pengaruh suhu dan c/n rasio terhadap produksi

advertisement
PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP
PRODUKSI BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH
ORGANIK SAYURAN
Oleh
ENDANG YULISTIAWATI
F34103034
2008
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI
BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH
ORGANIK SAYURAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ENDANG YULISTIAWATI
F34103034
2008
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI
BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH
ORGANIK SAYURAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ENDANG YULISTIAWATI
F34103034
Dilahirkan di Jakarta, 19 November 1983
Tanggal Lulus :
Menyetujui,
Bogor, Januari 2008
Dr. Ir. Mohammad Romli, MSc. St.
Pembimbing Akademik I
Dra. Tri Retno Dyah Larasati
Pembimbing Akademik II
3
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampah menjadi permasalahan besar terutama di kota-kota besar di
Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan Asisten Deputi Urusan Limbah
Domestik, Deputi V Menteri Lingkungan Hidup, pada tahun 1995 hingga
tahun 2020 mendatang, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan
akan meningkat lima kali lipat. Setiap penduduk Indonesia menghasilkan
sampah rata-rata 0,8 kilogram per kapita per hari, sedangkan pada tahun 2000
produksi sampah per kapita meningkat menjadi 1 kilogram per hari, dan pada
tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai 2,1 kilogram per kapita per hari
(Ivan dan Ifa, 2007). Dengan perkiraan nilai di atas, sampah semakin menjadi
perhatian utama masyarakat dan pemerintah karena dampak negatif yang
ditimbulkan cukup luas terutama bagi sektor kesehatan dan lingkungan.
Sampah merupakan limbah yang dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan, juga dapat berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan
keamanan. Apabila sampah tidak diolah dengan baik, maka akan timbul
berbagai macam faktor penyakit seperti serangga dan binatang pengerat
(tikus), yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Selain masalah
kesehatan, sampah yang tidak diolah dapat menyebabkan terjadinya banjir di
berbagai daerah dan kota. Banjir dapat terjadi akibat penumpukan sampah
yang diindikasi adanya penyumbatan saluran, parit, gorong-gorong serta
sungai.
Permasalahan lain yang harus segera diatasi adalah keterbatasan bahan
bakar minyak (BBM). Eksploitasi sumber daya alam terutama minyak bumi
yang berlebihan telah memberikan ancaman terhadap lingkungan dan
keselamatan manusia itu sendiri. Di satu sisi, eksploitasi BBM yang dapat
menyediakan energi yang murah, namun di sisi lain ancaman habisnya minyak
bumi sudah di depan mata. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka
diperlukan adanya energi alternatif untuk diversifikasi ketersediaan energi di
masa mendatang.
4
Biogas merupakan salah satu energi yang terbarukan sehingga sangat
mungkin untuk diversifikasi energi. Penggunaan biogas dapat mengatasi
permasalahan sampah kota. Hal ini mengingat mayoritas sampah kota berasal
dari bahan organik yang dapat digunakan untuk bahan baku biogas seperti
sampah-sampah sayuran.
Upaya mengolah sampah perkotaan menjadi produk yang bermanfaat
seperti biogas telah lama dilakukan. Selain dapat digunakan sebagai produk
diversifikasi, biogas juga dapat mengatasi permasalahan sampah. Pengubahan
sampah menjadi biogas juga dapat dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Biogas (PLTB), meskipun aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari
masih sulit diterapkan.
Untuk mewujudkan dan merealisasikan pengkonversian sampah kota
menjadi biogas, maka diperlukan penelitian guna memproduksi biogas yang
berbahan baku sampah. Sampah yang digunakan sebagai model dalam
penelitian ini diperoleh dari pasar Ciputat, Jakarta. Dengan adanya penelitian
ini diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mengatasi permasalahan sampah
dan juga dapat menghasilkan energi alternatif yang ramah lingkungan.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan C/N
rasio pada proses produksi biogas dengan bahan baku sampah organik
(sayuran) yang sebelumnya telah melalui proses dekomposisi aerobik.
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. SAMPAH ORGANIK
Limbah padat atau solid waste dalam arti luas termasuk semua sisa bahan
padat yang berasal dari kegiatan masyarakat, industri dan pertanian. Limbah padat
juga didefinisikan sebagai sampah atau benda yang tidak digunakan lagi.
Berdasarkan sifatnya, limbah padat dibagi menjadi dua jenis, yaitu Garbage dan
Rubbish. Garbage merupakan sampah yang bersifat biodegradable atau sampah
yang dapat didegradasi oleh lingkungan. Rubbish merupakan sampah yang
bersifat nonbiodegradable atau sampah yang tidak dapat atau mudah didegradasi
oleh lingkungan, contohnya kertas, plastik, gelas, dan sebagainya (Henry dan
Heinke, 1996). Tabel 1 menunjukkan komponen dan komposisi sampah perkotaan
di Indonesia :
Tabel 1. Komposisi sampah perkotaan di Indonesia (% Berat Basah)
No
Komponen
Komposisi pada Tahun
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1
Organik
73,35
73,35
73,35
73,35
2
Kertas
9,74
9,70
9,70
9,70
3
Plastik
8,56
8,50
8,50
8,58
4
Logam
0,54
0,50
0,50
0,50
5
Karet
-
-
-
0,40
6
Kayu
-
-
-
3,60
7
Tekstil
1,32
1,32
1,32
0,90
8
Kaca
0,43
0,43
0,43
0,43
9
Lain-lain
6,14
7,46
7,46
2,64
Sumber : Data Statistik Lingkungan Hidup (1992)
Menurut
Hadiwiyoto
(1983),
penanganan
sampah
dapat
berupa
pembuangan sampah tanpa perjalanan atau memanfaatkan kembali sampah
tersebut (recycling) menjadi bahan yang bermanfaat. Hal yang dapat dilakukan
6
untuk menangani sampah diantaranya pengumpulan sampah, pemisahan,
pembakaran (insinerasi), dan pembuangan (penimbunan) sampah.
Menurut Judoamidjojo dan Darwis (1990), pada hakikatnya energi yang
terkandung pada bahan/limbah organik adalah energi matahari yang diikat oleh
tanaman melalui proses fotosintesis. Pada proses ini energi matahari dikonversi
menjadi energi kimia yang didapatkan dalam bentuk karbohidrat (C6H12O6)n
dengan reaksi umum sebagai berikut :
6 CO2 + 6 H2O + energi matahari --------------Æ C6H12O6 + 6 O2
Pemanfaatan kembali menjadi energi, baik secara langsung maupun tidak
langsung, pada dasarnya adalah mengambil kembali energi radiasi matahari yang
terikat pada biomassa (limbah pertanian dan peternakan).
Ditinjau dari berbagai bentuk limbah/bahan organik yang ada, maka jenis
teknologi konversi secara umum dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
1. Teknologi pembakaran langsung (melalui tungku pembakaran).
Teknologi pembakaran langsung ini merupakan teknologi yang paling
sederhana. Pada proses ini, energi kimia yang terkandung dalam karbohidrat
akan langsung dilepaskan kembali. Menurut persamaan umum sebagai
berikut:
C6H12O6 + 6 O2 ------------Æ 6 CO2 + 6 H2O + energi
2. Teknologi gasifikasi (gas hasil berupa CO dan H2)
3. Teknologi pirolisa (penggaraman)
Persamaan umum reaksinya sebagai berikut :
C6H12O6
-----------Æ CO + H2 + H2O + energi
CO + O2
-----------Æ CO2 + energi
H2 + O 2
-----------Æ
H2O + energi
Dari pendekatan reaksi kimia di atas, dapat dilihat bahwa pemanfaatan limbah
untuk energi memerlukan tahapan yang lebih panjang.
4. Teknologi fermentasi (biogas/alkohol)
Proses pemanfaatan limbah sebagai energi melalui teknologi biogas adalah
sebagai berikut :
7
C6H12O6 + mikroorganisme -----------Æ CH4 + CO2
CH4 + 2 O2 --------------Æ CO2 +
H2O + energi (Judoamidjojo dan
Darwis, 1990).
B. PENDEKOMPOSISIAN BAHAN SECARA AEROBIK
Pada beberapa jenis bakteri dan ragi, proses glikolisis (pemecahan
glukosa) dapat terjadi tanpa adanya udara. Proses tersebut melalui fermentasi
glukosa membentuk alkohol dan karbon dioksida. Pada bakteri, asetat yang
terbentuk didegradasi lebih lanjut untuk melepas energi yang lebih besar dan
menghasilkan karbon dioksida. Proses ini memerlukan oksigen (O2). Hal ini
merupakan letak perbedaan antara bakteri aerobik (dengan oksigen) dan bakteri
anaerobik (tanpa oksigen) (Yani dan Darwis, 1990).
Menurut Gaur (1981), selain mikroba, oksigen merupakan faktor penting
dalam pengomposan aerobik. Dalam kondisi aerob mikroba memanfaatkan
oksigen bebas untuk mendekomposisikan bahan organik dan mengasimilasi
sebagian unsur karbon, nitrogen, fosfor, belerang serta unsur lain yang diperlukan
untuk mensintesis protoplasma sel mikroba tersebut. Proses dekomposisi bahan
organik pada kondisi aerob disajikan dalam reaksi berikut :
Gula (CH2O)x + O2
x CO2 + x H2O + E
Protein (N-organik)
NH4+, NO2-, NO3- + E
Sulfur organik, S + O2
SO42- + E
Fosfor organik, Phytin, Lechitin
H3PO4 + Ca(HPO4)2
Reaksi keseluruhan :
aktivitas
Bahan organik + O2
C. PROSES
Mikrobial
DEKOMPOSISI
CO2 + H2O + unsur hara + humus + E
BAHAN
SECARA
ANAEROBIK
(PEMBENTUKAN BIOGAS)
Biogas merupakan salah satu sumber energi alternatif yang berkembang
pesat dalam dasawarsa terakhir. Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktifitas
bakteri anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk di
antaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), sampah
8
biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi
anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida.
Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi biogas
Penjelasan
Rumus
Presentase
1. Methan
CH4
55 - 65 %
2. Karbondioksida
CO2
36 - 45 %
3. Nitrogen
N2
0–3%
4. Hidrogen
H2
0–1%
5. Oksigen
O2
0–1%
6. Hidrogen Sulfida
H2S
0–1%
Sumber : Energy Resources Development dalam Kadir (1987).
Dari campuran gas-gas tersebut, gas methan (CH4) merupakan komponen
yang paling banyak, sedangkan gas-gas yang lainnnya dalam proporsi yang relatif
sedikit (Sahidu, 1983). Menurut Kadir (1987), banyaknya biogas yang dihasilkan
tergantung dari komposisi bahan-bahan yang digunakan, suhu dan lamanya
dekomposisi.
Biogas mempunyai sifat mudah terbakar bahkan dapat menyala dengan
sendirinya pada suhu 650 – 750oC. Panas pembakarannya berkisar antara 19,7
sampai 23 Mega Joule (MJ)/m3. Energi yang dapat dihasilkan rata-rata setaraf
dengan 21,5 MJ atau 563 Btu/ft3. Rapatan relatif nya 80 persen dari kerapatan
udara dan 120 persen rapatan metan (Mulyono dan Darwis, 1990)
Biogas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik sangat populer digunakan
untuk mengolah limbah biodegradable karena bahan bakar dapat dihasilkan
sambil menghancurkan bakteri patogen dan sekaligus mengurangi volume limbah
buangan. Metana dalam biogas, bila terbakar akan relatif lebih bersih daripada
batu bara, dan menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbon
dioksida yang lebih sedikit. Pemanfaatan biogas memegang peranan penting
dalam manajemen limbah karena metana merupakan gas rumah kaca yang lebih
berbahaya dalam pemanasan global bila dibandingkan dengan karbon dioksida.
Karbon dalam biogas merupakan karbon yang diambil dari atmosfer oleh
fotosintesis tanaman, sehingga bila dilepaskan kembali ke atmosfer tidak akan
9
menambah jumlah karbon di atmosfer bila dibandingkan dengan pembakaran
bahan bakar fosil. Saat ini banyak negara maju meningkatkan penggunaan biogas
yang dihasilkan baik dari limbah cair maupun limbah padat atau yang dihasilkan
dari sistem pengolahan biologi mekanis pada tempat pengolahan limbah
(Indartono, 2006).
Pembakaran bahan bakar fosil akan menghasilkan karbon dioksida (CO2)
yang berkontribusi bagi efek rumah kaca (green house effect) yang bermuara
pada pemanasan global (global warming). Sementara itu, biogas memberikan
perlawanan terhadap efek rumah kaca melalui 3 cara,yaitu:
1) Biogas memberikan substitusi atau pengganti dari bahan bakar fosil untuk
penerangan, memasak dan pemanasan.
2) Methana (CH4) yang dihasilkan secara alami oleh kotoran yang menumpuk
merupakan gas penyumbang terbesar pada efek rumah kaca, bahkan lebih
besar dibandingkan efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh CO2. Pembakaran
metana pada biogas mengubahnya menjadi CO2 sehingga mengurangi jumlah
metana di udara.
3) Dengan lestarinya hutan, maka CO2 yang ada di udara akan diserap oleh hutan
yang menghasilkan oksigen sehingga melawan efek rumah kaca (Dahuri,
2007)
Menurut Gunnerson, dan Stuckey (1986), biogas memiliki sifat mudah
terbakar dengan warna nyala api biru, tidak beracun dan memiliki nilai kalori 2,24
x 107 sampai 2,42 x 107 Joule/meter kubik. Gas metana merupakan komponen
utama dalam biogas. Metana memiliki sifat tidak berbau, tidak berwarna dan tidak
berasa. Jika dalam biogas terdapat bau, maka telah terjadi pencampuran oleh gas
lain. Berat jenis gas metana adalah 0,554, kelarutannya dalam air rendah, dalam
suhu 200 C dan tekanan satu atmosfir hanya 3 bagian gas metana yang terlarut
dalam 100 bagian air serta merupakan gas yang stabil.
Menurut Komarayati, et al. (1986), produksi biogas atau fermentasi metan
banyak mendapat perhatian karena dua alasan. Pertama, produk akhir (biogas)
sebagai campuran metan dan karbondioksida adalah gas mudah terbakar, yang
bersifat hampir sama seperti gas alam dan merupakan sumber energi. Kedua,
melalui fermentasi bahan organik didegradasi secara anaerobik menjadi bentuk
10
gas yang tidak berbahaya. Proses tersebut menguntungkan bagi teknologi
lingkungan dalam hal penanganan limbah organik.
Selain itu, manfaat lain yang dapat diperoleh dari produksi biogas yaitu
menghasilkan buangan (sludge). Sludge ini dapat digunakan sebagai pupuk untuk
tanaman. Sebagai pupuk, sludge ini mempunyai manfaat yang sama dengan pupuk
kandang, terutama dapat memperbaiki struktur tanah dan memberikan kandungan
unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Sludge mempunyai kelebihan lain yaitu
setelah keluar dari digester biasanya sludge telah matang karena telah mengalami
proses penguraian di dalam alat (Setiawan, 1996).
Zat-zat di alam secara langsung dihasilkan oleh tumbuhan, hewan atau
bakteri. Zat-zat organik tersebut terdiri atas molekul-molekul yang mengandung
karbon dan bergabung dengan unsur-unsur lain seperti hidrogen, nitrogen dan
oksigen. Namun molekul-molekul yang terjadi akan berbeda tergantung dari
bentuk kehidupan asalnya. Ada tiga tipe molekul-molekul penting dalam zat
organik yaitu protein dan enzim yang mempunyai kandungan nitrogen,
karbohidrat yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel dan sebagai
energi cadangan, lemak yang berfungsi sebagai energi cadangan utama. Lemak
dan karbohidrat merupakan sumber bahan bakar untuk bakteri (Yani dan Darwis,
1990).
Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana
enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan terisolasi, yaitu terpisah dari
selnya atau masih dalam keadaan terikat di dalam sel. Pada beberapa proses
fermentasi yang menggunakan mikroba, reaksi enzim mungkin terjadi sepenuhnya
di dalam sel mikroba karena enzim yang bekerja bersifat intraseluler. Pada prosesproses lainnya reaksi enzim mungkin terjadi di luar sel karena enzim yang bekerja
bersifat ekstraselular (S. Fardiaz).
Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan
proses fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa
udara) oleh bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan. Gas metan adalah gas
yang mengandung satu atom C dan empat atom H yang memiliki sifat mudah
terbakar. Gas metan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan
energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku dalam
11
industri biogas adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri dari
kotoran, dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan
sebagainya, serta air yang cukup banyak (Nandiyanto dan Rumi, 2006).
Pembentukan biogas merupakan proses biologis. Bahan dasar yang berupa
bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber
aktivitas dan pertumbuhan bakteri. Bahan organik dalam alat penghasil biogas
(digester) akan dirombak oleh bakteri dan akan menghasilkan campuran gas
metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) dan sedikit gas-gas lain (Sahidu, 1983).
Fermentasi atau perombakan adalah proses mikrobiologis yang merupakan
himpunan proses metabolisme sel. Fermentasi bahan organik tersebut dapat terjadi
dalam keadaan aerobik maupun anaerobik. Biogas adalah hasil dari proses
fermentasi anaerobik. Sementara itu, fermentasi aerobik menghasilkan gas-gas
amonia (NH3) dan karbondioksida (CO2) (Sahidu, 1983).
Kondisi anaerob adalah kondisi dalam ruangan tertutup (kedap udara) dan
tidak memerlukan oksigen. Proses yang berlangsung dalam kondisi anaerob akan
terhambat atau gagal jika tercampur oksigen yang masuk digester. Hal ini terjadi
karena dalam kondisi anaerob dibutuhkan aktivitas bakteri pembentuk methan
yang terdiri dari bakteri pembentuk gas yang tidak termasuk sebagai pengoksidasi
methan. Oksigen terlarut sebanyak 0,01 mg/l dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pengfhasil metan (Stafford et al., 1980).
Degradasi yang dilakukan oleh mikroorganisme dari bahan-bahan organik
dalam lingkungan anaerobik hanya dapat disempurnakan oleh mikroorganisme
yang dapat menggunakan molekul-molekul lain selain oksigen sebagai akseptor
hidrogen. Dekomposisi anaerob terutama menghasilkan produksi biogas yang
terdiri dari metana (50-70%), karbondioksida (25-45%), dan sejumlah kecil
hidrogen, nitrogen, dan hidrogen sulfida. Keseluruhan reaksi yang terjadi sering
disederhanakan sebagai berikut :
anaerobik
Bahan organik ----------------------Æ CH4 + CO2 + H2 + N2 + H2S
mikroorganisme
Dekomposisi anaerobik pada biopolimer organik kompleks menjadi gas
metana dilakukan oleh aksi kombinasi mikroorganisme. Skema reaksi
dekomposisi anaerobik yang telah disederhanakan dapat dilihat pada Gambar 1.
12
Reaksi dekomposisi ini memiliki jalur metabolik yang cukup kompleks, terutama
pada tahap asidogenesis. Secara umum dekomposisi anaerobik ini dapat
digolongkan menjadi empat tahapan reaksi, yaitu tahap hidrolisis, tahap
pembentukan asam (asidogenesis), tahap pembentukan asetat (asetogenesis) dan
tahap pembentukan metana (metanogenesis) (Gijzen, 1987).
Dalam proses penguraian secara anaerob, bakteri yang bekerja adalah
bakteri anaerob seperti methanothrix dan methanosarcinae. Bakteri ini tidak
memerlukan suplai dan bahkan harus tidak ada udara dalam menguraikan polutan
di air limbah. Bakteri ini tinggal dan berada dalam media tumbuh bakteri dalam
bak anaerob. Polutan organik yang diuraikan oleh bakteri anaerob akan berubah
menjadi gas metan, CO2 dan H2S (Indira, 2007).
Untuk mengubah asam organik menjadi CH4 dan CO2, digunakan bakteri
metanogenik seperti Bacillus perfrijius dan Metanobacterium omeliaskii
(Judoamidjojo dan Darwis, 1990). Bakteri selulolitik umumnya hidup pada
kisaran suhu optimum 30-35oC untuk memproduksi enzim selulose (Stafford et
al., 1980). Berbeda dengan bakteri metanogen, bakteri pendegradasi selulosa telah
memperlihatkan perbedaan penggunaan amonia dan asam amino sebagai sumber
nitrogen untuk kehidupannya (Yani dan Darwis, 1990).
Bakteri metanogen termasuk mikroorganisme anaerob yang sangat sensitif
terhadap oksigen. Bakteri metanogen pertumbuhannya akan terhambat apabila
dalam konsentrasi oksigen terlarut 0,01 mg/l. Pada umumnya bakteri metan di
alam terdapat dalam substrat rumen sapi, dasar danau dan perairan payau.
13
Polimer organik
Protein
Lemak
Karbohidrat
Monomer dan Oligomer
Asam Amino
Gula
Asam Lemak
Asam Lemak Menguap
Asam Laktat
Etanol
H2 dan CO2
Asam Asetat
CH4 dan CO2
Gambar 1. Skema reaksi dekomposisi anaerobik (Gijzen, 1987).
14
1. Tahap Hidrolisis
Tahap awal yang dilakukan oleh bakteri untuk menguraikan molekulmolekul kompleks seperti halnya selulosa yaitu dengan cara pemotongan ikatan
unit-unit molekul tersebut. Hal ini biasanya terjadi akibat adanya enzim khusus
yang dilepaskan bakteri untuk melakukan tugas pemotongan ikatan unit-unit
molekul, karena molekul-molekul tersebut terlalu besar untuk dapat diserap secara
langsung (Yani dan Darwis, 1990).
Pada tahap hidrolisis bahan organik yang padat maupun yang mudah larut,
dari yang berupa molekul besar dihancurkan menjadi molekul yang lebih kecil
sehingga molekul-molekul tersebut larut dalam air (Wibowo et al., 1980).
Menurut Barnett et al. (1978), pada tahap ini terjadi pelarutan bahan-bahan
organik mudah larut dan pemecahan bahan organik kompleks menjadi komponen
monomer atau dimerik yang dapat larut dalam air. Pemecahan molekul-molekul
tersebut dilakukan oleh enzim ekstraseluler yang dihasilkan bakteri selulolitik,
proteolitik dan lipolitik. Bakteri selulolitik memecah selulosa menjadi glukosa,
bakteri proteolitik memecah protein rantai panjang menjadi protein sederhana dan
bakteri lipolitik memecah lemak menjadi asam lemak.
Menurut Weismann (1991), produk hidrolisis selulase adalah gula, asam
lemak dan asam amino. Produk dari tahap hidrolisis berupa komponen lebih
sederhana yang berfungsi mendukung reduksi limbah secara keseluruhan,
menstabilkan serta merupakan sumber energi penting bagi komponen sel bakteri.
2. Tahap Pembentukan Asam (Asidogenesis)
Bakteri tidak hanya menyerap unit-unit molekul yang telah dibebaskan
dari senyawaan kompleksnya, tetapi mereka juga terus memecah molekul-molekul
kompleks tersebut untuk memperoleh energi dan menggunakan fragmenfragmennya untuk membentuk molekul-molekul kompleks yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidupnya. Degradasi lanjutan asidogenesis ini meliputi hampir
semua unit yang berasal dari protein, karbohidrat atau lemak, khususnya untuk
memproduksi asetat (garam dari asam asetat) dan karbondioksida (CO2). Lemak
didegradasi dengan melepas satu molekul asetat dari rantai yang panjang. Proses
ini terjadi dalam beberapa tahap yang biasanya disertai pelepasan energi yang
dapat digunakan oleh sel (Yani dan Darwis, 1990).
15
Pada tahap asidogenesis, bakteri asetogenik mengubah bahan organik yang
larut dari tahap hidrolisis menjadi asam lemak mudah menguap yang mengandung
banyak asam asetat dan sedikit asam butirat, format, propionat serta laktat. Selain
itu, pada proses asidogenesis juga terbentuk sedikit alkohol, karbondioksida
(CO2), hidrogen dan amoniak. Pada awal penguraian proses asidogenesis, akan
terjadi penurunan pH akibat terbentuknya asam asetat dan hidrogen. Jika bakteri
terus aktif, maka akan terjadi penimbunan asam asetat dan hidrogen sehingga
menimbulkan penurunan pH yang mengakibatkan penghambatan pertumbuhan
mikroba (Sathianathan, 1975). Penurunan pH akan berpengaruh terhadap
perkembangan mikroorganisme karena dalam kondisi tersebut tidak tercipta
keadaan optimum untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Oleh karena itu, untuk
mengoptimalkan pertumbuhan bakteri perlu ditambahkan larutan penyangga.
Produk terpenting dalam asidogenesis adalah asam asetat, asam propionat,
asam butirat, hidrogen dan karbon dioksida. Selain itu, dihasilkan juga sejumlah
kecil asam formiat, asam laktat, asam valerat, metanol, etanol, butanediol dan
aseton. Bakteri yang berperan dalam tahapan asidogenesis adalah bakteri
asedogenik seperti Syntrophoma nas wolfei (Bryant, 1987).
3. Tahap Pembentukan Asetat (Asetogenesis)
Pada tahap ini asam lemak akan menguap untuk digunakan sebagai energi
oleh beberapa bakteri obligat anaerobik, tetapi bakteri-bakteri tersebut hanya
mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam asetat (Weissman, 1991). Produk
yang dihasilkan dari proses asidogenesis akan mengalami proses oksidasi dalam
tahap asetogenesis. Bakteri yang berperan dalam tahapan ini adalah bakteri
asetogenik seperti Acetobacterium woodii dan Syntrophobacter wolinii. Tahap
asetogenesis menghasilkan produk yang digunakan dalam tahap pembentukan gas
metana oleh bakteri metanogenik pada tahap metanogenesis, akan tetapi tidak
semua produk dari asetogenesis dapat digunakan secara langsung pada tahap
pembentukan gas methan.
Etanol tidak secara langsung dapat digunakan sebagai substrat dalam
pembentukan gas metana. Untuk melangsungkan proses pengolahan etanol
menjadi substrat dalam pembentukan gas metan, etanol perlu dioksidasi terlebih
16
dahulu menjadi asetat dan hidrogen oleh bakteri asetogenik. Produk yang
dihasilkan dalam tahap ini adalah asetat, hidrogen dan karbon dioksida.
4. Tahap Pembentukan Gas Metan (Metanogenesis)
Metanogenesis merupakan tahap terakhir dari keseluruhan proses dalam
tahap konversi anaerobik dari bahan organik menjadi gas metana dan
karbondioksida. Mikroba menggunakan substrat sederhana berupa asetat atau
komponen-komponen karbon tunggal seperti CO2, H2, asam format, metanol,
metilamin dan CO. Kurang lebih 70 persen produksi gas metana dihasilkan oleh
spesies bakteri metanogenesis dengan substrat metil asetat. Bakteri metanogenik
mampu memproduksi gas metana dari hidrogen dan karbon dioksida, meskipun
perubahan energi yang digunakan dalam konversi ini lebih besar dibandingkan
untuk pembentukan gas metana secara asetoklasik.
Kelompok bakteri penghasil metana dinamakan bakteri metanogen (Yani
dan Darwis, 1990). Asam lemak yang terbentuk akan dirombak lagi oleh bakteri
methan dan menghasilkan biogas (yang sebagian besar terdiri dari gas methan).
Bakteri tersebut terdiri dari : Methanobacterium, Methanosarcina dan
Methanococcus. Di samping itu, ada kelompok bakteri lain yaitu bakteri
Desulvobrio yang memanfaatkan unsur Sulfur (S) dan membentuk gas H2S
(Harpasis dan Rahardjo, 1980).
Proses produksi biogas merupakan bagian dari proses biologis ekosistem
yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan di antaranya parameter fisis maupun
kimia. Komponen tersebut saling berinteraksi dan berperan penting dalam
membentuk interaksi dalam menstabilkan komunitas biologis (Edmons dan
Jaques, 1980). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi biogas antara lain :
ukuran bahan, rasio C/N (karbon : nitrogen), temperatur, perbandingan air dan
bahan padat, macam bakteri serta pH substrat.
1. Ukuran Bahan
Bahan yang berukuran kecil lebih cepat didekomposisi melalui
peningkatan luas permukaan untuk aktifitas mikroba perombak. Ukuran bahan
yang terlalu besar menyebabkan luas permukaan yang dimetabolisme lebih sempit
17
sehingga proses berlangsung metabolisme oleh bakteri menjadi semakin lambat
atau terhenti sama sekali.
2. Rasio C/N
Dalam kehidupannya mikroba memerlukan unsur makro seperti karbon,
nitrogen, fosfor, sulfur dan lain-lain serta unsur mikro seperti natrium, kalsium,
magnesium, cobalt, zinkum, besi dan lain-lain. Menurut Yani dan Darwis (1990),
mikroba yang berperan dalam proses secara anaerobik membutuhkan nutrisi untuk
tumbuh dan berkembang, berupa sumber karbon dan sumber nitrogen. Seandainya
dalam substrat hanya terdapat sedikit nitrogen, bakteri tidak akan dapat
memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mensintesis senyawa (substrat) yang
mengandung karbon. Kesetimbangan karbon dan nitrogen dalam bahan yang
digunakan sebagai substrat perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu, jika terlalu
banyak nitrogen pertumbuhan bakteri akan terhambat, dalam hal ini terutama
bahan yang kandungan amonianya sangat tinggi. Berdasarkan beberapa informasi
yang diperoleh, agar pertumbuhan bakteri anaerob optimum, diperlukan rasio
optimum C : N berkisar antara 20 : 1 sampai 30 : 1.
Menurut Fry (1974), perbandingan C/N dari bahan organik sangat
menentukan aktivitas mikroba dan produksi biogas. Kebutuhan unsur karbon
dapat dipenuhi dari karbohidrat, lemak, dan asam-asam organik, sedangkan
kebutuhan nitrogen dipenuhi dari protein, amoniak dan nitrat. Perbandingan C/N
(C/N rasio) substrat akan berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme.
Perbandingan
C/N
untuk
masing-masing
bahan
organik
akan
mempengaruhi komposisi biogas yang dihasilkan. Perbandingan C/N yang terlalu
rendah akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi, H2
rendah dan N2 tinggi. Perbandingan C/N yang terlalu tinggi akan menghasilkan
biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi, H2 tinggi dan N2 rendah.
Perbandingan C/N yang seimbang akan menghasilkan biogas dengan CH4 tinggi,
CO2 sedang, H2 dan N2 rendah.
3. Temperatur (Suhu)
Mikroorganisme seperti halnya sistem biologis lain mempunyai respon
terhadap perubahan suhu yang mempengaruhi perubahan laju reaksi atau
18
perubahan populasi. Kecepatan fermentasi akan menurun pada suhu di bawah
20oC, sedangkan suhu 40oC untuk kebanyakan bakteri mesofilik merupakan suhu
optimum, tetapi untuk bakteri termofilik kondisi optimum dicapai pada suhu
60oC. Temperatur efektif pada pengoperasian digester detentukan pula oleh
berbagai faktor antara lain iklim, kecepatan konversi, konversi nutrien dan
pembentukan substrat tertentu dari pemecahan substrat asal (Judoamidjojo dan
Darwis, 1990). Menurut Sahidu (1983), temperatur optimum pertumbuhan bakteri
anaerobik berkisar antara 30-35oC, sedangkan menurut Kadir (1987), suhu yang
baik untuk proses fermentasi anaerob berkisar antara 30oC hingga kira-kira 55o C.
4. Macam Bakteri
Pada proses pembentukan biogas, bakteri yang berpengaruh ada dua
macam yaitu bakteri-bakteri pembentuk asam dan bakteri-bakteri pembentuk
methan. Bakteri-bakteri yang berperan dalam perombakan bahan organik menjadi
asam antara lain pseudomonas, flavobacterium, alcaligenes, escherichia, dan
aerobacter, sedangkan bakteri yang berperan dalam pembentukan methan antara
lain Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus. Selain kedua jenis
bakteri di atas, ada kelompok bakteri lain yaitu bakteri Desulvobrio yang
memanfaatkan unsur sulfur dan membentuk gas H2S.
5. pH Substrat
Pertumbuhan mikroba dalam fermentor sangat dipengaruhi oleh perubahan
pH. Apabila senyawa yang bersifat asam mudah menguap diproduksi dalam laju
yang cepat melebihi kebutuhan, maka kondisi fermentasi tidak stabil. Menurut
Buren (1979), kestabilan pH fermentasi dapat dijaga dengan menggunakan
kapasitas penyangga (buffer capacity). Menurut Yani dan Darwis (1990), nilai pH
terbaik untuk suatu digester yaitu sekitar 7,0. Bila nilai pH di bawah 6,5 maka
aktivitas akan menurun, sedangkan nilai pH di bawah 5,0 fermentasi akan
terhenti.
19
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan baku yang digunakan sebagai substrat pada penelitian ini yaitu
sampah kota (sayuran). Inokulum yang digunakan yaitu tinja sapi fresh (yang
baru keluar). Bahan-bahan lain yang digunakan antara lain : NaOH, Fe2SO4,
Fe(NH4)2(SO4), K2Cr2O7, H2SO4, indikator ferroin, diphenilamin, indikator
PP, rezarumen, buffer karbonat, makromineral, EM4, molase, aquades,
vaselin.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan meliputi alat-alat untuk fermentasi anaerob
seperti siringe dan inkubator, alat untuk fermentasi aerob seperti aerator dan
bejana (toples kaca). Serta alat-alat yang diperlukan untuk analisa aeperti
burret, oven, desikator, labu takar, gelas piala, gelas ukur, dan sebagainya.
B. TAHAPAN PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Masing-masing
tahapan dirancang untuk mencapai tujuan khusus yang diinginkan.
1. Analisis Bahan Baku
Tahap ini bertujuan untuk mengetahui sifat awal bahan baku.
Analisis yang dilakukan meliputi kadar air dan C/N rasio awal bahan.
2. Pra-Perlakuan Bahan Baku
Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan substrat yang sudah
mengandung asam. Asam merupakan salah satu makanan bagi bakteri
anaerob sehingga dapat mempersingkat proses anaerob. Hal ini juga dapat
mempercepat substrat dalam memproduksi biogas. Metode pra perlakuan
yang digunakan yaitu dengan aerasi.
20
3. Perlakuan Anaerob
Tahap ini bertujuan untuk memproduksi biogas dan untuk
mengetahui pengaruh suhu dan C/N rasio terhadap laju produksi biogas.
Metode yang digunakan yaitu pengolahan pada kondisi anaerob (tanpa
adanya oksigen).
C. PROSEDUR PENELITIAN
Rincian prosedur adalah sebagai berikut:
1. Analisis Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan adalah sampah sayuran. Sebelum
dilakukan analisis, bahan baku tersebut terlebih dahulu dipotong-potong
agar bahan yang digunakan memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga
dapat mempercepat proses pendegradasian. Menurut Sulaeman (2007),
bahan yang lebih kecil lebih cepat didekomposisi daripada bahan yang
memiliki ukuran bahan yang lebih besar. Setelah bahan dipotong-potong,
kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui sifat awal bahan baku.
Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, analisis kadar C dan
kadar N untuk mengetahui nilai C/N rasio awal bahan. Diagram alir tahap
analisis bahan baku dapat dilihat pada Gambar 2.
Bahan baku
Pemotongan
Analisis:
- kadar air
- C/N rasio
Bahan baku siap digunakan
untuk percobaan
Gambar 2. Diagram alir tahap pengecilan ukuran dan analisis bahan baku
21
2. Perlakuan Aerob Pada Bahan Baku
Sebanyak 500 g bahan baku yang sudah di analisis dimasukkan ke
dalam toples kaca, ditambah air sebanyak 500 ml atau dengan
perbandingan 1:1 (w/v) dan ditambahkan EM4 starter sebanyak 0,5 ml.
Kemudian dilakukan perlakuan aerasi. Pengenceran (dilution) dapat
dilakukan dengan perbandingan 4:5 atau sama besar (1:1) (Mazumdar,
1982). EM4 merupakan mikroorganisme pengurai yang telah dikondisikan
sebagai bioaktivator. Menurut Sulaeman (2007), bakteri EM4 berfungsi
untuk mempercepat proses pengomposan sampah organik atau kotoran
hewan, membersihkan air limbah serta meningkatkan kualitas air pada
tambak udang dan ikan. Bioaktivator yang tersedia di pasaran berisi
inokulum atau kultur mikroorganisme pengurai tertentu. Sebagian besar
mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp., bakteri penghasil asam
laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik Streptomyces sp. dan
ragi. Analisis yang dilakukan pada tahap ini meliputi analisis kadar C dan
kadar N untuk mengetahui C/N rasio substrat, Total Solid (TS), analisis
Volatile Solid (VS), Volatile Fatty Acid (VFA), Chemical Oxygen Demand
(COD) dan derajat keasaman (pH). Prosedur analisis dapat dilihat pada
Lampiran 2. Diagram alir tahap perlakuan aerob pada bahan baku dapat
dilihat pada Gambar 3.
Bahan baku yang sudah
disiapkan (500 g)
EM4 (0,5 ml)
Aquades (500 ml)
Aerasi (6 hari)
Analisis :
Total Solid (TS)
Volatile Solid (VS)
Volatil Fatty Acid (VFA)
Chemical Ocsigen Demand (COD)
Derajat keasaman (pH)
Substrat
Gambar 3. Diagram alir tahap perlakuan aerob pada bahan baku
22
3. Perlakuan Fermentasi Anaerob
Substrat dari hasil aerob dicampurkan dengan kotoran sapi untuk
mendapatkan C/N rasio 20, 25 dan 30. Sebelum dicampurkan dengan substrat,
kotoran sapi terlebih dahulu ditambahkan dengan larutan buffer untuk
mempertahankan pH. Perbandingan jumlah substrat dengan kotoran sapi dapat
dilihat pada Lampiran 1. Menurut Gaur (1981), untuk mencapai nisbah C/N,
limbah pertanian (sampah organik) merupakan sumber karbon sedangkan
kotoran sapi merupakan sumber nitrogen. Setelah itu, campuran sebanyak 20
ml dimasukkan ke dalam siringe yang memiliki volume 150 ml. Kemudian di
inkubasi dengan variasi suhu 30, 35 dan 40.
Analisis yang dilakukan pada penelitian utama ini meliputi analisis
Volatile Fatty Acid (VFA) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Analisis
dilakukan pada awal dan akhir fermentasi. Prosedur analisis dapat dilihat pada
Lampiran 2. Selain analisis VFA dan COD, pada tahap ini dilakukan
pengukuran produksi gas setiap harinya. Diagram alir tahap perlakuan
fermentasi anaerob dapat dilihat pada Gambar 4.
Substrat
Analisis:
1. Volatile Fatty Acid
(VFA)
2. Chemical
Oxygen
Demand (COD).
Campuran substrat
dan kotoran sapi
Fermentasi anaerob:
1. suhu (30, 35 dan 40)
2. C/N rasio (20, 25 dan 30)
Biogas
Analisis:
- volume biogas
Gambar 4. Diagram alir tahap perlakuan anaerob
23
• bahan baku
• H 2O
• EM4
Udara
Gambar 5. Skema alat pada tahap pra perlakuan (aerob)
Gas
Substrat
Air
Gambar 6. Skema alat pada tahap anaerob
24
Di bawah ini merupakan gambar alat-alat yang digunakan selama
penelitian.
Gambar 7. Peralatan yang digunakan pada tahap pra perlakuan bahan (aerob)
Gambar 8. Pealatan yang digunakan pada tahap anaerob
25
D. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan
acak lengkap faktorial dengan 2 faktor, yaitu suhu (30, 35 dan 40oC) dan C/N
rasio (20, 25 dan 30) dengan 2 ulangan. Model yang digunakan untuk
rancangan ini adalah:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Yijk
= nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan
kelompok ke-k
µ
= efek rata-rata yang sebenarnya
αi
= efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor A
βj
= efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor B
(αβ)ij
= pengaruh interaksi dari faktor A dan faktor B
εijk
= pengaruh acak yang menyebar normal
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU (SUBSTRAT)
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sampah
sayuran. Jenis-jenis sayuran yang ada dalam bahan tersebut antara lain adalah
kangkung, daun singkong, petai cina, terong ungu, wortel, timun, sawi hijau,
sawi putih, labu siam, pare, selada, terong hijau, dan buncis.
Analisis bahan dilakukan setelah bahan baku dipotong menjadi ukuran
yang lebih kecil, meliputi parameter kadar air, kadar C dan kadar N yang akan
digunakan untuk mengetahui nilai C/N rasio. Tabel 3 menunjukkan kadar air
dan C/N dari bahan baku.
Tabel 3. Kadar air dan C/N rasio bahan baku
Karakteristik
Nilai
Kadar Air (%)
91,71
C/N
34,56
Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang
terkandung dalam bahan. Bahan baku yang digunakan memiliki kadar air,
91,71%. Price dan Cheremisinoff (1981) menyatakan bahwa peningkatan
kadar air substrat dari 36 persen menjadi 99 persen dapat meningkatkan
produksi gas sampai 670 persen. Tetapi kadar air yang terlalu besar dapat
menghambat aktivitas bakteri metanogenik, hal ini disebabkan karena
penambahan air akan meningkatkan konsentrasi oksigen yang bersifat racun
bagi bakteri anaerob. Sebaliknya bila kadar air yang terlalu rendah akan
mengakibatkan terjadinya akumulasi asam asetat yang bersifat menghambat.
Analisis kadar C dan kadar N bertujuan untuk mengetahui kandungan
karbon dan kandungan nitrogen dalam bahan sehingga dapat menjadi dasar
acuan akan kebutuhan kedua unsur tersebut yang tersedia. Kedua unsur
tersebut yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk menghasilkan
produk akhir yaitu methan.
27
Setiap bahan organik yang akan dikomposkan memiliki karakteristik
yang berlainan. Nilai C/N bahan baku pada penelitian ini adalah 34,56.
Menurut Sulaeman (2007), unsur karbon (C) dan nitrogen (N) merupakan
karakteristik terpenting dalam bahan organik dan berguna untuk mendukung
proses pengomposan. Dilihat dari hasil yang diperoleh, bahan baku tersebut
memiliki nilai C/N rasio yang terlalu tinggi yakni sebesar 34,56 dan tidak
sesuai dengan C/N rasio yang diinginkan. C/N rasio yang diinginkan dalam
penelitian ini yaitu C/N rasio berkisar antara 20, 25 dan 30 (Yani dan Darwis,
1990), sehingga untuk mencapai C/N rasio yang diharapkan terhadap bahan
tersebut perlu ditambahkan dengan tinja sapi (Gaur, 1981).
B. PERLAKUAN AEROB PADA BAHAN BAKU
Sebelum substrat dimasukkan ke dalam siringe untuk dilakukan proses
utama, bahan ini terlebih dahulu dilakukan perlakuan pendahuluan yaitu
pendegradasian bahan dengan perlakuan aerob. Tujuan utama dari perlakuan
pendahuluan ini adalah agar bahan terdekomposisi dengan cepat sehingga
mendapatkan substrat yang lebih sempurna. Hal ini juga dapat mempercepat
substrat dalam memproduksi biogas.
Gaur (1981) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik
berlangsung dalam lingkungan yang bervariasi dari kondisi aerobik ke
anaerobik dan dari bakteri yang mampu tumbuh optimal pada temperatur
mesofilik ke termofilik. Proses ini bergantung pada mikroorganisme yang
terlibat, aerasi dan tingkat kelembaban lingkungan serta dari bahan yang
digunakan sebagai bahan kompos. Kondisi aerobik dan termofilik lebih
diinginkan karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna.
Menurut Ros dan Zupancic (2004), keuntungan lain yang didapatkan dari
proses aerobik adalah pendegradasian senyawa organik makro yang terdapat
pada substrat akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan proses anaerobik
sehingga produk yang dihasilkan akan lebih optimal.
Perlakuan pendekomposisian secara aerobik yang dilakukan dalam
penelitian ini yaitu dengan menggunakan aerasi. Selain itu, pada proses
aerobik ini juga dilakukan penambahan bakteri EM4 yang bertujuan untuk
28
memperpendek fase adaptasi atau lag phase dari mikroorganisme saat
permulaan proses degradasi, sehingga dari segi waktu proses pendegradasian
akan lebih cepat. Selain itu, tujuan lain penambahan EM4 untuk
mengantisipasi keterbatasan jenis mikroba alami dan ketidakmampuan
mikroba alami untuk mendegradasi beberapa senyawa toksik seperti senyawa
pestisisda yang terdapat pada bahan.
Selama proses aerobik terjadi pemanfaatan sumber karbon dan
nitrogen oleh mikroba. Ini dapat diindikasikan dengan menurunnya nilai C/N
rasio. Dari hasil yang diperoleh, C/N rasio awal bahan sebesar 34,56 menurun
menjadi 32,73. ini berarti bahwa terjadi penggunaan atau pemanfaatan sumber
karbon dan nitrogen sebagai nutrisi mikroba untuk tumbuh dan berkembang
(Yani dan Darwis, 1990).
Proses terjadinya pendegradasian bahan pada tahap aerobik dapat
dilihat dari parameter-parameter seperti Total Solid (TS), Volatile Solid (VS),
Volatile Fatty Acid (VFA), Chemical Oxygen Demand (COD) dan derajat
keasaman (pH).
1. TS (Total Solid)
Total Solid adalah padatan yang terkandung dalam bahan. Total
solid merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan telah
terjadinya proses pendegradasian karena padatan ini akan dirombak pada
saat terjadinya pendekomposisian bahan. Gambar 9 menunjukkan nilai TS
yang dihasilkan dari proses aerobik.
4
TS (%)
3,5
3
2,5
2
1,5
1
1
2
3
4
5
6
Hari
Gambar 9. Total Solid (TS) substrat
29
Padatan dalam sampah organik pasar akan didegradasi oleh
mikroba. Hasil degradasi ditunjukkan dengan adanya penurunan Total
Solid (TS). Dilihat dari Gambar 8 TS mengalami kenaikan pada hari ke-2
dan ke-3.
2. VS (Volatile Solid)
Parameter pendegradasian bahan organik juga dapat ditentukan
oleh nilai Volatile Solid (VS). Volatile Solid (VS) adalah jumlah padatan
dalam bahan yang menguap pada pembakaran di atas suhu 550 oC. Total
padatan menguap sering disebut juga sebagai padatan organik total.
Gambar 10 menunjukkan nilai VS dari substrat setiap harinya.
100
VS (%)
95
90
85
80
75
70
1
2
3
Hari
4
5
6
Gambar 10. Volatile Solid (VS) substrat
Padatan yang menguap berasal dari kandungan organik substrat.
Selama pendegradasian bahan akan dihasilkan garam-garam mineral yang
tidak mudah menguap, sehingga jumlah VS mengalami penurunan.
Volatile Solid (VS) mengalami kenaikan pada hari ke-2 dan hari ke-3.
30
3. VFA (Volatile Fatty Acid)
Proses aerobik merupakan proses hidrolisis dimana zat organik
yang digunakan dalam bentuk padat. Untuk dapat digunakan oleh bakteri,
senyawa tersebut harus dipecah oleh enzim eksternal yang dihasilkan oleh
bakteri tersebut dan dilarutkan dalam air yang terdapat disekelilingnya.
Tahap ini sulit diamati dan dikenal sebagai tahap pembentukan asam
karena sejumlah molekul akan diserap tanpa pemecahan lebih lanjut dan
dapat didegradasi secara internal.
Pada tahap ini, proses hidrolisis dan asedogenesis telah terjadi dan
menghasilkan sejumlah asam, sehingga VFA akan mengalami kenaikan
setiap harinya. Asam-asam ini antara lain asam laktat,asam asetat, asam
propionat, asam butirat. Secara lengkap hasil analisa dari kenaikan nilai
VFA dapat dilihat pada Gambar 11.
5
VFA (mg/L)
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
Hari
Gambar 11. Kenaikan nilai Volatile Fatty Acid (VFA)
Asetat yang terbentuk didegradasi lebih lanjut untuk melepas
energi yang lebih besar dan menghasilkan karbon dioksida. Asam-asam
yang dihasilkan dari proses perombakan akan dimanfaatkan oleh bakteri
anaerobik
untuk memproduksi biogas. Selain menghasilkan sejumlah
asam, dalam proses fermentasi ini juga akan menghasilkan energi yang
akan digunakan pula oleh bakteri anaerobik untuk memproduksi biogas.
31
Keuntungan dari aerobik ini yaitu bahwa substrat yang akan digunakan
pada proses anaerobik telah mengandung asam asetat dan energi sehingga
bakteri tidak memerlukan waktu lama lagi untuk merombak substrat untuk
memproduksi biogas.
4. COD (Chemical Oxygen Demand)
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen
dalam ppm atau miligram per liter yang dibutuhkan dalam kondisi khusus
untuk
mengoksidasi
bahan
organik
dalam
air.
Selama
proses
pendegradasian, substrat akan mengalami penurunan jumlah bahan
organik yang dikandungnya, sehingga nilai COD yang dihasilkan akan
mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena bakteri memanfaatkan
oksigen dalam merombak substrat. Besarnya nilai penuruan COD
tergantung pada besarnya bahan organik yang telah didekomposisi.
Di samping mikroba, oksigen merupakan faktor penting dalam
pengomposan aerobik. Di bawah ini merupakan reaksi keseluruhan dari
proses dekomposisi bahan organik pada kondisi aerob :
aktivitas
bahan organik + O2 ---Æ CO2 + H2O + unsur hara + humus + Energi
microbial
Menurut
Gaur
(1981),
dalam
kondisi
aerob,
mikroba
memanfaatkan oksigen bebas untuk mendekomposisikan bahan organik
dan mengasimilasi sebagian unsur karbon, nitrogen, fosfor, belerang serta
unsur lain yang diperlukan untuk mensintesis protoplasma sel mikroba
tersebut.
Sehubungan
bakteri
memanfaatkan
oksigen
dalam
proses
penguraian senyawa-senyawa organik, maka nilai COD akan mengalami
penurunan setiap harinya. Penurunan nilai COD secara lengkap dapat
dilihat pada Gambar 12.
32
COD (mg/L)
10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1
2
3
4
5
6
Hari
Gambar 12. Penurunan nilai COD pada pra perlakuan bahan pada kondisi
aerob
Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa COD mengalami penurunan
setiap harinya. Terjadinya penurunan nilai COD dikarenakan adanya laju
pembentukan asam lemak menguap (VFA), asam laktat, etanol dan
senyawa sederhana lainnya dari monomer hasil dekomposisi polimer
organik dan laju konsumsi asam-asam serta senyawa tersebut yang
bervariasi. Dalam tahap hidrolisis terjadi perombakan bahan organik yang
mudah terdekomposisi seperti karbohidrat, lemak dan protein yang
dilanjutkan
dengan
perombakan
bahan
organik
sederhana
hasil
dekomposisi bahan-bahan di atas seperti gula, asam lemak dan asam
amino yang terdapat pada substrat.
5. Derajat Keasaman (pH)
pH sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba perombak.
Selama proses aerob, bakteri akan menghasilkan sejumlah asam sehingga
nilai pH akan cenderung mengalami penurunan. Gambar 13 menunjukkan
nilai penurunan pH pada proses aerob :
33
10
pH
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
Hari
Gambar 13. Penurunan nilai pH
Nilai pH pada penelitian ini menghasilkan pH yang fluktuasi.
Selain pH mengalami penurunan, pH juga mengalami kenaikan pada hari
ke empat dan hari ke lima. Kenaikan nilai pH disebabkan karena pada
proses aerobik tersebut telah manghasilkan gas-gas amonia (NH3) dan
karbon dioksida (CO2). Amonia merupakan gas yang bersifat basa
(Sahidu, 1983).
3. PENDEKOMPOSISIAN BAHAN SECARA ANAEROBIK (PROSES
PEMBENTUKAN BIOGAS)
Penumpukkan sampah dapat menyebabkan terjadinya pendegradasian
secara terbuka sehingga dapat terbentuknya gas metana yang secara langsung
dapat menyebabkan pemanasan global. Sampah yang menumpuk dan
mengalami pembusukan dapat menyebabkan gas metan menjadi terkumpul,
pada akhirnya meledak dan dapat mengakibatkan longsor. Karakteristik dari
metana murni adalah mudah terbakar (Lapp dan Robertson, 1981). Menurut
Meynell (1976), metana juga dapat menyebabkan ledakan. Pembakaran bahan
bakar fosil menghasilkan karbon dioksida (CO2) yang juga ikut memberikan
kontribusi bagi efek rumah kaca (green house effect) yang bermuara pada
34
pemanasan global (global warming). Biogas memberikan perlawanan terhadap
efek rumah kaca, yaitu biogas memberikan substitusi atau pengganti dari
bahan bakar fosil untuk penerangan, memasak dan pemanasan. Metana (CH4)
yang dihasilkan secara alami oleh kotoran dan sampah yang menumpuk
merupakan gas penyumbang terbesar pada efek rumah kaca, bahkan lebih
besar dibandingkan CO2. Pembakaran metana pada biogas mengubahnya
menjadi CO2 sehingga mengurangi jumlah metana di udara. Dengan lestarinya
hutan, maka CO2 yang ada di udara akan diserap oleh hutan yang
menghasilkan oksigen yang melawan efek rumah kaca.
Menurut Gijzen (1987), dekomposisi anaerob pada biopolimer organik
kompleks menjadi gas metana dilakukan oleh aksi kombinasi berbagai jenis
mikroba. Reaksi dekomposisi ini memiliki jalur metabolik yang cukup
kompleks, terutama pada tahap asedogenesis. Secara umum pendekomposisian
bahan secara anaerobik ini meliputi beberapa tahapan, yaitu tahapan hidrolisis,
asedogenesis, asetogenesis dan metanogenesis.
Substrat yang digunakan pada tahap anaerob adalah substrat yang
sudah melalui pra perlakuan, sehingga substrat tersebut sudah mengandung
sejumlah asam yang dapat langsung digunakan oleh bakteri. Substrat tersebut
sudah mengalami proses hidrolisis dan asedogenesis sehingga pada perlakuan
utama (anaerob) langsung masuk ke tahapan asetogenesis atau bahkan
langsung masuk ke tahapan metanogenesis.
Pada tahapan fermentasi anaerob ini dilakukan penambahan kotoran
sapi yang digunakan sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Selain
itu, kotoran sapi ini juga digunakan sebagai sumber inokulum bagi bakteri
metanogen yang akan merombak asam asetat, CO2 dan H2 menjadi gas metan.
Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai sumber
pembuat biogas, karena kotoran sapi telah mengandung bakteri penghasil gas
metan yang terdapat dalam perut hewan ruminansia (Meynell, 1976).
Keberadaan bakteri di dalam usus besar ruminansia tersebut membantu proses
fermentasi, sehingga proses pembentukan biogas dapat dilakukan lebih cepat
(Sufyandi, 2001). Pada penelitian ini, pada proses anaerob diberi variasi
35
perlakuan C/N rasio yaitu 20, 25, dan 30 serta variasi suhu dalam inkubasi
yakni suhu 30, 35, dan 40°C.
1. Volume Biogas
Selain makanan dan energi, hal lain yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan
produksi
biogas
oleh
bakteri
anaerobik
adalah
memperpanjang waktu tinggal (retention time). Menurut Tobing dan
Loebis (1986), dengan waktu penahanan sekitar 40 sampai 50 hari dapat
dihasilkan gas methan dalam jumlah yang cukup besar. Namun tentunya
waktu penahanan yang terlalu lama akan menyebabkan proses
pembentukan akan terganggu karena bakteri sudah tidak aktif lagi dalam
merombak.
Produksi
biogas
akan
terus
berlangsung
selama
proses
pembentukannya. Dari data yang diperoleh, gas sudah terbentuk dari hari
pertama pemasukan substrat hingga tidak ada lagi kenaikan produksi gas
pada hari-hari berikutnya. Produksi dihentikan jika sudah tidak ada
kenaikan lagi pada alat skala peningkatan produksi karena dengan tidak
adanya kenaikan pada alat maka produksi gas telah terjadi secara
optimum.
Gambar 14 menunjukkan volume gas yang dihasilkan pada suhu
o
30 C. Suhu ini divariasikan lagi dengan C/N yang berbeda, yaitu C/N 20,
25 dan 30.
36
Volume Gas (ml)
14
12
10
8
6
4
2
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
Hari
C/N 20
C/N 25
C/N 30
Gambar 14. Akumulasi produksi gas pada suhu 30oC
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa produksi tertinggi pada
suhu 30oC terdapat pada C/N 25 dengan rata-rata memproduksi gas
sebesar 12,75 ml per 20 ml substrat. Produksi terendah terdapat pada C/N
20 yaitu memiliki rata-rata sebesar 8 ml per 20 ml substrat, sedangkan
C/N 30 memproduksi gas rata-rata sebesar 12 ml per 20 ml substrat.
Berbeda dengan produksi gas pada suhu 30oC yang tidak banyak
memproduksi gas, sedangkan pada suhu 35oC dan 40oC produksi gas yang
dihasilkan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu 30oC. Gambar
15 menunjukkan produksi gas pada suhu 35oC.
37
Volume Gas (ml)
35
30
25
20
15
10
5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
Hari
C/N 20
C/N 25
C/N 30
Gambar 15. Akumulasi produksi gas pada suhu 35oC
Dari data yang diperoleh, perlakuan (inkubasi) pada suhu 35oC
merupakan suhu inkubasi paling optimum. Produksi rata-rata gas yang
dihasilkan, pada suhu 35oC ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu
inkubasi yang lainnya. C/N rasio yang optimum yaitu C/N 30 dengan ratarata gas yang di produksi sebesar 28,75 ml per 20 ml subatrat, sedangkan
dengan C/N rasio 25 memiliki produksi rata-rata gas sebesar 25 ml per 20
ml substrat. C/N rasio 20 menghasilkan produksi rata-rata gas terendah
yaitu sebesar 21,5 ml per 20 ml substrat. Dari hari pertama produksi, gas
sudah terbentuk dan memiliki nilai yang tinggi.
Produksi biogas pada suhu 40oC rata-rata produksi gas lebih
rendah bila dibandingkan dengan inkubasi pada suhu 35oC. Gambar 16
menunjukkan produksi rata-rata gas pada suhu 40oC.
38
Volume Gas (ml)
30
25
20
15
10
5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
Hari
C/N 20
C/N 25
C/N 30
Gambar 16. Akumulasi produksi gas pada suhu 40oC
Inkubasi pada suhu 40oC, menunjukkan produksi gas rata-rata pada
C/N rasio 30 yaitu memproduksi gas rata-rata sebesar 24,5 ml per 20 ml
substrat, sedangkan pada C/N rasio 25 produksi gas rata-rata sebesar 19,75
ml per 20 ml substrat dan C/N rasio 20 memproduksi gas rata-rata sebesar
22,25 ml per 20 ml substrat. Hasil yang diperoleh inkubasi suhu 40oC
tidak jauh berbeda dengan inkubasi pada suhu 35oC. Inkubasi pada suhu
40oC gas telah terbentuk sejak awal pemasukan substrat dalam siringe
dengan nilai produksi yang tinggi. Tingginya nilai produksi biogas pada
awal proses produksi kemungkinan dikarenakan pada hari-hari pertama
proses produksi biogas mikroba masih dalam keadaan segar sebagaimana
keadaan dalam rumen, sedangkan pada hari-hari berikutnya mikroba telah
terpengaruh oleh kondisi lingkungan sehingga pertumbuhannya terganggu
(Palupi, 1994). Dari data yang diperoleh, maka suhu optimum untuk
pembentukan gas bio yaitu inkubasi pada suhu 35oC, dan nilai produksi
tertinggi yaitu pada substrat dengan C/N rasio 30.
Uji ANOVA pada taraf 5% menunjukkan bahwa suhu dan C/N
rasio memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan interaksi keduanya
tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini berarti bahwa variasi suhu
30, 35 dan 40oC memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik
biogas yang dihasilkan. Begitu juga halnya dengan variasi C/N rasio 20,
39
25 dan 30, sedangkan interaksi antara suhu dan C/N rasio tidak
memberikan pengaruh yang nyata pada biogas yang dihasilkan. Uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa suhu 30oC, 35oC dan 40oC memberikan
pengaruh secara signifikan terhadap biogas yang dihasilkan. C/N rasio 20
dan 25 tidak memberikan pengaruh secara signifikan, begitu juga dengan
C/N rasio 25 dan 30, sedangkan C/N rasio 20 dan 30 memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap biogas yang dihasilkan. Gambar 17
menunjukkan pengaruh COD terhadap volume biogas yang diproduksi.
35
Volume gas (ml)
30
25
20
15
10
5
0
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
50,00
55,00
COD (mg/L)
Gambar 17. Pengaruh COD terhadap volume biogas yang diproduksi.
Dari gambar dapat dilihat bahwa residu COD mempengaruhi
produksi biogas. Semakin besar residu, maka semakin besar pula produksi
biogas. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil residu, maka semakin
sedikit pula biogas yang diproduksi. Tabel 4 menunjukkan perbandingan
volume gas yang dihasilkan dari penelitian ini dengan volume biogas
dengan bahan baku buah dan sampah kota.
40
Tabel 4. Perbandingan produksi biogas dengan bahan baku sayuran, buah
dan sampah kota
Bahan baku
Metode
Total volume biogas yang di
produksi
Sayuran
Aerob dan anaerob
0,2295 L
Buah
Aerob dan anaerob
0,563 L
Sampah kota
Aerob dan anaerob
0,3425 L
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa produksi biogas terendah
yaitu produksi biogas dengan bahan baku sayuran. Hal ini terjadi karena
sayuran mengandung serat yang tinggi sehingga menyebabkan produksi
dari biogasnya rendah. Serat adalah bahan yang sulit untuk terdegradasi.
Pengolahan 1 ton sampah sayur memerlukan air sebanyak 1000
liter dan EM4 sebanyak 1 liter. Kebutuhan kotoran sapi untuk penambahan
pada proses anaerob yaitu sebanyak 536,02 liter. Gas yang diperoleh
sebesar 2900,15 liter.
Analisis ekonomi untuk pembuatan biogas dengan metode yang
dilakukan pada penelitian ini antara lain investasi yang dilakukan meliputi
kegiatan pembelian EM4, aerator, biodigester, pengangkutan sampah dan
kotoran sapi, penggalian lubang tempat biodigester, pembuatan alat untuk
proses aerob, pemasangan batu bata, plester dan acian untuk bak
pencampur, pemasangan biodigester.
Analisis biaya investasi untuk pekerjaan menggali lubang,
pembuatan alat untuk proses aerob, pemasangan batu bata, plester dan
acian untuk bak pencampur, pemasangan biodigester dan biaya untuk
pengangkutan sampah dan kotoran sapi didasarkan pada analisa harga
satuan pekerjaan dengan pendekatan harga satuan pekerjaan teori dan
lapangan disesuaikan dengan daerah yang akan digunakan sebagai tempat
untuk proses pembuatan biogas.
41
2. COD
Selama proses fermentasi, substrat akan mengalami penurunan
jumlah bahan organik yang dikandungnya, sehingga nilai COD juga akan
mengalami penurunan. Besarnya nilai penurunan COD tergantung pada
banyaknya bahan organik yang terdekomposisi menjadi biogas. Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin besar penurunan nilai COD maka dapat
menjadi indikator besarnya volume biogas yang dihasilkan. Besarnya
penurunan nilai COD pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 18,
COD (mg/L)
19 dan 20.
10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
20
25
C/N rasio
Awal
30
Akhir
Gambar 18. Penurunan nilai COD pada suhu 30°C
12000
COD (mg/L)
10000
8000
6000
4000
2000
0
20
25
C/N rasio
Awal
30
Akhir
42
COD (mg/L)
Gambar 19. Penurunan nilai COD pada suhu 35°C
10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
20
25
C/N rasio
Awal
30
Akhir
Gambar 20. Penurunan nilai COD pada suhu 40°C
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan COD terbesar
terjadi pada suhu 35oC dan C/N rasio 30 yakni dengan terjadinya
penurunan COD sebesar 5000 mg/L, sedangkan penurunan terkecil terjadi
pada suhu 20oC dengan terjadinya penurunan sebesar 1700 mg/L. COD
merupakan salah satu parameter terjadinya pendegradasian selama proses.
Semakin besar terjadinya penurunan COD, maka semakin besar pula
terjadinya produksi biogas. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil
penurunan nilai COD maka semakin kecil pula terjadinya produksi biogas.
Hasil pengamatan COD juga dapat mengindikasikan bahwa pada suhu
35°C dengan C/N rasio 30 menghasilkan volume biogas tertinggi. Volume
biogas terendah dihasilkan pada pada suhu inkubasi 30°C dengan C/N
rasio 20.
Uji ANOVA pada taraf 5% menunjukkan bahwa suhu dan C/N
rasio memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan interaksi keduanya
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan nilai COD. Uji
lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada suhu 30 dan 40oC tidak
memberikan pengaruh secara signifikan pada penurunan nilai COD, begitu
43
juga dengan suhu 40 dan 35oC. C/N rasio 20 dan 25 tidak memberikan
pengaruh secara signifikan, sedangkan C/N rasio 25 dan 30 memberikan
pengaruh secara signifikan terhadap nilai COD begitu juga dengan C/N
rasio 20 dan 30 yang memberikan pengaruh secara signifikan terhadap
nilai COD.
3. VFA
VFA (Volatile Fatty Acid) juga merupakan parameter untuk
membuktikan terjadinya perombakan selama proses pembentukan biogas.
Analisis ini dilakukan pada awal dan akhir fermentasi agar dapat
mengetahui nilai kenaikan atau penurunan yang terjadi selama proses.
Nilai VFA cenderung mengalami kenaikan karena pada proses anaerobik
masih terjadinya tahap asetogenesis, yaitu terjadinya proses perombakan
senyawa organik menjadi asam lemak menguap selama proses.
Selama fermentasi anaerobik terjadi pembentukan asam lemak
menguap (VFA), asam asetat, etanol, dan senyawa lainnya dari monomer
hasil fermentasi polimer organik. Nilai VFA pada setiap perlakuan baik
awal dan akhir proses anaerobik disajikan pada Gambar 21, 22 dan 23.
VFA(mg/l)
8
6
4
2
0
20
25
30
C:N ras io
awal
akhi r
Gambar 21. Kenaikan nilai VFA pada suhu 30oC
44
VFA (mg/l)
15
10
5
0
20
25
30
C:N rasio
awal
akhir
Gambar 22. Kenaikan nilai VFA pada suhu 35oC
VFA (mg/l)
10
8
6
4
2
0
20
25
30
C:N ras io
awal
akhir
Gambar 23. Kenaikan nilai VFA pada suhu 40oC
Pada suhu 30oC, kenaikan VFA terbesar terjadi pada C/N rasio 25
(4,5 mg/l) dan pada C/N 20 kenaikan VFA hanya sebesar 3,45 mg/l. Pada
suhu 35oC, kenaikan terbesar terjadi pada C/N rasio 30 (9,75 mg/l) dan
pada C/N rasio 20 kenaikan VFA hanya sebesar 5,25 mg/l. Pada suhu
inkubasi 40oC, kenaikan terbesar terjadi pada C/N rasio 20 (5,2 mg/l) dan
kenaikan terendah terdapat pada C/N rasio 30 yakni sebesar 4,8 mg/l.
Dari data yang diperoleh diketahui bahwa kenaikan VFA terbesar
terdapat pada suhu 35oC dengan C/N rasio sebesar 30 dan kenaikan VFA
terkecil terdapat pada suhu 30oC dengan C/N rasio 20. Hal ini berarti
45
bahwa pada suhu 35oC dengan C/N rasio 30 telah terjadi perombakan yang
lebih besar bila dibandingkan dengan variasi perlakuan yang lainnya.
Semakin banyak senyawa organik yang terdekomposisi, maka semakin
banyak pula biogas yang diproduksi. Begitu juga sebaliknya, semakin
sedikit senyawa organik yang terdekomposisi, maka semakin sedikit pula
biogas yang diproduksi.
Uji ANOVA pada taraf 5% menunjukkan bahwa suhu memberikan
pengaruh nyata pada nilai VFA, sedangkan C/N rasio dan interaksi
keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai VFA. Uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa suhu 30oC dan 40oC tidak memberikan
pengaruh secara signifikan terhadap nilai VFA, sedangkan pada suhu 35oC
ada pengaruh secara signifikan terhadap nilai VFA. C/N rasio 20 dan 25
tidak memberikan pengaruh secara signifikan, begitu juga dengan C/N
rasio 25 dan 30, sedangkan C/N rasio 20 dan 30 memberikan pengaruh
yang signifikan.
46
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa produksi biogas terbaik terjadi
pada suhu 35oC dengan C/N rasio 30 dengan gas yang dihasilkan sebesar
28,75 ml per 20 ml substrat. Produksi terendah terjadi pada suhu 30oC dengan
C/N rasio 20 dengan biogas yang dihasilkan sebesar 8 ml per 20 ml substrat.
Nilai VFA terbesar diperoleh dengan perlakuan suhu 35oC dengan C/N 30
yaitu sebesar 9,75 mg/L dengan nilai COD sebesar 5000 mg/L.
Perlakuan suhu dan C/N rasio memberikan pengaruh yang nyata
terhadap nilai VFA, COD dan produksi biogas. Semakin besar penurunan nilai
COD, maka semakin besar pula biogas yang diproduksi. Begitu juga
sebaliknya, semakin kecil penurunan nilai COD maka semakin kecil pula
produksi biogasnya.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai gas-gas yang terkandung
dalam biogas
2. Perlu dilakukan uji lanjutan dengan memakai mikroba yang lain untuk
proses aerob (selain EM4)
47
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2007. Pepaya Sari Gading. http://www.balitbu.go.id/pepaya01.htm
Barnett, A., Leo Pyle dan S. K. Subramanian. 1978. Biogas Technology in The 3rd
World; A Multidisciplinary Review. International Development Research
Centre Ottawa. Skripsi. Mempelajari Pengaruh Nisbah Kotoran Sapi Perah
Dan Sampah Pasar Dengan Tingkat Pengenceran Terhadap Penurunan
Beban Pencemaran Effluen Dari Fermentasi Anaerob. Skripsi. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bryant, M.P. 1987. Microbial Methane Production, Theoritical Aspects.J. Am.Sci.
Buren, A. 1979. A Chinese Biogas Manual Intermediate Technology Publications
Dahuri, D. 2007. Sampah Organik, Kotoran Kerbau Sumber Energi Alternatif.
http://www.petra.ac.id/science/applied_technology/biogas98/biogas5.htm.
[26 April 2007]
Fardiaz, S. 1990 . Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas - IPB. Bogor.
Fry, L. J. 1974. Practical Building of Methane Power Plants for Rural Energy
Independence. Standard Printing Santa Barbara. California.
Gaur, A. C. 1981. A Manual of Rural Composting. Di dalam Manik, S. T. H.
1994. Pengaruh Imbangan Kotoran Sapi Dengan Sampah Pasar Organik
Terhadap Produksi dan Kualitas Kompos Secara Aerob. Skripsi. Jurusan
Ilmu Pakan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gijzen, H. J. 1987. Anaerobic Digestion of Cellulosic Waste by Rumen-Derived
Process. Koninklijke Bibliotheek. Den Haag.
Ginting, N. 2007. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan.
Universitas Sumatra Utara. Medan. http://library.usu.ac.id/download/
fp/07002687.pdf
Gunnerson, C. G. dan D. C. Stuckey. 1986. Anaerobic Digestion : Prinsiple and
Practices for Biogas System. The World Bank. Washington, D. C., U. S.
A.
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu.
Jakarta.
Indartono, Y. S. 2006. Reaktor Biogas Skala Kecil/Menengah. http: //www.
indeni. org/content/view/63/48/. [21 April 2007]
48
Indira. 2007. Laju Produksi CH4 dari Degradasi Sampah Kota Secara Anaerob
dengan Variasi Temperatur. http://digilib.itb.ac.id. [3 Mei 2007]
Ivan dan Ifa. 2007. Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Listrik dari Sampah Kota.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1003/02/cakrawala/ lainnya04.htm [3
Mei 2007]
Judoamidjojo, M. dan A. A. Darwis. 1990. Teknologi Fermentasi. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi - IPB. Bogor.
Kadir, A. 1987. Energi. Universitas Indonesia-Press. Jakarta.
Meynell, P. J., 1976, Methane : Planning a Digester, Prism Press, Great Britain.
Nandiyanto, A. B. D. dan F. Rumi. 2006. Biogas Sebagai Peluang Pengembangan
Energi Alternatif. http://io.ppi-jepang.org/article.php? d=199 [25 April
2007]
Price, C. E. dan P. N. Cheremisinoff. 1981. Biogas Production and Utilization.
Energy Technology Series. Ann Arbor Science Pub. Michigan.
Sahidu, S. 1983. Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi. Dewaruci Press.
Jakarta.
Sathianathan, M. A. 1975. Biogas Echiefemens and Challanges. Di dalam
Triyanto. 1992. Mempelajari Cara Pembuatan Biogas Melalui Proses
’Rumen Derived Anaerobic Digestion’ (RURAD). Skripsi. Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Setiawan. 1996. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sttafford, D. A., D. L. Hawkes., dan R. Homton. 1980. Methan Production From
Waste Organic Matter. CRC Press, Inc. Florida. Di dalam Elizabeth, D. M.
1993. Mempelajari Pengaruh Nisbah Kotoran Sapi Perah Dan Sampah
Pasar Dengan Tingkat Pengenceran Terhadap Penurunan Beban
Pencemaran Effluen Dari Fermentasi Anaerob. Skripsi. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sulaeman, D. 2007. Pengomposan : Salah Satu Alternatif Pengolahan Sampah
Organik. http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/dede.pdf
Weismann, U. 1991. Anaerobik Treatment of Industrial Wastewater. Institut fur
Verhahrenstechnik. Berlin.
Yani, M. dan A. A. Darwis. 1990. Diktat Teknologi Biogas. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi - IPB. Bogor.
49
Download