BEBERAPA CATATAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT Oleh: Yuliandri Fakultas Hukum Universitas Andalas Disampaikan dalam Focus Group Discussion Diselenggarakan oleh Qbar bekerjasama dengan Epistema Institute Padang, 15 Maret 2013 Fakultas Hukum Universitas Andalas 2013 1 A. Pendahuluan. Secara umum, jamak diketahui bahwa setiap inisiasi pembentukan peraturan perundangundangan, khususnya Undang Undang, sesuai dengan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, harus didahului dengan Naskah Akademik. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.1 Dalam hubungannya dengan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, sampai saat ini belum banyak didiskusikan materi Naskah Akademik dimaksud, yang secara konfrehensif akan bisa diketahui makna terhadap latar belakang dan jawaban atas urgensinya pengaturan dalam RUU ini. Selanjutnya, secara teknis hukum pembentukan peraturan perundang- undangan, harus juga terlihat adanya landasan dalam pembentukan peraturan- undangan yang meliputi landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2 Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. 3 Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.4 Dalam hubungannya dengan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, dikaitkan dengan landasan penyusunan peraturan perundang- undangan, maka dapat dikemukakan bahwa: 1. Secara filosofis penyusunan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, sebagaimana dapat dibaca dalam konsiderans menimbang 1 2 3 4 Pasal 1 Angka 11 dan Pasal 19 ayat (3) serta Lampiran I UU Nomor 12 Tahun 2011. Lampiran I UU Nomor 12 Tahun 2011. Ibid Ibid 2 dan dilanjutkan dalam Penjelasan Umum RUU, belum dielaborasi secara konfrehensif kandungan dan makna pentingnya RUU ini terutama filosofis dari keberadaan RUU. 2. Untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, konsiderans menimbang RUU telah memberikan pokok pikiran, bahwa keberadaan RUU ini diperlukan untuk memberikan jaminan hukum serta perlindungan hukum bagi kesatuan- kesatuan masyarakat hukum beserta hak- hak tradisionalnya. Di samping itu, juga disadari bahwa belum optimalnya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat yang bersifat komunal, sehingga rentan terjadinya berbagai konflik di masyarakat hukum adat. 3. Dari aspek yuridis, RUU ini baru merujuk pengaturan ketentuan yang termuat dalam Undang Undang Dasar 1945, baik menyangkut ketentuan yang berhubungan dengan kewenangan pembentukan UU (Pasal 20 dan Pasal 21), maupun yang berhubungan dengan substansi RUU (pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1). Seyogyanya, dalam elaborasi ketentuan yang dijadikan sebagai landasan yuridis dalam pembentukan RUU, dimungkinan untuk menghubungkan dengan ketentuan dalam UU lain, yang secara langsung juga mengatur tentang materi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat. Dapat dikemukakan beberapa undangundang yang juga mengatur tentang keberadaan masyarakat hukum, antara lain: UU Pemerintahan Daerah; UU Mahkamah Konstitusi; UU Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan undang- undang sektoral lainnya. B. Analisis Substansi. 1. Makna Asas dalam RUU. Ketentuan Pasal 2 RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMA) mengatur adanya beberapa asas yang berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat, yang meliputi:a. asas partisipasi; b. asas keadilan;c. Asas transparansi; d. asas kesetaraan; dan e. asas keberlanjutan lingkungan. Pencantuman asas- asas dimaksud dalam suatu RUU, pada hakekatnya merupakan suatu elaborasi terhadap prinsip- prinsip dari materi yang diatur dalam RUU yang kemudian akan dijadikan acuan atau prinsip dalam pengaturan pada pasal- pasal dalam RUU. Pertanyaan yang harus dikemukakan adalah; Dimana bisa diketahui (dalam Pasal dan ayat berapa) dalam RUU ini, merupakan perwujudan asas- asas yang di ataur dalam Pasal 2 RUU. Dalam hal, apabila tidak diketemukan rumusan norma (pasal- pasal) yang tidak mencerminkan asas- asas, maka ketentuan dalam Pasal 2 RUU tidak mempunyai arti. 2. Sinkronisasi dengan RUU Desa dan UU lain. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak saja diatur dalam RUU PPMA, tetapi juga dicantumkan dalam RUU tentang Desa. Dalam Pasal 3 ayat (2) RUU tentang Desa dinyatakan, pemerintahan daerah mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai dengan 3 perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Sementara, dalam RUU PPMA, sekalipun terdapat ketentuan yang juga memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat, namun hanya sebatas melakukan identifikasi dan verifikasi. Sedangkan pengesahan (pengakuan) hanya diberikan oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden. Selain itu, dalam RUU PPMA, yang berwenang untuk memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat adalah pemerintah daerah. Sedangkan dalam RUU Desa, yang memberikan pengakuan adalah pemerintahan daerah melalui peraturan daerah. Berdasarkan rumusan RUU PPMA dan RUU Desa, maka pihak yang berwenang memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat, yaitu: a. Pemerintah; b. Pemerintah daerah. Persoalan di atas mengharuskan adanya sinkronisasi antara RUU PPMA dengan RUU Desa. Apalagi, desa merupakan basis masyarakat hukum adat. Desa merupakan teritorial masyarakat hukum adat. Sehingga pengaturan tentang masyarakat hukum adat harus sesuai dengan pengaturan tentang desa. Di samping itu juga harus kaji secara khusus, implikasi dan keterkaitan dengan UU lain yang secara langsung berkaitan. 3. Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Terhadap persoalan yang telah diuraikan di atas, persoalan yang harus dijawab : siapa yang berwenang memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat? a. Negara. Berdasarkan ketentuan dalam RUU, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat harus diberikan oleh negara. Dalam arti, hanya negara yang memiliki otoritas untuk memberikan pengakuan. Secara a contrario, ketentuan tersebut menegasikan adanya wewenang pihak non-negara dalam memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Mengapa hanya negara? Pertama, sebagai sebuah organisasi kekuasaan, hanya negara yang memiliki sifat memaksa dan menentukan. Sedangkan organisasi lainnya (nonnegara) tidak memiliki sifat demikian. Dengan sifat mamaksa dan menentukan yang dimiliki negara, hanya negara yang dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakatnya, termasuk masyarakat hukum adat. Dalam kaitannya dengan pengakuan, pemberian pengakuan berkonsekuensi terhadap adanya perlindungan. Dengan sifat memaksa dan menentukan, negara memiliki kekuasaan untuk melindungi. Dengan kekuasaan itu, maka pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat akan dapat disertai atau diikuti dengan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Selain itu, 4 negara juga dapat memaksa masyarakat atau pihak lainnya (non-negara) untuk menghormati masyarakat hukum adat. Kedua, pengakuan oleh pihak non-negara akan membuka ruang terjadinya penyimpangan atas pemberian pengakuan. Sebab, pengakuan oleh pihak non-negara akan sangat bergantung pada kepentingan pihak yang memberi pengakuan. Kondisi akan semakin parah apabila subjek yang memberikan pengakuan merupakan pihak yang akan berinvestasi di teritorial masyarakat hukum adat. Pemberian pengakuan tidak akan terlepas dari konflik kepentingan yang akan merugikan masyarakat hukum adat. Pada gilirannya, pemberian pengakuan akan dapat menimbulkan ketegangan antara masyarakat adat dengan pihak non-negara. Selain itu, hal yang lebih penting adalah : apabila pihak non-negara tidak memberi pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, apakah keberadaan masyarakat hukum adat menjadi tidak sah? Tentunya tidak demikian maksud ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, pengakuan pihak non-negara terhadap masyarakat adat menjadi tidak relevan untuk diatur. Pihak non-negara tidak layak untuk diberikan wewenang untuk memberikan pengakuan bagi keberadaan masyarakat hukum adat. b. Pemerintah, Pemerintahan Daerah Sesuai Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, yang memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat adalah negara. Pada level yang lebih operasional, pengakuan negara harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dalam RUU PPMA dan RUU Desa sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat subjek yang mewakili negara dalam memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, yaitu pemerintah, pemerintahan daerah. Pertanyaannya : apakah yang memberikan pengakuan adalah pemerintah pusat atau pemerintahan daerah? Atau pengakuan justru diberikan secara bersama? Atau pengakuan diberikan pemerintah pusat, namun dengan melibatkan pemerintahan daerah? Sebagaimana dipahami secara umum, yang dimaksud dengan pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan Pemerintah Negara. Sedangkan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sementara pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. RUU PPMA dan RUU Desa mesti memberikan kepastian atas institusi mana yang diberi kewenangan untuk memberikan pengakuan bagi keberadaan masyarakat hukum adat. Untuk menentukan hal tersebut perlu dipertimbangkan kondisi-kondisi sebagai berikut : Pertama, pengakuan keberadaan masyarakat adat dalam kerangka negara kesatuan. Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan. 5 Secara konseptual, dalam negara kesatuan pihak yang melaksanakan atau memegang mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat adalah pemerintah pusat. Sekalipun Indonesia merupakan negara kesatuan yang menerapkan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun pemerintah pusat tetap memegang sejumlah urusan atau kewenangan yang sama sekali tidak diserahkan kepada daerah. Dalam kaitannya dengan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, terdapat sejumlah persoalan bersinggungan langsung dengan kewenangan/urusan pemerintah pusat seperti mengakui eksistensi peradilan melalui peradilan adat. Artinya, RUU PPMA juga memuat materi muatan terkait urusan yustisia. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, urusan yustisia merupakan kewenangan pemerintah pusat yang tidak dilimpahkan kepada daerah. Kedua, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Agar hak tersebut mendapatkan jaminan dalam lingkup sebuah negara (bukan hanya lokal/daerah), maka pengakuan dimaksud mesti datang dari otoritas tertinggi pemerintahan, yaitu Presiden sebagai kepala pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Ketiga, terkait legitimasi pengakuan yang diberikan. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tidak hanya bersifat lokal, melainkan juga melahirkan kewajiban untuk menghormatinya secara nasional. Pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidak hanya bersifat kedaerahan, melainkan dalam lingkup sebuah negara. Dalam arti, sekalipun teritorial masyarakat adat bersifat lokal, namun keberadaannya harus diakui, dihormati dan dilindungi oleh seluruh kompenen negara. Tidak hanya pengakuan dan penghormatan di level daerah semata. Keempat, dalam hubungannya dengan pengakuan kepada masyarakat hukum adat, harus dilihat implikasinya untuk menentukan status hukum dari masyarakat hukum adat. Hal demikian menjadi penting, apabila dihubungkan dengan adanya aturan dalam UU Mahkamah Konstitusi, juga memberikan kemungkinan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi, untuk melakukan pengujian terhadap berlakunya suatu undang- undang. Pengujian terhadap undang undang dilakukan karena, berlakunya suatu undang- undang dianggap merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional dari kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan alasan di atas, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat harus diberikan oleh pemerintah pusat. Bukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah cukup hanya dilibatkan dalam konteks melakukan inventarisasi, verifikasi dan memberikan rekomendasi agar pemerintah pusat mengesahkan keberadaan masyarakat adat di sebuah daerah. Sedangkan pengesahan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat melalui sebuah Keputusan Presiden. 6 Lampiran: Tantangan Menyelaraskan Hukum Adat (Minangkabau) dengan Hukum Nasional sebagai Wujud Pengakuan dan Perlindungan Hak- hak Masyarakat Hukum Adat 5 A. Pendahuluan Adanya pengaturan di tingkat Konstitusi yang memberikan kewenangan kepada Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan prinsip pokok yang harus dijadikan dasar dalam penataan istitusi-institusi hukum adat dan masyarakat hukum adat yang kuat.6 Dalam konteks Hak Asasi Manusia, konstitusi juga memberikan jaminan bahwa, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.7 Walaupun rumusan dalam konstitusi jelas dan tegas, tetapi masih menimbulkan problematik, terutama dalam memberikan makna terhadap keberadaan dan pengakuan dengan memberikan pembatasan, melalui frase ”sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta adanya pengaturan lebih lanjut di tingkat undang-undang”. Dalam banyak tulisan, terdapat berbagai pandangan dalam memaknai pengertian-pengertian dasar tentang kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang diatur dalam konstitusi. Harus dibedakan dengan jelas antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat itu sendiri. Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam pergaulan bersama sebagai suatu community atau society, sedangkan kesatuan masyarakat menunjuk pada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. (Misalnya, di Sumatera Barat, yang dimaksud sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah unit pemerintahan nagarinya, bukan aktifitas-aktifitas hukum adat sehari-hari di luar konteks unit organisasi masyarakat hukum).8 Selanjutnya juga dapat dikemukakan bahwa, kesatuan masyarakat itu sendiri dipersyaratkan masih hidup. Masalahnya yang hidup itu masyarakatnya atau hukum adatnya? Suatu masyarakat bisa saja masih hidup dalam arti bahwa warganya memang belum mati, tetapi tradisi hukum adatnya sudah tidak lagi dijalankan atau tidak lagi dikenal, baik dalam teori maupun dalam praktek. Dalam suatu komunitas masyarakat dapat pula terjadi bahwa warganya memang orang baru sama sekali atau sebagian terbesar pendatang semua, sedangkan orang aslinya sudah meninggal atau berpindah ke tempat lain. Akan tetapi, tradisi hukum adatnya, meskipun tidak dipraktekan lagi, tetap terekam dalam catatan sejarah dan dalam 5 Materi tulisan ini, sebagian pernah disampaikan dalam Lokakarya antara Komnas HAM dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas, 20 Juni 2007. 6 Lihat Pasal 18 B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Hasil Perubahan Kedua). 7 Lihat Pasal 28 I ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Hasil Perubahan Kedua). 8 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 77. Lihat juga: Saafroedin Bahar, Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2005. 7 buku-buku pelajaran yang pada suatu hari dapat saja dipraktekan lagi. Secara khusus, kondisi masyarakat hukum adat itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah mati sekali; Kedua, kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah tidak hidup dalam praktek tetapi belum mati sama sekali, sehingga masih bisa diberi pupuk agar dapat hidup subur; Ketiga, kesatuan masyarakat hukum adat yang memang masih hidup.9 Dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum, seyogyanya tidak hanya dimaknai sebagai bentuk tindakan dalam membentuk aturan formal (tertulis) tetapi juga dimaknai sebagai aturan yang hidup dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat. Bagi masyarakat hukum adat Minangkabau, tentu akan menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangannya terutama dalam melihatkan eksistensi hukum adat dan masyarakat hukum adatnya sendiri. Hal ini menjadi relevan, karena pebentukan dan pengembangan hukum adat juga harus diselaraskan dengan pembentukan hukum nasional. B. Hukum Adat bagian dari Sistem Hukum Nasional 1. Sistem Hukum Berkenaan dengan sistem hukum, Abdul Hakim Garuda Nusantara dengan mengutip pendapat John Henry Marryman memberikan istilah tradisi hukum untuk sistem hukum. Yang dimaksud dengan tradisi hukum adalah : “ …… seperangkat sikap mengenai sifat hukum, peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintahan, organisasi-organisasi dan operasionalisasi sistem hukum, dan cara hukum dibuat, diterapkan, dipelajari, disempurnakan dan dipikirkan yang semuanya berakar secara mendalam dan dikondisikan oleh sejarah masyarakat ” 10 Lawrence M. Freidman, dalam bukunya ”American Law: An Introduction”, memberikan banyak pemahaman tentang sistem hukum yaitu dengan melihat unsur yang melekat pada sistem hukum itu sendiri. Sistem hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).11 Dalam suatu kajian diakui bahwa pembangunan sistem hukum Nasional, Indonesia belum maksimal dalam menata pembangunan sistem hukum. Misalnya dalam: (1) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, (2) Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional, (3) Melanjutkan ratifikasi konvensi Internasional terutama yang berkaitan dengan HAM sesuai kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk UU.12 Dengan gambaran demikian, tentu menjadi harapan ke depan untuk tetap menempatkan pembangunan sistem hukum yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, termasuk dengan memposisikan bahwa hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional. 9 Ibid, hal 77-79. Abdul Hakim G Nusantara, dalam Artidjo Alkostar, M. Sholeh Amin : Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Radjawali Pers, Jakarta, 1986, hal.26. 10 11 Freidman, L.M, ”American Law: An Introduction, (Hukum Amerika: Sebuah Pengantar --- Penerjemah: Wishnu Basuki), Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 6-8. 12 www.komisihukum.go.id, diakses tanggal 3 Februari 2006. 8 2. Pembentukan dan Pembuatan Hukum Dalam prinsip umum diketahui bahwa hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan terhadapnya.13 Bentukbentuk aturan normatif seperti itu tumbuh sendiri dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun sengaja dibuat menurut prosedur-prosedur yang ditentukan dalam sistem organisasi kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Makin maju dan kompleks kehidupan suatu masyarakat, makin berkembang pula tuntutan keteraturan dalam pola-pola perilaku dalam kehidupan masyarakat itu. Kebutuhan akan keteraturan ini kemudian melahirkan sistem keorganisasian yang makin berkembang menjadi semacam „organizational imperative‟. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembang pula kecenderungan masyarakatnya untuk mengikatkan diri dalam sistem keorganisasian yang teratur. Dalam sistem pengorganisasian yang teratur itu pada gilirannya tercipta pula mekanisme yang tersendiri berkenaan dengan proses pembuatan hukum, penerapan hukum, dan peradilan terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum dalam masyarakat yang makin terorganisasi itu. Dalam pemahaman secara umum, hukum dapat dilihat dari beberapa kategori. Pertama, Hukum yang dibuat oleh institusi kenegaraan, dapat kita sebut Hukum Negara (The State‟s Law). Misalnya Undang-Undang, Yurisprudensi, dan sebagainya; Kedua, Hukum yang dibuat oleh dan dalam dinamika kehidupan masyarakat atau yang berkembang dalam kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat, seperti misalnya Hukum Adat (The People‟s Law); Ketiga, Hukum yang dibuat dan terbentuk sebagai bagian dari perkembangan pemikiran di dunia ilmu hukum, biasanya disebut doktrin (The Professor‟s Law). Keempat, Hukum yang berkembang dalam praktek dunia usaha dan melibatkan peranan para professional di bidang hukum, dapat kita sebut hukum praktek (The Professional‟s Law). Misalnya perkembangan praktek hukum kontrak perdagangan dan pengaturan mengenai ‘venture capital’ yang berkembang dalam praktek di kalangan konsultan hukum, serta lembaga arbitrase dalam transaksi bisnis.14 Dilihat dari proses pembuatan hukum, dari keempat kategori hukum di atas terlihat bahwa : masing-masing kelompok pengertian hukum tersebut di atas mempunyai cara-caranya tersendiri untuk terbentuk, baik hukum negara maupun maupun hukum masyarakat. Hukum adat terbentuk melalui proses pelembagaan nilai-nilai dan proses pengulangan perilaku dalam kesadaran kolektif warga masyarakat menjadi norma yang dilengkapi dengan sistem sanksi. Secara sederhana, dapat digambarkan bahwa proses terbentuknya suatu norma hukum dimulai dengan adanya perbuatan individu yang diulang-ulang menjadi kebiasaan pribadi (individual habbit). Perbuatan pribadi itu lama kelamaan diikuti orang lain secara berulang-ulang pula (social habbit).15 13 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 3-4. 14 Ibid, hal. 5. 15 Ibid, hal 13. 9 Makin banyak peserta yang terlibat dalam proses pengulangan dan peniruan itu, makin terbentuk suatu kebiasaan kolektif atau biasa dinamakan adat istiadat (custom). Kriteria yang mudah untuk mengenali suatu kebiasaan kolektif (social habbit) berkembang menjadi adat istiadat (custom) adalah mulai diperkenalkannya unsur sanksi terhadap penyelewenangan atau penyimpangan terhadap kebiasaan kolektif itu. Terhadap orang yang tidak mengikuti kebiasaan kolektif itu, biasanya dikenakan sanksi sosial pula, misalnya, dianggap ‘aneh’ ataupun lebih keras lagi mulai dicerca karena dianggap ‘menyimpang’ (deviant behavior).16 Selama sistem sanksi yang dikenakan itu masih bersifat sosial, maka derajat sanksinya masih bersifat moral, yaitu setiap penyimpangan dianggap tidak baik, kurang atau tidak sopan, dan sebagainya. Tetapi, jika sistem sanksi itu makin lama makin menguat, dan kemudian dikukuhkan oleh sistem kekuasaan yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan, misalnya dengan melibatkan keputusan kepala adat (sistem kepemimpinan) setempat, maka sistem sanksi itupun meningkat pula. Sanksi kemudian dapat dipaksakan berlakunya dengan dukungan kekuasaan. Pada tahap demikian itu, maka sifat sanksinya berubah menjadi sanksi hukum, dan karena itu kualitas norma adat istiadat yang tadinya hanya bersifat moral berubah menjadi norma hukum yang dapat dipaksakan berlakunya oleh sistem kekuasaan setempat. Dengan demikian, sistem norma yang berkembang disini berasal dari dalam kesadaran masyarakat sendiri, tumbuh menjadi kesadaran hukum yang khas menurut ukuran-ukuran keadilan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. 17 3. Pembentukan Hukum Nasional Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pembentukan hukum nasional (dari perspektif politik hukum) dapat dilihat dari 3 sudut pandang. Pertama, pembangunan substansi (materi) hukum; Kedua, pembangunan struktur hukum; Ketiga, pembangunan budaya hukum. Substansi hukum pada dasarnya berkaitan dengan penentuan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam upaya untuk memberikan jaminan dan pengakuan terhadap hukum adat dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku harus diakomodir dengan utuh. Aspek struktur hukum, berkautan dengan kelembagaan hukum yang memberikan kedudukan kepada pelaksanaan dan penegakan hukum. Berkaitan dengan aspek budaya hukum, masalah yang harus diperahtikan adalah bahwa kesadaran hukum masyarakat bertumpu dari sikap budaya hukum masyarakat. Masalahnya kemudian adalah sejauh mana sistem hukum dalam suatu negara dapat memberikan toleransi terhadap keberadaan sistem ‘kekuasaan’ dalam masyarakat adat seperti itu. Dalam alam pikiran negara yang ingin mencakupi dan melingkupi seluruh sistem kehidupan dalam masyarakatnya, toleransi seperti ini biasanya tidak populer. Akan tetapi, di masa depan, dalam rangka perwujudan cita-cita masyarakat madani yang mengasumsikan tumbuh dan berkembangnya kemandirian setiap individu dan komunitas-komunitas yang berada dalam lingkungan wilayah suatu negara hukum yang berdaulat, toleransi seperti justru dapat berkembang makin populer. Komunitas hukum dan budaya per daerah justru penting untuk dikembangkan sebagai bagian dari pluralisme yang dapat memperkuat sistem negara hukum dan masyarakat madani di masa depan. 16 17 Ibid, hal 14 Ibid, hal 15. 10 Paradoks, ketika Negara dengan sadar meratifikasi beberapa Konvensi Internasional (HAM), yang secara filosofi belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip filosofi negara, sebaliknya pengakuan dan penempatan hukum adat sebagai dasar dalam pengembangan sistem hukum (Nasional) terutama dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dihambat dan dikebiri dengan prinsip-prinsip sepanjang masih ada dan diatur dengan undang-undang. C. Tantangan dan Langkah Penyelarasan Hukum Adat (Minangkabau) dengan Hukum Nasional 1. Prinsip Dasar. Dalam pengembangan ilmu hukum terungkap bahwa, proses pembuatan hukum itu tidak boleh dipahami dalam pengertiannya yang sempit seakan-akan hanya terpusat kepada proses-proses politik di lingkungan parlemen semata, sebagaimana sering disalahpahami orang awam. Proses terbentuknya hukum itu tergantung bentuk hukum yang dibuat. Hukum dapat dilihat sebagai norma aturan yang bersifat tertulis, tetapi bisa juga bersifat tidak tertulis seperti yang dapat diketahui dalam konteks hukum adat. Semantara itu, bentuk hukum tertulis juga beragam mulai dari tingkatannya yang paling tinggi, yaitu hukum dasar atau yang biasa disebut dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar), sampai ke tingkatannya yang paling rendah, misalnya, yaitu Peraturan Desa (Nagari). Semua mempunyai mekanisme pembuatannya yang tersendiri dengan melibatkan peran institusi-institusi yang berbeda-beda menurut tingkatannya. 2. Tantangan dalam memberikan pengakuan terhadap eksistensi Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat Minangkabau. Pembentukan hukum nasional yang lebih mengedepankan peran utama istitusi negara (pemerintah dan parlemen), telah menghambat peran istitusi masyarakat, sehingga telah menjadikan hukum bersifat represif. Mekanisme pengawasan dalam pembentukan produk hukum daerah, telah memberikan ruang lebih kepada pemerintah pusat untuk berperan dan menentukan, sehingga mengakibatkan adanya keterikatan dan ketergantungan sehingga menutup ruang untuk adanya partisipasi masyarakat yang lebih luas. Dibentuknya berbagai produk hukum pusat (level UU atau PP dan Peraturan pelaksanaan lainnya) kadangkala telah mengebiri dan memaksakan masuknya berbagai instutusi asing ke dalam institusi adat (di daerah) yang serta merta harus diikuti, dengan berbagai konsekuensinya. (Kasus Pembentukan Institusi di tingkat Desa/Negari seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) yang harus ada di seluruh Indonesia, pada hal dalam bentuk lain lembaga yang fungsi sama telah ada ditingkat Nagari walau dengan nama lain). 3. Langkah- langkah Penyelarasan. Upaya penyelarasan dapat juga dilakukan dengan melakukan harmonisasi sistem hukum, termasuk substansi sistem hukumnya. Harmonisasi hukum pada dasarnya dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya terjadinya disharmonisasi hukum. Melakukan inventarisasi terhadap kaedahkaedah hukum adat, yang dapat mendukung dan memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat hukum adat terutama terhadap hak- hak dasar yang harus dihormati, sehingga dapat menjadi landasan dalam penentuan materi muatan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah. Dalam pembentukan hukum nasional, melalui peraturan perundang-undangan misalnya harus tunduk dan berpedoman pada 11 asas- asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta asas dalam penentuan materi muatan.18 Mendorong pembentukan produk hukum daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, sebagai langkah konkrit untuk menyelaraskan hukum adat ke dalam hukum nasional. Keharusan untuk membangun persepsi yang sama dalam memberikan jaminan terhadap keberadaan sistem hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional, terutama dalam penentuan materi muatan (substansi) berkenaan dengan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Melalui langkah dan upaya penyelarasan demikian, harus didorong pemikiran ke depan dengan menempatkan prinsip bahwa hukum (termasuk hukum adat) harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah. Sebagaimana terungkap dalam pepatah Minangkabau ”sakali aie gadang, sakali tapian baranjak. Artinya adalah bahwa adat itu berubah mengikuti keadaan masyarakat. Namun, perubahan itu bukan sembarang perubahan melainkan (harus) tetap ada hubungannya dengan (keadaan) yang lama. Hal ini tergambar dalam pepatah: ”walaupun baranjak, dilapiak saalai juo”. Agar adat tetap muda, maka ia harus disesuaikan dengan atau menyesuaikan diri dengan keadaan. Seperti kata pepatah: ”usang-usang diperbarui, lapuak-lapuak dikajangi”. ”nan elok dipakai, nan buruak dibuang”. ”kok singkek minta diuleh, panjang minta dikarek, nan rumpang mintak disisik”.19 Seyogyanya pemikiran lama yang kurang menggambarkan dinamika dalam hukum adat harus dievaluasi. Karena, yang sering ditonjolkan adalah sifat kekekalannya saja, sebagaimana terungkap dalam pepatah Minangkabau yang menyatakan: ”indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh”.20 Pada akhirnya tidak perlu ada pertentangan antara maksud mengadakan pembaruan hukum melalui langkahlangkah formal (pembentukan peraturan perundang-undangan), dan penyaluran nilai-nilai dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat termasuk dalam memahami nilai-nilai dasar yang menjadi sendi dalam kehidupan masyarakat hukum adat. D. Penutup Demikian pokok-pokok pikiran ini disampaikan, moga- moga bermanfaat adanya demi untuk kedjajaan bangsa, sesuai dengan motto Universitas Andalas. 18 Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ditentukan bahwa : Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Sedangan materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 19 M. Nasroen, dalam Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Jakarta, 1957. Lihat juga, Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1976, hal. 6-7. 20 Ibid 12