BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam komunikasi, bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (Chaer, 1995: 19). Saat berinteraksi, penutur bahasa memiliki maksud atau pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur melalui bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Bahasa juga mengalami banyak perubahan akibat berbagai alasan yang kemudian memunculkan variasi kebahasaan. Salah satunya adalah jargon. Pemakaiannya pun tak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik, namun juga faktor nonlinguistik seperti faktor sosial maupun situasional. Faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa antara lain adalah status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan lain sebagainya (Suwito, 1985: 3). Sementara itu, faktor-faktor situasional mengacu pada siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Penjelasan ini dengan ringkas dirumuskan oleh Fishman dalam pernyataannya, “who speaks what language to whom and when” (Fishman dalam Suwito, 1985: 3) yang bisa dijabarkan menjadi “siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa”. 1 2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wartawan adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Wartawan sering pula disebut sebagai juru warta atau jurnalis. Dalam menjalankan profesinya, wartawan memerlukan kecekatan serta ketepatan dalam berkomunikasi dengan rekan seprofesinya. Atas dasar kebutuhan tersebut, kemudian muncul berbagai leksikon khas wartawan yang bisa diklasifikasikan menjadi jargon wartawan. Penggunaan leksikon tersebut bisa secara langsung ketika para wartawan tengah berkomunikasi secara lisan, melalui telepon, layanan pesan singkat (short message service), ataupun layanan percakapan telepon selular lainnya, seperti BlackBerry Messenger, WhatsApp, dan lainnya. Sama dengan profesi lain, wartawan juga membutuhkan kesamaan pemahaman terkait berbagai tuturan yang terjadi dalam lingkup komunitas mereka, dan penggunaaan leksikon atau kosakata khusus yang mencerminkan kekhasan profesi mereka. Wartawan saling berkomunikasi dengan berbagai pertimbangan, mulai dari kelancaran, kerahasiaan, serta efisiensi komunikasi di antara mereka. Para pelibat tutur di dalam komunitas wartawan ini menyepakati pemakaian bahasa dengan berbagai ungkapan khas dengan tuturan yang ringkas (restricted speech). Komunikasi pun bisa berjalan lancar karena sudah ada kesepakatan tak langsung terkait pemakaian jargon dan kesamaan pengalaman masing-masing pelibat tutur. Jargon wartawan yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada istilah-istilah yang berbentuk kata atau frase, yang mengandung makna tertentu 3 berdasarkan lingkungan pemakaiannya, yakni dalam kegiatan wartawan saat melakukan peliputan di lapangan. Wartawan yang dijadikan sampel atau responden dalam penelitian ini berasal dari beberapa media massa yang bertugas di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Pemilihan ketiga wilayah tersebut dilakukan dengan pertimbangan kemudahan akses dalam pengumpulan data. Pemakaian leksikon jargon wartawan menunjukkan karakteristik tertentu yang dapat dilihat dari segi bentuk maupun struktur pengungkapannya, makna serta maksud penuturnya, dan fungsi penyampaiannya. Kosakata di dalamnya mencerminkan referensi makna tertentu dalam konteks pemakaiannya. Sebagai contoh, kata nggoreng (menggoreng) tentu akan berbeda maknanya ketika digunakan dalam kalimat “Ibu sedang menggoreng pisang” dengan kalimat “Wartawan harian A itu udah lebih dulu nggoreng isu pernikahan siri bupati”. Pada kalimat pertama, menggoreng tentu dimaknai sebagai kegiatan memasak. Namun, pada kalimat kedua, makna tersebut berubah menjadi ‘mengangkat sebuah isu yang belum panas atau belum muncul ke permukaan’. Dalam jargon wartawan juga ada kecenderungan perubahan makna ungkapan-ungkapan yang saling dipahami oleh kalangan wartawan meskipun mereka tidak merumuskan aturannya secara tertulis. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut: - “Di pojok sebelah kanan ada bodrex”. Kata bodrex di atas sebetulnya adalah merek sebuah tablet pereda sakit kepala, namun dalam register wartawan, kata tersebut diartikan sebagai ‘wartawan 4 gadungan yang biasa memeras narasumber’. Istilah ini bukan tanpa sejarah, karena bodrex konon sudah muncul sejak tahun 1980-an. Istilah ini muncul dari iklan obat sakit kepala di televisi, yang di dalamnya terdapat seruan “Pasukan Bodrex datang”. Secara faktual, wartawan bodrex biasanya datang beramai-ramai seperti pasukan dalam iklan obat sakit kepala tersebut. Versi lain mengatakan, istilah bodrex berasal dari narasumber yang merasa “sakit kepala” jika didatangi wartawan palsu. Untuk menghilangkan “sakit kepala” itu, ia memberi amplop berisi uang sebagai “obat” penangkalnya (www.achsinov.multiply.com). Wartawan bodrex sebenarnya tidak bekerja pada sebuah media, atau mengaku berasal dari sebuah media fiktif, dan biasa memeras narasumber. Pemakaian jargon wartawan ini juga merupakan hasil dari bilingualisme para wartawan. Leksikon dalam jargon wartawan banyak berasal dari kosakata bahasa asing maupun bahasa daerah yang dipakai dalam bentuk asalnya atau telah mengalami proses-proses perubahan lingual, misalnya proses naturalisasi. Misalnya istilah doorstop yang bermakna ‘mencegat narasumber untuk wawancara’ (bisa di depan pintu ruangan, di jalan, atau di depan kendaraan). Istilah bahasa asing lain yang sering digunakan wartawan adalah floating. Dalam bahasa Inggris, floating adalah kata sifat (adjective) yang diartikan ‘mengambang, mengapung’ (Echols, 1995: 248). Dalam jargon wartawan, floating digunakan untuk menyebut posisi seorang wartawan yang tidak memiliki desk atau bidang peliputan yang tetap. Ia bukan wartawan khusus bidang pendidikan, kriminal, ekonomi, atau lainnya, namun biasa ditugaskan untuk menggantikan wartawan yang berhalangan hadir di berbagai bidang peliputan. 5 Selain itu, ada juga bentuk-bentuk kata dari bahasa asing yang tidak digunakan begitu saja, tetapi mengalami proses penyesuaian atau adaptasi dengan lafal bahasa Indonesia. Contoh kata dari bahasa Inggris yang mengalami proses naturalisasi adalah release yang dituliskan menjadi rilis dan dimaknai ‘siaran pers (press release), dan deadline yang menjadi dedlen. 1.2 Rumusan Masalah Di dalam pemakaian bahasa, termasuk jargon, sering terjadi penyampaian makna. Tak semua ungkapan dalam jargon wartawan ini tidak dimengerti oleh masyarakat di luar kelompok. Ada ungkapan yang rahasia, namun ada yang sudah umum diketahui oleh masyarakat. Uraian pada latar belakang masalah di atas memunculkan permasalahan yang akan dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apa bentuk-bentuk satuan kebahasaan leksikon jargon wartawan? 2. Bagaimana pemaknaan leksikon jargon wartawan dan mengapa mereka menggunakannya? 3. Seperti apa gambaran kehidupan wartawan jika dilihat dari leksikon khas yang mereka gunakan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk satuan kebahasaan leksikon jargon wartawan serta menjelaskan pemaknaan dan fungsi penggunaan leksikon jargon wartawan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menggambarkan kehidupan 6 wartawan melalui leksikon-leksikon khas yang mereka gunakan dalam aktivitas mereka sehari-hari. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian kebahasaan, khususnya penelitian jargon dari segi kajian bidang sosiolinguistik. Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan dapat menambah pengetahuan bahasa masyarakat luas, terutama mengenai register wartawan serta membuka cakrawala dan menambah pemahaman masyarakat mengenai dunia kewartawanan. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang jargon memang sudah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian khusus mengenai jargon yang digunakan oleh profesi wartawan sejauh ini belum pernah penulis temukan. Luriawati (2010) dalam penelitian berjudul “Bentuk dan Faktor Penyebab Penggunaan Jargon Masyarakat Nelayan di Rembang” menjelaskan, jargon adalah kosakata khusus yang digunakan dalam setiap bidang kehidupan, keahlian, dan lingkungan pekerjaan yang tidak dimengerti oleh kelompok lain. Dalam komunikasi sehari-hari, masyarakat nelayan di Rembang menggunakan jargon yang tidak dipahami oleh masyarakat di luar komunitas mereka. Dari penelitian yang ia lakukan, ada beberapa faktor yang memunculkan penggunaan jargon, 7 yakni faktor kebiasaan turun-temurun serta faktor keinginan masyarakat nelayan Rembang untuk menunjukkan identitas mereka. Dalam penelitian berjudul “Music Jargon and Language”, Njchan (2012) mengungkapkan fakta bahwa dalam sebuah kelompok profesi, terkadang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk mengkomunikasikan ide-ide dan ucapan-ucapan secara tepat dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Hal inilah yang kemudian memunculkan kebutuhan untuk menggunakan jargon, bahasa teknis yang pada awalnya digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan secara efektif dan efisien. Dalam penelitiannya, ia mengambil contoh ranah musik untuk menunjukkan betapa pentingnya mengetahui tentang jargon tertentu dalam suatu kelompok. Penelitian tersebut menjelaskan beberapa jargon leksikal yang umum diketahui oleh kalangan musisi, yang digunakan untuk menjelaskan secara cepat tentang masalah musik. Misalnya, istilah seperti accelerando dan ritardando tidak akan bermakna apa-apa bagi orang yang tidak sedang belajar teori musik. Akan tetapi, bagi orang yang sedang atau telah belajar teori musik secara memadai, dua istilah tersebut masing-masing memiliki makna ‘to gradually get faster’ dan ‘to gradually get slower’. Menurutnya, kosakata dalam jargon musik yang digunakan oleh sebagian besar musisi membantu mereka untuk bermain dalam gaya bermusik tertentu sesuai dengan arahan komposer atau konduktor. Namun, adanya keragaman jenis musik membuat seorang musisi tidak akan tahu setiap jargon musik yang ada. 8 Beberapa jargon yang digunakana oleh seorang musisi bisa saja asing bagi musisi lainnya. Dalam penelitian “ Pemakaian Peristilahan Bahasa Inggris dalam Bidang Internet”, Widagsa (2011) menjelaskan, terdapat perbedaan dan kesamaan mengenai konsep register dan jargon. Jargon menggunakan kosakata khusus yang hanya dipakai dalam suatu bidang tertentu dan tidak dipakai dalam bidang lainnya, sedangkan register menggunakan kosakata yang mungkin umum dipakai oleh masyarakat dalam semua bidang tetapi memiliki makna yang berbeda-beda, tergantung bidang pemakaiannya. Berdasarkan analisis morfologis, bentuk data yang diteliti digolongkan menjadi dua, yakni bentuk dasar yang meliputi nomina, verba, dan adjektiva, serta bentuk jadian yang mencakup afiksasi, reduplikasi, komposisi, penggabungan (blending), singkatan, dan akronim. Istilah bahasa Inggris dalam bidang internet tidak hanya dikaji dari segi bentuk saja, namun juga dari perspektif makna. Maknanya pun mengalami perubahan makna, baik berupa perluasan maupun penyempitan makna. 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Sosiolinguistik Landasan utama penelitian tentang register wartawan ini adalah sosiolinguistik. Definisi sosiolinguistik secara sederhana dijelaskan oleh Nababan (1984:2). Menurutnya, sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. 9 Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu (Appel dalam Suwito, 1985: 2). Sosiolinguistik timbul dari berbagai ancangan pemikiran. Ancangan sosiologi bahasa, misalnya, berasal dari pemikiran para sosiolog yang berminat memerikan bagaimana bahasa dan penutur bahasa disikapi dan diperlakukan oleh masyarakatnya. Ancangan etnografi pertuturan timbul dari tradisi etnografi pada umumnya dalam ilmu antropologi. Malinowsky, yang pemikirannya tentang bahasa mempengaruhi aliran linguistik London, menyatakan bahwa bertutur bukan saja “to tell” tetapi juga “to do”. Dengan demikian, kata-kata pun menjadi alat untuk bertindak (Sampson via Oetomo, 1987: 169). Menurut Sampson, ciri utama sosiolinguistik yang membedakannya dari ilmu linguistik adalah penekanannya pada peringkat “kontekstual’ dari bahasa. Bahasa dilihat sebagai alat komunikasi yang dipakai dalam interaksi antara paling tidak dua orang, dan karenanya bersifat sosial. Dengan kata lain, konteks sosial penggunaan bahasa merupakan pokok yang sangat sentral dalam analisis sosiolinguistik. Chaer (1995:1-2) menjelaskan, sosiolinguistik merupakan gabungan antara disiplin sosiologi dan linguistik dan merupakan kajian bahasa secara eksternal. Kajian tersebut dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor di luar bahasa dan berkaitan dengan pemakaian bahasa oleh penuturnya di dalam kelompok- 10 kelompok sosial kemasyarakatan. Hal tersebut senada dengan pendapat Alwasilah (1985:1) yang menyebut sosiolinguistik merupakan perpaduan antara sosiologi dan linguistik, bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai linguistik plus. Dibandingkan dengan sosiologi bahasa, sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian (details of language) dalam penggunaan yang sebenarnya yang oleh Hymes disebut the etnography of speaking. 1.6.1.1 Jargon Hampir setiap bidang ilmu, profesi, perdagangan, dan pekerjaan lain memiliki kumpulan istilah atau kata-kata mereka sendiri, sebagian kata merupakan kata “gaul” atau slang dan sebagian kata lainnya merupakan istilahistilah teknis. Kata-kata tersebutlah yang oleh sebagian linguis disebut bukan sebagai register, kadang juga disebut jargon atau bahkan disebut sebagai argot atau dialek (Fromkin, 1993: 301). Melalui penggunaan jargon, penutur tidak menginginkan suatu kerahasiaan, oleh karena itu mereka samasekali tidak mutlak memisahkan diri dari masyarakat, mereka hanya ingin mengungkapkan dirinya dengan cara lain. Dalam konsep jargon, ada dua jenis jargon yakni jargon profesi yang timbul karena orang-orang menjadi bagian dalam suatu kesibukan profesi-sosial bersama, dan apa yang disebut jargon kelompok yang digunakan orang-orang yang bersatu karena suatu kesibukan bersama yang tidak menyangkut profesi, misalnya bahasa remaja. Ada pula yang disebut argot yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti bermacam-macam jargon golongan pinggir (pencuri, penipu, dan 11 sebagainya) yang khusus dan rahasia. Di Jerman disebut rotwelsch dan dalam bahasa Inggris disebut cant. Hartmann dan Stork (via Alwasilah, 1990: 61), batasan jargon adalah seperangkat istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan yang dipakai satu kelompok sosial atau kelompok pekerja, tapi tidak dipakai dan sering tidak dimengerti oleh masyarakat secara keseluruhan. Dalam disiplin ilmu, profesi, perdagangan, dan jabatan selalu ada seperangkat istilah yang seringkali dipergunakan dalam lingkungan sendiri dan tidak dimengerti oleh orang luar (outsider) (Alwasilah, 1990: 51). Ada yang menyebut jargon sama dengan argot, namun ada pula yang membuat perbedaan di antara keduanya. Terkait hal tersebut, Alwasilah berpendapat bahwa jargon, argot, dan cant pada pokoknya sama-sama mengacu pada bahasa yang khusus dalam kelompok sosial tertentu. Menurutnya, banyak jargon yang lolos lalu masuk ke dalam bahasa standar. Awalnya, ia dipakai secara terbatas dalam kelompokkelompok kecil, kemudian berangsur-angsur dimengerti oleh masyarakat luas lalu dipergunakan kelompok besar. Sama seperti yang sering dialami oleh slang. Pada tahap akhirnya, hilanglah status slang dan jargon. Chaer (1995: 89) menjelaskan, yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapanungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya, ungkapan-ungkapan dalam 12 kelompok montir atau perbengkelan seperti roda gila, didongkrak, dipoles, dan lainnya. Di dalam kepustakaan ilmu bahasa, bahkan ada konsep jargon profesi yang jika dipahami sebetulnya sama dengan register. Konsep jargon tersebut bahkan dicampuradukkan dengan konsep slang. Beberapa leksikolog Inggris dan Amerika bahkan mengakui adanya slang umum (general, standard slang)¸ dan juga istilah student’s slang, war slang, lawyer’s slang, dan sebagainya (Tim Penyusun, 1995: 166). Di sisi lain, dalam kelompok orang-orang yang melakukan pekerjaaan atau profesi secara bersamaan, yang bergaul satu sama lain terusmenerus atau hidup bersama yang erat, muncul kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang digunakan penutur untuk menggantikan ungkapan-ungkapan yang lazim yang disebut jargon. Salah satu ciri jargon yang penting ialah bahwa orang, benda, dan perbuatan yang memegang peran istimewa dalam lingkup kelompok yang bersangkutan, memperoleh istilah-istilah yang mencolok dan biasanya tidak lazim. Ungkapan-ungkapan jargon ini digunakan secara paralel dengan kosakata profesi atau dengan ungkapan-ungkapan bahasa sehari-hari yang lazim sebagai sejenis sinonim. Dengan menggunakan jargon, penutur tidak menginginkan suatu kerahasiaan. Mereka hanya ingin mengungkapkan diri mereka, bukan mutlak memisahkan diri dari masyarakat. (Tim Penyusun, 1995: 168-169). Dalam konsep jargon, ada dua macam jargon, yakni jargon profesi yang timbul karena orangorang yang menjadi bagian dalam kesibukan profesi-sosial bersama, dan apa yang 13 disebut jargon kelompok (twenjargon) yang digunakan orang-orang yang bersatu karena kesibukan bersama yang tidak menyangkut profesi. Caudle (1999) mengatakan, salah satu definisi jargon terkini adalah bahasa teknis profesi tertentu, kelompok, atau bidang perdagangan. Akan tetapi, jargonaut atau orang yang mempelajar jargon mengklaim bahwa jargon tercipta karena alasan kepraktisan dalam pekerjaan tertentu demi kenyamanan berkomunikasi. Menurutnya, jargon adalah “ucapan teknis” yang dapat digunakan sebagai penghalang agar orang di luar profesi atau kelompok mereka tidak memahaminya, meskipun hal tersebut tidak selalu menjadi tujuan penggunaannya. Pada umumnya, jargon digunakan oleh kelompok orang yang memiliki minat atau profesi yang sama seperti dunia perdagangan atau profesi tertentu. Seseorang atau sebuah kelompok menggunakan jargon biasanya untuk memberikan kesan kecerdasan atau sekedar untuk membingungkan orang di luar kelompok mereka. Ives (via Caudle) menjelaskan, sebagian besar profesi saat ini membutuhkan jargon milik mereka sendiri. Jargon adalah sebuah aspek dalam kehidupan seseorang, baik dalam pekerjaan, hobi, maupun olahraga. Jargon adalah cara sebuah kelompok masyarakat untuk menunjukkan bahasa khusus mereka, dan bisa memunculkan rasa memiliki dalam diri anggota kelompok tersebut. Jargon juga mempermudah seseorang untuk berkomunikasi dengan rekan sesama profesi maupun dengan teman lainnya. Sementara itu, Ebbers (2011) menjelaskan, jargon adalah terminologi khusus yang digunakan untuk mendukung pekerjaan atau hobi. Hal tersebut 14 terkait dengan semantik, pragmatik, morfem, fonem, analogi, konseptual, kontekstual, dan lain-lain. American Heritage Dictionary (via Ebbers) mendefinisikan jargon sebagai sebuah bahasa-- terutama kosakata-- yang khas dalam perdagangan, profesi, atau kelompok tertentu yang bisa ditandai dengan kosakata yang tidak biasa dan terkadang memiliki makna yang samar. Seperti slang, jargon juga memungkinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi tentang minat atau kepentingan mereka. Tannen membedakan konsep register dengan jargon. Menurutnya, register adalah variasi bahasa khusus tergantung pada situasi tertentu, misalnya variasi bahasa formal dan informal. Sementara itu, jargon atau kadang disebut argot adalah kumpulan kosakata unik dalam ilmu tertentu, profesi, atau perdagangan. Di kalangan pakar linguistik, ada banyak pendapat atau pandangan yang menyamakan jargon dengan register, maupun membedakan antara keduanya. Poedjosoedarmo membagi variasi bahasa menjadi lima, yakni idiolek, dialek, undha-usuk, ragam, dan register. Di dalam sosiolinguistik, maksud yang bermacam ragam biasanya disampaikan melalui variasi tutur yang bernama register atau jenis wacana yang sifatnya khas (Poedjosoedarmo, 2001: 171). Register adalah variasi tutur untuk menyampaikan bermacam-macam maksud. Register merupakan jenis bahasa yang sifatnya khas. Ia dapat dianalisis dari sudut bunyinya, bentuk bahasanya, atau bentuk tuturnya jika ditinjau dari kesantunannya. Sementara itu, menurut Holmes (1992: 276), sebagian linguis menyebut bahwa variasi bahasa yang berkaitan dengan perubahan faktor-faktor situasional 15 seperti penerima, setting, tugas, dan topik sebagai variasi register. Linguis lainnya menggunakan istilah register lebih sempit, yakni untuk menggambarkan kosakata khusus yang terkait dengan kelompok pekerjaan tertentu. Perbedaan tersebut tidak selalu jelas, bahkan banyak pakar sosiolinguistik yang mengabaikannya. Holmes menambahkan, ketika dibedakan dari gaya bahasa, register cenderung dihubungkan dengan kelompok orang tertentu atau situasi tertentu. Bahasa surat kabar, baby talk, bahasa hukum, bahasa lelang, komentator olahraga, bahasa pilot, penjahat, politisi, disc jockey, bahasa di ruang sidang, bahasa di ruang kelas, semua bisa dianggap sebagai contoh register yang berbeda. Istilah register di sini menggambarkan bahasa kelompok tertentu dengan kepentingan atau pekerjaan yang sama, atau bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu yang berhubungan dengan kelompok tersebut. Menurutnya, pada awalnya register digunakan oleh kelompok-kelompok profesi tertentu karena adanya keinginan orang-orang untuk berkomunikasi secara cepat, tepat, dan efisien sehingga muncullah ungkapan-ungkapan khusus. Setiap anggota kelompok beranggapan sudah bisa saling memahami karena mereka memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang sama. Oleh karena itulah, ciri-ciri tuturan dalam sebuah register akan mencerminkan identitas kelompok dan menggambarkan kegiatan apa yang mereka lakukan. Linguis yang berkiblat pada Halliday pasti akan setuju dengan pendapatnya tentang register. Halliday berpendapat: “register is what you are speaking (at the time) determined by what you are doing and expressing diversity 16 of social process (social division of labor)”. Artinya, register adalah bahasa yang digunakan saat ini, tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register dapat didefinisikan sebagai variasi atau ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya. Dengan kata lain, register adalah bahasa yang digunakan saat ini, tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya. Suwito (1985: 25) mendefinisikan register sebagai variasi bahasa yang disebabkan karena sifat-sifat khas kebutuhan pemakaiannya. Dalam bahasa lisan kita kenal variasi seperti itu misalnya bahasa khotbah, bahasa pidato, bahasa doa, bahasa lawak, dan sebagainya. Sementara itu, Wardhaugh (1986: 48) menjelaskan register sebagai berikut: “Register is another complicating factor in any study of language varieties. Registers are sets of vocabulary items associated with discrete occupational or social groups. Surgeons, airline pilots, bank managers, sales clerk, jazz fans, and pimps use different vocabularies”. Pada intinya, Wardhaugh mendefinisikan register sebagai faktor lain yang rumit dalam setiap kajian variasi bahasa. Register adalah seperangkat kosakata yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok kerja atau sosial yang berlainan. Ahli bedah, pilot, manajer bank, pramuniaga, penggemar jazz, dan mucikari menggunakan kosakata yang berbeda. Pateda mengungkapkan, register adalah pemakaian bahasa yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Setiap jenis pekerjaan memaksa orang untuk mempergunakan bahasa yang berhubungan dengan pekerjaannya. Ia merinci register menjadi lima bentuk, yakni register beku, register formal, register usaha, 17 register casual atau santai, dan register intim. Pembagian ini sejalan dengan pembagian variasi bahasa yang dilakukan oleh Martin Joos (dalam Chaer, 1995: 92). Joos membagi variasi bahasa menjadi lima macam, yakni ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (consultative), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Beberapa linguis dari Amerika dan Inggris menggunakan istilah register dalam arti yang sangat terbatas, yaitu mengacu pada tuturan profesi tertentu yang terutama ditandai dengan variasi leksikon (Platt, 1975: 55). Platt menjelaskan tiga dimensi dalam pengklasifikasian register, yakni field of discourse, mode of discourse, dan style of discourse. Field of discourse mengacu pada wilayah aktivitas berbahasa, mode of discourse membagi aktivitas berbahasa menjadi bahasa tulis dan bahasa lisan, sedangkan style of discourse mengacu pada hubungan antarpenutur. Misalnya, kegiatan kuliah Biologi di sebuah perguruan tinggi secara teknis dapat diidentifikasi sebagai berikut: field: ilmiah, mode: oral atau lisan, style: formal atau sopan. Menurut Zwicky (1982: 214), dalam linguistik kita akan menemukan variabel-variabel yang dikaitkan dengan usia, jenis kelamin, kelompok etnis, kelas sosial, asal daerah, pekerjaan, kepribadian, keyakinan, serta sikap. Secara khusus, register bisa disebut terkait erat dengan gaya bahasa, namun terkait pula dengan konteks atau situasi tertentu dan dengan fungsi tertentu pula. Register dalam bahasa di sebuah kelompok masyarakat tertentu ditentukan oleh penggunaannya secara tepat dengan serangkaian fitur yang membedakannya dengan bentuk register lain yang digunakan oleh kelompok masyarakat lainnya 18 (Ferguson via Zwicky, 1982: 214). Sementara itu, Galperin (via Zwicky, 1982: 214) mendefinisikan register sebagai sebuah sistem bahasa yang saling terkait untuk sebuah tujuan khusus dalam komunikasi. Pembahasan mengenai register seringkali juga menyangkut variasi atau gaya bahasa dengan fungsi khas, misalnya bahasa ayat, bahasa rahasia atau bahasa sandi, teka-teki, peribahasa, dan lainnya. Apapun definisi gaya bahasa yang dijelaskan para linguis, ia adalah bagian dari sebuah sistem perbedaan. Untuk menjelaskan karakteristik sebuah gaya bahasa, perlu dilakukan pengamatan terhadap fitur-fitur dan menghubungkannya dengan fungsi-fungsinya (Irvine, 2001: 23). Menurut Southerland (1993: 467), sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mengkaji aspek-aspek sosial dari bahasa. Dalam penjelasannya, ia menggambarkan empat jenis variasi atau ragam bahasa yakni bahasa standar atau baku, dialek atau sosiolek, dialek regional, dan ragam bahasa fungsional atau lazim disebut register. Ia mendefinisikan register sebagai ragam bahasa fungsional yang sesuai dengan situasi atau konteks tertentu. Ada bermacam-macam register yang dapat dicirikan dari sisi fonologis, sintaktis, maupun leksikal. 1.6.1.2 Etnografi Komunikasi Secara sederhana, komunikasi adalah proses pertukaran informasi (Danesi, 2011: 314). Komunikasi adalah penghantaran, penyiaran, atau pemancaran pesan dengan suatu cara. Istilah informasi pasti akan muncul dalam pembahasan 19 mengenai komunikasi. Informasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai data yang dapat diterima manusia atau mesin. Semula etnografi komunikasi (ethnography of communication) disebut etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnography of speaking). Kajian ini merupakan salah satu kajian sosiolinguistik yang memperoleh perhatian cukup besar. Etnografi komunikasi secara luas adalah penjelasan tentang semua faktor yang relevan dalam proses pemahaman mengenai bagaimana sebuah peristiwa komunikasi tertentu mencapai tujuan yang dimaksud. Menurut Hymes (http.//www.ohio.edu/people/thompsoc/Hymes.html), linguistik yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah yang kini dikenal dengan nama sosiolinguistik. Bagi Hymes, sosiolinguistik memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi pada umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat verbal dan tujuan akhirnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik itulah yang disebut etnografi komunikasi. Sebagai cabang dari sosiolinguistik, etnografi komunikasi bertujuan untuk menjelaskan bentuk dan fungsi sikap komunikadi baik verbal maupun nonverbal dalam sebuah lingkup sosial budaya tertentu. Berbeda dengan teori strukturalisme dan tata bahasa transformasional, etnografi komunikasi didasarkan pada premis bahwa makna sebuah ucapan atau tuturan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan peristiwa tutur atau peristiwa komunikasi dimana tuturan tersebut terjadi (Torabi via www.SID.ir). Sementara menjelaskan: itu, Fitch (http://www.uiowa.edu/-c036001e/fitch.html) 20 “The ethnography of speaking is an approach to the study of discourse which focuses on particular ways of seeing and experiencing the world and how these are reflected in particular ways of speaking.” Menurutnya, etnografi komunikasi adalah sebuah pendekatan kajian wacana yang berfokus pada caa-cara tertentu dalam mengamati dan menjalani kehidupan dan bagaimana hal tersebut tercermin dalam cara-cara tertentu dalam berkomunikasi. Peneliti etnografi komunikasi mengkaji pola-pola komunikasi, simbol beserta maknanya, premis, serta aturan yang diterapkan dalam aktivitas berbicara dalam sebuah kelompok tertentu. Lebih lanjut, ia memaparkan beberapa hal yang menonjol dalam kajian ini: cara berbicara atau bertutur (ways of speaking), masyarakat tutur (speech communities), istilah-istilah asli untuk “bicara” (native terms for talk). Menurut Hymes, ada beberapa konsep-konsep dasar dalam etnografi komunikasi, yaitu: a. Tata cara bertutur (ways of speaking) Di satu pihak, tata cara ini mengacu pada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, serta kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap di lain pihak. Tata cara bertutur ini berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lain, antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya. b. Komunitas atau kelompok tutur (speech community) Hymes berpendapat bahwa semua warga kelompok tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, tapi juga oleh setidaknya 21 satu ragam bahasa. Sementara itu, Saville-Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan kaidah wicara. c. Situasi, peristiwa, dan tindak tutur (speech situation, speech event, speech act) Untuk melakukan penelitian tentang kebiasaan berkomunikasi dalam sebuah kelompok tutur, seorang peneliti bahasa harus mengamati beberapa unit interaksi, yakni situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur. Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan. Peristiwa tutur memiliki ciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur. Sementara itu, tindak tutur merupakan tataran yang sederhana namun rumit. Kedudukannnya di dalam komunikasi merupakan yang terendah, namun menjadi rumit karena harus dikaji dengan sudut pandang pragmatik. Menurut Hymes, tindak tutur sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal, dan intonasi. d. Komponen tutur Komponen tutur ini meliputi situation (S) yang mencakup latar dan suasana, participant (P) yang mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tapi juga juru bicara (addressor) dan pendengar (audience), ends (E) yang mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari sebuah peristiwa tutur. Selain itu juga ada act sequence (A) yang mencakup bentuk pesan, bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan apa yang disampaikan, key (K) mengacu pada bagaiaman sebuah 22 tuturan disampaikan, misalnya secara serius, sinis, atau lainnya. Kemudian ada instrumentalities (I) yang mencakup saluran baik lisan, tulis, atau lainnya, serta bentuk tutur misalnya mengacu pada bahasa, dialek, register, dan lainnya, norms (N) mencakup norma interaksi dan interpretasi, serta genre (G) mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai, misalnya pidato, ceramah, kegiatan perkuliahan, atau lainnya. e. Nilai di balik tuturan Menurut Purnanto (2009: 6), di balik sebuah tuturan ada nilai-nilai sosial budaya yang tercermin. Maksudnya, dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang, bisa ditentukan atau diterka siapa orang tersebut, berasal dari kelompok mana, apa makna sosial tindak tutur yang terkandung di dalamnya, apa nilai, ajaran, dan pandangan hidupnya, dan sebagainya. Cara-cara alternatif dalam berbicara atau berkomunikasi bisa digunakan untuk mencapai tujuan yang sama. Pada dasarnya, variasi cara berbicara berasal dari pemilahan atau segmentasi kelompok tutur berdasarkan kelas, jenis kelamin, ras, dan sejenisnya, serta berdasarkan perbedaan-perbedaan konteks peristiwa tutur (Bonvillain, 2008: 79) Ia mengutip pendapat Hymes yang membuat daftar beberapa komponen komunikasi yang perlu dideskripsikan, yakni 1) partisipan, yang setidaknya terdiri atas penutur dan lawan tutur, 2) kode yang digunakan oleh lawan tutur atau teman wicara, 3) saluran, misalnya lisan, tulisan, atau tanda nonverbal, 4) konteks, 5) 23 bentuk peristiwa tutur, misalnya perbincangan, dongeng, nyanyian, debat, serta 6) topik dan sikap tutur (Bonvillain, 2008: 79). Sementara itu, Wardhaugh berpendapat, jika seseorang belajar menggunakan sebuah bahasa, ia akan belajar bagaimana mengggunakannya untuk melakukan hal-hal tertentu yang dilakukan orang dengan bahasa tersebut (1990: 241). Ia mengutip pendapat Hymes bahwa etnografi komunikasi adalah penjelasan dari seluruh faktor yang terkait dalam memahami bagaimana sebuah peristiwa komunikasi tertentu mencapai tujuan yang diinginkan. Itulah sebabnya, untuk memudahkannya, Hymes menggunakan akronim SPEAKING yang merupakan penjabaran faktor-faktor yang ia anggap relevan. Aturan berbicara adalah berbagai cara seorang penutur atau pembicara menghubungkan atau menyatukan cara-cara tertentu dalam berbicara, topik tertentu, atau bentuk pesan yang ingin disampaikan, dengan kondisi dan aktivitas tutur tertentu (Hymes, 1972: 36). Menurutnya, baik linguis maupun pakar sosiolinguistik berurusan dengan bentuk-bentuk linguistik, namun mereka melakukannya dalam berbagai perspektif atau sudut pandang yang berbeda. Para linguis secara umum mernguraikan masalah linguistik dengan makna-makna yang terdapat di dalam kamus yakni makna denotasi, sedangkan para pakar yang mengkhususkan diri pada bidang sosiolinguistik berurusan dengan makna yang tergantung situasi, atau makna yang bisa diubah oleh berbagai aturan berbicara yang mencerminkan sikap pembicara satu sama lainnya, dan terkait topik yang mereka bicarakan. 24 Sarana komunikasi yang digunakan dalam sebuah kelompok sangat mungkin terdiri atas berbagai bahasa yang berbeda, variasi regional dan sosial yang berbeda dari satu bahasa atau lebih, register yang berbeda (pada umumnya bervariasi dalam ranah formal dan informal), serta saluran atau wahana komunikasi yang berbeda, misalnya lisan atau tertulis (Saville-Troike, 2003: 41). Sifat dan tingkat keragaman ini berkaitan dengan organisasi sosial dalam kelompok atau masyarakat tersebut, yang kemungkinan juga akan mencakup perbedaan dalam usia, jenis kelamin, dan status sosial, serta perbedaan dalam hubungan antarpenutur atau pembicara, tujuan interaksi, serta lokasi komunikasi itu terjadi. Komunikasi yang efektif membutuhkan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai faktor, baik faktor linguistis, budaya, kognitif, dan lainnya. Etnografi dan sosiolinguistik sangat mungkin meningkatkan pemahaman bagaimana faktor-faktor tersebut saling berinteraksi. Sebab, etnografi adalah sebuah studi kualitatif tentang budaya, termasuk budaya dasar keterampilan linguistik dan konteks komunikatif (Ochs and Schieffelin via Centeno, 2007: 1). Di sisi lain, sosiolinguistik fokus pada penggunaan bahasa yang dibentuk oleh kekuatan individu dan sosial (Coulmas via Centeno, 2007: 1). Sebagai contoh, penelitian etnografi bisa mengkaji tren wacana dan kosakata dalam kelompok budaya tertentu, sedangkan sosiolinguistik fokus pada perbedaan bahasa dalam perkembangan masyarakat bilingual maupun variasi bahasa berdasarkan usia. 25 Hymes menekankan perlunya perubahan orientasi peneliti terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir, yakni struktur atau sistem (la parole), fungsi yang lebih daripada struktur, bahasa sebagai tatanan (dalam arti banyak mengandung fungsi, dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda), ketepatan unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan), keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya, komunitas atau konteks sosial lainnya sebagai titik tolak pemahaman, serta fungsi-fungsi yang dikuatkan atau dibenarkan dalam konteks. Sebagai cabang dari sosiolinguistik, etnografi komunikasi bertujuan untuk menjelaskan bentuk dan fungsi sikap komunikasi baik verbal maupun nonverbal dalam sebuah lingkup sosial budaya tertentu. Berbeda dengan teori strukturalisme dan tata bahasa transformasional, etnografi komunikasi didasarkan pada premis bahwa makna sebuah ucapan atau tuturan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan peristiwa tutur atau peristiwa komunikasi dimana tuturan tersebut terjadi. (Torabi via www.SID.ir). Sementara itu, Oetomo (1987: 162) berpendapat, etnografi komunikasi atau etnografi pertuturan (ethnography of speaking) merupakan salah satu bidang utama dalam sosiolingusiti yang berkenaan dengan pengkajian terhadap rincian penggunaan bahasa dalam konteks sosial-budaya. Penelaahan terhadap penggunaan bahasa di sini didasarkan pada asumsi bahwa pilihan bahasa tidaklah semata-mata merupakan pilihan pribadi melainkan dipengaruhi oleh kendalakendala tertentu. Jadi, etnografi komunikasi yang ia sebut sebagai “etnografi 26 pertuturan” berupaya memerikan dan menganalisis pola-pola penggunaan bahasa atau ragam-ragam bahasa dalam budaya tertentu. 1.6.2 Semantik Secara singkat, semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari bagaimana makna disusun dan diungkapkan di dalam bahasa (Wijana, 2010: 4). Cabang ilmu bahasa ini membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan makna satuan lingual, baik kata, frase, maupun kalimat (Wijana, 2011: 107). Makna adalah hubungan antara bentuk satuan lingual dengan segala hal yang ditunjuknya. Sebagai ilmu tentang makna, semantik merupakan pusat dari segala kajian tentang komunikasi, dan karena komunikasi menjadi faktor yang semakin penting dalam sebuah organisasi sosial, kebutuhan untuk memahami perihal komunikasi pun menjadi semakin mendesak (Leech, 1974: ix). Menurutnya, semantik juga merupakan pusat kajian atau penelitian tentang proses pikiran manusia, kognisi, konseptualisasi yang kesemuanya terikat dengan cara-cara kita mengklasifikasikan dan menyampaikan pengalaman melalui bahasa. Semantik juga telah menjadi titik pertemuan berbagai lintas arus pemikiran serta berbagai disiplin ilmu, mulai dari filsafat, psikologi, dan linguistik. Pendapat sama juga diungkapkan oleh Jackson (1988: 49) yang mengatakan bahwa ilmu tentang bagaimana cara bahasa bermakna disebut semantik. Ada saat di mana kita tidak akan dapat mempelajari bagian apapun dari bahasa, baik itu bunyi, tata bahasa, kata, maupun wacana, tanpa menyadari bahwa 27 bahasa memang bermakna dan semua bagiannya bisa menjadi bagian dari komunikasi yang bermakna. Menurut Jackson, hal pertama yang harus diperhatikan adalah secara umum tidak ada alasan intrinsik mengapa sebuah kata tertentu mereferensikan sebuah hal tertentu. Hubungan antara kata dan apa yang ia referensikan bersifat arbitrer. Sebuah kelompok tertentu memiliki kosakata khusus untuk berbicara tentang bidang mereka, dan orang di luar kelompok tersebut tidak mengetahuinya. Ketika seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok tertentu, ia harus belajar kosakata atau jargon yang tepat untuk melukiskan kehidupan mereka dalam cara yang berbeda dengan kelompok lainnya. Sementara itu, Lyons (1995: 3) berpendapat, semantik biasa didefinisikan sebagai ilmu tentang makna, dan definisi itulah yang mulanya diamini semua orang. Sebagian tuturan bahasa, baik lisan maupun tertulis, tergantung pada interpretasi masing-masing orang, konteks ucapan, dan lainnya. Semantik atau ilmu tentang makna, dalam bidang yang lebih luas, menyentuh sebagian besar aspek struktur dan fungsi bahasa serta masalah dalam psikologi, filsafat, dan juga antropologi (Lehrer, 1974: 1). Dalam semantik, makna kadang cukup ambigu. Biasanya, makna digunakan untuk menunjukkan kesamaan ungkapan dalam sebuah bahasa. Fakta bahwa setiap penutur bahasa memiliki respon yang berbeda terhadap unsur leksikal individual membuat para linguis menyimpulkan bahwa tidak ada satu kata pun yang memiliki makna yang sama dan kata yang sama pun tidak akan bermakna sama dalam dua ujaran yang berbeda. 28 Soal semantik, menurut Pateda (2001: 14-15), bukan saja dapat dihubungkan dengan psikologi, logika, dan filsafat, tapi juga dengan politik. Misalnya, istilah menyesuaikan tarif, mengapa tidak dikatakan saja menaikkan harga? Sebab, ada pertimbangan politik sebagai alasannya meskipun makna keduanya sebenarnya sama. Sebagai ilmu, semantik mempelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagaimana apa adanya (das sein), dan terbatas pada pengalaman manusia. Semantik membicarakan kebermaknaan kata dan kalimat yang lebih bersifat verbal, karena orang yang mengerutkan dahi tanda tidak setuju tidak memiliki makna apa-apa sebagai seseorang yang mempelajari semantik. Jika ketidaksetujuan itu ditampilkan dalam kalimat Saya tidak setuju, maka ujaran ini akan menarik bagi seseorang yang mempelajari semantik. Pateda berpendapat, makna ditentukan oleh situasi yang berarti juga ditentukan oleh lingkungan. Oleh karena itu, makna hanya dapat dipahami jika ada data yang dapat diamati yang berada dalam lingkungan pengalaman manusia. Ada tiga hal penting dalam upaya para linguis untuk menjelaskan makna, yakni menjelaskan makna kata secara alamiah, mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson via Pateda, 2001: 79). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Kempson berpendapat bahwa penjelasan tentang makna harus dilihat dari beberapa segi, yakni kata, kalimat, dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi. 29 1.7 Metode Penelitian Ada tiga tahap metode dan teknik dalam penelitian ini, yakni penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil. Objek kajian penelitian adalah leksikon jargon wartawan. Datanya berupa satuan lingual baik kata maupun frase yang dituturkan wartawan saat berkomunikasi langsung maupun melalui pesan singkat dengan sesama wartawan. Data primer penelitian diperoleh melalui wawancara yang dilakukan terhadap sejumlah wartawan. Langkah ini dilakukan sekaligus menanyakan penjelasan makna ungkapan kepada wartawan yang bersangkutan. Data tersebut berbentuk ucapan lisan yang ditranskripsikan ke dalam tulisan maupun bentuk tertulis yang biasa digunakan wartawan melalui berbagai fitur percakapan dan layanan pesan singkat telepon selular. Selain itu, data tambahan diperoleh dari pengalaman pribadi penulis sebagai wartawan serta studi pustaka. Selanjutnya, data yang diperoleh berupa kata atau frasa kemudian dikreasikan dalam kalimat-kalimat dengan cara memberikan konteks bentukbentuk ungkapan tersebut dan menganalisisnya dalam bangunan kalimat. Untuk lebih memudahkan membaca, sebagian data tersebut juga terlebih dahulu diklasifikasikan berdasarkan asal kata maupun bentuknya. Setelah data tersedia, selanjutnya data dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pada tahap ini, penulis juga menggunakan metode konstekstual untuk menguraikan konteks yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Metode kontekstual ini mengandalkan konteks sebagai unsur yang 30 mempengaruhi corak penggunaan bahasa dalam berkomunikasi antara pengirim pesan, pesan, dan penerima pesan. Tahap selanjutnya yaitu tahap penyajian hasil analisis data. Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode informal dan formal. Menurut Sudaryanto (1993: 145), metode informal dilakukan dengan menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode formal menggunakan beberapa lambang dan tanda, bisa juga melalui tabel. 1.8 Sistematika Penyajian Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi analisis bentuk-bentuk satuan kebahasaan jargon wartawan. Bab III berisi tentang pemaknaan serta fungsi penggunaan leksikon jargon wartawan. Bab IV berisi pemaparan sekaligus cerita tentang kehidupan wartawan dilihat dari leksikon khas yang mereka gunakan dalam aktivitas mereka sehari-hari. Bab V merupakan kesimpulan yang diambil berdasarkan bab-bab sebelumnya.