ANALISIS WANPRESTASI PERJANJIAN BUILD OPERATE TRANSFER TERKAIT ADDENDUM PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA (Tinjauan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 157/Pdt.G/2010/PN.JKT.PST) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Azhary Arsyad Sulaiman NIM: 1110048000046 KONSENTRASI HUKUMBISNIS PROGRAM STUDI I LM U HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H / 2015 M ABSTRAK AZHARY ARSYAD SULAIMAN. NIM 1110048000046. Analisa Wanprestasi Perjanjian Build Operate Transfer Terkait Addedum Perjanjian (Tinjauan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 157/Pdt.G/2010/PN.JKT.PST). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. ix + 72 halaman + 2 halaman daftar pustaka + 132 halaman lampiran. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perjanjian build, operate, transfer dalam hukum positif di Indonesia, bagaimana kekuatan mengikat perubahan klausul perjanjian yang disepakati melalui surat dan bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam menentukan perbuatan wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan mengenai perubahan terhadap klausul perjanjian dan mengetahui dasar pertimbangan majelis hakim dalam memustuskan wanprestasi yang ditinjau dari putusan PN Jakarta Pusat Nomor 157/Pdt.G/2010/PN.JKT.PST. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Informasi didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Simpulan dari penelitian ini bahwa belum adanya regulasi khusus mengenai perjanjian build, operate, transfer. Kesepakatan yang dibuat melalui surat belum mempunyai kekuatan mengikat, sehingga klausul perjanjian yang ada masih berlaku dan mengikat para pihak dalam perjanjian dan dalam pertimbangannya majelis hakim menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, melakukan pemeriksaan setempat, memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan keterangan saksi untuk menentukan terjadinya wanprestasi. Mengenai akibat hukum dari wanprestasi adalah berakhirnya perjanjian, penyerahan hak pengelolaan gedung BRI II kepada penggugat dan biaya ganti rugi atas pembayaran tahunan sewa gedung BRI III yang tidak dibangun. Kata Kunci :Perjanjian, Build Operate Transfer, Wanprestasi, Putusan Hakim. Pembimbing : 1. Dr. Euis Amalia, M.Ag. 2. Nahrowi, S.H.,M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2012 iv KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw. Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. M.A. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, S.H.I, M.A. selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Euis Amalia, M.Ag. dan Nahrowi, S.H. M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktu sehingga skripsi ini selesai. 4. Dra. Hj. Ipah Parihah, M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademis. v 5. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Amril Darmawan dan Ibunda Agnes Triani. Terima kasih berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian dan bantuan (moril, materil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Tidak lupa kedua adik tercinta, Nurul Oktaviani dan Ikhwan Nurrohim yang telah memberikan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 6. Ibu Ina dari Kejaksaan Agung yang telah membantu komunikasi kepada Ibu Yesti Mariani Gultom untuk mendapatkan data dalam penulisan skripsi. 7. Bapak Pantja Edy dan kawan kawan dari Kejaksaan Tinggi Jogjakarta yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 8. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2010 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik kelas hukum bisnis maupun kelas hukum kelembagaan negara yang tidak penulis sebutkan satu persatu. 9. Kakak-kakak Senior ilmu hukum yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 10. Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih telah menyediakan bukubuku referensi dalam penulisan skripsi. 11. Keluarga Besar KKN KAPEMAS yang tak penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Sekian, terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Jakarta, Maret 2015 Azhary Arsyad Sulaiman vi DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii ABSTRAK .................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6 D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ..................................... 7 E. Kerangka Teori dan Konseptual .......................................... 8 F. Metode Penelitian ................................................................ 10 G. Sistematika Penulisan ......................................................... 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIKATAN A. Pengertian Perikatan ........................................................... 14 B. Syarat Sahnya dan Asas Perikatan ....................................... 16 C. Tinjauan Umum Tentang Prestasi ........................................ 19 D. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi ................................ 20 E. Keadaan Memaksa .............................................................. 24 F. Somasi................................................................................. 26 vii BAB III TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BUILD OPERATE TRANSFER A. Pengertian Build Operate Transfer ...................................... 28 B. Tinjauan Umum Perjanjian Build Operate Transfer............. 31 C. Pihak yang Terlibat Dalam Build Operate Transfer ............. 33 D. Asas dan Karakteristik Perjanjian Build Operate Transfer... 33 E. Keadaan Paksa dalam Build Operate Transfer ..................... 35 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Pendahuluan ...................................................................... 41 B. Posisi Kasus ....................................................................... 43 B. Pertimbangan Majelis Hakim ............................................ 51 C. Amar Putusan Majelis Hakim ............................................. 55 D. Analisa Wanprestasi Perjanjian Build Operate Transfer .... 57 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 62 B. Saran ................................................................................... 63 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 64 LAMPIRAN .................................................................................................. 66 viii LAMPIRAN 1. Putusan PN Tangerang Perkara No.305/Pdt.G/2009/PN.TNG. ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah baik pusat maupun daerah selalu melakukan usaha untuk mengembangkan wilayahnya. Pengembangan wilayah tersebut dilakukan dengan cara membangun infrastruktur baru guna mendukung kegiatan usaha yang dilakukan pemerintah, misalnya gedung komersial. Dalam membangun infrastruktur pemerintah seringkali terkendala masalah biaya, karena dana yang berasal dari pemerintah terbatas. Sehingga jika pemerintah hendak membangun infrastruktur membutuhkan bantuan dari pihak lain. Biasanya pemerintah yang akan mengembangkan wilayahnya baru memiliki aset berupa tanah. Aset tersebut belum mempunyai nilai guna, apabila pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah untuk membangun infrastruktur, maka terdapat beberapa resiko yang akan dihadapi diantaranya biaya pembangunan yang tinggi dan resiko pembangunan lainnya. Untuk menghindari resiko tersebut, pemerintah membuka kesempatan kepada pihak swasta untuk menanamkan investasinya untuk membangun infrastruktur pada aset negara. Di sisi lain bagi pihak swasta, tawaran untuk menanamkan investasinya pada aset pemerintah merupakan suatu peluang yang baik. Karena investasi yang digolongkan berdasarkan asetnya merupakan investasi dari aspek modal 1 2 atau kekayaan. Dimana pihak swasta hanya perlu menanamkan investasinya berupa sejumlah modal. Investasi berdasarkan asetnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu:1 a. real asset; dan b. financial asset. Dibukanya peluang bagi pihak swasta untuk menanamkan investasinya pada aset pemerintah membuat pemerintah harus melakukan upaya agar dapat terjalin hubungan hukum antara pemerintah-swasta atau dikenal dengan istilah public-private. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan membuat perjanjian. Perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta diantaranya melalui perjanjian bangun, guna, dan serah (build, operate, transfer). Perjanjian build, operate, transfer merupakan sebuah kontrak bisnis yang merupakan sumber utama kewajiban dan hak serta tanggung jawab para pihak.2 Jadi hubungan hukum tersebut memiliki dua segi, yaitu “bevoegdheid” (kekuasaan/ kewenangan atau hak) dengan lawannya “plicht” atau kewajiban.3 Jika hubungan pemerintah-swasta terjadi, maka pihak swasta akan terlepas dari kendala-kendala dalam melakukan pembangunan gedung-gedung komersial, kendala tersebut diantaranya: 1 Salim & Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet 3, h. 37. 2 Azharudin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet 1, h. 7. 3 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet 11, h. 269. 3 a. Kesulitan untuk mendapatkan lokasi yang strategis untuk pembangunan proyeknya, dimana kalaupun ada lahan yang belum dipergunakan yang terletak di tempat strategis, belum tentu pemiliknya mau menjualnya; b. Selain itu developer juga mengalami kesulitan untuk melakukan pembebasan tanah disertai dengan biaya-biaya perizinan dan sebagainya. Pada masa awal perjanjian build, operate, transfer hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Tetapi dengan berjalannya waktu, perjanjian ini juga dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, swasta, badan hukum atau perorangan. Perkembangan ini membuat berubahnya pola perjanjian yang awalnya adalah public-private menjadi private-private. Hal ini menyebabkan pengaturan mengenai perjanjian build, operate transfer menjadi berbeda. Dimana pada awal hanya membatasi perjanjian antara pemerintah dengan swasta dan juga mengenai status aset yang terdapat perjanjian. Sehubungan dengan perjanjian build, operate, transfer. Penulis akan mengambil kasus yang terdapat pada Bank Rakyat Indonesia, dimana Bank Rakyat Indonesia melimpahkan wewenang kepada Dana Pensiun Bank Rakyat Indonesia untuk memproduktifkan aset mereka yang masih berupa sebidang tanah yang berlokasi di Jalan Jendral Sudirman. Maka Dana Pensiun BRI mengadakan perjanjian build, operate, transfer dengan PT. Mulia Persada Pacific untuk membangun gedung perkantoran pada lahan tersebut. Namun pada saat perjanjian berlangsung, PT. Mulia dianggap wanprestasi 4 terhadap perjanjian, sehingga PT Bank Rakyat Indonesia dan Dana Pensiun Bank Rakyat Indonesia merasa dirugikan dan mengajukan perkara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis merasa perlu menulis membahas tentang aturan-aturan yang mengatur perjanjian build, operate, transfer dalam hukum positif di Indonesia. Serta bagaimana ketentuan mengikat terhadap kesepakatan yang disetujui melalui surat untuk mengubah klausul perjanjian dan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan terjadinya wanprestasi pada perjanjian build, operate, transfer. Atas permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis membuat karya ilmiah dengan judul “ANALISIS WANPRESTASI PERJANJIAN BUILD OPERATE TRANSFER TERKAIT ADDENDUM PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA (Tinjauan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 157/PDT.G/2010/PN.JKT.PST)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembatasan mengenai perjanjian build, operate, transfer cukup banyak, misalnya terjadinya konflik yang berujung pada pembuatan addendum perjanjian, ketidakmampuan invetor mengelola gedung, dan kerusakan gedung pada saat transfer. Agar pembahasan permasalahan karya ilmiah ini tidak melebar dan melebihi fokus pada masalah, maka penulis 5 membatasi hanya pada aturan yang mengatur tentang build, operate, transfer dalam hukum positif di Indonesia, perubahan klausul perjanjian dan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan terjadinya wanprestasi pada perjanjian build, operate, transfer yang akan ditinjau dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan peraturan maupun asas dalam perjanjian yang memiliki keterkaitan dengan perjanjian build, operate, transfer. 2. Perumusan Masalah Mengingat luasnya masalah, maka penulis membatasi skripsi ini akan membahas mengenai beberapa rumusan masalah. Maka rumusam masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: a. Bagaimana pengaturan perjanjian Build, Operate, Transfer (BOT) dalam hukum positif di Indonesia? b. Bagaimana putusan PN Jakarta Pusat tentang kekuatan mengikat terhadap perubahan klausul perjanjian yang disepakati melalui surat? c. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara wanprestasi terkait perjanjian Build Operation Transfer Nomor 58 jo Addendum Perjanjian Nomor 72 dan Nomor 62 jo Addendum Perjanjian Nomor 73? 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk memberikan gambaran umum mengenai perjanjian build, operate, transfer di Indonesia. 2) Untuk mengetahui bagaimana ketentuan mengenai perubahan terhadap klausul perjanjian; 3) Untuk mengetahui dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan wanprestasi. 2. Manfaat Penelitian Secara umum manfaat dari penelitian ini adalah sebagai wacana keilmuan dalam perjanjian build, operate, transfer sehingga dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa: a. Diharapkan dari penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan mahasiswa lainnya untuk menambah wawasan tentang masalah yang dikaji, yaitu perjanjian build, operate, transfer. b. Melalui penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para pelaku perjanjian build, operate, transfer khususnya para pihak yang berhubungan dalam perjanjian build, operate, transfer dalam memahami prestasi maupun wanprestasi serta asas-asas dalam perjanjian dan bagaimana cara merubah klausul perjanjian. 7 D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu Salah satu penelitian yang digunakan oleh penulis sebagai review studi terdahulu yaitu skripsi yang berjudul SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN TRANSFER) PADA B.O.T PERUSAHAAN (BUILD, OPERATE PROPERTY P.T AND DUTA ANGGADA REALTY yang disusun oleh Novita Lyndra Devi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Hukum pada tahun 1993. Pada skripsi tersebut terdapat persamaan dalam karya tulis yang akan penulis buat diantaranya pada karya tulis tersebut objek perjanjian sama-sama infrastruktur berupa gedung dan sama-sama membahas perjanjian build, operate, and transfer. Tetapi hal yang membedakan karya ilmiah tersebut dengan karya ilmiah penulis adalah fokus permasalahan yang dibahas, pada karya tulis tersebut hanya meninjau pengaturan hukum perjanjian BOT, sedangkan penulis lebih memfokuskan pada analisa terhadap aspek hukum yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam perjanjian BOT. Penelitian selanjutnya yang dijadikan sebagai review studi terdahulu adalah skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEMBATALAN PENERBANGAN (Analisa Putusan PN Tangerang Perkara Nomor 305/Pdt.G/2009/PN.TNG) yang disusun oleh Indirawati Putri, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum 8 Bisnis, pada tahun 2013. Terdapat persamaan dalam karya tulis tersebut yaitu sama-sama menganalisa putusan pengadilan. Namun hal yang membedakan antara karya ilmiah tersebut dengan karya ilmiah penulis adalah fokus analisa. Pada karya tulis tersebut membahas perjanjian baku sedangkan penulis membahas perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak. Selanjutnya analisa pada karya tersebut berfokus pada perbuatan melawan hukum, sedangkan penulis berfokus pada wanprestasi dan keadaan kahar. E. Kerangka Teori dan Konseptual Hukum perikatan ialah hukum yang mengatur akibat hukum yang disebut perikatan, yakni suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri (zelfstandige rechtssubjecten), yang menyebabkan pihak yang satu terhadap pihak lainnya berhak atas suatu prestasi, prestasi mana adalah menjadi kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama.4 Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya”.5 4 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007), cet 14, h. 4. 5 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45 9 Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 470/KMK.01/1994 Tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik/ Kekayaan Negara, Bangun Guna Serah (Build, Operate, Trasfer/ BOT), adalah: “Pemanfaatan barang milik/ kekayaan negara berupa tanah oleh pihak lain, dengan cara pihak lain tersebut membangun bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah tersebut, serta mendayagunakannya dalam jangka waktu tertentu, untuk kemudian menyerahkan kembali tanah, bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada Departemen/ Lembaga bersangkutan setelah berakhirnya jangka waktu yang disepakati.” Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai: “Badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Dari batasan yang diberikan tersebut di atas ada lima hal pokok yang dapat kita kemukakan disini:6 1. 2. 3. 4. 5. 6 Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum; Didirikan berdasarkan perjanjian; Menjalankan usaha tertentu; Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham; Memenuhi persyaratan undang-undang. Ahmad Yani dan Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), cet 3, h. 7. 10 F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian yang berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis normative,7 penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum. 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif, maka penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 3. Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas peraturan perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.8 Sehubungan dengan topik yang akan ditulis mengenai analisa wanprestasi perjanjian build, operate, transfer, maka penulis akan meninjaunya dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang membahas 7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998), cet 8, h. 50-51. 8 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet. 9, h. 47. 11 mengenai perjanjian, wanprestasi juga undang-undang yang berkaitan dengan build, operate, transfer. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas skripsi, tesis, disertasi hukum, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,9 serta dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.10Penulisan penelitian ini menggunakan artikel-artikel dari media massa cetak dan online tentang perjanjian build, operate, transfer serta menggunakan buku teks tentang hukum perjanjian, hukum kontrak, hukum perikatan, kamus hukum, dan jurnal hukum. c. Bahan Non Hukum Bahan non-hukum dimaksudkan untuk memperluas sudut pandang dan pengetahuan penulis tentang aspek non-hukum yang terdapat dalam perjanjian build, operate, transfer. 4. Prosedur Pengumpulan Data Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi menurut sumber dan tingkatannya untuk dikaji secara komprehensif. 9 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet 9, h. 54. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), cet 7, h. 155. 10 12 5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Pengolahan data menggunakan metode deskriptif analisis artinya data yang diperoleh berdasarkan kenyataan kemudian dikaitkan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dibahas, dianalisa, kemudian ditarik kesimpulan yang akhirnya digunakan untuk mejawab permasalahan yang ada. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, Merupakan bab pendahuluan yang akan menjabarkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian, pokok permasalahan dari penelitian, tujuan dari penelitian baik tujuan umum maupun tujuan khusus, manfaat penulisan, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Umum Perikatan, Pada bab kedua penulis akan menjabarkan mengenai definisi perikatan, syarat sahnya dan 13 asas perikatan, prestasi, wanprestasi, keadaan memaksa dan somasi. BAB III Tinjauan Umum Perjanjian Build, Operate, Transfer, Pada bab ketiga akan dijabarkan mengenai pengertian perjanjian build, operate, transfer, perjanjian build operate transfer pada umumnya, pihak yang terlibat dalam perjanjian build operate transfer, asas dan karakteristik dalam perjanjian build, operate, transfer, serta keadaan paksa dalam perjanjian build, operate, transfer. BAB IV Analisa dan pembahasan, Pada bab ke empat akan dijabarkan mengenai, kasus posisi serta kronologi sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri, pertimbangan majelis hakim, amar putusan majelis hakim, dan analisa mengenai wanprestasi pada perjanjian build, operate, transfer. BAB V Penutup, Pada bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan dan saran. BAB II TINJAUAN UMUM PERIKATAN A. Pengertian Perikatan Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum itu melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut.11 Micheael D Bayles mengartikan hukum kontrak adalah contract of law Might then be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement.12 Artinya, hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan. Menurut Salim H.S hukum kontrak adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.13 Dari definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan berikut ini:14 a. Adanya kaidah hukum Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah11 Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet 2, h. 1. 12 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. 4, h. 3. 13 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet 4, h. 4. 14 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet 4, h. 4-5. 14 15 kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contoh, jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat. b. Subjek hukum Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson. Rechtsperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang. c. Adanya prestasi Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi terdiri dari: 1) Memberikan sesuatu, 2) Berbuat sesuatu, 3) Tidak berbuat sesuatu, dan 4) Kata Sepakat Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian. Salah satunya kata sepakat (consensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak. 5) Akibat Hukum Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban. Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system). Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 16 B. Syarat Sahnya dan Asas Perikatan 1. Syarat Sahnya Perikatan Suatu perikatan dinyatakan sah apabila dipenuhi empat syarat seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni:15 a. Konsensualitas atau sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Syarat no. 1 dan 2 disebut syarat subjektif yaitu syarat sebagai subjek hukum, sedangkan syarat no. 3 dan 4 disebut syarat objektif yaitu syarat sebagai objek hukum yaitu bendanya. Penjelasan syarat tersebut adalah sebagai berikut:16 1) Syarat Konsensualitas atau Sepakat Perjanjian sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal pokok. Adanya kesepakatan para subjek hukum dapat terjadi dengan secara tegas maupun secara diam. Secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau tertulis. Seperti ditulis sendiri oleh pihak-pihak dengan surat pernyataan, ditulis dan ditandatangani, atau dibuat dan ditantatangani oleh pejabat tertentu. Sedangkan secara diam yaitu baik dengan sikap ataupun syarat. 2) Syarat Kecakapan (Cakap Hukum) Seseorang dikatakan cakap hukum apabila telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah. Sedangkan orang-orang yang belum cakap dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang di bawah pengampuan, dan orang-orang perempuan yang bersuami. 3) Syarat Suatu Hal Tertentu 15 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 17. 16 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 18-21. 17 Dalam perjanjian/ perikatan, yang diperjanjikan hendaklah suatu hal tertentu, sehingga jenis barang yang diperdagangkan harus jelas dan tidak boleh samar-samar. 4) Syarat Suatu Hal (Klausul) Yang Halal Dalam perjanjian/ perikatan, yang diperjanjikan hendaklah suatu hal yang halal, sehingga tidak boleh memperjanjikan barang yang tidak sesuai dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 2. Asas Perikatan Di dalam hukum perjanjian terdapat sepuluh asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, asas kepribadian, perjanjian batal demi hukum, keadaan memaksa (overmacht), asas canseling, asas obligatoir, dan asas zakwaarneming. Kesepuluh asas tersebut akan dijelaskan berikut ini.17 a. Asas Kebebasan Berkontrak Maksud dari asas ini adalah para pihak bebas membuat kontrak dan menentukan sendiri isi kontrak tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kebiasaan dan didasari atas iktikad baik. Dengan demikian asas ini mengandung makna bahwa kedua pihak bebas dalam menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundangan. Karena adanya asas kebebasan berkontrak ini, dalam praktik ini timbul jenis-jenis perjanjian yang pada mulanya tidak diatur dalam KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” b. Asas Konsensualisme Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya 17 Azharudin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis (Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam), (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 43-46. 18 kesepakatan kedua belah pihak. Tanpa adanya kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal demi hukum. Dan kesepakatan ini dicapai dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dan tekanan salah satu pihak. c. Asas Pacta Sunt Servanda Secara harfiah berarti janji itu mengikat. Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus saling menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang.” d. Asas Iktikad Baik Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang yang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. e. Asas Kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, 19 f. g. h. i. j. tidak hanya mengatur bagi diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Perjanjian Batal Demi Hukum Yaitu, suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian akan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif. Keadaan Memaksa (Overmacht) Yaitu suatu kejadian yang tak terduga dan terjadi diluar kemampuannya sehingga terbebas dari keharusan membayar ganti kerugian. Asas Canseling Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalan. Asas Obligatoir Asas obligatoir suatu kontrak maksudnya bahwa setelah sahnya suatu kontrak, kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Asas Zakwaarneming Dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus segera mengurusnya sampai selesai. C. Tinjauan Umum Tentang Prestasi Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur yang merupakan hak dari kreditur.18 Prestasi menurut ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata adalah setiap perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian wujud prestasi itu adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dan kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalu disertai dengan tanggung jawab19 baik dengan jaminan harta atau pertanggung jawaban di muka hukum. 18 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008), cet 5, h. 140. 19 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h.79. 20 Prestasi dilakukan agar tercapainya tujuan dari perikatan, maka perlu diketahui sifat-sifat dari prestasi. Sifat dari prestasi adalah sebagai berikut20: a. Harus sudah tertentu atau dapat ditemukan; b. Harus mungkin; c. Harus diperbolehkan; d. Harus ada manfaatnya bagi kreditur; e. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika salah satu dari sifat prestasi ini tidak terpenuhi, maka perikatan itu menjadi tidak berarti, dan perikatan itu menjadi batal atau dapat dibatalkan. D. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya”.21 Pengertian wanprestasi menurut R. Sardjono: “Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si debitur tidak boleh melakukan sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya”. Seorang debitur yang lalai melakukan wanprestasi ini dapat digugat di muka hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan kepada 20 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), h. 81. 21 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45 21 tergugat.22 Akan tetapi karena wanprestasi (kelalaian) ini mempunyai akibatakibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si debitur (si berutang) itu melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim.23 Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuat. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang diangap alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.24 Menurut Subekti, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:25 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; 22 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 146. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45. 24 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 28. 25 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 45. 23 22 c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas.26 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan risiko.27 Sedangkan R Wirjono Prodjodikoro, Hakim Agung membagi wanprestasi dalam 3 (tiga) macam, yaitu:28 a. Pihak-berwajib sama sekali tidak melaksanakan janji; Dalam hal ini jelas debitur tidak mau melaksanakan prestasi perikatan yang telah disanggupinya untuk dilaksanakan. Debitur secara tegas menolak untuk melakukan prestasi yang telah diperjanjikannya kepada kreditur. Dalam keadaan ini pihak kreditur dapat menuntut ganti rugi. b. Pihak-berwajib terlambat dalam melaksanakannya; Dalam keadaan ini kreditur belum mengetahui secara pasti sikap dari si debitur. Karena pada umumnya dalam suatu perjanjian, para pihak tidak 26 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 46. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. 26, h. 47. 28 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), cet 2, h. 44. 27 23 menentukan jangka waktu prestasi harus dilaksanakan. Jika si debitur terlambat melaksanakan prestasi perlu diberikan jangka waktu untuk memastikan pelaksanaan prestasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan somasi yang menetukan kapan prestasi itu harus dilaksanakan. Akan tetapi bila debitur tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dinyatakan lalai, dimana pihak kreditur dapat meminta ganti rugi. c. Pihak-berwajib melaksanakannya tetapi tidak secara yang semestinya dan atau tidak sebaik-baiknya. Dalam hal ini, pendapat umum menyatakan bahwa keadaan ini adalah sama dengan debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan somasi. Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:29 a. Perikatan tetap ada. Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya; b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata); c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan ini timbul setelah debitur wanprestasi. Kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa; d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata. Menurut teori yang membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum30 yaitu tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi (put the palintiff to the position if he would have been in had the contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa 29 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet 4, h. 99. 30 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), cet 1, h. 116. 24 kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah expectation loss atau wintsderving. Sedangkan tujuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah untuk menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss. E. Keadaan Memaksa Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya. Peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.31 Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah:32 a. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap; b. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi ini dapat bersifat tetap atau sementara; c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur. 31 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 91. 32 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 91. 25 Ajaran tentang keadaan memaksa tidak mendapat pengaturan secara umum dalam undang-undang. Karena itu hakim berwenang menilai fakta yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur ada dalam keadaan memaksa atau tidak, dan menentukan apakah debitur menanggung resiko tersebut. 33 Dalam Ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan pada buku III KUH Perdata, terdapat dua pasal yang mengatur tentang keadaan memaksa yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata berisi: “jika ada alasan untuk itu, debitur harus dihukum membayar ganti kerugian, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya melaksanakan perjanjian itu karena suatu hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, kecuali jika ada iktikad buruk pada debitur.” Yang dimaksud dengan “hal yang tidak dapat diduga” itu adalah keadaan memaksa yang membebaskan debitur dari tanggung jawab mengganti kerugian. Untuk membuktikan ada keadaan memaksa itu atau tidak, pembuktiannya diserahkan kepada debitur.34 Sedangkan isi Pasal 1254 KUH Perdata adalah sebagai berikut: “Tidak ada ganti kerugian yang harus dibayar, apabila karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.” 33 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 97. 34 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 104. 26 Kedua pasal ini berbeda perumusannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat seperti berikut ini:35 a. Pasal 1244 memakai perumusan positif yaitu “debitur harus membayar ganti kerugian”; sedangkan Pasal 1245 memakai perumusan negatif yaitu “tidak ada kerugian yang harus dibayar”; b. Pasal 1244 menyebutkan secara tegas kewajiban pembuktian ada pada debitur; sedangkan Pasal 1245 tidak menyebutkannya; c. Pasal 1244 hanya menyebutkan “hal yang tidak dapat diduga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Sedangkan Pasal 1245 menyebutkan secara tegas keadaan memaksa”. F. Somasi Jika si berutang tidak melakukan kewajibannya atau lalai dari waktu yang telah ditentukan. Maka si terutang dapat melakukan penagihan yang menurut Pasal 1238 KUH Perdata berbunyi: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dari pasal tersebut mengandung makna yakni sebelum mengajukan gugatan wanprestasi seorang kreditur harus memberikan suatu peringatan atau somasi yang menyatakan bahwa debitur telah lalai dan agar memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Surat perintah yang dimaksud 35 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), cet 1, h. 105-106. 27 dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah surat peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan. Perkataan akta sejenis, sebenarnya oleh UndangUndang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis.36 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika tetap tidak melaksanakan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa.37 Dari ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata adalah:38 1. Surat Perintah Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru sita”. 2. Akta Sejenis Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. 3. Tersimpul dalam Perikatan itu Sendiri. Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. 36 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), cet. 19, h. 46. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), cet. 19, h. 47. 38 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, h. 21. 37 BAB III TINJAUAN UMUM BUILD OPERATE AND TRANSFER A. Pengertian Build, Operate, Transfer Dalam masa pembangunan di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah ataupun badan usaha swasta, dibutuhkan kerjasama dalam menjalankan usaha yang hendak dilakukan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dana maupun teknologi yang dimiliki oleh setiap pihak, sehingga dibutuhkan pihak lain dalam hal pembiayaan pembangunan maupun penyediaan teknologi. Salah satu usaha untuk menghadapi kendala tersebut dengan diadakannya perjanjian kerjasama dengan metode build, operate, and transfer. Secara garis besar perjanjian dengan sistem build, operate, and transfer dapat diartikan sebagai suatu bentuk penanaman modal pada suatu proyek dimana penanam modal diberikan hak membangun dan mengelola proyek tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian dan setelah jangka waktu berakhir maka proyek tersebut harus diserahkan kepada pemilik proyek tanpa pihak tesebut membayar biaya peralihan. Pengertian baku sistem pembiayaan dengan cara Build Operate Transfer (BOT) sampai saat ini belum ada. Hal ini antara lain disebabkan sistem pembiayaan dengan cara BOT adalah suatu sistem baru dalam membiayai pembangunan suatu proyek berskala 28 besar (pembangunan proyek 29 infrastruktur).39 Pembiayaan tersebut dilakukan baik oleh Pemerintah Indonesia, Badan Usaha Milik Negara ataupun pihak swasta untuk pengerjaan infrastruktur misalnya jalan tol, gedung perkantoran, jaringan telekomunikasi dan pembiayaan pembangunan proyek sarana dan prasarana lainnya. Adapula pihak swasta mengadakan perjanjian build, operate and transfer untuk membangun hotel, cottage maupun mall. Dalam pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur dengan sistem BOT, pemilik proyek baik itu pemerintah ataupun swasta memberikan kesempatan kepada investor untuk membangun proyek tersebut. Selanjutnya investor dalam jangka waktu tertentu akan diberikan hak ekslusif, yaitu suatu konsesi untuk mengelola dan mengambil manfaat ekonomi dari hasil pembangunan proyek tersebut, dengan maksud hasil pengelolaannya sebagai ganti biaya yang dikeluarkan untuk membangun proyek.40 Pada akhir jangka waktu konsesi, investor menyerahkan hak pengelolaan dan kepemilikan proyek tersebut kepada pemilik lahan. Dalam “Laporan Akhir Pengkajian tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate and Transfer” merumuskan definisi perjanjian BOT sebagai berikut:41 39 Andjar Pachta Wirana, Penelitian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate and Transfers (BOT), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 6. 40 Andjar Pachta Wirana, Penelitian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate and Transfers (BOT), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 6. 41 Departemen Kehakiman RI, Laporan Akhir Pengkajian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1994), cet 1, h. 3. 30 a. Perjanjian adalah perikatan yang lahir karena persetujuan berdasarkan ketentuan Pasal 1233 sampai dengan 1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; b. BOT (Build Operate Transfer) adalah suatu sistem pembiayaan (biasanya diterapkan pada proyek pemerintah) berskala besar yang dalam studi kelayakan pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan dan pembangunan serta pengoperasiannya, sekaligus juga penerimaan atau pendapatan yang timbul darinya diserahkan kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu (jangka waktu konsesi) diberikan hak mengoperasikan, memeliharanya serta untuk mengambil manfaat ekonominya guna menutup (sebagai ganti) biaya pembangunan proyek yang bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 248/KMK-04/1995 tentang Pemberlakuan Pajak Penghasilan Terhadap PihakPihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer) menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa BOT adalah: “Bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir.”42 Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-06/MBU/2011, bangun guna serah (Build Operate and Transfer/BOT) adalah kerjasama pendayagunaan aktiva tetap berupa tanah milik BUMN oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut 42 Keputusan Menteri Keuangan Tentang Pemberlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihakpihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build, Operate, Transfer), No. 248/KMK.04/1995, Pasal 1. 31 dalam jangka waktu tertentu yang disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya diserahkan kepada BUMN setelah berakhirnya jangka waktu. Dimana yang disebut dengan aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang digunakan dalam operasional BUMN tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun. B. Tinjauan Umum Perjanjian Build Operate Transfer Unsur-unsur dalam perjanjian build, operate, and transfer yaitu: a. b. c. d. e. Investor Tanah Bangunan komersial Jangka waktu operasional Penyerahan Terdapat beberapa keuntungan memilih build, operate, and transfer dalam kerjasama pembangunan diantaranya:43 1. Memperoleh sumber modal baru dari pihak swasta (investor); 2. Mempercepat pembangunan proyek tanpa harus menunggu perolehan dana yang cukup besar; 3. Memakai keahlian pihak swasta untuk mengurangi biaya konstruksi, memperpendek jadwal dan efisiensi pengoperasian proyek; 4. Alokasi resiko dan beban proyek pada pihak swasta; 5. Keterlibatan private sponsor dan comercial lender, yang menjamin kelayakan proyek; 6. Tidak perlu mengontrol proyek berlebihan, karena sudah diserahkan pada pihak swasta hingga akhir masa konsesi; 7. Transfer teknologi dan pelatihan personil lokal; 43 Lalu Hadi Adha, “Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan Pemerintah Dengan Pihak Swasta”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 edisi No.3, (3 September 2011): h. 530. 32 Perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer) terjadi dalam hal: a. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya, dan ada investor yang bersedia membiayai pembangunan tersebut. b. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut, dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya untuk tempat berdirinya bangunan komersial tersebut. c. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak lain, dan setelah pembangunan selesai investor berhak mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee tertentu. d. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya. Selain build, operate, and transfer terdapat tipe konstruksi lainnya yaitu: 1. Build, Transfer, and Operate Bangun Serah Guna atau Build Transfer Operate (BTO) adalah pemanfaatan tanah dan atau bangunan milik/ dikuasai Pemerintah oleh pihak ketiga dengan cara pihak ketiga membangun bangunan siap pakai dan atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah dan atau bangunan tersebut dan setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada Pemerintah untuk kemudian oleh Pemerintah, tanah dan bangunan siap pakai dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut diserahkan kembali kepada pihak ketiga untuk didayagunakan selama jangka waktu tertentu, dan atas pemanfaatannya tersebut pihak ketiga dikenakan kontribusi sejumlah uang yang besarnya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan.44 44 Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build, Operate, Transfer), (Solo: Genta Press, 2008), cet 6, h. 2. 33 C. Pihak yang Terlibat Dalam Build Operate Transfer Dalam perjanjian build, operate, and transfer terdapat beberapa pihak yang menjalani kerjasama. Para pihak yang mengadakan perjanjian ini antara lain:45 a. Pemilik Lahan Strategis Yang dimaksud sebagai “pemilik lahan strategis” adalah pihak yang menyediakan tanah beserta bangunannya atau tanahnya saja yang letaknya strategis pada jalur perekonomian ataupun yang letaknya sangat mungkin diambil manfaat ekonominya secara besar. Misalnya tanah beserta bangunan yang kemudian bangunan itu direnovasi untuk kemudian hasil bangunan barunya disewakan kepada orang lain, seperti halnya yang terjadi di wilayah Kebayoran baru, Jakarta Selatan. Lahan strategis itu tidak hanya diperuntukkan sebagai rumah sewaan ataupun cottage saja, tetapi ada pula yang diperuntukkan sebagai hotel, perkantoran ataupun kepentingan usaha lainnya, misalnya restoran. b. Pihak Pemilik Hak Ekslusif Dalam hal ini yang dimaksud sebagai “pihak pemilik hak ekslusif”, adalah suatu badan hukum pemerintah yang berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan memiliki hak untuk menjalankan suatu usaha tertentu, sebagai pelaksana Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. c. Pihak Kedua Yang dimaksud sebagai “pihak kedua” disini adalah investor yang menanamkan dananya untuk membangun proyek yang dibiayai dengan sistem BOT, yang dalam hal ini bisa perorangan, bisa suatu badan usaha di luar badan hukum, bisa suatu badan hukum yang menyediakan dana untuk membiayai objek perjanjian BOT. D. Asas dan Karakteristik Perjanjian Build Operate Transfer 1. Asas Perjanjian Build Operate Transfer Build, Operate, and Transfer memiliki asas-asas yaitu:46 45 Departemen Kehakiman RI, Laporan Akhir Pengkajian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1994), cet 1, h. 11. 46 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 9-10. 34 Asas kerja-sama yang saling menguntungkan, dimana pemilik lahan yang semula hanya memiliki lahan (atau beserta bangunannya) saja setelah adanya kerjasama dengan Perjanjian BOT pada suatu saat akan memiliki bangunan (atau bangunan yang lebih baik dari bangunan semula). Begitupula pihak Pemerintah yang semula hanya pemegang hak ekslusif saja yang bilamana akan mewujudkan fisik bangunannya tidak mempunyai dana yang cukup. Setelah adanya kerjasama dalam bentuk perjanjian BOT diharapkan akan memiliki fisik bangunan. Demikian pula bagi pihak investor dengan adanya kerjasama dalam perjanjian BOT akan mendapat suatu keuntungan dari pengelolaannya. Asas kepastian hukum, bahwa pada suatu saat investor akan mengembalikan bangunan beserta fasilitasnya yang melekat padanya (asset) kepada pihak pemilik lahan/ pemegang hak ekslusif. Asas musyawarah, jika timbul perselisihan antara pihak investor dengan pihak pemilik lahan/ pemegang hak ekslusif, baik saat membangun, mengoperasionalkan hasil bangunan serta hal-hal lainnya, mereka akan menyelesaikannya dengan cara mengadakan musyawarah. Apabila musyawarah tidak tercapai, maka penyelesaiannya pada keadilan putusan hakim. 35 2. Karakteristik Perjanjian Build Operate and Transfer Setiap proyek BOT mempunyai ciri pertimbangan khusus tersendiri, namun terdapat beberapa karateristik yang sama, diantaranya: a. Masa konstruksi, jika dibandingkan dengan pembangunan industri komersial lain, biasanya proyek BOT mempunyai masa konstruksi yang lebih lama, karena dikombinasikan dengan kebutuhan mengkapitalisasikan modal sampai penyempurnaan hasil dengan biaya tinggi; b. Hasil akhir, biasanya mempunyai masa guna yang relatif lebih panjang yang pada umumnya adalah 30 tahun; c. Proyek yang telah jadi, umumnya hanya membutuhkan biaya pemeliharaan dan operasi yang rendah; d. Perlindungan investor terhadap resiko proyek sangat riskan, tetapi proyek BOT merupakan suatu proyek konstruksi beresiko tinggi diikuti oleh suatu proyek pengguna dengan resiko rendah. E. Keadaan Paksa dalam Build Operate Transfer Berdasarkan naskah akademis peraturan perundang-undangan tentang perjanjian BOT, keadaan paksa adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan salah satu atau kedua pihak tidak dapat melaksanakan perjanjian sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya.47 Jika perjanjian diakhiri, baik secara sepihak atau secara bersama sebagai akibat adanya keadaan paksa, maka salah satu pihak tidak dapat menuntut pihak lainnya untuk melaksanakan kewajiban dan sebaliknya, tidak harus pula melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap pihak lainnya. 47 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 18. 36 Apabila suatu pihak mengakhiri perjanjian secara sepihak, pihak yang mengakhiri itu pada umumnya dibebani dengan kewajiban tertentu, misalnya dengan mengganti kerugian yang diderita oleh pihak lainnya. Kerugian itu dapat meliputi kerugian karena biaya-biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan. Dalam hal-hal tertentu, kerugian itu dapat pula meliputi kerugian karena keuntungan yang diharapkan akan diperoleh yang namun tidak jadi diperoleh karena perjanjian diakhiri secara sepihak. Ketentuan umum bagi pengakhiran secara sepihak di atas tidak berlaku bagi keadaan paksa. Menurut undang-undang, keadaan paksa akan menyebabkan perjanjian batal demi hukum. Ini berarti bahwa segala kerugian menjadi resiko yang ditanggung masing-masing pihak. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, perjanjian BOT dapat pula, meski tidak harus, memuat ketentuan mengenai keadaan paksa ini. Kalaupun keadaan paksa ini tidak dimuat dalam perjanjian, maka pihak yang mengakhiri (apabila secara sepihak, dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan). Namun, dari segi kepastian hukum, lebih baik ketentuan ini dimuat dalam perjanjian. Pemuatan klausul mengenai keadaan-paksa mempunyai keuntungan-keuntungan:48 a. Para pihak dapat mengatur sendiri keadaan-keadaan apa yang dapat dianggap sebagai keadaan paksa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi konkrit para pihak. Sebagaimana diketahui, setiap perjanjian 48 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 19. 37 mempunyai sifat-sifat dan situasi-situasi khas yang mungkin tidak ada dalam perjanjian lain yang serupa. Klausul yang diatur dapat saja lebih luas, namun tidak boleh lebih sempit, daripada apa yang ditentukan dalam undang-undang dan kebiasaan yang berlaku. b. Para pihak dapat segera menyelesaikan persoalan yang timbul dari pengakhiran perjanjian, baik secara sepihak maupun bersama, karena tidak harus mengikutsertakan peran pengadilan. Para pihak telah mengetahui posisi para pihak dengan pasti. Penyelesaian secara musyawarah ini menguntungkan karena : a) Salah satu pihak tidak harus mengeluarkan biaya perkara yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini akan terasa memberatkan, khususnya bagi pihak pemilik yang secara finansial kurang begitu kuat dibandingkan pihak lainnya. b) Hubungan baik antara para pihak masih dapat terpelihara, sehingga apabila keadaan paksa itu telah berlalu dan para pihak masih ingin melanjutkan perjanjian, maka hal itu akan lebih mudah dilaksanakan. Penyelesaian melalui pengadilan sering menimbulkan suasana tidak enak antara para pihak, sehingga di kemudian hari akan lebih sulit untuk memulai ataupun meneruskan kembali perjanjian. Keadaan paksa dapat terjadi karena berbagai hal. Tidak setiap keadaan atau kejadian dapat menimbulkan keadaan paksa. Menurut ICC Standart Clause, keadaan atau kejadian yang dapat dianggap sebagai keadaan paksa harus memenuhi syarat-syarat secara kumulatif sebagai berikut:49 a. Kejadian itu disebabkan oleh sesuatu yang berada di luar kekuasaan salah satu ataupun para pihak. Kejadian itu dapat menimbulkan antara lain : 1) Perang, aksi perbudakan atau pembakaran yang disebabkan oleh kekacauan atau huru-hara umum, sabotase; 2) Bencana alam, seperti banjir, letusan gunung, disambar petir, wabah penyakit atau yang sejenisnya; 3) Kebakaran, ledakan bahan berbahaya, kerusakan mesin atau pabrik dan semacamnya; 4) Aksi mogok atau boikot; 5) Keluarnya peraturan oleh pemerintah yang mengakibatkan isi perjanjian menjadi sesuatu yang melanggar hukum, misalnya ada larangan 49 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 19. 38 membangun di suatu wilayah tertentu, sedangkan isi perjanjian ada mengenai pengoperasian suatu bangunan di wilayah yang belum ada larangan membangun. b. Kejadian itu atau akibat-akibat dari kejadian itu tidak mungkin diketahui sebelumnya pada waktu perjanjian dibuat; dan c. Kejadian itu atau akibat-akibat dari kejadian itu tidak dapat dihindari. Pihak yang terpaksa mengakhiri perjanjian karena adanya keadaanpaksa wajib memberitahukan mengenai hal itu kepada pihak lainnya mengenai halangan yang menyebabkan ia tidak dapat menerusakan perjanjian. Melalui pemberitahuan itu ia tidak dapat meneruskan perjanjian. Melalui pemberitahuan itu ia menyampaikan keinginannya untuk entah mengakhiri perjanjian seluruhnya ataupun untuk sementara saja, tergantung dari jenis keadaan paksa yang ada. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku jika keadaanpaksa itu kemudian berakhir, jika perjanjian hanya diakhiri secara sementara.50 Pembebasan dari kewajiban biasanya berlaku segera setelah pemberitahuan dilakukan secara layak. Kelalaian pemberitahuan akan mengakibatkan pihak yang mengakhiri akan tetap menanggung kerugian yang terjadi sampai pada saat pemberitahuan dilakukan secara layak, karena jika pemberitahuan telah dilakukan lebih dahulu, maka pihak yang lain itu mungkin tidak akan melakukan suatu kegiatan yang mengeluarkan biaya yang 50 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 20. 39 sebenarnya tidak perlu dikeluarkan apabila ia telah mendapat pemberitahuan sebelumnya mengenai keadaan paksa yang terjadi. Di dalam perjanjian diatur apakah pengakhiran karena keadaan paksa itu akan meniadakan seluruh hak dan kewajiban para pihak. Para pihak dapat pula memperjanjikan bahwa hal-hal tertentu yang akan masih tetap menjadi hak dan kewajiban para pihak sepanjang hal itu dianggap perlu, seperti misalnya pembayaran bunga pinjaman. Para pihak dapat pula memperjanjikan bahwa keadaan paksa itu hanya bersifat menunda perjanjian untuk sementara waktu sampai keadaan paksa berakhir. Penentuan mengenai waktu sementara itu tergantung pada kemampuan dari pihak yang terpaksa menunda perjanjian itu untuk memulai kembali syarat-syarat dalam perjanjian serta keinginan dan minat pihak lainnya untuk menerima keadaan penundaan sementara. Lamanya waktu sementara itu perlu pula diatur oleh para pihak. Jika waktu sementara itu dilampaui, maka perjanjian dapat diakhiri tanpa hak menuntut agar perjanjian tetap diteruskan. Apa yang telah diterima oleh masing-masing pihak sebelum perjanjian diakhiri tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.51 Masing-masing pihak dibebaskan dari kewajiban atau pelaksanaan kewajiban berdasarkan perjanjian build, operate, and transfer ini yang disebabkan oleh keadaan atau kejadian atau lain-lain hal yang berada di luar 51 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 20. 40 kewajiban para pihak, seperti misalnya secara mendadak dan tidak terduga terjadi kebakaran, bencana alam, perang, huru-hara, terjangkit penyakit edemi/ wabah, atau adanya peraturan pemerintah yang secara langsung berkaitan atau mempengaruhi pelaksanaan perjanjian BOT, atau adanya kebijakan Pemerintah karena untuk kepentingan umum tanah tersebut terkena proyek Pemerintah atau proyek yang disetujui Pemerintah atau karena terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang tidak dapat dihindari oleh pihak kesatu, tanah dan turutannya tersebut tidak bisa dikuasai dan dimiliki lagi oleh pihak kesatu, atau seandainya ada pelebaran jalan, sehingga pelaksanaan perjanjian BOT tidak dapat diteruskan, maka hal itu diluar kesalahan dan tanggung jawab dari pihak kesatu. Demikian pula segala kerugian yang timbul menjadi risiko dan tanggung jawab oleh masing-masing pihak, sama-sama tidak menuntut yang satu terhadap yang lain. Apabila pekerjaan dari perjanjian BOT tersebut akan dilakukan, maka perlu diadakan negosiasi jadwal pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang ada.52 52 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), cet 1, h. 21. BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Pendahuluan Dalam perjanjian terdapat kemungkinan-kemungkinan terjadinya wanprestasi yang dapat menimbulkan akibat hukum, misalnya digugatnya salah satu pihak di Pengadilan, pemutusan perjanjian, ganti kerugian atas wanprestasi dan lain sebagainya. Wanprestasinya salah satu pihak terjadi misalnya karena salah satu pihak tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan menurut waktu yang telah ditentukan. Padahal jelas sebelum perjanjian ditanda-tangani para pihak telah setuju dengan hal-hal apa saja yang akan menjadi kewajibannya. Hal ini menyebabkan pihak yang merasa dirugikan akan meminta pembatalan terhadap perjanjian. Sedangkan apabila terjadi wanprestasi dari pihak yang memborongkan atau debitur, biasanya dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Apabila kemudian tidak ditemui kata sepakat, maka pihak pemborong akan mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri. Seperti terdapat dalam ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian. Pasal 1266 KUH Perdata berbunyi : “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” 41 42 Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban ini dinyatakan dalam perjanjian. Sehingga dapat dimintakan pertimbangan majelis hakim mengenai sengketa yang terjadi. Tetapi sebelumnya haruslah dilakukan somasi, seperti yang dijelaskan di dalam AV (Algemene Voorwaarden in Indonesia), dikatakan bahwa pihak yang memborongkan terlebih dahulu memberikan teguran atau penagihan agar pihak yang wanprestasi memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam jangka waktu yang telah diberikan. Mengenai tata cara pengajuan perselisihan kepada Pengadilan Negeri tunduk pada Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia sebagai yang tercantum dalam Reglement Indonesia yang diperbarui (HIR Stbl. 1941 No. 44). Dalam penyelesaian perselisihan perkara perdata, terdapat pihak penggugat dan pihak tergugat. Surat gugatan yang sudah ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal tergugat. Bahwa terhadap permasalahan tersebut penulis membahas kasus wanprestasi dalam perjanjian build, operate, transfer yang terjadi antara PT Bank Rakyat Indonesia, Dana Pensiun BRI dan PT Mulia Persada Pacific dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 30 Desember 2010. 43 B. Posisi Kasus Para Penggugat adalah PT Bank Rakyat Indonesia (PT BRI) (PERSERO) Tbk. Sebagai Penggugat I dan Dana Pensiun BRI (DP BRI) sebagai Penggugat II. Sedangkan Tergugat adalah PT Mulia Persada Pacific (PT MPPC). Pada Tanggal 11 April 1990 telah diadakan Perjanjian BOT (Build, Operate, Transfer) antara Penggugat I dengan Penggugat II, dimana Penggugat I memberikan hak penuh kepada Penggugat II untuk menguasai dan melakukan pembangunan gedung BRI II di atas tanah Penggugat I untuk kepentingan Penggugat I atas biaya Penggugat II yang selanjutnya akan dikelola secara komersil oleh Penggugat II. Bahwa pada tanggal 11 April 1990 telah diadakan perjanjian BOT antara Tergugat Nomor 58 yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Adendum Perjanjian No. 72 tanggal 24 Mei 1991 dengan Penggugat II. Dimana Penggugat II memberi mengalihkan semua hak yang diperoleh dari Penggugat I kepada Tergugat dalam mengembangkan (membangun) tanah tersebut. Bahwa Penggugat II dan Tergugat bermaksud untuk atas nama Penggugat I mengembangkan tanah tersebut dengan membangun bangunan perkantoran berikut fasilitas-fasilitas pendukung lainnya (Gedung BRI II) untuk dikelola secara komersil atas biaya Tergugat yang selanjutnya akan dikelola secara komersil oleh Tergugat. 44 Pada Tanggal 11 April 1990 telah diadakan perjanjian BOT Nomor 62 antara Tergugat yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Addendum Perjanjian No.73 tanggal 24 Mei 1991 dengan Penggugat II. Dimana Penggugat II mewajibkan Tergugat untuk membangun gedung parkir dan gedung perkantoran kedua (gedung BRI III) berikut fasilitas-fasilitas pendukungnya untuk dikelola secara komersil. Dalam Akta Perjanjian Nomor 58 jo. Addendum Perjanjian Nomor 72 diatur dan disepakati kewajiban yang harus dipenuhi oleh Tergugat antara lain: a. Pembangunan gedung BRI II sekurang-kurangnya berlantai 27 termasuk banking hall berikut fasilitas-fasilitas pendukung lainnya serta gedung parkir penunjangnya minimal sebesar ± 99.000 M² (Pasal 1.9); b. Jangka waktu pengelolaan 30 tahun (Pasal 1. 16); c. Pembangunan gedung BRI III yaitu bangunan komersil yang wajib dibangun oleh Tergugat untuk Penggugat II di atas sebagian blok A, sebagian blok B, sebagian blok C dengan lantai/ tinggi dan luas minimal sama dengan gedung BRI II dalam jangka waktu pengelolaan gedung BRI II tetapi tidak lebih dari tahun 1995, kecuali apabila Penggugat II belum berhasil membebaskan blok C (Pasal 1. 11); d. Membangun gedung parkir di atas blok A seluas 27.000 M² dengan 230 sticker khusus untuk BRI; 45 e. Wajib memperbaiki sarana-sarana lingkungan, landscaping, pemagaran, sarana penunjang seperti sewage treatment plan terutama di blok B (Pasal 3. 10); f. Melaksanakan renovasi lobi gedung BRI I sehingga tampak sepadan dengan gedung BRI II dan lift loby lantai III gedung BRI I yang terletak di atas blok D, serta membuat connecting bridge antara BRI I dan gedung parkir. Biaya untuk renovasi dan pembuatan connecting bridge tersebut sekurang-kurangnya Rp 2 milyar akan ditanggung Tergugat (Pasal 3. 17); g. Menyediakan ruangan dan fasilitas untuk shower sejumlah 50 buah di lantai 3, gedung parkir untuk keperluan Penggugat II dan kantin yang merupakan fasilitas umum gedung dan dapat dipergunakan oleh seluruh penghuni komplek (Pasal 3. 18); h. Menyediakan ruangan seluas 500 M² yang merupakan 1 blok area pada lantai 3 atau lantai 1 gedung parkir sebagai ganti ruang-ruang gedung Annex tanpa mengenakan biaya apapun (Pasal 3. 19); i. Menyediakan lantai atas gedung parkir yang layak untuk dipergunakan oleh Penggugat II (tanpa dikenakan biaya apapun) sebagai tempat upacara setiap upacara-upacara resmi seperti upacara bendera, peringatan hari-hari besar dan lain-lain serta kesegaran jasmani, bela diri (Pasal 3. 20); j. Memberi ijin kepada Penggugat II atau anak perusahaannya untuk menggunakan lantai atas gedung parkir (tanpa dikenai biaya apapun) 46 sebagai tempat olah raga volley, badminton, tenis meja dengan memperhatikan kelancaran operasional gedung dan keselamatan lingkungan dan semua sarana (alat-alat) merupakan tanggungjawab Penggugat II (Pasal 3.20); k. Apabila gedung BRI III telah selesai dibangun, maka kapasitas parkir kompleks tersebut harus ditingkatkan sehingga keseluruhannya dapat menampung 2400 mobil (Pasal 3.13); Terhadap perjanjian tersebut, kewajiban yang telah dilaksanakan oleh Tergugat (PT Mulia Persada Pacific) adalah sebagai berikut: a. Tergugat telah membangun gedung perkantoran komersil untuk DP BRI di atas blok B (Gedung BRI II), berlantai 27 dan fasilitas pendukungnya dengan luas kotor gedung serta gedung parkir minimal 99.000 M²; b. Tergugat telah membangun gedung parkir untuk Penggugat II di atas blok A yang akan digunakan sebagai tempat parkir dimana Penggugat II mendapat 230 sticker bebas parkir; c. Tergugat hingga tahun 2009 telah melaksanakan pembayaran tahunan sehubungan dengan pengelolaan gedung BRI II kepada DP BRI sebesar US$ 1,250,000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu USD). Terhadap perjanjian yang telah disepakati pihak PT Mulia Persada Pacific tidak melaksanakan sebagian perjanjian dari hal yang telah diperjanjikan antara lain sebagai berikut: 47 a. Tidak menyediakan ruangan dan fasilitas untuk shower sejumlah 50 (lima puluh) di lantai III gedung parkir untuk keperluan Penggugat II dan kantin yang merupakan fasilitas umum gedung dan dapat dipergunakan oleh seluruh penghuni kompleks (Pasal 3. 18); b. Tidak menyediakan ruangan seluas 500 M² yang merupakan satu blok area pada lantai II atau lantai 1 gedung parkir untuk keperluan Penggugat II sebagai ganti ruang-ruang di gedung Annnex tanpa mengenakan biaya apapun kepada Penggugat II (Pasal 3. 19); c. Tidak menyediakan lantai atas gedung parkir yang layak digunakan oleh perusahaan untuk tempat upacara, senam kesegaran jasmani, bela diri, tempat olah raga volley, badminton, tennis meja (Pasal 3.20); d. Tidak melakukan pemagaran sepenuhnya yaitu antara tanah milik Penggugat I/ Penggugat II yang berbatasan dengan fasilitas umum/ tanah milik GKBI yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman Kav. 44-46 Jakarta (Pasal 3. 10). Bahwa kemudian selain dari perjanjian Nomor 58 Jo Addendum perjanjian Nomor 72. Pihak Dana Pensiun Bank Rakyat Indonesia juga membuat perjanjian lagi dengan Tergugat (PT Mulia). Perjanjian tersebut adalah perjanjian Nomor 62 Jo. Addendum Perjanjian Nomor 73. Sesuai dengan perjanjian No. 62 Jo. Addendum Perjanjian No. 73 isinya antara lain yaitu: 48 a. Tergugat wajib mulai membangun gedung BRI III di atas sebagian blok A, sebagian blok B, dan blok C dengan lantai/ tinggi dan luas minimal sama dengan gedung BRI II dalam jangka waktu pengelolaan gedung BRI II tetapi tidak lebih dari tahun 1995 (Pasal 1. 10); b. Tergugat wajib membangun gedung parkir di atas blok A dengan kapasitas sekurang-kurangnya 1.300 mobil yang harus selesai selambatlambatnya dengan selesainya pembangunan gedung BRI II (Pasal 3.1); c. Jangka waktu perjanjian 30 tahun (Pasal 1. 18); d. Tergugat wajib untuk mengelola, mengurus, memelihara, dan merawat gedung parkir dan gedung BRI II atas biayanya sendiri dan agar pada akhir jangka waktu pengelolaan gedung parkir dan gedung BRI III (Pasal 3.6): 1) Gedung parkir dan gedung BRI III diserahkan kepada Penggugat II dalam keadaan terawat baik, lengkap dan layak untuk dioperasikan sebagai gedung parkir dan perkantoran komersil; 2) Fasilitas-fasilitas umum yang ada dalam keadaan berjalan dan berfungsi dengan baik. e. Dalam jangka waktu pengelolaan gedung BRI III, tergugat wajib membayar kepada Penggugat II suatu pembayaran tahunan sebesar US$ 1,250,000 (Pasal 3. 10); 49 f. Tergugat wajib memperbaiki sarana-sarana lingkungan, landscaping, pemagaran, sarana penunjang seperti sewage treatment, terutama di atas blok A dan blok C. Bahwa kewajiban PT.Mulia Persada Pacific yang telah diatur dan disepakati oleh para pihak yaitu membangun gedung parkir dan gedung perkantoran kedua (Gedung BRI III) yang dituangkan dalam akta Perjanjian Nomor 62 Jo. Addendum Perjanjian Nomor 73, diketahui sama sekali tidak dilaksanakan pembangunan Gedung BRI III sekalipun Penggugat II telah berkali-kali memberi peringatan/ melakukan penagihan pembangunan gedung BRI III. Dengan tidak dilaksanakannya sebagian perjanjian No 58 jo Addendum No. 72 dan tidak dilaksanakan hampir seluruh perjanjian No 62 Jo Addendum No 73 antara PT BRI dan DP BRI dengan PT Mulia Persada Pacific. Kemudian Para Penggugat (PT BRI dan DP BRI) mengajukan gugatan yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibawah register No.157/PDT.G/2010/PN.JKT.PST tanggal 9 April 2010. Dimana dalam petitum gugatannya Para Penggugat mengajukan beberapa hal yaitu: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Tergugat telah melakukan (wanprestasi) yang merugikan para Penggugat; perbuatan ingkar janji 50 3. Menyatakan Perjanjian Nomor 58 tanggal 11 April 1990 dan Addendum Perjanjian Nomor 72 tanggal 24 Mei 1991 yang berhubungan dengan Gedung BRI II berakhir karena terjadinya wanprestasi terhitung sejak tanggal didaftarkannya gugatan ini; 4. Menyatakan Perjanjian Nomor 62 tanggal 11 April 1990 dan Addendum Perjanjian Nomor 73 tanggal 24 Mei 1991 yang berhubungan dengan gedung BRI III berakhir karena terjadinya wanprestasi terhitung sejak tanggal didaftarkannya gugatan ini; 5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan Gedung BRI II, Gedung Parkir dengan seluruh fasilitas yang ada beserta hak pengelolaannya kepada Penggugat I melalui Penggugat II; 6. Menetapkan uang paka (dwangsom) sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) per hari untuk setiap hari Tergugat lalai melaksanakan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam angka 5 di atas; 7. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi berupa pembayaran tahunan sewa Gedung BRI III yang seharusnya sudah diterima Penggugat II sejak tahun 1998 kepada Penggugat II sebesar Rp 347.801.350.125; (tiga ratus empat puluh tujuh milyar delapan ratus satu juta tiga ratus lima puluh ribu seratus dua puluh lima rupiah); 8. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat II kehilangan nilai Gedung BRI III yang pada tahun 2010 sejumlah RP 51 887.040.000.000 (delapan ratus delapan puluh tujuh milyar empat puluh juta rupiah); 9. Menghukum Tergugat untuk membayar bunga sebesar Rp 6,5 % per tahun (Suku Bunga Acuan Penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan) dikalikan dengan jumlah ganti rugi yang harus dibayarnya kepada Penggugat I/ Penggugat II; 10. Menyatakan sita jaminan sah dan berharga; 11. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada upaya verstek, banding dan kasasi (uit voorbaar bij voorraad); 12. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara. C. Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat I (PT BRI) dan Penggugat II (DP BRI) melawan Tergugat (PT Mulia Persada Pacific) Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam pertimbangannya menyatakan: 1. Penggugat dalam petitum gugatannya yang menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi). Majelis hakim menimbang bahwa seseorang dapat dinyatakan wanprestasi apabila: a. Tidak memenuhi prestasi; b. Terlambat memenuhi prestasi; c. Memenuhi prestasi secara tidak baik; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 52 2. Majelis Hakim menimbang berdasarkan berdasarkan surat-surat bukti yang diajukan Penggugat I dan Penggugat II. Menimbang telah diberikannya peringatan kepada Tergugat akan kerugian berupa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan fasilitas oleh Penggugat II. Majelis Hakim juga melakukan pemeriksaan setempat dan diakui oleh kedua belah pihak bahwa fasilitas yang telah dibangun dengan biaya sendiri oleh Penggugat I danPenggugat II, Tergugat hanya membantu biaya amdal sebesar 50%. Terkait penambahan lantai gedung parkir berkenaan dengan kewajiban Tergugat yang diatur dalam Pasal 3. 13, dimana apabila Gedung BRI III telah selesai dibangun maka kapasitas parkir harus ditingkatkan. Tergugat terlebih dahulu mengerjakan penambahan lantai gedung parkir tanpa meminta persetujuan dari Penggugat I dan Penggugat II untuk menambah jumlah lantai pada fasilitas parkir tanpa membangun Gedung BRI III. Selanjutnya karena penambahan gedung parkir, Tergugat memberitahukan melalui surat bahwa fasilitas tidak cocok disediakan pada gedung parkir dan menawarkan kepada Penggugat II untuk memakai lahan kosong di belakang BRI I dan Penggugat II meminta agar lahan yang ditawarkan tersebut dikeluarkan dari perjanjian BOT untuk dibangun tempat upacara dan sarana olahraga. Majelis Hakim juga mempertimbangkan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain 53 dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 3. Majelis Hakim menimbang berdasarkan pendapat saksi ahli bernama Frans Hendra Winarta, S.H.,M.H. yang berpendapat bahwa surat menyurat antara para pihak tentang suatu klausul perjanjian adalah suatu komunikasi yang menuju kepada kesepakatan yang harus dituangkan dalam suatu addendum perjanjian yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak, hal ini sama sekali tidak dilakukan oleh Tergugat. Sehingga menurut Majelis Hakim Tergugat telah melakukan ingkar janji/ wanprestasi. 4. Pertimbangan Majelis Hakim terhadap wanprestasi Pasal 3. 10 dengan cara melakukan pemeriksaan di lapangan terhadap pagar tersebut. Menurut penilaian Majelis Hakim tidak terdapat batas pemagaran yang tegas yaitu sebagian masih terbuka tanpa pagar sama sekali dan sebagian lagi masih buka tutup dengan pagar besi sederhana, Sedangkan Penggugat I dan Penggugat II menghendaki pemagaran yang tegas. Sehingga Majelis Hakim menilai terdapat wanprestasi. 5. Petitum gugatan Penggugat yang menyatakan Perjanjian Nomor 58 tanggal 11 April 1990 dan Addendum Perjanjian Nomor 72 tanggal 24 Mei 1991 berakhir. Majelis Hakim mempertimbangkan Pasal 1267 KUH Perdata yang menyatakan: 54 “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”. 6. Petitum gugatan yang menyatakan Perjanjian Nomor 62 tanggal 11 April 1990 dan Addendum Perjanjian Nomor 73 tanggal 24 Mei 1991 berakhir. Majelis Hakim menimbang berdasarkan surat-surat bukti mengenai peringatan Penggugat I dan Penggugat II pada tahun 1994 pada Tergugat. Selanjutnya mempertimbangkan kesanggupan Penggugat untuk membangun gedung BRI III pada 28 Juni 1994 dan ingin menambah menjadi 34 lantai berdasarkan SK Gubernur No. 678 Tahun 1994. Sehingga menurut Majelis Hakim tidak ada persoalan oleh Tergugat untuk dapat membangunnya dan tenggang waktu antara kewajiban untuk membangun BRI III oleh Tergugat ditetapkan tidak lebih dari tahun 1995. Ternyata Tergugat tidak pernah mengajukan izin untuk pembangunan BRI III ke Dinas Tata Kota DKI Jakarta. 7. Menimbang, surat permohonan untuk mendirikan BRI III yang diajukan Tergugat kepada Dinas Tata Kota DKI Jakarta tanggal 17 Maret 2008 dan Surat Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta tanggal 09 Mei 2008, tentang penjelasan permohonan izin yang dapat diberikan hanyalah 10 (sepuluh) lantai, hal ini dijadikan dasar keadaan kahar oleh Tergugat. Terhadap 55 alasan ini Majelis Hakim tidak dapat menerimanya karena keadaan kahar tersebut hanya ada pada saat kewajiban itu terbit terhadap BRI III sampai akhir tahun 1995. Surat sebagaimana dasar rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta didasarkan kepada Perda No. 6 Tahun 1999. 8. Menimbang pendapat ahli yang dihadirkan oleh Tergugat bernama Frans Hendra Winata, S.H.,M.H. memberikan pendapat bahwa jika seseorang belum pernah mencoba melaksanakan isi perjanjian/ kesepakatan, namun kemudian menyatakan bahwa tidak dilaksanakan perjanjian tersebut karena adanya keadaan memaksa (adanya peraturan publik), hal ini tidak dapat dibenarkan oleh karena ada atau tidak adanya kahar/ keadaan memaksa harus dilaksanakan terlebih dahulu isi perjanjian tersebut baru bisa diterima secara hukum ada atau tidaknya keadaan kahar/ keadaan memaksa. Sebagaimana dipertimbangkan diatas Tergugat sampai batas akhir tahun 1995 sama sekali tidak melakukan pengurusan perizinan kepada Dinas Tata Kota DKI Jakarta. D. Amar Putusan Majelis Hakim Berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengadili dan memutus dalam pokok perkara: 1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian; 56 2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan Ingkar Janji (Wanprestasi) yang merugikan para Penggugat; 3. Menyatakan Perjanjian No. 58 tanggal 11 April 1990 dan Addendum Perjanjian No. 72 tanggal 24 Mei 1991 yang berhubungan dengan Gedung BRI II berakhir karena terjadinya wanprestasi terhitung sejak didaftarkannya gugatan ini; 4. Menyatakan Perjanjian No. 62 tanggal 11 April 1990 dan Addendum Perjanjian No. 73 tanggal 24 Mei 1991, yang berhubungan dengan Gedung BRI III berakhir. Karena terjadinya wanprestasi terhitung sejak didafarkannya gugatan ini; 5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan Gedung BRI II, Gedung parkir dengan seluruh fasilitas yang ada beserta hak pengelolaannya kepada Penggugat I melalui Penggugat II; 6. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi berupa pembayaran tahunan sewa gedung BRI III yang harusnya sudah dapat diterima Penggugat II sejak tahun 1998 kepada Penggugat II sebesar RP 347.801.350.125; (tiga ratus empat puluh tujuh milyar delapan ratus satu juta tiga ratus lima puluh ribu seratus dua puluh lima rupiah); 7. Menolak Gugatan para Penggugat untuk selain dan selebihnya. 57 E. Analisa Wanprestasi Perjanjian Build Operate Transfer Setelah mempelajari kasus di atas, maka penulis mencoba untuk menganalisis pertimbangan Majelis Hakim dalam membuat putusan dengan menghubungkan kasus tersebut dengan teori yang ada. Mengenai wanprestasi, pada pertimbangannya tampak Majelis Hakim menggunakan bukti-bukti, keterangan saksi yang diajukan dalam persidangan dan melakukan pemeriksaan setempat. Terbukti dalam persidangan Tergugat lebih dahulu menambah luas Gedung Parkir tanpa dilaksanakannya klausul utama atas pembangunan Gedung BRI III sesuai klausul perjanjian nomor 58 jo. addendum perjanjian nomor 72 poin k. Karena hal tersebut pelaksanaan untuk klausul perjanjian poin g, h, i, dan j menjadi terganggu. Kemudian Tergugat dengan mengirimkan surat meminta perubahan lokasi pembangunan fasilitas pada gedung parkir pada Penggugat II karena dengan ditambahnya luas gedung parkir tidak dimungkinkan untuk dibangunnya fasilitas pada area tersebut. Meskipun Penggugat II menyetujui hal ini, tetapi tidak dilakukannya addendum terhadap perjanjian sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati melalui surat. Sehingga Majelis Hakim menilai hal ini hanya sebuah komunikasi yang menuju pada kesepakatan yang mengikat. Komunikasi seperti ini belum memiliki kekuatan yang mengikat karena belum dibuatnya akta perjanjian baru dan perjanjian no. 58 jo. addendum perjanjian nomor 72 masih berlaku. 58 Sesuai Pasal 1338 KUH Perdata semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga mengacu pada teori Prof. Subekti S.H, terhadap item pekerjaan ini, masuk dalam kategori tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Sedangkan untuk item pekerjaan membangun pagar pembatas, PT Mulia Persada Pacific tidak melakukan pemagaran sepenuhnya yaitu antara tanah milik Penggugat I/ Penggugat II yang berbatasan dengan fasilitas umum/ tanah milik GKBI yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman Kav. 44-46 Jakarta. Dengan demikian berdasarkan teori Prof. Subekti S.H, pihak Tergugat yaitu PT Mulia Persada Pacific, masuk dalam kategori wanprestasi melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya. Menurut penulis mengenai tidak dilakukannya pemagaran secara tegas, padahal hal tersebut terdapat dalam klausul perjanjian dan telah disepakati oleh para pihak sehingga tidak terdapat alasan untuk melakukan prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Sedangkan untuk pembangunan Gedung BRI III, PT Mulia Persada Pacific tidak membangunnya sehingga dapat dikatakan bahwa PT Mulia Persada Pacific telah wanprestasi dengan tidak melakukan prestasi sama 59 sekali. Seharusnya apabila mengacu pada perjanjian BOT yang telah disepakati antara para pihak, perjanjian yang telah disepakati merupakan undang-undang bagi para pihak yang melakukan perikatan. Dalam kasus ini penulis tidak menemukan adanya keadaan kahar yang menjadi alasan bagi Tergugat (PT Mulia Persada Pacific), untuk tidak melaksanakan sama sekali pembangunan Gedung BRI III. Menurut pengertiannya, keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya. Peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.53 Seharusnya pembangunan BRI III bersamaan dengan pengelolaan BRI II pada tanggal 11 April 1992 dan tidak lebih dari akhir tahun 1995. Jelas pihak Tergugat telah mengetahui akan batas akhir pelaksanaan prestasinya, tetapi terhadap pembangunan Gedung BRI III Tergugat sama sekali tidak mengajukan izin untuk membangun pada Dinas Tata Kota DKI Jakarta seperti pengelolaan Gedung BRI II. Padahal sebelum tahun 1998 masih berlaku SK Gubernur Nomor: 678 Tahun 1994 yang masih mengijinkan pembangunan Gedung BRI III. Mengacu pada asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak 53 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, (Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), h. 91 60 berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Diketahui PT Mulia Persada Pacific dengan sadar tidak mengurus perizinan sehingga saat peraturan berubah, menjadi halangan untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan perjanjian. Perjanjian (aqad) tidak hanya terdapat dalam hukum positif tetapi juga dalam hukum Islam. Islam melihat suatu perjanjian tidak sebatas hubungan keperdataan antara manusia, melainkan juga hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Dalam konsep hukum Islam sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Maidah 1: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad54 itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. Prinsip pada hukum Islam suatu perjanjian (aqad) harus didasarkan pada suatu hal yang halal (diperbolehkan dalam agama). Maka ketika suatu perjanjian telah disepakati, para pihak harus berlaku adil dan memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam hukum Islam, pelaku usaha dalam 54 Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. 61 melakukan kegiatannya tidak hanya mencari keuntungan duniawi semata, tetapi juga harus beritikad baik dalam melaksanakan kegiatannya dan didasarkan pada perintah Allah swt. Sehingga pelaksanaan suatu perjanjian dapat berjalan dengan baik. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Build Operate Transfer/ BOT dirumuskan dalam beberapa aturan diantaranya Laporan Akhir Pengkajian tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate and Transfer tahun 1994, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 248/KMK-04/1995, dan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-06/MBU/2011. 2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 157/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, menilai bahwa kesepakatan yang dibuat melalui surat untuk merubah klausul perjanjian belum mempunyai kekuatan mengikat. Hal tersebut sebatas komunikasi antara para pihak yang menuju pada kesepakatan. Sehingga majelis hakim menilai klausul perjanjian yang ada masih berlaku dan mengikat. 3. Pertimbangan majelis hakim menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 dan Pasal 1267, melakukan pemeriksaan setempat yang dihadiri pihak Penggugat dan Pihak Tergugat, memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan untuk mempertimbangkan apakah terjadi wanprestasi dan terdapat keadaan kahar dalam pelaksanaan perjanjian. 62 63 B. SARAN 1. Untuk kepastian hukum terhadap pelaksanaan perjanjian Build, Operate, Transfer penulis menyarankan agar Pemerintah dapat membuat suatu regulasi mengenai Build, Operate, Transfer yang tegas dan berlaku bagi semua pihak-pihak yang melakukan perjanjian Build, Operate, Transfer. 2. Pada suatu perikatan, apabila terdapat komunikasi yang menuju pada kesepakatan baru yang telah disepakati oleh para pihak. Kesepakatan baru harus segera dituangkan dalam bentuk addendum perjanjian. 3. Untuk terjaminnya pelaksaan perjanjian, kepada pihak debitur sesuai dengan asas itikad baik untuk segera melaksanakan prestasi yang terdapat pada perjanjian. DAFTAR PUSTAKA Kitab Suci: Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Kathoda, 2005 Buku-Buku: Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Cet 9. 2010. Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata, Jakarta: CV. Gitama Jaya. Cet 5. 2008. Departemen Kehakiman RI. Laporan Akhir Pengkajian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Cet 1. 1994. ----------. Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, and Transfer). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Cet 1. 1995. Gunawan, Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cet 3. 2003. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Cet 7. 2008. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Wijaya. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet 2. 2002. Nahrowi, Azharudin Lathif. Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. Cet 1. 2009. Pramono, Nindyo. Hukum Komersil. Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Cet 1. 2003. Prodjodikoro, R. Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung. Cet 2. 1981. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cet 14. 2007. S, Salim H. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. Cet 4. 2006. 64 65 Santoso, Budi. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build Operate Transfer). Solo: Genta Press. Cet 6 2008. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Cet 8. 1998. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Cet 11. 2009. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Cet 19. 2005. ----------. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.Cet 26. 2001. Sutrisno, Salim dan Budi. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Cet 3. 2012. Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana. Cet 1 2004. Wirana, Andjar Pachta. Penelitian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate and Transfers (BOT). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Cet 1. 1995. Yasir, Ahmad. dkk. Hukum Perikatan. Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Cet 1. 2011. Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor:PER-06/MBU/2011 Tentang Pendayagunaan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara Jurnal: Adha, Lalu Hadi. “Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan Pemerintah Dengan Pihak Swasta”, Jurnal Dinamika Hukum Volume 11 edisi No.3 (3 September 2011)