1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena orangtua

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di
berbagai Negara. Pada tahun 2005 di Inggris terdapat 1,9 juta orangtua tunggal
dan 91% dari angka tersebut adalah wanita sebagai orangtua tunggal. Berdasarkan
data tersebut dapat memberikan gambaran tingginya keluarga yang berstatus
sebagai single parent (Alvita, 2008). Berdasarkan berbagai sumber referensi dan
data yang ada, jumlah ibu yang menjadi single parent, lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah ayah yang menjadi single parent. Wibowo (2008) perbandingan
jumlah janda dan duda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah duda yang
tidak menikah hanya seperlima dari jumlah janda yang tidak menikah lagi. Jadi
lebih banyak duda yang menikah akibatnya ibu dengan status orang tua tunggal
lebih banyak. Hasil survey sosial Ekonomi Nasional yang diajukan oleh Badan
Pusat Statistik
(Harian Tempo, 2011) menunjukkan bahwa jumlah ibu di
Indonesia yang menjadi kepala keluarga karena bercerai sebanyak 778.156 orang
dan karena kematian suami berjumlah 3.681.586 orang (total 4.459.724).
berdasarkan data Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka),
terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia berstatus janda. Hal ini berarti
kenaikan jumlah ibu yang menjadi orang tua tunggal hampir sepuluh kali lipat
selama rentang 10 tahun.
1
2
Menjadi orangtua tunggal merupakan sebuah fase yang tidak dialami oleh
semua orang, perubahan fungsi dan peran pada seseorang sebelum dan saat
menjadi
orangtua
tunggal
dapat
mempengaruhi
pula
perubahan
pada
perekonomian, sosial dan psikologis. Seorang istri yang ditinggal suami karena
meninggal dunia maupun karena perceraian, maka dengan terpaksa mereka harus
menjalankan peran sebagai ibu dan ayah sekaligus. Seorang istri tiba-tiba
menjalankan multi peran dan mengambil tanggung jawab penuh dalam keluarga,
baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, cara mengambil keputusan yang tepat
untuk kelangsungan keluarga, dan berusaha menguatkan anggota keluarga atas
persoalan yang dihadapi (Laksono, 2008).
Salah satu dampak perceraian adalah terjadinya perubahan struktur dalam
suatu keluarga yang menjadikan ayah atau ibu menjadi orangtua tunggal. Adaptasi
terhadap perubahan peran perempuan baik di dalam keluarga maupun di
masyarakat terkait peran dan statusnya yang baru yaitu dari seorang ibu lalu
merangkap sebagai seorang kepala keluarga tentu tidak mudah. Terlebih bagi
seorang ibu yang terpaksa mengasuh anaknya hanya seorang diri karena bercerai
dari suaminya atau suaminya meninggal dunia. Hal tersebut membutuhkan
perjuangan yang cukup berat untuk membesarkan anak termasuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga, dan yang lebih memberatkan lagi adalah anggapananggapan dari lingkungan yang sering memojokkan kehidupan para ibu sebagai
orangtua tunggal karena perceraiannya. Hal tersebut dapat mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan anak. Bagi seorang ibu, menjadi orang tua tunggal
merupakan pengalaman yang luar biasa berat. Terlebih disaat lingkungan tidak
3
berpihak, terkadang seorang ibu takut jika hal tersebut dapat mempengaruhi
perkembangan anak-anaknya, sehingga diperlukan sikap kuat dan tegar terhadap
setiap tantangan hidupnya sebagai teladan bagi anak-anaknya (Isti’anah, 2010).
Umumnya perempuan lebih peka dan sensitif terhadap perubahan terutama
dalam kehidupannya. Mereka mengalami stres karena harus memikul peran ganda
dalam keluarga. Perempuan tersebut mengalami suatu tekanan hidup karena
sebelumnya dijalani bersama-sama dengan pasangannya sekarang menjadi
seorang diri dalam mengatur rumah tangga baik dalam keluarga maupun dalam
mendidik dan merawat anak. Perempuan tersebut mengalami masalah psikososial
dalam bentuk tekanan psikologis, seperti dalam bentuk afektif, kognitif, fisik dan
perilaku. Selain itu orang tua tunggal pada umumnya akan mengalami masalah
keuangan, terlebih bagi mereka yang berada pada kalangan ekonomi menengah ke
bawah. Hal tersebut akan menambah beban hidup perempuan sebagai orangtua
tunggal (Sovia, 2009).
Perempuan sebagai orangtua tunggal memiliki posisi yang penting dalam
keluarga. Hal ini justru menunjukkan kelebihan tersendiri karena selain ia tetap
mengurus urusan domestik rumah tangga, ibu juga terus meningkatkan kualitas
hidup diri dan keluarga melalui pekerjaan di luar rumah. Perpisahan dalam
keluarga karena kematian, perceraian, sakit dan perpisahan akibat perang,
penyakit dan bencana alam yang tidak dapat dihindarkan, dapat dilihat banyak ibu
yang tetap terus bertahan untuk mempertahankan hidupnya dan berusaha
menyesuaikan
diri
dalam
keadaannya
sebagai
orangtua
tunggal
tanpa
pendamping. Perubahan peran dari ibu menjadi kepala rumah tangga, tak lantas
4
menjadikan seorang ibu harus meratapi nasib, tatapi bagaimana kemudian mereka
bangkit untuk terus menjalani hidup dan dapat memimpin dan mendidik
keluarganya. (Suryani, 2010).
Seperti halnya hasil wawancara pada tanggal 15 Oktober 2015 yang
dilakukan kepada perempuan single parent berinisial LK di Surakarta yang
berusia 35 tahun, LK sudah menjadi orang tua tunggal selama 5 tahun. Perceraian
terjadi karena LK tidak mau dimadu, padahal saat itu LK sedang hamil 3 bulan
dan memilih untuk bercerai. Semenjak itu hingga saat ini LK menjadi orangtua
tunggal dan membesarkan anaknya. Berikut data wawancara LK yang
menceritakan bagaimana subjek LK menjalani kehidupannya sebagai orangtua
tunggal :
“Namanya orang ya..pengennya rukun menjalani hidup bersama
sampai mati, tapi kok ya daripada saya mikir terus, makan ati terus,
saya ndak kuat akhirnya saya memilih untuk berpisah mbak, saat
itu saya hamil 3 bulan, awalnya berat mbak, 2 bulan saya nggak
mau keluar rumah, di rumah Cuma makan masuk kamar lagi, kayak
gitu, akhirnya saya mikir anak saya yang dikandungan, terus saya
bangkit, selama hamil saya kerja di tempat laundry, gajinya Cuma
700 ribu perbulan, dan itu saya simpan sedikit buat biaya
kelahiran, setelah anak saya lahir, saya harus bekerja buat
kehidupan anak saya, akhirnya setahun kemaren saya sudah bias
buka laundry sendiri mbak, kasihan kalau harus ditinggal terus,
jadi saya buka usaha, yang terpenting sekarang adalah bagaimana
memberi pendidikan yang terbaik buat anak saya.”
Dari wawancara yang dilakukan kepada subjek LK, diketahui bahwa
menjadi orangtua tunggal sebenarnya bukan kemauannya, meski sempat
mengalami rasa terpuruk akibat kegagalannya dalam membina keluarga, tetapi
kemudian ibu LK bangkit dari keterpurukan itu, mencari nafkah untuk
menghidupi buah hatinya, di samping tetap merawat dan mendidik anaknya.
5
Sementara wawancara lain dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2015 pada
perempuan berusia 52 tahun berinisial PT yang sudah menjadi orangtua tunggal
selama 14 tahun. Suami subjek sakit selama hampir 6 bulan yang akhirnya
meninggal. Saat itu subjek berusia 37 tahun dan memiliki 2 orang anak yang
masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah. Berikut data
wawancara yang menceritakan bagaimana subjek menjalani hidupnya sebagai
orangtua tunggal :
“Waktu suami saya meninggal, saya sangat sedih, terpuruk terusterusan menangis, saya semingguan itu nangis terus mbak, sampai
anak saya itu juga nangis terus, lah wong yang kecil itu masih
berusia 8 tahun, anak-anak saya itu sempat ndak mau sekolah
mbak, sampai saya dikuatin sama kakak-kakak saya, ya akhirnya
saya coba kuat, coba tegar dan menerima, saya akhirnya menjalani
pekerjaan apa saja yang penting anak saya bisa makan dan
bersekolah, ya buruh tani di sawah orang ya saya jalani, sampai
saya akhirnya jadi tukang jahit, ya dari jahit itu mbak bisa
nyekolahin sampai kuliah 2 anak mbak, sekarang mereka sudah
jadi guru sudah bisa biayain hidup mereka.”
Sama halnya dengan subjek LK menjadi orangtua tunggal adalah bukan
keinginan tetapi suatu keadaan yang memaksa subjek harus menjalani hidupnya
sebagai orangtua tunggal. Perpisahan akibat kematian yang dialami oleh subjek
PT juga membuatnya terpuruk, yang juga berakibat kepada anak-anaknya, tetapi
kemudian dengan kekuatan hati dan ketegaran untuk menerima keadaan akhirnya
subjek LK bangkit dari keterpurukan, dengan bekerja keras sebagai penjahit
akhirnya mengantarkan kedua anaknya menjadi sarjana.
Bagi sebagian besar masyarakat menjadi orangtua tunggal memang tidak
mudah apalagi orangtua tunggal tersebut adalah seorang ibu, dalam menjalankan
perannya sebagai seorang ibu yang harus melakukan pekerjaan di rumah dan
6
mendidik anaknya juga bertanggungjawab atas nafkah keluarga. Dalam kondisi
seperti itu, terlihat jelas beban dan tanggungjawab yang diemban seorang ibu
dengan statusnya sebagai orangtua tunggal. Dari permasalahan yang melibatkan
ibu sebagai orangtua tunggal di atas, potensial sekali menimbulkan stres. Meski
dalam kondisi stres, seseorang tetap dapat bertahan jika mampu menyesuaikan
diri secara tepat (Putri, 2008).
Hasil penelitian National Institute For Occupational Safety and Health
(Muchtar, 2004) menyatakan bahwa penyebab stres dapat berasal dari dalam diri
individu yaitu usia, kondisi fisik dan faktor kepribadian, maupun faktor dari luar
individu baik dari keluarga, lingkungan kerja, cita-cita maupun ambisi. Faktor
kepribadian yang diduga dapat berperan dalam menghadapi stres adalah
kepribadian tahan banting (hardiness). Maddi (Nurhidayah & Hidayanti, 2009)
menyatakan bahwa hardiness merupakan suatu karakteristik kepribadian yang
membuat individu menjadi lebih kuat, tahan, stabil dan optimis dalam
menghadapi stres dan mengurangi efek negatif dari timbulnya stres yang harus
dihadapi.
Individu yang memiliki hardiness tinggi mempunyai serangkaian sikap
yang membuat tahan terhadap stres, senang bekerja keras, dapat menikmati
pekerjaan yang dilakukan, senang membuat keputusan dan melaksanakannya
karena memandang hidup ini sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan dan diisi
agar mempunyai makna. Selain itu individu sangat antusias menyongsong masa
depan karena perubahan-perubahan dalam kehidupan dianggap sebagai suatu
7
tantangan dan sangat berguna untuk perkembangan hidupnya, dengan kata lain
dalam hidupnya mereka selalu optimis (Nurtjahjanti & Ratnaningsih, 2011).
Penelitian Febriani (2009) menunjukkan bahwa menjadi orangtua tunggal
memerlukan kemampuan menghadapi tekanan hidup dengan kondisi dan situasi
yang baru. Sementara penelitian Suryani (2010) menunjukkan hasil sebagai
berikut : (1) perempuan yang menjadi orangtua tunggal membutuhkan waktu
dalam menerima realita mengenai statusnya sebagai kepala keluarga, (2)
kehidupan ekonomi setelah ibu menjadi kepala keluarga mengalami perubahan,
(3) fungsi edukasi senantiasa menanamkan nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial dan
nilai-nilai agama dengan menyelipkan nasihat kepada anak-anaknya untuk
menjadi pedoman di hari ke depan, (4) sebagai orangtua tunggal tetap
menjalankan peran sertanya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Menjadi
orangtua tunggal
memang tidak mudah mereka harus
menjalankan banyak peran sebagai seorang ibu yang harus menjalankan pekerjaan
di rumah dan mendidik anaknya juga bertanggungjawab atas nafkah keluarga.
Dalam kondisi tersebut sangat memungkinkan jika ibu mengalami keterpurukan
dalam menjalani hidupnya. Orangtua tunggal diharapkan mampu dalam
membesarkan dan mendidik anak-anaknya, mereka tetap dapat berkecimpung
dalam hidup bermasyarakat dan mengajarkan bahwa kehidupan tanpa ayah harus
tetap berjalan dengan baik. Menjalankan perannya sebagai seorang ibu yang harus
mendidik anak-anaknya dan sebagai kepala keluarga yang harus mencari nafkah
untuk keperluan keluarga. Dari fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
tentang dinamika psikologis hardiness pada orangtua tunggal. Oleh karena itu,
8
judul yang dipilih adalah “ Dinamika Psikologis Hardiness pada Orang tua
Tunggal”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dinamika psikologis
hardiness pada orangtua tunggal dan Faktor-faktor yang memperngaruhi
hardiness.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam upaya
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai kepribadian Hardiness pada
ibu yang menjalani peran sebagai orang tua tunggal, serta hasil penelitian ini
diharapkan dapat memperluas wawasan tentang kajian dalam ilmu psikologi
dalam bidang kepribadian dan keluarga.
2. Manfaat Praktis
Manfaat yang diharapkan penulis dalam penelitian ini, yaitu :
a. Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat bagaimana perjuangan yang
dilakukan oleh ibu yang menjadi orang tua tunggal , dengan begitu dapat
mengapresiasi perjuangan ibu dalam mencari nafkah untuk anak-anaknya,
mendidik serta mengurus seluruh kebutuhan rumah tangga.
9
b. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan sebagai
acuan bagi peneliti lain yang berminat terhadap penelitian tentang
orangtua tunggal.
Download