Mursyid INTERNALISASI NILAI KEBERAGAMAN AGAMA DAN FAHAM KEISLAMAN DI PONDOK PESANTREN (A Sociological Approaches) Mursyid IAI Nurul Jadid Paiton, Jl. KH Zaini Mun‟im, Paiton Probolinggo [email protected] ABSTRAK Tulisan ini merupakan hasil kajian sosiologis terhadap keberadaan cara pandang pemimpin pondok pesantren, kekuatan budaya yang dimiliki, serta bagaimana proses-proses implementatif kedunya untuk membentuk karakter santri/peserta didik yang mencari ilmu keislaman di dalamnya. Selain itu, tulisan ini juga akan mendeskripsikan pola kecenderungan umum umat Islam melihat perbedaan agama dan faham keagamaan di dalam Islam. Konsesi dan konsepsi terkait pandangan tersebut, pada tulisan ini, akan peneliti kontekskan menggunakan analisis Rasional Choices Theory dan analisis makromikro. Setelah itu, peneliti akan mendeskripsikan pola strategi yang bisa dilakukan pesantren dalam menginternalisasi faham keberagamaan agama dan fahah keislaman. Salah satu caranya adalah dengan menguatkan akar budaya pesantren yang sudah ada, dengan tindakan-tindakan sosial yang ditauladani oleh kiai. Hal ini dikarenakan, kiai dan tradisi pesantren merupakan dua ornamen yang sangat mempengaruhi santri. Keywords: Keberagaman Agama, Faham Keagamaan Islam, Pondok Pesantren Pendahuluan Konflik antar pemeluk agama atau paham keagamaan bisa terjadi, ketika kelompok yang satu merasa tidak nyaman berada atau berdampingan dengan kelompok keyakinan atau kepercayaan yang berbeda. Walaupun ada berbagai pemicu praktis dalam konflik-konflik tersebut, namun sumber yang sesungguhnya tidak lepas dari hegemoni nilai dan klaim kebenaran sepihak dari masing-masing kelompok.1 Gambaran Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran dan membedakannya dengan ciri Islam global, akhirnya menjadi terpatahkan akibat kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan yang 1 Andre Ata Ujan dkk, Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, (Jakarta, PT. Indeks : 2011), 110 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 1 Internalisasi Nilai Keberagaman.... bercorak fundamentalis, radikalisasi doktrin Islam yang disertai dengan aksiaksi kekerasan yang sasarannya bukan hanya ditujukan kepada kelompokkelompok agama yang berbeda, melainkan juga ditujukan kepada berbagai kelompok Muslim sendiri yang berbeda, khususnya terhadap Jamaah Ahmadiyah, Syi‟ah, Salafi, dan Jaringan Islam Liberal (JIL)2 Hasil survei Lembaga Studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2012 tentang toleransi agama di Indoonesia, menunjukkan bahwa toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah, kalaupun masyarakat beragama siap hidup berdampingan dalam kehidupan sosial, namun ketika terkait dengan pembangunan tempat ibadah, ada kecenderungan kelompok mayoritas tidak menyetujui. Dari 2.213 responden di 23 propinsi Indonesia, 59,5 % responden tidak keberatan bertetangga dengan orang yang beda agama, sedangkan 33,7 % memilih menolak tetangga yang beda agama. Kemudian terkait dengan pembangunan tempat ibadah, 68,2 % responden memilih menolak pembangunan tempat ibadah dari agama lain, hanya 22,1 % lainnya mengaku tidak keberatan.3 Kemudian hasil survei yang dilakukan oleh PPIM Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada tahun 2004 bersama Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal tentang Orientasi Sosial Politik Islam, menunjukkan bahwa : 18 % dari 1200 responden setuju dengan kegiatan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) seperti merazia tempat judi, dan kegiatan maksiat atau hiburan malam di Bulam Ramadlan, 15 % responden mendukung kegiatan Majelis Mujahidain Indonesia (MMI), 5 % mendukung kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam memperjuangkan diterapkannya syariat Islam, 13 % setuju dengan Jamaah Islamiyah (JI) dalam melakukan tindakan kekerasan terhadap Amerika Serikat dan sekutusekutunya yang dianggap menindas umat Islam di berbagai belahan dunia, 16 % responden mendukung aksi pengeboman sebagai bentuk pembelaan terhadap Islam.4 Kalaupun porsentase sikap intoleransi dari hasil survei tersebut rendah, namun hasil tersebut menunjukkan bahwa disintegrasi umat beragama dalam pluralitas agama dan paham keagamaan berpotensi untuk tumbuh di Indonesia. Pada dasarnya pluralitas bangsa Indonesia yang ditandai dengan keberagaman etnis, suku, bahasa, dan agama, merupakan social capital (modal sosial) yang sangat berharga. Apabila kemajemukan atau pluralitas bangsa ini dimanfaatkan dengan baik, akan memberi keuntungan besar bagi 2 M. Dawam Raharjo, Fanatisme dan Toleransi, dalam Irwan Masduki, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung, Mizan : 2011), xvi-xvii 3 http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/06/ri-becomes-more-intoleransi-html, (14 Juni 2013) 4 Saeful Mujani, Umat Islam Indonesia Dukung Radikalisme, (Jakarta, Harian Tempo : 12 November 2004 2 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid kejayaan bangsa, tapi apabila pluralitas bangsa ini tidak dikelola secara benar, kondisi ini rentan terjadi konflik antar warga yang dapat dipicu oleh perbedaan yang ada. Konflik dan kekerasan sosial yang sering terjadi antar kelompok masyarakat, bahkan kelompok keagamaan, merupakan bagian dari akibat pluralitas yang tidak dikelola secara benar.5 Dengan memperhatikan konstalasi kekerasan antar kelompok masyarakat dengan mengatasnamakan agama yang semakin meningkat dan mengglobal, maka muncul pertanyaan tentang efektivitas pendidikan agama dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, budaya toleransi dan saling menghargai yang telah diwariskan para pemimpin Islam terdahulu. Dalam konteks Indonesia, diakui atau tidak keberhasilan Walisongo dan para penerusnya dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam secara damai di bumi Indonesia, merupakan cerminan dari sinergitas Islam dengan budaya lokal Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Pendidikan Islam sebagai instrumen dalam pendewasaan manusia melalui pembumian ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, ikut memiliki tanggungjawab dalam melakukan transformasi nilai kesadaran multikultural, sehingga out-put pendidikan Islam mampu hidup berdampingan dengan damai dalam pluralitas ummat. Namun demikian dalam penelitian Abdullah Aly di Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, ditemukan data yang menunjukkan adanya nilai-nilai multikultural dan sekaligus nilai-nilai anti-multikultural dalam penyusunan kurikulum. Abdullah Aly menemukan fakta kontra produktif terhadap pengembangan sikap multikulturalisme di Pesantren Assalam, yaitu pada Adab al Ukhuwwah al Islamiyah yang dengan jelas dinyatakan bahwa persaudaraan yang dimaksudkan adalah terbatas persaudaraan sesama ummat Islam, untuk kalangan non-Islam tidak diperlukan persaudaraan, melainkan hanya dibutuhkan persatuan dan kasih sayang.6 Dengan demikian, pengembangan nilai toleransi dalam temuan Abdullah Aly masih terbatasi oleh sekat agama. Apabila mencermati fenomena yang terjadi dalam pendidikan Islam, baik di Madrasah maupun di Pesantren, dapat diasumsikan bahwa pengembangan sikap toleransi tampak masih ambigu. Secara konsepsional prinsip toleransi sebagai bagian dalam prinsip pengembangan masyarakat Islam terumuskan dalam materi ajar, namun dalam penerapannya seringkali terbelenggu oleh eksklusifitas doktrin paham keagamaan yang diikutinya dengan klaim kebenaran yang eksklusif. Ada hegemoni nilai dalam sikap keberagamaan yang berpengaruh terhadap proses pendidikan, sehingga menjadi tirani dalam pengembangan kesadaran multikultural. 5 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam Indonesia, (Malang, Aditya Media Publishing : 2011), 14 6 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, (Yogjakarta, Pustaka Pelajar : 2011), 340. Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 3 Internalisasi Nilai Keberagaman.... Pendidikan Pesantren, walaupun dalam pemetaan pesantren belum ditemukan suatu pengelompokan atau identifikasi pesantren berdasar paham keagamaan yang dianutnya, namun dengan mudah disaksikan bahwa pendidikan pesantren dibangun diatas pondasi paham keagamaan tertentu. Kalau pada perkembangan awal, pesantren diniliai sebagai lembaga pendidikan Islam yang berwatak lentur, mudah beradaptasi bahkan mengakomodir budaya lokal, dan sikap pesantren tersebut sering dikaitkan dengan paham keagamaan tertentu yang mengedepankan sikap moderat, pada saat ini muncul beberapa pesantren yang berwatak sebaliknya, radikal, intoleran, bahkan diduga terkait dengan beberapa aksi kekerasan. Perbedaan paham keagamaan yang dikembangkan di masing-masing pesantren, apabila tidak diikuti dengan pengembangan sikap keberagamaan yang inklusif, transformasi kesadaran multikultural yang meniscayakan pluralitas, dan pengembangan sikap toleransi yang komprehensif, kondisi tersebut memungkinkan pada masa yang akan datang terjadinya benturan bukan antara dunia Islam dan dunia Barat seperti dalam tesis Huntington, melainkan akan terjadi benturan yang semakin dahsyat dalam dunia Islam sendiri. Kegagalan pendidikan Islam dalam menumbuhkan kesadaran multikulturalisme, paling tidak disebabkan oleh empat faktor : Pertama, pendidikan Islam lebih menekankan pada proses transfer ilmu agama ketimbang proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral pada anak didik; Kedua, Sikap bahwa pendidikan agama hanya sekedar sebagai pelengkap dari keseluruhan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan IPTEK; Ketiga, penenanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan umat beragama, seperti azas persamaan dalam hidup, rasa cinta, kasih sayang, persaudaraan, saling menolong, cinta damai dan toleransi, kurang mendapat porsi dalam pendidikan Islam; Keempat, kurang ada perhatian untuk mempelajari agama-agama lain dan pluralitas paham keagamaan dalam Islam.7 Tipologi Sikap akan Pluralitas Agama dan Keagamaan Fakta pluralitas agama dan paham keagamaan yang dalam perjalanan sejarahnya sering menimbulkan konflik baik intern maupun ekstern, merupakan realitas sosial yang menjadi tantangan sepanjang masa dalam upaya mewujudkan impian hidup harmonis dan damai. Perbedaan yang bersumber dari keragaman keyakinan dan pemahaman terhadap teks-teks agama, memberikan konstribusi yang cukup besar dan berkepanjangan terhadap munculnya konflik sosial bila dibandingkan dengan perbedaan7 Sumartana at al. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 2001), 239-240. 4 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid perbedaan lainnya, seperti perbedaan ras, suku, bahasa, dan kebudayaan non agamawi. Agama dan paham keagamaan dihadirkan oleh penganutnya bukan saja sebagai alat legitimasi penghancuran nilai-nilai kemanusiaan, seperti hilangnya cinta kasih antar manusia, raibnya keadilan dalam kehidupan sosial, dan bahkan menjadi senjata pembunuh massal yang telah menewaskan jutaan manusia di muka bumi ini dalam lintasan sejarahnya.8 Apakah kehadiran agama-agama dan paham-paham keagamaan di muka bumi ini, ada dalam rancangan Tuhan untuk memicu konflik antar umat beragama atau penganut paham keagamaan, sehingga tindakan saling mencaci, saling menyesatkan, bahkan saling membunuh tidak bisa dielakkan, atau justru disebabkan keterbatasan manusia yang tidak mampu menangkap kebenaran yang bersumber dari Yang Takterbatas, sehingga kebenaran yang hadir dalam ruang publik adalah kebenaran-kebanaran individu yang relativ dan tidak bisa dipertentangkan apalagi diklaim sebagai kebenaran eksklusif ?. Dengan mengasumsikan bahwa agama diturunkan Tuhan untuk menjadi instrumen manusia dalam mengenali diri-Nya dan sekaligus menjadi pegangan dalam menapaki kehidupan, merangkai yang terceraiberai dalam keragaman, agar manusia dapat menikmati aneka sajian Tuhan di muka bumi dalam kehidupan yang harmoni dan damai, maka gap keterbatasan manusia dengan ketakterbatasan Tuhan, perlu dikanalisasi dengan memperluas cakrawala pandang manusia tentang agama yang ditangkapnya dari kebenaran Tuhan, dengan tidak hanya melihat agama pada sisi eksoteriknya yang menjadi dinding pemisah antar satu kebenaran dengan kebenaran yang lain, melainkan lebih memasuki ruang esoterik yang tanpa sekat, bahkan di sanalah nilai-nilai universal terbuka untuk dapat ditemukan dan dapat dinikmati bersama dalam kehidupan harmoni dan damai. 1. Esoterisme : Upaya Mencari Titik Temu Menuju Perdamaian Fenomena radikalisme yang selanjutnya menimbulkan konflik antar umat beragama, bisa jadi disebabkan oleh karena agama lebih dipahami dari aspek eksoterik, dan menegasikan aspek esoterik yang sejatinya dapat membawa manusia menuju peradaban perdamaian dalam kemajemukan. Kedua aspek agama in - esoterik dan eksoterik - merupakan dua dimensi agama yang tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling melengkapi. Jika diumpamakan, esoterik ibarat hati, eksoterik merupakan badannya.9 Eksoterik merupakan aspek luar agama yang berbentuk, formal, dogmatik, ritual dan etik, sedang esoterik merupakan inti agama yang tidak berbentuk. Keberagamaan yang eksoterik ada pada dunia bentuk (a world of forms), namun merupakan pancaran atau bersumber dari esensi yang tidak berbentuk (the Alwi Sihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung, Mizan : 1998), 40 Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama Pandangan Sufistik Ibnu ’Arabi, Rumi, dan Al Jili, (Jakarta: Mizan Publika , 2011) 17-18 8 9 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 5 Internalisasi Nilai Keberagaman.... formless essence) atau yang esoterik, dimana dimensi esoterik berada di atas atau melampaui dimensi eksoterik.10 Agama-agama pada level eksoterik, antara agama-agama tidak dapat menjadi kesatuan, karena masing-masing bentuk memiliki karakteristik dan identitas diri, sedangkan agama pada ruang yang tidak terbentuk, yang batin atau yang esoterik, dapat menjadi kesatuan, karena kebenaran agama bersumber dari al-Haq yang Esa. Usaha yang dapat dilakukan manusia dalam mendekatkan bentuk-bentuk yang terpisah, antara lain melalui kesadaran esoterik yang satu dan dialog atau diplomasi yang berdasar pada rasa saling hormat antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya dalam situasi harmonis.11 Eksoterik agama bersifat relatif, tidak memiliki kepastian mutlak, kebenarannya ada pada para penganutnya, semua bentuk benar dalam ruangnya sendiri, karena kebenaran sejati dan absolute tidak mungkin ditemukan hanya pada suatu bentuk. Dalam pembacaan Frithjof Schuon, setiap kebenaran yang diungkapkan pasti memiliki bentuk tertentu, dan dari segi metafisik mustahil suatu bentuk mesti memuat semua nilai kebenaran yang dapat meniadakan bentuk-bentuk lainnya. Suatu bentuk mesti terbatas, karena itu tidak mungkin suatu bentuk merupakan satu-satunya perwujudan dari kebanaran. Suatu bentuk mesti memiliki makna kekhususan atau perbedaan, dan yang bersifat khusus hanya mungkin dapat dipahami sebagai bentuk dari species. Apa yang bersifat terbatas, tidak mencakup apa yang tidak termasuk dalam batas-batasnya.12 Karena keterbatasan suatu bentuk atau agama dalam dimensi eksoteriknya, maka suatu bentuk agama seharusnya membiarkan sesuatu yang lain berada di luar dirinya yang tidak tercakup dalam batas-batasnya. Walaupun secara internal terdapat klaim kebenaran, tetapi tidak berarti menafikan bentuk atau agama lain yang memiliki peluang sama untuk melakukan klaim kebenaran juga. Karena yang mutlak hanya yang Tidak Terbatas, maka relatifitas eksoterik seharusnya memiliki keterbukaan dalam memandang kebenaran-kebenaran yang ada dalam bentuk lain. Karena dalam dimensi eksoterisme yang harus diwaspadai adalah sifat otokrasi dan eksklusivismenya,13 sifat-sifat itulah yang cenderung mengarah pada kehidupan beragama yang intoleran, disharmoni, distruktif, dan konflik antar umat beragama. Ibid. 18. Sayyed Husen Nasr, ed. The Essential of Frithjof Schuon, (Bloomington, Indiana World Wisdom, 2005), 15. 12 Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, (Illinois USA, Theosophical Publishing House, 1984) 18-19 13 Ibid, 9 10 11 6 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid Upaya mencari titik temu antar agama-agama menjadi penting, agar tidak terjadi pemahaman bahwa antar agama-agama terjadi perbedaan yang mutlak. Apabila agama-agama dipahami berbeda secara mutlak, maka dapat menimbulkan ide yang absurd tentang kesatuan keberagaman atau kesatuan eksistensi yang akan memunculkan pandangan bahwa satu bentuk agama tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bentuk-bentuk lainnya14, padahal semua bentuk agama pada hakikatnya merupakan pancaran atau perwujudan dari Yang Satu, Yang Maha Mutlak, TuhanYang Maha Esa dan Zat Yang Tak Terbatas.15 Walaupun dalam pandangan esoterisme, pluralitas agama bersumber dari Yang Satu, hal ini bukan berarti menafikan agama secara eksoterik atau agama dalam bentuknya, karena agama tanpa bentuk tidak akan dikenal. Yang dipentingkan dalam realitas pluralitas agama adalah kesadaran dari para pemeluk agama bahwa dari semua bentuk agama memiliki ruang yang samasama absah untuk melakukan klaim kebenaran sesuai dengan cara pandang dan pijakan yang dipakai dalam menangkap atau mendekati kebenaran universal dari Yang Maha Esa. Semua bentuk dari masing-masing perwujudan kebenaran dalam dunia bentuk (eksoterik) tidak dapat menganggap dirinya sebagai pemilik satu-satunya kebenaran yang mutlak, karena kebenaran berpeluang ada pada bentuk-bentuk yang lain. Dan perlu menjadi kesadaran bersama, bahwa sikap superioritas dari satu pemeluk agama adalah suatu kewajaran, karena tanpa sikap superioritas mustahil para pemeluk agama membangun kesetiaan (fanatik) terhadap agamanya. Dengan kesadaran bersama, bahwa sikap superioritas pemeluk agama dibutuhkan oleh masing-masing pemeluk agama untuk membangun kesetiaan apada agamanya, maka sikap saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama merupakan sikap yang harus ditegakkan dalam kehidupan di tengah-tengah pluralitas agama dan paham keagamaan, sehingga tercipta keharmonisan dan kedamaian dalam pusaran klaim kebenaran. Pembacaan atas pluralitas agama, menurut Coward paling baik dipahami dengan menggunakan logika Yang Satu berwujud banyak, realitas transenden yang terpancar atau menjelma dalam bermacam-macam agama, dimana kualitas pengalaman agama partikular merupakan alat menuju Yang Satu, dan spritualitas dikenal dan diabsahkan melalui kreteria masing-masing agama.16 2. Ekslusivisme, Inklusivisme, dan Pluralisme Ibid, 19 Media Zainul Bahri, Satu Tuhan…. 20 16 Harold Coward, Pluralism, Challenge to World Religions, Bosco Carvalo, Pluralisme, Tantangan Bagi Agama-Agama (Terj), (Yogyakarta, Penerbit Kanisius : 2003), 168-173 14 15 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 7 Internalisasi Nilai Keberagaman.... Penyikapan dan tindakan sosial seseorang terhadap suatu fakta sosial, tidak bisa dilepaskan bahkan merupakan cerminan dari cara pandangnya atau definisi sosial yang diberikan terhadap fakta sosial tersebut. Dalam konteks pluralitas agama dan paham keagamaan sebagai fakta sosial, tindakan sosial terhadap fakta sosial tersebut, tergantung bagaimana fakta sosial tersebut dilihat dan didefinisikan. Pada pembahasan ini, akan didiskripsikan beberapa tipologi respon atau cara pandang terhadap fakta pluralitas agama dan paham keagamaan yang bisa diasumsikan sebagai titik berangkat atau titik sumber tindakan sosial, baik yang radikal-fundamental, liberal, maupun yang moderat. Secara garis besar, ada tiga tipologi respon pemeluk agama dan paham keagamaan, terhadap fakta pluralitas agama dan paham keagmaan; yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. a. Eksklusivisme Tipologi ini memiliki pandangan dan keyakinan individu atau kelompok, bahwa agama dan keyakinannya sendiri saja yang benar, membawa keselamatan dan kebahagiaan, sementara agama dan keyakinan di luar dirinya dinyatakan sesat. Sikap keberagamaan dengan tipologi ini (eklusivisme), merupakan sikap yang dominan sepanjang sejarah agama-agama di dunia.17 Respon eksklusivisme, didasarkan pada klaim kebenaran yang ada pada setiap agama, masing-masing pemeluk agama memandang bahwa agama dirinya yang paling benar, sedang agama yang lain sesat. Klaim kebanaran ini, sebenarnya merupakan keniscayaan bagi setiap pemeluk agama, karena sikap inilah yang akan menuntun pemeluk agama untuk mempelajari ajaran agamanya dan mengamalkannya secara sungguh-sungguh. Namun demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa eksklusivisme menyeret penganutnya membatasi diri dalam pergaulan dan pergulatan dengan paham keagamaan dan agama lain, bahkan menjadi tembok yang kuat dalam menolak paham-paham keagamaan dan agama-agama yang ada di luar dirinya. Akhirnya umat terjebak kedalam arus monisme yang memandang hanya ada satu jalan dalam menuju kebenaran.18 Bila dikaitkan dengan polemik esoterisme versus eksoterisme, kelompok eksklusif yang dominan dalam perjalanan Islam, memaknai kata “ Islam” pada ayat-ayat diatas dalam tataran atau ranah eksoterik, yang dikaitkan secara langsung dengan bentuk formal agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Atas dasar ayatayat di atas, mereka memandang, bahwa hanya agama yang dibawa Media Zainul Bahri, Satu Tuhan…..368-369 Zuhairi Misrawi, Al-Qur an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta, Fitrah : 2007), 197-198 17 18 8 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid Nabi Muhammad agama yang sah dan benar, dan agama-agama di luar dinyatakan sebagai agama yang sesat.19 Dengan demikian pluralitas agama sebagai fakta sosial, dipandang sebagai patologis atau penyimpangan, dan karena itu menjadi misi suci untuk mengajak orang-orang yang ada di luar untuk semua masuk kedalam agama “Islam”, dan rela mati dalam membela “Islam”. Pandangan eksklusivisme yang dimiliki pemeluk agama pada level keberagamaan eksoterik, berimplikasi pada kecenderungan seorang pemeluk agama akan dengan mudah memberikan afirmasi terhadap kebenaran agamanya dengan cara menegasikan atau menyalahkan kebenaran agama orang lain.20 Kondisi ini akan mudah menjadi sumber konflik bahkan konfrontasi antar pemeluk agama, sehingga kedamaian yang menjadi salah satu sasaran agama tidak terwujud dalam kehidupan. Klaim kebenaran agama secara eksklusif, walaupun menjadi suatu kewajaran sebagai sarana yang diperlukan untuk menunjukkan identitas diri dalam menghadapi klaim kebenaran yang lain. Namun klaim kebenaran eksklusif ini, sering menjadi dasar dalam mengeksploitasi, dan melakukan tindakan arogan terhadap mereka yang ada di luar.21 Rasionalisasi terhadap agresi, gerakan radikalis yang dibungkus dengan istilah perang suci, memperoleh landasannya dalam menghegemoni mereka yang diluar dengan menggunakan baju agama dan teks-teks suci yang dipahami secara eksklusif. Strategi penaklukan menjadi kecenderungan kelompok eksklusif dalam merespon pluralitas agama dan paham keagmaan. Berbeda dengan kelompok inklusif dan pluralis yang cenderung menghadapi pluralitas dengan strategi keterbukaan dan dialog. Bagi kelompok eksklusif, pluralitas dipandang sebagai penyimpangan, karenanya harus ditaklukkan dengan gerakan penyatuan keragaman di bawah satu pandangan agama yang dianggapnya paling benar.22 Karenanya, respon eksklusivisme dapat berwujud dalam gerakan politik yang memperjuangkan suatu negara menjadi negara agama, atau ada dalam kendali sistem politik agama tertentu, bahkan dalam kondisi tertentu tidak hanya memperjuangkan sistem politik agama 19 ,94-97 Alwi Sihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung, Mizan : 1998) 20 Muhammad Sabri, Keberagamaan Yang Saling Menyapa, Prespektif Filsafat Perennial, (Yogyakarta, ITTAQA Press : 1999), 140 21 Abdulaziz Sachedina, Apakah Islam Membatalkan Agama Yahudi dan Kristen ?, Mencari Identitas Islam pada zaman Klasik dan Modern”, dalam Ali Noer Zaman (ed), Agama Untuk Manusia,(Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 2000), 1-2 22 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 2008), 71-72 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 9 Internalisasi Nilai Keberagaman.... tertentu, lebih dari itu dikaitkan dengan paham keagamaan tertentu (misalnya dalam politik Islam dikaitkan dengan Sunni atau Syi‟ah), sehingga dalam kasus terakhir, konflik tidak hanya terjadi berbasis pluralitas agama, melainkan berbasis paham keagmaan dalam intern agama. Respon eksklusivisme terhadap pluralitas agama dan paham keagamaan, gagal dalam mengembangkan budaya dialog dan toleransi, baik dalam konteks antar agama maupun intern agama, gap antara tekstualisme dan rasionalisme, substansionalisme dan skripturalisme, fundamentalisme dan liberalisme tidak dapat dijembatani, karena dengan pandangan eksklusifnya masing-masing bertahan pada klaim kebenarannya sendiri-sendiri.23 Dengan demikian eksklusifisme, tidak mampu memposisikan diri sebagai problem-solver, bahkan menjadi troble-maker yang mendatangkan keresahan dan kegelisahan baru dalam pembentukan kehidupan beragama yang damai dan toleran. b. Inklusivisme. Respon keagamaan tipologi ini memiliki pandangan yang meyakini bahwa Tuhan hadir dalam semua agama, dan menyelamatkan para pemeluknya tanpa melihat bentuk agama yang dianutnya. Bagi kelompok ini, kebenaran dan kesucian agamaagama lain merupakan bagian dari atau ada di dalam agama mereka.24 Setiap agama membawa ajaran keselamatan, substansi agama-agama adalah sama, yang berbeda hanyalah shari<‟atnya, dan perbedaan adalah sunnah Tuhan yang tidak ada seorang-pun mampu mengubahnya.25 Dalam perspektif Islam, inklusivisme disamping berpijak pada pandangan esoterisme yang memandang adanya banyak kesatuan dalam agama-agama, inklusivisme juga berpijak pada kesadaran pluralitas dan humanitas sebagai pesan utama Islam dalam konteks sosial dinamis. Karena penerapan Islam – dan agama-agama lainnya - yang lepas dari konteks sosial, akan mendorong radikalisme dan fundamentalisme.26 Islam inklusif, bertolak dari pencarian kebenaran tanpa akhir, mencintai sesama, menumbuhkan kebebasan asasi, tulus dalam pencarian kebanaran, toleran dan lapang dada dalam menyikapi perbedaan. Dengan menempatkan keagamaan sebagai Zuhairi Misrawi, Al-Qur an Kitab Toleransi…. 198-199 Media Zainul Bahri, Satu Tuhan, 370 25 Zuhairi Misrawi, Al-Qur an Kitab Toleransi, 199 26 Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Siti Jenar Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, (Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu : 2004), 126 23 24 10 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid wacana budaya, dan menjadikan etik shari<‟ah sebagai basis tindakan, sehingga islam inklusif akan selalu hadir dalam konteks sosialnya dalam damai dan harmoni. Tidak seperti islam fundamentalis yang menjadikan kebenaran eksklusif dan legal shari<‟ah sebagai basis tindakan, sehingga selalu ada dalam pusaran konflik dan kekerasan.27 c. Pluralisme Tipologi ini berkeyakinan bahwa semua agama dan keyakinan yang keberadaannya sebagai jalan-jalan menuju Tuhan, adalah sama-sama absah. Seperti halnya inklusivisme, Pluralisme juga memandang kemajemukan agama adalah kehendak Tuhan yang mutlak, keragaman agama merupakan realitas yang niscaya, karena itu agama tertentu tidak berhak memvonis benar atau tidaknya agama lain dengan menggunakan lensa keyakinannya sendiri. Penganut agama tertentu, harus terbuka terhadap kemungkinan bahwa agama-agama lain memiliki pandangan dan respon mereka sendiri yang absah dalam menangkap misteri tajalli Tuhan.28 Pluralisme, adalah sistem nilai yang menghargai pluralitas, apabila dikaitkan dengan keagamaan, pluralisme diletakkan sebagai sikap yang menghargai pluralitas keyakinan keagamaan orang lain sebagai bagian yang asasi dalam diri manusia. Pluralisme bukan sinkritisme agama yang mengarah pada relativisme yang memandang semua agama sama, sebab kalau agama dipandang sama maka dimensi pluralitasnya menjadi tidak jelas. Pluralisme menerima adanya perbedaan kepercayaan yang dimiliki manusia, dengan sikap saling menghargai antar penganut kepercayaan yang berbeda.29 Menurut Dawam Raharjo, Pluralisme adalah paham yang bertolak dari realita pluralitas masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, bukan bertolak dari pemahaman bahwa yang plural itu sama, justru bertolak dari kesadaran adanya perbedaan.30 Pluralisme hadir sebagai wahana mengatasi konflik yang berpotensi dalam pusaran pluralitas masyarakat, bukan untuk menghilangkan perbedaan menuju kesatuan bentuk, tapi untuk mendialogkan perbedaan menuju pada kesepahaman terhadap keniscayaan pluralitas. Pandangan Pluralisme dalam melihat pluralitas agama diletakkan diatas pijakan bahwa agama-agama ada dalam kesatuan Ibid, 127 Media Zainul Bahri, Satu Tuhan…. 370-371 29 Budhy Munawar Rahman, Reorientasi Pembaharuan Islam, Skularisme, Liberalisem dan Pluralisme Peradaban Baru Islam Indonesia, (Jakarta, LSAF-Paramadina : 2010), 108-110 30 M. Dawam Raharjo, Merayakan Kemajemukan….. 184 27 28 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 11 Internalisasi Nilai Keberagaman.... esensi, bersumber dari al-Haq dan menuju al-Haq. Sehingga klaim kebenaran tunggal hanya milik al-Haq, sedangkan klaim kebenaran yang dilakukan suatu agama tidak menafikan klaim kebenaran yang dilakukan oleh agama yang lain. Pada semua agama terdapat nilainilai kebenaran, dan masing-masing pemeluk agama berhak melakukan klaim kebenaran berdasarkan keyakinan dan cara pandang masing-masing dan kapasitasnya dalam menangkap tajalli al-Haq. Pendekatan Teoritik Dalam penelitian yang mengambil fokus pengembangan nilai toleransi dalam pendidikan di Pesantren sebagai cerminan respon pendidikan Islam terhadap pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam, peneliti menggunakan dua teori, yaitu teori pilihan rasional Coleman dan teori integrasi mikro-makro Ritzer. 1. Teori Pilihan Rasional Teori pilihan rasional, merupakan teori yang memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dalam tindakannya selalu terkait dengan tujuan yang ingin dicapainya, dan masing-masing aktor memiliki pilihan tindakan yang berbeda sesuai dengan kapasitasnya baik dalam mengelola sumber daya yang telah dimiliki maupun dalam mengakses sumber daya yang lain.31 Kapasitas sumber daya, menjadi salah satu sumber pertimbangan dalam menentukan pilihan tindakan aktor, aktor dengan sumber daya terbatas tidak akan mengambil resiko melakukan tindakan untuk tujuan yang sangat tinggi. Di samping faktor sumber daya, faktor lain yang ikut menentukan atas tindakan individual adalah lembaga sosial.32 Dalam lembaga sosial ada norma yang mengikat individu dalam melakukan tindakan, sanksi sosial baik yang positif maupun yang negatif atas tindakan individu dalam lembaga sosial menjadi faktor dalam mendorong individu untuk melakukan suatu tindakan atau menghindarinya. Menurut Coleman sosiologi seharusnya memusatkan perhatian pada sistem sosial, namun sistem sosial sebagai fenomena makro harus diurai oleh faktor internalnya sendiri, khususnya faktor individual. Ada dua alasan pokok yang dijadikan landasan Coleman dalam memusatkan perhatian pada fenomena mikro tindakan individual. Pertama, data dikumpulkan di tingkat individual kemudian disusun untuk menghasilkan data di tingkat sistem sosial. Kedua, intervensi individual dilakukan untuk menciptakan perubahan sosial. Teori pilihan rasional Coleman, dikembangkan dari gagasan dasar bahwa tindakan perseorangan mengarah pada satu tujuan dan tujuan 31 George Ritzer, Douglas J. Goodman, , Modern Sociological Theory, 6th Edition. Alih bahasa, Alimandan, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke 6, (Jakarta, Kencana : 2010), 357 32 Ibid, 358 12 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid tersebut sekaligus tindakan untuk mencapai tujuan ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi.33 Dalam kaitan interaksi antara aktor dengan sumber daya, Coleman menjelaskan bahwa basis minimal untuk sistem tindakan sosial, adalah dua orang aktor yang masing-masing mengendalikan sumber dayanya yang menarik perhatian pihak lain, sehingga keduanya terlibat dalam tindakan yang saling membutuhkan. Sebagai aktor yang memiliki tujuan, masingmasing berusaha memaksimalkan pencapaian kepentingannya dengan saling bergantung atau sistemik dalam tindakan bersama.34 Ada tiga fenomena makro yang menarik dari diagnosa Coleman melalui teori pilihan rasional yang dikembangkannya. Pertama, Prilaku kolektif. Prilaku kolektif yang cirinya sering tidak stabil dan kacau, menurut Coleman yang menyebabkan perpindahan dari aktor rasional ke berfungsinya sistem prilaku kolektif yang liar dan bergolak, adalah pemindahan sederhana pengendalian atas tindakan seorang aktor ke aktor lain yang dilakukan secara sepihak, bukan sebagai bagian dari pertukaran. Pemindahan secara sepihak tersebut, disebabkan adanya upaya memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan mengabaikan kepentingan individu yang lain.35 Kedua, Norma. Coleman memberikan perhatian terhadap norma sebagai fenomena makro yang muncul dan dipertahankan dalam sekelompok aktor rasional. Menurutnya, norma diprakarsasi dan dipertahankan oleh beberapa orang yang melihat keuntungan yang dihasilkan dari pengamalan terhadap norma dan kerugian yang bersumber dari pelanggaran norma. Norma muncul dari tindakan aktor yang melepaskan sebagian hak untuk mengendalikan tindakan diri sendiri dan menerima sebagian hak hak untuk mengendalikan tindakan orang lain. Ia juga melihat bahwa internalisasi norma memapankan sistem sanksi internal, dimana akator memberikan sanksi terhadap dirinya sendiri bila ia melanggar norma. Dalam sistem sosial, seorang aktor atau sekumpulan aktor berupaya keras untuk mengendalikan aktor lain dengan mengingatkan pada norma yang diinternalisasikan ke dalam diri mereka sendiri. Melalui internalisasi norma maka aktor dapat melakukan pengendalian diri.36 Berpijak pada teori pilihan rasional, Coleman melihat norma dari sudut tiga unsur utama, yaitu dari mikro ke makro, tindakan bertujuan di tingkat mikro, dan dari makro ke mikro. Norma merupakan fenomena tingkat makro yang ada karena tindakan bertujuan di tingkat mikro, dan 33 Coleman, James. Foundation of Social Theory, (Cambridge, Biknap Press of Harvard University Press : 1990), 13 34 Ibid, 29. 35 Ibid, 198 36 Ibid, 292-294. Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 13 Internalisasi Nilai Keberagaman.... begitu norma muncul melalui sanksi norma dapat mempengaruhi tindakan individu.37 Ketiga, Aktor korporat. Bagi Coleman perubahan sosial terpenting adalah munculnya aktor korporat sebagai pelengkap aktor pribadi natural. Aktor korporat seperti halnya aktor individual memiliki ruang pengendalian terhadap sumber daya dan peristiwa, kepentingan terhadap sumber daya dan peristiwa, dan mempunyai kemampuan mengambil tindakan untuk mencapai kepentingan mereka melalui pengendalian tersebut.38 Aktor korporat dan aktor individual masing-masing memiliki tujuan, dan keduanya dapat mengendalikan sumber daya untuk mencapai tujuannya. Dalam sistem sosial sering terjadi konflik kepentingan antara aktor individual dengan kepentingan korporasi, apabila aktor individual bergerak pada basis tujuan individu masing-masing pada ruang yang tak terkendali oleh aktor kolektif, maka situasi tersebut dapat menjadi sumber pemberontakan terhadap otoritas korporat. Kehidupan sosial yang damai akan terwujud, ketika aktor individual tidak bertindak menurut kepentingan pribadi melainkan bertindak menurut kepentingan kolektivitas.39 Dalam sistem kehidupan sosial, Coleman membedakan antara struktur primordial berdasarkan kekerabatan seperti pertetanggan dan kelompok keagamaan, dengan struktur yang berdasarkan tujuan seperti organisasi ekonomi dan pemerintahan. Coleman melihat adanya kemajuan dalam kebebasan aktivitas yang pernah terikat bersama dalam keluarga, sehingga struktur primordial dapat terlepas, karena fungsinya banyak diambil alih oleh sederetan aktor korporat yang bertindak dengan berbasis tujuan kolektif.40 Menurut Friedman dan Hechter, ada dua landasan yang menjadi dasar teori pilihan rasioanal. Pertama, proses atau kumpulan mekanisme yang menggabungkan tindakan aktor individual yang terpisah untuk menghasilkan akibat sosial. Kedua, sikap positif – memandang penting – terhadap informasi dalam menetukan pilihan rasional.41 2. Teori Integrasi Mikro-Makro Teori Integrasi mikro-makro Ritzer, merupakan perkembangan teori sosiologi kontemporer di Amerika Serikat yang berkembang di paroh kedua abad 20, yang pada waktu bersamaan, berkembang teori integrasi agen-struktur di Eropa. Perkembangan teori integrasi mikro-makro ini, merupakan upaya mengkompromikan ketegangan antara ekstremis mikro dan ekstremis makro, dengan demikian teori integrasi mikro-makro menjadi George Ritzer- Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 397 Ibid, 542. 39 George Ritzer- Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 398 40 Ibid, 398-399 41 Ibid, 358 37 38 14 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid sentesis terhadap teori mikro dan teori makro yang mengambil posisi pada dua kutub teori sosiologi yang berbeda.42 Dari banyak model integrasi dalam teori integrasi mikro-makro, dalam penelitian ini akan lebih fokus pada teori integrasi paradigma sosiologi model analisis sosial Ritzer, sedangkan dari teori integrasi agen-struktur akan difokuskan pada teori strukturasi. Ritzer dalam analisis sosialnya, dimulai dengan kontinum mikro-makro yang bergerak dari pemikiran dan tindakan individual menuju sistem dunia, kemudian ditambahkan kontinum objektifsubjektif yang bergerak dari fenomena material (tindakan individual dan struktur birokrasi) ke fenomena nonmaterial (kesadaran, norma, dan nilai). Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah fenomena objektif atau subjektif, sehingga dalam analisis sosial terdapat empat tingkat utama, dan dealektika dari keempat tingkat analisis ini harus mendapat perhatian dalam studi sosiologi. Tingkat makro objektif, meliputi relaitas material berskala luas seperti masyarakat, birokrasi, dan teknologi. Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena nonmaterial berskala luas seperti norma dan nilai. Di tingkat mikro objektif, meliputi kesatuan objektif berskala kecil seperti pola tindakan dan interaksi. Sedang mikro subjektif, meliputi proses mental berskala kecil yang melalui proses tersebut individu membangun realitas sosial.43 Analisis sosial Ritzer dapat digambarkan dalam skema berikut:44 Tingkat Utama Analisis Sosial Ritzer MAKROSKROPIK I. Makro Objektif II. Makro Subjektif Contoh : Contoh : budaya, masyarakat, hukum, norma, dan nilai birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa OBJEKTIF SUBJEKTIF III. Mikro Objektif Contoh: Pola prilaku, tindakan dan interaksi IV. Mikro Subjektif Contoh : persepsi, keyakinan, beberapa Ibid, 474 Ibid, 477 44 Ibid, 476 42 43 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 15 Internalisasi Nilai Keberagaman.... konstruksi sosial tentang realita MIKROSKROPIK Mencermati fenomena toleransi dalam pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam yang menjadi fokus penelitian ini, dengan menggunakan teori integrasi mikro-makro model analisis sosial Ritzer, dapat digambarkan bahwa empat tingkat analisis yang dikonseptualisasi Ritzer meliputi: 1) Tingkat makro objektif yang meliputi realitas sosial berskala luas adalah realitas pluralitas agama dan paham keagamaan dalam islam yang terbingkai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 2) Tingkat makro subjektif yang meliputi fenomena nonmaterial berskala luas adalah norma dan nilai toleransi yang menjadi inti dari gagasan pluralisme dan multikulturalisme. 3) Tingkat mikro objektif yang meliputi kesatuan objektif yang bersekala kecil adalah pola tindakan dan interaksi umat beragama, dan 4) Tingkat mikro subjektif yang meliputi proses mental berskala kecil adalah persepsi dan konstruksi sosial masing-masing umat beragama terhadap realitas pluralitas agama dan paham keagamaan. Hubungan dialektika empat tingkat analisis sosial itulah yang akan menjadi salah satu pisau analisis dalam memahami fokus masalah dalam penelitian ini, yaitu pengembangan nilai toleransi dalam pendidikan pesantren. Kerangka Implementatif di Lembanga Pendidikan Pesantren Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang merepresentasikan budaya Islam dan memiliki nilai asli keindonesiaan (indigenous),45 menjadi salah satu lembaga pendidikan yang dapat diharapkan mampu untuk menembus kebuntuan pendidikan nasional dalam membangun karakter bangsa, dan menjadi tempat persemaian bibit-bibit SDM yang memiliki kapasitas dalam mengembangkan pemikiran keagamaan, bukan saja dalam menangkap dan memahami nilai-nilai universal dalam agama, melainkan dalam melakukan rancang bangun atau rekayasa peradaban masa depan yang tercerahkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat pluralmultikultural. Karena keberadaan pesantren dalam segala aspek kehidupan dan perjuangannya, memiliki nilai strategis dalam membina santri dan masyarakat memilki kualitas iman, ilmu, dan amal, serta didikasi dalam pembangunan masyarakat.46 . Harapan besar terhadap Pesantren untuk menjadi agen rekayasa masa depan peradaban yang religious-humanis dalam kehidupan plural45 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Dian Rakyat-Paramadina, tt), 93. H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2005), 83-84. 46 16 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid multikultural, didasarkan pada beberapa potensi yang dimiliki pesantren dan peluang pengembangannya, antara lain47; pertama, Potensi Intelektual Pesantren. Dengan tradisi keilmuan yang sangat kuat dan terjaga secara berkelanjutan, memungkinkan Pesantren untuk melahirkan kader-kader umat yang memiliki penguasaan mendalam terhadap berbagai disiplin ilmu atau spesialisasi ilmu; kedua, Legetimasi sosial. Kepercayaan masyarakat terhadap Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan kepemimpinan Kyai yang dipandang memiliki otoritas keilmuan dan sebagai pemimpin spiritual keagamaan yang memberi rasa aman dan dapat membantu menyelesaikan masalah sosial, merupakan potensi Pesantren untuk terus menjaga kesinambungan kepemimpinan spiritual dan moral yang dapat membimbing para santri dan masyarakat untuk menjalani kehidupan yang tidak mengalami kekeringan nilai, yang mampu mewujudkan kesalehan ritual sekaligus sosial dalam kehidupan masyarakat plural. Ketiga, Potensi Kultural. Pesantren dengan keunikannya sebagai subkultur48, memiliki potensi untuk mengembangkan lingkungan sosial yang berwatak humanis religious, menjadi potret kesalehan sosial yang dapat ditumbuhkembangkan dalam kehidupan plural-multicultural. Pendidikan pesantren dengan budaya pendidikan yang memungkinkan santri belajar secara tuntas, tidak terbatas pada transfer ilmu pengetahuan tapi sekaligus pembentukan kepribadian melalui bimbingan kyai dan para pembantunya (ustad), serta ditopang dengan kuatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan pesantren49, maka pesantren sangat potensial untuk dikembangkan menjadi institusi keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan yang cocok dengan kondisi budaya bangsa Indonesia. Karena itulah tidak berlebihan apabila sistem pendidikan pesantren sejak awal kemerdekaan dirujuk untuk menjadi acuan alternatif dalam menghadapi kebuntuan perumusan sistem pendidikan yang tidak tercerabut dari akar historis keindonesiaan dan tidak berkurang efisiensi dan efektifitasnya.50 Ada beberapa kelebihan pendidikan pesantren yang dapat menjadi daya tarik untuk menjadikannya sebagai lembaga pendidikan alternatif di Indonesia, antara lain dinyatakan M. Dawam Raharjo: Pertama, sistem pemondokan yang memungkinkan pendidik melakukan tuntunan dan 47 Fuaduddin TM, Diversifikasi Pendidikan Pesantren : Tantangan dan Solusi, dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Volume 5 Nomor 4, Oktober – Desember 2007, 31-33. 48 Menurut Gus Dur, ada tiga elemen yang mampu membentuk Pondok Pesantren sebagai subkultur yaitu; pertama, Pola kepemimpinan yang mandiri tidak terkooptasi oleh Negara; kedua, kitabkitab yang dijadikan referensi adalah kitab-kitab klasik; ketiga, Sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Lihat KH. Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa depan, dalam Said Agil Siraj at all, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 13-14. 49 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001) 150-151 50 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogjakarta: LkiS, 2008), 168. Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 17 Internalisasi Nilai Keberagaman.... pengawasan secara langsung terhadap perkembangan peserta didik. Kedua, keakraban antara santri sebagai peserta didik dengan kyai sebagai pendidik, sehingga memungkinkan para santri memperoleh pengetahuan yang hdiup. Ketiga, kemampuan pesantren dalam melahirkan lulusan yang berjiwa mandiri. Keempat, kesederhanaan pola hidup komunitas pesantren, dan kelima, biaya pendidikan yang relatif lebih murah.51 Pendidikan pesantren, tidak dapat dilepaskan dari gerakan penyebaran Islam di Indonesia, karena dalam bentuknya yang sederhana berupa surau dan mesjid, pada awal gerakan penyebaran Islam di Indonesia merupakan tempat yang digunakan untuk mengajarkan al-Qur‟an dan membimbing praktik ajaran Islam, khususnya dalam ibadah ritual52. Karena itulah pesantren dikenal sebagai lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama dan Islam.53 Pesantren merupakan institusi pendidikan yang berperan secara intensif dalam penyebaran Islam di Nusantara khususnya di pulau Jawa, bahkan menjadi media utama gerakan Islam dalam pembinaan moral bangsa Indonesia.54 Karakter pesantren yang akomodatif terhadap pola kehidupan masyarakat setempat dalam melakukan transformasi sosio-kultural, bahkan format pendidikan pesantren dipandang sebagai islamisasi lembaga pendidikan yang telah ada sejak masa Hindu-Budha,55 karena ada kemiripan antara pesantren dengan tradisi yang ada pada padepokan dalam tradisi Hindu-Budha; yaitu konsentrasi pendidikannya pada pembelajaran agama, gurunya tidak digaji, adanya penghormatan yang besar terhadap guru, dan letaknya yang berada di luar perkotaan.56 Posisi pesantren yang dipandang sebagai kelanjutan dari lembaga pendidikan Jawa kuno yang bernama pawiyatan, di mana Ki Ajar sebagai pengajar dan Cantrik sebagai murid tinggal dalam satu komplek dan di sanalah terjadi proses belajar mengajar57, maka sangat beralasan bila pendidikan pesantren dipandang sebaga institusi yang menjadi salah satu kekuatan dalam mempercepat penyebaran Islam di Indonesia secara damai. 51 M. Dawam Rahardjo, Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren, dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), vii, Lihat juga, Mahmud Arif, Pendidikan Islam… 167-168 52 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), 20-21. 53 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi…. 80. Lihat pula Mahmud Arif, Pendidikan Islam… 172 54 Mahmud Arif, Pendidikan Islam… 165. Lihat juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.. 62 55 Nurcholis Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren\….. 3. 56 Karel A. Stenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah : Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), 20-21. 57 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan… 21. 18 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid Dalam prespektif lain, bila dilihat dari nuansa keislaman pesantren yang kental dengan ajaran sufistik dan pola pembelajarannya yang dimulai dengan materi bahasa Arab, Pesantren dipandang sebagai kontiniuitas dari sistem pendidikan za>wiyah atau khanaqah yang merupakan sistem pendidikan sufi di Timur Tengah.58 Asumsi ini diperkuat oleh penelusuran sejarah, bahwa dua nama yang diidentifikasi sebagai penyebar Islam pertama di kawasan Nusantara, yaitu Maulana Burhanuddin yang berpengaruh di Sumatera dan Malaka adalah penyiar Islam dari India, dan Maulana Malik Ibrahim yang mempunyai pengaruh di Jawa adalah penyiar Islam dari Khurasan Iran, keduanya merupakan Ulama Sufi yang berpengaruh terhadap corak Islam Nusantara yang lebih berorientasi pada tasawuf dan fiqh mazhab Syafi‟i.59 Tarekat sebagai institusi sufistik dalam tradisi Islam, sering bergandengan dengan pesantren walau secara institusional keduanya terpisah. Kyai pemimpin pesantren ada yang sekaligus sebagai mursyid (pembimbing) dalam tarekat, atau seorang mursyid tarekat sekaligus memimpin pesantren, sehingga tidak heran bila pesantren menjadi pusat atau basis organisasi tarekat, atau organisasi tarekat membidani lahirnya pesantren.60 Sehingga pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tapi sekaligus menjadi pusat kegiatan tarekat. Pola kombinasi antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan tarekat inilah, menjadikan pesantren sebagai lembaga keislaman yang tidak mempertentangkan antara aspek syari‟ah dan aspek tarekat.61 Penelusuran akar budaya pesantren, telah memunculkan spekulasi yang beragam, dan minimal ada tujuh teori yang menjelaskan spekulasi tersebut. Teori pertama, menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan atau adaptasi terhadap pendidikan Hindu-Budha sebelum Islam datang ke Indonesia. Teori kedua, mengklaim berasal dari Indonesia. Teori ketiga, menyatakanbahwa modelpondok pesantren ditemukan di Baghdad. Teori keempat, melaoprkan bersumber dari perpaduan HinduBudha (pra Muslim di Indonesia) dan India. Teori kelima, mengungkapkan dari kebudayaan Hindu-Budha dan Arab. Teori keenam, menegaskan dari 58 Zulkifli, Sufisme in Java : the Role of Pesantren in the Maintenance of Sufisme in Java, (Leiden: INIS, 2002), 1. Lihat pula, Steenbrink, Pesantren Madrasah sekolah… 22, Lihat juga Mahmud Arif, Pendidikan Islam…. 166. 59 Suteja, Pola Pemikiran Kaum Santri : Mengaca Budaya Wali Jawa, dalam Marzuki Wahid, Suwendi, Saifuddin Zuhri (ed), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 75. 60 A.G. Muhaimin, Pesantren, Tarekat, dan Teka Teki Hodgson, Potret Buntet dalam Perspektif Transmisi dan Pelestarian Islam di Jawa, dalam Marzuki Wahid, Suwendi, Saifuddin Zuhri (Ed), Pesantren Masa Depan… 88-89. 61 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren… 63. Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 19 Internalisasi Nilai Keberagaman.... India dan orang Islam Indonesia. Dan Teori ketujuh, menilai dari India, Timur Tengah dan Tradisi Lokal yang lebih Tua.62 Dengan memperhatikan tujuh spekulasi tersebut, ada tiga sumber budaya yang dapat diasumsikan mempengaruhi budaya pendidikan pesantren yaitu; Pertama, Arab sebagai tempat kelahiran Islam dan sekaligus tempat para Ulama Indonesia belajar mendalami agama, baik yang mengambil kesempatan pada saat menunaikan ibadah haji, maupun yang kemudian bermukim bertahun-tahun di Mekah atau madinah, dan setelah pulang mereka mendirikan pesantren. Kedua, India sebagai kawasan yang menjadi asal usul atau minimal menjadi daerah transit para penyebar Islam masa awal yang sekaligus menjadi pendiri pesantren pertama di Indonesia. Dan Ketiga, Indonesia yang pada saat awal pesantren didirikan masih didominasi budaya Hindu-Budha.63 Pondok pesantren, merupakan konstruksi sistem pendidikan yang dipengaruhi segitiga teritorial dan segitiga budaya yang menjadi arus utama masuk dan berkembangnya Islam di nusantra; yaitu Arab, India dan Indonesia sendiri. Jaringan global India dan Arab dalam kaitan pembentukan budaya pesantren, dapat ditelusuri pula melalui teori kemazhhaban. India dan Arab pada saat itu ada dalam pengaruh kuat mazhhab al-Shafi‟i,64 sehingga tidak mengherankan apabila kitab-kitab klasik dalam bidang fiqh yang diajarkan di Pesantren didominasi fiqh al-Shafi‟i, apalagi tokoh sufi yang ditokohkan komunitas pesantren yaitu al-Ghazali adalah Faqih bermazhhab al-Shafi‟i.65 Pada sisi yang lain, walaupun pendidikan pesantren lebih dipengaruhi paham Sunni,66 namun beberapa tradisi di pesantren seperti haul, manaqib, diba‟, tawassul, ziarah kubur, dan sikap pengkultusan pada Kyai, merupakan tradisi Shi‟ah. Pelestarian tradisi Shi‟ah tersebut ada kaitannya dengan Sunan Gunung Jati sebagai pendidiri pertama pesantren di Cirebon yang berpaham Shi‟ah Zaidiyah.67 Jika melihat kerangka dan kedigdayaan kebudayaan pesantren, maka melakukan internalisasi pemahaman inklusivisme, esoterisme, dan pluralisme agama dan keberagaman pandangan dalam Islam bukanlah hal yang sulit. Hanya saja, yang diperlukan adalah kerangka strategis dan manajerial, agar kerangka historisitas yang sudah mapan, matang, serta berkesinambungan ini tetap menjadi jatidiri pondok pesantren. Maka dari itu, jika pesantren ingin membingkai dalam kerangka rasional choices theory, sebagaimana digambarkan 62 Mujamil Qomar, Pesantren, dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, tt), 10. 63 Ibid. 10. 64 Ibid. 10. 65 Suteja, Pola Pemikiran Kaum Santri…. 79-83 66 Abdurrahman Mas‟ud, Memahami Agama Damai Dunia Pesantren, dalam Badrus Sholeh (Ed), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2007), xvii. 67 Mujamil Qomar, Pesantren… 11 20 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid di atas, hal ini sangat bergantung pada beberapa pandangan kiai-kiai atau pemimpin pondok pesantren terkait dengan persepsi pluralitas agama dan keagamaan. Dalam beberapa penelitian penulis, setidaknya ada beberapa pandangan kiai-kiai pesantren terkait dengan hal tersebut. Tabel di bawah ini akan menunjukkan pandangan para kiai tentang pluralitas agama dan keagamaan. Tabel 1 Persepsi Pemimpin dan Tenaga Pendidikan di Pesantren tentang Pluralitas Agama dan Faham Keagamaan dalam Islam Pluralitas Agama - - - - Sebagai realitas sosial yang tidak perlu dipersoalkan, bahkan harus ada karena bagian dari sunnatullah. Namun sebagai umat Islam harus tetap mewaspadai agenda-agenda pihak luar (non muslim), karena mereka (Yahudi dan Nashara) akan selalu berupaya menyeret umat Islam ke dalam agama mereka. Antar agama-agama, ada titik temu dalam beberapa hal : Sama-sama meyakini zat yang supranatural, hanya berbeda dalam mengkonstruk wujud Tuhan antara berbodi dan tidak berbodi. Samasama memiliki ajaran penghambaan pada Tuhan, hanya bentuk ritualitasnya berbeda. Sama-sama memiliki ajaran atau nilai kemanusiaan yang universal. Walaupun ada titik temu, tetap tidak bisa disatukan atau dicampuradukkan satu sama lainnya. Secara sosiologis, merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihindari bahkan harus ada untuk saling mengisi antara yang satu dengan lainnya. Pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam, merupakan potensi sosial atau sebagai asset yang dapat menjadi Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Pluralitas Faham dalam Agama Islam - - - Antar paham keagamaan dalam Islam, pada dasarnya banyak memiliki kesamaan terutama yang menyangkut pokok-pokok ajaran agama yang sudah qath‟i. Perbedaan antar paham keagamaan hanya dalam masalah furu‟iyah yang tidak perlu dipersoalkan, karena ada dalam ruang ijtihadi dan kebenarannya bersifat spekulatif. Problema antar paham keagamaan dalam Islam, disebabkan klaim masing-masing menjadi golongan yang satu yang dinyatakan selamat oleh Rasulullah, kemudian diperparah dengan adanya kecenderungan untuk menyesatkan paham keagamaan yang berbeda. Antar paham keagamaan dalam Islam, memiliki keyakinan yang sama yaitu Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai utusan Allah, dan sebagai sumber ajaran pokok sama-sama al-Qur an dan sunnah. Perbedaan antar paham keagamaan terjadi dalam memahami nash yang bersifat dhonni dan membutuhkan upaya-upaya ijtihad dalam memahaminya. Karena merupakan hasil ijtihad, maka dimungkinkan adanya kesalahan, sehingga tingkat 21 Internalisasi Nilai Keberagaman.... energi positif dan dapat dikelola dengan baik sehingga berdampak positif dan bahkan mendatangkan hikmah yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, ketika yang berbeda bisa saling menghargai perbedaan. - kebenarannya bersifat zhonni, tidak mutlak yang tidak perlu dipersoalkan. Dan perbedaanperbedaan itu pada umumnya hanya dalam masalah furu‟iyah bukan masalah yang ushuliah. Walaupun antar paham keagamaan bersumber dari sumber kebenaran yang sama, namun sulit untuk disatukan, karena masing-masing mengkalaim menjadi yang paling benar, yang paling selamat, dan kemudian menyerang paham keagamaan lainnya, sebagai bid‟ah, syirik, dan sesat. Pandangan dan persepsi seperti di atas, harus diakui, sebagai pandangan mayoritas para kiai di pondok pesantren. Terkecuali, bagi pondok pesantren yang memang di desain melalui paradigma teologis yang berbeda. Seperti penelitian Charlene Tan, terhadap pondok pesantren Ngruki di Solo Jawa Tengah. Pondok pesantren ini, secara ideologis, memang cenderung mengajarkan hal-hal yang bersifat eksklusifisme dan fundamentalisme faham keberagamaan. Oleh karenanya, para santri dan alumnusnya, memiliki paradigma yang tertutup terhadap keyakinan yang berbeda. Bahkan, cenderung menyalahkan dan menganggap „kafir‟ pandangan orang lain. Konstruksionisme (baca; internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi) menggunakan paradigma rasional choice theory, sangatlah bergantung pada sosok kiaia atau pemimpin pondok pesantren. Pasalnya, framework teori ini, kekuatan agent lebih kuat mempengaruhi struktur. Kondisi dan neraca perimpangan struktuk akan berbeda apabila keberadaan pluralitas agama ini dibingkan menggunakan paradigma analisis Ritzer. Teori makro-mikro dalam analisis. Implimentasi strategis pada kasus ini bergantung pada level yeng berbeda-beda bedasarkan level yang diinginkan oleh pemimpin atau kiai pondok pesantren. Bagan berikut ini bisa menggambarkan penggunaan kerangka sosial ini, sebagai strategi konstruksionis dalam menumbuhkan sikap pluralis dan inklusif di pondok pesantren. 22 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 Mursyid Level Makro-Objektif : Peserta didik akan mengambil nilai-nilai yang membudaya di pondok pesantren, dan tidak akan terfokus pada satu pondok pesantren semata. Oleh karenanya, umumnya, di dalam pondok pesantren mereka memiliki nilai-nilai filosofis, ajaran, dan wasiat para pendiri yang dipegang teguh oleh pengasuh pondok pesantren. Semisal, trilogi santri, pancakesadaran santri, atau khidmat kesantrian, dan niat mencari ilmu di pondok pesantren. Level Makro Subjektif: Nilai-nilai yang sudah dipahami oleh para santri melalui proses pembelajaran, pembiasaan, dan bimbingan dari para guru terhadap keberadaan realitas objektif di luar pondok pesantren. Umumnya, sebagaimana kerangka teori di atas, maka santri akan lebih banyak diperkenalkan terhadap hal-hal yang bersifat toleran akan perbedaan. Level Mikro Objektif: Hal ini berkaitan dengan tindakan dan perilaku sosial kiai dalam menanggapi dan menjalankan persepsi serta pemahamannya terhadap realitas dan fakta keberagaman faham dan agama di Indonesia. Mikro Subjektif: Hal ini berhubungan dengan kondisi kelembagaan yang ada di pondok pesantren. Apabila lembaga yang dikelolanya memiliki muatan-muatan indoriner tentangan nilai-nilai toleransi maka peserta didik akan mengikuti secara seksama apa yang sudah menjadi keyakinan bersama. Penutup Melalui analisa dan pendekatan yang demikian, maka faktor teladan kiai, akar kebudayaan pondok pesantren, dan sistem lembaga akan menjadi penentu proses internalisasi nilai-nilai keberagaman agama dan faham keagamaan dalam Islam. Tanpa, harus menanggalkan identitas pemahaman yang dipegang oleh pondok pesnatren semanjak lama. Pasalnya, keberadaan atau eksistensi pondok pesantren, pada dasarnya, merupakan produk keyakinan akan keberagaman budaya dan agama yang ada di Indonesia. Pondok pesantren sendri – seperti paparan teoritik di atas, merupakan produk asimilatif akan kebudayaan yang ada sebelum Islam berkembang. Dan, tentunya, dibumbui dengan nilai-nilai keislaman. Daftar Pustaka Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Siti Jenar Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu : 2004 Abdulaziz Sachedina, Apakah Islam Membatalkan Agama Yahudi dan Kristen ?, Mencari Identitas Islam pada zaman Klasik dan Modern”, dalam Ali Noer Zaman (ed), Agama Untuk Manusia Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 2000 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, Yogjakarta, Pustaka Pelajar : 2011 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam Indonesia, Malang, Aditya Media Publishing : 2011 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015 23 Internalisasi Nilai Keberagaman.... Alwi Sihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung, Mizan : 1998 Andre Ata Ujan dkk, Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, Jakarta, PT. Indeks : 2011 Budhy Munawar Rahman, Reorientasi Pembaharuan Islam, Skularisme, Liberalisem dan Pluralisme Peradaban Baru Islam Indonesia, Jakarta, LSAFParamadina : 2010 Coleman, James. Foundation of Social Theory, Cambridge, Biknap Press of Harvard University Press : 1990 Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, Illinois USA, Theosophical Publishing House, 1984 George Ritzer, Douglas J. Goodman, , Modern Sociological Theory, 6th Edition. Alih bahasa, Alimandan, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke 6, Jakarta, Kencana : 2010 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2005 Harold Coward, Pluralism, Challenge to World Religions, Bosco Carvalo, Pluralisme, Tantangan Bagi Agama-Agama (Terj), Yogyakarta, Penerbit Kanisius : 2003 M. Dawam Raharjo, Fanatisme dan Toleransi, dalam Irwan Masduki, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, Bandung, Mizan : 2011 Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama Pandangan Sufistik Ibnu ’Arabi, Rumi, dan Al Jili, Jakarta: Mizan Publika, 2011 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 2008 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Dian RakyatParamadina, tt Saeful Mujani, Umat Islam Indonesia Dukung Radikalisme, Jakarta, Harian Tempo : 12 November 2004 Sayyed Husen Nasr, ed. The Essential of Frithjof Schuon, Bloomington, Indiana World Wisdom, 2005 Sumartana at al. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 2001 Zuhairi Misrawi, Al-Qur an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta, Fitrah : 2007 24 Jurnal Kependidikan Islam Volume 6, Nomor 2, Tahun 2015