3. M. Eko Purwanto - universitas islam | as

advertisement
HUBUNGAN KONFIGURASI POLITIK HUKUM DALAM
MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT INDONESIA
Oleh : Muhammad Eko Purwanto, SE1
Abstract
Efforts for the welfare of our nation has been done by our predecessors since the
beginning of independence, the next leader must continue and even increase
through the role and his work respectively. Agrarian one of the sectors that can
realize the ideals of the proclamation, considering the life of our nation is still
largely agrarian patterned. Efforts establishment of regulatory areas that favor the
embodiment of the people's welfare has been done by the government in every era,
namely: a. The period at the end of the New Order government; b. The period at
the beginning of the 1998 reform; and c. The period after the birth of TAP MPR
No. IX / MPR / 2001.
Key words: Relationship, Configuration of Law in Politics, Public Walfare
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesejahteraan masyarakat telah dicanangkan oleh para ‘Founding Father’
Bangsa Indonesia, secara Politik sejak tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk
“Deklarasi Kemerdekaan.” Sementara itu, secara Juridis, pada tanggal 18 Agustus
1945, tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tercantum di
dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang selengkapnya
berbunyi: ”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan itu dalam
suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada . . . . . . . . . dan seterusnya“.
Guna mewujudkan maksud sebagaimana tersebut pada alinea 4 Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945, para pendahulu kita mengamanatkan kembali pada
Konstitusi Negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Perlu
diingat bahwa, momentum pertama upaya untuk mewujudkan kesejahteraan
1
Muhammad Eko Purwanto, adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah, Jakarta. 33 rakyat melalui pembentukan aturan adalah melalui undang Undang No. 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih popular dengan
sebutan UUPA. Namun, dalam perjalanannya UUPA belum berpihak kepada
masyarakat kecil, yang menjadi kelompok terbesar dari penduduk di negeri ini.
Sementara, banyak kalangan berasumsi bahwa di era 1960, saat terbentuknya
UUPA, Bangsa Indonesia memiliki prestesi besar karena telah mampun
melakukan perombakan yang signifikan, terhadap hukumagraria peninggalan
Pemerintah Kolonial.
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, maka hakikat UUPA itu secara
perlahan dikembalikan kepada maksud dan tujuannya semula, yang pada intinya
sektor keagrariaan (pertanahan) merupakan salah satu sektor yang akan turut
menyumbang terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera,
adil dan makmur.2
Tentu saja sektor-sektor lainnya, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
sosial, juga memberi kontribusi sangat berarti bagi Kesejahteraan rakyat, seperti
halnya sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor perekonomian dan lain-lain.
Oleh karena itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang sejak awal berciri populis, sebagaimana
tampak dalam prinsip-prinsip dasarnya, dalam perjalanan waktu mengalami
berbagai tantangan seiring dengan pergeseran kebijakan pertanahan yang terwujud
dalam berbagai peraturan pelaksanaan terkait, karena berbagai pertimbangan dan
hambatan.3
Sejalan dengan era pergantian pemerintahan, pemerintah selanjutnya sadar
dan akan meneruskan kembali misi untuk mensejahterakan masyarakat banyak
yang diemban oleh UUPA itu sendiri. Pemimpin dan bangsa ini telah menyadari
nya bahwa koreksi dan pembenahan atas produk perundang-undangan bidang
pertanahan mutlak harus segera dilaksanakan. Kemudian, langkah konkrit yang
diambil adalah diawali oleh lembaga Tinggi Negara Majelis Permusyawaratan
Rakyat (di era Orde Baru Lembaga Tetinggi Negara), yaitu dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Lembaga Permusyswaratan Rakyat berpendapat bahwa untuk menetapkan
arah dan dasar pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan
2
Dalam Konsiderans UU No. 5 Tahun 1960 disebutkan : “bahwa di dalam Negara
Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama
masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
mempunya fungsi yang amat penting dalam membangun mansyarakat yang adil dan makmur.”
3
Maria SW Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Budaya,
Jakarta Penerbit Buku Kompas, hlm. 36.
34 kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilansosial ekonomi rakyat, maka
pembentukan produk hukum dan perundang-undangan bidang agraria yang
berpihak kepada rakyat banyak harus segera dilakukan agar kesejahteraan
masyarakat dapat terwujud.
Dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 juga telah dimasukkan beberapa
asas, diataranya : mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan sumber
daya manusia, mewujudkan keadilan, termasuk kesetaraan jender dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan sumber daya
agrarian/sumber daya alam.4 Masalah yang berhubungan dengan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ternyata sangat krusial sekali di
dalam masyarakat kita. Hal ini terjadi karena arah kebijakan pembanguan di
bidang agrarian di era pemerintahan Orde Baru tidak banyak berpihak kepada
upaya untuk mensejahterakan rakyat.
Oleh karena itu di dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR RI No. IX/MPR/2001
telah dirumuskan Arah Kebijakan Pembaruan Agraria sebagai berikut :
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan
yang didasarakn pada ptrinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4
Ketetapan ini;
2. Melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
pemilikan tanah untuk rakyat;
3. Menyelenggaraan pendataan ertanahan melalui inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform;
4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya
agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik dimasa datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum
dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4
Ketetapan ini; dan
5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban
pelasanaan pembaruan agrarian dan menyelesaikan konflik-konflik
sumberdaya agraria yang terjadi.
4
Dalam salah satu konsiderans TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 disebutkan : “bahwa
pengelolaan sumber daya agrarian/sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan
kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatannya, serta menimbuilkan berbagai konflik.”
35 Sebenarnya Arah Kebijakan Pembaruan Agraria tersebut diatas tidak lepas
dari konfigurasi politik hukum yang ada di Indonesia. Kebijakan dasar yang
diupayakan oleh penyelenggara negara dalam bidang hukum ini, bersumber dari
nilai-nilai yang berlaku, dalam masyarakat guna mencapai tujuan negara Republik
Indonesia yang dicita-citakan. Sementara itu, tujuan politik hukum nasional
meliputi dua aspek yang saling berkaitan : (1) Sebagai suatu alat (tool) atau sarana
dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu
sistem hukum nasional yang dikehendaki; dan (2) dengan sistem hukum nasional
itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia, antara lain adalah kesejahteraan
dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem hukum nasional merupakan kesatuan hukum dan perundang-undangan
yang terdiri dari banyak komponen yang saling bergantung, yang dibangun untuk
mencapai tujuan negara, dengan berpijak pada dasar dan cita-cita hukum negara
yang terkandung di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.5
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Pembukaan dan Pasal-pasal UUD
1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia.
Penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan pada dua
alasan yaitu :
1. Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum
dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan
dari politik hukum di Indonesia.
2. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 mengandung nilai-nilai khas yang
bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan
oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu.6
Dalam upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan
tujuan negara, maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar
sebagai berikut :
1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara
yakni, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar negara, yakni: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi
hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur
5
Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm: 22
6
Ibid, hlm. 23
36 bangsa dengan semua ikatan promordialnya, meletakkan kekuasaan di
bawah kekuasaan rakyat, membangun keadilan sosial.
4. Politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk : melindungi
semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup
ideologi dan teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan
kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan
nomokrasi (kedaulatan hukum), menciptakan toleransi hidup beragama
berdasarkan keadaban dan kemanusiaan.
5. Sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum
Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai
nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan
hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya.
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk
menyusun makalah tugas UAS ini dengan judul : Hubungan Konfigurasi Politik
Hukum Dalam Menyejahterakan Masyarakat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditarik rumusan masalahnya,
sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan sosiologis tentang hukum ?
2. Bagaimana realitas konfigurasi politik Hukum di Indonesia ?
3. Bagaimana produk hukum dalam menyejahterakan Masyarakat Indonesia?
4. Bagaimana kondisi masyarakat dan hukum di Indonesia dalam perspektif
Emile Durkheim ?
C. Tujuan
Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, adalah :
1. Untuk mengetahui pandangan sosiologis tentang hukum.
2. Untuk memahami realitas konfigurasi politik Hukum di Indonesia.
3. Untuk mengetahui produk hukum dalam menyejahterakan Masyarakat
Indonesia.
4. Untuk menganalisis kondisi masyarakat dan hukum di Indonesia dalam
perspektif Emile Durkheim.
D. Manfaat Penyusunan Makalah
1. Manfaat Secara Akademis
a. Secara akademis atau teoritis melalui makalah ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk mengembangkan Ilmu Hukum, khususnya
matakuliah Sosiologi Hukum.
b. Menambah pemahaman penulis dan sebagai bahan pustaka
Matakuliah Sosiologi Hukum pada Program Magister Hukum,
Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA).
2. Manfaat Secara Praktis
37 a. Menambah wawasan penulis dalam memahami matakuliah Sosiologi
Hukum, khususnya tentang Konfigurasi Politik Hukum, tentang
Masyarakat, dan Hukum dalam perspektif Sosiologi Hukum.
b. Sebagai informasi dan sekaligus menjadi salah satu bahan
pengetahuan, guna melakukan analisis lebih dalam, tentang
Sosiologi Hukum.
c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum, dalam
upaya mengkritisi teori-teori dalam Sosiologi hukum.
E. Metode, Prosedur Pengumpulan Dan Analisis Data
1. Metode Pengumpulan Data.
Data-data dalam makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode
penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri
dari:
a. Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri
dari buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah
yang dibahas.
b. Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasilhasil penelitian, atau pendapat pakar hukum lainnya.
2. Prosedur Pengumpulan Data.
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan pada
makalah ini, maka pengumpulan bahan-bahan referensi dilakukan
dalam rangka memperoleh data primer dan sekunder. Langkah awalnya
adalah dengan melakukan inventarisasi terhadap sumber-sumber
sebagai referensi, kemudian menuliskannya secara sistematis.
3. Analisis Data.
Pada makalah ini, analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif,
sedangkan pengolahan data dilakukan dengan cara mensistematika
bahan-bahan atau buku-buku yang ada. Sistematisasi berarti membuat
klasifikasi terhadap bahan-bahan yang ada tersebut untuk memudahkan
analisis dan merumuskan konstruk atau konsep dalam makalah ini.7
II. PEMBAHASAN
A. Pandangan Sosiologis Tentang Hukum
Pandangan atau pemikiran ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich dan
Max Weber. Menurut aliran sosiologi, hukum merupakan hasil interaksi sosial
dalam masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 251-252.
38 hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Perkambangan hukum merupakan kaca dari perkembangan
masyarakat.8 Oleh sebab itu menurut pandangan atau pemikiran sosiologis,
hukum bukanlah norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang
berkelakuan menurut tata tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaankebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam
perbuatan atau perilakunya di masyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar
sosiologi hukum di Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan
norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang
berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturanperaturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang
lain di dalam masyarakat itu.9
Menurut Soekanto, aliran Sosiological Jurispridence yang dipelopori oleh
Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal dari Austria, bukunya yang terkenal
“Fundamental Principle of The Sociology of Law”. Erlich mengatakan bahwa
ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah
hukum) dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa
pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,
keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah
justru terletak didalam masyarakat itu sendiri. Kemudian dalam hal tata tertib di
masyarakat dilaksanakan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh
negara.10 Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964), yang berasal
dari Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi
akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu
kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. 11
Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada hukum sebagai
suatu proses yang hidup dimasyarakat (law in action) dan ada hukum yang tertulis
(law in the books). Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja
tetapi semua bidang hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum
tersebut apakah sudah sesuai dengan yang senyatanya. Malah Pound
menambahkan kajian sosiologi hukum itu sampai kepada putusan dan
pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu peraturan dengan efek-efek
nyatanya.12
8
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 9.
9
Ibid, hlm. 10.
10
Sabian Usman, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta,
2009, hlm. 155.
11
Ibid
12
Ibid, hlm. 157
39 Leon Duguity terkenal dengan konsepsi ‘Solidaritas Sosial’ menyatakan
bahwa berlakunya hukum itu sebagai suatu realita, ia diperlukan oleh manusia
yang hidup bersama dalam masyarakat. Hukum tidak tergantung pada kehendak
penguasa, tetapi bergantung kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum
berdasarkan solidaritas dari para anggota masyarakat untuk menaatinya. Suatu
peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara
efektif. Menurut Duguity, pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum,
tetapi hanya mentransformasikan saja hukum yang hidup dalam masyarakat
menjadi suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.13
B. Realitas Konfigurasi Politik Hukum Di Indonesia.
Pada dasarnya politik hukum merupakan suatu kajian yang tidak hanya
berbicara pada tataran proses dari hukum-hukum yang akan dan sedang
diberlakukan tetapi juga mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku. Politik
hukum ini mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya
kepada pembuat UU, tetapi juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga
kepada para penyelenggara pelaksana putusan pengadilan. Pembentukan
kebijakan hukum didasarkan pada cita hukum, cita-cita dan tujuan negara yang
termaktub di dalam konstitusi.
Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri
atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD,
menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau
berpendapat bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan
hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini
mencakup pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan
terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan
pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.14
Pengertian politik hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD
tersebut sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara yang juga bermakna legal policy.15 Perbedaannya, Abdul Hakim lebih
mengedepankan kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang
perlunya mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat
dalam hal bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan
dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan citacita awal suatu
negara.16
13
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Op. Cit., hlm. 10
M. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES,1998, Jakarta, hlm. 8
15
Lihat Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta,
hlm. 27.
16
Ibid., hlm. 27.
14
40 Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.17 Menurut
Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme
yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.18 Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan
kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai tujuan yang menjadi cita-cita.19
Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa politik hukum tidak terlepas dari
realitas sosial dan tradisional yang ada dalam negara kita, di sisi lain sebagai
anggota masyarakat internasional, politik hukum Indonesia juga terkait dengan
realita dan politik hukum internasional.20 Faktor-faktor yang menentukan politik
hukum bukan hanya ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada
kehendak pembentuk hukum, para teoretisi maupun praktisi hukum saja, namun
juga tergantung pada kenyataan dan perkembangan hukum internasional. Menurut
perspektif F. Sugeng Istanto, politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum
dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu politik hukum sebagai terjemahan
dari Rechts Politik, politik hukum bukan terjemahan dari Rechts politik dan
politik hukum yang membahas tentang public policy.21
Politik hukum memerlukan sebuah mekanisme yang melibatkan banyak
faktor. Kita mengenal mekanisme ini sebagai sebuah proses politik hukum. Dari
pengertian ini, politik hukum mempunyai dua ruang lingkup yang saling terkait,
yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Sebagai dimensi
filosofis-teoritis, politik hukum merupakan parameter nilai bagi implementasi
pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Sebagai dimensi
normatifoperasional, politik hukum lebih terfokus pada pencerminan kehendak
penguasa terhadap tatanan masyarakat yang diinginkan.22
Pada tataran empiris, Mahfud MD berusaha menjelaskan hakekat politik
hukum dengan langsung menggunakan pendekatan politik hukum dalam
penelitiannya. Mahfud melihat hukum dari sisi yuridis-sosio-politis, yaitu
17
Padmo Wahjono, dalam Mahfud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali,
Jakarta, hlm. 1.
18
Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum,
menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 15.
19
Soedarto dalam Mahfud MD, Ibid., hlm. 14.
20
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum Nasional,
Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 1
21
F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 6.
22
Marzuki Wahid, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang pengaruh
Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar Studi, No. 2 Tahun XXII 9
Januari-April 1999), hlm. 104-105.
41 menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan
pelaksanaan hukum. Menurut Mahfud, hukum tidak bisa dijelaskan melalui
pendekatan hukum semata, tetapi juga harus memakai pendekatan politis.23
Indonesia merupakan negara yang menganut faham Rechtstaat (negara
berdasarkan hukum), mempunyai agenda utama dalam mengarahkan kebijakan
hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan negara yang
berkedaulatan rakyat sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945. Namun
demikian, menurut Abdul Hakim, dalam proses pembangunan di Indonesia yakni
pada masa orde baru, teryata banyak birokrat dan militer yang mendominasi,
sedangkan organisasi-organisasi sosial di luar itu terpinggirkan dan kebijakan
hukum terkesan hanya mewakili kelompok-kelompok yang berkuasa. Oleh karena
itu keadilan sosial dan demokrasi yang dicita-citakan tidak terwujud. Maka perlu
adanya pembangunan hukum yang menyertakan kelompok-kelompok sosial
dalam masyarakat agar kepentingan mereka dapat terakomodasi.24
Selanjutnya, terkait dengan konfigurasi politik, Mahfud MD membangun
hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk
hukum tertentu pula. Dan, dalam penelitiannya,25 Mahfud menguraikan, variabel
bebas (konfigurasi politik) dan variabel terpengaruh (karakter produk hukum)
dibagi dalam dua ujung yang dikotomis. Variabel konfigurasi politik dibagi atas
konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter, sedangkan variabel
karakter produk hukum dibagi atas produk hukum yang berkarakter responsif atau
otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas.
Dengan pemecahan kedua variabel tersebut ke dalam konsep-konsep yang
dikotomis, hipotesis di atas dinyatakan secara lebih rinci bahwa; konfigurasi
politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang berkarakter
responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan
melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif/ ortodoks atau menindas.
Konsep demokratis dan otoriter diidentifikasi berdasarkan tiga indikator yaitu
sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif, dan
kebebasan pers; sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi
berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan kewenangan
menafsirkan hukum.26 Berdasarkan indikator-indikator itu, maka Mahfud
menjabarkannya dalam pengertian konseptual sebagai berikut :27
23
Moh Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 11
Ibid., hlm. 35.
25
Lihat Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta,
24
hlm. 6.
26
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, Harper and Row, New York.
27
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Op. Cit. hlm. 8.
42 1. Konfigurasi politik demokratis.
Adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi
rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Di
dalam konfigurasi yang demikian pemerintah lebih merupakan “komite”
yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang
dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol
berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan
kebijakan negara, sedangkan dunia pers dapat melaksanakan fungsinya
dengan bebas tanpa ancaman pembreidelan.
2. Konfigurasi politik otoriter.
Adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang
sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat
tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan dengan
peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan
parpol tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi
(rubber stamps) atas kehendak pemerintah; sedangkan pers tidak memiliki
kebebasan dan senantiasa di bawah kontrol pemerintah dan bayang-bayang
pembreidelan.
3. Produk hukum responsif/otonom.
Adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas
tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di
dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di
masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara
terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga-lembaga
peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak
masyarakat; sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak
terbuka untuk dapat diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi
pemerintah sendiri.
4. Produk hukum konservatif/ortodoks.
Adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik
pemegang kekuasaan, sehingga pembuatannya tidak mengundang
partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Jika prosedur
seperti itu ada, biasanya lebih formalitas. Di dalam produk yang demikian
biasanya hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau
menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. Rumusan
materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja sehingga dapat
diinterpretasi pemerintah menurut visi dan kehendaknya sendiri dengan
berbagai peraturan pelaksanaan.
43 Hukum merupakan hasil tarik-menarik pelbagai kekuatan politik yang
terealisasi dalam suatu produk hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa
hukum merupakan instrumentasi dari putusan atau keinginan politik
sehinggapembentukan peraturan perundang-undangan disarati oleh berbagai
kepentingan. Oleh karena itu pembuatan undang-undang menjadi medan
pertarungan dan perbenturan berbagai kepentingan badan pembuat undangundang yang menerminkan suatu konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang
terdapat dalam masyarakat.28
Konfigurasi bermakna bentuk wujud ( untuk menggambarkan orang atau
benda),29 sedangkan Moh. Mahfud MD memberikan pengertian terhadap
konfigurasi dengan susunan konstelasi politik.30 Kata konstelasi politik, terdiri
dari dua kata, yaitu konstelasi dan politik. Kata konstelasi bermakna gambaran
atau keadaan yang dibayangkan. Dalam negara demokratis, pemerintah sedapat
mungkin merupakan cerminan dari kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Oleh
karena itu, konstelasi politik adalah rangkuman dari kehendak-kehendak politik
masyarakat. Menurut Mahfud MD politik hukum juga berkaitan dengan
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.31
Konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum
yang sesuai dengan konfigurasi yang digunakan. Konfigurasi kekuatan dan
kepentingan pemerintah sebagai badan pembuat undang-undang menjadi penting
karena proses pembuatan undang-undang modern bukan sekedar perumusan
materi hukum secara baku sesuai rambu-rambu yuridis saja, melainkan pembuatan
suatu keputusan politik. Intervensi-intervensi dari eksternal maupun internal
pemerintah, bahkan kepentingan politik global secara tidak langsung turut
mewarnai proses pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut terutama
dilakukan oleh kelompok yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan baik secara
politik, sosial maupun ekonomi.32
Mahfud MD menggambarkan dua konsep politik hukum yaitu konfigurasi
politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi politik demokratis
adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi berperannya
potensi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum.
Partisipasi ini ditentukan atas asas mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
28
Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah,
Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 126.
29
Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 723
30
Moh. Mahfud MD, Op. Cit. Politik Hukum, hlm. 76.
31
Ibid., hlm.1-2.
32
Satjipto Rahardjo, Op. Cit. Sosiologi Hukum, h1m. 26l.
44 diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik di negara demokrasi.
Konfigurasi politik demokratis melahirkan produk hukum responsif.
Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif
dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi ini dicirikan oleh dorongan elit
kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi
pimpinan negara untuk menentukan kebijakan negara dan dominasi kekuasaan
politik oleh elit politik yang kekal. Konfigurasi politik otoriter menghasilkan
produk hukum yang berkarakter ortodoks.33
Bintan Ragen Saragih34 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai
suatu kekuatan-kekuatan politik yang riel dan eksis dalam suatu sistem politik.
Konfigurasi ini biasanya muncul dalam wujud partai-partai politik. Jika partai
politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam
pengambilan kebijakan hukum maupun kebijakan lainnya, maka konfigurasi
politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Sedangkan apabila berlaku
sebaliknya maka konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik otoriter.
Kekuatan politik juga nampak dalam organisasi-organisasi kepentingan, tokoh
berpengaruh dan sebagainya.
C. Produk Hukum Dalam Menyejahterakan Masyarakat Indonesia.
Seperti telah diutarakan pada sub-Pendahuluan diatas, bahwa titik awal untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dicanangkan oleh para “Founding
Fahter” bangsa Indonesia secara Politik pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah
dalam bentuk “Deklarasi Kemerdekaan,” yang kemudian, secara yuridis pada
tanggal 18 Agustus 1945, Tujuan Negara Republik Indonesia tercantum di dalam
alinea ke-4 Preambule Undang Undang Dasar 1945. Guna mewujudkan maksud
sebagaimana pada alinea 4 Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 diatas, para
pendahulu kita tersebut mengamanatkan kembali pada Konstitusi Negara, yaitu
Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sebenarnya momentum pertama upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat,
yakni melalui pembentukan aturan dengan dikeluarkannya Undang Undang no. 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih
popular dengan sebutan UUPA. Hanya saja dalam perjalanannya UUPA pada
masa Pemerintah Orde Baru, khususnya dalam “action”nya mulai meninggalkan
keberpihakan kepada masyarakat kecil, kelompok terbesar dari penduduk negeri
33
Satya Arinanto, Kumpulan Materi Presentasi Hukum (dikumpulkan dari berbagai
referensi), (Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hlm.77.
34
Bintan Ragen saragih, 2006, Politik Hukum, CV Utomo, Bandung, hlm. 33.
45 ini. Sementara itu, banyak kalangan berpendapat di era 1960, saat terbentuknya
UUPA adalah prestasi besar bangsa Indonesia karena telah berhasil “mendobrak”
tatanan hukum agraria peninggalan Pemerintah Kolonial.
Selanjutnya, rekomendasi terhadap pengkajian ulang atas peraturan
perundang-undangan bidang agraria dapat berupa :
1. Perubahan atas satu atau beberapa hal saja;
2. Mempertahankan peraturan yang ada; dan
3. Mengganti seluruhnya.
Intinya adalah, jika peraturan lama substansinya tidak pro kesejahteraan
rakyat maka diganti seluruhnya. Bila sebagian saja direvisi, dan bila baik dan
sesuai saja dengan misi perbaikan kehidupan rakyat maka peraturan dimaksud
justru tetap dipertahankan. Secara substansial produk perundang-undangan bidang
agraria yang berpihak kepada kehidupan masyarakat berdasarkan masanya,
terbagi menjadi 3 masa, yaitu:
1. Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru;
2. Masa di awal reformasi 1998; dan
3. Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.
1. Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru;
Perlu kiranya dicatat disini bahwa produk perundang-undangan agraria
dimasa Orde Baru yang berpihak kepada masyarakat menengah
kebawah tidaklah nol sama sekali. Diakui memang ada regulasi bidang
pertanahan yang baik dan berpihak kepada masyarakat kecil, akan
tetapi dalam implementasi kebijakan lebih banyak menyentuh pihak
kalangan menengah keatas dan para pemodal.
Dimasa akhir Pemerintahan Orde Baru ada 2 produk hukum pertanahan
yang diterbitkan, yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
pendaftaran Tanah35
Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran
Tanah. Hal ini merupakan salah satu produk peraturan pertanahan
yang diharapkan oleh semua rakyat Indonesia. Peraturan sebelumnya
(PP No.10 Tahun 1961) sudah berlaku selama 36 tahun.
Pertimbangan juridis atas digantinya peraturan pemerintah yang
lama adalah bahwa Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
kurang dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada
pemegangnya, karena menganut sistem pendaftaran negatif mutlak.
35
PP No. 24 Tahun 1997 dalam konsiderans hurup a menyebutkan; “bahwa Pembangunan
Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum bidang
pertanahan”. Selanjutnya dalam konsiderans hurup c disebutkan: “PP No. 10 Tahun 1961
Tentang pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil
yang lebih nyata pada Pembangunan Nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.”
46 Alasan lain adalah peraturan sebelumnya kurang mendukung
percepatan pembangunan nasional yang volumenya semakin besar
dan kompleks. Peningkatan pembangunan nasional yang
berkelanjutan sangat mengharapkan adanya kepastian hukum. Pasal
19 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria mengamanatkan bahwa untuk jaminan
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah. Di
dalam Peraturan Pemerintah Nomo 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah yang memuat asas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir dan terbuka lebih dikedepankan. Pencapaian legislasi aset
tanah masyarakat dan tanah pemerintah merupakan Program
Strategis Pertanahan oleh Pemerintah untuk memberikan dan
mencapai keadilan serta kesejahteraan rakyat. Semenjak
terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sampai
dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang baru Tentang
Pendaftaran Tanah, target pendaftaran tanah dari program yang
dicanangkan hanya mencapai 37 % saja. Bila dibandingkan dengan
masa 36 tahun Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut
diberlakukan, maka capaian angka 37 % tersebut dirasa sangat kecil,
ini berarti Peraturan Pemerintah dimaksud pelaksanaannya perlu
ditinjau ulang, hingga pemerintah pada akhirnya berkesimpulan
bahwa diatara penyebabnya adalah substansi peraturan itu sendiri
yang tidak mendukung sehingga harus diperbaharui. Ada beberapa
perbedaan yang terdapat antara Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,
yaitu:
1) Pendaftaran tanah secara sistematik; dimana di dalam Peraturan
pemerintah yang lama hal ini memang ada, tetapi tidak terlalu
dipacu dengan berbagasi regulasi dan kebijakan dalam
implementasi program.
2) Pendaftaran tanah secara sporadik; dimana di dalam Peraturan
pemerintah yang lama hal ini juga ada, akan tetapi sosialisasi dan
motivasi kepada masyarakat baik secara individu maupun
kelompok untuk mendaftarkan tanahnya secara sukarela sangat
kurang dilakukan oleh pemerintah. Kesiapan dari institusi
pertanahandari pusat hingga daerah juga tidak terkoordinasi
dengan baik, disamping mental dari sebagaian aparat pelaksana
yang kurang mendukung.
3) Adanya percepatan waktu dalam proses pendaftaran tanah, dan
biaya yang cukup terjangkau. Sedangkan dalam Peraturan
47 Pemedrintah Nomo 10 Tahun 1961, tenggat waktunya lebih
lama, dan biaya dirasa masih cukup tinggi, di samping tidak ada
transparansi dari instansi pendaftaran tanah itu sendiri.
4) Tenggang waktu pengajuan keberatan atas tanah yang sudah
terdaftar untuk pertama kali;
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, hal ini tidak
diatur. Pihak yang merasa keberatan atas diberikannya hak atas tanah
kepada pemegang hak diberikan kesempatan untuk mengajukan
tuntutan kepada pemegang hak itu sendiri, atau kepada instansi yang
memberikan hak itu, atau kepada pengadilan dalam tenggang waktu
5 tahun terhitung suatu hak diberikan.Cara inilah yang oleh para ahli
dan pengamat hukum agraria dinamakan “sistem pendaftaran tanah
negatif yang berkecendrungan positif.” Dalam peraturan pendaftaran
tanah sebelumnya halsama sekali tidak diatur. Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 menganut “sistem pendaftaran tanah negatif
(negatif murni). Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah yang
baru (PP No. 24 Tahun 1997), diwacanakan segala kekurangan yang
ada pada Peraturan Pemerintah yang lama (PP No. 10 Tahun 1961)
sebagaimana diutarakan di atas dapat dihilangkan dan peningkatan
pembangunan nasional yang berkelanjutan berjalan lancar, sehingga
berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.
Menurut Effendi Perangin, fungsi dari pendaftaran tanah itu sendiri
adalah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya
perbuatan hukum mengenai tanah.36 Hal positif Yang dirasakan
dengan sstem pendaftaran tanah yang dianut oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu Sistem pendaftaran
Tanah Negatif Yang Berkecendrungan Positif adalah adalah bahwa
baik pihak yang merasa dirugikan dengan terdaftarnya hak atas tanah
bagi pemegang hak diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan
keberatan. Sebaliknya bagi pemegang hak atas tanah juga ada
jaminan kepastian hukum manakala masa menuntut telah terlampaui
(5 tahun). Hal ini berarti pemegang hak tidak terbebani oleh tuntutan
hak dari seseorang dimasa yang akan datang. Berbeda dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pemegang hak dapat
saja dituntut kapan saja tanpa batas waktu meskipun ia memiliki dan
menguasai tanah selama puluhan tahun.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
36
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum),Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 96.
48 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ditanda-tangani dan
diberlakukan pada tanggal 5 Maret 1998 oleh Presiden Soeharto, 50
hari sebelum beliau menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya BJ
Habibie.Nampaknya pemerintah menyadari bahwa pemberian hak
atas tanah dimasa lalu kepada perorangan, dan badan hukum, kiranya
perlu ditinjau ulang dan dibenahi.Alasannya adalah bahwa tanah
yang diberikan tidak digunakan oleh pemegang hak sesuai dengan
peruntukkan, sifat dan tujuannya, mengingat semua hak atas tanah
mempunyai fungsi social.Tidak dimanfaatkannya tanah sesuai
dengan peruntukkannya adalah bertentangan dengan Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960. Pengertian Tanah Terlanter terdapat
pada penjelasan Pasal 27 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960,
yaitu “tanah diterlantarkan kalau disengaja tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya.”37
Di dalam filosofi hidup bangsa Inonesia, tanah merupakan suatu
karunia Tuhan Yang Maha Esa, sehingga wujud mensyukurinya
adalah dengan cara mengusahakan dan memanfaatkan tanah itu
sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Bangsa Indonesia yakin dengan sepenuhnya, bahwa dari tanah dapat
diwujudkan kesejahteraan. Tujuan Penertiban Tanah Terlantar
adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan,
menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan
Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu optimalisasi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan semua tanah diwilayah
Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup,
mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk
menciptakan ketahanan pangan dan energi.38 Di dalam perjalanan
waktu Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar setelah
berjalannya waktu pada tahun 2010 dicabut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Peenertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar. Alasan dari pencabutannya
adalah karena dianggap tidak efektif. Terhadap pencabutan ini
37
Pasal 10 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa: “Setiap orang atau badan
hukum yang mempunyai suatu hakatas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan
atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
38
BPN RI-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, hlm. 6.
49 penulis tetap memberikan apresiasi, karena diakhir kekuasaannya
pemerintahan Orde Baru masih sempat memikirkan perbaikan
kesejahteraan rakyat.
2. Masa Awal Reformasi 1998
Masa Awal reformasi 1998 merupakan masa dikeluarkannya
peraturan agraria pada pertengahan 1998 sampai November 2001
yaitu saat dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.
Nampaknya pada masa ini tidak banyak produk peraturan pertanahan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah baik berupa Undang Undang,
Peraturan pemerintah, Instruksi Presiden, ataupun Peraturan menteri
Agraria/Kepala BPN. Nampaknya karena hiruk pikuk politik dalam
negeri yang belum kondusip,sehingga para penyelenggara negara belum
dapat bekerja secara optimal. Ada 2 (dua) buah peraturan, yaitu
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor. 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Berikut diuraikan masing-masing peraturan perundangundang dimaksud :
a. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.39
Peraturan ini dikeluarkanpada tanggal 24 Juni 1999, saat Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dijabat oleh
Hasan Basri Durin. Peraturan ini lahir mengingat dimasa itu
diberbagai daerah timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan
hak ulayat. Untuk itulah kiranya pemerintah merasa perlu untuk
mengeluarkan aturan yang dapat dijadikan sebagai acuan/pegangan
di dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan
hak ulayat/tanah ulayat. Peraturan ini merupakan peraturan bidang
pertanahan yang berpihak kepada masyarakat, khususnya
masyarakat hukum adat.Sebelumnya penyelesaian hak ulayat
masyarakat hukum adat tidak ada pedomannya, jadi tidak ada
norma baku yang dapat dijadikan acuan manakala pemerintah
hendak menyelesaikan masalah hak ulayat/tanah ulayat. Dampak
dari tidak adanya pedoman sebagai acuan adalah terkatung 39
Hal ini disebutkan dalam pertimbangan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
No. 5 Tahun 1999 hurup b: “Bahwa dalam kenyetaannya pada waktu ini banyak daerah masih
terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan,
penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga
masyarakat hukum adar yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.”
50 katungnya proses penyelesaian, lamanya waktu penyelesaian, dan
bahkan masalah hak ulayat/tanah ulayat dibiarkan begitu saja tanpa
penyelesaian.Pembentukan peraturan ini merupakan implementasi
dari konstitusi Negara dan UUPA itu sendiri.
b. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan disahkan
oleh Presiden BJ Habibie pada tanggal 30 September 1999 dan
diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara pada tanggal
yang sama dengan tanggal pengesahannya.Menurut Pasal 1 ayat (1)
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, seluruh bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alamyang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional. Dalam ayat (4) nya disebutkan
pula bahwa: “Dalam pengertian bumi termasuk pula tubuh bumi,
dibawahnya serta yang berada dibawah air. Jadi pengertian
agrarian dalam arti luas termasuk juga sektor kehutanan karena
obyek hutan berada berada dipermukaan bumi (tanah).” Hal yang
patut diperhatikan adalah bahwa asas pengelolaan sumber
kehutanan di dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999
adalah asas manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan dan keterpaduan. Undang Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan tidak lepas pula kritik karena dianggap
masih berpihak kepada pemodal, namun demikian, kita bisa
melihatnya dari dua sisi;
1. Kelahiran Undang Undang Kehutanan di awal reformasi (masa
transisi);
2. Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut ada mengatur
dan melindungi hak masyarakat hukum adat.
Dengan dikeluarkannya undang-undang dimasa transisi berarti
substansi undang-undang (kehutanan) disorot dan diamati oleh
banyak kalangan, jadi meskipun Undang Undang Nomor 41 Tahun
1999 tidak lepas dari kritik terhadap isinya, namun undang-undang
tersebut tentu lebih baik dari Undang Undang Nomor 5 Tahun
1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN Tahun
1967 No. 8).Selanjutnya apabila dihubungkan dengan pasal-pasal
yang mengatur dan melindungi hak masyarakat hukum adat,
penulis berpendapat ketentuan dalam pasal-pasal tersebut
implementasinya akan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan
rakyat. Tujuan untuktercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan
51 melalui beberapa aspek.Misalnya peran tanah sebagai dasar untuk
memperoleh pekerjaan dan pendapatan, identifikasi terhadap pihakpihak yang diragukan dalambeberapa konflik kepentingan, serta
sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat.40
Berikut ini akan dikemukakan pasal-pasal di dalam Undang
Undang Nomo 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengatur
dan melindungi hak masyarakat hukum adat :
1. Pasal 1 ayat (6) :”Hutan adat adalah hutan Negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukumadat’.
2. Pasal 4 ayat (1) : “Semua hutan di dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”(3): “Penguasaan hutan oleh Negara
tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepenjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”.
3. Pasal 5 ayat (1) : Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan Negara; dan
b. hutan hak.
(2) Hutan Negara sebagaimana disebut pada ayat (1) hurup a
dapat berupa adat. (3) Pemerintah menetapkan status hutan
sebagaimana seagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberdaannya. (4) Apabila dalam perkembangannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.
4. Pasal 34 : Pengelolaan kawasan hutann untuk tujuan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada;
a. masyarakat hukum adat,
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
d. lembaga social dan keagamaan.
5. Pasal 37 : ayat (1) Pemenfaatan hutan adat dilakukan oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan
fungsinya.(2): Pemenfaatan hutan adat yang berfungsi lindung
40
Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Penerbit Media Abadi, Sleman-Yogyakarta, hlm. 151.
52 dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu
fungsinya.
6.
Pasal 67 : ayat (1): Masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
a. melakukan pemungutan hasil hutan untk kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Ayat (2) : Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat
hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan peraturan Daerah.
D. Kondisi masyarakat dan hukum di Indonesia dalam perspektif Emile
Durkheim.
Menganalisis masyarakat Indonesia, melalui perspektif Emile Durkheim,
nampaknya masyarakat Indonesia agak sulit untuk dikelompokkan ke salah satu
golongan secara tegas, baik kelompok masyarakat simpel atau masyarakat
kompleks. Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa masyarakat Indonesia
berada dalam masa transisi di antara keduanya.41 Alasannya, masyarakat
Indonesia bukanlah masyarakat dalam tipe tertentu, akan tetapi merupakan
sekumpulan masyarakat yang beraneka ragam sesuai dengan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” bangsa ini sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Contohnya, masyarakat Jawa pedalaman, mereka akan lebih pas dikatakan
sebagai masyarakat sederhana yang memiliki solidaritas mekanik dan hukum
represif.42 Mereka dalam tataran tertentu mengagungkan hukum adat atau
41
Penyebutan transisi ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa pikiran Durkheim
masih berpeluang untuk dikritisi dan dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya
era saat ini.
42
Berdasarkan contoh di atas, mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa masyarakat
sederhana identik dengan masyarakat pedesaan sedangkan masyarakat kompleks lebih sesuai dengan
masyarakat perkotaan. Pendapat ini boleh jadi benar, akan tetapi Durkheim, seperti dijelaskan Turkel, sama
sekali tidak menyinggung pembagian masyarakat ditinjau dari sisi lokasi atau wilayah, namun lebih kepada
pembagian masyarakat berdasarkan karakter penduduknya. Meski begitu, ada juga salah satu sumber yang
membandingkan pikiran Durkheim dengan pikiran Tonnies tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft.
Gemeninschaft memiliki ciri-ciri 1) merupakan masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman 2)
memiliki tujuan kesatuan yang esensial, dan 3) orang bekerja sama untuk kepentingan bersama. Adapun
Gesellschaft memiliki karakter antara lain 1) kumpulan (association) yang menjadi ciri kota besar, 2) hidup di
kota bercirikan perpecahan, individualisme dan mementingkan diri sendiri, dan 3) di kota tidak ada kebaikan
bersama dan ikatan keluarga. Dari sini dapat dilihat bahwa Gemeinschaft memiliki ciri masyarakat pedesaan
yang identik dengan solidaritas mekanik. Di sisi lain, Gesellschaft memiliki karakter masyarakat kota yang
mirip dengan solidaritas organik. (Rangkuman Modul Sosiologi Perkotaan, Universitas Terbuka,
http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online).
53 kepercayaan nenek moyang ketimbang hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun
masyarakat perkotaan, Jakarta sebagai misal, tentu akan mudah dikatakan sebagai
masyarakat kompleks dengan solidaritas organik dan hukum restitutif yang nyata.
Masyarakat sederhana memiliki kecenderungan untuk memakai hukum adat.
Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia masih terkotak dalam budaya
masyarakat homogen tertentu dan cukup kuat memegang hukum dan tradisi adat
mereka.43 Setelah kemerdekaan, dengan pembangunan yang cukup pesat dan
intensitas interaksi antar personal dan bahkan antar negara meniscayakan adanya
solidaritas organik dan hukum restitutif. Masyarakat Indonesia secara umum dapat
dikatakan sebagai masyarakat “menuju” kompleks yang membutuhkan hukumhukum spesifik dengan jumlah cukup banyak untuk mengatur kehidupan baik
pribadi, kelompok, maupun masyarakat luas. Munculnya pembidangan dalam
Trias Politika: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif mencerminkan masyarakat
kompleks yang meniscayakan pembagian kerja lebih khusus. Begitu juga
banyaknya Undang-undang yang lahir menunjukkan betapa kehidupan ini
membutuhkan aturan spesifik sehingga konflik antar manusia dalam masyarakat
dapat diatasi dengan cepat. Meskipun begitu, Rahardjo (1984: 99) menegaskan
bahwa hukum selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya. Hukum tidak
akan dapat mengatasi seluruh permasalahan sosial sebab hukum selalu terlambat
hadir ketimbang permasalahan masyarakat.
Selanjutnya, hal yang patut menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat
yang kompleks dengan hukum restitutifnya akan lepas dari sifat hukum yang
represif ? Pertanyaan seperti ini sudah diantisipasi oleh Durkheim sebagaimana
disampaikan Turkel (t.th. : 33) dengan mengatakan bahwa pada akhirnya hukum
yang represif akan hilang dari hukum restitutif. Nampaknya Durkheim tidak
memperhatikan bahwa dalam masyarakat kompleks sebenarnya banyak hal yang
justru lebih bernuansa represif daripada hukum yang dimiliki masyarakat
sederhana. Contohnya, dalam masyarakat sederhana akan sulit ditemukan
kejahatan yang beraneka ragam karena kontrol sosial dan efek jera hukuman fisik
cukup efektif. Dengan demikian, tekanan dalam bentuk ancaman penjara atau
hukuman mati yang dialami masyarakat kompleks lebih berat. Secara sederhana,
orang dalam masyarakat simpel akan tidak peduli dengan buang sampah
sembarangan. Akan tetapi dalam masyarakat kompleks, buang sampah di
sembarang tempat akan mengantarnya masuk penjara atau minimal dikenakan
43
Dalam pandangan Hart, sebagaimana dikutip Rahardjo (t.th.: 44), masyarakat yang
semacam ini dapat disebut sebagai masyarakat yang berada dalam tingkat primary riles of
obligation yang memiliki cirri-ciri antara lain komunitas kecil, didasarkan pada ikatan
kekerabatan, memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan berada dalam lingkungan yang
stabil.
54 denda. Supremasi hukum (rule of law)44 yang didengungkan terasa membatasi
mereka untuk bergerak secara lebih leluasa.
Walaupun demikian, dapat dipahami bahwa tekanan jiwa akibat
menggunungnya aturan yang dialami masyarakat kompleks merupakan
konsekuensi logis dari keinginan bersama untuk mengembalikan situasi kepada
kondisi semula. Tak ayal jika hal-hal yang tidak perlu diatur dalam masyarakat
simpel menjadi penting dalam masyarakat kompleks. Hal ini karena mengatur
masyarakat heterogen lebih sulit ketimbang masyarakat homogen, lebih-lebih, jika
dilihat dari model interaksi yang timbul. Dari sisi lain, masyarakat Indonesia
dapat pula dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas mekanik, jika
ditilik dari watak komunal bangsa ini secara umum, meskipun dalam kondisi
tertentu dapat dikatakan memiliki solidaritas organik yang agak dipaksakan. Sikap
solidaritas ini diungkapkan dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan
yang terangkum dalam pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” (Ali,
2006: 86).
Dalam pandangan Rahardjo (2006b: 85-87), bangsa Indonesia boleh dibilang
telah menjadi tawanan Barat. Dalam hal hukum, para cendekiawan dan penegak
hukum diberi kesempatan untuk belajar hukum di luar negeri, misalnya di
Belanda, sehingga apa yang mereka terapkan di Indonesia adalah hukum yang
jauh dari watak dan kepribadian bangsa. Sistem hukum barat yang berwatak
liberal dan menekankan kebebasan individu menolak partisipasi masyarakat
dalam urusan penegakan hukum. Jepang sebenarnya memiliki pengalaman yang
sama dengan Indonesia, yakni mengalami pemaksaan hukum dari luar. Namun,
mereka telah berhasil memberikan polesan hukum khas Jepang setelah mereka
sadar bahwa hukum Barat tidak selaras dengan kepribadian mereka. Masalah
budaya hukum ini, Rahardjo (2006b: 85-87) menegaskan bahwa budaya hukum
bangsa ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh bangsa itu.45 Masalah yang
dihadapi oleh bangsa-bangsa Timur yang terpaksa mengambil hukum barat akan
mengalami masalah yang cukup serius karena hukum modern yang mereka ambil
tidak selaras dengan nilai budaya yang mereka anut. Indonesia misalnya,
kehidupannya masih bersifat komunal dan kolektif sedangkan ajaran barat
menuntun mereka untuk bersifat individualistis. Jika hal ini diteruskan, maka
Indonesia akan kehilangan jati dirinya.
44
Pembahasan Rule of Law dapat ditelusuri lebih lanjut dalam pelbagai buku antara lain
karya Josep Raz (1972) yang berjudul “the Authority of Law” dan Sunarjati Hartono (1976) dalam
buku “Apakah the Rule of Law itu?”, atau artikel Ahmad Gunaryo (2006) dengan judul “Dari Rule
of Law menuju Rule of Justice” dalam buku “Menggagas Hukum Progresif Indonesia.”
45
Hal ini sejalan dengan Black (1976: 63-80) bahwa salah satu yang mempengaruhi
penegakan hukum adalah watak sebuah masyarakat.
55 Selanjutnya, secara teleologis, manfaat pembahasan tentang kedua jenis
hukum ini dalam kajian hukum Indonesia adalah bahwa dua karakter yang dibuat
Durkheim ini masih dapat diberlakukan untuk membidik masyarakat masa
sekarang. Hanya saja varian-variannya kini lebih banyak. Ketika kita dihadapkan
kepada situasi riil masyarakat, kita akan banyak menemukan banyak kesenjangan.
Contoh kasus, masalah pemilihan jodoh adalah masalah pribadi, tapi mengapa
ketika keluarga tidak setuju, hal ini kemudian menjadi masalah besar? Beranikah
kita menikahi seorang pelacur di pinggir jalan dengan maksud ingin membantu
sementara keluarga tidak ada yang setuju? Atau persoalan selingkuh, mengapa
pasangan yang selingkuh diarak beramai-ramai? Juga, mengapa masalah
pornografi diatur negara? Dan masih banyak pertanyaan yang bisa kita sampaikan
terkait dengan hal ini. Dengan demikian, mengetahui tipe-tipe ini dapat digunakan
untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan di masyarakat kita. Jika
kecenderungannya komunal maka hukumnya bersifat respresif, namun jika
cenderung individual, maka hukumnya bersifat restitutif. Adapun seperti
masyarakat yang sangat heterogen, seperti Indonesia yang terbentang dari Sabang
sampai Meraoke, perlu dilakukan studi lapangan secara hati-hati sebelum merilis
sebuah peraturan atau undang-undang sehingga produk hukum tersebut sesuai
dengan kehendak masyarakat dan dapat diterapkan secara efektif dan konsisten.
Di akhir pembahasan ini, nampaknya perlu disampaikan bahwa jika peran
agama pada suatu masyarakat cukup dominan, umumnya hukum yang berlaku
cenderung represif sedangkan dalam masyarakat yang tidak didominasi oleh
kekuatan agama, hukum yang berlaku cenderung bersifat restitutif. Dalam kasus
Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas penduduk. Dengan demikian,
cukup wajar jika beberapa perundang-undangan yang dilahirkan parlemen dibuat
untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terkait langsung dengan kehidupan
keberagamaan, misalnya, undang-undang Perkawinan, undang-undang Wakaf dan
terakhir undang-undang Pornografi. Semua itu, meskipun tidak menyebut Islam
secara jelas, namun nuansa pengekangan dalam produk hukum tersebut cukup
mendominasi.
Oleh karena itu, pemikiran Durkheim seputar hukum dan masyarakat
menunjukkan bahwa hukum tidak dapat lepas dari akar sejarah dalam masyarakat.
Keluasan dan keluwesan hukum bergantung kepada masyarakat yang
menciptakan dan yang menjalankan hukum tersebut. Masyarakat sederhana
berbeda dalam pemilihan hukumnya dibanding masyarakat kompleks. Masyarakat
yang masih sederhana akan cenderung memiliki solidaritas mekanik untuk
mempertahankan tatanan yang sudah kokoh di masyarakat. Untuk itulah, mereka
memilih hukum represif sebagai piranti penegaknya. Sebaliknya masyarakat
kompleks memiliki solidaritas organik dengan hukum restitutif sebagai
kendalinya. Nampaknya pemilahan semacam ini terlalu menyederhanakan
56 masalah (over simplification). Pemilahan Durkheim yang terlalu sederhana dalam
melihat masyarakat dan hukum sebenarnya akan menimbulkan banyak problem.
Masyarakat yang setengah sederhana dan setengah kompleks--atau masyarakat
transisi--tidak mendapat sentuhan bahasannya. Begitu pula kelebihan dalam
masyarakat sederhana sepertinya tidak menjadi perhatian karena lebih
menekankan kepada perlunya hukum restitutif pada era sekarang. Padahal, dalam
tataran tertentu, hukum represif masih efektif untuk mencegah berkembangnya
ketidakteraturan dalam masyarakat.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian sebagaimana dikemukakan sebelumnya dapatlah penulis
kemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1. Upaya untuk mensejahterakan bangsa kita sudah dilakukan oleh para
pendahulu kita sejak awal kemerdekaan, peminpim selanjutnya harus terus
melanjutkan dan bahkan lebih meningkatkannya melalui peran dan
kiprahnya masing-masing. Bidang agraria salah satu sektor yang dapat
mewujudkan cita-cita proklamasi, mengingat kehidupan bangsa kita
sebagian besar masih bercorak agrartis.
2. Upaya pembentukan regulasi bidang yang berpihak kepada perwujudan
kesejahteraan rakyat telah dilakukan oleh pemerintah dalam setiap era
pemerintahan, yaitu :
a. Masa di akhir pemerintahan Orde Baru;
b. Masa di awal reformasi 1998; dan
c. Masa pasca lahirnya TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas di atas, berikut penulis mengemukan saran,
antara lain :
1. Diperlukan adanya komitmen para pemimpin bangsa baik saat ini maupun
dimasa datang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
implementasi peraturan bidang agraria.
2. Kiranya terhadap regulasi bidang agraria/pertanahan yang dijalankan jika
substansinya berpihak kepada perbaikan tarap hidup dan kesejahteraan
masyarakat perlu dipertahankan, sebaliknya jika tidak sesuai lagi dengan
keadaan masyarakat, maka peraturannya harus ditinjau ulang, direvisi dan
bila perlu diganti agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
57 DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta.
Hartono. C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum
Nasional, Penerbit Alumni, Bandung.
Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).
MD. M. Mahfud, 2010, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi,
Rajawali Pers, Jakarta.
MD. M. Mahfud, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
MD. Mahfud, 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media,
Yogyakarta.
Marzuki Wahid, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang
pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum
Islam,”Mimbar Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999), hlm.
104-105.
Nusantara. AH. Garuda, 1988, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta.
Nusantara. AH. Garuda, dalam Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum,
menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta.
Nonet. Philippe dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law, Harper and Row, New York.
Rahardjo. Satjipto, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan
Masalah, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Siddiq Tgk. Muhammad Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu
Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Sumardjono. Maria SW, 2009, Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan
Budaya, Jakarta Penerbit Buku Kompas.
Usman. Sabian, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, 2009.
Wahjono. Padmo, dalam Mahfud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia,
Rajawali, Jakarta.
58 Peraturan Perundang-undangan :
Ketetapan MPR RI No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
BPN RI-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, 2011, Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
59 
Download