6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Stres Berkendara 1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Stres Berkendara
1. Definisi Stres Berkendara
Istilah stres merupakan istilah yang telah lama ada. Stres dalam
bahasa latin disebut dengan kata “strictus” yang berarti sempit atau ketat.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia stres didefinisikan sebagai
gangguan atau, kekacauan mental dan emosional: tekanan (Yandianto,
1996).
Kata stres pertama kali dipopulerkan oleh Hans Selye. Dalam
beberapa penelitiannya tentang stres, Selye lebih berfokus pada bidang faal
karena dirinya merupakan mahasiswa kedokteran (Selye, 1976). Peristiwa
yang sering Selye temui adalah adanya suatu penyakit di masyarakat yang
menunjukkan gejala umum yang sama, sehingga pada saat itu stres lebih
berkembang dalam kajian ilmu faal dibandingkan dengan kajian ilmu
lainnya.
Seiring dengan banyaknya penelitian mengenai stres dari berbagai
bidang, menimbulkan banyaknya makna dari istilah stres tersebut. Menurut
Wolf (dalam Lazarus dan Folkman, 1986), kata stres didefinisikan sebagai
suatu kondisi yang merupakan hasil interaksi organisme dengan keadaan
ataupun stimulus yang berbahaya. Kondisi ini bersifat dinamis karena
adanya upaya memelihara dan menjaga keseimbangan.
Menurut Lovallo (dalam Sarafino dan Smith, 2010), terdapat dua
komponen stres: pertama adalah fisik, melibatkan tantangan terhadap fisik;
kedua adalah psikologis, melibatkan bagaimana seorang individu melihat
keadaan dalam kehidupan mereka. Sejalan dengan pendapat Lovallo, ahli
lainnya yaitu Dougall dan Baum, dua komponen di atas yaitu fisik dan
psikologis dapat dilihat dengan tiga pendekatan. Pada pendekatan ini stres
dilihat sebagai stimulus dimana individu akan berada pada keadaan yang
6
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
7
menantang secara fisik dan psikis yang kemudian dianggap sebagai stressor
(dalam Sarafino dan Smith, 2010).
Pendekatan kedua berfokus pada reaksi individu terhadap respon,
sehingga stres dilihat sebagai suatu respon. Respon ini dapat dirasakan
secara fisik maupun psikis. Seperti dalam beberapa penelitian Hans Selye
yang membuktikan bahwa terdapat reaksi adaptasi di dalam tubuh individu,
ketika individu tersebut memenuhi tuntutan dari lingkungannya. Definisi
tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Santrock (1998) yang
mendefinisikan stres sebagai respon individu terhadap suatu keadaan atau
kejadian yang menuntut dirinya,
sehingga mengganggu dirinya
dalam
melakukan coping (kemampuan individu dalam menangani tuntutan).
Pendekatan ketiga menggambarkan stres sebagai proses
yang
melibatkan stressors dan strain. Hal ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1986) bahwa stres tidak hanya
sekedar stimulus atau respon, melainkan proses dimana individu dapat
dipengaruhi oleh kuatnya stressor melalui perilaku, kognitif dan emosi.
Dalam konteks berkendara, stres didefinisikan sebagai suatu respon
dari adanya penilaian kognitif yang negatif ketika individu berkendara
(Hennessy, Wiesenthal, dan Kohn, 2000). Definisi dengan inti yang sama
diuraikan oleh Matthews (2002) yang menjelaskan, pengendara yang
mengalami stres merupakan hasil dari proses interaksi dinamis antara faktor
personal dan lingkungan yang diperantarai proses kognitif.
Penilaian kognitif yang negatif dari pengendara, memicu timbulnya
stres (Hennessy, Wiesenthal, dan Kohn, 2000). Semakin besar penilaian
negatif pengendara terhadap suatu kondisi berkendara, akan meningkatkan
tingkat stres pada dirinya. Penilaian negatif ini muncul karena adanya
kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan (daily hassless) seperti lalu lintas
yang padat, cuaca yang panas dan lain sebagainya.
Dari berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa stres
berkendara
merupakan kondisi individu yang melakukan respon negatif
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
8
karena adanya penilaian terhadap situasi tidak menyenangkan sebagai upaya
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
2. Proses Terjadinya Stres
Penelitian yang dilakukan oleh Selye (1976), menyebutkan terdapat
tiga proses dimana tubuh akan bereaksi terhadap stres. Konsep ini
dinamakan oleh Selye sebagai General Adaptation Syndrome (GAS) dengan
proses sebagai berikut:
a.
Alarm Reaction (reaksi waspada)
Pada proses ini tubuh akan menyadari adanya ketegangan atau
paparan dari stressor. Proses ini akan memicu tubuh untuk merespon
dengan melakukan perubahan-perubahan secara biologis. Pada saat yang
sama proses ini menyebabkan ketahanan tubuh berkurang dan jika
stressor sangat kuat dapat menyebabkan kematian.
b.
Stage of Resistance
Pada proses ini terjadi perlawanan terhadap stressor. Tubuh akan
berusaha
mengembangkan
mekanisme
pertahanan
dan
membangun
strategi untuk mengatasi stressor dan menyeimbangkan kembali keadaan
fisiologis pada kondisi normal. Jika tubuh berhasil mengatasi stressor
maka kondisi tubuh akan kembali normal, namun jika tubuh tidak
berhasil mengatasi stressor maka tubuh akan mengalami kelelahan.
c.
Stage of Exhaustion
Pada proses ini tubuh akan menggunakan energi yang tersisa untuk
menanggulangi stressor. Proses ini ditandai dengan melemahnya energi
ataupun sumber daya yang dimiliki oleh tubuh sehingga tubuh tak
mampu lagi menghadapi stres. Ketidakmampuan tubuh menghadapi stres
ini bahkan dapat menimbulkan kematian pada individu.
Konsep lain dikembangkan oleh Cohen, Kessler dan Underwood
(1997), yang mengembangkan model dari proses berlangsungnya stres.
Model tersebut digambarkan dengan skema sebagai berikut.
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
9
Tuntutan Lingkungan
Appraisal of Demands and of
Adaptive Capacities
Perceived
Stress
Benign
Appraisal
Respon Emosi yang Negatif
Respon Fisiologis dan Perilaku
Meningkatkan
Risiko Penyakit Fisik
Meningkatkan
Risiko Penyakit Jiwa
Gambar 2.1 Model Heuristik dari proses stres untuk menggambarkan
integrasi antara pendekatan lingkungan, psikologis dan biologis
(Cohen, Kessler dan Underwood, 1997)
Ketika menghadapi tuntutan lingkungan, individu akan membuat
penilaian apakah tuntutan tersebut menimbulkan ancaman pada dirinya atau
tidak dan apakah individu tersebut memiliki kapasitas untuk menangani
tuntutan.
Apabila
individu beranggapan
bahwa tuntutan
lingkungannya
merupakan sesuatu yang berat dan mengancam dirinya dan pada saat yang
sama
dirinya
tidak
memiliki
sumber
daya
yang
memadai
untuk
mengatasinya, maka individu akan mengalami tekanan yang mengakibatkan
stres. Stres yang dialami individu akan menimbulkan
respon emosi yang
negatif. Jika tuntutan dianggap ekstrim, maka dapat secara langsung
menyebabkan gangguan penyakit jiwa dan penyakit fisik.
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
10
Namun terkadang terdapat kondisi dimana tuntutan lingkungan dapat
menempatkan individu pada
risiko gangguan meskipun tuntutan yang
dihadapi tidak menimbulkan persepsi stres ataupun respon emosi yang
negatif pada individu. Hal ini ditandai dengan adanya panah langsung dari
tuntutan lingkungan ke respon fisiologis dan perilaku.
3. Sumber Stres
Lazarus, Folkman dan Cohen (dalam Lazarus dan Folkman, 1984),
menjelaskan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stres. Pertama adalah
adanya perubahan besar yang memengaruhi seseorang ataupun beberapa
orang seperti masalah sehari-hari. Sumber kedua adalah kejadian yang
memerlukan penyesuaian pada sebuah fenomena dengan hubungan orang
yang lebih sedikit seperti respon terhadap penyakit, dan kematian. Sumber
ketiga adalah fenomena catalismic, yaitu hal ataupun peristiwa yang terjadi
tiba-tiba yang menyangkut orang banyak seperti bencana alam.
Selain pendapat di atas, Carson, Butcher, dan Mineka (1998) juga
mengemukakan
pendapatnya
mengenai
jenis
stressor.
Para
ahli
ini
berpendapat bahwa terdapat tiga jenis stressor yaitu :
a. Frustrasi
Frustrasi merupakan kondisi individu yang mengalami hambatan
ketika ingin mencapai tujuannya. Individu yang berusaha memenuhi
motifnya terkadang terhambat oleh faktor-faktor yang muncul dari
internal ataupun eksternal. Misalnya faktor internal ketika seseorang
ingin menjadi pemain sepak bola namun secara kondisi fisik tidak
memungkinkan karena individu tersebut
memiliki kaki yang
tidak
sempurna, sedangkan eksternal ketika hambatan-hambatan tadi muncul
dari luar individu, misalnya individu tersebut dilarang oleh orang tuanya.
b. Konflik
Konflik merupakan kondisi individu yang diharuskan memilih
salah satu dari tujuan ataupun kebutuhannya. Menurut Taylor (dalam
Carson, Butcher, dan Mineka, 1998) terdapat tiga jenis konflik:
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
11
1) Approach-approach conflict, merupakan kondisi dimana individu
dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menarik bagi dirinya.
2) Avoidance-avoidance conflict, merupakan kondisi individu yang
dihadapkan pada pilihan yang tidak dikehendaki oleh dirinya.
3) Approach-avoidance conflict, kondisi individu ketika dihadapkan
pada situasi yang menarik dan tidak menarik dalam satu waktu.
c. Tekanan
Sumber stres yang terakhir adalah tekanan. Tekanan merupakan
kondisi yang memaksa dan menekan individu untuk mempercepat,
mengusahakan secara intensif tujuan yang ingin dicapainya. Kondisi ini
mengakibatkan
seseorang
mengeluarkan
energinya
secara
maksimal
untuk dapat menyelesaikan hal yang dihadapinya.
Selain pendapat tersebut Greenberg (2008) menyebutkan bahwa
sumber stres juga diuraikan dengan tiga teori, yaitu:
a. Life-Events Theory
Pandangan Life-Events Theory dikembangkan oleh Holmes dan
Rahe yang menyebutkan bahwa stres dapat terjadi ketika suatu kondisi
membutuhkan sumber daya yang lebih daripada yang tersedia. Misalnya
ketika individu akan melaksanakan suatu ujian dimana individu tersebut
belum melakukan persiapan, maka individu tersebut akan mengalami
stres. Kondisi seperti ini sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
De Longis
dan koleganya
(dalam Greenberg,
2008)
mendukung
pendekatan ini dengan menyebutkan keadaan yang tidak menyenangkan
dalam kehidupan sehari-hari akan sangat signifikan membuat individu
mengalami stres.
b. Hardiness Theory
Peneliti lain menggambarkan stres dengan cara yang berbeda.
Mereka tidak berfokus pada peristiwa stres yang dialami individu
melainkan pada sikap individu tersebut terhadap suatu kondisi. Sebagai
contoh,
Kobasa
dan
rekan-rekannya
(dalam
Greenberg,
2008)
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
12
berpendapat bahwa jika individu menganggap
suatu kondisi yang
berpotensi menimbulkan stres merupakan suatu tantangan, bukan sebagai
ancaman, maka tingkat stres akan berkurang. Misalnya saja individu
yang menganggap
mengasah
kemacetan merupakan
kemampuan
mengemudinya.
kondisi agar
Persepsi
dia
dapat
ini
akan
seperti
mengurangi tingkat stres pada individu tersebut.
c. Social Support Theory
Teori lainnya mengatakan stres akan timbul karena tidak adanya
dukungan sosial yang tersedia untuk membantu menghadapi stressor.
Dukungan sosial dapat dilakukan dengan bentuk apapun baik itu
emosional, instrumental dan bentuk dukungan lainnya.
4. Bentuk Stres Berkendara
Matthews,
Desmond,
Joyner,
Carcary
dan
Giliand
(1998),
berpendapat bahwa terdapat 5 bentuk stres berkendara, yaitu:
a. Aggression
Aggression merupakan reaksi berupa perasaan marah dan frustrasi
sehingga
menimbulkan
perilaku
berbahaya
yang
menunjukkan
ketidaksabaran (Mathews et al., 1998). Contoh Driving Aggression
misalnya melakukan pelanggaran yang disengaja seperti melampaui batas
kecepatan (Kontogiannis, 2006), membuntuti kendaraan lain, melakukan
konfrontasi dan sering menyalip (Matthews, Dorn, dan Glendon, 1991).
b. Dislike of Driving
Dislike of Driving merupakan penilaian negatif dari pengendara
sehingga
menimbulkan
performance
mood
berkendara
negatif yang
(Underwood,
cenderung
2005).
mengganggu
Kondisi ini
dapat
dicerminkan dalam kecemasan sehingga dirinya merasa tidak nyaman
dan tidak yakin dalam berkendara. Misalnya seorang yang cemas ketika
akan berkendara karena cuaca yang mendung.
c. Hazard Monitoring
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
13
Hazard Monitoring diartikan sebagai kesadaran atau pantauan akan
bahaya. Hazard Monitoring ditandai dengan adanya kewaspadaan tinggi
pada pengendara akan bahaya dan ancaman yang dapat muncul. Hazard
Monitoring juga ditandai dengan adanya peningkatan fokus dalam
mengemudikan kendaraan (Dorn, 2008). Dorn, Stephen, Wahlberg dan
Gandolfi (2010) menyebutkan, Hazard Monitoring merupakan salah satu
bentuk coping yang dilakukan oleh pengemudi sebagai salah satu bentuk
strategi penanganan stres.
d. Thrill Seeking
Thrill
Seeking
merupakan
kepribadian
mencari
sensasi
faktor
(Dorn,
yang
2008).
berkaitan
Sensation
dengan
seeking
didefinisikan sebagai trait personality yang menunjukkan pencarian
perasaan dan juga pengalaman yang baru, bervariasi dengan kesiapan
akan risiko dan akibat demi pengalaman tersebut. Thrill Seeking sangat
berkaitan dengan perilaku berbahaya dan meningkatkan keterlibatan
kecelakaan.
Misalnya
seseorang
yang
mengemudikan
kendaraannya
dengan kecepatan 110 km perjam hanya untuk memacu adrenalinnya.
e. Fatigue Proneness
Fatigue Proneness merupakan kondisi dimana seorang pengemudi
menjadi rentan kelelahan fisik dan mental setelah melakukan perjalanan
yang cukup panjang (Dorn, 2008). Misalkan seorang pengemudi yang
melambatkan kendaraannya karena kelelahan. Fatigue Proneness ini juga
akan berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan oleh pengemudi seperti
tertidur ketika mengemudi.
5. Dampak Stres
Menurut Arlina, Tamar dan Fadjarwati (tanpa tahun) menguraikan
dampak stres yang terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
a. Dampak Fisiologis
Pada beberapa individu, stres akan menyebabkan gangguan secara
fisik. Lebih rinci gangguan fisik ini dapat diklasifikasi menjadi gangguan
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
14
organ tubuh seperti meningkatnya respon pada sistem tertentu, gangguan
sistem reproduksi (Rakhmawati, Asniya, Dieny dan Fithra, 2013),
gangguan
sistem pernapasan
(Evans-Martin,
2007)
dan
gangguan
lainnya.
b. Dampak Psikologis
Dampak psikologis stres dapat terlihat dari timbulnya kecemasan,
emosi negatif, depresi sampai dengan depersonalisasi. Dampak ini dapat
timbul dari yang paling ringan hingga paling berat tergantung dari
individu dalam menyikapi stressor.
c. Dampak Perilaku
Stres yang sangat tinggi dapat berdampak pada performance
seseorang dalam melakukan sesuatu, misalnya bekerja (Westman, 1990).
Begitu juga dengan situasi saat berkendara, individu yang mengalami
“over-stressed” akan menunjukkan penurunan performa berkendara
sehingga sering kali melakukan kesalahan-kesalahan berkendara.
B. Disiplin Berlalu Lintas
1. Definisi Disiplin Berlalu Lintas
Konsep dan definisi disiplin cukup sulit didefinisikan jika tidak
diikuti dengan kata lainnya (Krishnan, 2009:7). Disiplin berasal dari bahasa
latin discipulus, yang berarti pengikut dan disciplina yang berarti mengajar.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefinisikan disiplin menjadi
dua bagaikan yaitu: 1 tata tertib; kepatuhan terhadap peraturan sekolah; 2
bidang studi yang memiliki obyek, sistem dan metode tertentu (Yandianto,
1996).
Balkin (1996) mendefinisikan disiplin sebagai latihan untuk tunduk
kepada hal yang berwenang sebagai kontrol dan pengendalian perilaku diri.
Turner mendefinisikan disiplin sebagai perilaku tertib atau cara berpikir
tertentu (2001). Individu yang menyimpang dari disiplin akan dikembalikan
pada “garis” perilaku yang benar atau dikeluarkan.
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
15
Definisi di atas dianggap terlalu luas untuk mendefinisikan disiplin.
Hal
ini
dikarenakan
konsep
utama
dari
kata
disiplin
yang
sulit
dikembangkan. Beberapa ahli mencoba mengkaji secara etimologi dan
epistemologi mengenai disiplin ini dengan hasil yang sangat berbeda
(Krishnan, 2009).
Definsi yang paling mewakili dari kata disiplin adalah definisi yang
dikemukakan oleh Foucoult. Menurut Foucoult (1995) disiplin merupakan
jalan untuk mengatur, mengontrol pergerakan dari seseorang agar berada
dalam jalan yang sesuai. Meskipun pada awalnya definisi ini digunakan
untuk mendefinisikan disiplin dalam kajian ekonomi dan politik, namun
seiring perkembangannya definisi disiplin ini masuk dalam kajian akademik
dan sosial.
Lembaga
Ketahanan
Nasional
(1997)
mendefinisikan
disiplin
sebagai kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang
mengharuskan individu
untuk
tunduk
pada
keputusan,
perintah
atau
peraturan yang berlaku.
Tokoh ahli dalam bidang sosial juga mencoba mendefinisikan
disiplin dalam kajian
ilmu sosial.
Pridjominto
(1993)
mendefinisikan
disiplin sebagai situasi adanya suatu tatanan, nilai dan aturan tertentu yang
menimbulkan kepatuhan dan keteraturan. Menjalankan tatanan, nilai dan
aturan tersebut tidak menjadi hal yang berat ataupun beban bagi dirinya,
namun akan membebaninya jika tidak menjalankan tatanan, nilai dan aturan
tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan
bahwa disiplin merupakan sikap dan perilaku individu untuk mematuhi
keputusan, perintah, nilai dan aturan yang berlaku agar terciptanya kondisi
yang tertib dan teratur.
Undang-undang yang berlaku di Indonesia khususnya yang mengatur
lalu lintas dan angkutan jalan mendefinisikan lalu lintas sebagai gerak
kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan (Undang-Undang nomor 22,
2009). Menurut Kamus Umum Bahas Indonesia (Yandianto, 1996), lalu
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
16
lintas diartikan sebagai; berjalan bolak-balik hilir mudik; perihal perjalanan
di jalan dan sebagainya; dan perhubungan antara sebuah tempat dengan
tempat yang lainnya.
Berdasarkan definisi disiplin dan lalu lintas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa disiplin berlalu lintas merupakan sikap dan perilaku
mematuhi aturan yang berlaku pada saat menggunakan kendaraan agar
terciptanya kondisi yang tertib dan teratur.
2. Proses Membentuk Disiplin
Disiplin terbentuk karena adanya adanya hal-hal sebagai berikut
(Lemhannas, 1997):
1. Disiplin individu merupakan hasil dari sosialisasi dengan lingkungan,
terutama lingkungan sosial. Oleh karena itu pembentukan disiplin akan
tunduk pada kaidah-kaidah dalam hal proses belajar.
2. Disiplin tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus ditumbuhkan,
dikembangkan dan diterapkan dalam semua aspek dengan menerapkan
ganjaran dan hukuman. Sikap dan perilaku disiplin berlalu lintas dapat
timbul karena faktor-faktor tertentu salah satunya takut akan hukuman
dan sanksi apabila melanggar peraturan.
3. Disiplin
terbentuk
karena
adanya
pihak
pertama
yang
memiliki
kekuasaan lebih besar sehingga mampu melakukan kontrol dan dapat
memengaruhi tingkah laku yang diharapkan. Di lain pihak terdapat
ketergantungan dari individu terhadap pihak pertama sehingga individu
dapat menerima hal yang diajarkan kepadanya.
Selain itu Papalia, Olds dan Feldman (2009), menyebutkan disiplin
dapat terbentuk dikarenakan adanya:
1. Reinforcement dan Punishment
Penguatan dan hukuman dapat memengaruhi munculnya disiplin
pada individu. Adanya penguatan dengan memberikan penghargaan
pada individu yang telah disiplin akan memotivasi dirinya untuk
meningkatkan perilaku tersebut, sedangkan hukuman diberikan untuk
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
17
memberikan efek jera ketika individu berperilaku tidak sesuai dengan
aturan, nilai dan standar yang ada. Dalam konteks disiplin berlalu lintas
bentuk hukuman merupakan bentuk yang digunakan untuk menekan
pelanggaran
lalu
lintas.
Sebagai
contoh
pada
saat
berkendara,
pengendara yang tidak disiplin akan dikenakan tilang dan diberikan
hukuman berupa denda.
2. Power assertion
Power assertion atau penonjolan kekuasaan, ditujukan untuk
menekan perilaku yang tidak
diinginkan dengan adanya
kontrol
individu, lembaga yang lebih tinggi atau berkuasa.
3. Inductive technique.
Bentuk induksi dirancang untuk mendorong perilaku disiplin
(yang diinginkan) dan menekan perilaku yang tidak diinginkan dengan
menggunakan argumen dan penjelasan logis mengenai konsekuensi dari
suatu perilaku.
3. Aspek Disiplin
Prijodarminto (1993) memaparkan aspek-aspek yang terkandung
dalam disiplin yaitu:
1. Sikap mental merupakan sikap taat, patuh dan tertib mengikuti aturan
sebagai
bagian
dari
latihan
mengendalikan
perilaku
dan
watak.
Mengendalikan perilaku dan watak ini berkaitan dengan bagaimana
individu dapat menahan keinginan untuk melanggar lalu lintas. Contoh
ketika seorang pengendara sedang terburu-buru untuk sampai di kantor
dan laju kendaraannya terhenti oleh lampu merah, maka dirinya harus
mampu
mengendalikan
keinginan
untuk
menerobos
persimpangan
meskipun tidak ada petugas.
2. Pemahaman merupakan pengetahuan yang dimiliki dan diterapkan oleh
individu mengenai aturan-aturan dan norma yang berlaku yang menjadi
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
18
standar nilai bagi dirinya dan dirinya percaya bahwa ketaatan akan aturan
akan membawa keberhasilan.
3. Sikap kelakuan merupakan sikap bersungguh-sungguh dan bertanggung
jawab dalam menaati aturan, norma dan standar nilai yang berlaku tanpa
menganggapnya sebagai beban.
4. Faktor Disiplin Berlalu Lintas
Menurut Fatnanta (Wardhana, 2009), faktor-faktor yang dapat
disiplin berlalu lintas, antara lain:
1. Faktor Internal
Faktor ini muncul dari dalam diri individu berupa sikap dan
kepribadian karena adanya tanggung jawab untuk patuh terhadap aturan.
Hal ini berdasarkan keyakinan dirinya bahwa sikap dan perilaku disiplin
akan memberikan manfaat bagi dirinya sehingga dorongan untuk patuh
terhadap aturan bukan lagi menjadi paksaan. Menurut Kurt Lewin dalam
kepribadian individu terdapat hal penting yaitu sistem nilai yang dianut.
Nilai- nilai dalam hal ini berkaitan langsung dengan sikap dan perilaku
disiplin. Nilai-nilai yang diajarkan baik oleh orang tua, guru dan
masyarakat
yang
menjunjung
sikap
dan
perilaku
disiplin
akan
memengaruhi individu dalam disiplin berlalu lintas.
Lebih spesifik Permana dan Widodo (2014) menyebutkan faktor
internal disiplin berlalu lintas,
yaitu: (a) Pendidikan. Pembudayaan
disiplin melalui pendidikan dapat dilakukan melalui pendidikan formal
dan informal, misalnya di dalam lingkungan keluarga dengan pembiasaan
sikap dan juga perilaku disiplin sejak usai dini. (b) Usia. Hurlock (1992)
menyebutkan meskipun tidak signifikan, perilaku disiplin dipengaruhi
oleh faktor usia. Hal ini berdasarkan hitungan statistik bahwa angka
kecelakaan yang terjadi lebih sering terjadi pada usia 20 tahunan
dibandingkan 50 tahunan ke atas (Aditio, 2014).
2. Faktor Eksternal
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
19
Faktor
lingkungan
merupakan
faktor
yang
dominan
dalam
memengaruhi sikap dan perilaku disiplin. Disiplin berlalu lintas sebagai
faktor eksternal meliputi unsur-unsur sebagai berikut.
a) Unsur pemaksaan oleh hukum dan norma.
Adanya unsur pemaksaan dari hukum yang berlaku berperan
dalam
memengaruhi
sikap
dan
perilaku
disiplin
berlalu
lintas.
Individu diharuskan patuh terhadap aturan lalu lintas karena adanya
hukuman dan sanksi pada pelanggar aturan.
b) Unsur pengatur, pengendali, dan pembentuk perilaku.
Faktor ini berupa seperangkat aturan dan norma yang dijadikan
dasar hukum berlalu lintas. Selain itu adanya peranan petugas
keamanan ikut memengaruhi sikap dan perilaku disiplin individu
(Permana dan Widodo, 2014). Penegakan yang dilakukan petugas
keamanan akan memberikan efek pada masyarakat yang melihat
penegakan hukum tersebut. Adanya berbagai perangkat hukum, dan
aturan-aturan akan membuat individu belajar mengendalikan perilaku
mereka sehingga perilaku individu dapat sesuai dengan aturan dan
norma yang berlaku.
C. Penelitian Sebelumnya
Penelitian dalam situasi kemacetan yang dilakukan oleh Hennessy,
Wiesenthal, dan Kohn (2000) menyebutkan stres pada pengendara lebih rentan
terjadi pada individu tipe A dengan kriteria senang berkompetisi, tidak sabar
dan hostility yang tinggi. Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa tingkat
stres pengendara akan menjadi lebih tinggi pada situasi jalanan yang macet dan
waktu yang mendesak dibandingkan dengan situasi yang lengang.
Penelitian disiplin berlalu lintas pada pengemudi kendaraan angkutan
umum yang dilakukan oleh Klavert (2007) menunjukkan tingkat disiplin
berlalu lintas yang sedang pada pengemudi kendaraan angkutan umum di kota
Semarang. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara disiplin
berlalu lintas dengan persepsi penegakan hukum.
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
20
D. Kerangka Pemikiran
Kondisi jalan raya di Indonesia sejak satu tahun terakhir berstatus
“darurat”. Status ini dikarenakan kondisi jalan raya di Indonesia yang sulit
diprediksi dan semakin rawan akan kecelakaan. KORLANTAS POLRI
memiliki data, bahwa setiap hari paling tidak lebih dari 300 kecelakaan dapat
terjadi di jalan raya. Data tersebut juga menyebutkan dua faktor utama
kecelakaan lalu lintas, yaitu kelalaian dan perilaku tidak tertib pengemudi
(Ferdian, 2013).
Kondisi jalan raya yang tidak nyaman dan aman (daily hassles) seperti
cuaca yang ekstrim, lalu lintas yang semrawut, jalan yang rusak dan perilaku
pengguna jalan lain dapat memicu timbulnya stres pada pengendara. Daily
hassles yang sering dialami oleh pengendara dapat menjadi efek akumulatif
yang suatu saat akan memicu timbulnya stres.
Stres ini kemudian akan dapat terlihat dari performance berkendara
dengan lima bentuk stres yaitu menunjukkan perasaan marah dan frustrasi,
merasa cemas dan kurang percaya diri, menunjukkan kewaspadaan yang tinggi
sebagai antisipasi terhadap
bahaya,
menikmati
kondisi berbahaya
dan
menunjukkan penurunan kondisi fisik dan mental setelah berkendara cukup
panjang (Mathews et al, 1997).
Penelitian
sebelumnya
mengenai
stres
telah
banyak
memberikan
kontribusi ke berbagai bidang. Kajian traffic psychology mengenai driver stress
sebelumnya telah dilakukan oleh Hennessy, Wisenthal dan Kohn (2000) yang
menunjukkan bahwa pengendara lebih rentan stres saat situasi jalanan yang
padat dan waktu yang mendesak dibandingkan dengan situasi lalu lintas yang
sepi.
Stres yang dialami oleh individu akan berdampak pada fisiologis,
psikologis dan perilaku (Arlina, Tamar dan Fadjarwati, tanpa tahun). Dampak
fisiologis ditandai dengan adanya peningkatan kerja pada organ tubuh seperti
jantung dan munculnya gangguan sistem tertentu. Dampak psikologis pada
individu yang mengalami stres akan muncul kecemasan, emosi negatif, sampai
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
21
dengan yang paling parah yaitu depersonalisasi, sedangkan dampak terhadap
perilaku ditandai dengan adanya performance yang berubah (Westman, 1990).
Dampak
dari
stres
berkendara
pengendara yang menjadi terburu-buru.
memperlihatkan
Hal ini berdampak
peningkatan penilaian-penilaian negatif saat berkendara
performance
juga pada
(Hennesy,
1995).
Tegangan-tegangan dari lingkungan akan dinilai secara berlebihan karena
pengendara memiliki motif yang tinggi untuk mencapai tujuan. Pengendara
yang mengalami stres karena adanya berbagai tegangan dari lingkungannya
akan berusaha mencapai tujuannya dengan cepat untuk menghindari daily
hassles dan keluar dari tekanan. Padahal semakin besar keinginan untuk segera
sampai ke tempat tujuan, semakin besar pula potensi untuk berkendara secara
ugal-ugalan, melanggar disiplin lalu lintas dan etika berkendara (Amin, 2013).
Menurut Prijodarminto (1993), pengendara yang melanggar aturan lalu
lintas secara umum memiliki tiga karakteristik umum, yaitu tidak dapat
mengendalikan perilakunya untuk patuh taat dan tertib terhadap aturan (sikap
mental), kurangnya pemahaman akan manfaat dari aturan lalu lintas bagi
dirinya (pemahaman), dan menganggap aturan sebagai beban sehingga tidak
dijalankan secara sungguh-sungguh (sikap kelakuan).
Beberapa faktor yang memengaruhi disiplin berlalu lintas
dibagi
menjadi dua kategori yaitu internal dan eksternal (Wardhana, 2009). Faktor
kepribadian, pendidikan dan usia menjadi bagian dari faktor internal yang
memengaruhi disiplin berlalu lintas, sedangkan unsur pemaksaan dari hukum
dan unsur pengatur, pengendali dan pembentuk perilaku menjadi faktor
eksternal yang memengaruhi disiplin berlalu lintas.
Secara lebih jelas kerangka pemikiran digambarkan dengan skema
sebagai berikut.
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
22
Sumber stres dari lingkungan
(Cuaca, kemacetan, Pengguna jalan lain)
Penilaian terhadap tuntutan
Sumber stres dianggap
sebagai hal yang
mengancam pengendara
Sumber stres dianggap
sebagai hal yang tidak
mengancam pengendara
Stres Berkendara (Mathews et.al, 1997)
 Respon pengendara yang menunjukkan perasaan
marah dan frustrasi.
 Respon pengendara yang mengalami mood negatif
berupa perasaan cemas.
 Respon pengendara akibat sumber stres
berkendara, sehingga pengendara menjadi
waspada terhadap ancaman dan bahaya.
 Respon pengendara yang menampilkan sikap dan
perilaku yang menikmati keadaan berbahaya.
 Respon pengendara yang menjadi rentan kelelahan
secara fisik dan mental setelah perjalanan panjang.
Derajat stres
tinggi
Derajat
stres rendah
Disiplin berlalu lintas (Pridjodarminto, 1993)
(Sikap Mental, Pemahaman, dan Sikap Kelakuan )
Faktor internal :
Faktor eksternal :
1.Kepribadian
2.Pendidikan
3.Usia
1. Unsur pengatur
2. Unsur pengendali
Disiplin berlalu lintas
rendah
Disiplin berlalu lintas
tinggi
Gambar 2.2 Skema Kerangka Berpikir Hubungan Stres Berkendara dan
Disiplin Berlalu Lintas
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
23
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis
yang
diajukan
dalam penelitian
ini
adalah
“Terdapat
hubungan negatif antara stres berkendara dengan disiplin berlalu lintas pada
pengguna sepeda motor dengan status mahasiswa di kota Bandung”.
Ho
: ρxy = 0
Ha
: ρxy < 0
Keterangan : ρxy merupakan koefisien korelasi antara stres berkendara dan
disiplin berlalu lintas
Dea Ibrahim Arsyad, 2015
HUBUNGAN ANTARA STRES BERKEND ARA D ENGAN D ISIPLIN BERLALU LINTAS PAD A PENGGUNA
SEPED A MOTOR D ENGAN STATUS MAHASISWA D I KOTA BAND UNG
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
Download