RESPONSIBILITY TO PROTECT : SUATU TANGGUNG JAWAB

advertisement
RESPONSIBILITY TO PROTECT :
SUATU TANGGUNG JAWAB DALAM KEDAULATAN NEGARA
Santa Marelda Saragih
________________________________________________________________________
Abstract
“The time of absolute sovereignty … has passed; its theory was never matched by
reality.” − Boutros Boutros-Ghali
Violations of human rights which occur in several countries engender a question
pertaining to legality of humanitarian intervention. Doctrine of Humanitarian
intervention conflicts with the fundamental principle of state sovereignty. The conflict
between the principle of state sovereignty and humanitarian intervention has constructed
a dilemma condition in conducting the enforcement of human rights. Humanitarian
intervention aims to protect civilians from the violation of human rights,
The foregoing notion is a challenge to the efforts of civilian protection as a part of the
subjects of international law and international community. As the answer of this
challenge, a new concept is required to bridge the principle of state sovereignty and the
enforcement of human rights. That new concept is Responsibility to Protect which adhere
in state sovereignty.
In the 2005 World Summit, Member States included R to P in the Outcome Document
agreeing to Paragraphs 138 and 139. These paragraphs gave final language to the scope
of R to P and to whom the responsibility actually falls. In April 2006, the United Nations
Security Council reaffirmed the provisions of paragraphs 138 and 139 in resolution
(S/RES/1674), thereby formalizing their support for the norm. The next major
advancement in R to P came in January 2009, when UN Secretary-General Ban Ki-moon
released a report called Implementing the Responsibility to Protect. This report argued
for the implementation of R to P and outlined the three principles of R to P. The norm of
Responsibility to Protect has changed the paradigm of state sovereignty from an
absolute authority to a primary responsibility for giving protection to civilians.
Pendahuluan
Negara sebagai subyek hukum internasional memiliki unsur istimewa yang tidak
dimiliki oleh subyek-subyek hukum internasional lainnya dan unsur tersebut adalah
kedaulatan.87 Kedaulatan merupakan dasar utama yang menjadi acuan prinsip non
intervensi dalam praktek hukum internasional.88 Seiring dengan perkembangan hukum
internasional, kedaulatan negara mengalami konflik dengan intervensi kemanusiaan yang
menimbulkan suatu pertanyaan tentang legalitas keterlibatan negara−negara lain untuk
melakukan intervensi kemanusiaan di wilayah territorial suatu negara.
Dalam
87
Konvensi Montevideo 1933 Pasal 1 ayat 1.
Dalam hukum internasional terdapat suatu prinsip umum yang dinamakan dengan "Par Imparem Non
Hebet Imperium" yang berarti "Tidak ada suatu negara berdaulat manapun yang dapat menaklukkan negara
berdaulat lainnya". Prinsip ini mendasari persamaan kedaulatan antar negara−negara dalam hukum
internasional.
88
International Conference On New Conflicts And The Challenge Of The Protection Of The
Civilian Population yang diadakan oleh International Institute of Humanitarian Law
(IIHL) bekerjasama dengan Istituto Affari Internazionali (IAI) pada tanggal 14
Desember 2010, di Kementerian Luar Negeri Italia, masalah di atas menjadi salah satu
topik yang didiskusikan dan para ahli hukum humaniter internasional menyatakan bahwa
konflik antara kedaulatan dengan intervensi kemanusiaan merupakan tantangan baru bagi
upaya perlindungan terhadap masyarakat sipil.
Pada tahun 1994 terjadi suatu kasus genosida (genocide) di Rwanda yang memakan
korban sebanyak 850.000 orang suku Tutsi. Pembunuhan massal (mass murder)
terhadap suku Tutsi tersebut dikomando oleh Akazu yang merupakan kelompok
mayoritas suku Hutu di Rwanda. Menanggapi kasus genosida di Rwanda dan kegagalan
komunitas internasional untuk melakukan intervensi kemanusiaan, Sekjen PBB Kofi
Annan memberikan suatu pertanyaan, "Kapankah komunitas internasional dapat
melakukan intervensi untuk melindungi masyarakat sipil ?" Pertanyaan ini secara
implisit memberikan wacana tentang tanggung jawab komunitas internasional untuk
melindungi masyarakat sipil dari pelanggaran−pelanggaran hak asasi manusia serta
mempertanyakan legalitas intervensi kemanusiaan yang selama ini bertentangan dengan
kedaulatan negara. Selain kasus genosida di Rwanda terdapat beberapa kasus lain yang
menjadi landasan bagi pertanyaan Kofi Annan di atas, kasus−kasus tersebut , yaitu
Genosida terhadap suku Kurdi di Irak pada tahun 1987, konflik di Kosovo pada tahun
1998 sampai dengan 1999, dan konflik Darfur pada tahun 2003.
Berkaitan dengan kasus Kosovo, Kofi Annan berpendapat bahwa prinsip kedaulatan
negara di satu sisi menghalangi Dewan Keamanan untuk melakukan intervensi, namun
di sisi lain terdapat kewajiban moral dari komunitas internasional untuk bertindak tegas
terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Kedua pandangan tersebut menimbulkan suatu
kondisi yang dilematis dalam penegakan hak asasi manusia. Meresponi kondisi ini, Kofi
Annan menyatakan bahwa perlu adanya prinsip−prinsip universal yang dapat menjadi
dasar atas legitimasi intervensi kemanusiaan untuk mendukung penegakan hak asasi
manusia.89
Intervensi kemanusiaan mengandung makna "campur tangan" atau keterlibatan negara
lain terhadap permasalahan kemanusiaan yang terjadi di wilayah kedaulatan negara
tertentu dan hal ini bertentangan dengan kedaulatan negara yang bersangkutan. Untuk
menghubungkan kewajiban untuk melindungi masyarakat sipil dari pelanggaran hak asasi
manusia di satu sisi dengan kedaulatan negara di sisi lain dibutuhkan suatu konsep
tindakan kemanusiaan (humanitarian action) dalam format yang baru.
Format baru dari tindakan kemanusiaan yang sedang menjadi pembahasan
negara−negara anggota Perserikatan Bangsa−Bangsa saat ini adalah "Responsibility to
Protect" atau tanggung jawab untuk melindungi. Prinsip Responsibility to Protect
(RtoP) tercantum dalam paragrapf 138 dan 139 dari the 2005 World Summit Outcome
Document. Prinsip ini kemudian ditegaskan kembali oleh Dewan Keamanan PBB (United
89
Pernyataan asli Kofi Annan : "Just as we have learned that the world cannot stand aside when gross and
systematic violations of human rights are taking place, so we have also learned that intervention must be
based on legitimate and universal principles if it is to enjoy the sustained support of the world's peoples.
This developing international norm in favour of intervention to protect civilians from wholesale slaughter
will no doubt continue to pose profound challenges to the international community." Dikutip dari
Humanitarian Action And State Sovereignty, International Institute of Humanitarian Law , 2001, hal.38.
Nations Security Council) dalam Resolusi S/RES/1674 dan diuraikan kembali pada bulan
Januari 2009 oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa−Bangsa, Ban Ki−moon,
dalam laporannya yang dinamakan dengan Implementing the Responsibility to Protect.
Legitimasi Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional
Dalam hukum internasional, kedaulatan negara merupakan prinsip yang mendasari
hubungan antar negara dan juga merupakan landasan dari tatanan dunia. Prinsip ini
merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law)
yang tercantum dalam Piagam PBB (United Nations Charter) serta menjadi komponen
penting dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia. Kedaulatan negara
menunjukkan kompetensi, independensi dan kesetaraan hukum antar negara−negara.
Dengan demikian setiap negara yang berdaulat memiliki kebebasan untuk bertindak
dalam lapangan hukum internasional tanpa gangguan atau campur tangan dari
negara−negara berdaulat lainnya. Kebebasan bertindak ini mencakup pilihan sistem
politik, ekonomi, sosial, budaya dan pembentukan kebijakan luar negeri. Ruang lingkup
dari kebebasan di atas bersifat tidak terbatas, tergantung pada perkembangan hukum
internasional dan hubungan internasional.
Dasar hukum internasional yang menjadi landasan prinsip kedaulatan negara adalah
perjanjian Westhpalia 1648 yang dibentuk oleh negara−negara Eropa.90 Perjanjian
Westphalia 1648 meletakkan dasar−dasar masyarakat internasional modern dimana setiap
negara memiliki kedaulatan penuh yang dilandasi oleh kemerdekaan dan persamaan
derajat dalam praktek hukum internasional dan hubungan internasional. Unsur−unsur
negara yang berdaulat dikodifikasikan dalam Konvensi Montevideo 1933 Tentang
Hak−hak dan Kewajiban Negara ( Montevideo Convention on the Rights and Duties of
States ). Unsur−unsur tersebut terdiri dari populasi yang permanen ( permanent
population ), wilayah territorial ( defined territory ) dan pemerintah yang berdaulat
(sovereign government). Komponen terpenting dari kedaulatan terwujud dalam
kekuasaan negara−negara untuk bertindak di wilayah territorial negara−negara tersebut.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Piagam PBB, organisasi dunia didasarkan atas
prinsip persamaan kedaulatan dari semua negara−negara anggota. Disamping menjadi
dasar dalam hubungan internasional, prinsip persamaan kedaulatan ini juga menjadi dasar
pembentukan organisasi antar pemerintah yang diberikan kapasitas untuk bertindak
dalam hubungan antar negara−negara sesuai dengan kerangka kerja yang ditetapkan oleh
organisasi tersebut. Pada tahun 1949, Mahkamah Internasional (International Court of
Justice) mengamati bahwa diantara negara−negara merdeka, penghormatan terhadap
wilayah kedaulatan merupakan suatu pondasi utama dari hubungan internasional. Tiga
puluh tahun kemudian, Mahkamah Internasional menjadikan prinsip kedaulatan negara
sebagai prinsip fundamental dalam menyelesaikan sengketa antar negara.
Prinsip non intervensi dalam lingkup yurisdiksi nasional negara−negara merupakan
jangkar bagi kedaulatan negara dalam sistem hubungan internasional dan
kewajiban−kewajiban internasional. Yurisdiksi merupakan kekuasaan, otoritas dan
kompetensi dari suatu negara untuk memerintah warga negara dan seluruh kekayaan
negara yang berada di wilayah negara yang bersangkutan. Yurisdiksi terdiri dari dua
90
Stephen John Stedman, “Alchemy for a New World Order: Overselling ‘Preventive Diplomacy’,”
Foreign Affairs 74, no. 3 (May–June 1995), pp. 14–20.
kategori yang dinamakan dengan prescriptive jurisdiction dan enforcement jurisdiction.
Prescriptive jurisdiction berkaitan dengan kekuasaan dari suatu negara untuk
memberlakukan hukum baik di dalam maupun di luar wilayah teritorialnya dan
enforcement jurisdiction adalah kekuasaan negara untuk melakukan penegakan hukum di
dalam wilayah teritorialnya. Yurisdiksi berasal dari kedaulatan negara atas wilayah
teritorialnya, namun dapat diperluas diluar batas teritorial tersebut.91 Perserikatan
Bangsa−Bangsa secara eksplisit menyatakan larangan untuk melakukan tindakan
intervensi terhadap urusan domestik negara−negara anggotanya. Ketentuan mengenai hal
tersebut tercantum dalam Article 2 (7) UN Charter yang mengatur bahwa tidak ada
satupun ketentuan dalam Piagam PBB (UN Charter) yang memberikan kuasa kepada
PBB untuk melakukan intervensi dalam masalah−masalah yang berkaitan dengan
yurisdiksi nasional negara−negara anggotanya atau mengharuskan negara−negara
anggota untuk mengajukan permohonan apabila hendak menyelesaikan masalah−masalah
yang sedang mereka hadapi dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa
yang diatur dalam UN Charter.92
Ada beberapa batas –batas penting dari kedaulatan negara dan yurisdiksi nasional
yang diterima secara meluas dalam hukum internasional. Batasan pertama adalah
ketegangan yang terjadi antara kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan kedudukan
diantara negara−negara di satu sisi dan kewajiban internasional yang bersifat kolektif
untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional di sisi lain. Berdasarkan
ketentuan yang tercantum dalam Bab VII UN Charter, kedaulatan bukanlah suatu
penghalang bagi Dewan Keamanan untuk melakukan upaya−upaya untuk menyikapi
suatu ancaman terhadap perdamaian, suatu pelanggaran terhadap perdamaian atau suatu
tindakan agresi.93 Dengan kata lain, kedaulatan negara−negara sebagaimana yang diatur
dalam UN Charter akan mendukung upaya−upaya perwujudan keamanan dan
perdamaian internasional. Status dari persamaan kedaulatan negara akan berjalan dengan
efektif ketika negara−negara berada dalam tatanan internasional yang stabil dan damai.
Batasan ke dua berkaitan dengan kedaulatan negara yang dibatasi oleh kebiasaan dan
kewajiban perjanjian (treaty obligation) baik dalam hubungan internasional maupun
hukum internasional. Negara−negara bertanggung jawab secara hukum atas pelaksanaan
kewajiban internasional mereka dan kedaulatan negara tidak dapat dijadikan alasan dari
kelalaian mereka dalam pemenuhan kewajiban internasional tersebut. Kewajiban yang
dipikul oleh negara sebagai konsekuensi keanggotaan mereka di PBB mensyaratkan
suatu pembatasan dari kedaulatan negara−negara anggota sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan dalam UN Charter. Secara khusus Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa untuk
menjamin seluruh hak dan manfaat dari keanggotaan, negara−negara anggota harus
91
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Yurisdiksi merupakan prima facie yang bersifat eksklusif atas
wilayah territorial suatu negara beserta populasi yang ada di wilayah negara tersebut dan kewajiban non
intervensi dalam urusan dalam negeri yang melindungi baik kedaulatan territorial maupun yurisdiksi
nasional negara−negara dalam suatu basis yang sama.
92
Article 2 (7) UN Charter : “[n]othing contained in the present Charter shall authorise the United
Nations to intervene in matters that are essentially within the domestic jurisdiction of any State or shall
require the Members to submit suchmatters to settlement under the present Charter.”
93
Christopher M. Ryan, “Sovereignty, Intervention, and the Law: A Tenuous Relationship of Competing
Principles,” Millennium: Journal of International Studies 26 (1997), p. 77; and Samuel M.
Makinda,“Sovereignty and International Security: Challenges for the United Nations,” Global Governance
2, no. 2(May–August 1996), hal. 149.
memenuhi kewajiban−kewajiban yang mereka pikul dengan niat baik sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam UN Charter. Lebih lanjut lagi, sesuai dengan tujuan dan
prinsip−prinsip yang berlaku, pasal di atas juga mewajibkan negara−negara anggota
untuk mewujudkan kerja sama internasional dalam mengatasi masalah−masalah
ekonomi, sosial, budaya, mempromosikan serta mendukung penghormatan terhadap
hak−hak asasi manusia dan untuk kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa dan agama. Pasal ini lebih lanjut mengakui PBB
sebagai pusat harmonisasi dari tindakan−tindakan negara pada akhir pencapaian tujuan.
Dengan demikian UN Charter mengangkat solusi ekonomi, sosial, budaya, kemanusiaan
serta hak asasi manusia untuk lingkup internasional. Sesuai dengan lingkup internasional,
masalah−masalah di atas tidak dapat dianggap sebagai masalah yang bersifat domestik
dan solusi tidak dapat hanya diterapkan secara eksklusif dalam kedaulatan negara.
Kedaulatan yang dimiliki oleh negara−negara pada hakikatnya memuat tanggung
jawab dasar untuk melindungi individu−individu, harta benda dan untuk menjalankan
fungsi pemerintahan di wilayah terirorial masing−masing negara tersebut. Cakupan dari
tanggung jawab dari pemerintahan telah membawa perubahan yang signifikan terhadap
kedaulatan negara sejak tahun 1945. Khususnya, sejak penandatanganan UN Charter,
terdapat suatu jaringan yang meluas dari kewajiban−kewajiban di bidang hak asasi
manusia. Hal ini membentuk serangkaian kewajiban−kewajiban negara untuk melindungi
individu dan harta bendanya serta untuk mengatur hubungan politik dan ekonomi.
Perkembangan ini memberikan suatu paradigm baru dalam hukum internasional bahwa
kedaulatan negara tidak dapat dijadikan dasar atau alasan untuk melindungi pelanggaran
hak asasi manusia dalam lingkup internal yang bertentangan dengan
kewajiban−kewajiban internasional.
Seiring dengan perkembangan hukum internasional dan hubungan internasional,
kedaulatan telah terkikis oleh faktor−faktor ekonomi, lingkungan dan budaya. Intervensi
yang sebelumnya dianggap sebagai hubungan internal oleh negara−negara lain, sektor
swasta dan aktor bukan negara (non state actor) telah menjadi suatu rutinitas. Namun ,
yang menjadi masalah bukanlah rutinitas tersebut melainkan suatu potensi ketegangan
ketika prinsip kedaulatan negara dan penderitaan umat manusia berada dalam posisi yang
berdampingan.94
Perdebatan Mengenai Intervensi Kemanusiaan
Keberadaan kedaulatan negara sebagai prinsip yang bersifat fundamental dalam
hukum internasional melahirkan prinsip lain yang dinamakan prinsip non− intervensi.
Prinsip non−intervensi merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak
melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain dalam relasi antar
negara.95 Dalam hukum internasional, doktrin intervensi kemanusiaan (humanitarian
intervention) telah menimbulkan suatu perdebatan . Perdebatan ini timbul karena doktrin
94
Seperti yang dikatakan oleh Kofi Annan dalam kata sambutannya pada General Assembly Tahun 1999:
“States bent on criminal behaviour[should] know that frontiers are not the absolute defence.” In this
respect, events in thelast decade have broken new ground."
95
Dalam kasus Corfu Channel ( United Kingdom v. Albania :1946), International Court of Justice
meneguhkan prinsip non−intervensi dengan mengatakan: "Between independent states, respect for
territorial sovereignty is an essential foundation of international relations."
tersebut berhadapan langsung dengan prinsip kedaulatan negara dan prinsip
non−intervensi. Ketentuan Pasal 2 (1), Pasal 2 (4), Pasal 2 (7) Piagam PBB dengan jelas
menyatakan bahwa dalam hubungan antar negara tidak diperbolehkan adanya intervensi.
Pengaturan tentang hal ini semakin dipertegas dengan Resolusi Majelis Umum PBB
Nomor 2625 (XXV) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1970. Resolusi ini
kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip−Prinsip Hukum
Internasional Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama Antar Negara yang
berkaitan dengan Piagam PBB (Declaration on Principles of International Law
concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the
Charter of the United Nations). Dengan demikian terjadi suatu pertentangan atau konflik
antara kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan.
Para pendukung konsep intervensi kemanusiaan berargumen bahwa Intervensi
kemanusiaan memperoleh legitimasinya berdasarkan penafsiran atas Pasal 2 (4) Piagam
PBB yang menyatakan: "All Members shall refrain in their international relations from
the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any
state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations."
Ketentuan pasal di atas bukanlah sebuah larangan absolut melainkan suatu batasan agar
suatu intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan
politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other
manner inconsistent with the purposes of the United Nations). Menurut hasil penelitian
D'Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara kehilangan wilayahnya
secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan, pihak yang melakukan
intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut hanya
untuk melakukan penegakan hak asasi manusia. Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan
sah secara hukum internasional apabila tidak melanggar batasan yang ditentukan oleh
ketentuan Pasal 2(4) Piagam PBB di atas. Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian
juga dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1(3) Piagam PBB yang menyatakan: To
achieve international co-operation in solving international problems of an economic,
social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect
for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex,
language, or religion. Sejak lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada tahun
1948 dan Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide pada
tahun 1949, kedaulatan negara menjadi suatu entitas yang memuat kewajiban
internasional dalam bidang penegakan hak asasi manusia.
Hans Kelsen menyatakan bahwa tujuan adanya hukum internasional adalah untuk
membatasi kedaulatan negara itu sendiri. Sejak individu menjadi subyek hukum
internasional, maka pada hakikatnya kedaulatan negara itu diperoleh dari
individu−individu yang mendelegasikan kewenangannya kepada negara. Jadi, ketika
negara telah melanggar hak−hak individu, maka individu tersebut dapat meminta bantuan
kepada pihak lain untuk memulihkan hak−hak mereka. Dalam kondisi ini, intervensi
kemanusiaan terjadi dan timbul kewajiban negara untuk melakukan kerja sama antar
negara−negara untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia. Praktek–
praktek yang dilakukan oleh negara−negara saat ini juga telah menimbulkan sebuah
preseden, bahwa intervensi kemanusiaan dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional.
Doktrin intervensi kemanusiaan lahir ketika terjadi suatu pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Intervensi tersebut dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif.
Koalisi pasukan militer Amerika Serikat, Inggris dan Perancis yang dikirimkan ke
Irak pada tahun 1991 merupakan salah satu praktek negara dalam intervensi
kemanusiaan. Koalisi ini dibentuk sebagai respon terhadap Resolusi Dewan Keamanan
PBB No 688 yang mengutuk tindakan pemerintah Irak kepada suku Kurdi.96 Dalam
resolusi tersebut, Dewan Keamanan tidak menyebutkan baik suatu tindakan bersenjata
kolektif maupun intervensi dengan menggunakan senjata. Namun, beberapa bulan
kemudian, ketiga negara di atas melakukan " Operation Provide Comfort "97 di Irak
Utara dengan alasan kemanusiaan. Javier Perez de Cuellar, Sekretaris Jenderal PBB pada
saat itu menyebutkan bahwa operasi tersebut dapat melanggar kedaulatan Irak apabila
tidak ada izin dari pemerintah Irak atau otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Namun, di
sisi lain Javier juga mengungkapkan pentingnya tindakan atas dasar tujuan moral dan
kemanusiaan. Untuk melegalisasi tindakan koalisi tersebut, akhirya Irak memberikan
izinnya kepada PBB untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Irak Utara.
Pengaturan mengenai intervensi kemanusiaan tidak diatur secara eksplisit dalam
Piagam PBB. Disamping itu juga tidak terdapat Putusan Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) yang melegitimasi suatu intervensi kemanusiaan.
Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua melawan Amerika,
membatalkan alasan Amerika yang mendasari bahwa kekuatan bersenjata yang dilakukan
oleh negara tersebut merupakan suatu tindakan legal atas dasar perlindungan terhadap
hak asasi manusia. Mahkamah Internasional menolak alasan pembelaan Amerika Serikat
karena tindakan bersenjata yang dilakukan dengan alasan kemanusiaan oleh negara
tersebut tidak relevan dengan kenyataan yang terjadi. Amerika Serikat telah melakukan
peledakan dermaga dan instalasi minyak yang tidak memiliki korelasi dengan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun, Mahkamah Internasional tidak
menyatakan secara eksplisit bahwa intervensi kemanusiaan bertentangan dengan hukum
internasional. Dari uraian−uraian di atas dapat dikatakan bahwa kedaulatan negara yang
bersifat fundamental dalam hukum internasional masih mengalami benturan atau
pertentangan dengan intervensi kemanusiaan.
Responsibility to Protect Sebagai Tanggung Jawab Dalam Kedaulatan Negara
Konflik atau pertentangan antara prinsip kedaulatan negara dengan intervensi
kemanusiaan telah menciptakan suatu kondisi yang dilematis dalam penegakan hak asasi
manusia. Seperti yang telah dikemukakan dalam pokok bahasan sebelumnya, intervensi
kemanusiaan mengandung makna suatu tindakan negara lain yang melibatkan diri dalam
masalah kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi manusia dalam lingkup domestik yang
terjadi di wilayah kedaulatan negara lain. Tindakan intervensi ini di satu sisi memiliki
tujuan moral untuk melindungi masyarakat sipil, namun di sisi lain melanggar prinsip
kedaulatan yang sangat fundamental dalam hukum internasional. Hal di atas merupakan
tantangan bagi upaya perlindungan warga sipil yang merupakan bagian dari subyek
hukum internasional maupun komunitas internasional. Sebagai jawaban dari tantangan
ini perlu adanya suatu konsep baru yang dapat menjadi penghubung antara prinsip
96
RESOLUTION 688 (1991) Adopted by the Security Council at its 2982nd meeting on 5 April 1991,
http://www.fas.org/news/un/iraq/sres/sres0688.htm.
97
Operation Provide Comfort, http://www.globalsecurity.org/military/ops/provide.
kedaulatan negara dan penegakan hak asasi manusia dalam lingkup internasional.
Konsep baru tersebut adalah konsep Responsibility to Protect atau tanggung jawab untuk
melindungi yang terkandung dalam kedaulatan negara.
Dalam World Summit 2005, konsep Responsibility to Protect dimasukkan dalam
dokumen yang merupakan hasil dari pertemuan ini. Konsep Responsibility to Protect (R
to P) tercantum dalam paragraf 138 dan paragraf 139 yang menyatakan sebagai berikut:
138. Each individual State has the responsibility to protect its populations from
genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity. This
responsibility entails the prevention of such crimes, including their incitement,
through appropriate and necessary means. We accept that responsibility and
will act in accordance with it. The international community should, as
appropriate, encourage and help States to exercise this responsibility and
support the United Nations in establishing an early warning capability.
139. The international community, through the United Nations, also has the
responsibility to use appropriate diplomatic, humanitarian and other peaceful
means, in accordance with Chapters VI and VIII of the Charter, to help protect
populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against
humanity. In this context, we are prepared to take collective action, in a timely
and decisive manner, through the Security Council, in accordance with the
Charter, including Chapter VII, on a case−by−case basis and in cooperation
with relevant regional organizations as appropriate, should peaceful means be
inadequate and national authorities manifestly fail to protect their population
from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity and
its implications, bearing in mind the principles of the principles of the Charter
and international law. We also intend to commit ourselves, as necessary and
appropriate, to helping States build capacity to protect their populations from
genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity and to
assisting those which are under stress before crises and conflict break out.
Pada bulan April 2006, Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali
ketentuan−ketentuan dalam paragraph 138 dan 139 di atas dalam Resolusi S/Res/1674
sebagai bentuk dukungan formal terhadap norma Responsibility to Protect di atas.
Perkembangan norma Responsibility to Protect selanjutnya terjadi pada bulan Januari
2009, ketika Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki−moon mengeluarkan suatu laporan yang
disebut Implementing the Responsibility to Protect. Laporan ini berisi tentang perdebatan
mengenai implementasi R to P dan mencantumkan tiga prinsip dari R to P. Prinsip –
Prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prinsip pertama menekankan bahwa negara−negara memiliki tanggung jawab
utama untuk melindungi warga negaranya dari genosida (genocide), kejahatan
perang, penghapusan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(mass atrocities);
2. Prinsip kedua menyatakan komitmen komunitas internasional untuk memberikan
bantuan kepada negara−negara dalam peningkatan kapasitas untuk melindungi
warga negara atau populasinya dari kejahatan terhadap kemanusiaan (mass
atrocities ) dan membantu upaya perlindungan tersebut, yang difokuskan pada masa
sebelum krisis terjadi dan pada saat konflik terjadi;
3. Prinsip ketiga memfokuskan pada tanggung jawab komunitas internasional untuk
mengambil tindakan yang tepat pada waktunya untuk mencegah dan menghentikan
kejahatan terhadap kemanusiaan (mass atrocities ), ketika suatu negara gagal untuk
melindungi populasinya.
Secara garis besar, Responsibility to Protect mencakup tiga tanggung jawab yang terdiri
dari :
1. Tanggung jawab untuk mencegah (responsibility to prevent), merupakan tanggung
jawab untuk menyikapi akar penyebab dan penyebab−penyebab langsung dari
konflik internal serta krisis yang disebabkan oleh perbuatan manusia, yang
mengakibatkan resiko terhadap populasi.
2. Tanggung jawab untuk bereaksi ( responsibility to react), merupakan tanggung
jawab untuk meresponi situasi−situasi yang memaksa dilakukannya
langkah−langkah yang tepat demi kepentingan kemanusiaan, yang dapat berupa
upaya paksa seperti sanksi−sanksi dan penuntutan internasional, dan dalam kasus
yang ekstrim dapat berupa intervensi militer.
3. Tanggung jawab untuk pemulihan ( responsibility to rebuild), tanggung jawab
pemulihan (responsibility to rebuild) merupakan tanggung jawab untuk
memberikan bantuan dalam proses rekonstruksi dan rekonsiliasi yang dilakukan
setelah intervensi militer.
Responsibility to
React
Responsibility
to
Protect
Responsibility to
Prevent
Responsibility to
Rebuild
Konsep R to P yang telah dirumuskan dalam dokumen 2005 World Summit, Resolusi
Dewan Keamanan PBB 1674 dan Laporan Sekretaris Jenderal PBB (Implementing the
Responsibility to Protect) merupakan konsep yang lahir dari prinsip dasar−prinsip yang
menyatakan bahwa:98
1. Kedaulatan negara mengandung suatu tanggung jawab pokok untuk melindungi
warga negaranya yang berada dalam wilayah kedaulatan negara tersebut;
98
International Commision On Intervention and State Sovereignty, The Responsibility to Protect,
www.iciss.ca/report-en.asp.
2. Ketika suatu populasi berada dalam keadaan bahaya akibat dari perang internal
(internal war), pemberontakan (insurgency), penindasan atau kegagalan negara, dan
negara tersebut berada dalam suatu kondisi tidak "berkehendak " (unwilling) atau
"tidak berdaya" (unable) untuk menghentikan atau mencegahnya, prinsip non
intervensi membenarkan tanggung jawab intenasional untuk melindungi
(international responsibility to protect).
Hal−hal yang menjadi pondasi dari R to P, sebagai pedoman bagi komunitas
internasional yang terdiri dari negara−negara berdaulat antara lain:
1. Kewajiban−kewajiban yang melekat dalam konsep kedaulatan;
2. Tanggung jawab dari Dewan Keamanan PBB yang tercantum dalam Pasal 24 dari
Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional;
3. Kewajiban−kewajiban hukum khusus yang tercantum dalam deklarasi−deklarasi
hak asasi manusia, kovenan, perjanjian internasional, hukum humaniter
internasional dan hukum nasional;
4. Praktek yang berkembang yang dilakukan oleh negara−negara, organisasi regional
dan Dewan Kewamanan PBB.
Pemaparan tentang konsep Responsibility to Protect di atas telah memberikan
jawaban terhadap suatu tantangan baru dalam hukum internasional. Paradigma
kedaulatan negara telah mengalami perubahan dari suatu unsur yang bersifat absolut dan
tidak dapat digugat menjadi suatu tanggung jawab mutlak untuk melindungi warga
negaranya. Negara dan warga negara memiliki hubungan hukum yang bersifat timbal
balik dalam wujud "kewarganegaraan". Kewarganegaraan menimbulkan suatu kewajiban
dan hak yang seimbang antar negara dengan warga negaranya. Rasio hukum ini semakin
memperkuat dasar untuk mengimplementasikan konsep Responsibility to Protect.
Kegagalan komunitas internasional untuk melakukan intervensi kemanusiaan dalam
kasus Genosida di Rwanda (1994), Bosnia (1994) dan Kosovo (1999) akibat pertentangan
antara prinsip kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan telah terjawab oleh
suatu konsep baru yang dinamakan dengan Responsibility to Protect, suatu tanggung
jawab dalam kedaulatan negara.
Simpulan
1. Konflik atau pertentangan antara prinsip kedaulatan negara dengan intervensi
kemanusiaan telah menciptakan suatu kondisi yang dilematis dalam penegakan hak
asasi manusia. Konflik ini merupakan tantangan baru bagi upaya perlindungan
terhadap masyarakat sipil dan diperlukan suatu konsep baru yang dapat
menghubungkan kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan.
2. Konsep baru tersebut adalah konsep Responsibility to Protect (R to P) atau
tanggung jawab untuk melindungi yang melekat pada kedaulatan negara. Konsep R
to P yang telah dirumuskan dalam dokumen 2005 World Summit, Resolusi Dewan
Keamanan PBB 1674 dan Laporan Sekretaris Jenderal PBB (Implementing the
Responsibility to Protect) merupakan konsep yang lahir dari prinsip dasar−prinsip
yang menyatakan bahwa kedaulatan negara mengandung suatu tanggung jawab
pokok untuk melindungi warga negaranya yang berada dalam wilayah kedaulatan
negara tersebut.Ketika suatu populasi berada dalam keadaan bahaya akibat dari
perang internal (internal war), pemberontakan (insurgency), penindasan atau
kegagalan negara, dan negara tersebut berada dalam suatu kondisi tidak
"berkehendak " (unwilling) atau "tidak berdaya" (unable) untuk menghentikan atau
mencegahnya, prinsip non intervensi membenarkan tanggung jawab intenasional
untuk melindungi (international responsibility to protect). R to P secara garis
besar terdiri dari responsibility to prevent, responsibility to react dan responsibility
to rebuild.
3. Paradigma kedaulatan negara telah mengalami pergeseran dari suatu unsur yang
bersifat absolut dan tidak dapat digugat menjadi suatu tanggung jawab mutlak
untuk melindungi warga negaranya. Negara dan warga negara memiliki hubungan
hukum yang bersifat timbal balik dalam wujud "kewarganegaraan".
Kewarganegaraan menimbulkan suatu kewajiban dan hak yang seimbang antar
negara dengan warga negaranya. Rasio hukum ini semakin memperkuat dasar untuk
mengimplementasikan konsep Responsibility to Protect.
Rekomendasi
1. Diseminasi mengenai R to P perlu diperluas dan dapat dimulai dari
organisasi−organisasi antar pemerintah yang bersifat regional. Dengan demikian
prinsip R to P dapat diterima secara universal dalam praktek hukum internasional.
2. Keberadaan prinsip Responsibility to Protect sebagai norma dalam hukum
internasional perlu ditindaklanjuti dengan merancang aturan hukum mengenai
prinsip ini dalam bentuk dokumen internasional berupa kovenan yang memiliki
kekuatan hukum sehingga harmonisasi serta unifikasi hukum internasional
berkaitan dengan R to P dapat terwujud.
Download