Perilaku Pencegahan Penyakit Menular Seksual di Kalangan

advertisement
Artikel Penelitian
Perilaku Pencegahan Penyakit Menular Seksual di
Kalangan Wanita Pekerja Seksual Langsung
Behavioral Prevention of Sexual Transmitted Disease among Direct Female
Sex Workers
Dewi Purnamawati
Program Studi Diploma IV Badan Pendidik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kharisma Karawang
Abstrak
Penyakit menular seksual, merupakan pandemi yang menimbulkan
dampak kesehatan, sosial, ekonomi dan politik. Pekerja seks berperan
penting dalam peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia, posisi tawar
wanita pekerja seksual langsung yang rendah dalam penggunaan kondom
dan perilaku berisiko membuat perluasan penyebaran kasus penyakit
menular seksual (infeksi menular seksual dan HIV/AIDS) semakin
meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam
perilaku wanita pekerja seksual langsung dalam pencegahan penyakit
menular seksual di Kabupaten Karawang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara mendalam. Informan adalah
wanita pekerja seksual langsung, mucikari dan tenaga kesehatan. Dari
hasil wawancara mendalam diketahui bahwa hampir semua wanita pekerja seksual langsung tidak mengetahui tentang penyakit menular seksual
dan pencegahannya, sebagian besar mereka melindungi diri dengan menggunakan jelli, meminum antibiotik, jamu sehat, atau mencuci alat kemaluan dengan daun sirih. Penggunaan kondom didasarkan kesepakatan dengan pelanggan. Diperlukan upaya promosi dan pendekatan yang lebih efektif, bukan hanya pada wanita pekerja seksual langsung tapi juga untuk para
pengguna jasa layanan seks.
Kata kunci: HIV/AIDS, infeksi menular seksual, wanita pekerja seksual
langsung
Abstract
Sexually Transmitted Disease (STD) is a pandemic impacting social, economic and political aspests of life. Sex workers play an important role in the
growth of AIDS cases in Indonesia, the low bargaining power of direct sex
workers in the use of condom and the risk behavior of sex workers increased cases of sexually transmitted infections (STIs), HIV and AIDS. This
study aimed to know district sex worker behavior to sexually transmitted disease behavior. Qualitative study design with in-depth interview techniques
were used in this study. The informants are direct female sexual workers,
514
pimps, and health providers. The results of in-depth interviews showed that
almost all direct sexual workers are not knowledgeable on STD such as HIV
and AIDS and how to prevent them. Most of them, protected themselves by
using jellies, antibiotics, herbal medicine, or washing their genital with
leaves of betel plant. Condom is used agreements with customers.
Promotions and more effective approach are needed, not only for the sex
workers but also for the users of sexual customers.
Keywords: HIV/AIDS, sexual transmitted infections, direct sex workers
Pendahuluan
Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir jumlah penderita mencapai lebih dari 60 juta orang dan sekitar 20
juta di antaranya meninggal. Tidak mengherankan apabila permasalahan HIV dan AIDS menjadi epidemi
hampir di 190 negara.1
HIV dan AIDS merupakan pandemi yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi dan politik.
Sampai akhir tahun 2007, diperkirakan orang dengan
dengan HIV dan AIDS (ODHA) di dunia berjumlah
sekitar 33 juta, sekitar 90 persen diantaranya bermukim
di negara berkembang. Di Indonesia, jumlah perempuan
yang terdeteksi dengan virus HIV diprediksikan akan
terus meningkat. Sampai akhir Juni 2005, tercatat 7.098
kasus HIV/AIDS (3.740 kasus HIV dan 3.358 kasus
Alamat Korespondensi: Dewi Purnamawati, Program Studi Diploma IV Bidan
Pendidik STIKes Kharisma, Jl. Pangkal Perjuangan Km. 1 By Pass Karawang
Barat, Hp. 081319400463, e-mail: [email protected]
Purnamawati, Perilaku Pencegahan Penyakit Menular Seksual
AIDS). Meskipun secara umum prevalensi HIV di
Indonesia tergolong rendah (kurang dari 0,1 persen),
sejak tahun 2000 Indonesia telah dikategorikan sebagai
negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung dengan prevalensi yang melampaui 5 persen di beberapa populasi tertentu.2
Pada tahun 2006, ditemukan sekitar 3,1 juta orang
pria di Indonesia yang berhubungan dengan 230.000
orang pelacur. Dari sekitar 8 juta pembeli jasa seks,
hanya 10% yang memakai kondom. Proporsi penggunaan kondom pada pembeli jasa seks yang kecil di
Indonesia akan meningkatkan risiko penularan infeksi
menular seksual (IMS), HIV, dan AIDS. Penelitian di
beberapa daerah di Indonesia menunjukkan tingkat
perilaku berisiko dan kasus IMS yang tinggi di kalangan
pekerja seks pria dan wanita.3
Salah satu daerah di Indonesia yang merupakan
kawasan endemik penyebaran HIV/AIDS adalah
Kabupaten Karawang dengan kasus HIV/AIDS yang
melonjak tajam. Selama empat bulan terakhir, paling
tidak sekitar 23 warga yang positif terjangkit HIV/AIDS.
Sekitar 86,95% dari jumlah tersebut merupakan kategori
positif HIV dan 13,05% adalah AIDS. Selama kurun
waktu 2009, HIV/AIDS mencapai 196 kasus, sehingga
laju peningkatan penyakit tersebut mencapai 10,5% dan
hingga akhir tahun 2010 tercatat 244 orang yang terinfeksi dengan HIV dan AIDS.4
Penelitian tentang penggunaan kondom pada wanita
pekerja seksual (WPS) di Bali menunjukkan sekitar
87,2% tidak selalu menggunakan kondom ketika menjajakan seks.5 Apabila upaya meningkatkan penggunaan
kondom pada kegiatan seks komersial gagal, penularan
terus berlangsung tidak hanya dari penjaja seks ke
pelanggan atau sebaliknya, tetapi juga meluas ke pasangan tetap suami yang menjadi pelanggan penjaja seks.
Hasil penelitian di Kabupaten Karawang selama ini
hanya menggambarkan data tentang kejadian IMS, HIV,
dan AIDS pada kelompok berisiko. Oleh sebab itu,
diperlukan penelitian kualitatif untuk memperoleh informasi mendalam tentang fakta dan penyebab perilaku
yang memicu, memungkinkan dan mendorong wanita
pekerja seksual langsung (WPSL) dalam pencegahan
penyakit menular seksual. Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan secara mendalam Perilaku WPSL
dalam pencegahan IMS, HIV, dan AIDS di Kabupaten
Karawang.
Metode
Penelitian yang dilakukan di pusat lokalisasi di
Kabupaten Karawang di wilayah kerja Puskesmas
Cikampek pada bulan oktober tahun 2011, menggunakan metode penelitian kualitatif dengan rancangan
studi kasus (case study). Data dikumpulkan dengan
melakukan wawancara mendalam terhadap informan
yang meliputi WPSL, tenaga kesehatan dan mucikari.
Wawancara mendalam dilakukan selama 1 _ 2 jam untuk
setiap informan. Jumlah informan yang diperlukan
adalah 18 orang yang terdiri dari 14 orang WPS, 2 mucikari WPS dan 2 orang tenaga kesehatan. Namun,
jumlah informan kunci dapat bertambah dan dapat dihentikan apabila tidak ditemukan lagi informasi tambahan. Keseluruhan analisis hasil wawancara, diringkas
dalam format yang dibuat menurut perspektif peneliti.
Pengolahan data dilakukan secara deskriptif isi (contents
analysis). Hasil wawancara dikelompokan dan dibuat
matriks, selanjutnya dilaporkan atau diverifikasi dan disajikan dalam gambaran deskriptif.
Hasil
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikampek,
Kabupaten Karawang dengan pertimbangan lokalisasi
yang berada di tempat yang strategis, kerena merupakan
jalur pantai utara yang banyak dilalui oleh komunitas
pengemudi truk sehingga hasil yang didapatkan diharapkan bervariasi. Lokalisasi berupa warung yang berada di
pinggiran jalan raya cikampek pantai utara. Warung
merupakan bangunan semi permanen yang terbuat dari
campuran bahan semen dan bilik. Warung yang cukup
gelap terdapat dua kamar tidur di dalam yang digunakan
oleh pemilik warung. Salah satu kamar biasa digunakan
oleh WPSL untuk melakukan transaksi seksual. Pelanggan memilih kamar tersebut karena tidak mampu
Gambar 1. Warung Tempat Lokalisasi
515
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni 2013
Tabel 1. Gambaran Sosiodemografi Informan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Informan
D
ID
IY
NI
DI
Y
IT
SA
SI
UW
W
R
AA
LI
NU
Usia
Pendidikan
36
36
41
31
45
40
43
41
23
30
25
28
35
27
37
SD
SD
DIII
SD
SMA
SD
SMP
SD
SD
SD
SMP
SD
-
Status Perkawinan Pendapatan
Menikah 2 kali
Menikah 6 kali
Menikah 2 kali
Menikah 2 kali
Menikah 1 kali
Menikah 2 kali
Menikah 2 kali
Menikah 3 kali
Menikah 3 kali
Menikah 1 kali
Menikah 2 kali
Menikah 1 kali
Menikah 1 kali
Menikah 1 kali
Menikah 1 kali
1-1,5 juta
400 ribu
800 ribu
1-1,5 juta
800 ribu
1-1,5 juta
600 ribu
300 ribu
2-3 juta
1-1,5 juta
1 jutaan
2-3 juta
1 juta
2-3 juta
2-3 juta
membayar sewa hotel (Gambar 1).
Wawancara mendalam dilakukan terhadap 15 informan dengan umur rata-rata 34,9 tahun, usia termuda 23
tahun dan usia tertua 45 tahun. Lebih dari setengah
informan berpendidikan SD, sisanya tersebar merata untuk pendidikan SMP dan SMA, hanya seorang yang berpendidikan Diploma III dan sisanya tidak pernah sekolah. Pendapatan rata-rata informan juga bervariasi mulai
dari 300 ribu rupiah sampai dengan 3 juta rupiah per bulan. Tergantung pada jumlah pelanggan yang dilayani
(Tabel 1).
Pekerjaan Informan
Sebagian informan terjun menjadi WPSL pertama
kali sekitar 3 bulan sampai 1 tahun yang lalu, sebagian
lagi memang sudah berprofesi sebagai WPSL lebih dari
1 tahun. Usia terjun juga bervariasi, ada yang dari usia remaja sudah menjadi WPSL ada yang sudah berusia 41
tahun baru menjadi WPSL.
“Mulai 16 tahun, ekonomi keluarga, bapak orang
susah, mamah orang susah. bapak stroke, ibu kencing
manis, rumah abis, anak masih kecil dari mana dapet
duit, mamah juga kebetulan kerjanya jablay juga.”
(WPSL, 23 tahun)
“Sejak 6 bulan yang lalu mba.. cerai dengan suami,
terus 2 bulan di rumah, anak kecil harus jajan, harus
apa, anak-anak mah gak tau pokoknya harus punya
uang.” (WPSL, 36 tahun)
Sebagian besar informan mengawali karier sebagai
WPSL karena cerai dengan suami, baik cerai hidup
maupun cerai mati. Sebagian kecil WPSL juga mengawali karier karena ada masalah dengan keluarga dan
pengguna narkoba, informan berpendidikan tinggi,
pernah bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) selama 14 tahun di salah satu departemen, tetapi karena
masalah keluarga (broken home), pergaulan bebas, kecanduan narkoba dan buronan polisi yang bersangkutan
516
menjadi WPSL.
Hampir seluruh informan mengatakan alasan terjun
ke dunia prostitusi karena ekonomi, walaupun pendorong awal bukan alasan ekonomi, tetapi pada akhirnya
adalah alasan ekonomi.
“Ya ekonomi lah Mba... kita kan juga butuh uang,
butuh biologis juga, ada kebutuhan macem-macem,
anak-anak mau makan apa, belum untuk bayar utang.”
(WPSL, 40 tahun)
Perasaan informan pertama kali terjun menjadi WPSL
juga bervariasi, ada yang mengatakan takut, risih, gemetar, sedih, tetapi ada juga yang mengatakan biasa saja.
Ketika ditanya tentang perasaan, sebagian kecil WPSL
sepertinya mengalami perasaan yang mendalam, hal ini
terlihat dari ekspresi wajah yang langsung murung
ketika ditanya perasaan, ada juga yang terlihat matanya
berkaca-kaca dan menuturkan perasaan dengan suara
yang berat, tetapi sebagian yang lain tampak biasa saja
bahkan ada yang menjawab sambil tertawa.
“Perasaan ya sedih, sampe segini-gininya, kalau
bapaknya gak mati ya gak blangsak-blangsak amat,
bapaknya dulu supir tronton terus kecelakaan.” (WPSL,
37 tahun)
”Perasaannya gimana ya, dulu waktu baru-baru
cuma pake tangan aja, diremes-remes, kan aman, soalnya dipanti pijat, terkejut, gak ya kan sudah janda,
mamah juga jablay.. ha..ha..ha.. jadi gak kaget” (WPSL,
23 tahun)
Hal senada juga disampaikan oleh informan
pendukung, WPSL tidak tahu harus bagaimana ketika
pertama kali datang ke warung dan menganggap bahwa
perkerjaan ini adalah takdir dari Tuhan.
Terkait dengan pelayanan yang mereka berikan,
hampir semua informan mengatakan jenis pelayanan
yang mereka berikan biasa-biasa saja. Kebanyakan informan menolak jika diminta untuk melakukan yang
macam-macam. Kebanyakan pelayanan tergantung dari
permintaan pelanggan, hal ini berbeda untuk “teman
akrab atau kenalan” (istilah yang digunakan untuk
pelanggan tetap) dengan “teman sepintas” (pelanggan
yang hanya datang sekali-sekali).
Pelayanan yang diberikan juga disesuaikan dengan
permintaan pelanggan. Ada yang hanya minta ditemani
minum saja, curhat karena bosan dengan istri, pijit, ada
yang hanya disuruh telanjang saja sampai dengan
berhubungan seksual. Informan biasanya menolak jika
diminta untuk melakukan “jilat es krim” (istilah yang digunakan WPSL untuk mengulum alat kemaluan lakilaki) atau jilpe (jilat pepe) (istilah yang digunakan jika
pelanggan meminta untuk menjilat daerah kemaluan
WPSL). Bahkan ada satu informan yang mengatakan pernah melayani pelanggan ketika sedang menstruasi.
“Biasa saja...kayak biasa aja. Kalau macam-macam
gak mau, kalaupun ada, gak mau, semalam ada kitanya
Purnamawati, Perilaku Pencegahan Penyakit Menular Seksual
gak mau kayak jilpelah (jilat pepe) minta es krim gitu, ya
dihisap punya dia, gak maulah ha..ha..ha..bayar cuma
cepe, ya gak mau geli... kalau dikasih gope pikir-pikir dulu deh, lihat orangnya dulu ganteng gak sih.. ha..ha.. lihat duitnya lihat orangnya juga dong.” (WPSL, 23
tahun)
Terkait dengan pelayanan yang diberikan, informan
kunci (kedua mucikari) tidak pernah menargetkan jenis
pelayanan yang diberikan dan juga tidak mengetahui apa
yang mereka lakukan. Hanya saja mereka menekankan
perlu beramah-tamah atau basa-basi dengan tamu.
Sebagian besar informan mengaku berhubungan
seksual tergantung rata-rata dengan dua hingga empat
orang dalam semalam, namun jumlah ini tidak tentu
pada setiap malamnya, kadang-kadang tidak ada pelanggan. Lama bertransaksi juga bervariasi, paling cepat
sekitar lima menit dan ada juga yang minta ditemani
sampai pagi. Walupun demikian ada juga WPSL yang
hanya menunggu teman akrab sehingga tidak melayani
pelanggan yang lain. Hal ini biasanya dilakukan informan guna mendapatkan pengakuan dari pelanggan
dalam arti dijadikan simpanan bahkan sampai akhirnya
akan dinikahi dan dibawa keluar dari tempat lokalisasi.
“Terkadang kalau semalam ya 3..2..ya kalau capek
ya gak kerja kadang sepi..kadang rame, udah 4 malem
gak cari uang soalnya lagi mens.” (WPSL, 26 tahun)
“Kalau saya hanya nunggu kenalan datang di
kontrakan jadi gak ngelayanin yang lain.” (WPSL, 36
tahun)
Hampir seluruh informan mengaku melakukan
hubungan seks di hotel yang berada di samping warung
(hotel kaliasin), sebagian kecil yang lain melakukan hubungan seks di warung saja karena tidak mampu
bayar hotel.
“Di hotel, hotel kaliasin tuh di pinggir.” (WPSL, 36
tahun)
“Tuh di situ (sambil menunjuk kamar), di warung
aja.” (WPSL, 35 tahun)
Rata-rata besar imbalan jasa yang diterima informan
adalah 100 _ 120 ribu untuk sekali berhubungan seksual. Imbalan minimal yang pernah diterima informan
adalah sebesar 70 ribu rupiah dan imbalan terbesar
adalah sebesar 500 ribu rupiah. Imbalan jasa yang besar
biasanya diterima informan karena berhubungan dengan
teman akrab, tetapi untuk teman sepintas imbalan jasa
berkisar 70 _ 150 ribu rupiah.
Sebagian WPSL mengaku tidak pernah peduli dengan
siapa pelanggannya, kecuali dengan kenalan atau teman
akrab. Kebanyakan adalah supir-supir truk yang kebetulan lewat, tetapi ada juga yang berprofesi sebagai pegawai
swasta. Menurut penuturan salah satu informan, dulu
banyak laki-laki paruh baya yang datang, namun saat ini
ada juga pelajar STM yang menggunakan jasa mereka.
Biasanya pelajar datang pada waktu malam minggu.
517
“Gak milih, kalau masalah duit gak milih, tua muda
is ok masuk ha...ha..., pernah yang paling tua umurnya
57 tahun, jadi simpenan malah.” (WPSL, 23 tahun)
“Ya kebanyakan supir-supir truk yang lewat, kalau
dulu sering om-om tapi sekarang ini banyak anak-anak
kira-kira STM kelas 2an lah, mintanya sama mamah
wae gak mau dikasih yang muda, kalau anak muda mah
gak pede, ha..ha... kadang-kadang gak mood sama
ABG.” (WPSL, 37 tahun)
Perilaku Pencegahan IMS, HIV, dan AIDS
Sebagian besar informan mengatakan menggunakan
kondom saat berhubungan seksual. Namun, mereka
tidak bisa menolak jika pelanggan tidak mau menggunakan kondom. Hal senada disampaikan oleh semua informan pendukung baik dari tenaga kesehatan maupun
mucikari. Para WPSL mau menggunakan kondom,
namun karena posisi tawar mereka yang sangat rendah
tidak jarang yang tidak menggunakan kondom saat melakukan transaksi seksual.
Penggunaan kondom biasanya hanya dilakukan untuk
teman sepintas, untuk teman akrab atau pelanggan tetap.
Hampir semua informan mengatakan tidak menggunakan kondom karena mereka yakin bahwa pelanggannya bersih.
“Ada yang pake kondom ada yang gak, kalau dikasih
kita, gak mau, gak enakan, kalau pake kondom mah
ntar tamunya pergi, jarang pake kondom, rata-rata gak
mau lah.. gak kerasa kalau pake itu mah gak ada
rasanya.” (WPSL, 27 tahun)
Hanya sebagian kecil informan yang menolak berhubungan seks jika pelanggan tidak mau menggunakan
kondom. Sebagian yang lain memastikan terlebih dahulu
kalau alat kelamin laki-laki bersih, bahkan ada yang sengaja membawa sejenis handscrub yang digunakan untuk
membersihkan kelamin laki-laki dan ada juga yang menggunakan jelli agar licin.
Pencegahan lain yang dilakukan oleh sebagian kecil
WPSL adalah dengan melakukan pembersihan alat
kelamin atau mencucinya dengan air rebusan daun sirih.
Selain itu, untuk menjaga kesehatannya para informan
juga rutin mengonsumsi antibiotik setiap hari dan ada
juga yang minum jamu-jamuan, jamu-jamuan dipercaya
untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan stamina.
“... paling minum jamu dan minum antibiotik, amoxilin kan dapat beli di apotik, supertetra.” (WPSL, 28
tahun)
Kondom biasanya disediakan di warung oleh pemilik
warung hal ini karena selama satu tahun terakhir, tempattempat lokalisasi mendapatkan bantuan dari pemerintah
daerah setempat. Namun, sebelumnya WPSL membelinya di minimarket yang ada di dekat tempat lokalisasi.
“Dikasih dari warung.” (WPSL, 36 tahun)
“Saya beli di Alfa, kan ada tuh yang sutra.” (WPSL,
517
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni 2013
28 tahun)
Semua informan mengatakan tidak pernah mengalami sakit di daerah kemaluan dan merasa sehat saja.
Hanya ada satu informan yang suka mengalami keputihan dan sudah diobati di klinik yaitu informan yang
sudah pernah bekerja selama 7 tahun. Mereka yakin
dengan mengkonsumsi antibiotik dan jamu-jamuan
maka mereka menjadi sehat. Ada juga informan yang
mengatakan menggunakan salinan resep obat yang
sebelumnya pernah diberikan dokter untuk mengobati
gejala yang dikeluhkan. Mereka menganggap pengobatan
tiap penyakit seksual itu sama sehingga mengambil
langkah pengobatan sendiri.
“Kalau sakit emang biasa keputihan, dulu pernah
kontrol, cek kalau keputihan dah dikasih resep, jadi kita dah wanti-wanti, kalau keputihan gatal, obatnya apa,
salepnya apa sudah tau cucinya pake apa.” (WPSL, 23
tahun)
“Gak pernah, cuma waktu di puskesmas, ibu dokter
bilang ada yang sifilis, tapi gak dibilangin, perasaan kali
ah dianya juga.” (WPSL, 37 tahun)
Hampir semua informan tidak mengetahui tentang
IMS, HIV, dan AIDS. Bahkan untuk nama saja mereka
baru mendengar. Untuk penyakit HIV dan AIDS mereka
menyebutkan dengan nama penyakit virus. Hampir
semua informan mengatakan kalau pekerjaannya tidak
berisiko terhadap penyakit, hanya ada beberapa informan yang mengatakan bahwa pekerjaannya cukup
berisiko, bukan hanya penyakit tapi juga berisiko dengan
satpol pp.
“Kalau jengger ayam, bukan dari laki-laki, setau aku
bukan akibat dari laki-laki tapi dari kotoran mens yang
tidak dibersihkan, terus jadi jengger ayam, men kan
darah kotor terus gak bersih menumpuk jadi jengger
ayam, kalau raja singa, itu kencing nanah laki-laki ya
ganti-ganti ceweklah, kalau HIV tanda-tandanya badannya kecil, sering sakit-sakitan. Makanya wajib liat
barangnya dulu, kadang-kadang tamu tuh minta dimatiin lampunya, itu yang harus diperhatikan, itu yang
harus kita lihat.” (WPSL, 23 tahun)
“Kalau mendengar pernah, tapi apanya saya gak tau,
cuman penyakit apa saya gak tau, gak ada risikonya..
apa sih.” (WPSL 28 tahun)
Wawancara dengan informan pendukung dilakukan
sebagai bentuk triangulasi sumber terkait dengan perilaku informan dalam pencegahan IMS, HIV, dan AIDS.
Informan pendukung terdiri dari dua orang tenaga kesehatan dan dua orang mucikari atau pengelelola
warung. Salah satu informan tenaga kesehatan merupakan pemegang program PMS, HIV/AIDS di Puskesmas
Kecamatan Cikampek.
Hampir seluruh informan pendukung mendukung
upaya pencegahan IMS, HIV, dan AIDS adapun upaya
yang dilakukan oleh tanaga kesehatan mulai dari pe518
nyuluhan, pembagian kondom gratis sampai dengan pemeriksaan baik darah maupun sekret vagina pada WPSL
yang berada di pusat-pusat lokalisasi. Hal ini juga diakui
oleh sebagian besar WPSL yang mengatakan ada
program penyuluhan dan pemeriksaan dari tenaga kesehatan.
Pemeriksaan kesehatan masih dilakukan dengan mendatangi tempat lokalisasi, karena belum ada kesadaran
dari WPSL untuk datang rutin memeriksakan kesehatan.
Biasanya mereka datang dengan keluhan yang sudah
lama, mungkin juga mereka mencari pengobatan di luar.
Walapun demikian program kesehatan yang sudah dilaksanakan selama ini kepada WPSL dirasakan cukup
berhasil.
“Untuk saat ini sasaran sudah tercapailah, kemudian untuk angka GO dan sebagainya sudah kelihatan
kerena keberhasilankan kalau kita menemukan angka
HIV positif dan AIDS positif, dan sekarang kita sudah
mengetahui jadi ya cukup., tapi kendala yang ditemui juga banyak, belum apa-apa mereka sudah pikir akan digaruk, terus juga penolakan dari mereka selalu ada,
padahal tujuan kita untuk menginformasikan yang benar.”
Pembahasan
Prostitusi berasal dari bahasa latin ‘prostituere’ yang
mengandung arti menonjolkan diri (dalam hal–hal yang
buruk), atau menyerahkan diri secara terang-terangan
kepada umum. Menurut Kartono,6 prostitusi berarti
membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prostitue adalah
pelacur atau sundal.
Dalam kegiatan prostisusi, wanita tunasusila memberikan peranan yang cukup besar dalam menjual jasa
seks. Wanita tunasusila sekarang lebih dikenal dengan
istilah wanita pekerja seks. Wanita pekerja seks
dibedakan menjadi wania pekerja seksual langsung dan
tidak langsung. WPSL/direct sex worker yaitu wanita
yang secara terbuka menjajakan seks baik di jalanan
maupun di lokalisasi atau eks lokalisasi. Sementara wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL)/ indirect sex
worker adalah wanita yang beroperasi secara terselubung
sebagai penjaja seks komersial. WPTSL biasanya bekerja
pada bidang-bidang pekerjaan tertentu atau mempunyai
pekerjaan utama lain dan secara tidak langsung menjajakan seks di tempat-tempat hiburan seperti pramupijat, pramuria, bar/karaoke. WPSTL juga dapat diartikan
sebagai wanita yang melayani seks pelanggannya untuk
memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja,
seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa,
bar/karaoke/diskotik/kafe/restoran, dan hotel/motel.
Penelitian ini hanya membatasi informan pada WPSL.
WPSL pada penelitian ini adalah WPS yang bekerja di
lokalisasi yang berada di wilayah Cikampek, tepatnya di
518
Purnamawati, Perilaku Pencegahan Penyakit Menular Seksual
jalan raya Pantura Cikampek. Dalam menjajakan diri,
WPSL bekerja sebagai pelayan warung yang berfungsi
yang menjual berbagai macam minuman dan sebagai
tempat peristirahatan para supir-supir truk dan siapa saja yang melintas di jalan raya Pantura Cikampek.
Karakteristik Pekerjaan WPSL
Sebagai pekerja jasa pelayanan seks maka wanita
pekerja seks dituntut untuk memberikan pelayanan yang
dapat memuaskan pelanggan. Walaupun demikian, perilaku ini bukan tanpa alasan, sebagian besar infoman
dalam penelitian ini mengaku bahwa alasan mereka
untuk turun ke dunia prositusi adalah alasan ekonomi.
Kesulitan informan untuk membiayai kebutuhan hidup
sehari-hari menjadi alasan informan untuk menjadi
WPSL. Mungkin hal ini disebabkan karena sebagian
besar informan berpendidikan sekolah dasar, bahkan ada
yang tidak sekolah, sehingga untuk mencari pekerjaan
yang layak dan mendapatkan hasil yang dapat mencukupi
untuk kebutuhan mereka dan keluarga dirasakan sangat
kurang.
Selain alasan ekonomi, terdapat juga alasan lain
seperti merasa tidak dihargai dalam keluarga dan karena
kekecewaan dengan pasangan hidup. Hal ini terlihat dari
riwayat perkawinan informan. Hampir semua informan
mempunyai status perkawinan lebih dari satu kali dengan
riwayat cerai hidup, hanya ada satu yang cerai mati. Hal
senada menyebutkan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pelacur adalah karena standar
moral, kemiskinan, pendapatan keluarga rendah,
pendidikan rendah dan keinginan untuk memperoleh
status sosial. Ketidakpuasan pada kondisi saat ini, sakit
hati dan tidak puas dengan kehidupan seksual juga merupakan faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
wanita pekerja seks.7
Dalam melakukan transaksi seksual dengan pelanggan (jenis pelayanan, lama bertransaksi seksual, frekuensi melakukan transaksi seksual, besar imbalan jasa, tempat bertransaksi dan karakteristik klien atau pelanggan
WPSL) para informan mengaku tidak ada jenis
pelayanan khusus yang mereka berikan. Perbedaan sosiodemografi informan seperti usia, pengalaman, pendidikan tidak membuat jenis pelayanan yang diberikan
kepada tamu menjadi berbeda. Perbedaan jenis
pelayanan hanya diberikan kepada teman akrab yang
memang sudah menjadi langganan informan.
Karakteristik pelanggan meliputi sopir-sopir truk,
kernet truk, pegawai swasta dan pelajar. Sopir-sopir truk
merupakan pria yang mempunyai potensi besar menjadi
pelanggan WPSL, karena sopir dan kernet truk adalah
pria yang suka berpergian dalam jangka waktu yang lama
dan berpisah dengan pasangan seks utama mereka.8
Supir truk adalah kelompok pria berisiko terbesar
yang mengaku berhubungan seks dengan WPS setahun
terakhir (60%) dan anak buah kapal (46%) di luar
Papua. Seks dengan WPS juga cukup sering dilakukan
oleh tukang ojek (34%) dan pekerja pelabuhan (43%) di
Papua. Kelompok pria berisiko tinggi merupakan jembatan utama antara WPS dan populasi umum. Mereka terinfeksi HIV melalui hubungan seks dengan WPS dan
kemudian menularkan ke istri atau pacar mereka.2
Selain dengan sopir dan kernet truk, dari hasil penelitian juga diketahui bahwa saat ini tren pengguna jasa
layanan WPSL adalah pelajar. Menurut penuturan
WPSL, para pelajar sering datang ke tempat lokalisasi
pada waktu malam minggu. Pelajar merupakan kelompok yang berpotensi menularkan IMS, HIV, dan AIDS.
Faktor pendidikan agama, keluarga dan lingkungan
khususnya dorongan teman sebaya mungkin menjadi
pemicu remaja untuk melakukan hubungan seksual
dengan para WPS.
Perilaku WPSL dalam Pencegahan IMS, HIV, dan AIDS
Menurut Notoatmodjo,9 perilaku merupakan suatu
kegiatan aktivitas organisme yang bersangkutan. Dalam
proses pembentukan dan atau perubahannya perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari
dalam dan luar individu itu sendiri seperti persepsi,
emosi, motivasi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya. Perilaku manusia sangat berkaitan dengan
status kesehatan seorang manusia itu sendiri.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perilaku pencegahan IMS, HIV, dan AIDS pada WPSL masih sangat
kurang, kurang partisipasi pelanggan yang mau menggunakan kondom dan posisi tawar yang rendah juga
menjadi kendala tersendiri bagi WPSL untuk menggunakan kondom saat melakukan transaksi seksual.
Widodo (2009) menunjukan bahwa persepsi WPS terhadap tindakan pencegahan IMS dan kemampuan diri
yang masih sangat rendah, sebagian bersar informan kesulitan untuk mengajak pelanggan selalu menggunakan
kondom.10
Rendahnya penggunaan kondom juga berkaitan dengan karakteristik pelanggan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pelanggan WPSL di kawasan
Cikampek adalah sopir-sopir dan kernet truk. Frekuensi
hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan seksual
memang masih rendah seperti pada tukang ojek dan
pekerja pelabuhan, sebagian besar supir truk dan anak
buah kapal melaporkan hubungan seks yang seringkali
dilakukan dengan WPS dan pasangan seks seksual, pada
umumnya tanpa kondom.2
Selain itu, hampir semua WPSL mempunyai pemahaman yang salah tentang perilaku berisiko, mereka
menganggap jika berhubungan dengan pelanggan tetap
tidak perlu menggunakan kondom karena mereka
merasa yakin dengan kebersihan alat kelamin pelanggan.
Dalam penularan IMS, HIV, dan AIDS yang terpenting
519
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni 2013
adalah kontak cairan tubuh dengan penderita, mungkin
hal ini yang tidak dipahami oleh hampir seluruh WPSL
yang ada di lokalisasi di Kecamatan Cikampek.
Pemahaman yang kurang benar terhadap penularan
IMS, HIV, dan AIDS akan berdampak pada perilaku
pencegahan IMS, HIV, dan AIDS. Hasil penelitian juga
menunjukan bahwa sebagian besar informan tidak
mengetahui tentang penyakit IMS, HIV, dan AIDS,
bahkan mereka menganggap jika pekerjaan yang mereka
lakukan tidak berisiko terhadap penyakit. Hal ini senada
dengan yang disampaikan Budiono, dkk, bahwa rendahnya penggunaan kondom dikalangan WPS dipengaruhi
oleh pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS
dan HIV, sikap WPS, sikap pelanggan, akses informasi
dan dukungan mucikari.11
Selain menggunakan kondom, perilaku pencegahan
lain yang dilakukan oleh para WPSL adalah mengonsumsi antibiotik supertetra. Selain itu, mereka rajin mengonsumsi jamu-jamuan seperti jamu sehat wanita yang
diyakini dapat menjaga kesehatan mereka. Pencucian alat
kelamin dengan air rebusan daun sirih juga dilakukan
oleh WPSL jika pelanggan tidak mau mengunakan kondom. Arifin, dkk,12 menunjukan bahwa sebagian besar
informan melakukan pembilasan organ genetalia dengan
menggunakan air hangat yang diperoleh dari dispenser
yang disediakan oleh tiap-tiap bar. Pemahaman ini tentu
kurang tepat dan menjadi salah kaprah. Kebiasaan menggunakan antiseptik yang tidak aman akan meningkatkan risiko kejadian IMS dan penggunaan antibiotik
yang terus-menerus justru akan menyebabkan resistensi.
Selain itu, pengaruh dari lingkungan juga membuat
mereka meyakini tindakan yang mereka lakukan sebagai
upaya pencegahan penyakit.
Perilaku kesehatan individu adalah sikap dan kebiasaan individu yang terkait erat dengan lingkungan dan
niat seseorang untuk bertindak atau berperilaku sangat
dipengaruhi oleh dukungan sosial masyarakat sekitar.9
Salah satu bentuk dukungan adalah dukungan mucikari
sadar kesehatan yang dapat meningkatkan pemakaian
penggunaan kondom dikalangan WPS.11 Dukungan
WPS serta teman pelanggan juga dapat meningkatkan
penggunaan kondom oleh pelanggan WPS.13 Selain itu,
diperlukan dukungan berbagai sektor terkait seperti
Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS
Daerah (KPAD) sehingga diharapkan perilaku pencegahan IMS, HIV, dan AIDS pada kelompok risiko tinggi
seperti WPS dapat terealisasi dengan baik, dan pada
akhirnya akan mencegah laju peningkatan kasus baru
IMS, HIV, dan AIDS.
Kesimpulan
Perilaku pencegahan penyakir menular seksual (IMS,
HIV, dan AIDS pada WPSL) masih rendah. Penggunaan
kondom saat bertransaksi seksual masih didasarkan
520
pada kesepakatan dengan pelanggan. Namun,
kebanyakan pelanggan enggan menggunakan kondom
dengan alasan tertentu. Selain menggunakan kondom
pencegahan yang dilakukan informan adalah dengan
menggunakan jelli, mengonsumsi antibiotik setiap hari,
mengonsumsi jamu sehat wanita, maupun mencuci alat
kemaluan dengan daun sirih. Hampir semua informan
tidak mengetahui tentang IMS, HIV, dan AIDS. Hanya
ada dua orang informan yang tahu kemudian dapat
menyebutkan jenis dan sebagian kecil gejala dari IMS,
HIV, dan AIDS, untuk penyakit HIV, dan AIDS mereka
menyebutkan dengan nama penyakit virus.
Saran
Pekerja seks berperanan penting dalam pertumbuhan
kasus AIDS, sehingga diperlukan promosi upaya pencegahan IMS, HIV, dan AIDS diantara pekerja seks dalam
mengontrol penyebaran epidemi HIV dan AIDS. Selain
itu, penelitian ini memperlihatkan tingkat pengetahuan
WPSL terhadap IMS, HIV, dan AIDS yang rendah. Oleh
sebab itu, diperlukan peningkatan pengetahuan bagi
WPSL dengan pendekatan yang dapat diterima oleh
mereka, mengingat sebagian besar WPSL mempunyai
tingkat pendidikan sekolah dasar bahkan ada yang tidak
sekolah serta diperlukan upaya pencegahan, bukan hanya
terfokus pada WPSL sebagai penyedia jasa layanan seks,
tapi juga untuk pelanggan dan masyarakat umum.
Daftar Pustaka
1. Widiyanto SG. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
praktik wanita pekerja seks (WPS) dalam VCT ulang di lokalisasi Sunan
Kuning, Semarang [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro Sema-
rang; 2008 [diakses tanggal 11 November 2011]. Diunduh dari:
http://www.eprints.undip.ac.id.
2. Departemen Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS, Family Health
International. Surveilans terpadu-biologis perilaku pada kelompok
berisiko tnggi di Indonesia. 2007 [diakses tanggal 15 November 2011].
Diunduh dari: http://www.aidsindonesia.or.id.
3. Mboi N. Ibu rumah tangga rentan tertular HIV. 2011. Diunduh dari:
http://www.tribunnews.com.
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. Profil kesehatan tahun 2009.
Karawang: Pemerintah Kabupaten Karawang.
5. Soelistijani DA. Hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan
perilaku wanita penjaja seks dalam penggunaan kondom seks komersial
di Bali tahun 2000. 2003 [diakses tanggal 11 November 2011].
Diunduh dari: http://www.lontar.ui.ac.id.
6. Kartono K. Patologi sosial. Jakarta: PT Graja Grafindo Persada; 2005.
7. Silaban R Profil keberadaan Seks Komersil di Sunan Kuning. 2009
[diakses tanggal 11 November 2011]. Diunduh dari: http://www/rudini76an.wordpress.com.
8. Riono P. Surveilans Perilaku Berisiko tertular HIV/AIDS di Wilayah
Nanggroe Aceh Darussaalam 2008, Nanggroe Aceh Darossalam: Dinas
Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam; 2009.
9. Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
Purnamawati, Perilaku Pencegahan Penyakit Menular Seksual
10. Widodo E. Praktik wanita pekerja seks (WPS) dalam pencegahan
September 2012]. Diunduh dari: http://etalase.unnes.ac.id.
penyakit infeksi menular seksual (IMS) dan HIV & AIDS di lokalisasi
12. Arifin, Fitriana N, Praba G, Ari U. Penggunaan kondom dan vaginal
2012]. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia [online]. 2009; 4(2) [diak-
ta pekerja seks di Lokasi Batu 24 Kabupaten Bintan. 2012. Jurnal
Koplak, Kabupaten Grobogan. 2009 [disitasi tanggal 11 September
ses tanggal 2 Agustus 2009]. Diunduh dari: http://ejournal.undip.ac.id.
11. Budiono I, Handayani OWK, Indarjo S. Pengembangan model pemben-
higiene sebagai faktor risiko kejadian infeksi menular seksual pada wani-
Kesehatan Masyarakat. 2012; 1(2) [diakses tanggal 2 Maret 2013].
Diunduh dari: http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm.
tukan germo sadar kesehatan terhadap tingkat penggunaan kondom pa-
13. Kristianti S. Dukungan wanita pekerja seks dan teman pelanggan ter-
HIV/AIDS di resosialisasi Argorejo Semarang) [diakses tanggal 11
ses tanggal 15 Juni 2013]. Diunduh dari http://puslit2.petra.ac.id.
da WPS (studi eksperimental dalam kerangka penanggulangan
hadap penggunaan kondom. Jurnal STIKES [online]. 2012; 5(2) [diak-
521
Download