6 Warta Tumbuhan Obat Indonesia kunyit (C. domestica), temulawak (C. xanthorrhiza) dan temu hitam (C. aeruginosa) tidak menvebabkan perubahan minyak atsiri. Bahkan pada penelitian sebelurnnya oleh Chosdu dkk. (1983). juga telah dibuktikan, bahwa pelrlakuan: iradiasi sampai dosis 10 kGy dan penyimpanan selama I6 bulan tidIak memberikan perubahan yang .. senvawa ..-... terukur pada karakteristl~ kimia minvak atsiri untuk simplisia Piper cubeba, Piper retmfractun5 Amomum cardammum, Piper n i w danI Myristica f r a g r m (rnaces). Sell in itu N. Hilmy dkk. (1980) jug: I rnembuktikan dengarI alat GLC dan retrofraktometer, . . aenszan . bahwa irad~a..~ aosls 3 KUY paaa ,biji kering pala Irian (Myristica argentea), pala An~ b o n (M. fragrans), ketumbar (Coriandru!m saiivumL)dan ada,s (Foeniculum vulgare), tidak menyebabk:m perubahaUI kadar minyak volatil. Amin, S. (1993) rrlc;rrum pnelitian juga telah membuktikan, bahwa iradiasi dengan sinar gamma dosis 3 kGy, 5 kGy, dan 7 kGy, tidak berpengaruh terhadap kestabilan stntktur kurkuminoid serbuk utuh, serbuk tanpa minyak atsiri dan ekstrak kental rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Adapun keuntungan penggunaan simar gamnna dalam mernpertahankan mutu jamu dan tumbuham obat ad.alah tidak meninggalkan residu toksik sehingga produk bi sa langsung digunakan tanpa perlu dikarantina dan tidak menyebabkan peningkatan suhu. lradiasi dengan dosis 25 kGy hanya menaikkan suhu sekitar 6°C. sehingga peruraian zat kimia akibat kenaikan suhu dapat dibatasi. - - 0 ~ . F 1 .8 - ~ 3 - KESIMPULAN 1. lradiasi sinar gamma dapat diterapkan pada bahan mentah, produk akhir maupun kemasannya. 2. Aplikasi sinar gamma pada makanan adalah untuk tujuah dekontaminasi, reduksi mikroba, desinfestasi serangga dan mencegah pertunasan. 1996 3. Dosis 5-7 kGy dapat menurunkan jumlah mikroba sebanyak 4 angka desimal dan kapang sampai 5 angka desimal. 4. Dosis 0.06-0,15 kGy dapat digunakan untuk menghambat pertunasan pada berbagai rimpang segar. 5. Iradiasi sinar gamma tidak meninggalkan residu toksik dan tidak menvebabkan ~eninekatan suhu. . - DAFTAR PUSTA - 1. De Smet. PACIM., el al., Adverse E M of Herbal Dwg 1, Springer-Verlag, hel. 2. 8, 0, 13. 1992. 2. Hilmy, N. lradiasi Rempah dan Jamu Suatu Tlnjauan Pustaka. Rlsalah Seminar Nasional Pengawetan Makanan dengan Iradiasi. Jakarta, 1883 hal. 143148. 3. Hilmy, N.. dkk. Studl Pengaruh Slnar Qamma pada Slmplisia Tanaman Obat dan Rempah-rempah: Myristica ergentea, M. hagrens, Coriandrums a m m dan Foeniculum vulgare, 1980 hal. 1-7. 4. Hllmy, N., Suryasaputra RadiipasteuriaaslJemu, Pmc. Otskusl Panel Penggunaan Radiasi untuk Menyucihamakan Alat Kedokteran. Sediaan Farmasi dan Kosmetika, BATAN. Jakarta. 1980 hal. 18. 5. Vajdi. M.. Comparative effects of ethylen okyde lrndiatbn and mkmWILw treatment on the control of microorganism in selected spices. M.S. Thesis, University of Manaoba, Winnepeg (1970). 8. Vajdi, M., and Pereira, N. N.. Comparative effects of gamma ethylen oxyde. gamma irradiation and microwave treatment on selected spices. J. Food sci. 38 (1973); 893. 7. Chosdu. R.. Hilmy. N.. Bagiarmti. S.. dan Sudiro, S., 'Studl pengaruh sinar gamma pada simpiisia tanaman obat dan rempah-rempah (10: Piper cubebe. Piper nigrum, Piper mbpfractum. Amomum csrdsmomum, dan Myristica fregrans (Maces)", Kongres llmiah Farmaal N, Jakarta. Januari - (1YC.l). sr Gamma ~du.R.. Hilmy. N.. BagiewatI, S. Wngarut mntltla. Cun: Minyak Atsiri Simplisia Tane man Obat (111) hajalah BATAN aemginosa, (:urcuma dome~stica,KeempR XVlll No. 2. '1985 hal. 37-53. . . . .. . -. 9. Amin, s. snnpsl: r e n g m n lraolast sonar uamma remaclap MeraDoln se~under Simplisia dengan Kurkuminoid RimpangTemularmlc (Currcuma xmthorrhha Roxb.) sebagai Model Percobaan. FMIPA-UNPAD. 199:3 Jatinangor. - 4TAN SEDIAAN FITOFARMAKA SKALA INDUSTRI EKNOI (TEmu~utiY' FOR PR ON OF PHYTOPHARMACA AT INDUSTRIAL SCALE) ; WAHONO SUMARYONO* Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta PENDAHULUAN S EBAGAI negara tropis, Indonesia dikenal kaya dengan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya kekayaan yang berupa berbagai jenis tumbuhan yang secara empirik digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Sesuai amanat GBHN, obat tradisional yang merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa perlu dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga pada saatnya nanti dapat menjadi obat altematif di sarnping obat "modem" sejauh khasiatnya secara medik dapat dipertanggungjawabkan. Upaya ke arah itu sangat dimungkinkan bila obat tradisional dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka. Menurut Ketentuan Umum dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 760/MenkeslPerAX/1992 tentang fitofarmaka, yang dimaksud dengan fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku. Sejauh ini, pengembangan fitofarmaka masih belum optimal, hal .mana dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan. Faktor yang pertama berupa permasalahan yang menyangkut bahan baku, teknologi proses, serta pengujian khasiat dan keamanan. Sedangkan faktor ying kedua b e ~ p akurangnya minat pengusaha jamu atau obat tradisional untuk rnemberi nilai tambah kepada produknya karena pertimbangan ekonomis-pemasaran, antara lain k a n a belum adanya tuntutan konsumen ke tingkat itu. Sesuai judul makalah, tulisan ini akan dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan Teknologi Proses Pernbuatan Sediaan Fitofarmaka, yang mencakup tinjauan tentang fitofarmaka itu sendiri, uraian singkat tentang bahan baku, prinsip dasar ekstraksi dan teknik ekstraksi baik total maupun selektif, serta teknologi pembuatan bentuk sediaan yang memenuhi persyaratan khasiat, stabilitas fisik rnaupun kimiawi serta penetapan dosisnya. Kesemuanya itu harus dilihat sebagai sistim produksi untuk menghasilkan suatu bentuk sediaan fitofarmaka yang memenuhi persyaratan. Pada presentasi ini, tidak akan disinggung ha1 yang bersifat rincian teknis operasional, melainkan dibatasi pada uraian prinsip dasar dari tiap pendekatan teknis yang dapat dikejakan beserta permasalahan yang terkait. PERMASALAHAN BAHAN BAKU Seperti telah disebutkan dirnuka, bahwa fitofarmaka adalah sediaan obat nabati yang mana bahan bakunya telah distandarisasikan dan Volume 3 No. 1 7 Warta Tumbuhan Obat Indonesia khasiat serta keamanannya telah dibuktikan sccara ilmiah. Untuk pembuktian khasiat dan keamanannya digunakan metoda yang sama sebagaimana pembuktian untuk sediaan-sediaan obat yang mengandung bahan aktif kimia sintetik mumi ataupun fermentatif. Dalam konteks yang demikian, permasalahan yang sering muncul justru ada pada standarisasi bahan bakunya, mengingat dari sudut pandang biosintesis metabolit sekunder dalam tanaman, konstituen aktif yang berkhasiat sebagai obat tidaklah homogen secam kualitatif dan kuantitatif. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, 3 Kultivar Orthosiphon arisratus yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALI'ITRO). Bogor, yakni kultivar "bunga putih", "bunga ungu", dan "Liliaceus", menunjukkan profil kandungan konstituennya yang secara kualitatif dan kuantitatif bervariasi (6). Pernasalahan standarisasi bahan baku beserta pengujian khasiat dan keamanannya menjadi lebih kompleks lagi bila sediaan fitofarmaka terdiri dari 2 jenis sirnplisia atau lebih. Kompleksitas itu dapat tejadi pada penetapan konstituen untuk dijadikan indikator mutu simplisia dan pengujian khasiat yang ditimbulkan oleh campuran konstituen yang secara kimiawi mempunyai struktur yang berlainan. Di samping itu, permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah adanya kemungkinan perubahan kimiawi pada tahapan proses sebagai berikut: Selarna pengeringan dan penyimpanan simplisia. Pada waktu pemrosesan simplisia menjadi sediaan fitofmaka. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini bahwa pada saat penanganan simplisia maupun pemrosesan untuk menjadi bentuk sediaan fitofarmaka, terdapat kemungkinan terbentuk "Artefak" (produk yang terbentuk bukan secara alarniah di dalam jaringan simplisia atau tanamannya). Contoh kasus dari kejadian tersebut adalah sebagai berikut. Pada pemekatan hasil penyarian yang mengandung alkaloida perlu dihindari kontak dengan cahaya matahari langsung. Cara tersebut dilakukan untuk menghindari tejadinya senyawa yang disebut "Lumiderivat". Sebagai contoh adalah kasus yang tejadi pada senyawa Colchicin; yang oleh pengaruh cahaya maUahari meni si fotokimia - OCH- Cotchicin .natrhPn - (hv > 300 nm). Alkaloida kulit kina dapat teroksidasi menjadi bentuk turunan N-oksida oleh senyawa peroksida yang mungkin terdapat dalam penyari eter berderajat teknis (technical grade). Senyawa hail oksidasi tersebut relatif lebih mudah larut dalam air dibandingkan senyawa asal. Hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya kadar alkaloida kina yang tersari oleh eter. - Turunan N-obida dari albloida kjna Alkloida kina Mengacu kepada uraian tersebut di atas, perlu dilakukan penanganan simplisia dengan teknik yang tepat. baik sebelum pemrosesan maupun pada saat proses produksi. Beberapa alternatif pra-pemrosesan simplisia yang d a ~ adilakukan t antara lain sebagai berikut: 1. Pengeringan di bawah sinar matahari (merupakan c h sejauh sudah dibuktikan tidak menyebabkan tejadil dalam simplisia). 2. Menekdrnematikan aktivitas enzim serta denaturasi protein dalam jaringan simplisia melalui perendaman dalam cairan organik (misal etanol, metanol dan sebagainya) atau menggunakan uap air bertekanan tinggi selama beberapa detik. 3. Pengeringan simplisia menggunakan aliran udara kering dengan panas yang rend ah. 4. Penyimpanan dalam suhu nendah (misillnya & 10°C) sebelum nint diproses lebih la,-.. Di samping pengawasan mutu simplisia secara lengkap sebagaiinana ditetapkan dalam Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia, ataupun referensi lain, untuk pengawasan mutu dalam hal kandungan senyawa dalam simplisia yang diperiksa pada skala industri dapat digunakan metoda kromatografi; misalkan secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatografi Lapis Tipis Kineja Xnggi (High Performance Thin Layer Chromatography) atau Kromatografi Cair Kinej a Tinggi - - (HPLC), asal sudah dibuat Kromatogram Standar dari masing-rnlasing cam Itersebut seblagai acuan. R B-Lumicolchicin Di dalam jaringan mesofil dari daun tanaman Sorghum sp. terdapat enzim n-glukosidase dan hidroksinitril-liase yang rnasingmasing terkompaxtementasidengan baik dalam lokus-nya. Jika jaringan tersebut terluka, misalnya karena penanganan yang kurang baik dari simplisia yang bersangkutan, maka tejadi proses dekompartementasi enzim yang bersangkutan yang kemudian mengkatalisis tejadinya perubahan kimiawi dari senyawa Dhunin (suatu glikosidasianogenik) menjadi parahidroksibenzaldehid dan asam sianida DAN TE:KNIK EK! Ekstraksi adalah proses, penyarian konstituen dalam simplisia menggunakan cairan penyari yang sesuai dan metoda yang tepat sehingga konstituen yang diinginkan dapat tersari sempurna. Efektifitas suatu ekstraksi dipengmhi oleh beberapa faktor antara lain: ukuran partikel bahan yang disari; tekstur b a h d j iuingan simplisia; fakta,r fisika seperti suhu, tekanan, kelarutan, jer is dan pol aritas cairan penyari; teknik penyarian yang diterapkan. Dalam proses ekstraksi, memperkecil ukuran partlkel d~maksudkan untuk memperbesar luas permukaan total dari simplisia yang akan disari, ha1 mana akan memperbesar tejadinya kontak antara partikel simplisia dengan cairan penyari, dengan demikian efek ekstraksi diperbesar. Meskipun demikian, pengecilan ukuran partikel ini tidak selalu perlu dilakukan, karenii disesuaik an dengan tujuan dan mekanisme proses ekstraksi. . Dlv~vturm ---Lgtuh - ,..,.,,,dnzal&hi& + HCN ~ -. . . . . Sebagai contoh dapat dikemukakan disini bahwa pada proses ekstraksi secara difusi dimana ukuran partikel simplisia tidak terlalu kecil, maka zat "balast" (selulosa, hemiselulosa, pektin, lendir, lignin, dan sebagainya) akan tetap tinggal pada partikel simplisia. Tekstur bahan atau jaringan simplisia dapat mempengaruhi efektifitas ekstraksi. Konstituen dalam simplisia yang segar, lunak dan mempunyai jaringan yang longgar akan lebih mudah diekstraksi, Warta nmbuhan Obat Indonesia dibandingkan dengan simplisia yang dikeringkan, keras dan mempunyai jaringan yang kompak. Sehubungan dengan hal itu. untuk ekstraksi konstituen dalam simplisia kering, keras atau berjaringan kompak pedu dilakukan peibasahan (we-kng) ataupun pengembangan (swelling) partikel simplisia sebelum dilakukan proses ekstraksi. Suhu mempengaruhi efektifitas ekstraksi melalui gerakan molekul cairan penyari. Makin tinggi suhu makin cepat gerakan molekul, sehingga kontak antara partikel simplisia dengan molekul cairan penyari makin intensif. Mekanisme tersebut akan memperbesar efek penyarian. Namun perlu pula diperhatikan, bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan transformasi atau degradasi senyawa yang tennolabil. Melalui pengurangan tekanan dalam sistim ekstraksi yang tertutup dan menggunakan panas, titik didih cairan penyari menjadi relatif lebih rendah, sehingga terjadinya degradasi senyawa diperkecil atau ditiadakan. Kelarutan konstituen merupakan faktor yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemilihan jenis dan polaritas cairan penyari, baik untuk tujuan penyarian total maupun penyarian selektif. Kesemua faktor tersebut di atas perlu diiniegrasikan ke dalam perencanaan teknik ekstraksi konstituen dari simplisia pada skala industri, dengan memperhatikan pertimbangan efektifitas penyarian, stabilitas senyawa yang diinginkan, serta biaya operasionalnya. Beberapa teknik ekstraksi yang dikenal adalah sebagai berikut: maserasi tanpa pengadukan; maserasi dengan pengadukanlpenggojokan; perkolasi/reperkolasi; evakolasi; diakolasi; kombinasi maserasi-perkolasi; ekstraksi arus berlawanan (counter current extraction). Berdasarkan komposisi senyawa yang terekstraksi, suatu tipe ekstrak dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan sebagai berikut: I. Ekstrak total (ekstrak primer). Dalam ekstrak total bisa terdapat senyawa aktif, senyawa pendamping dan senyawa yang tidak dikehendaki sekaligus. 2. Ekstrak setengah murni. Dalann kelompok ini terdapat senyawa aktif d m senyawa pendamping 3. Ekstrak yang berkadar tetap. Di pok ini kadaa senyawa . . .g berkadar dibuat pasti melalui penambahan ekstrak * e . m n . c ,.,!ln, tertentu atau melalui pengenceran dengan bahan yang inert seperti aerosil, maltodekstrin, dekstrin, dan sebagainya. Dalam 1pengertian cli atas. yang .dimaksud dengan senyawa aktif : ... - ... y m-g- . mempunyai khasiat seperti yang diindikasikan. adalah konst~~uen Adapun yang dimaksud dengan senyawa pendamping adalah konstituen yang menunjang khasiat senyawa aktif; misalnya memperbaiki absorpsi senyawa aktif dalam tubuh, menjaga stabilitas ekstrak, dan sebagainya (misalnya glikosida flavonol meninekatkan kecepatan absorpsi kelarutan kardenolida dkaloida solanaceae, saponin mer dalam air). Sedangkan senyawa yang tid daki adalah senyawa yang terekstraksi oieh a&n-penyan yang dipnakan akan tempi dapat menyebabkan terbentuknya senyawa kompleks yang sukar la& mengendap, sukar diabso&i, d i sebagainya (miknya tanin dapat membentuk kompleks yang sukar larut dengan alkaloida kina; logam berat berbentuk ion merupakan katalisator oksidasi senyawasenyawa fenol nabati; lilin, lendir, klorofil d m sebagai~ nya dapat menyebabkan kekeruhan). Untuk memperoleh masing-masing kelompok ekstrak terseout a1 atas dapat digunakan pendekatan berdasarkan polaritadkelarutan konstituen dalam cairan penyari yang digunakan atau melalui pengaturan derajat keasaman-kebasaan (3). Beberapa cairan penyari yang sering digunakan adalah sebagai berikut: 1. air 2. campuran metanol + air 3. campuran etanol + air 4. campuran etanol + air + glisain 5, pelarut organik lainnya: petroleum eter, ctilsetat, dan sebagainya ,,..., . Untuk pengeringan atau pemekatan ekstrak hasil penyarian dilakukan dengan menggunakan teknik tersebut di bawah ini: 1. Semprot kering (spray drying) 2. Rotasievaporasi (rotavapor) 3. Pengeringan lewat pembekuan (free= : drying) . Pada cara "pengeringan lewat pembekuan--terseour, e ~ s r r yang a~ akan diproses harus dihilangkan cairan organiknya terlebih dahulu sehingga yang tertinggal adalah air. Setelah itu dilakukan pembekuan air dalam bentuk lapisan tipis yang rata dalam bejana, melalui pendinginan menggunakan nitrogen cair atau campuran aseton dengan "es kering" (dry ice). Metoda ini selain paling aman terhadap resiko terjadinya degradasi senyawa dalam ekstrak yang n l bil. juga relatif paling mahal. .. . KUALI'rASSTANIDARISASI- .- . .. JAN ... . . Dalam Bab 111 tentang Secdiaan dari H mum Peratu ran . Menten. *nesenaran Nomor: " ~,..o. sw ~ e n r c e u r eWr L~al ~ ~ s e ~ u Danwa ~an sediaan fitofarmaka harus dipilih sesuai dengan sifat bahan baku dan tujuan penggunaan, sehingga bentuk sediaan tersebut dapat memberikan keamanan, khasiat, dan mutu yang paling tinggi. Dalam konteks tersebut di atas, pada bagian ini akan disinggung hal-ha1 i pen~bakuan. yang berkaitan dengan kualitas, standarisl3 ~ dan Tentang kualitas fannasetis dimaksucikan sebagei hal-hal yang berkenaan dengan identitas, kemurnian. kandunganI isi dan sifat fisika, kimiawi maupun biologis, ataupun ~ C I I L Z ULI ~a r Roduksi Obat yang Baik (CPOB), yang mana kesemua itu ditujukan untuk terjaminnya kualitas secara menyeluruh dari sediaan farmasi yang dihasilkan. Meskipun persyaratan tentang fitofarmaka belum seketat seperti pada produk obat "modem", namun perencanaan produksi sediaan fitofarmakl perlu seema bertahap harus diarahkan kepada terjaminny Eecara men:yelwh seperti pada obat "modern". Dalam standan,. sediaan fitofarmaka yang dihasilkan memenuhi persyaratan kualitas farmasetis melalui perbandingan dengan standar yang ditetapkan dalam farmakope ataupun buku-buku acuan lainnya. Untuk sediaan fitofarmaka yang mengandung senyawa aktif yang lebar rentang dosisnya, standarisasi pada umumnya dikaitkan dengan kadar minimal senyawa yang bersangkutan. Sedangkan p d a senyawa aktif yang rentang dosisnya sempit diperlukan dosis yang lebih pasti. Untuk maksud tersebut perlu dilakukan pembakuan sediaan fitofarmaka. Tentang pembakuan sediaan fitofarmaka dimaksudkan sebagai pembakuan kadar senyawa aktif melalui pengenceran dengan bahan pengisi yang "inert" ataupun pemekatan dengan penambahan ekstrak sejenis yang kandungan senyawa aktifnya lebih tinggi. sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan kadar yang ditetapkan. Di samping itu, pembakuan juga di maksudkan untuk penentuan khasiat. ekuivalensi efek biologis (ataupun toksiiologis). --.--- ..-,.. , , - BENTl Bentuk sediaIan fitofar maka dipilih selain :an .. pertimbangan khas~at, rteamanan dan mutu yang tmggl. juga berdasarkan pertimbangan estetika Menurut lampiran Keputusan Menteri Rcpubll Indonesia Nomm 761/Menkes/SK/IXl1992, d i a l 2 kelompok bentuk sediaan fitofarmaka; yakni kelompok sediaan oral dan kelompok sediaan topikal. Temvrsuk dalam kelompok sediaan oral adalah bcntuk-bentuk sebagai berikut: s e w , rajangan. kapsul (ekstrak), tablet (ekstrak). pi1 (ekstrak), simp, sediaan terdispersi. Sedangkan yang tamasuk kelompok s c d i i topikal adalah bcntuk sebagai berikut: salep/krim (ekstrak), supositoria (ekstrak), liniments (ekstrak), bedak. Beberapa bcntuk scdiaan di atas, selanjutnya diurailw secara singkat scbagai berikut .