BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pestisida Nabati Perlindungan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pestisida Nabati
Perlindungan tanaman merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya
menekan kehilangan hasil pertanian yang diakibatkan oleh OPT. Penggunaan
pestisida sebagai salah satu komponen pengendalian OPT sebaiknya diterapkan
secara bijaksana. Hal ini berkaitan dengan dampak negatif yang ditimbulkan berupa
resurgensi, resistensi, matinya populasi musuh alami, dan pencemaran lingkungan
melalui residu yang ditinggalkan serta terjadinya keracunan pada manusia (Petrus dan
Ismaya, 2014: 163).
Sampai saat ini penggunaan pestisida sintetik paling banyak pada tanaman
holtikutura, khususnya tanaman sayuran yang justru hasilnya langsung dikonsumsi
manusia, baik dalam bentuk yang sudah dimasak atau masih mentah (Untung, 1993:
3). Pengendalian hama oleh petani masih tergantung pada penggunaan pestisida
sintetik yang diyakini praktis dalam aplikasi dan hasil pengendalian jelas terlihat.
Namun, petani cenderung menggunakan pestisida sintetik dengan takaran yang
berlebihan, sehingga penggunaan pestisida sintetik perlu dikelola dan dikendalikan
secara efektif dan aman bagi lingkungan (Julaily, dkk, 2013; Petrus dan Ismaya,
2014: 163). Pestisida kimia memiliki kandungan racun yang berbahaya bagi
kesehatan dan lingkungan sedangkan pestisida nabati tidak mengandung zat racun
9
yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan (Ardra, 2013; Afifah, dkk, 2015: 2).
Dampak penggunaan pestisida sintetik diantaranya :
1.
Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida sintetik
Karena hama terus-menerus mendapatkan tekanan oleh pestisida maka melalui
proses seleksi alami spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan
terhadap pestisida tertentu yang sering digunakan oleh petani (Untung, 1996: 12).
2.
Timbulnya resurjensi hama
Dampak pestisida sintetik yang dirasakan oleh petani adalah timbulnya
resurjensi hama atau peristiwa meningkatnya hama setelah hama tersebut
memperoleh perlakuan pestisida sintetik tertentu. Apabila pada peristiwa resistensi
hama menjadi lebih tahan terhadap pestisida sehingga sulit untuk dimusnahkan, tetapi
pada peristiwa resurjensi justru populasi hama tersebut semakin meningkat setelah
memperoleh penyemprotan pestisida. Dengan adanya sifat resurjensi ini penggunaan
pestisida tidak hanya sia-sia tetapi malah sangat membahayakan (Untung, 1996: 1213).
3.
Letusan hama ke dua
Setelah perlakuan pestisida sintetik tertentu secara intensif ternyata hama
sasaran utama memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan
menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak
membahayakan (Untung, 1996: 13). Upaya untuk mengantisipasi permasalahan
tersebut, sudah saatnya dikembangkan penggunaan pestisida nabati yang merupakan
alternatif sebagai sarana pengendalian OPT yang selalu tersedia di alam, dapat dibuat
10
sendiri serta relatif cukup aman bagi lingkungan. Pestisida nabati merupakan produk
alam yang berasal dari tumbuhan yang mengandung bioaktif seperti senyawa
sekunder. Jika diaplikasikan ke sasaran (hama) dapat mempengaruhi sistem syaraf,
terganggunya
sistem
reproduksi,
keseimbangan
hormon,
perilaku
berupa
penarik/pemikat, penolak, mengurangi nafsu makan, dan terganggunya sistem
pernafasan (Hidayat, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 163).
Menurut Haryono (2012: 1), pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari
tumbuhan, sedangkan arti pestisida itu sendiri adalah bahan yang dapat digunakan
untuk mengendalikan populasi OPT. Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di
alam (Bio-degredable), sehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak
signifikan. Pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1.
Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga, misal: dengan bau yang
menyengat.
2.
Antifeedan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot.
3.
Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
4.
Menghambat reproduksi serangga betina.
5.
Racun syaraf.
6.
Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga.
7.
Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap
serangga.
8.
Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri (Syakir, 2011: 11-12).
11
Pestisida nabati terbuat dari sari bagian tanaman yang mengandung senyawa
metabolit sekunder tertentu. Bagian tanaman yang dapat digunakan yaitu bunga,
buah, biji, kulit batang, daun, dan akar (Afifah, dkk, 2015: 2). Indonesia dikenal
dengan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (Mega-biodiversity)
terbesar kedua di dunia setelah Brazil, termasuk memiliki sejumlah tanaman yang
dapat digunakan sebagai bahan dasar pestisida, baik yang langsung digunakan atau
dengan ekstraksi sederhana dengan air, ekstraksi dengan pelarut organik lainnya
ataupun dengan cara penyulingan, tergantung kepada tujuan dari formula yang akan
dibuat (Rusli dkk, 1993; Sambodo, 2010: 6).
Kemampuan air dalam mengekstrak bahan aktif yang bersifat insektisidal dari
tumbuhan umumnya terbatas, karena senyawa aktif tersebut merupakan senyawa
organik yang kesetimbangan polarnya cenderung tidak polar dan karena keterbatasan
air dalam mensuspensiakan kandungan senyawa aktif (Rusli dkk, 1993; Sambodo,
2010: 6). Ekstrak air mempunyai kecenderungan tidak lama. Pada penelitian ekstrak
biji air mimba setelah tiga hari mengalami penurunan pH hingga 4,2, pada kondisi pH
tersebut terjadi fermentasi yang menyebabkan bau busuk. Hal senada dikatakan
bahwa proses fermentasi yang menyebabkan bau busuk pada ekstrak air daun dan biji
mimba sudah terjadi pada 60 jam setelah ekstraksi (Priyadi, 1999; Sambodo, 2010:
6).
Pengendalian hayati memberikan keuntungan yang paling utama yakni tidak
mencemari lingkungan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah hanya tingkat
keberhasilannya memang masih lebih rendah dibandingkan dengan pengendalian
12
secara kimiawi. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari penggunaan pestisida
nabati.
1.
Kelebihan
a.
Mudah dan cepat terdegradasi oleh sinar matahari,
b.
Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun perut dan syaraf) dan
bersifat selektif,
c.
Dapat digunakan untuk mengendalikan OPT yang telah resisten terhadap
pestisida sintetik,
d.
Fitotoksisitas rendah,
e.
Aman terhadap manusia, hewan, dan lingkungan, dan
f.
Relatif murah dan mudah dibuat oleh petani.
2.
Kelemahannya:
a.
Cepat terurai dan daya tahannya relatif lambat sehingga perlu aplikasi lebih
sering,
b.
Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga),
c.
Kurang praktis dibanding dengan pestisida sintetik yang sudah siap dalam
kemasan,
d.
Tidak ada keseragaman bahan, dan
e.
Tidak tahan lama disimpan.
(Siswanto dan Elna, 2012 : 108).
Penggunaan pestisida nabati sebagai agensia hayati semakin memperoleh
perhatian besar karena penggunaan pestisida sintetis yang kurang tepat dapat
13
menimbulkan resistensi, resurjensi, dan peledakan hama kedua (Sheiton, dkk, 1995;
Mulyaningsih, 2010: 2).
B.
Tapak Liman (Elephantopus scaber L.)
Tanaman tapak liman (Elephantopus scaber L.) merupakan gulma dan belum
dibudidayakan. Pada tempat-tempat tertentu sering ditemukan dalam jumlah banyak
terutama di lapangan rumput. Tanaman ini berasal dari Amerika di daerah tropik dan
memiliki keanekaragaman yang kecil.
Gambar 1. Tapak Liman
Sumber : Dokumentasi pribadi
1.
Sinonim
Asterocephalus cochinchinensis soreng, Scabiosa cochinchinensis Lour
(Dalimartha, 2005).
14
2.
Klasifikasi
Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiosperma
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Elephantopus
Jenis
: Elephantopus scaber L.
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
3.
Nama Daerah
Tapak liman dan tutup bumi.
4.
Morfologi Tanaman
Tanaman tapak liman termasuk terna tegak dengan rimpang yang menjalar,
tinggi 10 cm sampai 80 cm. Batang kaku, berambut panjang dan rapat, dan
bercabang. Daun berkumpul di bawah, membentuk roset, bentuk daun jorong, bundar
telur sungsang, panjang 3 cm sampai 38 cm, lebar 1 cm sampai 6 cm, permukaan
daun agak berambut. Bunga berupa tonggol, bergabung banyak, berbentuk bulat telur
dan sangat tajam, daun pelindung kaku, daun pembalut dari tiap bunga kepala
berbentuk jorong, lanset, sangat tajam, dan berselaput. Empat daun pembalut
dibagian dalam panjang 10 mm berambut rapat. Panjang mahkota bunga 7 mm
sampai 9 mm, berbentuk tabung, berwarna putih, ungu, kemerahan, dan ungu pucat.
Buah merupakan buah longkah, panjang 4 mm, berambut; berambut kasar, melebar
pada bagian pangkalnya, kaku, dan panjangnya 5 mm sampai 6 mm.
15
5.
Khasiat
Daun tapak liman berkhasiat sebagai obat mencret, obat batuk, obat sariawan
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), obat demam, peluruh kencing (diuretik)
sedangkan akar dapat digunakan untuk mengobati malaria (Mardisiswojo dan
Sudarsono, 1985).
6.
Kandungan Kimia
Bagian tanaman tapak liman yang banyak mengandung senyawa metabolit
sekunder adalah daun. Daun yang biasa yang digunakan adalah daun-daun yang tidak
terlalu tua dan tidak terlalu muda (Mardisiswojo dan Sudarsono, 1985). Menurut
Asmaliyah, dkk, (2010: 50), di dalam daun tapak liman terkandung senyawa saponin,
flavonoid, dan polifenol. Tapak liman dikenal mengandung sejumlah senyawa kimia
seperti lipid, fitokimia, farmakeutik, dan pigmen. Sebagai contoh etil heksadekanoat,
etil
l-19,
12-oktadekadienoat,
deoxyelephantopin
etil-(Z)-9-oktadekanoat,
(iso-17,19-dihidrodeoxyelephantopin
dihidrodeoxyelephantopin),
isodeoxyelephantopin,
etil
dekanoat,
dan
17,19-
elephantopin,
triterpen,
stigmasterol, stigmasterol glukosida, epifriedelinol dan lupeol (Avani & Neeta, 2005;
Monalisa, 2010: 12). Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae),
merupakan salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri
adalah terpenoid (Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12).
a)
Saponin
Saponin diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: saponin steroid dan saponin
triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul
16
karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal
sebagai saraponin. Saponin steroid diekskresikan setelah konjugasi dengan asam
glukoronida dan digunakan sebagai bahan baku pada proses biosintesis dari obat
kortikosteroid. Contoh senyawa saponin steroid diantaranya Asparagosides
(Asparagus officinalis), Avenocosides (Avena sativa), Disogenin (Dioscorea
floribunda dan Trigonella foenum graceum). Sedangkan, saponin triterpenoid
tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat, dihidrolisis menghasilkan
suatu aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang mudah
dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan. Tipe saponin ini adalah
turunan-amyirine. Contoh senyawa triterpen steroid adalah Asiaticoside (Centella
asiatica), Bacoside (Bacopa monneira), dan Cyclamin (Cyclamen persicum).
Menurut Hartono (2011: 1), saponin adalah jenis glikosida yang banyak
ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Ketika
saponin direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat
bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin
memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan iritasi pada selaput lendir (Hartono,
2011: 1). Jika senyawa tersebut masuk ke dalam tubuh serangga akan menjadi racun
kontak dan racun perut (Carino dan Rejesus, 1982). Racun kontak masuk ke
dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami dari tubuhnya. Setelah masuk,
racun akan menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem syaraf sehingga dapat
mengganggu aktivitas serangga (Trizelia, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 168).
Penelitian yang dilakukan Hidayati, dkk (2013: 98), menyatakan bahwa senyawa
17
saponin memasuki tubuh larva melalui kulit dengan proses adhesi dan menimbulkan
efek sistemik. Penetrasi senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga melalui
epikutikula serangga, senyawa tersebut masuk ke dalam jaringan di bawah integumen
menuju daerah sasaran. Masuknya saponin mengakibatkan rusaknya lilin pada lapisan
kutikula. Hal tersebut menyebabkan kematian karena larva mengalami banyak
kehilangan air (Cottrell, 1987; Hidayati, dkk, 2013: 98).
Saponin dapat merendahkan tegangan permukaan. Terjadinya interaksi antara
saponin dengan membran sel karena sifat aktif saponin pada permukaan sel mampu
berikatan dengan fosfolipid dan kolesterol. Kondisi tersebut menyebabkan
terganggunya permeabilitas membran sitoplasma yang berakibat pada kebocoran
materi intraseluler dan menyebabkan lisis sel (Maisaroh, 2007). Jika sel lisis maka
jaringan-jaringan yang ada pada sel rusak dan tidak bisa saling berhubungan dengan
jaringan yang ada pada sel lain. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel berhenti dan
larva mati (Widodo, 2005).
Selain masuk melalui kutikula, dapat juga melalui makanan yang berpengaruh
terhadap proses biologi tubuh dan metabolisme zat nutrisi, di antaranya menyebabkan
iritasi membran mukosa pada kerongkongan (Widodo, 2005; Kurniawan, dkk, 2013:
205-206). Saponin dapat menghambat produktivitas kerja enzim kimotripsin yang
berakibat pada terganggunya sistem pencernaan, terhambatnya perkembangan dan
menyebabkan kematian jika tingkat penghambatan pencernaan relatif tinggi (Widodo,
2005). Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan
serta mengganggu penyerapan makanan (Shahabuddin dan Flora, 2009: 152). Jika
18
dalam proses penyerapan makanan terganggu maka nutrisi yang diperoleh ulat tritip
hanya sedikit sehingga menakibatkan kematian.
b)
Flavanoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon, umumnya tersebar
di dunia tumbuhan. Flavonoid adalah pigmen tanaman untuk memproduksi warna
bunga merah atau biru pigmentasi kuning pada kelopak yang digunakan
untuk
menarik hewan penyerbuk. Flavonoid hampir ada pada semua bagian tumbuhan
termasuk buah, akar, daun, dan kulit luar batang (Mirna, dkk, 2013: 51).
Flavonoid merupakan senyawa fenol, bekerja dengan cara mendenaturasi
protein (Hidayati, dkk, 2013: 98). Sastrodihardjo (1992), senyawa flavonoid dapat
mempengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama.
Senyawa tersebut merupakan racun kontak, karena masuk melalui membran sel
sehingga memengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan
hama. Menurut Sastrodihardjo (1979), di dalam hemolimfa terdapat protein, jika
protein terdenaturasi oleh flavonoid maka bahan makanan tidak bisa disalurkan dari
alat pencernaan ke seluruh jaringan tubuh larva, sehingga larva akan kekurangan ATP
dan mengakibatkan kematian (Hidayati, dkk, 2013: 98).
c)
Minyak atsiri
Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae), merupakan salah
satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid
(Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12). Secara kimia terdapat 40 konstituen utama
minyak atsiri yakni 13 jenis senyawa monoterpenoid (5,17 %), 17 jenis senyawa
19
sesqueterpenoid (13,95 %), dan 8 jenis senyawa chromene (71,05%). Dari 8 jenis
senyawa chromene, terdapat Precocene I (6,7-dimetoksi-2,2-dimetilchromene) dan
Precocene II (7-metoksi-2,2-dimetilchromene) (Adeleke, dkk, 2002; Susanto, 2010:
4). Senyawa Precocene I dan precocene II yang terkandung di dalam ekstrak tapak
liman berfungsi sebagai anti hormon juvenil menyebabkan tergganggunya proses
pergantian kulit serangga yang mengakibatkan larva cacat atau mati dan mengalami
metamorfosis dini (Prijono, 1999).
C.
Hama Ulat Tritip (Plutella xylostella)
Hama dalam arti luas adalah semua bentuk gangguan baik pada manusia,
ternak, dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan dengan
kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman atau
hasilnya yang mana aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis
(Dadang, 2006).
1.
Klasifikasi
Gambar 2. Ulat Tritip
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
Klasifikasi ulat tritip menurut Kalshoven (1981) sebagai berikut :
20
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Plutellidae
Genus
: Plutella
Spesies
: Plutella xylostella L.
2.
Biologi dan Siklus Hidup Hama Ulat Tritip
Di Indonesia, hama ulat tritip merupakan hama utama pada tanaman kubis
(Setiawati, 1996; Mulyaningsih, 2010: 96). Ulat ini sering disebut hama bodas,
hama kracang, hama wayang dan ulat tritip (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96).
Ulat daun ini dikenal dengan nama diamondback moth merupakan serangga
kosmopolit yang dapat hidup di daerah tropik, sub tropik, dan yang beriklim sedang
(Kalshoven, 1981; Irawati, 2000: 27). Hama ini bersifat polifag, khususnya pada
famili Cruciferae, diantaranya kubis, lobak, kubis bunga, dan kubis tunas.
Ulat tritip mempunyai siklus hidup yang sempurna sehingga disebut juga
holometabola. Siklus hidup pada ulat tritip yaitu telur – larva – pupa – imago. Telur,
larva, dan pupa hidup pada inang, sedangkan imagonya hidup pada inang atau
tanaman lain yang berdekatan dengan inang (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih,
2010: 96).
21
10-13 hari
2-8 hari
24 jam
7-47 hari
Gambar 3. Siklus Hidup Ulat Tritp
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
a)
Telur
2-8 hari
Gambar 4. Fase Telur Ulat Tritip
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
Telur diletakkan di balik daun secara terpisah satu persatu, kadang-kadang duadua atau tiga-tiga butir perkelompok (Rukmana,1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Telur
berbentuk oval dengan ukuran lebar 0,26 mm, panjang 0,49 mm dan berwarna
kuning cerah saat baru diletakkan dan berwarna lebih tua saat menjelang menetas
22
(Setiawati, 1996; Mulyaningsih, 2010: 96). Stadium telur berkisar antara 2 sampai 8
hari.
b)
Larva
Larva terdiri dari empat instar (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010:
96). Panjang setiap instar larva tidak lebih dari 1,7 mm untuk larva instar I, tidak
lebih dari 3,5 mm untuk larva instar II, dan instar III dan IV panjang badannya tidak
lebih dari 7 mm dan 11,2 mm berturut-turut (Capinera, 2000; Wardhani, 2004: 9).
10-13 hari
Gambar 5
Gambar 6
(5) Larva Ulat Tritip
(6) Larva Ulat Tritip Instar III
Sumber: (5) http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm,
(6) Dokumentasi pribadi
Menurut Herlinda, dkk (2004), instar I (yang baru menetas) berkisar 3-4 hari,
berwarna hijau pucat, kepalanya berwarna hitam cenderung pasif, makan daun kubis
dengan cara membuat lubang galian ke dalam jaringan permukaan bawah daun dan
membuat liang-liang korokan ke dalam jaringan parenkim sambil memakan daun.
Larva instar II berkisar 1-2 hari, berwarna hijau tua dengan kepala berwarna hitam,
kemudian larva ke luar dari liang-liang korokan yang transparan dan makan jaringan
permukaan bawah daun (Herlinda, dkk, 2004). Instar III berkisar 2-3 hari dan Instar
23
IV berkisar 3-4 hari (Herlinda, dkk, 2004). Instar III dan IV, memiliki ciri kepala
berwarna hijau sampai coklat, memakan bagian bawah daun lebih banyak dari
instar-instar sebelumnya (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96). Secara
keseluruhan stadium larva berlangsung 10-13 hari (Herlinda, dkk, 2004). Pada
ketinggian 1100-2000 mdpl stadium larva lebih panjang yaitu 12 hari dan di bawah
ketinggian 250 mdpl lebih pendek yaitu 9 hari (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010:
96).
Larva selalu berada di bawah permukaan daun dan di antara vena daun.
Selanjutnya larva memakan jaringan bawah daun dengan membentuk seperti jendela
pada bagian bawah daun, tetapi tidak memakan vena daun. Larva ini lebih suka
memakan daun yang masih muda dan lebih banyak ditemukan bergerombol di
sekitar titik tumbuh (Shelton, dkk, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96). Jika serangan
parah tanaman tidak dapat membentuk krop dan akhirnya tanaman mati. Umumnya
pada instar larva sangat rakus dalam hal makanan sebab dibutuhkan energi yang
cukup banyak untuk pertumbuhan, bergerak dan cadangan makanan sewaktu
pembentukan pupa (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 96).
Instar II sampai IV berperilaku lincah, jika terganggu akan menggeliat jatuh
dengan cepat dan menggantungkan diri dengan benang sutera (Rukmana, 1997;
Mulyaningsih, 2010: 96). Larva akan naik kembali pada daun melalui benang
sutranya apabila keadaan sudah aman (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010:
96). Larva instar IV membentuk benang seperti benang sutra putih di bawah
24
permukaan bawah daun yang terlindung untuk menghindari sinar matahari (Permadi,
1993).
c)
Pupa
24 jam
Gambar 7. Pupa Muda Ulat Tritip
Sumber:http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
Pembentukan pupa mula-mula dibuat dari bagian dasar, bagian sisinya,
kemudian tutupnya yang masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan
pernafasan. Pupa muda berwarna hijau dan setelah 24 jam berubah menjadi coklat
kehitaman (Suyanto, 1994; Mulyaningsih, 2010: 97). Pupa berukuran panjang 5-6
mm dengan diameter 1,2-1,5 mm. Pupa terselubungi kokon dengan stadium pupa
6-7 hari pada ketinggian 1100-1200 m dpl dan 4 hari di bawah ketinggian 250 m dpl
(Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 97).
d)
Dewasa/imago
7-47 hari
Gambar 8. Imago
Sumber:http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
25
Imago berwarna coklat keabu-abuan, imago jantan berukuran lebih kecil
dibandingkan imago betina dengan warna lebih cerah, warna sayap betina agak pucat
dan aktif pada malam hari (Ashari, 1995; Mulyaningsih, 2010: 97). Imago berupa
ngengat kecil dengan ukuran panjang 8-10 mm. Ketika sayapnya menutup (saat tidak
terbang), sepanjang bagian punggung ngengat terdapat satu ciri tertentu, yaitu 3
bentuk segi empat “diamond back moth” (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih,
2010: 97). Imago betina mampu bertelur 180-320 butir yang diletakkan di bawah
permukaan daun, mengelompok atau terpisah pada tanaman lain. Satu imago betina
dapat meletakkan telur pada bermacam-macam tanaman Cruciferae (Pracaya, 1993;
Mulyaningsih, 2010: 97). Cara penyebarannya berpindah-pindah dari satu tanaman
ke tanaman lain atau antar daerah yang berdistribusi sangat jauh dengan bantuan
hembusan angin (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 97). Ngengat kecil lebih suka
beristirahat di bawah permukaan daun, pada bagian tanaman yang “protective”
baginya (Shelton, dkk, 1995; Mulyaningsih, 2010: 97). Lama hidup ngengat betina
berkisar antara 7-47 hari, rata-rata 16,2 hari dan ngengat jantan antara 3-58 hari,
dengan rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang diletakkan tiap ngengat betina antara
18-356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah telur yang diproduksi setiap ngengat betina
dipengaruhi oleh perbedaan temperatur, umur, dan kondisi makan larva (Mau dan
Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97).
3.
Aktivitas Makan Hama Ulat Tritip
26
Serangga akan menghadapi dua hal untuk memulai aktivitas makan, yang
pertama adanya rangsangan-rangsangan untuk inisiasi aktivitas makan (feeding
stimulant) dalam tanaman yang memberikan masukan isyarat untuk pengenalan jenis
makanan dan menjaga aktivitas makan dan yang ke dua adalah pendeteksian
kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat bersifat sebagai
penghambat makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama sekali (Dadang
dan Kanju, 2000: 30).
4.
Gejala Serangan Hama Ulat Tritip
Ulat tritip biasanya menyerang tanaman pada saat berumur 2-6 minggu
(Rukmana, 1994; Siahaya dan Rumthe, 2014: 113). Hama ulat tritip memakan daundaun baik pada tanaman yang masih muda maupun tanaman yang sudah tua (Trizelia,
2002; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Mula-mula larva akan merusak daun dengan cara
menggigit mengunyah kemudian memakan permukaan bawah daun. Bagian bawah
daun rusak, epidermis bagian atas terlihat putih transparan. Setelah daun tersebut
tumbuh dan melebar, lapisan epidermis akan robek sehingga daun tampak berlubang
(Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Gejala serangan oleh hama ini
khas dan tergantung pada instar larva yang menyerang. Larva instar pertama (yang
baru menetas) memakan daun dengan jalan membuat lubang galian pada permukaan
bawah daun, selanjutnya larva membuat lorong (gerekan) ke dalam jaringan parenkim
sambil memakan daun.
Larva instar II, keluar dari liang gerekan yang transparan dan memakan
jaringan daun pada permukaan bawah daun. Demikian juga larva instar III dan IV.
27
Larva instar III dan IV memakan seluruh bagian daun sehingga meninggalkan ciri
yang khas, yaitu tinggal epidermis bagian atas daun atau bahkan tinggal tulang
daunnya saja (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Tingkat
populasi larva ulat tritip tertinggi terjadi pada tanaman yang berumur 6 sampai 8
minggu setelah tanam. Tingkat populasi larva yang tinggi dapat mengakibatkan
serangan yang sangat berat pada tanaman. Serangan larva ini terjadi secara eksplosif
pada musim kemarau, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai seratus
persen (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 97-98).
Gambar 9. Serangan Hama Ulat Tritip
Sumber : Dokumentasi pribadi
D.
Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
1.
Klasifikasi
Menurut Tina, dkk (1994), klasifikasi tanaman sawi sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rhoeadales
Famili
: Cruciferae
28
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica juncea L.
(Nurshanti, 2010: 90).
Gambar 10. Tanaman Sawi
Sumber : Dokumentasi pribadi
2.
Deskripsi dan Morfologi Tanaman Sawi
Sawi termasuk jenis tanaman sayuran dan tergolong kedalam tanaman semusim
(berumur pendek).
a.
Daun
Daun tanaman sawi berbentuk bulat dan lonjong, lebar dan sempit, tidak
berbulu, berwarna hijau muda, hijau keputih-putihan sampai hijau tua. Daun memiliki
tangkai daun panjang dan pendek, sempit atau lebar berwarna putih sampai hijau,
bersifat kuat dan halus. Pelepah daun tersusun saling membungkus dengan pelepahpelepah daun yang lebih muda tetapi tetap membuka. Daun memiliki tulang-tulang
daun yang menyirip dan bercabang-cabang (Kurniadi, 1992; Nurshanti, 2010: 90).
b.
Akar
Tanaman sawi memiliki sistem perakaran akar tunggang (radix primaria)
dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silendris), menyebar ke
29
seluruh arah pada kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi menyerap
unsur hara dan air dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman
(Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 90).
c.
Batang
Tanaman sawi memiliki batang (caulis) yang pendek dan beruas, sehingga
hampir tidak kelihatan. Batang berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang
berdirinya daun. Sawi umumnya berdaun dengan struktur daun halus dan tidak
berbulu. Daun sawi membentuk seperti sayap bertangkai panjang dan berbentuk pipih
(Rahmat, 2007; Nurshanti, 2010: 91).
d.
Bunga
Bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga yang tumbuh memanjang (tinggi)
dan bercabang banyak. Setiap kuntum bunga terdiri dari empat helai kelopak, empat
helai mahkota berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik
yang berongga dua. Penyerbukan bunga sawi dapat berlangsung dengan bantuan
serangga lebah maupun bantuan manusia. Hasil penyerbukan ini akan membentuk
buah yang berisi biji (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 91).
e.
Buah
Buah sawi termasuk tipe buah polong yakni berbentuk memanjang dan
berongga (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 91).
3.
Syarat Tumbuh
Sawi bukan merupakan tanaman asli Indonesia, akan tetapi keadaan alam
Indonesia dengan iklim, cuaca, dan sifat tanah memungkinkan untuk dikembangkan
30
dengan baik. Tanaman sawi dapat tumbuh di tempat yang berhawa panas maupun
hawa dingin, tetapi dapat tumbuh baik dengan iklim yang kering pada suhu 15 – 20
o
C dan ketinggian 5 – 1200 mdpl. Tanah yang baik untuk ditanami sawi adalah tanah
gembur, banyak mengandung humus dan kaya akan bahan organik, jenis tanah
andosol dan regosol, memiliki pembuangan air yang baik dengan derajat keasaman
(pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya berkisar antara 6 – 7 (Nurhayati,
dkk, 1984; Nurshanti, 2010: 92). Tanaman ini memerlukan hawa yang sejuk akan
lebih baik tumbuh ditanam pada suasana yang lembab, dan tidak menyukai air yang
menggenang. Jarak tanam yang baik untuk tanaman sawi adalah 20x20 cm (Haryanto,
2003; Nurshanti, 2010: 92).
4.
Kandungan Gizi Tanaman Sawi
Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan yang diterbitkan
oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, komposisi zat-zat makanan yang
terkandung dalam setiap 100 gram berat basah sawi ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Sawi
Zat gizi
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Ca (mg)
P (mg)
Fe (mg)
Vitamin A (mg)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Sawi
2,3
0,3
4,0
220,0
38,0
2,9
1.940,0
0,09
102
Sumber: (Haryanto, dkk, 2007: 5-6).
31
5.
Produktifitas Tanaman Sawi
Tabel 2. Luas Panen, Produksi, dan Rata-Rata Hasil Tanaman Sayuran di Indonesia
Tahun 2014
No
1
2
3
4
5
Komoditas
Kubis
Kembang kol
Petsai/Sawi
Kangkung
Bayam
Luas Panen
Produksi (Ton)
(Ha)
63.116
1.435.833
11.303
136.508
60.804
602.468
52.541
319.607
45,325
134.159
Rata-Rata Hasil
(Ton/Ha)
22,75
12,08
9,91
6,08
2,96
Sumber: (Taufik, 2014: 19) dimodifikasi.
6.
Hama Penyerang Tanaman Sawi
Hama tanaman sawi yang cukup penting menurut Tjahjadi (1989: 107) sebagai
berikut.
a)
Agrotis ipsilon
Hama ini merusak tanaman kubis, sawi, dan petsai pada saat di persemaian
hingga beberapa minggu setelah tanaman di lapangan. Gejala serangan yang khas
ditandai dengan terpotongnya tanaman pada pangkal batang kubis, sawi, dan petsai.
Ulat aktif pada sore hingga malam hari, sehingga petani hanya menemukan bekas
serangan pada pagi hari (Tjahjadi, 1989: 107).
b)
Ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell)
Gejalanya yaitu daun bagian dalam yang terlindung oleh daun bagian luar rusak
dan terlihat adanya bekas gigitan. Tidak heran bila dari luar tanaman masih terlihat
baik, tetapi bagian dalam sudah mengalami kerusakan. Kerusakan ini terjadi sampai
ke titik tumbuh (Haryanto, dkk, 2007: 71).
32
Ulat krop kubis ini berwarna hijau, terdapat garis berwarna hijau muda dan
rambut berwarna hitam di punggungnya. Serangga dewasa menghasilkan telur yang
jumlahnya 30-80 butir tiap kelompok. Telur menetas dalam jangka warktu 1-2
minggu dan setiap hari jumlah telur akan bertambah (Haryanto, dkk, 2007: 71).
c)
Ulat keremeng atau tritip (Plutella xylostella)
Gejalanya daun tampak seperti karancang putih. Jika lebih diperhatikan
karancang tersebut adalah kulit ari daun yang tersisa setelah dagingnya dimakan ulat.
Selanjutnya daun menjadi berlubang karena kulit ari daun tersebut mengering dan
sobek. Serangan berat menyebabkan seluruh daging daun habis termakan sehingga
yang tersisa hanya tulang-tulang daunnya (Haryanto, dkk, 2007: 72). Ulat keremeng
memiliki warna hijau muda ketika baru menetas. Setelah dewasa berbentuk ngengat
dan warna kepalanya menjadi lebih pucat dan terdapat bintik coklat (Haryanto, dkk,
2007: 72).
d)
Ulat grayak (Spodoptera litura)
Ulat ini memakan daun yang tua maupun muda. Tetapi ulat ini juga mempunyai
banyak tanaman inang. Selain dapat menurunkan kuantitas, juga akan menurunkan
kualitas hasil (Tjahjadi, 1989: 108).
e)
Kutu daun Aphis sp.
Kutu ini menusuk dan menghisap cairan tanaman, terutama pada musim
kemarau. Jika serangan berat, tanaman akan layu akibat kekurangan cairan. Bekas
tusukan yang ditinggalkan yang kurang baik bagi perkembangan daun, daun akan
keriting atau tumbuhnya tidak normal (Tjahjadi, 1989: 108).
33
f)
Siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris)
Siput ini berwarna coklat kekuningan atau coklat keabuan. Rumah pada
punggungnya kerdil dan sedikit menonjol. Siput jenis telanjang halus dan tidak ada
tonjolannya. Panjang siput 5 cm. Siput ini polifag atau pemakan segala tanaman.
Siput sering merusak tanaman yang baru saja tumbuh seperti kol, sawi, tomat,
tembakau, ubi jalar, dan kentang (Pracaya, 2008: 298).
g)
Sumpil
Ada 2 jenis sumpil yaitu Lamellaxis gracilis Hutt. dan Subbulina octona Brug.
Sumpil mempunyai rumah yang bentuknya silindris dan berukuran kecil dengan
panjang 11 mm, warnanya kuning muda. Kedua jenis sumpil ini biasanya tercampur
menjadi satu populasi. Binatang ini merusak semai tembakau, kol, sawi, dan
bermacam-macam sayuran (Pracaya, 2008: 298).
E.
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat penting baik bagi
konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai
penghasil vitamin dan mineral. Bagi perekonomian nasional, peran sayuran semakin
meningkat karena dibeberapa daerah pusat holtikutura telah berhasil mengekspor
beberapa komoditi sayuran seperti kubis, kentang, dan cabai (Untung, 1993: 55).
Oleh karena peran yang sangat penting bagi masyarakat dalam dan luar negeri maka
produktivitas dan kualitas sayuran yang dihasilkan petani selalu ditingkatkan.
Intensifikasi sayuran yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas per satuan
34
unit lahan selalu diusahakan oleh petani dengan meningkatkan penggunaan berbagai
masukan produksi seperti bibit, pupuk, zat pengatur tumbuh, dan pestisida. Usaha
intensifikasi yang dilakukan oleh petani sayuran umumnya atas dasar pengalaman
dan pengetahuannya yang terbatas serta kurang memperoleh bimbingan dan
pengawasan dari petugas pemerintah (Untung, 1993: 55). Menurut Sastrosiswojo
(1990), rata-rata petani sayuran harus mengeluarkan sekitar 50% dari biaya produksi
yang digunakan untuk pengendalian kimiawi dengan mencampur berbagai jenis
pestisida (Untung, 1996: 56). Dilaporkan juga bahwa petani sayuran rata-rata
menyemprot tanaman sayurannya 16 kali dalam satu musim atau dengan interval
penyemprotan 4-6 hari. Tidak sedikit petani sayuran yang menyemprot dengan
interval lebih pendek daripada interval tersebut, terutama bila turun hujan (Untung,
1993: 56).
PHT sebagai konsep dan kebijakan pemerintah dalam setiap program dan
perlindungan tanaman pangan merupakan konsep yang tepat untuk memperbaiki
keadaan dan kehidupan petani sayuran sehingga sumberdaya yang dimiliki dapat
dimanfaatkan secara optimal (Untung, 1993: 56). Menurut Kenmore (1989), PHT
sebagai perpaduan yang terbaik, maksudnya adalah perpaduan penggunaan berbagai
metode pengendalian hama yang dapat memperoleh hasil yang terbaik yaitu stabilitas
produksi pertanian, kerugian seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta
petani memperoleh penghasilan yang maksimal dari usaha taninya (Untung, 1996: 9).
Konsep PHT muncul akibat dari kesadaran manusia akan bahaya pestisida sebagai
bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan manusia
35
secara global, sedangkan kenyataan yang terjadi bahwa penggunaan pestisida oleh
petani di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan
konsep PHT yang merupakan pendekatan pengendalian hama yang baru yang dapat
menekan penggunaan pestisida (Untung, 1996: 80).
Bebrapa faktor yang mendorong penerapan PHT pada tanaman sayuran, yang
pertama adalah kegagalan pengendalian hama secara konvensional. Praktik
penggunaan pestisida yang lazim dilakukan petani sayuran didorong oleh konsep
pengendalian hama yang tidak didasarkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi.
Petani sayuran umumnya menerapkan asas preventif/pencegahan. Penyemprotan
dengan pestisida dianggap sebagai asuransi kesehatan tanaman. Karena dorongan
konsumen petani menjadi takut serangga atau entomofobi. Petani berpendapat setiap
jenis serangga pada tanaman tentu merugikan sehingga harus diberantas dengan
pestisida. Orientasi penggunaan pestisida bukan lagi efikasi dan efisiensi
pengendalian tetapi sudah berubah menjadi berorientasi pada kepuasan naluri yang
lebih bersifat subyektif dan emosional. Orientasi penggunaan pestisida seperti ini
mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani semakin tidak rasional (Untung,
1993: 58). Faktor yang kedua yang mendorong dan mengharuskan petani sayuran
menerapkan PHT adalah kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen
pada masa mendatang terutama permintaan akan produk holtikutura yang bebas
residu pestisida. Menigkatnya kesadaran manusia akan lingkungan hidup yang bersih
dan tidak tercemar, maka masyarakat akan semakin menghargai bahan makanan yang
bebas residu bahan pencemar seperti pestisida (Untung, 1993: 58). Faktor yang ketiga
36
yaitu kebijakan pemerintah. Sejak Pelita III telah dinyatakan bahwa PHT merupakan
kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan. Kebijakan tentang PHT
kemudian diperkuat oleh Inpres No. 3/1986 dan UU No. 2/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman. UU No. 2/1992 telah menetapkan berbagai bentuk sanksi yang
sangat berat bagi siapa saja yang menyalahgunakan penggunaan pestisida baik secara
sengaja maupaun tidak sengaja (Untung, 1993: 59).
PHT tidak hanya mencakup pengertian tentang perpaduan beberapa teknik
tentang pengendalian hama, tetapi dalam penerapannya PHT harus memperhitungkan
dampaknya baik yang bersifat ekologis, ekonomis, dan sosiologis sehingga secara
keseluruhan dapat diperoleh hasil yang terbaik. Oleh karena itu, PHT dalam
perencanaan, penerapan, dan evaluasinya harus mengikuti suatu sistem pengelolaan
yang terkoordinasi dengan baik (Untung, 1996: 9).
1.
Pengendalian Hama Ulat Tritip dengan Pestisida Nabati
Pemanfaatan pestisida nabati yang berasal dari senyawa sekunder tanaman
telah banyak digunakan untuk pengendalian OPT tanaman pertanian termasuk
tanaman perkebunan. Lebih dari 1500 jenis tumbuhan di dunia telah dilaporkan dapat
berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1988; Siswanto dan
Elna, 2012: 107). Indonesia diperkirakan memiliki kawasan hutan tropis terbesar di
Asia-Pasifik yaitu sekitar 1,15 juta kilometer persegi dengan keanekaragaman
jenis pohon yang paling beragam di dunia (Siswanto dan Elna, 2012: 107). Tingginya
keanekaragaman hayati Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
di dunia yang mempunyai jumlah keanekaragaman hayati terbesar. Pulau Jawa
37
memiliki jumlah spesies setiap 10.000 km2 antara 2000 – 3000 spesies, banyak
diantaranya berpotensi sebagai bahan baku pestisida (Kardinan, 2002; Siswanto dan
Elna, 2012: 107). Lebih dari 40 jenis tumbuhan dari berbagai provinsi di Indonesia
yang
telah
dilaporkan berpotensi sebagai pestisida nabati (Ditjenbun, 1994;
Siswanto dan Elna, 2012: 107).
Melimpahnya kekayaan flora di Indonesia berpotensi sebagai sumber pestisida
nabati. Pestisida nabati merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang
digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan berupa hama dan
penyakit tumbuhan maupun tumbuhan pengganggu (gulma). Pestisida nabati
merupakan hasil ekstraksi bagian dari tumbuhan baik dari daun, bunga, buah, biji,
dan akar. Biasanya bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa atau metabolit
sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Siswanto dan
Elna, 2012: 107-108).
Menurut Syakir (2011: 10-11), dalam fisiologi tanaman ada beberapa jenis
tanaman yang berpotensi menjadi bahan pestisida sebagai berikut :
a.
Kelompok tumbuhan insektisida nabati, merupakan kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan
srikaya diyakini bisa menanggulangi serangan serangga.
b.
Kelompok tumbuhan atraktan atau pemikat, di dalam tumbuhan ini ada satu
bahan kimia yang menyerupai sex pheromon pada serangga betina dan bertugas
menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dar jenis Bactrocera
38
dorsalis. Tumbuhan yang biasa diambil manfaatnya, daun wangi (kemangi) dan
selasih.
c.
Kelompok
tumbuhan
rodentisida
nabati,
kelompok
tumbuhan
yang
menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini
terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan
populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk penekan kelahiran
umunya mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi
biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang biasanya dipakai sebagai
rodentisida nabati adalah gadung racun.
d.
Kelompok
tumbuhan
molukisida
adalah
kelompok
tumbuhan
yang
mengahasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman
menimbulkan pengaruh molukisida, diantaranya daun sembung dan akar tuba.
e.
Kelompok tanaman fungisida nabati, merupakan kelompok tumbuhan yang
digunakan untuk mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun
sirih, sereh, pinang, da tembakau.
f.
Kelompok tumbuhan pestisida serba guna, dimana kelebihan kelompok ini tak
hanya berfungsi untuk satu jenis misalnya pestisida sintetik saja, tetapi juga
berfungsi sebagai fugisida, bakterisida, molukisida, dan nematisida. Tumbuhan
yang bisa dimanfaatkan dari kelompok ini adalah jambu mete, sirih, tembakau,
dan mimba.
Pestisida dalam hal ini pestisida nabati dapat dibagi dalam beberapa kelompok
menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga atau menurut sifat kimianya.
39
Menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga, pestisida sintetik dibagi dalam tiga
kelompok yaitu racun perut (stomach poisons), racun kontak (contact poisons), dan
racun fumigan (Dantje, 2015: 185).
a.
Racun perut adalah jenis pestisida yang dimakan oleh serangga dan membunuh
serangga itu kususnya dengan merusak atau mengabsorbsi sistem pencernaan.
Kelompok insektisida ini digunakan untuk mengendalikan hama serangga yang
bertipe mengunyah makanan (Dantje, 2015: 185).
b.
Racun kotak adalah jenis pestisida yang diabsorbsi melalui dinding tubuh
serangga harus mengadakan kontak secara langsung dengan pestisida sintetik
(Dantje, 2015: 185). Insektisida masuk dan terserap melalui dinding atau kulit
tubuh serangga yang disebut eksoskelet (Natadisastra dan Ridad, 2009: 356).
c.
Racun napas (fumigans), insektisida masuk melalui pori atau lubang pernafasan
pada dinding tubuh serangga yang disebut spirakel atau stigma, dan masuk ke
dalam saluran pernafasan serangga (Natadisastra dan Ridad, 2009: 356).
Pemanfaatan pestisida nabati untuk pengendalian OPT mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan pestisida sintetik terutama dari segi keamanannya. Pestisida
nabati terbuat dari bahan alami/nabati, maka pestisida ini mudah terurai (biodegradable) sehingga relatif tidak berbahaya bagi kehidupan. Berkembangnya
penggunaan pestisida sintetik yang dinilai praktis oleh para petani untuk mencegah
atau menghambat serangan hama, ternyata membawa dampak negatif yang sangat
besar bagi manusia dan lingkungan. Cara terbaik untuk mencegah pencemaran
pestisida adalah dengan tidak menggunakan pestisida sintetik sebagai pemberantas
40
hama, walaupun dalam kenyataannya hal ini tidak mungkin untuk dilakukan.
Mengingat akibat sampingan yang terlalu berat, atau bahkan menyebabkan rusaknya
lingkungan dan merosotnya hasil panen, maka penggunaan pestisida sudah harus
dipikirkan untuk mulai dikurangi (Siahaya dan Rumthe, 2014: 113).
2.
Organisme Penganggu Tanaman (OPT)
Peningkatan produksi sayuran di Indonesia sangat diperlukan guna memenuhi
kebutuhan dalam negeri untuk mengimbangi laju pertambahan penduduk yang
semakin meningkat pula. Sebagai penghasil vitamin dan mineral, sayuran merupakan
salah satu sumber gizi yang dibutuhkan bagi tubuh (Kurniawan, dkk, 2013: 204).
Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi sayuran di Indonesia adalah akibat
serangan hama dan penyakit. Tanaman sawi tidak lepas dari OPT yaitu Agrotis
ipsilon, ulat krop kubis, Plutella sp, Spodoptera litura, kutu daun Aphis sp, siput
setengah telanjang, dan sumpil. Hama penting yang menyerang tanaman Cruciferae,
yaitu ulat tritip. U;at tritip merupakan ulat pemakan daun yang paling banyak
menyerang tanaman sayur-sayuran dan menyebabkan kerusakan sekitar 12,5%
(Sriniastuti, 2005; Nurshanti, 2010: 87). Kerugian besar bahkan kegagalan panen
dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik. Ulat tritip menempati
kedudukan sebagai hama utama, kehilangan hasil akibat serangan hama ini cukup
tinggi yaitu dapat mencapai 100% dan (Pracaya, 1991; Luhukay, dkk, 2013: 164165).
Telah banyak diteliti bahwasanya ekstrak tanaman tertentu mengandung
molekul, yang bekerja secara tunggal maupun berinteraksi dengan molekul lainnya
41
yang mampu berperan sebagai pestisida. Cara kerja (mode of action) molekul
tersebut dapat sebagai biotoksin, pencegah makan (antifeedant), penolak (repellent)
dan pengganggu alami, baik yang diperoleh dari tumbuhan maupun jasad renik yang
disebut sebagai pestisida biorasional (biorational pesticides) (EPA, 1989; Siahaya
dan Rumthe, 2014: 113).
F.
Risiko Penggunaan Pestisida Sintetis
Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat penting baik bagi
konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai
penghasil vitamin dan mineral. Bagi perekonomian nasional, peran sayuran semakin
meningkat karena di beberapa dareah pusat holtikutura telah berhasil mengekspor
beberapa sayuran. Bagi produsen, yaitu petani budidaya sayuran, dapat memberikan
penghasilan yang cukup dan rata-rata lebih baik daripada komoditi pangan lainnya.
Oleh karena peranan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia maka
produktivitas dan kualitas sayuran yang dihasilkan petani selalu ditingkatkan.
Intensifikasi sayuran yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas per satuan
unit lahan selalu diusahakan oleh petani dengan meningkatkan penggunaan berbagai
masukan produksi seperti bibit, pupuk, zat pengatur tumbuh, dan pestisida. Usaha
intensifikasi yang dilakukan oleh petani sayuran umumnya atas dasar pengalaman
dan pengetahuannya yang terbatas serta kurang memperoleh bimbingan dan
pengawasan dari petugas pemerintah.
42
Dari sekian banyak input produksi, pestisida merupakan input yang paling
mahal dan kelihatannya tidak dapat dipisahkan dari budidaya tanaman sayuran.
Menurut Sastroiswojo (1990), rata-rata petani sayuran harus mengeluarkan sekitar
50% dari biaya produksi yang digunakan untuk pengendalian kimiawi dengan
mencampur berbagai jenis pestisida (Untung, 1993: 56). Dilaporkan juga bahwa
petani sayuran rata-rata menyemprot tanaman sayurannya 16 kali dalam satu musim
atau dengan interval penyemprotan 4-6 hari. Tidak sedikit petani sayuran yang
menyemprot dengan interval lebih pendek dari interval tersebut, terutama apabila
turun hujan. Ciri-ciri khas petani sayuran di Indonesia yaitu tingkat produktifitas
masih rendah, kualitas produksi rendah, luas lahan per petani sempit, tingkat
penegtahuan dan ketrampilan rendah, dan ketergantungan pada pestisida tinggi
(Untung, 1993: 56).
Beberapa praktik yang dilakukan oleh petani di Indonesia yaitu dosis
penyemprotan sangat tinggi jauh melebihi rekomendasi, dalam satu kali
penyemprotan dipergunakan campuran beberapa jenis pestisida yang sering kali
masih dicampur dengan bahan-bahan lain, metode dan teknik penyemprotan tidak
benar dan kurang memperhatikan keamanan penyemprotan dan kesehatan
masyarakat, frekuensi penyemprotan terlalu tinggi, dan waktu penyemprotan terakhir
tidak memperhitungkan keamanan konsumen sehingga pada waktu panen masih
banyak petani yang melakukan penyemprotan (Untung, 1993: 56-57).
Penggunaan pestisida secara berlebihan didasari oleh permintaan akan produk
sayuran tanpa ada cacat maupun gigitan serangga, kesadaran dan pengetahuan petani
43
sayuran akan hama, kerusakan, pestisida, cara pengaplikasian pestisida, dan bahaya
pestisida terhadap lingkungan sangat terbatas sehingga mereka cenderung
mengabaikan hal-hal tersebut. Petani sayuran berfikir ekonomis, pragmatis, dan
praktis serta kurang mempertimbangkan dampak atau konsekuensi non-ekonmis.
Petani sayuran juga kurang memperoleh perhatian, bimbingan, maupun sosialisasi
dari petugas pemerintah terutama dalam program perlindungan tanaman. Informasi
pengendalian hama umumnya diperoleh dari petugas kios pestisida, petugas
distributor pestisda atau dari antar petani sendiri. Selain itu teknologi pengendalian
hama sayuran yang non-kimiawi belum berkembang (Untung, 1993: 57).
Pestisida kimia memiliki kandungan racun yang berbahaya bagi kesehatan
dan lingkungan sedangkan pestisida nabati tidak mengandung zat racun yang
berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan (Ardra, 2013; Afifah, dkk., 2015: 2).
Dampak penggunaan pestisida sintetik diantaranya :
1.
Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida sintetik
Karena hama terus menerus mendapatkan tekanan oleh pestisida maka melalui
proses seleksi alami spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan
terhadap pestisida tertentu yang sering digunakan oleh petani (Untung, 1996: 12).
2.
Timbulnya resurjensi hama
Dampak pestisida sintetik yang dirasakan oleh petani adalah timbulnya
resurjensi hama atau peristiwa meningkatnya hama setelah hama tersebut
memperoleh perlakuan pestisida sintetik tertentu. Apabila pada peristiwa resistensi
hama menjadi lebih tahan terhadap pestisida sehingga sulit untuk dimusnahkan, tetapi
44
pada peristiwa resurjensi justru populasi hama tersebut semakin meningkat setelah
memperoleh penyemprotan pestisida. Dengan adanya sifat resurjensi ini penggunaan
pestisida tidak hanya sia-sia tetapi malah sangat membahayakan (Untung, 1996: 1213).
3.
Letusan hama kedua
Setelah perlakuan pestisida sintetik tertentu secara intensif ternyata hama
sasaran utama memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan
menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak
membahayakan (Untung, 1996: 13). Upaya untuk mengantisipasi permasalahan
tersebut, sudah saatnya dikembangkan penggunaan pestisida nabati yang merupakan
alternatif sebagai sarana pengendalian OPT yang selalu tersedia di alam, dapat dibuat
sendiri serta relatif cukup aman bagi lingkungan. Pestisida nabati merupakan produk
alam yang berasal dari tumbuhan yang mengandung bioaktif seperti senyawa
sekunder yang jika diaplikasikan ke sasaran (hama) dapat mempengaruhi sistem
syaraf, terganggunya sistem reproduksi, keseimbangan hormon, perilaku berupa
penarik/pemikat, penolak, mengurangi nafsu makan, dan terganggunya sistem
pernafasan (Hidayat, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 163).
G.
KERANGKA BERPIKIR
Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuhan dan bersifat
mudah terdegradasi di alam. Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai
pengendali hama adalah tapak liman. Pada daun tapak liman memiliki kandungan
45
saponin, flavanoida, dan minyak atsiri. Saponin merupakan racun kontak dan racun
perut. Saponin menyebabkan terganggunya permeabilitas membran sitoplasma,
menyebabkan lisis sel, serta penurunan daya makan. Flavanoid berfungsi sebagai
antifeedan dan menghambat pembentukan ATP. Minyak atsiri berfungsi untuk
menekan hormon juvenil agar terjadi metamorfosis dini, imago steril, pupa cacat dan
mati. Senyawa tersebut masuk ke dalam tubuh ulat tritip secara langsung maupun
melalui perantara makanan, yaitu daun sawi. Masuknya senyawa-senyawa kimia
berakibat pada tingginya mortalitas hama ulat tritip dan pemendekan fase larva
menjadi pupa, sehingga berpengaruh pada rendahnya kerusakan tanaman sawi dan
tingginya berat basah tanaman sawi. Dengan demikian tanaman tapak liman
berpotensi sebagai pestisida nabati untuk pengendalian hama ulat tritip. Oleh karena
itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pestisida
Nabati Tapak Liman (Elephantopus scaber L.) terhadap Pengendalian Hama Ulat
Tritip (Plutella xylostella) Tanaman Sawi (Brassica juncea L.).
46
DaunTapak liman (Elephantopus scaber
L.)
Saponin
Lisis sel dan
Menghambat
aktivitas makan
hama
Flavanoid
Menghambat aktifitas
makan (antifeedan) dan
menghambat
pembentukan ATP
Daun tanaman sawi
(Brassica juncea
L.)
Minyak Atsiri
Anti JH
(metamorfosis dini
larva cacat, dan
pupa mati)
Ulat Tritip
(Plutella xylostella)
Kerusakan tanaman sawi
Mortalitas hama ulat tritip
Berat basah tanaman sawi
Pemendekan fase larva ulat
tritip menjadi pupa
Gambar. 11 Kerangka Berpikir
47
H.
Hipotesis
1.
Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin tinggi
mortalitas hama ulat tritip.
2.
Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin pendek siklus
hidup larva ulat tritip yang menjadi pupa dan semakin menurun jumlah pupa.
3.
Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin rendah tingkat
kerusakan tanaman sawi.
4.
Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin besar berat
basah tanaman sawi.
5.
Semakin tinggi dosis pestisida nabati tapak liman, maka semakin efektif untuk
pengendali hama ulat tritip.
48
Download