TINJAUAN PUSTAKA Kemandirian Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Assocciation) menemukan bahwa salah satu dari empat kebutuhan psikologis tergantung yang membuat manusia bahagia adalah autonomy atau kemandirian, yaitu rasa bahwa apa yang dikerjakan adalah pilihan dan diperjuangkan oleh diri sendiri (Agussabti 2002, diacu dalam Priana 2004). Budi (2008) mendefinisikan kemandirian sebagai kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Mandiri menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Dari pendapat beberapa ahli, Ruhidawati (2005) mengartikan kemandirian merupakan suatu keadaan dimana seorang individu memiliki kemauan dan kemampuan berupaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara sah, wajar dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya, namun demikian tidak berarti bahwa orang yang mandiri bebas lepas tidak memiliki kaitan dengan orang lain. Mu’tadin (2002) juga mengatakan bahwa untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri Kemandirian pada lansia menurut Snowdon et al. (1989) dapat dipengaruhi oleh pendidikan lansia, dipengaruhi juga oleh gangguan sensori khususnya penglihatan dan pendengaran (Raina et al. 2004), dipengaruhi oleh penurunan dalam kemampuan fungsional (Verbrugge et al. 1997, diacu dalam Mathieson et al. 2002), dan dipengaruhi pula oleh kemampuan fungsi kognitif lansia yang juga menurun (Greiner et al. 1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan mampu mempertahankan hidupnya lebih lama dan bersamaan dengan itu dapat mempertahankan kemampuan fungsional/kemandiriannya juga lebih lama karena cenderung melakukan pemeliharaan dan upaya pencegahan pada kesehatannya (Snowdon et al. 1989; (Pinsky et al. 1987; Haug et al. 1987; Willey et al. 1987; National Center for Health Statistics 1981, 1988), diacu dalam Snowdon et al. 1989). 8 Raina et al. (2004) dalam penelitiannya mendefinisikan kemandirian fungsional pada lansia dengan mengukur keterbatasan aktivitas instrumental sehari-hari (IADL: instrumental activity daily living), kesejahteraan emosi lansia dan persepsi terhadap kontrol pengambilan keputusan sehari-hari. Sementara itu Verbrugge et al. (1997) diacu dalam Mathieson et al. (2002) mengatakan bahwa lansia sering mengalami penurunan dalam kemampuan fungsional dan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam melakukan tugas sehari-hari. Mathieson et al. (2002) dalam penelitiannya mengukur kemandirian lansia dengan melihat kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari berupa aktivitas dasar (BADLs/ basic activities of daily living), aktivitas dalam berpindah/bergerak (MADLs/ mobility activities of daily Living) dan dalam hal penggunaan alat-alat (IADLs/ instrumental activities of daily Living). Setiati (2000) diacu dalam Suhartini (2009b) juga mengatakan bahwa kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) menurut Setiati (2000) ada 2 yaitu AKS standar dan AKS instrumental. AKS standard meliputi kemampuan merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil,dan mandi. AKS instrumental meliputi aktivitas yang komplek seperti memasak, mencuci, menggunakan telepon, dan menggunakan uang. Salah satu kriteria orang mandiri adalah dapat mengaktualisasikan dirinya (self actualized) tidak menggantungkan kepuasan-kepuasan utama pada lingkungan dan kepada orang lain. Mereka lebih tergantung pada potensi-potensi mereka sendiri bagi perkembangan dan kelangsungan pertumbuhannya. Selain itu Greiner et al. (1996) dalam penelitiannya mengatakan bahwa terjadi peningkatan resiko kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) pada lansia dengan fungsi kognitif yang menurun. Lebih lanjut dikatakan bahwa kehilangan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari dapat diantisipasi dan dicegah dengan mekanisme dukungan sosial dan pelatihan secara fisik (Greiner et al. 1996). Adapun kriteria orang yang mandiri menurut Koswara (1991) diacu dalam Suhartini (2009) adalah mempunyai (1) kemantapan relatif terhadap pukulanpukulan, goncangan-goncangan atau frustasi, (2) kemampuan mempertahankan ketenangan jiwa, (3) kadar arah yang tinggi, (4) agen yang merdeka, (5) aktif dan, (6) bertanggung jawab. Lanjut usia yang mandiri dapat menghindari diri dari 9 penghormatan, status, prestise dan popularitas kepuasan yang berasal dari luar diri mereka anggap kurang penting dibandingkan dengan pertumbuhan diri. Havighurst (1972) diacu dalam Mu’tadin (2002) menjelaskan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: • Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain. • Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain. • Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. • Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Aktivitas sehari-hari dalam penelitian Greiner et al. (1996) meliputi aktivitas kekamar mandi (bathing), mengenakan pakaian (dressing), berjalan (walking), berdiri (standing), kekamar kecil (toileting) dan pemberian makanan (feeding). Sementara itu Hurlock (1980) mengatakan bahwa ketergantungan orangtua dalam hal ekonomi khususnya bagi lansia pria merupakan pil pahit yang harus diterima lansia dan akan membuat gerak lansia menjadi terbatas baik secara fisik maupun ekonomi. Suhartini (2009c) dalam penelitiannya mengukur kemandirian lansia dengan melihat kemampuan lansia dalam beraktivitas sehari-hari, kemampuan lansia secara ekonomi dan kemampuan lansia dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Sementara itu dalam penelitian ini berdasarkan beberapa sumber diatas mengukur kemandirian lansia dari empat aspek yaitu kemandirian aktivitas sehari-hari, kemandirian secara emosi, kemandirian secara ekonomi dan kemandirian dalam interaksi sosial lansia. Steinberg (1993) diacu dalam Aspin (2007) mengemukakan pendapat yang didasari oleh toeri Ann Freud (1958), bahwa kemandirian adalah permasalahan sepanjang rentang kehidupan, tetapi perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik yang dapat memacu perubahan emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara berpikir yang mendasari tingkah laku dan juga perubahan nilai dalam peran sosial serta aktivitas. 10 Dukungan Sosial Hubungan dengan orang lain merupakan kunci yang mendasari dukungan sosial sebagai pemenuhan semua kebutuhan sosial ((Bowlby 1969; Weiss 1974), diacu dalam Cutrona 1996). Dukungan sosial didefinisikan sebagai jalan masuk untuk hubungan yang mempertemukan bebagai macam kebutuhan dasar interpersonal ((Kaplan et al. 1977; Lin 1986), diacu dalam Cutrona 1996). Sementara Kaplan et al. (1977) diacu dalam Cutrona (1996) mengatakan definisi dari dukungan sosial menunjukan kepuasan seseorang terhadap persetujuan, penghargaan dan pertolongan oleh seseorang yang berarti. Lebih lanjut Cobb (1979) diacu dalam Cutrona (1996) menjelaskan mengenai konsep dukungan sosial sebagai petunjuk seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan dicintai, dihargai dan memiliki jaringan yang saling memenuhi kewajibannya. Cobb (1979) diacu dalam Cutrona (1996) juga mempercayai bahwa relationship dapat menimbulkan kepercayaan positif masyarakat untuk memulai langkah yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah mereka atau menerima keadaan yang tidak dapat berubah dengan dapat meminimalisasi kehilangan terhadap penghargaan dirinya. Seberapa banyak dukungan sosial anggota keluarga diterima ketika krisis tergantung pada seberapa banyak dukungan yang mereka berikan dari satu orang ke orang lain terutama ketika krisis. Pasangan yang memberikan lebih banyak dukungan kepada anak mereka selama proses pengasuhan mendapatkan lebih banyak bantuan ketika mereka tua (Lee et al. 1994, diacu dalam Galvin et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa komunikasi merupakan jalan penting untuk berbagi dan menerima kesenangan/kenyamanan hidup (Galvin et al. 2003), serta merupakan cara untuk mendapatkan dukungan dari anggota kelompok (Cawyer et al. 1995, diacu dalam Galvin et al. 2003). Komponen dukungan sosial Weiss (1974) diacu dalam Cutrona (1996) mengajukan enam fungsi berbeda dari hubungan dengan sesama manusia yang disebut “the social provision scale” , yaitu: 1. Attachment Hubungan dekat/karib yang menyediakan perlindungan dan keamanan. 11 2. Social integration Perasaan saling memiliki dalam kelompok atau masyarakat dengan kesamaan ketertarikan dan perhatian. 3. Reassurance of worth Pengenalan terhadap keahlian dan kecakapan seseorang. 4. Guidance Penyediaan nasehat dan informasi. 5. Reliable alliance Pengetahuan bahwa orang lain akan menawarkan bantuan tanpa syarat ketika dibutuhkan. 6. Opportunity to provide nurturing Perasaan dibutuhkan untuk kesejahteraan orang lain. Peran dukungan sosial Bee (1996) diacu dalam Chandra (2003) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi pengaruh negatif dari pengalaman yang menyebabkan stres diantara para lansia. Murrell et al. (1992) diacu dalam Hertamina (1996) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan sumber penting bagi lanjut usia tidak hanya untuk mencegah melawan stres, tetapi juga untuk meningkatkan kehidupan lansia. Dukungan sosial juga dapat mengatasi rasa kesepian yang umumnya dirasakan lansia (Hertamina 1996). Antonnucci (2001) menambahkan bahwa seseorang yang merasa banyak memiliki dukungan lebih baik dalam penanggulangan terhadap sakit, stres dan pengalaman yang menyulitkan lainnya. Peran dukungan sosial dalam kehidupan seseorang dapat dijelaskan melalui 2 model (Cutrona 1996; Cohen & Syme 1985), yaitu Main effect model dan Stress buffering effect model. 1. Main Effect Model Dukungan sosial dalam model ini tidak berhubungan secara khusus dengan situasi krisis tetapi merupakan konsep mengenai peningkatan kualitas hidup untuk terlepas dari tingkat kesulitan. Perspektif ini menekankan dengan tingginya kualitas dukungan sosial seseorang maka ia akan lebih santai secara fisik dan mental dalam menghadapi tingkat kesulitan baik rendah maupun tinggi (Cutrona 1996). Cohen dan Syme (1985) menambahkan bahwa model ini melihat fungsi dukungan sosial terhadap kesejahteraan dan 12 kesehatan dengan mengabaikan tingkat stres. Dukungan dinilai dari derajat yang menghubungkan seseorang dengan jaringan sosial. 2. Stres-Buffering Model Dukungan sosial dalam model ini menekankan pemenuhan kebutuhan yang muncul sebagai akibat pengalaman hidup (life event) yang penuh stres atau kejadian yang merugikan. Manfaat utama dari pendekatan ini melindungi penerima dukungan sosial dari terjadinya kemunduran kesehatan dan kesejahteraan yang disebabkan oleh tekanan (baru terjadi maupun secara terus menerus terjadi) atas kejadian yang penuh stres (Cutrona 1996). Dalam model ini Cohen dan Syme (1985); Cohen dan McKay (1988) mengatakan dukungan sosial melindungi seseorang dari efek pathogenic untuk kejadian penuh stres, dengan melibatkan dua point utama yaitu mencegah seseorang untuk menginterpretasikan bahwa suatu kejadian penuh stres dan menanggulangi dampak dari stres yang sudah terjadi dengan mengurangi atau menghilangkan stres. Manfaat dukungan menggunakan kehadiran dari stres. Dukungan dinilai dari tersedianya sumber daya sebagai bantuan kepada seseorang dalam merespon kejadian penuh stres. Bentuk dukungan sosial Terdapat empat bentuk dukungan sosial antara lain yaitu emotional support, esteem support, tangible/instrumental support dan informational support (Cutrona 1996). Dibawah ini akan dijelaskan setiap dukungan tersebut: 1. Emotional Support (Dukungan Emosi) Dukungan emosi meliputi ekspresi dari cinta, empati dan perhatian terhadap individu (Cutrona 1996). Cobb (tanpa tahun) diacu dalam Cohen dan McKay (1988) mengatakan bahwa dukungan emosi mengurangi stres melalui perasaan seseorang terhadap kepemilikan cinta dan atau perasaan dicintai. 2. Esteem Support (Dukungan Penghargaan) Dukungan penghargaan terbentuk melalui pengakuan terhadap kualitas seseorang, kepercayaan terhadap kemampuan seseorang, pengakuan terhadap gagasan seseorang berupa perasaan atau tindakan (Cutrona 1996). Cohen dan McKay (1988) menekankan dukungan ini pada evaluasi dan perasaan seseorang tentang diri mereka sendiri 3. Informational Support (Dukungan Informasi) 13 Dukungan informasi meliputi memberikan masukan mengenai beritaberita faktual, nasehat, informasi atau perkiraan-perkiraan terhadap situasi yang terjadi (Cutrona 1996). 4. Instrumental Support (Dukungan Instrumental) Dukungan instrumental diwujudkan dalam bentuk bantuan atau arahan dalam mengerjakan tugas atau juga berupa sumber-sumber fisik seperti uang, barang-barang atau tempat tinggal (Cutrona 1996) atau disebut juga sumberdaya materi (Cohen dan McKay 1988). Sumber-sumber dukungan sosial Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah seseorang. Hal ini karena individu merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama ataupun bagian dari kelompok lainnya (Nursalam 2009). Sumber-sumber dukungan sosial, antara lain: 1. Keluarga Keluarga memegang peranan besar dalam pemberian dukungan bagi individu. Hal ini juga didukung oleh Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003) mengatakan bahwa jaringan sosial lansia memiliki porsi yang besar pada anggota keluarga dan lebih lanjut dikemukakan Antonucci (1985) diacu dalam Hertamina (1996) bahwa sumber dukungan utama bagi lansia adalah anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Selain itu pasangan seringkali menjadi orang pertama yang memberikan dukungan ketika keadaan krisis (( Beach et al. 1993; Blood & Wolfe 1960; Burke & Weir 1977), diacu dalam Cutrona 1996). Lebih lanjut Antonucci (2001) mengatakan bahwa pasangan merupakan penyedia dukungan yang istimewa. Laki-laki maupun perempuan, keduanya merasa lebih nyaman dengan dukungan dari pasangan mereka. Dukungan dari pasangan lebih disukai untuk dukungan emosi dan insrumental ((Cantor 1979; Cantor et al. 1994), diacu dalam Antonucci 2001). Saudara (kakak atau adik) menjadi penyedia penting untuk dukungan sosial, dan sering kali mereka didorong untuk menjadi penyedia dukungan instrumental, khususnya bagi lansia yang tidak menikah (Antonucci 2001). 14 Hubungan persaudaraan pada usia tua sangatlah penting karena saudara merupakan perawat yang potensial (Chappell & Badger 1987, diacu dalam Connidis 2010), terutama dalam ketiadaan pasangan atau anak sebagai penyedia bantuan (Cicirelli 1992, diacu dalam Connidis 2010). Lebih lanjut Connidis (2010) mengatakan saudara perempuan terutama yang tinggal berdekatan dipandang mempertinggi anggapan bahwa saudara merupakan sumber bantuan yang potensial. Saudara secara umum lebih disukai untuk dukungan emosi dan instrumental pada lansia perempuan dibandingkan pada lansia laki-laki ((Campbell et al. 1999; Minner & Uhlenberg 1997), diacu dalam Connidis 2010). Minner dan Uhlenberg (1997) diacu dalam Connidis (2010) juga mengatakan bahwa saudara lebih aktif dalam menyediakan dukungan emosi dibandingkan dukungan instrumental. Berbagai faktor membuat keluarga merupakan tempat yang terbaik untuk peran dukungan, yaitu: keluarga menghargai kelanjutan hidup dari anggota keluarga yang berusia lanjut. Anggota keluarga yang tua memiliki sejarah biopsikososial dari fungsi, kepribadian dan kesehatan. Diatas semua itu, keluarga lebih dapat menghargai kelanjutan dari kebiasaan, tingkah laku khas, kesukaan dan rutinitas sehari-hari yang dilakukan lansia dari pada orang lain yang bukan keluarga. Disamping itu keluarga juga mengetahui latar belakang cara berpikir, ketertarikan intelektual dan kemampuan dari anggota keluarga yang berusia lanjut (Eyde dan Reich 1983, diacu dalam Hertamina 1996). 2. Teman atau sahabat Teman secara umum menunjukkan peran unik dan penting dalam kehidupan lansia (Adams & Blieszner 1994, diacu dalam Antonucci 2001). Hubungan dengan teman sebaya bersifat tidak mengikat dan teman menyediakan dukungan pada semua usia, tetapi terutama sekali lansia dalam bentuk umpan balik positif dan saling menghargai ((O’Connor 1995; Lansford 2000), diacu dalam Antonucci 2001). Wortman dan Lottus (1992) diacu dalam Hertamina (1996) mengatakan bahwa the sense of support yang kita peroleh lebih penting dibandingkan dari siapa kita memperoleh dukungan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Antonucci dan Kahana (tanpa tahun) diacu dalam Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003) menunjukkan bahwa lansia yang tinggal dengan kelompok umur 15 yang sama (lansia) cenderung untuk memiliki interaksi sosial yang lebih luas dibandingkan bila ia tinggal dengan kelompok umur yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena lansia lebih menyukai bila ia ditemani oleh orang-orang yang seumur dengan mereka dan lansia cenderung berpikir bahwa orang muda tidak ingin berhubungan dengan mereka. Stres Menurut Atkinson et al. (2000) stres terjadi jika orang dihadapkan pada peristiwa yang mereka rasakan dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologinya. Dengan kata lain stres merupakan hasil dari hubungan (relationship) antara individu dengan lingkungannya. Salah satu ciri yang paling jelas tentang pengalaman stres adalah kuatnya pengaruh psikologis. Orang menunjukkan perbedaan individual yang besar dalam reaksi mereka terhadap stresor. Bahkan respon fisiologis terhadap peristiwa yang sulit dapat dipengaruhi oleh proses psikologis (Atkinson et al. 2000). Lebih lanjut stres didefinisikan sebagai respon atau keadaan tegang yang dihasilkan oleh stressors atau tuntutan (nyata ataupun persepsi) dan tidak dapat dikendalikan ((Antonovsky 1979; Burr 1973), diacu dalam Friedman et al. 2003). Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres sebagai ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan. Menurut Selye (1956) stres dibatasi sebagai respon non spesifik pada tubuh terhadap berbagai jenis tuntutan. Sindrom Adaptasi Umum (General Adaption Syndromel /GAS) adalah konsep yang dikemukakan oleh Selye yang menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1. Peringatan (alarm reaction), tahap pengenalan terhadap stres dimana terjadi shock bersifat sementara (pertahanan terhadap stres di bawah normal) dan mencoba dihilangkan. Tahap ini berlangsung singkat, jika stres berlanjut maka individu akan ke tahap selanjutnya. 2. Perlawanan (resistance), pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap ini, tubuh dipenuhi hormon stres; tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan meningkat. Bila upaya yang dilakukan gagal dan stres tetap ada, akan masuk ke tahap selanjutnya. 16 3. Kelelahan (exhausted), kerusakan pada tubuh semakin meningkat dan kerentanan terhadap penyakit pun meningkat. Secara spesifik stres merupakan gejala psikologis yang menurut Lazarus (tanpa tahun) diacu dalam Utomo (2009), sebagai sebuah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuan dan membahayakan kebahagiaan dan kepuasannya, singkatnya merupakan gejala yang timbul akibat kesenjangan (gap) antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi. Lazarus (1966) diacu dalam Greenberg (2002) juga mendefinisikan stres meliputi keseluruhan faktor (stimulus, respon, penilaian kognitif terhadap ancaman, coping style, pertahanan psikologis dan lingkungan pergaulan sosial). Mason (1975) diacu dalam Greenberg (2002) dengan tepat menggambarkan masalah ini menyebutkan beberapa jalan yang berbeda, istilah stres digunakan : 1. Sebagai stimulus, merujuk kepada definisi stresor 2. Sebagai respon, merujuk kepada definisi stres reactivity 3. Interaksi dari beberapa faktor merujuk kepada definisi Lazarus 4. Interaksi antara stimulus dan respon. Respon stres Taylor (1991) diacu dalam Wangsadjaja (2009) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu: 1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. 2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. 3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. 17 4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan. Sumber stres Sumber stres berada didalam individu dalam bentuk motif atau keinginan yang bertentangan. Peristiwa stres menurut Atkinson et al. (2000) dapat dikategorikan sebagai peristiwa traumatik diluar rentang pengalaman manusia yang lazim, peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, peristiwa yang tidak dapat diperkirakan dan peristiwa yang menantang batas kemampuan manusia. Riset yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe (1967) diacu dalam Atkinson et al. (2000) berpendapat bahwa setiap perubahan dalam kehidupan yang mengharuskan banyak penyesuaian ulang dapat dirasakan sebagai peristiwa yang menimbulkan stres. Stressor atau sumber stres menurut Selye (1956) merupakan keadaan alamiah yang dapat menimbulkan stres. Stressor merupakan pencetus atau agen aktif yang menjadi pemicu dalam proses stres ((Burr et al. 1993; Crismon & Fowler 1980), diacu dalam Friedman et al. 2003). Agent aktif pemicu stres dalam keluarga yaitu “life events” atau peristiwa dengan besaran yang cukup yang membawa perubahan dalam sistem keluarga (Hill 1949, diacu dalam Friedman et al. 2003). Stressor keluarga dapat berasal dari interpersonal (dari dalam dan luar keluarga), lingkungan, ekonomi atau pengalaman sosialbudaya (Friedman et al. 2003). Gejala stres Stres yang terjadi pada setiap orang pasti berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala yang dialaminya. Menurut Badran (2005) diacu dalam Aprilianti (2007) menyatakan bahwa gejala stres dapat dilihat dari ciri-ciri segi fisik maupun mental. Berdasarkan segi fisik dapat dilihat bahwa dalam keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada fisik seseorang. Para ahli mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena adanya aktifitas besar pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh ketika menghadapi sesuatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas itu dapat mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya tangan berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit, denyut jantung naik, suara serak, sering buang air kecil. Berdasarkan segi mental, stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta menyebabkan berbagai kelainan pada 18 dirinya sendiri seperti gampang tersinggung, tidak percaya diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur, merasa lemah dan gagal (Aprilianti 2007). Tingkat stres Selye (1956) mengemukakan bahwa berat ringannya stress tergantung kepada tiga hal, yaitu : 1. Stressor atau sumber stress itu sendiri, dalam hal ini rangsangan yang dirasakan sebagai ancaman atau yang dapat menimbulkan perasaan negatif. 2. Frekuensi atau lama terpapar terhadap stressor, 3. Intensitas reaksi fisik dan emosi yang disebabkan oleh stressor. Tingkat stres dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat stres seseorang dapat diketahui dengan memperhatikan gejala-gejala stres yang ditujukan, baik gejala fisik maupun gejala emosional (Wilkinson 1989, diacu dalam Furi 2006) Mc Elroy dan Townsend (1985) diacu dalam Astuti (2007) mengungkapkan bahwa tingkat stres dibutuhkan untuk membentuk stimulasi dan tantangan dari lingkungan. Pada beberapa tingkat stres dapat diatasi dengan mudah, tetapi ada pula tingkat stres yang sangat sulit diatasi sehingga menciptakan situasi krisis. Adanya stres pada tingkat tertentu dianggap mampu meningkatkan kemampuan, sehingga sering kali diasumsikan sebagai “tekanan yang menyehatkan” (Turner & Helms 1986, diacu dalam Astuti 2007). Tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber stres, sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres. Tingkat stres yang berbeda-beda tiap individu merupakan salah satu faktor pembeda dalam melakukan coping terhadap stres ( Ifada 2004). Teori Stres Model Stres ABC-X (Hill 1949) Model stres ABC-X pertama kali diperkenalkan oleh Hill (1949) sebagai model stres dalam keluarga sebagai dampak dari “life event” yang terjadi dalam keluarga sepanjang rentang kehidupan. Dalam kerangka kerja model stres Hill diperkenalkan tiga variabel yaitu: faktor A merupakan kejadian yang menjadi pencetus timbulnya stres (stressor); faktor B merupakan sumberdaya atau 19 kekuatan yang dimiliki keluarga pada saat kejadian stres dan faktor C merupakan pemahaman atau pemakanaan keluarga terhadap kejadian yang dialami, yang pada akhirnya ketiga variabel tersebut saling berinteraksi dan menimbulkan X (sebagai krisis atau stres) (Boss 1987). A B + Krisis - Koping C = X Derajat Stres Gambar 1 Model ABC-X Hill yang telah direvisi untuk menujukkan derajat stres dan alternatif pemecahan masalah. Double ABC-X Model (McCubbin dan Patterson 1982) Model ini merupakan modifikasi dari model stres Hill. Dalam model ini faktor A diperluas meliputi stressor alami dan juga stressor yang telah menumpuk. Konsep koping juga ditambahkan dan merupakan variabel kunci yang menjelaskan perbedaan tingkatan pada adaptasi dari keluarga. Dalam model Hill digambarkan adaptasi setelah krisis dalam keluarga terjadi missing dalam peran suami/ayah (Faux 1998, diacu dalam Friedman et al. 2003). Family Adjusment and Adaptation Response (FAAR) (Paterrson 1988) Model ini dibangun berdasarkan pada Double ABC-X Model, yang menekankan pada kemungkinan-kemungkinan dari keluaran yang positif. Model ini konsisten dengan banyak studi yang telah dilakukan yaitu berfokus pada relationship dan resiliency (kelentingan) dari keluarga dan individu (Antonovsky 1979, diacu dalam Friedman et al. 2003). Berdasarkan situasi dan pengertian umum (seperti hubungan keluarga) dipandang mempengaruhi keduanya yaitu tuntutan atau stressor (ketegangan dan pertengkaran) dan kemampuan (sumberdaya dan perilaku koping). Tuntutan versus kemampuan berperan penting untuk membedakan tingkatan dari penyesuaian keluarga (sebelum krisis) dan adaptasi keluarga (setelah krisis) (Friedman et al. 2003). Resiliency Model (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1993) Model ini dibangun berdasarkan pada ketiga model sebelumnya (Model ABC-X Hill, Model Double ABC-X Mc Cubbin dan Paterrson dan model FAAR 20 Paterrson). Menekankan pada penyesuaian dan adaptasi keluarga ketika keluarga sedang mengalami “life situation” yang penuh stres (Mc Cubbin et al. 1998, diacu dalam Friedman et al. 2003). Penekanan utama model ini pada kelentingan keluarga atau kemampuan mereka untuk sembuh dari kejadian yang merugikan. Kekuatan dasar model ini secara singkat meliputi pengaruh dari kekuatan dan kemampuan pada proses resiliensi (Friedman et al. 2003). Empat asumsi penting yang mendasari model kelentingan tentang kehidupan keluarga (Friedman et al. 2003) : a. Keluarga menghadapi kesulitan dan perubahan secara alami dan juga yang sudah dapat diramalkan sebagai konsekuensi siklus hidup keluarga. b. Keluarga mengembangkan dasar kekuatan dan kemampuan perencanaan untuk membantu tumbuh dan berkembang anggota keluarga dan unit keluarga serta melindungi dari gangguan yang dijumpai dalam transisi dan perubahan keluarga. c. Keluarga mengembangkan dasar kekuatan serta kemampuan perencanaan untuk melindungi keluarga dari stressor yang tidak terduga atau bersifat normatif dan juga ketegangan serta untuk membantu adaptasi keluarga pada saat krisis atau transisi dan perubahan keluarga. d. Fungsi keluarga berkontribusi untuk hubungan yang membentuk jaringan dan sumber daya dalam masyarakat, terutama sekali selama periode dari stres keluarga dan krisis (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1991, diacu dalam Friedman et al. 2003). bonadjusment C A V T CCC Pile -up PSC Bonadjsment Keluarga CC B X A2 R PSC Kel BB X2 BBB Gambar 2 Model Resilensi dari stres keluarga, penyesuaian dan adaptasi (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1993, diacu dalam Friedman et al. 2003). 21 A : stressor. V : kerentanan keluarga disebabkan perubahan dalam kehidupan ataupun penumpukkan stressor. T : tipe keluarga dan penetapan pola baru dari keberfungsian keluarga. C : penilaian individu atau keluarga terhadap stressor dan kepelikan dari stressor. B : sumberdaya berupa kelentingan keluarga. PSC : (Problem Solving dan Coping) merupakan proses penyelesaian masalah dan kemampuan koping dari individu atau keluarga. X/X2 : merupakan keluaran (outcomes) berupa kegagalan penyesuaian dari proses pengelolaan stres yang dilakukan ataupun situasi krisis lainnya. AA : sumber stres baru (kegagalan pengelolaan stres pada proses pertama dan juga dari berbagai stres lain yang sudah menumpuk (pile up)). R CCC : merupakan pembaruan dari faktor T pada tahap kedua pengelolaan stres. : penilaian keluarga berupa skema dan pemahaman dari keluarga terhadap stres yang terjadi. CC : kemampuan dari keluarga dalam melakukan penilaian terhadap situasi. BB : merupakan sumberdaya keluarga. BBB : merupakan dukungan sosial yang dimiliki keluarga dalam membantu meringankan stres keluarga dan saling berinteraksi dengan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Gambar diatas menjelaskan proses pengelolaan stres keluarga yang meliputi lebih dari satu tahapan proses yang melibatkan sumber stres, kemampuan dari keluarga dan persepsi keluarga terhadap peristiwa/perubahan yang dialami, kepemilikan sumberdaya dan dukungan sosial serta proses penyelesaian masalah dan koping keluarga terhadap stres (bonadjusment atau maladjusment (X)) yang kesemuanya saling berinteraksi satu dengan lainnya guna menghilangkan ataupun mengurangi stres. Lansia Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998, definisi lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enampuluh) tahun keatas (Widyantari 2003). Menurut Connidis (2010), Lansia adalah seseorang yang berusia sekitar 60 sampai 65 tahun atau lebih. WHO menggolongkan lansia terdiri dari golongan 22 usia pertengahan (45-59), usia lanjut (60-74), tua (75-90 tahun) dan sangat tua (90 tahun keatas) (Setiabudhi 1995). Berdasarkan hasil munas Perhimpunan gerontologi Indonesia (PERGERI) 1992 telah ditetapkan bahwa batasan usia lansia adalah diatas 60 tahun (Basudin 1995, diacu dalam Desnelli 2005). Burnside (1979) diacu dalam Anitasari (1993) menentukan batasan lanjut usia berdasarkan usia kronologisnya sebagai berikut : a. Young-old (60-69 tahun) Dianggap sebagai masa transisi utama dari masa dewasa akhir ke masa tua. Biasanya ditandai dengan penurunan pendapatan dan keadaan fisik yang menurun. Sehubungan dengan berkurangnya peran, individu sering merasa kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan. b. Middle-age-old (70-79 tahun) Identik dengan periode kehilangan karena banyak pasangan hidup dan teman yang meninggal. Selain itu ditandai dengan kesehatan yang semakin menurun, partisipasi dalam organisasi formal menurun, muncul rasa gelisah dan mudah marah serta aktifitas seks menurun. c. Old-old (80-89 tahun) Pada masa ini lanjut usia telah mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu ketergantungannya terhadap orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari semakin besar. d. Very old-old (lebih dari 90 tahun) Lebih parah dari masa sebelumnya dimana individu benar-benar tergantung pada orang lain dengan kesehatan yang semakin buruk. Tugas Perkembangan Lanjut Usia Tugas perkembangan lanjut usia menurut Havighurst (tanpa tahun) diacu dalam Hurlock (1980) antara lain yaitu : a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes 23 Miller (1985) diacu dalam Anitasari (1993) mengatakan bahwa ketika seseorang mencapai tahap perkembangan usia lanjut, mereka memiliki tugastugas perkembangan tertentu, yaitu : 1. Menghadapi kenyataan kehilangan pasangan hidup dan menemukan kepuasan bentuk hubungan dengan teman seusia. 2. Menyesuaikan diri dengan peran hubungan sosial yang baru antara anak dan orang tua, kakek/nenek dan cucu. 3. Memilih dan membentuk kegiatan sosial tertentu serta menyesuaikan diri dengan keadaan kesehatan, kekuatan dan minat yang ada. 4. Menyesuaikan diri dengan pendapatan pensiun. 5. Menghadapi kematian diri sendiri atau persiapan diri untuk hidup tanpa pasangan. 6. Memelihara hubungan dengan lingkungan sekitar. 7. Menyiapkan diri menghadapi kematian dengan membentuk kepercayaan pada diri sendiri bahwa seseorang dapat hidup dan meninggal dalam keadaan tenang. 8. Menemukan makna hidup Permasalahan-Permasalahan Lanjut Usia Menurut Suciati (2005) permasalahan lanjut usia dapat digolongkan menjadi permasalahan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi, agar lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut : a. Permasalahan fisik Masalah yang dihadapi lanjut usia sebagai akibat proses penuaan manusia merupakan suatu proses yang normal dan alamiah. Proses penuaan ditandai dengan berbagai perubahan fisik, mental, sosial dan spiritual. Kemunduran progresif yang disebabkan oleh bertambahnya usia seseorang, terutama lansia erat kaitannya dengan permasalahan fisik antara lain terjadinya kemunduran/penurunan metabolisme fungsi-fungsi sel, elastisitas, degeneratif dan lain sebagainya. b. Permasalahan psikologis Permasalahan psikologis lansia pada umumnya terjadi akibat adanya anggapan dan tanggapan masyarakat yang negatif terhadap kemampuan lansia, sehingga kurang memberi kesempatan kepada lansia untuk 24 melaksanakan peranannya dengan wajar. Permasalahan ini dapat menimbulkan gangguan jiwa, penyakit kronis dan kematian. c. Permasalahan sosial ekonomi Permasalahan ini berkaitan dengan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan peran dan tidak memadainya sumber-sumber sosial ekonomi bagi pemenuhan kebutuhan lansia yang ditujukan untuk menghadapi permasalahan sosial ekonomi dalam hal-hal: lanjut usia masih potential untuk mencari nafkah baik untuk diri, pasangan dan anggota keluarga lainnya. Masalah yang sering menjadi isu pada lansia adalah kehilangan kemampuan untuk hidup secara mandiri yang disebabkan oleh penyakit dan menurunnnya kemampuan fungsional lansia (Harris et al. 1975, diacu dalam Snowdon et al. 1989). Raina et al. (2004) menemukan dalam penelitiannya bahwa lansia perempuan memiliki lebih banyak ketidakmampuan pendengaran dan penglihatan serta lebih terbatas dalam aktivitas instrumental sehari-hari (IADL), didukung pula oleh penelitian Campbell et al. (1999) dan Wallhagen (2001) bahwa wanita memiliki gangguan penglihatan dengan prevalensi yang lebih tinggi dari pada lansia pria (Raina et al. 2004). Shadden (1988) diacu dalam Anitasari (1993) mengemukakan teori yang membahas mengenai lansia yang terkait dengan perilaku lansia itu sendiri, yaitu : a. Disengagement theory Suatu proses menjadi tua yang melibatkan pelepasan peran-peran sosial yang tampak dalam penurunan interaksi dalam hubungan sosial lansia. Teori ini melihat penarikan diri sebagai suatu kejadian yang selektif dimana individu dapat memilih untuk menarik diri dari peran-peran yang dimilikinya dan terjadi dalam proses yang panjang (bukan terjadi secara tiba-tiba). Sehubungan dengan penarikan diri yang dilakukan dari peran-peran dalam pekerjaan dan persaingan dengan kaum muda karena penurunan kekuatan fisik dan lainnya, individu menyesuaikan diri dengan keberadaannya. Dari segi masyarakat, penarikan diri berarti mengijinkan kaum muda untuk menggantikan kaum tua sehingga proses transisi kekuatan dapat berjalan dengan lancar dari satu generasi ke generasi berikutnya (Shadden 1988, diacu dalam Anitasari 1993). 25 b. Activity theory Teori ini berpendapat bahwa individu cenderung tetap bertahan melakukan aktivitas selama mungkin. Tiap peran yang berhenti pada usia dewasa akan digantikan oleh peran lain diusia tua. Dikatakan bahwa upaya untuk menjadi lansia yang sukses adalah tetap terus beraktifitas. Teori ini menekankan pada stabilitas dari orientasi kepribadian seseorang dan mengindahkan pendapat masyarakat yang menganggap kemunduran-kemunduran pada lansia harus dikompensasi dengan penarikan diri. Namun kesulitannya adalah apabila individu merasa bahwa ia harus tetap seproduktif ketika masih menginjak usia dewasa padahal ia mengalami kemunduran-kemunduran karena usianya, maka ia mengalami frustasi, kecemasan dan perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi harapannya (Shadden 1988, diacu dalam Anitasari 1993). Dikatakan pula bahwa lansia yang masih melakukan aktivitas fisik dapat mengurangi hal-hal yang menjadi penyebab kematian dan juga memiliki fungsi fisik yang lebih baik ((Kaplan et al. 1987; Rikh 1986), diacu dalam Snowdon et al. 1989).