Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 STRATEGI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI DALAM MENDUKUNG GERAKAN REVOLUSI MENTAL Yasser Arafat Email : [email protected] Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengembangkan strategi implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi dalam mendukung gerakan revolusi mental melalui implementasi nilai-nilai karakter yaitu ketaatan beribadah, kejujuran baik akademik maupun non akademik, disiplin dan tanggungjawab, hormat dan peduli dan kerjasama. Dalam tulisan ini Pembangunan karakter dikalangan generasi muda perlu dilakukan secara serius, karena generasi muda memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa. Fungsi generasi muda dalam pembangunan karakter bangsa adalah 1. Generasi muda sebagai pembangun- kembali karakter bangsa (character builder). Di era globalisasi ini, peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa seperti misalnya meningkatkan dan melestarikan karakter bangsa yang positif sehingga pembangunan kemandirian bangsa sesuai pancasila dapat tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah hantaman globalisasi, 2. Generasi muda sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentu tidak cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler. Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi muda untuk menjadi role model dari pengembangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang positif di masa depan agar menjadi bangsa yang mandiri. 3. Generasi muda sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan dibutuhkannya adaptifitas daya saing generasi muda untuk memperkuat ketahanan bangsa Indonesia. Character engineer menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Kata Kunci : Pendidikan Karakter, dan Revolusi Mental.a Pendahuluan Menjelang keruntuhan rezim Orde Baru (1997) hingga saat ini, kita sering dihadapkan pada situasi yang tidak mengenakkan, situasi yang mencekam, situasi yang memiriskan hati, dan berbagai situasi yang terjadi yang hampir-hampir di luar batas nalar kita. Seperti kasus penjarahan dan perkosaan massal, ‘perang’ antar-kampung, anak yang membunuh orang-tua, orang-tua yang memperkosa anak kandungnya, dan berbagai peristiwa lainnya. Pertanyaan yang muncul adalah “ada apa dengan bangsa ini ?.” Bangsa ini seakan tidak lagi memiliki pijakan hidup atau falsafah bangsa, hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang tidak lagi mengenal apalagi mengamalkan Pancasila, bangsa ini seakan tidak lagi memiliki akhlak mulia, hal ini terbukti dengan semakin maraknya kasus-kasus korupsi dan penjarahan harta negara, padahal bangsa ini tidak kurang memiliki pemimpinpemimpin (pengajar) agama. Bangsa ini seperti sudah tidak lagi memegang ‘tali Allah’ sehingga sangat riskan terjadi perpecahan, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Kondisi tersebut memperlihat rapuhnya nilai-nilai karakter yang dimiliki oleh bangsa, padahal secara filosofis bangsa Indonesia memiliki tatanan nilai yang ideal untuk membangun bangsa yang unggul, maju, sejahterah, dan berdaya saing melalui revitalisasi dan internalisasi nilai-nilai karekter bangsa yang terdapat dalam pancasila sebagai falsafah bangsa, untuk itu diperlukan menjaga eksistensi suatu bangsa agar tetap eksis dengan geniun karakter yang dimiliki sebagai bangsa yang agamis, toleran dan berbudaya. Mahasiswa dengan berbagai karakternya memiliki peranan dan fungsi yang sangat strategis dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ada tiga peran dan fungsi utama mahasiswa, yaitu: agent of change, social of control, dan moral force (manggala:2011). Sebagai agen perubahan (agent of change), mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar dalam membuat perubahan-perubahan mendasar dalam masyarakat. Karakter mahasiswa dapat dikembangkan di perguruan tinggi. Karena karakter seseorng dapat tumbuh secara perlahan dan berkelanjutan melalui proses pendidikan. Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan kelanjutan dari jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya, dari TK, SD, SMP dan SMA. Seorang tidak mungkin menjadi mahasiswa tanpa melalui jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 1 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas baik faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Pembentukan karakter mahasiswa merupakan proses pendidikan yang memerlukan keterlibatan dari berbagai pihak antara lain, keluarga, sekolah/kampus maupun masyarakat. Wadah dari pengembangan ini adalah keluarga, kampus dan masyarakat, serta lembaga formal maupun nonformal. Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi, membantu manusia yang utuh, bermoral, bersosial, berkarakter, berkepribadi, berpengetahuan dan berohani. Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju kearah yang lebih baik sesuai dengan potensi kemanusiaan. Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter. Untuk membangun bangsa yang berkarakter dimulai dari manusia yang berakhlak mulia atau berbudi pekerti luhur. Setiap individu dianjurkan untuk membangun karakter bangsa sesuai kapasitasnya, sebagai ilmuwan, pemimpin, hartawan maupun orang awam. Soemarno Sudarsono mengatakan ada enam hal dalam membentuk karakter, yaitu kejujuran, keterbukaan, keberanian mengambil resiko, bertanggung jawab, memenuhi komitmen dan kemampuan berbagi. Menurut Djohar, membangun karakter dikategorikan sebagai komponen “the hidden curriculum” yang pencapaiannya tergantung pada proses pendidikan pada substansi pendidikannya. Kebiasaan mahasiswa belajar akan mewarnai karakter mereka. Karakter tidak dapat diajarkan, akan tetapi diperoleh dari pengalaman, oleh karena itu harus dilatihkan. Kebiasaan sehari-hari dapat menghasilkan pengalaman belajar. Pembangunan moral dan karakter lebih efektif melalui dialogik dengan mendiskusikan kasus nyata yang diangkat melalui proses pelatihan itu. Proses dalam pendidikan terbuka kondusif untuk pembangunan karakter itu. Mahasiswa berperan sebagai kontrol sosial dan menjadi golongan masyarakat yang memberikan perubahan. Di dalam civil society, mahasiswa harus memberikan peranan yang adil, egaliter, beretika, aspiratif-partisipatif, dan nonhegemonik. Intinya kekuatan mahasiswa terletak pada ide, pemikiran, dan gagasannya. Perguruan Tinggi membentuk insan akademis yang dapat melakukan learning by themselves atau belajar secara mandiri dengan melakukan self improvement serta mencari dan membela kebenaran ilmiah. Dengan adanya pendidikan karakter yang diterapkan di Perguruan Tinggi maka diharapkan mahasiswa dapat merancang visi masa depan untuk diri sendiri, lingkungan, dan keluarga dan membentuk masyarakat madani yang kreatif dan inovatif. Pendidikan yang diberikan dari Perguruan Tinggi ini mengarahkan pada perjuangan mahasiswa untuk mendekatkan realita dengan kondisi ideal. Di lingkungan perguruan tinggi mahasiswa merupakan elemen yang paling peka merespon problematika bangsa sebagai promotor “people power” yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. Begitu banyak kegiatan yang dijalankan, mulai dari diskusi, seminar sampai pada demonstrasi damai yang kritis-analisi untuk memperjuangkan kebenaran dan menjunjung tinggi kesejahteraan. Mahasiswa sebagai agen perubahan dimaksudkan bahwa dalam mengadakan sebuah perubahan yang holistik dan sistematik demi kemaslahatan bersama, maka mahasiswa dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu. Pendidikan yang hanya berbasis pada pengembangan intelektual tanpa pengembangan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan emosional, merupakan metode pendidikan yang perlu dikoreksi. Sebab, intelegensia tinggi tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan emosional, tidak akan menghasilkan kecerdasan sosial yang diharapkan. Dalam kaitan dengan pengembangan karakter dan kepribadian secara sistemik di perguruan tinggi, dalam pembinaan pembelajaran dan kemahasiswaan akan sangat dibutuhkan tahapan yang jelas dan terukur dengan program yang sistemik dan berkesinambungan, yaitu : 1. Tahap pertama, antara semester 1 sampai semester 3 adalah pembelajaran untuk pembentukan jati diri. Mengantarkan mahasiswa menemukan jati dirinya sebagai manusia yang memiliki beragam potensi, sekaligus memiliki beragam kelemahan. 2. Tahap kedua, antara semester 4 sampai 6, tahap pembelajaran dan pembimbingan untuk pembentukan daya kreasi dan inovasi mahasiswa. Proses pembelajaran dikembangkan untuk mempersiapkan, membangun suatu kondisi sehingga kreasi, Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 2 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 kreatifitas dan daya inovasi mahasiswa dapat ditingkatkan dan mahasiswa berperan aktif dalam berbagai aktivitas belajar dan kegiatan kemahasiswaan. 3. Tahap ketiga, antara semester 7 sampai 8 adalah tahapan pembelajaran yang lebih diorientasikan pada pembentukan dan pematangan jiwa kewirausahaan, kepemimpinan dan manajemen mahasiswa. Sehingga peningkatan karakter dan kepribadian mahasiswa lebih berfokus pada latihan kepemimpinan dan keterampilan komunikasi, berargumentasi secara ilmiah. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari proses pembinaan pembelajaran bagi mahasiswa di kampus. Kapasitas seseorang dapat ditentukan oleh akumulasi 2 fungsi yaitu kompetensi bidang ilmu (hard skills) dan karakter (soft skills), sehingga pengembangan karakter harus dimulai dari pelatihan soft skills. Pendidikan karakter adalah bagian dari pendidikan soft skills. Dengan adanya karakter yang kuat adalah kelebihan dan kekuatan seseorang, apabila tidak disertai dengan karakter yang baik, kelebihan dan kekuatan itu akan muncul sebagai kelemahan. Sebaliknya orang yang memiliki potensi sederhana tetapi karakternya luar biasa, maka dapat dipastikan dia memiliki potensi yang besar. Satu unsur penting yang sepertinya selama ini diabaikan dalam praktek pendidikan adalah metode keteladanan yang proposional. Keteladanan dianjurkan dalam rangka mengantar pendidikan yang mampu membentuk karakter mahasiswa. Pembentukan karakter generasi muda bangsa merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa dan bahkan menentukan nasib bangsa itu di masa depan termasuk juga Indonesia. Namun pada kenyataannya, di era globalisasi yang telah menempatkan generasi muda Indonesia pada derasnya arus informasi yang semakin bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sebagai akibat dari globalisasi. Akibat dari globalisasi tersebut, nilai-nilai asing secara disadari maupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada generasi muda Indonesia. Pembangunan karakter dikalangan generasi muda perlu dilakukan secara serius, karena generasi muda memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa. Menurut www,.sek.neg.com yang dikemukan oleh Hatta Rajasa, fungsi generasi muda dalam pembangunan karakter bangsa adalah: 1. Generasi muda sebagai pembangun- kembali karakter bangsa (character builder). Di era globalisasi ini, peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa seperti misalnya meningkatkan dan melestarikan karakter bangsa yang positif sehingga pembangunan kemandirian bangsa sesuai pancasila dapat tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah hantaman globalisasi. 2. Generasi muda sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentu tidak cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler. Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi muda untuk menjadi role model dari pengembangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang positif di masa depan agar menjadi bangsa yang mandiri. 3. Generasi muda sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan dibutuhkannya adaptifitas daya saing generasi muda untuk memperkuat ketahanan bangsa Indonesia. Character engineer menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Pengembangan dan pembangunan karakter positif generasi muda bangsa juga menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya adalah karakter pejuang dan patriotism yang tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, tetapi dapat dalam konteks lainnya yang bersifat non-fisik. Esensinya adalah peran genarasi muda dalam pemberdayaan karakter tersebut. Khususnya di Perguruan Tinggi, peran semua civitas akademika kampus sangat penting. Hal ini karena pendidikan karakter bukan untuk mahasiswa saja akan tetapi juga selluruh elemen kampus. Mahasiswa selalu melihat perilaku dosen dan meniilai dosen mana yang baik dan buruk dari kacamata mahsiswa. Dosen yang baik akan menjadi panutan mahasiswa, artinya baik bukan hanya sekedar member nilai yang baik, tetapi baik karena memenuhi criteria sebagai dosen. Pentingnya Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 3 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 Secara khusus, Pemerintah Indonesia melalui kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa, menekankan perlunya pendidikan karakter bagi bangsa dengan beberapa alasan adanya (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; (3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan (5) melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025, dalam Siswanto 2011). Melalui UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan komitmen tentang pendidikan karakter sebagaimana termuat dalam rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam kaitannya dengan perguruan tinggi, Peraturan Pemerintah no 17 tahun 2010 pasal 84 ayat 2, menyebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki tujuan membentuk insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur, sehat, berilmu dan cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan berjiwa wirausaha, serta toleran, peka sosial dan lingkungan, demokrtis dan bertanggung jawab. Berdasarkan UU Sisdiknas tahun 2003 dan PP no 17 tahun 2010 diatas, nampak jelas bahwa pemerintah Indonesia memberikan dukungan secara konkrit pada pendidikan karakter ini. Mengingat keberhasilan institusi pendidikan terletak tidak saja pada penguasaan ilmu pengetahuan namun juga pada pembentukan karakter yang baik pada anak didiknya, maka tanggungjawab pembentukan karakter baik tidak hanya terletak pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah namun juga perguruan tinggi. Meskipun demikian, yang selama ini terjadi adalah penerapan pendidikan karakter dominan dilakukan pada pendidikan dikedua level sebelumnya, dan belum pada level perguruan tinggi. Pendidikan karakter di perguruan tinggi: masihkah diperlukan ? Perguruan tinggi, menurut Flexner (dalam Syukri 2009) merupakan tempat pencarian ilmu pengetahuan, pemecahan berbagai masalah, tempat mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Senada dengan Flexner, Syukri (2009) menyatakan dunia perguruan tinggi merupakan tempat menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang memiliki daya nalar tinggi, analisis tajam dan luas. Sayangnya perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pembentukan karakter mahasiswa.Bahkan Arthur (dalam Syukri, 2009) menyatakan jika perguruan tinggi menjanjikan pembentukan dan pengembangan karakter mahasiswa seperti yang terjadi di Inggris, semua itu hanya retorika institusi universitas modern. Sementara itu, menurut Syukri (2009) masyarakat Indonesia masih menaruh harapan pada perguruan tinggi sebagai tempat latihan dan pendidikan putra putrinya menjadi kaum intelektual yang memiliki ilmu tinggi dan perilaku terpuji. Ironisnya tak ada perguruan tinggi yang menjamin lulusannya memiliki moral etika yang baik. Disisi lain, misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009), sehingga secara eksplisit pembentukan karakter dianggap bukan merupakan tugas perguruan tinggi. Oleh karena itu implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui tantangan tersendiri. Schwartz (2000) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui kendala karena adanya pendapat yang keliru yaitu : 1. Karakter seseorang sudah terbentuk sebelum masuk ke perguruan tinggi dan merupakan tanggung jawab orangtua untuk membentuk karakter anaknya. 2. Perguruan tinggi, khususnya dosen, tidak memiliki kepentingan dengan pembentukan karakter, karena mereka direkrut bukan untuk melakukan hal tersebut 3. Karakter merupakan istilah yang mengacu pada agama atau idiologi konservatif tertentu, sementara itu perguruan tinggi di barat secara umum melepaskan diri dari agama atau idiologi tertentu. Keengganan perguruan tinggi di barat seperti Inggris dan Amerika Serikat, mengurus masalah moral antara lain karena masalah moral merupakan wilayah pribadi dan mereka Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 4 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 dipengaruhi oleh idiologi liberal yang telah menjadi gaya hidup. Selain itu, ada empat alasan perguruan tinggi, khususnya di Inggris yang tidak menaruh perhatian pada pembentukan moral mahasisiwa: 1) takut dengan tuntutan berbagai macam karakter dan perilaku mahasiswa untuk mendapatkan pembinaan, 2) menjalankan pendidikan sesuai dengan kebijakan politik pemerintah, 3) mahasiswa diarahkan menjadi warga negara yang demokratis, 4) perguruan tinggi mengembangkan karakter sesuai dengan tuntutan pasar dan jaringan (Arthur, dalam Syukri 2009). Uraian diatas menggambarkan bahwa meskipun pendidikan karakter di perguruan tinggi bisa melengkapi puzzle karakter yang belum terbentuk pada tingkatan pendidikan sebelumnya, namun hal tersebut tidak akan berjalan dengan mudah. Schwartz (2000) juga menyatakan hanya ada relatif sedikit institusi, biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama atau berjuang untuk menginspirasi, yang memiliki komitmen luas dan komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan perguruan tinggi. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak boleh lepas tangan atau lepas tanggung jawab dengan alasan apapun termasuk menganggap bahwa karakter sudah terbentuk sebelum mahasiswa masuk perguruan tinggi, merupakan tanggung jawab orangtua dan institusi pendidikan di tingkat bawahnya, apalagi dengan alasan beban berat menghasilkan lulusan sesuai tuntutan pasar. Sebagai institusi pencetak sumber daya manusia yang akan menjadi penyokong utama kualitas sumber daya manusia Indonesia, perguruan tinggi memikul tanggung jawab mewujudkan amanat UU sistem pendidikan nasional tahun 2003 dan PP no 17 tahun 2010 tentang perguruan tinggi. Apalagi jika mengingat data dari Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) mengklaim indeks pembangunan manusia (IPM), alias kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia pada 2011 yang masih menempatkan indonesia di bawah Malaysia (61), Singapura (26) dan Brunei Darussalam (33) (neraca.co.id, 17 April 2012) dan juga kerusakan moral bangsa ini telah membawa perjalanan bangsa ini mencapai masyarakat madani menjadi terseok-seok. Selain itu, jika pun pendidikan karakter sudah ada atau dilaksanakan pada tingkat pendidikan sebelumnya maka pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menjadi pelengkap, untuk rebuild dan reshape, mengingat karakter bukanlah suatu hal yang menetap dan sama sekali tidak bisa berubah atau baik kearah yang lebih baik atau malah kearah kemerosotan karena pengaruh lingkungan. Selain itu, ketiadaan koordinasi mengenai karakter apa yang akan dibentuk pada tingkat pendidikan dasar, menengah pertama maupun menengah atas, menjadikan kedudukan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang paling akhir untuk melengkapi puzzle karakter yang belum ada dan membentuk karakter menjadi “bangunan moral yang sudah jadi dan kokoh” pada mahasiswa. Dengan demikian, lulusan perguruan tinggi akan menjadi manusia dengan kualitas ganda baik kualitas profesional sesuai keilmuannya dan kualitas moral yang tinggi, sehingga dapat berkiprah sebagai warga negara yang baik sesuai bidang pekerjaannya. Untuk mewujudkan pembentukan karakter Schwartz (2000) menyatakan universitas, baik yang berlatarbelakang religius maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulumnya, khususnya efek baiknya, untuk membentuk pemikiran tetapi juga karakternya. Kurikulum ini tidak saja membentuk intelectual habits namun juga moral habits mahasiswa. Perguruan tinggi memiliki pilihan dalam mengajarkan pembentukan karakter yaitu dapat mengintegrasikannya secara alami dengan kurikulum standar maupun mengajarkan beriringan dengan kurikulum standar. Dibandingkan dengan menambahkan serangkaian pertemuan terpisah pada kurikulum yang sesungguhnya sudah padat, pilihan yang mudah adalah mengintegrasikan dengan mata pelajaran/mata kuliah pada semua kelas oleh semua pendidik (Stiff- William, 2010). Hal ini sesuai dengan salah satu pilar pendidikan yang digariskan UNESCO dalam memberikan rambu-rambu menyusun kurikulum untuk pengembangan kepribadian mahasiswa yaitu learning to be (belajar memahami diri sendiri). Perguruan tinggi di Indonesia, menggunakan istilah khusus berkaitan dengan hal tersebut yaitu Mata Kuliah Pengembangan kepribadian (Syukri, 2009). Dengan demikian jika perguruan tinggi tidak menyusun program pendidikan karakter tersendiri namun mengintegrasikannya kedalam kurikulum standar yang sudah ada, maka yang perlu dilakukan adalah meninjau kembali muatan mata kuliah pengembangan kepribadian dan mengembalikannya ke arah pembentukan karakter sesuai amanat Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 5 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 Undang- undang Sisdiknas. Tentu saja hal ini membawa konsekuensi cara pengajaran yang berbeda dan cara pemberian nilai yang berbeda, tidak lagi mengevaluasi penguasaan teori atau kemampuan kognitif mahasiswa namun lebih jauh mengevaluasi implementasi karakter atau nilai-nilai luhur. Adapun bentuk evaluasi maupun formula penilaiannya dapat didiskusikan lebih lanjut dengan dosen-dosen sehingga kepemilikan program ini menjadi ada pada seluruh civitas akademika. Selain melalui mata kuliah pengembangan kepribadian, semua dosen pada semua mata kuliah hendaknya menjadi figur yang mempraktekkan pembentukan karakter ini dalam semua aktivitas di kelas maupun di luar kelas. Jika hal ini bisa dilakukan maka semua lingkungan di kampus, baik di kelas, luar kelas maupun kantor administratif akan mencerminkan lingkungan yang mendukung pembentukan karakter. Beberapa kondisi diluar kurikulum yang perlu diperhatikan perguruan tinggi karena hal-hal tersebut mendukung suksesnya implementasi pendidikan karakter menurut Melinda dan Berkowitz (2005) adalah : 1) budaya kampus dan praktik-praktik interpersonal yang menjamin bahwa mahasiswa diperlakukan dengan perhatian dan hormat, 2) Dosen, staf menjadi model karakter yang baik bagi mahasiswa, menghidupkan nilai-nilai dalam interaksi keseharian dengan mahasiswa, 3) memberikan kesempatan pada mahasiswa memiliki otonomi dan pengaruh dalam pengelolaan perguruan tinggi seperti memberikan wadah untuk menampung aspirasi mahasiswa, 4) memberikan kesempatan mahasiswa untuk reflesi, berdebat maupun berkolaborasi mencari pemecahan masalah isu-isu moral, 5) sharing visi dan sense of collectivity and responsibility, 6) social skill training artinya kampus menyelenggarakan pelatihan bagi mahasiswa yang tujuannya agar mahasiswa dapat melakuan penyesuaian jangka panjang dengan memperkuat ketrampilan pemecahan masalah interpersonal, 7) memberi kesempatan lebih pada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam dalam kegiatan pelayanan masyarakat oleh kampus yang bisa menaikkan perilaku moral. Dengan demikian, dosen maupun staf administratif akan menemui tantangan tersendiri karena mereka akan menjadi pribadi yang juga berupaya menjadi model yang baik bagi mahasiswa. Schwartz (2000) menyebutnya dengan istilah mendorong dan menginspirasi agar mahasiswa mengembangkan moral yang baik dan trait, yang akan membuat mereka menjadi orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab. Hal yang tak kalah penting menurut Syukri (2009) adalah kejujuran perguruan tinggi akan ketidakmampuannya untuk berdiri sendiri menyelenggarakan pendidikan karakter. Perguruan tinggi harus mengakui bahwa kerjasama dengan stake holder, dalam hal ini orangtua dan masyarakat sekitar adalah penting.Satu hal yang bisa dilakukan, menurut Melinda dan Berkowitz (2005) adalah dengan memberikan newsletter mengenai pembentukan karakter dalam keluarga dan masyarakat. Meskipun berbagai strategi dan pendekatan yang digunakan mungkin berbeda namun tujuannya adalah sama yaitu mendorong dan menginspirasi mahasiswa untuk mengembangkan dan menerapkan moralnya sendiri ketika berada dalam tekanan lingkungan (Schwartz, 2000) Model-Model Implementasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Sebagai individu dewasa, mahasiswa dicirikan dengan ciri-ciri, antara lain: 1. Merupakan pribadi mandiri yang memiliki identitas diri 2. Pentingnya keterlibatan / partisipasi 3. Mengharapkan pengakuan, saling percaya dan menghargai 4. Tidak senang dipaksa atau ditekan 5. Memiliki kepercayaan dan tanggung jawab diri 6. Pengawasan dan pengendalian berada disekililingnya 7. Belajar mengarahkan pada pencapaian pemantapan identitas diri 8. Belajar merupakan proses untuk mencapai aktualisasi diri (self actualization) Selaian sebagai orang dewasa, mahasiswa juga disebut sebagai pebelajar dewasa (adult learner/adult student) adalah individu yang sedang dalam proses belajar yang oleh lingkungan sosialnya sudah dianggap dewasa, baik dalam pendidikan formal maupun non formal. Pebelajar dewasa dicirikan belajar berbasis masalah dan mencari ilmu untuk memecahkan solusi tertentu dank arena suatu kebutuhan yang jelas, terutama berhubungan dengan karier dan kehidupannya (Budu:2012). Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 6 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 Mahasiswa dengan berbagai karakternya memiliki peranan dan fungsi yang sangat strategi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ada tiga peran dan fungsi utama mahasiswa, yaitu: agent of change, social of control, dan moral force (manggala:2011). Sebagai agen perubahan (agent of change), mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar dalam membuat perubahan-perubahan mendasar dalam masyarakat. Melihat peran dan fungsi mahasiswa yang begitu strategis, mahasiswa perlu memiliki karakter yang kuat.Karakter tersebut tidak bisa dibentuk secara otomatis. Seorang mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan disebuah perguruan tinggi misalnya, tidak serta merta memiliki karakter mulia tertentu secara otomatis setelah melalui semua proses pembelajarannya. Karakter mahasiswa dapat dikembangkan diperguruan tinggi. Karena karakter seseorng dapat tumbuh secara perlahan dan berkelanjutan melalui proses pendidikan. Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan kelanjutan dari jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya, dari TK, SD, SMP dan SMA.Seorang tidak mungkin menjadi mahasiswa tanpa melalui jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya. Buchori(2010) mengungkapkan: “pembentukan karakter perlu waktu panjang, dari masa kanak-kanak sampai usia dewasa ketika seseorang mampu mengambil keputusan mengenai dirinya sendiri dan mempertanggung jawabkan kepada dirinya sendiri.” Berdasarkan pada pemikiran bahwa karakter mahasiswa dapat dikembangkan secara perlahan dan berkelanjutan, pendidikan karakter diperguruan tinggi haruslah memperhatikan bahwa terbentuknya karakter seseorang dipengaruhi banyak factor.Djohar(2011) mengidentifikasi tiga factor yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorag yaitu: 1. Modal budaya yang dibawa sejak kecil 2. Dampak lingkungannya 3. Kekuatan individu orang merespons dampak lingkungannya. Dalam konteks perguruan tinggi, modal budaya dipengaruhi oleh konteks lingkungan dimana mahasiswa hidup, sehingga membentuk pengalaman, sekaligus karakternya. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan yang kondusif dan mendukung menjadi sangat penting dalam rangka menumbuhn kembangkan karakter seorang mahasiswa.Dalam konteks perguruan tinggi, lingkungan kampus, baik ekosistem dan akademiknya seharusnya disusun sedemikian rupa, sehingga mendukung pengembangan karakter mahasiswa. Pada tahun 2010, pemerintah telah membuat dan menetapkan kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Tujuan tersebut adalah “membina dan mengembangkan karakter warga Negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab., berjiwa pemersatu Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (Pemerintahan RI, 2010:4). Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa memiliki tiga fungsi utama, yaitu: 1. Pegembangan potensi dasar, agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. 2. Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik. 3. Penyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila. Pendidikan karakter di lingkup satuan pendidikan perguruan tinggi dilaksanakan melalui tridharma perguruan tinggi, budaya organisasi, kegiatan kemahasiswaan dan kegiatan keseharian.Mengacu pada Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia telah mengembangkan strategi-strategi pelaksanaannya, sehingga melahirkan berbagai model pelaksanaan pendidikan karakter diperguruan tinggi.Implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi di Indonesia dapat kita lihat beberapa perguruan tinggi seperti di UPI Bandung, UI dan UNY. Pendidikan Karakter Model Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Model pendidikan karakter UPI Bandung dikembangkan melalui tiga cara, yaitu: a. Melalui penguatan pendidikan kewarganegaraan b. Mengoptimalkan layanan bimbingan konseling kepada para mahasiwa c. Menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik UPI Bandung memandang prnting memposisikan PKN sebagai mata kuliah yang strategis dalam pendidikan karakter, karena mata kuliah PKN dirancang sebagai: Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 7 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 1. Mata kuliah yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga Negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, parsitipatif dan bertanggung jawab. 2. Mata kuliah yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik yang bersifat saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks subtansi ide, nilai, konsep, dan moral pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela Negara 3. Mata kuliah yang menekankan pada isi yang mengusung niali-nilai dan pengalaman belajar dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntutan hidup bagi warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela Negara. Model pembelajaran PKN UPI diselenggarakan dengan basis project Citizen. Melalui model ini mahasiswa diajak untuk berdiskusi, mengerjakan tugas, mengobservasi, melakukan awancara, menemukan alternative pemecahan masalah, berdialog dengan dosen, menggambar, menari, bernyanyi, berdeklamasi, menulis laporan, dan sebagainya. UPI Bandung memandang bimbingan konseling berperan penting dalam pendidikan karakter, karena melalui mata kuliah ini dapat dikembangkan: 1. Dirumuskannya aspek-aspek kepribadian penting yang menjadi pilar kekuatan karakter yang perlu dikembangkan dalam pendidikan karakter sebagai kompetensi pribadi mahasiswa. 2. Dikembangkannya model-model dan teknik-teknik implementasi pendidikan karakter dalam bimbingan dan konseling. 3. Dikembangkannya program-program bimbingan konseling yang merujuk pada pendidikan karakter sebagai bagian program bimbingan dan konseling di sekolah. 4. Menyelaraskan pelaksanaan kurikulum bimbingan yang mengacu pada pengembangan kompetensi pribadi yang berdimensi pendidikan karakter (Dasim,dkk.,2010:109-110) Model yang digunakan UPI dalam pendidikan karakter adalah model bimbingan dan konseling komprehensif.Yaitu model yang berfokus pada upaya untuk memfasilitasi mahasiswa dalam mengembangkan kepribadiannya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Model ini mencakup empat layanan inti, yaitu 1. Kurikulum bimbingan 2. Layanan responsive 3. Layanan perencanaan individual 4. Layanan dukungan system Model bimbingan dan konseling komprehensif UPI diimplementasikan melalui strategi latihan.Strategi latihan merupakan salah satu strategi yang dapat mengaktifkan aktifitasaktifitas yang berstruktur, terencana dan terukur baik dalam hal durasi, materi dan resikonya. UPI memilih strategi latihan dengan berbagai pertimbangan, karena strategi ini mampu: 1. Mengembangkan diskusi dan partisipasi 2. Memfokuskan kelompok 3. Mengangkat suatu focus 4. Memberi kesempatan untuk pembelajaran eksperiensialMemberi konselor informasi yang berguna 5. Memberi kesenangan dan relaksasi 6. Meningkatkan level kenyamanan Model terakhir adalah KKN Tematik, merupakan program kurikuler wajib bagi seluruh mahasiswa UPI(S1). Saat ini KKN UPI diarahkan menjadi KKN tematik berbasis pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat. Program-programnya memiliki beberapa dimensi, yaitu: 1. Sebagai program kurikuler 2. Program ko-kurikuler 3. Program eksrakurikuler 4. Program pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh para mahasiswa. Nilai-nilai karakter mahasiswa yang dikembangkan melalui program KKN tematik mencakup 10 nilai karakter mulia, antara lain: sikap ilmiah, cerdas, toleran, gotong royong, disiplin, kerjasama, bertanggung jawab, berani karena benar, peduli, tanpa pamrih, adil, jujur, tangguh, dan kepemimpinan (Dasim, 2010:171-172). Pendidikan Karakter Model Universitas Indonesia Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 8 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 Model pendidikan karakter UI dikembangkan dan diimplementasikan melalui dua kegiatan utama, yaitu orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) dan Program Dasar Pendidikan Tinggi (PDPT).Kegiatan pertama merupakan program yang didesain secara khusus agar para mahasiswa UI siap mengikuti program kegiatan yang kedua dan memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengenal lebih dekat serta mengembangkan jejaring dengan teman-teman mahasiswa dari fakultas yang berbeda. Kegiatan orientasi mahasiswa meliputi empat kegiatan pokok, yaitu Keterampilan belajar (learning skills) Keterampilan belajar yang dilatihkan lebih difokuskan pada keterampilan belajar yang berdasarkan student center. Calon mahasswa diperkenalkan dengan cara belajar diperguruan tinggi umumnya dan khususnya di UI, dilatih agar mampu mengembangkan kemampuan self regulated learningnya, mampu belajar dalam kelompok secara efektif, mampu berfikir kritis, dan mampu memecahkan masalah. Pengenalan metode pembelajaran collaborative learning (CL) dan problem based learning (PBL) Dengan menggunakan metode aktif ini diharapkan lulusan UI terlatih selain mampu bekerja, mampu bekerja sama dengan oranglain baik ditempat kerja maupun dilingkungan social lainnya dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif dengan orang lain dengan mempertimbangkan logika, berfikir kritis, dan etika. Metode CL menuntut setiap anggota kelompok emmiliki tangggung jawab terhadap kemajuan proses pembelajaran baik bagi dirinya sendiri maupun anggota kelompok lainnya. Pada akhirnya akan terpupun keterampilan mereka dalam melakukan interaksi dan bekerja sama. PBL merupakan metode pembelajaran yang didasarkan pada masalah sebagai pemicu. Masalah yang diberikan menggambarkan situasi nyata, bermakna, tidak mempunyai struktur yang jelas, cukup kompleks dan bersifat ambigu. Berdasarkan masalah atau pemicu tersebut, mahasiswa melakukan kegiatan kelompok atau kegiatan mandiri. Pengenalan computer dan computer mediated learning Tujuan materi ini adalah agar mahasiswa mampu memanfaatkan computer dan internet dalam mempelajari berbagai bahan ajar. Dibeberapa fakultas/ program studi proses pembelajarannya sudah memanfaatkan internet, dimana baik bahan ajar maupun tugastugas diberikan melalui jaringan internet. Mengenalkan metode information literacy (pencarian sumber bacaan/ literature) Mahasiswa diperkenalkan bagaimana cara mencari sumber bacaan atau literature secara efektif. Adapun PDPT merupakan salah satu bentuk program pendidikan karakter yang dilakukan UI untuk menjembatani dan mengembangkan aspek kepribadian mahasiswa UI. PDPT dikembangkan dengan mengintegrasikan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dan matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) menjadi mata kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPTK). Mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) terintegrasi meliputi pokok-pokok bahasan Filsafat Ilmu, Logika dan Pancasila; akhlak, budi pekerti, dan masyarakat dan bahasa, budaya, dan lingkungan. Dengan pokok-pokok bahasan tersebut diharapkan mahasiswa UI mampu: 1. Menganilisis topic serta pemicu dengan menggunakan kerangka teori pada pokok bahasan logika, falsafat ilmu, dan pancasila, berlatar belakang akhlak dan budi pekerti, masyarakat, bangsa, budaya, dan lingkungan hidup di Indonesia. 2. Mendeskripsikan nilai-nilai akademik dan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia dari berbagai kemajukan persepsi manusia dan budaya. 3. Membahas permasalahan yang ada dimasyarakat dengan menerapkan langkah-langkah belajar secara aktif, dan mampu menggunakan teknologi Informasi. 4. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam diskusi, presentasi maupun dalam bentuk tulisan ilmiah. Intinya, mata kuliah diberikan kepada mahasiswa agar mereka menjadi mahasiswamahasiswa yang beriman dana bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, beramal, berakhlak mulia, memiliki etos kerja yang tinggi, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan, serta menjadikan ajaran agama menjadi landasan berfikir dan berperilaku dalam mengembangkan profesi. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 9 Volume 8 Nomor 1-Pebruari 2017 ISSN: 20864248 Strategi Internalisasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Zamroni (2011) menawarkan tujuh strategi pendidikan karakter yang menurut hemat penulis relevan untuk dilaksanakan dalam pendidikan tinggi, yaitu: 1. Tujuan, sasaran dan target yang dicapai harus jelas dan konkrit. 2. Pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien bila dikerjakan tidak hanya oleh perguruan tinggi, melainkan harus ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan orang tua mahasiswa. 3. Menyadarkan pada semua dosen akan peran yang penting dan tanggung jawab dalam keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter. 4. Kesadaran dosen akan perlunya “hidden curriculum”, dan merupakan instrument yang amat penting dalam pengembangan karakter mahasiswa. 5. Dalam pelaksanaan pembelajaran dosen hendaknya menekankan pada daya kritis dan kreatifmahasiswa, kemampuan bekerja sama, dan keterampilan mengambil keputusan. 6. Kultur perguruan tinggi harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter mahasiswa. 7. Pada hakikatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dikampus yang dapat dimonitor dan di control oleh dosen. Simpulan dan Saran Berdasarkan pada pemikiran bahwa karakter mahasiswa dapat dikembangkan secara perlahan dan berkelanjutan, pendidikan karakter diperguruan tinggi haruslah memperhatikan bahwa terbentuknya karakter seseorang dipengaruhi banyak faktor. Implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi sebagai wadah pendidikan untuk menyiapkan generasi muda yang kreatif, inovatif dan produktif dalam rangka memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah langkah kongkrit dan antisipatif untuk menjaga eksistensi dan keberlanjutan nilai-nilai karakter yang dimiliki seperti kejujuran, displin, kerja keras, tanggung jawab, berlaku adil, bijaksana, toleran, musyawarah, dan bekerjasama. Daftar Pustaka Kemendiknas, 2010. Bahan Pelatihan, Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Jakarta: Badan Penelitian Pengembangan dan Pusat Kurikulum. Zuriah, Nurul. 2010. Model Pengembangan PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal dalam fenomena Sosial di Perguruan Tinggi, Laporan Penelitian Hibah Doktor. DP2M Dikti - Jakarta: Tahun 2010. Zuriah, Nurul. 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter Bangsa Melalui PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal, Makalah Seminar Nasional di UMM. Malang: Tahun 2011. Samani dan Hariyanto. 2012, Pendidikan Karakter, Konsep dan Aplikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tillar, 2008. Kebijakan Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Supriadi, Dedi. 2004. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan. Bandung Rosdakarya. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Bima 10