MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi S.Tri Herlianto NIM 110 101 10 500040 PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015 TIM PEMBIMBING Prof. Dr. H. Barda Nawawi Arief, S.H. (Promotor) Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H. (Co Promotor) i Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor Ketua : Prof.Dr.R.Benny Riyanto,SH.,M.Hum.,CN. Sekretaris : Dr. RB.Sularto,SH.,M.Hum. Anggota : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Prof. Dr.dr.Anies, M.Kes.,PKK. (Penguji). Prof.Dr.Suteki,SH.,M.Hum. (Penguji). Prof.Dr.Supanto,SH.,M.Hum. (Penguji Eksternal). Dr.Pujiono,SH.,M.Hum. (Penguji). Prof.Dr.Barda Nawawi Arief,SH. (Promotor). Prof.Dr.Sunarto DM, SH.,MH. (Co Promotor). ii MOTTO Terlahir dan dibesarkan oleh Ibu Pertiwi, hidup dan bertaruh nyawa untuk menjaga Bangsa dan Negara, dalam tugas sukses tidak dipuji, gagal dicacimaki, tertangkap tidak diakui, hilang tidak dicari, matipun tidak dihormati, karena jiwa ragaku terlahir untuk Negara, yang ada dan tiada sebagai penjaga Bangsa dan Negara. iii PERSEMBAHAN Disertasi ini saya persembahkan kepada: Almamaterku tercinta: Universitas Diponegoro, Universitas Lampung, Universitas Bandar Lampung, Sekolah Tinggi Intelijen Negara dan Kementerian Pertahanan dan Keamanan Negara. iv KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu memimpin langkah pemikiran kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini dengan judul “ Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran” Disertasi yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar doktor Ilmu Hukum di Program Studi Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Disertasi ini merupakan hasil penelitian terhadap penyelesaian hukum atas kasus-kasus tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik antara dokter sebagai pelaku tindak pidana dengan korban pasien yang terjadi pada beberapa kota di Palembang, Lampung, Bandung, DKI Jakarta yang penulis terlibat langsung meneliti ke lapangan. Penulis menyadari bahwa selama empat tahun lebih berproses di PDIH Undip tidak terlepas dari dorongan, bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkenan membantu. Ucapan terimakasih disertai rasa bangga, penulis sampaikan kepada Universitas Diponegoro yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk turut mengusung dan mengibarkan tinggi-tinggi Panji Diponegoro. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. sebagai Promotor dan Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H. sebagai CoPromotor, yang telah menanamkan etos kerja keras, kedalaman budi pekerti, kesabaran, kepercayaan, kebanggaan, pencerahan dan kemuliaan hidup dalam menyelesaikan disertasi ini. Semoga beliau berdua selalu diberkati Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat kesehatan , panjang umur, selalu dalam kebaikan dan kemurahan hati, damai sukacita didalam Tuhan dan dimudahkan meraih kesuksesan dan kemuliaan hidup, amin. Ucapan terima kasih dan rasa bangga pula penulis sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum dan Dr.Heni Siswa to,SH.,MH yang telah berkenan menjadi teman diskusi, tempat bertanya dan selalu menyemangati untuk terus berproses dan siap menghadapi segala dinamika „sekolah‟ S3. Semoga beliau selalu diberkati kelimpahan damai sejahtera, sehat, dikaruniai panjang umur, selalu dalam kebaikan dan kemurahan hati, dan dimudahkan mencapai kesuksesan serta kemuliaan hidup, amin. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada yang terhormat: a. Prof. Dr.Yos Johan Utama, SH.,M.Hum., Rektor Undip yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di PDIH UNDIP; Direktur Program Pasca sarjana UNDIP dan para Pembantu rektor dan Staf Karyawan yang telah memberi fasilitas dan pelayanan selama menempuh pendidikan di UNDIP. v b. Prof. Dr.R.Benny Riyanto, S.H., M.Hum.,CN, Dekan Fakultas Hukum Undip dan para Pembantu Dekan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti jenjang pendidikan tertinggi di Undip. c. Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.Hum., Ketua PDIH Undip; Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, S.H., M.S., mantan Ketua PDIH Undip; Dr. Nanik Trihastuti, S.H., M.Hum., mantan Sekretaris PDIH Undip; Para Sekretaris PDIH Undip, Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Akademik) dan Dr. R.B. Sularto, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Keuangan) yang telah memberikan bantuan selama menempuh pendidikan. d. Para dosen penguji, baik pada Ujian Kualifikasi, Ujian Seminar Usulan Penelitian, Ujian Seminar Hasil Penelitian, dan Ujian Kelayakan yaitu: Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.Hum.; Prof. Dr. dr. Anies, SpKK, S.H.,; Prof. Dr. Suteki, SH.,M.Hum,Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum, Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum.; Dr. R.B. Sularto, S.H., M.Hum. yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. e. Semua Dosen Pengajar di PDIH Undip yang dengan tulus ikhlas membagikan ilmunya dan memberikan pencerahan keilmuan kepada penulis: Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H.; Alm. Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA.; Alm. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, S.H., M.S.; Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.; Prof. Dr. Yusriyadi, S.H., M.S.; Prof. Dr. F.X. Sugiyanto, S.E., M.S.; Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.; Prof. Drs. Bambang Setiadi, M.Sc., Ph.D.; Prof. Dr. Liek Wilardjo; Prof. Dr. Mahfud M.D.; Prof. Dr. I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H.; Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.H.; Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Suteki,S.H.,M.Hum, Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. f. Rekan-rekan kuliah di PDIH KPK Undip-Unila Angkatan III Tahun 20102011: Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H.,M.H.;Bapak Marsudi Utoyo, S.H., M.H.; BapakDr. F.X. Sumarja, S.H., M.Hum.; Bapak Sunaryo, S.H., M.Hum.; Bapak Didiek R. Mawardi, S.H., M.H.;; Ibu Kingkin Wahyuningdyah, S.H., M.H.; Ibu Amnawaty, S.H., M.H.; Ibu Elly Nurlaeli, S.H., M.H.; Ibu Dr.Erlina Bachri, S.H., M.H.; Bapak Dr. Tami Rusli, S.H., M.H.; Ibu Candra Perbawati, S.H., M.H.; Ibu Zuhraini, S.Ag., M.H.; Zulfikar Ali Butho, S.H., M.H.; Ery Setyanegara, S.H., M.H.; Bapak Shafruddin, S.H., M.H. yang terus menyemangati. Saya mengucapkan salam 3-17.Bravo. g. Teman-teman Korps Badan Inteljen Negara, Badan Inteljen Strategis, Batalyon Kesehatan, Para Dosen Universitas Pertahanan Negara, Para Dosen Sekolah Tinggi Inteljen Negara, senior,yunior,seangkatanKorps Sandi Negara. h. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung: Prof. Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. (almarhum); Prof. Dr. Sanusi , S.H.; Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H.; Prof. Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.H.; Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.; Prof. Dr. I Gede A.B.Wiranata, S.H., M.H.; Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.; Dr. Maroni, S.H., M.H.; Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.H.; Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.Hum.; Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.H..; Dr. Budiono, S.H., M.H.; Dr. Rudy, S.H., LL.M., LL.D.; M.H.; M.Hum.; M. Eko Raharjo, S.H., M.H.dan masih banyak lagi teman lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. vi i. Para narasumber penelitian:Dr.dr.Asep Sukohar,M.Kes.; Dr.Hj. Anny Isfandyarie, Sp.An., S.H.; Prof.dr. I Made Widnyana, S.H.,M.H.; Dr. Heni Siswanto,S.H.,M.H.;Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.Hum.; Prof.Dr.dr. Ajeng Saraswati, Sp.J.; Prof.Dr. dr. Hari Nugroho, Sp.B.; Dr.dr. Ananta Adi, Sp.D.; Dr.dr. Billi, Sp.B.An. j. Teman-teman di PDIH Undip: ibu Linda; ibu Alvi; ibu Diah; ibu Dendy; ibu Dian; Mas Delta; bapak Jumadi; bapak Yuli; bapak Robby; bapak Abdul Gofur Taufik; bapak Muhadi; dan ibu/bapak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis menghaturkan terima kasih atas perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama ini. Penulis mendoakan kepada seluruh pihak, dilimpahi Berkat Kasih Karunia Tuhan atas kebaikan, kepedulian dan perhatian, bantuan, kemurahan hati, kejujuran, keikhlasan dan dorongan semangat selama masa-masa perkuliahan, pembimbingan dan pelaksanaan ujian, dari sejak awal kuliah sampai berakhirnya studi S3 ini, semoga budi baik Bapak dan Ibu menjadi amal ibadah yang akan menjadikan suatu Berkat Kasih Karunia Tuhan yang berlimpah. Penulis menyadari disertasi ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang konstruktif selalu diterima dengan hati dan tangan terbuka. Mudah-mudahan disertasi yang sederhana ini dapat bermanfaat dalam rangka turut membangun, mengembangkan dan mewujudkan SPP dan ilmu hukum Indonesia yang integral, berkualitas, berkebenaran dan berkeadilan Pancasila, amin. Tuhan Memberkati Kita Semua. Semarang, Agustus 2015 Penulis vii DAFTAR ISI Tim Pembimbing ............................................................................................ Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor ........................................... Motto .............................................................................................................. Persembahan ................................................................................................ Kata Pengantar ............................................................................................. Daftar Isi ........................................................................................................ I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................. B. Permasalah ...................................................................................... C. Tujuan Penelitian ............................................................................ D. Metode Penelitian ........................................................................... E. Jenis Penelitian ............................................................................... II. i ii iii iv v viii 1 3 3 3 4 PEMBAHASAN A. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan serta Penerapannya dalam Perkara Malpraktik Kedokteran ................. 1. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan saat ini ... 2. Penerapan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran saat Ini ................................................ 3. Perspektif Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Hukum Pidana ......................................................................... B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran dalam Pembaharuan Hukum Pidana masa yang akan datang .......................................... 1. 2. Kebijakan Penentuan Pidana dalam Perkara Malpraktik Kedokteran yang dapat dimediasi ........................................... Kebijakan Penerapan Mediasi Penal dalam Pembaharuan Hukum Pidana Praktik Kedokteran sebagai bagian dari Proses Peradilan Pidana ........................................................... a. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran di Luar Proses Peradilan Pidana .......................................... b. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran sebagai bagian Proses Peradilan Pidana .......................... 5 8 12 14 22 22 24 24 24 III. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... B. Saran ........................................................................................ C. Implikasi .................................................................................. 35 37 39 Daftar Pustaka ................................................................................................ 41 Biodata Penulis ............................................................................................... 44 viii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik kedokteran semakin banyak terjadi dan diliput dalam pemberitaan media massa nasional, baik itu media cetak maupun media elektronik. Menurut LBH Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat bahwa terdapat kurang lebih 210 kasus pertahunnya dugaan malpraktik kedokteran di Indonesia, 1 walaupun sebagian besar tidak sampai ke pengadilan. Tampaknya kondisi sekarang sudah berubah, hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik dan berdasarkan kepercayaan (fiduciary relationship) mulai goyah. Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan yang tidak terduga serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi juga dunia kedokteran. 2 Dilain pihak tuntutan masyarakat terselenggaranya pelayanan medis bermutu tinggi dan tidak pernah salah dan sudah tentu dengan biaya murah. Benturan antara kepentingan inilah yang menimbulkan berbagai konflik/sengketa dan tuduhan dugaan tindak pidana dalam praktik kedokteran yang kemudian masuk dalam ranah hukum, baik perdata maupun pidana. Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps profesi kesehatan yang saling melindungi sesama profesional akan menyulitkan upaya pengusutan yang obyektif, sehingga kasus-kasus dugaan malpraktik hanya masuk ”peti es” dan tidak ditangani lagi. Hal tersebut mengakibatkan pihak pasien perpendapat bahwa tenaga kesehatan kebal hukum dan selalu berlindung di balik etika tenaga kesehatan agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya. Sebaliknya, kalangan kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut atau menggugat tenaga kesehatan untuk suatu hasil pengobatan yang negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap tenaga kesehatan yang dituntut atau di gugat. Pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus dilakukan dengan pendekatan (yang bersifat khusus) kedokteran atau kesehatan dan ilmu hukum secara proporsional. Dalam hal tersebut profesinya (dokter/tenaga medis) menjadi terlalu sangat berhati-hati dan timbul yang dinamakan negative defensif professional practice, yang 1 Data pada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, bagian pembelaan hukum, Jakarta: Biro Hukum PB IDI, 2012. 2 H.R. Hariadi, Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi Kedokteran, makalah disampaikan dalam sarasehan Penanganan Terpadu Masalah Etik Dan Hukum, Surabaya, 23 September 2000 hlm. 1 dalam Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 234-238 1 mengurangi kreatifitas dan dinamika profesional tindakan dokter atau tenaga medis. Dalam proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non litigasi/konsensual/non-ajudikasi. Memahami bahwa proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan waktu. Sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, sering kali menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagi pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlalu padat, lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap terlalu formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah perlunya peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efesian terjadi dimana-mana. Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses pengadilan beserta hasilnya dianggap tidak efesien dan tidak adil. Kelemahan dan ketidakpuasan terhadap operasionalisasi sistem peradilan pidana mendorong untuk dicari penyelesaian alternatif dari sistem peradilan pidana dengan penyelesaian perkara di luar jalur penal, yaitu dengan cara mediasi sebagai perwujudan restorative justice, yaitu perlu adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana melalui jalur alternative dispute resolution (ADR) dengan maksud agar dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban, juga guna mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem peradilan pidana yang berlaku, menghindari efek negatif dari sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternatif to imprisonment/ alternative to custody), dan upaya penyelesaian dalam perkara malpraktik kedokteran yang lebih bersifat kekeluargaan, musyawarah dan masih mempertahankan harkat dan martabat manusia serta penyelesaiannya memuaskan kedua belah pihak (win-win solution) serta untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (the problem of court case overload) 3 dan untuk penyederhanaan proses peradilan pidana. Asas hukum pidana positif Indonesia, perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walau dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan tetapi, praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi penegak hukum, mekanisme perdamaian secara kekeluargaan, mekanisme musyawarah, lembaga adat dan sebagainya. 3 Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara) di beberapa negara lain yang juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan” (supension of prosecution) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (conditional dismissal/ discontinuance of the proceedings) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal 248 KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiil) Polandia dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalamPenanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang : BP UNDIP cetakan ke-3, 2000, hlm. 169-171. 2 Implikasi praktik penyelesaian perkara malpraktik di luar pengadilan selama ini belum ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi suatu perkara malpraktik secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme musyawarah kekeluargaan, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses peradilan pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata tidak begitu besar dan menjadi tidak berfungsi. Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran selain bermanfaat bagi pasien maupun keluarganya, masyarakat dan dunia kedokteran, pelayanan kesehatan masyarakat, juga sejalan dengan perkembangan hukum dalam tataran global, serta hukum yang hidup dan berkembang dalam tataran lokal, yakni masyarakat adat/kearifan lokal di Indonesia yang telah memiliki mekanisme penyelesaian perkara melalui perundingan atau permusyawarahan untuk mencapai kesepakatan. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimanakah mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran dari perspektif perundang-undangan serta penerapannya pada saat ini? b. Bagaimanakah kebijakan legislasi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dalam pembaharuan hukum pidana masa yang akan datang? C. Tujuan Penelitian Mengkaji, memahami mediasi penal dari perspektif perundangundangan serta penerapannya dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran pada saat ini serta menemukan kebijakan legislasi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaiannya dalam pembaharuan hukum pidana yang akan datang. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk pengembangan dan pembaharuan hukum terutama dalam KUHP sebagai ius constituendum dalam aspek penyelesaian perkara didalam dan atau di luar pengadilan, dalam konteks Sistem Peradilan Pidana (SPP) khususnya dalam sub sistemnya maka pemanfaatan penelitian mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran serta diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah, para penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Hakim Peradilan umum dan para pelaku usaha pelayanan kesehatan baik rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya serta 3 pasien, masyarakat dan juga berbagai kalangan pemerhati dan pengkaji alternatif penyelesaian perkara yang timbul akibat terjadinya malpraktik kedokteran khususnya dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum pidana serta pengambil kebijakan yang kompeten, baik dalam menyusun konsep, mengaplikasikan maupun menegakan hukum pidana di bidang praktik kedokteran. E. Jenis Penelitian. Jenis penelitian 4 yang dipandang sesuai dengan penelitian disertasi ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris 5 atau penelitian hukum doktrinal dan nondoktrinal dengan pendekatan studi sosiolegal6 (socio-legal studies) dengan mendasarkan pada paradigma kritikal. Penelitian socio-legal7 dengan landasan filsafat hermeneutik dan teori kritik melalui pendekatan interpretive/ verstehen, penelitian hukum yang lebih berorientasi kepada kemanusiaan. Penelitian ini tidak lagi melihat hukum sebagai realitas yang otonom, obyektif, netral, imparsial, dan dapat digeneralisasikan. 8 Oleh karena itu, penelitan ini bertujuan untuk menganalisis mediasi penal dalam sistem peradilan pidana dan merekonstruksi sistem peradilan pidana secara integral dan berkualitas dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. 4 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad menyatakan ada 2 (dua) jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Pembagian ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Ronny Hanitijo Soemitro, dalam Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm., 153. 5 FX Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012, hlm. 155. 6 Sulistyowati Irianto memaparkan bahwa studi sosiolegal sebenarnya bukan studi yang benar-benar baru. Studi yang bersifat interdisipliner ini merupakan hibrida dari studi besar tentang ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang lahir sebelumnya. Kebutuhan untuk menjelaskan persoalan hukum secara lebih bermakna secara teoretikal. Sementara itu secara praktikal, studi ini juga dibutuhkan untuk menjelaskan bekerjanya hukum dalam hidup keseharian warga masyarakat, dalam Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, makalah dalam op.cit., Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 173. 7 Kajian sosiolegal merupakan kajian yang memadukan kajian hukum doktrinal dengan kajian sosial. Pemaduan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa aturan hukum tidak pernah bekerja di ruang hampa. Aturan hukum bekerja di ruang yang penuh dengan sistem nilai, kepentingan yang bisa dominan, tidak netral. Dalam kajian sosio-legal dilakukan studi tekstual terhadap pasal-pasal dalam peraturan hukum. Selanjutnya dilakukan analisis secara tajam apakah aturan-aturan itu di dalam masyarakat dapat mewujudkan keadilan, kestabilan hidup dan kesejahteraan di dalam masyarakat.Untuk itulah dilakukan penelitian sosial yang untuk akurasi dan pencapaian kebenarannya didasarkan pada paradigma. Dari penelitian sosial itu lalu bisa disimpulkan aturanaturan hukum itu dapat memberikan keadilan atau tidak. Dalam kajian sosio-legal, hukum dikonsepsikan sebagai norma aturan yang berlaku dan sekaligus sebagai fakta sosial. Di dalam sosio-legal, hukum dilihat sebagai faktor penentu dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan ditentukan, dalam F.X. Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian dalam Pendekatan Hukum Non-Doktrinal dan Penelitian dalam Ranah Sosio-Legal, Makalah, 2012. 8 Esmi Warassih Pujirahayu, Penelitian Socio-Legal…, hlm. 163. 4 Melalui kajian itu dicoba memahami norma hukum yang tertuang dalam sejumlah teks peraturan perundang-undangan terkait dengan perkara malpraktik kedokteran. II. PENBAHASAN A. Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan penerapannya dalam perkara malpraktik kedokteran. dan Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari penerapan restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana (dokter) dengan Negara yang mewakili korban (pasien), dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku (dokter) dan Negara (Jaksa penuntut umum). Restorative justice menuntut proses peradilan pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingan - kepentingan korban (pasien dan/atau keluarganya) sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku (dokter). Sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Kecenderungan dalam perkembangan hukum pidana dan pemidanaan serta pembaharuan peradilan pidana baik dalam teori maupun praktik, lebih dikembangkan bentuk rekonsiliasi atau mediasi dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini mengingat secara etik, tren ini bersandar pada asas pertanggung jawaban individu, dalam hukum pidana substantif, dengan mengacu pada pengambilan pertanggungjawaban pelaku terhadap sanksi pidananya, dalam hukum pelaksanaan sanksi. Metode alternatif resolusi kesepakatan ini juga memberikan lebih besar kepentingan korban yaitu pasien serta keluarganya dan membuat ruang bagi manajemen konflik rasional. Mengingat pandangan etik pula sebuah reaksi terhadap sebuah tindak pidana adalah sebuah kejahatan tersendiri, tapi tidak diperlukan timbulnya kerugian atau luka baru terhadap pelaku tindak pidana9. Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan pihakpihak yang menginginkan untuk merekontruksi model peradilan pidana yang sangat panjang dengan model resolusi, yang akan memperkuat posisi korban (pasien) dan mencari alternatif pidana, serta mencari cara untuk mengurangi kerugian dan beban berat pada sistem peradilan pidana mengingat sistem ini lebih efektif dan efesien10. Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut11. 9 Diater Rossner, Mediation as a Basic Element of Crime Control : Theoretical and Empirical Coments, www.bufallo university journal. 10 Recommendation No. R (99) 19. ( the Committee of Ministers of the Council of Europe) 15 September 1999. 11 Stefanie Trankle, The Tension between judicial Control and Autonomy in VictimOffender Mediation-a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www.iuscrim.mpg.de/ orsch/krim/trankle_e.html. 5 a. b. c. d. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konflikbearbeitung): Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung): Proses informal ( Informal Proceeding - Informalitat): Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partiticipation – Parteiautonomie/Subjektivierung) Berdasarkan uraian tersebut, peneliti simpulkan keuntungankeuntungan mediasi penal dalam alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran adalah sebagai berikut: 1. Keuntungan mediasi bagi korban (pasien dan/atau keluarganya), tekanan berkurang dibanding jika berperkara di pengadilan, tidak perlu membawa saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan mendapat kesempatan untuk mengkontrol hasilnya. 2. Bagi pelaku tindak pidana (dokter) dapat diuntungkan karena terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan atau denda dan biayabiaya perkara yang lebih besar. 3. Mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali hubungan dokter dengan pasiennya serta keluarga pasien tersebut jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta memberikan pelajaran bagi dokter untuk melayani pasiennya dengan hati-hati dan lebih baik untuk dapat menghindari konflik di masa mendatang. Hasil dari penelitian penulis didapat bahwa pada saat ini dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran secara damai telah dilakukan oleh dokter sebagai tersangka dengan pasien sebagai korban melalui mediasi aparat kepolisian walaupun masih menimbulkan kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dengan alasan bahwa secara yuridis formal, tindakan aparat hukum yang tidak mengajukan perkara kepengadilan secara tegas melanggar asas legalitas yang menghendaki setiap perkara pidana harus diajukan kepengadilan. Demikian halnya pendapat yang menyatakan bahwa fenomena penghentian perkara pidana malpraktik kedokteran dengan alasan perdamaian sangat bertentangan dengan asas oportunitas. Oleh karena yang berhak mengenyampingkan perkara hanyalah Jaksa Agung sebagaimana yang tertera pada Pasal 35 UU. No. 16 th 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67 yang menegaskan bahwa: “Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” Sesungguhnya, bila ditinjau dari segi legalistik positivistik pendapat tersebut di atas ada benarnya. Namun demikian, demi memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat, hendaknya pengertian kepentingan umum dalam asas oputunitas tidak hanya ditekankan pada 6 aspek kepentingan negara semata, melainkan harus pula meliputi aspekaspek kepentingan umum yang lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa kepentingan umum dalam kaitannya dengan penyampingan perkara adalah demi kepentingan negara, masyarakat dan pribadi. Dengan dasar itulah penulis berpendapat bahwa penyelesaian tindak pidana secara damai dapat dibenarkan dengan alasan; 1. Perdamaian untuk menyelesaikan suatu perkara pidana, sejauh perkara tersebut belum diajukan kemuka pengadilan, merupakan suatu hal yang regular terjadi, oleh karenanya dapatlah hal ini disebut sebagai regularity; 2. Sikap tindak ajek (regularity) ini, merupakan pemantulan dari budaya hukum (legal culture) yang hidup dalam masyarakat; 3. Perdamaian disini dapatlah diartikan sebagai suatu hubungan yang serasi (harmonis) antara mereka yang bersangkutan, yang berorientasi pada keadilan dan kebenaran. Dengan diterimanya sistem peradilan pidana dảri berbagai negara secara resmi, pandangan bahwa peradilan pidana bukanlah satusatunya cara menyelesaikan masalah kejahatan. Bahkan suatu penyimpangan/pengalihan (diversion) yang dilakukan oleh kepolisian dan penuntut umum terhadap kejahatan sering dianggap lebih baik.12 Diversion tidak mementingkan dikeluarkannya putusan pengadilan (pidana). Diversion bukan berarti menghindarkan terdakwa dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan, dengan mengupayakan penjatuhan hukuman alternatif. Lebih lauh lagi, diversion yang menghindarkan terdakwa dari proses peradilan pidana. Dalam teori diversion yang dilakukan oleh kepolisian disebut sebagai police caution. Polisi dalam penanganan tindak pidana kedokteran yang melakukan delik untuk ditawarkan mengadakan perbaikan terhadap korban (minta maaf, ganti rugi). Jika disepakati, maka proses pidana tidak dilanjutkan. Kelemahan sistem ini cukup membahayakan, yaitu dapat membuat polisi sebagai penuntut umum, hakim dan sekaligus pelaksana putusan.13 Dalam restorative justice, pemecahan masalah sangat bergantung kepada kesepakatan para pihak yang bertikai (pelaku dan korban) dengan melakukan pendekatan rekonsiliasi dan negosiasi. Pihak pelaku atau keluarganya biasanya melakukan hubungan informal dengan pihak korban atau keluarganya untuk mencari suatu solusi yang paling tepat diantara mereka. Ini berarti, pendekatan hukum perdata dipandang sebagai sarana yang paling tepat untuk menyelesaikan setiap konflik. Penulis berpendapat bahwa dibutuhkan suatu konsep proses hukum yang adil yang tidak hanya memberikan jaminan perlindungan hukum kepada pelaku semata, dalam hal ini tersangka/terdakwa, melainkan juga kepada korban, terutama perlindungan berupa hak 12 Chairul Huda, Kedudukan Subsistem Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, I dalam Jurnal Hukum No.12 Vol.6 1999, hal.142. 13 Ibid 7 berpartisipasi dalam hal penyelesaian konflik hal tersebut masih sulit di implementasikan, mengingat kedudukan pasien sebagai korban malpraktik kedokteran belum diakui sebagai suatu subsistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini. Untuk itu, perlu adanya suatu pengaturan yang bertalian dengan kedudukan korban malpraktik kedokteran ini dalam hukum acara pidana positif kita, sehingga ketimpangan dalam proses peradilan pidana, baik yang bertalian dengan pidana mapun masalah hak-hak korban dapat diatasi. Salah satu alasan perkara malpraktik kedokteran tidak diajukan oleh kepolisian ke Kejaksaan Negeri atau ke Pengadilan yaitu bahwa telah diselesaikan secara damai antara dokter dan pasien sebagai korban atau keluarganya. Penyelesaian perkaranya baik yang ringan/luka berat maupun berakibat meninggal, pihak dokter sebagai tersangka/terdakwa telah memberikan restitusi kepada korban atau keluarganya. Jadi, dari hasil penelitian karena permintaan dua belah pihak didamaikan oleh pelaksana hukum pidana dengan mewajibkan dokter mengganti kerugian kepada pasiennya dan/atau keluarganya dan minta maaf perkaranya tidak lagi dilanjutkan ketingkat selanjutnya. 1. Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan saat ini Konklusi dasar dari hasil penelitian tentang mediasi penal dari perspektif perundang-undangan saat ini dalam perkara malpraktik kedokteran menunjukkan kecenderungan polarisasi bahwa mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia telah dikenal oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim Peradilan Umum Indonesia. Dan bila dikaji dari perspektif asas, norma dan teori, mediasi penal disebutkan antara “ada” dan “tiada. Dikatakan “ada” oleh karena ternyata praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran telah dilakukan oleh para penegak hukum, para pihak pelaku tindak pidana yaitu dokter dan korban yaitu pasien beserta keluarganya serta penyelesaiannya dilakukan diluar pengadilan seperti melalui mekanisme musyawarah kekeluargaan maupun lembaga pelayanan kesehatan baik Rumah Sakit maupun Lembaga profesi kedokteran atau mekanisme lembaga lainnya. Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dalam ketentuan undang - undang tidak dikenal dan belum diatur dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial. Pada tataran di bawah undang - undang penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Surat 8 Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R-3/I/1982 serta Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV/2007 tentang sengketa medis. Pendapat penulis bahwa pada saat ini mediasi penal dalam perkara tindak pidana malpraktik kedokteran belum diatur baik dalam KUHP, KUHAP, Undang - Undang Kesehatan, Undang - Undang Praktik Kedokteran dan/atau Undang - Undang tersendiri, oleh karena itu kedepan (ius contituendum) hendaknya perlu dipikirkan secara lebih mendalam dalam ketentuan apa sebaiknya mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran tersebut akan diatur, apakah diatur dalam KUHP, KUHAP dan Undang - undang tersendiri serta Peraturan di bawah Undang-Undang atau Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam hukum pidana positif, mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara tindak pidana diluar pengadilan belum diatur. Ketentuan tentang mediasi penal sebagai bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan bukan hanya belum diatur, tetapi bahkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan hanya berlaku untuk penyelesaian perkara perdata.14 Meskipun alternatif penyelesaian melalui mediasi penal di luar pengadilan belum diatur, namun dalam hal-hal tertentu, terdapat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran diselesaikan di luar proses pengadilan. Secara implisit perundangan yang dimaksud adalah: 1. Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Menurut Undang - undang tentang Kekuasaan Kehakiman, semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang, tetapi tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian, selanjutnya di dalam Undang–Undang dimaksud disebutkan pula bahwa, Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.15 Undang–Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman juga mengatur tentang kewajiban Hakim dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai–nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam 14 Alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan di Indonesia, hanya dimungkinkan dalam perkara perdata. Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Ketentuan yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak berlaku terhadap perkara tindak pidana dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata. 15 Lihat Pasal 2 ayat (3) dan (4) dan Pasal 10 ayat (2) Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 9 masyarakat, agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.16 Ketentuan - ketentuan tersersebut sebagaimana diuraikan di atas dapat pula menjadi acuan, bahwa pada prinsipnya proses peradilan adalah proses untuk memberikan keadilan bagi masyarakat yang sesuai dengan „rasa keadilan masyarakat‟. Jadi apabila penyelenggaraan peradilan di pengadilan tidak berlangsung efektif dan efisien sertakurang memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka tidak tertutup emungkinan penyelenggaraan peradilan dilakukan di luar pengadilan. 16 2. Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa, untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa, bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat sertaresiko dari tindakannya dan betul– betul untuk kepentingan umum. Di dalam penjelasan umum Undang-undang dimaksud dinyatakan bahwa, selaku pengayom, peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia perlu dikembangkan melalui pemantapan kewenangan bertindak menurut penilaian sendiri untuk kepentingan umum, sehingga upaya perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat dapat dilaksanakan sebaik-baiknya. 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 29 menyebutkan bahwa “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi” hal ini menunjukan bahwa pada tiap kasus sengketa medik atau dalam setiap perkara tindak pidana praktik kedokteran perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cara mediasi terlebih dahulu sebelum atau tanpa melalui proses pengadilan. 4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang praktik Kedokteran Pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa “Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwewenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menetapkan sanksi” hal ini menunjukan bahwa pada setiap kasus Lihat: Pasal 5 ayat (1) Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 10 sengketa medik atau tindak pidana praktik kedokteran yang paling berwewenang menentukan salah tidaknya tindakan dokter dan memberi sanksi sanksi adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Jadi perkara tersebut dapat diselesaikan tanpa melalui proses pengadilan. 5. Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R3/I/1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982 tentang Perkara Profesi Kedokteran Didalam Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung tersebut menyebutkan “Bahwa dalam hal kasus malpraktik kedokteran agar tidak meneruskan perkaranya sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik Indonesia”.Hal tersebut menunjukan bahwa dengan surat edaran dari Kejaksaan Agung memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk dapat melakukan perdamaian dengan dimediasi oleh pejabat Dinas Kesehatan. 6. Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV-V/2007 Didalam surat putusan Makamah Konstitusi menyebutkan bahwa “sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi”. Amar putusan Makamah Konstitusi tentang sengketa medis untuk terlebih dahulu melalui peradilan profesi bahwa perkara praktik kedokteran akan lebih tepat penanganannya melalui peradilan profesi guna dapat menyatakan benar salahnya tindakan dokter dalam pelaksanaan profesinya sebelun dilimpahkan keproses hukum selanjutnya disinipun ada peluang untuk dokter jika ternyata bersalah dalam tindakannya untuk melakukan mediasi kepada korban pasien . Uraian di atas memperlihatkan bahwa, meskipun mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran pada prinsipnya belum ada dalam Peraturan Perundang - Undangan, namun beberapa Peraturan Perundangan-Undangan yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa, penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar proses pengadilan telah diberi tempat. Namun pada hakikatnya ketentuanketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan, belum merupakan mediasi penal yang diakui sebagai lembaga alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan. Begitu pula didalam Hukum Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran, istilah mediasi penal dalam perkara tindak pidana praktik kedokteran tidak ditemukan. 11 2. Penerapan Mediasi Penal dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran saat ini . Deskripsi analisis hasil penelitian terhadap penerapan mediasi penal saat ini dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran telah dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan cara perdamaian kekeluargaan antara pelaku (dokter) dan korban (pasien) maupun keluarganya yang diakhiri dengan pembayaran ganti kerugian kepada korban (Penal mediation out of court) maupun dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap–tahap proses peradilan pidana yang kesepakatan dan pembayaran ganti kerugiannya dari pelaku kepada korban hanya dijadikan sebagai pertimbangan yang meringankan tuntutan pidana dan penjatuhan pidana (penal mediation within court). Pada tahap penyidikan, utamanya dalam perkara malpraktik kedokteran, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil biasanya diselesaikan dengan mediasi di antara dokter dan pasien atau keluarganya dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku (dokter) dan korban (pasien) ataupun keluarganya. Namun demikian jika perkara tindak pidana malpraktik yang diakibatkan kesengajaan dan menimbulkan kerugian yang besar seperti, nyawa atau cacat seumur hidup maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kesepakatan mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak pidananya, karena dokter sebagai terduga pelaku tindak pidana dalam praktik kedokteran tetap saja disidik dan diproses sesuai dalam sistem peradilan pidana. Pada delik aduan yang diproses penyidikannya didasarkan pada pengaduan korban yaitu pasien dan/atau keluarganya, penulis menemukan adanya penyelesaian dengan mediasi, baik sebelum dilakukannya pengaduan sehingga korban (pasien) atau keluarganya tidak jadi mengajukan pengaduan, maupun jika pengaduan telah dibuat oleh korban, akan tetapi korban masih mempunyai kesempatan untuk menarik pengaduannya. Di sini pun peran polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan perdamaian. 17 Di samping delik aduan dalam perkara praktik kedokteran biasanya pasien dan/atau keluarganya menyelesaikan sendiri perkara tersebut dengan mediasi yaitu dalam tindak pidana praktik kedokteran ringan sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh dokter bukan merupakan delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat dan semua pihak maka penyelesaian secara mediasi seringkali menjadi pilihan. Sementara itu pada tahap penuntutan juga ditemukan adanya penyelesaian dengan mediasi sebelum dilakukannya penuntutan. Dalam 17 AKBP Sis Mulyono , Bagian Binkum Polda Lampung. 12 mediasi ini pihak korban pasien dan/atau keluarganya meminta ganti kerugian kepada pihak pelaku yaitu dokter maupun lembaga tempat dokter berpraktik seperti pada rumah sakit, namun demikian walaupun telah terjadi kesepakatan dari pihak pasien dan/atau keluarganya dan dokter untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan sebagaimana mestinya dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan tetap di tangan hakim. Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undangundang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum dari akta kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi, pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu dalam menangani kasus malpraktik kedokteran yang masuk ke dalam katagori „delik biasa‟, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medis seperti Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain), maka dilakukan mediasi dengan negosiasi di mana korban pasien dan/atau keluarganya meminta ganti kerugian kepada dokter dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Dalam hasil penelitian praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena tidak ada peraturan normatif yang mengaturnya, karena hal-hal yang menyangkut kesepakatan para pelaku yaitu dokter dan korban (pasien) ada pada tingkat penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan dalam surat dakwaan yang salah satunya kesepakatan yang dicapai melalui mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Penulis berpendapat bahwa walaupun belum ada aturan dan dasar hukum praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran tetapi dengan diterapkannya mediasi penal walaupun perundang-undangan belum mengaturnya maka telah terjadi pergeseran paradigma adanya quasi hukum privat kedalam hukum publik dan dengan melihat telah banyaknya praktik mediasi penal dalam menyelesaikan perkara malpraktik kedokteran baik dengan mekanisme yang tidak terlembaga maupun dengan mekanisme yang terlembaga seperti dalam peradilan profesi dan adat, musyawarah secara kekeluargaan , menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat untuk adanya mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran sebagai alternatif dalam penyelesaianya untuk menghindari kesulitan yang ada dalam proses peradilan pidana. 13 3. Perspektif pendekatan restoratif dalam sistem hukum pidana Penulis berpendapat bahwa keterlibatan korban pasien dan/atau keluarganya dalam proses upaya penyelesaian perkara malpraktik kedokteran , merupakan cerminan dari pelaksanaan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pelibatan pasien dan/atau keluarganya sebagai korban untuk ikut serta dalam proses upaya penyelesaian tindak pidana bukan hanya semata-mata untuk memberikan kesempatan atau keseimbangan, tetapi hal tersebut berkaitan erat dengan proses pencapaian makna keadilan itu sendiri. Keadilan restoratif, memaknai keadilan hanya dapat diberikan melalui keterlibatan para pihak dalam upaya menyelesaikan suatu konfik yang timbul akibat tindak pidana, dan bukan sekadar pemenuhan keadilan menurut ketentuan perundang-undangan. Memberikan hak kepada pelaku dan korban untuk dapat menyelesaikan konfik yang terjadi di antara mereka, merupakan hal yang utama dalam pandangan keadilan restoratif karena keadilan restoratif memandang suatu tindak pidana bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum negara tetapi merupakan suatu perbuatan dari seseorang kepada orang lain yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang harus dipulihkan. Dengan prinsip pemulihan dan bukan penghukuman serta prinsip mendahulukan pemulihan dan penjatuhan sanksi bersifat memulihkan dan menjahui sanksi pemenjaraan. Dengan melihat penjelasan tersebut, maka terdapat beberapa dampak positif yang dapat ditawarkan oleh keadilan restoratif terhadap sistem peradilan pidana, antara lain sebagai berikut. a. Keadilan restoratif akan memberikan alternatif-alternatif penanganan terhadap tindak pidana dengan memberikan ruang bagi tercapainya suatu out of court settlemem dalam lingkup bidang hukum pidana.18 b. Dapat meniadakan proses penuntutan dan persidangan yang akan memakan waktu yang panjang akan sangat membantu mengurangi tunggakan perkara dan sekaligus akan mengurangi beban biaya yang sangat besar. c. Dapat menghindarkan penjatuhan sanksi hukuman penjara yang sering justru memberikan dampak negatif yang lebih besar dibanding dengan hal-hal positif yang dikehendaki (ada anggapan bahwa pada masakini, sanksi pemenjaraan cenderung tidak lagi menimbulkan efek jera bagi pelaku, tetapi sanksi pemenjaraan 18 Gagasan integrasi pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana maupun perihal Out of Court Setttemend dalam Lingkup Bidang Hukum Pidana" dikemukakan oleh para pakarhukum pidana antara lain Muladi, Komisi Keadilan dan Rekonsiasi; Romli Atmasasmita,Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Juli 2003, hlm. 55-67; Sidik Sunarya, Sistem Peradilan Pidana, hlm.291; Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Varia Pengadilan, Majalah, No.249Agustus 2006, hlm.5-23;Melani, Restorative Justice, Kurangi Beban LP Kompas, Senin, 23 Januari 2006, hlm, 40. 14 d. e. justru membuat pelaku memiliki ruang belajar untuk lebih jahat lagi melalui lembaga pemasyarakatan, dan hal-hal lain yang merupakan dampak negatif dari pemenjaraan). Dapat menghindari terjadi beban kelebihan penghuni terhadap kapasitas penjara (over population). Dicapainya penghematan anggaran keuangan negara sehingga dapat dipergunakan untuk suatu keperluan lain yang penting. Hal tersebut dapat dimulai dảri tahapan-tahapan antara lain; 1.Tahap penyidikan dengan diversi. Diversi adalah proses dimana pelanggar dipindahkan dari proses pengadilan yang konvensional ke dalam proses program-program alternatif, yaitu suatu konsep berbasis pada pelaku dan kebanyakan program diversi dikembangkan untuk membantu pelanggar dan/atau mengurangi beban-beban dari sistem peradilan pidana. Namun dimungkinkan untuk menciptakan prosedur-prosedur diversi yang pula konsultasi korban, pemulihan perbaikan dan (bila terdapat kepentingannya) adalah mediasi dengan pelaku. Diversi biasanya mensyaratkan suatu pengakuan bersalah dari pelaku dan disertai oleh suatu syarat untuk memenuhi suatu kondisi tertentu. Diversi pada hakikatnya dapat ditempatkan pada tiap tahapan apa pun dalam proses peradilan, termasuk pada rahapan penahanan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, penjatuhan hukuman dan tahapan pasca penjatuhan hukuman. Apabila syarat-syaratnya dipenuhi, hasilnya dapat berupa suatu penangguhan atau di petieskannya kasus tersebut dari proses-proses acara Peradilan yang formal. Menurut Apong Herlina, 19 selain mendapatkan keadilan untuk semua, tujuan diversi ini antara lain untuk menghindari penahanan untuk menghindari cap atau label sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi si pelaku, pada saat telah berada di luar; agar si pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; serta untuk mencegah pengulangan tindak pidana. Diversi yang dilakukan oleh polisi adalah suatu praktik yang umum terjadi di berbagai negara dan beberapa bentuk darinya tidak perlu ditetapkan dalam suatu legislasi. Namun, dapat pula disediakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan dengan mengadopsi suatu skema pemberitahuan atau skema lain yang sejenis. Di Indonesia, pasal 16 ayat (1) huruf I undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) menyatakan bahwa: Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 19 Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III September 2004, hlm 26-27 15 Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut.20 a. b. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan. c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa. e. Menghormati hak asasi manusia. Ketentuan yang serupa dapat dijumpai di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 ayat (1) huruf j, yang menyatakan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab". Apabila perintah untuk melakukan diversi telah diputuskan dan mediasi telah dilaksanakan dengan membawa hasil yang positif maka dapat diterbitkan apa yang dalam praktik hukum disebut dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penuntutan). Terbitnya SP3 tersebut adalah berkenaan dengan tidak dipenuhinya bukti permulaan yang cukupatas proses penyidikan, sehingga konsekuensi yuridisnya adalah bahwa terhadap dugaan terjadinya kasus pidana bersangkutan harus dihentikan penyidikannya. Namun keluarnya SP3 tersebut bukanlah berarti kasusnya telah selesai. Jaksa dapat membuka kembali kasus tersebut apabila memang telah dijumpai alat bukti lain sehingga prasyarat bukti permulaan yang cukup telah dipenuhi. Perihal bagaimanakah prosedur tersebut harus dibentuk secara legislatif adalah untuk memberikan kewenangan umum kepada jaksa penuntut umum dan menyediakan sedikit petunjuk atau tidak sama sekali tentang prosedur-prosedur atau konsultasi dengan yang lainnya. Jaksa penuntut umum dapat diberikan kewenangan atas pertimbangannya sendiri untuk meniadakan kasusnya berdasarkan pertimbangan hukum "pemberian keringanan atau reduksi atas unsur kesalahan (culpabilitas), atau apabila antara pelaku dan korban telah tercapai suatu penyelesaian damai, atau dengan persetujuan dari pengadilan, jaksa penuntut umum dapat mendismiss kasusnya dan mewajibkan dilakukannya suatu mediasi atau memerintahkan agar dilakukan pembayaran ganti rugi.21 Dapat pula jaksa penuntut umum diberikan otoritas untuk mendiversikan suatu permasalahan ke mediasi, misalnya setelah mendapat rekomendasi dari lembaga tertentu. Jadi, diversi ke mediasi berada ditengah-tengah antara dismissal kasusnya, dengan pengenaan sanksi formal. Perihal siapa yang harus terlibat dalam proses yang dirujuk, adalah untuk menetapkan tujuan-tujuan dari diversi dan mendesain 20 Pasal 16 ayat (2) UU Kepolisian Sebagaimana yang diterapkan di Jerman pada tahun 1990 dalam UU Peradilan Remaja 21 16 pertanggungjawaban untuk implementasi tertentu dari tujuan-tujuan itu semua, tetapi dengan tidak melegislasikan proses-proses tertentu. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya konsistensi secara keseluruhannya dalam implementasi maupun fleksibilitas dalam implementasinya. 22 Perihal sejauh mana uraian rinci berkenaan dengan program-program diversi itu harus dicakup dalam draft legislasi yang diajukan, adalah untuk menyediakan suaru rincian prosedural yang lebih besar, baik melalui legislasi maupun melalui regulasi (administratif). 23 Menurut pandangan penulis landasan yuridis untuk dilakukannya diversi adalah tidak' dapat didasarkan atas pertimbangan “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. 24 Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas,yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Apabila legislasi mengenai diversi yang dipergunakan, maka legislasi tersebut harus menyampaikan kriteria-kriteria terpilih dan prosedur-prosedur untuk menetapkan mengenai kasus-kasus mana yang dapat didiversikan. Empat metode alternatif untuk melakukan hal ini adalah perumusan yang membolehkan ke depannya pilihan-pilihan diversi, pertimbangan wajib oleh suatu pengadilan mengenai apakah suatu kasus harus didiversikan, arahan-arahan legislatif untuk bila mana diversi Itu wajib dilakukan, bersifat diskresionari atau tidak boleh dilakukan dan pedoman rinci bagi kepolisian, petugas hukuman percobaan, penuntut umum dan petugas-petugas lain dalam wujud peraturan tetap atau regulasi-regulasi yang diberlakukan berlandasan undang-undang. 22 The Minnesota Community Correctional Service Act mensyaratkan kepada para jaksa penuntut umum untuk menetapkan program-program diversi pada tahap pra persidangan. Programprogram tersebut dirancang dan dioperasikan untuk tujuan-tujuan lebih dari UU tersebut (yaitu menyediakan suatu respon pendekatan restoratif bagi para pelaku, mengurangi ongkos-ongkos dan muatan atau tunggakan kasus dalam sistem peradilan, mengurangi residivisme, meningkatkan pemungutan dana untuk restitusi, meningkatkan opsi-opsi alternatif yang tersedia dalam sistem per-adilan, dan mengembangkan pemograman pelembagaan berbasis budaya secara khusus. 23 SkemaHalt di Belanda adalah suatu respon diversi bagi tindak pidana atas harta kekayaan (property crimes) yang dilakukan oleh remaja. Sejak tahun '1995, skema tersebut memiliki suatu basis UU, yaitu polisi dapat menggunakannya sebagai sebuah alternatif bagi suatu sanksi peringatan ringan (simple warning) yang'dipergunakan untuk tindak pidana atas harta kekayaan yang agak kurang berat. Regulasi-regulasi yang diberlakukan atas dasar undang-undang tersebut, menetapkan prosedur-prosedur terperinci untuk digunakannya program itu. 24 Terdapat inkonsistensi pengaturan mengenai kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditetapkan kewenangan ini dimiliki oleh para penuntut umum, sedangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan, kewenangan untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh JaksaAgung. Lihat: pasal 14 huruf h UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan bandingkan dengan ketentuan pasal 35 ayat (1) huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik lndonesia. 17 2. Dalam tahapan di pengadilan Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban adalah jauh bersifat sentral di banding dalam proses-proses hukum acara pidana saat ini. Di beberapa negara telah mengadopsi suatu legislasi yang menetapkan hak- hak prosedural yang dimiliki oleh korban sepanjang suatu proses hukum acara pidana. 25 Di Indonesia, pengaturan perlindungan korban dalam tahap beracara di pengadilan terdapat pada: 1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan 26 Kehakiman, dalam Pasal 9 ayat (l) menyediakan prosedur ganti rugi bagi mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Selanjutnya hal ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP. 27 2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 77 diatur tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kemudian pada Pasal 98 KUHAP dan seterusnya diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatandan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.28 3. Dalam Tahapan Penjatuhan Sanksi Pidana Perundang-undangan Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan hak korban di dalam konteks penjatuhan sanksi terdapat dalam: 1) Pasal 14c KUHP ayat (1) yarg berbunyi '..., hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh delik tadi. 29 Jadi dalam pasal ini dinyatakan bahwa hakim dapat, menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang harus 25 Suatu contoh menarik dijumpai di lndiana, di mana korban harus diberikan tawaran suatu peluang .untuk berpartisipasi dalam sebuah program lembaga VOM apabila lembaga itu tersedia. Korban tidak diwajibkan untuk berpartisipasi, namun penawaran untuk turut berpartisipasi harus diajukan kepada korban. Pembatasan signifikan terhadap "hak korbatan ini adalah tidak adanya suatu keharusan bahwa program VOM ini harus tersedia. 26 Telah digantikan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 9 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi: "(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi." 27 Muladi, op.,cit.,hlm. 88 Muladi, Ibid 29 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, RinekaCipta, April 2000,hlm. 8-9 28 18 dipenuhi selama masa percobaan. Syarat khusus tersebut berupa kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidanadatam waktu terentu. 30 Menurut Muladi, dalam hukum pelaksanaan pidana, khususnya yang berkaitan dengan persoalan lepas bersyarat (Pasal 15 KUHP) dalam pelaksanaannya diperlukan persyaratan antara lain izin berupa si korban. Dalam hal ini sering terlihat perbenturan antara kepentingan pelaku tindak pidana dalam rangka resosialisasi dan kepentingan korban yang memerlukan pelayanan. sebagai contoh adalah SE, Direktur Pembinaan dalam Lembaga pemasyarakatan No.DDP- Z,I/4/144 tanggal 10 Desember 1980. Di sini diatur bahwa bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang sebab-sebabnya.31 2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Junto Undang-undang Nomor20 Tahun 2001tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 32 dimana dalam salah satu ketentuannya dalam terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Dalam kaitan ini Muladi menjelaskan bahwa apa yang dinamakan korban kejahatan tidak harus berupa individu manusia melainkan dapat pula berupa kolektivitas berupa negara dan sebagainya (collective victim).33 3) Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.34 ini memuat ketentuan yang memungkinkan penjatuhan tindakan tata tertib kepada terhukum berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain . 30 Lihat Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai HukumPidana, Alumni 1992,hlm. 87 31 Ibid., hlm.88 32 Semula adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi 33 Muladi, op.cit, hlm. 87.Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 34 huruf c UU no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini terdapat dalam pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan Atas UUNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selengkapnya berbunyi : “(1) Selain Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a ….; b pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi….. 34 lbid. Lihat Pasal 8 huruf d UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, danPeradilan T'indak Pidana Ekonomi. 19 4. Tahapan Pasca Penjatuhan Sanksi Suatu proses pemulihan tindak pidana, dapat juga dilakukan pada tahapan pasca penjatuhan sanksi, yaitu setelah hakim menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Banyak negara yang mengatur penegakan hukum yudisial yang bersifat tindakan-tindakan restoratif. Sebagai contoh, di Prancis terdapat suatu pemulihan melalui "tindakan perbaikan" atas perintah pengadilan setelah pelaku dijatuhi sanksi pidana yang kemudian dilakukan supervisi oleh seseorang atau oleh suatu badan publik pemegang wewenang supervisi, dan ketika "tindakan perbaikan" telah secara penuh diimplementasikan, hakim harus diberitahu dalam bentuk laporan tertulis dari otoritas pemegang wewenang supervisi tersebut.35 Di lndonesia, peluang untuk melakukan keadilan restoratif pada tahapan pasca penjatuhan sanksi terdapat dalam rangka pelepasan bersyarat, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman, terdapat suatu persyaratan diperolehnya surat perdamaian dari pihak keluarga agar pelaku dapat memperoleh pelepasan bersyarat. Jadi kesempatan untuk proses "pemulihan''dengan penerapan keadilan restoratif dimungkinkan, sekalipun Surat Edaran Direktur Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan No. DDP. Z.1/4/144 tanggal 10 Desember 1980 mengatur lebih lanjut, yaitu bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang sebab-sebabnya. Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengintegrasian keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Mengingat ditinjau dari sistem hukum yakni dari aspek substansial dan aspek strukturalnya telah didukung. Prospek pengintegrasian tersebut sangat dimungkinkan ditinjau dari aspek substansi hukum, oleh karena perundang-undangan yang mengatur tentang sistem peradilan pidana di Indonesia memberi ruang untuk terjadinya pengintegrasian baik dalam lingkup bidang diversi, prosedur pengadilan, penjatuhan sanksi waupun dalam pengawasaan paska penjantuhan sanksi hukuman. Sementara itu berkenaan dengan aspek struktur hukumnya, penerapan keadilan restoratif di Indonesia dapat dipilih untuk ditempatkan pada sub-sistem peradilan pidana pada lembaga kejaksaan misalnya, atau pada setiap komponen dari sistem peradilan pidana diIndonesia. Berkenaan dengan bentuk-bentuk tersebut, penulis berpendapat bahwa kebijakan untuk melakukan penerapan pendekatan restoratif dalam upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan malpraktik kedokteran dapat digolongkan ke dalam bentuk kebijakan di luar dari 35 The New Zealand Children, Young Persons, and Their Famities Act of 1989, mengatur bahwasuatu family group conference dapat diselenggarakan atas mosi dari Koordinator peradilan Remaja atau atas permintaan dari paling sedikit dua anggotanya untuk suatu peninjauan ulang atas keputusan, rekomendasi dan rencananya. ._ 20 tiga bentuk kebijakan tersebut yaitu suatu kebijakan yang paling tidak mencakup elemen-elemen berikut. 1) Pemberdayaan para pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana (pelaku, korban dan/atau keluarganya) untuk bersama-sama mencari jalan keluar dan sekaligus penyelesaiannya dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta implikasinya di masa mendatang. 2) Meningkatkan penghormatan dan perlindungan hukum atas hakhak, kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingan dari korban pasien dan/atau keluarganya dengan pelaku dokter dan seluruh pihak-pihak lainnya, termasuk pemberian ganti rugi kepada korban atau perbaikan kerusakan termasuk melakukan rehabilitasi terhadap korban antara lain melalui penyediaan dan penggalangan dana bantuan bagi korban atau keluarganya. 3) Menggunakan sarana non-penal saja dan atau sarana penal, termasuk mencari bentuk-bentuk alternatif lain selain dari dilakukannya suatu penuntutan, dengan cara menghindarkan efekefek pemenjaraan ; 4) Bertujuan utama memulihkan perdamaian yang ada di tengah masyarakat dan sekaligus dapat membantu menurunkan muatan atau tunggakan kasus dari pengadilan pidana dan meningkatkan penyatuan pendekatan-pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diperlukan sehingga dapat dibangun suatu integrated criminal justice system Indonesia yang bersifat restorative responsive. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka penulis simpulkan bahwa upaya penyelesaian dan penegakan hukum terhadap malpraktik kedokteran di Indonesia telah dimulai sejak tahun1950-an yang kemudian diikuti dengan beberapa ketentuan perundang-undangan yang baru yang mengatur tentang penyelesaian dan penegakan hukum atau pemidanaan terhadap malpraktik kedokteran, namun upaya tersebut belum dapat memberi rasa keadilan kepada korban pasien dan/atau keluarganya. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kurangnya penilaian terhadap hak-hak pasien sebagai korban dalam perumusan kebijakan pidana dalam sistem perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana praktik kedokteran di Indonesia. Upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan yang ada masih lebih menekankan pendekatan yang bersifat represif dan retributif yang cenderung lebih menekankan aspek pembalasan untuk memberi efek jera kepada dokter sebagai pelaku mengakibatkan kepentingan si korban pasien dan/ atau keluarganya kurang terwakili dan sering terabaikan. Pendekatan restoratif dipandang sangat efektif dalam upaya penyelesaian perkara dan menanggulangi malpraktik kedokteran oleh karena konsep yang ditawarkan dalam pendekatan restoratif adalah di samping proses penyelesaiannya lebih cepat dan sederhana, juga dapat meniadakan efek samping yang pada umumnya sering rerjadi dalam implementasi pendekatan represif retributif. 21 B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana. Dalam penyusunan formulasi tentang mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran , diperlukan formulasi tentang asas-asas dan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam proses mediasi penal yaitu; 1) Asas bebas dan suka rela. Bahwa pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada kehendak bebas dan suka rela dari korban (pasien) atau keluarganya dan pelaku tindak pidana (dokter/tenaga kesehatan), sehingga dalam memutuskan apakah perkara pidananya akan di mediasikan ataupun tidak harus berdasarkan persetujuan bebas (freely consent) dari para pihak. 2) Kebebasan para pihak untuk menarik diri selama proses mediasi. 3) Asas kerahasiaan (Confidential). Proses mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para pihak baik korban (pasien) atau keluarganya, pelaku tindak pidana(dokter/tenaga kesehatan) maupun mediator harus memegang kerahasian yang terjadi selama proses mediasi, termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan para pihak, alasan-alasan jika tercapai kesepakatan maupun hal-hal lain yang timbul saat proses mediasi penal berlangsung. Tujuan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dapat penulis dirumuskan sebagai berikut; a) Menyelesaikan konflik pidana malpraktik kedokteran dengan mengadakan rekonsiliasi antar pelaku tindak pidana (dokter/tenaga kesehatan) dan korban (pasien) atau keluarganya. b) Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban (pasien) atau keluarganya berupa restitusi dan ganti kerugian dari pelaku (dokter/tenaga kesehatan) kepada korban (pasien) atau keluarganya. c) Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara dokter sebagai pelaku dan pasien sebagai korban atau keluarganya karena adanya tindak pidana malpraktik. d) Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan martabat korban atau keluarganya. 22 1. Kebijakan Penentuan Pidana dalam Kedokteran yang dapat dimediasi Perkara Malpraktik Kebijakan penentuan tindak-tindak pidana dalam malpraktik kedokteran yang dapat dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut; a. Ancaman pidana yang rendah. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dapat dimediasikan hendaknya tindak pidana yang hanya diancam dengan ancaman pidana denda atau ancaman pidana penjara paling lama satu (1) tahun dan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun untuk tindak pidana tertentu seperti Pasal 359 KUHP (kelalaian akibat matinya orang lain) dan Pasal 360 KUHP (kelalaian mengakibatkan orang lain luka berat). b. Tingkat kerugian yang ditimbulkan. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dapat di mediasikan haruslah tindak pidana yang terbukti menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil. c. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dilakukan karena kelalaian dapat dimediasikan, hal ini menyangkut sikap batin dokter pelaku tindak pidana. Dalam kelalaian tindak pidana dan akibat yang terjadi bukan kehendak pelaku, melainkan karena kekurangan penghati-hatian. d. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang merupakan delik aduan baik absolut maupun relatif, tindak pidana aduan dapat di mediasikan karena penuntutannya didasarkan pada ada atau tidak adanya pengaduan dan adanya kesempatan bagi korban atau pengadu untuk mencabut pengaduannya sehingga proses tidak sampai berlanjut pada peradilan pidana. d. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang terjadi dari akibat tindakan medik yang memang mempunyai resiko tinggi atau terjadi karena resiko medik dengan memenuhi syarat sebagai berikut: Bahwa tindakan medis yang dilakukan telah sesuai dengan standar profesi dan melakukannya dengan menghormati hak pasien dan telah memberikan Informed Consent secara tertulis pasien sepakat untuk mendapat perlakuan tindakan medik dari dokter terhadap dirinya dengan menyadari sepenuhnya atas segala resiko tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi penal yaitu mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat kembali hubungan antara pelaku tindak pidana (dokter) dan korban yaitu pasien ataupun keluarganya. e. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang unsur-unsur tindak pidananya tidak jelas. Penulis berpendapat bahwa untuk tindak pidana malpraktik kedokteran yang tidak begitu jelas unsur pidananya, maka lebih baik dimediasikan dalam penyelesaiannya. 23 2. Kebijakan Penerapan Mediasi Penal dalam Pembaharuan Hukum Pidana Malpraktik Kedokteran sebagai bagian dari Proses Peradilan Pidana. Mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran dapat dilakukan dengan dua cara atau bentuk, yaitu : A. Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran di luar proses peradilan pidana (out of criminal justice process) Di sini diperlukan landasan hukum berupa kebijakan atau aturan hukum yang menetapkan tentang : a) Tindak pidanapraktik kedokteran yang dapat dimediasikan di luar proses peradilan pidana. b) Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak dokter dan pasien atau keluarganya di luar pengadilan untuk tindak-tindak pidana tertentu, diakui keabsahannya jika dilakukan secara suka rela. c) Mediasi penal di fasilitasi oleh mediator yang telah bersertifikasi. d) Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak dokter dan pasien atau keluarganya, sebagai keputusan yang sah dan final sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu dikuatkan melalui penetapan pengadilan cukup apabila disahkan dengan materai dan tanda tangan semua pihak. Hal ini mengingat bahwa pelaksanaan mediasi penal dalah bersifat suka rela. e) Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai alasan hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah dimediasikan. B. Mediasi penal malpraktik kedokteran sebagai bagian proses peradilan pidana ( Within criminal justice process). a) Mediasi penal pada tahap penyidikan . Tahap penyidikan adalah tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap ini dimungkinkan bagi penyidik untuk meneruskan atau tidak meneruskan tindak pidana ke dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu pada tahap ini merupakan tahap yang paling strategis untuk memediasikan tindak pidana tertentu guna menghindari proses peradilan pidana dengan pencarian solusi yang menguntungkan semua pihak baik dokter maupun pasien sebagai korban tindak pidana malpraktik kedokteran. Mediasi pada tahap penyidik ini merupakan kombinasi model mediasi Informal mediation, victimoffender mediation dan reparation negotiation programmes. Pada tahap ini dapat diterapkan cara kerja mediasi penal sebagai berikut: 24 1) Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana malpraktik yang dilakukan oleh dokter dengan kriteria-kriteria tertentu (diuraikan dalam bahasan tindak pidana yang dapat di mediasikan), maka pihak penyidik memanggil dokter dan pasien dan/atau keluarganya untuk menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidananya di luar proses peradilan. 2) Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran harus dilakukan secara suka rela dari semua pihak yang terlibat, oleh karena itu jika ada pernyataan baik dari pelaku maupun korban untuk melakukan mediasi penal, selanjutnya pihak penyidik menyerahkan perkara tersebut kepada dokter dengan menginformasikan jasa mediator yang akan membantu menyelesaikan perkaranya. 3) Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip Confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama proses mediasi harus dirahasiakan oleh semua pihak termasuk mediator. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses peradilan pidana atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi dan sebab-sebab mediasi tidak mencapai kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan. 4) Pada kesempatan mediasi inilah dokter dan pasien dan atau keluarganya dipertemukan untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Pihak pasien dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada dokter sebesar kerugian yang dideritanya dan menuntut pemulihan/perawatan kesehatanya dan difasilitasi oleh mediator. 5) Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta diakui oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh karena itu mediator tidak bersifat perorangan melainkan suatu badan atau lembaga yang secara khusus menjalankan tugas mediasi. 6) Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti kerugian dari dokter kepada pasien dan atau keluarganya. 7) Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final, sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan. 8) Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP kepada penuntut. b) Mediasi penal pada tahap penuntutan. Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang dilakukan oleh dokter berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, 25 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) dapat menawarkan mediasi kepada pasien atau keluarganya dan dokter sebagai pelaku tindak pidana. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari dokter dan pasien atau keluarga korban tindak pidana, jika kedua pihak menyetujui untuk dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi diberikan kepada jaksa penuntut umum. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagi mediator maupun dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang bersertifikasi. Mediator mempertemukan pihak dokter dan pasien atau keluarga korban tindak pidana. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua pihak yang terlibat. Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran ganti kerugian kepada pasien atau keluarga korban. Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak pidananya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas tidak tercapaianya kesepakatan mediasi maupun atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi. Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai sebagai putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan. c) Mediasi penal pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan Mediasi penal yang dilakukan pada tahap ini adalah setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum. Dalam mediasi pada tahap ini sebagaimana dalam perkara perdata, hakim menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidana praktik kedokteran dengan cara perdamian kepada para pihak, yaitu pihak dokter sebagai pelaku tindak pidana dan pihak pasien atau keluarganya sebelum dilakukan proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan dengan melihat kriteria tindak pidana yang dilakukan oleh dokter sebagai terdakwa. Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat digunakan sebagai alasan untuk menghapuskan menjalankan pidana bagi dokter sebagai pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap ini bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah gabungan dari model Victim-offender Mediation dan Reparation Negotiation Programmes. 26 Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai berikut: 1) Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para pihak. 2) Jika para pihak menyetujui,maka diadakan persetujuan secara suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara mediasi baik oleh dokter maupun oleh pasien atau keluarganya. 3) Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan bersertifikasi. 4) Mediasi mempertemukan pihak dokter dan pasien atau keluarganya, pada kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara dokter dan pasien , serta dilakukan pembayaran ganti kerugian yang di derita pasien atau keluarganya. 5) Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak termasuk mediator. 6) Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana mestinya. 7) Jika tercapai kesepakatan di mana parapihak saling menerima hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti kerugian oleh dokter kepada pasien atau keluarganya, maka hasil kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi berkekuatanhukum tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final, sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam prosesperadilan pidana. d) Mediasi penal pada tahap pelaku menjalankan sanksi pidana penjara. Pada tahap ini mediasi penal dilakukan baik berupa reparation negotiation programme yang menitikberatkan pada pembayaran kompensasi dari dokter kepada korban pasien atau keluarganya, maupun berupa bentuk victim-offender mediation, yang menitik beratkan baik pada konsep rekonsiliasi maupun pada kesapakatan pembayaran ganti kerugian kepada korban pasien . Mediasi yang dilakukan pada tahap dokter sedang menjalani pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika pelaku telah menjalankan sebagian pidananya. Adapun pelaksanaan pada tahapan eksekusi adalah sebagai berikut. 1) Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan kepada korban pasien atau keluarganya untuk mengadakan mediasi penal guna meringankan pidananya. 27 2) Jika korban pasien atau keluarganya menyetujui permintaan mediasi dari dokter sebagai pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa penuntut umum sebagai eksekutor. 3) Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan disetujuinya mediasi penal. 4) Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi. 5) Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasian (confindentiality), sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam mediasi bersifat rahasia. 6) Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan. 7) Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian kepada korban pasien dituangkan kedalam akta kesepakatan yang bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang belum dijalaninya. Atas dasar kebijakan tersebut diperlukan dasar hukum dan pembaharuan serta penataan dalam sistem hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan perkara pidana malpraktik kedokteran. Pembaharuan sistem hukum pidana untuk memberi tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dimaksud dengan melakukan perubahan pada setiap komponen (subsistem) dari sistem hukum pidana, yakni subtansi, lembaga/institusi dan kultur dalam hukum pidana. 1. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana Pembaharuan subtansi hukum pidana dalam rangka memberikan tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana malpraktik kedokteran di luar pengadilan, dapat dimulai dengan memberikan dasar hukum dari mediasi penal. Untuk memberikan dasar hukum dimaksud, maka diperlukan perubahan atau revisi terhadap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan peraturan tentang proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran. Sebagaimana yang penulis dikemukakan sebelumnya, sampai saat ini belum terdapat pengaturan tentang proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. Sehingga pembaharuan di sini lebih bermakna sebagai penambahan suatu lembaga baru, yakni mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran kedalam sistem hukum pidana di Indonesia. Dalam melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan sebagai antisipasi terhadap perkembangan 28 masyarakat yang begitu pesat, maka diperlukan pendekatan komparatif dan komprehensif terhadap perkembangan pemikiran tentang sistem hukum pidana, baik yang berkembang pada tataran global maupun pada tataran lokal. Dalam tataran global, perkembangan mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari beberapa negara yang sudah mengatur dan menerapkan mediasi penal dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal dalam sistem hukumnya. Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal di berbagai negara, terlihat bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan dalam perkara pidana; namun tetap diberi payung / kerangka hukum (mediation Within the framework of criminal law), yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiel (KUHP) atau hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam Undang-undang khusus.36 Selain mengacu pada perkembangan pemikiran dan pengaturan di berbagai negara yang memberi tempat kepada mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan, pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan pula dengan keberadaan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sistem/tatanan hukum yang diakui eksitensinya secara konstitusional. Pengakuan terhadap eksitensi hukum adat dimaksud dapat dilihat dalam Pasal 181 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Jadi menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.37 Dalam konteks penyelesaian perkara, sistem/ tatanan penyelesaian hukum di masyarakat dan hukum adat di berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia memperlihatkan bahwa, proses penyelesaian melalui cara-cara yang sesuai dengan filosofi hidup masyarakat yang bersangkutan, masih hidup dan 36 Barda Nawawi Arief,” Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan , disajikan dalam Seminar Corporate Nasional “ Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance” Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Di Intercontinental Hotel. Jakarta,27 Maret 2007. 29 berkembang. Jadi, pembaharuan hukum pidana dengan memasukan nilai–nilai yang terdapat di dalam hukum yang berkembang di masyarakat dan hukum adat, bukan hanya sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat dan hukum adat itu sendiri, tetapi juga karena kesadaran bahwa nilai–nilai tersebut sesuai/relevan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Jadi, dalam rangka memperbaharui subtansi hukum pidana untuk memberi tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan, maka harus dilakukan perubahan / revisi atau penambahan terhadap beberapa peraturan perundang - undangan. Penulis berpendapat bahwa, ketentuan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dapat ditempatkan di dalam KUHP dan KUHAP, yaitu: 2. KUHP Dalam konteks pembaharuan KUHP, pasal-pasal yang berkenaan dengan gugurnya kewenangan penuntutan tersebut dapat dijadikan sebagai pintu masuk yang dapat memberi tempat kepada mediasi penal proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsep Rancangan KUHP yang mengatur tentang hal-hal yang menjadi dasar gugurnya kewenangan penuntutan. menurut pasal 145(d) Rancangan KUHP, Kewenangan Penuntutan gugur, jika di lakukan “penyelesaian di luar proses‟‟38 Artinya perkara tindak pidana yang telah diselesaikan oleh pelaku dan korban di luar proses (pengadilan), dapat menjadi dasar gugurnya kewenangan jaksa untuk menuntut tindak pidana tersebut. Untuk mempertegas kedudukan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan, maka seyogyanya ketentuan yang mengatur tentang dasar gugurnya kewenangan penuntutan yaitu penyelesaian di luar proses (Pasal 145 d) tersebut di atas, direvisi menjadi “Penyelesaian tindak pidanamalpraktik kedokteran dilakukan melalui mediasi penal”. Dengan rumusan tersebut di atas, KUHP yang akan datang secara tegas memberikan tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktikkedokteran di luar dan/atau didalam proses pengadilan. 38 Pasal 145 (RKUHP-2012) 30 3. KUHAP Mengacu pada ketentuan bahwa mediasi penal harus tersedia pada semua tahap dalam proses peradilan pidana, 39 maka untuk dapat menyelenggarakan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran pada setiap tahapan proses peradilan pidana, perlu ditambahkan wewenang penyidik, penuntut umum, hakim dan aparat pelaksana putusan pengadilan. Penambahan tugas dan wewenang tersebut diperlukan bilamana pelaku dan korban tindak pidana menghendaki perkara yang mereka hadapi diselesaikan melalui proses mediasi penal. Jadi, diperlukan pengaturan berkenaan dengan wewenang aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana. Wewenang yang seyogyanya ditambahkan pengaturannya adalah: a) Polisi Penyidik dapat menghentikan seluruh proses penyelidikan dan penyidikan perkara malpraktik kedokteran yang sedang berlangsung; dan menjalankan kembali proses penyelidikan dan penyidikan bilamana proses penyelesaian perkara malpraktik melalui mediasi penal mengalami kegagalan. b) Jaksa Penuntut Umum dapat menghentikan seluruh proses penuntutan perkara tindak pidana praktik kedokteran yang sedang berlangsung; dan melaksanakan kembali proses penuntutan bilamana proses penyelesaian perkara malpraktik melalui mediasi penal mengalami kegagalan. c) Hakim dapat menghentikan seluruh proses pemeriksaan perkara malpraktik kedokteran yang sedang berlangsung di pengadilan; dan melaksanakan kembali proses pemeriksaan perkara tindak pidana di pengadilan bilamana proses penyelesaian perkara tindak pidana melalui mediasi penal mengalami kegagalan. d) Aparat Pelaksana keputusan hakim dapat menghentikan pelaksanaan pidana malpraktik kedokteran terhadap terpidana dan melaksanakan kembali keputusan hakim bilamana proses penyelesaian perkara tindak pidana melalui mediasi penal mengalami kegagalan. Sampai saat ini belum terdapat negara yang secara khusus menyebutkan bahwa tindak pidana praktik kedokteran dapat diselesaikan melalui mediasi penal, akan tetapi merujuk Article 23a of the Code Of Criminal Procedure dan dalam Regulation of the Ministry of justice 13 june 2003 on Mediation proceeding in Criminal Matters, khususnya dalam Article 23a of the Code of Criminal Procedure dan dalam regulation of the Ministry of Justice 13 June 2003 on Mediation Proceeding In Criminal Matters yang antara lain menyebutkan bahwa, seorang penuntut boleh atas inisiatif sendiri atau atas izin dari korban dan pelaku, mengarahkan kasus pidana kepada orang atau institusi yang bisa dipercaya 39 Recommendation N R (99) 19 adopted by the Committiee of Ministers of the councils of europe, 15September 1999 31 untuk tujuan mengadakan proses mediasi penal, maka pada prinsipnya perkara malpraktik kedokteran juga dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi penal. Di dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan seyogyanya ditambahkan juga beberapa ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. Pengaturan tersebut meliputi syarat–syarat, prosedur, jangka waktu, lembaga penyelenggaradan hal–hal lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. 4. Pembaharuan Struktur Hukum Pidana Pembaharuan struktual sangat perlu dilakukan mengingat bahwa institusi penyelenggara mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran belum terdapat dalam strukur hukum pidana saat ini. Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam UndangUndang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara perdata, belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana. Berdasarkan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara ditetapkan dengan Undang-Undang. 40 Artinya, mediasi penal sebagai penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan strukturnya berada di dalam Kekuasaan Kehakiman. 41 Jadi, sebagai lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan, maka kedudukan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran berada pada sistem kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut tidak berbeda dengan yang berlaku di negara-negara lain, Jadi secara struktual, Lembaga/ Badan Mediasi Penal memiliki tugas dan wewenang dalam menentukan prosedur dan proses mediasi penal; serta melakukan pengawasan terhadap menyelenggaraan mediasi penal. Selain mengatur prosedur dan proses mediasi penal, Lembaga Mediasi Penal juga memiliki tugas menyediakan mediator penal yang profesional. 5. Pembaharuan Kultur Hukum Pidana Dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana, pembaharuan kultur/budaya hukum menjadi bagian yang sangat penting. Mengingat kultur dalam sistem hukum merupakan dasar bagaimana sebetulnya sistem hukum tersebut akan diberdayakan. Seperti dalam teori budaya hukum yang dinyatakan Hans Kelsen dengan diberinya tempat penyelenggaraan mediasi penal 40 41 Lihat : Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman Bandingkan : Pasal 24 UUD 1945 (Amandemen) 32 dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di dalam substansi dan struktur hukum pidana sesuai dengan rumusan hukum yang digagas Lawrence M. Friedman yang menyatakan ada tiga elemen sistem hukum yang menentukan berfungsinya atau memfungsikan suatu hukum, maka seyogyanya kultur juga diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal tersebut sesuai dengan tujuannya. Mencermati berbagai berita yang memperlihatkan betapa menyedihkannya wajah penegak hukum pidana akhir-akhir ini, sedikit banyak menunjukkan bahwa budaya/kultur berhukum dari seluruh komponen yang terlibat, khususnya aparat penegak hukum, belum mencerminkan perilaku kaum profesional yang bertanggung jawab. Pada tataran Internasional, tuntutan untuk meningkatkan kultur penyelenggara peradilan pidana agar lebih profesional dalam menjalankan tugasnya dapat dilihat dalam kongres PBB mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres tersebut melahirkan resolusi tentang justice management in the context of Accountability of public Administration and Sustainable Development. Resolusi itu antara lain menghimbau negara anggota, organisasi antar pemerintah dan organisasi profesional non pemerintah, agar dalam program-program pengembangan yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana, mempertimbangkan masalah “accountability and sustainability’’.42 Mengacu pada uraian diatas, langkah mendesak yang perlu dilakukan dalam rangka pembaharuan kultur hukum, khususnya dengan dimungkinkannya penyelenggaraan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan melalui mediasi penal adalah dengan melakukan upaya peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas yang didasari oleh moral dan etika yang baik. Upaya meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas dari penyelenggara peradilan pidana, merupakan tuntutan yang tidak bisa ditunda pemenuhannya, karena peningkatan profesionalisme tersebut merupakan bagian dari upaya memperoleh kepercayaan respek masyarakat. Kepercayaan dan respek masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat penting untuk mencegah terjadi kemerosotan nilai kualitas di berbagai bidang kehidupan.43 42 Kongres PBB ke 9/1995 di Kairo, Lihat: Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( Integrated Criminal Justice System), Universitas Diponegoro, 2008, hlm 38 43 Menurut Barda Nawawi Arief, akuntabilitas tidak hanya terkait dengan masalah tanggung jawab institusional, tetapi juga tanggung jawab individual. Tanggung jawab institusional menuntut adanya manajemen/administrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan Tanggung jawab individual menuntut adanyakematangan integritas moral dan hati nurani dari para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan/proses peradilan.48 Artinya, diperlukan langkah- langkah konkrit untuk memperbaiki kultur hukum penyelenggaraan peradilan pidana baik secara institusional maupun 33 Langkah pertama dalam upaya peningkatan profesionalisme dari penyelenggara peradilan pidana adalah persiapkan aparatur yang dibekali pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam menangani perkara malpraktik kedokteran yang akan diselesaikan melalui mediasi penal. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran diperlukan, mengingat bahwa tugas dan wewenang sebagai penyelenggara mediasi penal dalam perkara tersebut sangat berbeda dengan tugas dan dan wewenang dalam penegakan hukum yang selama ini telah dilaksanakan. Peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas tidak akan mendatangkan hasil optimal, bilamana tidak didasari integritas moral para penyelenggaraanya. Jadi, upaya peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas seyogyanya terintegrasi dengan upaya peningkatan integritas moral dan etika bagi para penyelenggara peradilan. Kebutuhan akan perlunya peningkatan integritas moral dan etika yang dilandasi oleh nilai- nilai religiusitas, tidak terlepas dari kesadaran bahwa, runtuhnya moralitas dimulai dari diabaikannya nilai-nilai religius. 44 Bersikap dan bertindak dengan pertimbangan yang seharusnya dan sepantasnya dilakukan untuk kebaikan dan kebahagiaan jangka panjang seringkali sudah ditinggalkan, karena mendahulukan kesenangan jangka pendek. Salah satu bentuk perwujudan restorative justice adalah dengan dikembangkannya konsep penal mediation yang menjadi alternatif dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran. Penal mediation patut dipertimbangkan untuk menjadi alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di samping proses peradilan pidana tradisional, karena banyak kelebihankelebihan dan keuntungannya dibanding kelemahan-kelemahannya. Temuan fakta dari hasil penelitian lapangan mediasi penal telah dipraktikan baik oleh dokter kepada pasiennya dalam hal perkara malpraktik serta anggota masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu, serta oleh aparat penegak hukum (kepolisian) dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu pula. Namun demikian praktik mediasi penal di sini tidak menghapuskan kewenangan penuntutan maupun menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana. individual, agar lebih bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya. Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm 38 44 Melalui pendekatan keilmuan yang dilandasi nilai- nilai religius, budaya hukum aparat penegak hukum dapat dilakukan melalui pendidikan.Pendidikan tidak semata – mata hanya memberi bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mempergunakan hukum, tetapi dilengkapi dengan memberi bekal pemahaman makna/hakikat kebaikan dan kebahagiaan menyeluruh. Untuk keperluan tersebut, ilmu hukum yang diberikan seyogyanya dilengkapi pula dengan ilmu- ilmu sosial dan humaniora. Bandingkan: Henry Hazlitt, (Penrj. Cuk Ananta Wijaya): Dasar - dasar Moralitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. Hlm.1-3 34 Mengingat karakteristik masyarakat tersebut maka dibentuk konstruksi mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran yang sangat fleksibel untuk dipraktikkan, dengan mengkombinasikan model-model atau bentuk-bentuk penal mediation seperti informal mediation, victims - offender Mediation dan Reparation Negotiation Mediation, dengan konsep reconciliation dan restitution yang mendasarinya, maka kontruksi politik hukum mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di masa mendatang adalah bangunan pengaturan tentang pelaksanaan mediasi penal. Adapun kebijakan pelaksanaan (applicative policy) mediasi penal meliputi mediasi penal di luar proses peradilan pidana (Penal mediation out of Criminal Justice Process) dan mediasi penal di dalam proses peradilan pidana (Penal Mediation Within Criminal Justice System ) yang meliputi mediasi pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan saat terpidana menjalankan pidananya. III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Mediasi penal dalam perspektif perundang-undangan saat ini, baik diluar maupun didalam proses pengadilan dalam hukum pidana positif belum diatur, bahkan dalam beberapa peraturan perundangundangan dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan hanya berlaku untuk penyelesaian perkara perdata, namun dalam hal-hal tertentu terdapat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan penyelesaiannya diselesaikan di luar proses pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya mekanisme penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan telah diberi tempat yaitu, a. b. c. d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 9 ayat 1). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Pasal 18 ayat 1). Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Pasal 1 ayat 14). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 29). e. Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No. B006/R- 3/I/1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982 tentang Perkara Profesi Kedokteran. f. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PV-V/2007. 35 2. Penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari perspektif pengkajian asas, norma dan praktik eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan “ada” karena ternyata praktik mediasi penal, khususnya dalam perkara malpraktik kedokteran telah diterapkan oleh penegak hukum (kepolisian), dokter dengan pasien dan/atau keluarganya, penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti mekanisme lembaga kesehatan baik melalui direksi rumah sakit atau dari profesi kedokteran dengan musyawarah kekeluargaan. Dikatakan “tiada“ dikarenakan mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana, akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial, seperti diatur dalam Surat Kapolri No Pol:B/3002/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. 3. Kebijakan legislasi mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran yang merupakan bagian dari proses peradilan pidana menjadi sarana penyelesaian yang sah dan hasil kesepakatannya bersifat mengikat terhadap para pihak antara pihak dokter dan pasien maupun keluarganya, serta aparat penegak hukum menghapuskan kewenangan untuk menuntut. Penentuan kebijakan pelaksanaan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu: a. Diluar proses peradilan pidana dengan diperlukan landasan hukum berupa kebijakan/aturan hukum tentang tindak pidananya yang dapat dimediasikan diluar pengadilan, mediasi penal yang dilakukan diakui keabsahannya, difasilitasi mediator, hasil kesepakatan/keputusan sah dan final serta tidak perlu dikuatkan pengadilan dan hasil kesepakatan sebagai hapusnya penuntutan tindak pidananya. b. Kebijakan mediasi penal sebagai bagian proses peradilan pidana: 4. 1) Pada tahap penyidikan dimungkinkan bagi penyidik untuk menghentikan atau meneruskan penyidikan, dengan memanggil pelaku (dokter) dan korban (pasien) atau keluarganya untuk mencari solusi saling menguntungkan/pembayaran ganti rugi/kompensasi dan jika adanya hasil kesepakatan maka penyidik tidak melanjutkan ke Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada penuntut. 2) Pada tahap penuntutan, Jaksa penuntut umum dapat menawarkan mediasi kepada pelaku dan korban dengan menawarkan rekonsiliasi dan pembayaran kerugian pada 36 korban jika kesepakatan diterima keduabelah pihak putusan tersebut final tidak dapat penuntutan dan sebagai alasan penghapus penuntutan. 3) Pada tahap pemeriksaan persidangan dalam hal ini seperti pada persidangan perdata hakim menawarkan alternatif penyelesaian dengan cara perdamaian, jika tercapai digunakan sebagai alasan menghapus menjalankan pidana bagi pelaku. 4) Pada tahap pelaku menjalankan pidana penjara dalam hal ini menitikberatkan pada pembayaran kompensasi dari pelaku kepada korban.dan berfungsi untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana bagi pelaku. Kebijakan-kebijakan tersebut memerlukan dasar hukum dan pembaharuan serta penataan dalam sistem hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana malpraktik kedokteran guna memberi tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaiannya dengan melakukan perubahan pada setiap komponen (subsistem) dari sistem hukum pidana, yakni substansi, lembaga/ institusi dan kultur dalam hukum pidana. Pembaharuan substansi hukum pidana dalam rangka memberikan tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian di luar maupun di dalam proses peradilan, dapat dimulai dengan memberikan dasar hukum dan perubahan serta revisi terhadap peraturan perundang– undangan dapat ditempatkan di dalam KUHP dan KUHAP atau perundang-undangan tersendiri yang berkaitan dengan peraturan tentang mediasi penal kedalam sistem hukum pidana di Indonesia. Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal terlihat bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan dalam perkara malpraktik kedokteran, namun tetap diberi payung / kerangka hukum yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiil (KUHP) atau hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam undang-undang khusus. Pembaharuan Struktur Hukum Pidana sangat perlu dilakukan mengingat bahwa Institusi penyelenggara mediasi penalbelum terdapat dalam struktur hukum pidana saat ini. Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam UndangUndang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara perdata, belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana. Jadi, diperlukan secara struktual, Lembaga/Badan Mediasi Penal yang memiliki tugas dan wewenang dalam menentukan prosedur dan proses mediasi penal; serta melakukan pengawasan terhadap menyelenggaraan mediasi penal. Selain mengatur prosedur dan proses mediasi penal, Lembaga Mediasi Penal juga memiliki tugas menyediakan mediator penal yang profesional. Dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana, pembaharuan kultur/budaya hukum menjadi bagian yang sangat penting, mengingat kultur dalam sistem hukum merupakan dasar bagaimana sebetulnya sistem hukum tersebut akan diberdayakan. Dengan diberinya tempat 37 penyelenggaraan mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak pidana di dalam subtansi dan struktur hukum pidana, maka seyogyanya kultur juga diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal sesuai dengan tujuannya. B. Saran Kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang adalah yang diambil dari Hukum positif dalam hal ini KUHP lndonesia, Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Konsep KUHP 2012. Kebijakan yang diambil adalah mengenai kebijakan hukum yaitu kebijakan hukum yang tentunya dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak dan perlindungan hukum bagi korban malpraktik karena kelalaian dokter sebagai upaya penyelesaian yang adil dan menguntungkan keduabelah pihak .Kebijakan-kebijakan tersebut adalah; 1. Kebijakan formulasinya sebaiknya perlu diatur mengenai pertanggungjawaban tempat pelayanan kesehatan/rumah sakit dalam hal tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan kerugian di pihak pasien dalam hal terjadinya malpraktik medik, ini sebagai bentuk pemberian perlindungan terhadap korban malpraktik sebagai upaya penyelesaian tindak pidana malpraktik kedokteran di masa yang akan datang. 2. Kebijakan formulasi hukum pidananya sebaiknya mengatur mengenai masalah kelalaian dokter di dalam melakukan upaya atau tindakkan medis yang berakibat pada hilangnya nyawa seseorang. 3. Kebijakan formulasi hukumnya perlu diterapkan penyelesaian mediasi penal yang menghapus sanksi pidana apabila telah terjadi kesepakatan penyelesaian dengan pihak dokter telah memberikan ganti rugi kepada pasien sesuai yang disepakatinya. 4. Sebaiknya di dalam Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dijelaskan mengenai pengertian malpraktik kedokteran sehingga masyarakat umum, dokter, dan dunia kesehatan menjadi paham apa sesungguhnya malpraktik kedokteran dan mengetahui batasan-batasan mengenai tindak pidana malpraktik kedokteran ini . 5. Bagi aparat penegak hukum, baik penyidik penuntut umum dan hakim harus hati - hati di dalam menentukan pasal mana yang dapat dikenakan terhadap kasus malpraktik, karena di dalam dunia kedokteran, seorang dokter dalam menangani pasien tidak ada dua penyakit yang sama persis antara pasien satu dengan pasien yang lainnya. 6. Hukum pidana merupakan Ultimum Remedium artinya hukum pidana sebaiknya digunakan sebagai obat terakhir atau langkah terakhir apabila cara - cara penyelesaian yang lain tidak dapat menemui kesepakatan atau jalan keluar. 38 7. Perlu dirumuskan tentang mediasi penal dalam tindak pidana yang dapat memberikan kenyamanan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak dalam hal ini dokter dan pasien sehingga dokter merasa nyaman di dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter tanpa adanya rasa takut yang berlebihan dan di pihak pasien dapat memberikan perlindungan hukum apabila terjadi hal-hal yang menyimpang atau menimbulkan akibat tertentu yang merugikan pasien atau korban, ini semua diperlukan demi terciptanya kepastian hukum bagi kedua belah pihak. C. Implikasi 1. Impikasi Teoritis Penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran dengan menggunakan sarana hukum pidana berlaku asas ultimum remedium. Dalam hal ini berarti bahwa, penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran dengan sarana hukum pidana hanya dilakukan apabila penegakan hukum dengan sarana hukum yang lain (hukum administrasi) dinyatakan tidak efektif. Tanpa mengesampingkan keterbatasan, kelemahan maupun efek samping yang dapat timbul dari penjatuhan pidana sebagaimana yang dikemukakan HL. Packer, namun dalam penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran, penggunaan sanksi hukum pidana apakah masih dibutuhkan untuk mendorong ditaatinya norma-norma hukum kesehatan/praktik kedokteran maupun mencegah terulangnya perbuatan yang membahayakan pasien/masyarakat. Apakah hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Packer bahwa “the criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm. Jadi, asas ultimum remedium dalam penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran ini sudah seyogyanya diganti dengan asas primum remedium agar sarana hukum pidana dapat segera dipergunakan untuk menyelesaikan kasus tesebut. Perubahan dari asas ultimum remedium menjadi asas primum remedium, merupakan salah satu bentuk penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan sebagaimana yang dimaksud Pound dengan pemikirannya tentang law is a tool of social engineering. Pemikiran Pound dan kaum sociological jurisprudence lainnya yang mengkonsepsikan hukum sebagai judge made law dalam tradisi common law system, dalam konteks di Indonesia yang bertradisi civil law system, “judge” dapat dikembangkan pemahamannya tidak hanya berarti “Hakim” yang memutuskan perkara di Pengadilan, tetapi juga berarti “decision maker”. Jadi, decision maker dalam sistem hukum di Indonesia adalah pihak yang berwenang merumuskan/memformulasikan peraturan perundang-undangan dan pihak pelaksanaannya. 39 Mengkonstruksikan mediasi penal sebagai wujud restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia diharapkan dapat memberikan perbaikan dan kemajuan dalam penegakan hukum kesehatan/praktik kedokteran. Hasil pembahasan dalam disertasi ini memperlihatkan bahwa, meskipun perubahan dari asas ultimum remedium ke asas primum remedium tetap mengakibatkan kemungkinan semakin banyak perkara malpraktik kedokteran yang harus diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, namun dengan adanya alternatif lembaga atau peraturan perundang-undangan tentang mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran beban Pengadilan dalam penyelesaian perkara menjadi terbagikarena dengan tersedianya lembaga mediasi penal, maka pencari keadilan dapat memilih untuk menyelesaikan perkara melalui Pengadilan atau melalui mediasi penal di luar pengadilan. 2. Implikasi Praktis Dengan adanya alternatif lembaga mediasi penal, maka perkara malpraktik kedokteran dapat diselesaikan di pengadilan atau di luar pengadilan melalui melalui mediasi penal. Untuk dapat memberi tempat terhadap mediasi penal sebagai lembaga alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran, diperlukan dasar hukum di dalamsistem hukum pidana di Indonesia. Dalam rangka memberi dasar hukum tersebut, maka diperlukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana baik di luar maupun dalam proses pengadilan pada umumnya dan perkara malpraktik kedokteran pada khususnya. Peraturan perundang-undangan yang perlu di revisi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP); dan Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan dan/atau UndangUndang Tentang Rumah Sakit. 40 Daftar Pústaka Buku-buku: Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran : Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, Bayu Media, Jakarta, 2007. Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. ----------, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Anny Isfandyarie, Malpraktik dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005. ----------, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2006. Ananta Wijaya , Dasar-dasar Moralitas , Pustaka Pelajar, Jogyakarta.2007. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: BP UNDIP cetakan ke-4, 2010. ----------, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, UNDIP, Semarang, 2009. ----------, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di luar Pengadilan. Semarang: Pustaka Merdeka, 2008. ----------, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Universitas Diponegoro, 2008. Bagir Manan, “Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa” dalam Varia Peradilan No. 248 Juli 2006, hlm 10-11, 2006. ---------, Hakim dan Pemidanaan, FH.UII Press,Jogyakarta,2004. 41 FX. Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012. John Rawls, A Theory of Justice, revised edn, OUP, Oxford, 1999. Melani, Restorative Justice, Lp.Kompas, Jakarta,2006. Muladi dan Barda. N. Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung , 1992. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995. Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR), Penyelesaian Perkara Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, masalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007. Romli Atmasasmita, Hukum Kujahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, 2003 Soerjono Soekanto, Ronny Hanitijo Soemitro, Dualisme HukumNormatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Penelitian Sulistyowati Irianto, Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2011. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Konsep Rancangan Undang-Undang Tahun 2012. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung Nomor B006/R-3/I/1982. Putusan Makamah Konstitusi Nomor 4/PV-V/2007. Diktat/Jurnal: Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol 3 No.III, September ,2004. Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PDIH Undip, Jakarta ,Maret, 2004. Chairul Huda, Kedudukan Subsistem Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum, No 12, Vol.6 ,1999. Esmi Warassih Pujirahayu, Metode Penelitian Hukum, bahan Kuliah ppt, 2010. FX. Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian dalam Pendekatan Hukum Non-Doktrinal dan Penelitian dalam ranah Sosio-Legal, makalah, 2012. 43 BIODATA PENULIS Data Pribadi Nama : S.Tri Herlianto, SH.,MH.,MM Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 24 Juli 1965 Pekerjaan : Staf. Kemenhankam Alamat Rumah : Jl.Ratu Dibalau, Gg.Damai Palm, 29 C Tanjung Senang Bandar Lampung. Telp.0721 788608, 0812 7820 2266 E-Mail: [email protected]. Data Keluarga Istri : Endang Tri Rahayuningsih Anak : 1. dr. Ida Ayu Prameswari. 2. Letda. Ernest Fergie, SH. 3.Gressa Mega Gusik Goretty, S.Farm, Apt. Riwayat Pendidikan : 1.SD : SD Sejahtera III, lulus tahun 1976 2.SMP : SMPN 2 Tanjung Karang, tahun 1979 3.SLTA : SMPPN 51 Tanjung Karang, lulus 1982 4.Sarjana (S1) : 1. Dipl.Analis Kimia , lulus 1986 2. Sandi Negara, lulus 1989 3. Fakultas Hukum UTB, lulus 2004 5.Pasca Sarjana (S2) : 1. Magister Mânagemen,Universitas Bandar Lampung, lulus 1999. 2.Medical Of Tehcnology, Hiroshima, JAPAN, lulus 2001 3.Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, lulus 2006 44