1 draft pedoman pelaksanaan ketentuan pasal 19 undang

advertisement
DRAFT
PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19
UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………
1
BAB I
LATAR BELAKANG…………………………………………………….
2
BAB II
TUJUAN DAN CAKUPAN PEDOMAN …..……………………………
4
2.1. Tujuan Pembuatan Pedoman …………………..………………………
4
2.2. Cakupan Pedoman ……………………………..………………………
5
BAB III
BAB IV
HAKEKAT KETENTUAN PASAL 19 ..…………………………………… 7
3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup ………...………………………………
7
3.2. Penjabaran Unsur ……………………..………………………………..
7
3.3. Keterkaitan dengan Pasal Lain ………..……………………………….
10
PELAKSANAAN PASAL 19 …………………………..…………………
13
4.1. Konsep dan Definisi Penguasaan Pasar ………..…………….……….
13
4.2. Rasionalitas Pelarangan Penguasaan Pasar ……………………………
14
4.3. Pengertian Menolak atau Menghalangi Pelaku Usaha Melakukan
Kegiatan Usaha yang Sama Pada Pasar Bersangkutan ……………….
16
4.4. Pengertian Menolak atau Menghalangi Konsumen dan/atau Pelanggan
Berhubungan Dengan Pesaing ……………………………..…………..
18
4.5. Pengertian Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan/atau
Jasa di Pasar Bersangkutan ……………………………....……………
19
4.6. Pengertian Melawan Praktek Diskriminasi Terhadap Pelaku Usaha
Tertentu …….……………………………………………………..……
19
4.7. Dampak Kegiatan Penguasaan Pasar ……………………..…………….
22
4.8. Contoh Kasus …………….…………………………………………….
22
BAB V
ATURAN SANKSI ………………………………………………………..
25
BAB VI
PENUTUP …………………………………………………………………
27
1
BAB I
LATAR BELAKANG
Untuk menjamin persaingan usaha yang sehat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut “UU No. 5/1999”).
Pelaksanaan UU No. 5/1999 yang efektif diharapkan dapat memupuk budaya berbisnis yang sehat
sehingga dapat terus menerus mendorong dan meningkatkan daya saing di antara pelaku usaha.
Salah satu tujuan diberlakukannya UU No. 5/1999 adalah untuk memastikan bahwa mekanisme
pasar bekerja dengan baik dan konsumen menikmati hasil dari proses persaingan yang berjalan
dengan sehat.
Dalam UU No. 5/1999 diatur mengenai larangan perjanjian, kegiatan, dan penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengarah pada persaingan usaha tidak sehat. Salah satu kegiatan yang
dilarang adalah penguasaan pasar, sebagaimana diatur dalam Pasal 19. Perlu dipahami bahwa tujuan
dari setiap pelaku usaha yang rasional adalah untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan
dengan cara mengembangkan usahanya semaksimal mungkin atau menjadi yang terbaik di bidang
usahanya. Tujuan ini akan mendorong setiap pelaku usaha berupaya meningkatkan kinerja dan daya
saingnya melalui inovasi dan efisiensi sehingga lebih unggul dari pesaingnya. Apabila berhasil,
maka pelaku usaha tersebut akan memperoleh kedudukan yang kuat (posisi dominan) dan/atau
memiliki kekuatan pasar (market power) yang signifikan di pasar bersangkutan. Dengan
keunggulan relatif tersebut, pelaku usaha akan mampu untuk menguasai pasar bersangkutan atau
dapat mempertahankan kedudukannya yang kuat di pasar bersangkutan.
Dari sudut pandang ekonomi, pelaku usaha yang memiliki kemampuan penguasaan pasar
yang diraih melalui keunggulan inovasi dan efisiensi dapat memberikan efek yang positif bagi
konsumen. Melalui penguasaan pasar, pelaku usaha dapat mewujudkan efisiensi biaya (cost saving)
atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk mencapai skala ekonomi (economy of scale).
Penguasaan pasar bersangkutan juga memungkinkan pelaku usaha untuk dapat menekan biaya ratarata produksi melalui cakupan produksi yang luas (economy scope). Semuanya itu bisa berujung
pada terciptanya harga yang rendah dan menguntungkan konsumen secara keseluruhan.
Di sisi lain, kemampuan untuk menguasai atau untuk mempertahankan posisi di pasar
bersangkutan dapat memungkinkan munculnya kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat. Secara
teoritis pelaku usaha yang telah memiliki penguasaan posisi dominan juga akan berupaya
mempertahankan posisi tersebut dengan mempraktekan kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat.
2
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan para pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar
secara negatif dengan cara-cara menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau menghalangi konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu; atau membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Tindakantindakan tersebut pada akhirnya akan merugikan pelaku usaha yang lain dan para konsumen akhir.
Mengingat karakteristik dan dampak dari kegiatan penguasaan pasar yang memiliki dua sisi
yang berbeda, maka analisis yang mendalam terhadap maksud dan tujuan serta akibat yang
ditimbulkan mutlak diperlukan. Maka dari itu diperlukan pedoman untuk mengkaji Pasal 19 secara
khusus sehingga tercipta pemahaman yang harmonis antara KPPU dan pelaku usaha mengenai
Pasal 19 UU No. 5/1999.
3
BAB II
TUJUAN DAN CAKUPAN PEDOMAN
2.1.
Tujuan Pembuatan Pedoman
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk mengawasi
pelaksanaan UU No. 5/1999. Adapun tugas-tugasnya adalah sebagaimana diamanatkan
dalam UU No. 5/1999. Salah satu tugas KPPU tercantum dalam Pasal 35 huruf f: “Tugas
Komisi meliputi membuat pedoman atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang
ini”.
Pedoman diperlukan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai UU No.
5/1999. Pedoman akan menjadi pedoman bagi penegakan UU No. 5/1999, dengan adanya
pedoman, diharapkan para pelaku usaha, para penegak hukum yang berkaitan dengan
hukum persaingan (seperti: pengacara, KPPU, hakim dan lain-lain) dapat menyesuaikan diri
dengan berdasarkan pada pedoman, sehingga tidak membuat tafsir atau menyalah tafsirkan
isi dari UU No. 5/1999.
Salah satu pasal yang akan diberikan pedoman adalah Pasal 19. Pedoman Pasal 19
(selanjutnya disebut “Pedoman”) bertujuan untuk:
a. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan kegiatan berdasarkan
penguasaan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU No. 5/1999.
b. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam menafsirkan bagian-bagian
dari Pasal 19 sehingga tidak ada penafsiran lain selain yang diuraikan dalam Pedoman
ini.
c. Memberikan landasan bagi para pihak dalam berperilaku agar tidak ada pihak-pihak
yang dirugikan dan selanjutnya untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang
tumbuh secara wajar.
Pedoman Pasal 19 bukan untuk menjelaskan bagaimana KPPU melakukan
pemeriksaan dalam melakukan penegakan hukum atau memberikan saran dan kebijakan
namun difokuskan kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan serta batasan ketentuan
larangan kegiatan penguasaan pasar.
Walaupun Pedoman ini memberikan penjelasan ketentuan tentang penguasaan pasar
sebagaimana diatur dalam Pasal 19, namun demikian dalam proses penegakan hukum
4
persaingan usaha berdasarkan UU No. 5/1999, pandangan dan putusan Komisi dalam
melakukan pemeriksaan atas kegiatan penguasaan pasar yang diduga melanggar Pasal 19
UU No. 5/1999 tetap didahulukan dan tidak hanya terbatas pada Pedoman.
2.2.
Cakupan Pedoman
Pedoman Pasal 19 UU No. 5/1999 ini mencakup filosofi, semangat, dan arah dari
ketentuan dalam mempromosikan persaingan usaha yang sehat. Pedoman juga menguraikan
secara singkat tentang kondisi sebagai akibat dari tidak adanya sistem yang mendukung
ditegakkannya prinsip persaingan usaha yang sehat, khususnya tentang akibat dari
persaingan usaha yang tidak sehat dalam upaya penguasaan pasar. Secara sistematis
Pedoman mencakup:
Bab I
Latar Belakang
Bab II
Tujuan dan Cakupan Pedoman
Bab ini menjelaskan tentang tujuan pembuatan Pedoman dan hal-hal yang
tercakup dalam Pedoman.
Bab III
Hakekat Ketentuan Pasal 19
Bab ini menjelaskan tentang hakekat ketentuan Pasal 19, yaitu meliputi
pengertian dan ruang lingkup yang diatur oleh Pasal 19, kemudian di
dalamnya juga akan dijabarkan unsur-unsur dari Pasal 19 serta akan
dijelaskan keterkaitan antara Pasal 19 dengan pasal-pasal lainnya dalam UU
No. 5/1999.
Bab IV
Pelaksanaan Pasal 19
Bab ini akan menjelaskan mengenai pelaksanaan Pasal 19 termasuk di
dalamnya pengertian atas kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam Pasal 19
secara mendetail. Akan dijelaskan pula kerangka analisis dalam menilai
pelanggaran Pasal 19 berdasarkan jabaran kegiatan-kegiatan yang dilarang
tersebut. Bab ini juga akan menjabarkan beberapa contoh kasus yang pernah
diputus oleh KPPU.
Bab V
Aturan Sanksi
Bab ini menyebutkan mengenai beberapa sanksi yang dapat dikenakan
terhadap pelanggaran Pasal 19.
Bab VI
Penutup
5
Sistematika serta bahasa dalam Pedoman ini diusahakan sesederhana dan sejelas mungkin
agar dapat dimengerti dan dipahami, sehingga akan memudahkan semua pihak untuk dapat
memahami aturan yang berlaku dan dapat menghindari ketidakpastian hukum dalam
penegakan UU No. 5/1999.
6
BAB III
HAKEKAT KETENTUAN PASAL 19
3.1.
Pengertian dan Ruang Lingkup
Pasal 19 merupakan bagian dari Bab IV UU No. 5/1999 mengenai Kegiatan Yang
Dilarang dan secara khusus mengatur mengenai Penguasaan Pasar.
Pasal 19:
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”
Sedangkan keterangan mengenai Pasal 19 hanya ada mengenai Pasal 19 huruf a yaitu:
Huruf a: “Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan
cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan
suku, ras, status sosial, dan lain-lain.”
Ruang lingkup larangan kegiatan yang diatur dalam Pasal 19 ini mencakup kegiatankegiatan yang dilakukan secara sendiri oleh pelaku usaha maupun kegiatan yang dilakukan
secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat mengarah
pada terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sehingga dapat terkena
larangan ketentuan Pasal 19 UU No. 5/1999.
3.2.
Penjabaran Unsur
Pasal 19:
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
7
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”
Unsur Pelaku:
a. Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999, pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
b. Pelaku Usaha Lain
Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang melakukan satu atau beberapa kegiatan
secara bersama-sama pada pasar bersangkutan. Pelaku usaha lain menurut penjelasan
Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No. 5/1999 adalah pelaku usaha yang mempunyai
kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.
c. Pelaku Usaha Tertentu
Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha yang dirugikan oleh kegiatan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 19 huruf a dan d UU No. 5/1999.
d. Pelaku Usaha Pesaing
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha yang berada dalam pasar bersangkutan yang
sama.
e. Konsumen
Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 5/1999, konsumen adalah setiap pemakai dan/atau
pengguna barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain.
f. Pelanggan
Pelanggan adalah pemakai atau pengguna dari barang dan/atau jasa untuk kepentingan
sendiri maupun kepentingan pihak lain yang menggunakan secara berkesinambungan,
teratur, terus menerus baik melalui perjanjian tertulis maupun tidak tertulis.
Unsur Tindakan:
a. Penguasaan Pasar
Kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi pembentukan harga atau kuantitas
8
produksi atau aspek lainnya dalam sebuah pasar. Aspek lainnya tersebut dapat berupa,
namun tidak terbatas pada pemasaran, pembelian, distribusi, penggunaan atau akses atas
barang atau jasa tertentu di pasar bersangkutan. Kegiatan ini dapat dilakukan sendiri
oleh pelaku usaha atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya dan dapat
terdiri dari satu atau beberapa kegiatan sekaligus.
b. Praktek Monopoli
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 5/1999, praktek monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
c. Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 5/1999, persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
d. Pasar Bersangkutan
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999, pasar bersangkutan adalah pasar yang
berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas
barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan jasa tersebut.
Sejalan dengan pengertian di atas dan dari sudut pandang ekonomi, ada dua dimensi
pokok yang harus dipertimbangkan untuk menentukan pengertian pasar bersangkutan,
yaitu produk (barang atau jasa yang dimaksud) dan wilayah geografis.
e. Melakukan Sendiri Maupun Bersama-sama
Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan keputusan atau perbuatan
independen tanpa kerjasama dengan pelaku usaha yang lain. Kegiatan yang dilakukan
secara bersama-sama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar
bersangkutan yang sama dimana pelaku usaha mempunyai hubungan dalam kegiatan
usaha yang sama.
f. Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan
Satu atau beberapa kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan secara terpisah
ataupun beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan kepada seorang pelaku usaha.
g. Kegiatan Usaha Yang Sama
Kegiatan usaha yang sama adalah kegiatan usaha yang sejenis dengan yang dilakukan
oleh pelaku usaha.
h. Hubungan Usaha
9
Hubungan usaha adalah kegiatan ekonomi antar pelaku usaha dalam bentuk berbagai
transaksi dan/atau kerjasama
i. Barang
Berdasarkan Pasal 1 angka 16 UU No. 5/1999, barang adalah setiap benda baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku
usaha.
j. Jasa
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No. 5/1999, jasa adalah setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
k. Menolak
Menolak adalah ketika pelaku usaha tidak bersedia melakukan kegiatan usaha dengan
pelaku usaha lainnya.
l. Menghalangi
Menghalangi adalah ketika pelaku usaha melakukan kegiatan yang menciptakan
hambatan bagi pelaku usaha lain atau pelaku usaha pesaingnya untuk masuk ke dalam
suatu pasar bersangkutan yang sama.
m. Membatasi Peredaran
Membatasi peredaran adalah kegiatan yang dilakukan pelaku usaha dengan tujuan untuk
mengendalikan distribusi atau wilayah peredaran barang dan/atau jasa.
n. Praktek Diskriminasi
Praktek diskriminasi adalah termasuk di dalamnya menolak sama sekali melakukan
hubungan usaha, menolak melakukan hubungan usaha, menolak syarat-syarat tertentu
atau perbuatan lain, dimana pelaku usaha lain diperlakukan dengan cara tidak sama.
Terjadi perbedaan perlakuan oleh pelaku usaha tertentu kepada pelaku usaha lainnya
dalam suatu pasar bersangkutan.
3.3.
Keterkaitan dengan Pasal Lain
a. Pasal 11 UU No.5/1999 tentang Kartel
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau
pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”
10
b. Pasal 15 huruf 1 UU No. 5/1999 tentang Perjanjian Tertutup
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan/atau pada tempat tertentu.”
Pasal ini hanya menjadi salah satu titik awal untuk membuktikan bahwa telah ada niat
dari para pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya
dengan tujuan menolak, membatasi atau menghalangi, serta melakukan tindakan
diskriminasi yang akan mengakibatkan munculnya penguasaan pasar secara negatif bagi
pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha yang dapat berakibat munculnya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
c. Pasal 17 UU No. 5/1999 tentang Monopoli
(1) “Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
d. Pasal 18 UU No. 5/1999 tentang Monopsoni
(1) “Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 akan memberikan dasar mengenai penetapan
seorang pelaku usaha atau pelaku-pelaku usaha untuk dapat dikatakan melakukan
tindakan monopoli dan monopsoni.
Untuk melihat tujuan dari tindakan yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha untuk
munculnya pemenuhan Pasal 17 dan Pasal 18 maka diperlukan Pasal 19. Karena Pasal
17 dan Pasal 18 hanya akan memberikan petunjuk mengenai apa yang dapat
dikategorikan sebagai monopoli dan monopsoni. Secara khusus Pasal 19 akan
memberikan pedoman mengenai tindakan-tindakan spesifik yang dapat dilakukan untuk
11
mencapai tujuan monopoli atau monopsoni tersebut.
e. Bagian Keempat tentang Persekongkolan UU No. 5/1999
Pasal 22
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.”
Pasal 23
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia
perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.”
Pasal 24
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya
dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang dipersyaratkan.”
Bagian Keempat UU No. 5/1999 tentang Persekongkolan menyebutkan bahwa pelaku
usaha dilarang untuk melakukan ketiga hal yang dapat termasuk dalam kategori
bersekongkol. Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU No. 5/1999 secara tegas melarang
kegiatan-kegiatan tersebut. Pasal 19 UU No. 5/1999 yang menyebutkan tentang larangan
melakukan diskriminasi secara lebih kuat akan memberikan gambaran tentang apa yang
akan terjadi apabila melakukan persengkongkolan-persekongkolan.
f. Pasal 25 tentang Posisi Dominan
(1) “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima
puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75%
(tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.”
Pasal 25 UU No. 5/1999 tentang Posisi Dominan tetap penting dalam mengukur apakah ada
12
tindakan yang melanggar mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Sedangkan Pasal 19
UU No. 5/1999 bertujuan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
para pelaku usaha dalam mempertahankan posisi dominan tersebut memakai cara-cara
penguasaan pasar yang bermuara pada tindakan diskriminatif.
13
BAB IV
PELAKSANAAN PASAL 19
4.1.
Konsep dan Definisi Penguasaan Pasar
Secara teoritis, penguasaan pasar oleh sebuah perusahaan atau kelompok perusahaan
adalah perilaku monopolisasi, yaitu tindakan atau upaya perusahaan atau kelompok
perusahaan untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi monopoli atau posisi dominan
di suatu pasar bersangkutan. Posisi monopoli atau posisi dominan yang dimiliki perusahaan
atau kelompok perusahaan memberikan kekuatan kepada perusahaan untuk mengendalikan
atau mengontrol elemen-elemen strategis di pasar bersangkutan. Elemen-elemen strategis di
pasar bersangkutan diantaranya adalah harga, jumlah output, tingkat pelayanan, kualitas, dan
distribusi.
Dalam UU No. 5 Tahun 1995 Pasal 1 angka 10, pasar bersangkutan didefinisikan
sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku
usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan jasa
tersebut. Sejalan dengan pengertian di atas dan dari sudut pandang ekonomi, ada dua
dimensi pokok yang lazim dipertimbangkan dalam menentukan pengertian pasar
bersangkutan, yakni (a) produk (barang atau jasa) yang dimaksud, dan (b) wilayah
geografis 1.
Pasar berdasarkan cakupan geografis terkait dengan jangkauan dan/atau daerah
pemasaran, sementara pasar berdasarkan produk terkait dengan kesamaan atau kesejenisan
dan/atau tingkat substitusinya.
Pasar bersangkutan adalah sebuah konsep yang dilakukan untuk mendefinisikan
tentang ukuran pasar dari sebuah produk. Ukuran pasar ini menjadi penting, karena dapat
mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu
pelaku usaha. Dalam pasar bersangkutan yang cakupannya terlalu sempit, maka sangat
mungkin pelaku usaha yang menguasai produk tertentu dinilai menjadi pemegang posisi
dominan, dan apabila cakupan pasar bersangkutan terlalu luas maka pelaku usaha tidak akan
dinilai sebagai pemegang posisi dominan.
Ketika perusahaan atau kelompok perusahaan memiliki posisi monopoli atau posisi
dominan, maka perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan dan mengendalikan harga
1
Peraturan KPPU No. 03 Tahun 2009, Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 tentang Pasar Bersangkutan.
14
di pasar serta membatasi/menghilangkan pesaing nyata (exclude competitor). Kekuatan ini
disebut sebagai kekuatan monopoli (monopoly power). Strategi-strategi perusahaan yang
merupakan perwujudan dari kekuatan monopoli sebagai upaya untuk mempertahankan dan
meningkatkan posisi monopoli disebut sebagai praktek monopoli. 2
Dengan demikian, praktek monopoli dan penguasaan pasar adalah suatu perilaku
yang bermuara pada hal yang sama, yaitu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan
posisi monopoli dan/atau posisi dominan.
4.2.
Rasionalitas Pelarangan Penguasaan Pasar
UU No. 5/1999 tidak melarang perusahaan atau kelompok perusahaan untuk
memiliki posisi monopoli atau posisi dominan, selama posisi tersebut diperoleh melalui
mekanisme persaingan yang bersumber dari efisiensi yang dilakukan perusahaan. Jika suatu
perusahaan mampu melakukan efisiensi biaya dan inovasi yang berhasil meningkatkan
kualitas produk, maka perusahaan akan dapat memenangkan persaingan dan berhasil
menguasai pasar bersangkutan. Penguasaan pasar tersebut dimungkinkan karena perusahaan
memiliki produk yang superior. Efisiensi biaya dan produk yang berkualitas akan
menguntungkan konsumen dan perekonomian secara keseluruhan. Kondisi demikian justru
akan didukung dan sejalan dengan jiwa hukum persaingan.
Namun, jika perusahaan memanfaatkan posisi monopoli atau posisi dominan yang
dimiliki untuk mengurangi atau menghilangkan tekanan persaingan dari pelaku usaha
pesaing, baik pesaing nyata (existing competitor) atau pesaing potensial (potential
competitor), maka perusahaan dinyatakan telah melakukan penyalahgunaan posisi monopoli
(abuse of monopoly). 3 Perilaku demikian bertentangan dengan prinsip persaingan usaha di
dalam hukum persaingan karena bersifat anti-persaingan dan berdampak negatif terhadap
pasar secara keseluruhan. Dampak negatif tersebut diantaranya adalah pilihan konsumen
menjadi terbatas (karena berkurangnya pelaku usaha pesaing), harga yang harus dibayar
konsumen meningkat, dan turunnya kesejahteraan sosial (kerugian yang ditanggung
konsumen masih lebih besar dibanding peningkatan keuntungan yang diperoleh
perusahaan).
Oleh karena itu diperlukan pemahaman dan persepsi yang jelas mengenai perilaku
penguasaan pasar seperti apa yang termasuk ke dalam penyalahgunaan posisi monopoli.
2
Kekuatan monopoli dan praktek monopoli terkait erat dengan monopoli, sebagaimana diatur di dalam Pedoman
KPPU No 11 tahun 2011 mengenai Pedoman Pasal 17.
3
Pedoman KPPU No. 11 tahun 2011 mengenai Pedoman Pasal 17
15
Pasal 19 mengenai penguasaan pasar ini telah memberikan batasan terhadap perilaku
perusahaan yang melanggar UU No. 5 1999, yaitu: menolak dan/atau menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau membatasi peredaran dan/atau
penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau melakukan praktek
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Sebelum Pedoman ini menguraikan secara terperinci perilaku-perilaku penguasaan
pasar yang bertentangan dengan UU No. 5 1999, terlebih dahulu akan disinggung mengenai
penggunaan pangsa pasar (market share) dalam kaitannya dengan pelarangan penguasaan
pasar.
Posisi monopoli dan posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha dapat diindikasikan
dari penguasaan pangsa pasar bersangkutan dan atau terdapatnya hambatan masuk (entry
barrier) yang signifikan.
Penguasaan pangsa pasar menunjukkan proporsi kemampuan pelaku usaha terhadap
keseluruhan penjualan di pasar yang juga diisi pelaku usaha pesaing. Tingkat pangsa pasar
ditunjukan dalam angka persentase dan dapat dipakai untuk menentukan pedoman atau
menentukan standar keberhasilan pemasaran suatu perusahaan dalam membandingkan
kedudukannya dengan pesaing-pesaingnya dalam pasar bersangkutan.
Sampai sejauh mana suatu kemampuan suatu perusahaan menguasai persentase
dalam pasar (market share) dapat dikatakan merupakan penguasaan pasar dapat dilihat dari
beberapa unsur berikut, yaitu:
1. Pangsa pasar yang dominan sehingga menimbulkan dugaan munculnya kekuatan sebagai
monopolis. UU No. 5 1999 Pasal 25 ayat (2) memberikan definisi yang jelas mengenai
posisi dominan berdasarkan pada pangsa pasar, yaitu: apabila Pelaku usaha memiliki
posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a). satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu; atau b). dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
2. Kemampuan untuk memperpanjang penguasaan pasar yang dilakukan dengan
menetapkan harga di atas harga rata-rata pasar untuk jangka waktu yang relatife lama
dan penetapan harga tersebut tidak terganggu dengan munculnya pesaing baru ke pasar
bersangkutan.
Kegiatan penguasaan pasar sangat erat kaitannya dengan pemilikan posisi dominan
16
dan pangsa pasar yang signifikan (di atas 50%) di pasar bersangkutan. Penguasaan pasar
akan sulit dicapai apabila pelaku usaha, baik secara sendiri atau bersama-sama tidak
memiliki posisi pangsa pasar dengan nilai persentase yang tinggi di pasar bersangkutan.
Sebagai ilustrasi, sulit untuk dibayangkan pelaku usaha, baik secara sendiri maupun
bersama-sama yang mempunyai pangsa pasar hanya 10% (sepuluh persen) dapat
mempengaruhi pembentuan harga, atau produksi atau aspek lainnya di pasar bersangkutan.
Namun di sisi lain, satu pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar 50% (lima puluh persen)
di dalam pasar duapoli (hanya ada dua penjual) juga belum tentu secara individual mampu
menguasai pasar bersangkutan.
4.3.
Pengertian Menolak atau Menghalangi Pelaku Usaha Melakukan Kegiatan Usaha
Yang Sama Pada Pasar Bersangkutan
Perilaku penguasaan pasar pertama yang dilarang dalam UU No. 5 1999 terdapat
dalam huruf (a), yaitu: menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Terdapat beberapa hal yang
perlu diperjelas dalam perilaku tersebut. Pertama: siapa yang digolongkan sebagai pelaku
usaha tertentu? Kedua: tindakan seperti apa yang termasuk dalam ‘menolak dan/atau
menghalangi’?
Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha potensial (potential competitor) yang
merupakan calon/kandidat pesaing langsung dari pelaku usaha pemegang posisi monopoli
atau posisi dominan. Penentuan apakah pelaku usaha tertentu termasuk ke dalam
calon/kandidat pesaing langsung atau bukan, dapat dilakukan pada saat penentuan cakupan
pasar bersangkutan sesuai dengan Pedoman Pasar Bersangkutan.
Tindakan yang termasuk ke dalam ‘menolak dan/atau menghalangi’ adalah suatu
tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha (mandiri atau bersama-sama pelaku usaha lain)
yang telah ada di pasar bersangkutan (incumbent) baik secara langsung maupun tidak
langsung yang ditujukan kepada pelaku usaha tertentu yang berakibat pada meningkatnya
hambatan masuk yang dihadapi oleh pelaku usaha tertentu. Hambatan masuk yang
meningkat dapat berupa, namun tidak terbatas pada:
•
Tertutupnya akses masuk ke dalam pasar;
•
Biaya yang ditanggung pelaku usaha tertentu untuk masuk ke pasar meningkat;
•
Akses pelaku usaha tertentu ke pemasok (upstream) dan/atau konsumen
(downstream) menjadi terhambat.
Tindakan menolak dan/atau menghalangi dapat dilakukan secara langsung, yaitu pelaku
17
usaha tidak memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha yang berada di luar pasar
bersangkutannya, seperti pelaku usaha di hulu (upstream market) atau pelaku usaha di hilir
(downstream). Sementara tindakan menolak dan/atau menghalangi yang tidak dilakukan
secara langsung apabila tindakan tersebut memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha di
hulu (upstream market) atau pelaku usaha di hilir (downstream market).
Secara umum, tindakan menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dapat diilustrasikan di
Gambar 1.
Gambar 1
B
B
B
B
Pasar Bersangkutan
X
D
X
D
Pasar Bersangkutan
B
A
A
B
X
D
atau
atau
A
Pasar Bersangkutan
C
A
Pasar Bersangkutan
C
X
D
B
Keterangan
A = Pelaku Usaha Tertentu
B = Pelaku usaha lain di luar pasar bersangkutan
D = Pelaku Usaha Pesaing
C = Pelaku Usaha Lain di dalam pasar bersangkutan
K = Konsumen
X
Satu atau beberapa
Kegiatan bersama
4.4.
Kegiatan menolak atau
menghalangi
Pengertian Menolak atau Menghalangi Konsumen dan/atau Pelanggan Berhubungan
Dengan Pesaing
Perilaku penguasaan pasar kedua yang melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 terdapat
dalam huruf (b), yaitu: menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu. Perbedaan
18
utama antara perilaku penguasaan pasar huruf (a) dengan huruf (b) adalah pengertian pelaku
usaha tertentu dan pelaku usaha pesaing. Dalam Pasal 19 huruf (a), pelaku usaha menolak
dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama
pada pasar bersangkutan. Pelaku usaha tertentu yang dimaksud disini adalah pelaku usaha
pesaing potensial (potential competitor).
Sementara dalam huruf (b), pelaku usaha melakukan tindakan untuk menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya itu. Pelaku usaha pesaing yang dimaksud disini adalah
pelaku usaha nyata (existing competitor), yaitu pelaku usaha lain yang telah berada di
dalam pasar bersangkutan yang sama dengan pelaku usaha yang diduga melakukan
pelanggaran.
Tindakan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu dapat dilakukan
secara mandiri atau bersama-sama pelaku usaha lain di pasar bersangkutan yang sama, dan
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung diartikan sebagai
tindakan yang tidak memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha yang berada di luar pasar
bersangkutannya. Sedangkan secara langsung dimaksudkan sebagai tindakan yang
memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha yang berada di luar pasar bersangkutannya.
Tindakan yang termasuk ke dalam menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya
itu, diantaranya adalah:
•
Melakukan perjanjian tertutup (exclusive dealing) 4 dengan konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaingnya itu.
•
Melakukan kampanye negatif mengenai pelaku usaha pesaing yang ditujukan
kepada konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing tersebut.
Perilaku menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak berhubungan dengan pelaku usaha pesaingnya itu dapat diilustrasikan seperti pada
Gambar 2.
Gambar 2
4
Penjabaran lebih lanjut dari bentuk-bentuk perjanjian tertutup dapat dilihat pada Perkom …tentang Perjanjian
Tertutup
19
A
Pasar Bersangkutan
D
C
Pasar Bersangkutan
D
X
A
X
K
atau
atau
A
Pasar Bersangkutan
atau
atau
B
A
X
B
K
C
Pasar Bersangkutan
K
D
X
B
K
Keterangan
A = Pelaku Usaha Tertentu
B = Pelaku usaha lain di luar pasar bersangkutan
D = Pelaku Usaha Pesaing
C = Pelaku Usaha Lain di dalam pasar bersangkutan
K = Konsumen
X
Satu atau beberapa
Kegiatan bersama
4.5.
Kegiatan menolak atau
menghalangi
Pengertian Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan/atau Jasa di Pasar
Bersangkutan
Perilaku ketiga yang termasuk dalam penguasaan pasar yang melanggar UU No. 5
1999 terdapat dalam huruf (c), yaitu: membatasi peredaran dan/atau penjualan barang
dan/atau jasa pada pasar bersangkutan. Perilaku ketiga ini sesuai dengan konsep penguasaan
pasar sebagai bentuk dari praktek monopoli yang telah diungkapkan sebelumnya. Sebagai
pemilik posisi monopoli, maka pelaku usaha akan dapat mengendalikan harga melalui
pembatasan kuantitas di pasar. Perilaku membatasi peredaran dan/atau penjualan barang
dan/atau jasa pada pasar bersangkutan merupakan bentuk nyata dari monopolisasi pasar oleh
pelaku usaha.
Bagaimana tindakan membatasi peredaran dan/atau penjualan dapat digolongkan
sebagai penguasaan pasar? Penguasaan pasar dapat dilakukan ketika jumlah barang dan/atau
jasa di pasar dapat dikendalikan oleh pelaku usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan
membatasi jumlah barang dan/atau jasa milik pelaku usaha atau membatasi jumlah barang
20
dan/atau jasa milik pelaku usaha pesaing yang bertujuan agar pangsa pasar pelaku usaha
pesaing berkurang.
Untuk kategori pertama, membatasi jumlah barang dan/atau jasa milik pelaku usaha
dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama dengan pelaku usaha lain di pasar
bersangkutan yang sama. Jika dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain
maka perilaku ini termasuk ke dalam perilaku kartel seperti yang dinyatakan dalam Pasal 11
UU No. 5 1999.
Sedangkan dalam kategori kedua, barang dan/atau jasa yang dibatasi adalah milik
pelaku usaha pesaing yang ditujukan untuk mengurangi pangsa pasar pelaku usaha pesaing
tersebut, sehingga jumlah barang dan jasa yang ada di pasar bersangkutan dapat dikuasai
dan dikendalikan oleh pelaku usaha. Tindakan ini dapat dilakukan secara mandiri atau
bersama-sama dengan pelaku usaha lain di pasar bersangkutan yang sama. Jika dilakukan
secara bersama-sama maka tindakan ini termasuk ke dalam kegiatan bersekongkol seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 24 UU No. 5 1999.
Ilustrasi dari perilaku pembatasan peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa
pada pasar bersangkutan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3
A
Pembatasan peredaran dan
atau penjualan barang dan
atau jasa
C
Pembatasan peredaran
dan atau penjualan barang
dan atau jasa
A
Pasar Bersangkutan
Pasar Bersangkutan
atau
atau
B
A
Pembatasan peredaran dan
atau penjualan barang dan
atau jasa
atau
atau
A
B
Pasar Bersangkutan
C
Pembatasan peredaran
dan atau penjualan barang
dan atau jasa
Pasar Bersangkutan
21
Keterangan
A = Pelaku Usaha
B = Pelaku Usaha lain (di luar pasar bersangkutan )
C = Pelaku Usaha Lain (di dalam pasar bersangkutan)
K = Konsumen
= Kegiatan membatasi peredaran atau penjualan
barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan
= Kegiatan melakukan satu atau beberapa kegiatan baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain
4.6.
Pengertian Melakukan Praktek Diskriminasi Terhadap Pelaku Usaha Tertentu
Perilaku penguasaan pasar keempat yang melanggar UU UU No. 5 1999 terdapat
dalam huruf (f), yaitu: melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu 5.
Yang dimaksud dalam praktek diskriminasi adalah perlakuan berbeda yang
dilakukan terhadap pelaku usaha tertentu. Perlakuan berbeda tersebut dapat mengambil
berbagai macam bentuk, seperti perlakuan harga, perlakuan kuantitas, perlakuan pelayanan,
perlakuan syarat perdagangan dan perlakukan berbeda lainnya.
Secara umum, perlakuan diskiminasi dapat diilustrasikan dalam gambar 4.
Gambar 4
C D
A
X
X
B
A
B
C D
Keterangan :
A = Pelaku usaha
B = Pelaku usaha lain
C = Pelaku usaha lain
D = Pelaku usaha tertentu
Kegiatan melakukan satu atau
beberapa kegiatan baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain
X
Kegiatan diskriminasi
5
Praktek diskriminasi yang termasuk ke dalam pelanggaran pasal 19 huruf (d) telah diatur dalam Pedoman tersendiri
yaitu Perkom ....
22
4.7.
Dampak Kegiatan Penguasaan Pasar
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, secara konseptual kegiatan penguasaan
pasar adalah kegiatan monopolisasi, yaitu upaya untuk mempertahankan atau meningkatkan
posisi monopoli atau posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Dengan demikian dampak
dari kegiatan penguasaan pasar secara umum terlihat dari peningkatan posisi pelaku usaha di
pasar.
Secara khusus, beberapa dampak terhadap persaingan usaha yang bisa diakibatkan
oleh pelanggaran Pasal 19 UU No. 5 1999, antara lain meliputi dan tidak hanya terbatas
pada hal-hal tersebut :
a) Adanya pelaku usaha pesaing yang akan tersingkir atau tersingkir dari pasar
bersangkutan; atau
b) Adanya pelaku usaha pesaing yang tereduksi perannya (proporsinya menjadi semakin
kecil) dalam pasar bersangkutan; atau
c) Ada satu atau sekelompok pelaku usaha yang dapat memaksakan kehendaknya di pasar
bersangkutan; atau
d) Terciptanya hambatan persaingan berupa hambatan untuk masuk ke pasar bersangkutan
atau hambatan untuk mengembangkan pasar di pasar bersangkutan; atau
e) Berkurangnya persaingan usaha yang sehat di pasar bersangkutan; atau
f) Berkurangnya pilihan konsumen.
4.8.
Contoh Kasus
Beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan pelanggaran Pasal 19 yang telah
ditangani dan diputus oleh KPPU.
4.8.1. Kasus Menolak dan/atau Menghalangi Pelaku Usaha Tertentu untuk Melakukan
Kegiatan Usaha yang Sama pada Pasar Bersangkutan (Pasal 19 huruf (a))
Dalam rangka pelaksanaan program geser kompetitor dan mempertahankan kedudukan batu
baterai merk X di pasar bersangkutan, PT A, selaku distributor batu baterai merk X,
melakukan perjanjian dengan para grosir/semi grosir tradisional dimana dalam salah satu
ketentuannya menyebutkan bahwa grosir/semi grosir yang menjual batu baterai merk X
tidak boleh menjual batu baterai merk Y, yang merupakan pesaing batu baterai merk X. Bagi
grosir/semi grosir yang mengikuti program ini, PT A akan memberikan tambahan diskon
23
sebesar 2%. Akibatnya, banyak grosir/semi grosir yang tertarik dengan program ini,
sehingga batu baterai merk Y mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan.
Bentuk perjanjian ini telah menagakibatkan terhambatnya penjualan/peredaran batu baterai
merk Y di pasar distribusi batu baterai di level grosir/semigrosir tradisional. Contoh
kasus ini melanggar Pasal 19 huruf (a).
4.8.2. Kasus Menghalangi Konsumen atau Pelanggan Pelaku Usaha Pesaingnya untuk
Tidak Melakukan Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha Pesaing (Pasal 19 huruf (b))
Sebuah perusahaan operator terminal peti kemas PT X menghalangi konsumennya untuk
tidak menggunakan terminal peti kemas milik pesaingnya PT Y. Penghalangan dilakukan
melalui tindakan pengiriman surat oleh PT X kepada perusahaan kapal selaku konsumen
layanan peti kemas untuk tidak melakukan bongkar muat di terminal milik pesaingnya (PT
Y). Bila dilanggar maka konsumen tersebut diancam tidak diperbolehkan menggunakan
terminal peti kemas yang dikelola PT X. Perusahaan operator terminal peti kemas PT X
merupakan perusahaan terbesar pada pasar jasa layanan peti kemas di pelabuhan
bersangkutan. Contoh kasus ini bertentangan dengan Pasal 19 huruf (b).
4.8.3. Kasus Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan atau Jasa pada
Pasar Bersangkutan (Pasal 19 huruf (c))
Beberapa perusahaan pelayaran yang saling bersaing melayani satu jalur pelayaran
melakukan perjanjian (kartel) penetapan harga dan kuota bongkar muat peti kemas untuk
masing-masing perusahaan. Perjanjian ini bertujuan untuk mempertahankan penguasaan
pasar oleh kartel tersebut di pasar bersangkutan. Untuk menjalankan perjanjian dibuat suatu
mekanisme hukuman, berupa denda bagi perusahaan yang melanggar. Penetapan harga dan
kuota bongkar muat ini jelas-jelas membatasi penjualan jasa layanan bongkar muat peti
kemas di pelabuhan di pasar jalur pelayaran bersangkutan. Contoh kasus ini merupakan
pelanggaran atas Pasal 19 huruf (c).
4.8.4. Kasus Melakukan Praktek Diskriminasi terhadap Pelaku Usaha Tertentu (Pasal
19 huruf (d))
PT X melakukan penunjukan langsung kepada PT Y tanpa melalui proses tender guna
melakukan pengembangan sistem e-reporting dan monitoring yang disertai pemberian hak
24
eksklusif sebagai satu-satunya penyelenggara sistem e-reporting dan monitoring di tempat
PT X dan memungut biaya aplikasinya kepada perusahaan yang menggunakannya.
Kebijakan PT X tersebut dianggap telah mendiskriminasi pelaku usaha jasa penyelenggara
sistem e-reporting lainnya dengan memperlakukan PT Y secara istimewa. Contoh kasus ini
melanggar Pasal 19 huruf (d).
4.8.5. Kasus Pasal 19 huruf (a) dan (b)
PT A adalah perusahaan telekomunikasi incumbent yang terintegrasi, yang memiliki
jaringan tetap (fixed line) dan memberikan layanan sambungan langsung internasional (SLI).
Sedangkan PT Y adalah pesaing PT A dalam pemberian jasa layanan SLI. Untuk
memberikan layanan SLI dibutuhkan jaringan tetap (fixed line) yang hanya dipunyai PT A.
Melalui keunggulannya selaku pemilik fasilitas esensial berupa jaringan tetap, PT A
berusaha menghambat atau membatasi layanan SLI pesaingnya PT Y dengan melakukan
pengalihan sambungan di pasar layanan SLI. Contoh kasus ini bertentangan dengan Pasal
19 huruf (a) dan (b).
BAB V
ATURAN SANKSI
25
Sesuai dengan UU No. 5/1999, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 berupa:
Tindakan Administratif (Pasal 47 UU No. 5/1999)
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan/atau
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14; dan/atau
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan
praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan
masyarakat; dan/atau
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
dan/atau
e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan/atau
f. Penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Pidana Pokok (Pasal 48 UU No. 5/1999)
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp
25.000.000.000,00
(dua puluh
lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya
Rp
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
26
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendahrendahnya
Rp
1.000.000.000,00
(satu
miliar
rupiah)
dan
setinggi-tingginya
Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3
(tiga) bulan.
Pidana Tambahan (Pasal 49 UU No. 5/1999)
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
Pencabutan izin usaha; atau
b.
Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undangundang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada
pihak lain.
BAB VI
PENUTUP
27
Penguasaan pasar yang dilakukan melalui upaya menolak atau menghalangi pelaku usaha
melakukan kegiatan usaha; menolak atau menghalangi konsumen dan atau pelanggan berhubungan
dengan pesaing; membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan atau jasa di pasar
bersangkutan dan melakukan praktek diskriminasi, sesuai dengan ketentuan kegiatan yang dilarang
berdasarkan Pasal 19 UU No. 5/1999 dinilai dapat menghambat persaingan usaha.
Pedoman ini akan memperjelas apa yang dimaksud dengan tindakan-tindakan penguasaan
pasar secara lebih spesifik sehingga pelaku usaha dapat mempergunakan pedoman ini sebagai upaya
penyempurnaan mekanisme pasar yang sempurna, pasar yang bersaing secara sehat.
Pedoman ini tidak tertutup kemungkinan untuk selalu disempurnakan.
28
Download