Kata Pengantar Dengan penuh sukacita dan syukur saya menyambut diterbitkannya buku kumpulan lagu-lagu hasil Lokakarya Komposisi Musik Liturgi Keuskupan Agung Makassar bekerjasama dengan PML Yogyakarta ini. Buku ini memuat lagu-lagu hasil dua lokakarya yang jarak waktu pelaksanaannya dari yang pertama ke yang kedua cukup panjang. Lokakarya yang pertama berlangsung 7-13 Februari 1998 di Nonongan, kini Kab. Toraja Utara, dan menghasilkan 51 lagu. Sedangkan Lokakarya yang kedua baru diadakan 9-16 Agustus 2015 di Ge’tengan, Kab. Tana Toraja, dan menghasilkan 41 lagu. Upaya menggali lagu-lagu daerah untuk perayaan liturgi adalah sungguh terpuji, dan merupakan tindaklanjut dari amanah Konsili Vatikan II tentang inkulturasi. Saya teringat sebuah kisah kecil dari Sinode para Uskup khusus untuk Asia, yang berlangsung di Roma, 19 April – 14 Mei 1998. Pada hari pertama, setelah doa dan renungan pagi, Paus Yohannes Paulus II, yang kini sudah Santo, berdiri dan berkata lantang kepada kami para peserta Sinode. “Jangan lupa Yesus itu orang Asia!” Pada harihari berikutnya beredarlah anekdot ini di kalangan para Uskup peserta Sinode: Ya, benar, Yesus itu orang Asia. Ia lahir di Asia. Kedua orang tuanya orang asli Asia. Tetapi kemudian Ia merantau ke Eropa. Setelah besar di Barat Ia pulang kampung. Tetapi orangorang sekampung-Nya tak lagi mengenal Dia. Ia dianggap orang asing. Maka, Gereja di Asia harus terus-menerus berusaha menampilkan kembali Yesus Kristus dengan jiwa dan wajah Asia. Sesungguhnya masalah inkulturasi menjadi salah satu tema sentral dalam Sinode tersebut. Khusus menyangkut Liturgi, dalam pesan yang dikeluarkan sesudah Sinode antara lain ditegaskan: “Kami merasakan kebutuhan mendesak untuk semakin memperhitungkan budaya setempat dalam perayaan liturgis kita”. Melalui intervensi di aula Sinode sekian banyak peserta menyampaikan keluhan bahwa, Liturgi kita masih tetap terasa asing, tidak menyentuh hati kebanyakan orang Asia. Dalam hubungan inilah kita sangat menghargai dan mendukung penerbitan kumpulan lagu-lagu daerah hasil dua Lokakarya yang telah dilangsungkan di Toraja itu. Kita berharap buku ini akan mendapat sambutan luas di kalangan umat. Kita juga berharap upaya untuk menggali lagu-lagu daerah untuk kepentingan Liturgi terus-menerus digiatkan. Masih ada hal, yang saya anggap penting, ingin saya singgung di sini: Orang sudah sering bicara mengenai “budaya Indonesia”. Tetapi sesungguhnya belum ada budaya Indonesia. Yang ada ialah budaya-budaya lokal di Indonesia. Ketika seorang warga negara Indonesia dari etnis tertentu menyaksikan pentas budaya dari suku lain di Indonesia, dia belum merasa bahwa itu adalah budayanya sebagai orang Indonesia; baginya itu tetap dirasakan sebagai budaya lain. Berbeda halnya dengan penggunaan lagu-lagu dari berbagai daerah dalam perayaan liturgi Katolik. Sekarang ini, bila umat Katolik di Makassar misalnya menyanyikan lagu-lagu liturgis yang berasal dari daerah/etnis lain, mereka tak lagi merasa itu bukan budaya mereka. Mereka telah merasa itu milik mereka sebagai umat Katolik Indonesia. Jadi, dalam hal ini, Gereja Katolik Indonesia telah membuat terobosan dalam membantu proses terbentuknya budaya Indonesia. Akhirnya, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih kepada penyelenggara kedua Lokakarya Komposisi Musik Liturgi, secara khusus kepada PML Yogyakarta, dan kepada siapa saja yang dalam satu dan lain cara terlibat dalam kedua Lokakarya tersebut serta penerbitan hasilnya ini. Sebagai insan beriman kepada Kristus, kita sadar kita berkarya hanya dengan satu tujuan, yaitu “demi kemuliaan Allah… dan kebahagiaan manusia” (LG,17; AG,9). Makassar, Medio Desember 2015 + John Liku-Ada’