2 dan makna (form-meaning pairing) oleh Langacker (2008:161) via

advertisement
2
dan makna (form-meaning pairing) oleh Langacker (2008:161) via (Wijaya R,
2011:1) disebut struktur simbolis (symbolic structure). Bentuk bahasa terdiri atas
dua unsur, yakni unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental
dapat berupa fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana. Unsur
suprasegmental berwujud intonasi yang menyertai bentuk tersebut, terdiri atas
tekanan, nada, tempo, dan jeda, sedangkan makna adalah isi yang terkandung di
dalam bentuk-bentuk tersebut yang dapat menimbulkan reaksi tertentu dalam
pikiran pendengar atau pembaca (Wijana, 2008: 9-11). Reaksi yang timbul dapat
berupa pengertian, tindakan, atau kedua-duanya karena dalam berkomunikasi kita
tidak hanya berhadapan dengan kata, tetapi dengan suatu serangkaian kata yang
mendukung suatu “amanat”. Memahami hal itu dalam seluruh konteks adalah
bagian dari usaha untuk memahami makna dalam berkomunikasi.
Dalam berkomunikasi seseorang dapat mengungkapkan sebuah perihal
atau keadaan dengan peribahasa dalam bahasa ibunya dengan baik. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa orang tersebut dapat menerjemahkannya ke dalam bahasa
asing, hal ini karena peribahasa merupakan refleksi kenyataan yang digunakan
untuk berinteraksi oleh dan atau kepada masyarakat pemakai bahasa itu sendiri.
Di samping itu, penggunaan peribahasa juga dikatakan sebagai potret kehidupan
sosial budaya suatu masyarakat bahasa yang telah baku bentuknya dan dipakai
dari generasi ke generasi (Kridalaksana, 2008:189). Brunvand memasukkan
peribahasa sebagai salah satu bentuk folklor yaitu ungkapan tradisional
(Danandjaja, 1994:21). Cervantes mendefinisikan peribahasa sebagai kalimat
pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang (Danandjaja, 1994:28).
3
Definisi ini menunjukkan bahwa peribahasa memiliki bentuk kalimat yang singkat
tetapi padat dan merupakan cerminan pengalaman hidup yang lama terhadap
gejala-gejala kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Oleh karena itu, peribahasa
dapat merefleksikan nilai-nilai sosial budaya masyarakat penuturnya. Gambaran
sifat, sikap, keadaan, dan tingkah laku banyak tercermin dalam peribahasa.
Peribahasa bersifat metaforis dan makna yang ada dalam peribahasa
tersebut telah baku dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan oleh
pemakai bahasa tersebut (Arimi, 2000:50). Contoh peribahasa Jerman;
(1) “Es fliegt einem kein
gebratenes Huhn ins
Maul“
Pron. terbang sebuah (negasi) goreng
ayam ke dalam mulut
“Tidak ada ayam goreng yang terbang ke mulut”
Peribahasa Jerman (1) di atas tentu tidak bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan ungkapan “tidak ada ayam goreng yang terbang ke
mulut“, makna dari ungkapan ini tidak bisa dipahami oleh penutur bahasa
Indonesia, karena dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan peribahasa “tidak ada
ayam goreng yang terbang ke mulut“. Peribahasa dalam bahasa Jerman (1) di atas
merupakan ungkapan metaforis yang memiliki makna; suatu keberuntungan
ataupun kesuksesan, yang dipetakan oleh „ayam goreng‟, tidak ada yang datang
dengan sendirinya, keberuntungan ataupun kesuksesan akan datang setelah adanya
upaya untuk mendapatkannya. Dari makna yang terdapat dalam peribahasa bahasa
Jerman di atas, penutur bahasa Indonesia mampu menemukan peribahasa
Indonesia yang memiliki kemiripan atau padanan makna semantisnya, yaitu
peribahasa: “Berakit-rakit ke hulu, bereneng-renang ke tepian, bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian“. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
4
adanya padanan mutlak dari peribahasa Jerman ke dalam peribahasa Indonesia
atau sebaliknnya. Sebagaimana contoh berikut:
(2) Bellende Hunde
beißen
nicht.
Menyalak anjing(PL) menggigit tidak
“Anjing menyalak tidaklah menggigit”
Peribahasa Jerman di atas memiliki makna bahwa orang yang suka
mengancam dengan kata-kata (menyalak) biasanya tidak berani mewujudkan
ancaman tersebut kedalam tindakan fisik, memukul misalnya (menggigit). Bila
dicermati peribahasa Jerman (2) di atas maka dalam bahasa Indonesia akan
ditemukan peribahasa Indonesia yang memiliki padanan mutlak dengan
peribahasa Jerman (2) di atas, yaitu: Anjing menyalak takkan menggigit.
Peribahasa syarat dengan pesan-pesan moral dan pedagogis di dalamnya,
oleh karena itu, tidak heran jika White (1987:152) memandang peribahasa sebagai
gudang tempat penyimpanan kebijaksanaan masyarakat penuturnya (repositories
of folk wisdom). Ambillah satu contoh peribahasa Indonesia “Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya”. Apabila dicermati peribahasa Indonesia
tersebut memiliki pesan moral bahwa setiap daerah memiliki adat istiadat yang
berbeda-beda sehingga mampu beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat pada
suatu daerah. Pesan moral yang sama dapat dilihat pada peribahasa Jerman
berikut:
(3) Mit
den Wölfen muss man heulen
Dengan art. serigala harus orang melolong
“Berbicara dengan serigala orang haruslah melolong”
5
Peribahasa Jerman (3) di atas menjelaskna bahwa jika seseorang berhadapan
dengan serigala, orang tersebut hendaknya tidak berbicara sebagaimana manusia,
akan tetapi hendaknya ia „melolong‟ sebagaimana serigala. Peribahasa tersebut
memiliki pesan moral, bahwa hendaknya seseorang mampu beradaptasi dengan
masyarakat dimana dia tinggal bersama. Dari uraian di atas, dalam menyampaikan
pesan moral yang berkaitan dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan,
baik peribahasa Jerman maupun peribahasa Indonesia sama-sama menggunakan
istilah hewan, namun hewan yang digunakan berbeda. Perbedaan ini dikarenakan
latar belakang budaya dan geografis penutur bahasa Jerman dan bahasa Indonesia
yang berbeda.
Pandangan yang mencoba menggambarkan bagaimana hubungan bahasa
dengan kebudayaan adalah padangan yang menganggap bahwa struktur bahasa,
berdasarkan konsep dan kategori kebudayaan yang terpadu dalam bahasa,
menentukan cara penuturnya berpikir, melihat dunia, dan menetukan perilakunya.
Pandangan yang juga menggambarkan hubungan satu arah antara bahasa dengan
kebudayaan ini disebut dengan pandangan deterministik, relativitas linguistik,
atau yang lebih dikenal lagi dengan hipotesis Sapir-Whorf. Pandangan ini disebut
relativitas linguistik karena beranggapan bahwa bahasa membentuk kebudayaan.
Versi lunak pandangan ini adalah menganggap bahwa bahasa sebagian
memengaruhi pikiran penuturnya, sehingga untuk memahami sekelompok
masyarakat bahasa dapat dilakukan dengan mempelajari pikiran-pikiran kolektif
(collective mind) dalam peribahasa mereka. Lebih lanjut Arimi (2000:1)
menjelaskan bahwa peribahasa merupakan salah satu domain untuk meneliti
6
pikiran-pikiran kolektif dari sekelompok masyarakat penutur suatu bahasa, karena
peribahasa merupakan refleksi kenyataan yang digunakan untuk berinteraksi oleh
dan atau kepada masyarakat pemakai bahasa. Hal ini sejalan dengan apa yang
dijelaskan oleh Kridalaksana (2008:189), bahwa penggunaan peribahasa
merupakan potret kehidupan sosial budaya suatu masyarakat bahasa yang telah
baku bentuknya dan dipakai dari generasi ke generasi.
Dilihat dari kedudukannya dalam genre percakapan sehari-hari peribahasa
termasuk dalam salah satu genre tradisi lisan, bersama yang lain seperti mitos,
legenda atau cerita rakyat, dan epik (Finnegan: 1992) via (Arimi: 2000:3).
Peribahasa merupakan karya anonim seperti legenda asal-usul kota Banyuwangi
(di Jawa Timur) dan cerita rakyat Malin Kundang (di Minangkabau). Tidak
seorang pun dapat menjelaskan siapa yang menciptakan pertama kali karya-karya
itu, termasuk penciptaan karya peribahasa ini, atau peribahasa itu. Yang dapat
dijelaskan antara lain adalah apa yang terkandung di dalam peribahasa dan di
balik pemakaian peribahasa tersebut.
Peribahasa yang menggunakan nama-nama hewan sangatlah banyak, baik
dalam peribahasa Jerman maupun peribahasa Indonesia. Seiring dengan gambaran
di atas, inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian
terhadap peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia dengan fokus penelitian
perbandingan peribahasa yang menggunakan kata anjing dan berusaha untuk
mengungkapkan interpretasi dari peribahasa-peribahasa tersebut serta menemukan
pesan-pesan moral yang tersimpan dalam peribahasa dari masyarakat penutur
bahasa Jerman dan bahasa Indonesia.
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk
menjawab rumusan-rumusan masalah berikut ini:
1. Bagaimanakah interpretasi peribahasa yang menggunakan kata anjing
dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia?
2. Pesan-pesan moral apa sajakah yang dapat ditemukan dari peribahasa yang
menggunakan kata anjing dalam peribahasa Jerman dan peribahasa
Indonesia?
3. Bagaimanakah kesepadanan peribahasa Jerman yang menggunakan kata
anjing yang memiliki kemiripan konsep semantik dalam peribahasa
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian
ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan interpretasi peribahasa yang menggunakan kata anjing
dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia.
2. Mendeskripsikan pesan-pesan moral yang dapat ditemukan dalam
peribahasa yang menggunakan kata anjing dalam peribahasa Jerman dan
peribahasa Indonesia.
3. Menemukan padanan manakah yang cocok bagi peribahasa Jerman yang
menggunakan kata anjing yang memiliki kemiripan konsep semantik
dalam peribahasa Indonesia.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan konsep teoritis pada ilmu
linguistik (terutama semantik kognitif). Pendekatan semantik kognitif yang
mempertimbangkan aspek sosio-budaya diharapkan mampu menguraikan prinsip
universal yang mendasari cara manusia memahami dan memberikan arti kepada
peribahasa. Pendekatan ini juga memperluas penelitian semantik peribahasa
mencakup tidak hanya unsur dan struktur linguistik, tetapi memperhitungkan juga
pengetahuan latar (background knowledge), keyakinan budaya (cultural beliefs)
serta budaya rakyat (folklore) yang terkandung dalam suatu peribahas sehingga
mampu membantu masyarakat dalam melakukan investigasi pesan-pesan moral
dalam masyarakat penutur bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Penelitian ini
secara signifikan juga diharapkan mampu meletakkan dasar kerangka analisis
bahasa yang berorientasi sosial budaya yang prinsipnya akan dapat memberi
kontribusi pada pemahaman ilmu humaniora.
Peribahasa merupakan salah satu fakta kebahasaan yang banyak
mengandung kearifan lokal seperti kedermawanan, keberanian, kebaikan,
persaudaraan dan sebagainya. Melalui kajian peribahasa ini diharapkan kearifan
lokal yang terkandung dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia bisa
menjadi pegangan hidup baik sebagai pengontrol sikap atau perilaku sehari-hari,
sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang banyak terkandung dalam peribahasa
tersebut senantiasa terlestarikan dengan baik dari generasi ke generasi sesuai
perputaran zaman. Manfaat praktis lain yang bisa diperoleh dari penelitian ini
diharapkan dapat membantu pembelajar bahasa Jerman dalam memahami dan
9
mengerti budaya kebahasaan yang diwakili oleh ungkapan-ungkapan khas
(peribahasa) yang berlaku dalam bahasa Jerman.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian yang bersentuhan dengan objek kajian yang mirip
dalam penelitian ini antara lain adalah Salmah (1984). Tulisan Salmah merupakan
kajian awal tentang peribahasa air, yaitu bentuk-bentuk peribahasa yang di
dalamnya terdapat kata air. Arimi (2000) dalam laporan penelitiannya ”PikiranPikiran Kolektif dalam Peribahasa Indonesia”. Arimi dalam laporan penelitiannya
ini, membahas peribahasa Indonesia yang secara khusus menjelaskan fungsi
peribahasa dalam masyarakat bahasa Indonesia dan mengklasifikasikan pikiranpikiran kolektif yang terkandung dalam peribahasa secara umum.
Penelitian lain yang obyek kajiannya berupa peribahasa Indonesia adalah
Santoso (1988) dalam tesis yang berjudul “Peribahasa Indonesia dalam Sastra
Indonesia Sebelum Perang, Sebuah Tinjauan Resepsi Sastra”. Tesis ini
menganalisis jenis makna dalam peribahasa, menganalisis makna peribahasa
Indonesia secara interpretatif, menganalisis pola perbandingan dalam peribahasa
Indonesia dan menunjukkan resepsi pengarang pada masa awal periode sebelum
perang dan akhir periode sebelum perang.
Penelitian peribahasa dalam bahasa Arab pernah dilakukan oleh Marfu‟ah
(2006) dengan judul “Penerjemahan Peribahasa Aarab ke dalam Bahasa Indonesia
Serta Implikasinya Bagi Pembelajaran (Studi Analitis Buku Peribahasa Arab
Terjemahan Muh.Abdai Rathomy)”. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui
10
karakteristik bagaimana sang penerjemah (Rathomy) menerjemahkan peribahasaperibahasa tersebut ke dalam bahasa Indonesia, khususnya teknik yang digunakan.
Karena dengan begitu bisa mengetahui prosedur maupun metode yang digunakan;
(2) mengetahui tema yang terkandung dalam peribahasa tersebut (sehingga bisa
lebih memahami apa yang dimaksud oleh peribahasa-peribahasa tersebut); (3)
mengetahui bagaimana mencari padanan peribahasa bahasa Arab tersebut di
dalam bahasa Indonesia; (4) mengetahui bagaimana implikasinya bagi
pembelajaran, khususnya pembelajaran terjemah.
Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan makna metaforis dan
pesan-pesan moral dalam peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia yang hanya
dibatasi pada peribahasa-peribahasa yang menggunakan istilah kata anjing (Canis
Familiaris) di dalamnya, serta mencari padanan semantik dari peribahasa Jerman
tersebut di dalam peribahasa Indonesia secara umum.
1.6 Landasan Teori
Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa landasan teori yang berkaitan
dengan penelitian ini yang akan digunakan dalam menganalisis data. Penjelasan
lebih lanjut tersaji di bawah ini:
1.6.1
Konsep Peribahasa
Ada cukup banyak konsep yang diberikan oleh para ahli bahasa mengenai
peribahasa. Kridalaksana (2008:189) misalnya, dalam kamus linguistiknya
mengemukakan bahwa peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang
telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun
11
temurun; dipergunakan untuk penghias karangan atau percakapan, penguat
maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup; mencakup
bidal, pepatah, perumpamaan, ibarat, pameo. Pengertian yang diberikan oleh
Kridalaksana tersebut bersifat teoritis dan praktis. Dikatakan bersifat teoritis
karena menurut pendapat Kridalaksana bentuk peribahasa adalah berupa kalimat
atau penggalan kalimat dengan ciri-ciri memiliki bentuk, makna dan fungsi yang
membeku. Kata ‟membeku‟ mengandung pengertian bahwa bentuk peribahasa
memang sudah tercipta sedemikian rupa, sehingga secara struktur tidak dapat
diubah atau dibolak-balik karena kalau dibolak-balik atau diubah akan
memberikan arti yang berbeda dan mungkin bukan lagi dinamakan peribahasa.
Demikian pula, makna dan fungsinya dalam masyarakat juga sudah ‟membeku‟,
dalam arti makna dan fungsi peribahasa dapat dipahami sesuai latar belakang
masyarakat di mana peribahasa itu tercipta dan digunakan. Sementara itu,
pengertian peribahasa yang diberikan Kridalaksana juga bersifat praktis.
Dikatakan demikian karena dalam pengertian tersebut tersirat dengan jelas apa
yang menjadi tujuan dan fungsi peribahasa, yaitu jika diterapkan dalam dunia
seni tulis maupun seni lisan, peribahasa dapat berfungsi sebagai penghias atau
penguat karangan atau percakapan, bahkan peribahasa dapat berfungsi sebagai
nasehat dan pedoman hidup bagi anggota masyarakat pengguna peribahasa.
Badudu, pada kata pengantar dalam kamusnya yang berjudul “Kamus
Peribahasa Indonesia” menyatakan bahwa peribahasa adalah semua bahasa, baik
kata atau frasa yang mengandung arti kiasan (Badudu, 2008:xi). Dengan
demikian, maka pepatah, ungkapan, perumpamaan, tamsil atau ibarat dapat
12
dikategorikan dalam bentuk peribahasa asalkan mengandung makna kias. Badudu,
dalam bukunya yang lain yang berjudul “Peribahasa Salah Satu Segi Bahasa yang
Masih Perlu Diberi Perhatian”, juga mempertegas kembali mengenai peribahasa
yang kemudian dibagi dalam beberapa ketegori seperti: ungkapan, perumpamaan,
tamsil atau ibarat, pepatah dan petitih. Menurut Badudu, (1983:1-3) pribahasa
adalah: Semua bentuk yang mengandung arti kiasan, di dalamnya termasuk
ungkapan berupa kata atau frasa, perumpamaan, tamsil atau ibarat, pepatah dan
petitih. Jadi ke dalam peribahasa itu termasuk pula pepatah, yaitu klausa atau
kalimat yang mengandung makna kiasan. Penjelasan Badudu di atas menjadikan
perbedaan idiom dengan peribahasa tidak jelas, karena keduanya mengandung arti
kiasan.
Poerwadarminta, dalam kamus Bahasa Indonesia, yang dikutip oleh Arimi
(2000:12), disamping memberikan batasan mengenai konsep peribahasa, yaitu
bahwa bentuk peribahasa adalah berupa kalimat atau kelompok kata yang
susunannya tetap dan biasanya mengiaskan maksud tertentu, ia juga membagi
peribahasa ke dalam bentuk ungkapan, bidal, dan perumpamaan. Meskipun
Poerwadarminta- dalam memberikan pengertian peribahasa- tidak menampakkan
tujuan dan fungsi peribahasa sejelas apa yang dikemukakan oleh Kridalaksana,
akan tetapi pengertian yang dikemukakan oleh Poerwadarminta memiliki
kesamaan dengan apa yang dikatakan oleh Kridalaksana, yaitu kedua ahli bahasa
tersebut telah memberikan gambaran mengenai bentuk peribahasa dan bahkan
telah membagi jenis-jenis peribahasa menjadi ungkapan, pepatah, bidal dan juga
perumpamaan. Bidal merupakan jenis peribahasa yang memiliki arti lugas,
13
memiliki irama dan rima, sehingga sering digolongkan ke dalam bentuk puisi.
Dalam kesusasteraan Melayu, bidal yang mengandung kiasan, sindiran atau
pengertian tertentu termasuk salah satu bentuk sastra yang tertua. Dalam
kehidupan sehari-hari, peribahasa jenis bidal ini cukup banyak jumlahnya. Dalam
tataran teori, makna bidal ini seringkali disamakan dengan pepatah atau ungkapan
(http://melayuonline.com/ind/literature/dig/611/peribahasa).
Pembagian peribahasa menjadi beberapa kategori tersebut sejalan juga
dengan apa yang dilakukan oleh Tarigan. Tarigan, sebagaimana yang dikutip oleh
Santoso dalam tesisnya, (1988:33) membagi peribahasa menjadi 3 (tiga), yaitu (1)
Ungkapan, yaitu perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan
sesuatu maksud dengan arti kiasan (2). Pepatah, yaitu sejenis peribahasa yang
mengandung nasehat/ajaran yang berasal dari orang tua-tua, dan (3).
Perumpamaan, yaitu ibarat, amsal, persamaan (perbandingan) atau peribahasa
berupa perbandingan. Meskipun sama-sama masuk dalam kategori peribahasa,
namun antara pepatah dan perumpamaan memiliki perbedaan. Perbedaan utama
antara pepatah dan perumpamaan terlihat jelas pada adanya pemakaian kata-kata
pembanding. Pada perumpamaan kata-kata pembanding dipakai secara eksplisit,
sedangkan pada pepatah tidak terdapat kata-kata pembanding, seperti: macam,
sebagai,
bagaikan,
laksana,
bak,
ibarat,
seumpama,
dan
umpama
(Santoso,1988:33). Di samping pengertian mengenai peribahasa di atas, ada pula
yang mendefinisikan peribahasa secara fungsional, yaitu peribahasa sebagai
kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan
14
maksud tertentu; ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas padat yang berisi
perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.
Selanjutnya, berkaitan dengan isi peribahasa dan sifat khas peribahasa
yang metaforis, Mieder (2004:4) menjelaskan:
Proverbs [are] concise traditional statements of apparent truths with
currency among the folk. More elaborately stated, proverbs are short,
generally known sentences of the folk that contain wisdom, truths, morals,
and traditional views in a metaphorical, fixed, and memorizable form and
that are handed down from generation to generation .
Gayut dengan keterangan Mieder di atas, Arimi (2000:17-18) menjelaskan
bahwa untuk memahami perbedaan konsep peribahasa dengan konsep idiom, dan
adagium, dapat dilakukan dengan cara melihat perbedaan dari ketiganya, misalnya
dari segi formal perbedaan idiom terletak pada sifat frasalnya, sedangkan
peribahasa pada sifat klausal atau sentensialnya. Oleh karena itu menurutnya,
peribahasa dapat berupa kalimat atau penggalan kalimat, hanya perlu diberi
tambahan harus memiliki verba atau kata yang difungsikan sebagai verba (yang
menduduki fungsi predikat). Sementara itu, untuk membedakan peribahasa
dengan adagium adalah dengan melihat maknanya yaitu adagium maknanya tidak
metaforis, sedangkan peribahasa bermakna metaforis, di samping itu adagium
dapat diartikan secara leksikal, sedangkan peribahasa bermakna kias (metaforis).
Adapun perbedaan antara peribahasa dengan idiom, menurut Chaer, (1994:296)
yang
dikutip
oleh
Mastoyo
dalam
laporan
penelitiannya
(2002:4),
mengungkapkan bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat di
”ramalkan”, baik secara leksikal maupun secara gramatikal, sedangkan yang
disebut peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari
15
makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan
maknanya sebagai peribahasa. Dalam penelitian ini, peribahasa yang diteliti oleh
penulis mengacu pada devinisi yang dibuat oleh Wolgang Mieder dan Sailal
Arimi.
1.6.2
Linguistik Kognitif
Linguistik Kognitif (LK) adalah pendekatan kajian bahasa alamiah.
Munculnya paham LK di akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an merupakan hasil
dari ketidakpuasan para ahli bahasa dengan pendekatan formal terhadap bahasa.
Studi LK berangkat dari asumsi bahwa bahasa merupakan pola pemikiran
manusia. Fokus kajian LK pada fungsi bahasa sebagai piranti untuk menata,
mengolah, dan menyampaikan informasi (Geeraerts & Cuyckens, 2007:3). Dalam
pandangan linguis kognitivisme bahasa merupakan “jendela” untuk melihat
fungsi-fungsi kognitif, menyediakan wawasan tentang alam, struktur dan
pengorganisasian pikiran serta ide-ide. LK berkutat pada kerangka kerja
konseptual pada otak manusia, serta bagaimana bahasa merefleksikan kerangka
kerja konseptual tersebut (Saeed, 1997:344).
Linguistik kognitif memandang bahwa semua struktur bahasa merupakan
suatu lambang, sehingga pada setiap bentuk bahasa dianggap mempunyai makna,
dan tidak ada bentuk tanpa makna. Sumbangan linguistik kognitif terhadap
penelitian kata sangat besar terutama dalam mendeskripsikan makna kata dalam
semantik kognitifnya. Manusia dalam memahami sesuatu yang baru yang belum
diketahui, biasanya dilakukan melalui berbagai pengasosiasian dengan hal-hal
telah diketahuinya. Asosiasi dilakukan untuk lebih mempermudah pemahaman
dan penguatan dalam ingatan. Misalnya, dengan cara membandingkan kesamaan
16
atau kemiripan antara sesuatu hal dengan hal yang lain yang sudah diketahui; atau
melalui pengkategorian, menghubungkan kedekatan, baik secara ruang maupun
waktu antara satu hal dengan yang lainnya. Linguistik kognitif memandang
bahwa, makna suatu kata tidak muncul begitu saja, melainkan pasti ada yang
memotivasi dan melatar belakanginya. Apakah muncul karena pengaruh
perkembangan jaman, perubahan baru dalam suatu kata pasti ada pendorongnya.
Misalnya, kata memikul mulai dari memikul kayu, memikul beban, sampai pada
memikul tanggung jawab pasti ada sesuatu yang memotivasinya, dan bentuk
hubungan makna-makna tersebut bisa dideskripsikan.
1.6.3
Peribahasa Dari Sudut Pandang Semantik Kognitif
Dari sudut kognitif, peribahasa sangat erat kaitannya dengan proses
mental. Mengacu pada satu fakta atau situasi khusus, kita dapat memahami
berbagai fakta atau situasi lain. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan satu
adegan (scene) tentang satu peristiwa dalam pikiran kita dengan hanya merujuk
secara tidak langsung kepada satu peristiwa atau fakta lain. Misalnya, dalam
peribahasa “Serigala berbulu domba”, dalam kognisi masyarakat penutur bahasa
Indonesia serigala adalah hewan yang kejam dan pembunuh, sedangkan domba
adalah hewan yang jinak dan biasa berinteraksi dengan manusia. “Serigala
berbulu domba” adalah serigala yang berpenampilan selayaknya domba.
Selanjutnya, fakta ini „ditransfer‟ pada sifat seseorang yang dalam sisi „luar‟ ia
tampak baik (seperti domba) padahal dalam sisi „dalam‟ ia adalah orang yang
jahat (seperti serigala). Peribahasa ini menggambarkan bagaimana orang yang
jahat namun berpenampilan atau bersikap seperti orang yang baik. Dari sini
17
tampak bagaimana masyarakat penutur bahasa Indonesia mengkonseptualisasikan
orang yang jahat namun tampak baik.
Fokus utama semantik kognitif adalah kajian terhadap struktur konseptual
dan proses konseptualisasi. Ini berarti bahwa pakar semantik kognitif tidak
mengkaji makna linguistik semata, tetapi lebih kepada apa yang diungkap terkait
dengan hakitat sistem penataan konseptual manusia melalui bantuan bahasa
(Evans & Green, 2006:170).
Beberapa pertanyaan muncul apakah kebiasaan dan karakteristik hewan
yang digunakan untuk mengkonseptualisasikan manusia dalam peribahasa adalah
universal atau khusus kepada budaya tertentu. Misalnya, apakah semua peribahasa
dalam bahasa-bahasa dunia mengaitkan singa atau harimau dengan „keberanian‟?
Atau mungkinkah sifat „berani‟ dikaitkan dengan hewan selain singa atau harimau
dalam budaya dan bahasa yang berbeda. Secara umum telah diketahui ada
perbedaan dalam pandangan serta penilaian masyarakat terhadap hewan tertentu.
Misalnya, anjing menjadi hewan peliharaan favorit dalam budaya barat, tetapi
tidak (jarang) menjadi hewan peliharaan dalam masyarakat timur. Dalam hal ini,
Lakoff & Turner (1989: 193-194) menjelaskan beberapa proposisi umum tentang
bagaimana kita melihat dan memikirkan hewan tertentu dan bagaimana kita
menggunakan pengetahuan berbasis budaya rakyat dalam pembangunan skema
metaforikal untuk hewan tersebut. Proposisi umum tentang hewan yang diusulkan
mereka yaitu: singa adalah hewan yang berani dan mulia; rubah adalah hewan
yang cerdik; anjing adalah hewan yang setia dan dapat diharapkan; kucing adalah
hewan yang mudah berubah hati dan mandiri; serigala adalah hewan yang kejam
18
dan pembunuh; gorila adalah hewan cenderung bergaduh dan buas; dan babi
adalah hewan yang kotor dan tidak teratur. Pertanyaannya apakah proposisi umum
ini merupakan sesuatu yang bersifat universal?
Semantik kognitif bisa dikaji dari dua pendekatan, pendekatan diakronis
maupun pendekatan sinkronis. Dalam perspektif diakronis, semantik kognitif erat
kaitannya dengan historis-filologis semantik (historical-philological semantics).
Dalam perspektif sinkronis mekanisme kognitif berkutat dalam kajian metafora
dan metonimia (Geeraerts, 2010: 203). Peribahasa yang menggunakan kata anjing
khususnya akan diteliti dengan menguraikan mekanisme kognitif serta peran
mekanisme-mekanisme ini dalam pembentukan maksud sesuatu peribahasa.
Pendekatan kognitif semantik yang mempertimbangkan aspek sosio-budaya
mampu untuk menguraikan prinsip universal yang mendasari cara manusia
memahami dan memberikan arti kepada peribahasa.
1.6.4
Makna Figuratif (Makna Kiasan)
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa peribahasa tidak
dapat terlepas dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan makna. Lapisan makna
adalah lapisan isi yang terkandung dalam bentuk-bentuk bahasa tersebut yang
dapat menimbulkan reaksi tertentu dalam pikiran pendengar atau pembaca.
Mengenai lapisan yang kedua ini, Keraf (2007:25-26), memberikan pengertian
makna sebagai hubungan antara bentuk dan hal atau barang yang diwakili
(referen). Hubungan antara bentuk-bentuk dan referenya itulah yang dinamakan
makna. Jadi untuk mengetahui makna sebuah kata atau kalimat –berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh Keraf–, seseorang harus mengetahui aspek
19
bentuk referennya, meskipun pada kenyataanya, tidak semua kata mesti
mempunyai referen. Keharusan untuk mengetahui bentuk referan kata (dalam
usaha untuk mengungkap makna sebuah kata), yaitu dikarenakan bahwa referensi
(acuan) itu dipakai untuk menyatakan relasi antara bahasa dengan dunia
pengalaman. Makna merupakan unsur yang bersifat internal. Dikatakan internal
karena makna merupakan unsur yang ada di dalam bahasa. Makna berbeda
dengan maksud. Maksud merupakan unsur eksternal atau unsur yang berada di
luar bahasa. Maksud berhubungan dengan penutur dan bersifat subyektif (Wijana
dan Rohmadi, 2008:19).
Salah satu jenis makna adalah makna figuratif (kiasan) (Chaer, 2009: 77).
Makna kiasan (figurative meaning, transferred meaning) adalah pemakaian
leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh kalimat „Tim SAR
menyusuri kaki gunung selamet untuk mencari pendaki yang tersesat tiga hari
yang lalu‟, frasa „kaki gunung‟ tidak dimaknai kaki dari sebuah gunung
sebagaimana kaki manusia, namun bermakna bagian bawah atau lereng dari
sebuah gunung. Selain itu, makna kiasan terdapat pula pada peribahasa atau
perumpamaan. Misalnya, walau seribu anjing menyalak, gunung takkan runtuh.
Makna figuratif muncul dari bahasa figurative (figurative language) atau bahasa
kiasan. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang
digunakan
sehari-hari,
penyimpangan
dari
bahasa
baku
atau
standar,
penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya
memperoleh efek tertentu atau makna khusus (Abrams, 1981:63)
20
Bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan. Altenbernd yang
dikutip oleh Pradopo (1994:93) membedakan bahasa kiasan dan sarana retoris
(rethorical device). Sejalan dengan pendapat Altenbernd, Abrams (1981:63)
mengelompokkan gaya bahasa kiasan dan sarana retoris ke dalam bahasa figuratif.
Menurutnya, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bahasa penyimpangan dari
bahasa sehari-hari atau dari bahasa standar untuk memperoleh efek tertentu.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abrams (1981:63). Figurative language is
a deviation from what speakers of a language apprehends as the ordinary, or
standard, significance or sequence of words, in order to achieve some special
meaning or effect.
Bahasa kiasan atau figure of speech atau oleh Kridalaksana disebut sebagai
figure of rhetoric atau rhetorical figure yaitu alat untuk memperluas makna kata
atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau
membagi serta mengasosiasikan dua hal. Menurut Abrams (1981:63) bahasa
figuratif (figuratif language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh
penutur
dari
pemahaman
bahasa
yang
dipakai
sehari-hari
(ordinary),
penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu
penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus. Bahasa
kias
atau
figuratif
menurut
Abrams
(1981:63-65)
terdiri
atas
simile
(perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke, dan personifikasi. Sementara itu
Pradopo (1994:62) membagi bahasa kias ke dalam tujuh jenis, yaitu
perbandingan, metafora, perumpamaan, epos, personifikasi, metonimi, dan
alegori.
21
1.6.5
Metafora
Verhaar (1996) via (Wijana, 2008:48) mengungkapkan bahwa metafora
terbentuk karena adanya penyimpangan makna kepada sesuatu referen yang lain.
Penyimpangan makna tersebut tidak bersifat semena-mena (arbitrer), tetapi
berdasarkan atas kesamaan tertentu, seperti kesamaan sifat, bentuk, fungsi, tempat
atau kombinasi di antaranya. Wijana (2008:50) mengatakan; bila kata-kata
nonfiguratif
dengan
referennya
secara
langsung
(konjungtif),
metafora
berhubungan dengan referennya secara tidak langsung (disjungtif). Sehubungan
dengan ini, Wahab (1990:142) mendefinisikan metafora sebagai ungkapan
kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang
yang dipakai, karena makna yang dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan
kebahasaan itu. Dengan kata lain, metafora ialah pemahaman dan pengalaman
akan sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal yang lain.
Senada dengan pemikiran Wahab, dalam kamus linguistik, Kridalaksana
(2008:152) mengemukakan; bahwa metafora (metaphor) berarti pemakaian suatu
kata atau ungkapan untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau
persamaan; misalnya: kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki
manusia. Pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk obyek atau konsep lain ini
mengandung arti bahwa suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya
digunakan untuk makna literal atau harfiah dialihkan kepada makna lain, yaitu
makna kias.
Menurut Wijana (2008:49), bahwa dalam metafora sekurang-kurangnya
terdapat tiga hal, yaitu ada yang dibandingkan (pebanding), ada yang digunakan
22
untuk membandingkan (pembanding), dan ada kesamaan atau kesesuaian antara
pembanding dengan pembandingnya (persamaan).
Paparan di atas merupakan teori mengenai komponen metafora yang
dilahirkan dari pandangan metafora linguistik. Pada metafora linguistik komponen
metafora terdiri dari tenor (pebanding), vehicle (pembanding), dan ground
(persamaan). Misalnya dalam contoh berikut: Dia memang benar-benar serigala
berbulu domba. Dalam serigala berbulu domba pebandingnya adalah orang yang
antara penampilan fisik dan hakekat dirinya sangat bertolak belakang. Pada
penampilan fisiknya, orang tersebut tampak baik, namun pada hakekatnya orang
tersebut sangatlah jahat. Pembandingnya adalah binatang serigala yang
merupakan hewan liar dan suka memangsa hewan lain, namun serigala tersebut
berbulu domba sehingga tampak seperti hewan yang jinak dan tidak memangsa
hewan lain. Persamaannya adalah kejahatan pada dirinya ditutupi dengan
penampilan fisik yang baik.
Dari sudut pandang lain, yakni dari sudut pandang metafora konseptual,
memandang metafora hanya terdiri dari dua ranah konseptual, yaitu ranah sumber
(source domain) dan ranah target (target domain). Menurut Kövecses (2002:4),
dalam metafora konseptual salah satu ranah (domain) dimengerti atau dijelaskan
oleh ranah yang lain. Teori ini juga disebut teori metafora kognitif, karena
dikembangkan oleh linguis kognitif, seperti Lakoff dan Johnson (1980) lewat
buku Metaphor We Live By yang menghasilkan pandangan bahwa metafora
menayangkan peta kognitif dari satu ranah pebanding kepada ranah pembanding
sehingga menyebabkan pemabanding terikat dalam pengalaman fisik spasial
23
melalui ranah pebanding. Konsekuensinya adalah skema-skema yang menengahi
di antara tingkat konseptual dan inderawi dalam ranah pebanding menjadi aktif,
dan begitu juga dalam ranah pembanding. Lebih jauh Kövecses (2002:17-28)
menjelaskan, bahwa berdasarkan penelitiannya, hal-hal yang paling banyak
menjadi ranah sumber (source domain) dalam metafora antara lain; tubuh
manusia, kesehatan dan penyakit, hewan, mesin dan peralatan, bangunan dan
konstruksi, tumbuhan-tumbuhan, olah raga dan permainan, makanan dan
masakan, uang dan transaksi ekonomi, kekuatan, cahaya dan kegelapan, panas dan
dingin, dan pergerakan dan arah. Adapun hal-hal yang paling banyak menjadi
ranah target (target domain) adalah; emosi, hasrat, moral, pikiran, sosial, agama,
politik, ekonomi, hubungan antar manusia, komunikasi, even dan aksi, waktu, dan
kehidupan dan kematian.
Dilihat dari segi sintaktis, metafora dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
(1) metafora nominatif yaitu metafora yang lambang kiasnya hanya terdapat pada
nomina kalimat, dan karena nomina posisinya dalam kalimat berbeda-beda,
metafora nominatif dapat dibagi lagi menjadi metafora nominatif subjektif,
metafora objektif atau yang biasa disebut metafora nominatif komplementatif, (2)
metafora subjektif, yaitu metafora yang lambang kiasnya muncul hanya pada
subjek kalimat, sementara komponen-komponen kalimat yang mengandung
metafora tetapi dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna langsung.
(3) metafora predikatif, yaitu metafora yang lambang kiasnya hanya terdapat pada
predikat kalimat, sedangkan subjek dan komplemen kalimat (jika ada) masih
dinyatakan dalam makna langsung, dan (4) metafora kalimat, yaitu metafora yang
24
seluruh lambang kiasnya jenis ini tidak terbatas pada nominatif (baik subjek
maupun objek) dan predikatnya saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat
metaforis itu merupakan lambang kias (Wahab, 1990:142-144).
Secara semantik, metafora selalu mengandung dua macam makna, yaitu
makna kias dan makna yang dimaksud. Makna yang dimaksud dapat diungkapkan
melalui serangkaian prediksi yang dapat diterapkan bersama pada lambang atau
simbol kias dan makna langsung. Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh
pemakai bahasa dan para penulis di pelbagai bahasa, pilihan citra oleh Ulmann
(1977)
dibedakan
atas
empat
kelompok,
yakni
(1)
metafora
bercitra
antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke
konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.
Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para
pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang
terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam
banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut gua, mata pisau, kepala keluarga,
dan lain-lain.
Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk
menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai
bahasa, misalnya kambing hitam, mengadu domba, otak udang, dan lain-lain.
Metafora dengan unsur binatang juga dikenakan pada tanaman, misalnya kumis
kucing, lidah buaya, kuping gajah. Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan
oleh Parera (2004:120) bahwa manusia disamakan dengan sejumlah takterbatas
binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau, singa, buaya, dst, sehingga dalam
25
bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa “Seperti kerbau dicocok hidung”,
ungkapan “buaya darat”, dan ungkapan makian ”anjing, lu”, dan seterusnya.
Metafora bercitra abstrak ke konkret adalah mengalihkan ungkapanungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan
ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran
etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan
oleh Parera, secepat kilat „satu kecepatan yang luar biasa‟, moncong senjata
„ujung senjata‟, dan lain-lain.
Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora
berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain.
Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan “manis dilihat”
untuk pakaian walaupun makna manis selalu dikatkan dengan indra rasa; “panas
di telinga” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra pendengaran.
1.6.6
Metafora Konseptual (Conceptual Metaphor)
Salah satu teori metafora yang dijadikan dasar analisis data dalam
penelitian ini adalah teori metafora yang diprakarsai oleh Lakoff dan Johnson
melalui buku mereka yang berjudul Metaphor We Live By pada tahun 1980 yang
menyatakan bahwa metafora merefleksikan apa yang kita rasakan, kita alami, dan
apa yang kita pikirkan dalam kehidupan sehari-hari. Metafora bukan hanya
sebagai alat untuk menyatakan ide melalui bahasa, tetapi juga alat untuk
memikirkan sesuatu, menata, dan merekamnya melalui bahasa. Sebagaimana yang
diterangkan oleh Lakoff dan Johnson (2003: 4-8), bahwa kita tidak hanya
menggunakan metafora TIME IS MONEY secara linguistik, tetapi kita
26
memikirkannya dan mengkonseptualisasikannya sehingga dapat kita simpulkan
TIME sebagai target dan MONEY sebagai sumber, yang terpikirkan adalah
„waktu‟ sebagai komoditi yang berharga dan sumber yang terbatas sebagaimana
„uang‟. Dengan cara pandang demikian maka muncullah ungkapan metaforis
dalam komunikasi sehari-hari seperti “How do you spend your time?”, This
gadget will save you hours”, “I don‟t have time to give you”.
Masih berkaitan dengan metafora konseptual, Lakoff dan Johnson (2003:
4-8) menunjukkan contoh yang lain, yakni metafora ARGUMENT IS WAR.
Formulasi metafora ini ditarik dari bahasa sehari-hari berdasarkan yang dialami
dan dilakukan penutur bahasa dalam berargumentasi, misalnya, “He attack every
weak point in my argument”, “I‟ve never won an argument with him”, “If you use
that strategy, he‟ll wipe you out”. Kalimat-kalimat di atas mengandung ungkapanungkapan metaforis yang mengkonstruksikan suatu konsep, bahwa argumen
adalah perang. Ungkapan-ungkapan berikut semakin memperjelas bahwa argumen
adalah suatu peperangan, mempertahankan argumen, menyerang argumen
lawan, menggunakan strategi dalam berargumen, memenangkan argumen,
mengalahkan argumen lawan, dan seterusnya. Hal-hal yang dialami dalam
berargumen seperti ketika terjadi perang. Apa yang terjadi dalam perang adalah
mempertahankan
negara,
menyerang
musuh,
menggunakan
strategi,
memenangkan perang, mengalahkan lawan, dan seterusnya.
Dengan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan alat
untuk mengkonseptualisasikan apa yang dialami, dilakukan, dan yang dipikirkan.
Dengan kata lain, bahasa menunjukkan bagaimana manusia mengkonstruksi
27
idenya.
Metafora
konseptual
bersifat
dinamis,
karena
metafora
ini
memanisfestasikan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan penggunanya
yang selalu berubah sesuai dengan pikiran, perasaan, dan pengalaman yang
berbeda di setiap budaya. Dalam masyarakat Indonesia ada metafora konseptual
CINTA ADALAH TUMBUHAN, berdasarkan metafora konseptual tersebut
muncullah ungkapan-ungkapan berdasarkan apa yang dilihat, dipikirkan,
dirasakan, dan dialami dalam mengkonseptualisasikan cinta, misalnya, cintanya
bercabang dua, hatinya berbunga-bunga, rasa cinta ini tumbuh saat kami masih
di bangku kuliah, Budi adalah buah cinta kami, dan seterusnya.
1.6.7
Metafora Rantai Besar (The Great Chain Metaphor)
Metafora Rantai Besar (The Great Chain Metaphor) terdiri dari empat
bagian: Rantai Besar Makhluk (Great Chain of Being), pemahaman alamiah sifat
dasar dari suatu benda (The Nature of Things), metafora Generik adalah Spesifik
(Generic is Specific) dan Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity) (Lakoff dan
Turner, 1989: 171-172). Keempat komponen ada secara independen, mereka
hanya dapat bekerja sama untuk menafsirkan peribahasa, meskipun dalam
beberapa kasus tidak semua komponen ini dilibatkan dalam memahami peribahasa
(Honeck, 1997: 147, Lakoff & Turner, 1989: 165)
Lakoff dan Turner (1989: 166) menyatakan bahwa model Great Chain of
Being menampilkan berbagai jenis makhluk dan sifat mereka dalam urutan
hierarkis. Konsep ini berisi skala bentuk makhluk seperti manusia, hewan,
tumbuhan, benda mati, serta skala sifat-sifat yang sesuai fitur bentuk makhluk,
seperti perilaku naluriah, fungsi biologis, dan atribut fisik (Lakoff dan Turner,
28
1989: 167). Properti tertinggi pada makhluk menentukan di mana posisinya dan
posisi dalam hierarki ini tidak bisa ditukar (Lakoff & Turner, 1989: 168). Sebagai
contoh, peribahasa Anjing menyalak di ekor gajah. Kita mempunyai pemahaman
metaforikal dalam Rantai Besar Makhluk (kedudukan gajah dan anjing dalam
alam hewan) gajah itu lebih besar dan kuat daripada anjing (yang boleh dianggap
lebih rendah dan lemah dibandingkan dengan gajah dalam hierarki alam hewan)
dari sudut metafora Rantai Besar Makhluk. Berdasarkan pemahaman metaforik ini
(yang juga berdasarkan pemahaman budaya masyarakat), kita boleh memetakan
hewan dalam hierarki bawah (yang kecil dan lemah) melawan hewan yang berada
dalam hierarki yang lebih tinggi (yang besar dan kuat). Seterusnya kita boleh
memetakan hewan yang kecil dan lemah (anjing) kepada manusia yang
lemah/hina dan hewan yang besar dan kuat (gajah) kepada manusia yang
kuat/mulia.
Teori umum dari The Nature of Things mengatakan bahwa berbagai
bentuk makhluk (hidup/mati) memiliki esensi yang berbeda dan itu adalah esensi
yang menentukan bagaimana makhluk ini berperilaku atau berfungsi (Lakoff &
Turner, 1989: 169). Dengan demikian, atribut bentuk yang memutuskan cara
berperilaku, dan atribut dasar menentukan perilaku dasar dan atribut umum
memutuskan perilaku umum (Lakoff & Turner, 1989: 170). Sebagi contoh, batu,
benda yang memiliki atribut dasar keras sehingga ia akan langsung tenggelam bila
dimasukkan ke dalam air. Dengan pemahaman konsep The Nature of Things kita
bisa memahami makna peribahasa Seperti batu jatuh ke lubuk, yaitu suatu
29
ungkapan yang bermakna sesuatu yang telah hilang/lenyap dan takkan muncul
kembali.
Metafora Generik adalah Spesifik (GENERIC IS SPECIFIC metaphor)
memetakan satu skema-spesifik dari ranah sumber (source domain) secara paralel
pada skema-generik dari ranah target (target domain) (Lakoff & Turner, 1989:
162). Dengan cara ini, skema-generik pada ranah target dipahami dengan
mengacu pada skema-spesifik pada ranah sumber. Dengan konsep metafora ini
memungkinkan kita untuk memahami keseluruhan kategori pada situasi yang
umum dari satu situasi khusus atau bahkan memahami peribahasa tanpa adanya
situasi tertentu (Lakoff & Turner, 1989: 165). Misalnya dari peribahasa Menari
yang tak pandai, dikatakan lantai nan terjungkit. Dari skema-spesifik menari
yang tak pandai, bisa kita petakan pada skema-generik, seperti orang yang
memiliki kekurangan, orang yang melakukan kesalahan, orang yang tidak
memiliki kompetensi tertentu, dan seterusnya. Dari skema-spesifik dikatakan
lantai nan terjungkit, kita juga bisa memetakan pada skema-generik, seperti orang
yang menyalahkan orang lain, orang yang menyalahkan situasi, orang yang tidak
bertanggung jawab, orang yang tidak mau mengakui kekurangannya, dan
seterusnya.
Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity) menuntut pembicara atau
penulis untuk bersikap informatif sesuai yang diperlukan untuk tujuan tertentu dan
tidak lebih informatif daripada yang diperlukan (Lakoff & Turner, 1989: 171).
Sebagai contoh, jika pedagang buah bertanya, “Berapa kilo jeruk yang ingin Anda
beli?”, dan jawaban pelanggan “dua”, kita akan mengatakan bahwa dialog ini
30
memenuhi maksim kuantitas, sebagai pelanggan memberikan informasi yang
cukup untuk si penjual, dan tidak lebih, tidak kurang. Berkaitan dengan
penggunaan peribahasa dalam komunikasi, penggunaan peribahasa yang tepat
dalam memberi penilaian atau kontrol atas sikap dan tingkah laku sangat mutlak.
Dengan demikian, Metafora Rantai Besar (The Great Chain Metaphor)
memberikan kita kemungkinan untuk memahami atribut manusia dalam hal
atribut bukan manusia dan sebaliknya (Lakoff & Turner, 1989: 172). Berdasarkan
pernyataan ini, kita dapat menyimpulkan metafora konseptual MANUSIA
ADALAH HEWAN. Untuk memahami atribut manusia dalam hal atribut hewan,
hewan harus dipersonifikasikan terlebih dahulu, dan kemudian sifat karakter
manusia yang telah dipetakan ke hewan harus dipetakan kembali ke manusia
(Lakoff & Turner, 1989: 196) . Kövecses (2002: 125) juga menyatakan pendapat
yang sama ketika ia mengatakan "hewan yang dipersonifikasikan terlebih dahulu,
dan kemudian 'karakteristik berbasis manusia yang digunakan untuk memahami
perilaku manusia".
1.7 Metode Penelitian
Metode analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode
analisis deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teks bahasa
secara alamiah yang berdasarkan korpus yang kemudian dianalisis dan
menghasilkan sebuah kesimpulan atau pola. Analisis deskriptif yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskriptif
kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menginterpretasi
31
peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia, sedangkan analisis deskriptif
kuantitatif digunakan untuk membandingkan kedua peribahasa yang mencakup
cara penilaian masyarakat (value) terhadap hewan anjing dan pemetaan hewan
anjing terhadap manusia yang meliputi kategori penampilan (Appearance),
tingkah laku (Behavior), karekter (Characteristic), dan hubungan manusia dengan
hewan (Relation) (Wierzbicka: 1985) via (Hsieh: 2004: 28)
Sementara itu, data yang dijadikan bahan penelitian ini adalah data tulis
peribahasa Jerman dan peribahasa Indonesia. Peribahasa Jerman yang dijadikan
data adalah peribahasa yang terkumpul dalam buku karya Horst Beyer dan
Annelise Müller yang berjudul “Sprichwörterlexikon: Sprichwörter und
sprichwörtliche Ausdrücke aus deutschen Sammlungen vom 16. Jahrhundert bis
zur Gegenwart” yang diterbitkan oleh VEB Bibliographisches Institut Leipzig
pada tahun 1984. Adapun peribahasa Indonesia yang akan dijadikan sumber data
adalah kumpulan peribahasa yang ditulis oleh Nur Arifin Chaniago, dkk. dalam
bentuk buku yang berjudul ”3700 Peribahasa Indonesia“ yang diterbitkan oleh
penerbit Pustaka Setia Bandung pada tahun 1998 dan Kamus Peribahasa yang di
sunting oleh Sarwono Pusposaputro yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka
Utama tahun 2001.
Metode penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
Pertama, data disediakan dengan metode simak dari buku-buku peribahasa dalam
bahasa Jerman maupun bahasa Indonesia, kemudian data verbal peribahasa
dibatasi pada peribahasa-peribahasa yang menggunakan kata anjing (Canis
Familiaris) saja. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan kerangka
32
semantik kognitif untuk memperlihatkan nilai sosial dan budaya hewan anjing
tersebut dalam masyarakat penutur bahasa Jerman dan penutur bahasa Indonesia
dari sudut peribahasanya. Selanjutnya peribahasa-peribahasa yang menggunakan
kata anjing yang telah dikumpulkan akan diteliti dengan menguraikan mekanisme
kognitif (Conceptual Metaphor dan Great Chain Metaphor) serta peran
mekanisme-mekanisme ini dalam pembentukan makna suatu peribahasa.
Pendekatan kognitif semantik yang mempertimbangkan aspek sosio-budaya
mampu untuk menguraikan prinsip universal yang mendasari cara manusia
memahami dan memberikan arti kepada peribahasa.
Dalam bukunya yang berjudul A Proverb in Mind, Honeck (1997)
memaparkan bahwa ada tiga pendekatan yang bisa digunakan untuk
menginterpretasi makna peribahasa. Pendekatan pertama adalah The Extended
Conceptual Base Theory (ECBT), pendekatan ini diprakarsai oleh Honeck dan
Temple pada tahun 1994. Pendekatan yang kedua adalah The Great Chain
Metaphor Theory (GCMT), pendekatan GCMT ini diprakarsai oleh Lakoff dan
rekan sejak tahun 1980 (Lakoff, 1987; Lakoff, 1993; Lakoff & Johnson, 1980;
Lakof & Turner, 1989), dan pendekatan yang ketiga adalah The Dual Coding
Theory (DCT) yang digagas oleh Walsh pada tahun 1988. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan pendekatan GCMT yang digagas oleh George Lakoff
bersama Mark Johnson dan Mark Turner. Berikut ini diagram langkah-langkah
dalam menginterpretasi makna peribahasa dengan pendekatan GCMT:
33
CONTEXT
KNOWLEDGE
 Conceptual Metaphor
 Folk Theories
PROVERB
 Moral Precepts
 Frame Semantics
 Great Chain
-------
PROVERB
Specific
schema
Generic
schema
---
Istantiation
Interpretation
 Nature-of-Things
 Etc.
GENERIC-ISSPECIFIC
METAPHOR
PRAGMATICS
PRINCIPLES
Gambar 1.1 Skema Analisis Peribahasa
(disalin utuh dari FIG.4.2 Diagram of the great chain metaphor theory, Honeck: 1997: 152)
Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human
instrument). Pengetahuan penulis tentang bahasa Jerman, terutama yang berkaitan
dengan metafora menjadi sangat penting. Selain itu, pengetahuan tentang
kebudayaan Jerman merupakan hal yang juga penting. Penulis adalah seorang
pengajar bahasa Jerman dan dianggap memiliki pengetahuan tentang bahasa dan
budaya Jerman. Dalam menginterpretasi peribahasa Jerman, penulis selalu
berdiskusi dengan penutur asli bahasa Jerman, yaitu Svenja Völkert, M.A. yang
merupakan Lektorin DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst) yang
sedang bertugas di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jerman Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY). Hasil interpretasi makna peribahasa yang telah
didiskusikan ini kemudian divalidasi ke beberapa penutur asli bahasa Jerman.
Untuk memperoleh kesepadanan semantis peribahasa antara bahasa Jerman dan
34
bahasa Indonesia digunakan metode hubungbanding dengan cara mentransposisi
peribahasa satu ke peribahasa lainnya berdasarkan ekuivalensi semantik.
1.8 Sistematika Penyajian
Bahasan mengenai Kaji Banding Peribahasa Yang Menggunakan Kata
Anjing Dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia ini dibagi ke dalam lima bab.
Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan
sistematika penyajian. Bab II akan membahas interpretasi peribahasa yang
menggunakan kata anjing yang digunakan dalam peribahasa Jerman dan
peribahasa Indonesia serta mendeskripsikan konotasi dari hewan anjing tersebut.
Bab III akan membahas pesan-pesan moral masyarakat penutur bahasa Jerman
dan bahasa Indonesia yang terdapat dalam peribahasa mereka yang menggunakan
kata anjing. Bab IV akan membahas padanan semantik dari peribahasa Jerman
yang menggunakan kata anjing ke dalam peribahasa Indonesia secara umum. Dan
bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Download