8 BAB II KULTUR JARINGAN BINAHONG A. Binahong ( Anredera

advertisement
8
BAB II
KULTUR JARINGAN BINAHONG
A. Binahong (Anredera cordifolia)
1. Klasifikasi dan Struktur Anredera cordifolia
a. Klasifikasi Anredera cordifolia
Di Indonesia binahong secara umum dikenal dengan nama
binahong, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut Heartleaf
Madeiravine atau Madeira Vine dan di negeri Cina di sebut San Chi
atau Teng San Chi (Usman, 2010). Di Indonesia tanaman ini sering
digunakan sebagai gapura yang melingkar di atas jalan taman (Manoy,
2009).
Klasifikasi
tanaman
binahong
(Cronquist, 1981):
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Hamamelidae
Ordo
: Caryophyllales
Famili
: Basellaceae
Genus
: Anredera
Spesies
: Anredera cordifolia
adalah
sebagai
berikut
9
b. Struktur Anredera cordifolia
Tanaman binahong daunnya berbentuk bulat telur, tepi
daun rata, tulang daun peninervis dan daun berwarna hijau
(Rachmawati, 2008). Tanaman ini berdaun tunggal, bertangkai
sangat pendek, tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk jantung,
panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, ujung runcing, pangkal berlekuk,
tepi rata, dan permukaannya licin (Manoi, 2009) (Gambar 2.1).
A
B
Gambar 2.1. Daun Binahong (Anredera cordifolia)
Keterangan: A. Daun Tampak Atas
B. Daun Tampak Bawah
(Sumber : dokumen pribadi)
Tanaman binahong memiliki bunga majemuk berbentuk
tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak daun, mahkota
berwarna putih sampai krem berjumlah lima helai tidak berlekatan,
dan panjang helai mahkota sekitar 0,5-1 cm (Suyanto, 2009).
Menurut Rachmawati (2008), binahong berbunga dengan
bau yang khas, bunga berwarna putih, bunga merupakan bunga
majemuk (infloresensi rasemosa) dan jarang berbuah (Gambar
2.2).
10
Gambar 2.2. Bunga Binahong (Anredera cordifolia)
(Sumber : Justin, 2005)
Tanaman binahong merupakan tanaman menjalar dan
bersifat perennial (berumur lama), panjang dapat mencapai ± 5 m,
batang lunak, berbentuk silindris, saling membelit, berwarna
merah, bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk
semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tidak
beraturan dan bertekstur kasar (Manoi, 2009) (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Binahong (Anredera cordifolia)
(Sumber : dokumen pribadi)
Dari penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati (2008),
ciri-ciri morfologi tanaman binahong adalah berupa herba, batang
dengan arah tumbuh
ke atas yang merambat dan berwarna
kemerahan. Pada batang akan muncul umbi (Gambar 2.4).
11
Tanaman binahong mempunyai akar tunggang yang berdaging
lunak dan berwarna coklat kotor (Manoi, 2009).
umbi
Gambar 2.4. Umbi Binahong (Anredera cordifolia)
(Sumber : dokumen pribadi)
Pemeriksaan dari segi anatomi yang dilakukan oleh
Rachmawati (2008) dilakukan terhadap irisan melintang daun,
sayatan membujur epidermis atas dan bawah. Pemeriksaan anatomi
secara mikroskopi didapatkan bahwa daun binahong memiliki
stomata tipe parasitik dan terdapat pada bagian epidermis atas dan
epidermis bawah, terdapat kristal Ca-oksalat bentuk roset, terdapat
saluran minyak, dan saluran sekresi lain yang belum diketahui
dengan jelas jenis sekret yang dihasilkan, tipe berkas pengangkutan
bikolateral, penebalan xylem berbentuk spiral.
Menurut Usman (2010), binahong tumbuh baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi dalam lingkungan yang dingin dan
lembab. Tanaman ini sebenarnya berasal dari Cina dan menyebar
ke Asia Tenggara. Ada juga yang menyebutkan bahwa binahong
diduga berasal dari Amerika Selatan. Di negara Eropa maupun
Amerika, tanaman ini cukup dikenal, tetapi para ahli di sana belum
12
tertarik untuk meneliti serius dan mendalam, padahal beragam
khasiat sebagai obat telah diakui (Manoi, 2009). Tanaman
binahong banyak ditanam di dalam pot sebagai tanaman hias dan
obat. Perbanyakan tanaman ini yaitu secara generatif (biji), namun
lebih sering berkembang atau dikembangbiakan secara vegetatif
melalui akar rimpangnya (Jaerony, 2008).
2. Kandungan Metabolit Sekunder dan Manfaat Anredera cordifolia
Metabolit sekunder merupakan hasil akhir pengolahan lebih
lanjut metabolit primer, yang pada umumnya tidak dibutuhkan
tanaman dalam aktifitas metabolismenya (Hernani dan Nurjanah,
2009). Metabolit sekunder telah banyak digunakan sebagai zat warna,
racun, warna makanan, obat-obatan dan sebagainya, serta sangat
banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang digunakan obat-obatan dikenal
sebagai obat tradisional sehingga diperlukan penelitian tentang
penggunaan tumbuh-tumbuhan berkhasiat dan mengetahui senyawa
kimia yang berfungsi sebagai obat (Lenny, 2006). Menurut Herbert
(1989), metabolit sekunder dapat dibedakan secara akurat dari
metabolit primer berdasarkan kriteria berikut: penyebarannya lebih
terbatas, terdapat terutama pada tumbuhan dan mikroorganisme serta
memiliki karakteristik untuk setiap genera, spesies atau strain tertentu.
Tanaman binahong adalah salah satu tanaman obat yang
berpotensi untuk dikembangkan. Hampir semua bagian dari tanaman
13
binahong seperti umbi, batang dan daun dapat digunakan dalam terapi
herbal (Usman, 2010). Bagian tanaman
yang paling sering
dimanfaatkan untuk kesehatan atau sebagai obat herbal adalah bagian
daun tanaman (Manoi, 2009).
Menurut Rachmawati (2008), golongan kandungan kimia dari
tanaman binahong belum terlalu banyak diketahui, maka sebagai dasar
p&uan digunakan golongan k&ungan kimia salah satu anggota suku
Basellaceae lain yaitu tanaman Basella rubra Linn. karena menurut
kemotaksonomi, hubungan yang erat ini memungkinkan persamaan zat
k&ungan. Zat yang terkandung dalam tanaman Basella rubra Linn.
adalah glukan C, karoten, asam organik, dan mukopolisakarida seperti
L-arabinosa, D-galaktosa, L-rhamnosa, dan asam aldonik. Juga
mengandung saponin, vitamin A, B dan C. Setelah dilakukan skrining
fitokimia oleh Rachmawati (2008) didapatkan kandungan kimia dari
binahong ini adalah saponin triterpenoid, flavonoid dan minyak atsiri.
Selain itu, Octavia (2009) menemukan adanya kandungan senyawa
kimia berupa asam oleanolik.
Senyawa flavonoid yang terkandung dalam binahong berfungsi
sebagai antioksidan dan hydrocortisone untuk menekan peradangan
(Rachmawati, 2008). Ray-Yu Yang (2007) menunjukkan adanya
k&ungan flavonoid (quercetin) 0,6 mg didalam 100 gram umbi
binahong dalam bentuk bubuk kering. Flavonoid dapat menghambat
terjadinya inflamasi (Sumartiningsih, 2009). flavonoid juga dapat
14
berperan langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari
mikroorganisme seperti bakteri dan virus (Manoi, 2009).
Ekstrak
daun
binahong
bermafaat
sebagai
antibakteri
(Khunaifi, 2010). Kartyanto & Orbayinah (2008), menyatakan bahwa
daun binahong juga bermanfaat sebagai hepatoprotektor dan
antioksidan.
Tanaman binahong juga bermanfaat untuk mengobati atau
mempercepat proses pengeringan luka. Penyembuhan luka dapat
terjadi karena adanya mekanisme penghambatan infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme tertentu, seperti bakteri atau jamur
(Kurniawan, 2009).
Secara empiris, masyarakat kota Malang menggunakan umbi
binahong untuk mengobati nyeri pada gigi yang disertai dengan
pembengkakan yang keluar nanah, gastritis akut, nyeri kepala, panas
dalam yang disertai sariawan, mengobati luka bekas operasi,
mengurangi nyeri setelah operasi dan lain-lain (Rofida, 2010).
Tanaman
binahong
juga
digunakan
oleh
masyarakat
untuk
menyembuhkan luka dalam dan luka luar seperti habis operasi, tifus,
radang usus, maag, ambeien (Kurniawan, 2009). Selain sebagai
tanaman obat, binahong memiliki potensi sebagai pestisida alami
(Gustiningsih, 2010), k&ungan senyawa aktifnya adalah ancordin.
15
B. Kultur Jaringan Tumbuhan dan Potensinya
Menurut Hendaryono & Wijayani (1994), kultur adalah budidaya,
dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi
yang sama. Jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan
tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya.
Sedangkan menurut Gunawan (1992), kultur jaringan adalah suatu metode
untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel,
sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam
kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan ini berdasarkan atas teori sel
yang telah dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann pada tahun 1838,
yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi
genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap dapat tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai (Yusnita,
2003).
Teknik kultur jaringan akan dapat berhasil dengan baik apabila
syarat-syarat
yang
diperlukan
terpenuhi.
Menurut
Street
(1972),
keberhasilan dari kultur jaringan ditentukan oleh berbagai faktor seperti
pemilihan eksplan, keadaan yang steril, kecukupan nutrien dan pengaruh
faktor lingkungan.
Sterilisasi bahan tanaman, alat dan media serta menjaga kondisi
aseptik yang telah dicapai merupakan bagian yang sangat penting dalam
16
teknik in vitro (Gunawan, 1992). Bakteri dan jamur adalah dua
kontaminan yang paling banyak dalam kultur. Spora jamur sangat ringan
dan ada di sekeliling lingkungan. Apabila spora jamur kontak dengan
media kultur dan kondisinya optimal untuk perkecambahan jamur, maka
akan terjadi kontaminasi.
Bahan tanaman yang dipakai untuk perbanyakan tanaman dengan
sistem kultur jaringan disebut eksplan. Eksplan bisa diambil dari jaringan
meristematis tunas atau daun muda, kepala sari atau tepung sari, putik
lembaga (endosperm) atau embrio, kotiledon atau hipokotil. Kultur
jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan
jaringan meristem (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Suryowinoto
(1996),
menjelaskan
bahwa
meristem
adalah
kumpulan sel-sel yang mempunyai sifat selalu membelah. Sel-selnya kecil,
inti sel relatif besar, penuh plasma, vakuolanya kecil sekali dan banyak
hingga terlihat seperti busa, dindingnya tipis, biasanya masing-masing
terdiri dari dinding primitif, yang tersusun atas zat pektin atau protopektin
atau dindingnya terdiri dari dinding primitif, ditambah dengan penebalan
dinding primer, dari selulose yang masih tipis. Jaringan ini sering
digunakan untuk kultur jaringan sebab jaringan meristem keadaannya
selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang
mengatur pembelahan. Penambahan zat pengatur tumbuh dalam kultur
jaringan dimaksudkan untuk membantu pembelahan sel, diferensiasi
17
unsur-unsur
trakheal
dan
diferensiasi
sel
sewaktu
membentang
(Hendaryono & Wijayani, 1994).
Yusnita (2003) menjelaskan bahwa teknik kultur jaringan tanaman
mempunyai beberapa kelebihan dib&ing dengan teknik perbanyakan
tanaman secara konvensional, yaitu sebagai berikut :
1. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat menghasilkan
jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu yang relatif singkat.
2. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan tidak memerlukan
tempat yang luas.
3. Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan
sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim.
4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat.
5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.
Di bidang farmasi, teknik kultur jaringan sangat menguntungkan
karena dapat menghasilkan metabolit sekunder untuk keperluan obatobatan dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat. Cara
menghasilkan metabolit sekunder untuk upaya pembuatan obat-obatan,
yaitu dengan memisahkan unsur-unsur yang terdapat di dalam kalus
ataupun protokormus (protokorm like bodies), misalnya alkaloid, steroid
dan terpenoid. Dengan ditemukannya cara mendapatkan metabolit
sekunder dari kalus suatu ekplan melalui kultur jaringan, maka dapat
menghemat waktu dan tenaga. Melalui cara biasa, untuk mendapatkannya
harus menunggu lama sampai tanaman cukup umur bahkan sampai
18
berproduksi hingga bertahun-tahun. Metabolit yang dihasilkan dari kalus
ternyata juga memiliki kadar yang lebih tinggi daripada dengan cara biasa
(langsung dari tanaman). Dengan cara pengambilan metabolit dari kalus
juga dapat diperoleh k&ungan lain yang lebih banyak jenisnya, karena
seringkali timbul zat-zat alkaloid atau persenyawaan-persenyawaan
lainnya yang sangat berguna untuk pengobatan (Hendaryono & Wijayani,
1994).
C. Kalus
Kalus adalah suatu jaringan bersifat meristematis akibat timbulnya
luka dan merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi (Suryowinoto,
1996). Pierik (1987), merumuskan bahwa dari sel-sel hidup yang telah
terdiferensiasi menjadi meristematik kembali. Sel-sel penyusun kalus
adalah sel-sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan
sel-sel lainnya (Gunawan, 1992). Kalus ini biasanya muncul dari bagian
periderm, periblem dan plerom, sepanjang tulang daun atau diantara tulang
daun. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), kalus sebenarnya adalah
proliferasi massa jaringan yang belum terdiferensiasi. Massa sel ini
terbentuk pada seluruh permukaan irisan eksplan, sehingga semakin luas
permukaan irisan eksplan semakin cepat dan semakin banyak kalus yang
terbentuk.
Thomas & Davey (1975), menyatakan bahwa karakteristik
morfologi kalus berbeda-beda, terdapat kalus dengan tekstur lembut (soft)
19
dan meremah (friable), keras dan kompak, serta kalus yang berbentuk
nodul-nodul. Karakteristik kalus bergantung pada komposisi media
pengulturan, khususnya zat pengatur tumbuh, jenis eksplan dan spesies.
Menurut Pierik (1987), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan kalus diantaranya yaitu jaringan atau organ yang digunakan
sebagai eksplan, zat pengatur tumbuh, komposisi medium, serta faktor
lingkungan. Organ tumbuhan seperti akar, daun, dan bunga dapat
dijadikan sebagai sumber eksplan. Usia organ yang digunakan sebagai
eksplan dan posisinya pada tanaman utuh, berpengaruh terhadap k&ungan
hormon endogennya. Penggunaan daun muda, kecambah dan bunga yang
masih muda, lebih sering digunakan sebagai eksplan. Kebutuhan zat
pengatur tumbuh untuk menginduksi kalus, tergantung genotif dan
kandungan hormon endogen pada eksplan. Untuk itu, diperlukan jenis zat
pengatur tumbuh, konsentrasi serta perb&ingan auksin dan sitokinin yang
tepat. Medium MS dan modifikasinya, biasanya digunakan untuk medium
penginduksian kalus. Sakarosa atau glukosa yang biasa digunakan yaitu
antara 2% hingga 4%.
D. Medium
Komposisi media kultur sangat berpengaruh terhadap proses
pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditanam secara in vitro.
Medium yang digunakan sebagai sumber makanan adalah senyawa
organik dan anorganik yang diperlukan untuk pertumbuhan eksplan.
Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang meng&ung
20
nutrien makro dan nutrien mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu,
sumber tenaga, air, asam amino, vitamin, zat pengatur tumbuh. Kadangkadang diperlukan penambahan zat lain seperti yeast, ekstra malt atau
cairan tanaman sebagai sumber zat perangsang pertumbuhan. Selain itu
perlu ditambah agar terjadi kontak antara jaringan tanaman media dengan
udara (Wetherell, 1982).
Sampai saat ini dikenal beberapa jenis medium dengan komposisi
kimia yang berbeda dan dapat digunakan untuk kultur in vitro dari
tanaman tertentu. Medium yang sering digunakan untuk sebagian besar
spesies tanaman yang termasuk dikotil maupun monokotil adalah medium
Murashige & Skoog (MS) (Dixon, 1985). Suryowinoto (1996)
menyebutkan bahwa medium MS memiliki unsur-unsur dan persenyawaan
yang lebih lengkap dib&ingkan dengan medium yang lain. Menurut Street
(1972), kadar mineral dalam medium MS relatif lebih tinggi dib&ingkan
medium lain. Staba (1988) menambahkan bahwa umumnya mineralmineral ini dapat mendukung pertumbuhan sel-sel tanaman dalam kultur
in vitro. Sebab pada medium MS, nitrogen tersedia dalam bentuk cairan
nitrat dan ammonia sehingga kebutuhan nitrogen akan selalu terpenuhi.
Menurut George & Sherrington (1984), sumber nitrogen lain adalah asam
amino yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh jaringan tanaman
daripada nitrogen yang terdapat dalam bentuk nitrogen anorganik.
Sedangkan asam amino berperan sebagai bahan pembangun protein.
21
Adapun kompisisi medium kultur jaringan tanaman adalah sebagai
berikut:
1. Air
Air merupakan komponen yang penting di dalam pengkulturan
eksplan karena 95% dari medium mengandung air. Untuk tujuan
penelitian, digunakan air destilasi, dan untuk penelitian dengan materi
eksplan dari protoplas, meristem dan sel sebaiknya digunakan
akuabides (Welsh, 1991). Dimana air destilasi (air suling) tersebut
telah steril dari kontaminasi mikroorganisme atau substansi yang dapat
merusak proses perkembangan eksplan (Katuuk, 1989).
2. Larutan Garam Anorganik
Tiap
tanaman
memerlukan
setidaknya
enam
elemen
makronutrien, yaitu unsur yang diperlukan dalam jumlah besar
meliputi N, K, Mg, Ca, S, P dan tujuh elemen mikronutrien, yaitu
unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil meliputi Fe, Mn, B, Mo, Cl
(Wetherell, 1982). Unsur-unsur makro biasanya diberikan dalam
bentuk NH4NO3, KNO3, CaCl2.2H2O, MgSO4.7H2O dan KH2PO4,
sedangkan
unsur
MnSO4.4H2O,
mikro
biasanya
ZnSO4.4H2O,
diberikan
H3BO3,
KI,
dalam
bentuk
Na2MoO4.2H2O5,
CuSO4.5H2O dan CoCl2.6H2O (Hendaryono & Wijayani, 1994).
3. Zat-Zat Organik
Senyawa kimia organik yang biasa dipakai sebagai sumber
energi dalam kultur in vitro adalah karbohidrat. Karbohidrat tersusun
22
atas unsur-unsur C, H, O sebagai elemen penyusun utama. Bahanbahan organik yang termasuk karbohidrat meliputi gula, pati dan
selulosa. Karbohidrat mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai
sumber energi untuk jaringan dan untuk keseimbangan tekanan
osmotik dalam medium. Karbohidrat yang sering digunakan adalah
sukrosa meskipun kadang-kadang diganti dengan glukosa (Wetherell,
1982). Konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar 1 – 5% (10 - 15
g/L), tetapi untuk kebanyakan pengkulturan konsentrasi optimum
sukrosa adalah 2 - 3%. Sedangkan menurut Wetherell (1982), kadar
sukrosa untuk keperluan pengkulturan berkisar antara 2 - 4%. Menurut
Suryowinoto (1996), kadar sukrosa yang digunakan sebagai sumber
energi untuk menginduksi pertumbuhan eksplan dalam medium adalah
2 - 7%. Katuuk (1989), menyatakan bahwa sukrosa bersifat labil
terhadap suhu tinggi sehingga apabila disterilkan dalam autoklaf
bersama-sama zat lain akan mengakibatkan penguraian sukrosa
menjadi kombinasi antara sukrosa, D-glukosa, dan D-fruktosa.
Keuntungan dari penguraian ini adalah terbentuknya aldosa (Dglukosa) dan ketosa (D-fruktosa) yang melimpah ruah, sehingga gula
pereduksi yang berfungsi mereduksi indikator-indikator seperti ion
2+
+
kupri (Cu ) menjadi bentuk kupro (Cu ) yang bermanfaat pada
perkembangan dan perbaikan (Stryer, 1996).
Vitamin adalah bahan yang perlu ditambahkan dalam medium
kultur in vitro, sebab sel bagian tanaman yang dikulturkan secara in
23
vitro belum mampu membuat vitamin sendiri untuk kehidupannya
(Katuuk, 1989). Vitamin yang sering ditambahkan ke dalam medium
adalah tiamin (vitamin B1), asam nikotinat (niasin), piridoksin
(vitamin B6), riboflavin (vitamin B2), biotin, vitamin C (asam
askorbat), vitamin E dan myo-inositol sebagai zat suplemen karena
bermanfaat mendorong pertumbuhan dan morfogenesis (George &
Sherrington, 1984).
Menurut
Wetherell
(1982),
vitamin
berfungsi
sebagai
katalisator, stimulator pertumbuhan dan meminimalkan stress eksplan
dalam kultur. Hendaryono dan Wijayani (1994), menambahkan bahwa
tiamin adalah vitamin essensial untuk hampir semua kultur jaringan
tumbuhan. Fungsi tiamin adalah untuk mempercepat pembelahan sel
pada meristem akar dan juga berperan sebagai koenzim dalam reaksi
yang menghasilkan energi dari karbohidrat. Myo-inositol merupakan
heksitol (gula alkohol berkarbon enam) yang sering digunakan sebagai
salah satu komponen media yang penting, karena terbukti merangsang
pertumbuhan jaringan yang dikulturkan. Myo-inositol dapat digunakan
pada konsentrasi 100 - 5.000 mg/L, Asam amino merupakan sumber
nitrogen organik yang diperlukan untuk pertumbuhan eksplan
(Yusnita, 2003).
24
E. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Di dalam tubuh tanaman terdapat hormon tumbuh yaitu senyawa
organik yang jumlahnya sedikit dan dapat merangsang ataupun
menghambat berbagai proses fisiologis tanaman. Karena jumlahnya yang
sedikit, maka dalam kultur jaringan diperlukan penambahan hormon dari
luar. Hormon sintesis yang ditambahkan dari luar tubuh tanaman disebut
zat pengatur tumbuh. Zat ini fungsinya untuk merangsang pertumbuhan,
misalnya pertumbuhan akar, tunas, perkecambahan dan sebagainya. Zat
pengatur tumbuh dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu golongan
auksin, sitokinin, etilen, giberelin dan inhibitor (Hendaryono & Wijayani,
1994).
Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang
sangat berperan adalah auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan
dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang
diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen,
menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1992). Zat
pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, dalam
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses
fisiologi tanaman (Abidin, 1985).
Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan
adalah auksin dan sitokinin. Berikut penjelasannya:
25
1. Auksin
Istilah auksin pertama kali diperkenalkan tahun 1928 oleh Frits
Went. Went menemukan bahwa beberapa senyawa (yang belum
teridentifikasi) menyebabkan pembengkokan koleoptil tanaman oat,
sehingga mengarah pada sumber cahaya. Fenomena pembengkokan ini
disebut fototropisme. Senyawa yang ditemukan Went banyak
terk&ung pada pucuk koleoptil dib&ing pada organ dan jaringan
lainnya. Auksin yang ditemukan oleh Went, Sekarang dikenal sebagai
indole-3-acetic acid (IAA) (Lakitan, 1996).
Menurut Wattimena (1998), auksin alamiah yang sering
terdapat pada tumbuhan adalah IAA (Asam 3-indol Asetat). IAA
disintesis dari triptopan pada bagian tanaman tertentu yaitu primordial
daun, daun muda dan biji yang sedang berkembang.
Auksin di dalam tubuh tanaman dihasilkan oleh pucuk-pucuk
batang, pucuk-pucuk cabang dan ranting yang menyebar luas ke dalam
seluruh tubuh tanaman. Penyebarluasan auksin ini arahnya dari atas ke
bawah hingga sampai pada titik tumbuh akar, melalui jaringan
pembuluh tipis (floem) atau jaringan parenkim (Hendaryono &
Wijayani, 1994).
Auksin sangat dikenal sebagai hormon yang mampu berperan
menginduksi terjadinya kalus, mendorong proses morfogenesis kalus
membentuk akar atau tunas, mendorong proses embriogenesis, dan
dapat mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman (Santoso &
26
Nursandi, 2003). Peran auksin adalah merangsang pembelahan dan
pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman, dan menyebabkan
pertumbuhan pucuk-pucuk baru (Wetherell, 1982).
Menurut Lakitan (1996), Beberapa senyawa sintesis juga
menyebabkan efek fisiologis yang mirip dengan yang diakibatkan oleh
IAA, di antaranya adalah 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D),
naptalene-acetic acid (NAA), indolebutyric acid (IBA), 2,4,5trichlorophenoxyacetic
acid
(2,4,5-T),
dan
2-metyl-4-
chlorophenoxyacetic acid (MCPA). Karena senyawa-senyawa ini tidak
disintesis oleh tanaman, maka tidak dapat disebut sebagai hormon,
senyawa-senyawa ini disebagai zat pengatur tumbuh. Perlu ditekankan
bahwa setiap senyawa yang mirip auksin mempunyai struktur dasar
yang mirip dengan IAA, yakni dengan gugus karboksil yang terikat
pada cincin aromatik. Dalam penelitian ini auksin yang digunakan
adalah 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D).
Gambar 2.5. Stuktur Kimia 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D)
(Sumber: Helmenstine, 2001)
2,4-D memiliki rumus molekul C8H6Cl2O3 (Helmenstine,
2001). 2,4-D merupakan golongan auksin sintesis yang mempunyai
sifat stabil, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang
27
dikeluarkan oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi
(Hendaryono & Wijayani, 1994). 2,4-D biasanya digunakan untuk
menginduksi pembentukan kalus (Suryowinoto, 1996). Menurut
Wetherell (1982), penambahan auksin yang lebih stabil seperti 2,4-D
cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan
dan menghambat regenerasi pucuk tanaman. Auksin juga merangsang
pembentukan akar.
Pemakaian zat pengatur tumbuh asam 2,4–D biasanya
digunakan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang singkat, antara 2
– 4 minggu karena merupakan auksin kuat, artinya auksin ini tidak
dapat diuraikan di dalam tubuh tanaman (Hendaryono & Wijayani,
1994).
Menurut
Wattimena
(1988),
2,4–D
mempunyai
sifat
fitotoksisitas yang tinggi sehingga dapat bersifat herbisida.
2. Sitokinin
Sekitar tahun 1913, Gottileb Haberlandt menemukan suatu
senyawa tak dikenal dalam jaringan pembuluh berbagai tanaman yang
dapat merangsang pembelahan sel, menyebabkan pembentukan
kambium gabus, dan penyembuhan luka pada umbi kentang. Senyawa
ini sekarang dikenal sebagai sitokinin, yang merangsang proses
sitokinensis (Lakitan, 1996).
George & Sherrington (1984), menyebutkan bahwa sitokinin
adalah kelompok zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam
pengaturan pertumbuhan dan morfogenesis pada kultur in vitro. Hal ini
28
didukung oleh pernyataan Wattimena (1988) bahwa sitokinin
menyebabkan peningkatan pembelahan sel yaitu dalam proses
sitokinesis terutama saat sintesis RNA dan sintesis protein.
Dua peran sitokinin yaitu perangsang pembelahan sel dalam
jaringan yang dibuat eksplan, dan merangsang pertumbuhan tunas
daun. Namun demikian, kadar sitokinin yang optimal untuk
pertumbuhan
tunas,
dapat
menghambat
pertumbuhan
dan
pembentukan akar (Wetherell,1982)
Bentuk dasar dari sitokinin adalah “adenin” (6-amino purin).
Adenin merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap aktivitas
sitokinin. Di dalam senyawa sitokinin, panjang rantai dan hadirnya
suatu double bond dalam rantai tersebut, akan meningkatkan aktivitas
zat pengatur tumbuh ini (Abidin, 1985). Menurut Gunawan (1995),
golongan sitokinin yang sering ditambahkan adalah kinetin, zeatin dan
benzilaminopurin (BAP). Kinetin dan BAP bersifat tahan terhadap
degradasi dan harganya lebih murah.
Dalam penelitian ini digunakan kinetin sebagai zat pengatur
tumbuh dari golongan sitokinin. Kinetin ditemukan oleh Carlos Miller
pada tahun 1954, senyawa ini terbentuk dari pemecahan DNA pada
sperma ikan (Lakitan, 1996). Kinetin merupakan sitokinin sintetik
yang mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dari pada sitokinin alami
(Santoso & Nursandi, 2003). Kinetin memiliki rumus empiris
29
C10H9N5O (Helmenstine, 2001). Adapun rumus bangun kinetin adalah
sebagai berikut:
Gambar 2.6. Struktur Kimia Kinetin (6-Furfurylaminopurine)
(Sumber: Helmenstine, 2001)
Download