KADIN INDONESIA Paparan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia disampaikan pada Sidang Paripurna Kabinet ‐ Senin, 6 Okteber 2008 Mohamad S. Hidayat Mempersiapkan Ketahanan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Gejolak Ekonomi Global Ekonomi Global Mengalami Turbulensi Dipicu Kejatuhan Sektor Keuangan di Amerika Serikat Sebagaimana diketahui bersama, perekonomian global dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan ini menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan. Kondisi tersebut diawali oleh krisis subprime mortgage berawal pada pertengahan 2007 yang membawa kerugian bagi bank komersial, bank investasi dan asset management yang mengelola instrumen keuangan berbasis kredit subprime mortgage, khususnya terhadap bank‐bank besar global di kawasan Amerika Serikat dan Eropa. Total kerugian yang dialami bank‐bank tersebut diperkirakan dapat mendekati USD1.000 miliar (sumber: IMF), di antaranya Merril Lynch mencatat kerugian USD52,2 miliar, Citigroup USD55,1 miliar, UBS AG USD 44,2 miliar, HSBC USD 27,4 miliar. Kejatuhan 5 (lima) lembaga keuangan terbesar yaitu Bear Stearns, Lehman Brothers, Fannie Mae dan Freddie Mac serta AIG menunjukkan magnitude dari permasalahan yang terjadi. Tiga lembaga keuangan yang terakhir masih beruntung karena Pemerintah AS telah mengambil alih perusahaan tersebut sebelum mengalami kebangkrutan. Skala dari kerugian karena kredit subprime mortgage diperkirakan akan mencapai 3 (tiga) kali lipat dari dampak kerugian krisis finansial di Asia pada tahun 1997‐1998. Untuk mengatasi hal tersebut, Bank Sentral Amerika, Eropa, Inggris dan Jepang telah menyuntikkan dana hingga sejumlah ratusan miliar dollar untuk menolong sistem keuangan dan perbankan dunia dari keterpurukan lebih lanjut. The Fed pada awalnya menyuntikkan dana sebesar kisaran USD300 miliar yang akan diberikan ke 1 dalam beberapa tahap. Sementara itu, Bank Sentral Eropa telah menyuntikkan dana sebesar Euro 190,7 miliar (sekitar USD 267 miliar) dan Bank Sentral Jepang mengucurkan 1 Triliun Yen (USD 8,7 miliar). Bank Sentral Inggris juga telah menyuntikkan dana sebesar 60 miliar Pound (USD 110 miliar) ke dalam sistem perbankannya. Berita terkini, pemerintah AS telah mendapatkan persetujuan Kongres untuk menyediakan dana bail‐out sektor keuangan sebesar USD700 miliar. Dana ini akan digunakan untuk membeli surat utang dari sub‐prime mortgage yang macet, yang dipegang oleh investor institusi keuangan, seperti bank, reksadana, dana pensiun, dan asuransi. Turunnya Dow Jones sebesar 157 poin setelah disetujuinya paket penyelamatan tersebut menunjukkan bahwa paket tersebut masih dianggap belum cukup memadai oleh beberapa kalangan, terutama karena responnya yang terlambat dan skalanya yang diperkirakan belum dapat meng‐cover seluruh kerugian di sektor keuangan AS. Kejatuhan sektor keuangan global akan berdampak pada meningkatnya premi resiko serta mengeringnya likuiditas pasar modal dan perbankan global yang akan diiringi dengan penarikan dana, khususnya dari emerging market, baik dana dalam bentuk portofolio saham, obligasi maupun pinjaman dalam valuta asing. Dengan terjadinya hal ini maka pendanaan dalam valuta asing akan sangat sulit didapat dan menjadi mahal bahkan berbagai bank global telah merubah quotation bukan lagi dengan LIBOR basis namun dengan Cost of Fund (sebagai contoh, perusahaan General Electric dengan rating AAA mencari tambahan modal tetapi harus menawarkan saham preferen dengan membayar dividen yield 10%). Sebagai dampak lanjutan dari kejatuhan sektor keuangan global tersebut, dikuatirkan akan terjadi efek lanjutan kepada sektor riil, di mana korporasi maupun bank komersial di berbagai negara yang mempunyai kewajiban yang jatuh tempo, khususnya dari institusi keuangan global, dalam jangka waktu pendek dan menengah akan mengalami kesulitan untuk melakukan refinancing. Selain menurunnya likuiditas yang tersedia, krisis di sektor keuangan ini juga diperkirakan akan membawa AS dan ekonomi global pada perlambatan pertumbuhan yang signifikan di tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi AS yang sebesar 2,0% di tahun 2007 diperkirakan oleh The Fed akan mengalami perlambatan ke 1,3% di 2008, sementara pertumbuhan ekonomi Eropa juga diperkirakan akan melambat dari 3,1% di tahun 2007 menjadi 1,3% di tahun 2008. Sementara itu, tingkat inflasi AS yang mencapai 2,9% pada tahun 2007 diperkirakan meningkat menjadi 4,0% di tahun 2008 dan tingkat inflasi di Eropa diperkirakan meningkat dari 2,1% menjadi 3,6%. Dampaknya, hampir seluruh negara di dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan, termasuk China yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia, dimana pertumbuhan ekonominya diperkirakan akan melambat dari 11,9% di tahun 2007 menjadi 10% di 2008. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan permintaan impor dan mendorong penurunan harga komoditas global, 2 sehingga akan menekan perekonomian negara‐negara berkembang, khususnya yang berbasis pada ekspor komoditas. Indonesia Sebagai Bagian dari Ekonomi Global Yang Terintegrasi Akan Terkena Dampak Tidak Langsung Dari Gejolak Tersebut Ekonomi Indonesia pada beberapa tahun terakhir telah mengalami perbaikan yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan di atas 6% selama beberapa tahun terakhir didorong oleh pertumbuhan konsumsi, investasi dan ekspor. Laju Inflasi Juli 2008 yang menyentuh dua digit sebesar 11,9% (Year on Year/YoY) atau 1,37% (Month on Month/MoM) sebagai dampak kenaikan BBM di bulan Mei, mulai memperlihatkan trend membaik pada bulan Agustus dengan angka inflasi sebesar 11,85% (YoY) atau 0,51% (MoM), sehingga diperkirakan hingga akhir tahun, inflasi tahun kalender akan berada di kisaran 12%. Dengan kondisi tersebut maka BI rate yang saat ini berada pada 9,25% cenderung masih dapat ditahan di kisaran 9,5% ‐ 9,75% hingga akhir tahun. Membaiknya iklim investasi juga terlihat dari peningkatan pemintaan dari berbagai barang impor, khususnya capital goods maupun raw material. Permintaan imported capital goods sampai dengan Agustus 2008 mencapai USD11,48 miliar, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD6,62 miliar. Hal yang sama juga terlihat pada permintaan imported raw material yang sampai Agustus 2008 mencapai USD60,9 miliar lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun 2007 yang baru mencapai USD34,29 miliar. Peningkatan penjualan dari berbagai barang konsumsi juga menunjukkan trend kepercayaan konsumen yang masih sangat kuat seperti pertumbuhan penjualan motor bulan Agustus 2008 sebesar 55,61% (Year to Date/YtD) dan peningkatan konsumsi semen sebesar 4,44% (YtD). Sektor perbankan juga menunjukkan kondisi yang baik di mana NPL Perbankan Nasional berada pada posisi 3,5% per Juli 2008 dibandingkan 4,1% di tahun 2007, dengan tingkat LDR yang telah mencapai 74,8% per Juli 2008 dibandingkan 65,1% di 2007, serta CAR yang terjaga di level 17%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Dari sisi pengelolaan fiskal penurunan asumsi harga minyak dunia juga akan mengurangi tekanan defisit anggaran. Defisit anggaran 2008 yang semula diperkirakan dapat melebihi 2% diproyeksikan untuk dapat ditekan di kisaran 1,7%. Meskipun berbagai indikator ekonomi makro tersebut hingga saat ini masih terlihat positif, namun sebagai bagian yang integral dari perekonomian global, Indonesia tidak akan lepas dari dampak lanjutan dari gejolak ekonomi global sebagaimana yang kami paparkan sebelumnya. Indonesia diperkirakan akan terkena dampak lanjutan krisis dari dua sektor utama. 3 Pertama adalah di sektor keuangan. Terjadinya kekurangan pasokan likuiditas di sektor keuangan karena terjadinya kebangkrutan berbagai institusi keuangan global, khususnya bank‐bank investasi, akan berdampak pada cash flow sustainability dari perusahaan‐perusahaan korporasi besar di Indonesia. Akses pendanaan korporasi ke capital market dan perbankan global akan mengalami kendala baik dari sisi pricing (tingginya suku bunga) maupun availability (ketersediaan dana). Berdasarkan data Bank Indonesia mengenai Pinjaman Komersial Luar Negeri, saat ini terdapat pinjaman kepada institusi asing sebesar USD83,147 miliar, jumlah inipun diperkirakan belum cukup komprehensif karena adanya korporasi yang meminjam menggunakan Special Purpose Vehicle yang didirikan di offshore. Di samping itu diperkirakan 25,6% dari PKLN tersebut merupakan pinjaman yang harus diperpanjang dalam jangka pendek atau jangka menengah. Di samping kondisi keringnya likuiditas di pasar finansial global juga terjadi flight to quality, sehingga pasar modal di berbagai negara termasuk Indonesia terjun bebas. Tercatat indeks BEI mengalami koreksi dari 2.745 di awal tahun 2008 menjadi 1.832 pada akhir September lalu, sementara imbal hasil obligasi pemerintah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun meningkat dari 7,7% di awal tahun menjadi 11,26% di bulan September. Hal ini tentunya akan menurunkan confidence dari investor. Hal lain yang menjadi indikasi flight to quality adalah melemahnya mata uang Rupiah saat ini dibandingkan 3 bulan yang lalu. Kurs mata uang Rupiah pada akhir September ditutup pada level Rp.9425/USD, berarti melemah 264 bps dibandingkan 1 tahun lalu atau 166 bps dibandingkan akhir bulan Juni 2008 sebelum kondisi sektor keuangan di AS memburuk secara signifikan. Hal yang paling dikhawatirkan adalah apabila para investor yang saat ini masih memegang asset keuangan likuid di Indonesia mulai melepas asset‐asset tersebut karena alasan flight to quality, sementara itu risk premium yang diberikan sebesar 1% (selisih antara 5 years bond RI dengan 5 years bond Treasury), tidak lagi dianggap memadai. Seperti yang dapat dicermati pada krisis di masa lalu, nilai tukar Rupiah merupakan indikator yang sangat penting untuk dipertahankan karena sangat mempengaruhi kepercayaan terhadap perekonomian nasional. Di sisi lain, saat ini sektor keuangan, khususnya perbankan, sedang mengalami pengetatan likuiditas yang diarahkan untuk meredam laju inflasi dan menurunkan tingkat pertumbuhan kredit yang sampai dengan Agustus 2008 telah mencapai level 35% (YoY). Kebijakan uang ketat BI menyebabkan alat likuid yang dipegang perbankan yang terdiri dari SBI terus mengalami penurunan dari Rp200 triliun di awal tahun menjadi Rp83 triliun per Agustus 2008. Di samping itu dampak dari penerbitan SUN yang hingga pertengahan tahun telah mencapai kisaran Rp80 triliun juga turut meningkatkan kompetisi untuk memperebutkan dana di pasar, atau yang biasa dikenal sebagi crowding‐out effect. Kebijakan yang penting untuk meredam tingkat inflasi ini telah mulai menunjukkan hasilnya dengan penurunan 4 inflasi bulanan sebagaimana yang kami sebutkan terdahulu, namun pada saat situasi pasar keuangan global yang tidak menentu kebijakan uang ketat ini dapat menimbulkan kerentanan di sektor keuangan, terutama untuk bank‐bank yang mempunyai skala kecil dan tidak mempunyai sumber pendanaan jangka panjang. Salah satu tren yang mengkuatirkan belakangan ini adalah karena neraca berjalan (current account) Indonesia mulai menunjukkan defisit (USD1.477 miliar) pada kuartal ke‐2 tahun 2008. Penyebabnya adalah karena laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa hanya meningkat 27,6% YoY (dari USD29,2 miliar pada 2Q07 menjadi USD37,3 miliar pada kuartal ke‐2 2008). Sementara, impor barang dan jasa meningkat 51,2% YoY (dari USD21,1 miliar pada kuartal kedua 2007 menjadi USD31,9 miliar pada kuartal kedua tahun 2008). Dampak tidak langsung kedua dari krisis keuangan global adalah penurunan permintaan dan penurunan harga komoditas‐komoditas utama ekspor Indonesia. Sebagai contoh dalam beberapa bulan terakhir dua komoditi ekspor utama Indonesia yaitu Crude Palm Oil (CPO) dan Batu Bara (Coal) telah mengalami penurunan harga. CPO (di pasar Rotterdam) telah mengalami penurunan harga dari USD1,207 per metric tonne di bulan Juni 2008 menjadi USD705 per metric tonne di September 2008. Batu Bara (di pasar US Spot Big Sandy) juga mengalami penurunan dari USD133,5 per short ton di bulan Juni 2008 menjadi USD112,5 per short ton di bulan September 2008. Volume ekspor mengalami perlambatan sebesar 2,65% MoM, yaitu dari USD12,9 miliar pada bulan Juni 2008 menjadi USD12,5 miliar pada bulan Juli 2008. Dengan indikasi penurunan volume maupun nilai ekspor ke depan, sementara laju impor belum dapat diredam secara signifikan, maka dapat terjadi trade deficit yang semakin melebar dalam jangka menengah ke depan. Untuk itu diversifikasi dan akselerasi pertumbuhan berbagai komoditas ekspor harus menjadi prioritas, di samping perlunya meredam peningkatan impor di saat terjadi ketidakpastian global saat ini. Hal ini menjadi krusial mengingat akan sulit untuk menggalang capital inflow dalam jumlah besar untuk menutup defisit tersebut, seiring dengan keringnya likuiditas pasar keuangan global. Ketahanan Sektor Keuangan, Khususnya Perbankan, Merupakan Kunci Utama Dalam Mengelola Stabilitas Ekonomi Nasional Mengingat pentingnya ketahanan sektor keuangan dalam mengelola stabilitas ekonomi nasional, khususnya dalam kondisi turbulen, perlu kiranya diambil tindakan‐tindakan yang prudent dan komprehensif untuk mengantisipasi dampak krisis global dengan prioritas utama untuk menjaga kekuatan sektor keuangan nasional. Apa yang terjadi saat ini di AS dalam penanganan financial crisis menunjukkan bahwa persiapan untuk penyelamatan sektor keuangan akan 5 mengakibatkan multiplier effect pada sektor riil, dan apabila terlambat dipersiapkan akan sulit untuk diredam serta membutuhkan biaya ekonomi yang jauh lebih besar. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa rekomendasi yang kami harapkan dapat dikaji sebagai action plan bersama ke depan sebagai berikut: 1. Bank Indonesia perlu untuk merelaksasi kebijakan uang ketat melalui perubahan kebijakan‐kebijakan terkait likuiditas (seperti penurunan tingkat Giro Wajib Minimum yang dikaitkan dengan LDR, perluasan fasilitas repo SUN untuk jangka waktu yang lebih panjang). 2. Pemerintah perlu untuk mempercepat spending APBN sehingga akan mengembalikan likuiditas di sketor keuangan yang sebelumnya sudah ditarik melalui penerbitan surat berharga Pemerintah (SUN). 3. Bank Indonesia dan Pemerintah (termasuk peranan Lembaga Penjaminan Simpanan) perlu untuk memperkuat protokol implementasi financial safety net dan peran lender of the last resort dengan tetap memperhatikan aspek governance, sehingga terdapat mekanisme yang semakin tajam apabila terjadi krisis likuiditas perbankan dan obligasi. Belajar dari proses persetujuan paket penyehatan sektor keuangan di AS, diharapkan agar dilakukan koordinasi antara lembaga eksekutif dan legislatif sedini mungkin sehingga dalam situasi darurat dapat dimaklumi bahwa eksekutif akan mengambil langkah‐langkah contigency yang dibutuhkan melalui penerbitan Perpu. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat juga dimohon untuk dapat mempercepat pembahasan UU terkait ‘ financial safety net’. 4. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kepercayaan pada sektor keuangan nasional adalah peningkatan jumlah yang ditanggung oleh LPS, seperti yang telah dilakukan di negara lainnya. Jumlah penjaminan sebesar Rp100 juta mungkin cukup memadai dalam kondisi stabil, namun mungkin tidak cukup dalam kondisi darurat yang penuh ketidakpastian. 5. Pemerintah perlu mendorong penempatan dana valuta asing di perbankan besar melalui himbauan atas penempatan dana BUMN yang mempunyai ekses valuta asing maupun himbauan kepada eksportir besar untuk membawa masuk proceed ekspornya. Kebijakan ini penting sebagai safety line untuk mendukung BUMN maupun korporasi besar yang dapat mengalami kesulitan cash flow valuta asing agar mempunyai sumber dana dari perbankan di dalam negeri. 6. Pemerintah perlu untuk mendukung financing pool khusus untuk membiayai proyek‐proyek prioritas, khususnya infrastruktur (seperti pembangkit tenaga listrik) yang membutuhkan pendanaan jangka panjang dalam jumlah besar ataupun pendanaan valuta asing untuk mengimpor capital goods. 6 7. Untuk memperkuat cadangan devisa, BI diharapkan dapat berkoordinasi dengan Bank Sentral negara ASEAN lainnya untuk memperoleh cadangan devisa tambahan serta melakukan operasi pasar. Percepatan Implementasi Kebijakan Sektor Riil Untuk Menjaga Momentum Ekspor dan Output Produksi Nasional Di saat terjadinya perlambatan ekonomi global, tentunya menjaga momentum ekspor melalui peningkatan daya saing dan diversifikasi pasar tujuan ekspor merupakan suatu langkah penting untuk menjaga tingkat pertumbuhan maupun Neraca Perdagangan. Di samping itu, tingkat produksi nasional juga harus dijaga dengan berbagai kebijakan yang mampu menekan biaya dan mempercepat proses. Untuk itu terdapat beberapa rekomendasi yang kami harapkan dapat dikaji sebagai action plan bersama ke depan sebagai berikut: 1. Perlunya upaya lebih lanjut untuk menekan berbagai biaya logistik di pelabuhan 2. Perlunya tinjauan ulang mengenai pengenaan biaya listrik peak hour cost 3. Kenaikan Upah Minimum Regional seyogyanya untuk diserahkan kepada hasil perundingan masing‐masing perusahaan dan Serikat Pekerja dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomis dan tetap melindungi kepentingan pekerja 4. Perlunya dukungan khusus untuk komoditas ekspor andalan dengan penyediaan skema pendanaan melalui instrumen perbankan tertentu 5. Peningkatan kemudahan dan percepatan waktu restitusi pajak dan khusus untuk perusahaan berorientasi ekspor, dapat diberikan fasilitas apabila perusahaan mempunyai dokumentasi kuat dan reputasi baik, maka bea masuk untuk raw material yang akan di reekspor dapat dipertimbangkan untuk ditangguhkan 6. Rasionalisasi berbagai iuran dan retribusi baik di pusat maupun di daerah 7. Memperkuat perlindungan pasar dalam negeri dengan mekanisme yang disepakati WTO (seperti anti dumping) 8. Upaya intensif untuk penurunan bea masuk ke negara‐negara tujuan ekspor besar dengan pendekatan bilateral. 9. Meningkatkan diversifikasi perekonomian sehingga mengurangi ketergantungan pada ekonomi AS dan Eropa memalui peningkatan kerjasama perdagangan dengan negara‐negara Gulf Country yang sejauh ini belum terlihat terpengaruh pada kondisi di AS. Memperkuat Resiliensi Ekonomi Domestik Dengan kecenderungan penurunan permintaan dunia dan penurunan harga komoditas global, maka resiliensi ekonomi domestik menjadi faktor pendukung 7 yang sangat vital. Orientasi untuk memperkuat sektor‐sektor ekonomi domestik, maupun menjaga tingkat permintaan agregat dapat menjadi faktor utama untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu terdapat beberapa rekomendasi yang kami harapkan dapat dikaji sebagai action plan bersama ke depan sebagai berikut: 1. Percepatan implementasi dari beberapa kebijakan sektor agro, pangan dan energi yang telah disepakati antara sektor swasta dan pemerintah, melalui koordinasi yang lebih erat antar departemen dan antara pusat dengan daerah. 2. Menjaga tingkat kepercayaan konsumen secara berkesinambungan sehingga permintaan domestik tidak menurun. 3. Meningkatkan efektivitas pola penyerapan APBN sehingga ekspansi fiskal dapat dirasakan lebih cepat di awal tahun. 4. Penurunan atau pembebasan pajak (seperti PPN dan PPNBM) pada barang‐ barang tertentu untuk meningkatkan permintaan domestik. 5. Mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur yang sampai dengan saat ini masih menghadapi berbagai kendala. 6. Meningkatkan pengembangan industri kreatif nasional, yang diantaranya mencakup arsitektur, desain, kerajinan, mode, seni musik, pertunjukan dan lain‐ lain. Penutup Terakhir, kami dari kalangan Pengusaha, sangat yakin bahwa Pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan yang terbaik demi terjaganya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam masa‐masa sulit yang akan kita hadapi bersama ke depan, komunikasi yang semakin dekat dan kerjasama erat di antara kita merupakan kunci agar bangsa ini dapat mengatasi dampak krisis ekonomi global dengan baik. Untuk itu besar harapan kami bahwa forum‐forum formal maupun informal untuk berdiskusi dan saling memberikan masukan seperti yang diselenggarakan dengan sangat baik hari ini, dapat terus terjadi. Semoga Tuhan memberkati upaya kita bersama untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. 8