BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian kepuasan pernikahan Fowers dan Olson (1993) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai sebuah evaluasi menyeluruh mengenai hubungan pernikahan yang dijalani. Callan dan Noller (dalam Adonu, 2005) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi partisipantif mengenai hubungan pernikahan yang baik, bahagia, memuaskan dan berhasil. DeGenova dan Rice (2005) mengungkapkan kepuasan pernikahan sebagai suatu tingkat dimana individu merasa harapannya terpenuhi dalam hubungan pernikahan. Sedangkan menurut Stone dan Shackelford (2007), kepuasan pernikahan adalah kondisi mental yang merupakan cerminan keuntungan dan kerugian yang dialami oleh individu selama menjalani sebuah pernikahan. Ward, Lundberg, Zabriskie dan Berrett (2009) mendefinisikan kepuasan perkawinan sebagai keadaan emosional individu yang berhubungan dengan interaksi, pengalaman, dan harapannya pada kehidupan pernikahan. Sanders (2010) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai suatu tingkat kebahagiaan dan dukungan yang dialami serta dirasakan oleh masing-masing pasangan sedangkan menurut Brockwood (dalam Kusumowardhani, t.t.), kepuasan pernikahan adalah cerminan dari seberapa 14 bahagia individu dalam 15 perkawinannya atau berupa panggabungan dari kepuasan dalam beberapa aspek spesifik dari hubungan pernikahan. Berdasarkan berbagai definisi mengenai kepuasan pernikahan yang telah disebutkan, penulis mengacu pendapat Fowers dan Olson (1993) yang mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai sebuah evaluasi menyeluruh mengenai hubungan pernikahan yang dijalani. 2. Aspek-aspek kepuasan pernikahan Fowers dan Olson (1989; 1993) mengungkapkan bahwa kepuasan pernikahan dapat diungkap melalui aspek-aspek sebagai berikut: a. Komunikasi (communication) Hal ini berkaitan dengan perasaan dan sikap individu terhadap komunikasinya dengan pasangan. Fokus pada bagian ini adalah tingkat kenyamanan yang dirasakan ketika saling berbagi serta menerima informasi mengenai emosi dan perasaan. b. Aktivitas waktu luang (leisure activities) Area ini cenderung pada kegiatan yang dilakukan di waktu luang. Fokusnya adalah pada kegiatan yang dilakukan secara bersama atau personal serta harapan menghabiskan waktu bersama sebagai pasangan. c. Orientasi agama (religious orientation) Area ini untuk mengetahui makna keyakinan beragama dan pengamalannya dalam kehidupan pernikahan. d. Penyelesaian konflik (conflict resolution) 16 Persepsi pasangan terhadap masalah yang muncul dalam hubungan serta penyelesaiannya. Bagian ini berfokus pada keterbukaan pasangan dalam mengenali dan memecahkan masalah untuk mengakhiri perbedaan pendapat serta mendapat solusi terbaik. e. Manajemen keuangan (financial management) Bagian ini membahas tentang sikap serta permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan dalam bidang ekonomi. Fokusnya adalah pada sikap dan cara pasangan mengatur pola keuangan dan pengambilan keputusan dalam masalah ekonomi. f. Intimasi seksual (sexual relationship) Intimasi seksual yang dimaksud disini meliputi perasaan pasangan suami istri mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Intimasi seksual mencakup sikap mengenai isu-isu seksual, perilaku seksual, perencanaan atau kontrol kelahiran dan kesetiaan dalam perkawinan. g. Keluarga dan teman-teman (family and friends) Area ini membahas tentang perasaan dan kekhawatiran mengenai hubungan dengan keluarga, saudara ipar serta teman-teman. Hal ini merefleksikan keinginan untuk merasa nyaman ketika menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. h. Anak dan pengasuhan (children and parenting) Pada bagian ini berfokus pada perasaan mengenai keinginan untuk memiliki dan membesarkan anak. Fokus pada bagian ini adalah kesepakatan mengenai kedisiplinan untuk anak, 17 cita-cita bagi anak serta dampak kehadiran anak pada hubungan pasangan. i. Masalah yang berkaitan dengan kepribadian (personalities issues) Area ini berfokus pada persepsi individu yang berkenaan dengan perilaku pasangan dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap perilaku tersebut. j. Kesetaraan peran (equalitarian role) Area ini menilai perasaan dan sikap individu mengenai berbagai hal tentang pernikahan dan peran individu dalam keluarga seperti pada pekerjaan, pembagian tugas rumah tangga, seks serta peran orang tua. Komponen kepuasan pernikahan juga dikemukakan oleh Stone dan Shackelford (2007) yaitu sebagai berikut: a. Kognisi (cognition) Dalam memahami apakah perilaku pasangan memberi keuntungan atau kerugian, kognisi atau pikiran sangat penting. Cara seseorang menafsirkan perilaku berkaitan dengan bagaimana mereka merasa puas dengan pernikahannya. b. Fisiologi (physiology) Dibandingkan dengan individu yang belum menikah, mekanisme pengaturan kesehatan fisik lebih dapat dilakukan dengan baik oleh pasangan yang sudah menikah. c. Pola interaksi (interaction pattern) Pola interaksi dengan pasangan dapat mempengaruhi bagaimana mereka merasa puas dengan pernikahannya. 18 Ketidakpuasan dalam hubungan pernikahan seringkali timbul akibat adanya permintaan dan penarikan. Salah satu pasangan mengkritik atau menggerutu sementara pihak lain menghindari konfrontasi atau diskusi. d. Dukungan sosial (social support) Komponen lain dalam kepuasan pernikahan adalah tingkat dukungan sosial untuk pasangan. Dukungan dipercaya berhubungan dengan fungsi pernikahan yang baik. Pasangan yang dapat memberikan dukungan sosial dengan baik pada pasangannya memberikan kontribusi bagi kepuasan pernikahan yang dirasakan pasangan. e. Adanya tindak kekerasan (violence) Individu yang terlibat dengan tindak kekerasan fisik lebih mungkin mengalami ketidakpuasan pernikahan bila dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami tindak kekerasan. Peningkatan tindak kekerasan dapat disebabkan dari pengaruh alkohol atau tingkat penghasilan. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menggunakan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (1989; 1993) yang terdiri dari komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi agama, penyelesaian konflik, manajemen keuangan, intimasi seksual, keluarga dan teman-teman, anak dan pengasuhan, masalah yang berkaitan dengan kepribadian serta kesetaraan peran. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan Menurut Mathews (n.d.), terdapat beberapa faktor yang dapat berpengaruh pada kepuasan pernikahan, yaitu: 19 a. Gender Pria dan wanita memiliki peran yang berbeda dalam pernikahan serta memandang hubungan dengan sudut pandang yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan tersebut menghasilkan persepsi berbeda mengenai kepuasan pernikahan. b. Usia pernikahan (duration of marriage) Berdasarkan penelitian sebelumnya, hubungan pernikahan memiliki kecenderungan mengalami penurunan kepuasan pernikahan setelah dua puluh tahun pertama pernikahan berlangsung. Steinmetz, Clavan dan Stein (dalam Mathews, n.d.) mengungkapkan kepuasan pernikahan mengalami penurunan pada sepuluh hingga dua puluh tahun pertama pernikahan dan kemudian meningkat kembali setelah masa dewasa akhir dan masa pensiun. c. Kehadiran anak (presence of child) Pada banyak pasangan, anak berperan penting dalam kehidupan pernikahan dan kehadiran anak membawa pengaruh positif dan negatif yang tidak dapat dielakkan. Dibandingkan dengan ketidakhadiran anak dalam pernikahan, kehadiran anak dapat menurunkan kepuasan pernikahan (Twenge dkk., 2003). d. Keadilan pembagian tugas rumah tangga (the perception of fairness in the division of household labour) Pada umumnya suami bertanggung jawab untuk mencari nafkah dan istri bertanggung jawab mengurus pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga merupakan hal yang 20 tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Konflik berpotensi timbul antar pasangan mengenai pembagian tugas dan hasilnya adalah persepsi keadilan individu dalam pembagian tugas serta kemungkinan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. e. Kepuasan seksual (sexual satisfaction) Dalam lingkungan sosial, pasangan yang sudah menikah berharap untuk melakukan hubugan seksual. Hubungan pernikahan merupakan cara yang paling disetujui oleh lingkungan sosial untuk melakukan aktivitas seksual dan pemenuhan kebutuhan seksual (Christopher dan Sprecher; Donnelly dalam Mathews, n.d). Faulkner (2002) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan seseorang, antara lain: a. Karakteristik demografis (demographic characteristic) Hal-hal yang termasuk dalam karakteristik demografis adalah usia, ras, gaji, pendidikan, lama pernikahan serta keagamaan yang sering dikaitkan dengan kepuasan dan konflik dalam pernikahan (Knox & Schacht dalam Faulkner, 2002). Pasangan yang berbeda usia terlampau jauh, ras, pendidikan serta agama lebih rentan mengalami masalah pernikahan dan ketidakpuasan dalam pernikahan (Houts dalam Faulkner, 2002). b. Proses psikologis (psychological processes) Rendahnya kesejahteraan psikologis merupakan faktor utama pemicu timbulnya masalah dalam hubungan. Buss (dalam Faulkner 2002) mengungkapkan ketidakstabilan emosi suami 21 atau istri berhubungan dengan kecenderungan mereka untuk merasa bahwa pasangan mereka adalah individu yang murung, pencemburu, ketergantungan, egois dan rendah diri. c. Proses selama pernikahan (marital process) Proses selama menikah melibatkan berbagai hal seperti gender, komunikasi pernikahan, dan konflik pernikahan. Ketidakmampuan suami dan istri untuk menyelesaikan konflik secara efektif memberi pengaruh negatif pada kepuasan pernikahan bagi pasangan suami istri. d. Gender Berdasarkan teori feminis, ketidaksesuaian peran gender dalam pembagian tugas rumah tangga seringkali dihubungkan dengan sistem patrilineal. Pembagian tugas rumah tangga akhirnya sesuai dengan peran gender tradisional dimana istri memiliki porsi lebih besar untuk mengerjakan tugas rumah daripada suami, bahkan ketika penghasilan istri lebih besar dari suami (Greenstein dalam Faulkner, 2002). e. Transisi kehidupan (life transition) Perubahan menjadi figur orang tua seringkali dihubungkan dengan kepuasan dan konflik dalam pernikahan. Pembagian tugas dilakukan setelah kehadiran anak dan umumnya kepuasan pernikahan akan mengalami penurunan, khususnya ketika anak masih berusia muda (Walker dalam Faulkner, 2002). Alder (2010) mengemukakan faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan antara lain: a. Usia saat menikah (age at time of marriage) 22 Orang-orang yang menikah muda beresiko tinggi mengalami ketidakstabilan pernikahan dibandingkan dengan mereka yang menikah di usia yang lebih tua. Alasan utama mengapa usia memiliki hubungan negatif dengan keberhasilan sebuah pernikahan adalah karena pada saat menikah di usia yang relatif masih muda, pendidikan individu yang bersangkutan masih rendah, kehamilan pranikah, pendeknya masa perkenalan sebelum menikah, ketidakmampuan menyesuaikan diri dan rendahnya latar belakang sosial ekonomi (Burchinal dalam Alder, 2010). Heaton (dalam Alder) menyimpulkan bahwa usia ketika menikah juga berperan besar dalam tren perceraian, selain itu, wanita yang menikah di usia tua memiliki pernikahan yang lebih stabil. b. Tingkat pendidikan (level education) Tampaknya masuk akal bahwa tingkat pendidikan memiliki korelasi positif dengan kepuasan pernikahan. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan umumnya akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Heaton (dalam Alder, 2010) mengemukakan bahwa kemungkinan pernikahan berakhir dengan perceraian akan lebih rendah bila wanita memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta menikah di usia yang lebih matang. Pernikahan juga akan lebih stabil bila pria juga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta usia yang matang namun tidak berlaku jika wanita memiliki pendidikan lebih tinggi dan usia lebih tua daripada pria. c. Lamanya masa perkenalan (courtship length) 23 Periode ini dibagi menjadi dua tahap yaitu masa sebelum pertunangan dan setelah pertunangan. Hansen (dalam Alder, 2010) melaporkan bahwa terdapat hubungan positif antara periode perkenalan dengan kepuasan pernikahan serta hubungan negatif dengan terjadinya perceraian. B. Menikah Remaja Awal 1. Pengertian menikah remaja awal Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Masa remaja sendiri terbagi menjadi tiga tahap yaitu remaja awal berada pada usia 12 hingga 15 tahun, remaja pertengahan sekitar usia 15 hingga 18 tahun dan remaja akhir dengan kisaran usia 18 sampai 21 tahun (Mönks dkk., 2002). Selama berada pada masa tersebut, remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang nantinya akan bermanfaat saat memasuki tahap perkembangan berikutnya. Menurut Havighrust (dalam Rice & Dolgin, 2008), salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah mengembangkan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis. Tugas perkembangan ini bermanfaat untuk mempersiapkan remaja memasuki kehidupan pernikahan pada tahap perkembangan dewasa. Bagi remaja yang memutuskan menikah di usia muda, masyarakat biasa melabeli pernikahan tersebut dengan pernikahan dini. Dalam artikel dari UNICEF tahun 2001 dijelaskan bahwa pernikahan dini merupakan sebuah pernikahan yang dilakukan oleh anak dan remaja berusia kurang dari 18 tahun. Hal serupa 24 juga dikemukakan oleh Oyortey dan Pobi (2003), pernikahan di usia muda merupakan sebuah bentuk pernikahan yang dilakukan oleh anak sebelum mencapai usia 18 tahun. Menurut Rice dan Dolgin (2008), pernikahan ini biasa terjadi pada anak perempuan yang masih duduk di bangku SMA dengan anak laki-laki yang sudah lulus SMA dan berusia 3½ hingga 5½ tahun lebih tua darinya. Selain dikenal dengan pernikahan dini, beberapa juga menyebutnya dengan pernikahan pada anak. Seperti dalam artikel dari Internaational Planned Parenthood Federation (2006) mengungkapkan bahwa pernikahan pada anak merupakan bentuk pernikahan yang dilakukan oleh anak dibawah usia 18 tahun dimana secara fisik dan psikologis individu belum siap untuk memikul tanggung jawab dalam pernikahan serta mengasuh anak. Pernikahan pada anak digunakan untuk menjelaskan sebuah persatuan yang legal atau biasa antara dua orang dimana salah satu atau kedua individu masih berusia dibawah 18 tahun (UNFPA, 2012) dan dapat menghancurkan kehidupan perempuan, keluarga serta masyarakat mereka (ICRW, 2012). Berdasarkan penjelasan yang sudah dikemukakan diatas, penulis menggunakan pengertian yang dijelaskan oleh UNICEF (2001) mengenai pernikahan dini merupakan sebuah pernikahan yang dilakukan oleh anak dan remaja berusia kurang dari 18 tahun. 25 2. Alasan menikah di usia remaja Rice dan Dolgin (2008) menyebutkan beberapa alasan yang menyebabkan individu memilih menikah di usia remaja, antara lain yaitu: a. Kehamilan. Merupakan alasan utama untuk menikah di usia remaja, terutama ketika masih duduk di bangku sekolah adalah kehamilan. Lebih dari 50% kehamilan terjadi ketika salah satu pasangan berada di bangku sekolah menengah atas. b. Adanya tekanan sosial. Ketika dalam lingkungan pergaulan ada pasangan yang menikah, maka tekanan untuk melakukan hal yang sama juga akan meningkat. Selain itu, keinginan orang tua yang tidak ingin anak perempuannya membesarkan bayi di luar ikatan pernikahan juga menjadi penyebab remaja memutuskan untuk menikah di usia muda. c. Adanya gambaran yang terlalu romantis terhadap pernikahan. Bahkan remaja yang orangtuanya bercerai atau menikah lagi juga memiliki konsep ideal mengenai pernikahan. Jatuh cinta menjadi hal yang sangat romantis dan indah sehingga banyak remaja yang tidak sabar untuk memasuki masa bahagia ini. Konsep pernikahan karena cinta menyebabkan remaja merasa bahwa menemukan cinta sejati adalah tujuan utama hidup dan ketika mereka sudah menemukannya, mereka memutuskan untuk segera menikah sebelum terlambat. d. Mencoba untuk keluar dari rumah. 26 Situasi saat ini yang tidak menarik, ketidaknyamanan secara emosional atau tekanan penyesuaian sosial menyebabkan individu menganggap bahwa menikah akan menjadi hal yang lebih menarik. 3. Dampak pernikahan dini Dalam sebuah artikel tahun 2001 terbitan UNICEF, mengungkapkan bahwa menikah di usia relatif muda dapat memberi dampak pada remaja yang bersangkutan dan lingkungan sosialnya, yaitu: a. Kerugian psikososial. Kehilangan masa remaja, ancaman mengalami kekerasan seksual, penolakan kebebasan dan pengembangan individu hadir sebagai konsekuensi emosional dan psikososial dari pernikahan di usia muda. Kebanyakan gadis yang merasa tidak bahagia dalam pernikahan yang dipaksakan merasa sangat terisolasi. Mereka tidak memiliki seseorang yang dapat diajak berbicara dan paham situasi yang dialaminya. b. Kesehatan dan reproduksi remaja. Hamil dan melahirkan di usia muda memiliki beberapa resiko yang tidak dapat dicegah seperti meningkatnya resiko kematian, kelahiran prematur, komplikasi selama masa melahirkan, berat bayi yang rendah dan tingginya peluang bayi baru lahir tidak dapat bertahan hidup. Berbagai resiko tersebut seringkali dihubungkan dengan buruknya nutrisi selama masa kehamilan dan yang terpenting adalah ketidaksiapan remaja untuk melahirkan. c. Penolakan dalam bidang pendidikan. 27 Tak bisa diacuhkan, pernikahan usia muda menyebabkan anak kehilangan hak untuk mengenyam bangku pendidikan yang kelak akan berguna bagi pengembangan diri sendiri serta sebagai persiapan untuk masa dewasa. Pada akhirnya, juga berkontribusi pada kesejahteraan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Mengeluarkan anak perempuan dari sekolah untuk menikah, membantu orang tua bekerja atau mempersiapkan anak untuk kesempatan kehidupan anak pernikahan untuk dapat mengembangkan membatasi kemampuan intelektualnya. Anak tidak dapat hidup bersosialisasi dan menjalin pertemanan di luar lingkungan keluarga serta kehilangan berbagai kesempatan yang bermanfaat baginya. d. Kekerasan dan ketertinggalan Banyak korban kekerasan dalam rumah tangga merasa tidak mampu untuk meninggalkan pernikahannya karena tekanan ekonomi, kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan sosial. Perilaku kekerasan terhadap istri termasuk hubungan seksual yang memaksa, berperan besar dalam putusnya ikatan pernikahan. 4. Keuntungan menunda pernikahan di usia remaja Hervish dan Jacobs (2011) mengungkapkan beberapa keuntungan menunda pernikahan di usia muda yaitu: a. Meningkatkan kesehatan ibu dan bayi. Komplikasi kelahiran merupakan penyebab utama kematian pada perempuan usia 15 hingga 19 tahun yang sudah menikah. Perempuan yang menikah di usia muda serta adanya tekanan untuk memiliki anak sebelum tubuh mereka 28 berkembang secara matang juga memiliki risiko lebih besar mengalami fistula obstetric. Selain itu juga berpotensi melahirkan bayi dengan berat dibawah rata-rata, kelahiran prematur serta kemungkinan bayi meninggal. b. Mengurangi penularan HIV/AIDS. Meskipun pernikahan usia muda dipercaya sebagai mekanisme perlindungan, pada kenyataannya adalah menikah muda dapat meningkatkan risiko penyakit HIV/AIDS serta penyakit menular seksual lainnya. Suami dari perempuan yang menikah di usia muda seringkali berusia jauh lebih tua dari usia istri, memiliki kemungkinan memiliki banyak pasangan seks sebelum menikah. Hal ini menyebabkan wanita memiliki kemungkinan besar untuk tertular HIV/AIDS. c. Meningkatkan kesehatan reproduksi dan kesehatan wanita. Bertambahnya usia ketika menikah pertama kali mengurangi resiko kekerasan fisik, seksual, psikologis serta ekonomi pada perempuan. Menunda pernikahan juga dapat kematangan dalam pengambilan keputusan serta meningkatkan kesehatan reproduksi mereka. d. Kesempatan mengenyam pendidikan dan memperbaiki keadaan ekonomi. Tetap menyekolahkan anak perempuan dan menunda pernikahan dapat meningkatkan pendapatan baik untuk individu serta mendorong laju pertumbuhan ekonomi negara. Keuntungan keluarga yang menunda untuk menikahkan anak perempuannya adalah adanya peningkatan dari segi ekonomi karena mereka telah berinvestasi dalam keluarga dan anak- 29 anaknya. Selain itu, keluarga juga komunitas juga akan mendapat keuntungan dari anak perempuan yang tetap melanjutkan sekolah seperti menurunkan resiko HIV/AIDS dan kematian bayi.