BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pestisida Nabati Perlindungan tanaman merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya menekan kehilangan hasil pertanian yang diakibatkan oleh OPT. Penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen pengendalian OPT sebaiknya diterapkan secara bijaksana. Hal ini berkaitan dengan dampak negatif yang ditimbulkan berupa resurgensi, resistensi, matinya populasi musuh alami, dan pencemaran lingkungan melalui residu yang ditinggalkan serta terjadinya keracunan pada manusia (Petrus dan Ismaya, 2014: 163). Sampai saat ini penggunaan pestisida sintetik paling banyak pada tanaman holtikutura, khususnya tanaman sayuran yang justru hasilnya langsung dikonsumsi manusia, baik dalam bentuk yang sudah dimasak atau masih mentah (Untung, 1993: 3). Pengendalian hama oleh petani masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetik yang diyakini praktis dalam aplikasi dan hasil pengendalian jelas terlihat. Namun, petani cenderung menggunakan pestisida sintetik dengan takaran yang berlebihan, sehingga penggunaan pestisida sintetik perlu dikelola dan dikendalikan secara efektif dan aman bagi lingkungan (Julaily, dkk, 2013; Petrus dan Ismaya, 2014: 163). Pestisida kimia memiliki kandungan racun yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan sedangkan pestisida nabati tidak mengandung zat racun 9 yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan (Ardra, 2013; Afifah, dkk, 2015: 2). Dampak penggunaan pestisida sintetik diantaranya : 1. Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida sintetik Karena hama terus-menerus mendapatkan tekanan oleh pestisida maka melalui proses seleksi alami spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang sering digunakan oleh petani (Untung, 1996: 12). 2. Timbulnya resurjensi hama Dampak pestisida sintetik yang dirasakan oleh petani adalah timbulnya resurjensi hama atau peristiwa meningkatnya hama setelah hama tersebut memperoleh perlakuan pestisida sintetik tertentu. Apabila pada peristiwa resistensi hama menjadi lebih tahan terhadap pestisida sehingga sulit untuk dimusnahkan, tetapi pada peristiwa resurjensi justru populasi hama tersebut semakin meningkat setelah memperoleh penyemprotan pestisida. Dengan adanya sifat resurjensi ini penggunaan pestisida tidak hanya sia-sia tetapi malah sangat membahayakan (Untung, 1996: 1213). 3. Letusan hama ke dua Setelah perlakuan pestisida sintetik tertentu secara intensif ternyata hama sasaran utama memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak membahayakan (Untung, 1996: 13). Upaya untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, sudah saatnya dikembangkan penggunaan pestisida nabati yang merupakan alternatif sebagai sarana pengendalian OPT yang selalu tersedia di alam, dapat dibuat 10 sendiri serta relatif cukup aman bagi lingkungan. Pestisida nabati merupakan produk alam yang berasal dari tumbuhan yang mengandung bioaktif seperti senyawa sekunder. Jika diaplikasikan ke sasaran (hama) dapat mempengaruhi sistem syaraf, terganggunya sistem reproduksi, keseimbangan hormon, perilaku berupa penarik/pemikat, penolak, mengurangi nafsu makan, dan terganggunya sistem pernafasan (Hidayat, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 163). Menurut Haryono (2012: 1), pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, sedangkan arti pestisida itu sendiri adalah bahan yang dapat digunakan untuk mengendalikan populasi OPT. Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di alam (Bio-degredable), sehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan. Pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain: 1. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga, misal: dengan bau yang menyengat. 2. Antifeedan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot. 3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa. 4. Menghambat reproduksi serangga betina. 5. Racun syaraf. 6. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga. 7. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga. 8. Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri (Syakir, 2011: 11-12). 11 Pestisida nabati terbuat dari sari bagian tanaman yang mengandung senyawa metabolit sekunder tertentu. Bagian tanaman yang dapat digunakan yaitu bunga, buah, biji, kulit batang, daun, dan akar (Afifah, dkk, 2015: 2). Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (Mega-biodiversity) terbesar kedua di dunia setelah Brazil, termasuk memiliki sejumlah tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pestisida, baik yang langsung digunakan atau dengan ekstraksi sederhana dengan air, ekstraksi dengan pelarut organik lainnya ataupun dengan cara penyulingan, tergantung kepada tujuan dari formula yang akan dibuat (Rusli dkk, 1993; Sambodo, 2010: 6). Kemampuan air dalam mengekstrak bahan aktif yang bersifat insektisidal dari tumbuhan umumnya terbatas, karena senyawa aktif tersebut merupakan senyawa organik yang kesetimbangan polarnya cenderung tidak polar dan karena keterbatasan air dalam mensuspensiakan kandungan senyawa aktif (Rusli dkk, 1993; Sambodo, 2010: 6). Ekstrak air mempunyai kecenderungan tidak lama. Pada penelitian ekstrak biji air mimba setelah tiga hari mengalami penurunan pH hingga 4,2, pada kondisi pH tersebut terjadi fermentasi yang menyebabkan bau busuk. Hal senada dikatakan bahwa proses fermentasi yang menyebabkan bau busuk pada ekstrak air daun dan biji mimba sudah terjadi pada 60 jam setelah ekstraksi (Priyadi, 1999; Sambodo, 2010: 6). Pengendalian hayati memberikan keuntungan yang paling utama yakni tidak mencemari lingkungan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah hanya tingkat keberhasilannya memang masih lebih rendah dibandingkan dengan pengendalian 12 secara kimiawi. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari penggunaan pestisida nabati. 1. Kelebihan a. Mudah dan cepat terdegradasi oleh sinar matahari, b. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun perut dan syaraf) dan bersifat selektif, c. Dapat digunakan untuk mengendalikan OPT yang telah resisten terhadap pestisida sintetik, d. Fitotoksisitas rendah, e. Aman terhadap manusia, hewan, dan lingkungan, dan f. Relatif murah dan mudah dibuat oleh petani. 2. Kelemahannya: a. Cepat terurai dan daya tahannya relatif lambat sehingga perlu aplikasi lebih sering, b. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga), c. Kurang praktis dibanding dengan pestisida sintetik yang sudah siap dalam kemasan, d. Tidak ada keseragaman bahan, dan e. Tidak tahan lama disimpan. (Siswanto dan Elna, 2012 : 108). Penggunaan pestisida nabati sebagai agensia hayati semakin memperoleh perhatian besar karena penggunaan pestisida sintetis yang kurang tepat dapat 13 menimbulkan resistensi, resurjensi, dan peledakan hama kedua (Sheiton, dkk, 1995; Mulyaningsih, 2010: 2). B. Tapak Liman (Elephantopus scaber L.) Tanaman tapak liman (Elephantopus scaber L.) merupakan gulma dan belum dibudidayakan. Pada tempat-tempat tertentu sering ditemukan dalam jumlah banyak terutama di lapangan rumput. Tanaman ini berasal dari Amerika di daerah tropik dan memiliki keanekaragaman yang kecil. Gambar 1. Tapak Liman Sumber : Dokumentasi pribadi 1. Sinonim Asterocephalus cochinchinensis soreng, Scabiosa cochinchinensis Lour (Dalimartha, 2005). 14 2. Klasifikasi Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiosperma Bangsa : Asterales Suku : Asteraceae Marga : Elephantopus Jenis : Elephantopus scaber L. (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). 3. Nama Daerah Tapak liman dan tutup bumi. 4. Morfologi Tanaman Tanaman tapak liman termasuk terna tegak dengan rimpang yang menjalar, tinggi 10 cm sampai 80 cm. Batang kaku, berambut panjang dan rapat, dan bercabang. Daun berkumpul di bawah, membentuk roset, bentuk daun jorong, bundar telur sungsang, panjang 3 cm sampai 38 cm, lebar 1 cm sampai 6 cm, permukaan daun agak berambut. Bunga berupa tonggol, bergabung banyak, berbentuk bulat telur dan sangat tajam, daun pelindung kaku, daun pembalut dari tiap bunga kepala berbentuk jorong, lanset, sangat tajam, dan berselaput. Empat daun pembalut dibagian dalam panjang 10 mm berambut rapat. Panjang mahkota bunga 7 mm sampai 9 mm, berbentuk tabung, berwarna putih, ungu, kemerahan, dan ungu pucat. Buah merupakan buah longkah, panjang 4 mm, berambut; berambut kasar, melebar pada bagian pangkalnya, kaku, dan panjangnya 5 mm sampai 6 mm. 15 5. Khasiat Daun tapak liman berkhasiat sebagai obat mencret, obat batuk, obat sariawan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), obat demam, peluruh kencing (diuretik) sedangkan akar dapat digunakan untuk mengobati malaria (Mardisiswojo dan Sudarsono, 1985). 6. Kandungan Kimia Bagian tanaman tapak liman yang banyak mengandung senyawa metabolit sekunder adalah daun. Daun yang biasa yang digunakan adalah daun-daun yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda (Mardisiswojo dan Sudarsono, 1985). Menurut Asmaliyah, dkk, (2010: 50), di dalam daun tapak liman terkandung senyawa saponin, flavonoid, dan polifenol. Tapak liman dikenal mengandung sejumlah senyawa kimia seperti lipid, fitokimia, farmakeutik, dan pigmen. Sebagai contoh etil heksadekanoat, etil l-19, 12-oktadekadienoat, deoxyelephantopin etil-(Z)-9-oktadekanoat, (iso-17,19-dihidrodeoxyelephantopin dihidrodeoxyelephantopin), isodeoxyelephantopin, etil dekanoat, dan 17,19- elephantopin, triterpen, stigmasterol, stigmasterol glukosida, epifriedelinol dan lupeol (Avani & Neeta, 2005; Monalisa, 2010: 12). Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae), merupakan salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid (Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12). a) Saponin Saponin diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul 16 karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin steroid diekskresikan setelah konjugasi dengan asam glukoronida dan digunakan sebagai bahan baku pada proses biosintesis dari obat kortikosteroid. Contoh senyawa saponin steroid diantaranya Asparagosides (Asparagus officinalis), Avenocosides (Avena sativa), Disogenin (Dioscorea floribunda dan Trigonella foenum graceum). Sedangkan, saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat, dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan. Tipe saponin ini adalah turunan-amyirine. Contoh senyawa triterpen steroid adalah Asiaticoside (Centella asiatica), Bacoside (Bacopa monneira), dan Cyclamin (Cyclamen persicum). Menurut Hartono (2011: 1), saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Ketika saponin direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan iritasi pada selaput lendir (Hartono, 2011: 1). Jika senyawa tersebut masuk ke dalam tubuh serangga akan menjadi racun kontak dan racun perut (Carino dan Rejesus, 1982). Racun kontak masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami dari tubuhnya. Setelah masuk, racun akan menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem syaraf sehingga dapat mengganggu aktivitas serangga (Trizelia, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 168). Penelitian yang dilakukan Hidayati, dkk (2013: 98), menyatakan bahwa senyawa 17 saponin memasuki tubuh larva melalui kulit dengan proses adhesi dan menimbulkan efek sistemik. Penetrasi senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga melalui epikutikula serangga, senyawa tersebut masuk ke dalam jaringan di bawah integumen menuju daerah sasaran. Masuknya saponin mengakibatkan rusaknya lilin pada lapisan kutikula. Hal tersebut menyebabkan kematian karena larva mengalami banyak kehilangan air (Cottrell, 1987; Hidayati, dkk, 2013: 98). Saponin dapat merendahkan tegangan permukaan. Terjadinya interaksi antara saponin dengan membran sel karena sifat aktif saponin pada permukaan sel mampu berikatan dengan fosfolipid dan kolesterol. Kondisi tersebut menyebabkan terganggunya permeabilitas membran sitoplasma yang berakibat pada kebocoran materi intraseluler dan menyebabkan lisis sel (Maisaroh, 2007). Jika sel lisis maka jaringan-jaringan yang ada pada sel rusak dan tidak bisa saling berhubungan dengan jaringan yang ada pada sel lain. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel berhenti dan larva mati (Widodo, 2005). Selain masuk melalui kutikula, dapat juga melalui makanan yang berpengaruh terhadap proses biologi tubuh dan metabolisme zat nutrisi, di antaranya menyebabkan iritasi membran mukosa pada kerongkongan (Widodo, 2005; Kurniawan, dkk, 2013: 205-206). Saponin dapat menghambat produktivitas kerja enzim kimotripsin yang berakibat pada terganggunya sistem pencernaan, terhambatnya perkembangan dan menyebabkan kematian jika tingkat penghambatan pencernaan relatif tinggi (Widodo, 2005). Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan serta mengganggu penyerapan makanan (Shahabuddin dan Flora, 2009: 152). Jika 18 dalam proses penyerapan makanan terganggu maka nutrisi yang diperoleh ulat tritip hanya sedikit sehingga menakibatkan kematian. b) Flavanoid Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon, umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Flavonoid adalah pigmen tanaman untuk memproduksi warna bunga merah atau biru pigmentasi kuning pada kelopak yang digunakan untuk menarik hewan penyerbuk. Flavonoid hampir ada pada semua bagian tumbuhan termasuk buah, akar, daun, dan kulit luar batang (Mirna, dkk, 2013: 51). Flavonoid merupakan senyawa fenol, bekerja dengan cara mendenaturasi protein (Hidayati, dkk, 2013: 98). Sastrodihardjo (1992), senyawa flavonoid dapat mempengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama. Senyawa tersebut merupakan racun kontak, karena masuk melalui membran sel sehingga memengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama. Menurut Sastrodihardjo (1979), di dalam hemolimfa terdapat protein, jika protein terdenaturasi oleh flavonoid maka bahan makanan tidak bisa disalurkan dari alat pencernaan ke seluruh jaringan tubuh larva, sehingga larva akan kekurangan ATP dan mengakibatkan kematian (Hidayati, dkk, 2013: 98). c) Minyak atsiri Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae), merupakan salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid (Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12). Secara kimia terdapat 40 konstituen utama minyak atsiri yakni 13 jenis senyawa monoterpenoid (5,17 %), 17 jenis senyawa 19 sesqueterpenoid (13,95 %), dan 8 jenis senyawa chromene (71,05%). Dari 8 jenis senyawa chromene, terdapat Precocene I (6,7-dimetoksi-2,2-dimetilchromene) dan Precocene II (7-metoksi-2,2-dimetilchromene) (Adeleke, dkk, 2002; Susanto, 2010: 4). Senyawa Precocene I dan precocene II yang terkandung di dalam ekstrak tapak liman berfungsi sebagai anti hormon juvenil menyebabkan tergganggunya proses pergantian kulit serangga yang mengakibatkan larva cacat atau mati dan mengalami metamorfosis dini (Prijono, 1999). C. Hama Ulat Tritip (Plutella xylostella) Hama dalam arti luas adalah semua bentuk gangguan baik pada manusia, ternak, dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan dengan kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman atau hasilnya yang mana aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (Dadang, 2006). 1. Klasifikasi Gambar 2. Ulat Tritip Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm Klasifikasi ulat tritip menurut Kalshoven (1981) sebagai berikut : 20 Kerajaan : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Plutellidae Genus : Plutella Spesies : Plutella xylostella L. 2. Biologi dan Siklus Hidup Hama Ulat Tritip Di Indonesia, hama ulat tritip merupakan hama utama pada tanaman kubis (Setiawati, 1996; Mulyaningsih, 2010: 96). Ulat ini sering disebut hama bodas, hama kracang, hama wayang dan ulat tritip (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96). Ulat daun ini dikenal dengan nama diamondback moth merupakan serangga kosmopolit yang dapat hidup di daerah tropik, sub tropik, dan yang beriklim sedang (Kalshoven, 1981; Irawati, 2000: 27). Hama ini bersifat polifag, khususnya pada famili Cruciferae, diantaranya kubis, lobak, kubis bunga, dan kubis tunas. Ulat tritip mempunyai siklus hidup yang sempurna sehingga disebut juga holometabola. Siklus hidup pada ulat tritip yaitu telur – larva – pupa – imago. Telur, larva, dan pupa hidup pada inang, sedangkan imagonya hidup pada inang atau tanaman lain yang berdekatan dengan inang (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 96). 21 10-13 hari 2-8 hari 24 jam 7-47 hari Gambar 3. Siklus Hidup Ulat Tritp Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm a) Telur 2-8 hari Gambar 4. Fase Telur Ulat Tritip Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm Telur diletakkan di balik daun secara terpisah satu persatu, kadang-kadang duadua atau tiga-tiga butir perkelompok (Rukmana,1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Telur berbentuk oval dengan ukuran lebar 0,26 mm, panjang 0,49 mm dan berwarna kuning cerah saat baru diletakkan dan berwarna lebih tua saat menjelang menetas 22 (Setiawati, 1996; Mulyaningsih, 2010: 96). Stadium telur berkisar antara 2 sampai 8 hari. b) Larva Larva terdiri dari empat instar (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 96). Panjang setiap instar larva tidak lebih dari 1,7 mm untuk larva instar I, tidak lebih dari 3,5 mm untuk larva instar II, dan instar III dan IV panjang badannya tidak lebih dari 7 mm dan 11,2 mm berturut-turut (Capinera, 2000; Wardhani, 2004: 9). 10-13 hari Gambar 5 Gambar 6 (5) Larva Ulat Tritip (6) Larva Ulat Tritip Instar III Sumber: (5) http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm, (6) Dokumentasi pribadi Menurut Herlinda, dkk (2004), instar I (yang baru menetas) berkisar 3-4 hari, berwarna hijau pucat, kepalanya berwarna hitam cenderung pasif, makan daun kubis dengan cara membuat lubang galian ke dalam jaringan permukaan bawah daun dan membuat liang-liang korokan ke dalam jaringan parenkim sambil memakan daun. Larva instar II berkisar 1-2 hari, berwarna hijau tua dengan kepala berwarna hitam, kemudian larva ke luar dari liang-liang korokan yang transparan dan makan jaringan permukaan bawah daun (Herlinda, dkk, 2004). Instar III berkisar 2-3 hari dan Instar 23 IV berkisar 3-4 hari (Herlinda, dkk, 2004). Instar III dan IV, memiliki ciri kepala berwarna hijau sampai coklat, memakan bagian bawah daun lebih banyak dari instar-instar sebelumnya (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96). Secara keseluruhan stadium larva berlangsung 10-13 hari (Herlinda, dkk, 2004). Pada ketinggian 1100-2000 mdpl stadium larva lebih panjang yaitu 12 hari dan di bawah ketinggian 250 mdpl lebih pendek yaitu 9 hari (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Larva selalu berada di bawah permukaan daun dan di antara vena daun. Selanjutnya larva memakan jaringan bawah daun dengan membentuk seperti jendela pada bagian bawah daun, tetapi tidak memakan vena daun. Larva ini lebih suka memakan daun yang masih muda dan lebih banyak ditemukan bergerombol di sekitar titik tumbuh (Shelton, dkk, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96). Jika serangan parah tanaman tidak dapat membentuk krop dan akhirnya tanaman mati. Umumnya pada instar larva sangat rakus dalam hal makanan sebab dibutuhkan energi yang cukup banyak untuk pertumbuhan, bergerak dan cadangan makanan sewaktu pembentukan pupa (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 96). Instar II sampai IV berperilaku lincah, jika terganggu akan menggeliat jatuh dengan cepat dan menggantungkan diri dengan benang sutera (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Larva akan naik kembali pada daun melalui benang sutranya apabila keadaan sudah aman (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 96). Larva instar IV membentuk benang seperti benang sutra putih di bawah 24 permukaan bawah daun yang terlindung untuk menghindari sinar matahari (Permadi, 1993). c) Pupa 24 jam Gambar 7. Pupa Muda Ulat Tritip Sumber:http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm Pembentukan pupa mula-mula dibuat dari bagian dasar, bagian sisinya, kemudian tutupnya yang masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan pernafasan. Pupa muda berwarna hijau dan setelah 24 jam berubah menjadi coklat kehitaman (Suyanto, 1994; Mulyaningsih, 2010: 97). Pupa berukuran panjang 5-6 mm dengan diameter 1,2-1,5 mm. Pupa terselubungi kokon dengan stadium pupa 6-7 hari pada ketinggian 1100-1200 m dpl dan 4 hari di bawah ketinggian 250 m dpl (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 97). d) Dewasa/imago 7-47 hari Gambar 8. Imago Sumber:http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm 25 Imago berwarna coklat keabu-abuan, imago jantan berukuran lebih kecil dibandingkan imago betina dengan warna lebih cerah, warna sayap betina agak pucat dan aktif pada malam hari (Ashari, 1995; Mulyaningsih, 2010: 97). Imago berupa ngengat kecil dengan ukuran panjang 8-10 mm. Ketika sayapnya menutup (saat tidak terbang), sepanjang bagian punggung ngengat terdapat satu ciri tertentu, yaitu 3 bentuk segi empat “diamond back moth” (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97). Imago betina mampu bertelur 180-320 butir yang diletakkan di bawah permukaan daun, mengelompok atau terpisah pada tanaman lain. Satu imago betina dapat meletakkan telur pada bermacam-macam tanaman Cruciferae (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 97). Cara penyebarannya berpindah-pindah dari satu tanaman ke tanaman lain atau antar daerah yang berdistribusi sangat jauh dengan bantuan hembusan angin (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 97). Ngengat kecil lebih suka beristirahat di bawah permukaan daun, pada bagian tanaman yang “protective” baginya (Shelton, dkk, 1995; Mulyaningsih, 2010: 97). Lama hidup ngengat betina berkisar antara 7-47 hari, rata-rata 16,2 hari dan ngengat jantan antara 3-58 hari, dengan rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang diletakkan tiap ngengat betina antara 18-356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah telur yang diproduksi setiap ngengat betina dipengaruhi oleh perbedaan temperatur, umur, dan kondisi makan larva (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97). 3. Aktivitas Makan Hama Ulat Tritip 26 Serangga akan menghadapi dua hal untuk memulai aktivitas makan, yang pertama adanya rangsangan-rangsangan untuk inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant) dalam tanaman yang memberikan masukan isyarat untuk pengenalan jenis makanan dan menjaga aktivitas makan dan yang ke dua adalah pendeteksian kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat bersifat sebagai penghambat makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama sekali (Dadang dan Kanju, 2000: 30). 4. Gejala Serangan Hama Ulat Tritip Ulat tritip biasanya menyerang tanaman pada saat berumur 2-6 minggu (Rukmana, 1994; Siahaya dan Rumthe, 2014: 113). Hama ulat tritip memakan daundaun baik pada tanaman yang masih muda maupun tanaman yang sudah tua (Trizelia, 2002; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Mula-mula larva akan merusak daun dengan cara menggigit mengunyah kemudian memakan permukaan bawah daun. Bagian bawah daun rusak, epidermis bagian atas terlihat putih transparan. Setelah daun tersebut tumbuh dan melebar, lapisan epidermis akan robek sehingga daun tampak berlubang (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Gejala serangan oleh hama ini khas dan tergantung pada instar larva yang menyerang. Larva instar pertama (yang baru menetas) memakan daun dengan jalan membuat lubang galian pada permukaan bawah daun, selanjutnya larva membuat lorong (gerekan) ke dalam jaringan parenkim sambil memakan daun. Larva instar II, keluar dari liang gerekan yang transparan dan memakan jaringan daun pada permukaan bawah daun. Demikian juga larva instar III dan IV. 27 Larva instar III dan IV memakan seluruh bagian daun sehingga meninggalkan ciri yang khas, yaitu tinggal epidermis bagian atas daun atau bahkan tinggal tulang daunnya saja (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Tingkat populasi larva ulat tritip tertinggi terjadi pada tanaman yang berumur 6 sampai 8 minggu setelah tanam. Tingkat populasi larva yang tinggi dapat mengakibatkan serangan yang sangat berat pada tanaman. Serangan larva ini terjadi secara eksplosif pada musim kemarau, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai seratus persen (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Gambar 9. Serangan Hama Ulat Tritip Sumber : Dokumentasi pribadi D. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) 1. Klasifikasi Menurut Tina, dkk (1994), klasifikasi tanaman sawi sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rhoeadales Famili : Cruciferae 28 Genus : Brassica Spesies : Brassica juncea L. (Nurshanti, 2010: 90). Gambar 10. Tanaman Sawi Sumber : Dokumentasi pribadi 2. Deskripsi dan Morfologi Tanaman Sawi Sawi termasuk jenis tanaman sayuran dan tergolong kedalam tanaman semusim (berumur pendek). a. Daun Daun tanaman sawi berbentuk bulat dan lonjong, lebar dan sempit, tidak berbulu, berwarna hijau muda, hijau keputih-putihan sampai hijau tua. Daun memiliki tangkai daun panjang dan pendek, sempit atau lebar berwarna putih sampai hijau, bersifat kuat dan halus. Pelepah daun tersusun saling membungkus dengan pelepahpelepah daun yang lebih muda tetapi tetap membuka. Daun memiliki tulang-tulang daun yang menyirip dan bercabang-cabang (Kurniadi, 1992; Nurshanti, 2010: 90). b. Akar Tanaman sawi memiliki sistem perakaran akar tunggang (radix primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silendris), menyebar ke 29 seluruh arah pada kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 90). c. Batang Tanaman sawi memiliki batang (caulis) yang pendek dan beruas, sehingga hampir tidak kelihatan. Batang berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang berdirinya daun. Sawi umumnya berdaun dengan struktur daun halus dan tidak berbulu. Daun sawi membentuk seperti sayap bertangkai panjang dan berbentuk pipih (Rahmat, 2007; Nurshanti, 2010: 91). d. Bunga Bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Setiap kuntum bunga terdiri dari empat helai kelopak, empat helai mahkota berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik yang berongga dua. Penyerbukan bunga sawi dapat berlangsung dengan bantuan serangga lebah maupun bantuan manusia. Hasil penyerbukan ini akan membentuk buah yang berisi biji (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 91). e. Buah Buah sawi termasuk tipe buah polong yakni berbentuk memanjang dan berongga (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 91). 3. Syarat Tumbuh Sawi bukan merupakan tanaman asli Indonesia, akan tetapi keadaan alam Indonesia dengan iklim, cuaca, dan sifat tanah memungkinkan untuk dikembangkan 30 dengan baik. Tanaman sawi dapat tumbuh di tempat yang berhawa panas maupun hawa dingin, tetapi dapat tumbuh baik dengan iklim yang kering pada suhu 15 – 20 o C dan ketinggian 5 – 1200 mdpl. Tanah yang baik untuk ditanami sawi adalah tanah gembur, banyak mengandung humus dan kaya akan bahan organik, jenis tanah andosol dan regosol, memiliki pembuangan air yang baik dengan derajat keasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya berkisar antara 6 – 7 (Nurhayati, dkk, 1984; Nurshanti, 2010: 92). Tanaman ini memerlukan hawa yang sejuk akan lebih baik tumbuh ditanam pada suasana yang lembab, dan tidak menyukai air yang menggenang. Jarak tanam yang baik untuk tanaman sawi adalah 20x20 cm (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 92). 4. Kandungan Gizi Tanaman Sawi Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan yang diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam setiap 100 gram berat basah sawi ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Sawi Zat gizi Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Ca (mg) P (mg) Fe (mg) Vitamin A (mg) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Sawi 2,3 0,3 4,0 220,0 38,0 2,9 1.940,0 0,09 102 Sumber: (Haryanto, dkk, 2007: 5-6). 31 5. Produktifitas Tanaman Sawi Tabel 2. Luas Panen, Produksi, dan Rata-Rata Hasil Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 Komoditas Kubis Kembang kol Petsai/Sawi Kangkung Bayam Luas Panen Produksi (Ton) (Ha) 63.116 1.435.833 11.303 136.508 60.804 602.468 52.541 319.607 45,325 134.159 Rata-Rata Hasil (Ton/Ha) 22,75 12,08 9,91 6,08 2,96 Sumber: (Taufik, 2014: 19) dimodifikasi. 6. Hama Penyerang Tanaman Sawi Hama tanaman sawi yang cukup penting menurut Tjahjadi (1989: 107) sebagai berikut. a) Agrotis ipsilon Hama ini merusak tanaman kubis, sawi, dan petsai pada saat di persemaian hingga beberapa minggu setelah tanaman di lapangan. Gejala serangan yang khas ditandai dengan terpotongnya tanaman pada pangkal batang kubis, sawi, dan petsai. Ulat aktif pada sore hingga malam hari, sehingga petani hanya menemukan bekas serangan pada pagi hari (Tjahjadi, 1989: 107). b) Ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell) Gejalanya yaitu daun bagian dalam yang terlindung oleh daun bagian luar rusak dan terlihat adanya bekas gigitan. Tidak heran bila dari luar tanaman masih terlihat baik, tetapi bagian dalam sudah mengalami kerusakan. Kerusakan ini terjadi sampai ke titik tumbuh (Haryanto, dkk, 2007: 71). 32 Ulat krop kubis ini berwarna hijau, terdapat garis berwarna hijau muda dan rambut berwarna hitam di punggungnya. Serangga dewasa menghasilkan telur yang jumlahnya 30-80 butir tiap kelompok. Telur menetas dalam jangka warktu 1-2 minggu dan setiap hari jumlah telur akan bertambah (Haryanto, dkk, 2007: 71). c) Ulat keremeng atau tritip (Plutella xylostella) Gejalanya daun tampak seperti karancang putih. Jika lebih diperhatikan karancang tersebut adalah kulit ari daun yang tersisa setelah dagingnya dimakan ulat. Selanjutnya daun menjadi berlubang karena kulit ari daun tersebut mengering dan sobek. Serangan berat menyebabkan seluruh daging daun habis termakan sehingga yang tersisa hanya tulang-tulang daunnya (Haryanto, dkk, 2007: 72). Ulat keremeng memiliki warna hijau muda ketika baru menetas. Setelah dewasa berbentuk ngengat dan warna kepalanya menjadi lebih pucat dan terdapat bintik coklat (Haryanto, dkk, 2007: 72). d) Ulat grayak (Spodoptera litura) Ulat ini memakan daun yang tua maupun muda. Tetapi ulat ini juga mempunyai banyak tanaman inang. Selain dapat menurunkan kuantitas, juga akan menurunkan kualitas hasil (Tjahjadi, 1989: 108). e) Kutu daun Aphis sp. Kutu ini menusuk dan menghisap cairan tanaman, terutama pada musim kemarau. Jika serangan berat, tanaman akan layu akibat kekurangan cairan. Bekas tusukan yang ditinggalkan yang kurang baik bagi perkembangan daun, daun akan keriting atau tumbuhnya tidak normal (Tjahjadi, 1989: 108). 33 f) Siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris) Siput ini berwarna coklat kekuningan atau coklat keabuan. Rumah pada punggungnya kerdil dan sedikit menonjol. Siput jenis telanjang halus dan tidak ada tonjolannya. Panjang siput 5 cm. Siput ini polifag atau pemakan segala tanaman. Siput sering merusak tanaman yang baru saja tumbuh seperti kol, sawi, tomat, tembakau, ubi jalar, dan kentang (Pracaya, 2008: 298). g) Sumpil Ada 2 jenis sumpil yaitu Lamellaxis gracilis Hutt. dan Subbulina octona Brug. Sumpil mempunyai rumah yang bentuknya silindris dan berukuran kecil dengan panjang 11 mm, warnanya kuning muda. Kedua jenis sumpil ini biasanya tercampur menjadi satu populasi. Binatang ini merusak semai tembakau, kol, sawi, dan bermacam-macam sayuran (Pracaya, 2008: 298). E. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat penting baik bagi konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai penghasil vitamin dan mineral. Bagi perekonomian nasional, peran sayuran semakin meningkat karena dibeberapa daerah pusat holtikutura telah berhasil mengekspor beberapa komoditi sayuran seperti kubis, kentang, dan cabai (Untung, 1993: 55). Oleh karena peran yang sangat penting bagi masyarakat dalam dan luar negeri maka produktivitas dan kualitas sayuran yang dihasilkan petani selalu ditingkatkan. Intensifikasi sayuran yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas per satuan 34 unit lahan selalu diusahakan oleh petani dengan meningkatkan penggunaan berbagai masukan produksi seperti bibit, pupuk, zat pengatur tumbuh, dan pestisida. Usaha intensifikasi yang dilakukan oleh petani sayuran umumnya atas dasar pengalaman dan pengetahuannya yang terbatas serta kurang memperoleh bimbingan dan pengawasan dari petugas pemerintah (Untung, 1993: 55). Menurut Sastrosiswojo (1990), rata-rata petani sayuran harus mengeluarkan sekitar 50% dari biaya produksi yang digunakan untuk pengendalian kimiawi dengan mencampur berbagai jenis pestisida (Untung, 1996: 56). Dilaporkan juga bahwa petani sayuran rata-rata menyemprot tanaman sayurannya 16 kali dalam satu musim atau dengan interval penyemprotan 4-6 hari. Tidak sedikit petani sayuran yang menyemprot dengan interval lebih pendek daripada interval tersebut, terutama bila turun hujan (Untung, 1993: 56). PHT sebagai konsep dan kebijakan pemerintah dalam setiap program dan perlindungan tanaman pangan merupakan konsep yang tepat untuk memperbaiki keadaan dan kehidupan petani sayuran sehingga sumberdaya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara optimal (Untung, 1993: 56). Menurut Kenmore (1989), PHT sebagai perpaduan yang terbaik, maksudnya adalah perpaduan penggunaan berbagai metode pengendalian hama yang dapat memperoleh hasil yang terbaik yaitu stabilitas produksi pertanian, kerugian seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta petani memperoleh penghasilan yang maksimal dari usaha taninya (Untung, 1996: 9). Konsep PHT muncul akibat dari kesadaran manusia akan bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan manusia 35 secara global, sedangkan kenyataan yang terjadi bahwa penggunaan pestisida oleh petani di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan konsep PHT yang merupakan pendekatan pengendalian hama yang baru yang dapat menekan penggunaan pestisida (Untung, 1996: 80). Bebrapa faktor yang mendorong penerapan PHT pada tanaman sayuran, yang pertama adalah kegagalan pengendalian hama secara konvensional. Praktik penggunaan pestisida yang lazim dilakukan petani sayuran didorong oleh konsep pengendalian hama yang tidak didasarkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi. Petani sayuran umumnya menerapkan asas preventif/pencegahan. Penyemprotan dengan pestisida dianggap sebagai asuransi kesehatan tanaman. Karena dorongan konsumen petani menjadi takut serangga atau entomofobi. Petani berpendapat setiap jenis serangga pada tanaman tentu merugikan sehingga harus diberantas dengan pestisida. Orientasi penggunaan pestisida bukan lagi efikasi dan efisiensi pengendalian tetapi sudah berubah menjadi berorientasi pada kepuasan naluri yang lebih bersifat subyektif dan emosional. Orientasi penggunaan pestisida seperti ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani semakin tidak rasional (Untung, 1993: 58). Faktor yang kedua yang mendorong dan mengharuskan petani sayuran menerapkan PHT adalah kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen pada masa mendatang terutama permintaan akan produk holtikutura yang bebas residu pestisida. Menigkatnya kesadaran manusia akan lingkungan hidup yang bersih dan tidak tercemar, maka masyarakat akan semakin menghargai bahan makanan yang bebas residu bahan pencemar seperti pestisida (Untung, 1993: 58). Faktor yang ketiga 36 yaitu kebijakan pemerintah. Sejak Pelita III telah dinyatakan bahwa PHT merupakan kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan. Kebijakan tentang PHT kemudian diperkuat oleh Inpres No. 3/1986 dan UU No. 2/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU No. 2/1992 telah menetapkan berbagai bentuk sanksi yang sangat berat bagi siapa saja yang menyalahgunakan penggunaan pestisida baik secara sengaja maupaun tidak sengaja (Untung, 1993: 59). PHT tidak hanya mencakup pengertian tentang perpaduan beberapa teknik tentang pengendalian hama, tetapi dalam penerapannya PHT harus memperhitungkan dampaknya baik yang bersifat ekologis, ekonomis, dan sosiologis sehingga secara keseluruhan dapat diperoleh hasil yang terbaik. Oleh karena itu, PHT dalam perencanaan, penerapan, dan evaluasinya harus mengikuti suatu sistem pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik (Untung, 1996: 9). 1. Pengendalian Hama Ulat Tritip dengan Pestisida Nabati Pemanfaatan pestisida nabati yang berasal dari senyawa sekunder tanaman telah banyak digunakan untuk pengendalian OPT tanaman pertanian termasuk tanaman perkebunan. Lebih dari 1500 jenis tumbuhan di dunia telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1988; Siswanto dan Elna, 2012: 107). Indonesia diperkirakan memiliki kawasan hutan tropis terbesar di Asia-Pasifik yaitu sekitar 1,15 juta kilometer persegi dengan keanekaragaman jenis pohon yang paling beragam di dunia (Siswanto dan Elna, 2012: 107). Tingginya keanekaragaman hayati Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang mempunyai jumlah keanekaragaman hayati terbesar. Pulau Jawa 37 memiliki jumlah spesies setiap 10.000 km2 antara 2000 – 3000 spesies, banyak diantaranya berpotensi sebagai bahan baku pestisida (Kardinan, 2002; Siswanto dan Elna, 2012: 107). Lebih dari 40 jenis tumbuhan dari berbagai provinsi di Indonesia yang telah dilaporkan berpotensi sebagai pestisida nabati (Ditjenbun, 1994; Siswanto dan Elna, 2012: 107). Melimpahnya kekayaan flora di Indonesia berpotensi sebagai sumber pestisida nabati. Pestisida nabati merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan berupa hama dan penyakit tumbuhan maupun tumbuhan pengganggu (gulma). Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian dari tumbuhan baik dari daun, bunga, buah, biji, dan akar. Biasanya bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Siswanto dan Elna, 2012: 107-108). Menurut Syakir (2011: 10-11), dalam fisiologi tanaman ada beberapa jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan pestisida sebagai berikut : a. Kelompok tumbuhan insektisida nabati, merupakan kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan srikaya diyakini bisa menanggulangi serangan serangga. b. Kelompok tumbuhan atraktan atau pemikat, di dalam tumbuhan ini ada satu bahan kimia yang menyerupai sex pheromon pada serangga betina dan bertugas menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dar jenis Bactrocera 38 dorsalis. Tumbuhan yang biasa diambil manfaatnya, daun wangi (kemangi) dan selasih. c. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati, kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk penekan kelahiran umunya mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang biasanya dipakai sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun. d. Kelompok tumbuhan molukisida adalah kelompok tumbuhan yang mengahasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman menimbulkan pengaruh molukisida, diantaranya daun sembung dan akar tuba. e. Kelompok tanaman fungisida nabati, merupakan kelompok tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun sirih, sereh, pinang, da tembakau. f. Kelompok tumbuhan pestisida serba guna, dimana kelebihan kelompok ini tak hanya berfungsi untuk satu jenis misalnya pestisida sintetik saja, tetapi juga berfungsi sebagai fugisida, bakterisida, molukisida, dan nematisida. Tumbuhan yang bisa dimanfaatkan dari kelompok ini adalah jambu mete, sirih, tembakau, dan mimba. Pestisida dalam hal ini pestisida nabati dapat dibagi dalam beberapa kelompok menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga atau menurut sifat kimianya. 39 Menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga, pestisida sintetik dibagi dalam tiga kelompok yaitu racun perut (stomach poisons), racun kontak (contact poisons), dan racun fumigan (Dantje, 2015: 185). a. Racun perut adalah jenis pestisida yang dimakan oleh serangga dan membunuh serangga itu kususnya dengan merusak atau mengabsorbsi sistem pencernaan. Kelompok insektisida ini digunakan untuk mengendalikan hama serangga yang bertipe mengunyah makanan (Dantje, 2015: 185). b. Racun kotak adalah jenis pestisida yang diabsorbsi melalui dinding tubuh serangga harus mengadakan kontak secara langsung dengan pestisida sintetik (Dantje, 2015: 185). Insektisida masuk dan terserap melalui dinding atau kulit tubuh serangga yang disebut eksoskelet (Natadisastra dan Ridad, 2009: 356). c. Racun napas (fumigans), insektisida masuk melalui pori atau lubang pernafasan pada dinding tubuh serangga yang disebut spirakel atau stigma, dan masuk ke dalam saluran pernafasan serangga (Natadisastra dan Ridad, 2009: 356). Pemanfaatan pestisida nabati untuk pengendalian OPT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pestisida sintetik terutama dari segi keamanannya. Pestisida nabati terbuat dari bahan alami/nabati, maka pestisida ini mudah terurai (biodegradable) sehingga relatif tidak berbahaya bagi kehidupan. Berkembangnya penggunaan pestisida sintetik yang dinilai praktis oleh para petani untuk mencegah atau menghambat serangan hama, ternyata membawa dampak negatif yang sangat besar bagi manusia dan lingkungan. Cara terbaik untuk mencegah pencemaran pestisida adalah dengan tidak menggunakan pestisida sintetik sebagai pemberantas 40 hama, walaupun dalam kenyataannya hal ini tidak mungkin untuk dilakukan. Mengingat akibat sampingan yang terlalu berat, atau bahkan menyebabkan rusaknya lingkungan dan merosotnya hasil panen, maka penggunaan pestisida sudah harus dipikirkan untuk mulai dikurangi (Siahaya dan Rumthe, 2014: 113). 2. Organisme Penganggu Tanaman (OPT) Peningkatan produksi sayuran di Indonesia sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk mengimbangi laju pertambahan penduduk yang semakin meningkat pula. Sebagai penghasil vitamin dan mineral, sayuran merupakan salah satu sumber gizi yang dibutuhkan bagi tubuh (Kurniawan, dkk, 2013: 204). Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi sayuran di Indonesia adalah akibat serangan hama dan penyakit. Tanaman sawi tidak lepas dari OPT yaitu Agrotis ipsilon, ulat krop kubis, Plutella sp, Spodoptera litura, kutu daun Aphis sp, siput setengah telanjang, dan sumpil. Hama penting yang menyerang tanaman Cruciferae, yaitu ulat tritip. U;at tritip merupakan ulat pemakan daun yang paling banyak menyerang tanaman sayur-sayuran dan menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% (Sriniastuti, 2005; Nurshanti, 2010: 87). Kerugian besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik. Ulat tritip menempati kedudukan sebagai hama utama, kehilangan hasil akibat serangan hama ini cukup tinggi yaitu dapat mencapai 100% dan (Pracaya, 1991; Luhukay, dkk, 2013: 164165). Telah banyak diteliti bahwasanya ekstrak tanaman tertentu mengandung molekul, yang bekerja secara tunggal maupun berinteraksi dengan molekul lainnya 41 yang mampu berperan sebagai pestisida. Cara kerja (mode of action) molekul tersebut dapat sebagai biotoksin, pencegah makan (antifeedant), penolak (repellent) dan pengganggu alami, baik yang diperoleh dari tumbuhan maupun jasad renik yang disebut sebagai pestisida biorasional (biorational pesticides) (EPA, 1989; Siahaya dan Rumthe, 2014: 113). F. Risiko Penggunaan Pestisida Sintetis Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat penting baik bagi konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai penghasil vitamin dan mineral. Bagi perekonomian nasional, peran sayuran semakin meningkat karena di beberapa dareah pusat holtikutura telah berhasil mengekspor beberapa sayuran. Bagi produsen, yaitu petani budidaya sayuran, dapat memberikan penghasilan yang cukup dan rata-rata lebih baik daripada komoditi pangan lainnya. Oleh karena peranan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia maka produktivitas dan kualitas sayuran yang dihasilkan petani selalu ditingkatkan. Intensifikasi sayuran yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas per satuan unit lahan selalu diusahakan oleh petani dengan meningkatkan penggunaan berbagai masukan produksi seperti bibit, pupuk, zat pengatur tumbuh, dan pestisida. Usaha intensifikasi yang dilakukan oleh petani sayuran umumnya atas dasar pengalaman dan pengetahuannya yang terbatas serta kurang memperoleh bimbingan dan pengawasan dari petugas pemerintah. 42 Dari sekian banyak input produksi, pestisida merupakan input yang paling mahal dan kelihatannya tidak dapat dipisahkan dari budidaya tanaman sayuran. Menurut Sastroiswojo (1990), rata-rata petani sayuran harus mengeluarkan sekitar 50% dari biaya produksi yang digunakan untuk pengendalian kimiawi dengan mencampur berbagai jenis pestisida (Untung, 1993: 56). Dilaporkan juga bahwa petani sayuran rata-rata menyemprot tanaman sayurannya 16 kali dalam satu musim atau dengan interval penyemprotan 4-6 hari. Tidak sedikit petani sayuran yang menyemprot dengan interval lebih pendek dari interval tersebut, terutama apabila turun hujan. Ciri-ciri khas petani sayuran di Indonesia yaitu tingkat produktifitas masih rendah, kualitas produksi rendah, luas lahan per petani sempit, tingkat penegtahuan dan ketrampilan rendah, dan ketergantungan pada pestisida tinggi (Untung, 1993: 56). Beberapa praktik yang dilakukan oleh petani di Indonesia yaitu dosis penyemprotan sangat tinggi jauh melebihi rekomendasi, dalam satu kali penyemprotan dipergunakan campuran beberapa jenis pestisida yang sering kali masih dicampur dengan bahan-bahan lain, metode dan teknik penyemprotan tidak benar dan kurang memperhatikan keamanan penyemprotan dan kesehatan masyarakat, frekuensi penyemprotan terlalu tinggi, dan waktu penyemprotan terakhir tidak memperhitungkan keamanan konsumen sehingga pada waktu panen masih banyak petani yang melakukan penyemprotan (Untung, 1993: 56-57). Penggunaan pestisida secara berlebihan didasari oleh permintaan akan produk sayuran tanpa ada cacat maupun gigitan serangga, kesadaran dan pengetahuan petani 43 sayuran akan hama, kerusakan, pestisida, cara pengaplikasian pestisida, dan bahaya pestisida terhadap lingkungan sangat terbatas sehingga mereka cenderung mengabaikan hal-hal tersebut. Petani sayuran berfikir ekonomis, pragmatis, dan praktis serta kurang mempertimbangkan dampak atau konsekuensi non-ekonmis. Petani sayuran juga kurang memperoleh perhatian, bimbingan, maupun sosialisasi dari petugas pemerintah terutama dalam program perlindungan tanaman. Informasi pengendalian hama umumnya diperoleh dari petugas kios pestisida, petugas distributor pestisda atau dari antar petani sendiri. Selain itu teknologi pengendalian hama sayuran yang non-kimiawi belum berkembang (Untung, 1993: 57). Pestisida kimia memiliki kandungan racun yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan sedangkan pestisida nabati tidak mengandung zat racun yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan (Ardra, 2013; Afifah, dkk., 2015: 2). Dampak penggunaan pestisida sintetik diantaranya : 1. Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida sintetik Karena hama terus menerus mendapatkan tekanan oleh pestisida maka melalui proses seleksi alami spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang sering digunakan oleh petani (Untung, 1996: 12). 2. Timbulnya resurjensi hama Dampak pestisida sintetik yang dirasakan oleh petani adalah timbulnya resurjensi hama atau peristiwa meningkatnya hama setelah hama tersebut memperoleh perlakuan pestisida sintetik tertentu. Apabila pada peristiwa resistensi hama menjadi lebih tahan terhadap pestisida sehingga sulit untuk dimusnahkan, tetapi 44 pada peristiwa resurjensi justru populasi hama tersebut semakin meningkat setelah memperoleh penyemprotan pestisida. Dengan adanya sifat resurjensi ini penggunaan pestisida tidak hanya sia-sia tetapi malah sangat membahayakan (Untung, 1996: 1213). 3. Letusan hama kedua Setelah perlakuan pestisida sintetik tertentu secara intensif ternyata hama sasaran utama memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak membahayakan (Untung, 1996: 13). Upaya untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, sudah saatnya dikembangkan penggunaan pestisida nabati yang merupakan alternatif sebagai sarana pengendalian OPT yang selalu tersedia di alam, dapat dibuat sendiri serta relatif cukup aman bagi lingkungan. Pestisida nabati merupakan produk alam yang berasal dari tumbuhan yang mengandung bioaktif seperti senyawa sekunder yang jika diaplikasikan ke sasaran (hama) dapat mempengaruhi sistem syaraf, terganggunya sistem reproduksi, keseimbangan hormon, perilaku berupa penarik/pemikat, penolak, mengurangi nafsu makan, dan terganggunya sistem pernafasan (Hidayat, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 163). G. KERANGKA BERPIKIR Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuhan dan bersifat mudah terdegradasi di alam. Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pengendali hama adalah tapak liman. Pada daun tapak liman memiliki kandungan 45 saponin, flavanoida, dan minyak atsiri. Saponin merupakan racun kontak dan racun perut. Saponin menyebabkan terganggunya permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan lisis sel, serta penurunan daya makan. Flavanoid berfungsi sebagai antifeedan dan menghambat pembentukan ATP. Minyak atsiri berfungsi untuk menekan hormon juvenil agar terjadi metamorfosis dini, imago steril, pupa cacat dan mati. Senyawa tersebut masuk ke dalam tubuh ulat tritip secara langsung maupun melalui perantara makanan, yaitu daun sawi. Masuknya senyawa-senyawa kimia berakibat pada tingginya mortalitas hama ulat tritip dan pemendekan fase larva menjadi pupa, sehingga berpengaruh pada rendahnya kerusakan tanaman sawi dan tingginya berat basah tanaman sawi. Dengan demikian tanaman tapak liman berpotensi sebagai pestisida nabati untuk pengendalian hama ulat tritip. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pestisida Nabati Tapak Liman (Elephantopus scaber L.) terhadap Pengendalian Hama Ulat Tritip (Plutella xylostella) Tanaman Sawi (Brassica juncea L.). 46 DaunTapak liman (Elephantopus scaber L.) Saponin Lisis sel dan Menghambat aktivitas makan hama Flavanoid Menghambat aktifitas makan (antifeedan) dan menghambat pembentukan ATP Daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) Minyak Atsiri Anti JH (metamorfosis dini larva cacat, dan pupa mati) Ulat Tritip (Plutella xylostella) Kerusakan tanaman sawi Mortalitas hama ulat tritip Berat basah tanaman sawi Pemendekan fase larva ulat tritip menjadi pupa Gambar. 11 Kerangka Berpikir 47 H. Hipotesis 1. Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin tinggi mortalitas hama ulat tritip. 2. Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin pendek siklus hidup larva ulat tritip yang menjadi pupa dan semakin menurun jumlah pupa. 3. Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin rendah tingkat kerusakan tanaman sawi. 4. Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin besar berat basah tanaman sawi. 5. Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin efektif untuk pengendali hama ulat tritip. 48