MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF

advertisement
MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN
Ringkasan Disertasi
S.Tri Herlianto
NIM 110 101 10 500040
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
TIM PEMBIMBING
Prof. Dr. H. Barda Nawawi Arief, S.H.
(Promotor)
Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H.
(Co Promotor)
i
Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor
Ketua :
Prof.Dr.R.Benny Riyanto,SH.,M.Hum.,CN.
Sekretaris :
Dr. RB.Sularto,SH.,M.Hum.
Anggota :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Prof. Dr.dr.Anies, M.Kes.,PKK. (Penguji).
Prof.Dr.Suteki,SH.,M.Hum. (Penguji).
Prof.Dr.Supanto,SH.,M.Hum. (Penguji Eksternal).
Dr.Pujiono,SH.,M.Hum. (Penguji).
Prof.Dr.Barda Nawawi Arief,SH. (Promotor).
Prof.Dr.Sunarto DM, SH.,MH. (Co Promotor).
ii
MOTTO
Terlahir dan dibesarkan oleh Ibu Pertiwi,
hidup dan bertaruh nyawa untuk menjaga Bangsa dan Negara,
dalam tugas sukses tidak dipuji,
gagal dicacimaki,
tertangkap tidak diakui,
hilang tidak dicari,
matipun tidak dihormati,
karena jiwa ragaku terlahir untuk Negara,
yang ada dan tiada sebagai penjaga Bangsa dan Negara.
iii
PERSEMBAHAN
Disertasi ini saya persembahkan kepada:
Almamaterku tercinta:
Universitas Diponegoro,
Universitas Lampung,
Universitas Bandar Lampung,
Sekolah Tinggi Intelijen Negara dan
Kementerian Pertahanan dan Keamanan Negara.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
selalu memimpin langkah pemikiran kepada penulis dalam menyelesaikan
disertasi ini dengan judul “ Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian
Perkara Malpraktik Kedokteran”
Disertasi yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar doktor
Ilmu Hukum di Program Studi Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang.
Disertasi ini merupakan hasil penelitian terhadap penyelesaian hukum atas
kasus-kasus tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik antara dokter sebagai
pelaku tindak pidana dengan korban pasien yang terjadi pada beberapa kota di
Palembang, Lampung, Bandung, DKI Jakarta yang penulis terlibat langsung
meneliti ke lapangan.
Penulis menyadari bahwa selama empat tahun lebih berproses di PDIH
Undip tidak terlepas dari dorongan, bantuan dan arahan dari berbagai pihak.
Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkenan membantu. Ucapan
terimakasih disertai rasa bangga, penulis sampaikan kepada Universitas
Diponegoro yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk turut
mengusung dan mengibarkan tinggi-tinggi Panji Diponegoro.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis
sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Barda Nawawi
Arief, S.H. sebagai Promotor dan Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H. sebagai CoPromotor, yang telah menanamkan etos kerja keras, kedalaman budi pekerti,
kesabaran, kepercayaan, kebanggaan, pencerahan dan kemuliaan hidup dalam
menyelesaikan disertasi ini. Semoga beliau berdua selalu diberkati Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan berkat kesehatan , panjang umur, selalu dalam kebaikan
dan kemurahan hati, damai sukacita didalam Tuhan dan dimudahkan meraih
kesuksesan dan kemuliaan hidup, amin.
Ucapan terima kasih dan rasa bangga pula penulis sampaikan kepada yang
terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum dan Dr.Heni Siswa
to,SH.,MH yang telah berkenan menjadi teman diskusi, tempat bertanya dan
selalu menyemangati untuk terus berproses dan siap menghadapi segala dinamika
„sekolah‟ S3. Semoga beliau selalu diberkati kelimpahan damai sejahtera, sehat,
dikaruniai panjang umur, selalu dalam kebaikan dan kemurahan hati, dan
dimudahkan mencapai kesuksesan serta kemuliaan hidup, amin.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
a. Prof. Dr.Yos Johan Utama, SH.,M.Hum., Rektor Undip yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di PDIH UNDIP;
Direktur Program Pasca sarjana UNDIP dan para Pembantu rektor dan Staf
Karyawan yang telah memberi fasilitas dan pelayanan selama menempuh
pendidikan di UNDIP.
v
b. Prof. Dr.R.Benny Riyanto, S.H., M.Hum.,CN, Dekan Fakultas Hukum Undip
dan para Pembantu Dekan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti jenjang pendidikan tertinggi di Undip.
c. Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.Hum., Ketua PDIH Undip; Prof. Dr.
Esmi Warassih Pujirahayu, S.H., M.S., mantan Ketua PDIH Undip; Dr. Nanik
Trihastuti, S.H., M.Hum., mantan Sekretaris PDIH Undip; Para Sekretaris
PDIH Undip, Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Akademik)
dan Dr. R.B. Sularto, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Keuangan) yang telah
memberikan bantuan selama menempuh pendidikan.
d. Para dosen penguji, baik pada Ujian Kualifikasi, Ujian Seminar Usulan
Penelitian, Ujian Seminar Hasil Penelitian, dan Ujian Kelayakan yaitu: Prof.
Dr. Sunarto D.M., S.H., M.Hum.; Prof. Dr. dr. Anies, SpKK, S.H.,; Prof. Dr.
Suteki, SH.,M.Hum,Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum, Prof. Dr. Rahayu, S.H.,
M.Hum.; Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum.; Dr. R.B. Sularto, S.H.,
M.Hum. yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti
untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini.
e. Semua Dosen Pengajar di PDIH Undip yang dengan tulus ikhlas membagikan
ilmunya dan memberikan pencerahan keilmuan kepada penulis: Prof. Dr.
Bernard Arief Sidharta, S.H.; Alm. Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA.;
Alm. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Esmi Warassih
Pujirahayu, S.H., M.S.; Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.; Prof. Dr.
Yusriyadi, S.H., M.S.; Prof. Dr. F.X. Sugiyanto, S.E., M.S.; Prof. Hikmahanto
Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.; Prof. Drs. Bambang Setiadi, M.Sc., Ph.D.; Prof.
Dr. Liek Wilardjo; Prof. Dr. Mahfud M.D.; Prof. Dr. I Gede A.B. Wiranata,
S.H., M.H.; Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.H.; Prof. Dr. Rahayu, S.H.,
M.Hum.; Prof. Dr. Suteki,S.H.,M.Hum, Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.
f. Rekan-rekan kuliah di PDIH KPK Undip-Unila Angkatan III Tahun 20102011: Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H.,M.H.;Bapak Marsudi Utoyo, S.H.,
M.H.; BapakDr. F.X. Sumarja, S.H., M.Hum.; Bapak Sunaryo, S.H., M.Hum.;
Bapak Didiek R. Mawardi, S.H., M.H.;; Ibu Kingkin Wahyuningdyah, S.H.,
M.H.; Ibu Amnawaty, S.H., M.H.; Ibu Elly Nurlaeli, S.H., M.H.; Ibu Dr.Erlina
Bachri, S.H., M.H.; Bapak Dr. Tami Rusli, S.H., M.H.; Ibu Candra Perbawati,
S.H., M.H.; Ibu Zuhraini, S.Ag., M.H.; Zulfikar Ali Butho, S.H., M.H.; Ery
Setyanegara, S.H., M.H.; Bapak Shafruddin, S.H., M.H. yang terus
menyemangati. Saya mengucapkan salam 3-17.Bravo.
g. Teman-teman Korps Badan Inteljen Negara, Badan Inteljen Strategis,
Batalyon Kesehatan, Para Dosen Universitas Pertahanan Negara, Para Dosen
Sekolah Tinggi Inteljen Negara, senior,yunior,seangkatanKorps Sandi Negara.
h. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung: Prof. Dr. Kadri Husin, S.H.,
M.H. (almarhum); Prof. Dr. Sanusi , S.H.; Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H.;
Prof. Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.H.; Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.; Prof. Dr. I
Gede A.B.Wiranata, S.H., M.H.; Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.; Dr. Maroni,
S.H., M.H.; Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H.,
M.H.; Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.Hum.; Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.H..;
Dr. Budiono, S.H., M.H.; Dr. Rudy, S.H., LL.M., LL.D.; M.H.; M.Hum.; M.
Eko Raharjo, S.H., M.H.dan masih banyak lagi teman lain yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu.
vi
i. Para narasumber penelitian:Dr.dr.Asep Sukohar,M.Kes.; Dr.Hj. Anny
Isfandyarie, Sp.An., S.H.; Prof.dr. I Made Widnyana, S.H.,M.H.; Dr. Heni
Siswanto,S.H.,M.H.;Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.Hum.; Prof.Dr.dr. Ajeng
Saraswati, Sp.J.; Prof.Dr. dr. Hari Nugroho, Sp.B.; Dr.dr. Ananta Adi, Sp.D.;
Dr.dr. Billi, Sp.B.An.
j. Teman-teman di PDIH Undip: ibu Linda; ibu Alvi; ibu Diah; ibu Dendy; ibu
Dian; Mas Delta; bapak Jumadi; bapak Yuli; bapak Robby; bapak Abdul
Gofur Taufik; bapak Muhadi; dan ibu/bapak lain yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, penulis menghaturkan terima kasih atas perhatian dan bantuan
yang telah diberikan selama ini.
Penulis mendoakan kepada seluruh pihak, dilimpahi Berkat Kasih Karunia
Tuhan atas kebaikan, kepedulian dan perhatian, bantuan, kemurahan hati,
kejujuran, keikhlasan dan dorongan semangat selama masa-masa perkuliahan,
pembimbingan dan pelaksanaan ujian, dari sejak awal kuliah sampai berakhirnya
studi S3 ini, semoga budi baik Bapak dan Ibu menjadi amal ibadah yang akan
menjadikan suatu Berkat Kasih Karunia Tuhan yang berlimpah.
Penulis menyadari disertasi ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran
yang konstruktif selalu diterima dengan hati dan tangan terbuka. Mudah-mudahan
disertasi yang sederhana ini dapat bermanfaat dalam rangka turut membangun,
mengembangkan dan mewujudkan SPP dan ilmu hukum Indonesia yang integral,
berkualitas, berkebenaran dan berkeadilan Pancasila, amin.
Tuhan Memberkati Kita Semua.
Semarang,
Agustus 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Tim Pembimbing ............................................................................................
Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor ...........................................
Motto ..............................................................................................................
Persembahan ................................................................................................
Kata Pengantar .............................................................................................
Daftar Isi ........................................................................................................
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................
B. Permasalah ......................................................................................
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
D. Metode Penelitian ...........................................................................
E. Jenis Penelitian ...............................................................................
II.
i
ii
iii
iv
v
viii
1
3
3
3
4
PEMBAHASAN
A. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan serta
Penerapannya dalam Perkara Malpraktik Kedokteran .................
1. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan saat ini ...
2. Penerapan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara
Malpraktik Kedokteran saat Ini ................................................
3. Perspektif Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem
Hukum Pidana .........................................................................
B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran dalam Pembaharuan
Hukum Pidana masa yang akan datang ..........................................
1.
2.
Kebijakan Penentuan Pidana dalam Perkara Malpraktik
Kedokteran yang dapat dimediasi ...........................................
Kebijakan Penerapan Mediasi Penal dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Praktik Kedokteran sebagai bagian dari
Proses Peradilan Pidana ...........................................................
a. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran di
Luar Proses Peradilan Pidana ..........................................
b. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran
sebagai bagian Proses Peradilan Pidana ..........................
5
8
12
14
22
22
24
24
24
III. PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................
B. Saran ........................................................................................
C. Implikasi ..................................................................................
35
37
39
Daftar Pustaka ................................................................................................
41
Biodata Penulis ...............................................................................................
44
viii
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik
kedokteran
semakin banyak terjadi dan diliput dalam pemberitaan media massa
nasional, baik itu media cetak maupun media elektronik. Menurut LBH
Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat bahwa terdapat kurang
lebih 210 kasus pertahunnya dugaan malpraktik kedokteran di
Indonesia, 1 walaupun sebagian besar tidak sampai ke pengadilan.
Tampaknya kondisi sekarang sudah berubah, hubungan dokter-pasien
yang bersifat paternalistik dan berdasarkan kepercayaan (fiduciary
relationship) mulai goyah. Pemicu terjadinya sengketa adalah
kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan pengaturan,
ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut,
curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan
terjadinya keadaan yang tidak terduga serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi juga dunia
kedokteran. 2 Dilain pihak tuntutan masyarakat terselenggaranya
pelayanan medis bermutu tinggi dan tidak pernah salah dan sudah tentu
dengan biaya murah. Benturan antara kepentingan inilah yang
menimbulkan berbagai konflik/sengketa dan tuduhan dugaan tindak
pidana dalam praktik kedokteran yang kemudian masuk dalam ranah
hukum, baik perdata maupun pidana.
Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps profesi
kesehatan yang saling melindungi sesama profesional akan menyulitkan
upaya pengusutan yang obyektif, sehingga kasus-kasus
dugaan
malpraktik hanya masuk ”peti es” dan tidak ditangani lagi. Hal tersebut
mengakibatkan pihak pasien perpendapat bahwa tenaga kesehatan kebal
hukum dan selalu berlindung di balik etika tenaga kesehatan agar
terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya. Sebaliknya, kalangan
kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat kedudukannya
sehingga dapat dengan begitu saja menuntut atau menggugat tenaga
kesehatan untuk suatu hasil pengobatan yang negatif atau tidak
memenuhi harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang
sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination
terhadap tenaga kesehatan yang dituntut atau di gugat. Pada
kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Dapat disimpulkan bahwa
untuk menentukan perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus
dilakukan dengan pendekatan (yang bersifat khusus) kedokteran atau
kesehatan dan ilmu hukum secara proporsional. Dalam hal tersebut
profesinya (dokter/tenaga medis) menjadi terlalu sangat berhati-hati dan
timbul yang dinamakan negative defensif professional practice, yang
1
Data pada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, bagian pembelaan hukum, Jakarta:
Biro Hukum PB IDI, 2012.
2
H.R. Hariadi, Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi Kedokteran, makalah disampaikan
dalam sarasehan Penanganan Terpadu Masalah Etik Dan Hukum, Surabaya, 23 September 2000
hlm. 1 dalam Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di
Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 234-238
1
mengurangi kreatifitas dan dinamika profesional tindakan dokter atau
tenaga medis.
Dalam proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dapat
digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non
litigasi/konsensual/non-ajudikasi. Memahami bahwa proses beracara di
pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan
waktu. Sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan,
sering kali menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak
lainnya sebagi pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam terhadap
lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlalu
padat, lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap
kepentingan umum serta dianggap terlalu formalistik dan terlampau
teknis. Itu sebabnya masalah perlunya peninjauan kembali perbaikan
sistem peradilan ke arah yang efektif dan efesian terjadi dimana-mana.
Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses pengadilan
beserta hasilnya dianggap tidak efesien dan tidak adil.
Kelemahan dan ketidakpuasan terhadap operasionalisasi sistem
peradilan pidana mendorong untuk dicari penyelesaian alternatif dari
sistem peradilan pidana dengan penyelesaian perkara di luar jalur
penal, yaitu dengan cara mediasi sebagai perwujudan restorative
justice, yaitu perlu adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana
melalui jalur alternative dispute resolution (ADR) dengan maksud agar
dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban,
juga guna mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem peradilan
pidana yang berlaku, menghindari efek negatif dari sistem pemidanaan
yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana
penjara (alternatif to imprisonment/ alternative to custody), dan upaya
penyelesaian dalam perkara malpraktik kedokteran yang lebih bersifat
kekeluargaan, musyawarah dan masih mempertahankan harkat dan
martabat manusia serta penyelesaiannya memuaskan kedua belah pihak
(win-win solution) serta untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan
perkara (the problem of court case overload) 3 dan untuk
penyederhanaan proses peradilan pidana.
Asas hukum pidana positif Indonesia, perkara pidana tidak dapat
diselesaikan di luar pengadilan, walau dalam hal-hal tertentu
dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan
tetapi, praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara
pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi penegak hukum,
mekanisme perdamaian secara kekeluargaan, mekanisme musyawarah,
lembaga adat dan sebagainya.
3
Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara) di beberapa negara
lain yang juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan”
(supension of prosecution) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (conditional dismissal/
discontinuance of the proceedings) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal
248 KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiil)
Polandia dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalamPenanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Semarang : BP UNDIP cetakan ke-3, 2000, hlm. 169-171.
2
Implikasi praktik penyelesaian perkara malpraktik di luar
pengadilan selama ini belum ada landasan hukum formalnya, sehingga
lazim juga terjadi suatu perkara malpraktik secara informal telah
dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme musyawarah
kekeluargaan, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum
positif yang berlaku. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi
penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di bidang
hukum pidana melalui restitusi dalam proses peradilan pidana
menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan hukum
perdata tidak begitu besar dan menjadi tidak berfungsi.
Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara
malpraktik kedokteran selain bermanfaat bagi pasien maupun
keluarganya, masyarakat dan dunia kedokteran, pelayanan kesehatan
masyarakat, juga sejalan dengan perkembangan hukum dalam tataran
global, serta hukum yang hidup dan berkembang dalam tataran lokal,
yakni masyarakat adat/kearifan lokal di Indonesia yang telah memiliki
mekanisme penyelesaian perkara melalui perundingan atau
permusyawarahan untuk mencapai kesepakatan.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik
kedokteran dari perspektif perundang-undangan serta penerapannya
pada saat ini?
b. Bagaimanakah kebijakan legislasi mediasi penal sebagai alternatif
penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dalam pembaharuan
hukum pidana masa yang akan datang?
C. Tujuan Penelitian
Mengkaji, memahami mediasi penal dari perspektif perundangundangan serta penerapannya dalam penyelesaian perkara malpraktik
kedokteran pada saat ini serta menemukan kebijakan legislasi mediasi
penal sebagai alternatif penyelesaiannya dalam pembaharuan hukum
pidana yang akan datang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan
pemikiran untuk pengembangan dan pembaharuan hukum terutama
dalam KUHP sebagai ius constituendum dalam aspek penyelesaian
perkara didalam dan atau di luar pengadilan, dalam konteks Sistem
Peradilan Pidana (SPP) khususnya dalam sub sistemnya maka
pemanfaatan penelitian mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian
perkara malpraktik kedokteran serta diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi pemerintah, para penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan,
Advokat, Hakim Peradilan umum dan para pelaku usaha pelayanan
kesehatan baik rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya serta
3
pasien, masyarakat dan juga berbagai kalangan pemerhati dan pengkaji
alternatif penyelesaian perkara yang timbul akibat terjadinya malpraktik
kedokteran khususnya dalam rangka pengembangan dan pembaharuan
hukum pidana serta pengambil kebijakan yang kompeten, baik dalam
menyusun konsep, mengaplikasikan maupun menegakan hukum pidana
di bidang praktik kedokteran.
E. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian 4 yang dipandang sesuai dengan penelitian
disertasi ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empiris 5 atau penelitian hukum doktrinal dan nondoktrinal dengan
pendekatan studi sosiolegal6 (socio-legal studies) dengan mendasarkan
pada paradigma kritikal. Penelitian socio-legal7 dengan landasan filsafat
hermeneutik dan teori kritik melalui pendekatan interpretive/ verstehen,
penelitian hukum yang lebih berorientasi kepada kemanusiaan.
Penelitian ini tidak lagi melihat hukum sebagai realitas yang
otonom, obyektif, netral, imparsial, dan dapat digeneralisasikan. 8 Oleh
karena itu, penelitan ini bertujuan untuk menganalisis mediasi penal
dalam sistem peradilan pidana dan merekonstruksi sistem peradilan
pidana secara integral dan berkualitas dalam penyelesaian perkara
malpraktik kedokteran melalui mediasi penal.
4
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad menyatakan ada 2 (dua) jenis penelitian hukum,
yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Pembagian ini sesuai
dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Ronny Hanitijo Soemitro, dalam Dualisme Penelitian
Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm., 153.
5
FX Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012, hlm. 155.
6
Sulistyowati Irianto memaparkan bahwa studi sosiolegal sebenarnya bukan studi yang
benar-benar baru. Studi yang bersifat interdisipliner ini merupakan hibrida dari studi besar tentang
ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang lahir sebelumnya.
Kebutuhan untuk menjelaskan persoalan hukum secara lebih bermakna secara teoretikal.
Sementara itu secara praktikal, studi ini juga dibutuhkan untuk menjelaskan bekerjanya hukum
dalam hidup keseharian warga masyarakat, dalam Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi
Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, makalah dalam op.cit., Sulistyowati Irianto dan
Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2011, hlm. 173.
7
Kajian sosiolegal merupakan kajian yang memadukan kajian hukum doktrinal dengan
kajian sosial. Pemaduan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa aturan hukum tidak pernah bekerja di
ruang hampa. Aturan hukum bekerja di ruang yang penuh dengan sistem nilai, kepentingan yang
bisa dominan, tidak netral. Dalam kajian sosio-legal dilakukan studi tekstual terhadap pasal-pasal
dalam peraturan hukum. Selanjutnya dilakukan analisis secara tajam apakah aturan-aturan itu di
dalam masyarakat dapat mewujudkan keadilan, kestabilan hidup dan kesejahteraan di dalam
masyarakat.Untuk itulah dilakukan penelitian sosial yang untuk akurasi dan pencapaian
kebenarannya didasarkan pada paradigma. Dari penelitian sosial itu lalu bisa disimpulkan aturanaturan hukum itu dapat memberikan keadilan atau tidak. Dalam kajian sosio-legal, hukum
dikonsepsikan sebagai norma aturan yang berlaku dan sekaligus sebagai fakta sosial. Di dalam
sosio-legal, hukum dilihat sebagai faktor penentu dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan
ditentukan, dalam F.X. Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian dalam Pendekatan
Hukum Non-Doktrinal dan Penelitian dalam Ranah Sosio-Legal, Makalah, 2012.
8
Esmi Warassih Pujirahayu, Penelitian Socio-Legal…, hlm. 163.
4
Melalui kajian itu dicoba memahami norma hukum yang
tertuang dalam sejumlah teks peraturan perundang-undangan terkait
dengan perkara malpraktik kedokteran.
II.
PENBAHASAN
A. Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan
penerapannya dalam perkara malpraktik kedokteran.
dan
Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari penerapan
restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan atau tindak
pidana bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana (dokter)
dengan Negara yang mewakili korban (pasien), dan meninggalkan
proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku (dokter) dan Negara
(Jaksa penuntut umum). Restorative justice menuntut proses peradilan
pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingan - kepentingan
korban (pasien dan/atau keluarganya) sebagai pihak yang dirugikan
akibat perbuatan pelaku (dokter). Sehingga diperlukan pergeseran
paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal
sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
Kecenderungan dalam perkembangan hukum pidana dan
pemidanaan serta pembaharuan peradilan pidana baik dalam teori
maupun praktik, lebih dikembangkan bentuk rekonsiliasi atau mediasi
dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini mengingat secara etik, tren
ini bersandar pada asas pertanggung jawaban individu, dalam hukum
pidana
substantif,
dengan
mengacu
pada
pengambilan
pertanggungjawaban pelaku terhadap sanksi pidananya, dalam hukum
pelaksanaan sanksi. Metode alternatif resolusi kesepakatan ini juga
memberikan lebih besar kepentingan korban yaitu pasien serta
keluarganya dan membuat ruang bagi manajemen konflik rasional.
Mengingat pandangan etik pula sebuah reaksi terhadap sebuah tindak
pidana adalah sebuah kejahatan tersendiri, tapi tidak diperlukan
timbulnya kerugian atau luka baru terhadap pelaku tindak pidana9.
Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan pihakpihak yang menginginkan untuk merekontruksi model peradilan pidana
yang sangat panjang dengan model resolusi, yang akan memperkuat
posisi korban (pasien) dan mencari alternatif pidana, serta mencari cara
untuk mengurangi kerugian dan beban berat pada sistem peradilan
pidana mengingat sistem ini lebih efektif dan efesien10.
Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan
prinsip kerja (working principles) sebagai berikut11.
9
Diater Rossner, Mediation as a Basic Element of Crime Control : Theoretical and
Empirical Coments, www.bufallo university journal.
10
Recommendation No. R (99) 19. ( the Committee of Ministers of the Council of Europe)
15 September 1999.
11
Stefanie Trankle, The Tension between judicial Control and Autonomy in VictimOffender Mediation-a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of
the
Mediation
Process
in
Germany
and
France,
http://www.iuscrim.mpg.de/
orsch/krim/trankle_e.html.
5
a.
b.
c.
d.
Penanganan konflik (Conflict Handling/Konflikbearbeitung):
Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung):
Proses informal ( Informal Proceeding - Informalitat):
Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and
Autonomous Partiticipation – Parteiautonomie/Subjektivierung)
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti simpulkan keuntungankeuntungan mediasi penal dalam alternatif penyelesaian perkara
malpraktik kedokteran adalah sebagai berikut:
1. Keuntungan mediasi bagi korban (pasien dan/atau keluarganya),
tekanan berkurang dibanding jika berperkara di pengadilan, tidak
perlu membawa saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan
mendapat kesempatan untuk mengkontrol hasilnya.
2. Bagi pelaku tindak pidana (dokter) dapat diuntungkan karena
terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan atau denda dan biayabiaya perkara yang lebih besar.
3. Mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali
hubungan dokter dengan pasiennya serta keluarga pasien tersebut
jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan
kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta
memberikan pelajaran bagi dokter untuk melayani pasiennya
dengan hati-hati dan lebih baik untuk dapat menghindari konflik di
masa mendatang.
Hasil dari penelitian penulis didapat bahwa pada saat ini dalam
penyelesaian perkara malpraktik kedokteran secara damai telah
dilakukan oleh dokter sebagai tersangka dengan pasien sebagai korban
melalui mediasi aparat kepolisian walaupun masih menimbulkan
kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak dibenarkan
dengan alasan bahwa secara yuridis formal, tindakan aparat hukum
yang tidak mengajukan perkara kepengadilan secara tegas melanggar
asas legalitas yang menghendaki setiap perkara pidana harus diajukan
kepengadilan.
Demikian halnya pendapat yang menyatakan bahwa fenomena
penghentian perkara pidana malpraktik kedokteran dengan alasan
perdamaian sangat bertentangan dengan asas oportunitas. Oleh karena
yang berhak mengenyampingkan perkara hanyalah Jaksa Agung
sebagaimana yang tertera pada Pasal 35 UU. No. 16 th 2004, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67 yang menegaskan
bahwa:
“Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum”
Sesungguhnya, bila ditinjau dari segi legalistik positivistik
pendapat tersebut di atas ada benarnya. Namun demikian, demi
memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat, hendaknya pengertian
kepentingan umum dalam asas oputunitas tidak hanya ditekankan pada
6
aspek kepentingan negara semata, melainkan harus pula meliputi aspekaspek kepentingan umum yang lainnya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa
kepentingan umum dalam kaitannya dengan penyampingan perkara
adalah demi kepentingan negara, masyarakat dan pribadi.
Dengan dasar itulah penulis berpendapat bahwa penyelesaian
tindak pidana secara damai dapat dibenarkan dengan alasan;
1. Perdamaian untuk menyelesaikan suatu perkara pidana, sejauh
perkara tersebut belum diajukan kemuka pengadilan, merupakan
suatu hal yang regular terjadi, oleh karenanya dapatlah hal ini
disebut sebagai regularity;
2. Sikap tindak ajek (regularity) ini, merupakan pemantulan dari
budaya hukum (legal culture) yang hidup dalam masyarakat;
3. Perdamaian disini dapatlah diartikan sebagai suatu hubungan yang
serasi (harmonis) antara mereka yang bersangkutan, yang
berorientasi pada keadilan dan kebenaran.
Dengan diterimanya sistem peradilan pidana dảri berbagai
negara secara resmi, pandangan bahwa peradilan pidana bukanlah satusatunya cara menyelesaikan masalah kejahatan. Bahkan suatu
penyimpangan/pengalihan (diversion) yang dilakukan oleh kepolisian
dan penuntut umum terhadap kejahatan sering dianggap lebih baik.12
Diversion tidak mementingkan dikeluarkannya putusan
pengadilan (pidana). Diversion bukan berarti menghindarkan terdakwa
dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan, dengan
mengupayakan penjatuhan hukuman alternatif. Lebih lauh lagi,
diversion yang menghindarkan terdakwa dari proses peradilan pidana.
Dalam teori diversion yang dilakukan oleh kepolisian disebut
sebagai police caution. Polisi dalam penanganan tindak pidana
kedokteran yang melakukan delik untuk ditawarkan mengadakan
perbaikan terhadap korban (minta maaf, ganti rugi). Jika disepakati,
maka proses pidana tidak dilanjutkan. Kelemahan sistem ini cukup
membahayakan, yaitu dapat membuat polisi sebagai penuntut umum,
hakim dan sekaligus pelaksana putusan.13
Dalam restorative justice, pemecahan masalah sangat
bergantung kepada kesepakatan para pihak yang bertikai (pelaku dan
korban) dengan melakukan pendekatan rekonsiliasi dan negosiasi.
Pihak pelaku atau keluarganya biasanya melakukan hubungan informal
dengan pihak korban atau keluarganya untuk mencari suatu solusi yang
paling tepat diantara mereka. Ini berarti, pendekatan hukum perdata
dipandang sebagai sarana yang paling tepat untuk menyelesaikan setiap
konflik.
Penulis berpendapat bahwa dibutuhkan suatu konsep proses
hukum yang adil yang tidak hanya memberikan jaminan perlindungan
hukum kepada pelaku semata, dalam hal ini tersangka/terdakwa,
melainkan juga kepada korban, terutama perlindungan berupa hak
12
Chairul Huda, Kedudukan Subsistem Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, I
dalam Jurnal Hukum No.12 Vol.6 1999, hal.142.
13
Ibid
7
berpartisipasi dalam hal penyelesaian konflik hal tersebut masih sulit di
implementasikan, mengingat kedudukan pasien sebagai korban
malpraktik kedokteran belum diakui sebagai suatu subsistem dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini. Untuk itu, perlu adanya
suatu pengaturan yang bertalian dengan kedudukan korban malpraktik
kedokteran ini dalam hukum acara pidana positif kita, sehingga
ketimpangan dalam proses peradilan pidana, baik yang bertalian dengan
pidana mapun masalah hak-hak korban dapat diatasi.
Salah satu alasan perkara malpraktik kedokteran tidak diajukan
oleh kepolisian ke Kejaksaan Negeri atau ke Pengadilan yaitu bahwa
telah diselesaikan secara damai antara dokter dan pasien sebagai korban
atau keluarganya. Penyelesaian perkaranya baik yang ringan/luka berat
maupun berakibat meninggal, pihak dokter sebagai tersangka/terdakwa
telah memberikan restitusi kepada korban atau keluarganya.
Jadi, dari hasil penelitian karena permintaan dua belah pihak
didamaikan oleh pelaksana hukum pidana dengan mewajibkan dokter
mengganti kerugian kepada pasiennya dan/atau keluarganya dan minta
maaf perkaranya tidak lagi dilanjutkan ketingkat selanjutnya.
1.
Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan saat ini
Konklusi dasar dari hasil penelitian tentang mediasi penal dari
perspektif perundang-undangan saat ini dalam perkara malpraktik
kedokteran menunjukkan kecenderungan polarisasi bahwa mediasi
penal dalam perkara malpraktik kedokteran dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia telah dikenal oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim
Peradilan Umum Indonesia.
Dan bila dikaji dari perspektif asas, norma dan teori, mediasi
penal disebutkan antara “ada” dan “tiada. Dikatakan “ada” oleh karena
ternyata praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran
telah dilakukan oleh para penegak hukum, para pihak pelaku tindak
pidana yaitu dokter dan korban yaitu pasien beserta keluarganya serta
penyelesaiannya dilakukan diluar pengadilan seperti melalui
mekanisme musyawarah kekeluargaan maupun lembaga pelayanan
kesehatan baik Rumah Sakit maupun Lembaga profesi kedokteran
atau mekanisme lembaga lainnya.
Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi penal dalam perkara
malpraktik kedokteran dalam ketentuan undang - undang tidak dikenal
dan belum diatur dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam
tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui
diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial.
Pada tataran di bawah undang - undang penyelesaian perkara di
luar pengadilan melalui mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No
Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang
Penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi
Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Surat
8
Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R-3/I/1982
serta Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV/2007 tentang sengketa
medis.
Pendapat penulis bahwa pada saat ini mediasi penal dalam
perkara tindak pidana malpraktik kedokteran belum diatur baik dalam
KUHP, KUHAP, Undang - Undang Kesehatan, Undang - Undang
Praktik Kedokteran dan/atau Undang - Undang tersendiri, oleh karena
itu kedepan (ius contituendum) hendaknya perlu dipikirkan secara lebih
mendalam dalam ketentuan apa sebaiknya mediasi penal dalam tindak
pidana malpraktik kedokteran tersebut akan diatur, apakah diatur dalam
KUHP, KUHAP dan Undang - undang tersendiri serta Peraturan di
bawah Undang-Undang atau Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Dalam hukum pidana positif, mediasi penal sebagai salah satu
alternatif penyelesaian perkara tindak pidana diluar pengadilan belum
diatur. Ketentuan tentang mediasi penal
sebagai bentuk
penyelesaian perkara di luar pengadilan bukan hanya belum diatur,
tetapi
bahkan
dalam beberapa peraturan perundang-undangan
dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan hanya
berlaku untuk penyelesaian perkara perdata.14
Meskipun alternatif penyelesaian melalui mediasi penal di luar
pengadilan belum diatur, namun dalam hal-hal tertentu, terdapat
ketentuan-ketentuan yang memungkinkan penyelesaian perkara
malpraktik kedokteran diselesaikan di luar proses pengadilan. Secara
implisit perundangan yang dimaksud adalah:
1.
Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Menurut Undang - undang tentang Kekuasaan Kehakiman, semua
peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah
peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang, tetapi
tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar
peradilan negara melalui perdamaian, selanjutnya di dalam
Undang–Undang dimaksud disebutkan pula bahwa, Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, untuk
memenuhi harapan para pencari keadilan.15
Undang–Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman juga mengatur
tentang kewajiban Hakim dalam menggali, mengikuti, dan
memahami nilai–nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
14
Alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan di Indonesia, hanya dimungkinkan
dalam perkara perdata. Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan. Ketentuan yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap perkara tindak pidana dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa perkara
yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata.
15
Lihat Pasal 2 ayat (3) dan (4) dan Pasal 10 ayat (2) Undang – undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
9
masyarakat, agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.16
Ketentuan - ketentuan tersersebut sebagaimana diuraikan di atas
dapat pula menjadi acuan, bahwa pada prinsipnya proses peradilan
adalah proses untuk memberikan keadilan bagi masyarakat yang
sesuai dengan „rasa keadilan masyarakat‟. Jadi apabila
penyelenggaraan peradilan di pengadilan tidak berlangsung efektif
dan efisien sertakurang memenuhi rasa keadilan
masyarakat,
maka tidak tertutup emungkinan penyelenggaraan peradilan
dilakukan di luar pengadilan.
16
2.
Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa, untuk kepentingan umum,
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri. Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan
bahwa, bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu
tindakan yang dapat dilakukan oleh pejabat Kepolisian Republik
Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat
sertaresiko dari tindakannya dan betul– betul untuk kepentingan
umum.
Di dalam penjelasan umum Undang-undang dimaksud dinyatakan
bahwa, selaku pengayom, peranan Kepolisian Negara Republik
Indonesia perlu dikembangkan melalui pemantapan kewenangan
bertindak menurut penilaian sendiri untuk kepentingan umum,
sehingga upaya perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat
dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
3.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang
Kesehatan pasal 29 menyebutkan bahwa “dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi” hal ini menunjukan bahwa pada tiap kasus
sengketa medik atau dalam setiap perkara tindak pidana praktik
kedokteran perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cara mediasi
terlebih dahulu sebelum atau tanpa melalui proses pengadilan.
4.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran
Menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang praktik
Kedokteran Pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa “Majelis
Kehormatan Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang
berwewenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan
menetapkan sanksi” hal ini menunjukan bahwa pada setiap kasus
Lihat: Pasal 5 ayat (1) Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
10
sengketa medik atau tindak pidana praktik kedokteran yang paling
berwewenang menentukan salah tidaknya tindakan dokter dan
memberi sanksi sanksi adalah Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia. Jadi perkara tersebut dapat diselesaikan
tanpa melalui proses pengadilan.
5.
Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R3/I/1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982 tentang Perkara
Profesi Kedokteran
Didalam Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung tersebut
menyebutkan “Bahwa dalam hal kasus malpraktik kedokteran agar
tidak meneruskan perkaranya sebelum konsultasi dengan pejabat
Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik
Indonesia”.Hal tersebut menunjukan bahwa dengan surat edaran
dari Kejaksaan Agung memberikan peluang bagi tenaga kesehatan
untuk dapat melakukan perdamaian dengan dimediasi oleh pejabat
Dinas Kesehatan.
6.
Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV-V/2007
Didalam surat putusan Makamah Konstitusi menyebutkan bahwa
“sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan
profesi”. Amar putusan Makamah Konstitusi tentang sengketa
medis untuk terlebih dahulu melalui peradilan profesi bahwa
perkara praktik kedokteran akan lebih tepat penanganannya melalui
peradilan profesi guna dapat menyatakan benar salahnya tindakan
dokter dalam pelaksanaan profesinya sebelun dilimpahkan keproses
hukum selanjutnya disinipun ada peluang untuk dokter jika ternyata
bersalah dalam tindakannya untuk melakukan mediasi kepada
korban pasien .
Uraian di atas memperlihatkan bahwa, meskipun mediasi penal
dalam perkara malpraktik kedokteran pada prinsipnya belum ada
dalam Peraturan Perundang - Undangan, namun beberapa Peraturan
Perundangan-Undangan yang dikemukakan di atas memperlihatkan
bahwa, penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar proses
pengadilan telah diberi tempat. Namun pada hakikatnya ketentuanketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya
penyelesaian perkara di luar pengadilan, belum merupakan mediasi
penal yang diakui sebagai lembaga alternatif penyelesaian perkara
malpraktik kedokteran di luar pengadilan. Begitu pula didalam
Hukum Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran, istilah
mediasi penal dalam perkara tindak pidana praktik kedokteran
tidak ditemukan.
11
2.
Penerapan Mediasi Penal dalam penyelesaian perkara malpraktik
kedokteran saat ini .
Deskripsi analisis hasil penelitian terhadap penerapan mediasi
penal saat ini dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran telah
dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan cara perdamaian
kekeluargaan antara pelaku (dokter) dan korban (pasien) maupun
keluarganya yang diakhiri dengan pembayaran ganti kerugian kepada
korban (Penal mediation out of court) maupun dalam penyelesaian
perkara pidana pada tahap–tahap proses peradilan pidana yang
kesepakatan dan pembayaran ganti kerugiannya dari pelaku kepada
korban hanya dijadikan sebagai pertimbangan yang meringankan
tuntutan pidana dan penjatuhan pidana (penal mediation within court).
Pada tahap penyidikan, utamanya dalam perkara malpraktik
kedokteran, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil biasanya
diselesaikan dengan mediasi di antara dokter dan pasien atau
keluarganya dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang
dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara
pelaku (dokter) dan korban (pasien) ataupun keluarganya. Namun
demikian jika perkara tindak pidana malpraktik yang diakibatkan
kesengajaan dan menimbulkan kerugian yang besar seperti, nyawa atau
cacat seumur hidup maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun
pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan
jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan yang digunakan
oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kesepakatan
mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak pidananya, karena
dokter sebagai terduga pelaku tindak pidana dalam praktik kedokteran
tetap saja disidik dan diproses sesuai dalam sistem peradilan pidana.
Pada delik aduan yang diproses penyidikannya didasarkan pada
pengaduan korban yaitu pasien dan/atau keluarganya, penulis
menemukan adanya penyelesaian dengan mediasi, baik sebelum
dilakukannya pengaduan sehingga korban (pasien) atau keluarganya
tidak jadi mengajukan pengaduan, maupun jika pengaduan telah dibuat
oleh korban, akan tetapi korban masih mempunyai kesempatan untuk
menarik pengaduannya. Di sini pun peran polisi bukan sebagai
mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan
diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan
perdamaian. 17 Di samping delik aduan dalam perkara praktik
kedokteran biasanya pasien dan/atau keluarganya menyelesaikan sendiri
perkara tersebut dengan mediasi yaitu dalam tindak pidana praktik
kedokteran ringan sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh dokter
bukan merupakan delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat dan semua pihak maka
penyelesaian secara mediasi seringkali menjadi pilihan.
Sementara itu pada tahap penuntutan juga ditemukan adanya
penyelesaian dengan mediasi sebelum dilakukannya penuntutan. Dalam
17
AKBP Sis Mulyono , Bagian Binkum Polda Lampung.
12
mediasi ini pihak korban pasien dan/atau keluarganya meminta ganti
kerugian kepada pihak pelaku yaitu dokter maupun lembaga tempat
dokter berpraktik seperti pada rumah sakit, namun demikian walaupun
telah terjadi kesepakatan dari pihak pasien dan/atau keluarganya dan
dokter untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak menghilangkan
penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan sebagaimana
mestinya dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat sebagai
pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan tetap di
tangan hakim.
Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran di sini
hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undangundang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum
dari akta kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi, pelaku tetap dipidana
akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu dalam menangani
kasus malpraktik kedokteran yang masuk ke dalam katagori „delik
biasa‟, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian dokter
dalam melakukan tindakan medis seperti Pasal 359 KUHP (karena
kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain), maka dilakukan
mediasi dengan negosiasi di mana korban pasien dan/atau keluarganya
meminta ganti kerugian kepada dokter dengan sebuah akta kesepakatan
bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban.
Dalam hasil penelitian praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik
kedokteran oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena tidak ada
peraturan normatif yang mengaturnya, karena hal-hal yang menyangkut
kesepakatan para pelaku yaitu dokter dan korban (pasien) ada pada
tingkat penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan
keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan
dalam surat dakwaan yang salah satunya kesepakatan yang dicapai
melalui mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Penulis berpendapat bahwa walaupun belum ada aturan dan
dasar hukum praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik
kedokteran tetapi dengan diterapkannya mediasi penal walaupun
perundang-undangan
belum mengaturnya maka telah terjadi
pergeseran paradigma adanya quasi hukum privat kedalam hukum
publik dan dengan melihat telah banyaknya praktik mediasi penal
dalam menyelesaikan perkara malpraktik kedokteran baik dengan
mekanisme yang tidak terlembaga maupun dengan mekanisme yang
terlembaga seperti dalam peradilan profesi dan adat, musyawarah
secara kekeluargaan , menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat
untuk adanya mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran
sebagai alternatif dalam penyelesaianya untuk menghindari kesulitan
yang ada dalam proses peradilan pidana.
13
3.
Perspektif pendekatan restoratif dalam sistem hukum pidana
Penulis berpendapat bahwa keterlibatan korban pasien dan/atau
keluarganya dalam proses upaya penyelesaian perkara malpraktik
kedokteran , merupakan cerminan dari pelaksanaan prinsip-prinsip
keseimbangan dan keadilan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi
dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Pelibatan pasien dan/atau keluarganya sebagai korban untuk
ikut serta dalam proses upaya penyelesaian tindak pidana bukan hanya
semata-mata untuk memberikan kesempatan atau keseimbangan, tetapi
hal tersebut berkaitan erat dengan proses pencapaian makna keadilan itu
sendiri. Keadilan restoratif, memaknai keadilan hanya dapat diberikan
melalui keterlibatan para pihak dalam upaya menyelesaikan suatu
konfik yang timbul akibat tindak pidana, dan bukan sekadar pemenuhan
keadilan menurut ketentuan perundang-undangan. Memberikan hak
kepada pelaku dan korban untuk dapat menyelesaikan konfik yang
terjadi di antara mereka, merupakan hal yang utama dalam pandangan
keadilan restoratif karena keadilan restoratif memandang suatu tindak
pidana bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap
hukum negara tetapi merupakan suatu perbuatan dari seseorang kepada
orang lain yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang harus
dipulihkan. Dengan prinsip pemulihan dan bukan penghukuman serta
prinsip mendahulukan pemulihan dan penjatuhan sanksi bersifat
memulihkan dan menjahui sanksi pemenjaraan.
Dengan melihat penjelasan tersebut, maka terdapat beberapa
dampak positif yang dapat ditawarkan oleh keadilan restoratif terhadap
sistem peradilan pidana, antara lain sebagai berikut.
a. Keadilan restoratif akan memberikan alternatif-alternatif
penanganan terhadap tindak pidana dengan memberikan ruang
bagi tercapainya suatu out of court settlemem dalam lingkup bidang
hukum pidana.18
b. Dapat meniadakan proses penuntutan dan persidangan yang akan
memakan waktu yang panjang akan sangat membantu mengurangi
tunggakan perkara dan sekaligus akan mengurangi beban biaya
yang sangat besar.
c. Dapat menghindarkan penjatuhan sanksi hukuman penjara yang
sering justru memberikan dampak negatif yang lebih besar
dibanding dengan hal-hal positif yang dikehendaki (ada anggapan
bahwa pada masakini, sanksi pemenjaraan cenderung tidak lagi
menimbulkan efek jera bagi pelaku, tetapi sanksi pemenjaraan
18
Gagasan integrasi pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana maupun
perihal Out of Court Setttemend dalam Lingkup Bidang Hukum Pidana" dikemukakan oleh para
pakarhukum pidana antara lain Muladi, Komisi Keadilan dan Rekonsiasi; Romli
Atmasasmita,Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Juli 2003, hlm. 55-67;
Sidik Sunarya, Sistem Peradilan Pidana, hlm.291; Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Varia
Pengadilan, Majalah, No.249Agustus 2006, hlm.5-23;Melani, Restorative Justice, Kurangi Beban
LP Kompas, Senin, 23 Januari 2006, hlm, 40.
14
d.
e.
justru membuat pelaku memiliki ruang belajar untuk lebih jahat
lagi melalui lembaga pemasyarakatan, dan hal-hal lain yang
merupakan dampak negatif dari pemenjaraan).
Dapat menghindari terjadi beban kelebihan penghuni terhadap
kapasitas penjara (over population).
Dicapainya penghematan anggaran keuangan negara sehingga
dapat dipergunakan untuk suatu keperluan lain yang penting.
Hal tersebut dapat dimulai dảri tahapan-tahapan antara lain;
1.Tahap penyidikan dengan diversi.
Diversi adalah proses dimana
pelanggar dipindahkan dari proses
pengadilan yang konvensional ke dalam proses program-program alternatif, yaitu
suatu konsep berbasis pada pelaku dan kebanyakan program diversi
dikembangkan untuk membantu pelanggar dan/atau mengurangi beban-beban dari
sistem peradilan pidana.
Namun dimungkinkan untuk menciptakan prosedur-prosedur
diversi yang pula konsultasi korban, pemulihan perbaikan dan (bila
terdapat kepentingannya) adalah mediasi dengan pelaku. Diversi
biasanya mensyaratkan suatu pengakuan bersalah dari pelaku dan
disertai oleh suatu syarat untuk memenuhi suatu kondisi tertentu.
Diversi pada hakikatnya dapat ditempatkan pada tiap tahapan apa pun
dalam proses peradilan, termasuk pada rahapan penahanan, penuntutan,
pemeriksaan di pengadilan, penjatuhan hukuman dan tahapan pasca
penjatuhan hukuman. Apabila syarat-syaratnya dipenuhi, hasilnya dapat
berupa suatu penangguhan atau di petieskannya kasus tersebut dari
proses-proses acara Peradilan yang formal.
Menurut Apong Herlina, 19 selain mendapatkan keadilan untuk
semua, tujuan diversi ini antara lain untuk menghindari penahanan
untuk menghindari cap atau label sebagai penjahat; untuk meningkatkan
keterampilan hidup bagi si pelaku, pada saat telah berada di luar; agar si
pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; serta untuk mencegah
pengulangan tindak pidana.
Diversi yang dilakukan oleh polisi adalah suatu praktik yang
umum terjadi di berbagai negara dan beberapa bentuk darinya tidak
perlu ditetapkan dalam suatu legislasi. Namun, dapat pula disediakan
dalam beberapa peraturan perundang-undangan dengan mengadopsi
suatu skema pemberitahuan atau skema lain yang sejenis. Di Indonesia,
pasal 16 ayat (1) huruf I undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) menyatakan
bahwa:
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
19
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III
September 2004, hlm 26-27
15
Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut.20
a.
b.
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan.
c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya.
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia.
Ketentuan yang serupa dapat dijumpai di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 ayat (1)
huruf j, yang menyatakan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai
wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab".
Apabila perintah untuk melakukan diversi telah diputuskan dan
mediasi telah dilaksanakan dengan membawa hasil yang positif maka
dapat diterbitkan apa yang dalam praktik hukum disebut dengan SP3
(Surat Perintah Penghentian Penuntutan). Terbitnya SP3 tersebut adalah
berkenaan dengan tidak dipenuhinya bukti permulaan yang cukupatas
proses penyidikan, sehingga konsekuensi yuridisnya adalah bahwa
terhadap dugaan terjadinya kasus pidana bersangkutan harus dihentikan
penyidikannya. Namun keluarnya SP3 tersebut bukanlah berarti
kasusnya telah selesai. Jaksa dapat membuka kembali kasus tersebut
apabila memang telah dijumpai alat bukti lain sehingga prasyarat bukti
permulaan yang cukup telah dipenuhi.
Perihal bagaimanakah prosedur tersebut harus dibentuk secara
legislatif adalah untuk memberikan kewenangan umum kepada jaksa
penuntut umum dan menyediakan sedikit petunjuk atau tidak sama
sekali tentang prosedur-prosedur atau konsultasi dengan yang lainnya.
Jaksa penuntut umum dapat diberikan kewenangan atas
pertimbangannya sendiri untuk meniadakan kasusnya berdasarkan
pertimbangan hukum "pemberian keringanan atau reduksi atas unsur
kesalahan (culpabilitas), atau apabila antara pelaku dan korban telah
tercapai suatu penyelesaian damai, atau dengan persetujuan dari
pengadilan, jaksa penuntut umum dapat mendismiss kasusnya dan
mewajibkan dilakukannya suatu mediasi atau memerintahkan agar
dilakukan pembayaran ganti rugi.21
Dapat pula jaksa penuntut umum diberikan otoritas untuk
mendiversikan suatu permasalahan ke mediasi, misalnya setelah
mendapat rekomendasi dari lembaga tertentu. Jadi, diversi ke mediasi
berada ditengah-tengah antara dismissal kasusnya, dengan pengenaan
sanksi formal.
Perihal siapa yang harus terlibat dalam proses yang dirujuk,
adalah untuk menetapkan tujuan-tujuan dari diversi dan mendesain
20
Pasal 16 ayat (2) UU Kepolisian
Sebagaimana yang diterapkan di Jerman pada tahun 1990 dalam UU Peradilan Remaja
21
16
pertanggungjawaban untuk implementasi tertentu dari tujuan-tujuan itu
semua, tetapi dengan tidak melegislasikan proses-proses tertentu. Hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya konsistensi secara keseluruhannya
dalam implementasi maupun fleksibilitas dalam implementasinya. 22
Perihal sejauh mana uraian rinci berkenaan dengan program-program
diversi itu harus dicakup dalam draft legislasi yang diajukan, adalah
untuk menyediakan suaru rincian prosedural yang lebih besar, baik
melalui legislasi maupun melalui regulasi (administratif). 23 Menurut
pandangan penulis landasan yuridis untuk dilakukannya diversi adalah
tidak' dapat didasarkan atas pertimbangan “mengesampingkan perkara
demi kepentingan umum”. 24 Yang dimaksud dengan "kepentingan
umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan
masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas,yang
hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran
dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai
hubungan dengan masalah tersebut.
Apabila legislasi mengenai diversi yang dipergunakan, maka
legislasi tersebut harus menyampaikan kriteria-kriteria terpilih dan
prosedur-prosedur untuk menetapkan mengenai kasus-kasus mana yang
dapat didiversikan. Empat metode alternatif untuk melakukan hal ini
adalah perumusan yang membolehkan ke depannya pilihan-pilihan
diversi, pertimbangan wajib oleh suatu pengadilan mengenai apakah
suatu kasus harus didiversikan, arahan-arahan legislatif untuk bila mana
diversi Itu wajib dilakukan, bersifat diskresionari atau tidak boleh
dilakukan dan pedoman rinci bagi kepolisian, petugas hukuman
percobaan, penuntut umum dan petugas-petugas lain dalam wujud
peraturan tetap atau regulasi-regulasi yang diberlakukan berlandasan
undang-undang.
22
The Minnesota Community Correctional Service Act mensyaratkan kepada para jaksa
penuntut umum untuk menetapkan program-program diversi pada tahap pra persidangan. Programprogram tersebut dirancang dan dioperasikan untuk tujuan-tujuan lebih dari UU tersebut (yaitu
menyediakan suatu respon pendekatan restoratif bagi para pelaku, mengurangi ongkos-ongkos dan
muatan atau tunggakan kasus dalam sistem peradilan, mengurangi residivisme, meningkatkan
pemungutan dana untuk restitusi, meningkatkan opsi-opsi alternatif yang tersedia dalam sistem
per-adilan, dan mengembangkan pemograman pelembagaan berbasis budaya secara khusus.
23
SkemaHalt di Belanda adalah suatu respon diversi bagi tindak pidana atas harta kekayaan
(property crimes) yang dilakukan oleh remaja. Sejak tahun '1995, skema tersebut memiliki suatu
basis UU, yaitu polisi dapat menggunakannya sebagai sebuah alternatif bagi suatu sanksi
peringatan ringan (simple warning) yang'dipergunakan untuk tindak pidana atas harta kekayaan
yang agak kurang berat. Regulasi-regulasi yang diberlakukan atas dasar undang-undang tersebut,
menetapkan prosedur-prosedur terperinci untuk digunakannya program itu.
24
Terdapat inkonsistensi pengaturan mengenai kewenangan mengesampingkan perkara
demi kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditetapkan kewenangan ini dimiliki oleh para penuntut
umum, sedangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan, kewenangan untuk mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh JaksaAgung. Lihat: pasal 14 huruf h UU No.
8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan bandingkan dengan ketentuan pasal 35 ayat (1) huruf c UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik lndonesia.
17
2. Dalam tahapan di pengadilan
Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban
adalah jauh bersifat sentral di banding dalam proses-proses hukum
acara pidana saat ini.
Di beberapa negara telah mengadopsi suatu
legislasi yang menetapkan hak- hak prosedural yang dimiliki oleh
korban sepanjang suatu proses hukum acara pidana. 25 Di Indonesia,
pengaturan perlindungan korban dalam tahap beracara di pengadilan
terdapat pada:
1) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
26
Kehakiman, dalam Pasal 9 ayat (l) menyediakan prosedur ganti
rugi bagi mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Selanjutnya hal ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP. 27
2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 77 diatur
tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kemudian pada Pasal 98 KUHAP dan seterusnya diatur tentang
kemungkinan penggabungan perkara gugatandan ganti kerugian
kepada perkara pidana yang bersangkutan.28
3. Dalam Tahapan Penjatuhan Sanksi Pidana
Perundang-undangan Indonesia yang mengatur mengenai
perlindungan hak korban di dalam konteks penjatuhan sanksi terdapat
dalam:
1) Pasal 14c KUHP ayat (1) yarg berbunyi '..., hakim dapat
menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu,
yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segala
atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh delik tadi. 29 Jadi
dalam pasal ini dinyatakan bahwa hakim dapat, menjatuhkan
pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang harus
25
Suatu contoh menarik dijumpai di lndiana, di mana korban harus diberikan tawaran suatu peluang .untuk
berpartisipasi dalam sebuah program lembaga VOM apabila lembaga itu tersedia. Korban tidak diwajibkan untuk
berpartisipasi, namun penawaran untuk turut berpartisipasi harus diajukan kepada korban. Pembatasan signifikan terhadap
"hak korbatan ini adalah tidak adanya suatu keharusan bahwa program VOM ini harus tersedia.
26
Telah digantikan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan
serupa juga terdapat pada Pasal 9 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi: "(1) Setiap orang yang
ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian
dan rehabilitasi."
27
Muladi, op.,cit.,hlm. 88
Muladi, Ibid
29
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, RinekaCipta, April 2000,hlm. 8-9
28
18
dipenuhi selama masa percobaan. Syarat khusus tersebut berupa
kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidanadatam waktu
terentu. 30 Menurut Muladi, dalam hukum pelaksanaan pidana,
khususnya yang berkaitan dengan persoalan lepas bersyarat (Pasal
15 KUHP) dalam pelaksanaannya diperlukan persyaratan antara
lain izin berupa si korban. Dalam hal ini sering terlihat perbenturan
antara kepentingan pelaku tindak pidana dalam rangka resosialisasi
dan kepentingan korban yang memerlukan pelayanan. sebagai
contoh adalah SE, Direktur Pembinaan dalam Lembaga
pemasyarakatan No.DDP- Z,I/4/144 tanggal 10 Desember 1980. Di
sini diatur bahwa bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga
sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini
dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang
sebab-sebabnya.31
2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak pidana Korupsi Junto Undang-undang Nomor20 Tahun
2001tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 32 dimana
dalam salah satu ketentuannya dalam terdapat pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari korupsi. Dalam kaitan ini Muladi
menjelaskan bahwa apa yang dinamakan korban kejahatan tidak
harus berupa individu manusia melainkan dapat pula berupa
kolektivitas berupa negara dan sebagainya (collective victim).33
3) Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.34 ini memuat
ketentuan yang memungkinkan penjatuhan tindakan tata tertib
kepada terhukum berupa kewajiban mengerjakan apa yang
dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak
dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu
sama lain, semua atas biaya terhukum, sekadar hakim tidak
menentukan lain
.
30
Lihat Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai HukumPidana,
Alumni 1992,hlm. 87
31
Ibid., hlm.88
32
Semula adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi
33
Muladi, op.cit, hlm. 87.Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 34 huruf c UU no. 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini terdapat dalam pasal 18 ayat (1)
huruf b UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan Atas UUNo. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selengkapnya berbunyi : “(1) Selain Pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana
tambahan adalah : a ….; b pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakya
sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi…..
34
lbid. Lihat Pasal 8 huruf d UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan,
danPeradilan T'indak Pidana Ekonomi.
19
4. Tahapan Pasca Penjatuhan Sanksi
Suatu proses pemulihan tindak pidana, dapat juga dilakukan
pada tahapan pasca penjatuhan sanksi, yaitu setelah hakim menjatuhkan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana.
Banyak negara yang mengatur penegakan hukum yudisial yang
bersifat tindakan-tindakan restoratif. Sebagai contoh, di Prancis terdapat
suatu pemulihan melalui "tindakan perbaikan" atas perintah pengadilan
setelah pelaku dijatuhi sanksi pidana yang kemudian dilakukan
supervisi oleh seseorang atau oleh suatu badan publik pemegang
wewenang supervisi, dan ketika "tindakan perbaikan" telah secara
penuh diimplementasikan, hakim harus diberitahu dalam bentuk laporan
tertulis dari otoritas pemegang wewenang supervisi tersebut.35
Di lndonesia, peluang untuk melakukan keadilan restoratif pada
tahapan pasca penjatuhan sanksi terdapat dalam rangka pelepasan
bersyarat, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman, terdapat
suatu persyaratan diperolehnya surat perdamaian dari pihak keluarga
agar pelaku dapat memperoleh pelepasan bersyarat. Jadi kesempatan
untuk proses "pemulihan''dengan penerapan keadilan restoratif
dimungkinkan, sekalipun Surat Edaran Direktur Pembinaan dalam
Lembaga Pemasyarakatan No. DDP. Z.1/4/144 tanggal 10 Desember
1980 mengatur lebih lanjut, yaitu bilamana surat perdamaian dari pihak
keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini
dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang
sebab-sebabnya.
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pengintegrasian keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana
Indonesia adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Mengingat
ditinjau dari sistem hukum yakni dari aspek substansial dan aspek
strukturalnya telah didukung.
Prospek pengintegrasian tersebut sangat dimungkinkan ditinjau
dari aspek substansi hukum, oleh karena perundang-undangan yang
mengatur tentang sistem peradilan pidana di Indonesia memberi ruang
untuk terjadinya pengintegrasian baik dalam lingkup bidang diversi,
prosedur pengadilan, penjatuhan sanksi waupun dalam pengawasaan
paska penjantuhan sanksi hukuman. Sementara itu berkenaan dengan
aspek struktur hukumnya, penerapan keadilan restoratif di Indonesia
dapat dipilih untuk ditempatkan pada sub-sistem peradilan pidana pada
lembaga kejaksaan misalnya, atau pada setiap komponen dari sistem
peradilan pidana diIndonesia.
Berkenaan dengan bentuk-bentuk tersebut, penulis berpendapat
bahwa kebijakan untuk melakukan penerapan pendekatan restoratif
dalam upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan malpraktik
kedokteran dapat digolongkan ke dalam bentuk kebijakan di luar dari
35
The New Zealand Children, Young Persons, and Their Famities Act of 1989, mengatur
bahwasuatu family group conference dapat diselenggarakan atas mosi dari Koordinator peradilan
Remaja atau atas permintaan dari paling sedikit dua anggotanya untuk suatu peninjauan ulang atas
keputusan, rekomendasi dan rencananya.
._
20
tiga bentuk kebijakan tersebut yaitu suatu kebijakan yang paling tidak
mencakup elemen-elemen berikut.
1) Pemberdayaan para pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana
(pelaku, korban dan/atau keluarganya) untuk bersama-sama
mencari jalan keluar dan sekaligus penyelesaiannya dalam
menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta
implikasinya di masa mendatang.
2) Meningkatkan penghormatan dan perlindungan hukum atas hakhak, kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingan dari
korban pasien dan/atau keluarganya dengan pelaku dokter dan
seluruh pihak-pihak lainnya, termasuk pemberian ganti rugi kepada
korban atau perbaikan kerusakan termasuk melakukan rehabilitasi
terhadap korban antara lain melalui penyediaan dan penggalangan
dana bantuan bagi korban atau keluarganya.
3) Menggunakan sarana non-penal saja dan atau sarana penal,
termasuk mencari bentuk-bentuk alternatif lain selain dari
dilakukannya suatu penuntutan, dengan cara menghindarkan efekefek pemenjaraan ;
4) Bertujuan utama memulihkan perdamaian yang ada di tengah
masyarakat dan sekaligus dapat membantu menurunkan muatan
atau tunggakan kasus dari pengadilan pidana dan meningkatkan
penyatuan pendekatan-pendekatan restoratif ke dalam sistem
peradilan pidana sebagaimana diperlukan sehingga dapat dibangun
suatu integrated criminal justice system Indonesia yang bersifat
restorative responsive.
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka penulis
simpulkan bahwa upaya penyelesaian dan penegakan hukum terhadap
malpraktik kedokteran di Indonesia telah dimulai sejak tahun1950-an
yang kemudian diikuti dengan beberapa ketentuan perundang-undangan
yang baru yang mengatur tentang penyelesaian dan penegakan hukum
atau pemidanaan terhadap malpraktik kedokteran, namun upaya
tersebut belum dapat memberi rasa keadilan kepada korban pasien
dan/atau keluarganya. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kurangnya
penilaian terhadap hak-hak pasien sebagai korban dalam perumusan
kebijakan pidana dalam sistem perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana praktik kedokteran di Indonesia. Upaya
penyelesaian perkara dan penanggulangan yang ada masih lebih
menekankan pendekatan yang bersifat represif dan retributif yang
cenderung lebih menekankan aspek pembalasan untuk memberi efek
jera kepada dokter sebagai pelaku mengakibatkan kepentingan si
korban pasien dan/ atau keluarganya kurang terwakili dan sering
terabaikan.
Pendekatan restoratif dipandang sangat efektif dalam upaya
penyelesaian perkara dan menanggulangi malpraktik kedokteran oleh
karena konsep yang ditawarkan dalam pendekatan restoratif adalah di
samping proses penyelesaiannya lebih cepat dan sederhana, juga dapat
meniadakan efek samping yang pada umumnya sering rerjadi dalam
implementasi pendekatan represif retributif.
21
B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian
Perkara Malpraktik Kedokteran Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana.
Dalam penyusunan formulasi tentang mediasi penal dalam
perkara malpraktik kedokteran , diperlukan formulasi tentang asas-asas
dan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam proses mediasi penal yaitu;
1) Asas bebas dan suka rela.
Bahwa pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada kehendak
bebas dan suka rela dari korban (pasien) atau keluarganya dan
pelaku tindak pidana (dokter/tenaga kesehatan), sehingga dalam
memutuskan apakah perkara pidananya akan di mediasikan
ataupun tidak harus berdasarkan persetujuan bebas (freely consent)
dari para pihak.
2) Kebebasan para pihak untuk menarik diri selama proses
mediasi.
3) Asas kerahasiaan (Confidential).
Proses mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para pihak baik
korban
(pasien)
atau
keluarganya,
pelaku
tindak
pidana(dokter/tenaga kesehatan) maupun mediator harus
memegang kerahasian yang terjadi selama proses mediasi,
termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan para
pihak, alasan-alasan jika tercapai kesepakatan maupun hal-hal lain
yang timbul saat proses mediasi penal berlangsung.
Tujuan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dapat
penulis dirumuskan sebagai berikut;
a) Menyelesaikan konflik pidana malpraktik kedokteran dengan
mengadakan rekonsiliasi antar pelaku tindak pidana
(dokter/tenaga kesehatan) dan korban (pasien)
atau
keluarganya.
b) Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban
(pasien) atau keluarganya berupa restitusi dan ganti kerugian
dari pelaku (dokter/tenaga kesehatan) kepada korban (pasien)
atau keluarganya.
c) Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara dokter
sebagai pelaku dan pasien sebagai korban atau keluarganya
karena adanya tindak pidana malpraktik.
d) Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan
martabat korban atau keluarganya.
22
1.
Kebijakan Penentuan Pidana dalam
Kedokteran yang dapat dimediasi
Perkara
Malpraktik
Kebijakan penentuan tindak-tindak pidana dalam malpraktik
kedokteran yang dapat dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria
sebagai berikut;
a.
Ancaman pidana yang rendah.
Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dapat dimediasikan
hendaknya tindak pidana yang hanya diancam dengan ancaman
pidana denda atau ancaman pidana penjara paling lama satu (1)
tahun dan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling
lama 5 tahun untuk tindak pidana tertentu seperti Pasal 359 KUHP
(kelalaian akibat matinya orang lain) dan Pasal 360 KUHP
(kelalaian mengakibatkan orang lain luka berat).
b.
Tingkat kerugian yang ditimbulkan.
Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dapat di mediasikan
haruslah tindak pidana yang terbukti menimbulkan kerugian baik
materiil maupun immateriil.
c.
Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dilakukan karena
kelalaian dapat dimediasikan, hal ini menyangkut sikap batin
dokter pelaku tindak pidana. Dalam kelalaian tindak pidana dan
akibat yang terjadi bukan kehendak pelaku, melainkan karena
kekurangan penghati-hatian.
d.
Tindak pidana malpraktik kedokteran yang merupakan delik aduan
baik absolut maupun relatif, tindak pidana aduan dapat di
mediasikan karena penuntutannya didasarkan pada ada atau tidak
adanya pengaduan dan adanya kesempatan bagi korban atau
pengadu untuk mencabut pengaduannya sehingga proses tidak
sampai berlanjut pada peradilan pidana.
d.
Tindak pidana malpraktik kedokteran yang terjadi dari akibat
tindakan medik yang memang mempunyai resiko tinggi atau
terjadi karena resiko medik dengan memenuhi syarat sebagai
berikut:
Bahwa tindakan medis yang dilakukan telah sesuai dengan standar
profesi dan melakukannya dengan menghormati hak pasien dan
telah memberikan Informed Consent secara tertulis pasien sepakat
untuk mendapat perlakuan tindakan medik dari dokter terhadap
dirinya dengan menyadari sepenuhnya atas segala resiko tindakan
medik yang akan dilakukan dokter.
Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi penal yaitu
mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat kembali
hubungan antara pelaku tindak pidana (dokter) dan korban yaitu
pasien ataupun keluarganya.
e.
Tindak pidana malpraktik kedokteran yang unsur-unsur tindak
pidananya tidak jelas.
Penulis berpendapat bahwa untuk tindak pidana malpraktik
kedokteran yang tidak begitu jelas unsur pidananya, maka lebih
baik dimediasikan dalam penyelesaiannya.
23
2.
Kebijakan Penerapan Mediasi Penal dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Malpraktik Kedokteran sebagai bagian dari Proses
Peradilan Pidana.
Mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran dapat
dilakukan dengan dua cara atau bentuk, yaitu :
A. Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran di luar
proses peradilan pidana (out of criminal justice process)
Di sini diperlukan landasan hukum berupa kebijakan atau
aturan hukum yang menetapkan tentang :
a) Tindak pidanapraktik kedokteran yang dapat dimediasikan di luar
proses peradilan pidana.
b) Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak dokter dan pasien atau
keluarganya di luar pengadilan untuk tindak-tindak pidana tertentu,
diakui keabsahannya jika dilakukan secara suka rela.
c) Mediasi penal di fasilitasi oleh mediator yang telah bersertifikasi.
d) Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak dokter
dan pasien atau keluarganya, sebagai keputusan yang sah dan final
sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu dikuatkan
melalui penetapan pengadilan cukup apabila disahkan dengan
materai dan tanda tangan semua pihak. Hal ini mengingat bahwa
pelaksanaan mediasi penal dalah bersifat suka rela.
e) Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai alasan
hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah dimediasikan.
B. Mediasi penal malpraktik kedokteran sebagai bagian proses
peradilan pidana ( Within criminal justice process).
a) Mediasi penal pada tahap penyidikan .
Tahap penyidikan adalah tahap awal dari proses peradilan pidana.
Pada tahap ini dimungkinkan bagi penyidik untuk meneruskan atau
tidak meneruskan tindak pidana ke dalam proses peradilan pidana.
Oleh karena itu pada tahap ini merupakan tahap yang paling strategis
untuk memediasikan tindak pidana tertentu guna menghindari proses
peradilan pidana dengan pencarian solusi yang menguntungkan
semua pihak baik dokter maupun pasien sebagai korban tindak
pidana malpraktik kedokteran. Mediasi pada tahap penyidik ini
merupakan kombinasi model mediasi Informal mediation, victimoffender mediation dan reparation negotiation programmes.
Pada tahap ini dapat diterapkan cara kerja mediasi penal sebagai
berikut:
24
1) Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana
malpraktik yang dilakukan oleh dokter dengan kriteria-kriteria
tertentu (diuraikan dalam bahasan tindak pidana yang dapat di
mediasikan), maka pihak penyidik memanggil dokter dan pasien
dan/atau keluarganya untuk menawarkan alternatif penyelesaian
perkara pidananya di luar proses peradilan.
2) Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran harus
dilakukan secara suka rela dari semua pihak yang terlibat, oleh
karena itu jika ada pernyataan baik dari pelaku maupun korban
untuk melakukan mediasi penal, selanjutnya pihak penyidik
menyerahkan perkara tersebut kepada dokter dengan
menginformasikan jasa mediator yang akan membantu
menyelesaikan perkaranya.
3) Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip
Confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-pernyataan
yang muncul selama proses mediasi harus dirahasiakan oleh
semua pihak termasuk mediator. Mediator tidak dapat menjadi
saksi dalam proses peradilan pidana atas segala sesuatu yang
terjadi selama proses mediasi dan sebab-sebab mediasi tidak
mencapai kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan
kesepakatan.
4) Pada kesempatan mediasi inilah dokter dan pasien dan atau
keluarganya dipertemukan untuk mencari solusi yang saling
menguntungkan. Pihak pasien dapat mengajukan tuntutan ganti
kerugian kepada dokter sebesar kerugian yang dideritanya dan
menuntut pemulihan/perawatan kesehatanya dan difasilitasi oleh
mediator.
5) Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta diakui
oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh karena itu
mediator tidak bersifat perorangan melainkan suatu badan atau
lembaga yang secara khusus menjalankan tugas mediasi.
6) Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator
memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai
kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti kerugian
dari dokter kepada pasien dan atau keluarganya.
7) Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final,
sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan.
8) Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik menyatakan
bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP kepada
penuntut.
b) Mediasi penal pada tahap penuntutan.
Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan
dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang
dilakukan oleh dokter berdasarkan kriteria-kriteria tertentu,
25
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
dapat menawarkan mediasi kepada pasien atau keluarganya dan
dokter sebagai pelaku tindak pidana.
Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari
dokter dan pasien atau keluarga korban tindak pidana, jika
kedua pihak menyetujui untuk dilakukan mediasi, maka
persetujuan untuk mediasi diberikan kepada jaksa penuntut
umum.
Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagi mediator maupun
dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang
bersertifikasi.
Mediator mempertemukan pihak dokter dan pasien atau
keluarga korban tindak pidana.
Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti
semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang
muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua
pihak yang terlibat.
Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran
ganti kerugian kepada pasien atau keluarga korban.
Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara
pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang
pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak
pidananya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas
tidak tercapaianya kesepakatan mediasi maupun atas segala
sesuatu yang terjadi selama proses mediasi.
Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh
semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai sebagai
putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan,
sehingga dapat berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan.
c) Mediasi penal pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan
Mediasi penal yang dilakukan pada tahap ini adalah setelah
perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum. Dalam
mediasi pada tahap ini sebagaimana dalam perkara perdata, hakim
menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidana praktik
kedokteran dengan cara perdamian kepada para pihak, yaitu pihak
dokter sebagai pelaku tindak pidana dan pihak pasien atau
keluarganya sebelum dilakukan proses pemeriksaan di depan sidang
pengadilan dengan melihat kriteria tindak pidana yang dilakukan
oleh dokter sebagai terdakwa.
Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat
digunakan sebagai alasan untuk menghapuskan menjalankan pidana
bagi dokter sebagai pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap ini
bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan
yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah
gabungan dari model Victim-offender Mediation dan Reparation
Negotiation Programmes.
26
Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai berikut:
1) Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang
dilakukan
oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal
sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para
pihak.
2) Jika para pihak menyetujui,maka diadakan persetujuan secara
suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara
mediasi baik oleh dokter maupun oleh pasien atau keluarganya.
3) Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan
mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan
bersertifikasi.
4) Mediasi mempertemukan pihak dokter dan pasien atau
keluarganya, pada kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara
dokter dan pasien , serta dilakukan pembayaran ganti kerugian
yang di derita pasien atau keluarganya.
5) Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga
segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul
dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak
termasuk mediator.
6) Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses
pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana
mestinya.
7) Jika tercapai kesepakatan di mana parapihak saling menerima
hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti
kerugian oleh dokter kepada pasien atau keluarganya, maka
hasil kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan
menjadi berkekuatanhukum tetap sebagaimana putusan
pengadilan dan bersifat final, sehingga pelaku tidak dapat
dituntut dan diadili kembali dalam prosesperadilan pidana.
d) Mediasi penal pada tahap pelaku menjalankan sanksi pidana
penjara.
Pada tahap ini mediasi penal dilakukan baik berupa reparation
negotiation programme yang menitikberatkan pada pembayaran
kompensasi dari dokter kepada korban pasien atau keluarganya,
maupun berupa bentuk victim-offender mediation, yang menitik
beratkan baik pada konsep rekonsiliasi maupun pada kesapakatan
pembayaran ganti kerugian kepada korban pasien . Mediasi yang
dilakukan pada tahap dokter sedang menjalani pidananya khususnya
pidana penjara, berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan
kewenangan menjalankan sebagian pidana jika pelaku telah
menjalankan sebagian pidananya.
Adapun pelaksanaan pada tahapan eksekusi adalah sebagai
berikut.
1) Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan
kepada korban pasien atau keluarganya untuk mengadakan
mediasi penal guna meringankan pidananya.
27
2) Jika korban pasien atau keluarganya menyetujui permintaan
mediasi dari dokter sebagai pelaku tindak pidana, maka diajukan
persetujuan mediasi kepada Jaksa penuntut umum sebagai
eksekutor.
3) Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan
disetujuinya mediasi penal.
4) Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat
dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun
mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi.
5) Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasian (confindentiality),
sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam
mediasi bersifat rahasia.
6) Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan
kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan
tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan
kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat
dibebaskan.
7) Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian
kepada korban pasien dituangkan kedalam akta kesepakatan
yang bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk
membebaskan terpidana dari pidana yang belum dijalaninya.
Atas dasar kebijakan tersebut diperlukan dasar hukum dan
pembaharuan serta penataan dalam
sistem hukum pidana,
khususnya yang berkaitan dengan perkara pidana malpraktik
kedokteran. Pembaharuan sistem hukum pidana untuk memberi
tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaian perkara
malpraktik kedokteran dimaksud dengan melakukan perubahan pada
setiap komponen (subsistem) dari sistem hukum pidana, yakni
subtansi, lembaga/institusi dan kultur dalam hukum pidana.
1.
Pembaharuan Substansi Hukum Pidana
Pembaharuan subtansi hukum pidana dalam rangka
memberikan
tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif
penyelesaian tindak pidana malpraktik kedokteran di luar
pengadilan, dapat dimulai dengan memberikan dasar hukum dari
mediasi penal. Untuk memberikan dasar hukum dimaksud, maka
diperlukan perubahan atau revisi terhadap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan peraturan tentang proses
penyelesaian perkara malpraktik kedokteran. Sebagaimana yang
penulis dikemukakan sebelumnya, sampai saat ini belum terdapat
pengaturan
tentang proses penyelesaian perkara malpraktik
kedokteran melalui mediasi penal. Sehingga pembaharuan di sini
lebih bermakna sebagai penambahan suatu lembaga baru, yakni
mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran kedalam
sistem hukum pidana di Indonesia.
Dalam melakukan pembaharuan terhadap peraturan
perundang-undangan sebagai antisipasi terhadap perkembangan
28
masyarakat yang begitu pesat, maka diperlukan pendekatan
komparatif dan komprehensif terhadap perkembangan pemikiran
tentang sistem hukum pidana, baik yang berkembang pada tataran
global maupun pada tataran lokal. Dalam tataran global,
perkembangan mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik
kedokteran sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana
sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari beberapa negara yang
sudah mengatur dan menerapkan mediasi penal dari berbagai
ketentuan tentang mediasi penal dalam sistem hukumnya.
Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal di berbagai
negara, terlihat bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR
dimungkinkan dalam perkara pidana; namun tetap diberi payung /
kerangka hukum (mediation Within the framework of criminal law),
yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiel (KUHP) atau
hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam Undang-undang
khusus.36
Selain mengacu pada perkembangan pemikiran dan pengaturan
di berbagai negara yang memberi tempat kepada mediasi penal
dalam tindak pidana malpraktik kedokteran sebagai alternatif
penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan, pembaharuan
hukum pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan pula dengan
keberadaan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat
sebagai sistem/tatanan hukum yang diakui eksitensinya secara
konstitusional. Pengakuan terhadap eksitensi hukum adat dimaksud
dapat dilihat dalam
Pasal 181 Ayat (3) UUD 1945 yang
menyebutkan
bahwa, identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: dalam rangka
penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah. Jadi menurut kedua pasal
tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan
hukum adat dan pengadilan adat. Karena
pengadilan
adat
merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka
pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan.37
Dalam konteks penyelesaian perkara, sistem/ tatanan
penyelesaian hukum di masyarakat dan hukum adat di berbagai
komunitas masyarakat adat di Indonesia memperlihatkan bahwa,
proses penyelesaian melalui cara-cara yang sesuai dengan filosofi
hidup masyarakat yang
bersangkutan,
masih hidup dan
36
Barda Nawawi Arief,” Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di
luar Pengadilan , disajikan dalam Seminar Corporate Nasional “ Pertanggungjawaban Hukum
Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance” Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Di
Intercontinental Hotel. Jakarta,27 Maret 2007.
29
berkembang. Jadi, pembaharuan hukum pidana dengan memasukan
nilai–nilai yang terdapat di dalam hukum yang berkembang di
masyarakat dan hukum adat, bukan hanya sebagai
bentuk
pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam
masyarakat dan hukum adat itu sendiri, tetapi juga karena
kesadaran bahwa nilai–nilai tersebut sesuai/relevan dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Jadi, dalam rangka memperbaharui subtansi hukum pidana
untuk memberi tempat
kepada mediasi penal sebagai alternatif
penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan,
maka harus dilakukan perubahan / revisi atau penambahan terhadap
beberapa peraturan perundang - undangan.
Penulis berpendapat bahwa, ketentuan mediasi penal dalam
perkara malpraktik kedokteran dapat ditempatkan di dalam KUHP
dan KUHAP, yaitu:
2.
KUHP
Dalam konteks pembaharuan KUHP, pasal-pasal yang
berkenaan dengan gugurnya kewenangan penuntutan tersebut dapat
dijadikan sebagai pintu masuk yang dapat memberi tempat kepada
mediasi penal proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di
luar pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsep Rancangan
KUHP yang mengatur tentang hal-hal yang menjadi dasar gugurnya
kewenangan penuntutan. menurut pasal 145(d) Rancangan KUHP,
Kewenangan Penuntutan gugur, jika di lakukan “penyelesaian di luar
proses‟‟38
Artinya perkara tindak pidana yang telah diselesaikan oleh
pelaku dan korban di luar proses (pengadilan), dapat menjadi
dasar gugurnya kewenangan jaksa untuk menuntut tindak pidana
tersebut. Untuk mempertegas kedudukan mediasi penal sebagai
alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar
pengadilan, maka seyogyanya ketentuan yang mengatur tentang
dasar gugurnya kewenangan penuntutan yaitu penyelesaian di luar
proses
(Pasal 145 d)
tersebut di atas, direvisi menjadi
“Penyelesaian tindak pidanamalpraktik kedokteran
dilakukan
melalui mediasi penal”. Dengan rumusan tersebut di atas, KUHP
yang akan datang secara tegas memberikan tempat kepada mediasi
penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktikkedokteran
di luar dan/atau didalam proses pengadilan.
38
Pasal 145 (RKUHP-2012)
30
3.
KUHAP
Mengacu pada ketentuan bahwa mediasi penal harus tersedia
pada semua tahap dalam proses peradilan pidana, 39 maka untuk
dapat menyelenggarakan mediasi penal dalam perkara malpraktik
kedokteran pada setiap tahapan proses peradilan pidana, perlu
ditambahkan wewenang penyidik, penuntut umum, hakim dan
aparat pelaksana putusan pengadilan. Penambahan tugas dan
wewenang tersebut diperlukan bilamana pelaku dan korban tindak
pidana menghendaki perkara yang mereka hadapi diselesaikan
melalui proses mediasi penal. Jadi, diperlukan pengaturan berkenaan
dengan wewenang aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan
pidana. Wewenang yang seyogyanya ditambahkan pengaturannya
adalah:
a) Polisi Penyidik dapat menghentikan seluruh proses penyelidikan
dan penyidikan perkara malpraktik kedokteran yang sedang
berlangsung; dan menjalankan kembali proses penyelidikan dan
penyidikan bilamana proses penyelesaian perkara malpraktik
melalui mediasi penal mengalami kegagalan.
b) Jaksa Penuntut Umum dapat menghentikan seluruh proses
penuntutan perkara tindak pidana praktik kedokteran yang
sedang berlangsung; dan melaksanakan kembali proses
penuntutan bilamana proses penyelesaian perkara malpraktik
melalui mediasi penal mengalami kegagalan.
c) Hakim dapat menghentikan seluruh proses pemeriksaan perkara
malpraktik kedokteran yang sedang berlangsung di pengadilan;
dan melaksanakan kembali proses pemeriksaan perkara tindak
pidana di pengadilan bilamana proses penyelesaian perkara
tindak pidana melalui mediasi penal mengalami kegagalan.
d) Aparat Pelaksana keputusan hakim dapat menghentikan
pelaksanaan pidana malpraktik kedokteran terhadap terpidana
dan melaksanakan kembali keputusan hakim bilamana proses
penyelesaian perkara tindak pidana melalui mediasi penal
mengalami kegagalan.
Sampai saat ini belum terdapat negara yang secara khusus
menyebutkan bahwa tindak pidana praktik kedokteran dapat
diselesaikan melalui mediasi penal, akan tetapi merujuk Article 23a
of the Code Of Criminal Procedure dan dalam Regulation of
the Ministry of justice 13 june 2003 on Mediation proceeding in
Criminal Matters, khususnya dalam Article 23a of the Code of
Criminal Procedure dan dalam regulation of the Ministry of Justice
13 June 2003 on Mediation Proceeding In Criminal Matters yang
antara lain menyebutkan bahwa, seorang penuntut boleh atas
inisiatif sendiri atau atas izin dari korban dan pelaku, mengarahkan
kasus
pidana kepada orang atau institusi yang bisa dipercaya
39
Recommendation N R (99) 19 adopted by the Committiee of Ministers of the councils of
europe, 15September 1999
31
untuk tujuan mengadakan proses mediasi penal, maka pada
prinsipnya perkara malpraktik kedokteran juga dapat diselesaikan
melalui lembaga mediasi penal.
Di dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
penyelesaian sengketa di luar pengadilan seyogyanya ditambahkan
juga
beberapa ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian
perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. Pengaturan
tersebut meliputi syarat–syarat, prosedur, jangka waktu, lembaga
penyelenggaradan hal–hal lainnya yang diperlukan dalam
penyelenggaraan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran
melalui mediasi penal.
4.
Pembaharuan Struktur Hukum Pidana
Pembaharuan struktual sangat perlu dilakukan mengingat
bahwa institusi penyelenggara mediasi penal dalam
perkara
malpraktik kedokteran belum terdapat dalam strukur hukum pidana
saat ini. Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara
di luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam UndangUndang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara
perdata, belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana.
Berdasarkan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman,
semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia
adalah peradilan negara ditetapkan dengan Undang-Undang. 40
Artinya, mediasi penal sebagai penyelesaian perkara malpraktik
kedokteran di luar pengadilan strukturnya berada
di dalam
Kekuasaan Kehakiman. 41 Jadi, sebagai lembaga yang berfungsi
menegakkan hukum dan keadilan, maka kedudukan mediasi penal
dalam perkara malpraktik kedokteran berada pada sistem kekuasaan
Kehakiman. Hal tersebut tidak berbeda dengan yang berlaku di
negara-negara lain, Jadi secara struktual, Lembaga/ Badan Mediasi
Penal memiliki tugas dan wewenang dalam menentukan prosedur
dan proses mediasi penal; serta melakukan pengawasan terhadap
menyelenggaraan mediasi penal. Selain mengatur prosedur dan
proses mediasi penal, Lembaga Mediasi Penal juga memiliki tugas
menyediakan mediator penal yang profesional.
5.
Pembaharuan Kultur Hukum Pidana
Dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana,
pembaharuan kultur/budaya hukum menjadi bagian yang sangat
penting. Mengingat kultur dalam sistem hukum merupakan dasar
bagaimana sebetulnya sistem hukum tersebut akan diberdayakan.
Seperti dalam teori budaya hukum yang dinyatakan Hans
Kelsen dengan diberinya tempat penyelenggaraan mediasi penal
40
41
Lihat : Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman
Bandingkan : Pasal 24 UUD 1945 (Amandemen)
32
dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di dalam
substansi dan struktur hukum pidana sesuai dengan rumusan hukum
yang digagas Lawrence M. Friedman yang menyatakan ada tiga
elemen sistem hukum yang menentukan berfungsinya atau
memfungsikan suatu hukum, maka seyogyanya kultur juga
diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal tersebut sesuai
dengan tujuannya.
Mencermati berbagai berita yang
memperlihatkan betapa menyedihkannya wajah penegak hukum
pidana akhir-akhir ini, sedikit banyak menunjukkan bahwa
budaya/kultur berhukum dari seluruh komponen yang terlibat,
khususnya aparat penegak hukum, belum mencerminkan perilaku
kaum profesional yang bertanggung jawab.
Pada tataran Internasional, tuntutan untuk meningkatkan kultur
penyelenggara peradilan pidana agar lebih profesional dalam
menjalankan tugasnya dapat dilihat dalam kongres PBB mengenai
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres
tersebut melahirkan resolusi tentang justice management in the
context of Accountability of public Administration and Sustainable
Development. Resolusi itu antara lain menghimbau negara anggota,
organisasi antar pemerintah dan organisasi profesional non
pemerintah, agar dalam program-program pengembangan yang
berkaitan dengan manajemen peradilan pidana, mempertimbangkan
masalah “accountability and sustainability’’.42
Mengacu pada uraian diatas, langkah mendesak yang perlu
dilakukan dalam rangka pembaharuan kultur hukum, khususnya
dengan dimungkinkannya penyelenggaraan penyelesaian perkara
malpraktik kedokteran di luar pengadilan melalui mediasi penal
adalah dengan melakukan upaya peningkatan profesionalisme dan
akuntabilitas yang didasari oleh moral dan etika yang baik.
Upaya meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas dari
penyelenggara peradilan pidana, merupakan tuntutan yang tidak
bisa ditunda pemenuhannya, karena peningkatan profesionalisme
tersebut merupakan bagian dari upaya memperoleh kepercayaan
respek masyarakat. Kepercayaan dan respek masyarakat terhadap
lembaga peradilan sangat penting
untuk mencegah terjadi
kemerosotan nilai kualitas di berbagai bidang kehidupan.43
42
Kongres PBB ke 9/1995 di Kairo, Lihat: Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum
Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( Integrated Criminal Justice System),
Universitas Diponegoro, 2008, hlm 38
43
Menurut Barda Nawawi Arief, akuntabilitas tidak hanya terkait dengan masalah
tanggung jawab institusional, tetapi juga tanggung jawab individual. Tanggung jawab institusional
menuntut adanya manajemen/administrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable development) dan Tanggung jawab individual menuntut
adanyakematangan integritas moral dan hati nurani dari para pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan/proses peradilan.48 Artinya, diperlukan langkah- langkah konkrit untuk
memperbaiki kultur hukum penyelenggaraan peradilan pidana baik secara institusional maupun
33
Langkah pertama dalam upaya peningkatan profesionalisme
dari penyelenggara peradilan pidana adalah persiapkan aparatur yang
dibekali pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam menangani
perkara malpraktik kedokteran yang akan diselesaikan melalui
mediasi penal. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang
mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran diperlukan,
mengingat bahwa tugas dan wewenang sebagai penyelenggara
mediasi penal dalam perkara tersebut sangat berbeda dengan tugas
dan dan wewenang dalam penegakan hukum yang selama ini telah
dilaksanakan.
Peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas tidak akan
mendatangkan hasil optimal, bilamana tidak didasari integritas
moral para penyelenggaraanya. Jadi, upaya peningkatan
profesionalisme dan akuntabilitas seyogyanya terintegrasi dengan
upaya
peningkatan
integritas moral dan etika bagi para
penyelenggara peradilan. Kebutuhan akan
perlunya peningkatan
integritas moral dan etika yang dilandasi oleh nilai- nilai religiusitas,
tidak terlepas dari kesadaran bahwa, runtuhnya moralitas dimulai
dari diabaikannya nilai-nilai religius. 44 Bersikap dan bertindak
dengan pertimbangan yang seharusnya dan sepantasnya dilakukan
untuk kebaikan dan kebahagiaan jangka panjang seringkali sudah
ditinggalkan, karena mendahulukan kesenangan jangka pendek.
Salah satu bentuk perwujudan restorative justice adalah
dengan dikembangkannya konsep penal mediation yang menjadi
alternatif dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran.
Penal mediation patut dipertimbangkan untuk menjadi
alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di samping
proses peradilan pidana tradisional, karena banyak kelebihankelebihan dan keuntungannya dibanding kelemahan-kelemahannya.
Temuan fakta dari hasil penelitian lapangan mediasi penal
telah dipraktikan baik oleh dokter kepada pasiennya dalam hal
perkara malpraktik serta anggota masyarakat dalam menyelesaikan
tindak pidana tertentu, serta oleh aparat penegak hukum (kepolisian)
dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu pula. Namun demikian
praktik mediasi penal di sini tidak menghapuskan kewenangan
penuntutan maupun menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana.
individual, agar lebih bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya. Barda Nawawi Arief,
Op.cit, hlm 38
44
Melalui pendekatan keilmuan yang dilandasi nilai- nilai religius, budaya hukum aparat
penegak hukum dapat dilakukan melalui pendidikan.Pendidikan tidak semata – mata hanya
memberi bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mempergunakan hukum, tetapi dilengkapi
dengan memberi bekal pemahaman makna/hakikat kebaikan dan kebahagiaan menyeluruh. Untuk
keperluan tersebut, ilmu hukum yang diberikan seyogyanya dilengkapi pula dengan ilmu- ilmu
sosial dan humaniora. Bandingkan: Henry Hazlitt, (Penrj. Cuk Ananta Wijaya): Dasar - dasar
Moralitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. Hlm.1-3
34
Mengingat karakteristik masyarakat tersebut maka dibentuk
konstruksi mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran yang
sangat fleksibel untuk dipraktikkan, dengan mengkombinasikan
model-model atau bentuk-bentuk penal mediation seperti informal
mediation, victims - offender Mediation dan Reparation Negotiation
Mediation, dengan konsep reconciliation dan restitution yang
mendasarinya, maka kontruksi politik hukum mediasi penal sebagai
alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di masa
mendatang adalah bangunan pengaturan tentang pelaksanaan
mediasi penal.
Adapun kebijakan pelaksanaan (applicative policy) mediasi
penal meliputi mediasi penal di luar proses peradilan pidana (Penal
mediation out of Criminal Justice Process) dan mediasi penal di
dalam proses peradilan pidana (Penal Mediation Within Criminal
Justice System ) yang meliputi mediasi pada tahap penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan saat terpidana
menjalankan pidananya.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Mediasi penal dalam perspektif perundang-undangan saat ini, baik
diluar maupun didalam proses pengadilan dalam hukum pidana
positif belum diatur, bahkan dalam beberapa peraturan perundangundangan dinyatakan bahwa penyelesaian
perkara di luar
pengadilan hanya berlaku untuk penyelesaian perkara perdata,
namun dalam hal-hal tertentu terdapat ketentuan-ketentuan yang
memungkinkan penyelesaiannya diselesaikan di luar proses
pengadilan.
Ketentuan-ketentuan tersebut secara implisit menunjukkan
bahwa sebenarnya mekanisme penyelesaian tindak pidana di luar
pengadilan telah diberi tempat yaitu,
a.
b.
c.
d.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Pasal 9 ayat 1).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
(Pasal 18 ayat 1).
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Pasal 1 ayat 14).
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Pasal 29).
e.
Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.
B006/R- 3/I/1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982
tentang Perkara Profesi Kedokteran.
f.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PV-V/2007.
35
2.
Penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia dari perspektif pengkajian asas, norma dan praktik
eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan “ada” karena
ternyata praktik mediasi penal, khususnya dalam perkara
malpraktik kedokteran telah diterapkan oleh penegak hukum
(kepolisian),
dokter dengan pasien dan/atau keluarganya,
penyelesaian
tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti
mekanisme lembaga kesehatan baik melalui direksi rumah sakit
atau dari profesi kedokteran dengan musyawarah kekeluargaan.
Dikatakan “tiada“ dikarenakan mediasi penal dalam ketentuan
undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana, akan
tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara
terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya
parsial,
seperti
diatur
dalam
Surat
Kapolri
No
Pol:B/3002/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang
penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR)
serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri.
3.
Kebijakan legislasi mediasi penal dalam perkara malpraktik
kedokteran yang merupakan bagian dari proses peradilan pidana
menjadi sarana penyelesaian yang sah dan hasil kesepakatannya
bersifat mengikat terhadap para pihak antara pihak dokter dan
pasien maupun keluarganya, serta aparat penegak hukum
menghapuskan kewenangan untuk menuntut.
Penentuan kebijakan pelaksanaan mediasi penal dalam perkara
malpraktik kedokteran dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:
a. Diluar proses peradilan pidana dengan diperlukan landasan
hukum berupa kebijakan/aturan hukum tentang
tindak
pidananya yang dapat dimediasikan diluar pengadilan, mediasi
penal yang dilakukan diakui keabsahannya, difasilitasi
mediator, hasil kesepakatan/keputusan sah dan final serta tidak
perlu dikuatkan pengadilan dan hasil kesepakatan sebagai
hapusnya penuntutan tindak pidananya.
b. Kebijakan mediasi penal sebagai bagian proses peradilan
pidana:
4.
1) Pada tahap penyidikan dimungkinkan bagi penyidik untuk
menghentikan atau meneruskan penyidikan, dengan
memanggil pelaku (dokter) dan korban (pasien) atau
keluarganya
untuk
mencari
solusi
saling
menguntungkan/pembayaran ganti rugi/kompensasi dan jika
adanya hasil kesepakatan maka penyidik tidak melanjutkan ke
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada penuntut.
2) Pada tahap penuntutan, Jaksa penuntut umum dapat
menawarkan mediasi kepada pelaku dan korban dengan
menawarkan rekonsiliasi dan pembayaran kerugian pada
36
korban jika kesepakatan diterima keduabelah pihak putusan
tersebut final tidak dapat penuntutan dan sebagai alasan
penghapus penuntutan.
3) Pada tahap pemeriksaan persidangan dalam hal ini seperti pada
persidangan
perdata
hakim
menawarkan
alternatif
penyelesaian dengan cara perdamaian, jika tercapai digunakan
sebagai alasan menghapus menjalankan pidana bagi pelaku.
4) Pada tahap pelaku menjalankan pidana penjara dalam hal ini
menitikberatkan pada pembayaran kompensasi dari pelaku
kepada
korban.dan
berfungsi
untuk
menghapuskan
kewenangan menjalankan sebagian pidana bagi pelaku.
Kebijakan-kebijakan tersebut memerlukan dasar hukum dan
pembaharuan serta penataan dalam sistem hukum pidana, khususnya
yang berkaitan dengan tindak pidana malpraktik kedokteran guna
memberi tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaiannya
dengan melakukan perubahan pada setiap komponen (subsistem) dari
sistem hukum pidana, yakni substansi, lembaga/ institusi dan kultur
dalam hukum pidana.
Pembaharuan substansi hukum pidana dalam rangka memberikan
tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian di luar
maupun di dalam proses peradilan, dapat dimulai dengan memberikan
dasar hukum dan perubahan serta revisi terhadap peraturan perundang–
undangan dapat ditempatkan di dalam KUHP dan KUHAP atau
perundang-undangan tersendiri yang berkaitan dengan peraturan
tentang mediasi penal kedalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal terlihat bahwa
mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan dalam perkara
malpraktik kedokteran, namun tetap diberi payung / kerangka hukum
yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiil (KUHP) atau
hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam undang-undang khusus.
Pembaharuan Struktur Hukum Pidana sangat perlu dilakukan
mengingat bahwa Institusi penyelenggara mediasi penalbelum terdapat
dalam struktur hukum pidana saat ini.
Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di
luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam UndangUndang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara perdata,
belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana. Jadi, diperlukan
secara struktual, Lembaga/Badan Mediasi Penal yang memiliki tugas
dan wewenang dalam menentukan prosedur dan proses mediasi penal;
serta melakukan pengawasan terhadap menyelenggaraan mediasi penal.
Selain mengatur prosedur dan proses mediasi penal, Lembaga Mediasi
Penal juga memiliki tugas menyediakan mediator penal yang
profesional.
Dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana, pembaharuan
kultur/budaya hukum menjadi bagian yang sangat penting, mengingat
kultur dalam sistem hukum merupakan dasar bagaimana sebetulnya
sistem hukum tersebut akan diberdayakan. Dengan diberinya tempat
37
penyelenggaraan mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak
pidana di dalam subtansi dan struktur hukum pidana, maka seyogyanya
kultur juga diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal sesuai
dengan tujuannya.
B. Saran
Kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang adalah yang
diambil dari Hukum positif dalam hal ini KUHP lndonesia, Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang - Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Konsep KUHP
2012.
Kebijakan yang diambil adalah mengenai kebijakan hukum yaitu
kebijakan hukum yang tentunya dapat memberikan kepastian hukum
bagi kedua belah pihak dan perlindungan hukum bagi korban
malpraktik karena kelalaian dokter sebagai upaya penyelesaian yang
adil dan menguntungkan keduabelah pihak .Kebijakan-kebijakan
tersebut adalah;
1. Kebijakan formulasinya sebaiknya perlu diatur mengenai
pertanggungjawaban tempat pelayanan kesehatan/rumah sakit dalam
hal tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter yang
mengakibatkan kerugian di pihak pasien dalam hal terjadinya
malpraktik medik, ini sebagai bentuk pemberian perlindungan
terhadap korban malpraktik sebagai upaya penyelesaian tindak
pidana malpraktik kedokteran di masa yang akan datang.
2. Kebijakan formulasi hukum pidananya sebaiknya mengatur
mengenai masalah kelalaian dokter di dalam melakukan upaya atau
tindakkan medis yang berakibat pada hilangnya nyawa seseorang.
3. Kebijakan formulasi hukumnya perlu diterapkan penyelesaian
mediasi penal yang menghapus sanksi pidana apabila telah terjadi
kesepakatan penyelesaian dengan pihak dokter telah memberikan
ganti rugi kepada pasien sesuai yang disepakatinya.
4. Sebaiknya di dalam Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran dijelaskan mengenai pengertian
malpraktik kedokteran sehingga masyarakat umum, dokter, dan
dunia kesehatan menjadi paham apa sesungguhnya malpraktik
kedokteran dan mengetahui batasan-batasan mengenai tindak pidana
malpraktik kedokteran ini .
5. Bagi aparat penegak hukum, baik penyidik penuntut umum dan
hakim harus hati - hati di dalam menentukan pasal mana yang dapat
dikenakan terhadap kasus malpraktik, karena di dalam dunia
kedokteran, seorang dokter dalam menangani pasien tidak ada dua
penyakit yang sama persis antara pasien satu dengan pasien yang
lainnya.
6. Hukum pidana merupakan Ultimum Remedium artinya hukum
pidana sebaiknya digunakan sebagai obat terakhir atau langkah
terakhir apabila cara - cara penyelesaian yang lain tidak dapat
menemui kesepakatan atau jalan keluar.
38
7.
Perlu dirumuskan tentang mediasi penal dalam tindak pidana yang
dapat memberikan kenyamanan dan kepastian hukum bagi kedua
belah pihak dalam hal ini dokter dan pasien sehingga dokter merasa
nyaman di dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter tanpa adanya
rasa takut yang berlebihan dan di pihak pasien dapat memberikan
perlindungan hukum apabila terjadi hal-hal yang menyimpang atau
menimbulkan akibat tertentu yang merugikan pasien atau korban, ini
semua diperlukan demi terciptanya kepastian hukum bagi kedua
belah pihak.
C. Implikasi
1. Impikasi Teoritis
Penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran
dengan menggunakan sarana hukum pidana berlaku asas ultimum
remedium. Dalam hal ini berarti bahwa, penegakan hukum dalam
perkara malpraktik kedokteran dengan sarana hukum pidana hanya
dilakukan apabila penegakan hukum dengan sarana hukum yang
lain (hukum administrasi) dinyatakan tidak efektif.
Tanpa mengesampingkan keterbatasan, kelemahan maupun
efek samping yang dapat timbul dari penjatuhan pidana
sebagaimana yang dikemukakan HL. Packer, namun dalam
penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran,
penggunaan sanksi hukum pidana apakah masih dibutuhkan untuk
mendorong ditaatinya norma-norma hukum kesehatan/praktik
kedokteran maupun mencegah terulangnya perbuatan yang
membahayakan pasien/masyarakat. Apakah hal tersebut sejalan
dengan apa yang dikemukakan Packer bahwa “the criminal
sanction is the best available device we have for dealing with gross
and immediate harms and threats of harm.
Jadi, asas ultimum remedium dalam penegakan hukum dalam
perkara malpraktik kedokteran ini sudah seyogyanya diganti
dengan asas primum remedium agar sarana hukum pidana dapat
segera dipergunakan untuk menyelesaikan kasus tesebut.
Perubahan dari asas ultimum remedium menjadi asas primum
remedium, merupakan salah satu bentuk penggunaan hukum secara
sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana
dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan
sebagaimana yang dimaksud Pound dengan pemikirannya tentang
law is a tool of social engineering.
Pemikiran Pound dan kaum sociological jurisprudence
lainnya yang mengkonsepsikan hukum sebagai judge made law
dalam tradisi common law system, dalam konteks di Indonesia
yang bertradisi civil law system, “judge” dapat dikembangkan
pemahamannya tidak hanya berarti “Hakim” yang memutuskan
perkara di Pengadilan, tetapi juga berarti “decision maker”. Jadi,
decision maker dalam sistem hukum di Indonesia adalah pihak
yang berwenang merumuskan/memformulasikan peraturan
perundang-undangan
dan
pihak
pelaksanaannya.
39
Mengkonstruksikan mediasi penal sebagai wujud restorative justice
sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran ke
dalam sistem hukum pidana di Indonesia diharapkan dapat
memberikan perbaikan dan kemajuan dalam penegakan hukum
kesehatan/praktik kedokteran. Hasil pembahasan dalam disertasi ini
memperlihatkan bahwa, meskipun perubahan dari asas ultimum
remedium ke asas primum remedium tetap mengakibatkan
kemungkinan semakin banyak perkara malpraktik kedokteran yang
harus diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, namun dengan
adanya alternatif lembaga atau peraturan perundang-undangan
tentang mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran
beban Pengadilan dalam penyelesaian perkara menjadi
terbagikarena dengan tersedianya lembaga mediasi penal, maka
pencari keadilan dapat memilih untuk menyelesaikan perkara
melalui Pengadilan atau melalui mediasi penal di luar pengadilan.
2.
Implikasi Praktis
Dengan adanya alternatif lembaga mediasi penal, maka
perkara malpraktik kedokteran dapat diselesaikan di pengadilan
atau di luar pengadilan melalui melalui mediasi penal.
Untuk dapat memberi tempat terhadap mediasi penal
sebagai lembaga alternatif penyelesaian perkara malpraktik
kedokteran, diperlukan dasar hukum di dalamsistem hukum pidana
di Indonesia. Dalam rangka memberi dasar hukum tersebut, maka
diperlukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian
perkara tindak pidana baik di luar maupun dalam proses
pengadilan pada umumnya dan perkara malpraktik kedokteran
pada khususnya.
Peraturan perundang-undangan yang perlu di revisi adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP); dan Undang-Undang
Praktik Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan dan/atau UndangUndang Tentang Rumah Sakit.
40
Daftar Pústaka
Buku-buku:
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran : Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,
Bayu Media, Jakarta, 2007.
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
----------, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Anny Isfandyarie, Malpraktik dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana,
Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005.
----------, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustakarya,
Jakarta, 2006.
Ananta Wijaya , Dasar-dasar Moralitas , Pustaka Pelajar, Jogyakarta.2007.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Semarang: BP UNDIP cetakan ke-4, 2010.
----------, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia, UNDIP, Semarang, 2009.
----------, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di luar Pengadilan. Semarang:
Pustaka Merdeka, 2008.
----------, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana
Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Universitas Diponegoro,
2008.
Bagir Manan, “Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa” dalam Varia
Peradilan No. 248 Juli 2006, hlm 10-11, 2006.
---------, Hakim dan Pemidanaan, FH.UII Press,Jogyakarta,2004.
41
FX. Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012.
John Rawls, A Theory of Justice, revised edn, OUP, Oxford, 1999.
Melani, Restorative Justice, Lp.Kompas, Jakarta,2006.
Muladi dan Barda. N. Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung ,
1992.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1995.
Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR), Penyelesaian Perkara Pidana
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, masalah workshop, Jakarta, 18
Januari 2007.
Romli Atmasasmita, Hukum Kujahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, 2003
Soerjono Soekanto, Ronny Hanitijo Soemitro, Dualisme
HukumNormatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Penelitian
Sulistyowati Irianto, Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2011.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
42
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Konsep Rancangan Undang-Undang
Tahun 2012.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung Nomor B006/R-3/I/1982.
Putusan Makamah Konstitusi Nomor 4/PV-V/2007.
Diktat/Jurnal:
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol 3 No.III,
September ,2004.
Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan, PDIH Undip, Jakarta ,Maret, 2004.
Chairul Huda, Kedudukan Subsistem Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana,
Jurnal Hukum, No 12, Vol.6 ,1999.
Esmi Warassih Pujirahayu, Metode Penelitian Hukum, bahan Kuliah ppt, 2010.
FX. Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian dalam Pendekatan
Hukum Non-Doktrinal dan Penelitian dalam ranah Sosio-Legal, makalah, 2012.
43
BIODATA PENULIS
Data Pribadi
Nama
: S.Tri Herlianto, SH.,MH.,MM
Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 24 Juli 1965
Pekerjaan
: Staf. Kemenhankam
Alamat Rumah
: Jl.Ratu Dibalau, Gg.Damai Palm, 29 C Tanjung Senang
Bandar Lampung.
Telp.0721 788608, 0812 7820 2266
E-Mail: [email protected].
Data Keluarga
Istri
: Endang Tri Rahayuningsih
Anak
: 1. dr. Ida Ayu Prameswari.
2. Letda. Ernest Fergie, SH.
3.Gressa Mega Gusik Goretty, S.Farm, Apt.
Riwayat Pendidikan
:
1.SD
: SD Sejahtera III, lulus tahun 1976
2.SMP
: SMPN 2 Tanjung Karang, tahun 1979
3.SLTA
: SMPPN 51 Tanjung Karang, lulus 1982
4.Sarjana (S1)
: 1. Dipl.Analis Kimia , lulus 1986
2. Sandi Negara, lulus 1989
3. Fakultas Hukum UTB, lulus 2004
5.Pasca Sarjana (S2) : 1. Magister Mânagemen,Universitas
Bandar Lampung, lulus 1999.
2.Medical Of Tehcnology, Hiroshima,
JAPAN, lulus 2001
3.Fakultas Hukum Universitas Bandar
Lampung, lulus 2006
44
Download