KONSTRUKSI REALITAS PERILAKU PEMILIH PADA

advertisement
KONSTRUKSI REALITAS PERILAKU PEMILIH PADA PEMILIHAN
UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK
(Sebuah Penelitian dengan Pendekatan
Teori Konstruksi Realitas Secara
Sosial Model Peter Ludwig
Berger dan Thomas
Luckmann)
OLEH:
TIM PENELITI
KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LEBAK
KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LEBAK
2015 M/1436 H
Kalau kita tidak menjaga jarak dari arena,
apakah kita ini :
anggota KPU atau politisi?
(Adaptasi - crn)
Dunia berjalan ke belakang, semakin jauh,
sedangkan akhirat berjalan ke depan, semakin dekat.
Maka,
jadilah Anda anak-anak akhirat,
dan Anda jangan jadi anak-anak dunia!
Sesungguhnya,
hari ini (di dunia) ada amal, tetapi tidak ada hisab,
sedangkan besok (di akhirat),
ada hisab, tetapi tidak ada amal.
(Khalifah Ali bin Abi Thalib).
ABSTRAK
TIM PENELITI (C.R. NURDIN DAN KAWAN-KAWAN)
- KONSTRUKSI REALITAS PERILAKU PEMILIH
PADA PEMILIHAN UMUM
TAHUN 2014 DI
KABUPATEN LEBAK (Sebuah Penelitian dengan
Pendekatan Teori Konstruksi Realitas Secara
Sosial Model Peter Ludwig Berger dan Thomas
Luckmann)
Penggunaan hak pilih pada pemilu tahun 2014, baik pemilu anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah serta pemilu presiden dan wakil presiden, juga
pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, dilakukan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tempat penelitian
di enam daerah pemilihan di Kabupaten Lebak. Tim Peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan
teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas
Luckmann. Teori-teori yang
relevan pun digunakan seperti teori
pertukaran sosial dan pertukaran perilaku, teori konsumen, dan beberapa
teori komunikasi massa. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat
beragam motivasi dalam penggunaan hak pilih yang kemudian menjadi
perilaku pemilih. Tim Peneliti memaknai penggunaan hak pilih dari sudut
pandang mereka. Penggunaan hak pilih terhadap calon bisa berubah
karena beberapa faktor pula, baik faktor internal, faktor eksternal,
maupun hasil sintesis kedua faktor tersebut, seperti halnya ditunjukkan
oleh teori konstruksi realias secara sosial Peter Ludwig Berger dan
Thomas Luckmann. Dari kalangan pesantren ditemukan teori ijtihad dalam
perspektif ajaran Islam. Penggunaan hak pilih dinilai sebagai ibadah ghayr
mahdlah,(ibadah yang tidak ditentukan cara-caranya), dan oleh karena itu
pantas diawali dengan
bismillah sebelum menggunakan hak pilih.
Masyarakat adat di pedalaman Kabupaten Lebak hanya mengikuti
petunjuk pemuka adat mereka, termasuk ketika menggunakan hak pilih.
Banyak warga yang menggunakan hak pilih karena memang sudah jadi
kebiasaan. Mereka menggunakan hak pilih sudah berkali-kali sejak
terdaftar sebagai pemilih.
Kata kunci : pemilihan umum, perilaku pemilih, konstruksi realitas secara
sosial, Kabupaten Lebak.
v
ABSTRACT
THE TEAM OF RESEARCHERS (C.R. NURDIN
AND
COLLEAGUES)
ON
REALITY
CONSTRUCTION OF VOTER BEHAVIOUR AT
THE GENERAL ELECTION OF 2014 IN LEBAK
REGENCY (A study by The Approach of of
Social Reality Construction Theory Model of
Peter Ludwig Berger and Thomas Luckmann)
The use of the right to vote in The general elections of 2014, both general
election of members of The House of Representatives (Dewan Perwakilan
Rakyat), Regional Representatibes Council (Dewan Perwakilan Daerah), and
Regional House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) and the
general election of president and vice president, made direct, general, free,
confidential, honest, and fair. The place of research in six electoral districts in
Lebak Regency. Object of research is the behaviour of voters. The Team of
researchers used descriptive qualitative research methods, by theory of social
construction of reality Peter Ludwig Berger and Thomas Luckmann. Relevant
theories was used as a social exchange theory and exchange behaviour,
consumer theory, and some of the theories of mass communication. The results
showed that there are a variety of motivations in the use of suffrage which later
became voter behavior. The Team of Researchers interpret the use of the right
to vote from their perspective. The use of the right to vote against a candidate
may change due to several factors, both internal factors and external factors, as
well as the results of the synthesis of these two factors, as indicated by the theory
of social construction reality of Peter Ludwig Berger and Thomas Luckmann.
Mass media and community leaders made voter behavior. In the boarding
school found the theory of ijtihad in Islamic perspective. It made the voting
behavior. Use of suffrage is considered as worship ghayr mahdlah (worship are
not specified how-how), and therefore deserve begins with bismillah before using
the right to vote. The indigenous peoples (the tradisional society of Lebak
Regency) just follow the instructions of their traditional leaders, including when to
use the right to vote. It could be called the behavior of a single voter loyalty to
traditional leaders. Many citizens who exercise their right to vote because it has
become a habit (habit behavior). They use the right to vote has been many times
since the election of the New Order Era.
Keywords : general election, voting behavior, social reality construction, Lebak
Regency.
vi
LEMBAR
SURAT TUGAS
Komisi Pemilihan Umum
1. Nama
Jabatan
(KPU) Kabupaten Lebak menugaskan :
:
Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si.
:
Ketua Divisi SDM dan Humas
Wilayah Penelitian :
2. Nama
PENELITIAN
Daerah Pemilihan Lebak I
:
Apipi, S.Pd.I.
Jabatan
:
Ketua Divisi Perencanaan Program dan Data
Wilayah Penelitian
:
Daerah Pemilihan II
:
Sri Astuti Wijaya, S.I.P., S.Pd.
Jabatan
:
Ketua Divisi Umum dan Keuangan
Wilayah Penelitian
:
Lebak III
:
C.R. Nurdin
Jabatan
:
Ketua Divisi Hukum dan Sosialisasi
Wilayah Penelitian
:
Daerah Pemilihan Lebak IV
:
Ace Sumirsa Ali, S.Fil.
Jabatan
:
Ketua Divisi Tekra dan Logistik
Wilayah Penelitian
:
Daerah Pemilihan Lebak V
:
Imas Iriani, S.Sos.
Jabatan
:
Plt. Sekretaris KPU Kabupaten Lebak
Wilayah Penelitian
:
Daerah Pemilihan Lebak VI
3. Nama
4. Nama
5. Nama
6. Nama
vii
untuk melakukan penelitian lapangan mengenai perilaku pemilih, meliputi
wawancara, penyebaran kuisinoner, dan pengamatan,
di wilayah penelitian
masing-masing, sebagaimana tersebut di atas.
Hasil penelitian akan disusun
kemudian
dijadikan
bahan
jadi sebuah laporan hasil penelitian, untuk
penyusunan
kebijakan
di
lingkungan
KPU,
sebagaimana dimaksud surat KPU, Nomor 155/KPU/SK/IV/2015
Demikian Surat Tugas Penelitian ini dibuat untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Rangkasbitung, 09 Mei 2015
Ketua
Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si.
viii
LEMBAR
TIM PENELITI KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LEBAK
Pengarah
Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si.
Penanggung Jawab Administrasi
Imas Iriani, S.Sos.
Ketua
C.R. Nurdin, S.Sos., M.I.Kom.
Para Asisten
Ace Sumirsa Ali, S.Fil.
Studi pustaka dan Penyusunan Desain Penelitian
Apipi, S.Pd.I. :
Studi Lapangan, Pengumpulan Data, dan Pengorganisasian Data
Sri Astuti Wijaya, S.I.P., S.Pd. :
Pengolahan Data, Penulisan hasil penelitian, Presentasi di KPU Lebak,
dan Penyerahan Hasil Penelitian ke KPU Banten dan KPU
Pustaka, Data, dan Informasi
Fery Turman, S.Sos., Drs. Ruhyadi, Muhammad Taufik, S.H.
Rangkasbitung, 31 Juli 2015
Ketua
Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si.
ix
LEMBAR
PERSETUJUAN RAPAT PLENO
TENTANG PENELITIAN PERILAKU PEMILIH
Menindaklanjuti surat KPU Nomor 155/KPU/IV/2015, Tanggal 06 April
2015, pengarahan KPU Provinsi Banten, tanggal 17 April 2015, maka
KPU Kabupaten Lebak memutuskan beberapa hal :
1. Objek penelitian yang dipilih KPU Kabupaten Lebak adalah perilaku
pemilih.
2. Penelitian sebagaimana tersebut di atas dikerjakan secara
swakelola, oleh Tim Peneliti yang dibentuk KPU Kabupaten Lebak,
sebagaimana tercantum dalam laporan hasil penelitian.
3. Waktu penelitian selama tiga bulan, dari bulan Mei 2015 sampai
bulan Juli 2015.
4. Anggaran yang diakibatkan oleh persetujuan rapat pleno ini akan
dibebankan pada DIPA, sebagaimnana surat dari KPU, Nomor
155/KPU/IV/2015, Nomor G.b.
Rangkasbitung, 20 April 2015
Ketua
Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si.
Anggota
C.R. Nurdin, S.Sos., M.I.Kom.
Ace Sumirsa Ali, S.Fil.
………………………………….
………………………………….
Apipi, S.Pd.I.
Sri Astuti Wijaya, S.I,P., S.Pd.
………………………………….
…………………………………
x
LEMBAR
PERNYATAAN KEASLIAN HASIL PENELITIAN
Judul : KONSTRUKSI REALITAS PERILAKU PEMILIH
PADA
PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK
(Sebuah Penelitian dengan Pendekatan Teori Konstruksi
Realitas Secara Sosial Model Peter Ludwig Berger dan
Thomas Luckmann)
adalah hasil
penelitian lapangan dan studi pustaka karya Tim Peneliti
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak.
Hasil penelitian ini asli karya Tim Peneliti, bukan merupakan saduran
atau jiplakan, baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Semua informasi, data, dan hasil pengolahan data jelas sumbernya dan
bisa diperiksa kebenarannya.
Rangkasbitung, 31 Juli 2015
Tim Peneliti komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Lebak
Ketua
C.R. Nurdin
xi
KATA PENGANTAR
Bismi ‘lLaahi ‘rRahmaani ‘r-Rahiim
Tim Peneliti Perilaku Pemilih pada Pemilu Tahun 2014 di
Kabupaten Lebak pantas bersyukur kepada Allah S.W.T. Atas taufik dan
inayah-Nya, Tim Peneliti berhasil menyelesaikan penelitian dan penulisan
hasil penelitian, sesuai dengan alokasi waktu, sebagaimana instruksi
Komisi Pemihan Umum (KPU)
dan arahan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi Banten.
Tim Peneliti, sebetulnya, ingin menghasilkan penelitian yang lebih
lengkap. Apalagi nantinya, hasil penelitian ini akan dijadikan bahan
pertimbangan penyusunan kebijakan dalam penyelenggaraan pemilihan
umum. Kalau saja hasil penelitian ini kemudian dijadikan informasi, maka
informasi itu tentu harus benar dan berkualitas. Kebijakan atau keputusan
yang keliru - sangat mungkin karena dibangun oleh informasi yang keliru maka akan menghasilkan keputusan atau kebijakan yang keliru pula.
Oleh karena itu, Tim Peneliti beruhana bekerja sebaik-baiknya
dalam
melakukan
penelitian
dipertanggungjawabkan,
ini
agar
yang kemudian
hasilnya
jadi
benar,
informasi
yang
bisa
bisa
dipertanggungjawabkan sebagai bahan penyusunan kebijakan.
Tim Peneliti
menghadapi kendala, selain karena waktu yang
sebetulnya terasa kurang leluasa untuk melakukan penelitian yang lebih
xii
serius, juga bahan bacaan atau referensi lengkap yang berhubungan
dengan topik penelitian, di Kabupaten Lebak khususnya, masih sangat
kurang, bahkan nyaris tidak ada di perpustakaan setempat.
Kalau
Tim
Peneliti
berterus
terang,
agar
terang
terus,
sesungguhnya anggaran yang disediakan DIPA untuk sebuah penelitian,
boleh disebut masih belum memadai. Tetapi, bagaimana pun, Tim Peneliti
harus tetap menyukuri yang ada, tanpa harus mengurangi semangat
bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas.
Seiring dengan berdirinya banyak perguruan tinggi, dan Kabupaten
Lebak dicanangkan jadi Lebak cerdas, maka pembangunan perpustakaan
yang lengkap dan modern tidak bisa ditawar lagi.
Gedung KPU Kabupaten Lebak yang sekarang ditempati, yang
sudah dihuni sejak kelahiran KPU Kabupaten Lebak (2003), resmi akan
dijadikan gedung perpustakaan yang lengkap dan modern itu, tiga lantai,
dengan biaya dari APBD Provinsi Banten. Kantor KPU Kabupaten Lebak
sendiri, untuk sementara dan mungkin selamanya, akan menempati kantor
aset Pemerintah Kabupaten Lebak.
Tim
Peneliti,
sesungguhnya,
merasa
beruntung
karena
pelaksanaan penelitian tidak bersamaan dengan pelenggarakan pemilihan
bupati/walikota
dan
wakil
bupati/wakil
walikota
secara
serentak,
sebagaimana kawan-kawan di KPU kabupaten dan kota yang lain di
Provinsi Banten khususnya. Oleh karena itu, Tim Peneliti bisa
xiii
lebih
memusatkan perhatian pada penelitian ini, meski hasilnya belum tentu
akan lebih baik dari hasil penelitian kawan-kawan yang sedang
menyelenggarakan pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil
walikota.
Tim Peneliti tetap bersemangat, kompak, dan bersama-sama turun
ke lapangan untuk melakukan tugas-tugas penelitian, seperti penyebaran
kuisioner, wawancara, pengamatan, dan pendalaman. Tim Peneliti yakin,
semakin banyak bahan dan hasil studi lapangan, maka hasilnya akan
semakin baik. Insya Allah.
Tim Peneliti wajib mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak
yang telah membantu penyusunan hasil penelitian ini,
baik secara
langsung maupun secara tidak langsung, yang tidak mungkin disebutkan
semua secara terinci.
Meski begitu, Allah S.W.T. akan senantiasa menghitung amal
hamba-Nya, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang kecil apalagi
yang besar, sebagaimana sabda-Nya, “Maka, siapa saja yang berbuat
amal baik, meski sebesar biji sawi, akan dibalas pula”.
Tim Peneliti, terutama mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bupati Kabupaten Lebak Hajjah Iti Octavia Jayabaya, S.E., M.M.
dari kalangan eksekutif yang telah bersedia menjadi narasumber
wawancara penelitian perilaku pemilih.
xiv
2. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Lebak, Junaedi Ibnu Jarta, dari kalangan legislatif yang telah
bersedia
menjadi narasumber wawancara mengenai perilaku
peMILIH.
3. Ketua KPU Kabupaten Lebak masa jabatan 2008 – 2014, H. Agus
Sutisna, S.I.P., M.Si., yang telah bersedia menjadi narasumber
wawancara tentang perilaku pemilih dari perspektif teori politik.
4. Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak, K.H.
Achmad Syatibi Hambali sebagai tokoh masyarakat yang telah
bersedia menjadi narasumber wawancara
soal perilaku pemilih
dari sudut kehidupan nyata sehari-hari di lapangan.
5. Ketua KPU Provinsi Banten, Agus Supriyatna, S.H., M.Si, dan para
anggota (Ir. H.M. Didih M. Sudi, M.Sc., Syaeful Bahri, M.M., Agus
Supadmo, M.Si., dan Dra. Hj. Enan Nadya) yang telah membimbing
dan mengarahkan prosesi dan teknis pelaksanaan dan penulisan
penelitian.
6. Ketua KPU Kabupaten Lebak, Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si. yang
telah mendorong dan mengarahkan Tim Penulis agar bekerja tetap
hangat dan penuh semangat.
7. Sekretaris KPU Kabupaten Lebak Kasim, S.H. yang telah banyak
memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan
dengan sangat penuh perhatian.
xv
pelaksanaan
penelitian,
8. Pelaksana Tugas Sekretaris KPU Kabupaten Lebak, Imas Iriani,
S.Sos., yang telah melanjutkan tugas-tugas Sekretaris KPU
Kabupaten Lebak dalam penyediaan fasilitasi untuk Tim Penulis.
9. Para kepala Subbagian di Sekretariat KPU Kabupaten Lebak
(Kasubbag Umum Drs. Ruhyadi, Kasubbag Perencanaan Fery
Turman, S.Sos., Kasubabag Tekra dan Hupmas Imas Iriani, S.Sos.,
dan Kasubbag Hukum Muhamad Taufik, S.H.) yang telah rela, dan
dengan sabar serta sadar menyediakan kebutuhan data dan
informasi pemilu tahun 2014 khususnya.
10. Para pembantu (office boy dan office girl) yang dengan sabar, juga
dengan hati senang dan tetap gembira kalau diminta menyediakan
air minum, kopi, atau bahkan nasi bungkus.
11. Para mantan anggota dan ketua Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK) yang tersebar di enam daerah pemilihan, yang ternyata
tidak “kapok” jadi badan penyelengagra pemilu,
yang sangat
membantu dalam penyebaran kuisioner ini.
12. Para responden (150 orang) dan inform di enam daerah pemilihan
yang telah rela menyisihkan waktu untuk pengisian kuisioner dan
wawancara tentang prilaku pemilih. Tanpa hasil kuisioner dan hasil
wawancara, maka Tim Peneliti tidak punya bahan penting dan
signifikan untuk menghasilkan penelitian.
xvi
13. Para peserta forum group discussion (FGD) yang telah memerkaya
hasil penelitian ini dengan masukan-masukan dan masakanmasakan yang cukup penting.
Akhirnya, semoga hasil penelitian tentang perilaku pemilih pada
pemilu tahun 2014 di Kabupaten Lebak ini bermanfaat dan jadi
sumbangan berarti (baik teoritis maupun praktis) untuk penyelenggaraan
pemilihan umum yang lebih baik.
Para pemilih yang perilakunya lebih cerdas dan lebih berkualitas,
tentu, jadi “pilar” penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas pula.
Alun-alun Timur Rangkasbitung,
31 Juli 2015 M/1436 H
Ketua Tim Peneliti
C.R. Nurdin
xvii
DAFTAR TABEL
No.
Tabel
Halaman
1.
Daftar Penelitian Terdahulu
15
2.
Perbandingan Paradigma Kualitatatif dan Kuantitatif
45
xviii
DAFTAR
SKEMA
No.
Skema
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7
Kerangka Pemikiran
Hubungan Filsafat Fenomenologi dan Filsafat Lainnya
Teknik Analisi Data
Proses Analisis Data Paradigma Kualitatif
Prosedur Penelitian
Skema Teori Pemenuhan dan Kebutuhan
Teori Dua Tahap
31
47
77
82
93
113
116
xix
DAFTAR
GAMBAR
No.
Gambar
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18
19.
Stop Politik Uang!
50 Ribu Dilupakan 5 Tahun
Ilustrasi Perilaku Konsumen
Ilustrasi Pertukaran Sosial dan Perilaku
Ilustrasi Konstruksi Realitas Secara Sosial
Surat Suara, Dicoblos di TPS
Ilustrasi Pengisian Kuisioner
Ilustrasi Metodologi Riset
Ilustrasi Paradigma (Cara Pandang dan Ciri Pandang)
Hubungan Penelitian Kualitatif dan Fenomenologi
Ilustrasi Penggunaan Hak Pilih
Ilustrasi Pengumpulan Data Penelitian
Ilustrasi Analisis Data
Ilustrasi Pengujian Data
Teori Jarum Suntik
Lambang Parpol Peserta Pemilu Tahun 2014
Kritis – Pilih Tagih Janjinya
Indonesia Menulis, Tandai Pilihanmu!
Mencentang Surat Suara
7
10
19
21
28
29
31
34
41
48
65
70
78
90
112
118
122
157
159
xx
DAFTAR
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13.
14.
FOTO
Foto
Aksi Reformasi, Pendudukan Gedung DPR/MPR, 1998
Penggunaan Hak Pilih
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Edmund Husserl, Bapak Fenomenologi
Thomas Luqmann dan Peter Ludwig Berger
Di Sini Menerima Serangan Fajar
Ada Uang Ada Suara, Menerima Serangan Fajar
Simulasi Penggunaan Hak Pilih di Desa Kanekes
Santri Zaman Dulu
Salat Berjamaah, Contoh Kepemimpinan
Bebas Mencoblos
Panitia Pemilihan Kecamatan
Ukuran Surat Suara
Ketika KPU Lebak Jadi Termohon
xxi
Halaman
1
39
40
52
55
106
107
110
134
146
150
155
156
162
DAFTAR
LAMPIRAN
No.
Lampiran
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Pedoman Riset tentang Partisipasi Pemilu
Jadwal Penelitian Perilaku Pemilih
Prosedur Penelitian Perilaku Pemilih
Daftar Kuisioner Penelitian Peilaku Pemilih
Daftar Wawancara Penelitian Perilaku Pemilih
Jumlah Penduduk, Daerah Pemilih, dan Alokasi Kursi
Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilu Tahun 2014
Calon Terpilih Anggota DPRD Kabupaten Lebak
Profil Responden di Enam Daerah Pemilihan
Pengetahuan Responden tentang Pemilu
Jawaban responden atas Pertanyaan Penelitian
Daftar Pertanyaan Wawancara dengan Informan
Wawancara dengan Bupati Kabupaten Lebak
Wawancara dengan Ketua DPRD Kabupaten Lebak
Wawancara dengan Ketua MUI Kabupaten Lebak
Wawancara dengan Analis Politik dan Perubahan Sosial
13
32
33
34
37
38
38
39
97
101
104
122
133
136
142
145
xxii
DAFTAR SINGKATAN
Bawaslu
:
Badan Pengawas Pemilihan Umum
Dapil
:
Daerah Pemilihan
DPT
:
Daftar Pemilih Tetap
DPTb
:
Daftar Pemilih Tambahan
DPK
:
Daftar Pemilih Khusus
DPTKb
:
Daftar Pemilih Khusus Tambahan
DP4
:
Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu
DKPP
:
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
DPD
:
Dewan Perwakilan Daerah
DPR
:
Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
KPU
:
Komisi Pemiihan Umum
KPUD
:
Komisi Pemilihan Umum Daerah
KPPS
:
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
KIP
:
Komisi Independen Pemilihan Umum
MA
:
Mahkamah Agung
MK
:
Mahkamah Konstitusi
MPR
:
Majlis Permusyaratan Rakyat
Parpol
:
Partai Politik
Panwaslu
:
Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Pemilu
:
Pemilihan Umum
Pemilukada :
Pemilihan Umum Kepala Daerah
Pantarlih
Panitia Pendaftaran Pemilih
:
xxiii
Perppu
:
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
PKPU
:
Peraturan Komisi Pemilihan Umum
PPK
:
Panitia Pemilihan Kecamatan
PPS
:
Panitia Pemungutan Suara
PPLN
:
Panitia Pemilihan Luar Negeri
PTUN
:
Pengadilan Tata Usaha Negera
Relasi
:
Relawan Demokrasi
SE
:
Surat Edaran
Sipol
:
Sistem Informasi Pendafaran Partai Politik
Sidalih
:
Sistem Informasi Pendaftaran Pemilih
Silogis
:
Sistem Informasi Logistik
SS
:
Surat Suara
SK
:
Surat Keputusan
Tungsura
:
Pemungutan dan Penghitungan Suara
UU
:
Undang-undang
Waslulap
:
Pengawas Pemilihan Umum Lapangan
xxiv
DAFTAR ISTILAH DALAM BAHASA INGGRIS
Adventurer type
:
Tipe petualang
Attraction
:
Ketertarikan
A way of looking at things :
Suatu metode pemikiran
Backward looking
:
Masa lalu
Black campaign
:
Kampanye negatif
Electoral treshhold
:
Batas minimal perolehan suara
E-voting
:
Pemilihan umum secara elektrornik
Fighter type
:
Tipe pejuang
Forward looking
:
Masa yang akan datang
Civil society
:
Masyarakat sipil
Critical voter
:
Pemilih kritis
Ideological voter
:
Pemilih ideologis
Job seeker type
:
Tipe pencari kerja
Local Strongman
:
Orang kuat (berpengaruh) di darah
Political actor
:
Praktisi politik
Political behavior
:
Perilaku politik
Political will
:
Kemauan politik
Pragmatic voter
:
Pemilih pragmatis
Protection seeker job
:
Tipe pencari perlindungan
Prestise type
:
Tipe (pencari) prestasi
Proximity
:
Kedekatan
Rational voter
:
Pemilih rasioal
xxv
Real count
:
Hitung utuh (hasil rekapitulasi)
Social stratification
:
Stratifikasi sosial
Similarity
:
Kesamaan
Sceptic voter
:
Pemilih skeptis
Trader type
:
Tipe pedagang
Traditional voter
:
Pemilih tradisional
Voter education
:
Pendidikan pemilih
Voters
:
Pemilih
Voters Behaviour
:
Perilaku pemilihan
Vote-buying
:
Jual beli suara
Voter subjective
:
Pemilih subjektif
Quick count
:
Hitung cepat
xxvi
DAFTAR ISTILAH DALAM BAHASA ARAB
Ahlu „l-halli wa „l-aqdi
:
Majlis perwakilan, kelompok elit umat,
ada yang menyebut pula semacam MPR
di Indonesia
Ahlu „l-Ijtihaad
:
Pemikir
Ahlu „l-Ikhtiyar
:
Ahli memilih pemimpin
Ahlu „sy-Syuura
:
Juru runding
Al-mashalahah al-„ammah :
Kebaikan bersama
Bay‟at
:
Sumpah setia
Fardlu kifaayah
:
Kewajiban tidak untuk semua orang
(Sebaliknya, fardlu ‘ayn)
Ijtihaad
:
Berpikir untuk menemukan simpulan
hukum, berdasarkan Alquran dan
Assunnah
Imaamah
:
Kepemimpinan
khulafaa‟ ur-Raasyidiin
:
(Empat) khalifah yang terbimbing
(Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali). Ada
yang menyebut lima orang, ditambah
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Mu‟tazilah
:
Aliran rasionalisme dalam Islam (aliran
pemikiran)
Khawaarij
:
Kelompok sempalan. Sebelummnya,
mereka pendukung setia Khalifah Ali
bin AbuThalib
Subhaanallah
:
Maha Suci Allah
Tayaammun
:
Bersuci dengan tanah, pengganti wudu
dan mandi
xxvii
DAFTAR ISI
ABSTRAK
ABSTRACT
LEMBAR SURAT TUGAS PENELITIAN
LEMBAR TIM PENELITI KPU KABUPATEN LEBAK
LEMBAR PERSETUJUAN RAPAT PLENO
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN HASIL PENELITIAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR SKEMA
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR FOTO
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR ISTILAH BAHASA INGGRIS
DAFTAR ISTILAH DALAM BAHASA ARAB
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
1.2.2. Rumusan Masalah
1.3. Maksud dan Tujuan
1.3.1. Maksud
1.3.2. Tujuan
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Aspek teoritis
1.4.2. Aspek Praktis
1.4.3. Pedoman Penelitian dan Pengarahan
BAB II KAJIAN PUSTAKA, TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pendekatan Sosiologis, Psikologis, dan Ekonomi
2.2.2. Teori Perilaku Konsumen
2.2.3. Teori Pertukaran Sosial dan Pertukaran Perilaku
2.3. Kerangka Pemikiran
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
3.2. Waktu Penelitian
3.3. Penyebaran Lembar Kuisioner dan Daftar Wawancara
3.4. Penduduk dan Pemilih
xxviii
HAL.
V
Vi
Vii
Ix
X
Xi
Xii
xviii
Xix
Xx
Xxi
xxii
xxiii
Xv
xxvii
xviii
1
1
5
5
10
10
12
12
12
12
13
13
14
14
18
18
19
20
23
32
32
32
33
37
3.5. Paradigma Penelitian
3.5.1. Positivist dan Naturalist
3.5.2. Fenomenologi Edmund Husserl
3.5.3. Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann
3.5.4. Ayat Sosial Surat Al-Hujuraat 13
3.6. Metode Penelitian
3.6.1. Klasifikasi Metode Penelitian
3.6.2. Metode Penelitian Deskriptif
3.7. Definisi Konsep
3.7.1. Pemilih
3.7.2. Perilaku Pemilih
3.7.2.1. Pemilih Tradisional
3.7.2.2. Pemilih Subjektif
3.7.2.3. Pemilih Pragmatis
3.7.2.4. Pemilih Skeptis
3.7.2.5. Pemilih Ideologis
3.7.2.6. Pemilih Rasional
3.8. Unit Analisis
3.9. Teknik Pengumpulan Data
3.9.1. Pengisian Kuisioner
3.9.2. Wawancara Lapangan
3.9.3. Observasi
3.9.4. Metode Tes
3.9.5. Telaah Dokumentasi
3.9.6. Studi Pustaka
3.9.7. Wawancara dengan Informan
3.10.Teknik Analisis Data
3.11 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
3.12. Prosedur Penelitian
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Profil Responden
4.2.2. Pengetahuan Responden tentang Pemilu
4.2.3. Pertanyaan Penelitian
4.3. Pembahasan
4.3.1. Perilaku Pemilih dari Perspektif Teoritis
4.3.1.1. Teori Konstruksi Realitas Secara Sosial
4.3.1.2. Teori Tindakan Sosial
a. Tindakan Rasionalitas Instrumen
b. Tindakan Rasional Nilai
c. Tindakan Afektif
d. Tindakan Tradisional
4.3.1.3. Teori Komunikasi Massa
xxix
41
41
47
54
58
59
59
60
61
64
65
66
66
66
67
67
68
68
69
70
71
71
73
73
74
75
75
87
91
94
94
96
96
98
101
104
104
104
109
109
109
109
109
111
a. Hypodermic Needle Theory
b. Use and Gratification Theory
c. Two Step Flow Theory
4.3.1.4. Perilaku Politik
4.3.1.5. Perilaku Pemilih
4.3.1.6. Perilaku Calon
4.3.2. Perilaku Pemilih dari Perspektif Informan
4.3.2.1. Bupati Kabupaten Lebak
4.3.2.2. Ketua DPRD Kabupaten Lebak
4.2.3.3. Ketua MUI Kabupaten Lebak
a. Perilaku Kiai dan Perilaku Santri
b. Pemilu dan Imamah
4.2.3.4 Analis Politik dan Perubahan Sosial
4.4. Temuan di Lapangan
4.4.1. Satu Surat Suara, Satu Kali Coblos
4.4.2. Indonesia Menulis, Indonesia Mencoblos
4.4.3. Mahkamah Pemilu
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
5.1. Simpulan
5.1.1. Habit Behavior
5.1.2. Otonomi Politik dan Local Strongman
5.1.3. Perilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal
5.1.4. Perilaku Pemilih Prgmatis
5.1.5. Perilaku Pemilih pada Pilkades
5.1.6 Perilaku Pemilih dan Partisipasi Permilih
5.1.7. Keberagaman dan Keseragaman Perilaku Pemilih
5.1.8. Perilaku Ijtihad di LIngkungan Pesantren
5.1.9. Peilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal
5.1.10. Perilaku Calon, Potensi Ancaman Golput
5.1.11. Media Massa dan Pembentukan Perilaku Pemilih
5.2 Implikasi
5.2.1. Implikasi Teoritis
5.2.2. Implikasi Praktis
5.2.3. Implikasi Penelitian Selanjutnya
a. Analisis Wacana Kritis
b. Penelitian Eksplanatori
5.3. Rekomendasi
5.3.1. Tradisi Penelitian
5.3.2. Anggaran Sosialisasi
5.3.3. Relawan Demokrasi
5.3.4. Lembaga Pendidikan Pemilih
5.3.5. Pendidikan Pemilih oleh Para Calon
5.3.6. Tata Cara Penggunaan Hak Pilih
5.3.7. Mencentang Surat Suara
xxx
111
113
115
117
119
120
123
123
130
133
133
140
147
151
153
156
160
163
164
164
165
165
166
167
167
168
169
170
172
172
173
173
173
174
174
175
176
176
176
177
177
177
178
178
5.3.8. Pemilu Elektronik
5.3.9. Mahkamah Pemilu
DAFTAR PUSTAKA
DI BALIK LAYAR TIM PENELITI
LAMPIRAN - LAMPIRAN
1. PEDOMAN RISET TENTANG PARTISIPASI DALAM PEMILU
2. JADWAL PENELITIAN PERILAKU PEMILIH
3. PROSEDUR PENELITIAN PERILAKU PEMILIH
4. DAFTAR KUISIONER PENELITIAN PERILAKU PEMILIH
5. DAFTAR WAWANCARA PENELITIAN PERILAKU PEMILIH
6. JUMLAH PENDUDUK, DAERAH PEMILIHAN, DAN KURSI
7. REKAPITULASI DAFTAR PEMILIH TETAP PEMILU 2014
8. CALON TERPILIH ANGGOTA DPRD KABUPATEN LEBAK
9. PROFIL RESPONDEN DI ENAM DAERAH PEMILIHAN
10. PENGETAHUAN RESPONDEN TENTANG PEMILU
11. JAWABAN RESPONDEN ATAS PERTANYAAN PENELITIAN
12. DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN
13. WAWANCARA DENGAN BUPATI KABUPATEN LEBAK
14. WAWANCARA DENGAN KETUA DPRD KABUPATEN LEBAK
15. WAWANCARA DENGAN KETUA MUI KABUPATEN LEBAK
16. WAWANCARA DENGAN ANALIS POLITIK
xxxi
179
179
180
186
192
201
202
203
208
212
214
215
217
219
221
224
229
231
235
239
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Aksi reformasi tahun 1998, di negeri ini, antara lain melahirkan satu
paket undang-undang politik yang baru sebagai hasil reformasi atas
undang-undang politik sebelumnya.
Jauh dari sekadar reformasi undang-undang politik, bahkan Undangundang Dasar 1945
pun sampai empat kali diamandemen, padahal
dalam tempo yang relatif singkat. Lalu, pernah pula
muncul
wacana
amandemen kelima.
Foto 1
Aksi Reformasi, Pendudukan Gedung DPR/MPR, 1998
https://id.wikipedia.org
~1~
Partai politik, pascareformasi itu, tidak lagi dibatasi jumlahnya, atau
kemudian
muncul
istilah
multipartai.
Pemilihan
umum
pun
diselenggarakan oleh sebuah lembaga independen dan mandiri, Komisi
Pemilihan Umum (KPU), yang antara lain syarat anggotanya
tidak
menjadi anggota partai politik , paling tidak, lima (5) tahun sebelumnya.
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil
gubernur, serta bupati/walikota dan wakil bupati/walikota dilakukan secara
langsung oleh rakyat. Maka, soal presiden dan wakil presdien, Majlis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) kehilangan salah satu fungsinya, yakni
kewenangan memilih presiden dan wakil presiden dengan suara
terbanyak.
Perubahan
kewenangan
itu
dilakukan
oleh
MPR
sendiri,
sebagaimana diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR, 09 November
2001. Isi putusan,
bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
Dengan putusan pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung itu, maka rakyat terlibat secara langsung menentukan
pilihannya. Dengan demikian, rakyat punya empat paket “pesta pemilihan
umum langsung”, (a) pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (b)
pemilihan umum presiden dan wakil presiden, (c) pemilihan umum
gubernur dan wakil gubernur, dan (d) pemilihan umum bupati/walikota dan
wakil bupati/wakil walikota.
~2~
Dalam setiap pemilihan umum, setidak-tidaknya ada empat pihak
yang terlibat, (a) penyelenggara pemilihan umum (Komisi Pemilihan
Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum), (b) partai politik, (c) para
calon yang didaftarkan partai politik, dan (d) para pemilih yang terdiri dari
masyarakat pemilih yang memenuhi syarat.
Keempat pihak itu, dalam setiap pemilihan umum, mempunyai
perilaku : perilaku penyelenggara pemilihan umum, perilaku partai politik,
perilaku calon yang diudaftarkan
partai politik, dan perilaku pemilih.
Keempat pihak itu punya undang-undang dan aturan sendiri-sendiri.
Pemilih yang terdiri dari masyarakat pemilih pun dibatasi undangundang dan aturan, sehingga tidak semua penduduk atau warga negara
Indonesia (WNI) punya hak memilih dan dipilih.
Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan tentara nasional
Indonesia (TNI), misalnya, tidak menggunakan hak pilihnya selama ini,
pada setiap pemilihan umum. WNI yang belum berusia genap 17 tahun
pun tidak termasuk dalam kategori pemilih, kecuali sudah atau pernah
kawin.
Selain rakyat terlibat langsung dalam pemilihan umum itu, juga
rakyat terlibat langsung dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah
(gubernur/wakil
gubernur
dan
bupati/walikota
dan
wakil
bupati/wakil walikota). Maka, semakin seringlah rakyat menggunakan hak
pilih secara langsung itu. Di samping itu, ada pemilihan kepala desa.
~3~
Penggunaan hak pilih oleh masyarakat pemilih seharusnya
berdasarkan keinginan
sendiri, keputusan hati nurani, sesuai dengan
asas penggunanan hak pilih : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.
Kini, demokratis dalam penggunaan hak pilih sudah dirasakan
masyarakat pemilih, Tekanan, paksaan, dan penggiringan sudah tidak
ada lagi.
Kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sepenuhnya jadi
“eksekutor” bagi para calon sudah sangat dihapal dan dikenal.
Meski tidak ada lagi penggiringan atau tekanan dari pihak-pihak
tertentu, seperti pada zaman dulu, tidak berarti lantas penyelenggaraan
pemilihan umum langsung berkelas atau berkualitas.
Para peneliti khususnya, justru menemukan tipologi pemilih dan
sekaligus calon yang berbeda-beda. Jumlah partai politik peserta pemilu
yang tidak terbatas, pemilihan langsung oleh rakyat untuk pemilu presiden
dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah,
kemudian mengandung dan mengundang diskusi, sehingga sempat
muncul wacana pemilu dengan sistem perwakilan lagi untuk pemilihan
umum kepala daerah (pemilukada). Pemilukada jadi terasa begitu mahal,
ditambah dengan segala risiko konflik horizontal dan vertikal.
Di samping itu, banyak sekali kepala daerah yang terlibat dalam
tindak pidana korupsi pascapemilukada langsung itu. Apakah ini ada
hubungannya dengan ongkos politik yang dikeluarkan oleh calon kepala
~4~
daerah semasa kampanye, dan ingin “mengembalikan modal”? Atau,
memang kedua variabel itu tidak ada hubungannya sama sekali.
Tim Peneliti tidak akan melakukan penelitian ada tidaknya
hubungan variabel bebas dan variabel terikat seperti di atas,
karena
memang tugas penelitiannya tentang perilaku pemilih.
Belum diteliti pula secara seksama, siapa sebetulnya yang lebih
dahulu menawarkan “jasa”, apakah para calon yang menawarkan
semacam
bantuan kepada
pemilih
dengan
syarat
calon
yang
bersangkutan harus dipilih, atau justru pemilih sendiri yang menawarkan
“jasa” untuk memilih calon yang bersangkutan dengan imbalan-imbalan
tertentu.
Tidak diketahui pasti pihak yang sebetulnya memulai membuka
peluang atau penawaran : apakah calon sendiri yang menawarkan, atau
pemilih yang mengajukan permintaan.
Apa pun, kedua-duanya bersalah menurut undang-undang dan
peraturan kalau terjadi transaksi penggunaan hak pilih. Pemilih yang
memilih karena imbalan uang atau barang, meski suaranya tetap sah,
tetapi mencederai demokrasi.
1.2.
Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Mengapa terjadi dan terkenal money politic (politik uang)?
Sebagian politisi menyebutnya bukan money politic, melainkan cost
~5~
politic (ongkos politik), karena memang kampanye harus dengan
ongkos politik.
Apakah terjadi pergeseran nilai di kalangan masyarakat
pemilih, sehingga penggunaan hak pilih pada seseorang calon atau
pasangan calon karena uang atau barang, atau janji-janji materi?
Sebuah spanduk terpasang di sebuah tempat, “Menerima
Serangan Fajar”. Spanduk yang pernah dipertontonkan televisi itu,
tentu mengundang pertanyaan, sekaligus jadi ukuran perilaku
pemilih.
Sangat
menarik dikaji hasil penelitian Dewan Pers, hasil
kerja sama dengan Thomson Foundation (Dewan Pers, 2014 : 2)
bahwa berkurangnya belanja iklan ruang dan media, karena para
caleg lebih memilih “membelanjakan” uang lebih tepat sasaran,
yaitu membeli suara para pemilih di level kelurahan atau menyuap
panitia di KPUD.
Hasil penelitian itu menunjukkan adanya transaksi politik,
sekaligus adanya money politic atas kerja sama
para calon dan
para pemilihnya. Money politic tidak mungkin dilakukan sebelah
pihak, kecuali oleh dua belah pihak, antara lain, karena ada janji
atau tawar-menawar.
Kehadiran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
dalam penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain, untuk
memperkarakan money politic yang terhitung pelanggaran berat.
~6~
Kalau terbukti secara sah dan meyakinkan, melalui putusan
pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka calon
pelaku money politic bisa dibatalkan pencalonannya, atau bahkan
dibatalkan sebagai calon terpilih.
Gambar 1
Stop Politik Uang!
www.kpu.go.id
Tetapi,
kenyataan di lapangan, money politic yang
dirasakan ada itu tidak pernah atau sangat jarang sampai dibawa
ke ranah pengadilan.
Faktor uang atau barang bukanlah satu-satunya dorongan
yang “menciptakan” perilaku pemilih, dan sekaligus perilaku calon,
melainkan masih banyak faktor-faktor lain yang mendorong
penggunaan hak pilih.
~7~
Ilmuwan pemilihan umum membagi-bagi kategori perilaku
pemilih, sekaligus juga perilaku calon. Tetapi, penelitian ini
difokuskan pada perilaku pemilih, bukan pada perilaku calon.
Sebagai penyelenggara pemilihan umum, Komisi Pemilihan
Umum menginginkan adanya angka partisipasi pemilih yang cukup
tinggi disertai dengan para pemilihnya yang berkualitas.
Namun, Komisi Pemilihan Umum
tidak mungkin secara
tepat dan akurat memastikan perilaku pemilih, karena yang
diketahui hanyalah gejalanya saja. Komisi Pemilihan Umum hanya
memastikan tidak ada motif tunggal bagi masyarakat pemilih
karena latar belakang niat atau faktor dorongan yang berbeda-beda
di kalangan masyarakat pemilih.
Maka, di wilayah inilah Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Lebak khususnya ingin memetakan atau mendiskripsikan tipologi
masyarakat pemilih itu ke dalam beberapa perilaku pemilih.
Komisi Pemilihan Umum, termasuk Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Lebak, hanya bisa memastikan atau menghitung secara
tepat angka partisipasi pemilih.
Ini sangat mudah dilakukan karena tinggal menghitung
angka (jumlah pengguna hak pilih) dan membandingkannya
dengan daftar pengguna hak pilih.
~8~
Warga yang menggunakan hak pilih, tetapi surat suaranya
tidak sah, maka dikelompokkan ke dalam masyarakat yang
menggunakan hak pilih. Angka partisipasi pemilih tidak hanya
dihitung dari suara sah, tetapi juga suara tidak sah. Untuk
memastikan angka partisipasi pemilih cukup terukur berdasarkan
data angka yang nyata.
Di setiap tempat pemungutan suara (TPS), di Kabupaten
Lebak khususnya, mesti saja ada suara tidak sah. Artinya,
pengguna hak pilih itu kemungkinan tidak sengaja sehingga salah
menggunakan hak pilih atau memang sengaja merusakkan surat
suara agar tidak sah.
Di beberapa TPS, terdapat pula surat suara yang masih
utuh, yang artinya tidak dicoblos. Surat suara seperti ini tentu
dikategorikan tidak sah, meski pemilihnya “menyumbang” untuk
angka partisipasi pemilih.
Komisi Pemilihan Umum tidak bisa memastikan atau bahkan
mengira-ngira, siapa saja masyarakat pemilih yang salah atau
sengaja salah menggunakan hak pilihnya.
KPU Kabupaten Lebak khususnya, tentu lebih mudah
menghitung angka partisipasi pemilih daripada menghitung atau
meneliti motif menggunakan hak pilih hanya dari bukti fisik
selembar surat suara.
~9~
Gambar 2
50 Ribu Dilupakan 5 Tahun
Maka di sinilah ada ruang penelitian, dan bisa diteliti secara
ilmiah melalui rumusan-rumusan akademik. Penelitian, tentu saja,
diarahkan kepada pengguna hak pilih, bukan pada fisik surat suara.
1.2.2. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa saja yang mendorong penggunaan hak
pilih
pada pemilihan umum tahun 2014 di Kabupaten
Lebak?
2. Bagaimana tipologi pemilih pemilihan umum tahun 2014
di Kabupaten Lebak?
1.3.
Maksud dan Tujuan Penelitian
Dalam laporan hasil penelitian, ada yang menulis maksud
dan tujuan, ada pula yang hanya menulis tujuan saja. Para ahli
~ 10 ~
membedakan maksud dan tujuan. Ada yang ahli yang menyebut,
maksud adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sedangkan tujuan
adalah sesuatu yang harus dicapai. Ada pula ahli yang menyebut,
kalau maksud bersifat umum, maka tujuan bersifat khusus. Dalam
penelitian ini, Tim Peneliti menulis kedua-duanya, maksud dan
tujuan.
Ada ahli yang membedakan pula tujuan peneliti dan tujuan
penelitian, karena memang kedua-duanya berbeda. Tujuan peneliti
adalah maksud dilaksanakannya penelitian itu, yang dalam hal ini
adalah perintah tugas Komisi Pemilihan Umum.
Tujuan penelitian, sebagaimana dicantumkan pula dalam
surat perintah tugas, yakni mengetahui rasionalitas perilaku pemilih
dalam pemilihan umum.
Setiap warga yang menggunakan hak pilihnya punya
dorongan, niat, atau tujuan yang berbeda-beda. Tim Peneliti sejak
awal sudah menduga, dan memang sudah jadi pengetahuan umum
bahwa tidak ada motif tunggal dalam penggunaan hak pilih.
Ada faktor-faktor pendorong dalam penggunaan hak pilih,
termasuk di dalamnya tentang kepentingan atau keuntungan yang
diperoleh masyarakat pemilih dalam penggunaan hak pilihnya itu.
Pendorong penggunaan hak pilih bisa diidentifikasikan. Bisa
karena dorongan ingin berpartisipasi dalam kehidupan politik,
~ 11 ~
karena yang menjadi calon dari kalangan keluarga atau atasan di
kantor,
karena dijanjikan uang atau imbalan oleh calon, karena
kesamaan ideologi, agama, atau karena malu kalau tidak ikut ramaramai ke tempat pemungutan suara (TPS), dan lain-lain.
1.3.1. Maksud
1. Melaksanakan tugas Komisi Pemilihan Umum untuk
melakukan penelitian perilaku pemilih sebagai bahan
penyusunan kebijakan di tingkat pusat (KPU).
2. Menghasilkan penelitian berupa laporan penelitian
3. Tersusunnya buku hasil penelitian yang bersumber dari
laporan hasil penelitian.
1.3.2. Tujuan
1. Menganalisis faktor-faktor yang mendorong masyarakat
pemilih dalam penggunaan hak pilihnya pada pemilihan
umum tahun 2014 di Kabupaten Lebak.
2. Mengetahui perilaku pemilih pada pemilihan umum tahun
2014 di Kabupaten Lebak.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Aspek Teoritis
1. Hasil penelitian ini bisa ditindaklanjuti oleh penelitian
berikutnya pada pemilu-pemilu yang akan datang,
mengingat setiap pemilih pada setiap pemilu sangat
mungkin punya ragam niat, tipe, atau motif yang berbeda.
~ 12 ~
2. Mengenal tipologi pemilih atau perilaku pemilih di setiap
daerah, terutama di Kabupaten Lebak yang memiliki latar
belakang budaya yang berbeda jika dibandingkan
dengan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Banten.
3. Menambah hasil kajian perilaku pemilih untuk Komisi
Pemilihan Umum.
1.4.2. Aspek Praktis
1. Bahan penyusunan strategi kampanye partai politik
atau calon anggota DPR, DPD, dan DPRD saat-saat
pelaksanaan tahapan kampanye pemilihan umum
berlangsung.
2. Sumber
keterangan
atau
data
bagi
peneliti,
mahasiswa, atau masyarakat umum.
3. Bahan penyusunan kebijakan KPU dalam sosialisasi
dan usaha peningkatan angka partisipasi pemilih.
1.4.3. Pedoman Penelitian dan Pengarahan
KPU Kabupaten Lebak, dalam melaksanakan tugas dan
tahapan penelitian, berpedoman pada instruksi KPU, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan pengarahan dan supervisi oleh
KPU Provinsi Banten.
Setiap KPU Kabupaten/Kota ditugasi meneliti satu topik
penelitian saja. KPU Kabupaten Lebak memilih topik perilaku
pemilih, berdasarkan hasil rapat pleno. (Lampiran 1).
~ 13 ~
~ 14 ~
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka
Kajian pustaka
ada kaitannya dengan rumusan masalah. Untuk
menjawab rumusan masalah tersebut, tentu diperlukan kajian pustaka
sebelumnya, antara lain, karena kajian pustaka itu sendiri akan menjadi
dasar teoritis penelitian.
Tim Peneliti memilih tiga buah hasil penelitian yang relevan dengan
perilaku pemilih, sebagai berikut :
Anita Prismawasti Widhiani, dalam tesisnya berjudul
Perilaku Pemilih Partai Politik”,
“Analisis
menggunakan pendekatan teori-teori
perilaku konsumen untuk dapat mengidentifikasi perilaku pemilih. Teori
yang dimaksud Anita adalah theory of reasoned action dari Ajzen dan
Fishbein (1980).
Bagi Anita, teori ini tepat diterapkan dalam penelitian politik karena
ada kesamaan transaksi kedua belak pihak, yakni penjual dan pembeli.
Dalam hal pemilihan umum, kedua belah pihak adalah pemilih dan calon
yang akan dipilih. Kalau konsumen mampu mengukur atau menentukan
barang yang akan dibeli, berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, maka
pemilih pun akan menjatuhkan pilihannya terhadap calon yang dinilai
sesuai dengan kriteria-kriterianya itu.
~ 14 ~
Dengan bersandar pada theory of reasoned action, hasil penelitian
Anita, keterpilihan partai politik ditentukan pula secara subjektif, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Ini tidak jauh berbeda
dengan konsumen yang bisa dipengaruhi oleh penjual atau kualitas
produk yang dijual, yang dalam hal ini penjual adalah parpol dan produk
yang dijual adalah para calon.
Menurut Anita, bahwa masyarakat pemilih membedakan antara
partai politik dan pemimpin partai politik itu sendiri. Partai politik tidak
begitu penting bagi sejumlah pemilih, karena faktor pendorong pilihan ada
pada pemimpinnya dan rasa simpati kepada pemimpin partai politik itu
sendiri.
Dengan teori ini pula, menurut Anita, partai politik bisa mengukur
atau merumuskan apa saja yang perlu disampaikan kepada masyarakat
pemilih sehingga memenuhi kriteria-kriteria mereka, yang akhirnya
masyarakat pemilih mau menjatuhkan pilihannya. Anita menemukan pula,
di samping adanya kesamaan perilaku konsumen (ekonomi) dan pemilih
(politik), juga menarik simpulan bahwa partai politik perlu membangun
citra positif di kalangan masyarakat pemilih.
Muhamad Bawono melakukan penelitian perilaku pemilih pada
pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004, di Kabupaten
Nganjuk. Hasil penelitian Bawono dimuat dalam Jurnal M’POWER No. 8.
Vo. 8, Oktober 2008, dengan judul “Persepsi dan Perilaku Pemilih
~ 15 ~
Terhadap Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004
di Kabupaten Nganjuk”.
Dalam melakukan penelitiannya, Bawono menggunakan metode
penelitian
kualitatif
deskriptif,
dengan
pendekatan
induktif
yang
berbasiskan data primer dan sekunder serta wawancara mendalam.
Bawono mengamati pemberdayaan masyarakat dalam partisipasi
pemilih dalam penelitiannya itu. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat
adalah basis utama dalam pembangunan
masyarakat. Pemberdayaan
memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan,
dan keterampilan.
Dalam hubungannya dengan demokrasi, maka pemberdayaan
masyarakat itu berupa partisipasi dalam menentukan pemimpin melalui
pemilihan umum.
Hasil penelitian Bawono menunjukkan, bahwa masyarakat pemilih
merasa terwakili oleh partai politik dan para calon masing-masing
Pemilihan
umum
berjalan
lancar,
meski
sistemnya
rumit
dan
membingungkan.
Meski begitu, hasil penelitian Bawono menunjukkan pula bahwa
partisipasi
pemilih
ternyata
rendah.
Masyarakat
pemilih
yang
menggunakan hak pilihnya pun, bukan karena merasa terpanggil sebagai
warga negara yang punya hak pilih, melainkan karena hanya ingin
membantu kelancaran penyelenggaraan pemilu.
~ 16 ~
Tabel 1
Daftar Penelitian Terdahulu
Peneliti
Anita
Prismaswari
Widhiani
Muhammad
Bawono
Umar Bakri
(Lembaga
Survei
Nasional)
Tempat/Kajian
Akademis
Tesis, Universitas
Indonesia
Laporan
Penelitian,
Kabupaten
Nganjuk, Jurnal
M’POWER No. 08
Vo. 8, Oktober
2008
Perilaku Pemilih
dalam Pemilu
2014
Bidang
Studi
Ilmu
politik
Ilmu
politik
Ilmu
politik
Pendekatan
Analisis
Theory of
reasoned
action
Kualitatif
deskriptif
dengan
pendekatan
induktif
Studi
pustakaan,
survai.
~ 17 ~
Simpulan
Kritik
Pemilih tidak
memperhatikan
atrbitut partai,
tetapi lebih
pada perasaan
simpati dan
bangga
terhadap
sesuatu partai
politik dalam
memilih
Teori
pemasaran
diterapkan ke
dalam
penelitian
poitik jadi
relevan, tetapi
konsumen dan
pemilih punya
kesamaankesaman dan
perbedaan perbedaan
Partisipasi
politik
masyarakat
pemilih pada
penyelenggara
an pemilu
rendah,
Sebagian
terlibat karena
ingin membantu
kelancaran
pemilu
Hasil penelitian
akan
lebh
lengkap
jika
ditambah
dengan tipologi
pemilih.
Kata legislatif
dalam
judul,
seharusnya,
Anggota DPR,
DPD,
dan
DPRD
Hasil penelitian
menunjukkan
adanya kategori
pemilih
rasional,
pemilih kritis,
pemilih
tradisional, dan
pemilih skeptis.
Mudahnya
masyarakat
pindah pilihan
tidak
diidentifikasi
lebih jauh,
sehingga
penyebabnya
tidak diketahui.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pendekatan Sosiologis, Psikologis, dan Ekonomi
Peneliti CSIS, J.B. Kristiadi
(2013 : 4 – 6) mendasarkan
perilaku pemilih dengan pendekatan sosiologis, psikologis, dan
ekonomi, Mazhab Sosiologi berasal dari Eropa, berkembang di
Amerika Serikat, dan kali pertama dikembangkan oleh Biro Ilmu
Sosial Univesitas Colombia. Oleh karena tumbuh di sini, maka
disebutlah Kelompok Columbia.
Hasil terpenting Kelompok Columbia ini adalah
The
People’s Choise (1948) dan Voting (1952). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sosial ekonomi, afiliasi etnis, tradisi keluarga,
keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan tempat tinggal memengaruhi pilihan.
Mazhab kedua adalah Mazhab Psikologis. Kali pertama
digunakan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan.
Oleh karena digunakan di sini, maka disebutlah Kelompok
Michigam.
Hasil Kelompok Michigan ini antara lain The Voter’s Decide
(1954) dan The American Voter (1960). Ada tiga aspek variable
psikologis hasil penelitian ini, yakni ikatan emosional, orientasi
terhaap isu yang berkembang, dan orientasi terhadap kandidat.
~ 18 ~
Artikel “ A Theory of The Calculus Voing” yang berasal dari
buku An Economis Theory of Democracy (1957) dan Riker &
Ordeshook, karya Downs, menjadi sumber pemikiran pendekatan
ekonomi. Pendekatan ini disebut juga pendekatan rasional.
Para penganut aliran ini menjelaskan bahwa perilaku pemilih
terhadap
partai
politik
tertentu
berdasarkan
perhitungan,
berdasarkan kalkulasi-kalkulasi.
2.2.2. Teori Perilaku Konsumen
Ajden dan Fishbein (1980) dalam “Analisis Perilaku Pemilih
Partai Politik” (tesis Anita Primaswari Widhani), menampilkan teori
perilaku konsumen (theory of reasoned action) yang ternyata bisa
diterapkan untuk penelitian perilaku pemilih.
Gambar 3
Ilustrasi Perilaku Konsumen
http://lacusza.blogspot.com
~ 19 ~
Ada kesamaan antara konsumen dan penjual di satu sisi
serta pemilih dan calon di satu sisi yang lain. Dalam teori perilaku
konsumen, ada dua belah pihak yang melakukan pertukaran uang
dan barang, sedangkan dalam pemilu, ada dua pihak yang
mempertukarkan suara dan program atau visi dan misi calon.
Konsumen, dalam menentukan pilihan barang
yang
dibelinya, dipengaruhi beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal. Hal yang sama berlaku pula dalam pemilu. Masyarakat
pemilih dipengaruhi pula oleh faktor-faktor, baik internal maupun
eksternal dalam menentukan pilihannya itu.
Meski teori ini berasal dari wilayah ilmu ekonomi (teori
pemasaran), tetapi mampu juga menjelaskan atau bisa diterapkan
untuk memahami perilaku pemilih dalam pemilihan umum.
Sangat mudah dipahami,
seseorang belanja di toko
misalnya, bisa jadi karena awalnya tertarik iklan di televisi atau di
koran, lalu mencoba membeli.
Atau, ada pula yang belanja
memang karena butuh.
2.2.3. Teori Pertukaran Sosial dan Pertukaran Perilaku
Setiap menghadapi pemilu, baik pemilu anggota DPR, DPD,
dan DPRD maupun pemilu presiden dan wakil presiden, juga
pemilukada (pilkada), masyarakat pemilih menghadapi banyak
pilihan meliputi partai politik dan calon masing-masing.
~ 20 ~
Gambar 4
Ilustrasi Pertukaran Sosial dan Perilaku
http://jendelapsikologi.com
Masyarakat pemilih boleh menyoal dapat apa dari pemilu,
menguntungkan atau merugikan. Pemilih dan partai politik atau
calon adalah dua pihak yang melakukan pertukaran sosial dan
politik.
Teori pertukaran sosial
George Caspar Homans mampu
menjelaskan petukaran sosial, termasuk dalam perilaku pemilih
dalam pemilu.
Tentang George C. Homans dengan teori pertukaran
sosialnya,
Mujiono
dalam
http://sosiologiilmu.blogspot.com/
menulis :
“Perlu diketahui bahwa George C. Homans menyatakan
bahwa psikologi perilaku sebagaimana diajarkan oleh B.F.
~ 21 ~
Skinner dapat menjelaskan pertukaran sosial. Adapun
proposisi yang mampu memberikan penjelasan pertukaran
sosial, yaitu (1) proposisi sukses, artinya semakin perilaku itu
memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan
perilaku tersebut; (2) proposisi stimulus, artinya apabila
stimulus menyebabkan adanya ganjaran maka pada
kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan
apabila ada stimulus yang serupa; (3) proposisi nilai, artinya
semakin tinggi nilai suatu tindakan maka semakin senang
orang melaksanakan; (4) proposisi deprivasi satiasi, artinya
semakin orang memperoleh ganjaran tertentu maka semakin
berkurang nilai itu bagai orang yang bersangkutan; (5)
proposisi restu-agresi, artinya ganjaran yang tidak seperti
yang diharapkan maka akan menyebabkan marah dan
kecewa serta dapat menyebabkan perilaku yang agresif”
Untuk pertukaran perilaku, Mujiono menulis:
“George C. Homans dan Peter M. Blau adalah tokoh dari
Teori Pertukaran sosial. Namun, tidak seperti George C.
Homans yang membatasi analisisnya pada jenjang sosiologi
mikro, Peter M. Blau berupaya menjembatani pada jenjang
sosiologi makro dan mikro dari jenjang analisis sosiologi.
Perlu diketahui bahwa baik C. Homans maupun Peter M.
Blau menilai analisisnya pada proses interaksi, namun Peter
M. Blau melanjutkan analisisnya dengan membahas struktur
yang lebih besar. Dalam hal ini, Peter M. Blau menunjukkan
bahwa dalam proses pertukaran dasar menghadirkan
fenomena yang berupa struktur sosial yang lebih kompleks.
Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu
konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran
materiil, misal yang berupa barang maupun spiritual yang
berupa pujian.
Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada
persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah (1) suatu
perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan
yang hanya dapat tercapai lewat interaksi dengan orang lain;
(2) suatu perilaku atau tindakan harus bertujuan untuk
memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang
dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa
ganjaran atau penghargaan intrinsik yakni berupa pujian,
kasih
sayang,
kehormatan
dan
lain-lainnya
atau
penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu,
uang dan jasa”
~ 22 ~
Kendra
Cerry,
seorang
psikolog,
dalam
http://psychology.about.com menyusun definisi pertukaran
sosial sebagai berikut :
“Social exchange theory proposes that social behavior is the
result of an exchange process. The purpose of this exchange
is to maximize benefits and minimize costs. According to this
theory, people weigh the potential benefits and risks of social
relationships. When the risks outweigh the rewards, people
will terminate or abandon that relationship. Costs involves
things that are seen as negatives to the individual such as
having to put money, time and effort into a relationship.The
benefits are thing things that the individual gets out the
relationship such as fun, friendship, companionship and
social support. Social exchange theory suggests that we
essentially take the benefits and minus the costs in order to
determine how much a relationship is worth. Positive
relationships are those in which the benefits outweigh the
costs, while negative relationships occur when the costs are
greater than the benefits”
(Teori pertukaran sosial (social exchange) menyebutkan,
perilaku sosial adalah hasil proses pertukaran. Tujuan
pertukaran, selain untuk memaksimalkan manfaat, juga
untuk meminimalkan biaya. Menutrut teori ini, orang
mempertimbangkan manfaat madarat (risiko) akibat
pertukaran (hubungan) sosial. Orang-orang akan memilih
menghentikan (pertukaran sosial) ketika madaratnya lebih
besar dari manfaatnya. Waktu dab uang akan terbuang
percuma. Ada manfaat-manfaat dalam hubungan sosial ini,
seperti persahabatan dan dukungan sosial. Teori pertukaran
sosial menunjukkan pada dasarnya, kita ingin memperoleh
manfaat yang maksimal dengan risiko yang minimal.
Hubungan negatif terjadi ketika pembiayaan harus keluar
lebih besar, sedangkan manfaatnya sedikit)
2.3.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran banyak ragam namanya, tergantung nama
yang disukai peneliti. Nama-nama kerangka pemikiran,
misalnya,
kerangka konsep, kerangka teoritis, model teoritis, kerangka berpikir, dan
~ 23 ~
lain-lain. Tim Peneliti memilih nama kerangka pemikiran. Para ahli
sepakat, kerangka pemikiran ditempatkan pada bab II setelah kajian
pustaka. Kerangka teori dan kajian pustaka satu wilayah bahasan karena
jadi tali-temali dalam rangkaian penelitian.
Dalam pembahasan kajian pustaka dan teori-teori sebelumnya,
perilaku pemilih jadi objek studi dan penelitian ilmiah. Para ahli
mengaitkan perilaku pemilih dengan status ekonomi, psikologi, dan
sosiologi.
Masyarakat pemilih di Kabupaten Lebak, sama seperti halnya
masyarakat pemilih di kabupatern/kota lainnya, menyambut kehadiran
pemilu. Pemilu yang diasosiasikan sebagai “hiburan”, disebut pesta
demokrasi, pesta rakyat. Ada responden yang menyebut, di Kabupaten
Lebak,
kalau
saja
pemilihan
bupati
dan
wakil
bupati
diselenggarakan oleh DPRD, maka itu bukan pesta rakyat,
Lebak
melainkan
pesta wakil rakyat.
Dalam penyelenggaraan pemilu, ada dua belah pihak yang terlibat,
pemilih dan yang dipilih (partai poitik dan calon atau calon perseorangan
dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah)
Kedua belah pihak punya kepentingan masing-masing, terutama
partai politik dan calon yang lebih membutuhkan masyarakat pemilih
karena akan jadi alat legitimasi kemenangan dan kekuasaan. Oleh karena
~ 24 ~
itu, parpol
dan para calon berebut simpatik masyarakat pemilih.
Perebutan simpati bisa terjadi dalam internal partai politik, yakni
persaingan antarcalon dalam satu tubuh partai politik, bisa pula
persaingan antarpartai politik/antarcalon.
Kegiatan kampanye adalah upaya perebutan simpati oleh partai
politikdan calon kepada masyarakat pemilih. Normanya, masyarakat
pemilih bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam penggunaan hak pilihnya.
Masyarakat pemilih melihat adanya partai poiitik di satu pihak dan calon
yang di-satu paket-kan dengan partai politik yang bersangkutan.
Masyarakat pemilih harus memilih calon sesuai dengan aturan agar
surat suaranya sah. Ketika selembar surat suara dicoblos gambar partai
politiknya, tetapi calon yang dicoblos ada di partai politik yang lain, maka
surat suara akan dinyatakan tidak sah dalam proses penghitungan
perolehan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Partai politik dan calon menyadari bahwa masyarakat pemilih
tidaklah tunggal, tetapi bermacam-macam karakteristik atau tipe pemilih.
Bagi partai politik dan calon, tipe pemilih itu merupakan tantangan
tersendiri untuk menaklukannya melalui kampanye-kampanye.
Para peneliti dan ilmuwan menguraikan tipe-tpe pemilih dan tipetipe para calon. Pengamat politk, Ubedillah Badrun, dalam artikel
“Persinggungan Tipologi Pemilih dengan Caleg di Pemilu 2014” merinci
~ 25 ~
tipelogi pemilih ke dalam
enam tipe, yakni (a) pemilih tradisional, (b)
pemilih subjektif, (c) pemilih pragmatis, (d) pemilih skeptis, (e) pemilih
ideologis, dan (f) pemilih rasional.
Para calon terbagi ke dalam enam tipe, yaitu (a) tipe mencari
prestasi, (b) tipe pedagang, (c) tipe petualang, (d) tipe pencari
perlindungan, (e) tipe pencari kerja, dan (f) tipe pejuang.
Sulit sekali memastikan tipe-tipe, baik dari kalangan masyarakat
pemilih maupun tipe dari kalangan para calon. Semuanya hanya bisa
diidentifikasi melalui penelitian dan pengamatan.
Termasuk Tim Peneliti, berdasarkan hasil
penyebaran kuisioner
dan wawancara mendalam, peta tipe pemilih itu ada di Kabupaten Lebak.
Tim Peneliti tidak melakukan identifikasi tipe para calon karena tidak
termasuk tugas penelitian.
Banyak faktor yang menyebabkan berubahnya pilihan terhadap
calon, baik penyebab internal maupun penyebab eksternal. Tokoh
panutan masyarakat dan
media massa bisa menjadi
penyebab
perubahan sikap pemilih. Media massa sendiri, sering sekali tidak secara
langsung memengaruhi pemilih, tetapi melalui ketokohan seseorang.
Dalam hal ini, teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig
Berger dan Thomas Luckman bisa menjelaskan
~ 26 ~
adanya tarik-menarik
masyarakat pemilih dan para calon. Ada internalisasi dan ekternalisasi,
yang kemudian berdialektika, sehingga melahirkan opsi ketiga.
Nurdin (2010 : 52) menulis :
“Apa yang dilihat dan didengar manusia mengendap dalam
pikirannya. Informasi yang diterima pun tersimpan dalam
memori. Pengalaman yang dilihat atau didengar pun sama
tersimpan dalam memorinya.
Manusia mengungkapkan lagi apa yang pernah dilihat atau
didengarnya itu, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
Pada saat mengungkapkan kembali pengalamannya itu,
manusia hakikatnya menciptakan realitas baru, berdasarkan
realitas pertama yang dialami manusia itu, dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor eksternal.
Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, manusia
menciptakan realitas sosial dari berbagai informasi yang
didapat terus-menerus kemudian diproses berdasarkan
faktor-faktor internal (subjektif) dan faktor-faktor eksternal
(objektif).
Ada tiga teori yang berhubungan dengan konstruksi realitas,
yakni teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori
konstruksi sosial. Teori fakta sosial menyebutkan bahwa
tindakan manusia ditentukan oleh lingkungannya. Dalam
teori ini, manusia pasif, dan lingkungannyalah yang aktif
sehingga mampu memengaruhi manusia itu sendiri. Teori
fakta sosial menafikan individu.
Teori definisi sosial malah sebaliknya dari teori fakta sosial.
Menurut teori ini, justru manusialah yang menciptakan atau
membentuk prilaku sosialnya. Teori definisi sosial justru
menonjolkan indvidu.
Teori ketiga adalah teori konstruksi sosial. Teori ini
merupakan gabungan teori fakta sosial dan teori defenisi
sosial, dengan tokohnya Peter Ludwig Berger dan Thomas
Luckmann.
~ 27 ~
Teori yang diciptakan dan dikembangkan oleh kedua tokoh
di atas menyebutkan bahwa realitas mempunyai dimensi
subjektif dan dimensi objektif. Dalam dimensi subjektif,
manusia menciptakan realitas yang objektif, tetapi
penciptaannya tidak lepas pula dari proses eksternalisasi.
Maka, dalam hal ini, akhirnya manusia adalah produk
masyarakat, dan lingkungan (masyarakat) adalah produk
manusia. Keduanya berproses secara dialektis, tesis,
antitesis, dan sintesis”.
Gambar 5
Ilustrasi Konstruksi Realitas Sosial
http://dkv.binus.ac.id
http://staff.unand.ac.id
Teori sintesis itu bisa diterapkan untuk meneliti perilaku
pemilih, apalagi dikaitkan dengan kampanye-kampanye baik secara
tradisional maupun secara modern yang tujuan utamanya adalah
meneguhkan pilihan atau pindah pilihan. Setiap calon akan punya
dua segmentasi pemilih. Pertama, segmentasi aset, yakni kalangan
internal,
seperti
kerabat,
kolega,
dan
partai
politik
yang
bersangkutan “bernaung” jadi calon. Kedua, segmentasi target,
~ 28 ~
yakni sasaran di luar semua yang disebutkan di atas. Masyarakat
“mengambang” (vloating mass), di antaranya, target para calon.
Pada hari-hari pemilu, terutama ketika sudah memasuki
tahapan kampanye, masyarakat pemilih jadi ajang rebutan para
calon. Dari merekalah legalitas keterpilihan dan kepemimpinan
sekaligus. Oleh karena itu, ketika ada calon yang terpilih, kemudian
melupakan pemilihnya, maka sering di-cap “kacang lupa kulitnya”
Penggunaan hak pilih, atau pemilih akan memilih calon,
pada akhirnya akan ditentukan di tempat pemungutan suara (TPS).
Dalam penggunaan hak pilih itu, prnsipnya adalah bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Pemilih merasa dilindungi hak dan kerahasiannya.
Gambar 6
Surat Suara, dicoblos di TPS
http://www.isukepri.com
~ 29 ~
Pertanyaan demi pertanyaan dari partai politik atau dari para calon
muncul ketika hari penggunaan hak pilih semakin dekat. Hari tenang
menjelang penggunaan hak pilih, boleh jadi, justru hari-hari yang
mendebarkan bagi para calon mengingat kepastian terpilih atau tidak
terpilih, salah satunya, akan jadi kenyataan.
Benarkah para pemilih itu akan memegang teguh janji untuk
memilihnya? Akan ada perubahan mendadakkah di kalangan masyarakat
pemilih ketika berada di dalam tempat pemungutan suara? Semuanya
tidak bisa dipastikan karena menggunaan hak pilih sangat rahasia.
Maka, berdasarkan rumusan masalah, hasil kajian penelitian
terdahulu (kajian pustaka),
dan penelaahan teori yang relevan, Tim
Peneliti menyusun kerangka pemikiran.
Mengenai kerangka pemikiran, Satrio Wahono menulis dalam situs
pribadinya, http://romisatriawahono.net, sebagai berikut :
“Kerangka pemikiran adalah suatu diagram yang menjelaskan
secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian.
Kerangka pemikiran dibuat berdasarkan pertanyaan penelitian
(research question), dan merepresentasikan suatu himpunan dari
beberapa konsep serta hubungan diantara konsep-konsep tersebut
(Polancik, 2009). Pada tesis, kerangka pemikiran biasanya
diletakkan di bab 2, setelah sub bab tentang Tinjauan Studi
(Related Research) dan Tinjauan Pustaka. Penamaan kerangka
pemikiran bervariasi, kadang disebut juga dengan kerangka
konsep, kerangka teoritis atau model teoritis (theoritical model).
Seperti namanya yang beraneka ragam, bentuk diagram kerangka
pemikiran juga bervariasi”.
Maka, inilah kerangka pemikiran yang disusun Tim Peneliti, sebagai
berikut :
~ 30 ~
Skema 1
Kerangka Pemikiran
Pemilihan umum
Tipe calon :
1. pencari prestise
2. pedagang
3. petualang
4. pencariperlindungan
5. pencari kerja
6. pejuang
Tipe pemilih :
1. tradisional
2. subjektif
3. pragmatis
4. skeptis
5. ideologis
6. rasional
Kampanye
1. Faktor internal
2. Teori definisi sosial
(menonjolkan individu)
1. Faktor eksternal
2. Teori fakta sosial
(menafikan individu)
Sintesis teori definisi sosial dan teori fakta
sosial : Teori konstruksi realitas secara sosial
Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann
Dialektika pemilih (internal) dan calon (eksternal) dalam
pengambilan putusan penggunaan hak pilih pemilu
TPS :
tempat mengeksekusi pilihan : langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil

~ 31 ~
~ 32 ~
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Tempat penelitian di enam daerah pemilihan se-Kabupaten Lebak,
meliputi Daerah Pemilihan (Dapil) Lebak 1 terdiri dari empat kecamatan
(Rangkasbitung, Cibadak. Warunggunung, Kalanganyar), Dapil Lebak 2
terdiri dari empat
kecamatan (Maja, Curugbitung, Cipanas, Sajira,
Lebakgedong) Dapil Lebak 3 terdiri dari empat kecamatan (Muncang,
Sobang, Bojongmanik, Cirinten, Leuwidamar, Cimarga), Dapil Lebak 4
terdiri dari lima kecamatan (Cihara, Panggarangan, Bayah, Cilograng,
Cibeber), Dapil Lebak 5
terdiri dari empat kecamatan (Cijaku,
Cigemblong, Malingping, dan Wanasalam), dan Dapil Lebak 6 terdiri dari
empat kecamatan (Gunungkencana, Banjarsari, Cileles, dan Cikulur).
Dengan demikian, jumlah kecamatan seluruhnya sebanyak 28 buah yang
diformat jadi enam dapil.
3.2. Waktu Penelitian
Tim Peneliti menjadwalkan penelitian selama tiga (3) bulan, mulai
Mei 2015 sampai Juli 2015, sesuai dengan waktu yang diberikan KPU.
Tim Peneliti, sebetulnya, merasa kurang cukup untuk menyusun sebuah
penelitian, dengan wilayah cakupan yang luas seperti Kabupaten Lebak
dan medan yang cukup sulit ditempuh akibat ke prasarana perhubungan
yang rusak dan sedang diperbaiki. (Lampiran 2)
~ 32 ~
Waktu selama tiga bulan itu dibagi empat kegiatan besar berupa
persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, penyusunan hasil penelitian,
dan penyampaian hasil penelitian. (Lampiran 3)
3.3. Penyebaran Lembar Kuisioner dan Daftar Wawancara
Ada dua hal penting dalam pembahasan metodologi penelitian ini,
yakni populasi dan teknik pengambilan sampel. Populasi berkaitan
dengan seluruh orang, yang dalam hal ini seluruh pemilih se-Kabupaten
Lebak. Tim Peneliti, tentu tidak akan melakukan sensus, tetapi melakukan
penarikan sampel dari lingkungan populasi itu.
Penarikan sampel, tentu saja, tidak boleh sembarangan, karena
akan berkaitan erat dengan hasil penelitian. Ketika Tim Peneliti ingin
melakukan penelitian se-Kabupaten Lebak, tetapi penarikan sampelnya
hanya
di
satu
titik
kecamatan,
maka
hasilnya
hanya
akan
menggambarkan hasil penelitian di kecamatan yang dimaksud, bukan seKabupaten Lebak.
Populasi, menurut Guritno (2011 : 141), tidak selalu manusia, tetapi
termasuk juga peristiwa atau benda yang menjadi pusat perhatian
penelitian untuk diteliti. Sebuah PT yang mempunyai banyak karyawan
dengan keberagaman karakteristiknya, motivasi kerja masing-masing,
juga iklim organisasi, maka bagian yang terakhir ini terhitung pula
populasi. Masih menurut Guritno, satu orang pun dapat digunakan
sebagai populasi karena satu orang itu mempunyai berbagai karakteristik,
~ 33 ~
misalnya, gaya bicara, disiplin pribadi, cara bergaul, kepemimpinan, dan
lain-lain.
Gambar 7
Ilustrasi Pengisian Kuisioner
http://indosdm.com
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Tim Peneliti, selain
menyebarkan kuisioner, juga melakukan wawancara dengan responden
yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Dengan demikian pula, Tim
Peneliti
memasukkan pula
karakteristik itu sebagai populasi. Para pemilih yang menjadi responden
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, di enam daerah pemilihan seKabupaten Lebak. (Lampiran 4)
~ 34 ~
Sampel bagian dari populasi. Pengambilan keputusan berdasarkan
sampel yang ditarik atau diambil dari populasi. Sampel ini kelak akan
digeneralisasikan untuk populasi yang lain. Misalnya, simpulan bahwa
masyarakat pemilih Kabupaten Lebak termasuk pemilih tradisional - untuk
sekadar contoh – digeneralisasikan pula kepada populasi pemilih
Kabupaten Lebak yang lain, yang tidak dijadikan sampel.
Untuk pengambilan sampel, Tim Peneliti menggunakan metode
cluster sampling, yakni penarikan sampel berkelompok dengan memilih
subpopulasi. Kongkretnya, Tim Peneliti menjadikan daerah pemilihan
yang sudah ada sebelumnya dijadikan unit wilayah penelitian.
Tim Peneliti merasa lebih cocok mengambil metode ini karena
terlalu luasnya Kabupaten Lebak yang meliputi 28 kecamatan.
Maka,
praktiknya, Tim Peneliti menetapkan enam daerah pemilihan sebagai
tempat pengambilan sampel. Dengan demikan, Tim Peneliti tidak turun ke
lapangan untuk menjajaki di 28 kecamatan, tetapi cukup turun ke enam
daerah pemilihan. Setiap daerah pemilihan terdiri dari beberapa
kecamatan. Para ahli menyebut metode isi dengan two stage cluster
sampling, karena telah memilih elemen sampel dalam sebuah kelompok
terpilih. Dengan demikian pula, maka
Tim Peneliti menentukan enam
daerah pemilihan, disusul dengan penetapan sampel di setiap daerah
pemilihan itu, sehingga disebut cluster sampling, atau lebih spesifik lagi
disebut two stage cluster sampling.
~ 35 ~
Tim Peneliti, sesungguhnya ingin
menyebarkan kuisioner,
wawancara mendalam, dan pengamatan langsung di 28 kecamatan seKabupaten Lebak agar lebih mendekati respresentasi.
Dengan semakin luasnya wilayah penelitian,
dan narasumber wawarcara yang lebih banyak,
dengan responden
maka hasil penelitian
diharapkan lebih tepat dan akurat.
Tetapi, oleh karena
sumber
dana,
maka
terbatasnya tenaga, sumber daya,
rapat
pleno
KPU
Kabupaten
dan
Lebak
merekomendasikan penyebaran kuisioner, wawancara mendalam, dan
pengamatan di enam daerah pemilihan se-Kabupaten Lebak.
Meski begitu, asas kepatutan penelitian tetap diperhatikan,
misalnya, responden
kelamin,
keberagaman
dirancang agar
usia,
tingkat
mencakup perbedaan
pendidikan,
pekerjaan,
jenis
dan
penghasilan.
Oleh karena itu, penyebaran kuisioner dilakukan oleh anggota KPU
Kabupaten Lebak, ditambah seorang pelaksana tugas
sekretaris KPU
Kabupaten Lebak.
Setiap anggota KPU dan pelaksana tugas sekretaris dibebani
tanggung jawab agar penyebaran kuisioner seperti yang dijadwalkan.
Wawancara mendalam dan pengamatan pun dilakukan langsung oleh
anggota KPU Kabupaten Lebak. Hasilnya dituangkan ke dalam catatan
tertulis untuk kemudian ditelaah sebagai dokumen penelitian.
~ 36 ~
Untuk sebuah penelitian kualitatif, dokumen memang lebih penting.
Oleh karena itu, Tim Peneliti menyusun bahan wawancara dengan
responden. Agar wawancara terarah dan terfokus, Tim Peneliti membawa
catatan materi wawancara. Tim Peneliti jadi pendengar yang baik.
Jawaban-jawaban
atau
keterangan-keterangan
lain
pun
dihimpun,
diklasifikasikan dan ditelaah saat-saat melakukan kajian hasil penelitian.
(Lampiran 5)
3.4. Penduduk dan Pemilih
Jumlah penduduk di Kabupaten Lebak menurut sensus terakhir
untuk kepentingan pemutakhiran data pemilih pemilu 2014 (tahun 2012)
sebanyak 1.050.591 jiwa. Jumlah penduduk sebanyak itu tersebar di 28
kecamatan dalam 345 desa dan kelurahan.
Gambar 8
Ilustrasi Metodologi Riset
http://fardhoniarif2.blogspot.com
~ 37 ~
Jumlah penduduk ini dijadikan patokan
pemetaan daerah
pemilihan untuk pemilihan umum anggota DPRD Kabupaten Lebak. Sejak
pemilu pertama zaman Orde Reformasi, jumlah daerah pemilihan di
Kabupaten Lebak sebanyak enam buah.
Berdasarkan jumlah penduduk pula, kursi anggota DPRD Kabupaten
Lebak sebanyak 50 buah, karena penduduknya di atas 1 juta jiwa.
Berbeda dengan jumlah kursi hasil pemilu tahun 1999, yang jumlahnya
sebanyak
45
buah.
Pertambahan
kursi
ini
seiring
dengan
laju
pertumbuhan jumlah penduduk yang kemudian menembus angka 1 juta
jiwa. (Lampiran 6)
Pemilih pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di
Kabupaten Lebak sebanyak 900.481 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak
460.247 jiwa dan perempuan sebanyak 0000 jiwa. Warga yang
menggunakan hak pilihnya sebanyak 440.234 jiwa. (Lampiran 7)
Calon anggota DPRD Kabupaten Lebak yang terpilih untuk masa
jabatan 2015 sampai 2019, sebanyak 50 orang, di antaranya perempuan
sebanyak 7 orang. Para anggota DPRD Kabupaten Lebak itu berasal dari
delapanpartai politik peserta pemilu
tahun 2014 di Kabupaten Lebak,
yakni Partai NasDem sebanyak 6 orang, Partai Kabangkitan Bangsa
sebanyak 5 orang,Partai KeadilanSejahtera sebanyak 5 orang, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 10 orang, Partai Golongan
Karya sebanyak 8 orang, Partai Gerakan Indonesia Raya sebanyak
~ 38 ~
4
orang, Partai Demokrat sebanyak 6 orang, Partai Amanat Nasional
sebanyak1 orang, Partai Persatuan Pembangunan sebanyak 4 orang,dan
Partai Hati Nurani Rakyat sebanyak 1 orang. Dengan demikian, jumlah
para anggota DPRD Kabupaten Lebak masa jabatan 2014 – 2019 itu
sebanyak 50 orang. (Lampiran 8)
Dari delapan partai politik peserta pemilu tahun 2014 di Kabupaten
Lebak itu, kursi terbanyak diperoleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, sebanyak 10 kursi.
Foto 2
Penggunaan Hak Pilih
http://www.sinarharapan.com
Pemilih pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 di
Kabupaten Lebak sebanyak 914.432 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak
~ 39 ~
467.522 jiwa dan perempuan sebanyak
menggunakan hak pilihnya sebanyak
446.910
jiwa. Warga yang
628.568 jiwa. Dengan demikian
partisipasi pemilihnya sebesar 69,27%
Pasangan calon presiden dan wakil presiden H. Prabowo Subianto
dan Ir. Hatta Rajasa memperoleh dukungan sebanyak 337.700 suara dan
pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Ir. H. Joko Widodo dan
Drs. H. Jusuf Kalla memperoleh dukungan sebanyak 290.868 suara.
Dengan demikian, pasangan H. Prabowo Subianto dan Ir. Hatta Rajasa
unggul di Kabupaten Lebak, terpaut dukungan sebesar 46.832 suara.
Foto
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Pemilu Tahun 2014
www.liputan6.com
~ 40 ~
~ 41 ~
~ 42 ~
3.5.
Paradigma Penelitian
3.5.1. Positivist dan Naturalist
Afifuddin (2009 : 53)
menyebut Lincoln dan Guba
membedakan paradigma dalam ilmu pengetahuan
terbagi pada
dua kelompok, yakni paradigma positivisme (positivist) dan alamiah
(naturalist). Masih menurut Afifuddin, Bodgan dan Biklen menyebut
paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang
dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara
berpikir dan penelitian.
Paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu
komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama
atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk
memulai aktivitas penelitian dan menggunakan metode serupa.
Gambar 9
Ilustrasi Paradigma (Cara Pandang dan Ciri Pandang)
www.google.com
~ 41 ~
Sumber
http://webcache.googleusercontent.com menyebut
empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan untuk
menemukan hakikat realitas atau ilmu
pengetahuan,
yaitu :
Positivisme, Postpositivisme (Classical Paradigm, Conventionalism
Paradigm), Critical Theory (Realism) dan Constructivism.
Hasby menulis tentang pemikiran dan paradigma sebagai berikut
(http://hasby.lecture.ub.ac.id/archives/60:
“Menurut M. Abid al-Jabiri, secara historis hanya ada 3 peradaban
atau bangsa yang memiliki tradisi berpikir logic yang cukup kuat,
yaitu Yunani (hellenism), Arab dan Barat Modern. Sementara
bangsa-bangsa lainnya, seperti Persia, India, Tiongkok dan
sebagainya
dianggap/dikenal
sebagai
peradaban
yang
mengembangkan tradisi mystic (al-Jabiri, 1991). Kejayaan dan
keruntuhan masing-masing peradaban telah terjadi silih berganti.
Ketika yang satu mengalami kepunahan, segera akan diwarisi dan
diambil alih oleh bangsa lain dengan peradaban yang baru lagi.
Setiap peradaban yang berjaya era itu tentu juga membawa
paradigmanya yang sekaligus mendominasi bangsa-bangsa
lainnya.
Apa yang dimaksudkan sebagai paradigma adalah mode of thought
yang mendasari keseluruhan hidup seseorang, masyarakat atau
suatu bangsa. Kalau kita mau mengakui secara jujur,
sesungguhnya sistem global yang mendominasi masyarakat dunia
di abad modern saat ini adalah sistem yang lahir dan mengkristal
dari paradigma filsafat Barat Modern. Menurut Nurcholish Madjid
(1995), dengan tibanya zaman ini, umat manusia tidak lagi
dihadapkan pada persoalan lokal kultural secara terpisah dan
berkembang secara otonom dari yang lain, tetapi terdorong untuk
membaur ke dalam masyarakat jagad (global).
Karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat, maka
modernisasi sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal
ini bangsa Barat), tidak mungkin lagi bagi kelompok manusia lain
untuk memulainya dari titik nol. Jadi, bangsa-bangsa bukan Barat
pada permulaan proses perkembangannya terpaksa harus
menerima paradigma modernitas Barat. Hal ini disebabkan karena
adanya sistem global, yang di dalamnya terdapat sistem-sistem
~ 42 ~
kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan ilmu
pengetahuan, yang saling kait-mengkait dan mempengaruhi satu
sama lain; dan semuanya terpola menuju terbentuknya masyarakat
jagad (global society)”
Rudi Sucahyo menulis dalam
http://rudicahyo.com, sebagai
berikut:
“Menurut Egon G. Guba, “A paradigm may be viewed as set of basic
beliefs (or metaphisies) that deals with ultimates or principles” (Guba
1988). Dengan demikian, dapat dikatakan, paradigma adalah cara
pandang atau kreangka dalam melihat dunia atau kenyataan.
Paradigma diterima sebagai keyakinan yang benar atau
kebenarannya dipercaya. Karena itu, paradigma tidak perlu
divalidasi atau bersifat self validating.
Berdasarkan pengertian paradigma di atas, bicara tentang
paradigma, tidak tepat jika kita mengatakan „menggunakan‟. Karena
paradigma sebenarnya melekat pada diri orang, pada diri peneliti.
Paradigma tidak seperti bongkar pasang alat, tidak seperti gunting
atau pisau untuk memotong. Artinya, gunting ini bisa diletakkan atau
tidak terpakai ketika tidak ada yang dipotong. Paradigma itu seperti
kaca mata yang sepaket dengan mata orang yang bersangkutan.
Jika kaca mata orang ditukar, kalau minus, plus atau silindernya
beda, maka pasti tidak sesuai dengan orang tersebut. Tapi jika
sama, maka mereka bisa saling menyesuaikan”
Sumber http://djannoveria.blogspot.com menulis,
Pada dasarnya paradigma yang begitu sederhana dapat, diartikan
sebagai kacamata atau alat pandang. Sedangkan pemikiran
akademis nya dipahami sebagai pemikiran yang akan diuraikan.
Pada dasarnya Thomas Khus menulis beberapa karya The
Structure Of Scientific Revolution tentang model bagaimana suatu
teori lahir dan berkembang. Dari berbagai disiplin ilmu juga ada yang
mengatakan ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Maka,
dari paradigma ini juga, kaitannya begitu erat dengan suatu
dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan,
pengembangan, dan penerapan”
Ridwanas.com menulis paradigma sebagai berikut,
“Ritzer dalam zamroni, membuat pengertian tentang paradigma yaitu
pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
~ 43 ~
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang atau disiplin ilmu pengetahuan. Dari pengertian ini dapat
disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan
terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya
beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik
pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan
yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan
tersebut. (ahmad sihabudin dalam Jurnal Kampus Tercinta, 1996 :
43)”
Dari paparan para ahli di atas, ada dua macam paradigma
dalam pembahasan ini. : paradigma disiplin ilmu yang berarti sudut
pandang dan paradigma penelitian yang merupakan “kacamata”
melaksanakan
penelitian.
Oleh
karena
Tim
Peneliti
sedang
melakukan penelitian, maka paradigma yang melekat pada Tim
Peneliti adalah paradigma penelitian.
Dalam penelitian, ada kaidah-kaidah yang harus dipatuhi, apa
pun objek penelitiannya. Penelitian selalu menantang peneliti, baik
untuk membuktikan teori, menemukan teori, bahkan juga untuk
membantah teori.
Gejala-gejala yang muncul atau berpotensi muncul, selalu jadi
perhatian peneliti. Semua bisa dilihat dari beberapa sudut pandang,
atau seperti yang telah disebut di atas, yakni paradigma.
Gejala-gejala itu tidak harus selalu diteliti, tetapi juga bisa
ditangkap selintas, dilihat dari “kacamata” ilmu, jadilah misalnya
sebuah refleksi dalam bentuk tulisan. Hasil penelitian dan refleksi,
tentu saja berbeda, meski kedua-duanya berbentuk tulisan. Hasil
~ 44 ~
refleksi umpamanya disebut esai, sedangkan karya tulis hasil
penelitian biasa disebut karya ilmiah.
Dalam penelitian ilmiah, mesti saja digunakan paradigma,
baik kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian perilaku pemilih
ini, Tim Peneliti menggunakan paradigma kualitatif yang merupakan
“anak kandung” naturalisme. Ini berbeda dengan paradigma
kuantitatif yang merupakan “anak kandung” positivisme. Tim Penulis
memaparkan perbandingannya, sebagai berikut :
Tabel 2
Perbandingan Paradigma Kualitatif dan Kuantitatif
Paradigma Kualitatif
Paradigma Kuantitatif
Menganjurkan penggunaan
metode kualitatif
Fenomenologisme dan verstehen
dkaitkan dengan pemahaman
perilaku manusia dari frame of
refereance aktor itu sendiri
Menganjurkan penggunaan metode kuantitatif
Observasi tidak terkontrol dan
naturalistic
Subjektif
Dekat dengan data : merupakan
merupakan perspektif “insider”
Grouded, orientasi diskoveri,
eksplorasi, ekspansionis, dekriptif,
dan induktif
Orientasi proses
Pengukuran menonjol dan terkontrol
Valid : data “real”, “rich”, dan
“deep”
Tidak dapat digeneralisasi : studi
kasus tunggal
Holistik
Reliabel : data dapat direplikasi dan “hard”
Asumsi realitas dinamis
Asumsi realitas stabil
Logika positivisme : meihat fakta atau kasual
fenomena sosial dengan sedikit melihat
pernyataan subjektif individu-individu”
Objektif
jauh dari data : data merupakan perspektif
outsider
Tidak grounded, orientasi verifikasi, konfirmatori,
reduksionis, inferensial dan deduktrif-hipotetik
Orientasi hasil
Dapat digeneraslisasi : studi multikasus
Partikularistik
Sumber : Afifuddin (2009)
~ 45 ~
Oleh karena Tim Peneliti menggunakan paradigma kualitatif,
maka pembahasan paradigma berikutnya adalah ruang lingkup
penelitian kualitatif.
Ada
empat
dasar
filosofis
yang
berpengaruh
dalam
penelitian kualitatif, salah satunya adalah fenomenologis, seperti
pada Afifuddin (20009 : 61).
Ketika kita membicarakan pandangan dasar perspektif
interpretatif, maka fenomenologi wajib disebut. Ardianto dan QAness (2007 : 124 – 126) menyebut ada empat pembentuk dasar
perspekti interpretatif, yakni hermeneutika, fenomenologi, dan
interaksionisme simbolik.
Tim Peneliti tidak akan membahas perspektif yang lain
karena tidak relevan dalam penelitian ini. Tim Peneliti hanya
berkepentingan pada
fenomenologi yang menjadi paradigma
penelitian ini. Untuk itu, agar fenomenologi bisa lebih difahami,
maka Tim Peneliti menelusuri dulu sejarah fenomenologi dari awal,
sejak “Bapak Fenomenologi”
Edmund Husserl “melahirkan”
fenomenologi itu.
Filsafat fenomenologisme mendasari filsafat lainnya, yakni
rasionalisme, empirisme, vatalisme, kritisme, humanism dan
idealism. Dalam Bungin (2007 : 4 – 5) disebutkan bahwa
pandangan yang mengatakan bahwa hanya pendekatan kuantitatif
~ 46 ~
(positivisme) yang mendasari pemikirannya terhadap empirisme,
idealisme, kritisme, dan rasionalisme, adalah pandangan yang
keliru, karena pada kenyataannya, pendekatan kualitatif juga yang
meggunakan semua pandangan filsafat yang juga digunakan oleh
pendekatan kuantitatif…”
3.5.2. Fenomenologi
Skema
fenomenologi
di
bawah
dengan
ini
menggambarkan
humanistis,
rasionalisme,
hubungan
empirisme,
vitalisme, dan idealism, sebagai berikut :
Skema 2
Hubungan Filsafat Fenomenologi dan Filsafat Lainnya
HUMANISME
Socrates (470 – 339 SM)
Plato (428 – 347 SM)
Aristoteles (348 – 322)
RASIONALISME
Rene Descartes
Spinoza
Leibniz
EMPIRISME
David Home
John Locke
Berkeley
FENOMENOLOGIS
Edmund Hussrel
Martin Heidegger,
dan
Merieau Ponty
KRITISME
Immanuel Kant
VITALISME
Nietzsche
Bergson
Schopehouer
IDEALISME
Hegel
Fichte
Schelling
Sumber : (Bungin : 2007
~ 47 ~
Filsafat fenomenologisme, seperti tampak dalam bagan di
atas,mendasari filsafat lainnya, yakni rasionalisme, empirisme,
vatalisme, kritisme, humanisme, dan idealism.
Gambar 10
Hubungan Penelitian Kualitatif dan Fenomenologi
http://slideplayer.info
Edmund Husserl
berasal dari keluarga Yahudi. Nama
Husserl berasal dari Iserla atau Israel. Israel sendiri bukan nama
seseorang, melainkan
gelar
bangsa. Nabi Ibrahim A.S. punya
anak dari istrinya, Hajar, diberi nama Ismail (jadi rasul), yang
kemudian menurunkan bangsa Arab.
Anak Nabi Ibrahim A.S. dari istrinya, Sarah, diberi nama
Ishak (juga jadi rasul), yang kemudian menurunkan bangsa Israel.
Nabi Ishak, Nabi Yakub, Nabi Yusuf, dan Nabi Musa diberi pula
~ 48 ~
gelar Israel. Nabi Muhammad S.A.W. dalam beberapa hadisnya
mengakui adanya para rasul atau nabi dari kalangan Israel.
Kata Israil sendiri, bahasa Ibrani, berarti hamba Allah.
Dengan demikian, Israel sama saja dengan
Abdullah (bahasa
Arab) yang juga berarti hamba.
Alquran mengingatkan bahwa Allah S.W.T. memberi banyak
keunggulan kepada bangsa Israel. Tetapi, Alquran menyebut pula
“kebengalan-kebengalan” mereka.
Oleh
karena
ke-Yahudi-annya
itu,
Husserl
sempat
menghadapi kesulitan dari pihak Nazisme Jerman. Oleh karena
Yahudi pula, Husserl dilarang mengajar di Universitas Freiburg. Hal
yang sama diberlakukan pula untuk anaknya, Gerhart, seorang
profesor hukum yang mengajar di universitas yang sama.
Kewarganegaraan
Jerman-nya
pernah
dicabut,
tetapi
Husserl berusaha keras, sehingga kemudian kewarganegaraan
Jerman-nya dipulihkan. Salah seorang anak Husserl mati dalam
Perang Dunia II. Anaknya yang lain menderita luka-luka akibat
perang.
Husserl merasa jadi orang Jerman sejati, dan tidak
mau
pindah dari Jerman. Oleh karena itu, tawaran “hijrah” ke Amerika
Serikat pun ditolaknya. Husserl
~ 49 ~
tetap tinggal di Jerman, dan
meninggal pada usia 79 tahun setelah menderita sakit. Husserl lahir
pada tahun 1859, meninggal pada tanggal 27 April 1938.
Husserl meninggalkan banyak karya tulis. Pada akhir
hayatnya, tercatat ada 50.000 lembar tulisan yang berisi naskahnaskah pengetahuan. Husserl menulis dengan stenografi (menulis
cepat). Kebiasaannya adalah berpikir sambil menulis. Oleh karena
kebiasaan ini, Bertens dan Nugroho (1985 : 98) menyebut Husserl
sebagai orang yang “berpikir dengan pena”.
Karya-karya ilmiah Husserl diselamatkan oleh Peter H.L.
Van
Breda
O.M.F.,
seorang
mahasiswa
yang
sedang
menyelesaikan disertasinya di bidang fenomenologi.
Penjelasan Bertens dan Nugroho (1985 : 98 – 99), seluruh
buku-buku dan harta pusaka ilmiah Husserl dipindahkan ke
Universitas Leiven (Belgia), atas persetujuan istri Husserl sendiri.
Bahkan meja dan kursi Husserl pun dibawa. Pemindahan seluruh
harta kekayaan ilmiah itu sebagai upaya penyelamatan. Kalau saja
terus-menerus ada di Jerman, khawatir dianggap berbahaya.
Menurut Bertens, buku tentang Husserl dan fenomenologinya
sudah diterbitkan sebanyak 78 jilid (1987).
Husserl
disepakati
ilmuwan
filosif
sebagai
pendiri
fenomenologi. Bartens dan Nugroho mengingatkan (1987 : 99)
bahwa apa yang disajikan sebagai “metode fenomenologi” kerap
~ 50 ~
kali hampir tidak berkaitan dengan fenomenologi menurut konsepsi
Husserl. Kalau begitu, masih kata Bertens dan Nugroho, :
“fenomenologis dipakai dalam arti luas, sehingga kira-kira sinonim
dengan “deskriptif”.
Husserl
sendiri,
dalam
pemikiran
filsafatnya,
banyak
dipengaruhi oleh Franzs Brentano, seorang filosof yang berperan di
Universitas Wina. Filsafat Wina ketika itu, gabungan pemikiran
skolastik dan empirisme.
Kuliah-kuliah Brentano sangat memengaruhi Husserl. Oleh
karena
itu,
ajaran
Husserl
tentang
intensionalitas
sangat
memperlihatkan pengaruh Brentano.
Dalam artikelnya yang terkenal, Husserl menguraikan
fenomenologi yang disebutnya sebagai ilmu yang mempelajari apa
yang tampak atau apa yang menampakan diri atau fenomen.
Husserl menggunakan fenomen, ketika itu, terhitung baru, dan tidak
sama dengan fenomen seperti yang dimaksudkan Immanuel Kant.
Kata Kant, kita manusia hanya mengenal fenomenon, bukan
numenon. Kita hanya mengenal fenomen-fenomen (erscheinungen)
dan bukan realitas itu sendiri (Das ding an sich).
Husserl sendiri punya semboyan filsafatnya, Zuruck zu den
Sachen selbt (bahasa Jerman), berarti Kembalilah kepada bendabenda sendiri. Dengan semboyannya ini, dan dengan sendirinya
~ 51 ~
oleh fenomenologinya, Husserl kemudian melancarkan (semacam)
revolusi filsafat dalam filsafat Barat.
Selain membahas fenomen, filsafat Husserl lainnya adalah
intensionalitas dan konstitusi. Intensionalitas membahas kesadaran
yang menurut kodratnya bersifat intensional. Intensionalitas adalah
struktur hakiki kesadaran.
Dan
justru
intensionalitas,
karena
fenomena
kesadaran
harus
ditandai
dimengerti
apa
dengan
yang
menampakkan diri. Mengatakan “kesadaran bersifat intensional”
sebetulnya
sama
artinya
dengan
mengatakan
“realitas
menampakkan diri”.
Foto 4
Edmund Husserl, Bapak Fenomenologi
Edmund Husserl (Foto : http://www.denstoredanske.dk
~ 52 ~
Dengan
konstitusi,
dimaksudkan
proses
tampaknya
fenomen-fenomen kepada kesadaran. Oleh karena adanya korelasi
antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, maka dapat
dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang
memungkinkan tampaknya realitas. Husserl mengatakan, dunia ini
dikonstitusi oleh kesadaran. (Bertens dan Nugroho : 1985 : 101).
Para ahli menyebut pula bahwa fenomenologi Husserl
adalah fenomenologi transendental, di samping fenomenologi
sosial seperti yang dicetuskan Alfred Schutz. Keduanya memiliki ciri
perbedaan tujuan dan metode, tetapi juga memiliki kesamaan dari
sudut pandang fenomenologi.
Fenomenologi
sosial
Alfred
Shutz
sendiri
sebetulnya
dibangun dari fenomenologi Husserl, meski ada beberapa ajaran
yang berbeda. Ardianto dan Q-Anees (2007 : 128), menulis, tulisan
Alfred Schuttz (1899 – 1959) telah mempunyai pengaruh yang kuat
dalam kerja ilmuwan sosiologi dan komunikasi.
Shutz menerima banyak prinsip yang dibangun Husserl,
kecuali ajaran tentang penundaan (pemberian tanda kurung) atas
kehidupan dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Menurut Schutz,
keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam term-term
yang
kemudian
disebutnya
sebagai
~ 53 ~
pelambangan/penipean
(typications) yang digunakan untuk mengorganisasikan dunia
sosial.
3.5.3. Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann
Manusia berkomunikasi, bergaul dengan sesama, kemudian
membangun komunitas, membangun kesepakatan, dan lain-lain.
Alat terpenting untuk membangun semua itu adalah komunikasi.
Alquran memberi
resep macam-macam komunikasi, karena
manusia yang dihadapi bermacam-macam pula.
Timbul pula pertanyaan, apakah manusia itu, setelah banyak
bergaul, berinteaksi dengan lingkungannya, meerupakan produk
sosial, atau malah lingkungan itu diproduksi oleh manusia?
Dalam hal ini, sejauh mana manusia saling memengaruhi
dalam perilaku masing-masing? Apakah perilaku manusia itu
dipengaruhi oleh lingkungannya, atau malah lingkungannya yang
memengaruhi pribadi manusia itu?
Apa yang tampak pada diri
manusia, apa yang dilihat atau didengar, itukah potret realitas?
Teori konstruksi realitas secara sosial, kata Zainuddin dalam
http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id,
merupakan
kelanjutan
dari teori fenomenologi, dengan tokohnya Edmund Husserl. Lalu,
di tangan Max Weber, seorang sosiolog, fenomenologi menjadi
teori sosial yang andal untuk digunakan sebagai analisis sosial.
~ 54 ~
Kata Zainuddin pula, Jika teori struktural fungsional dalam
paradigma fakta sosial terlalu melebih-lebihkan peran struktur
dalam mempengaruhi perilaku manusia, maka teori tindakan
terlepas dari struktur di luarnya. Manusia memiliki kebebasan untuk
mengekspresikan dirinya tanpa terikat oleh struktur dimana ia
berada.
Foto 5
Thomas Luqmann dan Peter Lugwig Berger
http://www.vebidoo.com
Teori konstruksi realitas secara sosial, atau ada yang
menyebut lebih singkat teori konstruksi realitas sosial diciptakan
oleh dua pemikir : Thomas Luqmann dan Peter Ludwig Berger.
Peter Ludwig Berger dari New School for Social Reserach,
New York. Thomas Luckmann adalah sosiolog dari University of
Frankfurt.
~ 55 ~
Teori konstruksi realitas secara sosial, sejatinya dirumuskan
kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoretis dan sistematis
mengenai sosiologi pengetahuan.
Social
sebuah buku
construction of reality terutama lahir setelah terbit
berjudul
The Social Construction of Reality: A
Treatise in the Sociological of Knowledge (1966).
Buku ini ditulis oleh Peter Ludwig Berger dan Thomas
Luckmann. Zainuddin menulis tentang Peter Ludwig Berger dan
Thomas Luckmann sekaligus soal teori konstruksi realitas secara
sosial, seperti berikut:
“Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan
realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan
dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang
terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai
memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada
kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman (Bungin,
2008:15) mengatakan terjadi dialektika antara individu
menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan
individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis tersebut
mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai
momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi,
yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke
dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini
sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu
mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak
dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari
dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam
proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain,
manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu
dunia‟.Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik
mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia
~ 56 ~
tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa
jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu
faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia
yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini,
masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari
eksternalisasi
kebudayaan
itu
misalnya,
manusia
menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau
kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi
maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia
ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari
kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau
bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi
realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia
sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan
yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar
kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang.
Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif
perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami
oleh setiap orang. 27
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan
penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh
struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang
telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala
realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala
internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia
menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak
dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan
oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.
Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah
ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang
mempunyai pengalaman,preferensi, pendidikan tertentu, dan
lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan
realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing”.
Demartoto,
dalam
http://argyo.staff.uns.ac.id,
menulis
tentang teori konstruksi realitas secara sosial Peter Ludwig
Berger dan Thomas Luqmann, seperti berikut:
“Suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap
individu terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya yang
terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan
~ 57 ~
obyektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan
dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi
adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan
internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri ditengah
lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi
anggotanya.
Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of
reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan
dan interaksi dimana individu menciptakan secara terusmenerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subyektif. (Poloma, 2004:301).
Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi
kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L.Berger dan
Thomas Luckman. Dalam menjelaskan paradigma
konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial
yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yg
bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu
dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia
sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu
bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media
produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam
mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002
: 194).
Selanjutnya, Zainuddin menulis, dialektika eksternalisasi,
objektivasi, dan Internalisasi, sebagai berikut :
“Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann mencoba
mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang
tersirat dalam tiga momen dan memunculkan suatu
konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asalmuasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan
interaksi intersubjektif…”
3.5.4. Ayat Sosial Surat Al-Hujuraat 13
Alquran surat Al-HujuraAt ayat 13 mengingatkan bahwa
Allah S.W.T. menciptakan manusia dari lak-laki dan perempuan,
lalu menjadikan mereka beberapa kelompok dimensi tempat dan
~ 58 ~
etnis untuk saling mengenal. Manusa yang paling mulia adalah
yang paling takwa kepada-Nya, bukan dilihat dari etnis, bangsa,
bahasa, warna kulit, keturunan, dan lain-lain.
Manusia bergaul, berkomunikasi, saling memengaruhi untuk
menyalukan dan mengembangkan fitrahnya. Manusia berlombalomba dan bersaing.
Manusia
menaklukkan
alam,
bahkan
menaklukkan
sesamanya. Ayat 13 surat Al-Hujuraat itu hanya berpesan pendek
saja, di akhir ayat, bahwa manusia yang paling mulia hanyalah
yang paling bertakwa kepada-Nya.
3.6.
Metode Penelitian
3.6.1. Klasifikasi Metode Penelitian
Metodologi penelitian dan metode penelitian berbeda.
Bahkan di kalangan ilmuwan sendiri, seperti kata Muhadjir (2000 :
3), metodologi penelitian dan metode penelitian sering sekali
dicampuradukkan,
sehingga
ada
karya
penelitian
berjudul
“Metodologi Penelitian”, namun isinya “Metode Penelitian”.
Kata Muhadjir, metodologi penelitian membahas konsep
teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya, yang dalam
karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metoda yang digunakan,
sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara teknis
tentang metoda-metoda yang digunakan dalam penelitiannya.
~ 59 ~
Pesan Muhadjir, “Penulis ingin mengimbau agar orang mulai
memilahkan “apakah dia akan menulis metoda penelitian” atau
“menulis metodologi penelitian bagi karya ilmiah yang sedang
ditulisnya.
Tim Peneliti sedang membahas metode penelitian. Dengan
mengacu kepada Rachmat (2004 : 21 – 58), bahwa metode
penelitian dibagi pada lima klasifikasi, yakni historis, deskriptif,
kolerasional, eksperimental, dan kuasi eksperimental. Tim Peneliti
tidak akan menguraikan metode-metode penelitian tersebut satu
persatu, karena tidak relevan dalam kaitannya dengan penelitian
ini. Dari kelima metode penelitian itu, Tim Peneliti menggunakan
metode deskriptif.
3.6.2. Metode Penelitian Deskriptif
Metode penelitian deskriptif hanya memaparkan situasi dan
peristiwa. Tim Peneliti tidak mencari hubungan korelasional atau
menguji hipotesis, atau menyusun prediksi.
Isaac dan Michael dalam Rachmat (2004 : 25) menyebut
metode ini sebagai “melulu” deskriptif sebagai penelitian survai atau
penelitian observasional (Wood 1997 : 29) Selanjutnya, Rachmat
(2004 : 25) menguraikan bahwa metode deskriptif mencari teori,
bukan menguji teori, “hypothesis genetaring”, bukan “hypothesis
testing”, dan “heuristic”, bukan “verifikative”.
~ 60 ~
Ciri Lain metode
deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah
(naturalistic setting).
Peneliti bertindak sebagai pengamat. Ia hanya membuat
kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku
observasinya. Apa yang dikemukakan Rachmat, bahwa metode
deskriptif lahir karena kebutuhan, ini sejalan dengan yang dilakukan
Tim Peneliti. KPU butuh deskripsi perilaku pemilih, antara lain,
untuk penyusunan kebijakan penyelenggaraan pemilu ke depan,
terutama menyangkut sosialisasi dan pendidikan pemilih. Kebijakan
KPU, untuk kedua hal tersebut, akan disusun berbasiskan
penelitian.
Pemilih, dalam pemilihan umum, jadi sentral karena akan
jadi “eksekutor” para calon. Mereka
(para calon)
melakukan
kampanye karena ingin mendapat simpatik masyarakat pemilih,
ingin dipilih untuk mendapatkan legitimasi politik dan kekuasaan.
Oleh karena itu, ajang kampanye dimanfaatkan betul partai politik
dan para calon untuk meraih simpatik masyarakat pemilih tersebut.
Banyak partai politik dan para calon yang memanfaatkan lembaga
survai atau konsultan politik demi dan untuk kemenangan mereka.
3.7.
Definisi Konsep
Dalam penelitian kuantitatif, adalah tali temali antara konsep,
konstruk, dan variabel. Kerlinger (1998 : 48 – 49) menerangkan istilah
~ 61 ~
“konsep” dan “konstruk” (constuct) mempunyai kemiripan arti, tetapi ada
perbedaan penting. “Konsep” mengungkapkan abstraksi yang terbentuk
oleh generalisasi dari hal-hal khusus.
Untuk memahami konsep, bisa diberi contoh begini : merah,
kuning, hijau, dan biru adalah warna. Maka, dalam terminologi penelitian,
warna itu adalah konsep. Ini akan berbeda maknanya ketika seorang
atasan di kantor menyuruh anak buahnya menulis konsep pidato
sambutan.
Konsep di situ adalah bahasa sehari-hari yang sama artinya
dengan draft. Seorang bawahan yang ditugasi menyusun konsep pidato
sambutan itu, pasti kemudian datang dengan serangkaian bahan pidato.
Konstruk, masih kata Kerlinger, adalah suatu konstruk, tetapi
dengan tambahan untuk digunakan secara sengaja dan kesadaran penuh
untuk maksud ilmiah yang khusus.
Variabel, kata Kerlinger pula, suatu sifat yang dapat memiliki
bermacam nilai. Kalau diungkapkan secara berlebihan, variabel adalah
sesuatu yang bervariasi.
Cara pengungkapan itu memberi kita gagasan intuitif
tentang
variabel; tetapi masih dibutuhkan wawasan yang lebih umum sekaligus
lebih tepat.
Kerlinger memberi contoh variabel yang penting dalam sosiologi,
psikologi, dan pendidikan, ialah : jenis kelamin, penghasilan, kelas sosial,
~ 62 ~
produktivitas
organisasi,
mobilitas
pekerjaan,
tingkat
aspirasi,
bakat/kecakapan verbal, kecemasan, afiliasi agama, preferensi politik,
pembangunan/perkembangan
politik
(menyangkut
sesuatu
bangsa/negara), orientasi kerja, skap/paham antisemit, konformitas, daya
ingat (recall memory), daya kenal (recognition memory), dan prestasi.
Para peneliti menjelaskan, misalnya, kemiskinan adalah konsep,
kejahatan adalah konsep, lalu ketika dijadikan kalimat “kemiskinan
menyebabkan kejahatan”, maka itu adalah teori, dan bisa diuji.
Betulkah bahwa kemiskinan jadi penyebab kejahatan? Kalau kita
membuat judul skripsi
pengaruh kemiskinan terhadap kejahatan, maka
kemiskinan adalah variabel bebas, sedangkan kemiskinan adalah variabel
terikat. Maka, hipotesisnya, kemiskinan jadi penyebab tindak kejahatan di
Kampung X. Atau hipotesis, Kejahatan
di Kampung X tidak ada
hubungannya dengan kemiskinan. Adanya hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat, biasanya disebut hipotesis kerja.
Di samping adanya variabel dalam penelitian kuantiatif, ada juga
variabel dalam penelitian kualitatif. Untuk varaibel kualitatif ini, Wirawan
menulis (208 : 48), variabel kualitatif dapat dibedakan menjadi variabel
kualitatif yang tidak bisa dikuantifikasikan. Nilai variabel kualitatif tidak
dapat dinyatakan ke dalam bentuk angka, tetapi ke dalam bentuk kategori
(yang bersifat exhaustive, artinya semua unsur dari variabel itu harus
dapat masuk ke dalam salah satu kategori yang mutually exclusive).
~ 63 ~
Dalam Wirawan pula (2008 : 50), konsep dalam penelitian
mempunyai empat fungsi, (a) koginitif yaitu mengorganisasikan observasi
dan menata hasilnya (disebut juga fungsi menata),
(b) evaluatif yaitu
mengevaluasi
operasional
apa
yang
telah
dipersepsi,
(c)
yaitu
mengendalikan dan mengarahkan perilaku individi, dan (d) komunikasi,
artinya, konsep harus memungkinkan komunikasi. Selanjutnya, Wirawan
mengingatkan bahwa konsep yang dibangun untuk penelitian harus
memenuhi beberapa syarat, (a) makna yang sesungguhnya (makna yang
tepat), (b) harus didefinisikan secara eksak (kongkret), (c) konsep dapat
didayagunakan untuk penelitian empiris. Konsep harus merujuk ke
sesuatu objek tertentu yang dapat diamati.
Maka, berdasarkan paparan di atas, konsep yang dimaksud Tim
Peneliti di sini bukanlah konsep yang kemudian berhubungan dengan
konstruk
dan
variabel,
tetapi
konsep
untuk
menjelaskan makna
sesungguhnya. Konsep di sini lebih cenderung pada definisi.
3.7.1. Pemilih
Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17
(tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam
daftar pemilihan umum. KPU melaksanakan pemutakhiran data dan
daftar pemilih dalam beberapa tahap, sejak menerima daftar
penduduk potensial pemilih pemilihan umum (DP4), sampai
tersusun daftar pemilih sementara (DPS) sampai daftar pemilih
tetap (DPT).
~ 64 ~
Ada pula pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih
tambahan (DPTb.), daftar pemilih khusus (DPK), dan daftar pemilih
khusus tambahan (DPKTb). Prinsipnya, ada dua hal seseorang
bisa menggunakan hak pilihnya : sudah berusia 17 tahun atau
sudah/pernah kawin dan terdaftar dalam daftar pemilih. Baik DPS,
DPT, DPTb., DPK, DPKTb adalah daftar pemilih.
3.7.2. Perilaku Pemilih
Aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat
dengan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih
(to vote or not to vote) dalam suatu pemilihan umum (Surbakti :
2014 : 144)
Gambar 11
Ilustrasi Penggunaan Hak Pilih
http ://www.kabarkota.com
Menurut Jack Plano, voting behavior atau perilaku memilih adalah:
“Salah satu bentuk perilaku politik yang terbuka.” Sedangkan
menurut Haryanto, perilaku memilih atau voting behavior dalam
pemilu adalah respons psikologis dan emosional yang diwujudkan
~ 65 ~
dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik atau
kandidat
dengan
cara
mencoblos
surat
suara
(http://philosopheryn.blogspot.com).
Di bawah ini adalah tipe-tipe perilaku pemilih, sebagaimana
dipetakan
pengamat
politik sekaligus direktur Pusat
Politik
Indonesia (Puspol Indonesia), Ubaidillah Badrun, seperti berikut :
3.7.2.1. Pemilih Tradisional (traditional voter)
Pemilih yang memilih hubungan tradisional dengan
kontestan pemilu (calon), baik dengan calon maupun dengan
partai politik. Mereka memiliki ikatan kultural, ikatan sosial,
ikatan nilai-nilai, bahkan ikatan ideologis.
3.7.2.2. Pemilih Subjektif (Subjective Voter)
Pemilih yang menentukan pilihan karena memiliki
hubungan emosional dengan kontestan (calon), khususnya
dengan caleg atau figur popular tertentu. Pesohor dipilih
karena akibat hubungan emosional. Pemilih sama sekali
tidak mengenalnya secara pribadi, tetapi merasa dekat,
karena jadi idola, sehingga pilihan jatuh kepadanya.
3.7.2.3. Pemilih Pragmatis (pragmatic voter)
Pemilih
yang
pertimbangan-pertimbangan
~ 66 ~
menentukan
pragmatis,
pilihan
nama
karena
yang
menguntungkan itulah partai atau kandidat caleg yang
dipilihnya.
Pada pemilu tahun 2014 ini, pemilih pragmatis
jumlahnya paling dominan karena trend praktik politik liberal.
Sering terjadi transasksi politik antara calon dan pemilih.
3.7.2.4. Pemilih Skeptis (Skeptic Voter)
Pemilih yang meragukan semua partai. Mereka
tidak menganggap penting perbedaan partai, termasuk
menganggap penting ideology partai politik. Mereka juga
tidak
meyakini
bahwa
partai
akan
benar-benar
memperjuangkan kepentingannya.
3.7.2.5. Pemilih Ideologis (Ideologic Voter)
Pemilih yang menentukan pilihan karena kecocokan
ideolog dirinya dengan ideologi partai yang dipilihnya.
Biasanya, mereka memilih melalui pertimbangan ideologi
yang dianutnya. Partai politik di Indonesia
ada yang
menganut ideologi Islam, sehingga asas partai politiknya
Islam.
Tetapi, umat Islam belum tentu memilih partai politik
yang seideologi dengan agamanya. Buktinya, partai politik
yang berasaskan Islam tidak memenangkan pemilu, padahal
pemilih di Indonesia mayoritas beragama Islam.
~ 67 ~
3.7.2.6. Pemilih Rasional (Rational Voter)
Pemilih
yang
menentukan
pilihannya
karena
pertimbangan-pertimbangan rasional. Mereka mempelajari
berbagai hal tentang caleg dan partai politik yang akan
dipilihnya. Mereka mempelajari visi-misi dan program para
caleg dan partai politik.
3.8. Unit Analisis
Proses penelitian yang baik tentu sejak awal sudah
ditentukan
atau paling tidak sudah dibayangkan unit analisisnya. Tim Peneliti tidak
melakukan pengujian atau mencari hubungan.
Tim Peneliti menentukan orang-orang sebagai unit analisisnya,
yakni para pemilih di enam daerah pemilihan se-Kabupaten Lebak. Selain
melakukan penyebaran kuisioner dan wawancara mendalam, juga Tim
Peneliti melakukan observasi.
Tim Peneliti ingin mengidentifikasi
perilaku pemilih saat
menggunakan hak pilih mereka pada pemilihan umum tahun 2014 lalu,
dengan pengamatan atau wawancara.
Mereka diajak mengenang kembali penggunaan hak pilih itu
sambil diajak berbicara mengenai motif atau dorongan penggunan hak
pilihnya. Dengan pendekatan kekeluargaan, para responden cukup baik
menerima Tim Peneliti.
~ 68 ~
Tim Peneliti
bertanya kepada responden tentang pemilih dan
pemilihan umum, tetapi tidak sampai menanyakan calon yang dipilihnya
karena memang bersifat rahasia.
Tim Peneliti merasa tidak etis kalau menjebak mereka, sehingga
diketahui pilihannya. Kecuali mereka yang berterus terang menyebutkan
nama calon yang dipilhnya. Banyak responden yang berterus terang.
Dalam hal ini, berbeda dengan penelitian fenomenologi terhadap
pengemis yang dilakukan Engkus Kuswarno saat menyusun disertasinya
tentang perilaku pengemis di Kota Bandung.
Engkus mewawancarai pengemis dan melakukan obsevasi betulbetul saat-saat mereka beroperasi sebagai pengemis. Engkus meneliti
perilaku pengemis, sedangkan Tim Peneliti meneliti perilaku pemilih.
Kedua-duanya menggunakan pendekatan fenomenologi.
3.9.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dan teknis analisis data sangat berhubungan.
Teknis analisis data, tentu saja, dilakukan setelah pengumpulan data. Tim
Peneliti berusaha mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, sebaikbaiknya, dan selengkap-lengkapnya.
Secara garis besar, data yang
berhasil dikumpulkan Tim Peneliti terbagi pada enam bagian, yakni (a)
wawancara lapangan, (b) penyebaran kuisioner, (c) observasi, (d) tes, (e)
dokumen, (f)
studi pustaka, dan (g)
informan.
~ 69 ~
wawancara dengan ahli atau
Gambar 12
Illustrasi Pengumpulan Data Penelitian
https://muliadinur.wordpress.com
3.9.1. Pengisian Kuisioner
Tim Peneliti membawa lembar kuisioner yang diisi oleh
responden, tersebar di enam daerah pemilihan. Tim Peneliti
menempuh
responden
dua cara, meminta mengisi langsung kepada
atau
memandu
atau
membacakan
pertanyaan,
kemudian jawabannya diisi oleh Tim Peneliti.
Ini memungkinkan karena banyak responden yang tidak
memahami cara mengisi kuisioner, di samping ada pula yang
merasa lebih nyaman menjawab secara bebas daripada menulis
sendiri.
~ 70 ~
Untuk kalangan responden di beberapa kecamatan, mereka
lebih suka dipandu menjawabnya atau diajak wawancara sambil
berbincang santai. Ketika mereka mengisi kuisioner, seperti
disebutkan dalam petunjuk, mereka merasa ada dalamksuasana
sangat formal. Bagi Tim Peneliti, untuk bagian yang terakhir ini
bukan persoalan, karena mereka mengisi kuisioner seperti yang
mereka ketahui, seperti yang mereka inginkan, tanpa campur
taangan Tim Peneliti.
3.9.2. Wawancara Lapangan
Tim Peneliti, selain turun ke lapangan (ke enam daerah
pemiihan), juga sekaligus melakukan wawancara lapangan, baik
secara berstruktur atau tidak berstruktur.
Tim Peneliti mengadakan wawancara dengan pertanyaanpertanyaan yang sudah dipersiapkan, meski tidak diperlihatkan
kepada pemilih yang diajak wawancara. Hasil wawancara ditulis
untuk kemudian ditelaah.
3.9.3. Observasi
Tim
Peneliti
menggunakan
observasi
sebagai
teknik
pengumpulan data di lapangan, sambil mengingat-ngingat pula
bagaimana perilaku pemilih saat-saat memasukkan surat suara ke
kotak suara. Ini bagian dari ovservasi, meski sudah terpisahkan
waktu yang cukup lama.
~ 71 ~
Ada dua observasi langsung
dan tidak langsung. Tim
Peneliti sendiri melatih diri sebelumnya untuk menjadi observer
yang benar menurut kaidah pengumpulan data penelitian.
Tim
Peneliti mencatat setiap hasil pengamatan.
Tim Peneliti, tentu saja, tidak mengamati
individu secara
keseluruhan, tetapi hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku pemilih.
Tim Peneliti, dalam melakukan pengumpulan data, khusus
yang berkaitan dengan observasi merujuk pada Rummel (1958,
seperti ditulis dalam Ryanto (2010 : 97), (a) peroleh dahulu apa
pengetahuan apa yang akan diobservasi, (b) selidiki tujuan-tujuan
atau khusus dari masalah penelitian untuk menentukan apa yang
harus diobservasi, (c) buatlah satu cara untuk mencatat hasil-hasil
observasi, (d) adakan dan batasi dengan tegas macam-macam
tingkat yang akan digunakan, (e) adakan observasi secara cermat
dan kritis, (f) catatlah tiap-tiap gejala secara terpisah, (g) ketahuilah
baik-baik alat-alat pencatatan dan tata caranya mencatat sebelum
melakukan observasi.
Ada beberapa macam observasi (Riyanto : 2010 : 98 – 99)
yakni (a) observasi partisan, (b) observasi nonpartisan, (c)
observasi sistematik, (d) observasi nonsistematik, dan (e) observasi
eksperimental.
~ 72 ~
Tim Peneliti menggunakan observasi partisan, antara lain,
karena Tim Peneliti berusaha ikut serta terlibat dalam pengamatan
perilaku pemilih itu, Berbeda dengan jenis nonpartisan, karena
peneliti bukan merupakan bagian dari orang yang diamati.
Tim Peneliti, dalam hal ini, melakukan observasi kepada
responden, terutama yang berhubungan dengan penggunaan hak
pilih. Tim Peneliti mengamati betul sampa imemahami factor-faktor
atau dorongan dalam penggunaan hak pilih di TPS.
3.9.4. Metode Tes
Tes termasuk alat untuk mengukur keterampilan, sikap,
intelegensia, kemampuan, bakat, pengetahuan, dan lain-lain, baik
secara pribadi maupun kelompok.
Tim Peneliti, dalam hal ini menggunakan metode tes
pengetahuan secara tertulis, sekaligus saat penyebaran kuisioner.
Oleh karena itu, Tim Peneliti
menyusun satu paket pertanyaan
tentang pengetahuan pemilih dan pemilihan umum.
3.9.5. Telaah Dokumentasi
Tim Peneliti mengumpulkan pula dokumen di Kantor KPU
Kabupaten Lebak, baik berupa catatan, laporan, baik tertulis
maupun foto. Pengumpulan dokumen dilakukan sepenuhnya di
kantor KPU Kabupaten Lebak karena memang seluruh dokumen
ada di Kantor KPU Kabupaten Lebak.
~ 73 ~
Tidak
terlalu sulit mengumpulkan dokumen ini, yang
tersebar di empat
subbagian
(Subbagian Tekra dan Hupmas,
Subbagian Hukum, Subbagian Umum, dan Subbagiab Program).
Tim
Peneliti
tinggal
memisahkan
dokumen
yang
berhubungan dan yang tidak berhubungan, kemudian memilahmilahnya
sampai tersusun
dokumen yang menyangkut secara
spesifik dengan pemilih dan perilaku pemilih. Dalam hal ini,
pengodean klasifikasi dokumen jadi penting.
3.9.6. Studi Pustaka
Tim Peneliti menelaah beberapa sumber pustaka, khsusus
yang berkaitan dengan objek penelitian, baik bersumber dari buku,
majalah, surat kabar, jurnal, website, dan lain-lain.
Ada dua tahap studi pustaka. Pertama, merumuskan bahan
kuisioner, bahan observasi, dan wawancara berstruktur sebelum
turun ke lapangan. Kedua, merumuskan pertanyaan untuk para
ahli
setelah
peneliti
membaca
hasil
kuisioner,
wawancara,
membaca dokumen, dan penelaahan hasil tes.
Pertanyaan-pertanyaan wawancara untuk para
ahli
atau
informan disesuaikan tetapi tetap fokus pada persoalan perilaku
pemilih. Tim Peneliti menyusun pertanyaan untuk para ahli setelah
selesai mengkaji hasil penelitian lapangan, kuisioner, studi pustaka,
keterangan, dan disuksi antar anggota Tim Peneliti.
~ 74 ~
3.9.7. Wawancara dengan Informan
Tim Peneliti
melakukan wawancara berstruktur dengan
para ahli atau punya kompetensi dalam menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan Tim Peneliti.
Tim Peneliti memilih empat narasumber, yakni Bupati Lebak
Hj. Iti Jayabaya, S.E., M.M., Ketua DPRD Lebak Junaedi Ibnu
Jarta, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak H.
Syatibi Hambali, dan analis politik dan perubahan sosial, H. Agus
Sutisna, S.I.P., M.Si.
Dengan empat narasumber itu, Tim Peneliti berharap
adanya jawaban dari perspektif eksekutif, legislatif, masyarakat,
dan analis politik. Dengan meminta pendapat para ahli atas temuan
atau hasil penelitian, dimaksudkan pula Tim Peneliti mendapatkan
penegasan, komentar, jawaban bandingan, konfirmasi, atau
kepastian atas hasil-hasil pengumpulan data dimaksud.
3.10.
Teknis Analisis Data
Sugiyono (2000 : 89) dengan mengutip
Stainback, Miles,
Huberman, dan Bodgan mendefinisikan analisis data sebagai berikut
(Nurdin, 2011 : 84), sebagai berikut :
“Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan di
lapangan, dan dokumentasi dengan mengorganisasikan data dan
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
meyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang
~ 75 ~
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain”.
Teknik analisis data termasuk rumit, dan harus ekstra hati-hati
karena akan berhubungan dengan simpulan atau hasil utama penelitian.
Tim Peneliti, mislanya, mengamati dulu apakah memerlukan analisis
statistik atau nonstatistik.
Tentu saja, analisis statistik diperlukan kalau karakteristik datanya
bersifat kuantitatif atau data yang dikuantitatifkan, sedangkan kalau
datanya bersifat kualitatif, maka analisis statistik tidak diperlukan.
Pada saat melakukan analisis data, Tim Peneliti akhirnya sering
sampai pada pertanyaan khas kuantitatif, apakah berhubungan atau tidak,
yang jawabannya mesti satu : ya atau tidak. Misalnya, sampai pada
pertanyaan, “Apakah Mr. X menggunakan hak pilih atau tidak?”
Ini
khas
pertanyaan
khas
kuantitatif.
Sedangkan
pertanyaannya “Faktor-faktor apa saja yang mendorong Mr.
kalau
X
menggunakan hak pilihnya?” Maka, pertanyaan terakhir ini adalah khas
kualitatif.
Beberapa hal yang tidak merupakan bagian dari penelitian, tetapi
Tim Peneliti menganggap penting dimasukakan ke dalam wilayah
penelitian, dan memang ada kaitannya dengan perilaku pemilih, maka Tim
Peneliti memasukkannya ke dalam temuan di lapangan. Ini akan
~ 76 ~
ditemukan nanti pada bab akhir, yang berisi simpulan, implikasi, dan
rekomendasi.
Bagi Tim Peneliti, teknis analisis data berkaitan dengan prosedur
penelitian. Sebagaimana halnya teknis analisis data yang harus selalu
ekstra hati-hati, maka prosedur penelitian pun harus ekstra hati-hati.
Jangan salah prosedur, tidak boleh salah langkah.
Gambaran analisis data bisa diamati dalam gambar di bawah ini,
sejak penghimpunan data penelitin, sampai nantinya akan terbagi pada
dua pendekatan : statistik dan nonstatistik, sebagai berikut
Skema 3
Teknik Analisis Data
Data Penelitian
Analisis Data
Nonstatistik
Statistik
Statistik deskriptif
Statistik inferensial
Sumber : Riyanto (2010)
Dalam melakukan analaisis data, Tim Peneliti tidak menggunakan
statistik, tetapi nonstatistik. Dengan demikian, dari data yang berhasil
dikumpulkan,
kemudian
data
itu
~ 77 ~
dianalisis
dengan
pendekatan
nonstatistik, karena sejak awal penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Pada praktiknya, Tim Peneliti secara garis beras membagi tiga
kegiatan analisis data terpenting, yakni sebelum ke lapangan sedang di
lapangan, dan sesudah di lapangan. Sebelum ke lapangan, Tim Peneliti
melakukan
pesiapan-persiapan,
sedang
di
lapangan
melakukan
penelitian, mengumpulkan hasil penelitian.
Setelah di lapangan, Tim Peneliti mengorganisasikan hasil
penelitian, pengecekan data secara cermat dengan dipandu paradigma,
teori, dan metode yang sudah ditetapkan selama persiapan, sampai
akhirnya menulis simpulan, temuan, dan rekomendasi.
Gambar 13
Ilustrasi Analisis Data
http://lamnodataa.blogspot.com
~ 78 ~
Data kualitatif dibangun dengan kata-kata
seperti transkrip
wawancara. Data yang dibutuhkan dideskripsikan secara cermat, dikategorisasi-kan menurut tema, dan lain-lain.
Data yang dimaksud dalam penelitian tidak sama dengan data dari
perspektif teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan basis
informasi.
Dalam TIK, ada hubungan antara data, informasi, dan pengetahuan.
Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data dalam perspektif
penelitian, bukan data dari perspektif TIK. Data dalam penelitian ini sama
sama maknanya dengan informasi.
Menurut para ahli dalam ttps://bersukacitalah.wordpress.com, ada
10 tahapan analisis data, yakni (a) membiasakan diri dengan data tinjauan
pustaka, membaca, dan mendengar (b)
transkrip wawancara, (c)
pengaturan indeks data yang telah didentifikasi, (d) anonim dari data yang
sensitif, (e) identifikasi tema, (f) pengembangan kategori, (g) ekplorasi
hubungan antarkategori, (h) membangun teori dan menggabungkan
pengetahuan dengan pengetahuan sebelumnya, (i) pengujian data
dengan teori, dan (j) penulisan laporan.
Tim Peneliti berusaha memenuhi kesepuluh syarat di atas agar
menghasilkah penelitian yang baik dan dipercaya. Sejumlah wawancara
ditulis, kategori disusun dan dikembangkan, upaya eksplorasi hubungan
antarkategori, dan pengujian dengan teori.
~ 79 ~
Dalam metode pengumpulan data, Tim Peneliti melakukan
observasi, sekaligus observasi terlibat. Tim Peneliti jadi pendengar yang
baik dan santun, berusaha mendengar sebaik-baiknya untuk memahami
sebaik-baiknya, sekaligus
dengan menjadikan mereka sebagai subjek
pula. Tim Peneliti menjadikan mereka pula sebagai partisipan.
Observasi terlibat, idealnya, masuk ke wilayah yang diteliti. Seperti
ingin memahami perilaku masyarakat penganut paham, “olot” di
Kecamatan Cibeber, maka Tim Peneliti tinggal di situ.
Dalam penelitian ini, Tim Peneliti memang melakukan observasi
terlibat, tetapi tidak seperti untuk memahami perilaku masyarakat
penganut paham “olot” di Kecamatan Cibeber seperti yang dicontohkan di
atas.
Tim Peneliti jadi pendengar yang baik untuk memahami perilaku
pemilih saat-saat menggunakan hak pilihnya pada pemilu tahun 2014 lalu.
Tim
Peneliti
mengajak
mengingat-ngingat
kembali
saat
mereka
menggunakan hak pilih.
Tim Peneliti pun melakukan pengkajian perilaku pemilih dan yang
berhubungan dengan pemilih untuk memastikan bahwa proses penelitian
selalu berbasiskan data hasil tinjauan pustaka, termasuk penelaahan
teori.
Satu hal yang perlu disampaikan Tim Peneliti, bahwa sistem acak
random itu lazimnya hanya untuk penelitian kuantitatif. Tetapi, kalau
~ 80 ~
mengacu pada banyak referensi, untuk pengambilan data yang lebih
mendekati akurasi, maka ditempuhlah metode sampling secara acak
dengan syarat tertentu.
Xavier University Library menyebutkan bahwa penelitian kualitatif
itu smaller & not randomly selected (ruang lingkupnya kecil, tidak ada
pemilihan acak), sedangkan penelitian kuantitatif sebaliknya, larger &
randomly selected. (lebih luas dan ada sistem acak)
Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah subjek, subjek penelitian,
informan, atau partisipan. Semua istilah itu menuju pada objek yang sama,
yakni sebagai pihak yang mewakili kelompok tertentu.
Subjek penelitian itu diposisikan Tim Penelti sebagai pihak yang
terlibat dalam pengumpulan data, dengan Tim Peneliti sebagai subjek
penelitian. Dengan bahasa lain, Tim Peneliti adalah subjek primer,
sedangkan partisipan adalah subjek sekunder.
Tim Peneliti, dengan menggunakan petunjuk Patton dalam
Afifuddin (2009 : 130), menempuh teknik pemilihan partisipasi (sampling
strategies)
dalam penelitian ini, yakni random probably sampling
(pengambilan sampel dari populasi secara random (acak) dengan
memerhatikan jumlah sampel dan purposeful sampling (sampel yang
dipilih
bergantung
pada
tujuan
penelitian
kemampuan generalisasinya)
~ 81 ~
tanpa
memerhatikan
Tim Peneliti sudah memenuhi kedua teknik itu dengan penyebaran
kuisioner dan wawancara di enam daerah pemlihan yang diposisikan
sebagai representasi wilayah se-Kabupaten Lebak, dengan pengemasan
pertanyaan dan bahan wawancara yang difokuskan pada perilaku pemilih
sebagai tema penelitian.
Seperti kata Glaser dan Strauss dalam Afifudin (2009 : 130),
pengumpulan data dilakukan bila peneliti tidak lagi menemukan informasi
baru. Informasi baru, sering kali pula sangat berharga. Maka, tepatnya,
Tim Peneliti menempuh prosedur analisis data sebagaimana skema di
bawah ini :
Skema 4
Proses Analisis Data Paradigma Kualitatif
Perspektif teori
Konstruksi realitas
perilaku pemilih
Analisis
konstruksi
realitas sosial
Terpetakannya
perilaku pemilih
di Kabupaten
Lebak
Paradigma
fenomenologi
Sumber : Hamad (2004)
~ 82 ~
Data kualitatif dibangun dengan kata-kata
seperti transkrip
wawancara. Data yang dibutuhkan dideskripsikan secara cermat, dikategorisasi-kan menurut tema, dan lain-lain.
Data yang dimaksud dalam penelitian tidak sama dengan data dari
perspektif teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan basis
informasi.
Dalam
TIK,
ada
hubungan
antara
data,
informasi,
dan
pengetahuan. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data dalam
perspektif penelitian, bukan data dari perspektif TIK. Data dalam penelitian
ini sama sama maknanya dengan informasi.
Menurut para ahli dalam http://bersukacitalah.wordpress.com, ada
10 tahapan analisis data, yakni (a) membiasakan diri dengan data tinjauan
pustaka, membaca, dan mendengar (b)
transkrip wawancara, (c)
pengaturan indeks data yang telah didentifikasi, (d) anonim dari data yang
sensitif, (e) identifikasi tema, (f) pengembangan kategori, (g) ekplorasi
hubungan antarkategori, (h) membangun teori dan menggabungkan
pengetahuan dengan pengetahuan sebelumnya, (i) pengujian data
dengan teori, dan (j) penulisan laporan.
Tim Peneliti berusaha memenuhi kesepuluh syarat di atas agar
menghasilkah penelitian yang baik dan dipercaya. Sejumlah wawancara
ditulis, kategori disusun dan dikembangkan, upaya eksplorasi hubungan
antarkategori, dan pengujian dengan teori pun ditempuh.
~ 83 ~
Dalam metode pengumpulan data, Tim Peneliti melakukan
observasi, sekaligus observasi terlibat. Tim Peneliti jadi pendengar yang
baik dan santun, berusaha mendengar sebaik-baiknya untuk memahami
sebaik-baiknya, sekaligus
dengan menjadikan mereka sebagai subjek
pula. Tim Peneliti menjadikan mereka pula sebagai partisipan. Wawancara
umumnya berlangsung cair dan komunikatif.
Observasi terlibat, idealnya, masuk ke wilayah yang diteliti. Seperti
ingin memahami perilaku masyarakat penganut paham, “olot” di
Kecamatan Cibeber, maka Tim Peneliti tinggal di situ.
Dalam penelitian ini, Tim Peneliti memang melakukan observasi
terlibat, tetapi tidak seperti untuk memahami perilaku masyarakat
penganut paham “olot” di Kecamatan Cibeber seperti yang dicontohkan di
atas.
Tim Peneliti pun melakukan pengkajian perilaku pemilih dan yang
berhubungan dengan pemilih untuk memastikan bahwa proses penelitian
selalu berbasiskan data hasil tinjauan pustaka, termasuk penelaahan
teori.
Satu hal yang perlu disampaikan Tim Peneliti, bahwa sistem acak
random itu lazimnya hanya untuk penelitian kuantitatif. Tetapi, kalau
mengacu pada banyak referensi, untuk pengambilan data yang lebih
mendekati akurasi, maka ditempuhlah metode sampling secara acak
dengan syarat tertentu.
~ 84 ~
Xavier University Library menyebutkan bahwa penelitian kualitatif
itu smaller & not randomly selected (ruang lingkupnya kecil, tidak ada
pemilihan acak), sedangkan penelitian kuantitatif sebaliknya, larger &
randomly selected. (lebih luas dan ada sistem acak)
Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah subjek, subjek penelitian,
informan, atau partisipan. Semua istilah itu menuju pada objek yang sama,
yakni sebagai pihak yang mewakili kelompok tertentu.
Subjek penelitian itu diposisikan Tim Penelti sebagai pihak yang
terlibat dalam pengumpulan data, dengan Tim Peneliti sebagai subjek
penelitian. Dengan bahasa lain, Tim Peneliti adalah subjek primer,
sedangkan partisipan adalah subjek sekunder.
Tim Peneliti, dengan menggunakan petunjuk Patton dalam
Afifuddin (2009 : 130), menempuh teknik pemilihan partisipasi (sampling
strategies)
dalam penelitian ini, yakni random probably sampling
(pengambilan sampel dari populasi secara random (acak) dengan
memerhatikan jumlah sampel dan purposeful sampling (sampel yang
dipilih
bergantung
pada
tujuan
penelitian
tanpa
memerhatikan
kemampuan generalisasinya)
Tim Peneliti sudah memenuhi kedua teknik itu dengan penyebaran
kuisioner dan wawancara di enam daerah pemlihan yang diposisikan
sebagai representasi wilayah se-Kabupaten Lebak, dengan pengemasan
pertanyaan dan bahan wawancara yang difokuskan pada perilaku pemilih.
~ 85 ~
Tim Peneliti, bahkan berencana turun ke lapangan untuk kedua
kalinya kalau merasa tidak ada lagi informasi baru yang diperoleh. Di
sinilah uniknya penelitian pengumpulan data penelitian kualitatif. Banyak
yang menyebut,
tidak ada aturan yang baku untuk pengumpulan data
penelitian kualitatif.
Seperti kata Glaser dan Strauss dalam Afifudin (2009 : 130),
pengumpulan data dilakukan bila peneliti tidak lagi menemukan informasi
baru. Informasi baru, sering kali pula sangat berharga.
Apa pun data yang berhasil dikumpulkan dari lapangan, menurut
hemat Tim Peneliti, sudah memenuhi syarat yang cukup sebagai
penelitian kualitatif yang di antaranya dibangun dengan data transkrip,
bukan dengan data-data angka, seperti dalam penelitian kuantitatif.
Apa pun data yang berhasil dikumpulkan dari lapangan, menurut
hemat Tim Peneliti, sudah memenuhi syarat yang cukup sebagai
penelitian kualitatif yang di antaranya dibangun dengan data transkrip,
bukan dengan data-data angka, seperti dalam penelitian kuantitatif.
Data lainnya yang berhasil dikumpulkan, sebagaimana sudah
disampaikan sebelumnya, seperti
wawancara, pengamatan, dan studi
pustaka.
Metode pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan
studi pustaka lebih dominan daripada pengumpulan data melalui
kuisioner. Itulah ciri penting penelitian kualitatif.
~ 86 ~
3.11. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, ada empat kriteria yang berhubungan
dengan keabsahan data (Afifuddin, 2009 : 143), yakni (a) keabsahan
konstruk (construct validity), yang berisi triangulasi, triangulasi pengamat,
dan triangulasi teori, (b) keabsahan internal (internal validity), (c)
keabsahan eksternal (external validity), dan keajegan (reliability).
Tim Peneliti, pertama-tama menggunakan wawancara bandingan
dan sandingan atas keterangan responden atau partisipan. Tim Peneliti,
dalam hal ini, mewawancarai lebih dari satu partisipan yang memiliki sudut
pandang yang berbeda.
Tim Peneliti, dalam hal ini, sama sekali tidak menggunakan sumber
data tunggal, tetapi menggunakan sumber data yang banyak. Ada sudut
pandang yang berbeda antarpartisipan untuk sesuatu objek.
Tim Peneliti pun menggunakan expert judgment (pihak di luar Tim
Peneliti) yang turut serta mengamati atau bertindak sebagai pengamat.
Para pengamat tamu itu pun diminta masukan atas hasil-hasil data yang
telah dikumpulan Tim Peneliti.
Para narasumber yang diminta Tim Peneliti dianggap pula sebagai
expert judgment. Itulah sebabnya, Tim Peneliti menghubungi para
narasumber itu setelah data terkumpul dan terpilah, antara lain, untuk
komentar, konfirmasi, dan masukan. Dengan demikian, keterangan dari
lapangan dan penjelasan para informan memperkaya hasil penelitian.
~ 87 ~
Pengujian data melalui teori dilakukan Tim Peneliti dengan pengkajian
teori-teori seperti yang ditulis pada bab II, atau teori lain yang kemudian
dibutuhkan.
Teori konstruksi realitas secara sosial dan teori-teori yang lain pada
bab II kemudian ditambah dengan teori lain, seperti beberapa teori
komunikasi massa yang ternyata cukup penting untuk mengamati dan
memahami masalah perilaku pemilih.
Triangulasi metode pun ditempun Tim Peneliti. Oleh karena itu,
selain Tim Peneliti melakukan wawancara, juga observasi, sebagaimana
sudah dikemukakan terdahulu.
Maka, dengan keempat triangulasi itu, yang mencakup triangulasi
data, triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan triangulasi metode,
diharapkan keabsahan data lebih bisa dipercaya, sehingga menghasilkan
penelitian yang bisa dipercaya pula.
Untuk jalan keluarnya, ketika ada data yang bertentangan, maka
Tim Peneliti menggunakan peribahasa Arab, lisaanu ‘l-haal afshahu min
lisaani ‘l-maqaal (fakta lebih meyakinkan dari kata-kata)
Tim Peneliti menginginakan interpretasi data yang tepat melalui
keabsahan internal (internal validity). Ada kesulitan dalam hal ini, antara
lain, adanya perubahan atau perkembanagan, sehingga mengakibatkan
simpulan yang berbeda. Tim Peneliti berusaha mendapatkan gambaran
yang sesungguhnya melalui internal validity itu.
~ 88 ~
Tim Peneliti pun menempuh metode external validity
(validitas
eksternal) dengan menggenaralisasikan pada masalah penelitian yang
serupa. Maka, di sinilah perlunya kajian pustaka, yang setidak-tidaknya
jadi bandingan dan sandingan atas masalah-masalah yang sama,
walaupun tidak persis sama.
Pada kajian pustaka sebagaimana ditulis pada bab II, beberapa
hasil penelitian perilaku pemilih disajikan. Tim Peneliti menilai, hasil kajian
pustaka itu sebagai “partner” untuk generalisasi mengingat fokus
masalahnya yang sama. Ini dalam rangka memenuhi keabsahan
eksternal, sebagai “pembenaran” oleh hasil penelitian yang lain.
Tim Peneliti menyadari, bahwa perilaku pemilih di Kabupaten Lebak
bisa diteliti ulang, atau ada Tim Peneliti lain yang sedang melakukan
penelitian yang sama. Untuk itulah, Tim Peneliti berusaha menghimpun
data sebanyak dan seakurat mungkin, sehingga penelitian berikutnya oleh
Tim Peneliti yang lain, akan menghasilkan penelitian yang sama pula.
Maka, keajegan (realibility), sebagai salah satu kriteria keabsahan data,
sangat diperhatikan Tim Peneliti.
Tim Peneliti menyadari pula, wilayah penelitian cukup luas, dengan
perilaku pemilih yang berbeda-beda, juga juga kategori geografis yang
berlainan, merupakan sebuah tantangan penelitian. Maka,
plural-
heterogen, menurut hemat Tim Peneliti, lebih baik dari data monotonhomogen. Soal data, para ahli penelitian memberi ciri penelitian kualitatif
~ 89 ~
sebagai text-based (dibangun dari teks), sedangkan penelitian kuantitatif
dibangun dengan number-based (dibangun dari angka).
Tetapi kemudian, data kualitatif itu bisa di-kuantitatif-kan, dan
sebaliknya, data kuantitatif
buisa di-kualitatf-kan. Kalau bertanya,
“Apakah ada hubungan keterpilihan Partai X dengan kampanye pentas
musik?”.
Maka pertanyaan kuantitatif itu bisa di-kualitatif-kan jadi, “Faktorfaktor apa saya yang menyebabkan Partai X terpilih?”. Ketika menjawab
faktor-faktor, jawabannya akan lebih panjang
dan terurai.
Untuk
menjawab pertanyaan itu, bisa melalui wawancara, pengamatan, dan
studi pustaka. Untuk menguji keabsahan semua itu, seperti sudah
diuraikan di atas, maka macam-macam triangulasi sangat diperlukan.
Gambar 14
Ilustrasi Pengujian Data
http://www.madiunpos.com
~ 90 ~
3.12. Prosedur Penelitian
Kerangka pemikiran (sudah dibahas pada BAB II) dan prosedur
penelitian, menurut hemat Tim Peneliti
adalah saling berkaitan dan
merupakan satu tubuh yang utuh dalam sebuah penelitian.
Tim Peneliti ingin membandingkan kerangka pemikiran dan
prosedur penelitian dengan ibadah salat yang terdiri dari upacan-ucapan
(lisan)
dan perbuatan-perbuatan (gerak) tertentu. Ada tata cara, ada
prosedur dalam ibadah salat ini.
Mengangkat kedua belah tangan, berdiri tegak menghadap kiblat,
rukuk, sujud, duduk tahiyyat awal, duduk tahiyyat akhir, menengok ke kiri
dan kanan, itu semua adalah rangka salat, rancang bangun salat, yang
dalam penelitian bisa
di-qiyas-kan (disamakan) dengan kerangka
pemikiran.
Sedangkan berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat kedua
tangan, lalu menempatkannya pada dada (tangan kanan di atas tangan
kiri), lalu membaca doa iftitah, membaca Al-fatihah, terus membaca surat
Alquran, lalu membaca takbir, rukuk sambil membaca doa tertentu, terus
berdiri tegak (i’tidal) sambil membaca doa tertentu, membaca takbir, lalu
sujud sambil membaca doa tertentu dan seterusnya secara tertib dan
berurutan sebagaimana diajarkan dalam Assunnah, maka semua itu
adalah tertib salat, yang dalam penelitian bisa disamakan dengan
prosedur penelitian.
~ 91 ~
Dalam praktik salat, ada pembuka, yakni takbir, kemudian ada
penutup yakni tasliim (mengucapkan salam sambil kepala berpaling ke
kanan dan ke kiri). Maka, dalam penelitian, ada BAB I PENDAHULUAN
yang merupakan takbir dan ada BAB PENUTUP yang merupakan tasliim.
Dalam salat ada rukun yang wajib, misalnya, membaca Al-Fatihah. Dalam
tubuh penelitian pun, mesti ada bab yang wajib ditulis, misalnya, bab
metodologi penelitian.
Dengan demikian, praktik penelitian di lapangan, khusuk meneliti
hasil penelitian, melakukan penelitian yang dipandu dengan teori, adalah
“salat”nya para peneliti atau researcher.
Ketika salat yang benar akan mencegah fakhsya dan munkar,
maka hasil penelitian adalah pencegahan dari simpulan yang sesat dan
menyesatkan, yang kemudian hasil penelitiannya bemanfaat untuk
kebaikan umat.
Prosedur penelitian yang selama ini dipedomani para peneliti
secara garis besar terdiri dari : subjek, metodologi, operasionalisasi,
variabel, hipotesis, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Oleh karena penelitian ini kualitatif, seperti sudah dikemukakan di
atas, maka beberapa unsur tidak dilakukan seperti operasionalisasi
variabel dan hipotesis karena kedua yang terakhir ini untuk penelitian
kuantitatif. Dalam penelitian kualitatit, tentu saja, tidak akan pengujian
hipotesis, juga tidka ada variabel bebas dan vabriabel terikat.
~ 92 ~
Jadwal penelitian, kalau disamakan dengan salat, maka itu adalah
jadwal waktu salat. Setelah prosedur penelitian disusun, tentu melangkah
ke arah pelaksanaan penelitian, seperti survai.
Di bawah ini prosedur penelitian yang disusun Tim Peneliti jadi tiga
bagian besar, yakni input penelitian, proses penelitrian, dan output
penelitian, sebagai berikut :
Skema 5
Prosedur Penelitian
Input penelitian
Paradigma penelitian
Fenomenologi
Judul penelitian :
Konstruksi Realitas
Pemilih Pada Pemilihan
Umum Tahun 2014 di
Kabupaten Lebak
Fenomena perilaku
pemilih
1. Tradisional
2. Subjektif
3. Rasional
4. Pragmatis
5. Ideologis
6. Skeptis
Proses penelitian
 Metode kualitatif
 Tataran dekriptif
 Pendekatan
konstruksi rtealitas
secara sosial
Teknik analisis data
1. Sebelum ke lapangan
 Persiapan
 pembekalan
2. Saat di lapangan
 Pengumpulan data
3. Setelah di lapangan
 Editing
 Pengorganisasian
data
 Analisis data

~ 93 ~
Output penelitian
1. Simpulan
2. Temuan
3. rekomendasi
~ 94 ~
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Objek Penelitian
Keenam daerah pemilihan itu bisa disebutkan sebagai enam tipe
daerah. Daerah pemilihan Lebak 1 merupakan daerah perkotaan, Daerah
Pemilihan Lebak 2 merupakan daerah pertanian, Daerah Pemilihan
Lebak 3 merupakan daerah perkebunan, Daerah Pemilihan Lebak 4
merupakan pantai, budaya tradisionaI, dan pertambangan, Daerah
Pemilihan
Lebak
5 merupakan daerah
perkebunan, dan Daerah
Pemilihan Lebak 6 merupakan daerah perlintasan dan perkebunan.
Dengan beragamnya latar belakang responden, yang
sehari-hari mereka
diharapkan
mewakili
kehidupan
selalu berinteraksi dengan lingkungannya itu,
kelompok atau
komunitas yang menjadi ciri
masyarakat setempat.
Oleh karena itu, masyarakat Kota Rangkasbitung, misalnya,
diharapkan mewakili masyarakat perkotaan. (Daerah Pemiihan Lebak 1),
masyarakat kecamatan
sepanjang Pantai Selatan (Daerah Pemilihan
Lebak
masyarakat
4)
mewakili
pesisir,
masyarakat
kecamatan
Gunungkencana dan sekitarnya mewakili masyarakat perkebunan, dan
seterusnya. Masyarakat Kabupaten Lebak sendiri termasuk heterogen,
karena di dalamnya ada masyarakat tradisional, masyarakat perkotaan,
masyarakat nelayan, dan lain-lain.
~ 94 ~
Perlu pula disampaikan bahwa enam daerah pemilihan di Kabupaten
Lebak itu dibentuk sejak pemilu pertama tahun 2004, kemudian masih
digunakan pada pemilu tahun 2009, dan tahun 2014 kemarin.
Untuk kepentingan pemilu tahun 2014, KPU Kabupaten Lebak
mengokohkan kembali format enam daerah pemilihan itu berdasarkan
hasil rapat dengan partai-partai politik peserta pemilu.
Mereka menilai, format enam daerah pemilihan itu masih dianggap
ideal, karena jumlah kursi yang cukup proporsional di setiap daerah
pemilihan, jumlah kecamatan di setiap daerah pemilihan yang seimbang,
dan setiap daerah pemilihan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Tim Peneliti menyebarkan kuisioner kepada 150 orang responden
yang tersebar di enam daerah pemilihan seperti disebutkan di atas,
melakukan wawancara, dan observasi.
Hasil kuisioner, wawancara, dan observasi ini penting karena akan
menjadi data primer. Tim Peneliti
lapangan.
langsung mengambil data itu dari
Hasil penelitian lainnya, seperti hasil studi pustaka (library
research) dan telaah dokumen merupakan data sekunder, tetapi masih
terlalu penting untuk sebuah hasil penelitian.
Penamaan data primer dan data sekunder
hanyalah untuk
klasifikasi saja, tetapi kedua-duanya sebetulnya saling menunjang,
bahkan mungkin saja data sekunder “berkualitas” data primer.
~ 95 ~
Dalam kuisioner, Tim Peneliti membagi tiga bagian pertanyaan.
Pertama tentang profil responden. Kedua, tes pengetahuan para
responden. Ketiga, pertanyaan penelitian.
Pembagian tiga kategori pertanyaan itu dimaksudkan agar Tim
Peneliti mendapatkan informasi terpadu, profil, tes, dan hasil penelitian inti
yang berhubungan dengan perilaku pemilih.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Profil Responden
Profil responden mencakup lima hal penting, usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Kecuali jenis
kelamin, semua isian merupakan jarak antara.
Dari sudut usia, responden yang berusia 17 tahun sampai
usia 25 tahun sebanyak 40 orang (27%), usia 26 tahun sampai 35
tahun sebanyak 52 orang (34%), usia 36 tahun sampai 45 tahun
sebanyak 26 orang (17%), usia 46 tahun sampai 55 tahun sebanyak
25 orang (17%), usia 56 tahun sampai 65 tahun sebanyak 4 orang
(3%), dan usia di atas usia 65 tahun sebanyak 3 orang (2%). Jumlah
seluruhnya sebanyak 150 orang (100%)
Dari sudut jenis kelamin. Laki-laki sebanyak 92 orang (61%)
dan perempuan sebanyak 58 orang (39%). Jumlah seluruhnya
sebanyak 150 orang.
(100%). Inilah satu-satunyaisian yang satu
~ 96 ~
pilihan dari dua pilihan, karena isian yang lain pilihannya banyak,
seperti usia, tingkat pendidikan, atau penghasilan.
Dari sudut pekerjaan, pegawai negeri sipil sebanyak 40 orang
(27%), pegawai swasta sebanyak 42 orang (28%), pedagang
sebanyak 8 orang (5%), pertain sebanyak 10 orang (7%),
wiraswastawan sebanyak 30 0rang (20%), tenaga profesional
sebanyak 13 orang (9%), dan pensiunan sebanyak 7 orang (5%).
Jumlah seluruhnya sebanyak 150 orang (100%).
Tingkat
pendidikan
responden,
lulusan
SD/sederajat
sebanyak 8 orang (5%), lulusan SMP/sederajat sebanyak 21 orang
(14%), SMA/sederajat sebanyak 57 orang (38%), D-I sebanyak 1
orang (1%), D-II sebanyak 2 orang (1%), D-III sebanyak 14 orang
(9%), S-1 sebanyak 42 orang (28%), S-2 sebanyak 4 orang (3%),
dan S-3 sebanyak 1 orang (1%). Jumlah seluruhnya 150 orang
(100%)
Penghasilan para responden, di bawah Rp1.000.000,00
sebanyak
69
orang
(46%),
dari
Rp1.000.001,00
sampai
Rp5.000.000,00 sebanyak 35 orang (23%), dari Rp5.000.001,00
sampai Rp7.500.000,00 sebanyak
21
orang (14%). Dari
Rp7.500.001,00 sampai Rp10.000.000,00 sebanyak 15 orang (10%),
Dari Rp10.000.000,00 ke atas sebanyak 10 orang (7%). Jumlah
seluruhnya 150 orang (100%). (Lampiran 10)
~ 97 ~
4.2.2. Pengetahuan Responden tentang Pemilu
Tim Peneliti menyebarkan juga pertanyaan tes. Dalam
penelitian, ada beberapa metode
pengumpulan data (Riyanto,
2010 : 82 – 103), yakni metode interview, metode angket, metode
observasi, metode tes, dan metode dokumentasi.
Tim Peneliti menempuh semua metode itu,
sambil
mengusahakan metodenya yang tepat dengan hasilnya yang
maksimal.
Metode tes (Riyanto : 2010 : 100), adalah serentetan atau
latihan
yang
digunakan
untuk
mengukur
pengetahuan, sikap, intelegensi, kemampuan atau
keterampilan,
bakat
yang
dimiliki oleh individu atau kelompok.
Tim Peneliti, dalam hal ini, menyusun pertanyaan saja,
dijawab responden, untuk kemudian diketahui seberapa jauh
wawasan responden mengenai pemilihan umum.
Tim Peneliti menilai penting, antara lain, karena pemilih itu
tidak cukup benar secara teknik ketika menggunakan hak pilihnya,
tetapi juga harus memahami ilmu pemilu, yang dengan demikian
diharapkan jadi pemilih yang cerdas dan berkualitas.
Ada 10 pertanyaan yang diajukan kepada responden,
bervariasi mengenai
pemilu, baik teori maupun praktik. Para
~ 98 ~
responden sering mengikuti sosialisasi pemilu, sekaligus mengikuti
pula simuilasi oleh badan penyelenggara pemilu setempat.
Hasil tes menunjukkan, untuk pertanyaan nomor 1 tentang
pemilu pertama di Indonesia, yang menjawab tahun 1955 sebanyak
78 orang (52%), yang menjawab tahun 1977 sebanyak 24 orang
(16%), dan yang menjawab tahun 2004 sebanyak 48 orang (32%)
Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 2 tentang WNI yang punya hak pilih,
yang menjawab usia 17 tahun atau sudah/pernah kawin sebanyak
98 orang (65%), yang menjawab minimal 17 tahun sebanyak 24
orang (16%), dan yang menjawab sudah/pernah kawin dengan
minimal usia 17 tahun sebanyak 48 orang (32%) Jumlah
seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 3 tentang tempat penggunaan hak pilih.
Responden yang menjawab di TPS sebanyak 147 orang (98%),
yang menjawab di PPS sebanyak 1 orang (1%), dan yang
menjawab di PPK sebanyak 2 orang (1%). Jumlah seluruhnya 150
orang (100%)
Pertanyaan
nomor
4
tentang
penggunaan
hak
pilih.
Responden yang menjawab bebas dan rahasia sebanyak 127
(85%), yang menjawab bebas dan adil sebanyak 12 orang (8%),
~ 99 ~
dan yang menjawab bebas dan jujur kepada calon sebanyak 11
orang (7%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 5, para calon yang diusung partai politik
atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum. Responden
yang menjawab calon presiden sebanyak 22 orang (15%), yang
menjawab calon wakil presiden sebanyak 5 orang (3%), dan yang
menjawab calon presiden dan wakil presiden sebanyak 123 orang
(82%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 6 tentang rentang masa pemilu presiden
dan wakil presiden. Responden yang menjawab lima tahun sekali
sebanyak 136 orang (90%), yang menjawab lima tahun sekali atas
usulan MPR sebanyak 7 orang (5%), dan yang menjawab lima
tahun sekali atas usulan MPR dan Mahkamah Agung sebanyak 7
orang (5%) Jumlah seluruhnya 150 orang (11%)
Pertanyaan nomor 7 tentang perwakilan anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Responden yang menjawab anggota DPD
mewakili kabupaten dan kota dalam sebuah provinsi sebanyak 87
orang (58%) yang menjawab mewakili provinsi sebanyak 36 orang
(24%), dan yang menjawab provinsi dengan jumlah maksimal 4
orang sebanyak 27 orang (18%). Jumlah seluruhnya 150 orang
(100%)
~ 100 ~
Pertanyaan nomor 8 tentang sebutan jabatan bagi anggota
DPR. Responden yang menjawab anggota legislatif sebanyak 132
orang (88%), yang menjawab anggota legislator sebanyak 6 orang
(4%), dan
yang menjawab anggota Dewan Perwakilan Daerah
sebanyak 12 orang (8%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)\
Pertanyaan nomor 9 tentang pemilihan kepala daerah.
Responden yang menjawab pemilihan gubernur/wakil gubernur
sebanyak 13 orang (9%), yang menjawab pemilihan bupati/wakil
bupati, walikota/wakil walikota sebanyak 36 orang (24%), dan yang
menjawab a dan b sebanyak 101 orang (67%). Jumlah seluruhnya
150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 10, tentang penggunaan KTP di Tempat
Pemungutan Suara (TPS). Responden yang menjawab boleh
digunakan berdasarkan keputusan Mahkamah Agung sebanyak 23
orang (15%), yang menjawab Komisi Pemilihan Umum sebanyak
85 orang (57%), dan yang menjawab Mahkamah Konstitusi
sebanyak 42 orang (28%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%
(Lampiran 11)
4.2.3. Pertanyaan Penelitian
Seluruh pertanyaan diarahkan pada persoalan perilaku
pemilih, meliputi alasan penggunanan hak pilih, ada atau tidak ada
pengaruh dari pihak eksternal, seperti dari media atau kampanye.
~ 101 ~
Pertanyaan nomor 1 mengenai alasan menggunakan hak
pilih. Responden yang menjawab karena tradisi sebanyak 35 orang
(23%),
yang menggunakan hak pilih karena alasan rasional
sebanyak 99 orang (66%), dan yang memilih karena punya ikatan
emosional dengan calon atau politisi sebanyak 16 orang (11%)
Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 2 mengenai money politics. Responden
yang menjawab politik uang sebanyak 121 orang (81%), yang
menjawab uang politik sebanyak 12 orang (8%), dan yang
menjawab uang politik untuk biaya kampanye sebanyak 17 orang
(11%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 3 mengenai pendorong yang idel dalam
penggunaan hak pilih. Responden yang menjawab sadar, ingin jadi
WNI yang baik sebanyak 125 orang (83%), yang menjawab janjijanji pemberian materi sebanyak 13 orang (9%), dan yang
menjawab sekadar partisipasi politik saja sebanyak 13 orang
(100%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 4
mengenai
kehilangan hak pilih
seseorang pemilih secara sengaja oleh orang lain. Responden
yang menjawab tindak pidana sebanyak 74 orang, yang menjawab
perdata sebanyak 36 orang (24%), dan yang menjawab pidana
pemilu sebanyak 40 orang (27%). Jumlahnya 150 orang (100%).
~ 102 ~
Pertanyaan nomor 5 mengenai pihak yang menyusun daftar
penduduk sebagai basis pemilih. Responen yang menjawab
Pemerintah sebanyak 74 orang (49%), yang menjawab KPU
sebanyak 33 orang (22%), dan yang menjawab Pemerintah dan
KPU sebanyak 43 orang (29%) Jumlah seluruhnya 150 orang
(100%)
Pertanyaan nomor 6 mengenai isi kampanye dalam bentuk
rapat umum. Responden yang menjawab menyampaikan visi dan
misi sebanyak 111 orang (74%), yang menjawab menyampaikan
janji-janji materi agar calon terpilih sebanyak 23 orang (15%), dan
yang menjawab memantapkan visi, misi, dan janji-janji imbalan
materi sebanyak 16 orang (11%) Jumlah seluruhnya 150 orang
(100%)
Pertanyaan nomor 7 tentang perubahan hak pilih karena
money politics. Responden yang menjawab sebagai hadiah
sebanyak 16 orang (11%), yang menjawab penghargaan atas kerja
sama politik sebanyak 25 orang (17%), dan yang menjawab suap
sebanyak 109 orang (72%)
Pertanyaan nomor 8 mengenai pengertian suap. responden
yang menganggap suap sebagai azab sebanyak 12 orang (8%),
yang menganggap suap sebagai laknat sebanyak 132 orang (88%),
~ 103 ~
dan yang menjawab suap sebagai siksa sebanyak 6 orang (4%)
Jumlah seluruhnya 150 orang (100%)
Pertanyaan nomor 9 tentang penggunaan hak pilih dari
perspektif ajaran Islam.
Reponden yang menjawab pantas
membaca bismillah sebelum menggunakan hak pilih sebanyak, 123
orang (82%), yang
menjawab membaca istigfar sebanyak 23
orang (15%), dan yang menjawab hamdalah sebanyak 4 orang
(3%). Jumlah seluruhnya 150 orang (100%).
Pertanyaan nomor 10 tentang
rekam jejak calon yang
punya kemampuan. Responden yang menjawab pantas dipilih
sebanyak 92 orang (61%), yang menjawab pantas dipilih dengan
syarat lulusan perguruan tinggi sebanyak 18 orang (12%), dan
yang menjawab pantas dipilih dengan syarat santun berpolitik
sebanyak 40 orang (27%) Jumlah seluruhnya 150 orang (100%).
(Lampiran 12)
4.3.
Pembahasan
4.3.1. Perilaku Pemilih dari Perspektif Teoritis
4.3.1.1. Teori Konstruksi Realitas Secara Sosial
Dari perspektif teori, terutama teori konstruksi
realitas secara sosial, diketahui bahwa sikap, keputusan,
atau bentukan seseorang itu dipengaruhu pula oleh faktorfaktor eksternal. Pengaruh dari eksternal itu volumenya
~ 104 ~
berbeda-beda jika dibandingkan dengan pengaruh internal.
Tiddak
terlalu
penting
menhetahui
volume
pengaruh
ekesternal dan internal, tetapi yang jelas kedua-duanya,
faktor internal dan eksternal berdialektika.
Dalam penggunaan hak pilih terhadap calon, faktorfaktor eksternal ada di sekeliling para pemilih, seperti
kampanye-kampanye, baik kampanye langsung
maupun
tidak langsung.
Di
samping
itu,
lingkungan
sosialnya,
seperti
keluarga, teman, atasan, dan lain-lain berpengaruh pula.
Atau
sebaliknya,
bahkan
yang
bersangkutan
bisa
memegaruhi orang lain di sekitarnya.
Kuswarno (2009 : 112) menyebutkan,
konstruksi
realitas secara sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas
Luckmann bahwa seseorang dalam mengembangkan suatu
perilaku yang repetitive, yang mereka sebut “kebiasaan”
(habit). Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi
sesuatu secara otomatis. Kebiasaan ini berguna untuk orang
lain.
Perilaku, dalam perkembangannya kemudian, bisa
berubah jadi kebiasaan secara kelembagaan, yang diikuti
masyarakat.
~ 105 ~
Di sebuah kampung, seperti dimuat oleh sebuah
televisi, terdapat spanduk yang berbunyi
“menerima
serangan fajar”.
Foto 6
Di Sini Menerima Serangan Fajar
http://www.jawaban.com
Pada saat kampanye pemilihan umum, “serangan
fajar” sudha dipahami secara umum sebagai “ serangan” tim
kampanye atau calon
kepada masyarakat pemilih agar
mengubah pilihannya. “Serangan fajar” dimaksud adalah
pemberian uang atau barang kepada masyarakat pemilih
menjelang ke TPS.
~ 106 ~
Ketika sebuah masyarakat pemilih terbiasa dengan
“serangan fajar”, dan selalu menunggu “serangan fajar”,
karena menguntungkan, maka bisa terbentuk perilaku biasa
(habitual behavior). Kuswarno (2010 : 112)
membuktikan
adanya habitual behavior dalam disertasinya dengan objek
penelitian masyarakat pengemis di Kota Bandung. Teori
konstruksi realitas secara sosial membuktikan adanya
habitual behavior.
Foto 7
Ada Uang Ada Suara, Menerima Serangan Fajar
http://www.indahislam.com
Kalau diukur dengan teori itu, maka sesungguhnya
habitual behavior di kalangan pemilih bisa bermacammacam, ada yang habitual behavior-nya perilaku pemilih
kritis, ideologis, tradisional, rasional, dan lain-lain.
~ 107 ~
Dalam sebuah kampus, misalnya, tidak mustahil
terbentuk habitual behavior perilaku pemilih ideologis atau
rasional, mengingat mereka terbiasa dengan segala kajian
akademik.
Di Kabupaten Lebak khususnya, habitual behavior
terjadi di kalangan masyarakat penganut adat atau paham
“olot” (pemangku atau pemuka adat). Termasuk dalam
menentukan pilihana pada setiap pemilihan umum, termasuk
juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, juga
kepala desa, faktor “olot” jadi dominan.
“Olot” jadi begitu sentral dalam menentukan arah
kebijakan dalam kehidupan sehari-hari, yang akhirnya
termasuk dalam menentukan pilihan politik.
Perolehan suara oleh calon-calon tertentu sangat
signifikan dan
dominan karana “faktor” olot.
Perlu ada
kajian khusus dalam hal ini : apakah monoloyalitas tunggal
itu masalah bagi demokrasi, atau memang ini sebagai
kearifan lokal?
Kalau kita mengikuti pemikiran Peter Ludwig berger
dan Thomas Luckmann, maka perilaku pemilih di kalangan
masyarakat penganut Tim paham “olot” itu merupakan
kebiasaan (habit).
~ 108 ~
4.3.1.2. Teori Tindakan Sosial
Tim Peneliti ingin melihat pula perilaku pemilih dari
perspektif tindakan sosial Max Weber. Inilah empat tipe
tindakan sosial (http://khairulazharsaragih.blogspot.com) :
a. Tindakan Rasionalitas Instrumental (zwerk rational)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang
dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan
pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan
itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya.
b. Tindakan Rasional Nilai (werk rational)
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa
alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan
perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya
sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai
individu yang bersifat absolut.
c. Tindakan
Afektif/Tindakan
yang
Dipengaruhi
Emosi (affectual action)
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau
sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional,
dan merupakan ekspresi emosional dari individu.
d. Tindakan Tradisional/ Tindakan karena kebiasaan
(Traditional Action)
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan
perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari
nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau
perencanaan. Tindakan pulang kampong disaat lebaran
atau Idul Fitri.
Kalau dilihat dari teori tindakan sosial, dikaitkan
dengan perilaku pemilih, maka tindakan rasional mendekati
perilaku pemilih di kalangan penganut paham “olot” atau
„pu‟un“ yang
menganut paham monoloyalitas tunggal
kepada pemuka adat. “Olot” atau “pu‟un” itu tidak harus
~ 109 ~
selalu dipahami berumur paling tua, atau lebih tua dari ratarata penduduk, tetapi memang karena jabatan dalam struktur
adat.
Usia “olot” atau “pu‟un” bisa jadi masih belia, tetapi
dia begitu dihormati dan dipatuhi segala petuahnya karena
memang jabatannya itu.Tidak terkecuali, ketika “olot” atau
“pu‟un” ikut menggunakan hak pilihnya, maka pilihan mereka
itu seakan jadi titah untuk para pengikutnya. Ini realitas,
seperti
hasil
pemungutan
perolehan
suara
suara
(TPS)
dalam
di
beberapa
wilayah
tempat
masyarakat
tradisional.
Foto 8
Simulasi Penggunaan Hak Pilih di Desa Kanekes
Foto : Media Centre KPU Lebak
~ 110 ~
Perilaku pemilih selengkapnya, sebetulnya, selain
bisa dijelaskan oleh fenomenologi konstruksi realitas secara
sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann, juga
oleh fenomenologi Alfred Schutz, interaksionisme simbolik
George Herbert Mead dan Herbert Blumer, dramaturgi
Erving Goffman, dan manajemen komunikasi Michael Kaye.
Tim Peneliti sebetulnya pula ingin menjelaskan
perilaku
pemilih
itu
dengan
teori-teori
seperti
yang
diseburtkan di atas.
Namun, oleh karena keterbatasan waktu dsna tenaga,
juga anggaran, maka penjelasaan perilaku pemilih dari teoriteori yangf sudah ditentukan semoga cukup memadai. Meski
begitu, pada bagian-bagian Bab IV ini disinggung pula untuk
sekadar melengkapi teori yang ada.
4.3.1.3. Teori komunikasi Massa
a.
Hypodermic Needle Theory
Ada dua teori yang bertentangan dalam
komunikasi masa menyangkut perilaku khalayak,
yaknI hypodermic needle theory (teori jarum suntik)
dengan tokohnya Wibur Schramm
gratifications
theory
(teori
dan uses &
penggunaan
dan
pemenuhan kebutuhan) dengan tokohnya Elihu
Katz, Jay G. Blumbler, dan Michael Gurevitch.
~ 111 ~
Teori jarum suntik, seperti halnya jarum suntik yang
menembus tubuh pasien, tidak bisa dicegah karena
memang
disuntikkan,
dan
pasien
pasif
tidak
berdaya mencegahnya. Itulah analogi teori jarum
suntik jika dikaitkan dengan pesan yang diterima
khalayak. Masyarakat fasif, sdan menerima begitu
saja suntikan, termasuk “suntikan” informasi media
massa.
Gambar 15
Ilustrasi Teori Jarum Suntik
https://torajoypatrick.wordpress.com
Mereka tidak berdaya. Pesan
terlalu besar
media massa
karena memiliki powerful effect (efek
yang dahsyat) dan tidak terbatas (unlimited effect)
pula.
~ 112 ~
Teori yang sejalan dengan teori ini, misalnya,
bullet theory, agenda setting theory, spiral of silence
theory, cultivation theory, dan functional theory.
Menurut teori-teori ini, khalayak itu pasif, homogen,
dan undifferentiated mass.
b.
Use and Gratification Theory
Berbeda dengan teori jarum suntik, justru teori
penggunaan dan pemenuhan kebutuhan (use and
gratification
theory)
yang
justru
menganggap
khalayak itu aktif. Teori yang senafas dengan teori ini
adalah dependency theory, two step theory, dan lainlain.
Skema 6
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan
\
http://www.rdillman.com
~ 113 ~
Dalam teori ini diuraikan bahwa masyarakat
punya selektivitas yang tinggi. Pemirsa televisi bisa
tiba-tiba mengganti siaran televisi, berpindah ke
saluran televisi yang lain manakala siaran yang
sedang
ditontonnya
tidak
memenuhi
kebutuhan
dirinya. Hal yang sama akan berlaku pula bagi siaran
radio atau media massa cetak.
Kalau dikaitkan dengan perilaku pemilih, maka
berdasarkan teori ini, pemilih bisa saja berganti
haluan, memilih calon yang lain atau partai politik
yang lain ketika calon
atau partai politik itu tidak
memenuhi kebutuhan dirinya.
Setiap orang bebas memindahkan saluran
televisinya, sebagaiamana setiap orang bebas ketika
menentukan pilihan terhadap calon atau partai politik.
Para calon atau partai politik berlomba-lomba
menggunakan media massa untuk kampanye dan
kemenangannya terutama media massa elektronik
seperti televisi, sangat
efektif untuk
kebutuhan
kampanye, selain karena faktor kecepatan, juga
penyebaran yang lebih luas.
~ 114 ~
c.
Two Step Flow Theory
Di antara dua teori di atas, tampaknya, teori dua
tahap (two step flow theory) jadi jalan tengah, yang
mengakui teori jarum suntik (hypodermic needle
theory)
dan
dan membernarkan pula teori penggunaan
pemenuhan
kebutuhan
(teori
use
and
gratification theory)
Adalah Paul Razalsfeld dan kawan-kawannya
melakukan penelitian efek media massa pada pemilu
presiden Amerika Serikat tahun 1940. Hasilnya,
ternyata pengaruh media massa rendah, meski
memang
ada,
tetapi
tidak
se-dahsyat
yang
digambarkan hypodermic needle therory sebagai
powerful effect (efek dahsyat ) dan unlimited effect
(efek yang tak terbatas)
Maka, atas dasar hasil penelitianya itulah, Paul
Razalsfeld mengajukan gagasan teori komunikasi dua
tahap (two step flow theory) dan gagasan pemuka
pendapat (opinion leader). Bahwa memang media
massa punya efek, tetapi kemudian efek akan begitu
kuat, signifikan,
~ 115 ~
dan berpengauh besar ketika
disampaikan lagi secara kelembagaan atau melalui
pemuka pendapat (tokoh).
Seberapa jauh pengaruh media massa, baik
cetak atau elektronik terhadap pemilih pada saat-saat
kampanye sampai mereka memutuskan calon atau
partai politik pilihannya di tempat pemungutan suara
(TPS), tentu masih bisa diteliti.
Skema 7
Teori Dua Tahap
http://tukangteori.com
Sebagaimana Paul Lazarsfeld yang melakukan
penelitian pada pemilu presiden Amerika Serikat
tahun 1940, yang kemudian melahirkan teori baru
dalam komunikasi massa.
~ 116 ~
Bukan tidak mustahil, hasil penelitian di Indonesia
akan
berbeda,
terutama setelah lahir trend baru
zaman sekarang :
media darling dan mass media
enemy, setelah melewati rentang masa 70-an tahun.
Sampai saat ini, Republik Indonesia sudah
berhasil melaksanakan tiga kali pemilihan umum
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh
rakyat.
4.3.1.4. Perilaku Politik
Tentang perilaku politik http://id.wikipedia.org
menulis :
“Yang dimaksud dengan perilaku politik
adalah
tindakan
atau
kegiatan
seseorang atau kelompok dalam
kegiatan politik. Ramlan Surbakti (1992 :
131), mengemukakan bahwa perilaku
politik adalah sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan
dan keputusan politik.
Perilaku politik merupakan salah unsur
atau aspek perilaku secara umum,
disamping
perilaku politik,
masih
terdapat perilaku-perilaku lain seperti
perilaku organisasi, perilaku budaya,
perilaku konsumen/ekonomi, perilaku
keagamaan dan lain sebagainya.
Perilaku politik meliputi tanggapan
internal seperti persepsi, sikap, orientasi
dan keyakinan serta tindakan-tindakan
nyata seperti pemberian suara, protes,
lobi dan sebagainya.
~ 117 ~
Persepsi politik berkaitan dengan
gambaran suatu obyek tertentu, baik
mengenai keterangan, informasi dari
sesuatu hal, maupun gambaran tentang
obyek atau situasi politik dengan cara
tertentu ( Fadillah Putra, 2003 : 200 ).
Sedangkan
sikap
politik
adalah
merupakan hubungan atau pertalian
diantara keyakinan yang telah melekat
dan mendorong seseorang untuk
menanggapi suatu obyek atau situasi
politik dengan cara tertentu.
Gambar 16
Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014
www.kpu.go.id
~ 118 ~
Sikap
dan
perilaku
masyarakat
dipengaruhi oleh proses dan peristiwa
historis masa lalu dan merupakan
kesinambungan yang dinamis.
Peristiwa atau kejadian politik secara
umum maupun yang menimpa pada
individu atau kelompok masyarakat, baik
yang menyangkut sistem politik atau
ketidak stabilan politik, janji politik dari
calon pemimpin atau calon wakil rakyat
yang tidak pernah ditepati dapat
mempengaruhi
perilaku
politik
masyarakat”
4.3.1.5. Perilaku Pemilih
Soal
perilaku politik, htttp://id.wikipedia.org
Menulis, :
Perilaku pemilih merupakan tingkah laku
seseorang dalam menentukan pilihannya
yang dirasa paling disukai atau paling
cocok. Secara umum teori tentang
perilaku memilih dikategorikan kedalam
dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan
Mazhab Michigan ( Fadillah Putra , 2003 :
201 ). Mazhab Colombia menekankan
pada faktor sosiologis dalam membentuk
perilaku masyarakat dalam menentukan
pilihan di pemilu. Model ini melihat
masyarakat sebagai satu kesatuan
kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat
yang terbawah hingga yang teratas.
Penganut pendekatan ini percaya bahwa
masyarakat terstruktur oleh norma-norma
dasar sosial yang berdasarkan atas
pengelompokan sosiologis seperti agama,
kelas ( status sosial ), pekerjaan, umur,
jenis kelamin dianggap mempunyai
peranan yang cukup menentukan dalam
membentuk perilaku memilih. Oleh karena
itu preferensi pilihan terhadap suatu partai
politik merupakan suatu produk dari
karakteristik
sosial
individu
yang
bersangkutan (Gaffar, Affan, 1992 : 43 )”
“
~ 119 ~
4.3.1.6. Perilaku Calon
Hasil wawancara dengan sejulah informan
menunjukkan bahwa banyak para wakil rakyat yang
mengecewakan masyarakat pemilih karena tidak lagi
berkomunikasi secara intens sabagimana ketika
sebelumnya mereka melancarkan kampanye.
Hukuman untuk mereka, tidak akan dipilih
kembali ketika pada pemilu yang akan datang jadi
calon lagi. Mereka membandingkan, pada saat-saat
tahapan pemilu, undangan selalu dihadiri, kapan pun
dan di mana pun. Tetapi setelah terpilih, banyak
undangan yang tidak dihadirinya, padahal sangat
ditunggu.
Pemilih yang seperti itu masih lebih bagus
karena hanya akan memindahkan pilihan, dari calon
yang dianggap mengecewakan kepada calon yang
memberi harapan.
Para informan
menyampaikan pula, tidak
sedikit di antara warga yang tidak akan menggunakan
hak pilihnya lagi karena kecewa terhadap calon yang
dipilihnya.
Mereka
dari
kalangan
yang
berpengalaman menggunakan hak pilihnya.
~ 120 ~
sudah
Kekecewaan seperti di atas jadi ancaman
bertambahnya golongan putih (golput), yang bisa
berakibat lebih jauh yakni menurunnya partisipasi
pemilih yang justru “diperangi” KPU.
Pada pemilu tahun 2014 kemarin, khusus
untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, justru
KPU merekruit relawan demokrtasi se-Indonesia,
dengan tujuan
utama naiknya partisipasi pemilih
setelah menurun dari pemilu ke pemilu terakhir ini.
Untuk meningkatnya partisipasi pemilih, di
samping gencar dilakukan sosialisasi, juga harus ada
partisipasi aktif dari partai politik atau para calon yang
terpilih
di
daerah
pemilihan
masing-masing
khususnya.
Adanya
masyarakat
komunikasi
pemilih
memungkinkan
dan
yang
calon
terbinanya
aktif
antara
terpilih
sangat
hubungan
baik
antarkedua belah pihak, sehingga berimbas pada
keinginan kembali menggunakan hak pilih kalau ada
pamilu lagi.
Kata kunci dalam hal ini ada pada diri calon.
Jadi calon yang aktif dan komunikatif, yang tidak saja
~ 121 ~
bersama-sama dengan masyarakat pemilih saat
berkampanye,
tetapi
juga
bersama-sama
pascaterpilih. Inilah yang paling penting. Beberapa
informan di enam daerah pemilihan merindukan wakil
rakyat yang seperti itu.
Gambar 17
Kritis - Pilih Tagih Janjinya
http://nasional.tempo.co
~ 122 ~
~ 123 ~
~ 124 ~
~ 125 ~
~ 126 ~
~ 127 ~
Di samping itu, beberapa informan menyampaikan
pula kepuasaan mereka terhadap para calon yang dulu
dipilihnya.
Dengan seringnya berkunjung ke daerah pemilihan,
adanya sambung rasa pada waktu-waktu tertentu, dan
penampungan
aspirasi
yang
ditindaklanjuti,
adalah
peneguhan akan memilih kembali kalau jadi calon lagi pada
pemilihan umum yang akan datang.
4.3.2. Pemilu dan Perilaku Pemilih dari Perspektif Informan
Tim Peneliti, sebagaiman sudah disebutkan pada bab III,
mengumpulkan
pula
(narasumber), berupa
bahan
penelitian
dari
para
informan
serangkaian pertanyaan yang satu sama
lain berhubungan. (Lampiran 12)
Jawaban-jawaban
penegasan,
penjelasan,
itu penting, selain sebagai konfirmasi,
pembanding,
atau
mungkin
pula
pembanting, juga untuk pengayaan hasil penelitian.
4.3.2.1. Bupati Kabupaten Lebak
Bupati Kabupaten Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya,
S.E., M.M. punya dua jabatan politis, sebagai ketua Partai
Demokrat Kabupaten Lebak dan sebagai Bupati Kabupaten
Lebak terpilih untuk masa jabatan 2014 – 2019.
~ 123 ~
Dalam kapasitasnya sebagai bupati, Hj. Iti wajib
melayani warga se-Kabupaten Lebak seutuhnya,
dengan
mengabaikan latar belakang partai politik masing-masing.
Atau
pemilukada
pelayanan
warga yang tidak memilihnya pun pada
tahun
2015
lalu,
berhak
mendapatkan
yang adil dari Pemerintah Kabupaten Lebak,
yang bupati-nya Hj. Iti tersebut.
Termasuk ketika menyerukan agar warga desa
mengggunakan hak pilihnya
pada pemilihan kepala desa
(pilkadfes) serentak di 250-an desa se-Kabupaten Lebak, Hj.
Iti tampil sebagai bupati.
Pada acara pembekalan hampir 1.000 calon kepala
desa, dipusatkan di Gedung Sakinah, Rangkasbitung,
Kabupaten Lebak, akhir Juni 2015 lalu, Hj. Iti menyerukan
warga desa agar menggunakan hak pilihnya itu secara
bebas dan cerdas, tidak boleh takut oleh siapa pun.
Pemerintah Kabupaten Lebak tidak boleh dan tidak
akan pernah menjadi juru kampanye atau pendukung calon
kepala desa mana pun. “Warga desa punya kebebasan
penuh untuk menentukan pilihannya,” kata Hj. Iti.
Hj. Iti pun mengingatkan agar warga desa yang punya
hak pilih dijamin haknya, terdaftar dalam daftar pemilih
~ 124 ~
pilkades. Pemilih itu sendiri basisnya dari penduduk.
Memutakhirkan data pemilih di tingkat desa lebih mudah.
Hj. Iti menginstruksikan agar Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kabupaten Lebak bekerja lebih baik, lebih
professional
untuk
melayani
kepentingan
dokumen
kependudukan warga Kabupaten Lebak. Jangan ada lagi
bahasa, butuh KTP kalau maaui bekerja di kota misalnya.
Untuk menghadapi pemilihan gubernur dan wakil
bubernur Provinsi Banten, awal tahun 2017, Pemerintah
Kabupaten Lebak akan menyiapkan data penduduk lebih
baik lagi, terlebih-lebih karena nanti akan jadi basis pemilih
pada pemilu gubernur dan wakil gubernur tahun 2017
tersebut.
“Kami yang menyediakan daftar penduduk dan
sekaligus daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP-4),”
kata kata Hj. Iti. Untuk memastikan jumlah pemilih, maka
kewenanangannya ada di KPU Kabupaten Lebak, setelah
melalui prosesi pemutakhiran data dan daftar pemilih,
sehingga jadi daftar pemilih tetap.
Hj. Iti memahami pula, bahwa jumlah penduduk pun
harus tepat karena akan digunakan pula persyaratan jumlah
dukungan untuk calon perseorangan pada pemilu gubernur
~ 125 ~
dan wakil gubernur Provinsi Banten. Jumlah penduduk seProvinsi Banten berupa hasil rekapitulasi dari jumlah
penduduk kabupaten dan kota se-Provinsi Banten.
Pentingnya kartu tanda penduduk (KTP) pun terus
dikampanyekan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil. KTP dapat digunakan untuk penggunaan hak pilih,
meski masih terbatas hanya di TPS setempat.
Pemerintah
Kabupaten
Lebak
tidak
akan
mengidentifikasi macam-macam perilaku pemilih karena
tidak adar relevansinya dengan tugas seorang bupati. Satu
hal yang diyakini Hj. Iti, setiap orang yang punya hak pilih,
lalu menggunakan hak pilihnya, maka
macam
motif
atau
faktor-faktor
akan bermacamyang
mendorong
penggunaan hak pilihnya itu.
“Sebagai bupati, harapan saya sama dengan yang
lain, warga Kabupaten Lebak harus jadi pemilih yang cerdas,
pemilih yang berkualitas, dengan kebebasan menggunakan
hak pilih sebagaimana kata hati dan suara hati. Kabupaten
Lebak punya tradisi angka partisipasi pemilih yang cukup
tinggi, dan harus dipertahankan,” kata Hj. Iti.
Netralitas Pemerintah Kabupaten Lebak harus tampak
dan terasa di kalangan masyarakat pemilih. Oleh karena itu,
~ 126 ~
KPU punya peraturan-peraturan
untuk seorang kepala
daerah yang mau jadi juru kampanye politik. Ada peluang
memang untuk mengekspresikan diri yang bersangkutan
sebagai politisi, meski sebetulnya sudah jadi pejabat publik.
Pemerintah Kabupaten Lebak, dalam menyukseskan
beberapa kali pemilu, selalu bekerja sama dengan KPU
Kabupaten Lebak, misalnya, dalam pelaksanaan sosiali dan
simulasi. Pemerintah Kabupaten Lebak membantu pula
penyaluran logistik pemilu, dengan menyediakan fasilitas
kendaraan dinas terutama ke daerah-daerah terpencil.
Gedung KPU Kabupaten Lebak, awal Agustus 2015
ini akan dibongkar, jadi gedung perpustakaan berlantai 3,
dengan anggaran miliaran rupiah dari APBD Provinsi
Banten.
Pemerintah Kabupaten Lebak menyediakan fasilitas
sementara, Gedung Badan kepegawaian Daerah (BKD)
yang
telah
dikosongkan
sebelumnya.
Kantor
KPU
Kabupaten Lebak yang permanen, rencananya, di gedung
bekas
Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata
(Disporabudpar)
Kabupaten
Lebak,
di
Jalan
R.T.
Hardiwinangun, Rangkasbitung, tidak jauh dari kantor lama.
~ 127 ~
Disporabudpar
sendiri suduah pindsah ke kawasan
perkantoran Pasirona, Rangkasbitung.
Pemerintah Kabupaten Lebak menyediakan tanah
pula seluas 3.000 meter persegi, di Kandangsapi, Kota
Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, untuk kepentingan kantor
KPU Kabupaten Lebak.
Semua fasilitas yang diberikan Pemerintah Kabupaten
Lebak kepada KPU Kabupaten Lebak itu sebagai wujud
dukungan nyata, seperti kata Asisten Sekretaris Daerah III,
Ir. Hj. Virgojanti, M.Si., yang mewakili Bupati Lebak, ketika
berkunjung ke KPU Kabupaten Lebak, jelang pengosongan
Kantor KPU Kabupaten Lebak.
KPU Kabupaten Lebak sendiri, memang, hanya bisa
netral dalam
sikap, bukan
dalam fasilitas. Meski begitu,
tidak netral dalam fasilitas ini di-halal legal-kan.
Badan penyelenggara pemilu di setiap kecamatan
(PPK),
misalnya,
jelas-jelas
menggunakan
fasilitas
kecamatan, seperti kantor dengan segala meubelair-nya,
dan itu diperbolehkan.
Soal pemilu secara elektronik (e-voting) Hj. Iti pada
dasarnya setuju kalau memang akan diterapkan oleh KPU.
Harus ada sosialisasi dan simulasi yang cukup matang
~ 128 ~
sebelumnya agar penggunaan hak pilih tidak sia-sia.
Teknologi informasi dan komunikasi memang merambah
pula ke urusan administrasi politik, yang dalam hal ini
pemilihan umum.
Kalau e-voting, pasti tidak ada pencoblosan, tetapi
mungkin
sentuhan,
layar
komputer
bergambar
calon
disentuh (touch screen) oleh pemilih, dan itu lebih modern.
Kita sebetulnya sudah terbiasa dengan touch screen
itu,
misalnya, ketika kita menyentuh layar telepon genggam
(telgam) kita. Touch screen saja, sesungguhnya, sudah jadi
bagian perilaku kita ketika berkomunikasi. (Lampiran 13)
Masyarakat
wawancara
pemilih
dengan
menginginkan
di
Tim
e-voting
kota
pun,
Peneliti,
(pemilihan
seperti
banyak
electronik)
hasil
yang
karena
memang lebih praktis dan lebih murah, terkesan modern
lagi, sambil kebebasan dan kerahasiaan pemilih
tetap
terjaga.
Tetapi mereka masih
diterapkan
di
daerah-daerah
belum yakin kalau bisa
terpencil
karena
akan
berhadapan dengan hambatan-hambatan teknis. Kalau
belum bisa semuanya, di daerah perkotaan, di setiap ibu
~ 129 ~
kota kecamatan, mungkin bisa dicoba. “Harus dicoba dan
ada uji coba dulu,” kata mereka.
4.3.2.2. Ketua DPRD Kabupaten Lebak
Ketua DPRD Kabupaten Lebak, Junaedi Ibnu Jarta,
mengamati perilaku pemilih di kota dan di desa. Berdasarkan
pengamatan dan sekaligus pengalamannya, ternyata ada
perbedaan karakteristik, ada perbedaan perilaku.
Di desa, masyarakat pemilih cenderung kompak
karena monoloyalitas (kesetiaan tunggal) kepada tokoh
masyarakat masih begitu tinggi. Ibnu Jarta mendengar
adanya money politic oleh
calon-calon tertentu, tetapi
baginya itu tidak berpengaruh besar.
Ibnu Jarta yakin, kharisma seorang tokoh masyarakat
cukup kuat, dan mampu mengalahkan money politic. Asal
tahu saja, Ibnu Jarta sendiri berbasiskan kampung, dari
sebuah desa sejuk pedalaman Kecamatan Sobang.
Perilaku pemilih di kota-kota, hasil pengamatan Ibnu
Jarta
pula,
ternyata
cenderung
individualistik.
Tokoh
masyarakat tidak berpengaruh besar seperti di desa-desa.
Perilaku
pemilih
di kota cenderung
mempertahankan integritas.
~ 130 ~
rasional
dengan
Mereka
berdikusi,
membaca
media
massa,
mengamati perilaku calon, mengikuti kampanye, dan lain-lain
sebelum memutuskan pilihannya.
Ibnu Jarta, ketika melakukan kampanye ke daerahdaerah, mengaku sering ditanya soal sejumlah calon yang
terpilih, kemudian perlahan-lahan meninggalkan pemilihnya.
Ibnu Jarta menyayangkan, memang, dan itu hanya akan
menyebabkan masyarakat pemilih tidak mau memilihnya
kalau kemudian yang bersangkutan jadi calon lagi.
Calon seperti ini, hemat Ibnu Jarta, yang paling
membahayakan adalah
Ancaman jadi
mencederai proses demokrasi.
golongan putih (golput)., yang kemudian
akan berakibat jadi ancaman turunnya angka partisipasi
pemilih.
KPU
Kabupaten
Lebak
khususnya,
sangat
berkepentingan dengan angka partisipasi pemilih.
Ibnu Jarta pun mengaku sering pula mendapatkan
laporan adanya calon yang tetap bersama masyarakat
pemilih
setelah
para
calon
terpilih
lagi.
Ini
cukup
menggembirakan.
Banyak cara yang dilakukan anggota DPRD
Kabupaten Lebak sekarang untuk tetap bersilaturahim
dengan masyarakat yang memilihnya tempo hari.
~ 131 ~
Ada
yang
tetap
mengontak
warga
dengan
masyaraikat pemilih di daerah pemilihannya, ada yang
bersilaturahim dengan masyarakat pemilih pada waktuwaktu tertentu, seperti menjelang Idulfitri sekarang ini.
Hubungan baik yang berkelanjutan antara calon
dan pemilih, disadari atau tidak disadari, perelahan-lahan
jadi internalisasi di kalangan masyarakat pemilih karena
merasa puas dengan calon yang dipilihnya itu.
Sedikitnya, Internalisasi itulah yang kemudian
membentuk
perilaku
pemilih,
setelah
adanya
proses
dialektika ekseternal dan internal sebagaimana ditunjukkan
oleh teori konstriksi realitas secara sosial model Peter
Ludwig Berger dan Thomas Luqmann.
Seorang tokoh yang diidolakan, akan diikuti oleh
orang yang mengidolakannya itu, sehingga sikap dan
pemikirannya mengikuti tokoh yang diidolakannya itu. Inilah
bentuk internalisasi oleh orang yang mengidolakannya itu,
yang dalam hal ini dilakukan oleh santri terhadap kiainya.
Internalisasi itu sering tampak dengan mengutip
kembali ajaran atau nasihat kiainya, seperti dalam pengajian
atau ceramah, atau ketika sedang mengajar santri yang lebih
junior.
~ 132 ~
Di banyak daerah pemilihan, wakil rakyat itu dijadikan
tokoh, dijadikan idola, sehingga masyarakat pemilih, disadari
atau tidak disadari, telah melakukan internalisasi.
Pribahasa Arab menyebutkan, “Anta
ma‟a man
ahbabta” (Kamu bersama-sama (ber-internalisasi) dengan
orang yang kamu sukai). (Lampiran 14)
4.3.2.3 Ketua MUI Kabupaten Lebak
a.
Perilaku Kiai dan Perilaku Santri
Kehidupan
pesantren
yang
sarat
dengan
pendidikan agama dan hidup bersama-sama kiai di
lingkungan pesantren menyebabkan terbentuknya
komunitas sendiri sebagai masyarakat pesantren
dengan
segara
ciri
dan
caranya
mereka
bersosialisasi dan berkomunikasi.
Pola hubungan dan komunikasi mereka tidak
sama dengan pola hubungan dan komunikasi guru
dan peserta didik di sekolah-sekolah negeri atau
swasta.
Para santriwan dan santriwati yang sudah
berumur 17 tahun, juga para guru dan kiai jadi
sasaran kampanye para calon atau partai politik.
Sudah lumrah, tokoh politik atau
~ 133 ~
para calon
berkunjung ke pesantren dengan maksud-maksud
politik.
Para
santriwan
dan
santriwati
cenderung
memilih calon yang dipilih oleh kiai sebagai
pengasuh atau pengendali pondok pesantren.
ungan kiai dan santri di manapun.
Foto 9
Santri Zaman Dulu
Foto : http://fiqhmenjawab.blogspot.com
Baik ada perintah lisan atau tidak ada
perintah lisan, para santriwan dan santriwati sudah
memahami “arah angin” kiai mereka.
Beberapa kiai, dalam pemilihan bupati dan
wakil bupati Kabupaten
~ 134 ~
Lebak, tahun 2013 lalu,
malah ikut jadi bagian tim kampanye pasangan
calon tertentu.
Kalau
para
kiai
disebut
udah
terfragmentasikan ke dalam “sekat-sekat” politik
praktis, itu memang realitas di Kabupaten Lebak
khususnya.
Kalaupun
santriwan
dan
santriwati
tidak
memilih calon yang sama, atau pilihan antarkiai pun
belum tentu sama, tetapi kiai dan santri ada pada
perilaku yang sama : perilaku ijtihad, dengan ajakan
dan ajaran: bahwa memilih pemimpin itu ibadah.
Oleh karena itu, para santriwan dan santriwati
dianjurkan membaca bismillah sebelum mencoblos
surat suara. Perintah inilah yang dipatuhi mereka,
meski belum tentu memilih calon yang dianjurkan
kiai. Soal kepemimpinan dan memilih pemimpin
dalam perspektif Islam, Faisal menulis (2015 : 143 144), kepemimpinan dalam konsep Islam sebagai
sebuah konsep interaksi,relasi, proses otoritas,
kegiatan
mempengaruhi,
mengarahkan
dan
mengkoordinasi, baik secara horizontal maupun
vertikal.
~ 135 ~
Dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin
sebagai perencana dan pengambil keputusan.
Masih menurut Faisal, kepemimpinan Islam adalah
suatu proses atau kemampuan orang lain untuk
mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang
lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan AlQur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang
diinginkan bersama. Kepemimpinan Islam sudah
merupakan fitrah sebagai manusia yang sekaligus
memotivasi kepemimpinan Islami.
Dari “ijtihad” Faisal itu, sekurang-kurangnya
ada tiga rumusan kunci kiai dalam memimpin dan
kepemimpinan, yakni kiai adalah pemimpin, AlQur’an dan Hadis
sebagai dasar usaha kerja
sama, dan kepemimpinan merupakan fitrah.
Maka, atas dasar semua itu, kalau ada kiai
yang menyadari fungsi dan kedudukannya seperti
itu, lalu terjun ke dunia politik praktis, akan sangat
masuk akal.
Fungsi
mengarahkan,
memengaruhi,
dan
mengkoordinasikan lebih tepat ditempuh melalui
jalur politik praktis, bahkan oleh para kiai, setidak-
~ 136 ~
tidaknya untuk saat ini. Meski para kiai tidak
menjadi
calon,
tetapi
setidak-tidaknya
sudah
berbuat untuk yang dicita-citakannya.
Para kiai punya dalil teori hukum Islam, “maa
laa yudrakukulluhu laa yutraku kulluhu” (Kalau tidak
bisa meraih semua, jangan ditinggalkan semua).
Logikanya, kalaupun tidak jadi calon, maka untuk
tahap pertama jadi pendukung calon saja dulu,
demi
dan
untuk
usaha
mempengaruhi,
mengarahkan, dan mengkoordinasikan, baik secara
horizontal maupun secara vertikal.
Hasil “ijtihad” Faisal itu idealnya memang
seperti yang dikemukannya, yang
lengkap
dibahas secara
dalam bukunya yang terbaru, Sosiologi
Politik. Tetapi, di lapangan, malah sering terjadi
“Das Sein” dan “Das Sollen”.
Di lingkungan pesantren khususnya, terkenal
istilah ijtihad, yakni menentukan putusan (hukum)
berdasarkan hasil pemikiran dengan rujukan pokok
Alquran dan Assunnah.
Sejumlah kiai di pesantren-pesantren tidak
mengarahkan atau mengerahkan pilihan kepada
~ 137 ~
calon atau partai politik tertentu, tetapi mengajarkan
ijtihad itu tadi. Para kiai ingin para santriwan dan
santriwatinya jadi pemilih cerdas dari perspektif kesantri-an.
Para kiai tidak mengkhawatirkan ijtihad, sebab
para
santriwan
dan
santriwati
sudah
bisa
melakukannya sendiri-sendiri dengan bekal kitab
klasik Islam yang mereka kaji.
Definisi ijtihad dalam kitab klasik Islam adalah
“badzlu „l-wus‟I fii nayli hukmin syar‟iyyin bi
thariiqhati „l-istinbaathi mina „l-kitaabi wa „s-sunnati”
(pengerahan
kemampuan
untuk
mendapatkan
kepastian hukum syara, dengan cara istinbat
(mengambil pelajaran dari dalil) yang bersumber
pada Alquran dan Assunnah).
Ijtihad, kalau betul akan berpahala dua kali :
pahala ijtihadnya (proses berpikirnya) dan betulnya
ijtihad. Kalau salah, maka berpahala satu, pahala
ijtihadnya saja.
Dengan
demikian,
jadi
seorang
pemikir
(mujtahid), tidak ada ruginya, bahkan masih tetap
dihargai ketika hasil ijtihadnya keliru.
~ 138 ~
Para santriwan dan santriwati tidak khawatir,
menggunakan hak pilih yang yang diniatkan ibadah
tidak akan mubazir : akan tetap berpahala, meski
keliru, seperti isi hadis dari Amr bin Ash yang
dicatat dua pakar hadis terkemuka :
Imam Al-
Bukhary dan Imam Muslim.
Bahkan, ketika santriwan atau santriwati tidak
menggunakan hak pilihnya, dan hanya masuk ke
tempat pemungutan suara (TPS),
atas dasar
ijtihadnya itu, maka akan tetap berpahala : satu
pahala atau dua pahala.
Hadis Amr bin Ash itu berbicara tentang hakim,
yang memutuskan perkara. Ada hadis lain yang
bukan
urusan
putusan
hakim,
tetapi
urusan
tayammum (bersuci, pengganti wudu/mandi), yang
kemudian dibawa kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Kedua sahabat itu, Ammar bin Yasir dan Umar
bin Khattab. Kedua-duanya berijtihad, dan Nabi
Muhammad S.A.W. menunjukkan cara tayammum
yang benar sebagai pengganti mandi janabat
(mandi basah untuk seluruh tubuh, mislanya
setelah bersebadan dengan istri).
~ 139 ~
Kedua
sahabat
itu
memang
berbeda pendapat mengenai cara
sebelumnya
tayammum
pengganti mandi janabat. Ada ijtihad di sini. Mereka
sama-sama mendapat pahala. Bedanya, seorang
dapat satu pahala, sedangkan yang lain dapat dua
pahala.
b.
Pemilu dan Imamah
Jabatan
Rasulullah
S.A.W.
itu
ada
dua,
sebagai utusan Allah (rasul) dan sebagai kepala
negara. Untuk jabatan rasul, tidak ada gantinya,
dan tidak boleh diganti karena berdasarkan ayat
Alquran dan hadis sahih, bahwa Nabi Muhammad
S.A.W. itu sebagai rasul
terakhir. Allah S.W.T.
tidak akan mengutus rasul baru, nabi baru, baik
nabi kecil atau apalagi nabi besar, sampai hari
kiamat.
Untuk mengganti Nabi Muhammad S.A.W.
sebagai kepala negara, diadakan pemilihan, meski
tidak melibatkan seluruh rakyat, kecuali sejumlah
sahabat Nabi Muhammad S.A.W. Abdurrahman bin
Abi Kuhafah bin Amir, atau lebih dikenal dengan
nama Abu Abu Bakar, terpilih kali pertama sebagai
~ 140 ~
pengganti
Nabi
Muhammad
S.A.W.
dalam
kepemimpinan umat, dan bukan menggantikannya
sebagai rasul.
Untuk seorang khalifah, tidak ada masa
jabatan. Khalifah yang empat ini kemudian dikenal
dengan
khulafaa‟
gelar
ur-Raasyidiin
(empat
khalifah yang terbimbing), sekaligus jadi model
kepemimpinan dalam pemerintahan Islam, yang
dikenal dengan kepemimpinan khilafah.
Sedangkan
Muhammad
pemerintahan
S.A.W.
zaman
disebut
Nabi
pemerintahan
nabawiyah (kenabian), karena Nabi Muhammad
S.A.W. tidak bertanggung jawab kepada siapa pun,
kecuali kepada Allah S.W.T.
Tentang model pemerintahan
Islam
yang
dikaitkan dengan sistem pemilihan kepala negara,
baik
secara
langsung
maupun
secara
tidak
langsung, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten
Lebak,
Achmad
Syatibi
Hambali,
memandangnya sebagai salah satu sistem saja.
Kata Achmad
sepenuhnya
Syatibi, “Meknisme pemilihan
diserahkan
~ 141 ~
pada
kesepakatan
masyarakat
dengan
mempertimbangkan
al-
mashalahah al-„ammah (kebaikan bersama).
Jika pemilihan langsung di negeri ini dinilai
sebagai model pemilihan terbaik, karena tidak lagi
membeli kucing dalam karung, dan itu disepakati
bersama, maka itu dalam pandangan Islam juga
baik-baik saja.
Jika
nyatanya
prosesnya,
maka
ada
kekurangan
semestinya
dalam
kekurangan-
kekurangan itu terus diperbaiki untuk mendapatkan
kualitas pemilihan yang lebih baik lagi”
Soal perilaku pemilih di kalangan pesantren
Achmad Syatibi melihatnya unik karena hubungan
erat kiai dan santri berpengaruh pula pada bidangbidang di luar ke-pesantren-an, seperti pemilihan
umum.
Para santri dengan sendirinya mengikuti jejak
kiainya
karena
pilihan
kiai
pastilah
hasil
perenungan mendalam hasil ijithad yang dinilai
lebih baik dari ijtihad santri-santrinya.
Achmad
santriwan
Syatibi
sendiri
santriwatinya
~ 142 ~
atau
tidak
menyuruh
alumninya
agar
memilih calon tertentu karena
khawatir
disebut
melanggar hak asasi manusia. Para santriwan dan
santriwati sudah dewasa melatih diri menentukan
pillihan yang terbaik dari cara pandang dan ciri
pandang seorang santriwan atau santriwati.
Achmad Syatibi tidak menampik adanya kiai
yang sengaja membuat fatwa untuk memilih calon
tertentu kepada santriwan dan santriwati serta para
alumniya. Itu pun dinilai sebagai wilayah hak asasi
kiai.
Seorang tokoh ulama, Zainuddin Amir, melihat
peran kiai sangat sentral di daerah-daerah tertentu
karena ikut aktif membangun citra baik calon yang
diusungnya,
dan
cukup
berpengaruh
kepada
masyarakat pemilih.
Kata Zainuddin, “Masyarakat pemilih mengikuti
saja anjuran-anjuran tokoh-tokoh tertentu. Kabar
positif tentang calon mereka terima dari tokoh, dan
itu jadi acuan,” kata Zainuddin.
Jika
kebutuhan
dikaitkan dengan
pemenuhan
dan
(use and gratification theory), maka
itulah contoh kongkretnya.
~ 143 ~
Pesan-pesan yang
disampaikan pemuka adat cukup ampuh di tengahtengah perdebatan teori jarum suntik ( hypodermic
needle theory) dan teori dua tahap (two step flow
theory).
Para tokoh masyarakat yang ikut berkampanye
untuk
memilih calon-calon tertentu
dinafikan,
justru
kharismatik
datang
dari
tidak bisa
sejumlah
yang kemudian membentuk
kiai
pula
perilaku pemilih, baik disadari mapun tidak disadari.
Peran kiai dalam pembentukan perilaku pemilih
di kalangan pesantren cukup besar, mengingat
kharisma atau wibawa mereka cukup besar pula.
Soal calon yang harus dipilih menurut ajaran
Alquran
dan
Asunnah
sudah
ditentukan,
sebagaimana bunyi Alquran dan Asunnah.
Soal
ketaatan
kepada
pemimpin,
dalam
Alquran dan Asunnah pula, sesuatu yang mutlak.
Kepemimpinan dalam Islam, dan syarat siapa saja
yang pantas jadi pemimpin, dalam lingkup kecil
saja diajarkan dalam praktik salat berjamaah. Di
situ diajarkan pula tentang syarat-syarat jadi imam.
~ 144 ~
Cara
menegur
imam
ketika
melakukan
kesalahan pun diatur, seperti adanya ucapan
subhaanallah
oleh makmum
menepuk tangan oleh makmum
laki-laki atau
perempuan.
Kedua cara itu sama : untuk meluruskan imam
yang keliru.
Tesis
Ramli
Kabi’
Ahmad
Shiddiq
Abdurrahman berjudul (dalam bahasa Indonesia),
“Bai’at dalam Sistem Politik Islam dan Aplikasinya
dalam Kehidupan Politik Kontemporer” (kini telah
dijadikan buku) mencatat syarat imam (pemimpin)
meliputi (a) Islam, (b) memiliki ilmu yang dapat
menghantarkan seseorang kepada ijtihad dalam
perkara-perkara yang pelik dan berkenaan dengan
masalah-masalah hukum, (c) adil dalam segala
aspeknya,
(d)
kematangan
mental
dan
kesemaptaan fisik, (e) pengalaman politik, (f) pria,
dan (g) Berasal dari keturunan suku Quraisy.
Para pakar politik Islam sepakat, Abu Bakar
Ah-Shiddiq terpilih berdasarkan pemilihan, meski
tidak dengan melibatkan seluruh umat Islam.
Dalam literatur politik Islam, dikenal dengan nama
ahlu „l-halli wa „l-aqdi, yang secara bebas bisa
~ 145 ~
diterjemahkan
atau
disamakan
dengan majlis
perwakilan rakyat. Ahlu „l-halli wa „l-„aqdi inilah yang
memilihnya. Indonesia sempat punya ahlu „l-halli
wa „l-aqdi, yang antara lain ditugasi memilih imam
(presiden).
Foto 10
Salat Berjamaah, Contoh Kepemimpinan
www.google.com
Mazhab Sunny
sepakat, mengangkat imam
adalah fardlu kifaayah (cukup diwakilkan saja),
dengan
dipandu
oleh
ahlu
„l-halli
wa
„l-aqdi
(Abdurrahman, 1993 : 121).
Kelompok
Muktazilah
(aliran
Rasionalisme
dalam Islam) dan kelompok Khawarij (sempalan
pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib) menyepakati ahlu
„s-sunnah (mazhab Sunny) ini.
~ 146 ~
Tetapi kemudian terjadi perdebatan apa siapa
sebetulnya ahlu „l-halli wa „l-aqdi
itu? Ada yang
menyebut ahli memilih pemimpin (ahlu „l-ikhtiyar), juru
runding (ahlu „sy-syuura), dan pakar ijtihad (ahlu „lijtihad).
Bahkan, ada yang menyebut, ahlu „l-halli wa „laqdi itu sebagai lembaga pemilihan imam. Hal yang
disepakati oleh para ilmuwan politik Islam, ahlu „l-halli
wa „l-aqdi
adalah para elit umat dari berbagai
kalangan.
Tim Peneliti tidak akan membahas lebih jauh
tentang ahlu „l-halli wa „l-aqdi ini karena tidak relevan
dengan penelitian.
Banyak perdebatan, buku, dan hasil kajian
mengenai relasi negara dan agama, Islam : agama
dan negara, dan seterusnya. Semua pembahasan itu
mesti saja menyentuh wilayah pemilihan imam.
(Lampiran XV)
4.3.2.4 Analis Politik dan Perubahan Sosial
Ada perubahan
yang cukup penting di kalangan
masyarakat pemilih pada zaman Reformasi sekarang ini jika
~ 147 ~
dibandingkan dengan
situasi masyarakat pemilih pada
zaman Orde Baru.
Analis politik dan perubahan sosial, Agus Sutisna,
melihat perubahan itu dari sisi status pemilu pada kedua
zaman tersebut.
Status pemilu zaman Orde Baru lebih cenderung
sebagai “kewajiban” daripada hak (warga negara). Secara
formal, memang, ketika itu pun status pemilu sama seperti
sekarang, sebagai hak (warga negara).
Tetapi,
itu seperti jadi
hak
penguasa, dan sekaligus
“kewajiban”
penguasa berperan
dari
menjadi
penyelenggara pemilu tersebut.
Bagian terakhir inilah yang kemudian direformasi total
dengan mengamandemen Undang-undang Dasar Tahun
1945, yang kemudian diikuti dengan kelahiran undangundang penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dan
independen.
Undang-undang
Pemilihan
Umum
inilah
yang
(KPU),
melahirkan
KPU
Komisi
Provinsi/KPU
Kabupaten/Kota, dan PPK, PPS, dan KPPS sebagai badan
penyelenggara
pemilu
(lembaga
penyelenggaraan tahapan pemilu).
~ 148 ~
adhoc
saat
Pemilu kali pertama yang diselenggarkan oleh KPU,
tahun 2004, yakni pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Sekailgus pula, ketika itu, pemilu presiden dan wakil
presiden secara langsung oleh rakyat – tidak lagi oleh Majlis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Meski
kemudian
tidak
ada
lagi
“penggiringan-
penggiringan” dari penguasa, lambat laut muncul The Local
Strongmen terutama dalam penyelenggaraan pemilu kepala
daerah dan kepala daerah.
Bahkan, terakhir, muncul istilah politik dinasti. Belum
ada penelitian, apakah kelahiran The Local Strongmen dan
politik dinasti itu, baik langsung maupun tidak langsung,
apakah sebagai dampak otonomi daerah atau bukan, masih
harus diteliti.
Khusus yang berhubungan dengan perilaku pemilih,
kebebasan yang mereka peroleh sangat besar, dan tidak
perlu lagi takut kepada penguasa di daerah. Bahkan, mereka
bisa terang-terangan berseberangan dengan penguasa
setempat.
Sutisna menguraikan tentang perilaku pemilih sebagai
berikut, :
“Secara umum, sekali lagi, saya melihat bahwa para
pemilih di Lebak sudah semakin otonom sebagai
~ 149 ~
pemegang hak pilih, otonom dari kekuatan negara.
Dalam arti bahwa pemilih tidak lagi merasa harus
menyesuaikan pilihan politiknya dengan representasi
negara (Bupati dan aparat birokrasi). Sayangnya,
otonomi politik ini belum disertai dengan kesadaran
penuh perihal arti penting suara yang mereka miliki
dalam kaitannya dengan kepentingan mereka sebagai
warga negara di kemudian hari. Akibatnya sebagai
pemilih, secara umum warga Lebak belum
sepenuhnya menjadi pemilih yang cerdas dan
rasional. Preferensi politik mereka dalam setiap kali
pemilu, termasuk pemilu terakhir 2014 kemarin, saya
kira cenderung masih ditentukan oleh faktor-faktor
yang serba pragmatis dan kepentingan/kebutuhan
jangka pendek”. (Lampiran XVI)
Foto 11
Bebas Mencoblos
http://pusatkajianhadis.com
~ 150 ~
~ 151 ~
4.4. Temuan
Menulis temuan tidak sekadar menulis apa yang ditemukan di
lapangan saat-saat melakukan penelitian. Temuan di lapangan, kata
sebagian peneliti, penting diungkapkan atau ditulis dalam satu bab
khusus, bab temuan. Menulis temuan harus dikaitkan dengan paradigma
atau jenis penelitian.
Temuan itu deskripsi, tanpa interpetasi, dan oleh karena itu bisa
berbentuk
tabel. Membaca tabel, biasanya, orang merasa malas atau
malah “mules”.
Oleh karena itu, tabel lebih enak dinarasikan. Kalau pembaca ingin
membaca tabel deskripsi, yang tentunya tanpa interpretasi, silakan buka
halaman
lampiran.
Di
situ
banyak
tabel,
ada
profil
responden,
pengetahuan responden tentang pemilu, dan pertanyaan penelitian.
Tim Peneliti sengaja melampirkannya sebagai barang bukti
penelitian ke lapangan. Interpretasi hasil penelitian ini berbasis pada
temuan dalam bentuk tabel deskriptif itu.
jawaban
yang
ditindaklanjuti
Tim
Dari tabel itu ada beberapa
Peneliti
karena
menarik,
dan
berhubungan erat dengan tema penelitian perilaku pemilih.
Tim Peneliti menulis temuan di sini, bukan dalam perspektif
penelitian
yang baku konvensional, melainkan sekedar menemukan
kembali masalah-masalah penting selama
observasi di lapangan.
~ 151 ~
melakukan wawancara dan
Terlalu banyak yang disampaikan kepada Tim Peneliti. Sampaisampai,
responden
atau
informan
menyampaikan
masukan
dan
“masakan” untuk perbaikan pemilu yang akan datang, dan sama sekali
tidak berkaitan dengan tema penelitian. Tim Peneliti tetap menjadi
pendengar yang baik, dan mau mendengar suara hati dan kata hati
mereka.
Terutama
teman-teman
di
PPK
(kecamatan)
dan
PPS
(desa/kelurahan) yang ditemui Tim Penellti, selain mereka membantu
penyebaran kusioner dan membantu pula Tim Peneliti dalam melakukan
observasi, juga
memberi masukan-masukan
yang berasal dari dari
lingkungan mereka.
Tim Peneliti merasa harus memasukkan masukan itu untuk
memerkaya penelitian. Meski masukan itu tidak ada kaitan langsung
dengan tema perilaku pemilih, tetapi itulah suara para pemilih yang juga
diserap teman-teman PPK.
Dengan demikian, temuan yang dimaksud Tim Peneliti di sini
adalah hal-hal yang diperoleh di luar tema penelitian. Tim Peneliti belum
menemukan istilah lain yang lebih terpat, kecuali “meminjam”
istilah
temuan.
Beberapa temuan penting dimasukkan pula dalam simpulan.
Semua, pada bab V, akan dibuat tiga bagian, temuan, simpulan, dna
rekomendasi. Tetapi, karena temuan yang dimaksud Tim Peneliti ini bukan
~ 152 ~
temuan seperti dalam penelitian, maka bab V itu cukup simpulan dan
rekomendasi saja.
KPU Provinsi Banten, menurut hemat Tim Peneliti, tidak akan
bekeberatan
menggunakan kata “Temuan”
untuk bagian ini, karena
masih menyangkut urusn perebaikan penyelengagraaan pemilu, dan
harus dinilai sebagai kepedulian masyarakat pemilih di daerah.
4.4.1. Satu Surat Suara, Satu Kali Coblos
Kehadiran badan penyelenggara pemilu di Kabupaten
Lebak, mulai dari PPK (tingkat kecamatan), PPS (kelurahan/desa),
dan TPPS. ditambah pengawas pemilu di berbagai tingkatan,
jumlahnya cukup signifikan, apalagi kalau
ditambah dengan
anggota keluarga masing-masing.
Di Kabupaten Lebak sendiri, Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK)
di tingkat kecamatan sebanyak
28 buah, Panitia
Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kelurahan dan desa sebanyak
345 buah, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS) di setiap tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 1.875
buah. Di setiap TPS ada KPPS yang beranggotakan tujuh orang.
Para anggota badan pemilu itu baik langsung maupun tidak
langsung, jadi pula
kepanjangan KPU Kabupaten Lebak dalam
aksi sosialisasi penggunaan hak pilih.
~ 153 ~
Nama mereka dan keluarga mereka senantiasa dipantau,
dipastikan terdaftar sudah terdaftar dalam daftar pemilih. Kalau
nama mereka atau keluarga mereka tidak terdaftar, sepeti jadi
beban karena tidak memberi contoh yang baik untuk orang lain.
Sebagai penyelenggara pemilu, mereka
ingin memberi
contoh bahwa nama dan keluarga mereka terdaftar dalam daftar
pemilih, dan sekaligus dipastikan akan menggunakan hak pilih.
Rapat evaluasi Pemilu 2014 antara KPU Kabupaten Lebak
dan PPK se-Kabupaten Lebak, di Kota Labuan, Kabupaten
Pandeglang, antara lain beragendakan masukan dari PPK untuk
perbaikan penyelenggaraan pemilu ke depan.
Rekomendasi terpenting hasil rapat evaluasi
itu,
bahwa
masyarakat di daerah, khusus untuk pemilu anggota DPR, DPD,
dan DPRD,
menginginkan penggunaan hak pilih dengan hanya
mencoblos gambar partai politik saja, seperti pada zaman dulu,
tidak mencoblos para calon yang ternyata jumlahnya begitu banyak
pada surat suara.
Pertimbangan para anggota PPK, dan
ini merupakan
masukan dari masyarakat di lingkungan masing-masing, sematamata hanya untuk kepraktisan penggunaan hak pilih saja.
Mencoblos hanya sekali untuk setiap surat suara, dengan surat
~ 154 ~
suaranya
yang
jauh
lebih
ramping.
Ini
dinilai
jauh
lebih
memudahkan bagi masyarakat pemilih, khususnya di daerah.
Para anggota PPK mengaku, rekomendasi ini datang dari
masyarakat sendiri yang ingin menggunakan hak pilih mereka lebih
mudah lagi.
Foto 12
Panitia Pemilih Kecamatan
Foto : Media Centre KPU Lebak
Para anggota PPK khususnya, yang rata-rata dari kalangan
tokoh masyarakat, dan banyak pula yang sudah berkali-kali menjadi
badan
penyelenggara
pemilu,
memahami
masyarakat pemilih di sekitar mereka.
~ 155 ~
betul
keinginan
Bagi para anggota PPK, dengan demikian, akan lebih mudah
pula men-sosialisasikan dan men-simulasikannya nanti.
Foto 13
Ukuran Surat Suara
Foto : Media Centre KPU Lebak
4.4.2. Indonesia Menulis, Indonesia Mencoblos
Sejumlah anggota PPK di wilayah perkotaan menginginkan
penggunaan hak pilih dengan dicentang, dengan menggunakan alat
tulis, seperti pada pemilu tahun 2009 lalu.
~ 156 ~
Khusus di Kabupaten Lebak, di wilayah tanah adat Desa
Kanekes, yang selama ini masih belum mengizinkan belajar
mensulis dan membaca, ternyata penggunaan hak pilih dengan
dicentang, hasilnya cukup baik. Hal ini tampak sejak adanya
simulasi penggunaan hak pilih dengaan alat tulis itu.
Gambar 18
Indonesia Menulis, Tandai Pilihanmu!
Foto : www.kpu.go.id
Hal yang sama disampaikan pula oleh sebagian masyarakat
di perkotaan, mahasiswa,
pelajar, dan lain-lain, sebagaimana
disampaikan pula kepada Tim Peneliti. Untuk yang terakhir ini bisa
pula
dilakukan
penelitian
dengan
~ 157 ~
motode
survai.
Dalam
penggunaan hak pilih dengan alat tulis itu, sebagian kelompok
masyarakat perkotaan menilai tidak ada masalah.
Mereka merujuk pada pengalaman pemilu tahun 2009, hak
pilih tersalurkan dengan baik. Jumlah surat suara tidak sah pun
bisa dikatakan masih wajar, di Kabupaten Lebak khususnya.
Surat suara sah tetap terhitung tinggi jika dibandingkan
dengan
surat
suara tidak sah, hampir sama saja ketika
penggunaan hak pilih dilakukan dengan mencoblos.
Kekuatan sosialisasi dan simulasi, ketika itu, sangat gencar
mengingat transisi dari cara
mencoblos dengan paku jadi
mencentang dengan alat tulis.
Meski begitu, masyarakat pemilih akan mengikuti peraturan
KPU saja dalam penggunaan hak pilih itu, tidak ada masalah,
seperti pada pemilu tahun 2014 yang kembali menggunakan alat
coblos, bukan alat tulis.
Ketika itu, sebetulnya, ada yang tidak dipublikasikan, dan
suidh disepakati bersama, kalau masih ada yang mencoblos tanda
gambar partai politik atau calon dengan alat tulis yang disediakan,
surat suaranya akan tetap disahkan.
Penggunaan hak pilih dengan alat tulis terdengar lebih
maju, lebih dinamis, sehingga ketika itu bergema “Indonesia
~ 158 ~
Menulis”,
dan tidak pernah terdengar
sebelumnya gema
“Indonesia Mencoblos”. Sebagian masyarakat di perkotaan yakin,
penggunaan hak pilih dengan alat tulis seperti pemilu tahun 2009
tidak akan mengundang dan mengandung masalah, termasuk di
daerah pedalaman.
Kini, sebagian orang
merindukan “Indonesia Menulis”
daripada “Indonesia Mencoblos”.
Apa pun, masyarakat pemilih
bisa mengajukan keinginan itu ke DPR. Masyarakat pemilih berhak
menyampaikan aspirasi, wakil rakyat harus mendengarkannya.
Tetapi, kalau e-voting diberlakukan, maka semuanya tidak akan
ada, karena diganti jadi “Indonesia Menyentuh” atau “Indonesia
Meraba”, seperti kita sehari-hari menyentuh layar telepon genggam
Gambar 19
Mencentang Surat Suara
Foto : http://ygmnus.blogspot.com
~ 159 ~
4.4.3. Mahkamah Pemilu
Dalam
penyelesaian
diskusi-diskusi
yang
berhubungan
dengan
hukum di lingkungan KPU, akhirnya muncul pula
gagasan penambahan sistem peradilan, yakni adanya mahkamah
pemilu.
Di lingkungan KPU Kabupaten Lebak sendiri, dari anggota
KPPS, PPS, PPK, sampai anggota KPU Kabupaten Lebak sendiri
sering jadi termohon atau jadi saksi dalam sidang perselisihan hasil
pemilu di Mahkamah Konstitusi.
KPU dan badan penyelenggara pemilu selama ini bisa
“ditarik”
ke berbagai lembaga peradilan, seperti ke Mahkamah
Konsrtitusi untuk kasus perselisihan hasil pemilu, ke peradilan tata
usaha negara (TUN) untuk dugaan cacat prosedur dalam
penerbitan keputusan atau peraturan, dan ke Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk dugaan pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilu.
Dengan adanya satu atap lembaga yang menyelesaikan
segala
urusan
yang
berhubungan
dan
berkaitan
dengan
penyelenggaraan pemilu, maka urusan bisa di-fokus-kan ke satu
atap peradilan saja.
Untuk penyelesian perselisihan
hasil pemilu dan urusan
yang berkaitan dan berhubungan dengan penyelengaraan pemilu,
~ 160 ~
maka para hakim, jaksa, dan pengacara
harus memahami betul
segala sesuatu yang berhubungan dengan pemilu.
Kata Pengacara KPU Kabupaten Lebak, Saleh, S.H., M.H.,
hakim, jaksa, dan
pengacara itu banyak, tetapi mereka yang
memahami betul urusan pemilu masih terhitung sedikit.
Dengan demikian, adanya lembaga peradilan pemilu itu
sedikitnya akan mendorong lahirnya para hakim, jaksa, dan
pengacara yang ahli dalam peradilan pemilu.
Tidak mustahil pula, nanti akan dibuka jurusan hukum
pemilu di fakultas hukum atau jurusan ilmu pemilu di fakultas ilmu
sosial dan ilmu politik.
Anggota KPU ke depan, tidak mustahil pula, berasal dari
atau berlatar belakang pendidikan yang ada hubungannya dengan
penyelenggaraan pemilu.
Ada memang lembaga-lembaga
yang harus diisi oleh
orang-orang-orang yang berlatar belakang pendidikan tertentu.
Calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya,
salah satu syaratnya berlatar belakang pendidikan hukum.
Rancangan Undang-undang Penyelengara Pemilu yang
lalu, antara lain berisi syarat kesarjaan tertentu untuk menjadi
anggota KPU. Tetapi, syarat kesarjanaan tertentu itu kemudian
~ 161 ~
dihapus, sehingga jadi anggota KPU terbuka untuk siapa saja.
Syarat anggota KPU kabupten/kota, tetap serendah-rendahnya
sekolah lanjutan atas (SLA). Pada RUU sebelumnya pula, pernah
dimasukkan, syarat
anggota KPU kabupaten/kota, serendah-
rendahnya sarjana strata 1.
Foto 14
Ketika KPU Kabupaten Lebak Jadi Termohon
http://wartapemilu2014.blogspot.com

~ 162 ~
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
Untuk mengetahui prosesi penelitian dan hasil penelitian
secara cepat, cukup mudah yakni dengan membaca abstrak pada
halaman awal yang merupakan ringkasan penelitian, dan simpulan
pada akhir halaman, yang ditulis
pada bab khusus, yang
merupakan inti hasil penelitian. Tentu saja ada perbedaan
mendasar antara ringkasan dan simpulan.
Pada bab terakhir ini, Tim Peneliti menulis tiga bagian
utama
hasil
penelitian
yang
satu
sama
laion
sebetulnya
berhubungan, yakni simpulan, implikasi, dan rekomendasi.
Simpulan
keseluruhan,
adalah
hasil
utama
penelitian
secara
terutama unrtuk menjawab pertanyaan penelitian
yang dirumuskan pada pertanyaan penelitian. Simpulan merupakan
pula hasil analisis dan interpretasi.
Implikasi yang dimaksudkan Peneliti adalah mencari
hubungan atau keterkaitan antara hasil penelitian, teori, praktik, dan
pertimbangan-pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
Rekomendasi adalah harapan, keinginan, baik teoritis
maupun praktis. Petugasan penelitian dari KPU, tidak semata-mata
menghasilkan penilitian, tetapi juga rekomendasi yang merupakan
~ 163 ~
saran kongkret untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu, terutama
yang berhubungan dengan sosialisasi dan partisipasi pemilih.
Di bawah ini, tiga bagian penting hasil penelitian, meliputi
simpulan, implikasi, dan rekoemndasi, seperrti berikut :
5.1.
Simpulan
5.1.1. Habit Behavior
Pemilu lima tahun sekali secara nasional, tingkat
provinsi,
dan
kabupaten/kota,
menyebabkan
seringnya penggunanaan hak pilih di TPS. Pemilih di
Kabupaten Lebak, khusus untuk yang berusia 60-an
tahun, ternyata menggunakan hak pilih dalam setiap
pemilu jadi merupakan kebiasaan (habit), tidak ada
hubungannya dengan urusan pemilih kategori rasional
atau kategori emosional. Mereka mulai menggunakan
hak pilihnya sejak berusia 17 tahun, sehingga
sedikitnya mereka beberapa kali mengikuti pemilu
sejak tahun 1971. Ditambah lagi dengan pemilukada,
baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Ditambah
lagi
aktif
jadi
pemilu
tingkat
desa
(pilkades).
Menggunakan hak pilih sudah dianggap kebiasaan,
bagus untuk partisipasi pemilih, meski belum tentu
ideal untuk pemilih yang berkualitas.
~ 164 ~
5.1.2. Otonomi Politik dan Local Strongman
Masyarakat pemilih pada zaman Orde Reformasi
sekarang ini, di Kabupaten Lebak khususnya, lebih
leluasa menggunakan hak pilih, tanpa tekanan atau
“penggiringan” dari pihak mana pun seperti pada
zaman Orde Baru. Penguasa, pada waktu itu, terlibat
dalam “penggiringan” hak pilih. Masyarakat pemilih
sekarang ini merasakan adanya otonomi politik yang
jauh lebih besar berkaitan dengan penggunaan hak
pilih. Tetapi pada waktu yang sama muncul istilah
local strongman (orang kuat di daerah) yang bisa
memainkan peran dalam pemilihan kepala daerah
misalnya. Local strongman bisa dari kalangan
pengusaha, jawara, bahkan tokoh agama (kiai).
5.1.3. Perilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal
Pemilih tradisional di daerah adat selalu mengikuti
pemerintah atau “arah angin” para pemuka adat.
Mereka punya monoloyalitas (kesetiaan tunggal)
kepada pemuka adat itu, dalam kehidupan seharihari, bahkan dalam penggunaan hak pilih yang
sebetulnya bebas dan rahasia. Para pemuka adat itu
sendiri, tidaklah satu arah pilihan secara konsisten
untuk parpol tertentu atau calon tertentu, pada setiap
~ 165 ~
pemilu, tetapi akan sangat tergantung pada hasil
“ijtihad” para pemuka adat. Dengan demikian, kalau
suatu pemilu dimenangkan oleh Partai A di daerah
masyarakat adat itu, maka pemilu berikutnya, bisa
jadi dimenangkan oleh Partai B, dan seterusnya.
Pendekatan tokoh parpol tertentu kepada pemuka
adat
cukup
efektif
untuk
mengubah
atau
memantapkan pilihan. Banyaknya TPS yang meraih
nyaris 100% untuk calon tertentu adalah realitas di
daerah-daerah adat.
5.1.4. Perilaku Pemilih Pragmatis
Pemilih yang berorientasi pada keuntungan materi
jadi
fenomena
baru,
seiring
dengan
semakin
tingginya “belanja” politik para calon itu sendiri.
Munculnya ajakan “ambil uangnya, jangan pilih
orangnya”,
“serangan
fajar”,
dan
lain-lain,
menujukkan adanya money politic (politik uang).
Fenomena semua itu sejalan dengan laporan Dewan
Pers (2014 : 2), bahwa “Berkurangnya belanja iklan
ruang media, karena para caleg lebih memilih
„membelanjakan” uang lebih tepat sasaran, yaitu
membeli suara para pemilih di level kelurahan atau
menyuap panitia di KPUD”. Di Kabupaten Lebak
~ 166 ~
sendiri, kampanye
rapat umum terbuka, tidak
digunakan secara maksimal. Ini bisa menunjukkan
pula bahwa para calon lebih suka “belanja” pemilih
secara
langsung
kepada
masyarakat
pemilih
daripada harus menyelenggarakan kampanye dalam
bentuk rapat umum.
5.1.5. Perilaku Pemilih pada pilkades
Kabupaten Lebak, pada saat-saat penelitian, sedang
mempersiapkan pemilihan kepala desa
di
200-an
desa se-Kabupaten Lebak. Temuan Tim Peneliti di
lapangan, warga lebih
bersemangat menghadapi
pemilihan kepala desa. Bahkan, warga desa yang
berada di luar kota pun, sepeti Bandung, Jakarta,
Lampung, dan sekitarnya, banyak yang sengaja
pulang kampung karena akan menggunakan hak pilih
di desanya.
5.1.6. Perilaku Pemilih dan Partisipasi Pemilih
Pemilihan umum, baik anggota DPR, DPD, dan DPRD
dan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan
umum kepala daerah dan wakil kepala daerah,
melibatkan pemilih sebagai eksekutor keterpilihan
para calon. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu,
bagi penyelenggara pemilu (khususnya KPU dan
~ 167 ~
jajarannya), ditandai dengan partisipasi pemilih yang
cukup signifikan. KPU memahami adanya partisipasi
pemilih
dan
perilaku
pemilih.
Kedua-duanya
mempunyai objek yang sama, yakni pemilih itu sendiri.
Angka partisipasi pemilih mudah dipastikan karena
bersifat kuantitatif. Dengan menghitung jumlah pemilih
di sebuah tempat pemungutan suara (TPS), lalu
dibandingkan dengan penjumlahan suara dan dan
tidak sah, maka dengan mudah diketahui angka
partisipasi pemilih. Hal yang sama bisa pula dilakukan
di
tingkat,
desa/kelurahan,
kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
5.1.7.
Tidak Ada Motif Tunggal atau Motif Seragam
Untuk perilaku pemilih, tidak mudah memastikannya.
Pemilih yang datang ke TPS, dan menggunakan hak
pilihnya,
bisa
penggunaan
bermacam-macam
hak
pilihnya
itu.
motif
Mungkin
atas
karena
memang sadar politik, sadar ingin menggunakan hak
politik sebagai warga negara, karena dijanjikan atau
terdorong karena mendapat imbalan materi, karena
terikat oleh hubungan kekeluargaan, pertemanan,
dan
lain-lain.
wawancara
Meski
dan survai,
~ 168 ~
begitu,
dengan
juga mengamati
metode
gejala
(fenomena), sedikitnya bisa diidentifikasi perilaku
pemilih itu. KPU khususnya, tidak mungkin merinci
motivasi atau memilih-milah
perilaku pemilih itu, di
samping memang tidak perlu, juga validitasnya masih
merupakan sangkaan. Ini berbeda dengan partisipasi
pemilih yang dihitung berdasarkan bukti-bukti tertulis,
seperti jumlah surat suara dan dan surat suara tidak
sah. Motif penggunaan hak pilih, hanya bisa dibaca
secara kuantitatif, tetapi mustahil dibaca secara
kualitatif. Ada pemilih yang mengedepankan nilai
pokok, yakni pemilih rasional karena penggunaan hak
pilih berdasarkan visi, misi, dan program, bukan
karena yang lain. Ada pemilih yang mengedepankan
nilai
tambah,
seperti
karena
ada
hubungan
kekerabatan atau karena hanya sekadar seorang
teman. Maka, tidak ada motif tunggal atau motif yang
seragam dalam penggunaan hak pilih itu
5.1.8.
Perilaku Ijtihad di Lingkungan Pesantren
Pada setiap pemilihan umum, termasuk pemilukda,
sejumlah
kiai
pengasuh
Kabupaten Lebak punya
pondok
tradisi
pesantren
di
penyebaran fatwa
agar para santri dan alumni memilih calon tertentu.
Fatwa kiai itu umumnya ampuh, karena
~ 169 ~
tingkat
kepercayaan,
kharisma,
dan
hubungan
sosial
emosional kiai - santri yang cukup erat. Beberapa kiai
yang lain, sebaliknya, membiarkan para santri dan
alumni memilih calonnya sendiri, dengan berijtihad
sendiri, karena dinilai menyangkut hak asasi manusia.
Di pesantren-pesantren
tidak ditemukan kiai
dalam Kabupaten Lebak
“pendakwah”
golongan putih
(golput) pada pemilu tahun 2014, malah beberapa kiai
ikut jadi pendukung calon tertentu, dan beberapa kiai
lagi jadi anggota partai politik, lalu ada yang terpilih
dan ada pula yang tidak terpilih jadi anggota DPRD
Kabupaten Lebak masa jabatan 2014 – 2019. Tidak
ada
keseragaam
dukungan
kepada
calon-calon
tertentu di kalangan masyarakat pesantren,
tetapi
yang ada adalah keberagama dukungan, sesuai
dengan hasil
ijtihad masing-masing
masyarakat
pesantren.
5.1.9. Perilaku Pemilih Monoloyalitas Tunggal
Kabupaten Lebak memiliki kelompok masyarakat yang
punya karakteristik khusus, seperti masyarakat adat
Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak. Pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD tahun 2014 nyaris ada kendala di lapangan,
~ 170 ~
berkaitan dengan kebijakan adat masyarakat Baduy
yang dinilai bertentangan dengan peraturan KPU.
Tetapi, semua bisa diselesaikan. Bahkan, Kades
Kanekes,
Dainah,
kemudian
mendapatkan
KPU
Award untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD
tahun 2014 itu. Masyarakat
adat yang lain di
Kabupaten Lebak, adalah penganut kasepuhan di
pedalaman Kecamatan Cibeber. Tidak ada kendala
teknis, termasuk segala peraturan KPU. Masalahnya
kemudian adalah monoloyalitas (kesetiaan tunggal)
kepada pemuka adat (atau masyarakat setempat
menyebutnya olot), yang sering di-salah arti-kan
sehingga berimbas kecurigaan pada penyelenggara
pemilu. Ada sejumlah TPS yang pemilihnya nyaris
100% untuk seseorang calon atau pasangan calon. Ini
lumrah
di
TPS-TPS
yang
ada
di
lingkungan
masyarakat adat. Para pemilih setempat selalu
mengikuti “arah angin” pilihan pemuka adat (“olot”).
Pihak
eksternal
demokrasi”
di
penggiringan,
sering
TPS
karena
X,
menuduh,
ada
pemilihnya
“tidak
ada
rekayasa
atau
hampir
100%
memilih calon atau pasangan calon tertentu. Dalam
jangka
lama,
monoloyalitas
~ 171 ~
tunggal
untuk
penggunaan hak pilih ini bertentangan dengan hakikat
demokrasi itu sendiri.
5.1.10. Potensi Ancaman Golongan Putih
Di Kabupaten Lebak, banyak pemilih yang kemudian
kecewa atas perilaku para calon, karena komunikasi
yang dibangun hanya sebatas saat-saat kampanye
saja. Masyarakat pemilih yang kecewa itu ada yang
kemudian
bersifat
apatis
terhadap
pemilu,
dan
berpotensi jadi “golongan putih” (golput), ada juga
yang kemudian jadi pemilih dengan segala variabel
perilaku pemilihnya, seperti pemilih skeptis dan
pemilih
pragmatis.
Calon
yang
mengecewakan
masyarakat pemilih itu, setidak-tidknya, baik langsung
maupun tidak lanfgsung, turut “membentuk” golongan
putih.
5.1.11. Media Massa Membentuk Perilaku Pemilih
Media
massa
dan
tokoh
masyarakat
cukup
berpengaruh, sekaligus membentuk perilaku pemilih.
Masyarakat pemilih bisa mengubah atau meneguhkan
pilihannya
ketika
masyarakat
yang
informasi
dari
diajak
media
atau
sebelumnya
massa.
dibujuk
tokoh
mendapatkan
Khalayak
pemilih
menjadikan media massa sebagai referensi pula.
~ 172 ~
5.2. Implikasi
Ada tiga implikasi penting yang berhubungan dengan hasil
penelitian ini, yakni implikasi teoritis, implkasi praktis, dan
implikasi bagi teori selanjutnya.
5.2.1. Implikasi Teoritis
Hasil penelitian di lapangan, wawancara, observasi,
dan studi pustaka, menunjukkan adanya keterkaitan
antara teori-teori yang disajikan
pemilih. Masyarakat
dengan perilaku
pemilih dipengaruhi atau oleh
faktor-faktor eksternal, sehingga terbentuk perilaku
pemilih yang berbeda-beda, antara lain karena faktorfaktor perilaku calon yang berbeda-beda pula. Teori
konstruksi realitas secara sosial dan teori-teori
komunikasi massa menunjukkan adanya, misalnya,
menujukkan adanya eksternalisasi, internalisasi, dan
sintesis kedua-duanya. Baik atau buruknya perilaku
pemilih itu
tergantung
pula bagaimana mereka
diperlakukan oleh perilaku calon serta sejauh mana
tingkat kepuasan mereka kepada para calon yang
dipilihnya itu.
5.2.2. Implikasi Praktis
Pendidikan bagi pemilih jadi cukup penting, harus
dilakukan secara beekesinambungan,
~ 173 ~
tidak hanya
saat-saat
menjelang
atau
pada
saat-saat
pelaksanaan tahapan pemilu saja. Bagi KPU, di
samping angka partisipasi pemilih terlalu penting, juga
perilaku pemilih yang cerdas dan berkualitas. Angka
partisipasi pemilih mudah dihitung, tanpa harus
adanya penelitian, tetapi perilaku pemilih tidak mudah
dipetakan. Maka, KPU sebagai penyelengara pemilu
dan partai politik, politisi, baik yang ada di parlemen
maupun yang ada di luar parlemen, hakikkatnya harus
jadi pendidik, paling tidak dalam pendidikan terhadap
pemilih.
5.2.3. Implikasi Penelitian Selanjutnya
a. Analisis Wacana Kritis
Penelitian perilaku pemilih ini
bisa ditindaklanjuti
secara akademis dengan “pisau” analisis
critical
discourse analysis (analisis wacana kritis) untuk
tingkat yang lebih tinggi. Kalau penelitian perilaku
pemilih ini dengan menggunakan
“pisau” analisis
fenomenologi di tingkat magister, maka lazimnya,
ditindaklanjuti dengan menggunakan “pisau” analisis
critical discourse analysis di tingkat doktoral untuk
mengungkap ideologi yang dianut pemilih. CDA, mesti
saja, berhubungan dengan ideologi atau kepentingan
~ 174 ~
yang tersembunyi di balik wacana. Istilah wacana
dalam perspektif penelitian, akan termasuk pula
dokumen seperti hasil penelitian perilaku pemilih ini.
Critical
discourse
analysis
ideologi di balik wacana,
untuk
dan
“membongkar”
terbiasa dengan
pertanyaan penelitian, misalnya, “Ideologi apa yang
dianut Presiden X
di balik pidato-pidato dan
pernyataan-pernyataannya di media massa?”
b. Penelitian Eksplanatori
Perilaku pemilih di Kabupaten Lebak menggunakan
metode penelitian kualitatif deskriptif. Metode ini
hanya untuk memetakan, dan digunakan untuk
kepentingan
tertentu.
Dalam
hal
ini,
KPU
membutuhkan pemetaan perilaku pemilih, antara lain,
untuk penyusunan kebijakan dan strategi sosiali dan
pendidikan pemilih. Metode deskripsi ini biasanya
diteruskan dengan metode eksplanatori. Penelitian ini
bertitik
tolak
dari
pertanyaan
mengapa.
Kalau
penelitian deskriptif adalah penyajian deskripsi secara
lengkap sesuatu fenomena, juga untuk penyusunan
kategori,
maka
penelitian
eksplanatori
untuk
menjelaskan deskripsi dengan pertanyaan mengapa.
Penelitian ini disebut pula penelitian eksploratori.
~ 175 ~
5.3.
Rekomendasi
5.3.1. Tradisi Penelitian
Penelitian harus jadi tradisi ilmiah di lingkungan KPU,
sampai ke KPU provinsi/KPU Kabupaten/Kota. Tetapi,
KPU
secara
Kabupaten/Kota
khusus
khususnya,
sebelumnya
perlu
tentang
dibekali
metodologi
penelitian, misalnya dalaM bentuk simulasi
atau
workshop penulisan karya ilmiah.
5.3.2. Anggaran Sosialisasi
Anggaran
untuk
sosialisasi,
dengan
capaian
peningkatan partisipasi pemilih, harus lebih memadai
dari anggaran yang selama ini kurang sepadan. Aksi
sosialisas dilakukan sepanjang tahapan, bahkan sejak
persiapan,
sampai
pascapenyelesaian,
mensosialisasikan
hasil-hasil
partisipasi
ditentukan
pemilih
pemilu.
pula
oleh
seperti
Angka
aksi
sosialisasi, baik melalui ruang maupun melalui luar
ruang, melalui media tradisional maupun melalui
media modern. Kalau dalam sebuah perusahaan,
belanja promosi atau iklan biasanya jauh lebih besar,
maka anggaran untuk sosialisasi, dengan capaian
peningkatan angka partisipasi pemilih, harus lebih
memadai dari anggaran sebelumnya.
~ 176 ~
5.3.3. Relawan Demokrasi
Adanya relawan demokrasi, pada pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014, adalah awal yang
bagus untuk penyebaran dan penyuburan sosialisasi
dengan tujuan pokok penggunaan hak pilih. Relawan
demokrasi tidak ada pada pemilu presiden dan wakil
presiden,
sangat
mungkin,
karena
kekurangan
anggaran. Relawan demokrasi, seharusnya melekat
pada setiap penyelenggaraan pemilu,
5.3.4. Lembaga Pendidikan Pemilih
Pendidikan
pemilih
harus
dilembagakan,
atau
dimaksimalkan dengan anggaran yang cukup. Dengan
demikian, usaha agar melek politik dan pentingnya
jadi pemilih yang berkualitas, jadi pemahaman umum.
Memilih seseorang, idealnya, karena nilai pokoh
(karena visi, misi, dan program kerja), bukan karena
nilai tambah (di luar visi, misi, dan program kerja).
5.3.5. Pendidikan Pemilih oleh Para Calon
Para calon harus pula memenuhi janji-janji kampanye
masing-masing agar pemilih merasa tak sia-sia
menggunakan hak pilih. Para calon terpilih, di
samping harus berbicara kepada rakyat, juga lebih
penting berbicara dengan rakyat. Ini akan lebih
~ 177 ~
mendekatkan
silaturahim
dengan
pemilih
dan
pembangunan hubungan emosi yang lebih kuat.
Keuntungan
bagi
KPU
dari
semua
itu
adalah
terjaganya semangat memilih, pada setiap pemilu.
5.3.6. Tata Cara Penggunaan Hak Pilih
Untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, banyak
pemilih di daerah yang menginginkan kembali ke
masa silam, cukup mencoblos parpol saja, sekali,
tidak melakukan pencoblosan para calonnya. Ini
semata-mata mempertimbangkan kepraktisan saja.
Keinginan pemilih di daerah itu, ternyata sejalan
dengan rekomendasi para anggota Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) se-Kabupaten Lebak, dalam rapat
pembubaran dan evaluasi badan penyelenggara
pemilu, di Pandeglang, tahun 2014 lalu. Para anggota
PPK yang hadir dari 28 kecamatan pun mendapat
masukan dari masyarakat.
5.3.7. Mencentang Surat Suara
Penggunan
hak
pilih
dengan
mencoblos
dipertahankan di daerah, sedangkan di perkotaan,
cenderung
penggunaan
hak
pilih
dengan
menggunakan alat tulis, seperti pada pemilu anggota
DPR, DPD,dan DPRD tahun 2009.
~ 178 ~
5.3.8. Pemilu Elektronik
Kalangan terpelajar, malah mengusulkan pemilihan
secara elektronik disiapkan. Khusus di Kabupaten
Lebak, kalaupun tidak seluruhnya menggunakan
pemilihan
secara
elektronik,
mungkin
bisa
dilaksanakan di beberapa TPS saja, yang tentu saja
harus didasari undang-undang dan peraturan yang
baru.
5.3.9. Mahkamah Pemilu
Penyelenggara pemilu, khususnya KPU, berpotensi
dilaporkan oleh berbagai pihak, dengan kenyataan :
bisa
dilaporkan
ke
Badan
Pengawas
Pemilu
(Bawaslu), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),
dan Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu,
muncul usulan agar adanya Mahkamah Pemilu,
dengan para jaksa, pengacara, dan hakim yang
memahami betul tentang pemilu. Dengan demikian,
segala urusan itu ditangani oleh satu lembaga saja,
lembaga peradilan pemilu, tidak ditarik-tarik ke banyak
lembaga, seperti sekarang ini.
~ 179 ~
~ 180 ~
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung : CV Pustaka Setia.
Amir, Piliang Yasraf. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batasbatas Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra
Anderson, Kennett. 2013. Writing A First Year Report, A course for first
year research students At Edinburgh University. Edinbrugh : English
Teaching Centre, University of Edinbrugh.
Ardial. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta : PT Indeks.
Arrianie, Lely. 2010. Komunikasi Politik, Politisasi Pencitraan di Panggung
Politik. Bandung : Widya.
Asshiddiqie, Jimly. 2013. Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu.
Jakarta : PT Rajagrafindo.
Bachtiar, R. Sandy. 2011. Informatics Challengers. Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Populer.
Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX. Inggris dan Jerman. Jakaarta :
PT Gramedia Jakarta.
Budiardjo, Miriam. 2014. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup.
Cipto, Bambang. 2000. Partai, Kekuasaan, dan MIliterisme. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset.
Faisal, Ali. 2015. Sosiologi Politik. Serang : Yayasan Tridharma Negara.
FiDeLespinasse, Paul. Edited by Marissa Drexed. 2008. Basic Political
Concept. Zurich (Switzerland) : The Jacob Foundation.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. Tanda tahun. Handbook of
Qualitative Research. London : Sage Publications. Inc.
~ 180 ~
Dewan Pers. 2014. Covering Election 2014. Engagement with Audience
and EditorialIndependence. Jakarta : Dewan Pers, Thomson Foundation.
Guritno, Suryo, Sudaryono, dan Untung Rajahardja. 2010. Theory and
Appication of IT Research. Metodologi Penelitian Teknologi Informasi.
Yogyakarta : Penerbit Andi.
Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Kritik Budaya komunikasi. Yogyakarta :
Jalasutra.
Kurniawan, Benny. 2012. Pendidikan
Mahasiswa. Jakarta : Jelajah Nusa.
Kewarganegaraan
untuk
Kuswarno, Engkus. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi :
Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung : Widya.
Jensen, Klaus Brauhn dan Nicholas W. Jankowski (Ed.) 1991. A Hand
Bool of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research.
London : Routledge.
Kerlinger, Fred N. 1998. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Lipset, Seymour Martin. Feffer and Simons Inc. 1960. Political Man Basis
Sosial Tentang Politik. Terjemahan Endi Haryono. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Ma’ani, Bachtiar Tet’s Know Al-Insan. Kajian Aqidah Islam tentang Asalusul & Jati Diri Manusia.. 2008. Jakarta : Pustaka Al Mala.
Muhajir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake
Sarasin.
Mulyana, Deddy dan Solatun. Metode Penelitian Komunikasi. ContohContoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. dan M. Thomas. 2004. Buku Penuntun Membuat Tesis,
Skripsi, Disertasi, Makalah. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, Zulkarimein. 1989. Komunikasi Politik. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
~ 181 ~
Nimmo, Dann. 2001. Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. Terjemahan
Tjun Suryaman. Remaja Rosdakarya : Bandung. Nurdin, Cedin Rosyad.
2014. Potret dan Pemikiran 50 Anggota DPRD Lebak Masa Jabatan 2014
– 2019. Lebak : KPU Kabupaten Lebak.
Navarro, Joe. 2014. Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh. Jakarta : PT
Zaytuna Ufuk Abadi.
Q-Anees, Bambang dan Ardianto Elvinaro. 2010. Filsafat Komunikasi.
Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. PT Remaja
Rosdakarya : Bandung.
Riyanto, Yatim. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya :
Penerbit SIC.
Senzai, Farid. 2012. Engaging American Muslim : Political Trends and
Attitudes. Washington : Institute for Sosial Policy and Understanding.
Shadily, Hasan (Pemimpin Redaksi). Tanpa tahun. Ensiklopedi Indonesia.
Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hove dan Elsevier Publishing Projects.
Sisk, Timothy D. International Institute for Democracy and Electoral
Assistence (Intenational IDEA). 2002. Demokrasi di Tingkat Lokal. Arief
Subiyanto. Jakaarta : Ameepro
Sjam’un, Tryana. 2013. Berjuang dari Tengah. Jakarta : LP3ES.
Sulastri, Wndang (Editor). 2011. Bangga Menjadi Pemilih Pemula. Jakarta
: Komisi Pemilihan Umum.
Suriasumantri, Juju S. 2005. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta : Pustaka Sinas Harapan.
Syabirin, Tabrani dan Farid Gaban. 2005. Pemilu
Jakarta : Komisi Pemilihan Umum.
Legislatif
2004.
Syam, Firdaus. 2009. Membangun Peradaban Indonesia. Jakarta : Gema
Insani.
Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
~ 182 ~
Soyomukti, Nurani. 2013. Komunikasi Politik Kudeta Politik Media, Analisa
Komunikasi Rakyat & Penguasa. Malang : Intrans Publishing
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Grasindo : Jakarta.
Suyanto, Bagong, dan Sutinah (Ed.). 2005. Metode Penelitian Sosial.
Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.
Sztompka, Piotr. 2012. Sosiologi Perubahan
Alimandan. Jakarta : Prenada Media Goup
Sosial.
Terjemahan
Yusuf, Pawito M. dan Priyo Subekti. 2010. Teori dan Praktik Penelusuran
Informasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.
Zakaria, A. 2014. Manusia dan Problematikanya. Garut : Ibn Azka Press
JURNAL
Bawono, Muhammad. 2008. “Persepsi Perilaku Pemilih Terhadap
Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kabupaten
Nganjuk” M’Power 8 : 1 – 8.
Ngangi, R. Charles. 2011. “Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial”. ASE,
7 : 1 – 4.
MEDIA MASSA CETAK
Kompas
Republika
Media Indonesia
Koran Tempo
SUMBER ELEKTRONIK
Badrun, Ubedillah. 2014. “Persinggungan Tipologi Pemilih dengan Caleg
di Pemilu 2014”. http://pemilu.sindonews.com.
Cherry, Kendra. http://psychology.about.com
Demartoto. http://argyo.staff.uns.ac.id
Demartoto, Argyo. 2013. “Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann”.
http://djannoveria.blogspot.com
~ 183 ~
http://id.wikipedia.org
http://khairulazharsaragih.blogspot.co
http://ridwanas.com
http://khairulazharsaragih.blogspot.co
Mujiono http://sosiologiilmu.blogspot.com
Mulya,Ryn.2013.“Perilaku Pemilih”http://www.philosopheryn.blogspot.com.
Simanulang, Wandi Pramwisnu. (Tanpa tahun). “Perilaku Pemilih”.
http://lampost.co.
Sucahyo, Rudy. http://rudicahyo.com
Wahono, Satrio. http://romisatriawahono.net
UNDANG-UNDANG
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum.
Undang-undang Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majlis Permusyawarata
Rakyat, Dewan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah.
PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM
PKPU No. 21 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan
KPU No. 07 Tahun 2012 Tentang Tahapan, Program, dan Jadual
Penyelenggaran Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
PKPU No.3 Tahun 2013 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia
Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
PKPU No. 9 Tahun 2013 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Untuk
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
~ 184 ~
PKPU No.26 Tahun 2013 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara
di TPS Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota.
PKPU No.29 Tahun 2013 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum,
Perolehan Kursi, Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih dalam
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat.
~ 185 ~
DI BALIK LAYAR
PERILAKU TIM PENELITI KPU KABUPATEN LEBAK
Tim Peneliti punya latar
belakang pendidikan yang
beragam.
Ada sarjana
pendidikan dan
ilmu
politik
Wijaya),
sarjana
(Sri
sarjana
Astuti
filsafat
(Ace Sumirsa Ali), sarjana
pendidikan Islam (Apipi),
sarjana agama (Islam) dan
sarjana
Ahmad Saparudin
kebijakan publik
(Ahmad Saparudin), dan
sarjana ilmu komunikasi dan media and political communication
(C.R.
Nurdin).
Semua pernah menulis karya ilmiah, skripsi atau tesis. Jadi, Tim Peneliti
tidak begitu asing dengan istilah-istilah seperti desaign research,
methodology
research,
qualitative
research,
quantitative
research,
paradigm, dan lain-lain.
Mengapa istilah-isitilah yang sebenarnya sudah tidak lagi disentuh sejak
lama itu harus hadir kembali di “Universitas” Komisi Pemilihan Umum?
Itulah yang terjadi ketika KPU Kabupaten/Kota khususnya di Provinsi
Banten “disodori” tugas riset, bahkan dengan tema yang sebenarnya
terasa berat : riset tentang partisipasi pemilih dalam pemilu.
~ 186 ~
Terasa lebih berat lagi ketika membaca bagian D, halaman 3, tentang
metode riset :
ada sumber data, pengolahan data, dan analisis data
interpretasi data.
Simpulan
KPU
Kabupaten
Lebak
khususnya,
sesaat
setelah
mendengarkan
penjelasan KPU Provinsi
Banten, dalam rapat riset
itu,
yang
disampaikan
Bunda Nadia (Hj. Dra.
Enan
Nadia),
KPU
menugasi
KPU
Kabupaten/Kota
melakukan
untuk
penelitian
secara ilmiah, membuat
karya
ilmiah.
Apalagi,
“Universitas” KPU
membangun
ingin
tradisi
C.R. Nurdin
ilmiah
sebelum menyusun kebijakan. Jadi, kebijakan yang berbasiskan hasil
penelitian. Bagus juga, tentu saja, karena KPU merupakan lembaga nonkepentingan politik, dan lebih cenderung sebagai lembaga akademik,
yang menjunjung tinggi objektivitas.
Tim Peneliti merasa, ini pekerjaan serius. Oleh karena “beraroma” dan
“berirama” akademik, tadinya mau di-pihak ketiga-kan saja, digarap oleh
akademisi yang terbiasa melakukan penelitian. Ini boleh dilakukan,
sebagaimana pengarahan KPU Provinsi Banten.
Lebih serius lagi, cobalah telaah
pada nomor 1 sampai 4. Di situ
disebutkan adanya pilihan penelitian kualitatif dan kuantitatif bagi KPU
~ 187 ~
kabupaten/kota, dengan segala konsekuensinya masing-masing. Ada
participant observation, indepth interview, teknik triangulasi, dan lain-lain.
Semua itu riset banget, riset beneran, sedangkan sebelumnya tidak ada
simulasi atau pembekalan penulisan riset oleh KPU.
Hasil rapat internal, baiknya digarap
secara mandiri saja, di samping
KPU Kabupaten Lebak sedang tidak punya kegiatan penyelenggaraan
pilkada, seperti teman-teman di sejumlah KPU kabupaten/kota, juga untuk
bernostalgia ketika susah payah menulis skripsi atau tesis.
Tema penelitian pun dipilih,
yakni perilaku pemilih dari
sekian
tema
yang
disodorkan KPU. Mengapa
perilaku
pemilih?
Terus
terang saja, selain alasan
objektif
karena
perilaku
pemilih
penuh tantangan
untuk
dijelajahi,
pemilih
itu
dan
“eksekutor”
untuk para calon,
juga
alasan subjektifnya karena
perilaku pemilih itu enak
diteliti
dengan
metode
penelitian kualitatif.
Ace Sumirsa Ali
Tim Peneliti segera saja
menangkap “aroma” kualitatif itu dari salah satu baris pertanyaan dalam
konsep riset,
“Sejauh mana pilihan-pilhan itu bersifat rasional?”
Pertanyaan sejauh mana, pastilah kualitatif, bukan pertanyaan “apakah”
yang biasanya khas pertanyaan penelitian kuantitatif. Pertanyaan sejauh
mana, harus dijawab naratif, tidak seperti pertanyaan apakah yang
~ 188 ~
jawabannya singkat dan padat, misalnya, ya atau tidak, atau sangat
setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Tetapi, Tim Peneliti sedikit menyimpang dan menyamping sebetulnya,
karena menyebarkan kuisioner lebih luas, dan itu jadi luas, karena seKabupaten
Lebak.
Alasannya, hanya karena
Tim Peneliti ingin punya
bangunan kata-kata yang
cukup
banyak
sehingga
cukup dan cakep untuk
ditelaah. Itu saja. Mengapa
pula penelitian kualitatif?
Terus terang
saja, tiga
orang dari lima anggota
KPU Kabupaten Lebak itu
berbasiskan
wartawan,
tukang membangun katakata, tukang menyunting,
menggunting,
sekaligus
dan
membanting
Apipi
kata-kata. Basis penelitian
kualitatif itu kata-kata, naskah, hasil wawancara, hasil
observasi, dan
bukan angka-angka seperti penelitian kuantitatif.
Terus terang saja, di antara kami ada yang malas, bahkan “mules” kalau
sudah berurusan dengan angka-angka (kecuali angka THR seperti saat
behind the scenes atau di balik layar ini ditulis).
Wartawan hanya menulis narasi angka, tidak pernah menulis tumpukan
atau deretan angka dalam berita., kecuali jurnalis presisi yang akhir-akhir
dikembangkan sejumlah media amassa cetak yang cukup besar.
~ 189 ~
Tetapi, sebenarnya pula, pekerjaan KPU penuh angka, seperti pemilih,
perolehan suara, dan karena perbedaan angka itu pula kemudian KPU
bisa di-MK-kan.
Oleh karena menyukai kata-kata, maka tepatlah Tim Peneliti mengambil
penelitian kualitatif, lalu ditambah
deskriptif, sehingga jadi kualitatif
deskriptif, karena dikaitkan dengan kebutuhan pemetaan perilaku pemilih
sebagai bahan penyusunan kebijakan sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Bulan Ramadan penuh berkah. Sangat terasa. Kata-kata terasa mengalir
begitu saja. Penulisan penelitian pun selesai, di ujung Ramadan, persis
ketika azan magrib berkumandang, sesaat setelah meriam besar di masjid
alun-alun Rangkasbitung menggelegar.
Hari raya Fitri tiba. Kita begitu berbahagia. Tim Peneliti berbahagian
karena hasil penelitian selesai disusun pada hari dan bulan yang lebih
baik.
Semua orang merasakan kebahagian. Jangan sampai terjadi, tiba-tiba
ada yang menengadahkan tangan di muka pintu, ketika kita membelah
ketupat pertama.
Ya, KPU Kabupaten Lebak sedang “menengadahkan tangan” ketika
kantor yang sudah ditempat lebih dari 10 tahun itu akan djadikan gedung
perpustakaan berlantai tiga, dengan harga miliaran rupiah.
Kelak, di bekas gedung KPU Lebak ini, kita bisa duduk berlama-lama di
perpustakaan, mencari ilmu, menambah wawasan, dan menemukan
pencerahan.
Rupanya, pembangunan gedung perpustakaan ini
untuk
menunjang program Lebak cerdas.
Seperti kata orang, untuk memahami demokrasi, duduklah
beberapa
lama di perpustakaan bersama Plato, tetapi cobalah duduk lebih lama
bersama rakyat dalam bus-bus kota. Rakyat jauh lebih banyak mengajari
kita daripada buku-buku yang kadang sudah berlapiskan debu.
~ 190 ~
KPU Kabupaten Lebak akan
menempati
gedung
baru,
seperti yang – alhamdulillah
–
difasilitasi
Kabupaten
Pemerintah
Lebak.
Ruang
publik alun-alun masih akan
terlihat. Gema azan masjid
masih
Al-A’raf
terdengar.
Dan,
akan
Tim
Peneliti masih punya ketupat
terakhir
pertama
sebelum
kali
melangkah
ke
gedung yang baru, gedung
yang
baru
dipakai
lagi
setelah dikosongkan.
Kita
Sri Astuti Wijaya
saling memahami. Hidup ini
hasil kompromi.
KPU Kabupaten Lebak adalah “produsen” kepala daerah dan wakil kepala
daerah (eksekutif), juga “produsen” para wakil rakyat di DPRD (legislatif),
yang
kedua-duanya
kemudian
berfusi
kekuatan
dan
berfungsi
pemerintahan.
Tetapi, kalau kemudian nasib eksekutif dan legislatif - misalnya - jauh
lebih baik dari KPU Kabupaten Lebak itu sendiri, ini mah nasib. Terima
kasih, Pemerintah Kabupaten Lebak sudah memberi
izin menempati
sebidang tanah, tanpa batas waktu, untuk sebuah kantor KPU yang
permanen! Maka, behind the scene (di balik layar) Tim Peneliti pun
sampai di sini.
~ 191 ~
PEDOMAN
RISET TENTANG PARTISIPASI DALAM PEMILU
A. Pendahuluan
Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen
pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai
suatu substansi pemilu.
Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal
yang
menjadi
perdebatan.
Hasil
riset
memastikan
program dan
kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi
dikonstruksi berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan
proses yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam negara demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting
demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan.
Persoalannya, terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih
yang terus menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Sayangnya, persoalan itu tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi
ruang gelap yang terus menyisakan pertanyaan.
Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya
adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi,
gejala politik uang, misteri derajat melek politik warga, dan langkanya
kesukarelaan politik.
Masalah tersebut perlu didedah sedemikian rupa untuk diketahui akar
masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu
berada pada idealitas yang diimajinasikan.
Oleh karena itu, program riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan
dalam manajemen pemilu.
~ 192 ~
B. Tujuan
1. Umum:
a. Mentradisikan
kebijakan
berbasis
riset
atas
persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan manajemen pemilu.
b. Bahan
penyusunan
memperkuat
kebijakan
untuk
meningkatkan
dan
partisipasi warga dalam pemilu dan setelahnya.
2. Khusus:
a. Menemukan
akar masalah atas
persoalan-persoalan
yang
terkait dengan partisipasi dalam pemilu.
b. Terumuskannya
rekomendasi
kebijakan
atas
permasalahan
yang dihadapi dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilu.
C. Potensi Tema Riset
Terdapat sejumlah persoalan ditemukan dari setiap periode pemilu. Potret
persoalan itu dilihat dalam rentang waktu pemilu-pemilu pada masa
reformasi sampai dengan saat ini. Persoalan-persoalan yang dapat
dijadikan tema potensial untuk diriset menyangkut partisipasi pemilih
diantaranya adalah sebagai berikut:
•
Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voter turn-out)
Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014
bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih
sekitar 10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009.
Sementara itu
pada pemilu 2014, angka partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus
pilpres, tercatat
dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka partisipasinya
lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif. Pertanyaannya, kenapa angka
partisipasi pemilu legislatif naik dibandingkan pemilu sebelumnya?
Kenapa
angka partisipasi Pilpres menyimpang dari pola pada pemilu-
~ 193 ~
pemilu sebelumnya? Selain itu kenapa golput tetap saja hadir dalam
setiap pemilu? Apa penyebabnya?
•
Perilaku memilih (Voting behaviour)
Perilaku memilih adalah terkait dengan keputusan pemilih untuk memilih
kandidat
atau
peserta
pemilu
tertentu.
Kenapa
seorang
pemilih
menjatuhkan pilihannya kepada kandidat atau peserta pemilu tertentu.
Tentu beragam alasan yang dapat dikemukakan oleh setiap pemilih.
Persoalannya adalah, sejauhmana pilihan-pilihan itu bersifat rasional?
Dengan
kata
lain, sejauh mana pilihan politik mereka berdasarkan
pertimbangan rasional menyangkut kandidat atau peserta pemilu itu.
Apakah rekam jejak, program atau janji peseta pemilu menjadi bahan
pertimbangan atau faktor lain. Riset ini penting untuk mengetahui tingat
rasionalitas pemilih dalam pemilu.
•
Politik uang (Money politics/Vote buying)
Politik biaya tinggi menjadi keluhan sebagian peserta pemilu. Salah
satu penyebabnya adalah fenomena politik uang. Peserta pemilu
mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan dukungan pemilih, atau
pemilih aktif meminta imbalan dari dukungan yang diberikannya.
Fenomena ini sudah pasti menjadikan demokrasi kita tidak sehat.
Pertanyaannya,
bagaimana politik uang terjadi? Polanya seperti apa?
Kenapa disebagian tempat terjadi politik uang, disebagian tempat
kebalikannya? Faktor apa yang mempengaruhi? Kebiajakan apa yang
perlu ditempuh untuk mengatasi mengatasi fenomena politik uang?
•
Tingkat melek politik warga (Political literacy)
Terdapat keyakinan bahwa tingkat melek politik warga berpengaruh pada
sikap dan perilaku politik warga negara. Muaranya adalah pada tingkat
kedewasaan perilaku berdemokrasi. Relasi itu bersifat perbandingan lurus,
~ 194 ~
yaitu semakin tinggi tingkat melek politik warga semakin matang perilaku
demokrasinya, dan sebaliknya. Dengan kata lain, wajah demokrasi
sebuah negara sebagian ditentukan oleh tingkat melek politik warga.
Pertanyaannya
adalah seberapa tinggi/dalam melek politik warganegara? bagaimana
melek politik warga selama ini terbentuk? faktor apa saja yang
mempengaruhi terbentuknya melek politik warga? Kebijakan apa saja
yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan melek politik warga?
•
Kesukarelaan Warga dalam politik (Political voluntarism)
Kesukarelaan warga dalam politik berpengaruh luas dalam kehidupan
politik. Absennya kesukarelaan warga dapat merusak sendi-sendi
demokrasi. Dalam jangka pendek, biaya politik mahal menjadi resiko yang
harus ditanggung karena segalanya serba berbayar.
Dalam jangka panjang, korupsi menjadi virus
endemik
yang
pasti
menyerang.
Sebaliknya,
tatanan
demokrasi semakin kuat apabila kesukarelaan
warga tumbuh dan hidup didalam masyarakat. Dari pemilu kepemilu
kesukarelaan warga mengalami pasang surut.
Kesukarelaan warga yang kehadirannya ditandai dengan munculnya
relawan dari berbagai kalangan kuat muncul dalam pemilu 2014.
Pertanyaannya, apa faktor yang mempengaruhi munculnya keskuraleaan
politik warga dan faktor apa yang menghambatnya?
Kebijakan apa saja yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan dan
mmperkuat kesukarelaan warga dalam politik?
Potensial tema riset lain dapat ditambahkan sepanjang berkaitan dengan
partisipasi pemilih dalam pemilu dan dikoordinasikan/disampaikan pilihan
temanya dengan KPU pada struktur di atasnya.
~ 195 ~
D. Metode Riset
Metode riset dapat dipilih antara kuantitatif, kualitatif, atau campuran.
Metode kuantitatif berusaha mencari generalisasi atas masalah yang
diteliti.
Kerangka teori pada
metode kuantitatif dimaksudkan untuk diuji
kebenarannya sehingga hasil akhir dari penelitian adalah diterima atau
ditolaknya sebuah teori/kerangka pemikiran dan dibangunnya kerangka
pemikiran baru atas sebuah permasalahan.
Sementara itu pada metode kualitatif, penelitian dimaksudkan untuk
mencari pemaknaan atau kedalaman atas sebuah permasalahan.
Kerangka teori berfungsi sebagai pisau analisis untuk membantu peneliti
merangkai dan memberi makna atas berbagai fakta yang ditemukan
dalam penelitian.
Pada metode campuran, mengasosiasikan prosedur kerja pada metode
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan data kualitatif
dan sebaliknya untuk dicapai satu analisis yang lebih komprehensif.
Dari berbagai pilihan metode riset tersebut, pilihan metode disesuaikan
dengan kebutuhan dan fisibilitas berbagai hal yang menyangkut riset,
dengan memperhatikan beberapa hal:
1. Sumber data
Sumber data dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer
merupakan data yang diperoleh sendiri melalui wawancara, observasi, tes,
kuesioner, dsb.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua, seperti
buku, dokumentasi, data dari lembaga/institusi, dsb. Sumber data pada
metode
kuantitatif
bersifat
random,
bersifat purposive atau snowball.
~ 196 ~
sedangkan
pada
kualitatif
2. Pengumpulan data
Pada metode kuantitatif teknik pengumpulan data dapat dilakukan
melalui survey, wawancara, FGD, kuesioner, observasi, dsb. Pada metode
kualitatif melalui
participant
observation,
in
depth
interview,
dokumentasi, maupun teknik triangulasi.
3. Pengolahan dataBagaimana data diklasifikasikan atau dikumpulkan
untuk kebutuhan membangun argumen, serta pemilahan data menurut
relevansinya.
4. Analisis/Interpretasi data
Analisis data disesuaikan dengan pilihan metode riset yang digunakan.
Pada metode kuantitatif, analisis dilakukan dengan menggunakan statistic
sedangkan pada kualitatif
menginterpretasikan pola,
model, atau pun
teori yang digunakan.
E. Hasil
Secara umum, topik riset menghasilkan keluaran (out put) dalam bentuk
(1) Laporan Hasil Riset, dan (2) Publikasi buku hasil riset.
Secara khusus hasil akhir dari riset ini adalah dipetakannya akar
persoalan atau peta masalah serta adanya rekomendasi atas persoalan
dari setiap topik riset.
Semua hasil akhir riset tersebut dibuat dalam bentuk hard file dan soft file
baik format word maupun pdf, kemudian dikirimkan ke KPU, melalui
alamat email : [email protected]
E. Pelaksanaan dan Pengorganisasian
Riset dapat dilaksanakan dengan cara swa-kelola atau dengan melibatkan
pihak ketiga, baik perorangan/tim/lembaga yang mempunyai pengalaman
pekerjaan
dalam
bidang
riset.
KPU,
~ 197 ~
KPU
Provinsi,
dan
KPU
Kabupaten/Kota bertanggungjawab memastikan pelaksanaan riset dan
hasilnya berjalan dengan baik. Berkaitan dengan itu maka setiap jenjang
KPU dilakukan pembagian tugas sebagai berikut ini :
Tabel 1
Pengorganisasian di KPU
PELAKSANA
TUGAS
1
Melaksanakan riset nasional
Melaksanakan
KPU
supervisi
pelaksanaan
riset
2
KPU/KIP/Kab/Kota
3
Publikasi hasil riset di website KPU
4
Menyusun buiku hasil riset
1
Membagi tema riset untuk setiap KPU/KIP
Kab/Kota
Mengkoordinasikan dan mengumpulkan laporan
KPU PROVINSI
2
pelaksanaan riset di KPU/KIP Kab/Kota dalam
lingkup provinsi
Melaporkan rekap pelaksanaan kegiatan riset di
3
KPU/KIP Kab/Kota kepada KPU
Melakukan
KPU/KIP
dengan
dengan
1
Provinsi/KIP Aceh terkait dengan tema riset
2
Melaksanakan riset tingkat kab/kota
KPU KAB/KOTA

koordnasi
Menyampaikan
laporan
pelaksanaan
KPU
riset
3
kepada KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU
4
Publikasil hasil riset di website KPU Kab/Kota
Kabupaten/Kota
dapat
~ 198 ~
menyampaikan
laporan
pelaksanaan
riset
kepada
KPU
melalui
alamat
email
[email protected]
F.
Waktu Pelaksanaan
Kegiatan riset pemilu di KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan pada
rentang waktu antara April s.d. Juli 2015.
Tabel 2
Waktu Pelaksanaan
No.
Agenda
KPU
KPU Kab/Kota
1.
Persiapan dan
pelaksanaan riset
Maret s.d. Juli 2015
April s.d. Juli 2015
Publikasi riset
Agustus s.d.
Agustus s.d.
November 2015
November 2015
2.
G. Biaya
Alokasi anggaran untuk melaksanakan kegiatan riset pemilu tertampung
dalam anggaran riset pada DIPA Sekretariat Jenderal KPU untuk riset
yang
dilaksanakan
Kabupaten/Kota
oleh
untuk
KPU
riset
dan
yang
DIPA
Sekretariat
dilaksanakan
oleh
KPU/KIP
KPU/KIP
Kabupaten/Kota, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Riset yang dilaksanakan KPU menggunakan alokasi anggaran
Pusat Pendidikan Pemilih, “Riset dan Pemetaan Tingkat Partisipasi
Masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada”,
Lainnya,
seperti
tertuang
akun Belanja Jasa
dalam
MAK
3364.032.001.011.522191, pada DIPA Sekretariat Jenderal KPU
Tahun 2015.
b. Riset yang dilaksanakan KPU/KIP Kabupaten/Kota menggunakan
alokasi anggaran Pendidikan Pemilih, “Riset dan Pemetaan Tingkat
Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu”, akun Belanja Jasa Lainnya,
seperti tertuang dalam MAK 3364.003.012.522191 pada DIPA
~ 199 ~
:
Sekretariat KPU/KIP Kabupaten/Kota Tahun 2015
c. Riset dapat dilaksanakan dengan cara swa-kelola atau dengan
melibatkan
pihak
ketiga,
baik
perorangan/tim/lembaga
yang
mempunyai pengalaman pekerjaan dalam bidang riset.
H. Penutup
Riset
terkait
partisipasi
masyarakat
ini
diharapkan
dapat
memberikan kontribusi positif dalam menyelesaikan berbagai
persoalan terkait dengan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu
pelaksanaan riset diharapkan dapat terlaksana dengan baik.
~ 200 ~
JADWAL
PENELITIAN PERILAKU
PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK
Waktu Penelitian
Kegiatan
Mei
I
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
II
III
Juni
IV
I
Konsultasi dan
rapat
Studi pustaka
Penyusunan desain
penelitian
Studi lapangan
(observasi,
wawancara,
kuisioner)
Pengumpulan dan
pengorganisasian
data penelitian
Pengolahan data
penelitian
Penulisan hasil
penelitian
Presentasi di KPU
Lebak
Penyerahan hasil
riset ke KPU
Provinsi
Banten/KPU
~ 201 ~
II
III
Juli
IV
I
II
III
IV
PROSEDUR
PENELITIAN PERILAKU
PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK
Metode
Teknik
Pengumpulan
Instrumen
Analisis
Unit Analisis
Data
 Daftar
wawancara
tidak
Wawancara
langsung
berstruktur
 Daftar
wawancara
tertulis
Kualitatif
Kuisioner
Daftar wawancara
berstruktur
Dokumentasi
dan
perpustakaan
 Kartu kutipan
 kartu ulasan
~ 202 ~
 Analisis
kualitatif
dengan
pendekatan
teori
konstruksi
realitas
secara
sosial Peter
Ludwig
Berger dan
Thomas
Luckmann.
 Tiga proses
pengambilan
simpulan :
reduksi data,
display data,
dan
penarikan
simpulan.
Perilaku
pemilih pada
pemilu tahun
2014 di enam
daerah
pemilihan seKabupaten
Lebak
DAFTAR
KUISIONER PENELITIAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK
Kuisioner
Penelitian Perilaku Pemilih pada Pemilihan Umum Tahun 2014
di Kabupaten Lebak
Petunjuk Pengisian
1. Bacalah setiap nomor dengan baik agar tidak salah mengisi!
2. Tandailah dengan (X) pada huruf yang sesuai dengan hati
nurani sendiri!
3. Hasil kuisioner ini hanya akan digunakan untuk kepentingan
riset KPU Kabupaten Lebak tahun 2015
(Surat KPU, 08 April 2015, No. 155/KPU/IV/2015)
4. Jangan menulis nama atau identitas lain!
5. Terima kasih atas partisipasi Anda!
I.
Profil Responden
1. Usia :
a. 17 sampai 25 tahun
b. 26 sampai 35 tahun
c. 36 sampai 45 tahun
d. 46 sampai 55 tahun
e. 56 sampai 65 tahun
f.
Di atas
65 tahun
2. Jenis kelamin :
a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Pekerjaan :
~ 203 ~
a. PNS
b. Pegawai swasta
c. Pedagang
d. Petani
e. Wiraswasata
f.
Tenaga profesional
g. Pensiunan
4. Pendidikan :
a. SD/sederajat
b. SMP/sederajat
c. SMA/sederajat
d. D-i
e. D-II
f.
D-III
g. D-IV
h. S-1
i.
S-2
j.
S-3
5. Penghasilan setiap bulan :
a. Di bawah Rp 1.000.000,00
b. Rp1.000.001,00 sampai Rp5.000.000,00
c. Rp5.000.001,00 sampai %p7.500.000,00
d. Rp7.500.001,00 sampai Rp10.000.000,00
e. Rp10.000.001,00 ke atas
I.
Pengetahuan Responden tentang Pemilu
1. Pemilu pertama Indonesia :
a. Tahun 1955
b. Tahun 1977
c. Tahun 200
2. WNI yang punya hak pilih :
a. Usia 17 tahun atau sudah/pernah kawin
b. Minimal berusia 17 tahun
~ 204 ~
c. Sudah/pernah kawin dengan usia minimal 17 tahun
3. Tempat penggunaan hak piliih di :
a. Tempat Pemungutan Suara (TPS)
b. Panitia Pemungutan Suara (PPS)
c. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK
4. Penggunaan hak pilih dilakukan secara :
a. Bebas dan rahasia
b. Bebas dan adil
c. Bebas dan jujur kepada calon
5. Partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan :
a. Calon presiden
b. Calon wakil presiden
c. Calon presiden dan wakil presiden
6. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilakukan setiap :
a. Lima tahun sekali
b. Lima tahun sekali atas usulan MPR
c. Lima tahun sekali atas usulan MPR dan Mahkamah Konstitusi
7. Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah wakil dari :
a. Kabupaten dan kota dalam sebuahprovinsi
b. Provinsi
c. Provinsi dengan jumlah maksimal 4 orang
8. Wakil rakyat di DPR disebut pula :
a. Anggota legislatif
b. Anggota legislator
c. Anggota Dewan Perwakilan Daerah
9. Pemilihan kepala daerah bisa berarti :
a. Pemilihan gubernur/wakil gubernur
b. Pemilihan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota
c. a dan b
10. KTP boleh digunakan pemilih berdasarkan keputusan:
a. Mahkamah Agung
b. Komisi Pemilihan Umum
c. Mahkamah Konstitusi
~ 205 ~
II. Pertanyaan Penelitian
1.
Memilih karena program atau ideologi parpol termasuk :
a.
Pemilih tradisional
b.
Pemilih rasional
c.
Pemilih emosional
2. Money politics adalah :
3.
a.
Politik uang
b.
Uang politik
c.
Uang politik untuk biaya kampanye
Seharusnya, kita menggunakan hak pilih karena :
a. Sadar, ingin jadi WNI yang baik
b. Janji-janji pemberian materi dari calon
c. Sekadar partisipasi politik saja
4.
Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih dikategorikan :
d. Pidana
e. Perdata
f.
5.
Pidana pemilih
Daftar penduduk dikerjakan oleh :
d. Pemerintah
e. KPU
f.
6.
7.
Pemerintah dan KPU
Isi kampanye dalam bentuk rapat umum, antara lain, :
a.
Menyampaikan visi dan misi
b.
Menyampaikan janji-janji materi agar calon terpilih
c.
Memantapkan visi, misi, dan janji imbalan materi
Mengubah pilihan karena money politic itu, hakikatnya termasuk:
a. Hadiah
b. Penghargaan atas kerja sama politik
c. Suap
8. Ajaran Islam menyebut suap (termasuk dalam pemilu) sebagai :
a. Azab
b. Laknat
c. Siksa
~ 206 ~
9.
Dalam ajaran Islam, memilih pemimpin termasuk ibadah :
a. Maka, pantas membaca bismillah sebelum mencoblos
b. Maka, pantas membaca istighfar sebelum mencoblos
c. Maka, pantas membaca hamdalah sebelum mencoblos
10.
Rekam jejak calon yang terpuji dan punya kemampuan:
a. Pantas dipilih
b. Pantas dipilih dengan syarat lulusan perguruan tinggi
c. Pantas dipilih dengan syarat santun berpolitik
~ 207 ~
DAFTAR WAWANCARA
PENELITIAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK
Daftar Wawancara Berstuktur
Penelitian Perilaku Pemilih pada Pemilu Tahun 2014
di Kabupaten Lebak
1. Sudah berapa kali Anda mengikuti pemilu sampai tahun 2014
kemarin (termasuk pemilukada/pilkada)?
a. Satu kali
b. Dua kali
c. TIga kali
d. Empat kali
e. Lima kali
f. Enam kali
g. Tujuh kali
h. Delapan kali
i.
Lebih dari delapan kali
2. Apakah Anda (selalu) menggunakan hak pilih pada pemilu itu?
a. Ya
b. Tidak
3. Pada setiap pemilu, Anda selalu mengajak menggunakan hak pilih
kepada teman dekat/anggota keluarga yang lain?
a. Ya
b. Tidak
~ 208 ~
4. Apakah Anda mengajak anggota keluarga untuk memilih calon
tertentu, seperti halnya pilihan Anda?
a. Ya
b. Tidak
5. Bagi Anda, di lingkungan internal keluarga, apakah pilihan
calon itu rahasia, atau terbuka saja sehingga sesama anggota
keluarga saling mengetahui pilihan masing-masing?
a. Rahasia, meski di lingkungan keluarga
b. Tidak jadi rahasia, karena di lingkungan keluarga
6. Apakah Anda memberitahukan pilihan Anda kepada orang lain
setelah menggunakan hak pilih di TPS?
a. Ya
b. Tidak
7. Apa yang mendorong Anda menggunakan hak pilih?
a. Karena sudah diberi barang/uang oleh calon/tim calon
b. Calonnya, orang dekat/kerabat/atasan saya
c. Calon yang saya pilih dinilai pantas jadi wakil/pemimpin
d. Semata-mata keinginan saya, tanpa pengaruh dari luar
e. Karena visi, misi, dan program kerjanya
8. Kapan Anda menentukan pilihan calon?
a. Mendadak di TPS
b. Menentukan pilihan pada masa tenang
c. Menentukan pilihan pada masa kampanye
d. Menentukan pilihan sejak pengumuman calon
9. Perubahan pilihan terhadap calon bisa terjadi karena:
a. Kampanye para calon
~ 209 ~
b. Politik uang
c. Masukan dari teman/kerabat/kolega di tempat pekerjaan
d. Sering didatangi langsung oleh calon
e. Pemberitaan di media massa (cetak dan elektronik)
f. Bahwa a, b, c, d, dan e tidak akan mengubah piliihan
10. Berita di media massa (cetak dan elektonik), berkaitan dengan
pilihan calon:
a. Sangat berpengaruh untuk menentukan pilihan
b. Berpengaruh untuk menentukan pilihan
c. Tidak berpengaruh untuk menentukan pilihan
d. Sangat tidak berpengaruh untuk menentukan pilihan
11. Calon yang menjanjikan perbaikan pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan kepada khalayak dalam kampanye-nya:
a. Sangat pantas dipilih
b. Pantas dipilih
c. Tidak pantas dipilih
d. Sangat tidak pantas dipilih
Catatan peneliti dan temuan lapangan
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
~ 210 ~
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………
………………………………………….2015
Peneliti
…..………………………..………………...
~ 211 ~
JUMLAH PENDUDUK, DAERAH PEMILIHAN, DAN ALOKASI KURSI
PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KABUPATEN LEBAK
Dapil
I
II
Kecamatan
2012
10
12
9
8
9
8
8
8
6
6
2009
2012
Rangkasbitung
Rangkasbitung
108,875
112,594
CIbadak
CIbadak
51,758
53,970
48,515
28,757
237,905
48,511
28,900
243,975
Warunggunung
Warunggunung
Kalanganyar
Kalanganyar
Jumlah
Maja
Maja
46,502
45,042
Curugbitung
Curugbitung
32,181
25,615
Sajira
Sajira
50,533
42,436
47,532
19,542
196,290
42,374
14,286
169,753
Muncang
32,537
26,469
Cipanas
Cipanas
Lebakgedong
Lebakgedong
Jumlah
Sobang
Sobang
28,309
21,298
Cimarga
Leuwidamar
Bojongmanik
Cimarga
Leuwidamar
Bojongmanik
58,068
45,649
20,896
51,137
44,162
16,328
Cirinten
Cirinten
23,897
18,428
209,356
177,822
Cihara
Cihara
28,073
22,654
Panggarangan
Panggarangan
33,719
31,539
Bayah
Bayah
36,790
38,756
Cibeber
Cibeber
52,535
45,357
Cilograng
Cilograng
33,885
27,123
Jumlah
V
2009
2012
Jumlah
IV
Jumlah Kursi
2009
Muncang
III
Jumlah Penduduk
185,002
165,429
Cijaku
Cijaku
30,138
21,521
Cigemblong
Cigemblong
20,810
15,686
Malingping
Malingping
59,555
55,552
Wanasalam
Wanasalam
49,299
42,104
159,802
134,863
34,621
28,445
Jumlah
Gunungkencana
Gunungkencana
~ 212 ~
VI
Banjarsari
Banjarsari
63,896
47,504
Cileles
Cileles
44,677
41,582
Cikulur
Cikulur
46,582
41,218
28
189,776
1.178.131
158,749
1.050.591
Jumlah
Jumlah
28
Rangkasbitung, 01 Agustus 2014
Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Lebak
~ 213 ~
8
8
50
50
REKAPITULASI DAFTAR PEMILIH TETAP (A.6 KABUPATEN/KOTA)
PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD TAHUN 2014
DI KABUPATEN LEBAK
Jumlah Pemilih
No.
Kecamatan
Jumlah Desa/Kelurahan
Jumlah TPS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Banjarsari
Bayah
Bojongmanik
Cibadak
CIbeber
Cigemblong
Cihara
Cijaku
Cikulur
CIleles
Cilograng
Cimarga
Cipanas
Cirinten
Curugbitung
Gunungkencana
Kalanganyar
Lebakgedong
Leuwidamar
Maja
Malingping
Muncang
Panggaranagan
Rangkasbitung
Sajira
Sobang
Wanasalam
Warunggunung
20
11
9
15
22
9
9
10
13
12
10
17
14
10
10
12
7
6
12
14
14
12
11
16
15
10
13
12
100
75
40
94
107
45
53
53
77
84
68
136
78
45
50
59
50
33
96
81
103
63
75
205
82
53
93
87
Laki-laki
22.052
15.634
8.240
21.699
20.998
8.217
11.657
10.401
18.093
18.432
12.421
23.081
17.207
9.662
11.960
13.009
11.536
7.466
19.513
18.816
22.984
11.894
13.860
43.943
17.608
10.826
18.905
20.134
Perempuan
21.198
15.256
7.945
20.530
20.055
7.785
11.044
9.788
17.115
17.682
11.626
21.733
16.814
9.194
11.103
12.440
10.667
7.122
18.568
17.874
22.528
11.482
13.394
42.279
17.322
10.503
18.310
18.877
L + P
43.250
30.890
16.185
42.229
41.053
16.002
22.701
20.189
35.208
36.114
24.047
44.814
34.021
18.856
23.063
25.449
22.203
14.588
38.081
36.690
45.511
23.376
27.254
86.222
34.930
21.329
37.215
39.011
345
2.185
460.247
440.234
900.481
Jumlah
Rangkasbitung, 01 Agustus 2014
Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Lebak
~ 214 ~
CALON TERPILIH
ANGGOTA DPRD KABUPATEN LEBAK
HASIL PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD TAHUN 2014
No.
01.
02.
03.
04.
05.
06.
01.
02.
03.
04.
05.
01.
02.
03.
04.
05.
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
01.
02.
03
04.
Nama
Nomor Urut
Caleg
Dapil
Suara
Parpol dan
Caleg
Partai Nasional Demokrat
Dra. Lita Mulyati, M.M.
4
Lebak 1
H. Yanto
1
Lebak 2
H. Abay Zaenudin, M.Si.
2
Lebak 2
Dulmuin
4
Lebak 4
Iwan Kurniawan
5
Lebak 5
Moh. Arif
1
Lebak 6
Partai Kebangkitan Bangsa
Drs. Mochamad Husen, M.H.
1
Lebak 1
Drs. Basyirun
1
Lebak 2
H. Dana Ukon
6
Lebak 3
Agus Suhendra
1
Lebak 4
Acep Dimyati
1
Lebak 6
Partai Keadilan Sejahtera
Dian Wahyudi
1
Lebak 1
Hj. Esih Sukaesih, S.E.
2
Lebak 3
Drs. Iip Makmur
1
Lebak 4
Agus Hermawan, S.E.
1
Lebak 5
Yayan Ridwan
1
Lebak 6
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Juwita Wulandari
4
Lebak 1
Supriyadi
5
Lebak 1
Suherman
4
Lebak 2
Junaedi Ibnu Jarta
2
Lebak 3
H. Aminudin
5
Lebak 3
H. Ace Atmawijaya
2
Lebak 4
Hj. Saomi Nursiawati
6
Lebak 4
Aan Suranto
1
Lebak 5
Hj. Emuy Mulyanah
4
Lebak 6
Enjun Ombi Lomri
5
Lebak 6
Partai Golongan Karya
H. Mas Yogi Rochmat A
1
Lebak 1
H. Suprani
2
Lebak 1
H. Djamaludin, S.Ag.
4
Lebak 2
Nana Sumarna, S.H.
1
Lebak 3
~ 215 ~
Caleg
9.154
18.359
18.359
8.885
6.209
5.243
1.821
9.610
3.052
3.714
1.331
2.096
12.537
12.726
10.535
9.245
8.203
2.792
4.063
2.421
3.979
3.398
10.323
9.480
21.441
8.703
11.318
1.887
3.096
6.744
3.706
4.083
22.067
22.067
18.082
22.419
22.419
22.036
22.036
11.829
23.868
23.868
3.343
3.401
6.147
7.628
3.234
6.259
5.820
2.983
4.635
4.568
17.212
17.212
11.418
17.802
2.536
5.709
2.572
4.073
05.
06.
07.
08.
01.
02.
03.
04.
01.
02.
03.
04.
05.
06.
01.
01.
02.
03.
04.
01.
-
Rully Sugiharto Wibowo, S.Pd.
1
Lebak 4
Pipit Candra, A.Md.
2
Lebak 4
Saleh
1
Lebak 5
Iyang, S.P.
1
Lebak 6
Partai Gerakan Indonesia Raya
Zaenal Faozi
1
Lebak 1
H. Oong Sahroni
1
Lebak 2
Bangbang, S.P.
1
Lebak 3
H. Uat Haryanto
1
Lebak 5
Partai Demokrat
Ucuy Mashuri
1
Lebak 1
H. Ali Murtado
2
Lebak 2
Mahpudin
1
Lebak 3
Ari Pramudya
8
Lebak 4
Madsoni, S.E.
1
Lebak 5
Ucu Suherman Haris, M.Si.
2
Lebak 6
Partai Amanat Nasional
Jarnuji Manaf, S.Pd., M.Si
1
Lebak 1
Partai Persatuan Pembangunan
Maman Sudirman, S.Sos.
1
Lebak 1
Ridwan Imamul Huda, S.T.
1
Lebak 2
Neng Siti Julaeha, M.Pd.
1
Lebak 3
Djudju Yumiarsih, S.E.
1
Lebak 6
Partai Hati Nurani Rakyat
H. Eddy Supadrijono, M.Si.
7
Lebak 1
50
-
Rangkasbitung, 01 Agustus 2014
Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Lebak
~ 216 ~
26.510
26.510
12.208
12.596
7.139
5.039
4.377
4.576
11.210
7.405
12.753
17.926
3.124
3.459
4.619
5.742
13.489
10.649
21.048
9.426
10.180
12.571
2.110
3.619
6.970
2.470
5.739
3.333
5.374
1.054
10.033
8.617
8.133
6.687
4.935
2.811
3.506
3.027
11.134
-
1.950
-
PROFIL RESPONDEN
DI ENAM DAERAH PEMILIHAN SEKABUPATEN LEBAK
1. Kategori Usia Responden
Usia
17 – 25
26 – 35
36 – 45
46 – 55
56 – 65
< 65
Jumlah
Frekuensi
40
52
26
25
4
3
150
Frekuensi Relatif
40/150
52/150
26/150
25/150
4/150
3/150
150/150
Perseratus
27%
34%
17%
16%
3%
2%
100%
Sumber : Pertanyaan nomor 1
2. Kategori Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Frekuensi
92
58
150
Frekuensi Relatif
Perseratus
92/150
61%
58/159
39%
150/150
100%
Sumber : Pertanyaan nomor 2
3. Kategori Pekerjaan Reponden
Pekerjaan
PNS
Swasta
Pedagang
Petani
Wiraswasta
Profesional
Pensiunan
Jumlah
Frekuensi
40
42
8
10
30
13
7
150
frekuensi Relatif
Perseratus
40/150
26%
42/150
28%
8/150
5%
10/150
7%
30/150
20%
13/150
9%
7/150
5%
150/150
100%
Sumber : Pertanyaan nomor 3
4. Kategori Pendidikan Responden
Pendidikan
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
SD/sederajat
SMP/sederajat
SMA/sederajat
D-I
D-II
D-III
8
21
57
1
2
14
8/150
21/150
57/150
1/150
2/150
14/150
5%
14%
38%
1%
1%
9%
~ 217 ~
D-IV
S-1
S-2
S-3
Jumlah
5.
0
42
4
1
150
0/150
0%
42/150
28%
4/150
3%
1/150
1%
150/150
100%
Sumber : Pertanyaan nomor 4
Kategori Penghasilan Responden
Penghasilan
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
01.
69
69/150
46%
02.
35
35/150
23%
03.
21
21/150
14%
04.
15
15/150
10%
05.
10
10/150
7%
Jumlah
150
150/150
100%
Sumber : Pertanyaan nomor 5
~ 218 ~
PENGETAHUAN
REPONDEN TENTANG PEMILIHAN UMUM
Frekuensi Relatif
Perseratus
78
24
48
78/150
24/150
48/150
52%
16%
32%
150
150/150
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
98
24
28
150
98/150
24/150
28/150
150/150
65%
16%
19%
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
147
1
2
147/150
1/150
2/150
98%
1%
1%
Jumlah
150
150/150
100%
Jawaban
a
b
c
127
04.
12
11
Jumlah
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
127
12
11
150
127/150
12/150
11/150
150/150
85%
8%
7%
100%
A
78
-
01.
Jawaban
b
C
24
48
Frekuensi
Jumlah
Jawaban
A
b
98
02.
24
Jumlah
c
28
Jawaban
a
b
147
1
-
03.
A
22
-
05.
c
2
Jawaban
b
c
5
123
Jumlah
06.
Frekuensi
22
5
123
150
Jawaban
A
b
136
7
Jumlah
A
87
-
c
7
Jawaban
b
c
36
-
Frekuensi Relatif
Perseratus
22/150
5/150
123/150
15%
3%
82%
150/150
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
136
7
7
150
136/150
7/150
7/150
150‟150
90%
5%
5%
100%
Frekuensi Relatif
Perseratus
87/150
36/150
58%
24%
Frekuensi
87
36
~ 219 ~
07.
-
-
27
Jumlah
08.
Jawaban
A
b
132
6
Jumlah
A
09.
c
12
Jawaban
b
c
27/150
18%
150
150/150
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
132
6
12
150
132/150
6/150
12/150
150‟150
88%
4%
8%
100%
Frekuensi Relatif
Perseratus
Frekuensi
13
-
-
13
13/150
9%
-
36
-
36
36/150
24%
-
-
101
101
101/150
67%
150
150/150
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
Jumlah
Jawaban
10.
27
A
b
c
23
-
-
23
23/150
15%
-
85
-
85
85/150
57%
-
-
42
42
42/150
28%
150
150/150
100%
Jumlah
Sumber : Dokumen hasil tes pengetahuan, nomor 1 sampai 10
~ 220 ~
JAWABAN
RESPONDEN ATAS PERTANYAAN PENELITIAN
TENTANG PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN LEBAK
No.
01.
Jawaban
Perseratus
B
c
35
-
-
35
35/150
23%
-
99
-
99
99/150
66%
-
-
16
16
16/150
11%
150
150/150
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
Jawaban
A
B
c
121
-
-
121
121/150
81%
-
12
-
12
12/150
8%
-
-
17
17
17/150
11%
150
150/150
100%
Jumlah
Jawaban
03.
Frekuensi Relatif
A
Jumlah
02.
Frekuensi
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
A
B
c
125
-
-
125
125/150
83%
-
13
-
13
13/150
9%
-
-
13
13
13/150
9%
150
150/150
100%
Jumlah
Jawaban
04.
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
A
B
c
74
-
-
74
74/150
49%
-
36
-
36
36/150
24%
-
-
40
40
40/150
27%
150
150/150
100%
Frekuensi Relatif
Perseratus
Jumlah
Frekuensi
Jawaban
A
B
c
~ 221 ~
74
-
-
74
74/150
49%
-
33
-
33
33/150
22%
-
-
43
43
43/150
29%
150
150/150
100%
05.
Jumlah
Jawaban
06.
A
b
c
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
111
-
-
111
111/150
74%
-
23
-
23
23/150
15%
-
-
16
16
16/150
11%
150
150/150
100%
Jumlah
Jawaban
07.
A
b
c
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
16
-
-
16
16/150
11%
-
25
-
25
25/150
17%
-
-
109
109
109/150
72%
150
150/150
100%
Jumlah
Jawaban
08.
A
B
c
Frekuensi
12
-
-
12
12/150
8%
-
132
-
132
132/150
88%
-
-
6
6
6/150
4%
150
150/150
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
Jumlah
Jawaban
09.
Frekuensi Relatif
Perseratus
a
b
c
123
-
-
123
123/150
82%
-
23
-
23
23/150
15%
-
-
4
4
4/150
3%
150
150/150
100%
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Perseratus
Jumlah
Jawaban
~ 222 ~
10.
a
b
c
92
-
-
92
92/150
61%
-
18
-
18
18/150
12%
-
-
40
40
40/150
27%
150
150/150
100%
Jumlah
Sumber : Dokumen jawaban pertanyaan penelitian, nomor 1 sampai 10
~ 223 ~
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN
PADA PEMILU TAHUN 2014
I.
Mukadimah
KPU Kabupaten Lebak sedang melakukan penelitian perilaku pemilih
di enam daerah pemilihan yang mencakup 28 kecamatan. Metode
penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan “pisau”
analisis teori konstruksi realitas secara sosial
Berger dan Thomas Luckmann.
model Peter Ludwig
Judul penelitiannya, Konstruksi
Realitas Perilaku Pemilih Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten
Lebak.
Sumber sekunder dan primer terdiri dari penyebaran kuisioner,
wawancara mendalam, pengamatan, dan diperkaya oleh
hasil
wawancara dengan pejabat, akademisi, dan praktisi.
Demi dan untuk memerkaya hasil penelitian, KPU Kabupaten Lebak
memohon dengan hormat para narasumber meluangkan waktu untuk
menjawab beberapa pertanyaan penelitian.
II. Narasumber Wawancara
1. Bupati Lebak Hj. Iti Octavia jayabaya, S.E., M.M.
2. Ketua DPRD Lebak Junaedi Ibnu Jarta
3. Ketua MUI Kabupaten Lebak K.H. Syatibi Hambali
4. Analis politik, H. Agus Sutisna, S.I.P., M.Si.
~ 224 ~
III. Keluaran Hasil Wawancara
1. Hasil wawancara jadi salah satu rujukan penyusunan hasil
penelitian.
2. Hasil wawancara untuk membantu menjelaskan hasil penelitian
3. Jadi bahan Tim Peneliti untuk menginterpretasikan data.
4. KPU Kabupaten Lebak akan menyerahkan hasil penelitian ke KPU
sebagai bahan penyusunan kebijakan yang berbasiskan hasil
penelitian.
IV. Pertanyaan Wawancara
Untuk kepentingan tersebut
mengajukan
beberapa
di atas,
pertanyaan
KPU Kabupaten Lebak
wawancara
langsung,
sebagaimana terlampir.
V. Penutup
KPU Kabupaten Lebak mengucapkan terima kasih atas perhatian dan
partisipasi para narasumber.
Rangkasbitung, 29 Juni 2015 M/12 Ramadan 1436 H
KPU Kabupaten Lebak
Ketua
Ahmad Saparudin, S.Ag., M.Si
~ 225 ~
DAFTAR
PERTANYAAN WAWANCARA PENELITIAN PERILAKU PEMILIH
PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014
DI KABUPATEN LEBAK
I.
Pertanyaan Wawancara untuk Ibu Bupati Lebak
1. Pemilihan umum secara elektronik (e-voting) diwacanakan lagi,
antara lain, karena akan menghemat biaya yang cukup signifikan,
tanpa harus mengurangi substansi demokrasi pemilihan langsung.
Pandangan Ibu Bupati tentang e-voting pada pemilu ke depan?
2. KPU Kabupaten Lebak sangat berkepentingan mencermati jumlah
penduduk, antara lain,
karena
data pemilih diambil dari data
penduduk melalui prosesi pemutakhiran data dan daftar pemilih.
KPU Kabupaten Lebak pun mengukur rasionalitas jumlah pendduk
dan jumlah pemilih. Pertanyaannya, bagaimana prosesi pencatatan
penduduk
di Kabupaten Lebak
untuk menghasilkan data
penduduk yang lebih akurat sehingga bisa menghasilkan data dan
daftar pemilih yang lebih tepat?
3. Kartu tanda penduduk (KTP), antara lain, bisa
untuk menggunakan hak pilih
pula digunakan
Sejauh ini, bagaimana capaian
kepemilikan KTP di Kabupaten Lebak dan usaha Pemerinatah
Kabupaten Lebak agar warga betul-betul sangat membutuhkan
KTP?
II. Pertanyaan Wawancara untuk Bapak Ketua DPRD Lebak
1. Sejauh mana kampanye
dan hasil survai perolehan suara
memengaruhi pemilih di Kabupaten Lebak?
2. Sebagai politisi yang menyaksikan langsung masyarakat pemilih
dari dekat, adakah perbedaan karakteristik pemilih di lingkungan
masyarakat kota dan masyarakat desa?
~ 226 ~
3. Bagaimana umumnya para anggota DPRD Kabupaten Lebak
terpilih memelihara hubungan baik dengan pemilih di daerah
pemilihan masing-masing?
4. Hasil wawancara di lapangan oleh Tim Peneliti, di samping ada
masyarakat yang puas atas calon yang mereka pilih sebelumnya,
juga tak sedikit yang merasa kecewa karena kemudian merasa
ditinggalkan. Komentar Bapak Ketua DPRD Kabupaten Lebak
untuk kedua realitas itu, juga dampaknya kemudian terhadap
penggunaan hak pilih?
III. Pertanyaan Wawancara untuk Ketua MUI Lebak K.H. Syatibi
Hambali
1. Memilih pemimpin seperti presiden, gubernur atau bupati, juga
wakil rakyat di parlemen, bagaimana dalam pandangan Islam jika
dikaitkan dengan caranya yang langsung oleh rakyat?
2. Adakah peluang ijtihad bagi masyarakat pemilih untuk memastikan
pilihannya di tempat pemungutan suara?
3. Apakah. kharisma kiai sedemikian kuat di lingkungan pesantren
khususnya
sehingga kalangan santri
akan mengikuti arahan
kiainya itu ketika mereka menggunakan hak pilihnya?
4. Dalam pandangan ajaran Islam, harus seperti apa idealnya seorang
pemilih yang cerdas dan sekaligus seorang
calon yang
berkualitas?
IV. Pertanyaan Wawancara untuk Analis Politik dan Perubahan
Sosial, H. Agus Sutisna, S.I.P., M.Si.
1. Anda bisa jelaskan secara umum perbandingan psikologi pemilih
pada zaman Orde Baru dan zaman Reformasi sekarang ini,
termasuk secara spesifik di Kabupaten Lebak?
2. Dewan Pers melaporkan, dalam Covering Election 2014, “Bahwa
berkurangnya belanja iklan ruang media, karena para caleg lebih
~ 227 ~
memilih „membelanjakan‟ uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli
suara para pemilih di level
kelurahan atau menyuap panitia
pemilihan di KPUD”. Laporan Dewan Pers yang berbasiskan liputan
media
itu seperti mengingatkan bahwa ada “penjual” suara
(pemilih) dan “pembeli” suara (caleg) dalam pemilu. Kami ingin
Anda mengomentari laporan Dewan Pers itu, lalu dikaitkan dengan
perilaku pemilih dan perilaku caleg
di Kabupaten Lebak
khususnya.
3. Tipologi pemilih di Kabupaten Lebak pada pemilu 2014 lalu, seperti
yang Anda saksikan, atau hasil pengamatan Anda sebagai analis
politik dan perubahan sosial, seperti apa?
4. Kelompok masyarakat tradisional di Kabupaten Lebak, selalu saja
patuh kepada pemuka adat (puun atau olot), termasuk dalam
penggunaan hak pilih pada setiap pemilu. Partisipasi pemilih cukup
tinggi, tetapi perolehan suara selalu “dikuasai” para caleg yang
direstui para pemuka adat itu. Pertanyaannya, apakah itu masalah
bagi demokrasi, atau malah justru sebagai kearifan lokal?
Rangkasbitung, 29 Juni 2015 M/12 Ramadan 1436 H
Tim Peneliti
Perilaku Pemilih Tahun 2014 di Kabupaten Lebak
Ketua
C.R. Nurdin
~ 228 ~
WAWANCARA DENGAN BUPATI KABUPATEN LEBAK
Hj. ITI OCTAVIA JAYABAYA, S..E., M.M.
Dari
mana
mengetahui
Anda
kecantikan
seseorang
perempuan?
Dari
umurnya,
penampilannya,
pakaiannya,
atau
cara
menyisir
rambutnya?
Bukan! Konon, hanya dari
kedua
bola
Karena,
matanya.
inilah
hatinya,
dan
pintu
di
sinilah
tempat cintanya tersimpan.
Tapi,
jangan coba-coba
menatap kedua bola mata
perempuan yang bukan mahram (Bukan muhrim. Karena, muhrim itu
artinya orang yang sedang beribadah umrah). Lalu, Hj. Iti Octavia
Jayabaya, S.E., M.M., itu bupati Kabupaten Lebak yang paling cantik
dari 26 bupati setempat selama ini? Ya, memang, karena putri H.
Mulyadi Jayabaya (bupati Lebak dua periode sebelumnya) ini
perempuan bupati pertama sejak Lebak lahir tahun 1828. Lahir di
Cileles, Kabupaten Lebak, 04 Oktober 1978, kemudian dipersunting
pengusaha
asal
Jakarta,
Mochammad
Farid.
Gelar
sarjana
ekonominya diperoleh dari Universitas Jayabaya (2000) dan gelar
magister manajemennya diperoleh dari Universitas Trisakti (2005).
Sebelum jadi bupati, Hj. Iti terpilih jadi anggota DPR (Partai
Demokrat), dari Daerah Pemilihan Banten 1 (Lebak dan Pandeglang).
Di DPR, Hj. Iti dituugasi partainya menempati
membidangi
keuangan,
perencanaan
~ 229 ~
Komisi XI yang
pembangunan
nasional,
perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank.. Hj. Iti Octavia
dilantik jadi bupati Lebak, bersama-sama dengan wakilnya, H. Ade
sumardi, S.E., Rabu, 15 Januari 2014 lalu. Inilah cuplikan catatan
pertamanya (dalam face book-nya) ketika baru saja menempati
rumah dinas bupati Lebak, dan sebagai bupati Lebak, “…..pemimpin
itu harus kuat menghadapi tekanan, namun disisi lain harus 'Keep
moving forward'. Saya harap kita semua bisa bergotong-royong
untuk
membawa
Lebak
terus
mengejar
ketertinggalan
dan
melanjutkan Program Percepatan Pembangunan…”. Tim Peneliti
menempatkan Hj. Iti
sebagai
seorang bupati, bukan
sebagai
seorang ketua partai politik atau mantan anggota DPR. Inilah
jawaban Bupati Lebak itu.
1. Pemilihan umum secara elektronik (e-voting) diwacanakan lagi,
antara lain, karena akan menghemat biaya yang cukup signifikan,
tanpa harus mengurangi substansi demokrasi pemilihan langsung.
Pandangan Ibu Bupati tentang e-voting pada pemilu ke depan?
2. KPU Kabupaten Lebak sangat berkepentingan mencermati jumlah
penduduk, antara lain,
karena
data pemilih diambil dari data
penduduk melalui prosesi pemutakhiran data dan daftar pemilih.
KPU Kabupaten Lebak pun mengukur rasionalitas jumlah pendduk
dan jumlah pemilih. Pertanyaannya, bagaimana prosesi pencatatan
penduduk
di Kabupaten Lebak
untuk menghasilkan data
penduduk yang lebih akurat sehingga bisa menghasilkan data dan
daftar pemilih yang lebih tepat?
3. Kartu tanda penduduk (KTP), antara lain, bisa
untuk menggunakan hak pilih
pula digunakan
Sejauh ini, bagaimana capaian
kepemilikan KTP di Kabupaten Lebak dan usaha Pemerinatah
Kabupaten Lebak agar warga betul-betul sangat membutuhkan
KTP?
~ 230 ~
WAWANCARA DENGAN KETUA DPRD KABUPATEN LEBAK
JUNAEDI IBNU JARTA
Pedalaman
Kecamatan
Sobang tetap lebih sejuk jika
dibandingkan
alun
barat
dengan
alun-
Rangkasbitung,
tentu saja. Sejuk dalam arti
yang sebenar-benarnya karena
memang
udara
pedalaman
Sobang masih lebih segar dan
lingkungan jauh lebih hijau,
juga
dalam
arti
simbolik
karena tanah leluhur itu tanpa
dinamika
dan
problematika
politis. Sudah hampir setahun,
lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menduduki jabatan ketua
DPRD Kabupaten Lebak untuk masa jabatan 2014 – 2019. Ya, di
jantung kota, Junaedi Ibnu Jarta, ketua DPRD Kabupaten Lebak itu,
menyaksikan dari dekat dinamika politik itu. Ada penyaluran aspirasi
langsung ke gedung wakil rakyat, ada pula penyaluran aspirasi
melalui aksi-aksi orasi demonstrasi. Jun, demikian dia biasa disapa
teman-temannya, memahami dinamika itu, dan sebagai seorang wakil
rakyat harus memahaminya benar. Lahir di Sobang, 28 Februari 1980,
suami Zulfiati, Amd. Keb. ini mengaku tertarik ke dunia politik praktis
karena ingin menjadi bagian
dari pengambil keputusan dan
perumusan kebijakan pembangunan
daerah. Mantan direktur
eksekutif Kadin Kabupaten Lebak itu pun akhirnya bismillah
jadi
calon anggota DPRD Kabupaten Lebak (PDI Perjuangan) di Daerah
Pemilihan Lebak 3, termasuk di dalamnya Kecamatan Sobang, tanah
~ 231 ~
airnya. Ayah dua anak ini terpilih dengan mengantongi dukungan
22.419 suara. Partainya mendapat kursi terbanyak, 10 buah, lalu Ibnu
Jarta ditugasi partainya menjadi ketua DPRD Lebak. Tim Peneliti
mewawancarainya sebagai ketua DPRD Kabupaten Lebak, bukan
sebagai seorang politisi. Oleh karena itu, pertanyaannya pun sama
sekali tak menyangkut urusan profil atau kebijakan partai politiknya,
seperti berikut :
Sejauh mana kampanye
dan hasil survai perolehan suara
memengaruhi pemilih di Kabupaten Lebak?
Sangat jelas akan memengaruhi sebab kampanye menjadi corong atau
jembatan informasi antara calon pemilih dengan calon legislatif. Melalui
kampanye, masyarakat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang
tadinya tidak kenak menjadi kenal.
Pertemuan antara calon dan pemilih dalam momentum kampanye, secara
psikologis akan memengaruhi pilihan pemilih di tempat pemungutan suara
(TPS) nanti.
Sementara itu, hasil survei sangat berpengaruh positif karena bisa
menjadi referensi pergerakan tim dalam melakukan pemetaan kekuatan
politik. Tim bisa dengan mudah dan akurat melakukan pemetaan
pemenangan melalui hasil survei.
Sebagai politisi
yang menyaksikan langsung masyarakat pemilih
dari dekat, adakah perbedaan karakteristik pemilih di lingkungan
masyarakat kota dan masyarakat desa?
Perbedaan itu sangat nampak dan terlihat jelas. Pemilih di pedesaan
masih pathernalistic atau masih patuh terhadap tokoh lokal. Karenanya,
~ 232 ~
pemilih di desa cenderung kompak terhadap satu kandidat. Kondisi ini
membuat praktek money politic tak terlalu berpengaruh pada pilihan
pemilih. Sementara untuk masyarakat perkotaan, ketokohan seseorang
tak terlalu berpengaruh terhadap pilihan pemilih sebab informasi tentang
profil calon lebih terbuka. Karena itu, pemilih di perkotaan cenderung
individualistik dan liar.
Kondisi ini tentu sangat rentan dengan praktek money politic
karena
pragmatisme pemilih lebih kuat. Namun di perkotaan itu banyak juga
pemilih rasional yang kuat mempertahankan integritas.
Bagaimana umumnya para anggota DPRD Kabupaten Lebak terpilih
memelihara hubungan baik dengan pemilih di daerah pemilihan
masing-masing?
Ada banyak cara yang bisa dan biasa dilakukan dalam merawat
konstituen. Namun intinya adalah komunikasi yang terus intensif dengan
pemilih, baik itu secara formal maupun informal.
Misalnya yang saya lakukan adalah menyebar nomor kontak telepon yang
24 jam bisa dihubungi pemilih. Konstituen juga bisa telepon kapan saja
atau kirim pesan tentang apa saja setiap waktu.
Komunikasi intensif itu juga bisa menjadi alat untuk menjelaskan dan
menyampaikan informasi pembangunan yang tengah dan akan dilakukan
pemerintah daerah, khususnya di daerah pemilihan dimana kita terpilih.
Lalu dalam forum resmi, seperti ketika digelar reses, disampaikan secara
jelas dan gamlang tentang informasi pembangunan kepada masyarakat.
Pemilih juga diajak terlibat dalam pengaspirasian program di masingmasing wilayahnya untuk diusulkan.
~ 233 ~
Komunikasi dengan konstituen juga biasa dilakukan dalam momentum
hari raya atau hari besar. Mereka yang telah berjasa memilih diundang
untuk bersilaturahmi dan saling berbagi kabar serta informasi. Sebab dari
kontak langsung seperti inilah berbagai aspirasi sudah pasti didapatkan.
Hasil wawancara di lapangan oleh Tim Peneliti, di samping ada
masyarakat yang puas atas calon yang mereka pilih sebelumnya,
juga tak sedikit yang merasa kecewa karena
kemudian
merasa
ditinggalkan. Komentar Bapak Ketua DPRD Kabupaten Lebak untuk
kedua realitas itu, juga dampaknya kemudian terhadap penggunaan
hak pilih?
Pandangan rakyat yang demikian tidak bisa disalahkan, sebab memang
banyak
calon terpilih
yang
meninggalkan pemilih setelah
duduk
mengemban amanah. Paradigma ini sama sekali tak bisa disalahkan.
Saat kampanye lalu, saya juga banyak mendapat pertanyaan soal ini.
Banyak aspirasi demikian bahwa calon legislatif hanya datang saat musim
pencalonan.
Tentu saja, ini kembali pada masing-masing calon itu sendiri, apakah dia
masih ingin terpilih di pemilu berikutnya atau cukup sampai disitu. Sebab
saya yakin, bagi calon yang mengabaikan rakyat maka di kemudian hari
tidak akan terpilih lagi.
Bahkan yang berbahaya, pemilih bisa menjadi apatis, bukan hanya
kepada calon tetapi juga terhadap proses demokrasi itu sendiri
~ 234 ~
WAWANCARA DENGAN KETUA MUI KABUPATEN LEBAK
KIAI HAJI ACHMAD SYATIBI HAMBALI
Anak tunggal pasangan
Haji Hambali dan Hajjah
Sunaiah
itu
mengikuti
jejak sang ayah yang
menjadi
nyantri
idolanya,
dari
pesantren
tradisional ke pesantren
tradisional lainnya. Sang
anak ingin
waris
jadi ahli
ideologis
sang
ayah pula. “Saya anak
biologis
Haji Hambali,
saya pun ingin sekaligus
jadi anak ideologisnya,
anak
rohaninya,”
katanya. Ayah lima anak hasil pernikahan
dengan Hj. Siti Amah,
satu-satunya istrinya itu, setidak-tidaknya kini sudah mencapai citacitanya, jadi kiai, dan biasa dipanggil Kiai Ibing. Nama lengkapnya,
seakan hanya ada di KTP-nya, setelah tenggelam oleh popularitas
panggilan akrabnya ini. Kiai berusia lebih dari setengah abad itu
piawai dalam ilmu nahwu dan ilmu sharaf, pasangan ilmu yang
penting untuk membedah kitab-kitab klasik Islam. Selain mengasuh
Pondok Pesantren Qathratu ‘l-Falah (Tetes-Tetes Kebahagiaan), di
Cikulur, Kabupaten Lebak, “tanah airnya”, Kiai Ibing sudah dua
periode masa jihad
jadi ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Lebak. Kiai Ibing tak punya kegiatan yang lain kecuali
fokus pada pesantren dan berkhidmat kepada umat, ditambah sering
~ 235 ~
pula diundang ceramah di berbagai tempat. Tim Peneliti menemuinya
di kediamannya, Cikulur, dan wawancara pun berlangsung pukul
02.00
pagi menjelang sahur. Berikut ini hasil wawancara dengan
Kiai Ibing.
Memilih pemimpin seperti presiden, gubernur atau bupati, juga wakil
rakyat di parlemen, bagaimana dalam pandangan Islam jika dikaitkan
dengan caranya yang langsung oleh rakyat?
Dalam Islam, sebenarnya tidak ada model pemilihan yang khusus untuk
pemimpin semisal presiden, gubernur, bupati atau wakil rakyat. Dalam
pemilihan empat khalifah saja, keempat-empatnya dengan cara yang
berbeda-beda. Ini artinya, proses atau mekanisme pilihan sepenuhnya
diserahkan pada kesepakatan masyarakat dengan mempertimbangkan
al-mashalahah al-„ammah (kebaikan bersama).
Jika pemilihan langsung di negeri ini dinilai sebagai model pemilihan
terbaik, karena tidak lagi “membeli kucing dalam karung”, dan itu
disepakati bersama, maka itu dalam pandangan Islam juga baik-baik saja.
Jika nyatanya ada kekurangan dalam prosesnya, maka semestinya
kekurangan-kekurangan itu terus diperbaiki untuk mendapatkan kualitas
pemilihan yang lebih baik lagi.
Adakah peluang ijtihad bagi masyarakat pemilih untuk memastikan
pilihannya di tempat pemungutan suara?
Sebetulnya, „kan sudah banyak informasi yang tersebar ke masyarakat
terkait calon yang berkompetensi. Dengan berbagai informasi itu,
masyarakat pemilih sudah bisa menyaring dan membandingakan mana
calon yang terbaik dan layak dipilih. Di ruang pemungutan suara, pas
~ 236 ~
pada hari pemilihan, tinggal pelaksanaan/eksekusi
atau penyaluran
pilihan saja. Jadi, proses ijitihadnya, kalau mau disebut demikian, ya
sebelumnya di ruang pemungutan itu ketika masa-masa sosialisasi.
Jangan sampai ijitihad dilakukan dengan waktu yang sempit dan ruang
yang sempit, karena akan menghasilkan keputusan yang tidak optimal
Apakah kharisma kiai
sedemikian kuat di lingkungan pesantren
khususnya sehingga kalangan santri akan mengikuti arahan kiainya
itu ketika mereka menggunakan hak pilihnya?
Sebagian kiai kharismanya memang kuat. Kadang tanpa di suruh pun santrisantri akan mengikutinya, karena pilihan kiai dinilai sebagai pilihan yang
berdasarkan perenungan mendalam dan melalui petunjuk Allah. Bahkan,
ada kiai yang bikin semacam fatwa untuk santri-santri dan para alumninya
untuk memilih calon tertentu.
Tetapi, ini „kan persoalaan politik yang sebenarnya perlu pemberian
kebebasan memilih bagi santri. Saya sendiri memberikan kebebasan pada
mereka untuk memilih calonnya, karena itu hak asasi mereka yang tidak
semestinya di paksakan. Mereka sudah dewasa, memilih cara pandangan
sendiri dan informasi tentang calon juga sudah sedemikian banyak melalui
baleho, selebaran, dll. Mereka tinggal memilih sesuai karakter yang
diinginkannya. Saya meyakini, masing-masing santri memiliki cara
pandangan yang tidak tunggal, kendati kiainya satu.
Dalam pandangan ajaran Islam, harus seperti apa idealnya seorang
pemilih yang cerdas dan sekaligus seorang calon yang berkualitas?
Pemilihan yang cerdas itu yang tida ikut-ikutan. Juga, bukan yang memilih
karena mendapat bingkisan atau sejenisnya. Dia memilih melalui
perenungan dan istihkarah yang serius demi kemajuan rakyat. Dia juga
~ 237 ~
bertanggungjawab atas pilihan yang di ambilnya. Calon yang berkualitas
itu sendiri calon yang latar belakangnya sudah diketahui. Bukan calon
yang pandai berwacana namun nihil kerja.
Dan calon yang berkualitas itu yang benar-benar mengerti kebutuhan
rakyatnya dan berupanya semaksimal mungin mewujudkan kebutuhan itu.
Mereka inilah yang memahami konsep tasharruf al-imam manuthun bi almashalahah atau sayyid al-qaum khadimuhum.
~ 238 ~
WAWANCARA DENGAN ANALIS POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
H. AGUS SUTISNA, S.I.P., M.Si.
Tim Peneliti mewawacarainya bukan
sebagai
anggota
KPU
Kabupaten
Lebak (2003 – 2008) atau ketua KPU
Kabupaten Lebak (2008 – 2014) tempo
hari, melainkan sebagai analis politik
dan
perubahan
sosial.
Mahasiswa
program doktor ilmu politik Universitas
Nasional (Jakarta) itu kini
sibuk jadi
tim seleksi para calon kepala desa
untuk desa-desa yang para calonnya
lebih dari lima orang. Pilkades di Kabupaten Lebak, memang, akan
segera digelar serentak, Agustus 2015 ini. H. Agus Sutisna, S.I.P.,
M.Si., sang analis itu, selalu sibuk,
selain mengajar di beberapa
perguruan tinggi, mengasah dan mengasuh pesantren Nurul Madani
yang didirikannya, juga terbiasa menulis, menyunting, menggunting,
dan bahkan membanting naskah saat jadi pemimpin redaksi pertama
Tabloid Lebak 1828, misalnya.
Jadi pembicara
dalam banyak
seminar atau diskusi publik, juga bagian dari kegiatan Agus seharihari. Orang pintar, “minumannya” ilmu dan “makanannya” buku.
“Kekayaan saya adalah buku,” katanya, suatu hari. Lahir di Cipanas,
Kabupaten Lebak, 14 November 1965, kini
ayah
tiga anak hasil
perkawinannya dengan Hj. Tati Mulyati, S.Pd. itu, tampaknya,
tak
akan pernah berhenti mengajar dan belajar. Termasuk, terus belajar
dan belajar terus jadi suami yang baik untuk istri tercinta dan jadi
bapak yang lurus untuk anak-anak tersayang,
seperti ditulisnya
dalam buku Potret dan Pemikiran 50 Anggota DPRD Kabupaten
Lebak Masa jabatan 2014 – 2019. Saat Tim Peneliti mewawancarai
Agus, di gedung Multatuli Pemkab Lebak, di seberang sana, di
~ 239 ~
gedung DPRD Lebak, sebanyak 18 anak muda sedang diuji Panitia
Seleksi Calon Anggota Komisi Tranparansi dan Partisipasi (KTP)
Kabupaten Lebak masa jabatan 2015 – 2018. Lalu, soal KTP, pasti
Agus terkenang saat-saat jadi
ketua Pokja Transparansi dan
Partisipasi (tahun 2002). Cikal bakal perda KTP itu berasal dari
naskah akademik
yang dibuat pokja ini, kemudian berproses,
sehingga akhirnya jadi perda KTP seperti sekarang ini. Perda KTP itu
pun kemudian melahirkan para “pengawalnya”, yang kini memasuki
“jilid ketiga”
untuk masa jabatan 2015 – 2018. Lalu, inilah hasil
wawancara dengan Agus, sang analis politik dan perubahan sosial
itu.
Anda bisa jelaskan secara umum perbandingan psikologi pemilih
pada zaman Orde Baru dan zaman Reformasi sekarang ini, termasuk
secara spesifik di Kabupaten Lebak?
Perbedaan yang paling mencolok terkait isu psikologi pemilih ini saya kira
berkenaan dengan soal “status pemilu”; apakah ia kewajiban atau hak
warga negara.
Pada era orde baru, secara psikologis para pemilih pada umumnya
menganggap pemilu merupakan kewajiban yang datang dari negara.
Pemilih cenderung tidak merasa bahwa pemilu adalah hak atributif, hak
demokrasi yang melekat dengan sendirinya pada setiap warga negara.
Karena ia kewajiban dari negara, maka otomatis apa yang menjadi pilihan
negara harus diikuti.
Itu sebabnya, Golkar, partai yang didukung semua aparatur negara selalu
tampil
menjadi pemenang pemilu. Dalam situasi psikologis seperti ini,
pemilih praktis tidak memiliki otonomi politik.
~ 240 ~
Preferensi dan sikap politik mereka cenderung sejalan dengan preferensi
dan sikap politik negara, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh
pemerintah beserta seluruh aparat birokrasinya.
Situasi psikologis ini berbeda jauh ketika bangsa Indonesia memasuki era
reformasi. Pemilu, pada sebagian besar pemilih, sudah disadari sebagai
hak politik, hak demokrasi yang di dalamnya terkandung makna otonomi
politik.
Artinya, karena ia merupakan hak setiap warga negara, maka ya sukasuka setiap warga. Jangankan soal pilihan harus memilih yang dengan
gampang bisa sangat berbeda dan beragam, bahkan memilih untuk tidak
memilih pun dianggap sebagai hal biasa.
Sekali lagi, karena masyarakat sudah sadar betul, bahwa memilih dalam
pemilu merupakan hak, dan bukan kewajiban.
Secara umum, perubahan situasi psikologis para pemilih ini juga terjadi di
Lebak. Hanya saja, otonomi politik masyarakat belum sepenuhnya
tumbuh.
Dalam hal ini pemilih memang merasa sudah terbebas dari kooptasi
negara, tetapi kemudian perilaku dan peran-peran kooptatif itu diambil-alih
secara tidak langsung oleh apa yang dalam literatur politik lokal disebut
sebagai local strongman (orang-orang kuat lokal).
Mereka itu bisa
merupakan jawara dan atau para pengusaha lokal yang menghegemoni
pengaruh kepolitikan di daerah dengan kekuatan modal dan jaringan
kejawaraannya.
Itu sebabnya, trend dinamis pertarungan dalam pemilu di Lebak (pilkada
maupun pemilu nasional) selalu memperlihatkan dominasi para local
~ 241 ~
strongman, baik dalam konteks perheletannya secara umum maupun
dalam peta kemenangan pemilu dari waktu ke waktu.
Dewan Pers melaporkan, dalam Covering Election 2014, “Bahwa
berkurangnya belanja iklan ruang media, karena para caleg lebih
memilih „membelanjakan‟ uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli
suara para pemilih di level
kelurahan atau menyuap panitia
pemilihan di KPUD”. Laporan Dewan Pers yang berbasiskan liputan
media itu seperti mengingatkan bahwa ada “penjual” suara (pemilih)
dan “pembeli” suara (caleg) dalam pemilu. Kami ingin Anda
mengomentari laporan Dewan Per situ, lalu dikaitkan dengan perilaku
pemilih dan perilaku caleg di Kabupaten Lebak khususnya.
Tesis Dewan Pers, bahwa “para caleg lebih memilih „membelanjakan‟
uang lebih tepat sasaran, yaitu membeli suara para pemilih di level
kelurahan atau menyuap panitia pemilihan di KPUD” secara umum saya
kira ada benarnya.
Tetapi menyangkut level penyelenggara dimana suara bisa dibeli atau
praktik suap-menyuap itu terjadi, saya kira tidak seluruhnya tepat. Saya
melihat praktik curang itu jauh lebih mungkin terjadi hanya di level panitia
adhoc (PPK, PPS dan KPPS).
Alasannya, pertama, badan-badan adhoc jumlahnya sangat banyak
sehingga kemungkinan lost control oleh pengawas menjadi sangat
terbuka. Demikian juga kontrol oleh liputan pers. Suara-suara juga masih
tersebar demikian luas, belum terkonsentrasi.
Sebaliknya, di level KPU (baik Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pusat)
saya kira peluang terjadinya praktik jual beli suara itu sangat kecil. Karena
suara makin terkonsentrasi, kontrol liputan pers makin menyempit
~ 242 ~
cakupannya, dan tentu saja area pengawasan oleh panwas pemilu juga
makin mengerucut ke KPU. Jadi, agak jauhlah kemungkinan itu terjadi.
Hanya KPU-KPU yang nekad saja saya kira yang bisa melakukan praktik
jahat itu. Dan faktanya kan memang tidak banyak kasus itu terjadi,
maksud saya praktik jual beli suara di level KPU, paling tidak berdasarkan
fakta-fakta yang dibuktikan di Mahkamah Konstritusi (MK) maupun yang
diurus melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
(DKPP).
Tipologi pemilih di Kabupaten Lebak pada pemilu 2014 lalu, seperti
yang Anda saksikan, atau hasil pengamatan Anda sebagai analis
politik dan perubahan sosial, seperti apa?
Secara umum, sekali lagi, saya melihat bahwa para pemilih di Lebak
sudah semakin otonom sebagai pemegang hak pilih, otonom dari
kekuatan negara. Dalam arti bahwa pemilih tidak lagi merasa harus
menyesuaikan pilihan politiknya dengan representasi negara (Bupati dan
aparat birokrasi).
Sayangnya, otonomi politik ini belum disertai dengan kesadaran penuh
perihal arti penting suara yang mereka miliki dalam kaitannya dengan
kepentingan mereka sebagai warga negara di kemudian hari.
Akibatnya sebagai pemilih, secara umum warga Lebak belum sepenuhnya
menjadi pemilih yang cerdas dan rasional. Preferensi politik mereka dalam
setiap kali pemilu, termasuk pemilu terakhir 2014 kemarin, saya kira
cenderung masih ditentukan oleh faktor-faktor yang serba pragmatis dan
kepentingan/kebutuhan jangka pendek.
Misalnya faktor imbalan instan yang mereka peroleh, atau sikap
paternalistik. Dalam situasi demikian, lumrah jika para caleg yang terpilih
~ 243 ~
dalam pemilu 2014 kemarin misalnya, lebih merepresentasikan kekuatan
uang caleg daripada kompetensi dan integritas sebagai wakil rakyat. Ya
itu, karena pemilih di Lebak memang lebih “suka” dengan caleg yang royal
secara finansial daripada caleg yang kompeten dan berintergitas tinggi
Kelompok masyarakat tradisional di Kabupaten Lebak, selalu saja patuh
kepada pemuka adat (puun atau olot), termasuk dalam penggunaan hak
pilih pada setiap pemilu. Parrtisipasi pemilih cukup tinggi, tetapi perolehan
suara selalu “dikuasai” para caleg yang direstui para pemuka adat itu.
Pertanyaannya, apakah itu masalah bagi demokrasi, atau malah justru
sebagai kearifan lokal?
Dalam jangka panjang tentu saja gejala itu merupakan masalah bagi
demokrasi. Karena demokrasi substantif menghendaki setiap warga
negara memang benar-benar otonom dalam pilihan politiknya.
Tetapi dalam jangka pendek, saya kira situasi ini memang tahapan yang
harus dilalui oleh masyarakat-masyarakat transisional. Artinya situasi ini
sampai batas tertentu masih bisa difahami dan ditolerir. Karena itu gejala
ini sebetulnya bukan khas Lebak saya kira. Dimana-mana juga mirip
fenomenannya.
Tetapi saya optimis, gejala itu, meski mungkin agak lambat, akan berubah.
Hanya saja kita juga tidak harus berpretensi bahwa semua orang Lebak
akan berubah, dan memang tidak perlu. Karena keragaman fenomena ini
sesungguhnya juga bagian dari kekayaan demokrasi.
~ 244 ~
Download