II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep

advertisement
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat
meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,1985). Pembangunan ekonomi dapat
pula diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara
untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf kehidupan masyarakatnya.
Pembangunan ini merupakan permasalahan-permasalahan negara yang saling
berkaitan dan berpengaruh antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu perlu
adanya pemecahan masalah dengan pendekatan multidisiplin (Sukirno, 1985).
Pendekatan multidisiplin ini merupakan bauran berbagai disiplin ilmu lain, baik
dari geografi, ekonomi, sosial, maupun politik (Rustiadi,et al., 2007).
Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses pemerintah daerah dan masyarakatnya secara bersama-sama mengelola
sumberdaya yang ada dan membentuk suatu hubungan kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja
baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut Scumpeter,
pembangunan adalah perubahan yang spontan juga terputus-putus, gangguan
terhadap
keseimbangan
yang
selalu
mengubah
keadaan
keseimbangan
sebelumnya. Perubahan ini atas inisiatif perekonomian sendiri dan muncul
berdasar cakrawala perdagangan dan industri (Jhingan, 2004).
11
2.2. Konsep Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan alami
dari tingkat pertambahan penduduk dan tingkat tabungan. Sedangkan, menurut
Putong (2003) pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan pendapatan nasional
secara berarti (dengan meningkatnya pendapatan perkapita) dalam suatu periode
perhitungan tertentu.
Jika kita membicarakan pertumbuhan ekonomi, pasti berbeda dengan
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator
keberhasilan pembangunan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin
tinggi pula kesejahteraan masyarakatnya diluar indikator yang lain. Manfaat dari
pertumbuhan ekonomi itu sendiri adalah untuk mengukur kemajuan ekonomi
sebagai hasil pembangunan nasional maupun pembangunan daerahnya (Putong,
2003).
Menurut
Tarigan
(2005),
pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah yang
digambarkan oleh kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut.
Hal ini juga yang nantinya akan menggambarkan kemakmuran daerah tersebut.
Kemakmuran suatu wilayah ditentukan pula dengan seberapa besar bagian
pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar
wilayah. Setiap negara akan selalu menargetkan laju pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pada setiap daerahnya, karena hal itu menggambarkan kemakmuran di
daerah tersebut (Tarigan, 2005).
W.W Rostow dalam Adisasmita (2008) mengemukakan suatu teori yang
membagi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahapan, yaitu masyarakat
12
tradisional (the traditional society), prasyarat untuk lepas landas (the precondition
for take off), lepas landas (the take off), gerakan kearah kedewasaan (the drive to
maturity) dan massa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption).
Penjelasan pertumbuhan Rostow ini dijelaskan dalam Arsyad (1999), yaitu
sebagai berikut :
a. Masyarakat Tradisional (The Traditional Society)
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang perekonomiannya masih
bertumpu pada sektor pertanian dan memiliki fungsi produksi yang terbatas
dan relatif primitif yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
turun-menurun dan cenderung kurang rasional.
b. Tahap Prasyarat Lepas Landas (The Precondition For Take Off)
Dalam kondisi ini, merupakan transisi untuk mencapai pertumbuhan yang
mempunyai kekuatan untuk berkembang. Segala sesuatunya dipersiapkan
untuk mencapai pertumbuhan dengan kekuatan sendiri termasuk ilmu
pengetahuan yang akan menghasilkan penemuan baru.
c. Tahap Lepas Landas (The Take Off)
Berlakunya perubahan yang sangat besar dalam masyarakat misalnya tercipta
kemajuan yang pesat dalam inovasi, revolusi politik dan sebagainya.
d. Tahap Menuju Kedewasaan (The Drive To Maturity)
Dalam kondisi ini masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi
modern pada sebagian besar faktor produksi. Munculnya pemimpin baru yang
bercorak lebih kepada perkembangan teknologi, kekayaan alam dan lain-lain.
13
e. Tahap Konsumsi Tinggi (The Age Of High Mass Consumption)
Konsumsi masal yang tinggi dimana perhatian masyarakat lebih menekankan
kepada permasalahan yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan
masyarakat.
Selain itu menurut Kuznets dalam bukunya Modern Economic Growth
tahun 1966, definisi pertumbuhan ekonomi itu sendiri ialah suatu kenaikan yang
terus-menerus dalam produk perkapita, seringkali diikuti dengan kenaikan jumlah
penduduk dan biasanya dengan perubahan struktural (Jhingan, 2004). Pakar-pakar
ekonomi pembangunan pun berpendapat, menurutnya pertumbuhan ekonomi
tersebut berbeda dengan pembangunan ekonomi. Menurut mereka, pertumbuhan
ekonomi merupakan istilah bagi negara yang telah maju untuk menyebut
keberhasilan pembangunannya sedangkan pembangunan ekonomi itu digunakan
untuk negara yang sedang berkembang (Putong, 2003).
Sebenarnya banyak sekali teori pertumbuhan ekonomi yang berasal dari
pakar-pakar ekonomi terdahulu. Teori klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith
melalui bukunya An Inquiry into The Nature and Cause of The Wealth of Nations
yag terbit pada tahun 1917 menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan penduduk. Penduduk yang
bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan
spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Lebih lanjut, spesialisasi akan
meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga meningkatkan upah dan
keuntungan. Dengan demikian, proses pertumbuhan akan terus berlangsung
sampai seluruh sumber daya termanfaatkan (Tarigan, 2005).
14
Sementara itu, David Ricardo dalam bukunya The Principles of Political
Economy and Taxation yang terbit pada tahun 1917, menyatakan pandangan yang
bertentangan dengan Adam Smith. Menurutnya, perkembangan penduduk yang
berjalan cepat pada akhirnya akan menurunkan kembali tingkat pertumbuhan
ekonomi ke taraf yang rendah. Pola pertumbuhan ekonomi menurut Ricardo
berawal dari jumlah penduduk yang rendah dan sumber daya alam yang relatif
melimpah.
Menurut Keynes, untuk menjamin pertumbuhan yang stabil pemerintah
perlu menerapkan kebijakan fiskal (perpajakan dan belanja pemerintah), kebijakan
moneter (tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar), dan pengawasan
langsung. Keynes mengemukakan bahwa pendapatan total merupakan fungsi dari
pekerjaan total dalam suatu negara. Semakin besar pendapatan nasional, semakin
besar volume pekerjaan yang dihasilkan, demikian sebaliknya. Volume pekerjaan
tergantung pada permintaan efektif. Permintaan efektif ini ditentukan pada titik
saat harga permintaan agregat sama dengan harga penawaran agregat.
Selain itu Harrod-Domar pun mengemukakkan pandangannya. Dalam
teori ini, Harrod-Domar melengkapi teori Keynes, dimana Keynes melihat dalam
jangka pendek (kondisi statis), sedangkan Harrod-Dommar melihat dalam jangka
panjang (kondisi dinamis). Harrod-Domar menyimpulkan bahwa pertumbuhan
jangka panjang yang mantap, dimana seluruh kenaikan produksi dapat diserap
oleh pasar, hanya dapat dicapai jika memenuhi syarat-syarat keseimbangan, yaitu
g = k = n, dimana g adalah tingkat pertumbuhan output, k adalah tingkat
pertumbuhan modal, dan n adalah tingkat pertumbuhan angkatan kerja
(Priyarsono,et al., 2007).
15
Proses pertumbuhan menurut pandangan Schumpeter adalah proses
peningkatan dan penurunan kegiatan ekonomi yang berjalan siklikal. Pembaruanpembaruan yang dilakukan oleh para pengusaha berperan dalam peningkatan
kegiatan ekonomi. Dalam proses siklikal tersebut, tingkat keseimbangan yang
baru akan selalu berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat
keseimbangan sebelumnya. Pada intinya, dari semua teori yang ada sama-sama
menjelaskan tentang bagaimana kita mengelola sumberdaya yang ada (manusia,
alam dan teknologi) pada suatu wilayah agar perekonomian dapat berjalan sesuai
harapan (Putong, 2003).
Menurut Adam Smith dalam Boediono (1982), yang memengaruhi
pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan output (GDP) total dan pertumbuhan
penduduk. Smith melihat sistem produksi suatu negara terdiri dari 3 unsur pokok,
yaitu 1) sumber-sumber alam yang tersedia (faktor produksi tanah), 2) sumbersumber manusiawi (jumlah penduduk), 3) stok barang kapital yang ada.
2.3. Teori Ekonomi Basis
Pada umumnya teori basis ekonomi menjelaskan bahwasannya faktor
penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung
dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Teori basis ekonomi ini,
mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
ditentukan oleh besar kecilnya ekspor dari wilayah tersebut (Tarigan, 2005).
Pengertian ekspor dalam ekonomi regional mencakup semua kegiatan baik
penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar
wilayah, dan menjual produk atau jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam
negara tersebut maupun ke luar negeri.
16
Teori basis ekonomi ini terbagi menjadi dua, yaitu sektor basis (unggulan)
dan sektor nonbasis (nonunggulan). Sektor basis (unggulan) adalah sektor yang
hanya mampu memenuhi kebutuhan wilayah tersebut dan wilayah lainnya. Sektor
basis ini merupakan satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian
wilayah melebihi pertumbuhan alamiahnya, karena kegiatan ini adalah kegiatan
baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar
wilayah (Tarigan, 2005). Menurut Glasson (1977), diperlukannya metode
Location Quotient guna menentukan apakah sektor tersebut basis (unggulan) atau
tidak. Menurutnya, semakin banyak sektor unggulan dalam suatu wilayah maka
akan menambah arus pendapatan wilayah tersebut. Kemudian jika semakin
banyak sektor unggulan dalam suatu daerah maka akan menimbulkan kenaikan
pula dalam volume sektor nonunggulan (Glasson, 1977).
Teori basis ini pun memiliki kelebihan dan kekurangan dalam
penggunaannya. Kelebihan teori ini yaitu selain teori ini sederhana, mudah
diterapkan dan dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan
dampak umum secara keseluruhan dari perubahan-perubahan jangka pendek.
Sedangkan
kelemahan
pada
teori
ini
yaitu
kegagalan
menghitung
ketidakseragaman permintaan dan produktivitas nasional secara menyeluruh,
selain itu teori ini mengabaikan fakta bahwasannya produksi nasional adalah
untuk orang asing yang tinggal di wilayah tersebut.
Secara umum terdapat beberapa metode untuk menentukan sektor basis
(unggulan) dan nonbasis (nonunggulan) di suatu daerah, yaitu (dalam
Priyarsono,et al., 2007) :
17
a. Metode Pengukuran Langsung
Metode ini dilakukan dengan cara survei langsung kepada pelaku usaha,
kemana mereka memasarkan barang produksi, dan darimana mereka membeli
berbagai bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut.
b. Metode Pengukuran Tidak Langsung
Metode pengukuran tidak langsung terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai
berikut :
1. Metode Asumsi
Metode ini merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam
penentuan sektor basis (unggulan) dan nonbasis (nonunggulan) disuatu
wilayah. Metode ini mengasumsikan bahwa sektor primer dan sekunder
termasuk sektor basis (unggulan), sedangkan sektor tersier termasuk
kedalam sektor nonbasis (nonunggulan). Metode ini cukup baik diterapkan
pada daerah yang luasnya relatif kecil dan tertutup serta jumlah sektornya
sedikit. Tetapi kelemahan dalam metode ini yaitu, penentuan sektor basis
dan non-basis tersebut mungkin saja bisa menjadi tidak akurat dalam
keadaan-keadaan tertentu. Dalam hal lain pun, di beberapa daerah
perkotaan sektor basis (unggulan) dan nonbasis (nonunggulan) ini dengan
menggunakan asumsi sangat sulit dilakukan dikarenakan jumlah dan jenis
sektornya yang sangat beragam.
2. Metode Location Quotient (LQ)
Metode ini dilakukan dengan cara menghitung perbandingan antara
pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua
18
sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas
terhadap pendapatan semua sektor di daerah atasnya.
3. Metode Pendekatan Kebutuhan Minimum
Metode ini mirip dengan metode LQ, hanya saja jika LQ mengacu kepada
perbandingan relatif pangsa pendapatan/tenaga kerja antara daerah bawah
dengan daerah atas maka dalam metode pendekatan kebutuhan minimum
ini daerah yang diteliti dibandingkan dengan daerah yang memiliki ukuran
yang relatif sama dan ditetapkan sebagai daerah memiliki kebutuhan
minimum tenaga kerja di sektor tertentu.
2.4. Konsep Sektor Unggulan (Basis)
Sektor unggulan adalah sektor yang dimana keberadaannya diharapkan
dapat meningkatkan pertumbuhan suatu wilayah. Kriteria sektor unggulan pun
sangat bervariasi. Tergantung seberapa besar
peranan sektor tersebut dalam
pembangunan wilayah. Salah satu yang dapat memengaruhi sektor unggulan yaitu
faktor anugerah (endowment factors). Dengan adanya keberadaan sektor unggulan
ini sangat membantu dan memudahkan pemerintah dalam mengalokasikan dana
yang tepat sehingga kemajuan perekonomian akan tercapai.
Sektor basis atau sektor unggulan ini dapat mengalami kemajuan maupun
kemunduran. Hal ini tergantung pada usaha-usaha suatu wilayah guna
meningkatkan sektor unggulan tersebut. Adapun beberapa sebab kemajuan sektor
basis yaitu : 1) perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi, 2)
perkembangan pendapatan dan penerimaan daerah, 3) perkembangan teknologi
dan 4) adanya pengembangan prasarana ekonomi dan sosial. Sedangkan penyebab
19
terjadinya kemunduran pada sektor unggulan yaitu perubahan permintaan di luar
daerah dan kehabisan cadangan sumberdaya.
Sektor unggulan sangat berperan penting pada suatu pembangunan
wilayah. Hal ini dapat dilihat pada besar kecilnya pengaruh serta peranannya
terhadap pembangunan tersebut, diantaranya (Tarigan, 2005) :
1. Sektor unggulan tersebut memiliki laju pertumbuhan yang tinggi
2. Sektor unggulan tersebut memiliki angka penyerapan tenaga kerja yang relatif
besar
3. Sektor unggulan tersebut memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi baik ke
depan maupun ke belakang.
4. Sektor unggulan tersebut mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi
2.5. Metode Analisis Sektor Unggulan
2.5.1. Metode analisis LQ (Location Quotient)
Metode ini dilakukan dengan cara menghitung perbandingan antara
pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor
di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap
pendapatan semua sektor di daerah atasnya. Dalam hal ini dilakukan perbandingan
antara pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua
sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap
pendapatan semua sektor di daerah atasnya.
Ketentuan dalam metode ini adalah jika nilai LQ > 1 maka sektor i
dikategorikan sebagai sektor basis atau sektor unggulan. Sedangkan jika nilai LQ
< 1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor non-basis atau sektor nonunggulan
(Priyarsono,et al., 2007).
20
Tambunan (2001), LQ adalah suatu teknik atau metode yang digunakan
untuk lebih memperluas dan memperjelas anlisis Shift Share. Dasar pemikiran
metode ini atau dasar teori metode ini adalah teori basis ekonomi.
Menurut
Tarigan
(2005),
Metode
LQ
ini
yaitu
metode
yang
membandingkan besarnya peranan suatu sektor di suatu daerah terhadap besarnya
peranan sektor tersebut secara nasional. Analisis ini merupakan analisis yang
sederhana dan manfaatnya juga tidak begitu besar yaitu hanya melihat nilai LQ
yang berada diatas 1 atau tidak. Analisis ini sangat menarik bila dilakukan dalam
kurun waktu tertentu.
2.5.2. Metode analisis SS (Shifht Share)
Analisis Shift Share ini pertama kali diperkenlakan oleh Perloff, et al. pada
tahun 1960. Analisis Shift Share ini merupakan metode yang digunakan untuk
menganalisis struktur perekonomian di suatu wilayah. Selain itu dapat juga
digunakan untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian suatu wilayah
selama dua periode.
Keunggulan utama dari analisis Shift Share yaitu analisis ini mengenai
perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan
kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Kegunaan Analisis SS ini yaitu
melihat perkembangan dari sektor perekonomian suatu wilayah terhadap
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, juga melihat perkembangan
sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor lain.
Analisis ini pun dapat melihat perkembangan dalam membandingkan besar
aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antarwilayah
(Priyarsono,et al., 2007).
21
Menurut Budiharsono (2001) dalam Priyarsono, et al. (2007), secara
umum terdapat tiga komponen pertumbuhan wilayah dalam analisis Shift Share,
yaitu :
1. Komponen Pertumbuhan Nasional/PN (National Growth Component)
Yaitu perubahan produksi atau kesempatan suatu wilayah yang disebabkan
oleh perubahan produksi atau kesempatan kerja nasional secara umum,
perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang
mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah misalnya devaluasi,
kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan.
2. Komponen Pertumbuhan Proporsional/PP (Proportional Mix Growth
Component)
Komponen ini tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk
akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam
kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi, dan price support)
dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.
3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah/PPW (Regional Share Growth
Component)
Komponen ini timbul karena peningkatan atau penurunan produksi atau
kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah
lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan
kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada
wilayah tersebut.
Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat
ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu
22
wilayah. Apabila PP + PPW > 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor
ke-i di wilayah ke-j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu,
PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke-i pada wilayah ke-j
termasuk pertumbuhannya lambat.
Komponen Pertumbuhan Nasional
Wilayah ke-j
sektor ke-i
Wilayah ke-j
sektor ke-i
Maju
PP + PPW > 0
Lambat
PP + PPW < 0
Komponen
Pertumbuhan
Proporsional
Komponen
Pertumbuhan
Pangsa Wilayah
Sumber : Budiharsono dalam Priyarsono, et al. (2007)
Gambar 2.1 Model Analisis Shift Share
2.6. Penelitian Terdahulu
Putra (2004) dengan penelitiannya tentang menganalisis pertumbuhan
sektor-sektor perekonomian pada waktu sebelum dan masa otonomi daerah.
Metode yang digunakan adalah metode analisis Shift Share. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah, seluruh sektor
ekonomi
Kota Jambi pertumbuhannya meningkat. Setelah otonomi daerah
diberlakukan, seluruh sektor ekonomi Kota Jambi justru mengalami pertumbuhan
yang lambat. Hanya saja pertumbuhan yang lambat ini belum tentu karena
pengaruh diterapkannya otonomi daerah, karena kurun waktu yang diteliti hanya
23
dua tahun saja yaitu tahun 2000-2002. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
sektor pertumbuhan yang paling cepat pada masa otonomi daerah adalah sektor
industri pengolahan, sedangkan yang paling lambat adalah sektor jasa lainnya.
Sementara sektor yang mempunyai keunggulan komparatif pada masa otonomi
daerah adalah sektor pertambangan.
Sondari (2007) dengan judul penelitiannya yaitu “Analisis Sektor
Unggulan dan Kinerja Ekonomi Provinsi Jawa Barat Periode 2001-2005”
menggunakan metode analisis LQ dan hasilnya menyimpulkan bahwa selama
kurun waktu 2001-2005, sektor yang menjadi sektor basis dan merupakan sektor
unggulan di Provinsi Jawa Barat yaitu listrik,gas, dan air bersih, sektor industri
pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Ana (2010) dalam penelitiannya tentang analisis sektor ekonomi potensial
di Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau (periode 2000-2009)
menggunakan analisis LQ, Model Rasio Pertumbuhan (MRP), SS-EM, analisis
overlay, dan analisis klassen typology. Analisis LQ untuk mengidentifikasi
sektor/subsektor ekonomi potensial yang memiliki keunggulan komparatif. Untuk
mengidentifikasi sektor/subsektor ekonomi potensial berdasarkan keunggulan
kompetitif digunakan analisi MRP. Analisis SS-EM untuk mengetahui tingkat
spesialisasi perekonomian di suatu wilayah. Analisis overlay digunakan sebagai
lanjutan dari analisis LQ dan MRP untuk mendapatkan deskripsi ekonomi
potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan dan kontribusi. Analisis klassen
typology digunakan untuk mengetahui potensi relatif sektor/subsektor ekonomi
Kota Tanjungpinang terhadap kabupaten/kota lain se-Provinsi Kepulauan Riau.
Hasil penelitiannya didapatkan bahwa sektor keuangan, persewaan, dan jasa
24
perusahaan serta subsektor komunikasi dan sewa bangunan merupakan subsektor
ekonomi potensial di Kota Tanjungpinang.
Triseptina (2006) penelitiannya tentang analisis sektor-sektor unggulan
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat berdasarkan indikator pendapatan
dengan menggunakan analisis LQ dan turunannya. Untuk mengetahui apakah
suatu sektor merupakan sektor basis atau non-basis dapat digunakan metode
langsung dan tidak langsung. Metode tidak langsung dengan metode arbiter, LQ
dan kebutuhan minimum.
Harisman
(2007)
dengan
judul
penelitiannya
“Analisis
Struktur
Perekonomian dan Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Lampung
Periode 1993-2003” menggunakan analisis Shift Share untuk menganalisis apakah
terjadi perubahan struktur ekonomi di Provinsi Lampung. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa di Provinsi Lampung telah terjadi perubahan struktur
ekonomi dari sektor primer ke sekunder yang dilihat dari peranan sektor sekunder
yang terus meningkat melalui besarnya kontribusi terhadap PDRB Provinsi
Lampung. Hasil analisis dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ)
menunjukkan bahwa di Provinsi Lampung terdapat tiga sektor basis yang
merupakan sektor unggulan, yaitu : sektor pertanian, bangunan/konstruksi, serta
pengangkutan dan komunikasi.
Paramitasari (2010) dalam penelitiannya tentang potensi komoditas
unggulan industri manufaktur dalam perekonomian Indonesia menggunakan
analisis indeks komposit untuk mengetahui komoditas unggulan industri
manufaktur. Hasil penelitiannya didapatkan ada sebelas komoditas unggulan
industri manufaktur di Indonesia. Sebelas komoditas unggulan tersebut hanya
25
terdapat tiga komoditas yang mempunyai kemampuan tinggi, baik dalam hal
penciptaan nilai tambah maupun penyerapan tenaga kerja.
Aziz (2011) dengan judul penelitiannya “Analisis Potensi, Dayasaing, dan
Pajak Sektor Hotel Terhadap Perekonomian Kota Yogyakarta periode 2005-2009”
menggunakan metode analisis Shift Share, LQ dan Poeter’s Diamond. Hasil
penelitiannya menunjukkan sektor hotel memiliki pertumbuhan yang lambat dan
memiliki dayasaing yang kurang baik. Hal ini disebabkan karena kerusakan
fasilitas akibat adanya bencana alam di Kota Yogyakarta. Tetapi keadannya
semakin membaik setelah adanya perbaikan fasilitas. Hasil analisis dengan
menggunakan metode Location Quotient (LQ) menunjukkan bahwa sektor hotel
pada periode 2005-2009 termasuk ke dalam sektor basis ekonomi Kota
Yogyakarta.
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
adalah fenomena-fenomena lapangan yang dikaji, metode serta daerah dan
periode yang dikaji. Pada penelitian terdahulu, pendekatan yang digunakan hanya
pendekatan LQ saja ataupun pendekatan Shift Share saja. Selain itu terdapat
penelitian terdahulu lainnya yang menggunakan pendekatan LQ, Model Rasio
Pertumbuhan (MRP), SS-EM, analisis overlay, dan analisis klassen typology.
Selain itu ada juga yang menggunakan metode LQ dan Shift Share tetapi hanya
satu sektor saja yang dikaji.
Sedangkan pada penelitian ini menggunakan pendekatan LQ (Location
Quotient) dan analisis Shift Share untuk melihat sektor unggulan serta
pertumbuhan dan dayasaingnya terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Cirebon sehingga dapat diketahui sektor-sektor apa sajakah yang termasuk
26
kedalam sektor unggulan (basis) di Kabupaten Cirebon pada periode 2005-2010
serta bagaimana pertumbuhan dan dayasaing dari sektor unggulan tersebut.
2.7. Kerangka Pemikiran
Kabupaten Cirebon merupakan daerah yang memiliki berbagai potensi dan
letak daerah yang strategis yaitu perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah,
seharusnya sembilan sektor ekonomi yang dimiliki Kabupaten Cirebon dapat
lebih ditingkatkan agar pertumbuhan ekonomi Kabupaten Cirebon pun dapat
meningkat yang berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Cirebon tidak terlepas
dari adanya sektor-sektor unggulan yang dimiliki Kabupaten Cirebon. Maka dari
itu, perlu dilakukannya analisis yang dapat menspesifikasikan sektor-sektor
unggulan dan sektor-sektor nonunggulan yang ada di Kabupaten Cirebon.
Pada perekonomian Kabupaten Cirebon, banyak sekali sektor unggulan
yang mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut tetapi
jika kita melihat pada segi APBD Kabupaten Cirebon dengan keterbatasan APBD
maka pemerintah sebaiknya melakukan kebijakan untuk lebih memprioritaskan
sektor unggulan mana saja yang nantinya dapat mendukung pula baik sektor
unggulan lainnya maupun sektor nonunggulannya. Pemerintah Kabupaten
Cirebon tidak mungkin memprioritaskan semua sektor unggulan yang ada di
Kabupaten Cirebon dengan keterbatasan APBD yang ada. Maka dari itu
pentingnya pemerintah melakukan spesifikasi dan prioritas kepada sektor
unggulan yang ada di Kabupaten Cirebon.
27
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode Location Quotient
(LQ) dan Analisis Shift Share. Metode LQ digunakan untuk menentukan sektorsektor unggulan apa sajakah yang ada di Kabupaten Cirebon dalam periode 20052010, sedangkan metode analisis Shift Share digunakan untuk mengetahui
gambaran pertumbuhan dan dayasaing sektor-sektor unggulan tersebut. Hal ini
pun dilakukan agar dapat diajukan kepada Pemerintah Kabupaten Cirebon
sehingga Pemerintah Kabupaten Cirebon dapat mengeluarkan kebijakan yang
nantinya memprioritaskan sektor-sektor unggulan Kabupaten Cirebon sehingga
pada akhirnya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Cirebon yang
berkelanjutan.
28
Secara skematis, kerangka pemikiran dapat dijelaskan pada Gambar 2.2
sebagai berikut :
Adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Cirebon yang didukung sektor-sektor unggulan dan
adanya keterbatasan pada APBD Kabupaten Cirebon
Perlunya menganalisis, menspesifikasikan
dan memprioritaskan sektor basis
(unggulan) dan sektor nonbasis
(nonunggulan)
Dianalisis dengan
Metode Location
Quotient (LQ)
Mengklasifikasikan sektor unggulan
dan sektor nonunggulan
Analisis Shift
Share (SS)
Pertumbuhan & daya saing sektor
unggulan
Sektor-sektor unggulan dan kondisi pertumbuhan serta daya
saing sektor unggulan di Kabupaten Cirebon periode 2005-2010
Rumusan Kebijakan Pemerintah
Kabupaten Cirebon
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten
Cirebon yang berkelanjutan
Gambar 2.2. Sistematika Kerangka Pemikiran
Download