BAB II PELAKSANAAN IZIN PENYEDIA JASA TENAGA KERJA

advertisement
BAB II
PELAKSANAAN IZIN PENYEDIA JASA TENAGA KERJA MENURUT
PERATURAN KETENAGAKERJAAN
A. Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja/Buruh menurut
Undang –undang No.13
Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan
Aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan harus dirumuskan secara tepat,
sesuai dengan teori hukum dan filsafat hukum. Rumusan hukum tentang Perjanjian penyedia
jasa pekerja buruh diatur dalam Pasal 64-66 UU No.13 tahun 2003 merupakan rumusan yang
mengandung vague norm, karena menimbulkan interpretasi yang lebih dari satu. Ketentuan
Pasal 64 UU No.13 tahun 2003 adalah “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” Terhadap ketentuan ini tidak ada
penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dalam penjelasan Pasal demi
Pasal. Rumusan itu apabila dicermati mengandung ketidakjelasan maksud. Pasal 64 UU
13/2003 tahun 2003 mengatur tentang bentuk outsourcing, yaitu pemborongan pekerjaan
(merupakan outsourcing pekerjaan) dan penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing pekerja).
Terhadap pemborongan pekerjaan diatur lebih lanjut dalam Pasal 65, syaratnya 12 :
1. dibuat dalam perjanjian kerja tertulis berbentuk PKWTT atau PKWT;
2. pekerjaan yang dialihkan adalah bukan pekerjaan pokok;
3. berbadan hukum;
4. memberikan perlindungan hukum kepada pekerjanya
5. Bentuknya PKWTT atau PKWT berdasar Pasal 59.
Kriteria bukan pekerjaan pokok ditafsirkan secara otentik dalam Pasal 65 ayat (2)
yaitu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; berdasarkan perintah langsung atau tidak
langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang yang tidak menghambat
proses produksi secara langsung. Interpretasi otentik ini masih menimbulkan ketidak pastian
hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang hanya meletakkan
pemikiran yang pragmatis, hanya berdasar kehendak politik yang lebih mengarah pada
kepentingan pengusaha. Seharusnya interpretasi “perintah” harus melandaskan pada teori
hukum
12
yaitu
meletakkan
dasar
teori
hukum
tentang
perintah
yaitu
hakekat
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban. Bukan pertimbangan pragmatis yang menunjuk pada bentuk perintah
dilakukan. Siapaun yang memberikan perintah maka dialah yang harus bertanggung jawab.
Majikan bertanggung jawab atas pekerjaan yang diperintahkan kepada pekerjanya. Pemberi
perintah adalah yang menikmati hasil dari pekerjaan. Dari sudut filosofinya adalah adil
apabila pekerja mendapatkan hak berupa upah apabila ia sudah mengerjakan pekerjaan
dengan benar. Sebaliknya akan adil pula apabila majikan harus melaksanakan kewajibannya
dengan membayar upah apabila pekerjaan yang merupakan kehendakya sudah dilaksanakan
oleh pekerja. Jadi makna dari perintah adalah tanggung jawab bukan cara dilakukannya
perintah.
Apabila makna perintah sudah sesuai dengan konsep/ teori hukum, maka akibatnya
dengan serta merta perlindungan syarat kerja menjadi kewajiban dari yang memberikan
perintah yaitu pemberi pekerjaan. Dirumuskannya Pasal 65 ayat (4) UU 13/2003
menunjukkan kesalahan perumusan ayat sebelumnya yaitu Pasal 65 ayat (2) huruf b.
Terhadap rumusan otentik pemberi kerja sudah dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (4) UU No.13
tahun 2003 yaitu orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lain yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sayangnya rumusan ini tidak menjadi landasan dalam merumuskan konsep hubungan
kerja. Hubungan kerja dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 UU 13/2003 yaitu hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah. Terdapat kesalahan perumusan (yang disengaja) dalam Pasal 1
angka 14 UU No.13 tahun 2003, Seharusnya kata “pengusaha” diganti dengan “pemberi
kerja”.
Kesalahan interpretasi otentik ini mengakibatkan konflik sosial. Terjadi perbedaan
pendapat di masyarakat berkaitan dengan siapakah pekerja yang dilindungi oleh UU No.13
tahun 2003 13.
Apakah semua orang yang bekerja pada pemberi kerja ataukah hanya pekerja yang
bekerja pada pengusaha. Lebih adil menggunakan istilah majikan daripada istilah pengusaha.
Pengusaha adalah bagian dari majikan. Pengusaha adalah orang yang menjalankan usaha.
Sementara di masyarakat lebih banyak orang yang memberi pekerjaan yang bukan
13
Asri Wijayanti, Makalah, Makalah, Analisis Kedudukan Legisprudensi sebagai upaya
perlindungan Pekerja outsorcing, disampaikan dalam Konfrensi Negara Hukum, Jakarta, 9-10
Oktober 2012, hal.5.
Universitas Sumatera Utara
pengusaha. Rumusan Pasal1 angka 14 mengakibatkan pekerja yang tidak bekerja pada
pengusaha dapat diinterpretasikan tidak dilindungi oleh UU 13/2003.
Terdapat perbedaan rumusan otentik tentang subyek hukum dalam hubungan kerja
pemberi kerja atau pengusaha. Pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha secara yuridis,
tidak dianggap telah melakukan hubungan kerja, sehingga tidak dilindungi oleh UU No.13
Tahun 2003 (Asri Wijayanti: 2011, 115).
Ketentuan Pasal 66 UU 13/2003 merupakan pasal penjelas dari Pasal 64, yang
mengatur tentang outsourcing pekerja dirumuskan sebagai berikut :
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi” Syarat perusahaan penyedia jasa/buruh
(perusahaan outsourcing) adalah:
ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan penyedia jasa/buruh; memenuhi syarat PKWT berdasarkan Pasal 59; memberi
perlindungan, ada perjanjian tertulis antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia
jasa/buruh; berbadan hukum. Rumusan Pasal 66 UU 13/2003 merupakan rumusan yang
kabur, tidak menimbulkan kepastian hukum.
Kata-kata “jasa pekerja” dapat diinterpretasikan sebagai pekerja karena jasa dari
pekerja melekat pada tubuh pekerja itu. Berbeda dengan pekerjaan, yang baru melekat pada
diri pekerja apabila telah dilaksanakan. Jasa pekerja tidak sama dengan jasa. Seharusnya
bukan jasa pekerja tetapi pekerjaan yang menghasilkan jasa. Hubungan kerja adalah suatu
hubungan hukum antara pemberi kerja dengan pekerja mengenai dilaksanakannya suatu
pekerjaan dengan pemberian imbalan berupa upah. Pekerjaan dapat dikategorikan menjadi
dua yaitu pekerjaan yang menghasilkan barang dan pekerjaan yang menghasilkan jasa.
Kesalahan pemikiran pada pembuat Undang-Undang mengakibatkan pekerja sebagi obyek
dari hubungan kerja.
Pekerja adalah orang, di dalam teori dan filsafat hukum, selamanya orang tidak dapat
menjadi obyek dari suatu hubungan hukum. Penempatan orang sebagai obyek hukum adalah
sebagai perbudakan modern (modern slavery). Syarat badan hukum bagi perusahaan
pemborngan pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa/buruh berdasarkan, ketentuan Pasal 65
Universitas Sumatera Utara
ayat (3) UU 13/2003 jo Pasal 66 ayat (3) jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenaker 220/2004, yaitu
perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum,kecuali 14 :
a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang;
b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan
perbaikan
serta
jasa
konsultansi
yang
dalam
melaksanakan
pekerjaan
tersebut
mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang. Tujuan disyaratkan badan
hukum adalah tidak relevan, mengingat setiap pelaku usaha tetap dapat dimintai
pertanggungjawaban apabila melakukan suatu pelanggaran, tidak menunggu pelaku usaha
berbentuk badan hukum.
Melakukan pemborongan pekerjaan bukanlah monopoli suatu perusahaan yang sudah
berbadan hukum, tetapi menjadi hak setiap pelaku usaha. Batasan ini akan mengakibatkan
pelaku usaha (khususnya usaha kecil dan menengah) kehilangan haknya disamping juga
dapat mematikan program kemitraan atau community social development program suatu
perusahaan dengan lingkungan sosial disekitarnya yang sudah berjalan. (MochSyamsudin:
2007, 174) 15
B. Peraturan-peraturan pelaksana terkait Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Buruh
Perusahaan penyedia jasa pekerja yang merupakan salah satu bentuk dari
outsourcing, harus dibedakan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta
(laboursupplier). Sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37 dan 38 Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka
hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja dengan perusahaan pemberi kerja
bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut.
Dalam
penyediaan
jasa
pekerja,
perusahaan
pemberi
kerja
tidak
berhak
memperkerjakan pekerja untuk melaksanakan kegiatan pokok / kegiatan yang berhubungan
dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakankegiatan jasa
penunjang / kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan
dimaksud, antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaningservice), usaha penyedia
makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman /satuan pengaman (security) usaha
14
15
Ibid, hal.6.
Moch Syamsudin dalam Asri Wijayanti, ibid, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja. Di
samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan
jasa pekerja bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.
Pasal 50 undang-undang ketenagakerjaan menegaskan bahwa : “hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal diatas
menetapkan pentingnya perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan hukum
yaitu hubungan kerja, dengan kata lain untuk mengatakan ada tidaknya suatu hubungan kerja
maka maka landasannya adalah ada tidaknya perjanjian kerja.
Perjanjian kerja dibuat dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian, syarat ini
telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Ketenagakerjaan pada pasal 52 ayat 1 yaitu
:
1. Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akibat hukum yang sah adalah perjanjian itu mengikat para pihak layaknya UU.
Jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut yang berakibat
merugikan pihak lain maka disebut wanprestasi.
Sebelum berlakunya Kepmenaker No.19 tahun 2012 Peraturan lain
pelaksana
terkait
perjanjian penyedia jasa pekerja buruh diatur lebih lanjut dalam Keputusan
Menakertrans
Keputusan Menakertrans No. 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, dimana dalam
Keputusan tersebut perjanjian kerja terdapat dalam pasal 5 yakni “setiap perjanjian
pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak
pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perunndangundangan” ,
Dalam Keputusan Menakertrans No. 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh diatur dalam pasal 4 yakni sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan
pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurangkurangnya memuat :
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa
b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud
huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja dan perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja buruh
c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa buruh bersedia menerima pekerja
diperusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis
pekerja yang terus menerus ada diperusahaan pemberi kerja dalam dalam hal
terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja buruh.
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa : “perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan
pekerjaan”.
Sejak Permenakertrans No. 19 tahun 2012 resmi diberlakukan, hal ini yang membuat
dua peraturan menteri yang lain sebelumnya menjadi tidak berlaku. Yaitu Keputusan
Menakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Keputusan Menakertrans No 101 Tahun 2004 tentang
Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Dimana Permen No 19 ini
ternyata banyak mengubah pengaturan soal syarat dan tata-cara penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain yang diatur dalam Kepmen 220 dan Kepmen 101. Secara
umum, Permen No 19 ini terlihat lebih memperketat keberadaaan perusahaan outsourcing.
Sebelumnya, untuk mengingatkan, UU Ketenagakerjaan membedakan mekanisme
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi dua cara. Pertama, dengan
pemborongan pekerjaan. Dan kedua adalah lewat penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam
praktik, cara yang kedua yang biasa dikenal dengan outsourcing. Sebut saja soal syarat
bentuk badan hukum perusahaan outsourcing. Bila Kepmen 101 menyatakan perseroan
terbatas (PT) dan koperasi boleh dipilih sebagai bentuk badan hukum perusahaan
outsourcing, tidak demikian dengan Permen No 19 yang hanya membolehkan perusahaan
outsourcing berbentuk PT. Boleh jadi, koperasi memang tidak layak menjadi pelaku
outsourcing. Masih soal ‘baju perusahaan’, Permen No 19 ini juga bakal melarang
Universitas Sumatera Utara
perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum. Berbeda dengan Kepmen 220
yang masih memberikan keleluasaan kepada perusahaan yang tidak berbadan hukum
sepanjang bergerak di bidang pengadaan barang, atau jasa pemeliharaan dan perbaikan. Hal
lain yang diatur dalam Permen No 19 ini adalah kewajiban mendaftarkan perjanjian
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan
setempat. Praktik sebelumnya, kewajiban pendaftaran ini hanya berlaku untuk penyediaan
jasa pekerja.
Perbedaan lain yang mencolok adalah soal izin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja. Kepmen 101 menyatakan izin operasional diberikan untuk jangka waktu lima tahun
dan berlaku di seluruh Indonesia. Sedangkan Permen No 19 hanya tiga tahun dan hanya
berlaku di satu provinsi. Untuk melindungi pekerja outsourcing, Permen ini juga
mencantumkan hak apa saja dari pekerja outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan
penyedia jasa. Semisal hak cuti, jaminan sosial, tunjangan hari raya, hingga hak mendapatkan
ganti rugi bila diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing.
Surat Edaran Menakertans No: SE.04/MEN/VIII/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, Mengatur lebih lanjut mengenai perjanjian
penyedia jasa pekerja buruh. Dalam Surat Edaran ini ketentuan tentang persayaratan
perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh adalah
1. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi, meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh di larang menyerahkan pelaksanaan sebagian
atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikannya kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Memuat jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dariperusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
5. Memuat penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia
menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya
untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam
hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
6. Memuat penjelasan mengenai hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Dalam hal Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), maka :
a. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mencatatkan perjanjian kerja antara perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan ;
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota meneliti isi
perjanjian kerja, meliputi:
1) jaminan kelangsungan bekerja;
2) jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan yang diperjanjikan, yaitu:
a) hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b) hak atas jaminan sosial;
c) hak atas tunjangan hari raya;
d) hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
e) hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan
pekerja;
f) hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa kerja yang telah
dilalui; dan
g) hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan dan/atau perjanjian
kerja sebelumnya.
3) jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh untuk menetapkan upah. Untuk itu perusahaan perlu membuat skala upah yang
disesuaikan dengan masa kerja pekerja/buruh.
Universitas Sumatera Utara
c. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota mengeluarkan
bukti pencatatan perjanjian kerja tersebut.
Dalam Surat Edaran ini, setelah seluruh persyaratan perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh ini dilaksanakan, maka :
a. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mendaftarkan perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
b. berdasarkan pengajuan tersebut, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota meneliti isi perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, meliputi:
1) kelengkapan persyaratan perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).
2) jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
3) penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima
pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis
pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
4) hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
c. apabila telah memenuhi persyaratan, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan menerbitkan
bukti pendaftaran perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh .
d. Apabila tidak memenuhi persyaratan, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan dapat menolak pendaftaran .
Dari sisi isi/substansi, Permen No 19 tahun 2012 ini banyak mengubah dan mengatur
hal-hal yang sebelumnya tidak ada antara lain 16:
a. pengaturan soal syarat dan tata-cara penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain sebagaimana pernah diatur dalam Kepmen 220 dan Kepmen 101.
16
Agusmidah, Makalah, Analisis Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 19 tahun 2012.Tentang SyaratSyaraPenyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Makalah dipresentasikan dalam
Pertemuan Komite Pengawasan Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Dinas Tenaga Kerja Prov. Sumut,
pada Jumat, 21 Desember 2012, Hotel Mulia Medan hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
b. syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing. Bila Kepmen 101 menyatakan
perseroan terbatas (PT) dan koperasi boleh dipilih sebagai bentuk badan hukum
perusahaan outsourcing, tidak demikian dengan Permen No 19 yang hanya
membolehkan perusahaan outsourcing berbentuk PT.
c. Permenakertrans No 19 ini juga bakal melarang perusahaan pemborong pekerjaan
yang tidak berbadan hukum. Berbeda dengan Kepmen 220 yang masih
memberikan keleluasaan kepada perusahaan yang tidak berbadan hukum sepanjang
bergerak di bidang pengadaan barang, atau jasa pemeliharaan dan perbaikan.
d. Permenakertrans No. 19 memuat kewajiban mendaftarkan perjanjian pemborongan
pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan setempat.
Praktik sebelumnya, kewajiban pendaftaran ini hanya berlaku untuk penyediaan
jasa pekerja.
e. izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja. Kepmen 101 menyatakan izin
operasional diberikan untuk jangka waktu lima tahun dan berlaku di seluruh
Indonesia. Sedangkan Permen No 19 hanya tiga tahun dan hanya berlaku di satu
provinsi.
f. Permenakertrans No. 19 tahun 2012 juga mencantumkan hak apa saja dari pekerja
outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa, meliputi hak cuti,
jaminan sosial, tunjangan hari raya, dan hak mendapatkan ganti rugi bila
diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing.
g. Perusahaan pemberi pekerjaan melaporkan jenis kegiatan yang akan diborongkan
kepada instansi di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
h. Pemborongan pekerjaan itu dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan yang
bersifat penunjang dan dalam pelaksanaannya akan mensyaratkan adanya
pembuatan alur proses pelaksanaan pekerjaan oleh asosiasi sektor usaha.
i. Penegasan jenis kerja yang dapat di outsourcing yaitulima jenis pekerjaan: usaha
pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerja, usaha tenaga
pengaman/security,
jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta
penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
j. Perusahaan yang menempatkan pekerja/buruh
(perusahaan outsourcing) dapat
dikenai sanksi berupa beralihnya status pekerja/buruh yang ditempatkannya dari
PKWT menjadi PKWTT apabila perlindungan kerja tidak dicantumkan dalam
perjanjian waktu tertentu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
k. Dibuka kesempatan bagi pekerja/buruh yang tidak memperoleh jaminan
kelangsungan bekerja, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.
l. Digunakannya prinsip dialihkannya tanggungjawab perlindungan pekerja pada
perusahaan pemborongan kerja yang baru.
C. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 21 Tahun 2010
Tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan
Sebelum berlakunya Peraturan Presiden Republik Indonesia tahun No. 21 tahun 2010
Tentang
Pengawasan
Ketenagakerjaan
maka
yang
menjadi
dasar
Pengawasan
ketenagakerjaan adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan
perburuhan. Pengawasan ketenagakerjaan dalam UU ini lebih luas lagi, bukan hanya
mengontrol implementasi aturan-aturan ketenagakerjaan tetapi juga untuk mengumpulkan
informasi mengenai kebutuhan-kebutuhan para pekerja sebagai dasar pembentukan
peraturan-peraturan yang baru.
Pengawasan
yang
dilakukan
pemerintah
melalui
departemen
tenaga
kerja
dimaksudkan yntuk menjamin pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan. Pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan, tugas dan
kewajibnya adalah sebagai berikut: 17
a. Merahasiakan segala sesuatu yang mnurut sifatnya wajib dirahasiakan
b. Tidak menyalahgunakan kewenanganya
Pemerintah ( cq.Depnaker) melalui pengawasan perburuhan berdasarkan UU No.23
Tahun 1948 jo. UU. No. 3 Tahun 1951tentang pengawasan perburuhan diberikan wewenang
18
:
1. Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan –peraturan perburuhan pada
khusus nya
2. Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan
keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang
dan peraturan-peraturan perburuhan lainya
17
Maimun , Hukum ketenagakerjaan, PT PRADNYA PARAMITA, Jakarta, 2004, hal. 34.
18
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,hal. 115.
Universitas Sumatera Utara
3. Menjalankan pekerjaan lainya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
UU 23 Tahun 1948 tentang pengawasan perburuhan masih berlaku sampai saat ini karena
UUK tidak mencabutnya. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa tujuan diadakanya pengawasan
adalah untuk:
a) Mengawasi berlakunya UU dan peraturan Perburuhan;
b) Mengumpulkan bahan keterangan tentang persoalan hubungan kerja dan keadaan
perburuhan dalam arti seluas-luasnya guna membuat UU dan peraturan perburuhan.
Pengawasan ketenagakerjaan dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu secara luas,
pengawasan ketenagakerjaan adalah segala tindakan dan perbuatan yang tujuannya untuk
mengawasi
pelaksanaan
kesehatan
kerja,keamanaan
kerja,
pelaksanaan
peraturan
perlindungan kerja, keamanaan kerja seperti waktu kerja, waktu istirahat, K3 dan
sebagainya,yang dapat dilakukan oleh siapa saja pemerintah,asosiasi pengusaha,serikat
pekerja buruh dan sebagainya.
Biasanya pengertian sempit pengawasan ketenagakerjaan adalah tugas yang diemban
oleh instansi ketenagakerjaan untuk menjamin dilaksanakannya peraturan perlindungan
kerja,dalam hal ini petugas pengawas ketenagakerjaan.
Persamaan keduaanya adalah bahwa pengawasan bukanlah alat perlindungan
melainkan lebih sabagai cara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perlindungan.
Tahun 1948 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pengawasan tenaga kerja
yaitu UU no.23 Tahun 1948 jo UU No.3 THUN 1951. Pengawasan ketenagakerjaan dalam
UU ini lebih luas lagi,bukan hanya mengontrol implementasi aturan-aturan ketenagakerjaan
tetapi juga untuk mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan-kebutuhan para pekerja
sebagai dasar pembentukan peraturan-peraturan yang baru.
Secara umum pengawasan ada dua 19 :
1.
Pengawasan preventif
Pengawasana preventif,yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum terjadinya segala
penyelewengan-penyelewengan,kesalahan-kesalahan,dan sebelum suatu pekerjaan
dilaksanakan dengan member pedoman-pedoman pelaksanaan.
2.
19
Pengawasan represif
Agusmidah, Dinamika Hukum ketenagakerjaan Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal. 77
Universitas Sumatera Utara
Pengawasan yang dilakukan sesudah rencana dilaksanakan,dengan kata lain
berkenaan dengan hasil-hasil yang dicapai,dinilai/diukur,jadi pengawasan ini
dilakukan setelah adanya kesalahan atau penyimpangan.
UU 23 Tahun 1948 tentang pengawasan perburuhan masih berlaku sampai saat ini
karena UUK tidak mencabutnya.Dalam pasal 1 disebutkan bahwa tujuan diadakanya
pengawasan adalah untuk:
c) Mengawasi berlakunya UU dan peraturan Perburuhan;
d) Mengumpulkan bahan keterangan tentang persoalan hubungan kerja dan keadaan
perburuhan dalam arti seluas-luasnya guna membuat UU dan peraturan perburuhan.
Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.Kep.353/M/SJ/1996 tentang
uraian Kegiatan Kantor Wilayah,Kantor Departemen dan Unit Pelaksana Teknis
Depnaker
disebutkan
dalam
bagian
ketujuh
bahwa
bidang
pengawasan
ketenagakerjaan memiliki tugas melaksanakan pembinaan dan pengawasan norma
kerja,norma jaminan social tenaga kerja,norma keselamatan dan kesehatan
kerja,melakukan penyidikan terhadap pelanggaran norma kerja.
Pegawai pengawas dilingkungan departemen tenaga kerja diberi wewenang pengawasan
yang mencakup 20:
j) Memasuki semua tempat dimana dijalankan pekerjaan dan juga segala rumah yang
disewakan atau dipergunakan oleh pengusaha atau wakilnya untuk perumahan ata
erawatan tenaga kerja
k) Meminta keterangan baik lisan maupun tertulis kepada pengawas atau pengurus dan
atau tenaga kerja atau serikat pekerja tanpa dihadiri pihak ketiga
l) Menjaga,membantu dan memerintahkan pengusaha atau pengurus perusahaan dan
pekerja agar menaati peraturan perundangan ketenagakerjaan
m) Memberikan teguran terhadap penyimpangan peraturan perundangan ketenagakerjaan
n) Melakukan pengujian teknik persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja
o) Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan yang belum jelas dan/atau belum diatur dalam
peraturan perundangan.meminta bantuan polisi bila ditolak memasuki perusahaan
atau pihak yang dipanggil tidak mematuhi panggilan
p) Memanggil pengusaha dan pekerja
q) Melarang pemakain bahan alat berbahaya
20
Ibid
Universitas Sumatera Utara
r) Melakukan penyidikan selaku PPNS(Penyidik Pegawai Negeri Sipil).
Pengawasan ketenagakerjan merupakan salah satu unsur yang harus ikut berperan
didalam tenaga kerja.sebagai penegak hukum dibidang ketenagakerjaan unsur pengawasan ini
harus bertindak sebagai pendeteksi dini di lapangan,sehingga diharapkan segala gejolak yang
akan timbul dapat dideteksi secara awal dan yang pada giliran nya dapat memberikan atau
dapat diciptakan suasana yang aman,stabil dan mantap dibidang ketenagakerjaan yang
dengan demikian dapat memberikan andil dalam pembangunan nasional,sehingga
pertumbuhan ekonomi dapat berkembang sesuai dengan yang diharapkan.
Kebijaksanaan pengawasan ketenagakerjaan secara operasional ditetapkan sebagai berikut 21 :
1. Pengawasan
ketenagakerjaan
diarahkan
kepada
usaha
preventif
dan
edukatif,namun demikian tindakan represifbaik yang yutisial. maupun non
yutisial akan dilaksanakan secara tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang
yang secara sengaja melanggar ataupun telah berkali-kali diperingatkan akan
tetap tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,
2. Unit dan aparat pengawasan diharapkan lebih peka dan cepat bertindak
terhadap
masalah-masalah
yang
timbul
dan
mungkin
timbul
dilapangan,sehingga masalah nya tidak meluas atau dapat diselesaikan dengan
tuntas(tidak berlarut-larut).
3. Aparat prngawasan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan
diharuskan turun langsung kelapangan untuk melihar permasalahnya secara
langsung,sehingga dapat dijamin obyektifitaasnya.
4. Pemanfaatan aparat pengawasan secara optimal sehingga dapat menjangkau
obyek pengawasan seluas mungkin khususnya pada sektor-sektor yang
dianggap rawan dan strategis.
Adapun ruang lingkup tugas-tugas pengawasan ketenagakerjaan ini adalah 22 :
1. Melaksanakan Pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai norma perlindungan tenaga kerja
2. Melaksanakan pembinaan dalam usaha penyempuranaan norma kerja dan
pengawasannya
21
Sendjun H.Manulang, Pokok-pokok Hukum ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal.
124.
22
Ibid
Universitas Sumatera Utara
3. Melaksankan Pembinaan dan pengawasan yang menyangkut perlindungan
tenaga kerja wanita, anak dan orang muda.
4. Melaksanakan usaha-usaha pembentukan, penerapan dan pengawasan norma
dibidang kecelakaan kerja.
Hal ini sesuai dangan pasal 16 UU No 14 tahun 1969 yang berbunyi: “guna menjamin
pelakasanaan pengaturan ketenagakerjaan serta peraturan-peraturan pelaksanaan nya
diadakan suatu sistem pengawasann tenaga kerja.
Sedangkan fungsi pengawasan ketenagakerjaan ini adalah :
1. Mengawasi pelaksanaan undang-undang atau ketentuan-ketentuan hukum
dibidang perburuhan atau ketenagakerjaan
2. Memberi penerangan teknis serta nasehat kepada pengusaha dan tenaga kerja
tentang hal-hal yang dapat menjamin pelaksanaan efektif dari peraturanperaturan ketenagakerjaan.
3. Melaporkan kepada yang berwenang kecurangan dan penyelewengan dalam
bidang ketenagakerjaan yang tidak jelas diatur dalam peraturan perundangundangan.
Yang melaksanakan tugas serta fungsi-fungsi pengawasan dibidang ketenagakerjaan
ini disebut ”Pegawai Pengawas” yaitu pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen
Tenaga Kerja (pasal 1 UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja).
Pegawai-pegawai pengawas serta pegawai-pegawai pembantu yang mengikutinya
dalam melakukan kewajiban nya berhak memasuki semua tempat-tempat dimana dijalankan
atau biasa dijalankan pekerjaan atau dapat disangka bahwa disitu dijalankan pekerjaan dan
juga segala rumah yang disewakan atau dipergunakan majikan /pengusaha atau wakilnya
untuk perumahan atau perwatan tenaga kerja. Jika pegawai-pegawai tersebut ditolak untuk
memasukin tempat-tempat termaksud diatas maka mereka dapat meminta bantuan kepada
polisi.
Pegawai-pegawai pengawas didalam menjalankan tugasnya diwajibkan berhubungan
organisasi serikat pekerja atau tenaga kerja yang bersangkutan. Atas permintaan pegawai
tersebut maka pengusaha (pimpinan perusahaan) atau wakilnya dapat menunjuk seorang
pengantar untuk memberikan keterangan-keterangan pada waktu diadakannya pemeriksaan.
Pegawai-pegawai pengawas serta pegawai-pegawai pembantu tersebut diluar
jabatanya wajib merahasiakan segala keterangan tentang rahasia-rahasia didalam suatu
perusahaan yang diketahuinya berhubung dengan jabatannya.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap pegawai pengawas/pegawai pembantu yang dengan sengaja membuka
rahasia yang dipercayakan kepadanya dikenakan sanksi hukuman berupa hukuman penjara
selama-lama nya 6 (enam) bulan dengan tidak atau dipecat dari hak memangku jabatanya.
Untuk mencapai sasaran pengawasan yang diinginkan maka pelaksanaan nya
dilandasi oleh 23 :
1.Landasan Hukum,yaitu:
a. Undang-undang No.3 Tahun 1951 tentang pengawasan perburuhan
b. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.3 tahun 1984 tentang pengawasan
ketenagakerjaan terpadu.
d. Keputusan Menteri Tenaga kerja No.199 Tahun 1983 tentang organisasi dan
pembagian Tugas Departemen Tenaga Kerja.
e. Berbagai peraturan perundang-undangan lainya serta konvensi ILO yang
mangatur tentang pengawasan perburuhan mengenai ketenaga kerjaan.
2.Landasan Operasional
a. Garis-garis Besar Haluan Negara 1983-1988
b. Kebijaksanaan Menteri Tenaga Kerja.
3.Landasan Sikap Mental
Pegawai pengawas sebagai aparat pegawai negeri sipil selalu tunduk dan berpegang
kepada undang-undang No.8 tahun 1974 yaitu Undang-undang tentang pokok-pokok
kepegawaian
2.Pengawasan Pelaksanaan
Ada 3(tiga) macam kegiatan yang bersifat pemeriksaan dalam melaksanakan
pengawasan ini yaitu :
1. Pemeriksaan pertama,yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh pegawai
pengawas umum yang mencakup dua aspek yaitu norma kerja dan norma
keselamatan kerja.
2. Pemeriksaan ulang
3. Pemeriksaan khusus yaitu apabila ada hal –hal tertentu misalnya pengaduan
atas perintah atasan untuk sesuatu hal disuatu perusahaan.
23
Ibid, hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan maksud diadaknya pengawasan ketenagakerjaan maka tugas utama
dari pegawai pengawas adalah
1. Mengawasi
berlakunya
Undang-undang
dan
Peraturan-peraturan
ketenagakerjaan
2. Mengumpulkan bahhan-bahan keterangan dengan soal-soal hubungan kerja
dan keadaan ketenagakerjaan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat
Undang-undang dan perturan peraturan ketenagkerjaan
3. Menjalankan pekerjaan lainya yang diserahkan kepadanya dengan Undangundang dan perturan lainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai
negeri sipil pada departemen tenaga kerja yang berdasarkan undang-undang ditugaskan
secara penuh oleh penjabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap
ditaatinya perturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. 24
Pengawasan Perburuhan adalah suatu institut yang sangat penting dalam
penyelenggaraan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Perburuhan. Tidak hanya untuk
mengawasi tentang berlakunya Undang-undang dan Peraturan-peraturan tadi dengan jalan
memberi penerangan kepada buruh, sarekat buruh dan majikan dan jikalau perlu dengan
mengusut hal-hal yang dikenakan hukuman oleh Undang-undang/Peraturan-peraturan itu,
akan tetapi pula untuk mengetahui dan menjelami tentang keinginan dan kebutuhan
masyarakat akan adanya Undang-undang/Peraturan-peraturan Pemerintah dalam suatu hal,
dan selanjutnya untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan,agar dapat mengadakan
Undang-undang/Peraturan-peraturan jang setepat-tepatnya, Meskipun Kantor Pengawasan
Perburuhan itu didalam zaman Belanda sudah ada, akan tetapi Kantor itu tidak begitu dikenal
oleh dunia buruh (terutama di perusahaan-perusahaan yang besar-besar, kebun-kebun dll.),
oleh karena pegawainya yang harus mengadakan pemeriksaan, seorang Arbeidinspecteur,
tidak pernah mengadakan perhubungan yang seerat-eratnya dengan pihak buruh Indonesia.
Oleh karena itu sampai kinipun Kantor Pengawasan Perburuhan yang sebetulnya telah ada
dan masih saja belum dikenal sebaik-baiknya oleh beberapa majikan dan buruh, sehingga
telah beberapa kali terjadi seorang Ajun Inspectur Pengawasan Perburuhan yang hendak
memasuki suatu tempat perusahaan untuk menjalankan kewajibanya, mendapat rintangan dari
atau ditolak oleh majikan yang berkepentingan. Berhubung dengan itu dan mengingat akan
24
Sendjun H.Manulang, Pokok-pokok Hukum ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta1995 hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
pentingnya Pengawasan Perburuhan, dan untuk menyelesaikan sifatnya dengan aliran
sekarang, maka Pemerintah menganggap perlu untuk mengadakan Undang-undang yang
dengan tegas menetapkan tentang adanya Pengawasan Perburuhan beserta aturan-aturanya.
Dalam rangka membenahi masalah pengawas ketenagakerjaan di tengah sistem
otonomi daerah itu, Muhaimin selaku Menteri Tanaga kerja mengatakan pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan.
dimana dalam peraturan itu, Pengawasan Ketenagakerjaan dilakukan oleh pengawas
ketenagakerjaan yang memiliki kompetensi dan independen yang ditunjuk sesuai dengann
ketentuan
perundang-undangan.
pengawas
ketenagakerjaan
bertugas
melaksanakan
pengawasan keteneagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai penyidk pegawai negeri
sipil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pengawas ketenagakerjaan wajib 25:
a. Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan.
b. Tidak menyalahgunakan wewenangnya.
Pengawas di dinas tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota wajib memberikan laporan
pengawasan ke pemerintah pusat dan mengatakan peraturan itu diharapkan dapat
memperbaiki sinergi pemerintah pusat dan daerah di bidang ketenagakerjaan. Untuk
meningkatkan pengawas ketenagakerjaan, dengan menerbitkan Permenakertrans No.10
Tahun 2012 telah dibentuk Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Komite yang mendorong
fungsi pengawasan itu terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja.
Komite juga berperan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada Menteri
atas pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.
Akan tetapi Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar
berpendapat, mengembalikan kewenangan pengawasan ke tingkat pusat adalah tuntutan
serikat pekerja yang telah lama disuarakan dan selama ini otonomi daerah memberi
kewenangan kepada kepala daerah untuk menempatkan dan memutasi pengawas
ketenagakerjaan ke bagian lain di luar pengawasan. Seperti dimutasi ke dinas sosial,
kependudukan dan sebagainya. 26
25
Peraturan presiden No 21 tahun 2010, pasal 20
26
www.Hukumonline.com, Pengawas Ketenagakerjaan harus kembali kepusat, Rabu 23 oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Timboel berpendapat kepentingan memprioritaskan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) membuat para kepala daerah lebih mementingkan eksistensi perusahaan di
daerahnya
daripada
menegakkan
hukum
ketenagakerjaan.
Akibatnya,
pengawas
ketenagakerjaan dikondisikan hanya pasif dan sekedarnya dalam menjalankan fungsinya di
bidang pengawasan.
Timboel berharap Menteri Tenaga Kerja
serius merealisasikannya dan Selaras
dengan itu Timboel melihat beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengawas
ketenagakerjaan dapat direvisi. Misalnya, merevisi PP No.38 Tahun 2007 agar pembinaan,
pengawasan dan pertanggungjawaban pengawas langsung kepada Menakertrans. Jika laporan
itu hanya sampai ke tingkat kepala daerah, Timboel ragu penegakan hukum ketenagakerjaan
dan pengawasan tak berjalan baik. “Penempatan pengawas adalah tanggungjawab
Kemenakertrans sehingga tidak asal-asalan lagi,” katanya kepada hukumonline lewat pesan
elektronik, Rabu (10/4). 27
Jika Menteri Tenaga Kerja serius memperkuat pengawas ketenagakerjaan, Timboel
berpendapat meningkatkan anggaran untuk bidang pengawasaan menjadi bagian yang patut
dilakukan. Menurutnya, anggaran itu dapat diambil dari APBN. Ketika hal itu sudah
dilakukan maka wilayah Kabupaten/Kota yang belum punya pengawas, perlu diprioritaskan.
Timboel berpendapat di setiap daerah di Indonesia pasti terdapat perusahaan yang
mempekerjakan pekerja formal. Oleh karenanya, Timboel mengangap tak ada alasan bagi
pemerintah untuk tidak menempatkan pengawas ke seluruh wilayah di Indonesia. “Idealnya
setiap tahun Kemenakertrans harus mampu menciptakan minimal 200 PPNS yang tersebar
diseluruh provinsi dan Kabupaten/Kota,” urainya. 28 Selain itu menyasar APBN, Timboel
mengatakan APBD juga harus mengalokasikan anggaran untuk memperkuat pengawas
ketenagakerjaan. Pasalnya, dari pantauannya selama ini ketika melaporkan masalah
ketenagakerjaan ke dinas-dinas, Timboel mengatakan petugas pengawas kerap mengeluh tak
punya dana operasional. “Laporan-laporan yang OPSI laporkan sangat lama di follow up,
27
Ibid
28
ibid
Universitas Sumatera Utara
sehingga beberapa kali pengawas ketenagakerjaan yang lambat tersebut kami laporkan ke
Ombudsman,” ucapnya. 29
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Hang Ali Saputra Syah
Pahan, mengatakan pengawas ketenagakerjaan yang berlangsung selama ini lemah.
Akibatnya, marak terjadi penyelundupan hukum ketenagakerjaan 30.Metode dan sistem
pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dituangkan dalam Perpres No. 21 Tahun 2010
tidak pernah dijelaskan kepada masyarakat.
Kejadian ‘perbudakan’ di Tangerang tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif
terhadap oknum siapapun yang bertanggungjawab. Namun perlu tindakan preventif dan
evaluatif atas semua sarana dan prasarana pengawas ketenagakerjaan dari tingkat nasional
sampai dengan tingkat kabupaten/kota. agar pengawasan yang dilaksanakan dapat efektif
,maka :
1. Dinas Tenaga Kerja setempat perlu mengupayakan sistem dan metode
pengawasan terpadu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, kelurahan dan
atau kecamatan untuk melakukan pengawasan secara langsung ke lapangan secara
periodik.
Pengawasan
yang
dilakukan
seharusnya
tidak
terbatas
pada
pengusahanya tetapi juga bertemu langsung dengan tenaga kerjanya.
2. Model pengaduan dan informasi melalui membuka hotline, surat elektronik, sms
pengaduan, dan media informasi lainnya harus terus dikembangkan dan
dikenalkan kepada masyarakat pelaku produksi.
3. Perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus dan terstruktur tentang UU
Ketenagakerjaan dan peraturan yang berkaitan kepada semua pelaku usaha baik
dalam bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik
persekutuan, milik badan hukum, baik swasta maupun milik negara, skala kecil
dan menengah
4. Pemerintah harus serius melakukan upaya penghapusan biaya-biaya ‘siluman'
(upeti) untuk berdirinya suatu usaha ataupun setelah badan usaha terbentuk
29
Ibid
30
www.Hukumonline.com, Pengawasan Ketenagakerjaan harus Kembali ke Pusat, Rabu 23 oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
(operasional) dan membersihkan oknum-oknum aparat/pejabat di pusat dan daerah
yang meminta sumbangan atau dana dalam bentuk apapun.
5. Perlu dilakukan terobosan karena keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan
dengan membentuk ‘Intel’ Ketenagakerjaan yang bertugas mengumpulkan
informasi dan data awal dengan tidak mengenal jam kerja sebagaimana pegawai
negeri saat ini. Antara Intel Ketenagkerjaan dan Pengawas Ketenagakerjaan
sebagai Penyidik saling berkoordinasi setiap ada temuan-temuan, info-info, dan
data-data yang ada di lapangan, sehingga laporan-laporan ketengakerjaan yang
diwajibkan selama ini mendekati akurat dan konkrit, setelah mendapatkan
keterangan awal tersebut petugas pengawas melakukan tugas sebagaimana
mestinya salah satunya pembinaan.
Semoga pemerintah melalui Kemenakertrans segera mewujudkan konsep dan sistem
yang modern dalam melakukan pengawasan dan kasus ‘perbudakan’ di Tangerang tidak
terulang dan terjadi lagi.
Universitas Sumatera Utara
Download