewan liar dan suka memangsa hewan lain, namun serigala tersebut berbulu domba sehingga tampak seperti hewan yang jinak dan tidak memangsa hewan lain. Persamaannya adalah kejahatan pada dirinya ditutupi dengan penampilan fisik yang baik. Dari sudut pandang lain, yakni dari sudut pandang metafora konseptual, memandang metafora hanya terdiri dari dua ranah konseptual, yaitu ranah sumber (source domain) dan ranah target (target domain). Menurut Kövecses (2002:4), dalam metafora konseptual salah satu ranah (domain) dimengerti atau dijelaskan oleh ranah yang lain. Teori ini juga disebut teori metafora kognitif, karena dikembangkan oleh linguis kognitif, seperti Lakoff dan Johnson (1980) lewat buku Metaphor We Live By yang menghasilkan pandangan bahwa metafora menayangkan peta kognitif dari satu ranah pebanding kepada ranah pembanding sehingga menyebabkan pemabanding terikat dalam pengalaman fisik spasial 23 melalui ranah pebanding. Konsekuensinya adalah skema-skema yang menengahi di antara tingkat konseptual dan inderawi dalam ranah pebanding menjadi aktif, dan begitu juga dalam ranah pembanding. Lebih jauh Kövecses (2002:17-28) menjelaskan, bahwa berdasarkan penelitiannya, hal-hal yang paling banyak menjadi ranah sumber (source domain) dalam metafora antara lain; tubuh manusia, kesehatan dan penyakit, hewan, mesin dan peralatan, bangunan dan konstruksi, tumbuhan-tumbuhan, olah raga dan permainan, makanan dan masakan, uang dan transaksi ekonomi, kekuatan, cahaya dan kegelapan, panas dan dingin, dan pergerakan dan arah. Adapun hal-hal yang paling banyak menjadi ranah target (target domain) adalah; emosi, hasrat, moral, pikiran, sosial, agama, politik, ekonomi, hubungan antar manusia, komunikasi, even dan aksi, waktu, dan kehidupan dan kematian. Dilihat dari segi sintaktis, metafora dapat dibagi menjadi tiga kelompok: (1) metafora nominatif yaitu metafora yang lambang kiasnya hanya terdapat pada nomina kalimat, dan karena nomina posisinya dalam kalimat berbeda-beda, metafora nominatif dapat dibagi lagi menjadi metafora nominatif subjektif, metafora objektif atau yang biasa disebut metafora nominatif komplementatif, (2) metafora subjektif, yaitu metafora yang lambang kiasnya muncul hanya pada subjek kalimat, sementara komponen-komponen kalimat yang mengandung metafora tetapi dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna langsung. (3) metafora predikatif, yaitu metafora yang lambang kiasnya hanya terdapat pada predikat kalimat, sedangkan subjek dan komplemen kalimat (jika ada) masih dinyatakan dalam makna langsung, dan (4) metafora kalimat, yaitu metafora yang 24 seluruh lambang kiasnya jenis ini tidak terbatas pada nominatif (baik subjek maupun objek) dan predikatnya saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu merupakan lambang kias (Wahab, 1990:142-144). Secara semantik, metafora selalu mengandung dua macam makna, yaitu makna kias dan makna yang dimaksud. Makna yang dimaksud dapat diungkapkan melalui serangkaian prediksi yang dapat diterapkan bersama pada lambang atau simbol kias dan makna langsung. Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di pelbagai bahasa, pilihan citra oleh Ulmann (1977) dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra. Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut gua, mata pisau, kepala keluarga, dan lain-lain. Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai bahasa, misalnya kambing hitam, mengadu domba, otak udang, dan lain-lain. Metafora dengan unsur binatang juga dikenakan pada tanaman, misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah. Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120) bahwa manusia disamakan dengan sejumlah takterbatas binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau, singa, buaya, dst, sehingga dalam 25 bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa “Seperti kerbau dicocok hidung”, ungkapan “buaya darat”, dan ungkapan makian ”anjing, lu”, dan seterusnya. Metafora bercitra abstrak ke konkret adalah mengalihkan ungkapanungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat „satu kecepatan yang luar biasa‟, moncong senjata „ujung senjata‟, dan lain-lain. Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan “manis dilihat” untuk pakaian walaupun makna manis selalu dikatkan dengan indra rasa; “panas di telinga” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra pendengaran. 1.6.6 Metafora Konseptual (Conceptual Metaphor) Salah satu teori metafora yang dijadikan dasar analisis data dalam penelitian ini adalah teori metafora yang diprakarsai oleh Lakoff dan Johnson melalui buku mereka yang berjudul Metaphor We Live By pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa metafora merefleksikan apa yang kita rasakan, kita alami, dan apa yang kita pikirkan dalam kehidupan sehari-hari. Metafora bukan hanya sebagai alat untuk menyatakan ide melalui bahasa, tetapi juga alat untuk memikirkan sesuatu, menata, dan merekamnya melalui bahasa. Sebagaimana yang diterangkan oleh Lakoff dan Johnson (2003: 4-8), bahwa kita tidak hanya menggunakan metafora TIME IS MONEY secara linguistik, tetapi kita 26 memikirkannya dan mengkonseptualisasikannya sehingga dapat kita simpulkan TIME sebagai target dan MONEY sebagai sumber, yang terpikirkan adalah „waktu‟ sebagai komoditi yang berharga dan sumber yang terbatas sebagaimana „uang‟. Dengan cara pandang demikian maka muncullah ungkapan metaforis dalam komunikasi sehari-hari seperti “How do you spend your time?”, This gadget will save you hours”, “I don‟t have time to give you”. Masih berkaitan dengan metafora konseptual, Lakoff dan Johnson (2003: 4-8) menunjukkan contoh yang lain, yakni metafora ARGUMENT IS WAR. Formulasi metafora ini ditarik dari bahasa sehari-hari berdasarkan yang dialami dan dilakukan penutur bahasa dalam berargumentasi, misalnya, “He attack every weak point in my argument”, “I‟ve never won an argument with him”, “If you use that strategy, he‟ll wipe you out”. Kalimat-kalimat di atas mengandung ungkapanungkapan metaforis yang mengkonstruksikan suatu konsep, bahwa argumen adalah perang. Ungkapan-ungkapan berikut semakin memperjelas bahwa argumen adalah suatu peperangan, mempertahankan argumen, menyerang argumen lawan, menggunakan strategi dalam berargumen, memenangkan argumen, mengalahkan argumen lawan, dan seterusnya. Hal-hal yang dialami dalam berargumen seperti ketika terjadi perang. Apa yang terjadi dalam perang adalah mempertahankan negara, menyerang musuh, menggunakan strategi, memenangkan perang, mengalahkan lawan, dan seterusnya. Dengan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan alat untuk mengkonseptualisasikan apa yang dialami, dilakukan, dan yang dipikirkan. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan bagaimana manusia mengkonstruksi 27 idenya. Metafora konseptual bersifat dinamis, karena metafora ini memanisfestasikan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan penggunanya yang selalu berubah sesuai dengan pikiran, perasaan, dan pengalaman yang berbeda di setiap budaya. Dalam masyarakat Indonesia ada metafora konseptual CINTA ADALAH TUMBUHAN, berdasarkan metafora konseptual tersebut muncullah ungkapan-ungkapan berdasarkan apa yang dilihat, dipikirkan, dirasakan, dan dialami dalam mengkonseptualisasikan cinta, misalnya, cintanya bercabang dua, hatinya berbunga-bunga, rasa cinta ini tumbuh saat kami masih di bangku kuliah, Budi adalah buah cinta kami, dan seterusnya. 1.6.7 Metafora Rantai Besar (The Great Chain Metaphor) Metafora Rantai Besar (The Great Chain Metaphor) terdiri dari empat bagian: Rantai Besar Makhluk (Great Chain of Being), pemahaman alamiah sifat dasar dari suatu benda (The Nature of Things), metafora Generik adalah Spesifik (Generic is Specific) dan Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity) (Lakoff dan Turner, 1989: 171-172). Keempat komponen ada secara independen, mereka hanya dapat bekerja sama untuk menafsirkan peribahasa, meskipun dalam beberapa kasus tidak semua komponen ini dilibatkan dalam memahami peribahasa (Honeck, 1997: 147, Lakoff & Turner, 1989: 165) Lakoff dan Turner (1989: 166) menyatakan bahwa model Great Chain of Being menampilkan berbagai jenis makhluk dan sifat mereka dalam urutan hierarkis. Konsep ini berisi skala bentuk makhluk seperti manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, serta skala sifat-sifat yang sesuai fitur bentuk makhluk, seperti perilaku naluriah, fungsi biologis, dan atribut fisik (Lakoff dan Turner, 28 1989: 167). Properti tertinggi pada makhluk menentukan di mana posisinya dan posisi dalam hierarki ini tidak bisa ditukar (Lakoff & Turner, 1989: 168). Sebagai contoh, peribahasa Anjing menyalak di ekor gajah. Kita mempunyai pemahaman metaforikal dalam Rantai Besar Makhluk (kedudukan gajah dan anjing dalam alam hewan) gajah itu lebih besar dan kuat daripada anjing (yang boleh dianggap lebih rendah dan lemah dibandingkan dengan gajah dalam hierarki alam hewan) dari sudut metafora Rantai Besar Makhluk. Berdasarkan pemahaman metaforik ini (yang juga berdasarkan pemahaman budaya masyarakat), kita boleh memetakan hewan dalam hierarki bawah (yang kecil dan lemah) melawan hewan yang berada dalam hierarki yang lebih tinggi (yang besar dan kuat). Seterusnya kita boleh memetakan hewan yang kecil dan lemah (anjing) kepada manusia yang lemah/hina dan hewan yang besar dan kuat (gajah) kepada manusia yang kuat/mulia. Teori umum dari The Nature of Things mengatakan bahwa berbagai bentuk makhluk (hidup/mati) memiliki esensi yang berbeda dan itu adalah esensi yang menentukan bagaimana makhluk ini berperilaku atau berfungsi (Lakoff & Turner, 1989: 169). Dengan demikian, atribut bentuk yang memutuskan cara berperilaku, dan atribut dasar menentukan perilaku dasar dan atribut umum memutuskan perilaku umum (Lakoff & Turner, 1989: 170). Sebagi contoh, batu, benda yang memiliki atribut dasar keras sehingga ia akan langsung tenggelam bila dimasukkan ke dalam air. Dengan pemahaman konsep The Nature of Things kita bisa memahami makna peribahasa Seperti batu jatuh ke lubuk, yaitu suatu 29 ungkapan yang bermakna sesuatu yang telah hilang/lenyap dan takkan muncul kembali. Metafora Generik adalah Spesifik (GENERIC IS SPECIFIC metaphor) memetakan satu skema-spesifik dari ranah sumber (source domain) secara paralel pada skema-generik dari ranah target (target domain) (Lakoff & Turner, 1989: 162). Dengan cara ini, skema-generik pada ranah target dipahami dengan mengacu pada skema-spesifik pada ranah sumber. Dengan konsep metafora ini memungkinkan kita untuk memahami keseluruhan kategori pada situasi yang umum dari satu situasi khusus atau bahkan memahami peribahasa tanpa adanya situasi tertentu (Lakoff & Turner, 1989: 165). Misalnya dari peribahasa Menari yang tak pandai, dikatakan lantai nan terjungkit. Dari skema-spesifik menari yang tak pandai, bisa kita petakan pada skema-generik, seperti orang yang memiliki kekurangan, orang yang melakukan kesalahan, orang yang tidak memiliki kompetensi tertentu, dan seterusnya. Dari skema-spesifik dikatakan lantai nan terjungkit, kita juga bisa memetakan pada skema-generik, seperti orang yang menyalahkan orang lain, orang yang menyalahkan situasi, orang yang tidak bertanggung jawab, orang yang tidak mau mengakui kekurangannya, dan seterusnya. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity) menuntut pembicara atau penulis untuk bersikap informatif sesuai yang diperlukan untuk tujuan tertentu dan tidak lebih informatif daripada yang diperlukan (Lakoff & Turner, 1989: 171). Sebagai contoh, jika pedagang buah bertanya, “Berapa kilo jeruk yang ingin Anda beli?”, dan jawaban pelanggan “dua”, kita akan mengatakan bahwa dialog ini 30 memenuhi maksim kuantitas, sebagai pelanggan memberikan informasi yang cukup untuk si penjual, dan tidak lebih, tidak kurang. Berkaitan dengan penggunaan peribahasa dalam komunikasi, penggunaan peribahasa yang tepat dalam memberi penilaian atau kontrol atas sikap dan tingkah laku sangat mutlak. Dengan demikian, Metafora Rantai Besar (The Great Chain Metaphor) memberikan kita kemungkinan untuk memahami atribut manusia dalam hal atribut bukan manusia dan sebaliknya (Lakoff & Turner, 1989: 172). Berdasarkan pernyataan ini, kita dapat menyimpulkan metafora konseptual MANUSIA ADALAH HEWAN. Untuk memahami atribut manusia dalam hal atribut hewan, hewan harus dipersonifikasikan terlebih dahulu, dan kemudian sifat karakter manusia yang telah dipetakan ke hewan harus dipetakan kembali ke manusia (Lakoff & Turner, 1989: 196) . Kövecses (2002: 125) juga menyatakan pendapat yang sama ketika ia mengatakan "hewan yang dipersonifikasikan terlebih dahulu, dan kemudian 'karakteristik berbasis manusia yang digunakan untuk memahami perilaku manusia". 1.7 Metode Penelitian Metode analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teks bahasa secara alamiah yang berdasarkan korpus yang kemudian dianalisis dan menghasilkan sebuah kesimpulan atau pola. Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menginterpretasi 31 peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia, sedangkan analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk membandingkan kedua peribahasa yang mencakup cara penilaian masyarakat (value) terhadap hewan anjing dan pemetaan hewan anjing terhadap manusia yang meliputi kategori penampilan (Appearance), tingkah laku (Behavior), karekter (Characteristic), dan hubungan manusia dengan hewan (Relation) (Wierzbicka: 1985) via (Hsieh: 2004: 28) Sementara itu, data yang dijadikan bahan penelitian ini adalah data tulis peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia. Peribahasa Jerman yang dijadikan data adalah peribahasa yang terkumpul dalam buku karya Horst Beyer dan Annelise Müller yang berjudul “Sprichwörterlexikon: Sprichwörter und sprichwörtliche Ausdrücke aus deutschen Sammlungen vom 16. Jahrhundert bis zur Gegenwart” yang diterbitkan oleh VEB Bibliographisches Institut Leipzig pada tahun 1984. Adapun peribahasa Indonesia yang akan dijadikan sumber data adalah kumpulan peribahasa yang ditulis oleh Nur Arifin Chaniago, dkk. dalam bentuk buku yang berjudul ”3700 Peribahasa Indonesia“ yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Setia Bandung pada tahun 1998 dan Kamus Peribahasa yang di sunting oleh Sarwono Pusposaputro yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama tahun 2001. Metode penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut. Pertama, data disediakan dengan metode simak dari buku-buku peribahasa dalam bahasa Jerman maupun bahasa Indonesia, kemudian data verbal peribahasa dibatasi pada peribahasa-peribahasa yang menggunakan kata anjing (Canis Familiaris) saja. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan kerangka 32 semantik kognitif untuk memperlihatkan nilai sosial dan budaya hewan anjing tersebut dalam masyarakat penutur bahasa Jerman dan penutur bahasa Indonesia dari sudut peribahasanya. Selanjutnya peribahasa-peribahasa yang menggunakan kata anjing yang telah dikumpulkan akan diteliti dengan menguraikan mekanisme kognitif (Conceptual Metaphor dan Great Chain Metaphor) serta peran mekanisme-mekanisme ini dalam pembentukan makna suatu peribahasa. Pendekatan kognitif semantik yang mempertimbangkan aspek sosio-budaya mampu untuk menguraikan prinsip universal yang mendasari cara manusia memahami dan memberikan arti kepada peribahasa. Dalam bukunya yang berjudul A Proverb in Mind, Honeck (1997) memaparkan bahwa ada tiga pendekatan yang bisa digunakan untuk menginterpretasi makna peribahasa. Pendekatan pertama adalah The Extended Conceptual Base Theory (ECBT), pendekatan ini diprakarsai oleh Honeck dan Temple pada tahun 1994. Pendekatan yang kedua adalah The Great Chain Metaphor Theory (GCMT), pendekatan GCMT ini diprakarsai oleh Lakoff dan rekan sejak tahun 1980 (Lakoff, 1987; Lakoff, 1993; Lakoff & Johnson, 1980; Lakof & Turner, 1989), dan pendekatan yang ketiga adalah The Dual Coding Theory (DCT) yang digagas oleh Walsh pada tahun 1988. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan GCMT yang digagas oleh George Lakoff bersama Mark Johnson dan Mark Turner. Berikut ini diagram langkah-langkah dalam menginterpretasi makna peribahasa dengan pendekatan GCMT: 33 CONTEXT KNOWLEDGE Conceptual Metaphor Folk Theories PROVERB Moral Precepts Frame Semantics Great Chain ------- PROVERB Specific schema Generic schema --- Istantiation Interpretation Nature-of-Things Etc. GENERIC-ISSPECIFIC METAPHOR PRAGMATICS PRINCIPLES Gambar 1.1 Skema Analisis Peribahasa (disalin utuh dari FIG.4.2 Diagram of the great chain metaphor theory, Honeck: 1997: 152) Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument). Pengetahuan penulis tentang bahasa Jerman, terutama yang berkaitan dengan metafora menjadi sangat penting. Selain itu, pengetahuan tentang kebudayaan Jerman merupakan hal yang juga penting. Penulis adalah seorang pengajar bahasa Jerman dan dianggap memiliki pengetahuan tentang bahasa dan budaya Jerman. Dalam menginterpretasi peribahasa Jerman, penulis selalu berdiskusi dengan penutur asli bahasa Jerman, yaitu Svenja Völkert, M.A. yang merupakan Lektorin DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst) yang sedang bertugas di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jerman Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Hasil interpretasi makna peribahasa yang telah didiskusikan ini kemudian divalidasi ke beberapa penutur asli bahasa Jerman. Untuk memperoleh kesepadanan semantis peribahasa antara bahasa Jerman dan 34 bahasa Indonesia digunakan metode hubungbanding dengan cara mentransposisi peribahasa satu ke peribahasa lainnya berdasarkan ekuivalensi semantik. 1.8 Sistematika Penyajian Bahasan mengenai Kaji Banding Peribahasa Yang Menggunakan Kata Anjing Dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan sistematika penyajian. Bab II akan membahas interpretasi peribahasa yang menggunakan kata anjing yang digunakan dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia serta mendeskripsikan konotasi dari hewan anjing tersebut. Bab III akan membahas pesan-pesan moral masyarakat penutur bahasa Jerman dan bahasa Indonesia yang terdapat dalam peribahasa mereka yang menggunakan kata anjing. Bab IV akan membahas padanan semantik dari peribahasa Jerman yang menggunakan kata anjing ke dalam peribahasa Indonesia secara umum. Dan bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.