KONSTRUKSI REALITAS PERILAKU PEMILIH PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK (Sebuah Penelitian dengan Pendekatan Teori Konstruksi Realitas Secara Sosial Model Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann) OLEH: TIM PENELITI KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LEBAK KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LEBAK 2015 M/1436 H Kalau kita tidak menjaga jarak dari arena, apakah kita ini : anggota KPU atau politisi? (Adaptasi - crn) Dunia berjalan ke belakang, semakin jauh, sedangkan akhirat berjalan ke depan, semakin dekat. Maka, jadilah Anda anak-anak akhirat, dan Anda jangan jadi anak-anak dunia! Sesungguhnya, hari ini (di dunia) ada amal, tetapi tidak ada hisab, sedangkan besok (di akhirat), ada hisab, tetapi tidak ada amal. (Khalifah Ali bin Abi Thalib). ABSTRAK TIM PENELITI (C.R. NURDIN DAN KAWAN-KAWAN) - KONSTRUKSI REALITAS PERILAKU PEMILIH PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK (Sebuah Penelitian dengan Pendekatan Teori Konstruksi Realitas Secara Sosial Model Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann) Penggunaan hak pilih pada pemilu tahun 2014, baik pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta pemilu presiden dan wakil presiden, juga pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tempat penelitian di enam daerah pemilihan di Kabupaten Lebak. Tim Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann. Teori-teori yang relevan pun digunakan seperti teori pertukaran sosial dan pertukaran perilaku, teori konsumen, dan beberapa teori komunikasi massa. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beragam motivasi dalam penggunaan hak pilih yang kemudian menjadi perilaku pemilih. Tim Peneliti memaknai penggunaan hak pilih dari sudut pandang mereka. Penggunaan hak pilih terhadap calon bisa berubah karena beberapa faktor pula, baik faktor internal, faktor eksternal, maupun hasil sintesis kedua faktor tersebut, seperti halnya ditunjukkan oleh teori konstruksi realias secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann. Dari kalangan pesantren ditemukan teori ijtihad dalam perspektif ajaran Islam. Penggunaan hak pilih dinilai sebagai ibadah ghayr mahdlah,(ibadah yang tidak ditentukan cara-caranya), dan oleh karena itu pantas diawali dengan bismillah sebelum menggunakan hak pilih. Masyarakat adat di pedalaman Kabupaten Lebak hanya mengikuti petunjuk pemuka adat mereka, termasuk ketika menggunakan hak pilih. Banyak warga yang menggunakan hak pilih karena memang sudah jadi kebiasaan. Mereka menggunakan hak pilih sudah berkali-kali sejak terdaftar sebagai pemilih. Kata kunci : pemilihan umum, perilaku pemilih, konstruksi realitas secara sosial, Kabupaten Lebak. v ABSTRACT THE TEAM OF RESEARCHERS (C.R. NURDIN AND COLLEAGUES) ON REALITY CONSTRUCTION OF VOTER BEHAVIOUR AT THE GENERAL ELECTION OF 2014 IN LEBAK REGENCY (A study by The Approach of of Social Reality Construction Theory Model of Peter Ludwig Berger and Thomas Luckmann) The use of the right to vote in The general elections of 2014, both general election of members of The House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat), Regional Representatibes Council (Dewan Perwakilan Daerah), and Regional House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) and the general election of president and vice president, made direct, general, free, confidential, honest, and fair. The place of research in six electoral districts in Lebak Regency. Object of research is the behaviour of voters. The Team of researchers used descriptive qualitative research methods, by theory of social construction of reality Peter Ludwig Berger and Thomas Luckmann. Relevant theories was used as a social exchange theory and exchange behaviour, consumer theory, and some of the theories of mass communication. The results showed that there are a variety of motivations in the use of suffrage which later became voter behavior. The Team of Researchers interpret the use of the right to vote from their perspective. The use of the right to vote against a candidate may change due to several factors, both internal factors and external factors, as well as the results of the synthesis of these two factors, as indicated by the theory of social construction reality of Peter Ludwig Berger and Thomas Luckmann. Mass media and community leaders made voter behavior. In the boarding school found the theory of ijtihad in Islamic perspective. It made the voting behavior. Use of suffrage is considered as worship ghayr mahdlah (worship are not specified how-how), and therefore deserve begins with bismillah before using the right to vote. The indigenous peoples (the tradisional society of Lebak Regency) just follow the instructions of their traditional leaders, including when to use the right to vote. It could be called the behavior of a single voter loyalty to traditional leaders. Many citizens who exercise their right to vote because it has become a habit (habit behavior). They use the right to vote has been many times since the election of the New Order Era. Keywords : general election, voting behavior, social reality construction, Lebak Regency. vi LEMBAR SURAT TUGAS Komisi Pemilihan Umum 1. Nama Jabatan (KPU) Kabupaten Lebak menugaskan : : Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si. : Ketua Divisi SDM dan Humas Wilayah Penelitian : 2. Nama PENELITIAN Daerah Pemilihan Lebak I : Apipi, S.Pd.I. Jabatan : Ketua Divisi Perencanaan Program dan Data Wilayah Penelitian : Daerah Pemilihan II : Sri Astuti Wijaya, S.I.P., S.Pd. Jabatan : Ketua Divisi Umum dan Keuangan Wilayah Penelitian : Lebak III : C.R. Nurdin Jabatan : Ketua Divisi Hukum dan Sosialisasi Wilayah Penelitian : Daerah Pemilihan Lebak IV : Ace Sumirsa Ali, S.Fil. Jabatan : Ketua Divisi Tekra dan Logistik Wilayah Penelitian : Daerah Pemilihan Lebak V : Imas Iriani, S.Sos. Jabatan : Plt. Sekretaris KPU Kabupaten Lebak Wilayah Penelitian : Daerah Pemilihan Lebak VI 3. Nama 4. Nama 5. Nama 6. Nama vii untuk melakukan penelitian lapangan mengenai perilaku pemilih, meliputi wawancara, penyebaran kuisinoner, dan pengamatan, di wilayah penelitian masing-masing, sebagaimana tersebut di atas. Hasil penelitian akan disusun kemudian dijadikan bahan jadi sebuah laporan hasil penelitian, untuk penyusunan kebijakan di lingkungan KPU, sebagaimana dimaksud surat KPU, Nomor 155/KPU/SK/IV/2015 Demikian Surat Tugas Penelitian ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya. Rangkasbitung, 09 Mei 2015 Ketua Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si. viii LEMBAR TIM PENELITI KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LEBAK Pengarah Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si. Penanggung Jawab Administrasi Imas Iriani, S.Sos. Ketua C.R. Nurdin, S.Sos., M.I.Kom. Para Asisten Ace Sumirsa Ali, S.Fil. Studi pustaka dan Penyusunan Desain Penelitian Apipi, S.Pd.I. : Studi Lapangan, Pengumpulan Data, dan Pengorganisasian Data Sri Astuti Wijaya, S.I.P., S.Pd. : Pengolahan Data, Penulisan hasil penelitian, Presentasi di KPU Lebak, dan Penyerahan Hasil Penelitian ke KPU Banten dan KPU Pustaka, Data, dan Informasi Fery Turman, S.Sos., Drs. Ruhyadi, Muhammad Taufik, S.H. Rangkasbitung, 31 Juli 2015 Ketua Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si. ix LEMBAR PERSETUJUAN RAPAT PLENO TENTANG PENELITIAN PERILAKU PEMILIH Menindaklanjuti surat KPU Nomor 155/KPU/IV/2015, Tanggal 06 April 2015, pengarahan KPU Provinsi Banten, tanggal 17 April 2015, maka KPU Kabupaten Lebak memutuskan beberapa hal : 1. Objek penelitian yang dipilih KPU Kabupaten Lebak adalah perilaku pemilih. 2. Penelitian sebagaimana tersebut di atas dikerjakan secara swakelola, oleh Tim Peneliti yang dibentuk KPU Kabupaten Lebak, sebagaimana tercantum dalam laporan hasil penelitian. 3. Waktu penelitian selama tiga bulan, dari bulan Mei 2015 sampai bulan Juli 2015. 4. Anggaran yang diakibatkan oleh persetujuan rapat pleno ini akan dibebankan pada DIPA, sebagaimnana surat dari KPU, Nomor 155/KPU/IV/2015, Nomor G.b. Rangkasbitung, 20 April 2015 Ketua Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si. Anggota C.R. Nurdin, S.Sos., M.I.Kom. Ace Sumirsa Ali, S.Fil. …………………………………. …………………………………. Apipi, S.Pd.I. Sri Astuti Wijaya, S.I,P., S.Pd. …………………………………. ………………………………… x LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN HASIL PENELITIAN Judul : KONSTRUKSI REALITAS PERILAKU PEMILIH PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK (Sebuah Penelitian dengan Pendekatan Teori Konstruksi Realitas Secara Sosial Model Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann) adalah hasil penelitian lapangan dan studi pustaka karya Tim Peneliti Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak. Hasil penelitian ini asli karya Tim Peneliti, bukan merupakan saduran atau jiplakan, baik sebagian maupun secara keseluruhan. Semua informasi, data, dan hasil pengolahan data jelas sumbernya dan bisa diperiksa kebenarannya. Rangkasbitung, 31 Juli 2015 Tim Peneliti komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak Ketua C.R. Nurdin xi KATA PENGANTAR Bismi ‘lLaahi ‘rRahmaani ‘r-Rahiim Tim Peneliti Perilaku Pemilih pada Pemilu Tahun 2014 di Kabupaten Lebak pantas bersyukur kepada Allah S.W.T. Atas taufik dan inayah-Nya, Tim Peneliti berhasil menyelesaikan penelitian dan penulisan hasil penelitian, sesuai dengan alokasi waktu, sebagaimana instruksi Komisi Pemihan Umum (KPU) dan arahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten. Tim Peneliti, sebetulnya, ingin menghasilkan penelitian yang lebih lengkap. Apalagi nantinya, hasil penelitian ini akan dijadikan bahan pertimbangan penyusunan kebijakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Kalau saja hasil penelitian ini kemudian dijadikan informasi, maka informasi itu tentu harus benar dan berkualitas. Kebijakan atau keputusan yang keliru - sangat mungkin karena dibangun oleh informasi yang keliru maka akan menghasilkan keputusan atau kebijakan yang keliru pula. Oleh karena itu, Tim Peneliti beruhana bekerja sebaik-baiknya dalam melakukan penelitian dipertanggungjawabkan, ini agar yang kemudian hasilnya jadi benar, informasi yang bisa bisa dipertanggungjawabkan sebagai bahan penyusunan kebijakan. Tim Peneliti menghadapi kendala, selain karena waktu yang sebetulnya terasa kurang leluasa untuk melakukan penelitian yang lebih xii serius, juga bahan bacaan atau referensi lengkap yang berhubungan dengan topik penelitian, di Kabupaten Lebak khususnya, masih sangat kurang, bahkan nyaris tidak ada di perpustakaan setempat. Kalau Tim Peneliti berterus terang, agar terang terus, sesungguhnya anggaran yang disediakan DIPA untuk sebuah penelitian, boleh disebut masih belum memadai. Tetapi, bagaimana pun, Tim Peneliti harus tetap menyukuri yang ada, tanpa harus mengurangi semangat bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas. Seiring dengan berdirinya banyak perguruan tinggi, dan Kabupaten Lebak dicanangkan jadi Lebak cerdas, maka pembangunan perpustakaan yang lengkap dan modern tidak bisa ditawar lagi. Gedung KPU Kabupaten Lebak yang sekarang ditempati, yang sudah dihuni sejak kelahiran KPU Kabupaten Lebak (2003), resmi akan dijadikan gedung perpustakaan yang lengkap dan modern itu, tiga lantai, dengan biaya dari APBD Provinsi Banten. Kantor KPU Kabupaten Lebak sendiri, untuk sementara dan mungkin selamanya, akan menempati kantor aset Pemerintah Kabupaten Lebak. Tim Peneliti, sesungguhnya, merasa beruntung karena pelaksanaan penelitian tidak bersamaan dengan pelenggarakan pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota secara serentak, sebagaimana kawan-kawan di KPU kabupaten dan kota yang lain di Provinsi Banten khususnya. Oleh karena itu, Tim Peneliti bisa xiii lebih memusatkan perhatian pada penelitian ini, meski hasilnya belum tentu akan lebih baik dari hasil penelitian kawan-kawan yang sedang menyelenggarakan pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Tim Peneliti tetap bersemangat, kompak, dan bersama-sama turun ke lapangan untuk melakukan tugas-tugas penelitian, seperti penyebaran kuisioner, wawancara, pengamatan, dan pendalaman. Tim Peneliti yakin, semakin banyak bahan dan hasil studi lapangan, maka hasilnya akan semakin baik. Insya Allah. Tim Peneliti wajib mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu penyusunan hasil penelitian ini, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yang tidak mungkin disebutkan semua secara terinci. Meski begitu, Allah S.W.T. akan senantiasa menghitung amal hamba-Nya, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang kecil apalagi yang besar, sebagaimana sabda-Nya, “Maka, siapa saja yang berbuat amal baik, meski sebesar biji sawi, akan dibalas pula”. Tim Peneliti, terutama mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bupati Kabupaten Lebak Hajjah Iti Octavia Jayabaya, S.E., M.M. dari kalangan eksekutif yang telah bersedia menjadi narasumber wawancara penelitian perilaku pemilih. xiv 2. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lebak, Junaedi Ibnu Jarta, dari kalangan legislatif yang telah bersedia menjadi narasumber wawancara mengenai perilaku peMILIH. 3. Ketua KPU Kabupaten Lebak masa jabatan 2008 – 2014, H. Agus Sutisna, S.I.P., M.Si., yang telah bersedia menjadi narasumber wawancara tentang perilaku pemilih dari perspektif teori politik. 4. Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak, K.H. Achmad Syatibi Hambali sebagai tokoh masyarakat yang telah bersedia menjadi narasumber wawancara soal perilaku pemilih dari sudut kehidupan nyata sehari-hari di lapangan. 5. Ketua KPU Provinsi Banten, Agus Supriyatna, S.H., M.Si, dan para anggota (Ir. H.M. Didih M. Sudi, M.Sc., Syaeful Bahri, M.M., Agus Supadmo, M.Si., dan Dra. Hj. Enan Nadya) yang telah membimbing dan mengarahkan prosesi dan teknis pelaksanaan dan penulisan penelitian. 6. Ketua KPU Kabupaten Lebak, Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si. yang telah mendorong dan mengarahkan Tim Penulis agar bekerja tetap hangat dan penuh semangat. 7. Sekretaris KPU Kabupaten Lebak Kasim, S.H. yang telah banyak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dengan sangat penuh perhatian. xv pelaksanaan penelitian, 8. Pelaksana Tugas Sekretaris KPU Kabupaten Lebak, Imas Iriani, S.Sos., yang telah melanjutkan tugas-tugas Sekretaris KPU Kabupaten Lebak dalam penyediaan fasilitasi untuk Tim Penulis. 9. Para kepala Subbagian di Sekretariat KPU Kabupaten Lebak (Kasubbag Umum Drs. Ruhyadi, Kasubbag Perencanaan Fery Turman, S.Sos., Kasubabag Tekra dan Hupmas Imas Iriani, S.Sos., dan Kasubbag Hukum Muhamad Taufik, S.H.) yang telah rela, dan dengan sabar serta sadar menyediakan kebutuhan data dan informasi pemilu tahun 2014 khususnya. 10. Para pembantu (office boy dan office girl) yang dengan sabar, juga dengan hati senang dan tetap gembira kalau diminta menyediakan air minum, kopi, atau bahkan nasi bungkus. 11. Para mantan anggota dan ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang tersebar di enam daerah pemilihan, yang ternyata tidak “kapok” jadi badan penyelengagra pemilu, yang sangat membantu dalam penyebaran kuisioner ini. 12. Para responden (150 orang) dan inform di enam daerah pemilihan yang telah rela menyisihkan waktu untuk pengisian kuisioner dan wawancara tentang prilaku pemilih. Tanpa hasil kuisioner dan hasil wawancara, maka Tim Peneliti tidak punya bahan penting dan signifikan untuk menghasilkan penelitian. xvi 13. Para peserta forum group discussion (FGD) yang telah memerkaya hasil penelitian ini dengan masukan-masukan dan masakanmasakan yang cukup penting. Akhirnya, semoga hasil penelitian tentang perilaku pemilih pada pemilu tahun 2014 di Kabupaten Lebak ini bermanfaat dan jadi sumbangan berarti (baik teoritis maupun praktis) untuk penyelenggaraan pemilihan umum yang lebih baik. Para pemilih yang perilakunya lebih cerdas dan lebih berkualitas, tentu, jadi “pilar” penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas pula. Alun-alun Timur Rangkasbitung, 31 Juli 2015 M/1436 H Ketua Tim Peneliti C.R. Nurdin xvii DAFTAR TABEL No. Tabel Halaman 1. Daftar Penelitian Terdahulu 15 2. Perbandingan Paradigma Kualitatatif dan Kuantitatif 45 xviii DAFTAR SKEMA No. Skema Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7 Kerangka Pemikiran Hubungan Filsafat Fenomenologi dan Filsafat Lainnya Teknik Analisi Data Proses Analisis Data Paradigma Kualitatif Prosedur Penelitian Skema Teori Pemenuhan dan Kebutuhan Teori Dua Tahap 31 47 77 82 93 113 116 xix DAFTAR GAMBAR No. Gambar Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18 19. Stop Politik Uang! 50 Ribu Dilupakan 5 Tahun Ilustrasi Perilaku Konsumen Ilustrasi Pertukaran Sosial dan Perilaku Ilustrasi Konstruksi Realitas Secara Sosial Surat Suara, Dicoblos di TPS Ilustrasi Pengisian Kuisioner Ilustrasi Metodologi Riset Ilustrasi Paradigma (Cara Pandang dan Ciri Pandang) Hubungan Penelitian Kualitatif dan Fenomenologi Ilustrasi Penggunaan Hak Pilih Ilustrasi Pengumpulan Data Penelitian Ilustrasi Analisis Data Ilustrasi Pengujian Data Teori Jarum Suntik Lambang Parpol Peserta Pemilu Tahun 2014 Kritis – Pilih Tagih Janjinya Indonesia Menulis, Tandai Pilihanmu! Mencentang Surat Suara 7 10 19 21 28 29 31 34 41 48 65 70 78 90 112 118 122 157 159 xx DAFTAR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. FOTO Foto Aksi Reformasi, Pendudukan Gedung DPR/MPR, 1998 Penggunaan Hak Pilih Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Edmund Husserl, Bapak Fenomenologi Thomas Luqmann dan Peter Ludwig Berger Di Sini Menerima Serangan Fajar Ada Uang Ada Suara, Menerima Serangan Fajar Simulasi Penggunaan Hak Pilih di Desa Kanekes Santri Zaman Dulu Salat Berjamaah, Contoh Kepemimpinan Bebas Mencoblos Panitia Pemilihan Kecamatan Ukuran Surat Suara Ketika KPU Lebak Jadi Termohon xxi Halaman 1 39 40 52 55 106 107 110 134 146 150 155 156 162 DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Pedoman Riset tentang Partisipasi Pemilu Jadwal Penelitian Perilaku Pemilih Prosedur Penelitian Perilaku Pemilih Daftar Kuisioner Penelitian Peilaku Pemilih Daftar Wawancara Penelitian Perilaku Pemilih Jumlah Penduduk, Daerah Pemilih, dan Alokasi Kursi Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilu Tahun 2014 Calon Terpilih Anggota DPRD Kabupaten Lebak Profil Responden di Enam Daerah Pemilihan Pengetahuan Responden tentang Pemilu Jawaban responden atas Pertanyaan Penelitian Daftar Pertanyaan Wawancara dengan Informan Wawancara dengan Bupati Kabupaten Lebak Wawancara dengan Ketua DPRD Kabupaten Lebak Wawancara dengan Ketua MUI Kabupaten Lebak Wawancara dengan Analis Politik dan Perubahan Sosial 13 32 33 34 37 38 38 39 97 101 104 122 133 136 142 145 xxii DAFTAR SINGKATAN Bawaslu : Badan Pengawas Pemilihan Umum Dapil : Daerah Pemilihan DPT : Daftar Pemilih Tetap DPTb : Daftar Pemilih Tambahan DPK : Daftar Pemilih Khusus DPTKb : Daftar Pemilih Khusus Tambahan DP4 : Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu DKPP : Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu DPD : Dewan Perwakilan Daerah DPR : Dewan Perwakilan Rakyat DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KPU : Komisi Pemiihan Umum KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KIP : Komisi Independen Pemilihan Umum MA : Mahkamah Agung MK : Mahkamah Konstitusi MPR : Majlis Permusyaratan Rakyat Parpol : Partai Politik Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilihan Umum Pemilu : Pemilihan Umum Pemilukada : Pemilihan Umum Kepala Daerah Pantarlih Panitia Pendaftaran Pemilih : xxiii Perppu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang PKPU : Peraturan Komisi Pemilihan Umum PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan PPS : Panitia Pemungutan Suara PPLN : Panitia Pemilihan Luar Negeri PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negera Relasi : Relawan Demokrasi SE : Surat Edaran Sipol : Sistem Informasi Pendafaran Partai Politik Sidalih : Sistem Informasi Pendaftaran Pemilih Silogis : Sistem Informasi Logistik SS : Surat Suara SK : Surat Keputusan Tungsura : Pemungutan dan Penghitungan Suara UU : Undang-undang Waslulap : Pengawas Pemilihan Umum Lapangan xxiv DAFTAR ISTILAH DALAM BAHASA INGGRIS Adventurer type : Tipe petualang Attraction : Ketertarikan A way of looking at things : Suatu metode pemikiran Backward looking : Masa lalu Black campaign : Kampanye negatif Electoral treshhold : Batas minimal perolehan suara E-voting : Pemilihan umum secara elektrornik Fighter type : Tipe pejuang Forward looking : Masa yang akan datang Civil society : Masyarakat sipil Critical voter : Pemilih kritis Ideological voter : Pemilih ideologis Job seeker type : Tipe pencari kerja Local Strongman : Orang kuat (berpengaruh) di darah Political actor : Praktisi politik Political behavior : Perilaku politik Political will : Kemauan politik Pragmatic voter : Pemilih pragmatis Protection seeker job : Tipe pencari perlindungan Prestise type : Tipe (pencari) prestasi Proximity : Kedekatan Rational voter : Pemilih rasioal xxv Real count : Hitung utuh (hasil rekapitulasi) Social stratification : Stratifikasi sosial Similarity : Kesamaan Sceptic voter : Pemilih skeptis Trader type : Tipe pedagang Traditional voter : Pemilih tradisional Voter education : Pendidikan pemilih Voters : Pemilih Voters Behaviour : Perilaku pemilihan Vote-buying : Jual beli suara Voter subjective : Pemilih subjektif Quick count : Hitung cepat xxvi DAFTAR ISTILAH DALAM BAHASA ARAB Ahlu „l-halli wa „l-aqdi : Majlis perwakilan, kelompok elit umat, ada yang menyebut pula semacam MPR di Indonesia Ahlu „l-Ijtihaad : Pemikir Ahlu „l-Ikhtiyar : Ahli memilih pemimpin Ahlu „sy-Syuura : Juru runding Al-mashalahah al-„ammah : Kebaikan bersama Bay‟at : Sumpah setia Fardlu kifaayah : Kewajiban tidak untuk semua orang (Sebaliknya, fardlu ‘ayn) Ijtihaad : Berpikir untuk menemukan simpulan hukum, berdasarkan Alquran dan Assunnah Imaamah : Kepemimpinan khulafaa‟ ur-Raasyidiin : (Empat) khalifah yang terbimbing (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali). Ada yang menyebut lima orang, ditambah Khalifah Umar bin Abdul Aziz Mu‟tazilah : Aliran rasionalisme dalam Islam (aliran pemikiran) Khawaarij : Kelompok sempalan. Sebelummnya, mereka pendukung setia Khalifah Ali bin AbuThalib Subhaanallah : Maha Suci Allah Tayaammun : Bersuci dengan tanah, pengganti wudu dan mandi xxvii DAFTAR ISI ABSTRAK ABSTRACT LEMBAR SURAT TUGAS PENELITIAN LEMBAR TIM PENELITI KPU KABUPATEN LEBAK LEMBAR PERSETUJUAN RAPAT PLENO LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN HASIL PENELITIAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR SKEMA DAFTAR GAMBAR DAFTAR FOTO DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN DAFTAR ISTILAH BAHASA INGGRIS DAFTAR ISTILAH DALAM BAHASA ARAB DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah 1.2.1. Identifikasi Masalah 1.2.2. Rumusan Masalah 1.3. Maksud dan Tujuan 1.3.1. Maksud 1.3.2. Tujuan 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Aspek teoritis 1.4.2. Aspek Praktis 1.4.3. Pedoman Penelitian dan Pengarahan BAB II KAJIAN PUSTAKA, TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Pendekatan Sosiologis, Psikologis, dan Ekonomi 2.2.2. Teori Perilaku Konsumen 2.2.3. Teori Pertukaran Sosial dan Pertukaran Perilaku 2.3. Kerangka Pemikiran BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian 3.2. Waktu Penelitian 3.3. Penyebaran Lembar Kuisioner dan Daftar Wawancara 3.4. Penduduk dan Pemilih xxviii HAL. V Vi Vii Ix X Xi Xii xviii Xix Xx Xxi xxii xxiii Xv xxvii xviii 1 1 5 5 10 10 12 12 12 12 13 13 14 14 18 18 19 20 23 32 32 32 33 37 3.5. Paradigma Penelitian 3.5.1. Positivist dan Naturalist 3.5.2. Fenomenologi Edmund Husserl 3.5.3. Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann 3.5.4. Ayat Sosial Surat Al-Hujuraat 13 3.6. Metode Penelitian 3.6.1. Klasifikasi Metode Penelitian 3.6.2. Metode Penelitian Deskriptif 3.7. Definisi Konsep 3.7.1. Pemilih 3.7.2. Perilaku Pemilih 3.7.2.1. Pemilih Tradisional 3.7.2.2. Pemilih Subjektif 3.7.2.3. Pemilih Pragmatis 3.7.2.4. Pemilih Skeptis 3.7.2.5. Pemilih Ideologis 3.7.2.6. Pemilih Rasional 3.8. Unit Analisis 3.9. Teknik Pengumpulan Data 3.9.1. Pengisian Kuisioner 3.9.2. Wawancara Lapangan 3.9.3. Observasi 3.9.4. Metode Tes 3.9.5. Telaah Dokumentasi 3.9.6. Studi Pustaka 3.9.7. Wawancara dengan Informan 3.10.Teknik Analisis Data 3.11 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data 3.12. Prosedur Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Profil Responden 4.2.2. Pengetahuan Responden tentang Pemilu 4.2.3. Pertanyaan Penelitian 4.3. Pembahasan 4.3.1. Perilaku Pemilih dari Perspektif Teoritis 4.3.1.1. Teori Konstruksi Realitas Secara Sosial 4.3.1.2. Teori Tindakan Sosial a. Tindakan Rasionalitas Instrumen b. Tindakan Rasional Nilai c. Tindakan Afektif d. Tindakan Tradisional 4.3.1.3. Teori Komunikasi Massa xxix 41 41 47 54 58 59 59 60 61 64 65 66 66 66 67 67 68 68 69 70 71 71 73 73 74 75 75 87 91 94 94 96 96 98 101 104 104 104 109 109 109 109 109 111 a. Hypodermic Needle Theory b. Use and Gratification Theory c. Two Step Flow Theory 4.3.1.4. Perilaku Politik 4.3.1.5. Perilaku Pemilih 4.3.1.6. Perilaku Calon 4.3.2. Perilaku Pemilih dari Perspektif Informan 4.3.2.1. Bupati Kabupaten Lebak 4.3.2.2. Ketua DPRD Kabupaten Lebak 4.2.3.3. Ketua MUI Kabupaten Lebak a. Perilaku Kiai dan Perilaku Santri b. Pemilu dan Imamah 4.2.3.4 Analis Politik dan Perubahan Sosial 4.4. Temuan di Lapangan 4.4.1. Satu Surat Suara, Satu Kali Coblos 4.4.2. Indonesia Menulis, Indonesia Mencoblos 4.4.3. Mahkamah Pemilu BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 5.1. Simpulan 5.1.1. Habit Behavior 5.1.2. Otonomi Politik dan Local Strongman 5.1.3. Perilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal 5.1.4. Perilaku Pemilih Prgmatis 5.1.5. Perilaku Pemilih pada Pilkades 5.1.6 Perilaku Pemilih dan Partisipasi Permilih 5.1.7. Keberagaman dan Keseragaman Perilaku Pemilih 5.1.8. Perilaku Ijtihad di LIngkungan Pesantren 5.1.9. Peilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal 5.1.10. Perilaku Calon, Potensi Ancaman Golput 5.1.11. Media Massa dan Pembentukan Perilaku Pemilih 5.2 Implikasi 5.2.1. Implikasi Teoritis 5.2.2. Implikasi Praktis 5.2.3. Implikasi Penelitian Selanjutnya a. Analisis Wacana Kritis b. Penelitian Eksplanatori 5.3. Rekomendasi 5.3.1. Tradisi Penelitian 5.3.2. Anggaran Sosialisasi 5.3.3. Relawan Demokrasi 5.3.4. Lembaga Pendidikan Pemilih 5.3.5. Pendidikan Pemilih oleh Para Calon 5.3.6. Tata Cara Penggunaan Hak Pilih 5.3.7. Mencentang Surat Suara xxx 111 113 115 117 119 120 123 123 130 133 133 140 147 151 153 156 160 163 164 164 165 165 166 167 167 168 169 170 172 172 173 173 173 174 174 175 176 176 176 177 177 177 178 178 5.3.8. Pemilu Elektronik 5.3.9. Mahkamah Pemilu DAFTAR PUSTAKA DI BALIK LAYAR TIM PENELITI LAMPIRAN - LAMPIRAN 1. PEDOMAN RISET TENTANG PARTISIPASI DALAM PEMILU 2. JADWAL PENELITIAN PERILAKU PEMILIH 3. PROSEDUR PENELITIAN PERILAKU PEMILIH 4. DAFTAR KUISIONER PENELITIAN PERILAKU PEMILIH 5. DAFTAR WAWANCARA PENELITIAN PERILAKU PEMILIH 6. JUMLAH PENDUDUK, DAERAH PEMILIHAN, DAN KURSI 7. REKAPITULASI DAFTAR PEMILIH TETAP PEMILU 2014 8. CALON TERPILIH ANGGOTA DPRD KABUPATEN LEBAK 9. PROFIL RESPONDEN DI ENAM DAERAH PEMILIHAN 10. PENGETAHUAN RESPONDEN TENTANG PEMILU 11. JAWABAN RESPONDEN ATAS PERTANYAAN PENELITIAN 12. DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN 13. WAWANCARA DENGAN BUPATI KABUPATEN LEBAK 14. WAWANCARA DENGAN KETUA DPRD KABUPATEN LEBAK 15. WAWANCARA DENGAN KETUA MUI KABUPATEN LEBAK 16. WAWANCARA DENGAN ANALIS POLITIK xxxi 179 179 180 186 192 201 202 203 208 212 214 215 217 219 221 224 229 231 235 239 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Aksi reformasi tahun 1998, di negeri ini, antara lain melahirkan satu paket undang-undang politik yang baru sebagai hasil reformasi atas undang-undang politik sebelumnya. Jauh dari sekadar reformasi undang-undang politik, bahkan Undangundang Dasar 1945 pun sampai empat kali diamandemen, padahal dalam tempo yang relatif singkat. Lalu, pernah pula muncul wacana amandemen kelima. Foto 1 Aksi Reformasi, Pendudukan Gedung DPR/MPR, 1998 https://id.wikipedia.org ~1~ Partai politik, pascareformasi itu, tidak lagi dibatasi jumlahnya, atau kemudian muncul istilah multipartai. Pemilihan umum pun diselenggarakan oleh sebuah lembaga independen dan mandiri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang antara lain syarat anggotanya tidak menjadi anggota partai politik , paling tidak, lima (5) tahun sebelumnya. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota dan wakil bupati/walikota dilakukan secara langsung oleh rakyat. Maka, soal presiden dan wakil presdien, Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kehilangan salah satu fungsinya, yakni kewenangan memilih presiden dan wakil presiden dengan suara terbanyak. Perubahan kewenangan itu dilakukan oleh MPR sendiri, sebagaimana diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR, 09 November 2001. Isi putusan, bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1). Dengan putusan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung itu, maka rakyat terlibat secara langsung menentukan pilihannya. Dengan demikian, rakyat punya empat paket “pesta pemilihan umum langsung”, (a) pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (b) pemilihan umum presiden dan wakil presiden, (c) pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur, dan (d) pemilihan umum bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. ~2~ Dalam setiap pemilihan umum, setidak-tidaknya ada empat pihak yang terlibat, (a) penyelenggara pemilihan umum (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum), (b) partai politik, (c) para calon yang didaftarkan partai politik, dan (d) para pemilih yang terdiri dari masyarakat pemilih yang memenuhi syarat. Keempat pihak itu, dalam setiap pemilihan umum, mempunyai perilaku : perilaku penyelenggara pemilihan umum, perilaku partai politik, perilaku calon yang diudaftarkan partai politik, dan perilaku pemilih. Keempat pihak itu punya undang-undang dan aturan sendiri-sendiri. Pemilih yang terdiri dari masyarakat pemilih pun dibatasi undangundang dan aturan, sehingga tidak semua penduduk atau warga negara Indonesia (WNI) punya hak memilih dan dipilih. Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan tentara nasional Indonesia (TNI), misalnya, tidak menggunakan hak pilihnya selama ini, pada setiap pemilihan umum. WNI yang belum berusia genap 17 tahun pun tidak termasuk dalam kategori pemilih, kecuali sudah atau pernah kawin. Selain rakyat terlibat langsung dalam pemilihan umum itu, juga rakyat terlibat langsung dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur/wakil gubernur dan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota). Maka, semakin seringlah rakyat menggunakan hak pilih secara langsung itu. Di samping itu, ada pemilihan kepala desa. ~3~ Penggunaan hak pilih oleh masyarakat pemilih seharusnya berdasarkan keinginan sendiri, keputusan hati nurani, sesuai dengan asas penggunanan hak pilih : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kini, demokratis dalam penggunaan hak pilih sudah dirasakan masyarakat pemilih, Tekanan, paksaan, dan penggiringan sudah tidak ada lagi. Kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sepenuhnya jadi “eksekutor” bagi para calon sudah sangat dihapal dan dikenal. Meski tidak ada lagi penggiringan atau tekanan dari pihak-pihak tertentu, seperti pada zaman dulu, tidak berarti lantas penyelenggaraan pemilihan umum langsung berkelas atau berkualitas. Para peneliti khususnya, justru menemukan tipologi pemilih dan sekaligus calon yang berbeda-beda. Jumlah partai politik peserta pemilu yang tidak terbatas, pemilihan langsung oleh rakyat untuk pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, kemudian mengandung dan mengundang diskusi, sehingga sempat muncul wacana pemilu dengan sistem perwakilan lagi untuk pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Pemilukada jadi terasa begitu mahal, ditambah dengan segala risiko konflik horizontal dan vertikal. Di samping itu, banyak sekali kepala daerah yang terlibat dalam tindak pidana korupsi pascapemilukada langsung itu. Apakah ini ada hubungannya dengan ongkos politik yang dikeluarkan oleh calon kepala ~4~ daerah semasa kampanye, dan ingin “mengembalikan modal”? Atau, memang kedua variabel itu tidak ada hubungannya sama sekali. Tim Peneliti tidak akan melakukan penelitian ada tidaknya hubungan variabel bebas dan variabel terikat seperti di atas, karena memang tugas penelitiannya tentang perilaku pemilih. Belum diteliti pula secara seksama, siapa sebetulnya yang lebih dahulu menawarkan “jasa”, apakah para calon yang menawarkan semacam bantuan kepada pemilih dengan syarat calon yang bersangkutan harus dipilih, atau justru pemilih sendiri yang menawarkan “jasa” untuk memilih calon yang bersangkutan dengan imbalan-imbalan tertentu. Tidak diketahui pasti pihak yang sebetulnya memulai membuka peluang atau penawaran : apakah calon sendiri yang menawarkan, atau pemilih yang mengajukan permintaan. Apa pun, kedua-duanya bersalah menurut undang-undang dan peraturan kalau terjadi transaksi penggunaan hak pilih. Pemilih yang memilih karena imbalan uang atau barang, meski suaranya tetap sah, tetapi mencederai demokrasi. 1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah 1.2.1. Identifikasi Masalah Mengapa terjadi dan terkenal money politic (politik uang)? Sebagian politisi menyebutnya bukan money politic, melainkan cost ~5~ politic (ongkos politik), karena memang kampanye harus dengan ongkos politik. Apakah terjadi pergeseran nilai di kalangan masyarakat pemilih, sehingga penggunaan hak pilih pada seseorang calon atau pasangan calon karena uang atau barang, atau janji-janji materi? Sebuah spanduk terpasang di sebuah tempat, “Menerima Serangan Fajar”. Spanduk yang pernah dipertontonkan televisi itu, tentu mengundang pertanyaan, sekaligus jadi ukuran perilaku pemilih. Sangat menarik dikaji hasil penelitian Dewan Pers, hasil kerja sama dengan Thomson Foundation (Dewan Pers, 2014 : 2) bahwa berkurangnya belanja iklan ruang dan media, karena para caleg lebih memilih “membelanjakan” uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli suara para pemilih di level kelurahan atau menyuap panitia di KPUD. Hasil penelitian itu menunjukkan adanya transaksi politik, sekaligus adanya money politic atas kerja sama para calon dan para pemilihnya. Money politic tidak mungkin dilakukan sebelah pihak, kecuali oleh dua belah pihak, antara lain, karena ada janji atau tawar-menawar. Kehadiran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain, untuk memperkarakan money politic yang terhitung pelanggaran berat. ~6~ Kalau terbukti secara sah dan meyakinkan, melalui putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka calon pelaku money politic bisa dibatalkan pencalonannya, atau bahkan dibatalkan sebagai calon terpilih. Gambar 1 Stop Politik Uang! www.kpu.go.id Tetapi, kenyataan di lapangan, money politic yang dirasakan ada itu tidak pernah atau sangat jarang sampai dibawa ke ranah pengadilan. Faktor uang atau barang bukanlah satu-satunya dorongan yang “menciptakan” perilaku pemilih, dan sekaligus perilaku calon, melainkan masih banyak faktor-faktor lain yang mendorong penggunaan hak pilih. ~7~ Ilmuwan pemilihan umum membagi-bagi kategori perilaku pemilih, sekaligus juga perilaku calon. Tetapi, penelitian ini difokuskan pada perilaku pemilih, bukan pada perilaku calon. Sebagai penyelenggara pemilihan umum, Komisi Pemilihan Umum menginginkan adanya angka partisipasi pemilih yang cukup tinggi disertai dengan para pemilihnya yang berkualitas. Namun, Komisi Pemilihan Umum tidak mungkin secara tepat dan akurat memastikan perilaku pemilih, karena yang diketahui hanyalah gejalanya saja. Komisi Pemilihan Umum hanya memastikan tidak ada motif tunggal bagi masyarakat pemilih karena latar belakang niat atau faktor dorongan yang berbeda-beda di kalangan masyarakat pemilih. Maka, di wilayah inilah Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak khususnya ingin memetakan atau mendiskripsikan tipologi masyarakat pemilih itu ke dalam beberapa perilaku pemilih. Komisi Pemilihan Umum, termasuk Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak, hanya bisa memastikan atau menghitung secara tepat angka partisipasi pemilih. Ini sangat mudah dilakukan karena tinggal menghitung angka (jumlah pengguna hak pilih) dan membandingkannya dengan daftar pengguna hak pilih. ~8~ Warga yang menggunakan hak pilih, tetapi surat suaranya tidak sah, maka dikelompokkan ke dalam masyarakat yang menggunakan hak pilih. Angka partisipasi pemilih tidak hanya dihitung dari suara sah, tetapi juga suara tidak sah. Untuk memastikan angka partisipasi pemilih cukup terukur berdasarkan data angka yang nyata. Di setiap tempat pemungutan suara (TPS), di Kabupaten Lebak khususnya, mesti saja ada suara tidak sah. Artinya, pengguna hak pilih itu kemungkinan tidak sengaja sehingga salah menggunakan hak pilih atau memang sengaja merusakkan surat suara agar tidak sah. Di beberapa TPS, terdapat pula surat suara yang masih utuh, yang artinya tidak dicoblos. Surat suara seperti ini tentu dikategorikan tidak sah, meski pemilihnya “menyumbang” untuk angka partisipasi pemilih. Komisi Pemilihan Umum tidak bisa memastikan atau bahkan mengira-ngira, siapa saja masyarakat pemilih yang salah atau sengaja salah menggunakan hak pilihnya. KPU Kabupaten Lebak khususnya, tentu lebih mudah menghitung angka partisipasi pemilih daripada menghitung atau meneliti motif menggunakan hak pilih hanya dari bukti fisik selembar surat suara. ~9~ Gambar 2 50 Ribu Dilupakan 5 Tahun Maka di sinilah ada ruang penelitian, dan bisa diteliti secara ilmiah melalui rumusan-rumusan akademik. Penelitian, tentu saja, diarahkan kepada pengguna hak pilih, bukan pada fisik surat suara. 1.2.2. Rumusan Masalah 1. Faktor-faktor apa saja yang mendorong penggunaan hak pilih pada pemilihan umum tahun 2014 di Kabupaten Lebak? 2. Bagaimana tipologi pemilih pemilihan umum tahun 2014 di Kabupaten Lebak? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Dalam laporan hasil penelitian, ada yang menulis maksud dan tujuan, ada pula yang hanya menulis tujuan saja. Para ahli ~ 10 ~ membedakan maksud dan tujuan. Ada yang ahli yang menyebut, maksud adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sedangkan tujuan adalah sesuatu yang harus dicapai. Ada pula ahli yang menyebut, kalau maksud bersifat umum, maka tujuan bersifat khusus. Dalam penelitian ini, Tim Peneliti menulis kedua-duanya, maksud dan tujuan. Ada ahli yang membedakan pula tujuan peneliti dan tujuan penelitian, karena memang kedua-duanya berbeda. Tujuan peneliti adalah maksud dilaksanakannya penelitian itu, yang dalam hal ini adalah perintah tugas Komisi Pemilihan Umum. Tujuan penelitian, sebagaimana dicantumkan pula dalam surat perintah tugas, yakni mengetahui rasionalitas perilaku pemilih dalam pemilihan umum. Setiap warga yang menggunakan hak pilihnya punya dorongan, niat, atau tujuan yang berbeda-beda. Tim Peneliti sejak awal sudah menduga, dan memang sudah jadi pengetahuan umum bahwa tidak ada motif tunggal dalam penggunaan hak pilih. Ada faktor-faktor pendorong dalam penggunaan hak pilih, termasuk di dalamnya tentang kepentingan atau keuntungan yang diperoleh masyarakat pemilih dalam penggunaan hak pilihnya itu. Pendorong penggunaan hak pilih bisa diidentifikasikan. Bisa karena dorongan ingin berpartisipasi dalam kehidupan politik, ~ 11 ~ karena yang menjadi calon dari kalangan keluarga atau atasan di kantor, karena dijanjikan uang atau imbalan oleh calon, karena kesamaan ideologi, agama, atau karena malu kalau tidak ikut ramaramai ke tempat pemungutan suara (TPS), dan lain-lain. 1.3.1. Maksud 1. Melaksanakan tugas Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan penelitian perilaku pemilih sebagai bahan penyusunan kebijakan di tingkat pusat (KPU). 2. Menghasilkan penelitian berupa laporan penelitian 3. Tersusunnya buku hasil penelitian yang bersumber dari laporan hasil penelitian. 1.3.2. Tujuan 1. Menganalisis faktor-faktor yang mendorong masyarakat pemilih dalam penggunaan hak pilihnya pada pemilihan umum tahun 2014 di Kabupaten Lebak. 2. Mengetahui perilaku pemilih pada pemilihan umum tahun 2014 di Kabupaten Lebak. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Aspek Teoritis 1. Hasil penelitian ini bisa ditindaklanjuti oleh penelitian berikutnya pada pemilu-pemilu yang akan datang, mengingat setiap pemilih pada setiap pemilu sangat mungkin punya ragam niat, tipe, atau motif yang berbeda. ~ 12 ~ 2. Mengenal tipologi pemilih atau perilaku pemilih di setiap daerah, terutama di Kabupaten Lebak yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Banten. 3. Menambah hasil kajian perilaku pemilih untuk Komisi Pemilihan Umum. 1.4.2. Aspek Praktis 1. Bahan penyusunan strategi kampanye partai politik atau calon anggota DPR, DPD, dan DPRD saat-saat pelaksanaan tahapan kampanye pemilihan umum berlangsung. 2. Sumber keterangan atau data bagi peneliti, mahasiswa, atau masyarakat umum. 3. Bahan penyusunan kebijakan KPU dalam sosialisasi dan usaha peningkatan angka partisipasi pemilih. 1.4.3. Pedoman Penelitian dan Pengarahan KPU Kabupaten Lebak, dalam melaksanakan tugas dan tahapan penelitian, berpedoman pada instruksi KPU, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengarahan dan supervisi oleh KPU Provinsi Banten. Setiap KPU Kabupaten/Kota ditugasi meneliti satu topik penelitian saja. KPU Kabupaten Lebak memilih topik perilaku pemilih, berdasarkan hasil rapat pleno. (Lampiran 1). ~ 13 ~ ~ 14 ~ BAB II KAJIAN PUSTAKA, TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka Kajian pustaka ada kaitannya dengan rumusan masalah. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, tentu diperlukan kajian pustaka sebelumnya, antara lain, karena kajian pustaka itu sendiri akan menjadi dasar teoritis penelitian. Tim Peneliti memilih tiga buah hasil penelitian yang relevan dengan perilaku pemilih, sebagai berikut : Anita Prismawasti Widhiani, dalam tesisnya berjudul Perilaku Pemilih Partai Politik”, “Analisis menggunakan pendekatan teori-teori perilaku konsumen untuk dapat mengidentifikasi perilaku pemilih. Teori yang dimaksud Anita adalah theory of reasoned action dari Ajzen dan Fishbein (1980). Bagi Anita, teori ini tepat diterapkan dalam penelitian politik karena ada kesamaan transaksi kedua belak pihak, yakni penjual dan pembeli. Dalam hal pemilihan umum, kedua belah pihak adalah pemilih dan calon yang akan dipilih. Kalau konsumen mampu mengukur atau menentukan barang yang akan dibeli, berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, maka pemilih pun akan menjatuhkan pilihannya terhadap calon yang dinilai sesuai dengan kriteria-kriterianya itu. ~ 14 ~ Dengan bersandar pada theory of reasoned action, hasil penelitian Anita, keterpilihan partai politik ditentukan pula secara subjektif, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Ini tidak jauh berbeda dengan konsumen yang bisa dipengaruhi oleh penjual atau kualitas produk yang dijual, yang dalam hal ini penjual adalah parpol dan produk yang dijual adalah para calon. Menurut Anita, bahwa masyarakat pemilih membedakan antara partai politik dan pemimpin partai politik itu sendiri. Partai politik tidak begitu penting bagi sejumlah pemilih, karena faktor pendorong pilihan ada pada pemimpinnya dan rasa simpati kepada pemimpin partai politik itu sendiri. Dengan teori ini pula, menurut Anita, partai politik bisa mengukur atau merumuskan apa saja yang perlu disampaikan kepada masyarakat pemilih sehingga memenuhi kriteria-kriteria mereka, yang akhirnya masyarakat pemilih mau menjatuhkan pilihannya. Anita menemukan pula, di samping adanya kesamaan perilaku konsumen (ekonomi) dan pemilih (politik), juga menarik simpulan bahwa partai politik perlu membangun citra positif di kalangan masyarakat pemilih. Muhamad Bawono melakukan penelitian perilaku pemilih pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004, di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian Bawono dimuat dalam Jurnal M’POWER No. 8. Vo. 8, Oktober 2008, dengan judul “Persepsi dan Perilaku Pemilih ~ 15 ~ Terhadap Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004 di Kabupaten Nganjuk”. Dalam melakukan penelitiannya, Bawono menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan induktif yang berbasiskan data primer dan sekunder serta wawancara mendalam. Bawono mengamati pemberdayaan masyarakat dalam partisipasi pemilih dalam penelitiannya itu. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat adalah basis utama dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam hubungannya dengan demokrasi, maka pemberdayaan masyarakat itu berupa partisipasi dalam menentukan pemimpin melalui pemilihan umum. Hasil penelitian Bawono menunjukkan, bahwa masyarakat pemilih merasa terwakili oleh partai politik dan para calon masing-masing Pemilihan umum berjalan lancar, meski sistemnya rumit dan membingungkan. Meski begitu, hasil penelitian Bawono menunjukkan pula bahwa partisipasi pemilih ternyata rendah. Masyarakat pemilih yang menggunakan hak pilihnya pun, bukan karena merasa terpanggil sebagai warga negara yang punya hak pilih, melainkan karena hanya ingin membantu kelancaran penyelenggaraan pemilu. ~ 16 ~ Tabel 1 Daftar Penelitian Terdahulu Peneliti Anita Prismaswari Widhiani Muhammad Bawono Umar Bakri (Lembaga Survei Nasional) Tempat/Kajian Akademis Tesis, Universitas Indonesia Laporan Penelitian, Kabupaten Nganjuk, Jurnal M’POWER No. 08 Vo. 8, Oktober 2008 Perilaku Pemilih dalam Pemilu 2014 Bidang Studi Ilmu politik Ilmu politik Ilmu politik Pendekatan Analisis Theory of reasoned action Kualitatif deskriptif dengan pendekatan induktif Studi pustakaan, survai. ~ 17 ~ Simpulan Kritik Pemilih tidak memperhatikan atrbitut partai, tetapi lebih pada perasaan simpati dan bangga terhadap sesuatu partai politik dalam memilih Teori pemasaran diterapkan ke dalam penelitian poitik jadi relevan, tetapi konsumen dan pemilih punya kesamaankesaman dan perbedaan perbedaan Partisipasi politik masyarakat pemilih pada penyelenggara an pemilu rendah, Sebagian terlibat karena ingin membantu kelancaran pemilu Hasil penelitian akan lebh lengkap jika ditambah dengan tipologi pemilih. Kata legislatif dalam judul, seharusnya, Anggota DPR, DPD, dan DPRD Hasil penelitian menunjukkan adanya kategori pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis. Mudahnya masyarakat pindah pilihan tidak diidentifikasi lebih jauh, sehingga penyebabnya tidak diketahui. 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Pendekatan Sosiologis, Psikologis, dan Ekonomi Peneliti CSIS, J.B. Kristiadi (2013 : 4 – 6) mendasarkan perilaku pemilih dengan pendekatan sosiologis, psikologis, dan ekonomi, Mazhab Sosiologi berasal dari Eropa, berkembang di Amerika Serikat, dan kali pertama dikembangkan oleh Biro Ilmu Sosial Univesitas Colombia. Oleh karena tumbuh di sini, maka disebutlah Kelompok Columbia. Hasil terpenting Kelompok Columbia ini adalah The People’s Choise (1948) dan Voting (1952). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosial ekonomi, afiliasi etnis, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tempat tinggal memengaruhi pilihan. Mazhab kedua adalah Mazhab Psikologis. Kali pertama digunakan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan. Oleh karena digunakan di sini, maka disebutlah Kelompok Michigam. Hasil Kelompok Michigan ini antara lain The Voter’s Decide (1954) dan The American Voter (1960). Ada tiga aspek variable psikologis hasil penelitian ini, yakni ikatan emosional, orientasi terhaap isu yang berkembang, dan orientasi terhadap kandidat. ~ 18 ~ Artikel “ A Theory of The Calculus Voing” yang berasal dari buku An Economis Theory of Democracy (1957) dan Riker & Ordeshook, karya Downs, menjadi sumber pemikiran pendekatan ekonomi. Pendekatan ini disebut juga pendekatan rasional. Para penganut aliran ini menjelaskan bahwa perilaku pemilih terhadap partai politik tertentu berdasarkan perhitungan, berdasarkan kalkulasi-kalkulasi. 2.2.2. Teori Perilaku Konsumen Ajden dan Fishbein (1980) dalam “Analisis Perilaku Pemilih Partai Politik” (tesis Anita Primaswari Widhani), menampilkan teori perilaku konsumen (theory of reasoned action) yang ternyata bisa diterapkan untuk penelitian perilaku pemilih. Gambar 3 Ilustrasi Perilaku Konsumen http://lacusza.blogspot.com ~ 19 ~ Ada kesamaan antara konsumen dan penjual di satu sisi serta pemilih dan calon di satu sisi yang lain. Dalam teori perilaku konsumen, ada dua belah pihak yang melakukan pertukaran uang dan barang, sedangkan dalam pemilu, ada dua pihak yang mempertukarkan suara dan program atau visi dan misi calon. Konsumen, dalam menentukan pilihan barang yang dibelinya, dipengaruhi beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Hal yang sama berlaku pula dalam pemilu. Masyarakat pemilih dipengaruhi pula oleh faktor-faktor, baik internal maupun eksternal dalam menentukan pilihannya itu. Meski teori ini berasal dari wilayah ilmu ekonomi (teori pemasaran), tetapi mampu juga menjelaskan atau bisa diterapkan untuk memahami perilaku pemilih dalam pemilihan umum. Sangat mudah dipahami, seseorang belanja di toko misalnya, bisa jadi karena awalnya tertarik iklan di televisi atau di koran, lalu mencoba membeli. Atau, ada pula yang belanja memang karena butuh. 2.2.3. Teori Pertukaran Sosial dan Pertukaran Perilaku Setiap menghadapi pemilu, baik pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun pemilu presiden dan wakil presiden, juga pemilukada (pilkada), masyarakat pemilih menghadapi banyak pilihan meliputi partai politik dan calon masing-masing. ~ 20 ~ Gambar 4 Ilustrasi Pertukaran Sosial dan Perilaku http://jendelapsikologi.com Masyarakat pemilih boleh menyoal dapat apa dari pemilu, menguntungkan atau merugikan. Pemilih dan partai politik atau calon adalah dua pihak yang melakukan pertukaran sosial dan politik. Teori pertukaran sosial George Caspar Homans mampu menjelaskan petukaran sosial, termasuk dalam perilaku pemilih dalam pemilu. Tentang George C. Homans dengan teori pertukaran sosialnya, Mujiono dalam http://sosiologiilmu.blogspot.com/ menulis : “Perlu diketahui bahwa George C. Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku sebagaimana diajarkan oleh B.F. ~ 21 ~ Skinner dapat menjelaskan pertukaran sosial. Adapun proposisi yang mampu memberikan penjelasan pertukaran sosial, yaitu (1) proposisi sukses, artinya semakin perilaku itu memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan perilaku tersebut; (2) proposisi stimulus, artinya apabila stimulus menyebabkan adanya ganjaran maka pada kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan apabila ada stimulus yang serupa; (3) proposisi nilai, artinya semakin tinggi nilai suatu tindakan maka semakin senang orang melaksanakan; (4) proposisi deprivasi satiasi, artinya semakin orang memperoleh ganjaran tertentu maka semakin berkurang nilai itu bagai orang yang bersangkutan; (5) proposisi restu-agresi, artinya ganjaran yang tidak seperti yang diharapkan maka akan menyebabkan marah dan kecewa serta dapat menyebabkan perilaku yang agresif” Untuk pertukaran perilaku, Mujiono menulis: “George C. Homans dan Peter M. Blau adalah tokoh dari Teori Pertukaran sosial. Namun, tidak seperti George C. Homans yang membatasi analisisnya pada jenjang sosiologi mikro, Peter M. Blau berupaya menjembatani pada jenjang sosiologi makro dan mikro dari jenjang analisis sosiologi. Perlu diketahui bahwa baik C. Homans maupun Peter M. Blau menilai analisisnya pada proses interaksi, namun Peter M. Blau melanjutkan analisisnya dengan membahas struktur yang lebih besar. Dalam hal ini, Peter M. Blau menunjukkan bahwa dalam proses pertukaran dasar menghadirkan fenomena yang berupa struktur sosial yang lebih kompleks. Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil, misal yang berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian. Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah (1) suatu perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat tercapai lewat interaksi dengan orang lain; (2) suatu perilaku atau tindakan harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau penghargaan intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan jasa” ~ 22 ~ Kendra Cerry, seorang psikolog, dalam http://psychology.about.com menyusun definisi pertukaran sosial sebagai berikut : “Social exchange theory proposes that social behavior is the result of an exchange process. The purpose of this exchange is to maximize benefits and minimize costs. According to this theory, people weigh the potential benefits and risks of social relationships. When the risks outweigh the rewards, people will terminate or abandon that relationship. Costs involves things that are seen as negatives to the individual such as having to put money, time and effort into a relationship.The benefits are thing things that the individual gets out the relationship such as fun, friendship, companionship and social support. Social exchange theory suggests that we essentially take the benefits and minus the costs in order to determine how much a relationship is worth. Positive relationships are those in which the benefits outweigh the costs, while negative relationships occur when the costs are greater than the benefits” (Teori pertukaran sosial (social exchange) menyebutkan, perilaku sosial adalah hasil proses pertukaran. Tujuan pertukaran, selain untuk memaksimalkan manfaat, juga untuk meminimalkan biaya. Menutrut teori ini, orang mempertimbangkan manfaat madarat (risiko) akibat pertukaran (hubungan) sosial. Orang-orang akan memilih menghentikan (pertukaran sosial) ketika madaratnya lebih besar dari manfaatnya. Waktu dab uang akan terbuang percuma. Ada manfaat-manfaat dalam hubungan sosial ini, seperti persahabatan dan dukungan sosial. Teori pertukaran sosial menunjukkan pada dasarnya, kita ingin memperoleh manfaat yang maksimal dengan risiko yang minimal. Hubungan negatif terjadi ketika pembiayaan harus keluar lebih besar, sedangkan manfaatnya sedikit) 2.3. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran banyak ragam namanya, tergantung nama yang disukai peneliti. Nama-nama kerangka pemikiran, misalnya, kerangka konsep, kerangka teoritis, model teoritis, kerangka berpikir, dan ~ 23 ~ lain-lain. Tim Peneliti memilih nama kerangka pemikiran. Para ahli sepakat, kerangka pemikiran ditempatkan pada bab II setelah kajian pustaka. Kerangka teori dan kajian pustaka satu wilayah bahasan karena jadi tali-temali dalam rangkaian penelitian. Dalam pembahasan kajian pustaka dan teori-teori sebelumnya, perilaku pemilih jadi objek studi dan penelitian ilmiah. Para ahli mengaitkan perilaku pemilih dengan status ekonomi, psikologi, dan sosiologi. Masyarakat pemilih di Kabupaten Lebak, sama seperti halnya masyarakat pemilih di kabupatern/kota lainnya, menyambut kehadiran pemilu. Pemilu yang diasosiasikan sebagai “hiburan”, disebut pesta demokrasi, pesta rakyat. Ada responden yang menyebut, di Kabupaten Lebak, kalau saja pemilihan bupati dan wakil bupati diselenggarakan oleh DPRD, maka itu bukan pesta rakyat, Lebak melainkan pesta wakil rakyat. Dalam penyelenggaraan pemilu, ada dua belah pihak yang terlibat, pemilih dan yang dipilih (partai poitik dan calon atau calon perseorangan dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah) Kedua belah pihak punya kepentingan masing-masing, terutama partai politik dan calon yang lebih membutuhkan masyarakat pemilih karena akan jadi alat legitimasi kemenangan dan kekuasaan. Oleh karena ~ 24 ~ itu, parpol dan para calon berebut simpatik masyarakat pemilih. Perebutan simpati bisa terjadi dalam internal partai politik, yakni persaingan antarcalon dalam satu tubuh partai politik, bisa pula persaingan antarpartai politik/antarcalon. Kegiatan kampanye adalah upaya perebutan simpati oleh partai politikdan calon kepada masyarakat pemilih. Normanya, masyarakat pemilih bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam penggunaan hak pilihnya. Masyarakat pemilih melihat adanya partai poiitik di satu pihak dan calon yang di-satu paket-kan dengan partai politik yang bersangkutan. Masyarakat pemilih harus memilih calon sesuai dengan aturan agar surat suaranya sah. Ketika selembar surat suara dicoblos gambar partai politiknya, tetapi calon yang dicoblos ada di partai politik yang lain, maka surat suara akan dinyatakan tidak sah dalam proses penghitungan perolehan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Partai politik dan calon menyadari bahwa masyarakat pemilih tidaklah tunggal, tetapi bermacam-macam karakteristik atau tipe pemilih. Bagi partai politik dan calon, tipe pemilih itu merupakan tantangan tersendiri untuk menaklukannya melalui kampanye-kampanye. Para peneliti dan ilmuwan menguraikan tipe-tpe pemilih dan tipetipe para calon. Pengamat politk, Ubedillah Badrun, dalam artikel “Persinggungan Tipologi Pemilih dengan Caleg di Pemilu 2014” merinci ~ 25 ~ tipelogi pemilih ke dalam enam tipe, yakni (a) pemilih tradisional, (b) pemilih subjektif, (c) pemilih pragmatis, (d) pemilih skeptis, (e) pemilih ideologis, dan (f) pemilih rasional. Para calon terbagi ke dalam enam tipe, yaitu (a) tipe mencari prestasi, (b) tipe pedagang, (c) tipe petualang, (d) tipe pencari perlindungan, (e) tipe pencari kerja, dan (f) tipe pejuang. Sulit sekali memastikan tipe-tipe, baik dari kalangan masyarakat pemilih maupun tipe dari kalangan para calon. Semuanya hanya bisa diidentifikasi melalui penelitian dan pengamatan. Termasuk Tim Peneliti, berdasarkan hasil penyebaran kuisioner dan wawancara mendalam, peta tipe pemilih itu ada di Kabupaten Lebak. Tim Peneliti tidak melakukan identifikasi tipe para calon karena tidak termasuk tugas penelitian. Banyak faktor yang menyebabkan berubahnya pilihan terhadap calon, baik penyebab internal maupun penyebab eksternal. Tokoh panutan masyarakat dan media massa bisa menjadi penyebab perubahan sikap pemilih. Media massa sendiri, sering sekali tidak secara langsung memengaruhi pemilih, tetapi melalui ketokohan seseorang. Dalam hal ini, teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman bisa menjelaskan ~ 26 ~ adanya tarik-menarik masyarakat pemilih dan para calon. Ada internalisasi dan ekternalisasi, yang kemudian berdialektika, sehingga melahirkan opsi ketiga. Nurdin (2010 : 52) menulis : “Apa yang dilihat dan didengar manusia mengendap dalam pikirannya. Informasi yang diterima pun tersimpan dalam memori. Pengalaman yang dilihat atau didengar pun sama tersimpan dalam memorinya. Manusia mengungkapkan lagi apa yang pernah dilihat atau didengarnya itu, baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Pada saat mengungkapkan kembali pengalamannya itu, manusia hakikatnya menciptakan realitas baru, berdasarkan realitas pertama yang dialami manusia itu, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor eksternal. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, manusia menciptakan realitas sosial dari berbagai informasi yang didapat terus-menerus kemudian diproses berdasarkan faktor-faktor internal (subjektif) dan faktor-faktor eksternal (objektif). Ada tiga teori yang berhubungan dengan konstruksi realitas, yakni teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta sosial menyebutkan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh lingkungannya. Dalam teori ini, manusia pasif, dan lingkungannyalah yang aktif sehingga mampu memengaruhi manusia itu sendiri. Teori fakta sosial menafikan individu. Teori definisi sosial malah sebaliknya dari teori fakta sosial. Menurut teori ini, justru manusialah yang menciptakan atau membentuk prilaku sosialnya. Teori definisi sosial justru menonjolkan indvidu. Teori ketiga adalah teori konstruksi sosial. Teori ini merupakan gabungan teori fakta sosial dan teori defenisi sosial, dengan tokohnya Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann. ~ 27 ~ Teori yang diciptakan dan dikembangkan oleh kedua tokoh di atas menyebutkan bahwa realitas mempunyai dimensi subjektif dan dimensi objektif. Dalam dimensi subjektif, manusia menciptakan realitas yang objektif, tetapi penciptaannya tidak lepas pula dari proses eksternalisasi. Maka, dalam hal ini, akhirnya manusia adalah produk masyarakat, dan lingkungan (masyarakat) adalah produk manusia. Keduanya berproses secara dialektis, tesis, antitesis, dan sintesis”. Gambar 5 Ilustrasi Konstruksi Realitas Sosial http://dkv.binus.ac.id http://staff.unand.ac.id Teori sintesis itu bisa diterapkan untuk meneliti perilaku pemilih, apalagi dikaitkan dengan kampanye-kampanye baik secara tradisional maupun secara modern yang tujuan utamanya adalah meneguhkan pilihan atau pindah pilihan. Setiap calon akan punya dua segmentasi pemilih. Pertama, segmentasi aset, yakni kalangan internal, seperti kerabat, kolega, dan partai politik yang bersangkutan “bernaung” jadi calon. Kedua, segmentasi target, ~ 28 ~ yakni sasaran di luar semua yang disebutkan di atas. Masyarakat “mengambang” (vloating mass), di antaranya, target para calon. Pada hari-hari pemilu, terutama ketika sudah memasuki tahapan kampanye, masyarakat pemilih jadi ajang rebutan para calon. Dari merekalah legalitas keterpilihan dan kepemimpinan sekaligus. Oleh karena itu, ketika ada calon yang terpilih, kemudian melupakan pemilihnya, maka sering di-cap “kacang lupa kulitnya” Penggunaan hak pilih, atau pemilih akan memilih calon, pada akhirnya akan ditentukan di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam penggunaan hak pilih itu, prnsipnya adalah bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilih merasa dilindungi hak dan kerahasiannya. Gambar 6 Surat Suara, dicoblos di TPS http://www.isukepri.com ~ 29 ~ Pertanyaan demi pertanyaan dari partai politik atau dari para calon muncul ketika hari penggunaan hak pilih semakin dekat. Hari tenang menjelang penggunaan hak pilih, boleh jadi, justru hari-hari yang mendebarkan bagi para calon mengingat kepastian terpilih atau tidak terpilih, salah satunya, akan jadi kenyataan. Benarkah para pemilih itu akan memegang teguh janji untuk memilihnya? Akan ada perubahan mendadakkah di kalangan masyarakat pemilih ketika berada di dalam tempat pemungutan suara? Semuanya tidak bisa dipastikan karena menggunaan hak pilih sangat rahasia. Maka, berdasarkan rumusan masalah, hasil kajian penelitian terdahulu (kajian pustaka), dan penelaahan teori yang relevan, Tim Peneliti menyusun kerangka pemikiran. Mengenai kerangka pemikiran, Satrio Wahono menulis dalam situs pribadinya, http://romisatriawahono.net, sebagai berikut : “Kerangka pemikiran adalah suatu diagram yang menjelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Kerangka pemikiran dibuat berdasarkan pertanyaan penelitian (research question), dan merepresentasikan suatu himpunan dari beberapa konsep serta hubungan diantara konsep-konsep tersebut (Polancik, 2009). Pada tesis, kerangka pemikiran biasanya diletakkan di bab 2, setelah sub bab tentang Tinjauan Studi (Related Research) dan Tinjauan Pustaka. Penamaan kerangka pemikiran bervariasi, kadang disebut juga dengan kerangka konsep, kerangka teoritis atau model teoritis (theoritical model). Seperti namanya yang beraneka ragam, bentuk diagram kerangka pemikiran juga bervariasi”. Maka, inilah kerangka pemikiran yang disusun Tim Peneliti, sebagai berikut : ~ 30 ~ Skema 1 Kerangka Pemikiran Pemilihan umum Tipe calon : 1. pencari prestise 2. pedagang 3. petualang 4. pencariperlindungan 5. pencari kerja 6. pejuang Tipe pemilih : 1. tradisional 2. subjektif 3. pragmatis 4. skeptis 5. ideologis 6. rasional Kampanye 1. Faktor internal 2. Teori definisi sosial (menonjolkan individu) 1. Faktor eksternal 2. Teori fakta sosial (menafikan individu) Sintesis teori definisi sosial dan teori fakta sosial : Teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann Dialektika pemilih (internal) dan calon (eksternal) dalam pengambilan putusan penggunaan hak pilih pemilu TPS : tempat mengeksekusi pilihan : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil ~ 31 ~ ~ 32 ~ BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Tempat penelitian di enam daerah pemilihan se-Kabupaten Lebak, meliputi Daerah Pemilihan (Dapil) Lebak 1 terdiri dari empat kecamatan (Rangkasbitung, Cibadak. Warunggunung, Kalanganyar), Dapil Lebak 2 terdiri dari empat kecamatan (Maja, Curugbitung, Cipanas, Sajira, Lebakgedong) Dapil Lebak 3 terdiri dari empat kecamatan (Muncang, Sobang, Bojongmanik, Cirinten, Leuwidamar, Cimarga), Dapil Lebak 4 terdiri dari lima kecamatan (Cihara, Panggarangan, Bayah, Cilograng, Cibeber), Dapil Lebak 5 terdiri dari empat kecamatan (Cijaku, Cigemblong, Malingping, dan Wanasalam), dan Dapil Lebak 6 terdiri dari empat kecamatan (Gunungkencana, Banjarsari, Cileles, dan Cikulur). Dengan demikian, jumlah kecamatan seluruhnya sebanyak 28 buah yang diformat jadi enam dapil. 3.2. Waktu Penelitian Tim Peneliti menjadwalkan penelitian selama tiga (3) bulan, mulai Mei 2015 sampai Juli 2015, sesuai dengan waktu yang diberikan KPU. Tim Peneliti, sebetulnya, merasa kurang cukup untuk menyusun sebuah penelitian, dengan wilayah cakupan yang luas seperti Kabupaten Lebak dan medan yang cukup sulit ditempuh akibat ke prasarana perhubungan yang rusak dan sedang diperbaiki. (Lampiran 2) ~ 32 ~ Waktu selama tiga bulan itu dibagi empat kegiatan besar berupa persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, penyusunan hasil penelitian, dan penyampaian hasil penelitian. (Lampiran 3) 3.3. Penyebaran Lembar Kuisioner dan Daftar Wawancara Ada dua hal penting dalam pembahasan metodologi penelitian ini, yakni populasi dan teknik pengambilan sampel. Populasi berkaitan dengan seluruh orang, yang dalam hal ini seluruh pemilih se-Kabupaten Lebak. Tim Peneliti, tentu tidak akan melakukan sensus, tetapi melakukan penarikan sampel dari lingkungan populasi itu. Penarikan sampel, tentu saja, tidak boleh sembarangan, karena akan berkaitan erat dengan hasil penelitian. Ketika Tim Peneliti ingin melakukan penelitian se-Kabupaten Lebak, tetapi penarikan sampelnya hanya di satu titik kecamatan, maka hasilnya hanya akan menggambarkan hasil penelitian di kecamatan yang dimaksud, bukan seKabupaten Lebak. Populasi, menurut Guritno (2011 : 141), tidak selalu manusia, tetapi termasuk juga peristiwa atau benda yang menjadi pusat perhatian penelitian untuk diteliti. Sebuah PT yang mempunyai banyak karyawan dengan keberagaman karakteristiknya, motivasi kerja masing-masing, juga iklim organisasi, maka bagian yang terakhir ini terhitung pula populasi. Masih menurut Guritno, satu orang pun dapat digunakan sebagai populasi karena satu orang itu mempunyai berbagai karakteristik, ~ 33 ~ misalnya, gaya bicara, disiplin pribadi, cara bergaul, kepemimpinan, dan lain-lain. Gambar 7 Ilustrasi Pengisian Kuisioner http://indosdm.com Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Tim Peneliti, selain menyebarkan kuisioner, juga melakukan wawancara dengan responden yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian pula, Tim Peneliti memasukkan pula karakteristik itu sebagai populasi. Para pemilih yang menjadi responden memiliki karakteristik yang berbeda-beda, di enam daerah pemilihan seKabupaten Lebak. (Lampiran 4) ~ 34 ~ Sampel bagian dari populasi. Pengambilan keputusan berdasarkan sampel yang ditarik atau diambil dari populasi. Sampel ini kelak akan digeneralisasikan untuk populasi yang lain. Misalnya, simpulan bahwa masyarakat pemilih Kabupaten Lebak termasuk pemilih tradisional - untuk sekadar contoh – digeneralisasikan pula kepada populasi pemilih Kabupaten Lebak yang lain, yang tidak dijadikan sampel. Untuk pengambilan sampel, Tim Peneliti menggunakan metode cluster sampling, yakni penarikan sampel berkelompok dengan memilih subpopulasi. Kongkretnya, Tim Peneliti menjadikan daerah pemilihan yang sudah ada sebelumnya dijadikan unit wilayah penelitian. Tim Peneliti merasa lebih cocok mengambil metode ini karena terlalu luasnya Kabupaten Lebak yang meliputi 28 kecamatan. Maka, praktiknya, Tim Peneliti menetapkan enam daerah pemilihan sebagai tempat pengambilan sampel. Dengan demikan, Tim Peneliti tidak turun ke lapangan untuk menjajaki di 28 kecamatan, tetapi cukup turun ke enam daerah pemilihan. Setiap daerah pemilihan terdiri dari beberapa kecamatan. Para ahli menyebut metode isi dengan two stage cluster sampling, karena telah memilih elemen sampel dalam sebuah kelompok terpilih. Dengan demikian pula, maka Tim Peneliti menentukan enam daerah pemilihan, disusul dengan penetapan sampel di setiap daerah pemilihan itu, sehingga disebut cluster sampling, atau lebih spesifik lagi disebut two stage cluster sampling. ~ 35 ~ Tim Peneliti, sesungguhnya ingin menyebarkan kuisioner, wawancara mendalam, dan pengamatan langsung di 28 kecamatan seKabupaten Lebak agar lebih mendekati respresentasi. Dengan semakin luasnya wilayah penelitian, dan narasumber wawarcara yang lebih banyak, dengan responden maka hasil penelitian diharapkan lebih tepat dan akurat. Tetapi, oleh karena sumber dana, maka terbatasnya tenaga, sumber daya, rapat pleno KPU Kabupaten dan Lebak merekomendasikan penyebaran kuisioner, wawancara mendalam, dan pengamatan di enam daerah pemilihan se-Kabupaten Lebak. Meski begitu, asas kepatutan penelitian tetap diperhatikan, misalnya, responden kelamin, keberagaman dirancang agar usia, tingkat mencakup perbedaan pendidikan, pekerjaan, jenis dan penghasilan. Oleh karena itu, penyebaran kuisioner dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten Lebak, ditambah seorang pelaksana tugas sekretaris KPU Kabupaten Lebak. Setiap anggota KPU dan pelaksana tugas sekretaris dibebani tanggung jawab agar penyebaran kuisioner seperti yang dijadwalkan. Wawancara mendalam dan pengamatan pun dilakukan langsung oleh anggota KPU Kabupaten Lebak. Hasilnya dituangkan ke dalam catatan tertulis untuk kemudian ditelaah sebagai dokumen penelitian. ~ 36 ~ Untuk sebuah penelitian kualitatif, dokumen memang lebih penting. Oleh karena itu, Tim Peneliti menyusun bahan wawancara dengan responden. Agar wawancara terarah dan terfokus, Tim Peneliti membawa catatan materi wawancara. Tim Peneliti jadi pendengar yang baik. Jawaban-jawaban atau keterangan-keterangan lain pun dihimpun, diklasifikasikan dan ditelaah saat-saat melakukan kajian hasil penelitian. (Lampiran 5) 3.4. Penduduk dan Pemilih Jumlah penduduk di Kabupaten Lebak menurut sensus terakhir untuk kepentingan pemutakhiran data pemilih pemilu 2014 (tahun 2012) sebanyak 1.050.591 jiwa. Jumlah penduduk sebanyak itu tersebar di 28 kecamatan dalam 345 desa dan kelurahan. Gambar 8 Ilustrasi Metodologi Riset http://fardhoniarif2.blogspot.com ~ 37 ~ Jumlah penduduk ini dijadikan patokan pemetaan daerah pemilihan untuk pemilihan umum anggota DPRD Kabupaten Lebak. Sejak pemilu pertama zaman Orde Reformasi, jumlah daerah pemilihan di Kabupaten Lebak sebanyak enam buah. Berdasarkan jumlah penduduk pula, kursi anggota DPRD Kabupaten Lebak sebanyak 50 buah, karena penduduknya di atas 1 juta jiwa. Berbeda dengan jumlah kursi hasil pemilu tahun 1999, yang jumlahnya sebanyak 45 buah. Pertambahan kursi ini seiring dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang kemudian menembus angka 1 juta jiwa. (Lampiran 6) Pemilih pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di Kabupaten Lebak sebanyak 900.481 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 460.247 jiwa dan perempuan sebanyak 0000 jiwa. Warga yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 440.234 jiwa. (Lampiran 7) Calon anggota DPRD Kabupaten Lebak yang terpilih untuk masa jabatan 2015 sampai 2019, sebanyak 50 orang, di antaranya perempuan sebanyak 7 orang. Para anggota DPRD Kabupaten Lebak itu berasal dari delapanpartai politik peserta pemilu tahun 2014 di Kabupaten Lebak, yakni Partai NasDem sebanyak 6 orang, Partai Kabangkitan Bangsa sebanyak 5 orang,Partai KeadilanSejahtera sebanyak 5 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 10 orang, Partai Golongan Karya sebanyak 8 orang, Partai Gerakan Indonesia Raya sebanyak ~ 38 ~ 4 orang, Partai Demokrat sebanyak 6 orang, Partai Amanat Nasional sebanyak1 orang, Partai Persatuan Pembangunan sebanyak 4 orang,dan Partai Hati Nurani Rakyat sebanyak 1 orang. Dengan demikian, jumlah para anggota DPRD Kabupaten Lebak masa jabatan 2014 – 2019 itu sebanyak 50 orang. (Lampiran 8) Dari delapan partai politik peserta pemilu tahun 2014 di Kabupaten Lebak itu, kursi terbanyak diperoleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebanyak 10 kursi. Foto 2 Penggunaan Hak Pilih http://www.sinarharapan.com Pemilih pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 di Kabupaten Lebak sebanyak 914.432 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak ~ 39 ~ 467.522 jiwa dan perempuan sebanyak menggunakan hak pilihnya sebanyak 446.910 jiwa. Warga yang 628.568 jiwa. Dengan demikian partisipasi pemilihnya sebesar 69,27% Pasangan calon presiden dan wakil presiden H. Prabowo Subianto dan Ir. Hatta Rajasa memperoleh dukungan sebanyak 337.700 suara dan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Jusuf Kalla memperoleh dukungan sebanyak 290.868 suara. Dengan demikian, pasangan H. Prabowo Subianto dan Ir. Hatta Rajasa unggul di Kabupaten Lebak, terpaut dukungan sebesar 46.832 suara. Foto Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu Tahun 2014 www.liputan6.com ~ 40 ~ ~ 41 ~ ~ 42 ~ 3.5. Paradigma Penelitian 3.5.1. Positivist dan Naturalist Afifuddin (2009 : 53) menyebut Lincoln dan Guba membedakan paradigma dalam ilmu pengetahuan terbagi pada dua kelompok, yakni paradigma positivisme (positivist) dan alamiah (naturalist). Masih menurut Afifuddin, Bodgan dan Biklen menyebut paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk memulai aktivitas penelitian dan menggunakan metode serupa. Gambar 9 Ilustrasi Paradigma (Cara Pandang dan Ciri Pandang) www.google.com ~ 41 ~ Sumber http://webcache.googleusercontent.com menyebut empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan untuk menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan, yaitu : Positivisme, Postpositivisme (Classical Paradigm, Conventionalism Paradigm), Critical Theory (Realism) dan Constructivism. Hasby menulis tentang pemikiran dan paradigma sebagai berikut (http://hasby.lecture.ub.ac.id/archives/60: “Menurut M. Abid al-Jabiri, secara historis hanya ada 3 peradaban atau bangsa yang memiliki tradisi berpikir logic yang cukup kuat, yaitu Yunani (hellenism), Arab dan Barat Modern. Sementara bangsa-bangsa lainnya, seperti Persia, India, Tiongkok dan sebagainya dianggap/dikenal sebagai peradaban yang mengembangkan tradisi mystic (al-Jabiri, 1991). Kejayaan dan keruntuhan masing-masing peradaban telah terjadi silih berganti. Ketika yang satu mengalami kepunahan, segera akan diwarisi dan diambil alih oleh bangsa lain dengan peradaban yang baru lagi. Setiap peradaban yang berjaya era itu tentu juga membawa paradigmanya yang sekaligus mendominasi bangsa-bangsa lainnya. Apa yang dimaksudkan sebagai paradigma adalah mode of thought yang mendasari keseluruhan hidup seseorang, masyarakat atau suatu bangsa. Kalau kita mau mengakui secara jujur, sesungguhnya sistem global yang mendominasi masyarakat dunia di abad modern saat ini adalah sistem yang lahir dan mengkristal dari paradigma filsafat Barat Modern. Menurut Nurcholish Madjid (1995), dengan tibanya zaman ini, umat manusia tidak lagi dihadapkan pada persoalan lokal kultural secara terpisah dan berkembang secara otonom dari yang lain, tetapi terdorong untuk membaur ke dalam masyarakat jagad (global). Karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat, maka modernisasi sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini bangsa Barat), tidak mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol. Jadi, bangsa-bangsa bukan Barat pada permulaan proses perkembangannya terpaksa harus menerima paradigma modernitas Barat. Hal ini disebabkan karena adanya sistem global, yang di dalamnya terdapat sistem-sistem ~ 42 ~ kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan, yang saling kait-mengkait dan mempengaruhi satu sama lain; dan semuanya terpola menuju terbentuknya masyarakat jagad (global society)” Rudi Sucahyo menulis dalam http://rudicahyo.com, sebagai berikut: “Menurut Egon G. Guba, “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that deals with ultimates or principles” (Guba 1988). Dengan demikian, dapat dikatakan, paradigma adalah cara pandang atau kreangka dalam melihat dunia atau kenyataan. Paradigma diterima sebagai keyakinan yang benar atau kebenarannya dipercaya. Karena itu, paradigma tidak perlu divalidasi atau bersifat self validating. Berdasarkan pengertian paradigma di atas, bicara tentang paradigma, tidak tepat jika kita mengatakan „menggunakan‟. Karena paradigma sebenarnya melekat pada diri orang, pada diri peneliti. Paradigma tidak seperti bongkar pasang alat, tidak seperti gunting atau pisau untuk memotong. Artinya, gunting ini bisa diletakkan atau tidak terpakai ketika tidak ada yang dipotong. Paradigma itu seperti kaca mata yang sepaket dengan mata orang yang bersangkutan. Jika kaca mata orang ditukar, kalau minus, plus atau silindernya beda, maka pasti tidak sesuai dengan orang tersebut. Tapi jika sama, maka mereka bisa saling menyesuaikan” Sumber http://djannoveria.blogspot.com menulis, Pada dasarnya paradigma yang begitu sederhana dapat, diartikan sebagai kacamata atau alat pandang. Sedangkan pemikiran akademis nya dipahami sebagai pemikiran yang akan diuraikan. Pada dasarnya Thomas Khus menulis beberapa karya The Structure Of Scientific Revolution tentang model bagaimana suatu teori lahir dan berkembang. Dari berbagai disiplin ilmu juga ada yang mengatakan ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Maka, dari paradigma ini juga, kaitannya begitu erat dengan suatu dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan” Ridwanas.com menulis paradigma sebagai berikut, “Ritzer dalam zamroni, membuat pengertian tentang paradigma yaitu pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang ~ 43 ~ menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut. (ahmad sihabudin dalam Jurnal Kampus Tercinta, 1996 : 43)” Dari paparan para ahli di atas, ada dua macam paradigma dalam pembahasan ini. : paradigma disiplin ilmu yang berarti sudut pandang dan paradigma penelitian yang merupakan “kacamata” melaksanakan penelitian. Oleh karena Tim Peneliti sedang melakukan penelitian, maka paradigma yang melekat pada Tim Peneliti adalah paradigma penelitian. Dalam penelitian, ada kaidah-kaidah yang harus dipatuhi, apa pun objek penelitiannya. Penelitian selalu menantang peneliti, baik untuk membuktikan teori, menemukan teori, bahkan juga untuk membantah teori. Gejala-gejala yang muncul atau berpotensi muncul, selalu jadi perhatian peneliti. Semua bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, atau seperti yang telah disebut di atas, yakni paradigma. Gejala-gejala itu tidak harus selalu diteliti, tetapi juga bisa ditangkap selintas, dilihat dari “kacamata” ilmu, jadilah misalnya sebuah refleksi dalam bentuk tulisan. Hasil penelitian dan refleksi, tentu saja berbeda, meski kedua-duanya berbentuk tulisan. Hasil ~ 44 ~ refleksi umpamanya disebut esai, sedangkan karya tulis hasil penelitian biasa disebut karya ilmiah. Dalam penelitian ilmiah, mesti saja digunakan paradigma, baik kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian perilaku pemilih ini, Tim Peneliti menggunakan paradigma kualitatif yang merupakan “anak kandung” naturalisme. Ini berbeda dengan paradigma kuantitatif yang merupakan “anak kandung” positivisme. Tim Penulis memaparkan perbandingannya, sebagai berikut : Tabel 2 Perbandingan Paradigma Kualitatif dan Kuantitatif Paradigma Kualitatif Paradigma Kuantitatif Menganjurkan penggunaan metode kualitatif Fenomenologisme dan verstehen dkaitkan dengan pemahaman perilaku manusia dari frame of refereance aktor itu sendiri Menganjurkan penggunaan metode kuantitatif Observasi tidak terkontrol dan naturalistic Subjektif Dekat dengan data : merupakan merupakan perspektif “insider” Grouded, orientasi diskoveri, eksplorasi, ekspansionis, dekriptif, dan induktif Orientasi proses Pengukuran menonjol dan terkontrol Valid : data “real”, “rich”, dan “deep” Tidak dapat digeneralisasi : studi kasus tunggal Holistik Reliabel : data dapat direplikasi dan “hard” Asumsi realitas dinamis Asumsi realitas stabil Logika positivisme : meihat fakta atau kasual fenomena sosial dengan sedikit melihat pernyataan subjektif individu-individu” Objektif jauh dari data : data merupakan perspektif outsider Tidak grounded, orientasi verifikasi, konfirmatori, reduksionis, inferensial dan deduktrif-hipotetik Orientasi hasil Dapat digeneraslisasi : studi multikasus Partikularistik Sumber : Afifuddin (2009) ~ 45 ~ Oleh karena Tim Peneliti menggunakan paradigma kualitatif, maka pembahasan paradigma berikutnya adalah ruang lingkup penelitian kualitatif. Ada empat dasar filosofis yang berpengaruh dalam penelitian kualitatif, salah satunya adalah fenomenologis, seperti pada Afifuddin (20009 : 61). Ketika kita membicarakan pandangan dasar perspektif interpretatif, maka fenomenologi wajib disebut. Ardianto dan QAness (2007 : 124 – 126) menyebut ada empat pembentuk dasar perspekti interpretatif, yakni hermeneutika, fenomenologi, dan interaksionisme simbolik. Tim Peneliti tidak akan membahas perspektif yang lain karena tidak relevan dalam penelitian ini. Tim Peneliti hanya berkepentingan pada fenomenologi yang menjadi paradigma penelitian ini. Untuk itu, agar fenomenologi bisa lebih difahami, maka Tim Peneliti menelusuri dulu sejarah fenomenologi dari awal, sejak “Bapak Fenomenologi” Edmund Husserl “melahirkan” fenomenologi itu. Filsafat fenomenologisme mendasari filsafat lainnya, yakni rasionalisme, empirisme, vatalisme, kritisme, humanism dan idealism. Dalam Bungin (2007 : 4 – 5) disebutkan bahwa pandangan yang mengatakan bahwa hanya pendekatan kuantitatif ~ 46 ~ (positivisme) yang mendasari pemikirannya terhadap empirisme, idealisme, kritisme, dan rasionalisme, adalah pandangan yang keliru, karena pada kenyataannya, pendekatan kualitatif juga yang meggunakan semua pandangan filsafat yang juga digunakan oleh pendekatan kuantitatif…” 3.5.2. Fenomenologi Skema fenomenologi di bawah dengan ini menggambarkan humanistis, rasionalisme, hubungan empirisme, vitalisme, dan idealism, sebagai berikut : Skema 2 Hubungan Filsafat Fenomenologi dan Filsafat Lainnya HUMANISME Socrates (470 – 339 SM) Plato (428 – 347 SM) Aristoteles (348 – 322) RASIONALISME Rene Descartes Spinoza Leibniz EMPIRISME David Home John Locke Berkeley FENOMENOLOGIS Edmund Hussrel Martin Heidegger, dan Merieau Ponty KRITISME Immanuel Kant VITALISME Nietzsche Bergson Schopehouer IDEALISME Hegel Fichte Schelling Sumber : (Bungin : 2007 ~ 47 ~ Filsafat fenomenologisme, seperti tampak dalam bagan di atas,mendasari filsafat lainnya, yakni rasionalisme, empirisme, vatalisme, kritisme, humanisme, dan idealism. Gambar 10 Hubungan Penelitian Kualitatif dan Fenomenologi http://slideplayer.info Edmund Husserl berasal dari keluarga Yahudi. Nama Husserl berasal dari Iserla atau Israel. Israel sendiri bukan nama seseorang, melainkan gelar bangsa. Nabi Ibrahim A.S. punya anak dari istrinya, Hajar, diberi nama Ismail (jadi rasul), yang kemudian menurunkan bangsa Arab. Anak Nabi Ibrahim A.S. dari istrinya, Sarah, diberi nama Ishak (juga jadi rasul), yang kemudian menurunkan bangsa Israel. Nabi Ishak, Nabi Yakub, Nabi Yusuf, dan Nabi Musa diberi pula ~ 48 ~ gelar Israel. Nabi Muhammad S.A.W. dalam beberapa hadisnya mengakui adanya para rasul atau nabi dari kalangan Israel. Kata Israil sendiri, bahasa Ibrani, berarti hamba Allah. Dengan demikian, Israel sama saja dengan Abdullah (bahasa Arab) yang juga berarti hamba. Alquran mengingatkan bahwa Allah S.W.T. memberi banyak keunggulan kepada bangsa Israel. Tetapi, Alquran menyebut pula “kebengalan-kebengalan” mereka. Oleh karena ke-Yahudi-annya itu, Husserl sempat menghadapi kesulitan dari pihak Nazisme Jerman. Oleh karena Yahudi pula, Husserl dilarang mengajar di Universitas Freiburg. Hal yang sama diberlakukan pula untuk anaknya, Gerhart, seorang profesor hukum yang mengajar di universitas yang sama. Kewarganegaraan Jerman-nya pernah dicabut, tetapi Husserl berusaha keras, sehingga kemudian kewarganegaraan Jerman-nya dipulihkan. Salah seorang anak Husserl mati dalam Perang Dunia II. Anaknya yang lain menderita luka-luka akibat perang. Husserl merasa jadi orang Jerman sejati, dan tidak mau pindah dari Jerman. Oleh karena itu, tawaran “hijrah” ke Amerika Serikat pun ditolaknya. Husserl ~ 49 ~ tetap tinggal di Jerman, dan meninggal pada usia 79 tahun setelah menderita sakit. Husserl lahir pada tahun 1859, meninggal pada tanggal 27 April 1938. Husserl meninggalkan banyak karya tulis. Pada akhir hayatnya, tercatat ada 50.000 lembar tulisan yang berisi naskahnaskah pengetahuan. Husserl menulis dengan stenografi (menulis cepat). Kebiasaannya adalah berpikir sambil menulis. Oleh karena kebiasaan ini, Bertens dan Nugroho (1985 : 98) menyebut Husserl sebagai orang yang “berpikir dengan pena”. Karya-karya ilmiah Husserl diselamatkan oleh Peter H.L. Van Breda O.M.F., seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan disertasinya di bidang fenomenologi. Penjelasan Bertens dan Nugroho (1985 : 98 – 99), seluruh buku-buku dan harta pusaka ilmiah Husserl dipindahkan ke Universitas Leiven (Belgia), atas persetujuan istri Husserl sendiri. Bahkan meja dan kursi Husserl pun dibawa. Pemindahan seluruh harta kekayaan ilmiah itu sebagai upaya penyelamatan. Kalau saja terus-menerus ada di Jerman, khawatir dianggap berbahaya. Menurut Bertens, buku tentang Husserl dan fenomenologinya sudah diterbitkan sebanyak 78 jilid (1987). Husserl disepakati ilmuwan filosif sebagai pendiri fenomenologi. Bartens dan Nugroho mengingatkan (1987 : 99) bahwa apa yang disajikan sebagai “metode fenomenologi” kerap ~ 50 ~ kali hampir tidak berkaitan dengan fenomenologi menurut konsepsi Husserl. Kalau begitu, masih kata Bertens dan Nugroho, : “fenomenologis dipakai dalam arti luas, sehingga kira-kira sinonim dengan “deskriptif”. Husserl sendiri, dalam pemikiran filsafatnya, banyak dipengaruhi oleh Franzs Brentano, seorang filosof yang berperan di Universitas Wina. Filsafat Wina ketika itu, gabungan pemikiran skolastik dan empirisme. Kuliah-kuliah Brentano sangat memengaruhi Husserl. Oleh karena itu, ajaran Husserl tentang intensionalitas sangat memperlihatkan pengaruh Brentano. Dalam artikelnya yang terkenal, Husserl menguraikan fenomenologi yang disebutnya sebagai ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakan diri atau fenomen. Husserl menggunakan fenomen, ketika itu, terhitung baru, dan tidak sama dengan fenomen seperti yang dimaksudkan Immanuel Kant. Kata Kant, kita manusia hanya mengenal fenomenon, bukan numenon. Kita hanya mengenal fenomen-fenomen (erscheinungen) dan bukan realitas itu sendiri (Das ding an sich). Husserl sendiri punya semboyan filsafatnya, Zuruck zu den Sachen selbt (bahasa Jerman), berarti Kembalilah kepada bendabenda sendiri. Dengan semboyannya ini, dan dengan sendirinya ~ 51 ~ oleh fenomenologinya, Husserl kemudian melancarkan (semacam) revolusi filsafat dalam filsafat Barat. Selain membahas fenomen, filsafat Husserl lainnya adalah intensionalitas dan konstitusi. Intensionalitas membahas kesadaran yang menurut kodratnya bersifat intensional. Intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Dan justru intensionalitas, karena fenomena kesadaran harus ditandai dimengerti apa dengan yang menampakkan diri. Mengatakan “kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan mengatakan “realitas menampakkan diri”. Foto 4 Edmund Husserl, Bapak Fenomenologi Edmund Husserl (Foto : http://www.denstoredanske.dk ~ 52 ~ Dengan konstitusi, dimaksudkan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Oleh karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, maka dapat dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Husserl mengatakan, dunia ini dikonstitusi oleh kesadaran. (Bertens dan Nugroho : 1985 : 101). Para ahli menyebut pula bahwa fenomenologi Husserl adalah fenomenologi transendental, di samping fenomenologi sosial seperti yang dicetuskan Alfred Schutz. Keduanya memiliki ciri perbedaan tujuan dan metode, tetapi juga memiliki kesamaan dari sudut pandang fenomenologi. Fenomenologi sosial Alfred Shutz sendiri sebetulnya dibangun dari fenomenologi Husserl, meski ada beberapa ajaran yang berbeda. Ardianto dan Q-Anees (2007 : 128), menulis, tulisan Alfred Schuttz (1899 – 1959) telah mempunyai pengaruh yang kuat dalam kerja ilmuwan sosiologi dan komunikasi. Shutz menerima banyak prinsip yang dibangun Husserl, kecuali ajaran tentang penundaan (pemberian tanda kurung) atas kehidupan dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Menurut Schutz, keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam term-term yang kemudian disebutnya sebagai ~ 53 ~ pelambangan/penipean (typications) yang digunakan untuk mengorganisasikan dunia sosial. 3.5.3. Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann Manusia berkomunikasi, bergaul dengan sesama, kemudian membangun komunitas, membangun kesepakatan, dan lain-lain. Alat terpenting untuk membangun semua itu adalah komunikasi. Alquran memberi resep macam-macam komunikasi, karena manusia yang dihadapi bermacam-macam pula. Timbul pula pertanyaan, apakah manusia itu, setelah banyak bergaul, berinteaksi dengan lingkungannya, meerupakan produk sosial, atau malah lingkungan itu diproduksi oleh manusia? Dalam hal ini, sejauh mana manusia saling memengaruhi dalam perilaku masing-masing? Apakah perilaku manusia itu dipengaruhi oleh lingkungannya, atau malah lingkungannya yang memengaruhi pribadi manusia itu? Apa yang tampak pada diri manusia, apa yang dilihat atau didengar, itukah potret realitas? Teori konstruksi realitas secara sosial, kata Zainuddin dalam http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id, merupakan kelanjutan dari teori fenomenologi, dengan tokohnya Edmund Husserl. Lalu, di tangan Max Weber, seorang sosiolog, fenomenologi menjadi teori sosial yang andal untuk digunakan sebagai analisis sosial. ~ 54 ~ Kata Zainuddin pula, Jika teori struktural fungsional dalam paradigma fakta sosial terlalu melebih-lebihkan peran struktur dalam mempengaruhi perilaku manusia, maka teori tindakan terlepas dari struktur di luarnya. Manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya tanpa terikat oleh struktur dimana ia berada. Foto 5 Thomas Luqmann dan Peter Lugwig Berger http://www.vebidoo.com Teori konstruksi realitas secara sosial, atau ada yang menyebut lebih singkat teori konstruksi realitas sosial diciptakan oleh dua pemikir : Thomas Luqmann dan Peter Ludwig Berger. Peter Ludwig Berger dari New School for Social Reserach, New York. Thomas Luckmann adalah sosiolog dari University of Frankfurt. ~ 55 ~ Teori konstruksi realitas secara sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Social sebuah buku construction of reality terutama lahir setelah terbit berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Buku ini ditulis oleh Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann. Zainuddin menulis tentang Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann sekaligus soal teori konstruksi realitas secara sosial, seperti berikut: “Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia‟.Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia ~ 56 ~ tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. 27 Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman,preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing”. Demartoto, dalam http://argyo.staff.uns.ac.id, menulis tentang teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luqmann, seperti berikut: “Suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan ~ 57 ~ obyektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri ditengah lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya. Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terusmenerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. (Poloma, 2004:301). Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman. Dalam menjelaskan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yg bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002 : 194). Selanjutnya, Zainuddin menulis, dialektika eksternalisasi, objektivasi, dan Internalisasi, sebagai berikut : “Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann mencoba mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asalmuasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi intersubjektif…” 3.5.4. Ayat Sosial Surat Al-Hujuraat 13 Alquran surat Al-HujuraAt ayat 13 mengingatkan bahwa Allah S.W.T. menciptakan manusia dari lak-laki dan perempuan, lalu menjadikan mereka beberapa kelompok dimensi tempat dan ~ 58 ~ etnis untuk saling mengenal. Manusa yang paling mulia adalah yang paling takwa kepada-Nya, bukan dilihat dari etnis, bangsa, bahasa, warna kulit, keturunan, dan lain-lain. Manusia bergaul, berkomunikasi, saling memengaruhi untuk menyalukan dan mengembangkan fitrahnya. Manusia berlombalomba dan bersaing. Manusia menaklukkan alam, bahkan menaklukkan sesamanya. Ayat 13 surat Al-Hujuraat itu hanya berpesan pendek saja, di akhir ayat, bahwa manusia yang paling mulia hanyalah yang paling bertakwa kepada-Nya. 3.6. Metode Penelitian 3.6.1. Klasifikasi Metode Penelitian Metodologi penelitian dan metode penelitian berbeda. Bahkan di kalangan ilmuwan sendiri, seperti kata Muhadjir (2000 : 3), metodologi penelitian dan metode penelitian sering sekali dicampuradukkan, sehingga ada karya penelitian berjudul “Metodologi Penelitian”, namun isinya “Metode Penelitian”. Kata Muhadjir, metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metoda yang digunakan, sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara teknis tentang metoda-metoda yang digunakan dalam penelitiannya. ~ 59 ~ Pesan Muhadjir, “Penulis ingin mengimbau agar orang mulai memilahkan “apakah dia akan menulis metoda penelitian” atau “menulis metodologi penelitian bagi karya ilmiah yang sedang ditulisnya. Tim Peneliti sedang membahas metode penelitian. Dengan mengacu kepada Rachmat (2004 : 21 – 58), bahwa metode penelitian dibagi pada lima klasifikasi, yakni historis, deskriptif, kolerasional, eksperimental, dan kuasi eksperimental. Tim Peneliti tidak akan menguraikan metode-metode penelitian tersebut satu persatu, karena tidak relevan dalam kaitannya dengan penelitian ini. Dari kelima metode penelitian itu, Tim Peneliti menggunakan metode deskriptif. 3.6.2. Metode Penelitian Deskriptif Metode penelitian deskriptif hanya memaparkan situasi dan peristiwa. Tim Peneliti tidak mencari hubungan korelasional atau menguji hipotesis, atau menyusun prediksi. Isaac dan Michael dalam Rachmat (2004 : 25) menyebut metode ini sebagai “melulu” deskriptif sebagai penelitian survai atau penelitian observasional (Wood 1997 : 29) Selanjutnya, Rachmat (2004 : 25) menguraikan bahwa metode deskriptif mencari teori, bukan menguji teori, “hypothesis genetaring”, bukan “hypothesis testing”, dan “heuristic”, bukan “verifikative”. ~ 60 ~ Ciri Lain metode deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat. Ia hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasinya. Apa yang dikemukakan Rachmat, bahwa metode deskriptif lahir karena kebutuhan, ini sejalan dengan yang dilakukan Tim Peneliti. KPU butuh deskripsi perilaku pemilih, antara lain, untuk penyusunan kebijakan penyelenggaraan pemilu ke depan, terutama menyangkut sosialisasi dan pendidikan pemilih. Kebijakan KPU, untuk kedua hal tersebut, akan disusun berbasiskan penelitian. Pemilih, dalam pemilihan umum, jadi sentral karena akan jadi “eksekutor” para calon. Mereka (para calon) melakukan kampanye karena ingin mendapat simpatik masyarakat pemilih, ingin dipilih untuk mendapatkan legitimasi politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, ajang kampanye dimanfaatkan betul partai politik dan para calon untuk meraih simpatik masyarakat pemilih tersebut. Banyak partai politik dan para calon yang memanfaatkan lembaga survai atau konsultan politik demi dan untuk kemenangan mereka. 3.7. Definisi Konsep Dalam penelitian kuantitatif, adalah tali temali antara konsep, konstruk, dan variabel. Kerlinger (1998 : 48 – 49) menerangkan istilah ~ 61 ~ “konsep” dan “konstruk” (constuct) mempunyai kemiripan arti, tetapi ada perbedaan penting. “Konsep” mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus. Untuk memahami konsep, bisa diberi contoh begini : merah, kuning, hijau, dan biru adalah warna. Maka, dalam terminologi penelitian, warna itu adalah konsep. Ini akan berbeda maknanya ketika seorang atasan di kantor menyuruh anak buahnya menulis konsep pidato sambutan. Konsep di situ adalah bahasa sehari-hari yang sama artinya dengan draft. Seorang bawahan yang ditugasi menyusun konsep pidato sambutan itu, pasti kemudian datang dengan serangkaian bahan pidato. Konstruk, masih kata Kerlinger, adalah suatu konstruk, tetapi dengan tambahan untuk digunakan secara sengaja dan kesadaran penuh untuk maksud ilmiah yang khusus. Variabel, kata Kerlinger pula, suatu sifat yang dapat memiliki bermacam nilai. Kalau diungkapkan secara berlebihan, variabel adalah sesuatu yang bervariasi. Cara pengungkapan itu memberi kita gagasan intuitif tentang variabel; tetapi masih dibutuhkan wawasan yang lebih umum sekaligus lebih tepat. Kerlinger memberi contoh variabel yang penting dalam sosiologi, psikologi, dan pendidikan, ialah : jenis kelamin, penghasilan, kelas sosial, ~ 62 ~ produktivitas organisasi, mobilitas pekerjaan, tingkat aspirasi, bakat/kecakapan verbal, kecemasan, afiliasi agama, preferensi politik, pembangunan/perkembangan politik (menyangkut sesuatu bangsa/negara), orientasi kerja, skap/paham antisemit, konformitas, daya ingat (recall memory), daya kenal (recognition memory), dan prestasi. Para peneliti menjelaskan, misalnya, kemiskinan adalah konsep, kejahatan adalah konsep, lalu ketika dijadikan kalimat “kemiskinan menyebabkan kejahatan”, maka itu adalah teori, dan bisa diuji. Betulkah bahwa kemiskinan jadi penyebab kejahatan? Kalau kita membuat judul skripsi pengaruh kemiskinan terhadap kejahatan, maka kemiskinan adalah variabel bebas, sedangkan kemiskinan adalah variabel terikat. Maka, hipotesisnya, kemiskinan jadi penyebab tindak kejahatan di Kampung X. Atau hipotesis, Kejahatan di Kampung X tidak ada hubungannya dengan kemiskinan. Adanya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat, biasanya disebut hipotesis kerja. Di samping adanya variabel dalam penelitian kuantiatif, ada juga variabel dalam penelitian kualitatif. Untuk varaibel kualitatif ini, Wirawan menulis (208 : 48), variabel kualitatif dapat dibedakan menjadi variabel kualitatif yang tidak bisa dikuantifikasikan. Nilai variabel kualitatif tidak dapat dinyatakan ke dalam bentuk angka, tetapi ke dalam bentuk kategori (yang bersifat exhaustive, artinya semua unsur dari variabel itu harus dapat masuk ke dalam salah satu kategori yang mutually exclusive). ~ 63 ~ Dalam Wirawan pula (2008 : 50), konsep dalam penelitian mempunyai empat fungsi, (a) koginitif yaitu mengorganisasikan observasi dan menata hasilnya (disebut juga fungsi menata), (b) evaluatif yaitu mengevaluasi operasional apa yang telah dipersepsi, (c) yaitu mengendalikan dan mengarahkan perilaku individi, dan (d) komunikasi, artinya, konsep harus memungkinkan komunikasi. Selanjutnya, Wirawan mengingatkan bahwa konsep yang dibangun untuk penelitian harus memenuhi beberapa syarat, (a) makna yang sesungguhnya (makna yang tepat), (b) harus didefinisikan secara eksak (kongkret), (c) konsep dapat didayagunakan untuk penelitian empiris. Konsep harus merujuk ke sesuatu objek tertentu yang dapat diamati. Maka, berdasarkan paparan di atas, konsep yang dimaksud Tim Peneliti di sini bukanlah konsep yang kemudian berhubungan dengan konstruk dan variabel, tetapi konsep untuk menjelaskan makna sesungguhnya. Konsep di sini lebih cenderung pada definisi. 3.7.1. Pemilih Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam daftar pemilihan umum. KPU melaksanakan pemutakhiran data dan daftar pemilih dalam beberapa tahap, sejak menerima daftar penduduk potensial pemilih pemilihan umum (DP4), sampai tersusun daftar pemilih sementara (DPS) sampai daftar pemilih tetap (DPT). ~ 64 ~ Ada pula pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tambahan (DPTb.), daftar pemilih khusus (DPK), dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb). Prinsipnya, ada dua hal seseorang bisa menggunakan hak pilihnya : sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin dan terdaftar dalam daftar pemilih. Baik DPS, DPT, DPTb., DPK, DPKTb adalah daftar pemilih. 3.7.2. Perilaku Pemilih Aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) dalam suatu pemilihan umum (Surbakti : 2014 : 144) Gambar 11 Ilustrasi Penggunaan Hak Pilih http ://www.kabarkota.com Menurut Jack Plano, voting behavior atau perilaku memilih adalah: “Salah satu bentuk perilaku politik yang terbuka.” Sedangkan menurut Haryanto, perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilu adalah respons psikologis dan emosional yang diwujudkan ~ 65 ~ dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik atau kandidat dengan cara mencoblos surat suara (http://philosopheryn.blogspot.com). Di bawah ini adalah tipe-tipe perilaku pemilih, sebagaimana dipetakan pengamat politik sekaligus direktur Pusat Politik Indonesia (Puspol Indonesia), Ubaidillah Badrun, seperti berikut : 3.7.2.1. Pemilih Tradisional (traditional voter) Pemilih yang memilih hubungan tradisional dengan kontestan pemilu (calon), baik dengan calon maupun dengan partai politik. Mereka memiliki ikatan kultural, ikatan sosial, ikatan nilai-nilai, bahkan ikatan ideologis. 3.7.2.2. Pemilih Subjektif (Subjective Voter) Pemilih yang menentukan pilihan karena memiliki hubungan emosional dengan kontestan (calon), khususnya dengan caleg atau figur popular tertentu. Pesohor dipilih karena akibat hubungan emosional. Pemilih sama sekali tidak mengenalnya secara pribadi, tetapi merasa dekat, karena jadi idola, sehingga pilihan jatuh kepadanya. 3.7.2.3. Pemilih Pragmatis (pragmatic voter) Pemilih yang pertimbangan-pertimbangan ~ 66 ~ menentukan pragmatis, pilihan nama karena yang menguntungkan itulah partai atau kandidat caleg yang dipilihnya. Pada pemilu tahun 2014 ini, pemilih pragmatis jumlahnya paling dominan karena trend praktik politik liberal. Sering terjadi transasksi politik antara calon dan pemilih. 3.7.2.4. Pemilih Skeptis (Skeptic Voter) Pemilih yang meragukan semua partai. Mereka tidak menganggap penting perbedaan partai, termasuk menganggap penting ideology partai politik. Mereka juga tidak meyakini bahwa partai akan benar-benar memperjuangkan kepentingannya. 3.7.2.5. Pemilih Ideologis (Ideologic Voter) Pemilih yang menentukan pilihan karena kecocokan ideolog dirinya dengan ideologi partai yang dipilihnya. Biasanya, mereka memilih melalui pertimbangan ideologi yang dianutnya. Partai politik di Indonesia ada yang menganut ideologi Islam, sehingga asas partai politiknya Islam. Tetapi, umat Islam belum tentu memilih partai politik yang seideologi dengan agamanya. Buktinya, partai politik yang berasaskan Islam tidak memenangkan pemilu, padahal pemilih di Indonesia mayoritas beragama Islam. ~ 67 ~ 3.7.2.6. Pemilih Rasional (Rational Voter) Pemilih yang menentukan pilihannya karena pertimbangan-pertimbangan rasional. Mereka mempelajari berbagai hal tentang caleg dan partai politik yang akan dipilihnya. Mereka mempelajari visi-misi dan program para caleg dan partai politik. 3.8. Unit Analisis Proses penelitian yang baik tentu sejak awal sudah ditentukan atau paling tidak sudah dibayangkan unit analisisnya. Tim Peneliti tidak melakukan pengujian atau mencari hubungan. Tim Peneliti menentukan orang-orang sebagai unit analisisnya, yakni para pemilih di enam daerah pemilihan se-Kabupaten Lebak. Selain melakukan penyebaran kuisioner dan wawancara mendalam, juga Tim Peneliti melakukan observasi. Tim Peneliti ingin mengidentifikasi perilaku pemilih saat menggunakan hak pilih mereka pada pemilihan umum tahun 2014 lalu, dengan pengamatan atau wawancara. Mereka diajak mengenang kembali penggunaan hak pilih itu sambil diajak berbicara mengenai motif atau dorongan penggunan hak pilihnya. Dengan pendekatan kekeluargaan, para responden cukup baik menerima Tim Peneliti. ~ 68 ~ Tim Peneliti bertanya kepada responden tentang pemilih dan pemilihan umum, tetapi tidak sampai menanyakan calon yang dipilihnya karena memang bersifat rahasia. Tim Peneliti merasa tidak etis kalau menjebak mereka, sehingga diketahui pilihannya. Kecuali mereka yang berterus terang menyebutkan nama calon yang dipilhnya. Banyak responden yang berterus terang. Dalam hal ini, berbeda dengan penelitian fenomenologi terhadap pengemis yang dilakukan Engkus Kuswarno saat menyusun disertasinya tentang perilaku pengemis di Kota Bandung. Engkus mewawancarai pengemis dan melakukan obsevasi betulbetul saat-saat mereka beroperasi sebagai pengemis. Engkus meneliti perilaku pengemis, sedangkan Tim Peneliti meneliti perilaku pemilih. Kedua-duanya menggunakan pendekatan fenomenologi. 3.9. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dan teknis analisis data sangat berhubungan. Teknis analisis data, tentu saja, dilakukan setelah pengumpulan data. Tim Peneliti berusaha mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, sebaikbaiknya, dan selengkap-lengkapnya. Secara garis besar, data yang berhasil dikumpulkan Tim Peneliti terbagi pada enam bagian, yakni (a) wawancara lapangan, (b) penyebaran kuisioner, (c) observasi, (d) tes, (e) dokumen, (f) studi pustaka, dan (g) informan. ~ 69 ~ wawancara dengan ahli atau Gambar 12 Illustrasi Pengumpulan Data Penelitian https://muliadinur.wordpress.com 3.9.1. Pengisian Kuisioner Tim Peneliti membawa lembar kuisioner yang diisi oleh responden, tersebar di enam daerah pemilihan. Tim Peneliti menempuh responden dua cara, meminta mengisi langsung kepada atau memandu atau membacakan pertanyaan, kemudian jawabannya diisi oleh Tim Peneliti. Ini memungkinkan karena banyak responden yang tidak memahami cara mengisi kuisioner, di samping ada pula yang merasa lebih nyaman menjawab secara bebas daripada menulis sendiri. ~ 70 ~ Untuk kalangan responden di beberapa kecamatan, mereka lebih suka dipandu menjawabnya atau diajak wawancara sambil berbincang santai. Ketika mereka mengisi kuisioner, seperti disebutkan dalam petunjuk, mereka merasa ada dalamksuasana sangat formal. Bagi Tim Peneliti, untuk bagian yang terakhir ini bukan persoalan, karena mereka mengisi kuisioner seperti yang mereka ketahui, seperti yang mereka inginkan, tanpa campur taangan Tim Peneliti. 3.9.2. Wawancara Lapangan Tim Peneliti, selain turun ke lapangan (ke enam daerah pemiihan), juga sekaligus melakukan wawancara lapangan, baik secara berstruktur atau tidak berstruktur. Tim Peneliti mengadakan wawancara dengan pertanyaanpertanyaan yang sudah dipersiapkan, meski tidak diperlihatkan kepada pemilih yang diajak wawancara. Hasil wawancara ditulis untuk kemudian ditelaah. 3.9.3. Observasi Tim Peneliti menggunakan observasi sebagai teknik pengumpulan data di lapangan, sambil mengingat-ngingat pula bagaimana perilaku pemilih saat-saat memasukkan surat suara ke kotak suara. Ini bagian dari ovservasi, meski sudah terpisahkan waktu yang cukup lama. ~ 71 ~ Ada dua observasi langsung dan tidak langsung. Tim Peneliti sendiri melatih diri sebelumnya untuk menjadi observer yang benar menurut kaidah pengumpulan data penelitian. Tim Peneliti mencatat setiap hasil pengamatan. Tim Peneliti, tentu saja, tidak mengamati individu secara keseluruhan, tetapi hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku pemilih. Tim Peneliti, dalam melakukan pengumpulan data, khusus yang berkaitan dengan observasi merujuk pada Rummel (1958, seperti ditulis dalam Ryanto (2010 : 97), (a) peroleh dahulu apa pengetahuan apa yang akan diobservasi, (b) selidiki tujuan-tujuan atau khusus dari masalah penelitian untuk menentukan apa yang harus diobservasi, (c) buatlah satu cara untuk mencatat hasil-hasil observasi, (d) adakan dan batasi dengan tegas macam-macam tingkat yang akan digunakan, (e) adakan observasi secara cermat dan kritis, (f) catatlah tiap-tiap gejala secara terpisah, (g) ketahuilah baik-baik alat-alat pencatatan dan tata caranya mencatat sebelum melakukan observasi. Ada beberapa macam observasi (Riyanto : 2010 : 98 – 99) yakni (a) observasi partisan, (b) observasi nonpartisan, (c) observasi sistematik, (d) observasi nonsistematik, dan (e) observasi eksperimental. ~ 72 ~ Tim Peneliti menggunakan observasi partisan, antara lain, karena Tim Peneliti berusaha ikut serta terlibat dalam pengamatan perilaku pemilih itu, Berbeda dengan jenis nonpartisan, karena peneliti bukan merupakan bagian dari orang yang diamati. Tim Peneliti, dalam hal ini, melakukan observasi kepada responden, terutama yang berhubungan dengan penggunaan hak pilih. Tim Peneliti mengamati betul sampa imemahami factor-faktor atau dorongan dalam penggunaan hak pilih di TPS. 3.9.4. Metode Tes Tes termasuk alat untuk mengukur keterampilan, sikap, intelegensia, kemampuan, bakat, pengetahuan, dan lain-lain, baik secara pribadi maupun kelompok. Tim Peneliti, dalam hal ini menggunakan metode tes pengetahuan secara tertulis, sekaligus saat penyebaran kuisioner. Oleh karena itu, Tim Peneliti menyusun satu paket pertanyaan tentang pengetahuan pemilih dan pemilihan umum. 3.9.5. Telaah Dokumentasi Tim Peneliti mengumpulkan pula dokumen di Kantor KPU Kabupaten Lebak, baik berupa catatan, laporan, baik tertulis maupun foto. Pengumpulan dokumen dilakukan sepenuhnya di kantor KPU Kabupaten Lebak karena memang seluruh dokumen ada di Kantor KPU Kabupaten Lebak. ~ 73 ~ Tidak terlalu sulit mengumpulkan dokumen ini, yang tersebar di empat subbagian (Subbagian Tekra dan Hupmas, Subbagian Hukum, Subbagian Umum, dan Subbagiab Program). Tim Peneliti tinggal memisahkan dokumen yang berhubungan dan yang tidak berhubungan, kemudian memilahmilahnya sampai tersusun dokumen yang menyangkut secara spesifik dengan pemilih dan perilaku pemilih. Dalam hal ini, pengodean klasifikasi dokumen jadi penting. 3.9.6. Studi Pustaka Tim Peneliti menelaah beberapa sumber pustaka, khsusus yang berkaitan dengan objek penelitian, baik bersumber dari buku, majalah, surat kabar, jurnal, website, dan lain-lain. Ada dua tahap studi pustaka. Pertama, merumuskan bahan kuisioner, bahan observasi, dan wawancara berstruktur sebelum turun ke lapangan. Kedua, merumuskan pertanyaan untuk para ahli setelah peneliti membaca hasil kuisioner, wawancara, membaca dokumen, dan penelaahan hasil tes. Pertanyaan-pertanyaan wawancara untuk para ahli atau informan disesuaikan tetapi tetap fokus pada persoalan perilaku pemilih. Tim Peneliti menyusun pertanyaan untuk para ahli setelah selesai mengkaji hasil penelitian lapangan, kuisioner, studi pustaka, keterangan, dan disuksi antar anggota Tim Peneliti. ~ 74 ~ 3.9.7. Wawancara dengan Informan Tim Peneliti melakukan wawancara berstruktur dengan para ahli atau punya kompetensi dalam menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan Tim Peneliti. Tim Peneliti memilih empat narasumber, yakni Bupati Lebak Hj. Iti Jayabaya, S.E., M.M., Ketua DPRD Lebak Junaedi Ibnu Jarta, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak H. Syatibi Hambali, dan analis politik dan perubahan sosial, H. Agus Sutisna, S.I.P., M.Si. Dengan empat narasumber itu, Tim Peneliti berharap adanya jawaban dari perspektif eksekutif, legislatif, masyarakat, dan analis politik. Dengan meminta pendapat para ahli atas temuan atau hasil penelitian, dimaksudkan pula Tim Peneliti mendapatkan penegasan, komentar, jawaban bandingan, konfirmasi, atau kepastian atas hasil-hasil pengumpulan data dimaksud. 3.10. Teknis Analisis Data Sugiyono (2000 : 89) dengan mengutip Stainback, Miles, Huberman, dan Bodgan mendefinisikan analisis data sebagai berikut (Nurdin, 2011 : 84), sebagai berikut : “Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan di lapangan, dan dokumentasi dengan mengorganisasikan data dan kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, meyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang ~ 75 ~ akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain”. Teknik analisis data termasuk rumit, dan harus ekstra hati-hati karena akan berhubungan dengan simpulan atau hasil utama penelitian. Tim Peneliti, mislanya, mengamati dulu apakah memerlukan analisis statistik atau nonstatistik. Tentu saja, analisis statistik diperlukan kalau karakteristik datanya bersifat kuantitatif atau data yang dikuantitatifkan, sedangkan kalau datanya bersifat kualitatif, maka analisis statistik tidak diperlukan. Pada saat melakukan analisis data, Tim Peneliti akhirnya sering sampai pada pertanyaan khas kuantitatif, apakah berhubungan atau tidak, yang jawabannya mesti satu : ya atau tidak. Misalnya, sampai pada pertanyaan, “Apakah Mr. X menggunakan hak pilih atau tidak?” Ini khas pertanyaan khas kuantitatif. Sedangkan pertanyaannya “Faktor-faktor apa saja yang mendorong Mr. kalau X menggunakan hak pilihnya?” Maka, pertanyaan terakhir ini adalah khas kualitatif. Beberapa hal yang tidak merupakan bagian dari penelitian, tetapi Tim Peneliti menganggap penting dimasukakan ke dalam wilayah penelitian, dan memang ada kaitannya dengan perilaku pemilih, maka Tim Peneliti memasukkannya ke dalam temuan di lapangan. Ini akan ~ 76 ~ ditemukan nanti pada bab akhir, yang berisi simpulan, implikasi, dan rekomendasi. Bagi Tim Peneliti, teknis analisis data berkaitan dengan prosedur penelitian. Sebagaimana halnya teknis analisis data yang harus selalu ekstra hati-hati, maka prosedur penelitian pun harus ekstra hati-hati. Jangan salah prosedur, tidak boleh salah langkah. Gambaran analisis data bisa diamati dalam gambar di bawah ini, sejak penghimpunan data penelitin, sampai nantinya akan terbagi pada dua pendekatan : statistik dan nonstatistik, sebagai berikut Skema 3 Teknik Analisis Data Data Penelitian Analisis Data Nonstatistik Statistik Statistik deskriptif Statistik inferensial Sumber : Riyanto (2010) Dalam melakukan analaisis data, Tim Peneliti tidak menggunakan statistik, tetapi nonstatistik. Dengan demikian, dari data yang berhasil dikumpulkan, kemudian data itu ~ 77 ~ dianalisis dengan pendekatan nonstatistik, karena sejak awal penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pada praktiknya, Tim Peneliti secara garis beras membagi tiga kegiatan analisis data terpenting, yakni sebelum ke lapangan sedang di lapangan, dan sesudah di lapangan. Sebelum ke lapangan, Tim Peneliti melakukan pesiapan-persiapan, sedang di lapangan melakukan penelitian, mengumpulkan hasil penelitian. Setelah di lapangan, Tim Peneliti mengorganisasikan hasil penelitian, pengecekan data secara cermat dengan dipandu paradigma, teori, dan metode yang sudah ditetapkan selama persiapan, sampai akhirnya menulis simpulan, temuan, dan rekomendasi. Gambar 13 Ilustrasi Analisis Data http://lamnodataa.blogspot.com ~ 78 ~ Data kualitatif dibangun dengan kata-kata seperti transkrip wawancara. Data yang dibutuhkan dideskripsikan secara cermat, dikategorisasi-kan menurut tema, dan lain-lain. Data yang dimaksud dalam penelitian tidak sama dengan data dari perspektif teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan basis informasi. Dalam TIK, ada hubungan antara data, informasi, dan pengetahuan. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data dalam perspektif penelitian, bukan data dari perspektif TIK. Data dalam penelitian ini sama sama maknanya dengan informasi. Menurut para ahli dalam ttps://bersukacitalah.wordpress.com, ada 10 tahapan analisis data, yakni (a) membiasakan diri dengan data tinjauan pustaka, membaca, dan mendengar (b) transkrip wawancara, (c) pengaturan indeks data yang telah didentifikasi, (d) anonim dari data yang sensitif, (e) identifikasi tema, (f) pengembangan kategori, (g) ekplorasi hubungan antarkategori, (h) membangun teori dan menggabungkan pengetahuan dengan pengetahuan sebelumnya, (i) pengujian data dengan teori, dan (j) penulisan laporan. Tim Peneliti berusaha memenuhi kesepuluh syarat di atas agar menghasilkah penelitian yang baik dan dipercaya. Sejumlah wawancara ditulis, kategori disusun dan dikembangkan, upaya eksplorasi hubungan antarkategori, dan pengujian dengan teori. ~ 79 ~ Dalam metode pengumpulan data, Tim Peneliti melakukan observasi, sekaligus observasi terlibat. Tim Peneliti jadi pendengar yang baik dan santun, berusaha mendengar sebaik-baiknya untuk memahami sebaik-baiknya, sekaligus dengan menjadikan mereka sebagai subjek pula. Tim Peneliti menjadikan mereka pula sebagai partisipan. Observasi terlibat, idealnya, masuk ke wilayah yang diteliti. Seperti ingin memahami perilaku masyarakat penganut paham, “olot” di Kecamatan Cibeber, maka Tim Peneliti tinggal di situ. Dalam penelitian ini, Tim Peneliti memang melakukan observasi terlibat, tetapi tidak seperti untuk memahami perilaku masyarakat penganut paham “olot” di Kecamatan Cibeber seperti yang dicontohkan di atas. Tim Peneliti jadi pendengar yang baik untuk memahami perilaku pemilih saat-saat menggunakan hak pilihnya pada pemilu tahun 2014 lalu. Tim Peneliti mengajak mengingat-ngingat kembali saat mereka menggunakan hak pilih. Tim Peneliti pun melakukan pengkajian perilaku pemilih dan yang berhubungan dengan pemilih untuk memastikan bahwa proses penelitian selalu berbasiskan data hasil tinjauan pustaka, termasuk penelaahan teori. Satu hal yang perlu disampaikan Tim Peneliti, bahwa sistem acak random itu lazimnya hanya untuk penelitian kuantitatif. Tetapi, kalau ~ 80 ~ mengacu pada banyak referensi, untuk pengambilan data yang lebih mendekati akurasi, maka ditempuhlah metode sampling secara acak dengan syarat tertentu. Xavier University Library menyebutkan bahwa penelitian kualitatif itu smaller & not randomly selected (ruang lingkupnya kecil, tidak ada pemilihan acak), sedangkan penelitian kuantitatif sebaliknya, larger & randomly selected. (lebih luas dan ada sistem acak) Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah subjek, subjek penelitian, informan, atau partisipan. Semua istilah itu menuju pada objek yang sama, yakni sebagai pihak yang mewakili kelompok tertentu. Subjek penelitian itu diposisikan Tim Penelti sebagai pihak yang terlibat dalam pengumpulan data, dengan Tim Peneliti sebagai subjek penelitian. Dengan bahasa lain, Tim Peneliti adalah subjek primer, sedangkan partisipan adalah subjek sekunder. Tim Peneliti, dengan menggunakan petunjuk Patton dalam Afifuddin (2009 : 130), menempuh teknik pemilihan partisipasi (sampling strategies) dalam penelitian ini, yakni random probably sampling (pengambilan sampel dari populasi secara random (acak) dengan memerhatikan jumlah sampel dan purposeful sampling (sampel yang dipilih bergantung pada tujuan penelitian kemampuan generalisasinya) ~ 81 ~ tanpa memerhatikan Tim Peneliti sudah memenuhi kedua teknik itu dengan penyebaran kuisioner dan wawancara di enam daerah pemlihan yang diposisikan sebagai representasi wilayah se-Kabupaten Lebak, dengan pengemasan pertanyaan dan bahan wawancara yang difokuskan pada perilaku pemilih sebagai tema penelitian. Seperti kata Glaser dan Strauss dalam Afifudin (2009 : 130), pengumpulan data dilakukan bila peneliti tidak lagi menemukan informasi baru. Informasi baru, sering kali pula sangat berharga. Maka, tepatnya, Tim Peneliti menempuh prosedur analisis data sebagaimana skema di bawah ini : Skema 4 Proses Analisis Data Paradigma Kualitatif Perspektif teori Konstruksi realitas perilaku pemilih Analisis konstruksi realitas sosial Terpetakannya perilaku pemilih di Kabupaten Lebak Paradigma fenomenologi Sumber : Hamad (2004) ~ 82 ~ Data kualitatif dibangun dengan kata-kata seperti transkrip wawancara. Data yang dibutuhkan dideskripsikan secara cermat, dikategorisasi-kan menurut tema, dan lain-lain. Data yang dimaksud dalam penelitian tidak sama dengan data dari perspektif teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan basis informasi. Dalam TIK, ada hubungan antara data, informasi, dan pengetahuan. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data dalam perspektif penelitian, bukan data dari perspektif TIK. Data dalam penelitian ini sama sama maknanya dengan informasi. Menurut para ahli dalam http://bersukacitalah.wordpress.com, ada 10 tahapan analisis data, yakni (a) membiasakan diri dengan data tinjauan pustaka, membaca, dan mendengar (b) transkrip wawancara, (c) pengaturan indeks data yang telah didentifikasi, (d) anonim dari data yang sensitif, (e) identifikasi tema, (f) pengembangan kategori, (g) ekplorasi hubungan antarkategori, (h) membangun teori dan menggabungkan pengetahuan dengan pengetahuan sebelumnya, (i) pengujian data dengan teori, dan (j) penulisan laporan. Tim Peneliti berusaha memenuhi kesepuluh syarat di atas agar menghasilkah penelitian yang baik dan dipercaya. Sejumlah wawancara ditulis, kategori disusun dan dikembangkan, upaya eksplorasi hubungan antarkategori, dan pengujian dengan teori pun ditempuh. ~ 83 ~ Dalam metode pengumpulan data, Tim Peneliti melakukan observasi, sekaligus observasi terlibat. Tim Peneliti jadi pendengar yang baik dan santun, berusaha mendengar sebaik-baiknya untuk memahami sebaik-baiknya, sekaligus dengan menjadikan mereka sebagai subjek pula. Tim Peneliti menjadikan mereka pula sebagai partisipan. Wawancara umumnya berlangsung cair dan komunikatif. Observasi terlibat, idealnya, masuk ke wilayah yang diteliti. Seperti ingin memahami perilaku masyarakat penganut paham, “olot” di Kecamatan Cibeber, maka Tim Peneliti tinggal di situ. Dalam penelitian ini, Tim Peneliti memang melakukan observasi terlibat, tetapi tidak seperti untuk memahami perilaku masyarakat penganut paham “olot” di Kecamatan Cibeber seperti yang dicontohkan di atas. Tim Peneliti pun melakukan pengkajian perilaku pemilih dan yang berhubungan dengan pemilih untuk memastikan bahwa proses penelitian selalu berbasiskan data hasil tinjauan pustaka, termasuk penelaahan teori. Satu hal yang perlu disampaikan Tim Peneliti, bahwa sistem acak random itu lazimnya hanya untuk penelitian kuantitatif. Tetapi, kalau mengacu pada banyak referensi, untuk pengambilan data yang lebih mendekati akurasi, maka ditempuhlah metode sampling secara acak dengan syarat tertentu. ~ 84 ~ Xavier University Library menyebutkan bahwa penelitian kualitatif itu smaller & not randomly selected (ruang lingkupnya kecil, tidak ada pemilihan acak), sedangkan penelitian kuantitatif sebaliknya, larger & randomly selected. (lebih luas dan ada sistem acak) Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah subjek, subjek penelitian, informan, atau partisipan. Semua istilah itu menuju pada objek yang sama, yakni sebagai pihak yang mewakili kelompok tertentu. Subjek penelitian itu diposisikan Tim Penelti sebagai pihak yang terlibat dalam pengumpulan data, dengan Tim Peneliti sebagai subjek penelitian. Dengan bahasa lain, Tim Peneliti adalah subjek primer, sedangkan partisipan adalah subjek sekunder. Tim Peneliti, dengan menggunakan petunjuk Patton dalam Afifuddin (2009 : 130), menempuh teknik pemilihan partisipasi (sampling strategies) dalam penelitian ini, yakni random probably sampling (pengambilan sampel dari populasi secara random (acak) dengan memerhatikan jumlah sampel dan purposeful sampling (sampel yang dipilih bergantung pada tujuan penelitian tanpa memerhatikan kemampuan generalisasinya) Tim Peneliti sudah memenuhi kedua teknik itu dengan penyebaran kuisioner dan wawancara di enam daerah pemlihan yang diposisikan sebagai representasi wilayah se-Kabupaten Lebak, dengan pengemasan pertanyaan dan bahan wawancara yang difokuskan pada perilaku pemilih. ~ 85 ~ Tim Peneliti, bahkan berencana turun ke lapangan untuk kedua kalinya kalau merasa tidak ada lagi informasi baru yang diperoleh. Di sinilah uniknya penelitian pengumpulan data penelitian kualitatif. Banyak yang menyebut, tidak ada aturan yang baku untuk pengumpulan data penelitian kualitatif. Seperti kata Glaser dan Strauss dalam Afifudin (2009 : 130), pengumpulan data dilakukan bila peneliti tidak lagi menemukan informasi baru. Informasi baru, sering kali pula sangat berharga. Apa pun data yang berhasil dikumpulkan dari lapangan, menurut hemat Tim Peneliti, sudah memenuhi syarat yang cukup sebagai penelitian kualitatif yang di antaranya dibangun dengan data transkrip, bukan dengan data-data angka, seperti dalam penelitian kuantitatif. Apa pun data yang berhasil dikumpulkan dari lapangan, menurut hemat Tim Peneliti, sudah memenuhi syarat yang cukup sebagai penelitian kualitatif yang di antaranya dibangun dengan data transkrip, bukan dengan data-data angka, seperti dalam penelitian kuantitatif. Data lainnya yang berhasil dikumpulkan, sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, seperti wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Metode pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan studi pustaka lebih dominan daripada pengumpulan data melalui kuisioner. Itulah ciri penting penelitian kualitatif. ~ 86 ~ 3.11. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Dalam penelitian kualitatif, ada empat kriteria yang berhubungan dengan keabsahan data (Afifuddin, 2009 : 143), yakni (a) keabsahan konstruk (construct validity), yang berisi triangulasi, triangulasi pengamat, dan triangulasi teori, (b) keabsahan internal (internal validity), (c) keabsahan eksternal (external validity), dan keajegan (reliability). Tim Peneliti, pertama-tama menggunakan wawancara bandingan dan sandingan atas keterangan responden atau partisipan. Tim Peneliti, dalam hal ini, mewawancarai lebih dari satu partisipan yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Tim Peneliti, dalam hal ini, sama sekali tidak menggunakan sumber data tunggal, tetapi menggunakan sumber data yang banyak. Ada sudut pandang yang berbeda antarpartisipan untuk sesuatu objek. Tim Peneliti pun menggunakan expert judgment (pihak di luar Tim Peneliti) yang turut serta mengamati atau bertindak sebagai pengamat. Para pengamat tamu itu pun diminta masukan atas hasil-hasil data yang telah dikumpulan Tim Peneliti. Para narasumber yang diminta Tim Peneliti dianggap pula sebagai expert judgment. Itulah sebabnya, Tim Peneliti menghubungi para narasumber itu setelah data terkumpul dan terpilah, antara lain, untuk komentar, konfirmasi, dan masukan. Dengan demikian, keterangan dari lapangan dan penjelasan para informan memperkaya hasil penelitian. ~ 87 ~ Pengujian data melalui teori dilakukan Tim Peneliti dengan pengkajian teori-teori seperti yang ditulis pada bab II, atau teori lain yang kemudian dibutuhkan. Teori konstruksi realitas secara sosial dan teori-teori yang lain pada bab II kemudian ditambah dengan teori lain, seperti beberapa teori komunikasi massa yang ternyata cukup penting untuk mengamati dan memahami masalah perilaku pemilih. Triangulasi metode pun ditempun Tim Peneliti. Oleh karena itu, selain Tim Peneliti melakukan wawancara, juga observasi, sebagaimana sudah dikemukakan terdahulu. Maka, dengan keempat triangulasi itu, yang mencakup triangulasi data, triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan triangulasi metode, diharapkan keabsahan data lebih bisa dipercaya, sehingga menghasilkan penelitian yang bisa dipercaya pula. Untuk jalan keluarnya, ketika ada data yang bertentangan, maka Tim Peneliti menggunakan peribahasa Arab, lisaanu ‘l-haal afshahu min lisaani ‘l-maqaal (fakta lebih meyakinkan dari kata-kata) Tim Peneliti menginginakan interpretasi data yang tepat melalui keabsahan internal (internal validity). Ada kesulitan dalam hal ini, antara lain, adanya perubahan atau perkembanagan, sehingga mengakibatkan simpulan yang berbeda. Tim Peneliti berusaha mendapatkan gambaran yang sesungguhnya melalui internal validity itu. ~ 88 ~ Tim Peneliti pun menempuh metode external validity (validitas eksternal) dengan menggenaralisasikan pada masalah penelitian yang serupa. Maka, di sinilah perlunya kajian pustaka, yang setidak-tidaknya jadi bandingan dan sandingan atas masalah-masalah yang sama, walaupun tidak persis sama. Pada kajian pustaka sebagaimana ditulis pada bab II, beberapa hasil penelitian perilaku pemilih disajikan. Tim Peneliti menilai, hasil kajian pustaka itu sebagai “partner” untuk generalisasi mengingat fokus masalahnya yang sama. Ini dalam rangka memenuhi keabsahan eksternal, sebagai “pembenaran” oleh hasil penelitian yang lain. Tim Peneliti menyadari, bahwa perilaku pemilih di Kabupaten Lebak bisa diteliti ulang, atau ada Tim Peneliti lain yang sedang melakukan penelitian yang sama. Untuk itulah, Tim Peneliti berusaha menghimpun data sebanyak dan seakurat mungkin, sehingga penelitian berikutnya oleh Tim Peneliti yang lain, akan menghasilkan penelitian yang sama pula. Maka, keajegan (realibility), sebagai salah satu kriteria keabsahan data, sangat diperhatikan Tim Peneliti. Tim Peneliti menyadari pula, wilayah penelitian cukup luas, dengan perilaku pemilih yang berbeda-beda, juga juga kategori geografis yang berlainan, merupakan sebuah tantangan penelitian. Maka, plural- heterogen, menurut hemat Tim Peneliti, lebih baik dari data monotonhomogen. Soal data, para ahli penelitian memberi ciri penelitian kualitatif ~ 89 ~ sebagai text-based (dibangun dari teks), sedangkan penelitian kuantitatif dibangun dengan number-based (dibangun dari angka). Tetapi kemudian, data kualitatif itu bisa di-kuantitatif-kan, dan sebaliknya, data kuantitatif buisa di-kualitatf-kan. Kalau bertanya, “Apakah ada hubungan keterpilihan Partai X dengan kampanye pentas musik?”. Maka pertanyaan kuantitatif itu bisa di-kualitatif-kan jadi, “Faktorfaktor apa saya yang menyebabkan Partai X terpilih?”. Ketika menjawab faktor-faktor, jawabannya akan lebih panjang dan terurai. Untuk menjawab pertanyaan itu, bisa melalui wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Untuk menguji keabsahan semua itu, seperti sudah diuraikan di atas, maka macam-macam triangulasi sangat diperlukan. Gambar 14 Ilustrasi Pengujian Data http://www.madiunpos.com ~ 90 ~ 3.12. Prosedur Penelitian Kerangka pemikiran (sudah dibahas pada BAB II) dan prosedur penelitian, menurut hemat Tim Peneliti adalah saling berkaitan dan merupakan satu tubuh yang utuh dalam sebuah penelitian. Tim Peneliti ingin membandingkan kerangka pemikiran dan prosedur penelitian dengan ibadah salat yang terdiri dari upacan-ucapan (lisan) dan perbuatan-perbuatan (gerak) tertentu. Ada tata cara, ada prosedur dalam ibadah salat ini. Mengangkat kedua belah tangan, berdiri tegak menghadap kiblat, rukuk, sujud, duduk tahiyyat awal, duduk tahiyyat akhir, menengok ke kiri dan kanan, itu semua adalah rangka salat, rancang bangun salat, yang dalam penelitian bisa di-qiyas-kan (disamakan) dengan kerangka pemikiran. Sedangkan berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangan, lalu menempatkannya pada dada (tangan kanan di atas tangan kiri), lalu membaca doa iftitah, membaca Al-fatihah, terus membaca surat Alquran, lalu membaca takbir, rukuk sambil membaca doa tertentu, terus berdiri tegak (i’tidal) sambil membaca doa tertentu, membaca takbir, lalu sujud sambil membaca doa tertentu dan seterusnya secara tertib dan berurutan sebagaimana diajarkan dalam Assunnah, maka semua itu adalah tertib salat, yang dalam penelitian bisa disamakan dengan prosedur penelitian. ~ 91 ~ Dalam praktik salat, ada pembuka, yakni takbir, kemudian ada penutup yakni tasliim (mengucapkan salam sambil kepala berpaling ke kanan dan ke kiri). Maka, dalam penelitian, ada BAB I PENDAHULUAN yang merupakan takbir dan ada BAB PENUTUP yang merupakan tasliim. Dalam salat ada rukun yang wajib, misalnya, membaca Al-Fatihah. Dalam tubuh penelitian pun, mesti ada bab yang wajib ditulis, misalnya, bab metodologi penelitian. Dengan demikian, praktik penelitian di lapangan, khusuk meneliti hasil penelitian, melakukan penelitian yang dipandu dengan teori, adalah “salat”nya para peneliti atau researcher. Ketika salat yang benar akan mencegah fakhsya dan munkar, maka hasil penelitian adalah pencegahan dari simpulan yang sesat dan menyesatkan, yang kemudian hasil penelitiannya bemanfaat untuk kebaikan umat. Prosedur penelitian yang selama ini dipedomani para peneliti secara garis besar terdiri dari : subjek, metodologi, operasionalisasi, variabel, hipotesis, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Oleh karena penelitian ini kualitatif, seperti sudah dikemukakan di atas, maka beberapa unsur tidak dilakukan seperti operasionalisasi variabel dan hipotesis karena kedua yang terakhir ini untuk penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatit, tentu saja, tidak akan pengujian hipotesis, juga tidka ada variabel bebas dan vabriabel terikat. ~ 92 ~ Jadwal penelitian, kalau disamakan dengan salat, maka itu adalah jadwal waktu salat. Setelah prosedur penelitian disusun, tentu melangkah ke arah pelaksanaan penelitian, seperti survai. Di bawah ini prosedur penelitian yang disusun Tim Peneliti jadi tiga bagian besar, yakni input penelitian, proses penelitrian, dan output penelitian, sebagai berikut : Skema 5 Prosedur Penelitian Input penelitian Paradigma penelitian Fenomenologi Judul penelitian : Konstruksi Realitas Pemilih Pada Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Lebak Fenomena perilaku pemilih 1. Tradisional 2. Subjektif 3. Rasional 4. Pragmatis 5. Ideologis 6. Skeptis Proses penelitian Metode kualitatif Tataran dekriptif Pendekatan konstruksi rtealitas secara sosial Teknik analisis data 1. Sebelum ke lapangan Persiapan pembekalan 2. Saat di lapangan Pengumpulan data 3. Setelah di lapangan Editing Pengorganisasian data Analisis data ~ 93 ~ Output penelitian 1. Simpulan 2. Temuan 3. rekomendasi ~ 94 ~ BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Keenam daerah pemilihan itu bisa disebutkan sebagai enam tipe daerah. Daerah pemilihan Lebak 1 merupakan daerah perkotaan, Daerah Pemilihan Lebak 2 merupakan daerah pertanian, Daerah Pemilihan Lebak 3 merupakan daerah perkebunan, Daerah Pemilihan Lebak 4 merupakan pantai, budaya tradisionaI, dan pertambangan, Daerah Pemilihan Lebak 5 merupakan daerah perkebunan, dan Daerah Pemilihan Lebak 6 merupakan daerah perlintasan dan perkebunan. Dengan beragamnya latar belakang responden, yang sehari-hari mereka diharapkan mewakili kehidupan selalu berinteraksi dengan lingkungannya itu, kelompok atau komunitas yang menjadi ciri masyarakat setempat. Oleh karena itu, masyarakat Kota Rangkasbitung, misalnya, diharapkan mewakili masyarakat perkotaan. (Daerah Pemiihan Lebak 1), masyarakat kecamatan sepanjang Pantai Selatan (Daerah Pemilihan Lebak masyarakat 4) mewakili pesisir, masyarakat kecamatan Gunungkencana dan sekitarnya mewakili masyarakat perkebunan, dan seterusnya. Masyarakat Kabupaten Lebak sendiri termasuk heterogen, karena di dalamnya ada masyarakat tradisional, masyarakat perkotaan, masyarakat nelayan, dan lain-lain. ~ 94 ~ Perlu pula disampaikan bahwa enam daerah pemilihan di Kabupaten Lebak itu dibentuk sejak pemilu pertama tahun 2004, kemudian masih digunakan pada pemilu tahun 2009, dan tahun 2014 kemarin. Untuk kepentingan pemilu tahun 2014, KPU Kabupaten Lebak mengokohkan kembali format enam daerah pemilihan itu berdasarkan hasil rapat dengan partai-partai politik peserta pemilu. Mereka menilai, format enam daerah pemilihan itu masih dianggap ideal, karena jumlah kursi yang cukup proporsional di setiap daerah pemilihan, jumlah kecamatan di setiap daerah pemilihan yang seimbang, dan setiap daerah pemilihan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Tim Peneliti menyebarkan kuisioner kepada 150 orang responden yang tersebar di enam daerah pemilihan seperti disebutkan di atas, melakukan wawancara, dan observasi. Hasil kuisioner, wawancara, dan observasi ini penting karena akan menjadi data primer. Tim Peneliti lapangan. langsung mengambil data itu dari Hasil penelitian lainnya, seperti hasil studi pustaka (library research) dan telaah dokumen merupakan data sekunder, tetapi masih terlalu penting untuk sebuah hasil penelitian. Penamaan data primer dan data sekunder hanyalah untuk klasifikasi saja, tetapi kedua-duanya sebetulnya saling menunjang, bahkan mungkin saja data sekunder “berkualitas” data primer. ~ 95 ~ Dalam kuisioner, Tim Peneliti membagi tiga bagian pertanyaan. Pertama tentang profil responden. Kedua, tes pengetahuan para responden. Ketiga, pertanyaan penelitian. Pembagian tiga kategori pertanyaan itu dimaksudkan agar Tim Peneliti mendapatkan informasi terpadu, profil, tes, dan hasil penelitian inti yang berhubungan dengan perilaku pemilih. 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Profil Responden Profil responden mencakup lima hal penting, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Kecuali jenis kelamin, semua isian merupakan jarak antara. Dari sudut usia, responden yang berusia 17 tahun sampai usia 25 tahun sebanyak 40 orang (27%), usia 26 tahun sampai 35 tahun sebanyak 52 orang (34%), usia 36 tahun sampai 45 tahun sebanyak 26 orang (17%), usia 46 tahun sampai 55 tahun sebanyak 25 orang (17%), usia 56 tahun sampai 65 tahun sebanyak 4 orang (3%), dan usia di atas usia 65 tahun sebanyak 3 orang (2%). Jumlah seluruhnya sebanyak 150 orang (100%) Dari sudut jenis kelamin. Laki-laki sebanyak 92 orang (61%) dan perempuan sebanyak 58 orang (39%). Jumlah seluruhnya sebanyak 150 orang. (100%). Inilah satu-satunyaisian yang satu ~ 96 ~ pilihan dari dua pilihan, karena isian yang lain pilihannya banyak, seperti usia, tingkat pendidikan, atau penghasilan. Dari sudut pekerjaan, pegawai negeri sipil sebanyak 40 orang (27%), pegawai swasta sebanyak 42 orang (28%), pedagang sebanyak 8 orang (5%), pertain sebanyak 10 orang (7%), wiraswastawan sebanyak 30 0rang (20%), tenaga profesional sebanyak 13 orang (9%), dan pensiunan sebanyak 7 orang (5%). Jumlah seluruhnya sebanyak 150 orang (100%). Tingkat pendidikan responden, lulusan SD/sederajat sebanyak 8 orang (5%), lulusan SMP/sederajat sebanyak 21 orang (14%), SMA/sederajat sebanyak 57 orang (38%), D-I sebanyak 1 orang (1%), D-II sebanyak 2 orang (1%), D-III sebanyak 14 orang (9%), S-1 sebanyak 42 orang (28%), S-2 sebanyak 4 orang (3%), dan S-3 sebanyak 1 orang (1%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Penghasilan para responden, di bawah Rp1.000.000,00 sebanyak 69 orang (46%), dari Rp1.000.001,00 sampai Rp5.000.000,00 sebanyak 35 orang (23%), dari Rp5.000.001,00 sampai Rp7.500.000,00 sebanyak 21 orang (14%). Dari Rp7.500.001,00 sampai Rp10.000.000,00 sebanyak 15 orang (10%), Dari Rp10.000.000,00 ke atas sebanyak 10 orang (7%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%). (Lampiran 10) ~ 97 ~ 4.2.2. Pengetahuan Responden tentang Pemilu Tim Peneliti menyebarkan juga pertanyaan tes. Dalam penelitian, ada beberapa metode pengumpulan data (Riyanto, 2010 : 82 – 103), yakni metode interview, metode angket, metode observasi, metode tes, dan metode dokumentasi. Tim Peneliti menempuh semua metode itu, sambil mengusahakan metodenya yang tepat dengan hasilnya yang maksimal. Metode tes (Riyanto : 2010 : 100), adalah serentetan atau latihan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan, sikap, intelegensi, kemampuan atau keterampilan, bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tim Peneliti, dalam hal ini, menyusun pertanyaan saja, dijawab responden, untuk kemudian diketahui seberapa jauh wawasan responden mengenai pemilihan umum. Tim Peneliti menilai penting, antara lain, karena pemilih itu tidak cukup benar secara teknik ketika menggunakan hak pilihnya, tetapi juga harus memahami ilmu pemilu, yang dengan demikian diharapkan jadi pemilih yang cerdas dan berkualitas. Ada 10 pertanyaan yang diajukan kepada responden, bervariasi mengenai pemilu, baik teori maupun praktik. Para ~ 98 ~ responden sering mengikuti sosialisasi pemilu, sekaligus mengikuti pula simuilasi oleh badan penyelenggara pemilu setempat. Hasil tes menunjukkan, untuk pertanyaan nomor 1 tentang pemilu pertama di Indonesia, yang menjawab tahun 1955 sebanyak 78 orang (52%), yang menjawab tahun 1977 sebanyak 24 orang (16%), dan yang menjawab tahun 2004 sebanyak 48 orang (32%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 2 tentang WNI yang punya hak pilih, yang menjawab usia 17 tahun atau sudah/pernah kawin sebanyak 98 orang (65%), yang menjawab minimal 17 tahun sebanyak 24 orang (16%), dan yang menjawab sudah/pernah kawin dengan minimal usia 17 tahun sebanyak 48 orang (32%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 3 tentang tempat penggunaan hak pilih. Responden yang menjawab di TPS sebanyak 147 orang (98%), yang menjawab di PPS sebanyak 1 orang (1%), dan yang menjawab di PPK sebanyak 2 orang (1%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 4 tentang penggunaan hak pilih. Responden yang menjawab bebas dan rahasia sebanyak 127 (85%), yang menjawab bebas dan adil sebanyak 12 orang (8%), ~ 99 ~ dan yang menjawab bebas dan jujur kepada calon sebanyak 11 orang (7%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 5, para calon yang diusung partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum. Responden yang menjawab calon presiden sebanyak 22 orang (15%), yang menjawab calon wakil presiden sebanyak 5 orang (3%), dan yang menjawab calon presiden dan wakil presiden sebanyak 123 orang (82%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 6 tentang rentang masa pemilu presiden dan wakil presiden. Responden yang menjawab lima tahun sekali sebanyak 136 orang (90%), yang menjawab lima tahun sekali atas usulan MPR sebanyak 7 orang (5%), dan yang menjawab lima tahun sekali atas usulan MPR dan Mahkamah Agung sebanyak 7 orang (5%) Jumlah seluruhnya 150 orang (11%) Pertanyaan nomor 7 tentang perwakilan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Responden yang menjawab anggota DPD mewakili kabupaten dan kota dalam sebuah provinsi sebanyak 87 orang (58%) yang menjawab mewakili provinsi sebanyak 36 orang (24%), dan yang menjawab provinsi dengan jumlah maksimal 4 orang sebanyak 27 orang (18%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) ~ 100 ~ Pertanyaan nomor 8 tentang sebutan jabatan bagi anggota DPR. Responden yang menjawab anggota legislatif sebanyak 132 orang (88%), yang menjawab anggota legislator sebanyak 6 orang (4%), dan yang menjawab anggota Dewan Perwakilan Daerah sebanyak 12 orang (8%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)\ Pertanyaan nomor 9 tentang pemilihan kepala daerah. Responden yang menjawab pemilihan gubernur/wakil gubernur sebanyak 13 orang (9%), yang menjawab pemilihan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota sebanyak 36 orang (24%), dan yang menjawab a dan b sebanyak 101 orang (67%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 10, tentang penggunaan KTP di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Responden yang menjawab boleh digunakan berdasarkan keputusan Mahkamah Agung sebanyak 23 orang (15%), yang menjawab Komisi Pemilihan Umum sebanyak 85 orang (57%), dan yang menjawab Mahkamah Konstitusi sebanyak 42 orang (28%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100% (Lampiran 11) 4.2.3. Pertanyaan Penelitian Seluruh pertanyaan diarahkan pada persoalan perilaku pemilih, meliputi alasan penggunanan hak pilih, ada atau tidak ada pengaruh dari pihak eksternal, seperti dari media atau kampanye. ~ 101 ~ Pertanyaan nomor 1 mengenai alasan menggunakan hak pilih. Responden yang menjawab karena tradisi sebanyak 35 orang (23%), yang menggunakan hak pilih karena alasan rasional sebanyak 99 orang (66%), dan yang memilih karena punya ikatan emosional dengan calon atau politisi sebanyak 16 orang (11%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 2 mengenai money politics. Responden yang menjawab politik uang sebanyak 121 orang (81%), yang menjawab uang politik sebanyak 12 orang (8%), dan yang menjawab uang politik untuk biaya kampanye sebanyak 17 orang (11%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 3 mengenai pendorong yang idel dalam penggunaan hak pilih. Responden yang menjawab sadar, ingin jadi WNI yang baik sebanyak 125 orang (83%), yang menjawab janjijanji pemberian materi sebanyak 13 orang (9%), dan yang menjawab sekadar partisipasi politik saja sebanyak 13 orang (100%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 4 mengenai kehilangan hak pilih seseorang pemilih secara sengaja oleh orang lain. Responden yang menjawab tindak pidana sebanyak 74 orang, yang menjawab perdata sebanyak 36 orang (24%), dan yang menjawab pidana pemilu sebanyak 40 orang (27%). Jumlahnya 150 orang (100%). ~ 102 ~ Pertanyaan nomor 5 mengenai pihak yang menyusun daftar penduduk sebagai basis pemilih. Responen yang menjawab Pemerintah sebanyak 74 orang (49%), yang menjawab KPU sebanyak 33 orang (22%), dan yang menjawab Pemerintah dan KPU sebanyak 43 orang (29%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 6 mengenai isi kampanye dalam bentuk rapat umum. Responden yang menjawab menyampaikan visi dan misi sebanyak 111 orang (74%), yang menjawab menyampaikan janji-janji materi agar calon terpilih sebanyak 23 orang (15%), dan yang menjawab memantapkan visi, misi, dan janji-janji imbalan materi sebanyak 16 orang (11%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 7 tentang perubahan hak pilih karena money politics. Responden yang menjawab sebagai hadiah sebanyak 16 orang (11%), yang menjawab penghargaan atas kerja sama politik sebanyak 25 orang (17%), dan yang menjawab suap sebanyak 109 orang (72%) Pertanyaan nomor 8 mengenai pengertian suap. responden yang menganggap suap sebagai azab sebanyak 12 orang (8%), yang menganggap suap sebagai laknat sebanyak 132 orang (88%), ~ 103 ~ dan yang menjawab suap sebagai siksa sebanyak 6 orang (4%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%) Pertanyaan nomor 9 tentang penggunaan hak pilih dari perspektif ajaran Islam. Reponden yang menjawab pantas membaca bismillah sebelum menggunakan hak pilih sebanyak, 123 orang (82%), yang menjawab membaca istigfar sebanyak 23 orang (15%), dan yang menjawab hamdalah sebanyak 4 orang (3%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%). Pertanyaan nomor 10 tentang rekam jejak calon yang punya kemampuan. Responden yang menjawab pantas dipilih sebanyak 92 orang (61%), yang menjawab pantas dipilih dengan syarat lulusan perguruan tinggi sebanyak 18 orang (12%), dan yang menjawab pantas dipilih dengan syarat santun berpolitik sebanyak 40 orang (27%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%). (Lampiran 12) 4.3. Pembahasan 4.3.1. Perilaku Pemilih dari Perspektif Teoritis 4.3.1.1. Teori Konstruksi Realitas Secara Sosial Dari perspektif teori, terutama teori konstruksi realitas secara sosial, diketahui bahwa sikap, keputusan, atau bentukan seseorang itu dipengaruhu pula oleh faktorfaktor eksternal. Pengaruh dari eksternal itu volumenya ~ 104 ~ berbeda-beda jika dibandingkan dengan pengaruh internal. Tiddak terlalu penting menhetahui volume pengaruh ekesternal dan internal, tetapi yang jelas kedua-duanya, faktor internal dan eksternal berdialektika. Dalam penggunaan hak pilih terhadap calon, faktorfaktor eksternal ada di sekeliling para pemilih, seperti kampanye-kampanye, baik kampanye langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, lingkungan sosialnya, seperti keluarga, teman, atasan, dan lain-lain berpengaruh pula. Atau sebaliknya, bahkan yang bersangkutan bisa memegaruhi orang lain di sekitarnya. Kuswarno (2009 : 112) menyebutkan, konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann bahwa seseorang dalam mengembangkan suatu perilaku yang repetitive, yang mereka sebut “kebiasaan” (habit). Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi sesuatu secara otomatis. Kebiasaan ini berguna untuk orang lain. Perilaku, dalam perkembangannya kemudian, bisa berubah jadi kebiasaan secara kelembagaan, yang diikuti masyarakat. ~ 105 ~ Di sebuah kampung, seperti dimuat oleh sebuah televisi, terdapat spanduk yang berbunyi “menerima serangan fajar”. Foto 6 Di Sini Menerima Serangan Fajar http://www.jawaban.com Pada saat kampanye pemilihan umum, “serangan fajar” sudha dipahami secara umum sebagai “ serangan” tim kampanye atau calon kepada masyarakat pemilih agar mengubah pilihannya. “Serangan fajar” dimaksud adalah pemberian uang atau barang kepada masyarakat pemilih menjelang ke TPS. ~ 106 ~ Ketika sebuah masyarakat pemilih terbiasa dengan “serangan fajar”, dan selalu menunggu “serangan fajar”, karena menguntungkan, maka bisa terbentuk perilaku biasa (habitual behavior). Kuswarno (2010 : 112) membuktikan adanya habitual behavior dalam disertasinya dengan objek penelitian masyarakat pengemis di Kota Bandung. Teori konstruksi realitas secara sosial membuktikan adanya habitual behavior. Foto 7 Ada Uang Ada Suara, Menerima Serangan Fajar http://www.indahislam.com Kalau diukur dengan teori itu, maka sesungguhnya habitual behavior di kalangan pemilih bisa bermacammacam, ada yang habitual behavior-nya perilaku pemilih kritis, ideologis, tradisional, rasional, dan lain-lain. ~ 107 ~ Dalam sebuah kampus, misalnya, tidak mustahil terbentuk habitual behavior perilaku pemilih ideologis atau rasional, mengingat mereka terbiasa dengan segala kajian akademik. Di Kabupaten Lebak khususnya, habitual behavior terjadi di kalangan masyarakat penganut adat atau paham “olot” (pemangku atau pemuka adat). Termasuk dalam menentukan pilihana pada setiap pemilihan umum, termasuk juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, juga kepala desa, faktor “olot” jadi dominan. “Olot” jadi begitu sentral dalam menentukan arah kebijakan dalam kehidupan sehari-hari, yang akhirnya termasuk dalam menentukan pilihan politik. Perolehan suara oleh calon-calon tertentu sangat signifikan dan dominan karana “faktor” olot. Perlu ada kajian khusus dalam hal ini : apakah monoloyalitas tunggal itu masalah bagi demokrasi, atau memang ini sebagai kearifan lokal? Kalau kita mengikuti pemikiran Peter Ludwig berger dan Thomas Luckmann, maka perilaku pemilih di kalangan masyarakat penganut Tim paham “olot” itu merupakan kebiasaan (habit). ~ 108 ~ 4.3.1.2. Teori Tindakan Sosial Tim Peneliti ingin melihat pula perilaku pemilih dari perspektif tindakan sosial Max Weber. Inilah empat tipe tindakan sosial (http://khairulazharsaragih.blogspot.com) : a. Tindakan Rasionalitas Instrumental (zwerk rational) Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. b. Tindakan Rasional Nilai (werk rational) Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. c. Tindakan Afektif/Tindakan yang Dipengaruhi Emosi (affectual action) Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. d. Tindakan Tradisional/ Tindakan karena kebiasaan (Traditional Action) Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampong disaat lebaran atau Idul Fitri. Kalau dilihat dari teori tindakan sosial, dikaitkan dengan perilaku pemilih, maka tindakan rasional mendekati perilaku pemilih di kalangan penganut paham “olot” atau „pu‟un“ yang menganut paham monoloyalitas tunggal kepada pemuka adat. “Olot” atau “pu‟un” itu tidak harus ~ 109 ~ selalu dipahami berumur paling tua, atau lebih tua dari ratarata penduduk, tetapi memang karena jabatan dalam struktur adat. Usia “olot” atau “pu‟un” bisa jadi masih belia, tetapi dia begitu dihormati dan dipatuhi segala petuahnya karena memang jabatannya itu.Tidak terkecuali, ketika “olot” atau “pu‟un” ikut menggunakan hak pilihnya, maka pilihan mereka itu seakan jadi titah untuk para pengikutnya. Ini realitas, seperti hasil pemungutan perolehan suara suara (TPS) dalam di beberapa wilayah tempat masyarakat tradisional. Foto 8 Simulasi Penggunaan Hak Pilih di Desa Kanekes Foto : Media Centre KPU Lebak ~ 110 ~ Perilaku pemilih selengkapnya, sebetulnya, selain bisa dijelaskan oleh fenomenologi konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann, juga oleh fenomenologi Alfred Schutz, interaksionisme simbolik George Herbert Mead dan Herbert Blumer, dramaturgi Erving Goffman, dan manajemen komunikasi Michael Kaye. Tim Peneliti sebetulnya pula ingin menjelaskan perilaku pemilih itu dengan teori-teori seperti yang diseburtkan di atas. Namun, oleh karena keterbatasan waktu dsna tenaga, juga anggaran, maka penjelasaan perilaku pemilih dari teoriteori yangf sudah ditentukan semoga cukup memadai. Meski begitu, pada bagian-bagian Bab IV ini disinggung pula untuk sekadar melengkapi teori yang ada. 4.3.1.3. Teori komunikasi Massa a. Hypodermic Needle Theory Ada dua teori yang bertentangan dalam komunikasi masa menyangkut perilaku khalayak, yaknI hypodermic needle theory (teori jarum suntik) dengan tokohnya Wibur Schramm gratifications theory (teori dan uses & penggunaan dan pemenuhan kebutuhan) dengan tokohnya Elihu Katz, Jay G. Blumbler, dan Michael Gurevitch. ~ 111 ~ Teori jarum suntik, seperti halnya jarum suntik yang menembus tubuh pasien, tidak bisa dicegah karena memang disuntikkan, dan pasien pasif tidak berdaya mencegahnya. Itulah analogi teori jarum suntik jika dikaitkan dengan pesan yang diterima khalayak. Masyarakat fasif, sdan menerima begitu saja suntikan, termasuk “suntikan” informasi media massa. Gambar 15 Ilustrasi Teori Jarum Suntik https://torajoypatrick.wordpress.com Mereka tidak berdaya. Pesan terlalu besar media massa karena memiliki powerful effect (efek yang dahsyat) dan tidak terbatas (unlimited effect) pula. ~ 112 ~ Teori yang sejalan dengan teori ini, misalnya, bullet theory, agenda setting theory, spiral of silence theory, cultivation theory, dan functional theory. Menurut teori-teori ini, khalayak itu pasif, homogen, dan undifferentiated mass. b. Use and Gratification Theory Berbeda dengan teori jarum suntik, justru teori penggunaan dan pemenuhan kebutuhan (use and gratification theory) yang justru menganggap khalayak itu aktif. Teori yang senafas dengan teori ini adalah dependency theory, two step theory, dan lainlain. Skema 6 Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan \ http://www.rdillman.com ~ 113 ~ Dalam teori ini diuraikan bahwa masyarakat punya selektivitas yang tinggi. Pemirsa televisi bisa tiba-tiba mengganti siaran televisi, berpindah ke saluran televisi yang lain manakala siaran yang sedang ditontonnya tidak memenuhi kebutuhan dirinya. Hal yang sama akan berlaku pula bagi siaran radio atau media massa cetak. Kalau dikaitkan dengan perilaku pemilih, maka berdasarkan teori ini, pemilih bisa saja berganti haluan, memilih calon yang lain atau partai politik yang lain ketika calon atau partai politik itu tidak memenuhi kebutuhan dirinya. Setiap orang bebas memindahkan saluran televisinya, sebagaiamana setiap orang bebas ketika menentukan pilihan terhadap calon atau partai politik. Para calon atau partai politik berlomba-lomba menggunakan media massa untuk kampanye dan kemenangannya terutama media massa elektronik seperti televisi, sangat efektif untuk kebutuhan kampanye, selain karena faktor kecepatan, juga penyebaran yang lebih luas. ~ 114 ~ c. Two Step Flow Theory Di antara dua teori di atas, tampaknya, teori dua tahap (two step flow theory) jadi jalan tengah, yang mengakui teori jarum suntik (hypodermic needle theory) dan dan membernarkan pula teori penggunaan pemenuhan kebutuhan (teori use and gratification theory) Adalah Paul Razalsfeld dan kawan-kawannya melakukan penelitian efek media massa pada pemilu presiden Amerika Serikat tahun 1940. Hasilnya, ternyata pengaruh media massa rendah, meski memang ada, tetapi tidak se-dahsyat yang digambarkan hypodermic needle therory sebagai powerful effect (efek dahsyat ) dan unlimited effect (efek yang tak terbatas) Maka, atas dasar hasil penelitianya itulah, Paul Razalsfeld mengajukan gagasan teori komunikasi dua tahap (two step flow theory) dan gagasan pemuka pendapat (opinion leader). Bahwa memang media massa punya efek, tetapi kemudian efek akan begitu kuat, signifikan, ~ 115 ~ dan berpengauh besar ketika disampaikan lagi secara kelembagaan atau melalui pemuka pendapat (tokoh). Seberapa jauh pengaruh media massa, baik cetak atau elektronik terhadap pemilih pada saat-saat kampanye sampai mereka memutuskan calon atau partai politik pilihannya di tempat pemungutan suara (TPS), tentu masih bisa diteliti. Skema 7 Teori Dua Tahap http://tukangteori.com Sebagaimana Paul Lazarsfeld yang melakukan penelitian pada pemilu presiden Amerika Serikat tahun 1940, yang kemudian melahirkan teori baru dalam komunikasi massa. ~ 116 ~ Bukan tidak mustahil, hasil penelitian di Indonesia akan berbeda, terutama setelah lahir trend baru zaman sekarang : media darling dan mass media enemy, setelah melewati rentang masa 70-an tahun. Sampai saat ini, Republik Indonesia sudah berhasil melaksanakan tiga kali pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. 4.3.1.4. Perilaku Politik Tentang perilaku politik http://id.wikipedia.org menulis : “Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti (1992 : 131), mengemukakan bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya. Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. ~ 117 ~ Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu ( Fadillah Putra, 2003 : 200 ). Sedangkan sikap politik adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Gambar 16 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 www.kpu.go.id ~ 118 ~ Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat” 4.3.1.5. Perilaku Pemilih Soal perilaku politik, htttp://id.wikipedia.org Menulis, : Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan ( Fadillah Putra , 2003 : 201 ). Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas ( status sosial ), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan (Gaffar, Affan, 1992 : 43 )” “ ~ 119 ~ 4.3.1.6. Perilaku Calon Hasil wawancara dengan sejulah informan menunjukkan bahwa banyak para wakil rakyat yang mengecewakan masyarakat pemilih karena tidak lagi berkomunikasi secara intens sabagimana ketika sebelumnya mereka melancarkan kampanye. Hukuman untuk mereka, tidak akan dipilih kembali ketika pada pemilu yang akan datang jadi calon lagi. Mereka membandingkan, pada saat-saat tahapan pemilu, undangan selalu dihadiri, kapan pun dan di mana pun. Tetapi setelah terpilih, banyak undangan yang tidak dihadirinya, padahal sangat ditunggu. Pemilih yang seperti itu masih lebih bagus karena hanya akan memindahkan pilihan, dari calon yang dianggap mengecewakan kepada calon yang memberi harapan. Para informan menyampaikan pula, tidak sedikit di antara warga yang tidak akan menggunakan hak pilihnya lagi karena kecewa terhadap calon yang dipilihnya. Mereka dari kalangan yang berpengalaman menggunakan hak pilihnya. ~ 120 ~ sudah Kekecewaan seperti di atas jadi ancaman bertambahnya golongan putih (golput), yang bisa berakibat lebih jauh yakni menurunnya partisipasi pemilih yang justru “diperangi” KPU. Pada pemilu tahun 2014 kemarin, khusus untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, justru KPU merekruit relawan demokrtasi se-Indonesia, dengan tujuan utama naiknya partisipasi pemilih setelah menurun dari pemilu ke pemilu terakhir ini. Untuk meningkatnya partisipasi pemilih, di samping gencar dilakukan sosialisasi, juga harus ada partisipasi aktif dari partai politik atau para calon yang terpilih di daerah pemilihan masing-masing khususnya. Adanya masyarakat komunikasi pemilih memungkinkan dan yang calon terbinanya aktif antara terpilih sangat hubungan baik antarkedua belah pihak, sehingga berimbas pada keinginan kembali menggunakan hak pilih kalau ada pamilu lagi. Kata kunci dalam hal ini ada pada diri calon. Jadi calon yang aktif dan komunikatif, yang tidak saja ~ 121 ~ bersama-sama dengan masyarakat pemilih saat berkampanye, tetapi juga bersama-sama pascaterpilih. Inilah yang paling penting. Beberapa informan di enam daerah pemilihan merindukan wakil rakyat yang seperti itu. Gambar 17 Kritis - Pilih Tagih Janjinya http://nasional.tempo.co ~ 122 ~ ~ 123 ~ ~ 124 ~ ~ 125 ~ ~ 126 ~ ~ 127 ~ Di samping itu, beberapa informan menyampaikan pula kepuasaan mereka terhadap para calon yang dulu dipilihnya. Dengan seringnya berkunjung ke daerah pemilihan, adanya sambung rasa pada waktu-waktu tertentu, dan penampungan aspirasi yang ditindaklanjuti, adalah peneguhan akan memilih kembali kalau jadi calon lagi pada pemilihan umum yang akan datang. 4.3.2. Pemilu dan Perilaku Pemilih dari Perspektif Informan Tim Peneliti, sebagaiman sudah disebutkan pada bab III, mengumpulkan pula (narasumber), berupa bahan penelitian dari para informan serangkaian pertanyaan yang satu sama lain berhubungan. (Lampiran 12) Jawaban-jawaban penegasan, penjelasan, itu penting, selain sebagai konfirmasi, pembanding, atau mungkin pula pembanting, juga untuk pengayaan hasil penelitian. 4.3.2.1. Bupati Kabupaten Lebak Bupati Kabupaten Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya, S.E., M.M. punya dua jabatan politis, sebagai ketua Partai Demokrat Kabupaten Lebak dan sebagai Bupati Kabupaten Lebak terpilih untuk masa jabatan 2014 – 2019. ~ 123 ~ Dalam kapasitasnya sebagai bupati, Hj. Iti wajib melayani warga se-Kabupaten Lebak seutuhnya, dengan mengabaikan latar belakang partai politik masing-masing. Atau pemilukada pelayanan warga yang tidak memilihnya pun pada tahun 2015 lalu, berhak mendapatkan yang adil dari Pemerintah Kabupaten Lebak, yang bupati-nya Hj. Iti tersebut. Termasuk ketika menyerukan agar warga desa mengggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepala desa (pilkadfes) serentak di 250-an desa se-Kabupaten Lebak, Hj. Iti tampil sebagai bupati. Pada acara pembekalan hampir 1.000 calon kepala desa, dipusatkan di Gedung Sakinah, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, akhir Juni 2015 lalu, Hj. Iti menyerukan warga desa agar menggunakan hak pilihnya itu secara bebas dan cerdas, tidak boleh takut oleh siapa pun. Pemerintah Kabupaten Lebak tidak boleh dan tidak akan pernah menjadi juru kampanye atau pendukung calon kepala desa mana pun. “Warga desa punya kebebasan penuh untuk menentukan pilihannya,” kata Hj. Iti. Hj. Iti pun mengingatkan agar warga desa yang punya hak pilih dijamin haknya, terdaftar dalam daftar pemilih ~ 124 ~ pilkades. Pemilih itu sendiri basisnya dari penduduk. Memutakhirkan data pemilih di tingkat desa lebih mudah. Hj. Iti menginstruksikan agar Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lebak bekerja lebih baik, lebih professional untuk melayani kepentingan dokumen kependudukan warga Kabupaten Lebak. Jangan ada lagi bahasa, butuh KTP kalau maaui bekerja di kota misalnya. Untuk menghadapi pemilihan gubernur dan wakil bubernur Provinsi Banten, awal tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Lebak akan menyiapkan data penduduk lebih baik lagi, terlebih-lebih karena nanti akan jadi basis pemilih pada pemilu gubernur dan wakil gubernur tahun 2017 tersebut. “Kami yang menyediakan daftar penduduk dan sekaligus daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP-4),” kata kata Hj. Iti. Untuk memastikan jumlah pemilih, maka kewenanangannya ada di KPU Kabupaten Lebak, setelah melalui prosesi pemutakhiran data dan daftar pemilih, sehingga jadi daftar pemilih tetap. Hj. Iti memahami pula, bahwa jumlah penduduk pun harus tepat karena akan digunakan pula persyaratan jumlah dukungan untuk calon perseorangan pada pemilu gubernur ~ 125 ~ dan wakil gubernur Provinsi Banten. Jumlah penduduk seProvinsi Banten berupa hasil rekapitulasi dari jumlah penduduk kabupaten dan kota se-Provinsi Banten. Pentingnya kartu tanda penduduk (KTP) pun terus dikampanyekan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. KTP dapat digunakan untuk penggunaan hak pilih, meski masih terbatas hanya di TPS setempat. Pemerintah Kabupaten Lebak tidak akan mengidentifikasi macam-macam perilaku pemilih karena tidak adar relevansinya dengan tugas seorang bupati. Satu hal yang diyakini Hj. Iti, setiap orang yang punya hak pilih, lalu menggunakan hak pilihnya, maka macam motif atau faktor-faktor akan bermacamyang mendorong penggunaan hak pilihnya itu. “Sebagai bupati, harapan saya sama dengan yang lain, warga Kabupaten Lebak harus jadi pemilih yang cerdas, pemilih yang berkualitas, dengan kebebasan menggunakan hak pilih sebagaimana kata hati dan suara hati. Kabupaten Lebak punya tradisi angka partisipasi pemilih yang cukup tinggi, dan harus dipertahankan,” kata Hj. Iti. Netralitas Pemerintah Kabupaten Lebak harus tampak dan terasa di kalangan masyarakat pemilih. Oleh karena itu, ~ 126 ~ KPU punya peraturan-peraturan untuk seorang kepala daerah yang mau jadi juru kampanye politik. Ada peluang memang untuk mengekspresikan diri yang bersangkutan sebagai politisi, meski sebetulnya sudah jadi pejabat publik. Pemerintah Kabupaten Lebak, dalam menyukseskan beberapa kali pemilu, selalu bekerja sama dengan KPU Kabupaten Lebak, misalnya, dalam pelaksanaan sosiali dan simulasi. Pemerintah Kabupaten Lebak membantu pula penyaluran logistik pemilu, dengan menyediakan fasilitas kendaraan dinas terutama ke daerah-daerah terpencil. Gedung KPU Kabupaten Lebak, awal Agustus 2015 ini akan dibongkar, jadi gedung perpustakaan berlantai 3, dengan anggaran miliaran rupiah dari APBD Provinsi Banten. Pemerintah Kabupaten Lebak menyediakan fasilitas sementara, Gedung Badan kepegawaian Daerah (BKD) yang telah dikosongkan sebelumnya. Kantor KPU Kabupaten Lebak yang permanen, rencananya, di gedung bekas Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Lebak, di Jalan R.T. Hardiwinangun, Rangkasbitung, tidak jauh dari kantor lama. ~ 127 ~ Disporabudpar sendiri suduah pindsah ke kawasan perkantoran Pasirona, Rangkasbitung. Pemerintah Kabupaten Lebak menyediakan tanah pula seluas 3.000 meter persegi, di Kandangsapi, Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, untuk kepentingan kantor KPU Kabupaten Lebak. Semua fasilitas yang diberikan Pemerintah Kabupaten Lebak kepada KPU Kabupaten Lebak itu sebagai wujud dukungan nyata, seperti kata Asisten Sekretaris Daerah III, Ir. Hj. Virgojanti, M.Si., yang mewakili Bupati Lebak, ketika berkunjung ke KPU Kabupaten Lebak, jelang pengosongan Kantor KPU Kabupaten Lebak. KPU Kabupaten Lebak sendiri, memang, hanya bisa netral dalam sikap, bukan dalam fasilitas. Meski begitu, tidak netral dalam fasilitas ini di-halal legal-kan. Badan penyelenggara pemilu di setiap kecamatan (PPK), misalnya, jelas-jelas menggunakan fasilitas kecamatan, seperti kantor dengan segala meubelair-nya, dan itu diperbolehkan. Soal pemilu secara elektronik (e-voting) Hj. Iti pada dasarnya setuju kalau memang akan diterapkan oleh KPU. Harus ada sosialisasi dan simulasi yang cukup matang ~ 128 ~ sebelumnya agar penggunaan hak pilih tidak sia-sia. Teknologi informasi dan komunikasi memang merambah pula ke urusan administrasi politik, yang dalam hal ini pemilihan umum. Kalau e-voting, pasti tidak ada pencoblosan, tetapi mungkin sentuhan, layar komputer bergambar calon disentuh (touch screen) oleh pemilih, dan itu lebih modern. Kita sebetulnya sudah terbiasa dengan touch screen itu, misalnya, ketika kita menyentuh layar telepon genggam (telgam) kita. Touch screen saja, sesungguhnya, sudah jadi bagian perilaku kita ketika berkomunikasi. (Lampiran 13) Masyarakat wawancara pemilih dengan menginginkan di Tim e-voting kota pun, Peneliti, (pemilihan seperti banyak electronik) hasil yang karena memang lebih praktis dan lebih murah, terkesan modern lagi, sambil kebebasan dan kerahasiaan pemilih tetap terjaga. Tetapi mereka masih diterapkan di daerah-daerah belum yakin kalau bisa terpencil karena akan berhadapan dengan hambatan-hambatan teknis. Kalau belum bisa semuanya, di daerah perkotaan, di setiap ibu ~ 129 ~ kota kecamatan, mungkin bisa dicoba. “Harus dicoba dan ada uji coba dulu,” kata mereka. 4.3.2.2. Ketua DPRD Kabupaten Lebak Ketua DPRD Kabupaten Lebak, Junaedi Ibnu Jarta, mengamati perilaku pemilih di kota dan di desa. Berdasarkan pengamatan dan sekaligus pengalamannya, ternyata ada perbedaan karakteristik, ada perbedaan perilaku. Di desa, masyarakat pemilih cenderung kompak karena monoloyalitas (kesetiaan tunggal) kepada tokoh masyarakat masih begitu tinggi. Ibnu Jarta mendengar adanya money politic oleh calon-calon tertentu, tetapi baginya itu tidak berpengaruh besar. Ibnu Jarta yakin, kharisma seorang tokoh masyarakat cukup kuat, dan mampu mengalahkan money politic. Asal tahu saja, Ibnu Jarta sendiri berbasiskan kampung, dari sebuah desa sejuk pedalaman Kecamatan Sobang. Perilaku pemilih di kota-kota, hasil pengamatan Ibnu Jarta pula, ternyata cenderung individualistik. Tokoh masyarakat tidak berpengaruh besar seperti di desa-desa. Perilaku pemilih di kota cenderung mempertahankan integritas. ~ 130 ~ rasional dengan Mereka berdikusi, membaca media massa, mengamati perilaku calon, mengikuti kampanye, dan lain-lain sebelum memutuskan pilihannya. Ibnu Jarta, ketika melakukan kampanye ke daerahdaerah, mengaku sering ditanya soal sejumlah calon yang terpilih, kemudian perlahan-lahan meninggalkan pemilihnya. Ibnu Jarta menyayangkan, memang, dan itu hanya akan menyebabkan masyarakat pemilih tidak mau memilihnya kalau kemudian yang bersangkutan jadi calon lagi. Calon seperti ini, hemat Ibnu Jarta, yang paling membahayakan adalah Ancaman jadi mencederai proses demokrasi. golongan putih (golput)., yang kemudian akan berakibat jadi ancaman turunnya angka partisipasi pemilih. KPU Kabupaten Lebak khususnya, sangat berkepentingan dengan angka partisipasi pemilih. Ibnu Jarta pun mengaku sering pula mendapatkan laporan adanya calon yang tetap bersama masyarakat pemilih setelah para calon terpilih lagi. Ini cukup menggembirakan. Banyak cara yang dilakukan anggota DPRD Kabupaten Lebak sekarang untuk tetap bersilaturahim dengan masyarakat yang memilihnya tempo hari. ~ 131 ~ Ada yang tetap mengontak warga dengan masyaraikat pemilih di daerah pemilihannya, ada yang bersilaturahim dengan masyarakat pemilih pada waktuwaktu tertentu, seperti menjelang Idulfitri sekarang ini. Hubungan baik yang berkelanjutan antara calon dan pemilih, disadari atau tidak disadari, perelahan-lahan jadi internalisasi di kalangan masyarakat pemilih karena merasa puas dengan calon yang dipilihnya itu. Sedikitnya, Internalisasi itulah yang kemudian membentuk perilaku pemilih, setelah adanya proses dialektika ekseternal dan internal sebagaimana ditunjukkan oleh teori konstriksi realitas secara sosial model Peter Ludwig Berger dan Thomas Luqmann. Seorang tokoh yang diidolakan, akan diikuti oleh orang yang mengidolakannya itu, sehingga sikap dan pemikirannya mengikuti tokoh yang diidolakannya itu. Inilah bentuk internalisasi oleh orang yang mengidolakannya itu, yang dalam hal ini dilakukan oleh santri terhadap kiainya. Internalisasi itu sering tampak dengan mengutip kembali ajaran atau nasihat kiainya, seperti dalam pengajian atau ceramah, atau ketika sedang mengajar santri yang lebih junior. ~ 132 ~ Di banyak daerah pemilihan, wakil rakyat itu dijadikan tokoh, dijadikan idola, sehingga masyarakat pemilih, disadari atau tidak disadari, telah melakukan internalisasi. Pribahasa Arab menyebutkan, “Anta ma‟a man ahbabta” (Kamu bersama-sama (ber-internalisasi) dengan orang yang kamu sukai). (Lampiran 14) 4.3.2.3 Ketua MUI Kabupaten Lebak a. Perilaku Kiai dan Perilaku Santri Kehidupan pesantren yang sarat dengan pendidikan agama dan hidup bersama-sama kiai di lingkungan pesantren menyebabkan terbentuknya komunitas sendiri sebagai masyarakat pesantren dengan segara ciri dan caranya mereka bersosialisasi dan berkomunikasi. Pola hubungan dan komunikasi mereka tidak sama dengan pola hubungan dan komunikasi guru dan peserta didik di sekolah-sekolah negeri atau swasta. Para santriwan dan santriwati yang sudah berumur 17 tahun, juga para guru dan kiai jadi sasaran kampanye para calon atau partai politik. Sudah lumrah, tokoh politik atau ~ 133 ~ para calon berkunjung ke pesantren dengan maksud-maksud politik. Para santriwan dan santriwati cenderung memilih calon yang dipilih oleh kiai sebagai pengasuh atau pengendali pondok pesantren. ungan kiai dan santri di manapun. Foto 9 Santri Zaman Dulu Foto : http://fiqhmenjawab.blogspot.com Baik ada perintah lisan atau tidak ada perintah lisan, para santriwan dan santriwati sudah memahami “arah angin” kiai mereka. Beberapa kiai, dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten ~ 134 ~ Lebak, tahun 2013 lalu, malah ikut jadi bagian tim kampanye pasangan calon tertentu. Kalau para kiai disebut udah terfragmentasikan ke dalam “sekat-sekat” politik praktis, itu memang realitas di Kabupaten Lebak khususnya. Kalaupun santriwan dan santriwati tidak memilih calon yang sama, atau pilihan antarkiai pun belum tentu sama, tetapi kiai dan santri ada pada perilaku yang sama : perilaku ijtihad, dengan ajakan dan ajaran: bahwa memilih pemimpin itu ibadah. Oleh karena itu, para santriwan dan santriwati dianjurkan membaca bismillah sebelum mencoblos surat suara. Perintah inilah yang dipatuhi mereka, meski belum tentu memilih calon yang dianjurkan kiai. Soal kepemimpinan dan memilih pemimpin dalam perspektif Islam, Faisal menulis (2015 : 143 144), kepemimpinan dalam konsep Islam sebagai sebuah konsep interaksi,relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi, baik secara horizontal maupun vertikal. ~ 135 ~ Dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan. Masih menurut Faisal, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan AlQur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Kepemimpinan Islam sudah merupakan fitrah sebagai manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan Islami. Dari “ijtihad” Faisal itu, sekurang-kurangnya ada tiga rumusan kunci kiai dalam memimpin dan kepemimpinan, yakni kiai adalah pemimpin, AlQur’an dan Hadis sebagai dasar usaha kerja sama, dan kepemimpinan merupakan fitrah. Maka, atas dasar semua itu, kalau ada kiai yang menyadari fungsi dan kedudukannya seperti itu, lalu terjun ke dunia politik praktis, akan sangat masuk akal. Fungsi mengarahkan, memengaruhi, dan mengkoordinasikan lebih tepat ditempuh melalui jalur politik praktis, bahkan oleh para kiai, setidak- ~ 136 ~ tidaknya untuk saat ini. Meski para kiai tidak menjadi calon, tetapi setidak-tidaknya sudah berbuat untuk yang dicita-citakannya. Para kiai punya dalil teori hukum Islam, “maa laa yudrakukulluhu laa yutraku kulluhu” (Kalau tidak bisa meraih semua, jangan ditinggalkan semua). Logikanya, kalaupun tidak jadi calon, maka untuk tahap pertama jadi pendukung calon saja dulu, demi dan untuk usaha mempengaruhi, mengarahkan, dan mengkoordinasikan, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Hasil “ijtihad” Faisal itu idealnya memang seperti yang dikemukannya, yang lengkap dibahas secara dalam bukunya yang terbaru, Sosiologi Politik. Tetapi, di lapangan, malah sering terjadi “Das Sein” dan “Das Sollen”. Di lingkungan pesantren khususnya, terkenal istilah ijtihad, yakni menentukan putusan (hukum) berdasarkan hasil pemikiran dengan rujukan pokok Alquran dan Assunnah. Sejumlah kiai di pesantren-pesantren tidak mengarahkan atau mengerahkan pilihan kepada ~ 137 ~ calon atau partai politik tertentu, tetapi mengajarkan ijtihad itu tadi. Para kiai ingin para santriwan dan santriwatinya jadi pemilih cerdas dari perspektif kesantri-an. Para kiai tidak mengkhawatirkan ijtihad, sebab para santriwan dan santriwati sudah bisa melakukannya sendiri-sendiri dengan bekal kitab klasik Islam yang mereka kaji. Definisi ijtihad dalam kitab klasik Islam adalah “badzlu „l-wus‟I fii nayli hukmin syar‟iyyin bi thariiqhati „l-istinbaathi mina „l-kitaabi wa „s-sunnati” (pengerahan kemampuan untuk mendapatkan kepastian hukum syara, dengan cara istinbat (mengambil pelajaran dari dalil) yang bersumber pada Alquran dan Assunnah). Ijtihad, kalau betul akan berpahala dua kali : pahala ijtihadnya (proses berpikirnya) dan betulnya ijtihad. Kalau salah, maka berpahala satu, pahala ijtihadnya saja. Dengan demikian, jadi seorang pemikir (mujtahid), tidak ada ruginya, bahkan masih tetap dihargai ketika hasil ijtihadnya keliru. ~ 138 ~ Para santriwan dan santriwati tidak khawatir, menggunakan hak pilih yang yang diniatkan ibadah tidak akan mubazir : akan tetap berpahala, meski keliru, seperti isi hadis dari Amr bin Ash yang dicatat dua pakar hadis terkemuka : Imam Al- Bukhary dan Imam Muslim. Bahkan, ketika santriwan atau santriwati tidak menggunakan hak pilihnya, dan hanya masuk ke tempat pemungutan suara (TPS), atas dasar ijtihadnya itu, maka akan tetap berpahala : satu pahala atau dua pahala. Hadis Amr bin Ash itu berbicara tentang hakim, yang memutuskan perkara. Ada hadis lain yang bukan urusan putusan hakim, tetapi urusan tayammum (bersuci, pengganti wudu/mandi), yang kemudian dibawa kepada Nabi Muhammad S.A.W. Kedua sahabat itu, Ammar bin Yasir dan Umar bin Khattab. Kedua-duanya berijtihad, dan Nabi Muhammad S.A.W. menunjukkan cara tayammum yang benar sebagai pengganti mandi janabat (mandi basah untuk seluruh tubuh, mislanya setelah bersebadan dengan istri). ~ 139 ~ Kedua sahabat itu memang berbeda pendapat mengenai cara sebelumnya tayammum pengganti mandi janabat. Ada ijtihad di sini. Mereka sama-sama mendapat pahala. Bedanya, seorang dapat satu pahala, sedangkan yang lain dapat dua pahala. b. Pemilu dan Imamah Jabatan Rasulullah S.A.W. itu ada dua, sebagai utusan Allah (rasul) dan sebagai kepala negara. Untuk jabatan rasul, tidak ada gantinya, dan tidak boleh diganti karena berdasarkan ayat Alquran dan hadis sahih, bahwa Nabi Muhammad S.A.W. itu sebagai rasul terakhir. Allah S.W.T. tidak akan mengutus rasul baru, nabi baru, baik nabi kecil atau apalagi nabi besar, sampai hari kiamat. Untuk mengganti Nabi Muhammad S.A.W. sebagai kepala negara, diadakan pemilihan, meski tidak melibatkan seluruh rakyat, kecuali sejumlah sahabat Nabi Muhammad S.A.W. Abdurrahman bin Abi Kuhafah bin Amir, atau lebih dikenal dengan nama Abu Abu Bakar, terpilih kali pertama sebagai ~ 140 ~ pengganti Nabi Muhammad S.A.W. dalam kepemimpinan umat, dan bukan menggantikannya sebagai rasul. Untuk seorang khalifah, tidak ada masa jabatan. Khalifah yang empat ini kemudian dikenal dengan khulafaa‟ gelar ur-Raasyidiin (empat khalifah yang terbimbing), sekaligus jadi model kepemimpinan dalam pemerintahan Islam, yang dikenal dengan kepemimpinan khilafah. Sedangkan Muhammad pemerintahan S.A.W. zaman disebut Nabi pemerintahan nabawiyah (kenabian), karena Nabi Muhammad S.A.W. tidak bertanggung jawab kepada siapa pun, kecuali kepada Allah S.W.T. Tentang model pemerintahan Islam yang dikaitkan dengan sistem pemilihan kepala negara, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak, Achmad Syatibi Hambali, memandangnya sebagai salah satu sistem saja. Kata Achmad sepenuhnya Syatibi, “Meknisme pemilihan diserahkan ~ 141 ~ pada kesepakatan masyarakat dengan mempertimbangkan al- mashalahah al-„ammah (kebaikan bersama). Jika pemilihan langsung di negeri ini dinilai sebagai model pemilihan terbaik, karena tidak lagi membeli kucing dalam karung, dan itu disepakati bersama, maka itu dalam pandangan Islam juga baik-baik saja. Jika nyatanya prosesnya, maka ada kekurangan semestinya dalam kekurangan- kekurangan itu terus diperbaiki untuk mendapatkan kualitas pemilihan yang lebih baik lagi” Soal perilaku pemilih di kalangan pesantren Achmad Syatibi melihatnya unik karena hubungan erat kiai dan santri berpengaruh pula pada bidangbidang di luar ke-pesantren-an, seperti pemilihan umum. Para santri dengan sendirinya mengikuti jejak kiainya karena pilihan kiai pastilah hasil perenungan mendalam hasil ijithad yang dinilai lebih baik dari ijtihad santri-santrinya. Achmad santriwan Syatibi sendiri santriwatinya ~ 142 ~ atau tidak menyuruh alumninya agar memilih calon tertentu karena khawatir disebut melanggar hak asasi manusia. Para santriwan dan santriwati sudah dewasa melatih diri menentukan pillihan yang terbaik dari cara pandang dan ciri pandang seorang santriwan atau santriwati. Achmad Syatibi tidak menampik adanya kiai yang sengaja membuat fatwa untuk memilih calon tertentu kepada santriwan dan santriwati serta para alumniya. Itu pun dinilai sebagai wilayah hak asasi kiai. Seorang tokoh ulama, Zainuddin Amir, melihat peran kiai sangat sentral di daerah-daerah tertentu karena ikut aktif membangun citra baik calon yang diusungnya, dan cukup berpengaruh kepada masyarakat pemilih. Kata Zainuddin, “Masyarakat pemilih mengikuti saja anjuran-anjuran tokoh-tokoh tertentu. Kabar positif tentang calon mereka terima dari tokoh, dan itu jadi acuan,” kata Zainuddin. Jika kebutuhan dikaitkan dengan pemenuhan dan (use and gratification theory), maka itulah contoh kongkretnya. ~ 143 ~ Pesan-pesan yang disampaikan pemuka adat cukup ampuh di tengahtengah perdebatan teori jarum suntik ( hypodermic needle theory) dan teori dua tahap (two step flow theory). Para tokoh masyarakat yang ikut berkampanye untuk memilih calon-calon tertentu dinafikan, justru kharismatik datang dari tidak bisa sejumlah yang kemudian membentuk kiai pula perilaku pemilih, baik disadari mapun tidak disadari. Peran kiai dalam pembentukan perilaku pemilih di kalangan pesantren cukup besar, mengingat kharisma atau wibawa mereka cukup besar pula. Soal calon yang harus dipilih menurut ajaran Alquran dan Asunnah sudah ditentukan, sebagaimana bunyi Alquran dan Asunnah. Soal ketaatan kepada pemimpin, dalam Alquran dan Asunnah pula, sesuatu yang mutlak. Kepemimpinan dalam Islam, dan syarat siapa saja yang pantas jadi pemimpin, dalam lingkup kecil saja diajarkan dalam praktik salat berjamaah. Di situ diajarkan pula tentang syarat-syarat jadi imam. ~ 144 ~ Cara menegur imam ketika melakukan kesalahan pun diatur, seperti adanya ucapan subhaanallah oleh makmum menepuk tangan oleh makmum laki-laki atau perempuan. Kedua cara itu sama : untuk meluruskan imam yang keliru. Tesis Ramli Kabi’ Ahmad Shiddiq Abdurrahman berjudul (dalam bahasa Indonesia), “Bai’at dalam Sistem Politik Islam dan Aplikasinya dalam Kehidupan Politik Kontemporer” (kini telah dijadikan buku) mencatat syarat imam (pemimpin) meliputi (a) Islam, (b) memiliki ilmu yang dapat menghantarkan seseorang kepada ijtihad dalam perkara-perkara yang pelik dan berkenaan dengan masalah-masalah hukum, (c) adil dalam segala aspeknya, (d) kematangan mental dan kesemaptaan fisik, (e) pengalaman politik, (f) pria, dan (g) Berasal dari keturunan suku Quraisy. Para pakar politik Islam sepakat, Abu Bakar Ah-Shiddiq terpilih berdasarkan pemilihan, meski tidak dengan melibatkan seluruh umat Islam. Dalam literatur politik Islam, dikenal dengan nama ahlu „l-halli wa „l-aqdi, yang secara bebas bisa ~ 145 ~ diterjemahkan atau disamakan dengan majlis perwakilan rakyat. Ahlu „l-halli wa „l-„aqdi inilah yang memilihnya. Indonesia sempat punya ahlu „l-halli wa „l-aqdi, yang antara lain ditugasi memilih imam (presiden). Foto 10 Salat Berjamaah, Contoh Kepemimpinan www.google.com Mazhab Sunny sepakat, mengangkat imam adalah fardlu kifaayah (cukup diwakilkan saja), dengan dipandu oleh ahlu „l-halli wa „l-aqdi (Abdurrahman, 1993 : 121). Kelompok Muktazilah (aliran Rasionalisme dalam Islam) dan kelompok Khawarij (sempalan pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib) menyepakati ahlu „s-sunnah (mazhab Sunny) ini. ~ 146 ~ Tetapi kemudian terjadi perdebatan apa siapa sebetulnya ahlu „l-halli wa „l-aqdi itu? Ada yang menyebut ahli memilih pemimpin (ahlu „l-ikhtiyar), juru runding (ahlu „sy-syuura), dan pakar ijtihad (ahlu „lijtihad). Bahkan, ada yang menyebut, ahlu „l-halli wa „laqdi itu sebagai lembaga pemilihan imam. Hal yang disepakati oleh para ilmuwan politik Islam, ahlu „l-halli wa „l-aqdi adalah para elit umat dari berbagai kalangan. Tim Peneliti tidak akan membahas lebih jauh tentang ahlu „l-halli wa „l-aqdi ini karena tidak relevan dengan penelitian. Banyak perdebatan, buku, dan hasil kajian mengenai relasi negara dan agama, Islam : agama dan negara, dan seterusnya. Semua pembahasan itu mesti saja menyentuh wilayah pemilihan imam. (Lampiran XV) 4.3.2.4 Analis Politik dan Perubahan Sosial Ada perubahan yang cukup penting di kalangan masyarakat pemilih pada zaman Reformasi sekarang ini jika ~ 147 ~ dibandingkan dengan situasi masyarakat pemilih pada zaman Orde Baru. Analis politik dan perubahan sosial, Agus Sutisna, melihat perubahan itu dari sisi status pemilu pada kedua zaman tersebut. Status pemilu zaman Orde Baru lebih cenderung sebagai “kewajiban” daripada hak (warga negara). Secara formal, memang, ketika itu pun status pemilu sama seperti sekarang, sebagai hak (warga negara). Tetapi, itu seperti jadi hak penguasa, dan sekaligus “kewajiban” penguasa berperan dari menjadi penyelenggara pemilu tersebut. Bagian terakhir inilah yang kemudian direformasi total dengan mengamandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang kemudian diikuti dengan kelahiran undangundang penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dan independen. Undang-undang Pemilihan Umum inilah yang (KPU), melahirkan KPU Komisi Provinsi/KPU Kabupaten/Kota, dan PPK, PPS, dan KPPS sebagai badan penyelenggara pemilu (lembaga penyelenggaraan tahapan pemilu). ~ 148 ~ adhoc saat Pemilu kali pertama yang diselenggarkan oleh KPU, tahun 2004, yakni pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sekailgus pula, ketika itu, pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat – tidak lagi oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meski kemudian tidak ada lagi “penggiringan- penggiringan” dari penguasa, lambat laut muncul The Local Strongmen terutama dalam penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan kepala daerah. Bahkan, terakhir, muncul istilah politik dinasti. Belum ada penelitian, apakah kelahiran The Local Strongmen dan politik dinasti itu, baik langsung maupun tidak langsung, apakah sebagai dampak otonomi daerah atau bukan, masih harus diteliti. Khusus yang berhubungan dengan perilaku pemilih, kebebasan yang mereka peroleh sangat besar, dan tidak perlu lagi takut kepada penguasa di daerah. Bahkan, mereka bisa terang-terangan berseberangan dengan penguasa setempat. Sutisna menguraikan tentang perilaku pemilih sebagai berikut, : “Secara umum, sekali lagi, saya melihat bahwa para pemilih di Lebak sudah semakin otonom sebagai ~ 149 ~ pemegang hak pilih, otonom dari kekuatan negara. Dalam arti bahwa pemilih tidak lagi merasa harus menyesuaikan pilihan politiknya dengan representasi negara (Bupati dan aparat birokrasi). Sayangnya, otonomi politik ini belum disertai dengan kesadaran penuh perihal arti penting suara yang mereka miliki dalam kaitannya dengan kepentingan mereka sebagai warga negara di kemudian hari. Akibatnya sebagai pemilih, secara umum warga Lebak belum sepenuhnya menjadi pemilih yang cerdas dan rasional. Preferensi politik mereka dalam setiap kali pemilu, termasuk pemilu terakhir 2014 kemarin, saya kira cenderung masih ditentukan oleh faktor-faktor yang serba pragmatis dan kepentingan/kebutuhan jangka pendek”. (Lampiran XVI) Foto 11 Bebas Mencoblos http://pusatkajianhadis.com ~ 150 ~ ~ 151 ~ 4.4. Temuan Menulis temuan tidak sekadar menulis apa yang ditemukan di lapangan saat-saat melakukan penelitian. Temuan di lapangan, kata sebagian peneliti, penting diungkapkan atau ditulis dalam satu bab khusus, bab temuan. Menulis temuan harus dikaitkan dengan paradigma atau jenis penelitian. Temuan itu deskripsi, tanpa interpetasi, dan oleh karena itu bisa berbentuk tabel. Membaca tabel, biasanya, orang merasa malas atau malah “mules”. Oleh karena itu, tabel lebih enak dinarasikan. Kalau pembaca ingin membaca tabel deskripsi, yang tentunya tanpa interpretasi, silakan buka halaman lampiran. Di situ banyak tabel, ada profil responden, pengetahuan responden tentang pemilu, dan pertanyaan penelitian. Tim Peneliti sengaja melampirkannya sebagai barang bukti penelitian ke lapangan. Interpretasi hasil penelitian ini berbasis pada temuan dalam bentuk tabel deskriptif itu. jawaban yang ditindaklanjuti Tim Dari tabel itu ada beberapa Peneliti karena menarik, dan berhubungan erat dengan tema penelitian perilaku pemilih. Tim Peneliti menulis temuan di sini, bukan dalam perspektif penelitian yang baku konvensional, melainkan sekedar menemukan kembali masalah-masalah penting selama observasi di lapangan. ~ 151 ~ melakukan wawancara dan Terlalu banyak yang disampaikan kepada Tim Peneliti. Sampaisampai, responden atau informan menyampaikan masukan dan “masakan” untuk perbaikan pemilu yang akan datang, dan sama sekali tidak berkaitan dengan tema penelitian. Tim Peneliti tetap menjadi pendengar yang baik, dan mau mendengar suara hati dan kata hati mereka. Terutama teman-teman di PPK (kecamatan) dan PPS (desa/kelurahan) yang ditemui Tim Penellti, selain mereka membantu penyebaran kusioner dan membantu pula Tim Peneliti dalam melakukan observasi, juga memberi masukan-masukan yang berasal dari dari lingkungan mereka. Tim Peneliti merasa harus memasukkan masukan itu untuk memerkaya penelitian. Meski masukan itu tidak ada kaitan langsung dengan tema perilaku pemilih, tetapi itulah suara para pemilih yang juga diserap teman-teman PPK. Dengan demikian, temuan yang dimaksud Tim Peneliti di sini adalah hal-hal yang diperoleh di luar tema penelitian. Tim Peneliti belum menemukan istilah lain yang lebih terpat, kecuali “meminjam” istilah temuan. Beberapa temuan penting dimasukkan pula dalam simpulan. Semua, pada bab V, akan dibuat tiga bagian, temuan, simpulan, dna rekomendasi. Tetapi, karena temuan yang dimaksud Tim Peneliti ini bukan ~ 152 ~ temuan seperti dalam penelitian, maka bab V itu cukup simpulan dan rekomendasi saja. KPU Provinsi Banten, menurut hemat Tim Peneliti, tidak akan bekeberatan menggunakan kata “Temuan” untuk bagian ini, karena masih menyangkut urusn perebaikan penyelengagraaan pemilu, dan harus dinilai sebagai kepedulian masyarakat pemilih di daerah. 4.4.1. Satu Surat Suara, Satu Kali Coblos Kehadiran badan penyelenggara pemilu di Kabupaten Lebak, mulai dari PPK (tingkat kecamatan), PPS (kelurahan/desa), dan TPPS. ditambah pengawas pemilu di berbagai tingkatan, jumlahnya cukup signifikan, apalagi kalau ditambah dengan anggota keluarga masing-masing. Di Kabupaten Lebak sendiri, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di tingkat kecamatan sebanyak 28 buah, Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kelurahan dan desa sebanyak 345 buah, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di setiap tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 1.875 buah. Di setiap TPS ada KPPS yang beranggotakan tujuh orang. Para anggota badan pemilu itu baik langsung maupun tidak langsung, jadi pula kepanjangan KPU Kabupaten Lebak dalam aksi sosialisasi penggunaan hak pilih. ~ 153 ~ Nama mereka dan keluarga mereka senantiasa dipantau, dipastikan terdaftar sudah terdaftar dalam daftar pemilih. Kalau nama mereka atau keluarga mereka tidak terdaftar, sepeti jadi beban karena tidak memberi contoh yang baik untuk orang lain. Sebagai penyelenggara pemilu, mereka ingin memberi contoh bahwa nama dan keluarga mereka terdaftar dalam daftar pemilih, dan sekaligus dipastikan akan menggunakan hak pilih. Rapat evaluasi Pemilu 2014 antara KPU Kabupaten Lebak dan PPK se-Kabupaten Lebak, di Kota Labuan, Kabupaten Pandeglang, antara lain beragendakan masukan dari PPK untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu ke depan. Rekomendasi terpenting hasil rapat evaluasi itu, bahwa masyarakat di daerah, khusus untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, menginginkan penggunaan hak pilih dengan hanya mencoblos gambar partai politik saja, seperti pada zaman dulu, tidak mencoblos para calon yang ternyata jumlahnya begitu banyak pada surat suara. Pertimbangan para anggota PPK, dan ini merupakan masukan dari masyarakat di lingkungan masing-masing, sematamata hanya untuk kepraktisan penggunaan hak pilih saja. Mencoblos hanya sekali untuk setiap surat suara, dengan surat ~ 154 ~ suaranya yang jauh lebih ramping. Ini dinilai jauh lebih memudahkan bagi masyarakat pemilih, khususnya di daerah. Para anggota PPK mengaku, rekomendasi ini datang dari masyarakat sendiri yang ingin menggunakan hak pilih mereka lebih mudah lagi. Foto 12 Panitia Pemilih Kecamatan Foto : Media Centre KPU Lebak Para anggota PPK khususnya, yang rata-rata dari kalangan tokoh masyarakat, dan banyak pula yang sudah berkali-kali menjadi badan penyelenggara pemilu, memahami masyarakat pemilih di sekitar mereka. ~ 155 ~ betul keinginan Bagi para anggota PPK, dengan demikian, akan lebih mudah pula men-sosialisasikan dan men-simulasikannya nanti. Foto 13 Ukuran Surat Suara Foto : Media Centre KPU Lebak 4.4.2. Indonesia Menulis, Indonesia Mencoblos Sejumlah anggota PPK di wilayah perkotaan menginginkan penggunaan hak pilih dengan dicentang, dengan menggunakan alat tulis, seperti pada pemilu tahun 2009 lalu. ~ 156 ~ Khusus di Kabupaten Lebak, di wilayah tanah adat Desa Kanekes, yang selama ini masih belum mengizinkan belajar mensulis dan membaca, ternyata penggunaan hak pilih dengan dicentang, hasilnya cukup baik. Hal ini tampak sejak adanya simulasi penggunaan hak pilih dengaan alat tulis itu. Gambar 18 Indonesia Menulis, Tandai Pilihanmu! Foto : www.kpu.go.id Hal yang sama disampaikan pula oleh sebagian masyarakat di perkotaan, mahasiswa, pelajar, dan lain-lain, sebagaimana disampaikan pula kepada Tim Peneliti. Untuk yang terakhir ini bisa pula dilakukan penelitian dengan ~ 157 ~ motode survai. Dalam penggunaan hak pilih dengan alat tulis itu, sebagian kelompok masyarakat perkotaan menilai tidak ada masalah. Mereka merujuk pada pengalaman pemilu tahun 2009, hak pilih tersalurkan dengan baik. Jumlah surat suara tidak sah pun bisa dikatakan masih wajar, di Kabupaten Lebak khususnya. Surat suara sah tetap terhitung tinggi jika dibandingkan dengan surat suara tidak sah, hampir sama saja ketika penggunaan hak pilih dilakukan dengan mencoblos. Kekuatan sosialisasi dan simulasi, ketika itu, sangat gencar mengingat transisi dari cara mencoblos dengan paku jadi mencentang dengan alat tulis. Meski begitu, masyarakat pemilih akan mengikuti peraturan KPU saja dalam penggunaan hak pilih itu, tidak ada masalah, seperti pada pemilu tahun 2014 yang kembali menggunakan alat coblos, bukan alat tulis. Ketika itu, sebetulnya, ada yang tidak dipublikasikan, dan suidh disepakati bersama, kalau masih ada yang mencoblos tanda gambar partai politik atau calon dengan alat tulis yang disediakan, surat suaranya akan tetap disahkan. Penggunaan hak pilih dengan alat tulis terdengar lebih maju, lebih dinamis, sehingga ketika itu bergema “Indonesia ~ 158 ~ Menulis”, dan tidak pernah terdengar sebelumnya gema “Indonesia Mencoblos”. Sebagian masyarakat di perkotaan yakin, penggunaan hak pilih dengan alat tulis seperti pemilu tahun 2009 tidak akan mengundang dan mengandung masalah, termasuk di daerah pedalaman. Kini, sebagian orang merindukan “Indonesia Menulis” daripada “Indonesia Mencoblos”. Apa pun, masyarakat pemilih bisa mengajukan keinginan itu ke DPR. Masyarakat pemilih berhak menyampaikan aspirasi, wakil rakyat harus mendengarkannya. Tetapi, kalau e-voting diberlakukan, maka semuanya tidak akan ada, karena diganti jadi “Indonesia Menyentuh” atau “Indonesia Meraba”, seperti kita sehari-hari menyentuh layar telepon genggam Gambar 19 Mencentang Surat Suara Foto : http://ygmnus.blogspot.com ~ 159 ~ 4.4.3. Mahkamah Pemilu Dalam penyelesaian diskusi-diskusi yang berhubungan dengan hukum di lingkungan KPU, akhirnya muncul pula gagasan penambahan sistem peradilan, yakni adanya mahkamah pemilu. Di lingkungan KPU Kabupaten Lebak sendiri, dari anggota KPPS, PPS, PPK, sampai anggota KPU Kabupaten Lebak sendiri sering jadi termohon atau jadi saksi dalam sidang perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. KPU dan badan penyelenggara pemilu selama ini bisa “ditarik” ke berbagai lembaga peradilan, seperti ke Mahkamah Konsrtitusi untuk kasus perselisihan hasil pemilu, ke peradilan tata usaha negara (TUN) untuk dugaan cacat prosedur dalam penerbitan keputusan atau peraturan, dan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Dengan adanya satu atap lembaga yang menyelesaikan segala urusan yang berhubungan dan berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, maka urusan bisa di-fokus-kan ke satu atap peradilan saja. Untuk penyelesian perselisihan hasil pemilu dan urusan yang berkaitan dan berhubungan dengan penyelengaraan pemilu, ~ 160 ~ maka para hakim, jaksa, dan pengacara harus memahami betul segala sesuatu yang berhubungan dengan pemilu. Kata Pengacara KPU Kabupaten Lebak, Saleh, S.H., M.H., hakim, jaksa, dan pengacara itu banyak, tetapi mereka yang memahami betul urusan pemilu masih terhitung sedikit. Dengan demikian, adanya lembaga peradilan pemilu itu sedikitnya akan mendorong lahirnya para hakim, jaksa, dan pengacara yang ahli dalam peradilan pemilu. Tidak mustahil pula, nanti akan dibuka jurusan hukum pemilu di fakultas hukum atau jurusan ilmu pemilu di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Anggota KPU ke depan, tidak mustahil pula, berasal dari atau berlatar belakang pendidikan yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan pemilu. Ada memang lembaga-lembaga yang harus diisi oleh orang-orang-orang yang berlatar belakang pendidikan tertentu. Calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, salah satu syaratnya berlatar belakang pendidikan hukum. Rancangan Undang-undang Penyelengara Pemilu yang lalu, antara lain berisi syarat kesarjaan tertentu untuk menjadi anggota KPU. Tetapi, syarat kesarjanaan tertentu itu kemudian ~ 161 ~ dihapus, sehingga jadi anggota KPU terbuka untuk siapa saja. Syarat anggota KPU kabupten/kota, tetap serendah-rendahnya sekolah lanjutan atas (SLA). Pada RUU sebelumnya pula, pernah dimasukkan, syarat anggota KPU kabupaten/kota, serendah- rendahnya sarjana strata 1. Foto 14 Ketika KPU Kabupaten Lebak Jadi Termohon http://wartapemilu2014.blogspot.com ~ 162 ~ BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Untuk mengetahui prosesi penelitian dan hasil penelitian secara cepat, cukup mudah yakni dengan membaca abstrak pada halaman awal yang merupakan ringkasan penelitian, dan simpulan pada akhir halaman, yang ditulis pada bab khusus, yang merupakan inti hasil penelitian. Tentu saja ada perbedaan mendasar antara ringkasan dan simpulan. Pada bab terakhir ini, Tim Peneliti menulis tiga bagian utama hasil penelitian yang satu sama laion sebetulnya berhubungan, yakni simpulan, implikasi, dan rekomendasi. Simpulan keseluruhan, adalah hasil utama penelitian secara terutama unrtuk menjawab pertanyaan penelitian yang dirumuskan pada pertanyaan penelitian. Simpulan merupakan pula hasil analisis dan interpretasi. Implikasi yang dimaksudkan Peneliti adalah mencari hubungan atau keterkaitan antara hasil penelitian, teori, praktik, dan pertimbangan-pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. Rekomendasi adalah harapan, keinginan, baik teoritis maupun praktis. Petugasan penelitian dari KPU, tidak semata-mata menghasilkan penilitian, tetapi juga rekomendasi yang merupakan ~ 163 ~ saran kongkret untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu, terutama yang berhubungan dengan sosialisasi dan partisipasi pemilih. Di bawah ini, tiga bagian penting hasil penelitian, meliputi simpulan, implikasi, dan rekoemndasi, seperrti berikut : 5.1. Simpulan 5.1.1. Habit Behavior Pemilu lima tahun sekali secara nasional, tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, menyebabkan seringnya penggunanaan hak pilih di TPS. Pemilih di Kabupaten Lebak, khusus untuk yang berusia 60-an tahun, ternyata menggunakan hak pilih dalam setiap pemilu jadi merupakan kebiasaan (habit), tidak ada hubungannya dengan urusan pemilih kategori rasional atau kategori emosional. Mereka mulai menggunakan hak pilihnya sejak berusia 17 tahun, sehingga sedikitnya mereka beberapa kali mengikuti pemilu sejak tahun 1971. Ditambah lagi dengan pemilukada, baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Ditambah lagi aktif jadi pemilu tingkat desa (pilkades). Menggunakan hak pilih sudah dianggap kebiasaan, bagus untuk partisipasi pemilih, meski belum tentu ideal untuk pemilih yang berkualitas. ~ 164 ~ 5.1.2. Otonomi Politik dan Local Strongman Masyarakat pemilih pada zaman Orde Reformasi sekarang ini, di Kabupaten Lebak khususnya, lebih leluasa menggunakan hak pilih, tanpa tekanan atau “penggiringan” dari pihak mana pun seperti pada zaman Orde Baru. Penguasa, pada waktu itu, terlibat dalam “penggiringan” hak pilih. Masyarakat pemilih sekarang ini merasakan adanya otonomi politik yang jauh lebih besar berkaitan dengan penggunaan hak pilih. Tetapi pada waktu yang sama muncul istilah local strongman (orang kuat di daerah) yang bisa memainkan peran dalam pemilihan kepala daerah misalnya. Local strongman bisa dari kalangan pengusaha, jawara, bahkan tokoh agama (kiai). 5.1.3. Perilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal Pemilih tradisional di daerah adat selalu mengikuti pemerintah atau “arah angin” para pemuka adat. Mereka punya monoloyalitas (kesetiaan tunggal) kepada pemuka adat itu, dalam kehidupan seharihari, bahkan dalam penggunaan hak pilih yang sebetulnya bebas dan rahasia. Para pemuka adat itu sendiri, tidaklah satu arah pilihan secara konsisten untuk parpol tertentu atau calon tertentu, pada setiap ~ 165 ~ pemilu, tetapi akan sangat tergantung pada hasil “ijtihad” para pemuka adat. Dengan demikian, kalau suatu pemilu dimenangkan oleh Partai A di daerah masyarakat adat itu, maka pemilu berikutnya, bisa jadi dimenangkan oleh Partai B, dan seterusnya. Pendekatan tokoh parpol tertentu kepada pemuka adat cukup efektif untuk mengubah atau memantapkan pilihan. Banyaknya TPS yang meraih nyaris 100% untuk calon tertentu adalah realitas di daerah-daerah adat. 5.1.4. Perilaku Pemilih Pragmatis Pemilih yang berorientasi pada keuntungan materi jadi fenomena baru, seiring dengan semakin tingginya “belanja” politik para calon itu sendiri. Munculnya ajakan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya”, “serangan fajar”, dan lain-lain, menujukkan adanya money politic (politik uang). Fenomena semua itu sejalan dengan laporan Dewan Pers (2014 : 2), bahwa “Berkurangnya belanja iklan ruang media, karena para caleg lebih memilih „membelanjakan” uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli suara para pemilih di level kelurahan atau menyuap panitia di KPUD”. Di Kabupaten Lebak ~ 166 ~ sendiri, kampanye rapat umum terbuka, tidak digunakan secara maksimal. Ini bisa menunjukkan pula bahwa para calon lebih suka “belanja” pemilih secara langsung kepada masyarakat pemilih daripada harus menyelenggarakan kampanye dalam bentuk rapat umum. 5.1.5. Perilaku Pemilih pada pilkades Kabupaten Lebak, pada saat-saat penelitian, sedang mempersiapkan pemilihan kepala desa di 200-an desa se-Kabupaten Lebak. Temuan Tim Peneliti di lapangan, warga lebih bersemangat menghadapi pemilihan kepala desa. Bahkan, warga desa yang berada di luar kota pun, sepeti Bandung, Jakarta, Lampung, dan sekitarnya, banyak yang sengaja pulang kampung karena akan menggunakan hak pilih di desanya. 5.1.6. Perilaku Pemilih dan Partisipasi Pemilih Pemilihan umum, baik anggota DPR, DPD, dan DPRD dan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, melibatkan pemilih sebagai eksekutor keterpilihan para calon. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu, bagi penyelenggara pemilu (khususnya KPU dan ~ 167 ~ jajarannya), ditandai dengan partisipasi pemilih yang cukup signifikan. KPU memahami adanya partisipasi pemilih dan perilaku pemilih. Kedua-duanya mempunyai objek yang sama, yakni pemilih itu sendiri. Angka partisipasi pemilih mudah dipastikan karena bersifat kuantitatif. Dengan menghitung jumlah pemilih di sebuah tempat pemungutan suara (TPS), lalu dibandingkan dengan penjumlahan suara dan dan tidak sah, maka dengan mudah diketahui angka partisipasi pemilih. Hal yang sama bisa pula dilakukan di tingkat, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. 5.1.7. Tidak Ada Motif Tunggal atau Motif Seragam Untuk perilaku pemilih, tidak mudah memastikannya. Pemilih yang datang ke TPS, dan menggunakan hak pilihnya, bisa penggunaan bermacam-macam hak pilihnya itu. motif Mungkin atas karena memang sadar politik, sadar ingin menggunakan hak politik sebagai warga negara, karena dijanjikan atau terdorong karena mendapat imbalan materi, karena terikat oleh hubungan kekeluargaan, pertemanan, dan lain-lain. wawancara Meski dan survai, ~ 168 ~ begitu, dengan juga mengamati metode gejala (fenomena), sedikitnya bisa diidentifikasi perilaku pemilih itu. KPU khususnya, tidak mungkin merinci motivasi atau memilih-milah perilaku pemilih itu, di samping memang tidak perlu, juga validitasnya masih merupakan sangkaan. Ini berbeda dengan partisipasi pemilih yang dihitung berdasarkan bukti-bukti tertulis, seperti jumlah surat suara dan dan surat suara tidak sah. Motif penggunaan hak pilih, hanya bisa dibaca secara kuantitatif, tetapi mustahil dibaca secara kualitatif. Ada pemilih yang mengedepankan nilai pokok, yakni pemilih rasional karena penggunaan hak pilih berdasarkan visi, misi, dan program, bukan karena yang lain. Ada pemilih yang mengedepankan nilai tambah, seperti karena ada hubungan kekerabatan atau karena hanya sekadar seorang teman. Maka, tidak ada motif tunggal atau motif yang seragam dalam penggunaan hak pilih itu 5.1.8. Perilaku Ijtihad di Lingkungan Pesantren Pada setiap pemilihan umum, termasuk pemilukda, sejumlah kiai pengasuh Kabupaten Lebak punya pondok tradisi pesantren di penyebaran fatwa agar para santri dan alumni memilih calon tertentu. Fatwa kiai itu umumnya ampuh, karena ~ 169 ~ tingkat kepercayaan, kharisma, dan hubungan sosial emosional kiai - santri yang cukup erat. Beberapa kiai yang lain, sebaliknya, membiarkan para santri dan alumni memilih calonnya sendiri, dengan berijtihad sendiri, karena dinilai menyangkut hak asasi manusia. Di pesantren-pesantren tidak ditemukan kiai dalam Kabupaten Lebak “pendakwah” golongan putih (golput) pada pemilu tahun 2014, malah beberapa kiai ikut jadi pendukung calon tertentu, dan beberapa kiai lagi jadi anggota partai politik, lalu ada yang terpilih dan ada pula yang tidak terpilih jadi anggota DPRD Kabupaten Lebak masa jabatan 2014 – 2019. Tidak ada keseragaam dukungan kepada calon-calon tertentu di kalangan masyarakat pesantren, tetapi yang ada adalah keberagama dukungan, sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing masyarakat pesantren. 5.1.9. Perilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal Kabupaten Lebak memiliki kelompok masyarakat yang punya karakteristik khusus, seperti masyarakat adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 nyaris ada kendala di lapangan, ~ 170 ~ berkaitan dengan kebijakan adat masyarakat Baduy yang dinilai bertentangan dengan peraturan KPU. Tetapi, semua bisa diselesaikan. Bahkan, Kades Kanekes, Dainah, kemudian mendapatkan KPU Award untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 itu. Masyarakat adat yang lain di Kabupaten Lebak, adalah penganut kasepuhan di pedalaman Kecamatan Cibeber. Tidak ada kendala teknis, termasuk segala peraturan KPU. Masalahnya kemudian adalah monoloyalitas (kesetiaan tunggal) kepada pemuka adat (atau masyarakat setempat menyebutnya olot), yang sering di-salah arti-kan sehingga berimbas kecurigaan pada penyelenggara pemilu. Ada sejumlah TPS yang pemilihnya nyaris 100% untuk seseorang calon atau pasangan calon. Ini lumrah di TPS-TPS yang ada di lingkungan masyarakat adat. Para pemilih setempat selalu mengikuti “arah angin” pilihan pemuka adat (“olot”). Pihak eksternal demokrasi” di penggiringan, sering TPS karena X, menuduh, ada pemilihnya “tidak ada rekayasa atau hampir 100% memilih calon atau pasangan calon tertentu. Dalam jangka lama, monoloyalitas ~ 171 ~ tunggal untuk penggunaan hak pilih ini bertentangan dengan hakikat demokrasi itu sendiri. 5.1.10. Potensi Ancaman Golongan Putih Di Kabupaten Lebak, banyak pemilih yang kemudian kecewa atas perilaku para calon, karena komunikasi yang dibangun hanya sebatas saat-saat kampanye saja. Masyarakat pemilih yang kecewa itu ada yang kemudian bersifat apatis terhadap pemilu, dan berpotensi jadi “golongan putih” (golput), ada juga yang kemudian jadi pemilih dengan segala variabel perilaku pemilihnya, seperti pemilih skeptis dan pemilih pragmatis. Calon yang mengecewakan masyarakat pemilih itu, setidak-tidknya, baik langsung maupun tidak lanfgsung, turut “membentuk” golongan putih. 5.1.11. Media Massa Membentuk Perilaku Pemilih Media massa dan tokoh masyarakat cukup berpengaruh, sekaligus membentuk perilaku pemilih. Masyarakat pemilih bisa mengubah atau meneguhkan pilihannya ketika masyarakat yang informasi dari diajak media atau sebelumnya massa. dibujuk tokoh mendapatkan Khalayak pemilih menjadikan media massa sebagai referensi pula. ~ 172 ~ 5.2. Implikasi Ada tiga implikasi penting yang berhubungan dengan hasil penelitian ini, yakni implikasi teoritis, implkasi praktis, dan implikasi bagi teori selanjutnya. 5.2.1. Implikasi Teoritis Hasil penelitian di lapangan, wawancara, observasi, dan studi pustaka, menunjukkan adanya keterkaitan antara teori-teori yang disajikan pemilih. Masyarakat dengan perilaku pemilih dipengaruhi atau oleh faktor-faktor eksternal, sehingga terbentuk perilaku pemilih yang berbeda-beda, antara lain karena faktorfaktor perilaku calon yang berbeda-beda pula. Teori konstruksi realitas secara sosial dan teori-teori komunikasi massa menunjukkan adanya, misalnya, menujukkan adanya eksternalisasi, internalisasi, dan sintesis kedua-duanya. Baik atau buruknya perilaku pemilih itu tergantung pula bagaimana mereka diperlakukan oleh perilaku calon serta sejauh mana tingkat kepuasan mereka kepada para calon yang dipilihnya itu. 5.2.2. Implikasi Praktis Pendidikan bagi pemilih jadi cukup penting, harus dilakukan secara beekesinambungan, ~ 173 ~ tidak hanya saat-saat menjelang atau pada saat-saat pelaksanaan tahapan pemilu saja. Bagi KPU, di samping angka partisipasi pemilih terlalu penting, juga perilaku pemilih yang cerdas dan berkualitas. Angka partisipasi pemilih mudah dihitung, tanpa harus adanya penelitian, tetapi perilaku pemilih tidak mudah dipetakan. Maka, KPU sebagai penyelengara pemilu dan partai politik, politisi, baik yang ada di parlemen maupun yang ada di luar parlemen, hakikkatnya harus jadi pendidik, paling tidak dalam pendidikan terhadap pemilih. 5.2.3. Implikasi Penelitian Selanjutnya a. Analisis Wacana Kritis Penelitian perilaku pemilih ini bisa ditindaklanjuti secara akademis dengan “pisau” analisis critical discourse analysis (analisis wacana kritis) untuk tingkat yang lebih tinggi. Kalau penelitian perilaku pemilih ini dengan menggunakan “pisau” analisis fenomenologi di tingkat magister, maka lazimnya, ditindaklanjuti dengan menggunakan “pisau” analisis critical discourse analysis di tingkat doktoral untuk mengungkap ideologi yang dianut pemilih. CDA, mesti saja, berhubungan dengan ideologi atau kepentingan ~ 174 ~ yang tersembunyi di balik wacana. Istilah wacana dalam perspektif penelitian, akan termasuk pula dokumen seperti hasil penelitian perilaku pemilih ini. Critical discourse analysis ideologi di balik wacana, untuk dan “membongkar” terbiasa dengan pertanyaan penelitian, misalnya, “Ideologi apa yang dianut Presiden X di balik pidato-pidato dan pernyataan-pernyataannya di media massa?” b. Penelitian Eksplanatori Perilaku pemilih di Kabupaten Lebak menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Metode ini hanya untuk memetakan, dan digunakan untuk kepentingan tertentu. Dalam hal ini, KPU membutuhkan pemetaan perilaku pemilih, antara lain, untuk penyusunan kebijakan dan strategi sosiali dan pendidikan pemilih. Metode deskripsi ini biasanya diteruskan dengan metode eksplanatori. Penelitian ini bertitik tolak dari pertanyaan mengapa. Kalau penelitian deskriptif adalah penyajian deskripsi secara lengkap sesuatu fenomena, juga untuk penyusunan kategori, maka penelitian eksplanatori untuk menjelaskan deskripsi dengan pertanyaan mengapa. Penelitian ini disebut pula penelitian eksploratori. ~ 175 ~ 5.3. Rekomendasi 5.3.1. Tradisi Penelitian Penelitian harus jadi tradisi ilmiah di lingkungan KPU, sampai ke KPU provinsi/KPU Kabupaten/Kota. Tetapi, KPU secara Kabupaten/Kota khusus khususnya, sebelumnya perlu tentang dibekali metodologi penelitian, misalnya dalaM bentuk simulasi atau workshop penulisan karya ilmiah. 5.3.2. Anggaran Sosialisasi Anggaran untuk sosialisasi, dengan capaian peningkatan partisipasi pemilih, harus lebih memadai dari anggaran yang selama ini kurang sepadan. Aksi sosialisas dilakukan sepanjang tahapan, bahkan sejak persiapan, sampai pascapenyelesaian, mensosialisasikan hasil-hasil partisipasi ditentukan pemilih pemilu. pula oleh seperti Angka aksi sosialisasi, baik melalui ruang maupun melalui luar ruang, melalui media tradisional maupun melalui media modern. Kalau dalam sebuah perusahaan, belanja promosi atau iklan biasanya jauh lebih besar, maka anggaran untuk sosialisasi, dengan capaian peningkatan angka partisipasi pemilih, harus lebih memadai dari anggaran sebelumnya. ~ 176 ~ 5.3.3. Relawan Demokrasi Adanya relawan demokrasi, pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014, adalah awal yang bagus untuk penyebaran dan penyuburan sosialisasi dengan tujuan pokok penggunaan hak pilih. Relawan demokrasi tidak ada pada pemilu presiden dan wakil presiden, sangat mungkin, karena kekurangan anggaran. Relawan demokrasi, seharusnya melekat pada setiap penyelenggaraan pemilu, 5.3.4. Lembaga Pendidikan Pemilih Pendidikan pemilih harus dilembagakan, atau dimaksimalkan dengan anggaran yang cukup. Dengan demikian, usaha agar melek politik dan pentingnya jadi pemilih yang berkualitas, jadi pemahaman umum. Memilih seseorang, idealnya, karena nilai pokoh (karena visi, misi, dan program kerja), bukan karena nilai tambah (di luar visi, misi, dan program kerja). 5.3.5. Pendidikan Pemilih oleh Para Calon Para calon harus pula memenuhi janji-janji kampanye masing-masing agar pemilih merasa tak sia-sia menggunakan hak pilih. Para calon terpilih, di samping harus berbicara kepada rakyat, juga lebih penting berbicara dengan rakyat. Ini akan lebih ~ 177 ~ mendekatkan silaturahim dengan pemilih dan pembangunan hubungan emosi yang lebih kuat. Keuntungan bagi KPU dari semua itu adalah terjaganya semangat memilih, pada setiap pemilu. 5.3.6. Tata Cara Penggunaan Hak Pilih Untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, banyak pemilih di daerah yang menginginkan kembali ke masa silam, cukup mencoblos parpol saja, sekali, tidak melakukan pencoblosan para calonnya. Ini semata-mata mempertimbangkan kepraktisan saja. Keinginan pemilih di daerah itu, ternyata sejalan dengan rekomendasi para anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) se-Kabupaten Lebak, dalam rapat pembubaran dan evaluasi badan penyelenggara pemilu, di Pandeglang, tahun 2014 lalu. Para anggota PPK yang hadir dari 28 kecamatan pun mendapat masukan dari masyarakat. 5.3.7. Mencentang Surat Suara Penggunan hak pilih dengan mencoblos dipertahankan di daerah, sedangkan di perkotaan, cenderung penggunaan hak pilih dengan menggunakan alat tulis, seperti pada pemilu anggota DPR, DPD,dan DPRD tahun 2009. ~ 178 ~ 5.3.8. Pemilu Elektronik Kalangan terpelajar, malah mengusulkan pemilihan secara elektronik disiapkan. Khusus di Kabupaten Lebak, kalaupun tidak seluruhnya menggunakan pemilihan secara elektronik, mungkin bisa dilaksanakan di beberapa TPS saja, yang tentu saja harus didasari undang-undang dan peraturan yang baru. 5.3.9. Mahkamah Pemilu Penyelenggara pemilu, khususnya KPU, berpotensi dilaporkan oleh berbagai pihak, dengan kenyataan : bisa dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, muncul usulan agar adanya Mahkamah Pemilu, dengan para jaksa, pengacara, dan hakim yang memahami betul tentang pemilu. Dengan demikian, segala urusan itu ditangani oleh satu lembaga saja, lembaga peradilan pemilu, tidak ditarik-tarik ke banyak lembaga, seperti sekarang ini. ~ 179 ~ ~ 180 ~ DAFTAR PUSTAKA Buku Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : CV Pustaka Setia. Amir, Piliang Yasraf. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batasbatas Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra Anderson, Kennett. 2013. Writing A First Year Report, A course for first year research students At Edinburgh University. Edinbrugh : English Teaching Centre, University of Edinbrugh. Ardial. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta : PT Indeks. Arrianie, Lely. 2010. Komunikasi Politik, Politisasi Pencitraan di Panggung Politik. Bandung : Widya. Asshiddiqie, Jimly. 2013. Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu. Jakarta : PT Rajagrafindo. Bachtiar, R. Sandy. 2011. Informatics Challengers. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX. Inggris dan Jerman. Jakaarta : PT Gramedia Jakarta. Budiardjo, Miriam. 2014. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. Cipto, Bambang. 2000. Partai, Kekuasaan, dan MIliterisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Faisal, Ali. 2015. Sosiologi Politik. Serang : Yayasan Tridharma Negara. FiDeLespinasse, Paul. Edited by Marissa Drexed. 2008. Basic Political Concept. Zurich (Switzerland) : The Jacob Foundation. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. Tanda tahun. Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publications. Inc. ~ 180 ~ Dewan Pers. 2014. Covering Election 2014. Engagement with Audience and EditorialIndependence. Jakarta : Dewan Pers, Thomson Foundation. Guritno, Suryo, Sudaryono, dan Untung Rajahardja. 2010. Theory and Appication of IT Research. Metodologi Penelitian Teknologi Informasi. Yogyakarta : Penerbit Andi. Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Kritik Budaya komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra. Kurniawan, Benny. 2012. Pendidikan Mahasiswa. Jakarta : Jelajah Nusa. Kewarganegaraan untuk Kuswarno, Engkus. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi : Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung : Widya. Jensen, Klaus Brauhn dan Nicholas W. Jankowski (Ed.) 1991. A Hand Bool of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London : Routledge. Kerlinger, Fred N. 1998. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan Gadjah Mada University Press. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Lipset, Seymour Martin. Feffer and Simons Inc. 1960. Political Man Basis Sosial Tentang Politik. Terjemahan Endi Haryono. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ma’ani, Bachtiar Tet’s Know Al-Insan. Kajian Aqidah Islam tentang Asalusul & Jati Diri Manusia.. 2008. Jakarta : Pustaka Al Mala. Muhajir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin. Mulyana, Deddy dan Solatun. Metode Penelitian Komunikasi. ContohContoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Nasution, S. dan M. Thomas. 2004. Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah. Jakarta : Bumi Aksara. Nasution, Zulkarimein. 1989. Komunikasi Politik. Jakarta : Ghalia Indonesia. ~ 181 ~ Nimmo, Dann. 2001. Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. Terjemahan Tjun Suryaman. Remaja Rosdakarya : Bandung. Nurdin, Cedin Rosyad. 2014. Potret dan Pemikiran 50 Anggota DPRD Lebak Masa Jabatan 2014 – 2019. Lebak : KPU Kabupaten Lebak. Navarro, Joe. 2014. Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh. Jakarta : PT Zaytuna Ufuk Abadi. Q-Anees, Bambang dan Ardianto Elvinaro. 2010. Filsafat Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya : Bandung. Riyanto, Yatim. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : Penerbit SIC. Senzai, Farid. 2012. Engaging American Muslim : Political Trends and Attitudes. Washington : Institute for Sosial Policy and Understanding. Shadily, Hasan (Pemimpin Redaksi). Tanpa tahun. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hove dan Elsevier Publishing Projects. Sisk, Timothy D. International Institute for Democracy and Electoral Assistence (Intenational IDEA). 2002. Demokrasi di Tingkat Lokal. Arief Subiyanto. Jakaarta : Ameepro Sjam’un, Tryana. 2013. Berjuang dari Tengah. Jakarta : LP3ES. Sulastri, Wndang (Editor). 2011. Bangga Menjadi Pemilih Pemula. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum. Suriasumantri, Juju S. 2005. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinas Harapan. Syabirin, Tabrani dan Farid Gaban. 2005. Pemilu Jakarta : Komisi Pemilihan Umum. Legislatif 2004. Syam, Firdaus. 2009. Membangun Peradaban Indonesia. Jakarta : Gema Insani. Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. ~ 182 ~ Soyomukti, Nurani. 2013. Komunikasi Politik Kudeta Politik Media, Analisa Komunikasi Rakyat & Penguasa. Malang : Intrans Publishing Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Grasindo : Jakarta. Suyanto, Bagong, dan Sutinah (Ed.). 2005. Metode Penelitian Sosial. Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. Sztompka, Piotr. 2012. Sosiologi Perubahan Alimandan. Jakarta : Prenada Media Goup Sosial. Terjemahan Yusuf, Pawito M. dan Priyo Subekti. 2010. Teori dan Praktik Penelusuran Informasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. Zakaria, A. 2014. Manusia dan Problematikanya. Garut : Ibn Azka Press JURNAL Bawono, Muhammad. 2008. “Persepsi Perilaku Pemilih Terhadap Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kabupaten Nganjuk” M’Power 8 : 1 – 8. Ngangi, R. Charles. 2011. “Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial”. ASE, 7 : 1 – 4. MEDIA MASSA CETAK Kompas Republika Media Indonesia Koran Tempo SUMBER ELEKTRONIK Badrun, Ubedillah. 2014. “Persinggungan Tipologi Pemilih dengan Caleg di Pemilu 2014”. http://pemilu.sindonews.com. Cherry, Kendra. http://psychology.about.com Demartoto. http://argyo.staff.uns.ac.id Demartoto, Argyo. 2013. “Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann”. http://djannoveria.blogspot.com ~ 183 ~ http://id.wikipedia.org http://khairulazharsaragih.blogspot.co http://ridwanas.com http://khairulazharsaragih.blogspot.co Mujiono http://sosiologiilmu.blogspot.com Mulya,Ryn.2013.“Perilaku Pemilih”http://www.philosopheryn.blogspot.com. Simanulang, Wandi Pramwisnu. (Tanpa tahun). “Perilaku Pemilih”. http://lampost.co. Sucahyo, Rudy. http://rudicahyo.com Wahono, Satrio. http://romisatriawahono.net UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-undang Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majlis Permusyawarata Rakyat, Dewan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PKPU No. 21 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan KPU No. 07 Tahun 2012 Tentang Tahapan, Program, dan Jadual Penyelenggaran Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. PKPU No.3 Tahun 2013 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. PKPU No. 9 Tahun 2013 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ~ 184 ~ PKPU No.26 Tahun 2013 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota. PKPU No.29 Tahun 2013 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum, Perolehan Kursi, Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat. ~ 185 ~ DI BALIK LAYAR PERILAKU TIM PENELITI KPU KABUPATEN LEBAK Tim Peneliti punya latar belakang pendidikan yang beragam. Ada sarjana pendidikan dan ilmu politik Wijaya), sarjana (Sri sarjana Astuti filsafat (Ace Sumirsa Ali), sarjana pendidikan Islam (Apipi), sarjana agama (Islam) dan sarjana Ahmad Saparudin kebijakan publik (Ahmad Saparudin), dan sarjana ilmu komunikasi dan media and political communication (C.R. Nurdin). Semua pernah menulis karya ilmiah, skripsi atau tesis. Jadi, Tim Peneliti tidak begitu asing dengan istilah-istilah seperti desaign research, methodology research, qualitative research, quantitative research, paradigm, dan lain-lain. Mengapa istilah-isitilah yang sebenarnya sudah tidak lagi disentuh sejak lama itu harus hadir kembali di “Universitas” Komisi Pemilihan Umum? Itulah yang terjadi ketika KPU Kabupaten/Kota khususnya di Provinsi Banten “disodori” tugas riset, bahkan dengan tema yang sebenarnya terasa berat : riset tentang partisipasi pemilih dalam pemilu. ~ 186 ~ Terasa lebih berat lagi ketika membaca bagian D, halaman 3, tentang metode riset : ada sumber data, pengolahan data, dan analisis data interpretasi data. Simpulan KPU Kabupaten Lebak khususnya, sesaat setelah mendengarkan penjelasan KPU Provinsi Banten, dalam rapat riset itu, yang disampaikan Bunda Nadia (Hj. Dra. Enan Nadia), KPU menugasi KPU Kabupaten/Kota melakukan untuk penelitian secara ilmiah, membuat karya ilmiah. Apalagi, “Universitas” KPU membangun ingin tradisi C.R. Nurdin ilmiah sebelum menyusun kebijakan. Jadi, kebijakan yang berbasiskan hasil penelitian. Bagus juga, tentu saja, karena KPU merupakan lembaga nonkepentingan politik, dan lebih cenderung sebagai lembaga akademik, yang menjunjung tinggi objektivitas. Tim Peneliti merasa, ini pekerjaan serius. Oleh karena “beraroma” dan “berirama” akademik, tadinya mau di-pihak ketiga-kan saja, digarap oleh akademisi yang terbiasa melakukan penelitian. Ini boleh dilakukan, sebagaimana pengarahan KPU Provinsi Banten. Lebih serius lagi, cobalah telaah pada nomor 1 sampai 4. Di situ disebutkan adanya pilihan penelitian kualitatif dan kuantitatif bagi KPU ~ 187 ~ kabupaten/kota, dengan segala konsekuensinya masing-masing. Ada participant observation, indepth interview, teknik triangulasi, dan lain-lain. Semua itu riset banget, riset beneran, sedangkan sebelumnya tidak ada simulasi atau pembekalan penulisan riset oleh KPU. Hasil rapat internal, baiknya digarap secara mandiri saja, di samping KPU Kabupaten Lebak sedang tidak punya kegiatan penyelenggaraan pilkada, seperti teman-teman di sejumlah KPU kabupaten/kota, juga untuk bernostalgia ketika susah payah menulis skripsi atau tesis. Tema penelitian pun dipilih, yakni perilaku pemilih dari sekian tema yang disodorkan KPU. Mengapa perilaku pemilih? Terus terang saja, selain alasan objektif karena perilaku pemilih penuh tantangan untuk dijelajahi, pemilih itu dan “eksekutor” untuk para calon, juga alasan subjektifnya karena perilaku pemilih itu enak diteliti dengan metode penelitian kualitatif. Ace Sumirsa Ali Tim Peneliti segera saja menangkap “aroma” kualitatif itu dari salah satu baris pertanyaan dalam konsep riset, “Sejauh mana pilihan-pilhan itu bersifat rasional?” Pertanyaan sejauh mana, pastilah kualitatif, bukan pertanyaan “apakah” yang biasanya khas pertanyaan penelitian kuantitatif. Pertanyaan sejauh mana, harus dijawab naratif, tidak seperti pertanyaan apakah yang ~ 188 ~ jawabannya singkat dan padat, misalnya, ya atau tidak, atau sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Tetapi, Tim Peneliti sedikit menyimpang dan menyamping sebetulnya, karena menyebarkan kuisioner lebih luas, dan itu jadi luas, karena seKabupaten Lebak. Alasannya, hanya karena Tim Peneliti ingin punya bangunan kata-kata yang cukup banyak sehingga cukup dan cakep untuk ditelaah. Itu saja. Mengapa pula penelitian kualitatif? Terus terang saja, tiga orang dari lima anggota KPU Kabupaten Lebak itu berbasiskan wartawan, tukang membangun katakata, tukang menyunting, menggunting, sekaligus dan membanting Apipi kata-kata. Basis penelitian kualitatif itu kata-kata, naskah, hasil wawancara, hasil observasi, dan bukan angka-angka seperti penelitian kuantitatif. Terus terang saja, di antara kami ada yang malas, bahkan “mules” kalau sudah berurusan dengan angka-angka (kecuali angka THR seperti saat behind the scenes atau di balik layar ini ditulis). Wartawan hanya menulis narasi angka, tidak pernah menulis tumpukan atau deretan angka dalam berita., kecuali jurnalis presisi yang akhir-akhir dikembangkan sejumlah media amassa cetak yang cukup besar. ~ 189 ~ Tetapi, sebenarnya pula, pekerjaan KPU penuh angka, seperti pemilih, perolehan suara, dan karena perbedaan angka itu pula kemudian KPU bisa di-MK-kan. Oleh karena menyukai kata-kata, maka tepatlah Tim Peneliti mengambil penelitian kualitatif, lalu ditambah deskriptif, sehingga jadi kualitatif deskriptif, karena dikaitkan dengan kebutuhan pemetaan perilaku pemilih sebagai bahan penyusunan kebijakan sosialisasi dan pendidikan pemilih. Bulan Ramadan penuh berkah. Sangat terasa. Kata-kata terasa mengalir begitu saja. Penulisan penelitian pun selesai, di ujung Ramadan, persis ketika azan magrib berkumandang, sesaat setelah meriam besar di masjid alun-alun Rangkasbitung menggelegar. Hari raya Fitri tiba. Kita begitu berbahagia. Tim Peneliti berbahagian karena hasil penelitian selesai disusun pada hari dan bulan yang lebih baik. Semua orang merasakan kebahagian. Jangan sampai terjadi, tiba-tiba ada yang menengadahkan tangan di muka pintu, ketika kita membelah ketupat pertama. Ya, KPU Kabupaten Lebak sedang “menengadahkan tangan” ketika kantor yang sudah ditempat lebih dari 10 tahun itu akan djadikan gedung perpustakaan berlantai tiga, dengan harga miliaran rupiah. Kelak, di bekas gedung KPU Lebak ini, kita bisa duduk berlama-lama di perpustakaan, mencari ilmu, menambah wawasan, dan menemukan pencerahan. Rupanya, pembangunan gedung perpustakaan ini untuk menunjang program Lebak cerdas. Seperti kata orang, untuk memahami demokrasi, duduklah beberapa lama di perpustakaan bersama Plato, tetapi cobalah duduk lebih lama bersama rakyat dalam bus-bus kota. Rakyat jauh lebih banyak mengajari kita daripada buku-buku yang kadang sudah berlapiskan debu. ~ 190 ~ KPU Kabupaten Lebak akan menempati gedung baru, seperti yang – alhamdulillah – difasilitasi Kabupaten Pemerintah Lebak. Ruang publik alun-alun masih akan terlihat. Gema azan masjid masih Al-A’raf terdengar. Dan, akan Tim Peneliti masih punya ketupat terakhir pertama sebelum kali melangkah ke gedung yang baru, gedung yang baru dipakai lagi setelah dikosongkan. Kita Sri Astuti Wijaya saling memahami. Hidup ini hasil kompromi. KPU Kabupaten Lebak adalah “produsen” kepala daerah dan wakil kepala daerah (eksekutif), juga “produsen” para wakil rakyat di DPRD (legislatif), yang kedua-duanya kemudian berfusi kekuatan dan berfungsi pemerintahan. Tetapi, kalau kemudian nasib eksekutif dan legislatif - misalnya - jauh lebih baik dari KPU Kabupaten Lebak itu sendiri, ini mah nasib. Terima kasih, Pemerintah Kabupaten Lebak sudah memberi izin menempati sebidang tanah, tanpa batas waktu, untuk sebuah kantor KPU yang permanen! Maka, behind the scene (di balik layar) Tim Peneliti pun sampai di sini. ~ 191 ~ PEDOMAN RISET TENTANG PARTISIPASI DALAM PEMILU A. Pendahuluan Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu substansi pemilu. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi dikonstruksi berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam negara demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya, terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih yang terus menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalan itu tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang gelap yang terus menyisakan pertanyaan. Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala politik uang, misteri derajat melek politik warga, dan langkanya kesukarelaan politik. Masalah tersebut perlu didedah sedemikian rupa untuk diketahui akar masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada pada idealitas yang diimajinasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan dalam manajemen pemilu. ~ 192 ~ B. Tujuan 1. Umum: a. Mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan- persoalan yang berkaitan dengan manajemen pemilu. b. Bahan penyusunan memperkuat kebijakan untuk meningkatkan dan partisipasi warga dalam pemilu dan setelahnya. 2. Khusus: a. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pemilu. b. Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilu. C. Potensi Tema Riset Terdapat sejumlah persoalan ditemukan dari setiap periode pemilu. Potret persoalan itu dilihat dalam rentang waktu pemilu-pemilu pada masa reformasi sampai dengan saat ini. Persoalan-persoalan yang dapat dijadikan tema potensial untuk diriset menyangkut partisipasi pemilih diantaranya adalah sebagai berikut: • Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voter turn-out) Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Sementara itu pada pemilu 2014, angka partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif. Pertanyaannya, kenapa angka partisipasi pemilu legislatif naik dibandingkan pemilu sebelumnya? Kenapa angka partisipasi Pilpres menyimpang dari pola pada pemilu- ~ 193 ~ pemilu sebelumnya? Selain itu kenapa golput tetap saja hadir dalam setiap pemilu? Apa penyebabnya? • Perilaku memilih (Voting behaviour) Perilaku memilih adalah terkait dengan keputusan pemilih untuk memilih kandidat atau peserta pemilu tertentu. Kenapa seorang pemilih menjatuhkan pilihannya kepada kandidat atau peserta pemilu tertentu. Tentu beragam alasan yang dapat dikemukakan oleh setiap pemilih. Persoalannya adalah, sejauhmana pilihan-pilihan itu bersifat rasional? Dengan kata lain, sejauh mana pilihan politik mereka berdasarkan pertimbangan rasional menyangkut kandidat atau peserta pemilu itu. Apakah rekam jejak, program atau janji peseta pemilu menjadi bahan pertimbangan atau faktor lain. Riset ini penting untuk mengetahui tingat rasionalitas pemilih dalam pemilu. • Politik uang (Money politics/Vote buying) Politik biaya tinggi menjadi keluhan sebagian peserta pemilu. Salah satu penyebabnya adalah fenomena politik uang. Peserta pemilu mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan dukungan pemilih, atau pemilih aktif meminta imbalan dari dukungan yang diberikannya. Fenomena ini sudah pasti menjadikan demokrasi kita tidak sehat. Pertanyaannya, bagaimana politik uang terjadi? Polanya seperti apa? Kenapa disebagian tempat terjadi politik uang, disebagian tempat kebalikannya? Faktor apa yang mempengaruhi? Kebiajakan apa yang perlu ditempuh untuk mengatasi mengatasi fenomena politik uang? • Tingkat melek politik warga (Political literacy) Terdapat keyakinan bahwa tingkat melek politik warga berpengaruh pada sikap dan perilaku politik warga negara. Muaranya adalah pada tingkat kedewasaan perilaku berdemokrasi. Relasi itu bersifat perbandingan lurus, ~ 194 ~ yaitu semakin tinggi tingkat melek politik warga semakin matang perilaku demokrasinya, dan sebaliknya. Dengan kata lain, wajah demokrasi sebuah negara sebagian ditentukan oleh tingkat melek politik warga. Pertanyaannya adalah seberapa tinggi/dalam melek politik warganegara? bagaimana melek politik warga selama ini terbentuk? faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya melek politik warga? Kebijakan apa saja yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan melek politik warga? • Kesukarelaan Warga dalam politik (Political voluntarism) Kesukarelaan warga dalam politik berpengaruh luas dalam kehidupan politik. Absennya kesukarelaan warga dapat merusak sendi-sendi demokrasi. Dalam jangka pendek, biaya politik mahal menjadi resiko yang harus ditanggung karena segalanya serba berbayar. Dalam jangka panjang, korupsi menjadi virus endemik yang pasti menyerang. Sebaliknya, tatanan demokrasi semakin kuat apabila kesukarelaan warga tumbuh dan hidup didalam masyarakat. Dari pemilu kepemilu kesukarelaan warga mengalami pasang surut. Kesukarelaan warga yang kehadirannya ditandai dengan munculnya relawan dari berbagai kalangan kuat muncul dalam pemilu 2014. Pertanyaannya, apa faktor yang mempengaruhi munculnya keskuraleaan politik warga dan faktor apa yang menghambatnya? Kebijakan apa saja yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan dan mmperkuat kesukarelaan warga dalam politik? Potensial tema riset lain dapat ditambahkan sepanjang berkaitan dengan partisipasi pemilih dalam pemilu dan dikoordinasikan/disampaikan pilihan temanya dengan KPU pada struktur di atasnya. ~ 195 ~ D. Metode Riset Metode riset dapat dipilih antara kuantitatif, kualitatif, atau campuran. Metode kuantitatif berusaha mencari generalisasi atas masalah yang diteliti. Kerangka teori pada metode kuantitatif dimaksudkan untuk diuji kebenarannya sehingga hasil akhir dari penelitian adalah diterima atau ditolaknya sebuah teori/kerangka pemikiran dan dibangunnya kerangka pemikiran baru atas sebuah permasalahan. Sementara itu pada metode kualitatif, penelitian dimaksudkan untuk mencari pemaknaan atau kedalaman atas sebuah permasalahan. Kerangka teori berfungsi sebagai pisau analisis untuk membantu peneliti merangkai dan memberi makna atas berbagai fakta yang ditemukan dalam penelitian. Pada metode campuran, mengasosiasikan prosedur kerja pada metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan data kualitatif dan sebaliknya untuk dicapai satu analisis yang lebih komprehensif. Dari berbagai pilihan metode riset tersebut, pilihan metode disesuaikan dengan kebutuhan dan fisibilitas berbagai hal yang menyangkut riset, dengan memperhatikan beberapa hal: 1. Sumber data Sumber data dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh sendiri melalui wawancara, observasi, tes, kuesioner, dsb. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua, seperti buku, dokumentasi, data dari lembaga/institusi, dsb. Sumber data pada metode kuantitatif bersifat random, bersifat purposive atau snowball. ~ 196 ~ sedangkan pada kualitatif 2. Pengumpulan data Pada metode kuantitatif teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui survey, wawancara, FGD, kuesioner, observasi, dsb. Pada metode kualitatif melalui participant observation, in depth interview, dokumentasi, maupun teknik triangulasi. 3. Pengolahan dataBagaimana data diklasifikasikan atau dikumpulkan untuk kebutuhan membangun argumen, serta pemilahan data menurut relevansinya. 4. Analisis/Interpretasi data Analisis data disesuaikan dengan pilihan metode riset yang digunakan. Pada metode kuantitatif, analisis dilakukan dengan menggunakan statistic sedangkan pada kualitatif menginterpretasikan pola, model, atau pun teori yang digunakan. E. Hasil Secara umum, topik riset menghasilkan keluaran (out put) dalam bentuk (1) Laporan Hasil Riset, dan (2) Publikasi buku hasil riset. Secara khusus hasil akhir dari riset ini adalah dipetakannya akar persoalan atau peta masalah serta adanya rekomendasi atas persoalan dari setiap topik riset. Semua hasil akhir riset tersebut dibuat dalam bentuk hard file dan soft file baik format word maupun pdf, kemudian dikirimkan ke KPU, melalui alamat email : [email protected] E. Pelaksanaan dan Pengorganisasian Riset dapat dilaksanakan dengan cara swa-kelola atau dengan melibatkan pihak ketiga, baik perorangan/tim/lembaga yang mempunyai pengalaman pekerjaan dalam bidang riset. KPU, ~ 197 ~ KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bertanggungjawab memastikan pelaksanaan riset dan hasilnya berjalan dengan baik. Berkaitan dengan itu maka setiap jenjang KPU dilakukan pembagian tugas sebagai berikut ini : Tabel 1 Pengorganisasian di KPU PELAKSANA TUGAS 1 Melaksanakan riset nasional Melaksanakan KPU supervisi pelaksanaan riset 2 KPU/KIP/Kab/Kota 3 Publikasi hasil riset di website KPU 4 Menyusun buiku hasil riset 1 Membagi tema riset untuk setiap KPU/KIP Kab/Kota Mengkoordinasikan dan mengumpulkan laporan KPU PROVINSI 2 pelaksanaan riset di KPU/KIP Kab/Kota dalam lingkup provinsi Melaporkan rekap pelaksanaan kegiatan riset di 3 KPU/KIP Kab/Kota kepada KPU Melakukan KPU/KIP dengan dengan 1 Provinsi/KIP Aceh terkait dengan tema riset 2 Melaksanakan riset tingkat kab/kota KPU KAB/KOTA koordnasi Menyampaikan laporan pelaksanaan KPU riset 3 kepada KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU 4 Publikasil hasil riset di website KPU Kab/Kota Kabupaten/Kota dapat ~ 198 ~ menyampaikan laporan pelaksanaan riset kepada KPU melalui alamat email [email protected] F. Waktu Pelaksanaan Kegiatan riset pemilu di KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan pada rentang waktu antara April s.d. Juli 2015. Tabel 2 Waktu Pelaksanaan No. Agenda KPU KPU Kab/Kota 1. Persiapan dan pelaksanaan riset Maret s.d. Juli 2015 April s.d. Juli 2015 Publikasi riset Agustus s.d. Agustus s.d. November 2015 November 2015 2. G. Biaya Alokasi anggaran untuk melaksanakan kegiatan riset pemilu tertampung dalam anggaran riset pada DIPA Sekretariat Jenderal KPU untuk riset yang dilaksanakan Kabupaten/Kota oleh untuk KPU riset dan yang DIPA Sekretariat dilaksanakan oleh KPU/KIP KPU/KIP Kabupaten/Kota, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Riset yang dilaksanakan KPU menggunakan alokasi anggaran Pusat Pendidikan Pemilih, “Riset dan Pemetaan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada”, Lainnya, seperti tertuang akun Belanja Jasa dalam MAK 3364.032.001.011.522191, pada DIPA Sekretariat Jenderal KPU Tahun 2015. b. Riset yang dilaksanakan KPU/KIP Kabupaten/Kota menggunakan alokasi anggaran Pendidikan Pemilih, “Riset dan Pemetaan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu”, akun Belanja Jasa Lainnya, seperti tertuang dalam MAK 3364.003.012.522191 pada DIPA ~ 199 ~ : Sekretariat KPU/KIP Kabupaten/Kota Tahun 2015 c. Riset dapat dilaksanakan dengan cara swa-kelola atau dengan melibatkan pihak ketiga, baik perorangan/tim/lembaga yang mempunyai pengalaman pekerjaan dalam bidang riset. H. Penutup Riset terkait partisipasi masyarakat ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam menyelesaikan berbagai persoalan terkait dengan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaan riset diharapkan dapat terlaksana dengan baik. ~ 200 ~ JADWAL PENELITIAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK Waktu Penelitian Kegiatan Mei I 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. II III Juni IV I Konsultasi dan rapat Studi pustaka Penyusunan desain penelitian Studi lapangan (observasi, wawancara, kuisioner) Pengumpulan dan pengorganisasian data penelitian Pengolahan data penelitian Penulisan hasil penelitian Presentasi di KPU Lebak Penyerahan hasil riset ke KPU Provinsi Banten/KPU ~ 201 ~ II III Juli IV I II III IV PROSEDUR PENELITIAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK Metode Teknik Pengumpulan Instrumen Analisis Unit Analisis Data Daftar wawancara tidak Wawancara langsung berstruktur Daftar wawancara tertulis Kualitatif Kuisioner Daftar wawancara berstruktur Dokumentasi dan perpustakaan Kartu kutipan kartu ulasan ~ 202 ~ Analisis kualitatif dengan pendekatan teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann. Tiga proses pengambilan simpulan : reduksi data, display data, dan penarikan simpulan. Perilaku pemilih pada pemilu tahun 2014 di enam daerah pemilihan seKabupaten Lebak DAFTAR KUISIONER PENELITIAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK Kuisioner Penelitian Perilaku Pemilih pada Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Lebak Petunjuk Pengisian 1. Bacalah setiap nomor dengan baik agar tidak salah mengisi! 2. Tandailah dengan (X) pada huruf yang sesuai dengan hati nurani sendiri! 3. Hasil kuisioner ini hanya akan digunakan untuk kepentingan riset KPU Kabupaten Lebak tahun 2015 (Surat KPU, 08 April 2015, No. 155/KPU/IV/2015) 4. Jangan menulis nama atau identitas lain! 5. Terima kasih atas partisipasi Anda! I. Profil Responden 1. Usia : a. 17 sampai 25 tahun b. 26 sampai 35 tahun c. 36 sampai 45 tahun d. 46 sampai 55 tahun e. 56 sampai 65 tahun f. Di atas 65 tahun 2. Jenis kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 3. Pekerjaan : ~ 203 ~ a. PNS b. Pegawai swasta c. Pedagang d. Petani e. Wiraswasata f. Tenaga profesional g. Pensiunan 4. Pendidikan : a. SD/sederajat b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat d. D-i e. D-II f. D-III g. D-IV h. S-1 i. S-2 j. S-3 5. Penghasilan setiap bulan : a. Di bawah Rp 1.000.000,00 b. Rp1.000.001,00 sampai Rp5.000.000,00 c. Rp5.000.001,00 sampai %p7.500.000,00 d. Rp7.500.001,00 sampai Rp10.000.000,00 e. Rp10.000.001,00 ke atas I. Pengetahuan Responden tentang Pemilu 1. Pemilu pertama Indonesia : a. Tahun 1955 b. Tahun 1977 c. Tahun 200 2. WNI yang punya hak pilih : a. Usia 17 tahun atau sudah/pernah kawin b. Minimal berusia 17 tahun ~ 204 ~ c. Sudah/pernah kawin dengan usia minimal 17 tahun 3. Tempat penggunaan hak piliih di : a. Tempat Pemungutan Suara (TPS) b. Panitia Pemungutan Suara (PPS) c. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK 4. Penggunaan hak pilih dilakukan secara : a. Bebas dan rahasia b. Bebas dan adil c. Bebas dan jujur kepada calon 5. Partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan : a. Calon presiden b. Calon wakil presiden c. Calon presiden dan wakil presiden 6. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilakukan setiap : a. Lima tahun sekali b. Lima tahun sekali atas usulan MPR c. Lima tahun sekali atas usulan MPR dan Mahkamah Konstitusi 7. Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah wakil dari : a. Kabupaten dan kota dalam sebuahprovinsi b. Provinsi c. Provinsi dengan jumlah maksimal 4 orang 8. Wakil rakyat di DPR disebut pula : a. Anggota legislatif b. Anggota legislator c. Anggota Dewan Perwakilan Daerah 9. Pemilihan kepala daerah bisa berarti : a. Pemilihan gubernur/wakil gubernur b. Pemilihan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota c. a dan b 10. KTP boleh digunakan pemilih berdasarkan keputusan: a. Mahkamah Agung b. Komisi Pemilihan Umum c. Mahkamah Konstitusi ~ 205 ~ II. Pertanyaan Penelitian 1. Memilih karena program atau ideologi parpol termasuk : a. Pemilih tradisional b. Pemilih rasional c. Pemilih emosional 2. Money politics adalah : 3. a. Politik uang b. Uang politik c. Uang politik untuk biaya kampanye Seharusnya, kita menggunakan hak pilih karena : a. Sadar, ingin jadi WNI yang baik b. Janji-janji pemberian materi dari calon c. Sekadar partisipasi politik saja 4. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih dikategorikan : d. Pidana e. Perdata f. 5. Pidana pemilih Daftar penduduk dikerjakan oleh : d. Pemerintah e. KPU f. 6. 7. Pemerintah dan KPU Isi kampanye dalam bentuk rapat umum, antara lain, : a. Menyampaikan visi dan misi b. Menyampaikan janji-janji materi agar calon terpilih c. Memantapkan visi, misi, dan janji imbalan materi Mengubah pilihan karena money politic itu, hakikatnya termasuk: a. Hadiah b. Penghargaan atas kerja sama politik c. Suap 8. Ajaran Islam menyebut suap (termasuk dalam pemilu) sebagai : a. Azab b. Laknat c. Siksa ~ 206 ~ 9. Dalam ajaran Islam, memilih pemimpin termasuk ibadah : a. Maka, pantas membaca bismillah sebelum mencoblos b. Maka, pantas membaca istighfar sebelum mencoblos c. Maka, pantas membaca hamdalah sebelum mencoblos 10. Rekam jejak calon yang terpuji dan punya kemampuan: a. Pantas dipilih b. Pantas dipilih dengan syarat lulusan perguruan tinggi c. Pantas dipilih dengan syarat santun berpolitik ~ 207 ~ DAFTAR WAWANCARA PENELITIAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK Daftar Wawancara Berstuktur Penelitian Perilaku Pemilih pada Pemilu Tahun 2014 di Kabupaten Lebak 1. Sudah berapa kali Anda mengikuti pemilu sampai tahun 2014 kemarin (termasuk pemilukada/pilkada)? a. Satu kali b. Dua kali c. TIga kali d. Empat kali e. Lima kali f. Enam kali g. Tujuh kali h. Delapan kali i. Lebih dari delapan kali 2. Apakah Anda (selalu) menggunakan hak pilih pada pemilu itu? a. Ya b. Tidak 3. Pada setiap pemilu, Anda selalu mengajak menggunakan hak pilih kepada teman dekat/anggota keluarga yang lain? a. Ya b. Tidak ~ 208 ~ 4. Apakah Anda mengajak anggota keluarga untuk memilih calon tertentu, seperti halnya pilihan Anda? a. Ya b. Tidak 5. Bagi Anda, di lingkungan internal keluarga, apakah pilihan calon itu rahasia, atau terbuka saja sehingga sesama anggota keluarga saling mengetahui pilihan masing-masing? a. Rahasia, meski di lingkungan keluarga b. Tidak jadi rahasia, karena di lingkungan keluarga 6. Apakah Anda memberitahukan pilihan Anda kepada orang lain setelah menggunakan hak pilih di TPS? a. Ya b. Tidak 7. Apa yang mendorong Anda menggunakan hak pilih? a. Karena sudah diberi barang/uang oleh calon/tim calon b. Calonnya, orang dekat/kerabat/atasan saya c. Calon yang saya pilih dinilai pantas jadi wakil/pemimpin d. Semata-mata keinginan saya, tanpa pengaruh dari luar e. Karena visi, misi, dan program kerjanya 8. Kapan Anda menentukan pilihan calon? a. Mendadak di TPS b. Menentukan pilihan pada masa tenang c. Menentukan pilihan pada masa kampanye d. Menentukan pilihan sejak pengumuman calon 9. Perubahan pilihan terhadap calon bisa terjadi karena: a. Kampanye para calon ~ 209 ~ b. Politik uang c. Masukan dari teman/kerabat/kolega di tempat pekerjaan d. Sering didatangi langsung oleh calon e. Pemberitaan di media massa (cetak dan elektronik) f. Bahwa a, b, c, d, dan e tidak akan mengubah piliihan 10. Berita di media massa (cetak dan elektonik), berkaitan dengan pilihan calon: a. Sangat berpengaruh untuk menentukan pilihan b. Berpengaruh untuk menentukan pilihan c. Tidak berpengaruh untuk menentukan pilihan d. Sangat tidak berpengaruh untuk menentukan pilihan 11. Calon yang menjanjikan perbaikan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan kepada khalayak dalam kampanye-nya: a. Sangat pantas dipilih b. Pantas dipilih c. Tidak pantas dipilih d. Sangat tidak pantas dipilih Catatan peneliti dan temuan lapangan ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ~ 210 ~ ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………… ………………………………………….2015 Peneliti …..………………………..………………... ~ 211 ~ JUMLAH PENDUDUK, DAERAH PEMILIHAN, DAN ALOKASI KURSI PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK Dapil I II Kecamatan 2012 10 12 9 8 9 8 8 8 6 6 2009 2012 Rangkasbitung Rangkasbitung 108,875 112,594 CIbadak CIbadak 51,758 53,970 48,515 28,757 237,905 48,511 28,900 243,975 Warunggunung Warunggunung Kalanganyar Kalanganyar Jumlah Maja Maja 46,502 45,042 Curugbitung Curugbitung 32,181 25,615 Sajira Sajira 50,533 42,436 47,532 19,542 196,290 42,374 14,286 169,753 Muncang 32,537 26,469 Cipanas Cipanas Lebakgedong Lebakgedong Jumlah Sobang Sobang 28,309 21,298 Cimarga Leuwidamar Bojongmanik Cimarga Leuwidamar Bojongmanik 58,068 45,649 20,896 51,137 44,162 16,328 Cirinten Cirinten 23,897 18,428 209,356 177,822 Cihara Cihara 28,073 22,654 Panggarangan Panggarangan 33,719 31,539 Bayah Bayah 36,790 38,756 Cibeber Cibeber 52,535 45,357 Cilograng Cilograng 33,885 27,123 Jumlah V 2009 2012 Jumlah IV Jumlah Kursi 2009 Muncang III Jumlah Penduduk 185,002 165,429 Cijaku Cijaku 30,138 21,521 Cigemblong Cigemblong 20,810 15,686 Malingping Malingping 59,555 55,552 Wanasalam Wanasalam 49,299 42,104 159,802 134,863 34,621 28,445 Jumlah Gunungkencana Gunungkencana ~ 212 ~ VI Banjarsari Banjarsari 63,896 47,504 Cileles Cileles 44,677 41,582 Cikulur Cikulur 46,582 41,218 28 189,776 1.178.131 158,749 1.050.591 Jumlah Jumlah 28 Rangkasbitung, 01 Agustus 2014 Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak ~ 213 ~ 8 8 50 50 REKAPITULASI DAFTAR PEMILIH TETAP (A.6 KABUPATEN/KOTA) PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK Jumlah Pemilih No. Kecamatan Jumlah Desa/Kelurahan Jumlah TPS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Banjarsari Bayah Bojongmanik Cibadak CIbeber Cigemblong Cihara Cijaku Cikulur CIleles Cilograng Cimarga Cipanas Cirinten Curugbitung Gunungkencana Kalanganyar Lebakgedong Leuwidamar Maja Malingping Muncang Panggaranagan Rangkasbitung Sajira Sobang Wanasalam Warunggunung 20 11 9 15 22 9 9 10 13 12 10 17 14 10 10 12 7 6 12 14 14 12 11 16 15 10 13 12 100 75 40 94 107 45 53 53 77 84 68 136 78 45 50 59 50 33 96 81 103 63 75 205 82 53 93 87 Laki-laki 22.052 15.634 8.240 21.699 20.998 8.217 11.657 10.401 18.093 18.432 12.421 23.081 17.207 9.662 11.960 13.009 11.536 7.466 19.513 18.816 22.984 11.894 13.860 43.943 17.608 10.826 18.905 20.134 Perempuan 21.198 15.256 7.945 20.530 20.055 7.785 11.044 9.788 17.115 17.682 11.626 21.733 16.814 9.194 11.103 12.440 10.667 7.122 18.568 17.874 22.528 11.482 13.394 42.279 17.322 10.503 18.310 18.877 L + P 43.250 30.890 16.185 42.229 41.053 16.002 22.701 20.189 35.208 36.114 24.047 44.814 34.021 18.856 23.063 25.449 22.203 14.588 38.081 36.690 45.511 23.376 27.254 86.222 34.930 21.329 37.215 39.011 345 2.185 460.247 440.234 900.481 Jumlah Rangkasbitung, 01 Agustus 2014 Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak ~ 214 ~ CALON TERPILIH ANGGOTA DPRD KABUPATEN LEBAK HASIL PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD TAHUN 2014 No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 01. 02. 03. 04. 05. 01. 02. 03. 04. 05. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 01. 02. 03 04. Nama Nomor Urut Caleg Dapil Suara Parpol dan Caleg Partai Nasional Demokrat Dra. Lita Mulyati, M.M. 4 Lebak 1 H. Yanto 1 Lebak 2 H. Abay Zaenudin, M.Si. 2 Lebak 2 Dulmuin 4 Lebak 4 Iwan Kurniawan 5 Lebak 5 Moh. Arif 1 Lebak 6 Partai Kebangkitan Bangsa Drs. Mochamad Husen, M.H. 1 Lebak 1 Drs. Basyirun 1 Lebak 2 H. Dana Ukon 6 Lebak 3 Agus Suhendra 1 Lebak 4 Acep Dimyati 1 Lebak 6 Partai Keadilan Sejahtera Dian Wahyudi 1 Lebak 1 Hj. Esih Sukaesih, S.E. 2 Lebak 3 Drs. Iip Makmur 1 Lebak 4 Agus Hermawan, S.E. 1 Lebak 5 Yayan Ridwan 1 Lebak 6 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Juwita Wulandari 4 Lebak 1 Supriyadi 5 Lebak 1 Suherman 4 Lebak 2 Junaedi Ibnu Jarta 2 Lebak 3 H. Aminudin 5 Lebak 3 H. Ace Atmawijaya 2 Lebak 4 Hj. Saomi Nursiawati 6 Lebak 4 Aan Suranto 1 Lebak 5 Hj. Emuy Mulyanah 4 Lebak 6 Enjun Ombi Lomri 5 Lebak 6 Partai Golongan Karya H. Mas Yogi Rochmat A 1 Lebak 1 H. Suprani 2 Lebak 1 H. Djamaludin, S.Ag. 4 Lebak 2 Nana Sumarna, S.H. 1 Lebak 3 ~ 215 ~ Caleg 9.154 18.359 18.359 8.885 6.209 5.243 1.821 9.610 3.052 3.714 1.331 2.096 12.537 12.726 10.535 9.245 8.203 2.792 4.063 2.421 3.979 3.398 10.323 9.480 21.441 8.703 11.318 1.887 3.096 6.744 3.706 4.083 22.067 22.067 18.082 22.419 22.419 22.036 22.036 11.829 23.868 23.868 3.343 3.401 6.147 7.628 3.234 6.259 5.820 2.983 4.635 4.568 17.212 17.212 11.418 17.802 2.536 5.709 2.572 4.073 05. 06. 07. 08. 01. 02. 03. 04. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 01. 01. 02. 03. 04. 01. - Rully Sugiharto Wibowo, S.Pd. 1 Lebak 4 Pipit Candra, A.Md. 2 Lebak 4 Saleh 1 Lebak 5 Iyang, S.P. 1 Lebak 6 Partai Gerakan Indonesia Raya Zaenal Faozi 1 Lebak 1 H. Oong Sahroni 1 Lebak 2 Bangbang, S.P. 1 Lebak 3 H. Uat Haryanto 1 Lebak 5 Partai Demokrat Ucuy Mashuri 1 Lebak 1 H. Ali Murtado 2 Lebak 2 Mahpudin 1 Lebak 3 Ari Pramudya 8 Lebak 4 Madsoni, S.E. 1 Lebak 5 Ucu Suherman Haris, M.Si. 2 Lebak 6 Partai Amanat Nasional Jarnuji Manaf, S.Pd., M.Si 1 Lebak 1 Partai Persatuan Pembangunan Maman Sudirman, S.Sos. 1 Lebak 1 Ridwan Imamul Huda, S.T. 1 Lebak 2 Neng Siti Julaeha, M.Pd. 1 Lebak 3 Djudju Yumiarsih, S.E. 1 Lebak 6 Partai Hati Nurani Rakyat H. Eddy Supadrijono, M.Si. 7 Lebak 1 50 - Rangkasbitung, 01 Agustus 2014 Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak ~ 216 ~ 26.510 26.510 12.208 12.596 7.139 5.039 4.377 4.576 11.210 7.405 12.753 17.926 3.124 3.459 4.619 5.742 13.489 10.649 21.048 9.426 10.180 12.571 2.110 3.619 6.970 2.470 5.739 3.333 5.374 1.054 10.033 8.617 8.133 6.687 4.935 2.811 3.506 3.027 11.134 - 1.950 - PROFIL RESPONDEN DI ENAM DAERAH PEMILIHAN SEKABUPATEN LEBAK 1. Kategori Usia Responden Usia 17 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 < 65 Jumlah Frekuensi 40 52 26 25 4 3 150 Frekuensi Relatif 40/150 52/150 26/150 25/150 4/150 3/150 150/150 Perseratus 27% 34% 17% 16% 3% 2% 100% Sumber : Pertanyaan nomor 1 2. Kategori Jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Frekuensi 92 58 150 Frekuensi Relatif Perseratus 92/150 61% 58/159 39% 150/150 100% Sumber : Pertanyaan nomor 2 3. Kategori Pekerjaan Reponden Pekerjaan PNS Swasta Pedagang Petani Wiraswasta Profesional Pensiunan Jumlah Frekuensi 40 42 8 10 30 13 7 150 frekuensi Relatif Perseratus 40/150 26% 42/150 28% 8/150 5% 10/150 7% 30/150 20% 13/150 9% 7/150 5% 150/150 100% Sumber : Pertanyaan nomor 3 4. Kategori Pendidikan Responden Pendidikan Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat D-I D-II D-III 8 21 57 1 2 14 8/150 21/150 57/150 1/150 2/150 14/150 5% 14% 38% 1% 1% 9% ~ 217 ~ D-IV S-1 S-2 S-3 Jumlah 5. 0 42 4 1 150 0/150 0% 42/150 28% 4/150 3% 1/150 1% 150/150 100% Sumber : Pertanyaan nomor 4 Kategori Penghasilan Responden Penghasilan Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 01. 69 69/150 46% 02. 35 35/150 23% 03. 21 21/150 14% 04. 15 15/150 10% 05. 10 10/150 7% Jumlah 150 150/150 100% Sumber : Pertanyaan nomor 5 ~ 218 ~ PENGETAHUAN REPONDEN TENTANG PEMILIHAN UMUM Frekuensi Relatif Perseratus 78 24 48 78/150 24/150 48/150 52% 16% 32% 150 150/150 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 98 24 28 150 98/150 24/150 28/150 150/150 65% 16% 19% 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 147 1 2 147/150 1/150 2/150 98% 1% 1% Jumlah 150 150/150 100% Jawaban a b c 127 04. 12 11 Jumlah Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 127 12 11 150 127/150 12/150 11/150 150/150 85% 8% 7% 100% A 78 - 01. Jawaban b C 24 48 Frekuensi Jumlah Jawaban A b 98 02. 24 Jumlah c 28 Jawaban a b 147 1 - 03. A 22 - 05. c 2 Jawaban b c 5 123 Jumlah 06. Frekuensi 22 5 123 150 Jawaban A b 136 7 Jumlah A 87 - c 7 Jawaban b c 36 - Frekuensi Relatif Perseratus 22/150 5/150 123/150 15% 3% 82% 150/150 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 136 7 7 150 136/150 7/150 7/150 150‟150 90% 5% 5% 100% Frekuensi Relatif Perseratus 87/150 36/150 58% 24% Frekuensi 87 36 ~ 219 ~ 07. - - 27 Jumlah 08. Jawaban A b 132 6 Jumlah A 09. c 12 Jawaban b c 27/150 18% 150 150/150 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 132 6 12 150 132/150 6/150 12/150 150‟150 88% 4% 8% 100% Frekuensi Relatif Perseratus Frekuensi 13 - - 13 13/150 9% - 36 - 36 36/150 24% - - 101 101 101/150 67% 150 150/150 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus Jumlah Jawaban 10. 27 A b c 23 - - 23 23/150 15% - 85 - 85 85/150 57% - - 42 42 42/150 28% 150 150/150 100% Jumlah Sumber : Dokumen hasil tes pengetahuan, nomor 1 sampai 10 ~ 220 ~ JAWABAN RESPONDEN ATAS PERTANYAAN PENELITIAN TENTANG PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK No. 01. Jawaban Perseratus B c 35 - - 35 35/150 23% - 99 - 99 99/150 66% - - 16 16 16/150 11% 150 150/150 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus Jawaban A B c 121 - - 121 121/150 81% - 12 - 12 12/150 8% - - 17 17 17/150 11% 150 150/150 100% Jumlah Jawaban 03. Frekuensi Relatif A Jumlah 02. Frekuensi Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus A B c 125 - - 125 125/150 83% - 13 - 13 13/150 9% - - 13 13 13/150 9% 150 150/150 100% Jumlah Jawaban 04. Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus A B c 74 - - 74 74/150 49% - 36 - 36 36/150 24% - - 40 40 40/150 27% 150 150/150 100% Frekuensi Relatif Perseratus Jumlah Frekuensi Jawaban A B c ~ 221 ~ 74 - - 74 74/150 49% - 33 - 33 33/150 22% - - 43 43 43/150 29% 150 150/150 100% 05. Jumlah Jawaban 06. A b c Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 111 - - 111 111/150 74% - 23 - 23 23/150 15% - - 16 16 16/150 11% 150 150/150 100% Jumlah Jawaban 07. A b c Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus 16 - - 16 16/150 11% - 25 - 25 25/150 17% - - 109 109 109/150 72% 150 150/150 100% Jumlah Jawaban 08. A B c Frekuensi 12 - - 12 12/150 8% - 132 - 132 132/150 88% - - 6 6 6/150 4% 150 150/150 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus Jumlah Jawaban 09. Frekuensi Relatif Perseratus a b c 123 - - 123 123/150 82% - 23 - 23 23/150 15% - - 4 4 4/150 3% 150 150/150 100% Frekuensi Frekuensi Relatif Perseratus Jumlah Jawaban ~ 222 ~ 10. a b c 92 - - 92 92/150 61% - 18 - 18 18/150 12% - - 40 40 40/150 27% 150 150/150 100% Jumlah Sumber : Dokumen jawaban pertanyaan penelitian, nomor 1 sampai 10 ~ 223 ~ DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN PADA PEMILU TAHUN 2014 I. Mukadimah KPU Kabupaten Lebak sedang melakukan penelitian perilaku pemilih di enam daerah pemilihan yang mencakup 28 kecamatan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan “pisau” analisis teori konstruksi realitas secara sosial Berger dan Thomas Luckmann. model Peter Ludwig Judul penelitiannya, Konstruksi Realitas Perilaku Pemilih Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Lebak. Sumber sekunder dan primer terdiri dari penyebaran kuisioner, wawancara mendalam, pengamatan, dan diperkaya oleh hasil wawancara dengan pejabat, akademisi, dan praktisi. Demi dan untuk memerkaya hasil penelitian, KPU Kabupaten Lebak memohon dengan hormat para narasumber meluangkan waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian. II. Narasumber Wawancara 1. Bupati Lebak Hj. Iti Octavia jayabaya, S.E., M.M. 2. Ketua DPRD Lebak Junaedi Ibnu Jarta 3. Ketua MUI Kabupaten Lebak K.H. Syatibi Hambali 4. Analis politik, H. Agus Sutisna, S.I.P., M.Si. ~ 224 ~ III. Keluaran Hasil Wawancara 1. Hasil wawancara jadi salah satu rujukan penyusunan hasil penelitian. 2. Hasil wawancara untuk membantu menjelaskan hasil penelitian 3. Jadi bahan Tim Peneliti untuk menginterpretasikan data. 4. KPU Kabupaten Lebak akan menyerahkan hasil penelitian ke KPU sebagai bahan penyusunan kebijakan yang berbasiskan hasil penelitian. IV. Pertanyaan Wawancara Untuk kepentingan tersebut mengajukan beberapa di atas, pertanyaan KPU Kabupaten Lebak wawancara langsung, sebagaimana terlampir. V. Penutup KPU Kabupaten Lebak mengucapkan terima kasih atas perhatian dan partisipasi para narasumber. Rangkasbitung, 29 Juni 2015 M/12 Ramadan 1436 H KPU Kabupaten Lebak Ketua Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si ~ 225 ~ DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA PENELITIAN PERILAKU PEMILIH PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK I. Pertanyaan Wawancara untuk Ibu Bupati Lebak 1. Pemilihan umum secara elektronik (e-voting) diwacanakan lagi, antara lain, karena akan menghemat biaya yang cukup signifikan, tanpa harus mengurangi substansi demokrasi pemilihan langsung. Pandangan Ibu Bupati tentang e-voting pada pemilu ke depan? 2. KPU Kabupaten Lebak sangat berkepentingan mencermati jumlah penduduk, antara lain, karena data pemilih diambil dari data penduduk melalui prosesi pemutakhiran data dan daftar pemilih. KPU Kabupaten Lebak pun mengukur rasionalitas jumlah pendduk dan jumlah pemilih. Pertanyaannya, bagaimana prosesi pencatatan penduduk di Kabupaten Lebak untuk menghasilkan data penduduk yang lebih akurat sehingga bisa menghasilkan data dan daftar pemilih yang lebih tepat? 3. Kartu tanda penduduk (KTP), antara lain, bisa untuk menggunakan hak pilih pula digunakan Sejauh ini, bagaimana capaian kepemilikan KTP di Kabupaten Lebak dan usaha Pemerinatah Kabupaten Lebak agar warga betul-betul sangat membutuhkan KTP? II. Pertanyaan Wawancara untuk Bapak Ketua DPRD Lebak 1. Sejauh mana kampanye dan hasil survai perolehan suara memengaruhi pemilih di Kabupaten Lebak? 2. Sebagai politisi yang menyaksikan langsung masyarakat pemilih dari dekat, adakah perbedaan karakteristik pemilih di lingkungan masyarakat kota dan masyarakat desa? ~ 226 ~ 3. Bagaimana umumnya para anggota DPRD Kabupaten Lebak terpilih memelihara hubungan baik dengan pemilih di daerah pemilihan masing-masing? 4. Hasil wawancara di lapangan oleh Tim Peneliti, di samping ada masyarakat yang puas atas calon yang mereka pilih sebelumnya, juga tak sedikit yang merasa kecewa karena kemudian merasa ditinggalkan. Komentar Bapak Ketua DPRD Kabupaten Lebak untuk kedua realitas itu, juga dampaknya kemudian terhadap penggunaan hak pilih? III. Pertanyaan Wawancara untuk Ketua MUI Lebak K.H. Syatibi Hambali 1. Memilih pemimpin seperti presiden, gubernur atau bupati, juga wakil rakyat di parlemen, bagaimana dalam pandangan Islam jika dikaitkan dengan caranya yang langsung oleh rakyat? 2. Adakah peluang ijtihad bagi masyarakat pemilih untuk memastikan pilihannya di tempat pemungutan suara? 3. Apakah. kharisma kiai sedemikian kuat di lingkungan pesantren khususnya sehingga kalangan santri akan mengikuti arahan kiainya itu ketika mereka menggunakan hak pilihnya? 4. Dalam pandangan ajaran Islam, harus seperti apa idealnya seorang pemilih yang cerdas dan sekaligus seorang calon yang berkualitas? IV. Pertanyaan Wawancara untuk Analis Politik dan Perubahan Sosial, H. Agus Sutisna, S.I.P., M.Si. 1. Anda bisa jelaskan secara umum perbandingan psikologi pemilih pada zaman Orde Baru dan zaman Reformasi sekarang ini, termasuk secara spesifik di Kabupaten Lebak? 2. Dewan Pers melaporkan, dalam Covering Election 2014, “Bahwa berkurangnya belanja iklan ruang media, karena para caleg lebih ~ 227 ~ memilih „membelanjakan‟ uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli suara para pemilih di level kelurahan atau menyuap panitia pemilihan di KPUD”. Laporan Dewan Pers yang berbasiskan liputan media itu seperti mengingatkan bahwa ada “penjual” suara (pemilih) dan “pembeli” suara (caleg) dalam pemilu. Kami ingin Anda mengomentari laporan Dewan Pers itu, lalu dikaitkan dengan perilaku pemilih dan perilaku caleg di Kabupaten Lebak khususnya. 3. Tipologi pemilih di Kabupaten Lebak pada pemilu 2014 lalu, seperti yang Anda saksikan, atau hasil pengamatan Anda sebagai analis politik dan perubahan sosial, seperti apa? 4. Kelompok masyarakat tradisional di Kabupaten Lebak, selalu saja patuh kepada pemuka adat (puun atau olot), termasuk dalam penggunaan hak pilih pada setiap pemilu. Partisipasi pemilih cukup tinggi, tetapi perolehan suara selalu “dikuasai” para caleg yang direstui para pemuka adat itu. Pertanyaannya, apakah itu masalah bagi demokrasi, atau malah justru sebagai kearifan lokal? Rangkasbitung, 29 Juni 2015 M/12 Ramadan 1436 H Tim Peneliti Perilaku Pemilih Tahun 2014 di Kabupaten Lebak Ketua C.R. Nurdin ~ 228 ~ WAWANCARA DENGAN BUPATI KABUPATEN LEBAK Hj. ITI OCTAVIA JAYABAYA, S..E., M.M. Dari mana mengetahui Anda kecantikan seseorang perempuan? Dari umurnya, penampilannya, pakaiannya, atau cara menyisir rambutnya? Bukan! Konon, hanya dari kedua bola Karena, matanya. inilah hatinya, dan pintu di sinilah tempat cintanya tersimpan. Tapi, jangan coba-coba menatap kedua bola mata perempuan yang bukan mahram (Bukan muhrim. Karena, muhrim itu artinya orang yang sedang beribadah umrah). Lalu, Hj. Iti Octavia Jayabaya, S.E., M.M., itu bupati Kabupaten Lebak yang paling cantik dari 26 bupati setempat selama ini? Ya, memang, karena putri H. Mulyadi Jayabaya (bupati Lebak dua periode sebelumnya) ini perempuan bupati pertama sejak Lebak lahir tahun 1828. Lahir di Cileles, Kabupaten Lebak, 04 Oktober 1978, kemudian dipersunting pengusaha asal Jakarta, Mochammad Farid. Gelar sarjana ekonominya diperoleh dari Universitas Jayabaya (2000) dan gelar magister manajemennya diperoleh dari Universitas Trisakti (2005). Sebelum jadi bupati, Hj. Iti terpilih jadi anggota DPR (Partai Demokrat), dari Daerah Pemilihan Banten 1 (Lebak dan Pandeglang). Di DPR, Hj. Iti dituugasi partainya menempati membidangi keuangan, perencanaan ~ 229 ~ Komisi XI yang pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank.. Hj. Iti Octavia dilantik jadi bupati Lebak, bersama-sama dengan wakilnya, H. Ade sumardi, S.E., Rabu, 15 Januari 2014 lalu. Inilah cuplikan catatan pertamanya (dalam face book-nya) ketika baru saja menempati rumah dinas bupati Lebak, dan sebagai bupati Lebak, “…..pemimpin itu harus kuat menghadapi tekanan, namun disisi lain harus 'Keep moving forward'. Saya harap kita semua bisa bergotong-royong untuk membawa Lebak terus mengejar ketertinggalan dan melanjutkan Program Percepatan Pembangunan…”. Tim Peneliti menempatkan Hj. Iti sebagai seorang bupati, bukan sebagai seorang ketua partai politik atau mantan anggota DPR. Inilah jawaban Bupati Lebak itu. 1. Pemilihan umum secara elektronik (e-voting) diwacanakan lagi, antara lain, karena akan menghemat biaya yang cukup signifikan, tanpa harus mengurangi substansi demokrasi pemilihan langsung. Pandangan Ibu Bupati tentang e-voting pada pemilu ke depan? 2. KPU Kabupaten Lebak sangat berkepentingan mencermati jumlah penduduk, antara lain, karena data pemilih diambil dari data penduduk melalui prosesi pemutakhiran data dan daftar pemilih. KPU Kabupaten Lebak pun mengukur rasionalitas jumlah pendduk dan jumlah pemilih. Pertanyaannya, bagaimana prosesi pencatatan penduduk di Kabupaten Lebak untuk menghasilkan data penduduk yang lebih akurat sehingga bisa menghasilkan data dan daftar pemilih yang lebih tepat? 3. Kartu tanda penduduk (KTP), antara lain, bisa untuk menggunakan hak pilih pula digunakan Sejauh ini, bagaimana capaian kepemilikan KTP di Kabupaten Lebak dan usaha Pemerinatah Kabupaten Lebak agar warga betul-betul sangat membutuhkan KTP? ~ 230 ~ WAWANCARA DENGAN KETUA DPRD KABUPATEN LEBAK JUNAEDI IBNU JARTA Pedalaman Kecamatan Sobang tetap lebih sejuk jika dibandingkan alun barat dengan alun- Rangkasbitung, tentu saja. Sejuk dalam arti yang sebenar-benarnya karena memang udara pedalaman Sobang masih lebih segar dan lingkungan jauh lebih hijau, juga dalam arti simbolik karena tanah leluhur itu tanpa dinamika dan problematika politis. Sudah hampir setahun, lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menduduki jabatan ketua DPRD Kabupaten Lebak untuk masa jabatan 2014 – 2019. Ya, di jantung kota, Junaedi Ibnu Jarta, ketua DPRD Kabupaten Lebak itu, menyaksikan dari dekat dinamika politik itu. Ada penyaluran aspirasi langsung ke gedung wakil rakyat, ada pula penyaluran aspirasi melalui aksi-aksi orasi demonstrasi. Jun, demikian dia biasa disapa teman-temannya, memahami dinamika itu, dan sebagai seorang wakil rakyat harus memahaminya benar. Lahir di Sobang, 28 Februari 1980, suami Zulfiati, Amd. Keb. ini mengaku tertarik ke dunia politik praktis karena ingin menjadi bagian dari pengambil keputusan dan perumusan kebijakan pembangunan daerah. Mantan direktur eksekutif Kadin Kabupaten Lebak itu pun akhirnya bismillah jadi calon anggota DPRD Kabupaten Lebak (PDI Perjuangan) di Daerah Pemilihan Lebak 3, termasuk di dalamnya Kecamatan Sobang, tanah ~ 231 ~ airnya. Ayah dua anak ini terpilih dengan mengantongi dukungan 22.419 suara. Partainya mendapat kursi terbanyak, 10 buah, lalu Ibnu Jarta ditugasi partainya menjadi ketua DPRD Lebak. Tim Peneliti mewawancarainya sebagai ketua DPRD Kabupaten Lebak, bukan sebagai seorang politisi. Oleh karena itu, pertanyaannya pun sama sekali tak menyangkut urusan profil atau kebijakan partai politiknya, seperti berikut : Sejauh mana kampanye dan hasil survai perolehan suara memengaruhi pemilih di Kabupaten Lebak? Sangat jelas akan memengaruhi sebab kampanye menjadi corong atau jembatan informasi antara calon pemilih dengan calon legislatif. Melalui kampanye, masyarakat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak kenak menjadi kenal. Pertemuan antara calon dan pemilih dalam momentum kampanye, secara psikologis akan memengaruhi pilihan pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) nanti. Sementara itu, hasil survei sangat berpengaruh positif karena bisa menjadi referensi pergerakan tim dalam melakukan pemetaan kekuatan politik. Tim bisa dengan mudah dan akurat melakukan pemetaan pemenangan melalui hasil survei. Sebagai politisi yang menyaksikan langsung masyarakat pemilih dari dekat, adakah perbedaan karakteristik pemilih di lingkungan masyarakat kota dan masyarakat desa? Perbedaan itu sangat nampak dan terlihat jelas. Pemilih di pedesaan masih pathernalistic atau masih patuh terhadap tokoh lokal. Karenanya, ~ 232 ~ pemilih di desa cenderung kompak terhadap satu kandidat. Kondisi ini membuat praktek money politic tak terlalu berpengaruh pada pilihan pemilih. Sementara untuk masyarakat perkotaan, ketokohan seseorang tak terlalu berpengaruh terhadap pilihan pemilih sebab informasi tentang profil calon lebih terbuka. Karena itu, pemilih di perkotaan cenderung individualistik dan liar. Kondisi ini tentu sangat rentan dengan praktek money politic karena pragmatisme pemilih lebih kuat. Namun di perkotaan itu banyak juga pemilih rasional yang kuat mempertahankan integritas. Bagaimana umumnya para anggota DPRD Kabupaten Lebak terpilih memelihara hubungan baik dengan pemilih di daerah pemilihan masing-masing? Ada banyak cara yang bisa dan biasa dilakukan dalam merawat konstituen. Namun intinya adalah komunikasi yang terus intensif dengan pemilih, baik itu secara formal maupun informal. Misalnya yang saya lakukan adalah menyebar nomor kontak telepon yang 24 jam bisa dihubungi pemilih. Konstituen juga bisa telepon kapan saja atau kirim pesan tentang apa saja setiap waktu. Komunikasi intensif itu juga bisa menjadi alat untuk menjelaskan dan menyampaikan informasi pembangunan yang tengah dan akan dilakukan pemerintah daerah, khususnya di daerah pemilihan dimana kita terpilih. Lalu dalam forum resmi, seperti ketika digelar reses, disampaikan secara jelas dan gamlang tentang informasi pembangunan kepada masyarakat. Pemilih juga diajak terlibat dalam pengaspirasian program di masingmasing wilayahnya untuk diusulkan. ~ 233 ~ Komunikasi dengan konstituen juga biasa dilakukan dalam momentum hari raya atau hari besar. Mereka yang telah berjasa memilih diundang untuk bersilaturahmi dan saling berbagi kabar serta informasi. Sebab dari kontak langsung seperti inilah berbagai aspirasi sudah pasti didapatkan. Hasil wawancara di lapangan oleh Tim Peneliti, di samping ada masyarakat yang puas atas calon yang mereka pilih sebelumnya, juga tak sedikit yang merasa kecewa karena kemudian merasa ditinggalkan. Komentar Bapak Ketua DPRD Kabupaten Lebak untuk kedua realitas itu, juga dampaknya kemudian terhadap penggunaan hak pilih? Pandangan rakyat yang demikian tidak bisa disalahkan, sebab memang banyak calon terpilih yang meninggalkan pemilih setelah duduk mengemban amanah. Paradigma ini sama sekali tak bisa disalahkan. Saat kampanye lalu, saya juga banyak mendapat pertanyaan soal ini. Banyak aspirasi demikian bahwa calon legislatif hanya datang saat musim pencalonan. Tentu saja, ini kembali pada masing-masing calon itu sendiri, apakah dia masih ingin terpilih di pemilu berikutnya atau cukup sampai disitu. Sebab saya yakin, bagi calon yang mengabaikan rakyat maka di kemudian hari tidak akan terpilih lagi. Bahkan yang berbahaya, pemilih bisa menjadi apatis, bukan hanya kepada calon tetapi juga terhadap proses demokrasi itu sendiri ~ 234 ~ WAWANCARA DENGAN KETUA MUI KABUPATEN LEBAK KIAI HAJI ACHMAD SYATIBI HAMBALI Anak tunggal pasangan Haji Hambali dan Hajjah Sunaiah itu mengikuti jejak sang ayah yang menjadi nyantri idolanya, dari pesantren tradisional ke pesantren tradisional lainnya. Sang anak ingin waris jadi ahli ideologis sang ayah pula. “Saya anak biologis Haji Hambali, saya pun ingin sekaligus jadi anak ideologisnya, anak rohaninya,” katanya. Ayah lima anak hasil pernikahan dengan Hj. Siti Amah, satu-satunya istrinya itu, setidak-tidaknya kini sudah mencapai citacitanya, jadi kiai, dan biasa dipanggil Kiai Ibing. Nama lengkapnya, seakan hanya ada di KTP-nya, setelah tenggelam oleh popularitas panggilan akrabnya ini. Kiai berusia lebih dari setengah abad itu piawai dalam ilmu nahwu dan ilmu sharaf, pasangan ilmu yang penting untuk membedah kitab-kitab klasik Islam. Selain mengasuh Pondok Pesantren Qathratu ‘l-Falah (Tetes-Tetes Kebahagiaan), di Cikulur, Kabupaten Lebak, “tanah airnya”, Kiai Ibing sudah dua periode masa jihad jadi ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak. Kiai Ibing tak punya kegiatan yang lain kecuali fokus pada pesantren dan berkhidmat kepada umat, ditambah sering ~ 235 ~ pula diundang ceramah di berbagai tempat. Tim Peneliti menemuinya di kediamannya, Cikulur, dan wawancara pun berlangsung pukul 02.00 pagi menjelang sahur. Berikut ini hasil wawancara dengan Kiai Ibing. Memilih pemimpin seperti presiden, gubernur atau bupati, juga wakil rakyat di parlemen, bagaimana dalam pandangan Islam jika dikaitkan dengan caranya yang langsung oleh rakyat? Dalam Islam, sebenarnya tidak ada model pemilihan yang khusus untuk pemimpin semisal presiden, gubernur, bupati atau wakil rakyat. Dalam pemilihan empat khalifah saja, keempat-empatnya dengan cara yang berbeda-beda. Ini artinya, proses atau mekanisme pilihan sepenuhnya diserahkan pada kesepakatan masyarakat dengan mempertimbangkan al-mashalahah al-„ammah (kebaikan bersama). Jika pemilihan langsung di negeri ini dinilai sebagai model pemilihan terbaik, karena tidak lagi “membeli kucing dalam karung”, dan itu disepakati bersama, maka itu dalam pandangan Islam juga baik-baik saja. Jika nyatanya ada kekurangan dalam prosesnya, maka semestinya kekurangan-kekurangan itu terus diperbaiki untuk mendapatkan kualitas pemilihan yang lebih baik lagi. Adakah peluang ijtihad bagi masyarakat pemilih untuk memastikan pilihannya di tempat pemungutan suara? Sebetulnya, „kan sudah banyak informasi yang tersebar ke masyarakat terkait calon yang berkompetensi. Dengan berbagai informasi itu, masyarakat pemilih sudah bisa menyaring dan membandingakan mana calon yang terbaik dan layak dipilih. Di ruang pemungutan suara, pas ~ 236 ~ pada hari pemilihan, tinggal pelaksanaan/eksekusi atau penyaluran pilihan saja. Jadi, proses ijitihadnya, kalau mau disebut demikian, ya sebelumnya di ruang pemungutan itu ketika masa-masa sosialisasi. Jangan sampai ijitihad dilakukan dengan waktu yang sempit dan ruang yang sempit, karena akan menghasilkan keputusan yang tidak optimal Apakah kharisma kiai sedemikian kuat di lingkungan pesantren khususnya sehingga kalangan santri akan mengikuti arahan kiainya itu ketika mereka menggunakan hak pilihnya? Sebagian kiai kharismanya memang kuat. Kadang tanpa di suruh pun santrisantri akan mengikutinya, karena pilihan kiai dinilai sebagai pilihan yang berdasarkan perenungan mendalam dan melalui petunjuk Allah. Bahkan, ada kiai yang bikin semacam fatwa untuk santri-santri dan para alumninya untuk memilih calon tertentu. Tetapi, ini „kan persoalaan politik yang sebenarnya perlu pemberian kebebasan memilih bagi santri. Saya sendiri memberikan kebebasan pada mereka untuk memilih calonnya, karena itu hak asasi mereka yang tidak semestinya di paksakan. Mereka sudah dewasa, memilih cara pandangan sendiri dan informasi tentang calon juga sudah sedemikian banyak melalui baleho, selebaran, dll. Mereka tinggal memilih sesuai karakter yang diinginkannya. Saya meyakini, masing-masing santri memiliki cara pandangan yang tidak tunggal, kendati kiainya satu. Dalam pandangan ajaran Islam, harus seperti apa idealnya seorang pemilih yang cerdas dan sekaligus seorang calon yang berkualitas? Pemilihan yang cerdas itu yang tida ikut-ikutan. Juga, bukan yang memilih karena mendapat bingkisan atau sejenisnya. Dia memilih melalui perenungan dan istihkarah yang serius demi kemajuan rakyat. Dia juga ~ 237 ~ bertanggungjawab atas pilihan yang di ambilnya. Calon yang berkualitas itu sendiri calon yang latar belakangnya sudah diketahui. Bukan calon yang pandai berwacana namun nihil kerja. Dan calon yang berkualitas itu yang benar-benar mengerti kebutuhan rakyatnya dan berupanya semaksimal mungin mewujudkan kebutuhan itu. Mereka inilah yang memahami konsep tasharruf al-imam manuthun bi almashalahah atau sayyid al-qaum khadimuhum. ~ 238 ~ WAWANCARA DENGAN ANALIS POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL H. AGUS SUTISNA, S.I.P., M.Si. Tim Peneliti mewawacarainya bukan sebagai anggota KPU Kabupaten Lebak (2003 – 2008) atau ketua KPU Kabupaten Lebak (2008 – 2014) tempo hari, melainkan sebagai analis politik dan perubahan sosial. Mahasiswa program doktor ilmu politik Universitas Nasional (Jakarta) itu kini sibuk jadi tim seleksi para calon kepala desa untuk desa-desa yang para calonnya lebih dari lima orang. Pilkades di Kabupaten Lebak, memang, akan segera digelar serentak, Agustus 2015 ini. H. Agus Sutisna, S.I.P., M.Si., sang analis itu, selalu sibuk, selain mengajar di beberapa perguruan tinggi, mengasah dan mengasuh pesantren Nurul Madani yang didirikannya, juga terbiasa menulis, menyunting, menggunting, dan bahkan membanting naskah saat jadi pemimpin redaksi pertama Tabloid Lebak 1828, misalnya. Jadi pembicara dalam banyak seminar atau diskusi publik, juga bagian dari kegiatan Agus seharihari. Orang pintar, “minumannya” ilmu dan “makanannya” buku. “Kekayaan saya adalah buku,” katanya, suatu hari. Lahir di Cipanas, Kabupaten Lebak, 14 November 1965, kini ayah tiga anak hasil perkawinannya dengan Hj. Tati Mulyati, S.Pd. itu, tampaknya, tak akan pernah berhenti mengajar dan belajar. Termasuk, terus belajar dan belajar terus jadi suami yang baik untuk istri tercinta dan jadi bapak yang lurus untuk anak-anak tersayang, seperti ditulisnya dalam buku Potret dan Pemikiran 50 Anggota DPRD Kabupaten Lebak Masa jabatan 2014 – 2019. Saat Tim Peneliti mewawancarai Agus, di gedung Multatuli Pemkab Lebak, di seberang sana, di ~ 239 ~ gedung DPRD Lebak, sebanyak 18 anak muda sedang diuji Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Tranparansi dan Partisipasi (KTP) Kabupaten Lebak masa jabatan 2015 – 2018. Lalu, soal KTP, pasti Agus terkenang saat-saat jadi ketua Pokja Transparansi dan Partisipasi (tahun 2002). Cikal bakal perda KTP itu berasal dari naskah akademik yang dibuat pokja ini, kemudian berproses, sehingga akhirnya jadi perda KTP seperti sekarang ini. Perda KTP itu pun kemudian melahirkan para “pengawalnya”, yang kini memasuki “jilid ketiga” untuk masa jabatan 2015 – 2018. Lalu, inilah hasil wawancara dengan Agus, sang analis politik dan perubahan sosial itu. Anda bisa jelaskan secara umum perbandingan psikologi pemilih pada zaman Orde Baru dan zaman Reformasi sekarang ini, termasuk secara spesifik di Kabupaten Lebak? Perbedaan yang paling mencolok terkait isu psikologi pemilih ini saya kira berkenaan dengan soal “status pemilu”; apakah ia kewajiban atau hak warga negara. Pada era orde baru, secara psikologis para pemilih pada umumnya menganggap pemilu merupakan kewajiban yang datang dari negara. Pemilih cenderung tidak merasa bahwa pemilu adalah hak atributif, hak demokrasi yang melekat dengan sendirinya pada setiap warga negara. Karena ia kewajiban dari negara, maka otomatis apa yang menjadi pilihan negara harus diikuti. Itu sebabnya, Golkar, partai yang didukung semua aparatur negara selalu tampil menjadi pemenang pemilu. Dalam situasi psikologis seperti ini, pemilih praktis tidak memiliki otonomi politik. ~ 240 ~ Preferensi dan sikap politik mereka cenderung sejalan dengan preferensi dan sikap politik negara, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pemerintah beserta seluruh aparat birokrasinya. Situasi psikologis ini berbeda jauh ketika bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Pemilu, pada sebagian besar pemilih, sudah disadari sebagai hak politik, hak demokrasi yang di dalamnya terkandung makna otonomi politik. Artinya, karena ia merupakan hak setiap warga negara, maka ya sukasuka setiap warga. Jangankan soal pilihan harus memilih yang dengan gampang bisa sangat berbeda dan beragam, bahkan memilih untuk tidak memilih pun dianggap sebagai hal biasa. Sekali lagi, karena masyarakat sudah sadar betul, bahwa memilih dalam pemilu merupakan hak, dan bukan kewajiban. Secara umum, perubahan situasi psikologis para pemilih ini juga terjadi di Lebak. Hanya saja, otonomi politik masyarakat belum sepenuhnya tumbuh. Dalam hal ini pemilih memang merasa sudah terbebas dari kooptasi negara, tetapi kemudian perilaku dan peran-peran kooptatif itu diambil-alih secara tidak langsung oleh apa yang dalam literatur politik lokal disebut sebagai local strongman (orang-orang kuat lokal). Mereka itu bisa merupakan jawara dan atau para pengusaha lokal yang menghegemoni pengaruh kepolitikan di daerah dengan kekuatan modal dan jaringan kejawaraannya. Itu sebabnya, trend dinamis pertarungan dalam pemilu di Lebak (pilkada maupun pemilu nasional) selalu memperlihatkan dominasi para local ~ 241 ~ strongman, baik dalam konteks perheletannya secara umum maupun dalam peta kemenangan pemilu dari waktu ke waktu. Dewan Pers melaporkan, dalam Covering Election 2014, “Bahwa berkurangnya belanja iklan ruang media, karena para caleg lebih memilih „membelanjakan‟ uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli suara para pemilih di level kelurahan atau menyuap panitia pemilihan di KPUD”. Laporan Dewan Pers yang berbasiskan liputan media itu seperti mengingatkan bahwa ada “penjual” suara (pemilih) dan “pembeli” suara (caleg) dalam pemilu. Kami ingin Anda mengomentari laporan Dewan Per situ, lalu dikaitkan dengan perilaku pemilih dan perilaku caleg di Kabupaten Lebak khususnya. Tesis Dewan Pers, bahwa “para caleg lebih memilih „membelanjakan‟ uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli suara para pemilih di level kelurahan atau menyuap panitia pemilihan di KPUD” secara umum saya kira ada benarnya. Tetapi menyangkut level penyelenggara dimana suara bisa dibeli atau praktik suap-menyuap itu terjadi, saya kira tidak seluruhnya tepat. Saya melihat praktik curang itu jauh lebih mungkin terjadi hanya di level panitia adhoc (PPK, PPS dan KPPS). Alasannya, pertama, badan-badan adhoc jumlahnya sangat banyak sehingga kemungkinan lost control oleh pengawas menjadi sangat terbuka. Demikian juga kontrol oleh liputan pers. Suara-suara juga masih tersebar demikian luas, belum terkonsentrasi. Sebaliknya, di level KPU (baik Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pusat) saya kira peluang terjadinya praktik jual beli suara itu sangat kecil. Karena suara makin terkonsentrasi, kontrol liputan pers makin menyempit ~ 242 ~ cakupannya, dan tentu saja area pengawasan oleh panwas pemilu juga makin mengerucut ke KPU. Jadi, agak jauhlah kemungkinan itu terjadi. Hanya KPU-KPU yang nekad saja saya kira yang bisa melakukan praktik jahat itu. Dan faktanya kan memang tidak banyak kasus itu terjadi, maksud saya praktik jual beli suara di level KPU, paling tidak berdasarkan fakta-fakta yang dibuktikan di Mahkamah Konstritusi (MK) maupun yang diurus melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Tipologi pemilih di Kabupaten Lebak pada pemilu 2014 lalu, seperti yang Anda saksikan, atau hasil pengamatan Anda sebagai analis politik dan perubahan sosial, seperti apa? Secara umum, sekali lagi, saya melihat bahwa para pemilih di Lebak sudah semakin otonom sebagai pemegang hak pilih, otonom dari kekuatan negara. Dalam arti bahwa pemilih tidak lagi merasa harus menyesuaikan pilihan politiknya dengan representasi negara (Bupati dan aparat birokrasi). Sayangnya, otonomi politik ini belum disertai dengan kesadaran penuh perihal arti penting suara yang mereka miliki dalam kaitannya dengan kepentingan mereka sebagai warga negara di kemudian hari. Akibatnya sebagai pemilih, secara umum warga Lebak belum sepenuhnya menjadi pemilih yang cerdas dan rasional. Preferensi politik mereka dalam setiap kali pemilu, termasuk pemilu terakhir 2014 kemarin, saya kira cenderung masih ditentukan oleh faktor-faktor yang serba pragmatis dan kepentingan/kebutuhan jangka pendek. Misalnya faktor imbalan instan yang mereka peroleh, atau sikap paternalistik. Dalam situasi demikian, lumrah jika para caleg yang terpilih ~ 243 ~ dalam pemilu 2014 kemarin misalnya, lebih merepresentasikan kekuatan uang caleg daripada kompetensi dan integritas sebagai wakil rakyat. Ya itu, karena pemilih di Lebak memang lebih “suka” dengan caleg yang royal secara finansial daripada caleg yang kompeten dan berintergitas tinggi Kelompok masyarakat tradisional di Kabupaten Lebak, selalu saja patuh kepada pemuka adat (puun atau olot), termasuk dalam penggunaan hak pilih pada setiap pemilu. Parrtisipasi pemilih cukup tinggi, tetapi perolehan suara selalu “dikuasai” para caleg yang direstui para pemuka adat itu. Pertanyaannya, apakah itu masalah bagi demokrasi, atau malah justru sebagai kearifan lokal? Dalam jangka panjang tentu saja gejala itu merupakan masalah bagi demokrasi. Karena demokrasi substantif menghendaki setiap warga negara memang benar-benar otonom dalam pilihan politiknya. Tetapi dalam jangka pendek, saya kira situasi ini memang tahapan yang harus dilalui oleh masyarakat-masyarakat transisional. Artinya situasi ini sampai batas tertentu masih bisa difahami dan ditolerir. Karena itu gejala ini sebetulnya bukan khas Lebak saya kira. Dimana-mana juga mirip fenomenannya. Tetapi saya optimis, gejala itu, meski mungkin agak lambat, akan berubah. Hanya saja kita juga tidak harus berpretensi bahwa semua orang Lebak akan berubah, dan memang tidak perlu. Karena keragaman fenomena ini sesungguhnya juga bagian dari kekayaan demokrasi. ~ 244 ~