ANALISIS WANPRESTASI PERJANJIAN BUILD

advertisement
ANALISIS WANPRESTASI PERJANJIAN BUILD OPERATE TRANSFER TERKAIT
ADDENDUM PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
(Tinjauan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 157/Pdt.G/2010/PN.JKT.PST)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Azhary Arsyad Sulaiman
NIM: 1110048000046
KONSENTRASI HUKUMBISNIS
PROGRAM STUDI
I LM U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H / 2015 M
ABSTRAK
AZHARY ARSYAD SULAIMAN. NIM 1110048000046. Analisa Wanprestasi
Perjanjian Build Operate Transfer Terkait Addedum Perjanjian (Tinjauan Putusan PN
Jakarta Pusat Nomor 157/Pdt.G/2010/PN.JKT.PST). Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. ix + 72 halaman + 2 halaman daftar
pustaka + 132 halaman lampiran.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perjanjian build, operate,
transfer dalam hukum positif di Indonesia, bagaimana kekuatan mengikat perubahan
klausul perjanjian yang disepakati melalui surat dan bagaimana pertimbangan
majelis hakim dalam menentukan perbuatan wanprestasi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana ketentuan mengenai perubahan terhadap klausul
perjanjian dan mengetahui dasar pertimbangan majelis hakim dalam memustuskan
wanprestasi yang ditinjau dari putusan PN Jakarta Pusat Nomor
157/Pdt.G/2010/PN.JKT.PST.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan
pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep.
Informasi didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
non hukum. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga
ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.
Simpulan dari penelitian ini bahwa belum adanya regulasi khusus mengenai
perjanjian build, operate, transfer. Kesepakatan yang dibuat melalui surat belum
mempunyai kekuatan mengikat, sehingga klausul perjanjian yang ada masih berlaku
dan mengikat para pihak dalam perjanjian dan dalam pertimbangannya majelis hakim
menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, melakukan pemeriksaan
setempat, memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan keterangan saksi untuk
menentukan terjadinya wanprestasi. Mengenai akibat hukum dari wanprestasi adalah
berakhirnya perjanjian, penyerahan hak pengelolaan gedung BRI II kepada penggugat
dan biaya ganti rugi atas pembayaran tahunan sewa gedung BRI III yang tidak
dibangun.
Kata Kunci
:Perjanjian, Build Operate Transfer, Wanprestasi, Putusan Hakim.
Pembimbing : 1. Dr. Euis Amalia, M.Ag.
2. Nahrowi, S.H.,M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2012
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang
senantiasa
memberikan
bimbingan
dan
petunjuk
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad Saw.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. M.A. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Arip Purkon, S.H.I, M.A. selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Euis Amalia, M.Ag. dan Nahrowi, S.H. M.H. selaku Dosen Pembimbing yang
telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktu
sehingga skripsi ini selesai.
4. Dra. Hj. Ipah Parihah, M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademis.
v
5. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Amril Darmawan dan Ibunda Agnes Triani.
Terima kasih berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian dan bantuan (moril,
materil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Tidak lupa
kedua adik tercinta, Nurul Oktaviani dan Ikhwan Nurrohim yang telah
memberikan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
6. Ibu Ina dari Kejaksaan Agung yang telah membantu komunikasi kepada Ibu Yesti
Mariani Gultom untuk mendapatkan data dalam penulisan skripsi.
7. Bapak Pantja Edy dan kawan kawan dari Kejaksaan Tinggi Jogjakarta yang telah
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2010 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik
kelas hukum bisnis maupun kelas hukum kelembagaan negara yang tidak penulis
sebutkan satu persatu.
9. Kakak-kakak Senior ilmu hukum yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
10. Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih telah menyediakan bukubuku referensi dalam penulisan skripsi.
11. Keluarga Besar KKN KAPEMAS yang tak penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Sekian, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, Maret 2015
Azhary Arsyad Sulaiman
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ..................................... 7
E. Kerangka Teori dan Konseptual .......................................... 8
F. Metode Penelitian ................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan ........................................................... 14
B. Syarat Sahnya dan Asas Perikatan ....................................... 16
C. Tinjauan Umum Tentang Prestasi ........................................ 19
D. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi ................................ 20
E. Keadaan Memaksa .............................................................. 24
F. Somasi................................................................................. 26
vii
BAB III
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BUILD OPERATE
TRANSFER
A. Pengertian Build Operate Transfer ...................................... 28
B. Tinjauan Umum Perjanjian Build Operate Transfer............. 31
C. Pihak yang Terlibat Dalam Build Operate Transfer ............. 33
D. Asas dan Karakteristik Perjanjian Build Operate Transfer... 33
E. Keadaan Paksa dalam Build Operate Transfer ..................... 35
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Pendahuluan ...................................................................... 41
B. Posisi Kasus ....................................................................... 43
B. Pertimbangan Majelis Hakim ............................................ 51
C. Amar Putusan Majelis Hakim ............................................. 55
D. Analisa Wanprestasi Perjanjian Build Operate Transfer .... 57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 62
B. Saran ................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 64
LAMPIRAN .................................................................................................. 66
viii
LAMPIRAN
1. Putusan PN Tangerang Perkara No.305/Pdt.G/2009/PN.TNG.
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah baik pusat maupun daerah selalu melakukan usaha untuk
mengembangkan wilayahnya. Pengembangan wilayah tersebut dilakukan
dengan cara membangun infrastruktur baru guna mendukung kegiatan usaha
yang dilakukan pemerintah, misalnya gedung komersial. Dalam membangun
infrastruktur pemerintah seringkali terkendala masalah biaya, karena dana
yang berasal dari pemerintah terbatas. Sehingga jika pemerintah hendak
membangun infrastruktur membutuhkan bantuan dari pihak lain.
Biasanya pemerintah yang akan mengembangkan wilayahnya baru
memiliki aset berupa tanah. Aset tersebut belum mempunyai nilai guna,
apabila pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Daerah untuk membangun infrastruktur, maka terdapat beberapa resiko
yang akan dihadapi diantaranya biaya pembangunan yang tinggi dan resiko
pembangunan lainnya. Untuk menghindari resiko tersebut, pemerintah
membuka kesempatan kepada pihak swasta untuk menanamkan investasinya
untuk membangun infrastruktur pada aset negara.
Di sisi lain bagi pihak swasta, tawaran untuk menanamkan investasinya
pada aset pemerintah merupakan suatu peluang yang baik. Karena investasi
yang digolongkan berdasarkan asetnya merupakan investasi dari aspek modal
1
2
atau kekayaan. Dimana pihak swasta hanya perlu menanamkan investasinya
berupa sejumlah modal. Investasi berdasarkan asetnya dibagi menjadi dua
jenis, yaitu:1
a. real asset; dan
b. financial asset.
Dibukanya peluang bagi pihak swasta untuk menanamkan investasinya
pada aset pemerintah membuat pemerintah harus melakukan upaya agar dapat
terjalin hubungan hukum antara pemerintah-swasta atau dikenal dengan istilah
public-private. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan membuat
perjanjian. Perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta diantaranya
melalui perjanjian bangun, guna, dan serah (build, operate, transfer).
Perjanjian build, operate, transfer merupakan sebuah kontrak bisnis yang
merupakan sumber utama kewajiban dan hak serta tanggung jawab para
pihak.2 Jadi hubungan hukum tersebut memiliki dua segi, yaitu “bevoegdheid”
(kekuasaan/ kewenangan atau hak) dengan lawannya “plicht” atau kewajiban.3
Jika hubungan pemerintah-swasta terjadi, maka pihak swasta akan
terlepas dari kendala-kendala dalam melakukan pembangunan gedung-gedung
komersial, kendala tersebut diantaranya:
1
Salim & Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet
3, h. 37.
2
Azharudin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet 1, h. 7.
3
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet 11, h. 269.
3
a. Kesulitan untuk mendapatkan lokasi yang strategis untuk pembangunan
proyeknya, dimana kalaupun ada lahan yang belum dipergunakan yang
terletak di tempat strategis, belum tentu pemiliknya mau menjualnya;
b. Selain itu developer juga mengalami kesulitan untuk melakukan
pembebasan tanah disertai dengan biaya-biaya perizinan dan sebagainya.
Pada masa awal perjanjian build, operate, transfer hanya dilakukan oleh
pemerintah saja. Tetapi dengan berjalannya waktu, perjanjian ini juga
dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, swasta, badan hukum atau
perorangan. Perkembangan ini membuat berubahnya pola perjanjian yang
awalnya adalah public-private menjadi private-private. Hal ini menyebabkan
pengaturan mengenai perjanjian build, operate transfer menjadi berbeda.
Dimana pada awal hanya membatasi perjanjian antara pemerintah dengan
swasta dan juga mengenai status aset yang terdapat perjanjian.
Sehubungan dengan perjanjian build, operate, transfer. Penulis akan
mengambil kasus yang terdapat pada Bank Rakyat Indonesia, dimana Bank
Rakyat Indonesia melimpahkan wewenang kepada Dana Pensiun Bank
Rakyat Indonesia untuk memproduktifkan aset mereka yang masih berupa
sebidang tanah yang berlokasi di Jalan Jendral Sudirman. Maka Dana Pensiun
BRI mengadakan perjanjian build, operate, transfer dengan PT. Mulia
Persada Pacific untuk membangun gedung perkantoran pada lahan tersebut.
Namun pada saat perjanjian berlangsung, PT. Mulia dianggap wanprestasi
4
terhadap perjanjian, sehingga PT Bank Rakyat Indonesia dan Dana Pensiun
Bank Rakyat Indonesia merasa dirugikan dan mengajukan perkara ini ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis merasa perlu menulis
membahas tentang aturan-aturan yang mengatur perjanjian build, operate,
transfer dalam hukum positif di Indonesia. Serta bagaimana ketentuan
mengikat terhadap kesepakatan yang disetujui melalui surat untuk mengubah
klausul perjanjian dan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan
terjadinya wanprestasi pada perjanjian build, operate, transfer. Atas
permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis membuat karya ilmiah
dengan judul “ANALISIS WANPRESTASI PERJANJIAN BUILD
OPERATE TRANSFER TERKAIT ADDENDUM PERJANJIAN DAN
AKIBAT HUKUMNYA (Tinjauan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor
157/PDT.G/2010/PN.JKT.PST)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan mengenai perjanjian build, operate, transfer cukup banyak,
misalnya terjadinya konflik yang berujung pada pembuatan addendum
perjanjian, ketidakmampuan invetor mengelola gedung, dan kerusakan
gedung pada saat transfer. Agar pembahasan permasalahan karya ilmiah
ini tidak melebar dan melebihi fokus pada masalah, maka penulis
5
membatasi hanya pada aturan yang mengatur tentang build, operate,
transfer dalam hukum positif di Indonesia, perubahan klausul perjanjian
dan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan terjadinya
wanprestasi pada perjanjian build, operate, transfer yang akan ditinjau
dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan
peraturan maupun asas dalam perjanjian yang memiliki keterkaitan
dengan perjanjian build, operate, transfer.
2. Perumusan Masalah
Mengingat luasnya masalah, maka penulis membatasi skripsi ini akan
membahas mengenai beberapa rumusan masalah. Maka rumusam
masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan perjanjian Build, Operate, Transfer (BOT)
dalam hukum positif di Indonesia?
b. Bagaimana putusan PN Jakarta Pusat tentang kekuatan mengikat
terhadap perubahan klausul perjanjian yang disepakati melalui surat?
c. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara
wanprestasi terkait perjanjian Build Operation Transfer Nomor 58 jo
Addendum Perjanjian Nomor 72 dan Nomor 62 jo Addendum
Perjanjian Nomor 73?
6
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk memberikan gambaran umum mengenai perjanjian
build, operate, transfer di Indonesia.
2) Untuk mengetahui bagaimana ketentuan mengenai perubahan
terhadap klausul perjanjian;
3) Untuk mengetahui dasar pertimbangan majelis hakim dalam
memutuskan wanprestasi.
2. Manfaat Penelitian
Secara umum manfaat dari penelitian ini adalah sebagai wacana
keilmuan dalam perjanjian build, operate, transfer sehingga dalam
penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa:
a. Diharapkan dari penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan
mahasiswa lainnya untuk menambah wawasan tentang masalah yang
dikaji, yaitu perjanjian build, operate, transfer.
b. Melalui penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para pelaku
perjanjian build, operate, transfer khususnya para pihak yang
berhubungan dalam perjanjian build, operate, transfer dalam
memahami prestasi maupun wanprestasi serta asas-asas dalam
perjanjian dan bagaimana cara merubah klausul perjanjian.
7
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Salah satu penelitian yang digunakan oleh penulis sebagai review studi
terdahulu yaitu skripsi yang berjudul SUATU TINJAUAN HUKUM
TERHADAP
PERJANJIAN
TRANSFER)
PADA
B.O.T
PERUSAHAAN
(BUILD,
OPERATE
PROPERTY
P.T
AND
DUTA
ANGGADA REALTY yang disusun oleh Novita Lyndra Devi Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Hukum pada tahun 1993.
Pada skripsi tersebut terdapat persamaan dalam karya tulis yang akan penulis
buat diantaranya pada karya tulis tersebut objek perjanjian sama-sama
infrastruktur berupa gedung dan sama-sama membahas perjanjian build,
operate, and transfer. Tetapi hal yang membedakan karya ilmiah tersebut
dengan karya ilmiah penulis adalah fokus permasalahan yang dibahas, pada
karya tulis tersebut hanya meninjau pengaturan hukum perjanjian BOT,
sedangkan penulis lebih memfokuskan pada analisa terhadap aspek hukum
yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam perjanjian BOT.
Penelitian selanjutnya yang dijadikan sebagai review studi terdahulu
adalah
skripsi
yang
berjudul
PERLINDUNGAN
HUKUM
BAGI
KONSUMEN TERHADAP PEMBATALAN PENERBANGAN (Analisa
Putusan PN Tangerang Perkara Nomor 305/Pdt.G/2009/PN.TNG) yang
disusun oleh Indirawati Putri, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum
8
Bisnis, pada tahun 2013. Terdapat persamaan dalam karya tulis tersebut yaitu
sama-sama menganalisa putusan pengadilan. Namun hal yang membedakan
antara karya ilmiah tersebut dengan karya ilmiah penulis adalah fokus analisa.
Pada karya tulis tersebut membahas perjanjian baku sedangkan penulis
membahas perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak.
Selanjutnya analisa pada karya tersebut berfokus pada perbuatan melawan
hukum, sedangkan penulis berfokus pada wanprestasi dan keadaan kahar.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
Hukum perikatan ialah hukum yang mengatur akibat hukum yang
disebut perikatan, yakni suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang
hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri
(zelfstandige rechtssubjecten), yang menyebabkan pihak yang satu terhadap
pihak lainnya berhak atas suatu prestasi, prestasi mana adalah menjadi
kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama.4
Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut:
“Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan
dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia
adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar
perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak
boleh dilakukannya”.5
4
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007),
cet 14, h. 4.
5
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45
9
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
470/KMK.01/1994 Tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang
Milik/ Kekayaan Negara, Bangun Guna Serah (Build, Operate, Trasfer/
BOT), adalah:
“Pemanfaatan barang milik/ kekayaan negara berupa tanah oleh pihak
lain, dengan cara pihak lain tersebut membangun bangunan dan atau
sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah tersebut, serta
mendayagunakannya dalam jangka waktu tertentu, untuk kemudian
menyerahkan kembali tanah, bangunan dan atau sarana lain berikut
fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada Departemen/
Lembaga bersangkutan setelah berakhirnya jangka waktu yang
disepakati.”
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai:
“Badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan
kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam
saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya”.
Dari batasan yang diberikan tersebut di atas ada lima hal pokok yang dapat
kita kemukakan disini:6
1.
2.
3.
4.
5.
6
Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum;
Didirikan berdasarkan perjanjian;
Menjalankan usaha tertentu;
Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham;
Memenuhi persyaratan undang-undang.
Ahmad Yani dan Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), cet 3, h. 7.
10
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian
yang
dilakukan
penulis
merupakan
penelitian
yang
berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis normative,7
penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang bersifat hukum.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif, maka
penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas peraturan perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.8 Sehubungan
dengan topik yang akan ditulis mengenai analisa wanprestasi
perjanjian build, operate, transfer, maka penulis akan meninjaunya
dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang membahas
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998),
cet 8, h. 50-51.
8
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet. 9, h. 47.
11
mengenai
perjanjian,
wanprestasi
juga undang-undang
yang
berkaitan dengan build, operate, transfer.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas
skripsi, tesis, disertasi hukum, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum,9
serta
dan
komentar-komentar
atas
putusan
pengadilan.10Penulisan penelitian ini menggunakan artikel-artikel
dari media massa cetak dan online tentang perjanjian build, operate,
transfer serta menggunakan buku teks tentang hukum perjanjian,
hukum kontrak, hukum perikatan, kamus hukum, dan jurnal hukum.
c. Bahan Non Hukum
Bahan non-hukum dimaksudkan untuk memperluas sudut pandang
dan pengetahuan penulis tentang aspek non-hukum yang terdapat
dalam perjanjian build, operate, transfer.
4. Prosedur Pengumpulan Data
Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan
berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi menurut sumber
dan tingkatannya untuk dikaji secara komprehensif.
9
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet 9, h. 54.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), cet 7, h. 155.
10
12
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Pengolahan data menggunakan metode deskriptif analisis artinya data
yang diperoleh berdasarkan kenyataan kemudian dikaitkan dengan
penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dibahas,
dianalisa, kemudian ditarik kesimpulan yang akhirnya digunakan untuk
mejawab permasalahan yang ada.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas
beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan, Merupakan bab pendahuluan yang akan
menjabarkan
mengenai
latar
belakang
dilakukannya
penelitian, pokok permasalahan dari penelitian, tujuan dari
penelitian baik tujuan umum maupun tujuan khusus, manfaat
penulisan, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II
Tinjauan Umum Perikatan, Pada bab kedua penulis akan
menjabarkan mengenai definisi perikatan, syarat sahnya dan
13
asas perikatan, prestasi, wanprestasi, keadaan memaksa dan
somasi.
BAB III
Tinjauan Umum Perjanjian Build, Operate, Transfer, Pada
bab ketiga akan dijabarkan mengenai pengertian perjanjian
build, operate, transfer, perjanjian build operate transfer
pada umumnya, pihak yang terlibat dalam perjanjian build
operate transfer, asas dan karakteristik dalam perjanjian
build, operate, transfer, serta keadaan paksa dalam perjanjian
build, operate, transfer.
BAB IV
Analisa dan pembahasan, Pada bab ke empat akan dijabarkan
mengenai, kasus posisi serta kronologi sebelum gugatan
diajukan ke Pengadilan Negeri, pertimbangan majelis hakim,
amar putusan majelis hakim, dan analisa mengenai
wanprestasi pada perjanjian build, operate, transfer.
BAB V
Penutup, Pada bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan
dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang yang bersifat
abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan
hukum itu melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam
hubungan hukum tersebut.11 Micheael D Bayles mengartikan hukum kontrak
adalah contract of law Might then be taken to be the law pertaining to
enporcement of promise or agreement.12 Artinya, hukum kontrak adalah
sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau
persetujuan. Menurut Salim H.S hukum kontrak adalah keseluruhan dari
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.13
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam
hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan berikut ini:14
a. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah11
Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet 2, h. 1.
12
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), cet. 4, h. 3.
13
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), cet 4, h. 4.
14
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), cet 4, h. 4-5.
14
15
kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan,
traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam
masyarakat. Contoh, jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain.
Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
b. Subjek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson. Rechtsperson diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam
hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang
berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
c. Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.
Prestasi terdiri dari:
1) Memberikan sesuatu,
2) Berbuat sesuatu,
3) Tidak berbuat sesuatu, dan
4) Kata Sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian. Salah satunya kata sepakat (consensus). Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5) Akibat Hukum
Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah
suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system).
Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
16
B. Syarat Sahnya dan Asas Perikatan
1. Syarat Sahnya Perikatan
Suatu perikatan dinyatakan sah apabila dipenuhi empat syarat seperti yang
ditegaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni:15
a. Konsensualitas atau sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat no. 1 dan 2 disebut syarat subjektif yaitu syarat sebagai subjek hukum,
sedangkan syarat no. 3 dan 4 disebut syarat objektif yaitu syarat sebagai objek hukum
yaitu bendanya. Penjelasan syarat tersebut adalah sebagai berikut:16
1) Syarat Konsensualitas atau Sepakat
Perjanjian sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal pokok.
Adanya kesepakatan para subjek hukum dapat terjadi dengan secara tegas
maupun secara diam. Secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau
tertulis. Seperti ditulis sendiri oleh pihak-pihak dengan surat pernyataan,
ditulis dan ditandatangani, atau dibuat dan ditantatangani oleh pejabat
tertentu. Sedangkan secara diam yaitu baik dengan sikap ataupun syarat.
2) Syarat Kecakapan (Cakap Hukum)
Seseorang dikatakan cakap hukum apabila telah mencapai usia 21 tahun
atau telah menikah. Sedangkan orang-orang yang belum cakap dijelaskan
dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu orang yang belum dewasa, mereka
yang di bawah pengampuan, dan orang-orang perempuan yang bersuami.
3) Syarat Suatu Hal Tertentu
15
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 17.
16
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 18-21.
17
Dalam perjanjian/ perikatan, yang diperjanjikan hendaklah suatu hal
tertentu, sehingga jenis barang yang diperdagangkan harus jelas dan tidak
boleh samar-samar.
4) Syarat Suatu Hal (Klausul) Yang Halal
Dalam perjanjian/ perikatan, yang diperjanjikan hendaklah suatu hal yang
halal, sehingga tidak boleh memperjanjikan barang yang tidak sesuai
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Asas Perikatan
Di dalam hukum perjanjian terdapat sepuluh asas penting, yaitu asas
kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, asas pacta sunt servanda (asas
kepastian hukum), asas iktikad baik, asas kepribadian, perjanjian batal
demi hukum, keadaan memaksa (overmacht), asas canseling, asas
obligatoir, dan asas zakwaarneming. Kesepuluh asas tersebut akan
dijelaskan berikut ini.17
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Maksud dari asas ini adalah para pihak bebas membuat kontrak dan
menentukan sendiri isi kontrak tersebut sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kebiasaan dan didasari
atas iktikad baik. Dengan demikian asas ini mengandung makna bahwa
kedua pihak bebas dalam menentukan isi perjanjian, asalkan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan
perundangan. Karena adanya asas kebebasan berkontrak ini, dalam
praktik ini timbul jenis-jenis perjanjian yang pada mulanya tidak diatur
dalam KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
b. Asas Konsensualisme
Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat,
selama syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Asas konsensualisme
dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal
itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya
17
Azharudin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis (Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam), (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 43-46.
18
kesepakatan kedua belah pihak. Tanpa adanya kesepakatan ini,
perjanjian tersebut batal demi hukum. Dan kesepakatan ini dicapai
dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dan tekanan salah satu pihak.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Secara harfiah berarti janji itu mengikat. Asas pacta sunt servanda atau
disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus saling menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda
dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang.”
d. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi
dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang yang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan,
dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak
memihak) menurut norma-norma yang objektif.
e. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315
KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.” Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu
ada pengecualiannya, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH
Perdata, yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri,
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat
semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat
mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu
syarat yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata,
19
f.
g.
h.
i.
j.
tidak hanya mengatur bagi diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari
padanya.
Perjanjian Batal Demi Hukum
Yaitu, suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian akan batal
demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif.
Keadaan Memaksa (Overmacht)
Yaitu suatu kejadian yang tak terduga dan terjadi diluar kemampuannya
sehingga terbebas dari keharusan membayar ganti kerugian.
Asas Canseling
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalan.
Asas Obligatoir
Asas obligatoir suatu kontrak maksudnya bahwa setelah sahnya suatu
kontrak, kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas
menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak.
Asas Zakwaarneming
Dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda
orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus segera
mengurusnya sampai selesai.
C. Tinjauan Umum Tentang Prestasi
Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur yang
merupakan hak dari kreditur.18 Prestasi menurut ketentuan Pasal 1234 KUH
Perdata adalah setiap perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian wujud prestasi itu
adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dan
kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalu disertai dengan tanggung
jawab19 baik dengan jaminan harta atau pertanggung jawaban di muka hukum.
18
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta: CV.
Gitama Jaya, 2008), cet 5, h. 140.
19
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h.79.
20
Prestasi dilakukan agar tercapainya tujuan dari perikatan, maka perlu
diketahui sifat-sifat dari prestasi. Sifat dari prestasi adalah sebagai berikut20:
a. Harus sudah tertentu atau dapat ditemukan;
b. Harus mungkin;
c. Harus diperbolehkan;
d. Harus ada manfaatnya bagi kreditur;
e. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Jika salah satu dari sifat prestasi ini tidak terpenuhi, maka perikatan itu
menjadi tidak berarti, dan perikatan itu menjadi batal atau dapat dibatalkan.
D. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi
Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut:
“Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan
dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia
adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar
perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak
boleh dilakukannya”.21
Pengertian wanprestasi menurut R. Sardjono:
“Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang tidak melakukan
apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar perjanjian dalam hal
diperjanjikan bahwa si debitur tidak boleh melakukan sesuatu hal,
sedangkan ia telah melakukannya”.
Seorang debitur yang lalai melakukan wanprestasi ini dapat digugat di
muka hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan kepada
20
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), h. 81.
21
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45
21
tergugat.22 Akan tetapi karena wanprestasi (kelalaian) ini mempunyai akibatakibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si
debitur (si berutang) itu melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu
disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim.23
Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan
seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang
telah dibuat. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus
melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau
melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang
diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang diangap
alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia
melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.24
Menurut Subekti, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia
wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat
macam:25
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan
apa
yang
dijanjikannya,
tetapi
tidak
sebagaimana
dijanjikannya;
22
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 146.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45.
24
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 28.
25
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45.
23
22
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk
melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas
waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada
debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan
perjanjian. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang
perlu diberikan waktu yang pantas.26
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas
ditagih janjinya, maka ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam
keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi
yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan risiko.27
Sedangkan R Wirjono Prodjodikoro, Hakim Agung membagi wanprestasi
dalam 3 (tiga) macam, yaitu:28
a. Pihak-berwajib sama sekali tidak melaksanakan janji;
Dalam hal ini jelas debitur tidak mau melaksanakan prestasi perikatan yang
telah disanggupinya untuk dilaksanakan. Debitur secara tegas menolak
untuk melakukan prestasi yang telah diperjanjikannya kepada kreditur.
Dalam keadaan ini pihak kreditur dapat menuntut ganti rugi.
b. Pihak-berwajib terlambat dalam melaksanakannya;
Dalam keadaan ini kreditur belum mengetahui secara pasti sikap dari si
debitur. Karena pada umumnya dalam suatu perjanjian, para pihak tidak
26
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 46.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 47.
28
R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung,
1981), cet 2, h. 44.
27
23
menentukan jangka waktu prestasi harus dilaksanakan. Jika si debitur
terlambat melaksanakan prestasi perlu diberikan jangka waktu untuk
memastikan pelaksanaan prestasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan
somasi yang menetukan kapan prestasi itu harus dilaksanakan. Akan tetapi
bila debitur tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dinyatakan lalai,
dimana pihak kreditur dapat meminta ganti rugi.
c. Pihak-berwajib melaksanakannya tetapi tidak secara yang semestinya dan
atau tidak sebaik-baiknya.
Dalam hal ini, pendapat umum menyatakan bahwa keadaan ini adalah sama
dengan debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Oleh karena itu
tidak perlu dilakukan somasi.
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:29
a. Perikatan tetap ada. Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur
pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping
itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan
melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat
keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya;
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH
Perdata);
c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan ini timbul
setelah debitur wanprestasi. Kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan
besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa;
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.
Menurut teori yang membedakan antara gugatan wanprestasi dan
gugatan perbuatan melawan hukum30 yaitu tujuan gugatan wanprestasi adalah
untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut
terpenuhi (put the palintiff to the position if he would have been in had the
contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa
29
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), cet 4, h. 99.
30
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), cet 1, h.
116.
24
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah
expectation loss atau wintsderving. Sedangkan tujuan gugatan perbuatan
melawan hukum adalah untuk menempatkan posisi penggugat kepada
keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Sehingga
ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss.
E. Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur
karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya. Peristiwa mana
tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan.31
Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah:32
a. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau
memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat
tetap;
b. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi ini dapat bersifat tetap atau sementara;
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan
karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur.
31
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 91.
32
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 91.
25
Ajaran tentang keadaan memaksa tidak mendapat pengaturan secara
umum dalam undang-undang. Karena itu hakim berwenang menilai fakta
yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur ada dalam keadaan memaksa atau
tidak, dan menentukan apakah debitur menanggung resiko tersebut. 33 Dalam
Ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan pada buku III KUH Perdata,
terdapat dua pasal yang mengatur tentang keadaan memaksa yaitu Pasal 1244
dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata berisi: “jika ada
alasan untuk itu, debitur harus dihukum membayar ganti kerugian, apabila ia
tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya melaksanakan perjanjian itu
karena suatu hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, kecuali
jika ada iktikad buruk pada debitur.”
Yang dimaksud dengan “hal yang tidak dapat diduga” itu adalah
keadaan memaksa yang membebaskan debitur dari tanggung jawab mengganti
kerugian. Untuk membuktikan ada keadaan memaksa itu atau tidak,
pembuktiannya diserahkan kepada debitur.34 Sedangkan isi Pasal 1254 KUH
Perdata adalah sebagai berikut:
“Tidak ada ganti kerugian yang harus dibayar, apabila karena keadaan
memaksa atau suatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal
yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
33
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 97.
34
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 104.
26
Kedua pasal ini berbeda perumusannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat
seperti berikut ini:35
a. Pasal 1244 memakai perumusan positif yaitu “debitur harus membayar
ganti kerugian”; sedangkan Pasal 1245 memakai perumusan negatif yaitu
“tidak ada kerugian yang harus dibayar”;
b. Pasal 1244 menyebutkan secara tegas kewajiban pembuktian ada pada
debitur; sedangkan Pasal 1245 tidak menyebutkannya;
c. Pasal 1244 hanya menyebutkan “hal yang tidak dapat diduga yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan”. Sedangkan Pasal 1245 menyebutkan
secara tegas keadaan memaksa”.
F. Somasi
Jika si berutang tidak melakukan kewajibannya atau lalai dari waktu yang
telah ditentukan. Maka si terutang dapat melakukan penagihan yang menurut
Pasal 1238 KUH Perdata berbunyi:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari pasal tersebut mengandung makna yakni sebelum mengajukan
gugatan wanprestasi seorang kreditur harus memberikan suatu peringatan atau
somasi yang menyatakan bahwa debitur telah lalai dan agar memenuhi
kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Surat perintah yang dimaksud
35
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 105-106.
27
dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah surat peringatan resmi oleh
seorang juru sita pengadilan. Perkataan akta sejenis, sebenarnya oleh UndangUndang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis.36 Apabila seorang
debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka
jika tetap tidak melaksanakan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau
alpa.37
Dari ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa debitur
dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata adalah:38
1. Surat Perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk
penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara
lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal
ini biasa disebut “exploit juru sita”.
2. Akta Sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3. Tersimpul dalam Perikatan itu Sendiri.
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat
adanya wanprestasi.
36
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), cet. 19, h. 46.
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), cet. 19, h. 47.
38
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, h. 21.
37
BAB III
TINJAUAN UMUM BUILD OPERATE AND TRANSFER
A. Pengertian Build, Operate, Transfer
Dalam masa pembangunan di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah
pusat, daerah ataupun badan usaha swasta, dibutuhkan kerjasama dalam
menjalankan usaha yang hendak dilakukan. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan dana maupun teknologi yang dimiliki oleh setiap pihak, sehingga
dibutuhkan pihak lain dalam hal pembiayaan pembangunan maupun
penyediaan teknologi. Salah satu usaha untuk menghadapi kendala tersebut
dengan diadakannya perjanjian kerjasama dengan metode build, operate, and
transfer.
Secara garis besar perjanjian dengan sistem build, operate, and transfer
dapat diartikan sebagai suatu bentuk penanaman modal pada suatu proyek
dimana penanam modal diberikan hak membangun dan mengelola proyek
tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian dan setelah
jangka waktu berakhir maka proyek tersebut harus diserahkan kepada pemilik
proyek tanpa pihak tesebut membayar biaya peralihan.
Pengertian baku sistem pembiayaan dengan cara Build Operate Transfer
(BOT) sampai saat ini belum ada. Hal ini antara lain disebabkan sistem
pembiayaan dengan cara BOT adalah suatu sistem baru dalam membiayai
pembangunan
suatu
proyek
berskala
28
besar
(pembangunan
proyek
29
infrastruktur).39 Pembiayaan tersebut dilakukan baik oleh Pemerintah
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara ataupun pihak swasta untuk pengerjaan
infrastruktur misalnya jalan tol, gedung perkantoran, jaringan telekomunikasi
dan pembiayaan pembangunan proyek sarana dan prasarana lainnya. Adapula
pihak swasta mengadakan perjanjian build, operate and transfer untuk
membangun hotel, cottage maupun mall.
Dalam pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur dengan sistem
BOT, pemilik proyek baik itu pemerintah ataupun swasta memberikan
kesempatan kepada investor untuk membangun proyek tersebut. Selanjutnya
investor dalam jangka waktu tertentu akan diberikan hak ekslusif, yaitu suatu
konsesi untuk mengelola dan mengambil manfaat ekonomi dari hasil
pembangunan proyek tersebut, dengan maksud hasil pengelolaannya sebagai
ganti biaya yang dikeluarkan untuk membangun proyek.40 Pada akhir jangka
waktu konsesi, investor menyerahkan hak pengelolaan dan kepemilikan
proyek tersebut kepada pemilik lahan.
Dalam “Laporan Akhir Pengkajian tentang Aspek Hukum Perjanjian Build,
Operate and Transfer” merumuskan definisi perjanjian BOT sebagai
berikut:41
39
Andjar Pachta Wirana, Penelitian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate and
Transfers (BOT), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 6.
40
Andjar Pachta Wirana, Penelitian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate and
Transfers (BOT), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 6.
41
Departemen Kehakiman RI, Laporan Akhir Pengkajian Tentang Aspek Hukum Perjanjian
Build Operate and Transfer, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1994), cet 1, h. 3.
30
a. Perjanjian adalah perikatan yang lahir karena persetujuan berdasarkan
ketentuan Pasal 1233 sampai dengan 1403 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata;
b. BOT (Build Operate Transfer) adalah suatu sistem pembiayaan (biasanya
diterapkan pada proyek pemerintah) berskala besar yang dalam studi
kelayakan pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan dan pembangunan
serta pengoperasiannya, sekaligus juga penerimaan atau pendapatan yang
timbul darinya diserahkan kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu
(jangka waktu konsesi) diberikan hak mengoperasikan, memeliharanya
serta untuk mengambil manfaat ekonominya guna menutup (sebagai ganti)
biaya pembangunan proyek yang bersangkutan dan memperoleh
keuntungan yang diharapkan.
Menurut
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
248/KMK-04/1995 tentang Pemberlakuan Pajak Penghasilan Terhadap PihakPihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna
Serah (Build Operate and Transfer) menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa BOT
adalah:
“Bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas
tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan
kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa bangun guna serah berakhir.”42
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor: PER-06/MBU/2011, bangun guna serah (Build Operate and
Transfer/BOT) adalah kerjasama pendayagunaan aktiva tetap berupa tanah
milik BUMN oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/ atau
sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut
42
Keputusan Menteri Keuangan Tentang Pemberlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihakpihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build, Operate,
Transfer), No. 248/KMK.04/1995, Pasal 1.
31
dalam jangka waktu tertentu yang disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta
bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya diserahkan kepada BUMN
setelah berakhirnya jangka waktu. Dimana yang disebut dengan aktiva tetap
adalah aktiva berwujud yang digunakan dalam operasional BUMN tidak
dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan
memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun.
B. Tinjauan Umum Perjanjian Build Operate Transfer
Unsur-unsur dalam perjanjian build, operate, and transfer yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Investor
Tanah
Bangunan komersial
Jangka waktu operasional
Penyerahan
Terdapat beberapa keuntungan memilih build, operate, and transfer dalam
kerjasama pembangunan diantaranya:43
1. Memperoleh sumber modal baru dari pihak swasta (investor);
2. Mempercepat pembangunan proyek tanpa harus menunggu perolehan dana
yang cukup besar;
3. Memakai keahlian pihak swasta untuk mengurangi biaya konstruksi,
memperpendek jadwal dan efisiensi pengoperasian proyek;
4. Alokasi resiko dan beban proyek pada pihak swasta;
5. Keterlibatan private sponsor dan comercial lender, yang menjamin
kelayakan proyek;
6. Tidak perlu mengontrol proyek berlebihan, karena sudah diserahkan pada
pihak swasta hingga akhir masa konsesi;
7. Transfer teknologi dan pelatihan personil lokal;
43
Lalu Hadi Adha, “Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan
Pemerintah Dengan Pihak Swasta”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 edisi No.3, (3 September 2011):
h. 530.
32
Perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer) terjadi
dalam hal:
a. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun
suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya,
dan ada investor yang bersedia membiayai pembangunan tersebut.
b. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak
mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial
tersebut, dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya untuk
tempat berdirinya bangunan komersial tersebut.
c. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak
lain,
dan
setelah
pembangunan
selesai
investor
berhak
mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu
operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee tertentu.
d. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan
tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya.
Selain build, operate, and transfer terdapat tipe konstruksi lainnya yaitu:
1. Build, Transfer, and Operate
Bangun Serah Guna atau Build Transfer Operate (BTO) adalah
pemanfaatan tanah dan atau bangunan milik/ dikuasai Pemerintah oleh
pihak ketiga dengan cara pihak ketiga membangun bangunan siap pakai
dan atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah
dan atau bangunan tersebut dan setelah selesai pembangunannya
diserahkan kepada Pemerintah untuk kemudian oleh Pemerintah, tanah dan
bangunan siap pakai dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut
diserahkan kembali kepada pihak ketiga untuk didayagunakan selama
jangka waktu tertentu, dan atas pemanfaatannya tersebut pihak ketiga
dikenakan kontribusi sejumlah uang yang besarnya ditetapkan sesuai
dengan kesepakatan.44
44
Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build,
Operate, Transfer), (Solo: Genta Press, 2008), cet 6, h. 2.
33
C. Pihak yang Terlibat Dalam Build Operate Transfer
Dalam perjanjian build, operate, and transfer terdapat beberapa pihak yang
menjalani kerjasama. Para pihak yang mengadakan perjanjian ini antara lain:45
a. Pemilik Lahan Strategis
Yang dimaksud sebagai “pemilik lahan strategis” adalah pihak yang
menyediakan tanah beserta bangunannya atau tanahnya saja yang letaknya
strategis pada jalur perekonomian ataupun yang letaknya sangat mungkin
diambil manfaat ekonominya secara besar. Misalnya tanah beserta
bangunan yang kemudian bangunan itu direnovasi untuk kemudian hasil
bangunan barunya disewakan kepada orang lain, seperti halnya yang terjadi
di wilayah Kebayoran baru, Jakarta Selatan. Lahan strategis itu tidak hanya
diperuntukkan sebagai rumah sewaan ataupun cottage saja, tetapi ada pula
yang diperuntukkan sebagai hotel, perkantoran ataupun kepentingan usaha
lainnya, misalnya restoran.
b. Pihak Pemilik Hak Ekslusif
Dalam hal ini yang dimaksud sebagai “pihak pemilik hak ekslusif”, adalah
suatu badan hukum pemerintah yang berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan memiliki hak untuk menjalankan suatu usaha tertentu,
sebagai pelaksana Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.
c. Pihak Kedua
Yang dimaksud sebagai “pihak kedua” disini adalah investor yang
menanamkan dananya untuk membangun proyek yang dibiayai dengan
sistem BOT, yang dalam hal ini bisa perorangan, bisa suatu badan usaha di
luar badan hukum, bisa suatu badan hukum yang menyediakan dana untuk
membiayai objek perjanjian BOT.
D. Asas dan Karakteristik Perjanjian Build Operate Transfer
1. Asas Perjanjian Build Operate Transfer
Build, Operate, and Transfer memiliki asas-asas yaitu:46
45
Departemen Kehakiman RI, Laporan Akhir Pengkajian Tentang Aspek Hukum Perjanjian
Build Operate and Transfer, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1994), cet 1, h. 11.
46
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995),
cet 1, h. 9-10.
34
Asas kerja-sama yang saling menguntungkan, dimana pemilik lahan
yang semula hanya memiliki lahan (atau beserta bangunannya) saja setelah
adanya kerjasama dengan Perjanjian BOT pada suatu saat akan memiliki
bangunan (atau bangunan yang lebih baik dari bangunan semula).
Begitupula pihak Pemerintah yang semula hanya pemegang hak ekslusif
saja yang bilamana akan mewujudkan fisik bangunannya tidak mempunyai
dana yang cukup. Setelah adanya kerjasama dalam bentuk perjanjian BOT
diharapkan akan memiliki fisik bangunan. Demikian pula bagi pihak
investor dengan adanya kerjasama dalam perjanjian BOT akan mendapat
suatu keuntungan dari pengelolaannya.
Asas kepastian hukum, bahwa pada suatu saat investor akan
mengembalikan bangunan
beserta fasilitasnya yang melekat padanya
(asset) kepada pihak pemilik lahan/ pemegang hak ekslusif.
Asas musyawarah, jika timbul perselisihan antara pihak investor
dengan pihak pemilik lahan/ pemegang hak ekslusif, baik saat membangun,
mengoperasionalkan hasil bangunan serta hal-hal lainnya, mereka akan
menyelesaikannya dengan cara mengadakan musyawarah. Apabila
musyawarah tidak tercapai, maka penyelesaiannya pada keadilan putusan
hakim.
35
2. Karakteristik Perjanjian Build Operate and Transfer
Setiap proyek BOT mempunyai ciri pertimbangan khusus tersendiri,
namun terdapat beberapa karateristik yang sama, diantaranya:
a. Masa konstruksi, jika dibandingkan dengan pembangunan industri
komersial lain, biasanya proyek BOT mempunyai masa konstruksi
yang lebih lama, karena dikombinasikan dengan kebutuhan
mengkapitalisasikan modal sampai penyempurnaan hasil dengan biaya
tinggi;
b. Hasil akhir, biasanya mempunyai masa guna yang relatif lebih panjang
yang pada umumnya adalah 30 tahun;
c. Proyek yang telah jadi, umumnya hanya membutuhkan biaya
pemeliharaan dan operasi yang rendah;
d. Perlindungan investor terhadap resiko proyek sangat riskan, tetapi
proyek BOT merupakan suatu proyek konstruksi beresiko tinggi diikuti
oleh suatu proyek pengguna dengan resiko rendah.
E. Keadaan Paksa dalam Build Operate Transfer
Berdasarkan naskah akademis peraturan perundang-undangan tentang
perjanjian BOT, keadaan paksa adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan
salah satu atau kedua pihak tidak dapat melaksanakan perjanjian sesuai
dengan kesepakatan bersama sebelumnya.47 Jika perjanjian diakhiri, baik
secara sepihak atau secara bersama sebagai akibat adanya keadaan paksa,
maka salah satu pihak tidak dapat menuntut pihak lainnya untuk
melaksanakan kewajiban dan sebaliknya, tidak harus pula melaksanakan apa
yang menjadi kewajibannya terhadap pihak lainnya.
47
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995),
cet 1, h. 18.
36
Apabila suatu pihak mengakhiri perjanjian secara sepihak, pihak yang
mengakhiri itu pada umumnya dibebani dengan kewajiban tertentu, misalnya
dengan mengganti kerugian yang diderita oleh pihak lainnya. Kerugian itu
dapat meliputi kerugian karena biaya-biaya yang nyata-nyata telah
dikeluarkan. Dalam hal-hal tertentu, kerugian itu dapat pula meliputi kerugian
karena keuntungan yang diharapkan akan diperoleh yang namun tidak jadi
diperoleh karena perjanjian diakhiri secara sepihak. Ketentuan umum bagi
pengakhiran secara sepihak di atas tidak berlaku bagi keadaan paksa. Menurut
undang-undang, keadaan paksa akan menyebabkan perjanjian batal demi
hukum. Ini berarti bahwa segala kerugian menjadi resiko yang ditanggung
masing-masing pihak.
Sebagai salah satu bentuk perjanjian, perjanjian BOT dapat pula, meski
tidak harus, memuat ketentuan mengenai keadaan paksa ini. Kalaupun
keadaan paksa ini tidak dimuat dalam perjanjian, maka pihak yang mengakhiri
(apabila secara sepihak, dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan).
Namun, dari segi kepastian hukum, lebih baik ketentuan ini dimuat dalam
perjanjian.
Pemuatan
klausul
mengenai
keadaan-paksa
mempunyai
keuntungan-keuntungan:48
a. Para pihak dapat mengatur sendiri keadaan-keadaan apa yang dapat
dianggap sebagai keadaan paksa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
situasi konkrit para pihak. Sebagaimana diketahui, setiap perjanjian
48
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995),
cet 1, h. 19.
37
mempunyai sifat-sifat dan situasi-situasi khas yang mungkin tidak ada
dalam perjanjian lain yang serupa. Klausul yang diatur dapat saja lebih
luas, namun tidak boleh lebih sempit, daripada apa yang ditentukan dalam
undang-undang dan kebiasaan yang berlaku.
b. Para pihak dapat segera menyelesaikan persoalan yang timbul dari
pengakhiran perjanjian, baik secara sepihak maupun bersama, karena tidak
harus mengikutsertakan peran pengadilan. Para pihak telah mengetahui
posisi para pihak dengan pasti. Penyelesaian secara musyawarah ini
menguntungkan karena :
a) Salah satu pihak tidak harus mengeluarkan biaya perkara yang
sebenarnya tidak perlu. Hal ini akan terasa memberatkan, khususnya
bagi pihak pemilik yang secara finansial kurang begitu kuat
dibandingkan pihak lainnya.
b) Hubungan baik antara para pihak masih dapat terpelihara, sehingga
apabila keadaan paksa itu telah berlalu dan para pihak masih ingin
melanjutkan perjanjian, maka hal itu akan lebih mudah dilaksanakan.
Penyelesaian melalui pengadilan sering menimbulkan suasana tidak
enak antara para pihak, sehingga di kemudian hari akan lebih sulit untuk
memulai ataupun meneruskan kembali perjanjian.
Keadaan paksa dapat terjadi karena berbagai hal. Tidak setiap keadaan atau
kejadian dapat menimbulkan keadaan paksa. Menurut ICC Standart Clause,
keadaan atau kejadian yang dapat dianggap sebagai keadaan paksa harus
memenuhi syarat-syarat secara kumulatif sebagai berikut:49
a. Kejadian itu disebabkan oleh sesuatu yang berada di luar kekuasaan salah
satu ataupun para pihak. Kejadian itu dapat menimbulkan antara lain :
1) Perang, aksi perbudakan atau pembakaran yang disebabkan oleh
kekacauan atau huru-hara umum, sabotase;
2) Bencana alam, seperti banjir, letusan gunung, disambar petir, wabah
penyakit atau yang sejenisnya;
3) Kebakaran, ledakan bahan berbahaya, kerusakan mesin atau pabrik dan
semacamnya;
4) Aksi mogok atau boikot;
5) Keluarnya peraturan oleh pemerintah yang mengakibatkan isi perjanjian
menjadi sesuatu yang melanggar hukum, misalnya ada larangan
49
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995),
cet 1, h. 19.
38
membangun di suatu wilayah tertentu, sedangkan isi perjanjian ada
mengenai pengoperasian suatu bangunan di wilayah yang belum ada
larangan membangun.
b. Kejadian itu atau akibat-akibat dari kejadian itu tidak mungkin diketahui
sebelumnya pada waktu perjanjian dibuat; dan
c. Kejadian itu atau akibat-akibat dari kejadian itu tidak dapat dihindari.
Pihak yang terpaksa mengakhiri perjanjian karena adanya keadaanpaksa wajib memberitahukan mengenai hal itu kepada pihak lainnya
mengenai halangan yang menyebabkan ia tidak dapat menerusakan perjanjian.
Melalui pemberitahuan itu ia tidak dapat meneruskan perjanjian. Melalui
pemberitahuan itu ia menyampaikan keinginannya untuk entah mengakhiri
perjanjian seluruhnya ataupun untuk sementara saja, tergantung dari jenis
keadaan paksa yang ada. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku jika keadaanpaksa itu kemudian berakhir, jika perjanjian hanya diakhiri secara
sementara.50
Pembebasan
dari
kewajiban
biasanya
berlaku
segera
setelah
pemberitahuan dilakukan secara layak. Kelalaian pemberitahuan akan
mengakibatkan pihak yang mengakhiri akan tetap menanggung kerugian yang
terjadi sampai pada saat pemberitahuan dilakukan secara layak, karena jika
pemberitahuan telah dilakukan lebih dahulu, maka pihak yang lain itu
mungkin tidak akan melakukan suatu kegiatan yang mengeluarkan biaya yang
50
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995),
cet 1, h. 20.
39
sebenarnya tidak perlu dikeluarkan apabila ia telah mendapat pemberitahuan
sebelumnya mengenai keadaan paksa yang terjadi.
Di dalam perjanjian diatur apakah pengakhiran karena keadaan paksa itu
akan meniadakan seluruh hak dan kewajiban para pihak. Para pihak dapat
pula memperjanjikan bahwa hal-hal tertentu yang akan masih tetap menjadi
hak dan kewajiban para pihak sepanjang hal itu dianggap perlu, seperti
misalnya pembayaran bunga pinjaman. Para pihak dapat pula memperjanjikan
bahwa keadaan paksa itu hanya bersifat menunda perjanjian untuk sementara
waktu sampai keadaan paksa berakhir. Penentuan mengenai waktu sementara
itu tergantung pada kemampuan dari pihak yang terpaksa menunda perjanjian
itu untuk memulai kembali syarat-syarat dalam perjanjian serta keinginan dan
minat pihak lainnya untuk menerima keadaan penundaan sementara. Lamanya
waktu sementara itu perlu pula diatur oleh para pihak. Jika waktu sementara
itu dilampaui, maka perjanjian dapat diakhiri tanpa hak menuntut agar
perjanjian tetap diteruskan. Apa yang telah diterima oleh masing-masing
pihak sebelum perjanjian diakhiri tidak dapat diminta kembali oleh para
pihak.51
Masing-masing pihak dibebaskan dari kewajiban atau pelaksanaan
kewajiban berdasarkan perjanjian build, operate, and transfer ini yang
disebabkan oleh keadaan atau kejadian atau lain-lain hal yang berada di luar
51
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995),
cet 1, h. 20.
40
kewajiban para pihak, seperti misalnya secara mendadak dan tidak terduga
terjadi kebakaran, bencana alam, perang, huru-hara, terjangkit penyakit
edemi/ wabah, atau adanya peraturan pemerintah yang secara langsung
berkaitan atau mempengaruhi pelaksanaan perjanjian BOT, atau adanya
kebijakan Pemerintah karena untuk kepentingan umum tanah tersebut terkena
proyek Pemerintah atau proyek yang disetujui Pemerintah atau karena
terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang tidak dapat dihindari oleh
pihak kesatu, tanah dan turutannya tersebut tidak bisa dikuasai dan dimiliki
lagi oleh pihak kesatu, atau seandainya ada pelebaran jalan, sehingga
pelaksanaan perjanjian BOT tidak dapat diteruskan, maka hal itu diluar
kesalahan dan tanggung jawab dari pihak kesatu. Demikian pula segala
kerugian yang timbul menjadi risiko dan tanggung jawab oleh masing-masing
pihak, sama-sama tidak menuntut yang satu terhadap yang lain. Apabila
pekerjaan dari perjanjian BOT tersebut akan dilakukan, maka perlu diadakan
negosiasi jadwal pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang ada.52
52
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995),
cet 1, h. 21.
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Dalam perjanjian terdapat kemungkinan-kemungkinan terjadinya
wanprestasi yang dapat menimbulkan akibat hukum, misalnya digugatnya
salah satu pihak di Pengadilan, pemutusan perjanjian, ganti kerugian atas
wanprestasi dan lain sebagainya. Wanprestasinya salah satu pihak terjadi
misalnya karena salah satu pihak tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang
diberikan menurut waktu yang telah ditentukan. Padahal jelas sebelum
perjanjian ditanda-tangani para pihak telah setuju dengan hal-hal apa saja
yang akan menjadi kewajibannya. Hal ini menyebabkan pihak yang merasa
dirugikan akan meminta pembatalan terhadap perjanjian.
Sedangkan apabila terjadi wanprestasi dari pihak yang memborongkan
atau debitur, biasanya dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Apabila
kemudian tidak ditemui kata sepakat, maka pihak pemborong akan
mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri. Seperti terdapat dalam
ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian.
Pasal 1266 KUH Perdata berbunyi : “Syarat batal dianggap selamanya
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal-balik, manakala salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.”
41
42
Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban ini
dinyatakan dalam perjanjian. Sehingga dapat dimintakan pertimbangan
majelis hakim mengenai sengketa yang terjadi. Tetapi sebelumnya haruslah
dilakukan somasi, seperti yang dijelaskan di dalam AV (Algemene
Voorwaarden in Indonesia), dikatakan bahwa pihak yang memborongkan
terlebih dahulu memberikan teguran atau penagihan agar pihak yang
wanprestasi memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam
jangka waktu yang telah diberikan.
Mengenai tata cara pengajuan perselisihan kepada Pengadilan Negeri
tunduk pada Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia sebagai yang
tercantum dalam Reglement Indonesia yang diperbarui (HIR Stbl. 1941 No.
44). Dalam penyelesaian perselisihan perkara perdata, terdapat pihak
penggugat dan pihak tergugat. Surat gugatan yang sudah ditandatangani oleh
penggugat atau wakilnya diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah
hukum tempat tinggal tergugat.
Bahwa terhadap permasalahan tersebut penulis membahas kasus wanprestasi
dalam perjanjian build, operate, transfer yang terjadi antara PT Bank Rakyat
Indonesia, Dana Pensiun BRI dan PT Mulia Persada Pacific dan telah diputus
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 30 Desember 2010.
43
B. Posisi Kasus
Para Penggugat adalah PT Bank Rakyat Indonesia (PT BRI) (PERSERO)
Tbk. Sebagai Penggugat I dan Dana Pensiun BRI (DP BRI) sebagai
Penggugat II. Sedangkan Tergugat adalah PT Mulia Persada Pacific (PT
MPPC).
Pada Tanggal 11 April 1990 telah diadakan Perjanjian BOT (Build,
Operate, Transfer) antara Penggugat I dengan Penggugat II, dimana
Penggugat I memberikan hak penuh kepada Penggugat II untuk menguasai
dan melakukan pembangunan gedung BRI II di atas tanah Penggugat I untuk
kepentingan Penggugat I atas biaya Penggugat II yang selanjutnya akan
dikelola secara komersil oleh Penggugat II.
Bahwa pada tanggal 11 April 1990 telah diadakan perjanjian BOT antara
Tergugat Nomor 58 yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Adendum
Perjanjian No. 72 tanggal 24 Mei 1991 dengan Penggugat II. Dimana
Penggugat II memberi mengalihkan semua hak yang diperoleh dari Penggugat
I kepada Tergugat dalam mengembangkan (membangun) tanah tersebut.
Bahwa Penggugat II dan Tergugat bermaksud untuk atas nama
Penggugat I mengembangkan tanah tersebut dengan membangun bangunan
perkantoran berikut fasilitas-fasilitas pendukung lainnya (Gedung BRI II)
untuk dikelola secara komersil atas biaya Tergugat yang selanjutnya akan
dikelola secara komersil oleh Tergugat.
44
Pada Tanggal 11 April 1990 telah diadakan perjanjian BOT Nomor 62
antara Tergugat yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Addendum
Perjanjian No.73 tanggal 24 Mei 1991 dengan Penggugat II. Dimana
Penggugat II mewajibkan Tergugat untuk membangun gedung parkir dan
gedung perkantoran kedua (gedung BRI III) berikut fasilitas-fasilitas
pendukungnya untuk dikelola secara komersil.
Dalam Akta Perjanjian Nomor 58 jo. Addendum Perjanjian Nomor 72 diatur
dan disepakati kewajiban yang harus dipenuhi oleh Tergugat antara lain:
a. Pembangunan gedung BRI II sekurang-kurangnya berlantai 27 termasuk
banking hall berikut fasilitas-fasilitas pendukung lainnya serta gedung
parkir penunjangnya minimal sebesar ± 99.000 M² (Pasal 1.9);
b. Jangka waktu pengelolaan 30 tahun (Pasal 1. 16);
c. Pembangunan gedung BRI III yaitu bangunan komersil yang wajib
dibangun oleh Tergugat untuk Penggugat II di atas sebagian blok A,
sebagian blok B, sebagian blok C dengan lantai/ tinggi dan luas minimal
sama dengan gedung BRI II dalam jangka waktu pengelolaan gedung BRI
II tetapi tidak lebih dari tahun 1995, kecuali apabila Penggugat II belum
berhasil membebaskan blok C (Pasal 1. 11);
d. Membangun gedung parkir di atas blok A seluas 27.000 M² dengan 230
sticker khusus untuk BRI;
45
e. Wajib memperbaiki sarana-sarana lingkungan, landscaping, pemagaran,
sarana penunjang seperti sewage treatment plan terutama di blok B (Pasal
3. 10);
f. Melaksanakan renovasi lobi gedung BRI I sehingga tampak sepadan
dengan gedung BRI II dan lift loby lantai III gedung BRI I yang terletak di
atas blok D, serta membuat connecting bridge antara BRI I dan gedung
parkir. Biaya untuk renovasi dan pembuatan connecting bridge tersebut
sekurang-kurangnya Rp 2 milyar akan ditanggung Tergugat (Pasal 3. 17);
g. Menyediakan ruangan dan fasilitas untuk shower sejumlah 50 buah di
lantai 3, gedung parkir untuk keperluan Penggugat II dan kantin yang
merupakan fasilitas umum gedung dan dapat dipergunakan oleh seluruh
penghuni komplek (Pasal 3. 18);
h. Menyediakan ruangan seluas 500 M² yang merupakan 1 blok area pada
lantai 3 atau lantai 1 gedung parkir sebagai ganti ruang-ruang gedung
Annex tanpa mengenakan biaya apapun (Pasal 3. 19);
i. Menyediakan lantai atas gedung parkir yang layak untuk dipergunakan
oleh Penggugat II (tanpa dikenakan biaya apapun) sebagai tempat upacara
setiap upacara-upacara resmi seperti upacara bendera, peringatan hari-hari
besar dan lain-lain serta kesegaran jasmani, bela diri (Pasal 3. 20);
j. Memberi ijin kepada Penggugat II atau anak perusahaannya untuk
menggunakan lantai atas gedung parkir (tanpa dikenai biaya apapun)
46
sebagai tempat olah raga volley, badminton, tenis meja dengan
memperhatikan
kelancaran
operasional
gedung
dan
keselamatan
lingkungan dan semua sarana (alat-alat) merupakan tanggungjawab
Penggugat II (Pasal 3.20);
k. Apabila gedung BRI III telah selesai dibangun, maka kapasitas parkir
kompleks tersebut harus ditingkatkan sehingga keseluruhannya dapat
menampung 2400 mobil (Pasal 3.13);
Terhadap perjanjian tersebut, kewajiban yang telah dilaksanakan oleh
Tergugat (PT Mulia Persada Pacific) adalah sebagai berikut:
a. Tergugat telah membangun gedung perkantoran komersil untuk DP BRI di
atas blok B (Gedung BRI II), berlantai 27 dan fasilitas pendukungnya
dengan luas kotor gedung serta gedung parkir minimal 99.000 M²;
b. Tergugat telah membangun gedung parkir untuk Penggugat II di atas blok
A yang akan digunakan sebagai tempat parkir dimana Penggugat II
mendapat 230 sticker bebas parkir;
c. Tergugat hingga tahun 2009 telah melaksanakan pembayaran tahunan
sehubungan dengan pengelolaan gedung BRI II kepada DP BRI sebesar
US$ 1,250,000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu USD).
Terhadap perjanjian yang telah disepakati pihak PT Mulia Persada Pacific
tidak melaksanakan sebagian perjanjian dari hal yang telah diperjanjikan
antara lain sebagai berikut:
47
a. Tidak menyediakan ruangan dan fasilitas untuk shower sejumlah 50 (lima
puluh) di lantai III gedung parkir untuk keperluan Penggugat II dan kantin
yang merupakan fasilitas umum gedung dan dapat dipergunakan oleh
seluruh penghuni kompleks (Pasal 3. 18);
b. Tidak menyediakan ruangan seluas 500 M² yang merupakan satu blok area
pada lantai II atau lantai 1 gedung parkir untuk keperluan Penggugat II
sebagai ganti ruang-ruang di gedung Annnex tanpa mengenakan biaya
apapun kepada Penggugat II (Pasal 3. 19);
c. Tidak menyediakan lantai atas gedung parkir yang layak digunakan oleh
perusahaan untuk tempat upacara, senam kesegaran jasmani, bela diri,
tempat olah raga volley, badminton, tennis meja (Pasal 3.20);
d. Tidak melakukan pemagaran sepenuhnya yaitu antara tanah milik
Penggugat I/ Penggugat II yang berbatasan dengan fasilitas umum/ tanah
milik GKBI yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman Kav. 44-46 Jakarta
(Pasal 3. 10).
Bahwa kemudian selain dari perjanjian Nomor 58 Jo Addendum
perjanjian Nomor 72. Pihak Dana Pensiun Bank Rakyat Indonesia juga
membuat perjanjian lagi dengan Tergugat (PT Mulia). Perjanjian tersebut
adalah perjanjian Nomor 62 Jo. Addendum Perjanjian Nomor 73. Sesuai
dengan perjanjian No. 62 Jo. Addendum Perjanjian No. 73 isinya antara lain
yaitu:
48
a. Tergugat wajib mulai membangun gedung BRI III di atas sebagian blok
A, sebagian blok B, dan blok C dengan lantai/ tinggi dan luas minimal
sama dengan gedung BRI II dalam jangka waktu pengelolaan gedung BRI
II tetapi tidak lebih dari tahun 1995 (Pasal 1. 10);
b. Tergugat wajib membangun gedung parkir di atas blok A dengan
kapasitas sekurang-kurangnya 1.300 mobil yang harus selesai selambatlambatnya dengan selesainya pembangunan gedung BRI II (Pasal 3.1);
c. Jangka waktu perjanjian 30 tahun (Pasal 1. 18);
d. Tergugat wajib untuk mengelola, mengurus, memelihara, dan merawat
gedung parkir dan gedung BRI II atas biayanya sendiri dan agar pada
akhir jangka waktu pengelolaan gedung parkir dan gedung BRI III (Pasal
3.6):
1) Gedung parkir dan gedung BRI III diserahkan kepada Penggugat II
dalam keadaan terawat baik, lengkap dan layak untuk dioperasikan
sebagai gedung parkir dan perkantoran komersil;
2) Fasilitas-fasilitas umum yang ada dalam keadaan berjalan dan
berfungsi dengan baik.
e. Dalam jangka waktu pengelolaan gedung BRI III, tergugat wajib
membayar kepada Penggugat II suatu pembayaran tahunan sebesar US$
1,250,000 (Pasal 3. 10);
49
f. Tergugat wajib memperbaiki sarana-sarana lingkungan, landscaping,
pemagaran, sarana penunjang seperti sewage treatment, terutama di atas
blok A dan blok C.
Bahwa kewajiban PT.Mulia Persada Pacific yang telah diatur dan
disepakati oleh para pihak yaitu membangun gedung parkir dan gedung
perkantoran kedua (Gedung BRI III) yang dituangkan dalam akta Perjanjian
Nomor 62 Jo. Addendum Perjanjian Nomor 73, diketahui sama sekali tidak
dilaksanakan pembangunan Gedung BRI III sekalipun Penggugat II telah
berkali-kali memberi peringatan/ melakukan penagihan pembangunan gedung
BRI III.
Dengan tidak dilaksanakannya sebagian perjanjian No 58 jo Addendum No.
72 dan tidak dilaksanakan hampir seluruh perjanjian No 62 Jo Addendum No
73 antara PT BRI dan DP BRI dengan PT Mulia Persada Pacific. Kemudian
Para Penggugat (PT BRI dan DP BRI) mengajukan gugatan yang terdaftar di
Kepaniteraan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
dibawah
register
No.157/PDT.G/2010/PN.JKT.PST tanggal 9 April 2010.
Dimana dalam petitum gugatannya Para Penggugat mengajukan beberapa hal
yaitu:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan
Tergugat
telah
melakukan
(wanprestasi) yang merugikan para Penggugat;
perbuatan
ingkar
janji
50
3. Menyatakan Perjanjian Nomor 58 tanggal 11 April 1990 dan Addendum
Perjanjian Nomor 72 tanggal 24 Mei 1991 yang berhubungan dengan
Gedung BRI II berakhir karena terjadinya wanprestasi terhitung sejak
tanggal didaftarkannya gugatan ini;
4. Menyatakan Perjanjian Nomor 62 tanggal 11 April 1990 dan Addendum
Perjanjian Nomor 73 tanggal 24 Mei 1991 yang berhubungan dengan
gedung BRI III berakhir karena terjadinya wanprestasi terhitung sejak
tanggal didaftarkannya gugatan ini;
5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan Gedung BRI II, Gedung Parkir
dengan seluruh fasilitas yang ada beserta hak pengelolaannya kepada
Penggugat I melalui Penggugat II;
6. Menetapkan uang paka (dwangsom) sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta
rupiah) per hari untuk setiap hari Tergugat lalai melaksanakan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam angka 5 di atas;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi berupa pembayaran
tahunan sewa Gedung BRI III yang seharusnya sudah diterima Penggugat
II sejak tahun 1998 kepada Penggugat II sebesar Rp 347.801.350.125;
(tiga ratus empat puluh tujuh milyar delapan ratus satu juta tiga ratus lima
puluh ribu seratus dua puluh lima rupiah);
8. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat II
kehilangan nilai Gedung BRI III yang pada tahun 2010 sejumlah RP
51
887.040.000.000 (delapan ratus delapan puluh tujuh milyar empat puluh
juta rupiah);
9. Menghukum Tergugat untuk membayar bunga sebesar Rp 6,5 % per tahun
(Suku Bunga Acuan Penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan) dikalikan
dengan jumlah ganti rugi yang harus dibayarnya kepada Penggugat I/
Penggugat II;
10. Menyatakan sita jaminan sah dan berharga;
11. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada
upaya verstek, banding dan kasasi (uit voorbaar bij voorraad);
12. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
C. Pertimbangan Majelis Hakim
Terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat I (PT BRI) dan Penggugat II
(DP BRI) melawan Tergugat (PT Mulia Persada Pacific) Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam pertimbangannya menyatakan:
1. Penggugat dalam petitum gugatannya yang menyatakan Tergugat telah
melakukan
perbuatan
ingkar
janji
(wanprestasi).
Majelis
hakim
menimbang bahwa seseorang dapat dinyatakan wanprestasi apabila:
a. Tidak memenuhi prestasi;
b. Terlambat memenuhi prestasi;
c. Memenuhi prestasi secara tidak baik;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
52
2. Majelis Hakim menimbang berdasarkan berdasarkan surat-surat bukti
yang diajukan Penggugat I dan Penggugat II. Menimbang telah
diberikannya peringatan kepada Tergugat
akan kerugian berupa
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan fasilitas oleh Penggugat II.
Majelis Hakim juga melakukan pemeriksaan setempat dan diakui oleh
kedua belah pihak bahwa fasilitas yang telah dibangun dengan biaya
sendiri oleh Penggugat I danPenggugat II, Tergugat hanya membantu
biaya amdal sebesar 50%. Terkait penambahan lantai gedung parkir
berkenaan dengan kewajiban Tergugat yang diatur dalam Pasal 3. 13,
dimana apabila Gedung BRI III telah selesai dibangun maka kapasitas
parkir harus ditingkatkan. Tergugat terlebih dahulu mengerjakan
penambahan lantai gedung parkir tanpa meminta persetujuan dari
Penggugat I dan Penggugat II untuk menambah jumlah lantai pada
fasilitas parkir tanpa membangun Gedung BRI III. Selanjutnya karena
penambahan gedung parkir, Tergugat memberitahukan melalui surat
bahwa fasilitas tidak cocok disediakan pada gedung parkir dan
menawarkan kepada Penggugat II untuk memakai lahan kosong di
belakang BRI I dan Penggugat II meminta agar lahan yang ditawarkan
tersebut dikeluarkan dari perjanjian BOT untuk dibangun tempat upacara
dan sarana olahraga. Majelis Hakim juga mempertimbangkan Pasal 1338
KUH Perdata bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
53
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Majelis Hakim menimbang berdasarkan pendapat saksi ahli bernama
Frans Hendra Winarta, S.H.,M.H. yang berpendapat bahwa surat menyurat
antara para pihak tentang suatu klausul perjanjian adalah suatu komunikasi
yang menuju kepada kesepakatan yang harus dituangkan dalam suatu
addendum perjanjian yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak, hal ini
sama sekali tidak dilakukan oleh Tergugat. Sehingga menurut Majelis
Hakim Tergugat telah melakukan ingkar janji/ wanprestasi.
4. Pertimbangan Majelis Hakim terhadap wanprestasi Pasal 3. 10 dengan
cara melakukan pemeriksaan di lapangan terhadap pagar tersebut.
Menurut penilaian Majelis Hakim tidak terdapat batas pemagaran yang
tegas yaitu sebagian masih terbuka tanpa pagar sama sekali dan sebagian
lagi masih buka tutup dengan pagar besi sederhana, Sedangkan Penggugat
I dan Penggugat II menghendaki pemagaran yang tegas. Sehingga Majelis
Hakim menilai terdapat wanprestasi.
5. Petitum gugatan Penggugat yang menyatakan Perjanjian Nomor 58
tanggal 11 April 1990 dan Addendum Perjanjian Nomor 72 tanggal 24
Mei 1991 berakhir. Majelis Hakim mempertimbangkan Pasal 1267 KUH
Perdata yang menyatakan:
54
“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi dapat memilih apakah
ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak lain untuk
memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan
perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”.
6. Petitum gugatan yang menyatakan Perjanjian Nomor 62 tanggal 11 April
1990 dan Addendum Perjanjian Nomor 73 tanggal 24 Mei 1991 berakhir.
Majelis Hakim menimbang berdasarkan surat-surat bukti mengenai
peringatan Penggugat I dan Penggugat II pada tahun 1994 pada Tergugat.
Selanjutnya
mempertimbangkan
kesanggupan
Penggugat
untuk
membangun gedung BRI III pada 28 Juni 1994 dan ingin menambah
menjadi 34 lantai berdasarkan SK Gubernur No. 678 Tahun 1994.
Sehingga menurut Majelis Hakim tidak ada persoalan oleh Tergugat untuk
dapat membangunnya dan tenggang waktu antara kewajiban untuk
membangun BRI III oleh Tergugat ditetapkan tidak lebih dari tahun 1995.
Ternyata Tergugat tidak pernah mengajukan izin untuk pembangunan BRI
III ke Dinas Tata Kota DKI Jakarta.
7. Menimbang, surat permohonan untuk mendirikan BRI III yang diajukan
Tergugat kepada Dinas Tata Kota DKI Jakarta tanggal 17 Maret 2008 dan
Surat Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta tanggal 09 Mei 2008, tentang
penjelasan permohonan izin yang dapat diberikan hanyalah 10 (sepuluh)
lantai, hal ini dijadikan dasar keadaan kahar oleh Tergugat. Terhadap
55
alasan ini Majelis Hakim tidak dapat menerimanya karena keadaan kahar
tersebut hanya ada pada saat kewajiban itu terbit terhadap BRI III sampai
akhir tahun 1995. Surat sebagaimana dasar rekomendasi yang dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta didasarkan kepada Perda No. 6
Tahun 1999.
8. Menimbang pendapat ahli yang dihadirkan oleh Tergugat bernama Frans
Hendra Winata, S.H.,M.H. memberikan pendapat bahwa jika seseorang
belum pernah mencoba melaksanakan isi perjanjian/ kesepakatan, namun
kemudian menyatakan bahwa tidak dilaksanakan perjanjian tersebut
karena adanya keadaan memaksa (adanya peraturan publik), hal ini tidak
dapat dibenarkan oleh karena ada atau tidak adanya kahar/ keadaan
memaksa harus dilaksanakan terlebih dahulu isi perjanjian tersebut baru
bisa diterima secara hukum ada atau tidaknya keadaan kahar/ keadaan
memaksa. Sebagaimana dipertimbangkan diatas Tergugat sampai batas
akhir tahun 1995 sama sekali tidak melakukan pengurusan perizinan
kepada Dinas Tata Kota DKI Jakarta.
D. Amar Putusan Majelis Hakim
Berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat mengadili dan memutus dalam pokok perkara:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;
56
2. Menyatakan
Tergugat
telah
melakukan
perbuatan
Ingkar
Janji
(Wanprestasi) yang merugikan para Penggugat;
3. Menyatakan Perjanjian No. 58 tanggal 11 April 1990 dan Addendum
Perjanjian No. 72 tanggal 24 Mei 1991 yang berhubungan dengan Gedung
BRI
II
berakhir
karena
terjadinya
wanprestasi
terhitung
sejak
didaftarkannya gugatan ini;
4. Menyatakan Perjanjian No. 62 tanggal 11 April 1990 dan Addendum
Perjanjian No. 73 tanggal 24 Mei 1991, yang berhubungan dengan
Gedung BRI III berakhir. Karena terjadinya wanprestasi terhitung sejak
didafarkannya gugatan ini;
5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan Gedung BRI II, Gedung parkir
dengan seluruh fasilitas yang ada beserta hak pengelolaannya kepada
Penggugat I melalui Penggugat II;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi berupa pembayaran
tahunan sewa gedung BRI III yang harusnya sudah dapat diterima
Penggugat II sejak tahun 1998 kepada Penggugat II sebesar RP
347.801.350.125; (tiga ratus empat puluh tujuh milyar delapan ratus satu
juta tiga ratus lima puluh ribu seratus dua puluh lima rupiah);
7. Menolak Gugatan para Penggugat untuk selain dan selebihnya.
57
E. Analisa Wanprestasi Perjanjian Build Operate Transfer
Setelah mempelajari kasus di atas, maka penulis mencoba untuk
menganalisis pertimbangan Majelis Hakim dalam membuat putusan dengan
menghubungkan kasus tersebut dengan teori yang ada. Mengenai wanprestasi,
pada pertimbangannya tampak Majelis Hakim menggunakan bukti-bukti,
keterangan saksi yang diajukan dalam persidangan dan melakukan
pemeriksaan setempat. Terbukti dalam persidangan Tergugat lebih dahulu
menambah luas Gedung Parkir tanpa dilaksanakannya klausul utama atas
pembangunan Gedung BRI III sesuai klausul perjanjian nomor 58 jo.
addendum perjanjian nomor 72 poin k. Karena hal tersebut pelaksanaan untuk
klausul perjanjian poin g, h, i, dan j menjadi terganggu. Kemudian Tergugat
dengan mengirimkan surat meminta perubahan lokasi pembangunan fasilitas
pada gedung parkir pada Penggugat II karena dengan ditambahnya luas
gedung parkir tidak dimungkinkan untuk dibangunnya fasilitas pada area
tersebut. Meskipun Penggugat II menyetujui hal ini, tetapi tidak dilakukannya
addendum terhadap perjanjian sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati
melalui surat. Sehingga Majelis Hakim menilai hal ini hanya sebuah
komunikasi yang menuju pada kesepakatan yang mengikat. Komunikasi
seperti ini belum memiliki kekuatan yang mengikat karena belum dibuatnya
akta perjanjian baru dan perjanjian no. 58 jo. addendum perjanjian nomor 72
masih berlaku.
58
Sesuai Pasal 1338 KUH Perdata semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Sehingga mengacu pada teori Prof. Subekti S.H, terhadap item pekerjaan ini,
masuk dalam kategori tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya.
Sedangkan untuk item pekerjaan membangun pagar pembatas, PT Mulia
Persada Pacific tidak melakukan pemagaran sepenuhnya yaitu antara tanah
milik Penggugat I/ Penggugat II yang berbatasan dengan fasilitas umum/
tanah milik GKBI yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman Kav. 44-46 Jakarta.
Dengan demikian berdasarkan teori Prof. Subekti S.H, pihak Tergugat yaitu
PT Mulia Persada Pacific, masuk dalam kategori wanprestasi melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya. Menurut
penulis mengenai tidak dilakukannya pemagaran secara tegas, padahal hal
tersebut terdapat dalam klausul perjanjian dan telah disepakati oleh para pihak
sehingga tidak terdapat alasan untuk melakukan prestasi tidak sebagaimana
yang diperjanjikan.
Sedangkan untuk pembangunan Gedung BRI III, PT Mulia Persada
Pacific tidak membangunnya sehingga dapat dikatakan bahwa PT Mulia
Persada Pacific telah wanprestasi dengan tidak melakukan prestasi sama
59
sekali. Seharusnya apabila mengacu pada perjanjian BOT yang telah
disepakati antara para pihak, perjanjian yang telah disepakati merupakan
undang-undang bagi para pihak yang melakukan perikatan. Dalam kasus ini
penulis tidak menemukan adanya keadaan kahar yang menjadi alasan bagi
Tergugat (PT Mulia Persada Pacific), untuk tidak melaksanakan sama sekali
pembangunan Gedung BRI III. Menurut pengertiannya, keadaan memaksa
ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi
suatu peristiwa bukan karena kesalahannya. Peristiwa mana tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan.53 Seharusnya pembangunan BRI III bersamaan dengan pengelolaan
BRI II pada tanggal 11 April 1992 dan tidak lebih dari akhir tahun 1995. Jelas
pihak Tergugat telah mengetahui akan batas akhir pelaksanaan prestasinya,
tetapi terhadap pembangunan Gedung BRI III Tergugat sama sekali tidak
mengajukan izin untuk membangun pada Dinas Tata Kota DKI Jakarta seperti
pengelolaan Gedung BRI II. Padahal sebelum tahun 1998 masih berlaku SK
Gubernur Nomor: 678 Tahun 1994 yang masih mengijinkan pembangunan
Gedung BRI III. Mengacu pada asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik.” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak,
yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
53
Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, 2011), h. 91
60
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari
para pihak. Diketahui PT Mulia Persada Pacific dengan sadar tidak mengurus
perizinan sehingga saat peraturan berubah, menjadi halangan untuk
melaksanakan prestasi sesuai dengan perjanjian.
Perjanjian (aqad) tidak hanya terdapat dalam hukum positif tetapi juga
dalam hukum Islam. Islam melihat suatu perjanjian tidak sebatas hubungan
keperdataan antara manusia, melainkan juga hubungan antara manusia dengan
Allah SWT. Dalam konsep hukum Islam sebagaimana tercantum dalam QS.
Al-Maidah 1:
       
         
            
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad54 itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
Prinsip pada hukum Islam suatu perjanjian (aqad) harus didasarkan pada
suatu hal yang halal (diperbolehkan dalam agama). Maka ketika suatu
perjanjian telah disepakati, para pihak harus berlaku adil dan memenuhi hak
dan kewajibannya masing-masing. Dalam hukum Islam, pelaku usaha dalam
54
Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
61
melakukan kegiatannya tidak hanya mencari keuntungan duniawi semata,
tetapi juga harus beritikad baik dalam melaksanakan kegiatannya dan
didasarkan pada perintah Allah swt. Sehingga pelaksanaan suatu perjanjian
dapat berjalan dengan baik.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Build Operate Transfer/ BOT dirumuskan dalam beberapa aturan diantaranya
Laporan Akhir Pengkajian tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate
and Transfer tahun 1994, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 248/KMK-04/1995, dan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor: PER-06/MBU/2011.
2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 157/PDT.G/2010/PN.JKT.PST,
menilai bahwa kesepakatan yang dibuat melalui surat untuk merubah klausul
perjanjian belum mempunyai kekuatan mengikat. Hal tersebut sebatas
komunikasi antara para pihak yang menuju pada kesepakatan. Sehingga
majelis hakim menilai klausul perjanjian yang ada masih berlaku dan
mengikat.
3. Pertimbangan majelis hakim menggunakan Kitab Undang Undang Hukum
Perdata Pasal 1338 dan Pasal 1267, melakukan pemeriksaan setempat yang
dihadiri pihak Penggugat dan Pihak Tergugat, memeriksa bukti-bukti dan
mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan untuk
mempertimbangkan apakah terjadi wanprestasi dan terdapat keadaan kahar
dalam pelaksanaan perjanjian.
62
63
B. SARAN
1.
Untuk kepastian hukum terhadap pelaksanaan perjanjian Build, Operate,
Transfer penulis menyarankan agar Pemerintah dapat membuat suatu
regulasi mengenai Build, Operate, Transfer yang tegas dan berlaku bagi
semua pihak-pihak yang melakukan perjanjian Build, Operate, Transfer.
2.
Pada suatu perikatan, apabila terdapat komunikasi yang menuju pada
kesepakatan baru yang telah disepakati oleh para pihak. Kesepakatan baru
harus segera dituangkan dalam bentuk addendum perjanjian.
3.
Untuk terjaminnya pelaksaan perjanjian, kepada pihak debitur sesuai dengan
asas itikad baik untuk segera melaksanakan prestasi yang terdapat pada
perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci:
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Kathoda, 2005
Buku-Buku:
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Cet 9. 2010.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata, Jakarta:
CV. Gitama Jaya. Cet 5. 2008.
Departemen Kehakiman RI. Laporan Akhir Pengkajian Tentang Aspek Hukum
Perjanjian Build Operate and Transfer. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Cet 1. 1994.
----------. Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT
(Build, Operate, and Transfer). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Cet
1. 1995.
Gunawan, Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. Cet 3. 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Cet 7. 2008.
Mulyadi, Kartini dan Gunawan Wijaya. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet 2. 2002.
Nahrowi, Azharudin Lathif. Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. Cet 1. 2009.
Pramono, Nindyo. Hukum Komersil. Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Cet 1. 2003.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung.
Cet 2. 1981.
Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cet
14. 2007.
S, Salim H. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika. Cet 4. 2006.
64
65
Santoso, Budi. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build
Operate Transfer). Solo: Genta Press. Cet 6 2008.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Cet
8. 1998.
Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Cet 11. 2009.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Cet 19. 2005.
----------. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.Cet 26. 2001.
Sutrisno, Salim dan Budi. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Cet
3. 2012.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana. Cet 1
2004.
Wirana, Andjar Pachta. Penelitian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate
and Transfers (BOT). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Cet 1. 1995.
Yasir, Ahmad. dkk. Hukum Perikatan. Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Jakarta. Cet 1. 2011.
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor:PER-06/MBU/2011
Tentang Pendayagunaan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara
Jurnal:
Adha, Lalu Hadi. “Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan
Pemerintah Dengan Pihak Swasta”, Jurnal Dinamika Hukum Volume 11 edisi
No.3 (3 September 2011)
Download