1 KARAKTERISTIK DAERAH POTENSI BENCANA

advertisement
KARAKTERISTIK DAERAH POTENSI BENCANA ALAM
WILAYAH SELAT SUNDA
Tito Latif Indra, SSi, MSi, Drs. Supriatna, MT, Tresvel Nazwil, SSi
Departemen Geografi FMIPA UI
1. PENDAHULUAN
Secara umum, berdasarkan kejadiannya gempa bumi terbagi menjadi dua jenis,
yaitu gempa bumi tektonik dan gempa bumi vulkanik. Ketika terjadi dislokasi di zona
pertemuan lempeng bawah laut, selain terjadi getaran gempa, perpindahan sejumlah besar
energi air laut. Akibat peristiwa ini juga dapat memicu terjadinya tsunami yang
menerjang wilayah pesisir.
Hampir semua kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Berbagai
aktivitas mulai dari pemukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri dan
berbagai sektor lainnya berdesakan di wilayah ini. Di perkirakan 60% populasi
penduduk Indonesia dan 80% lokasi industri berada di wilayah pesisir.
Berkembangnya aktivitas di wilayah pesisir merupakan konsekuensi logis
bertambahnya jumlah penduduk yang tidak terkendali. Hal ini tentunya akan menambah
beban bagi lingkungan di sekitar wilayah pesisir. Selain beban karena aktivitas manusia,
wilayah pesisir juga terbebani dengan potensi bencana alam seperti gempa, tsunami,
banjir, badai, erosi pantai dan kenaikan muka air laut (Sea Level Rise / SLR).
Pada tahun 1883 Provinsi Banten khususnya pesisir Barat pernah diterjang
tsunami, yang diakibatkan karena meletusnya Gunung Krakatau. Diperkirakan tinggis
tsunaminya hingga 41 meter. Ketika kejadian tersebut nyawa yang melayang kurang
lebih 36.000 jiwa manusia meninggal dunia. Potensi terjadinya gempa dan tsunami yang
mengancam pesisir barat Provinsi Banten cukup besar, dengan waktu tempuh gelombang
tsunami 30 – 45 menit. Kawasan teluk dan bagian yang melekuk dari pantai memiliki
tingkat kerentanan yang lebih tinggi di bandingkan kawasan lainnya. Sebab dengan
topografi seperti itu energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan
lekukan pantai. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang
berada di celah yang lebih sempit. Kondisi ini akan diperparah jika topografi pantainya
landai dan tanpa tanaman pelindung seperti hutan mangrove, kelapa, waru atau hutan
pantai lainnya.
Pada kondisi tanpa tanaman pelindung ini gelombang tsunami yang besar baik
ketinggian maupun kecepatannya, akan dengan leluasa menyusup kedaratan dan
menghancurkan apa saja yang ada disitu. Bisa dibayangkan bila tempat yang landai itu
dipakai untuk perkampungan nelayan atau kawasan industri .
1
Makin tebal hutan pantai maka tingkat peredaman tsunami makin tinggi, arus dan
gaya hidrolis kian melemah. Untuk gelombang tsunami setinggi 3 meter dan lebar hutan
pantai 50 meter maka tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tinggal 82 persen,
sedangkan arus setelah melewati hutan pantai itu tinggal 54 persen, dan gaya hidrolisnya
tinggal 39 persen. Bila lebar hutan pantai 400 meter, maka tsunami dengan ketinggian 3
meter jangkauan run-upnya tinggal 57 persen, tinggi genangan setelah melewati hutan
pantai tinggal 18 persen, arusnya tinggal 24 persen, dan gaya hidrolis setelah melewati
hutan pantai hanya tersisa satu persen.
Berdasarkan hal di atas, maka pada penelitian ini akan dijelaskan prediksi rayapan
(run-up) tsunami yang kemungkinan akan terjadi di sekitar wilayah pesisir barat Provinsi
Banten. Sehingga nantinya penelitian dapat memberikan informasi yang berguna terkait
dengan kejadian bencana tsunami.
2. PEMBAHASAN
Gempa bumi adalah satu dari banyak bahaya alam yang paling merusak, gempagempa tersebut bisa saja terjadi setiap saat di sepanjang tahun, dengan dampak yang tibatiba dan hanya memberikan peringatan sedikit waktu saja. Gempa dapat menghancurkan
bangunan-bangunan dalam waktu yang sebentar saja, membunuh atau melukai penduduk.
Menurut Nanang T. Puspito (1997) dalam Diposaptono (2005), teori tektonik
lempeng mengasumsikan bahwa litosfer terdiri dari materi agak cair dan plastis yang
dapat mengalir di bawah pengaruh suatu tegangan. Dengan demikian, seolah-olah
litosfer mengembang di atas mantel bumi. Menurut teori ini, litosfer terpecah belah
menjadi beberapa bagian yang kemudian disebut lempeng (plate) bumi. Setidaknya,
terdapat enam lempeng besar (mega plate); Eurasia, Pasifik, Amerika, Indo-Australia,
Afrika dan Antartika. Keenam lempeng tersebut bergerak dengan arah dan kecepatan
yang berbeda.
Kerak bumi adalah lapisan bebatuan dari ketebalan yang bervariasi yang berkisar
dari kedalaman kira-kira 10 km di bawah lautan sampai dengan 65 km di bawah benuabenua. Kerak itu tidak hanya berupa satu potongan saja akan tetapi terdiri dari bagianbagian yang disebut lempengan yang bervariasi ukurannya dari beberapa ratus sampai
dengan ribuan kilometer.
2
Gambar 1.
Jalur Gempa dan Lempeng Tektonik Indonesia (www.bmg.go.id)
Teori mengenai lempengan tektonis bertahan sampai sekarang yang meyakini
bahwa lempengan-lempengan itu menumpang di atas lapisan yang lebih mudah tergerak,
dan didorong oleh satu mekanisme yang meskipun sampai sekarang belum bisa
dikonfirmasikan, mungkin disebabkan oleh arus-arus konveksi panas. Pada saat
lempengan-lempengan saling bersinggungan, tekanan-tekanan itu akan meningkat di
dalam kerak.
Tekanan-tekanan ini bisa diklasifikasikan menurut tipe gerakan sepanjang
lempengan-lempengan itu; a) tarik-menarik satu dengan yang lain, b) saling menggelincir
ke samping, dan c) saling mendorong. Semua gerakan ini dikaitkan dengan gempa bumi.
Daerah-daerah tekanan pada perbatasan lempengan yang melepaskan kumpulan
energi dengan cara menggelincir atau memecahkan dikenal sebagai retakan. Teori
pantulan elastis mengatakan bahwa ketika kerak itu secara terus-menerus ditekan oleh
gerakan lempengan-lempengan tektonis, kerak itu akhirnya mencapai satu titik
maksimum dari kekuatan dahsyat yang dapat ditahan. Akhirnya terjadilah satu keretakan
disepanjang daerah retakan dan bebatuan memantul kembali di bawah tekanan-tekanan
elastisnya sendiri sampai kekuatan yang dahsyat tersebut terlepas. Biasanya bebatuan itu
memantul kembali pada kedua sisi dari retakan pada posisi yang saling berlawanan.
Titik keretakan itu disebut fokus (hyposenter) dan mungkin terletak di dekat
permukaan atau jauh di dalam dibawah permukaan. Titik permukaan yang berada persis
di atas fokus disebut episenter gempa. Pecahnya retakan menghasilkan getaran-getaran
yang disebut gelombang-gelombang seismik (dari bahasa Yunani seismos yang berarti
kejutan atau gempa), yang memancar dari fokus ke semua penjuru.
3
Energi yang digerakan oleh satu gempa bumi tidak selalu dilepaskan secara kuat,
akan tetapi pada beberapa kasus energi tersebut sangat kecil dan bertahap. Getarangetaran bumi yang kecil dicatat setiap hari di negara-negara yang rawan gempa tetapi
tidak diketahui apakah getaran-getaran itu disebabkan oleh proses yang sama seperti
gempa bumi dahsyat yang secara relatif jarang terjadi yang mungkin saja bisa meratakan
satu kota. Meskipun sebagian gempa bumi dikaitkan dengan aktivitas gunung berapi,
gempa-gempa yang paling merusak nampaknya dihubungkan dengan keretakan kerak
bumi yang terjadi secara tiba-tiba. Variasi-variasi intensitas gempa dikaitkan dengan
jumlah energi yang dikeluarkan pada fokus, jarak dari dan kedalaman fokus dan dayadaya struktural bebatuan dan tanah pada permukaan.
2.1. Penyebab Terjadinya Gempabumi
Penyebab terjadinya gempa setidaknya ada tiga hal yaitu ulah manusia, vulkanik
dan tektonik. Beberapa contoh akibat ulah manusia adalah gempa akibat runtuhnya
rongga bawah tanah di daerah pertambangan, gempa akibat pengisian pertama kali waduk
dengan air, dan gempa akibat ledakan percobaan bom nuklir di bawah tanah
(Diposaptono, 2005).
Gempa vulkanik adalah gempa yang terjadi akibat aktivitas gunungapi,
baik sebelum, pada saat, maupun sesudah letusan berlangsung. Getaran terjadi
disebabkan oleh adanya desakkan magma ke dinding bagian dalam dari gunungapi.
Gempa vulkanik biasanya berkekuatan kecil tetapi frekuensi terjadinya sangat tinggi
terutama pada saat aktivitas gunungapi mencapai puncaknya.
Gempa tektonik merupakan gempa yang diakibatkan aktivitas tektonik, yaitu
berupa pergerakan, pergesean dan tumbukan lempeng – lempeng yang ada di bumi.
Dalam sejarah peradaban manusia, gempa – gempa besar yang menimbulkan bencana
selalu merupakan gempa tektonik, misalnya gempa San Fransisco pada 1906, Kanto
(1923), Hopeh (1976), Luzon (1990) dan Kobe (1995) (Diposaptono, 2005).
Proses terjadinya gempa tektonik secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut.
Misalkan dua lempeng yang berbatasan saling bergerak relatif terhadap sesamanya.
Gesekan antara dua lempeng yang diasumsikan bersifat elastis dapat menimbulkan suatu
energi yang disebut energi elastik. Kalau pergerakan terjadi terus menerus dalam waktu
yang lama akan terjadi akumulasi energi. Pada kondisi tertentu dimana batuan tidak
dapat lagi menahan gaya yang ditimbulkan oleh gerak relatif lempeng, energi elastik
yang terakumulasi akan dilepaskan secara tiba – tiba dalam bentuk gelombang elastik
yang menjalar ke segala arah. Di permukaan bumi, penjalaran gelombang ini akan
dirasakan sebagai suatu getaran.
4
2.2. Kejadian Bencana Alam Tsunami di Selat Sunda
Sejarah yang pernah tercatat menunjukkan bahwa bencana tsunami di Indonesia
terjadi seringkali. Tsunami di Indonesia biasanya tsunami lokal, penyebabnya berasal dari
gempa bumi, letusan gunungapi dan longsor, serta mengakibatkan kehilangan nyawa dan
harta benda lainnya. Kehancuran paling hebat akibat tsunami pernah tercatat sejarah
ketika letusan yang sangat kuat oleh gunung Krakatau di Selat Sunda 27 Agustus 1883.
Efek kerusakan hebat setelah gelombang menggenangi seluruh pesisir Jawa dan Sumatera
yang berbatasan dengan Selat (Birowo, 1983).
Gelombang raksasa setinggi 41 meter itu menghancurkan 295 kota dan desa di
sepanjang pantai Selat Sunda di Lampung dan Banten. Tsunami tersebut juga menjalar
sampai pantai Timur Afrika (Diposaptono, 2005)
Banyak kampung dan kota – kota yang terendam, di Merak pada teluk yang
berbentuk corong telah rusak parah akibat gelombang yang menerjang, diestimasikan kira
– kira 30 meter hingga 45 meter. Lebih dari 36.000 orang meninggal akibat kejadian
tersebut (Birowo, 1983).
Menurut Latief (2004), ahli Tsunami dari Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Institut Teknologi Bandung (ITB), kejadian tsunami Aceh selama empat jam sejak
gelombang tsunami pertama maka terjadi 10 gempa dengan kekuatan mulai dari 5,8
hingga 9,0 Skala Magnitude. Bisa dibayangkan akibat dari gempa yang di dasar laut ,
gerakan bumi itu membuat ratusan kilometer kubik air laut bergolak lalu membentuk
gelombang tsunami.
Di pusat gempa, ketinggian gelombang hanya beberapa meter. Namun demikian
akibat energi mahadahsyat yang terus mendesak itu maka dihasilkan gelombang dengan
kecepatan sangat tinggi, melesati bisa mencapai 900 Km/jam. Angka itu setara dengan
kecepatan jet di udara.
Secara matematis, rumus laju tsunami bisa ditulis sebagai
C = gh dimana C adalah kecepatan tsunami, g adalah percepatan gravitasi dan h adalah
kedalaman air laut. Semakin menjauhi pusat gempa dan kedalaman laut kian dangkal
maka kecepatan tsunami kian melemah.
Tetapi justru dari sinilah bencana menikam. Betapa tidak, di laut dangkal terjadi
proses shoaling (pembesaran) tinggi gelombang akibat melemahnya kecepatan tsunami.
Fenomena itu memaksa gelombang naik membentuk semacam dinding raksasa dengan
ketinggian di atas 30 meter.
Tingginya gelombang ini ditambah dengan kecepatan arus yang ditimbulkannya
menjadikan air laut melumat apa saja yang dilaluinya. Bagi pantai yang tidak memiliki
sabuk pengaman alami (green belt), energi hantaman ini dengan leluasa menerobos
menembus jauh ke daratan.
Secara umum, Imamura dan Iida (1949) dalam Diposaptono, 2005, telah
mempelajari hubungan antara ketinggian gelombang tsunami dan skala kerugian yang
ditimbulkannya. Dari dasar itulah mereka menetapkan definisi magnitude tsunami (m)
berdasarkan dengan ketinggian tertinggi yang penah diamati di pantai dan luasnya pantai
yang terkena bencana.
5
Peta 7
105°30'34" BT
106°1'08"
BATAS RAYAPAN TSUNAMI
TAHUN 1883Ú
DAERAH PENELITIAN
PESISIR BARAT
PROVINSI BANTEN
Ú
Ê
5°58'52"
5°58'52" LS
Merak
U
0
Ú
Ê
5000 10000 m
Anyer
Keterangan :
Garis Pantai
Batas Administrasi
Tidak Rawan
Selat Sunda
Rawan Tsunami
Ú Kejadian Tsunami 41 m
Ú
Ê Carita
Ú
Ê
Labuan
Inset
5°57'30" LS
Selat Sunda
Banten
6°38'20"
Tanjung Lesung
6°38'20"
Ú
Ê
106°21'40"
5°57'30"
6°29'26"
6°29'26"
105°40'50" BT
Daerah Penelitian
105°40'50"
Sumber :
105°30'34"
106°21'40"
Pengolahan data, 2007
106°1'08"
Gambar 1. Wilayah Rawan Tsunami Tahun 1883
Gambar 2. Pesisir Barat Provinsi Banten Kondisi Terkini
6
Tabel Skala Imamura
Ketinggian Tsunami
(m)
Skala Kerusakan
Di bawah 50 cm
Tidak ada kerusakan
1m
Sangat sedikit kerusakan
2m
Kerusakan di kawasan pantai dan kapal
Kerusakan dan korban jiwa di suatu daerah
2
4-6m
tertentu
Kerusakan sepanjang pantai lebih dari 400
3
10 - 20 m
Km
Kerusakan sepanjang pantai lebih dari 500
4
30 m
Km
Sumber : Imamura dan Iida (1949) dalam Diposaptono (2005).
Kelas
Skala
-1
0
1
Gempa bumi yang terjadi di wilayah penelitian sebagian besar atau sebanyak 124
kejadian (82,67 %) terjadi di lautan. Oleh karena itu kemungkinan terjadi tsunami di
wilayah penelitian cukup besar, meskipun hal ini masih sangat tergantung pada jenis
patahannya, besarnya magnitude dan kedalamannya, seperti halnya tsunami yang terjadi
pada tanggal 12 Desember 1992 yang menimbulkan ribuan korban jiwa. Untuk
menghitung magnitude tsunami, setelah magnitude tsunami diketahui maka dapat
diperkirakan tinggi tsunami yang akan terjadi dengan ketinggian antara 8,0-12,0 m dari
permukaan laut rata-rata, sedangkan menurut hasil pengamatan tsunami dapat mencapai
ketinggian 26,2m.
Berdasarkan hasil perhitungan perkiraan tinggi tsunami tersebut di atas,
digunakan peta rupa bumi skala 1 : 25.000 terbitan Bakosurtanal tahun 1998, untuk
membuat peta wilayah rawan tsunami di wilayah Maumere dan sekitarnya yang secara
geografis dibatasi oleh 80 32’ – 80 40’ LS dan 1220 8’ – 1220 22’ BT, peta wilayah rawan
tsunami merupakan hasil dari penampalan antara peta potensi rawan tsunami dengan peta
penggunaan tanah, sedangkan peta potensi rawan tsunami diperoleh dari hasil
penampalan antara peta wilayah ketinggian dengan peta jarak mendatar dari garis pantai
ke daratan.
Dari hasil tersebut di atas, wilayah yang sangat rawan terhadap tsunami adalah
wilayah pantai yang mempunyai ketinggian < 12,5 m dan jarak dari garis pantai < 500 m,
dengan penggunaan tanah pemukiman, meliputi sebagian kelurahan Wuring,
Wolomarang, Kotauneng, Madawat, Nitakloang, Wairotang, Beru, Waioti, Namangkewa
dan Waileber.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bronto dkk (1990), mereka menyusun peta
daerah bahaya gunungapi gunung Anak Krakatau. Pendekatan masalah secara kuantitatif
dilakukan dengan memperhitungkan kemampuan tsunami mencapai daratan pada suatu
tempat dan waktu tertentu.
Selat Sunda, dimana gunung Krakatau berada, berdasar teori tektonik lempeng
merupakan daerah transisi antara Jawa dan Sumatera. Sesar Sumatera merupakan sesar
7
geser yang besar dan aktif (Katili & Heuwat, 1967; Katili, 1970; Nishimura et al, 1983;
Zen, 1983 dalam Bronto, 1990) sepanjang pulau Sumatera (1650 Km) dengan pergerakan
lateral 20 – 25 Km dan percepatan gerak horizontal 6 cm / tahun.
Berdasarkan pergerakan lempeng tersebut gunung Anak Krakatau tumbuh lebih
cepat. Dari tahun 1927 sampai dengan 1981 volumenya (dihitung dari dasar laut) telah
mencapai 2,35 Km2 (Siswowidjojo, 1983 dalam Bronto, 1990). Ini berarti kecepatan
tumbuh gunungapi tersebut adalah 43,52 x 106 m3 / tahun lebih cepat di banding dengan
gunung Krakatau yang kecepatan tumbuhnya hanya 7,34 x 106 m3 / tahun.
Debat mengenai mekanisme pembentukan kaldera Krakatau 1883 berlanjut
terhadap masalah asal – usul tsunami yang melanda pantai P. Jawa dan P. Sumatera di
Selat Sunda. Yokohama (1987), berpendapat bahwa tsunami terbesar disebabkan oleh
letusan bawah laut (subarine explosions). Letusan tersebut mengangkat tubuh air laut
sehingga membentuk kubah dan tsunami terjadi pada saat air terhempas ke bawah.
Pada tahun 1883 ketika gunung Krakatau meletus dan menimbulkan tsunami,
daerah – daerah tersebut tersapu oleh gelombang tsunami, ketinggian di Anyer hingga
mencapai 13,3 – 18 meter dengan waktu tempuh dari sumber letusan 38 menit (Latief,
2003). Serta di Merak di estimasikan terjadi tsunami setinggi 30 – 45 meter. Lebih dari
36.000 jiwa meninggal akibat peristiwa ini. Di pantai Labuan sendiri ketika kejadian
tahun 1883 tersebut, tsunami yang mencapai daerah tersebut tingginya 15 hingga 20
meter dan rayapan ke daratan mencapai lebih dari 5 Km dari garis pantai (Pararas, 1999).
Menurut keterangan penduduk sekitar (Bronto, 1990), di Kecamatan Anyer,
Kabupaten Serang, pada tahun 1883 air laut naik ke daratan hingga 37 mdpl. Di Desa
Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang (dekat pos pengawasan Gunung
Krakatau) air laut atau tsunami di ceritakan mencapai 30 meter. Kepala desa di
Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang sekitar 12 Km dari garis pantai, menerangkan
bahwa air pasang mencapai lebih dari 32 meter. Penduduk medapatkan binatang yang
biasanya hanya dapat dijumpai di laut. Perbedaan ketinggian yang kecil antara
keterangan penduduk dengan data literatur serta data geologis di lapangan dapat
dimaklumi dan bahkan saling melengkapi.
KESIMPULAN
Wilayah rawan tsunami pada pesisir Barat Provinsi Banten, pada bagian utara hampir
seluruh wilayah berdasarkan ketinggian tsunami dan morfologi pantainya yang landai
berpotensi terkena tsunami secara langsung, serta pemukiman yang berpotensi terkena
tsunami dianggap rawan.
DAFTAR PUSTAKA
Nazwil, 2007. Wilayah Rawan Tsunami Pesisir Barat Provinsi Banten. Skripsi
Departemen Geografi FMIPA UI
Bemmelen, R.W. 1947. The Geology of Indonesia
8
Download