NEGOSIASI ARSITEKTUR DENGAN ALAM: MAKSIMALISASI FUNGSI MATERIAL BAMBU1 Parahita Galuh Kusumaningtyas Rumah, bagi sebagian orang, tidak lebih dari sekadar salah satu kebutuhan pokok. Bagi sebagian yang lain, rumah memiliki arti sosial yang lebih dari itu—rumah seakan-akan menjadi tempat pengakuan bahwa seseorang itu ada, eksis, hidup, dan rumah adalah tempat untuknya kembali, tempatnya untuk diakui. Inilah yang membedakan arti dari „house‟ dan „home‟. Sekilas keduanya sama-sama memiliki perwujudan yang nyata, yaitu sebuah massa bangunan yang memiliki dinding untuk memberikan privasi, dan atap untuk melindungi. Di situlah arti dari „house‟ berhenti, sementara „home‟ lebih memiliki manifestasi emosional yang mengikat dengan rumah itu sendiri. Bagi manusia, mungkin massa berdinding dan beratap itulah yang mereka sebut dengan rumah. Hanya saja, terkadang manusia lupa bahwa yang pantas mendapatkan kenyamanan bernama „rumah‟ itu tidak hanya ras mereka saja; sehingga tanpa kita sadari, bersamaan dengan terbangunnya rumah bagi manusia, hancur pula rumah bagi mahkluk hidup yang lain. „Hidup berdampingan dengan alam‟ mungkin merupakan solusi klise, namun tidak bisa dipungkiri bahwa solusi klise itulah opsi yang bisa kita pilih untuk setidaknya menyelamatkan banyak rumah bagi mereka. Win-win solution. Konsep Rumah Bambu: Menghormati Apa yang Telah Ada dan Optimalisasi Ruang Tempat tinggal, pada dasarnya, bukanlah suatu substansi yang egois. Ada interaksi dan kehangatan di dalamnya, entah itu dikarenakan oleh apresiasi orang dalam terhadap sesamanya atau terhadap apa yang ada di luar dinding pembatas. 1 Tugas makalah Mata Kuliah AR 4131 Teori dan Kritik Arsitektur, Semester I - tahun 2011/2012, dosen Ir. Eko Purwono, MS.Arch.S. 1 Rumah kediaman Budi Faisal—yang secara tidak kebetulan dirancang oleh beliau sendiri—berlokasi di Eco Pesantren Daarut Tauhiid (Cigugur Girang, Bandung Barat) berusaha untuk menceritakan ketidakegoisan itu. Bentuk bangunan didesain dengan sedemikian rupa sehingga turun keputusan untuk mendahulukan eksistensi sembilan pohon cengkeh dan menomorduakan kesatuan bangunan. Dua massa yang masing-masing berdiri di sisi kanan dan kiri pintu masuk kemudian disambungkan oleh jembatan bambu yang menimbulkan rasa rindu pada kekayaan alam yang acap kali terlupakan. Tidak cukup dengan satu tindakan, Budi Faisal kembali mengambil jalan memutar untuk menyempurnakan desain jembatannya; bentuk jembatan serta railing didesain berlekuk-lekuk menyesuaikan dengan ranting-ranting pohon cengkeh, sehingga sama sekali tidak ada yang dikorbankan, kecuali mungkin ketelatenan pekerjanya. Gambar 1 Jembatan bambu sebagai penghubung dua massa bangunan Awalnya, ada keinginan dari sang arsitek untuk memaksimalkan lahan yang ada; jarak salah satu pohon cengkeh ke pohon yang lain memungkinkan untuk mendirikan bangunan bermodul lima meter sebagai massa utama. Massa tersebut menampung ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar-kamar utama, dan ruang servis seperti kamar mandi. Namun dalam proses perancangannya yang sempat 2 berganti desain hingga dua puluh kali, Budi Faisal memutuskan untuk hanya menggunakan modul empat meter. “Ketika itu saya membaca buku karangan Adi Purnomo yang berjudul „Relativitas‟, dan dari situ saya kembali mempertanyakan, seberapa cukupkah „cukup‟ itu?” ujarnya. Memang ada perbedaan yang mendasar antara maksimal dan optimal; jika empat meter cukup untuk menciptakan ruang yang akrab dan hangat, lantas untuk apa membangun lima meter jika angka tersebut menciptakan jarak yang tidak pendek di antara anggota keluarga? Menurut hitungan matematis, empat meter tidak jauh berbeda dari ukuran standar kamar kos-kosan yaitu tiga kali tiga meter. Ukuran yang sekilas terlihat minimal dan sempit, tetapi dengan satu trik di sana dan di sini, bahkan empat meter bisa memberikan kesan luas seperti lapangan terbuka. Memaksimalkan bukaan adalah salah satu triknya. Sisi bangunan yang bersinggungan dengan sisi jembatan tidak dipartisi dengan permanen, melainkan berupa „dinding geser‟ dengan material bambu yang bisa dibuka maupun ditutup setiap saat. Hal ini memungkinkan untuk menarik unsur ruang luar seakan-akan mereka merupakan bagian dari unsur ruang dalam. Di samping itu, bukaan besar juga sengaja diletakkan di sisi depan, mengarah ke pemandangan lembah yang menawarkan vista kota Bandung. Sementara itu, massa sekunder yang berada di sisi kiri pintu masuk menggunakan modul tiga setengah meter, karena jarak antarpohon yang ada di area tersebut hanya memungkinkan demikian. Fungsi yang ditampung cukup banyak, yaitu kamar-kamar anak dan kamar mandi. Tetapi bahkan dengan besaran sekecil itu, kualitas ruang yang diberikan tidak kalah dari ruang yang ukurannya dua kali lipat. Keterbukaan dari massa tersebut yang kemudian digandeng oleh jembatan bambu, membuatnya seakan-akan menyatu dengan massa utama. Eksisting di luar bangunan pun dimanfaatkan sebagai pemanjaan visual yang dapat dinikmati dari dalam ruangan, seperti pemandangan kebun yang berada di Utara bangunan dan bisa dilihat dari kamar utama. Sempat timbul pertanyaan bagaimana jika nanti terjadi pembangunan di kebun tersebut sehingga menghilangkan sajian vista yang semula ada; karena bagaimanapun juga, hal-hal 3 yang berada di luar lahan sudah tidak berada dalam kuasa si pemilik lahan. Namun, Budi Faisal menjawab kekhawatiran tersebut dengan enteng, “hal itu sudah ditangani, kan saya yang menyusun perencanaan daerah ini,” katanya sambil tertawa. Maksimalisasi Sumber Daya: Masa Lalu, Saat Ini, dan Masa Depan Jika waktu terbagi menjadi tiga potongan besar, tindakan yang paling bijaksana adalah belajar dari masa lalu, menerapkannya pada masa kini, sehingga menciptakan masa depan yang lebih baik. Sejarah mengajarkan kita betapa sumber daya alam yang tersedia di muka bumi merupakan jawaban yang paling solutif terhadap masalah materialitas. Sayangnya, keterbatasan pola pikir dan kecilnya dorongan untuk bereksperimen membuat sebagian besar dari kita tidak ingin beranjak dari posisi aman dan terjebak oleh pemikiran mayoritas. Pohon bambu merupakan sumber daya alam yang dimiliki oleh tanah air entah sejak berapa lama, namun kemampuan yang terkandung di dalamnya belum termanfaatkan dengan cukup baik. Pembangunan rumah bambu yang memakan waktu sekitar tiga tahun ini merupakan salah satu eksperimen sang arsitek untuk membuktikan bahwa bambu bukan hanya merupakan material dekoratif, namun juga komponen utama yang bisa dijadikan opsi struktur. Eksplorasi inilah yang membuat banyak orang menjadi tertarik dengan rumah bambu tersebut. Dasar pertimbangan pemilihan bambu sebagai material utama, selain karena alasan eksplorasi kemungkinan penggunaan material alami, diawali pula dengan keinginan untuk menggunakan sumber daya alam yang mudah diperbarui. Alasan renewable inilah yang membuat kayu—yang sebenarnya merupakan material alami juga—dieliminasi dari pemilihan material utama, karena pohon kayu membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh kembali setelah ditebang. Bambu, di sisi lain, hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun untuk siap dipanen lagi. Terlepas dari cara mendapatkannya yang mudah, bambu tetap memerlukan 4 proses pengawetan dengan cara merendamnya (dengan mencapmpurkan bahanbahan kimiawi sebanyak lima persen pada air) selama empat belas hari sebelum siap untuk menahan beban konstruksi. Setelah perendaman, baru kemudian bambu dikeringkan dan siap untuk digunakan. Proses ini dilakukan untuk mencegah kelapukan dini pada bambu, karena pada proses aplikasi nantinya, bambu akan banyak terkena air hujan dan terik matahari. Gambar 2 Bambu tidak hanya sebagai unsur dekoratif, namun juga sebagai material struktur Sebagai struktur bangunan, bambu bisa mengurangi penggunaan cor beton hingga setengah dari penggunaan normal. Bambu yang dipilih adalah bambu berdiameter sepuluh hingga dua belas sentimeter, yang kemudian diberi tulangan di sekitarnya sebelum dicor beton. Sementara itu, sebagai pengisi dinding, bambu yang digunakan adalah bambu anyaman. Bambu ini diposisikan berdiri, kemudian dilapisi ram kawat di kedua sisinya sebelum diplester dengan acian. Selain digunakan sebagai material struktur dan dinding, bambu juga digunakan sebagai marerial penutup lantai, setelah melalui proses laminasi terlebih dahulu. Selain dari bambu yang berharga relatif lebih murah dan mudah didapatkan, Budi Faisal juga menggunakan material bekas pembongkaran rumah untuk digunakan kembali pada rumah rancangannya. Kayu-kayu bekas sebagian besar digunakan 5 untuk kusen, sementara genting-genting bekas dipakai sesuai fungsi stereotipnya yaitu sebagai penutup atap. Tidak ada kekhawatiran terhadap kualitas material bekas; meskipun sebagian dapat dipastikan mengalami penurunan daya tahan, sebagian yang lain, seperti kayu bekas misalnya, malah mengalami peningkatan kualitas. Hal ini terjadi karena kayu bekas tersebut tidak akan mengalami penyusutan kembali, mengetahui bahwa kayu yang diambil merupakan kayu dari hasil pembongkaran rumah zaman Belanda, yang sebagai catatan kaki, menggunakan kayu-kayu berkualitas pada masa itu. Kombinasi penggunaan material bambu dan material bekas ini, menurut penuturan Budi Faisal, menghasilkan angka pengeluaran pembangunan tiga puluh persen lebih rendah dari harga normal. Penekanan harga pembangunan dilanjutkan dengan penghasilan yang didapatkan dari keberadaan rumah itu sendiri. Kebijaksanaan dalam membiarkan pohon cengkeh berada tetap pada tempatnya berujung pada keuntungan yang didapat dari panen cengkeh yang masih produktif. Pengalaman serupa terjadi pada kamarkamar anak yang berada di massa sekunder. Pada awalnya, kamar tersebut disiapkan sebagai kamar anak-anak jika nanti mereka telah kembali dari menuntut ilmu di tempat lain. Hingga saat itu tiba, ruang yang tidak memiliki definisi permanen ini rupanya disewakan kepada kerabat yang membutuhkan tempat tinggal sementara. Transformasi temporer ini menjadi satu langkah menarik selain untuk tidak menyia-nyiakan ruang, juga sebagai sarana penghasilan tambahan. Peleburan Dua Seni Besar: Alam dan Arsitektur “Good architecture lets nature in,” ungkapan dari Mario Pei ini secara gamblang menggambarkan bahwa unsur alam tidak akan pernah bisa terlepas dari seni arsitektur yang baik. Meskipun cantik itu relatif, keindahan alam itu hakiki. Sebuah postulat sederhana yang tidak bisa dibantah. Maka, suatu langkah yang cerdas ketika memutuskan untuk berharmoni dengan alam daripada mengambil kubu oposisi. Rumah bambu ini menawarkan solusi yang manis dari upaya 6 penggabungan dua unsur besar tersebut. Massa arsitektur berdiri dengan kokoh di antara keindahan alam, tanpa harus mengalahkan salah satunya. Meskipun konsep arsitekturnya terkesan menapak mundur satu langkah dari unsur alam, pada kenyataannya tindakan ini malah membuat rumah bambu tersebut terlihat eksotis karena berhasil memanfaatkan keindahan hakiki alam dan menjadikannya bagian dari desain. Gambar 3 Hubungan yang dekat antara arsitektur (rumah) dan alam (pohon) Secara sederhana, rumah adalah miniatur dari apakah kehidupan itu sendiri. Seperti sequence yang ditawarkan oleh rumah bambu ini, misalnya. Untuk memasuki rumah, kita dihadapkan pada dua pilihan pintu masuk, melalui ramp atau tangga, seakan-akan merupakan metafora dari percabangan hidup. Masingmasing menghadiahkan pengalaman yang berbeda, namun tujuannya sama. Dari sana, kemudian kita diarahkan pada massa sekunder menuju tangga yang berakhir di lantai dua. Terjadi kesan yang agak kontradiktif di sini, ketika bentukan masif malah mencitrakan transparansi yang kental. Bertolak belakang namun terasa harmonis, seperti hitam yang disejajarkan dengan putih. 7 Kejutan utama dari rangkaian cerita yang kaya ini adalah ketika kita menapakkan kaki di lantai dua, menghadap ke arah jembatan bambu yang menghubungkan massa satu dengan massa yang lain. Jika di lantai satu kita bisa menyentuh batang pohon cengkeh, maka di lantai dua ini, kita akan bisa merasakan sensasi yang normalnya tidak akan bisa kita rasakan, yaitu berada dekat sekali dengan ranting pohon, hingga dapat menyentuh dedaunannya. Fakta ini membuktikan dengan jelas, bahwa sebenarnya ada cara untuk memperkecil jarak antara manusia dengan alam hingga mendekati nol. Yang menjadi masalah, hanya bagaimana kita merespon umpan yang tersaji di depan mata. Jika ditanya apakah ada kekurangan dari konsep rumah bambu ini setelah terbangun, maka jawabannya adalah ya, ada. Kekayaan vista, kenyamanan ukuran, dan perdamaian dengan alam yang dicapai dari transparansi massa harus dibayar dengan intensitas angin yang masuk pada malam hari, terpaan hujan ketika ingin ke ruangan lain melalui jembatan, atau mampirnya burung-burung gereja dan berbagai varian insekta ke dalam rumah. Budi Faisal mengungkapkan bahwa istri, anak-anak, dan ibunya sendiri tidak jarang masuk angin dikarenakan hal tersebut. Pembantu rumah tangga yang bekerja di sana pun acap kali gelagapan jika harus membersihkan kotoran burung yang masuk dengan frekuensi yang tidak jarang. Transparansi massa pun, ketika banyak dinilai positif, rupanya bukan merupakan skala yang baik bagi anak-anak. “Ketika anak saya masih kecil, dia suka takut kalau tidur sendiri di kamar, soalnya terpisah dari kamar saya dan pemandangan dari bukaannya (pohon-pohon .red) katanya seram,” tutur Budi Faisal. Namun, beliau sendiri rupanya sendiri tidak menganggap hal tersebut adalah kelemahan—sebaliknya, pengalaman-pengalaman anomali itulah yang membuat hidup di dalam rumahnya menjadi menarik, “bagian dari atraksi,” akunya. Pergeseran nilai telah terjadi secara repetitif, seperti zaman sekarang di mana sebuah bangunan tidak lagi hanya dilihat dari fungsi, tetapi juga gengsi. Satu nilai yang tidak boleh bergeser adalah ketika rumah menjadi tempat tinggal yang 8 nyaman tidak hanya bagi manusia, namun juga bagi hubungan baik antara mereka dengan eksistensi alam. Sebaik-baiknya perkara adalah yang berada di antaranya; begitu pula dengan titik kenyamanan yang berada di tengah-tengah kreativitas arsitektur dan kearifan alam. Masing-masing unsur memengaruhi satu sama lain, kemudian mencapai satu kata sepakat, menciptakan sebuah stanza yang menyambut kepulangan kita, seakan mengucapkan, “selamat datang kembali!” Referensi Aditya, Ferifan F. 2009. “Konstruksi Rumah Bambu Modern”, Majalah Griya Asri. Jakarta: PT. Griya Asri Hasil wawancara dengan Ir. Budi Faisal MAUD, MLA, Ph.D., 11 November 2011 di Gedung Labtek IX-B Institut Teknologi Bandung 9