Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 APLIKASI DAN INOVASI TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO (TE) UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG (Application and Innovation of Embryo Transfer (ET) for Developing Beef Cattle Production) POLMER SITUMORANG dan ENDANG TRIWULANINGSIH Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT Demand for meats in Indonesia will increase significantly with the increasing of population and their income. An effort to establish a new breed of beef cattle will take a long time. For about years of importation of live animals as an effort to increase the production of beef cattle facing a numbers of limitation and is not optimal. Therefore, the technology of embryo transfer (ET) offer a way to increase and develop a sustainable beef production. Production of embryo can be made by both in vivo and in vitro. Technology of superovulation using gonadotrophin hormone (FSH and PMSG) has been successful to produce in vivo embryo, but this technology facing an economically limitation by the expensive of hormone and a variation response of donor to treatment. Production of in vitro embryo, offer the best way to produce a good quality of embryo and with a reasonable prices. The oocytes could be obtained from slaughterhouse or juvenile cows and there is no remaining technological barrier for implementation. A local beef cattle (PO, SO, Bali, etc) have a higher adaptation to tropical condition and high fertility. Using those breeds as the recipients for hybrid embryo produced by in vitro becoming inevitable. Technology of sexing sperm will increase the efficiency of beef production. In the future, the technology of sexing, splitting and cloning embryo to increase the effectivity and efficiency of ET needed to be evaluated. Key words: Embryo, invivo, in vitro, transfer, beef cattle ABSTRAK Permintaan akan daging di Indonesia akan bertambah terus secara nyata dengan bertambahnya penduduk dan pendapatan. Usaha membentuk bangsa sapi potong baru memerlukan waktu yang lama. Selama beberapa tahun impor ternak hidup untuk meningkatkan produksi ternak potong mengalami banyak hambatan dan tidak optimal. Oleh karena itu teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan untuk meningkatkan dan mengembangkan produksi daging secara berkelanjutan. Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Teknologi superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotrophin telah berhasil meproduksi embrio secara in vivo, akan tetapi teknologi ini dibatasi oleh mahalnya hormon dan respons yang bervariasi dari donor. Produksi embrio secara in vitro menawarkan jalan yang terbaik untuk menghasilkan embrio yang berkualitas baik dan murah. Sumber oocyt bisa dari rumah potong hewan maupun hewan betina muda (Juvenile) dan tidak didapat hambatan teknik untuk penerapannya dilapangan. Ternak potong lokal (PO, SO, Bali, dll) mempunyai fertilitas yang tinggi dan sudah beradaptasi dengan lingkungan tropis. Menggunakan bangsa sapi lokal untuk resipien bagi hybrid embrio hasil in vitro sangat memungkinkan. Teknologi pemisahan spermatozoa akan meningkatkan efisiensi produksi sapi potong. Pada waktu yang akan datang teknologi sexing , splitting dan cloning embrio untuk meningkatkan efisiensi TE perlu dievaluasi. Kata kunci: Embrio, invivo, invitro, transfer, sapi potong PENDAHULUAN Populasi sapi potong di Indonesia sekitar 13,4 juta ekor (DITJEN BP PETERNAKAN, 2003), yang sebahagian besar berupa usaha peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional dan relatif sedikit menggunakan inovasi teknologi. Dengan jumlah penduduk lebih dari 210 juta jiwa dan masih terus bertambah pada masa yang akan datang, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk daging dan bahkan saat ini menjadi importer terbesar didunia. 95 Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 Untuk mengembangkan peternakan sapi potong, pemerintah telah mengembangkan beberapa kegiatan antara lain meningkatkan kwalitas genetik. Seleksi atau upaya perbaikan mutu gentik untuk mendapatkan breed baru yang unggul memerlukan waktu yang sangat lama, mahal, dan hasilnya kadang-kadang tidak memuaskan. Hal ini terjadi karena adanya beberapa kendala yang secara riil banyak dijumpai di lapang, seperti keterbatasan sarana dan prasarana, populasi, biaya, manajemen, dll. Disamping itu, bila sudah diperoleh sapi betina yang berkualitas, masih ada kendala lain yaitu cara memperbanyak karena secara alami seekor induk hanya mampu menghasilkan satu ekor anak dalam setahun atau rata-rata hanya mampu menghasilkan anak yang berkualitas kurang dari 8 ekor sepanjang hidupnya. Apalagi separuh dari anak yang dihasilkan adalah jantan. Usaha untuk mendapatkan sintetik breed sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang nyata. Kondisi yang sama didapat pada sapi perah dimana usaha selama kurang lebih 100 tahun untuk mendapatkan bangsa sapi perah unggul tidak berhasil bahkan cenderung dikatakan gagal, akan tetapi terbukti pula produksi crosbred embrio persilangan antara Bos taurus dan Bos indicus secara in vitro memberikan hasil yang lebih baik (GORDON, 1994; RUTLEDGE, 2004). SIMM et al, 1990 melaporkan bahwa indukinduk sapi perah tidak hanya digunakan untuk menghasilkan anak untuk tujuan produksi susu akan tetapi 80% anak yang dilahirkan untuk tujuan sapi potong. Usaha lain yang dilakukan adalah mengimpor sapi hidup baik sebagai bakalan untuk usaha penggemukan maupun pejantan unggul untuk digunakan meningkatkan nilai kualitas ternak lokal melalui teknologi inseminasi buatan (IB). Pertumbuhan ternak hasil persilangan (Crosbred) telah terbukti lebih baik dibanding ternak lokal di hampir semua propinsi (SETIADI et al., 1998; SITEPU et al., 1998; SIREGAR et al., 1998) membuktikan bahwa nilai tambah yang didapat akibat pengaruh heterosis menjadi jauh lebih penting dibanding nilai yang didapat dari usaha seleksi individu dari masing-masing bangsa untuk tujuan meningkatkan produksi sapi potong. Impor ternak persilangan Brahman telah dilaporkan di beberapa propinsi akan tetapi kembali dihadapkan dengan tingkat reproduksi 96 yang rendah (TONCE, 2004 komunikasi personal). Sehingga program seperti ini perlu dikaji ulang kembali karena keberhasilan usaha sapi potong sangat tergantung dari perbandingan jumlah anak dari jumlah sapi induk yang dipelihara per tahun (Calf-cow ratio). Ternak lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan tropis sudah barang tentu akan meningkatkan calf-cow ratio ini. Peningkatan calf-cow ratio dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen termasuk usaha pemberian hormon untuk penyerentakan berahi (BURNS, 2002). Lebih lanjut dilaporkan bahwa respons induk terhadap perlakuan hormon dipengaruhi oleh kondisi induk yang bersangkutan (STEVENSON, 2000). Pada negara yang sudah maju perbaikan mutu genetik biasanya dilakukan dengan memanfaatkan berbagai metode dan cara yang sangat canggih, seperti manipulasi embrio (MOET, IVF, splitting embryo, cloning, sexing sperma/embrio dan lain-lain), maupun penggunaan metode seleksi dengan cara best linier unbiased prediction (BLUP) ataupun memanfaatkan teknologi penciri DNA (quntitative trait loci/QTL) (DIWYANTO et al., 2000). Aplikasi TE di Indonesia dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Saat ini penelitian dan penguasaan teknologi telah dilakukan dan dikembangkan oleh berbagai institusi, seperti BALITNAK, Balai Embrio Ternak, LIPI dan beberapa Perguruan Tinggi seperti IPB, UGM, Brawijaya, Airlangga dll. Keberhasilan teknologi TE di Indonesia masih sangat beragam dan dampaknya untuk perkembangan maupun peningkatan produktivitas ternak masih sangat minimal. Program untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi TE masih belum terfokus dengan baik. Padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana yang sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Pertanyaannya adalah, adakah inovasi teknologi yang tepat untuk mengatasi masalah ini? Makalah ini akan mereview perkembangan beberapa aspek bioteknologi reproduksi antara lain TE dalam upaya mendorong peningkatan produktivitas sapi potong, termasuk kemungkinan mempercepat perkembangan populasi sapi yang berkualitas. Pengalaman dan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan teknologi ini juga Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 diungkapkan, sehingga teknologi ini benarbenar dapat diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan di atas. Bukan justru sebaliknya yaitu akan menciptakan masalah baru dan meningkatkan ketergantungan dari kekuatan atau bantuan luar negeri. TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO (TE) Bioteknologi reproduksi yang akhir-akhir ini sedang berkembang pesat adalah teknologi TE yang mencakup produksi, penanganan dan transfer embrio. Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Keberhasilan TE pertama kali dilaporkan pada kelinci, tahun 1891 di Inggris dan pada domba pada tahun 1934 (WARWICK et al.,1934); pada sapi, kerbau dan babi pada tahun 1951 (WILLET et al.,1951; KVASNICKII, 1951) dan pada kuda tahun 1974 (OGURI dan TSUNAMI, 1974). Pemanfaatan teknologi ini pada mulanya dipergunakan dalam perdagangan ternak, terutama yang pada waktu itu dilindungi, misalnya ekspor embrio sapi yang disimpan dalam alat reproduksi kelinci dari Eropa ke Afrika Selatan. Saat ini perdagangan embrio sudah sangat meluas, melalui penjualan embrio beku yang disimpan dalam nitrogen cair. Produksi embrio secara In Vivo Produksi embrio secara in vivo juga dikenal dengan teknologi Multiple Ovulation Embrio Transfer (MOET). Teknologi ini sudah sangat luas diaplikasikan dalam dua dasawarsa terakhir ini (CUNNINGHAM, 1999), seperti di Eropa, Amerika, Jepang, Australia dan negara maju lainnya. Tujuan dari teknologi ini adalah untuk menghasilkan embrio yang banyak dalam satu kali siklus. Hal ini dapat dicapai dengan penyuntikan hormon gonadotrophin (FSH, PMSG) secara intra muscular pada siklus berahi hari ke 10. Penyuntikan PMSG dilakukan satu kali penyuntikan sedang FSH diberikan umumnya 2 x sehari dengan interval waktu 12 jam selama 3-5 hari pemberian. Secara umum dilaporkan jumlah embrio yang tertampung lebih tinggi dengan pemberian FSH dibanding PMSG (SEIDEL dan SEIDEL, 1982; BOLAND dan ROCHE, 1991; SITUMORANG et al, 1993, 1995). Tidak didapat perbedaan yang nyata antara jenis dan produk dan metode pemberian FSH (3, 4 dan 5 hari) terhadap jumlah embrio yang tertampung (SITUMORANG et al., 1993, 1994,1995) lebih lanjut pemberian FSH dalam sekali suntik juga dapat dilakukan untuk tujuan super ovulasi. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian hCG atau penyuntikan FSH tunggal pada siklus berahi hari 1 dapat meningkatkan jumlah embrio yang tertampung (SITUMORANG et al, 1998). Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar 5−7 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer atau dibekukan. Sehingga seekor sapi (donor) secara teoritis dapat menghasilkan 20−30 embrio per tahun. Donor yang memberikan respons yang baik pada perlakuan superovulasi pertama juga memberikan respons yang sama pada superovulasi yang berikutnya (SITUMORANG et al, 1993). Untuk tujuan perbanyakan ternak yang berkualitas, teknologi MOET akan sangat efektif, karena yang diperbaiki adalah hewannya (diploid), bukan sekedar up-grading (haploid) seperti pada teknologi IB. Oleh karena itu teknologi TE dapat dipandang sebagai upaya mengganti ternak yang ada dengan populasi baru (breed replacement). Pada tahun 1997 aplikasi TE di dunia sudah mencapai sekitar 460.000 embrio (THIBIER, 1997) dan di India aplikasi TE pada kerbau perah telah mencapai sekitar 1000 embrio (CUNNINGHAM, 1999). Faktor penghambat teknologi MOET ini adalah respons donor yang masih sangat bervariasi terhadap perlakuan hormon sehingga satu individu dapat menghasilkan sampai 30 embrio sedang individu yang lain tidak ada dan hal ini baru dapat diketahui setelah pemberian hormon (HAFEZ 1995). Disamping itu harga hormon yang cukup tinggi juga menjadi faktor pembatas didalam aplikasi teknologi MOET secara luas. Pemberian ekstrak hipofise dapat memperpendek jarak beranak sapi perah dan kemungkinan pemberian ekstrak ini sebagai pengganti hormon untuk tujuan superovulasi memerlukan penelitian yang lebih lanjut (ISNAINI et al, 2003). 97 Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 Produksi embrio secara in vitro Produksi embrio secara in vitro mencakup 3 aspek utama yaitu pematangan sel telur (IVM), pembuahan sel telur (IVF) dan pembiakan embrio (IVC) secara in vitro. Teknologi IVM/IVF/IVC sudah berkembang dengan pesat, seperti yang telah dilaporkan oleh KANAGAWA et al., (1995). Kelahiran dari hasil fertilisasi in vitro ini berturut-turut terjadi pada kelinci (1958), mencit (1968), tikus (1974), manusia (1978), sapi (1982), babi (1986) dan domba (1986). Sel telur umumnya didapat dari ovari berasal dari rumah potong hewan. Sel telur dikumpulkan dengan metode aspirasi maupun slising, secepatnya setelah sapi dipotong kemudian dimatangkan secara in vitro. Pematangan dilakukan pada media sederhana sampai yang kompleks yang umumnya mengandung hormon estrogen, FSH, LH , prolactin, progesteron ataupun protein ovari dan peptida (GORDON, 1994). Hormon yang yang paling umum digunakan saat ini adalah FSH, estrogen dan LH (FUKUI et al, 1989; WIMER et al, 1991; ZUELKE dan BRACKETT, 1993; EYESTONE dan BOER,1993; KEFER et al, 1993; SITUMORANG et al, 1994). Penggunaan serum sapi betina yang sudah estrus (ES) dilaporkan dapat digunakan untuk mengganti penggunaan hormon sintetik (WAHYUNINGSIH et al, 2003). Keberhasilan pembuahan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa. Proses kapasitasi dapat dilakukan pada medium BO ataupun CR1aa yang telah diberi tambahan kafein, heparin (RORENKRASS dan FIRST, 1991; NIWA et al, 1993). TRIWULANNINGSIH et al. (2003) melaporkan bahwa dengan menggunakan metoda kapasitasi sperma menggunakan metoda Percoll gradient 45% dan 90% sebanyak 0,5 ml/lapis ternyata dapat meningkatkan persentase perolehan expanded blastosis menjadi 33,02% (n = 1055 oosit) dari 21,06% (n = 1007 oosit) bila lapisan Percoll 2 ml/lapis. Media untuk pembiakan yang banyak digunakan adalah media CR1aa, KSOM (protein free pottasium simplexoptimize medium) maupun Synthetic oviductal fluid (SOF). Dilaporkan bahwa medium CR1aa ternyata lebih cocok digunakan untuk kultur embrio sapi dibandingkan medium KSOM 98 (TRIWULANNINGSIH et al., 2002). Dengan menggunakan media CR1aa telah diperoleh 31,2% expanded blastosis dari 61,5% blastosis (n = 1549 oosit), sementara dengan medium KSOM hanya 5,1% yang berkembang dari 38,5% blastosis (n-675 oosit). Penambahan bovine oviductal cells (BOEC) dan cumuslus/ granulosa monolayer sel sudah banyak dilaporkan dapat meningkatkan persentase blastocyst (GOTO et al, 1988; WANG et al, 1989; FUKUDA et al, 1990; XU et al, 1992; WAHYUNINGSIH et al., 2003). Secara umum teknologi pematangan, pembuahan dan pembiakan untuk tujuan memproduksi embrio secara in vitro sudah sangat tersedia dan bukan lagi merupakan hambatan untuk penerapan secara luas. Walaupun didapat variasi persentase blastosist yang disebabkan perbedaan metode pematangan, pembuahan dan pembiakan secara keseluruhan rataan persentase blastosist adalah 30−50%. Hambatan yang masih ada adalah ketersediaan sel telur baik secara kwantitatif maupun kwalitatif di dalam negeri (Indonesia). Untuk itu sumber sel telur dari negara yang sudah maju antara lain Australia Selandia Baru, Amerika maupun Eropa perlu dipikirkan. Hal ini sangat memungkinkan dilakukan pada era globalisasi ini dengan modifikasi teknologi pematangan. TRIWULANNINGSIH et al. (2001) melaporkan bahwa oosit dapat dikultur dalam media TCM-199 pada suhu 300C selama 30 sampai 36 jam dan setelah difertilisasi dapat terus berkembang menjadi blastosis dan bahkan expanded blastosis. Kemampuan oosit yang mengalami cleveage memperlihatkan keadaan oosit tersebut telah cukup matang untuk difertilisasi, namun demikian kemampuan untuk terus berkembang menjadi expanded blastosis tergantung pula pada medium kultur yang digunakan, pada penelitian tersebut digunakan medium KSOM (protein free pottasium simplexoptimize medium) yang telah dijual secara komersiel di Amerika. JASWANDI (2002) melaporkan penggunaan hepes dan butiran efervesen dalam sistem inkubasi produksi embrio domba secara in vitro, memungkinkan pematangan sel telur dapat dilakukan selama perjalanan tanpa menggunakan CO2 inkubator yang konventional. Sehingga waktu penerbangan dari negara maju misalnya Amerika, Australia dll sampai Indonesia menjadi tidak merupakan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 halangan yang berarti lagi. Dengan demikian produksi sapi potong dapat dilakukan secara efisien yaitu memproduksi hygrid embrio dari sel telur negara maju dan ditransfer ke sapi lokal yang sudah terbukti telah beradaptasi pada lingkungan tropis dan mempunyai fertilitas yang tinggi. Sistem proksi seperti ini telah menjadi program IVF secara terbatas di Balitnak dengan memanfaatkan sel telur sapi perah dari Wisconsin, USA, lalu difertilisasi dengan sperma Bos sondaicus (Banteng) untuk selanjutnya di transfer ke resipien di Indonesia (TRIWULANNINGSIH et al., 1999). Alternatif lain sebagai sumber sel telur dapat diperoleh dari sapi betina muda (umur 46 bulan) tanpa mengganggu kemampuannya untuk berproduksi secara normal kembali setelah dewasa. Penelitian telah dilakukan di Balitnak dimana sel telur ditampung dengan jalan operasi dari sapi betina muda yang telah sebelumnya mendapatkan perlakuan superovulasi, kemudian sel telur yang terkumpul di fertilisasi secara in vitro. Kegiatan ini dilakukan setiap bulan dengan harapan anak sapi tersebut dapat mempunyai anak sebelum dia sendiri dewasa, sebab blastosist yang dihasilkan akan ditransfer pada resipien yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan teknologi ini diharapkan dapat dilakukan pembuatan sapi komposit, karena sel telur anak sapi hasil persilangan (umur 3 bulan) dapat disilangkan lagi dengan bangsa sapi yang lain. Penelitian yang telah dilakukan di Balitnak, menunjukkan bahwa penggunaan CIDR (Control Intravaginal Divice Release) yang berisi 0.3 mg progesterone dalam inert silicone elastomer (InterAg, 558, Hamilton, NZ Asutralia) selama 5 hari dan dikombinasikan dengan perlakuan injeksi Folicle Stimulating Hormone (FSH, Research Institute of Animal Science, Malianwa, Haidian, Beijing, China) selama 3 hari berturut-turut dengan dosis menurun dan interval 12 jam, dapat meningkatkan jumlah oosit yang dapat dikoleksi (LUBIS et al., 2002). Hal ini membuktikan bahwa CIDR yang dikombinasikan dengan FSH dapat menstimulasi pertumbuhan folikel dan meningkatkan jumlah oosit yang dihasilkan. Sementara itu AMSTRONG (1992) melaporkan bahwa embrio yang diperoleh dari oosit anak sapi muda dapat mencapai blatosis (28%), sedangkan yang dari oosit abatoir diperoleh 17% blastosis. TRIWULANNINGSIH et al., (2001) melaporkan bahwa penggunaan CIDR selama 5 hari dan injeksi 2.4 mg FSH adalah dosis yang baik untuk juvenile berumur sekitar 4-5 bulan. Karena dengan dosis tersebut dapat diperoleh oosit dan morula yang paling banyak dibandingkan dosis FSH yang lain (2,8 mg, 3,2 mg dan 3,6 mg). Namun demikian keberhasilan teknologi ini masih bervariasi diantara berbagai Laboratorium IVF. Walaupun aplikasi teknik ini secara praktis dapat mengurangi generasi interval (L), faktor penghambat adalah masih tetap menggunakan hormon dan proses operasi yang memerlukan biaya yang cukup mahal. Pembekuan embrio Salah satu faktor utama yang mempengaruhi aplikasi embrio transfer adalah kemampuan untuk membekukan embrio seperti halnya spermatozoa sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi.Teknologi pembekuan embrio yang dihasilkan secara in vivo maupun in vitro sudah banyak dilaporkan (VOEKEL dan HU, 1992; SITUMORANG et al, 1993; HAN et al, 1994). Menurut GORDON (1994) krioprotektan yang biasa digunakan untuk pembekuan sel dibagi dua kelompok yaitu 1) kelompok extrasellular yaitu krioprotektan yang mempunyai molekul yang besar dan tidak mampu menembus membran antara lain PVP (Polivinil pirolidon ), sukrosa, rafinosa, laktosa, dll., dan 2) kelompok krioprotektan intrasellular yaitu dengan molekul kecil dan dapat melewati membrane termasuk antara lain glycerol, dimethylsulfiuxida (DMSO), ethylene glycol, 1,2 propanideol. Krioprotektan ethylin glycol dilaporkan lebih baik dibanding DMSO maupun glycerol (SITUMORANG et al., 1993; WAHYUNINGSIH et al., 2003). Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pembekuan adalah antara lain 1), lama pemaparan (TAHA dan SCHELLANDER, 1992) dimana lama pemaparan 20-30 menit lebih baik dibanding 5 dan 10 menit (RAYOS et al., 1994), 2) konsentrasi krioprotektan (VICENTE dan GARCIA XIMENEZ, 1994). 99 Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 Transfer embrio (TE) Keberhasilan teknologi TE dengan menggunakan embrio baik secara in vivo maupun in vitro ditunjukkan dengan keberhasilan menghasilkan anak yang dilahirkan dengan kwalitas yang di inginkan. Kesiapan ternak resipien sangat memegang peranan penting. Koleksi dan TE saat ini sudah dapat dilakukan dengan cara non-operasi, sehingga akan memudahkan pelaksanaannya disamping biayanya relatif lebih ekonomis. Keberhasilan transfer embrio segar dapat mencapai 55−65%, sedangkan embrio beku sekitar 50−60% (HASLER, 1995). Teknik ini akan mampu meningkatkan kualitas genetik ternak sampai 10% (LOHUIS, 1995) yang jauh diatas metoda konvensional yang hanya sekitar 2−5%. Penerimaan dan kesuksesan TE sangat berkembang setelah koleksi dan TE saat ini sudah dapat dilakukan dengan cara nonoperasi, sehingga akan memudahkan pelaksanaannya disamping biayanya relatif lebih ekonomis (KUZAN dan SEIDEL, 1986). Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan TE dengan non operasi yaitu antara lain keterampilan dan pengalaman inseminator (PARK et al., 1991; THIEBER dan NIBART, 1992), sinkronisasi antara donor dan resipien (ASHWORTH, 1992) dan metode sinkronisasi dan deteksi estrus (ROCHE, 1989; SENGER, 1993). Penelitian menunjukkan bahwa kwalitas corpus luteum yang baik untuk menghasilkan hormon progesteron yang cukup dalam memelihara kebuntingan sangat perlu. Penyuntikan hCG untuk memperbaiki ovulasi yang akhirnya meningkatkan kwalitas corpus luteum dapat meningkatkan persentase kebuntingan sapi yang mendapatkan TE (SITUMORANG et al., 1999). Endometerium uterus resipien yang tidak siap dan tidak mampu mempertahankan kebuntingan akan mengakibatkan kegagalan kebuntingan setelah 2−3 bulan. Kerjasama dengan KUD Tanjungsari, Sumedang dalam transfer embrio hasil fertilisasi in vitro maupun in vivo segar diperoleh hasil yang cukup baik, dengan ratarata persentase kebuntingan 50% (TRIWULANNINGSIH, 2002), pada penelitian tersebut telah diinjeksikan 2 ml IFN pada resipien di hari ke 11 setelah estrus, dengan 100 harapan resipien dapat mempertahankan konseptus. Reproduksi ternak sangat dipengaruhi oleh faktor nutrisi/pakan. Dalam melaksanakan TE sinkronisasi antara embrio dengan endometrium resipien sangat berpengaruh pada keberhasilan implantasi embrio. ASHWORTH (1992) menyatakan bahwa adanya produk konseptus (embrio) untuk menghasilkan bovine trophoblast protein-one (bTP-1) yang kini disebut sebagai interferon (IFN), dimana protein tersebut bertanggung jawab pada pencegahan regresi corpus luteum karena adanya protaglandin (PGF2α), agar corpus luteum tetap menghasilakan progesteron untuk mempertahankan kebuntingan. Cloning dan splitting embrio Saat ini pembelahan embrio secara fisik telah berhasil menghasilkan kembar identik pada domba, sapi, babi dan kuda (BREM, 1995). Walaupun secara teoritis pembelahan dapat dilakukan beberapa kali, tetapi sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Embrio sapi pada stadium akhir dan blastosist dapat dibelah menjadi dua bagian, setengahnya dapat dikembalikan langsung kedalam uterus dan sebahagian sisanya dapat segera ditransfer ke resipien. Teknik splitting ini dimasa depan mempunyai prospek yang sangat bagus, terutama pada ternak yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (sapi perah). Akan tetapi penyempurnaan agar tingkat keberhasilannya lebih baik lagi dan aplikasinya lebih mudah dan murah perlu terus dilakukan. Pada tahun 1952 untuk pertama kalinya dilaporkan keberhasilan cloning pada katak dan pada tahun 1980an untuk pertama kali dilaporkan cloning pada domba (WILLADSEN, 1986, CUNNINGHAM, 1999). Tahun 1996 telah dilaporkan suatu hasil cloning domba yang berasal dari sel somatik jaringan kelenjar susu. Selanjutnya cloning pada tikus yang berasal dari sel kumulus sel telur pada stadium methaphase II juga telah berhasil. Yang terbaru adalah keberhasilan kelahiran delapan ekor pedet hasil cloning yang berasal dari sel epithel jaringan reproduksi sapi betina dewasa (CAMPBELL et al.,1996; WILNUT et al.,1997; WAKAYAMA et al.,1998; KATO et al.,1998). Keberhasilan dari teknologi ini akan memberi Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 peluang yang besar terhadap kemajuan iptek peternakan di masa yang akan datang. Splitting maupun cloning juga akan sangat bermanfaat dalam membantu program konservasi secara in vitro (cryogenic preservation). Akan tetapi upaya-upaya agar teknologi ini mempunyai manfaat ekonomis masih perlu dikaji, disamping masalah lain yang berkaitan dengan masalah sosial. Saat ini perkembangan teknologi splitting embrio di Indonesia masih sangat terbatas, baik dalam arti jumlah kegiatannya maupun tingkat keberhasilanya. Sexing semen dan embrio Sexing embrio dapat dilakukan dengan mengekstraksi satu sel/blastomer dari morula dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Morula tersebut kemudian dikultur kembali sampai menjadi blastosist. Dengan menggunakan metode ini kebenarannya dapat mencapai 99% seperti yang telah dilaporkan oleh KIRPATRICK dan MONSON (1993) dimana telah di sexing sebanyak 40 in vitro biopsied embryos lalu dikultur kembali kemudian 18 embrio yang telah dibiopsy telah ditransfer pada resipien dan 12 ekor telah berhasil bunting. Kelemahan sexing embryo adalah disamping mempengaruhi kwalitas embrio juga memerlukan peralatan yang cukup mahal dan operator yang terlatih, sehingga penerapan teknologi ini secara ekonomis masih terbatas. Pemisahan spermatozoa sebelum inseminasi ataupun pembuahan secara in vitro menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan embrio dengan sex yang diinginkan. Penelitian telah dilakukan untuk pemisahan spermatozoa pembawa khromosom X dan Y dengan cara sedimentasi, sentrifugasi, elektrophoresis, dan penggunaan antigen. Akan tetapi semuanya ternyata tidak efektif karena spermatozoa yang telah mengalami proses menurunkan kemampuannya untuk memfertilisasi sel telur. Di Amerika kini telah dilakukan sorting sperma dengan alat flow cytometry. Walaupun sorting telah berhasil 90% benar namun fertilitasnya menurun dan konsentrasi sperma yang didapat sangat rendah. Prospek penggunaan sistem ini secara komersial masih jauh dari sempurna, untuk itu penelitian di bidang ini terus dilakukan. Metode pemisahan dengan menggunakan kolum albumin didasarkan pada perbedaan motilitas spermatozoa X dan Y dan filtrasi gel sephadex yaitu berdasarkan ukuran kepala spermatozoa telah dilaporkan berhasil memisahkan spermatozoa X dan Y (SITUMORANG et al.,2003; TRINIL, 2004). Prinsip dari metode kolom albumin ini adalah membuat medium yang berbeda konsentrasinya, sehingga spermatozoa yang mempunyai motilitas tinggi (Y) akan mampu menembus konsentrasi medium yang lebih pekat, sedangkan spermatozoa X akan tetap berada pada medium yang mempunyai konsentrasi rendah. Metode ini mudah diperoleh, diterapkan di lapang, dan terjangkau serta dapat mempertahankan kwalitas dan kwantitas spermatozoa selama proses pemisahan. Kombinasi medium pemisah yang digunakan adalah konsentrasi 10 persen putih telur pada lapisan atas dan 30 persen pada lapisan bawah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, konsentrasi albumin 10 persen dan 30 persen mampu mengubah proporsi perolehan spermatozoa dari kondisi normal. Spermatozoa pembawa kromosom X dan Y telah dapat dipisahkan dari ratio perbandingan 49,3% : 50,7% yang mendekati perbandingan secara teoritis yaitu 50% : 50% menjadi 30,64% : 69,36% (pengencer kontrol) dan 27,32% : 72,68% (pengencer mengandung IMX) untuk fraksi bawah. Dari perbandingan tersebut, maka fraksi bawah dari hasil pemisahan dengan kolom albumin sangat cocok digunakan untuk mendapatkan kelahiran anak jantan. Sebaliknya ratio perbandingan X:Y pada fraksi atas dapat menjadi 67,72 : 32,28 (pengencer kontrol) dan 78,93 : 21,72% (pengencer mengandung IMX) dan inseminasi dengan menggunakan sperma dari fraksi atas ini akan menghasilkan anak betina yang lebih banyak. Penambahan IMX dalam pengencer sperma secara nyata meningkatkan (P<0,05) persentase spermatozoa X yang diperoleh melalui metode kolom albumin apabila dibandingkan pengencer kontrol. Filtrasi gel sephadex merupakan suatu pemisahan menggunakan gel yang dibuat dari dasar dextran, yaitu suatu jaringan tiga dimensi dari molekul-molekul linier polisakarida yang berikatan dengan epichlorohydrin. Dalam gel filtrasi pemisahan didasarkan atas perbedaan ukuran spermatozoa yang difilter. Spermatozoa 101 Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 dengan berat lebih besar akan turun lebih dulu, sedangkan spermatozoa yang lebih kecil yang bisa melewati gel akan turun kemudian, spermatozoa yang paling kecil yang bisa melewati gel akan turun paling akhir. Filtrasi dengan menggunakan gel sephadex merupakan separasi kromatografi berdasar afinitas. Molekul-molekul sephadex yang bersilang menjamin penyaringan yang selektif. Kekuatan mekanis sephadex tergantung pada tingkat ikatannya (cross linking) yang akhirnya menjamin porositas partikel-partikel itu (DOWSON et al., 1986). Persentase kebuntingan menggunakan spermatozoa pascapemisahan sperma X dan Y adalah berturut-turut 64,75% dan 58% untuk metode pemisahan albumin dan sephadex (SITUMORANG et al., 2003). Hasil yang selaras dilaporkan oleh EKAYANTI et al. (2004) dimana kwalitas spermatozoa pascapemisahan masih cukup baik untuk digunakan dalam pembuahan sel telur secara in vitro. Dari hasil tersebut di atas teknologi pemisahan sperma X dan Y menjadi sangat potensial digunakan untuk meningkatkan produksi embrio baik secara in vivo maupun in vitro untuk mrnghasilkan anak dengan jenis kelamin yang diharapkan. Untuk usaha ternak potong, maka crosbred embrio XY lebih diinginkan dan sebaliknya untuk usaha sapi perah dan pengganti induk sapi potong lebih menginginkan embrio XX. KESIMPULAN DAN SARAN Permintaan daging khususnya yang berasal dari ternak sapi potong yang akan terus memberikan peluang usaha pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Teknologi TE akan memegang peranan penting untuk mempercepat produksi ternak sapi potong baik secara kuantitas maupun kualitas. Penguasaan teknologi TE yang mencakup produksi embrio secara in vitro maupun in vivo, penanganan dan mentransfer ke resipien sudah dalam tingkat aplikasi di lapangan. Produksi embrio in vivo masih mengalami hambatan berupa harga hormon yang tinggi dan respons donor yang masih bervariasi sehingga sistim produksi ini sebaiknya dilakukan pada kondisi terbatas yaitu untuk meningkatkan populasi dari ternakternak donor yang berpotensial tinggi. Produksi 102 embrio in vitro menjadi pilihan yang sangat menguntungkan dengan memanfatkan sumber sel telur dari negara-negara maju yang kemudian difertilisasi pada laboratorium dalam negeri menggunakan sperma dari ternak lokal yang unggul maupun ternak eksotik lainnya. Sumber sel telur juga dapat berasal dari betina muda (Juvenil) yang berkwalitas baik untuk memperpendek generasi interval. Ternak betina lokal seperti sapi Bali, PO SO dll menjadi ternak yang sangat berpotensi untuk resipien karena sudah beradaptasi terhadap lingkungan tropis dan kondisi makanan yang tersedia. Alternatif lain adalah menggunakan sapi perah betina sebagai resipien penghasil sapi potong. Teknologi pemisahan sperma X dan Y menjadi sangat penting untuk meningkatkan nilai ekonomis dengan meningkatkan kelahiran dengan jenis kelamin yang diinginkan oleh peternak yaitu anak betina untuk produksi susu dan jantan untuk produksi daging. Teknologi splitting, sexing dan cloning embrio belum dalam tingkat aplikasi dan masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut. Aplikasi teknologi ini pada masa yang akan datang harus mempertimbangkan efisiensi ekonomisnya. DAFTAR PUSTAKA AMSTRONG, D.T. 1993. Recent advances in superovulation of cattle. Theriogenology 39: 7-24. ASHWORTH, C.J. 1992. Synchrony embryo-uterus. In: Clinical Trends and Basic Research in Animal Reproduction. Elsevier. AmsterdamLondon-New York-Tokyo. pp. 259-267. BOLAND, M.P. and J.F. ROCHE. 1991. Embryo production: Alternatives methods. International Trend of the Research on Animal Embryo Transfer. pp. 2-13. BREM. 1995. Splitting and Sexing of bovine embryo. In: FAO Animal Production and Health Division. Biotechnology for livestock production. pp. 71-78. BURNS. D. 2002. Enchancing efficiency in cow -calf production. http;//www.colostate.edu/depts/ AES/projs/670.htm. CAMBELL, K.H.S., J. MC WHIR, W.A. RITCHIE and I. WILNUT. 1996. Sheep cloned by nuclear transfer from a cultured cell line. Nature 380: 64-66. Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 CUNNINGHAM, E.P. 1999. Recent developments in biotecnology as they related to animal genetic resources for food and agricultural. Commision on Genetic Resources for Food and Agriculture. DIWYANTO, K., SUPAR dan TRIWULANNINGSIH, E. 2000. Perkembangan bioteknologi peternakan dan prospek penerapannya di Indonesia. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian. Badan Litbang Deptan. DOWSON, R.M.C., D.C. ELLIOT, W.H. ELLIOT dan K.M. JONES. 1986. data for biochemical research 3rd edition. Oxford Science Publication. New York:514-515. EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN., SYAHRUDDIN SAID dan B. TAPPA. 2004. Fertilisasi dan perkembangan oosit sapi hasil IVF dengan sperma hasil pemisahan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hlm. 31. EYESTONE, W.H. and N.L. FIRST. 1989. Co-culture of early bovine embryos to the blastocyst stage with oviductal tissue or in conditioned medium. J. Reprod. Fert. 85: 715-720. FUKUDA F., M. ICHIKAWA., K. NAITO and Y. TOYODA. 1990 Birth of normal calves resulting from bovine oocytesmatured, fertilized and cultured with cumulus cells invitro up to the blastocyst stage. Biol. Reprod. 42:114-119 FUKUI, Y., M. FUKUSHIMA and ONO. 1989. Effect of sera, hormone and granulosa cells added to culture media for in vitro maturation, fertilization, cleavage and development of bovine oocytes. J. Reprod. Fert. 86:501-506. GORDON, I. (1994). Laboratory Production of Cattle Embryos. Cab International, University Press, Cambridge. GOTO, K., Y. KAJIHARA., S. KOSAKA., M. KOBA., Y. NAKANISHI and K. OGAWA. 1988. Pregnancies after co-culture of cumulus cells with bovine embryos derived from in vitro fertilization of invitro matured folliculars oocytes. J. Reprod. Fert. 83: 753-758. HAN, Y.M., H. YAMASHINA., N. KOYAMA., K.K LEE dan Y. FUKUI. Effect of quality and development stage on the survival of FIVderived bovine blastocyst cultured in vitro after freezing and thawing. Theriogenology 42: 645-654. HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger Philadelphia. HASLER, J.F. 1995. Production, freezing and transfer of bovine IVF embryos and subsequent calving results. Theriogenology 43:141-152. ISNAINI. N., SUYADI., I.K. SUTAMA dan P. SITUMORANG. 2003. Upaya memperpendek selang beranak sapi perah anestrus post partum melalui pemberian ekstrak hipofise sapi. Laporan PAATP Departemen Pertanian 2003. JASWANDI. 2002. Penggunaan hepes dan butiran efervesen dalam sistim incubasi pada produksi embrio domba secara in vitro. Thesis Doktor pada Program pascasarjana Institut Pertanian Bogor. KEEFER, C.L., S.L STICE and A.M PAPROCKI. 1993. Effect of Follicle Stimulating Hormone and Lutenizing hormone during bovine in vitro mob ion on development following invitro fertilization and nuclear transfer. J. Mol. Reprod. and Dev., 36: 469-474. KVASNICKII, A.V. 1951. Interbreed ovo transplantations. Animal Breeding Abstract 19: 224. KIRPATRICK, B.W. and R.L.MONSON. 1993. Sensitive sex determination assay applicable to bovine embryos derived from IVM and IVF. J.Reproduction and Fertility 98:335-340. KANAGAWA, H., O ABAS-MAZNI and C.A.VALDEZ. 1995. Oocyte maturation and in vitro fertilization. In: FAO Biotechnology for Livestock Production. pp. 79-95. KATO, Y., T.TANI, Y.SOTOM.RU, K.KUROKAWA, J.KATO, H.DOGUCHI, H.YASUE and Y TSUNODA. 1998. Eight calves cloned from somatic cells of a single adult. Science 282 2095-2098. KUZAN, F.B and Q.E SEIDEL. 1986. Embryo Transfer in Animals. In: Developmental Biology Vol 4. Manipulation of Mammalian Development. GWATKIN R.B.L. (Ed.). Plenum Press, London LOHUIS, M.M. 1995. Potential benefits of bovine embryo-manipulation technologies to genetic improvements programs. Theriogenology 43: 51-60. LUBIS, A.M. P. SITUMORANG, E. TRIWULANNINGSIH dan T. SUGIARTI. 2002. Pengaruh stimulasi CIDR terhadap perkembangan folikel bovine oosit folikel juvenile yang diperoleh melalui laparotomy. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang. Deptan. 103 Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 OGURI N. and Y. TSUNAMI. 1974. Non surgical egg transfer mares. J. Repro. Fert. 41: 313−320. ruminansia melalui teknologi embryo transfer. Laporan Penelitian ARMP 1993. PARK, R.L., K.L. POWELL., D.D. ANDRUS, B.B. BINGHAM and M.V. WALLENTINE. 1991. Conception rate and pregnancyes per flush by herdsmen using embryo transfer in a large university herd: a six year study. J Dairy Sci. 74: 199. SITUMORANG, P., A. LUBIS dan E. TRIWULANINGSIH. 1994. Pengaruh jenis hormon terhadap tingkat ovulasi sapi perah yang sedang laktasi. Ilmu dan Peternakan 7:1-3. RAYOS, A.A., Y. TAKAHASHI, M. HISHINUMA and H. KANAGAWA. 1994. Quick freezing of unfertilized mouse oocytes using ethylene glycol with sucrosa or trehalose. J. Reprod. Fert. 100: 123-129. ROCHE, J.M. 1989. New technique in hormonal manipulation of cattle production. In: New technique in cattle production. PHILLIPS C.J.C. (Ed.). Butterworths, London. ROSENKRANS, C.F and N.L. FIRST. 1991. Culture of bovine zygotes to the blastocyst stage effects of amino acids and vitamins. Therionelogy 35: 266 SITUMORANG, P., A. LUBIS dan E. TRIWULANINGSIH. 1995. Penelitian peningkatan produksi ternak melalui transfer embryo, pemanfaatan gen, sintesa susupengganti, pemetaan defisiensi mineral serta penekanan mortalitas dan peningkatan kualitas kulit dan bulu. Laporan hasil penelitian ARMP tahun 1995. SITUMORANG, P., A. LUBIS., E. TRIWULANINGSIH., I.G PUTU dan K. DIWYANTO. 1998. Pengaruh pemberian FSH pada hari ke-I siklus berahi,flushing pada waktu berahi terhadap respons sapi perah yang kemudian mendapat perlakuan superovulasi. Prosiding seminar nasional Peternakan dan Veteriner.2:289 RUTLEDGE, J.J. 2004. Technology innovations to enchance livestock agribusiness. Seninar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Hal 6. SITUMORANG, P., E. TRIWULANINGSIH, A. LUBIS., T. SUGIARTI., W CAROLINE dan K. DIWYANTO. 1999. Pengaruh hormon hCG terhadap persentase kebuntingan resipien yang mendapatkan transfer embrio hasil pembuahan secara in vitro. Laporan penelitian 1999. SEIDEL, G.E.JR. and S.M. SEIDEL. The Embryo Transfer Industry. In: New Technologies. In: Animal Breeding. B.G. BRACKETT, G.E. SEIDEL, JR. and SM SEIDEL. (Eds.). Acadenic press, N.Y. SITUMORANG, P. 2002. The effect of inclusion of exogenous phospholipid in Tris-Diluent containing a different level of egg yolk on viability of bull spermatozoa. JITV 7(3): 181−187. SENGER, P.L. 1993. The heat detection problem-new concepts, technologies and possibilities. J Dairy Sci. 76: 311. SITUMORANG, P., E. TRIWULANNINGSIH, T. SUGIARTI, DA. KUSUMANINGRUM dan R.G. SIANTURI. 2003. Optimasi Pemisahan Spermatozoa X dan Y. Laporan Tahunan Peningkatan Efisiensi Produksi sapi Melalui perbaikan teknologi Reproduksi. Balitnak-Ciawi. (Unpublished). SETIADI, B., D. PRIYANTO, SUBANDRIYO dan N.K.WARDHANI. 1998. Pengkajian pemanfatan teknologi Inseminasi Buatan (IB) terhadap kinerja reproduksi ternak sapi Peranakan Ongole di Daerah Istemewa Yogyakarta. Prosiding seminar nasional Peternakan dan Veteriner. 1: 208. SITEPU, P. dan R. DHARSANA. 1998. Aplikasi inseminasi buatan (IB) di Propinsi Lampung : Penanganan dan penympanan frozen semen. Prosiding seminar nasional Peternakan dan Veteriner. 2: 317 SIREGAR, A.R., P.SITUMORANG dan K. DIWYANTO. 1998. Pemanfaatan teknologi IB dalam usaha peningkatan produktifitas sapi potong di Indonesia. Pros. seminar nasional Peternakan dan Veteriner.1: 171. SITUMORANG, P., A. LUBIS, E. TRIWULANINGSIH dan I G. PUTU 1993. Peningkatan produksi ternak 104 STEVENSON. J.S. 2000. Factors influencing the initiation of estrous scycles and expression of estrus in beef cows . Cattlemen's Day 2000. 95-106. TAHA, T.A. and K. SCHELLANDER. 1992. Isolation and culture of primary follicles from cattle ovaries. Proc. 12th Cong. Anim. Prod. 1: 275−277 THIBIER, M. 1998. The statistics on the world embryo transfer industry. Embryo Transfer Newsletter. 16(4): 17-20. THIEBER, M. and M. NIBART. 1992. Clinical aspects of embryo transfer in some domestics animals. Anim. Prod. Sci. 28: 139-148. Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 TRINIL. S. 2004. Keberhasilan IB menggunakan semen sexing setelah dibekukan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hlm. 29. TRIWULANNINGSIH, E., P. SITUMORANG, A.LUBIS, N. HIDAYATI,T. SUGIARTI dan J.J. RUTLEDGE. 1999. Optimalisasi teknologi maturasi, fertilisasi dan kultur media untuk meningkatkan persentase blastosist (F1). Manuscript. JITV. WAHJUNINGSIH, S., D. SASMITO, E. TRIWULANINGASIH dan P. SITUMORANG. 2003. Produksi embrio sapi potong secara murah dengan teknologi IVF dan aplikasinya dalam transfer embrio untuk penyediaan bakalan. Laporan PAATP Departemen Pertanian 2003. WARWICK, B.L., R.O. BERRY and W.R. HORLANCHER. 1934. Result of mating rams to Angora female goat. Proc. 27th. Am. Meet for Am Soc. Anim.Prod. 225-227. TRIWULANNINGSIH E., A.M. LUBIS,. P. SITUMORANG dan T. SUGIARTI. 2001a. produksi embrio in vitro dari oosit sapi betina muda (juvenile). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang. Deptan. WILLET, E.I., W.G. BLACK, C.E. CASIDA and W.H. STONE. 1951. Succsesfull transplan- tation of fertilized bovine ovum. Science 113-247. TRIWULANNINGSIH E., M.R TOELIHERE, J.J.RUTLEDGE, T.L. YUSUF, B. PURWANTARA dan K. DIWYANTO. 2001b. Produksi embrio in vitro dengan modifikasi waktu dan hormon gonadotropin selama pematangan oosit. JITV 6(3): 179-188. WILNUT, I., A.E.SCHNIEKE, J.MC WHIR, A.J. KIND AND K.H.S CAMPBELL. 1997. Viable offspring derived from fetal and adult mammalian cells. Nature 385:810-813. TRIWULANNINGSIH E., M.R TOELIHERE, J.J.RUTLEDGE, T.L. YUSUF, B. PURWANTARA dan K. DIWYANTO. 2002a. Perbandingan penggunaan medium CR1aa dan KSOM sebagai medium kultur dalam produksi embrio sapi in vitro. JITV 7(1): 30−37. TRIWULANNINGSIH, E. 2002b. Produksi embrio sapi in vitro dengan modifikasi waktu dan suhu pada medium maturasi yang diperkaya dengan FSH dan Estradiol 17. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. TRIWULANNINGSIH E., M.R. TOELIHERE, J.J. RUTLEDGE, T.L. YUSUF, B. PURWANTARA dan K. DIWYANTO. 2003. Seleksi dan kapasitasi spermatozoa dengan metode Percoll gradient untuk fertilisasi oosit dan produksi embrio in vitro pada sapi. Manuscript Berita Biologi LIPI. VICENTE, J.S. and GARCIA-XIMENEZ. 1994. Osmotic and cryopreservative effects of a mixture of DMSO and ethylene glycol on rabbit morula. Theriogenology 42: 1205-1215. VOELKEL, S.A. and Y.X. HU. 1992. Use of ethylene glycol as a cryoprotectant for bovine embryos allowing direct transfer of frozen-thawed embryos to recipients females. Theriogenology 37: 687-694. WILLADSEN, S.M. 1986. Nuclear transplantation in sheep. Nature 320:63-65. WAKAYAMA, T., A.C.F. PERRY, M. ZUCCOTTI, K.R. JOHNSON and R.YANAGI MACHI. 1998. Fullterm development of mice from enucleated oocytes injected with cumulus cell nuclei. Nature 394:369. WANG, W.L., H.S JIANG., K.H LU., D. MCARTHY and I. GORDON. 1989. The effects of media and sera on the in vitro development of early bovine embryos. J. Reprod. Fert. Abstract No. 3 : 50. WIEMER, K.E., A.J. WATSON., V. POLANSKI., A.I. MCENNA., G.A. SCHULTZ and S. WILLADSEN. 1991. Effects of maturation and co-culture treatments on the developmental capacity of early bovine embryos. Biol. Reprod. 44:97 XU, K.P., B.R. YADAV, R.W. RORIE., L. PLANTA, K.J. BETTERIDGE and W.A. KING. 1992. Development and viability of bovine embryos derived from oocyttes matured and fertilized in vitro and co-cultured with bovine oviducal epithelial cells. J. Refrod. Fert. 94: 34-43. ZUELKE, K.A. and B.G. BRACKETT. 1993. Increased glutamine metabolism in bovine cumulus cellenclosed and denuded oocytes after in vitro maturation with luteinizing hormone. Biology of Reproduction 48: 815-820. 105