BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga nilai filosofis, sosial, kultural, dan ekologis. Tak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masyarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara dua pihak atau lebih yang salah satu pihak melakukan wanprestasi. Konflik pertanahan di Indonesia merupakan puncak gunung es dari berbagai masalah agraria yang menyejarah sejak zaman kolonial Belanda dan tidak terselesaikan secara mendasar sampai pada saat ini. Masalah pertanahan di Indonesia tidak bisa ditangani dan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum saja, melainkan dengan pendekatan holistik (komprehensif) seperti politik, sosial budaya, ekonomi (kesejahteraan), dan ekologi. Yang tidak kalah penting adalah penanganan dan penyelesaian konflik di lapangan harus didukung oleh kelembagaan pertanahan yang kuat dan berwibawa, koordinasi antar instansi pemerintah yang efektif, administrasi pertanahan yang berbasis teknologi dan penerapan prinsip-prinsip good government good governance, manajemen konflik yang efektif dan efisien, strategi penanganan dan penyelesaian yang cepat, tepat, dan efektif ditopang sumber daya manusia yang handal dengan kemampuan terlatih, baik di pusat maupun di daerah. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi filosofis substansial di dalam Kontitusi Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 1 Masalah pertanahan muncul ketika kewenangan (hak menguasai negara) diperhadapkan dengan hak asasi warga negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat). Mencermati konflik pertanahan di Indonesia yang terus meningkat, akar masalahnya terletak pada benturan antara hak menguasai negara (HMN) dengan hak asasi warga negara (HAM) yang memiliki kewenangan tunggal yang snagat besar untuk mengolah pembagian, penguasaan, pemanfaatan, dan peruntukkan tanah harus berhadapan dengan hak-hak asasi yang melekat pada rakyatnya sendiri. Sengketa konflik pertanahan yang semakin semarak dan kompleks belakangan ini terlihat sangat jelas. Dari uraian latar belakang di atas, maka kami mengambil studi kasus di Desa Lemoh Barat Kecamatan Tombariri. Dengan dasar undang-undang pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No. 5 Tahun 1960. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa sumber daya di bumi, air, dan sumber daya alam lainnya dikuasai oleh pemerintah. Sehingga pemerintah mempunyai otoritas untuk memberikan lahan tersebut baik untuk individu maupun untuk korporasi. Dalam UU ini juga mencakup pengaturan mengenai kepemilikan hak tanah berdasar hukum adat, seperti yang dijelaskan pada pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan didiskusikan yaitu: 1. Apa penyebab terjadinya konflik agraria di pedesaan? 2. Bagaimana upaya dari pemerintah dalam menangani konflik agraria di pedesaan? BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Konsep Analisis : Analisis adalah serangkaian kegiatan mempelajari dan menguraikan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh menjadi komponen-komponen yang utuh dan padu hubungannya satu dengan yang lain. Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:32) pengertian analisis adalah : “Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab) dimana penguraian suatu pokok atau berbagai bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan”. Salah satu bentuk analisis adalah merangkum sejumlah data besar data 2 yang masih mentah menjadi informasi yang dapat diinterpretasikan. Kategorisasi atau pemisahan dari komponen-komponen atau bagian-bagian yang relevan dari seperangkat data juga merupakan bentuk analisis untuk membuat data-data tersebut mudah diatur. Semua bentuk analisis berusaha menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasilnya dapat dipelajari dan diterjemahkan dengan cara yang singkat dan penuh arti. Konsep Konflik : Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul (Davis 1977 : 29). Secara Sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara 2 orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah sirkus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Konsep agraria Kata agraria mempunyai arti yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan. Sedangkan bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanahan. Dalam bahasa Belanda yaitu akker, dalam bahasa Yunani Agros yang berarti tanah pertanian. Konsep Desa Kata Desa sendiri berasal dari bahasa India yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Soetardjo, 2004:15, Yuliati, 2003:24). Menurut Bouman (dalam Beratha, 1982:26) mengemukakan bahwa: Desa adalah sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial. Menurut B.N Marbun (2006:15) mengemukakan bahwa: Desa ialah sebagai suatu Daerah yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan kekeluargaan atau ikatan sosial yang yang 3 tinggi/menetap disuatu Daerah dengan adat istiadat yang dijadikan sebagai landasan hukum dan mempunyai seorang pemimpin formil yaitu Kepala Desa. Sedangkan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi daerah bahwa : yang dimaksud dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32 Tahun 2004). Dengan demikian bahwa pemerintah desa adalah pemerintahan yang terendah yang dipilih oleh rakyat dan untuk rakyat yang bertanggung jawab terhadap rumah tangganya sendiri. 4 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Tanah dan Hubungan Agraris Masyarakat Pedesaan Berbicara masalah tanah dan teritori di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Sistem pertanahan di Indonesia sendiri cukup rumit dengan dua sistem administrasi pertanahan di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kehutanan. Lebih lanjut Indonesia juga mengakui hukum adat di samping kebijakan nasional atas tanah seperti yang tertuang di dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Umumnya konflik ini diartikan sebagai pertentangan hak dan kepentingan antara penduduk lokal dengan kekuatan dari luar, baik domestik maupun internasional. Kebingungan administrasi pertanahan ini seringkali merugikan masyarakat khususnya yang tinggal di pedesaan dan di sekitar kawasan hutan. Minimnya pengakuan rakyat atas tanah, dan kerancuan konsep penggunaan lahan untuk kepentingan umum demi pembangunan semakin memojokkan masyarakat. Disebut kerancuan karena “pembangunan” yang kerap didengungkan dalam berbagai proyek yang dikembangkan justru tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar. Hal ini kerap membuat masyarakat kehilangan sumber penghidupannya, terpinggirkan, dan dipaksa menjadi buruh yang bahkan tidak bisa terserap seluruhnya. Pengaturan kepemilikan tanah secara formal di Indonesia pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1810, dengan sistem sewa tanah di Pulau Jawa bagi para petani. Pada awalnya hal ini digunakan untuk menciptakan sistem perpajakan baru bagi pemerintah Belanda. Aturan-aturan yang ditetapkan pada masa ini tidak mengakui hak milik individual maupun komunal, hanya sistem sewa. Pasca kmenerdekaan, UUPA No. 5 Tahun 1960 disusun untuk menata kembali struktur kepemilikan tanah di bumi pertiwi. Penguasaan tanah atau land tenure adalah konsep penting dalam mengkonstruksikan hak atas tanah. Meskipun acap disetarakan dengan hak atas tanah, penguasaan tanah mempunyai dimensi yang lebih luas. Penguasaan tanah merujuk pada hubungan antara individu dan/atau kelompok terkait dengan tanah dan kekayaan alam yang terikat dengan tanah itu. Namun sangat disayangkan bahwa selama beberapa dekade, UUPA No. % Tahun 1960 tidak diimplementasikan, dalam perkembangannya justru bermunculan sejumlah UU secara umum maupun sektoral yang bertentangan dengan semangat awal UUPA, seperti UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai tanah dan sumber alam di dalam maupun di permukaannya. Dalam 5 waktu dekat, pemerintah harus bekerja ekstra keras dan cepat untuk menyelesaikan konflik agraria di nusantara. Sudah banyak rekomendasi dari organisasi tani seperti pengadilan ad hoc, percepatan agenda reforma agraria, serta revisi UU yang merugikan petani (dan lebih menguntungkan perusahaan perkebunan, seperti UU Perkebunan). Konflik agraria dapat dengan mudah dikenali dengan adanya keresahan-keresahan sosial yang bersumber dari persoalan penguasaan atas alat-alat produksi, khususnya tanah, dan aliran distribusi hasil-hasil produksi. Konflik-konflik agraria yang terjadi sesungguhnya menyiratkan adanya suatu ketimpangan di dalam struktur penguasaan tanah atau sumberdaya alam lainnya. Pada masyarakat-masyarakat pra-kapitalis, ketimpangan ini berkaitan dengan struktur masyarakat feodal yang membuat adanya sekelompok kecil orang yang dapat memiliki tanah atau sumberdaya alam lainnya dalam jumlah sangat besar sehingga dapat menguasai sistem politik dan mengontrol sistem produksi dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, sekelompok kecil orang ini kemudian mengembangkan suatu sistem eksploitasi terhadap kelompok masyarakat yang menjadi produser utama bahan-bahan pangan atau pun kebutuhan hidup lainnya yang bersumber dari pengolahan tanah dan kekayaan alam lainnya. Sedemikian rumit dan kompleksnya sistem eksploitasi ini, karena dilegitimasi oleh seperangkat nilai-nilai kultural tertentu, sehingga menciptakan suatu keteraturan sosial tersendiri. Di pedesaan, kompleksitas sistem nilai dan operasi eksploitasi manusia ini kemudian menciptakan suatu konsepsi yang dikenal dengan istilah “moral petani”, yaitu suatu batasan-batasan yang mengikat hubungan-hubungan sosial dan hubungan-hubungan produksi antara petani dan patron-patronnya. Jika batasan “moral” ini terlanggar, maka konflik di antara mereka yang sesungguhnya telah terbangun secara laten akan pecah menjadi aksi-aksi protes – individual maupun kolektif – atau munculnya pemberontakan yang lebih luas. 3.2 Penyebab Konflik Agraria dipedesaan Penyebab adanya konflik Agraria dipedesaan sebenarnya terjadi karena adanya kebijakan pemerintah itu sendiri yang dirasa merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain, disini pihak yang dirugikan adalah petani kecil dan yang diuntungkan adalah para pemilik modal, penyelesaian konflik dengan jalan pembaruan agraria akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik para tuan tanah atau pemilik modal besar yang dapat atau sudah sangat berpengaruh di dalam proses politik pembuatan/pengambilan kebijakan publik. Konflik agrarian dipedesaan ini umumnya sering terjadi di daerah daerah yang masih belum begitu terjamah oleh hukum dan pembangunan, konfilk yang terjadi cenderung disebabkan karena masalah internal di dalam keluarga pemilik tanah seperti kepemilikan sertifikat tanah tidak sesuai dengan nama pemilik tanah sehingga menimbulkan konfik, kemudian masalah jual beli tanah yang mana tanah tersebut adalah tanah hasil warisan orang tua yang akhirnya menimbulkan permasalahan didalam keluarga akibat tanahnya dijual oleh salah 6 satu anggota keluarga. Seperti dalam contoh kasus di Desa Lemoh Barat ini, konfik agraria yang terjadi disebabkan karena : 1. Batas tanah yang terjadi antara satu pihak dan pihak yang lainnya. Pada saat ini, sesuai dengan penetapan dari BPN bahwa untuk batas tanah harus menggunakan besi yang di lapisi dengan semen. Dengan tujuan agar supaya tidak dapat dipindahkan sehingga tidak mudah menimbulkan konflik nantinya. Sedangkan, pada zaman dahulu batas tanah di desa lemoh barat hanyalah menggunakan alam atau hanya menggunakan tanaman seperti pohon. Dan seiring berjalannya waktu pohon itu mulai membesar dan mulai menggeser pada lahan atau tanah milik orang lain. Dan disitulah terjadi adu mulut atau konflik antara kedua pihak, karena salah satu merasa dirugikan. Masing-masing pihak berusaha mempertahankan argumennya. 2. Mengenai Jual beli tanah. Dimana akar permasalahannya adalah warisan keluarga. Sesuai dengan pembagian warisan dari orang tua bahwa salah satu lahan perkebunan diserahkan kepada anak sulung. Namum secara diam-diam dijual oleh ayahnya oleh orang lain atau pemilik lain. Setelah diketahui oleh sang anak maka terjadilah konflik antara pemilik lahan yang baru dan si anak sulung ini. Sang anak sulung tidak menerima dan menentang bahwa lahan itu masih miliknya dengan adanya bukti sertifikat tanah. Berarti dalam hal ini sertifikat tanah suda ada dua atau berganda. 3. Sertifikat Tanah yang di gadaikan oleh orangtua kepada orang lain. Sesuai dengan kesepakatan bersama bahwa dalam tempo 4 tahun jika uang belum dikembalikan maka tanah tersebut akan menjadi milik pihak yang di gadaikan. Dan setelah 4 tahun berlalu uangnyapun belum dikembalikan dan tanah tersebut telah dibangun rumah mewah oleh pemilik tanah yang baru. Dan ternyata anak-anak dari pemilik tanah yg di gadaikan tersebut sangat marah dan membantah bahwa tanah tersebut masih milik dari keluarga mereka. Konflik agraria dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya dengan jalan merombak struktur agraria (menjalankan pembaruan/reforma agraria) bukanlah hal yang sederhana, tetapi sangat kompleks. Kompleksitas ini berhubungan erat faktor-faktor politik yang kemudian muncul dalam kenyataan-kenyataan seperti berikut: (1) dari berbagai studi dan analisis terungkap bahwa penyebab utama terjadinya konflik itu justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri; (2) penyelesaian konflik dengan jalan pembaruan agraria akan berhadapan dengan kekuatankekuatan politik para tuan tanah atau pemilik modal besar yang dapat atau sudah sangat berpengaruh di dalam proses politik pembuatan/pengambilan kebijakan publik; (3) kecenderungan globalisasi dan intervensi kebijakan-kebijakan internasional sangat mempengaruhi konstelasi dan proses pembentukan kebijakan di suatu negara; 7 (4) pendekatan politik yang populis akan lebih mudah mengambil hati rakyat banyak, tetapi akan memerlukan waktu dan proses yang berkepanjangan di lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga pembentuk kebijakan; atau (5) diperlukan suatu proses konsolidasi perjuangan politik yang rumit dengan terlebih dahulu merebut kekuasaan agar negara mengambil kebijakan-kebijakan yang populis; (6) pada umumnya, di bawah dominasi dan penguasaan politik kaum borjuis dan berkembangnya sistem politik yang bias kota (urban bias), kaum tani atau kelompok-kelompok masyarakat dari kelas bawah relatif tidak dapat atau memiliki kesulitan sendiri untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan-kepentingannya; dan sebagainya. Christodoulou di dalam bukunya The Unpromised Land (1990)6 – yang juga sering dikutip oleh Wiradi dalam sejumlah kesempatan, menyatakan ada empat pendekatan yang bisa dibedakan dari sejumlah negara dalam menghadapi konflik-konflik agraria, yaitu: 1. Mengabaikan kenyataan adanya konflik-konflik agraria yang muncul akibat serangkaian tindakan yang terencana sebelumnya. 2. Menunda-nunda, sehingga orang menjadi bosan dan kemudian jadi tidak mempermasalahkannya lagi. Maksudnya, konflik disadari ada dan dirasakan mengganggu, tetapi penyelesaiannya tidak dilakukan dengan segera, tetapi ditunda-tunda dengan harapan akan dilupakan dengan sendirinya atau tersisih dengan aktivitas lainnya yang membuat orang melupakan bahwa konflik agraria itu pernah terjadi. 3. Mengambil jalan pintas, yaitu menempatkan masalah konflik agraria sebagai masalah teknis belaka. Lebih khusus lagi hanya sekedar masalah ketersediaan pangan atau penegakan kepastian hukum. Dengan demikian suatu penyelesaian yang radikal (menyentur akar masalah) dan menyeluruh tidak dilakukan. 4. Mengerahkan kekuatan, yaitu upaya penyelesaian konflik agraria secara mendasar dan menyentuh akar-akar masalahnya dengan suatu program reform. Tetapi biasanya pelaksanaannya memerlukan kekuatan penuh yang dapat mengikat seluruh warga masyarakat untuk turut mengikutinya. Karena itu pendekatan ini biasanya dilakukan dengan dukung penuh militer atau kekuatan revolusi. Kompleksitas hubungan antara konflik agraria dan pembaruan agraria seringkali membuat sejumlah negara seperti telah menjalankan pembaruan agraria, tetapi sesungguhnya pembaruan yang dijalankannya adalah pembaruan yang semu (pseudo-reform). Kembali mengikuti pandangan Christodoulou, menurutnya “harus dibedakan antara perubahan gradual di dalam kondisi-kondisi dan hubungan-hubungan produksi – yang kemudian bisa tampak sangat mendasar atau revolusioner – tetapi tidak memberikan makna apapun terhadap pembaruan agraria, dengan suatu kebijakan publik yang relatif drastis tetapi terencana, jelas batasan-batasannya, jelas batasan waktu kerjanya, dan jelas pula sasaran-sasaran yang hendak dicapainya yaitu membuat struktur akses terhadap tanah lebih 8 berkesesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan produksi bersama dan kenyataan sosial politik yang ada.” Dengan kata lain, suatu perubahan agraria (agrarian changes) yang tidak didahului dengan suatu upaya untuk merombak tatanan atau struktur agraria yang timpang tidak memiliki makna apapun dari perspektif keadilan, kecuali yang terjadi hanyalah perubahan sosial itu sendiri. Padahal pembaruan agraria, terutama sekali karena hendak menjadi jalan keluar penyelesaian dari konflik-konflik agraria, orientasi utamanya adalah keadilan – yang sering diungkapkan dengan istilah keadilan agraria (agrarian justice), yaitu “suatu keadaan dimana relatif tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak dan terjaminnya kepastian hak penguasaan masyarakat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya.” Reforma agraria itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu perubahan mendasar di dalam hubungan-hubungan sosial dan politik yang berkait erat dengan sistem produksi, khususnya di pedesaan, yang dengan sendirinya meliputi perubahan-perubahan di dalam keseimbangan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam masyarakat. Dengan demikian, reforma agraria merupakan suatu dasar bagi perubahan sosial melalui penataan kembali tata kuasa terhadap tanah dan juga sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan masyarakat. Pemaknaan ini sejalan dengan Putzell yang mengatakan reforma agraria adalah sebuah program yang multi dimensional yang melintasi rentang-rentang masalah ekonomi, politik, dan sosial. Bahkan menurutnya pembaruan agraria dapat juga memainkan peran dalam memerangi “kekalahan” wanita pedesaan”. Pembaruan agraria di Indonesia yang paling kukuh, mengatakan pembaruan agraria adalah suatu program operasional dalam jangka waktu tertentu yang merombak tatanan struktur agraria yang ada yang kemudian disusul dengan program-program pengembangan dan penguatan ekonomi rakyat di pedesaan. Dengan kata lain hendak dikatakan dalam menjalankan program ini, untuk pertama-tama faktor kekuasaan dan politik menjadi penentunya. Dengan demikian, sesungguhnya, “penting sekali untuk tetap mengingat bahwa pembaruan agraria adalah suatu program politik, bukan suatu program teknokratik, untuk merubah keseluruhan sturktur kekuasaan dalam lapangan agraria dan pertanian serta pada kenyataan nantinya akan merubah struktur kekuasaan perekonomian secara keseluruhan. Peran negara tidak hanya terbatas pada saat mengambil alih penguasaan tanah atau sumberdaya alam lainnya dari penguasaan rakyat dan kaum tani untuk kemudian menyerahkannya kepada kepentingan pemilik modal. Tetapi juga dengan menciptakan sejumlah kebijakan dan peraturan perundangan yang melegitimasi proses penggusuran dan penyingkiran rakyat dari tanahtanah yang menjadi hak turun-temurunnya oleh para pengusaha. Termasuk juga dengan menerapkan sejumlah kebijakan pertanian yang secara otomatis akan mengintegrasikan sistem pertanian rakyat ke dalam struktur perekonomian kapitalis sepenuhnya yang kemudian secara “alamiah” proses konsolidasi dan konsentrasi penguasaan lahan akan terjadi di pedesaan. Dalam konteks ini kita dapat 9 melihat kebijakan revolusi hijau, misalnya, yang selain berhasil meningkatkan produksi hasil pertanian pangan juga telah menciptakan ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Dalam aktivitas pertanian yang telah terkomoditisasi, petani-petani berlahan sempit tidak akan memiliki peluang untuk mempertahankan tanah-tanahnya karena tekanan biaya produksi maupun konsumsi (kebutuhan hidup) sehingga melepaskan penguasaan tanahnya kepada petani lain adalah pilihan yang logis. Akibat dari kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi intervensi kapital dalam kehidupan masyarakat desa dan pedalaman ini adalah bertambahnya jumlah petani kecil, petani tak bertanah dan penduduk setempat yang kehilangan aksesnya terhadap tanah maupun sumberdaya alam lainnya. Sebagian dari mereka kemudian harus menjalani kehidupan di luar wilayah-wilayah kehidupan asalnya, baik dengan menjadi migran ke kota-kota maupun berpindah ke daerah lainya untuk menjalani kehidupan sebagai buruh upahan di sektor-sektor non pertanian, termasuk sektor informal di perkotaan. Sebagian lagi yang bertahan di desa juga akan menjalani kehidupan yang sama, yaitu menjadi buruh upahan di bidang pertanian atau sektor non pertanian.18 Meskipun demikian, proses perpindahan kehidupan ini bukan proses yang mudah bagi orang-orang yang tersingkir dari tanahtanah atau wilayah kehidupan sebelumnya. Belum lagi tetap saja akan akan sebagian dari lagi mereka yang tidak lagi memperoleh kesempatan kerja apapun. 10 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : - Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk diidentifikasi serta di inventarisasi. Pemerintah desa lemoh barat belum memahami dengan benar permasalahan yang ada dalam hal ini konflik petanahan baik mengenai batas tanah ataupun sertifikat tanah, sehinggah dalam penyelesaiannya pemerintah mengalami sedikit kesulitan. - Dalam penyelesaian masalah pemerintah dinilai kurang adil atau tidak bersikap netral dengan memihak salah satu pihak yang berkonflik. Sehinggah salah satu pihak merasa tidak puas dengan keputusan yang diambil pemerintah dan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Saran : - Dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada, pemerintah terlebih dahulu harus mengetahui akar permasalahan yang ada agar supaya setiap masalah yang ada boleh mendapatkan jalan keluar yang baik dan terselesaikan dengan baik pula. - Pemerintah hendaknya tidak memihak pada salah satu pihak yang terlibat konflik, melainakan harus menjadi penengah atau bersikap netral dalam penyelesaian masalah yang ada sehingga kedua belah pihak yang terlibat konflik merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan. - Pemerintah harus memahami dengan benar tugas dan pokoknya sebagai pemimpin sekaligus dapat menjadi mediator dalam penyelesaian perkara antar warga masyarakatnya, sehingga perlu dilaksanakannya penyuluhan sekaligus sosialisasi mengenai penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa mediator serta tugas dan fungsi mediator itu sendiri. 11 DAFTAR PUSTAKA Sumber (buat daftar pustaka): Martini, Martine. 2013. Analisis Konflik Agraria di Pedesaan. (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=106894&val=1037), diakses pada 24 Februari 2015. Serikat Petani Indonesia. 2012. Tanah dan Hubungan Agraris Masyarakat Pedesaan Indonesia. (http://www.spi.or.id/?p=5083), diakses pada 15 Maret 2015. Serikat Petani Indonesia. 2015. Kasus Kematian Petani Tebo: Negara Harus Hadir. (http://www.spi.or.id/?p=7682), diakses pada 15 Maret 2015. Bachriadi, Dianto dan Lucas, Anton, 2001. Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta. Coser, Lewis A. 1957. “Social Conflict and The Theory Of Social Change, dalam The British Journal Of Sociology, Vol.8. No.3,pp:197-207. Dahrendrof, Ralf, penerjemah, Mandan, Ali. 1986. Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri. Rajawali Press, Jakarta. Fauzi, Noer. 2003. Bersaksi Untuk Pembaharuan Agraria. Insist Press Printing, Yogyakarta. Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian, proses perubahan ekologi di Indonesia. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Ihromi, T.O. 1984. Antropologi dan Hukum, PT Midas Surya Grafindo, Jakarta. Klinken, G. Van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, Jakarta. Koentjaraningrat, 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT Gramedia, Jakarta. Mubyarto, 1983. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Mulyanto, Dede. 2011. Antropologi Marx, Karl Marx Tentang Masyaraka dan Kebudayaan. Ultimus, Bandung. Napiri, Yusup dkk. 2006. Reforma Agraria:Kepastian Yang Harus Dijaga. Koalisi rakyat untuk kedaulatan pangan (KRKP), Bogor. Noertjahyo, JA. 2005. Dari Ladang Sampai Kabinet,menggugat nasib petani. Buku Kompas, jakarta. Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forerest, Poor People. Resource control and resistance in java. The Regents Of The University Of California. Santoso, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara, jl. Sawo Raya, Jakarta. Soekarno, 1986. Amanat Proklamasi III 1956-1960. Inti Idayu Press dan Yayasan pendidikan Soekarno. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung. Suyanto, Bagong. 2011. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Prenada Media. Jakarta Timur. 12 Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Berakhir. Insist Press Printing, Yoyakarta. Wolf, Eric. 2004. Perang petani. Insist Press Printing, Yogyakarta. Wolf, Eric. 1983. Petani, suatu Tinjauan Antropolgis. CV. Rajawali, jl. Pelepah Hijau, Kelapa Gading, Jakarta. 13