HUBUNGAN KONFIGURASI POLITIK HUKUM DALAM MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT INDONESIA Oleh : Muhammad Eko Purwanto, SE1 Abstract Efforts for the welfare of our nation has been done by our predecessors since the beginning of independence, the next leader must continue and even increase through the role and his work respectively. Agrarian one of the sectors that can realize the ideals of the proclamation, considering the life of our nation is still largely agrarian patterned. Efforts establishment of regulatory areas that favor the embodiment of the people's welfare has been done by the government in every era, namely: a. The period at the end of the New Order government; b. The period at the beginning of the 1998 reform; and c. The period after the birth of TAP MPR No. IX / MPR / 2001. Key words: Relationship, Configuration of Law in Politics, Public Walfare I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat telah dicanangkan oleh para ‘Founding Father’ Bangsa Indonesia, secara Politik sejak tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk “Deklarasi Kemerdekaan.” Sementara itu, secara Juridis, pada tanggal 18 Agustus 1945, tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tercantum di dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang selengkapnya berbunyi: ”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada . . . . . . . . . dan seterusnya“. Guna mewujudkan maksud sebagaimana tersebut pada alinea 4 Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, para pendahulu kita mengamanatkan kembali pada Konstitusi Negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Perlu diingat bahwa, momentum pertama upaya untuk mewujudkan kesejahteraan 1 Muhammad Eko Purwanto, adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah, Jakarta. 33 rakyat melalui pembentukan aturan adalah melalui undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih popular dengan sebutan UUPA. Namun, dalam perjalanannya UUPA belum berpihak kepada masyarakat kecil, yang menjadi kelompok terbesar dari penduduk di negeri ini. Sementara, banyak kalangan berasumsi bahwa di era 1960, saat terbentuknya UUPA, Bangsa Indonesia memiliki prestesi besar karena telah mampun melakukan perombakan yang signifikan, terhadap hukumagraria peninggalan Pemerintah Kolonial. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, maka hakikat UUPA itu secara perlahan dikembalikan kepada maksud dan tujuannya semula, yang pada intinya sektor keagrariaan (pertanahan) merupakan salah satu sektor yang akan turut menyumbang terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.2 Tentu saja sektor-sektor lainnya, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial, juga memberi kontribusi sangat berarti bagi Kesejahteraan rakyat, seperti halnya sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor perekonomian dan lain-lain. Oleh karena itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang sejak awal berciri populis, sebagaimana tampak dalam prinsip-prinsip dasarnya, dalam perjalanan waktu mengalami berbagai tantangan seiring dengan pergeseran kebijakan pertanahan yang terwujud dalam berbagai peraturan pelaksanaan terkait, karena berbagai pertimbangan dan hambatan.3 Sejalan dengan era pergantian pemerintahan, pemerintah selanjutnya sadar dan akan meneruskan kembali misi untuk mensejahterakan masyarakat banyak yang diemban oleh UUPA itu sendiri. Pemimpin dan bangsa ini telah menyadari nya bahwa koreksi dan pembenahan atas produk perundang-undangan bidang pertanahan mutlak harus segera dilaksanakan. Kemudian, langkah konkrit yang diambil adalah diawali oleh lembaga Tinggi Negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (di era Orde Baru Lembaga Tetinggi Negara), yaitu dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Lembaga Permusyswaratan Rakyat berpendapat bahwa untuk menetapkan arah dan dasar pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan 2 Dalam Konsiderans UU No. 5 Tahun 1960 disebutkan : “bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunya fungsi yang amat penting dalam membangun mansyarakat yang adil dan makmur.” 3 Maria SW Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta Penerbit Buku Kompas, hlm. 36. 34 kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilansosial ekonomi rakyat, maka pembentukan produk hukum dan perundang-undangan bidang agraria yang berpihak kepada rakyat banyak harus segera dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 juga telah dimasukkan beberapa asas, diataranya : mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan sumber daya manusia, mewujudkan keadilan, termasuk kesetaraan jender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan sumber daya agrarian/sumber daya alam.4 Masalah yang berhubungan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ternyata sangat krusial sekali di dalam masyarakat kita. Hal ini terjadi karena arah kebijakan pembanguan di bidang agrarian di era pemerintahan Orde Baru tidak banyak berpihak kepada upaya untuk mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu di dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 telah dirumuskan Arah Kebijakan Pembaruan Agraria sebagai berikut : 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarakn pada ptrinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini; 2. Melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan pemilikan tanah untuk rakyat; 3. Menyelenggaraan pendataan ertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; 4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini; dan 5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelasanaan pembaruan agrarian dan menyelesaikan konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi. 4 Dalam salah satu konsiderans TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 disebutkan : “bahwa pengelolaan sumber daya agrarian/sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya, serta menimbuilkan berbagai konflik.” 35 Sebenarnya Arah Kebijakan Pembaruan Agraria tersebut diatas tidak lepas dari konfigurasi politik hukum yang ada di Indonesia. Kebijakan dasar yang diupayakan oleh penyelenggara negara dalam bidang hukum ini, bersumber dari nilai-nilai yang berlaku, dalam masyarakat guna mencapai tujuan negara Republik Indonesia yang dicita-citakan. Sementara itu, tujuan politik hukum nasional meliputi dua aspek yang saling berkaitan : (1) Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki; dan (2) dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia, antara lain adalah kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem hukum nasional merupakan kesatuan hukum dan perundang-undangan yang terdiri dari banyak komponen yang saling bergantung, yang dibangun untuk mencapai tujuan negara, dengan berpijak pada dasar dan cita-cita hukum negara yang terkandung di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.5 Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan pada dua alasan yaitu : 1. Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di Indonesia. 2. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 mengandung nilai-nilai khas yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu.6 Dalam upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara, maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut : 1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara yakni, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yakni: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur 5 Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 22 6 Ibid, hlm. 23 36 bangsa dengan semua ikatan promordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat, membangun keadilan sosial. 4. Politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk : melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum), menciptakan toleransi hidup beragama berdasarkan keadaban dan kemanusiaan. 5. Sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun makalah tugas UAS ini dengan judul : Hubungan Konfigurasi Politik Hukum Dalam Menyejahterakan Masyarakat Indonesia. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditarik rumusan masalahnya, sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan sosiologis tentang hukum ? 2. Bagaimana realitas konfigurasi politik Hukum di Indonesia ? 3. Bagaimana produk hukum dalam menyejahterakan Masyarakat Indonesia? 4. Bagaimana kondisi masyarakat dan hukum di Indonesia dalam perspektif Emile Durkheim ? C. Tujuan Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, adalah : 1. Untuk mengetahui pandangan sosiologis tentang hukum. 2. Untuk memahami realitas konfigurasi politik Hukum di Indonesia. 3. Untuk mengetahui produk hukum dalam menyejahterakan Masyarakat Indonesia. 4. Untuk menganalisis kondisi masyarakat dan hukum di Indonesia dalam perspektif Emile Durkheim. D. Manfaat Penyusunan Makalah 1. Manfaat Secara Akademis a. Secara akademis atau teoritis melalui makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan Ilmu Hukum, khususnya matakuliah Sosiologi Hukum. b. Menambah pemahaman penulis dan sebagai bahan pustaka Matakuliah Sosiologi Hukum pada Program Magister Hukum, Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA). 2. Manfaat Secara Praktis 37 a. Menambah wawasan penulis dalam memahami matakuliah Sosiologi Hukum, khususnya tentang Konfigurasi Politik Hukum, tentang Masyarakat, dan Hukum dalam perspektif Sosiologi Hukum. b. Sebagai informasi dan sekaligus menjadi salah satu bahan pengetahuan, guna melakukan analisis lebih dalam, tentang Sosiologi Hukum. c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum, dalam upaya mengkritisi teori-teori dalam Sosiologi hukum. E. Metode, Prosedur Pengumpulan Dan Analisis Data 1. Metode Pengumpulan Data. Data-data dalam makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari: a. Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang dibahas. b. Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasilhasil penelitian, atau pendapat pakar hukum lainnya. 2. Prosedur Pengumpulan Data. Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan pada makalah ini, maka pengumpulan bahan-bahan referensi dilakukan dalam rangka memperoleh data primer dan sekunder. Langkah awalnya adalah dengan melakukan inventarisasi terhadap sumber-sumber sebagai referensi, kemudian menuliskannya secara sistematis. 3. Analisis Data. Pada makalah ini, analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan cara mensistematika bahan-bahan atau buku-buku yang ada. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan yang ada tersebut untuk memudahkan analisis dan merumuskan konstruk atau konsep dalam makalah ini.7 II. PEMBAHASAN A. Pandangan Sosiologis Tentang Hukum Pandangan atau pemikiran ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich dan Max Weber. Menurut aliran sosiologi, hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 251-252. 38 hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkambangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.8 Oleh sebab itu menurut pandangan atau pemikiran sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaankebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya di masyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturanperaturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain di dalam masyarakat itu.9 Menurut Soekanto, aliran Sosiological Jurispridence yang dipelopori oleh Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal dari Austria, bukunya yang terkenal “Fundamental Principle of The Sociology of Law”. Erlich mengatakan bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri. Kemudian dalam hal tata tertib di masyarakat dilaksanakan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.10 Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964), yang berasal dari Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. 11 Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada hukum sebagai suatu proses yang hidup dimasyarakat (law in action) dan ada hukum yang tertulis (law in the books). Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi semua bidang hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah sudah sesuai dengan yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi hukum itu sampai kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu peraturan dengan efek-efek nyatanya.12 8 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 9. 9 Ibid, hlm. 10. 10 Sabian Usman, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 155. 11 Ibid 12 Ibid, hlm. 157 39 Leon Duguity terkenal dengan konsepsi ‘Solidaritas Sosial’ menyatakan bahwa berlakunya hukum itu sebagai suatu realita, ia diperlukan oleh manusia yang hidup bersama dalam masyarakat. Hukum tidak tergantung pada kehendak penguasa, tetapi bergantung kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari para anggota masyarakat untuk menaatinya. Suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif. Menurut Duguity, pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum, tetapi hanya mentransformasikan saja hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.13 B. Realitas Konfigurasi Politik Hukum Di Indonesia. Pada dasarnya politik hukum merupakan suatu kajian yang tidak hanya berbicara pada tataran proses dari hukum-hukum yang akan dan sedang diberlakukan tetapi juga mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku. Politik hukum ini mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU, tetapi juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara pelaksana putusan pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita hukum, cita-cita dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi. Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD, menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau berpendapat bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.14 Pengertian politik hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD tersebut sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang juga bermakna legal policy.15 Perbedaannya, Abdul Hakim lebih mengedepankan kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dalam hal bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan citacita awal suatu negara.16 13 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Op. Cit., hlm. 10 M. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES,1998, Jakarta, hlm. 8 15 Lihat Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, hlm. 27. 16 Ibid., hlm. 27. 14 40 Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.17 Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.18 Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita.19 Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa politik hukum tidak terlepas dari realitas sosial dan tradisional yang ada dalam negara kita, di sisi lain sebagai anggota masyarakat internasional, politik hukum Indonesia juga terkait dengan realita dan politik hukum internasional.20 Faktor-faktor yang menentukan politik hukum bukan hanya ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, para teoretisi maupun praktisi hukum saja, namun juga tergantung pada kenyataan dan perkembangan hukum internasional. Menurut perspektif F. Sugeng Istanto, politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu politik hukum sebagai terjemahan dari Rechts Politik, politik hukum bukan terjemahan dari Rechts politik dan politik hukum yang membahas tentang public policy.21 Politik hukum memerlukan sebuah mekanisme yang melibatkan banyak faktor. Kita mengenal mekanisme ini sebagai sebuah proses politik hukum. Dari pengertian ini, politik hukum mempunyai dua ruang lingkup yang saling terkait, yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Sebagai dimensi filosofis-teoritis, politik hukum merupakan parameter nilai bagi implementasi pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Sebagai dimensi normatifoperasional, politik hukum lebih terfokus pada pencerminan kehendak penguasa terhadap tatanan masyarakat yang diinginkan.22 Pada tataran empiris, Mahfud MD berusaha menjelaskan hakekat politik hukum dengan langsung menggunakan pendekatan politik hukum dalam penelitiannya. Mahfud melihat hukum dari sisi yuridis-sosio-politis, yaitu 17 Padmo Wahjono, dalam Mahfud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali, Jakarta, hlm. 1. 18 Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum, menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 15. 19 Soedarto dalam Mahfud MD, Ibid., hlm. 14. 20 C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 1 21 F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6. 22 Marzuki Wahid, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999), hlm. 104-105. 41 menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Menurut Mahfud, hukum tidak bisa dijelaskan melalui pendekatan hukum semata, tetapi juga harus memakai pendekatan politis.23 Indonesia merupakan negara yang menganut faham Rechtstaat (negara berdasarkan hukum), mempunyai agenda utama dalam mengarahkan kebijakan hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945. Namun demikian, menurut Abdul Hakim, dalam proses pembangunan di Indonesia yakni pada masa orde baru, teryata banyak birokrat dan militer yang mendominasi, sedangkan organisasi-organisasi sosial di luar itu terpinggirkan dan kebijakan hukum terkesan hanya mewakili kelompok-kelompok yang berkuasa. Oleh karena itu keadilan sosial dan demokrasi yang dicita-citakan tidak terwujud. Maka perlu adanya pembangunan hukum yang menyertakan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat agar kepentingan mereka dapat terakomodasi.24 Selanjutnya, terkait dengan konfigurasi politik, Mahfud MD membangun hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Dan, dalam penelitiannya,25 Mahfud menguraikan, variabel bebas (konfigurasi politik) dan variabel terpengaruh (karakter produk hukum) dibagi dalam dua ujung yang dikotomis. Variabel konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter, sedangkan variabel karakter produk hukum dibagi atas produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas. Dengan pemecahan kedua variabel tersebut ke dalam konsep-konsep yang dikotomis, hipotesis di atas dinyatakan secara lebih rinci bahwa; konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif/ ortodoks atau menindas. Konsep demokratis dan otoriter diidentifikasi berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif, dan kebebasan pers; sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan kewenangan menafsirkan hukum.26 Berdasarkan indikator-indikator itu, maka Mahfud menjabarkannya dalam pengertian konseptual sebagai berikut :27 23 Moh Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 11 Ibid., hlm. 35. 25 Lihat Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 24 hlm. 6. 26 Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper and Row, New York. 27 Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Op. Cit. hlm. 8. 42 1. Konfigurasi politik demokratis. Adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi yang demikian pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara, sedangkan dunia pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman pembreidelan. 2. Konfigurasi politik otoriter. Adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan parpol tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah; sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa di bawah kontrol pemerintah dan bayang-bayang pembreidelan. 3. Produk hukum responsif/otonom. Adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga-lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat; sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri. 4. Produk hukum konservatif/ortodoks. Adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan, sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Jika prosedur seperti itu ada, biasanya lebih formalitas. Di dalam produk yang demikian biasanya hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. Rumusan materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja sehingga dapat diinterpretasi pemerintah menurut visi dan kehendaknya sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan. 43 Hukum merupakan hasil tarik-menarik pelbagai kekuatan politik yang terealisasi dalam suatu produk hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hukum merupakan instrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehinggapembentukan peraturan perundang-undangan disarati oleh berbagai kepentingan. Oleh karena itu pembuatan undang-undang menjadi medan pertarungan dan perbenturan berbagai kepentingan badan pembuat undangundang yang menerminkan suatu konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang terdapat dalam masyarakat.28 Konfigurasi bermakna bentuk wujud ( untuk menggambarkan orang atau benda),29 sedangkan Moh. Mahfud MD memberikan pengertian terhadap konfigurasi dengan susunan konstelasi politik.30 Kata konstelasi politik, terdiri dari dua kata, yaitu konstelasi dan politik. Kata konstelasi bermakna gambaran atau keadaan yang dibayangkan. Dalam negara demokratis, pemerintah sedapat mungkin merupakan cerminan dari kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, konstelasi politik adalah rangkuman dari kehendak-kehendak politik masyarakat. Menurut Mahfud MD politik hukum juga berkaitan dengan pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.31 Konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum yang sesuai dengan konfigurasi yang digunakan. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan pemerintah sebagai badan pembuat undang-undang menjadi penting karena proses pembuatan undang-undang modern bukan sekedar perumusan materi hukum secara baku sesuai rambu-rambu yuridis saja, melainkan pembuatan suatu keputusan politik. Intervensi-intervensi dari eksternal maupun internal pemerintah, bahkan kepentingan politik global secara tidak langsung turut mewarnai proses pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut terutama dilakukan oleh kelompok yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan baik secara politik, sosial maupun ekonomi.32 Mahfud MD menggambarkan dua konsep politik hukum yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi berperannya potensi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas asas mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan 28 Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 126. 29 Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 723 30 Moh. Mahfud MD, Op. Cit. Politik Hukum, hlm. 76. 31 Ibid., hlm.1-2. 32 Satjipto Rahardjo, Op. Cit. Sosiologi Hukum, h1m. 26l. 44 diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik di negara demokrasi. Konfigurasi politik demokratis melahirkan produk hukum responsif. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi ini dicirikan oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijakan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal. Konfigurasi politik otoriter menghasilkan produk hukum yang berkarakter ortodoks.33 Bintan Ragen Saragih34 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai suatu kekuatan-kekuatan politik yang riel dan eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi ini biasanya muncul dalam wujud partai-partai politik. Jika partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam pengambilan kebijakan hukum maupun kebijakan lainnya, maka konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Sedangkan apabila berlaku sebaliknya maka konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik otoriter. Kekuatan politik juga nampak dalam organisasi-organisasi kepentingan, tokoh berpengaruh dan sebagainya. C. Produk Hukum Dalam Menyejahterakan Masyarakat Indonesia. Seperti telah diutarakan pada sub-Pendahuluan diatas, bahwa titik awal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dicanangkan oleh para “Founding Fahter” bangsa Indonesia secara Politik pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah dalam bentuk “Deklarasi Kemerdekaan,” yang kemudian, secara yuridis pada tanggal 18 Agustus 1945, Tujuan Negara Republik Indonesia tercantum di dalam alinea ke-4 Preambule Undang Undang Dasar 1945. Guna mewujudkan maksud sebagaimana pada alinea 4 Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 diatas, para pendahulu kita tersebut mengamanatkan kembali pada Konstitusi Negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sebenarnya momentum pertama upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, yakni melalui pembentukan aturan dengan dikeluarkannya Undang Undang no. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih popular dengan sebutan UUPA. Hanya saja dalam perjalanannya UUPA pada masa Pemerintah Orde Baru, khususnya dalam “action”nya mulai meninggalkan keberpihakan kepada masyarakat kecil, kelompok terbesar dari penduduk negeri 33 Satya Arinanto, Kumpulan Materi Presentasi Hukum (dikumpulkan dari berbagai referensi), (Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hlm.77. 34 Bintan Ragen saragih, 2006, Politik Hukum, CV Utomo, Bandung, hlm. 33. 45 ini. Sementara itu, banyak kalangan berpendapat di era 1960, saat terbentuknya UUPA adalah prestasi besar bangsa Indonesia karena telah berhasil “mendobrak” tatanan hukum agraria peninggalan Pemerintah Kolonial. Selanjutnya, rekomendasi terhadap pengkajian ulang atas peraturan perundang-undangan bidang agraria dapat berupa : 1. Perubahan atas satu atau beberapa hal saja; 2. Mempertahankan peraturan yang ada; dan 3. Mengganti seluruhnya. Intinya adalah, jika peraturan lama substansinya tidak pro kesejahteraan rakyat maka diganti seluruhnya. Bila sebagian saja direvisi, dan bila baik dan sesuai saja dengan misi perbaikan kehidupan rakyat maka peraturan dimaksud justru tetap dipertahankan. Secara substansial produk perundang-undangan bidang agraria yang berpihak kepada kehidupan masyarakat berdasarkan masanya, terbagi menjadi 3 masa, yaitu: 1. Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru; 2. Masa di awal reformasi 1998; dan 3. Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001. 1. Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru; Perlu kiranya dicatat disini bahwa produk perundang-undangan agraria dimasa Orde Baru yang berpihak kepada masyarakat menengah kebawah tidaklah nol sama sekali. Diakui memang ada regulasi bidang pertanahan yang baik dan berpihak kepada masyarakat kecil, akan tetapi dalam implementasi kebijakan lebih banyak menyentuh pihak kalangan menengah keatas dan para pemodal. Dimasa akhir Pemerintahan Orde Baru ada 2 produk hukum pertanahan yang diterbitkan, yaitu: a. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran Tanah35 Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran Tanah. Hal ini merupakan salah satu produk peraturan pertanahan yang diharapkan oleh semua rakyat Indonesia. Peraturan sebelumnya (PP No.10 Tahun 1961) sudah berlaku selama 36 tahun. Pertimbangan juridis atas digantinya peraturan pemerintah yang lama adalah bahwa Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 kurang dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada pemegangnya, karena menganut sistem pendaftaran negatif mutlak. 35 PP No. 24 Tahun 1997 dalam konsiderans hurup a menyebutkan; “bahwa Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum bidang pertanahan”. Selanjutnya dalam konsiderans hurup c disebutkan: “PP No. 10 Tahun 1961 Tentang pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada Pembangunan Nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.” 46 Alasan lain adalah peraturan sebelumnya kurang mendukung percepatan pembangunan nasional yang volumenya semakin besar dan kompleks. Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan sangat mengharapkan adanya kepastian hukum. Pasal 19 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengamanatkan bahwa untuk jaminan kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomo 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang memuat asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka lebih dikedepankan. Pencapaian legislasi aset tanah masyarakat dan tanah pemerintah merupakan Program Strategis Pertanahan oleh Pemerintah untuk memberikan dan mencapai keadilan serta kesejahteraan rakyat. Semenjak terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang baru Tentang Pendaftaran Tanah, target pendaftaran tanah dari program yang dicanangkan hanya mencapai 37 % saja. Bila dibandingkan dengan masa 36 tahun Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut diberlakukan, maka capaian angka 37 % tersebut dirasa sangat kecil, ini berarti Peraturan Pemerintah dimaksud pelaksanaannya perlu ditinjau ulang, hingga pemerintah pada akhirnya berkesimpulan bahwa diatara penyebabnya adalah substansi peraturan itu sendiri yang tidak mendukung sehingga harus diperbaharui. Ada beberapa perbedaan yang terdapat antara Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yaitu: 1) Pendaftaran tanah secara sistematik; dimana di dalam Peraturan pemerintah yang lama hal ini memang ada, tetapi tidak terlalu dipacu dengan berbagasi regulasi dan kebijakan dalam implementasi program. 2) Pendaftaran tanah secara sporadik; dimana di dalam Peraturan pemerintah yang lama hal ini juga ada, akan tetapi sosialisasi dan motivasi kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk mendaftarkan tanahnya secara sukarela sangat kurang dilakukan oleh pemerintah. Kesiapan dari institusi pertanahandari pusat hingga daerah juga tidak terkoordinasi dengan baik, disamping mental dari sebagaian aparat pelaksana yang kurang mendukung. 3) Adanya percepatan waktu dalam proses pendaftaran tanah, dan biaya yang cukup terjangkau. Sedangkan dalam Peraturan 47 Pemedrintah Nomo 10 Tahun 1961, tenggat waktunya lebih lama, dan biaya dirasa masih cukup tinggi, di samping tidak ada transparansi dari instansi pendaftaran tanah itu sendiri. 4) Tenggang waktu pengajuan keberatan atas tanah yang sudah terdaftar untuk pertama kali; Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, hal ini tidak diatur. Pihak yang merasa keberatan atas diberikannya hak atas tanah kepada pemegang hak diberikan kesempatan untuk mengajukan tuntutan kepada pemegang hak itu sendiri, atau kepada instansi yang memberikan hak itu, atau kepada pengadilan dalam tenggang waktu 5 tahun terhitung suatu hak diberikan.Cara inilah yang oleh para ahli dan pengamat hukum agraria dinamakan “sistem pendaftaran tanah negatif yang berkecendrungan positif.” Dalam peraturan pendaftaran tanah sebelumnya halsama sekali tidak diatur. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menganut “sistem pendaftaran tanah negatif (negatif murni). Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah yang baru (PP No. 24 Tahun 1997), diwacanakan segala kekurangan yang ada pada Peraturan Pemerintah yang lama (PP No. 10 Tahun 1961) sebagaimana diutarakan di atas dapat dihilangkan dan peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan berjalan lancar, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Menurut Effendi Perangin, fungsi dari pendaftaran tanah itu sendiri adalah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum mengenai tanah.36 Hal positif Yang dirasakan dengan sstem pendaftaran tanah yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu Sistem pendaftaran Tanah Negatif Yang Berkecendrungan Positif adalah adalah bahwa baik pihak yang merasa dirugikan dengan terdaftarnya hak atas tanah bagi pemegang hak diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan keberatan. Sebaliknya bagi pemegang hak atas tanah juga ada jaminan kepastian hukum manakala masa menuntut telah terlampaui (5 tahun). Hal ini berarti pemegang hak tidak terbebani oleh tuntutan hak dari seseorang dimasa yang akan datang. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pemegang hak dapat saja dituntut kapan saja tanpa batas waktu meskipun ia memiliki dan menguasai tanah selama puluhan tahun. b. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar 36 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum),Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 96. 48 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ditanda-tangani dan diberlakukan pada tanggal 5 Maret 1998 oleh Presiden Soeharto, 50 hari sebelum beliau menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya BJ Habibie.Nampaknya pemerintah menyadari bahwa pemberian hak atas tanah dimasa lalu kepada perorangan, dan badan hukum, kiranya perlu ditinjau ulang dan dibenahi.Alasannya adalah bahwa tanah yang diberikan tidak digunakan oleh pemegang hak sesuai dengan peruntukkan, sifat dan tujuannya, mengingat semua hak atas tanah mempunyai fungsi social.Tidak dimanfaatkannya tanah sesuai dengan peruntukkannya adalah bertentangan dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960. Pengertian Tanah Terlanter terdapat pada penjelasan Pasal 27 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu “tanah diterlantarkan kalau disengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya.”37 Di dalam filosofi hidup bangsa Inonesia, tanah merupakan suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa, sehingga wujud mensyukurinya adalah dengan cara mengusahakan dan memanfaatkan tanah itu sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Bangsa Indonesia yakin dengan sepenuhnya, bahwa dari tanah dapat diwujudkan kesejahteraan. Tujuan Penertiban Tanah Terlantar adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu optimalisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan semua tanah diwilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk menciptakan ketahanan pangan dan energi.38 Di dalam perjalanan waktu Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar setelah berjalannya waktu pada tahun 2010 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Peenertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Alasan dari pencabutannya adalah karena dianggap tidak efektif. Terhadap pencabutan ini 37 Pasal 10 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa: “Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu hakatas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” 38 BPN RI-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, hlm. 6. 49 penulis tetap memberikan apresiasi, karena diakhir kekuasaannya pemerintahan Orde Baru masih sempat memikirkan perbaikan kesejahteraan rakyat. 2. Masa Awal Reformasi 1998 Masa Awal reformasi 1998 merupakan masa dikeluarkannya peraturan agraria pada pertengahan 1998 sampai November 2001 yaitu saat dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001. Nampaknya pada masa ini tidak banyak produk peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh Pemerintah baik berupa Undang Undang, Peraturan pemerintah, Instruksi Presiden, ataupun Peraturan menteri Agraria/Kepala BPN. Nampaknya karena hiruk pikuk politik dalam negeri yang belum kondusip,sehingga para penyelenggara negara belum dapat bekerja secara optimal. Ada 2 (dua) buah peraturan, yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Berikut diuraikan masing-masing peraturan perundangundang dimaksud : a. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.39 Peraturan ini dikeluarkanpada tanggal 24 Juni 1999, saat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dijabat oleh Hasan Basri Durin. Peraturan ini lahir mengingat dimasa itu diberbagai daerah timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan hak ulayat. Untuk itulah kiranya pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan aturan yang dapat dijadikan sebagai acuan/pegangan di dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan hak ulayat/tanah ulayat. Peraturan ini merupakan peraturan bidang pertanahan yang berpihak kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat.Sebelumnya penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat tidak ada pedomannya, jadi tidak ada norma baku yang dapat dijadikan acuan manakala pemerintah hendak menyelesaikan masalah hak ulayat/tanah ulayat. Dampak dari tidak adanya pedoman sebagai acuan adalah terkatung 39 Hal ini disebutkan dalam pertimbangan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 hurup b: “Bahwa dalam kenyetaannya pada waktu ini banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan, penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adar yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.” 50 katungnya proses penyelesaian, lamanya waktu penyelesaian, dan bahkan masalah hak ulayat/tanah ulayat dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian.Pembentukan peraturan ini merupakan implementasi dari konstitusi Negara dan UUPA itu sendiri. b. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan disahkan oleh Presiden BJ Habibie pada tanggal 30 September 1999 dan diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara pada tanggal yang sama dengan tanggal pengesahannya.Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alamyang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Dalam ayat (4) nya disebutkan pula bahwa: “Dalam pengertian bumi termasuk pula tubuh bumi, dibawahnya serta yang berada dibawah air. Jadi pengertian agrarian dalam arti luas termasuk juga sektor kehutanan karena obyek hutan berada berada dipermukaan bumi (tanah).” Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa asas pengelolaan sumber kehutanan di dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah asas manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tidak lepas pula kritik karena dianggap masih berpihak kepada pemodal, namun demikian, kita bisa melihatnya dari dua sisi; 1. Kelahiran Undang Undang Kehutanan di awal reformasi (masa transisi); 2. Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut ada mengatur dan melindungi hak masyarakat hukum adat. Dengan dikeluarkannya undang-undang dimasa transisi berarti substansi undang-undang (kehutanan) disorot dan diamati oleh banyak kalangan, jadi meskipun Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak lepas dari kritik terhadap isinya, namun undang-undang tersebut tentu lebih baik dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN Tahun 1967 No. 8).Selanjutnya apabila dihubungkan dengan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi hak masyarakat hukum adat, penulis berpendapat ketentuan dalam pasal-pasal tersebut implementasinya akan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan rakyat. Tujuan untuktercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan 51 melalui beberapa aspek.Misalnya peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan, identifikasi terhadap pihakpihak yang diragukan dalambeberapa konflik kepentingan, serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat.40 Berikut ini akan dikemukakan pasal-pasal di dalam Undang Undang Nomo 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengatur dan melindungi hak masyarakat hukum adat : 1. Pasal 1 ayat (6) :”Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukumadat’. 2. Pasal 4 ayat (1) : “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”(3): “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepenjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. 3. Pasal 5 ayat (1) : Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan Negara; dan b. hutan hak. (2) Hutan Negara sebagaimana disebut pada ayat (1) hurup a dapat berupa adat. (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana seagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberdaannya. (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. 4. Pasal 34 : Pengelolaan kawasan hutann untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada; a. masyarakat hukum adat, b. lembaga pendidikan, c. lembaga penelitian, d. lembaga social dan keagamaan. 5. Pasal 37 : ayat (1) Pemenfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya.(2): Pemenfaatan hutan adat yang berfungsi lindung 40 Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Penerbit Media Abadi, Sleman-Yogyakarta, hlm. 151. 52 dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. 6. Pasal 67 : ayat (1): Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a. melakukan pemungutan hasil hutan untk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Ayat (2) : Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Daerah. D. Kondisi masyarakat dan hukum di Indonesia dalam perspektif Emile Durkheim. Menganalisis masyarakat Indonesia, melalui perspektif Emile Durkheim, nampaknya masyarakat Indonesia agak sulit untuk dikelompokkan ke salah satu golongan secara tegas, baik kelompok masyarakat simpel atau masyarakat kompleks. Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa masyarakat Indonesia berada dalam masa transisi di antara keduanya.41 Alasannya, masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat dalam tipe tertentu, akan tetapi merupakan sekumpulan masyarakat yang beraneka ragam sesuai dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” bangsa ini sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Contohnya, masyarakat Jawa pedalaman, mereka akan lebih pas dikatakan sebagai masyarakat sederhana yang memiliki solidaritas mekanik dan hukum represif.42 Mereka dalam tataran tertentu mengagungkan hukum adat atau 41 Penyebutan transisi ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa pikiran Durkheim masih berpeluang untuk dikritisi dan dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya era saat ini. 42 Berdasarkan contoh di atas, mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa masyarakat sederhana identik dengan masyarakat pedesaan sedangkan masyarakat kompleks lebih sesuai dengan masyarakat perkotaan. Pendapat ini boleh jadi benar, akan tetapi Durkheim, seperti dijelaskan Turkel, sama sekali tidak menyinggung pembagian masyarakat ditinjau dari sisi lokasi atau wilayah, namun lebih kepada pembagian masyarakat berdasarkan karakter penduduknya. Meski begitu, ada juga salah satu sumber yang membandingkan pikiran Durkheim dengan pikiran Tonnies tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeninschaft memiliki ciri-ciri 1) merupakan masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman 2) memiliki tujuan kesatuan yang esensial, dan 3) orang bekerja sama untuk kepentingan bersama. Adapun Gesellschaft memiliki karakter antara lain 1) kumpulan (association) yang menjadi ciri kota besar, 2) hidup di kota bercirikan perpecahan, individualisme dan mementingkan diri sendiri, dan 3) di kota tidak ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga. Dari sini dapat dilihat bahwa Gemeinschaft memiliki ciri masyarakat pedesaan yang identik dengan solidaritas mekanik. Di sisi lain, Gesellschaft memiliki karakter masyarakat kota yang mirip dengan solidaritas organik. (Rangkuman Modul Sosiologi Perkotaan, Universitas Terbuka, http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online). 53 kepercayaan nenek moyang ketimbang hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun masyarakat perkotaan, Jakarta sebagai misal, tentu akan mudah dikatakan sebagai masyarakat kompleks dengan solidaritas organik dan hukum restitutif yang nyata. Masyarakat sederhana memiliki kecenderungan untuk memakai hukum adat. Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia masih terkotak dalam budaya masyarakat homogen tertentu dan cukup kuat memegang hukum dan tradisi adat mereka.43 Setelah kemerdekaan, dengan pembangunan yang cukup pesat dan intensitas interaksi antar personal dan bahkan antar negara meniscayakan adanya solidaritas organik dan hukum restitutif. Masyarakat Indonesia secara umum dapat dikatakan sebagai masyarakat “menuju” kompleks yang membutuhkan hukumhukum spesifik dengan jumlah cukup banyak untuk mengatur kehidupan baik pribadi, kelompok, maupun masyarakat luas. Munculnya pembidangan dalam Trias Politika: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif mencerminkan masyarakat kompleks yang meniscayakan pembagian kerja lebih khusus. Begitu juga banyaknya Undang-undang yang lahir menunjukkan betapa kehidupan ini membutuhkan aturan spesifik sehingga konflik antar manusia dalam masyarakat dapat diatasi dengan cepat. Meskipun begitu, Rahardjo (1984: 99) menegaskan bahwa hukum selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya. Hukum tidak akan dapat mengatasi seluruh permasalahan sosial sebab hukum selalu terlambat hadir ketimbang permasalahan masyarakat. Selanjutnya, hal yang patut menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat yang kompleks dengan hukum restitutifnya akan lepas dari sifat hukum yang represif ? Pertanyaan seperti ini sudah diantisipasi oleh Durkheim sebagaimana disampaikan Turkel (t.th. : 33) dengan mengatakan bahwa pada akhirnya hukum yang represif akan hilang dari hukum restitutif. Nampaknya Durkheim tidak memperhatikan bahwa dalam masyarakat kompleks sebenarnya banyak hal yang justru lebih bernuansa represif daripada hukum yang dimiliki masyarakat sederhana. Contohnya, dalam masyarakat sederhana akan sulit ditemukan kejahatan yang beraneka ragam karena kontrol sosial dan efek jera hukuman fisik cukup efektif. Dengan demikian, tekanan dalam bentuk ancaman penjara atau hukuman mati yang dialami masyarakat kompleks lebih berat. Secara sederhana, orang dalam masyarakat simpel akan tidak peduli dengan buang sampah sembarangan. Akan tetapi dalam masyarakat kompleks, buang sampah di sembarang tempat akan mengantarnya masuk penjara atau minimal dikenakan 43 Dalam pandangan Hart, sebagaimana dikutip Rahardjo (t.th.: 44), masyarakat yang semacam ini dapat disebut sebagai masyarakat yang berada dalam tingkat primary riles of obligation yang memiliki cirri-ciri antara lain komunitas kecil, didasarkan pada ikatan kekerabatan, memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan berada dalam lingkungan yang stabil. 54 denda. Supremasi hukum (rule of law)44 yang didengungkan terasa membatasi mereka untuk bergerak secara lebih leluasa. Walaupun demikian, dapat dipahami bahwa tekanan jiwa akibat menggunungnya aturan yang dialami masyarakat kompleks merupakan konsekuensi logis dari keinginan bersama untuk mengembalikan situasi kepada kondisi semula. Tak ayal jika hal-hal yang tidak perlu diatur dalam masyarakat simpel menjadi penting dalam masyarakat kompleks. Hal ini karena mengatur masyarakat heterogen lebih sulit ketimbang masyarakat homogen, lebih-lebih, jika dilihat dari model interaksi yang timbul. Dari sisi lain, masyarakat Indonesia dapat pula dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas mekanik, jika ditilik dari watak komunal bangsa ini secara umum, meskipun dalam kondisi tertentu dapat dikatakan memiliki solidaritas organik yang agak dipaksakan. Sikap solidaritas ini diungkapkan dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan yang terangkum dalam pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” (Ali, 2006: 86). Dalam pandangan Rahardjo (2006b: 85-87), bangsa Indonesia boleh dibilang telah menjadi tawanan Barat. Dalam hal hukum, para cendekiawan dan penegak hukum diberi kesempatan untuk belajar hukum di luar negeri, misalnya di Belanda, sehingga apa yang mereka terapkan di Indonesia adalah hukum yang jauh dari watak dan kepribadian bangsa. Sistem hukum barat yang berwatak liberal dan menekankan kebebasan individu menolak partisipasi masyarakat dalam urusan penegakan hukum. Jepang sebenarnya memiliki pengalaman yang sama dengan Indonesia, yakni mengalami pemaksaan hukum dari luar. Namun, mereka telah berhasil memberikan polesan hukum khas Jepang setelah mereka sadar bahwa hukum Barat tidak selaras dengan kepribadian mereka. Masalah budaya hukum ini, Rahardjo (2006b: 85-87) menegaskan bahwa budaya hukum bangsa ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh bangsa itu.45 Masalah yang dihadapi oleh bangsa-bangsa Timur yang terpaksa mengambil hukum barat akan mengalami masalah yang cukup serius karena hukum modern yang mereka ambil tidak selaras dengan nilai budaya yang mereka anut. Indonesia misalnya, kehidupannya masih bersifat komunal dan kolektif sedangkan ajaran barat menuntun mereka untuk bersifat individualistis. Jika hal ini diteruskan, maka Indonesia akan kehilangan jati dirinya. 44 Pembahasan Rule of Law dapat ditelusuri lebih lanjut dalam pelbagai buku antara lain karya Josep Raz (1972) yang berjudul “the Authority of Law” dan Sunarjati Hartono (1976) dalam buku “Apakah the Rule of Law itu?”, atau artikel Ahmad Gunaryo (2006) dengan judul “Dari Rule of Law menuju Rule of Justice” dalam buku “Menggagas Hukum Progresif Indonesia.” 45 Hal ini sejalan dengan Black (1976: 63-80) bahwa salah satu yang mempengaruhi penegakan hukum adalah watak sebuah masyarakat. 55 Selanjutnya, secara teleologis, manfaat pembahasan tentang kedua jenis hukum ini dalam kajian hukum Indonesia adalah bahwa dua karakter yang dibuat Durkheim ini masih dapat diberlakukan untuk membidik masyarakat masa sekarang. Hanya saja varian-variannya kini lebih banyak. Ketika kita dihadapkan kepada situasi riil masyarakat, kita akan banyak menemukan banyak kesenjangan. Contoh kasus, masalah pemilihan jodoh adalah masalah pribadi, tapi mengapa ketika keluarga tidak setuju, hal ini kemudian menjadi masalah besar? Beranikah kita menikahi seorang pelacur di pinggir jalan dengan maksud ingin membantu sementara keluarga tidak ada yang setuju? Atau persoalan selingkuh, mengapa pasangan yang selingkuh diarak beramai-ramai? Juga, mengapa masalah pornografi diatur negara? Dan masih banyak pertanyaan yang bisa kita sampaikan terkait dengan hal ini. Dengan demikian, mengetahui tipe-tipe ini dapat digunakan untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan di masyarakat kita. Jika kecenderungannya komunal maka hukumnya bersifat respresif, namun jika cenderung individual, maka hukumnya bersifat restitutif. Adapun seperti masyarakat yang sangat heterogen, seperti Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Meraoke, perlu dilakukan studi lapangan secara hati-hati sebelum merilis sebuah peraturan atau undang-undang sehingga produk hukum tersebut sesuai dengan kehendak masyarakat dan dapat diterapkan secara efektif dan konsisten. Di akhir pembahasan ini, nampaknya perlu disampaikan bahwa jika peran agama pada suatu masyarakat cukup dominan, umumnya hukum yang berlaku cenderung represif sedangkan dalam masyarakat yang tidak didominasi oleh kekuatan agama, hukum yang berlaku cenderung bersifat restitutif. Dalam kasus Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas penduduk. Dengan demikian, cukup wajar jika beberapa perundang-undangan yang dilahirkan parlemen dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terkait langsung dengan kehidupan keberagamaan, misalnya, undang-undang Perkawinan, undang-undang Wakaf dan terakhir undang-undang Pornografi. Semua itu, meskipun tidak menyebut Islam secara jelas, namun nuansa pengekangan dalam produk hukum tersebut cukup mendominasi. Oleh karena itu, pemikiran Durkheim seputar hukum dan masyarakat menunjukkan bahwa hukum tidak dapat lepas dari akar sejarah dalam masyarakat. Keluasan dan keluwesan hukum bergantung kepada masyarakat yang menciptakan dan yang menjalankan hukum tersebut. Masyarakat sederhana berbeda dalam pemilihan hukumnya dibanding masyarakat kompleks. Masyarakat yang masih sederhana akan cenderung memiliki solidaritas mekanik untuk mempertahankan tatanan yang sudah kokoh di masyarakat. Untuk itulah, mereka memilih hukum represif sebagai piranti penegaknya. Sebaliknya masyarakat kompleks memiliki solidaritas organik dengan hukum restitutif sebagai kendalinya. Nampaknya pemilahan semacam ini terlalu menyederhanakan 56 masalah (over simplification). Pemilahan Durkheim yang terlalu sederhana dalam melihat masyarakat dan hukum sebenarnya akan menimbulkan banyak problem. Masyarakat yang setengah sederhana dan setengah kompleks--atau masyarakat transisi--tidak mendapat sentuhan bahasannya. Begitu pula kelebihan dalam masyarakat sederhana sepertinya tidak menjadi perhatian karena lebih menekankan kepada perlunya hukum restitutif pada era sekarang. Padahal, dalam tataran tertentu, hukum represif masih efektif untuk mencegah berkembangnya ketidakteraturan dalam masyarakat. III. PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian sebagaimana dikemukakan sebelumnya dapatlah penulis kemukakan kesimpulan sebagai berikut : 1. Upaya untuk mensejahterakan bangsa kita sudah dilakukan oleh para pendahulu kita sejak awal kemerdekaan, peminpim selanjutnya harus terus melanjutkan dan bahkan lebih meningkatkannya melalui peran dan kiprahnya masing-masing. Bidang agraria salah satu sektor yang dapat mewujudkan cita-cita proklamasi, mengingat kehidupan bangsa kita sebagian besar masih bercorak agrartis. 2. Upaya pembentukan regulasi bidang yang berpihak kepada perwujudan kesejahteraan rakyat telah dilakukan oleh pemerintah dalam setiap era pemerintahan, yaitu : a. Masa di akhir pemerintahan Orde Baru; b. Masa di awal reformasi 1998; dan c. Masa pasca lahirnya TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001. B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan di atas di atas, berikut penulis mengemukan saran, antara lain : 1. Diperlukan adanya komitmen para pemimpin bangsa baik saat ini maupun dimasa datang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui implementasi peraturan bidang agraria. 2. Kiranya terhadap regulasi bidang agraria/pertanahan yang dijalankan jika substansinya berpihak kepada perbaikan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat perlu dipertahankan, sebaliknya jika tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat, maka peraturannya harus ditinjau ulang, direvisi dan bila perlu diganti agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. 57 DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Hartono. C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung. Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). MD. M. Mahfud, 2010, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta. MD. M. Mahfud, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta. MD. Mahfud, 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta. Marzuki Wahid, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999), hlm. 104-105. Nusantara. AH. Garuda, 1988, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta. Nusantara. AH. Garuda, dalam Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum, menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta. Nonet. Philippe dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper and Row, New York. Rahardjo. Satjipto, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Muhammadiyah University Press, Surakarta. Siddiq Tgk. Muhammad Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Sumardjono. Maria SW, 2009, Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta Penerbit Buku Kompas. Usman. Sabian, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009. Wahjono. Padmo, dalam Mahfud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali, Jakarta. 58 Peraturan Perundang-undangan : Ketetapan MPR RI No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. BPN RI-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. 59