Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak; Tanggung Jawab yang lahir dalam suatu Surat Kuasa; Lembaga Arbitrase sebagai Pilihan forum dalam sengketa; Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan; Sifat delik dalam Pencurian Aliran Listrik. Kedudukan Perseroan Terbatas sebagai badan usaha; Volume 9, No.1 Nop 2009 Volume 9, No.1, Nop 2009 ISSN 1412-2928 i JURNAL “YUSTITIA” Pimpinan Umum/Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura Pimpinan Redaksi Muhammad, S.H.,MH. Wakil Pimpinan Redaksi Achmad Rifai, S.H., M.Hum. M.Amin Rachman, S.H., MH. Sekretaris Redaksi Sri Sulastri, S.H.,M.Hum. Konsultan Redaksi Drs. H. Kutwa, M.Pd. Drs. H. Abd. Roziq, MH. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum. Redaksi Pelaksana H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum. Win Yuliwardani, S.H.,M.Hum. Adrianana Pakendek, S.H., MH. Anni Puji Astutik, S.H., MH. Pembantu Umum Wasilaning Rahayu Toyyib Muniri Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan E-mail: [email protected] Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang. ii Volume 9, No.1, Nop 2009 EDITORIAL Pada dasarnya suatu kontrak keabsahannya tidaklah terletak pada saat penanda-tanganan kontrak itu sendiri. Melainkan, suatu kontrak adalah sah di samping telah memenuhi syarat sahnya perjanjian juga tidak dibuat atas dasar dwang, dwaling, dan bedrog. Demikian juga dengan pemberian kuasa yang dituangkan dalam suatu surat kuasa harus dibuat atas dasar pemenuhan syarat sahnya perjanjian. Ketika suatu sengketa timbul di bidang perdagangan, maka para pihak an sich dapat menyelesaikan persengketaannya dengan cara memilih cara letigasi atau non letigasi. Namun dalam praktik, yang lebih menguntungkan dari segi waktu, tenaga dan biaya adalah pilihan lembaga arbitrase. Mengingat lembaga ini dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya hanya diberikan waktu hari saja sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada tulisan ke empat, disajikan tentang penerapan Hak Tanggungan yang dijadikan pilihan oleh debitor dan kreditor dalam perjanjian kredit. Hak Tanggungan tiada lain hak kebendaan yang keberadaannya tidak jauh berbeda dengan hipotik yang sebelumnya telah diberlakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan. Tulisan ke lima adalah tentang tindak pidana pencurian aliran listrik, di mana bilamana kerugian yang timbul dalam pencurian aliran listrik itu diganti dengan uang, maka pemberian ganti kerugian tersebut tidak mempengaruhi proses penyidikan atas perkara dimaksud. Sedangkan pada tulisan ke enam diuraikan tentang keberadaan Perseroan Terbatas sebagai bentuk badan usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan subyek hukum. Sehingga konsekuensinya akan melahirkan tanggungjawab perdata atas diri badan hukulm tersebut, artinya terhadap kepentingan hukum yang timbul dalam kaitannya dengan Perseroan Tersebut dimaksud menjadi tanggung jawab dari Perseroan Terbatas itu sendiri artinya pada diri pengurus tidak terbebani tanggungjawab perdata. Editor Volume 9, No.1, Nop 2009 iii DAFTAR ISI EDITORIAL …………………………………………………… 1. Sukirman, S.H.,M.Hum. Pembatasan Kebebasan Berkontrak …………………………………… ii 1 2. H. Firman Sjah, S.H.M.Hum. Wanprestasi Pemegang Kuasa Dalam Perjanjian Pemberian Kuasa ………. 17 3. Sri Sulastri, S.H., M.Hum. Penyelesaian Sengketa Kontrak Joint Venture melalui Forum Arbitrase .. 37 4. H.Akh. Munif S.H., M.Hum. Pelaksanaan Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No. 4 /1996 49 5. Nur Hidayat, S.H.,M.Hum. Sifat Delik Dalam Pencurian Aliran Listrik ……………………………… 76 6. M.Amin Rachman, S.H.,MH. Kepailitan Perusahaan dan Tanggungjawab Direksi menurut UundangUndang No.1/1995 ……………………………………………………..… 101 iv Volume 9, No.1, Nop 2009 PEMBATASAN KEBEBASAN BERKONTAK Oleh: Sukirman, S.H.,M.Hum.* Abstrak Kebebasan berkontrak selalu (harus) melandasi setiap kontrak yang akan dibuat oleh para pihak, baik dalam forum nasional dengan dasar pasal 1338 ayat 1 BW, maupun dalam kontrak internasional yang mengacu pada azas “pacta sunt servanda”. Kebebasan berkontrak dimaksud memberikan hak kepada para pihak yang akan mengikatkan dirinya dalam suatu kontrak untuk memilih bentuk kontrak dan menentukan isi kontraknya. Kendati demikian, hendaknya para pihak dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian tidaklah bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum serta penyalah-gunaan keadaan. Kata kunci: Kebebasan Berkontrak – Pembatasan. LATAR BELAKANG Sistem hukum di Indonesia yang dipengaruhi Belanda adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Eropa atau romawi Jerman. Sedangkan sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi Kuno yang dikembangkan di Eropa oleh negara-negara Prancis, Spayol, Portugis dan lain-lain.1 Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan bersumber dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum Civil Law. 2 Di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law dikenal azas kebebasan berkontrak, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk Wetboek). *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan. 1 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, h.15 2 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.209 1 Volume 9, No.1, Nop 2009 v Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata “perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”.3 Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan (verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab sebagainya. Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian, sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan perikatan” atau “kebebasan perhutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum perjanjian” dan “hukum kontrak”. “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.”4 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”5 Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua 3 Subekti. R., Aneka Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985.h.5 4 Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55 5 Subekti. R., Pokok Pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa, Jakarta, 1985, h.123. vi Volume 9, No.1, Nop 2009 orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.6 Sedangkan Hukum kontrak didefinisikan sebagai “an agreement made between two or more parties, whereby legal rights and obligations are created which the law will enforce”. 7 Dengan demikian kontrak adalah merupakan persetujuan yang telah dibuat oleh dua pihak atau lebih guna melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Istilah kontrak dalam wacana hukum kontrak merupakan kesepadanan dari istilah “contract” dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama ada, dan bukan merupakan istilah yang asing. Misalnya dalam hukum kita sudah lama dikenal istilah “kebebasan berkontrak”, bukan “kebebasan berperjanjian”, bukan pula “kebebasan berperutangan” ataupun “kebebasan berperikatan”. Sebelumnya hukum kontrak dikonotasikan sebagai perjanjian atau persetujuan yang tertulis.8 Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian tertulis semata. Sehingga orang sering menanyakan “mana kontraknya”, yang melahirkan suatu paham bahwa kontrak adalah perjanjian yang bersifat tertulis. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum perikatan disebut juga dengan hukum perutangan. Sedangkan hukum perjanjian adalah sama dengan hukum persetujuan, adapun hukum kontrak adalah merupakan bagian dari hukum perjanjian. Hal ini dikarenakan hukum kontrak adalah merupakan perjanjian yang khusus dibuat secara tertulis. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjianperjanjian dalam dunia bisnis semata dengan kewajiban prestasi dilakukan oleh kedua belah pihak. Sehingga untuk perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh salah satu pihak tidak dapat disebut kontrak, misalnya hibah ataupun warisan, tidak dapat disebut kontrak hibah atau kontrak warisan. Hukum kita dalam hal ini BW, memberikan rumusan pengertian kontrak adalah sama dengan perjanjian.9 Di mana pasal 1313 BW mendefinisikan bahwa kontrak adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 6 Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. III), Cet.VI, Intermasa, Jakarta, 7 Clive Turner, Australian Commercial Law, XXth Ed., The Law Book Company Limited, Sydney, 1979, h.1. 1995, h.53. 8 Subekti, R.III, Op.Cit., h.1 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.4. Volume 9, No.1, Nop 2009 vii 9 Dengan demikian “contract” dalam kata benda adalah perjanjian, dan dalam kata kerja adalah mengadakan perjanjian.10 Sebagaimana contract dalam Kamus Hukum diterjemahkan sebagai verbintenis, adapun verbintenis itu sendiri adalah perjanjian yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.11 Dalam berkontrak dikenal azas kebebasan berkontrak sebagaimana tertuang dalam pasal 1338 (1) BW, azas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undangundang. Karenanya azas kebebasan berkontrak ini dikenal juga dengan sebutan sistem terbuka.12 Dengan dicantumkannya ajaran “misbruik van omstandigheden” (penyalahgunaan keadaan) ke dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek dapat disimpulkan bahwa Hukum Perjanjian (verbintenissen recht) atau Hukum Kontrak telah mengalami perkembangan yang sangat penting dan diramalkan akan mendapat tanggapan (respons) yang baik di Indonesia. Praktek peradilan di Indonesia sebenarnya telah juga menerapkan ajaran “misbruik van omstandigheden” ini, meskipun hal itu masih sangat terbatas. Berkaitan dengan perkembangan di bidang Hukum Kontrak itu, penulis akan membatasi permasalahannya hanya menyangkut bentuk perjanjian kredit (hutang piutang) yang berlaku di kalangan perbankan. Hal inipun ditujukan untuk membuktikan secara tegas bahwa azas kebebasan berkontrak tidak hanya dibatasi oleh larangan agar tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, melainkan setiap kontrak yang dibuat juga agar tidak melanggar ajaran “misbruik van omstandigheden”. Ciri-ciri suatu kehidupan masyarakat modern ditandai dengan adanya kecenderungan mendapatkan pelayanan jasa yang bersifat praktis, efisiensi dan efektif. Sejalan dengan cerminan kehidupan modern itu, pelaksanaan pelayanan kredit oleh pihak bank telah dilengkapi berbagai bentuk perjanjian yang dapat disebut kontrak baku. Adapun kontrak baku isinya telah dicetak dalam bentuk formulir, dengan tujuan agar pembuatan atau penutupan perjanjian kredit bank bisa dilaksanakan dengan cepat dan efisien. Tujuan utama dengan penyediaan bentuk kontrak baku dalam perjanjian kredit itu adalah untuk lebih memberikan jaminan kepastian bahwa pihak debitur dapat mengembalikan pinjaman kredit sesuai dengan perjanjian yang mereka buat dan telah disetujui. Wojowasito. S., Kamus Umum Lengkap Inggeris – Indonesia Indonesia – Inggeris,Cet.X, Pengarang, Bandung, 2000, h.71. 11 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Aneka, Semarang, 1977, h.284. 12 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84. viii Volume 9, No.1, Nop 2009 10 RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah jika diartikan secara umum adalah sebagai pertanyaan yang memerlukan pemecahan atau sebagai celah antara keadaan yang ingin dicapai dan keadaan yang sebenarnya. Atas dasar uraian singkat di atas, maka pembahasan dalam tulisan ini mendasarkan pada permsalahan-permasalahan yang dapat saya rumuskan sebagai berikut: a. Apa makna kebebasan berkontrak? b. Adakah pembatasan kebebasan berkontrak? KEBEBASAN BERKONTRAK a. Kebebasan dalam Menentukan Bentuk Kontrak Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia). Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang bersifat imperatif dari pemahaman prinsip equality before the law, hal ini harus selalu menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada dua kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu pemenuhan prestasi. Acapkali dalam kebebasan berkontrak yang notabene dilandasari semangat liberalisme yang mengagungkan individu, juga dipengaruhi semboyan dalam revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”13 dengan akibat memberi peluang kepada golongan ekonomi kuat untuk menekan dan mengalahkan golongan ekonomi lemah. Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan 20 Agus Yuda Hernoko, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum, Karya Abdi Tama, Surabaya, 2000, h.99. Volume 9, No.1, Nop 2009 ix saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah akta. Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah ditetunkan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak telebih dahulu menyepakati isi kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak, dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang diperbolehkan. Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum. Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak. Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum, maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Hal ini bersesuaian dengan azas cogitationis poenam nemo patitut, yaitu bahwa tiada seorangpun yang dapat dihukum hanya karena apa yang difikirkan atau dibatinnya.14 Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak dipernuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut batal demi hukum (nietig).15 Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam 14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.12 15 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65. x Volume 9, No.1, Nop 2009 suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu, yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW. Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.16 Artinya, tidak ada suatu kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok yang menentukan lahirnya perjanjian. Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima oleh pihak lainnya dalam kontrak. Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki. Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut. Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak. Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya. 17 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur. 16 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian buku I, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.165. 17 Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3 Volume 9, No.1, Nop 2009 xi Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan. b. Kebebasan dalam Menentukan Isi Kontrak Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract), sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1 tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut: Bagian dari kontrak yang esensial Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada. Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli. Bagian dari kontrak yang natural Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya aturan yang bersifat mengatur saja. Bagian dari kontrak yang aksidental Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract).18 Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan xii 18 Munir Fuady, Op.Cit., 28. Volume 9, No.1, Nop 2009 sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja.19 Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya kontrak sewa beli. Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW. 2. Pembatasan Kebebasan Berkontrak Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa dalam kontrak.20 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan yang bersumber pada kebebasan berkontrak. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke dalam bahsa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum” yang dipergunakan dalam suatu kontrak. Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi 19 Yohanes Sogar Simamora, Catatan Kuliah Hukum Kontrak (selanjutnya disingkat Yohanes Sogar Simamora II), Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Narotama, Surabaya, 2001. tgl. 02 Juni 2001. 20 Hasanuddin Rahman, Seri Keteerampilan Mahasiswa Fakultas Hukum dalam Merancang Kontrak Perorangan/Bisnis Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.133 Volume 9, No.1, Nop 2009 xiii yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu. Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan, maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja. Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum. Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.21 Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku ini adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan perjanjian baku ini juga disinyalir oleh beberapa ahli. Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu dwangkontract, karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian baku akan melahirkan legio particuliere wetgevers.22 Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal 1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.23 Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan, baik dengan azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan. Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan. 21 Ibid., h.134 Ibid, h.135. Subekti R.III, Op.cit., h.14-15. Volume 9, No.1, Nop 2009 22 23 xiv Kontrak baku biasanya merupakan perjanjian baku di mana kontrak-kontrak itu telah dipersiapkan secara baku dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak baku ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak. Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara baku.24 Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya menurut pasal 1320 BW. Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing.25 Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan perjanjian baku seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian baku dan berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank. Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur.26 Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan mencantumkan syarat-syarat antara lain: a. Maksimum/limit fasilitas kredit. b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit. c. Bentuk pinjaman. d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas. 24 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 25 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62. 26 Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, h.80. Volume 9, No.1, Nop 2009 xv e. Suku bunga. f. Bea meterai kredit yang harus dibayar. g. Provisi kredit commitment fee management fee. h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan cara pengikatannya. i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan. j. Sanksi-sanksi seperti: denda terlambat pembayaran bunga denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan denda atas overdraft sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian kredit. k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan pribadi/borgtocht dan lain-lain). l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan fasilitas kredit. m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.27 Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa terjepit atau kepepet. Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya. Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW. Kontrak baku atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank. Di mana perjanjian demikian menurut xvi 27 Ibid. Volume 9, No.1, Nop 2009 pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen dapat dibatalkan. Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak baku tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan harus diikuti oleh debitur. Kontrak baku ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar menawar. Bentuk kontrak baku di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan pembatalannya. Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam kontrak tersebut terdapat: a. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman; b. suatu hal yang nyata (kenbaarheid) disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian; c. penyalahgunaan (misbruik) salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya; d. hubungan kausal (causaal verband) Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian itu tidak akan ditutup.28 Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1321 BW yang berupa: kesesatan (dwaling); paksaan (dwang); penipuan (bedrog). Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri. Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Van Dunné.29 28 Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41 Ibid., h.43 Volume 9, No.1, Nop 2009 29 xvii Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri dari: (a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.30 Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan perjanjian. Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.31 Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk: a. berlakunya itikad baik secara terbatas; b. penjelasan normatif dari perbuatan hukum; c. pembatasan berlakunya persyaratan baku; d. penyalahgunaan hak.32 Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338 ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan dasar itikad baik guna membeli tanah itu. Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi kontrak itu. 30 Ibid., h.44 Ibid. ibid., h.64-67. xviiiVolume 9, No.1, Nop 2009 31 32 Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.33 Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas dapat dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut. Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu harus merupakan kerugian dalam arti obyektif. Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik van omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak dibenarkan untuk membatalkan perjanjian. KESIMPULAN Dari uraian pembahasan atas kedua permasalahan yang dirumuskan dalam bab I tersebut, maka dapatlah kini disimpulkan: a. Azas kebebasan berkontrak mengandung makna, bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan bentuk kontrak yang akan dibuat, baik secara lisan ataupun dalam bentuk sebuah akta (tertulis). Sedangkan jika dibuat secara tertulis atau sebuah akta, mereka dapat memilih secara bebas untuk menuangkan isinya dalam akta otentik atau di bawah tangan; Di samping itu, para pihak juga diberikan kebebasan untuk menentukan isi dari kontrak yang akan dibuat, apakah akan berisi perjanjian bernama, perjanjian tidak bernama atau perjanjian campuran; Segala kebebasan dalam berkontrak tersebut yang notabene didasarkan pada azas kebebasan berkontrak, ternyata tidak demikian saja diberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Artinya para pihak agar dalam membuat perjanjian atau kontrak tersebut harus selalu mengindahkan dan tidak bertentangan serta 33 Hardijan Rusli, Op.Cit., h.170 Volume 9, No.1, Nop 2009 xix b. tidak melanggar perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, juga tidak dibenarkan kontrak itu mengandung unsur penyalahgunaan keadaan; Kontrak baku tiada lain adalah merupakan perjanjian adhesi, jika isi kontrak telah ditentukan secara sepihak oleh kreditur, dengan tanpa diberikan hak tawar kepada debitur, karenanya kontrak demikian lebih merupakan dwang contract. Adapun dasar pertimbangan yang dapat dijadikan rujukan sehingga memperoleh kesimpulan bahwa kontrak baku adalah dwang contract, dikarenakan pihak debitur hanya mempunyai dua pilihan atas kontrak tersebut yaitu menerima atau menolak. Sementara debitur sangat membutuhkan keberhasilan/disetujuinya kontrak itu oleh kreditur, karenanya kontrak baku tersebut telah mengandung unsur penyalahgunaan keadaan secara ekonomi, yang secara yuridis dapat dimintakan pembatalan atas keabsahan dari kontrak tersebut. Dengan dasar pertimbangan pada kontrak demikian telah mengandung cacat kehendak. SARAN a. b. xx Oleh karena setiap kontrak tidak selalu dapat terbebas dari kemungkinan terjadinya wanprestasi atau salah satu pihak, maka adalah sangat bijaksana jika penempelan meterai serta keikut-sertaan saksi-saksi dijadikan sebagai syarat tambahan dalam tiap-tiap pembuatan suatu kontrak di bawah tangan. Hal ini didasarkan pada fakta, bahwa kendati suatu kontrak telah sah jika telah memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW, namun jika suatu kontrak telah diperkarakan keberadaannya sebagai tidak sah, maka siapa dan apa yang dapat dilakuan untuk menguatkan dan membenarkan kontrak tersebut. Secara ekstrim dapat disarankan, oleh karena civil law system membedakan kekuatan hukum atas kontrak yang dituangkan secara otentik dan di bawah tangan, maka ada baiknya jika kontrak itu selalu dituangkan dalam bentuk akta otentik. Hal ini merupakan ciri khas dari civil law system dari common law system. Sudah saatnya dibuatkan ketentuan yang dapat mengikat secara imperatif terhadap kontrak baku yang dibuat dengan bertentangan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum serta mengandung penyalahgunaan keadaan, guna dibatasi agar tidak lagi kreditur dapat secara sewenang-wenang membuat dan menentukan isi kontrak dengan tanpa persetujuan debitur, misalnya melalui surat-surat edaran yang dikeluarkan langsung oleh Menteri Keuangan. Volume 9, No.1, Nop 2009 WANPRESTASI PEMEGANG KUASA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA Oleh: H. Firman Sjah, S.H.M.Hum.* ABSTRAK Perjanjian Pemberian Kuasa tiada lain adalah merupakan perjanjian pada umumnya, namun dalam penerapan pemberian kuasa hanya didasari oleh surat kuasa yang ditanda-tangani oleh pihak pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa. Bentuk perbuatan hukum demikian seolah tidak mengatur tentang hak dan kewajiban diantara keduanya. Untuk itu dalam tulisan ini akan diperjelas tentang sejauh mana tanggung gugat para pihak dalam perjanjian pemberian kuasan. Kata Kunci: Perjanjian Pemberian Kuasa – Wanprestasi Pemegang Kuasa. LATAR BELAKANG Dalam hubungan ini para ahli sosiologi yang menaruh minat dan perhatian pada bidang hukum mengatakan bahwa hukum itu tidak hanya dilihat sebagai seperangkat peraturan yang bersifat statis, tetapi hukum yang menentukan hubunganhubungan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat dapat dilihat juga sebagai suatu proses sosial, karena sebelum hubungan-hubungan itu mempunyai bentuk yang sesuai dengan nilai sosial didalam masyarakat.34 Adanya anggota-anggota masyarakat yang saling bertemu dalam rangka mengadakan hubungan yang secara timbal balik dalam berbagai segi kehidupan masyarakat, maka hubungan ini melahirkan suatu kerjasama yang terjalin sesama anggota masyarakat, dan ini merupakan suatu hal yang sukar untuk dikesampingkan dalam kehidupan, karena masalah kerjasama ini amat diperlukan bilamana seseorang tidak mampu melaksanakan suatu perbuatan hukum sebagaimana yang dikehendaki aturan hukum, misalnya pelaksanaan perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang lain dengan pemberian kuasa. Pemberian kuasa menurut pasal 1792 KUHPerdata, disebutkan bahwa pemberian kuasa adalah perjanjian dimana seseorang memberi kekuasaan (kewenangan) kepada orang lain yang menerimanya untuk dan atas nama pemberi kuasa melakukan *Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan. 34 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XXX, Raja Granfindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 191. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxi perbuatan hukum (undang-undang mengatakan “melaksanakan suatu urusan”).35 Dengan adanya rumusan pasal tersebut tersimpul bahwa untuk melaksanakan suatu perbuatan tersebut, pada dasarnya terdapat dua pihak yang saling berhadapan yakni pihak pemberi kuasa sebagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan pihak yang diberi kuasa atau pemegang kuasa yang berkedudukan sebagai wakil yang menyelenggarakan kepentingan itu. Pihak yang diberi kuasa ini mempunyai peranan dan memiliki kekuasaan dalam menyelenggarakan urusan yang dilimpahkan kepadanya.36 Peranan pemegang kuasa yang dimaksud adalah menjalankan tugasnya dengan kewajiban mengurus kepentingan sebagaimana yang dilimpahkan, sedangkan kekuasaan merupakan pelimpahan wewenang yang didalamnya menyangkut tanggungjawab terhadap pemberian kuasa itu. Dengan demikian tanggung jawab pemegang kuasa menjadi suatu masalah yang harus benar-benar diperhatikan didalam pemberian kuasa, karena masalah tanggung jawab ini sebagai konsekuensi dari penerimaan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan pihak pemberi kuasa, tetapi agaknya tanggung jawab sering diabaikan dalam penyelenggaraan suatu urusan bahkan jarang dibicarakan oleh pemberi kuasa dan pemegang kuasa dalam menentukan sejauh mana batas-batas pertanggungjawaban, bilamana terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan pihak pemegang kuasa tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai wakil dari pemberi kuasa itu. Persoalan yang berkisar pada batas-batas pertanggungjawaban didalam penyelenggaraan suatu kepentingan atas nama pemberi kuasa disertai hak substitusinya, maksudnya dari hak substitusi adalah si pemegang kuasa yang diberikan wewenang itu dapat menunjukkan orang lain untuk melakukan tugasnya, hak substitusi ini didalam KUH Perdata membenarkan adanya si pemegang kuasa boleh menunjuk pihak lain untuk menggantikan kedudukannya sebagai kuasa, tetapi si pemegang kuasa bertanggung jawab atas segala kesalahan yang dilakukan oleh orang lain yang ditunjuk itu. Penunjukan orang lain atau pihak lain membuktikan bahwa masalah pertanggung jawaban didalam pemberian kuasa cukup penting untuk diperhatikan khusus dalam pemberian kuasa bagi pihak yang diberi kuasa atau si pemegang kuasa, sebab kesalahan-kesalahan yang timbul akibat kelalaian baik oleh si pemegang kuasa sendiri maupun orang yang ditunjuk, tetap dipersoalkan tanggung jawab menurut ketentuan peraturan perundang-undangan walaupun dalam pemberian kuasa tidak disebutkan mengenai perihal boleh atau tidaknya menunjuk orang lain. Dalam praktek misalnya pemegang kuasa khusus maupun umum jika bertindak melampaui batas-batas kewenangannya, maka konsekuensinya bagi pihak Pemberi kuasa dapat mengajukan tuntutan untuk menggugat ganti kerugian maupun 35 Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. II, Tarsito, Bandung 1991, hal. 99. 36 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet. VII, Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h. 152. xxiiVolume 9, No.1, Nop 2009 pembatalan persetujuan perjanjian di dalam pemberian kuasa itu, dalam hal ini agaknya masalah pertanggungjawaban pihak pemegang kuasa ini telah menjadi bagian penting untuk ditelusuri lebih jauh baik penelitiannya dilakukan secara teoritis maupun melalui studi empiris di lapangan, sehingga refleksi suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam masyarakat dapat diketahui dengan jelas efektifitasnya. Dalam pasal 1797 KUHPerdata dirumuskan bahwa si kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui kekuasaannya yaitu yang diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan perdamaian, sekali-kali tidak mengandung kekuasaan untuk menyerahkan perkaranya kepada putusan wasit.37 RUMUSAN MASALAH Penulis memilih judul tersebut diatas dikarenakan akhir-akhir ini banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yaitu seringnya dijumpai adanya perjanjian pemberian kuasa. Urusan pemberian kuasa sebagaimana tertuang dalam perjanjian pemberian kuasa dari orang yang satu pada orang yang lainnya. Jika ditelaah lebih jauh terhadap kewajiban pemegang kuasa, sebenarnya pihak pemegang kuasa mengimformasikan tentang apa-apa yang telah diperbuat selama menjalankan kuasanya, pemegang kuasa dengan lengkap menyampaikan semua perbuatan-perbuatan yang sudah sejauh mana dicapainya, sehingga laporan ini setidaktidaknya memberi gambaran awal dari pelimpahan wewenang kepada pemegang kuasa, oleh karena bentuk laporan ini boleh disebut laporan yang hanya berisi pokok-pokok masalah yang telah dicapainya. Adapun kewajiban lain bagi seorang pemegang kuasa adalah memberikan laporan bahwa pemegang kuasa telah menjalankan kekuasaannya sebagaimana yang dikehendakinya, dan sebagaimana suatu bukti yang menandakan pemegang kuasa telah memenuhi kewajiban yang ada pada dirinya, tetapi semua ini terlepas dari apakah laporan itu benar-benar merupakan laporan sebagai yang bertindak dalam kedudukannya mewakili pihak lain atau laporan itu hanya laporan bersifat fiktif, artinya laporan yang diberikan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya yang dihadapi. Kewajiban lain dari pemegang kuasa juga menyangkut tanggung jawabnya terhadap penunjukan pihak lain sebagai pengganti dirinya, ini lazimnya dikenal sebagai hak substitusi yaitu si pemegang kuasa diperkenankan untuk menunjuk orang lain untuk melakukan kuasanya, dan kalau orang yang ditunjuk itu ternyata tidak mampu melaksanakan kuasa yang disubstitusikan itu maka dengan sendirinya ia harus bertanggung jawab penuh atas kesalahannya itu. Akibat dari hak Substitusi ini adalah bahwa antara si kuasa dan orang yang ditunjuk itu ada persetujuan pemberian kuasa baru, hanya dapat dipersalahkan apakah ada hubungan hukum langsung antara si Pemberi kuasa dengan orang yang ditunjuk itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah yang bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah adalah sebagai berikut : 37 Subekti , Aneka Perjanjian (selanjutnya disingkat Subekti I), Cet. Ke X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, h. 144. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxiii 1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemberian kuasa? 2. Bagaimanakah Tanggung Jawab Pemegang Kuasa apabila terjadi Wanprestasi ? PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA BESERTA AKIBAT HUKUMNYA 1. Hak dan Kewajiban Pemegang Kuasa Dengan dilimpahkannya wewenang kepada pihak yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan bagi kepentingan pihak pemberi kuasa,38 maka pelimpahan wewenang ini juga didalamnya terkandung kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau dipenuhi, walaupun kewajiban-kewajiban ini tidak tersurat atau disebutkan dengan jelas dalam pemberian kuasa. Dalam hubungan ini, rumusan KUHPerdata mengisyaratkan ada beberapa kewajiban yang disebabkan kepada pihak pemegang kuasa didalam menyelenggarakan urusan yang dikuasakan. Kewajiban-kewajiban ini adalah merupakan bagian penting yang tidak dapat terelakan atau dikesampingkan begitu saja, tapi harus dipahami dan diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pemberi kuasa, terutama pihak pemegang kuasa itu sendiri. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain : si kuasa diwajibkan selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang sudah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi kuasa meninggal, jika dengan tidak segera menyelesaikannya dapat timbul suatu kerugian (pasal 1800).39 Masih dalam kaitan dengan kewajiban-kewajiban pihak pemegang kuasa, bahwa si kuasa juga bertanggung jawab atas kelalaian dalam menjalankan tugasnya, yaitu apabila ia kurang waspada seperti yang dapat diharapkan dari padanya. Pertanggungan jawab ini dapat diperlunak, apabila si kuasa tidak mendapat upah.40 Kewajiban untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja jelas tidak dapat dipungkiri, dan perbuatan lain yang berupa kelalaian dalam menjalankan kuasanya, sehingga dengan demikian tercermin bahwa kewajiban seorang pemegang kuasa dengan pertanggung jawabannya menjadi amat penting dalam lalu lintas hubungan hukum. Jadi antara pembuatan yang dilakukan dengan sengaja dan adanya kelalaian, maka keduanya tidak luput dari jangkauan pasal tersebut diatas, kecuali dalam realitas bahwa praktek pemberian kuasa itu dilakukan dengan cuma-cuma, tetapi dapat diamati bahwa praktek pemberian kuasa dewasa ini menunjukkan lebih banyak memberikan upah. 38 Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 155. Subekti I, Op.Cit., h.146 Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit. xxivVolume 9, No.1, Nop 2009 39 40 Kewajiban lain bagi pemegang kuasa, adalah memberikan laporan,41 maksud dari pada laporan ini menunjukkan bahwa ia telah menjalankan kuasanya sebagaimana yang dikehendaki dan sebagai suatu bukti yang menandakan ia memenuhi kewajiban yang dibebankan pada dirinya, tetapi semuanya ini terlepas dari apakah laporan itu benar-benar merupakan laporan sebagai seorang yang bertindak dalam kedudukan mewakili pihak lain, atau laporan itu hanya bersifat fiktif, artinya laporan yang diberikan tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya dihadapi. Namun keseluruhan laporan akan diberikan pada waktu berakhirnya pemberian kuasa, dengan memberikan perhitungan terhadap segala sesuatu yang telah diterimanya berdasarkan kekuasaan yang dilimpahkan, semua yang menjadi urusan akan dipertanggung jawabkan. Sesungguhnya laporan semacam ini memang sudah menjadi tanggung jawab seorang pemegang kuasa, dan ini secara tersurat telah dirumuskan dalam pasal 1802 KUHPerdata, antara lain menyebutkan si kuasa diwajibkan memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi kuasa.42 Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, SH, maksud dari ketentuan tersebut yang belakangan ini, ialah bahwa si kuasa tidak boleh membayar kembali uang itu melainkan harus menunggu perintah dari si pemberi kuasa, dinyatakan tidak praktis, bahwa orang ketiga yang menuntut pembayaran kembali uang yang terlanjur dibayarkan tetapi sebetulnya tidak diwajibkan, tidak dapat menegur si kuasa melainkan hanya dapat menegur si pemberi kuasa, karena sudah dengan sendirinya dapat disimpulkan dari sifat perwakilan, yang membentuk suatu perhubungan langsung antara si pemberi kuasa dengan pihak ketiga.43 Bagian lain dari pemegang kuasa juga menyangkut tanggung jawabnya terhadap penunjukan pihak lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya, dinamakan “hak substitusi”, 44 yaitu si pemegang kuasa diperkenankan untuk menunjuk orang lain untuk melakukan kuasanya, dan kalaun orang yang ditunjuk itu ternyata tidak mampu melakukan tugasnya, maka si kuasa bertanggung jawab penuh atas kesalahannya.45 Akibat dari hak substitusi ini ialah bahwa antara pemberian kuasa baru hanya dapat dipersoalkan apakah ada perhubungan hukum langsung antara si pemberi kuasa semula dari orang yang ditunjuk itu.46 Tetapi dalam kaitan dengan persoalan di atas Prof. 41 Subekti I, Op. Cit, h. 147. Ibid., Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 156. 44 Subekti I, Loc. Cit., 45 Wirjono Projodikoro, Loc.Cit., 46 Ibid, h. 157. Volume 9, No.1, Nop 2009 42 43 xxv Dr.R.Wirjono Projodikoro, SH, masih mempertanyakan apakah sebaliknya orang yang ditunjuk itu, juga langsung menegur si pemberi kuasa,47 agaknya masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana. Pendapat yang satu seperti Hofmann dan Vollmar mengatakan bahwa orang yang ditunjuk langsung itu dapat menegur si pemberi kuasa, 48 oleh karena adanya perhubungan ini berakibatkan bahwa orang tersebut tidak hanya mempunyai kewajiban saja terhadap si pemberi kuasa, melainkan juga memiliki hak, sedangkan pendapat yang lain seperti Van Brakel dan Asser berpendirian orang yang ditunjuk langsung itu tidak dapat menegur si pemberi kuasa, justru oleh karena tidak disebutkan dalam pasal tersebut, dan pendapat kedua ini menurut Wirjono Projodikoro adalah lebih memuaskan karena pada pokoknya tidak ada perhubungan langsung antara si pemberi kuasa dan orang yang ditunjuk oleh si kuasa.49 Dari berbagai pendapat yang dikemukakan kalangan sarjana tersebut, dapat diberi komentar bahwa ketentuan yuridis yang dipakai sebagai pegangan terutama menyangkut persoalan di atas, maka jelas bahwa orang yang ditunjuk langsung itu tidak dapat menegur pihak pemberi kuasa, karena pada dasarnya orang yang ditunjuk ini dalam melaksanakan kuasa yang diberikan pihak pemegang kuasa berkedudukan sebagai pengganti, ia lebih banyak berhubungan dengan pihak pemegang kuasa itu sendiri, hubungan ini bersifat langsung sedangkan dengan si pemberi kuasa menunjukkan tidak ada hubungan sama sekali, atau boleh disebut hubungan yang bersifat tidak langsung. Oleh karenanya, pendapat kalangan sarjana seperti yang dikemukakan di atas yang membolehkan orang yang ditunjuk dapat menegur pihak pemberi kuasa tidak dapat dibenarkan, mengingat bahwa didalam rumusan perundangan yang mengatur soal yang diperbincangkan ini, tidak mengisyaratkan dengan jelas dan tegas atau dalam pengertian bahwa tidak diatur sama sekali, sehingga lebih tepat kalau pendapat tersebut dijadikan landasan dalam menyimak dan memecahkan persoalan yang bersangkutan, dan memang pendapat tersebut setidak-tidaknya lebih memuaskan dan juga dalam literatur tidak begitu mendapat bantahan. Jadi dapat dikatakan bahwa rumusan pasal-pasal di atas lebih menitik beratkan pertanggungan jawab secara individu atau perorangan, walaupun dalam pemberian kuasa itu dikehendaki beberapa orang yang berkedudukan sebagai pemegang kuasa. Kewajiban lain si pemegang kuasa menurut pasal 1805 KUHPerdata menyebutkan ; si kuasa harus membayar bunga atas uang yang dipergunakan atau dipakainya untuk kepentingan sendiri, terhitung mulai saat ia dihitung mulai ia memakai uang itu dan mengenai uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan, bunga itu dihitung mulai hari ia dinyatakan lalai.50 47 Ibid., Ibid., 49 Ibid., 50 Subekti I, Op. Cit, h. 148. xxviVolume 9, No.1, Nop 2009 48 Kewajiban-kewajiban pemegang kuasa juga tercantum dalam pasal 1806 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa penerima kuasa yang telah memberitahukan kepada pihak ketiga dengan siapa ia mengadakan perjanjian dalam kedudukannya sebagai kuasa, tidaklah bertanggung jawab tentang apa yang terjadi diluar batas kuasa nya, kecuali jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.51 Rumusan pasal tersebut di atas pada pokoknya menyinggung tanggung jawab seorang pemegang kuasa yang berkisar pada kewenangan yang dimilikinya. Ia tidak bertanggung jawab terhadap masalah-masalah yang timbul diluar batas kuasanya, kecuali dalam kenyataan menunjukkan bahwa ia memang secara langsung menjalankan kuasanya diluar wewenang yang telah digariskan dalam pemberian kuasa, untuk hal ini secara yuridis tetap bertanggung jawab sebagaimana lazimnya. Dengan demikian pokok pembahasan tentang kewajiban-kewajiban pihak pemegang kuasa, yang secara yuridis diatur dengan jelas dalam beberapa rumusan pasal-pasal KUHPerdata sebagaimana telah dikemukakan di atas, sehingga setidaktidaknya memberikan gambaran ruang lingkup tentang kewajiban-kewajiban seorang pemegang kuasa selama ia belum dibebaskan diri melaksanakan kuasanya. Kewajiban yang dimulai dari menanggung segala biaya kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, memberikan laporan, membayar bunga, mengganti kerugian dan kewajiban-kewajiban lainnya, semua yang menjadi tanggung jawab seorang pemegang kuasa ini sudah dirumuskan dalam pasal 1801 sampai dengan 1806 KUHPerdata, dan dalam hal ini dipakai sebagai landasan yuridis, guna menyimak persoalan yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban didalam suatu perjanjian pemberian kuasa. Pada prinsipnya pihak pemegang kuasa mempunyai tanggung jawab terhadap pelimpahan wewenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengikat pihak pemberi kuasa dengan pihak ketiga,52 dalam kuasa umum maupun khusus masalah pertanggung jawaban ini meliputi segala sesuatu yang dikuasakan, tetapi dalam prakteknya agaknya kedua macam kuasa ini tidak dibedakan masalah tanggung jawabnya, ini masih berkaitan dengan ketentuan yuridis yang dimuat dalam KUHPerdata, dan juga tidak membedakan dengan tugas masing-masing kuasa dengan pertanggung jawabannya, perumusan KUHPerdata hanya secara umum dalam mengatur soal ini. Sejauh mana tanggung jawab pihak pemegang kuasa dalam menjalankan itu pada prinsipnya pemegang kuasa bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dikuasakan, dan pemegang kuasa bertindak atas nama si pemberi kuasa,53 misalnya mencari seorang patner dalam usaha bersama dan sebagainya, yang jelas pertanggungan jawab itu dibatasi pada wewenang yang dilimpahkan. 51 Suryodiningrat, Op. Cit., h. 102. Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 151. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 306. Volume 9, No.1, Nop 2009 52 53 xxvii Namun tindakan pemegang kuasa yang mewakili pihak pemberi kuasa itu, sekiranya melebihi batas-batas kewenangan sebagaimana yang diberikan kepadanya,54 maka ia juga harus memberikan pertanggungan jawab terhadap pokok-pokok masalah yang dikuasakan sepanjang yang menjadi wewenangnya itu. Sejalan dengan pendapat di atas kalangan lain juga mengatakan bahwa pemegang kuasa bertanggung jawab penuh atas perbuatan-perbuatan itu yang dilakukan dengan sengaja itu. Sedangkan pendapat lain mengatakan pemegang kuasa bertanggung jawab sesuai dengan masalah-masalah yang dikuasakan. Ia tidak bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari hubungan hukum yang telah dilakukan,55 misalnya adanya penipuan oleh pihak ketiga. Dan pertanggungan jawab seperti itu adalah atas kehendak yuridis, juga merupakan pertanggungan jawab yang bersifat etis. Dalam pemberian kuasa , diperkenankan juga untuk menunjuk beberapa orang kuasa mewakili pihak yang memberikan kuasa.56 Untuk itu pihak-pihak yang mewakili ini tidak dapat melepaskan diri dari beban pertanggung jawaban dalam konteks ini masih mengandung beberapa alternatif, ini menurut pendapat yang berkembang dikalangan praktisi hukum. Biasanya dalam pemberian kuasa, apalagi terdapat beberapa pihak yang bertindak sebagai kuasa mewakili, maka sudah disebutkan masing-masing tanggung jawab terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan, pertanggungan jawab ini tegasnya lebih menekankan kepada individu, sebab ia yang bertindak dalam menyelenggarakan kepentingan-kepentingan pemberi kuasa.57 Berbeda dengan jawaban yang diberikan kalangan praktisi hukum lainnya, dalam hal ini ada yang berpendapat, bahwa pertanggungan jawab itu baik secara individu maupun bersama-sama jadi harus dipisahkan dalam mempertanggung jawabkan wewenang yang diberikan, dan dalam pernyataan dalam pemberian kuasa itu telah ditegaskan bahwa masing-masing individu memiliki wewenang untuk mewakili, maka itu jelas bahwa ia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikuasakan, begitu pula sebaliknya, pendapat lain mengatakan kasus seperti itu adalah pertanggungan jawab secara perikatan tanggung menanggung,58 atau secara kolektif bersama-sama. Bahwa didalam pemberian kuasa dikenal juga adanya hak substitusi,59 maka pertanggungan jawab itu harus ditentukan secara tegas.60 Baik itu individu maupun bersama-sama, tapi pendapat ini lebih menekankan pertanggungan jawab yang bersifat kolektif atau bersama-sama, kalangan praktisi hukum lain juga berpendapat, bahwa pertanggungan jawab pemegang kuasa yang terdiri dari beberapa pihak yang 54 Ibid, h. 309 Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, h. 83. 56 Subekti I, Loc. Cit, 57 Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, h. 82. 58 Suryodiningrat, Op. Cit, h. 102-103. 59 Ibid, h. 101. 60 Yahya Harahap, Op. Cit, h. 321. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxviii 55 berkedudukan sebagai kuasa yang mewakili adalah bersifat kolektif atau bersama-sama, kecuali dalam surat kuasa itu ditegaskan bersifat individu. Berkaitan dengan pertanggungjawaban ini, maka atas kehendak pemberi kuasa dapat saja pemberi kuasa menarik kembali kuasa yang telah dilimpahkan dan sementara dilaksanakan pihak pemegang kuasa semula, dan dalam hal ini ketentuan yuridis (KUHPerdata) juga memperkenankan pemberi kuasa untuk melaksanakan pengangkatan seorang pemegang kuasa baru dalam menyelenggarakan kepentingankepentingannya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.61 Terhadap masalah ini, maka pihak pemegang kuasa lama hanya mempunyai kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan hukum yang telah dilakukan sesuai dengan pelimpahan wewenang itu, dan dengan adanya pengangkatan kuasa baru, berarti pertanggung jawaban secara otomatis dilimpahkan kepada pemegang kuasa baru tersebut. Pemegang kuasa lama harus mempertanggungjawabkan kuasanya selama dalam mengurus kepentingan-kepentingan pihak pemberi kuasa, meskipun ada pengangkatan kuasa baru, ia bertanggung jawab sejauh wewenang yang diberikan dan telah dilakukan sebelum ada pengangkatan kuasa baru tersebut. Dengan demikian ia terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan pihak pemberi kuasa, apabila kuasa baru belum menjalankan kuasanya itu, dengan pengangkatan baru, maka tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada pemegang kuasa yang bersangkutan. Memang penarikan kembali kuasa yang dibenarkan oleh ketentuan yuridis, tapi berlakunya surat kuasa itu harus ditegaskan, dalam konteks ini, pemegang kuasa yang sudah menggunakan kuasa itu serta melakukan kewajiban-kewajiban, kemudian dicabut, ia tetap bertanggung jawab dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan,62 ia juga tidak dapat luput dari tanggung jawabnya, apabila ia tidak bertindak di luar batas-batas kewenangannya. Masalah lain yang berhubungan erat adalah dengan meninggalnya pihak pemegang kuasa, ada pendapat mengatakan, secara yuridis menunjukkan berakhirnya pemberian kuasa 63 atau tepatnya hubungan hukum itu putus, dan dengan sendirinya tidak ada beban pertanggungan jawab, tapi sebaliknya apabila ada kelalaian dan kerugian yang timbul dalam pemberian kuasa itu, berarti ahli warisnya yang mempertanggung jawabkan. Sedangkan kalangan lain mengisyaratkan, bahwa sesuai dengan ketentuan hukum perdata, ahli waris harus bertanggung jawab atas kelalaian dan kerugian yang timbul dalam pemberian kuasa meninggal, pertanggung jawaban ini ditujukan kepada ahli waris yang mengetahui maupun yang tidak mengetahui adanya pemberian kuasa itu. Menurut hukum gugurnya pertanggungan jawab ini apabila pemegang kuasa meninggal.64 Tapi masih dipertanyakan lagi apakah para ahli waris mengetahui adanya 61 Subekti I, Loc. Cit, Yahya Harahap, Loc. Cit,. 63 Subekti I, Op. Cit, h. 153. 64 Yahya Harahap, Op. Cit, h. 314. Volume 9, No.1, Nop 2009 62 xxix pemberian kuasa itu, namun yang dijelaskan pendapat ini menekankan bahwa pertanggungjawaban mesti harus dialihkan kepada segenap ahli warisnya, apabila pemberi kuasa itu mengakibatkan timbulnya kerugian-kerugian bagi pihak pemberi kuasa.65 Dari pembahasan mengenai tanggung jawab pemegang kuasa tersebut di atas, berikut ini akan dibeberkan rangkuman permasalahannya, yaitu : -Bahwa prinsipnya pihak pemegang kuasa bertanggung jawab terhadap pelimpahan wewenang dalam rangka pelaksanaan pemberian kuasa itu, dan pertanggungan jawab itu adalah dalam batas-batas yang menjadi kekuasaannya selama kuasa itu belum berakhir. -Bahwa pihak pemegang kuasa dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, dan ia bertindak melampaui batas-batas kewenangan yang diberikan, secara yuridis tetap memberikan pertanggungan jawab, tapi secara etis ia tidak juga harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan dengan sengaja itu. -Bahwa pihak pemegang kuasa yang sementara melaksanakan kewajibankewajiban, tapi kuasa itu ditarik dan sekaligus terjadi pengangkatan pemegang kuasa baru, maka kuasa lama bertanggung jawab sejauh wewenang yang dilimpahkan dan telah dilakukan sebelum ada pengangkatan kuasa baru. -Bahwa dalam suatu pemberian kuasa terdapat beberapa orang yang bertindak sebagaimana kuasa mewakili, maka pertanggungan jawab terhadap wewenang yang diberikan itu, nampaknya terdapat perbedaan-perbedaan pendapat ada yang mengatakan pertanggungan jawab itu dapat secara individu dan bisa juga bersifat kolektif atau bersama-sama, tergantung dari ketegasan ini kuasa itu. Tapi pendapat lain mengisyaratkan dengan lebih menitik beratkan pertanggungan jawab secara kolektif. -Bahwa dengan meninggalnya pihak pemegang kuasa, maka pendapat-pendapat tersebut menunjukkan semuanya sepakat, bahwa secara otomatis putusnya hubungan hukum yang ada, hanya apabila ada kelalaian dan kerugian yang timbul, maka di alihkan kepada ahli warisnya untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang dikuasakan, pertanggungan jawab ini bisa ditujukan kepada ahli waris yang mengetahui maupun tidak mengetahui sama sekali adanya pemberian kuasa itu. 3. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa Sehubungan dengan wewenang yang diberikan kepada pemegang kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum guna mengikatkan pihak pemberi kuasa dengan pihak ketiga, maka diisyaratkan bahwa perlu adanya perincian masalah-masalah yang akan dikuasakan. Dalam hubungan ini ada pendapat yang menyatakan, bahwa itu tidak lain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian di kemudian hari apabila 65 Ibid,. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxx pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan hukum di luar batas-batas wewenangnya.66 Pendapat lain juga menyebutkan, bahwa kewenangan pihak pemegang kuasa harus disebutkan secara tegas dalam surat kuasa itu, misalnya kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dilakukan oleh pemegang kuasa, maka berlakunya surat kuasa itu batal dan sebagainya. Sebenarnya hal ini untuk menghindari perbuatan surat kuasa secara tidak benar atau untuk obyek yang menyimpang dari undang-undang. Masih berkisar pada wewenang pemegang kuasa ini, ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa ada baiknya untuk menjamin kepastian hukum, maka harus disebutkan secara tegas dan terperinci tentang wewenang yang akan diberikan, sebab ini berhubungan dengan pertanggungan jawab pemegang kuasa kelak dikemudian hari. Jadi perincian masalah-masalah yang akan dikuasakan itu (misalnya kuasa khusus) adalah menyangkut hak dan kewajiban pemegang kuasa dalam menjalankan kuasanya, 67 sehingga tidak merugikannya. Adanya alasan penting lainnya sehingga ditekankan bahwa perlu ada rumusan yang jelas dan tegas pada waktu dilakukan pemberian kuasa. Apabila timbul perselisihan di kemudian hari, diharapkan mampu ditarik garis pemisah tentang siapakah yang telah melakukan pelanggaran atas surat kuasa itu, sehingga akan dapat dengan mudah untuk menentukan pihak mana yang telah melakukan kesalahan. Sedangkan pendapat lain mensinyalir, bahwa supaya kepentingan pihak pemberi kuasa dapat terjamin dari tindakan pemegang kuasa yang melanggar batasbatas kewenangannya, juga dapat menghindari salah tafsir sehingga tidak menimbulkan konflik didalam pemberian kuasa itu, jadi patut diperhatikan, bahwa wewenang pihak pemegang kuasa adalah sejauh mana yang termuat dengan jelas dan terperinci dalam surat kuasa. Ia tidak dibenarkan untuk bertindak yang melampaui wewenangnya, 68 dan ini terjadi resikonya ia harus mempertanggung jawabkan tindakannya itu. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan tersebut berikut ini dibeberkan rangkuman permasalahannya, yaitu : - Bahwa pada prinsipnya wewenang pihak pemegang kuasa dikehendaki untuk dirumuskan dengan jelas dan tegas didalam suatu pemberian kuasa, dan ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian akibat perbuatanperbuatan hukum pemegang kuasa diluar batas-batas kewenangannya. - Perincian masalah-masalah yang dikuasakan dalam surat kuasa sebenarnya mempertegas kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang kuasa, disamping itu untuk mencegah pembuatan surat kuasa yang menyimpang dari undang-undang. - Perincian wewenang yang diberikan adalah berkaitan dengan pertanggungan jawab pihak pemegang kuasa, sehingga dapat menghindari perselisihan 66 Subekti I, Loc. Cit, Subekti I, Loc. Cit., Yahya Harahap, Loc. Cit., Volume 9, No.1, Nop 2009 67 68 xxxi - dikemudian hari, dan menjamin kepentingan pihak pemberi kuasa dari tindakan pemegang kuasa yang melampaui batas kewenangannya. Perincian wewenang dalam pemberian kuasa itu juga bertujuan untuk mencegah pihak pemegang kuasa itu agar tidak dirugikan apabila ia memberikan pertanggungan jawab. 3. Berakhirnya Pemberian Kuasa Dalam pasal 1813 KUH Perdata ditentukan tentang bermacam-macam cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu: a. dengan ditariknya kembali kuasanya si jurukuasa; b. dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si jurukuasa; c. dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa; d. dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. Pada sub d dari pasal 1813 KUH Perdata di atas, sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 kedudukan seorang perempuan bersuami dinyatakan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dengan tanpa ijin atau didampingi oleh suaminya. 69 Pada umumnya suatu perjanjian tidak berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, tetapi khusus pemberian kuasa berakhir apabila si pemberi kuasa atau si penerima kuasa meninggal dunia. Pemberian kuasa tergolong pada perjanjian di mana prestasi sangat erat hubungannya dengan pribadi para pihak. Dalam praktik kita juga tidak memberi kuasa kepada orang yang belum kita kenal, tetapi kita memilih orang yang dapat kita percaya untuk mengurus kepentingan-kepentingan kita. Mengenai kawinnya seorang perempuan yang memberian atau menerima kuasa, sebagai mana dikemukakan di atas, dengan lahirnya yurisprudensi yang menganggap seorang perempuan yang bersuami sepenuhnya cakap menurut hukum, ketentuan yang berkenaan dengan kawinnya seorang perempuan, dengan sendirinya tidak berlaku lagi.70 Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya, manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa penerima kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya (pasal1814 KUH Perdata). Ketentuan ini mengandung maksud bahwa si pemberi kuasa dapat menghentikan kuasa itu kapan saja, asal dengan pemberitahuan penghentian dengan mengingat waktu yang secukupnya. Bila penerima kuasa tidak mau menyerahkan kembali kuasanya secara sukarela, ia dapat dipaksa berbuat demikian lewat pengadilan. 69 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet.VI, Mandar Maju, Bandung, 1989, h.239 70 Subekti R., Aneka Perjanjian, Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985, h.151 Volume 9, No.1, Nop 2009 xxxii Penarikan kembali yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa, tidak dapat diajukan terhadap orang-orang pihak ketiga yang karena mereka tidak mengetahui tentang penarikan kembali itu, telah mengadakan suatu perjanjian dengan penerima kuasa. Ini tidak mengurangi tuntutan pemberi kuasa kepada penerima kuasa, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 1815 KUH Perdata. Dalam praktik penarikan kembali itu diumumkan dalam beberapa surat kabar dan diberitahukan dengan surat kepada para pihak atau relasi yang berkepentingan. Bahwa penerima kuasa dapat menuntut penerima kuasa yang melakukan tindakantindakan tanpa dasar hukum. Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya kepada orang yang terakhir ini tentang pengangkatan tersebut. Artinya sejak pemberitahuan tersebut, maka penerima kuasa yang lama tidak mempunyai kewenangan untuk menjalankan pekerjaan kuasa tersebut. Dalam pada itu Penerima Kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan pemberitahuan pengehentian itu, atas dasar alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang, kecuali penerima kuasa dalam ketidakmampuannya meneruskan kuasanya tersebut. Bilamana pemberi kuasa dapat mengakhiri atau menarik kembali kuasanya setiap waktu manakala itu dikehendakinya, begitu pula dari pihak penerima kuasa juga setiap waktu dapat membebaskan diri dari kuasanya, asal dengan mengindahkan tenggang waktu yang cukup dalam memberitahukan penghentian kepada si pemberi kuasa dimaksud. TANGGUNG GUGAT DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA 1. Masalah yang timbul dalam pemberian kuasa Pada dasarnya sering dihadapi berbagai ragam masalah yang timbul dalam pelaksanaan pemberian kuasa, baik itu yang dialami pihak pemberi kuasa maupun pemegang kuasa itu sendiri, dalam hal ini biasanya bagi pemberi kuasa yang menghadapi masalah-masalah yang timbul dan ini dapat disebut sebagai hambatan, adalah pemegang kuasa tidak segera melaksanakan kuasanya. Akibatnya akan menimbulkan suatu kerugian apabila kuasa itu diberikan dengan tanggung jawab atau tenggang waktu yang pendek, disamping itu kelalaian dan perbuatan-perbuatan hukum yang melampaui batas wewenangnya,71 yang sengaja dilakukan pemegang kuasa dan sebagainya. Kenyataan sebagaimana yang ditemukan itu dengan sendirinya akan membawa efek-efek yang kurang menguntungkan pihak pemberi kuasa, misalnya tindakan seorang pemegang kuasa yang menjual dengan harga yang sangat murah, mengadakan perdamaian dan sebagainya, yang tidak dikehendaki oleh pihak pemberi kuasa, dan 71 Subekti I, Loc.Cit,. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxxiii pemegang kuasa yang secara nyata tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang dilimpahkan, maka akibatnya bisa menghambat pelaksanaan pemberian kuasa itu. Hambatan lain yang selalu dirasakan pihak pemberi kuasa, biasanya menyangkut pemegang kuasa yang tidak memberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang telah diperbuat sebagaimana yang dilimpahkan, meskipun menurut kenyataannya apa yang telah diterima itu tidak harus diberikan atau diserahkan kepada pemberi kuasa. Masalah ini juga mewarnai setiap pelaksanaan pemberian kuasa pada umumnya, demikian pengamatan kalangan praktisi hukum. Pendapat lain mengatakan, pemegang kuasa senantiasa tidak mematuhi kewajiban-kewajiban yang telah dikuasakan, misalnya tidak menghadiri sidang-sidang pengadilan yang ditetapkan, dan sebagainya, sedangkan pendapat lain juga mensinyalir masalah yang sering dihadapi pihak pemberi kuasa umumnya pemegang kuasa disamping tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi bersamaan dengan kedudukan sebagai kuasa mewakili, ia seringkali menyalahgunakan surat kuasa yang dilimpahkan,72 untuk itu pihak pemberi kuasa disarankan agar berhati-hati dalam setiap pemberian kuasa. Bagi pemegang kuasa yang sering mengalami masalah-masalah yang timbul dalam pemberian kuasa, adalah biasanya menyangkut pembayaran kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan ketika menjalankan kuasanya, bahkan untuk membayar upah yang telah diperjanjikan, kadang-kadang tidak terpenuhi pihak pemberi kuasa, suatu hambatan konvensional dijumpai pada setiap pelaksanaan pemberian kuasa, baik itu dalam kuasa umum maupun kuasa khusus.73 Begitu pula dengan hubungan-hubungan hukum yang dilakukan untuk mengikatkan dengan pihak ketiga, juga tidak jarang mengalami hambatan-hambatan, misalnya tidak memenuhi perikatan-perikatan untuk kepentingannya, juga kerugian lain yang timbul disekitar pemberian kuasa yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak pemberi kuasa, misalnya membayar bunga atas persekot-persekot yang dikeluarkan pemegang kuasa,74 sering diabaikan pihak pemberi kuasa untuk memenuhi kewajiban. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut, berikut ini adalah merupakan rangkuman permasalahannya : - Masalah-masalah yang timbul dalam pemberian kuasa, yang sering dialami pihak pemberi kuasa adalah pemegang kuasa tidak segera melaksanakan kuasanya dan ini membawa efek yang kurang menguntungkan pihak pemberi kuasa apabila kuasa itu diberikan dengan tenggang waktu yang pendek. - Tindakan pemegang kuasa atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan Sengaja, misalnya mengadakan perdamaian yang tidak dikehendaki pihak pemberi kuasa, ini bisa menghambat pelaksanaan pemberi kuasa juga 72 Nawawi, S.H., Taktik Dan Strategi Membela Perkara Perdata, Cet. I, Fajar Agung, Jakarta, 1987, h. 55. 73 Ibid, h. 53. Ibid, h. 149. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxxiv 74 - - - pemegang kuasa kadang-kadang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang dilimpahkan. Hambatan lain yang selalu dirasakan pihak pemberi kuasa, adalah pemegang kuasa tidak memberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang telah diperbuat selama menjalankan kuasanya, dan bersamaan dengan kedudukan sebagai kuasa mewakili, ia seringkali menyalahgunakan surat kuasa yang dilimpahkan. Suatu hambatan konvensional yang senantiasa dialami pemegang kuasa dalam suatu pemberian kuasa mengakibatkan atau mengabaikan kewajibankewajibannya untuk membayar kembali biaya-biaya maupun upah yang telah diperjanjikan. Hubungan hukum yang dilakukan pemegang kuasa dengan pihak ketiga, agaknya pemberi kuasa sebagai pihak yang berkepentingan, sering tidak memenuhi perikatan – perikatan yang menjadi tanggung jawabnya, juga Kerugian – kerugian lain yang timbul disekitar pelaksanaan pemberian kuasa itu. 2. Kelalaian Pemegang Kuasa Didalam pemberian kuasa untuk berbuat atas nama pihak pemberi kuasa, pada prinsipnya pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana yang dikuasakan, tetapi dalam kenyataannya, pemegang kuasa senantiasa tidak dapat luput dari perbuatan-perbuatan yang merugikan, baik itu terhadap pihak pemberi kuasa maupun pemegang kuasa itu sendiri. Misalnya perbuatan-perbuatan pemegang kuasa itu sendiri yang melampaui batas-batas kewenangannya,75 jika dapat berupa kelalaian yang timbul dalam penyelenggaraan kuasa itu dan sebagainya. Konsekuensinya dari semua ini, bagi pemegang kuasa harus memberikan pertanggungan jawab atas perbuatannya tersebut, sebab perbuatan kelalaian misalnya, membawa pengaruh dan berakibat menimbulkan kerugian-kerugian bagi pihak pemberi kuasa, sebagai contoh pemegang kuasa yang seharusnya menyelesaikan segala urusan yang berkaitan dengan kuasanya pada waktu meninggalnya pihak pemberi kuasa, tetapi lalai dengan kedudukannya yang membenarkan ia bertindak lebih lanjut misalnya lagi ia tidak memberikan laporan tentang apa-apa yang telah diperbuatnya.76 Kelalaian pemegang kuasa terhadap kewajiban-kewajibannya dapat dituntut untuk meminta pertanggungan jawabnya, dan tuntutan itu bisa bersifat intern, artinya tidak dibatalkan perjanjian pemberian kuasa itu, kecuali pihak ketiga beri’tikat tidak baik, dan ini bisa diajukan ke Pengadilan. Sedangkan pendapat yang lebih menekankan kepada kerugian pihak yang diderita pihak pemberi kuasa, menghendaki dilakukan penuntutan ganti rugi dan pertanggungan jawabnya melalui proses pengadilan.77 75 Subekti 1, Loc. Cit,. Ibid, h. 147. Subekti I, Loc. Cit,. Volume 9, No.1, Nop 2009 76 77 xxxv Bagaimana pemegang kuasa yang lalai menjalankan kewajibannya harus bertanggung jawab kepada pihak pemberi kuasa, selanjutnya pemberian kuasa itu dicabut, dan menempuh proses pengadilan kalau pemegang kuasa itu segan untuk bertanggung jawab sepenuhnya. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa dalam menghadapi kelalaian pemegang kuasa yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka konsekuensinya ia harus menyerahkan kembali kuasa yang diterimanya itu sekaligus semua berkasnya. Pendapat ini juga menyetujui tuntutan ganti rugi dengan mengajukan ke Pengadilan. Kelalaian pemegang kuasa ini umumnya dipandang dari segi pelaksana kewajiban-kewajiban didalam suatu pemberian kuasa dan dalam realitasnya ia lalai menjalankan kewajiban sebagaimana yang dibebankan, dan perbuatan ini mengakibatkan timbulnya kerugian pihak pemberi kuasa, maka secara yuridis ia harus digugat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut, berikut ini adalah merupakan rangkuman permasalahannya : - Dalam pelaksanaan pemberian kuasa, pemegang kuasa senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang berakibat menimbulkan kerugian-kerugian pihak pemberi kuasa misalnya perbuatan kelalain, dan konsekuensinya ia harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut. - Kelalain pemegang kuasa yang dipersoalkan kalangan praktisi hukum, adalah difokuskan kepada kewajiban – kewajiban yang sering tidak dipenuhinya, terhadap kenyataan ini semua sepakat untuk mengajukan tuntutan ganti rugi melalui proses pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. - Kelalaian pemegang kuasa disamping ada yang berpendapat bahwa pemberian kuasa itu harus dicabut meskipun tenggang waktu pemberian kuasa belum berakhir, dan konsekuensinya menurut pendapat kalangan lain sehubungan dengan kelalaian pemegang kuasa tersebut, ia harus menyerahkan kembali kuasanya yang diterimanya itu, sekaligus semua berkasnya. 3. Perbuatan Melawan Hukum Pemegang Kuasa Dalam suatu pemberian kuasa untuk menyelenggarakan urusan pihak pemberi kuasa, baik itu kuasa umum maupun kuasa khusus, maka suatu hal yang sering tampak dalam kenyataan dan sukar untuk dibantah, adalah pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, dan perbuatan pemegang kuasa yang dimaksud adalah perbuatan yang melanggar batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya,78sebagaimana yang dikuasakan atau digariskan serta membawa kerugian 78 Yahya harahap, Loc. Cit,. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxxvi terhadap orang lain,79 sebab masalahnya menyangkut hubungan hukum dengan pihak ketiga dalam konteks pemberian kuasa itu. Cukup banyak pemegang kuasa yang sering melakukan perbuatan melawan hukum,80 seperti manipulasi wewenang yang telah diberikan pihak pemeberi kuasa untuk kepentingan dirinya. Ini berangkali bersumber dari kurangnya pengetahuan, sehingga menyebabkan perbuatan itu merugikan pihak yang memberikan kuasa, tapi diakui bahwa masih banyak pemegang kuasa yang mempunyai itikad baik dalam melaksanakan kewajibannya atau melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya.81 Pendapat lain juga mengatakan, didalam menjalankan kewajiban sebagai kuasa mewakili, maka pemegang kuasa sering kali melakukan perbuatan yang melanggar hukum, ini memang sudah banyak diketahui oleh masyarakat dan agaknya sudah menjadi suatu rahasia umum, tapi tidak semua pemegang kuasa itu bertindak demikian sebagai kuasa mewakili, yang jelas perbuatan semacam itu sebenarnya tergantung dari pada pribadi atau individu-individu, tapi ada yang berpendapat bukan itu perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemegang kuasa, tetapi juga akibat-akibat kelalaian atau kealpaan didalam menjalankan tugasnya. 82 Bahkan ada pendapat lain yang langsung menunjuk pada langkah konkrit untuk menyelesaikan pelaksanaan pemberian kuasa itu, pendapat ini mensinyalir bahwa perbuatan melawan hukum itu kalau benar-benar merugikan,83maka segera diambil tindakan cepat dengan mengajukan tuntutan terhadap pemegang kuasa itu. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan diatas, maka berikut ini adalah merupakan rangkuman permasalahannya : - Perbuatan melawan hukum pemegang kuasa pada hakekatnya adalah merupakan perbuatan yang melanggar wewenang yang diberikan dalam suatu pemberian kuasa untuk kepentingan dirinya, perbuatan ini mengakibatkan timbulnya kerugian pihak pemberi kuasa. - Perbuatan melawan hukum pemegang kuasa ini, dalam kenyataannya memang sudah banyak diketahui masyarakat apabila dilakukan suatu pemberian kuasa, tapi diketahui bahwa perbuatan pelanggaran ini sebenarnya tergantung dari masing-masing individu pada waktu menjalankan kuasa yang diberikan. - Perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemegang kuasa, dikatakan Sebagai perbuatan kelalaian ketika melaksanakan tugas yang dibebankan dalam pelaksanaan pemberian kuasa itu. - Untuk menyelamatkan kuasa yang diberikan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemegang kuasa dan benar-benar merugikan, maka diajukan 79 Marhainis Abdulhay, S.H., Hukum Perdata Material, Jilid II, Cet. I, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 14. 80 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Cet. I Mandar Maju, Bandung, 1994, h.84 Subekti I, Loc. Cit,. 82 Ibid, h. 146-147. 83 Kansil, C.S.T., dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Cet. III, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, h. 214. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxxvii 81 Tuntutan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan itu melalui proses pengadilan. 4. Tindakan Hukum Terhadap Pemegang Kuasa Untuk mengajukan suatu gugatan berdasarkan ketentuan yuridis yang berlaku (pasal 123 HIR), diperlukan suatu kuasa khusus tertulis.84 Pemberian kuasa tersebut dalam rangka mempersiapkan langkah-langkah untuk meminta pertanggung jawabkan melalui proses pengadilan. Sedangkan alasan utama yang menjadi dasar untuk melakukan tindakan hukum terhadap pemegang kuasa, hal ini sebenarnya bersumber dari berbagai perbuatan hukum yang dilakukan pemegang kuasa, sebagaimana contoh : perbuatan yang diperbuat dengan sengaja yang mengakibatkan kerugian, tidak memberikan laporan, kelalaian ketika bertindak sebagai kuasa mewakili dan sebagainya. Masalah pertanggung jawaban pemegang kuasa ini agaknya juga dibedakan yakni apabila dalam kedudukan sebagai kuasa mewakili melakukan tindakan yang melampaui batas-batas wewenangnya,85 juga dibebankan suatu pertanggungan jawab dan pertanggungan jawab itu tidak hanya menyangkut aspek wewenang yang diterimanya, tetapi juga terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja diluar batas-batas yang dikuasakan, dan pertanggungan jawab ini lebih ditujukan kepada pemegang kuasa yang bertindak menjalankan kuasa secara individual atau perorangan. Dalam hubungan ini ketentuan yuridis membenarkan adanya tindakan hukum terhadap pemegang kuasa, sebab masalahnya erat kaitannya dengan tanggung jawab yang meliputi hal-hal yang dikuasakan. Dan yang jelas tindakan hukum ini sesungguhnya adalah mengandung tekanan, bahwa pemegang kuasa lebih terikat untuk memenuhi prestasinya.86 Tindakan hukum yang dilakukan misalnya menyangkut kelalaian pemegang kuasa,87 maka ia harus mempertanggung jawabkan dengan memenuhi kewajibankewajiban yakni membayar ganti rugi atas perbuatan yang mengakibatkan kerugian pihak pemberi kuasa dan tuntutan melalui proses pengadilan adalah merupakan suatu upaya untuk memperoleh kembali hak dan kepentingan yang dikuasakan dalam konteks pemberian kuasa itu. Pendapat lain juga mensinyalir, adanya pertanggung jawaban terhadap ganti rugi dan kemudian disusul dengan perbuatan kuasa. Tindakan itu mempertegas bahwa perbuatan kelalaian cukup mempengaruhi hubungan hukum dengan pihak ketiga.88 Dalam hal ini pihak ketiga bisa mengalahkan diri dengan tidak mengakui lagi perikatanperikatan yang dilakukan pemegang kuasa sebagai kuasa mewakili. 84 Subekti I, Loc. Cit,. Ibid,. 86 Abdulkadir Muhammad I, Op. Cit, h. 18. 87 Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 159. 88 Yahya Harahap, Op. Cit, h. 307. Volume 9, No.1, Nop 2009 xxxviii 85 - - - Dari berbagai pendapat yang dikemukakan di atas, maka berikut ini adalah merupakan rangkuman permasalahannya : Tindakan hukum terhadap pemegang kuasa, umumnya yang menjadi alasan utama adalah bersumber dari perbuatan hukum yang mengakibatkan kerugian pihak pemberi kuasa juga kelalaian ketika bertindak sebagai kuasa mewakili dan sebagainya. Ketentuan yuridis membenarkan adanya tindakan hukum terhadap pemegang kuasa, ini adalah berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban dalam pemberian kuasa. Tindakan hukum terhadap pemegang kuasa karena akibat kelalaiannya, maka ia harus mempertanggung jawabkan yakni membayar ganti rugi atas perbuatannya itu, dan perbuatan melalui proses pengadilan ini adalah untuk memperoleh kembali hak pihak pemberi kuasa sebagaimana yang dikuasakan. Tindakan hukum terhadap pemegang kuasa,disamping ia bertanggung jawab terhadap ganti rugi dan kemudian disusul dengan pencabutan kuasa itu dan tersirat bahwa perbuatan kelalaian itu cukup mempengaruhi hubungan hukum dengan pihak ketiga, karena bisa saja pihak ketiga ini mengalahkan Diri dari perikatanperikatan yang telah dilakukan pemegang kuasa. KESIMPULAN Pada uraian ini adalah merupakan uraian terakhir yang merupakan uraian penyimpulan atas seluruh uraian bahasan yang telah dikemukakan pada uraian-uraian sebelumnya. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam tesis ini adalah sebagai berikut : a. Bahwa pertanggungan jawab pihak pemegang kuasa disamping sejauh wewenang yang diterimanya, tetapi juga sengaja diluar batas-batas yang dikuasakan, beban pertanggungan jawab ini tampaknya dipersoalkan dalam hubungan hukum, khususnya menyangkut pemberian kuasa. Pertanggungan jawab pihak pemegang kuasa yang terdiri dari beberapa orang, masih menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan praktisi hukum, ada pendapat yang mengatakan tanggung jawab secara individual, yang mengatakan tanggung jawab lebih bersifat kolektif atau bersama-sama, meskipun dengan jelas semuanya itu tergantung dari pada penegasan isi pemberian kuasa yang diberikan. Apabila ada penarikan kuasa yang sementara dilaksanakan dan sekaligus terjadi pengangkatan, pemegang kuasa lama tetap bertanggung jawab sejauh wewenang yang diterimanya dan telah diperbuat sebelum kuasa itu ditarik, dan dengan adanya pengangkatan pemegang kuasa baru, maka secara otomatis beban pertanggungan jawab dialihkan kepada pemegang kuasa baru yang bersangkutan. b. Atas dasar surat kuasa itu, pihak pemegang kuasa memperoleh kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum guna mengurus kepentingan pihak pemberi kuasa dalam hal ini mengurus perkara pihak pemberi kuasa. Konsekuensi pemberian wewenang itu, haruslah dilakukan dengan penuh tanggung jawab, yaitu pemegang Volume 9, No.1, Nop 2009 xxxix kuasa tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan-tindakan yang melampaui wewenang yang telah diberikan dan ditegaskan dalam surat kuasa tersebut. Akibat hukum atas perbuatan pemegang kuasa yang melawan hukum, sehingga menyebabkan kerugian pada pihak pemberi kuasa dapat mengajukan tuntutan ganti rugi pada pemegang kuasa atas perbuatannya itu melalui proses pengadilan. Dengan meninggalnya pihak pemegang kuasa, maka menurut hukum berakhirnya pemberian kuasa, dan secara otomatis tanggung jawab pihak pemegang kuasa juga tidak dapat dipersoalkan lagi, tetapi apabila ada kelalaian yang menimbulkan kerugian pihak pemberi kuasa baik yang dilakukan pemegang kuasa maupun para ahli waris, maka beban tanggung jawab dialihkan kepada segenap ahli warisnya, ini sebagai konsekuensinya dari pada penerima kuasa itu. SARAN Dari seluruh uraian pada uraian-uraian sebelumnya, maka dapatlah penulis memberikan saran-saran sebagai sumbangan atas hasil pembahasan di atas, yaitu : Dalam pelaksanaan perjanjian pemberian kuasa, acap kali para pihak saling melanggar isi perjanjian yang ditentukan dalam surat kuasa tersebut, untuk itu perlu penegasan dalam aturan hukum tentang hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemberian kuasa; Demikian halnya dengan masalah tanggung gugat pemegang kuasa, dipandang perlu diatur secara khusus, sehingga pemegang kuasa dapat demikian saja menentukan hak-haknya dan menyimpangi serta menghindari apa yang menjadi kewajibannya. xl Volume 9, No.1, Nop 2009 PENYELESAIN SENGKETA KONTRAK JOINT VENTURE MELALUI FORUM ARBITRASE Oleh: Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.* Arbitrase adalah merupakan suatu lembaga peradilan di luar lingkungan peradilan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Arbitrase sebagai suatu lembaga peradilan, mampu menyelesaikan perkara atau sengketa dagang dengan lebih cepat, lebih sederhana, dan lebih murah. Karenanya di kalangan pebisnis, lembaga ini lebih banyak dipilih guna menyelesaikan sengketa dagang. Kata Kunci: Arbitrase – Lembaga Peradilan – Kewenangan. LATAR BELAKANG Kontrak di bidang perdagangan (kontrak bisnis) merupakan kontrak yang timbul dari interaksi hubungan bisnis antara para pihak. Hukum kontrak di bidang bisnis dari waktu ke waktu terus berkembang mengikuti perkembangan dunia bisnis yang makin beraneka ragam. Oleh karena itu hukum yang mengaturnya pun terus berubah, sebagaimana dikatakan oleh djojodigoeno89 bahwa hukum adalah suatu proses perataan yang terus-menerus memperbaharui dirinya secara langsung oleh masyarakat atau melalui penguasa untuk perbuatan dan tingkah laku anggota-anggotanya dalam hubungan patembayan (zakelijke verhoudingen) yang bertujuan untuk menjadi dasar dan memelihara ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Mariam Darus90 hukum antara lain berfungsi mengabdi masyarakat, menjaga agar gerak masyarakat berjalan dengan lancar, kepentingan-kepentingannya terpenuhi. Jika kepentingan masyarakat berubah, hukum harus diperbarui dan hukum yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang, ditinggalkan. Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dimulai sejak Pelita I atau sejak berlakunya Undang-Undang no:1/1967 tentang MPA dan Undang-Undang no.6/1968 tentang PMDN telah melahirkan berbagai kegiatan yang baik berhubungan dengan * Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan. 89 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, USU, 90 Ibid. 1980, h.2. Volume 9, No.1, Nop 2009 xli pembangunan itu sendiri, maupun kegiatan yang timbul akibat adanya pembangunan tersebut. Bertambahnya lembaga-lembaga hukum sejalan dengan laju pertumbuhan dan semakin majemuknya kegiatan bisnis, mendorong timbulnya kontrak-kontrak yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistematika kontrak yang ada. Tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan bentuk kontra tersebut tidak lepas dari beberapa faktor yang antara lain faktor intern. Faktor intern merupakan faktor yang datang dari berbagai kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengembang penciptaan kemakmuran negara dan rakyat Indonesia, sehingga harus turut campur dalam bidang ekonomi. Hal ini merupakan manifestasi dari corak negara kesejahteraan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.salah satu contoh faktor intern yang mempengaruhi suasana dan kegiatan bisnis nasional adalah dikeluarkannya berbagai paket deregulasi yang membuka kesempatan berbagai pihak baik pribumi maupun asing untuk berpartisipasi menanamkan usahanya di Indonesia. Misalnya PAKDES 27, 1987,pakto 27,1988 dan PAKNOV 24,1988 yang memberikan perlunakan dan memperbesar bidang usaha yang tadinya tertutup, kini dibuka kembali untuk orang asing di Indonesia, walaupun masih terbatas, pada mulanya dengan PP no.36/1977 tentang pengakhiran kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan berdasarkan Bedrijfsreglementeringsordonantie 1934 (s. 1938 no.86),dapat dikatakan bahwa kegiatan usaha asing telah dihentikan. Tetapi dengan PAKDES 27 1987, pemerintah telah membuka kembali usaha asing di bidang produksi yang didirikan berdasarkan UU No. 1/1967 tentang PMA, para pengusaha asing diperkenankan melakukan pemasaran produknya di dalam negeri sampai tingkat penyalur, tetapi usahanya harus melalui usaha patungan (joint venture) antara perusahaan asing yang bersangkutan dengan perusahaan nasional yang bertindak sebagai penyalur atau agen. Pengertian joint venture menurut Friedman dibedakan dua macam.91 pertama joint venture yang tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga kerjasama tersebut hanya terbatas pada “know how” yang di bawa, ke dalam joint venture. Know-how mencakup “technical service agreement, franchise and brand use agreement, construction and other job performance contract, management contract and rental agreements”. Jenis joint venture kedua ditandai oleh partisipasi modal, untuk membedakan jenis pertama dengan kedua, ia menggunakan istilah “joint venture” untuk jenis pertama dan untuk jenis kedua “equity joint venture”. Dalam praktek sehari-hari pengertian joint venture merupakan suatu perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan baru yang didirikan bersamasama oleh beberapa perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan yang berdiri sendiri dengan menggabungkan potensi usaha termasuk knowhow dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut perjanjian yang telah sama-sama disetujui.92 91 Holganng G. Friedman and George Kalmanaff: ”Joint International Venture”, New York, 1961,h. 110-111. 92 B. Natipulu, joint venture di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1975, h. 34. xlii Volume 9, No.1, Nop 2009 Dari pengertian sehari-hari tersebut joint venture dapat dikatakan memiliki tanda-tanda sebagai berikut: 1. perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan lain. (Joint Company). 2. modal joint company terdiri dari know-how dan modal saham yang disediakan oleh masing-masing perusahaan pendiri. 3. perusahaan-perusahaan pendiri joint venture tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing. 4. khusus untuk Indonesia seperti yang kita kenal sampai sekarang, joint venture merupakan kerjasama antara perusahaan domestik dan perusahaan asing, tidak menjadi soal apakah modal pemerintah atau modal swasta. Menurut Sumaryati Hartono Joint Venture adalah kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka (contraktueel).93 Dalam arti yang luas, pengertian joint venture tidak saja mencakup suatu kerjasama di mana masing-masing pihak melakukan penyertaan modal (equity joint venture). Tetapi juga bentuk-bentuk kerjasama lainnya yang lebih longgar, yang kurang penanaman sifatnya, serta tidak harus melibatkan partisipasi modal. Pola yang pertama mengarah kepada pembentukan suatu badan hukum, sedangkan pada pola yang kedua perwujudannya nampak dalam berbagai bentuk kontrak keerjasama (contractual joint venture); dalam bidang manajemen (manajement contract), pemberian lisensi/Lisence agreement), bantuan tehnik dan keahlian(technical assistance and know-how agreement, dan lain sebagainya.94 Sementara itu, joint venture dapat juga diartikan sebagai usaha patungan, dan perjanjian yang dibuat (misalnya oleh pengusaha Indonesia dan pihak asing) dalam rangka kerjasama itu, merupakan suatu kontrak yang bersifat internasional. Hal itu disebabkan perjanjian itu dibuat antara pihak-pihak di mana masing-masing pihak adalah tunduk pada sistem hukum nasional yang berlainan.95 Sedangkan dalam Black`s Law Dictionary seperti yang dikutip oleh Amirizal (1996) di jelaskan bahwa joint venture adalah suatu badan hukum (legal entity) yang berwujud suatu perserikatan (in the nature of apartnership) yang diperjanjikan dalam usaha bersama. Suatu kumpulan dari beberapa orang yang secara bersama-sama menjalankan usaha komersial, ”joint venture” memerlukan persamaan kepentingan dalam menjalankan pokok urusan, adanya hak dan kewajiban untuk mengarahkan atau pengurusan dalam kebijaksanaan atau pengurusan dengan kebijaksanaan tertentu, yang 93 Sumaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Alumni, Bandung, 1972, h.127. 94 Amirizal, Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia teori dan Praktek, djambatan, Jakarta, 1996, h. 83. 95 Sudargo Gautama, Beberapa Persoalan Berkanaan Dengan Perjanjian Joint Venture Di Indonesia, Hukum dan Pembangunan, 5 Oktober 1990, h. 447. Volume 9, No.1, Nop 2009 xliii dapat diubah melalui perjanjian, untuk memperoleh keuntungan dan menanggung kerugian secara bersama-sama.96 Jika kita mengacu pada pengertian yang luas, berdasarkan suatu perjanjian, maka kerjasama (joint venture) adalah bentuk suatu perjanjian yang menekankan pada usaha patungan yang tidak sementara sifatnya. Usaha patungan yang berbentuk ketika dua pihak atau lebih, baik secara pribadi maupun perusahaan, masing-masing bermaksud menjadi mitra dalam suatu kegiatan, dan mengaturnya secara bersama dengan membentuk perusahaan baru yang saham-sahamnya juga dimiliki secara bersama-sama.97 Pada umumnya perusahaan patungan dimulai dengan suatu perjanjian patungan (joint venture agreement). Perjanjian tersebut dibuat antara para pemegang saham menjelang perusahaan patungan itu berdiri, yang menggambarkan ekuitas kekuasaan yang nyata melalui saham-saham dalam perusahaan setelah perusahaan terwujud. Di Indonesia, perjanjian patungan mengenai penanaman modal asing dan joint venture bukan hanya tunduk pada UU no.1/1967 dan KUH Perdata khususnya buku 3, bab 2, tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan pada ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diputuskan oleh pemerintah mengenai penanaman modal asing.98 RUMUSAN MASALAH Suatu transaksi joint venture akan membawa pula dampak pada pengaturan dan hubungan hukum antara para pihak dari segi hukum perdata internasional, sebab di dalamnya terkait unsur asing. Oleh karena itu, untuk adanya kepastian hukum maka halhal yang diperjanjikan dalam hubungan kerjasama tersebut (joint venture agreement). Hal-hal yang menimbulkan persoalan dari suatu perjanjian, adalah menyangkut peradilan atau arbitrase harus disepakati yang akan ditentukan secara bersama, hal tersebut sangat berguna untuk menengahi, apabila timbul perselisihan di antara mereka di kemudian hari. Bertitik tolak pada problem hukum di atas, maka penulis dapat mengangkat judul penulisan ini dengan judul penyelesaian sengketa kontrak joint venture tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak, jika yang disepakati arbitrase yang bakal menyelesaikan sengketa antara mereka, maka pihak-pihak tersebut harus tunduk dan melaksanakannya. Dan teori yang digunakan adalah teori dari Huala Andolg, hukum arbitrase komersial internasional. PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL ASING (JOINT VENTURE) 96 97 Amirizal, Op.cit., h. 80. Eman Radjaguguk, Indonesianisasi Saham, Bina Aksara, Jakarta,1 985, h. 12. 98 Ibid., h.13. xlivVolume 9, No.1, Nop 2009 Berdasarkan pasal 23 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, tidak semua bidang usaha terbuka bagi penguasaan penuh modal asing. Dalam bidang-bidang tertentu umpamanya yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, investor asing harus mengadakan kerjasama dengan pengusaha (mitra)lokal. Selanjutnya hal ini dapat kita lihat dalam daftar negative investasi di mana dalam bidang-bidang usaha tertentu dapat dilaksanakan “joint venture”. Berdasarkan keputusan Menteri Negara Penggerak Dana investasi/ketua badan koordinasi Penanaman Modal (BKPM) no. 15/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham Perusahaan yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, pada pasal 8 tercantum bidang-bidang usaha yang harus diselenggarakan oleh perusahaan “joint venture” yaitu: Pelabuhan, Produksi, Transmisi dan Distribusi Tenaga Listrik untuk umum; Telekomunikasi, Pelayaran, Penerbangan, Air Minum, Kereta Api Umum,; Pembangkitan Tenaga Atom dan Mass Media. Selain alasan keharusan oleh undang-undang seperti tersebut di atas, faktorfaktor penting lainnya yang mendorong investor asing berusaha dalam bentuk “joint venture” dengan mitra lokal adalah :99 a. peranan mitra lokal sangat penting karena menjual produk asing di suatu negara tertentu sangat sulit bagi orang asing, dalam hal ini investor asing dapat memperoleh akses ke pasar domestik yang dimiliki oleh mitra lokal. b. Pemerintah biasanya merupakan pembeli (konsumen) yang besar, namun di sisi lain ada kebijakan bahwa pembelian di utamakan bagi barang-barang produksi dalam negeri. Oleh karena P.T. “joint venture” dianggap sebagai perusahaan dalam negeri, maka peluangnya menjadi terbuka untuk menjual hasil produksi kepada pemerintah. c. Dengan bentuk “joint venture” lebih mudah untuk mendapatkan dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah serta mendapatkan kemudahan dan perlakuan sama, diantaranya melalui deregulasi. d. Mitra lokal yang bisa diandalkan, dalam banyak hal akan lebih mampu menerobos hambatan birokrasi, bahkan dapat mempengaruhi tindakan birokrasi melalui hubungan baik dengan para pejabatnya . e. Dengan “joint venture”, kesulitan mendapatkan sumber daya manusia dan semangat serta kekuatan moralnya dapat diatasi dengan baik. Apabila dilihat dari kepentingan mitra lokal (investor lokal), maka “joint venture” akan memberikan keuntungan yaitu:100 1. mitra lokal mendapatkan bantuan pendanaan dengan memanfaatkan modal asing. 2. mitra lokal dapat memanfaatkan kemampuan manajemen asing yang kaya pengalaman. 99 Amirizal, Op.Cit6. ,hal. 95. Ibid . , hal. 96. Volume 9, No.1, Nop 2009 100 xlv 3. mitra lokal dapat memanfaatkan dan menembus pasar di luar negeri yang dikuasai oleh investor asing. 4. mitra lokal dapat menerima alih teknologi asing. 5. mitra lokal dapat meningkatkan kemampuan karyawan domestik dengan latihan yang diberikan oleh investor asing. Sedangkan kerugian yang mungkin diderita mitra lokal sehubungan dengan kerja sama “joint venture” adalah:101 1. manajemen tidak dapat dikuasai sepenuhnya oleh mitra lokal, melainkan harus dibagi dengan pihak investor asing yang lebih mempunyai kemampuan. 2. jika joint venture dilakukan dengan pihak Mulu Nasional Corporation (MNC),maka strategi dan pasar akan ditentukan menurut cara-cara yang berlaku di dalam MNC tersebut. 3. pelatihan dan manajemen belum tentu diberikan dalam batas-batas kemampuan yang memadai untuk standar asing. 4. kemungkinan transfer teknologi dari partner asing dilakukan dalam ukuran yang kurang optimal. Selain itu hasil penelitian dan pengembangan tidak seluruhnya diberikan kepada “joint venture”. 5. kemungkinan transfer nilai harga dengan perusahaan induk dalam dimensi lebih besar dapat dilaksanakan yang bisa menyebabkan kerugian bagi mitra lokal, karena besar prosentase sahamnya turun. Keputusan ketua BKPM No. 12/sk/1986 tanggal 4 Juni 1986 tentang persyaratan pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, menetapkan bahwa perusahaan penanaman modal asing harus berbentuk usaha patungan (“joint venture”) dengan penyertaan modal nasional sekurang-kurangnya 20% dan meningkat menjadi 51% dalam waktu 10 tahun sejak dimulainya produksi komersial perusahaan. Ketentuan tersebut dengan perkembangan waktu dan perkembangan kebutuhan akan modal asing, menjadi melunak. Besarnya penyertaan saham lokal dalam perusahaan “joint venture” berbeda-beda dari waktu ke waktu. Ketentuan yang berikut mengatur PMA dalam bentuk “joint venture” di Indonesia, tertuang dalam beberapa paket deregulasi yaitu: a. PP No. 50 tahun 1993. paket Deregulasi bulan Oktober 1993 ini lebih berani dibandingkan paket deregulasi bulan Juli 1992, memuat ketentuan: 1) Di kawasan berikat produksi dengan tujuan ekspor ini dimungkinkan PMA 100% bagi bidang yang maksimum 25% produknya untuk pasaran dalam negeri. Komposisi pemilikan saham antara investor asing dengan mitra lokal menjadi 80% dibanding 20% dalam waktu 20 tahun dimulai sejak 10 tahun berproduksi komersial. 2) Untuk investasi besar dengan modal di setor minimal 50 juta dollar AS di daerah tertentu dimungkinkan juga PMA 100%. Kepemilikan saham antara investor asing 101 Ibid ., h. 97. Volume 9, No.1, Nop 2009 xlvi dengan mitra lokal menjadi 49% dibanding 51% dalam waktu 20 tahun dimulai sejak 10 tahun berproduksi komersial. 3) Investasi modal asing 100% dimungkinkan untuk perusahaan yang menghasilkan bahan penolong barang setengah jadi atau komponen untuk industri lain dengan modal minimal 2 juta dollar AS. Kepemilikan saham antara investor asing dengan mitra lokal menjadi 49% dibanding 51% dalam waktu 20 tahun sejak dimulainya produksi komersial. b. PP No. 20 tahun 1994. paket deregulasi ini memuat ketentuan : 1) untuk perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka komposisi modal antara investor asing dengan mitra lokal adalah 95% dibanding 5%. Sedangkan perkembangan peningkatan kepemilikan saham mitra lokal diserahkan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan yang meliputi jangka waktu maupun perimbangannya. Dengan kata lain PP ini tidak mengharuskan adanya indonesiasisasi saham. 2) Di luar bidang-bidang yang telah ditentukan (berdasarkan daftar negatif investasi), maka PMA boleh 100%,dengan ketentuan dalam jangka waktu 15 tahun sejak berproduksi komersial harus menjual sebagian sahamnya kepada WNI atau badan hukum Indonesia, secara langsung maupun melalui pasar modal. Pengalihan saham kepada mitra lokal tidak mengubah status perusahaan. Kerjasama “joint venture” yang isinya antara lain mengenai besarnya modal yang akan ditanamkan, bagian masing-masing pihak dalam bentuk saham, susunan Direksi dan komisaris (manajemen), transfer, teknologi, pengalihan saham, hukum yang berlaku terhadap perjanjian ”joint venture” tersebut. Sebagian dari isi perjanjian “joint venture” dituangkan dalam Anggaran Dasar PT. “joint venture”, seperti mengenai besarnya modal, Susunan Direksi dan Komisaris. Namun demikian sebaliknya pada saat pembuatan konsep, tidak semua ketentuan dalam Anggaran Dasar PT> “joint venture” dituangkan dalam perjanjian “joint venture”. Perjanjian “joint venture” dan Anggaran Dasar PT. ”joint venture” merupakan “konstitusi” dari PT. “joint venture”. Menurut Hukum Indonesia, perusahaan ”joint venture” yang berbentuk PT. Maka perusahaan “joint venture” tersebut terlepas dari perusahaan induknya dan bertanggung jawab terhadap pihak ketiga sebatas kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan PT. ”joint venture” tersebut. Anggaran dasar PT. “Joint venture” dan ketentuan lain terdapat dalam akta pendirian. Sebagian dari Anggaran dasar PT merupakan penuangan dari isi perjanjian “joint venture” . sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara perjanjian “joint venture’ menjadi sumber dan pokok-pokoknya tertuang dalam Anggaran Dasar PT. “joint venture”. Hal-hal yang bisa dimasukkan dalam Anggaran Dasar PT. “joint venture” yang berasal dari perjanjian “joint venture” akan dimasukkan. Oleh karenanya sangat jarang atau bahkan tidak pernah bahwa isi dari anggaran dasar PT. “joint venture” berbeda atau bertentangan dengan isi dari perjanjian “joint venture”. Secara yuridis sengketa mengenai perjanjian “joint venture” Volume 9, No.1, Nop 2009 xlvii mengacu kepada klausula dispute settlement yang sebagian besar memilih arbitrase, sedangkan anggaran dasar PT. “joint venture” mengacu kepada UU No.1 tahun 1995. dalam pengajuan ijin kepada BKPM, para pihak diwajibkan mengirimkan sebagai lampirannya adalah perjanjian “joint venture” yang sudah disetujui dan ditanda-tangani oleh para pihak serta konsep (draft) dari anggaran dasar PT. ”joint venture”. Prosedur ini ditempuh karena BKPM akan melihat kalau ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ataupun ada hal-hal yang merugikan pihak investor lokal. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK JOINT VENTURE Sebagai mana telah disinggung dalam bab pendahuluan bahwa penyelesaian sengketa kontrak joint venture tergantung kepada kesepakatan pihak-pihak yang telah tertuang dalam perjanjian joint venture. Jika telah disepakati penyelesaian sengketa akan diselesaikan melalui forum arbitrase, maka forum arbitraselah yang akan menyelesaikan. Oleh karena itu perlu diperhatikan maksud klausula arbitrasenya. Pembahasan mengenai arbitrase dalam bagian ini dititik beratkan kepada pembuatan, penyusunan dan perumusan klausula-klausula arbitrase harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Sesuai dengan azas hukum perjanjian, maka Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana yang terdapat pada pasal 1338 KUH Perdata (BW) akan mengikat mereka yang membuat perjanjian bagaikan undang-undang. Keputusan Mahkamah Agung no. 117 K/Sip/1971 antara lain menyatakan bahwa : “perjanjian adalah undang-undang bagi kedua belah pihak”. Klausula arbitrase merupakan dasar pijakan bagi kewenangan para arbiter untuk memeriksa serta memutuskan perkaranya. Klausula arbitrase juga menentukan seluas apa serta sejauh mana ruang lingkup kewenangan para arbiter. Dalam membuat klausula arbitrase harus diperhatikan secara seksama syarat-syarat Konvensi New York 1958 dan juga syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum nasional yang berlaku terhadap klausula arbitrase. Tidak semua sengketa dapat diserahkan penyelesaiannya pada lembaga arbitrase. Hanya sengketa-sengketa mengenai hak-hak subyektif yang sepenuhnya dikuasai para pihak saja yang dapat diajukan pada peradilan arbitrase. Pasal 616 RV menyatakan bahwa: “tidaklah diperkenankan, atas ancaman kebatalan, untuk mengadakan suatu persetujuan perwasitan mengenai penghibahaan atau penghibah wasiat nafkah, mengenai perceraian atau perpisahan dari meja dan tempat tidur antara suami dan istri, mengenai hukum seseorang, ataupun mengenai lain-lain sengketa tentang mana ketentuan-ketentuan undang-undang tidak diperbolehkan mengadakan suatu perdamaian”. Volume 9, No.1, Nop 2009 xlviii Salah satu instrument arbitrase yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian arbitrase internasional untuk dapat diakui dan dilaksanakan, secara lengkap telah diatur dalam Konvensi New York 1958 pada pasal II, yaitu:102 a. perjanjian tersebut harus dibuat secara tertulis. b. Perjanjian tersebut mengatur sengketa-sengketa yang telah timbul atau yang mungkin timbul di antara para pihak. c. Sengketa-sengketa yang telah timbul tersebut adalah sengketa-sengketa yang berasal dari suatu hubungan hukum baik yang sifatnya kontraktual atau bukan. d. Sengketa-sengketa tersebut adalah masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh arbitrase. e. Para pihak dalam perjanjian tersebut memiliki kemampuan hukum menurut hukum yang berlaku kepada mereka. f. Perjanjian arbitrase harus sah menurut hukum para pihak dan apabila tidak ada pengaturan seperti itu, maka perjanjian tersebut harus sah menurut negara di mana suatu putusan arbitrase dibuat. Dalam penyelesaian sengketa antar para pihak dalam PT. “joint venture”, para investor asing lebih suka memilih arbitrase dari pada penyelesaian sengketa melalui pengadilan, karena alasan-alasan sebagai berikut :103 1. sidang arbitrase tidak terbuka untuk umum sehingga tidak akan mengurangi pandangan (image) terhadap PT. “joint venture” tersebut. sifat dari arbitrase adalah sesuai dengan keinginan dari para pihak yaitu pravitasasi sengketa, sehingga terhinadar adanya publikasi media massa yang berlebihan dan kadang memojokkan yang menyebabkan berkurangnya kredibilitas dan bonafiditas dari kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa dalam arbitrase mengarah kepada penyelesaian yang menguntungkan kedua pihak (win-win solution). Sebaliknya sidang-sidang pengadilan terbuka untuk umum, penyelesaian sengketa di pengadilan untuk mencari kebenaran baik formal maupun materiil. penyelesaian di pengadilan akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lain (win lose solution). Suasana adanya pihak yang salah dan kalah, merupakan situasi dan kondisi yang harus dihindari apabila kerja sama akan dilanjutkan. 2. penyelesaian sengketa melalui arbitrase relatif lebih singkat apalagi putusan arbitrase adalah merupakan putusan yang final and binding. Arbitrase dianggap lebih cepat dari pada pengadilan karena ada ketentuan dalam arbitrase mengenai batas waktunya sehingga lebih menguntungkan dalam segi waktu. Jangka waktu kerja arbitrase dibatasi oleh undang-undang seperti di Indonesia oleh peraturan hukum acara perdata (reglement op de burgerlijke rechtsvordering, di singkat R.V.). dalam pasal 644 R.V, memberi batas waktu penyelesaian sidang 6 bulan sampai pada putusan akhir dan final. Sedangkan B.A.N.I memberikan batas waktu 3 bulan dengan kesempatan perpanjangan tambahan 3 bulan lagi. Dalam ketentuan I.C.C (international chamber of commerce) pada arbitrase pasal 2 102 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Grafindo Persada Jakarta, 1994, h. 40. Girsing, Arbitrase Jilid II, Mahkamah Agung, Jakarta , 1992, h. 3-4. Volume 9, No.1, Nop 2009 xlix 103 3. 4. 5. l disebutkan bahwa apabila para pihak memilih wasit tunggal, maka diberi batas waktu untuk penentuan wasit tersebut sampai 30 hari sejak klaim untuk sidang arbitrase diterima oleh pihak lain. Apabila tidak tercapai maka penunjukan wasit ditentukan oleh sidang pengadilan P.T. “joint venture” yang hasil dari produknya diperdagangkan sampai ke pasar internasional membutuhkan penyelesaian sengketa ssecara cepat, karena bila berlarut-larut akan menghambat gerak laju dari perusahaan itu, merugikan para pemegang saham sedangkan di lain pihak akan menguntungkan para pesaing. Dengan cepatnya penyelesaian sengketa berupa putusan majelis arbitrase maka juga berarti menghemat biaya bagi para pihak. Adanya putusan dari majelis arbitrase masih terbuka peluang untuk melanjutkan kerja sama antar para pihak dalam P.T. “joint venture”. sedangkan penyelesaian sengketa di pengadilan lebih panjang karena adanya pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali. Penyelesaian yang lambat dari Peradilan Pemerintah terutama disebabkan adanya sistem (melsel) tukar-menukar kesimpulan. Sistem ini dalam arbitrase tidak tertulis, namun biasanya persiapan tertulis dari suatu penanganan secara lengkap dianggap tidak dapat di hilangkan. Pada arbitrase menghemat waktu karena persidangan perkara diputus dalam satu tahap saja. Namun demikian proses arbitrase yang rumit acapkali tidak lebih cepat dari penanganan oleh Pengadilan Negeri. Contohnya adalah kasus sengketa perkara Hotel Kartina Plaza, antara AMCO Asia Corporation, Pan American Development limited dan P.T. Amco Indonesia melawan Republik Indonesia, yang diajukan pertama kali pada tanggal 15 Januari 1981 dan baru diputus 4 tahun kemudian.104 arbitrase dipilih oleh para pihak sendiri sehingga integritasnya terpercaya, begitu juga pengalaman dan keahlian mereka, terlebih lagi persengketaan mengenai usages of trade dan teknologi modern dianggap para pihak sebaiknya ditangani oleh para profesional sendiri. Di lai n pihak hakim pengadilan terkadang bukanlah orang yang ahli dalam bidang yang di persengketakan. dalam bidang arbitrase tidak banyak formalitas yang dituntut dan harus diikuti oleh para pihak. Berbeda halnya dengan peradilan biasa yang penuh dengan formalitas. Seperti tata cara pemanggilan, tata cara penyampaian exploit, jangka waktu tertentu untuk melakukan tindakan hukum, seperti pembatasan untuk naik banding, penyampaian waktu untuk sidang, bentuk atau format untuk risalahrisalah atau lain-lainnya. Ketidak tepatan dalam mengikut formalitas tersebut diatas, dapat menyebabkan hilangnya kesempatan untuk melanjutkan pemeriksaan. Hal ini pun bisa terjadi dalam mengeksekusi putusan arbitrase yang memerlukan bantuan dari pengadilan. Ini adalah merupakan bentuk ketergantungan dari arbitrase kepada pengadilan. Selama para pihak mempunyai itikad baik dan masih adanya sportifitas dari keduanya, maka penyelesaian 104 The Hon Mr. Justice Kerr, International Arbitrase V, Litigation, Hongkong: 1979, h. 165. Volume 9, No.1, Nop 2009 permasalahan tidak terlalu sukar. Namun adakalanya yang kalah dalam arbitrase masih juga berupaya mencari ikhtiar lain yaitu melakukan upaya hukum di pengadilan. Padahal sudah ada kesepakatan umum bahwa apabila sudah melalui arbitrase maka tidak dibolehkan lagi melalui pengadilan. Di sinilah letak sportifitas dari para pihak yang bersengketa. Pengusaha yang tidak jujur dan tidak beritikad baik akan selalu berupaya untuk mengelak dari kewajibannya dan berusah untuk mengulur-ulur waktu dengan berbagai cara, termasuk menempuh upaya hukum untuk menganulir putusan majelis arbitrase. Oleh karenanya arbitrase hanya bermanfaat bagi para pengusaha yang beritikad baik. 6. bagaimanapun juga pada era globalisasi ini, perjanjian antar para pihak penyelesaian persengketaan di dunia bisnis internasional termasuk persengketaan dalam P.T. “joint venture”, yang menyerahkan penyelesaiannya ke pengadilan relatif jarang dan akan bertambah langka. Di antara alasan kenapa para pihak lebih memilih arbitrase daripada pengadilan tersebut adalah karena banyak bentuk standar kontrak yang dipergunakan dalam dunia bisnis internasional biasanya dalam bahasa Inggris, kebanyakan transaksi yang dilakukan tiap hari dalam negosiasinya menunjuk penyelesaian sengketa dengan melalui arbitrase. Hal ini disebabkan arbitrase siap digunakan dalam segala situasi dan kondisi, nasional maupun internasional. Bahkan kalaupun dalam perjanjian mereka menunjuk kepada arbitrase ad hoc, karena salah satu atau kedua belah pihak sering kali adalah merupakan anggota dari assosiasi perdagangan yang aturanaturannya mengarah kepada arbitrase, atau lebih familiar dengan istilah kontrak standar dari klausula arbitrase, sehingga menghendaki klausula yang demikian yang ingin dimasukkan dalam perjanjiannya. Sebagian besar dari perjanjian “joint venture” dalam rangka penanaman modal asing memilih arbitrase luar negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa, di samping itu ada yang memilih arbitrase dalam negeri yaitu badan arbitrase nasional Indonesia (B.A.N.I). ada perjanjian “joint venture’, yang dalam rumusan klausula pemerintah sebelum masuk penyelesaian sengketa mengenai materinya (substansinya). Oleh karenanya suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase yang jelas akan sangat bermanfaat bagi penyelesaian sengketa. Klausula arbitrase seharusnya mencantumkan dengan jelas apakah arbitrase tersebut dilaksanakan melalui arbitrase “ad hoc” atau melalui arbitrase permanen. Menurut Sumaryati Hartono, sampai kini kebanyakan sengketa ekonomi diselesaikan secara berdamai antara kedua belah pihak.105 kadang-kadang suatu instansi pemerintah, seperti badan koordinasi penanaman modal bertindak sebagai penengah. Misalnya dalam hal terjadi sengketa antara penanaman modal asing dengan penanam luar negeri. Seringkali pula BKPM bahkan mencarikan partner baru (asing maupun Indonesia) untuk menjaga kelangsungan suatu joint venture yang terlibat dalam sengketa antar penanam modal asing dengan pengusaha Indonesia. Dalam hal-hal 105 Sumaryati hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina cipta, Bandung, 1982, h. 161. Volume 9, No.1, Nop 2009 li seperti ini BKPM sebenarnya tidak bertindak sebagai arbiter (karena memang tidak ada landasan hukum yang memberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi) akan tetapi BKPM sekedar bertindak dalam rangka melancarkan PMA. Dalam rangka ini bahkan BKM hampir-hampir bertindak sebagai konsultan.106 KESIMPULAN penyelesaian sengketa kontrak joint venture dapat diselesaikan sesuai bunyi kontrak yang telah mereka sepakati. Sesuai dengan asas perjanjian yang tertuang dalam pasal 1338 KUH Perdata (BW) jo, Keputusan Mahkamah Agung RI no. 117/k/sip/1971 tanggal 2 Juni 1971 antar lain menyatakan bahwa :’perjanjian adalah undang-undang bagi kedua belah pihak jika dalam kontrak joint venture terdapat klausula jika terjadi persengketaan di kemudian hari akan diselesaikan melalui forum arbitrase tidak di forum pengadilan, maka jika terjadi kasus, arbitraselah yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Jadi klausula arbitrase merupakan dasar pijakan bagi kewenangan para arbiter untuk memeriksa serta memutus perkaranya. Dalam praktek sebelum sengketa joint venture itu dianjurkan ke forum arbitrase, sebelumnya dapat diselesaikan melalui musyawarah (perdamaian), yaitu melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai penengah. Dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan suatu joint venture antara investor asing dengan investor lokal. lii 106 ibid Volume 9, No.1, Nop 2009 PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 Oleh: H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Ketika lembaga jaminan masih hipotik, proses eksekusinya tetap merujuk pada acara perdata dalam HIR. Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan diharapkan segala hambatan yang dialami oleh hipotik dapat ditutupi, namun dalam praktiknya pelaksanaan Hak Tanggungan juga menghadapi masalah yang serupa dengan hipotik. Kata Kunci: Hak Tanggungan – Pengaturannya – Proses eksekusinya LATAR BELAKANG Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia sebelum berlakunya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) yang telah diundangkan pada tanggal 24 September 1960 dan telah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 tahun 1960107 bersamaan dengan berbagai perangkat Hukum Agraria, ada yang bersumber pada Hukum Adat yang berkonsepsi komunalistik religius, ada yang bersumber pada Hukum Perdata Barat yang individualistik-liberal dan ada pula yang bersumber dari berbagai bekas Pemerintahan Swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal108. Dengan lahirnya UUPA telah dihapuskan dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria kolonial dan berakhirnya dualisme dalam hukum agraria109 yang berlaku di Indonesia yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan bangsa110. UUPA merupakan suatu * Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan. 107 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya),Jilit I, Djambatan, Jakarta 1999, hal 1. 108 Ibid, hal 1. 109 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cet.Keenam, PN Balai Pustaka, Jakarta 1984, hal 318. 110 Agus Sekarmadji, Pluralisme Hukum di Bidang Pertanahan (Tinjauan dari Aspek Antropologi Hukum), Yuridika Volume 16, Nomor 2, Maret 2001. Volume 9, No.1, Nop 2009 liii Undang-Undang yang progresif111, maka pada tanggal 24 September 1960 merupakan suatu tanggal yang penting dalam kehidupan hukum pertanahan di Indonesia. Asas yang diletakkan dalam pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatakan, bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara112, hal ini sesuai dengan jiwa dan alam bangsa Indonesia. Dengan demikian kelihatan adanya titik terang dan jaminan yang pasti bagi bangsa dan rakyat Indonesia atas tanah. Dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru ini sebagai pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Tentu saja mengenai Undang-Undang yang baru disini adalah dimaksudkan Undang-Undang Agraria yang berdasarkan Hukum Adat. Kiranya mengenai hukum adat yang telah berabad-abad berkembang disamping hukum Eropa tentunya akan mengalami pengaruh-pengaruh yang tidak sedikit113, karena bagi hukum Eropa itu mempertegak sistem Liberalisme, hukum adatpun akan mengandung dalam beberapa hal unsur-unsur tersebut. Karenanya buat hukum adat itu perlu dibersihkan dari pengaruh-pengaruh tersebut yang tidak sesuai lagi dengan dasardasar Sosialisme Indonesia. Sedang bagi landasan Undang-Undang Pokok Agraria ialah hukum adat yang dibersihkan dari unsur-unsur yang bersifat pemerasan serta mengindahkan Undang-Undang Agama. Kalau tadi kita sebutkan bahwa landasan UUPA adalah hukum adat, hal ini tepat sekali karena hal ini sesuai dengan pribadian kita, karena hukum adat merupakan hukum asli bagi bangsa Indonesia114. Dalam penjelasan pasal 5 UUPA sendiri mengatakan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru115, hal ini mengandung unsur nasionalisme sehingga lebih cepat diterima oleh masyarakat. Mendasarkan pada hukum Adat berarti bahwa asas-asas hukum adat tentu kita pakai sebagai dasar pengaturan hukum agraria. Itupun harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dan Negara yang modern atau dengan perkataan lain disesuaikan dengan kebutuhan jaman. Menafsirkan pasal 5 UUPA sebagai yang disebut terakhir, yaitu menafsirkan UUPA didasarkan atas hukum adat yang telah disesuaikan dengan kebutuhan jaman, mempunyai keuntungannya, bahwa UUPA masih bisa menampung asas-asas lain yang bermanfaat bagi perkembangan hukum Agraria sekalipun tidak dikenal dalam hukum adat116. Tanah merupakan salah satu jenis benda tetap yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat. Terlebih lagi ketika era modernisasi, segenap lintasan mulai dipacu, peranan tanah semakin mengedepan. Pada gilirannya 111 Kukuh Achmadi, Pengantar Hukum Agraria, Diktat Kuliah Hukum Agraria, Universitas Jember, Jember 1777, hal 12. 112 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan-Buku I, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 25. 113 Kukuh Achmadi, Op Cit, hal. 13 114 Ibid, hal. 13 115 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Cet. Ketujuh, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1986, hal. 37. 116 J. Satrio, Op Cit hal. 27. liv Volume 9, No.1, Nop 2009 nilai tanah menjadi semakin tajam dialami oleh masyarakat kota yang tingkat pertumbuhannya semakin pesat, sehingga kebutuhan terhadap tanah menjadi bertambah rumit dan langka. Berdasarkan fakta di atas, maka masalah tanah akan semakin sentral menyita perhatian banyak kalangan. Pada dasarnya hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang dan sudah barang tentu dapat pula dialihkan, memiliki nilai ekonomis yang cukup sentral. Oleh sebab itu hak-hak atas tanah tersebut memungkinkan pula untuk dijadikan obyek jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan pasal 51 UUPA yang menegaskan bahwa Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 UUPA diatur dengan Undang-Undang117. Sedangkan Undang-Undang yang dimaksudkan dalam pasal 51 UUPA tersebut belum terwujud, sesuai dengan ketentuan pasal 57 UUPA yang berlaku adalah ketentuanketentuan mengenai Hypotheek yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW) dan ketentuan tentang Crediet Verband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908 – 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937 – 1990 yang dipergunakan sehubungan dengan pengikatan jaminan kredit. Ketentuan-ketentuan tentang Hypotheek dan Crediet Verband masih diberlakukan sementara118 sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tersebut. Hypotheek dan Crediet Verband merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional119. Ketentuan tentang Hypotheek dan Crediet Verband itu tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hukum jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbulnya perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalampelak sanaan hukum jaminan atas tanah, misalnya mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya. Sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan)120. Dengan demikian berlaku dualisme aturan yang mengatur mengenai jaminan khususnya hak-hak atas tanah berikut benda-benda yang ada di atasnya yaitu ketentuanketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana termaktub dalam Buku II Kitab Undang117 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Op Cit hal 20. 118 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan (Asasasas Dan Permasalahan yang dihadapi Perbankan), Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, Yayasan Pembangunan Hukum Bisnis, Jakarta, 1997, hal 5. 119 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok Dan Masalah masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Cet. Pertama, Airlangga niverty Press, Surabaya, 1996, hal 1. 120 Ibid, hal 2. Volume 9, No.1, Nop 2009 lv Undang Hukum Perdata Indonesia (BW) dan ketentuan-ketentuan tentang Crediet Verband sebagaimana termaktub dalam Staatsblad 1908 – 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937 - 1990121. Dualisme aturan yang mengatur tentang jaminan122 tersebut hanya hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang dapat dibebani dengan hak tanggungan berupa Hypotheek dan Crediet Verband, begitu pula bendabenda lain selain hak-hak atas tanah tersebut dan bangunan yang ada di atasnya tidak diatur dalam dua lembaga jaminan tersebut di atas. Padahal kita tahu bahwa macammacam hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan pasal 16 UUPA, banyak sekali macam-macam hak-hak atas tanah yang boleh dimiliki oleh setiap orang baik perorangan ataupun secara bersama-sama atau Badan Hukum. Dua aturan lembaga jaminan yaitu Hypotheek dan Crediet Verband belum menampung keinginan para pengguna jasa lembaga pengkreditan (Kreditor dan Debitor), sehingga sangat diperlukan suatu aturan yang mengatur mengenai jaminan atau Hak Tanggungan yang bisa menampung keinginan para pelaku bisnis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Melewati rentang waktu lebih dari tigapuluh lima tahun 123 kemudian setelah lahirnya UUPA dan sebagai wujud dari tuntutan amanat dari pasal 51 UUPA, maka Undang-Undang Hak Tanggungan yang dijanjikan tersebut terwujud tepatnya pada tanggal 9 April 1996 yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, maka terwujudlah sudah unifikasi Hukum Tanah Nasional124. Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dengan mengambil alih atau mengacu asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hypotheek yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Bila kedua lembaga jaminan ini diperbandingkan, maka banyak asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari Hypotheek yang diambil alih atau ditiru dari Hypotheek. Namun ada pula asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok Hak Tanggungan yang berbeda bahkan ada asas-asas 121 Mariam D. Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta 1997, hal 32. 122 Eko Handoko, Beberapa Pembahasan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Materi dalam Penataran Dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang Dan Hukum Ekonomi tanggal 29 sampai dengan 31 Juli 1996, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, hal 1. 123 Maria S.W. Sumarjono, Prinsip Dasar Dan Isyu di Seputar UUHT, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta 1997, hal 37. 124 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok Dan Masalah-masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Loc. Cit, lvi Volume 9, No.1, Nop 2009 dan ketentuan-ketentuan pokok dari Hak Tanggungan yang baru yang tidak terdapat dalam Hypotheek.125 Selain itu masih adanya tanah-tanah yang statusnya tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan126 misalnya tanah sewa Kotamadya, tanah sewa PJKA, tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Bangunan yang mengunakan ruang bawah tanah yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi di atasnya, dan tanah-tanah yang walaupun didaftar akan tetapi menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindah tangankan. RUMUSAN MASALAH Dengan berlakunya dualisme aturan yang mengatur mengenai jaminan khususnya hak-hak atas tanah berikut benda-benda yang ada di atasnya yaitu ketentuanketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana termaktub dalam Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia (BW) dan ketentuan-ketentuan tentang Crediet Verband sebagaimana termaktub dalam Staatsblad 1908 – 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937 – 1990, serta kedua aturan tersebut hanya mengatur tentang jaminan hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, begitu pula benda-benda lain selain hak-hak atas tanah tersebut dan bangunan yang ada di atasnya tidak diatur dalam dua lembaga jaminan tersebut. Padahal berdasarkan ketentuan pasal 16 UUPA, banyak sekali macam-macam hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh setiap orang baik perorangan ataupun secara bersamasama atau Badan Hukum. Sehingga dipandang perlu untuk dikeluarkan Undang-Undang tentang Hak Tanggungan baru yang bisa menampung keinginan pengguna jasa lembaga pengkreditan (Kreditor dan Debitor) dan para pelaku bisnis khususnya serta masyarakat pada umumnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah yang bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah dalam penulisan ini, yaitu sebagai berikut : Bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ? 3. Pelaksanaan Hak Tanggungan Perjanjian Hak Tanggungan adalah Perjanjian Accesoir127. Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah 125 Sutan Remy Sjahdeine, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok Dan Masalahmasalah yang dihadapi oleh Perbankan, Op. Cit. hal. 2. 126 Eko Handoko, Ibid hal 2. 127 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas Dan Permasalahan Yang Dihadapi Perbankan, Op Cit. Hal 10. Volume 9, No.1, Nop 2009 lvii karena adanya perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian Induk bagi perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang dijamin itu. Dengan kata lain perjanjian hak tanggungan adalah suatu perjanjian accesoir. Sesuai dengan ketentuan pasal 10 UUHT, bahwa pemberian hak tanggungan harus didahului dengan adanya janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji itu harus dituangkan didalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang dijamin itu atau dari perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Diharuskannya terlebih dahulu ada perjanjian yang menimbulkan utang itu adalah sesuai dengan sifat dari hak tanggungan yang accesoir, yaitu merupakan ikutan dari perjanjian pokoknya128. Berdasarkan penjelasan pasal 10 ayat (1) UUHT, perjanjian pokok yang menimbulkan utang itu dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akta otentik, bergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dengan kata lain, apabila materi perjanjian ini diharuskan oleh ketentuan hukum dibuat dengan akta otentik, maka perjanjian pokok itu (yaitu yang menimbulkan utang yang dijamin dengan hak tanggungan) haruslah dibuat dengan akta otentik. Namun apabila menurut ketentuan yang berlaku untuk materi perjanjian itu cukup apabila perjanjiannya dibuat dengan akta dibawah tangan, maka perjanjian pokoknya itu cukup dibuat dengan akta dibawah tangan. Dalam praktek perbankan129, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan perjanjian kredit dibuat dengan akta otentik. Perjanjian Kredit dapat dibuat baik dengan akta di bawah tangan maupun akta otentik (akta notaris). Praktek yang berlaku ialah, untuk kredit-kreditnya dibuat dengan akta notaris. Sedangkan untuk kredit-kredit yang berjumlah kecil antara lain Kredit Usaha Kecil (KUK) cukup dibuat dengan akta dibawah tangan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian utang, berdasarkan ketentuan pasal 3 UUHT, bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau utang yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan bank garansi atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan hutang piutang130. 128 Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Hasil Seminar dalam Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 hal.77., 129 Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Loc Cit. 130 Bambang Setijoprojo, Pengamanan Kredit Perbankan Yang dijamin oleh Hak Tanggungan, Hasil Seminar dalam Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 hal. 54. lviiiVolume 9, No.1, Nop 2009 KUH Perdata tidak memberikan pengaturan secara umum yang khusus mengenai utang dan pengertian utang. Ketentuan mengenai utang hanya terdapat dalam materi tertentu dan tidak diatur secara umum, misalnya terdapat dalam : (1) Pasal 1754 sampai dengan pasal 1769 KUH Perdata tentang pinjam meminjam, yang memberikan pengertian pinjam meminjam sebagai persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Hutang yang terjadi karena peminjaman uang hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam persetujuan. Perjanjian Kredit menurut R. Subekti, pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam. (2) Pasal Pasal 1176 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu hipotik hanyalah sah, sekadar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan adalah tent dan ditetapkan dalam akta. Jika hutangnya bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu, maka pemberian hipotik senantiasa sah sampai jumlah harga taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkan di dalam aktanya. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT menjelaskan bahwa Sesuai dengan sifat accesoir dari hak tanggungan, pemberiannya harus merupakan ikutan dari perjanjian pokok , yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang piutang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal hubungan utang-piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun diluar negeri dan pihakpihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia. a. Obyek Hak Tanggungan. Menurut UUPA, yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, sebagaimana diatur dalam pasal 25, 33 dan 39 UUPA. Namun dengan lahirnya UUHT merupakan ketentuan baru yang mengatur penjaminan hak atas tanah, meskipun namanya Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Terlebih lagi apabila dikaitkan pada asas pemisahan horisontal yang menjiwai UUPA, maka sebenarya judul yang paling baik adalah Hak Tanggungan Atas Tanah saja tanpa melibatkan benda-benda lain yang melekat pada tanah. Obyek Hak Tanggungan yaitu hak tanah atas tanah terdaftar, mirip dengan obyek hypotheek dalam N.N.BW (Nieuwe Nederlands Burgerlijk Wetboek) yaitu semua benda terdaftar. Belanda telah mengadakan pembagian baru atas benda, sehingga selain terdapat pembedaan benda bergerak dan tidak bergerak juga pembedaan benda terdaftar dan tidak terdaftar. Volume 9, No.1, Nop 2009 lix Indonesia setelah berlakunya UUPA juga harus mengadakan pembedaan baru atas benda yang bertitik tolak dari pemikiran UUPA yang menganut asas pemisahaan horisontal dan asas nasionalitas (proteksi terhadap hak atas tanah tertentu, Hak Milik, HGU dan HGB), sehingga pembedaan benda akan menjadi : benda tanah dan bukan tanah. Selain itu perkembangan pada negara maju yang telah membedakan atas benda terdaftar dan tidak terdaftar perlu pula diterapkan131. Pada prinsipnya, obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yakni wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindah tangankan (untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran hutang yang dijamin pelunasannya)132. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan133 Syarat-syarat hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan diperluas oleh I. Soegiarto, yaitu : 1. Dapat dinilai dengan uang (karena utang yang dijamin berupa uang), 2. Merupakan hak yang telah didaftar (daftar umum pendaftaran tanah sebagai syarat untuk memenuhi asas publisitas), 3. Bersifat dapat dipindah tangankan (dalam hal debitor cidera janji benda tersebut dapat dijual dimuka umum), dan 4. Memerlukan penunjukan dalam peraturan perundang-undangan.134 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sugiri Kadarisman yang menyatakan bahwa obyek Hak Tanggungan adalah bidang tanah (satu bidang atau lebih) yang telah terdaftar (telah diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya) dan mempunyai sifat dapat dipindah tangankan135. Selanjutnya dalam Bab II pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa : "(1) Hak-hak Atas Tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah : a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; 131 Djuhaendah Hasan, Hak Tanggungan Implikasinya Terhadap Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta,1997, hal 45. 132 Maria S.W. Sumardjono, Prinsip Dasar Dan Beberapa Isu Di Seoputar Undang-Undang Hak Tanggungan, dalam Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang berkaitan dengan tanah Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 43. 133 Urip Santoso, Op cit, hal 332 134 Soegiarto, I, “”, Jurnal Hukuim Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis Hak Pakai Atas Tanah Negara, Jakarta, 1997, hal.97. 135 Sugiri Kadarisman, Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Undang-Undang Hak Tanggungan,,Makalah Seminar Fakultas Hukum U niversitas Trisakti bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tanggal 10 April 1996, hal.3 lx Volume 9, No.1, Nop 2009 c. Hak Guna Bangunan. (2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan. (3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada Hak Atas Tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang Hak Atas Tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. (5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang Hak Atas Tanah, pembebanan Hak Tanggungan Atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik." Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut di atas yaitu Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria, menunjukkan bahwa pada asasnya yang menjadi obyek hak tanggungan sesuai dengan obyek pengaturan UUPA berdasarkan pasal 1 sub 2, pasal 2 sub 1 dan pasal 5 adalah Tanah atau Hak Atas Tanah. Namun dari ketentuan tersebut di atas kita juga tahu bahwa tidak semua hak atas tanah sekalipun merupakan hak atas tanah menurut UUPA, bisa menjadi obyek Hak Tanggungan. Selanjutnya sekalipun tidak dinyatakan secara tegas, tetapi kita bisa menyimpulkan dari ketentuan tentang hak atas tanah yang sekarang berlaku bahwa yang dimaksud di atas adalah hanya hak-hak atas tanah menurut UUPA. Hak Milik Atas Tanah Adat sekalipun memakai nama yang sama - hak milik - sebelum hak itu dikonversi menjadi hak atas tanah menurut UUPA tidak bisa dijadikan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan penjaminan itu sekaligus diproses konversinya dan didaftarkan (pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Hak Tanggungan). Sudah bisa dibayangkan bahwa diberikannya kemungkinan untuk menjaminkan hak atas tanah milik adat seperti tersebut di atas, adalah untuk memenuhi kebutuhan sebagian daripada para calon pengambil kredit yang merupakan kelompok ekonomi lemah, yang hanya memegang petok atau letter C, sebagai bukti kepemilikan tanahnya. Namun masih ada yang menghendaki agar diberikan jalan keluar yang lebih luwes lagi, mengingat kemungkinan adanya hambatan birokrasi dan biaya 136. 136 J. Satrio, S.H. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Cet.I, PT. Citra Aditya Bakti , Bandung, 1997, hal 178. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxi Dalam praktek dunia perbankan sangat sulit sekali Kreditur untuk menerima obyek hak tanggungan berupa hak milik atas tanah adat sekalipun juga dijamin dengan sekaligus diproses konversinya dan didaftarkan. Mungkin hal itu bisa saja dilakukan dengan pengecualian bagi debitur-debitur yang memang sudah tidak diragukan lagi oleh Kreditur, dalam artian kepercayaan kepada Debitur memang sudah tidak diragukan lagi. Penyebutan hak-hak atas tanah dalam pasal 4 tersebut di atas sebenarnya hanyalah merupakan pengulangan belaka atas apa yang sudah dikatakan dalam pasal 25, 33 dan pasal 39 UUPA. Mengenai apa yang dimaksud dengan hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, kita perlu melihatnya dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya. Hanya saja beberapa segi yang lain yang dalam UUPA dijanjikan akan diatur dalam peraturan lebih lanjut, banyak yang sampai kini belum terwujud. Dalam penjelasan dikatakan bahwa hak guna bangunan meliputi juga hak guna bangunan atas tanah negara, diatas tanah hak pengelolaan dan hak milik. Adanya hak guna bangunan atas tanah negara dan hak milik sudah disebutkan dalam pasal 37 UUPA, sedang yang atas hak pengelolaan telah diatur dalam PMDN No. 5/1974. Selama ini yang banyak kita temui adalah hak guna bangunan atas tanah negara, sedang yang atas tanah hak milik belum pernah menjumpainya dalam praktek 137. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan suatu ketentuan bahwa yang memungkinkan Hak Pakai dijadikan sebagai obyek Hak Tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan obyek hipotik. Dalam UndangUndang atas rumah susun, Hak Pakai memang bisa dijaminkan untuk menjamin suatu hutang tetapi melalui lembaga Fiducia. Jadi Hak Milik atas satuan rumah susun dalam lembaga Hypotik dianggab sebagai benda bergerak. Di atas telah disebutkan bahwa Hak Pakai bisa dijadikan jaminan dengan memakai lembaga Hak Tanggungan, tetapi untuk sementara ini baru Hak Pakai tertentu saja, karena berdasarkan pasal 4 ayat 2 tersebut di atas, Hak Pakai yang bisa menjadi obyek Hak Tanggungan harus Hak Pakai Atas Tanah Negara dan menurut ketentuan yang berlaku harus didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Ada beberapa jenis hak pakai, berdasarkan ketentuan pasal 41 UUPA yang menjelaskan bahwa ada Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Hak Pakai Atas Tanah Milik orang lain. Bila dipahami dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Pakai yang termasuk dalam obyek hak tanggungan adalah : Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan serta menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (3) menjelaskan bahwa mengenai tanah Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Syarat lain tentang obyek Hak Tanggungan yaitu bahwa Hak Atas Tanah tersebut juga harus sudah terdaftar, namun demikian dalam kenyataannya ada hak atas 137 Ibid, h.al 179. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxii tanah walaupun sudah terdaftar tetapi masih tidak bisa dipergunakan sebagai obyek hak tanggungan, seperti ketentuan tentang hak pakai yang termuat dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Sehingga diperlukan juga syarat lain yaitu bahwa obyek hak tanggungan tersebut juga harus bisa dipindah tangankan Syarat ini mengingatkan kita kepada pasal 1320 jo. Pasal 1332 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang sahnya suatu perjanjian yang mengatakan bahwa "Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan". Dalam ketentuan tentang Hypotik juga ada syarat "barang-barang yang dapat diperdagangkan", seperti yang tercantum dalam pasal 1164138. Ketentuan diatas dimaksudkan bahwa obyek hak tanggungan tersebut adalah barang-barang yang dapat dipindah tangankan dalam artian obyek tersebut mudah untuk diperjual belikan atau diperdagangkan. Hak ini dimaksudkan bilamana Debitur Wanprestasi, maka Kreditur sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undangundang mempunyai kewenangan untuk mengeksekusinya, yang tidak lain merupakan suatu penjualan di depan umum kecuali dalam hal-hal tertentu bisa dilakukan dibawah tangan. Suatu perkembangan baru dalam dunia perbankan kita khususnya mengenai lembaga jaminan, yang semula tidak pernah kita temukan. Dalam ketentuan pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan ternyata juga memberi peluang yang sangat besar yaitu seseorang dapat menjaminkan juga bangunan, tanaman dan hasil karya yang ada atau akan ada yang bersatu atau nantinya akan bersatu dengan tanah tersebut. Pembebanan atas bangunan, tanaman dan hasil karya yang ada atau akan ada di atas bidang tanah yang menjadi obyek hak tanggungan tersebut dengan tegas akan dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. b. Pihak-Pihak Dalam Hak Tanggungan Pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hak tanggungan yaitu : a. Pemberi Hak Tanggungan, b. Pemegang Hak Tanggungan. 2.2.3.1 Pemberi Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu pihak yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Pemberi hak tanggungan bisa orang perseorangan atau badan hukum. Pemberi hak tanggungan disebut juga Debitor yaitu pihak yang berutang dalam hubungan utang piutang139. Yang dapat menjadi pemberi hak tanggungan berdasarkan ketentuan pasal 8 UUHT adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap byek hak tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian oleh karena obyek hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna 138 Ibid, h. 181. Urip Santoso, Op Cit, hal. 336. Volume 9, No.1, Nop 2009 139 lxiii Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara, maka sejalan dengan ketentuan pasal 8 UUHT, yang dapat menjadi pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Ha Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Serta kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) UUHT harus telah dan masih ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan (Pasal 8 ayat (2) UUHT). Dalam hal pemberi hak tanggungan adalah suatu perseroan terbatas, pelaksanaannya haruslah memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut ketentuan pasal 88 ayat (1) UU tersebut, Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atas sebagian besar kekayaan perseroan. Selanjutnya menurut pasal 88 ayat (4) UU tersebut, bahwa untuk melakukan perbuatan hukum mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagaian besar kekayaan perseroan itu, diumumkan dalam 2 (dua) Surat Kabar Harian paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak pebuatan hukum tersebut dilakukan140. Mengenai siapa aja yang berhak sebagai pemegang/pemilik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Gunan Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara dapa dilihat pada ketentuan UUPA dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai Hak Milik adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum tertentu. Menurut pasal 21 ayat (1) UUPA, orang perseorangan yang dapat mempunyai Hak Milik adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian, orang asing tidak mungkin mempunyai tanah dengan hak milik. Selanjutnya dalam pasal 21 ayat (2) UUPA, oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syarat. Dengan demikian pada asasnya Badan Hukum tidak mungkin dapat mempunyai tanah dengan hak milik kecuali ditentukan secara khusus oleh Undang-Undang atau peraturan lainnya, seperti yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1973, yaitu : a. b. c. Bank-bank yang didirikan oleh negara, Perkumpulan-perkumpulan Koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 198. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama. 140 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas Dan Permasalahan Yang Dihadapi Perbankan, Op Cit. Hal. 56. lxivVolume 9, No.1, Nop 2009 d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Sosial. Menurut pasal 30 ayat (1) UUPA Jo pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1996, yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha ialah Warga Negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sehingga dengan demikian orang asing tidak dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia yang berupa HGU, seperti halnya tidak pula dapat mempunyai Hak Milik atas tanah. Menurut pasal 36 ayat (1) UUPA Jo. Pasal 19 UU Nomor 40 Tahun 1996, yang dapat mempunyai HGB ialah Warga Negara Indonesia , dan Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sehingga ketentuan mengenai siapa yang dapat mempunyai HGB tidak berbeda dengan ketentuan mengenai siapa yang dapat mempunyai HGU. Menurut pasal 42 UUPA Jo. Pasal 39 UU Nomor 40 tahun 1996, yang dapat mempunyai hak pakai ialah : a. b. c. Warga Negara Indonesia, Orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Badan Hukum yang didikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, d. Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak Pakai yang dimaksudkan adalah hak pakai yang diberikan kepada perseorangan dan badan-badan hukum selama jangka waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usaha. Tidak termasuk hak pakai yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan adalah yang diberikan kepada instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badanbadan keagamaan dan sosial serta Perwakilan Negara Asing, yang peruntukannya tertentu dan menurut sifatnya tidak dapat dipindah tangankan. UUHT membuka kemungkinan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah berdasarkan pasal 43 ayat (2) dikemudian hari juga menjadi obyek hak tanggungan, apabila pada waktunya telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. b. c. d. dapat dinilai dengan uang karena hutang yang dijamin berupa uang, termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus memenuhi syarat publisitas, mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum, dan memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang, (tersurat dan tersirat dalam Penjelasan Umum angka 5 dan penjelasan pasal 4 ayat (1) UUHT) 141. 141 Boedi Harsono dan Sdaryanto Wirjodarsono, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan, dalam Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang berkaitan dengan tanah Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 11. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxv Berdasarkan Ketentuan pasal 9 UUHT, Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau Badan Hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang hak tanggungan adalah siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu baik untuk orang perseorangan Warga Negara Indonesia maupun orang asing. Berkenaan dengan Pemberi Hak Tanggungan dengan Debitor, menurut hemat penulis bisa merupakan satu kesatuan (satu Subyek Hukum) atau mungkin juga berlain (dua Subyek hukum). Bilamana antara Pemilik Jaminan (Obyek Hak Tanggungan) juga dimiliki oleh Debitor, maka disini antara Pemilik Jaminan dan Debitor merupakan satu kesatuan (satu Subyek Hukum). Begitu pula bilamana Pemilik Jaminan (Obyek Hak Tanggungan) dimiliki oleh orang lain tidak dimiliki oleh Debitor, maka disini ada dua Subyek Hukum. c. Pemegang Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Ia dapat Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia. Pemegang Hak ini dapat pula orang asing yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pemegang Hak Tanggungan disebut juga Kreditor, yaitu pihak yang berpiutang dalam satu hubungan utang-piutang142. Berdasarkan ketentuan pasal 9 UUHT, Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang hak tanggungan adalah siapapun juga yang berwengang melakukan perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu baik orang perseorangan Warga Negara Indonesia maupun Orang Asing. d. Janji-Janji Dalam Hak Tanggungan. Menurut pasal 11 ayat (2) UUHT, dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, dapat dicantumkan janji-janji tertentu. Dalam pasal 11 ayat (2) UUHT ditentukan bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain; 142 Urip Santoso, Loc Cit. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxvi a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Haak Tanggungan; Janji Yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeriyang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera; Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mecegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang; Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji; Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggunan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum; Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan; Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waaktu eksekusi Hak Tanggungan; Janji yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (4). Berdasarkan penjelasan pasal 11 ayat (2) UUHT, janji-janji yang dicantumkan tersebut bersifat fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya Akta Pemberian Hak Volume 9, No.1, Nop 2009 lxvii Tanggungan143. Pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Serta pasal 11 ayat (2) juga mengandung sifat yang tidak limitatif dari janji-janji yang disebutkan itu maksudnya boleh dicantumkan janji-janji lain selain dari jenis-jenis janji yang sudah disebutkan di dalam pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut. Dengan pencantuman janji-janji yang bersifat tidak limitatif tersebut bisa merugikan debitor, karena debitor sebagai pihak yang lemah (yang membutuhkan kredit) selalu akan menerima saja apa yang menjadi keinginan dari kreditor, yang mana janji yang dicantumkan tersebut merugikan/dirasa sangat memberatkan debitor. Namun semikian perlu diperhatikan pembatasan yang diatur dalam pasal 12 UUHT yang meyatakan : “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”144. e. Peringkat Hak Tanggungan. Dalam pasal 5 ayat (1) UUHT menentukan bahwa suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Dari pasal 5 ayat (2) dan dari pasal 6 UUHT, dapat diketahui bahwa Hak-Hak Tanggungan yang dibebankan di atas suatu obyek Hak Tanggungan berperingkat antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut pasal 5 ayat (2) UUHT, peringkat masingmasing Hak Tanggungan itu ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Menurut ayat (3) pasal 5 UUHT ditentukan bahwa apabila ada Hak Tanggungan yang didaftarkan pada tanggal yang sama, maka peringkatnya ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pembuatan Hak Tanggungan yang bersangkutan. Bagaimanakah peringkat dari beberapa Hak Tanggungan yang didaftarkan pada tanggal yang sama dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dari masingmasing Hak Tanggungan itu bertanggal sama pula ? Ketentuannya dapat diketahui dari penjelasan ayat (3) dari pasal 5 UUHT. Menurut penjelasan itu, oleh karena pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut hanya dapat dilkukan oeh PPAT yang sama, maka dalam hal terjadi tersebut diatas, peringkat Hak Tanggungan tersebut ditentukan oleh nomor urut akta pemberiannya. Oleh karena mendasarnya ketentuan mengenai urutan peringkat Hak Tanggungan sebagaimana telah dikemukankan diatas itu, untuk semua norma seyognya tidak sekedar hanya dikemukakan didalam penjelasan pasal 5 UUHT, tetapi ditentukan 143 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Dan Permasalahan Yang Dihadapi Perbankan, Op Cit. Hal 22. 144 Yuda Hernoko, Hukum Perjanjian Kredit Dan Jaminan (Aspek Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan), Diktat Kuliah Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2001, hal 38. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxviii sebagai salah satu ayat dari pasal 5 UUHT itu agar mempunyai kekuatan mengikat yang kuat. Penjelasan pasal 5 ayat (3) UUHT tersebut diatas yang mengemukakan bahwa pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan hanya dapat dilakukan pada PPAT yang sama menimbulkan keheranan. Sedangkan dalam pasal-pasal UUHT tidak terdapat ketentuan yang menentukan bahwa pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan harus dibuat oleh PPAT yang sama. Apa tujuan pembatasan itu ? Hal ini oleh perbankan dirasakan tidak praktis dan tidak akomodatif. Apabila memang akan diatur seperti itu (sekalipun sebaiknya tidak diatur seperti itu), maka ketentuan itu karena merupakan suatu norma seyogianya diatur dalam pasal-pasalnya. Atau apabila telah terlanjur tidak diatur demikian, maka seyogianya diatur dengan ketentuan tersendiri, misalnya dengan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria, tetapi tidak di dalam Memori Penjelasan UUHT. Oleh karena tidak ditentukan di dalam pasal-pasal UUHT, namun hanya dijelaskan di dalam Memori Penjelasan dari UUHT itu, maka timbul pertanyaan, apa konsekwensi hukumnya apabila pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan oleh PPAT yang berlainan ? Batal demi hukumkah Akta Pemberiaan Hak Tanggungan itu ? hal-hal yang termuat dalam Memori Penjelasan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan oleh karena itu tentunya dapat diabaikan (bila dirasakan menghambat dalam pelaksaannya). Ketentuan mengenai penentuan dari urutan pertingkat dari beberapa Hak Tanggungan yang telah dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dikemukakan diatas, merupakan perbaikan dari ketentuan mengenai penentuan peringkat dari beberapa hipotik yang dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana ditentukan di dalam pasal 1181 ayat (2) KUH Perdata. Menurut pasal 1181 ayat (2) KUH Perdata, mereka yang dibukukan pada hari yang sama, bersama-sama mempunyai suatu hipotik yang bertanggal sama, tidak peduli pada jam mana pembukuan itu dilakuakan, sekalipun jam dilakukan pembukuan itu dicatat oleh pegawai yang penyimpan hipotik Mengenai apakah akibat hukum dari hak pemegang Hak Tanggungan yang mempunyai peringkat yang lebih tinggi dari pemegang Hak Tanggungan yang lain, tidak diatur di dalam UUHT. Pembuat undang-undang tersebut tampaknya berpendapat bahwa hal itu sudah dengan sendirinya dimengerti. Menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini, bahwa untuk penerapannya tidak ada jalan lain daripada harus mengacu kepada praktek hipotik. Seperti halnya pada hipotik, Hak Tanggungan yang berperingkat lebih tinggi memperoleh hak untuk didahulukan daripada pemegang hak tanggungan yang lebih rendah untuk mengambil uang hasil pelelangan umum hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan tersebut. Dengan kata lain pemegang hak tanggungan pertama harus didahulukan daripada pemegang hak tanggungan kedua, pemegang hak tanggungan kedua harus didahulukan daripada pemegang hak tanggungan ketiga, demikian seterusnya. Apabila dari uang hasil pelelangan umum tersebut masih ada sisa uang setelah dikurangi jumlah uang untuk melunasi utang Volume 9, No.1, Nop 2009 lxix pemegang hak tanggungan yang berperingkat lebih tinggi itu, maka baru sisanya adalah menjadi hak dari pemegang Hak Tanggungan berikutnya yang lebih rendah peringkatnya.145 f. Pemberian, Pendaftaran dan Pencoretan Hak Tanggungan Setelah perjanjian pokok atau perjanjian kredit diadakan, maka berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses Pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu Tahap Pemberian Hak Tangggungan dan Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan. a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang dituangkan dalam Akta Pemberiaan Hak Tanggungan. Adanya hutang yang dijamin merupakan syarat sah bagi adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan: “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.” Sedangkan dalam Pasal 10 ayat (2) menyatakan : “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Mengenai APHT pasal 1 ayat (5) UUHT memberikan batasan sebagai berikut : “Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada Kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.” 145 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. hal 93 lxx Volume 9, No.1, Nop 2009 Dalam APHT harus memuat substansi yang bersifat wajib sebagaimana tertuang dalam pasal 11 ayat (1) yang mecantumkan: a. b. c. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a; penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin sebagaimana dimaksu dalam pasal 3 dan pasal 10 ayat (1); d. nilai tanggungan; e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Tidak dicantumkannya secara jelas dan lengkap persyaratan tersebut diatas dalam APHT akan mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Mengenai bentuk dan isi aktanya dibakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 dan Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional nomor 110-1039. 146 Menurut ketentuan pasal 10 ayat (3) UUHT, tata cara pemberian hak tanggungan atas obyek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak tanggungan tersebut dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dari penjelasan pasal 10 ayat (3) UUHT, yang dimaksud dengan “hak lama” adalah hak kepemilikan atas tanah yang menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Hal ini disebabkan pada saat ini masih banyak tanah dengan hak lama sebagaimana dimaksud diatas. Dengan pasal 10 ayat (3) UUHT itu bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pemberi Hak Tanggungan yang hak atas tanahnya masih merupakan hak lama sebagaimana yang dimaksud itu asalkan pemberiaan Hak Tanggungannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah dimaksud, disisi lain hal ini juga mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya. Ketentuan pasal 10 ayat (3) itu mempunyai keterkaitan dengan ketentuan pasal 8 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang didalam penjelasan pasal tersebut mengemukakan bahwa tanah girik, petuk dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan147. Yang dikemukakan dalam pasal 8 Undangundang nomor 7 tahun 1992 itu telah mengundang banyak reaksi karena girik, petuk dan lain-lain itu bukanlah merupakan tanda bukti hak kepemilikan atas tanah, tetapi sekedar merupakan tanda bukti pembayaran pajak atas tanah itu yang harus dibayar oleh mereka yang menggunakan taah itu. Dengan ketentuan pasal 10 ayat (3) UUHT itu, maka para pemilik tanah yang belum bersertifikat tetapi mempunyai girik, petuk 146 Yuda Hernoko, Op Cit. Hal 36. 147 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. Hal 107. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxi dan lain-lain yang sejenis dan menginginkan memperoleh kredit, dibukakan jalan mengenai bagaimana caranya untuk menjadikan tanahnya itu sebagai agunan untuk memperoleh kredit dengan jaminan Hak Tanggungan (penjelasan pasal 10 ayat (3) UUHT). Pada dasarnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan, kecuali dalam hal-hal tertentu dimana tidak dapat hadir sendiri dihadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT), maka diperkenankan menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat SKMHT). Pengaturan APHT dan SKMHT merupaka suatu langkah untuk mewujudkan adanya lembaga jaminan yang kuat, mengingat selama ini terjadi praktek penggunaan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH) justru mengesankan “tidak mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat”. Dengan demikian ketentuan UUHT, khususnya pengaturan APHT dan SKMHT, akan mendukung perbankan dalam menjalankan usaha untuk menetapkan mengindahkan prinsip kehati-hatian (prudential banking), dan turut berperan serta dalam mencegah dan memecahkan kredit bermasalah.148 SKMHT mempunyai jangka waktu berlakunya, yaitu mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan harus diikuti dengan pembuatan APHT (pasal 15 ayat (3) UUTH) dan mengenai tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan (pasal 15 ayat (4) UUHT), dengan ancaman apabila ketentuan tersebut tidak diikuti, maka SKMHT tersebut menjadi batal demi hukum (pasal 15 ayat (6) UUHT). Dengan berlakunya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 8 Mei 1996, telah ditetapkan batas waktu penggunaan untuk menjamin pelunasan kredit tertentu yaitu SKMHT tersebut berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya peerjanjian pokok yang bersangkutan.149 Adapun kreditnya adalah sebagai berikut : 1. 2. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang menjadi : a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa. b. Kredit Usaha Tani. c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya. Kredit Kepemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu : 148 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Buku I), Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 14. 149 Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, Komentar Atas Peraturan - Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (1996), Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 62. lxxiiVolume 9, No.1, Nop 2009 a. Kredit yang diberikan utnuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas maksimum 200 M2 (duaratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 M2 (tujuhpuluh meter persegi); b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 M2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 M2 (tujuhpuluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya; c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksuk huruf a dan b. 3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafond kredit tidak melebihi Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) antara lain: a. Umum Pedesaan (BRI) b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah). Ketentuan pasal tersebut tentulah bermanfaat bagi nasabah kecil mengingat biaya Akta Pembebanan Hak Tanggungan relatif memberatkan. Dengan demikian pula bagi pemegang tanggungan yang biasanya perbankan tidak terburu-buru untuk segera membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan, namun tetap ada kepastian hukum karena surat kuasanya masih tetap berlaku150 Sedangkan untuk obyek Hak Tanggungan berupa Hak Atas Tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut menentukan sebagai berikut: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit dibawah ini dengan obyek Hak Tangggungan berupa Hak Atas Tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, berlaku sampai 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya Sertifikat hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan : 1. 2. Kredit Produktif yang termasuk kredit usaha kecil sebagaimanadimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia no. 26/24/KEP/DIR tanggal 29 mei 1993 yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafond kredit Rp.50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah)keatas sampai dengan Rp 250.000.000,00 (duaratus limapuluh juta rupiah). Kredit Pemilikan Rumah yang termasuk dalam golongan Kredit Usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR tanggal 29 mei 1993 yang tidak termasuk jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2, 150 Ibid hal . 63. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxiii 3. 4. yaitu kredit yang diberikan untuk pemilikan rumah dan toko (ruko) oleh usaha kecil dengan luas tanah maksimum 200 m2 (duaratus meter persegi) dan luas bangunan rumah dan toko tersebut masing-masing tidak lebih dari 70 m2 (tujuhpuluh meter persegi) dengan plafond tidak melebihi Rp. 250.000.000,00 (duaratus limapuluh juta rupiah), yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiyai pengadaannya dengan kredit tersebut. Kredit untuk Perumahan Inti dalam rangka KKPA PIRTRANS atau PIR lainnya yang dijamin dengan dengan hak atas tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut. Kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka kredit apemilikan Rumah yang termasuk dalam pasal 1 angka 2 dan pasal 2 angka 2 yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaan dan pengembangannya dibiyai dengan kredit tersebut.151 b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan Dalam setiap perbuatan hukum mengenai hak tanggungan harus dibuatkan akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang yang selanjutnya harus dilakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan Kabupaten setempat dan dikeluarkan Sertipikat Hak Tanggungan, sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 44 PP Nomor 24 Tahun 1997, yang menyebutkan sebagai berikut : 1. 2. Pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan atas hak milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan paraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, pasal 39 dan pasal 40 berlaku juga untuk pembuatan akta PPAT yang dimaksud pada ayat (1). Sedangkan dalam penjelasannya menjelaskan, bahwa dipandang dari sudut hak tanggungan, pendaftaran pemberian hak tanggungan merupakan pendaftaran 151 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. Hal 85. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxiv pertama. Dipandang dari sudut hak yang dibebani, pencatatannya dalam buku tanah dan sertifikat tanah yang dibebani merupakan pemeliharaan data pendaftaran.152 Ketentuan yang mengharuskan didaftarkannya Hak Tanggungan bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan . Kepastian hukum tersebut meliputi: - Kepastian tentang subyek haknya; -Kepastian tentang obyek haknya. Dari ketentuan pasal 13 UUHT diatas, maka tata cara pendaftaran Hak Tanggungan , meliputi : - Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan; APHT harus sudah dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan APHT; Pembuatan buku tanah Hak Tanggungan; Tanggal buku tanah; Lahirnya Hak Tanggungan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide pasal 14 ayat (1) UUHT). Sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang Hak Tanggungan (vide pasal 14 ayat (5) UUHT) kecuali diperjanjikan lain, agar sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan diserahkan kepada kreditor (vide pasal 14 ayat (4) UUHT). Memang ketentuan pendaftaran di atas bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, kesederhanaan dan kecepatan proses pendaftaran, namun dalam praktek proses pengiriman APHT acapkali melebihi batas waktu 7 (tujuh hari), dengan berbagai alasan dan kendala yang ada. Padahal dengan terlampauinya batas waktu tersebut harus dibuat APHT baru, yang tentunya harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup mahal. Bahkan seringkali karena ketidak tahuan debitor maka beban biaya tambahan tersebut harus ditanggung oleh debitor. Pendaftaran sebagaimana diatur diatas bertujuan untuk memenuhi asas publisitas dan asas spesialitas, yang pada dasarnya bertujuan memberikan perlindungan baik kepada kreditor (khususnya) maupun kepada pihak debitor, serta pihak ketiga lainnya. Namun kiranya prosedur pendaftaran yang ideal sebagaimana tertuang dalam aturan normatif tersebut juga harus diikuti dengan langkah kongkrit dilapangan sehubungan dengan pemberian kemudahan proses (administrasi) pendaftaran. Prosess pendaftaran yang cepat, sederhana dan murah merupakan 152 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet. I, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 145. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxv tantangan bagi aparat terkait, khususnya Badan Pertanahan Nasional, dalam rangka mewujudkan sistem administrasi pertanahan yang baik.153 Penberian Hak Tanggungan menurut pasal 13 ayat (1) UUHT, wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Di dalam pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUHT dijelaskan bagaimana caranya pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. Tata cara pelaksanaanya adalah sebagai berikut : (a) Setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak, maka PPAT mengirimkan Akta Pemberiaan Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh Kantor Pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberiaan Hak Tanggungan itu. (b) Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. (c) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap sura-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Selanjutnya pasal 14 ayat (1) UUHT menentukan bahwa sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 14 ayat (4) UUHT ditentukan bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3) UUHT, dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Namun kreditor dapat memperjanjikan lain di dalam Akta Pemberiaan Hak Tanggungan, yaitu agar sertifikat hak atas tanah tersebut diserahkan kepada kreditor. Setelah sertifikat Hak Tanggungan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan sertifikat hak atas tanah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan diserahkan oleh Kantor Pertahan kepada pemegang Hak Tanggungan. Demikian menurut pasal 14 ayat (5) UUHT. Teknis pelaksanaan pendaftaran Hak Tanggungan diatur dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan. Peraturan ini merupakan peraturan pelaksanaan dari pasal 17 dan 28 UUHT dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Maksud dikeluarkannya peraturan 153 Yuda Hernoko, Op Cit. Hal 39. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxvi ini adalah untuk mengatur prosedur/proses pendaftaran Hak Tanggungan serta persyaratannya sesuai ketentuan pasal 10, 13 dan 14 UUHT. - Pencoretan Hak Tanggungan Sebagaimana dikemukaaan sebelumnya, Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan (pasal 13 ayat (1) UUHT), dan pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan bukubuku Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-buku hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan (pasal 13 ayat (3) UUHT). Sedangkan berlakunya atau lahirnya Hak Tanggungan itu adalah pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan tersebut (pasal 3 ayat (5) UUHT). Mengingat Hak Tangungan merupakan hak kebendaan, yaitu hak yang dapat dituntut oleh pemegangnya dari pihak ketiga yang menguasai atau memiliki obyek Hak Tanggungan itu apabila obyek Hak Tanggungan itu kemudian dialihkan oleh pemberi Hak Tanggungan semula, maka hapusnya Hak Tanggungan itu harus pula ditiadakan dari pencatatannya di buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan itu. Bila tidak demikian halnya, maka pihak ketiga tidak akan pernah tahu bahwa Hak Tanggungan itu telah hapus dan oleh karena itu tidak lagi mengikat bagi pihak ketiga. Ada beberapa hal yang menyebabkan Hak Tanggungan hapus, sebagaimana diterangkan dalam pasal 18 UUHT, yaitu : (a) Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; (b) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh Pemegang Hak Tanggungan; (c) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan Penetapan Peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; (d) Hapusnya Hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Untuk menjamin kepastian hukum, maka terhadap Hak Tanggungan yang telah dihapus, catatan adanya beban Hak Tanggungan pada Sertipikat hak atas tanah dan Buku Tanahnya perlu dicoret/roya hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 54 PP Nomor 24 Tahun 1997. Berkenaan dengan itu maka menurut pasal 22 ayat (1) UUHT, setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UUHT, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) UUHT itu, oleh pasal 22 ayat (4) UUHT ditentukan harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak tanggungan itu sudah lunas. Selanjutnya pasal 22 ayat (4) UUHT menentukan pula bahwa apabila karena suatu hal sertifikat Hak Tanggungan Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxvii itu tidak mungkin diberi catatan oleh kreditor sebagaimana dimaksud diatas, maka catatan pada sertifikat Hak tanggungan itu dapat diganti dengan pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas. Apabila hapusnya Hak Tanggungan itu karena kreditor melepaskan hak Tanggungan yang bersangkutan, maka pihak berkepentingan harus mengusahakan penyataan tertulis dari kreditor mengenai hapusnya Hak Tanggungan itu karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan. Bilamana kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana pada pasal 22 ayat (4) UUHT itu, maka berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (5) UUHT, pihak yang berkepentingan dapat meminta turut campurnya pengadilan dengan cara mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pngadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar. Sedangkan apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan negeri lain, menurut pasal 22 ayat (6) UUHT pemohonan tersaebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Setelah perintah Pengadilan Negeri yang dimaksud diperoleh oleh pihak yang berkepentingan, maka permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (5) dan ayat (6) UUHT itu diajukan kepada Kepala kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Demikian ditentukan oleh pasal 22 ayat (7) UUHT. Langkah berikutnya yang terjadi dalam proses pelaksanaan pencoretan Hak Tanggungan itu setelah permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang berkepentingan, Kantor pertanahan dalam waktu tuhuh hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan tersebut harus melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan tersebut menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Demikian ditentukan oleh pasal 22 ayat (8) UUHT. Sebagaimana telah diterangkan dimuka bahwa menurut pasal 2 ayat (2) UUHT, apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Dalam hal pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) UUHT itu, menurut ketentuan pasal 22 ayat (2) UUHT hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat oleh Kantor Pertanahan pada buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya. Namun pasal 22 ayat (9) Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxviii UUHT tidak menentukan batas waktu pelaksanaan pencatatan tersebut oleh Kantor Pertanahan sebagaimana ditentukan didalam pasal 22 ayat (8) UUHT yang telah diterangkan diatas. Hal ini juga tidak memberikan kepastian kepada pemohon mengenai kapan pelaksanaan pencatatan itu akan terlaksana.154 KESIMPULAN Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, maka banyak sekali kemajuan-kemajuan dan pembaharuan-pembaharuan di bidang hukum pertanahan nasional kita khususnya berkenaan dengan lembaga jaminan yang sebelumnya tidak kita jumpai dalam lembaga jaminan yang telah ada. SARAN apapun bentuknya dalam suatu pengikatan jaminan serta obyek suatu jaminan tidak akan ada persoalan yang rumit bilamana dalam pelaksanaan pengikatan jaminan tersebut tertanam adanya rasa saling percaya dan tanggung jawab yang besar dari para pelaku tersebut. 154 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. Hal 112. Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxix SIFAT DELIK DALAM PENCURIAN ALIRAN LISTRIK Oleh: Nur Hidayat, S.H., M.Hum.* ABSTRAK Delik terhadap aliran listrik adalah merupakan delik biasa, artinya ketika subyek hukum telah melakukan delik tersebut maka proses hukum guna menerapkan ketentuan pidana yaitu KUHP dan perundingan terkait harus tetap dilaksanakan. Adapun kerugian yang timbul dan diberikan ganti kerugian hanyalah merupakan faktor non yuridis. Kata kuci: Penyidikan – Delik Pencurian Aliran Listrik – Pemberian Ganti Rugi – Akibat Hukum. LATAR BELAKANG Apabila kita menengok sekilas sejarah hukum pidana, terutama tentang sanksinya, maka kita akan sulit untuk percaya bahwa dahulu manusia benar-benar merupakan makhluk yang sangat kejam. Jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung timur sampai ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpuk kepada pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.155 Apabila orang melihat ke dalam KUHP, khususnya ke dalam Buku II dan Buku III maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma, yakni norma-norma yang selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari sesuatu tindak pidana. Secara terperinci undang-undang telah mengatur tentang: (a) kapan suatu pidana itu dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku; (b) jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut; (c) untuk berapa lama pidana itu dapat dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan dan (d) dengan cara yang bagaimanakah pidana itu harus dilaksanakan.156 Walaupun alasan penjatuhan pidana itu telah banyak dipikirkan dan dicari alasan dan cara penerapan yang lebih manusiawi, namun sisa-sisa nafsu membalas manusia tidak kunjung pupus keseluruhannya dari sistem pemidanaan. Kita lihat di *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 155 Andi Hamzah, Hukum Pidana merupakan salah satu Cermin Paling Terpercaya mengenai Peradaban suatu Bangsa, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, h.35 156 Lamintang P.A.F., Hukum Panitensier Indonesia, Cet.IV, Armico, Bandung, 1984, h.13 Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxx dunia Barat betapa mereka dengan angkuhnya dengan dalih untuk menegakkan hak azasi manusia dan dunia yang lebih manusiawi, namun jika telah menyinggung kepentingan mereka sendiri maka nafsu untuk membalas itu juga muncul ke permukaan. Contoh kasus peledakan Word Trade Centre, yang membawa akibat perburuan seorang Usamah bin Laden. Khusus penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana penjara di Indonesia, sama sekali kurang efektif. Bagaimana mungkin pidana denda dapat efektif, jika jumlah denda di dalam HUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sedemikian kecilnya ditinggalkan oleh arus inflasi yang terus melanda. Kita dapat membayangkan, ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya sembilan ratus rupiah. Hakim dan Jaksa menjadi kurang respek dan tidak menerapkan pidana denda untuk delik-delik kekayaan. Keadaan ini menyadarkan kita bahwa betapa KUHP kita telah sangat ketinggalan jaman dalam segala seginya. Badan legislatif tampaknya kurang gairah untuk secara terus-menerus memonitor perkembangan dalam masyarakat untuk selanjutnya memanisfestasikan ke dalam KUHP. Demikian halnya siklus perundang-undangan pidana kurang jalan, setiap penciptaan undang-undang harus diikuti dengan peraturan pelaksanaan, penerapan dan penegakan yang akhirnya pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan itu menjadi masukan bagi legislatif guna perubahan dan perbaikan berikutnya. Dunia yang semakin sempit dan semakin laju gerak dan akal manusia memaksa pembuat undang-undang untuk berpacu dengan perubahan itu. Sesudah Perang Dunia II, karena legislatif tidak sempat menyusun revisi selama perang, maka semua KUHP di dunia ketinggalan jaman. Pada abad ini yang ditutup dengan kemajuan teknologi (termasuk komputer), maka legislatif seharusnya bekerja jauh lebih keras dan cepat. Jika tidak, kita akan mengalami kekosongan hukum yang pada gilirannya akan menambah kekacauan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Dalam pada itu hakekat hukum itu sendiri adalah untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.157 Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoor menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.158 Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum yang tertulis dan yang telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan Hukum Pidana ini tersebar di mana-mana sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk menjalankan undang-undang (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dan sebagainya) berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung ancaman-ancaman hukuman berupa suatu penderitaan terhadap si pelanggar.159 Tidak terbayangkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang KUHP, bahwa pada masa yang akan datang akan muncul berbagai tindak pidana dengan modus 157 Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.40 158 Ibid., h.42 159 Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.5 Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxxi operandi yang berbeda seperti yang ada sekarang. Hal tersebut dapat dimaklumi karena KUHP kita berdasarkan azas konkordansi, merupakan duplikat dari KUHP Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918 hampir tiga dekade setelah Belanda memberlakukannya.160 Tentunya KUHP tersebut mengandung unsur-unsur yang sudah out of date dan tidak mampu memformulasikan kejadian yang akan datang. Karena pembuat undangundang hukum pidana atau legislatif hanya melihat tindak pidana yang saat itu atau sebelumnya ada. Legislatif belum berniat untuk mempersiapkan ketentuan yang serba guna. Seiring dengan perkembangan jaman dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mencuat, sehingga dengan perkembangan dan kemajuan teknologi tersebut, tidak dapat disangkal bahwa berbagai segi kehidupan manusia dipermudah karenanya, untuk mencapai berbagai macam tujuan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Namun di samping itu tidak dapat dielakkan timbulnya dampak negatif yang perlu diwaspadai agar kemajuan yang dicapai tidak menjurus pada timbulnya bencana, ancaman, gangguan, tantangan, apalagi kehancuran terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, semakin canggih kehidupan masyarakat di segala bidang, maka tingkat kriminalitasnya pun semakin tinggi, baik kuantitas maupun kualitas, dengan segala bentuk modus operandi yang cukup kompleks pula. Sementara itu dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Di samping itu tenaga listrik mempunyai kedudukan yang penting dalam pembangunan nasional pada umumnya dan sebagai salah satu pendorong kegiatan ekonomi pada khususnya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar pertimbangan di atas, ketenagalistrikan menempatkan dirinya pada posisi senteral dalam kehidupan manusia, sehingga penyediaan tenaga listrik dikuasai Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui pemberian Kuasa Usaha. Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup dalam jumlah, mutu, dan keandalannya dengan harga yang terjangkau masyarakat merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan seiring dengan upaya pemanfaatan semaksimal mungkin sumber-sumber energi bagi penyediaan tenaga listrik dengan tetap memperhatikan keamanan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup. Badan usaha milik negara yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dibentuk untuk itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih 160 Kansil CST., Op.Cit., h.261 Volume lxxxii 9, No.1, Nop 2009 merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga listrik baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan. Pemberian kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan memberikan Kewenangan untuk menjalankan kepentingan umum dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik itu sendiri. Namun demikian, karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka dalam Undang-undang ini juga ditegaskan hak-hak rakyat dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum terhadap rakyat. Di samping itu, apabila badan usaha lain baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum dan perorangan yang mendapatkan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik mempunyai kelebihan tenaga listrik, maka kelebihan tenaga listriknya dapat dijual untuk kepentingan umum. Untuk itu badan usaha lain tersebut harus mengajukan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum terlebih dahulu kepada Pemerintah. RUMUSAN MASALAH Hak-hak rakyat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain untuk mendapatkan ganti rugi yang layak dan adil atas tanah atau kerusakan bangunan dalam rangka pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik. Di samping itu rakyat berhak pula mendapatkan pelayanan yang wajar untuk memperoleh tenaga listrik, dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada. Karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh Pemerintah agar dapat terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan, selain diatur hak dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan serta masyarakat yang menggunakan tenaga listrik, juga diatur sanksi yang cukup berat terhadap tindak pidana yang menyangkut ketenagalistrikan, mengingat sifat bahaya dari tenaga listrik dan akibat yang ditimbulkannya. Mengenai kelalaian yang mengakibatkan matinya orang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, sedang ketentuan mengenai kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan dan yang menyebabkan lukanya seseorang disebabkan karena tenaga listrik atau karena penyalahgunaan tenaga listrik sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, sedangkan penggantian kerugian sebagai akibat dari hal tersebut di atas disesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku. Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik beberapa permasalahan dengan rumusan masalah, sebagai berikut: Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxxiii 1. 2. Apakah dasar Pengenaan Pencurian Aliran Listrik sebagai tindak pidana? Dapatkah proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana Pencurian aliran listrik dihentikan akibat tersangka membayar kerugian korban? PENCURIAN ALIRAN LISTRIK SEBAGAI TINDAK PIDANA 1. Pemberlakuan Azas-azas Hukum dalam Hukum Pidana Kebijaksanaan menanggulangi kejahatan baru yang berkembang dalam masyarakat harus terkait dengan dua pemikiran yaitu pandangan masyarakat yang maju meninggalkan sikap keterbelakangan dalam memahami aspek-aspek hukum pidana dan kecenderungan peningkatan kejahatan yang lebih profesional perlu diimbangi dengan peningkatan ilmu dari para petugas hukum yang profesional. Pemikiran tentang hukum pidana dan kejahatan yang demikian itu, pada masa sekarang dimaksudkan untuk menggerakkan masyarakat lebih maju (social engineering) agar masalah konflik sosial yang disebabkan perilaku kejahatan itu diatasi dalam rangka keterkaitan dengan politik sosial untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan hukum pidana menjadi bagian yang integral dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Apabila masih terdapat anggapan di tengah masyarakat yang terkurung dalam lingkaran yang sempit, bahwa adanya kejahatan yang timbul di tengah masyarakat selalu dipikirkan dengan pemecahan membuat undang-undang baru (yang belum tentu siap pakai), kemudian keinginannya berapa banyak tumpukan perundang-undangan hukum pidana yang dikehendaki oleh masyarakat. Bahkan bisa jadi timbul inflasi undang-undang yang menjurus ke arah kemerosotan wibawa hukum pidana. Penambahan peraturan hukum pidana terus makin bertumpuk untuk menganggulangi kejahatan ternyata hasilnya bisa sebaliknya dan kejahatan tumbuh bergerak terus. Hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat ini banyak perilaku yang bersifat deviasi sosial. Berbagai perilaku penyimpangan seperti pelayanan kesehatan yang komersial dengan membawa korban dan banyak perilaku anti sosial lainnya sebagai bentuk kejahatan baru. Sementara itu, hukum pidana mempunyai kemampuan terbatas dan penerapan hukum pidana banyak mengandung dampak keburukan yang merugikan individu maupun sosial, karena sifat hukum pidana yang terbatas tersebut. Dalam ilmu hukum telah banyak ungkapan kedudukan norma hukum di antara norma-norma sosial lainnya. Pada masa yang lalu para ahli hukum menyusun urutan norma dengan deretan norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.161 Urutan tempat norma-norma tersebut didasarkan perbedaan sumber nilai, tujuan dan pembentukannya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. 161 Kansil C.S.T.., Op.Cit., h.84 Volume lxxxiv 9, No.1, Nop 2009 Pemikiran yang berkembang justru urutannya tidak lagi sedemikian itu, melainkan norma hukum berada di tengah sehubungan substansi dan sifat bekerjanya masing-masing norma. Kehidupan bermasyarakat tidak dapat dihandalkan dengan tatanan dari norma hukum tanpa dukungan tatanan sosial lainnya dalam usaha mencapai tujuan kesejahteraan sosial. Pemikiran tentang penegakan hukum pidana tidak boleh dilupakan dalam lingkup usaha menanggulangi kejahatan secara menyeluruh, oleh karena itu di samping menggunakan hukum pidana diperlukan sarana lain dari tatanan sosial dan kekuatan sosial dan kekuatan sosial untuk melindungi masyarakat yang diganggu oleh perilaku kejahatan. Berbagai bentuk perilaku tercela yang dirasakan membahayakan dan merugikan masyarakat janganlah serta merta berpaling kepada hukum pidana yang diperkirakan dapat mengatasi segala persoalan gangguan sosial tersebut. Latar belakang dan motivasi kehidupan dalam masyarakat perlu diikutsertakan dalam memahami kaitan antara hukum pidana dan perilaku yang nyata-nyata jahat maupun yang potensial bersifat jahat. Kita jangan sampai keliru mengamati hubungan antara gejala kejahatan dalam rangkaian tertib sosial dengan politik kriminal dan politik sosial. Di satu pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dibutuhkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum menuju ke kedamaian karena hukum pidana memang dalam hal-hal tertentu ampuh untuk menanggulangi kejahatan, akan tetapi di lain pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dapat merugikan individu maupun masyarakat luas karena mengandung dimensi absulutisme dengan kecenderungan menimbulkan crime infection. Sehingga hukum pidana tanpa faedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak terarah pada tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat. Kemauan untuk mengadakan undang-undang hukum pidana tidak harus berlomba dengan peningkatan kejahatan yang berkembang dalam masyarakat, mengingat kejahatan itu selalu berbaur dengan perbuatan yang bersifat kejahatan fiksi dan perilaku tercela. Peraturan hukum pidana dan pembentukan undang-undangnya memerlukan budaya hukum modern sistem hukum yang integral dengan tujuan kesejahteraan masyarakat baik secara individu maupun sosial. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk penanggulangan kejahatan baik mulai dari pola tindakan yang paling keras yang notabene sama brutalnya dengan kejahatan itu sendiri yang menjurus pada kanibalisme maupun tindakan pencegahan kejahatan yang bersifat sosial treatment. Mengingat kemampuan hukum pidana yang sangat terbatas, yaitu atas dasar pertimbangan azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege162 serta melekatnya azas legalitas163dalam penerapan hukum pidana, maka hukum pidana tidak dapat demikian saja diterapkan terhadap semua delik yang terjadi dalam masyarakat. Azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege telah menyebabkan hukum pidana tidak dapat dijeratkan begitu saja, bilamana sebelumnya hukum pidana 162 Moeljatno, Op.Cit., h.23 Ibid., h.25 Volume 9, No.1, Nop 2009 163 lxxxv itu tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.164 Azas legalitas menyebabkan hukum pidana pemberlakuannya dibatasi dalam hal-hal seperti: a. hukum pidana tersebut tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan yang diancam dengan pidana; b. penerapan rumusan ketentuan perbuatan pidana dalam hukum pidana tidak boleh menggunakan analogi; c. serta ketentuan hukum pidana tersebut tidak boleh berlaku surut. Rasio dalam penerapan azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege adalah bahwa bilamana hukum pidana itu diterapkan dengan tanpa dibatasi tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana, maka akan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hukum pidana. Masyarakat akan resah, tidak dapat membedakan tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana dan perbuatan yang mana yang tidak dapat dikenakan pidana. Karenanya, demi kepastian hukum dalam hukum pidana, hukum pidana tersebut harus secara pasti menentukan dan menuangkan dalam ketentuan tertulisnya tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam dengan pidana. Demikian halnya dengan penerapan azas legalitas, khususnya tentang tidak diperkenankannya penggunaan analogi dalam menafsirkan rumusan ketentuan pidana dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan penafsiran secara analogi adalah memberikan ibarat atau kiyas pada kata-kata rumusan ketentuan pidana, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Penafsiran ini menyebabkan ketidak-pastian dalam hukum pidana. Terlebih lagi bilamana dalam hukum pidana diperbolehkan ditetapkannya bahwa hukum pidana dapat berlaku surut. Artinya jika semula suatu perbuatan tidak dilarang dan tidak diancam dengan pidana oleh hukum pidana, beberapa tahun kemudian perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana. Maka bilamana ketentuan ini diberlakukan pada masa yang lalu, yang ketika itu hukum pidana tersebut belum mengatur dan melarangnya, akan menyebabkan keresahan dan ketidakpastian hukum dalam hukum pidana. Adapun tentang mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat meteran resmi dari Perusahaan Listrik Negara dikualifikasikan sebagai delik pencurian dalam pasal 362 KUHP adalah merupakan hasil perluasan pengertian dari pengertian semua pasal 362 KUHP.165 Selanjutnya tentang bentuk-bentuk penafsiran ini akan diuraiakan pada sub bab berikut di bawah ini. Pada dasarnya ketentuan KUHP khususnya pasal 362 diterapkan dalam kasus mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat meteran resmi dari Perusahaan Listrik Negara, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan adalah diterapkan dengan menggunakan penafsiran ekstensif. 164 Ibid., h.23 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori- Azas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1993, h.213 Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxxvi 165 Karenanya, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan tidaklah dapat diterapkan pada kasus pencurian aliran listrik. Lebihlebih lagi pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tersebut tidak mengatur secara tegas tentang sanksi pidana kepada pelaku pencurian aliran listrik. Apalagi dalam pasal 362 KUHP telah ada komentar resminya yang menyatakan bahwa menggunakan aliran listrik secara tidak sah atau melanggar hukum adalah juga pencurian.166 Karenanya hubungan antara KUHP dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tidaklah bersifat hubungan khusus dan umum. Hal ini dikarenakan di satu sisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tidak secara mandiri membuat ketentuan tentang pencurian aliran listrik dan di sisi lain KUHP sendiri telah secara tegas menentukan bahwa pasal 362 KUHP juga berlaku untuk pencurian aliran listrik. Untuk itu, adagium lex specialis derogat legi generalie tidak proporsional untuk diterapkan dalam kasus pencurian aliran listrik dalam hubungan dua ketentuan hukum KUHP dan Undang-undang Nomor 15 tahun 1998. 2. Dasar Pengenaan Pencurian Listrik sebagai Tindak Pidana Aristoteles, seorang ahli fikir Yunani Kuno menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon artinya manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, karenanya disebut makhluk sosial.167 Dengan demikian telah sejak lama dipikirkan tentang kedudukan manusia dengan manusia yang lain, tentang hubungan antara manusia dengan masyarakat, dan tentang fungsi hukum untuk kepentingan manusia dalam masyarakat. Namun pemikiran demikian itu acapkali tersendat oleh urusan manusia sendiri karena berbagai kepentingan manusia yang komplek. Pada masa itu dianggaplah tumbuh cita-cita dalam pikiran yang abstrak mengenai hubungan antara manusia, masyarakat dan hukum. Hubungan ketiga komponen manusia, masyarakat dan hukum dijalin dalam lingkaran yang salah satu garisnya berupa jalur kebenaran-keadilan. Kebenaran keadilan merupakan salah satu hal yang pokok bagi kehidupan manusia sejak permulaan adanya masyarakat, meskipun bentuknya masyarakat yang sederhana, apalagi dalam masyarakat yang maju dengan penghidupan yang komplek. Hakekat kebenaran dan keadilan adalah dua hal yang erat sekali, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah mungkin menjadi adil. Sesuatu yang diselenggarakan dengan adil diperlukan dasar yang benar. Dalam kehidupan manusia ternyata sendiri kebenaran-keadilan itu meliputi segala macam segi kehidupan dalam masyarakat, baik di bidang hukum maupun di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemasyarakatan lainnya. Pola kebenaran-keadilan di bidang hukum itu ternyata bersifat relatif, sekalipun demikian sangat diperlukan adanya untuk dapat dijadikan sebagai ukuran norma hukum yang berlaku, agar jangan sampai norma itu kehilangan tolok ukur kebenaran-keadilan. Setelah manusia mulai melihat norma hukum dengan dasar 166 Ibid. Kansil C.S.T., Op.Cit., h.29 Volume 9, No.1, Nop 2009 167 lxxxvii kebenaran-keadilan, selanjutnya tiba kesulitan baru yaitu norma tersebut perlu ditegakkan sehingga dibutuhkan lembaga yang dapat menjadi alat pengatur dan pemaksa guna mencapai kebenaran-keadilan menurut norma-norma yang berlaku. Lembaga pengatur dan pemaksa di bidang hukum (alat negara) sebagai perangkat elite yang bertugas menjalankan hukum dalam perjalanannya menyelenggarakan hukum inipun tidak terlepas dari kesulitan yang lain, karena memerlukan norma yang mengatur tata cara bekerja agar dapat menyelenggarakan kebenaran-keadilan di bidang hukum. Kadangkala di dalam masyarakat terdapat suatu kepentingan sosial yang perlu dilaksanakan untuk mendukung peningkatan kehidupan masyarakat yang didorong oleh faktor kebutuhan hajat hidup manusia dalam rangka menuju ke pembaharauan masyarakat. Pembaruan masyarakat itu sebagai realita sosial, guna mengejar cita-cita kesejahteraan sosial, sehingga penyelenggaraan kepentingan tersebut menjadi tuntutan sosial. Namun kepentingan sosial yang demikian itu belum tersentuh oleh nilai-nilai dan norma hukum. Dengan kata lain kepentingan sosial itu masih dianggap asing di bidang hukum. Jika terjadi keadaan yang demikian akan menimbulkan masalah bahwa kepentingan di bidang sosial terhambat oleh kelambanan di bidang hukum. Sekalipun mungkin kepentingan sosial itu telah mendapat perhatian di bidang hukum, tidak mustahil masih dimungkinkan terjadi pertentangan diantara nilai norma baru yang timbul dari kebutuhan sosial yang berhadapan dengan norma-norma lama yang statis dibidang hukum. Seperti kasus dokter yang menjalankan profesinya dengan baik, masih menghadapi tuntutan hukum yang tidak diduga sebelumnya. Hasil pemikiran secara filosofis seperti uraian tersebut di atas akan sampai pada masalah hukum sosiologis, yakni sejak itulah manusia selaku individu dalam masyarakat dan manusia yang menjadi perangkat lembaga pengatur berhadap-hadapan tampak saling berbenturan apabila terdapat kepentingan yang berbeda. Di satu pihak mempergunakan norma sebagai perjuangan dengan sikap menentang karena alasan kepentingan individu dalam ikatan masyarakat yang hendak mengurangi keterikatan aturan statis yang mengurangi kebebasan. Di pihak lain menyatakan penerapan norma itu harus ditaati untuk menegakkan kekuasan yang bersifat normative dengan alasan kepentingan masyarakat luas. Pertentangan kepentingan seperti tersebut di atas dapat tumbuh pada setiap saat. Untuk mengatasi hal seperti itu kemudian dikembangkan pola pemikiran tentang hukum dan politik yang hendak mengakomodir dan mencari jalan pemecahan konflik kepentingan baik yang menyangkut kepentingan individu maupun kepentingan sosial dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Pola pemikiran tentang hukum dan politik berkembang di lapangan hukum dan hukum publik lainnya. Di Indonesia sekitar tahun lima puluhan masih berkumandang paham yang sinis tentang hukum bahwa ilmu hukum pidana tetap tinggal teori dan dianggap lain sama sekali terhadap praktik hukum pidana. Pernyataan itu dapat diterima sebagai prasangka buruk terhadap pengembangan ilmu hukum dan praktik hukum. Dalam hal ini memang mungkin sekali pengembangan teori hukum pidana tidak terpikirkan untuk menggali sumber kekauaan nilai-nilai hukum nasional ataupun cara mengadaptasi Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxxviii hukum. Selama ini banyak karangan tentang hukum pidana yang belum alih teori karena selalu menunggu datangnya konsep import hukum dari teori barat, sehingga menjadi alasan praktik hukum kita berjalan sendiri tidak menentu. Sebagaimana diketahui KUHP yang semula bernama Wetboek van Strafrecht hukum pidana menjadi beku, statis dan sukar berubah. Sedangkan yang melaksanakan kodifikasi adalah hakim dalam rangka untuk menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Kendati kodifikasi telah diatur secara lengkap, namun tetap kurang sempurna dan masih terdapat banyak kekurangannya, sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana. Hal ini dikarenakan pada waktu kodifikasi KUHP itu dibuat listrik belum dikenal, sehingga tidak terumuskan dalam pasal-pasal KUHP. Aliran listrik sekarang telah dianggap sebagai benda dengan dasar analisis sebagaimana diuraikan di atas, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa ijin yang berwenang adalah termasuk perbuatan yang melanggar hukum yaitu tindak pidana pencurian. Dengan cara penerapan penafsiran terhadap rumusan ketentuan hukum pidana dalam KUHP, maka KUHP tidak lagi menjadi kaku dan statis. Artinya KUHP dalam beberapa hal dapat diterapkan dan dapat mengikuti perkembangan jaman. Kemudian penafsiran ini dikembangkan dan lahirlah beberapa penafsiran hukum168, yaitu: a. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran yang didasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain pada kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang. Misalnya tentang larangan memarkir kendaraan di suatu tempat, pada kata kendaraan tidak terdapat penjelasan yang cukup, maka dalam penafsiran tata bahasa adalah semua kendaraan yang dapat digunakan oleh barang atau orang; b. Penafsiran sahih (autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Misalnya pasal 98 KUHP tentang kalimat “malam” yang berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; c. Penafsiran historis yaitu penafsiran yang didasarkan pada sejarah hukumnya dan sejarah undang-undangnya. Penafsiran dari sejarah hukumnya adalah berdasarkan sejarah terjadinya hukum dengan cara menyelidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan, perdebatan DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat republik Indonesia) dan surat-menyurat antara menteri dengan komisi DPR yang bersangkutan. Adapun penafsiran dari sejarah undang-undangnya adalah dengan cara menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu. Misalnya denda Rp.100,00 (seratus rupiah) harus ditafsirkan berdasarkan pada saat membuat undang-undang itu sendiri harus sama nilainya dengan penerapan undang-undang itu pada saat ini. Artinya nilai 168 Ibid., h.66 - 69 Volume 9, No.1, Nop 2009 lxxxix d. e. f. g. h. i. j. xc denda Rp.100,00 (seratus rupiah) tidak mungkin dikenakan sama, melainkan harus dikenakan sesuai dengan kondisi nilai uang saat ini; Penafsiran sistematis adalah penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain. Misalnya azas monogamy yang tersebut dalam BW (Burgerlijk Wetboek) pasal 27, maka harus dijadikan dasar penerapan pasal 279 KUHP. Penafsiran nasional adalah penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570 BW, harus ditafsirkan berdasarkan hak milik berdasarkan sistem hukum Indonesia. Artinya misalnya hak milik atas tanah hanyalah sebatas atas permukaan bumi saja, sedangkan di atas bumi (udara) dan di bawah bumi (jika ada sumber daya alam) merupakan hak penguasaan mutlak negara. Penafsiran teleologis (sosiologis) adalah penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Hal ini mengingat kondisi sosial selalu berubah, sehingga pemberlakuan ketentuan hukum didasarkan pada perkembangan kondisi masyarakat yang terakhir. Penafsiran ekstensif adalah memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga ssuatu peristiwa dapat dimasukkannya dalam ketentuan hukum tersebut. Misalnya aliran listrik termasuk juga benda. Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya kerugian tidak termasuk kerugian yang tidak berwujud seperti sakit, cacad dan sebagainya. Penafsiran analogis adalah memberikan tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan azas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Misalnya organ tubuh manusia seperti alat kelamin wanita, ditafsirkan sebagai barang dalam ketentuan pasal 378 KUHP. Hal ini tidak diperkenankan, karenanya analogi interpretasi tidak dapat diberlakukan atau diterapkan dalam ketentuan rumusan pasal-pasal KUHP atau hukum pidana umumnya. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran), adalah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan pelawanan pengertian itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang dimaksud atau dengan kata lain berada di luar pasal tersebut. Misalnya pasal 34 BW menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Apakah laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari untuk menikah lagi? Tentunya tidak, sebab pasal 34 BW tidak menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki. Volume 9, No.1, Nop 2009 Dalam pada itu, hukum acara pada umumnya baik perdata maupun pidana dapat dibagi dalam garis besarnya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau permulaan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap sebelum acara pemeriksaan di persidangan. Dalam acara perdata pada tahap pendahuluan ini tidak berapa banyak kegiatan dilakukan, seperti misalnya memasukkan gugatan, mengajukan permohonan penyitaan jaminan dan pencabutan gugatan. Lain halnya dalam acara pidana, pada tahap ini lebih banyak kegiatan yang dilakukan: pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan, dimulai dari jawab-menjawab, pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan putusan sampai selesai. Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap penentuan, yaitu pemeriksaan di persidangan. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim dipersidangan adalah mengkonstatasi peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkrit, mengkualifikasi peristiwa konkrit, yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit dan mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya, yang pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu legal problem identification, legal problem solving dan decision making. Setiap sarjana hukum yang bekerja di bidang hukum, terutama hakim, selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, suatu kasus atau konflik, yang harus dicarikan hukumnya dan dipecahkan atau selesaikan. Pencarian hukum adalah menyangkut penemuan hukum dalam rangka proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individialisasi peraturan hukum atau das soolen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit atau das sein. Peristiwa konkrit perlu dicarikan hukumnya yang bersifat umum dan abstrak. Peristiwa konkrit itu harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkritnya agar dapat diterapkan. Penemuan hukum merupakan proses atau rangkai kegiatan yang bersifat kompleks yang pada dasarnya dimulai sejak jawab-menjawab sampai dijatuhkannya putusan. Kegiatan-kegiatan atau langkah-langkah itu pada umumnya tidaklah terpisahkan satu sama lain, terjalin satu sama lain, bahkan sering tidak berurutan. Akan tetapi momentum dimulainya penemuan hukum ialah setelah peristiwa konkritnya dibuktikan atau dikonstatasi, karena pada saat itulah peristiwa konkrit yang telah dikonstatasi itu harus dicarikan atau diketemukan hukumnya. Hakim harus memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang telah terjadi. Peristiwa konkrit atau yang terungkap dalam jawab-menjawab itu merupakan kompleks peristiwa atau kejadian-kejadian yang harus diurai, harus diseleksi. Peristiwa Volume 9, No.1, Nop 2009 xci yang pokok dan yang relevan bagi hukum dipisahkan dari yang tidak relevan, untuk kemudian disusun secara sistematis dan kronologis teratur agar hakim dapat memperoleh ikhtisar yang elas tentang peristiwa konkritnya, tentang duduk perkaranya dan akhirnya dibuktikan serta dikonstatasi atau dinyatakan benar-benar telah terjadi. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim akan kebenaran peristiwa konkrit yang disengketakan. Walaupun peristiwa konkrilah yang harus dikonstatasi atau dirumuskan, namun karena hanya peristiwa konkrit yang relevan saja yang harus dibuktikan, maka di sini hakim sudah mulai menyentuh atau berhubungan dengan peraturan hukumnya. Kapankah suatu peristiwa konkrit itu relevan, apa dasarnya untuk menetapkan apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau tidak. Peristiwa yang relevan adalah peristiwa yang penting bagi hukum, yang berarti bahwa peristiwa itu dapat dicakup oleh hukum, dapat ditundukkan pada hukum. Peristiwa yang relevan berarti bahwa peristiwa itu dapat mempengaruhi penyelesaian perkara. Untuk mengetahui apakah peristiwa itu relevan atau tidak, maka harus terlebih dahulu diketahui peraturan hukumnya. Sebaliknya untuk mengetahui peraturan hukumnya harus diketahui peristiwa konkritnya dan ditetapkan pula relevansinya. Di sini tampak bahwa langkahnya ditetapkan pula relevansinya. Di sini tampak bahwa langkah opserasionalnya tidak selalu sistematis berurutan. Dasar untuk menetapkan apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau tidak, tidak lain adalah pengetahuan atau penguasaan tentang peraturan hukumnya. Hanya dengan berfikir secara formal logis saja masalahnya tidak dapat dipecahkan. Tanpa wawasan, intuisi dan penilaian hakim, lingkaran proses dalam mencari hukum dan peristiwa yang relevan tidak dapat dipecahkan dan pengambilan putusan tidak dapat dimulai. Jadi hanya dengan pengetahuan dan penguasaan tentang maka konstatasi peristiwa konkritnya dimungkinkan. Oleh karena itu hakim harus menguasai peraturan hukum, bahkan hakim dianggap mengetahui hukumnya ius curia novit.169 Peristiwa konkrit yang telah dibuktikan itu dikonstatasi oleh hakim sebagai peristiwa konkrit yang benar-benar telah terjadi. Tanpa pembuktian peristiwa konkrit yang diperkirakan menjadi sengketa kedua belah pihak hakim tidak boleh mengkonstatasinya sebagai telah benar-benar terjadi. Konstatasi peristiwa konkrit berarti uraian tentang duduk perkaranya. Di sisi diperoleh suatu ikhtisar yang sitematis dan kronologis, jelas suatu gambaran menyeluruh tentang duduk perkaranya. Setelah peristiwa konkritnya dikonstatasi atau dinyatakan terbukti, maka peristiwa konkrit itu harus dicarikan hukumnya. Peristiwa konkrit yang telah terbukti itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, yaitu dicari kualifikasinya, dicari peristiwa hukumnya dengan mencari atau menemukan peraturan hukumnya. Setelah peraturan hukumnya diketemukan maka akan diketahui peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit yang bersangkutan. Peristiwa hukumnya harus diketemukan agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Jadi peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum lebih dahulu sebelum peraturan hukumnya dapat diterapkan, karena peraturan hukum hanya 169 Sudikno Mertokusuno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.9 Volume 9, No.1, Nop 2009 xcii dapat diterapkan pada peristiwa hukum, bukan pada peristiwa konkrit. Misalnya saya menerima sepeda dari seseorang yang dan berkewajiban menyerahkan uang sejumlah Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka kualifikasinya adalah jual beli sebagai peristiwa hukumnya. Contoh lain misalnya Dadap nggandol atau menyadap aliran listrik milik Waru dengan jalan melawan hukum, maka peristiwa konkrit itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, harus diberi kualifikasinya, sehingga menjadi peristiwa hukum dengan mencari peraturan hukumnya. Peraturan hukumnya dalam hal ini tercantum dalam pasal 362 KUHP. Kualifikasi yang terdapat dalam pasal 362 KUHP tersebut adalah pencurian. Jadi peristiwa konkrit Dadap nggantol aliran listrik milik Waru harus diterjemahkan dalam bahasa hukum menjadi peristiwa hukum pencurian. Di sini mulai dicari kaitannya antara das sein dan das sollen, antara peristiwa konkrit dengan peraturan hukumnya, Peraturan hukumnya dikonkretisasi dengan menghubungkannya dengan peristiwa konkrit. Untuk dapat menetapkan hubungan antara peristiwa konkrit dengan peraturan hukumnya, maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau diterjemahkan dalam bahasa hukum. Pada konstatasi peristiwa konkrit, kualifikasi peristiwa konkrit menjadi peristiwa hukum hanya dimungkinkan dengan pengetahuan dan penguasaan peraturanperaturan hukum. Tanpa pengetahuan dan penguasaan peraturan hukum tidak mungkin mengadakan kualifikasi. Tidak mustahil bahwa dalam tahap ini dimungkinkan terjadinya berbagai kualifikasi. Tidak jarang terjadi bahwa peristiwa yang sama dapat diterjemahkan secara yuridis atau dikualifikasi dalam berbagai cara. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum mutlak diperlukan, hanya dengan pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum dimungkinkan untuk melakukan seleksi peristiwa-peristiwa yang yuridis relevan dan kualifikatif. Hubungan antara das sein dan das sollen itu erat, das sein membutuhkan das sollen, sebaliknya das sollen membutuhkan das sein. Agar das sollen itu aktif, hidup dan dapat dilaksanakan, maka membutuhkan terjadinya suatu peristiwa konkrit. Das sein merupakan activator das sollen, ada saling hubungan antara peristiwa konkrit (das sein) dan peraturan hukumnya (das sollen). Peristiwanya yang konkrit menentukan peraturan hukumnya yang relevan. Sebaliknya peraturan hukumnya menentukan sekaligus peristiwa mana yang relevan. Tahap kualifikasi ini berakhir dengan diketemukan atau dirumuskan masalah hukumnya. Kemudian harus dicari peraturan hukumnya yang dapat diterapkan terhadap peristiwa hukum yang telah diketemukan. Untuk itu harus diseleksi peraturan-peraturan hukum yang relevan bagi peristiwa hukum yang bersangkutan. Sumber penemuan hukum atau tempat menemukan hukumnya adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, putusan hakim dan doktrin. Sumber penemuan hukum itu merupakan hierarchi. Jika kita hendak mencari atau menemukan hukumnya, maka dicarilah lebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Apabila peraturan perundang-undangan tidak memberi jawabannya, maka barulah dicari dalam Volume 9, No.1, Nop 2009 xciii hukum kebiasaan. Bilamana hukum kebiasaan tidak pula ada ketentuannya, maka dicarilah dalam putusan ke pengadilan dan begitulah seterusnya. Ketika peraturan hukumnya telah diketemukan, maka harus dibahas, ditafsirkan atau dijelaskan isinya jika sekiranya tidak jelas, atau dilengkapi jika sekiranya terdapat kekosongan atau ketidak-lengkapan hukum atau diadakan konstruksi hukum jika diperlukan pembentukan pengertian hukum. Oleh karena peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi sebagai sumber penemuan hukum itu kompleks sifatnya maka harus dianalisis. Hukumnya, terutama yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tidak selalu dirumuskan dengan jelas dan pada umumnya tidak lengkap. Telah berulang kali dikemukakan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang selalu jelas sejelas-jelasnya dan lengkap selengkap-lengkapnya. Tidak mudah membaca undangundang, karena kecuali undang-undang itu sifatnya kompleks, tidak selalu mudah memahami maksud pembentuk undang-undang, sekalipun dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas. Untuk itu peraturan perundang-undangan itu harus dibaca dengan hati-hati dan cermat. Harus dapat ditangkap apa yang tersirat dalam peraturan perundang-undangan. Karenanya harus dikuasai pula pengetahuan tentang pengertian, azas dan sistem hukum. Guna memperoleh pengertian suatu istilah hukum kadang-kadang perlu dicari dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Kecuali itu, untuk memperoleh pengertian suatu istilah hukum perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran suatu istilah hukum perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran atau dengan menggunakan metode penemuan hukum lainnya. Seperti yang telah diketengahkan di atas, hakim harus mengambil pilihan dari berbagai metode penafsiran yang hasilnya dapat berbeda. Ia mempunyai kebebasan menafsirkan, yang tidak boleh tidak harus dilakukan karena ia tidak dapat menolak untuk mengadili dan memutuskan perkara, dalam hal ini tidak ada sistem yang logis tertutup. Apabila hakim harus mengambil pilihan dari berbagai kemungkinan, yang ditentukan oleh penilaiannya, maka ia melengkapi atau mengisi peraturan-peraturan hukumnya dalam hubungannya satu sama lainnya. Setiap penafsiran, demikian pula setiap putusan menambahkan sesuatu, berisi unsur penciptaan. Akhirnya hakim hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling meyakinkannya dan yang hasilnya paling memuaskan. Peradilan dalam hal ini menjadi penciptaan hukum, penemuan hukum bukanlah corong undang-undang sebagaimana yang terjadi selama ini. PENGHENTIAN PENUNTUTAN TERSANGKA xcivVolume 9, No.1, Nop 2009 1. Dasar-dasar Penghentian Penuntutan Tersangka Penghentian perkara pidana tidak saja pada tahap penuntutan, melainkan dapat pula dilakukan dalam tahap penyidikan. Untuk itu pada bagian pembahasan sub bab ini akan dimulai dari penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Sesuai dengan ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada Penuntut Umum apabila penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan. Pemberitahuan itu merupakan pelaksanaan yang harus dilakukan penyidik bersamaan dengan tindakan yang dilakukannya. Pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum, dianggap kewajiban yang harus di lakukan dengan cara tertulis maupun secara lisan yang di susul dengan tulisan. Urgensi pemberitahuan tersebut berkaitan dengan hak penuntut umum mengajukan permintaan kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan.170 Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan pasal 109 ayat 2 yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Rasio pemberian wewenang penghentian penyidikan adalah untuk menegakkan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat. Kecuali itu, agar penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, sebab jika perkaranya diteruskan dan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan pasal 95 KUHAP. Dalam pada itu, undang-undang telah menyebutkan secara limitative alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau penegasan alasan-alasan tersebut penting, guna menghindari kecenderungan negatif pada diri pejabat penyidik. Dengan penegasan ini, undang-undangan mengharapkan supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik mengujinya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semuanya tanpa alasan 170 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.69 Volume 9, No.1, Nop 2009 xcv yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi landasan rujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi Praperadilan, penegasan alasan-alasan penghentian tersebut merupakan landasan dalam pemeriksaan sidang Praperadilan, jika ada permintaan pemeriksaan atas sah tidaknya penghentian penyidikan. Alasan penghentian penyidikan yang disebut pada pasal 109 ayat 2 KUHAP terdiri dari: a. tidak diperoleh bukti yang cukup; Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang menghentikan penyidikan. Ditinjau dari satu segi, pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukannya. Diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan ke tangan Penuntut Umum. Jangan lagi seperti yang dialami selama ini. Ada atau tidak ada bukti, penyidik tidak perduli. Pokoknya sekali tindak pidana mereka periksa, ajukan ke pihak penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun tidak ada bukti yang dapat dipegang membuktikan kesalahan tersangka. Apakah mungkin untuk menyidik atau memeriksa suatu tindak pidana yang telah pernah dihentikan penyidikan atas alasan tidak cukup bukti. Penghentian penyidikan atas alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa akibat hapusnya wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan buktibukti yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat dimulai lagi. Alasannya, ditinjau dari segi hukum formal, penghentian penyidikan tidak termasuk kategori nebis in idem. Sebab penghentian penyidikan bukan termasuk ruang lingkup putusan peradilan, ia baru bertaraf kebijaksanaan yang diambil pada taraf penyidikan, sehingga yang melekat pada tindakan penghentian penyidikan hanya terbatas pada cacat tidak terpenuhi syarat formal penyidikan. Untuk memahami pengertian cukup bukti sebaiknya penyidik memperhatikan dan berpedoman kepada ketentuan pasal 183 yang menegaskan prinsip batas minimal pembuktian (sekurang-kurangnya ada dua alat bukti), dihubungkan dengan pasal 184 KUHAP dan seterusnya, yang berisi penegasan tentang alat-alat bukti yang sah di persidangan pengadilan. Kepada ketentuan pasal 184 KUHAP inilah penyidik berpijak menentukan apakah alat bukti yang ada di tangan benar-benar cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka di muka persidangan. Kalau alat bukti tidak cukup dan memadai, lebih baik menghentikan penyidikan. Tetapi apabila di belakang hari penyidik dapat mengumpulkan bukti yang lengkap dan memadai, dapat xcviVolume 9, No.1, Nop 2009 2. 3. lagi kembali memulai penyidikan terhadap tersangka yang telah pernah dihentikan penyidikannya.. peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan dihentikan. Justru merupakan keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan. Memang diakui, kadang-kadang sangat sulit menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana pelanggaran dan kejahatan. Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata. Misalnya, antara perjanjian hutang-piutang dengan penipuan, sering kreditor mengadukan debitor telah melakukan penipuan kepada penyidik atas alasan seperti ini, memang seolah-olah keingkaran membayar utang yang telah dijanjikan. Dalam peristiwa seperti ini, memang seolah-olah keingkaran membayar utang yang dijanjikan, bisa dikonstruksi sebagai penipuan sehingga apabila aparat penyidik kurang cermat, bisa tergelincir untuk menampung peristiwa seperti itu sebagai tindak pidana penipuan dan sebagainya. Penghentian penyidikan demi hukum. Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasanalasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, antara lain: a. nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan ini telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas nebis in idem termasuk salah satu hak azasi manusia yang harus dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila terhadapnya telah pernah diputus suatu peristiwa tindak pidana baik putusan ini berupa pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemeriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan. b. tersangka meninggal dunia. Volume 9, No.1, Nop 2009 xcvii Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tidak pidana yang dilakukanoleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan. Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggung jawaban dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya tersangka penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. c. Karena kedaluwarsa. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. Logikanya jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang untuk menuntut di muka sidang pengadilan, tentu percuma melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang itu. Karena itu, jika penyidik menjumpai keadaan seperti ini, harus segera menghentikan penyidikan dan pemeriksaan. Tenggang waktu kedaluwarsa yang disebut pada pasal 78 KUHP, antara lain: 1. Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan; 2. Lewat masa enam tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari hukuman penjara selama tiga tahun; 3. Lewat tenggang dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukum pidana penjara lebih dari tiga tahun; 4. Lewat delapan belas tahun, bagi semua kejahatan yang dapat diancam dengan hukum pidana mati atau penjara seumur hidup; 5. Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur delapan belas tahun, tenggang waktu kedaluarsa yang disebut pada poin ke satu sampai ke empat, dikurangi sehingga menjadi sepertinya. Adapun mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan tetapi, hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponir perkara pidana tersebut. Oleh karena itu, harus dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum penghentian penuntutan dengan penyampingan (deponering) perkara yang dimaksud penjelasan pasal 77 KUHAP yaitu bahwa yang dimaksud dengan penghentian Volume 9, No.1, Nop 2009 xcviii penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.171 Perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara pidana adalah bersifat prinsip, yang terpenting diantaranya: a. Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan demi untuk kepentingan umum. Menurut penjelasan pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, pekaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya asas opportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law).172 Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan. b. Pada penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan kepada kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri.173 1. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas alasan kesalahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang demikian lebih bijaksana penuntut umum menghentikan penuntutan. 2. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan, dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, penuntutan umum lebih baik 171 Hari Sasangko dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan dan Teknik membuat Surat Dakwaan, Cet.-, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.26 172 Ibid., h.25 173 Ibid. h.26 Volume 9, No.1, Nop 2009 xcix menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan kepada sidang pengadilan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). 3. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum. Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum ialah tindakan pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum bisa didasarkan antara lain: a. Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP); b. Atas alasan nebis in idem (pasal 76 KUHP); c. Perkara yang akan dituntut telah kedaluarsa (pasal 80 KUHP). Dari apa yang dijelaskan di atas, tampak perbedaan alasan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Penghentian penuntutan didasarkan pada alasan hukum dan demi tegaknya hukum, sedang pada penyampingan perkara, hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Di samping perbedaan dasar alasan yang penulis kemukakan di atas, terdapat lagi perbedaan prinsipil antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara yaitu pada pengehentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutannnya jika ternyata di temukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Misalnya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa. Lain halnya pada penyampingan atau deponering perkara, dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi alsan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan. Dengan demikian untuk perkara delik pencurian aliran listrik dapat dilakukan penghentian penyidikan atau penuntutannya bilamana terhadap alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76, 77, dan pasal 80 KUHP. Adapun apabila hanya atas dasar pembayaran kerugian akibat pencurian aliran listrik yang diberikan oleh pelaku pencurian kepada Perusahaan Listrik Negara tidak dapat dihentikan, baik penyidikannya ataupun penuntutannya. 2. Pertanggungjawaban Tersangka dalam Hukum Pidana c Volume 9, No.1, Nop 2009 Asas dalam pertanggung jawaban pada hukum pidana ialah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.174 Asas ini mewajibkan kepada para penegak hukum untuk melihat dan meneliti setiap tersangka yang melakukan delik agar telah memenuhi syarat bahwa ia telah bersalah. Bilamana ia tidak bersalah, maka tidak dapat diminta pertanggung jawaban. Bilamana dalam suatu delik telah ada syarat pada pelaku bahwa ia dapat dipersalahkan, maka ukuran berikutnya adalah dapatkah yang bersangkutan dimintai pertanggung jawaban. Sebab, tidak menutup kemungkinan jika pada seorang pelaku delik terdapat alasan pembenar, alasan pemaaf dan dianggap tak mampu bertanggung jawab sebagaimana maksud pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. 175 Dalam kasus delik pencurian aliran listrik, di mana pelaku setelah diajukan tuntutan pidana membayar seluruh kerugian yang timbul pada Perusahaan Listrik Negara, pada dasarnya ia adalah harus dipersalahkan dan bertanggungjawab atas delik yang telah ia perbuat. Hal ini dikarenakan pada diri pelaku tidak terdapat alasan pembenar, alasan pemaaf dan mampu bertanggung jawab. Apalagi pada diri Penuntut Umum secara ex officio melekat hak untuk menuntut penyidik yang menghentikan perkaranya di luar ketentuan undang-undang yang telah mengatur penghentian penyidikan. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam pasal 109 ayat KUHAP bahwa apabila penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal itu kepada Penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, pemberitahuan yang seperti itu juga merupakan kewajiban penyidikan manakala penyidik melakukan penghentian penyidikan. Bilamana yang melakukan penghentian penyidikan itu adalah penyidik polri, pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada pentuntut umum dan tersangka atau keluarganya. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil pemberitahuan penghentian penyidikan harus segera disampaikan kepada penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atau penyidikan dan penuntut umum. Dalam praktik yang dilakukan penulis dalam proses penghentian penyidikan, laporan atau pemberitahuan penghentian penyidikan juga ditujukan kepada penasehat hukumnya dan saksi pelapor atau korban. Hal ini dikarenakan pemberitahuan penghentian penyidikan merupakan kewajiban, mengingat dalam proses penyidikan ini berlaku adanya pengawasan horizontal antara sesama instansi aparat penegak hukum. Untuk itu pemberitahuan penghentian penyidikan sebaiknya berbentuk tertulis. Salah satu prinsip atau asas hukum yang dijumpai dalam KUHAP adlah saling ada pengawasan horizontal di antara sesama instansi penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang yang digariskan undang-undang berdasar diferensiasi fungsional. Berdasar batas-batas wewenang yang didiferensiasikan, secara 174 Moeljatno, Op.Cit., h.153 Ibid., h.168 Volume 9, No.1, Nop 2009 175 ci instansional dijalin dalam suatu ikatan korelasi penegakan hukum sebagai sarana saling terbinanya pengawasan timbal balik di antara mereka. Demikian pula halnya dalam tindakan penghentian penyidikan, dapat diawasi dan diuji keabsahannya oleh instansi aparat penegak hukum yang lain, dalam hal ini dilakukanoleh penutut umum dalam lembaga peradilan melalui wewenang Praperadilan. Bahkan hak untuk menguji kebenaran atau keabsahan penghentian itu bukan hanya diberikan kepada instansi aparat penegak hukum saja, tapi juga diberikan kepada pihak ketiga yang berkepentingan, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam pasal 80 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP memberi wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Dari bunyi ketentuan di atas, salah satu di antara hal yang berhubungan dengan sah tidaknya tindakan yang dapat diperiksa di hadapan Praperadilan termasuk penghentian penyidikan. Adapun yang berwenang melakukan pemeriksaan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan tersebut ialah Praperadilan sebagaimana hal ini ditegaskan dalam pasal 78 ayat 1 KUHAP. Jadi, wewenang pemeriksaan sah tidaknya penghentian penyidikan yang diberikan undang-undang kepada Pengadilan Negeri, pelaksanaan wewenang itu dilakukan lembaga baru yang disebut Praperadilan, yakni lembaga yang melekat dan berada di dalam ruang lingkup Pengadilan Negeri itu sendiri, yang mempunyai tugas dan wewenang khusus yang diberikan KUHAP kepadanya. Dari penegasan pasal 78 ayat 1 KUHAP, pengajuan keberatan atau permintaan pemeriksaan tentang sah tidaknya pengehentian penyidikan, di sampaikan kepada lembaga Praperadilan yang terdapat pada setiap Pengadilan Negeri di daerah hukum yang bersangkutan. Penuntut Umum mempunyai hak mengajukan keberatan penghentian penyidikan, apabila berpendapat tindakan penghentian tidak sah. Misalnya penyidik berpendapat tidak cukup bukti, sedang penuntut umum menilai, bukti yang telah ada pada penyidik sudah cukup memadai untuk menuntut tersangka di muka persidangan. Atau apa yang disangkakan pada tersangka oleh penyidik dianggap bukan merupakan tindak pidana pelanggaran atau kejahatan, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata, sedang penuntut umum berpendapat dan menilai sebaliknya. Tentu jalan terbaik yang harus ditempuh oleh penuntut umum sebelum mengajukan keberatan kepada Praperadilan, melakukan pendekatan atau mencoba mendiskusikan dengan pihak penyidik, demi untuk terjalinnya hubungan kerja sama instansional yang lebih luwes. Demikian halnya dengan pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan keberatan penghentian penyidikan kepada Praperadilan. Siapa yang dimaksud undang-undang pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan, secara logika pada setiap terjadi peristiwa pidana pihak ketiga yang paling berkepentingan di dalamnya ialah korban peristiwa pidana. Hal ini sangat beralasan dan benar-benar dapat diterima akal sehat. Betapa tersiksanya perasaan seorang korban tindak pidana, apabila melihat pelaku tindak pidana tidak diproses menurut hukum yang cii Volume 9, No.1, Nop 2009 berlaku. Siapapun yang menjadi korban suatu tindak pidana, pasti merasa tidak puas, apabila melihat pelakunya tidak mendapat ganjaran hukum yang sewajarnya. Pengajuan keberatan, harus berdasar alasan hukum yang serasa mendukung keberatan. Tidak hanya asal keberatan saja tanpa dibarengi dengan alasan yang tepat. Jika keberatan diajukan tanpa alasan, tindakan seperti ini merupakan perbuatan yang kurang bertanggung jawab. Masalah lain, keberatan dan permintaan pemeriksaan sah tidaknya pengehentian penyidikan, terutama ditujukan untuk pembinaan pengawasan, agar pihak penyidik tidak bertindak menyalahgunakan wewenang jabatan yang dipangkunya. Oleh karena itu, khusus bagi penyidik yang melakukan penghentian penyidikan, harus realistis dan objektif menempatkan keberatan pihak penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan dalam proporsi yang sewajarnya. Penyidik akan keliru jika melihat dan mendudukkan keberatan itu sebagai tindakan permusuhan atau sebagai perbuatan yang bertujuan untuk merendahkan martabat kedudukannya. Penyidik harus memahaminya sebagai tindakan korektif ke arah tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat, sambil bertujuan juga untuk membina sikap hati-hati dan teliti dalam mengambil tindakan di masa yang akan datang. KESIMPULAN Berdasarkan segala hal yang telah dikemukakan dalam bab-bab pembahasan di atas, maka dapatlah penulis tarik kesimpulan sebagai berikut: a. Pada dasarnya tindakan mengambil aliran listrik secara tidak sah atau tanpa melalui meteran dari Perusahaan Listik Negara adalah telah dianggap sebagai delik pencurian, mengingat pasal 362 KUHP dapat diinterpretasikan secara ekstensif, yaitu dengan cara perluasan makna barang dari pasal 362 KUHP yang juga termasuk aliran listrik. Sehingga dengan interpretasi ekstensif, maka tindakan mengambil aliran listrik secara tidak sah juga termasuk pencurian. Untuk itu, adagium lex specialis derogat legi generalie seharusnya tidak dapat diterapkan pada kedudukan KUHP sebagai hukum umum dan pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan sebagai hukum khusus. Hal ini mengingat yang diterapkan adalah tetap KUHP dan bukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998, apalagi pasal 18 yang menjadi rujukan pencurian aliran listrik tidak memuat ketentuan hukum secara mandiri. b. Mengingat penghentian penyidikan ataupun penghentian penuntutan yang diatur dalam KUHAP, tidak satupun menyebutkan bahwa bilamana kerugian yang timbul dapat dipulihkan oleh pelaku, penyidikan atau penuntutan perkaranya dapat dihentikan. Untuk itu, seharusnya pihak penuntut umum ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan atas penghentian tersebut dengan cara mengajukan Praperadilan. Saran Volume 9, No.1, Nop 2009 ciii Dari kesimpulan di atas, maka penulis ingin mengemukakan harapan-harapan yang akan dituangkan sebagai saran-saran, yaitu: a. Seharusnya pencantuan pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan tidak perlu lagi dicantumkan, mengingat pasal 362 KUHP telah secara jelas dan tegas dapat diberlakukan terhadap pencurian aliran listrik; b. Sudah saatnya antara pihak penyidik dan penuntut umum saling melakukan koreksi, terhadap perkara pidana yang dihentikan oleh salah satu pihak. Mengingat selama ini kedua instansi penegak hukum tersebut sama-sama saling berdiam diri bilamana ada perkara pidana yang dihentikan penyidikannya. civ Volume 9, No.1, Nop 2009 KEPAILITAN PERUSAHAAN DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 Oleh: M.Amin Rachman, S.H., M.Hum.* ABSTRAK Sebagai upaya guna memberikan perlindungan hukum terhadap pihak lain yang melakukan transaksi dengan Badan Usaha, maka diberlakukanlah Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas ini, maka beban tanggung jawab secara perdata dibebankan kepada Badan Hukum itu sendiri yang notabene ia telah mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pengurusnya dan dapat bertindak di depan hukum. Kata Kunci: Perseroan Terbatas – Pailit – Tanggungjawab. LATAR BELAKANG Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Perseroan Terbatas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Sementara ketika itu, KUHD tidak memberikan definisi tentang Perseroan Terbatas dan KUHD hanyalah mengatur bentuk perseroan ini secara terbatas dan sederhana. Hanya ada 20 buah pasal dalam KUHD yang khusus mengatur Perseroan Terbatas yaitu pasal 36 sampai dengan 56. Berlainan dalam KUHD di Negeri Belanda yang terdapat tak kurang dan 120 pasal yang khusus mengatur soal Perseroan Terbatas. Hal ini disebabkan karena perkembangan Perseroan Terbatas di Indonesia pada masa yang lampau tidaklah secepat di negeri Eropa.176 Akan tetapi pada waktu akhir-akhir ini bentuk perseroan ini di Indonesia banyak sekali dipakai. Berhubung dalam perundang-undangan kita sedikit ketentuanketentuan yang mengatur persoalan Perseroan Terbatas, maka Perseroan Terbatas yang mengatur sendiri dalam akte-pendirian, apabila dalam undang-undang kita terdapat ketentuan yang mengatur soal-soal tertentu. *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 176 Kansil CST., Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, h.21 Volume 9, No.1, Nop 2009 cv Dalam praktek ternyata bahwa banyak soal yang tidak ada peraturannya dalam KUHD diatur dalam akte pendirian dengan mengambil pasal-pasal dalam undangundang Negeri Belanda sebagai pedoman. Pada umumnya orang berpendapat bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas saham-saham, di mana para pemegang saham (pesero) ikut serta dengan mengambil satu saham atau lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas nama bersama, dengan tidak bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan tanggung jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan). Hanyalah Perseroan Terbatas itu sendiri sebagai suatu kesatuan yang menanggung persetujuan-persetujuan terhadap pihak ketiga dengan siapa ia melakukan hubungan perdagangan. Tiada seorang pun dan pemegang-pemegang saham yang bertanggung jawab terhadap para kreditur. Hal inilah yang merupakan ciri-ciri dalam Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan pesero. Mereka itu tidak dapat menderita kerugian uang lebih besar daripada jumlah yang menjadi bagiannya dalam Perseroan Terbatas itu dan yang dengan tegas disebutkan dalam sahamnya. Para pemegang saham atas Perseroan Terbatas hanyalah bertanggungjawab terhadap Perseroan Terbatas untuk menyerahkan sepenuhnya jumlah saham-saham untuk apa mereka itu turut serta dalam Perseroan Terbatas itu. Saham-saham itu pun dapat diperdagangkan dengan harga jual yang dapat berlainan dari harga nominalnya. Selain itu saham-saham dapat dijadikan warisan. Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang dapat dikatakan bersifat internasional, walaupun di negara-negara lain mempunyai nama yang berlainan pula, misalnya Limited Company (LTD), Aktien Gesellschaft, Compagnie . Badan Hukum Perseroan Terbatas Berlainan dengan maatschap, perseroan firma, dan perseroan komanditer, maka Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum. Hal ini berarti bahwa Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau hutang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya). Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari pesero dianggap sebagai kehendak Perseroan Terbatas. Akan tetapi perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas nama Perseroan Terbatas, pertanggungjawabannya terletak pada Perseroan Terbatas dengan semua harta bendanya. Oleh karena Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, maka ia merupakan suatu badan yang dilindungi oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa orang-orang yang bukan Indonesia tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas, meskipun badan tersebut merupakan cabang dari negara asing. cvi Volume 9, No.1, Nop 2009 Perseroan Terbatas di atur dalam KUHD yang notabene sudah berumur lebih dari seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal ini mengakibatkan KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, Di samping itu, di luar KUHD masih terdapat pula pengaturan badan hukum secara Perseroan Terbatas bagi golongan Bumi Putra, sehingga timbul dualisme badan hukum perseroan yang berlaku bagi warga negara Indonesia.177 Untuk mengatasi hal ini, dan memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan tuntutan perkembangan dan pembangunan nasional, sudah tiba waktunya mengadakan pembaharuan hukum di bidang Perseroan Terbatas. Akhirnya, pada tahun 1995 mulailah babak baru karena pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Perseroan Terbatas mencabut ketentuan pasal 36 hingga pasal 56 KUHD tentang Perseroan Terbatas dan berikut segala perubahannya terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1871 dan Staat blad Nomor 569 Tahun 1939 tentang Ordonansi Maskapai Andil Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 terdiri dari 12 bab dengan 129 pasal dan mulai berlaku satu tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan.178 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 telah diatur dengan jelas bahwa suatu perseroan hendaknya didirikan oleh dua orang atau lebih dengan suatu akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya untuk memperoleh pengesahan atas suatu Perseroan Terbatas, para pendiri yang tersebut dalam akta notaris tersebut bersama-sama atau melalui kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pengesahan atas Perseroan Terbatas dapat diberikan dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak permohonan yang diajukan memenuhi syarat dan kelengkapan yang diperlukan. Adapun bilamana permohonan tersebut ditolak, maka penolakan atas pendirian Perseroan Terbatas tersebut akan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan-alasannya. RUMUSAN MASALAH Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 memberikan kekuasaan tertinggi dalam Perseroan Terbatas pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam Rapat Umum Pemegang Saham ditetapkan tentang nama-nama Direksi, kecuali Direksi yang pertama, yang telah ditetapkan dalam akta. Kendati demikian, menurut pasal 80 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Direksi tidak boleh ditetapkan untuk waktu selama-lamanya. Hal ini dimaksudkan apabila ternyata Direksi yang telah ditetapkan kurang cakap, sehingga 177 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Banding, 1999, h.65 178 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.4 Volume 9, No.1, Nop 2009 cvii dalam pengurusan perusahaan mengalami kerugian, Rapat Umum Pemegang Saham dapat menggantinya dengan Direksi yang lain. Pengaturan tentang Direksi secara logika dapat dipahami, mengingat tanggung jawab Direksi demikian penuh terhadap pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Karenanya dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas biasanya juga dapat diadakan pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan tugas Direksi. Artinya dalam anggaran dasar ditentukan bahwa jika Direksi mengadakan transaksi-transaksi tertentu, mengajukan suatu perkara di muka pengadilan dan lain-lain, maka Direksi harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham. Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk mengangkat beberapa permasalahan hukum dengan rumusan kalimat: a. b. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur, jika perusahaan jatuh pailit? Bagaimanakah tanggung jawab Direksi atas perusahaan yang pailit? ASPEK HUKUM TERBATAS PERUSAHAAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN 1. Legalisasi Perusahaan Proses pendirian Perseroan Terbatas harus dilakukan dengan akta pendirian perusahaan merupakan akta otentik, yaitu salah satu bentuk legalitas perusahaan yang dibuat di muka notaris, pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh undangundang. Akta pendirian tersebut memuat Anggaran Dasar perusahaan, yaitu seperangkat aturan yang menjadi dasar berdirinya organisasi dan bekerjanya perusahaan menurut hukum. Akta pendirian perusahaan bukan badan hukum tidak perlu mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, cukup didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat selaku pengawas yuridis. Sedangkan akta pendirian perusahaan badan hukum perlu mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman karena pengesahan tersebut merupakan pengawasan apakah Anggaran Dasar sudah sesuai dengan hukum, dan sekaligus pengakuan sebagai badan hukum. Karena memuat Anggaran Dasar perusahaan, maka akta pendirian ini diumumkan kepada khalayak ramai, dengan menempatkannya di dalam Berita Negara Republik Indonesia.179 179 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku Ketia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.54 cviiiVolume 9, No.1, Nop 2009 Dalam pada itu, sebagai pejabat umum, notaris berwenang memberi petunjuk kepada pihak yang berkepentingan mendirikan perusahaan, agar akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar perusahaan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Notaris tidak boleh hanya mengikuti selera para pemohon yang menghadapnya, melainkan bertindak aktif mengarahkan dan meluruskan kehendak pihak-pihak, karena akta pendirian yang dibuat di muka notaris dijamin dan diakui oleh umum sebagai akta resmi dan benar. Akibatnya adalah setiap akta yang dibuat di muka notaris adalah otentik dan mengikat semua pihak untuk mengakuinya. Akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar perusahaan merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang disaksikan oleh pejabat umum, dalam hal ini notaris, bahwa perjanjian itu memang benar seperti dikehendaki oleh para pihak. Pembenaran itu dibuktikan dengan ikut sertanya notaris selaku pejabat umum membubuhkan tanda tangannya pada akta yang dibuat dengan perantaraannya itu. Jika perusahaan yang didirikan itu adalah perusahaan perseorangan, maka akta pendirian yang dibuat di muka notaris itu adalah bukti resmi bahwa pengusaha perseorangan itu benar mendirikan perusahaan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pada garis besarnya akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar itu berisi ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal berikut180: (a) Secara formal memuat judul nomor, tempat, hari dan tanggal pembuatan dan penandatanganan akta pendirian. (b) Secara material memuat tentang: 1. pendiri/pihak-pihak pendiri, seperti nama lengkap, pekerjaan, tempat tinggal pendiri/sekutu; 2. 3. perusahaan, seperti nama, tempat kedudukan, merek, tujuan, struktur organisasi, jangka waktu berdiri perusahaan; usaha perusahaan, seperti modal, jenis usaha, pembukuan labarugi, pembagian keuntungan; 4. hubungan perusahaan, seperti hubungan internal mengenai kewajiban dan hak sekutu, organ, pemegang saham, dan hubungan eksternal mengenai kewajiban dan hak terhadap pihak ketiga; 5. cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Nama perusahaan adalah jati diri yang dipakai oleh perusahaan untuk menjalankan usahanya. Nama perusahaan melekat pada bentuk hukum perusahaan itu. Dengan nama itu, perusahaan dikenal oleh masyarakat, diperibadikan sebagai perusahaan tertentu yang berbeda dengan perusahaan lain yang sejenis. Dengan demikian, fungsi nama perusahaan adalah membedakan perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain, terutama antara perusahaan yang sejenis. Nama perusahaan dapat ditemukan dalam sumber resmi, yaitu akta pendirian perusahaan. 180 Ibid., h.55 Volume 9, No.1, Nop 2009 cix Nama perusahaan tidak dapat dipisahkan dari perusahaan. Jika perusahaan bubar, namanya juga lenyap. Jika perusahaan dialihkan kepada pihak lain, nama juga ikut beralih. Nama perusahaan merupakan aset yang melambangkan kualitas dan kemampuan usaha. Oleh karena itu, nama perusahaan perlu sekali dilindungi terutama dari penyalah-gunaan oleh pihak lain yang merugikan, seperti yang banyak terjadi dalam persaingan melawan hukum. Dari segi hukum, nama perusahaan mempunyai arti penting. Dengan nama itu suatu perusahaan dapat melakukan hubungan hukum dengan pihak lain dan memenuhi segala kewajiban hukumnya, misalnya memperoleh izin usaha, melakukan pendaftaran perusahaan, membayar pajak, membayar hutang. Sementara itu untuk nama perusahaan, di Negeri Belanda sejak tahun 1921 sudah memiliki undang-undang nama perusahaan yang diatur dalam Handeisnaamwet Stb. No. 842 Tahun 1921. Undang-undang ini sejauh mungkin memberi kebebasan untuk memilih dan memakai nama perusahaan. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh pergaulan yang sopan dalam kehidupan perusahaan. Dengan kata lain, kebebasan yang tidak bertentangan dengan kesusilaan. Handenaanwet 1921 bertujuan mencegah pengacauan dan penipuan akibat penggunaan nama perusahaan tertentu. Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur nama perusahaan. Tetapi tidak berarti bahwa pengusaha di Indonesia dapat semaunya saja memberi dan memakai nama perusahaan tanpa memperhatikan kepentingan sesama pengusaha atau kepentingan masyarakat. Kebebasan pengusaha memilih dan memakai nama perusahaan disesuaikan dengan asas yang berlaku, yaitu selama tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dengan demikian, masalahnya adalah nama yang mana dibolehkan dan nama yang mana pula dilarang digunakan oleh pengusaha. Di Negeri Belanda sudah ada undang-undang nama perusahaan, yang mengandung beberapa asas yang dijadikan dasar cara penentuan nama perusahaan yang dibolehkan dan yang dilarang. Sebaiknya asas-asas tersebut dapat diikuti oleh praktik perusahaan di Indonesia. Adapun beberapa asas tersebut dapat diperinci sebagai berikut: (a) Pembauran nama perusahaan dengan nama pribadi, di sini nama perusahaan diambil dari nama pribadi pemilik perusahaan, ini dibolehkan misalnya Firma Abuhasan. Tetapi dilarang memakai nama pribadi sebagai nama perusahaan yang memberi kesan seolah-olah perusahaan itu milik orang lain yang namanya dipakai itu. Misalnya pemilik restoran bernama Abunawas tidak boleh menggunakan nama restorannya dengan nama Restoran Abuhasan. Nama ini memberi kesan bahwa restoran itu milik Abuhasan padahal milik Abunawas. Selain itu, dilarang menggunakan nama perusahaan dengan nama pribadi yang mirip dengan nama perusahaan orang lain, karena akan membingungkan masyarakat. Misalnya pemilik perusahaan bernama Imam Mahadi dinamakan perusahaannya CV Imam Mahadi, padahal sudah ada cx Volume 9, No.1, Nop 2009 perusahaan terkenaf bernama nama Fa. Iman Mahdi milik keluarga Imam Mahdi. (b) Pembaruan bentuk hukum perusahaan dengan nama Peribadi, disini bentuk hukum perusahaan disatukan dengan nama pribadi, sehingga membentuk nama perusahaan misalnya PT Ibrahim Aboud, ini dibolehkan. PT adalah bentuk hukum perusahaan perseroan, lbrahim Aboud nama pribadi. Tetapi dilarang menggunakan nama perusahaan yang memberi kesan seolah-olah perusahaan itu berbentuk persekutuan padahal perusahaan perseorangan, misalnya Toko Hanati adalah perusahaan perseorangan diberi nama Hanafi & Co. Nama ini menunjukkan nama persekutuan Firma. Bentuk hukum persekutuan atau perseorangan akan diketahui ketika mendaftarkan perusahaan. Setiap sekutu harus didaftarkan, jika tidak itu berarti perusahaan perseorangan. (c) Larangan memakai nama perusahaan orang lain, dilarang memakai nama perusahaan orang lain yang sudah ada dan dipakai lebih dahulu olehnya, walaupun ada sedikit perbedaan. Hal itu akan membingungkan masyarakat. Misalnya sudah ada perusahaan penerbitan PT Alumni Bandung, kemudian muncul perusahaan penerbitan baru yang nama perusahaannya adalah PT Alumini Bandung. Nama yang baru ini tidak dibolehkan karena akan merugikan perusahaan yang sudah ada, kecuali jika perusahaan yang sudah ada itu tidak keberatan. (d) Larangan memakai merek orang lain, pada dasarnya dilarang memakai nama perusahaan yang serupa atau berasal dari merek perusahaan atau merek dagang orang lain yang sudah ada terdahulu walaupun ada sedikit perbedaan. Hal ini akan membingungkan masyarakat atau merugikan perusahaan pemilik merek. Misalnya toko yang menjual berbagai macam sepatu diberi nama Toko Sepatu Bata. Bata adalah merek sepatu terkenal. Dengan menggunakan nama perusahaan "Sepatu Bata", perusahaan agen sepatu "Bata" akan dirugikan, masyarakat menjadi bingung mencari mana toko sepatu Bata sebenarnya. Lain halnya dengan nama perusahaan "Industri Batu Bata" Perusahaan ini memproduksi batu bata untuk keperluan bangunan, tak ada sangkut pautnya dengan sepatu Bata. Nama ini dibolehkan. (e) Dilarang memakai nama perusahaan yang memberi kesan keliru terhadap sifat perusahaan yang memakai nama itu. Hal ini akan menyesatkan masyarakat, di samping dapat merugikan perusahaan lain. Misalnya muncul perusahaan dengan nama PD SINGER bekas. Perusahaan dagang mesin jahit merek "Singer" tetapi menjual mesin jahit Singer yang sudah bekas. Nama perusahaan semacam ini menyesatkan karena sepintas lalu orang mengira perusahaan tersebut menjual mesin jahit Singer yang baru. Nama perusahaan semacam ini dilarang karena disamping juga akan merugikan perusahaan/agen Singer yang asli. Dikatakan memberi kesan menyesatkan atau keliru karena nama perusahaan. PD SINGER ditulis dengan huruf besar yang mengacu kepada perusahaan Singer yang asli. Tetapi disamping nama tersebut ditambah dengan Volume 9, No.1, Nop 2009 cxi kala "bekas" yang ditulis dengan huruf kecil, yang sepintas lalu tidak diperhatikan masyarakat. Kata "bekas" menunjukkan bahwa perusahaan tersebut bukan perusahaan asli Singer. Praktik di Indonesia mengakui nama perusahaan sebagai hak objektif. Hal ini dapat disimpulkan dari keputusan Raad van Justitie Jakarta 22, Februari 1939 dan keputusan Hooggerechtshof 20 April 1939. Hak objektif, adalah hak yang melekat pada harta kekayaan. Nama perusahaan sebagai bagian dari harta kekayaan pemakai nama. Dengan demikian, siapa yang melanggar hak atas nama perusahaan yang sudah dimiliki dan dipakai oleh pengusaha lain diancam dengan sanksi hukum karena melakukan kecurangan atau melanggar hak orang lain. Pemberantasannya dapat dilakukan melalui Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Pasal 393 KUHP tentang Perbuatan Curang. Dalam Handelsnaamwet 1921 nama perusahaan diakui sebagai hak yang tidak mutlak. Pengakuan sebagai hak itu disertai pula dengan sanksi hukum bagi mereka yang melakukan pelanggaran terhadap hak tersebut, yaitu kewajiban membayar ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige dad) Pasal 1401 BW Belanda. Pengakuan nama perusahaan tidak sama dengan pengesahan nama perusahaan. Dikatakan ada pengakuan apabila tidak ada pihak yang menyangkal atau keberatan dengan pemakaian nama perusahaan yang bersangkutan. Pengusaha atau masyarakat umum mengetahui dan mengakui nama yang dipakai oleh perusahaan yang bersangkutan dalam menjalankan usahanya. Dikatakan ada pengesahan apabila nama perusahaan yang dipakai menjalankan usaha itu dibuat di muka notaris, diumumkan dalam Berita Negara, dan didaftarkan dalam Daftar Perusahaan, tetapi tidak ada yang menyangkal atau keberatan terhadap pemakaian nama perusahaan tersebut. Dengan terdaftarnya nama perusahaan dalam daftar perusahaan, maka sahlah perusahaan itu. Di sini pengakuan nama perusahaan mendapat pengesahan dari Pejabat yang berwenang menurut undang-undang wajib daftar perusahaan. Apabila ada pihak yang tidak mengakui nama perusahaan yang didaftarkan itu, dia dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengenai nama yang didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dengan menyebutkan alasannya. Keberatan ini diberitahukan kepada pengusaha yang bersangkutan dan Kantor Pendaftaran Perusahaan, Menteri akan memberikan keputusan setelah mendengar para pihak yang berkepentingan itu. Jika ternyata memang beralasan, maka Menteri akan membatalkan pendaftaran, yang berarti tidak mengesahkan nama perusahaan itu (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982). Banyak terjadi bahwa nama perusahaan dijadikan juga merek perusahaan dalam satu lingkungan perusahaan tertentu. Hal ini tidak akan menimbulkan masalah yuridis dalam praktik. Tetapi ada kemungkinan terjadi bahwa nama perusahaan mengandung merek orang lain, atau merek yang mengandung nama perusahaan orang cxiiVolume 9, No.1, Nop 2009 lain. Dalam hal ini, muncul dua masalah yuridis, yaitu tentang hak atas merek dan hak atas nama perusahaan. Nama perusahaan yang mengandung merek orang lain adalah masalah yuridis tentang hak atas merek perusahaan. Masalah ini dapat diselesaikan melalui Pasal 27 dan 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Sedangkan merek yang mengandung nama perusahaan orang lain adalah masalah yuridis tentang hak atas nama perusahaan. Masalah ini diselesaikan melalui Pasal 72 dan 73 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek junkto Pasal 72 dan 73 Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 pihak ketiga yang berhak atas merek dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan atas hal-hal didaftarkan dalam Daftar Perusahaan, dengan menyebutkan alasan-alasannya dengan tembusan kepada pengusaha yang bersangkutan dan Kantor Pendaftaran Perusahaan. Menteri berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 memberikan keputusan setelah mendengar pihak-pihak bersangkutan. Pihak bersangkutan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan Menteri kepada Pengadilan Negeri yang berwenang. Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, maka sengketa yang berkaitan dengan masalah ini diajukan kepada Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997, pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang secara tanpa hak menggunakan merek untuk barang dan atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan mereknya. Gugatan diajukan melalui Pengadilan Niaga. Pasal 73 Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 menentukan bahwa gugatan atas pelanggaran merek terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 dapat pula dilakukan oleh penerima lisensi merek terdaftar, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 drtentukan, pendaftaran wajib dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai menjalankan usahanya. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa suatu perusahaan dianggap mulai menjalankan usahanya pada saat menerima surat izin usaha dari instansi teknik yang berwenang.ini berarti bahwa untuk menjalankan usaha, perlu memperoleh surat izin usaha lebih dahulu. Surat izin usaha itu diterbitkan oleh instansi teknik yang berwenang, yaitu instansi yang diberi wewenang oleh Departemen yang membawahkan bidang usaha perusahaan itu. Jadi, jika perusahaan itu menjalankan usaha di bidang perindustrian dan perdagangan, maka surat izin usaha diterbitkan oleh instansi yang ditunjuk oleh Menteri Perdagangan. Jika perusahaan itu menjalankan usaha di bidang penerangan maka surat izin usaha diterbitkan oleh instansi yang ditunjuk oleh Menteri Penerangan. Volume 9, No.1, Nop 2009 cxiii Untuk melaksanakan ketentuan pasal tadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 4 MPP/Kep/10/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang mencabut dan menggantikan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 1458/Kep/ Xll/84 tentang Surat lzin Usaha Perdagangan (SIUP). Dalam Pasal 2 Surat Keputusan tersebut ditentukan bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memperoleh perizinan di bidang perdagangan. Perizinan di bidang perdagangan meliputi: (a) Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP); (b) Surat izin Usaha Perdagangan. Untuk menentukan jenis perizinan di bidang perdagangan yang wajib dimiliki oleh setiap perusahaan, maka perusahaan perdagangan dibedakan menurut jumlah nilai investasi perusahaan (modal perusahaan) seluruhnya. Menurut ketentuan Pasal 6 Keputusan Menperindag Nomor 408 Tahun 1997, perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha wajib memperoleh TDUP yang diberlakukan sebagai SIUP. Sedang perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas Rp 200.000,000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha wajib memperoleh siup. Setiap perusahaan yang telah memperoleh TDUP apabila dalam perkembangannya nilai investasi perusahaan seluruhnya tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha melampaui Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan/atau. memiliki penjualan tahunan telah melampaui Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), maka perusahaan yang bersangkutan dapat mengganti TDUP-nya menjadi SIUP apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan (Pasal 6 ayat (3) Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1987). Menurut ketentuan Pasal 7 Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1997, perusahaan yang dibebaskan dari kewajiban memperoleh TDUP atau SIUP adalah yang berikut ini: (a) Cabang perusahaan yang dalam menjalankan kegiatan usaha perdagangan menggunakan TDUP atau SIUP perusahaan pusat. (b) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha yang setara dari Dpartennn teknis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (c) Perusahaan produksi yang didirikan dalam rangka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. (d) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah & (BUMD). (e) Perusahaan kecil perseorangan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. tidak berbentuk badan hukum atau persekutuan cxivVolume 9, No.1, Nop 2009 2. (f) diurus, dijalankan atau dikelola sendiri oleh pemiliknya atau dengan mempekerjakan anggota keluarganya yang terdekat Pedagang keliling, pedagang pinggir jalan atau pedgang kaki lima. Tetapi perusahaan yang dibebaskan dari TDUP atau SIUP tersebut dapat diberikan TDUP atau SIUP apabila dikehendaki oleh perusahaan yang bersangkutan. Jika dikaji secara teliti ketentuan huruf (f) adalah berlebihan karena pedagang tersebut tidak menjalankan perusahaan, melainkan pekerjaan dagang yang tidak memerlukan TDUP atau SlUP. Termasuk dalam pekerjaan dagang itu antara lain adalah perdagangan keliling/pikulan, pedagang pinggir jalan atau perdagangan kaki lima. Para pedagang ini berusaha memperoleh keuntungan untuk memenuhi kebutuhan nafkah hidup sehari-hari. Sebaiknya kriteria perusahaan kecil perseorangan yang tidak memerlukan TDUP itu dilihat dari kenyataan nilai usahanya yang dapat diperkirakan jumlah modalnya tidak melebihi misalnya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Menurut ketentuan Pasal 9 Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1997, permintaan TDUP bagi perusahaan yang mempunyai nilai investasi sampai dengan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) diajukan kepada Kepala Kantor Deperindag (Kakandep) setempat. Permintaan TDUP tersebut dilakukan dengan menyampaikan surat permintaan TDUP kepada Kakandep yang ditandatangani oleh pemilik/penanggung jawab perusahaan, yang isinya memuat sekurang-kurangnya: (a) nama pemilik/perusahaan; (b) alamat pemilik/perusahaan; (c) nama dan alamat penanggung jawab perusahaan; (d) nomor pokok wajib pajak (NPWP); (e) bidang usaha barang/jasa; (f) nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan; (g) jenis kegiatan usaha; (h) jenis barang/jasa dagangan utama, dan bila ada; (i) merek (milik sendiri atau lisensi). Khusus mengenai permintaan SIUP diatur dalam Pasal 10 Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1997. Menurut ketentuan pasal tersebut, permintaan SIUP bagi perusahaan yang mempunyai nilai investasi di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Deperindag (Kakanwil) setempat dengan mengisi formutir Surat Permintaan SIUP (SP-SIUP) Model A. Tetapi perusahaan yang telah memperoleh TDUP karena perkembangan nilai investasinya melampaui Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan/atau memiliki penjualan tahunan telah melampaui Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), maka perusahaan yang bersangkutan dapat mengganti TDUP-nya menjadi SIUP apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan. Permintaan SIUP tersebut diajukan kepada Kakanwil Deperindag setempat dengan mengisi formulir SP-SIUP Model A serta melampirkan TDUP yang telah dimilikinya dengan tembusan kepada Kakandep yang menerbitkan TDUP tersebut. Volume 9, No.1, Nop 2009 cxv Dalam pasal 11 Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1997 ditentukan bahwa permintaan TDUP atau SIUP wajib melampirkan dokumen-dokumen dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Salinan/kopi Akta Pendirian yang telah disahkan oleh Departemen Kehakiman bagi Perseroan Terbatas dan instansi yang berwenang bagi Koperasi. 2. Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/penanggung jawab perusahaan. 3. Kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan. 4. Kopi Surat lzin Tempat Usaha dari Pemerintah Daerah setempat bagi kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan ketentuan UndangUndang Gangguan (HO). Adapun untuk perusahaan persekutuan bukan badan hukum, maka dokumen yang harus dilampirkan guna memperoleh TDUP atau SIUP adalah: 1. Salinan/kopi Akta Pendirian di muka notaris yang telah didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat. 2. Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/penanggung jawab perusahaan. 3. Kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan. 4. Kopi Surat izin Tempat Usaha (SITU) dari Pemerintah Daerah setempat bagi kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan ketentuan Undang-Undang Gangguan. Kemudian khusus untuk perusahaan perseorangan, maka dokumen yang harus dilampirkan guna memperoleh TDUP atau SIUP adalah: 1. Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik. 2. Kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik. 3. Kopi Surat izin Tempat Usaha (SITU) dari Pennerintah Daerah setempat. Pemohon TDUP atau SIUP yang belum mendapatkan SITU dalam jangka waktu 15 (lima betas) hari kerja terhitung mulai tanggal pengajuan permohonan SITU kepada Pemerintah Daerah, maka pemohon TDUP dan SIUP cukup melampirkan kopi bukti surat permohonan SITU sebagai kelengkapan persyaratan guna mendapatkan TDUP atau SIUP, untuk selanjutnya TDUP atau SIUP dapat diterbitkan. Apabila pemohon TDUP atau SIUP telah memperoleh SITU, dia wajib menyampaikan kopi SITU kepada Kakandep atau Kakanwil yang bersangkutan. Bagi perusahaan yang tidak dipersyaratkan memperoleh SITU berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO) tidak diwajibkan melampirkan surat keterangan tidak perlu SITU dari Pemerintah Daerah setempat. Dalam Pasal 13 Kepmenperindag No. 408 Tahun 1997 ditentukan bahwa selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan TDUP atau SP-SIUP Model A secara lengkap dan benar, Kakandep setempat menerbitkan TDUP dengan menggunakan Formulir Model B dan Kakanwil setempat menerbitkan SIUP dengan menggunakan Formulir Model C. Apabila pengisian dan kelengkapan belum lengkap dan benar, Kakandep atau Kakanwil yang bersangkutan selambat-lambatnya 5{lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan TDUP atau SP-SIUP Model A wajib melakukan penundaan dengan memberitahukan cxviVolume 9, No.1, Nop 2009 secara tertulis kepada perusahaan yang bersangkutan disertai alasannya. Perusahaan yang bersangkutan wajib melakukan perbaikan serta melengkapi persyaratan selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat penundaan. Apabila setelah melebihi jangka waktu yang ditentukan itu, perusahaan yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka Kakandep atau Kakanwil yang bersangkutan menolak permintaan TDUP atau SIUP. Tetapi perusahaan yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan TDUP atau SIUP baru. Apabila TDUP atau SIUP yang telah, diperoleh perusahaan hilang atau rusak tidak terbaca, perusahaan yang bersangkutan dapat mengajukan permintaan penggantian TDUP atau SIUP secara tertulis kepada Kakandep atau Kakanwil yang berwenang mengeluarkan TDUP atau SIUP tersebut untuk diterbitkan TDUP atau SIUP baru. 2. Ketentuan tentang Perusahaan Pailit Badan hukum merupakan pendukung kewajiban dan hak, sama seperti manusia pribadi. Sebagai pendukung kewajiban dan hak, dia dapat mengadakan hubungan bisnis dengan pihak lain. Untuk itu dia memiliki kekayaan sendiri, yang terpisah dari kekayaan pengurus atau pendirinya. Segala kewajiban hukumnya dipenuhi dan kekayaan yang dimilikinya itu. Apabila kekayaannya tidak mencukupi untuk menutupi kewajibannya, itupun tidak akan dapat dipenuhi dari kekayaan pengurus atau pendirinya. Guna menghindarkannya dari kebangkrutan atau likuidasi, kendatipun mendapat pinjaman dana dari pengurus atau pendirinya, atau jika Badan Usaha Milik Negara mendapat suntikan dana dari negara, pinjaman atau suntikan dana itu tetap dihitung sebagai hutang badan hukum itu. Dalam Anggaran Dasar biasanya ditentukan jumlah dan rupa kekayaan badan hukum. Yang dapat digolongkan kekayaan itu dapat berupa sejumlah modal, barang bergerak dan tidak bergerak, dan tagihan kepada pihak ketiga milik badan hukum. Kekayaan badan hukum ini terpisah dari kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya dan ini ditentukan secara tegas dalam Anggaran Dasar dan dicatat dalam pembukuan perusahaan. Dalam hubungan bisnis dengan pihak ketiga, badan hukum itu bertindak, sendiri untuk kepentingannya sendiri yang diwakili oleh pengurusnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar. Apabila mendapat keuntungan maka keuntungan itu menjadi kekayaan milik badan hukum itu. Sebaliknya, apabila menderita kerugian, maka kerugian itu ditanggung sendiri oleh badan hukum dari kekayaan yang dimilikinya. Dalam pada itu, Anggaran Dasar badan hukum harus mendapat pengesahan secara resmi dari Menteri. Untuk Perseroan Terbatas, Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (pasal 7 ayat 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995). Bagi badan hukum Koperasi Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Koperasi (Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992). Bagi badan hukum perusahaan umum (Perum) Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Keuangan Volume 9, No.1, Nop 2009 cxvii (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960), dan bagi badan hukum perusahaan Perseroan (Persero) Anggaran Dasarnya juga disahkan oleh Menteri Keuangan (Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969) yang mewakili negara sebagai pemilik modal. Pengesahan oleh Menteri merupakan pembenaran bahwa Anggaran Dasar badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Di samping itu pengesahan juga menentukan bahwa, sejak tanggal pengesahan, itu diberikan, maka sejak itu pula badan usaha yang bersangkutan memperoleh status badan hukum dan dengan demikian memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya. Badan hukum merupakan subyek hukum buatan manusia berdasarkan hukum yang berlaku. Agar dapat berbuat menurut hukum, maka badan hukum diurus oleh pengurus yang ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya, sebagai pihak yang berwenang mewakili badan hukum. Artinya perbuatan pengurus adalah perbuatan badan hukum. Perbuatan pengurus tersebut selalu mengatas namakan badan hukum, bukan atas nama pribadi pengurus. Segala kewajiban yang timbul dari perbuatan pengurus adalah kewajiban badan hukum, yang dibebankan kepada harta kekayaan badan hukum. Sebaliknya pula, segala hak yang diperoleh dari perbuatan pengurus adalah hak badan hukum yang menjadi kekayaan badan hukum. Perusahaan badan hukum merupakan subjek hukum yang diurus atau dikelola oleh pengurus yang disebut Direksi. Direksi ini dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang. Jika terdiri dari beberapa orang, satu diantaranya bertindak sebagai Direktur Utama perusahaan badan hukum yang membawahi Direktur-Direktur. Struktur tugas dan wewenang serta tanggung jawab Direksi selaku pengelola yang mewakili perusahaan badan hukum diatur dalam Anggaran Dasar. Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam KUHD yang sudah berumur lebih dari seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal mengakibatkan KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan. Di samping itu, di luar-KUHD masih terdapat pula pengaturan badan hukum semacam Perseroan Terbatas bagi golongan Bumi Putera, sehingga timbul dualisme pengaturan badan hukum perseroan yang berlaku bagi warganegara Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, dan memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan tuntutan perkembangan dan pembangunan nasional, sudah tiba waktunya mengadakan pembaharuan hukum tentang Perseroan Terbatas. Pada tahun1995 mulailah babak baru karena pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini mencabut ketentuan Pasal 36 hingga 56 KUHD tentang Perseroan Terbatas dan berikut segala perubahannya terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 dan Stb. Nomor 569 dan Nomor 717 Tahun1993 tentang Qrdonansi Maskapai Andil Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 terdiri dari 12 bab dengan 29 pasal dan mulai berlaku satu tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan. Volume 9, No.1, Nop 2009 cxviii 3. Perusahaan sebagai Badan Hukum Istilah "perseroan" menunjuk kepada cara menentukan modal, yaitu terbagi dalam saham, dan istilah terbatas menunjuk kepada batas tanggungjawab pemegang saham, yaitu sebatas jumlah nominal saham yang dimiliki. Perseroan Terbatas adalah perusahaan persekutuan badan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal1 butir(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, yaitu bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Suatu perusahaan dapat dikatakan sebagai badan hukum, bilamana perusahaan tersebut telah memenuhi unsur-unsur badan hukum yaitu bahwa sebagai badan hukum, perseroan harus memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti ditentukan dalam UndangUndang Perseroan Terbatas, yakni: (a) Organisasi yang teratur, yaitu bahwa perseroan mempunyai organ yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris(Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Keteraturan organisasi dapat diketahui melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Anggaran Dasar perseroan, Anggaran Rumah Tangga Perseroan, dan keputusan RUPS. (b) Mempunyai kekayaan sendiri, yaitu bahwa Perseroan memiliki kekayaan sendiri berupa modal dasar yang terdiri dari seluruh nilai nominal saham (Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1995) dan kekayaan dalam bentuk lainnya berupa benda bergerak dan tidak bergerak benda berwujud dan tidak berwujud, misalnya kendaraan bermotor, gedung perkantoran, barang inventaris, surat berharga, piutang perseroan. (c) Dapat melakukan hubungan hukum sendiri, artinya perusahaan sebagai badan hukum, perusahaan melakukan hubungan hukum sendiri dengan pihak ketiga yang diwakili oleh Direksi. Menurut ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Perseroan Terbatas Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. (d) Mempunyai tujuan sendiri, yaitu bahwa sebagai badan hukum yang melakukan kegiatan usaha, perseroan mempunyai tujuan sendiri. Tujuan tersebut ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 12 butir (b) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama perseroan adalah mencari keuntungan dan atau laba. Berdasarkan pada definisi Perseroan Terbatas yang telah dikemukakan di atas, maka sebagai perusahaan badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur: berbadan Volume 9, No.1, Nop 2009 cxix hukum, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha, mempunyai modal dasar, dan memenuhi persyaratan undang-undang. Setiap perseroan adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak yang telah diuraikan sebelumnya, antara lain mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan peribadi atau pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasalpun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum. Tetapi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) bahwa perseroan adalah badan hukum. Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, artinya harus ada sekurangkurangnya dua orang yang bersepakat mendirikan perseroan, yang dibuktikan secara tertulis yang tersusun dalam bentuk Anggaran Dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat di muka notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Ketentuan ini adalah asas dalam pendirian perseroan. Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam bidang perekonomian (industri, dagang, jasa) yang bertujuan mendapat keuntungan dan atau laba. Melakukan kegiatan usaha artinya menjalankan perusahaan. Supaya kegiatan usaha itu sah harus mendapat izin usaha dari pihak yang berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan menurut undang-undang yang berlaku. Di samping itu, setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter dalam bahasa Inggris disebut authorized capital. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan sebagai badan hukum, yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, pemegang saham. Menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Perseroan Terbatas, modal dasar perseroan sekurang-kurangnya 20 {dua puluh) juta rupiah. Sebagai ketentuan terakhir dari unsur badan hukum adalah bahwa setiap perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Unsur ini menunjukkan bahwa perseroan menganut sistem tertutup (closed system) Sedangkan untuk mendirikan suatu perseroan perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang perseroan, Syarat-syarat dan prosedur tersebut seperti bahwa perusahaan itu didirikan oleh dua orang atau lebih, didirikan dengan suatu akta otentik, dan mempunyai modal perseroan sendiri yang terpisah dari modal pengurusnya. Langkah pertama pendirian perseroan adalah pembuatan akta pendirian di muka notaris. Akta pendirian tersebut merupakan perjanjian yang dibuat secara otentik yang memuat Anggaran Dasar perseroan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Langkah kedua adalah permohonan pengesahan, yaitu akta pendirian perseroan yang dibuat di muka notaris dimohonkan secara tertulis pengesahannya oleh Menteri Kehakiman. Pengesahan tersebut penting karena status badan hukum perseroan diperoleh setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas). cxx Volume 9, No.1, Nop 2009 Langkah ketiga adalah pendaftaran perseroan, yaitu Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan akta Pendirian beserta surat pengesahan Menteri Kehakiman dan HAM. Pendaftaran wajib dilakukan dalam waktu paling1ambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan diberikan (pasal 21 UndangUndang Perseroan Terbatas). Yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah Daftar Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang wajib daftar perusahaan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982. Langkah terakhir adalah pengumuman dalam Tambahan, Berita Negara. menurut ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan yang telah didaftar diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Permohonan pengumuman perseroan dilakukan oleh Direksi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran, sesuai dengan tata cara yang telah diatur oleh undangundang. TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS KEPAILITAN PERUSAHAAN 1. Sistem Tanggung Jawab atas Tindakan Perusahaan Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak serahkan kepada Direksi atau Komisaris. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.181 Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas atau Anggaran Dasar. RUPS diadakan di tempat kedudukan perseroan atau tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Tempat yang dimaksud terletak di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. RUPS terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS lainnya. RUPS tahunan diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah 181 Mohammad Sumedi, Implementasi Doktrin The Ultra Vires Rule dalam Ketentuan Hukum Perseroan Terbatas, Yuridika, Vol.16, No.1, Januari 2002, h.2 Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxi tahun buku. Dalam RUPS tahunan harus diajukan semua dokumen perseroan. RUPS lainnya dapat diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan. RUPS diselenggarakan oleh Direksi, RUPS dapat juga dilakukan atas permintaan satu orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.182 Permintaan tersebut diajukan kepada Direksi atau Komisaris dengan surat tercatat disertai balasannya. RUPS berhak memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris. Untuk menyelenggarakan RUPS, Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham. Namun dalam hal-hal tertentu misalnya Direksi berhalangan atau ada pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan, pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Komisaris. Untuk mengadakan RUPS pemanggilan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pemegang saham dengan hak suatu yang sah, baik sendiri maupun dengan kuasa tertulis berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya. Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Komisaris, dan karyawan perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham. Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara kecuali Anggaran Dasar menentukan lain. Saham perseroan yang dimiliki oleh perseroan itu sendiri tidak mempunyai hak suara. Saham induk perusahaan yang dimiliki oleh anak perusahaannya juga tidak mempunyai hak suara. RUPS dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili lebih dari 1/2 (seperdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, kecuali undang-undang atau Anggaran Dasar menentukan lain. Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak biasa dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah, kecuali undang-undang dan atau Anggaran Dasar menentukan bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suara yang lebih besar dari suara terbanyak biasa. Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuat risalah dan dibubuhi tanda tangan ketua rapat dan paling sedikit satu orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi, perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan hutang, atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Direksi. Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang: a. mampu melaksanakan perbuatan hukum; b. tidak pernah dinyatakan pailit; atau c. tidak pernah menjadi anggota Direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau 182 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.71 Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxii d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.(Pasal 79 Undang-Undang Perseroan Terbatas).183 Anggota Direksi diangkat oleh RUPS, untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota Direksi dalam akta pendirian. Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota Direksi diatur dalam Anggaran Dasar tanpa mengurangi hak pemegang saham. Pemberian tugas dan wewenang setiap anggota Direksi, besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan oleh RUPS. Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 80-82 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Namun dalam keadaan-keadaan tertentu anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila: 1. terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau 2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Dalam keadaan semacam ini apabila Anggaran Dasar tidak menetapkan ketentuan mengenai yang berhak mewakili perseroan, maka RUPS mengangkat satu orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan (Pasal 84 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (pasal 85 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Direksi wajib membuat dan memelihara Daftar Pemegang saham risalah RUPS, risalah rapat Direksi, dan penyelenggaraan pembukuan perseroan serta menyimpan semuanya di tempat kedudukan perseroan. Berdasarkan permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk memeriksa dan mendapatkan salinan Daftar Pemegang Saham, risalah, dan pembukuan. Anggota Direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 86 dan 87 UndangUndang Perseroan Terbatas). 183 Ibid., h.73 Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxiii Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan hutang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan dengan ketentuan tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik. Keputusan persetujuan RUPS sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. Pengalihan dan penjaminan kekayaan perseroan diumumkan dalam dua surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak perbuatan hukum itu dilakukan (pasal 88 UndangUndang Perseroan Terbatas). Berdasarkan keputusan RUPS, perseroan dapat dinyatakan pailit dan Direksi dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan pernyataan kepailitan tersebut. Apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu, Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut (Pasal 90 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Anggota Direksi dapat sewaktu-waktu diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan pemberhentian hanya dapat diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh RUPS. Pemberhentian sementara diberitahukan secara tertulis kepada Direksi yang bersangkutan. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diadakan RUPS untuk memberi kesempatan membela diri. RUPS dapat mencabut keputusan pemberhentian sementara atau memberhentikan anggota Direksi yang bersangkutan. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari itu tidak diadakan RUPS, maka pemberhentian sementara batal (Pasal 91 dan 92 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat; menerbitkan surat pengakuan hutang atau Perseroan Terbuka wajib memiliki paling sedikit dua orang Komisaris. Apabila terdapat lebih dari dua orang Komisaris, mereka merupakan sebuah majelis. Komisaris diangkat oleh RUPS, untuk pertama kalinya dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama Komisaris dalam akta pendirian. Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian Komisaris diatur dalam Anggaran Dasar (Pasal 94 dan 95 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Orang yang dapat diangkat menjadi Komisaris adalah orang perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. mampu melaksanakan perbuatan hukum; 2. tidak pernah dinyatakan pailit; atau 3. tidak pernah menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah mengakibatkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxiv 4. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan (Pasal 96 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat Kepada Direksi. Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili, paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Komisaris wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya, pada perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 97-99 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Apabila Anggaran Dasar mengaturnya, Komisaris dapat diberi wewenang untuk memberi persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Bagi Komisaris yang melakukan tindakan pengurusan itu berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga.. Anggota Komisaris dapat diberhentikan atau diberhentikan sementara oleh RURS. Ketentuan mengenai pemberhentian dan pemberhentian sementara Direksi berlaku pula terhadap Komisaris. Pemeriksaan perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga serta anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga (Pal 110 ayat (l) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis serta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. Bilamana suatu perseroan akan dilakukan pembubaran, maka menurut ketentuan Pasal 114 Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan bubar karena: a. keputusan RUPS; b. jangka waktu berdiri yang ditetapkan dalam Anggarao Dasar telah berakhir; c. penetapan pengadilan.. Selanjutnya dalam Pasal 115 Undang-Undang Perseroan Terbatas ditentukan bahwa Direksi dapat mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS. Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan Anggaran Dasar. Perseroan bubar pada saat telah ditetapkan dalam keputusan RUPS, kemudian pembubaran perseroan diikuti dengan likuidasi oleh likuidator. Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxv Apabila perseroan bubar karena jangka waktu berdirinya berakhir, Menteri Kehakiman atas permohonan Direksi dapat memperpanjang jangka waktu tersebut. Permohonan perpanjangan jangka waktu hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾ (tigaperempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui paling sedikit oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. Permohonan perpanjangan dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar diajukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sebelum jangka waktu berdiri itu berakhir. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan diterima. Apabila jangka waktu berdiri perseroan itu berakhir dan RUPS memutuskan tidak memperpanjang jangka waktu tersebut, maka proses likuidasi dilakukan sesuai dengan ketentuan undangundang. (Pasal 116 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Dalam hal perseroan bubar, likuidator dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari wajib: (a) mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan; (b) mengajukan permohonan untuk diumumkan dalam Berita Negara Rl; (c) mengumumkan dalam dua surat kabar harian; (d) memberitahukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM. Selama pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan, maka bubarnya perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Apabila likuidator lalai mendaftarkan perseroan yang bubar itu, maka likuidator secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga (Pasal 118 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Perseroan yang bubar tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali diperlukan untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Tindakan pemberesan tersebut meliputi: (a) pencatatan dan pengumpulan kekayaan perseroan; (b) penentuan tata cara pembagian kekayaan; (c) pembayaran kepada para kreditur; (d) pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; (e) tindakan-tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. Apabila tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab Direksi berlaku pula bagi likuidator (pasal 122 UndangUndang Perseroan Terbatas). Apabila likuidator tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, atau dalam hal hutang perseroan melebihi kekayaan perseroan, maka atas permohonan satu orang atau lebih yang berkepentingan, atau atas permohonan kejaksaan184, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama (Pasal 123 Undang-Undang Perseroan Terbatas ). Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atas likuidasi yang dilakukan likuidator wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan mengumumkan dalam 184 Munir Fuady, Op.Cit, h.9 Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxvi Tambahan Berita Negara hasil akhir proses likuidasi serta mengumumkannya dalam dua surat kabar harian. Sisa kekayaan hasil likuidasi diperuntukkan bagi pemegang saham (Pasal 124 Undang-Undang Perseroan Terbatas). 2. Tanggung Jawab Direksi jika Perusahaan Pailit Pada prinsipnya, tanggung jawab seorang direktur pada perusahaan yang jatuh pailit sama saja seperti tanggung jawabnya pada perseroan terbatas yang berjalan normal. Dalam hal ini, klaim-klaim dari kreditur pada prinsipnya hanya dapat ditujukan terhadap perusahaan yang bersangkutan dalam statusnya sebagai badan hukum. Tanggung jawab hukumnyapun hanya sebatas asset yang dimiliki oleh badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, jika suatu perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh Pengadilan dan/atau dilikuidasi, maka pada prinsipnya kreditur tidak dapat memintakan direktur atau komisaris ataupun pemegang sahamnya untuk bertanggung jawab secara pribadi. Karenanya, harta-harta pribadi mereka tidak boleh ikut disita atau dilelang. Prinsip umum terhadap tanggung jawab yang semata-mata dibebankan kepada badan hukum dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi ini dipegang dengan teguh dalam kasus spektakuler likuidasi Bank Summa di tahun 1992. Dalam kasus ini, tidak satu pemegang sahampun atau direktur atau komisaris yang ikut bertanggung jawab secara hukum. Kalaupun ada pihak pemilik ataupun perusahaan satu group yang akhirnya bertanggung jawab, itu hanya dikarenakan ikatan-ikatan yang bersifat kontraktual, dalam hal ini seperti personal guarantee. Dalam perkembangan teori dan praktek hukum tentang korporat, penerapan prinsip umum tentang kemandirian tanggung jawab badan hukum ternyata tidak selamanya memuaskan. Karena dalam hal-hal tertentu, penerapan prinsip tersebut akan melanggar sendi-sendi keadilan. Demikian juga aplikasinya ke dalam hukum tentang kepailitan dan likuidasi. Maka mulailah dikembangkan deviasi-deviasi, yang pada akhirnya merupakan pengecualian terhadap teori yang berlaku umum tersebut. Beberapa pengecualian terhadap prinsip kemandirian tanggung jawab badan hukum dalam hal perusahaan pailit, dapat disebutkan: (1) Jika direktur bertindak di luar batas kekuasaannya yang diberikan oleh anggaran dasar, (2) Jika dilakukan perbuatan melawan hukum (perdata maupun pidana), (3) Jika direktur bersikap sangat tidak layak atau bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty (4) Jika terjadi apa yang disebut ultra vires. Keempat macam pelanggaran tersebut kiranya dapat dicakup dalam rumusan istilah kesalahan atau kelalaian versi Pasal 90 ayat 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Karena itu pula, direktur dapat dimintakan untuk bertanggung jawab secara hukum ketika perusahaan pailit jika dengan perbuatan direktur yang dianggap menyimpang tersebut. Secara langsung atau tidak langsung menyebabkan perusahaan Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxvii yang bersangkutan jatuh pailit. Hanya saja Undang-Undang Perseroan Terbatas membuat beberapa restriksi terhadap tanggung jawab direktur dalam hal perseroan pailit sebagai berikut: a. Direktur ikut bertanggung jawab jika perusahaan tersebut dinyatakan pailit. Jadi kalau dibubarkan dan dilikuidasi tanpa prosedur pailit direktur terlepas dari tanggung jawabnya, kecuali dia melakukan kesalahan-kesalahan lain. b. Harus ada unsur kesalahan atau kelalaian dari direktur tersebut. c. Tanggung jawab direktur bersifat residual. Maksudnya, dia baru bertanggung jawab secara material setelah seluruh asset perusahaan diambil dan ternyata tidak cukup. d. Di samping perusahaan, yang ikut ditarik untuk bertanggung jawab adalah hanya direksi. Komisaris dan pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab secara hukum, kecuali mereka melakukan kesalahan lain. e. Tanggung jawabnya secara renteng. Jadi walaupun seorang direktur yang bersalah, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk bertanggung jawab. f. Adanya presumsi bersalah, dengan beban pembuktian terbalik. Maksudnya, jika direksi bersalah, maka seluruh anggota direktur dianggap bersalah, kecuali ada anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa sebenarnya dia tidak bersalah. Tidak ditentukan bagaimana membuktikan tidak bersalah. Menurut hemat penulis seorang anggota direksi melakukan voting menentang dalam rapat direksi barangkali belum cukup. Tetapi anggota direksi tersebut harus benar-benar mencegahnya atau berhenti sebagai direktur saat sebelum perbuatan kesalahan tersebut direalisasikan oleh anggota direksi yang lain. Keabsahan perbuatan hukum Direksi secara ekstern itu ditentukan oleh ada tidaknya pelanggaran terhadap batas kewenangan direksi dalam melakukannya. Batas kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern menjadi sangat krusial dalam menentukan sah tidaknya perbuatan hukum itu. Kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern yang masuk katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan hanya dibatasi oleh ketentuan Pasal 85 (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Artinya, direksi tidak boleh melanggar kewajiban untuk menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern itu. Perbuatan-perbuatan hukum ekstern direksi yang dilakukan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab adalah tidak sah. Ada dua macam perbuatan hukum anggota direksi terhadap pihak ketiga yang masuk katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan. Pertama, perbuatan hukum ekstern basil keputusan rapat direksi. Kedua, perbuatan hukum ekstern atas dasar inisiatif dari seorang anggota direksi. Perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat direksi dapat diklasifikasikan ke dalam perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat direksi yang sah dan perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat Direksi yang tidak sah. Yang pertama merupakan pelaksanaan keputusan rapat direksi yang tidak Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxviii mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 85 (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Artinya. Keputusan itu lahir dari suatu rapat Direksi yang diselenggarakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab semata-mata demi kepentingan dan kegiatan usaha Perseroan Terbatas. Yang terakhir merupakan pelaksanaan keputusan rapat Direksi yang lahir dari suatu proses pengambilan keputusan yang diselenggarakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Proses pengambilan keputusan seperti itu cenderung menghasilkan keputusan yang merugikan Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga atau keputusan yang memang ditujukan untuk merugikan Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga. Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi yang sah adalah sah dan mengikat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan jika perbuatan hukum itu dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern direksi yang demikian tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada direksi, apalagi setiap anggota Direksi, tanggung jawab atas perbuatan hukum itu ada pada Perseroan Terbatas. Perbuatan hukum ekstern Direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi yang sah yang dilaksanakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab adalah tidak sah dan tidak mengingat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu dituju. Anggota direksi yang melakukan perbuatan hukum yang demikian itu harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita pihak ketiga. Perseroan Terbatas dan anggota direksi lainnya yang menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tidak ikut bertanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi yang tidak sah adalah tidak sah dan tidak mengikat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan, sekalipun perbuatan hukum itu dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang demikian menjadi tanggung jawab semua anggota Direksi secara renteng kepada pihak ketiga. Perseroan Terbatas tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dalam hal ini. Perbuatan hukum ekstern atas dasar inisiatif dari seorang anggota Direksi semula hanyalah menjadi tanggung jawab dari anggota direksi yang melakukannya. Perseroan Terbatas dan anggota Direksi lainnya yang tidak memberi persetujuan atas perbuatan hukum itu tidak ikut bertanggung jawab. Akan tetapi, tanggung jawab pribadi dari anggota direksi yang melakukannya itu dapat berubah menjadi tanggung jawab renteng bersama-sama dengan anggota direksi yang memberi persetujuan atas perbuatan hukum itu. Bahkan, jika semua anggota direksi menyetujui dan menganggapnya sebagai perbuatan hukum direksi yang sah, maka perbuatan hukum itu tidak lagi menjadi tanggung jawab pribadi dari anggota yang melakukannya atau tanggung jawab renteng bersama-sama dengan anggota Direksi lainnya yang memberi persetujuan, melainkan berubah menjadi tanggung jawab Perseroan Terbatas. Sedang syarat sah perbuatanperbuatan hukumi ekstern Direksi yang masuk kategori perbuatan menjalankan Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxix pekerjaan kepemilikan atau menjalankan pekerjaan penguasaan ada dua. Pertama, perbuatan hukum itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 85 (1) Perseroan Terbatas. Kedua, perbuatan hukum itu harus dilakukan atas dasar keputusan RUPS atau komisaris atau rapat Direksi yang memberi persetujuan kepada direksi untuk melakukan perbuatan hukum itu. Perbuatan-perbuatan hukum ekstern direksi yang dilakukan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dan atau tanpa dasar keputusan RUPS atau komisaris atau rapat Direksi adalah tidak sah. Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas disebutkan dengan tegas siapa yang berwenang memberi persetujuan kepada direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum ekstern yang merupakan perbuatan menjalankan pekerjaan kepemilikan atau perbuatan menjalankan pekerjaan penguasaan. Dalam hal direksi akan melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar harta kekayaan Perseroan Terbatas, misalnya, Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan dengan tegas bahwa Direksi harus mendapat persetujuan RUPS terlebih dahulu. Sementara dalam hal perbuatan hukum untuk menjaminkan atau meminjamkan uang atas nama Perseroan Terbatas, Undang-Undang Perseroan Terbatas memberi kebebasan kepada setiap Perseroan Terbatas untuk menentukan sendiri dalam anggaran dasarnya siapa diantara ketiga altenatif pilihan yang akan ditunjuk sebagai yang berwenang memberi persetujuan kepada Direksi jika akan melakukannya. KESIMPULAN Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. ndang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 hanya mengatur tentang Perseroan Terbatas sebagai bentuk badan hukum, sehingga walaupun bukan manusia dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya manusia yang cakap bertindak di depan hukum. Karenanya setiap perusahaan yang memilih bentuk Perseroan Terbatas harus memenuhi ketentuan persyaratannya, yaitu merupakan organisasi yang teratur, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan pengurus, dapat melakukan hubungan hukum sendiri, dan mempunyai tujuan sendiri; b. Adapun tentang tanggung jawab direksi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Standar Model Anggaran Dasar Perseroan Terbatas ternyata mengatur tentang kewenangan dan batas kewenangan setiap anggota Direksi dalam melakukan perbuatan hukum ekstern yang merupakan unsur pokok the ultra vires rule. Setiap anggota Direksi dapat diminta pertanggung jawaban secara pribadi jika dalam melakukan perbuatan hukum ekstern melanggar batas kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan Terbatas. cxxxVolume 9, No.1, Nop 2009 SARAN Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 1Tahun 1995, maka dapat dikemukakan hal-hal: a. Sudah waktunya pemerintah mengefektifkan ketentuan larangan melakukan bisnis, termasuk juga mendirikan dan menjadi pengurus dari Perseroan Terbatas bagi Pegawai Negeri. Hal ini dikarenakan, praktik bisnis selalu memerlukan kebijakan pemerintah yang mana ini akan mempengaruhi proses pendirian dan praktik bisnis Perseroan Terbatas yang dimiliki oleh pejabat di lingkungan Pegawai Negeri; b. Sangat sulit untuk menentukan bahwa Direksi tersebut tidak bersalah, terlebih lagi jika dalam perkara pidananya diterapkan pembuktian terbalik. Mengingat rujukan hukum pidana formal kita masih KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang notabene tetap Penuntut Umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa. Daftar Rujukan Burton Simatupang, Richard. 1996. Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet.I. Rineka Cipta. Jakarta. Fuady, Munir. 1996. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku Ketia, Cet.I, Citra Aditya Bakti. Bandung. Kansil, CST. 1985. Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.II. Pradnya Paramita. Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 1999. Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.I. Citra Aditya Bakti. Bandung. Sumedi, Mohammad.2002. Implementasi Doktrin The Ultra Vires Rule dalam Ketentuan Hukum Perseroan Terbatas, Yuridika, Vol.16, No.1, Januari 2002. Volume 9, No.1, Nop 2009 cxxxi